ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMENGARUHI
KEMISKINAN DAN KEBIJAKAN PENGENTASANNYA
DI DKI JAKARTA
OLEH
BACHTIAR MALLO
H14070004
DEPARTEMEN ILMU EKONOMI
FAKULTAS EKOMONI DAN MANAJEMEN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2011
12
RINGKASAN
BACHTIAR MALLO, Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kemiskinan
dan Kebijakan Pengentasannya di Provinsi DKI Jakarta (dibimbing oleh
MANUNTUN PARULIAN HUTAGAOL).
Fokus utama dari pembangunan ekonomi baik di tingkat global maupun di tingkat
nasional telah menghadirkan isu penting tentang pertumbuhan ekonomi,
ketidakmerataan pendapatan, dan kemiskinan. Analisis tentang ketiga hal yang
saling berkaitan tersebut telah menjadi bahan perdebatan yang sangat menarik
terutama bagi para penentu kebijakan yang akan melakukan pemilihan strategi
kebijakan yang pantas untuk diterapkan.
Adanya permasalahan kemiskinan dan ketidakmerataan pendapatan juga akan
menghambat laju pertumbuhan ekomoni itu sendiri. Menurut Galor (2000), hal ini
terjadi karena akumulasi kapital sebagai efek positif ketidakmerataan pendapatan
akan di offset oleh rendahnya akumulasi human capital sebagai efek negatif
adanya kemiskinan. Selain itu, kemiskinan dan ketidakmerataan pendapatan juga
akan memberikan dampak instabilitas sosial, ketidakpastian, dan tragedi
kemanusiaan seperti kelaparan, tingkat kesehatan yang rendah dan gizi buruk.
Bila keadaan tersebut terus berlanjut pada akhirnya akan mengganggu stabilitas
ekonomi makro dan kelangsungan pemerintahan yang ada.
Pemerintah DKI Jakarta telah banyak mengeluarkan kebijakan program-program
yang bertujuan untuk mengurangi tingkat kemiskinan. Program-program tersebut
antara lain adalah program beras miskin yang memungkinkan bagi penduduk
miskin untuk membeli beras dengan harga yang jauh lebih murah dibandingkan
dengan harga beras yang ada di pasar. Lalu ada juga program bantuan operasional
13
sekolah (BOS) agar penduduk miskin dapat pemperoleh pendidikan dasar yang
layak.
Namun, jika dikaji dengan seksama, program-program terbebut cenderung berlaku
secara umum dan belum tertuju langsung pada penduduk miskin. Program-
program tersebut diberlakukan tanpa melihat adanya perbedaan masyarakat
miskin dan yang terjadi adalah program-program yang berjalan kurang efisien
untuk mengurangi kemiskinan. Sehingga perlu adanya integrasi dari faktor-faktor
yang menyebabkan kemiskinan yang kemudian perlu dilakukan studi terhadap
faktor-faktor tersebut.
Penelitian ini akan mengidentifikasi faktor-faktor yang berpengaruh terhadap
kemiskinan di DKI Jakarta. Setelah diketahui tentang faktor-faktor tersebut,
selanjutnya adalah menentukan program-program dan kebijakan apa saja yang
perlu dilakukan untuk mengatasi keniskinan yang terjadi di DKI Jakarta secara
lebih efisien. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi faktor-
faktor yang mempengaruhi kemiskinan di DKI Jakarta. Dari hasil identifikasi
tersebut dapat memberikan gambaran tentang program-program dan kebijakan
yang dapat dilakukan untuk mengurangi kemiskinan secara lebih efisien.
Berdasarkan hasil estimasi regresi data panel, maka variable yang mempengaruhi
tingkat kemiskinan di Provinsi DKI Jakarta adalah angka melek huruf, laju
pertumbuhan ekonomi, PDRB sektor industri, dan tenaga kerja sektor industri.
Pemerintah telah menjalankan banyak kebijakan dan program-program dalam
upaya penanggulangan kemiskinan. Tetapi, program-program tersebut belum
efektif untuk mengurangi kemiskinan secara signifikan. Program-program yang
dijalankan masih berlaku secara umum dan belum mengena langsung pada
sumber penyebab kemiskinan. Sehingga yang terjadi adalah masih tingginya
angka kemiskinan di DKI Jakarta.
Pemerintah perlu menerapkan program-program yang langsung mengena pada
sasaran kemiskinan. Program-program tersebut antara lain: (i) pemberantasan buta
huruf, dapat dilakukan dengan program Keaksaraan Fungsional yang dilanjutkan
dengan Program Kejar Paket A B C, (ii) peningkatan pertumbuhan ekonomi,
dapat dilakukan dengan fokus pembangunan pada sektor kunci (leading sector)
14
yang ada di DKI Jakarta yang dilanjutkan dengan pemerataan distribusi
pendapatan dengan pengoptimalan pemungutan pajak dan penegakan hukum, dan
(iii) penciptaan iklim investasi, dengan memperbaiki sistem birokrasi, manajemen,
infrastruktur, pajak serta menciptakan input/sumber daya yang mendukung, high
return expectation, dan stabilitas ekonomi politik dalam negeri.
15
ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMENGARUHI
KEMISKINAN DAN KEBIJAAN PENGENTASANNYA
DI PROVINSI DKI JAKARTA
Oleh
BACHTIAR MALLO
H14070004
Skripsi
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi
pada Departemen Ilmu Ekonomi
DEPARTEMEN ILMU EKONOMI
FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2011
16
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN
DEPARTEMEN ILMU EKONOMI
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi yang disusun oleh,
Nama Mahasiswa : Bachtiar Mallo
Nomor Registrasi Pokok : H14070004
Program Studi : Ilmu Ekonomi
Judul Skripsi : Analisis Faktor-faktor yang Memengaruhi
Kemiskinan dan Kebijakan Pengentasannya di
Provinsi DKI Jakarta
Dapat diterima sebagai syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada
Departemen Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian
Bogor.
Menyetujui,
Dosen Pembimbing,
Manuntun Parulian Hutagaol, Ph.D
NIP. 19570904 198303 1005
Mengetahui,
Ketua Departemen Ilmu Ekonomi,
Dedi Budiman Hakim, Ph.D
NIP. 19641022 198903 1 003
Tanggal Kelulusan:
17
PERNYATAAN
DENGAN INI SAYA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI INI ADALAH
BENAR-BENAR HASIL KARYA SAYA SENDIRI YANG BELUM PERNAH
DIGUNAKAN SEBAGAI SKRIPSI ATAU KARYA ILMIAH PADA
PERGURUAN TINGGI ATAU LEMBAGA MANAPUN.
Bogor, 2 Mei 2011
Bachtiar Mallo
H14070004
18
RIWAYAT HIDUP
Penulis bernama Bachtiar Mallo, lahir pada tanggal 28 Juli 1989 di
Tangerang, Banten. Penulis merupakan anak ketiga dari empat bersaudara, dari
pasangan Akir Mallo dan Umi Rochaya. Penulis menamatkan sekolah dasar di SD
Negeri 17 Tangerang, kemudian melanjutkan ke SMP Negeri 4 Tangerang, lalu
melanjutkan di SMA Negeri 10 Tangerang dan lulus pada tahun 2007.
Pada tahun 2007 penulis melanjutkan pendidikannya ke jenjang yang
lebih tinggi pada Perguruan Tinggi Negeri Institut Pertanian Bogor (IPB). Penulis
masuk IPB melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USM IPB) dan diterima
sebagai mahasiswa Departemen Ilmu Ekonomi pada Fakultas Ekonomi dan
Manajemen (FEM). IPB menjadi pilihan penulis dengan harapan besar agar
penulis dapat memperoleh ilmu dan mengembangkan pola pikir, sehingga menjadi
sumber daya manusia yang tangguh dan berguna bagi pembangunan Indonesia
tercinta.
Selama menjadi mahasiswa, penulis aktif dalam beberapa organisasi
kemahasiswaan, diantaranya yaitu Himpunan Profesi dan Peminat Ilmu Ekonomi
dan Studi Pembangunan (HIPOTESA) dan Center of Entrepreneurship and
Development for Youth (CENTURY).
Selama menjadi mahasiswa, penulis memperoleh beberapa prestasi
diantaranya, Abang None Jakarta Selatan 2010, Finalis Mahasiswa Berprestasi
Departemen Ilmu Ekonomi 2009, Finalis FEM Ambassador 2009, Juara 2 Mojang
Jajaka Kota Bogor 2008, dan Finalis Remaja Ceria Indonesia 2007.
19
KATA PENGANTAR
Puji syukur atas kehadirat Allah SWT karena nikmat dan hidayah-Nya
sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini tepat pada waktunya. Judul
skripsi ini adalah “Analisis Faktor-Faktor Yang Memengaruhi Kemiskinan
Dan Kebijakan Pengentasannya di DKI Jakarta”. Skripsi ini dibuat untuk
melihat faktor-faktor yang mempengaruhi kemiskinan di Provinsi DKI Jakarta dan
cara menanggulanginya.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada pihak yang telah membantu
dalam penyelesaian skripsi ini terutama kepada:
1. Allah SWT yang selalu memberikan perlindungan dan rahmat-Nya
sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.
2. Kedua orang tua, Akir Mallo dan Umi Rochaya, dan saudara tersayang,
yang selalu memberikan doa dan dorongan yang tiada hentinya.
3. Manuntun Parulian Hutagaol, Ph.D selaku dosen pembimbing yang telah
banyak memberi ide dan saran yang sangat membantu dalam penyelesaian skripsi
ini.
4. Muhammad Firdaus, Ph.D selaku dosen penguji utama yang telah
memberikan saran dan kritiknya demi penyempurnaan skripsi ini.
5. Sri Mulyatsih, M.Si selaku dosen penguji komisi pendidikan yang telah
memberikan masukan dalam perbaikan tata bahasa dan pedoman penulisan
skripsi.
6. Teman-teman seperjuangan satu pembimbing skripsi: Sari Rina, Ranti
Purnamasari, Risya
7. Teman-teman sekaligus keluarga IE 44 atas kebersamaan selama empat
tahun ini.
8. Seluruh pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu yang telah
membantu penulis hingga akhir penyelesaian.
20
Segenap usaha maksimal telah penulis lakukan dalam menyelesaikan
skripsi ini. Namun demikian, penulis mengakui bahwa penulisan skripsi ini
belumlah sempurna, baik dalam segi materi maupun penyusunannya. Semoga
skripsi dapat bermanfat bagi kita semua.
Bogor, 2 Mei 2011
Bachtiar Mallo
H14070004
21
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR ISI ................................................................................................ i
DAFTAR TABEL ...................................................................................... iii
DAFTAR GAMBAR ................................................................................... v
DAFTAR LAMPIRAN ............................................................................... vi
I. PENDAHULUAN .................................................................................... 1
1.1 Latar Belakang ............................................................................... 1
1.2 Rumusan Masalah .......................................................................... 6
1.3 Tujuan Penelitian ........................................................................... 9
1.4 Manfaat Penelitian ........................................................................ 9
II. TINJAUAN PUSTAKA .................................................................. ..... 11
2.1 Kemiskinan .............................................................................. ..... 11
2.2 Faktor Penyebab Kemiskinan .................................................. ..... 16
2.2.1 Pendidikan ....................................................................... ..... 16
2.2.2 Kependudukan dan Ketergantungan ............................... ..... 19
2.2.3 Perekonomian .................................................................. ..... 20
2.2.4 PDRB Sektoral ............................................................... ..... 21
2.3Program Penanggulangan Kemiskinan ............................... ..... 23
2.3.1 Perkembangan Program Kemiskinan di Indonesia ......... ..... 24
2.3.2 Perkembangan Program Kemiskinan di DKI Jakarta ..... ..... 30
2.4Kerangka Pemikiran ........................................................... ..... 36
2.5Hipotesis ............................................................................. ..... 41
III. METODE PENELITIAN ............................................................... ..... 43
3.1 Jenis dan Sumber Data ............................................................. ..... 43
3.2 Metode Analisis ....................................................................... ..... 43
3.2.1 Analisis Data Panel ........................................................ ..... 43
3.2.2 Pemilihan Model dalam Pengolahan Data ..................... ..... 50
3.2.3 Evaluasi Model ............................................................... ..... 53
3.3 Spesifikasi Model .................................................................... ..... 55
22
IV. GAMBARAN UMUM ................................................................... ..... 56
4.1 Perkembangan Tingkat Kemiskinan Provinsi DKI Jakarta .... ..... 56
4.2 Perkembangan Pendidikan ...................................................... ..... 57
4.3 Perkembangan Kependudukan ................................................ ..... 58
4.4 Perkembangan Perekonomian ................................................. ..... 60
4.5 Perkembangan PDRB Sektoral ............................................... ..... 62
4.6 Perkembangan Tenaga Kerja Sektoral ..................................... ..... 64
V. HASIL DAN PEMBAHASAN ...................................................... ..... 67
5.1 Analisis Model Regresi Data Panel.......................................... ..... 67
5.2 Faktor yang Memengaruhi Kemiskinan ................................... ..... 69
5.2.1 Angka Melek Huruf ....................................................... ..... 70
5.2.2 Perekonomian .................................................................. ..... 71
5.2.3 PDRB Sektoral ................................................................ ..... 74
5.2.4 Tenaga Kerja Sektoral ..................................................... ..... 75
5.3 Formulasi Kebijakan Pengentasan Kemiskinan ...................... ..... 77
5.3.1 Program Pengentasan Buta Huruf ................................... ..... 77
5.3.2 Program Peningkatan Pertumbuhan Ekonomi ................ ..... 79
5.3.3 Program Pengembangan Sektor Industri ......................... ..... 82
VI. KESIMPULAN DAN SARAN ....................................................... ..... 86
6.1 Kesimpulan .............................................................................. ..... 86
6.2 Saran ......................................................................................... ..... 87
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................ ..... 88
LAMPIRAN ........................................................................................... ..... 91
23
DAFTAR TABEL
Nomor Halaman
1.1 Produk Domestik Regional Bruto Per Kapita DKI Jakarta,
2001 – 2008 ……………………………………..………………………...3
1.2 Tingkat Pengangguran Terbuka Menurut Jenis Kelamin DKI Jakarta,
Tahun 1999 – 2008 (dalam persen) ……………………………………….4
2.1 Program dan Alokasi Dana Penanggulangan Kemiskinan di DKI Jakarta
Tahun 2004 ……………………………………….……………………...33
3.1 Kerangka Identifikasi Autokorelasi ……………………………………..54
4.1 Jumlah dan Persentase Penduduk Miskin di Provinsi DKI Jakarta
2002 – 2009 ………………………….…………………..…..………..…56
4.2 Angka Melek Huruf Provinsi DKI Jakarta Penduduk Usia 10 Tahun Ke
Atas Menurut Kabupaten/Kota,2002 - 2009 (Persen) ...............................58
4.3 Kepadatan Penduduk Provinsi DKI Jakarta Menurut Kabupaten /Kota,
2002-2009 (Jiwa/Km2) ………………………...…………….……..……59
4.4 Rasio Ketergantungan Penduduk DKI Jakarta Menurut Kabupaten /Kota
2002-2009 ……………………..…………….…………...……………...60
4.5 Laju pertumbuhan PDRB DKI Jakarta Atas Dasar Harga Konstan 2000
Menurut Kabupaten/Kota, 2002-2009 (Persen) ………………….……...61
4.6 Pendapatan Perkapita Provinsi DKI Jakarta Atas Dasar Harga Konstan
2000 Menurut Kabupaten/Kota, 2002-2009 (Juta Rupiah) ……………..62
4.7 PDRB Sektor Industri DKI Jakarta Atas Dasar Harga Konstan 2000
Menurut Kabupaten/Kota, 2002-2009 (Milyar Rupiah) …………….…..63
4.8 PDRB Sektor Jasa DKI Jakarta Atas Dasar Harga Konstan 2000
Menurut Kabupaten/Kota, 2002-2009 (Milyar Rupiah) ………………...64
4.9 Jumlah Tenaga Kerja Sektor Industri Provinsi DKI Jakarta Menurut
Kabupaten/Kota, 2002 – 2009 (Jiwa) …………………………...……….65
4.10 Jumlah Tenaga Kerja Sektor Jasa Provinsi DKI Jakarta Menurut
Kabupaten/Kota, 2002 – 2009 (Jiwa) ………………………...………….66
24
5.1 Hasil Estimasi Koefisien Data Panel Metode Fixed Effect Model
(FEM)……………………………………………………………………………..67
5.2 Hasil Estimasi Koefisien Data Panel Metode Fixed Effect Model
(FEM) …………………………………….…………………..……….....69
5.3 Sektor Andalan (Leading Sectors) Provinsi DKI Jakarta Berdasarkan
Koefisien Penyebaran dan Kepekaan Penyebaran ………………………80
5.4 Pengganda Output, Pendapatan, dan Tenaga Kerja Sektor-Sektor
Perekonomian Provinsi DKI Jakarta ……………………………………82
25
DAFTAR GAMBAR
Nomor Halaman
1.1 Perkembangan Penduduk Miskin DKI Jakarta (Persen) ……..…………..5
2.1 Kerangka Pemikiran ……………………………………..……..….…....40
5.1 Perbandingan Laju PDB Indonesia dan Laju PDRB DKI Jakarta ….….79
26
DAFTAR LAMPIRAN
Hasil Estimasi Pool Least Square ………………………………………………92
Hasil Estimasi Fixed Effect Model …………………………………………….93
Uji Chow ……………………………………………………………………….94
Uji Kenormalan ………………………………………………………………...94
Uji Kehomogenan ……………………………………………………………...95
27
I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Fokus utama dari pembangunan ekonomi baik di tingkat global maupun di
tingkat nasional telah menghadirkan isu penting tentang pertumbuhan ekonomi,
ketidakmerataan pendapatan, dan kemiskinan. Analisis tentang ketiga hal yang
saling berkaitan tersebut telah menjadi bahan perdebatan yang sangat menarik
terutama bagi para penentu kebijakan yang akan melakukan pemilihan strategi
kebijakan yang pantas untuk diterapkan. Pertama, apakah harus mendahulukan
pertumbuhan ekonomi yang dalam hal ini berfokus pada peningkatan pendapatan
perkapita dengan mengesampingkan masalah pembagian distribusi pendapatan
tersebut. Kedua, apakah harus mengutamakan distribusi pendapatan yang lebih
merata tanpa harus mengorbankan pertumbuhan ekonomi.
Pertumbuhan ekonomi yang tinggi bukan merupakan trade-off pemerataan
pendapatan dalam upaya mengurangi kemiskinan. Pertumbuhan ekonomi yang
tinggi dan pemerataan pendapatan harus dilakukan secara stimultan menjadi suatu
bagian yang terintegrasi, agar dapat mengurangi kemiskinan dalam jangka
panjang dan akan meningkatkan kesejahteraan yang berkelanjutan (Adam, 2004).
Pembangunan ekonomi dan distribusi pendapatan bukanlah dua hal yang saling
bertentangan. Pembangunan ekonomi yang mempunyai dampak negatif seperti
kemiskinan, ketidakmerataan pendapatan dan pegangguran harus diatasi dengan
skema pembangunan. Skema pembangunan yang terdiri dari rumusan-rumusan
kebijakan harus mencangkup semua elemen, termasuk penduduk miskin, untuk
28
ikut serta berkontribusi dalam pertumbuhan ekonomi. Keikutsertaan penduduk
miskin bertujuan untuk memberdayakan dan meningkatkan kualitas sumberdaya,
antara lain melalui pendidikan, kesehatan, dan akses informasi.
Di sisi lain, adanya permasalahan kemiskinan dan ketidakmerataan
pendapatan juga akan menghambat laju pertumbuhan ekomoni itu sendiri.
Menurut Galor (2000), hal ini terjadi karena akumulasi kapital sebagai efek positif
ketidakmerataan pendapatan akan di offset oleh rendahnya akumulasi human
capital sebagai efek negatif adanya kemiskinan. Selain itu, kemiskinan dan
ketidakmerataan pendapatan juga akan memberikan dampak instabilitas sosial,
ketidakpastian, dan tragedi kemanusiaan seperti kelaparan, tingkat kesehatan yang
rendah dan gizi buruk. Bila keadaan tersebut terus berlanjut pada akhirnya akan
mengganggu stabilitas ekonomi makro dan kelangsungan pemerintahan yang ada.
Kemiskinan tidak hanya terjadi di daerah atau pedesaan, tetapi kemiskinan
juga banyak terdapat di perkotaan, bahkan kota-kota besar. Kota besar seperti
Jakarta mempunyai masalah tersendiri tentang kemiskinan dan pemerataan
distribusi yang sampai saat ini belum dapat terpecahkan. Jumlah penduduk di
Jakarta yang cenderung bertambah karena adanya arus migrasi masuk ke Jakarta
yang lebih besar daripada arus migrasi keluar Jakarta, merupakan salah satu dari
sumber masalah yang ada di Jakarta. Para urban yang datang ke Jakarta tidak
semuanya mempunyai keahlian dan keterampilan yang khusus dibidangnya yang
dapat dijadikan modal, sehingga mereka cenderung tidak mempunyai modal untuk
tetap dapat hidup layak.
29
Tabel 1.1 menggambarkan jumlah PDRB perkapita penduduk DKI Jakarta
dari tahun 2001-2008. Secara umum terlihat bahwa PDRB perkapita DKI Jakarta
mengalami peningkatan secara signifikan setiap tahunnya. Tahun 2001, total
PDRB perkapita atas dasar harga berlaku adalah Rp 31.496.643 yang kemudian
terus mengalami peningkatan dari tahun ke tahun hingga pada tahun 2008, total
PDRB perkapita atas dasar harga berlaku adalah Rp 74.037.731.
