Download - ANALISIS FENOMENOLOGI PADA PASIEN YANG MENJALANI TERAPI HEMODIALISA DI PERUMAHAN MARGAASIH
1
PENELITIAN
ANALISIS FENOMENOLOGI PADA PASIEN YANG MENJALANI TERAPI HEMODIALISA DI PERUMAHAN MARGAASIH
*Emy Salmiyah
Abstrak:
Menjadi sakit dan menjalani program pengobatan merupakan pengalaman hidup yang terkait Dengan perubahan fisik, emosi dan social. Banyaknya perubahan yang terjadi dalam klien gagal ginjal yang menjalani terapi hemodialisa dapat menjadi stressor munculnya gangguan psikologis, seperti kehawatiran terhadap perkawinan, ketakutan akan kematian, kegiatan social, spiritual, waktu untuk bekerja dan interaksi soaial menjadi kurang. Tujuan penelitian untuk mendapatkan gambaran dkriptif mengenai terapi hemodialisa pada penderita gagal ginjal kronik. Metode penelitian ini menggunakan kualitatif dengan pendekatan study fenomenologi, partisipan dalam penelitian ini berjumlah 5 orang, Hasil penelitian didapatkan adanya enam tema yaitu: 1)perasaan marah,2) ingin selalu diperhatikan, 3) merasa takut akan kematian, 4) pasrah dan mengembalikan semua pada Tuhan YME,5) merasa hilang kemerdekaannya, 6) keluarga sebagai pendorong semangat hidup.Kesimpilan dari penelitian ini adalah partisipan mempunyai pengalaman ketika menjalani terapi hemodialisa pada penderita gagal ginjal kronik yang tertuang dalam pernyataan kelima partisipan masing-masing diungkapkan secara unik dan berbeda-beda yakni marah dan kecewa menghadapi sakitnya, ingin selalu diperhatikan, merasa takut akan kematian, pasrah dan mengembalikan semua pada Tuhan, merasa hilang kemerdekaannya dan keluarga sebagai pendorong semangat hidup Kata Kunci:Kualitatif,Pemgalaman klien, Terapi Hemodialisa, Gagal ginjal kronik.
PENDAHULUAN
Jumlah penderita ginjal di Indonesia akhir-
akhir ini cenderung meningkat, kasus ini
terjadi akibat perubahan pola hidup (Irianti,
2004). Di Indonesia diperkirakan setiap satu
juta penduduk, 20 orang mengalami gagal
ginjal/tahun. Saat ini jumlah penderita gagal
ginjal di Indonesia diperkirakan mencapai
sekitar 4500 orang. Dari jumlah tersebut
sekitar 500-600 orang berada di Jawa
Barat. Penyakit gagal ginjal kronik
memerlukan terapi hemodialisa 2-3 kali
seminggu sepanjang hayatnya
(Dani,2006)http:www.kompas.com,
diperoleh tanggal 24 oktober 2009)
Menjadi sakit dan menjalani program
pengobatan merupakan pengalaman hidup
yang terkait dengan perubahan fisik, emosi,
dan social. Pengalaman menjalani program
pengobatan dapat menimbulkan kesan
positif atau negative bagi individu,
dipengaruhi oleh persepsi individu itu
sendiri terhadap kondisinya dan pemberian
pelayanan akan mengakibatkan berbagai
perasaan dan reaksi stress, termasuk
frustrasi, kemarahan, penyangkalan, rasa
malu, berduka dan ketidakpastian ( Brunner
& Suddarth,2002)
Perubahan pada system dan fungsi tubuh
yang terjadi pada klien menjalani terapi
1
2
hemodialisa akibat dari gagal ginjal kronik
akan menyebabkan perubahan pada
penampilan, peran, mobilisasi fisik dan
pekerjaan sehari-hari. Perubahan-
perubahan tersebut akan mempengaruhi
kehidupan klien dalam menjalankan
program terapi dan kehidupannya. Perilaku
klien yang muncul ini berkaitan dengan
persepsi klien terhadap sakitnya, dan bagi
para pemberi pelayanan kesehatan
memahami persepsi klien terhadap sakitnya
sangatlah penting (Notoatrmodyo, 2003).
Persepsi merupakan bagian pengalaman
individu yang dirasakan bermakna dan
meninggalkan kesan dalam hidup individu
(Crotty, 1996).
Berikut ini adalah data mengenai jumlah
klien yang menjalani terapi hemodialisa dari
tahun 2009 di Complek Margaasih Indah
Tabel I Jumlah klien yang menjalani Hemodilasa di
Comp. Margaasih Indah Nanjung Cimahi
NO WILAYAH JUMLAH
KLIEN KET
1 RW 05 1
2 RW 06 1
3 RW07 1 Meninggal 26 Februari
2010
4 RW 08 0
5 RW 09 0
6 RW 10 0
7 RW 16 0
8 RW 17 1
9 RW 18 0
10 RW 19 1 Meninggal 8 Juli 2010
11 RW 20 0
12 RW 21 1 Meninggal 12 Oktober
2010
Dari hasil observasi yang diperoleh dari tiap
RW, tampak beberapa klien dalam kondisi
lemah, ketika ditanyakan kepada keluarga
keadaan klien dirumah sering tidak dapat
mengikuti saran, seperti: pengaturan
makan, minum dan aktivitas, juga klien yang
menolak untuk melaksanakan program
terapinya, keluarga juga ada yang
mengatakan klien dirumah sering marah-
marah, menangis, tidak mau bergaul,
adapula yang selalu bekerja padahal
kondisinya sedang sakit.
Berdasarkan hasil komunikasi intrapersonal
yang dilakukan di rumah klien pada tanggal
26 Januari Tahun 2010 dengan 2 orang
klien gagal ginjal kronik. Klien pertama
dengan Ny “M” mengatakan” awalnya saya
tidak percaya bahwa saya menderita
penyakit gagalginjal tapi setelah beberapa
kali menjalani pemeriksaan ternyata
hasilnya sama saja bahwa saya ini
menderita penyakit ginjal dan harus
melakukan cuci darah, saya sudah 2 tahun
menjalani terapi hemodialisa di Rumah sakit
Ginjal Habibie, tapi mau gimana lagi
mungkin ini sudah jadi nasib saya untuk
mengikuti cuci darah ini”.
Klien kedua Tn R mengatakan” Pertamanya
nganterin teman ke Puskesmas untuk
berobat, kebetulan diruang pemeriksaan
lagi sepi, jadi saya ikut diperiksa tapi waktu
diperiksa ternyata tensi saya 250/120mmhg,
lalu saya penasaran periksa ke Rumah
sakit..eh..ternyata sama saja hasilnya, lalu
3
kata Dokter disuruh di Rontgen dan
hasilnya ginjal saya yang sebelah
kanansudah rusak dan yang sebelah kiri
kecil dan disuruh cuci darah. Saya cuci
darah sudah 1 tahun, dan selama I tahun
itu saya sering diantar sama keluarga
terutama istri saya, karena kalau saya tidak
diantar saya mah suka lemas jika sudah
cuci darah.
Berdasarkan uraian diatas, maka
rumusan masalah dalam penelitian ini
adalah” Bagaimana pengalaman klien yang
menjalani terapi hemodialisa pada penderita
gagal ginjal kronik di Perumahan
Margaasih?
Penyakit gagal ginjal merupakan
penyakit yang dapat mengancam
kehidupan, sehingga dapat menimbulakan
perubahan emosi dan perilaku yang lebih
luas, seperti ansietas, syok, penolakan,
marah dan menarik diri (Potter &
Perry,2005), perasaan marah dirasakan
partisipan setelah mengetahui sakit gagal
ginjal kronik dan harus menjalani terapi
hemodialisa secara berulang, partisipan
marah karena merasa kehilangan perannya,
perasaan kecewa seringkali dikeluhkan oleh
partisipan, partisipan tidak bisa menerima
kondisi tubuhnya.
METODE PENELITIAN
Desain penelitian yang digunakan
adalah penelitian kualitatif dengan
pendekatan fenomenologi.
Penelitian kualitatif adalah untuk menggali
pengalaman hidup manusia dan
menemukan arti pengalaman bagi individu
tersebut (Brockopp dkk, 2000).
Gambar 1 Kerangka Konsep
Pengalaman klien yang menjalani terapi hemodialisa pada penderita gagal ginjal kronik Teridentifikasikannya
Keadaan Fisiologis,
Psikologis,
Sosial dan
Spiritual klien yang menjalani terapi hemodialisa
1. Fisiologi: Kelemahan, mual, muntah, keterbatasan mobilisasi.
2. Psikologis:Frustrasi, kemarahan,penyangkalan, rasa malu, berduka dan ketidakpastian
3. Sosial:Ketergantungan dengan orang lain, keterbatasan interaksi dengan orang lain
4. Spiritual: Kedekatan dengan Tuhan YME, ketakutan akan kematian.
Variabel Penelitian
1. Pengalaman Klien
2. Terapi Hemodialisa
3. Gagal Ginjal Kronik
Definisi Operasiona
Tabel.2 Definisi Operasional
Variabel Definisi Operasional
Hasil Ukur
Alat Ukur
Skala Ukur
1.Peng alaman Klien
Segala bentuk emosi,perasaan persepsi tindakan dan kejadian yang dialami dan dirasakan oleh klien.
Tema 1,2,3,4,5,6
Wawancara
Kata Kunci Kode
2. Terapi Hemodialisa
Pengobatan yang dilakukan pada klien dengan mengalirkan darah melalui mesin.
Tema 1,2,3,4,5,6
Wawancara
Kata Kunci Kode
Gagal Ginjal Kronik
Merupakan penyakit sistemik dari traktus urinarius yang diderita oleh klien
Tema 1,2,3,4,5,6
Wawancara
Kata Kunci Kode
3
4
Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh
klien yang mengalami terapi hemodialisa
tahun 2009 di beberapa RW Complek
Margaasih Nanjung Cimahi yaitu sebanyak
5 orang. Sampel yang digunakan pada
penelitian ini adalah Total Sampling yakni
seluruh klien yang mengalami terapi
hemodialisa yaitu sebanyak 5 orang.
Pengumpulan data yang digunakan adalah
wawancara mendalam (Indepth interview)
dengan partisipan. Selama wawancara
berlangsung peneliti menggunakan alat
perekam HP yang sebelumnya klien
menyetujui penggunaan alat bantu tersebut
yang tertulis dalam informed concent, yang
kemudian membuat transkrip dari HP
bersama partisipan, selain itu penelitipun
membuat catatan lapangan untuk
melengkapi informasi atau data yang
diperlukan. Proses pengumpulan data pada
penelitian ini diperoleh dengan
mengumpulkan seluruh data dari hasil
wawancara mendalam yang kemudian data
dikumpulkan, ditranskrip dan dibuat kode
data , kemudian data-data diidentifikasi
analisis yang digunakan menurut Colaizzi
(1978) dalam Carpenter (1999) adalah
sebagai berikut:
Skema 2 Tehnik Analisa Data “COLLAIZI”
Sumber: Streubert dan Carpenter, (1999) di
modifikasi
Adapun yang menjadi kreteria dalam
penelitian ini adalah:
a. Klien gagal ginjal kronik yang menjalani
terapi hemodialisa.
b. Klien termasuk kedalam usia dewasa
c. Kesadaran klien compos
mentis/Keadaan umum baik
d. Klien dapat berkomunikasi dengan baik.
e. Bersedia menjadi partisipan
f. Etika Penelitian
Menurut Polit & Hunglelr (1997) peneliti
berusaha menjaga hak-hak partisipan
terlebih dahulu dengan melakukan Informed
Mendengarkan partisipan dengan menggunakan HP
yang kemudian dibuat transkrip
Mengumpulkan semua transkrip Membaca secara keseluruhan transkrip dari semua partisipan
Menentukan materi pertanyaan
yang signifikan
Menggarisbawahi pernyataan yang
signifikan
Menentukan kata kunci
Mencari keterkaitan antara
katagori satu dengan yang
lainnya
Membuat tema
5
Concent. Tempat: Penelitian dilaksanakan
di
Complek Margaasih Indah Nanjung cimahi
dan waktu : Dilakukan mulai bulan Januari
2010 sampai bulan Maret 2011
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Pada bab ini menjelaskan tentang
bagaimana pengalaman pertisipan yang
menjalani terapi hemodialisa pada penderita
gagal ginjal kronik. Hasil penelitian
menghasilkan 6 tema utama yang
memberikan suatu gambaran atau
fenomena berbagai pengalaman partisipan
yang menjalani terapi hemodialisa. Bab ini
akan menjelaskan tentang gambaran
karakteristik partisipan dan membahas
tentang analisa pengalaman partisipan yang
menjalani terapi hemodialisa pada penderita
gagal ginjal kronik
Tabel 3 Rekapitulasi Karakteristik Partisipan
Partisipan
Usia Agama Suku Pendidikan
Lama Hemodialisa
Tempat Hemodi
alisa
1 40 Tahun
Islam Jawa SMU 3 Tahun
RS Ginjal Habibi
2 50 Tahun
Islam Jawa SI 2 Tahun
Rs Ginjal Habibi
3 53 Tahun
Islam Sunda STM 12 Tahun
RS Ginjal Habibi
4 48 Tahun
Islam Sunda SMA 2 Tahun
RS Dustira
5 60 Tahun
Islam Sunda SMA 4 Tahun
RS Dustira
Hasil Penelitian
Berdasarkan hasil penelitian yang disajikan
dalam bentuk analisis tematik yang
menggambarkan pengalaman partisipan
yang menjalani terapi hemodoalisa
partisipan dapat diidentifikasi enam tema
yang muncul.Tema tersebut yaitu:
1. Perasaan Marah.
a. Marah
Partisipan 1“... Awalnya kaget karena
saya kan sehat tiba-tiba jadi begini,,,,,
yg jadi heran itu nggak ketahuan dari
awal oenyakitnya,..... Empat bulan
pertama saya semapat down,
merenung waktu itu saya mikir nggak
mau ketemu orang orang lama, jadi
ingat lagi enggak mau saya, ... hal-hal
kecil saya bisa marah besar, kita tuh
jadi sensitif, emosi yang gede, kadang
lagi diam tiba-tiba pengen marah,
mungkin takut ya dengan kondisi
sekarang”.
Partisipan 3“.. Waktu awal-awal nggak
bisa terima, seolah olah tuhan nggak
adil. ... Perubahan yang terjadi karena
penyakit dan takdir yang harus
dijalani, dulu sempat berontak enggak
bisa terima keadaa, dan tak mau
mengikuti pengaturan makan, bahkan
menolak untuk dicuci, .. Kadang
kadang saya juga enggak bisa disiplin
dalam pengaturan makan dan minum,
apalagi seperti kemarin musim
halodo, orang lain bisa minum
banayak, kenapa saya nggak””.
b. Kecewa Menghadapi sakitnya
Partisipan 1“...Tiap 2 kali seminggu
harus melakukan cuci darah
5
6
memang merepotkan, banyak orang
kalau bisa sebelumnya harus ada
penjelasan dulu, karena mungkin
banyak orang yang gak nerima:
Partisipan 4“...Nah kalau sudah
begini saya menyesal, sakit hati,
saya kelabakan, kondisi fisik turun,
konsentrasi, kesadaran berpikir juga
menurun, mentalitaspsikologis
terganggu, karena mendengar
bahwa cuci darah itu begini-begini,
yang katanya serem-serem
menakutkan, jadi merasa terganggu,
saya sensitif karena pengetahuan
saya juga kurang”.
2. Ingin selalu diperhatikan
a. Ingin Diperhatikan: Partisipan
1“Saya kelayaban di rumah mondar
mandir kaya kuntilanak, jalan-jalan
tengah malam di rumah sendirian,
yang lain pada tidur, anak-anak dan
suami juga tidur, jengkel saya gak ada
yang perhatiin, hidup terasa
sendirian”.
