AKOMODASI HUKUM ISLAM DALAM ADAT JAWA
Nilai-nilai Primbon dalam Tradisi Pernikahan Masyarakat
Muslim di Paciran
Tesis
Diajukan kepada Sekolah Pascasarjana
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta
Sebagai Persyaratan Memperoleh Gelar Magister Agama Bidang Hukum
(MA.Hk) pada Konsentrasi Syariah dan Hukum
Dosen Pembimbing:
Prof. Dr. H. Atho Mudzhar, MSPD
Oleh:
MOH. KHOIRUDDIN
12.2.00.1.01.01.0029
SEKOLAH PASCASARJANA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
J A K A R T A
1436 H/ 2015 M
i
KATA PENGANTAR
Bismilla>hirrah}ma>nirrah}i>m
Puji syukur alhamdulillah kepada Allah Swt yang telah
melimpahkan rahmat, taufiq dan inayahnya sehingga penulisan tesis tentang
Akomodasi Hukum Islam dalam Adat Jawa: Nilai-nilai Primbon Jawa dalam
Pernikahan Muslim di Paciran dapat diselesaikan dengan sebagaimana
mestinya. Buku ini merupakan hasil penelitian penulis untuk menyelesaikan
jenjang pendidikan S2 di Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta dengan mengambil konsentrasi Syari‘ah.
Ide dalam penggarapan penelitian ini berawal dari rasa
keingintahuan penulis mengamati tradisi budaya Jawa di Paciran khususnya
di Desa Tunggul, kali ini dalam prosesi pernikahan yang sejak jaman dahulu
sampai sekarang masih eksis dilakukan. Kebiasaan masyarakat Desa
Tunggul dalam menikahkan putra-putrinya, baik sebelum maupun sesudah
menikahkan harus melewati beberapa ritual. Pada prosesi pra-pernikahan
seperti lamaran, menentukan tanggal, pasang tarub, seserahan dan
selametan. Sedangkan, pasca pernikahan seperti akad nikah, panggih, wiji
dadi, timbangan, kacar-kucur, dulangan, sungkeman, kirab dan ngundung
mantu. Keseluruhan ritual adat tersebut oleh penulis kemudian dikaitkan
dengan Islam, apakah ada korelasi diantara keduanya.
Ucapan terima kasih yang tak terhingga penulis ucapkan kepada
semua pihak yang telah memberikan dukungan baik materil maupun moril
dalam penyelesaian penelitian ini. Pertama, kepada bapak Prof. Dr. Dede
Rosyada, MA selaku rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan Prof. Dr.
Masykuri Abdillah, selaku Direktur SPs UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
beserta jajaran pimpinan, Prof. Dr. Didin Syaefuddin, M.A., dan Dr. JM.
Muslimin, M.A., juga kepada seluruh civitas akademika dan Perpustakaan
SPs UIN Jakarta.
Kedua, Prof. Dr. H. M. Atho Mudzhar, M.S.D.P selaku dosen
pembimbing, penulis haturkan banyak terima kasih atas kesabaran dan
keikhlasannya dalam memberikan bimbingan kepada penulis sehingga
penulis bisa menyelesaikan ini dan terima kasih atas ilmu-ilmu yang
bermanfaat sekali buat penulis. Tidak lupa para dosen Sekolah Pascasarjana
UIN Jakarta yang telah memberikan ilmunya, Prof. Dr. Azyumardi Azra,
MA, Prof. Dr. Suwito, MA, Prof. Dr. M. Yunan Yusuf, MA, Prof. Dr. Iik
Arifin Mansyurnoor, MA. Prof. Dr. Abuddin Nata, MA, Prof. Dr. Sukron
Kamil, MA, Prof. Dr. M. Bambang Pronowo, MA, Dr. Muhbib Abdul
Wahab, MA. Dr. Asep Syaifuddin Jahar, MA, Suparto, Ph.D. Ketiga, rasa ta’zhim dan terima kasih yang sangat-sangat mendalam
kepada ayahanda dan ibunda tercinta yang telah memberikan banyak
motivasi dan biaya pendidikan selama ini sampai ke jenjang Perguruan
Tinggi atas dukungan moril dan materil, kesabaran, keikhlasan, perhatian
serta kasih sayangnya yang tak pernah habis bahkan doa munajatnya yang
ii
tak henti-henti kepada Allah SWT senantiasa agar penulis mendapatkan
kesuksesan dalam menyelesaikan studi dan juga atas perjuangan mereka
yang telah mendidik dan mengajarkan arti kehidupan. Merekalah obat bagi
penulis dan selalu ada di hati penulis, serta jasa beliau tidak bisa digantikan
dengan apapun dan kupersembahkan tesis ini untuk kalian.
Keempat, kepada kakek H. Kasrup (alm) merupakan inspirasi
penulis yang kedua, beliaulah yang akhirnya penulis mendapatkan judul
tesis ini, terima kasih banyak walaupun beliau belum sempat melihat hasil
penelitian ini. Kemudian Hj. Aqimah (Mak Kim) yang penulis sayangi,
mereka juga tidak henti-hentinya mendoakan cucunya ini, walaupun
dibatasi oleh jarak yang sangat jauh, mereka selalu dihati penulis.
Kelima, penulis ucapkan banyak terima kasih kepada Cak Millah se-
keluarga yang telah menerima penulis selama ini, mungkin tak bisa dibalas
dengan apapun itu, semoga amal baiknya mendapatkan balasan pahala dari
Allah Swt. Serta tak lupa kepada teman-teman alumni Wasiat (Wadah
Silaturrahim Alumni Tarbiyatut Thalabah) di Jakarta yang tak disebutkan
satu persatu, thanks for all. Keenam, tak lupa penulis ucapkan terima kasih banyak kepada
teman dan sahabat seperjuangan di SPs Pascasarjana UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta, Mami Yuni sekeluarga, Amal, Arief, Ade, Bisyri,
Chaerullah, Desi, Didi, Jauharil, Mitha, Mufrodi, Mujab, Taqien, Raden,
Razes, Shofi, Khadijah, Ummu Fadilla, Suherman, Zamakhsari, Izul, Rifqi,
Edo, Mbak Aunun, Ari, Harun, Fadlur, Nurul, Rahmah, Reksiana, Rahmi,
Aziz, Puji, Cak Qadir, Ade, Pak Saepulah, Alfauzi, Fahmi, Rahmat, serta
masih banyak yang lainnya, semoga hubungan silaturrahim dan pertemanan
kita tidak putus begitu saja. Semangat Kawan.
Semoga Allah memberikan imbalan pahala yang banyak dan
kesuksesan terhadap apa yang telah dilakukan oleh semua pihak yang telah
berjasa baik secara langsung maupun tidak langsung kepada penulis.
Akhirnya, penulis menyadari sepenuhnya bahwa penelitian ini masih jauh
dari kata “sempurna” karena kekurangan dan keterbatasan penulis. Oleh
karena itu, penulis sangat menghargai kritik dan saran sangat diharapkan
untuk penyempurnaan penelitian ini.
Jakarta, 20 Juli 2015
Penulis,
Moh. Khoiruddin
vii
Abstrak
Kesimpulan tesis ini adalah bahwa ritual pernikahan Jawa mempunyai
hubungan yang sangat kuat dengan syari’at Islam. Tata aturan hukum Islam dalam
pelaksanaan ritual pernikahan di Jawa, tetap berpegang dan terlaksana pada prinsip
akad, mahar, wali dan juga saksi. Penerapan fikih di dalam masyarakat,
sebagaimana diatur dalam kitab-kitab fikih, bervariasi. Kompleksitas ritual budaya
pernikahan Jawa sangat ditentukan oleh status sosial seseorang, sehingga semakin
tinggi status sosial seseorang semakin rumit pula pelaksanaan ritual budaya
pernikahan, akan tetapi kerumitan tersebut tidak mengurangi prinsip pernikahan di
dalam Islam.
Tesis ini menunjukkan bahwa hukum adat dapat seiring dengan hukum
Islam. Hukum adat dapat diakui oleh hukum Islam, asalkan tidak bertentangan
dengan hukum Islam. Agama harus dipahami bukan hanya sekedar seperangkat nilai
yang tempatnya di luar manusia, tetapi merupakan komposisi pengetahuan dan
simbol yang memungkinkan terjadinya pemaknaan. Interaksi simbolik dapat
diinterpretasikan melalui bentuk komunikasi dari perilaku budaya manusia. Begitu
juga dengan menekankan pada makna interaksi budaya dari sebuah komunitas.
Tesis ini menunjukkan bahwa tradisi yang berkembang pada masyarakat
Paciran, seperti hajatan pernikahan, baik pra maupun pasca pernikahan, masih
menggunakan tradisi wetonan. Integrasi tradisi antara agama Islam dan budaya
Jawa merupakan akulturasi dan akomodasi antara budaya Jawa dan agama Islam.
Tesis ini membuktikan bahwa nilai dan simbol-simbol, yang berhubungan dengan
nilai-nilai keislaman yang sudah berlangsung di masyarakat Jawa, tidak
menghilangkan tradisi-tradisi yang sudah ada (berlangsung) di masyarakat Jawa.
Tesis ini sependapat dengan M. Bambang Pranowo (2011), Muhaimin AG
(2002), Mark Woodward (1989), yang menyatakan bahwa perkembangan Islam di
Jawa merupakan sebuah proses “mengada” (state of being), sehingga perlu
pemahaman yang komprehensif dalam memahami tradisi sosial keagamaan
masyarakat Islam Jawa, yang sebenarnya sudah terlepas dari sinkritisme yang
bersumber dari Hindu-Budha. Tesis ini tidak sependapat dengan London (1949),
Van Leur (1955), Winstedt (1951), dan Alice Dewey (1962), yang menyatakan
bahwa pengaruh Islam di Jawa sangat terbatas, tidak membawa pembaharuan, baik
secara sosial maupun ekonomi.