Tabel 1.1 Produk Domestik Regional Bruto Per Kapita DKI Jakarta, 2001 – 2008
Tahun
PDRB Per Kapita Jumlah Penduduk
Pertengahan Tahun (Jiwa)
PDRB Per Kapita Atas Dasar Harga Berlaku (Rupiah)
PDRB Per Kapita Atas Dasar Harga
Konstan 2000 (Rupiah)
2001 31.496.634 28.506.249 8.372.064 2002 35.785.088 29.863.633 8.382.475 2003 38.694.928 30.511.415 8.640.184 2004 42.922.396 31.832.209 8.749.780 2005 48.966.320 33.324.813 8.860.381 2006 55.981.204 34.901.161 8.963.218 2007 62.490.337 36.733.180 9.064.591 2008 74.037.731 38.638.148 9.149.539
Sumber: BPS, 2010
Tabel 1.2 menunjukan persentase pengangguran terbuka menurut jenis
kelamin di DKI Jakarta periode 1999 – 2008. Terlihat bahwa terjadi fluktuasi pada
tingkat pengangguran di DKI Jakarta. Pada tahun 1999, pengangguran terbuka
mencapai 15,66 persen dan turun pada tahun berikutnya, tahun 2000, yaitu 12,50
persen. Tahun 2001, tingkat pengangguran terbuka turun kembali menjadi 11,76
persen, tetapi naik pada tahun berikutnya, tahun 2002, yaitu 15,52 persen.
Selanjutnya, tingkat pengangguran terbuka turun pada tahun-tahun berikutnya
hingga pada tahun 2008, tingkat pengangguran terbuka menjadi 10,97 persen.
30
Tabel 1.2 Tingkat Pengangguran Terbuka Menurut Jenis Kelamin DKI Jakarta, Tahun 1999 – 2008 (dalam persen)
Jenis Kelamin 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008
Laki-laki 13,39 11,11 10,28 13,31 12,90 12,85 13,00 12,79 12,82 11,38 Perempuan 17,92 13,88 13,24 17,73 18,95 18,40 18,37 17,37 14,08 10,56 Jumlah 15,66 12,50 11,76 15,52 15,93 15,63 15,69 15,08 13,45 10,97
Sumber: BPS, 2010
Jika dibandingkan dengan PDRB perkapita yang mengalami peningkatan
yang signifikan, tingkat pengangguran pada tiga tahun terakhir penelitian
menunjukan penurunan. Jika dibandingkan dengan negara lain, seperti Jepang,
tingkat pengangguran di DKI Jakarta masih tergolong cukup tinggi untuk sebuah
kota yang berkembang sangat pesat. Tingkat pengangguran di Jepang pada bulan
Juni 2009 sebesar 5,4 persen (Portal HR, 2009).
Hal ini sangat memungkinkan terjadinya masalah ketimpangan yang
dikemukakan oleh teori pertumbuhan, dimana 90 persen dari pendapatan suatu
daerah dinikmati oleh 20 persen dari total penduduk, sedangkan sisanya yang 10
persen, dinikmati oleh 80 persen dari total penduduk satu daerah. Hal inilah yang
selanjutnya akan menjadi dasar dari konsep ketimpangan dan memunculkan
masalah baru, yaitu kemiskinan.
Gambar 1.1 menunjukan perkembangan penduduk miskin yang ada di
DKI Jakarta selama periode 2002-2009. Terlihat pada Gambar 1.1 bahwa keadaan
kemiskinan di Provinsi DKI Jakarta tidak mengalami penurunan yang signifikan,
melainkan terjadi fluktuasi. Pada awal tahun 2002, tingkat kemiskinan di Provinsi
DKI Jakarta sebesar 3,51 persen dan mengalami kenaikan menjadi 3,62 persen di
tahun 2003. Kenaikan yang tajam terlihat pada tahun 2006 karena akumulasi dati
31
terjadinya krisis energi yang menyebabkan kenaikan harga bahan bakar minyak,
dimana tingkat kemiskinan mencapai angka 4,80 persen. Hingga tahun 2009, tren
kemiskinan mengalami penurunan walaupun tidak signifikan, yaitu menjadi 4,75
persen pada tahun 2007, 3,96 persen pada tahun 2008, dan pada tahun 2009
menjadi 3,88 persen.
Sumber: BPS, 2010 Gambar 1.1 Perkembangan Penduduk Miskin DKI Jakarta dalam Persen
Kemiskinan di DKI Jakarta memiliki suatu kehususan tersendiri, yaitu
urban poverty. Urban Poverty adalah kemiskinan yang terjadi akibat masuknya
penduduk yang bermigrasi masuk ke DKI Jakarta tanpa membawa keahlian
apapun, sehingga akan menjadi beban ketika mereka hidup di Jakarta. Para kaum
urban yang datang tanpa keahlian dan pelatihan serta dengan pendidikan yang
rendah, tidak mampu bersaing dalam mencai pekerjaan dengan penduduk lainnya.
Selanjutnya, yang terjadi adalah munculnya daerah yang menjadi kantong
kemiskinan, seperti banyak ditemukan di DKI Jakarta.
1.2. Rumusan Masalah
32
Tiap warga negara Indonesia berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang
layak. Demikian diamanatkan oleh UUD 1945 pasal 27 ayat (2). Dalam hal ini,
berarti dengan dukungan sumber kekayaan yang melimpah, pemerintah
bertanggung jawab terhadap masalah kesejahteraan masyarakat, salah satunya
adalah masalah kemiskinan.
Upaya pengurangan kemiskinan dapat berjalan dengan maksimal dan lebih
cepat bila didukung dengan adanya pertumbuhan ekonomi yang cepat yang
dibarengi dengan pemerataan distribusi pendapatan (Bourguignon, 2004).
Pertumbuhan ekonomi tersebut memberikan manfaat yang lebih banyak kepada
penduduk miskin dan memberikan kesempatan yang lebih luas bagi mereka untuk
memperbaiki keadaan ekonominya atau bersifat pro poor growth.
Menurut Bellinger (2007), pengurangan kemiskinan juga dipengaruhi oleh
faktor ekonomi maupun non-ekonomi. Faktor ekonomi dapat berupa produktivitas
dari sektor penyokong pertumbuhan ekonomi, pertumbuhan ekonomi, dan
distribusi pendapatan. Besarnya peranan produktivitas sektor terhadap
pengurangan kemiskinan bergantung pada karakteristik perekonomian dan
ketenagakerjaan. Sedangkan faktor non-ekonomi dapat berupa akumulasi modal
manusia yang dapat tercermin dari tingkat pendidikan dan kependudukan.
Pemerintah telah melaksanakan berbagai program dan kebijakan dalam
upaya percepatan pengurangan kemiskinan. Upaya tersebut dilakukan melalui
percepatan pertumbuhan ekonomi dan implementasi berbagai program dan
kebijakan penanggulangan kemiskinan yang dilaksanakan secara terintegerasi,
terarah dan bersinergi antar program. Strategi pembangunan ekonomi bertumpu
33
pada triple track strategy yaitu pro growth, pro job, dan pro poor secara nyata
telah diimplementasi sejak tahun 2005. Pemerintah juga terus meningkatkan
alokasi anggaran penanggulangan kemiskinan termasuk anggaran PNPM Mandiri
sebesar Rp. 23 trilyun (2005), Rp. 42 trilyun (2006), Rp. 51 trilyun (2007), dan
Rp. 62 trilyun (2008).
Percepatan pertumbuhan ekonomi (pro growth) terutama bertumpu pada
perbaikan kinerja investasi dan ekspor, dan ditopang oleh mantapnya
pertumbuhan konsumsi penduduk. Untuk perbaikan kinerja investasi dan
menjamin keberlangsungan pembangunan ekonomi, pemerintah meluncurkan
paket kebijakan secara terintegratif meliputi perbaikan iklim investasi,
pembenahan sektor jasa keuangan, percepatan pembangunan infrastruktur, dan
kebijakan pemberdayaan UMKM.
Sedangkan untuk percepatan pengurangan kemiskinan (pro poor)
dilakukan dengan meningkatkan sasaran dan alokasi dana penanggulangan
kemiskinan. Program tersebut diantaranya adalah program bantuan dan
perlindungan sosial, program berbasis pemberdayaan masyarakat, dan program
pemberdayaan usaha mikro dan kecil.
Namun, kondisi riil yang terjadi di DKI Jakarta pada tahun 2009, sangat
berbeda dengan hasil yang diharapkan dari penerapan kebijakan dan program-
program penanggulangan kemiskinan tersebut. Kebijakan yang ada selama ini
hanya mengatasi gejala yang diakibatkan dari kemiskinan, bukan upaya
pemberantasan dari sumber kemiskinan itu sendiri. Hal ini terlihat bahwa tren
tingkat kemiskinan belum menunjukan penurunan secara signifikan, yaitu masih
34
adanya penduduk miskin di DKI Jakarta yang mencapai 3,88 persen atau sekitar
337200 jiwa. Maka, disimpulkan bahwa kebijakan yang diterapkan oleh
pemerintah belum cukup efektif untuk mengurangi kemiskinan di DKI Jakarta.
Program-program dan kebijakan penanggulangan kemiskinan tersebut masih
memiliki banyak kelemahan dan kendala dalam penerapannya.
Menurut Rancangan Peraturan Daerah DKI Jakarta Tentang Kesejahteraan
Daerah Bagian V Tentang Penanggulangan Kemiskinan, dikatakan bahwa
penanggulangan kemiskinan merupakan kebijakan, program, dan kegiatan yang
dilakukan terhadap orang, keluarga, kelompok dan/atau masyarakat yang tidak
mempunyai atau mempunyai sumber mata pencaharian dan tidak dapat memenuhi
kebutuhan yang layak bagi kemanusiaan. Pelaksanaan penanggulangan
kemiskinan menjadi tanggung jawab bersama pemerintah daerah dan masyarakat.
Penanggulangan kemiskinan ditujukan untuk:
a. meningkatkan kapasitas dan mengembangkan kemampuan dasar serta
kemampuan berusaha masyarakat miskin;
b. memperkuat peran masyarakat miskin dalam pengambilan keputusan
kebijakan publik yang menjamin penghargaan, perlindungan dan pemenuhan
hak – hak dasar.
c. mewujudkan kondisi dan lingkungan ekonomi, politik dan sosial yang
memungkinkan masyarakat miskin dapat memperoleh kesempatan seluas
luasnya dalam pemenuhan hak-hak dasar dan peningkatan taraf hidup secara
berkelanjutan ; dan
d. memberikan rasa aman bagi kelompok masyarakat miskin dan rentan.
35
Berdasarkan latar belakang masalah diatas, maka perlu dianalisis tentang
kemiskinan yang terjadi di DKI Jakarta, dengan perincian masalah sebagai
berikut:
1. Faktor-faktor apa saja yang berpengaruh terhadap kemiskinan di DKI Jakarta?
2. Program-program dan kebijakan apa yang dapat dilakukan untuk mengatasi
kemiskinan yang terjadi di DKI Jakarta?
1.3. Tujuan Penelitian
Berdasarkan latar belakang dan perumusan masalah di atas, maka tujuan
penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat kemiskinan di DKI
Jakarta.
2. Memberikan masukan tentang program dan kebijakan yang dapat dilakukan
pemerintah dalam upaya penanggulangan kemiskinan.
1.4. Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan memberikan manfaat sebagai berikut:
1. Bagi penulis, penelitian ini berguna untuk mengaplikasikan ilmu yang telah
diterima selama perkuliahan
2. Bagi pembaca, penelitian ini diharapkan dapat berguna sebagai sarana
pembelajaran dalam menambah wawasan dan sebagai salah satu sumber
informasi dan bahan untuk penelitian selanjutnya.
3. Bagi pembuat kebijakan yang terlibat dalam penanggulangan kemiskinan,
penelitian ini diharapkan berguna dalam memberikan informasi serta menjadi
36
bahan masukan untuk merumuskan berbagai kebijakan di masa yang akan
datang.
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Kemiskinan
Konsep kemiskinan menurut Bellinger (2007) melibatkan multidimensi,
multidefenisi, dan alternatif pengukuran. Kemiskinan merupakan satu dari
masalah yang sulit untuk didefinisikan dan dijelaskan. Secara umum, kemiskinan
dapat diukur dari dua dimensi yaitu dimensi income atau kekayaan tidak hanya
diukur dari rendahnya pendapatan yang diterima karena pendapatan rendah
biasanya sifatnya sementara, tetapi diukur juga dengan kepemilikan harta
kekayaan seperti lahan bagi petani kecil dan melalui akses jasa pelayanan publik.
Sedangkan dari dimensi non-faktor keuangan ditandai dengan adanya keputus-
asaan atau ketidakberdayaan yang juga dapat menimpa berbagai rumah tangga
berpenghasilan rendah.
37
Dalam perkembangannya, kemiskinan dimensi income lebih sering
didiskusikan karena lebih mudah diukur. Kemiskinan dimensi income dapat
dibedakan menjadi kemiskinan absolute dan kemiskinan relatif. Kemiskinan
absolute mengacu pada ketidakcukupan pendapatan untuk memenuhi kebutuhan
dasarnya seperti makanan, rumah, pakaian, transportasi, dan kesehatan dasar.
Sedangkan kemiskinan relatif diukur dengan membandingakan pendapatan rumah
tangga dengan rata-rata pendapatan nasional.
Besarnya kemiskinan menurut Todaro dan Smith (2006) dapat diukur
dengan mengacu pada garis kemiskinan (poverty line). Konsep yang mengacu
pada garis kemiskinan disebut kemiskinan absolute, sedangkan bila pengukuran
tidak berdasarkan garis kemiskinan melainkan rata-rata pendapatan disebut
kemiskinan relatif. Kemiskinan absoute adalah derajat kemiskinan dibawah
kebutuhan minimum untuk bertahan hidup. Ukuran ini relatif tetap dalam bentuk
kebutuhan kalori minimum ditambah komponen bukan makanan yang juga sangat
dibutuhkan untuk tetap bertahan. Garis kemiskinan berbeda untuk tiap negara,
tetapi yang umum dijadikan standar Bank Dunia untuk membandingkan antar
negara adalah pendapatan perkapita sebesar US$ 1 atau US$ 2 per hari. US dolar
yang digunakan adalah US $ PPP (Purchasing Power Parity), bukan nilai tukar
resmi (exchange rate).
Sedangkan kemiskinan relatif adalah ukuran mengenai kesenjangan di
dalam distribusi pendapatan, biasanya berkaitan dengan ukuran dibawah tingkat
rata-rata distribusi pendapatan nasional. Negara kaya mempunyai garis
kemiskinan yang relatif tinggi dibanding negara miskin. Garis kemiskinan tiap
38
negara biasanya dihitung sesuai dengan paritas daya beli penduduknya. Salah satu
strategi praktis untuk menentukan garis kemiskinan lokal adalah dengan
menetapkan sekelompok makanan yang biasa dibeli oleh rumah tangga yang
hampir tidak memenuhi persyaratan nutrisi minimum, ditambahkan pengeluaran
untuk memenuhi kebutuhan dasar yang lain, seperti pakaian tempat tinggal, dan
pelayanan kesehatan minimum.
BPS (2008) mendefinisikan kemiskinan sebagai kondisi seseorang yang
hanya dapat memenuhi makanannya kurang dari 2100 kalori perkapita per hari
yang setara dengan beras 320 kg perkapita per tahun di perkotaan. Kemiskinan
dipandang sebagai ketidakmampuan untuk memenuhi kebutuhan makanan
maupun yang bukan makanan yang bersifat mendasar seperti pakaian, perumahan,
pendidikan, kesehatan dan pendudukan dasar lainnya, BPS setiap tahun
menetapkan besarnya garis kemiskinan berdasarkan hasil Susenas modul
konsumsi. Garis kemiskinan berbeda-beda untuk tiap provinsi tergantung
besarnya biaya hidup minimum masing-masing provinsi. Garis kemskinan yang
ditetapkan BPS pada tahun 2008 sebedar Rp. 204,896 untuk daerah perkotaan
dan Rp. 161,831 untuk daerah pedesaan.
Selain menggunakan ukuran konsumsi kalori perkapita perhari dan garis
kemiskinan, BPS juga menjelaskan kemiskinan dengan 14 kriteria untuk
mengetahui keluarga/rumah tangga yang tergolong keluarga/rumah tangga miskin,
diantaranya:
1. Luas lantai bangunan tempat tinggal kurang dari 8 m2 per orang
2. Jenis lantai tempat tinggal terbuat dari tanah/ bambu / kayu murahan
39
3. Jenis dinding tempat tinggal dari bambu / rumbia / kayu berkualitas rendah /
tembok tanpa diplester
4. Tidak memiliki fasilitas buang air besar / bersama-sama dengan rumah tangga
lain
5. Sumber penerangan rumah tangga tidak menggunakan listrik
6. Sumber air minum berasal dari sumur / mata air tidak terlindung / sungai /air
hujan
7. Bahan bakar untuk memasak sehari-hari adalah kayu bakar / arang / minyak
tanah
8. Hanya mengkonsumsi daging / susu / ayam satu kali dalam seminggu
9. Hanya membeli satu stel pakaian baru dalam setahun
10. Hanya sanggup makan sebanyak satu / dua kali dalam sehari
11. Tidak sanggup membayar biaya pengobatan di puskesmas / poliklinik
12. Sumber penghasilan kepala rumah tangga adalah : petani dengan luas lahan
500 m2, buruh tani, nelayan, buruh bangunan, buruh perkebunan dan atau
pekerjaan lainnya dengan pendapatan dibawah Rp. 600.000,- per bulan
13. Pendidikan tertinggi kepala rumah tangga : tidak sekolah / tidak tamat SD/
hanya SD
14. Tidak memiliki tabungan / barang yang mudah dijual dengan minimal Rp.
500.000,- seperti sepeda motor kredit / non kredit, emas, ternak, kapal motor,
atau barang modal lainnya.
Menurut Sumodiningrat (1999), klasifikasi kemiskinan ada lima kelas,
yaitu:
40
1. Kemiskinan Absolut
Kemiskinan absolut selain dilihat dari pemenuhan kebutuhan dasar
minimum yang memungkinkan seseorang dapat hidup layak, juga ditentukan oleh
tingkat pendapatan untuk memenuhi kebutuhan. Dengan demikian, tingkat
pendapatan minimum merupakan pembatas antara keadaan yang disebut miskin
atau sering disebut dengan istilah garis kemiskinan. Seseorang termasuk golongan
miskin absolut apabila hasil pendapatannya berada dibawah garis kemiskinan,
tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup minimum, seperti pangan,
sandang, kesehatan, papan, dan pendidikan.
2. Kemiskinan Relatif
Sekelompok orang dalam masyarakat dikatakan mengalami kemiskinan
relatif apabila pendapatannya lebih rendah dibandingkan kelompok lain tanpa
memperhatikan apakah mereka masuk dalam kategori miskin absolut atau tidak.
Penekanan dalam kemiskinan relatif adalah adanya ketimpangan pendapatan
dalam masyarakat antara yang kaya dan yang miskin atau dikenal dengan isltilah
ketimpangan distribusi pendapatan. Ketimpangan relatif untuk menunjukan
ketimpangan pendapatan berguna untuk mengukur ketimpangan pada suatu
wilayah. Kemiskinan relatif juga dapat digunakan untuk mengukur ketimpangan
antar wilayah yang digunakan pada suatu wilayah tertentu. Pengukuran relatif
diukur berdasarkan tingkat pendapatan, ketimpangan sumberdaya alam serta
sumberdaya manusia berupa kualitas pendidikan, kesehatan, dan perumahan.
3. Kemiskinan Struktural
41
Kemiskinan struktural mengacu pada sikap seseorang atau masyarakat
yang disebabkan oleh faktor budaya yang tidak mau berusaha untuk memperbaiki
tingkat kehidupan meskipun ada usaha dari pihak luar untuk membantunya.
Kemiskinan struktural merupakan kemiskinan yang diderita oleh suatu golongan
masyarakat karena struktur sosial masyarakat tidak dapat ikut menggunakan
sumber-sumber pendapatan yang sebenarnya tersedia bagi mereka. Kemiskinan
struktural meliputi kekurangan fasiltas pemukiman yang sehat, kekurangan
pendidikan, kekurangan komunikasi dengan dunia sekitarnya. Kemiskinan
struktural juga dapat dihitung dari kurangnya perlindungan dari hukum dan
pemerintah sebagai birokrasi atau peraturan resmi yang mencegah seseorang
memanfaatkan kesempatan yang ada.
4. Kemiskinan Kronis
Kemiskinan kronis disebabkan oleh beberapa hal, yaitu kondisi sosial
budaya yang mendorong sikap dan kebiasaan hidup masyarakat yang tidak
produktif, keterbatasan sumberdaya dan keterisoliran, rendahnya derajat
pendidikan dan perawatan kesehatan, terbatasnya lapangan kerja dan
ketidakberdayaan masyarakat dalam mengikuti ekonomi pasar.
5. Kemiskinan Sementara
Kemiskinan sementara terjadi akibat adanya: 1) perubahan siklus ekonomi
dari kondisi normal menjadi krisis ekonomi, 2) perubahan yang bersifat musiman,
dan 3) bencana alam atau dampak dari suatu yang menyebabkan menurunnya
tingkat kesejahteraan suatu masyarakat.
2.2. Faktor Penyebab Kemiskinan
42
2.2.1. Pendidikan
Menurut teori pertumbuhan endogen yang dipelopori Lucas dan Romer,
pertumbuhan ekonomi tidak hanya dipengaruhi oleh besarnya modal dan tenaga
kerja tetapi juga dipengararuhi oleh akumulasi modal manusia melalui
pertumbuhan teknologi. Akumulasi modal manusia merupakan akumulasi dari
pendidikan dan pelatihan. Semakin tinggi tingkat pendidikan dan keterampilan
penduduk menunjukan semakin tinggi modal manusia. Secara umum, semakin
berpendidikan seseorang maka tingkat pendapatannya semakin baik. Hal ini
dimungkinkan karena orang yang berpendidikan lebih produktif bila dibandingkan
dengan yang tidak berpendidikan. Produktivitas yang lebih tinggi tersebut
dikarenakan memiliki keterampilan teknis yang diperoleh dari pendidikan. Jika
tingkat pendidikan lebih tinggi, maka akses ke dunia kerja menjadi lebih mudah
dan dapat memperoleh posisi yang lebih baik.
