Download - Ambon-1 Syarifudin, profesionalisne jurnalis
Profesionalisme Jurnalis Islami 1
Profesionalisme Jurnalis Islami 2
BAB I
A. Pendahuluan
Peran jurnalis dalam menentukan masa depan masyarakat
lebih baik cukup signifikan karena karya-karyanya memiliki tiga
kecenderungan yang cukup memiliki kekuatan sebagai jurnalis
yang profesional. Tokoh-tokoh jurnalis yang telah menorehkan
wajah perjalan sejaran jurnalis di Dunia antara lain adalah: Adam
Abdullah Aluri karyanya membuat dunia jurnalis menjadi cerah
dengan bukunya Sejarah Jurnalis Islam dalam membentuk
cakrawala umat dunia global. Jum’ah Amin Aziz dalam bukunya
Kaidah-kaidah Jurnalis dalam menulis straigh news. Muhammad
Husein Fadullah dalam karyanya kaidah logika jurnalis yang
profesional.1 Kompetensi jurnalis inilah yang memberikan
pencerahan bagi jurnalis dewasa ini sehingga karya-karya jurnalis
berkembang cukup pesat seiring ditemukannya teknologi
informasi dan komuniaksi di Dunia Eropa.
Kajian kompetensi jurnalis yang profesional di bidangnya
bermuara pada mata air ilmu pengetahuan yang diproduksi secara
filosofis oleh para ilmuan, untuk dijadikan rujukan bagi praktisi
1Zainur Rofiq, Mengenal Dunia Jurnalis (Cairo: Terobososan karya
Mahasiswa al-Az-Har, 1998), h. 151.
Profesionalisme Jurnalis Islami 3
jurnalis dalam memajukan dan meningkatkan media massa. Untuk
memajukan pengolahan informasi ilmuan jurnalistik berpikir keras
untuk memproduksi ilmu praktis yang dapat memudahkan praktisi
jurnalistik mencari, mengolah, dan menyebarkan melalui teknologi
informasi dan komunikasi di tengah masyarakat.
Kompetensi Jurnalis Islami dalam buku ini akan
memberikan pelajaran-pelajaran teknis tentang cara
mengkonstruksi berita yang dapat menyelamatkan manusia dari
berbagai macam informasi yang dapat menyesatkan dan merusak
alam pikiran manusia. Buku ini berlandasakan pada QS Al-
Hujurat (49) : 6.
Terjemahnya:
Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang
Fasik membawa suatu berita, Maka periksalah dengan teliti
agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu
kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu
menyesal atas perbuatanmu itu.
Pesan-pesan dari Al-Quran tersebut yang menjadi pondasi
dalam mempelajari buku kompetensi jurnalisitik. Yakni
mahasiswa akan diberikan cara mengolah, merawat, dan menjaga
informasi agar tidak merusak pikiran orang lain akibat kurang
adanya tahkik (konfirmasi) yang jelas. Sebagai mahasiswa perlu
menjelaskan bahwa ‚setiap informasi itu perlu diferfikasi
Profesionalisme Jurnalis Islami 4
darimanapun datangnya dan Sumber berita tersebut‛ siapa
narasumbernya, apakah narasumbernya jujur (credible), apa
materinya, kepada siapa ia maksudkan, bagaimana cara
menyampaikan berita, lewat saluran media massa yang akan
disampaikan, di tengah masyarakat.
Perkembangan teknologi informasi yang sangat canggih
dewasa ini banyak informasi yang tersedia di media massa
sehingga persaingan para jurnalis semakin kompetitif untuk
menyebarkan informasi yang akan diterima oleh masyarakat.
Banyak informasi yang tersedia di media massa sehingga
membutuhkan kompetensi jurnalis untuk lebih profesional sebagai
standar jurnalis yang layak untuk menjadi wartawan.
Dalam perkembangan media yang sangat pesat
membutuhkan kompetensi jurnalis Islami untuk menentukan
standar jurnalis profesional. Kompetensi jurnalis ini bertujuan
untuk meningkatkan kualitas pemberitaan yang sopan, santun,
berbobot, dan bermanfaat bagi semua lapisan masyarakat bukan
golongan tertentu saja. Jika jurnalis memiliki kompetensi spiritual,
intelektual, sosial, dan enterpreneurship maka masa depan umat
manusia akan lebih tercerahkan. Pertanyaannya adalah apakah
semua jurnalis telah memiliki kompetensi tersebut, dan bagaimana
mereka memahami kompetensi tersebut serta menerapkannya
Profesionalisme Jurnalis Islami 5
dalam peliputan dan penulisan berita. Inilah yang akan diekplorasi
dalam buku ini.
Realitas inilah yang memberikan motivasi lahirnya buku ini
untuk menjadi pegangan bagi calon jurnalis yang akan
meningkatkan citra pemberitaan dan kompetensi jurnalis yang
profesional. Buku ini akan memberikan cara cakrawala baru
tentang dunia jurnalistik yang selama ini belum ada lembaga
sertifikasi jurnalis yang bertugas untuk menguji secara cermat
para praktisi jurnalis yang tidak pernah melewati jenjang
pendidikan jurnalis di dunia akademik.
Jika dicermati dengan seksama bahwa jurnalis perlu
memiliki beberapa idiologi dalam menulis berita antara lain
idiologi kapitalis, sosialis, dan Islamis. Jurnalis Islami memiliki
kompetensi keduanya untuk memberikan keseimbangan kepada
dunia jurnalis bahwa semua itu perlu digunakan untuk sebesar-
besar kemaslahatan umat manusia. Kompetensi jurnalis Islami
harus menjadi prontier spirit bagi pembaruan perkembangan
jurnalis di dunia dengan mengendalikan, memferifikasi, dan
menelaah secara cermat setiap informasi yang dapat merusak alam
pikiran masyarakat untuk mencegah perbuatan keji dan mungkar.
Profesionalisme Jurnalis Islami 6
BAB II
KOMPETENSI JURNALIS
A. Kompetensi Jurnalis
Salah satu kompetensi jurnalis adalah kredibilitas.
kredibilitas menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI)
adalah perihal dapat dipercaya, mempengaruhi di mata umum.2
Pengertian ini menunjukkan bahwa pentingnya kepercayaan pada
Institusi media massa memberikan dampak pada konsumen dalam
menyebarkan berita. Pengertian ini juga relevan dengan tradisi
dalam menjaga keabsahan berita. Dalam ilmu hadis bahwa perawi
(jurnalis) harus siqah artinya berstatus adil dan d}a>bit memiliki
kejujuran, tidak berbohong, cerdas dan berbudi).3 Salah satu
makna dari s{iqah antara lain bahwa jurnalis tersebut dapat
dipercaya beritanya karena ia menggali dengan proses budiluhur.
Kredibilitas jurnalis tersebut sesuai dengan konsep
Jalaluddin Rakhmat seperangkat presepsi tentang sifat-sifat baik
dari seorang jurnalis.4 Tak dapat dipungkiri bahwa kredibilitas
salah satu kriteria jurnalis profesional. Jika jurnalis memiliki sifat
2Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa
Indonesia (Jakarta: Balai Bahasa, 2009), h. 818.
3Abdul al-Aziz Ibnu Muhammad Ibnu Ibrahim Abdul latif, Dawa>bit} al-
Ja>rh wa al-Ta'dil (Saudi Arabia, al-Madinah al-Munawwarah, 1381), h. 136.
4Jalaluddin Rakhmat, Psikologi Komunikasi: Edisi Revisi (Cet. XXII;
PT. Remaja Rosdakarya, 2005), h. 257.
Profesionalisme Jurnalis Islami 7
kredibilitas (dipercaya) maka proses pemberitaan bisa meningkat
dan berjalan efektif mencerahkan masyarakat.
Kredibilitas jurnalis memiliki peran strategis, dalam
mentransformasikan pesan-pesan agama Islam di tengah
masyarakat.5 Peran kredibilitas menggunakan bahasa sebagai
perangkat untuk merubah cara pandangan mad’u menurut Thomas
Hobes yang dikembangkan H.E King menurut Jalaluddin Rakhmat
bahwa kompetensi menyebarkan pesan yang dapat berpengaruh
dalam aspek fisik dan psikis termasuk aspek kompetensi seorang
komunikator.6
Secara keilmuan hemat Yusuf Qardawi perlu ada perbedaan
mendasar dari aspek bangunan keilmuan khususnya perbedaan
antara kompetensi dalam ilmu jurnalis Islam bersumber dari ilmu
dakwah.7 Argumentasi ini cukup mendasar sehingga ada pemetaan
keilmuan dari aspek filosofis memberikan kontribusi pada
kompetensi jurnalis. Menurut syarifudin bahwa setiap jurnalis bisa
menjadi sang pencerah. Untuk menjadi sang pencerah maka perlu
5A. Zuad MZ dan Muhammad Sidiq, Mutiara Al-Quran: Sorotan Al-
Quran Terhadap berbagai teknologi Moderen (Cet. I; Surabaya, Sarana Ilmiah
Press, 1998), h. 142.
6op. cit., Jalaluddin Rakhmat
7H.M. Sattu Alang, Dosen Tetap Pada Fakultas Dakwah dan
Komunikasi Universitas Negeri Alauddin Makassar dan sekarang menjabat
sebagai Ketua LPM UIN Alauddin Makassar.
Profesionalisme Jurnalis Islami 8
memiliki kompetensi memahami berita, menjelaskan berita, dan
memili kata dan kalimat yang dapat mencerahkan masyarakat
melalui karya jurnalis. Atas dasar inilah sehingga perlu indikator
sebagai jurnalis profesional. Kiteria jurnalis profesional menurut
Syarifudin antara lain:
1. Memahami bahasa Al-Quran sebagai spirit inspirasi, inovasi
dan kreativitas sebagai jurnalis Islami.
2. Mengetahui hukum dalam Agama Islam untuk menghindari
prilaku menyimpang wartawan.
3. Memiliki prilaku dan citra baik di tengah masyarakat
sehingga berita dari jurnalis tersebut dapat dipercaya.
4. Secara akademik memiliki jenjang pendidikan jurnalis
Islami sehingga berita-berita yang ditulis sesuai dengan
konsep Islam. Konsep Islam yang dimasudkan adalah
jurnalis yang memiliki cakwala rahmatallil’alamin.
5. Dapat menggunakan teknologi informasi, dakwah, dan
komunikasi sebagai perpanjangan panca indra jurnalis.
Indikator kompetensi jurnalis di atas sesuai pandangan Ilyas
Ismail bahwa kriteria jurnalis profesional antara lain; 1). Jika ia
memenuhi kompetensi intelektual, 2). Kekuatan moral
Profesionalisme Jurnalis Islami 9
(budipekerti yang luhur), dan 3). Kekuatan spiritual.8 Syarat ini
adalah usaha maksimal untuk memberikan pelayanan agama
sesuai kompetensi yang di miliki oleh jurnalis.
Salah satu kriteria kompetensi dalam dunia pendidikan
adalah kemampuan menggunakan teknologi pembelajaran sebagai
indikator guru profesional. Indikator ini juga menjadi standar
sebagai jurnalis profesional dalam mengkomunikasikan Al-Quran
dan Sunnah sebaga spirit dan strategi menggunakan teknologi
dakwah dan komunikasi dalam mencerahkan masyarakat.
Secara akademik kompetensi jurnalis profesionalisme
memiliki pengetahuan atau keterampilan dan nilai-nilai dasar
yang direfleksikan dalam kebiasaan berfikir dan bertindak.
Kompetensi jurnalis lain dari padangan kemendiknas antara lain
pengenalan kaidah-kaidah jurnalis, pengembangan potensi
jurnalis, penguasaan akademik, dan sikap kepribadian.9 Sebagai
standar keilmuan jurnalis ia perlu memiliki standar kompetensi
antara lain:
8A. Ilyas Ismail dan Prio Hotman, Filsafat Dakwah: Rekayasa
Membangun dan Peradaban Islam (Cet. I. Jakarta: Prenada Media Group,
2011), h. 57.
9Kunandar, Guru Profesionalisme Implementasi Kurikulum Satuan
Tingkat Pelajaran (KTSP) dan kesiapan menghadapi sertifikasi Guru (Cet. I;
Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2007), h. 45.
Profesionalisme Jurnalis Islami 10
1. Waspada secara preofesional menjaga lingkungan
masyarakat, sekolah, dan rumah sebagai tempat penyebaran
Informasi.
2. Menyadari akan nilai-nilai atau manfaat pekerjaannya, dan
terus berusaha maksimal memberitakan yang terbaik bagi
masyarakat.
3. Seorang jurnalis perlu memiliki kecerdasan sosial oleh
larangan-larangan dalam hubungan tentang kebebasan
pribadi yang dikemukakan oleh beberapa orang untuk
menggambarkan profesi kejurnalisan.
4. Memiliki kecerdasan sosial yang diperoleh dari
pekerjaannya tentang kerjanya secara biologis, sosiologis,
antropologis, dan budaya dalam kelas.
5. Berkeinginan untuk terus berubah, dasar bahwa perannya
memberikan berita yang terbaik di tengah masyarakat
dibawah pengaruhnya. Dalam artian tinggi rendahnya
kualitas berita ditentukan oleh jurnalis.10
Profesionalisme jurnalis adalah adanya kesadaran keyakinan
bahwa proses transformasi pesan-pesan Tuhan adalah tugas mulya
yang harus dilengkapi oleh kecakapan diagnostik, kompetitif,
10Ibid., h. 65.
Profesionalisme Jurnalis Islami 11
aplikatif, untuk meyakinkan pesannya kepada masyarakat.
Profesionalisme juga dapat didefinisikan bahwa suatu pekerjaan
bidang tertentu yang dilakukan karena Allah bukan karena
penilaian makhluknya.11
Kompetensi jurnalis menurut Ali
Mahfuz yang dikutip oleh Samsul Munir Amin adalah seseorang
yang memiliki karakter sifat-sifat kenabian sebagai aturan standar
umum adalah amanah, siddiq, fat}a>nah, tabli>g. Fat}a>nah meliputi
kompetensi psikologis, psikomotorik, dan afektif.12
Profesinalisme jurnalis adalah Pekerjaan berdasarkan
motivasi (niat) transformasi pesan-pesan normatif yang
disampaikan kepada masyarakat semata-mata untuk mengabdi
pada Tuhan dan dedikasi pada sesama manusia untuk saling
mencerahkan berdasarkan petunjuk dalam Al-Quran dan Sunnah.13
Dalam konteks ini Profesionalisme menurut Talcott Parson
sebagai seorang sosiolog adalah kemampuan memetakan
kebutuhan dan tujuan masyarakat melalui pesan-pesan kesucian.
Adaptation (cara jurnalis beradabtasi dengan medang dakwah),
goal attaiment (proses pencapaian tujuan), integration
11Ahmat Tafsir, Ilmu Pendidikan dalam Islam (Cet. II; Bandung: Remaja
Rosda karya, 1994), h. 107.
12Samsul Munir Amin, Ilmu Dakwah (Cet. I; Jakarta: Amzah, 2009), h.
126-127.
13Ibid
Profesionalisme Jurnalis Islami 12
(keterpaduan antar sub sistem), latent: pattern maintenance and
tension management (idologi).14
Pandangan Talcott Parson
tersebut hemat penulis jika jurnalis memenuhi kriteria dalam
aplikasi dakwah maka dapat dikategorikan sebagai jurnalis yang
profesional.
Profesionalisme jurnalis adalah adanya kesadaran tinggi
pada sebagian orang yang memiliki kecerdasan aqidah, syari’ah,
dan akhlaq serta kemampuan memaknai Al-Quran- Sunnah
melalui kecakapan menjelaskan pesan-pesan Al-Quran Sunnah
melalui bantuan teknologi komunikasi untuk mencerahkan umat
dari kelemahan aqidah, syariah, dan akhlaq. Kompetensi jurnalis
profesional dalam kajian ilmu dakwah dari Yusuf Qardawi yang
dikutip Engjang mengungkapkan tujuh kriteria jurnalis antara
lain:
1. Jurnalis harus kredibel/tsiqah (dapat dipercaya dan
dipertanggung jawabkan). (Siddiq, Amanah, Fathanah,
tablig).
2. Pesannya memiliki akurasi data yang tinggi (dalam artian
tidak bertentangan dengan akal, agama, budaya, moral, dan
tradisi budaya setempat.
3. Metodenya sistematis dan sesuai tatatertib logika dalam
penggalian dalam Al-Quran dan Sunnah serta informasi
yang disampaikan sesuai dengan kebutuhan mad’u.
14Talcott Parson, The Social System: The Structure of Social Action (
First published in New Fetter Lane London e-Library, 2005) h. 76.
Profesionalisme Jurnalis Islami 13
4. Menggunankan nalar/akal dalam menggali informasi dalam
Al-Quran dan Sunnah sesuai daya nalar manusia (mudah
dicernah masyarakat), Menggunakan busana dan bahasa
yang sesuai daya nalar mad’u.
5. Balig (dewasa mampu membedakan baik dan buruk),
Tidak gila (Memiliki kesadaran yang tinggi dan Sehat
jasmani).15
B. Tipologi Jurnalis Profesional
Tipologi Jurnalis profesional jika ia memiliki kriteria secara
metodologis mampu merubah psikologi masyarakat dari satu
kondisi ke kondisi lain melalui kualitas pemberitaan menuju cita-
cita bangsa Indonesia yang adil, sejahterah, dan makmur. Merubah
pembaca secara psikologi tersebut dalam dunia komunikasi bahwa
perubahan fisik dengan meransang cara kerja otak kiri dan otak
kanan dalam menerima berita melalui media massa.
Jurnalis profesional dalam melakukan eksplorasi kandungan
Al-Quran dan Sunnah melalui sistem informasi dakwah di tengah
umat,16
tidak cukup jika hanya mengandalkan kekuatan lisan saja
tetapi perlu analogi, tafsir, ta’wil, perumpamaan, dan teknologi
15Sultan, Desain Ilmu Dakwah (Cet. II; Jakarta: Prenada Media Group,
2009), h. 33.
16H.M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Quran Perlu di Orientasikan pada
kenyataan hidup di masyarakat (Jakarta: Harian Pelita, kamis, 22 Agustus
1991), h. 5.
Profesionalisme Jurnalis Islami 14
informasi sebagai penunjang dalam memahami, menjelaskan,17
dan mengomunikasikan kandungan Al-Quran dan Sunnah di
tengah problematika masyarakat modern. Kelemahan jurnalis
memahami Al-Quran dan Sunnah dapat menurunkan
kredibilitasnya di tengah umat karena dianggap beritanya kurang
kredibel.
Hal ini sesuai dengan paradigma kredibilitas seorang jurnalis
Umar Tilmizani pada tahun 1952 pengagum Hasan Al-Banna
mengungkapkan bahwa dakwah yang berhasil jika mengumpulkan
semua jurnalis kredibilitas (akhlaq yang luhur) dalam satu
jama'ah) untuk melawan imprealisme budaya barat.18
Hemat
penulis gerakan sistem informasi dakwah Umar Tilmizani ini
penekanan pada kredibilitas jurnalis dapat meningkatkan
efektifitas dalam penerapan sistem informasi dakwah.
Pandangan kredibilitas Umar Tilmizani ini sesuai paradigma
yang dikemukakan Hovlan dan Weiss (1974) bahwa subjek
dakwah itu cenderung lebih senang dengan komunikator yang
17Andi Faisal Bakti, Nation Building: Kontribusi Komunikasi Agama
Lintas Budaya Terhadap Kebangkitan Bangsa Indonesia (Cet. I; Jakarta: Curia
Press, 2006), h. 142.
18Umar Tilmizani, Am ketiga Ikhwanul Muslimin (Jakarta: Rabbani
press, 1998), h. 99
Profesionalisme Jurnalis Islami 15
memiliki predikat yang tinggi.19
Dari pandangan tersebut ada dua
kredibilitas yang perlu diperhatikan oleh seorang jurnalis yakni
keahlian dan kepercayaan. Keahlian adalah kesan profesionalisme
yang dibentuk oleh seorang jurnalis dalam kemampuan
menyampaikan ide/gagasan yang indah, teratur setiap kalimat
yang diucapkan dan mudah dicerna oleh mad’u.
Sedangkan kepercayaan kesan jurnalis yang dibentuk atas
dasar watak yang sopan, santun, dan memahami tradisi-tradisi
moral, dan etika serta budaya orang lain. Semua sifat ini dapat
memberikan kepercayaan bagi mad’u. Jika kepercayaan telah
dimiliki oleh jurnalis maka dapat meningkatkan kredibilitas
jurnalis di mata mad’u yang berimplikasi pada peningkatan daya
serap mad’u. Semua komponen kredibilitas jurnalis tersebut
berperan terselenggaranya peningkatan sistem informasi dakwah
agar tetap bertahan dan lestari.
Kelestarian aplikasi dakwah tetap di butuhkan mad’u jika
terjadi peningkatan kompetensi jurnalis melalui komunikasi
empati untuk menjaga keteraturan interaksi sosial dalam
masyarakat sebagai bagian penting dari kredibilitas jurnalis.
Keteraturan interaksi sosial di tengah masyarakat membutuhkan
kredibilitas jurnalis mengkomunikasikan dan membahasakan Al-
19Op.cit., Jalaluddin Rakhmat
Profesionalisme Jurnalis Islami 16
Quran dan Sunnah sesuai daya nalar mad’u. Pandangan ini relevan
dengan teori sistem Tacott Parson bahwa menjaga kredibilitas
informasi termasuk sub sistem penting dalam struktur
masyarakat. Hal ini bertujuan untuk menghindari benturan
interaksi budaya seperti cara beradaptasi, cara mencapai tujuan,
interaksi antar lembaga, dan cara beragama.20
Hemat penulis
semua sub sistem ini perlu dijaga, dirawat melalui kredibilitas
jurnalis mentransformasikan sistem informasi dakwah di tengah
masyarakat.
Unsur penting dalam masyarakat adalah kebutuhan
informasi yang sehat melalui kemasan teknologi informasi
dakwah. Kemasan materi dakwah membutuhkan kredibilitas
mendesain materi dakwah yang akan dipublikasikan di tengah
masyarakat. Hal ini telah dikembangkan oleh pada abad ke 20
oleh Sayyid Qutub pada tahun 1970 dalam kitab fi> Z{ila>lil Qur’an.
Hal ini diungkapkan oleh Muhammad Ali Aziz bahwa
penekanan materi dakwah pada aspek teologis untuk memberikan
20Talcott Parson, Multiculturalism Society Interaction (New Yok:
Publiset Press, 2001), h. 55 lihat juga terjemahan oleh: Deddi Mulyana Pola
Interaksi Masyarakat Multikultural (Cet. III; Jakarta: Bumi Aksara 1991), h.
23.