Partisipan 4“Stress kalau kesitu mah,
saya suka nangis, ingin selalu
diperhatikan terutama oleh suami,
bahkan anak-anak juga ka ibu mah ....
memanjakan sekali”.
b. Ingin dilayani :Partisipan 3”Pokonya
orang itu gak boleh pada saya, ... tapi
kalau ada dirumah sakit saya tenang
dan merasa bisa ngobrol, ada yang
memberi perhatian pada saya,
dilayani dan dirawat:.
Partisipan 4“..Selama cuci darah saya
tidak bisa apa-apa jadi saya pengen
ada yang melayani supaya kalau saya
lapar tinggal bilang.
c. Merasa takut akan kematian
1. Takut akan kematian..
Partisipan 1“.... tapi kadang-kadang
kalau kondisi sakit ada keragu-
raguan, saya berpikir,...eu..mungkin
sekarang ini saya mati teh, ada
kebimbangan kapan saya dipanggil,
merasa dosa belum habis,... saya
sering menangis malam malam,
tidak bisa tidur, makan tidak bisa
kan manusia itu takut mati:.
Partisipan 4“.. saya juga takut kalau
mati sekarang-sekarang ini, kasihan
anak-anak belum pada dewasa,
mereka masih perlu saya, kan umur
rahasia Allah, tapi pada saya sudah
ada sareat/tanda_tandanya,
rasanya sudah mendekati kematian,
saya takut wktu itu tidak lama lagi”.
2. Dekat dengan kematian
Partisipan 2“...ya... secara kasarnya
mau mati gitu heh! Apalagi keadaan
saya seperti ini... kalau dipikirkan
rasanya saya ini sudah mendekati
kematian”.
Partisipan 3“... kalau ingat itu ya
kaya mau mati, enggak ada
7
harapan, sepertinya kematian itu
sudah dekat lah buat saya mah...
d. Pasrah dan mengembalikan semua
kepada tuhan
1. Pasrah
Partisipan1“... Ah saya mah jalani
aja, jadi menerima, karena kalau
ada perubahan seperti sesak ada
tanda-tandanya dulu: jadi sudah
tau”.
Partisipan 3”.“...ya.... sekarang aja
sudah biasa, mau apa lagi, ... saya
ingin jalani yang sekarang aja”.
2. Mengembalikan semua kepada
tuhan
Partisipan 5“Tapi tetapkan saya
sakit, sadar, oh... ini mungkin ujian,
yang mungkin ada hal baik dibalik
semua ini, kembalikan lagi pada
prinsip-prinsip hidup yang paling
baik dalam hidup saya, terus saya
kembalikan lagi semuanya pada
Allah”.
Partisipan 4“Sekarang mah saya
dah pasrah, memang banyak
sekarang perubahan seperti mata
sebelah sudah kurang melihat,
tapi nggak dipikirin,.... Saya
kembalikan lagi semuanya pada
allah, dan selalu berdoa”.
e. Merasa hilang kemerdekaannya
Hilang kebebasan
Partisipan 2“ Jadi saya enggak bisa
bebas lagi, banyak yang dibatasi,....
sekarang saya merasa kebebasan
saya hilang, jadi saya tidak bisa
bebas seperti dulu sebelum sakit....
saya merasa hidup saya dibawah
komando dengan aturan-aturan”
Partisipan 4“Orang lain bisa minum
banyak, kenapa saya enggak, sering
saya diingetin anak-anak, mamah-
mamah jangan minum air es terus
katanya jadi saya enggak bisa bebas
lagi, banyak yang dibatasi”
f. Merasa hilang kemerdekaannya
Hilang kebebasan
Partisipan 2
“ Jadi saya enggak bisa bebas lagi,
banyak yang dibatasi,.... sekarang
saya merasa kebebasan saya hilang,
jadi saya tidak bisa bebas seperti dulu
sebelum sakit.... saya merasa hidup
saya dibawah komando dengan
aturan-aturan”
Partisipan 4“Orang lain bisa minum
banyak, kenapa saya enggak, sering
saya diingetin anak-anak, mamah-
mamah jangan minum air es terus
katanya jadi saya enggak bisa bebas
lagi, banyak yang dibatasi”
7
8
g. Keluarga sebagaipendorong
semangat hidup
Dukungan keluarga
Partisipan 3 “ Saya bisa ada
semangat kalau ingat istri dan anak
Partisipan 4 “...tapi saya banyak
dibantu dan didukung keluarga dan
saudara-saudara ngasih motivasi
termasuk dari segi ekonomi,...saya
punya anggapan kalau saya enggak
menerima perubahan dan fisik lemah
siapa yang akan memberi nafkah
anak istri, memang saudara dan
orang tua membantu tapi kan
terbatas,...kalau lelah saya dibantu
istri, ya...istri saya menerima, sehari-
hari ngurusin saya, ngasih makan,
memandikan kalau saya lagi drop”.
Semangat hidup: Partisipan 1” Jika
sedang cuci darah saya mah suka
senang kaya ada semangat lagi kalau
ditungguin sama keluarga”
Partisipan 4“..Ada semangat terutama
kalau ingat anak-anak,...sekarang ada
semangat, suami juga bilang jangan
terlalu banyak pikiran, enggak tahu
besok lusa mah”
SIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian dan
pembahasan dapat disimpulkan bahwa
partisipan mempunyai pengalaman ketika
menjalani terapi hemodialisa pada penderita
gagal ginjal kronik. Pengalaman tersebut
tertuang dalam pernyataan kelima
partisipan yang masingi-masing
diungkapkan secara unik dan berbeda-
beda.
Tema yang muncul dari pernyataan-
pernyataan kelima partisipan tersebut
antara lain:Marah dan kecewa menghadapi
sakitnya, Ingin selalu diperhatikan, Merasa
takut akan kematian, Pasrah dan
mengembalikan semua kepada Tuhan,
Merasa hilang kemerdekaannya, dan
Kelurga sebagai pendorong semangat
hidup.
Sakit yang dirasakan partisipan tidak hanya
berdampak pada fisiknya saja tetapi
mempengaruhi kepada psikologis, sosial
dan spiritual.
SARAN
Berdasarkan kesimpulan diatas maka
disarankan hal-hal sebagai berikut:
1. Petugas yang memberikan pelayanan
kesehatan melalui kader posyandu
dapat bekerjasama dalam melakukan
perawatan pada pasien yang dilakukan
terapi hemodialisa serta dapat
memberikan dukungan psikologis ,sosial
dan spiritual karena dalam hal ini
peranan kader posyandu untuk
memberikan motivasi dalam menjalani
hidup sehingga klien merasa tenang
aman dan nyaman.
2. Dapat memahami dan memberikan
pelayanan kepada keluarga yang
9
mengalami terapi hemodialisa khususnya
dalam meberikan dukungan psikologis,
sosial dan spiritual.
3. Perlu penelitian lebih lanjut untukl/k
mengungkapkan hal-hal yang berkaitan
dengan dukungan psikologis, sosial,
spiritual yang paling tepat bagi klien yang
menjalani terapi hemodialisa pada
penderita gagal ginja kronis.
*Penulis merupakan staf pengajar
STIkes budi luhur
DAFTAR PUSTAKA
Akhir Yani s.Hamid.(2000), Aspek Spiritual dalam Keperawatan, Widya Medika, Jakarta.
Asri, dkk (2006), Hubungan Dukungan social Dengan Tingkat Depresi Pasien yang Mengalami Terapi Hemodialisa, Dalam majalah Jurnal ilmu keperawatan, Volume 1, Jogjakarta FK ,UGM.
Brockopp, Dorothy Young, (1999), Dasar-
dasar Riset Keperawatan, Edisi 2, Jakarta:EGC
Brunner & Suddarth, (2001), Buku Ajar Keperawatan Medah Bedah, Edisi 8, Volume 2, Jakarta, EGC.
Crootty, Michael (1996), Phenomenology and Nursing Resarch, Livingstone Australia, ChurChill.
Keliat, Budi Anna, (1999), Penatalaksanaan
Stress, EGC: Jakarta Nasution, S (2002), Metode Penelitian
Naturalistik Kualitatif, bandung: Tarsito.
Norwood, Susan Leslie, (2000), Research Strategies for advanced Practice Nurses, New Jersey,Prentice.
Moleong, (2007), Metodelogi Penelitian Kualitatif, Bandung, PT Remaja Rosdakarya.
Mulyana, D, (2004) Metodelogi Penelitian
Kualitatif, bandung: PT Remaja Rosdakarya.
Streubert, H. J and Carpenter, D.R (2003),
Qualitatif research in Nursing, Advancing the Humanistik Imperative (3rd) Lippicoth, Philadelpia
Soemaryono, E. (1999), Hermwnetik
Sebuah Metode Filsafat, Yogjakarta: Kanisius
9
10
PENELITIAN
MENINGKATKAN MOTIVASI BELAJAR MAHASISWA
DI PERGURUAN TINGGI
Oktoruddin Harun dan Aan Somana *)
Abstrak
Setiap tahun banyak lulusan perguruan tinggi yang di wisuda menjadi sarjana. Hal ini membuat
diri kita merasa bangga, bahwa dengan bertambahnya sarjana berarti akan bertambahnya
orang-orang pandai di negeri ini yang akan melanjutkan pembangunan bangsa menuju
masyarakat adil dan makmur. Namun di balik kebanggaan tersebut, kita juga merasa prihatin
karena banyak pula diantara mereka yang menjadi pengangguran, sulit mencari pekerjaan serta
sulit menciptakan lapangan kerja. Salah satu alasan yang dilontarkan dunia kerja adalah
kualitas lulusan yang rendah..Menurunnya kualitas hasil belajar perguruan tinggi salah satunya
disebabkan banyak para mahasiswa yang belajar hanya untuk lulus saja dan memperoleh
ijazah. Motivasi belajar “ untuk memperoleh ilmu “ dikalahkan oleh motivasi “ untuk memperoleh
ijazah “
Untuk itu diperlukan berbagai upaya untuk meningkatkan motivasi belajar mahasiswa di
perguruan tinggi.
Pendahuluan
Tingkah laku individu dipengaruhi oleh daya
dorong, yakni daya dorong positif dan daya
dorong negative. Daya dorong positif
berupa keinginan, hasrat dan kebutuhan.
Daya ini mendorong manusia untuk
bergerak mendekati objek atau kondisi yang
dinginkannya. Sedangkan yang kedua
adalah daya dorong negatif berupa berupa
rasa takut dan keengganan yang
mendorong manusia bergerak menjauhi
objek atau kondisi yang dicemaskan.
Kedua daya dorong ini memiliki banyak
perbedaan , seperti perbedaan emosi yang
menyertai awal tingkah laku. Jadi tujuan
adalah tindakan akhir seseorang yang
paling disukai dari suatu objek. Dengan
demikian keinginan dan tujuan saling
bergantungan. Tidak ada keingingan tanpa
tujuan atau sebaliknya tidak ada tujuan
tanpa keinginan.
Sebagaimana di kemukakan oleh Krech,
Cruchfield dan Ballachey (1963), dalam
bukunya Individual In Society bahwa : “
12
Wants and goals are inter-dependent- the
one does not exist without the other. It is
doubtful, for example, whether one can
really speak of a “ power-want”- as though
people experienced or were driven by
some sort of free floating, unattached drive
toward power. Ususlly the man to whom we
ascribe a power want is aware only that he
seeks such and such a goal “.
Dalam suatu konsep motivasi terdapat tiga
hal yang saling berhubungan, yaitu
dorongan , keinginan, dan kebutuhan.
MIsalnya adanya dorongan lapar karena
zat-zat yang dibutuhkan oleh tubuh
seseorang berkurang, kemudian adanya
keinginan yaitu makan dan adanya
kebutuhan yaitu makanan atau nasi. Dari
motivasi tersebut, muncullah perilaku atau
tindakan untuk mencapai suatu tujuan yaitu
bagaimana agar seseorang tidak merasa
lapar.
Gambaran tersebut diatas hanya
merupakan contoh sederhana saja dari
adanya hubungan antara mtivasi, tindakan
dan tujuan.
Bagi mahasiswa, hubungan tersebut dapat
berupa adanya motivasi belajar baik yang
berasal dari dalam diri ( Internal motivation )
maupun dari luar diri ( External Motivation )
akan menimbulkan suatu respon dalam
bentuk tingkah laku seperti : rajin belajar,
mengadakan penelitian, membaca buku
dan lain-lain untuk mencapai tujuan yaitu
penyelesaian studi tepat waktu.
Keingingan individu adalah menginterasikan
dan mengorganisasikan semua kegiatan
psikologis serta mengarahkan kegiatan atau
tindakannya dalam usaha mencapai tujuan.
Semua aktivitas, apa yang ia tanggapi,
pikirkan, rasakan, mengaktifkan kebiasaan
lama dan membentuk kebiasaan baru,
merupakan kegiatan-kegiatan yang
dipengaruhi oleh kebutuhan yang
mendorong individu untuk mencapai tujuan
yang ingin diraihnya.
1. Kebutuhan dan faktor-faktor yang
mempengaruhinya
Munculnya keinginan serta tujuan
seseorang sebagian diakibatkan oleh
organisasi fisiologisnyas. Keinginan akan
makanan dan air berhubungan langsung
dengan efek biokimia (akibat kekurangan
atau kehilangan biokimia tertentu dalam
tubuh). Keinginan seks muncul serta
berkembang karena produksinya kelenjar
hormongonadal. Jadi jelas, keadaan
biokimia dari tubuh seseorang
merupakan factor penting untuk
munculnya keinginan.
Muncul, bertahan atau berubahnya
keinginan juga dipengaruhi perilaku
psikologisnya, apa yang dipikirkannya,
apa yang dikhayalkannya dan juga
dipengaruhi oleh nilai-nilai hidup serta
kepercayaan yang dianutnya. Karena
11
13
hasil pengalamannya, manusia
memperoleh banyak kebutuhan.
Disamping pengalaman-pengalaman
yang diperolehnya dengan sengaja
seperti tujuan yang telah dicapainya,
juga manusia memperoleh pengalaman
yang tidak disengaja.
Seorang anak akan semakin giat belajar,
karena pengalaman memperoleh hadiah
atau sebaliknya karena memperoleh
hukuman.Seorang anak akan berubah
kebutuhannya jika akibat kebutuhan
yang lama ia memperoleh hukuman.
Selanjutnya pengalaman individu itu
menjadi lebih kompleks dan beraneka
ragam, sehingga kebutuhan lama bias
berubah dan muncul kebutuhann baru.
Tingkah laku para dermawan yang terus
menerus memberikann uangnya kepada
lembaga-lembaga umum seperti, mesjid,
gereja, universitas dan sebagainya, akan
berubah dan berkembang tujuan kea rah
yang lebih tinggi.Misalnya pada mulanya
tujuannya itu mencari kepuasan untuk
memperoleh pengakuan social,
kemudian karena pengalaman-
pengalaman baru, tujuannya itu berubah
menjadi terbantunya orang lain atau
berkembangnnya pengetahuan manusia.
Keadaan lingkungan dapat
memprakarsai atau dapat pula
memperkuat kebutuhan seseorang.
Karena itu, kita sering mendengar kata-
kata seperti tergoda, terpanasi dan
sebagainya.
Kebutuhan adalah daya dorong individu
(positif atau negative ), sebagai hasil dari
keadaan psikologis, pengalaman,
perilaku, psikologis, keadaan lingkungan,
kepercayaan serta interaksi dengan
pribadinya yang memprakarsainya,
mengarahkan atau mempertahankan
bverlangsungnya tindakan untuk
mencapai tujuan.
Dalam diri invidu kadang-kadang muncul
beberapa macam kebutuhan. Macam-
macam kebutuhan itu terorganisasi dan
berpadu menjadi satu kebutuhan baru.