Sementara itu, unit usaha yang diisi oleh mereka yang memiliki
kemampuan lebih baik dalam menyerap teknologi akan menjadi lebih produktif.
Tingkat upah pekerja pun akan meningkat yang berarti kesejahteraan rumah
tangganya juga meningkat. Oleh karena itu, salah satu tujuan yang ingin dicapai
melalui pendidikan adalah mengembangkan keterampilan hidup. Inilah
sebenarnya arah kurikulum berbasis kompetensi, pendidikan life skill and broad
based education yang dikembangkan di Indonesia akhir-akhir ini (Nurkholis,
2004).
Menurut Bank Dunia (2006), tingkat pendidikan penduduk miskin yang
rendah akan menimbulkan lingkaran setan kemikinan pada generasi berikutnya.
43
Penduduk miskin yang berpendidikan rendah akan menyebabkan produktivitasnya
rendah, produktivitas rendah akan membuat output dan pendapatan yang diterima
rendah, sehingga terjadi kemiskinan. Rumah tangga miskin akan kesulitan untuk
membiayai anak-anaknya sekolah sehingga melahirkan generasi selanjurnya yang
berpendidikan rendah dan menimbulkan kemiskinan baru. Sehingga salah satu
upaya untuk menurunkan tingkat kemiskinan sekaligus memotong lingkaran setan
kemiskinan adalah dengan meningkatkan pendidikan penduduk miskin.
Peran penting peningkatan sumberdaya manusia melalui pendidikan dalam
rangka pengentasan kemiskinan juga dikemukakan Bank Dunia maupun Asian
Development Bank (ADB). Bank Dunia (2006) dalam kerangka kerja untuk
memerangi kemiskinan menyebutkan salah satu pilar yang harus dilakukan adalah
peningkatan kesempatan penduduk miskin. Pilar ini dilaksanakan dengan
peningkatan akses penduduk miskin terhadap aset modal fisik dan modal manusia
(pendidikan dan kesehatan) serta peningkatan rate of return dari aset-aset tersebut.
Menurut ADB (1999), salah satu pilar dari strategi penurunan kemiskinan adalah
pengembangan sosial yang terdiri dari pengembangan modal manusia (pendidikan
dan kesehatan), modal sosial, perbaikan status perempuan, dan perlindungan
sosial.
Peran optimal pendidikan dalam pengurangan kemiskinan tergantung pada
akses bagi masyarakat miskin dalam menyelesaikan pendidikan yang lebih tinggi,
yang nantinya sangat menentukan kemampuan mereka dalam bersaing di pasar
kerja. Penduduk miskin sering kesulitan menjangkau fasilitas pendidikan dan
kesulitan keuangan untuk membiayai pendidikan anaknya. Motivasi penduduk
44
miskin untuk membiayai sekolah anaknya di negara berkembang sering tidak
sejalan dengan ekspetasi manfaat yang diterima di kemudian hari. Biaya yang
dikeluarkan sering menjadi penghalang atau tidak sebesar manfaat relatif yang
akan diterima di masa depan (Tambunan, 2006).
Bila penduduk miskin tidak memperoleh akses yang lebih luas untuk
mendapatkan pendidikan yang lebih tinggi terutama di negara ketiga, justru akan
mempertahankan atau bahkan semakin memperlebar jurang kesenjangan
pendapatan, yang pada akhirnya akan menghambat upaya pengurangan
kemiskinan. Hal ini dikarenakan tingkat penghasilan yang diterima sangat
dipengaruhi oleh tingkat pendidikan. Pendapatan penduduk yang telah
menyelesaikan sekolah atau universitas 300 persen atau 800 persen lebih besar
dari penduduk yang hanya berpendidikan sekolah dasar atau kurang dari itu
(Todaro and Smith, 2006).
Menurut penelitian Wiraswara (2005), salah satu variabel yang
mempengaruhi kemiskinan adalah angka melek huruf. Angka melek huruf
memiliki hubungan yang negatif terhadap tingkat kemiskinan, dimana setiap
kenaikan pesentase pada angka melek huruf maka akan mengakibatkan penurunan
persentase tingkat kemiskinan.
2.2.2. Kependudukan dan Ketergantungan
Berdasarkan penelitian Nasir, et all (2006), faktor jumah anggota rumah
tangga merupakan faktor yang sangat berpengaruh terhadap kemiskinan. Jumlah
anggota keluarga yang lebih besar akan menjadi beban suatu rumah tangga dan
sangat mempengaruhi produktivitas kepala keluarga. Beban kepala rumah tangga
45
juga akan berat jika semakin banyak anggota keluarga yang usianya belum/tidak
produktif. Dengan beban yang lebih banyak, maka kemungkinan menjadi miskin
akan lebih besar.
Beberapa penelitian di negara-negara yang sedang berkembang
menunjukan bahwa terdapat korelasi negatif yang kuat antara besaran rumah
tangga dengan konsumsi (pendapatan) per orang. Sering disimpulkan bahwa
penduduk yang hidup dengan keluarga besar lebih miskin daripada penduduk
yang hidup dengan keluarga yang kecil (Ravallion dan Lanjouw, 1994).
Di negara-negara dunia ketiga seringkali anak dijadikan sebagi investasi
karena tidak adanya sistem jaminan sosial dari negara. Bagi rumah tangga miskin,
keberadaan anak yang banyak diharapkan akan dapat menyokong ekonomi
keluarga terutama ketika para orang tua semakin lanjut usianya. Pola pikir masa
lalu yang sering diterapkan yaitu “banyak anak banyak rezeki”.
Rasio ketergantungan dihitung sebagai rasio jumlah anggota rumah tangga
yang tidak berada dalam angkatan kerja (baik tua maupun muda) terhadap mereka
yang berada pada angkatan kerja dalam rumah tangga tersebut. Hal ini
menunjukan bahwa, suatu rasio ketergantungan yang tinggi akan berkorelasi
positif terhadap tingkat kemiskinan rumah tangga. Semakin besar angka rasio
ketergantungan maka semakin besar pula kemungkinan untuk meningkatkan
kemiskinan (BPS, 2002a).
2.2.3. Perekonomian
Kondisi kemiskinan yang terjadi di Indonesia terutama di daerah-daerah
tertinggal adalah karena pengaruh dari kondisi perekonomian yang buruk. Kondisi
46
perekonomian yang buruk tidak mempunyai kendali untuk mendorong
pembangunan di daerah tersebut, apalagi untuk daerah sekitarnya. Hal ini akan
menyebabkan masyarakat sekitarnya hidup dalam perekonomian yang buruk dan
berpotensi besar untuk menjadi penduduk miskin.
Dalam proses pembangunan ekonomi, perubahan ketidakmerataan
pendapatan senantiasa menyertai pertumbuhan ekonomi. Perubahan
ketidakmerataan pendapatan dapat digambarkan dengan perubahan angka Gini
ratio. Ketidakmerataan dapat dikelompokan menjadi tiga berdasarkan angka rasio
Gini, yaitu:
1. Ketidakmerataan rendah apabila angka rasio Gini lebih kecil dari 0,3
2. Ketidakmerataan sedang apabila angka rasio Gini terletak antara 0,3-0,4
3. Ketidakmerataan tinggi apabila angka rasio Gini lebih besar dari 0,4
Menurut penelitian yang dilakukan oleh Suparno (2010), angka rasio Gini
selama periode 2002-2008 menunjukan tingkat ketidakmeratan di Indonesia
tergolong sedang karena masih berada pada kisaran 0,3-0,4 walaupun dengan
angka yang berfluktuasi. Pada tahun 2002, angka rasio gini tercatat sebesar 0,34
kemudian meningkat menjadi 0,40 pada 2005 dan sedikit menurun pada tahun
2008 menjadi sebesar 0,37. Angka rasio Gini tersebut sedikit berbeda dengan
angka yang dipublikasikan BPS, karena data yang dianalisis pada penelitiannya
tidak mencangkup provinsi NAD, Maluku, Maluku Utara, Papua dan Papua Barat.
Pengukuran ketidakmerataan pendapatan dengan menggunakan data
pengeluaran perkapita sebagai proxy data pendapatan perkapita memberikan hasil
yang bias. Ketidakmerataan yang diperoleh akan lebih rendah dari yang
47
seharusnya. Hal ini dikarenakan pendapatan pengeluaran perkapita hanya relevan
untuk menggambarkan pendapatan kelompok penduduk dengan yang
berpenghasilan rendah. Dalam jangka panjang pengeluaran perkapita penduduk
berpenghasilan rendah akan mendekati pendapatan perkapitanya. Sedangkan
pendapatan perkapita kelompok penduduk berpenghasilan menengah ke atas pada
umumnya lebih tinggi daripada pengeluaran perkapitanya. Dengan demikian,
ketidakmerataan pendapatan yang terjadi di Indonesia akan lebih tinggi bila
dihitung berdasarkan pendapatan perkapitanya.
2.2.4. PDRB Sektoral
Peubah PDRB sektoral menggambarkan jumlah output agregat sektor yang
dihasilkan suatu daerah. Peningkatan nilai PDRB sektoral menurut harga konstan
menunjukan adanya pertumbuhan ekonomi sektoral. Pertumbuhan ekonomi
menurut teori ekonomi mengindikasikan semakin banyaknya kesempatan kerja
yang tercipta dan semakin banyak orang yang bekerja, sehingga akan mengurangi
pengangguran dan kemiskinan. PDRB sektoral per tenaga kerja menurut harga
konstan merupakan nilai PDRB sektoral menurut harga konstan tahun 2000 dibagi
dengan jumlah tenaga kerja di sektor tersebut. PDRB sektor pertanian, industri
dan jasa per tenaga kerja juga digunakan untuk mengetahui secara langsung
kesempatan kerja yang terjadi juga menyebar di sektor dimana penduduk miskin
berada melalui peningkatan produktivitas. Selain itu, secara tidak langsung
digunakan untuk mengetahui efektivitas kebijakan pemerintah dalam proses
redistribusi manfaat pertumbuhan yang diperoleh dari sektor pertanian maupun
48
industri dan sektor jasa yang ditengarai memberikan kontribusi terhadap
pengurangan jumlah penduduk miskin (Siregar dan Wahyuniarti, 2007)
Pengaruh kegiatan ekonomi menurut sektoral terhadap pengurangan
kemiskinan juga dikemukakan oleh Montalvo dan Ravallion (2009) dengan
menguji hipotesa pola pertumbuhan sektoral. Kegiatan ekonomi menurut sektor
memiliki dampak pengurangan kemiskinan secara keseluruhan yang independen
terhadap pertumbuhan ekonomi agregat. Hipotesis tersebut berdasarkan dua
alasan. Pertama, kerelevanan ketidakmerataan antar sektor yang cukup besar
menyebabkan pola pertumbuhan antar sektor secara sistematis akan merubah
distribusi pendapatan dan lebih luas lagi pada tingkat kemiskinan dengan tingkat
rata-rata pendapatan tertentu. Secara instuisi, jika pertumbuhan ekonomi sangat
intens dalam sektor-sektor tersebut dan tidak memberikan manfaat kepada
penduduk miskin maka akan meningkatkan ketidakmerataan, dampaknya akan
mengurangi manfaat pertumbuhan secara keseluruhan bagi penduduk miskin.
Kedua, komposisi kegiatan ekonomi menurut sektor merupakan salah satu
faktor yang mempengaruhi tingkat ketidakmerataan awal. Hal ini akan tetap
berlangsung apabila proses pertumbuhan selanjutnya bersifat netral atau semua
pendapatan tumbuh dengan sifat yang sama. Secara instuisi, ketika penduduk
miskin memiliki share pendapatan yang rendah terhadap total pendapatan, mereka
cenderung akan memiliki share manfaat agregat pendapatan yang lebih rendah
selama proses pertumbuhan ekonomi. Secara empiris, distribusi pendapatan awal
yang telah diketahui mempunyai peran yang sangat penting bagi dampak
berikutnya dari pertumbuhan ekonomi terhadap kemiskinan.
49
2.3. Program Penanggulangan Kemiskinan
Kemiskinan adalah permasalahan global bukan hanya permasalahan
negara-negara sedang berkembang. Masalah ini mendapat perhatian global
termasuk Perserikatan Bangsa Bangsa dimana pada tahun 2000 seluruh anggota
PBB membuat Deklarasi Milenium PBB (United Nation Millennium Declaration)
yang salah satu isinya adalah menghilangkan kemiskinan. Deklarasi ini kemudian
dijabarkan dalam Millennium Development Goals (MDGs) yang berisi delapan
tujuan yang harus dicapai pada tahun 2015. Tujuan pertama dari MDGS adalah
menghilangkan kemiskinan dan kelaparan yang ekstrim. Target yang ingin dicapai
adalah mengurangi setengah dari proporsi penduduk yang hidup dengan
pendapatan kurang dari satu dolar perhari dan mengurangi setengah proporsi
penduduk yang menderita kelaparan.
Millennium Development Goals yang merupakan kesepakatan global
dilaksanakan pula oleh Indonesia. Untuk mencapai tujuan tersebut, perlu
ditingkatkan pemahaman mengenai penyebab kemiskinan. Secara makro,
penyebab kemiskinan adalah kesempatan kerja yang terbatas, akses yang terbatas
pada sumber-sumber finansial dan non-perbankan, dan banyaknya migran dengan
keterampilan rendah. Kesempatan kerja yang terbatas sangat erat kaitannya
dengan kondisi perekonomian. Laju pertumbuhan ekonomi yang tinggi
diharapkan mampu mendorong terciptanya kesempatan kerja. Namun sering
dicurigai bahwa pertumbuhan ekonomi yang cepat berakibat buruk pada kaum
miskin karena mereka akan tergilas dan terpinggirkan oleh karena adanya
perubahan struktural perekonomian modern (Todaro dan Smith, 2006). Laporan
50
Bank Dunia tahun 1990 yang mengatakan bahwa diskusi mengenai kebijakan
yang berkenaan dengan golongan miskin biasanya berfokus kepada trade-off
antara pertumbuhan dan kemiskinan. Namun telaah terhadap pengalaman berbagai
negara menyimpulkan bahwa kedua hal tersebut bukanlah suatu trade-off yang
tidak bisa diatasi. Dengan kebijakan yang tepat, golongan miskin dapat
berpatisipasi dan berkontribusi terhadap pertumbuhan, dan jika mereka dapat
melaksanakan hal tersebut, bukan tidak mungkin penurunan tingkat kemiskinan
akan terjadi begitu cepat dan konsisten dengan pertumbuhan ekonomi yang
berkelanjutan.
2.3.1. Perkembangan Program Kemiskinan di Indonesia
Program penanggulangan kemiskinan mulai dilaksanakan pemerintah
sejak Pelita III. Berbagai program sektoral yang bertujuan untuk mengurangi
kemiskinan mewarnai program pembangunan di Indonesia. Di bidang pertanian,
pemerintah mengenalkan program BIMAS dan INMAS untuk penyuluhan pada
petani, perluasan lahan pertanian dan transmigrasi. Kemudian BULOG didirikan
untuk menjaga stabilitas harga beras, gula, dan barang kebutuhan pokok lainnya.
Di sektor keuangan, pemerintah mulai memperhatikan sektor usaha kecil dan
menengah dengan mengenalkan berbagai macam program kredit untuk pengusaha
kecil. Program tersebut antara lain berupa Kredit Investasi Kecil (KIK), Kredit
Usaha Kecil (KUK), Kredit Candak Kulak (KCK), dan Kredit Modal Kerja
Permanen (KMKP). Pemerintah juga menciptakan berbagai macam program
INPRES. Kebijakan itu semua dilakukan dalam rangka memberikan peluang
kepada rakyat kecil untuk memulai usaha.
51
Program khusus pengurangan kemiskinan mulai dilaksanakan pemerintah
sejak 1988 dengan adanya program Pengembangan Kawasan terpadu (PKT) yang
berupa transfer langsung kepada masyarakat. Dalam progam ini pemerintah
memberikan bibit pertanian dan peternakan kepada masyarakat miskin di
pedesaan. Pada tahun 1993, PKT berkembang dari sekedar pemenuhan kebutuhan
akan bibit menjadi pemenuhan akan sarana dan prasarana dasar, seperti jalan,
jembatan, saluran irigasi dan sebagainya, terutama bagi daerah tertinggal.
Kegiatan tersebut berkembang menjadi program INPRES Desa Tertinggal (IDT).
Tahun 1993-1996, program IDT menarik minat berbagai lembaga keuangan
internasional untuk ikut membiayai dan berkembang menjadi Program
Pengembangan Prasarana Desa Tertinggal (P3DT) yang pembiayaannya diperoleh
dari Bank Dunia dan JBIC. Di samping itu, pemerintah melalui Departemen
Sosial, meluncurkan Kredit Usaha Bersama (KUBE) yang diberikan kepada
kelompok usaha di desa.
Memasuki masa krisis multidimensi pada tahun 1997-1998, pemerintah
dalam menjalankan program penanggulangan kemiskinan mulai memperkenalkan
Padat Karya I (Oktober-Desember 1997) yang disertai dengan Padat Karya II
(Desember 1997-Februari 1998). Akan tetapi, program tersebut belum
sepenuhnya berjalan secara efetif dan mulai dirubah dengan program yang
menganut pendekatan pelibatan dan pemberdayaan masyarakat. Oleh karena itu
sejak tahun 1998-1999 program penanggulangan kemiskinan berbasis masyarakat
mulai diperkenalkan ke berbagai daerah di Indonesia. Diantaranya Program
Pengembangan Kecamatan (PPK) di daerah pedesaan dan Program
52
Penanggulangan Kemiskinan Perkotaan (P2KP) serta Program Pendukung
Masyarakat dan Pemerintah Daerah (P2MPD) (Komite, 2009).
Di era otonomi daerah, pemerintah mempunyai komitmen untuk
mempercepat pemecahan masalah kemiskinann dengan membentuk Komite
Penanggulangan Kemiskinan pada tahun 2001. Pada akhir tahun 2003, Komite
Penanggulangan Kemiskinan mengeluarkan dan mengesahkan dokumen I-PRSP
(Interim Poverty Reduction Strategy Paper) sebagai panduan bagi penyusunan
dokumen Strategi Nasional Penanggulangan Kemikinan (SNPK). Pada tahun
2004, pemerintah telah menyusun Strategi Nasional Penanggulangan Kemiskinan.
SNPK merupakan strategi dan rencana aksi untuk mempercepat tujuan dan
sasaran penanggulangan kemiskinan. SNPK dituangkan dalam RPJM tahun 2004-
2009 yang memuat kebijakan pembangunan dan rencana kerja pemerintah selama
lima tahun. Dengan mengacu RPJM, pemerintah setiap tahun akan menyusun
Rencana Kerja Pemerintah (RKP) sebagai penjabaran dan operasionalisasi RPJM.
Pada tingkat provinsi dan kabupaten/kota, pemerintah daerah membentuk Strategi
Penanggulangan Kemiskinan Daerah (SPKD) dengan mengacu pada SNPK dan
menjadi bagian integral dari rencana pembangunan di tingkat pemerintah provinsi
dan kabupaten/kota.
Pada tahun 2005, pemerintah membentuk Tim Koordinasi
Penanggulangan Kemiskinan yang beranggotakan lintas departemen dan diketuai
oleh Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat. Tim tersebut dibentuk dengan
tujuan untuk mengintegrasikan dan sinkronasi berbagai program kemiskinan di
setiap departemen agar program penanggulangan kemiskinan dapat berjalan lebih
53
terarah, bersinergi satu sama lain dan tidak tumpang tindih. TKPK menetapkan
upaya penanggulangan kemiskinan dengan paradigma pola penanganan yang
bersifat multisektoral. Sedangkan ditingkat daerah, pemerintah membentuk Tim
Koordinasi Penanggulangan Kemiskinan Daerah (TKPKD) guna mengefektifkan
program penanggulangan kemiskinan di tingkat daerah. TKPK mengelompokan
program penanggulangan kemiskinan berdasarkan segmentsi masyarakat
penerima program sebagai berikut:
1. Program berbasis bantuan dan perlindungan sosial yang terdiri atas program
yang bertujuan untuk pemenuhan hak dasar, pengurangan beban hidup, serta
peningkatan kualitas hidup masyarakat miskin. Program ini berbentuk bantuan
raskin, jamkesmas, bantuan fakir miskin, bantuan korban bencana, bantuan
langsung tunai, PKH, beasiswa siswa miskin, serta peningkatan kapasitas
kelembagaan pengarusutamaan gender (PUG) dan pengarusutamaan anak
(PUA).
2. Program berbasis pemberdayaan masyarakat melalui PNPM mandiri. Program
ini dilakukan dengan pendekatan partisipatif berdasarkan kebutuhan
masyarakat, berupaya menguatkan kapasitas kelembagaan masyarakat, dan
kegiatannya dilaksanakan oleh masyarakat secara swakelola dan berkelompok.
3. Program berbasis pemberdayaan usaha kecil dan mikro terdiri atas program-
program yang bertujuan untuk memberikan akses dan penguatan ekonomi bagi
pelaku usaha berskala mikro dan kecil, dalam bentuk bantuan modal,
peningkatan kapasitas, dan pemberian kredit usaha rakyat (TKPK, 2009)
54
Program PNPM mandiri diluncurkan oleh presiden pada 30 April 2007.
PNPM Mandiri merupakan harmonisasi dan sinkronasi kebijakan dari program-
program pemberdayaan masyarakat dalam hal pemilihan sasaran, prinsip dasar,
strategi, pendekatan, mekanisme, dan prosedur yang diperlukan untuk
mempercepat penanggulangan kemiskinan dan mempercepat penciptaan lapangan
kerja. Secara bertahap dikonsolidasikan untuk digabung dengan berbagai
program-program pemberdayaan masyarakat untuk penanggulangan kemiskinan
yang tersebar di kementrian/lembaga seperti PPK, P2KP, Proyek Peningkatan
Pendapatan Petani dan Nelayan Kecil (P4K), Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat
Pesisir (PEMP), dan lain sebagainya.
