LAPORAN AKHIR ANJAK TA. 2015
ANALISIS KEBIJAKAN IMPLEMENTASI PROGRAM PEMBERDAYAAN
MASYARAKAT PEDESAAN
Tim Peneliti:
Kurnia Suci Indraningsih
Herman Supriadi Bambang Prasetyo
Chairul Muslim
PUSAT SOSIAL EKONOMI DAN KEBIJAKAN PERTANIAN BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN PERTANIAN
KEMENTERIAN PERTANIAN 2015
1
I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Dalam perekonomian nasional sektor pertanian memiliki peran dalam
pembentukan PDB, penyediaan lapangan kerja dan sumber pendapatan
masyarakat terutama di wilayah perdesaan, pengentasan kemiskinan, perolehan
devisa melalui ekspor produk-produk unggulan, serta penciptaan ketahanan
pangan nasional. Kementerian Pertanian menetapkan program-program,
kebijakan-kebijakan, pengaturan, standar, dan norma yang terkait dengan
program nasional pembangunan pertanian. Program pembangunan pertanian
dijabarkan dalam bentuk kegiatan dengan memperhatikan resource endowment
berupa sumber daya alam, manusia, kapital, teknologi, kondisi internal dan
eksternal peraturan, perkembangan, keterbatasan peran, dan kewenangan
(Mayrowani, 2012).
Pemerintah telah banyak mencanangkan program parsial sektoral untuk
mendorong pembangunan perekonomian masyarakat perdesaan. Program atau
proyek yang digulirkan secara umum berupa bantuan fisik kepada masyarakat,
seperti sarana irigasi, pembangunan sarana air bersih, mesin pompa, dan sarana
produksi pertanian. Sebagian besar proyek dalam kenyataannya tidak mencapai
tujuan yang maksimal dan tidak berkelanjutan. Menurut Rahayu (2006) dalam
Darwis dan Rusastra (2011) terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi
kegagalan program atau proyek tersebut, antara lain: (1) ketidaktepatan antara
kebutuhan masyarakat dengan bantuan yang diberikan, (2) paket proyek tidak
dilengkapi dengan keterampilan yang mendukung, (3) tidak ada kegiatan
monitoring yang terencana, (4) tidak ada kelembagaan di tingkat masyarakat yang
mendukung keberlanjutan proyek.
Bachrein (2010) juga mengungkapkan bahwa kegiatan pemberdayaan
masyarakat desa dilaksanakan secara parsial sektoral dengan membentuk
kelembagaan baru. Kelembagaan baru ini bersifat top down, sehingga merusak
tatanan kelembagaan yang ada dan keberlanjutan kelembagaan baru tersebut
umumnya rendah. Desa dan masyarakat diposisikan sebagai obyek pembengunan
2
dengan tingkat partisipasi masyarakat yang sangat rendah. Kondisi ini
menyebabkan sikap apatis masyarakat perdesaan, karena dinilai kurang kompeten
untuk mengelola desanya sendiri. Ego sektoral dari berbagai lembaga dalam
pelaksanaan pembangunan di perdesaan juga menghilangkan faktor sinergitas
dan keterpaduan, sehingga tidak hanya terkesan tumpang tindih, tetapi juga
keefektifan dan efisiensi dalam implementasinya sangat rendah.
Di sisi lain Bachrein (2010) juga menilai bahwa keberhasilan implementasi
suatu program, salah satunya sangat ditentukan oleh perencanaan matang yang
mampu menjawab permasalahan dan mengantisipasi peluang, serta tantangan
yang muncul secara cermat, dan dalam prosesnya dilaksanakan secara partisipatif
dengan melibatkan seluruh stakeholders, termasuk masyarakat dan aparat desa.
Berdasarkan uraian di atas, kajian ini dinilai penting untuk mencermati
program-program Kementerian Pertanian yang telah dilaksanakan dalam kurun
waktu sepuluh tahun terakhir yang terkait dengan pemberdayaan masyarakat
perdesaan.
1.2. Tujuan Kajian
Tujuan umum dari kajian ini adalah merumuskan rekomendasi alternatif
kebijakan program pemberdayaan masyarakat perdesaan dalam rangka
pencapaian kesejahteraan petani.
Tujuan khusus kajian ini adalah:
1. Mengidentifikasi program pemberdayaan yang diimplementasikan Kementerian
Pertanian.
2. Menganalisis kelebihan dan kelemahan program pemberdayaan yang
diimplementasikan Kementerian Pertanian.
1.3. Keluaran Kajian
Keluaran umum dari kajian ini adalah rumusan rekomendasi alternatif
kebijakan program pemberdayaan masyarakat perdesaan dalam rangka
pencapaian kesejahteraan petani.
3
Keluaran khusus kajian ini adalah:
1. Hasil identifikasi program pemberdayaan yang diimplementasikan Kementerian
Pertanian.
2. Hasil analisis kelebihan dan kelemahan program pemberdayaan yang
diimplementasikan Kementerian Pertanian.
1.4. Perkiraan Manfaat dan Dampak Kajian
Penerima manfaat dari kegiatan ini adalah para pemangku kepentingan
untuk lebih memahami kendala-kendala yang dihadapi dalam implementasi
program-program pembangunan pertanian yang terkait dengan pemberdayaan
masyarakat perdesaan.
Dampak yang diharapkan dari kajian ini adalah proses pembelajaran dari
implementasi program pembangunan pertanian yang telah berjalan untuk
merancang program mendatang, sehingga tidak terulang kelemahan-kelemahan
yang sama.
4
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Konsep Pemberdayaan Masyarakat Petani
Semua pembangunan pada hakekatnya ditujukan untuk masyarakat, tetapi
sebagai metode, pembangunan masyarakat mempunyai karakteristik tersendiri.
Pembangunan masyarakat tidak saja dimaksudkan untuk membina hubungan dan
kehidupan setiap orang untuk hidup bermasyarakat, melainkan juga untuk
membangun masyarakat karena setiap masyarakat mempunyai kekuatan sendiri
yang disebut community power oleh Nelson W. Polsby dalam bukunya The
International Encyclopedia of the Social Sciences (1972, dalam Ndraha, 1990)
misalnya kerukunan, keakraban, solidaritas dan kebersamaan. Suatu masyarakat
bisa kehilangan kekuatannya jika masyarakat itu mengalami community
disorganization. Untuk itu community development atau pembangunan
masyarakat perlu dilakukan.
Tugas membangun suatu masyarakat bukan suatu pekerjaan yang mudah.
Pekerjaan ini mensyaratkan integritas yang tinggi, ketaatan pada komitmen,
sehingga sebagai community development workers diperlukan sikap,
pengetahuan, ketrampilan, nilai-nilai dan teknologi yang tepat untuk dapat
mengantarkan pada terbentuknya organisasi masyarakat yang efektif yang
mampu menyesuaikan diri pada perkembangan kebutuhan masyarakat (Andreas,
1988). Pembangunan masyarakat di Indonesia memegang peranan penting,
karena hakekat pembangunan nasional adalah pembangunan manusia Indonesia
seutuhnya dan pembangunan seluruh masyarakat Indonesia.
Goodin (dalam Adi, 2003) melihat bahwa kebutuhan tidak selalu bersifat
absolut. Kebutuhan mempunyai dua komponen yang perlu diperhatikan, yaitu (1)
Prioritas, pihak yang memiliki otoritas harus mengarahkan bila terjadi konflik
antara memuaskan keinginan masyarakat dan memenuhi kebutuhan masyarakat,
yang perlu diusahakan adalah memenuhi kebutuhan masyarakat, bukan keinginan
masyarakat; serta (2) Kerelatifan, kebutuhan bersifat relatif dan sangat
bergantung pada unsur waktu, tempat dan lingkungan sosial.
5
Dalam pembangunan masyarakat juga dikenal metode kaji tindak (action
research). Kaji tindak merupakan pengujian terhadap formulasi teoritis yang telah
disiapkan secara matang, dimana pengujiannya langsung diterapkan pada
masyarakat dalam sasaran yang terbatas. Oleh karena itu sekurang-kurangnya
terdapat enam jenis pendekatan dalam kaji tindak, yaitu kaji tindak formatif,
perbaikan sistem (system improvement), penyelesaian masalah (problems
solving), analisis model (model analysis), peran serta (participatory), dan
kesadaran kritis (critical corporate self-consciousness).
Pemecahan masalah adalah jenis kaji tindak berupa intervensi dalam
hubungannya dengan masalah spesifik masyarakat yang bermanfaat untuk
membantu masyarakat memecahkan masalah. Analisis model adalah jenis kaji
tindak yang ditujukan untuk membuat model-model yang didasarkan pada asumsi
tentang masalah, kekuasaan masyarakat dan lain-lain, bermanfaat untuk
membentuk kesadaran untuk memilih model, menggabungkannya dan membuat
tahapan-tahapan. Peran serta (partisipatif) merupakan jenis kaji tindak yang
bertujuan untuk memberi kesempatan kepada masyarakat untuk meneliti sendiri
tentang topik yang berkaitan dengan kepentingan mereka, bermanfaat untuk
meningkatkan kesadaran untuk melakukan aksi. Sementara itu kesadaran kritis
bertujuan untuk membangkitkan empati terhadap perbedaan yang ada untuk
menuju pada kesadaran baru, bermanfaat untuk meningkatkan kesadaran
minoritas, masyarakat alternative dan budaya yang berbeda.
Basuno et al. (2005) mengemukakan bahwa dari hasil penelitian yang
dilakukan mengenai Pemberdayaan Masyarakat secara Partisipatif melalui Kaji
Tindak (Action Research) di Provinsi Jawa Barat menggunakan metode
pemecahan masalah dan peran serta yang berkaitan erat dengan konteks
pemberdayaan masyarakat. Beberapa tahapan yang harus dilalui untuk melakukan
kaji tindak pemecahan masalah (Stinson dalam Basuno et al., 2005) adalah
sebagai berikut:
1. Identifikasi masalah, apa yang mendasari masalah tersebut? Persepsi khusus
apakah yang ada di belakang asumsi-asumsi masalah?
6
2. Studi, karena tidak mngkin semua aspek dapat diuji, maka aspek manakah
yang akan dipilih? (misalnya: sejarah, struktur, dampak, letak kekuasaan,
komitmen organisasi, peran warga). Apakah data yang jika dipertimbangkan
akan mengubah definisi dari masalah?
3. Analisis, jenis interpretasi apa yang diberikan terhadap data? Adakah dugaan
yang mempengaruhi tekanan organisasi? Analisis struktural melihat masalah
seperti kurang kesempatan, orientasi pelayanan melihat masalah dalam arti
kegagalan identifikasi awal, perlakuan, alat kontrol, fasilitas, sumberdaya,
komitmen partisipasi cenderung mendefinisikan kembali penerima pelayanan.
4. Pembangunan sasaran, apakah sasaran dari organisasi-organisasi lain dan
kemungkinan mereka berkompetisi dan konflik? Dapatkah organisasi
mengumpulkan kekuasaan yang cukup untuk memenuhi harapan sasaran?
5. Perencanaan, apakah strategi merupakan salah satu dari perubahan sosial
(social change) atau memelihara sosial (social maintenance)? Apakah
keputusan dibuat oleh kalangan elit atau dengan cara partisipatif? Berdasarkan
hal ini, apakah taktiknya relevan?
6. Intervensi, perhatian apakah yang diberikan kepada masing-masing
pengorganisasian, antar dan intra pengorganisasian? Siapakah yang
mempengaruhi? Apa metodenya?
7. Evaluasi, apakah aksi segera membawa organisasi dalam pencapaian tujuan?
Apakah tujuannya bersifat jangka panjang? Bagaimana penguatan atau
pelemahan organisasi itu sendiri?
Prinsip-prinsip kunci dalam kaji tindak jenis peranserta atau partisipatif
partisipatif (Stinson, dalam Basuno et al., 2005) adalah sebagai berikut:
1. Masyarakat harus terlibat dalam seluruh proses penelitian, dari formulasi
masalah sampai dengan diskusi tentang bagaimana mencari penyelesaian
masalah dan menginterpretasikan penemuan-penemuan.
2. Tim peneliti harus merupakan gabungan dari semua elemen yang membawa
perubahan.
7
3. Proses penelitian harus dilihat sebagai bagian dari pengalaman pendidikan
yang berusaha membangun kebutuhan masyarakat dan meningkatkan
kesadaran serta komitmen masyarakat.
4. Proses harus dipandang sebagai proses dialektik, dialog sepanjang waktu dan
tidak dalam bentuk gambaran statis dari satu titik waktu.
5. Obyek harus menjadi pembebasan potensi kreatif manusia dan pemobilisasian
sumberdaya manusia untuk pemecahan masalah sosial.
Sebagian besar tahapan-tahapan dan prinsip kaji tindak, baik jenis
pemecahan masalah maupun peran serta sebenarnya sudah dapat diakomodasi
dalam teknik participatory rural appraisal (PRA), yaitu metode untuk mendapatkan
deskripsi perdesaan atau lokasi dengan melibatkan masyarakat setempat secara
penuh. Metode ini tidak berhenti pada penilaian (appraisal) mengenai deskripsi
perdesaan, namun selanjutnya digunakan untuk perencanaan bahkan evaluasi.
Tekanan yang perlu diberikan untuk tujuan identifikasi kaji tindak jenis
pemecahan masalah adalah pengamatan yang lebih mendalam. Oleh karena itu,
dalam tahapan pelaksanaan kaji tindak jenis pemecahan masalah yang terdiri dari
identifikasi masalah, studi dan analisis harus mendapat perhatian khusus sebelum
melaksanakan penerapan di masyarakat.
Pelaksanaan dan implementasi program-program pembangunan pertanian
selama ini masih banyak bermasalah. Tidak jelas di mana sebenarnya letak
kegagalan sebuah program. Pertanyaan yang muncul adalah, apakah sudah tepat
rumusan strategi dan program yang dicanangkan pemerintah dalam membangun
pertanian? Apakah program-program tersebut memang ada atau tidak ada, dan
kalau ada bagaimana rincian program itu di daerah sebagai pelaksana (atau
penonton)? Apakah program-program itu berjalan efektif sebagai simpul
pendorong pembangunan? Apakah program-program itu dapat dilaksanakan
secara teknis dan bagaimana dampaknya terhadap produksi, produktivitas,
pendapatan petani dan perubahan struktur pengusahaan? Apakah kondisi
ekonomi makro dan kebijakan pemerintah secara umum memberikan dukungan
terhadap keberhasilan program-program tersebut? Jawaban dari pertanyaan-
pertanyaan ini akan merupakan bahan yang bermanfaat dalam membuat rumusan
8
program pembangunan yang lebih tajam, lebih rinci dan tepat sasaran (Yusdja et
al., 2007).
2.2. Hasil-hasil Penelitian terkait Pemberdayaan Masyarakat Petani
2.2.1. DPM LUEP
Program Dana Penguatan Modal Lembaga Usaha Ekonomi Perdesaan (DPM
LUEP) yang telah berjalan sejak tahun 2003, merupakan kegiatan pemberian dana
talang kepada LUEP untuk membeli Gabah dengan harga yang ditetapkan
pemerintah. Dana talang ini harus dikembalikan kepada pemerintah tanpa bunga.
Dengan demikian DPM hanya efektif jika di daerah pembelian gabah terjadi harga
yang lebih rendah dari HPP. Pada dasarnya, memang pemberian DPM hanya pada
wilayah produksi padi yang sering menerima harga gabah lebih rendah dari 3
ketetapan pemerintah terutama pada musim panen. Namun demikian, tidak jelas,
kriteria yang digunakan bagaimana DPM sebesar Rp. 395 milyar pada tahun 2007
dibagikan kepada berbagai kabupaten di seluruh provinsi di Indonesia. Apakah
wilayah-wilayah penerima DPM yang tersebar luas itu memiliki kondisi harga
gabah di bawah HPP? (Yusdja et al., 2007).
LUEP sebagai perantara pemerintah dalam membeli gabah petani sebagian
besar berbentuk usaha dagang dan sebagian dalam bentuk usaha penggilingan
gabah (ricemilling). Terdapat sebagian kecil kelompok tani dan KUD. Dengan
demikian, LUEP mitra pemerintah tidak lain adalah lembaga-lembaga ekonomi
perdesaan yang sebenarnya merupakan usaha komersil. Dengan demikian, sifat
usaha mencari profit memang tidak dapat dihindarkan. Pemerintah berharap,
bahwa LUEP akan memperoleh keuntungan melalui tingkat bunga jika seandainya
DPM disimpan dibank, namun akan tetap medapat keuntungan, karena LUEP
dapat menjual gabah atau beras dari petani pada tingkat harga yang sama yang
terjadi di pasar dan LUEP karena harga bahan bakunya zero (karena DPM).
Namun pada kenyataannya, sebagian besar dari LUEP di Jawa Timur diindikasikan
mengalami kerugian. Menjadi pertanyaan apakah LUEP ini merekayasa laporan?
Jika tidak demikian, apa yang mendorong LUEP terus menerima DPM? (Yusdja et
al., 2007).
9
Dampak DPM terhadap harga gabah yang diterima petani hanya berlaku
sesaat pada saat panen. Namun jika diukur tingkat harga yang diterima petani
pada sepanjang tahun–karena petani menjual gabah sebagian-sebagian pada saat
tertentu-ternyata harga yang diterima petani berada di bawah HPP. Dengan
demikian dapat dikatakan DPM LUEP tidak efektif dalam melindungi harga yang
diterima petani. Untuk meningkatkan keberhasilan DPM LUEP sebaiknya dilakukan
identifikasi yang intensif tentang perkembangan harga gabah sepanjang tahun
pada setiap wilayah (kabupaten) sentra produksi. Dengan menggunakan informasi
dari identifikasi inimaka penyerahan DPM LUEP dapat terjadi pada lokasi yang
tepat dan pada waktu yang tepat. Ketepatan lokasi dan waktu penyerahan DPM
merupakan kunci utama suksesnya DPM LUEP.
Dalam kerangka mendapatkan bentuk kelembagaan LUEP yang bagaimana
yang terbaik bagi pemerintah berdasarkan lokasi maka dilakukan hal-hal sebagai
berikut: Menerapkan pembuatan pembukuan khusus penggunaan DPM sebagai
syarat menjadi LUEP. Pendistribusian DPM LUEP dengan berbagai pola dan
dengan berbagai bentuk kelembagaan LUEP, sehingga dapat dipelajari pola mana
yang terbaik dan bentuk kelembagaan bagaimana yang layak. Disarankan supaya
minimal LUEP dalam satu kabupaten melakukan kerjasama pembelian gabah
karena toh harga sudah ditetapkan peranan oligopsoni menjadi mandul tetapi
manfaat kerjasama akan meningkat. Dalam arti kata jika suatu LUEP dalam
daerah tertentu mengalami kekurangan dana DPM sedangkan LUEP lain
mempunyai kelebihan, maka dapat dibangun jaringan kerjasama yang saling
menguntungkan diantara mereka.
2.2.2. Subsidi Benih Jagung
Program subsidi benih jagung yang diawali pada tahun 2006 dan akan terus
dilanjutkan pada tahun 2007 perlu dicermati lebih intensif khsususnya dalam
pelaksanaannya. Banyak masalah yang terjadi di lapang, baik masalah kebijakan
yang diterapkan maupun masalah teknis yang dihadapi. Salah satu kebijakan
daerah yang bertentangan dengan kebijakan pusat adalah mewajibkan petani
membayar besaran subsidi yang diterimanya kepada Kelompok Tani. Dana
10
pembayaran kembali menjadi milik Koptan yang dapat digunakan untuk
memberdayakan dirinya misalnya membeli rice huller. Kebijakan ini menekankan
bahwa subsidi hanya berlaku pada tingkat koptan bukan petani. Walaupun
kenyataan di lapang kebijakan daerah ini tidak berlaku efektif namun perlu
dipertimbangkan oleh pemerintah pusat dalam kerangka pengembangan
kelompok tani (Yusdja et al., 2007).
Dampak subsidi benih terhadap produksi, produktivitas dan pendapatan
petani sangat bervariasi yang masing-masing ditentukan oleh penerimaan subsidi
benih yang tepat waktu, mutu dan jumlahnya, perubahan cuaca, terutama
kekeringan. Praktek budidaya yang tidak mengalami perubahan dari tradisional ke
cara-cara yang sesuai dengan budidaya jagung hibrida. Jumlah benih jagung yang
diterima petani dibatasi hanya 1 hektar supaya sebagian besar petani memperoleh
subsidi (pemerataan), sebagai akibatnya petani tidak mungkin memperluas usaha
4 penanaman dan kelompok tani tidak siap menyalurkan benih kepada petani
sehingga benih subsidi tidak dapat digunakan (Yusdja et al., 2007).
Subsidi benih diberikan langsung atau tidak langsung kepada petani
bukanlah masalah pokok bagi petani. Apapun caranya, subsidi memastikan bahwa
petani mendapat benih secara cuma-cuma. Namun demikian, pemberian subsidi
kepada petani diperkirakan oleh pemerintah daerah tidak mendidik dan hanya
memanjakan petani. Pemerintah daerah merasa sangat kuatir, apa yang terjadi
jika subsidi dari pemerintah pusat tidak ada lagi. Pemerintah daerah tidak
mempunyai semangat penuh mensukseskan kegiatan subsidi ini. Oleh karena itu,
pemberian subsidi haruslah sedemikian rupa, sehingga pada saat subsidi
ditiadakan, ekonomi petani telah menjadi kuat secara mandiri.
Pengalaman memperlihatkan pelaksanaan subsidi benih menghadapi
berbagai masalah teknis di lapang sehingga target penyaluran subsidi tidak dapat
dipenuhi. Pengamatan di lapang memperlihatkan bahwa permasalahan teknis
yang muncultersebut merupakan konsekuensi dari sistem subsidi yang diatur dari
pusat atau bersifat top down. Sistem top down relatif tidak mempertimbangkan
kondisi penerima subsidi (petani) secara intensif. Dengan demikian, permasalahan
ini tidak bisa dihindarkan kecuali merubah pola top down menjadi pola moderat.
11
Penyaluran subsidi benih yang ideal adalah bagaimana benih sampai
ditangan petani tepat pada saat ia membutuhkannya. Konsekuensi dari
penyaluran seperti itu adalah pemerintah menempatkan petani sebagai bahan
pertimbangan utama dalam menyalurkan benih subsidi. Apa yang telah terjadi
adalah pemerintah terkesan memaksakan penyaluran dengan mengunakan
pertimbangan-pertimbangan yang bersifat general. Seharusnya, pemerintah
memahami benar tingkah laku petani, sehingga penyaluran subsisidi dapat
dilakukan spesifik petani. Tentu hal ini sangat ideal, namun secara normatif
kesanalah arah kebijakan penyaluran itu (Yusdja et al., 2007).
2.2.3. Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) Mandiri Konsep, Kebijakan, dan Program Aksi
Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) Mandiri yang
diluncurkan oleh pemerintah tahun 2007 dimaksudkan untuk meningkatkan
efektivitas penanggulangan kemiskinan dan penciptaan lapangan kerja di
perdesaan. Melalui PNPM Mandiri dirumuskan kembali mekanisme upaya
penanggulangan kemiskinan yang melibatkan unsur masyarakat, mulai dari tahap
perencanaan, pelaksanaan, hingga pemantauan dan evaluasi. Melalui proses
pembangunan partisipatif, kesadaran kritis dan kemandirian masyarakat, dapat
ditumbuh-kembangkan sehingga masyarakat bukan sebagai obyek melainkan
sebagai subyek upaya penanggulangan kemiskinan (Bappeda Tegal, 2015).
Sumber dana PNPM berasal dari anggaran Pusat (APBN), anggaran daerah
(APBD), swadaya masyarakat, partisipasi dunia usaha swasta dalam bentuk
Corporate Social Responsibility (CSR), dan sumber lain yang tidak mengikat
(Direktorat Pemberdayaan Masyarakat dan Desa, 2014).
Mulai tahun 2008 PNPM Mandiri diperluas dengan melibatkan Program
Pengembangan Infrastruktur Sosial Ekonomi Wilayah (PISEW) untuk
mengintegrasikan pusat-pusat pertumbuhan ekonomi dengan daerah sekitarnya.
PNPM Mandiri diperkuat dengan berbagai program pemberdayaan masyarakat
yang dilaksanakan oleh berbagai departemen/sektor dan pemerintah daerah.
Pelaksanaan PNPM Mandiri diprioritaskan pada desa-desa tertinggal.
12
Cakupan pembangunan melalui pengintegrasian berbagai program
pemberdayaan masyarakat ke dalam kerangka kebijakan PNPM Mandiri,
diharapkan dapat diperluas hingga ke daerah-daerah terpencil dan terisolir.
Kegiatan yang selama ini sering tumpang tindih antar proyek diharapkan dapat
berjalan efektif dan efisien. Mengingat proses pemberdayaan pada umumnya
membutuhkan waktu 5-6 tahun, maka PNPM Mandiri akan dilaksanakan sekurang-
kurangnya hingga tahun 2015. Hal ini sejalandengan target waktu pencapaian
tujuan pembangunan milenium atau Millennium Development Goals (MDGs).
Pelaksanaan PNPM Mandiri yang berdasar pada indikator-indikator keberhasilan
yang terukur akan membantu Indonesia mewujudkan pencapaian target-target
MDGs tersebut.