Penelitian ini menggunakan metode diskriptif kualitatif dengan tujuan
untuk menuturkan, menafsirkan, serta menguraikan data. Sumber data primer
didapat dari hasil wawancara/interview, observasi, dan dokumenter. Sumber
sekunder didapat dari buku-buku, jurnal dan artikel yang mendukung penelitian ini.
Penelitian ini menggunakan pendekatan Antropologi, Sosiologi, dan Sejarah.
Sedangkan analisa menggunakan metode studi kasus.
Kata kunci: Pernikahan Jawa, wetonan, Akulturasi.
viii
Abstract
The conclusion of this thesis is that the marriage ritual of Java has a very
strong relationship with the Shari'ah. Rules governing the implementation of
Islamic law in the marriage ritual in Java, stick and implemented the principles of
the contract, dowry, guardians and witnesses. Application of Jurisprudence (Fiqh)
in society, as provided for in the books of jurisprudence (Fiqh), varies. The
complexity of Javanese ritual wedding culture is determined by a person's social
status, so that the higher a person's social status, implementation of more complex
cultural rituals of marriage, but such complexity does not reduce the principle of
marriage in Islam.
This thesis shows that customary law can be conformable with Islamic law.
Customary law can be recognized by Islamic law, if not contradicted with Islamic
law. Religion is not just a set of values that place beyond the human, but it’s a
composition of knowledge and a symbol that allows the meaning. Symbolic
interaction can be interpreted through a form of communication of human cultural
behavior. Can also with emphasizing on the cultural significance of a community
interaction.
This thesis shows that the tradition that developing in society of Paciran,
like a wedding party, event before and after marriage, still using wetonan tradition.
Integration between Islam and traditions of Javanese culture is acculturation and
accommodation between Javanese culture and Islamic religion. This thesis proves
that the values and symbols, relating to Islamic values that goes on in society of
Java, it’s not eliminates the traditions that already exist (progress) in society of
Java.
This thesis agrees with M. Bambang Pranowo (2011), Muhaimin AG
(2002), Mark Woodward (1989), who states that the development of Islam in Java
is a process of "making it up" (state of being), until needing a comprehensive
understanding in understanding socio-religious traditions of javanese Islamic
society, it’s separated from the syncretism is sourced from Hindu-Buddhist. This
thesis does not agree with the London (1949), Van Leur (1955), Winstedt (1951),
and Alice Dewey (1962), who states that the influence of Islam in Java is very
limited, isn’t bring renewal, both in socially and economically.
This research is used a qualitative descriptive method with the purpose to
tell, interpret and present data. The primary data sources obtained from interviews,
observation, and documentary. Secondary sources obtained from books, journals
and articles that supporting this research. This research using the approach of
Anthropology, Sociology, and History. While the analysis using the case study
method.
Key words: Java Marriage, Wetonan, Acculturation.
ix
ملخص
فة معروتحقق هذه الرسالة نظرية أحكام العادة التي توافق باألحكام اإلسالمية. أحكام العادة
مع أنها ال يعارض باألحكام اإلسالمية. ال يفهم الدين إال القيمة التي وقعت خارج باألحكام اإلسالمية
من المعارف والرموز ذات القيمة.احتكاك الرموز يقدر على التفاسير قدرة الناس فحسب ولكنها تتمكن
من خالل اتصاالت موكلة بالثقافة اإلنسانية.
لم يزل يستخدم نحو حفلة الزفاف، (Paciran)تشير هذه الرسالة أن العادة الشائعة بباشيران
ية تحصل على التثاقف واإلحتكاك تكامل العادة بين اإلسالم و الثقافة الجاو. wetonanعملية وطنان
يم اإلسالمية الشائعة فىبين الجاوي واإلسالم. حققت هذه الرسالة أن القيمة والرموز المتعلقة بالق
الجاوي ال تفقد العادات الموجودة الشائعة فى المجتمع.
( ومارك وودوارد 1111(، ومهيمين أ.ج.)1122) رأي بمبانج برانووتوافق هذه الرسالة ب
(state of being)""منجادا يكون عملية ير اإلسالم في جزيرة جاوأن انتشا الذين يرون( 2191)
ينية ااإلجتم عاداتم الإلى فهم شامل في فه ج انحت )ظروف الوجود(، حتى سلم تمع الم ج الم فىعية الد
عارض ي البحث اهذ و . من معتقدات هندوسي وبوذي درتصأالتوفيقية التي فهم من كانت خاليةوي جاب
الذين ( 2191( وال أليس ديوي )2112( وال ويىنستيدت )2111( وال فان ليور )2191رأي لندن ) عن
.تجديد، سواء كان اجتماعيا أم اقتصاديا، ال يأتى بأي محدود يجاوب تأثير اإلسالم يعبرون بأن
ستخدم طريقة الوصف النوعي، لهدف الشرح والتفسير والتفصيل للبيانات. ت هذه الرسالة
أصول البيانات األولى تصدر من المقابالت، والمراقبات، والتوثيقيات. واألصول الثانوية تصدر من
ب األنثروبولوجي)علم م ع د االت التى ت ق والموالصحف، الكتب، هذا البحث. وهذا البحث يستخدم التقر
.اإلنسان(، والسوسيولوجي)علم االجتماع(، والتاريخي، وأما التحليل فيستخدم طريقة معرفة األحوال
, التثاقف. wetonanالكليمة الرىيسية : عروس الجاوية, وطنان
x
PEDOMAN TRANSLITERASI
Pedoman transliterasi Arab-Latin yang digunakan dalam penelitian ini adalah
ALA-LC ROMANIZATION tables yaitu sebagai berikut:
A. Konsonan
Initial Romanization Initial Romanization
}D ض A ا
Ţ ط B ب
}Z ظ T ت
‘ ع Th ث
Gh غ J ج
F ف }H ح
Q ق Kh خ
K ك D د
L ل Dh ذ
M م R ر
N ن Z ز
H ه،ة S س
W و Sh ش
Y ي }S ص
B. Vokal
1. Vokal Tunggal
Tanda Nama Huruf Latin Nama
Fatḥah A A
Kasrah I I
Ḑammah U U
ix
2. Vokal Rangkap
Tanda Nama Gabungan Huruf Nama
ي ... Fatḥah dan ya Ai A dan I
... و Fatḥah dan wau Au A da U
Contoh:
H{aul :حول H{usain :حسين
C. Vokal Panjang
Tanda Nama Gabungan Huruf Nama
Fatḥah dan alif a> a dan garis di atas ــا
ي Kasrah dan ya ī I dan garis di atas ــ
Ḑamah dan wau ū u dan garis di atas ــ و
D. Ta’ Marbūţah
Transliterasi ta’ marbūţah (ة) di akhir kata, bila dimatikan ditulis h.
Contoh:
Madrasah :مدرسة Mar’ah : مرأة
(ketentuan ini tidak digunakan terhadap kata-kata Arab yang sudah diserap ke
dalam bahasa Indonesia seperti shalat, zakat dan sebagainya, kecuali
dikehendaki lafadz aslinya)
E. Shiddah
Shiddah/Tashdīd di transliterasi ini dilambangkan dengan huruf, yaitu huruf
yang sama dengan huruf bershaddah itu.
Contoh:
Shawwa>l :شوال <Rabbana : ربنا
F. Kata Sandang Alif + La>m
Apabila diikuti dengan huruf qamariyah, ditulis al.
Contoh: لقلما : al-Qalam
xii
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ........................................................................................... i
PERNYATAAN BEBAS PLAGIASI ................................................................... iii
PERSETUJUAN PEMBIMBING ......................................................................... iv
PERNYATAAN PERBAIKAN SETELAH VERIFIKASI .................................. v
PERSETUJUAN HASIL UJIAN PENDAHULUAN ........................................... vi
ABSTRAK ............................................................................................................. vii
PEDOMAN TRANSLITERASI............................................................................ x
DAFTAR ISI ......................................................................................................... xii
BAB I PENDAHULUAN ......................................................................... 1
A. Latar Belakang Masalah ........................................................... 1
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah ....................................... 5
1. Identifikasi Masalah ........................................................... 6
2. Pembatasan Masalah .......................................................... 6
3. Perumusan Masalah ............................................................ 6
C. Tujuan dan Kegunaan Penulisan ............................................... 6
D. Metodologi Penelitian ............................................................... 7
E. Teknik Penulisan ....................................................................... 10
F. Penelitian Terdahulu yang Relevan .......................................... 10
G. Sistematika Penulisan ............................................................... 15
BAB II AKOMODASI ADAT DALAM HUKUM ISLAM ....................... 17
A. Adat dan Hukum Islam ................................................................ 17
B. Adat dalam Bingkai Budaya Jawa ............................................... 30
C. Adat dan Islam dalam Budaya Jawa ............................................ 35
BAB III HISTORISITAS PRIMBON JAWA DALAM PERNIKAHAN ADAT
JAWA DAN RESPON ULAMA ................................................... 42
A. Telaah Historis Primbon Jawa ..................................................... 42
B. Konsep Petungan dalam Primbon Jawa .................................... 45
C. Respon Ulama Terhadap Primbon Jawa ...................................... 64
BAB IV INTERAKSI ADAT DAN ISLAM PRA AKAD PERNIKAHAN 68
A. Lamaran .................................................................................... 69
B. Penentuan Tanggal .................................................................... 85
C. Pasang Tarub ............................................................................. 91
xiii
D. Serah-serahan ............................................................................ 93
E. Kenduri ...................................................................................... 97
BAB V INTERAKSI ADAT DAN ISLAM PASCA AKAD
PERNIKAHAN ................................................................................ 105
A. Akad Nikah .................................................................................... 105
B. Resepsi/Walimatul ‘Ursh ............................................................... 109
1. Panggih/Balangan Sirih/Temu Manten ...................................... 113
2. Wiji Dadi .................................................................................... 116
3. Timbangan .................................................................................. 121
4. Kacar-Kucur ............................................................................... 124
5. Dulangan ..................................................................................... 128
6. Sungkeman ................................................................................ 131
7. Kirab ........................................................................................... 135
9. Ngundang Mantu ........................................................................ 137
BAB VI PENUTUP ...................................................................................... 141
A. Kesimpulan ................................................................................ 141
B. Saran-saran ................................................................................ 142
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................ 143
GLOSARIUM ................................................................................................... 158
INDEKS ............................................................................................................ 167
LAMPIRAN ...................................................................................................... 170
BIOGRAFI PENULIS ....................................................................................... 172
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Transformasi Islam ke Indonesia mengalami akulturasi yang tidak jarang
berbeda dengan sumber aslinya. Perbedaan itu kemudian menuai perdebatan di
antara kaum Salafi maupun kaum Modernis yang menganggap bagian dari Islam
dan bukan bagian dari Islam, tak terkecuali yang terjadi pada masyarakat Jawa.