PNPM Mandiri dikategorikan menjadi dua jenis, yakni PNPM Inti dan
PNPM Penguatan. PNPM Inti terdiri dari program berbasis kewilayahan seperti
PNPM Pedesaan (PPK), PNPM Perkotaan (P2KP), PNPM Daerah Tertinggal
(P2DTK), PNPM Infrastruktur Pedesaan (PPIP) dan PNPM Infrastruktur Sosial
Ekonomi Wilayah (PISEW). Sedangkan dengan kategori PNPM Penguatan yang
terdiri dari program pemberdayaan masyarakat berbasiskan sektoral, kewilayahan
serta khusus mendukung penanggulangan kemiskinan seperti Program Usaha
Agribisnis Pedesaan (PUAP), BLM untuk Keringanan Investasi Pertanian (BLM
KIP), PNPM Mandiri Kelautan dan Perikanan, PNPM Mandiri Pariwisata, PNPM
Mandiri Perumahan dan Pemukiman serta PNPM Mandiri Generasi (TP PNPM,
2007)
Pada November 2007, pemerintah meluncurkan Kredit Usaha Rakyat
(KUR). KUR adalah skema kredit yang bertujuan untuk memperkuat pemodalan
55
UMKM dalam rangka penanggulangan kemiskinan, KUR khusus diperuntukan
bagi UMKM dan Koperasi yang usahanya layak namun tidak mempunyai agunan
yang cukup sesuai persyaratan yang ditetapkan perbankan. Selain itu, KUR
memberikan akses kredit kepada kelompok masyarakat yang telah dilatih dan
ditingkatan keberdayaan serta kemandiriannya pada program berbasis
pemberdayaan masyarakat PNPM Mandiri, sehingga mampu untuk memanfaatkan
skema pendanaan yang berasal dari lembaga keuangan formal seperti Bank,
Koperasi, BPR, dan sebagainya. UMKM dapat langsung mengakses KUR di Bank
Pelaksana yaitu Bank BRI, Bank Mandri, Bank BNI, Bank BTN, Bank Bukopin,
dan Bank Syariah Mandiri atau melalui lembaga keuangan mikro serta melalui
kegiatan linkage program lainnya yang bekerja sama dengan bank pelaksana.
Sejak bulan Februari 2008, diluncurkan KUR mikro dengan plafon maksimum
lima juta rupiah per nasabah usaha mikro yang disalurkan melalui bank pelaksana
KUR (TKPK, 2009).
2.3.2. Perkembangan Program Kemiskinan di DKI Jakarta
Dalam menanggulangi kemiskinan, berbagai kebijakan telah dilakukan
oleh pemerintah provinsi DKI Jakarta. Batasan kemiskinan mengacu kepada hasil
Konferensi Dunia untuk Pembangunan Sosial (World Summit for Social
Development) tahun 1995 dikatakan sebagai wujud yang majemuk, termasuk
rendahnya tingkat pendidikan, dan sumberdaya yang produktif yang menjamin
kehidupan kesinambungan; kelaparan dan kekurangan gizi; rendahnya tingkat
kesehatan; keterbatasan akses kepada pendidikan; dan layanan-layanan pokok
lainnya; kondisi tidak wajar dan kematian akibat penyakit yang terus meningkat;
56
kehidupan gelandangan dan tempat tinggal yang tidak memadai; lingkungan yang
tidak aman dan diskriminatif serta keterasingan sosial. Dari batasan tersebut dapat
dilihat bahwa masalah kemiskinan bukan merupakan masalah satu sektor saja
melainkan multi dimensional/multi sektor, sehingga dalam penanggulangannya
perlu dikoordinasikan dari berbagai sektor.
Menindaklanjuti Keputusan Presiden Nomor 124 Tahun 2001 Tentang
Komite Penanggulangan Kemiskinan, maka Pemerintah Provinsi DKI Jakarta
membentuk Komite Penanggulangan Kemiskinan melalui Keputusan Gubernur
Nomor 1582/2002. Komite yang terdiri dari berbagai instansi terkait ini
mempunyai tugas pokok yang salah satunya adalah meningkatkan keberhasilan
penanggulangan kemiskinan di Provinsi DKI Jakarta yang diantara dengan
melakukan langkah-langkah nyata untuk mempercepat pengurangan jumlah
penduduk miskin. Upaya penanggulangan kemiskinan ini diperkuat pula dengan
Keputusan Gubernur Nomor 1791/2004 tentang Strategi Penanggulangan
Kemiskinan di Provindi DKI Jakarta.
Strategi induk penanggulangan masalah kemiskinan Provinsi DKI Jakarta
adalah mendorong terciptanya lembaga keuangan mikro professional berbasis
non-kolateral di tingkat kelurahan sebagai intitusi yang diharapkan dapat
mendorong peningkatan kemampuan dasar masyarakat miskin dalam
meningkatkan pendapatan sekaligus akses terhadap sumberdaya ekonomi. Strategi
ini dilakukan melalui dua pendekatan yaitu (a) community empowerment dan
capacity building dan (b) social protection.
57
Community empowerment dan capacity building adalah upaya
meningkatkan pendapatan melalui produktivitas dengan penguatan kemampuan
masyarakat miskin dalam pengelolaan, memperoleh peluang dan perlindungan
untuk membentuk hasil yang lebih baik dalam berbagai kegiatan ekonomi, politik,
sosial dan budaya. Seangkan social protection adalah upaya untuk mengurangi
pengeluaran masyarakat melalui pemberian subsidi dan bantuan untuk
mengurangi pengurangan beban kebutuhan dasar seperti akses teradap pendidikan,
kesehatan, dan infrastruktur yang mempermudah mendukung kegiatan sosial
ekonomi.
Untuk mencapai strategi induk diperlukan strategi penunjang yaitu:
1. Pengembangan basis data dan penetapan indikator penduduk miskin sesuai
dengan kondisi faktual DKI Jakarta sehingga diperoleh pemetaan dan
identifikasi masalah kemiskinan yang komperhensif sebagai dasar berbagai
program intervensi penanggulangan kemiskinan.
2. Pengembangan multi process card penduduk miskin sebagai mekanisme
wujud perlindungan sosial yang menjamin ketetapan pemberian subsidi dan
bantuan dalam upaya peningkatan akses penduduk miskin kepada layanan
kebutuhan dasar yang bersifat langsung seperti pendidikan, kesehatan serta
layanan dasar lainnya.
3. Pembentukan jejaring kerja antara pemerintah, legislatif, dunia usaha dan
berbagai stakeholder lainnya guna mendukung keterpaduan program
penanggulangan kemiskinan.
58
Pelaksanaan program penanggulangan kemiskinan dilaksanakan secara
terpadu dan terkoordinasi yang meliputi aspek-aspek pendidikan, kesehatan,
ekonomi, subsidi, fisik lingkungan, tenaga kerja, pemberdayaan masyarakat dan
perlindungan sosial. Berbagai program aksi telah dilaksanakan untuk aspek-aspek
tersebut. Khusus untuk aspek subsidi, beberapa program yang telah dilaksanakan
adalah beras miskin, bantuan beasiswa siswa/mahasiswa kurang mampu, dan
bantuan air bersih.
Dalam rangka penaggulangan kemiskinan, pemerintah Provinsi DKI
Jakarta pada tahun 2004 telah mengalokasikan 884 milyar rupiah. Alokasi
tertinggi adalah untuk pemberdayaan masyarakat yang di dalamnya termasuk
Program Pemberdayaan Masyarakat Kelurahan (PPMK). Selain pemberdayaan
masyarakat, sektor yang menjadi fokus penanggulangan kemiskinan adalah
bidang pendidikan dan kesehatan. Salah satu cara untuk memutuskan rantai
kemiskinan rumah tangga adalah dengan meningkatkan pendidikan anggota
rumah tangga sehingga mereka berpeluang untuk mendapatkan pekerjaan yang
lebih baik.
Tabel. 2.1 Program dan Alokasi Dana Penanggulangan Kemiskinan di DKI Jakarta Tahun 2004
Bidang yang di berikan Bantuan Besarnya Bantuan (Rp) Usaha Kecil Menengah dan Koperasi 26.002.000.000Permukiman 4.045.665.000Perindustrian 310.000.000Pariwisata 50.000.000Peternakan dan Perikanan 1.184.000.000Pendidikan 267.987.835.000Pemberdayaan Masyarakat 359.550.000.000Peran Serta dan Rehabilitasi Sosial 3.309.484.000Ketenagakerjaan 1.337.500.000
59
Pemerintahan 3.809.663.000Kependudukan dan Keluarga Berencana 8.141.939.088Pemakaman 752.400.000Kesehatan 207.632.069.100Total 884.112.555.188
Sumber: Bapeda Pemprov DKI Jakarta, 2005
Program Pemberdayaan Mayarakat Kelurahan (PPMK) adalah program
yang digulirkan oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta untuk memberdayakan
masyarakat yang mencangkup seluruh aspek kehidupan dan penghidupan
masyarakat baik fisik maupun non-fisik melalui lembaga kemasyarakatan yang
ada di kelurahan, dengan mengadakan bantuan langsung kepada masyarakat.
Pelaksanaan PPMK mengacu pada Pelaksanaan P2KP. Bantuan langsung
diberikan dengan pendekatan Tribina, yaitu bina ekonomi adalah sebesar 60
persen berupa dana bergulir, untuk bina fisik dan sosial masing-masing 20 persen.
Di samping itu prinsip-prinsip dari pelaksanaan PPMK ini mengacu pula pada
prinsip P2KP seperti demokrasi, transparansi, partisipatif, dan akuntabilitas.
Program ini digulirkan pada tahun 2001 dengan pemberian dana sebesar
dua milyar rupiah pada beberapa kelurahan. Sejak tahun 2002, seluruh kelurahan
mendapatkan dana PPMK sebesar 250 juta rupiah. Nilai dana PPMK terus
mengalami peningkatan, pada tahun 2003 naik menjadi 500 juta rupiah per
kelurahan dan pada tahun 2004 menjadi 700 juta rupiah. Pada tahun 2005 setiap
kelurahan memperoleh dana PPMK sebesar satu milyar rupiah.
Pemerintah DKI Jakarta sangat memperhatikan masalah pendidikan karena
pendidikan berpengaruh sangat nyata kepada kemiskinan. Pendidikan tinggi
memberikan peluang untuk mendapatkan kerja yang lebih baik sehingga mereka
60
dapat terus berada di luar lingkaran kemiskinan. Program penanggulangan
kemiskinan yang berkaitan dengan masalah pendidikan telah dilakukan baik untuk
pendidikan dasar (SD dan SMP) maupun tingkat pendidikan menengah (SMU/K
dan PT). Dana yang disalurkan untuk pendidikan hingga tahun 2004 adalah
sebesar 268 milyar rupiah. Dana tersebut dialokasikan untuk berbagai kegiatan
diantaranya:
a. Bantuan biaya pendidikan
b. Penyelenggaraan SD Wajar
c. Penyelenggaraan program Paket A dan Paket B
d. Penyelenggaraan guru kunjung
e. Program pemberian makanan tambahan anak murid SD
f. Pembinaan keterampilan menjahit anak putus sekolah
g. Pembinaan keterampilan tata boga anak putus sekolah
Di samping pendidikan, bidang kesehatan menjadi prioritas utama dalam
penanggulangan kemiskinan. PRSP Sourcebook Bank Dunia menjelaskan bahwa
dampak kondisi kesehatan yang buruk berpengaruh terhadap kemiskinan, yang
meliputi dimensi sebagai berikut:
1. Ketidakmampuan untuk mempertahankan pekerjaan
2. Ketidakmampuan untuk memperoleh pendapatan yang memadai
3. Menurunnya kemampan belajar dan berfikir
4. Risiko cidera dan kecelakaan
5. Hasil capaian pendidikan yang buruk
61
Pemerintah Provinsi DKI Jakarta pada tahun 2004 mengalokasikan dana
sebesar 207,6 milyar rupiah bagi penanggulangan kemiskinan di bidang
kesehatan, diantaranya adalah untuk:
a. Pelayanan keluarga miskin
b. Imunisasi posyandu
c. Intervensi balita gizi buruk
d. Pemberian makanan tambahan untuk balita kurang gizi
e. Pemberian makanan tambahan untuk ibu hamil
Kegiatan-kegiatan ini sebagian besar dilakukan di puskesmas, karena
puskesmas adalah tempat pelayanan kesehatan yang paling banyak dikunjungi
oleh rumah tangga miskin. Harga yang relatif terjangkau dan lokasi yang relatif
dekat dengan tempat tinggal menjadi faktor utama pemilihan puskesmas sebagai
tempat berobat rumah tangga miskin.
Faktor utama yang menyebabkan rumah tangga terjerat dalam kemiskinan
adalah tingkat pendapatan yang rendah. Pemerintah Provinsi DKI Jakarta
mengalokasikan dana sebesar 26 milyar rupiah untuk membantu usaha kecil dan
menengah agar mereka mampu untuk meningkatkan pendapatan mereka.
Beberapa kegiatan yang dilakukan diantaranya adalah:
1. Bimbingan teknis usaha kecil dan menengah
2. Bimbingan konsultasi usaha kecil dan menengah
3. Pembuatan depo/warung usaha kecil dan menengah
4. Pembuatan desain dan pengadaan produk tanda mata khas DKI Jakarta
untuk usaha kecil dan menengah
62
5. Diklat kewirausahaan dan manajemen bagi kelompok usaha kecil dan
menengah
6. Pembinaan teknis usaha skala mikro
7. Pasar rakyat
8. Pembentukan usaha kecil dan sejenisnya
Bidang kependudukan menjadi perhatian dalam program penanggulangan
kemiskinan. Pada tahun 2004, dana yang dialokasikan untuk bidang
kependudukan dan keluarga berencana sekitar delapan milyar rupiah. Kegiatan
keluarga berencana ditekankan pada pengadaan alat kontrasepsi dan pelayanan
KB bagi akseptor KB yang berasal dari keluarga miskin.
2.4. Kerangka Pemikiran
Dalam analisis ekonomi regional, secara implisit seringkali diasumsikan
bahwa daerah atau region yang dianalisis adalah homogen. Padahal secara faktual
terdapat perbedaan yang menciptakan suatu hubungan unik antara suatu bagian
dengan bagian lainnya dalam wilayah tersebut. Dalam suatu wilayah, ada
penduduk atau kegiatan yang terkonsentrasi pada suatu tempat, yang disebut
dengan berbagai istilah seperti: kota, pusat perdagangan, pusat industri, pusat
pertumbuhan, simpul distribusi, pusat permukiman, atau darah modal. Sebaliknya,
daerah di luar pusat konsentrasi dinamakan: daerah pedalaman, wilayah belakang
(hinterland), daerah pertanian atau daerah pedesaan (Tarigan, 2004).
Proses aglomerasi pada pusat pertumbuhan di Jakarta, menjadikan Jakarta
sebagai kota Metropolitan. Namun di lain pihak, pemusatan aktivitas tersebut
mendorong peningkatan migrasi ke Jakarta yang ditandai dengan pertumbuhan
63
penduduk yang senantiasa meningkat. Pertumbuhan penduduk yang pesat akan
menimbukan berbagai masalah, antara lain masalah penyediaan lapangan kerja,
perumahan, infrastruktur, kriminalitas, kependudukan dan lingkungan.
Ketika lapangan kerja formal yang tersedia tidak dapat menyerap seluruh
angkatan kerja, maka mereka yang tidak terserap akan masuk ke sektor kerja yang
informal dan sebagian dari mereka akan menjadi pengangguran. Pendapatan yang
diterima di sektor informal jauh lebih rendah dibandingkan yang diperoleh di
sektor formal. Dengan pendapatan rendah tersebut, maka mereka sulit untuk
mengakses pelayanan dasar seperti pendidikan, kesehatan, air bersih, dan tempat
tinggal yang layak.
Kebijakan-kebijakan pembangunan yang diterapkan oleh pemerintah DKI
Jakarta sering kali berdampak pada timbulnya kemiskinan. Iklim usaha yang tidak
baik dapat berdampak pula pada kemiskinan. Penerapan Upah Minimum Provinsi
(UMP) yang dirasakan cukup berat dapat menyebabkan mengurangi jumlah
pegawainya. Kebijakan ekonomi dimasa lalu telah menyebabkan krisis ekonomi
yang cukup parah di Indonesia. Roda perekonomian yang lumpuh telah
menyebabkan banyak perusahaan harus melakukan pemutusan hubungan kerja
(PHK) besar-besaran. Hal ini berdampak pada peningkatan jumlah penduduk
miskin. Di samping itu, kebijakan dalam bidang tenaga kerja yang ada belum
dapat mengatasi masalah pengangguran, dampaknya adalah jumlah pengangguran
yang tinggi.
Program-program yang ada sekarang ini, belum secara efektif dapat
mengurangi angka kemiskinan. Program-progam terlalu bersifat umum tanpa
64
membedakan karakteristik penyebab kemiskinan pada penduduk miskin itu
sendiri. Sehingga, faktor-faktor yang ada tidak terbentuk menjadi integerasi yang
utuh dan sulit untuk dikaji untuk membuat kebijakan yang lebih efektif.
Program yang bersifat bantuan langsung seperti raskin, BLT, PKH,
jamkesmas, dan beasiswa miskin mempunyai kelemahan terutama dalam
penetapan sasaran. Penyaluran bantuan tidak tepat sasaran baik karena data yang
tidak valid maupun minimnya penerapan prinsip good governance di lembaga
penyaluran bantuan.
Program-program pemberdayaan masyarakat seperti PPK, P2KP, P4K
yang saat ini masih terintegerasi dengan PNPM Mandiri masih menggunakan
logika proyek, belum optimal melibatkan penduduk miskin dalam menentukan
jenis maupun sosialisasi kegiatan sehingga manfaat yang diperoleh tidak sesuai
dengan kebutuhan penduduk miskin. Program PNPM Mandiri juga belum
terlaksana di seluruh daerah karena keterbatasan anggaran (Ardaninggar, 2009).
Kendala eksternal yang terjadi seperti krisis energi pada tahun 2005 dan krisis
global yang mulai terasa dampaknya pada tahun 2008 membawa pengaruh
terhadap seluruh sendi perekonomian. Guncangan ini mengakibatkan peningkatan
inflasi dan penurunan permintaan dan penawaran agregat sehingga banyak
penduduk miskin semakin terpuruk.
Penelitian ini akan menduga dari sisi sosial-ekonomi, bahwa pendidikan,
kependudukan, perekonomian, pendapatan perkapita, tingkat ketergantungan, dan
kesempatan kerja akan memengaruhi tingkat kemiskinan.
65
./
Analisis Pemerintah
Analisis Penelitian
Program-program dan Kebijakan Pengurangan Kemiskinan Pemerintah DKI Jakarta
Tingginya Angka Kemiskinan
Provinsi DKI Jakarta
Penurunan Angka Kemiskinan
Provinsi DKI Jakarta
-AMH -Kepadatan Penduduk -Rasio Ketergantungan -Pendapatan Perkapita
-Laju Pertumbuhan PDRB -PDRB Industri
-PDBR Jasa -Tk. Sektor Industri
-Tk. Sektor Jasa
Faktor-faktor Penyebab Kemiskinan dan Keadaan Riil DKI Jakarta
Program-program dan Kebijakan Efektif
Pengurangan Kemiskinan
-P2KP -SNPK -PUAD
-PNPM Mandiri -PPMK -KUR -BOS
-Keluarga Berencana - UMR / UMP
Identifikasi Faktor-faktor
Penyebab Kemiskinan
Gambar 2.1 Keragka Pemikiran
2.5. Hipotesis
Berdasarkan latar belakang, permasalahan dan tinjauan pustaka tersebut di
atas, maka hipotesis dari penelitian ini adalah:
1. Terdapat faktor yang menyebabkan kemiskinan, diantaranya:
a. Angka melek huruf mempengaruhi kemiskinan. Penurunan angka
melek huruf akan memperbanyak jumlah penduduk miskin dan
sebaliknya.
b. Kepadatan penduduk mempengaruhi kemiskinan. Penurunan
kepadatan penduduk akan menurunkan jumlah penuduk miskin dan
sebaliknya
c. Tingkat ketergantungan mempengaruhi penduduk miskin. Semakin
kecil tingkat ketergantungan maka jumlah penduduk miskin akan
semakin berkurang dan sebaliknya.
d. Laju pertumbuhan ekonomi DKI Jakarta mempengaruhi kemiskinan.
Peningkatan perekonomian DKI Jakarta akan menurunkan jumlah
penduduk miskin dan sebaliknya
e. Pendapatan perkapita mempengaruhi kemiskinan. Peningkatan
pendapatan perkapita akan mengurangi tingkat kemiskinan dan
sebaliknya
f. PDRB sektor industri mempengaruhi kemiskinan. Semakin besar
PDRB sektor industri maka penduduk miskin akan semakin berkurang.
g. PDRB sektor jasa mempengaruhi kemiskinan. Semakin besar PDRB
sektor jasa maka penduduk miskin akan semakin berkurang.
57
h. Tenaga kerja sektor industri mempengaruhi kemiskinan. Semakin
banyak tenaga sektor industri maka penduduk miskin akan semakin
berkurang.
i. Tenaga kerja sektor jasa mempengaruhi kemiskinan. Semakin banyak
tenaga sektor jasa maka penduduk miskin akan semakin berkurang
2. Terdapat program-program yang telah dilakukan oleh pemerintah DKI
Jakarta maupun pemerintah nasional untuk mengatasi masalah
kemiskinan. Namun program-program tersebut belum dapat bekerja secara
efektif dalam mengurangi angka kemiskinan secara signifikan. Maka,
berdasarkan hasil analisis, akan diperoleh program-program dan kebijakan
yang lebih efektif untuk mengurangi kemiskinan
58
III. METODE PENELITIAN
3.1. Jenis dan Sumber Data
Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder. Data
yang diperlukan meliputi: angka meleh huruf, kepadatan penduduk, tingkat
ketergantungan, pendapatan perkapita, laju pertumbuhan ekonomi DKI Jakarta,
PDRB sektor industri, PDRB sektor jasa, tenaga kerja sektor industri, enaga kerja
sektor jasa.