Implementasi
Kegiatan yang dibiayai oleh program BLM PNPM antara lain adalah yang
manfaatnya langsung untuk masyarakat/rumah tangga miskin di perdesaan,
meningkatkan kesejahteraan dan pendapatan masyarakat, dapat dikerjakan oleh
masyarakat dengan sumber daya yang ada, memiliki potensi berkembang dan
berkelanjutan, serta mendukung kualitas lingkungan hidup. Jenis-jenis kegiatan
yang dibiayai program PNPM meliputi kegiatan pembangunan sarana prasarana,
pelatihan ketrampilan usaha, dan simpan pinjam (Direktorat Pemberdayaan
Masyarakat dan Desa, 2014).
Hasil evaluasi program
Program pengentasan kemiskinan seperti PNPM Mandiri yang ditangani
oleh multi-kementerian masih tetap memperagakan model kebijakan yang tidak
koordinatif dan parsial, baik dalam hal aturan, acuan, kriteria penerima manfaat,
dan pengelolaannya. Praktis, implementasi program pengentasan kemiskinan
belum juga lepas dari persoalan-persoalan usang seperti: egosektoral,
overlapping , ambiguitas, konflik struktural, dan konflik horisontal di kalangan
masyarakat. Partisipasi masyarakat belum merupakan partisipasi yang muncul dari
kesadaran kolektif warga, namun masih sebatas partisipasi pasif yang
mengandalkan bantuan proyek. Minimnya ruang keterlibatan dalam perencanaan
13
program ini menyebabkan masyarakat tidak termotivasi untuk berpartisipasi
secara aktif.
Guna menunjang partisipasi warga miskin dalam pengelolaan sumber-
sumber ekonomi produktif, maka proses desentralisasi harus segera dilakukan.
Proses desentralisasi itu mencakup: desentralisasi pengelolaan sumber-sumber
ekonomi produktif di setiap daerah; desentralisasi program pengentasan
kemiskinan oleh pemerintah daerah dengan mengoptimalkan pemanfaatan
sumber-sumber ekonomi produktif yang dimiliki masyarakat; desentralisasi
pengelolaan data basis kemiskinan dengan memperhitungkan penjaringan data
kemiskinan secara bottom-up, partisipatif, dan tidak biaselit. Untuk agenda itu,
Pemerintah Pusat perlu melakukan fungsi pengawasan terhadap seluruh proses
desentralisasi tersebut dengan tetap menghormati prinsip-prinsip subsidiaritas
(Widyanta, 2013).
2.2.4. Sistem Usahatani Berbasis Padi Berwawasan Agribisnis (SUTPA)
Konsep, Kebijakan, dan Program Aksi
Dalam upaya meningkatkan produksi padi dan pendapatan petani
Kementerian Pertanian melalui Badan Litbang Pertanian telah melaksanakan
pengkajian Sistem Usahatani Berbasis Padi Berwawasan Agribisnis (SUTPA).
Rekayasa paket teknologi yang dikembangkan adalah: a) varietas unggul baru, b)
sistem tanam benih langsung (Tabela), c) pemupukan spesifik lokasi berdasarkan
kandungan hara tanah, d) penggunaan alat tanam benih langsung (atabela). Hasil
kajian SUTPA tahun 1995-1999 sistem tabela dapat meningkatkan hasil gabah
kering panen berkisar 1- 2 ton/ha, umur panen lebih cepat 10 – 15 hari, serta
curahan tenaga kerja berkurang 15 – 25 persen dibanding sistem tanam pindah
(Chairunas et al., 2000).
Implementasi
Pemerintah melalui Badan Litbang Pertanian pada tahun 1995/96
mengembangkan SUTPA di 14 propinsi sebagai alternatif pendekatan
pengembangan tanaman pangan di lahan sawah irigasi. Penelitian ini dilakukan di
14 propinsi pengkajian SUTPA dengan tujuan: (1) Mengevaluasi pengembangan
14
SUTPA sebagai alternatif pendekatan pengembangan tanaman pangan di lahan
sawah irigasi, dan (2) Menyusun alternatif pengembangan pola tanam setahun
yang dikembangkan dalam program SUTPA. Unit hamparan pengkajian SUTPA
adalah seluas 500 Ha, yang diharapkan menjadi unit agribisnis berbasis padi
dengan skala ekonomi yang menguntungkan petani. Teknologi yang
dikembangkan dalam SUTPA meliputi antara lain: (1) Varietas unggul baru, (2)
Sistem tanam benih langsung (Tabela), (3) Pemupukan spesifik lokasi, (4)
Pengenalan Alsintan, dan (5) Pola tanam setahun.(Adnyana dan Kariyasa, 1998).
Pelaksanaan SUTPA di Sumatera Barat komponen teknologi yang
direkomendasikan adalah penggunaan benih berkualitas baik, analisis tanah
berbasis-pemupukan, dan penggunaan langsung seeder
(https://www.translate.com,1997).
Hasil Evaluasi
Hasil penelitian menunjukkan bahwa padi varietas Memberano yang
ditanam dengan sistem tanam benih langsung (Tabela) mampu berproduksi dan
memberi keuntungan masing-masing 7,7-13,8 persen dan 14,1-24,1 persen lebih
tinggi dibanding dengan sistem tanam pindah (Adnyana dan Kariyasa, 1998).
Pelaksanaan SUTPA di Sumatera Barat memberikan peningkatan hasil dari 4,5 ton
menjadi 8,5 ton/Ha. Setelah pelaksanaan SUTPA petani tidak melakukan semua
teknologi yang dianjurkan karena petani belum mampu menyediakan input
produksi dan teknologi anjuran. Hasil dari Tabela atau sistem tanam saat ini
adalah sekitar 5,5 ton /Ha, dan kalu dibandingkan dengan sistem sebelumnya
akan menghemat biaya produksi Rp 479.000/Ha (https://www.translate.
com,1997)
15
III. METODOLOGI
3.1. Lokasi Kajian
Lokasi kajian mencakup wilayah nasional. Untuk verifikasi data di lapangan
Tim perlu melakukan survai ke Provinsi Jawa Barat dan Banten, terutama yang
terkait dengan persepsi petani/kelompok tani terhadap program-program
pembangunan pertanian.
3.2. Sumber dan Jenis Data
Data dikumpulkan berdasarkan karakteristik data, yakni data primer dan
data sekunder. Data primer dikumpulkan langsung dari responden, yakni seluruh
pemangku kepentingan yang terkait dengan program-program pembangunan
pertanian. Data sekunder dikumpulkan dari berbagai instansi pemerintah lingkup
Kementerian Pertanian di Jakarta, seperti Direktorat Jenderal Tanaman Pangan,
Badan Penyuluhan dan Pengembangan SDM Pertanian, Badan Litbang Pertanian
(BBP2TP dan BPTP), dan Badan Ketahanan Pangan. Disamping itu data sekunder
juga dapat diperoleh dari media, baik cetak maupun elektronik.
3.3. Metode Analisis
Metode analisis yang digunakan adalah deskriptif kualitatif, dilengkapi
dengan tabulasi silang yang memberikan gambaran komparasi antar program
dengan didukung data mengenai kelemahan dan kelebihan masing-masing
program. Program pembangunan pertanian yang akan dicermati secara mendalam
pada kajian ini adalah SL-PTT, FEATI, LM3, PUAP, Demapan, P4MI, Prima Tani,
dan MP3MI.
16
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1. Identifikasi/Inventarisasi Program
4.1.1. Prima Tani
Konsep, Kebijakan, dan Program Aksi
Program Rintisan Pemasyarakatan Inovasi Teknologi Pertanian (Prima Tani)
merupakan program pemasyarakatan inovasi hasil penelitian dan pengembangan
pertanian kepada masyarakat dalam bentuk laboratorium agribisnis di lokasi yang
mudah dilihat dan dikenal masyarakat petani. Prima Tani bertujuan mempercepat
waktu, meningkatkan kadar dan memperluas prevalensi adopsi teknologi inovatif
yang dihasilkan oleh Badan Litbang Pertanian. Selain itu Prima Tani juga bertujuan
untuk menghimpun umpan balik mengenai karakteristik teknologi tepat-guna
spesifik pengguna dan lokasi, yang merupakan informasi esensial dalam rangka
mewujudkan penelitian dan pengembangan berorientasi kebutuhan pengguna.
Sasaran akhir Prima Tani adalah diterapkannya teknologi inovatif yang dihasilkan
Badan Litbang Pertanian oleh praktisi agribisnis secara cepat, tepat dan luas
(massal).
Program Prima Tani diharapkan mampu mendorong pembentukan Sistem
Usaha Tani Intensifikasi dan Diversifikasi (SUID) dan Agribisnis Industrial
Perdesaan (AIP). Pengembangan SUID dimaksudkan untuk meningkatkan
pemanfaatan sumber daya pertanian secara optimal, dan sekaligus mengurangi
risiko usaha, dengan cara mengintegrasikan kegiatan usaha tani (on farm dan off
farm) dan kegiatan nonusahatani (non farm). Pengertian AIP dalam hal ini
direpresentasikan sebagai hubungan vertikal dan fungsional antara simpul-simpul
agribisnis berbasis Iptek di kawasan pengembangan Prima Tani (Badan Penelitian
dan Pengembangan Pertanian, 2006).
Institusi yang bertanggung jawab terhadap pelaksanaan program Prima
Tani terutama adalah Badan Litbang Pertanian sebagai penggagas tahun 2004,
disamping itu Badan Litbang Pertanian didukung oleh Direktorat Jenderal Teknis
lingkup Kementerian Pertanian dan Dinas Pertanian daerah, Pemda Provinsi dan
17
Kabupaten. Sumber dana Prima Tani berasal dari sebagian besar APBN dan
didampingi APBD sesuai kemampuan daerah. Unit pelaksana di provinsi dilakukan
oleh Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) dengan dukungan Pemerintah
Daerah beserta dinas teknis terkait. Walaupun pada awalnya program ini diinisiasi
oleh Badan Litbang Pertanian, dalam pelaksanaan tahap berikutnya peran Pemda
setempat diharapkan sangat dominan. Pada dasarnya, dengan pendekatan yang
benar kegiatan inovasi dan diseminasi teknologi melalui program Prima Tani hanya
untuk membuktikan bahwa teknologi yang dihasilkan Badan Litbang mampu
menjawab kebutuhan dan permasalahan petani atau tepat guna dan unggul
sehingga mereka yakin dan mengadopsinya.
Kegiatan diseminasi yang dilakukan Badan Litbang Pertanian hanya dalam
skala terbatas dan sementara waktu saja, sehingga fasilitasi difusi dan replikasi
atau perluasan Prima Tani diharapkan akan dilakukan oleh instansi pemerintah
yang bertugas untuk itu, terutama dari pihak Pemda setempat. Dengan demikian,
Pemda setempat berkewajiban untuk menerima tongkat estafet pelaksanaan
Prima Tani yang selama ini dilakukan oleh Badan Litbang Pertanian.
Pemda setempat paling tidak ada dua kewajiban yang perlu mendapat perhatian
lebih serius, yaitu: (1) menjaga keberlanjutan pelaksanaan Prima Tani di lokasi
pengembangan selama ini, sehingga tujuan akhir dalam mewujudkan Agribisnis
Industrial Perdesaan (AIP) bisa tercapai, dan (2) mengingat pelaksanaan Prima
Tani selama ini terbatas pada beberapa lokasi/desa, maka agar percepatan
pembangunan pertanian secara nasional bisa tercapai, maka Pemda setempat
berkewajiban untuk memassalkan Prima Tani ke lokasi lainnya. Dalam kaitan ini,
Badan Litbang Pertanian bukan berarti lepas tangan. Badan Litbang Pertanian
tetap berkewajiban sebagai pemasok teknologi yang dibutuhkan dalam
pengembangan Prima Tani tersebut.
Beberapa bentuk kelembagaan yang perlu ditumbuhkembangkan dalam
Prima Tani antara lain: (1) kelembagaan keuangan mikro perdesaan untuk
mengatasi kelangkaan modal usaha dan kebutuhan konsumsi, (2) Gabungan
Kelompok Tani (Gapoktan) untuk mengatasi berbagai masalah yang dihadapi oleh
petani dalam mengembangkan usaha agribisnisnya, (3) kelembagaan klinik
agribisnis yang ditujukan untuk memberdayakan masyarakat petani dalam
18
mewujudkan sistem kehidupan yang lebih baik, dan (4) kelembagaan kemitraan
bermediasi dalam rangka membantu peningkatan pendapatan petani melalui
peningkatan efsiensi sistem pemasaran. Implementasi dari masing-masing
kelembagaan tersebut diharapkan dapat menumbuhkan Agribisnis Industrial
Perdesaan (AIP), yang didukung oleh Sistem Usaha Tani Intensifikasi dan
Diversifikasi (SUID) secara optimal dan berkelanjutan dalam upaya meningkatkan
pendapatan petani secara bertahap dan nyata dari tahun ke tahun (Hermanto,
2007).
Implementasi Prima Tani
Jangka waktu pelaksanaan Prima Tani dimulai tahun 2005 dan berakhir
tahun 2009. Pada tahun 2007 Prima Tani telah dilaksanakan di 201 lokasi (14
desa) yang mencakup 200 kabupaten di 33 provinsi. Kegiatan Prima Tani meliputi:
1. Menerapkan teknologi inovatif tepat-guna melalui penelitian dan
pengembangan partisipatif (Participatory Research and Development)
berdasarkan paradigma Penelitian untuk Pembangunan.
2. Membangun model percontohan sistem dan usaha agribisnis progresif berbasis
teknologi inovatif dengan mengintegrasikan sistem inovasi dan sistem
agribisnis.
3. Mendorong proses difusi dan replikasi model percontohan teknologi inovatif
melalui ekspose dan demonstrasi lapang, diseminasi informasi, advokasi serta
fasilitasi.
4. Basis pengembangan dilaksanakan berdasarkan wilayah agroekosistem dan
kondisi sosial ekonomi setempat.
Kegiatan Prima Tani terdiri dari tiga tahap, yaitu: (1) tahap pertumbuhan,
(2) tahap pemantapan, dan (3) tahap pengembangan. Pada tahap awal
penumbuhan sistem inovasi diintroduksikan ”paket rintisan” dengan rantai pasok
inovasi yang amat pendek (diintroduksikan secara langsung oleh Badan Litbang
Pertanian sebagai sumber inovasi). Balai penelitian dalam lingkup Badan Litbang
Pertanian sebagai penghasil teknologi dasar (generating system) berfungsi
sekaligus sebagai penyalur langsung teknologi ”komersial” kepada petani/praktisi
agribisnis penerima atau pengguna teknologi tersebut. Penyaluran teknologi
19
demikian telah lazim dilakukan dengan sebutan ”good will transfer”. Bersama-
sama dengan pemerintah kabupaten, Badan Litbang Pertanian melaksanakan
pembekalan keterampilan dan pengetahuan teknis kepada penyuluh yang
selanjutnya bertindak sebagai nara sumber bagi para praktisi agribisnis.
Tahapan selanjutnya ialah pemantapan, dengan ciri utama penumbuhan
segmen pemasok teknologi lokal (delivery segment). Pada tahap awal, pelaksana
perintis adalah Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP), unit kerja teknis
Badan Litbang Pertanian yang ada di seluruh provinsi di Indonesia dan
kelembagaan/institusi teknologi pertanian (misalnya benih) milik pemerintah
daerah. Pada tahapan ini Klinik Agribisnis telah berhasil ditumbuhkan. Klinik
Agribisnis merupakan tempat penyuluh dan peneliti memberikan pelayanan
terpadu bagi praktisi agribisnis setempat. Lembaga-lembaga inovasi milik
pemerintah inilah yang harus bertindak sebagai produsen dan penyalur teknologi
yang bersifat barang publik (public good) atau tidak layak diusahakan secara
komersial oleh perusahaan swasta murni. Dalam hal ini, peranan lembaga
pemerintah adalah untuk mengatasi kekosongan pasar (missing market) inovasi.
Tanpa keterlibatan langsung lembaga pemerintah teknologi publik tidak akan
diadopsi secara luas.
Tahapan akhir dari pengembangan sistem inovasi Prima Tani adalah
penumbuhan dan pengembangan usaha komersial produsen teknologi (seperti
benih sebar) di daerah pengembangan. Hal tersebut hanya mungkin terjadi jika
teknologi inovatif bersifat barang privat (private good) yang layak diproduksi
secara komersial murni. Pada tahapan inilah diferensiasi dan spesialisasi fungsi
setiap elemen dalam sistem inovasi dapat tumbuh-berkembang secara
berkelanjutan. Dalam program Prima Tani yang terpenting yaitu adanya
percontohan sesuai kebutuhan teknologi petani dalam bentuk laboratorium
agribisnis dengan pendampingan/pengawalan teknologi dari peneliti dan penyuluh
(Hendayana, 2011).
Dampak Prima Tani
Prima Tani telah menjadi icon pembangunan pertanian dalam periode
2005- 2009, ditandai dengan dijadikannya Prima Tani dalam posisi strategis
20
sebagai instrumen Program Kementerian Pertanian dan Penggerak Pembangunan
Agribisnis Perdesaan, serta Prima Tani sebagai Program Nasional. Replikasi Prima
Tani juga terjadi pada Kementerian lain di luar Pertanian.
Dampak program PrimaTani antara lain: (1) terciptanya koordinasi yang
baik antar pemangku kepentingan (stakeholders), (2) adanya percontohan sesuai
kebutuhan teknologi petani dalam bentuk laboratorium agribisnis, (3)
pendampingan/pengawalan teknologi oleh peneliti bekerjasama dengan penyuluh,
(4) percepatan diseminasi inovasi (teknologi dan kelembagaan). Keberhasilan
Prima Tani diawali dari proses perencanaan hingga implementasi di lapangan yang
dilakukan secara partisipatif, sehingga terjadi koordinasi yang baik antar
pemangku kepentingan (stakeholders), (5) adanya percontohan sesuai kebutuhan
teknologi petani dalam bentuk laboratorium agribisnis, dan yang lebih
pendampingan/pengawalan teknologi oleh peneliti bekerjasama dengan penyuluh.
Dengan pendekatan seperti itu telah mendorong terjadinya percepatan diseminasi
inovasi (teknologi dan kelembagaan) yang menjadi target Prima Tani.
Sebagai suatu model/konsep diseminasi inovasi teknologi dan
kelembagaan, Prima Tani telah terbukti dapat diimplementasikan di Indonesia,
walaupun masih menghasilkan output (SUID-AIP) yang masih beragam. Hasil
evaluasi kinerja Prima Tani di seluruh Indonesia menunjukkan hampir 25% lokasi
Prima Tani telah mengarah pada terbentuknya SUID-AIP, lebih dari 25% lokasi
Prima Tani berpotensi mengarah pada terbentuknya SUID-AIP, dan selebihnya
lokasi Prima Tani mengalami kesulitan untuk membentuk AIP (Drajad, et al.
2009)
Prima Tani telah mendorong tercapainya target percepatan diseminasi
inovasi (teknologi dan kelembagaan). Keberhasilan penerapan Prima Tani
tersebut, selanjutnya dijadikan basis model oleh Ditjen Teknis di lingkup Pertanian
dalam mengembangkan program strategisnya, seperti Pengembangan Usaha
Agribisnis Perdesaan (PUAP) pada Pusat Pembiayaan, FEATI (Badan Penyuluhan
dan Pengembangan SDM Pertanian), SL-PTT Padi, Jagung, Kedelai (Ditjen
Tanaman Pangan), Gernas Kakao dalam wujud Prima Trans (Kementerian Tenaga
Kerja dan Transmigrasi) dan Simantri (Pemda Bali). Sebagai rintisan yang berhasil,
21
maka dalam periode 2011 Badan Litbang Pertanian berencana
mengembangkannya dalam bentuk Model Pengembangan Pertanian Perdesaan
Melalui Inovasi (M-P3MI).
4.1.2. Lembaga Mandiri Mengakar pada Masyarakat (LM3)
Salah satu strategi pembangunan pertanian yang dilaksanakan Kementerian
Pertanian sejak beberapa tahun yang lalu adalah memberdayakan dan
mengembangkan usaha agribisnis berbasis pada Lembaga Mandiri Mengakar pada
Masyarakat (LM3). Secara formal pemberdayaan terhadap LM3 dilakukan sejak
diterbitkannya Surat Keputusan Bersama antara Menteri Pertanian dan Menteri
Agama No. 346/1991 dan No. 94/1991 tentang Pengembangan Agribisnis di
Pondok Pesantren. Selanjutnya sejak tahun 1996 pemberdayaan terhadap
pengembangan agribisnis lebih ditingkatkan lagi, yaitu diterbitkannya Surat
Menteri Dalam Negeri No. 412.25/1141/PMD tanggal 21 Oktober 1996 dan Surat
Menteri Pertanian No. 555/Kpts/OT.210/6/97 serta Surat Sekretaris Jenderal
Departemen Pertanian No. RC.220/720/B/VI/1998 tentang Pengembangan
Agribisnis melalui Lembaga Mandiri Mengakar di Masyarakat.
Pada awalnya LM3 yang diberdayakan dan difasilitasi adalah lembaga
pondok pesantren. Dalam perkembangan selanjutnya, lembaga yang difasilitasi
mencakup juga lembaga-lembaga keagamaan lainnya antara lain seminari, paroki,
pasraman dan vihara. Lembaga tersebut berkedudukan di perdesaan dan
mempunyai nilai strategis dalam menyampaikan pesan pembangunan melalui
kegiatan pendidikan moral dan sosial di masyarakat, serta mempunyai kekuatan
dan potensi untuk dikembangkan sebagai penggerak pembagunan perdesaan.
Potensi LM3 yang dapat dimanfaatkan sebagai penggerak pengembangan
agribisnis antara lain (Deptan, 2008):
1. Mempunyai sumber daya lahan pertanian yang cukup potensial dan
masyarakat di sekitarnya yang berusaha di bidang pertanian
2. Mempunyai sumber daya manusia, dalam hal ini tokoh agama yang
kharismatik, yang menjadi panutan bagi warga LM3 dan masyarakat sekitarnya
22
3. Merupakan kelembagaan yang strategis untuk mendiseminasikan berbagai ilmu
pengetahuan dan teknologi (iptek) agribisnis; dan
4. Merupakan pasar potensial hasil pertanian untuk memenuhi kebutuhan sendiri
dan masyarakat sekitarnya.
Pembinaan pengembangan agribisnis melalui LM3 berdasarkan empat
prinsip yaitu: (1) prinsip pengembangan unit bisnis di LM3 yang dilaksanakan oleh
lembaga ekonomi seperti koperasi, Baitul Maal wat Tamwil (BMT) atau bentuk
lembaga lainnya, (2) prinsip kemandirian LM3, dimana pemerintah hanya
membantu pada tahap awal yaitu dengan penyelenggaraan pelatihan dan atau
magang, penyediaan agro input dan bantuan modal serta pendamping teknis,
pada tahap berikutnya LM3 harus mandiri dan pemerintah sebagai fasilitator, (3)
prinsip prisma, yaitu LM3 yang berpotensi dalam pengembangan agribisnis
diklasifikasikan menjadi (a) LM3 maju, (b) LM3 berkembang, dan (c) LM3 belum
berkembang; dan (4) prinsip selektif, dimana LM3 yang dipilih untuk dibina adalah
LM3 yang berpotensi yang bersedia dibina dan membuka diri untuk
mengembangkan agribisnis di LM3 dan bersedia menjadi penggerak masyarakat
setempat (Departemen Pertanian, 2007).
Strategi dasar pemberdayaan dan pengembangan usaha agribisnis LM3
meliputi: (1) peningkatan kemampuan sumber daya manusia; (2) optimalisasi
potensi agribisnis yang tersedia; (3) penguatan modal usaha agribisnis; dan (4)
penguatan kapasitas kelembagaan. Sementara itu, strategi operasional yang akan
ditempuh dalam pemberdayaan dan pengembangan usaha agribisnis LM3 terdiri
atas:
1. Peningkatan kemampuan sumber daya manusia yang dilaksanakan melalui: (a)
pelatihan bagi pengelola LM3, (b) pelatihan bagi pendamping, (c) magang bagi
pengelola di LM3 model atau unit agribisnis yang berhasil, (d) workshop yang
dapat diikuti oleh pengurus LM3, pendamping atau petugas dari dari dinas.
2. Optimalisasi potensi agribisnis yang tersedia di LM3 yang dilaksanakan melalui:
(a) identifikasi potensi dan daya dukung sumber daya yang tersedia, (b)
introduksi teknologi tepat guna, dan (c) pendampingan usaha
23
3. Penguatan modal pengembangan usaha agribisnis LM3 yang dilaksanakan
melalui: (a) penyaluran dana bantuan sosial kepada LM3 terpilih, dan (b)
fasilitasi kemitraan dengan sumber permodalan lainnya.
4. Penguatan kapasitas kelembagaan LM3 melalui: (a) pengembangan
kelembagaan ekonomi, (b) pengembangan jaringan usaha, dan (c) fasilitasi
terhadap akses pemasaran.