Perbuatan menolong dari seseorang
dapat merupakan paduan dari
keingingan-keinginan : berafiliasi, ingin
memperoleh pujian, ingin menolong dan
sebaginya. Kebutuhan dan tujuan
berubah secara terus menerus. Misalnya
kebutuhan dan tujuan lama sudah
terpenuhi, maka akan muncul dan
berkembang kebutuhan dan tujuan baru.
Jika sebagian besar kebutuhan
terpuaskan atau terpenuhi, maka
kebutuhan yang belum terpenuhi akan
menjadi tidak atau kurang berarti bagi
individu yang bersangkutan dan akan
muncul kebutuhan-kebutuhan yang baru.
Abraham H.Maslow (1943) dalam “ A
Theory of Human Motivation “
menungkapkan bahwa kebutuhan
12
14
individu itu berkembang dari orde
kebutuhan tingkat rendah ke orde
kebutuhan yang lebih tinggi., seperti
berikut :
1. Physiological needs ( hunger,thirsty)
2. Safety needs security,order)
3. Belongingness and loves (affection,
identifitcation )
4. Esteem nedds (prestige, success, self
respect)
5. Need for self-actualization (the desire
for self-fulfillment)
Untuk memuaskan suatu kebutuhan bisa
terdapat banyak tujuan. Misalnya
kebutuhan berkuasa dapat terpuaskan
dengan aneka macam tujuan seperti
menjadi kepala perusahaan, dekan
fakultas, pemimpin “ gang “, ketua senat
mahasiswa dll. Tujuan mana yang akan
dicapai oleh seorang individu tergantung
pada beberapa faktor, yaitu :
1. Norma dan nilai budaya yang berlaku
2. Kemampuan biologis
3. Pengalaman pribadi, dan
4. Lingkungan
Bila pemuasan suatu kebutuhan tidak
terpenuhi secara layak, maka pada
individu itu akan berkembang suatu
tujuan pengganti. Misalnya seorang
mahasiswa yang mempunyai tujuan agar
menonjol dari teman-temanya; jika dia
tidak menonjol dalam bidang akademik
mungkin ia akan berusaha di bidang lain,
misalnya berusaha berpartisipasi baik
dalam bidang olahraga atau kesenian,
otomotif dan lain-lain.
2. Motivasi Belajar Mahasiswa
Mahasiswa sebagai orang dewasa
memiliki motivasi belajar yang berbeda-
beda. Motivasi peserta belajar orang
dewasa dapat dibagi menjadi tiga
kelompok, yaitu :
Pertama, adalah mereka yang
berorientasi pada (goal oriented), yaitu
mereka yang mementingkan penerapan
dan pemnfaatan pelajaran sebagai
sarana untu mencapai tujuan tertentu
saja, misalnya promosi atau naik
pangkat atau memperoleh gelar
kesarjanaan.
Keda, adalah mereka yang beorientasi
pada kegiatan social (social oriented)
yaitu mereka yang mementingkan
interaksi antar sesame peserta dan
proses belajar sebagai tujuan belajar
Ketiga, adalah mereka yang
berorientasi pada mempelajari ilmu itu
sendiri (learning oriented) karena
mereka senang belajar.
Proses belajar mahasiswa sebagai
orang dewasa biasanya berlangsung
melalui beberapa tahap sebagai berikut
:
13
15
1. Kesadaran. Tahap pengenalan dan
penjelasan tentang konsep dan materi
yang akan dipelajari
2. Pengetahuan/pemahaman. Tahap
penjelasan dan pemahaman terhadap
konsep teori, prosedur dan prinsip-
prinsip yang berlaku pada materi atau
keterampilan yang akan dipelajari
3. Keterampilan. Tahap penguasaan
suatu keterampilan dan uji coba
keterampilan tersebut melalui praktek
dan latihan
4. Penerapan keterampilan atau
pengetahuan. Tahap penerapan
pengetahuan dan keterampilan yang
sudah dikuasai pada masalah-
masalah yang baru belum pernah
diketahui
5. Sikap. Tahap menentukan sikap
berdasarkan pengetahuan dan
keterampilan yang sudah dimiliki.
Perubahan sikap ini tidak mungkin
dicapai dalam waktu singkat, tetapi
memerlukan waktu yang lama.
3. Upaya untuk meningkatkan motivasi
belajar mahasiswa di perguruan
tinggi
Dengan mengetahui motivasi belajar
mahasiswa, dosen dapat mengarahkan
proses belajar mengajar dengan tepat
untuk membantu para mahasiswa
mencapai tujuan belajarnya.
Selanjutnya dengan mengenal dan
memahami 15ystem-faktor tersebut.
Dosen perlu meyakinkan bahwa
program yang akan disajikan dalam
proses belajar sudah memenuhi kiriteria
sebagai berikut :
1. Mahasiswa sebagai orang dewasa
mampu mengarahkan diri sendiri
dalam belajar
2. Mahasiswa sebagai orang dewasa
mempunyai pengalaman hidup yang
sangat kaya yang merupakan sumber
belajar yang berharga
3. Mahasiswa sebagai orang dewasa
cenderung lebih berminat pada
proses pembelajaran yang
berhubungan dengan penyelesaian
masalah dan tugas-tugas yang
dihadapinya.
Berdasarkan 15ystem15e tersebut,
dosen perlu merancang dan
melaksanakan proses pembelajaran
yang mempunyai ciri sebagai berikut :
1. Dapat memberikan kesempatan
kepada mahasiswa untuk berinisiatif
dan kreatif dalam berperanserta dan
mengendalikan proses belajar
mengajar
2. Bersifat demokratis
3. Menghargai dan menempatkan
mahasiswa sebagai manusia dewasa
yang mandiri dan bertanggung jawab.
Aspek penting dalam hal ini adalah
bahwa mahasiswa sebagai orang
dewasa bukan hanya “ passive recipient
14
16
“ atau penerima yang pasif, namun lebih
sebagai “ active aktor “ atau individu
yang berperan aktif dalam proses
pembelajaran.
Menjadi fasilitator dalam proses belajar
orang dewasa tidaklah mudah, sebab
mahasiswa merupakan orang-orang
yang sudah terbentuk. Mereka telah
dapat menilai program-program yang
disajikan dan juga menilai cara
penyajian program oleh dosen. Tidak
jarang mahasiswa merasa bosan dan
kadang-kadang lesu, sebab bahan yang
mereka terima tidak sesuai atau kurang
relevan dengan minat dan kebutuhan
mereka. Padahal menurut penilaian
dosen bahan yang dipilih telai sesuai
dengan kebutuhan mahasiswa.
Apabila bahan yang disajikan memenuhi
kebutuhan peserta dan disajikan
dengan gaya yang sesuai dengan gaya
belajar mereka, maka mahasiswa akan
dengan mudah menguasai bahan
tersebut dan dapat mempraktekkannya
di masyarakat.
Sebaliknya jika penyampaian bahan
tidak sesuai dengan gaya belajar
mahasiswa maka tujuan pengajaran
akan sukar tercapai. Oleh sebab itu
seorang dosen perlu mengetahui gaya
mahasiwanya, antara lain bahwa
mereka belajar memerlukan kondisi
bebas, mereka tidak suka hafalan-
hafaln, mereka lebih mengutamakan
pemecahan masalah dan hal-hal yang
praktis daripada teoritis.
Kegiatan belajar yang berupa kuliah
saja tidak menarik bagi mahasiswa,
mereka lebih senang terlibat dalam
interaksi intelektual dengan teman-
temannya seperti dalam diskusi
kelompok, latihan-latihan pemecahan
masalah yang praktis (studi kasus),
observasi dan penggunaan multi media
dalam pengajaran.
Dalam proses belajar mahasiswa
sebagai orang dewasa, fungsi dosen
menjadi berubah. Dosen bukan lagi
berperang sebagai guru yang
menyampaikan ilmu pengetahuan,
melainkan seseorang yang
mengorganisasikan pengalaman-
pengalaman dari kehidupan yang
sebenarnya menjadi suatu pengalaman
dan pengetahuan baru yang member
arti baru bagi mahasiswa.
Pengalaman baru tersebut melibatkan
baik dosen maupun mahasiswa. Untuk
mencapai hal tersebut, dosen
diharapkan terampil untuk :
1. Memulai diskusi. Diskusi yang baik
dimulai dari pertanyaan-pertanyaan
yang memancing dan dapat
melibatkan semua mahasiswa
15
17
2. Menyediakan informasi (acuan).
Diskusi yang baik tidak mungkin
dimulai tanpa informasi yang cukup.
Dosen hendaklah mampu
menyediakan informasi yang
dibutuhkan, seperti berapa banyak
dan bilamana informasi tersebut
diperlukan agar diskusi tidak menjadi
macet.
3. Meningkatkan partisipasi. Usahakan
agar kesempatan mengajukan
pendapat tidakdidominasi oleh satu
atau dua orang saja. Partisipasinya
ditingkatkan, misalnya dengan cara
dosen memeberi giliran yang sama
kepada semua mahasiswa untuk
menjadi ketua kelompok
4. Menentukan criteria dan rambu-
rambu. Kriteria dan rambu-rambu
yang jelas akan mengarahkan proses
instruksional. Aktivitas seperti diskusi
menjadi jelas tujuan, criteria dan hasil
yang diharapkan
5. Menengahi perbedaan. Perbedaan
persepsi atau pendapat dapat
menumbuhkan diskusi yang baik,
namun perbedaan yang berlarut-larut
dapat menyebabkan diskusi tidak
mencapai tujuannya. Peran dosen
sangat penting untuk menengahi
perbedaan tersebut secara objektif
6. Mengkoordinasikan dan menganalisi
informasi. Koordinasi, analisis dan
hubungan yang jelas antara informasi-
informasi yang diberikan oleh
mahasiswa adalah kunci untuk
mempertahankan kelangsungan
diskusi yang baik. Dosen perlu
menuntun mahasiswa untuk dapat
mengkoordinasi dan menganalisis
informasi yang diperoleh selama
diskusi.
7. Memberi ringkasan/rangkuman.
Peserta diskusi belum tentu mengerti
apa yang diperoleh dari diskusi yang
dilakukan. Dosen diahrapkan
mengulang dan menjelaskan kembali
hasil tersebut dengan ringkas dan
tepat.
Dari gambaran tersebut jelaslah tugas
dosen diperguruan tinggi, sehingga
akan dapat memotivasi belajar para
mahasiswa dalam penyelesaian
studinya.
Hal lain yang perlu diperhatikan oleh
dosen dalam melaksanakan perkuliahan
adalah umpan balik (feedback). Umpan
balik ini berguna, baik bagi mahasiwa
maupun dosen untuk melanjutkan
proses perkuliahan. Umpan balik dari
dosen merupakan cara untuk member
kesempatan kepada mahasiswa
memperbaiki proses belajarnya. Tidak
adanya umpan balik dari dosen dapat
menyebabkan mahasiswa frustrasi,
bosan dan kehilangan arah. Mereka
tidak tahu apa kekurangan mereka,
16
18
mereka juga tidak mengetahui
bagaimana posisi mereka dibandingkan
dengan 18ystem temannya. Oleh sebab
itu, umpan balik ini sangat penting sekali
bagi mahasiswa untuk mencapai tujuan
belajarnya.
Umpan balik dari mahasiswa kepada
dosennnya berguna untuk
menyesuaikan proses perkuliahan
berdasarkan kebutuhan mahasiswa dan
strategi yang sesuai dengan tujuan
belajar. Jika dosen tidak mengetahui
persepsi mahasiswa tentang proses
perkuliahan yang dijalankan, dosen
tidak mengerti apa dan dimana
kekurangan perkuliahannya. Umpan
balik mahasiswa juga memberikan
kesempatan kepada dosen untuk
bersikap fleksibel terhadap kebutuhan
mahasiswa dan rencana perkuliahan
yang dibuatnya.
Untuk mencapai hasil belajar yang
optimal. Mahasiswa belajar dari
berbagaim sumber, dan sumber belajar
yang paling dianggap penting oleh
orang dewasa adalah teman. Hal ini
berarti bahwa strategi belajar-mengajar
mahasiswa harus direncanakan
sedemikian rupa sehingga melibatkan
interaksi dengan teman yang cukup
banyak.
Setelah teman yang dianggap penting,
adalah pakar atau tenaga ahli atau
dosen.Hal ini perlu diingat oleh dosen,
agar dapat menempatkan diri bukan
sebagai sumber informasi yang serba
tahu, tetapi lebih menjadi sahabat yang
menghargai mahasiswa sebagai oang
dewasa.
Setelah teman dan dosen, orang
dewasa juga menggunakan berbagai
jenis sumber sperti media cetak dan
media non cetak. Yang termasuk dalam
media cetak adalah buku,modul,
booklet, leaflet, chart, foto, surat kabar,
majalah dan lain-lain. Sedangkan yang
termasuk dalam media non cetak
adalah : radio, kaset, OHP, slide, film,
video dan 18ystem18e,
Dalam pemilihan sumber belajar perlu
diperhatikan adalah kombinasi
beberapa sumber belajar yang
digunakan dengan tepat akan lebih baik
daripada penggunaan satu sumber
balajar saja
Kesimpulan
1. Belajar pada mahasiswa (orang
dewasa) tidak semata-semata
tergantung pada dosen saja, tetapi juga
pada kemampuannya belajar mandiri.
Guna mengatasi permasalahan tersebut
diatas, perlu dilakukan berbagai upaya
penanggulangan oleh mahasiswa
17
19
sebelum terjadi keterlambatan dalam
penyelesaian studinya, minimal
mengurangi waktu keterlambatan
bahkan menghilangkan hambatan-
hambatan tersebut.
2. Perlu dicari penyebab-penyebabnya,
apakah 19ystem kurikulum yang salah,
apakah dosen yang tidak melaksanakan
tugasnya tepat waktu, apakah kebijakan
perguruan tinggi yang kurang tepat,
lingkungan yang tidak mendukung atau
kesalahan tersebut terletak pada si
mahasiswa itu sendiri.
*Penulis merupakan staf pangajar
STIKes Budi Luhur
Kepustakaan
Hadijah Diah ,Dra. Upaya Merningkatkan
Motivasi Belajar Mahasiswa di
Perguruan
Tinggi. Tridharma Majalah Ilmiah Kopertis
Wilayah IV Nomor 11 Tahun XX Juni
2008.
Indra Mahdi. Penggunaan Alat Peraga
Pengajaran Dapat Meningkatkan
Minat Siswa dalam Pembelajaaran
Sains.Tridharma Majalah Ilmiah
Kopertis Wilayah IV Nomor 12 Tahun
XX Juli 2008.
Krech, Crutchfield and Ballachey 1963.
Individual In Society, Interrnational
Student Edition, McGraw-Hill
International Book
Company.Kogakusha. Ltd.
Maslow. Abraham, H, 1943, A Theory of
Human Motivation, Psychology Rev,
New York; Harper
Morton H, Newsweek, 1996. Sukses dan
Prestasi Volume V. Mitra Utama
Jakarta
18
20
PENELITIAN
GAMBARAN PENGETAHUAN SISWI KELAS VII TENTANG
MENSTRUASI DI SMP NEGERI 1 CIPARAY KECAMATAN CIPARAY
KABUPATEN BANDUNG
Dedeh Sri Rahayu*
ABSTRAK
Saat ini remaja putri di Indonesia yang memasuki masa pubertas sebanyak 108.345.000 jiwa
pada tahun 2005. Remaja akan mengalami suatu perubahan fisik, emosional dan sosial
sebagai ciri dalam masa pubertas. Dan dari berbagai ciri pubertas tersebut, menarche
merupakan perbedaan yang mendasar antara pubertas pria dan pubertas wanita, seringkali
menimbulkan persepsi yang salah oleh karena itu perlu adanya penanganan serius dalam
pembinaan remaja putri dalam meningkatkan pengetahuan kesehatan repoduksi.