Sebagaimana diketahui, masyarakat Jawa mempunyai banyak ritual yang sampai
saat ini masih dipegang teguh. Adapun kebiasaan masyarakat Jawa dalam ritual
dan tradisi tersebut di antaranya: Selametan (kendurenan),1 Gamelan,2 Tembang,3
Wayang,4 Prosesi Pernikahan, Kelahiran, dan Kematian.
Ritual tersebut sebagai wujud dalam bentuk simbol-simbol ritual yang
merupakan ekspresi dari penghayatan serta pemahaman. Sehingga dengan ritual
1 Selametan, sering disebut juga dengan kendurenan. Dapat didefinisikan dalam
versi Jawa sebagai ritual manusia paling umum yang memiliki makanan kolektif relegious
menyertai peristiwa siklus hidup yang penting. Naskah asli selametan diambil dari
“sala>ma” kata Arab yang berarti damai. Dalam proses jika dihubungkan dari bahasa Jawa
ini, kata Arab masuk ke dalam bahasa Jawa menjadi Selamet, yang secara harfiah berarti
disimpan dan dijaga. Lihat Lies Mancoes, “(Metu, Mantu, Mati) Hatched, Matched,
Dispatched: The Role of Dukun Among The Javanese-Suriname in The Netherlands,”
Kultur, The Indonesian Journal For Muslim Cultures, Vol. 2, No. 2, 2002: 89. Lihat juga
Mark R. Woodward, “The “Slametan”: Textual Knowledge and Ritual Performance in
Central Javanese Islam,” History of Religions, Vol. 28, No. 1 (Aug, 1988), 56.
http://www.jstor.org/stable/1062168. (Diakses 29-10-2014). Lihat juga Deni Hamdani,
“Cultural System of Cirebonese People: Tradition of Maulidan in the Kanoman Kraton,”
Indonesian Journal of Social Sciences, Vol. 4, No. 1, 8.
http://journal.unair.ac.id/filerPDF/deny Cultural System of Cirebonese People.pdf.
2 Perangkat alat musik Jawa (Sunda, Jawa, Bali, dan sebagainya) yang terdiri dari
atas Saron, Bonang, Rebab, gendang, gong, dan sebagainya. Lihat di Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Ketiga, Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional (Jakarta: Balai
Pustaka, 2007), 330.
3 Syair yang diberi berlagu ( untuk menyanyikan), nyanyian, dan puisi. Tembang
ini terdiri atas tiga macam, yakni: Tembang Cilik (macapat) adalah tembang yang diatur
secara baru (dulu Sastra Jawa baru, dilihat dari jumlah baris, suku kata, dan vokal pada
akhir baris). Tembang Gede (kawi) adalah tembang yang didasarkan pada jumlah baris,
suku kata dan vokal pada akhir baris dengan tembang-tembang yang berasal dari zaman
permulaan kerajaan Surakarta. Tembang tengahan adalah tembang yang kata-katanya
bersumber dari bahasa Jawa tengahan. Lihat di Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Ketiga,... 1165.
4 Boneka tiruan orang yang terbuat dari pahatan kulit atau kayu dan sebagainya
yang dapat dimanfaatkan untuk memerankan tokoh dulu dalam pertunjukan drama
tradisional (Jawa, Sunda, Bali, dan sebagainya). Biasanya di mainkan oleh seseorang yang
disebut dengan dalang. Lihat di Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Ketiga,.... 1271.
2
tersebut terasa bahwa Tuhan selalu hadir dan selalu terlibat (menyatu) dalam
dirinya.5
Pada masa akhir kekuasaan kerajaan Majapahit, perkembangan budaya
yang dihasilkan akibat bertemunya tiga agama di tanah Jawa yakni: Islam,6 Hindu,
dan Budha, menimbulkan dampak terhadap berbagai tataran kehidupan yang
mempunyai ajaran dan nilai-nilai budaya yang dapat diterima secara langsung
melalui proses transformasi budaya, baik budaya lokal maupun budaya yang
dihasilkan dari pergeseran akibat bertemunya ketiga agama tersebut.7
5 Bagi masyarakat Jawa ritual dan tradisi tersebut merupakan sebuah momentum
yang sangat penting dan juga lebih mendekatkan diri kepada Tuhan. Lihat Muhammad
Solikhin, Ritual dan Tradisi Islam Jawa (Yogyakarta: Narasi, 2010), 49. Diketahui juga,
bahwa masyarakat Jawa mempunyai kepecayaan bahwa alam semesta ini terdiri atas jagad gedhe dan jagad cilik. Jagad gedhe yaitu alam semesta, sedangkan jagad cilik adalah
manusia itu sendiri. Suatu keserasian dan keharmonisan tidak hanya diwujudkan dalam
hubungan vertikal antara manusia dan alam semesta, tetapi juga dalam bentuk hubungan
horisontal yaitu hubungan manusia dengan manusia dalam kehidupan sosialnya. Lihat
Wahjudi Pantja Sunjata, “Upacara Tradisional Ceprotan di Pacitan,” Patrawidya, Vol. 11,
No. 3, 2010, 772. Makna yang senada juga oleh Ambar Andrianto, “Makna Simbolik
Ritual Adat Tengger,” Patrawidya, Vol. 11, No. 3, 2010, 792.
6 Agama Islam datang pertama kali di tanah Jawa tidak diketahui dengan pasti
atau tidak terdokumentasi dan susah diteliti, disebabkan kurangnya sumber dan bukti yang
mendukung. Snouck Hurgronje mengatakan bahwa Islam masuk pada abad 12 atau abad
13, sebelum itu kebudayaan spiritual orang Jawa telah menyerap Hindu dan Budha kira-
kira seribu tahun, bahkan ada pula orang Cina atau penulis Tiong Hoa yang bernama
Tjseng-Ho mangatakan bahwa kira-kira tahun 1400 M telah ada agama Islam di tanah
Jawa dibawah oleh para saudagar muslim yang tinggal di pantai utara pulau Jawa, Lihat
Suwarno Imam S., Konsep Tuhan, Manusia, Mistik Dalam Berbagai Kebatinan Jawa
(Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2005), 24. Dan sekitar tahun yang sama pula
penyebaran agama Islam juga dilakukan oleh bangsa Campa, Lihat Roibin, Relasi Agama dan Budaya Masyarakat Kontemporer (Malang: UIN Malang Press, 2009), 123. Sedangkan
sejarah Islam masuk ke tanah Jawa di pantai pesisir utara ini tidak lepas dari peran Wali
Songo kira-kira abad ke-15 berdasarkan peninggalan batu nisan Maulana Malik Ibrahim
(Giri) yang disebut sebagai sesepuh wali dan wali pertama yang menyebarkan Islam di
tanah Jawa, Lihat Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII & XVIII Akar Pembaharuan Islam Indonesia (Jakarta: Kencana
Prenada Media Group, 2004), 3.
7 Mahmud Manan, Transformasi Budaya Unsur-Unsur Hinduisme dan Islam Pada Akhir Majapahit (Abad XV-XVI M) dalam Hubungannya dengan Relief Penciptaan Manusia di Candi Sukuh, Karanganyar, Jawa Tengah (KEMENTRIAN AGAMA RI Badan
Litbang dan Diklat Puslitbang Lektur Keagamaan, 2010), 1. Dan juga corak Islam yang
ada di Jawa berbeda dengan teritorial lain, sebab di Jawa sudah ada ajaran, nilai, dan
kearifan sebelum Islam datang. Corak keagamaan akan menjadi khas, yaitu di dalamnya
terdapat unsur Islam sekaligus Jawa. Lihat di Zainal Adzfar, “Filsafat Kenabian Islam
Jawa Studi Teks Kitab Layang Ambyok,” Jurnal Lektur Keagamaan, Vol. 9, No. 2
Nopember 2011, Puslitbang Lektur Keagamaan Badan Litbang dan Diklat Kementrian
Agama RI, 295. Lihat juga Abdurrahman Misno bambang Prawiro, “Islam Aboge: Islam
and Cultural Java Dialogue (A Study of Islam Aboge Communities in Ujung manik,
3
Hasil dari gesekan atau interaksi tiga agama tersebut yakni Hindu, Budha,
dan Islam menghasilkan tiga golongan, diantarannya golongan santri, golongan
priyayi, dan golongan abangan (kejawen). Golongan santri adalah golongan yang
menganut ajaran Islam atau dapat diasosiasikan dengan Islam yang murni,
golongan priyayi adalah golongan keturunan aristokrat (kaum ningrat) dan
pegawai sipil kontemporer. Tradisi keagamaan mereka dapat dicirikan terutama
dengan adannya elemen-elemen Hindu dan Budha yang memainkan peran yang
sangat mendasar dalam membentuk pandangan dunia, etika, dan perilaku sosial
termasuk pada mereka yang sudah dipengaruhi pendidikan Barat,8 dan golongan
abangan adalah orang Jawa yang sinkretis.9
Cilacap, Central Java, Indonesia),” International Journal of Nusantara Islam, 102.
journal.uinsgd.ac.id/index.php/ijni/article/download/29/pdf_8/pdf. (Diakses 29-10- 2014).
