ADMINISTRASI PERKAWINAN MASYARAKAT BADUY MUSLIM
(Studi Kasus Desa Bojong Menteng, Kecamatan Leuwidamar, Kabupaten
Lebak Banten)
Skripsi
Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum untuk Memenuhi Persyaratan
Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H)
Disusun oleh:
Muhamad Ihsan Daelami
NIM.11140440000063
PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
J A K A R T A
1441 H/ 2019 M
ABSTRAK
Muhammad Ihsan Daelami. NIM 11140440000063. Administrasi
Perkawinan Masyarakat Baduy Muslim”(Studi Kasus Desa Bojong Menteng
Kecamatan Leuwidamar Kabupaten Lebak Banten). Skripsi, Program Studi
Hukum Keluarga, Fakultas Syariah dan Hukum. Universitas Islam Negeri (UIN)
Syarif Hidayatullah Jakarta, 1441 H/ 2019 M. ( 60 halaman, dan 26 halaman
lampiran).
Skripsi ini bertujuan untuk mengetahui proses administrasi Perkawinan
pada masyarakat Suku Baduy Muslim di Desa Bojong Menteng serta untuk
mengetahui pandangan Hukum Islam dan Hukum Positif mengenai Perkawinan
pada Masyarakat Baduy Muslim di Desa Bojong Menteng.
Penelitian ini menggunakan metode penelitian lapangan (field research),
dan merupakan jenis penelitian kualitatif. Penelitian ini bersifat analitik
merupakan kelanjutan dari penelitian deskriptif yang bertujuan bukan hanya
sekedar memaparkan karakteristik tertentu. Tetapi juga menganalisa dan
menjelaskan mengapa atau bagaimana hal itu terjadi. Pendekatan yang digunakan
dalam penelitian ini menggunakan pendekatan normatif sosiologis. Kriteria data
yang digunakan adalah obvervasi, wawancara,studi pustaka, dan studi
dokumentasi
Masyarakat Baduy yang telah masuk Islam, mereka sudah tidak lagi
melaksanakan tradisi ataupun adat istiadat yang dilaksanakan oleh masyarakat
Baduy pada umumnya. Adapun administrasi perkawinan yang harus dipenuhi oleh
masyarakat Baduy Muslim Bojong Menteng adalah bukti identitas kedua calon,
kemudian meminta izin kepada Jaro (Pak RW). Kemudian Jaro tersebut
menuliskan di bukunya nama pasangan yang akan Nikah.
Masyarakat Baduy muslim dalam melangsungkan perkawinan terbagi
pada 2 cara, yaitu perkawinan yang dilangsungkam di depan Pegawai Pencatatan
Perkawinan dan dibawah tangan atau siri. Perkawinan yang dilangsungkan
masyarakat Baduy muslim di hadapan Pegawai Pencatatan Perkawinan atau KUA
sah menurut hukum positif dan hukum Islam. Kemudian perkawinan yang
dilangsungkan dibawah tangan atau siri tidak sah menurut hukum positif, karena
menurut hukum positif perkawinan sah apabila dilangsungkan di hadapan
Pegawai Pencatatan Perkawinan. Sedangkan menurut hukum Islam perkawinan
masyarakat Baduy muslim sah, karena telah memenuhi rukun dan syarat
perkawinan
Kata kunci : Adat Baduy, Baduy Muslim, Perkawinan Baduy
Muslim, Sunda Wiwitan
Pembimbing : Dr. Hj. Azizah MA
Daftar Pustaka : 1996-2019
i
KATA PENGANTAR
بسم هللا الرمحن الرحيم
Segala puji bagi Allah Swt, tuhan semesta alam, yang telah memberikan
limpahan rahmat dan karunianya kepada umat manusia di muka bumi ini,
khususnya kepada penulis. Shalawat beriringan salam disampaikan kepada Nabi
Muhammad Saw, keluarga serta para sahabatnya yang merupakan suri tauladan
bagi seluruh umat manusia.
Dalam proses penyusunan skripsi ini penulis menerima bantuan dari
berbagai pihak, sehingga dapat terselesainya atas izinya-Nya. Oleh karena itu,
dalam kesempatan ini penulis ingin mengucapkan rasa terimakasih kepada semua
pihak yang telah memberikan bantuan baik moril maupun materil, khususnya
kepada:
1. Dr. Ahmad Tholabi Kharlie, S.H., M.H. Dekan Fakultas Syariah dan Hukum
Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta beserta Wakil
Dekan I, II, dan III fakultas Syariah dan Hukum
2. Dr. Mesraini, M.Ag. Ketua Progam Studi Hukum Keluarga beserta Sekretaris
Prodi Hukum Keluarga, Ahmad Chairul Hadi, M.A yang senantiasa
memberikan dukungan dan motivasi kepada penulis dalam mengerjakan
skripsi ini.
3. Dr. Hj. Azizah, MA., Dosen penasehat akademik penulis dan juga dosen
pembimbing skripsi penulis, yang telah sabar mendampingi hingga semester
akhir dan telah membantu penulis dalam merumuskan desain judul skripsi ini
dan seluruh Dosen Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta yang telah mendidik dan membimbing penulis selama masa
perkuliahan. yang tidak bisa penulis sebut semuanya tanpa mengurangi rasa
hormat penulis.
4. Dr. A. Juaini Syukri, Lc.,M.A dan Hotnidah Nasution M.A sebagai dosen
penguji I dan penguji II yang telah membantu agar selesainya skripsi ini.
ii
5. Staf Perpustakaan Utama UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, dan Staf
Perpustakaan Fakultas Syariah dan Hukum, Staf Perpustakaan Daerah
Sumenep yang telah memberikan pelayanan kepada penulis serta
memberikan fasilitas untuk mengadakan studi kepustakaan guna
menyelesaikan skripsi ini.
6. Para narasumber yang telah meluangkan waktunya untuk memberikan
data-data terkait penelitian ini, bapak H. M. Abdul Muti, M.Pd., pak Jaro
Saija, A. Rahmat, ibu Jariyah, ibu Dewi, ibu Naspah, pak Juhedi, ibu
Kesih, pak Pasudin, pak H. Roni, ibu Sarminah dan pak Herman.
7. Teristimewa buat keluarga, abiku alm. Asep Saepuddin, S.Pd.I dan umiku
Khadijah, yang tak pernah berhenti untuk memberikan dukungan dan
mendoakan penulis dalam menempuh pendidikan. Adikku M. Zen Nafis
dan Isthofani Naifa Himmah yang tak pernah berhenti memberikan
support kepada penulis. Uwaku Drs. H. Uce Supriadi, M.H. yang telah
memberikan support langsung secara moril maupun materil.
8. Teman-teman seperjuangan penulis Fajri Ilhami, M. Ilham Ramadhan,
Riyad Ashomadi, Yasir Murodi, Indra Karisma, M. Qofal, Yunizar Fahmi,
Angga, Hilman Faisal, M. Dhiya Ulhaq, Sofyan Ariansyah, Aep
Fahrurrozi, Akhyaru Rizkilah, M. Diva Saputra Latifah Al Maulidiyah,
dan juga kepada teman teman hukum keluarga 2014 dan teman teman
Himpunan Mahasiswa Islam ciputat 2014 yang senantiasa meluangkan
waktu berdiskusi dengan penulis perihal skripsi ini.
Semoga skripsi ini bermanfaat bagi yang membacanya khususnya untuk
mahasiswa/i Fakultas Syariah dan Hukum.
Jakarta, 16 September 2019
Penulis
iii
DAFTAR ISI
PERSETUJUAN PEMBIMBING
LEMBAR PENGESAHAN PENGUJI
LEMBAR PERNYATAAN
ABSTRAK
KATA PENGANTAR ......................................................................................i
DAFTAR ISI .....................................................................................................iii
BAB 1 PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ......................................................... 1
B. Identifikasi Masalah ............................................................... 5
C. Batasan Masalah ..................................................................... 5
D. Rumusan Masalah...................................................................5
E. Tujuan dan Manfaat Penulisam .............................................. 6
F. Kajian Studi Terdahulu .......................................................... 6
G. Metode Penelitian ................................................................... 6
H. Sistematika Penulisan ............................................................. 10
BAB II Konsep Umum Tentang Administrasi Perkawinan
A. Pencacatan Perkawinan dalam UU No. 1 Tahun 1974 dan
Kompilasi Hukum Islam........................................................12
B. Sejarah Pencatatan Perkawinan di Indonesia....................... .. 16
C. Perkawinan Tidak Tercatat
1. Dampak Hukum Tidak Tercatatnya Perkawinan ............. 19
2. Sahnya Perkawinan .......................................................... 21
3. Tujuan Pencatatan Perkawinan ....................................... 22
4. Prosedur Pencatatan Perkawinan ........................................... 24
BAB III Pengenalan Terhadap Masyarakat Baduy Muslim
A. Profil Singkat Desa Bojong Menteng
1. letak Geografis ................................................................... 32
2. Keadaan Penduduk ............................................................. 32
3. Mata Pencaharian Masyarakat Desa Bojong Menteng ...... 33
B. Gambaran Umum Masyarakat Baduy Muslim
1. Demografis Masyarakat Baduy Muslim........................ ... 34
2. Tingkat Pendidikan Mayarakat Baduy Muslim ....... ........35
3. Mata Pencaharian Masyarakat Baduy Muslim..................36
iv
4. Kondisi Agama dan Kepercayaan Masyarakat Suku
Baduy dan Baduy Muslim.................................................38
C. Pola Umum Masyarakat Baduy Muslim
1. Sejarah Suku Baduy ......................................................... 41
2. Sejarah Suku Baduy Muslim.............................................42
3. Adat dan Kondisi Sosial Budaya Masyarakat Baduy
Muslim..............................................................................43
D. Proses Perkawinan Baduy Muslim di Desa Bojong
Menteng.......................................................................... ........... 45
BAB IV Administrasi Perkawinan Masyarakat Baduy Muslim di Desa
Bojong Menteng dalam Perspektif Hukum Positif dan Hukum
Islam
A. Administrasi Perkawinan Masyarakat Baduy Muslim
Menurut Hukum Positif..........................................................46
B. Administrasi Perkawinan Masyarakat Baduy Muslim
Menurut Hukum Islam...........................................................52
C. Analisis Penulis .....................................................................55
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan ............................................................................. 59
B. Saran-Saran ............................................................................ 59
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pelaksanaan perkawinan dikalangan umat Islam, sejak awal kemerdekaan
pemerintah telah mengambil peran aktif dengan menetapkannya ketentuan tentang
perkawinan yaitu dalam Peraturan Perundang-undangan. Kebijakan ini diambil
sebagai upaya pemerintah untuk mengatur dan menertibkan pelaksanaan
perkawinan serta sebagai legalisasi dan kepastian hukum baik terghadap
kehidupan pribadi dan keluarga, termasuk juga akibat hukum yang ditimbulkan
dari sebuah perkawinan tersebut.1
Administrasi pencatatan Perkawinan adalah pendataan administrasi
perkawinan yang ditangani oleh petugas pencatat perkawinan (PPN) dengan
tujuan untuk menciptakan ketertiban hukum. Dalam kajian hukum Islam tidak
dikenal istilah pencatatan perkawinan. Undang- Undang yang berlaku di
Indonesia percatatan perkawinan telah diatur dalam UU No 22 tahun 1946, UU
No 1 tahun 1974, PP No 9 tahun 1975, kompilasi Hukum Islam dan RUU Hukum
Terapan Peradilan Agama bidang Perkawinan.
Masyarakat pada masa modern ini adalah mengenai pencatatan
perkawinan terutama mengenai di mana posisi pencatatan nikah dalam sebuah
akad perkawinan. Karena pada dasarnya syariat Islam tidak mewajibkan adanya
pencatatan terhadap setiap terjadinya akad Perkawinan, namun dilihat dari segi
manfaatnya pencatatan nikah amat sangat diperlukan.2
Perkawinan berkaitan erat dengan masalah-masalah kewarisan,
kekeluargaan sehingga perlu dicatat untuk menjaga agar adanya tertib hukum.
1 Yufi Wiyos Rini Masykuroh,S.Ag., M.S.i, Bp4 Kepenghuluan, (Bandar Lampung:
Fakultas Syari’ah IAIN Raden Intan Lampung, 2014), h. 1.
2 M. Ali Hasan, Pedoman Hidup Berumah Tangga dalam Islam, (Jakarta: Siraja,
2006), cet Ke-2, h. 123.
2
Peran penghulu sejalan dengan penerapan dan syariat agama Islam dibidang
perkawinan bukan sekedar seremonial, akan tetapi tugas-tugas tersebut juga
menjadi sarana perwujudan ketaatan. Karena pencatatan nikah dapat dijadikan
alat bukti yang otentik agar seseorang mendapatkan kepastian hukum.
Pencatatan perkawinan diatur karena tanpa pencatatan suatu perkawinan
tidak mempunyai kekuatan hukum. Akibat yang timbul dari tidak dicatatkannya
suatu perkawinan adalah apabila salah satu pihak melalaikan kewajibannya maka
pihak lain tidak dapat melakukan upaya hukum, karena tidak memiliki bukti-bukti
yang sah dan otentik dari perkawinan yang dilangsungkannya. Tentu saja,
keadaan demikian bertentangan dengan misi dan tujuan perkawinan itu sendiri.10
Sebagaimana Undang-undang No. 22 Tahun 1946 Jo. UU No. 32 Tahun
1954 tentang Pencatatan Nikah, Talak, Rujuk, bahwa pelaksanaan Perkawinan
diawasi oleh Pegawai Pencatat Nikah (penghulu). Kemudian berdasarkan
peraturan MENPAN No. PER/62/M.PAN/6/2005 telah ditetapkan bahwa
penghulu sebagai pejabat fungsional sesuai dengan ketentuan Peraturan
Pemerintah No. 16 Tahun 1994, maka penghulu tersebut bertugas melakukan
pendaftaran, pencatatan, dan pengawasan pelaksanaan Perkawinan.3
Tahapan atau tatacara pelaksanaan perkawinan yang harus dilalui secara
hirarki, hal tersebut tertera pada Pasal 3 s/d pasal 13 Peraturan Pemerintah
Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-undang
Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, demikian juga serupa dengan Pasal 3
sampai dengan Pasal 18 Peraturan Mentri Agama Nomor 19 Tahun 2018
tentang Pencatatan Perkawinan, antara lain melakukan: Pendaftaran Kehendak
Perkawinan, Pengumuman Kehendak Perkawinan, Pelaksanaan Pencatatan
Perkawinan dan terakhir Penyerahan Buku Pencatatan Perkawinan.4
3 Ahmad Rofiq, Hukum Perdata Islam di Indonesia, (Jakarta : PT Raja Grafindo
Persada, 2013), h. 11.