Tujuan Penelitian adalah untuk mengetahui gambaran pengetahuan siswi kelas VII tentang
menstruasi di SMP Negeri 1 Ciparay Kecamatan Ciparay Kabupaten Bandung tahun 2011.
Metoda penelitian yang digunakan adalah metoda deskriptif dengan pendekatan cross sectional
study dan jumlah sampel sebanyak 53 orang dengan tehnik pengambilan sampel menggunakan
random sampling dengan tingkat kepercayaan =0,01.
Hasil Penelitian didapatkan bahwa ada sebanyak 25 (47.2%) siswi berpengetahuan tinggi
tentang menarche. Sedangkan yang berpengetahuan cukup/sedang sebanyak 19 siswi (35.8%)
dan yang berpengetahuan kurang sebanyak 9 orang siswi (17%). Saran : Pengetahuan tetap
dipertahankan dengan cara memberikan pendidikan kesehatan dan memeriksakan kesehatan
secara berkala. Sehingga siswi dapat lebih mengetahui dan memahami arti dari menarche
sehingga proses haid tidak banyak menimbulkan gejala yang berbahaya terhadap kesehatan
remaja putri.
Kata Kunci : Pengetahuan, menarche
19
2
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Masa remaja merupakan periode puncak
pertumbuhan dan perkembangan fisik
seorang manusia. Dikarenakan pada masa
atau periode tersebut manusia banyak
mengalami perubahan baik pada fisik,
psikologis, hingga fungsi organ tubuh pun
ikut berubah. Hal indapat terlihat pada
setiap remaja baik pria maupun wanita.
Sebagai contoh, pada masa remaja wanita
akan mengalami beberapa bentuk fisik, dan
fungsi organ. Seperti, tumbuhnya buah
dada atau payudara, tulang panggul mulai
terlihat, tumbuh bulu pubis, dan yang paling
khas wanita akan mengalami “menarche”.
Menarche merupakan menstruasi pertama
yang biasa terjadi dalam rentang usia 10-16
tahun atau pada masa awal remaja
ditengah masa pubertas sebelum memasuki
masa reproduksi. (Proverawati,2009: 22).
Remaja akan mengalami suatu perubahan
fisik, emosional dan sosial sebagai ciri
dalam masa pubertas. Dan dari berbagai
ciri pubertas tersebut, menarche merupakan
perbedaan yang mendasar antara pubertas
pria dan pubertas wanita. Menarche adalah
saat haid/menstruasi yang datang pertama
kali yang sebenarnya merupakan puncak
dari serangkaian perubahan yang terjadi
pada seorang remaja putri yang sedang
menginjak dewasa dan sebagai tanda
bahwa ia sudah mampu hamil.Usia remaja
putri saat mengalami menarche bervariasi
lebar, yaitu antara usia 10-16 tahun, tetapi
rata-rata pada usia 12,5 tahun. Statistik
menunjukkan bahwa usia menarche
dipengaruhi faktor keturunan, keadaan gizi
dan kesehatan umum.(Sarwono, 2005: 67).
Di SMP Negeri 1 Ciparay terletak di Jl.
Magung Harja Kel. Ciparay Kec.Ciparay
Kab. Bandung, Bandung Selatan. UKS SMP
Negeri 1 Ciparay belum menjadi suatu
wadah dimana siswa dapat mencari
informasi tentang kesehatan, menurut data
UKS kurang lebih 60 % dari jumlah siswi
kelas VII di SMP tersebut belum mengalami
menstruasi. Berdasarkan data pra survei
berupa pertanyaan lisan yang dilakukan
oleh peneliti dengan 10 siswi perempuan
kelas VII di SMP Negeri 1 Ciparay Kab.
Bandung tentang Menarche, para siswi
mengatakan mengetahui informasi
mengenai menstruasi dari teman dan orang
tuanya tetapi informasi mengenai
menstruasi yang mendalam masih sangat
jarang mereka dapatkan.
20
2
METODOLOGI PENELITIAN
Metode penelitian yang digunakan dalam
penelitian ini adalah deskriptif. Teknik
pengambilan sampel dalam penelitian ini
menggunakan random sampling.
(Notoatmodjo 2005: 122).
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil penelitian yang telah dilakukan
terhadap 53 responden siswi kelas VII di
SMP N 1 Ciparay tentang Menarche Tahun
2011, yang dilakukan selama 1 minggu
yaitu pada tanggal 25 Juli s/d 30 Juli 2011.
Tabel 1. Distribusi Frekuensi Pengetahuan Siswi Kelas VII di SMP N 1 Ciparay
Tentang Menstruasi Tahun 2011
Variabel Sub variable Jumlah Persentase
Pengetahuan
Pengetahuan siswi tentang menarche
- Kurang
- Cukup
- Baik
9 19 25
17.0% 35.8% 47.2%
Total 53 100%
Tabel 2. Distribusi Frekuensi Pengetahuan Siswi Kelas VII di SMP N 1 Ciparay
Tentang Pengertian Menstruasi Tahun 2011.
Variabel Sub variable Jumlah Persentase
Pengetahuan
Pengetahuan ibu tentang pengertian menarche
- Kurang
- sedang
- Baik
7 18 28
13.2% 34.0% 52.8%
Total 53 100%
Tabel 3. Distribusi Frekuensi Pengetahuan Siswi Kelas VII di SMP N 1 Ciparay
Tentang tAnda Gejala Menstruasi Tahun 2011
Variabel Sub variable Jumlah Persentase
Pengetahuan
Pengetahuan siswi tentang Penyebab menarche
- Kurang
- Cukup
- Baik
5 11 37
9.4% 20.8% 69.8%
Total 53 100%
21
Tabel 4. Distribusi Frekuensi Pengetahuan Siswi Kelas VII di SMP N 1 Ciparay
Tentang Gangguan Kesehatan Saat Menstruasi Tahun 2011.
Variabel Sub variable Jumlah Persentase
Pengetahuan
Pengetahuan siswi tentang Gg Kes saat menarche
- Kurang
- Cukup
- Baik
8 25 19
15.1% 45.1% 39.8%
Total 53 100%
Tabel 5. Distribusi Frekuensi Pengetahuan Siswi Kelas VII SMP N 1 Ciparay
Tentang Kebersihan Saat Menstruasi Tahun 2011.
Variabel Sub variable Jumlah Persentase
Pengetahuan
Pengetahuan ibu tentang kebersihan saat menarche
- Kurang
- Cukup
- Baik
8
24 19
15.1% 45.3 % 39.5%
Total 53 100%
PEMBAHASAN
1. Pengetahuan Siswi Tentang
Pengertian Menarche
Berdasarkan hasil analisis didapatkan
sebagian kecil dari jumlah siswi Kelas VII
di SMP N 1 Ciparay berpengetahuan
kurang tentang pengertian menarche
dengan jumlah 7 orang siswi (13.2%),
sedangkan siswi yang berpengetahuan
sedang tentang pengertian menarche
sebanyak 18 orang siswi (34.0%) dan
setengah dari jumlah siswi yang menjadi
responden mempunyai pengetahuan
baik tentang pengertian menarche
dengan jumlah 28 siswi (52.8%).
2. Pengetahuan Siswi Tentang Tanda
Gejala Menarche.
Berdasarkan hasil analisis didapatkan
bahwa diketahui sebagian kecil dari
jumlah siswi berpengetahuan kurang
tentang tanda gejala menarche yang
berjumlah 5 orang siswi (9.4 %),
sedangkan siswi yang berpengetahuan
sedang tentang tentang tanda gejala
menarche sebanyak 11 orang siswi
(20.8%) dan lebih dari setengah dari
jumlah siswi yang menjadi responden
mempunyai pengetahuan baik tentang
tentang tanda gejala menarche dengan
jumlah 37 siswi (69.8%).
22
3. Pengetahuan Siswi Tentang
Gangguan Kesehatan Saat Menarche
Berdasarkan hasil analisis didapatkan
bahwa sebagian kecil dari jumlah siswi
berpengetahuan kurang tentang
gangguan kesehatan saat menarche
yang berjumlah 8 orang siswi (15.1 %),
sedangkan siswi yang berpengetahuan
sedang tentang gangguan kesehatan
saat menarche sebanyak 26 orang siswi
(49.1%) dan kurang dari setengah dari
jumlah siswi yang menjadi responden
mempunyai pengetahuan baik tentang
gangguan kesehatan saat menarche
dengan jumlah 19 siswi (35.8%).
4. Pengetahuan Siswi Tentang
Kebersihan Saat Menarche
Berdasarkan hasil analisis didapatkan
bahwa sebagian kecil dari jumlah siswi
berpengetahuan kurang tentang
kebersihan saat menarche hanya
berjumlah 8 orang siswi (15.1 %),
sedangkan hampir setengah siswi
berpengetahuan sedang tentang
kebersihan saat menarche yaitu
sebanyak 24 orang siswi (45.3%) dan
setengah dari jumlah siswi yang menjadi
responden mempunyai pengetahuan
baik tentang kebersihan saat menarche
dengan jumlah 21 siswi (39.6%).
SIMPULAN
1. Pengetahuan Siswi kelas VII di SMP N
1 Ciparay tentang menarche
Karakteristik responden berdasarkan
pengetahuan siswi tentang menarche
yang terdiri dari 53 responden demikian
dapat disimpulkan, 25 orang dikatakan
baik dengan persentase (47.2 %)
2. Pengetahuan Siswi kelas VII di SMP N
1 Ciparay tentang pengertian menarche
Karakteristik responden berdasarkan
pengetahuan siswi tentang pengertian
menarche yang terdiri dari 53
responden demikian dapat disimpulkan,
28 orang dikatakan baik dengan
persentase (52.8 %)
3. Pengetahuan Siswi kelas VII di SMP N
1 Ciparay tentang tanda gejala
menarche
Karakteristik responden berdasarkan
pengetahuan siswi tentang tanda gejala
menarche yang terdiri dari 53
responden demikian dapat disimpulkan,
37 orang dikatakan baik dengan
persentase (69.8 %)
4. Pengetahuan Siswi kelas VII di SMP N
1 Ciparay tentang Ggn kesehatan saat
menarche
Karakteristik responden berdasarkan
pengetahuan siswi tentang Gangguan
Kesehatan saat menarche yang terdiri
dari 53 responden demikian dapat
disimpulkan, 25 orang dikatakan cukup
dengan persentase (49.1 %),
23
5. Pengetahuan Siswi kelas VII di SMP N
1 Ciparay tentang kebersihan menarche
Karakteristik responden berdasarkan
pengetahuan siswi tentang kebersihan
saat menarche yang terdiri dari 53
responden demikian dapat disimpulkan,
24 orang dikatakan cukup dengan
persentase (45.3 %).
SARAN
Perlu kiranya untuk lebih meningkatkan
kualitas penyuluhan kesehatan tentang
kesehatan reproduksi sehingga dapat
meningkatkan pengetahuan para siswi
tentang menarche yang dialami nya.
*Penulis merupakan staf pengajar STIkes
Budi Luhur
DAFTAR PUSTAKA
Departemen Kesehatan RI. 2006. Pedoman Bagi Para Petugas Kesehatan Pusat Penelitian dan Pengembangan Pelayanan Kesehatan : Surabaya.
Dinas Kesehatan Jawa Barat. 2001.
Kesehatan Reproduksi Remaja http://qittun.blogspot.com/2008/09
. 2005. Metodelogi Penelitian Kesehatan.Jakarta : PT Rineka Cipta
.2007. Promosi
Kesehatan.Jakarta : PT Rineka Cipta
24
PENELITIAN
FAKTOR – FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN KEAKTIFAN
KADER DALAM KEGIATAN POSYANDU DI WILAYAH KERJA
PUSKESMAS COMPRENG
KABUPATEN SUBANG
*Meilati Suryani, Ciptaningsih
ABSTRAK
Krisis ekonomi yang berkepanjangan menyebabkan menurunnya partisipasi kader pada
kegiatan posyandu. Banyak kader yang menjadi tidak aktif pada kegiatan posyandu. Jumlah
kader yang tidak aktif di kabupaten subang pada tahun 2010 sebanyak 1053 orang dari jumlah
7863 orang. Di Puskesmas Compreng Kecamatan Kecamatan Compreng pada tahun 2009
jumlah kader posyandu yang tidak aktif sebanyak 35 orang dari 95 kader. Akibatnya cakupan
jumlah balita yang datang ke Posyandu di Puskesmas Compreng tidak mencapai target, yaitu
sebesar 70,2% dari target yang ditetapkan sebesar 80%.
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui faktor-faktor yang berhubungan dengan
partisipasi kader dalam kegiatan posyandu di wilayah kerja Puskesmas Compreng Kecamatan
Compreng Kabupaten Subang. Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah
korelasi dengan pendekatan crossectional. Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh kader
yang ada di wilayah kerja Puskesmas Compreng baik yang aktif maupun tidak aktif dengan
jumlah sampel sebanyak 95 kader.
Hasil penelitian menunjukan: ada hubungan antara pengetahuan dengan partisipasi kader
dalam kegiatan posyandu (p-value : 0,000), ada hubungan antara pekerjaan dengan partisipasi
kader dalam kegiatan posyandu (p-value : 0,000), ada hubungan antara pendapatan dengan
partisipasi kader dalam kegiatan posyandu (p-value : 0,040), ada hubungan antara
keikutsertaan kader pada organisasi lain dengan partisipasi kader dalam kegiatan posyandu (p-
value : 0,000).
Saran bagi petugas kesehatan untuk melakukan penyegaran bagi kader dalam bentuk
pelatihan-pelatihan serta pemberian reward bagi kader yang berprestasi dan aktif dalam
kegiatan posyandu.
Kata Kunci : Korelasi, Kuantitatif
25
PENDAHULUAN
Posyandu merupakan salah satu upaya
kesehatan bersumber daya masyarakat
yang melibatkan partisipasi masyarakat
dalam pelaksanaanya. Posyandu juga
sebagai perpanjangan tangan Puskesmas
yang memberikan pelayanan dan
pemantauan kesehatan yang dilaksanakan
secara terpadu. Kegiatan-kegiatanya
dilaksanakan oleh kader kesehatan yang
telah mendapatkan pendidikan dan
pelatihan dari puskesmas mengenai
pelayanan kesehatan dasar (Depkes RI,
2005)..
Posyandu sangat tergantung pada peran
kader, kader-kader Posyandu ini pada
umumnya adalah relawan yang berasal dari
masyarakat yang dipandang memiliki
kemampuan lebih dibanding anggota
masyarakat lainnya. Mereka inilah yang
memiliki andil besar dalam memperlancar
proses pelayanan kesehatan. Namun
keberadaan kader relatif labil karena
partisipasinya bersifat sukarela sehingga
tidak ada jaminan bahwa para kader akan
tetap menjalankan fungsinya dengan baik
seperti yang diharapkan. Jika ada
kepentingan keluarga atau kepentingan
lainnya maka Posyandu akan ditinggalkan
(Yudiansyah, 2000).
Kabupaten Subang terdiri dari 30
kecamatan dengan jumlah Puskesmas
sebanyak 40 Puskesmas, sedangkan
jumlah Posyandu sebanyak 1781 dengan
jumlah kader 7863 orang, jumlah kader
yang aktif 6810 orang dan jumlah kader
yang tidak aktif 1053 orang. Kader yang
telah mengikuti pelatihan sebanyak 2876
orang (Profil Dinas Kesehatan Kab.Subang,
2010).
METODE PENELITIAN
Penelitian ini merupakan penelitian survey
dengan rancangan cross sectional dengan
jumlah sampel sebanyak 95 orang kader.
Lokasi penelitian dilaksanakan di wilayah
kerja Puskesmas Compreng Kabupaten
Subang. Waktu Penelitian pada bulan
Januari-Juli 2011.