8 M. Bambang Pranowo, Memahami Islam Jawa (Jakarta: Pustaka Alfabet, 2011),
8-9. Lihat juga Mohd. Shuhaimi Bin Haji Ishak, “Nusantara and Islam: A Study of the
History and Challenges in the Preservation of Faith and Identity,” Australian Journal of Basic and Applied Sciences, Vol. 8 (9) June 2014, Pages: 351-359, 355.
http://ajbasweb.com/old/ajbas/2014/June/351-359.pdf. (Diakses 30-10-2014). Lihat juga
M>. C. Ricklefs, “The Birth of the Abangan, Bijdragen tot de Taal-, Land-en
Volkenkunde,” 162, No. 1 (2006), pp. 35-55, http://www.jstor.org/stable/27868285.
(Diakses 07 November 2014). Lihat juga dalam Sunny Tanuwidjaja, “Political Islam and
Islamic Parties in Indonesia: Critically Assessing the Evidence of Islam's Political
Decline,” Contemporary Southeast Asia, Vol. 32, No. 1 (April 2010), pp. 29-49,
http://www.jstor.org/stable/41288802. (Diakses 07 November 2014).
9 Golongan ini bisa juga dikatakan dengan kejawen yakni orang Jawa yang
mengakui ajaran Islam (beragama Islam) namun tidak menjalankan sepenuhnya atau bisa
juga dikatakan mereka yang lebih mengutamakan filsafat ajaran leluhur yang menekankan
kebatinan dalam diri, Lihat Zulyani Hidayah, Ensiklopedi Suku Bangsa di Indonesia
(Jakarta: LP3S, 1996), cet-1, 105-108. Ada juga yang mengatakan bahwa abangan ini
merupakan “Tradisi Sempit” dari kegiatan-kegiatan (upacara) oleh masyarakat
kampung/desa yang animistik, biasanya dilakukan dalam rumah tangga. Namun, dalam
agama, abangan ini mempunyai cirinya yang toleransi untuk sekularisasi atas berbagai segi
kehidupan sosial dan toleransi kepada kepercayaan yang lain. Lihat di Hildred Greertz,
The Javanese Family (Keluarga Jawa) (Jakarta: PT Grafiti Pers, 1985), cet-3, 4.
Sedangkan keberadaan sinkretisme Jawa merupakan hasil dari pengolahan dan
penyesuaian antara budaya lama dengan budaya Jawa, yang sering dikenal dengan istilah
agama Jawa atau Kejawen. Selain itu, sinkretisme dianggap sebagai tradisi rakyat yang
dirintis oleh kaum abangan meminjam istilah Geertz yang makin kental dan sulit
dibedakan mana yang budaya yang asli dan tidak. Oleh karena itu, banyak pengamat yang
berbeda pendapat mengenai eksistensi sinkretisme. Lihat Suwardi Endraswara, Mistik Kejawen: Sinkretisme, Simbolisme, dan Sufisme dalam Budaya Spiritual Jawa
(Yogyakarta: Narasi, 2004), 63-64. Perhatikan pula Arief Aulia Rahman, “Akulturasi
Islam dan Budaya Masyarakat Lereng Merapi Yogyakarta: Sebuah Kajian Literatur,”
Jurnal Indo-Islamika, Vol. 1, No. 2, 2012/1433, 165. Lihat juga Thomas B. Pepinsky, R.
William Liddle and Saiful Mujani, “Testing Islam's Political Advantage: Evidence from
Indonesia,” American Journal of Political Science, Vol. 56, No. 3 (July 2012), pp. 584-600,
595. http://www.jstor.org/stable/23316008 (Diakses 07 November 2014). Lihat juga
Christoph Schuck, “Islam und die Legitimität von Herrschaft. Erkenntnisse aus der
4
Salah satu tradisi yang masih kuat adalah prosesi pra-nikah masyarakat
Jawa ala primbon. Pernikahan dengan menggunakan adat Jawa memiliki ritual
tersendiri jauh sebelum upacara pernikahan adat Jawa itu digelar. Masyarakat
Jawa sendiri percaya dengan penentuan hari baik melalui hitungan weton kedua
pasangan. Semuanya itu merupakan rangkaian awal dari tata cara pernikahan adat
Jawa atau dikenal dengan istilah petungan Jawa.
Tradisi prosesi pra-nikah ala primbon di atas juga dilakukan oleh
masyarakat Desa Tunggul Kecamatan Paciran Kabupaten Lamongan. Dalam
masalah prosesi pra-nikah masyarakat Desa Tunggul mempunyai hukum tersendiri
berdasarkan “warisan” adat yang telah dilakukan secara turun temurun dari nenek
moyangnya. Hukum berdasarkan adat ini bahkan telah menjadi keyakinan mereka
dalam kehidupan bermasyarakat.
Dalam prosesi pernikahan Jawa, masyarakat selalu melihat langkah atau
tata cara penghitungan waktu khususnya di dalamnya termuat peraturan nikah
yang merujuk ke kitab induk Primbon,10 cara penghitungannya dengan
dipadukannya tanggal kelahiran calon mempelai kemudian dihitung sehingga
mendapatkan hasil, dari hasil itu bisa di lihat bagaimana watak, kehidupan, serta
kejayaan manusia dilihat dari hari dan neptu lahirnya atau lazim disebut dengan
Weton.11 Juga penentuan waktu (hari, bulan, tahun) baik merupakan salah satu
elemen yang sangat penting. Begitu pula dengan perjodohan bagi orang Jawa,
primbon sangat memegang peranan penting sekali dalam menentukan cocok atau
tidaknya perjodohan.12
konzeptionellen Heterogenität des Islams in Indonesien für Demokratie und System
transformation,” Zeitschrift für Internationale Beziehungen, 14. Jahrg., H. 1. (Juni 2007),
pp. 71-100, 75. http://www.jstor.org/stable/40844048. (Diakses 07 November 2014). Lihat
juga Julia Day Howell, “Sufism and the Indonesian Islamic Reviva,” The Journal of Asian Studies, Vol. 60, No. 3 (Aug., 2001), pp. 701-729. 706.
http://www.jstor.org/stable/2700107. (Diakses 10 November 2014). Lihat juga Matthew
Isaac Cohen, “Polarising Javanese society; Islamic and other visions” (c. 1830-1930) by
M.C. Ricklefs, Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde, 166, No. 1 (2010), pp. 143-
146. 145. http://www.jstor.org/stable/27868564. (Diakses 10 November 2014).
10 Kitab yang berisikan ramalan (perhitungan hari baik, hari nahas, dsb), buku
yang menghimpun berbagai pengetahuan kejawaan, berisi rumus ilmu gaib (rajah, mantra,
do’a, tafsir mimpi), sistem bilangan yang pelik untuk menghitung hari mujur untuk
mengadakan selamatan, mendirikan rumah, memulai perjalanan, dan mengurus manjurus
segala macam kegiatan yang penting, baik peorangan maupun masyarakat banyak. Lihat di
Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Ketiga, Pusat Bahasa Departemen Pendidikan
Nasional (Jakarta: Balai Pustaka, 2007), 896. Dan dijelaskan pula dalam Buku karya
Suwarno Imam S, Konsep Tuhan, Manusia, Mistik Dalam Berbagai Kebatinan Jawa
(Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2005), 73-76.
11 Hari lahir seseorang dengan pasarannya (Legi, Pahing, Pon, Wage, Kliwon).
Tiap individu atau perorangan mempunyainnya. Lihat di Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Ketiga, Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional (Jakarta: Balai Pustaka,
2007), 1272.
12 Hildred Geertz, The Javanese Family (Keluarga Jawa) (Jakarta: PT Grafiti Pers,
1985), 63. Lihat juga Niels Mulder, Mysticism in Java: Ideology in Indonesia
5
Mengenai karakteristik Primbon itu sendiri, penjelasan di atas merupakan
salah satu pembahasan dalam kitab primbon, masih banyak penjelasan dalam kitab
primbon. Ada unsur meramal dalam buku ini, seperti membaca kesehatan,
keberuntungan di masa depan, membaca karakter seseorang dilihat dari wajah dan
tangan, kemudian hari baik untuk perjalanan atau bepergian, mendirikan rumah,
seperti halnya primbon, petungan juga merupakan sarana mengkoordinasikan
peristiwa-peristiwa di dunia dengan kondisi kosmis,13 semua itu pedoman utama
dalam kitab primbon adalah neptu dan weton.
Karena pentingnya hitungan weton itulah maka dalam perjodohan maupun
pernikahan Jawa, khususnya orang-orang yang masih menerapkan hitungan
(petungan) pada Primbon, banyak perjodohan yang gagal dikarenakan
ketidaksesuaian hitungan weton kedua pengantin. Mereka menggagalkan
perjodohan karena dihitung jatuh pada hitungan tidak enak atau kurang baik yang
akhirnya hubungan mereka hanyalah sebagai hubungan saudara bukan suami istri.