Sumber data diperoleh dari Badan Pusat Statistik (BPS) dan publikasi dari
beberapa penelitian terdahulu. Periode analisis pada penelitian ini adalah tahun
2002 sampai dengan tahun 2009.
3.2. Metode Analisis
Metode analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis
deskriptif dan analisis panel data. Analisis deskriptif digunakan untuk
memberikan gambaran umum tentang keadaan kemiskinan di DKI Jakarta.
Sedangkan analisis panel data digunakan untuk menganalisis faktor-faktor yang
mempengaruhi kemiskinan di DKI Jakarta. Pengolahan data dilakukan dengan
bantuan perangkat lunak Microsoft Excel dan E-Views 6.
3.2.1. Analisis Panel Data
Data panel adalah data yang memiliki dimensi ruang (individu) dan waktu.
Dalam data panel, jika setiap unit cross section memiliki jumlah observasi time
series yang sama, maka disebut sebagai balanced panel. Sebaliknya, jika
observasi berbeda untuk setiap unit cross section maka disebut unbalanced panel.
59
Penggabungan data cross section dan time series dalam studi data panel
digunakan untuk mengatasi kelemahan dan menjawab pertanyaan yang tidak bisa
dijawab oleh model cross section dan time series murni.
Secara umum, keunggulan dari penggunaan data panel dalam analisis
ekonometrik antara lain:
1. Mampu mengontrol heterogenitas individu
2. Memeberikan informasi yang lebih banyak dan beragam, meminimalkan
masalah kolinearitas, meningkatkan jumlah derajat bebas dan lebih efisien.
3. Data panel umumnya lebih baik jika digunakan dalam studi dynamics of
adjustment.
4. Data panel lebih baik dalam mengukur dan mengidentifikasi efek yang
tidak dapat dideteksi apabila menggunakan data cross section dan time
series murni.
5. Data panel dapat digunakan untuk mengkonstruksi dan menguji model
perilaku yang lebih kompleks dibandingkan data cros section atau time
series murni
Kendati demikian, analisis panel data juga memiliki beberapa kelemahan
dan keterbatasan dalam penggunaannya khususnya apabila data panel
dikumpulkan atau diperoleh dengan metode survei. Permasalahan tersebut antara
lain:
1. Relatif besarnya data panel karena melibatkan komponen cross section
dan time series menimbulkan masalah desain survei panel, pengumpulan
dan manajemen data (masalah yang umumnya dihadapi diantaranya:
60
coverage, nonresponse, kemampuan daya ingat responden, frekuensi dan
waktu wawancara)
2. Distorsi kesalahan pengamatan (measurement error) yang umumnya
terjadi karena kegagalan respon (contoh: pertanyaan yang tidak jelas dan
ketidaktepatan informasi)
3. Masalah selektivitas, yakni: selfselectivity, nonrespond, attrition (jumlah
responden yang terus berkurang pada survey lanjutan)
4. Cross section dependence (contoh: apabila macro panel data dengan unit
analisis negara atau wilayah dengan deret waktu yang panjang
mengabaikan cross-country dependence maka dapat mengakibatkan
kesimpuln yang tidak tepat)
Model umum regresi panel data dapat diformulasikan sebagai berikut:
yit = α + βit + uit……………………………………………….(3.1)
dimana uit ~ HD(0,σ2) dan i = 1, 2, 3, …, N adalah jumlah observasi antar individu
sementara t = 1, 2, 3, …, T adalah observasi runtut waktu. Dalam persamaan
tersebut, intersep (α) dan slope (β) diasumsikan homogenus antara seluruh N
individu dan T runtut waktu. Namun kondisi ini tidak selamanya sesuai dengan
kerangka ekonomi yang dianalisis. Ketidaksesuaian ini dimungkinkan atas dua
kemungkinan, yaitu:
1. Suatu kondisi dimana intersep dalam model bersifat heterogen (αi≠αj)
sementara slopenya homogen (βi=βj)
2. Suatu kondisi dimana intersep dalam model bersifat heterogen (αi≠αj)
demikian pula dengan slopenya (βi≠βj)
61
Dari kedua hal tersebut diatas, model estimasi data panel dapat
diekspresikan dalam sejumlah bentuk. Jadi terdapat empat macam model estimasi
data panel yang dapat digunakan:
1. Apabila diasumsikan bahwa intersep bervariasi antar individu sementara
slope bersifat konstan, maka persamaan akan menjadi:
yit = αi + βXit + uit……..………………………………(3.2)
2. Apabila diasumsikan bahwa intersep bervariasi antar individu dan antar
waktu sementara slope bersifat konstan, maka persamaan akan menjadi:
yit = αit + βXit + uit……….……………………………(3.3)
3. Apabila diasumsikan bahwa intersep dan slope bervariasi antar individu
tetapi konstan antar waktu, maka persamaan akan menjadi:
yit = αi + βiXit + uit……..………………………………(3.4)
4. Apabila diasumsikan bahwa intersep dan slope bervariasi antar individu
dan antar waktu, maka persamaan akan menjadi:
yit = αit + βitXit + uit……………………………...……(3.5)
Berdasarkan keempat model tersebut, koefisien α dan β diasumsikan
tertentu. Klasifikasi lainnya adalah ketika diasumsikan bahwa parameter-
parameter ini random generating dan disebut sebagai random coefficient models.
Selain itu, dari keempat model diatas, jika asumsi homogenitas baik pada
intersep maupun pada slope ditolak, maka heterogenitas antar individu akan
tercermin pada salah satu atau lebih persamaan. Tujuan dari penentuan model
yang sesuai adalah untuk menghilangkan bias dari variabel-variabel yang
digunakan dalam model. Bias yang diakibatkan pengabaian heterogenitas dari
62
koefisien-koefisien estimasi disebut juga sebagai heterogenity bias. Mengabaikan
heterogenitas baik intersep maupun slope dapat mengakibatkan hasil estimasi
yang tidak konsisten dan meaningless.
Penentuan model analisis data panel dalam rangka menghilangkan
heterogenity bias dapat dilakukan dengan plotting variabel dependen terhadap
variabel independen. Analisis plotting ini berfungsi sebagai mekanisme
identifikasi model yang sesuai dalam analisis data panel. Sementara itu untuk
menguji terjadi atau tidaknya heterogenity bias dapat dilakukan uji hipotesis
heterogenitas. Uji dilakukan dengan mengestimasi persamaan (3.4) dimana
diasumsikan slope bersifat homogen antar individu. Kemudian uji hipotesis
dilakukan terhadap:
H0 : β1 = β2 = ... = βN = β
Ha : βi ≠ βj untuk i ≠ j
dimana : i = 1, ..., N
j = 1, ..., N
Uji hipotesis di atas dapat dilakukan dengan mekanisme Wald-test. Jika
pengujian tidak menolak hipotesis nol, maka koefisien individual bersifat random
dan identik dengan rata-ratanya. Dalam hal ini, estimasi dilakukan pada model
yang mengasumsikan slope bersifat homogen seperti pada persamaan (3.1) sampai
(3.2).
Terdapat beberapa asumsi dasar yang melandasi penentuan model data
panel. Asumsi dasar ini ditentukan oleh conditionality dari variabel bebas (xi,t)
63
yang digunakan dalam model data panel itu sendiri. Asumsi dasar dimaksud
adalah sebagai berikut:
1. Individual-varying time-invariant, dimana nilai variabel (baik kuantitatif
maupun kualitatif) yang sama untuk sebuah unit kerat lintang sepanjang waktu
namun berbeda antar unit kerat lintang. Contohnya adalah jenis kelamin, latar
belakang sosial-ekonomi dan sebagainya.
2. Period-varying individual-invariant, dimana nilai variabel (baik kuantitatif
maupun kualitatif) sama unutk semua unit kerat lintang namun berubah
menurut runtun waktu. Contohnya adalah tingkat bunga.
3. Individual time-varying variables, dimana nilai variabel (baik kuantitatif
maupun kualitatif) bervariasi antar unit kerat lintang dan waktu. Contohnya
adalah keuntungan perusahaan, tingkat penjualan.
Berdasarkan pemilihan model tersebut di atas kemudian akan menentukan
metode estimasi dari model panel-panel yang dipilih. Terdapat tiga metode dalam
mengestimasi data panel, yaitu:
1. Pooled Least Square (PLS)
Dalam metode ini terdapat (K) regressor dalam (xit), kecuali konstanta.
Metode ini juga dikenal sebagai Common Effect Model (CEM). Jika efek
individual (αi) konstan sepanjang waktu (t) dan spesifik terhadap setiap unit (i)
maka modelnya akan sama dengan model regresi biasa. Jika nilai (αi) sama untuk
setiap unitnya, maka OLS akan menghasilkan estimasi yang konsisten dan efisien
untuk (α) dan (β). Oleh karena itu, metode ini dapat digunakan dalam
mengestimasi persamaan (3.2). Metode ini sederhana namun hasilnya tidak
64
memadai karena setiap observasi diperlakukan seperti observasi yang berdiri
sendiri.
2. Fixed Effect Model (FEM)
Model ini menggunakan semacam peubah boneka untuk menungkinkan
perubahan-perubahan dalam intersep-intersep kerat lintang dan runtut waktu
akibat adanya peubah-peubah yang dihilangkan. Intersep hanya bervariasi
terhadap individu namun konstan terhdap waktu sedangkan slopenya konstan baik
terhadap individu maupu waktu. Jadi αi adalah sebuah grup dari spesifik nilai
konstan pada model regresi. Fornulasi umum model ini mengasumsikan bahwa
perbedaan antar unit dapat diketahui dari perbedaan nilai konstantanya.
Kelemahan model efek tetap adalah penggunaan jumlah derajat kebebasan yang
banyak serta penggunaan peubah boneka tidak secara langsung
mengidentifikasikan apa yang menyebabkan garis regresi bergeser lintas waktu
dan lintas individu. Modelnya ditulis sebagai yi = αi + βxi + εi.
3. Random Effects Models (REM)
Intersepnya bervariasi terhadap individu dan waktu namun slopenya
konstan terhadap individu maupun waktu. Jadi (αi) adalah sebuah grup dari
gangguan khusus, mirip seperti (εit) kebuali untuk setiap grup ada nilai khusus
yang masuk dalam regresi secara identik untuk setiap periode. Nilai (αi)
terdistribusi secara acak pada unit-unit kerat lintang. Metode ini juga dikenal
sebagai variance components estimation. Model ini meningkatkan efisiensi proses
pendugaan kuadrat terkecil dengan memperhitungkan pengganggu-penggangu
kerat lintang dan deret waktu. Model estimasinya yang digunakan adalah yit = αi +
65
β’xit + μ + εit dengan (μi) adalah nilai gangguan acak pada observasi (i) dan
konstan sepanjang waktu.
Berdasarkan penjabaran metode estimasi di atas dapat dikatakan bahwa
FEM digunakan atas asumsi bahwa dampak dari gangguan mempunyai pengaruh
yang tetap (dianggap sebagai bagian dari intersep). Sedangkan REM digunakan
atas asumsi bahwa gangguan diasumsikan bersifat acak. Penentuan model atas
pertimbangan perilaku dari gangguan yang bersifat tetap atau acak pada individu
(i) akan berpengaruh terhadap bias dan hasil estimasi. Bias yang terjadi akibat
kesalahan menetukan model berdasarkan perilaku gangguannya disebut dengan
selectivity bias.
3.2.2. Pemilihan Model dalam Pengolahan Data
Pemilihan model yang digunakan dalam sebuah penelitian perlu dilakukan
berdasarkan pertimbangan statistik. Hal ini ditujukan untuk memperoleh dugaan
yang efrisien.
Chow Test
Chow Test (uji F-statistik) adalah pengujian untuk memilih apakah model
yang digunakan Pooled Least Square atau Fixed Effect. Sebagaimana yang
diketahui bahwa terkadang asumsi bahwa setiap unit cross section memiliki
perilaku yang sama cenderung tidak realistis mengingat dimungkinkan setiap unit
cross section memiliki perilaku yang berbeda. Dalam pengujian ini dilakukan
dengan hipotesa sebagai berikut:
H0 : Model Pooled Least Square
H1 : Model Fixed Effect
66
Dasar penolakan terhadap Hipotesa Nol (H0) adalah dengan menggunakan
F-statistik seperti yang dirumuskan oleh Chow:
(ESS1 – ESS2) (N – 1) CHOW = ..............................................(3.6) (ESS2) (NT – N – K)
Dimana:
ESS1 = Residual Sum Square hasil pendugaan model pooled least square
ESS2 = Residual Sum Square hasil pendugaan model fixed effect
N = Jumlah data cross section
T = Jumlah data time series
K = Jumlah variabel penjelas
Statistik Chow Test mengikuti distribusi F-statistik dengan derajat bebas
(N – 1,NT – N – K) jika nilai CHOW statistics (F-stat) hasil pengujian lebih besar
dari F-Tabel, maka cukup bukti untuk melakukan penerimaan terhadap Hipotesa
Nol sehingga model yang digunakan adalah model fixed effect, dan begitu juga
sebaliknya. Pengujian ini disebut sebagai Chow Test karena kemiripannya dengan
Chow Test yang digunakan untuk menguji stabilitas parameter (stability test).
Hausman Test
Hausman Test adalah pengujian statistik sebagai dasar pertimbangan kita
dalam memilih apakah menggunakan model fixed effect atau model random effect.
Seperti yang kita ketahui bahwa penggunaan model fixed effect mengandung suatu
unsur trade-off yaitu hilangnya derajat bebas dengan memasukkan variabel
dummy. Namun, penggunaan metode random effect juga harus memperhatikan
ketiadaan pelanggaran asumsi dari setiap komponen galat.
67
Hausman Test dilakukan dengan hipotesa sebagai berikut:
H0 : Model Fixed Effect
H1 : Model Random Effect
Sebagai dasar penolakan Hipotesa Nol maka digunakan Statistik Hausman dan
membandingkannya dengan Chi-Square. Statistik Hausman dirumuskan dengan:
m = (β – b)(M0 – M1)-1(β - b) ~ χ 2 (K) ……...............…………(3.7)
Dimana β adalah vektor untuk statistik variabel fixed effect, b adalah vektor
statistik variabel random effect, M0 adalah matriks kovarians untuk dugaan fixed
effect model dam M1 adalah matriks kovarians untuk dugaan random effect model.
Jika nilai m hasil pengujian lebih besar dari χ2 – Tabel, atau nilai hausman test
lebih besar dari taraf nyata maka cukup bukti untuk melakukan penerimaan
terhadap hipotesa nol sehingga model yang digunakan adalah model fixed effect,
dan begitu pula sebaliknya.
LM Test
LM Test atau lengkapnya The Breusch-Pagan LM Test digunkan sebagai
pertimbangan statistik dalam memilih model Random Effect atau Pooled Least
Square. LM Test dilakukan dengan hipotesa sebagai berikut:
H0 : Model Pooled Least Square
H1: Model Random Effect
Dasar penolakan terhadap H0 adalah dengan menggunakan statistik LM yang
mengikuti distribusi dari Chi-Square. Statistik LM dihitung dengan menggunakan
residual OLS yang diperoleh dari hasil estimasi model Pooled, dimana:
68
NT T 2 Σ εi2 2
LM = -1 ~ χ2 ……………………..(3.8) 2(T – 1) Σ Σ εit
2 Jika nilai LM hasil perhitungan lebih besar dari χ2 – Tabel, maka cukup
bukti untuk melakukan penolakan terhadap hipotesa nol, sehingga model yang
digunakan adalah model random effect, dan begitu pula sebaliknya.
3.2.3. Evaluasi Model
Multikolinearitas
Indikasi multikolinearitas tercermin dengan melihat hasil t dan F-statistik
hasil regresi. Jika banyak koefisien parameter dari t-statistik diduga tidak
signifikan sementara dari hasil F-hitung signifikan, maka patut diduga adanya
multikolinearitas. Multikolinearitas dapat diatasi dengan menghilangkan variabel
yang tidak signifikan.
Autokorelasi
Autokorelasi dapat mempengaruhi efisiensi dari estimatornya. Untuk
mendeteksi adanya korelasi serial adalah dengan melihat nilai Durbin-Watson
(DW) dalam Eviews. Unutk mengetahui ada atau tidaknya autokorelasi, maka
dilakukan dengan membanndingkan DW-statistik dengan DW-tabel. Adapun
kerangka identifikasi autokorelasi terangkum dalam Tabel 3.1.
Korelasi serial ditemukan jika error dari periode waktu yang berbeda,
saling berkorelasi. Hal ini bisa dideteksi dengan melihat pola random error dari
hasil regresi. Pada analisis seperti yang dilakukan dalam model, jika ditemukan
korelasi serial, maka model menjadi tidak efisien meskipun tidak bias dan
konsisten. Perlakuan untuk pelanggaran ini adalah dengan menambahkan AR (1)
69
atau AR (2) dan seterusnya, tergantung dari banyaknya autokorelasi pada model
regresi yang digunakan.
Tabel 3.1. Kerangka Identifikasi Autokorelasi Nilai DW Hasil DW < dl Tolak H0, korelasi serial positif
dl < DW < du Hasil tidak dapat ditentukan du < DW < 4-du Terima H0, tidak ada korelasi positif atau negatif
4-du < DW < 4-dl Hasil tidak dapat ditentukan DW < 4-dl Tolak H0, korelasi serial negatif
Sumber : Nachrowi (2006)
Heteroskedastisitas
Dalam regresi linear ganda, salah satu asumsi yang harus dipenuhi agar
taksiran parameter dalam model tersebut BLUE adalah Var (ui) = σ 2 (konstan),
semua varian mempunyai variasi yang sama. Pada umunya, heteroskedastisitas
diperoleh pada data cross section. Jika pada model dijumpai heteroskedastisitas,
maka model menjadi tidak efisien meskipun tidak bias dan konsisten. Dengan kata
lain, jika regresi tetap dilakukan meskipun ada masalah heteroskedastisitas maka
pada hasil regresi akan terjadi ”misleading” (Gujarati, 1995).
Untuk menguji adanya pelanggaran asumsi Heteroskedastisitas, digunakan
uji White-heteroskedasticity yang diperoleh dalam program Eviews. Dengan uji
white, membandingkan Obs* R-Squared dengan χ2 (Chi-Squared) tabel, jika nilai
Obs* R-Squared lebih kecil daripada χ2-tabel maka tidak ada heteroskedastisitas
pada model. Dalam pengolahan data poanel dalam Eviews 6 yang menggunakan
metode General Least Square (Cross Section Weights), maka untuk mendeteksi
adanya heteroskedastisitas adalah dengan membandingkan Sum Square Resid
pada Weighted Statistics dengan Sum Squared Resid Unweighted Statistics. Jika
70
Sum Square Resid pada Weighted Statistics < Sum Squared Resid Unweighted
Statistics, maka terjadi heteroskedastisitas. Perlakuan untuk pelanggaran tersebut
adalah dengan mengestimasi GLS dengan White Heteroscedasticity.
3.3. Spesifikasi Model
Model yang digunakan untuk mengetahui faktor-faktor yang
mempengaruhi tingkat kemiskinan adalah:
MISKINit = (β0 + αi + µt) + β1 AMHit + β2 PDDKit + β3 PDRBit + β4 KTGit + β5 PPKPTit + β6 PINDit + β7 PJASAit + β8 TKINDit + β9
TKJASAit + uit
dimana:
MISKINit : Jumlah penduduk miskin di kota ke-i pada tahun ke-t
AMHit :Angka melek huruf berdasarkan usia di atas 10 tahun pada kota ke-i pada tahun ke-t
KTGit : Tingkat ketergantungan penduduk kota ke-i pada tahun
ke-t PDDKit : Kepadatan penduduk penduduk kota ke-i pada tahun ke-t
PPKPTit : Pendapatan perkapita kota ke-i pada tahun ke-t
LAJUit : Laju pertumbuhan kota ke-i pada tahun ke-t
PINDit : PDRB Sektor Industri kota ke-i pada tahun ke-t
PJASAit : PDRB Sektor Jasa kota ke-i pada tahun ke-t
TKINDit : Pekerja sektor industri kota ke-i pada tahun ke-t
TKJASAit : Pekerja sektor jasa kota ke-i pada tahun ke-t
βj : Parameter yang diestimasi, j = 0, 1, 2, 3, 4, 5, 6.
αi : Efek individual kota ke-i
µt : Efek waktu pada tahun ke-t
uit : Komponen error
71
IV. GAMBARAN UMUM
4.1. Perkembangan Tingkat Kemiskinan Provinsi DKI Jakarta
Perkembangan tingkat kemiskinan di Provinsi DKI Jakarta pada periode
2002 – 2009 mengalami fluktuasi. Pada tahun 2002, penduduk miskin di DKI
Jakarta tercatat sebesar 3,51 persen atau sekitar 286800 jiwa dan mengalami
peningkatan menjadi 3,62 persen atau menjadi sekitar 291000 jiwa pada tahun
2003. Pada tahun 2004, terjadi penurunan tingkat kemiskinan yaitu sebesar 3,37
persen atau sekitar 274100 jiwa. Pada dua tahun berikutnya, tingkat kemiskinan
mengalami kenaikan yang cukup banyak, pada tahun 2005 naik menjadi 3,74 atau
sekitar 312800 jiwa, dan pada tahun 2006 semakin parah menjadi 4,80 persen atau
sekitar 403900 jiwa.
Tabel 4.1. Jumlah dan Persentase Penduduk Miskin di Provinsi DKI Jakarta Periode Tahun 2002 – 2009
Tahun Jumlah Penduduk Miskin Persentase Penduduk Miskin 2002 286.800 3,512003 291.000 3,622004 274.100 3,372005 312.800 3,742006 403.900 4,802007 402.800 4,752008 340.000 3,962009 337.200 3,88
Sumber: BPS, 2011 (diolah)
Pada tiga tahun selanjutnya, tingkat kemiskinan di DKI Jakarta mengalami
penurunan walaupun tidak signifikan. Pada tahun 2007, tingkat kemiskinan turun
menjadi 4,75 persen atau sekitar 402.800 jiwa, tahun 2008 turun kembali menjadi
72
3,96 persen atau sektitar 340.000 jiwa, dan pada tahun 2009 kembali turun
menjadi 3,88 persen atau sekitar 337.200 jiwa.