26
HASIL PENELITIAN
Tabel 1 Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Keaktifan Kader Dalam Posyandu
Puskesmas Compreng Kabupaten Subang
Variabel Jumlah Persentase
Pengetahuan Kader Baik Cukup Kurang
26 33 36
27,4 34,7 37,9
Jumlah 95 100
Bekerja Tidak bekerja
39 56
41,1 58,9
Jumlah 95 100
Pendapatan Rendah Tinggi
51 44
53,7 46,3
Jumlah 95 100
Keikutsertaan dalam organisasi Ya Tidak
33 62
34,7 65,3
Jumlah 95 100
Tabel 2 Keaktifan Kader Dalam Posyandu
Variabel Jumlah Persentase
Keaktifan Kader
Pasif Aktif
58 37
61,1 38,9
Tabel 3 Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Keaktifan Kader Dalam Posyandu
Pengetahuan Keaktifan kader Total P value
Pasif Aktif
Kurang Cukup Baik
33 15 10
3 18 16
36 33 26 0,000
Jumlah 58 37 95
Keadaan Bekerja Pasif Aktif Total P value
Bekerja Tidak bekerja
11 47
28 9
39 56 0,000
Jumlah 58 37 95
Pendapatan Pasif Aktif Total P value
Rendah Tinggi
36 22
15 22
51 44
0,04 Jumlah
58 37 95
Keikutsertaan dalam organisasi lain
Pasif Aktif Total P value
Ya Tidak
8 50
25 12
33 62
0,000
Jumlah 58 37 95
27
PEMBAHASAN
Kader adalah anggota masyarakat yang dipilih dari oleh masyarakat setempat, disetujui dan
dibina oleh LKMD, mau dan mampu bekerja secara sukarela, dapat membaca dan menulis
huruf latin serta mempunyai waktu untuk bekerja bagi masyarakat disamping usahanya
mencari nafkah (Depkes RI, 2005). Keberadaan kader merupakan bentuk peran serta
masyarakat dan merupakan indikator bagi partisipasi masyarakat khususnya dalam
pembangunan dalam bidang kesehatan. Keberadaan kader dalam pencapaian tujuan posyandu
sangat penting. Dinas kesehatan Kabupaten Subang menetapkan bahwa kader dikatakan aktif
apabila mengikuti kegiatan posyandu minimal 6 kali dalam satu tahun dan tidak aktif apabila
kader tidak mengikuti kegiatan posyandu kurang dari 6 kali dalam satu tahun.
Salah satu faktor yang mempengaruhi
tingkat keaktifan kader adalah tingkat
pengetahuan. Dalam domain kognitif atau
pengetahuan, pengertian dari sebuah
pengetahuan merupakan bagian yang
pertama dari tingkatan pengetahuan.
Pengertian atau tahu merupakan awal untuk
mengetahui segala sesuatu. Hal ini
menyebabkan pengertian atau tahu
merupakan bagian yang utama dalam
tingkatan pengetahuan walaupun tingkatan
paling rendah dalam Pekerjaan
mempengaruhi seseorang terhadap peran
serta masyarakat meliputi keadaan waktu
yang tersedia untuk kegiatan sosial.
Semakin sedikitnya waktu seseorang untuk
bersosial akibat karena banyaknya
pekerjaan menyebabkan menurunnya
tingkat kesadaran dan tanggung jawab
mereka terhadap kegiatan sosial yang salah
satunya peranan aktif menjadi kader
kesehatan di lingkungan.
Hasil penelitian tentang hubungan
pekerjaan dengan keaktifan kader
menunjukan terdapat hubungan pekerjaan
kader dengan Keaktifan Kader dalam
kegiatan posyandu di Wilayah kerja
Puskesmas Compreng Kabupaten Subang
(p- value : 0,000 < α : 0,050). Hasil
penelitian ini tidak selaras dengan teori
Nursalam (2003) yang menyatakan bahwa
orang yang bekerja kesempatan untuk
mengikuti kegiatan sosial rendah atas dasar
kesibukannya. Kaitannya dengan penelitian
ini menunjukan bahwa sebagian besar tidak
bekerja akan tetapi tidak aktif dalam
kegiatan posyandu, hal ini disebabkan
bahwa bahwa pengkategorian ibu rumah
tangga termasuk kedalam tidak bekerja.
Dalam tatanan kehidupan masyarakat yang
sebagian besar mata pencahariannya
sebagai petani, ibu-ibu cenderung sebagai
ibu rumah tangga akan tetapi disibukan
dengan kegiatan pertanian. Dalam
kenyataanya ibu rumah tangga ditambah
28
dengan kesibukan untuk bertani
menunjukan lebih sibuk dibandingkan
dengan orang bekerja secara formal dimana
batasan waktu kerjanya jelas.
Sedangkan yang di maksud pendapatan
pada penelitian ini adalah jumlah
penghasilan yang dimiliki seorang kader
posyandu yang di gunakan untuk memenuhi
kebutuhan hidup keluarganya sehari-hari.
Kader yang mempunyai pendapatan yang
tinggi cenderung lebih aktif dalam kegiatan
posyandu, hal ini disebabkan bahwa kader
yang berpendapatan tinggi maka
kebutuhan utamanya sudah terpenuhi.
Setelah kebutuhan pokok terpenuhi maka
tinggal melengkapi dengan kebutuhan
sosial salah satunya adalah mengikuti
kegiatan posyandu.
Keikutsertaan kader dalam organisasi lain
maksudnya adalah selain menjadi kader
mereka juga aktif dalam kegiatan organisasi
lain, sehingga dapat mempengaruhi
partisipasinya dalam kegiatan posyandu,
apalagi kegiatan dalam organisasi lain
tersebut mendatangkan nilai ekonomi yang
cukup besar bagi kader. Kader yang
mengikuti organisasi cenderung lebih
bertanggung jawab dalam kegitan
organisasi termasuk dalam kegiatan
posyandu.
KESIMPULAN
1. Terdapat hubungan antara pengetahuan
kader tentang posyandu dengan
keikutsertaan kader dalam posyandu
2. Terdapat hubungan antara keadaan
bekerja kader dengan keikutsertaan
kader dalam posyandu
3. Terdapat hubungan antara jumlah
pendapatan dengan keikutsertaan kader
dalam posyandu
4. Terdapat hubungan antara
keikutsertaan dalam organisasi lain
dengan keikutsertaan dalam posyandu
SARAN
1. Meningkatkan pengetahuan kader
tentang posyandu dengan cara
melakuan refreshing kader yang
berkesinambungan melalui pelatihan
dan seminar.
2. Memberikan reward bagi kader yang
berprestasi dan aktif seperti pemberian
piagam penghargaan untuk
meningkatkan motivasi kader dalam
kegiatan posyandu, reward dalam bentuk
keuangan yang dikumpulkan dari warga
atau sumber pendapatan desa
*Penulis Merupakan staf pengajar
STIkes Budi Luhur
29
DAFTAR PUSTAKA
Depkes RI.2005. Pedoman Kader Posyandu. Jakarta
Dinas Kesehatan Kabupaten Subang. 2009.
Profil Dinas Kesehatan Kabupaten Subang
Notoatmodjo.2003.Pendidikan dan Perilaku
Kesehatan.Rineka Cipta, Jakarta Nursalam.2000. Metode Penelitian
Kesehatan. Sagung Seto: Jakarta
Puskesmas Kecamatan Compreng. 2010.
Profil Kecamatan Compreng. Sub ang
30
PENELITIAN
HUBUNGAN PENGETAHUAN, SIKAP DAN PERILAKU GURU UKS DENGAN
PENGELOLAAN WARUNG SEKOLAH SEHAT DI LINGKUNGAN SD/MI
SE WILAYAH KECAMATAN TAROGONG KIDUL KABUPATEN GARUT
Oktoruddin Harun *) Hanni Iskandar ** )
ABSTRAK
Pengelolaan warung sekolah sehat merupakan salah satu upaya untuk mewujudkan lingkungan
sekolah yang sehat, bersih dan nyaman serta terbebas dari ancaman penyakit. Warung
Sekolah yang tidak memenuhi syarat dapat menimbulkan masalah kesehatan diantaranya
peningkatan kesakitan akibat penyakit bawaan makanan ( food borne disease ). Salah satu
penyakit yang banyak terjadi di Indonesia adalah KLB keracunan makanan dengan proporsi
tertinggi terjadi pada anak sekolah dasar (SD) / madrasah (MI) ibtidaiyah yaitu 67,8%.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara pengetahuan, sikap dan perilaku
guru UKS dengan pengelolaan warung sehat di lingkungan SD/MI Se wilayah Kecamatan
Tarogong Kidul Tahun 2009. Penelitian ini dilakukan dengan desain kros seksional yang
dibatasi pada pengetahuan, sikap dan perilaku guru UKS di Lingkungan SD/MI sewilayah
Kecamatan Tarogong Kidul Sebagai populasi dan sampel dalam penelitian ini adalah guru UKS
di lingkungan SD/MI Sewilayah Kecamatan Tarogong Kidul. Metode pengambilan sampel
dengan total sampling dan analisis menggunakan analisis univariat dan bivariat.
Hasil uji Fisher Exact menunjukkan bahwa tidak ada hubungan antara pengetahuan, sikap dan
perilaku guru UKS dengan pengelolaan Warung Sekolah sehat.
Berdasarkan hasil penelitian disarankan kepada Guru UKS dan pihak sekolah perlu
peningkatan peran dalam pengelolaan Warung Sekolah sehat. Kepada Pemerintah khususnya
Dinas Pendidikan agar merencanakan dan mengaangarkan pembangunan sarana dan
prasarana yang mendukung terwujudnya Warung Sekolah sehat.
Kepada Tim Pembina UKS agar melakukan fasilitasi untuk sekola-sekolah melalui pelatihan
pengelolaan Warung Sekolah sehat serta melakukan monitoring secara berkala untuk
meningkatkan kualitas pengelolaan Warung Sekolah.
31
PENDAHULUAN
Terwujudnya lingkungan sekolah yang
sehat, bersih dan nyaman serta terbebas
dari ancaman penyakit perlu dilakukan
berbagai upaya penyelenggaraan
kesehatan lingkungan sekolah, salah
satunya adalah pengelolaan Warung
Sekolah sehat. Menurut Keputusan Menteri
Kesehatan RI nomor 1429 tahun 2006,
setiap sekolah harus memiliki beberapa
ruang kelas, ruang bimbingan dan
konseling, ruang UKS, ruang Laboratorium,
Warung Sekolah, toilet, ruang ibadah dan
gudang.
Warung sekolah yang tidak memenuhi
syarat dapat menimbulkan masalah
kesehatan daiantaranya peningkatan angka
kesakitan akibat penyakit bawan makanan
(Food Borne Disease). Kejadian penyakit
bawaan makanan pada banyak kawasan di
dunia telah mengalami peningkatan yang
cukup besar dan dapat terus meningkat jika
tidak dilakukan tindakan yang efektif untuk
mencegahnya. Secara umum penyaki
bawaan makanan dapat diakibatkan oleh
bahaya biologi dan kimia (WHO, 2006)
Di Amerika Serikat diperkirakan kerugian
yang ditimbulkan akibat penyakit bawaan
makanan tiap tahunnya mencapai 5 hingga
6 milliar dollar US. Suplai makanan di
Amerika Serikat telah dinyatakan paling
aman di dunia, tetapi angka kesakitan dan
angka kematian karena penyakit bawaan
makanan tinggi sekali. Comuinicable
Disease Centtre (CDC) memperkirakan
setiap tahunnya 76 juta orang Amerika
Serikat menderita akibat penyakit bawaaan
makanan (www.smallcrab.online.com,
2004)
Berdasarkan laporan Badan Pengawasan
Obat Makanan Republik Indonesia (BPOM
RI), tahun 2004 terjadi KLB keracunan
pangan sebanyak 152 kejadian, 7347 kasus
dan 45 orang meninggal dunia. KLB
keracunan pangan terbanyak di Provinsi
Jawa Barart yaitu sebanyak 32 kejadian.
Tempat kejadian di sekolah/kampus
menempati urutan kedua setelah tempat
tinggal yaitu 23,5% dan kejadian pada
institusi pendidikan paling banyak di
lingkungan SD/MI yaitu 67,8% (Laporan
BPOM RI, 2004)
Kebiasaaan jajan dapat berdampak positif
maupun negatif, bila memenuhi syarat-
syarat kesehatan, kebiasaan jajan dapat
berdampak positif, diantaranya untuk
melengkapi atau menambah kebutuhan gizi.
Dampak negatif dari kebiasaan jajan
diantaranya jajanan yang dibeli belum
terjamin keamanannya (Sekjen Jejaring
Intelijen Pangan, 2005)
Keracunan pangan dapat disebabkan oleh
mikroba patogen dan pencemaran kimiawi.
Dari laporan hasil analisis Balai POM
diduga penyebab keracunan disebabkan
mikroba pathogen 21 kejadian (13,7%),
32
kimia 13 kejadiann (8,5%) sedangkan yang
tidak terdeteksi/tidak dapat dianalisis masih
jauh lebih banyak, yaitu 119 kejadian
keracunan (77,8%)
Di Kabupaten Garut dari bulan Januari
sampai Oktober 2009 terdapat 3 kasus
keracunan makanan yang tersebar di 3
kecamatan yaitu di Desa Keresek Cibatu
keracunan jamur sebanyak 8 orang. Desa
Bayongbong keracunan nasi kuning
sebanyak 83 orang dan Desa Citeras
Malangbong keracunan kacang dengan
jumlah penderita sebanyak 95 orang. Kasus
kematian tidak ada (Laporan P2M Dinkes
Kabupaten Garut, 2009)
Di Kecamatan Tarogong Kidul terdapat 29
Sekolah Dasar (SD) dan 11 Madrasah
Ibtidaiyah (MI), 11 diantaranya memiliki
warung khusus ditambah beberapa
pedagang makanan kaki lima sedangkan 29
SD/MI tidak memiliki warung khusus hanya
pedagang kaki lima saja. Dari hasil
penilaian terhadap berbagai aspek yang
dipersyaratkan bagi warung sekolah dalam
Pedoman Pengelolaan dan Penyehatan
Makanan Warung Sekolah serta Permenkes
No 1429 Tahun 2006, seluruh warung
sekolah di Kecamatan Tarogong Kidul
berpotensi menyebabkan gangguan
kesehatan karena ruangan bangunan dan
tata laksana tidak sehat (Laporan Inspeksi
Sanitasi Sekolah Puskesmas
Haurpanggung dan Pembangunan, 2009)
Proses pendidikan merupakan pemelihara
sekaligus pembentuk budaya bangsa
termasuk budaya hidup sehat. Pendidikan
menumbuh kembangkan kesadaran dan
kpedulian terhadap kesehatan dan
pentingnya hidup sehat. Pendidikan juga
membentuk nilai-nilai tentang cara hidup
yang sehat. Oleh karena itu, setiap sekolah
diharapkan mampu melaksanakan
perannya sebagai pembangkit budaya
sehat (Mendiknas, Rakernas UKS IX,
2008).
Guru memiliki peranan yang besar dalam
pembentukan nilai-nilai cara hidup sehat
dilingkungan sekolah. Pengetahuan
kesehatan yang dimiliki oleh seorang guru
akan berdampak pada perilakunya,
selanjutnya berdampak pula meningkatnya
indikator kesehatan dan terkendalinya
faktor resiko kesehatan. Keberadaan
warung-warung yang memenuhi syarat
kesehatan diperkirakan berhubungan
dengan pengetahuan, sikap dan perilaku
guru tentang pengelolaan warung sehat.
METODE
Penelitian ini menggunakan metode
deksriptif korelasi yaitu suatu metode
penelitian yang dilakukan dengan tujuan
untuk mengentahui hubungan antara
pengetahuan, sikap dan perilaku guru UKS
dengan pengelolaan warung sekolah sehat
33
di lingkungan SD/MI Sewilayah Kecamatan
Tarogong Kidul Tahun 2009.