Selain itu untuk menentukan hari pernikahan orang Jawa juga mempunyai tradisi
yang sama yang berkenaan dengan hari baik dan kurang baik yang menyangkut
masa depan anak-anak mereka.
Masyarakat Desa Tunggul yang mayoritas penduduknya beragama Islam
yang taat melaksanakan syari‘at agama, baik Nahdhatul Ulama (NU) maupun
Muhammadiyah tidak jarang terjadi pertikaian dalam menghadapi masalah agama.
Namun, dalam hal prosesi pra-nikah ala Primbon ini belum pernah terjadi
pertikaian antara dua organisasi itu.
Berdasarkan hal di atas Primbon memiliki satu tempat terhadap prosesi
pernikahan masyarakat Jawa hingga saat sekarang ini. Meskipun paham
modernisasi telah berkembang, namun Primbon masih tetap digunakan dan tidak
ditinggalkan dalam prosesi pra-nikah masyarakat Jawa. Oleh karena itu, perlu
dikaji bagaimana Primbon itu bisa eksis hingga saat sekarang ini dan sejauh mana
Primbon Jawa itu sendiri dalam pernikahan masyarakat Jawa ditinjau dalam
perspektif Hukum Islamnya. Selain itu, dalam masalah prosesi pernikahan ala
Primbon belum pernah terjadi pertikaian antara kedua organisasi Islam. Melihat
cara pandang kedua organisasi Islam itu yang sering berbeda namun, dalam hal
prosesi ala Primbon ini tidak terjadi pertikaian antara keduanya membuat
penelitian ini semakin menarik.
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah
Dari latar belakang masalah di atas, penulis memetakan beberapa masalah
yang berhubungan dengan masalah-masalah yang muncul dalam penelitian ini
adalah:
(Terjemahan) (Yogyakarta: LkiS Yogyakarta, 2001), cet-1, 60-61. Dan dijelaskan pula
oleh karya Kanjeng Pangeran Harya Cakraningrat dalam Kitab Primbon Betaljemur Adammakna (Yogyakarta: “Soemodidjojo Mahadewa” ing Praja Dalem Ngayogyakarta
Hadiningrat, lan saking Panbiyantunipun CV. Buana Raya, tt).
13 Niels Mulder, Mysticism in Java......., 60-61.
6
1. Identifikasi Masalah
a. Masyarakat muslim Jawa, masih memegang ritual-ritual yang berbau
kejawen.
b. Agama Islam masuk ke dalam budaya masyarakat Jawa tidak
menghilangkan tradisinya, akan tetapi terjadi akulturasi antara tradisi
masyarakat Jawa dan agama Islam di dalam kehidupan sehari-hari.
c. Sistem penanggalan yang masih dianut masyarakat Jawa, dikenal dengan
istilah weton, sangat menentukan berbagai kegiatan, seperti perjodohan.
Apabila tidak cocok, maka tidak boleh dilanjutkan, begitu juga
sebaliknya.
d. Tradisi penanggalan yang ada dan sangat kuat mengakar pada masyarakat
Jawa dikenal dengan istilah Primbon.
2. Perumusan Masalah
Berdasakan rumusan masalah yang menjadi pokok pembahasan
supaya lebih terarah dalam penulisan ini adalah: Bagaimana interaksi antara
Islam dan Adat terhadap tradisi pernikahan adat Jawa, baik itu sebelum
pernikahan maupun sesudah pernikahan?
3. Pembatasan Masalah
Masyarakat Jawa percaya pada waktu, hari, bulan, dan tahun
mempunyai makna/arti yang baik atau buruk dalam berbagai pelaksanaan
kegiatan manusia, baik itu berpergian, membangun rumah, boyongan rumah,
dan lainnya. Oleh karena itu, agar pembahasan ini tidak meluas kemana-
mana, maka peneliti mempertegas bahwa batasan penyusunan penelitian ini
adalah hal-hal yang berkaitan dengan akomodasi hukum Islam dalam Adat
Jawa atas nilai-nilai Primbon dalam tradisi pernikahan masyarakat Jawa
khususnya di Desa Tunggul Kecamatan Paciran Kabupaten Lamongan. Fokus
dalam kajian ini adalah lebih mengenai eksistensi adat di kalangan
masyarakat muslim Jawa dalam kehidupan bermasyarakat.
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan Penelitian
Adapun hasil yang ingin dicapai dari penelitian ini adalah
memperoleh gambaran secara mendalam serta mendiskripsikan mengenai
akomodasi Hukum Islam dalam Adat Jawa atas penerapan nilai-nilai primbon
terhadap pernikahan adat Jawa dalam masyarakat Muslim di Paciran.
2. Manfaat Penelitian
Dengan adanya penulisan tesis ini diharapkan dapat membawa
manfaat dan kegunaan sebagai berikut:
a. Untuk memperkaya literatur khazanah pemikiran Islam.
b. Menambah wawasan dan pengetahuan yang lebih mendalam tentang
masalah penerapan nilai-nilai primbon Jawa dalam tradisi pernikahan di
7
Desa Tunggul Kecamatan Paciran Kabupaten Lamongan dalam
akomodasi antara Hukum Islam dan Adat.
c. Menela’ah, mengungkap dalam hal bagaimana tradisi primbon Jawa
terakomodasi dengan budaya Islam pada masyarakat Jawa yang ada di
Desa Tunggul Kecamatan Paciran Kabupaten Lamongan.
d. Menjelaskan bagaimana praktek primbon Jawa dalam pernikahan
masyarakat Jawa, khususnya di Desa Tunggul Kecamatan Paciran
Kabupaten Lamongan.
e. Bagi dunia pustaka, hasil penelitian ini diharapkan sebagai sumbangan
yang berguna dalam memperkaya koleksi dalam ruang lingkup karya-
karya penelitian lapangan.
D. Metodologi Penelitian
Pendekatan yang digunakan untuk memperoleh data yang valid dalam
penelitian ini meliputi:
1. Pendekatan dan jenis penelitian
Pendekatan yang digunakan untuk memperoleh data yang valid dalam
penelitian ini adalah pendekatan sosiologi,14 karena untuk mengetahui latar
belakang kondisi masyarakat dalam pernikahan adat yang sudah berlangsung
cukup lama dan diikuti oleh orang banyak, pendekatan ini ingin menjelaskan
bagaimana akomodasi hukum Islam dalam Adat Jawa baik itu sebelum
maupun sesudah pernikahan yang terjadi di masyarakat Jawa. Selain itu
pendekatan antropologi15 digunakan karena terjadi akulturasi, asimilasi
antara Adat dan Islam serta kepercayaan masyarakat kepada ritual maupun
simbol. Pendekatan sejarah16 juga diperlukan dalam penelitian ini karena
14 Menurut Atho Mudzhar, studi Islam dengan pendekatan sosiologi dapat
mengambil beberapa tema; Pertama, studi tentang pengaruh agama terhadap perubahan
masyarakat. Kedua, studi tentang pengaruh struktur dan perubahan masyarkat terhadap
pemahaman ajaran agama atau konsep keagamaan. Ketiga, studi tentang tingkat
pengalaman beragama masyarakat. Keempat, studi pola sosial masyarakat muslim.
Kelima, studi tentang gerakan masyarakat yang membawa paham yang dapat melemahkan
atau menunjang kehidupan beragama. Lihat Atho Mudzhar, Pendekatan sosiologi Dalam Hukum Islam, dalam Amin Abdullah, Mencari Islam dari berbagai pendekatan
(Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 2000), 31-33. Perhatikan pula oleh Sri Lum’atus
Sa’adah, “Tradisi Kajian Keagamaan dalam Islam (Telaah Pemikiran Charles J. Adam)”,
Jurnal Falasifa, Vol. 1, No. 2 September 2010, 31.
http://jurnalfalasifa.files.wordpress.com/2012/11/2-sri-lume2809fatus-sae2809fadah-
tradisi-kajian-keagamaan-dalam-islam-telaah-pemikiran-charles-j-adams.pdf. (Diakses 15
Maret 2014). 15 Antropologi mempelajari tentang manusia dan segala perilaku mereka untuk
dapat memahami perbedaan kebudayaan manusia. Lihat Jamhari Ma’ruf, Pendekatan Antropologi Dalam Kajian Islam, dalam artikel Direktorat PTAI Departemen Agama RI.
http://www.ditpertais.net/artikel/jamhari01.asp. (Diakses 15 Maret 2014). 16 Sedangkan sejarah atau historis merupakan pendekatan yang di dalamnya
dibahas berbagai peristiwa dengan memperhatikan unsur tempat, waktu, obyek dan latar
8
untuk mengetahui asal-usul primbon yang digunakan oleh masyarakat Jawa
dalam pernikahan. Adapun jenis penelitiannya adalah studi kasus.17
2. Sumber Data
Dalam Penyusunan tesis ini, penulis menggunakan dua jenis sumber
data yaitu:
a. Data Primer
Data primer merupakan data yang diperoleh langsung dari responden
melalui wawancara dengan masyarakat setempat melalui pengamatan
terhadap akomodasi nilai-nilai primbon dalam tradisi pernikahan Jawa di
Desa Tunggul Kec. Paciran Kab. Lamongan dengan menggunakan penelitian
lapangan (field research) yaitu dengan mengadakan riset lapangan
(observasi). Adapun data diperoleh dari wawancara yakni dengan para tokoh
kejawen, para tokoh Agama, dan berupa buku yakni Kitab Primbon Betal
Jemur Adammakna.
b. Data Sekunder
Data sekunder merupakan data yang diperoleh dari literatur-literatur
kepustakaan.18 Seperti buku-buku kejawen, kitab fikih, naskah primbon,
jurnal, serta sumber-sumber lain yang berkaitan dengan tesis ini.