Profesionalisme Jurnalis Islami 17
semangat keberagamaan pada umat.21
Fikih dakwah juga
dikembangkan oleh M.Natsir tokoh Dewan Dakwah Islam
Indonesia (DDII), bahwa kredibilitas dakwah tidak terlepas dari
kecerdasan fleksibilitas jurnalis beradaptasi dengan kondisi
sosiologis masyarakat dalam menerapkan rambu-rambu, melalui
pendekatan yang empati, untuk menciptakan suasana dakwah
yang komunikatif.22
Hal ini juga relevan dengan pandangan Ali
Yafie yang dikutip oleh Muhammad Azis bahwa kredibilitas
seorang jurnalis dapat dipercaya jika memenuhi tiga hal yakni;
kebijaksanaannya, sifatnya (kredibilitasnya) dan akhlaknya.23
Semua pandangan ini termasuk unsur kredibilitas jurnalis dalam
meningkatkan sistem informasi dakwah dapat tercapai dengan
baik.
Kredibilitas jurnalis bukan hal baru dalam peradaban ilmu
komunikasi, Aristoteles dengan keahliannya berpidato telah
mengamati dan meneliti apa yang menyebabkan pendengar mau
membuang waktunya untuk mendengar suatu pidato. Unsur
kepercayan pada sumber yang mengadakan komunikasi
21Moh Ali Aziz, Ilmu Dakwah: Edisi Revisi (Cet. II; Jakarta: Prenada
Group, 2009), h.158.
22Ibid.
23Ibid.
Profesionalisme Jurnalis Islami 18
merupakan unsur penting dalam melakukan dakwah yang
efektif.24
Terkait dengan hal ini, Devito mengemukakan adanya
tiga tipe kredibilitas, yaitu; a). Kredibilitas berdasarkan titel. b).
Kredibilitas yang didapat selama berkomunikasi, c). Kredibilitas
yang didapat pada akhir komunikasi.25
Hemat Wilbur Schramn
seseorang ahli komunikasi mendapat kredibilitas dari audiens jika
menyampaikan pesan berdasarkan keahliannya.26
Perspektif ini
sesuai dengan sistem komunikasi Islam yang dikemukakan oleh
Hasan Al-Banna yang dikutip oleh Thomas Arnold Walker bahwa
menyampaikan pesan berdasarkan pengetahuan seorang
komunikator,27
untuk menghindari distorsi sistem informasi
dakwah.
Sistem informasi dakwah disebut juga komunikasi Islam,
karena unsur komunikasi tersebut berlandaskan pada nilai-nilai
24Tasmara, Toto, Komunikasi Dakwah, (Cet. I; Jakarta: Gaya Media
Pratama, 2007), h. 35.
25Joseph A Devito, The Interpersonal Comunication Book, (New York,
1976), h. 130-132.
26Wilbur Schramn, Men Message and Media, (Horper and Row, New
York, 1973), h. 115.
27Thomas Arnold Walker, The Preaching of Islam (Delhi: Law Price
Publications, 1998), h. 95.
Profesionalisme Jurnalis Islami 19
Islam yang bersumber dari Al-Quran dan Sunnah.28
Salah satu
unsur sistem informasi dakwah yakni sub sistem source
credibility. Terkait kompetensi jurnalis, menurut pandangan
Robert L. Mathis adalah orang yang dengan keterampilannya
mengerjakan pekerjaan dengan mudah, cepat, intuitif dan sangat
jarang atau tidak pernah membuat kesalahan.29
Source credibility
menurut Boulter Level kompetensi terdiri dari unsur kompetensi
kecerdasan sosial, visible dan dapat dikontrol perilaku dari luar.30
Sedangkan trait dan motivasi letaknya lebih dalam pada titik
sentral kepribadian.
Kompetensi pengetahuan dan keahlian relatif mudah untuk
dikembangkan, misalnya dengan program pelatihan untuk
meningkatkan tingkat kemampuan sumber daya manusia.
Sedangkan motif kompetensi dan trait berada pada kepribadian
seseorang yang membutuhkan proses pendalaman dan
28Acep Arifuddin, Pengembangan Metode Dakwah (Cet. I; Jakarta: PT.
Raja Grafindo Persada, 2011), h. 1.
29Robert L. Mathis dan John Jakson, Human Resource
Management10thEdition diterjemahkan oleh Diana Angjelina dengan judul:
Manajemen Sumber Daya manusia (Cet. Jakarta: Salemba Raya, 2006), h. 376.
30Al-Qaht}ani, Sa’d ibn Wahf. Muqawwimat al-Daiyah al-Najih fi D{au
al-Kitab wa al-Sunnah: Mafhum wa Naz}har wa Tat}biq, diterjemahkan oleh:
Aidil Novia dengan Judul Menjadi Dai yang Sukses (Cet. I; Jakarta Timur:
Qisthi Press 2005). h. 9.
Profesionalisme Jurnalis Islami 20
pengalaman.31
Misalnya kompetensi berkomunikasi, penguasaan
diri, pengetahuan psikologi, kependidikan, ilmu umum, Al-Quran
dan Sunnah, kemampuan wawasan agama secara holistik.32
Jadi
source credibility mencakup sikap, persepsi, dan emosi termasuk
faktor kompetensi jurnalis. Jika hal ini dipenuhi oleh jurnalis
maka dapat memberikan pilihan kebenaran dalam problematika di
tengah realitas sosial.
Sedangkan motif source credibility trait berada pada
kepribadian sesorang, sehingga cukup sulit dinilai dan
dikembangkan. Salah satu cara yang paling efektif adalah memilih
karakteristik tersebut dalam proses seleksi. Adapun konsep diri
dan social role terletak di antara keduanya dan dapat diubah
melalui pelatihan, psikoterapi.33
Kompetensi keilmuan jurnalis
dalam mentransformasikan pesan melalui sistem informasi
dakwah termasuk skill mengolah data (pesan) yang bersumber
dalam Al-Quran dan Sunnah, yang dikemas dalam sistem
komunikasi empati, komunikasi partisipatori, yang dikemas
31Fitzppatrick, Colletive Bergaining Vulnerability Assessment, (Jakarta:
Nursing Manajement: 2001), h. 40-42.
32Samsul Munir Amin, Ilmu Dakwah (Cet. I; Jakarta: Amzah, 2009), h.
82-83.
33Tom E. Rolnickiet.al, Scholastic Journalism diterjemahkan oleh: Tri
Wibowo dengan judul, Pengantar Dasar Jurnalisme (Cet. I; Jakarta: Prenada
Kencana, 2008), h. 4.
Profesionalisme Jurnalis Islami 21
melalui teknologi komunikasi.34
Unsur ini semua adalah unsur
kredibilitas jurnalis yang dapat meningkatkan mutu dan aplikasi
sistem informasi dakwah yang lebih baik.
Hemat penulis dalam meningkatkan mutu dan aplikasi
sistem informasi dakwah menurut kajian Mulyati Amin bahwa
kredibilitas jurnalis dalam dakwah jama’ah termasuk model
dakwah partisipatori dalam bentuk gerakan-gerakan dakwah
sosial, pendidikan, dan pemurnian aqidah bersama-sama dengan
masyarakat.35
Jika unsur kredibilitas jurnalis tersebut ditunjang
oleh fasilitas teknologi yang memadai maka dapat meningkatkan
kecepatan publikasi yang efektif. Pemanfaatan teknologi
komunikasi dalam sistem informasi dakwah memiliki daya serap
tinggi di tengah mad’u jika kemasan materi dakwah melalui
komputer grafis sebagai media efektif untuk mendesain materi
dakwah. Jika kemampuan jurnalis mendesain materi dakwah yang
mudah diakses mad’u maka kredibilitas jurnalis dapat meningkat
di tengah masyarakat.
Kredibilitas mentransformasikan Al-Quran dan Sunnah
membutuhkan teori use and gratification yang dapat beradaptasi
34Muliaty Amin, Dakwah Jamaah: Suatu Model Dakwah Islam:
Berwawasan Jender di Kabupaten Bulukumba Disertasi dipertanggugjawabkan
dalam memenuhi Program Doktor tahun 2010.
35 Usman Jasad, op. cit., 294.
Profesionalisme Jurnalis Islami 22
dengan kebutuhan masyarakat. Menurut W. Philips Davison
dikutip oleh Jalaluddin Rahmat bahwa masyarakat bukan orang
pasif yang bisa dibentuk seenaknya oleh komunikator tetapi
masyarakat terdiri dari kumpulan struktur nilai dan ukuran
kebenaran tersendiri serta kebutuhan informasi.36
Kondisi ini
mad’u seperti ini membutuhkan kredibilitas jurnalis dalam
komunikasi budaya, melalui kemasan materi dakwah yang sesuai
dengan daya nalar mad’u sebagai objek dakwah.
Menurut pandangan Liliweri bahwa komunikasi antar
budaya memiliki ragam etnis, suku, agama, bahasa, dan tradisi.
Heterogenitas masyarakat secara vertikal maupun horizontal perlu
kredibilitas pendekatan komunikasi antar budaya untuk
menyamakan presepsi pesan apa yang akan disampaikan sesuai
kebutuhan masyarakat.37
Kondisi masyarakat multikultural hemat
penulis perlu maping materi dakwah dengan memperhatikan
kebutuhan informasi bagi mad’u tentang persoalan sosial yang
dihadapi di tengah masyarakat. Keadaan ini perlu kredibilitas
jurnalis beradabtasi dengan menerapkan pendekatan komunikasi
36Op. cit., Jalaluddin Rahmat, h. 203.
37Alo Liliweri, Komunikasi Antarbudaya (Cet. II; Jakarta: Pustaka
Pelajar, 2002), h. 19.
Profesionalisme Jurnalis Islami 23
antar budaya untuk mengkomunikasikan pesan-pesan Al-Quran
dan Sunnah di tengah masyarakat.
Kredibilitas membahasakan Al-Quran dan Sunnah sesuai
kebutuhan mad’u dapat meningkatkan dan meminimalisasi
distorsi informasi di tengah masyarakat multikultural.38
Kemampuan jurnalis mengomunikasikan spirit pencerahan dalam
Al-Quran dan Sunnah yang disesuaikan dengan daya nalar
masyarakat dapat meningkatkan kesadaran yang berimplikasi
pada peningkatan prilaku baik di tengah masyarakat. Dalam
meningkatkan maid set mad’u yang lebih inovatif dan kreatif
mendesain pola hidup yang lebih baik membutuhkan kredibilitas
jurnalis dengan menawarkan wawasan atau cara pandang yang
lebih rasional dan logis dalam menata hidup yang lebih baik.
Merubah cara pandang manusia, membutuhkan kredibilitas
jurnalis sesuai visi dan misi kenabian yang perlu dipertahankan
dan dilestarikan.39
Sifat-sifat kenabian sebagai aturan standar
umum adalah amanah, siddiq, fat}a>nah, tabli>g. Fat}a>nah meliputi
38Rupert Brown, Prejudice Its Social Psycology diterjemahkan oleh:
Helly P. Soetjipto dan Sri Mulyantini Sutjipto dengan Judul: Menangani
Prasangka dari Perspektif Sosial (Cet. I; Jakarta: Pustaka Pelajar, 2005), h.
125.
39Komaruddin Hidayat, Memahami Bahasa Agama: Subuah kajian
Hermeneutika (Cet. I; Bandung: Mizan2011), h.115.
Profesionalisme Jurnalis Islami 24
kompetensi psikologis, psikomotorik, dan afektif.40
Ketiga unsur
ini jika dimiliki jurnalis maka dapat meningkatkan kredibilitas
jurnalis di tengah masyarakat.
Kredibilitas jurnalis kerpa kali berbeda dengan jurnalis yang
lain dalam membahasakan agama karena perbedaan latarbelakang
pendidikan dan cara pandnag memahami referensi dalam berbagai
literatur. Jurnalis selalu dipengaruhi oleh dimensi internal (kondisi
psikologis), dan dimensi eksternal (kondisi sosiologis).41
Menurut
Leonard W. Doob dan Raymond V. Kesikar yang dikutip Totok
Jumantoro bahwa pengaruh komunikasi eksternal dipengaruhi
oleh rekaman peristiwa seseorang melalui pengalaman empiris.42
Hemat penulis hal ini sangat relevan dengan padangan J.DeVito
Bahwa semakin banyak input informasi positif semakin tinggi
respon positif dalam ekspresi seseorang.
Teori J. DeVito ini di aktualisasikan peradaban global
dengan konsep culture imprealisme theory yang dikembangkan
oleh Herbert Schiller (1973) yang dikutip Usman Jasad
menggambarkan bahwa perlu konstruksi informasi kepada audiens
40A. Machfud, Filsafat Dakwah: Ilmu Dakwah dan Penerapannya (Cet.
II; Jakarta: Bulan Bintang, 2004), h.33.
41Ibid.
42Totok Jumantoro, Psikologi Dakwah: Dengan Aspek-Aspek Kejiwaan
yang Qur’ani (Cet. I; Jakarta: Amzah, 2001), h. 35.
Profesionalisme Jurnalis Islami 25
karena kerap kali masyarakat cenderung meniru apa yang dilihat
atau dicerna oleh panca indra manusia.43
Selain dampak eksternal
hemat Jalaluddin Rahmat yang dikutip dari pandangan Ibnu
Maskawaih bahwa manusia dipengaruh oleh potensi dasar
(internal) yaitu; potensi nabati, hewani, dan insani.44
Ketiga
potensi dasar manusia ini menentukan kecenderungannya dalam
berkomunikasi. Jika potensi nabati lebih dominan dalam diri
seseorang maka kecendrungan manusia dalam pemenuhan
kebutuhan hidup lebih indivudual dan kerap kali lebih
mementinkan diri sendiri, jika potensi hewani lebih dominasi
maka prilaku manusia dalam memenuhi kebutuhan hidup
cenderung suka mengambil yang bukan haknya, dan jika potensi
insani yang menguasai alam pikiran manusia maka kecendrungan
pola pemenuhan kebutuhan hidup sesuai volume efektifitas
informasi yang diterima.
Peningkatan efektifitas dakwah melalui kredibilitas jurnalis
melalui pendekatan komunikasi empati bagi mad’u, merupakan
hal penting dalam mengkomunikasikan pesan-pesan keselamatan
di tengah realitas masyarakat dengan bahasa yang indah.
Keindahan bahasa termasuk salah satu kemapuan jurnalis dalam
43Ibid.
44Jalaluddin Rahmat, op. cit., h. 90.
Profesionalisme Jurnalis Islami 26
meningkatkan kredibilitas. Gagasan ini menurut Ubay bin Ka’ab
ah}san al-Qaul (Ucapan yang paling baik) menjelaskan bahwa
contoh kalimat yang indah seperti dalam ‚syair itu mengandung
hikmah‛, dan perkataan ah}san dapat memacu mad’u mencegah
dan memberikan inovasi pada mad’u berupa kecerdasan afektif,
behavioral, dan kecerdasan kognitif.45
Kompetensi jurnalis dari
aspek kognitif termasuk etika pemilihan pesan yang dapat
menggugah aspek emosional mad’u melalui konsep akan
pentingnya nilai-nilai kejujuran dalam kehidupan bermasyarakat
sebagai aspek penting meningkatkan kredibilitas jurnalis di
tengah masyarakat.
Pandangan ini sesuai dengan M. Sayyid T{ant}awi bahwa
aspek kredibilitas jurnalis termasuk kejujuran, menjauhi
kebohongan, memiliki argumentatif yang logis, mencapai
kebenaran.46
Kompetensi jurnalis mengomunikasikan mencapai
kebenaran melalui kecerdasan ma’ani (kecerdasan memaknai),
baya>ni (kecerdasan menjelaskan), dan badi (kecerdasan pemilihan
45Ahmad Ghulusy, ad-Da’watul Islamiyah, (Kairo: Darul Kijab, 1987),
h. 9.
46Muhammad Sayyi>d Tant}awi, Adab al-Hiwa>r fi> al-Islam (Mesir: Da>r
Anahdhah, 1984), h. 18. Lihat dalam Ace Arifudin Metode Pengembanga
Dakwah, 2011. h . 11.
Profesionalisme Jurnalis Islami 27
kalimat yang indah) untuk menyentuh kondisi perasaan mad’u
sehingga dapat meningkatkan kredibilitas jurnalis.
Ilmu al-Baya>n adalah Abu ‘Ubaidah (w.211 H) murid Imam
al-Khalil bin Ahmad. Karya Abu Ubaidillah adalah Majaz Al-
Quran (Sindiran dalam Al-Quran) sebagai informasi cara
mengomunikasikan pesan-pesan Al-Quran yang kemudian
disempurnakan oleh al-Jurjani. 47
Hal ini sesuai dengan padangan
Manna al-Qattan bahwa kecanggihan proses transformasi pesan
dalam Al-Quran dengan menggunakan kalimat ams\al
(perumpamaan) untuk memudahkan manusia memahami dan
menangkap ultimate substance di balik metateks. Kemudahan
dalam tradisi komunikasi ams\al ini adalah adanya sinergitas
antara akal dan pancaindra, menyingkap hakikat sesuatu yang
jauh dari pikiran kemudian mendekatkannya, melalui pilihan kata
yang pendek tetapi mudah dicerna oleh otak sebagai perekam
kode (makna). Jalal al-Din al-Suyu>t}i membagi ams\a>l ka>minah,
musarraha, dan ams\a>l mursalah.48
Ketiga model analogi
komunikasi dalam Al-Quran ini dapat dijadikan jurnalis dalam
47 Moh Ali Aziz, op. cit., h. 76.
48Lala>l al-Di>n al-Suyu>t}i>, al-Itqa>m fi Ulu>m al-Qura>n, jilid II (Kairo Mesir:
Da>r al-Fikr, 2003), h. 113. Lihat Mardan, Al-Qur’an: Sebuah Pengantar
Memahami Al-Quran Secara Utuh, h. 173.
Profesionalisme Jurnalis Islami 28
sistem informasi dakwah untuk menambah kredibilitas dalam
membahasakan Al-Quran di tengah umat.
Selain analogi komunikasi dalam Al-Quran tersebut, untuk
memaksimalkan kredibilitas jurnalis dalam sistem informasi
dakwah ilmu al-Baya>n hampir sama dengan ilmu retorika,
keduanya mengembangkan satu topik. Dalam ilmu al-Baya>n
secara garis besar ada 3 cara untuk mengembangkan kalimat
diantaranya: al-tasybih (metafora), al-Majaz (Sindiran), dan al-
Kina>yah (kiasan).49
Semua model perumpamaan ini sebagai spirit
pentingnya jurnalis mendesain materi dakwah untuk memudahkan
mad’u memahami pesan-pesan Al-Quran dan Sunnah.
Meningkatkan kredibilitas jurnalis melalui kemampuan
menyusun keindahan pesan dakwah melalui kalimat indah, dikenal
dalam ilmu al-Badi’ ilmu ini dapat dipelajari untuk memberikan
kemasan pada materi memilih kalimat sehingga nyaman dicerna,
mencerahkan pikiran, menunjukkan pemecahan, dan bermanfaat
bagi mad’u.50
Ilmu ini memiliki fasilitas memperindah kalimat
dari sudut kata-kata (al-lafziyyah) dan maknanya (al-
Ma’nawiyah). Kriteria orator yang baik tidak hanya
49Ibid., h. 77.
50Jalaluddin Rahmat, Etika Komunikasi Religi, Makalah Seminar,
(Jakarta: Perpustakaan Nasional, 18 Mei 1996.
Profesionalisme Jurnalis Islami 29
menyampaikan pidato yang mengesankan namun perlu
mengandung makna yang mendalam. Peletak dasar ilmu ini adalah
Abdullah bin Mu’taz al-Abbasi (w. 270 H). ia dikagumi oleh
Qudama bin Ja’far yang kemudian ikut mengembangkan ilmu
ini.51
Karena objek kajian dakwah adalah manusia maka ilmuan
dakwah perlu memahami psikologi mitra dakwah untuk mencapai
sasaran dakwah.52
Pesan Sayyidina Ali bin Abi Thalib dikutip
Ahmad Ghulusy bahwa proses transformasi pesan dakwah seorang
jurnalis perlu mengoptimalkan rasio, rasa, dan rahasia.53
Hemat
penulis semua materi dakwah ini dapat meningkatkan kredibilitas
jurnalis di tengah masyarakat.
Materi harus mengandung unsur hikmah, nasehat, dan
pelajaran yang bermanfaat dan sangat dibutuhkan mad’u.54
Sejalan dengan padangan ini Ali Al-Qahtani berpendapat bahwa
kredibilitas seorang jurnalis perlu memiliki kecerdasan kognitif,
51Ibid.
52Ishak Asep dan Hendri Tanjung, Management Sumber Daya Manusia
(Cet. I; Jakarta: Prenada Media group), h. 19 Bandingkan dengan Yunan Yusuf,
Manajemen dakwah, h. 104.
53Moh Ali Aziz, op. cit., h. 76.
54Imam Ibnu Hajar al-Asqalani dan Imam Nawawi al-Bantuny, Nas}a>ihul
Iba>d (Beirut: Da>r) h. 162.
Profesionalisme Jurnalis Islami 30
kecerdasan humanis, dan kecerdasan spiritual.55
Penguasaan
materi melalui kecerdasan lisan (komunikasi verbal) memiliki
spirit inovasi sehingga dapat mengangkat kredibilitas jurnalis
yang berimplikasi pada perubahan pola pikir mad’u.
Jalaluddin Rumi dikutip Aziz salah satu tokoh sufi dari
Persia, bahwa dalam proses komunikasi lidah dibayang-bayangi
oleh daya rohani. dalam mencurahkan perasaan dan pikirannya
dalam sebuah puisi tentang ketajaman media lidah
menyebarluaskan informasi melalui saluran rongga mulut hingga
ditangkap oleh panca indra manusia.56
Setiap kata, kalimat bisa
berbekas dalam daya nalar mad’u jika kata dan kalimat tersebut
sepadam dengan kemampuan daya serap mad’u.
Dalam sistem informasi dakwah kecerdasan jurnalis dalam
mengomunikasikan pesan-pesan Al-Quran dan Sunnah termasuk
proses pemindahan makna ke mad’u. Hal ini sesuai teori Larry A.
Samover bahwa bahasa proses kecerdasan manusia memahami
dan memilih kata dalam berkomunikasi dan memindahkan
lambang dari suasana kebatinan menjadi kalimat yang dapat
55Said bin Ali Al-Qaht}ani, Dakwah Islam dan Dakwah Bijak (Cet. I;
Jakarta: Gema Insani Press, 1994), h. 362.
56Ibid., h. 75.
Profesionalisme Jurnalis Islami 31
dipahami seseorang,57
yang memberikan respon dari proses
transmisi pesan untuk meningkatkan kredibilitas aplikasi dakwah.
Menurut Peter Drucker bahwa kredibilitas seorang
komunikator dalam sistem informasi jika memiliki kemampuan
merencanakan anatomi pesan dan menetapkan target-target
pencapaian. Selain itu dapat merumuskan desain aplikasi
komunikasi yang memiliki struktur pesan yang mudah difahami
sesama peserta komunikasi.58
Secara objektif struktur pesan,
konten, teknologinya, dan sangat relevan dengan strategi sistem
informasi dakwah dalam menetapkan sasaran dakwah secara
sistematis bagi semua sub sistem dakwah.59
Menerapkan desain
sistem informasi dakwah yang akan dicapai, penting dianalisis
sesuai dengan permasalahan masyarakat yang akan dijadikan
sebagai objek dakwah untuk meningkatkan efektifitas dakwah.