Hasil evaluasi berupa kajian terkait pelaksanaan LM3 pernah dilakukan
Yusdja et al. (1999). Pada tahun-tahun awal pelaksanaan LM3 berdasarkan kajian
tersebut menunjukkan bahwa program yang seharusnya merupakan penjabaran
dari program Pemberdayaan Ekonomi Rakyat (PER) LM3 ternyata tidak berjalan
dengan baik, yang disebabkan oleh beberapa hal antara lain: (1) tidak adanya
blue print yang merumuskan konsep PER LM3 baik konsepsi dan operasionalnya,
sehingga terlihat ada ego sektoral, (2) dana bantuan terlalu kecil dan kurang
matang dalam perencanaan, dan (3) kapasitas SDM baik alumni maupun santri
masih kurang dalam aspek manajerial.
Seiring dengan waktu pelaksanaan LM3 juga mengalami penyempurnaan
sehingga kinerja kegiatan juga semakin baik. Hal tersebut terlihat dari kajian yang
dilakukan oleh Pasaribu et al. (2007) terhadap LM3 (pontren) terpilih di Jawa
Timur dan NTB. Hasil kajian menunjukkan bahwa keberadaan LM3 sangat
bermanfaat bagi pengembangan pontren terutama dalam penguatan modal
usaha, media pembelajaran santri, mengangkat perekonomian masyarakat sekitar
pontren dan dalam menciptakan lapangan pekerjaan.
LM3 merupakan program pemerintah yang pada dasarnya bermuara pada
konsepsi pemberdayaan (empowerment) masyarakat. Pemberdayaan dan
pengembangan usaha agribisnis adalah upaya peningkatan kemampuan sumber
daya manusia pengelola usaha agribisnis LM3, optimalisasi potensi agribisnis yang
tersedia di LM3, penguatan kapasitas kelembagaan LM3 (institutional capacity
building) dan penguatan modal usaha agribisnis LM3. Proses pemberdayaan
dilakukan dengan menumbuhkan kesadaran LM3 serta meningkatkan semangat
dan kapasitasnya untuk mengembangkan usaha agrisbisnis agar dapat lebih
24
berperan dalam pembangunan masyarakat, baik dalam aspek moral-spiritual,
sosial, maupun ekonomi.
Untuk mencapai hasil yang optimal dalam pemberdayaan LM3, konsep yang
ada kemudian diterjemahkaan secara lebih operasional dalam bentuk Pedoman
Umum (Pedum). Pedum disusun setiap tahun dan dilakukan penyempurnaan
berdasarkan pengalaman tahun sebelumnya. Tujuan pembuatan Pedum adalah
untuk meningkatkan efisiensi, efektivitas, akuntabilitas pelaksanaan kegiatan LM3.
Pedum inilah yang dijadikan dasar pelaksanaan kegiatan mulai dari perencaanaan,
pengorganisasian, pelaksanaan, monitoring, evaluasi, pengawasan, dan pelaporan
kegiatan di tingkat pusat, provinsi, dan kabupaten/kota.
Rancangan pelaksanaan program sudah dijelaskan secara detail dalam
Pedum mulai dari perencanaan/persiapan (penentuan sasaran, kriteria calon
penerima), pelaksanaan (kesesuaian usaha, efektivitas dan efisiensi) dan pasca
pelaksanaan. Sebagai sebuah instrumen untuk pemberdayaan, konsepsi LM3
dipandang telah memadai. Demikian juga rancangan program telah dibuat dengan
sistematis dan se-ideal mungkin. Namun dalam implementasi belum tentu berjalan
dengan baik karena banyak faktor yang menjadikan sukses atau gagalnya sebuah
program.
LM3 adalah lembaga yang tumbuh dan berkembang di masyarakat secara
mandiri dengan kegiatan meningkatkan gerakan moral melalui kegiatan
pendidikan dan keterampilan dalam rangka upaya meningkatkan kesejahteraan.
Program pengembangan LM3 adalah suatu upaya pemberdayaan SDM dan
penguatan kelembagaan, khususnya kelembagaan keagamaan (seperti pesantren,
gereja, pura dan lain-lain yang sejenis) di bidang usaha agribisnis. Program ini
dikelola oleh Badan Penyuluhan dan Pengembangan Sumber Daya Manusia
Pertanian (BPPSDMP) mulai sejak tahun 2006.
Pemberdayaan dan pengembangan usaha agribisnis LM3, adalah upaya
meningkatkan kemampuan sumber daya manusia pengelola usaha agribisnis,
optimalisasi potensi agribisnis yang ada, penguatan kapasitas kelembagaan, dan
penguatan modal usaha agribisnis. Dengan pemberdayaan tersebut diharapkan
LM3 dapat menjalankan dan mengembangkan usaha secara mandiri dan
25
berkelanjutan serta dapat berperan secara optimal sebagai agen pembangunan
bagi masyarakat di sekitar.
Proses pemberdayaan LM3 dilakukan dengan menumbuhkan kesadaran
serta meningkatkan semangat dan kapasitasnya untuk mengembangkan usaha
agribisnis agar dapat lebih berperan dalam pembangunan masyarakat, baik dalam
aspek moral-spiritual, sosial, maupun ekonomi. Mengingat proses pemberdayaan
memerlukan waktu yang panjang, maka kegiatan pemberdayaan tersebut perlu
dirancang secara sistematis dengan strategi yang tepat.
Secara garis besar, persyaratan yang harus dimiliki peserta program LM3
adalah: (1) memiliki potensi sumber daya yang mendukung, (2) sudah memiliki
embrio usaha agribisnis, dan (3) mempunyai kemauan untuk mengembangkan
agribisnis. Melalui program pengembangan LM3 ini, diharapkan akan tumbuh
usaha agribisnis yang berdaya saing sehingga dapat meningkatkan pendapatan
masyarakat di sekitar lokasi pengembangan LM3.
Output yang diharapkan dari pelaksanaan program LM3 adalah: (1)
Tumbuhnya kesadaran dalam pengembangan usaha agribisnis di lembaganya, (2)
Dimanfaatkannya lahan/sumber daya alam bagi peningkatan usaha dan
pendapatan, (3) tumbuhnya kepedulian untuk mengembangkan usaha agribisnis
dalam masyarakat di sekitar wilayah, (4) tersusunnya desain metodologi untuk
pengembangan usaha agribisnis.
Sebagai salah satu program pemberdayaan ekonomi masyarakat, program
LM3 diharapkan dapat mencapai keberhasilan. Indikator dari keberhasilan
program LM3 meliputi hal-hal sebagai berikut: (1) peningkatan usaha agribisnis,
(2) peningkatan kelembagaan ekonomi, (3) peningkatan jejaring kerjasama usaha
antar peserta program LM3 dan stakeholder lainnya, (4) peningkatan peran
masyarakat di sekitar peserta program LM3 dalam pengembangan agribisnis, (5)
peningkatan pendapatan dan kesejahteraan masyarakat.
Ruang lingkup kegiatan LM3 mencakup identifikasi dan seleksi peserta,
pemberdayaan SDM, penguatan kelembagaan usaha, pengembangan model LM3,
pengembangan jejaring kerjasama (silaturahmi nasional), pembinaan, koordinasi,
supervisi, monitoring, evaluasi dan pelaporan. Pemberdayaan SDM peserta LM3
26
dilakukan untuk meningkatkan kemampuan, kapasitas dan wawasan SDM
pengelola melalui kegiatan-kegiatan pelatihan, magang, sekolah lapang, studi
banding dan pendampingan. Materi pemberdayaan SDM program LM3 meliputi
kewirausahaan (entrepreneurship), administrasi dan manajemen (perencanaan,
produksi dan pemasaran), serta teknis pertanian. Penguatan kelembagaan usaha
dilakukan untuk meningkatkan kapasitas kelembagaan usaha melalui inkubasi
usaha, dan pengembangan jenjang kerjasama (silaturahmi nasional).
Pendanaan Program LM3
Program LM3 didanai oleh pemerintah pusat melalui dana APBN. Pada
tahun 2006-2008, Depertemen Pertanian telah mengalokasikan dana dengan total
kumulatif sebesar Rp493,5 milyar untuk pelaksanaan program LM3 di seluruh
Indonesia. Alokasi anggaran untuk LM3 selalu mengalami peningkatan setiap
tahun. Pada tahun 2006 jumlah dana LM3 hanya sebesar Rp85 milyar. Pada
tahun 2007 anggaran LM3 meningkat secara signifikan (lebih dari 2 kali lipat)
menjadi Rp189,7 milyar. Pada tahun 2008 ada penambahan anggaran sehingga
menjadi Rp218,7 milyar.
Jumlah LM3 yang mendapat penguatan modal usaha selama periode 2006-
2008 sebanyak 3.065 lembaga. Seiring dengan meningkatnya anggaran program
LM3 setiap tahunnya, jumlah peserta program LM3 yang mendapatkan dana juga
meningkat. Dana LM3 yang disalurkan tersebar di lima Eselon I Departemen
Pertanian, yaitu Direktorat Jenderal P2HP, Hortikultura, Peternakan, Tanaman
Pangan dan Badan PSDMP.
Pada tahun 2006, hanya ada 2 eselon I yang menyalurkan dana LM3 yaitu
P2HP dan BPSDMP dengan jumlah masing-masing sebanyak 270 dan 160
lembaga. Pada tahun 2007, Ditjen Hortikultura, Ditjen Peternakan, Ditjen
Tanaman Pangan mulai menyalurkan dana program LM3. Tapi khusus untuk
Badan PSDMP, pada tahun 2007 tidak memberikan dana langsung ke lembaga
peserta progarm LM3, tetapi lebih fokus pada kegiatan palatihan SDM bagi peserta
yang telah disetujui mendapat dana. Dari jumlah lembaga peserta program
maupun dana yang dialokasikan, Ditjen P2HP yang paling besar dibandingkan
eselon I lainnya (Tabel 4.1).
27
Tabel 4.1. Jumlah LM3 yang Difasilitasi dan Realisasi Anggaran 2006-2008
No Unit Kerja 2006-2008
Jml LM3 Anggaran
1. Ditjen TP 307 37.375.747.800
2. Ditjen Nak APBNP/Revisi Nak
825 153.900.000.000
100 7.500.000.000
3. Ditjen Horti 534 52.000.000.000
4. Ditjen PPHP
APBNP/Revisi PPHP
560 90.176.045.000
579 73.900.000.000
5. Badan PSDMP 160 78.700.000.000
Jumlah 3.065 493.551.792.800 Sumber: BPPSDMP, 2009 (diolah)
Kriteria dan Persyaratan
Dalam Pedoman Umum (Pedum) LM3 (Deptan, 2008) disebutkan bahwa
sasaran dari pelaksanaan program LM3 meliputi: pondok pesantren, seminari,
paroki, gereja, pasraman, vihara, yayasan pendidikan keagamaan dan subak.
Adapun kriteria dan persyaratan yang harus dipenuhi untuk mendapatkan dana
program LM3 adalah sebagai berikut:
1. Calon peserta LM3 sebagai sasaran yang akan difasilitasi harus memenuhi
kriteria seleksi yaitu:
a. Memiliki akte pendirian/surat keterangan dari pemerinah kabupaten/kota
yang telah beraktivitas di bidang pertanian, dan diutamakan bagi LM3 yang
belum pernah mendapatkan fasilitasi LM3 dari Departemen Pertanian.
b. LM3 yang mempunyai potensi, minat dan telah merencanakan
pengembangan usaha agribisnis yang layak secara teknis, ekonomi, sosial
dan lingkungan;
c. Diutamakan bagi LM3 yang akan atau telah melaksanakan kerjasama
dengan Poktan/Gapoktan/asosiasi/swasta dan masyarakat sekitar;
d. LM3 yang bersangkutan tidak atau sedang bermasalah dengan program
lainnya.
2. Seleksi persyaratan administrasi terdiri atas dua tahap, yaitu tahap seleksi LM3
sasaran dan tahap setelah ditetapkan sebagai LM3 terpilih. Persyaratan seleksi
28
LM3 sasaran, yaitu: (a) mempunyai akte pendidrian atau perizinan/surat
keterangan dari pemerintah kabupaten/kota tentang pengakuan
keberadaannya, (b) mempunyai kepengurusan dan alamat yang jelas, (3)
proposal fasilitasi usaha agribisnis yang direkomendasikan oleh dinas lingkup
pertanian kabupaten/kota. Sementara persyaratan setelah ditetapkan sebagai
LM3 terpilih, yaitu: (a) mempunyai rekening tersendiri atas nama lembaga
untuk pengelolaan dana bantuan sosial penguatan agribisnis; (b) mempunyai
Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP); (c) mempunyai unit khusus yang
telah/akan menangani usaha agribisnis yang ditetapkan oleh ketua LM3; (d)
mempunyai RUK yang diketahui oleh Kepala Dinas lingkup pertanian
Kabupaten/Kota dan petugas pendamping serta disahkan oleh Eselon I (Tim
Teknis LM3 Ditjen yang bersangkutan); (e) diutamakan bagi LM3 yang
mempunyai MoU dengan kelompok tani/asosiasi/P4S; (f) melakukan kontrak
perjanjian kerjasama antara Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) atau Kuasa
Pengguna Anggaran (KPA) yang bersangkutan dengan ketua LM3.
3. Persyaratan teknis mencakup: (a) mempunyai usaha di bidang agribisnis; (b)
mempunyai potensi usaha baik berupa lahan atau prasarana (misalnya
bangunan untuk tempat pengolahan) yang layak untuk pengembangan usaha
agribisnis; (c) memiliki sumber daya manusia yang menangani agribisnis; (d)
domisili LM3 dan letak usahanya berada dalam wilyah Kabupaten/Kota yang
sama; dan (e) kriteria teknis yang bersifat spesifik komoditas diatur dalam
petunjuk pelaksanaan yang akan diterbitkan oleh masing-masing Eselon I.
Implementasi Program
Data yang diperoleh dari BPPSDMP (2009), menunjukkan bahwa selama
periode 2006-2008, jumlah LM3 di Jawa Barat yang menerima dana penguatan
modal usaha agribisnis sebanyak 452 lembaga. Penerima dana LM3 hampir
semuanya merupakan lembaga pendidikan/yayasan Islam, terutama pondok
pesantren (pontren). Berdasarkan sumber dana per eselon I, alokasi terbesar
berasal dari Ditjen Hortikultura (ada sebanyak 153 lembaga), disusul Ditjen
Peternakan (127 lembaga), kemudian P2HP (111 lembaga), Ditjen Tanaman
Pangan (42 lembaga) dan Badan SDM (19 lembaga). Potensi lahan dan sumber
29
daya alam di wilayah Jawa Barat yang sangat sesuai untuk budidaya hortikultura
(sayur, tanaman hias dan buah) merupakan pertimbangan penting sehingga
program LM3 yang bergerak di bidang hortikultura yang lebih banyak
mendapatkan bantuan dana.
Kebijakan Perbaikan Program
Dengan kondisi LM3 yang relatif tersebar dengan kegiatan yang sangat
bervariasi (jenis usaha, komoditas, tingkat manajemen), maka perlu dirancang
sebuah disain pengembangan LM3 yang komprehensif baik di hulu dan di hilir.
Dengan demikian akan lebih terjamin keberlanjutan usaha dan pengembangannya
ke depan sehingga keberadaan program LM3 benar-benar dapat memberikan
manfaat, baik bagi penerima dana maupun masyarakat sekitarnya.
Perbaikan pertama yang perlu dikritisi adalah pada tahap persiapan, yaitu
saat penentuan sasaran penerima LM3. Tahapan ini merupakan hal yang penting
untuk keberhasilan program selanjutnya. Ketepatan memilih sasaran penerima
LM3 akan menentukan efektivitas program pemberdayaan. Fakta menunjukkan,
pada tahap ini terkesan masih ada unsur “subyektivitas”. Tim Pusat sebagai pihak
yang memiliki otoritas untuk menentukan lembaga yang layak menerima dana
LM3 cenderung memilih pontren yang pengurusnya merupakan “kenalan” atau
“kolega” orang pusat. Dalam beberapa kasus juga ditemui sebuah pontren
menerima dana LM3 hingga 2 kali dengan jenis usaha berbeda. Sementara itu ada
pontren yang mengajukan dana hingga lebih dari 2-3 kali, belum mendapat
persetujuan.
Di samping itu pontren yang telah maju secara sosial ekonomi dan dapat
mandiri seandainya tanpa bantuan program pun, justru lebih mudah mendapatkan
dana karena dari persyaratan administrasi sudah sangat memadai. Sementara
pontren yang berada di daerah yang telah banyak berjasa mendidik masyarakat
kurang mampu secara gratis, justru tidak mendapat prioritas. Dengan kata lain,
dalam penentuan penerima LM3 pihak pusat kurang melihat posisi strategis dan
kondisi pontren, tetapi lebih dominan mempertimbangkan persyaratan
administrasi karena memang lebih praktis dan tidak rumit. Pihak Pemda (Dinas
Pertanian Provinsi/Kabupaten) kurang dilibatkan dalam penentuan penerima LM3
30
ini karena sepenuhnya wewenang Tim Pusat. Padahal dalam hal pengetahuan
tentang tingkat kebutuhan pontren terhadap dana LM3, serta kondisi yang lebih
detail tentang pontren sebetulnya petugas di daerah yang lebih paham.
Kedua, yang perlu mendapat perhatian ekstra adalah dalam tahap
implementasi. Pada tahap ini dibutuhkan pengawasan dan pembinaan yang lebih
serius oleh pihak Dinas Pertanian, terutama bagi petugas/pendamping yang telah
ditunjuk. Pemahaman pendamping program tentang pemanfaatan dan alokasi
dana LM3 harus lebih diperkuat, sehingga dapat menutup peluang penggunaan
dana tidak sesuai dengan tujuan awal. Pembinaan harus dilakukan hingga
penerima LM3 benar-benar dapat mandiri dalam manajemen usaha sehingga
kontinuitas usaha dapat terjamin. Masih terdapat kesan bahwa ketika dana LM3
telah tuntas dicairkan, peran pembinaan menjadi berkurang.
Tidak kalah pentingnya adalah perlunya dibuat sistem pelaporan yang lebih
jelas mengenai item serta time frame pelaporan. Dari beberapa kasus di lapangan
menunjukkan bahwa, titik lemah yang cukup menojol dalam pelaksanaan LM3
adalah administrasi pelaporan. Walaupun dalam Pedum sudah dijelaskan tentang
tertib admisnistrasi pelaporan ini, dari LM3 ke Dinas Kabupaten/ke Pelaksana
Pusat, kemudian dari Dinas Kabupaten ke Dinas Provinsi dengan periodisasi
laporan bulanan maupun triwulan. Namun dalam prakteknya sangat sedikit LM3
yang melakukan dan demikian di tingkat Dinas Kabupaten. Umumnya pelaporan
hanya tertib pada tahap awal, yaitu saat pencairan dana saja. Akibatnya
perkembangan usaha LM3 dan sejauhmana dampak dan manfaatnya tidak dapat
dipantau dengan baik.
Program LM3 agar optimal bagi pemberdayaan masyarakat serta menjaga
usaha penerima LM3 tetap lestari, maka perlu dilakukan beberapa hal sebagai
berikut: (1) pentingnya selektivitas berdasarkan kemampuan dan prestasi,
sehingga memberikan motivasi untuk terus mengembangkan usaha, (2) sterilisasi
dari muatan politis/subyektivitas dalam penentuan LM3 penerima dana, (3)
monitoring dan evaluasi dilakukan secara periodik untuk memantau realisasi fisik
dan dan perkembangan usaha, (4) pembinaan/pendampingan yang kontinyu dari
petugas, karena kasus gagalnya usaha pontren salah satunya karena kurangnya
31
pembinaan, (5) dalam Pedum diatur secara lebih jelas tentang sanksi bagi
penerima LM3 yang tidak tertib dalam pengelolaan dana sehingga ada perhatian
dan keseriusan yang lebih baik, (6) untuk mengurangi peluang terjadinya
kegagalan materi yang diberikan saat diklat harus lebih spesifik sesuai dengan
usaha yang akan dijalankan, (7) mengoptimalkan peran Asosiasi Penerima LM3
untuk sharing dalam pengalaman usaha, dan (8) perlu melibatkan departemen
terkait dan instansi lain untuk melakukan pembinaan kepada penerima LM3 di
daerah.
4.1.3. Program Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Inovasi (P4MI)
Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Departemen Pertanian,
telah melaksanakan Program Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Inovasi
(P4MI) dalam kurun waktu 2003-2009. Ruang lingkup program ini meliputi
kegiatan pemberdayaan petani, pengembangan sumber informasi dan
pengembangan inovasi serta diseminasi teknologinya. P4MI menggunakan
pendekatan partisipatif dengan memotivasi petani untuk mengidentifikasi,
merencanakan, melaksanakan, mengawasi, memanfaatkan dan memelihara
sarana/prasarana umum desa dan memberikan kepercayaan kepada petani
melalui Komite Investasi Desa (KID) dengan memberikan tanggung jawab
pengelolaan dana untuk investasi desa.
P4MI dilaksanakan selama lima tahun dari tahun 2003 sampai dengan 31
Desember 2007, target sekitar 1.000 desa yang kemudian berkembang menjadi
1067 desa. Mengingat keterlambatan awal pelaksanaan P4MI, maka berdasarkan
Mid Term Review tahun 2006 dan Review Mission tahun 2007, maka P4MI
diperpanjang sampai 30 Juni 2009, dengan penutupan akun tanggal 31 Desember
2009 (Badan Libang Pertanian, 2009). Lokasi P4MI tersebar di lima kabupaten:
Blora dan Temanggung-Jawa Tengah, Donggala-Sulawesi Tengah, Ende-NTT; dan
Lombok Timur-NTB. P4MI terdiri dari empat komponen yaitu: (1) pemberdayaan
petani, (2) pgembangan sumber informasi pertanian nasional dan lokal, (3)
dukungan pengembangan dan diseminasi inovasi pertanian, dan (4) manajemen
proyek.
32
Komponen pemberdayaan petani, bertujuan untuk meningkatkan
kemampuan petani dalam perencanaan dan pelaksanaan investasi
sarana/prasarana tingkat perdesaan yang dibutuhkan untuk mendukung inovasi
produksi dan pemasaran. LSM terlibat dalam meningkatkan partisipasi petani
dalam perencanaan desa, pengembangan kelembagaan desa, dan menentukan
investasi sarana/prasarana yang dibutuhkan di desa. Komponen pengembangan
sumber informasi nasional dan lokal, bertujuan mengembangkan sumber
informasi pasar dan teknologi pertanian agar dapat diakses petani, untuk dapat
membantu menangkap peluang pasar dan mengarahkan usaha pertanian.
Komponen pengembangan dan diseminasi inovasi pertanian, bertujuan
mendukung kegiatan unit kerja Badan Litbang Pertanian (Puslitbang/
BB/Balit/BPTP) untuk melakukan reorientasi dalam menciptakan dan
mengembangkan inovasi dan diseminasi inovasi/teknologi yang sesuai dengan
kebutuhan petani di lahan marginal. Komponen manajemen, komponen ini akan
mendukung operasionalisasi di tingkat pusat (Project Coordination and Monitoring
Unit.- PCMU) dan di kabupaten (Project. Implementation Unit -PIU), yang meliputi
dukungan administrasi dan sarana mulai dari persiapan, pelaksanaan, koordinasi,
monev dan supervisi pelaksanaan program. Tujuan akhir P4MI ialah untuk
meningkatkan pendapatan petani di 1.067 desa yang tersebar di Kabupaten Blora
sebanyak 295 desa, Donggala 254 desa, Ende 172 desa, Lombok Timur 112 desa
dan Temanggung 234 desa.
Program P4MI ini telah dilengkapi dengan dokumen proyek lengkap beserta
petunjuk pelaksanaan dan petunjuk teknis di masing-masing komponen. Panduan
yang telah disusun meliputi panduan aministratif dan panduan teknis, sebanyak
enam buah, yaitu: 1) Panduan Penyusunan Laporan Keproyekan; 2) Panduan
Monitoring dan Evaluasi P4MI; 3) Pedoman Pengadaan Barang P4MI; 4) Panduan
Umum Pembentukan 10 Desa Pilot Proyek; 5) Panduan Pemanfaatan Internet dan
Pengoperasian CD-ROM untuk Akses Informasi menunjang Pengembangan
Pertanian Lahan Marjinal; dan 6) Panduan Pelaksanaan Pengembangan dan
Diseminasi Inovasi Teknologi Pertanian. Seluruh panduan telah disosialisasikan ke
unit implementasi proyek di daerah, khususnya PIU di 5 Kabupaten baik melalui
workshop di tingkat pusat maupun sosialisasi di daerah.
33
Dalam pelaksanaan program, Departemen Pertanian membentuk Tim
Pengarah Pusat (National Steering Committee-NSC), dengan ketua Sekretaris
Jenderal Departemen Pertanian, beranggotakan wakil dari Deptan, Bappenas,
Depkeu dan instansi/lembaga yang terkait. NSC berfungsi memberikan saran/arah
kebijakan dan koordinasi dalam pelaksanaan program. Badan Litbang Pertanian
bertanggungjawab mengkoordinasikan pelaksanaan seluruh kegiatan program,
dengan membentuk Unit Koordinasi dan Monitoring Proyek (PCMU), dan
bertanggung jawab dalam pelaksanaan kegiatan pengembangan sumber informasi
(Komponen 2) dan inovasi pertanian (Komponen 3).