3. Teknik Pengumpulan Data
Dalam upaya mengumpulkan data yang diperlukan, digunakan metode
sebagai berikut:
belakang serta pelaku dari suatu peristiwa. Melalui pendekatan sejarah seseorang diajak
dari alam idealis ke alam yang bersifat empiris dan mendunia. Dari keadaan ini seseorang
akan melihat adanya kesenjangan atau keselarasan antara yang terdapat dalam alam idealis
dengan yang ada di alam historis. Lihat Charles J Adams, Islamic Religious Tradition,
dalam Leonard Binder (Ed.), 1976, The Study Midle esat : Research and Scholarship in
Humanities and The Social Science (Canada: John Wiley Sons, Inc, 1976), 33-34.
Sebagaimana dikutib oleh Sri Lum’atus Sa’adah, “Tradisi Kajian Keagamaan dalam Islam
(Telaah Pemikiran Charles J. Adam),” Jurnal Falasifa, Vol. 1, No. 2 September 2010, 30. 17 Studi kasus adalah penelitian yang pada umumnya bertujuan untuk
mempelajari secara mendalam suatu individu, kelompok, institusi, atau masyarakat
tertentu tentang latar belakang, keadaan atau kondisi, faktor-faktor atau interaksi (sosial)
yang ada di dalamnya. Penelitian dalam studi kasus ini merupakan suatu gambaran hasil
penelitian yang mendalam dan lengkap serta memberikan beberapa keuntungan yakni
penelitianya sangat mendalam. Lihat Bambang Sanggono, Metode Penelitian Hukum
(Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2003), 36. Namun, studi yang sangat mendalam juga
mempunyai kelemahan yakni kurang luas, umumnya penemuan kita sulit digeneralisasikan
dengan keadaan yang berlaku umum, karena hasil penemuannya hanya diperoleh dari
keadaan tertentu saja. Lihat Conselo G, Sevilla, dkk, Metode Penelitian Hukum Penerjemah Alimudin Tuwu (Jakarta: Universitas Indonesia Press, 1993), 74.
18 Soerjono Soekanto, Pengantar penelitian Hukum (Jakarta: UI-Press, 1986),
51.
9
a. Metode Observasi19
Metode pengumpulan data dengan observasi langsung digunakan
peneliti sebagai langkah awal untuk mengetahui atau mengungkap data yang
berkaitan dengan situasi, kondisi, serta yang berkaitan dengan pihak-pihak,
waktu terjadinya, dan hal yang berhubungan mengenai masalah akomodasi
Hukum Islam dalam Adat Jawa dengan penerapan nilai Primbon dalam tradisi
pernikahan Jawa di Desa. Tunggul Kec. Paciran Kab. Lamongan.
b. Metode Wawancara
Metode wawancara atau metode interview merupakan metode
penggalian data yang paling banyak dilakukan, baik untuk tujuan praktis
maupun ilmiah.20 Metode wawancara, mencakup cara seseorang untuk
mendapatkan keterangan secara lisan dari seorang responden.21 Maka dari itu,
metode ini digunakan untuk memperoleh informasi tentang interaksi hukum
Islam dan Adat dalam penerapan nilai-nilai primbon Jawa pada tradisi
pernikahan di Paciran, yakni wawancara dengan tokoh adat (kejawen) serta
tokoh agama, dan warga masyarakat yang ada di desa tersebut.
c. Metode Dokumenter22
Dalam penelitian ini, metode dokumenter digunakan untuk mencari
dan menggunakan data-data yang belum diperoleh dari observasi dan
interview.
d. Analisis Data23
Dalam penelitian ini, teknik analisis data, penulis menggunakan
metode diskriptif kualitatif. Teknik analisis deskriptif digunakan untuk
19 Metode observasi merupakan metode pengumpulan data yang paling ilmiah
dan paling banyak digunakan tidak hanya dalam dunia keilmuan, tetapi juga dalam
berbagai aktifitas kehidupan. Lihat Imam Suprayogo, dan Tobroni, Metodologi Penelitian Sosial-Agama (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2003), 167.
20 Imam Suprayogo, dan Tobroni, Metodologi penelitian Sosial-Agama, 172. 21 Koentjaningrat, Metode-metode Penelitian Masyarakat (Jakarta: PT.
Gramedia Pustaka Utama, 1997), 129. 22 Metode dokumenter adalah sebuah metode pengumpulan data yang digunakan
dalam metodologi penelitian sosial. Pada intinya metode dokumenter adalah metode
yang digunakan untuk menelusuri data historis (sejarah). Namun, kemudian Sosiologi
dan Antropologi secara serius juga menggunakan metode dokumenter sebagai metode
pengumpulan data. Lihat M. Burhan Bungin, Metodologi Penelitian Kuantitatif: Komunikasi, Ekonomi, dan Kebijakan Publik serta Ilmu-ilmu Sosial lainnya (Jakarta:
Kencana Prenada Media Group, 2008), 144. 23 Analisis data disebut juga dengan pengolahan data dan penafsiran data.
Analisis data adalah rangkaian kegiatan-kegiatan penelaahan, pengelompokan,
sistematisasi, penafsiran dan verifikasi data agar sebuah fenomena memiliki nilai sosial,
akademis dan ilmiah. Lihat Imam Suprayogo, dan Tobroni, Metodologi penelitian Sosial-Agama, 191.
10
menuturkan, menafsirkan, serta menguraikan data yang bersifat kuantitatif
yang diperoleh dari hasil wawancara/interview, observasi, dan dokumenter.
E. Teknik Penulisan
Penulisan ini mengacu kepada Buku Pedoman Penulisan Bahasa
Indonesia, Transliterasi, dan Pembuatan Notes dalam karya ilmiah ini yang
diterbitkan oleh Sekolah Pascasarjana (UIN) Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta, tahun 2011-2015. Adapun untuk transliterasi Bahasa Arab
ke Bahasa Indonesia berpedoman kepada Arab-Latin ALA-LC Romanization Tables.
F. Penelitian Terdahulu yang Relevan
Bahasan tentang masalah akomodasi dan interaksi antara Hukum Islam
dalam Adat Jawa dalam penerapan nilai-nilai primbon pada tradisi pernikahan
masyarakat muslim di Paciran, dalam penelusuran penulis belum terlalu popular
atau bahkan bisa dikatakan jarang. Sejalan dengan itu buku yang mengupas secara
spesifik tentang tema ini juga agak sulit ditemukan. Ini terjadi dikarenakan
mungkin buku ini bisa dibilang kuno dan pada era jaman sekarang (modern)
mungkin tidak ada peminatnya.
Salah satu buku atau kitab yang membahas tentang masalah ini adalah
“Kitab Primbon Betaljemur Adammakna” yang mana dalam kitab ini memuat
ilmu-ilmu Jawa peninggalan para pujangga. Dipetik dari kitab Adammakna karya
dari Kanjeng Pangeran Harya Cakraningrat. Dalam kitab ini isinnya memuat atau
menjelaskan tentang masalah Primbon, Neptu atau Weton, hari yang baik untuk
melaksanakan pernikahan serta masalah cocok atau tidak cocoknya pasangan
dalam perjodohan, dan masih banyak yang lainnya.24 Kitab tersebut hanya
menjelaskan tata cara atau teori perhitungan dalam pernikahan Jawa. Kemudian.
Naskah Primbon, yang mana didalamnya menjelaskan tentang sejarah primbon itu
sendiri.
Kaswah Endah (2006) dalam penelitiannya “Petung, Prosesi, dan Sesaji Dalam Ritual Manten Masyarakat Jawa”, menurutnya perkawinan bagi
masyarakat Jawa diyakini sebagai sesuatu yang sakral, sehingga diharapkan dalam
menjalaninya cukup sekali seumur hidup. Kesakralan tersebut melatarbelakangi
pelaksanaan pernikahan dalam masyarakat Jawa yang sangat selektif hati-hati
baik saat pemilihan bakal calon menantu ataupun penentuan hari pelaksanaan
pernikahan.25 Manten Jawa termasuk dalam fase peralihan, yakni dari masa lajang
ke masa berkeluarga, sehungga dianggap berbahaya atau penuh tantangan. Hal ini
bagi masyarakat Jawa perlu diupayakan antisipasi untuk menjaga keselamatan,
24 Kanjeng Pangeran Harya Cakraningrat, Kitab Primbon Betaljemur Adammakna
(Yogyakarta: “Soemodidjojo Mahadewa” ing Praja Dalem Ngayogyakarta Hadiningrat,
lan saking Panbiyantunipun CV. Buana Raya), tt.
25 Kaswah Endah, “Petung, Prosesi, dan Sesaji Dalam Ritual Manten Masyarakat
Jawa”, Kejawen: Jurnal Kebudayaan Jawa 1, No. 2 Agustus (Yogyakarta: Jurusan
Pendidikan Bahasa Daerah Fakultas Bahasa Seni UNY, 2006), 139.
11
baik pada saat sekitar upacara manten hingga sepanjang hidup keluarga baru yang
menikah. Dalam persiapan tersebut menyangkut persiapan petung, prosesi, dan
sesaji. Tiap-tiap aktifitas memiliki makna simbolis tertentu yang terkait dengan
kehidupan spiritual masyarakat Jawa.26
Penelitian yang serupa yakni Rebecca Adams (2001) tentang “Upacara Pernikahan di Jawa: Upacara, Simbolisme, dan Perbedaan Daerah di Pulau Jawa”.