4 Pasal 2-11 Peraturan Pemerintah Repuplik Indones ia Nomor 9 Tahun 1975 Tentang
Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan jo. Pasal 3 - Pasal
18 Peraturan Menteri Agama Nomor 19 Tahun 2018 tentang Pencatatan Perkawinan.
3
Suku Baduy merupakan sebuah suku yang berada di Desa Kenakes
Kecamatan Leuwidamar Provinsi Banten. Masyarakat Suku Baduy merupakan
salah satu masyarakat yang unik, baik dari segi kehidupan mereka yang mana
penuh dari kesederhanaan dan juga dilihat dari tempat tinggalnya yang
semuanya hampir sama. Kesederhanaan mereka dapat dilihat dari penampilan
mereka tidak pernah meninggalkan ciri khasnya, dimanapun berhadapan dengan
siapa saja, tidak kenal fantasi dan variasi.5
Sebagaimana yang kita ketahui bahwasannya Suku Baduy itu terdiri dari
dua, yaitu Baduy Luar dan Baduy Dalam. Dari segi pola hidup antara Baduy
Dalam dengan Baduy Luar secara umum hampir sama, akan tetapi ada dalam
hal-hal tertentu memiliki perbedaan yang menonjol. Pada masyarakat Baduy
Dalam, mereka tidak boleh menggunakan alat elektronik, dan pembangunan
rumahpun tidak diperbolehkan menggunakan paku, akan tetapi hanya
menggunakan pasak dan tali dari rotan dan hanya satu pintu. Mereka juga
dilarang untuk menggunakan sendal, sepatu bahkan untuk bepergianpun tidak
diperbolehkan menggunakan kendaraan jenis apapun. Bahkan mereka juga
tidak memperbolehkan menyerupai pakaian orang Baduy Luar. Apabila
melanggar semua itu, mereka akan mendapatkan sanksi hukum sesuai dengan
hukum adat yang berlaku.6
Berbeda dengan masyarakat Suku Baduy Dalam, Baduy Luar sudah
mulai maju dibanding Baduy Dalam. Mereka sudah banyak mengadopsi pola
hidup masyarakat non Baduy kedalam pola kehidupan mereka sehari-hari. Akan
tetapi mereka tidak menghilangkan ciri khas mereka.7
Mengenai masalah perkawinan masyarakat Suku Baduy memegang
prinsip perkawinan monogami, seorang laki-laki Baduy tidak boleh beristri
5 Djoewisno, “Potret Kehidupan Masyarakat Baduy”, Orang-orang Baduy Bukan Suku
Terasing Mereka yang Mengasingkan Diri, (PT Cipta Pratama ADV), cet-Pertama, h.134. 6 Aan Hasanah, Jurnal Wacana, Pengembangan Pendidikan Karakter Berbasis Kearifan
Lokal Pada Masyarakat Minoritas (Studi Atas Kearifan Lokal Masyarakat Adat Suku Baduy
Banten), (Universitas Islam Negeri Sunan Gunung Djati Bandung, Volume XXI, Nomor 1 Tahun
2012), h. 215-216. 7 Ayi Rukmana, Tradisi perkawinan baduy dalam dengan baduy luar, (studi kasus desa
kanekes kecamatan leuwidamar kabupaten lebak), (Jakarta: Uin Syarif Hidayatullah Jakarta,2016),
h.14.
4
lebih dari seorang. Dalam kebiasaan masyarakat Baduy, anak laki-laki boleh
kawin apabila sudah berumur sekitar 23 tahun dan anak perempuan pada usia
18 tahun. Semua sistem yang berada di Suku Baduy berdasarkan Pikukuh
sebuah aturan yang sudah digariskan oleh leluhur Masyarakat Baduy. Pikukuh
merupakan prinsip masyarakat Baduy dalam menjalankan segala segi
kehidupan. Dalam aturan tersebut mengatur boleh atau tidaknya suatu aturan.
Peraturan Baduy Luar tidak semengikat Peraturan yang ada pada Baduy
Dalam. Bahkan dalam hal Perkawinan, Baduy Luar masih mengizinkan
masyarakatnya menikah dengan orang luar Baduy.
Dari segi agama, tentu masyarakat Baduy bukan bagian dari agama
Islam walaupun ada sebagaian syariat agama Islam yang ditunaikan oleh
masyarakat Baduy. Kepercayaan masyarakat Baduy adalah sunda wiwitan, yang
mana mempercayai roh nenek moyang.
Masyarakat asli Baduy yang merupakan penduduk asli Desa Kenakes
dewasa ini telah banyak yang pindah ke agama Islam. Adapun faktor yang
mempengaruhi banyaknya masyarakat Baduy masuk Islam adalah karena
seringnya masyarakat asli Kenakes berinteraksi dengan masyarakat luar
Kenakes.
Masyarakat yang telah pindah agama dari Sunda Wiwitan ke Islam,
secara tidak langsung mereka telah menyatakan siap untuk pergi dari kampung
asal atau Desa Kenakes. Karena barang siapa yang pindah keyakinan disuruh
pergi dari Desa Kenakes. Masyarakat Baduy yang telah pindah agama, mereka
pindah ke Desa Bojong Menteng. Mereka yang Muallaf tersebar di kampung
Lendeuih
Mengenai masalah administrasi pencatatan perkawinan di KUA, Desa
Kanekes bila di bandingkan dengan desa-desa yang lainnya tergolong desa yang
minim adminisrasi pencatatan perkawinan di KUA. Pada tahun 2018 di Desa
Kanekes terjadi 42 peristiwa perkawinan yang tercatat di desa tetapi tidak ada
satu pun peristiwa perkawinan yang tercatat di KUA.8 Tidak heran karena
8 Badan Pusat Statistik, Kecamatan Leuwidamar dalam Angka 2018, ( Lebak : Badan
Pusat Statistik, 2018) , h. 59.
5
masyarakat yang ada di Kenakes memang bukan orang Islam.
Namun pada penelitian ini, penulis fokus kepada penelitian yang di
khusukan untuk masyarakat Baduy yang telah masuk Islam (Muallaf). Adapun
yang ingin penulis teliti disini adalah mengenai pencatatan perkawinan
masyarakat baduy muslim dengan judul “ADMINISTRASI PERKAWINAN
MASYARAKAT BADUY MUSLIM” (Studi Kasus Desa Bojong Menteng
Kecamatan Leuwidamar Kabupaten Lebak Banten)
B. Identifikasi Masalah
1. Bagaimana proses administrasi perkawinan pada masyarakat suku Baduy
Dalam dan Baduy Luar?
2. Bagaimana administrasi perkawinan masyarakat Baduy Muslim?
3. Bagaimana pandangan Hukum Islam dan Hukum Positif mengenai
Perkawinan pada Masyarakat Baduy Muslim?
C. Batasan Masalah
Untuk mempermudah pembahasan dalam skripsi ini, penulis membatasi
masalah yang akan dibahas untuk menghindari kemungkinan tumpang-tindih
dengan permasalahan di luar tema penelitian. Di sini penulis hanya akan
membahas mengenai proses administrasi perkawinan pada masyarakat Baduy
Muslim yang berada di Desa Bojong Menteng Kecamatan Leuwidamar
Kabupaten Lebak.
D. Rumusan Masalah
Masalah pokok dari judul adalah bagaimana sistem administrasi
perkawinan dalam masyarakat Baduy di Desa Kanekes. Untuk menjawab masalah
pokok di atas penulis menguraikan dalam rumusan sebagai berikut:
1. Bagaimana proses administrasi Perkawinan pada masyarakat suku Baduy
Muslim di Desa Bojong Menteng?
2. Bagaimana pandangan Hukum Positif dan Hukum Islam mengenai
Perkawinan pada Masyarakat Baduy Muslim di Desa Bojong Menteng?
6
E. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan Penelitian
Sehubungan dengan permasalahan di atas, maka tujuan yang
hendak dicapai dalam penulisan ini adalah :
a. Untuk mengetahui proses administrasi Perkawinan pada masyarakat
Suku Baduy Muslim di Desa Bojong Menteng.
b. Untuk mengetahui pandangan Hukum Islam dan Hukum Positif
mengenai Perkawinan pada Masyarakat Baduy Muslim di Desa Bojong
Menteng.
2. Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat baik secara
teoritis maupun praktis
a. Secara Teoritis
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat dalam
bentuk sumbang pemikiran untuk penelitian lanjutan, baik sebagai
bahan awal maupun sebagai bahan perbandingan untuk penelitian
yang lebih luas dan berhubungan dengan peranan dan proses
administrasi pencatatan perkawinan di Desa Bojong Menteng
Kecamatan Leuwidamar.
b. Secara Praktis
Penelitian ini diharapkan dapat menambah wawasan dan
khazanah pengetahuan dibidang hukum terkait persoalan Peranan
dan Proses administrasi pencatatan perkawinan di Desa Bojong
Menteng Kecamatan Leuwidamar.
F. Kajian Studi Terdahulu
Studi yang berkaitan terhadap Administrasi Perkawinan pada
masyarakat Baduy telah dilakukan oleh peneliti terdahulu antara lain:
1. Karya Ayi Rukmana, S.Sy. dengan judul “Tradisi Perkawinan Baduy
Luar dengan Baduy Dalam” (Studi Kasus Desa Kenakes Kecamatan
7
Leuwidamar Kabupaten Lebak Banten)
2. Karya Isti Astuti Safitri,S.Sy dengan judul “Efektifitas pencatatan
perkawinan pada KUA Kecamatan Bekasi Utara”
3. Karya Anisaul Fauziyah, S.H. dengan judul “Peran penghulu terhadap
pencatatan perkawinan”
4. Karya Otom Mustomi, dengan judul “Perubahan Tatanan Budaya Hukum
Pada Masyarakat Adat Suku Baduy Provinsi Banten”
Perbedaanya dengan penelitian penulis adalah penelitian ini lebih
difokuskan kepada proses administrasi perkawinan masyarakat Baduy Dalam
dan Baduy Luar, dan juga proses Administrasi Perkawinan antara Suku Baduy
dengan masyarakat luar Baduy.
G. Metode Penelitian
Metode penelitian berarti cara yang dipakai untuk mencari, mencatat,
menemukan dan menganalisis sampai menyusun laporan guna mencapai
tujuan, Adapun metode penelitian yang digunakan dalam melakukan
penelitian ini diuraikan sebagai berikut :
1. Jenis Penelitian
Penelitian ini termasuk pada jenis penelitian kualitatif, penelitian
kualitatif merupakan salah satu cara dalam penelitian yang bertujuan
untuk memahami masyarakat, masalah atau gejala dalam masyarakat
dengan mengumpulkan sebanyak mungkin fakta secara mendalam. Dan
data disajikan dalam bentuk verbal bukan dalam bentuk angka. Penelitian
yang dilakukan dalam kehidupan yang sebenarnya.9 Dalam penelitian
kualitatif sejak awal ingin mengungkapkan data secara kualitatif dan
disajikan secara naratif.10
9 Kartini Kartono, Pengantar Metodologi Riset Sosisal, (Bandung: Cv Mandar Maju,
1996), h. 32. 10 A Muri Yusuf, Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan Penelitian Gabungan,
(Jakarta: Kencana, 2014), h. 331.
8
2. Pendekatan Penelitian
Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah melalui
pendekatan normatif soisologis, yaitu menggunakan data sekunder yakni
data premier yang sudah jadi atau sudah tersaji dalam bentuk sistem
hukum, norma, atau kaidah dari peraturan perundang-undangan, serta
penelitian yang berupa studi-studi empiris untuk menemukan teori-teori
mengenai proses bekerjanya hukum di dalam masyarakat.
3. Sumber Data
a. Sumber Primer
Data Primer merupakan teknik pengumpulan data dengan
menggunakan cara wawancara kepada objek penelitian guna
mendapatkan hasil data yang mendalam dari informan yang
mengalamai langsung persoalan tersebut atau yang paling tahu
tentang dirinya, masyarakat maupun lemabaga sosial lainnya dan
membenarkan bahwa benar apa adanya pertanyaan pertanyaan yang
diajukan oleh peneliti kepada objek penelitian. Pokok –pokok
penelitian digunakan untuk menghindari penyimpangan pembahasan
pada penelitian.11
b. Data Sekunder
Data sekunder, diperoleh melalui dokumen-dokumen resmi,
buku-buku, hasil-hasil penelitian yang berwujud laporan, buku harian
dan seterusnya yang berkaitan dengan topik penelitian ini.12
4. Pengumpulan Data
Adapun pengumpulan data penelitian ini penulis mengunakan
dengan metode :
11 Sugiyono, Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D, (Bandung; Alfabeta,
2015), h.56. 12 Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta: UI-Press, 2015), cet.3, h.
12.
9
a. Teknik Wawancara
Teknik wawancara atau interview yaitu suatu metode
pengumpulan data yang sering digunakan dalam metode penelitian.
Bagian dari survey adalah teknik wawancara dengan mencari
informasi dari informan terhadap persoalan yang terjadi di
masyarakat.13
Teknik sampling yang digunakan untuk menentukan
narasumber yang diwawancarai dengan teknik probability sampling
dan berfokus pada teknik simple random sampling. Probability
sampling adalah teknik pengambilan sampel yang memberikan
peluang yang sama bagi setiap unsur (anggota) populasi untuk dipilih
menjadi anggota sampel, sedangkan simple random sampling
dikatakan simpel (sederhana) karena pengambilan anggota sampel
dari populasi dilakukan secara acak tanpa memperhatikan strata yang
ada di dalam populasi itu.14
Wawancara dengan tokoh adat, masyarakat dan KUA
beberapa masyarakat yang pernah melaksanakan Perkawinan di
Baduy.
b. Penelitian Perpustakaan
Sumber data utama kajian ini adalah menelaah buku-buku yang
berkaitan dengan penelitian ini baik bentuk skripsi, thesis, jurnal, dan
literatur lain yang terkait dengan penelitian ini.
5. Teknik Penulisan
Teknik penulisan ini merujuk pada pedoman penulisan skripsi
Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang
diterbitkan oleh Pusat Peningkatan dan Jaminan Mutu (PPJM) Fakultas
Syariah dan Hukum Tahun 2017.
13 Silalahi Ulber, Metode Penelitian Sosial, (Bandung; Refika Aditama, 2009), h.35. 14 Sugiyono, Metode Penelitian Manajemen, (Bandung: Alfabeta, 2015), cet.4, h. 151-
152.