Meningkatkan efektifitas dakwah sebagian bagian indikator
kredibilitas jurnalis perlu menguasai tiga metode dakwah.
57Larry A. Samover, Richhard E. Porter, and Nemi C. Jaim,
Understanding Intercultural Communication (Wodsworth Publishing Company,
Belmont California, t.t), h. 23.
58Peter Drucker, Structural of Communication (New York: Sage
Publishing Company, Belmont California, t.t), h. 33.
59H. Nasuka, Teori Sistem: Sebagai Salah satu Alternatif Pendekatan
dalam Ilmu-ilmu Agama Islam (Cet. I; Jakarta: Prenada Media Group, 2005), h.
22.
Profesionalisme Jurnalis Islami 32
Menurut Ali Mahfuz bahwa ada tiga metode dakwah yang dapay
diaplikasikan dalam mengkomunikasikan pesan-pesan Al-Quran
dan Sunnah antara lain dakwah bi al-Lisan, bi al-Qalam, dan bi al-
H{al.60 Ketiga bentuk dakwah ini akan dijelaskan sistem
aplikasinya sebagai berikut:
a. Profesionalitas Jurnalis
Profesionalitas berasal dari kata profesi. Profesi adalah
suatu pekerjaan yang mempunyai fungsi pengabdian kepada
masyarakat yang menuntut keterampilan tertentu melalui
pendidikan dan latihan tertentu serta memiliki kode etik yang
menjadi pedoman anggotanya.61
Jurnalis adalah pendidik yang
memiliki kemampuan dan keahlian khusus dalam bidang
pendidikan sehingga ia mampu melakukan tugas, peran dan
fungsinya sebagai pendidik dengan kemampuan yang maksimal.62
60Syekh ‘Ali Mahfuż, Hidayah Al-Mursyidin Ila Turu>q al-Wa’zhwa al-
Khita>bah (Beirut Lebanon: Dar Al-Ma’rifah), h. 93.
61 Buchari, Alma. GuruProfesional Menguasai Metode dan Terampil
Mengajar (Cet.II Bandung: Alfabeta, 2009), h.134.
62Lihat Mukhtar, Desain Pembelajaran Pendidikan Agama Islam (Cet.
II; Jakarta: Misaka Galiza, 2003), h.85-86.
Profesionalisme Jurnalis Islami 33
Profesionalitas jurnalis adalah produk, atau kadar. Ini
mengacu pada sikap para anggota profesi terhadap profesinya
dalam hal pengetahuan dan keahlian dalam melaksanakan
pekerjaan tertentu yang memerlukan pendidikan, keterampilan,
kejujuran dan memiliki kepandaian untuk melaksanakannya, yang
dapat dipertanggungjawabkan baik secara akademik, profesi dan
pedagogik. Orang yang profesional adalah orang yang memiliki
profesi.63
Jurnalis adalah pendidik profesional dengan tugas utama
mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih,
menilai, dan mengevaluasi peserta didik pada pendidikan anak
usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan dasar, dan
pendidikan menengah.64
Profesi jurnalis juga diartikan suatu
keahlian yang dimiliki seseorang, sesuai keahliannya atau
kelebihannya.
Profesionalistas jurnalis harus dikembangkan baik melalui
pendidikan dan pelatihan serta kegiatan lain untuk meningkatkan
kemampuan profesionalnya agar lebih meningkat, usaha yang
dilakukan untuk meningkatkan mutu pendidikan adalah
pengembangan kurikulum, peningkatan kompetensi jurnalis
63Lihat Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Pendidikan
Islam (Cet. VI; Bandung: Remaja Rosdakarya, 2005), h. 207.
64Republik Indonesia, Peraturan Pemerintah RI Nomor 74 Tahun 2008
Tentang Guru (Departemen Pendidikan Nasional, 2008), h. 2.
Profesionalisme Jurnalis Islami 34
melalui pelatihan dan perbaikan sarana prasarana pendidikan dan
peningkatan mutu manajemen sekolah.65
Dunia pendidikan
merupakan sarana yang sangat diharapkan untuk membangun
generasi muda, jurnalis profesional dapat mengarahkan sasaran
pendidikan membangun generasi muda menjadi generasi yang
penuh harapan.
Profesi juga diartikan sebagai suatu pekerjaan yang
memiliki karateristik adanya praktek yang ditunjang oleh teori,
pelatihan, kode etik yang mengatur perilaku dan punya otonomi
dalam melaksanakan pekrejaannya.
Dari pengertian di atas dapat di pahami bahwa
profesionalitas jurnalis adalah kemampuan meningkatkan mutu
pendidikan yang berkualitas dan komitmen dalam menjalankan
tugasnya, serta memiliki kemampuan mentrasper ilmu kepada
peserta didik. Sementara profesionalisme adalah kondisi, arah,
nilai, tujuan, dan kualitas keahlian dan kewenangan yang
berkaitan dengan mata pencaharian seseorang.66
Seorang
65Lihat Buchari Alma, dkk.Guru Profesional Menguasai Metode dan
Terampil Mengajar (Cet. II; Bandung: Alfabeta, 2009), h.124.
66Kunandar, Guru Profesional Implementasi KurikulumTingkat Satuan
Pendidikan dan Sukses Dalam Sertifikasi Guru (Bandung: Raja Grafindo
Persada, 2007), h. 46.
Profesionalisme Jurnalis Islami 35
profesional mempunyai prestise yang tinggi, dan karenanya
mendapat imbalan yang layak.
b. Perspektif Pendidikan Islam
Definisi pendidikan Islam yaitu pendidikan yang berwarna
Islam, pendidikan Islami, yaitu pendidikan yang berdasarkan
Islam. Marimba dalam Ahmad Tafsir menjelaskan pendidikan
Islam adalah bimbingan atau pimpinan secara sadar oleh pendidik
terhadap perkembangan jasmani dan rohani peserta didik menuju
terbentuknya kepribadian yang utama.67
Jadi pendidikan adalah
kegiatan pengembangan pribadi peserta didik oleh pendidik atau
orang yang mendidik.
Pandangan Islam tentang profesionalitas ada dua kriteria
pokok, yaitu panggilan hidup dan keahlian. Pendidikan Islam
adalah usaha yang dilakukan untuk membina dan mengembangkan
sumber daya manusia yang dimilikinya baik jasmani maupun
rohani menuju terbentuknya manusia seutuhnya dengan norma
67 Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan Dalam Perspektif Islam (Cet.VIII;
Bandung: Rosdakarya, 2008), h.24.
Profesionalisme Jurnalis Islami 36
Islam.68
Pendidikan Islam yang menyeimbangkan antara
kecerdasan intelektual dan kecerdasan emosional, serta
menyeimbangkan antara kehidupan dunia dan akhirat. Pendidikan
Islam adalah segala usaha yang dilakukan untuk membina dan
mengembangkan sumber daya manusia baik jasmani maupun
rohani menuju terbentuknya manusia seutuhnya sesuai dengan
norma Islam.69
Pendidikan Islam sebagai bagian dari pendidikan
nasional, harus mampu menyesuaikan visinya dengan visi
pendidikan nasional. Visi dan orientasi pendidikan Islam
diarahkan untuk mentransformasikan berbagai ilmu keislaman.70
H. M. Arifin Pendidikan Islam adalah sistem pendidikan yang
dapat memberikan kemampuan seseorang untuk memimpin
kehidupannya sesuai dengan cita-cita Islam yang telah menjiwai
dan mewarnai kepribadiannya.71
Sementara Zakiah Daradjat
berpandangan bahwa Pendidikan Islam adalah usaha pembentukan
68Lihat Achmadi, Islam sebagai Paradigma Ilmu Pendidikan (Cet. I;
Yogyakarta: Aditya Media, 1992), h. 20.
69Ahmad Tafsir, op.cit.,
70Lihat Abuddin Nata, Perspektif Pendidikan Islam tentang Strategi
Pembelajaran (Cet.I ; Jakarta: Kencana, 2009), h. 17.
71Lihat M. Arifin, Ilmu Pendidikan Islam: Suatu Tinjauan Teoritis dan
Praktis Berdasarkan Interdisipliner (Cet. IV; Jakarta: Bumi Aksara, 1992 ), h.
28.
Profesionalisme Jurnalis Islami 37
kepribadian muslim.72
Di Muhammadiyah seperti yang dikutip
oleh Ahmad Tafsir mengatakan bahwa pendidik adalah setiap
orang yang bertanggung jawab atas perkembangan anak didik.
Buku Pedoman Jurnalis Muhammadiyah yang kutip oleh Ahmad
Tafsir mengatakan antara lain jurnalis Muhammadiyah pada
haketkatnya, sebagai mahluk Allah dan sabagai manusia muslim
yang memiliki tanggung jawab untuk menunaikan amanah Allah,
dan sebagai karyawan yang setia pada sumpahnya. Dalam
melaksanakan dua hal tersebut harus dilaksanakan dengan
profesional.73
c. Perspektif Pendidikan Islam
Definisi pendidikan Islam yaitu pendidikan yang berwarna
Islam, pendidikan Islami, yaitu pendidikan yang berdasarkan
Islam. Marimba dalam Ahmad Tafsir menjelaskan pendidikan
Islam adalah bimbingan atau pimpinan secara sadar oleh pendidik
terhadap perkembangan jasmani dan rohani peserta didik menuju
72Lihat Zakiah Darajat, et al., Ilmu Pendidikan Islam (Cet. II;
Jakarta: Bumi Aksara, 1992), h. 28.
73 Ahmad Tafsir, op.cit., h. 114.
Profesionalisme Jurnalis Islami 38
terbentuknya kepribadian yang utama.74
Jadi pendidikan adalah
kegiatan pengembangan pribadi peserta didik oleh pendidik atau
orang yang mendidik.
Pandangan Islam tentang profesionalitas ada dua kriteria
pokok, yaitu panggilan hidup dan keahlian. Pendidikan Islam
adalah usaha yang dilakukan untuk membina dan mengembangkan
sumber daya manusia yang dimilikinya baik jasmani maupun
rohani menuju terbentuknya manusia seutuhnya dengan norma
Islam.75
Pendidikan Islam yang menyeimbangkan antara
kecerdasan intelektual dan kecerdasan emosional, serta
menyeimbangkan antara kehidupan dunia dan akhirat. Pendidikan
Islam adalah segala usaha yang dilakukan untuk membina dan
mengembangkan sumber daya manusia baik jasmani maupun
rohani menuju terbentuknya manusia seutuhnya sesuai dengan
norma Islam.76
Pendidikan Islam sebagai bagian dari pendidikan
nasional, harus mampu menyesuaikan visinya dengan visi
pendidikan nasional. Visi dan orientasi pendidikan Islam
74Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan Dalam Perspektif Islam (Cet.VIII;
Bandung: Rosdakarya, 2008), h.24.
75Lihat Achmadi, Islam sebagai Paradigma Ilmu Pendidikan (Cet. I;
Yogyakarta: Aditya Media, 1992), h. 20.
76Ahmad Tafsir, op.cit.,
Profesionalisme Jurnalis Islami 39
diarahkan untuk mentransformasikan berbagai ilmu keislaman.77
H. M. Arifin Pendidikan Islam adalah sistem pendidikan yang
dapat memberikan kemampuan seseorang untuk memimpin
kehidupannya sesuai dengan cita-cita Islam yang telah menjiwai
dan mewarnai kepribadiannya.78
Sementara Zakiah Daradjat
berpandangan bahwa Pendidikan Islam adalah usaha pembentukan
kepribadian muslim.79
Di Muhammadiyah seperti yang dikutip
oleh Ahmad Tafsir mengatakan bahwa pendidik adalah setiap
orang yang bertanggung jawab atas perkembangan anak didik.
Buku Pedoman Jurnalis Muhammadiyah yang kutip oleh Ahmad
Tafsir mengatakan antara lain jurnalis Muhammadiyah pada
haketkatnya, sebagai mahluk Allah dan sabagai manusia muslim
yang memiliki tanggung jawab untuk menunaikan amanah Allah,
dan sebagai karyawan yang setia pada sumpahnya. Dalam
77Lihat Abuddin Nata, Perspektif Pendidikan Islam tentang Strategi
Pembelajaran (Cet.I ; Jakarta: Kencana, 2009), h. 17.
78Lihat M. Arifin, Ilmu Pendidikan Islam: Suatu Tinjauan Teoritis dan
Praktis Berdasarkan Interdisipliner (Cet. IV; Jakarta: Bumi Aksara, 1992 ), h.
28.
79Lihat Zakiah Darajat, et al., Ilmu Pendidikan Islam (Cet. II;
Jakarta: Bumi Aksara, 1992), h. 28.
Profesionalisme Jurnalis Islami 40
melaksanakan dua hal tersebut harus dilaksanakan dengan
profesional.80
BAB II
PROFESIONALITAS JURNALIS
A. Konsep Profesionalitas Jurnalis
Profesionalitas berasal dari kata profesi yang berarti suatu
bidang pekerjaan yang ingin atau akan ditekuni oleh seseorang.
Profesi juga diartikan sebagai suatu pekerjaan atau jabatan yang
menghasilkan upah atau gaji dan dari gaji ia dapat melangsungkan
hidupnya. Bantuan profesional untuk mengembangkan
kemampuan dalam bekerja merupakan sebuah kondisi yang sangat
diperlukan jika ingin berkembang kearah yang lebih baik.81
Jadi
profesi adalah suatu pekerjaan atau jabatan yang menuntut
keahlian tertentu. Artinya suatu pekerjaan atau jabatan yang
80 Ahmad Tafsir, op.cit., h. 114.
81Lihat Dadang Suhandar, Supervisi Pendidikan Layanan dalam Meningkatkan Mutu Pembelajaran di Era Otonomi Daerah (Cet. III; Bandung: Alfabeta, 2010), h. 84.
Profesionalisme Jurnalis Islami 41
disebut profesi tidak dapat dipegang oleh sembarang orang, tetapi
memerlukan persiapan melalui pendidikan dan pelatihan secara
khusus.
Secara umum profesi diartikan sebagai suatu pekerjaan
yang memerlukan pendidikan lanjutan, di dalam sains dan
teknologi yang digunakan sebagai perangkat dasar untuk
diimplementasikan dalam berbagai kegiatan yang bermanfaat.82
Pekerjaan profesional akan senantiasa menggunakan teknik dan
prosedur yang berpijak pada landasan intelektual yang harus
dipelajari secara sengaja, terencana dan kemudian dipergunakan
demi kemaslahatan orang lain.
Mulyana A.Z. berpendapat setiap profesi paling tidak
harus memenuhi 4 syarat berikut, yaitu:
1. Pendidikan dan pelatihan yang memadai,
2. Adanya Komitmen terhadap tugas profesionalnya,
3. Adanya usaha untuk senantiasa mengembangkan diri sesuai
dengan kondisi lingkungan dan tuntutan zaman, dan
4. Adanya standar etika yang harus dipenuhi. 83
82Lihat Made Pidarta, Landasan Kependidikan (Cet. I; Jakarta: Rineka
Cipta, 1997), h. 265.
83 Mulyana A.Z, Rahasia Menjadi Guru Hebat :Memotivasi Diri Menjadi Guru Luar Biasa (Jakarta: Grasindo, 2010), h. 114.
Profesionalisme Jurnalis Islami 42
Hal ini berarti pekerjaan profesional jurnalis harus
memiliki persepsi filosofis dan ketanggapan yang bijaksana yang
lebih mantap dalam menyikapi dan melaksanakan pekerjaan.
Dalam Undang-Undang RI Nomor 14 Tahun 2005 tentang Jurnalis
dan Dosen pasal 1 ayat (4) menjelaskan pengertian profesional
sebagai berikut:
Profesional adalah pekerjaan atau kegiatan yang
dilakukan oleh seseorang dan menjadi sumber penghasilan
kehidupan yang memerlukan keahlian, kemahiran, atau
kecakapan yang memenuhi standar mutu atau norma
tertentu serta memerlukan pendidikan profesi.84
Sedangkan menurut Nana Sudjana, profesional adalah
pekerjaan yang hanya dapat dilakukan oleh mereka yang khusus
dipersiapkan untuk itu, dan bukan pekerjaan yang dilakukan oleh
mereka yang tidak memiliki keahlian dan memilih pekerjaan
jurnalis sebagai akibat tidak dapat memperoleh pekerjaan lain.85
Maka dari itu dapat dipahami bahwa yang menjadi seorang
jurnalis adalah orang-orang yang dipersiapkan dan terpilih sesuai
84Republik Indonesia, Undang-undang RI No. 14 Tahun 2005 tentang
Guru dan Dosen (Cet. I; Jakarta: Sinar Grafika, 2005), h. 3.
85Lihat Moh. Uzer Usman, Menjadi Guru Profesional (Cet. XVI;
Bandung: Remaja Rosda Karya, 2004), h. 14.
Profesionalisme Jurnalis Islami 43
standar karena tidak semua orang dapat menjadi jurnalis, sebab
menjadi jurnalis merupakan sebuah profesi yang penuh dengan
loyalitas dan tanggung jawab. Lebih lanjut Agus F. Tamyong,
menjelaskan pengertian jurnalis profesional adalah:
Orang yang memiliki kemampuan dan keahlian khusus
dalam bidang kejurnalisan sehingga ia mampu melakukan
tugas dan fungsinya sebagai jurnalis dengan kemampuan
maksimal. Atau dengan kata lain, jurnalis profesional adalah
orang yang terdidik dan terlatih dengan baik, serta memiliki
pengalaman yang kaya di bidangnya.86
Jurnalis dalam kutipan di atas adalah tenaga pendidik,
yakni orang yang melakukan kegiatan dalam bidang mendidik,
mengajar, membimbing, mengasuh dan mengarahkan. Dalam
bahasa Inggris dijumpai beberapa kata yang berdekatan artinya
dengan pendidik. Kata teacher yang diartikan jurnalis atau
pengajar dan tutor yang berarti jurnalis pribadi, atau jurnalis yang
mengajar di rumah.87
Selanjutnya, dalam bahasa Arab dijumpai
86Ibid., h. 15.
87John M. Echols dan Hasan Shadily, Kamus Inggris Indonesia
(Jakarta: Cet. VIII; Jakarta: Gramedia, 1980), h. 560 dan 608.
Profesionalisme Jurnalis Islami 44
kata ustāz, mu’addib, mu’allim dan mudarris.88
Kesemua term-
term ini, terhimpun dalam satu pengertian, yakni pendidik yang
lazimnya diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan
sebutan ‚jurnalis‛.
Dalam A Dictionary of Modern Written Arabic dikatakan
bahwa kata ustāz, berarti teacher (jurnalis), professor (gelar
akademik), jenjang di bidang intelektual, pelatih, penulis, dan
penyair. Adapun kata mudarris berarti teacher (jurnalis),
instructur (pelatih) dan lecturer (dosen). Selanjutnya kata
mu’allim yang juga berarti teacher (jurnalis), trainer (pemandu).
Juga kata mu’addib berarti educator (pendidik) atau tecaher
(jurnalis dalam lembaga pendidikan Al-Qu’ran).89
Kata-kata yang bervariasi tersebut di atas, menunjukkan
adanya perbedaan ruang lingkup dan lingkungan di mana jurnalis
secara umum diartikan sebagai transformator pengetahuan dan
keterampilan di sekolah. Jika pengetahuan dan keterampilan
tersebut diberikan di perjurnalisan tinggi disebut lecturer (dosen)
atau professor, di rumah-rumah secara pribadi disebut tutor, di
88Louis Ma’luf, al-Munjid fī al-Lugha (Cet. XII; Bairut: Dār al-
Masyriq, 1977), h. 6.
89Hans Wehr, A Dictionary of Modern Written Arabic (Cet, IV;
London Macdonald dan Evans, Ltd, 1980), h. 11- 15.
Profesionalisme Jurnalis Islami 45
pusat-pusat latihan disebut instruktor atau trainer dan di lembaga-
lembaga pendidikan yang mengajarkan agama disebut ustāz.
Kata pendidik secara fungsional menunjukkan kepada
seorang yang melakukan kegiatan dalam memberikan
pengetahuan, keterampilan, pendidikan, pengalaman dan
semisalnya. Dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003,
dikemukakan bahwa pendidik adalah tenaga kependidikan yang
berkualifikasi sebagai jurnalis, dosen, konselor, pamong belajar,
widyaswara, tutor, instruktur, fasilitator, dan sebutan lain yang
sesuai dengan kekhususannya serta berpartisipasi dalam
menyelenggarakan pendidikan.90
Dalam beberapa literatur
kependidikan pada umumnya, istilah pendidik sering diwakili oleh
istilah jurnalis. Istilah jurnalis sebagaimana dijelaskan oleh Hadari
Nawawi adalah orang yang kerjanya mengajar atau memberikan
pelajaran di sekolah/kelas. Secara lebih khusus lagi, ia
mengatakan jurnalis berarti orang yang bekerja dalam bidang
pendidikan dan pengajaran yang ikut bertanggung jawab dalam
membantu anak-anak mencapai kedewasaan masing-masing.
Jurnalis dalam pengertian tersebut, menurutnya, bukanlah sekadar
orang yang berdiri di depan kelas untuk menyampaikan materi
90H. Dedi Hamid, Undang-undang RI No. 20 Tahuun 2003 tentang
Sistem Pendidikan Nasional (Jakarta: Asokadikta Daruru Bahagia, 2003), h. 3.
Profesionalisme Jurnalis Islami 46
pengetahuan tertentu, dalam mengarahkan perkembangan peserta
didiknya untuk menjadi anggota masyarakat sebagai orang
dewasa.91
Tugas jurnalis selain memberikan pelajaran di kelas,
juga harus membantu mendewasakan anak didik.
Dari uraian di atas, tampak bahwa pengertian jurnalis atau
pendidik selalu dikaitkan dengan bidang tugas atau pekerjaan
yang harus dilakukannya. Ini menunjukkan bahwa pada akhirnya
pendidik itu merupakan profesi atau keahlian tertentu yang
melekat pada seseorang yang tugasnya berkaitan dengan
pendidikan.
Pekerjaan yang bersifat profesional di bidang pendidikan
memerlukan beberapa bidang ilmu yang secara sengaja harus
dipelajari dan kemudian diaplikasikan bagi kepentingan umum.
Atas dasar pengertian ini, pekerjaan profesional berbeda dengan
pekerjaan lain yang karena suatu profesi memerlukan kemampuan
dan keahlian khusus dalam melaksanakan profesinya.
Profesi atau profesionalitas jurnalis dapat diartikan
pandangan tentang bidang pekerjaan sebagai suatu pengabdian di
bidang pendidikan melalui keahlian tertentu dan yang
menganggap keahlian sebagai sesuatu yang harus diperbarui
91Lihat Hadari Nawawi, Organisasi Sekolah dan Pengelolaan Kelas
(Cet. III; Jakarta: Haji Masagung, 1989), h. 123.