Dimana hasil dari kesimpulannya yakni upacara pernikahan adat di pulau Jawa
begitu rumit persiapannya, upacara dan bahan-bahan semua bermakna khusus
untuk keselamatan dan kesejahteraan mempelai berdua dan keluarganya, dan
makna ini persis yang membuat upacara pernikahan penting, kalau tidak ada
makna tidak ada maksud.27
Kemudian, Purwadi (2006) mengenai “Petungan Jawa: Menentukan hari baik dalam kalender Jawa”, menurutnya petungan Jawi sudah ada sejak dahulu,
merupakan catatan dari leluhur berdasarkan pengalaman baik buruk yang dicatat
dan dihimpun dalam primbon, serta sebagai pedoman penghati-hati mengingat
pengalaman leluhur, jangan menjadikan surut atau mengurangi keyakinan dan
kepercayaan kepada tuhan yang maha esa, maha pengatur segenap makhluk
dengan kodrat dan iradatnya, petungan jawi memberikan pedoman atau petunjuk
akan lambang dan watak berbagai jenis perhitungan seperti: hari dan pasaran,
rolas titi mangsa, petungan pawukon, petungan tahun, dll.28
Zayadi Hamzah (2010) dalam disertasinya “Islam dalam Perspektif Budaya Lokal Studi Kasus tentang Ritual Siklus Hidup Keluarga Suku Rejang di Kabupaten Rejang Lebang Provinsi Bengkulu”, menurutnya fenomena sosio
religius dalam Rite de Passage yang terwujud dalam upacara tradisi lokal
mengalami interaksi antara keduanya ternyata telah melahirkan akulturasi,
akomodasi, konflik, dan integrasi. Akulturasi tersebut terjadi dalam bentuk
pemberian status oleh Islam terhadap budaya lokal atau sebaliknya. Sedangkan
akomodasi cenderung bersifat konversi ketimbang adhesi, sehingga praktek Rite de passage dalam bentuk upacara kelahiran, perkawinan, dan kematian dominan
menyerupai ritual ke-Islaman. Proses akulturasi dan akomodasi ini menunjukan
bahwa Islam telah berhasil mendapatkan simbol-simbol yang selaras dengan
kemampuan menangkap nilai-nilai kultural dari budaya lokal, yang pada akhirnya
memunculkan (membentuk) realitas-realitas baru berupa lokalitas Islam (Islam
lokal) yang tumbuh dari tradisi Islam Rejang.29
26 Kaswah Endah, “Petung, Prosesi, dan Sesaji Dalam Ritual Manten Masyarakat
Jawa”, Kejawen: Jurnal Kebudayaan Jawa 1, No. 2 Agustus,..... 151.
27 Rebecca Adams, Upacara Pernikahan di Jawa: Upacara, Simbolisme, dan Perbedaan Daerah di Pulau Jawa (Malang, Fakultas FISIP Universitas Muhammadiyah
Malang, 2001), 35.
28 Purwadi, Petungan Jawa: Menentukan hari baik dalam kalender jawa
(Yogyakarta, Pinus Book publisher, 2006), 23-28.
29 Zayadi Hamzah, Islam Dalam Perspektif Budaya Lokal Studi kasus Tentang Ritual Siklus Hidup keluarga Suku Rejang Di Kabupaten Rejang Lebang Provinsi Bengkulu (Jakarta: Disertasi SPs UIN Syarif Hidayatullah, 2010), 359.
12
Begitu juga dengan pendapatnya Muridan (2007), dalam “Islam dan Budaya Lokal: Kajian makna Simbol dalam Perkawinan Adat Keraton”.
Kesimpulannya yakni pertemuan antara Islam dan budaya lokal Jawa harus
dipandang sebagai dinamika antropologi Islam. agama tidak akan mungkin
meninggalkan pergumulannya dengan budaya lokal. Pertemuan antara Islam dan
budaya lokal ini telah melahirkan konfigurasi budaya baru yang berwatak Islam
kejawaan, tetapi mengamalkan ajaran Islam tanpa meninggalkan tradisi Jawa.30
Ridin Safwan (2005) dalam penelitiannya “Dimensi Teologis Petungan Wektu Menurut Tradisi Jawa”, menurutnya budaya Jawa ada numerologi sebagai
salah satu tradisi Jawa, itu disebut petungan atau petangan sebagai semacam
prediksi untuk pilihan hari baik atau bulan baik yang diyakini oleh seseorang
untuk melakukan kegiatan keselamatan sesuatu, karena seperti untuk pernikahan,
bepergian, pindah ke tempat lain, membangun rumah. praktis, petungan digunakan
dengan mengambil neptu, nomor sebagai simbol untuk setiap hari, Pasaran atau
bulan. Sejak pada perspektif beragama, Jawa numerologi memiliki mistik-magis
sebagai inti dari dimensi teologis.31
Begitu juga dengan Muhaimin AG (2002), penelitiannya pada masyarakat
Cirebon, dalam prakteknya yakni sistem numerologi Jawa yang ada di Cirebon
mempunyai dua tujuan dalam mengenai masalah petungan dan pena’asan.
Pertama, untuk menetapkan tahun baru kalender Jawa, dan Kedua, untuk
menentukan tanggal dan waktu yang baik untuk melaksanakan hal yang sangat
penting. Keduannya dilakukan dengan manipulasi nilai yang melekat pada tiap
unit kalender. Seperti, hari, bulan, dan tahun.32
Kemudian, Ririn Mas’udah dalam kesimpulan penelitiannya tentang
“Fenomena Mitos Penghalang Perkawinan dalam Masyarakat Trenggalek”, yang
pertama, fenomena mitos mlumah murep di Desa Bendorejo pada dasarnya tidak
mengetahui asal-usul dan sejarah dari mitos ini, mereka hanya mengikuti taqlid
saja dan sudah menjadi kepercayaan turun-temurun dari leluhur mereka. Kedua,
dampak yang diyakini oleh masyarakat Bendorejo terhadap yang melakukan
perkawinan mlumah murep sampai saat ini misalnya mengalami keretakan dalam
rumah tangganya, hingga perceraian, kemandulan, dan sakit-sakitan. Ketiga,
mitos mlumah murep ini tidak sesuai dengan akidah Islam.33
30 Muridan, “Islam dan Budaya Lokal: Kajian makna Simbol dalam Perkawinan
Adat Keraton”, Ibda’ Jurnal Studi Islam dan Budaya, Vol. 5, No. 1, Januari-Juni (P3M
STAIN Purwokerto, 2007), 10.
31 Ridin Sofwan, “Dimensi Teologis Petungan Wektu Menurut Tradisi Jawa”,
dalam Dewaruci Jurnal Dinamika Islam dan Budaya Jawa edisi 11 (Semarang: Pusat
Pengkajian Islam Dan Budaya Jawa IAIN Walisongo Semarang, 2005), 70.
32 Muhaimin AG, Islam Dalam Bingkai Budaya Lokal Potret Dari Cirebon
(Jakarta, Logos, 2002), 101.
33 Ririn Mas’udah, Fenomena Mitos Penghalang Perkawinan dalam Masyarakat Adat Desa Trenggalek (Malang, Fakultas Syari’ah UIN Maliki Malang, tt), 14.
http;//www.ejournal.uin-malang.ac.id. (Diakses pada tanggal 15 Maret 2013).
13
Penelitian selanjutnya yakni tesis karya Muhammad Harfin Zuhdi (2004)
tentang “Parokialitas Adat Islam wetu Telu dalam Prosedur Perkawinan Ditinjau dari Perspektif Hukum Islam di Desa Bayan Beleq Kecamatan Bayan Lombok Barat Nusa Tenggara Barat” yang kesimpulannya. Pertama, Islam Wetu Telu di
bayan, merupakan cerminan dari pergulatan Islam lokal berhadapan dengan Islam
Waktu Lima yang universal. Kedua, dalam konteks Fiqh, praktek dan prosedur
perkawinan Islam Wetu Telu dianggap salah dan tidak sah. Ketiga, dalam konteks
antropologi agama, praktek dan prosedur perkawinan tersebut diyakini sebagai
penjelmaan dari relasi antara agama dan budaya lokal, karena agama diyakini
sebagai penjelmaan dari sistem budaya yang harus dilihat secara komprehensif
berdasarkan aspek sosio-historis dan sosio-kultural, serta tidak semata-mata
dilihat secara hitam putih dan menjustifikasi benar-salah.34
Kemudian, penelitian tentang “Islam di Bima: Sebuah Studi Mengenai
Pelaksanaan Hukum Islam Dalam Badan Hukum syara’ Kesultanan Bima (1947-
1960)” oleh Muhammad Mutawali, yang kesimpulannya yakni bentuk perpaduan
antara adat dengan Islam di Kesultanan Bima yaitu kecenderungan mengambil
alih ketentuan-ketentuan Hukum Islam dan menyebutnya sebagai adat. Hal ini
memperlihatkan bagaimana kuatnya pengaruh Islam dalam adat Mbojo dapat
dimengerti, adat bukan hanya sekedar ketentuan hidup yang sudah dibiasakan
tetapi menyangkut hubungan dengan agama Islam yang dijadikan sebagai dasar
falsafat adat.35
Kemudian, tentang “Web-Based Javanese Primbon’s Calculation of a
Favorable Date to Get Married” oleh Maria Irmina Prasetyowati dan Dwi
Cristiandara (2012), yang menjelaskan bahwa Kitab Primbon adalah sebuah
naskah Jawa kuno yang masih memiliki kepentingan budaya yang signifikan bagi
orang Jawa tradisional, dengan kata lain sebuah literatur klasik Jawa yang berisi
banyak topik untuk berbagai urusan dan tindakan yang menyangkut kehidupan
mereka semacam kamus mitos Jawa. Bimbingan utama dari Primbon adalah untuk
menghargai hari, tanggal, bulan dan tahun. Kemudian, jenis horoskop tradisional
ini yang menggunakan analogi yang sangat kompleks prediksinya berdasarkan
sinkretisme antara Hindu dan warisan Islam. Dari Primbon orang-orang Jawa
tradisional percaya bahwa mereka dapat menemukan arti dari nama mereka, hari
baik, hari buruk dan tentang kesehatan mereka di masa depan. Contoh lain dari
menggunakan Primbon Jawa adalah dalam perhitungan dari tanggal
menguntungkan untuk hajatan menikah.36
34 Muhammad Harfin Zuhdi, Parokialitas Adat Islam Wetu Telu dalam Prosedur Perkawinan Ditinjau Dari Perspektif Hukum Islam di Desa Bayan Beleq Kecamatan Bayan Lombok Barat Nusa Tenggara Barat (Jakarta: Tesis SPs UIN Syarif Hidayatullah Jakarta,
2004), 156.