10
H. Sistematika Penulisan
Agar penelitian ini lebih terarah penulis enjadikan sistematika
penulisan dalam lima bab, yang mana dalam kelima bab tersebut dari sub-sub
bab yang terkait. Sistematika penulisan sebagai berikut :
Bab I berisi tentang pendahuluan yang berhubungan erat dengan
permasalahan yang akan dibahas. Identifikasi masalah, mendata dan
mengidentifikasi permsalahan yang berhubungan dengan tema penelitian.
Pembatasan dan perumusan masalah, yang dimaksudkan agar lebih terfokuskan
dalam permasalahan, supaya tidak ada tumpang tindih dengan masalah lain yang
tidak ada kaitannya dengan penelitian. Rumusan masalah, berisikan tentang uraian
masalah yang akan diteliti, yaitu pernyataan tegas mengenai apa yang akan jadi
tema penelitian. Tujuan penelitian, yaitu rumusan mengenai apa sebenarnya yang
ingin diketahui oleh peneliti sehingga menjawab seluruh pertanyaan penelitian.
Manfaat penelitian, diharapkan dari hasil penelitia yang dilakukan menghasilkan
nilaiguna penelitian. Metode penelitian,menguraian bagaimana cara kerja dan
prosedur pelaksanaan penelitian, dalam arti kata metode apa yang akan digunakan
dalam menjalanan penelitian ini. Review studi terdahulu, menjelaskan mengenai
kajian-kajian terdahulu yang berkaitan dengan tema penelitian. Sistematika
penulisan, menjelaskan sistematika penuliasn yang berisikan deskripsi karya
tulisan perbab, uraian tersebut menggambarkan alur daari bahan skripsi yang akan
dijelaskan.
Bab II adalah administrasi Perkawinan di Indonesia dalam bab ini
penulis akan membahas secara umum tentang pengertian Administrasi, dasar
hukum, pengertian Administrasi Perkawinan menurut Hukum Islam dan
Hukum Positif.
Bab III akan menguraikan tentang profil masyarakat Baduy.
Gambaran umum tentang masyarakat yang meliputi letak geografis , sistem
kemasyarakatan, adat istiadat dan kebudayaan,
Bab IV membahas tentang administrasi perkawinan masyarakat Baduy
muslim di Bojong Menteng dalam hukum positif dan hukum Islam. Di
11
dalamnya berupa hasil dari penelitian dan analisis mengenai administrasi
perkawinan masyarakat Baduy dalam perkawinan di Desa Kenakes dan
Masyarakat Baduy muslim di Desa Bojong Menteng, dan bagaimana
penerapan hukum positif pada masyarakat Baduy muslim Desa Bojong
menteng Kecamatan Leuwidamar Kabupaten Lebak.
Bab V akan dipaparkan bahasan penutup, dalam bab ini merupakan
penutup kajian ini, dalam bab ini penulis akan menyimpulkan berkaitan
dengan pembahasan yang penulis lakukan sekaligus menjawab rumusan
masalah yang ada. Uraian terakhir adalah saran yang dapat dilakukan untuk
kegiatan lebih lanjut berkaitan dengan apa yang telah penulis kaji.
11
BAB II
KONSEP UMUM TENTANG ADMINISTRASI PERKAWINAN
A. Pencacatan Perkawinan dalam UU No.1 Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum
Islam
Pencatatan perkawinan telah digulirkan sebagai masalah sejak awal
dibentuknya Rancangan Undang-undang Perkawinan (RUUP) tahun 1971 yang
menjadi Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 1974 Nomor 1, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 3019; untuk selanjutnya disebut UU 1/1974) hingga
dewasa ini. Hal ini terkait dengan pemaknaan hukum (legal meaning) pencatatan
perkawinan dalam peraturan perundang-undangan perkawinan1
Mengenai Ketentuan pencatatan perkawinan telah diatur dalam Pasal 2
UU 1/1974 yang menyatakan:
1. Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing
agamanya dan kepercayaannya itu.
2. Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang
berlaku.
Pencatatan perkawinan merupakan suatu kegiatan pengadministrasian dari
terjadinya perkawinan yang dilakukan oleh Pegawai Pencatat Nikah (PPN) yang
berkedudukan di Kantor Urusan Agama (KUA) di dalam ruang lingkup wilayah
kedua calon mempelai melangsungkan perkawinan yang beragama Islam, dan di
Kantor Catatan Sipil (KCS) bagi non Islam.2
Dalam syariat Islam baik al-Qur’an maupun Hadis tidak mengatur secara
jelas tentang pencatatan perkawinan dan akta nikah sebagai alat bukti. Ini berbeda
1 Hartono Mardjono, 1997, Menegakkan Syari’at Islam dalam Konteks Keindonesiaan: Proses
Penerapan Nilai-nilai Islam dalam Aspek Hukum, Politik, dan Lembaga Negara, Mizan,
Bandung, h. 91-96. 2 Mardani, Hukum Keluarga Islam di Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2016), h. 53.
12
dengan ayat muamalah (mudayyanah) yang dalam situasi tertentu diperintahkan
untuk mencatatkannya.3
Dalam Hukum Islam, mencatatkan perkawinan merupakan hal yang wajib,
sebagaimana yang dijelaskan dalam Firman Allah surat Al- Baqarah ayat 282.
) 282البقرة(
Artinya : “Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu'amalah
tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu
menuliskannya. dan hendaklah seorang penulis di antara kamu
menuliskannya dengan benar. dan janganlah penulis enggan
menuliskannya sebagaimana Allah mengajarkannya, meka hendaklah ia
menulis, dan hendaklah orang yang berhutang itu mengimlakkan (apa
yang akan ditulis itu), dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya,
dan janganlah ia mengurangi sedikitpun daripada hutangnya. jika yang
berhutang itu orang yang lemah akalnya atau lemah (keadaannya) atau
Dia sendiri tidak mampu mengimlakkan, Maka hendaklah walinya
mengimlakkan dengan jujur. dan persaksikanlah dengan dua orang saksi
dari orang-orang lelaki (di antaramu). jika tak ada dua oang lelaki, Maka
3 Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2003), Cet, Ke-6,
h. 107
13
(boleh) seorang lelaki dan dua orang perempuan dari saksi-saksi yang
kamu ridhai, supaya jika seorang lupa Maka yang seorang
mengingatkannya. janganlah saksi-saksi itu enggan (memberi keterangan)
apabila mereka dipanggil; dan janganlah kamu jemu menulis hutang itu,
baik kecil maupun besar sampai batas waktu membayarnya. yang
demikian itu, lebih adil di sisi Allah dan lebih menguatkan persaksian dan
lebih dekat kepada tidak (menimbulkan) keraguanmu. (Tulislah
mu'amalahmu itu), kecuali jika mu'amalah itu perdagangan tunai yang
kamu jalankan di antara kamu, Maka tidak ada dosa bagi kamu, (jika)
kamu tidak menulisnya. dan persaksikanlah apabila kamu berjual beli;
dan janganlah penulis dan saksi saling sulit menyulitkan. jika kamu
lakukan (yang demikian), Maka Sesungguhnya hal itu adalah suatu
kefasikan pada dirimu. dan bertakwalah kepada Allah; Allah
mengajarmu; dan Allah Maha mengetahui segala sesuatu” ) Al Baqarah
282)
Mengenai ayat ini, ulama berbeda pendapat tentang hukum pencatatan
tersebut. Sebagian ulama mengatakan bahwa pencatatan tersebut hukumnya tidak
wajib karena hanya bersifat anjuran. Hal ini menurut Quraish Shihab berdasarkan
praktik para sahabat Nabi ketika itu, keadaan kaum muslimin ketika turunnya ayat
ini belum banyak yang memilki kepandaian tulis menulis, maka jika perintah
tersebut bersifat wajib tentunya akan sangat memberatkan masyarakat muslim
pada saat itu. Namun demikian ayat ini mengisyaratkan pentingnya belajar tulis
menulis, karena dalam hidup seseorang bisa saja mengalami kebutuhan pinjam
dan meminjamkan. Hal ini diisyaratkan dengan penggunaan kata اذا (apabila) yang
terdapat pada awal penggalan ayat ini, yang lazim digunakan untuk kepastian
akan terjadinya sesuatu.4
Berdasarkan pendapat Quraish Shihab tersebut, dapat disimpulkan bahwa
pada kondisi sekarang, di mana keahlian tulis menulis sudah dikuasai oleh
sebagian besar masyarakat, serta penggunaan pencatatan sebagai salah satu bukti
yang diterima di mata hukum, maka pencatatan tersebut hukumnya menjadi wajib.
4 M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah, Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur’an, (Jakarta:
Lentera Hati, 2002), Cet. Ke-1, h. 564-565.
14
Menurut Imam asy-Syafi’i sahnya perkawinan apabila telah memnuhi
Rukun Nikah. Adapun Rukun Nikah menurut imam asy-Syafi’i adalah calon
suami, calon isteri, wali, dua orang saksi dan sigat5
Perintah pencatatan perkawinan bagi umat Islam, termasuk pencatatan
talak dan rujuk
sebelumnya diatur dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1946 tentang
Pencatatan Nikah, Talak, dan Rujuk, yang kemudian berlaku di seluruh daerah
luar Jawa dan Madur berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 1954 tentang
Penetapan Berlakunya Undang-Undang Republik Indonesia Tanggal 21
Nopember 946 No. 22 Tahun 1946 tentang Pencatatan Nikah, Talak, dan Rujuk di
Seluruh Daerah Luar Jawa dan Madura (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 1954 Nomor 98, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
694; untuk selanjutnya disebut UU 22/1946). Kemudian keberlakuan UU 22/1946
ini diperkuat oleh Pasal 12 UU 1/1974, yang penjelasannya menyatakan, bahwa
"ketentuan Pasal 12 ini tidak mengurangi ketentuan yang diatur dalam Undang-
Undang Nomor 22 Tahun 1946 jo. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 1954".
Ketentuan pencatatan perkawinan bagi mereka beragama Islam, diatur
dalam ketentuan Pasal 5 dan Pasal 6 KHI. Pasal 5 ayat (1) Agar terjamin
ketertiban perkawinan bagi masyarakat Islam setiap perkawinan harus dicatat.
Ayat (2) Pencatatan perkawinan tersebut pada ayat 1 dilakukan oleh Pegawai
Pencatat Nikah sebagaimana yang diatur dalam Undang-undang No.22 Tahun
1946 jo Undang-undang No. 32 Tahun 1954. Pasal 6 Untuk memenuhi ketentuan
dalam pasal 5, setiap perkawinan harus dilangsungkan
Demikianlah pentingnya pencatatan perkawinan menjadi hal yang sangat
berpengaruh bagi kehidupan berumah tangga, kehidupan bermasyarakat maupun
kehidupan bernegara. Sehingga perkawinan yang tidak dicatatkan dapat
menimbulkan dampak negatif, yaitu: 6
5 Ahmad Atabik dan Khoridatul Madhiiah, Pernikahan dan Hikmahnya Perspektif Hukum
Islam, Yudisia,Vol.5 No. 2 Desember 2014. 6 Mardani, Hukum Keluarga di Indonesia, (Jakarta: Prenamedia Group, 2016), h. 58
15
a. Perkawinan tersebut tidak mempunyai kekuatan hukum apa pun dalam
melindungi hak dan pemenuhan kewajiban masing-masing pihak, baik suami
maupun isteri
b. Jika dikemudian hari terjadi pelanggaran yang dilakukan oleh salah satu
pihak, maka pihak yang dirugikan tidak dapat menuntut hak apapun secara
hukum. Pelaku yang mangkir dari kewajibannya, secara hukum tidak
berkewajiban mempertanggungjawabkan apa yang telah dilakukan terhadap
pasangannya. Sebab ikatan yang dibangun dalam perkawinan tersebut tidak
sesuai dengan ketentuan hukum perkawinan yang berlaku di Indonesia dan
perkawinan tersebut dianggap illegal di mata hukum. Dengan demikian,
perkawinan yang dilangsungkan tanpa didaftarkan dan dicatatkan oleh
Pejabat Pencatat Nikah, maka perkawinan tersebut berpotensi menimbulkan
kemudaratan dan pengingkaran kewajiban dalam ikatan perkawinan.
B. Sejarah Pencatatan Pernikahan di Indonesia
Pencatatan perkawinan merupakan salah satu bentuk intervensi pemerintah
atau negara untuk melindungi dan menjamin terpenuhinya hak-hak sosial setiap
warga negara, khususnya pasangan suami isteri, serta anak-anak yang lahir dari
perkawinan itu. Terpenuhinya hak-hak sosial itu, akan melahirkan tertib sosial
sehingga akan tercipta keserasian dan keselarasan hidup bermasyarakat.7
Upaya yang dilakukan Pemerintah dalam rangka penertiban kebijaksanaan
administratif perkawinan sudah lama dilakukan. Hal ini dilakukan karena
perkawinan selain merupakan akad yang suci, ia juga mengandung hubungan
keperdataan yang mengatur perikatan antara suami isteri dalam ikatan
perkawinan, juga konsekuensi-konsekuensi lain seperti anak dan tanggung jawab
lainnya. Dimulai dengan dikeluarkannya UU No 22/1946 tentang Pencatatan
7 Ahmad Sanusi, “Pelaksanaan Isbat Nikah di Pengadilan Agama Pandeglang”, Ahkam: Jurnal
Ilmu Syariah, XVI, 01, (Januari, 2016), h. 120.
16
Nikah, Talak dan Rujuk yang disusul dengan UU No 32/1954 tentang penerapan
berlakunya UU No 22/1946.8
Pencatatan perkawinan pada zaman Belanda diatur dalam
Huwelijksordonantie Staatblad 1926 Nomor 348. Verstenlandsche
Huwelijksordonantie Staatblad 1933 Nomor 48 dan Huwelijksordonantie
Buitengewesten Staatblad 1932 Nomor 482. 9 Undang-undang pertama pencatatan
perkawinan yang sekaligus dikelompokan sebagai usaha pembaharuan pertama
adalah dengan keluarnya Undang-undang Nomor 22 Tahun 1946 tentang
Pencatatan Nikah, Talak dan Rujuk. Awalnya undang-undang tersebut berlaku
untuk daerah Jawa dan Madura. Kemudian untuk daerah Sumatera oleh
pemerintah darurat RI diberlakukan Ketetapan Nomor 01/PDRI/KA pada tanggal
16 Juni 1949. Setelah terbentuknya NKRI, terhitung sejak tanggal 26 Oktober
1954 Undang-undang Nomor 22 Tahun 1946 mulai diberlakukan untuk seluruh
wilayah Nusantara. Kemudian untuk pengganti Huwelijksordonantie
Buitengewesten Staatblad 1932 Nomor 482 di keluarkan Undang-Undang Nomor
32 Tahun 1954.10
Kedua peraturan perundang-undangan di atas diberlakukan bagi
masyarakat Indenesia yang beragam Islam, sedangkan selain yang beragama
Islam dilakukan oleh Kantor Catatan Sipil. Dalam Undang-Undang Nomor 22
Tahun 1946 dikenal istilah Pegawai Pencatat Nikah, Talak dan Rujuk (P2NTT).