Profesionalisme Jurnalis Islami 47
secara terus-menerus dengan memanfaatkan kemajuan-kemajuan
dalam ilmu pengetahuan.92
Berdasarkan uraian tersebut dipahami bahwa pada
mulanya kata profesi tidak lain dari adalah pernyataan atau
pengakuan tentang bidang pekerjaan atau bidang pengabdian yang
dipilih, maka profesional dimulai dari pemahaman dan
pemanfaatan terhadap kemajuan-kemajuan ilmu pengetahuan
yang sudah ada.
Adapun ciri-ciri jurnalis profesional dapat dilihat dari
penjelasan beberapa ahli berikut ini. Kunandar mengemukakan
ciri-ciri profesional di bidang pendidikan sebagai berikut :
1. Diakui oleh masyarakat dan layanan yang diberikan itu
hanya dikerjakan oleh pekerja yang dikategorikan sebagai
suatu profesi.
2. Memiliki ilmu pengetahuan sebagai landasan dari
sejumlah teknik dan prosedur yang unik. Misalnya profesi
di bidang kedokteran, Juga profesi di bidang kejurnalisan
misalnya harus mempelajari psikologi, metodik dan lain-
lain.
92Lihat Abuddin Nata, Manajemen Pendidikan Mengetahui Kelemahan
Pendidikan di Indonesia (Ed. I; Bogor: Kencana, 2003), h. 140.
Profesionalisme Jurnalis Islami 48
3. Diperlukan persiapan yang matang dan sistematis, dalam
melaksanakan pekerjaan profesinya.
4. Memiliki mekanisme untuk menyaring orang-orang yang
berkompeten yang diperbolehkan bekerja.
5. Memiliki organisasi profesional untuk layanan kepada
masyarakat.93
Wolmer dan Mills dalam Sardiman mengatakan pekerjaan
itu baru dikatakan sebagai profesional, apabila memenuhi kriteria
sebagai berikut; Memiliki pengetahuan umum yang luas dan
keahlian khusus yang mendalam, memiliki kode etik jabatan dan
merupakan karya bakti seumur hidup. Jurnalis sebagai pekerja
profesional harus memperoleh dukungan masyarakat, mendapat
pengesahan dan perlindungan hukum, memiliki persyaratan kerja
yang sehat, dan memiliki jaminan hidup yang layak.94
Selanjutnya Ornstein dan Levine dalam Raflis Kosasi
menyatakan profesionalitas itu adalah jabatan, sesuai dengan
pengertian profesi yakni melayani masyarakat, karir yang akan
93Kunandar, Pendidikan Indonesia dan Problematikanya (Jakarta: PT.
Raja Grafindo Persada, 2008), h. 11-12. Bandingkan Kunandar, Guru
Profesional: Implmentasi Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) dan
Sukses dalam Srtifikasi Guru (Cet. III; Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada,
2008), h. 46-47.
94Lihat Sardiman A. M, Interaksi dan Motivasi Belajar Mengajar (Cet.
IX; Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2001), h. 132.
Profesionalisme Jurnalis Islami 49
dilaksanakan sepanjang hayat, memerlukan bidang ilmu dan
keterampilan tertentu menggunakan hasil penelitian dan aplikasi
dari teori ke praktek, memerlukan pelatihan khusus dengan waktu
yang panjang, mempunyai persyaratan untuk menduduki jabatan
tersebut memerlukan izin atau persyaratan khusus yang
ditentukan untuk dapat mendudukinya, menerima tanggung jawab
terhadap keputusan yang diambil dan unjuk kerja yang
ditampilkan berhubungan dengan layanan yang diberikan.
Jurnalis profesional dalam melaksanakan tugasnya
menggunakan administrasi untuk memudahkan profesinya, dan
juga mempunyai organisasi yang diatur oleh anggota profesi
sendiri, mempunyai kode etik untuk menjelaskan hal-hal yang
meragukan atau menyangsikan yang berhubungan dengan layanan
yang diberikan dengan jabatan lainnya.95
Demikian pula Sanusi dalam Raflis Kosasi mengemukakan
ada sepuluh ciri-ciri utama suatu profesi,96
sebagai berikut:
1. Suatu jabatan yang memiliki fungsi yang signifikansi
sosial yang menentukan.
95Lihat Soetjipto dan Raflis Kosasi, Profesi Keguruan (Cet. I; Jakarta:
Rineka Cipta, 1999), h. 15.
96Ibid., h. 17.
Profesionalisme Jurnalis Islami 50
2. Jabatan yang menuntut keterampilan/keahlian tertentu.
3. Keterampilan/keahlian yang dituntut dapat pemecahan
masalah dengan menggunakan teori dan metode ilmiah.
4. Jabatan berdasarkan disiplin ilmu yang jelas, sistematik,
bukan hanya sekedar pendapat khalayak umum.
5. Mempunyai prestasi yang tinggi di masyarakat, dan
karenanya memperoleh imbalan yang tinggi pula.
6. Proses pendidikan untuk jabatan itu merupakan aplikasi
dan sosialisasi nilai-nilai professional.
7. Dalam memberikan pelayanan, anggota profesi
berpegang pada kode etik organisasi profesi.
8. Anggota profesi bebas dalam memberikan judgement
terhadap permasalahan profesi yang dihadapi.
9. Dalam melayani masyarakat anggota profesi bebas dari
campur tangan orang luar.
10. Jabatan profesi mempunyai prestise yang tinggi di
masyarakat, karenanya memperoleh imbalan yang tinggi.
Undang-Undang RI Nomor 14 Tahun 2005 tentang
Jurnalis dan Dosen pasal 7 menyebutkan bahwa profesi jurnalis
Profesionalisme Jurnalis Islami 51
dan profesi dosen merupakan bidang pekerjaan khusus yang
dilaksanakan berdasarkan prinsip,97
sebagai berikut:
1. Memiliki bakat, minat, panggilan jiwa.
2. Memiliki komitmen untuk menigkatkan mutu
pendidikan, keimanan, ketakwaan, dan ahklak mulia.
3. Memiliki kualifikasi akademik dan latar belakang
pendidikan sesuai dengan bidang tugas.
4. Memiliki kompetensi yang diperlukan sesuai dengan
bidang tugas.
5. Memiliki tanggung jawab atas pelaksanaan tugas
keprofesionalan.
6. Memperoleh penghasilan yang ditentukan sesuai dengan
prestasi kerja.
7. Memiliki kesempurnaan untuk mengembangkan
keprofesionalan secara berkelanjutan dengan belajar
sepanjang hayat.
8. Memiliki jaminan perlindungan hukum dalam
melaksanakan tugas keprofesionalan,
97Republik Indonesia, Undang-undang RI No. 14 Tahun 2005 Tentang
Guru dan Dosen, (Cet. I; Jakarta: Sinar Grafika, 2005), h. 6.
Profesionalisme Jurnalis Islami 52
9. Memiliki organisasi profesi yang mempunyai
kewenangan mengatur hal-hal yang berkaitan dengan
tugas profesional jurnalis.
Dari ciri-ciri tersebut, dapat disimpulkan bahwa profesi
jurnalis adalah suatu pekerjaan yang bersifat profesional
memerlukan beberapa bidang ilmu yang harus dipelajari dan
kemudian diaplikasikan bagi kepentingan umum. Pekerja
profesional berbeda dengan pekerja lainnya, karena suatu profesi
memerlukan kemampuan dan keahlian khusus dalam
melaksanakan profesinya.
Profesionalitas jurnalis dapat terwujud maka Undang-
Undang RI Nomor 14 Tahun 2005 Tentang Jurnalis dan Dosen
mensyaratkan beberapa ketentuan, seperti mereka harus
mengikuti sertifikasi pendidik. Ini memberikan stimulus kepada
jurnalis untuk meningkatkan kualifikasi akademik, kompetensi,
sertifikat pendidik, serta memiliki kemampuan untuk mewujudkan
tujuan pendidikan nasional. Kualifikasi akademik diperoleh
melalui pendidikan tinggi program sarjana atau program diploma
IV untuk jurnalis (pasal 9), dan progran pascasarjana (S-2) untuk
dosen serta program doktor untuk dosen program S-2 (Pasal 46).
Kompetensi jurnalis profesional sebagaimana dalam
Undang-Undang Jurnalis dan Dosen tersebut di atas adalah
Profesionalisme Jurnalis Islami 53
berkaitan dengan (a) kompetensi pedagogik yang ditandai dengan
penguasaan bidang studi tertentu secara materi maupun
metodologi pembelajaran; (b) kompetensi sosial yang berupa
kemampuan jurnalis/dosen untuk berinteraksi dan berkomunikasi
dengan anak didik, orang tua, dan masyarakat; (c) kompetensi
kepribadian yang berkaitan dengan akhlak dan perilaku sehari-hari
seorang jurnalis/dosen; (d) kompetensi profesional yang meliputi
kesungguhan seseorang untuk mengajar dengan dukungan
penguasan materi dan metode pembelajaran.
Sertifikat pendidik merupakan bukti tertulis yang di
berikan kepada jurnalis layak untuk menjadi jurnalis/dosen yang
diperoleh dari perjurnalisan tinggi yang memiliki program tenaga
kependidikan yang terakreditasi untuk jurnalis (pasal 11), dan dari
perjurnalisan tinggi terakreditasi yang ditetapkan pemerintah
untuk dosen (pasal 47). Pemerintah berkewajiban untuk mulai
melaksanakan program sertifikasi paling lama 12 bulan setelah
Uudang-Undang ini disahkan (pasal 83 ayat 1) dan jurnalis yang
belum memiliki kualifikasi akademik dan sertifikat pendidik wajib
memenuhinya paling lama 10 tahun ke depan (pasal 82 ayat 2).
Jurnalis yang ingin meningkatkan kualifikasi akademik
atau ingin memperoleh sertifikat pendidik dapat mengajukan
bantuan biaya kepada pemerintah. Dalam pasal 13 Undang-
Profesionalisme Jurnalis Islami 54
Undang RI Nomor 20 Tahun 2003 dinyatakan; Pemerintah dan
pemerintah daerah wajib menyediakan anggaran untuk
peningkatan kualifikasi akademik dan sertifikasi pendidik bagi
jurnalis yang diangkat oleh satuan pendidikan yang
diselenggarakan Pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat.
Masalah anggaran sebagaimana yang disebutkan di atas
berkaitan dengan kesejahteraan jurnalis dan dosen, di mana dalam
Undang-Undang RI Nomor 14 Tahun 2005 memberikan jaminan
bagi jurnalis dan dosen untuk mendapatkan imbalan yang layak,
sehingga pekerjaan sebagai jurnalis dan dosen dapat dianggap
sebagai pekerjaan yang profesional, menarik dan kompetitif. Hal
ini dipertegas dengan pasal 14 ayat (1): Dalam melaksanakan
tugas keprofesionalannya, jurnalis berhak: (a) memperoleh
penghasilan di atas kebutuhan hidup minimum dan jaminan
kesejahteraan sosial dan pasal 15 ayat (1): Penghasilan di atas
kebutuhan hidup minimum meliputi gaji pokok, tunjangan yang
melekat pada gaji, serta penghasilan lain berupa tunjangan profesi,
tunjangan fungsional, tunjangan khusus, dan maslahat tambahan
yang terkait dengan tugasnya sebagai jurnalis yang ditetapkan
dengan prinsip penghargaan atas dasar prestasi.
Upah atau gaji jurnalis dapat mempengaruhi peningkatan
profesionalitas jurnalis. Secara asumtif, dapat dikatakan anggaran
Profesionalisme Jurnalis Islami 55
berupa upah atau gaji jurnalis tidak terkait langsung dengan
peningkatan profesional, tetapi ia dapat mempengaruhi mutu
pendidikan. Demikian pula secara subtanstif bahwa gaji yang
diperoleh oleh jurnalis akan mempengaruhi dinamika perilaku dan
kehidupan jurnalis dalam melaksanakan tugas-tugas profesinya.
Mohammad Surya mengatakan terdapat keterkaitan yang
kuat antara kualitas jurnalis beserta kesejehterannya dengan mutu
pendidikan. Kualitas profesional jurnalis merupakan indikator
yang kuat terhadap prestasi belajar siswa sebagai hasil
pendidikan.98
Berdasar pada pernyataan ini maka dapat dipahami
bahwa kesejahteraan jurnalis memiliki keterkaitan yang kuat
dengan peningkatan profesionalisme dan kinerja jurnalis dalam
proses pembelajaran. Dengan demikian meningkatkan gaji jurnalis
adalah sesuatu yang prioritas dalam upaya mereformasi dunia
pendidikan.
Penghasilan jurnalis memberikan dampak terhadap
profesionalitas dan peningkatan mutu pendidikan. Gaji jurnalis
hanya merupakan salah satu faktor/ variabel dalam peningkatan
mutu pendidikan. Gaji merupakan salah satu faktor yang terkait
dengan perwujudan kinerja ‚perilaku pembelajaran‛ juga
98
Lihat Mohammad Surya, Percikan Perjuangan Guru (Cet. I;
Semarang: Aneka Ilmu, 2003), h. 68.
Profesionalisme Jurnalis Islami 56
menentukan mutu pendidikan. Hal ini mengandung makna bahwa
apabila gaji jurnalis terwujud dalam batas-batas yang signifikan,
maka akan terwujud ‚perilaku pembelajaran‛ yang efektif, yang
memberikan dampak pada perwujudan interaksi pembelajaran
yang efektif pula, dan pada gilirannya akan menghasilkan
‚perilaku pembelajaran‛ peserta didik, untuk mewujudkan hasil
belajar sebagai indikator mutu pendidikan, dengan asumsi bahwa
faktor-faktor lainnya baik internal maupun eksternal memberikan
konstribusi secara signifikan.
Dalam perspektif pendidikan Islam, jurnalis harus
memiliki sifat ikhlas untuk mendapatkan ridha Allah semata,
melaksanakan dengan penuh kesungguhan , sebagaimana Firman
Allah dalam Q.S.Yasin/36: 21
هتدون ﴿ سألكم أجرا وهم م بعوا من ال ﴾ ٢١ات
Terjemahnya:
Ikutilah orang yang tiada minta balasan kepadamu; dan
mereka adalah orang-orang yang mendapat petunjuk.99
Dalam pandangan penulis bahwa tidak berarti jurnalis
harus hidup miskin, melarat dan sengsara, melainkan ia boleh
memiliki kekayaan sebagaimana lazimnya orang lain. Hal ini
99Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya (Jakarta: Proyek
Pengadaan Kitab Suci Al-Qur’an, 2002 ), h.708.
Profesionalisme Jurnalis Islami 57
berarti bahwa jurnalis tidak boleh menerima pemberian atau upah
karena jasanya dalam mengajar, melainkan ia boleh menerima
pemberian atau upah/gaji tersebut.
Ditinjau dari aspek fikih, upah atau gaji atas profesi
jurnalis adalah terkait dengan penyampaian ilmu. Ilmu dalam
pandangan syariat adalah wajib disampaikan kepada orang lain.
Bila dikaitkan lagi dengan masalah fikih maka gaji jurnalis
termasuk ijārah (sewa) atas barang maupun sewa atas jasa profesi
orang yang diperbolehkan.100
Jadi, dapat dirumuskan bahwa
jurnalis-jurnalis boleh saja, menerima gaji karena jurnalis
termasuk pekerjaan profesi yang menuntut adanya profesionalitas
jurnalis yang ideal.
Profesionalitas jurnalis dipandang sebagai pekerjaan
melalui keahlian dan harus didukung sumber dana yang kuat
secara terus-menerus dengan memanfaatkan kemajuan yang
terdapat dalam ilmu pengetahuan dan peningkatan mutu
pendidikan.101
Untuk meningkatkan mutu pendidikan, yang harus
dilakukan adalah menata tujuan pendidikan yang mampu
menghadapi tantangan abad ke-21, ini adalah hubungan yang erat
100Lihat Wahbah al-Zuhaily, al-Fiqh al-Islāmi wa Adillatuh, jilid IV
(Bairut: Dār al-Fikr, 1989), h. 766.
101Lihat Abuddin Nata, Manajemen Pendidikan Mengetahui
Kelemahan Pendidikan di Indonesia, (Ed. I; Bogor: Kencana, 2003), h. 140.
Profesionalisme Jurnalis Islami 58
antara lembaga pendidikan dengan dunia kerja. Hal ini
menekankan kepada perlunya dibangun tenaga kerja Indonesia
yang profesional. Dengan demikian, dibutuhkan upaya yang
sungguh-sungguh agar lembaga pendidikan diarahkan kepada
terbentuknya sumber daya manusia yang profesional.
Istilah profesional sebagaimana yang telah diuraikan
menjadi suatu istilah baku dalam mempersiapkan sumber daya
manusia (SDM) memasuki abad ke-21 yang penuh dengan
persaingan. Ada yang menekankan profesionalitas kepada
penguasaan beserta kiat-kiat dalam penerapannya, dan ada pula
yang menekankan kepada kemampuan manajemen. Apakah sikap
profesionalitas ini telah dikembangkan dalam lembaga
pendidikan? Kenyataan menunjukkan bahwa lembaga yang ada
sekarang ini, lebih mementingkan pembentukan intelektual, tetapi
belum memberikan perhatian kepada terbentuknya sikap
profesional.
B. Tipologi Jurnalis Profesional dalam Perspektif Pendidikan
Islam
Profesionalisme Jurnalis Islami 59
Tipologi adalah ilmu yang mempelajari tentang watak
dan atau kepribadian manusia.102
Dengan batasan seperti ini,
maka pandangan tentang tipologi jurnalis profesional yang
dimaksudkan adalah syarat jurnalis profesional, sifat, dan
tugasnya. Ketiga tipologi ini, sangat terkait dengan watak dan
kepribadian jurnalis yang dalam berbagai literatur pendidikan
Islam yang penulis telusuri, sering dijelaskan secara
bersamaan.103
Dalam kenyataannya bahwa syarat, sifat dan
tugas jurnalis sulit dibedakan, sehingga untuk membedakannya
harus ditelusuri dengan cara mencermati ketiga masalah terseb
ut berdasarkan tipologinya masing-masing.
Untuk memperoleh kemampuan melaksanakan tugas
secara maksimal, jurnalis harus memenuhi syarat-syarat
seperti yang ungkapakn Soejono dalam Ahmad Tafsir sebagai
berikut:
1. Syarat-Syarat Jurnalis
a. Tentang umur, harus sudah dewasa. Hal ini penting
karena menyangkut perkembangan seseorang, tugas harus
102Tim Redaksi Kamus Besar Bahasa Indonesia, op. cit., h. 1022. Lihat
juga Trisno Yuwono dan Pius Abdullah, Kamus Praktis Bahasa Indonesia
(Surabaya: Arkola, 1999), h. 430
103. Lihat Ahmad Tafsir, op. cit., h. 79 dan 82
Profesionalisme Jurnalis Islami 60
dilakukan secara bertanggung, itu hanya dapat dilakukan
oleh orang telah dewasa,
b. Tentang kesehatan, harus sehat jasmani dan rohani.
Jasmani yang tidak sehat akan membahayakan
pelaksanaan pendidikan, dan rohani yang tidak sehat tidak
mampu bertanggung jawab,
c. Tentang kemampuan mengajar, ia harus ahli. Hal ini
penting bagi jurnalis dengan pengetahuannya ia
diharapkan mengembangkan peserta didiknya,
d. Harus berkesusilaan dan berdedikasi tinggi, harus
memberikan contoh yang baik, dan dedikasi tinggi
diperlukan dalam mendidik dan meningkatkan mutu
pembelajaran.104
Berdasarkan pada pengertian jurnalis sebagai pendidik
sebagaimana yang telah dipaparkan sebelumnya, seseorang dapat
disebut sebagai jurnalis yang profesional bila memenuhi beberapa
persyaratan. Seseorang yang diangkat menjadi jurnalis pada suatu
lembaga pendidikan tertentu, ia terlebih dahulu mengikuti
diseleksi berdasarkan ketentuan yang merupakan syarat yang
harus dipenuhi oleh seorang jurnalis.
104 Lihat Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan Dalam Perspektif Islam (Cet.VIII; Bandung: Rosdakarya, 2008), h. 80.
Profesionalisme Jurnalis Islami 61
Syarat menjadi seorang jurnalis profesional harus
diperhatikan dan diterapkan secara tegas, terutama dalam
penerimaan jurnalis.105
Zakiah Daradjat bahwa untuk menjadi
jurnalis yang baik ada empat syarat yang harus dipenuhi, yaitu
takwa kepada Allah, berilmu, sehat jasmani dan berkelakuan
baik.106
Dalam hal ini, Ahmad Tafsir juga mengemukakan empat
syarat bagi seorang jurnalis dengan merujuk pendapat Soejono
yang secara singkat dapat disebutkan, jurnalis harus dewasa, harus
sehat jasmani, dan rohani, harus ahli atau memiliki kemampuan
mengajar, berkesusilaan dan berpendidikan tinggi.107
Syarat-syarat menjadi jurnalis sebagaimana yang telah
disebutkan meliputi: ‚Takwa kepada Allah, sudah dewasa‛,108
sehat jasmani dan rohani, berilmu, memiliki kemampuan
mengajar, berkelakuan baik dalam arti berkesusilaan, dan
berdedikasi tinggi. Syarat yang disebut terakhir ini, menyangkut
105
Lihat Ahmad Tafsir, loc. cit.
106
Lihat Zakiah Daradjat et al., Ilmu Pendidikan Islam (Cet. V;
Jakarta: Bumi Aksara, 2004), h. 41.
107Ahmad Tafsir, op.cit., h. 80.
108Seseorang dianggap sudah dewasa sejak ia berusia 18 tahun atau dia
sudah kawin. Akan tetapi menurut ilmu pendidikan, laki-laki baru dianggap
sudah dewasa setelah berumur 21 tahun dan bagi perempuan setelah berusia 18
tahun. ibid.
Profesionalisme Jurnalis Islami 62
masalah akhlak dan tidak hanya diperlukan dalam mendidik,
tetapi juga diperlukan dalam meningkatkan mutu pembelajaran.
Seorang jurnalis profesional dalam perspektif pendidikan
Islam harus memiliki dan menghiasi dirinya dengan akhlak yang
terpuji (al-akhla>q al-mahmudah) sekaligus menghindari akhlak
yang tercela (al-akhla>q al-mazmumah). Seorang jurnalis yang
senantiasa menghiasi dirinya dengan akhlak yang mulia dan
terpuji, dipastikan peserta didik yang merupakan anak didiknya
akan merasa senang kepadanya dan menghormatinya. Sebaliknya
jika seorang jurnalis berakhlak tercela, maka peserta didiknya
akan menjauhinya, bahkan mungkin menjadi salah satu faktor
penyebab timbulnya penyakit kejiwaan (sindrom) di kalangan
murid-muridnya yang disebut fobi sekolah.109
Zakiah Daradjat
menyebutkan sejumlah akhlak yang seharusnya dimiliki seorang
jurnalis, misalnya; mencintai jabatannya sebagai jurnalis, bersikap
adil terhadap semua peserta didiknya, berlaku sabar dan tenang,
berwibawa, gembira, bersifat manusiawi, bekerja sama dengan
jurnalis lain, dan bekerja sama dengan masyarakat.110
Akhlak
109Fobi sekolah adalah penyakit kejiwaan yang mencerminkan rasa
takut terhadap sekolah, sehingga anak-anak yang seharusnya bersekolah tidak
mau datang ke sekolah, dan bahkan lebih parah lagi dapat mengasingkan diri
dari lingkungan sosial. Azyumardi Azra, op. cit., h. 164.