Di tingkat kabupaten, bupati bertanggung jawab dalam pelaksanaan
kegiatan komponen pemberdayaan petani di masing-masing kabupaten, dengan
membentuk Tim Koordinasi Kabupaten - KKK (District Coordination Committee-
DCC) dan Unit Pelaksana program (Project Implementation Unit-PIU). Ketua KKK
adalah bupati dengan anggota instansi terkait tingkat kabupaten, LSM lokal dan
BPTP. Investasi desa disetujui oleh Forum Antar Desa - FAD (Project Inter Village
Forum-PIVF), dan dilaksanakan oleh Komisi Investasi Desa -KID (Village Project
Investment Committee-VPIC) yang dipilih oleh masyarakat secara partisipatif,
dibantu Fasilitator Desa (FD) sebagai kepanjangan tangan LSM (Badan Litbang
Pertanian, 2004).
Implementasi Program
Dalam pelaksanaan P4MI di setiap lokasi program dibentuk Komite
Investasi Desa (KID) yang dipilih dari masyarakat, oleh masyarakat, dan untuk
kepentingan masyarakat. Peranan KID dalam P4MI antara lain mengorganisir
petani dalam menyusun rencana pembangunan investasi desa, melaksanakan
pembangunan investasi desa, memanfaatkan dan memelihara hasil investasi.
Disamping itu KID melaksanakan kegiatan demplot dan menggalang petani untuk
berbagai kegiatan pembangunan desa. Masyarakat melalui KID mengajukan
proposal yang berisi usulan rencana investasi desa yang akan dibangun, justifikasi
tentang investasi fisik yang diusulkan, dan kebutuhan dana investasi. Dalam
penyusunan proposal KID didampingi oleh Fasilitator Desa (FD). Proposal investasi
desa kemudian diverifikasi oleh Forum Antar Desa (FAD) di tingkat kecamatan.
34
Selanjutnya proposal diajukan kepada PIU-P4MI (Project Implementation Unit-
P4MI) dan setelah mendapat persetujuan PIU kabupaten, dana langsung di
transfer ke rekening KID. Dalam pendekatan partisipatif, masyarakat desa diberi
kebebasan mengusulkan jenis pembangunan investasi desa yang dibutuhkan.
Dengan demikian investasi fisik akan beragam baik antar desa dalam kabupaten
maupun antar kabupaten di wilayah kerja P4MI.
Sumber Dana
Pembiayaan kegiatan program P4MI berasal dari pinjaman lunak Asian
Development Bank (ADB) sebesar 79%, Pemerintah Indonesia Pusat 10,1%,
Pemerintah Kabupaten 1,4%, dan dari petani sebesar 9,5% dalam bentuk jasa
dan bahan lokal. P4MI memberikan kepercayaan kepada petani mengelola dana
setara dengan US$30.000 untuk membangun investasi desa melalui Komite
Investasi Desa (KID). Kontribusi petani/masyarakat desa dalam kegiatan investasi
desa rata-rata mencapai 28.53%, setara dengan Rp97.975.241.101 dari total
biaya investasi selama kurun waktu 7 tahun.
4.1.4. Pogram Pengembangan Usaha Agribisnis Perdesaan (PUAP)
Pengembangan Usaha Agribisnis Perdesaan (PUAP) merupakan bentuk
fasilitasi bantuan modal usaha untuk petani anggota, baik petani pemilik, petani
penggarap, buruh tani maupun rumah tangga tani yang dikoordinasikan oleh
gabungan kelompok tani (gapoktan). Gapoktan merupakan kelembagaan tani
pelaksana PUAP untuk penyaluran bantuan modal usaha bagi anggota. Untuk
mencapai hasil yang maksimal dalam pelaksanaan PUAP, gapoktan didampingi
oleh tenaga penyuluh pendamping dan penyelia mitra tani (PMT). Melalui
pelaksanaan PUAP diharapkan gapoktan dapat menjadi kelembagaan ekonomi
yang dimiliki dan dikelola petani.
Dalam mengatasi keterbatasan modal petani, pemerintah melalui dana
APBN mengambil inisiatif untuk memberikan bantuan modal dalam bentuk dana
bantuan langsung masyarakat (BLM) ke kelompok tani/gapoktan. Pola BLM telah
dimulai sejak tahun 2000 dan berlanjut sampai dengan tahun 2008 melalui
35
program PUAP, dan berlanjut sampai tahun 2015. Sejak tahun 2008 program
PUAP yang intinya berupa pemberian bantuan modal kepada pemilik dan atau
petani penggarap skala kecil, petani atau peternak, buruh tani ataupun rumah
tangga tani yang penyalurannya melalui gapoktan selaku sebagai pelaksana
program PUAP. Hal ini dilakukan dengan tujuan gapoktan dapat menjadi lembaga
ekonomi yang dipunyai dan dikelola oleh petani. Pemberian dana PUAP
diutamakan untuk daerah-daerah yang tertinggal namun yang memiliki potensi
pengembangan agribisnis (Kementerian Pertanian, 2011).
Program PUAP merupakan program nasional dalam rangka pengentasan
kemiskinan di sektor pertanian yang telah dilaksanakan oleh Kementerian
Pertanian Republik Indonesia sejak tahun 2008. Program PUAP tersebut diatur
dalam Peraturan Menteri Pertanian Nomor: 16/Permentan/OT.140/2/2008 tentang
PUAP. Petani diharapkan memanfaatkan dana tersebut untuk mengembangkan
agribisnis guna meningkatkan pendapatan petani sehingga petani keluar dari
kemiskinan. Pelaksanaan program PUAP didasari pada buku pedoman PUAP, maka
kriteria yang digunakan untuk mengevaluasi pelaksanaan program PUAP adalah:
sosialisasi, penggunaan dana, manfaat, pembinaan, monitoring, sasaran/penerima
dana, pengembalian pinjaman uang secara bergulir.
Dalam buku panduan program PUAP bahwa tujuan dari pengembangan
program PUAP ini yakni: (1) mengurangi kemiskinan dan pengangguran melalui
penumbuhan dan pengembangan kegiatan usaha agribisnis di perdesaan sesuai
potensi wilayah, (2) meningkatkan kemampuan pelaku usaha agribisnis, pengurus
gapoktan, penyuluh, dan penyelia mitra tani, (4) memberdayakan kelembagaan
petani dan ekonomi perdesaan untuk pengembangan usaha kegiatan agribisnis,
dan (4) meningkatkan fungsi kelembagaan ekonomi petani menjadi jejaring atau
mitra lembaga keuangan dalam rangka akses permodalan. Pada dasarnya
program ini mempunyai misi, yaitu pemberdayaan masyarakat perdesaan secara
partisipatif dalam upaya meningkatkan kesejahteraanya.
Pokok kegiatan program PUAP adalah menyalurkan dana BLM kepada
gapoktan berupa penguatan permodalan yang digunakan untuk budi daya
tanaman pangan, hortikultura, perternakan, perkebunan, dan usaha non budi
36
daya meliputi usaha industri rumah tangga pertanian, pemasaran skala
kecil/bakulan, dan usaha lain berbasis pertanian. Bantuan tersebut agar terlaksana
diperlukan penguatan modal gapoktan yang merupakan satu kesatuan upaya
pemerintah dalam mengembangkan kegiatan ekonomi rakyat yang diprioritaskan
pada penduduk miskin di perdesaan melalui peningkatan SDM dan penerapan
inovasi teknologi dan kelembagaan pertanian. Kegiatan gapoktan program PUAP
dalam prakteknya melaksanakan usaha ekonomi produktif sesuai potensial
ekonomi di perdesaan melalui tahapan perencanaan mulai dari rencana usaha
anggota (RUA) yang dirangkum dalam rencana usaha kelompok/RUK (Direktorat
Pembiayaan, 2011).
Tim PUAP Pusat menyusun Pedoman Umum (Pedum) Peraturan Menteri
Pertanian Nomor: 04/Permentan/Ot.140/2/2012 tentang pedoman umum
Pengembangan Usaha Agribisnis Perdesaan (PUAP), dalam pelaksanaan PUAP
intinya merupakan peraturan yang berisikan tujuan, sasaran, pola dasar dan
strategi pelaksanaan PUAP, seleksi desa dan gapoktan penerima PUAP, tata cara
dan prosedur penyaluran BLM PUAP, organisasi pelaksanaan PUAP, pembinaan
dan pengendalian, pengawasan serta evaluasi dan pelaporan. Pada tingkat
provinsi dan kabupaten, dengan mengacu kepada Pedum PUAP, Tim Pembina
Provinsi sudah menyusun Juklak dan Juknis PUAP karena diperlukan untuk
menampung dana APBD.
Dalam pelaksanaan Program PUAP, tim pembina provinsi telah melakukan
koordinasi dengan tim teknis kabupaten. Kelompok kerja (Pokja) monitoring dan
evaluasi telah dibentuk awal pelaksanaan PUAP pada tahun 2008 dan 2009,
sedangkan pada tahun 2010 dan 2011 sudah tidak dibentuk lagi. Koordinasi dan
verifikasi dokumen administrasi gapoktan telah dilakukan di Sekretariat PUAP,
yaitu di Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP). Tim Teknis Kabupaten tidak
membuat Juknis karena yang membuat perjanjian adalah Kementerian Pertanian
dan gapoktan sehingga yang menjadi acuan adalah Juklak/Juknis dari pusat.
Beberapa petunjuk teknis dibuat khusus diantaranya untuk Penyelia mitra
tani (PMT) dan penyuluh pendamping (PP). PMT adalah individu yang disyaratkan
memiliki keahlian di bidang keuangan yang direkrut oleh Kementerian Pertanian
37
untuk melakukan supervisi dan evaluasi kepada penyuluh pendamping dan
pengelola gapoktan dalam pengembangan program PUAP. Penyuluh pendamping
adalah penyuluh pertanian yang ditugaskan oleh bupati/walikota atau pejabat
yang ditunjuk untuk mendampingi petani, kelompok tani dan gapoktan dalam
pelaksanaan PUAP. Kegiatan yang dilakukan PMT dan PP adalah pendampingan
dalam rangka pemberdayaan petani, kelompok tani dan gapoktan dalam
melaksanakan PUAP. Dengan demikian PMT dan terutama PP merupakan individu-
individu yang berperan penting, bahkan sebagai ujung tombak dalam mewujudkan
keberhasilan program PUAP karena bertugas mendampingi gapoktan/kelompok
tani secara langsung.
PUAP agar dapat dilakukan sesuai dengan ketentuan pengelolaan keuangan
negara, maka diperlukan adanya petunjuk teknis verifikasi dan penyaluran dana
BLM-PUAP sebagai acuan bagi gapoktan, tim teknis PUAP Kabupaten/Kota, tim
pembina PUAP provinsi dan tim PUAP pusat, dalam penyiapan dokumen,
melaksanakan verifikasi dokumen dan penyaluran dana BLM-PUAP.
Pelaksanaan PUAP tahun 2011 mengacu kepada pola dasar yang ditetapkan
dalam Permentan No. 09/Permentan/OT.140/2/2011 tentang Pedoman Umum
Pengembangan Usaha Agribisnis Perdesaan (PUAP) dan PERMENTAN Nomor
11/Permentan/OT.140/3/2011 untuk meningkatkan keberhasilan penyaluran dana
BLM-PUAP kepada gapoktan dalam mengembangkan usaha produktif petani dalam
mendukung empat sukses Kementerian Pertanian yaitu: (1) swasembada
berkelanjutan, (2) diversifikasi pangan, (3) nilai tambah, daya saing, dan ekspor,
dan (4) peningkatan kesejahteraan petani. Strategi dasar yang dilakukan melalui
pemberdayaan masyarakat, optimalisasi potensi agribisnis, fasilitasi modal usaha
petani kecil, penguatan dan pemberdayaan kelembagaan.
Kelengkapan petunjuk pelaksana (juklak) program PUAP dalam melalui
pelaksanaannya diharapkan gapoktan dapat menjadi kelembagaan ekonomi yang
dimiliki dan dikelola petani. Untuk membantu para pemangku kepentingan dalam
melaksanakan PUAP, maka dirasakan adanya Petunjuk Pelaksanaan Kegiatan
sebagai acuan pelaksanaan kegiatan sampai ke tingkat lapangan.
38
Adapun tujuan pelaksanaan program PUAP sebagai berikut :
1. Mengurangi kemiskinan dan pengngguran melalui menumbuh kembangkan
kegiatan usaha agribisnis di perdesaan sesuai dengan potensi wilayah masing
daerah.
2. Meningkatkan kemampuan pelaku usaha agribisnis, pengurus gapoktan,
penyuluh dan PMT.
3. Memberdayakan kelembagaan petani dan perdesaan untuk pengembangan
kegiatan usaha agribisnis.
4. Meningkatkan fungsi kelembagaan ekonomi petani menjadi jejaring atau mitra
lembaga keuangan dalam memenuhi akses permodalan.
Penanggung Jawab Program PUAP Secara Berjenjang dari Tingkat Pusat- Daerah
Kementerian Pertanian khususnya di lingkup Badan Penelitian dan
Pengembangan Pertanian terdapat dua unit kerja yang terlibat dalam program
PUAP, yaitu: (1) Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian
(BBP2TP) dan (2) Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) di setiap provinsi.
Sementara tugas dari BBP2TP adalah: (1) membantu pelaksanaan kegiatan PUAP
mulai dari tahap persiapan, pelaksanaan, monitoring dan evaluasi, (2) melakukan
koordinasi dengan BPTP dalam pelaksanaan kegiatan PUAP, (3) membantu
pelaksanaan sosialisasi PUAP di daerah, (4) membantu penyiapan materi pelatihan
untuk TOMT (Training of Master Trainer), dan (5) menyalurkan anggaran ke DIPA
BPTP yang meliputi: biaya sekretariat dan apresiasi untuk pengembangan
teknologi ke gapoktan.
Tugas BPTP adalah: (1) melakukan koordinasi dengan PMT terkait dengan
pelaksanaan tugas PMT, (2) memfasilitasi kelancaran realisasi pelaporan PMT (3)
melakukan monitoring dan evaluasi pelaksanaan tugas PMT, (4) membuat laporan
pelaksanaan tugas PUAP secara berkala (minimal 3 bulan sekali atau sewaktu-
waktu jika diperlukan) kepada BBP2TP, (5) melakukan sosialisasi PUAP di tingkat
provinsi, kabupaten dan kota, (6) memfasilitasi peningkatan fungsi kelembagaan
ekonomi gapoktan, (7) melaksanakan fungsi kesekretariatan PUAP di tingkat
39
provinsi, (8) mengidentifikasi dan menyiapkan kebutuhan teknologi sesuai dengan
RUB, (9) melakukan supervisi kegiatan PUAP di wilayah kerjanya, dan (10)
melakukan pendampingan inovasi pertanian melalui PP.
Bantuan modal usaha PUAP agar dapat mencapai sasaran, maka diperlukan
kegiatan pengendalian manajemen untuk memudahkan dalam mengambil
tindakan-tindakan korektif secara tepat dan cepat, sesuai dengan kehendak
masyarakat di era reformasi yang menuntut agar sistem penyelenggaraan
pembangunan menerapkan prinsip-prinsip good governance, yaitu tentang
penyelenggaraan pemerintah yang bersih, demokratis dan efektif sesuai cita-cita
masyarakat madani. Kegiatan pengendalian manajemen dalam program PUAP di
BPTP diselaraskan dengan tugas dan peran BPTP sebagai Tim PUAP Provinsi,
sementara di BBP2TP pengendalian manajemen diselaraskan dengan tugas dan
perannya sebagai anggota Tim PUAP Pusat.
Tugas yang dianggap sangat penting adalah supervisi dan monev
pelaksanaan PUAP di daerah dimaksudkan untuk mengetahui perkembangan
pelaksanaan mulai dari persiapan, pelaksanaan penyaluran bantuan modal usaha,
pemanfaatan dana oleh petani/kelompok tani, permasalahan, kendala dan solusi.
Hasil supervisi dan monev ini diharapkan dapat menfasilitasi keterbukaan dan
penyediaan informasi penting yang dibutuhkan dalam proses pengambilan
keputusan untuk perbaikan kinerja PUAP yang akan datang.
Salah satu tupoksi dari Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan
Teknologi Pertanian (BBP2TP), adalah mengkoordinasi seluruh kegiatan yang ada
di BPTP. Untuk meningkatkan kinerja pelaksanaan PUAP di Daerah, maka sudah
selayaknya Balai Besar Pengkajian melakukan koordinasi operasionalisasi PUAP di
BPTP sehingga mampu menginformasikan proses dan keberhasilan peserta
kelemahan dari pelaksanaan PUAP di daerah.
Kegiatan evaluasi dalam pengembangan program PUAP merupakan proses
untuk menyempurnakan kegiatan-kegiatan yang sedang berjalan, membantu
dalam sistem perencanaan, penyusunan program dan sitem pengambilan
keputusan yang bersifat antisipatif, sehingga di masa depan dapat dikembangkan
program PUAP yang progresif dan dinamis (Pasaribu et al., 2011).
40
Peran dan Keterlibatan Stakeholders Lain dalam Mensukseskan Program PUAP
Berdasarkan Pedum PUAP 2011 (Kementerian Pertanian, 2011), upaya
menjaga kesinambungan dan keberhasilan pelaksanaan PUAP, tim pusat
melakukan pembinaan terhadap sumber daya manusia (SDM) di tingkat provinsi
dan kabupaten/kota dalam bentuk pelatihan. Selain itu, tim pusat berkoordinasi
dengan tim PNPM Mandiri melakukan sosialisasi program dan supervisi
pelaksanaan PUAP di tingkat provinsi dan kabupaten/kota. Sementara itu
pembinaan teknis usaha produktif dilakukan oleh Direktorat Jendral Teknis sesuai
dengan bidang tugasnya masing-masing.
Pembinaan dimulai dari tingkat pusat, kemudian provinsi dan selanjutnya
kabupaten/kota. Pembinaan pelaksanaan PUAP oleh tim pembina provinsi kepada
tim teknis kabupaten/kota difokuskan kepada: (1) Peningkatan kualitas SDM yang
menangani BLM PUAP di tingkat kabupaten/kota; (2) Koordinasi pengendalian dan
pengawasan; dan (3) Mengembangkan sistem pelaporan PUAP. Pembinaan teknis
pada tingkat provinsi dilakukan oleh unit kerja Dinas Pertanian sesuai dengan
bidang tugasnya, antara lain: (1) Pembinaan teknis usaha produktif dilakukan oleh
Dinas Pertanian; (2) Pembinaan teknis teknologi inovasi usaha ekonomi produktif
pertanian dilakukan oleh Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP); dan (3)
Pembinaan teknis kelembagaan gapoktan dan unit usaha otonom dilakukan oleh
Sekretariat Badan Koordinasi Penyuluhan Pertanian, Perikanan dan
Kehutanan/Badan Ketahanan Pangan dan Penyuluhan Pertanian. Sehubungan
dengan hal tersebut diatas, untuk efektivitas pembinaan teknis pada gapoktan
PUAP di tingkat provinsi maka dinas-dinas teknis lingkup pertanian, harus dapat
berkoordinasi dengan sekretariat PUAP.
Pembinaan teknis pada tingkat kabupaten/kota dilakukan oleh unit kerja
lingkup pertanian sesuai dengan bidang tugasnya, antara lain: (1) pembinaan
teknis usaha produktif dilakukan oleh Dinas lingkup Pertanian, (2) pembinaan
teknis teknologi inovasi usaha ekonomi produkif pertanian dilakukan oleh BPTP,
(3) pembinaan teknis kelembagaan gapoktan dan unit usaha otonom dilakukan
oleh Badan Pelaksana Penyuluhan Pertanian, Perikanan dan Kehutanan/Lembaga
41
yang menangani penyuluhan pertanian. Sementara itu pembinaan pelaksanaan
PUAP oleh tim teknis kabupaten/Kota kepada tim teknis kecamatan dilakukan
dalam bentuk pelatihan/apresiasi peningkatan pemahaman terhadap pelaksanaan
PUAP. Mekanisme pembinaan pelaksanaan PUAP oleh tim teknis kabupaten/kota
maupun tim teknis kecamatan kepada gapoktan PUAP dilakukan dalam bentuk
kunjungan, rapat-rapat, pendampingan dalam rangka meningkatkan pemahaman
terhadap pola pelaksanaan PUAP.
Peran dan Keterlibatan Petani/Kelompok Tani dalam Menyukseskan Program PUAP
Di dalam program PUAP keikutsertaan petani/kelompok tani pada tahap
perencanaan adalah petani menyusun perencanaan kegiatan dalam kelompok tani
yaitu keterlibatan petani dalam penyusunan rencana usaha anggota (RUA),
rencana usaha kelompok (RUK), dan rencana usaha bersama (RUB). Partisipasi
tahap pelaksanaan adalah keikutsertaan petani dalam melaksanakan kegiatan
yang telah direncanakan yaitu keterlibatan petani dalam melaksanakan usahatani
atau kegiatan yang telah direncanakan dalam RUB sebelumnya. Partisipasi pada
tahap pemantauan dan evaluasi adalah keikutsertaan petani dalam memberikan
tanggapan dan penilaian dari kegiatan kelompok tani yaitu keterlibatan petani
dalam memberikan masukan atau penilaian pelaksanaan program PUAP.
Partisipasi tahap pemanfaatan hasil adalah sejauh mana petani memanfaatkan
kegiatan dan hasil kegiatan yaitu keterlibatan petani dalam memanfaatkan modal
kredit yang diperoleh untuk kegiatan usahatani mandiri guna meningkatkan
pendapatan petani.
Menurut (Ashari, 2010) bahwa hubungan dinamika kelompok dengan
tingkat partisipasi petani dalam kelompok tani pada program PUAP adalah salah
satunya adalah sebagai: (1) terdapat hubungan yang tidak signifikan antara fungsi
tugas, kekompakan kelompok, suasana kelompok, tekanan kelompok, keefektifan
kelompok dan agenda terselubung dengan tingkat partisipasi petani pada program
PUAP, (2) terdapat hubungan yang signifikan antara struktur kelompok dan
pembinaan dan pemeliharaan kelompok dengan tingkat partisipasi petani pada
42
program PUAP, (3) terdapat hubungan yang sangat signifikan antara tujuan
kelompok dengan tingkat partisipasi petani pada program PUAP.
Dengan adanya hubungan dinamika tersebut hendaknya di dalam kelompok
lebih diperjelas tugas dari setiap anggota agar anggota lebih mempunyai
tanggungjawab dalam menjalankan tugas, hendaknya anggota saling memahami
satu sama lain, di dalam kelompok lebih dibangun suasana yang nyaman dan
mendukung yaitu dengan lebih dapat saling menghargai, saling bergantung, saling
perhatian, saling membantu, saling bekerjasama dan merasa sepenanggungan
serta setiap kelompok hendaknya berusaha mencapai tujuan kelompok dengan
tepat waktu
Sumber dana
Bantuan penguatan modal dan pengembangan kelembagaan merupakan
upaya untuk mengatasi keterbatasan modal dan kapasitas yang dimiliki petani.
Melalui kegiatan Bantuan Langsung Masyarakat - Pengembangan Usaha Agribisnis
Perdesaan (BLM-PUAP), satu unit gapoktan dapat menerima bantuan penguatan
modal sebesar Rp100 juta. Sampai tahun 2008 telah diberikan bantuan penguatan
modal kepada 10.542 gapoktan. Untuk tahun 2009, sebanyak 10.000 gapoktan
ditargetkan akan menerima bantuan BLM-PUAP. Adapun besar dana PUAP yang
telah salurkan selama periode 2008-2013 sebagai berikut:
Tabel 4.2. Jumlah desa/gapoktan penerima dan penyaluran dana BLM PUAP tahun
2008-2013
No Uraian Program BLM PUAP
Total 2008 2009 2010 2011 2012 2013
1 Jumlah Desa/ Gapoktan
10.542 9.884 8.587 9.110 6.050 3.300 47.473
2 Jumlah
Penyaluran Dana
(Rp triliun)
1,053 0,988 0,858 0,911 0,605 0,33 4,747
Sumber: Direktorat Pembiayaan Pertanian (2014)
43
4.1.5. Program Pemberdayaan Petani melalui Teknologi dan Informasi
Pertanian (P3TIP)
Dewasa ini tingkat kesejahteraan petani terus menurun sejalan dengan
persoalan-persoalan klasik yang dialaminya, sekaligus menjadi bagian dan dilema
dari sebuah kegiatan agribisnis di tingkat produsen pertanian. Tingkat keuntungan
kegiatan agribisnis selama ini lebih banyak dinikmati oleh para pedagang dan
pelaku agribisnis lainnya di hilir. Oleh karena itu, diperlukan suatu terobosan untuk
mengatasi permasalahan-permasalahan tersebut yang dilakukan secara
berkesinambungan agar petani dapat bersaing dalam melaksanakan kegiatan
usahatani dan dapat meningkatkan kesejahteraan hidupnya.
Untuk mengatasi dan menyelesaikan permasalahan tersebut Pemerintah
menetapkan program jangka menengah yang fokus pada pembangunan pertanian
perdesaan dengan prioritas kerja melalui pendekatan peningkatan SDM petani,
mengembangkan usaha agribisnis perdesaan dan memperkuat kelembagaan
pertanian di perdesaan. Salah satu kebijakan yang ditempuh pemerintah yaitu
dengan meluncurkan kegiatan berupa Program Pemberdayaan Petani melalui
Teknologi dan Informasi Pertanian (P3TIP) atau Farmer Empowerment Through
Agricultural Technology and Information (FEATI).