Sehubungan dengan luasnya daerah tugas di luar daerah Jawa dan Madura
bagi Pegawai Pencatat Nikah, Talak dan Rujuk ini, Menteri Agama dengan
Penetapan Nomor 14 Tahun 1955 membentuk lembaga Pembantu Pegawai
Pencatat Nikah, Talak dan Rujuk ini bukan pegawai negeri, para pembantu itu
ditunjuk oleh tokoh masyarakat sekitar. Kewajiban Pegawai Pencatat Nikah,
Talak dan Rujuk ini sejalan dengan kewajiban Pegawai Pencatatan Nikah Talak
8Yayan Sopyan, Islam-Negara: Transformasi Hukum Perkawinan Islam dalam Hukum
Nasional, h. 132. 9 Abdul Manan, Aneka Masalah Hukum Perdata Islam di Indonesia,(Jakarta: Kencana, 2008),
h. 53. 10 Abdul Manan, Aneka Maslah Hukum Perdata Islam di Indonesia, h. 54
17
dan Rujuk sebagaimana yang diatur dalam Peraturan Menteri Agama Nomor 1
Tahun 1955 dan Nomor 2 Tahun 1954.11
Undang-undang Nomor 22 tahun 1946 ini kemudian diikuti dengan
lahirnya Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan yang diterima
dengan suara bulat pada tanggal 22 Desember 1973 setelah melewati proses yang
cukup panjang. Diundangkan pada tanggal 2 Januari 1974 sebagai Undang-
undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang berlaku secara efektif
sejak tanggal 1 Oktober 1975. Undang-undang ini merupakan undang-undang
pertama yang mencakup seluruh unsur-unsur dalam Perkawinan dan Perceraian
yang berlaku untuk seluruh masyarakat Indonesia.
Pada tanggal 1 April 1975 diundangkan Peraturan Pemerintah Nomor 9
Tahun 1975 tentang Perkawinan. Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 ini
terdiri dari 49 pasal dan 10 bab. Pelaksanaan yang diatur dalam peraturan ini
terdapat dua bagian yaitu:
1. Pelaksanaan yang berhubungan dengan pelaksanaan nikah yang menjadi
tugas Pegawai Pencatat Nikah (PPN)
2. Pelaksanaan yang dilaksanakan oleh pengadilan, yang dalam hal ini
dilaksanakan oleh Peradilan Umum bagi warga negara yang non-muslim dan
Peradilan Agama yang muslim. Pelaksanaan terhadap hal terakhir ini
dilaksanakan terhadap beberapa persoalan hukum yang berkenaan dengan
pelaksanaan perkawianan dan perceraian.12
Setelah lahirnya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan dan Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan maka masalah
pencatatan tidak lagi menjadi tugas pemerintah, melainkan beralih menjadi tugas
Direktorat Agama Islam Departemen Agama RI bagi yang beragama Islam, dan
bagi yang selain beragama Islam tetap di Kantor Catatan Sipil. Pedoman
11 Abdul Manan, Aneka Masalah Hukum Perdata Islam di Indonesia, h. 54. 12 Abdul Manan, Aneka Masalah Hukum Perdata Islam di Indonesia, h. 13.
18
pencatatannya sendiri masih merujuk kepada Undang-Undang Nomor 22 Tahun
1946 dan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 1954. Sedangkan Agama RI Nomor
1 Tahun 1955 dan Nomor 2 Tahun 1954. Seiring dengan adanya perubahan dan
berkembangnya organisasi Departemen Agama RI, kedua Peraturan Menteri
Agama RI terakhir ini dicabut dan diganti dengan PP No. 3 Tahun 1975.
Terakhir sehubungan dengan lahirnya Undang-Undang Nomor 7 Tahun
1989 tentang Peradilan Agama, Menteri Agama RI dengan Peraturan Menteri
Agama RI Nomor 22 Tahun 1991 menetapkan tentang kewajiban-kewajiban yang
harus dilaksanakan oleh Kantor Urusan Agama selaku Pegawai Pencatat Nikah.13
Demikian sejarah pencatatan perkawinan yang tidak bisa dilepaskan dari
sejarah pembentukan Undang-undang Perkawinan itu sendiri dengan
perjalanannya yang cukup panjang. Karena pencatatan perkawianan itu sendiri
tercakakup dalam Undang-undang Perkawinan.
C. Dampak Hukum dengan Tidak Tercatatnya Perkawinan
1. Dampak Hukum Pencatatan Perkawinan
Perkawinan pada dasarnya adalah sah ketika telah memenuhi syarat
dan rukunnya, yaitu ketika adanya mempelai laki-laki dan perempuan, adanya
wali bagi mempelai perempuan, adanya dua orang saksi, dan ijab qabul (akad
nikah). Namun sebagai negara hukum tidak cukup dengan syarat-syarat
tersebut, di Indonesia, perkawinan itu sah apabila telah dicatatkan.14
Pencatatan perkawinan menjadi perdebatan di kalangan masyarakat,
karena dalam Islam sendiri tidak ada mewajibkan untuk melakukan
pencatatan perkawinan. Adapun alasan dari masyarakat yang menerima
pencatatan perkawinan adalah karena mereka berasalan ini merupakan hal
yang positif dan mengandung kemaslahatan bagi pasangan suami isteri.
13 Abdul Manan, Aneka Masalah Hukum Perdata Islam di Indonesia, h. 55.
14 Muhammad Fu’ad Syakit, PerkawinanTerlarang, Jakarta: CV. Cendekia Sentra Muslim
(anggota IKAPI), 2002, h.58-59
19
Pencatatan perkawinan menjadi unsur yang sangat penting bagi
keabsahan perkawinan. Hal ini dimaksudkan untuk melindungi warga negara
dalam membina keluarga, selain itu perkawinan yamg dicatatkan akan
memberikan kepastian dan perlindungan serta kekuatan hukum bagi suami ,
isteri dan anak-anak, juga memberikan jaminan dan perlindungan terhadap
hak-hak tertentu yang timbul karena perkawinan antara lain hak untuk
mewaris dan sebagainya15
a. Ketentuan Hukum
Para ulama sepakat bahwa pernikahan harus dicatatkan secara
resmi pada lembaga yang berwenang, sebagai langkah preventif untuk
menolak dampak negatif /saddan lidz-dzari ‘ah. Pernikahan Dibawah
Tangan hukumnya sah karena telah terpenuhinya syarat dan rukun nikah,
tetapi haram jika terdapat mudharat.11
Perkawinan semacam ini termasuk dalam kategori zina,
berdasarkan hal-hal sebagai berikut:
1) Perkawinan ini dilakukan tanpa sepengetahuan wali perempuan, setiap
perkawinan yang dilaksanakan tanpa adanya wali maka perkawinan
itu tidak sah. Hal ini sangat bertentangan dengan maksud-maksud
syari’ah.
2) Karena tidak adanya pemberitahuan dan walimah maka perkawinan
ini tidak ubahnya dengan zina tersembunyi.
3) Tanpa ada ketentuan untuk menyediakan tempat dan mahar.
b. Pentingnya Pencatatan Perkawinan
Dasar hukum pencatatan perkawinan tiap-tiap perkawinan dicatat
menurut peraturan yang berlaku (pasal 2 ayat 1 Undang-Undang
Perkawinan nomor 1 tahun 1974). Bagi mereka yang melakukan
15 Liky Faizal, Akibat Hukum Pencatatan Perkawinan, Lampung, Dosen Fakultas Syariah IAIN
Raden Intan Lampung,58
20
perkawinan menurut agama Islam, pencatatan dilakukan di Kantor Urusan
Agama (KUA). Sedang bagi yang beragama Katholik, Kristen, Budha,
Hindu, pencatatan itu dilakukan di Kantor Catatan Sipil (KCS).
c. Akibat Hukum Tidak Dicatatnya Perkawinan
1) Perkawinan dianggap tidak sah
2) Meski perkawinan dilakukan menurut agama dan kepercayaan, namun
di mata negara perkawinan dianggap tidak sah jika belum dicatat oleh
Kantor Urusan Agama atau Kantor Catatan Sipil.
3) Nikah siri dapat mempengaruhi kondisi Psikologis karena adanya
persaan tidak nyaman tidak memiliki dokumen dokumen seperti akta
kelahiran.16
4) Anak hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibu dan keluarga
ibu akibat lebih jauh dari perkawinan yang tidak tercatat adalah,
baik isteri maupun anak-anak yang dilahirkan dari perkawinan tersebut
tidak berhak menuntut nafkah ataupun warisan dari ayahnya.
Namun demikian, Putusan Mahkamah Konstitusi mengabulkan
permohonan Macicha Muktar sehingga anak hasil perkawinan siri
memiliki hubungan perdata dengan ayahnya.17
2. Sahnya Perkawinan
Sahnya perkawinan apabila dilakukan menurut hukum masing-masing
agamanya dan kepercayaannya.18 Ini berarti bahwa jika suatu perkawinan
telah memenuhi syarat dan rukun nikah atau ijab kabul telah dilaksanakan
(bagi umat Islam) atau pendeta/pastur telah melaksanakan pemberkatan atau
ritual lainnya (bagi yang non muslim), maka perkawinan tersebut adalah
sah,menurut agama dan kepercayaan masyarakat.
16 Drs. Ali Uraidy., MH., “Perkawinan Sirri dan Akibat Hukumnya Ditinjau dari Undang
Undang No.1 Tahun 1974”, Jurnal Ilmiah FENOMENA, Volume X, Nomor 2, November 2012
hal. 990 17 Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010 18 Undang-Undang No. 1 Tahun1974 Pasal 2 Ayat 1. “ Perkawinan adalah sah apabila
dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaan itu.”
21
Masyarakat yang menganggap sah, sudah tidak peduli lagi dengan
yang namanya proses administrasi, itu semua dikarenakan ada yang beralasan
prosesnya yang berbelit belit, dan ada juga yang beralasan biayanya mahal.
Perkawinan tak dicatatkan ini dikenal dengan istilah Perkawinan Siri.19
3. Tujuan Pencatatan Perkawinan
Ketentuan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 di dalam pasal 2 ayat
(2) yang berbunyi “Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan
perundang-undangan yang berlaku”. UU ini telah berlaku sejak dahulu dan
telah jalankan oleh sebagian masyarakat Indonesia. Akan tetapi, ini masih
menimbulkan banyak persoalan, karena masih banyak orang yang telah
melangsungkan perkawinan namun ia tidak mencatatkan perkawinannya pada
Pegawai Pencatat Nikah (PPN) Kantor Urusan Agama atau di Kantor Catatan
Sipil.
Yang menjadi faktor utama sebenarnya adalah ketidak pedulian
masyarakat terhadap sistem administrasi yang ada di negara, dan juga faktor
ke awaman masyarakat terhadap hukum, dan memanfaatkan celah hukum
bagi mereka yang akan melangsungkan poligami
Selain itu, keyakinan sebagian masyarakat Indonesia yang masih
berpegang teguh pada pemahaman bahwa pernikahan sudah cukup apabila
dilaksanakan menurut ketentuan hukum Islam dan tidak perlu dicatatkan di
hadapan Pegawai Pencatat Nikah (PPN) Kantor Urusan Agama dan Catatan
Sipil, sehingga pernikahan di bawah tangan masih saja terjadi dan seolah
tumbuh subur karena rendahnya kesadaran hukum dalam masyarakat.
Pencatatan perkawinan tidak pernah ada dalam fikih konvensional
bahkan dalam tumpukan kitab yang mendasarkan pada perkataan Rasulullah
SAW, tetapi karena tujuannya untuk konteks saat ini sangat mendesak, maka
tidak ada salahya jika pencatatan perkawinan menjadi salah satu komponen
dasar perkawinan masyarakat modern suatu negara.
19 Liky Faizal, Akibat Hukum Pencatatan Perkawinan, Lampung, Dosen Fakultas Syariah IAIN
Raden Intan Lampung, hal.66
22
Adapun beberapa tujuan adanya pencatatan perkawinan adalah:
a. salah satu bentuk upaya untuk mewujudkan rumah tangga yang sakinah,
mawaddah, dan rahmah yang menjadi suatu keharusan dan
keniscayaan.20
b. untuk memberikan jaminan hukum terhadap perkawinan yang dilakukan,
bahwa perkawinan itu dilaksanakan dengan sungguh-sungguh,
berdasarkan i’tikad baik, serta suami sebagai pihak yang melakukan
transaski benar-benar akan menjalankan segala konsekuensi atau akibat
hukum dari perkawinan yang dilaksanakannya itu.21
c. Untuk mewujudkan ketertiban perkawinan dalam masyarakat. Ini
merupakan suatu upaya yang diatur melalui undang-undang untuk
melindungi martabat dan kesucian perkawinan22
d. Untuk tujuan preventif yaitu untuk menanggulangi agar tidak terjadi
kekurangan atau penyimpangan rukun dan syarat perkawinan, baik
menurut hukum dan kepercayaan itu, maupun menurut UU23
e. Selain untuk melengkapi syarat administrasi yang substansinya bertujuan
untuk mewujudkan ketertiban umum, namun juga bermanfaat bagi
kepentingan dan kelangsungan suatu perkawinan.24
f. Adapun manfaat pencatatan nikah yang bersifat represif adalah sebagai
bukti hukum, dimana suatu perkawinan dianggap ada dan diakui sebagai
suatu perkawinan ketika ada tanda bukti perkawinan atau akta nikah. Dan
akta nikah merupakan akta otentik
20Ahmad Tholabi Kharlie, Hukum Keluarga Indonesia, (Jakarta: Bumi Aksara, 2013), h. 188-
189. 21 Yayan Sopyan, Islam-Negara: Transformasi Hukum Perkawinan Islam dalam Hukum
Nasional, h. 131. 22 Sri Mulyani, Relasi Suami Isteri Dalam Islam, (Jakarta: Pusat Studi Wanita UIN Syarif
Hidayatullah, 2004), h. 9.