4.2. Perkembangan Pendidikan
Pendidikan merupakan salah satu kebutuhan dasar yang harus dipenuhi
oleh setiap rumah tangga dan setiap penduduk. Pendidikan yang tinggi akan
meningkatkan produktivitas masyarakat, selanjutnya akan meningkatkan
pendapatan dan output total, sehingga sekaligus akan menurunkan tingkat
kemiskinan dan meningkatkan laju pertumbuhan ekonomi. Sehingga, penting agar
setiap masyarakat dapat mendapatkan pendidikan yang layak.
Pada penelitian ini, faktor pendidikan direpresentasikan oleh angka melek
huruf. Angka melek huruf di tiap wilayah DKI Jakarta menunjukan nilai yang
cukup besar. Nilai yang besar ini diharapkan dapat menggambarkan kehidupan
masyarakat yang lebih baik terutama dalam bidang pendidikan dan berpengaruh
pula terhadap penurunan tingkat kemiskinan.
Pada tahun 2002, angka melek huruf secara agregat Provinsi DKI Jakarta
adalah 98,35 persen dan mengalami peningkatan menjadi 98,51 persen pada tahun
2003. Walaupun pada tahun berikutnya mengalami penurunan, tahun 2004
menjadi 98,46 persen, tetapi setelahnya pada tahun-tahun berikutnya terus
mengalami peningkatan, yaitu pada tahun 2005 menjadi 98,51 persen, 98,58
persen pada tahun 2006, dan 98,86 pada tahun 2007. Sempat mengalami
penurunan kembali pada tahun 2008 menjadi 97,94 persen, tetapi mengalami
perbaikan pada tahun 2009 menjadi 99,03 persen.
73
Tabel 4.2. Angka Melek Huruf DKI Jakarta Penduduk Usia 10 Tahun Ke Atas Menurut Kabupaten/Kota, 2002 - 2009 (Persen)
KOTA 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009
Jakarta Selatan 98,42 98,58 98,01 98,78 99,67 98,99 98,32 99,12
Jakarta Timur 98,66 98,52 98,90 98,24 98,17 98,98 98,11 98,98
Jakarta Pusat 98,23 98,47 98,81 98,69 98,76 99,27 98,14 99,36
Jakarta Barat 98,11 98,75 98,17 98,42 98,12 98,59 97,75 98,84
Jakarta Utara 98,31 98,25 98,41 98,41 98,18 98,48 97,36 98,86
DKI JAKARTA 98,35 98,51 98,46 98,51 98,58 98,86 97,94 99,03
Sumber: BPS, 2011 (diolah)
4.3. Perkembangan Kependudukan
Keadaan penduduk di Provinsi DKI Jakarta pada penelitian ini
direpresentasikan dengan kepadatan penduduk dan rasio ketergantungan. Pada
dasarnya kedua hal tersebut adalah hal yang berbeda, dimana kepadatan penduduk
menggambarkan tentang banyaknya penduduk yang tinggal dalam satu lingkup
wilayah tertentu, sedangkan rasio ketergantungan menggambarkan banyaknya
seseorang yang bukan merupakan angkatan kerja yang harus ditanggung oleh
mereka yang merupakan angkatan kerja.
Kepadatan penduduk di Provinsi DKI Jakarta secara agregat mengalami
kenaikan yang berarti bahwa pada luas lahan yang sama setiap tahunnya, jumlah
penduduk yang tinggal di dalamnya menjadi semakin banyak. Semakin padatnya
penduduk di Provinsi DKI Jakarta disebabkan pertimbuhan penduduk yang pesat,
baik dari tingginya angka kelahiran maupun tingginya migrasi masuk ke Provinsi
DKI Jakarta. Pada tahun 2002, kepadatan penduduk DKI Jakarta adalah 12.539
74
jiwa/km2. Pada tahun 2003, kepadatan penduduk DKI Jakarta adalah 12.454
jiwa/km2. Pada tahun 2004, kepadatan penduduk berkurang menjadi 12.439
jiwa/km2. Kepadatan penduduk menunjukan adanya kecenderungan peningkatan,
sehingga pada tahun 2009, kepadatan penduduk di DKI Jakarta mencapai 14.849
jiwa/km2. Sedangkan wilayah yang memiliki kepadatan paling tinggi adalah
wilayah Kota Jakarta Pusat. Wilayah yang mengalami peningkatan kepadatan tiap
tahunnya adalah Kota Jakarta Barat, hal ini bisa disebabkan karena wilayah
tersebut merupakan wilayah yang berbatasan langsung dengan daerah lain,
sehingga memungkinkan untuk terjadinya pertumbuhan penduduk yang cukup
pesat, baik dari migrasi atau non-migrasi.
Tabel 4.3. Kepadatan Penduduk Provinsi DKI Jakarta menurut Kabupaten/Kota, 2002-2009 (Jiwa/Km2)
KOTA 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009
Jakarta Selatan 11.634 11.676 11.714 13.691 14.092 14.872 15.161 15.287
Jakarta Timur 11.095 11.157 11.204 12.750 12.858 12.878 12.914 13.032
Jakarta Pusat 19.253 18.746 18.531 17.874 18.618 18.485 18.590 18.745
Jakarta Barat 12.426 12.426 12.411 18.408 16.890 16.774 17.004 17.147
Jakarta Utara 8.285 8.267 8.336 10.197 10.213 9.908 9.951 10.035
DKI JAKARTA 12.539 12.454 12.439 14.584 14.534 14.583 14.724 14.849
Sumber: BPS, 2011 (diolah)
Selain dari kepadatan penduduk, variabel selanjutnya adalah tingkat
ketergantungan. Tingginya tingkat ketergantungan menunjukan bahwa semakin
banyak penduduk yang bukan angkatan kerja yang harus ditanggung oleh
penduduk yang termasuk angkatan kerja. Begitu pula sebaliknya, ketika tingkat
75
ketergatungan semakin kecil berarti jumlah penduduk bukan angkatan kerja yang
harus ditanggung oleh penduduk yang termasuk angkatan kerja adalah sedikit.
Secara agregat, rasio ketergantungan penduduk DKI Jakarta tergolong
cukup baik karena nilain yang kurang dari 40 persen. Hal ini menunjukan bahwa
jumlah penduduk yang bukan angkatan kerja yang harus ditanggung adalah lebih
sedikit. Rasio ketergantungan pada periode penelitian tidak menunjukan nilai
perubahan yang cukup berarti. Nilai rasio kertergantungan pada tahun 2002 –
2004 berkisar di angka 35 persen dan naik pada tahun 2005 menjadi 39 persen.
Kemudian pada tahun-tahun selanjutnya mengalami penurunan hingga tahun 2009
mencapai angka 37,27 persen.
Tabel 4.4. Rasio Ketergantungan Penduduk DKI Jakarta Menurut Kabupaten/Kota Periode 2002-2009 (Persen)
KOTA 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009
Jakarta Selatan 35,01 35,32 35,60 39,29 38,76 38,20 37,78 37,28
Jakarta Timur 36,80 36,87 36,93 39,29 38,78 38,18 37,75 37,26
Jakarta Pusat 33,35 33,84 34,30 39,29 38,74 38,21 37,78 37,29
Jakarta Barat 36,25 36,43 36,59 39,29 38,76 38,17 37,74 37,25
Jakarta Utara 34,94 35,24 35,65 39,29 38,76 38,17 37,74 37,25
DKI JAKARTA 35,27 35,54 35,81 39,29 38,76 38,19 37,76 37,27
Sumber: BPS, 2011 (diolah)
4.4. Perkembangan Perekonomian
Perekonomian secara umum dapat dilihat dari PDRB Provinsi DKI
Jakarta. Dalam penelitian ini, perkembangan ekonomi dilihat dari sisi laju
pertumbuhan ekonomi dan pendapatan perkapita. Laju pertumbuhan ekonomi
76
digunakan untuk melihat perkembangan PDRB DKI Jakarta dari tahun ke tahun,
sedangkan pendapatan perkapita digunakan untuk melihat gambaran
kesejahteraan yang diukur dari pendapatan seseorang.
Dari sisi laju pertumbuhan ekonomi, laju pertumbuhan ekonomi pada
tahun 2002 hingga tahun 2007 selalu mengalami peningkatan. Pada tahun 2002,
laju pertumbuhan ekonomi DKI Jakarta adalah 4,76 persen dan naik menjadi 5,29
persen pada tahun 2003. Pada tahun-tahun berikutnya kembali terjadi penaikan
menjadi 5,73 persen pada tahun 2004, 5,98 persen pada tahun 2005, 6,03 persen
pada tahun 2006, dan 6,40 persen pada tahun 2007. Pada tahun 2008 terjadi
penurunan laju pertumbuhan menjadi 6,05 persen dan pada tahun 2009 turun
kembali menjadi 4,88 persen.
Tabel 4.5. Laju pertumbuhan PDRB DKI Jakarta Atas Dasar Harga Konstan 2000 Menurut Kabupaten/Kota, 2002-2009 (Persen)
KOTA 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009
Jakarta Selatan 4,61 5,58 5,59 5,67 6,27 6,41 6,21 5,34
Jakarta Timur 4,89 5,26 5,75 6,04 5,93 6,35 5,69 4,60
Jakarta Pusat 4,74 5,18 6,00 6,08 6,03 6,50 6,35 5,43
Jakarta Barat 4,87 5,26 5,48 6,03 5,95 6,33 5,97 4,98
Jakarta Utara 4,75 5,23 5,75 6,02 5,90 6,36 5,81 4,03
DKI JAKARTA 4,76 5,29 5,73 5,98 6,03 6,40 6,05 4,88
Sumber: BPS, 2011 (diolah)
Dilihat dari pendapatan perkapita, perekonomian DKI Jakarta mengalami
peningkatan walaupun belum terlalu banyak. Pada tahun 2002, pendapatan
perkapita penduduk DKI Jakarta adalah 33,27 juta rupiah lalu mengalami
77
penurunan menjadi 29,96 juta rupiah pada tahun 2003. Pada tahun-tahun
berikutnya hingga tahun 2009, pendapatan perkapita DKI Jakarta secara perlahan
mengalami peningkatan. Pada tahun 2004, pendapatan perkapita DKI Jakarta
adalah 31,38 juta rupiah, mengalami peningkatan pada tahun 2005 menjadi 32,93
juta rupiah. Hingga tahun 2009, pendapatan perkapita penduduk DKI Jakarta
mengalami peningkatan yaitu mencapai 39,86 juta rupiah pada tahun 2009.
Tabel 4.6. Pendapatan Perkapita Provinsi DKI Jakarta Atas Dasar Harga Konstan 2000 Menurut Kabupaten/Kota, 2002-2009 (Juta Rupiah)
KOTA 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009
Jakarta Selatan 32,98 30,53 31,54 32,65 33,97 35,41 36,88 38,53
Jakarta Timur 20,54 18,75 19,78 20,93 22,12 23,48 24,76 25,69
Jakarta Pusat 69,65 75,82 80,29 85,10 90,15 95,95 10,96 10,61
Jakarta Barat 23,94 19,44 20,16 21,03 21,91 22,93 23,94 24,92
Jakarta Utara 40,13 34,37 36,29 38,42 40,62 43,16 45,59 47,03
DKI 33,27 29,96 31,38 32,93 34,58 36,45 38,31 39,86 JAKARTA Sumber: BPS, 2011(diolah)
4.5. Perkembangan PDRB Sektoral
PDRB sektoral menggambarkan kinerja dari sektor ekonomi yang ada di
DKI Jakarta. Sektor yang dipilih untuk merepresentasikan DKI Jakarta adalah
sektor industri dan sektor jasa. Hal ini dilakukan karena sektor industri dan jasa
merupakan dua sektor yang mempunyai pengaruh/share yang besar dalam
perekonomian.
Secara keseluruhan, pada sektor industri, PDRB mengalami peningkatan.
Pada tahun 2002, PDRB sektor industri mencapai 44 trilyun rupiah dan naik
78
menjadi 46 trilyun rupiah pada tahun 2003. Pada tahun 2004 PDRB sektor
industri mencapai 48,6 trilyun rupiah dan mengalami peningkatan menjadi 51
trilyun rupiah pada tahun 2005. PDRB sektor industri terus mengalami
peningkatan hingga pada tahun 2009 mencapai 57,7 trilyun rupiah.
Tabel 4.7. PDRB Sektor Industri DKI Jakarta Atas Dasar Harga Konstan 2000 Menurut Kabupaten/Kota, 2002-2009 (Milyar Rupiah)
Sumber: BPS, 2011 (diolah)
KOTA 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 Jakarta Selatan 973 1.094 1.125 1.182 1.251 1.337 1.416 1.486
Jakarta Timur 16.028 16.646 17.563 18.441 19.186 20.017 20.543 20.587
Jakarta Pusat 976 1.087 1.160 1.181 1.200 1.229 1.259 1.303
Jakarta Barat 3.602 3.754 3.943 4.122 4.278 4.481 4.647 4.683
Jakarta Utara 22.505 23.601 24.803 26.045 27.309 28.598 29.781 29.705
DKI JAKARTA 44.084 46.182 48.594 50.972 53.224 55.664 57.647 57.766
Hal yang sama ditunjukan oleh sektor jasa. PDRB sektor jasa mengalami
peningkatan dari tahun ke tahun sejak tahun 2002 hingga tahun 2009. Pada tahun
2002, PDRB sektor jasa DKI Jakarta adalah 29,4 trilyun rupiah dan meningkat
menjadi 30,6 trilyun rupiah pada tahun 2003. Pada tahun 2004, PDRB sektor jasa
kembali mengalami peningkatan menjadi 31,9 trilyun rupiah dan pada tahun 2005
menjadi 33,4 trilyun rupiah. Lalu, pada tahun-tahun berikutnya PDRB sektor jasa
DKI Jakarta terus mengalami peningkatan hingga pada tahun 2009 mencapai nilai
sebesar 41 trilyun rupiah.
79
Tabel 4.8. PDRB Sektor Jasa DKI Jakarta Atas Dasar Harga Konstan 2000 Menurut Kabupaten/Kota, 2002-2009 (Milyar Rupiah)
KOTA 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009
Jakarta Selatan 6.904 7.202 7.503 7.892 8.308 8.830 9.375 9.895
Jakarta Timur 4.856 4.923 5.036 5.216 5.496 5.739 6.048 6.392
Jakarta Pusat 9.211 9.785 10.204 10.706 11.168 11.851 12.581 13.284
Jakarta Barat 4.843 4.971 5.248 5.506 5.773 6.022 6.311 6.291
Jakarta Utara 3.591 3.741 3.907 4.089 4.305 4.545 4.828 5.149
DKI JAKARTA 29.405 30.622 31.898 33.409 35.050 36.987 39.143 41.011
Sumber: BPS, 2011 (diolah) 4.6. Perkembangan Tenaga Kerja Sektoral
Keadaan tenaga kerja sektoral akan menggambarkan bagaimana
penyeberan tenaga kerja yang bekerja pada sektor perekonomian. Dalam
penelitian ini dipilih sektor industri dan sektor jasa karena kedua sektor tersebut
merupakan sektor yang memiliki pengaruh/share yang cukup besar terhadap
PDRB, sehingga diharapkan hal tersebut sejalan dengan banyaknya tenaga kerja
yang terserap dalam sektor tersebut.
Pada sektor industri, penyerapan tenaga kerja cukup banyak. Penyerapan
tenaga kerja pada sektor ini dari tahun ke tahunnya mengalami fluktuasi yang
tidak dapat ditentukan. Pada tahun 2002, sektor ini menyerap 643565 pekerja dan
mengalami peningkatan pada tahun 2003 menjadi 661728. Lalu kembali
mengalami peningkatan yaitu menyerap 730025 pekerja pada tahun 2004 yang
kemudian turun menjadi 705873 pekerja pada tahun 2005. Pada tahun 2006 terjadi
80
penurunan yang cukup pesat yaitu menjadi 556086 pekerja, tetapi naik kembali
pada tahun berikutnya pada tahun berikutnya menjadi 708434. Hingga tahun
2009, penyerapan pekerja pada sektor industry mengalami penurunan, yaitu
672652 pekerja pada tahun 2008 kemudian 667589 pada tahun 2009.
Tabel 4.9. Jumlah Tenaga Kerja Sektor Industri Provinsi DKI Jakarta Menurut Kabupaten/Kota, 2002 – 2009 (Jiwa)
KOTA 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009
Jakarta Selatan 72.980 80.884 73.572 68.294 63.451 74.745 74.256 80.815
Jakarta Timur 214.896 208.744 202.735 211.142 159.432 178.681 185.740 166.344
Jakarta Pusat 40.656 40.832 41.343 39.325 37.352 32.697 40.686 39.428
Jakarta Barat 161.824 185.000 230.024 249.040 158.603 255.968 226.482 234.987
Jakarta Utara 153.209 146.268 182.351 138.072 137.248 166.343 145.488 146.015
DKI JAKARTA 643.565 661.728 730.025 705.873 556.086 708.434 672.652 667.589
Sumber: BPS, 2011 (diolah)
Pada sektor jasa, penyerapan tenaga kerja yang terjadi cenderung lebih
banyak daripada penyerapan pada sektor industri. Pada sektor jasa, secara umum
dapat dikatakan mengalami peningkatan dalam penyerapannya. Pada tahun 2002,
sektor ini menyerap sekitar 770 ribu tenaga kerja. Walaupun menurun pada tahun
berikutnya menjadi 760 ribu tenaga kerja, tetapi pada tahun 2004 mengalami
peningkatan menjadi 800 ribu tenaga kerja dan berlanjut hingga tahun 2005
menjadi 840 ribu tenaga kerja. Walaupun pada dua tahun setelahnya mengalami
penurunan, namun penurunan yang terjadi tidak terlalu drastis. Pada tahun 2008
kembali mengalami peningkatan dan pada tahun 2009 penyerapan tenaga kerja
menjadi satu juta tenaga kerja.
81
Table 4.10. Jumlah Tenaga Kerja Sektor Jasa Provinsi DKI Jakarta Menurut Kabupaten/Kota, 2002 – 2009 (Jiwa)
KOTA 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009
Jakarta Selatan 195.444 194.472 219.929 251.248 229.030 232.086 271.853 275.409
Jakarta Timur 222.640 232.800 238.877 220.240 269.019 243.159 281.576 269.682
Jakarta Pusat 92.400 95.480 85.235 80.017 94.638 79.727 102.642 100.249
Jakarta Barat 148.598 142.800 152.858 171.436 112.160 173.576 228.637 213.687
Jakarta Utara 114.380 102.000 108.479 123.752 129.647 104.897 131.359 149.397
DKI JAKARTA 773.462 767.552 805.378 846.693 834.494 833.445 1.016.067 1.008.424
Sumber: BPS, 2011 (diolah)
82
V. HASIL DAN PEMBAHASAN
5.1. Analisis Model Regresi Data Panel
Pada penelitian ini, dalam pengolahan data tentang kategori penduduk
miskin definisi yang digunakan adalah definisi menurut BPS dengan perhitungan
menggunakan garis kemiskinan. Penggunaan definisi ini dilakukan untuk
memudahkan dalam mengkategorikan penduduk miskin dan memperoleh data
penduduk miskin itu sendiri.
Tabel 5.1. Hasil Estimasi Koefisien Data Panel Metode Fixed Effect Model (FEM) Variabel Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.
C -38.838290 14.324190 -2.711378 0.0117 AMH -0.395983 0.153703 2.576286 0.0160
PDDK 0.054507 0.081780 0.666503 0.5110 KTG 0.026701 0.070208 0.380313 0.7068
PPKPT -0.021133 0.033267 -0.635252 0.5308 PDRB -0.360355 0.164858 2.185852 0.0380 PIND -0.124330 0.060861 2.042846 0.0513
PJASA 0.117441 0.236696 0.496167 0.6239 TKIND -1.005960 0.388419 -2.589885 0.0155
TKJASA 0.067521 0.371022 0.181988 0.8570 Weighted Statistics
R-squared 0.8359580 Mean dependent var 8.309058 Adjusted R-squared 0.7539380 S.D. dependent var 3.286603 S.E. of regression 1.1510610 Sum squared resid 34.44848 F-statistic 10.1920300 Durbin-Watson stat 2.235633 Prob(F-statistic) 0.0000000
Unweighted Statistics
R-squared 0.859576 Mean dependent var 3.95325 Sum squared resid 9.142328 Durbin-Watson stat 1.888106
Persamaan regresi data panel digunakan untuk mengetahui faktor-faktor
yang memengaruhi tingkat kemiskinan. Data yang digunakan dalam persamaan
regresi adalah data panel yang berasal dari data sekunder BPS yang merupakan
data Provinsi DKI Jakarta menurut kabupaten/kota selama periode 2002-2009,
83
tidak termasuk dengan Kabupaten Kepulauan Seribu. Tabel 5.1 menyajikan hasil
estimasi koefisien regresi dari model data panel pada persamaan spesifikasi
model.
Dalam model data panel dengan dua metode estimasi tersebut, terlihat
bahwa FEM lebih baik daripada PLS. Hal ini tercermin dari nilai statistik uji
Chow (10,94) yang signifikan pada taraf uji 10 persen dengan p-value 0,000,
artinya cukup bukti untuk menolak hipotesis Ho yang berarti model yang terbaik
digunakan adalah FEM. Uji model FEM secara keseluruhan valid dalam taraf
signifikan 10 persen yang ditunjukan dengan nilai statisti uji F (10,19) dan p-
value sebesar 0,0000. Model dalam persamaan tersebut dapat digunakan untuk
mengalalisis faktor-faktor yang memengaruhi tingkat kemiskinan. Nilai koefisien
determinasi (R2) sebesar 0,8596 berarti keragaman tingkat kemiskinan yang dapat
dijelaskan oleh variabel dalam model sebesar 85,96 persen, sedangkan sisanya
(14,04 persen) dipengaruhi oleh faktor lain. Dalam pengolahan data panel,
pengujian Hausman test tidak dilakukan, hal ini dikarenakan data cross section
yang digunakan dalam paenelitian ini lebih sedikit daripada variabel, sehingga
tidak dihasilkan output dari hasil estimasi Random Effect Model (REM).