110 Lihat Zakiah Daradjat et al., op. cit., h. 42-44.
Profesionalisme Jurnalis Islami 63
jurnalis yang dikemukakan ini merupakan implementasi dari kode
etik jurnalis Indonesian. Tujuan kode etik antara lain untuk
menjunjung tinggi martabat profesi, memelihara kesejahteraan
para anggota, meningkatkan mutu dan kualitas profesi,
meningkatkan mutu organisasi profesi. Organisasi ini dapat
menghubungkan antara jurnalis dan pemerintah, sehingga tidak
bertindak sewenang-wenang melaggar kode etik. Kode etik
merupakan landasan moral, pedoman sikap, tingkah laku dan
perbuatan dalam melaksanakan tugasnya sehari-hari.
Kode etik profesional jurnalis sesuai dengan firman
Allah dalam Q.S. Al-Muddatstsir/74:1-7.
Terjemahnya:
1. Hai orang yang berkemul (berselimut), 2.
bangunlah, lalu berilah peringatan! 3. dan Tuhanmu
agungkanlah! 4. dan pakaianmu bersihkanlah, 5. dan
perbuatan dosa tinggalkanlah, 6. dan janganlah kamu
memberi (dengan maksud) memperoleh (balasan) yang
Profesionalisme Jurnalis Islami 64
lebih banyak. 7. dan untuk (memenuhi perintah)
Tuhanmu, bersabarlah.
Dalam melaksanakan pekerjaan sebagai jurnalis harus
selalu didasarkan pada ketentuan yang berlaku sehingga dapat
menjadi ibadah di sisi Allah swt. Adapun rumusan kode etik
Jurnalis Indonesia setelah disempurnakan dalam kongres PGRI
XVI tahun 1989 di Jakarta,111
sebagai berikut:
1. Jurnalis berbakti membimbing peserta didik untuk
membentuk manusia Indonesia seutuhnya yang berjiwa
Pancasila;
2. Jurnalis memiliki dan melaksanakan kejujuran profesional;
3. Jurnalis berusaha memperoleh informasi tentang peserta
didik sebagai bahan melakukan bimbingan dan pembinaan;
4. Jurnalis menciptakan suasana sebaik-baiknya yang
menunjang berhasilnya proses beajar mengajar;
5. Jurnalis memelihara hubungan baik dengan orangtua murid
dan masyarkat sekitarnya untuk membina peran serta dan
rasa tanggung jawab bersama terhadap pendidikan;
6. Jurnalis secara pribadi dan berama-sama mengembangkan
dan meningkatkan mutu dan martabat profesinya;
111Syaiful Sagala, op.cit., h. 35.
Profesionalisme Jurnalis Islami 65
7. Jurnalis memelihara hubungan seprofesi, semgangat
kekeluargaan, dan kesetiakawanan sosial;
8. Jurnalis secara bersama-sama memelihara dan
meningkatkan mutu organisasi PGRI sebagai sarana
perjuangan dan pengabdian;
9. Jurnalis melaksanakan segala kebijaksanaan perintah dalam
bidang pendidikan.
Kode eitk profesi jurnalis menggambarkan kompetensi
kepribadian, ini merupakan barometer atau ukuran bagaimana
jurnalis bertindak, bersikap, dan berbuat dalam kehidupannya,
baik individu, keluarga, sekolah, dan masyarakat. Selain itu
jurnalis juga harus mengimplementasikan nilai-nilai ajaran
agama, mislanya jujur dalam perkataan dan perbuatan.
Peranan jurnalis di sekolah ditentukan oleh kedudukanya
sebagai orang dewasa, sebagai pengajar, pendidik dan sebagai
pegawai. Yang paling utama adalah jurnalis dalam kedudukannya
sebagai pengajar dan pendidik yang harus mampu menunjukkan
kelakuan yang layak bagi jurnalis menurut harapan masyarakat.
Dari uraian di atas dapat dipahami bahwa jurnalis
sebagai pendidik, di samping harus mampu mentransfer
ilmunya kepada peserta didik yang dihadapinya, ia juga harus
memiliki kode etik dalam bersikap. Menurut pandangan
Profesionalisme Jurnalis Islami 66
Soetjipto dan Raflis Kosasi adalah sikap profesional
kejurnalisan terhadap peraturan perundang-undangan dan
organisasi profesi, teman sejawat, anak didik, tempat kerja,
pemimpin, dan pekerjaan.112
Tugas jurnalis Indonesia adalah melaksanakan segala
kebijaksanaan pemerintah dalam bidang pendidikan. Dan
jurnalis merupakan unsur aparatur negara, maka ia harus
melaksanakan ketentuan-ketentuan yang merupakan
kebijaksanaan pemerintah dalam bidang pendidikan. Dengan
kata lain, jurnalis harus bersikap tunduk pada peraturan
perundang-undangan. Jurnalis juga harus bersikap secara
bersama-sama memelihara dan meningkatkan mutu organisasi.
Dengan kata lain, bahwa setiap jurnalis wajib berpartisipasi
guna memelihara, membina, dan meningkatkan mutu organiasi
profesi dalam rangka mewujudkan cita-cita organisasi.
Sikap jurnalis terhadap teman sejawat adalah
memelihara hubungan seprofesi, memiliki semangat
kekeluargaan, dan mempunyai kesetiakawanan sosial. Sikap
seperti ini, harus pula diwujudkan dalam bersikap terhadap
112Soetjipto dan Raflis Kosasi, op.cit.,
Profesionalisme Jurnalis Islami 67
anak didik, yakni berbakti dalam arti membimbing peserta
didik sesuai dengan tujuan k pendidikan.113
Mengenai sikap terhadap tempat kerja, adalah
menciptakan suasana kerja yang baik, sikap terhadap pemimpin
adalah menciptakan suasana harmonis terhadap kepala sekolah
dan sikap terhadap pekerjaan adalah melaksanakan tugas
jurnalis dengan penuh kesabaran dan ketelatenan yang tinggi,
terutama bila berhubungan dengan peserta didik.
Kamal Muh. Isa menyatakan bahwa seorang jurnalis
dituntut untuk memiliki berbagai sikap, yakni sifat amanat,
mampu mempersiapkan dirinya, menghindari sikap tamak dan
batil, harus memiliki sikap terpuji.114
Semua sikap jurnalis
seperti yang telah disebutkan, merupakan syarat penting untuk
ditanamkan dalam diri setiap jurnalis dalam rangka
meningkatkan mutu, baik peningkatan mutu jurnalis sebagai
pendidik maupun peningkatan mutu siswa sebagai peserta
didik.
113 Lihat Republik Indonesia , Undang-undang R.I. Nomor 20 tahun
2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Bandung: Fokusmedia, 2003), h. 3.
114Lihat Kamal H. Mohamad Isa, Khashaish Madrasah al-Nubuwwa
diterjemahkan oleh Chairul Halim dengan judul Manajemen Pendidikan Islam
(Cet. I; Jakarta: Fikahati Aneska, 1994), h. 64-65.
Profesionalisme Jurnalis Islami 68
Berkenaan dengan uraian di atas maka dapat
dikemukakan bahwa standarisasi syarat jurnalis profesional
perspektif Islam minimal enam syarat, yaitu beriman dan
takwa kepada Allah, sudah dewasa, berilmu pengetahuan yang
luas, sehat jasmani dan rohani, berakhlak mulia, dan memiliki
kemampuan mendidik.
2. Sifat jurnalis
Syarat adalah sifat minimal yang harus dipenuhi oleh
jurnalis, sedangkan sifat adalah pelengkap syarat sehingga
jurnalis dikatakan memenuhi syarat maksimal. Pembedaan ini
diperlukan karena tidak mudah menemukan jurnalis dengan syarat
maksimal. 115
Dalam hal ini, dengan memenuhi syarat minimal,
seseorang dapat menjadi jurnalis.
Mohamad Surya mengatakan sifat utama dari seorang
jurnalis yang profesional adalah kemampuannya dalam
mewujudkan kinerja professional yang sebaik-baiknya dalam
mencapai tujuan pendidikan. Sifat-sifat tersebut, mencakup
kepribadian jurnalis dan penguasaan keterampilan teknis
115Lihat Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan Dalam Perspektif Islam (Cet.VIII; Bandung: Rosdakarya, 2008,h. 82
Profesionalisme Jurnalis Islami 69
kejurnalisan.116
Seorang jurnalis hendaknya memiliki kompetensi
yang mantap. Kompetensi adalah seperangkat penguasaan
kemampuan yang harus ada dalam diri jurnalis agar dapat
mewujudkan kinerjanya secara profesional, tepat, dan efektif.
Kompetensi yang dimaksud berada dalam diri pribadi jurnalis
yang bersumber dari kualitas kepribadian, pendidikan, dan
pengalamannya. Kompetensi tersebut meliputi kompetensi
intelektual, fisik, pribadi, sosial, dan spritual.117
Athiyah al-Abrasyi sebagaimana yang dikutip Abuddin
Nata, disebutkan bahwa terdapat tujuh sifat yang harus dimiliki
oleh jurnalis dalam perspektif pendidikan Islam, yakni; zuhud,
jiwa yang bersih, ikhlas, pemaaf, mencintai murid, mengetahui
bakat, tabiat, dan watak murid, serta menguasai mata pelajaran.118
Sementara Asama Hasan Fahmi sebagaimana dikutip oleh Ahmad
Tafsir, ia mengajukan beberapa sifat jurnalis yakni, tenang, tidak
bermuka masam, tidak berolok-olok di hadapan anak didik dan
sopan santun.119
116Lihat H. Mohamad Surya, op. cit., h. 248-249.
117Ibid., h. 249-250.
118Disadur dari H. Abuddin Nata, Filsafat Pendidikan Islam 1 (Cet. I;
Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997), h. 71-76.
119Ahmad Tafsir, op. cit., h. 83.
Profesionalisme Jurnalis Islami 70
Sejalan dengan uraian di atas, Ahmad Tafsir dalam
pandangannya tentang sifat-sifat jurnalis, mengemukakan bahwa
sifat jurnalis adalah kasih sayang pada murid, senang memberi
nasehat, senang memberi peringatan, senang melarang murid
melakukan hal yang tidak baik, bijak dalam memilih bahan
pelajaran yang sesuai dengan lingkungan murid, hormat pada
pelajaran lain yang bukan pegangannya, bijak dalam memilih
bahan pelajaran, mementingkan berfikir dan berijtihad, jujur
dalam keilmuan, dan bersifat adil.120
Abuddin Nata dalam
Filsafat Pendidikan Islam, ketika membahas tentang sifat-sifat
pendidik yang baik, ia menjelaskan bahwa seorang jurnalis selain
menguasai pengetahuan yang akan diajarkannya kepada murid,
juga harus memiliki sifat-sifat terpuji, sehingga apa yang
disampaikan jurnalis kepada muridnya didengar dan dipatuhi,
tingkah lakunya dapat ditiru dan diteladani dengan baik.121
Dari beberapa pendapat yang telah dikemukakan, terdapat
perbedaan pandangan dalam merumuskan sifat-sifat jurnalis. Ada
yang merumuskan sifat jurnalis sama dengan syarat jurnalis.
Misalnya, ‚sopan santun‛ sebagai sifat jurnalis dalam rumusan
120Ibid., h. 84.
121Lihat Abuddin Nata, Filsafat Pendidikan Islam 1 (Cet. I; Jakarta:
Logos Wacana Ilmu, 1997), h. 71.
Profesionalisme Jurnalis Islami 71
Asama Fahmi, esensinya sama dengan ‚berkelakuan baik‛ sebagai
syarat jurnalis dalam rumusan Zakiyah Daradjat sebagaimana
yang telah disebutkan dalam uraian terdahulu.
Lain halnya dengan rumusan sifat jurnalis yang telah
dikemukakan oleh Mohamad Surya, di mana ia berpandangan
bahwa sifat jurnalis adalah kompetensi jurnalis.122
Kompetensi
jurnalis yang dimaksud, merupakan bagian integral dari sifat
utama dari seorang jurnalis profesional yang diuraikan pada
subbab mendatang.
Berdasarkan dari uraian-uraian di atas, maka dalam
pandangan penulis bahwa sifat-sifat jurnalis yang telah
dirumuskan oleh pakar-pakar pendidikan semisal Athiyah al-
Abrasyi, Asama Hasan Fahmi, dan Ahmad Tafsir, mengacu pada
sifat-sifat jurnalis menurut perspektif pendidikan Islam.
Sedangkan rumusan Mohamad Surya, adalah mengacu pada sifat-
sifat jurnalis menurut perspektif pendidikan umum. Dengan
merekonsiliasikan keduanya, akan bermuara pada suatu rumusan
bahwa sifat-sifat jurnalis yang profesional adalah harus
berdasarkan nilai-nilai moralitas Islam dan harus ditunjang oleh
beberapa kompetensi, yakni kompetensi intelektual, kompetensi
122Lihat Mohammad Surya, op. cit., h. 248.
Profesionalisme Jurnalis Islami 72
fisik, kompetensi pribadi, kompetensi sosial, dan kompetensi
spritual.
3. Tugas Jurnalis
Jurnalis sangat berperan dalam membantu perkembangan
peserta didik untuk mewujudkan tujuan hidupnya secara optimal.
Minat, bakat, kemampuan, dan potensi yang dimiliki peserta
didik tidak akan berkembang secara optimal tanpa bantuan
jurnalis.123
Jurnalis mempunyai tugas memperhatikan peserta didik
secara individual, karena antara satu peserta didik dengan peserta
didik lainnya memiliki perbedaan yang sangat mendasar.
Jurnalis mempunyai beberapa tugas anatara lain
membentuk kepribadian, memberikan kemudahan belajar. Selain
itu tugas jurnalis yang dimaksudkan di sini, yaitu mendidik,
mengajar dan melatih peserta didik. Ketiga tugas jurnalis tersebut,
ada pihak yang memandangnya sebagai tugas pokok.124
Selanjutnya, mendidik sebagai tugas jurnalis menurut Ahmad
Tafsir, telah disepakati oleh kalangan para ahli pendidikan, baik
Islam maupun Barat. Ia mengakui, bahwa mendidik merupakan
123E. Mulyasa, Menjadi Guru Profesional Menciptakan Pembelajaran Kreatif dan Menyenangkan (Cet.VII; Bandung: Rosdakarya, 2007), h. 35.
124Lihat Sudarwan Danim, Inovasi Pendidikan dalam Upaya
Peningkatan Profesionalisme Tenaga Kependidikan (Cet I ; Bandung : Pustaka
Setia, 2002), h. 15.
Profesionalisme Jurnalis Islami 73
tugas jurnalis yang amat luas dan sebagian dilakukan dalam
bentuk mengajar, memberi dorongan, memuji, menghukum,
memberi contoh, membiasakan dan sebagainya.125
Dengan
demikian, dapat dipahami bahwa jurnalis dalam melaksanakan
tugasnya sebagai pendidik, ia berusaha merujuk pada kegiatan
pembinaan dan pengembangan peserta didik.
Tugas jurnalis sebagai pendidik tidak hanya terbatas pada
usaha mencerdaskan otak peserta didiknya saja, melainkan juga
berupaya membentuk seluruh kepribadiannya, sehingga dapat
menjadi manusia dewasa yang memiliki kemampuan dalam
menguasai ilmu pengetahuan dan mengembangkannya untuk
kesejahteraan hidup umat manusia.126
Tugas jurnalis dalam
kegiatan mendidik ini berkonotasi sebagai suatu proses
‚memanusiakan‛ manusia agar mampu hidup secara mandiri dan
dapat bertanggung jawab dalam seluruh lini kehidupan, sehingga
tugas yang diembannya itu dapat dipahami berdimensi
kemanusiaan dan kemasyarakatan.
Selain mendidik, tugas jurnalis termasuk pula mengajar
dan melatih peserta didik, mengajar berarti meneruskan dan
mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi, Sedang melatih
125Lihat Ahmad Tafsir, op.cit., h. 78.
126ibid. h.
Profesionalisme Jurnalis Islami 74
berarti mengembangkan keterampilan-keterampilan pada peserta
didik.127
S.Nasution memahaminya mengajar adalah menanamkan
pengetahuan, menyampaikan kebudayaan, dan sebagai suatu
aktivitas dalam mengatur lingkungan anak dengan sebaik-
baiknya, sehingga terjadi pembelajaran. Melalui aktivitas yang
disebut terakhir ini, mengajar mengandung arti membimbing,
aktivitas dan pengalaman peserta didik serta membantu
perkembangannya sehingga dapat menyesuaikan diri dengan
lingkungannya.128
Selain tugas mengajar, jurnalis juga bertugas
untuk membuat persiapan mengajar, tugas mengevaluasi hasil
belajar yang selalu bertalian dengan pencapaian tujuan
pembelajaran.
Tugas jurnalis dalam melatih peserta didik yang dalam hal
ini jurnalis bertindak sebagai pelatih untuk mengembangkan
keterampilan peserta didik.129
Jurnalis sebagai pelatih,
memberikan peluang yang sebesar-besarnya bagi peserta didik
untuk mengembangkan cara pembelajarannya sendiri.130
127Lihat Moh. Uzer Usman, Menjadi Guru Profesional (Ed. II;
Bandung: Remaja Rosda Karya,1996), h. 7.
128S. Nasution, Didaktik Asas-asas Mengajar (Cet. I; Jakarta: Bumi
Aksara, 1995), h. 4 – 6.
129Sudarwan Danim, loc. cit.
130Lihat H. Mohamad Surya, op. cit., h. 47.
Profesionalisme Jurnalis Islami 75
Mendidik, mengajar maupun melatih peserta didik,
tentunya dapat berjalan lancar selama jurnalis berperan aktif
dalam melaksanakan tugas-tugasnya terutama tugasnya sebagai
pendidik. Dapat disimpulkan bahwa tugas jurnalis secara umum
adalah mendidik, dan tugas jurnalis secara khusus adalah mengajar
dan melatih peserta didik. Di sini penulis perlu tegaskan bahwa
keberhasilan jurnalis sebagai pendidik dalam mengajar dan
keberhasilan peserta didik dalam belajar sangat dipengaruhi oleh
jurnalis itu sendiri. Karena itu, tipologi jurnalis sebagai pendidik
yang meliputi syarat, sifat, dan tugasnya harus mendapat
perhatian khusus dari jurnalis dalam menjelaskan tugas
kejurnalisan yang merupakan pekerjaan profesi, dengan demikian
dipahami bagaimana peran jurnalis itu dalam kaitan profesi yang
diembannya.
Peran jurnalis yang dimaksudkan adalah serangkaian
usaha-usaha yang dilakukan dan diupayakan oleh jurnalis sebagai
pendidik dan meningkatkan profesionalitasnya. Menurut
Mohamad Surya peran jurnalis secara profesional bukan hanya di
sekolah saja, melainkan juga di luar sekolah, misalnya di
lingkungan keluarga dan di lingkungan masyarakat.131
Dengan
demikian, jurnalis yang profesional memiliki peran yang serba
131H. Mohamad Surya, op. cit., h. 223-224.
Profesionalisme Jurnalis Islami 76
kompleks, karena ia bukan hanya berkedudukan sebagai tenaga
pendidik di sekolah, tetapi ia juga memiliki kedudukan sebagai
pendidik di luar sekolah dan di masyarakat.
Proses Pembelajaran di sekolah merupakan inti dari proses
pendidikan secara keseluruhan dengan jurnalis sebagai pemegang
peran utama. Menurut telaahan penulis, ditemukan berbagai
tulisan yang dikemukakan oleh para pendidikan tentang peran
yang diemban oleh jurnalis di lingkungan sekolah yang utama
adalah sebagai pendidik, pengajar dan pelatih peserta didik. Akan
tetapi, sesuai dengan adanya perkembangan maka pembelajaran
membawa konsekuensi kepada jurnalis untuk meningkatkan
perannya, karena pembelajaran sebagian besar ditentukan oleh
peran jurnalis di sekolah.132
Peran jurnalis dalam pembelajaran di
sekolah mempunyai peran utamanya meliputi beberapa hal, antara
lain; Jurnalis sebagai demonstrator dan motivator. Sebagai
demonstrator, jurnalis memiliki peran dalam memperagakan apa
yang diajarkannya secara didaktis, dan apa yang disampaikannya
itu dapat diterima oleh peserta didik, sehingga peserta didik akan
mampu mengembangkan dan meningkatkan kemampuannya pada
tingkat keberhasilan yang lebih optimal. Untuk sampai ke tujuan
tersebut, jurnalis juga sebagai demonstrator, berperan sebagai
132Moh. Uzer Usman, op. cit., h. 9.
Profesionalisme Jurnalis Islami 77
motivator, yakni merangsang dan atau memberikan dorongan
untuk menumbuhkan potensi peserta didik, menumbuhkan
aktivitas dan daya cipta (kreativitas), sehingga terjadi dinamika
dalam pembelajaran. Dalam semboyan pendidikan di Taman
Siswa sudah lama dikenal dengan istilah ‚ing ngarso sun tulada,
ing madya mangun karsa, dan tut wuri handayani‛.133
Dengan
semboyang ini, maka nampak bahwa peranan jurnalis sebagai
motivator sangat penting dalam interaksi pembelajaran, karena
menyangkut esensi pekerjaan mendidik yang membutuhkan
kemahiran sosial, menyangakut performance dalam arti
personalisasi dan sosialisasi diri.
Jurnalis sebagai mediator dan fasilitator, Sebagai
mediator, maka jurnalis berperan menjembatani dalam kegiatan
belajar peserta didik. Mediator menurut Sardiman AM, berarti
jurnalis sebagai penyedia media, yakni bagaimana upaya jurnalis
meyediakan dan mengorganisasikan penggunaan media
pembelajaran.134
Karena jurnalis sebagai mediator, praktis juga
berperan sebagai fasilitator, yakni memberikan fasilitas atau
kemudahan dalam pembelajaran yang sedemikian rupa, dan serasi
133Lihat Sardiman AM, Interaksi dan Motivasi Belajar Mengajar (Cet.
VII; Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2000), h. 143.
134Lihat Ibid., h. 144.
Profesionalisme Jurnalis Islami 78
dengan perkembangan siswa, sehingga interaksi belajar akan
berlangsung secara efektif. Hal ini, sesuai dengan paradigma ‚Tut
Wuri Handayani‛.
Jurnalis sebagai evaluator dan pengelola kelas. Sebagai
evaluator, maka jurnalis berperan mengadakan evaluasi, yakni
penilaian terhadap hasil yang telah dicapai oleh peserta didik.135
Dengan penilaian, jurnalis dapat mengetahui keberhasilan
pencapaian, penguasaan peserta didik terhadap pelajaran yang
diberikan. Peserta didik belum sampai pada tingkat keberhasilan,
maka jurnalis dituntut untuk lebih berperan sebagai pengelola
kelas, dalam arti bahwa ia berperan sebagai learning manager,
yakni mengelola kelas dan mengarahkan lingkungan kelas agar
kegiatan belajar terarah kepada tujuan untuk keberhasilan peserta
didik secara optimal.