Waktu penelitian dilakukan dari tanggal 16
Desember sampai dengan tanggal 23
Desember 2009. Rancangan penelitian
yang digunakan adalah kros seksional.
Populasi dalam penelitian ini adalah semua
guru Guru UKS di seluruh Sekolah Dasar
Se wilayah Kecamatan Tarogong Kidul
sebanyak 40 orang. Sampel yang
digunakan adalah seluruh guru UKS yaitu
sebanyak 40 orang. Tehnik pengambilan
sampel dilakukan dengan cara total
sampling .Instrumen penelitian yang
digunakan adalah kuesioner dengan
pertanyaan tertutup.
HASIL PENELITIAN
Hasil Bivariat
Analisis bivariat dilakukan untuk mengetahui hubungan antara variabel independen dengan
variabel dependen. Tehnik dalam analisis ini adalah tabulasi silang dengan uji Fisher Exact
karena dari hasil penelitian pada tabel 2 X 2 satu satu atau lebih sel mempunyai nilai harapan
kurang dari 5
1. Hubungan Pengetahuan Guru UKS dengan Pengelolaan Warung Sekolah Sehat
Tabel 1
Hubungan Antara Pengetahuan Guru UKS Dengan Pengelolaan Warung Sekolah Sehat Pada SD/MI Di Kecamatan Tarogong Kidul Kabupaten Garut
Tahun 2009
Pengetahuan
Pengelolaan Warung Sekolah
N Nilai P Tidak Sehat Sehat
F % f %
Kurang Baik 24 96 1 4 25 100
1.00
Baik 14 93.3 1 6,7 15 100
Dari tabel diatas ternyata ada 25 responden dengan pengetahuan kurang baik, dimana
pengelolaan warung sekolahnya tidak sehat sebanyak 24 responden (96%) dan pengelolaan
warung sekolahnya sehat hanya 1 responden ( 4%). Sedangkan 15 responden dengan
pengetahuan baik, dimana pengelolaan warung sekolahnya tidak sehat sebanyak 14
responden ( 93,3%) dan pengelolaan warung sekolahnya sehat hanya 1 responden ( 6,7 %)
Hasil uji Fisher Exact pada α = 0,05 ternyata tidak ada hubungan antara pengetahuan
responden dengan pengelolaan warung sekolah sehat ( P > 0,05 )
34
2. Hubungan Sikap Guru UKS dengan Pengelolaan Warung Sekolah Sehat
Tabel 2
Hubungan Antara Sikap Guru UKS Dengan Pengelolaan Warung Sekolah Sehat Pada SD/MI Di Kecamatan Tarogong Kidul Kabupaten Garut Tahun 2009
Sikap Pengelolaan Warung Sekolah
N Nilai P Tidak Sehat Sehat
F % f %
Tidak mendukung
18 94,7 1 5,3 19 100 1,00
Mendukung
20 92,5 1 4,8 21 100
Dari table 2 ternyata ada 19 responden dengan sikap tidak mendukung, dimana pengelolaan
warung sekolahnya tidak sehat sebanyak 18 responden ( 94,7%) dan pengelolaan warung
sekolahnya sehata hanya 1 responden ( 5,3%). Sedangkan 21 responden dengan sikap
mendukung, dimana pengelolaan warung sekolahnya tidak sehat sebanyak 20 responden
(92,5%) dan pengelolaan warung sekolahnya sehat hanya 1 responden ( 4,8%)
Hasil uji Fisher Exact pada α = 0,05 ternyata tidak ada hubungan antara sikap responden
dengan pengelolaan warung sekolah sehat ( P > 0,05 )
3. Hubungan Perilaku Guru UKS dengan Pengelolaan Warung Sekolah Sehat
Tabel 3
Hubungan Antara Perilaku Guru UKS Dengan Pengelolaan Warung Sekolah Sehat Pada SD/MI Di Kecamatan Tarogong Kidul Kabupaten Garut Tahun 2009
Perilaku
Pengelolaan Warung Sekolah
N Nilai P Tidak Sehat Sehat
F % f %
Kurang Baik
9 90 1 10 10 100 1,00
Baik 29 96,7 1 3,3 30 100
Dari tabel diatas ternyata ada 10
responden dengan perilaku kurang baik,
dimana pengelolaan warung sekolahnya
tidak sehat sebanyak 9 responden (90%)
dan pengelolaan warung sekolahnya
sehat hanya 1 responden (10%).
Sedangkan 30 responden dengan
perilaku baik, dimana pengelolaan
warung sekolahnya tidak sehat sebanyak
29 responden (96,7%) dan pengelolaan
warung sekolahnya sehat hanya 1
responden (3,3 %)
35
Hasil uji Fisher Exact pada α = 0,05
ternyata tidak ada hubungan antara
perilaku responden dengan pengelolaan
warung sekolah sehat (P > 0,05)
PEMBAHASAN
1. Hubungan Pengetahuan Guru UKS
Dengan Pengelolaan Warung Sekolah
Sehat
Berdasarkan hasil penelitian pada tabel
1 hubungan pengetahuan Guru UKS
dengan pengelolaan warung sekolah
sehat pada sekolah dasar di Kecamatan
Tarogong Kidul sebagian besar
berpengetahuan kurang baik.
Hasil analisis hubungan antara
pengetahuan dan pengelolaan warung
sekolah sehat diperoleh bahwa ternyata
ada 25 responden dengan pengetahuan
kurang baik, dimana pengelolaan warung
sekolahnya tidak sehat sebanyak 24
responden (96%) dan pengelolaan
warung sekolahnya sehat hanya 1
responden (4%). Sedangkan 15
responden dengan pengetahuan baik,
dimana pengelolaan warung sekolahnya
tidak sehat sebanyak 14 responden
(93,3%) dan pengelolaan warung
sekolahnya sehat hanya 1 responden
(6,7 %)
Hasil penelitian yang menunjukkan guru
yang memiliki pengetahuan baik
keadaan warung sekolahnya sehat dan
guru yang pengetahuannya kurang baik
pengelolaan warung sekolahnya tidak
sehat, sesuai dengan konsep yang
disampaikan oleh Notoatmodjo (2007)
bahwa tingginya pengetahuan akan
berhubungan dengan tindakan yang
dilakukan seseorang, karena
pengetahuan merupakan domain yang
sangat penting untuk terbentuknya
tindakan seseorang, karena tindakan
guru UKS yang didasari oleh
pengetahuan, kesadaran dan sikap
positif akan berlangsung lama (long
lasting) daripada yang tidak didasari
pengetahuan. Namun ada pula sebanyak
14 responden (93,3%) yang
berpengetahuan baik tetapi keadaan
warung sekolahnya tidak sehat. Hal ini
dapat disebabkan oleh tingkat
pengetahuan responden masih pada
tingkat mengetahui belum kepada tingkat
memahami, aplikasi apalagi analisis.
Hasil uji Fisher Exact pada α = 0,05
ternyata tidak ada hubungan antara
pengetahuan responden dengan
pengelolaan warung sekolah sehat (P >
0,05)
Melihat kondisi diatas, maka perlu ada
upaya meningkatkan pengetahuan guru
UKS terutama dalam persyaratan
warung sekolah sehat agar mencapai
tingkat yang paling akhir yaitu mampu
mengevaluasi. Hal ini berkaitan dengan
36
kemampuan untuk melakukan justifikasi
atau penilaian terhadap pengelolaan
warung sekolah sehat berdasarkan
kriteria yang telah ada, yang telah
ditetapkan dalam Pedoman Pengelolaan
Warung Sekolah dan Permenkes 1429
Tahun 2006 tentang persyaratan warung
sekolah sehat. Adapun tahapan
pengetahuan yang perlu ditingkatkan
bagi guru UKS sesuai dengan konsep
Notoatmodjo (2007) mencakup 6
tingkatan dalam domain kognitif yaitu :
1. Tahu (Know)
Tahu diartikan sebagai mengingat
suatu materi pengelolaan warung
sekolah yang telah dipelajari
sebelumnya. Termasuk ke dalam
pengetahuan tingkat ini adalah
mengingat kembali (recall) terhadap
suatu yang spesifik dari seluruh
bahan yang dipelajari atau ransangan
yang telah diterima. Oleh sebab itu “
tahu “ merupakan tingkatan yang
paling rendah. Kata kerja untuk
mengukur bahwa orang tahu tentang
apa yang dipelajari antara lain :
menyebutkan, menguraikan,
mendefinisikan, menyatakan dan
sebagainya. Hal ini dapat dilakukan
kegiatan pelatihan guru UKS atau
kegiatan sosialisasi Permenkes 1429
Tahun 2006 tentang persyaratan
warung sekolah sehat.
2. Memahami (Comprehension)
Memahami artinya suatu kemampuan
menjelaskan secara benar tentang
obyek yang diketahui dan dapat
menginterpretasi materi tersebut
secara benar. Orang yang telah
paham terhadap objek atau materi
harus dapat menjelaskan,
menyebutkan contoh, menyimpulkan,
meramalkan dan sebagainya
terhadap objek yang dipelajari. Hal ini
bisa dilaksanakan melalui kegiatan
pembinaan guru UKS dan konseling
kegiatan UKS.
3. Aplikasi (Application)
Aplikasi diartikan sebagai
kemampuan untuk menggunakan
materi yang telah dipelajari pada
situasi atau kondisi sebenarnya.
Aplikasi disini dapat diartikan
kemampuan guru UKS dalam
menggunakan hukum-hukum, rumus,
metode, prinsip dan sebagainya
dalam mengelola warung sekolah
yang sehat. Hal ini dapat didorong
melalui pembinaan rutin dengan
kegiatan inspeksi sanitasi institusi
sekolah oleh Sanitarian Puskesmas
atau melalui pemantauan perilaku
hidup bersih dan sehat (PHBS)
institusi sekolah oleh tenaga Promosi
Kesehatan Puskesmas..
37
37
4. Analisis (Analysis)
Analisis adalah suatu kemampuan
guru UKS untuk menjabarkan materi
atau suatu objek ke dalam komponen-
komponen dalam struktur organisasi
sekolah dan melalui upaya koordinasi
lintas sektoral. Hal ini dapat
dilaksanakan melalui kegiatan survei
mawas diri oleh pihak sekolah dan
Tim Pembina UKS tingkat kecamatan.
Hasil dari kegiatan tersebut
diharapkan pihak sekolah dapat
memiliki data hasil identifikasi
permasalahan dalam pengelolaan
warung sekolah sehat. Data tersebut
selanjutnya dianalisis secara
bersama-sama oleh berbagai
stakeholder sehingga diperoleh
langkah-langkah prioritas sebagai
tindak lanjut penyelesain masalahnya.
Sehingga upaya pengelolaan warung
sekolah sehat akan menjadi
tanggungjawab semua pihak yaitu
pihak sekolah, orang tua siswa dan
aparat pemerintah setempat.
5. Sintesis (Synthesis)
Sintesis menunjuk pada suatu
kemampuan guru UKS untuk
meletakkan atau menghubungkan
bagian-bagian dalam suatu bentuk
keseluruhan yang baru. Dengan kata
lain sintesis adalah suatu kemampuan
untuk menyempurnakan formulasi
pengelolaan dari yang sudah ada
kearah yang lebih baik. Untuk dapat
meningkatkan pengetahuan guru UKS
mencapai tingkat sintesis perlu upaya
pembinaan terus menerus dan
dukungan sarana dan prasarana dari
dinas instansi terkait.
Kemampuan tersebut dapat difasilitasi
oleh dinas terkait terutama Dinas
Pendidikan dan Dinas Kesehatan.
Misalnya melalui kegiatan workshop
pengelolaan warung sekolah sehat
atau studi banding ke daerah lain
yang pengelolaan warung sekolahnya
sudah jauh lebih baik dan lebih
sehat.Apabila wawasan para guru
UKS sudah meningkat diharapkan
mampu mendorong kepala sekolah
untuk bekerjasama dengan komite
sekolah melakukan inovasi
penyediaan warung sekolah sehat di
sekolah masing-masing.
6. Evaluasi (Evaluation)
Evaluasi ini berkaitan dengan
kemampuan guru UKS untuk
melakukan penilaian terhadap
pengelolaan warung sekolah sehat di
sekolahnya. Penilaian-penilaian itu
berdasarkan kriteria yang telah
ditetapkan oleh Kementerian
Kesehatan dalam Permenkes 1429
Tahun 2006 tentang persyaratan
warung sekolah sehat. Bila sudah
38
mencapai tingkat ini guru UKS dapat
melakukan penilaian sendiri (self
assessment) berdasarkan ketentuan
yang berlaku. Untuk mencapai tingkat
ini para guru UKS perlu ditingkatkan
kemampunnya dalam memahami dan
mengimplementasikan aturan
tersebut. Selain itu dapat juga dengan
melibatkan lintas sektor misalnya
melalui kegiatan lomba warung
sekolah sehat.
2. Hubungan Sikap Guru UKS Dengan
Pengelolaan Warung Sekolah Sehat
Berdasarkan hasil penelitian pada tabel
2 ternyata ada 19 responden dengan
sikap tidak mendukung, dimana
pengelolaan warung sekolahnya tidak
sehat sebanyak 18 responden ( 94,7%)
dan pengelolaan warung sekolahnya
sehata hanya 1 responden (5,3%).
Sedangkan 21 responden dengan sikap
mendukung, dimana pengelolaan
warung sekolahnya tidak sehat sebanyak
20 responden ( 92,5%) dan pengelolaan
warung sekolahnya sehat hanya 1
responden ( 4,8%)
Dari data diatas ada kecenderungan
bahwa sikap guru UKS sebagai yang
bertanggungjawab dalam pembinaan
pengelolaan warung sekolah sehat
antara yang mendukung dan tidak
mendukung hampir sama. Sehingga
diperlukan upaya yang terintegrasi dari
berbagai instansi terkait untuk
memberikan pemahaman dan motivasi
bagi guru UKS agar mempunyai sikap
yang lebih positif untuk mengarahkan
para pengelola warung sekolah kearahg
yang lebih baik sesuai persyaratan
kesehatan.
Hasil uji Fisher Exact pada α = 0,05
ternyata tidak ada hubungan antara
pengetahuan responden dengan
pengelolaan warung sekolah sehat (P >
0,05 )
Menurut Notoatmodjo (2007) sikap nyata
menunjukkan konotasi adanya
kesesuaian reaksi terhadap stimulus
tertentu. Dalam kehidupan sehari-hari
merupakan reaksi yang bersifat
emosional terhadap stimulus sosial..
Namun sikap juga dipengaruhi oleh
tingkat pengetahuan responden dimana
sebagian besar pengetahuan tentang
pengelolaan warung sekolah masih
kurang baik.
Untuk dapat mengembangkan sikap para
guru UKS dalam pengelolaan warung
sekolah sehat, kita dapat mempelajari
konsep tentang tahapan sikap yang
dikemukakan Allport (1954) dalam
Notoatmodjo (2007) yang terdiri
beberapa tingkatan yaitu :
39
39
1. Menerima (Receiving)
Menerima diartikan bahwa guru UKS
siap dan memperhatikan stimulus
yang diberikan berupa sosialisasi
Permenkes 1429 tahun 2006 tentang
persyaratan warung sekolah sehat.
2. Merespon (Responding)
Memberikan jawaban apabila ditanya,
mengerjakan dan menyelesaikan
tugas yang diberikan adalah suatu
indikasi dari sikap. Karena dengan
suatu usaha untuk menjawab
pertanyaan atau mengerjakan tugas
yang diberikan terlepas pekerjaan itu
benar atau salah, berarti orang
menerima ide tersebut. Hasil jawaban
responden yang sebagian besar
bersikap mendukung berbagai
pernyataan untuk mengelola warung
sekolah secara sehat, dapat diartikan
bahwa responden sudah mencapai
tingkat ini.