35 Muhammad Mutawali. Islam Di Bima: Sebuah Studi Mengenai Pelaksanaan Hukum Islam Dalam Badan Hukum Syara’ Kesultanan Bima (1947-1960)(Jakarta: Tesis
SPs UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2003), 165-166. 36 Maria Irmina Prasetyowati dan Dwi Cristiandara, “Web-Based Javanese
Primbon’s Calculation of a Favorable Date to Get Married,” International Conference On
14
Kemudian, Indi Rahma Winona (2013) dalam penelitiannya tentang “Tata
Cara Upacara Perkawinan dan Hantaran Pengantin Bekasri Lamongan”, yang
menjelaskan bahwa Bekasri Lamongan merupakan pengantin Tradisional yang
merupakan warisan budaya lokal Lamongan yang tercermin pada tata rias, tata
busana, penataan rambut dan rangkaian prosesi pernikahan dimulai dari pra-
prosesi pernikahan sampai pasca pernikahan serta rangkaian prosesi pernikahan di
antaranya dengan berbagai macam jenis hantaran. Kemudian, Hantaran diberikan
tiga kali tahapan yaitu pada tahap pra-nikah yakni lamaran. Pertama, hantaran
lamaran dari pihak calon mempelai perempuan ke pihak calon mempelai laki-laki
dengan membawa seperangkat alat shalat yang bermakna supaya calon mempelai
laki-laki rajin beribadah dan berupa makanan yang merekat, yang mempunyai
artian agar merekatkan kedua belah pihak. Kedua, hantaran dari calon mempelai
laki-laki membalas lamaran dengan hantaran berupa pakaian “sak pengadek” yang
merupakan simbolis keikhlasan lahir batin untuk memberi pada calon mempelai
perempuan (istri). Ketiga, pada tahap menjelang pernikahan yaitu prosesi serah-
serahan, hantaran berupa bahan makanan dan pada tahap pasca pernikahan
diberikan pada saat temu manten yaitu tikar dan bantal.37
Kemudian, Ismail Suwardi Wekke (2012), penelitiannya tentang “Islam
dan Adat dalam Pernikahan Masyarakat Bugis di Papua Barat”, yang
kesimpulanya yakni pernikahan bagi masyarakat Bugis adalah perpaduan antara
kuatnya adat dan juga pelaksanaan ajaran Islam. Islam datang setelah
terbangunnya peradaban Bugis melalui fase yang sangat panjang tidak serta merta
mengubah kebiasaan dan prosesi yang sudah ada. Beberapa hal yang menjadi
aturan dasar Islam dalam pernikahan justru diakulturasikan ke dalam prosesi
Bugis yang lebih dikenal dalam kehidupan sehari-hari, prosesi pernikahan tidak
menggunakan bahasa Arab tetapi tetap selaras dengan ajaran Islam dan dibingkai
dalan suasana kedaerahan.38
Selanjutnya penelitian oleh Waryunah Irmawati (2013) dalam “Makna
Simbolik Upacara Siraman Pengantin Adat Jawa” yang kesimpulannya siklus
kehidupan yang mencakup kelahiran, pernikahan dan kematian merupakan
momentum yang sangat penting, baik bagi yang mengalami, keluarga, maupun
orang di sekelilingnya, termasuk masyarakat Jawa sebagai sebuah etnis yang
memiliki ritual-ritual siklus kehidupan tersebut dalam hal ini adalah siraman yang
ICT For Better Life 2012, Vol 1, No 1 (2012): ISHKU 2012, 1.
http://ejournal.aptikomid.org/index.php/ishku/article/view/69/71. (Diakses pada tanggal 30
Oktober 2014). 37 Indi Rahma winona, “Tata Upacara Perkawinan dan Hantaran Pengantin
Bekasri lamongan”, e-Journal. Volume 02 Nomor 02 Tahun 2013, edisi yudisium periode
Mei 2013, 57. http://ejournal.unesa.ac.id/article/4575/50/article.pdf. (Diakses pada tanggal
03 November 2014). 38 Ismail Suwardi Wekke, “Islam dan Adat dalam Pernikahan Masyarakat Bugis
di Papua Barat”, Jurnal Kajian Budaya Islam Thaqafiyyat, Vol. 13, No. 2 (Desember
2012). 307 – 335. 329. http://thaqafiyyat.com/islam-dan-adat-dalam-pernikahan-
masyarakat-bugis-di-papua-barat. (Diakses pada tanggal 10 November 2014).
15
dilakukan calon pengantin sehari sebelum hari ijab dan qabul. Siraman sebagai
upacara adat yang dilakukan memiliki alur rangkaian acara yang pakem “sudah
mapan” sehingga susunan acaranya pun sudah mapan. Diawali dari adanya
sungkeman atau pangakbeten calon pengantin kepada kedua orang tuanya sampai
tata cara siapa urut-urutan siapa yang memandikan, sebab semuanya memiliki
makna dan simbol.39
Sama seperti halnya upacara-upacara adat yang lain, siraman inipun juga
membutuhkan berbagai ubarampe, yang masing-masing ubarampe memiliki
makna. Jika disimpulkan semua ubarampe memberikan makna yang sesuai dengan
asas dasar falsafah Jawa yaitu asas dasar ber-Ketuhanan, asas dasar dengan
semesta dan asas dasar keberadaan manusia, bahwa manusia Jawa selalu ingat
akan Tuhan sebagai tempat untuk memohon, adanya keinginan untuk selalu hidup
bersama dengan manusia yang lain dengan budi pekerti yang baik dan hidup
selaras dengan alam semesta. Pertemuan antara filsafat sebagai pandangan hidup
manusia Jawa dengan budaya dan Islam sebagai agama mayoritas yang dianut
oleh masyarakat Jawa, memberikan warna tersendiri. Dengan menggunakan
pemahaman secara filsafat dan pandangan Islam terhadap katakteristik budaya
Jawa maka ketiga saling memiliki hubungan antara satu dengan yang lainnya.
Termasuk di dalam budaya siraman terdapat saling hubungan antara nilai-nilai
filasafat Jawa dengan ajaran-ajaran Islam, terlepas dari persoalan syirik dan tidak
syirik.40
G. Sistematika Penulisan.
Untuk memudahkan dalam memahami tesis ini, penulis ingin membagi
pembahasan dalam enam bab, yaitu:
Bagian pertama adalah Pendahuluan, yang berisi tentang penjelasan dari
uraian latar belakang masalah yaitu primbon memiliki satu tempat terhadap
prosesi pernikahan masyarakat Jawa yang masih tetap digunakan dan tidak
ditinggalkan dalam prosesi pra nikah masyarakat Jawa, adapun pelaksanaannya
melihat dengan langkah/tata cara perhitungan, khususnya di dalamnya memuat
peraturan nikah yang merujuk ke kitab induk primbon, yang mana di dalamnya
membahas tentang ilmu-ilmu Jawa peninggalan para pujangga, yang isinya berisi
penjelasan tentang masalah neptu dan weton yang selalu dipraktekan oleh
masyarakat suku Jawa dalam pernikahan. Selanjutnya dalam bagian ini juga
dijelaskan beberapa rumusan seperti identifikasi masalah, perumusan masalah,
pembatasan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, metode penelitian, teknik
penulisan, tinjuan pustaka, serta sistematika penulisan.
39 Waryunah Irmawati, “Makna simbolik Upacara Siraman Pengantin Adat”,
dalam Jurnal Walisongo, Vol. 21, No. 2 November (IAIN Surakarta, 2013), 326-327. 40 Waryunah Irmawati, “Makna simbolik Upacara Siraman Pengantin
Adat”,……. 327.
16
Bagian kedua menjelaskan mengenai Akomodasi adat dalam hukum Islam,
yang terdiri dari adat dan hukum Islam, adat dalam bingkai budaya Jawa, serta
adat dan Islam dalam budaya Jawa.
Bagian ketiga memaparkan tentang Historitas Primbon Jawa Dalam
Pernikahan Adat Jawa, yang terdiri dari telaah historis Primbon Jawa,
teori/konsep Petungan dalam Primbon Jawa, dan respon ulama terhadap Primbon
Jawa.
Bagian keempat, membahas tentang interaksi adat dan Islam sebelum
akad pernikahan, yang terdiri dari rangkaian pernikahan adat Jawa yang diawali
dengan lamaran, menentukan tanggal baik, pasang tarub, serah-serahan, dan
selametan/kenduri.
Bagian kelima menjelaskan tentang interaksi adat dan Islam setelah akad
pernikahan, yang terdiri dari akad nikah, panggih/balangan sirrih/temu manten,
wiji dadi, timbangan, kacar-kucur, dulangan, sungkeman, kirab, boyongan, dan
ngundang mantu.
Bagian keenam, Penutup terdiri atas kesimpulan dan saran-saran.