Mohamad Surya, peran jurnalis di sekolah adalah
keseluruhan kegiatan pendidikan di tingkat operasional, jurnalis
merupakan penentu keberhasilan pendidikan melalui kinerjanya
pada tingkat institusional, intsruksional.136
Hal ini bemakna
bahwa peran jurnalis harus dipertahankan, dan ditingkatkan.
Karena, jurnalis dituntut untuk memiliki komitmen yang kuat
135Lihat Moh. Uzer Usman, op. cit., h. 11.
136H. Mohamad Surya, op. cit., h. 223.
Profesionalisme Jurnalis Islami 79
dalam upaya menfungsikan multiperannya secara utuh dan
menyeluruh.
Di luar sekolah, jurnalis memiliki peran yang signifikan. Di
lingkungan keluarga misalnya, jurnalis merupakan unsur keluarga
sebagai pengelola, peserta didik sebagai pendidik dalam
keluarga.137
Hal ini mengandung makna bahwa jurnalis sebagai
unsur keluarga harus mampu mewujudkan keluarga yang kokoh,
sehingga menjadi fondasi kehidupan bermasyarakat, berbangsa,
dan bernegara secara keseluruhan.
Dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan
bernegara, jurnalis merupakan unsur strategis sebagai pendidik
anggota masyarakat. Sebagai anggota masyarakat, jurnalis harus
menunjukkan kepribadiannya secara efektif agar menjadi teladan
bagi masyarakat di sekitarnya.138
Sebagai masyarakat, jurnalis
berperan sebagai mediator antara masyarakat dan dunia
pendidikan. Dalam hal ini, Moh. Uzer Usman menyatakan bahwa
jurnalis berperan untuk menyampaikan segala perkembangan
kemajuan dunia sekitar kepada masyarakat, khususnya masalah-
masalah pendidikan. Jurnalis sebagai pemimpin generasi muda
maka masa depan generasi muda terletak di tangan jurnalis.
137Ibid.
138Ibid., h. 224.
Profesionalisme Jurnalis Islami 80
Jurnalis berperan sebagai pemimpin mereka dalam
mempersiapkan diri untuk anggota masyarakat yang dewasa.139
Jurnalis merupakan model atau teladan bagi peserta didik
dan semua orang disekitarnya, sebagai teladan jurnalis akan
mendapat sorotan dari peserta didik atau orang di sekitarnya.
Oleh Karena itu jurnalis dalam bertindak dan bersikap harus
menjadi panutan bagi peserta didiknya dan lingkungannya.
Hubnungan kemanusiaan diwujudkan dalam semua pergaulan
manusia, intelektual, moral, kindahan, terutama berprilaku.140
Peran jurnalis yang disebutkan di atas, jika berfungsi
sebagaimana mestinya, maka akan membawa lingkungan keluarga
dan lingkungan masyarakat pada suasana edukatif, sehingga akan
tercipta lingkungan yang berpendidikan, terarah dan menyeluruh,
baik di sekolah maupun di luar sekolah, misalnya dalam
lingkungan keluarga dan masyarakat. Dalam pandangan penulis
bahwa multiperan jurnalis di luar sekolah, perlu diwujudkan
secara nyata melalui satu pendekatan dan program yang
dilaksanakan secara profesional, sistemik, sinergik, dan simbiosis
dari semua pihak terkait.
139Moh. Uzer Usman, op. cit., h. 12.
140E. Mulyasa, op.cit., h. 46.
Profesionalisme Jurnalis Islami 81
C. Kompetensi Jurnalis Profesional dan Upaya Peningkatan Mutu
dalam Perspektif Pendidikan Islam
Kompetensi berasal dari bahasa Inggris yaitu competence
yang berarti kecakapan dan kemampuan.141
Menurut kamus
bahasa Indonesia kompetensi merupakan kewenangan untuk
menentukan atau memutuskan sesuatu hal.142
Jadi pengertian
dasar kompetensi adalah kemampuan atau kecakapan. Charles. E.
Johnson, yang dikutip oleh M. Uzer Usman, bahwa kompetensi
merupakan gambaran hakikat dan prilaku jurnalis yang tampak
sangat berarti.143
Demikian pula Mc. Leod dalam M. User Usman
bahwa, kompetensi merupakan prilaku yang rasioanal untuk
mencapai tujuan yang dipersyaratkan sesuai dengan kondisi yang
diharapkan.144
Sedangkan E. Mulyasa, berpendapat bahwa,
kompetensi merupakan perpaduan dari pengetahuan,
keterampilan, nilai, dan sikap yang direfleksikan dalam kebiasaan
berfikir dan bertindak.145
Adapun kompetensi jurnalis merupakan
141John M Echols dan Hassan Shadily, Kamus Inggris Indonesia (Cet.
XXI; Jakarta: PT. Gramedia, 1995), h. 132.
142Departemen Pendidikan Nasional, op.cit., h. 528.
143Moh Uzer Usman, op. cit., 37-38.
144Ibid.
145E. Mulyasa, Kurikulum Berbasis Kompetensi (Cet. VI; Bandung:
PT. Rosdakarya Offset, 2004), h., 37-38.
Profesionalisme Jurnalis Islami 82
kemampuan jurnalis dalam melaksanakan kewajiban secara
bertanggung jawab dan layak. Pengertian dasar kompetensi adalah
kemampuan kecakapan.146
Kompetensi juga berarti kemampuan
berwenang atau memenuhi syarat menurut ketentuan hukum.
Kompetensi adalah seperangkat pengetahuan,
keterampilan, dan perilaku yang harus dimiliki, dihayati, dan
dikuasai oleh jurnalis atau dosen dalam melaksanakan tugas
keprofesionalan.147
Kompetensi merupakan peleburan dari
pengetahuan, sikap, dan keterampilan yang diwujudkan dalam
bentuk perbuatan, kompetensi juga merupakan gabungan dari
kemampuan, pengetahuan, kecakapan, sikap, sifat, pemahaman,
apresiasi, dan harapan yang mendasari karakteristik seseorang
untuk berunjuk kerja dalam menjalankan tugas guna mencapai
standar kualitas dalam pekerjaan nyata.148
Jurnalis harus selalu mengembangkan potensi yang
dimiliki dan tidak boleh merasa puas terhadap apa yang telah
dihasilkan dan dilakukan, dan selalu ingin mengembangkan apa
yang dimilikinya, ini merupakan kewajiban yang tidak boleh
146Muhibbin Syah, op. cit., h. 229.
147Republik Indonesia, Undang-Undang RI Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen (Cet.I; Jakarta:Sinar Grafika, 2006). H. 3.
148Syaiful Sagala, Kemampuan Profesional Guru dan Tenaga Kependidikan (Cet.II; Bandung: Alfabeta,), h. 23.
Profesionalisme Jurnalis Islami 83
diabaikan.149
Bagaimanapun pengembangan potensi harus
dilakukan untuk menemukan inovasi baru yang menarik unutuk
masa yang akan datang.
Kompetensi jurnalis menurut Barlow dalam Kunandar
adalah kemampuan seorang jurnalis dalam melaksanakan
kewajiban-kewajibannya secara bertanggung jawab dan
layak.150
Jadi, kompetensi profesionalisme jurnalis dapat
diartikan sebagai kemampuan dan kewenangan jurnalis dalam
menjalankan profesi kejurnalisannya. Artinya, jurnalis akan
melaksanakan tugas profesinya baik maka dapat disebut sebagai
jurnalis yang berkompeten dan profesional.
Jurnalis professional tidak akan mengembangkan sifat-
sifat tercela antara lain; iri hati, munafik, dendam, malas, kasar
terhadap orang lain apalagi terhadap peserta didiknya151
Dari pengertian tersebut, dapat disimpulkan bahwa suatu
pekerjaan yang bersifat profesional memerlukan beberapa bidang
ilmu yang harus dipelajari dan kemudian diaplikasikan bagi
kepentingan umum. Atas dasar pengertian ini, ternyata pekerjaan
149Lihat Erna Iswati, Rahasia Kekuatan Manusia (Cet.I; Jogjakarta: Garailmu, 2009), h. 176.
150Kunandar, op. cit., h. 47.
151Lihat Syaifu Sagala, Kemampuan Profesional Guru dan Tenaga Kependidikan (Cet. II; Bandung: Alfabeta, 2009), h. 22.
Profesionalisme Jurnalis Islami 84
profesional berbeda dengan pekerjaan lainnya karena suatu profesi
memerlukan kemampuan dan keahlian khusus dalam
melaksanakan profesinya.
Istilah profesional sebagaimana yang telah dikemukakan
dimaksudkan sebagai tingkat keahlian yang dituntut dapat
melakukan suatu pekerjaan yang dilakukan secara efisien dan
efektif dengan tingkat keahlian yang tinggi dalam mencapai
tujuan pekerjaan. Dengan bertitik tolak pada pengertian ini, maka
pengertian jurnalis profesional adalah orang yang memiliki
kemampuan dan keahlian khusus dalam bidang kejurnalisan
sehingga ia mampu melaksanakan tugas dan fungsinya sebagai
jurnalis dengan kemampuan maksimal. Atau dengan kata lain,
jurnalis profesional adalah orang yang terdidik dan terlatih dengan
baik, serta memiliki pengalaman yang kaya di bidangnya.152
Telah
memperoleh pendidikan formal tetapi juga harus menguasai
berbagai strategi atau teknik di dalam kegiatan pembelajaran serta
menguasai landasan-landasan kependidikan.
Pendidikan dan pembelajaran yang diberikan kepada
peserta didik harus sesuai dengan dengan bakat, minat,
152Lihat Muh. Uzer Usman, op. cit., h. 15.
Profesionalisme Jurnalis Islami 85
kecenderungan, kecerdasan, dan latar belakang fitrah manusia.153
Abuddin Nata Profesinalitas dalam pendidikan Islam terdapat
sejumlah kegiatan yang menggunakan kemampuan kognitif,
afektif, psikomotorik, dan fitrah. Hal tersebut memerlukan proses
pemebelajaran yang dirancang secara sungguh-sungguh dan
konsepsional, sehingga benar-benar terarah dan memanfaatkan
hasil yang optimal.154
Lebih lanjut, dalam menjalankan kewenangan
profesionalnya, jurnalis dituntut memiliki kecakapan yang
bersifat psikologis, yang meliputi: kompetensi kognitif
(kecakapan ranah cipta), kompetensi afektif (kecakapan ranah
rasa), kompetensi psikomotor (kecakapan ranah karsa).155
1. Komptensi Kognitif Jurnalis
Kompetensi ranah cipta menurut hemat penulis merupakan
kompetensi utama yang wajib dimiliki oleh setiap calon jurnalis
dan jurnalis profesional. Karena ranah cipta mengandung
153Lihat Abuddin Nata, Perspektif Islam tentang Strategi
Pembelajaran, (cet. I; Jakarta: Kencana, 2009), h. 83.
154Lihat Ibid., h. 105.
155Lihat M. Dawam Rahardjo [Editor], Keluar Dari Kemelut
Pendidikan Nasional; Menjawab Tantangan Kualitas Sumber Daya Manusia
Abad 21 (Cet. I; Jakarta: PT. Intermasa, 1997), h. 35. Lihat juga Muhibbin
Syah, op. cit., h. 230.
Profesionalisme Jurnalis Islami 86
bermacam-macam pengetahuan, baik yang bersifat deklaratif
maupun yang bersifat prosedural.
Pengetahuan deklaratif merupakan pengetahuan yang
relatif statis-normatif dengan tatanan yang jelas dan dapat
diungkapkan dengan lisan. Sedangkan pengetahuan prosedural
yang terdapat di dalam otak ini pada dasarnya adalah pengetahuan
praktis dan dinamis yang mendasari keterampilan melakukan
sesuatu.
Pengetahuan dan keterampilan ranah cipta dapat
dikelompokkan ke dalam dua kategori, yaitu kategori
pengetahuan kependidikan / kejurnalisan dan kategori
pengetahuan bidang studi yang akan menjadi hak atau mata
pelajaran yang akan diajarkan jurnalis, yakni
a. Ilmu Pengetahuan Kependidikan
Menurut sifat dan kegunaannya, disiplin ilmu
kependidikan ini terdiri atas dua macam, yaitu pengetahuan
kependidikan umum dan pengetahuan kependidikan khusus.
Pengetahuan kependidikan umum meliputi ilmu pendidikan,
psikologi pendidikan, administrasi pendidikan, dan seterusnya.
Sedangkan pengetahuan kependidikan khusus meliputi metode
mengajar, metodik khusus pengajaran materi tertentu, teknik
evaluasi, praktik kejurnalisan, dan sebagainya.
Profesionalisme Jurnalis Islami 87
Jadi kesimpulannya adalah pengetahuan atau ilmu
pendidikan umum itu meliputi segenap pengetahuan kependidikan
yang tidak langsung berhubungan dengan proses pembelajaran.
Sedangkan pengetahuan pendidikan khusus langsung berhubungan
dengan praktik pengelolahan pembelajaran
b. Ilmu Pengetahuan Materi Bidang Studi
Ilmu pengetahuan materi bidang studi meliputi semua
bidang studi yang akan menjadi keahlian atau pelajaran yang akan
diajarkan oleh jurnalis. Dalam hal ini, penguasaan atas pokok-
pokok bahasan materi pelajaran yang terdapat dalam bidang studi
yang menjadi bidang tugas jurnalis adalah mutlak diperlukan.
Penguasaan jurnalis atas materi-materi bidang studi itu
seyogyanya dikaitkan langsung dengan pengetahuan kependidikan
khusus, terutama dengan metodik khusus dan praktik kejurnalisan.
Jenis kompetensi kognitif lain yang juga perlu dimiliki
seorang jurnalis adalah kemampuan mentransfer strategi kognitif
kepada peserta didik agar dapat belajar secara efisien dan efektif.
Jurnalis diharapkan mampu mengubah perilaku belajar peseta
didik menjadi belajar yang efektif.
2. Kompetensi Afektif Jurnalis
Profesionalisme Jurnalis Islami 88
Kompetensi ranah afektif jurnalis bersifat tertutup dan
abstrak, sehingga sangat sukar untuk diidentifikasi. Kompetensi
ranah ini meliputi seluruh fenomena perasaan dan emosi seperti :
cinta, benci, senang, sedih, dan sikap tertentu terhadap diri sendiri
dan orang lain. Namun demikian, kompetensi afektif (ranah rasa)
yang paling penting dan paling sering dijadikan objek penelitian
dan pembahasan psikologis pendidikan adalah sikap dan perasaan
diri yang berkaitan dengan profesi kejurnalisan.
3. Kompetensi Psikomotor Jurnalis
Kompetensi psikomotor jurnalis meliputi segala
keterampilan atau kecakapan yang bersifat jasmaniah yang
pelaksanaannya berhubungan dengan tugasnya selaku tenaga
pengajar. Jurnalis yang profesional memerlukan penguasaan yang
prima atas sejumlah keterampilan ranah karsa yang langsung
berkaitan dengan bidang studinya.
Kehadiran teknologi dapat memberikan kemudahan dalam
kemampuan mengembangkan diri. Kemampuan akademik dan
profesional untuk menerapkan, mengembangkan, dan
menciptakan ilmu pengetahuan, teknologi, maupun kesenian.156
Mempelajari teknologi di zaman sekarang ini merupakan suatu
156Lihat Hamzah B. Uno, Profesi Kependidikan Problema, Solusi, dan reformasi Pendidikan di Indonesia (Cet.IV; Jakarta: Sinar Grafika, 2009), h. 101.
Profesionalisme Jurnalis Islami 89
keharusan, jurnalis yang belum mengenal atau mengoperasikan
hasil dari teknologi seperti komputer, internet, dan semacamnya
akan tertinggal dan tidak dapat bersaing. Sepuluh tahun yang lalu
orang yang disebut ‚buta huruf ‚adalah orang yang tidak tahu
membaca dan menulis, tetapi sekarang ini orang yang ‚buta
huruf‛ adalah orang tidak dapat menggunakan teknologi
(komputer/internet). Penggunaan teknologi sangat dituntut untuk
memudahkan suatu pekerjaan. Bahkan teknologi sangat
dibutuhkan untuk menunjang pelaksanaan tugas sehari-hari. Hali
sesuai dengan ajaran Islam dengan firman Allah Q.S. Al-
Hadiid/57: 25.
…
Terjemahnya:
Dan kami ciptakan besi yang padanya terdapat
kekuatan yang hebat dan berbagai manfaat bagi manusia,
(supaya mereka mempergunakan besi itu) dan supaya Allah
mengetahui siapa yang menolong (agama)Nya dan rasul-
Profesionalisme Jurnalis Islami 90
rasul-Nya Padahal Allah tidak dilihatnya. Sesungguhnya
Allah Maha kuat lagi Maha Perkasa.157
Jurnalis hendaknya mempersiapkan sumber daya manusia
yang handal dalam memasuki era modern, yang dengan syarat
teknologi dan salah satu komponen yang perlu dikembangkan
adalah kurikulum pendidikan berbasis teknologi.
Materi pengembangan pada ilmu pengetahuan dan
teknologi, peserta didik diberi kesempatan untuk mempelajari dan
memanfaatkannya dalam kehidupannya.
Jurnalis profesional harus menguasai ilmu dan teknologi
untuk mendukung kompetensi yang dimiliki, tanpa penguasaan
teknologi jurnalis akan mendapat hambatan dalam menjalankan
keprofesionalannya. Kompetensi ini yakni kompetensi umum dan
kompetesi khusus. Kompetensi umum dan khusus itu, sebagian
besar bergantung pada kualitas otak dalam merekam yang
didengar berdasarkan rangsangan (stimulus) yang muncul.
Kompetensi yang bersifat umum, diwujudkan dalam gerak
dalam bentuk gerakan atau tindakan umum jasmani yang
berhubungan dengan aktivitas mengajar. Kompetensi ranah karsa
157 Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya (Jakarta: Proyek Pengadaan Kitab Suci Al-Qur’an, 2002, h.904
Profesionalisme Jurnalis Islami 91
ini selayaknya diwujudkan oleh jurnalis sesuai dengan kebutuhan
dan tata krama yang berlaku.
Adapun kompetensi ranah karsa yang khusus, meliputi
keterampilan verbal (pernyataan lisan) dan nonverbal (pernyataan
tindakan) tertentu yang direfleksikan jurnalis terutama ketika
mengelola proses pembelajaran. Dalam hal merefleksikan ekspresi
verbal jurnalis sangat diharapkan, fasih dan lancar berbicara, baik
ketika menyampaikan uraian materi pelajaran maupun ketika
menjawab pertanyaan-pertanyaan peserta didik atau member
jawaban terhadap pertanyaan yang di ajukan peserta didik.
Jurnalis yang cakap dalam ekspresi verbal tidak berarti
harus selalu menjawab pertanyaan peserta didik atau berusaha
menutup-nutupi kekurangan yang ada dalam dirinya, sebab
menjawab pertanyaan yang sebenarnya tidak diketahui
jawabannya dengan cara ‚menipu‛ atau mengajukan argumen
yang tidak bijaksana. Bersikap dan berprilaku jujur kepada
peserta didik, dengan mengatakan lupa atau tidak tahu, sambil
berjanji akan mencarikan jawaban atas pertanyaan tadi pada
kesempatan lain adalah jauh lebih baik.
Jurnalis sebagai tenaga profesional dalam bidang
pendidikan di selain memahami hal yang bersifat filosofis dan
Profesionalisme Jurnalis Islami 92
konseptual, juga harus memahami hal yang bersifat teknis,
khususnya dalam proses pembelajaran
Dalam kegiatan pembelajaran, jurnalis harus memilih
kemampuan dasar, yakni kemampuan mendesain program dan
keterampilan mengkomunikasikan program kepada peserta didik.
Kemampuan dasar ini jelas dikemukakan dalam sembilan
kompetensi jurnalis, sebagaimana yang dikemukakan oleh
Sardiman A.M menjelaskan bahwa kompetensi jurnalis yang harus
dimiliki yaitu:
a. Menguasai bahan
Sebelum jurnalis mengadakan pembelajaran atau tampil di
depan kelas, jurnalis harus menguasai bahan pelajaran yang akan
diajarkan dengan modal penguasaan bahan, agar jurnalis dapat
menyampaikan materi pelajaran secara dinamis. Keberhasilan
jurnalis dalam proses pembelajaran tergantung sejauh mana
jurnalis menguasai bahan yang akan disampaikan kepada peserta
didiknya.
b. Mengelola program pembelajaran
Jurnalis dalam proses pembelajaran, harus mengelolanya
dengan baik. Pengelolaan pengajaran yang baik yaitu harus
mengetahui langkah-langkah atau tahapan yang akan ditempuh,
misalnya merumuskan tujuan pembelajaran, mengenal, dan
Profesionalisme Jurnalis Islami 93
menggunakan proses intruksional yang tepat, serta mengenal
kemampuan peserta didik.
c. Mengelola kelas
Suasana kelas sangat berpengaruh terhadap proses
pembelajaran. Kegiatan mengelola kelas meliputi, mengatur
tempat duduk dan menciptakan iklim pembelajaran yang serasi
dan kondusif.
Dalam menata ruang kelas jurnalis harus mendesain dan
mengatur ruang kelas sedemikian rupa sehingga kelas selalu
dalam keadaan bersih. Di dalam proses belajar mengajar juga
harus menyediakan iklim pembelajaran yang serasi, maksudnya
jurnalis harus menangani dan mengarahkan tingkah laku peserta
didik agar tidak mengganggu ketenangan kelas.
d. Menggunakan media/sumber
Penggunakaan media dalam proses pembelajaran,
merupakan pendorong pemusatan perhatian anak didik untuk lebih
fokus dalam belajar, agar tujuan pembelajaran dapat tercapai
secara efektif dan efisien yang membawa pengaruh positif pada
peningkatan prestasi belajar anak didik.
e. Mengelola interaksi pembelajaran
Pengelolaan kelas yang baik adalah pengelolaan kelas
terjadi interaksi pembelajaran, kegiatan pembelajaran yang
Profesionalisme Jurnalis Islami 94
menyenangkan pendidik dan peserta didik. Perkembangan peserta
didik diusahakan pada perubahan hasil belajar.
f. Menilai prestasi siswa untuk menilai kepentingan pengajaran
Penilaian hasil belajar peserta didik mempunyai dua fungsi
yaitu untuk kepentingan jurnalis sebagai pendidik untuk dijadikan
bahan evaluasi, dan untuk kepentingan peserta didik itu sendiri
sebagai alat ukur kompetensinya. Perbedaan ini dapat membawa
akibat perbedaan-perbedaan pada kegiatan yang lain. Misalnya
soal kreativitas, gaya belajar, bahkan juga dapat membawa
perbedaan dalam hal prestasi belajar peserta didik. Oleh karena
itu, jurnalis harus mampu menilai prestasi untuk pencapaian
pengajaran. Dengan mengetahui prestasi belajar, maka jurnalis
dapat mengambil langkah-langkah strategi yang konstruktif.
g. Mengenal fungsi dan program pelayanan bimbingan dan
pengolaan
Di samping jurnalis sebagai pengajar dan pembimbing ia
juga sebagai konselor atau penyuluh. Maka jurnalis harus
mengenal fungsi dan program layanan bimbingan dan penyuluhan
di sekolah, serta harus menyelenggarakan program bimbingan di
sekolah, agar interaksi belajarnya bersama peserta didik menjadi
tepat dan produktif. Dalam penyelenggaraan program bimbingan
Profesionalisme Jurnalis Islami 95
dan penyuluhan tidak hanya menyangkut hal-hal seperti kognitif,
afektif, dan psikomotorik, akan tetapi juga problema verbal yang
memungkinkan sehingga anak didik dapat mengembangkan
potensinya secara optimal.
h. Mengenal dan menyelenggarakan administrasi sekolah;
Dalam proses pembelajaran, jurnalis di sekolah di samping
berperan sebagai pengajar, pembimbing, dan pendidik juga
sebagai administrator sekolah guna upaya layanan terhadap
peserta didik. Administrasi dapat diarahkan sebagai kegiatan
penyusunan kegiatan-kegiatan yang sistematis dan pencatatan
secara tertulis dengan maksud memperoleh sesuatu ikhtisar
mengenai keterangan yang satu dengan yang lainnya.