3. Menghargai (Valuing)
Menghargai artinya mau mengajak
orang lain untuk mengerjakan atau
mendiskusikan terhadap suatu
masalah. Hal ini merupakan suatu
indikasi sikap menghargai. Bila
melihat dari hasil penelitian, sebagian
besar responden (92,5%) telah
bersikap mendukung dalam
mewujudkan warung sekolah yang
sehat melalui saran terhadap
pengelola warung sekolah dan
pemberian informasi terhadap peserta
didik.
4. Bertanggung jawab (Responsible)
Bertanggung jawab atas segala
sesuatu yang dipilihnya dengan
segala resiko merupakan sikap yang
paling tinggi. Sebagian besar
responden telah menunjukkan sikap
mendukung pada pernyataan: guru
berperan besar dalam mewujudkan
warung sekolah yang sehat ( 92,5%).
Hal ini dapat diartikan bahwa
sebagian besar responden menyadari
tanggung jawabnya dalam
mewujudkan pengelolaan warung
sekolah sehat di sekolah,
Adanya stimulus berupa kegiatan
UKS disekolah seharusnya mampu
memotivasi guru UKS untuk
menyampaikan kembali kepada
warga sekolah khususnya dalam
pengelolaan warung sekolah sehat.
Selanjutnya dari sikap positif guru
terhadap pentingnya warung sekolah
sehat akan berdampak terhadap
lingkungan sekolah untuk mendukung
terwujudnya warung sekolah sehat
dan berperilaku sehat.
3. Hubungan Perilaku Guru UKS Dengan
Pengelolaan Warung Sekolah Sehat
Pada table 3 terlihat bahwa ternyata ada
10 responden dengan perilaku kurang
baik, dimana pengelolaan warung
40
sekolahnya tidak sehat sebanyak 9
responden (90%) dan pengelolaan
warung sekolahnya sehat hanya 1
responden (10%). Sedangkan 30
responden dengan perilaku baik, dimana
pengelolaan warung sekolahnya tidak
sehat sebanyak 29 responden (96,7%)
dan pengelolaan warung sekolahnya
sehat hanya 1 responden ( 3,3 %)
Dari data diatas terlihat bahwa
responden sebagian besar telah
berperilaku baik tetapi hal tersebut belum
sejalan dengan pengelolaan warung
sekolah yang sehat. Hal ini disebabkan
oleh beberapa faktor seperti belum
adanya kewenangan dan pendelegasian
yang tegas pada guru yang ditunjuk
menjadi guru UKS dan belum
tersedianya sarana warung sekolah yang
sehat untuk mendukung terwujudnya
perilaku yang baik dalam mengelola
warung sekolah..
Hasil uji Fisher Exact pada α = 0,05
ternyata tidak ada hubungan antara
perilaku responden dengan pengelolaan
warung sekolah sehat ( P > 0,05)
Menurut Notoatmodjo (2007) bahwa
perilaku dipengaruhi oleh faktor :
1. Faktor intern mencakup :
pengetahuan, kecerdasan, persepsi,
emosi, motivasi dan sebagainya yang
berfungsi untuk mengolah ransangan
dari luar.
2. Faktor ekstern mencakup : lingkungan
sekitar baik fisik maupuin non fisik
seperti : iklim, manusia, sosial
ekonomi, kebudayaan dan
sebagainya.
Dengan demikian pengetahuan guru
UKS tentang warung sekolah sehat
saja tidak cukup bila tidak ditunjang
oleh faktor lainnya seperti wewenang,
dukungan berbagai pihak dan sarana
prasarana. Oleh karena itu diperlukan
kerjasama berbagai pihak untuk
terwujudnya pengetahuan warung
sekolah sehat sesuai dengan
persyaratan.
Sedangkan untuk meningkatkan perilaku
responden kearah yang lebih baik dapat
melalui beberapa tahapan antara lain :
1. Persepsi (Perception)
Pada tahapan ini responden dilatih
untuk dapat mengenal lebih
mendalam tentang pengelolaan
warung sekolah sehat sehingga
mereka dapat memilih berbagai model
yang mungkin dapat dilaksanakan
disekolahnya.
2. Respon terpimpin (Guided respons)
Dalam tahap ini responden diberikan
panduan teknis pelaksanaan tentang
cara pengelolaan warung sekolah
sehat. Dasar acuannya adalah
41
Permenkes 1429 tahun 2006 tentang
persyaratan warung sekolah.
3. Mekanisme (Mecanism)
Tahapan ini adalah mendorong agar
semua yang terkait dengan
terwujudnya warung sekolah
senantiasa berperilaku sehat. Dengan
pembiasaan yang terus-menerus
seharusnya dapat mendorong semua
warga sekolah untuk mengelola
warung sekolahnya sesuai dengan
persyaratan yang telah ditentukan.
4. Adaptasi (Adaptation)
Adaptasi adalah suatu prakktik atau
tindakan yang sudah berkembang
dengan baik. Tindakannya sudah
dimodifikasi sendiri tanpa mengurangi
kebenaran tindakannya tersebut.
Merujuk pada Notoatmodjo (2007),
proses tersebut dapat berjalan
dengan baik bila didukung oleh faktor
predisposisi (Predisposing factors)
yaitu melalui peningkatan
pengetahuan guru UKS tentang
pengelolaan warung sekolah sehat,
pembentukan sikap dan menyamakan
persepsi untuk meningkatkan kualitas
penyediaan warung sekolah sehat.
Faktor berikutnya adalah faktor yang
mendukung (Enabling factors), adalah
usaha untuk menyediakan sumber daya
dan fasilitas warung sekolah yang sehat
di sekolah. Selain itu yang terakhir
adalah faktor yang memperkuat
(Reinforcing factors) yaitu usaha untuk
mendapatkan dukungan pihak sekolah
melalui berbagai kebijakannya dan dari
masyarakat sekolah seperti orang tua
siswa dalam menyediakan sarana dan
prasarana warung sekolah yang
memenuhi sayarat.
Untuk merubah perilaku guru UKS dalam
pengelolaan warung sekolah sehat dapat
menggunakan berbagai strategi. Merujuk
pada model strategi menurut WHO
dalam Notoatmodjo (2007), dijelaskan
bahwa pertama adalah dengan
menggunakan kekuatan/kekuasaan agar
terjadi perubahan perilaku walaupun
awalnya dipaksakan, misalnya dengan
adanya peraturan perundangan-
undangan yang harus dipatuhi oleh
sekolah sehinggga diharapkan semua
sekolah dapat mematuhinya. Namun
sebelum upaya diterapkan perlu terlebih
dahulu memberikan pendelegasian dan
wewenang pada guru UKS sehingga ada
kejelasan dalam menegakkan aturan
sesuai dengan fungsi dan wewenangnya
masing-masing.
Lebih lanjut Notoatmodjo
mengemukakan konsep bahwa dengan
pemberian informasi. Strategi dilakukan
dengan memberikan informasi-informasi
mengenai pengelolaan warung sekolah
yang sehat sehingga akan meningkatkan
42
pengetahuan, kesadaran dan akhirnya
akan menyebabkan orang berperilaku
sesuai dengan pengetahuan yang
dimilikinya. Walaupun perubahan
perilaku dengan cara ini akan memakan
waktu lama, tetapi perubahan yang
dicapai akan bersifat langgeng karena
didasari pada kesadaran mereka sendiri
(bukan karena paksaan)
Strategi yang terakhir adalah dengan
metode diskusi dan partisipasi, cara ini
adalah sebagai peningkatan dari cara
kedua. Dimana dalam memberikan
informasi-informasi tidak bersifat searah
tapi dua arah. Hal ini berarti guru UKS
tidak hanya pasif menerima informasi
tentang pengelolaan warung sekolah
sehat, tetapi juga harus aktif melakukan
diskusi-diskusi tentang informasi yang
diterimanya. Memang cara ini lebih lama
dibandingkan dengan cara yang kedua
tapi hasilnya jauh lebih baik
(Notoatmodjo, 2007).
KESIMPULAN
Kesimpulan yang diperoleh dari penelitian
ini adalah :
1. Tidak ada hubungan antara
pengetahuan guru UKS dengan
pengelolaan warung sehat sekolah
2. Tidak ada hubungan antara sikap guru
UKS dengan pengelolaan warung
sekolah sehat
3. Tidak ada hubungan antara perilaku
guru UKS dengan pengelolaan warung
sekolah sehat.
SARAN
1. Bagi guru UKS dan pihak sekolah perlu
adanya peningkatan peran salam
pengelolaan warung sekolah sehat
sesuai dengan pedoman yang berlaku
(Depkes RI Tahun 1994 tentang
Pengelolaan dan Penyehatan Makanan
Warung Sekolah dan Permenkes 1429
Thaun 2006 tentang Pengelolaan
Warung Sekolah Sehat), sehingga
dapat mewujudkan pengelolaan warung
sekolah sehat di sekolah masing-
masing.
2. Bagi Pemerintah khususnya Dinas
Pendidikan agar merencanakan dan
manggarkan pembangunan sarana dan
prasarana yang mendukung
terwujudnya warung sekolah yang
sehat.
3. Bagi Tim Pembina UKS agar melakukan
fasilitasi untuk sekolah-sekolah melalui
pelatihan pengelolaan warung sekolah
sehat. Selain itu juga melakukan
monitoring secara berkala guna
meningkatkan kualitas pengelolaan
warung sekolah sehat.
*Penulis merupakan pengajar STIkes
Budi Luhur
43
KEPUSTAKAAN
Amirin, M.Tatang, drs ( 2004). Menyusun Rencana Penelitian . Cetakan keempat,
Raja Grafindo Perkasa, Jakarta Budiman, Chandra, Dr (1995). Pengantar
Statistik Kesehatan . EGC Jakarta ________ (2007). Pengantar Kesehatan
Lingkungan. EGC. Jakarta DepKes RI, (1994) Pedoman Pengelolaan
dan Penyehatan Makanan Warung Sekolah,
Jakarta. ________ (2004). Pedoman Teknis
Pengendalian Faktor Resiko Kesehatan Lingkungan
Di Sekolah. Dirjen P2M & PLP. Jakarta. DepKes dan Kesra RI (2007), Kumpulan
Keputusan Menteri Kesehatan Bidang Penyehatan Lingkungan. Jilid Ketiga. DitJen
P2M & PLP Depdiknas, (2003). Pedoman dan
Pengembangan Usaha Kesehatan Sekolah. Dit.Jen
Pendidikan Dasar dan Menengah. Jakarta Dinkes Kabupaten Garut ( 2009). Laporan
KLB Keracunan . P2P Hastono, P.S ( 2003). Analisa Data.
Fakultas Kesehatan Masyarakat UI Depok
________ (2007). Analisa Data. Fakultas
Kesehatan Masyarakat. UI Depok Kantin. www.wikipedia.com
Lemeshow et.al (1997). Besar Sampel Dalam Penelitian Kesehatan. Gajah Mada
University Press. Yogyakarta Notoatmodjo, S (2002). Metodologi
Penelitian Kesehatan. Rineka Cipta, Jakarta
________ (2003).Pendidikan Promosi dan
Perilaku Kesehatan. FKM UI.Depok ________ (2005). Promosi Kesehatan :
Teori dan Aplikasi. Rineka Cipta. Jakarta
________ (2007). Kesehatan Masyarakat : Ilmu dan Seni. Rineka Cipta. Jakarta
Puskesmas Haurpanggung (2009). Hasil
Inspeksi Sanitasi Sekolah. Program Kesehatan
Lingkungan Garut Riduwan, Drs, MBA (2007). Belajar Mudah
Penelitian Untuk Guru dan Peneliti Pemula. Alfabeta. Jakarta Sabri L & Hastono, S.P. (2006). Statistik
Kesehatan. Raja Grafindo Perkasa, Jakarta
44
45
PENELITIAN
HUBUNGAN ANTARA PERAN PERAWAT SEBAGAI PEMBERI
ASUHAN DENGAN ADAPTASI PSIKOLOGIS IBU POST PARTUM
PRIMI DI RUMAH SAKIT UMUM CIBABAT KOTA CIMAHI
Rudi Karmi*
ABSTRAK
Ibu post partum primi pada umumnya mengalami perubahan besar baik secara fisik maupun
psikologis. Dengan kelahiran bayinya seorang ibu mengalami kegembiraan dan kegembiraan ini
mencapai klimaksnya pada saat ibu melihat bayinya dan ibu merasakan menjadi wanita yang
dapat memberikan keturunan. Sering kali emosi yang tinggi menurun dengan cepat pada masa
setelah kelahiran, Hal ini disebabkan karena tingkat estrogen dan progesterone dalam tubuh ibu
mengalami penurunan. Peran perawat adalah tindakan keperawatan yang diberikan oleh
perawat terhadap klien. Peran perawat yang baik akan mendukung klien untuk mampu
melakukan adaptasi terhadap masalah dan perubahan-perubahan yang dialami oleh ibu post
partum primi.
Tujuan penelitian ini untuk mengetahui hubungan antara peran perawat sebagai pemberi
asuhan dengan adaptasi psikologis ibu post partum primi. Penelitian ini bersifat kuantitatif
dengan jenis penelitian deskriptif korelasi dan menggunakan pendekatan cross sectional.
Sampel penelitian menggunakan 30 orang responden post partum primi. Kedua variable diuji
menggunakan rank spearman dan ditampilkan dalam diagram dan table. Sebagian besar
responden memiliki koping adaptif 56,7 % (17 orang) dan maladaptive 43,3 % (13 0rang). Pada
peran perawat diperoleh responden yang baik 76,7 % (23 orang) dan kurang baik 23,3 % (7
orang). Berdasarkan hasil uji statistik menunjukan bahwa p-value (0,001) <> α (0,05), artinya
terdapat hubungan peran perawat sebagai pemberi asuhan dengan adaptasi psikologis ibu post
partum primi.
Saran bagi perawat ruang nifas, hendaknya lebih memperhatikan kebutuhan psikologis ibu post
partum primi, saran bagi pengelola Rumah Sakit Umum Daerah Cibabat, hendaknya dapat
menyediakan poster atau tulisan guna menambah pengetahuan klien, saran bagi Institusi
Pendidikan, hendaknya memberikan bekal pengetahuan yang memadai guna menyiapkan
mahasiswanya memasuki dunia kerja.
Kata Kunci = Adaptasi Psikologis, Peran Perawat, Ibu Post Partum Primi
45
PENDAHULUAN
Indonesia tergolong negara dengan jumlah
penduduk usia produktif yaitu usia 15 – 55
th menduduki peringkat pertama dari jumlah
seluruh penduduk di Indonesia (BPS, 2009)
Begitu besar peran dan fungsi seseorang
pada usia produktif sehingga apabila terjadi
perubahan dalam hidupnya yang
berhubungan dengan masalah kesehatan
maka diperlukan perhatian dan pemantauan
dari tenaga kesehatan khususnya tenaga
keperawatan. Adanya perhatian dan
pengawasan dari tenaga keperawatan
diharapkan dapat mengurangi resiko yang
akan terjadi. Sesuai dengan era baru atau
perubahan jaman seorang wanita tidak
hanya berperan sebagai pendamping suami
dan ibu dari anak-anaknya tetapi wanita
jaman sekarang juga bekerja di luar rumah
untuk mencari nafkah guna memenuhi
kebutuhan keluarganya.
Melihat begitu besar peran seorang wanita
usia produktif dalam keluarga maka apabila
mengalami perubahan, perubahan tersebut
dapat mengganggu perannya sebagai
wanita. Salah satu perubahan pada wanita
usia produktif tersebut adalah seorang
wanita pada periode post partum. Hal ini
disebabkan karena pada saat persalinan
yang dialami ibu adalah merupakan masa
krisis yang membutuhkan penyesuaian
sehingga perubahan dan permasalahan
yang terjadi setelah persalinan memerlukan
kemampuan seorang ibu untuk adaptasi.