P3TIP/FEATI adalah sebuah program pemberdayaan masyarakat yang
melibatkan banyak pihak, dari mulai petani, tenaga penyuluh pertanian
pemerintah maupun swasta, petugas pemerintah dan juga sektor swasta.
Program ini sejatinya adalah mengubah pola fikir pelaku utama/petani yang tentu
saja membutuhkan waktu dan pendekatan yang holistik. Kegiatan ini diharapkan
membantu meningkatkan pertanggungjawaban dan efektifitas pelayanan
pertanian melaui kemampuan mengembangkan kelembagaan petani,
meningkatkan kualitas penelitian yang berdaya guna, dan meningkatkan
penggalian pengetahuan dan pelayanan informasi bagi petani, peneliti dan
penyuluh. Program ini memberdayakan organisasi petani agar lebih berperan
dalam pelayanan terhadap kebutuhan petani, dan meningkatkan kemampuan
petani dalam mengadopsi teknologi serta responsif terhadap permintaan pasar
serta memajukan agribisnis di perdesaan.
44
P3TIP/FEATI merupakan program yang dikelola oleh Kementerian Pertanian
berbantuan Bank Dunia, dan dirancang untuk mendukung penyelenggaraan
sistem penyuluhan pertanian. Pola dasar P3TIP/FEATI dirancang untuk menjawab
kebutuhan petani akan penyuluhan yang berorientasi kebutuhan petani,
kelembagaan dan SDM petani yang baik serta kebutuhan akan kajian dan
diseminasi teknologi spesifik lokasi.
P3TIP/FEATI memprioritaskan pengembangan kapasitas sumberdaya
manusia dan pemberdayaan petani melalui perbaikan sistem informasi,
peningkatan kapasitas organisasi petani berorientasi agribisnis, dan
pengembangan teknologi sebagai upaya meningkatkan daya saing produksi hasil
pertanian. Strategi ini menjadi bagian dari Renstra Badan Penyuluhan dan
Pengembangan Sumberdaya Manusia Pertanian, yang menekankan pentingnya
diversifikasi untuk meningkatkan efisiensi, kesejahteraan petani, serta daya saing
hasil pertanian dalam era globalisasi.
P3TIP/FEATI merupakan program yang memfasilitasi kegiatan penyuluhan
pertanian yang dikelola oleh petani atau Farmers Managed Extension Activities
(FMA) . Melalui kegiatan ini petani difasilitasi untuk merencanakan dan mengelola
sendiri kebutuhan belajarnya, sehingga proses pembelajaran berlangsung lebih
efektif dan sesuai dengan kebutuhan pelaku utama. Dalam metode FMA ini
pelaku utama dan pelaku usaha mengidentifkasi permasalahan dan potensi yang
ada pada diri, usaha dan wilayahnya, merencanakan kegiatan belajarnya sesuai
dengan kebutuhan mereka secara partisipatif dalam rangka meningkatkan
produktivitas usahanya guna peningkatan pendapatan dan kesejahteraan
keluarganya. Kegiatan P3TIP/FEATI dilaksanakan mulai bulan Juni 2007 sampai
dengan Juni 2012, dan diperpanjang hingga bulan Juni 2013.
Esensi dari kegiatan P3TIP/FEATI adalah:
1. Mengubah paradigma pembangunan pertanian dari sentralisasi ke
desentralisasi. Sejarah mencatat bahwa program penyuluhan dengan pola
desentralisasi atau pola top down telah menimbulkan dampak negatif:
(1) Makin besarnya ketimpangan dan kecemburuan sosial pada masyarakat
perdesaan; (2) Prioritas target lebih mengarah ke peningkatan produksi tanpa
45
memperhatikan aspek-aspek pertanian yang berkelanjutan; (3) Banyak terjadi
penyimpangan-penyimpangan, seperti petani hanya melakukan pekerjaan
sesuai instruksi dari pemerintah bukan melakukan sesuatu yang menjadi
kebutuhan petani.
2. Mengubah paradigma perilaku petani dari petani tradisional yang hanya
berorientasi produksi untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari
(subsisten) menjadi petani modern yang yang berorientasikan agribisnis.
3. Learning by doing, kegiatan yang dilakukan harus dirancang terintegrasi
dengan pelaksanaan usahatani untuk memenuhi kebutuhan belajar petani.
P3TIP/FEATI dilaksanakan di 18 Provinsi, 71 kabupaten dan 3.230 de
sa melalui penyediaan dana hibah untuk kegiatan pembelajaran pelaku utama
yang akan dikelola oleh pelaku utama dan pelaku usaha. Kegiatan pembelajaran
yang difasilitasi P3TIP/FEATI dimulai di tingkat desa. Pembelajaran di tingkat desa
dimulai dari kajian desa secara partisipatif sebagai dasar dalam penyusunan
perencanaan usaha dan kegiatan belajar yang dilaksanakan dengan difasilitasi
oleh penyuluh swadaya yang dipilih dari dan oleh pelaku utama dan pelaku usaha
setempat secara demokratis.
Tujuan utama dari pelaksanaan P3TIP/FEATI adalah:
1. Mengubah pola pikir petani, dari petani subsisten tradisional menjadi petani
modern berwawasan agribisnis;
2. Menciptakan wirausahawan yang handal di perdesaan;
3. Meningkatkan pendapatan masyarakat tani di perdesaan sebagai upaya
pengentasan kemiskinan di perdesaan;
4. Meningkatkan aktivitas kegiatan agribisnis di perdesaan sebagai upaya
pengurangan pengangguran.
Tujuan khusus dari pelaksanaan proyek P3TIP/FEATI ini adalah :
1. Meningkatkan kemampuan pelaku utama dan pelaku usaha.
2. Memilih usaha yang paling menguntungkan.
46
3. Mengidentifikasi kebutuhan informasi, teknologi dan sarana yang diperlukan
untuk mengembangkan usahanya secara berkelanjutan.
4. Menerapkan prinsip-prinsip agribisnis (orientasi pasar, menguntungkan,
memiliki kepercayaan jangka panjang, kemandirian dan daya saing usaha,
komitmen terhadap kontrak usaha): (1) mengembangkan jejaring dengan
berbagai sumber informasi teknologi, pemasaran, permodalan, (2)
mengembangkan kemitraan usaha dengan berbagai pihak, (3) penguatan
kelembagaan tani (kelompok tani, gapoktan, FMA, dan asosiasi).
Peserta P3TIP/FEATI
Peserta P3TIP/FEATI adalah pelaku utama dan pelaku usaha, baik
yang telah bergabung maupun yang belum bergabung dalam kelompok
tani/gapoktan desa/asosiasi di tingkat kabupaten/provinsi laki-laki dan
perempuan, termasuk kelompok masyarakat yang terpinggirkan) yang memiliki
usahatani dan bermaksud untuk mengembangkan usahanya menjadi usaha
agribisnis yang lebih produktif, dinamis dan berdaya saingtinggi. Disamping itu,
yang bersangkutan memiliki keinginan belajar yang tinggi dan bersedia untuk
menyebarluaskan pengetahuan, keterampilan yang diperolehnya kepada anggota
poktan/gapoktan/asosiasi dan masyarakat di sekitarnya dalam rangka
pengembangan usaha agribisnis di wilayahnya.
Ciri-ciri Proses Pembelajaran FMA pada Kegiatan P3TIP/FEATI:
1. Kegiatan diajukan berdasarkan pada kebutuhan pelaku utama dan pelaku
usaha (laki-laki dan perempuan), dan disepakati dalam rembug
tani di tingkat desa/ forum organisasi petani di kabupaten/provinsi:
a. Proses pembelajaran difasilitasi oleh penyuluh swadaya yang berasal dari
kalangan pelaku utama dan pelaku usaha;
b. Kegiatan pembelajaran dilaksanakan berdasarkan pengalaman dan atau
penemuan yang diperoleh sambil bekerja (learning by doing dan discovery
learning).
2. Materi, metoda dan waktu pembelajaran disesuaikan dengan kebutuhan
dan aspirasi pelaku utama dan pelaku usaha (laki-laki dan perempuan) dan
47
peran yang dimainkan oleh masing-masing dalam kegiatan usahanya.
Proses belajar menggunakan teknik partisipatif dengan melibatkan seluruh
unsur masyarakat, khususnya mereka yang termasuk kelompok terpinggirkan
(disadvantaged group), yaitu keluarga miskin dan kaum perempuan.
Prinsip-prinsip Dasar Pelaksanaan
1. Partisipatif
Kegiatan penyuluhan pertanian harus melibatkan pelaku utama dan pelaku
usaha untuk berperan secara aktif dalam setiap pengambilan keputusan dan
pelaksanaan kegiatan penyuluhan pertanian, termasuk kelompok terpinggirkan
(disadvantaged group) yaitu keluarga miskin dan perempuan. Partisipasi akan
berkembang dalam berbagai cara sesuai keadaan spesifik lokasi, dan pelibatan
sejak proses perencanaan akan menumbuhkan perasaan memiliki dan jaminan
keberlanjutan program.
2. Demokratis
Setiap keputusan dibuat melalui musyawarah atau kesepakatan sebagian
besar pelaku utama dan pelaku usaha untuk menjamin dukungan yang
berkelanjutan dan rasa memiliki dari masyarakat. Seluruh kegiatan FMA, dari
perencanaan, pelaksanaan sampai evaluasi dilaksanakan dengan prinsip “dari
petani ke petani dan untuk petani.”
3. Desentralisasi
Kegiatan penyuluhan pertanian direncanakan dan dilaksanakan berdasarkan
kebutuhan pelaku utama dan pelaku usaha (laki-laki dan perempuan, untuk
memperbaiki dan mengembangkan usaha tani dan meningkatkan rasa memiliki
terhadap pelaksanaan dan hasil-hasil dari kegiatan penyuluhan.
4. Keterbukaan
Manajemen dan administrasi penggunaan dana P3TIP/FEATI harus diketahui
dan diumumkan ke masyarakat baik di tingkat desa, kabupaten dan provinsi.
48
5. Akuntabilitas Pelaksanaan kegiatan dan pengelolaan dana untuk penyuluhan
pertanian harus dilaporkan dan dipertanggungjawabkan kepada seluruh
anggota organisasi petani yang terlibat.
6. Sensitif Gender Kegiatan penyuluhan pertanian ditetapkan dalam rembug tani
yang dihadiri oleh pelaku utama dan pelaku usaha, baik laki-laki maupun
perempuan termasuk mereka berasal dari kelompok yang terpinggirkan.
Kegiatan penyuluhan pertanian ini memberi manfaat kepada pelaku utama dan
pelaku usaha, baik laki-laki maupun perempuan secara proporsional dan tepat
sasaran.
7. Kemandirian Pelaku utama dan pelaku usaha, keluarga dan masyarakat tani,
serta seluruh anggota organisasi petani (laki-laki dan perempuan) memiliki
kesempatan dan kemampuan untuk mengembangkan usahatani yang
menguntungkan dan berkelanjutan tanpa harus bergantung kepada
pemerintah.
Ruang Lingkup dan Metode Pembelajaran
Ruang lingkup kegiatan P3TIP/FEATI:
1. Kegiatan pembelajaran dalam rangka meningkatkan kapasitas pelaku utama
dan pelaku usaha untuk mengelola kegiatan penyuluhan yang dan
berkelanjutan.
2. Substansi/materi belajar meliputi materi teknis budidaya, panen, pascapanen,
pengolahan hasil, dan pemasaran komoditas pertanian dan peternakan yang
membawa inovasi strategis dan spesifik lokasi untuk meningkatkan pendapatan
pelaku utama dan pelaku usaha, disamping materi yang bersifat meningkatkan
keterampilan manajemen dan kepemimpinan.
3. Substansi/materi bersifat lebih spesifik guna memenuhi spesifikasi
produk berbasis pada permintaan pasar, sehingga memiliki nilai jual yang
tinggi, termasuk manajemen berbasis mutu
Metode pelaksanaan FMA disesuaikan dengan kebutuhan dan aspirasi pelaku
utama dan pelaku usaha, antara lain: pelatihan, penyediaan tenaga
teknis/narasumber, studi banding, temu teknologi, demplot, demfarm (termasuk
49
demonstrasi cara dan hasil, serta hari lapang petani), magang, sekolah lapangan
petani, pengembangan media petani dan penyebarluasannya, temu usaha,
lokakarya lapangan, temu karya, temu lapang, pengembangan jejaring kemitraan
usaha dan informasi, dokumentasi kegiatan petani, monitoring dan evaluasi
partisipatif.
Alokasi dan Penggunaan Dana
Dana hibah FMA pada kegiatan P3TIP/FEATI hanya dapat digunakan untuk
membiayai:
1. Kegiatan penyuluhan pertanian yang dikelola oleh poktan/gapoktan desa atau
asosiasi pelaku usaha di tingkat kabupaten/provinsi yang bersifat strategis
sesuai dengan ruang lingkup dan materi FMA;
2. Konstruksi/perbaikan sarana belajar dan atau pengadaan peralatan yang
diperlukan untuk mendukung efektivitas proses pembelajaran sesuai dengan
metode pembelajaran yang diusulkan dalam proposal.
3. Paling sedikit 20% dari total dana FMA diperuntukkan untuk memenuhi
kebutuhan dan memberi manfaat bagi pelaku utama perempuan.
Kegiatan yang tidak boleh dibiayai FMA desa, kabupaten dan provinsi adalah
sebagai berikut:
1. Pembelian pestisida yang penggunaannya dilarang pemerintah, FAO, dan
WHO (Badan Kesehatan Dunia).
2. Gaji/upah/honorarium bulanan/mingguan/harian bagi penyuluh/petugas
berstatus PNS.
3. Pembelian sarana produksi untuk usaha.
4. Modal usaha.
5. Kegiatan yang terkait dengan FMA dan tidak dibiayai dari dana FMA, antara
lain: pelaksanaan PRA, penyusunan rencana kegiatan kelompok (RDK/
RDKK), penyusunan programa penyuluhan desa, kabupaten dan provinsi,
serta penyelenggaraan forum penyuluhan Pelaksanaan.
50
Kegiatan-kegiatan P3TIP/FEATI dibiayai dari sumber LOAN Bank Dunia, APBN
dan APBD (Provinsi dan Kabupaten). Pada Tabel 4.3 dicantumkan total anggaran
sejak tahun 2007 sampai dengan bulan Juni 2013
Tabel 4.3. Dana P3TIP/FEATI (Juni 2007-Juni 2013)
No. Sumber Dana Jumlah
1. LOAN US $ 92,8 juta
2. APBN US $ 30,2 juta
Subtotal US $ 123,0 juta
3. APBD Provinsi Rp 15,084 milyar
4. APBD Kabupaten Rp 107,690 milyar
Subtotal Rp 122,774 milyar Sumber: Pusat Penyuluhan Pertanian (2013)
Siklus dan Tahapan Pengelolaan FMA pada Kegiatan P3TIP/FEATI
Keseluruhan langkah-langkah pokok dalam perencanaan dan pelaksanaan
FMA pada kegiatan P3TIP/FEATI dapat dibagi dalam empat tahap yang terdiri dari
langkah berikut:
Tahap 1: Persiapan, mencakup kegiatan:
1. Sosialisasi konsepsi FMA;
2. Pembentukan Unit Pengelola FMA dan pengurusnya;
3. Pemilihan Penyuluh Swadaya;
Tahap 2: Perencanaan, mencakup kegiatan:
1. Pelaksanaan PRA;
2. Penyusunan rencana kegiatan kelompok (RDK/RDKK);
3. Penyusunan programa penyuluhan desa;
4. Penetapan prioritas kegiatan yang akan diusulkan untuk dibiayai dana hibah
FMA;
5. Penyusunan proposal FMA;
6. Penilaian kelayakan dan rekomendasi persetujuan proposal FMA oleh Komisi
Penyuluhan Kabupaten;
7. Persetujuan dari PPK-P3TIP untuk pemberian dana FMA.
51
Tahap 3: Pelaksanaan
Pelaksanaan kegiatan FMA dilakukan langsung oleh kelompok tani sesuai dengan
rencana kegiatan dan jadwal yang telah disepakati bersama. Disamping itu,
Pengurus Unit Pengelola FMA diharuskan menyusun laporan kegiatan dan hasilnya
serta keuangan termasuk penerimaan, penggunaan dan pembukuan dana untuk
dilaporkan kepada masyarakat desa dan pemangku kepentingan lainnya.
Tahap 4: Monitoring dan Evaluasi, mencakup kegiatan:
1. Pemantauan terhadap proses pelaksanaan kegiatan FMA dan hasil kegiatan
belajar secara partisipatif;
2. Pemantauan terhadap pelaksanaan rencana tindak lanjut peserta setelah
selesai mengikuti FMA dan identifikasi masalah yang dihadapi;
3. Evaluasi dampak FMA terhadap peningkatan produktivitas dan pendapatan
peserta dan masyarakat desa;
4. Pengusulan rekomendasi untuk siklus kegiatan berikutnya.
5. Kegiatan monitoring dan evaluasi dilaksanakan oleh Tim Monitoring dan
Evaluasi yang dibentuk oleh Rembugtani Desa, serta melaporkan hasilnya ke
masyarakat desa.
Perkembangan desa lokasi P3TIP/FEATI tahun 2007-2013 dicantumkan
pada Tabel 4.4.
Tabel 4.4. Perkembangan Desa Lokasi P3TIP/FEATI Tahun 2007-2013
No. Wilayah Jumlah Awal (2007) Jumlah Akhir (2013)
Kab Kec Desa Kab Kec Desa
1. Sumatera 13 162 580 12 137 473
2. Jawa 20 266 910 20 266 910
3. NTB 11 147 480 11 142 464
4. Kalimantan 5 43 200 5 43 200
5. Sulawesi 22 266 1.060 20 241 950
Jumlah 71 884 3.230 68 829 2.997 Sumber: Pusat Penyuluhan Pertanian (2013)
Pelaksanaan P3TIP/FEATI terutama melalui FMA pengembangan secara
tidak langsung telah memberikan dukungan akan implementasi Undang-Undang
No 19 tahun 2013 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani, dengan
52
menumbuhkan kelembagaan ekonomi petani formal yang sejalan dengan
pengembangan Badan usaha Milik Petani (BUMP) seperti yang diamanahkan
dalam undang-undang tersebut. Hal ini merupakan cerminan arah yang akan
dituju dalam pemberdayaan petani yaitu tumbuh dan berkembangnya
kelembagaan ekonomi petani yang berorientasi pasar dan berdaya saing. Jumlah
kelembagaan ekonomi petani yang tumbuh dari hasil pembelajaran FMA tertera
pada Tabel 4.5.
Tabel 4.5. Jumlah Kelembagaan Ekonomi Petani dari Hasil Pembelajaran FMA
No. Jenis Kelembagaan Jumlah
1. Kelompok Usaha Bersama (KUB) 675
2. Asosiasi 99
3. Koperasi 85
4. PerseroanTerbatas (PT)/BUMP 13
Total 872 Sumber: Pusat Penyuluhan Pertanian (2013)
4.1.6. Program Desa Mandiri Pangan
Program Aksi Desa Mandiri Pangan (Demapan) merupakan program
peningkatan ketahanan pangan berbasis masyarakat untuk lebih meningkatkan
implementasi strategi pemberdayaan ketahanan pangan masyarakat. Program
tersebut lebih terfokus pada aksi desa mapan untuk mengurangi tingginya angka
kemiskinan, mengurangi rawan pangan dan gizi melalui pendayagunaan sumber
daya kelembagaan dan kearifan lokal perdesaan, sehingga masyarakat dapat
menjalani hidup sehat dan produktif dari waktu ke waktu (Wariyanto, 2008).
Tujuan program Demapan adalah untuk meningkatkan ketahanan pangan
dan gizi (mengurangi kerawanan pangan dan gizi) masyarakat melalui
pendayagunaan sumber daya, kelembagaan dan budaya lokal di perdesaan
(Badan Ketahanan Pangan Kementerian Pertanian, 2011). Sasaran program
Demapan adalah terwujudnya ketahanan pangan dan gizi tingkat desa yang
ditandai dengan berkurangnya tingkat kerawanan pangan dan gizi.
Dalam pelaksanaannya, program Demapan difasilitasi antara lain:
instruktur, pendampingan dalam bidang manajemen kelompok dan usaha dan
53
teknis, bantuan permodalan, sarana dan prasarana, tenaga kerja serta teknologi.
Berbagai masukan tersebut akan digunakan untuk mendukung kegiatan-kegiatan
yang akan dilaksanakan seperti pemberdayaan masyarakat (pendampingan,
pelatihan, fasilitasi dan penguatan kelembagaan), harmonisasi sistem ketahanan
pangan dan pengembangan keamanan pangan serta antisipasi maupun
penanggulangan kerawanan pangan.
Secara langsung program ini melibatkan partisipasi masyarakat desa
dengan meningkatkan kapasitas aparat desa untuk mengakomodasikan dan
memfasilitasi partisipasi masyarakat dalam: (1) meningkatkan ketersediaan
pangan dengan memaksimalkan sumber daya yang dimiliki secara berkelanjutan,
(2) meningkatkan distribusi dan akses pangan masyarakat, (3) meningkatkan
mutu dan keamanan pangan di desa, (4) meningkatkan kualitas konsumsi pangan
masyarakat, (5) meningkatkan kualitas penanganan masalah pangan (Nainggolan,
2006).
Kelengkapan pedum, juklak dan juknis program Demapan yang dimaksud
terangkum dalam Keputusan Kepala Badan Ketahanan Pangan Nomor:
10/Kpts/Ot.140/K/02/2009 tentang Pedoman Umum Program Aksi Desa Mandiri
Pangan Tahun 2009, dalam Bab 1 pendahuluan bagian a, yang berbunyi; untuk
meningkatkan kemampuan masyarakat desa dalam pengembangan usaha
produktif berbasis sumber daya lokal, peningkatan ketersediaan pangan,
peningkatan daya beli dan akses pangan rumah tangga, sehingga dapat
memenuhi kecukupan gizi rumah tangga, yang akhirnya berdampak terhadap
penurunan kerawanan pangan dan gizi masyarakat miskin di perdesaan, sejalan
dengan salah satu tujuan Millenium Development Goals (MDGs), yaitu untuk
mengurangi angka kemiskinan dan kelaparan di dunia sampai setengahnya di
tahun 2015. Pada Bab III pelaksanaan kegiatan Desa Mandiri Pangan Tahun 2014
terdiri dari dua model yaitu Desa Mandiri Pangan Reguler dan Kawasan Mandiri
Pangan (Papua-Papua Barat, Kepulauan, dan perbatasan).
Penanggung Jawab Program Demapan (Pusat – Daerah)
Pelaksanaan kegiatan penyampaian informasi tentang hasil monitoring dan
evaluasi dari pelaksana kegiatan di tingkat bawah kepada tingkat pengambil
54
kebijakan. Pelaporan pelaksanaan kegiatan dilakukan secara berjenjang dari
tingkat desa, kecamatan, kabupaten/kota, propinsi hingga pusat secara berkala,
berkelanjutan dan tepat waktu. Desa melaporkan pada kecamatan dan
kabupaten/kota tentang situasi pangan dan cadangan pangan desa serta
perkembangan pelaksanaan proksi mandiri pangan di desa dengan formulir yang
telah disepakati.
Kecamatan berfungsi sebagai pemantau, pendamping dan sekaligus
penghubung ke kabupaten/kota dan menyampaikan upaya-upaya yang telah
dilakukan oleh kecamatan serta meneruskan hal-hal yang tidak dapat dilakukan
oleh kecamatan dengan menggunakan form yang telah disepakati.
Kabupaten memberikan umpan balik kepada desa dan kecamatan serta
melakukan follow up terhadap kondisi yang memerlukan penanganan segera atau
dikoordinasikan oleh pengelola program tingkat kabupaten/kota. Provinsi
memantau kegiatan lapangan secara berkala dan mengevaluasi hasil pemantauan
dan melaporkan ke pusat sesuai dengan format yang disepakati.
Selanjutnya provinsi memberikan umpan balik kepada kabupaten terhadap
kegiatan yang memerlukan penanganan segera atau dikoordinasikan oleh
pengelola program tingkat provinsi. Pusat sebagai penangung jawab program
melakukan pemantuan kegiatan secara berkala dan mengevaluasi hasil
pemantauan provinsi dan selanjutnya memberikan umpan balik kepada provinsi
atau melakukan follow up terhadap kegiatan yang memerlukan penanganan
segera atau dikoordinasikan oleh pengelola program tingkat pusat. Program ini
dirumuskan oleh kelompok kerja yang berfungsi sebagai simpul koordinasi untuk
memperlancar pelaksanaan program aksi secara berjenjang:
Kepala desa sebagai penghubung antara masyarakat dengan aparat
pemerintah serta sebagai penanggungjawab program yang bertugas untuk
mengkoordinasikan Tim Pangan Desa, kelompok masyarakat dan pendamping di
desa tersebut. Tim Pangan Desa terdiri dari: satu orang aparat desa, satu orang
tokoh masyarakat, satu orang perwakilan dari masyarakat miskin, satu orang
kader gizi/bidan desa dan satu orang ketua tim penggerak PKK.