23 Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2003), Cet, Ke-6,
h. 105. 24 Yayan Sopyan, Islam-Negara: Transformasi Hukum Perkawinan Islam dalam Hukum
Nasional, h. 134.
23
g. Mewujudkan ketertiban perkawinan dalam masyarakat dan untuk
melindungi martabat dan kesucian perkawinan dan khususnya perempuan
dalam kehidupan rumah tangga
h. Memberikan perlindungan terhadap status perkawinan;
i. Memberikan perlindungan terhadap hak-hak sipil yang diakibatkan
adanya perkawinan
j. Untuk menjaga kepastian hukum
4. Prosedur Pencatatan Perkawinan di KUA
Dalam UUD 1945 Pasal 1 Ayat 3 telah dikatakan bahwasannya negara
Indonesia merupakan hukum, maka dari itu semua masyarakat yang hidup di
negara hukum tentu wajib untuk mematuhi aturan-aturan yang ada disebuah
negara tersebut. Perihal Perkawinan di Indonesia sebagaimana yang telah
diatur dalam UU Perkawinan, bahwasannyan Perkwainan itu sah apabila telah
dicatatkan.
Pegawai Pencatat Nikah (PPN) mempunyai kedudukan yang jelas
dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia, hal ini diatur dalam UU
No. 22 Tahun 1946 jo UU No. 32 Tahun 1954. PPN merupakan satu-satunya
pejabat yang berwenang mencatat perkawinan yang dilangsungkan menurut
hukum agama Islam dalam wilayahnya. Untuk memenuhi ketentuan itu maka
setiap perkawinan yang dilangsungkan harus di hadapan dan di bawah
pengawasan PPN karena PPN mempunyai tugas dan kedudukan yang kuat
menurut hukum, ia adalah Pegawai Negeri yang diangkat oleh Menteri
Agama pada tiap-tiap KUA Kecamatan.
Masyarakat dalam merencanakan perkawinan agar melakukan
persiapan sebagai berikut:25
a. Masing-masing calon mempelai saling mengadakan penelitian apakah
mereka saling cinta/setuju dan apakah kedua orang tua mereka
menyetujui/merestuinya. Ini erat kaitannya dengan surat-surat
25 Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam dan Urusan Haji Proyek Peningkatan
Sarana Keagamaan Islam, Zakat dan Wakaf, Pedoman Pegawai Pencatat Nikah dan Pembantu
Pegawai Pencatat Nikah, (Jakarta: Bimas Islam, 1999), h. 8.
24
persetujuan kedua calon mempelai dan surat izin orang tua bagi yang
belum berusia 21 tahun.
b. Masing-masing berusaha meneliti apakah ada halangan perkawinan baik
menurut hukum munakahat maupun menurut peraturan perundang-
undangan yang berlaku. (untuk mencegah terjadinya penolakan atau
pembatalan perkawinan).
c. Calon mempelai supaya mempelajari ilmu pengetahuan tentang
pembinaan rumah tangga hak dan kewajiban suami isteri dsb.
d. Dalam rangka meningkatkan kualitas keturunan yang akan dilahirkan
calon mempelai supaya memeriksakan kesehatannya dan kepada calon
mempelai wanita diberikan suntikan imunisasi tetanus toxoid.26
Setelah persiapan tersebut di atas terpenuhi maka prosedur selanjutnya
adalah sebagai berikut :
a. Pendaftaran Pemberitahuan Kehendak Nikah
Setelah persiapan pendahuluan dilakukan secara matang maka
orang yang hendak menikah memberitahukan kehendaknya kepada PPN
yang mewilayahi tempat akan dilangsungkannya akad nikah sekurang-
kurangnya 10 hari kerja sebelum akad nikah dilangsungkan.
Pemberitahuan kehendak nikah berisi data tentang nama kedua calon
mempelai, hari dan tanggal pelaksanaan akad nikah. Data
mahar/maskawin dan tempat pelaksanaan upacara akad nikah (di Balai
Nikah/Kantor atau di rumah calon mempelai, masjid, gedung dll).
Pemberitahuan kehendak nikah dilakukan oleh calon mempelai,
wali (orang tua) atau wakilnya dengan membawa surat-surat yang
diperlukan:27
26 Andhika Kharis Ahmadi, “Respon Penghulu KUA Kecamatan Pamulang Tentang
Pembebasan Biaya Administrasi Nikah dan Rujuk”. (Skripsi S-1 Fakultas Suariah dan Hukum,
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2013), h. 37, t.d. 27 Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam dan Urusan Haji Proyek Peningkatan
Sarana Keagamaan Islam, Zakat dan Wakaf, Pedoman Pegawai Pencatat Nikah dan Pembantu
Pegawai Pencatat Nikah, (Jakarta: Bimas Islam, 1999), h. 9.
25
1) Perkawinan Sesama WNI
a) Foto Copy KTP dan Kartu Keluarga (KK) untuk calon pengantin
(Catin) masing-masing 1 (satu) lembar.
b) Surat pernyataan belum pernah menikah (masih gadis/jejaka) di
atas segel/materai bernilai minimal Rp. 6.000,- (enam ribu rupiah)
diketahui RT, RW dan Lurah setempat.
c) Surat keterangan untuk nikah dari Kelurahan setempat yaitu
Model N1, N2, N4, baik calon suami maupun calon isteri.
d) Pas photo catin ukuran 2x3 masing-masing 4 (empat) lembar,
bagi anggota ABRI berpakaian dinas.
e) Bagi yang berstatus duda/janda harus melampirkan Surat
Talak/Akta Cerai dari Pengadilan Agama, jika duda/janda mati
harus ada surat kematian dan surat Model N6 dari Lurah
setempat.
f) Harus ada izin/Dispensasi dari Pengadilan Agama bagi:
a. Catin laki-laki yang umurnya kurang dari 19 tahun;
b. Catin perempuan yang umurnya kurang dari 16 tahun;
c. Laki-laki yang ingin berpoligami.
g) Izin Orang Tua (Model N5) bagi catin yang umurnya kurang dari
21 baik laki-laki maupun perempuan.
h) Bagi catin yang tempat tinggalnya bukan di wilayah KUA
Malingping harus ada surat Rekomendasi Nikah dari KUA
setempat.
i) Bagi anggota TNI/POLRI harus ada izin Kawin dari pejabat
Atasan/Komandan.
j) Bagi catin yang akan melangsungkan pernikahan ke luar wilayah
kecamatan Malingping harus ada surat rekomendasi nikah dari
KUA Kecamatan Malingping.
k) Kedua catin mendaftarkan diri ke KUA Malingping sekurang-
kurangnya 10 (sepuluh) hari kerja dari waktu melangsungkan
26
pernikahan. Apabila kurang dari 10 (sepuluh) hari kerja, harus
melampirkan surat Dispensasi Nikah dari Camat Malingping.
l) Bagi WNI keturunan, selain syarat-syarat tersebut dalam point 1-
10 harus melampirkan foto copy Akta Kelahiran dan status
kewarganegaraannya (K1).
m) Surat Keterangan Tidak Mampu dari Lurah/Kepala Desa bagi
mereka yang tidak mampu.
2) Perkawinan Campuran
a) Akta Kelahiran/Kenal Lahir.
b) Surat Tanda Melapor Diri (STMD) dari Kepolisian
c) Surat keterangan Model K II dari Dinas Kependudukan (bagi
yang menetap lebih dari satu tahun)
d) Tanda lunas pajak bangsa asing (bagi yang menetap lebih dari
satu tahun)
e) Keterangan izin masuk sementara (KIMS) dari Kantor Imigrasi
f) Foto Copy Pasport
g) Surat Keterangan dari Kedutaan/perwakilan Diplomatik yang
bersangkutan
h) Semua surat-surat yang berbahasa asing harus diterjemahkan ke
bahasa Indonesia oleh penterjemah resmi.
b. Pemeriksaan Nikah
Pemerikasaan terhadap calon suami, calon isteri dan wali nikah
sebaik-baiknya dialkukan secara bersama-sama, akan tetapi tak ada halangan
apabila pemeriksaan itu dilakukan sendiri-sendiri. pemerikasaan dianggap
selesai jika ketiga-tiganya telah diperiksa secara baik dan benar.
Setelah dilakukan pemeriksaan nikah ternyata tidak memenuhi
persyaratan yang telah ditentukan oleh Hukum Munakahat maupun peraturan
perundang-undangan yang berlaku, maka PPN berhak menolak kehendak
nikah apabila:
1) Tidak memenuhi persyaratan yang ditentukan menurut hukum Islam
maupun peraturan perundang-undangan.
27
2) Dalam melakukan penolakan, Pegawai Pencatat Nikah harus membuat
surat penolakan kepada yang bersangkutan dengan alasan-alasan
penolakan tersebut.
3) Apabila masyarakat keberatan terhadap penolakan tersebut, dapat
mengajukan keberatan tersebut kepada Pengadilan Agama.
4) Apabila Pengadilan memerintahkan dilangsungkan pernikahan, Pegawai
Pencatat Nikah harus melaksanakan perintah Pengadilan Agama, yaitu
melangsungkan akad nikah.28
Dalam melaksakan pernikahan harus diawasi oleh pejabat, yang
mengawasi pernikahan diantaranya:
1) Nikah diawasi oleh PPN29
a) Pemeriksaaan ditulis dalam Daftar Pernikahan Nikah (Model NB)
b) Masing-masing calon suami, calon isteri dan wali nikah mengisi
ruang II, III,IV dalam daftar pemerikasaan nikah dan ruang lainnya
diisi oleh PPN.
c) Dibaca dan di mana perlu diterjemahkan ke dalam bahasa yang
dimengerti oleh yang bersangkutan
d) Setelah dibaca, kemudian ditandatangani oleh yang diperiksa.
e) Untuk tertibnya administrasi dan memudahkan ingatan, PPN
membuat buku yang diberi nama “Catatan Pemeriksaan Pernikahan”
f) Pada unjungh model NB sebelah kiri atas diberi nomor yang sama
dengan nomor urut buku diatas dan kode desa serta tahun
g) PPN mengumumkan kehendak Nikah
2) Nikah diawasi oleh pembantu PPN (diluar Jawa dan Madura
a) Pemeriksaan ditulis dalam Daftar Pemeriksaan Nikah (model
NB)rangkap dua
28 Abdul Qodir, Pencatatan Pernikahan dalam Perspektif Undang-undang dan Hukum Islam,
(Depok : Azza Media, 2014), h. 138 29 Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam dan Urusan Haji Proyek Peningkatan
Sarana Keagamaan Islam, Zakat dan Wakaf, Pedoman Pegawai Pencatat Nikah dan Pembantu
Pegawai Pencatat Nikah, (Jakarta: Bimas Islam, 1999), h. 11-12.
28
b) Masing-masing calon suami dan isteri dan wali nikah harus mengisi
ruang II, III,IV dalam Daftar Pemeriksaan Nikah dan ruang lainnya
diisi oleh pembantu.
c) Dibaca dan di mana perlu diterjemahkan ke dalam bahasa yang
dimengerti oleh yang bersangkutan
d) Kemudian ditandatangani
e) Ditandatangani oleh pembantu PPN
c. Pengumuman Kehendak Nikah
Setelah persyaratan dipenuhi PPN mengumumkan kehendak nikah
(model NC) pada papan pengumuman di KUA Kecamatan tempat
pernikahan akan dilangsungkan dan KUA Kecamatan tempat tinggal
masing-masing calon mempelai.
Petugas Pencatat Nikah (PPN) tidak boleh melaksanakan akad
nikah sebelum lampau 10 hari kerja sejak pengumuman, kecuali seperti
yang diatur dalam pasal 3 ayat (3) PP No. 9 tahun 1975 yaitu apabila
terdapat alasan yang sangat penting misalnya salah seorang calon
mempelai akan segera bertugas keluar negeri, maka dimungkinkan yang
bersangkutan memohon dispensasi kepada Camat selanjutnya Camat atas
nama Walikota/Bupati memberikan dispensasi.
d. Pembinaan Catin
Adapun pembinaan yang dilakukan oleh Kantor Urusan Agama
(KUA) kepada para calon pengantin adalah:
1) Setelah pendaftaran diterima oleh KUA, kedua calon pengantin dan
Wali nikah, mengikuti pembinaan Kursus Calon Pengantin.
2) Penghulu/Kepala KUA melakukan pemeriksaan tentang ada tidaknya
halangan untuk menikah, dan memberikan bimbingan keluarga
sakinah dan tata cara ijab qobul.
3) Penghulu/Kepala KUA dilarang melangsungkan, atau membantu
melangsungkan, atau mencatat atau menyaksikan pernikahan yang
tidak memenuhi persyaratan.
29
e. Proses Akad Nikah
1) Pelaksanaan akad nikah di balai nikah/kantor atau di luar balai nikah,
rumah calon mempelai, masjid atau gedung, dll.
2) Pemeriksaan ulang:
3) Sebelum pelaksanaan upacara akad nikah PPN/Penghulu terlebih
dahulu memeriksa/mengadakan pengecekan ulang persyaratan nikah
dan administrasinya kepada kedua calon pengantin dan walinya untuk
melengkapi kolom yang belum terisi pada waktu pemeriksaan awal di
kantor atau apabila ada perubahan data dari hasil pemeriksaan awal.
Setelah itu PPN/Penghulu menetapkan dua orang saksi yang
memenuhi syarat.
4) Pemberian izin
Sesaat sebelum akad nikah dilangsungkan dianjurkan bagi ayah
untuk meminta izin kepada anaknya yang masih gadis atau anak
terlebih dahulu minta/memberikan izin kepada ayah atau wali, dan
keharusan bagi ayah meminta izin kepada anaknya untuk menikahkan
bila ia berstatus janda.
5) Sebelum pelaksanaan ijab qobul sebagaimana lazimnya upacara akad
nikah bisa didahului dengan pembacaan khutbah nikah, pembacaan
istighfar dan dua kalimat syahadat.
6) Akad Nikah/Ijab qobul
7) Pelaksanaan ijab qobul dilaksanakan sendiri oleh wali nikahnya
terhadap calon mempelai pria, namun apabila karena sesuatu hal wali
nikah/calon mempelai pria dapat mewakilkan kepada orang lain yang
ditunjuk olehnya.
8) Penandatanganan Akta Nikah oleh kedua mempelai, wali nikah, dua
orang saksi dan PPN yang menghadiri akad nikah.