Administrasi sangat diperlukan dalam setiap bentuk dan jenis
lembaga, termasuk lembaga formal. Hal ini sangat penting dalam
proses belajar mengajar yakni interaksi antara jurnalis dan anak
didik.
i. Memahami prinsip-prinsip dan hasil penelitian pendidikan
guna keperluan pengajaran
Jurnalis dalam proses pembelajaran harus mampu
memahami dan melatih diri dalam melaksanakan penelitian
karena penelitian itu harus diaplikasikan ke dalam praktek
mengajar. Penelitian yang merupakan aspek yang seharusnya oleh
Profesionalisme Jurnalis Islami 96
siapapun dan tidak terkecuali bagi jurnalis. Penelitian itu dapat
dijadikan sebagai pangkal tolak untuk meperbarui pendidikan
untuk menjadi lebih baik dan efisien. Selain itu, jurnalis juga
harus dapat membaca dan menafsirkan hasil-hasil penelitian
pendidikan, maka jurnalis akan mendapatkan masukan sehinga
dapat diterapkan untuk keperluan proses pembelajaran.158
Dari Sembilan kompetensi yang telah diuraiakan di atas,
memberikan pemahaman bahwa dalam menjabat sebagai jurnalis
harus mengetahui beberapa kompetensi guna pencapaian tujuan
yang diharapkan khususnya dalam penerapan keprofesionalan
jurnalis.
Masalah utama pekerjaan profesi adalah implikasi dan
konsekwensi jabatan terhadap tugas dan tanggungjawabnya.
Masalah ini dianggap penting karena di sinilah terdapat perbedaan
antara profesi yang satu dengan profesi yang lainnya.
Jurnalis dalam proses pembelajaran, ia sebagai tenaga
profesi maka terlebih dahulu diketahui bahwa kata profesional
berasal dari kata profesi. Di dalam profesi dalam kamus popular
berarti pekerjaan dengan keahlian khusus sebagai mata
158Lihat Sardiman, op. cit., h. 162.
Profesionalisme Jurnalis Islami 97
pencaharian tetap159
sedangkan Prayitno dan Erman Amti dalam
bukunya yang berjudul Dasar-dasar Bimbingan dan Konseling
menyebutkan arti profesi yaitu suatu jabatan atau pekerjaan yang
menuntut keahlian dari para petugasnya.160
Profesi tidak
dilakukan oleh orang yang tidak terlatih dan tidak disiapkan
secara khusus terlebih dahulu untuk melakukan pekerjan tersebut.
Dari uraian di atas, dapat diketahui bahwa profesi yang
secara umum berarti suatu pekerjaan yang memerlukan
pendidikan secara lanjut di dalam sains dan teknologi yang
digunakan sebagai perangkat dasar untuk diimplementasikan
dalam berbagai kegiatan pendidikan. Profesi jurnalis merupakan
jabatan yang membutuhkan keahlian spesifik sebagai tenaga
jurnalis. Untuk menjadi seorang jurnalis yang cakap diperlukan
beberapa syarat tertentu, sebagai jurnalis yang professional, harus
mengetahui pendidikan dan pemebelajaran dengan berbagai ilmu
pengetahuan yang perlu dibina dan dikembangkan melalui
pendidikan tertentu.
Jurnalis profesional adalah orang yang memiliki
kemampuan dan keahlian khusus dalam bidang kejurnalisan,
159YS. Marjo, Kamus Populer (Cet. I; Surabaya: Beringin Jaya, 1997),
h. 240.
160Lihat Prayitno dan Erman Amti, Dasar-dasar Bimbingan dan
Konseling (Cet. I; Jakarta: PT. Rineka Cipta, 1999), 338.
Profesionalisme Jurnalis Islami 98
sehingga ia mampu melaksanakan tugas dan fungsinya sebagai
jurnalis dengan kemampuan maksimal, atau dengan kata lain,
jurnalis profesional adalah orang yang terdidik dan terlatih dengan
baik, serta memiliki pengalaman yang kaya di bidangnya.161
Seorang jurnalis profesional, harus memiliki persepsi filosofis
dalam menyikapi dan melaksanakan pekerjaannya. Seorang
jurnalis profesional ditandai dengan kecermatan untuk
menentukan langkah. Jurnalis juga harus cerdas, sabar, ulet, dan
tanggap dalam setiap kondisi, sehingga di akhir pekerjaannya
akan membuahkan hasil yang memuaskan. Hal ini sesuai dengan
firman Allah swt. Dalam Q.S. Al-Zumar/39 : 9.
...
Terjemahnya:
Katakanlah: "Adakah sama orang-orang yang
mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui?"
161Lihat Muh. Uzer Usman, op. cit., h. 15.
Profesionalisme Jurnalis Islami 99
Sesungguhnya orang yang berakallah yang dapat menerima
pelajaran.162
Yang dimaksud dengan terdidik dan terlatih, bukan hanya
memperoleh pendidikan formal, tetapi juga harus menguasai
berbagai strategi atau teknik di dalam kegiatan pembelajaran serta
menguasai landasan-landasan kependidikan.
Syafruddin Nurdin mengemukakan bahwa pekerjaan baru
dikatakan sebagai suatu profesi, jika memenuhi beberapa kriteria
berikut ini:
1. Ada standar untuk kerja yang baku dan jelas;
2. Ada lembaga pendidikan khusus yang menghasilkan
pelakunya dengan program dan jenjang pendidikan yang baku
serta memiliki standar akademik yang memadai dan bertanggung
jawab tentang pengembangan ilmu pengetahuan yang melandasi
profesi tersebut;
3. Ada organisasi yang mewadahi para pelakunya dalam
mempertahankan dan memperjuangkan eksistensi dan
kesejahteraannya;
4. Ada etika dan kode etik yang mengatur prilaku para
pelakunya dalam memperlakukan kliennya.163
162Departemen Agama RI, op.cit., h. 747.
Profesionalisme Jurnalis Islami 100
Dari kriteria yang telah dikemukakan di atas, dapat
dipahami bahwa keberhasilan program pendidikan tidak dapat
dipisahkan dari peranan masyarakat secara keseluruhan baik
sebagai sumber asal dan sumber daya, maupun sebagai pemakai
hasil. Sebagai tenaga profesional di bidang pendidikan, bukan
berarti tugas jurnalis menjadi ringan, akan tetapi justru lebih berat
dalam rangka memberikan pelayanan bagi masyarakat. Karena itu,
dituntut adanya kualifikasi kemampuan yang lebih memadai.
Kompetensi profesional merupakan kemampuan dalam
kewenangan jurnalis dalam menjalankan profesinya yang
memerlukan beberapa bidang ilmu yang secara sengaja harus
dipelajari dan dikemudian hari diaplikasikan dalam proses
pembelajaran.164
Peters dalam Cece Wijaya mengemukakan bahwa, jurnalis
memiliki tiga tugas dan tanggung jawab yaitu, pertama adalah
jurnalis sebagai pengajar, kedua jurnalis sebagai pembimbing, dan
yang ketiga jurnalis sebagai administrator kelas.165
Jurnalis
163Lihat Syafruddin Nurdin, Guru Profesional dan Implementasi
Kurikulum (Cet. I; Jakarta: PT. Intermasa, 2002), h. 17.
164 Moh. Uzer Usman, Menjadi Guru Profesional, op. cit., h. 14.
165Lihat Cece Wijaya, A. Tabrani Rusyan, Kemampuan Dasar Guru
dalam Proses Belajar Mengajar (Cet. I ; Bandung : PT. Remaja Rosdakarya,
1991), h. 23.
Profesionalisme Jurnalis Islami 101
sebagai pengajar lebih menekankan tugas dalam merencanakan
dan melaksanakan pengajaran. Untuk itu, jurnalis dituntut
memiliki seperangkat pengetahuan dan keterampilan mengajar.
Di samping menguasai ilmu atau bahan yang akan diajarkan,
jurnalis selaku pembimbing dan memberi motivasi untuk
mengerjakan tugas. Sedangkan memberi bantuan kepada peserta
didik dalam pemecahan masalah yang dihadapi, merupakan tugas
jurnalis selaku pendidik, karena tidak hanya berkenan dalam
menyampaikan ilmu pengetahuan, tapi juga menyangkut
kepribadian peserta didik. Adapun tugas jurnalis selaku
administrator kelas, pada hakikatnya merupakan jalinan
ketatalaksanaan bidang pengajaran dengan pendidikan pada
umumnya.
Cooper dalam Cece Wijaya mengemukakan bahwa, ada
empat kompetensi profesional yang dimiliki oleh jurnalis, yakni :
a) mempunyai pengetahuan tentang belajar dan tingkah laku
manusia, b) mempunyai pengetahuan dan menguasai bidang studi
yang dibinanya, c) mempunyai sikap yang tetap tentang diri
sendiri dan bidang studi yang dibinanya, d) mempunyai
keterampilan dan teknik mengajar.166
166 Ibid., h. 24.
Profesionalisme Jurnalis Islami 102
Pendapat serupa yang dikemukakan oleh Glasser dalam
Cece Wijaya yang menyatakan bahwa, ada empat hal yang harus
diketahui oleh jurnalis, yakni : a) Menguasai bahan pelajaran, b)
Mampu mendiagnosis tingkah laku siswa, c) Mampu
melaksanakan proses pengajaran dan d) Mampu mengukur hasil
belajar siswa.167
Jadi, kompetensi profesional jurnalis dapat diartikan
sebagai kemampuan dan kewenangan jurnalis dalam menjalankan
profesi kejurnalisannya. Maksudnya, jurnalis dalam melaksanakan
profesinya dapat disebut sebagai jurnalis yang berkompeten dan
profesional.
Dari pengertian di atas, dipahami bahwa suatu pekerjaan
yang bersifat profesional, memerlukan beberapa bidang ilmu yang
harus dipelajari dan kemudian diaplikasikan bagi kepentingan
umum. Atas dasar pengertian ini, ternyata pekerjaan profesional
berbeda dengan pekerjaan lainnya, karena suatu profesi
memerlukan kemampuan dan keahlian khusus dalam
melaksanakan profesinya.
Namun secara umum, kompetensi profesionalisme jurnalis
dapat dibagi atas tiga bidang, sebagaimana yang telah
dikemukakan dan disimpulkan di sini yaitu:
167 Ibid.
Profesionalisme Jurnalis Islami 103
1) Kemampuan dalam bidang kognitif, artinya kemampuan
intelektual, seperti penguasaan mata pelajaran, pengetahuan
tentang cara mengajar, pengetahuan mengenai belajar, dan
tingkah laku individu
2) Kemampuan dalam bidang sikap, artinya kesiapan dan
kesediaan jurnalis terhadap berbagai hal yang berkenan dengan
tugas dan profesinya, seperti sikap menghargai pekerjaan,
mencintai dan memiliki perasaan senang terhadap mata pelajaran
yang dibinanya, serta sikap toleransi terhadap teman profesinya.
3) Kemampuan prilaku, artinya kemampuan jurnalis dalam
berbagai keterampilan dan berprilaku, seperti keterampilan
mengajar, membimbing, menilai, menggunakan alat bantu
pengajaran, bergaul, atau berkomunikasi dengan siswa.
Perbedaan antara kompotensi kognitif dengan kompotensi
perilaku, terletak dalam sifatnya. Maksudnya, kompotensi
kognitif berkenan dengan aspek teori atau pengetahuannya,
sedangkan kompotensi perilaku yang diutamakan adalah praktek
keterampilan dalam melaksanakan profesinya.
Pada dasarnya, ketiga kompetensi tersebut tidak dapat
berdiri sendiri, tetapi saling berhubungan serta saling berpengaruh
atau mempunyai hubungan hirarki satu sama lain. Selain dengan
adanya kompetensi yang dimiliki oleh jurnalis, pada dasarnya
Profesionalisme Jurnalis Islami 104
dalam menjalankan profesi tersebut memerlukan persyaratan
khusus yang bersifat mental. Persyaratan khusus yang dimaksud
adalah faktor yang menyebabkan seseorang merasa senang, karena
terpanggil hati nuraninya untuk menjadi seorang pendidik atau
seorang jurnalis. Waterink dalam Sardiman A.M berpendapat
bahwa faktor khusus itu disebut dengan istilah rouping, atau
panggilan hati nurani.168
Rouping inilah yang menjadi dasar dalam
melaksanakan aktivitas jurnalis khususnya dan manusia pada
umumnya.
Dalam uraian sebelumnya ternyata menjabat sebagai
jurnalis tidak mudah. Karena memiliki begitu banyaknya
tanggung jawab dan persyaratan-persyaratan yang harus dipenuhi.
Maka tidak mengherankan kalau Islam sangat menghargai dan
menghormati orang-orang yang berilmu pengetahuan dan bertugas
sebagai pendidik. Dalam perspektif pendidikan Islam, orang akan
diangkat derajatnya dan dimuliakan mereka melebihi dari orang
Islam lainnya yang tidak berilmu pengetahuan dan bukan
pendidik.169
Allah berfirman dalam Q.S. al-Mujādilah/58:11.
168Sardiman A.M, op. cit., h. 135.
169 Lihat Nur Uhbiyati, Ilmu Pendidikan Islam (Cet. I; Bandung: CV.
Pustaka Setia, 1997), h. 82.
Profesionalisme Jurnalis Islami 105
بما تعملون خبر … الذن آمنوا منكم والذن أوتوا العلم درجات وللا رفع للا
﴿١١﴾
Terjemahnya:
Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di
antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan
beberapa derajat. dan Allah Maha mengetahui apa yang
kamu kerjakan."170
Menurut hemat penulis maksud ayat di atas adalah Allah
swt meninggikan orang-orang mukmin dengan mengikuti
perintah-perintah-Nya dan perintah rasul, khususnya orang-orang
yang berilmu di antara mereka derajat-derajat yang banyak dalam
hal pahala dan tingkat-tingkat keridaan.171
Bahkan orang-orang
yang berilmu pengetahuan dan mengajarkan ilmunya kepada
mereka yang membutuhkan akan dicintai oleh Allah swt dan
didoakan oleh penghuni langit dan penghuni bumi seperti semut
dan ikan di dalam laut agar ia mendapatkan keselamatan dan
kebahagiaan.
Al-Gazali dalam Abidin Ibnu Rusn tujuan pendidikan
Islam adalah mendekatkan diri kepada Allah, orang yang dapat
170 Departemen Agama RI., op. cit., h. 910-911.
171Ahmad Mushthafa Al-Maraghi, Tafsir Al-Marāgi Jus XXVIII (Cet;
II; Semarang: CV.Toha Putra Semarang, 1993), h. 25.
Profesionalisme Jurnalis Islami 106
mendekatkan diri kepada Allah hanya dapat dilakukan dengan
ilmu pengetahuan, ilmu pengetahuan hanya dapat diperoleh
melalui pembelajaran.172
Sifat-sifat yang harus dimiliki oleh
seorang jurnalis professional dalam perspektif pendidikan Islam
menurut Muhammad ‘Athiyyah Al-Abrasyi seorang jurnalis harus
memiliki sifat zuhud dalam pembelajaran tidak
mengutamakan materi, dan mengajar hanya
mengharapkan keridaan Allah semata, dan ikhlas dalam
melakukan suatu pekerjaan dan jauh dari sifat ria, dengki, dan
permusuhan serta sifat tercelah lainnya.173
Sementara Ahmad
Tahsir mengemukakan bahwa jurnalis professional bekerja (proses
pembelajaran) karena perintah Allah, setiap pekerjaan harus
dilakukan secara professional, artinya dikerjakan secara benar, dan
itu hanya dapat dilakukan oleh orang yang ahli (professional).174
Begitu mulianya kedudukan jurnalis menurut Islam maka
harus berusaha dan berjuang untuk selalu membekali ilmunya
172Lihat Abidin Ibnu Rusn, Pemikiran Al-Gazali tentang Pendidikan,
(Cet. II; Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009), h.57
173Lihat Muhammad ‘Athiyyah Al-Abrasyi, Prinsip-Prinsip Dasar
Pendidikan Islam, (Cet.I; Bandung: Pustaka Setia, 2003), h. 146-147.
174Lihat Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan Dalam Perspektif Islam, (Cet.
VIII; Bandung: Remaja Rosdakarya, 2008), h. 113.
Profesionalisme Jurnalis Islami 107
dengan kemampuan yang profesional guna mempermudah
pencapaian keberhasilan pendidikan.
D. Kerangka Teori
Profesionalitas jurnalis menggambarkan tenaga yang selalu
berpikir, berpendirian, bekerja dengan sungguh-sungguh, jujur,
loyalitas yang tinggi dan penuh dedikasi untuk keberhasilan
profesinya.175
Profesionalitas juga termasuk melaksanakan tugas-
tugas utamanya sebagai pendidik, pengajar, pembimbing, pelatih,
penasehat, innovator, dan evaluator.176
Dengan demikian
profesionalitas jurnalis tidak hanya terbatas pada mencerdaskan
otak peserta didik , melainkan berupaya membentuk seluruh
kepribadiannya, sehinnga menjadi manusia dewasa yang yang
memiliki kemampuan menguasai ilmu pengetahuan.
Mohammad Surya berpendapat bahwa dalam mewujudkan
profesional jurnalis yang sebaik-baiknya sehingga tujuan
pendidikan tercapai juga dipengaruhi oleh profesional jurnalis
ditinjau dari kepribadian dan penguasaan keterampilan teknis
kejurnalisan, yakni memiliki kompetensi yang mantap.
Kompetensi yang dimaksud adalah seperangkat kemampuan yang
175Syaiful Sagala, op. cit.,h. 5.
176E. Mulyasa, op. cit., h. 36.
Profesionalisme Jurnalis Islami 108
harus ada dalam diri jurnalis agar dapat mewujudkan kinerja
profesionalnya secara tepat dan efektif. Kompetensi ini berada
dalam diri jurnalis yang bersumber dari kualitas kepribadian serta
pendidikan dan pengalaman yang meliputi kompetensi intelktual,
fisik, pribadi, sosial dan spiritual.177
Dalam pandangan Islam setiap pekerjaan harus dilakukan
secara professional. Hal ini sesuai dengan Q.S. al- An’am/6:
135 sebagai berikut:
ه ال ار إن ا قوم اعملوا على مكانتكم إن عامل فسوف تعلمون من تكون له عاقبة الد قل
المون ﴿ ﴾ ١٣٥فلح الظ
Terjemahnya:
Katakanlah: "Hai kaumku, berbuatlah sepenuh
kemampuanmu, Sesungguhnya akupun berbuat (pula). kelak
kamu akan mengetahui, siapakah (di antara kita) yang akan
memperoleh hasil yang baik di dunia ini. Sesungguhnya
orang-orang yang zalim itu tidak akan mendapatkan
keberuntungan.178
Dalam pandangan Islam, setiap pekerjaan harus
dilakukan secara profesional, dalam arti dilakukan secara benar.
177Mohammad Surya, op. cit., h. 248-249.
178 Departemen Agama RI., op. cit., h. 210.
Profesionalisme Jurnalis Islami 109
Hal ini hanya dilakukan oleh orang yang ahli. Rasul Allah saw.
mengatakan ‚bila suatu urusan dikerjakan oleh orang yang bukan
ahlinya, maka tunggulah kehancuran‛.179
Hadis Nabi Muhammad saw. yang berkaitan dengan
profesionalitas adalah:
اذا وسد االمر الى غر : عن عبد للا بن مسعود عن النب صلى للا عله وسلم قول
(رواه البخاري)اهله فانتظروا الساعة
Artinya:
Apabila suatu urusan diserahkan kepada yang bukan
ahlinya, maka tunggulah suatu kehancuran.180
Kehancuran dalam hadis tersebut dapat diartikan secara
terbatas juga dapat diartikan secara luas. Bila seorang jurnalis
mengajar tidak dengan keahlian, maka yang ‚hancur‛ adalah
peserta didiknya. Kelak peserta didik mempunyai peserta didik
lagi maka timbullah kehancuran yang berulang karena mereka
menerima pengetahuan dari pendidik yang salah memberikan
informasi karena tidak ahli dalam bidangnya.
179 Lihat Ahmad Tafsir, op.cit., h. 122.
180Lihat Al- Imam Abi> Abdillah Muhammad Ibnu Ismā’il Ibnu Ibrāhim
Ibnu al-Mughirah Ibnu Bardazaba al- Bukhāriy al-Ja’fiy, Shahih Bukhāriy, juz
I, (Dar al-Fikr, 1981), h. 21.
Profesionalisme Jurnalis Islami 110
Jurnalis profesional selalu berfikir untuk mengembangkan
kompetensinya, jujur, disiplin yang tinggi terhadap profesi,
loyalitas, Kreatif dan inovatif, dan Jurnalis profesional
mempunyai tugas mendidik, mengajar, membimbing,
mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik,
untuk dapat melakukan hal tersebut jurnalis profesional harus
memiliki empat kompetensi yaitu; kompetensi pedagogik,
kompetensi kepribadian, kompetensi sosial, dan kompetensi
profesional. Jurnalis yang memiliki ciri-ciri seperti yang
disebutkan ini sudah mendekati kategori profesional.
C. Peningkatan Mutu Berita
Profesionalisme Jurnalis Islami 111
BAB III
UNSUR-UNSUR PROFESIONALITAS
JURNALIS
A. Kecerdasan Spiritual
Seorang jurnalis dianggap profesional jika ia memiliki
kecerdasan spiritual. Kecerdasan spiritual ini juga sering disebut
sebagai kecerdasan aqidah. Kecerdasan spiritual yakni
memilikikeyakinan bahwa daya dan kekuatan yang digunakan itu
adalah spirit dan energi dari Tuhan yang Maha Esa.