Model FEM dengan mengakomodasi perbedaan karakteristik individu
(kabupaten/kota) dan waktu (tahun) menjadi bagian dari intersep. Efek individu
dalam model menunjukan adanya perbedaan karakteristik tingkat kemiskinan tiap
kabupaten/kota dalam model dan dimasukan sebagai bagian dari intersep dalam
menginterpretasikan model untuk tiap kabupaten/kota. Sedangkan efek waktu
menunjukan adanya perbedaan karakteristik tingkat kemiskinan tiap tahun dan
84
dimasukan sebagai bagian dari intersep. Namun kedua efek tersebut tidak
memberikan pengaruh pada nilai koefisien parameter.
5.2. Faktor yang Memengaruhi Kemiskinan
Berdasarkan hasil estimasi regresi data panel, maka variabel yang
memengaruhi tingkat kemiskinan di Provinsi DKI Jakarta adalah angka melek
huruf, laju pertumbuhan ekonomi, PDRB sektor industri, dan tenaga kerja sektor
industri yang secara umum digambarkan pada Tabel 5.2.
Tabel 5.2. Hasil Estimasi Koefisien Data Panel Metode Fixed Effect Model (FEM) Variabel Koefisien Std. Error Prob. Keterangan
AMH -0.395983 0.153703 0.0160 Signifikan* PDDK 0.054507 0.081780 0.5110 Tidak Signifikan KTG 0.026701 0.070208 0.7068 Tidak Signifikan
PPKPT -0.021133 0.033267 0.5308 Tidak Signifikan LAJU -0.360355 0.164858 0.0380 Signifikan* PIND -0.124330 0.060861 0.0513 Signifikan**
PJASA 0.117441 0.236696 0.6239 Tidak Signifikan TKIND -1.005960 0.388419 0.0155 Signifikan*
TKJASA 0.067521 0.371022 0.8570 Tidak Signifikan *Signifikan pada taraf nyata 5% **Signifikan pada taraf nyata 10%
Variabel yang bersifat demografi seperti kepadatan penduduk dan tingkat
ketergantungan tidak signifikan memengaruhi tingkat kemiskinan di DKI Jakarta.
Dari hasil tersebut menunjukan bahwa semakin padatnya penduduk di DKI
Jakarta tidak akan menambah angka kemiskinan. Hal ini dapat dijelaskan bahwa
ketika kepadatan semakin tinggi tidak selalu disebabkan karena angka kelahiran
yang tinggi, tetapi dapat disebabkan karena arus migrasi masuk ke DKI Jakarta
yang semakin tinggi. Para urban yang masuk ke Jakarta akan menjadi sumberdaya
manusia yang baru bagi Jakarta itu sendiri, sehingga memungkinkan terjadinya
85
banyak penyerapan tenaga kerja. Hal ini dapat terlihat pada Tabel 4.9 dan Tabel
4.10 pada Bab Gambaran Umum yang memperlihatkan bahwa terjadi penyerapan
tenaga kerja pada setiap tahunnya pada sektor industri dan sektor jasa.
5.2.1. Angka Melek Huruf
Pendidikan merupakan salah satu faktor yang memengaruhi tingkat
kemiskinan. Dalam model ini ditunjukan oleh angka melek huruf. Berdasarkan
tabel estimasi, angka melek huruf mempunyai pengaruh terhadap pengurangan
kemiskinan, dengan koefisien -0,396. Hal ini berarti setiap kenaikan satu persen
angka melek huruf akan mengurangi kemiskinan sebesar 0,396 persen, dengan
asumsi cateris paribus.
Hasil estimasi tersebut menunjukan pentingnya peran pendidikan sebagai
investasi modal manusia (human capital) dalam upaya pengurangan kemiskinan.
Rendahnya tingkat pendidikan penduduk suatu daerah masih menjadi salah satu
faktor yang menyebabkan tingginya jumlah penduduk miskin daerah tersebut dan
dapat menjadi salah satu penyebab timbulnya lingkaran setan kemiskinan.
Menurut Bank Dunia (2006), rendahnya tingkat pendidikan penduduk miskin
akan menyebabkan produktivitas rendah, produktivitas yang rendah akan
membuat output dan pendapatan rendah, sehingga terjadi kemiskinan. Rumah
tangga miskin akan kesulitan untuk membiayai anak-anaknya sekolah sehingga
akan melahirkan generasi selanjutnya yang berpendidikan rendah dan
menimbulkan kemiskinan baru. Dengan demikian, salah satu upaya untuk
menurunkan tingkat kemiskinan sekaligus memotong rantai kemiskinan adalah
dengan meningkatkan pendidikan penduduk miskin.
86
Pengentasan kemiskinan dalam bidang pendidikan pernah dilakukan
pemerintah DKI Jakarta dengan memberikan program Bantuan Operasional
Sekolah. Tetapi pada kenyataannya, program BOS yang telah dijalankan tidak
efektif untuk mengurangi angka kemiskinan, karena program BOS sangat berlaku
secara umum. Dana bantuan yang diberikan adalah untuk siswa yang telah ada di
bangku sekolah untuk dapat melanjutkan sekolahnya dan mengurangi angka putus
sekolah guna keberhasilan program yang lainnya, yaitu program wajib belajar 9
tahun. Namun pada kenyataannya, dana bos yang diberikan, salah satunya dalam
bentuk beasiswa, kebanyakan bukan untuk orang miskin dan sering terjadi
penyelewengan dalam penggunaan dana BOS.
5.2.2. Perekonomian
Faktor lainnya yang memengaruhi tingkat kemiskinan di Provinsi DKI
Jakarta adalah dilihat dari sisi perekonomian yang tercerminkan pada laju
pertumbuhan ekonomi. Diharapkan sekali bahwa di Provinsi DKI Jakarta terjadi
laju pertumbuhan ekonomi dan pendapatan ekonomi yang besar yang sejalan
dengan distribusi pendapatan pada setiap warganya yang merata.
Dari hasil analisis pengolahan data panel, terlihat bahwa koefisien laju
pertumbuhan ekonomi adalah -0,36. Hal ini berarti bahwa setiap terjadi kenaikan
laju pertumbuhan ekonomi sebesar satu persen, maka akan menurunkan tingkat
kemiskinan di Provinsi DKI Jakarta sebanyak 0,36 persen, dengan asumsi cateris
paribus. Hasil yang cukup untuk menjelaskan betapa pentingnya peningkatan laju
pertumbuhan ekonomi dalam upaya pengurangan kemiskinan di Provinsi DKI
Jakarta.
87
Hal ini berarti bahwa peningkatan laju pertumbuhan ekonomi adalah
penting untuk membantu usaha pemerintah dalam mengurangi jumlah penduduk
miskin. Peningkatan laju pertumbuhan ini diharapkan sejalan dengan pemerataan
distribusi pendapatan sehingga penduduk dapat memperoleh pelayanan publik
yang meliputi pelayanan akan kebutuhan dasar seperti kesehatan, pendidikan, dan
kebutuhan pangan menjadi lebih mudah karena memiliki akses, dalam hal ini
pendapatan, untuk menjangkaunya. Laju pertumbuhan ekonomi yang tinggi yang
sejalan dengan peningkatan distribusi pendapatan akan mendorong pemerintah
untuk dapat menyediakan pelayanan kebutuhan dasar yang lebih baik kepada
masyarakat, sehingga dapat meningkatkan kualitas dan produktivitas masyarakat,
yang pada akhirnya akan tercapai peningkatan investasi sumberdaya manusia
yang lebih baik lagi.
Pada kenyataan beberapa tahun terakhir, fokus pemerintah DKI Jakarta
hanyalah pada peningkatan pertumbuhan ekonomi tanpa melihat adanya
peningkatan kesejahteraan sosial. Pertumbuhan ekonomi dipandang sebagai
tujuan bukan dipandang sebagai alat, sehingga yang terjadi adalah program-
program yang dijalankan pemerintah hanya memengaruhi perbaikan kondisi
makroekonomi tanpa memperhatikan keadaan mikro dan keadaan riil yang terjadi
di masyarakat. Contohnya adalah program Bantuan Langsung Tunai (BLT). Salah
satu manfaat positif yang diberikan dari adanya bantuan ini adalah peningkatan
pertumbuhan ekonomi. Hal ini terjadi karena BLT yang diberikan adalah untuk
meningkatkan daya beli masyarakat yang secara agregat akan meningkatkan
88
output dan pendapatan nasional dalah jangka pendek tetapi tidak dapat
mempertahankan kestabilan pertumbuhan dalam jangka panjang.
Kebijakan Bantuan Langsung Tunai (BLT) yang dilakukan pemerintah
kurang efektif untuk mengurangi kemiskinan. Penyaluran bantuan tidak tepat
sasaran baik karena data yang tidak valid maupun kurangnya penerapan prinsip
good governance di lembaga penyaluran bantuan. Data BPS (2002-2009)
menunjukan bahwa penyaluran BLT ternyata masih diterima oleh penduduk yang
memiliki pendapatan di atas pendapatan rata-rata walaupun angkanya masih
dibawah 10 persen. Selain itu, dari sisi psikologi, pemberian bantuan langsung ini
cenderung menjadikan masyarakat miskin menjadi semakin malas untuk bekerja
karena sudah terbiasa menerima bantuan. Lalu, bantuan yang diberikan seringkali
tidak digunakan untuk hal investasi dalam melanjutkan kehidupan, tetapi
digunakan untuk kebutuhan konsumsi yang akan habis dalam sekali
penggunaannya tanpa memberikan hasil apapun dikemudian hari.
Pemerintah juga menyadari bahwa laju pertumbuhan ekonomi yang tinggi
tidak akan mampu meningkatkan kesejahteraan penduduk dan mengurangi
kemiskinan, jika masih terjadi banyak ketimpangan terutapa pada pendistribusian
pendapatan. Sering kali yang terjadi adalah 90 persen dari pendapatan dinikmati
oleh 20 persen dari total penduduk, sedangkan sisanya yang 10 persen, dinikmati
oleh 80 persen dari total penduduk satu daerah. Oleh karena itu, pemerintah
mengeluarkan kebijakan berupa penerapan pajak progresif untuk mengatasinya.
Tetapi pada kenyataannya, penerapan pajak progresif juga belum efektif
untuk mengurangi ketimpangan pendapatan. Penetapan pajak progresif yang
89
dilakukan baru menyentuh pada pajak progresif kendaraan, rumah, dan barang
mewah lainnya. Penetapan pajak progresif belum dilakukan pada pendapatan.
Lalu, penerapan pajak progresif juga menyebabkan trade-off kebijakan yang
merugikan bagi pengusaha. Hal ini disebabkan, apabila pajak progresif diterapkan
pada pendapatan, maka akan menimbulkan pembengkakkan biaya produksi,
karena akan lebih banyak lagi biaya yang dikeluarkan untuk membayar pegawai.
Pembengkakan biaya produksi akan membuat pengusaha untuk lebih melakukan
penekanan pada inputnya, salah satunya adalah dengan mengurangi tenaga kerja.
5.2.3. PDRB Sektoral
Besarnya pengaruh peningkatan PDRB sektoral dapat dilihat dari besarnya
nilai koefisien parameter yang juga menunjukan nilai estimasinya. Berdasarkan
Tabel 5.3, PDRB sektoral pada sektor industri mempunyai pengaruh yang nyata
terhadap pengurangan kemiskinan, dengan pengaruh sebesar -0,124. Hal ini
berarti bahwa setiap terjadi kenaikan PDRB sektor industri sebesar 1 trilyun
rupiah, maka akan mengurangi 0,124 persen tingkat kemiskinan, dengan asumsi
cateris paribus.
Peningkatan produktivitas seluruh sektor mempunyai peran yang sangat
penting dalam upaya pengurangan kemiskinan di DKI Jakarta, terutama sektor
jasa dan industri. Hal ini sejalan dengan penelitian yang telah dilakukan oleh
Suparno (2010) bahwa salah satu yang mempunyai andil besar dalam upaya
menurunkan kemiskinan adalah peningkatan di sektor jasa dan sektor industri.
Hasil ini sejalan pula dengan temuan Suryahadi (2006) yang menyatakan bahwa
90
pertumbuhan pada sektor jasa di perkotaan memberikan nilai elastisitas
kemiskinan yang tinggi di semua sektor.
Hal ini terjadi karena di DKI Jakarta sektor yang menjadi sektor unggulan
adalah industri sehingga memberikan share yang cukup banyak di seluruh
perekonomian di DKI Jakarta. Hasilnya akan menyebar ke seluruh bidang
kehidupan termasuk pada penguragan tingkat kemiskinan. Perlu adanya
penekanan kembali pada kebijakan pemerintah DKI Jakarta dalam upaya
mengurangi kemiskinan yang kaitannya dalam produktivitas sektor ekonomi.
Dalam sektor industri, pemerintah berfokus pada perindungan pengusaha
dalam negeri. Pemerintah menerapkan kebijakan yang menghalangi masuknya
investor dari luar luar. Dalam satu sisi, kebijakan berupa hambatan-hambatan
dengan subsidi ekspor dan subtitusi impor dapat melindungi pengusaha dalam
negeri, tetapi juga akan menghambat adanya investor yang masuk, yang pada
akhirnya berdampak pada kondisi persaingan di pasar. Persaingan yang terjadi
tidak membuat pengusaha lokal bergairah untuk lebih melakukan efisiensi pada
peningkatan kualitas dan nilai tambah, melainkan persaingan yang terjadi adalah
persaingan pada tingkat harga. Kebijakan tersebut merupakan kebijakan yang
terlalu memanjakan pengusaha dan jika berlangsung secara berkelanjutan, maka
peningkatan pertumbuhan pada sektor industri tidak akan terjadi dan tidak akan
memacu pada pengurangan tingkat penduduk miskin.
5.2.4. Tenaga Kerja Sektoral
Tenaga kerja sektoral khususnya sektor industri memengaruhi tingkat
kemiskinan di DKI Jakarta. Sektor industri menjadi pilihan masyarakat DKI
91
Jakarta karena adanya peralihan pembangunan ekonomi yang sudah lama terjadi
di DKI Jakarta dari sektor pertanian yang sudah lama ditinggalkan ke arah
industri. Pengaruh penyerapan tenaga kerja sector industri dapat dilihat dari
koefisien tenaga kerja sektor industri yaitu -1,005 yang berarti bahwa setiap
terjadi penambahan 100000 tenga kerja akan menurunkan tingkat kemiskinan
sebesar 1,005 persen.
Hubungan negatif antara tenaga kerja sektoral khususnya industri dengan
tingkat kemiskinan, seharusnya dapat dijadikan suatu tolak ukur dan
pertimbangan pemerintah untuk membuat dan menerapkan kebijakan di DKI
Jakarta. Hal ini dikarenakan keterlibatan tenaga kerja pada sektor yang pas dengan
sendirinya akan meningkatkan kesejahteraan keluarga para pekerja. Mereka akan
lebih mampu untuk mengakses kebutuhan dasar untuk memenuhi kebutuhan
hidupnya sehari-hari. Penyediaan lapangan kerja pada sektor industri akan
memberikan kesempatan pada masyarakat merupakan salah satu upaya yang dapat
dilakukan pemerintah DKI Jakarta untuk menanggulangi kemiskinan.
Kebijakan pemerintah dengan mengeluarkan Upah Minimum
Provinsi/Regional (UMP) tidak efektif dalam menurunkan angka kemiskinan.
Sebaliknya, penerapan UMP tersebut cenderung akan membuat pengusaha untuk
lebih mengurangi inputnya, salah satunya adalah tenaga kerja, untuk mengurangi
biaya produksinya yang dialokasikan pada peningkatan upah pekerja.
Tujuan awal pemerintah menerapkan UMP adalah untuk meningkatkan
kesejahteraan para pekerja. Ketika kesejahteraan meningkat, para pekerja mampu
membiayai hidupnya dan hidup keluarganya sehingga dapat memperoleh
92
kehidupan yang lebih layak. Kualitas hidup yang lebih baik tersebut diharapkan
akan mampu membuat pekerja dan keluarganya mengakses kebutuhan dasar
seperti pendidikan, kesehatan, pangan dan perumahan. Tetapi pemerintah
melupakan satu hal, yaitu ketika upah pekerja dinaikan, dampak bagi pengusaha
adalah meningkatkan biaya input, maka pengusaha akan mengurangi
pembengkakan pembiayaan jika upah dinaikan, yaitu salah satunya adalah dengan
mengurangi tenaga kerja. Selanjutnya yang terjadi adalah peningkatan
pengangguran dan memperbesar angka kemiskinan.
5.3. Formulasi Kebijakan Pengentasan Kemiskinan
5.3.1. Program Pengantasan Buta Huruf
Pendidikan menjadi salah satu faktor yang penting bagi pemerintah DKI
Jakarta dalam upaya menanggulangi kemiskinan. Dalam penelitian ini, tercermin
oleh variabel angka melek huruf. Pemerintah DKI Jakarta harus dapat lebih
mengembangkan lagi program-program serta kebijakan untuk memberantas buta
huruf. Di DKI Jakarta sendiri, pada tahun 2008 masih terdapat penduduk DKI
Jakarta yang buta huruf sebesar 0,82 persen atau sekitar 72.553 penduduk.
Salah satu program yang dapat dilakukan adalah dengan lebih
menjalankan program Keaksaraan Fungsional. Tujuan utama yang ingin dicapai
dari program ini adalah mengurangi jumlah penduduk yang buta huruf. Setelah
penduduk mengikuti program Keaksaraan Fungsional, maka selanjutnya akan
diberikan Surat Keterangan Melek Aksara (SUKMA) yang nantinya dapat
digunakan untung melanjutkan ke program Kejar Paket A, B dan C. Program-
program tersebut diperuntukan untuk membantu penduduk miskin mendapatkan
93
pendidikan dasar. Selain untuk memperoleh sertifikat dan ijazah kesetaraan
dengan ijazah SD, SMP, dan SMA, program tersebut juga diharapkan dapat
menambah keterampilan yang dapat dijadikan sebagai modal dasar untuk
memperbaiki kehidupannya. Hal ini berkaitan dengan peningkatan dan investasi
sumberdaya dalam upaya memperoleh sumber daya yang berkualitas dan
memiliki produktivitas yang baik.
Untuk menjalankan program-program tersebut, yang perlu dilakukan
pemerintah adalah perbaikan dalam metode pengumpulan data rumah tangga
miskin. Pengumpulan metode tersebut perlu dilakukan dengan melibatkan seluruh
pihak yang terkait baik di tingkat pusat maupun tingkat daerah. Penentuan rumah
tangga miskin perlu dirumuskan lebih komprehensif agar dapat menggambarkan
sepenuhnya keadaan riilnya. Setelah itu, pemerintah perlu melakukan sosialisasi
kepada penduduk miskin, salah satunya adalah dengan terjun langsung, untuk
memberitahukan akan pentingnya pendidikan khususnya keaksaraan bagi setiap
orang sehingga dapat memperbaiki kualitas hidupnya.
Dalam tatanan implementasi perlu didukung dengan tata kelola yang baik
dan dilakukan pendampingan baik dalam penyaluran maupun pemanfaatan
bantuan sehingga lebih tepat sasaran. Pemerintah harus mampu menyediakan tim
pelaksana program pemberantasan buta aksara. Hal ini dapat dilakukan dengan
melibatkan lembaga swadaya masyarakat (LSM). Banyak LSM yang konsen
terhadap masalah pendidikan penduduk miskin akan menolong upaya pemerintah
tersebut. Maka, kerjasama antara pemerintah dengan masyarakat sangatlah
penting untuk membantu pemberantasan buta aksara.
94
5.3.2. Program Peningkatan Pertumbuhan Ekonomi
Pengentasan kemiskinan akan mudah dilakukan bila dibarengi dengan
peningkatan laju pertumbuhan. Laju pertumbuahan DKI Jakarta pada lima tahun
terakhir jika dibandingkan dengan laju pertumbuhan Indonesia tidak mengalami
perbedaan yang cukup besar. Pada beberapa tahun seperti pada tahun 2005, 2007
dan 2008, pertumbuhan ekonomi DKI Jakarta lebih baik dari pada pertumbuhan
ekonomi Indonesia. Hal ini menunjukan bahwa keadaan perekonomian DKI
Jakarta sudah cukup baik. Maka dengan perbaikan laju pertumbuhan ekonomi,
diharapakan akan sejalan dengan adanya pengurangan angka kemiskinan di DKI
Jakarta.
Sumber: BPS, 2010 Gambar. 5.1. Perbandingan Laju PDB Indonesia dan Laju PDRB DKI Jakarta
Perbaikan laju pertumbuhan ekonomi di DKI Jakarta akan lebih efektif
jika kita mengetahui hal apa saja yang dapat membuat pertumbuhan ekonomi
menjadi lebih baik. Salah satu caranya adalah dengan melihat nilai PDRB pada
sembilan sektor ekonomi yang ada di DKI Jakarta. Berdasarkan tabel Input-
95
Output tahun 2006, tiga sektor teratas yang dapat dikatakan sebagai sektor kunci
adalah sektor industri pengolahan; sektor listrik, gas, dan air; dan sektor
keuangan, asuransi, usaha persewaan bangunan, tanah, dan jasa perusahaan.
Penerapan kebijakan yang tepat pada ketiga sektor tersebut, tidak hanya akan
berdampak pada sektor tersebut saja, tetapi juga akan berdampak pada sektor
lainnya. Hal ini karena adanya keterkaitan ke depan dan keterkaitan ke belakang
yang disebabkan oleh ketiga sektor tersebut yang mampu mendorong
pertumbuhan pada sektor-sektor lainnya.