9) Pembacaan Ta’lik Talak
10) Penandatanganan Ikrar Ta’lik Talak
11) Penyerahan maskawin/mahar
12) Penyerahan Buku Nikah/Kutipan Akta Nikah
30
13) Nasihat perkawinan dan do’a penutup.
f. Biaya Pencatatan Pernikahan
Setelah dinyatakan telah memenuhi syarat, maka catin dan walinya
menandatangani Daftar Pemeriksaan Nikah. Setelah itu yang bersangkutan
membayar biaya Administrasi Pencatatan Nikah sesuai dengan ketentuan
yang berlaku. Besaran biaya yang dikenakan pada catin sebesar Rp.
600.000,- (enam ratus ribu rupiah) sesuai dengan Peraturan Pemerinath
No. 19 Tahun 2015 tentang Jenis dan Tarif Atas Jenis Penerimaan Negara
Bukan Pajak yang Berlaku pada Kementerian Agama, untuk
pembayarannya bisa disetorkan langsung ke KUA atau bisa melalui pihak
Bank, hal ini berlaku akad yang diluar kantor KUA atau di rumah pihak
catin. Sedangkan jika akad dilakukan di kantor KUA dan pada jam kerja
maka dikenakan biaya sebesar Rp. 0,- (nol rupiah).
31
BAB III
PENGENALAN TERHADAP MASYARAKAT BADUY MUSLIM
A. Profil Singkat Desa Bojong Menteng
1. Letak Geografis
Desa Bojong Menteng merupakan salah satu desa yang berada di
wilayah Kecamatan Leuwidamar Kabupaten Lebak dengan ketinggian
daratan dari permukaan laut setinggi 200M dengan curah hujan 2820mm/
Tahun. Desa Bojong Menteng memiliki wilayah dengan luas 1500,75 Ha.
Desa Bojong Menteng Kecamatan Leuwidamar Kabupaten Lebak
terdiri dari 4 RW yang terbagi menjadi 16 RT dan di huni sekitar 1146 rumah
tangga.1
2. Keadaan Penduduk
Jumlah penduduk di Desa Bojong Menteng adalah sebanyak 4.052
jiwa dengan jumlah laki-laki sebesar 2.069 jiwa dan perempuan sebesar 1.983
jiwa. Jumlah penduduk sebanyak 4.052 jiwa tersebut dilihat dari jumlah
penduduk menurut umur dapat dirinci sebagai berikut:2
Tabel 3.2
Jumlah Penduduk Menurut Umur3
Kelompok umur Jumlah
Umur 00-04 tahun 348 Jiwa
Umur 05-09 tahun 714 Jiwa
Umur 10-14 Tahun 630 Jiwa
1 Badan Pusat Statistik, Kecamatan Leuwidamar dalam Angka 2018, ( Lebak : Badan
Pusat Statistik, 2018) , h. 14.
2 Badan Pusat Statistik, Kecamatan Leuwidamar dalam Angka 2018, ( Lebak : Badan
Pusat Statistik, 2018) , h. 25.
3 Badan Pusat Statistik, Kecamatan Leuwidamar dalam Angka 2018, ( Lebak : Badan
Pusat Statistik, 2018) , h. 29-31.
32
Umur 15-19 Tahun 366 Jiwa
Umur 20-24 Tahun 388 Jiwa
Umur 25-29 Tahun 570 Jiwa
Umur 30-34 Tahun 540 Jiwa
Umur 35-39 Tahun 412 Jiwa
Umur 40-44 Tahun 416 Jiwa
Umur 45-49 Tahun 329 Jiwa
Umur 50-54 Tahun 241 Jiwa
Umur 60-64 Tahun 154 Jiwa
Umur 65-69 Tahun 83 Jiwa
Umur 70-74 Tahun 46 Jiwa
Umur 75+ Tahun 43 Jiwa
3. Mata Pencaharian Masyarakat Desa Bojong Menteng
Masyarakat Desa Bojong Menteng memiliki beraneka ragam mata
pencaharian, diantaranya Pegwai Negeri Sipil, petani, buruh tani pedagang
dan lain-lain. Sebagian besar masyarakat Desa Tenajar bermata
pencaharian sebagai buruh tani. Untuk lebih jelasnya, akan diurkan
dibawah ini jumlah penduduk menurut jenis mata pencaharian:
Tabel 3.2
Jumlah Penduduk Menurut Jenis Mata Pencaharian
NO Jenis Mata Pencaharian Jumlah
1 Petani 481 orang
2 Buruh Tani 620 orang
3 Pegawai Negeri Sipil 21 orang
4 Industri 98 orang
5 Pedagang 125 orang
6 Lain-lain 459
Orang
33
B. Gambaran Umum Masyarakat Baduy Muslim
1. Demografis Suku Baduy Muslim
a. Demografi Suku Baduy Muslim
Masyarakat Suku Baduy merupakan masyarakat yang secara
sengaja mengasingkan dirinya dari pengaruh luar (kehidupan moderen)
sebagai bentuk usaha mematuhi amanat leluhur. Kehidupan masyarakat
Baduy penuh dengan kesederhanaan, yang mana kesederhanaan
merupakan tujuan inti dari kehidpan mereka.
Secara Umum masyarakat Suku Baduy dibagi menjadi dua
kelomopok besar, yaitu Baduy Dalam dan Baduy Luar. Jika kita lihat
secara luas, antara Baduy Dalam dan Baduy Luar tidak memiliki
perbedaan yang signifikan. Namun kalau kita lihat secara mendalam,
tentu sangat terlihat perbedaan antara Baduy Dalam dan Baduy Luar.
Dalam Masyarakat Baduy Dalam, mereka tidak diperbolehkan
untuk menggunakan alat-alat modern, sebagaimana yang digunakan oleh
masyarakat Baduy Luar, diantaranya seperti, menggunakan alat elektronik,
menggunakan sendal, membangun rumah tidak boleh menggunakan paku,
tidak diperbolehkan menggunakan motor, berpendidikan non formal dan
berpakaian tidak boleh selain warna hitam dan putih.
Adapun dalam masyarakat Baduy Luar, mereka sudah mulai
terkontaminasi dengan budaya luar Baduy. Mereka sudah mulai
meninggalkan beberapa kebiasaan dari leluhurnya. Diantaranya seperti
menggunakan HP, menggunakan Sepeda Motor, berpakaian yang sudah
tidak hitam-putih, dan mereka sudah banyak yang bersekolah di sekolah
formal.
Seiring perkembangan zaman, masyarakat Baduy sudah mulai
terbuka dengan masyarakat luar Baduy. Mereka sudah tidak menutup diri
dengan masyarakat sekitar bahkan sering berinteraksi dengan masyarakat
luar. Inilah salah satu faktor yang menyebabkan banyaknya masyarakat
asli Baduy untuk berpindah keyakinan ke agama Islam.
34
2. Tingkat Pendidikan Mayarakat Baduy Muslim
Masyarakat Baduy merupakan salah satu suku yang menolak adanya
pendidikan formal ditanah ulayatnya hingga untuk bersekolah formal juga
dilarang. Namun sekarang ini, dengan seiring perkembangan zaman dan
semakin besar juga beban kehidupan, tentu membawa dampak terhadap pola
kehidupan yang mereka jalani.
Pada masyarakat Baduy Dalam mereka tetap melarang untuk
bersekolah formal. Mereka beranggapapan bahwa pendidikan itu tujuannya
adalah mempertahankan amanat leluhurnya. Sedangakan sekolah formal
menurut mereka hanyalah pengetahuan umum yang nantinya akan mengubah
pola pikir masyarakat Baduy.4
Masyarakat Baduy dalam belajar, lebih banyak memperoleh ilmu dari
keluarga, adat dan teman sebaya. Menurut mereka pembelajaran dari keluarga
merupakan pendidakan yang utama, adapun diantaranya pendidikan dari
orang tua yaitu memberikan pengetahuan tentang aturan-aturan adat dan
mengajarkan keterampilan.5 Alam merupakan sumber ilmu yang disarikan
oleh orang-orang tua dan diturunkan kepada anak-anak nereka. Prinsip
dengan perubahan sekecil-kecilnya menjadi landasan pelajaran yang
diajarkan kepada anak-anak.6
Adapun tempat belajar kedua bagi masyarakat Baduy adalah Tokoh
Adat. Tokoh adat mempunyai peran penting dalam mengawasi aturan-aturan
yang telah ditetapkan untuk masyarakat Baduy, seperti peraturan berpakaian.
Pendekatan pendidikan masyarakat Baduy dilakukan dirumah-rumah
ataupun dilapangan. Disana tidak ada tempat ataupun bangunan sekolah
formal, meskipun demikian, masyarakatnya banyak juga yang bisa membaca,
ada sekita 40% masyarakatnya yang dapat membaca dan menulis.
4 Rudini Irawan, “Pendidikan dalam Pandangan Mayarakat Baduy Dalam”. (Skripsi S-1
Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, Universitas Islam Syarif Hidayatullah Jakarta, 2017), h.
62, t.d 5 Rudini Irawan, “Pendidikan dalam Pandangan Mayarakat Baduy Dalam”. (Skripsi S-1
Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, Universitas Islam Syarif Hidayatullah Jakarta, 2017), h.
67, t.d 6 Ade Luqman Hakim, “Suku Baduy”.(Skripsi S-1 Fakultas Ilmu Sosial, Universitas
Negeri Yogyakarta, 2005), h.10, t.d
35
Adapun pada masyarakat Baduy Muslim, mereka sekarang sudah
banyak yang bersekolah formal. Hal ini disebabkan karena di Desa Bojong
Menteng sudah banyak bangunan-bangunan sekolah formal. Inilah salah satu
faktor tingginya minat dari masyarakat Baduy Muslim untuk sekolah.
Sekarang ini sudah banyak masyarakat asli Baduy yang telah masuk Islam
bisa membaca dan menulis.
Menurut KBBI Pendidikan merupakan proses pengubahan sikap dan
tata laku seseoang atau kelompok orang dalam usaha mendewasakan manusia
melalui upaya pengajaran dan pelatihan. Sarana pendidikan di Desa Bojong
Menteng terbilang sudah cukup memadai dengan tersedianya sekolah dari
tingkat TK sampai tingkat SLTA. Hal ini dapat dilihat dari:7
a. Gedung TK terdapat 1 lokal
b. Gedung SD terdapat 4 lokal
c. Gedung SLTP terdapat 2 lokal
d. Gedung SLTA terdapat 1 lokal
e. Gedung Madrasah terdapat 3 lokal
Seluruh masyarakat Desa Bojong Menteng beragama Islam, hal ini
terbukti data dari Desa Tenajar yang memiliki 10 Masjid dan 8 Mushala dan
tidak terdapat tempat ibadah agama lain yang ada di Desa Bojong Menteng.8
3. Mata Pencaharian Masyarakat Suku Baduy Muslim
Dalam hal mata pencaharian masyarakat Baduy Muslim masih sama
dengan masyarakat Baduy biasanya. Dalam memenuhi keberlangsungan
hidup, masyarakat Baduy Muslim melakukan cocok tanam seperti yang
dilakukan masyarakat Baduy lainnya. Adapun tanaman yang ditanam adalah
padi huma, pisang dan rempah-rempah. Untuk bercocok tanam, mereka
menghabiskan waktu sekitar 4 jam untuk sampai ke tempat mereka bertanam.
7 Badan Pusat Statistik, Kecamatan Leuwidamar dalam Angka 2018, ( Lebak : Badan
Pusat Statistik, 2018) , h. 39 - 43. 8 Badan Pusat Statistik, Kecamatan Leuwidamar dalam Angka 2018, ( Lebak : Badan
Pusat Statistik, 2018) , h. 57-58.
36
Yang sangat menarik dari Suku Baduy Muslim ini adalah anak-anak yang
berumur 12 tahun pun sudah mulai bercocok tanam.
Selain bercocok tanam, mata pencaharian masyarakat Baduy Muslim
lainnya adalah Kerajinan Tangan. Seperti membuat kalung, gelang,
gantungan kunci, dan tas. Kerajinan yang mereka buat itu biasanya
dipasarkan bahkan ada juga buat pesanan orang.9
Adapun kerajinan buat perempuan adalah menenun. Para perempuan
Baduy biasanya menenum untuk membuat baju dan selendang. Hasil tenunan
mereka itu awalnya dibuat untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka, namun
sekarang mereka sudah mulai memasarkannya kepada pengunjung.
Masyarakat Baduy Muslim walaupun sudah pindah tempat tinggal ke
Desa Bojong Menteng, tetap juga bercocok tanam. Karena memang Desa
Kenakes dengan Desa Bojong Menteng tidak jauh beda kondisi geografisnya.
4. Kondisi Agama dan Kepercayaan Masyarakat Suku Baduy Muslim
a. Kepercayaan Sukun Baduy
Baduy merupakan masyarakat setempat yang dijadikan mandala
(kawasan suci) secara resmi oleh raja, sebab masyarakatnya berkewajiban
memilihara kebuyutan, tempat pemujaan nenek moyang, bukan hindu dan
budha. Dia dikenal dengan Kebuyutan Jati Sunda dan Sunda
Wiwitan.10orientasi konsep-konsep dan kegiatan-kegiatan keagamaan
lainnya ditujukan kepada pikukuh Baduy untuk belerja menurut alur itu
dalam mensejahterakan kehidupan Baduy dan dunia ramai.11
Sunda wiwitan yang artinya “sunda mula-mula” yaitu penyebutan
untuk nama identitas agama orang baduy. Penamaan ini muncul untuk
menggambarkan bagaiman keyakinan itu adalah yang paling awal dari
masyarakat Sunda Dalam Literatur Sunda Kuno. Sunda Wiwitan
9 Riswandi saputra13.blogspot.com, diakses pada 5 maret 2019 pukul11.40 10 Maskur Wahid, Jurnal Wacana, Sunda Wiwitan Baduy Agama Penajaga Alam Lindung
Di Desa Kenakaes Banten. IAIN Sultan Maulana Hasanudin Banten, h.4-5. 11 Wilodati, Jurnal Sistem Tatanan Masyarakat dan Kebudayaan Orang Baduy (Suatu
Kajian Terjhadap Perubahan Sosial dan Kelestarian Nilai-Nilai Tradisional Masyarakat Baduy),
h.4
37
merupakan perubahan nama dari agama yang dianut oleh Wangsa
Pajajaran.12
Nama sunda wiwitan berawal dari ritual pemujaan dimana Arca
Domas disimbolkan sebagai leluhur mereka. Arca Domas merupakan
tempat suci yang dirahasiakan keberadaanya oleh orang Baduy .Bentuk
Wujud Arca Domas ini seperti manusi yang lagi bertapa. Yang letaknya
itu berada di tengah hutan larangan yang tak jauh dari air hulu Sungai
Ciujung.