55
Kelompok kerja (Pokja) tingkat kabupaten diketuai oleh Kepala
Badan/Dinas/Kantor/unit kerja yang menangani ketahanan pangan di tingkat
kabupaten/kota dengan anggota dinas-dinas yang terkait dengan ketahanan
pangan. Kelompok kerja (Pokja) provinsi diketuai oleh Kepala Badan/Dinas/
Kantor/unit kerja yang menangani ketahanan pangan di tingkat provinsi dengan
anggota dinas terkait. Susunan organisasi kelompok kerja program aksi desa
mandiri pangan di pusat diketuai oleh Kepala Badan Ketahanan Pangan,
Kementerian Pertanian yang anggotanya terdiri dari Instansi terkait dengan
ketahanan pangan.
Pelaksanaan Program Desa Mandiri Pangan
Program Desa Mandiri Pangan sudah dilaksanakan sejak tahun 2006 dan
tahun 2009 program ini sudah mencakup 1.174 desa, 275 kabupaten di 33
provinsi. Dari hasil pelaksanaan workshop bulan November 2009 dihasilkan
rumusan: program aksi mandiri pangan merupakan program utama Badan
Ketahanan Pangan yang dalam pelaksanaannya membutuhkan integrasi program
lintas sektor sehingga perlu mengaktifkan peran koordinasi Dewan Ketahanan
Pangan Pusat, Provinsi dan Kabupaten. Peran pendamping dalam pelaksanaan
program aksi (proksi) Demapan sangat strategis sehingga perlu seleksi tenaga
pendamping sesuai dengan persyaratan seperti yang diuraikan dalam Pedoman
Umum.
Pelatihan dalam rangka peningkatan kapasitas dilakukan bagi:
1. Tenaga pendamping perlu pelatihan PRA dan pelatihan teknis pendukung
kegiatan pemberdayaan masyarakat.
2. Tim Pangan Desa (TPD) perlu peningkatan pemahaman sistem ketahanan
pangan.
3. Lembaga Keuangan Desa (LKD) perlu pelatihan pengelolaan keuangan.
4. Aparat pengelola kegiatan Proksi Desa Mandiri Pangan perlu pelatihan
pengelolaan data base.
5. Kelompok afinitas perlu pelatihan teknis sesuai kebutuhan pada setiap
tahapan.
56
Kegiatan pemberdayaan masyarakat dengan melibatkan peran LSM,
Perguruan Tinggi, Swasta (melalui Corporate Social Responsibility/CSR), dan
BUMN (melalui Program Kemitraan Bina Lingkungan/PKBL) dalam kegiatan
pendampingan. Kegiatan dilakukan dengan metode Sekolah Lapang (SL).
Penganggaran dana PMUK hanya merupakan dana stimulan dalam Program
Aksi Desa Mandiri Pangan, sedangkan titik berat pelaksanaan Program Aksi
Demapan adalah pemberdayaan masyarakat. Penyaluran dana PMUK dilakukan
melalui rekening kelompok afinitas dan digunakan untuk kegiatan usaha produktif
sesuai dengan Rencana Usaha Kelompok.
Mengoptimalkan peran Tim Pangan Desa (TPD) dalam percepatan
diversifikasi pangan dan mengkoordinasikan kegiatan di tingkat desa, Tim Pangan
Desa diharapkan mampu menyiapkan exit strategy, disamping menyusun
perencanaan Desa Partisipatif untuk mengkoordinasikan dan mengintegrasikan
program pembangunan desa.
Strategi keberlanjutan dalam Program Aksi Desa Mandiri Pangan meliputi:
1. Kelompok afinitas menjadi gabungan kelompok tani.
2. Tim Pangan Desa sebagai embrio yang akan menjadi lembaga koordinasi
ketahanan pangan desa.
3. Lembaga Keuangan Desa menjadi lembaga formal seperti: Koperasi, Lembaga
Keuangan Mikro atau Badan Usaha Milik Desa.
4. Mengembangkan aksesibilitas dalam bentuk kemitraan usaha.
5. Pengembangan lumbung pangan sebagai pengelolaan cadangan pangan
masyarakat.
Dalam rangka percepatan penganekaragaman konsumsi pangan
masyarakat di desa pelaksana program aksi Demapan dilakukan pemanfaatan
pekarangan, pengolahan pangan lokal dan pembuatan tepung-tepungan dengan
memanfaatkan sumberdaya lokal. Pada tahun 2009 terdapat 250 desa yang
memasuki tahap kemandirian. Berdasarkan hasil penilaian di tingkat pusat hanya
terdapat 122 desa yang sudah mandiri yang akan dilanjutkan sebagai desa Inti
dalam Gerakan Kemandirian Pangan (GKP), sekitar 128 desa yang belum mandiri
57
perlu pembinaan lebih lanjut oleh Pemerintah Daerah Provinsi dan Kabupaten
dengan menggunakan dana APBD. Untuk itu perlu surat penugasan dari pusat
kepada gubernur dan bupati/walikota
Untuk meningkatkan profesionalisme dan efektifitas pemberdayaan
masyarakat oleh PPL sebagai tenaga pendamping Demapan, maka diperlukan
kontrak kerja antara unit kerja ketahanan pangan kabupaten dengan
instansi/lembaga yang menangani petugas PPL dengan menetapkan indikator
kinerja secara luas.
Monitoring dan Evaluasi Program Demapan
Monitoring dan evaluasi (monev) oleh Badan Ketahanan Pangan
Kementerian pertanian dilakukan melalui kuesioner yang subtansinya
dipresentasikan dalam 8 dimensi. Kuesioner terdiri dari evaluasi untuk setiap
tahapan dan evaluasi untuk desa yang sudah masuk tahap kemandirian.
Selanjutnya BKP pusat mengundang BKP provinsi untuk kegiatan sosialisasi
kuesioner, alat analisis dan format outline laporan kegiatan. Diharapkan provinsi
juga melakukan hal yang sama sebelum kuesioner, alat analisis dan format outline
laporan kegiatan Demapan dikirim ke kabupaten.
Laporan monev tingkat kabupaten dipresentasikan di tingkat provinsi dan
terakhir laporan monev provinsi dipresentasikan secara nasional dalam workshop
Desa Mandiri Pangan yang dilaksanakan oleh BKP pusat. Hasil Workshop tahun
2011 merekomendasikan beberapa hal diantaranya adalah (Rusastra et al., 2011):
(1) BKP pusat dan provinsi agar bersinergi dalam pemantapan sosialisasi dan
pelatihan monev di tingkat kabupaten, (2) pelaksanaan monev kabupaten
membutuhkan pendampingan dalam perencanaan, implementasi, analisis data,
dan penulisan laporan, (3) desentralisasi monev kabupaten perlu dipertahankan,
karena kabupaten merupakan institusi terdepan dalam pelaksanaan program
Demapan, dan (4) dukungan pembinaan dan pendanaan terkait dengan
pelaksanaan monev di tingkat kabupaten (dan juga di tingkat provinsi) menjadi
sangat penting).
58
Peran dan keterlibatan petani/kelompoktani dalam menyukseskan program Demapan
Dalam upaya meningkatkan pembangunan ketahanan pangan, peranan
kelembagaan kelompok tani di perdesaan sangat besar dalam mendukung dan
melaksanakan program Demapan yang sedang dilaksanakan karena kelompok tani
inilah pada dasarnya pelaku utama pembangunan ketahanan pangan.
Untuk mencapai keberdayaan masyarakat perdesaan tersebut, program
Demapan merupakan program pemberdayaan kelompok tani yang dilakukan harus
dapat meningkatkan kemampuan kelompok tani dalam hal: (1) memahami
kekuatan (potensi) dan kelemahan kelompok, (2) memperhitungkan peluang dan
tantangan yang dihadapi, pada saat ini dan masa mendatang, (3) memilih
berbagai alternatif yang ada untuk mengatasi masalah yang dihadapi, dan (4)
menyelenggarakan kehidupan berkelompok dan bermasyarakat yang serasi
dengan lingkungannya secara berkesinambungan.
Kelembagaan didalam program Demapan salah satunya kelompok afinitas
(KA) sebagai penerima program. KA dibentuk dengan sekurang-kurangnya 30
persen Rumah Tangga Miskin (RTM) hasil DDRT dan terbagi dalam beberapa
subkelompok sesuai dengan bidang/jenis usaha yang dilakukan anggota
kelompok. KA dibentuk dengan maksud untuk meningkatkan kebersamaan dan
kemampuan kelompok sasaran dalam mengelola unit usaha. Umumnya usaha
yang dilakukan berdasarkan kebiasaan serta ketersediaan bahan baku yang ada
disekitar lingkungan. Agar kelembagaan ini bisa berjalan maka diharuskan dalam
setiap KA ada kepengurusan, tata tertib, agenda pertemuan, serta tema untuk
dibahas dalam pertemuan.
Peran dan Keterlibatan Stakeholder dalam Menyukseskan Program
Peran dan keterlibatan stakeholder seperti tertuang dalam peraturan
Menteri Pertanian No. 06/Permentan/OT. 140/1/2014 Tentang Pedoman Desa
Mandiri Pangan Tahun 2014 disebutkan bahwa fungsi dan peran masing-masing
lembaga sebagai berikut:
59
1. Badan Ketahanan Pangan, Kementerian Pertanian sebagai penanggung jawab
kegiatan nasional.
2. Badan/dinas/kantor/unit kerja Ketahanan Pangan pusat, provinsi, dan
kabupaten sebagai penanggung jawab kegiatan pada masing-masing
tingkatan.
3. Dewan Ketahanan Pangan tingkat pusat, provinsi, dan kabupaten diperankan
sebagai wadah koordinasi pelaksana kegiatan.
4. Tim Asistensi dan Advokasi yang berada di pusat dan provinsi sebagai asisten
dan advokat Tim Koordinator Teknis kabupaten/kota
5. Tim Koordinator Teknis kabupaten sebagai pelaksana pendampingan kegiatan
pengembangan kegiatan tingkat kabupaten/kota.
6. Koordinator Pendamping merupakan aparat kabupaten/provinsi yang
melakukan fungsi sebagai koordinator pendamping di tingkat lapangan.
Koordinator Pendamping ditunjuk oleh Kepada Badan/dinas/kantor/unit kerja
Ketahanan Pangan provinsi dan kabupaten/kota.
7. Camat/Kepala Distrik sebagai koordinator Desa pelaksana kegiatan di Wilayah
kerjanya.
8. Kepala Desa sebagai penanggung jawab operasional kegiatan di tingkat Desa
Wilayah kerjanya
9. FKK sebagai koordinator pembangunan Ketahanan Pangan tingkat Kawasan.
10. TPD sebagai penggerak pembangunan Ketahanan Pangan di Desa.
Sumber Dana
Dana APBN untuk Badan Ketahanan Pangan Kementerian Pertanian,
dialokasikan di pusat, provinsi berupa dana Dekonsentrasi (Dekon), dan
kabupaten/kota berupa dana Tugas Pembantuan (TP). Salah satu komponen
kegiatan pengembangan Kawasan Mandiri Pangan yang sebelumnya Demapan
adalah penyaluran dana bantuan sosial (bansos) untuk pengembangan usaha
produktif. Dana bansos tersebut dikelola oleh Lembaga Keuangan tingkat kawasan
yang ditumbuhkan dari dan oleh masyarakat. Proses pencairan dana mengikuti
Pedoman Pengelolaan Bansos untuk Pertanian Pencairan dana Bansos ke rekening
60
kelompok. Rincian dana bansos dan RTM sejak tahun 2006-20011 dicantumkan
pada Tabel 4.6.
Tabel 4.6. Besarnya Perkembangan Bansos Demapan dan RTM Penerima Program
di Indonesia, 2006-2011
Tahun 2006 2007 2008 2009 2010 2011
Bansos ( juta) 24.040 35.400 22.100 35.900 50.230 40.500
RTM (KK) 31.250 75.500 103.125 148.000 235.625 304.75
Badan Ketahanan Pangan (2011)
4.1.7. Sekolah Lapang Pengelolaan Tanaman Terpadu (SL-PTT)
Sekolah Lapang Pengelolaan Tanaman Terpadu (SL-PTT) merupakan
sekolah lapang petani dalam menerapkan berbagai teknologi usahatani melalui
penggunaan input produksi yang efisien menurut spesifik lokasi, sehingga mampu
menghasilkan produktivitas tinggi untuk menunjang peningkatan produksi yang
berkelanjutan (Ditjen Tanaman Pangan, 2008). Pendekatan Pengelolaan Tanaman
Terpadu (PTT) telah diadopsi oleh Direktorat Jenderal Tanaman Pangan melalui
program SL-PTT dalam upaya pencapaian sasaran produksi padi, jagung dan
kedelai melalui peningkatan produktivitas tanaman (Ditjentan, 2009). Melalui
penerapan SL-PTT petani akan mampu mengelola sumber daya yang tersedia
seperti varietas, tanah, air dan sarana produksi secara terpadu dalam melakukan
budidaya di lahan usahataninya berdasarkan kondisi spesifik lokasi, sehingga
petani menjadi terampil serta mampu mengembangkan usahataninya dalam
rangka peningkatan produksi padi (Badan Litbang Pertanian, 2007).
Program ini bertujuan untuk meningkatkan kemandirian pangan nasional
melalui usaha peningkatkan produksi pangan nasional, khususnya padi, jagung
dan kedelai yang melibatkan sekitar 60.000 kelompok tani di seluruh Indonesia.
Sasaran akhir SL-PTT adalah peningkatan produktivitas tanaman pangan (padi,
jagung, kedelai) secara nasional melalui penerapan paket teknologi spesifik lokasi
oleh petani secara mandiri.
61
Pelaksanaan SL-PTT dimulai tahun 2008 dan berakhir tahun 2014. Pada
awalnya pelaksanaan SL-PTT dilakukan di 8 provinsi dan terakhir tahun 2014
dilaksanakan di hampir semua provinsi meliputi 2,6 juta hektar. Dalam pemilihan
lokasi SL-PTT diprioritaskan pada luasan areal yang memadai, produktivitasnya
masih rendah sehingga berpotensi untuk ditingkatkan serta petani di wilayah
tersebut responsif terhadap teknologi (Rahman et al., 2009). Lahan untuk SL-PTT
dapat berupa sawah irigasi, sawah tadah hujan, lahan kering maupun pasang
surut. Diupayakan lokasi SL-PTT bukan merupakan daerah endemis hama dan
penyakit, bebas bencana kekeringan, kebanjiran dan bukan sengketa. Disamping
itu, untuk lokasi Laboratorium Lapang (LL) dipilih di lahan yang mudah dijangkau
oleh petani peserta SL maupun non-peserta SL.
Implementasi SL-PTT padi telah dilakukan di 31 provinsi yang meliputi padi
sawah inbrida seluas 2.2 juta ha pada 88.000 kelompok tani, padi hibrida seluas
228.980 ha pada 22.000 kelompok tani dan padi lahan kering seluas 350.000 ha
melibatkan 23.333 kelompok tani (Badan litbang, 2011). Mengenai pengembangan
padi hibrida Rachman et al. (2009) mengungkapkan masih adanya pro-kontra
terkait dengan pengembangan padi hibrida dalam program SL-PTT. Beberapa hal
yang menyebabkan pro-kontra tersebut adalah: (1) padi hibrida bersifat capital
using technology, sehingga cenderung memerlukan biaya lebih besar dibanding
non-hibrida, (1) penggunaan pestisida cenderung lebih tinggi pada hibrida
sehingga tidak sejalan dengan prinsip PHT, (3) harga bibit yang mahal
menyebabkan petani tidak berminat melanjutkan menanam hibrida, kecuali
diberikan gratis, (4) aksesibilitas benih hibrida masih sulit (belum tersedia di kios)
dan (5) sebagaian masyarakat tidak cocok dengan taste padi hibrida sehingga
kurang laku dijual dan harganya akan jatuh.
Dari sejumlah studi tentang SL-PTT ada beberapa saran perbaikan ke
depan yang harus ditempuh. Alihamsyah et al. (2011) mengusulkan perbaikan
pada tahap perencanaan, implementasi, dan monev. Pada fase perencanaan yang
perlu disempurnakan adalah Konsep dan Buku Pedoman Pelaksanaan SL-PTT.
Lokasi untuk SL dan LL sebaiknya diintegrasikan ke dalam suatu Dem Area dengan
luasan 1 -5 ha. Lokasi tersebut selanjutnya dijadikan sebagai reference point bagi
kegiatan percepatan pengembangan atau penerapan PTT yang dikoordinasikan
62
Dinas Pertanian. Pada tataran pelaksanaan, penyempurnaan yang diperlukan
meliputi: (1) pelatihan PL III perlu diintensifkan dengan dilengkapi bahan ajar
yang memadai, (2) intensifikasi kegiatan sosialisasi dan diseminasi PTT, (3)
penyempurnaan distribusi BLBU, (4) LL dilakukan satu musim sebelum SL (benih
SL disediakan LL), dan (5) lokasi LL dapat dijadikan lokasi kajian BPTP sehingga
pengawalan lebih intensif. Sementara untuk aspek monev diusulkan adanya dana
operasional pendampingan dan pembinaan yang memadai untuk lembaga
penyuluhan (Bakorluh, Bapeluh, dan BIPP).
Dalam tataran kebijakan strategis, menurut Rusastra et al. (2011) opsi
kebijakan prioritas untuk penyempurnaan SL-PTT adalah ketersediaan dan akses
benih menurut 6 tepat yang dikomplemenkan dengan penyempurnaan kegiatan
pendampingan dan pengawalan. Dalam upaya meningkatkan produksi seharusnya
secara konsisten mengacu pada empat prinsip dasar pengembangan yaitu: (1)
penyediaan model SL-PTT spesifik lokasi, (2) penyediaan teknologi varietas unggul
baru dengan tingkat hasil tinggi yang terus diperbarui, (3) ketersediaan dan akses
saprodi utama dan (4) jaminan pemasaran hasil produksi. Keempat prinsip dasar
tersebut harus dapat diimplementasikan secara teritegrasi, mengingat satu sama
lainnya mempunyai hubungan yang komplementer. Disamping itu pengembangan
SL-PTT ke depan harus mengikuti proses pembelajaran (SL) secara
berkesinambungan dan bukan pendekatan keproyekan.
Menurut Jamal (2009) dari sisi konsep dan asumsi yang mendasari
pendekatan sekolah lapang, maka perlu dilakukan beberapa perbaikan dalam
perencanaan dan pelaksanaan SL-PTT. Dalam perencanaan kegiatan, ketersediaan
kurikulum yang menggunakan pendekatan local knowledge perlu mendapat
perhatian khusus. Disamping itu, perlu peningkatan kapasitas penyuluh sehingga
mampu melakukan berbagai modifikasi terhadap pendekatan yang ada. Program
P3TIP/FEATI yang mendukung terjadinya proses pembelajaran di tingkat petani,
dalam tataran terbatas dapat disinergikan dengan program SL-PTT.
Dalam rangka peningkatan produksi pangan dan kesejahteraan petani
melalui pengembangan teknologi PTT, ke depan menurut Alihamsyah et al. (2011)
ada tiga program dan kegiatan yang saling mendukung yang dapat dilaksanakan.
63
Pertama, meneruskan program dan kegiatan dengan pendekatan sentralistik,
tetapi pelaksana utamanya Badan Penyuluhan dan Pengembangan SDM Pertanian
dengan perbaikan pada beberapa aspek teknis dan manajerial. Jumlah unit SL-
PTT di daerah disesuaikan dengan kapasitas dan jumlah SDM penyuluh di
lapangan. Kedua, membuat program dan kegiatan yang lebih bersifat
terdesentralisasi seperti Percepatan Pengembangan atau Penerapan PTT dengan
menempatkan Pemda sebagai pelaksana utama dan pemerintah pusat sebagai
mitra dalam perencanaan dan evaluasi. Ketiga, pengkajian model pengembangan
sistem produksi tanaman pangan melalui inovasi PTT atau M-P3MI berbasis
inovasi yang dilakukan Badan Litbang melalui BPTP. Dari kegiatan ini diharapkan
dapat dibangun model pengembangan PTT spesifik lokasi yang terencana dan
terlaksana secara baik dan sistematis.
Rusastra et al. (2011) mengungkapkan bahwa hasil evaluasi kebijakan dan
anggaran SL-PTT tahun 2011 menunjukkan bahwa alih informasi dari lembaga
penelitian ke pelaksana/petugas PL sudah mencukupi, dilihat dari materi, buku
pedoman, observasi lapangan dan lainnya. Namun dalam pelaksanaan SL-PTT
tidak sempat dilakukan pemahaman masalah dan peluang (PMP) atau kajian
kebutuhan dan peluang (KKP) sehingga rakitan paket teknologi (PTT) menjadi
seragam untuk semua lokasi.
Implementasi SL-PTT
Hasil kajian Alihamsyah et al. (2011) menunjukkan bahwa dalam
pelaksanaan PMP/KKP, penentuan CP/CL, penentuan kebutuhan teknologi PTT dan
perencanaan kebutuhan sarana produksi tidak sepenuhnya mengikuti Pedoman
Pelaksanaan SL-PTT. Hal tersebut disebabkan karena terbatasnya waktu dan
tenaga penyuluh pendamping. Program SL-PTT mencakup beberapa aspek
sebagai berikut: (1) pemantapan fungsi laboratorium lapang (LL) dengan luasan
1,0 ha melalui dukungan komponen teknologi PTT, (2) pengembangan SL padi
non-hibrida dengan luasan 25 ha, dengan target areal 2,20 juta ha; (3)
pengembangan SL-padi hibrida dengan luasan 10 ha, dengan target areal 228 ribu
ha, (4) pengembangan SL-padi gogo dengan luasan 25 ha, pada target areal 350
ribu ha.
64
Pengelolaan lahan dalam kegiatan SL-PTT ini adalah seluas 25 ha untuk
setiap kelompok yang nantinya 1,0 ha dari luasan tersebut akan dijadikan sebagai
laboratorium lapangan (LL) yang akan dijadikan sebagai media pembelajaran
petani, penyuluh/petugas dan peneliti. Pertemuan kelompok tani dalam rangka
pelaksanaan SL-PTT 2011 menurut pedoman diharapkan berlangsung selama 8
kali per musim. Dalam pertemuan ini ada dua hal pokok yang perlu diperhatikan
yaitu materi pertemuan dan kegiatan lapangan.
Menurut Pedoman Teknis SL-PTT (Direktorat Jenderal Tanaman Pangan,
2012), mekanisme pelaksanaan SL-PTT harus melalui tahapan-tahapan sebagai
berikut:
1. Pertemuan persiapan dengan tokoh formal dan informal serta petani calon
peserta sebelum pelaksanaan SL-PTT untuk membahas: analisis masalah,
analisis tujuan, rencana kerja peningkatan produktivitas padi/jagung.
2. Menetapkan langkah–langkah yang menyangkut tujuan, hasil diharapkan dan
metode pembelajaran SL-PTT yang dilakukan bersama sebagai suatu
kesepakatan.
3. Membuat jadwal pertemuan SL-PTT minimal dua mingguan dengan
menentukan tempat, hari dan waktu serta materi pertemuan secara bersama-
sama.
4. Menentukan satu hari sebagai “Hari Lapang Petani” untuk memasyarakatkan
dan mendiseminasikan penerapan teknologi budi daya melalui SL-PTT kepada
kelompok tani dan petani sekitarnya.
5. Menentukan letak petak LL dan lokasi SL-PTT Spesifik Lokasi diusahakan di
tempat yang paling strategis dan berada di dekat jalan/lintasan sehingga
penerapan teknologi mudah dilihat dan ditiru oleh petani diluar SL-PTT.
Khusus untuk penentuan lokasi petak LL harus berbatasan langsung dengan
areal di luar SL-PTT.
6. Menyiapkan pengelolaan usahatani di petak LL secara bersama–sama sesuai
dengan tahapan budidaya masing–masing komoditi dengan harapan dapat
diterapkan di usahataninya masing–masing.
65
Penanggung jawab SL-PTT tingkat pusat adalah Dirjen Tanaman Pangan,
di Provinsi adalah Kepala Dinas Pertanian Provinsi di tingkat Kabupaten/Kota
adalah Kepala Dinas Pertanian, di tingkat kecamatan adalah KCD sedangkan
penanggung jawab teknisnya adalah koordinator penyuluh/Kepala BPP, di
desa/unit SL-PTT adalah Pemandu Lapangan/Penyuluh Pertanian dibantu POPT
dan PBT tingkat kecamatan/desa. Operasional pelaksanaan tingkat nasional SL-
PTT adalah Direktur Budidaya Serealia (POSKO I), pada tingkat provinsi adalah
Kepala Sub Dinas produksi tanaman pangan (POSKO II), di tingkat
kabupaten/kota adalah Kepala Subdinas/Kepala Bidang produksi tanaman pangan
(POSKO III). Dalam melaksanakan kegiatan PL berkedudukan di POSKO IV/V
(kecamatan/desa).
Gubernur menetapkan susunan organisasi Posko II melalui surat keputusan
dan bupati/walikota menetapkan susunan organisasi Posko III melalui surat
keputusan yang mengacu pada Surat Mendagri Nomor 027/317/SJ tentang
Pengadaan Beras Nasional Tahun 2011. Kepala Dinas Pertanian Kabupaten/Kota
juga menetapkan Pemandu Lapangan, penanggung jawab teknis setiap
kecamatan dan setiap desa melalui surat keputusan.