Tabel 5.3. Sektor Andalan (Leading Sectors) Provinsi DKI Jakarta Berdasarkan Koefisien Penyebaran dan Kepekaan Penyebaran
Sumber: Tabel Input-Output Provinsi DKI Jakarta Tahun 2006, Klasifikasi 9 sektor (diolah)
Sektor Koefisien Penyebaran
Kepekaan Penyebaran
Pertanian 0,412545 0,641871Pertambangan dan Penggalian 0,345008 0,713544Industri Pengolahan 1,799486 1,383143Listrik, Gas dan Air Bersih 1,484788 2,431810Bangunan 0,991675 0,585315Perdagangan 0,607689 1,239952Pariwisata 0,949318 0,654630Keuangan, Perbankan dan Jasa Perusahaan 1,014974 1,020320Jasa-jasa 1,394514 0,329412
Pengoptimalan sektor listrik, gas, dan air bersih di DKI Jakarta dapat
dilakukan dengan meningkatkan efisiensi produksi dan kualitas pada sektor
tersebut. Pemilihan input dan sumber daya yang tepat dengan sendirinya akan
menekan biaya produksi. Selanjutnya, pelayanan dan perbaikan kualitas harus
ditingkatkan, contohnya adalah membuat sektor tersebut dapat menjangkau
daerah-daerah yang memiliki sumber ekonomi yang tinggi sehingga dapat
mendorong masuknya investasi.
96
Pada sektor keuangan, perbankan, dan jasa perusahaan perlu adanya
peningkatan dalam penyediaan output sektor ini. Output dari sektor ini tidak lain
adalah jasa dan pelayanan, sehingga kunci utama untuk membangun pesatnya
sektor ini adalah kepercayaan dan kepuasan. Maka perlu adanya sumber daya
yang terampil dan terlatih untuk bekerja pada sektor ini. Penciptaan sumber daya
yang terampil dan terlatih untuk bekerja pada sektor tersebut dapat dilakukan
dengan mengembangkan lebih lanjut sekolah-sekolah kejuruan (SMK) dan
program keahlian dan profesi (Diploma). SMK dan Diploma dinilai mampu
menghasilkan sumber daya yang terampil dan terlatih yang sesuai dibidangnya.
Adanya pengembangan program kejuruan dan program keahlian dan
profesi tidak hanya menguntungkan bagi pengusaha tetapi juga menguntungkan
bagi pencari kerja. Pengusaha tidak perlu lagi mengeluarkan biaya untuk pelatihan
bagi calon pekerjanya, karena apa yang telah didapat sewaktu di SMK atau di
Diploma cukup untuk bekerja. Bagi pekerja, khususnya bagi mereka yang kurang
mampu untuk melanjutkan sekolah ke jenjang yang lebih tinggi, dengan program
keahliannya mampu untuk bersaing dalam mencari kerja khususnya persaingan
dalam bidangnya. Tujuan lain adalah lulusan SMK dan Diploma, dengan
keahliannya mampu menjadi entrepreneur dan menciptakan lapangan kerja baru.
Peningkatan pertumbuhan ekonomi akan efisien menanggulangi
kemiskinan apabila sejalan dengan pemerataan distribusi pendapatan. Kebijakan
yang tepat dalam upaya pemerataan distribusi pendapatan adalah melakukan
optimalisasi terhadap mekanisme pemungutan pajak. Hal tersebut dilakukan untuk
benar-benar dapat mengumpulkan pajak dari para wajib pajak. Demi kelancaran
97
keberlangsungan penarikan pajak, penegakan hukum tentang masalah perpajakan
perlu dilakukan agar para wajib pajak patuh dalam menjalankan kewajibannya
membayar pajak.
Hasil dari pengumpulan pajak ini nantinya digunakan untuk disalurkan
pada pelayanan-pelayanan publik, khususnya diperuntukan bagi penduduk miskin.
Pelayanan-pelayanan publik antara lain adalah akses terhadap kesehatan,
pendidikan, pangan, dan perumahan. Dengan pelayanan publik tersebut
diharapkan dapat meningkatkan kualitas hidup para penduduk menjadi lebih baik.
5.3.3. Program Pengembangan Sektor Industri
PDRB dan tenaga kerja sektor industri yang signifikan memengaruhi
kemiskinan dapat dijadikan arah bagi pemerintah dalam membuat dan
menjalankan program-program serta kebijakan dalam upaya penanggulangan
kemiskinan yang lebih efisien. Maka, diperlukan adanya suatu iklim investasi
yang lebih baik untuk lebih dapat mengembangkan sektor industri yang ada di
DKI Jakarta.
Tabel 5.4. Pengganda Output, Pendapatan, dan Tenaga Kerja Sektor-Sektor Perekonomian Provinsi DKI Jakarta
NO SEKTOR OUTPUT PENDAPATAN TENAGA KERJA
1 Pertanian 1,128589 1,1244886 1,0293249
2 Pertambangan dan Penggalian 1,099663 1,1498176 1,1429873
3 Industri Pengolahan 1,591497 1,7598706 1,9069743 4 Listrik, Gas dan Air Bersih 1,464596 1,8363422 2,2500729 5 Bangunan 1,311587 1,3095314 1,7940794 6 Perdagangan 1,180853 1,1357401 1,0424447 7 Pariwisata 1,289354 1,2704961 1,2238581
8 Keuangan, Perbankan dan Jasa Perusahaan 1,301216 1,3121272 1,6115280
9 Jasa-jasa 1,429034 1,2489757 1,2848118 Sumber: Tabel Input-Output Provinsi DKI Jakarta Tahun 2006, Klasifikasi 9 sektor
(diolah)
98
Pada tabel Input Output, sektor industri di DKI Jakarta, sektor industri
menunjukan efek pengganda yang paling besar dibandingkan dengan sektor
lainnya. Hal ini berarti bahwa bila terjadi peningkatan akhir pada sektor industri,
akan menghasilkan efek pengganda pada output, pendapatan dan tenaga kerja
yang lebih besar jika dibandingkan apabila terjadi kenaikan permintaan akhir pada
sektor lainnya. Maka, penting bagi pembuat kebijakan untuk lebih berkonsentrasi
pada kebijakan yang mendorong perkembangan sektor industri.
Untuk lebih meningkatkan pertumbuhan pada sektor industri, pemerintah
harus mampu menciptakan iklim investasi yang baik. Iklim investasi yang baik
akan menarik para investor untuk mau berinvestasi di DKI Jakarta. Perbaikan
iklim investasi dapat dilakukan diantaranya: memperbaiki dan menyediakan
infrastruktur yang lengkap dan menunjang bagi pengusaha; tersedianya input yang
berkualitas yang mampu menunjang industri yang akan ditumbuhkan oleh
investor; adanya penerapan pajak yang sesuai, yaitu tingkat pajak yang tidak
terlalu membaratkan pihak investor; adanya high return expextation yang mampu
diberikan oleh DKI Jakarta; managemen dan pelayanan birokrasi yang tidak
menghambat investor dan cepat; serta terciptanya stabilitas ekonomi, politik dan
keamanan di DKI Jakarta.
Ketika iklim investasi di DKI Jakarta telah tercipta, maka akan menarik
para investor untuk mau berinvestasi di DKI Jakarta. Bukan hanya investor baru,
tetapi juga akan menggairahkan kembali investor yang telah ada, sehingga akan
lebih mau melakukan produksi dan meningkatkan produktifitasnya, karena adanya
99
kondisi persaingan pasar yang baru yang terjadi akibat adanya investor baru yang
masuk. Investor-investor yang masuk dan investor lama yang semakin
berkembang akan berinvestasi di DKI Jakarta dengan modal yang besar. Modal
besar ini berarti akan menggunakan input yang besar pula yang nantinya akan
menghasilkan output yang besar. Output yang besar akan mendorong
pertumbuhan pada sektor industri serta akan mendorong pertumbuhan pada sektor
lainnya.
Manfaat lain yang terjadi ketika investor-investor adalah penyerapan
tenaga kerja. Ketika investor-investor baru masuk, maka akan membuka
kesempatan-kesempatan kerja yang baru dan lebih banyak. Selanjutnya yang
terjadi adalah penyerapan tenaga kerja dan mengurangi pengangguran. Dalam
menyaingi investor-investor yang masuk, investor lama mau tidak mau harus
mampu meningkatkan produktifitasnya, salah satunya adalah dengan penambahan
tenaga kerja untuk mendorong hasil output sesuai dengan permintaan pasar.
Kedua hal tersebut menggambarkan adanya penyerapan tenaga kerja akibat
adanya perbaikan dalam iklim investasi.
Manfaat lain adalah adanya transfer teknologi yang terjadi akibat adanya
investor-investor baru yang masuk. Transfer teknologi perlu untuk
mengembangkan cara produksi menuju kearah efisiensi. Tetapi, dalam
penyerapan transfer teknologi yang harus diperhatikan adalah pemilihan teknologi
yang akan diterapkan. Terdapat tiga macam jenis teknologi yang mungkin dapat
dipelajari untuk efisiensi produksi. Teknologi bersifat netral, teknologi yang
bersifat meningkatkan modal, dan teknologi yang meningkatkan tenaga kerja.
100
Maka, sebagai daerah yang kaya akan sumberdaya manusia, penyerapan teknologi
harus berdasarkan penyerapan teknologi yang bersifat meningkatkan tenaga kerja.
Peningkatan pertumbuhan sektor industri dan penyerapan tenaga kerja,
sesuai penelitian merupakan hal yang dapat mengurangi kemiskinan di DKI
Jakarta. Maka konsentrasi pemerintah dalam mengoptimalkan kedua hal tersebut
akan mampu memberikan hasil yang nyata terhadap pengurangan tingkat
kemiskinan di DKI Jakarta. Kebijakan dan program yang sesuai yang langsung
tertuju pada akar masalah akan mempercepat pembangunan ekonomi dan
pengurangan kemiskinan.
101
VI. KESIMPULAN DAN SARAN
6.1. Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan yang dipaparkan sebelumnya, maka dapat
diambil kesimpulan bahwa faktor yang mempengaruhi kemiskinan di DKI Jakarta
antara lain adalah:
1. Angka melek huruf mempengaruhi kemiskinan. Semakin tinggi angka melek
huruf penduduk DKI Jakarta, maka akan menurunkan angka kemiskinan.
2. Laju pertumbuhan ekonomi mempengaruhi kemiskinan. Semakin tinggi laju
pertumbuhan ekonomi DKI Jakarta, maka akan menurunkan angka
kemiskinan.
3. PDRB sektor industri mempengaruhi kemiskinan. Semakin besar PDRB
sektor industri DKI Jakarta, maka akan menurunkan angka kemiskinan.
4. Tenaga kerja sektor industri mempengaruhi kemiskinan. Semakin besar
penyerapan tenaga kerja pada sektor industri di DKI Jakarta, maka akan
menurunkan angka kemiskinan.
Pemerintah telah menjalankan banyak kebijakan dan program-program
dalam upaya penanggulangan kemiskinan. Tetapi, program-program tersebut
belum efektif untuk mengurangi kemiskinan secara signifikan. Program-program
yang dijalankan masih berlaku secara umum dan belum mengena langsung pada
sumber penyebab kemiskinan. Hasil yang terjadi adalah masih tingginya angka
kemiskinan di DKI Jakarta.
102
5.2. Saran
1. Pemerintah perlu menerapkan program-program yang langsung mengena pada
sasaran kemiskinan. Program-program tersebut antara lain:
(i) pemberantasan buta huruf, dapat dilakukan dengan program Keaksaraan
Fungsional yang dilanjutkan dengan Program Kejar Paket A B C
(ii) peningkatan pertumbuhan ekonomi, dapat dilakukan dengan fokus
pembangunan pada sektor kunci (leading sector) yang ada di DKI Jakarta
yang dilanjutkan dengan pemerataan distribusi pendapatan dengan
pengoptimalan pemungutan pajak dan penegakan hukum
(iii) penciptaan iklim investasi, dengan memperbaiki sistem birokrasi,
managemen, infrastruktur, pajak serta menciptakan input/sumber daya
yang mendukung, high return expectation, dan stabilitas ekonomi politik
dalam negeri.
2. Analisis yang dilakukan sifatnya masih belum terperinci pada analisis makro
atau analisis mikro, melainkan masih mencampurkan variabel makro dan
variable mikro. Perlu dikembangkan lebih lanjut penelitian yang lebih
menganalisis pengaruh mikro atau makro dengan menggunakan variabel yang
dapat mewakilinya. Hal ini terkait dengan kewenangan pemerintah daerah dan
pemerintah pusat dalam membuat kebijakan penanggulangan kemiskinan.
103
DAFTAR PUSTAKA
Adam Jr. dan Richard H. 2004. “Economic Growth, Inequality and Poverty: Estimating The Growth Elasticity of Poverty.” World Development, 32 (12), hal 1989-2014
ADB. 1999. Fighting Poverty in Asia and the Pasific: The Poverty Reduction
Strategy of the Asian Development Bank. Manila. Ardaninggar. 2009. Evaluasi Implementasi Program-program Penanggulangan
Kemiskinan dan Pemberdayaan Masyarakat di Era Otonomi Daerah. http://ardaninggar.wordpress.com/2011/01/20/evaluasi-implementasi-program-program-penanggulangan-kemiskinan-dan-pemberdayaan-masyarakat-di-era-otonomi-daerah.
Bappenas. 2010. Rencana Kerja Pemerintah Tahun 2009. RKP 2009. Bappenas.
Jakarta. Bappenas. 2009. Penyempurnaan Rancangan Perda Kesejahteraan Sosial. Dinas
Sosial Provinsi DKI Jakarta. Bank Dunia. 2006. The Quality of Growth. Oxford University. New York. Bank Dunia. 2006. Poverty. www.worldbank.org./depweb/beyond/beyondbw/beg
bw_06.pdf. Bellinger, W. K. 2007. The Ecconomic Analysis of Public Policy. Routledge.
Oxon. Bourguignon, F. 2004. The Poverty-Growth-Inequality Triangle. World Bank.
Washington, DC. BPS. 2010. Perkembangan Beberapa Indikator Utama Sosial-Ekonomi Provinsi
DKI Jakarta. BPS. Jakarta. BPS. 2002-2009a. Data Dan Informasi Kemiskinan. BPS. Jakarta BPS. 2002-2009b. Jakarta Dalam Angka. BPS. Jakarta BPS. 2002-2009c. Keadaan Angkatan Kerja dan Penduduk DKI Jakarta. BPS.
Jakarta. BPS. 2008. Perkembangan Kesejahteraan dan Keadaan Penduduk Miskin DKI
Jakarta. BPS. Jakarta.
104
Galor, O. 2000. Income Distribution and the Process of Development. Europan
Economic Review, Vol. 44. pp 706-712 Hasibuan, T.G. 2006. Variabel Utama yang Mempengaruhi Kemiskinan di
Provinsi Sumatra Utara. [Tesis]. UI. Jakarta. Hermanto S., dan Dwi W., 2006. Dampak Pertumbuhan Ekonomi terhadap
Penurunan Penduduk Miskin di Indonesia: Proses Pemerataan dan Pemiskinan. Direktur Kajian Ekonomi. IPB. Bogor.
Hudayana, D. 2009. Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Kemiskinan di Indonesia.
[Skripsi]. IPB. Bogor. Indra. 2009. Analisis Hubungan Intensitas Energi dan Pendapatan Perkapita:
Studi Komparatif di Sepuluh Negara Asia Pasific. [Tesis]. IPB. Bogor. Komite. 2009. Percepatan Target Penurunan Angka Kemiskinan. Majalah Komite
Agustus 2009. http://catatan-sr.blogspot.com/2009/08/percepatan-target-penurunan-angka_03.html
Monvalto, J.G and M. Ravallion. 2009. The Pattern of Growth and Poverty
Reduction in China. Working Paper. World bank. Washington, DC. Nasir, M, M. Saichudin dan Maulizar. 2006. Analisis Faktor-faktor yang
Memengaruhi Kemiskinan Rumah Tangga di Kabupaten Purworejo. Eksekutif. Purworejo.
Nurhayati, M. 2004. Analisis faktor-faktor yang Mempengaruhi Kemiskinan di
Jawa Barat. [Skripsi]. IPB. Bogor. Nurkholis. 2004. Pendidikan sebagai Innvestasi Jangka Panjang.
http://www.perpus.upstegal.ac.id.id/home/easylib/?pilih=news&mod=yes&aksi=lihat&id=22
Priyarsono, D.S. H. Reinhart dan Widyastutik. 2008. Ekonomi Publik: 1-9.
Universitas Terbuka. Jakarta. Ravallion, M and Lanjouw. 1994. How Important to India’s Poor is the Sectoral
Composition of Growth?, World Bank Economic Review, p. 10. Sekretariat Negara. 2007. UU. No. 17 Tahun 2007. Rencana Pembangunan
Jangka Panjang Nasional Tahun 2005-2025. Jakarta. Siregar, H dan D. Wahyuniarti. 2007. Dampak Pertumbuhan Ekonomi Terhadap
Penurunan Jumlah Penduduk Miskin. MB-IPB. Bogor.
105
Sumodiningrat, G. 1999. Kemiskinan: Teori, Fakta dan Kebijakan. IMPAC.
Jakarta Suparno. 2010. Analisis Pertumbuhan Ekonomi dan Penanggulangan
Kemiskinan: Studi Pro Poor Growth Policy di Indonesia. [Tesis]. IPB. Bogor.
Suryahadi, A, D. Suryadarma dan S. Sumatra. 2006. Economic Growth and
Poverty Reduction in Indonesia: The Effect of Location and Sectoral Components of Growth. SMERU Research Institute. Jakarta.
Tambunan, T. 2006. Perekonomian Indonesia sejak Orde Lama hingga Pasca
Krisis. Pustaka Quantum. Jakarta. TKPK. 2009. Capaian Koordinasi Penanggulangan Kemiskinan 2005-2009. Tim
Koordinasi Penanggulangan Kemiskinan. Menko Kesra. Jakarta. Todaro, M. P dan S. C. Smith. 2006. Pembangunan Ekonomi. Jilid 1. Edisi 9. Alih
Bahasa. Erlangga. Jakarta. TP PNPM. 2007. Pedoman Umum Program PNPM Mandiri. Menko Kesra.
Jakarta. Wiraswara, A. 2005. Pertumbuhan Ekonomi dan Pengurangan Angka kemiskinan
di Indonesia. [Skripsi]. IPB. Bogor.
106
107
PLS Dependent Variable: MISKIN01 Method: Panel EGLS (Period weights) Date: 04/17/11 Time: 19:00 Sample: 2002 2009 Periods included: 8 Cross-sections included: 5 Total panel (balanced) observations: 40 Linear estimation after one-step weighting matrix
Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.
C 4.753982 27.24933 0.174462 0.8627 AMH -0.082529 0.276680 -0.298284 0.7675
PDDK 0.141180 0.071029 1.987636 0.0560 KTG 0.236745 0.100640 2.352391 0.0254
PPKPT -0.011845 0.033098 -0.357881 0.7229 PDRB 0.173846 0.261038 0.665977 0.5105 PIND 0.085246 0.035174 2.423577 0.0216
PJASA -0.216045 0.370766 -0.582699 0.5645 TKIND -1.088131 0.353634 -3.076996 0.0044
TKJASA -1.070849 0.609944 -1.755652 0.0894
Weighted Statistics
R-squared 0.773551 Mean dependent var 4.442007 Adjusted R-squared 0.705617 S.D. dependent var 1.683565 S.E. of regression 0.746304 Sum squared resid 16.70910 F-statistic 11.38671 Durbin-Watson stat 1.161842 Prob(F-statistic) 0.000000
Unweighted Statistics
R-squared 0.700185 Mean dependent var 3.953250 Sum squared resid 19.51952 Durbin-Watson stat 1.295447
108
FIXED
Dependent Variable: MISKIN01 Method: Panel EGLS (Cross-section SUR) Date: 04/17/11 Time: 19:20 Sample: 2002 2009 Periods included: 8 Cross-sections included: 5 Total panel (balanced) observations: 40 Linear estimation after one-step weighting matrix
Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.
C -38.83829 14.32419 -2.711378 0.0117 AMH -0.395983 0.153703 2.576286 0.0160
PDDK 0.054507 0.081780 0.666503 0.5110 KTG 0.026701 0.070208 0.380313 0.7068
PPKPT -0.021133 0.033267 -0.635252 0.5308 PDRB -0.360355 0.164858 2.185852 0.0380 PIND -0.124330 0.060861 2.042846 0.0513
PJASA 0.117441 0.236696 0.496167 0.6239 TKIND -1.005960 0.388419 -2.589885 0.0155
TKJASA 0.067521 0.371022 0.181988 0.8570
Effects Specification
Cross-section fixed (dummy variables)
Weighted Statistics
R-squared 0.835958 Mean dependent var 8.309058 Adjusted R-squared 0.753938 S.D. dependent var 3.286603 S.E. of regression 1.151061 Sum squared resid 34.44848 F-statistic 10.19203 Durbin-Watson stat 2.235633 Prob(F-statistic) 0.000000
Unweighted Statistics
R-squared 0.859576 Mean dependent var 3.953250 Sum squared resid 9.142328 Durbin-Watson stat 1.888106
109
UJI CHOW
H0: PLS
H1: FIXED
Redundant Fixed Effects Tests Equation: Untitled Test cross-section fixed effects
Effects Test Statistic d.f. Prob.
Cross-section F 10.939918 (4,26) 0.0000
UJI KENORMALAN
H0: Sisaan menyebar normal
H1: Sisaan tidak menyebar normal
0
1
2
3
4
5
6
-1 0 1 2
Series: Standardized ResidualsSample 2002 2009Observations 40
Mean 1.11e-17Median -0.021022Maximum 2.221805Minimum -1.648919Std. Dev. 0.939837Skewness 0.264946Kurtosis 2.496182
Jarque-Bera 0.891030Probability 0.640494
110
UJI KEHOMOGENAN
-2
-1
0
1
2
3
5 10 15 20 25 30 35 40
Standardized Residuals