Menurut Masyarakat Baduy dalam Sunda Wiwitan adalah ajaran
yang bersifat monoteis, penghormatan kepada roh nenek moyang dan
kepercayaan kepada satu kekuasaan yaitu, yakni Sanghyang Keresa (Yang
Maha Kuasa) yang disebut juga Batara Tunggal (Yang Maha Esa), Batara
Jagat (Penguasa Alma), dan Batara Seda Niskala (Yang Maha Gaib) yang
bersemayam di Buana Nyungcung (Buana Atas). Orientasi, Konsep dan
pengamalan keagamaan ditunjukan kepada pikukuh untuk mensejahtrakan
kehidupan di jagat mahpar (dunia ramai).13
Dalam Tradisi Religius Sunda Wiwitan, plaksanaan ajarannya
memiliki 4 tujuan, diantanya adalah: 14
1) Menghormati keturunan nenek moyang;
2) Menyucikan pancar bumi,atau isi jagat dan dunia pada umumnya;
3) Menghormati dan menumbuhkan dan mengawkan dewi padi;
4) Melaksanakan pikukuh Baduy (hukum di Baduy);
Masyarakat Baduy beriman kepada yang gaib yang tidak bisa dilihat
dengan mata tetapi dapat diaraba dengan hati Nabi-nabi yang diimani secara
12 Rudini Irawan, “Pendidikan dalam Pandangan Mayarakat Baduy Dalam”. (Skripsi S-1
Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, Universitas Islam Syarif Hidayatullah Jakarta, 2017), h.
51, t.d 13 Ayi Rukmana, “Tradisi Perkawinan Baduy Luar Dengan Baduy Dalam (Studi Kasus
Desa Kenakes Kecamatan Leuwidamar Kabupaten Lebak Banten)”. (Skripsi S-1 Fakultas Syariah
dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2016), h. 51-52,t.d 14 Ira Indrawardana,Sunda Wiwitan Dalam Dinamika dan Zaman, Konferensi Nasional
Budaya Sunda, Desember 2011, h. 7
38
eksplisit15adalah nabi Adam dan Nabi Muhammad mereka beriman kepada
hidup, sakit, mati dan nasib adalah titipan umat. Sunda Wiwitan untuk
menjalankan ritual ibadah sunah Rasul yaitu Sunat (khitan)
Mereka juga melaksanakan ibadah pemujaan di Sasaka Domes
(mandala parahiyangan)sebagai bentuk penghormatan kepada roh nenek
moyang. Bagi masyarakat Sunda Wiwitan, Nabi Adam dianggap sebagai
simbol penciptaan manusia pertama yang berada di Sasaka Domas.
Keyakinan ini terdapat juga di dalam agama masyarakat jawa sekarang
masih menghormati raja-raja, nenek moyang.
Kepercayaan Suku Baduy terhadap Arca Domas dianggap sebagai
tempat berkimpulnya para leluhur atau nenek moyang. Menurut mereka para
leluhur itu selalu memantau anak keturunannya melalui leuwing kolot dan
leuwung lembur yang biasa kita sebut dengan hutan kampung.
Dalam beribadah mereka juga menjadikan Arca Domas itu menjadi
acuan kiblat mereka. Mereka menganggap Arca Domas itu adalah tempat
suci yang mana disitu tempat berkumpulnya para nenek moyang. Di Arca
Domas mereka juga berdoa dan juga pemujaan. Dalam pemujaan ini yang
memimpin adalah Purun.
Konsep Keagamaan dan Adat terpenting yang menjadi inti Pikukuh
Baduy adalah seperti yang tertuang dalam ungkapan sebagai berikut:16
Gunung teu meunang dilebur
Lebak teu meunang dirusak
Larangan teu meunang dirempak
Buyut teu meunang dipotong
Pondok teu meunang disambung
Nu lain kudu dilainkeun
Nu uulah kudu diulahkeun
Nu enya kudu dienyakeun
15 Eksplisit, Tegas, Gamnblang, Tidak Tersembunyi, Tidak Bertele-Tele, Jelas : Isi Berita,
Majalah, Koran, Pidato 16 R. Cecep Eka Permana, Kearifan Lokal Masyarakat Baduy Menghadapi Perubahan
Indonesia, (SEBUMI3), 16-18 Desember 2010 di Universitas Kebangsaan Malaysia, h.4
39
Artinya:
“Gunung tidak boleh dihancurkan
Lembah tidak boleh dirusak
Larangan tidak boleh diubah
Panjang tidak boleh dipotong
Pendek tidak boleh disambung
Yang bukan harus ditiadakan
Yang lain harus dilainkan
Yang benar harus dibenarkan
Kesakralan nilai ajaran yang dimiliki oleh agama orang Baduy
membentuk mereka secara berhati-hati dan patuh dalam menjalankan
berbagai Pikukuh adat dalam kehidupan sehari-hari. Adat Baduy tidak
memiliki kitab suci seperti agama lain, akan tetapi Pikukuh inilah yang
dijadikan masyarakat suku Baduy sebagai pedoman mereka.17
b. Kondisi Agama Baduy Muslim
Masyarakat Baduy yang masuk Islam setiap tahunnya bertambah.
Hal ini disebabkan karena kehidupan masyarakat suku Baduy asli sendiri
sudah mulai terbuka dengan masyarakat luar. Adapun masyarakat yang
telah masuk Islam, mereka cepat beradaptasi dengan masyarakat sekitar,
yang ada di Desa Bojong Menteng. Mereka yang baru masuk Islam dijari
oleh tokoh-tokoh agama yang ada di Desa Bonjong Menteng.
Di desa Bojong Menteng sendiri, didirikan tempat belajar khusus
orang Baduy yang baru masuk Islam. Untuk tempat belajarnya, diberikan
anggran dana oleh donatur kaya yang peduli terhadap umat muslim. Salah
satu donatur tetapnya adalah berasal darin Serpong. Beliau selalu
memberikan bantuan kepada nmasyarakat Baduy Muslim agar semangat
dan giat untuk meempelajari agama.
17 Wilodati, sistem tatanan masyarakat dan kebudayaan orang baduy (suatu kajian
terjhadap nperubahan sosial dan kelestarian nilai-nilai tradisional masyarakat baduy), h.4
40
C. Pola Umum Masyarakat Baduy Muslim
1. Sejarah Suku Baduy
Menurut Masyarakat Baduy, Suku Baduy merupakan bagian dari
Suku Sunda, yaitu suku asli masyarakat Provinsi Jawa Barat yang sekarang
telah menjadi Provinsi Banten, namun bahasa mereka tetap memakai Bahasa
Sunda. Mereka pindah dari Gunung Kendeng sekitar Abad 16 seiring
runtuhnya Kerajaan Pajajaran. Sebelum Islam masuk ke Jawa pengaruh
agama Hindu dan Budha sangat kuat, termasuk kerajaan Pajajaran. Hingga
Pajajaran dihancurkan oleh Islam pada Tahun 1579, dan setelah itu ada yang
masuk Islam ada yang menolak untuk masuk Islam, yaitu Suku Baduy 18
Penyebutan Baduy awalnya diberikan oleh orang Belanda ketika
melakukan penjajahan di Indonesia. Mereka menyebut dengan sebutan
badoe’i, badoej, badoewi, urang kanekes dan urang rawayan. Penyebutan
istilah ini didasari beberapa alasan, yaitu Baduy berasal dari sebuah gunung
Baduy yang kini menjadi tempat huniannya, kemudian karena Baduy berasal
dari kata Budha makanya disebut Baduy, kemudian berasal dari kata Baduyut
kerena di itempat inilah banyak ditumbuhi pepohonan beduyut, ada juga yang
mengatakan bahwa berasal dari bahasa arab,yaitu Baduwi yang artinya lautan
pasir.
Berbeda dengan pendapat masyarakat Baduy, ahli sejarah berpendapat
bahwasannya keberadaan masyarakat Baduy berasal dari Kerajaan
Padjajaran. Pada Abad 12- 13 M kerajaan Pajajaran menguasai Banten ,
Bogor, hingga ke Cirebon. Yang memimpin pada saat itu adalah Prabu
Pucuk.
Pertempuran antara kerajaan Sunda melawan Kerajaan Banten,
dimenangi oleh Kerajaan Banten. Karena kalah Prabu Pucuk dengan
penggawanya ke daerah hutan pedalaman. Mereklah yang hidup menetap dan
berkembang biak, yang saat ini disebut dengan suku Baduy.
18 Feri Prihantono, Kehidupan Berkelanjutan Masyarakat suku Baduy, Dalam Jurnal Asia
Good ESD Practice Project, Bintari,(Bina kArta Lestari ), Foundation, 2006, h.2
41
Pendapat lain dari ahli sejarah bahwasannya, masyarakat Baduy
merupakan penduduk asli dari daerah tersebut yang mempunyai daya tolak
yang kuat terhadap pengaruh dari luar Baduy. 19
2. Sejarah Masyarakat Baduy Muslim
Menurut para tetua adat (kokolot) yang sudah memeluk Islam, konon
masyarakat Baduy memiliki kepercayaan bahwa asal usul mereka
berhubungan langsung dengan silsilah Nabi Adam sebagai nenek moyang
pertama. Di sisi lain, sebagian mereka masih menaruh kepercayaan pada
kekuasaan tujuh Dewa (Batara Cikal) yang mengutus mereka sebagai khalifah
untuk menjaga kelestarian bumi. Sebagian sejarawan menolak pandangan
yang dianggap irasional tersebut. Ada yang menyebut bahwa mereka berasal
dari keturunan kerajaan Pajajaran. Pada abad ke-13, ketika seluruh tanah
Pasundan dikuasai Pajajaran (Prabu Siliwangi) maka wilayah teritorial
Pasundan terus meluas hingga membentang meliputi daerah Banten, Bogor,
Priangan hingga ke Cirebon
Ketika memasuki abad ke-17, kerajaan Sunda berhasil ditaklukkan
balatentara Sultan Hasanudin dari Cirebon, hingga atas instruksi pimpinannya
(Prabu Pucuk Umun) mereka melarikan diri ke daerah pedalaman. Di sana
mereka menetap dan berkembang-biak, dalam suatu kelompok masyarakat
yang kemudian kita sebut dengan masyarakat Baduy. Pendapat seorang
doktor peneliti Van Tricht, lebih mendekati kesepakatan para tetua Baduy,
bahwa mereka adalah asli dari daerah setempat, bukan pelarian dari kerajaan
Pajajaran. Mereka adalah sekumpulan masyarakat pedalaman yang memiliki
daya tolak yang tangguh dari unsur-unsur budaya luar (modern).
Tidak sedikit dari mereka yang meyakini keberadaan dirinya selaku
khalifah yang diutus, manusia terpilih yang diberikan tugas dari Dewa untuk
menjaga mandala (kawasan suci), tempat pemujaan leluhur (kabuyutan), yang
19 Ayi Rukmana, “Tradisi Perkawinan Baduy Luar Dengan Baduy Dalam (Studi Kasus
Desa Kenakes Kecamatan Leuwidamar Kabupaten Lebak Banten)”. (Skripsi S-1 Fakultas Syariah
dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2016), h. 3
42
di sekelilingnya dihuni sebagai kediaman mereka. Dari pemaparan di atas,
dapat ditarik kesimpulan seakan-akan masyarakat Baduy dikenal sebagai
komunitas yang eksklusif dan taat pada kepercayaannya. Namun, pada tahun-
tahun terakhir semakin banyak orang Baduy yang memeluk Islam, dan
kemudian disebut sebagai “Baduy Dangka”.
Salah seorang pemimpin pesantren Sultan Hasanudin, Kiai Zainuddin
Amir (Leuwidamar), perpindahan kepercayaan itu bukannya tanpa risiko.
Orang Baduy yang memeluk Islam akan terusir dari daerah Baduy Dalam,
juga tidak diakui sebagai penduduk Baduy Luar. Masyarakat Baduy Dangka
bertempat tinggal tak begitu jauh dengan Baduy Luar. Cara berpakaian
mereka hampir sama, kecuali sebagian wanitanya yang sudah memakai jilbab.
Dalam acara-acara tertentu yang dianggap sebagai kesakralan dari nenek-
moyang, masyarakat Baduy Dangka masih turut-serta menjalankannya.
Beberapa faktor yang membuat mereka memeluk ajaran Islam adalah karena
pilihan dari hati nuraninya sendiri, bahwa di dalam Islam terdapat
kemerdekaan dan keleluasaan dalam aturan-aturan keberagamaan.
Kemudian salah satu tokoh yaitu William James juga berpendapat
bahwa hal-hal yang menimbulkan pindahnya kepercayaan (agama) terjadi
karena faktor internal dan eksternal dari penganutnya. Misalnya karena faktor
kepribadian yang semakin terbuka. Penulis berpendapat hal ini juga
merupakan hidayah dari Allah Swt.
3. Adat dan Kondisi Sosial Budaya Masyarakat Baduy Muslim
Masyarakat Baduy merupakan penduduk asli Desa Kenakes.
Penduduk asli Baduy menganut kepercayaan sunda wiwitan, yang mana
mempercayai monoteis, penghormatan kepada roh nenek moyang dan
kepercayaan kepada satu kekuasaan.
Dengan berkembangnya zaman, sekarang sudah banyak masyarakat
baduy yang memeluk agama Islam. dalam data 3 tahun terakhir terdapat
sejumlah 30 orang masyarakat baduy yang masuk Islam (Muallaf). Data
43
jumlah masyarakat Baduy yang masuk islam (Muallaf) meningkat setiap
tahunnya.
Masyarakat Baduy yang pindah agama (Muallaf) otomastis harus
keluar dari kampung Baduy. Karena dalam aturan adat Baduy, masyarakat
yang berpindah agama harus pindah dari tanah adat. Masyarakat yang pindah
agama Islam (Muallaf) bisanya sebelum pindah mereka sudah dahuluan
pindah tempat tinggal.