Manajemen program SL-PTT melibatkan beberapa institusi terkait dimana
terdapat pembagian tanggung jawab. Direktorat Jenderal Tanaman Pangan
bertanggung jawab terhadap perencanaan dan pengusulan dana. Penyediaan
teknologi, pedoman umum, nara sumber, pendamping teknologi dan pengajaran
untuk pelatih inti menjadi tanggung jawab Badan Litbang Pertanian. Badan
Penyuluhan dan Pengembangan SDM Pertanian bertanggung jawab dalam
mengorganisasikan dan melaksanakan pelatihan bagi pemandu lapang. Dinas
Pertanian provinsi dan Kabupaten bertanggung jawab terhadap pelaksanaan
sekolah lapang. Peran pemerintah daerah yang dalam hal ini diwakili oleh dinas
Pertanian provinsi dan Kabupaten sudah maksimal berdasarkan kewenangan yang
diperoleh. Namun, beberapa kebijakan sentralistik seperti pengadaan dan
distribusi bantuan langsung benih (BLB) dan bantuan langsung pupuk (BLP)
dipegang sepenuhnya oleh pusat, daerah tinggal menjalankan saja. Koordinasi
antara Dinas dan Penyuluhan tidak begitu baik karena penyuluh merasa tidak
mendapatkan fasilitas yang memadai untuk berpartisipasi secara aktif.
66
Menurut Alihamsyah et al. (2011), dari aspek pelaksanaan (pelatihan
petugas, pertemuan petani, pengadaan dan distribusi saprodi, penerapan
teknologi, pengawalan /pendampingan) terungkap beberapa hal sebagai berikut:
(1) pelatihan bagi petugas rata-rata sudah sesuai agenda, namun untuk petani
belum sesuai Pedoman SL-PTT, (2) pertemuan petani masih beragam tergantung
dari kreativitas pengurus kelompok tani, (3) pengadaan saprodi belum sesuai yang
direncanakan (tepat jenis, jumlah, mutu, harga, waktu, dan lokasi), bahkan ada
benih yang varietasnya tidak sesuai, daya tumbuh rendah dan terlambat datang.
Kegiatan monitoring dan evaluasi terhadap SL-PTT dilakukan secara
terintegrasi dalam format program di BPTP. Penggabungan monev seperti ini
mengandung beberapa kelemahan antara lain temuan monev tidak lagi spesifik
pada kegiatan SL-PTT sehingga semua permasalahan tidak terungkap secara
jelas. Permasalahan dan kendala umum yang dijumpai dalam SL-PTT adalah: (1)
tingginya keragaman kondisi calon lokasi SL-PTT, (2) belum terpenuhinya
penyediaan benih sesuai jenis, mutu, jumlah dan waktu serta belum bagusnya
sebagian infrastuktur irigasi, (3) terbatasnya dana pengadaan saprodi (selain
benih), (4) masih lemahnya koordinasi dan komunikasi antar institusi yang terlibat
dalam SL-PTT, (5) belum ada sistem informasi manajemen yang terintegrasi
antara Dinas, Badan Penyuluh dan BPTP dan (6) masih ada ketidak-konsistenan
kebijakan yang menyebabkan tingkat kepercayaan menurun terhadap kinerja SL-
PTT (Alihamsyah et al., 2011).
Permasalahan dalam implementasi SL-PTT juga dikemukakan oleh Jamal
(2009). Beberapa permasalahan tersebut diantaranya: (1) ketersediaan tenaga
untuk melakukan pendampingan sangat terbatas, yang diperparah lagi dengan
mekanisme pelibatan penyuluh sampai ke tingkat kecamatan tidak berjalan
dengan baik, (2) lemahnya koordinasi antara dinas teknis dan lembaga yang
menangani penyuluhan di daerah (kabupaten), semua pembiayaan SL-PTT ada di
Dinas sementara pendampingan ada di Badan Penyuluhan Kabupaten, dan (3)
terlambatnya proses pencairan dana bagi kegiataan LL sehingga terkadang
dilakukan setelah pelaksanaan SL sendiri. Rusastra et al. (2011) mengungkapkan
beberapa penyebab kurang optimalnya pelaksanaan SL-PTT diantaranya adalah
67
keterlambatan penyaluran benih dan ketidaksesuaian varietas dengan yang
diminta petani.
Sumber Dana
Sumber pembiayaan SLPTT berasal dari APBN dan APBD maupun dana dari
pihak swasta/stakeholder mencakup empat kelompok besar yaitu: (1) perbaikan
kapasitas produksi pertanian, (2) bantuan alat dan sarana produksi pertanian, (3)
pemberdayaan dan perbaikan manajemen petani, dan (4) pembiayaan terkait
dengan kebijakan pendukung keberhasilan peningkatan produksi padi. Alokasi
anggaran terkait dengan perbaikan kapasitas produksi dan infrastruktur. Untuk
mendukung pengembangan program SLPTT pemerintah telah mengalokasikan
sejumlah dana yang cenderung meningkat per tahun. Sebagai contoh pada tahun
2010 – 2011 anggaran yang dialokasikan meningkat sebesar 24,5% dari Rp540,5
milyar pada tahun 2010 menjadi Rp672,9 milyar pada tahun 2011. Dari jumlah
anggaran yang disediakan tersebut sebanyak 86,8% - 90,39% dialokasikan untuk
pengembangan LL dan bantuan benih. Sementara biaya yang dialokasikan untuk
pelatihan hanya sebesar 4,29% - 4,91% dari total biaya pengembangan. Lebih
lanjut biaya yang dialokasikan untuk pembinaan, pengawalan, pendampingan dan
monev berkisar 5,32% - 8,28%. Kondisi ini menunjukkan bahwa biaya yang
dialokasikan untuk pelatihan, pembinaan, dan pendampingan relatif masih kecil.
Kementerian Pertanian mengusulkan Anggaran Pembangunan dan Belanja
Negara untuk sektor pertanian tahun 2014 sebesar Rp22,96 triliun. Anggaran
tersebut diprioritaskan antara lain untuk kegiatan SLPTT padi seluas 4,63 juta ha,
jagung 340 ribu ha dan kedelai 4,63 juta ha yang realisasi anggaran mencapai Rp
921.18 milyar.
Dampak program SL-PTT
SL-PTT sebagai program pemberdayaan petani, walaupun belum maksimal
telah menghasilkan peningkatan produktivitas padi, jagung, dan kedelai secara
nasional. Berdasarkan pembelajaran dari pelaksanaan SL-PTT (tahun 2008 sampai
2014) dianggap bahwa pendekatan sekolah lapang sudah cukup dan sekarang
68
mulai tahun 2015 pendekatan menjadi GP-PTT (Gerakan Peningkatan Produksi
Tanaman Terpadu).
Implementasi SL-PTT ternyata tidak berjalan optimal dan dampak yang
dihasilkan juga belum tercapai secara maksimal. Pelaksanaan SL-PTT berdampak
terhadap peningkatan produktivitas padi sawah irigasi inhibrida sebesar 0,5-1,0
ton/ha. Dampak lain dari SL-PTT adalah diterapkannya beberapa komponen
teknologi PTT padi oleh petani seperti aplikasi pupuk yang lebih berimbang,
penggunaan pupuk organik, dan penerapan cara tanam jajar legowo.
Peningkatan produktivitas dalam kegiatan SL-PTT cukup beragam antar wilayah
dan agro ekosistem. Hasil analisis usahatani di tingkat mikro, menunjukkan secara
umum terjadi peningkatan produktivitas dan pendapatan petani jika dibandingkan
antara sebelum dan sesudah mengikuti SL-PTT. Komponen teknologi SL-PTT yang
cukup banyak diadopsi oleh petani adalah aplikasi pupuk yang lebih berimbang,
penggunaan pupuk organik, dan penerapan jajar legowo paling banyak diadopsi
oleh petani. Program SL-PTT mengalami perbaikan dalam pelaksanaan dari tahun
2008-2014.
Terkait dengan implementasi dan dampak program SL-PTT, Rusastra et al.
(2011) melaporkan bahwa sebagai upaya diseminasi teknologi, selama 3 tahun
implementasi di lapangan transfer teknologi Laboratorium Lapang (LL) ke areal
sekitarnya belum berjalan seperti yang diharapkan. Disamping itu, pengadaan
benih sistem kontrak melalui BUMN, justru berdampak negatif terhadap para
penangkar benih lokal (terutama di daerah yang selama ini memanfaatkan
penangkar lokal). Disamping itu teknologi yang diterapkan pada SL-PTT belum
bersifat spesifik. Diakui bahwa produktivitas di areal LL lebih tinggi dibandingkan
di luar LL (SL-PTT) dan nonSL. Namun karena pelaksanaan SL-PTT tidak
berkesinambungan dalam areal yang sama sehingga tidak ada pengawalan dan
pendampingan teknologi menyebabkan proses difusi inovasi teknologi tidak
berkembang ke luar LL. Peningkatan produktivitas antara LL, SL dan non SL-PTT
tidak jauh berbeda nyata berkisar 3-5 kuintal/Ha (Ditjentan, 2012.). Hal ini
menunjukkan bahwa sistem pendampingan dan adopsi teknologi belum efektif dan
masih ada peluang untuk peningkatan produksi padi.
69
4.1.8. Model Pengembangan Pertanian Perdesaan Melalui Inovasi
(m-P3MI)
Model Pengembangan Pertanian Perdesaan Melaui Inovasi (m-P3MI)
sebagai model terobosan untuk diseminasi teknologi pertanian dilaksanakan oleh
Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian sejak 2011. Keberadaan program
m-P3MI di perdesaan bersifat dinamis dan memiliki konektivitas/jejaring ke
belakang dan ke depan. Model ini diharapkan bersinergi dengan program
pembangunan ekonomi lainnya yang sudah eksis di perdesaan. m-P3MI dengan
program pembangunan lainnya bisa saling memperkuat sehingga menjadi sumber
pertumbuhan ekonomi yang akan bergerak meluas dan memberikan kontribusi
nyata bagi pembangunan pertanian secara regional bahkan nasional.
m-P3MI diyakini mampu menjadi pengungkit pertumbuhan pembangunan
di perdesaan. Sebagai upaya diseminasi, m-P3MI memuat kegiatan peragaan
inovasi teknologi yang melibatkan kelompok tani dan atau gabungan kelompok
tani dalam batasan wilayah tertentu. Inovasi teknologi yang diujicobakan dalam
unit percontohan m-P3MI merupakan teknologi matang dan siap digunakan pada
skala pengembangan, serta mempunyai potensi dampak terhadap penggunaan
sumberdaya yang lebih optimal untuk memaksimumkan pendapatan petani.
Kriteria teknologi matang yang diujicobakan sebagai berikut: (1) mampu
menyelesaikan masalah teknis penting di wilayah pertanian setempat, (2)
membantu petani memenuhi permintaan pasar, (3) dapat diadaptasikan secara
lokal dan dapat diadaptasikan pada kondisi lingkungan, budaya, sosial ekonomi,
dan biofisik tertentu, (4) teknologi memiliki dampak signifikan terhadap
peningkatan mata pencaharian keluarga petani dan masyarakat di sekitarnya, dan
(5) input (fisik dan jasa) yang dibutuhkan utuk menerapkan teknologi tersedia
secara lokal dan terjangkau.
Badan Litbang Pertanian, pada periode 2005-2009 melakukan upaya
percepatan penyebaran hasil penelitian melalui Program Rintisan dan Akselerasi
Pemasyarakatan Inovasi Teknologi Pertanian yang dikenal Prima Tani. Program
tersebut merupkan implementasi paradigma baru Badan Litbang Pertanian, yaitu
penelitian untuk pembangunan (research for development). Pada tahap
70
implementasi program, Badan Litbang Pertanian memposisikan diri sebagai the
driving force yang ensensial dari sistem percepatan inovasi tersebut (Simatupang,
2004). Di beberapa daerah semangat Prima Tani menjadi tenaga pendorong
utama pertumbuhan dan pengembangan agribisnis di perdesaan. Di level nasional,
Badan Litbang Pertanian mulai tahun 2011 mengembangkan Model
Pengembangan Pertanian Perdesaan Melalui Inovasi (m-P3MI) yang juga
berlandaskan spirit Prima Tani, dalam upaya mendukung empat sukses
Kementerian Pertanian sebagai implementasi visi Kementerian Pertanian
mewujudkan pertanian unggul berkelanjutan berbasis sumberdaya lokal,
meningkatkan kemandirian pangan, nilai tambah, daya saing, ekspor dan
kesejahteraan petani. Spirit M-P3MI memberikan penekanan pada beberapa aspek
didasarkan semangat science, innovation, and networks. Aspek-aspek yang
dimaksud meliputi: (1) penguatan metodologi sehingga model yang dihasilkan
secara scientific dapat dipertanggung jawabkan, (2) melakukan diseminasi
teknologi secara simultan kepada pengguna selama pelaksanaan program untuk
mempercepat transfer teknologi, dan (3) membangun kemitraan dengan pihak
luar, baik kepada pengambil kebijakan (lembaga formal) di daerah maupun
dengan lembaga non formal seperti pedagang atau asosiasi untuk mendukung
keberlanjutan model pembangunan yang diperoleh. Inisiasi kemitraan dilakukan
sejak awal pelaksanaan program.
Tujuan m-P3MI: (1) untuk mempercepat arus diseminasi teknologi, (2)
memperluas spektrum atau jangkauan sasaran penggunaan teknologi berbasis
kebutuhan pengguna, (3) meningkatkan kadar adopsi teknologi inovatif Badan
Litbang Pertanian, dan (4) untuk memperoleh umpan balik yang akan digunakan
untuk menyempurnakan model pengembangan. Manfaat dari M-P3MI akan
memberikan dorongan meningkatkan kontribusi terhadap pembangunan pertanian
wilayah. m-P3MI merupakan program Badan Penelitian dan Pengembangan
Pertanian yang dilaksanakan di oleh 33 Balai Pengkajian Teknologi Pertanin
(BPTP) diseluruh Indonesia. Program dimulai pada tahun anggaran 2011 sampai
dengan 2014, menggunakan dana APBN di setiap BPTP.
Pendekatan m-P3MI dirancang untuk memperkuat program pembangunan
pertanian, sebagai modus diseminasi dan laboratorium lapang hasil penelitian
71
Badan Litbang Pertanian. Dalam pelaksanaannya program M-P3MI ini telah
dilangkapi dengan pedoman umum, petunjuk pelaksanaan dan petunjuk teknis.
Percontohan M-P3MI yang dibangun di setiap sentra produksi berbasis komoditas
unggulan dengan semangat mensinergikan kegiatan penelitian, pengkajian,
pengembangan, pendidikan, pelatihan, penyuluhan dan penerapan (Litkajibang-
diklatluhrap). Pembangunan model dilakukan melalui kegiatan penelitian dan
pengkajian (Litkaji) sehingga scara scientific dapat dipertangungjawabkan.
Secara simultan model yang telah diperoleh langsung dilakukan scaling up.
Skala usahanya dikembangkan dengan melibatkan petani, kelompok tani (poktan)
atau gabungan kelompok tani (gapoktan) di sekitarnya. Model yang telah
berkembang dapat dijadikan sebagai ajang tempat belajar atau magang bagi para
petani, penyuluh, siswa Sekolah Pertanian atau mahasiswa perguruan tinggi
setempat atau metoda pendekatan m-P3MI dijadikan materi pembelajaran. Pada
akhirnya, model embrio agribisnis yang telah diyakini keunggulannya oleh petani
atau kelompok tani dapat diterapkan dan dimassalkan oleh Pemerintah Daerah
setempat (Dinas Teknis Lingkup Pertanian) ke target area yang lebih Luas.
Peran dan Keterlibatan Stakeholder dalam Menyukseskan Program
Pada tahap pengawalan model, secara simultan yaitu pada saat panen raya
dilakukan advokasi kepada berbagai pihak meliputi Pemerintah Daerah, Anggota
DPRD, Perguruan Tinggi, LSM, Swasta, Asosiasi Petani, Camat maupun kepada
Kepada Desa, untuk mempromosikan kegiatan yang sedang dilaksanakan. Untuk
meningkatkan spektrum diseminasi teknologi yang dicontohkan pada skala
percontohan kepada kelompok tani dan gapoktan lainnya, perlu melakukan
promosi dan advokasi. Kegiatan advokasi ini sangat penting dilakukan sebagai
upaya promosi kegiatan kepada pengguna maupun kepada pemangku
kepentingan di daerah, meliputi Pemerintah Daerah, Anggota DPRD, Perguruan
Tinggi, LSM, Swasta, BUMN, Asosiasi Petani, Camat dan Kepala Desa.
Pada fase pemasalan (mempromosikan dan mereplikasi model dalam wujud
pengembangan model percontohan ke sasaran yang lebih luas), peran utama
berada di pihak Direktorat Jenderal Teknis terkait sesuai komoditas unggulan yang
72
dikembangkan, yaitu Ditjen Tanaman Pangan, Ditjen Perkebunan, Ditjen
Peternakan, dan Ditjen Hortikultura serta Dinas Pertanian Propinsi, Kabupaten
hingga Balai Penyuluhan Pertanian (BPP). Posisi Badan Litbang Pertanian dalam
fase ini bertindak sebagai narasumber, mendukung pengembangan teknologi yang
dibutuhkan dan merespon isu serta pemecahan masalah yang timbul di tingkat
lapang.
Perkembangan kegiatan m-P3MI yang telah dilaksanakan oleh BPTP/LPTP
yang ada di 33 provinsi, menunjukkan bahwa kegiatan m-P3MI yang berbasis
tanaman pangan dilaksanakan oleh 34 BPTP/LPTP, terdiri dari berbasis tanaman
padi di 29 BPTP/LPTP, berbasis tanaman jagung dilakukan oleh 4 BPTP?LPTP dan
berbasis tanaman kedele oleh satu BPTP/LPTP. Kegiatan m-P3MI yang berbasis
tanaman hortikultura dan integrasi ternak sapi dan tanaman dilakukan oleh 14
BPTP/LPTP atau sekitar 17% dari total kegiatan m-P3MI. Kegiatan m-P3MI yang
berbasis tanaman perkebunan dilakukan oleh 10 BPTP/LPTP atau sebanyak 12%
dari total kegiatan m-P3MI. Pada Tabel 4.7 disajikan perkembangan kegiatan
m-P3MI yang dilakukan oleh BPTP/LPTP berdasarkan komoditas.
Tabel 4.7. Perkembangan Kegiatan m-P3MI yang Dilakukan BPTP, 2011-2014
Komoditas BPTP/LPTP Rata-Rata Petani
Kooperator
Tanaman Pangan 1. Padi 2. Jagung
3. Kedele
34 29 4
1
18 26
5
Tanaman Perkebunan
1. Karet 2. Kelapa 3. Kakao
4. Gambir
10
2 1 6
1
17 20 22
15
Tanaman Hortikultura 1. Sayuran
2. Jeruk
14 12
2
24
6
Tanaman Hias
1. Bunga Potong
2
2
29
Peternakan 1. Ayam 2. Kambing
7 1 6
15 66
Integrasi Sapi dan Tanaman 14 20
Total 81 283 Sumber: Data primer BPTP/LPTP
73
Sumber Dana
Pembiayaan m-P3MI berasal dari dana APBN Badan Penelitian dan
Pengembangan Pertanian yang didistribusikan ke BPTP/LPTP. Sebagai ilustrasi
pada Tahun Anggaran 2011 sampai dengan 2014, BPTP Jawa Barat memperoleh
alokasi anggaran sebesar Rp188,111,000 (seratus delapan puluh delapan juta
seratus sebelas ribu rupiah). Pada Tahun 2015, Balai Besar Pengkajian Teknologi
Pertanian memperoleh alokasi dana untuk kegiatan m-P3MI sebesar
Rp500.000.000 (lima ratus juta rupiah) yang berasal dari program SMARTD.
4.2. Kelebihan dan Kelemahan Program Pemberdayaan yang
Diimplementasikan Kementerian Pertanian
Program pemberdayaan yang digulirkan Kementerian Pertanian dalam
tataran operasional membutuhkan dukungan lintas sektoral terkait dengan
pembinaan dan pendanaan yang mencakup pengembangan kelembagaan,
aktivitas pemberdayaan, dukungan sarana-prasarana untuk keberkelanjutan
program, sehingga dapat berdampak pada peningkatan kesejahteraan
masyarakat.
Keberhasilan, kemandirian, dan keberlanjutan program/kegiatan minimal
ditentukan oleh tiga syarat kecukupan yaitu: (1) kemampuan memperbaharui
secara berkelanjutan kapasitas ekonomi pertanian dan perdesaan yang mencakup
ketersediaan dan akses terhadap sumberdaya produktif, teknologi dan informasi
terbarukan, usaha ekonomi produktif, dan pengembangan pasar serta efisiensi
pemasarannya; (2) kreativitas menumbuhkembangkan diversifikasi usaha
(pertanian dan nonpertanian) secara horizontal dan vertikal, serta penciptaan dan
akses kesempatan kerja formal dan informal di tingkat desa dan di luar desa; dan
(3) eksistensi dan keberlanjutan program/kegiatan sangat ditentukan oleh
pengembangan infrastruktur publik dan kehadiran serta peran swasta dalam
mendukung kegiatan ekonomi dan sosial-kelembagaan dalam perspektif
pemberdayaan dan penumbuhan ekonomi perdesaan (Rachman et al., 2010).
Dalam konteks implementasi program/kegiatan terdapat pembelajaran dari
pelaksanaan berbagai kegiatan/program pemberdayaan yang digulirkan
74
Kementerian Pertanian adalah: (1) tidak terjadi akumulasi pengalaman dalam
berbagai kegiatan yang dilakukan, karena setiap kegiatan cenderung dinyatakan
sebagai kegiatan baru, yang tidak jelas keterkaitannya dengan kegiatan
sebelumnya, (2) pelaksanaan kegiatan cenderung dibuat seragam dengan
memberi porsi yang lebih kecil pada inisiatif lokal untuk menginisiasi suatu pola
atau pendekatan yang khas wilayah tertentu, (3) rasa memiliki (sense of
belonging) terhadap kegiatan/program pemberdayaan yang diintroduksi relatif
kecil dan dalam banyak kasus pelaksanaannya lebih berorientasi pada pendekatan
proyek.
Pembelajaran yang tidak dilakukan dari kegiatan sebelumnya,
mengakibatkan pelaksanaan kegiatan/program umumnya berakhir dengan pola
dan hasil yang sama dengan kegiatan sebelumnya. Keberlanjutan
kegiatan/program pemberdayaan dapat dikatakan rendah dan sulit diukur dampak
atau manfaat dari kegiatan/program tersebut. Hal ini juga terkait data dan
pendokumentasian yang tidak dilakukan dengan baik. Walaupun demikian, tidak
semua kegiatan/program pemberdayaan memiliki data base/dokumentasi yang
tidak baik. Pola pendekatan yang dibuat seragam, seperti pada SLPTT, dalam
banyak kasus dinilai kurang merangsang akan lahirnya pola pendekatan spesifik
lokasi. Demikian juga dengan keterlibatan penyuluh dalam mendiseminasikan
teknologi SL-PTT dinilai kurang optimal. Proses komunikasi dua arah dan
hubungan timbal balik untuk perbaikan program pemberdayaan sangat diperlukan,
maka keterlibatan pemerintah daerah dan pihak swasta juga menjadi salah satu
bentuk saluran komunikasi dan sistem sosial dari suatu kegiatan/ program
pemberdayaan (Sarwani et al., 2011).
Keterlibatan pihak swasta diperlukan dalam menggerakan roda kegiatan/
program pemberdayaan agar menjadi lebih berkembang, sedangkan pihak
Pemerintah Daerah berfungsi sebagai fasilitator dan juga sistem yang dapat
membuat kegiatan/ program pemberdayaan tersebut menjadi lebih berkembang
melalui partisipasinya dalam hal dukungan kebijakan.
Ke depan program pemberdayaan masih diperlukan dalam upaya
peningkatan kapasitas kelembagaan untuk keberlanjutan dan pengembangan
75
kegiatan. Mengingat kelembagaan kelompok tani, kelompok pemakai air, sistem
perguliran masih sangat lemah dalam hal pengaturan hak dan kewajiban,
penerapan sangsi dan pengawasan. Kegiatan/program yang terkait dengan
pembangunan infrastuktur seperti pembangunan jalan desa dan irigasi sederhana
telah berdampak membawa perubahan dalam meningkatkan keberhasilan
pembangunan pertanian. Pembangunan jalan desa telah meningkatkan
aksesibilitas petani ke lahan dan pasar, menurunkan biaya pengangkutan hasil
pertanian dan sarana produksi pertanian. Investasi irigasi telah meningkatkan
pendapatan usahatani tanaman semusim. Luas areal untuk tanaman padi
meningkat terutama pada MT I dan MTII.
Program pemberdayaan agar berhasil diperlukan sinergi dan integrasi
program di tingkat masyarakat. Hal ini sangat ditentukan oleh kesiapan
masyarakat. Kesiapan tersebut berupa keberadaan lembaga yang menjadi wadah
bagi petani sasaran. Kelompok tani dan gapoktan yang dinamis, dipastikan akan
membuat syarat keberhasilan program lebih mudah untuk tercapai. Selain itu,
kendala-kendala yang ada terkait dengan ketentuan yang ada pada masing-
masing program bisa diatasi dengan baik.
Hasil identifikasi beberapa program: Prima Tani, LM3, P4MI, PUAP,
P3TIP/FEATI, Demapan, SL-PTT, dan m-P3MI dapat ditelusuri kelebihan dan
kelemahan program sebagaiman tercantum pada Tabel 4.8.