Ketidakberdayaan, kelelahan fisik,
peningkatan emosi dan krisis menuntun
manusia harus belajar menghadapi
masalah dengan efektif sebagai mekanisme
adaptasi dan kesempatan seperti ini
seorang ibu mengharapkan pemberi
pelayanan khususnya perawat dapat
memberikan pelayanan dengan
memperhatikan aspek psikologis pada ibu
primi post partum. Peran perawat sebagai
pemberi asuhan keperawatan dapat
dilakukan oleh perawat dengan
memperhatikan keadaan kebutuhan pasien
khususnya kebutuhan secara psikologis
melalui pemberian pelayanan keperawatan
dengan menggunakan proses keperawatan
sehingga dapat ditentukan diagnosis
keperawatan agar dapat direncanakan dan
dilaksanakan tindakan yang tepat sesuai
dengan tingkat kebutuhan klien, kemudian
dapat dievaluasi tingkat perkembangannya.
Dengan demikian peran perawat sebagai
pemberi asuhan diharapkan memberikan
pengaruh yang positif terhadap adaptasi
psikologis ibu post partum primi (Irene
Bobok,2005). Ada tiga tahap adaptasi
psikologis yang terjadi pada ibu post
partum yaitu pada tahap satu yang pada
umumnya disebut tahap ketergantungan
terjadi pada hari kesatu, kedua dan ketiga
merupakan fase taking in yaitu masa di
mana ibu mengalami kegembiraan dan
46
kegembiraan tersebut mencapai klimaksnya
pada saat ibu melihat bayi nya dan ibu
merasakan menjadi wanita yang dapat
memberikan keturunan. Sering kali emosi
yang tinggi menurun dengan cepat setelah
kelahiran, hal ini disebabkan karena tingkat
estrogen dan progesterone dalam tubuh ibu
mengalami penurunan,ibu kelelahan karena
persalinan ibu merasakan nyeri pada
daerah jalan lahir dan pembengkakan pada
payudara. Pada masa ini ibu merasa sangat
tertekan dan mungkin menangis karena
beberapa hal yang tidak dipahami.sehingga
pada fase ini ibu membutuhkan bantuan
dan pelayanan dari tenaga keperawatan
dalam memenuhi kebutuhan hidupnya.
Pada tahap ini perawat harus
memperhatikan dan memenuhi kebutuhan
ibu, mengulang-ulang anjuran atau intruksi
yang diberikan karena pada tahap ini bagi
ibu dapat mengurangi kemampuannya
untuk berkonsentrasi pada informasi baru.
Adapun pada tahap kedua yang dimulai hari
ketiga atau ke empat setelah melahirkan
dan berakhir pada minggu keempat yang
disebut fase taking on di mana berada pada
tahap ketergantungan dan tidak
ketergantungan dan ibu siap menerima
peran barunya dan belajar tentang semua
hal-hal yang baru sehingga perawat dapat
mengajarkan hal-hal yang berhubungan
dengan adaptasi psikologis ibu primi post
partum, pada tahap yang ketiga atau pada
fase letting go yang terjadi pada minggu
kelima dan keenam dan ibu sudah berada
di rumah dan ibu secara penuh mulai
menerima tanggung jawabnya sebagai
seorang ibu dan mulai menyadari bahwa
kebutuhan bayinya sangat bergantung
padanya. Pada saat seperti inilah peran
perawat sebagai pemberi asuhan
keperawatan diharapkan kehadirannya oleh
klien untuk mengurangi kekhawatiran dan
kecemasan yang dirasakan. Hal-hal yang
diperlukan oleh ibu post partum adalah
dukungan dari tenaga keperawatan sebagai
pemberi asuhan yang mempengaruhi untuk
sukses dan lancarnya masa transisi untuk
menjadi orang tua, selain dari dukungan
perawat respon yang baik dari keluarga dan
teman dekat juga sangat diperlukan oleh
ibu. Kebahagiaan ibu post partum juga
dipengaruhi dengan riwayat kehamilan dan
melahirkan sebelumnya dan juga harapan
serta keinginan ibu saat hamil dan saat
melahirkan.
METODOLOGI PENELITIAN
Jenis penelitiaan yang digunakan dalam
penelitian ini adalah penelitian korelasi yaitu
penelitian yang bertujuan untuk
menggambarkan hubungan korelasi antar
variabel, yaitu variabel bebas tentang peran
perawat sebagai pemberi asuhan dan
variabel terikatnya tentang adaptasi
psikologis ibu post partum primi. Penelitian
ini menggunakan pendekatan cross
sectional yaitu suatu penelitian untuk
47
mempelajari dinamika korelasi antara
factor-faktor resiko dengan efek dan cara
pendekatan observasi atau pengumpulan
data sekaligus pada suatu waktu . Uji
statistic yang digunakan adalah uji Chi-
square untuk menguji kemaknaan dengan
tingkat kepercayaan 95 %. Hasil akhir uji
statistik adalah mengetahui apakah
keputusan Ho ditolak atau gagal ditolak.
Ketentuannya bila p value < α (0,05) maka
Ho ditolak artinya ada hubungan ada
perbedaan bermakna, jika p value > α
(0,05) maka Ho gagal ditolak artinya tidak
ada hubungan atau perbedaan yang
bermakna (Arikunto,2006).
Pada penelitian ini ada dua hal/variabel
yang diteliti yaitu peran perawat sebagai
pemberi asuhan keperawatan dan adaptasi
psikologis ibu post partum primi. Populasi
dalam penelitian ini adalah perawat yang
dinas di ruang nifas serta ibu post partum
primi (responden) yang dirawat di ruang
nifas Rumah sakit Umum Daerah Cibabat
Kota Cimahi berjumlah 30 orang. Tehnik
pengambilan data dengan cara
membagikan kuesioner kepada klien yang
dijadikan responden. Cara pengisian
kuesioner responden diberi penjelasan dan
dibimbing apabila responden mengalami
kesulitan dalam mengisi kuesioner.
Penelitian ini dilakukan sejak tgl 3 januari
sampai dengan tanggal 16 Februari 2011.
Setelah data dikumpulkan dilakukan
pengolahan data mulai dari editing, coding,
entry data dan cleaning. Analisis data
menggunakan menggunakan analisis uni
variat untuk menjelaskan atau
mendeskripsikan karakteristik masing-
masing variable yang diteliti, fungsinya yaitu
untuk menyederhanakan atau meringkas
kumpulan data tersebut menjadi informasi
yang berguna, dalam penelitian ini informasi
yang disajikan dalam bentuk tabel.
48
Hasil Penelitian
1. Gambaran adaptasi psikologis.
Tabel 1 Gambaran Adaptasi Psikologis Ibu Post Partum Primi di RSUD Cibabat
Periode 3 Januari s.d 5 Februari 2011
No Uraian Jumlah %
1. Adaptif 17 56,7
2. Maladaptif 13 43,3
Jumlah 30 100
Berdasarkan tabel di atas dapat kita ketahui bahwa ibu post partum primi di Rumah
Sakit Umum Daerah Cibabat Kota Cimahi sebanyak 56,7 % memiliki koping yang Adaptif
(17 orang). Sedangkan 43,3 % (13 Orang) memiliki koping maladaptive
2. Gambaran Peran Perawat
Tabel 4.2 Gambaran Peran Perawat Sebagai Pemberi Asuhan di R Nifas RSUD Cibabat
No Uraian Jumlah %
1. Baik 23 76,7
2. Kurang baik 7 23;3
Jumlah 30 100
Berdasarkan tabel di atas terlihat bahwa sebagian besar peran perawat yang dinas
di ruang nifas khususnya terhadap ibu post partum primi baik yaitu 76,7 % (23 orang), dan
23,3 % (7 orang) kurang baik.
3. Hubungan Antara Peran Perawat sebagai Pemberi Asuhan dengan Adaptasi Psikologi
Ibu Post Partum Primi.
Tabel 4.3 Hubungan Antara Peran Perawat sebagai Pemberi Asuhan
dengan Adaptasi Psikologi Ibu Post Partum Primi.
Peran
Perawat
Adaptasi Psikologi
Adaptif Maladaptif Total X p value
F % F % F %
Baik 17 73.9 6 26.1 23 100.0
Kurang Baik 0 0.0 7 100.0 7 100.0 11.940 0.001
Total 17 56.7 13 43.3 30 100.0
49
Hasil tabulasi silang antara peran perawat
sebagai pemberi asuhan dengan adaptasi
psikologi ibu post partum primi. Dari tabel
dapat dilihal bahwa, dari 23 orang yang
menyatakan peran perawat baik 17 orang
(73,9 %) termasuk kategori adaptif dan 6
orang (26.1 %) termasuk kategori mal
adaptif. Dari 7 orang yang menyatakan
peran perawat kurang baik ternyata
seluruhnya termasuk mal adaptif. Hal ini
mengindikasikan bahwa sebagian besar
responden menyatakan perawat termasuk
kategori baik dan termasuk kategori adaptif.
Berdasarkan hasil perhitungan statistic
tersebut diperoleh nilai X² hitung sebesar
11,940 dengan p-value sebesar 0,001. Hasil
uji statistic menunjukan bahwa p-value
(0,001) <> α (0,05), maka itu Ho ditolak.
Artinya, terdapat hubungan peran perawat
sebagai pemberi asuhan dengan adaptasi
psikologi ibu pos partum primi di Rumah
Sakit Umum Cibabat Kota Cimahi.
PEMBAHASAN
Berdasarkan hasil penelitian di atas akan
dibahas satu persatu variabel serta
hubungannya, sehingga nantinya dapat
ditarik suatu kesimpulan dari penelitian ini.
1. Adaptasi Psikologis Ibu Post Partum
Primi
Berdasarkan tabel 1 (satu) di atas,
menunjukan bahwa adaptasi psikologis
ibu post partum primi di Rumah Sakit
Umum Daerah Cibabat Kota Cimahi dari
tanggal 3 Januari sampai dengan 16
Februari tahun 2011 sebanyak 56,7 %
memiliki koping yang adaptif,
sedangkan 43,4 % memiliki koping
maladaptif. Koping adaptif berarti ibu
mampu beradaptasi dengan perubahan-
perubahan yang dialami oleh ibu.
Misalnya ibu menerima peran transisi di
mana ibu menerima peran baru menjadi
orang tua, ibu mampu menjadi orang
tua baru serta mampu merawat dirinya
dan bayinya. Sedangkan koping yang
maladaptif berarti ibu lebih
memfokuskan energinya bagi dirinya
sendiri, ibu ingin diperhatikan dan
dilayani kebutuhannya, ekspresi wajah
murung, ibu belum siap dan belum
mampu menjadi orang tua baru serta
ibu belum mampu merawat dirinya dan
bayinya. Ibu akan memiliki koping yang
adaptif apabila peran perawat sebagai
pemberi asuhan dilakukan sebagaimana
mestinya dan adanya dukungan dari
suami serta dukungan dari anggota
keluarga yang lain. Sedangkan ibu yang
memiliki koping maladaptif sesuai
dengan hasil penelitian disebabkan
karena usia ibu yang relative muda (16
s.d 20 tahun), dimana ibu tersebut
belum siap untuk menjadi orang tua
baru dan berperan sebagai orang tua.
50
2. Peran Perawat
Pada tabel 2 (dua) di atas menunjukan
bahwa peran perawat yang dinas di
ruang nifas rumah sakit umum daerah
cibabat kota cimahi 76,7 % baik dan
23,3 % kurang baik, baik karena
perawat sudah melakukan sesuai
dengan tahapan-tahapan kebutuhan
psikologis pasien, kurang baik karena
perawat kurang memperhatikan
kebutuhan ibu post partum primi secara
psikologis misalnya perawat hanya
kadang-kadang menemani ibu apabila
sedang sendirian,hal ini dikarenakan
perawat sedang melakukan asuhan
keperawatan terhadap klien yang lain.
Peran perawat baik apabila tingkah laku
dari perawat tersebut sesuai dengan
yang diharapkan oleh ibu post partum
atau ibu post partum menerima tindakan
keperawatan dari perawat sesuai
dengan yang diharapkannya.
Sedangkan perawat kurang baik yaitu
apabila tingkah laku perawat tidak atau
kurang sesuai dengan yang diharapkan
ibu poet partum primi atau tindakan
keperawatan yang diterima oleh ibu
kurang atau tidak sesuai dengan yang
diharapkannya.
3. Hubungan antara peran perawat
sebagai pemberi asuhan dengan
adaptasi post partum primi.
Berdasarkan tabel 3 diperoleh nilai X²
hitung sebesar 11,940 dengan p-value
sebesar 0,001. Hasil uji statistic
menunjukan bahwa p-value (0,001) <> α
(0,05), maka itu Ho ditolak. Artinya,
terdapat hubungan peran perawat
sebagai pemberi asuhan dengan
adaptasi psikologi ibu pos partum primi
di Rumah Sakit Umum Cibabat Kota
Cimahi.
SARAN
Setelah mengetahui adanya hubungan
antara peran perawat sebagai pemberi
asuhan dengan adaptasi psikologis ibu post
partum primi maka sebagai perawat
pemberi asuhan keperawatan hendaknya
lebih memperhatikan terhadap kebutuhan
psikologis klien guna mengantisipasi hal-hal
yang berdampak buruk misalnya post
partum blues. Perawat hendaknya
melibatkan keluarga dalam hal memberi
dukungan dan membantu melakukan tugas-
tugas yang seharusnya dikerjakan oleh ibu.
Apabila dukungan dari perawat, suami dan
anggota keluarga baik maka ibu akan
mampu beradaptasi dengan perubahan-
perubahan yang terjadi pada masa ini,
tetapi apabila ibu kurang mendapat
dukungan khususnya dari suami dan
anggota keluarga yang lain maka ibu akan
51
51
mengalami hambatan dalam beradaptasi
dengan perubahan-perubahan yang terjadi,
sehingga ibu akan menderita depresi post
partum / post partum blues.
*Penulis merupakan staf pengajar STIkes
Budi Luhur
DAFTAR PUSTAKA
Alimul, A. 2004. Konsep Dasar Keperawatan. Jakarta : Salemba Medika
Arikunto, S. 2006. Prosedur Penelitian
Suatu Pendekatan Praktek. Edisi Revisi VI. Jakarta : Rineka Cipta
Asmadi, 2008. Konsep Dasar Keperawatan.
Jakarta : EGC Azwar, A. 1998. Metode Penelitian.
Yogjakarta : Pustaka Pelajar BPS, 2009. Data Statistik Usia Produktif.
Jakarta : Raja Grafindo Persada Badriah, D.L 2006. Metodologi Penelitian
Ilmu- ilmu Kesehatan. Bandung :
Multajam. Bobak, 2005. Keperawatan Maternitas.
Jakarta : EGC Hasan Shadily, 2000. Kamus Bahasa
Indonesia, Edisi. Jakarta : Gramedia Helen Farrer, 1999. Keperawatan
maternitas, Jakarta : EGC Hidayat, 2000. Metodologi Penelitian,
Bandung : Alfabeta Notoatmodjo, S, 2005. Metodologi
Penelitian Kesehatan. Jakarta : Rineka Cipta
Nursalam, 2003. Konsep dan Penerapan
Metode Penelitian Ilmu Keperawatan,
Pedoman Skripsi, Tesis dan Instrumen Penelitian Keperawatan. Salemba Medika
Potter & Perry, 2009. Buku Ajar
Fundamental Keperawatan Konsep, Proses dan Praktek. Edisi 4. Alih
Bahasa Yasmin Asih, Dkk. Jakarta : EGC
Siti Saleha, 2009. Asuhan Kebidanan Pada
Masa Nifas. Salemba Medika Sugiono, 2010. Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R & D. Edisi ke 10,
Bandung : Alfabeta STIKes Dharma Husada Bandung, 2010.
Pedoman Penyusunan Skripsi Program Study S1 Keperawatan. Bandung
Wasis, 2008 Metoda Penelitian.
Yogyakarta : Pustaka Pelajar
52