Secara bahasa spiritual bermakna; Semangat yang tinggi
merupakan salah satu factor kemenangannya jiwa, sukma, dan
roh. Sedangkan kata spiritual bermakna bersifat kejiwaan (rohani,
batin) spiritualisasi pembentukan jiwa, penjiwaan. Makna
spiritualisme aliran filsafat yang mengutamakan kerohanian. Ia
menumpahkan perhatian pada ilmu-ilmu gaib, spt mistik dan
kepercayaan untuk memanggil roh orang yang sudah
meninggal.181
Dari terminologi Kamus Besar Bahasa Indonesia tersebut,
maksud kata spiritual dalam kajain ini adalah; Seorang jurnalis
perlu memiliki hubungan dengan Tuhan agar ia mendapat curahan
181
Kamus Bahasa Indonesia, Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa
(Jakarta: Pusat Bahasa, 2008), h. 1503
Profesionalisme Jurnalis Islami 112
hidaya, kekuatan, dan inspirasi untuk mencerahkan umat melalui
berita-berita yang memiliki spirit pencerahan kearah yang lebih
berbudiluhur dalam menyikapi setiap perubahan sosial.
Kecerdasan spiritual menurut Marsa Sinetar, adalah pikiran
yang mendapat inspirasi, dorongan, dan motivasi serta
penghayatan pada Tuhan untuk menajdi abgian dari energi-Nya.182
Sedangkan menurut Khalil Kavari mendefinisikan kecerdasan
spiritual adalah dimensi non matrtiil atau ruh manusia. Potensi
inilah yang perlu diasah agar selalu mengelurakan air suci dan
mengsucikan dati mata batin yang selalu bersinergi dengan Tuhan
yang Maha Esa.183
Menurut Jalaluddin Rakhmad kecerdasan spiritual adalah,
mengenal motif kita yang paling mendalam yakni fitrah yang
melahirkan sifat-sifat ketuhan.184
Dari pandangan tersebut
menurut Syarifudin bahwa kecerdasan spiritual adalah, kecerdasan
merasakan potensi budi dalam diri yang paling rahasia sehingga ia
dapat memancarkan sinar, cahaya, dan energi untuk dapat berpikir
dan berprilaku sehat untuk mampu beradabtasi dengan kondisi
perubahan sosial.
182
Sudrirman Tebba, Tasawuf Positif Jurnalis (Cet. I; Jakarta: Prenada
Media Group, 2003), h. 21. 183
Ibid 184
Ibid
Profesionalisme Jurnalis Islami 113
Kompetensi jurnalis Islami perlu memiliki kekuatan
spiritual dengan melakukan ibadah transendental, ibadah sosial,
dan ibadah kemanusiaan. Semua ini akan memperkuat kecerdasan
spiritual sebagai pondasi dalam mencerhakan umat manusia.
Kecerdasan spiritual adalah kecerdasan yang mengandung tiga
unsur yakni;
1. Adanya keyakinan bahwa kecerdasan logika berpikir untuk
mendesain berita yang berpotensi mencerahkan umat.
2. Adanya keyakinan bahwa kecerdasan perasaan (afektif)
yakni kecerdasan untuk merasakan dan memesrasi
penderitaan orang lain serta tau apa keutuhan orang
tersebut.
3. Adanya keyakinan bahwa kecerdasan bercakap atau disebut
ansanul qaul adalah karunia dan daya serta energi dari
Tuhan yang memberikan nikmat berbicara, menulis, dan
berprilaku yang berbudi pada semua alam dan ruang.
Pentingnya seorang jurnalis memiliki kekuatan spiritual
sebagai standar kompetensi jurnalis Islami bertujuan untuk
memiliki kekuatan rohani (al-quwwa arruahniah) sebagai dasar
untuk terus bertaqwa pada Tuhan agar terhindari dari potensi
hewaniah dan nabati dalam diri manusia. Karena jika manusia
telah dikuasai oleh potensi hewaniah maka ia cenderung
Profesionalisme Jurnalis Islami 114
mengutamakan kebutuhan jasmani saja dan melupakan kebutuhan
rohani yang memberikan spirit kekuatan, pencerahan, dan energi
untuk hidup. Begitupula jika ia memiliki potensi nabati yang
dominan, cederung prilakukan lebih individualistik dan kerap kali
prilakukany ingin menang sendiri dalam melakukan interaksi
sosial.
Hal ini menujukkan bahwa betapa penting dan strategisnya
seorang jurnalis memiliki kompetensi spiritual sebagai indikator
jurnalis profesional. Kecerdasan spiritual adalah kekuatan untuk
mengenal diri secara rahasia. Dikatakan rahasia karena ia terus
memerikan kemampuan berpikir, berbicara, dan menulis sebagai
tanda kebesaran-Nya. Kekuatan ini sebagai modal utama dalam
dan kekautan berinteraksi dalam proses penggalian berita,
mengolah, dan penyebaran berita sehingga ia menjadi spirit
inovasi dan kreativitas dalam mencerdasakan masyarakat.
B. Kecerdasan Intelektual
Menurut kamus Besar Bahasa Indonesia KBBI terminologi
intelektual adalah, Psikologi daya atau proses pikiran yang lebih
tinggi dan berpengetahuan dengan menggunakan daya akal budi,
terpelajar. kaum intelektual cerdas, berakal, dan berpikiran jernih
berdasarkan pada ilmu pengetahuan yang memiliki kecerdasan
Profesionalisme Jurnalis Islami 115
tinggi cendekiawan.185
Dari terminologi ini dapat didefinisikan
bahwa kecerdasan intelektual adalah kemampuan seorang jurnalis
menelaah, menjelaskan dan memberikan berita (kode bahasa)
yang bersumber dari kecerdasan spiritual yang dilakukan secara
sistematis, terukur, dan dapat memberikan pencerahan bagi orang
lain.
C. Kecerdasan Sosial
Secara etimologi kecerdasan adalah, tajam pikiran, cermat
pertanding adu ketajaman, berpikir dan ketangkasan menjawab,
pertanyaan (soal) dengan cepat dan tepat, cerdas tangkas,
mencerdaskan Mengusahakan, supaya sempurna akal budinya;
menjadikan cerdas.186
Sedangkan pengertian secara terminologi
menurut Syarifudin adalah kecerdasan adalah Prilaku
mengelaurkan pendapat yang sistematis mudah difahami yang
disampaikan dengan cerdas, serta memiliki ketajaman berpikir
yang tinggi.
185
Kamus Bahasa Indonesia, Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa
(Jakarta: Pusat Bahasa, 2008), h. 594.
186Kamus Bahasa Indonesia, Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa
(Jakarta: Pusat Bahasa, 2008), h. 279.
Profesionalisme Jurnalis Islami 116
D. Kecerdasan Tehnopreneurship
Peningkatan kualitas alumni melalui life skill
entrepreneurship adalah harapan besar dari mahasiswa dan orang
tua mahasiswa yang melanjutkan pendidikan di Perguruan Tinggi
IAIN Ambon, khususnya Fakultas Dakwah dan Ushuluddin.
Harapan orang tua mahasiswa dan mahasiswa ini bisa
terselenggara secara maksimal, jika ada bekal keterampilan hidup
sebagai modal dan kekuatan mahasiswa yang dimiliki sehingga
dapat bersaing secara kompetitif di dunia kerja dan dibekali modal
life skill entrepreneurship untuk membuka lapangan pekerjaan
dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Hal ini juga akan
meningkatkan citra lulusan Fakultas Dakwah dan Ushuluddin,
karena mahasiswa KPI dan konsentrasi Jurnalistik mampu
berprestasi di tengah masyarakat yang semakin sulit mencari
pekerjaan.
Keterampilan itu bisa terwujud jika fasilitas praktikum
mahasiswa KPI dan konsentrasi jurnalistik bisa diwujudkan oleh
Fakultas Dakwah dan Ushuluddin melalui harmoni kerjasama
dengan pihak rektorat. Perjuangan pihak rektorat melalui fasilitas
lima kamera semi profesional adalah wujud kepedulian untuk
meningkatkan mutu mahasiswa Fakultas Dakwah dan Ushuluddin
Profesionalisme Jurnalis Islami 117
IAIN Ambon khususnya jurusan KPI dan konsentrasi jurnalistik
telah tampak.
Hal ini akan lebih maksimal lagi jika didukung oleh fasilitas
komputer grafis sebagai instrumen penunjang pengolahan hasil
rekaman gambar sebagai alat produksi film dalam meningkatkan
life skill entrepreneurship mahasiswa di dunia boradcasting.
Karena sampai saat ini modal kamera untuk praktikum lima buah
telah menjadi modal bagi mahasiswa dalam melakukan praktek
tetapi mahasiswa selama ini sekedar merekam gambar belum
diajarkan cara mentransfer gambar yang sudah direkam (video) ke
komputer grafis. Hal ini menunjukkan bahwa kendala peningkatan
mutu disebabkan tidak adanya fasilitas komputer grafis sebagai
penghambat lajunya peningkatan mutu mahasiswa KPI dan
konsentrasi jurnalistik sebagai media untuk praktikum mahasiswa.
Salah satu rentan konflik, kekerasan psikologis, dan fisik di
Ambon akibat sulitnya memenuhi kebutuhan dasar serta
keinginan yang tidak terkendali akibat lemahnya kecerdasan
spiritual, intelektual (entrepreneurship), dan sosial.187
Fakultas
Dakwah dan Ushuluddin IAIN Ambon sebagai lembaga akademik
atau pabrik yang mencetak sarjana tidak memberikan menu life
187Nur Tawainellah Sosiolog dan Budayawan Maluku, wawancara oleh
penulis di ruang Kelas Fakultas Dakwah dan Ushuluddin 7 Desember 2012.
Profesionalisme Jurnalis Islami 118
skill entrepreneurship sebagai modal pemenuhan kebutuhan dasar
bagi mahasiswa IAIN Ambon. Jika penelitian ini tidak dilakukan
maka akan memberikan dampak sosial di tengah masyarakat
akibat banyak alumni yang kurang mampu berkompetisi dalam
memenuhi kebutuhan dasarnya. Selain itu akan mengurangi animo
calon mahasiswa masuk Fakultas Dakwah dan Ushuluddin IAIN
Ambon, ketika para Dosen KPI tidak mampu menyisipkan materi
life skill entrepreneurship pada matakuliah yang diajarkan sebagai
modal bagi mahasiswa setelah menjadi sarjana.
Permasalahan ini membutuhkan kajian ilmiah untuk mencari
model pembelajaran entrepreneurship di Fakultas Dakwah dan
Ushuluddin IAIN Ambon dalam meningkatkan mutu alumni IAIN
Ambon. Permasalahannya adalah bagaimana mendesain model
pembelajaran yang dapat mengahasilkan sarjana yang memiliki
standar kecerdasan spiritual, skill entrepreneurship dan kecerdasan
sosial sebagai kekuatan personal mahasiswa setelah selesai studi.
Keadaan ini tak dapat dipungkiri bahwa tidak semua alumni
Fakultas Dakwah dan Ushuluddin IAIN Ambon akan terserap
menjadi Pegawai Negeri Sipil (PNS). Hal ini menunjukkan
perlunya mencari model pembelajaran yang memasukkan konten
entrepreneurship dalam matakuliah yang ada di Fakultas Dakwah
dan Ushuluddin IAIN Ambon. Matakuliah di Fakultas Dakwah
Profesionalisme Jurnalis Islami 119
dan Ushuluddin IAIN Ambon yang sedang berjalan belum
memiliki format materi pembelajaran yang unsurnya mengandung
materi skill entrepreneurship.
Realitas ini dikemukakan oleh bidang akademik Hj. Duriana
mengungkapkan bahwa semua mata kuliah di Fakultas Dakwah
dan Ushuluddin IAIN Ambon beluam ada sisipan materi
entrepreneurship.188
Penyataan Dekan bidang akademik ini
senada dengan pandangan Arman Man Arfa selaku ketua jurusan
KPI Fakultas Dakwah dan Ushuluddin di IAIN Ambon
mengungkapkan bahwa kelemahan Dosen Fakultas Dakwah dan
Ushuluddin ini akibat belum maksimlanya memberi sisipan materi
entrepreneurship dalam konten pembelajaran yang dapat
memberikan life skill bagi mahasiswa.189
Pandangan Ketua
Jurusan KPI Fakultas Dakwah dan Ushuluddin di IAIN Ambon ini
jika dikorelasikan dengan keluhan Hasan Hehanussa mahasiswa
KPI mengungkapkan bahwa belum adanya keterampilan yang kita
miliki saat setelah selesai studi akibat minimnhya sisipan materi
188Hj. Duriana Pembantu Dekan Bidang Akademik Fakultas Dakwah dan
Ushuluddin IAIN Ambon, wawancara oleh penulis di ruang kerjanya 19
Desember 2012.
189Arman Man Arfa Ketua jurusan Fakultas Dakwah dan Ushuluddin
IAIN Ambon, wawancara oleh penulis di ruang kerjanya 27 Desember 2012.
Profesionalisme Jurnalis Islami 120
entrepreneurship dalam semua mata kuliah di Fakultas Dakwah
dan Ushuluddin di IAIN Ambon.
Keadaan ini menurut M. Yunus tokoh pemberdayaan
ekonomi rakyat kecil mengungkapkan bahwa jika tidak dimulai
dari dunia akademis maka sarjana akan melahirkan keresahan
sosial dalam mencari lapangan pekerjaan.190
Pandangan ini
menjadi peratian peneliti perlu mencari metode pembelajaran bagi
mahasiswa entrepreneurship untuk meningkatkan insting skill
wirausaha sebagai modal bagi alumni Fakultas dakwah dan
Ushuluddin IAIN Ambon.
Kondisi ini jika Dosen kurang mencari model pembelajaran
entrepreneurship pada mahasiswa maka akan melahirkan sarjana
yang kurang mampu bertahan terhadap perubahan sosial dalam
memenuhi kebutuhan dasarnya.191
Hal ini juga diungkapkan oleh
David C. Korten bahwa mahasiswa dalam pembelajaran perlu
diberi bobot life skill dalam setiap konten perkuliahan.192
Hal ini
190M. Yunus, Entrepreneurship; Membahas Entrepreneurship ICT,
Entrepreneurship Bidang teknologi Informasi, dan Entrepreneurship kuliner
kearifan local (Cet. I; Yogyakarta: Andi Press, 2011), h. 13
191A. Halim, Dakwah dan Pengembangan Konsep Entrepreneurship di
Tengah Masyarakat (Cet. I; Surabaya: Pustaka Pesantren, 2005), h. 4-5.
192David C. Korten, Getting to the first century: Voluntari Action And
the Globali Agenda diterjemahkan oleh: Lilian Theja Sudjana dengan judul;
Profesionalisme Jurnalis Islami 121
juga dapat menyebabkan menurunnya animo masyarakat dan
dapat menurunkan citra Fakultas sebagai pabrik intelektual di
Maluku. Atas dasar inilah sehingga perlu mencari model
pembelajaran entrepreneurship pada mahasiswa Fakultas Dakwah
dan Ushuluddin IAIN Ambon.
Jurusan Dakwah dan Aqidah Filsafat IAIN Ambon sejak
bergabung menjadi Fakultas yakni Dakwah dan Ushuluddin masih
perlu mencari model dalam mendesain sturktur materi
perkuliahan, konten perkuliahan dengan pemberian bobot life skill
untuk dijadikan inovasi dalam menumbuhkan kreativitas
mahasiswa Fakultas Dakwah dan Ushuluddin. Untuk lebih tertib
penelitian ini di fokuskan pada mahasiswa konsentrasi Jurnalistik
khususnya mata kuliah dakwah dan komunikasi. sampai saat ini
belum jelas arah peluang kerja di tengah masyarakat. Hal ini
disebabkan karena kompetensi dalam menyuguhkan materi
pembelajaran belum ada muatan entrepreneurship pada mahasiswa
konsentrasi Jurnalistik IAIN Ambon. Keadaan ini tidak sesuai
dengan ekpekstasi mahasiswa dan orang tua dalam
menyekolahkan anaknya di Perguruan Tinggi Fakultas Dakwah
dan Ushuluddin IAIN Ambon.
Menuju Abad Ke 21 Tindakan Sukarela dan Agenda Globalisasi (Cet. III;
Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2002), h. 57.
Profesionalisme Jurnalis Islami 122
Harapan ini jika dikorelasikan dengan materi pembelajran di
Fakultas Dakwah dan Ushuluddin khususnya matakuliah dakwah
dan komunikasi sulit tercapai secara maksimal. Kondisi sekarang
ini lebih pada mencetak mahasiswa untuk mendapatkan ijasah
tetapi life skill belum tampak dalam struktur perkuliahan, konten
perkuliahan, teknik proses pembelajaran. Hal ini relevan dengan
prediksi Stenbrik dalam hasil kajiannya mengungkapkan bahwa
alumni dari peserta didik ilmu agama kerap kali kalah bersaing
dalam mencari pekerjaan.
Keadaan ini tampak juga dalam animo lulusan SMU yang
akan melanjutkan pendidikanya pada jenjang perguruan tinggi
khususnya di IAIN Ambon menjadi pelabuhan terakhir jika
mereka tidak diterima Universitas Pattimura mereka baru
menjadikan IAIN sebagai alternatif terakhir dalam mencari
Perguruan Tinggi. Setelah masuk di IAIN animo mahasiswa juga
lebih memilih Fakultas Tarbiyah dan Syari’ah jika mereka tidak
diterima dari kedua Fakultas tersebut baru kemudian mereka
masuk di Fakultas Dakwah dan Ushuluddin.193
193Hasan Lauselang, Dekan Fakultas Dakwah dan Ushuluddin
wawancara oleh Penulis di Ruang Dekan Fakultas Dakwah dan Ushuluddin 12
Desember 2012.
Profesionalisme Jurnalis Islami 123
Kondisi realitas animo mahasiswa tersebut menurut Dekan
Fakultas Dakwah dan Ushuludin dari data mahasiswa yang masuk
ke Fakultas Dakwah dan Ushuluddin lebih banyak jika diberi
beasiswa dan bahkan ada juga diberi beasiswa tetapi masih malas
kuliah.194
Realitas ini menurut menuturan salah satu mahasiswa
Udin Rumbati Fakultas Dakwah dan Ushuluddin karena masa
depan mereka belum jelas arahnya kemana.195
Kebimbangan inilah
sehingga perlu mencari model pembelajaran entrepreneurship pada
mahasiswa konsentrasi Jurnalistik IAIN Ambon agar dapat
berkompetisi dalam memenuhi kebutuhan dasarnya setelah
menyelesaikan studinya di Fakultas Dakwah dan ushuluddin IAIN
Ambon. Selain itu dapat proposal penelitian akan meningkatkan
mutu lulusan Fakultas Dakwah dan Ushuluddin serta
meningkatkan animo lulusan SMU dan sederajat masuk di
Fakultas Dakwah dan Ushuluddin sebagai pilihan pertama bukan
pilihan terakhir.
194Ismail Tuanany, Pembantu Dekan Fakultas Dakwah dan Ushuluddin
bidang Administrasi dan keuangan, wawancara oleh Penulis di Ruang Dekan
Fakultas Dakwah dan Ushuluddin 12 Desember 2012.
195Udin Rumbati, Mahasiswa Fakultas Dakwah dan Ushuluddin IAIN
Ambon Jurusan Komunikasi penyiaran konsentrasi Jurnalistik wawancara oleh
Penulis di Ruang kuliah Fakultas Dakwah dan Ushuluddin 12 Desember 2012.
Profesionalisme Jurnalis Islami 124
Teori kredibilitas Rasulullah dalam dunia entrepreneuship
yang di kembangkan oleh Robert T Kiyosaki dengan teori
cashflow quadrant sehingga menguasai dunia usaha. Hal ini juga
diungkapkan oleh David C. Korten yang gelisa melihat
perguruantinggi agama masih normatif dalam mendesain konten
perkuliahan, menurutnya mahasiswa sudah saat diberi bobot life
skill dalam setiap konten perkuliahan.196
Paradigma ini juga sesuai
dengan tujuan hidup manusia muslim dalam pandangan hindup
menurut Al-Gazali bahwa kehidupan di dunia itu selamat di dunia
dan selamat di akhirat.197
Teori ini di buat kerangka konseptual
menyeluruh oleh Scott Shane yang menjelaskan bagian-bagian
yang berbeda dari proses kewirausahaan peluang, orang-orang
yang mengejar mereka, keterampilan dan strategi yang digunakan
untuk mengatur dan memanfaatkan peluang, dan kondisi
lingkungan yang menguntungkan bagi mereka dengan
meningkatkan daya kredibilitas entrepreneurship.198
Teori
cashflow kuadrant menurut Scott Shane diajarkan di dunia
196David C. Korten, Develoment of Human Enterprise (Cet. IIII; New
York: Sage Publishing, 2008), h. 302.
197A. Malik Fajar, Holistika Pemikiran Pendidikan dan Pemberdayaan
Islam (Cet. I; PT. Grafindo Persada, 2005), h. 230.
198Scott Andrew Shane A General Theory of Entrepreneurship: the
Individual-Opportunity (Nexus. Edward Elgar Publishing, 2003).h. 64.
Profesionalisme Jurnalis Islami 125
akademik tentang penekakanan pada kewirausahaan yang tidak
seperti bidang sister akuntansi, pemasaran, perilaku keuangan,
organisasi dan manajemen strategis, ICT, dan semua bisa
dijadikan sebagai potensi wirausaha.199
Scott Shane
menyelesaikan ini dengan mempertimbangkan perhubungan
individu giat dan kesempatan berharga dan dengan menggunakan
bahwa perhubungan untuk memahami proses penemuan dan
eksploitasi peluang, akuisisi sumber daya, strategi kewirausahaan
dan organisasi.200
Fakultas yang menempati garda terdepan dalam
menyebarkan agama Islam. Selaras dengan kemajuan Ilmu
Pengetahuan dan Teknologi, maka pengembangan Ilmu Dakwah
diintegrasikan dengan Ilmu Komunikasi dan Teknologi Informasi.
Teori cashflow quadrant membawa manusia pada posisi
aman. Posisi aman yang dimaksudkan adalah manusia yang telah
terpenuhi kebutuhan dasarnya. Kebutuhan dasar ini bisa terwujud
jika memiliki daya kecerdasan spiritual, kecerdasan intelektual
(entrepreneurship), dan memiliki keterampilan networking
199J. Acs Zoltan and David B. Audretsch, Handbook of Entrepreneurship
Research: An Interdisciplinary Survey and Introduction (Cet.VII; New York:
Springer Publishing, 2010), h. 71.
200Scott Shane, The Illusions of Entrepreneurship: The Costly Myths
That Entrepreneurs, Investors, and Policy Makers Live (Cet. II; New York:
Sage Publishing, 2009), h. 20.
Profesionalisme Jurnalis Islami 126
(silaturrahmi). Unsur-unsur cara kerja teori ini adalah sebagi
berikut;
E=
Pegawai
S=Sietem
Kerja Pekerjaan Uang Aman