Secara keseluruhan dapat dikatakan bahwa kelebihan program Kementerian
Pertanian dalam pemberdayaan masyarakat perdesaan adalah sebagai berikut:
1. Partisipatif, melibatkan petani secara aktif, dan perencanaan bersifat bottom
up (P4MI, Prima Tani, MP3MI, FEATI);
2. Program terselenggara secara serentak (pemerataan pembangunan);
3. Peningkatan pertumbuhan ekonomi perdesaan;
4. Cakupan petani sasaran program relatif lebih banyak, skala nasional untuk
program sentralistik (SL-PTT, PUAP);
5. Adanya upaya melakukan koordinasi lintas sektoral (misal PUAP: koordinasi
dinas koperasi, dinas perindustrian, dinas perdagangan dan dinas Pertanian);
76
Tabel 4.8. Kelebihan dan Kelemahan Program Pemberdayaan yang Diimplementasikan
Kementerian Pertanian
No. Program Kelebihan Kelemahan
1. Prima Tani Identifikasi masalah dilakukan dengan baik, pemberdayaan
penyuluh, dukungan pengawalan yang intensif dari peneliti, kuatnya dukungan pemerintah daerah,
inovasi teknologi Badan Litbang telah dikenal dan beberapa komponen teknologi telah diadpsi petani
Penentuan tujuan kegiatan tidak konsisten, belum sepenuhnya
dilakukan secara partisipatif, kelompok sasaran dan aparat pendukung tidak siap,
pendekatan berorientasi proyek, introduksi teknologi bersifat umum, rendahnya komitmen
2. LM3 Penguatan modal usaha, media
pembelajaran santri, peningkatan perekonomian masyarakat sekitar pontren dan menciptakan lapangan
pekerjaan
Tidak ada blue print (konsep
dan operasional LM3), ego sektoral, dana bantuan terlalu kecil, dan kapasitas SDM
(alumni dan santri) masih kurang dalam aspek manajerial
3. P4MI Pendekatan partisipatif, perencanaan dari bawah (bottom-up planning), memberikan peluang bagi petani dalam mengidentifikasi masalah dan pemecahannya, merencanakan,
melaksanakan, memanfaatkan dan memelihara hasil kegiatan guna meningkatkan pendapatan. modal
sosial masyarakat tinggi, dana swadaya tinggi, dukungan Pemda tinggi
Daya jangkau ke lokasi sulit (daerah terisolir), mobilisasi
masyarakat sulit (masyarakat terpencar). Program tidak dikembangkan ke wilayah lain,
karena komitmen pengambil kebijakan kurang mendukung
4. PUAP Berfungsinya gapoktan sebagai
lembaga ekonomi petani (lembaga keuangan mikro), sumber pembiayaan usaha kecil
Kapasitas pengelola gapoktan
antar wilayah relatif beragam, tidak ada sanksi tertulis terhadap kemacetan perguliran
dana, terdapat pemilihan gapoktan yang tidak tepat sasaran
5. P3TIP/FEATI Metode FMA yang partisipatif,
demokratis, transparan, akuntabilitas dan sensitif jender memunculkan sifat kewirausahaan
dan kebersamaan petani serta membuka peluang usaha dan aksesibilitas yang lebih luas untuk
informasi, teknologi dan pemasaran, pendanaan kegiatan yang mendukung terjalinnya kerjasama
peneliti dan penyuluh, revitalisasi kegiatan penyuluhan, dan pemberdayaan petani untuk
melakukan penyuluhan
Mekanisme keterkaitan antar
lembaga penyelenggara (BPSDMP, BBP2TP dan Pusdatin) tidak jelas, koordinasi di tingkat
daerah masih lemah (BPTP, Bakorluh, Bapeluh), pendekatan berorientasi proyek,
rendahnya komitmen
6 Demapan Terbentuknya Lembaga Keuangan Desa (LKD) sebagai sumber pembiayaan usaha kecil.
Berperannya kelompok dalam penentuan anggaran melalui pengambilan keputusan bersama
seluruh anggota kelompok
Program bersifat sporadis dan parsial, petugas pendampingan program kurang optimal,
terdapat kelompok yang tidak tepat sasaran
77
Tabel 4.8. Lanjutan
No. Program Kelebihan Kelemahan
7. SL-PTT Terdapat pendampingan rutin oleh penyuluh sehingga petani mudah memahami masalah di lapangan dan
menetapkan teknologinya
Bantuan benih dan pupuk (BLBU dan BLP) dikendalikan secara sentralistik melalui BUMN yang
ditunjuk oleh pemerintah pusat. Kurangnya koordinasi antara dinas pertanian dengan
penyuluh.
8. m-P3MI m-P3MI dapat dijadikan embrio dari model pembangunan pertanian bio-industri ke depan
Pendanaan tidak terencana secara kontinyu untuk beberapa tahun
6. Terbuka peluang usaha di luar sektor pertanian bagi petani;
7. Ketersediaan modal usaha bagi petani dan masyarakat perdesaan;
8. Aksesibilitas petani terhadap informasi pasar dan teknologi.
Kelemahan program Kementerian Pertanian dalam pemberdayaan
masyarakat perdesaan:
1. Perencanaan bersifat top down dan sentralistik (LM3, SL-PTT, PUAP,
Demapan);
2. Berorientasi keproyekan, tidak memperhatikan kebutuhan dan keberpihakan
kepada petani/masyarakat perdesaan
3. Program tidak bersifat spesifik lokasi
4. Lemahnya koordinasi, baik antara pusat dan daerah maupun antara instansi
teknis di daerah;
5. Implementasi tidak sesuai dengan perencanaan;
6. Bantuan tidak tepat sasaran pada penerima manfaat;
7. Kurangnya pendampingan yang dilakukan oleh penyuluh (keterbatasan jumlah
penyuluh);
8. Kurangnya partisipasi masyarakat petani;
9. Kurangnya dukungan pemda setempat dalam hal alokasi dana dan
legislasi/kebijakan;
10. Program bersifat parsial dan tidak berkelanjutan;
11. Ketergantungan petani terhadap bantuan pemerintah.
78
V. KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN
5.1. Kesimpulan
5.1.1. Identifikasi Program Pemberdayaan yang Diimplementasikan Kementerian Pertanian
1. Dalam rangka pencapaian target pembangunan nasional, Pemerintah termasuk
di dalamnya Kementerian Pertanian telah menerbitkan kebijakan publik dan
mengimplementasikan berbagai program pembangunan pertanian baik lintas
subsektor maupun program subsektor, diantaranya program Prima Tani, LM3,
P4MI, PUAP, P3TIP/FEATI, Demapan, SL-PTT, dan m-P3MI, yang semuanya
bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan petani dan masyarakat pedesaan.
2. Program-program yang dibuat pemerintah dapat dibedakan berdasarkan skala
nasional (Prima Tani, LM3, PUAP, dan SL-PTT) dan regional (P4MI,
P3TIP/FEATI, Demapan, dan m-P3MI). Strategi implementasi program
disamaratakan, tidak memberlakukan wilayah unggulan, tetapi berorientasi pada
komoditas unggulan. Implementasi program-progam tidak dilaksanakan dengan
suatu metode yang memungkinkan evaluasi dampak program itu apakah
berhasil atau tidak.
3. Prima Tani telah mendorong percepatan diseminasi inovasi (teknologi dan
kelembagaan), peneliti bekerja sama dengan penyuluh dalam pendampingan/
pengawalan teknologi secara ketat. Namun fasilitasi difusi dan replikasi atau
perluasan Prima Tani yang diharapkan dapat dilakukan oleh instansi pemerintah
daerah tidak berjalan dengan baik.
4. LM3 telah dapat meningkatkan kapasitas lembaga dalam pemberdayaan santri
dan masyarakat sekitar: (1) pondok pesantren/pontren dapat mengoptimalkan
lahan pertanian yang dimiliki, (2) memungkinkan pontren mengembangkan
skala usaha; (3) pengembangan diversifikasi usaha pontren, (4) membuka
kesempatan kerja bagi para santri/alumni maupun masyarakat di sekitar, (5)
mengoptimalkan peran pontren sebagai lembaga pendidikan dan penjaga
moralitas bangsa, (6) membantu kehidupan sosial ekonomi santri/alumni/
masyarakat. Namun demikian dana LM3 kurang dapat dimanfaatkan secara
79
berkelanjutan. Tindak lanjut program pada tahun berikutnya kurang mendapat
perhatian.
5. P4MI dilaksanakan dengan pendekatan partisipatif dan perencanaan dari bawah
(bottom-up planning), melalui proses pemberdayaan dan pengembangan
kapasitas petani untuk mengembangkan kemandirian petani melalui perubahan
pola pikir dan wawasan. Proses ini terbukti mampu mengembangkan karsa dan
karya masyarakat dalam memenuhi kebutuhan. Hal ini terlihat dari keberhasilan
pelaksanaan kegiatan investasi desa untuk yang dibutuhkan untuk
mengembangkan usaha pertaniannya. Modal sosial terlihat menguat pada
masyarakat yang mendapatkan program P4MI.
6. PUAP telah dapat memfasilitasi bantuan modal usaha berupa bantuan langsung
masyarakat (BLM) ke kelompok tani/gapoktan yang diperuntukkan usaha
ekonomi produktif sesuai potensi ekonomi di perdesaan melalui rencana usaha
anggota (RUA) yang dirangkum dalam rencana usaha kelompok/RUK. Hal
tersebut dimaksudkan untuk mengurangi kemiskinan dan pengangguran,
meningkatkan kemampuan pelaku usaha agribisnis, memberdayakan dan
memfungsikan kelembagaan petani.
7. P3TIP/FEATI telah dapat memunculkan inisiatif dari petani untuk
mengembangkan komoditas unggulan bernilai ekonomi tinggi yang diusahakan
dengan menerapkan prinsip agribisnis. Pembelajaran agribisnis melalui FMA juga
telah meningkatkan kapasitas kelembagaan petani yang sangat potensial untuk
dikembangkan sebagai kelembagaan ekonomi petani yang mandiri di pedesaan.
Kelembagaan usahatani telah membangun kemitraan yang dijalin dengan pelaku
usaha lainnya, hingga akhir pelaksanaan program tahun 2013 telah terjalin
kemitraan tertulis dengan 1.039 perusahaan, 1.731 koperasi dan 491 toko.
8. Demapan, program yang difokuskan pada aksi desa mandiri pangan untuk
mengurangi tingginya angka kemiskinan, mengurangi rawan pangan dan gizi
melalui pendayagunaan sumber daya kelembagaan dan kearifan lokal
perdesaan, sehingga masyarakat dapat menjalani hidup sehat dan produktif dari
waktu ke waktu. Program secara langsung melibatkan partisipasi masyarakat
desa dan aparat desa melalui peningkatan ketersediaan pangan dengan
memaksimalkan sumber daya yang dimiliki secara berkelanjutan, meningkatkan
80
distribusi dan akses pangan masyarakat, meningkatkan mutu dan keamanan
pangan di desa, meningkatkan kualitas konsumsi pangan masyarakat, dan
meningkatkan kualitas penanganan masalah pangan.
9. SL-PTT padi dilihat dari filosofi tetesan minyak ternyata tidak berproses seperti
yang diharapkan. Program SL-PTT dengan pendekatan penyuluhan seperti
Laboratorium Lapang (LL) dan Sekolah Lapang (SL) belum efektif meningkatkan
adopsi maupun difusi teknologi untuk peningkatan produktivitas padi. Hal ini
disebabkan kinerja program SL-PTT belum berjalan secara optimal, sehingga
dampaknya terhadap peningkatan produksi padi nasional tidak tercapai secara
memuaskan.
10. m-P3MI dapat dikatakan sebagai inovasi teknologi yang diujicobakan dalam unit
percontohan merupakan teknologi matang dan siap digunakan pada skala
pengembangan, serta mempunyai potensi dampak terhadap penggunaan
sumber daya yang lebih optimal untuk meningkatkan pendapatan petani.
Teknologi yang diintroduksikan memiliki dampak signifikan terhadap mata
pencaharian keluarga petani dan masyarakat sekitarnya, melalui profitabilitas
usaha, mengurangi risiko dan meningkatkan daya saing rantai pasok.
5.1.2. Kelebihan dan Kelemahan Program Pemberdayaan
Secara keseluruhan dapat dikatakan bahwa kelebihan program Kementerian
Pertanian dalam pemberdayaan masyarakat perdesaan adalah sebagai berikut: (1)
partisipatif, melibatkan petani secara aktif, dan perencanaan bersifat bottom up
(P4MI, Prima Tani, MP3MI, FEATI); (2) Program terselenggara secara serentak
(pemerataan pembangunan); (3) Peningkatan pertumbuhan ekonomi perdesaan; (4)
Cakupan petani sasaran program relatif lebih banyak, skala nasional untuk program
sentralistik (SL-PTT, PUAP); (5) Adanya upaya melakukan koordinasi lintas sektoral
(misal PUAP: koordinasi dinas koperasi, dinas perindustrian, dinas perdagangan dan
dinas Pertanian); (6) Terbuka peluang usaha di luar sektor pertanian bagi petani; (7)
Ketersediaan modal usaha bagi petani dan masyarakat perdesaan; dan (8)
Terbukanya aksesibilitas petani terhadap informasi pasar dan teknologi.
81
Kelemahan program Kementerian Pertanian dalam pemberdayaan masyarakat
perdesaan: (1) Perencanaan bersifat top down dan sentralistik (LM3, SL-PTT, PUAP,
Demapan); (2) Berorientasi keproyekan, tidak memperhatikan kebutuhan dan
keberpihakan kepada petani/masyarakat perdesaan; (3) Program tidak bersifat
spesifik lokasi; (4) Lemahnya koordinasi, baik antara pusat dan daerah maupun
antara instansi teknis di daerah; (5) Implementasi tidak sesuai dengan perencanaan;
(6) Bantuan tidak tepat sasaran pada penerima manfaat; (7) Kurangnya
pendampingan yang dilakukan oleh penyuluh (keterbatasan jumlah penyuluh); (8)
Kurangnya partisipasi masyarakat petani; (9) Kurangnya dukungan pemda setempat
dalam hal alokasi dana dan legislasi/kebijakan; (10) Program bersifat parsial dan
tidak berkelanjutan; dan (11) Ketergantungan petani terhadap bantuan pemerintah.
5.2. Implikasi Kebijakan
Program pemberdayaan masyarakat pedesaan ke depan hendaknya
berorientasi pada kebutuhan masyarakat (needs assessment), melibatkan partisipasi
aktif masyarakat dan pemerintah daerah setempat, sehingga dapat diharapkan
keberlanjutan program tersebut. Keterpaduan program perlu dirancang dengan baik
yang melibatkan dinas teknis/instansi sektoral di daerah, untuk mengurangi ego
sektoral sehingga diharapkan program berjalan efektif dan produktif, dengan
mengurangi ketergantungan masyarakat terhadap bantuan sosial dari pemerintah.
Lembaga penggagas program dan lembaga pelaksana program perlu didukung
dengan regulasi yang jelas dan operasional, sehingga program diharapkan dapat
berjalan dinamis. Tentunya juga didukung dengan aktualisasi informasi dan inovasi
(kelembagaan dan teknologi), maupun bentuk-bentuk komunikasi yang interaktif
dan konvergen antar pihak terkait. Selain itu, diperlukan pendampingan/
pengawalan program pemberdayaan oleh penyuluh, dengan memanfaatkan
penyuluh swadaya yang berasal dari petani sebagai langkah alternatif mengatasi
kekurangan tenaga penyuluh pemerintah (PNS).
82
DAFTAR PUSTAKA
Adnyana, M. O. dan K. Kariyasa. 1998. Rice-based Farming System (SUTPA) Development Approach Alternative of Food Crops in Irrigation Flooded Land.
Pusat Perpustakaan dan Penyebaran Teknologi Pertanian. Bogor.
Alihamsyah, T., D. S. Damardjati, U. S. Nugraha, R. Hendayana, E. Jamal, I N.
Widiarta, Sunihardi, dan U. G. Kartasasmita. 2011. Evaluasi Program dan Kegiatan Sekolah Lapang Pengelolaan Tanaman Terpadu. Laporan Akhir. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Jakarta.
Alihamsyah, T., Ridwan Thahir, Idha Widi Arsanti, Seta R. Agustina, Sumarno, A.M. Fagi, Agus Muharam, Yono C.R., Rudy S. Rivai, Agung Hendiaadi, Bambang
Drajat dan Wahyunto, 2009. Evaluasi dan Pengembangan Prima Tani. Laporan. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Departemen Pertanian. Jakarta.
Ashari. F 2010. Hubungan Dinamika Kelompok dengan Tingkat Partisipasi Petani dalam Kelompok Tani pada Program Pengembangan Usaha Agribisnis
Perdesaan (PUAP) di Kecamatan Nguter Kabupaten Sukoharjo. Fakultas Pertanian. Universitas Sebelas Maret. Surakarta.
Bachrein, S. 2010. Pendekatan Desa Membangun di Jawa Barat: Strategi dan Kebijakan Pembangunan Perdesaan 8(2): 133-149.
Badan Ketahanan Pangan Republik Indonesia. 2011. Pedoman Teknis Program Aksi Desa Mandiri Pangan. Badan Ketahanan Pangan Kementerian Pertanian RI. 2011. Jakarta.
Badan Ketahanan Pangan. 2012. Laporan Evaluasi Dampak Desa Mandiri Pangan Tahun 2012. Badan Ketahanan Pangan kerjasama dengan Pusat Sosial
Ekonomi dan Kebijakan Pertanian. Jakarta.
Badan Litbang Pertanian. 2007. Pedoman Umum Pengelolaan Tanaman Terpadu (PTT) Padi Sawah. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Jakarta.
Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, 2006. Konsep Dasar Program Rintisan dan Akselerasi Pemasyarakatan Inovasi Teknologi Pertanian (Prima
Tani). Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Jakarta.
Chairunas, A. Yusuf, Azman B, Burlis Han, S. Hamidi, Assuan, Yufniati Z.A.,
Mukhlisuddin, Basri A.B., Tamrin. 2000. Teknologi Budidaya Padi Sistem Tanam Benih Langsung (Tabela) di Lahan Sawah Irigasi Propinsi Daerah Istimewa Aceh. Laporan Hasil Pengkajian LPTP Banda Aceh.
Choiriyah, N. 2011. PNPM Mandiri Sebagai Upaya Untuk Meningkatkan Kesejahteraan Bagi Masyarakat Pedesaan. Yogyakarta.
Darwis, V. dan I W. Rusastra. 2011. Optimalisasi Pemberdayaan Masyarakat Desa melalui Sinergi Program PUAP dengan Desa Mandiri Pangan. Analisis Kebijakan Pertanian 9(2): 125-142.
83
Darwis. V. 2009. Gerakan Kemandirian Pangan melalui Program Desa Mandiri Pangan: Analasis Kinerja dan Kendala. Analisis Kebijakan Pertanian 10(2):
159-179.
Departemen Pertanian. 2007. Pengembangan Usaha Agribisnis Lembaga Mandiri
yang Mengakar di Masyarakat (LM3). www.deptan.go.id.
Departemen Pertanian. 2008. Pedoman Umum Pemberdayaan dan Pengembangan
Usaha Agribisnis Lembaga Mandiri yang Mengakar di Masyarakat (LM3). Departemen Pertanian, Jakarta.
Direktorat Jenderal Tanaman Pangan. 2008. Strategi dan Upaya Pencapaian
Produksi Tahun 2008. Pedoman Umum Peningkatan Produksi dan Produktivitas Padi, Jagung dan Kedelai. Jakarta.
Direktorat Jenderal Tanaman Pangan. 2009. Pedoman Pelaksanaan Sekolah Lapang Pengelolaan Tanaman Terpadu (SLPTT) Padi, Jagung dan Kedelai. Direktorat Jenderal Tanaman Pangan. Kementerian Pertanian. Jakarta.
Direktorat Jenderal Tanaman Pangan. 2012. Pedoman Teknis Sekolah Lapangan Pengelolaan Tanaman Terpadu Padi dan Jagung. Direktorat Jenderal
Tanaman Pangan. Kementerian Pertanian. Jakarta.
Direktorat Pemberdayaan Masyarakat dan Desa. 2014. Petunjuk Teknis PNPM
Mandiri Pedesaan. Direktorat Pemberdayaan Masyarakat dan Desa. Kementerian Dalam Negeri. Jakarta.
Dradjat, B., A. Syam, dan D. Harnowo. 2009. Implementasi Prima Tani dan Implikasi
Keberlanjutannya. Jurnal Analisis Kebijakan Pertanian 7(4): 297-318.
Hendayana, R. 2011. Dari Prima Tani ke Program Strategis Pembangunan Pertanian
Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian. Bogor.
Hendayana, R. 2011. Penguatan Modal Petani pada Gabungan Kelompok Tani
Penerima BLM PUAP. dalam K.Subagyono, R. Hendayana, S. Bustaman (Penyunting). Petani Butuh Modal. Badan Litbang Pertanian. Jakarta.
Hermanto. 2007. Rancangan kelembagaan Tani dalam Implementasi Prima Tani di
Sumatera Selatan. Jurnal Analisis Kebijakan Pertanian 5(2): 110-125.
Jamal, E. 2009. Telaahan Penggunaan Pendekatan Sekolah Lapang dalam
Pengeloaan Tanaman Terpadu (PTT Padi): Kasus di Kabupaten Blitar dan Kediri, Jawa Timur. Analisis Kebijakan Pertanian 7 (4): 337-349.
Mayrowani, H. 2012. Pembangunan Pertanian pada Era Otonomi Daerah: Kebijakan dan Implementasi. Forum Penelitian Agro Ekonomi 30(1): 31-47.
Nainggolan, K. 2006. Kebijakan Ketahanan Pangan. Badan Ketahanan Pangan,
Departemen Pertanian. Jakarta.
Pasaribu, S., B. Sayaka, WK. Sejati, A. Setiyanto, J. Hestina dan J. Situmorang.
2007. Analisis Kebijakan Pembiayaan Sektor Pertanian. Laporan Hasil Penelitian. Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Bogor.
84
Pasaribu, S., J.F. Sinuraya, N.K. Agustin, E. Jamal, Saptana, S. Wahyuni, Y. Supriyatna, J. Hestina, Supadi, Y. Marisa, B. Prasetyo, Sugiarto, M. Iqbal.
2011. Penentuan Desa Calon Lokasi PUAP 2011 dan Evaluasi Pengembangan Usaha Agribisnis Perdesaan. Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian.
Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Kementerian Pertanian. Bogor.
Pusat Penyuluhan Pertanian. 2013. Pelaksanaan dan Hasil Program Pemberdayaan Petani melalui Teknologi dan Informasi Pertanian (P3TIP/ FEATI). Pusat Penyuluhan Pertanian. Jakarta.
Rachman, B., I W. Rusastra, Sunarsih, B. Prasetyo, V. Darwis, H. Tarigan, A. Askin, M.H. Sawit, E. Basuno, dan E.M. Lokollo. 2010. Evaluasi Dampak Program
Penanggulangan Kemiskinan di Sektor Pertanian di Tingkat Rumahtangga dan Wilayah Perdesaan. Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian. Bogor.
Rachman, B., I W. Rusastra, Y. Yusdja, A. R. Nurmanaf, Ashari, H. Tarigan, E. Ariningsih dan Sunarsih. 2009. Kinerja dan Dampak Program Strategis
Departemen Pertanian. Laporan Akhir Hasil Penelitian. Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian. Badan Penelitian dan Pengembangan
Pertanian. Bogor.
Rusastra, I W., W. Sudana, Sumarno, Z. Zaini, K. Kariyasa, Baehaki, dan Sarlan. 2011. Evaluasi Kebijakan dan Politik Anggaran SL-PTT Tanaman Pangan.
Puslitbang Tanaman Pangan, Badan Litbang Pertanian. Bogor.
Rusastra. I W., Supriyati, W. K. Sejati dan Saptana 2008, Model Pemberdayaan
Masyarakat Miskin Pedesaan : Analisis Program Ketahanan Pangan dan Desa Mandiri Pangan. Laporan Hasil Penelitian. Badan Ketahanan Pangan.
Departemen Pertanian. Jakarta.
Sarwani, M., E. Jamal, K. Subagyono, E. Sirnawati, dan V.W. Hanifah. 2011. Diseminasi di BPTP: Pemikiran Inovatif Transfer Teknologi Spesifik Lokasi.
Analisis Kebijakan Pertanian 9(1): 73-89.
Wariyanto, A. 2008. Membangun Desa Mandiri Pangan. Kompas, 26 Agustus 2008.
Jakarta.
Widyanta, A. 2013. Hasil Penelitian Evaluasi Efektivitas Program Pengentasan
Kemiskinan - PNPM Mandiri Pedesaan di Indonesia. Press Release Academia. Yogyakarta. 2015.
Yusdja Y, R. Sajuti, H. Mayrowani, Ashari, B. Winarso, dan Waluyo. 2007. Kaji
Ulang Program Pembangunan Pertanian. Laporan Akhir. Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian. Bogor.
Yusdja, Y., S. Friyatno, N. Ilham, Syahyuti, S. H. Suhartini., Y. Supriyatna, dan Kh. N. Noekman. 1999. Monitoring dan Evaluasi Bantuan Pemerintah dalam Rangka Pemberdayaan Ekonomi Rakyat. Buku I. Pusat Analisis Sosial Ekonomi
Pertanian, Bogor.