Faktor yang menyebabkan masyarakat baduy pindah agama adalah
bukan karena banyaknya ulama yang mengenalkan Islam kepada masyarakat
Baduy, akan tetapi yang menjadi faktor utamanya adalah keterbukaan
masyarakat baduy dengan masyarakat Islam yang mana mereka sering
berinteraksi.20
Masyarakat Baduy yang masuk Islam (Muallaf) pindah ke Desa
sebelah yaitu Desa Bojong Menteng. Mereka harus pindah dari Kenakes
sesuai dengan aturan adat. Untuk daerah pindahan masyarakat Baduy,
tersebar di Kampung Lendeuh
Salah satu tokoh agama Bojong Menteng pak Rahmat mengatakan,
bahwa masyarakat Baduy yang Muallaf banyak mendapatkan simpati dan
bantuan dari lembaga sosial. Justru sebaliknya bantuan dari pemerintah
sendiri yang sangat minim, dan tidak adanya perhatian dari pemerintah.21
Bantuan yang diberikan oleh lembaga sosial itu adalah, diantaranya
bantuan tempat tinggal, membaca, menulis, menghitung, dan memberikan
pengajaran agama dengan cara pengajian rutinan. Selain itu ada juga program
untuk anak-anak yang masih remaja, untuk memberikan dana pendidikan
untuk sekolah di pondok pesantren.
Dalam adat dan kebiasaan masyarakat Baduy Muslim, mereka sudah
meninggalkan kebiasaan masyarakat suku Baduy. Diantaranya:
a. Berpakaian.
20 Wawancara Pribadi dengan Rahmat, Tokoh Agama, Bojong Menteng, 4 Juli 2019 21 Wawancara Pribadi dengan Rahmat, Tokoh Agama, Bojong Menteng, 4 Juli 2019
44
Masyarakat Baduy Muslim berpakaian sebagaimana layaknya
masyarakat lainnya. mereka sudah tidak lagi mengenakan pakaian seperti
Baduy . Adapun pakaian masyarakat Baduy Luar mengenakan pakaian
berwarna gelap, sedangkan Baduy Dalam mengenakan pakaian berwarna putih
alami. Masyarakat Baduy Dalam mengenakan celana tanpa dijahit dan hanya
dikuatkan dengan kait pengikat berwarna putih yang berfungsi sebagai penguat
untuk masyarakat Baduy Luar mereka sudah mengenakan pakaian yang
dijahit dengan mesin jahit, bahkan membeli pakaian yang sudah jadi.
b. Bentuk Rumah
Dalam bentuk rumah, masyarakat Baduy Muslim kebanyakan
masih mengikuti bentuk rumah suku Baduy. Namun ada juga yang
membuat rumah seperti masyarakat luar Baduy. Adapun bentuk rumah
suku Baduy sangatlah sederhana, terbuat dari bahan- bahan seperti kayu yang
berasal dari alamnya, bilik bamboo, atap rumbia, genting ijuk dan lain-lain yang
sangat sederhana dengan semua rumah menghadap ke arah utara selatan secara
logika memiliki proses pergantian dan penyinaran matahari yang sangat baik
c. Cara Hidup Tradisional
Masyarakat Baduy Muslim yang sederhana dan penuh toleransi
lebih melihat kehidupa njauh kedepan, sehingga tetap menjaga
keberlanjutan hidupnya proteksi terhadap lingkungan ditujukan untuk
mempertahankan kehidupan mereka supaya tetap utuh dan dapat
memenuhi kebutuhan hidup sendiri pandangan mereka dalam kelestarian
lingkuangan, sama dengan pemikiran dalam pembangunan berkelanjutan
dimana mereka beranggapan bahwa kerusakan lingkungan atau
perubahan terhadap bentuk lingkungan akan mengancam sumber
kehidupan mereka yang berakibat dengan kelaparan dan kekurangan
secara ekonomi lainnya.
D. Proses Perkawinan Baduy Muslim di Desa Bojong Menteng
Dalam proses perkawinan, masyarakat Baduy yang telah masuk Islam
sudah tidak lagi melaksanakan tradisi yang ada di suku Baduy. Masyarakat Baduy
Muslim sudah mengikuti tradisi yang ada pada masyarakat Desa Bojong Menteng.
Adapun kegiatan yang dilaksanakan oleh masyarakat Baduy Muslim adalah:
45
1. Ngolotkeun
Pada prosesi ini, pihak dari calon mempelai wanita akan mengirim utusan
untuk memastikan calon mempelai pria masih lajang. Jika sekiranya sudah merasa
cocok, barulah akan dilanjutkan dengan pembicaraan seputar persiapan hari
pernikahan
2. Buka Pintu
Pada tradisi ini, pengantin wanita akan duduk menghadap pintu keluar
sedangkan pengantin pria duduk di depan pintu mengahadap pintu masuk.
Keduanya dibatasi oleh kain penghalang yang menjadi syarat sekaligus ciri khas
adat Buka Pintu
3. Huap Lingkung
Pada tradisi ini Kedua mempelai akan duduk di alas tikar
berdampingan untuk kemudian disuapi nasi punar oleh sesepuh atau tetua
adat setempat.
4. Ngeroncong
Pada tradisi ini Para keluarga dan tamu akan menyalami pengantin di
pelaminan lalu memberikan uang receh di wadah yang telah disiapkan. Adat
ngeroncong ini dipercaya sebagai simbol pemberian bekal untuk kedua
mempelai dalam memulai hidup baru.
46
BAB IV
ADMINISTRASI PERKAWINAN MASYARAKAT BADUY MUSLIM
MENURUT HUKUM POSITIF DAN HUKUM ISLAM
A. Administrasi Perkawinan Masyarakat Baduy Muslim Menurut Hukum
Positif
Masyarakat Suku Baduy merupakan salah satu suku yang memiliki prinsip
yang sangat kuat. Hal ini dapat kita lihat dalam perkawinan masyarakat Baduy.
Masyarakat Baduy sangat kuat mengatur mengenai perkawinan. Bagi masyarakat
Baduy perkawinan merupakan hukum alam yang harus dilaksanakan, yang
biasanya disebut oleh orang Baduy Perkawinan sebagai “rukun hirup”, yaitu
bahwa perkawinan harus dilaksanakan agar mereka tidak menyalahi kodratnya
sebagai manusia.
Perkawinan sebagaimana yang dijelaskan dalam UU No 1 Tahun 1974
dalam pasal 1 ayat 2 yang berbunyi “perkawinan adalah ikatan lahir dan bathin
antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami dan isteri dengan tujuan
membentuk keluaraga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan yang Maha
Esa. Begitupun juga menurut menurut Kompilasi Hukum Islam, dikatakan bahwa
Perkawinan merupakan akad yang sangat kuat untuk mentaati perinta Allah SWT
dan melaksakannya merupakan ibadah.
Dalam melaksanakan perkawinan, hal yang terpenting yang harus
dipenuhi adalah rukun dan syarat pernikahan. Rukun nikah adalah merupakan
bagian dari hakikat keberlangsungan. Apabila salah satu Rukun tidak dipenuhi,
maka perkawinan terebut tidak sah alias batal. Adapun syarat nikah adalah sesuatu
yang wajib ada ketika berlangsungnya perkawinan1
Dalam Kompilasi Hukum Islam pasal 14 menjelaskan bahwa rukun dari
pernikahan terdiri dari 5 yaitu,
1. Calon suami
2. Calon isteri
3. Wali nikah
4. Dua orang saksi
5. Ijab dan qabul
1 Muhammad Asnawi, Nikah dalam Perbincangan dan Perbedaan (Yogyakarta: Darussalam,
2004) h. 50
47
Selain Rukun dan Syarat perkaiwnan, hal lain yang lebih penting lagi
adalah terkait administrasi perkawinan. Karena administrasi perkawinan ini
berdampak terhadap pencatatan perkawinannya. Tercatatnya perkawinan
merupakan bentuk bukti tertulis telah dilaksanaknnya perkawinan
Mengenai Ketentuan pencatatan perkawinan telah diatur dalam Pasal 2
UU No. 1/1974 yang menyatakan:
3. Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing
agamanya dan kepercayaannya itu.
4. Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang
berlaku.
Pencatatan perkawinan merupakan suatu kegiatan pengadministrasian dari
terjadinya perkawinan yang dilakukan oleh Pegawai Pencatat Nikah (PPN) yang
berkedudukan di Kantor Urusan Agama (KUA) di dalam ruang lingkup wilayah
kedua calon mempelai melangsungkan perkawinan yang beragama Islam, dan di
Kantor Catatan Sipil (KCS) bagi non Islam.2
Perintah pencatatan perkawinan bagi umat Islam, termasuk pencatatan
talak dan rujuk
sebelumnya diatur dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1946 tentang
Pencatatan Nikah, Talak, dan Rujuk, yang kemudian berlaku di seluruh daerah
luar Jawa dan Madur berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 1954 tentang
Penetapan Berlakunya Undang-Undang Republik Indonesia Tanggal 21
Nopember 946 No. 22 Tahun 1946 tentang Pencatatan Nikah, Talak, dan Rujuk di
Seluruh Daerah Luar Jawa dan Madura (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 1954 Nomor 98, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
694; untuk selanjutnya disebut UU 22/1946). Kemudian keberlakuan UU 22/1946
ini diperkuat oleh Pasal 12 UU 1/1974, yang penjelasannya menyatakan, bahwa
"ketentuan Pasal 12 ini tidak mengurangi ketentuan yang diatur dalam Undang-
Undang Nomor 22 Tahun 1946 jo. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 1954".
2 Mardani, Hukum Keluarga Islam di Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2016), h. 53.
48
Demikianlah pentingnya pencatatan perkawinan menjadi hal yang sangat
berpengaruh bagi kehidupan berumah tangga, kehidupan bermasyarakat maupun
kehidupan bernegara. Sehingga perkawinan yang tidak dicatatkan dapat
menimbulkan dampak negatif, yaitu: 3. Perkawinan tersebut tidak mempunyai
kekuatan hukum apa pun dalam melindungi hak dan pemenuhan kewajiban
masing-masing pihak, baik suami maupun isteri
Jika dikemudian hari terjadi pelanggaran yang dilakukan oleh salah satu
pihak, maka pihak yang dirugikan tidak dapat menuntut hak apapun secara
hukum. Pelaku yang mangkir dari kewajibannya, secara hukum tidak
berkewajiban mempertanggungjawabkan apa yang telah dilakukan terhadap
pasangannya. Sebab ikatan yang dibangun dalam perkawinan tersebut tidak sesuai
dengan ketentuan hukum perkawinan yang berlaku di Indonesia dan perkawinan
tersebut dianggap illegal di mata hukum. Dengan demikian, perkawinan yang
dilangsungkan tanpa didaftarkan dan dicatatkan oleh Pejabat Pencatat
Perkawinan, maka perkawinan tersebut berpotensi menimbulkan kemudaratan dan
pengingkaran kewajiban dalam ikatan perkawinan
Sebagaimana yang kita ketahui, masyarakat Baduy menganut agama
sunda wiwitan. Kepercayaan sunda wiwitan ini merupakan kepercayaan pemujaan
terhadap kekuatan alam dan arwah leluhur (animisme dan dinamisme) yang dianut
oleh masyarakat tradisional. Setiap orang Baduy pasti agamanya sunda wiwitan.
Akan tetapi adapun yang beragama Islam, itu merupakan masyarakat Baduy yang
masuk Islam (Muallaf).
Masyarakat Baduy sebelum menikah harus di dahului dengan tahap
peminangan. dalam kebiasaannya jodoh dipilihkan oleh orang tua, lalu kedua
belah pihak bertemu dan saling bersilaturahmi, tahap pengenalan jodoh ini
dinamakan "bobogohan" yang merupakan tahapan penting menuju pernikahan.4
Dalam acara bobogohan ini biasanya ditemani dengan lantunan alat musik
kecapi yang dibawa oleh pihak laki-laki. Orang Baduy menyebutnya perkawinan
3 Mardani, Hukum Keluarga di Indonesia, (Jakarta: Prenamedia Group, 2016), h. 58 4 Wawancara Pribadi dengan Ibu Kesih Tokoh Masyarakat, Kenakes, 3 Juli 2019
49
sebagai rukun hirup, artinya bahwa perkawinan harus dilakukan, karena jika tidak
maka ia akan menyalahi kodratnya sebagai manusia. Setelah adanya kesepakatan
kedua belah pihak untuk menikah, maka dilaksanakanlah tahapan lamaran.5
1. Proses Lamaran
Proses lamaran dilakukan oleh pihak lak-laki ke pihak perempuan. Adapun
proses lamaran yang harus dilakukan adalah:6
a. Melapor kepada Jaro (Pak RW) dengan membawa daun sirih, pinang, dan
gambir.;
b. Calon pria pergi kerumah calon perempuan membawa sirih, pinang,
gambir, cincin, baju untuk calon mempelai wanita ;
Pada Masyarakat Baduy Muslim, rangkaian ini tidak dilaksanakan
lagi oleh mereka. Hal yang berhubungan dengan tradisi maupun adat sudah
tidak dilaksanakan oleh masyarakat Baduy Muslim.
2. Proses Perkawinan dan Pencatatan
Setelah semua proses dilalui maka diadakanlah upacara pernikahan
yang hanya boleh diadakan pada bulan kalima, kagenep, katujuh. Tanggal ini
berdasarkan pikukuh, aturan aturan yang sudah digariskan oleh leluhur. Pada
pelaksanaann pernikahan, masyarakat Baduy yang menganut agama sunda
wiwitan tidak melakukan pernikahan di depan pejabat pencatatan pernikahan.
Berdasarkan peraturan perundangan undangan, bagi masyarakat yang
beragama non muslim di catatkan di pencatatan sipil, dan yang beragama
Islam di KUA.
Berdasarkan wawancara dengan ketua adat di Kenakes, masyarakat
tidak mengakui adanya perkawinan di KUA, karena masyarakat Baduy hanya
mengakui perkawinan yang dilaksanakan di depan penghulu. Dan juga dia
mengatakan sunda wiwitan tidak bagian dari agama Islam, makanya mereka
tidak mau menikah di KUA. Kemudian beliau juga mengatakan bahwasannya
5 Wawancara Pribadi dengan Pasudin ,Tokoh Adat, Kenakes, 3 Juli 2019 6 Wawancara Pribadi dengan Pasudin ,Tokoh Adat, Kenakes, 3 Juli 2019
50
yang ditunjuk menjadi penghulu nikah adalah orang paham mengenai agama
dan berasal dari luar desa Kenakes.7
Untuk permasalahan legalitas atas perkawinan masyarakat Baduy ini
tentu tidak ada legalitasnya, dan perkawinan ini pun tidak diakui oleh negara,
karena perkawinan ini hanya dilaksakan di depan penghulu yang
dilangsungkan berdasarkan adat. Pernikahan ini pun tidak di catatkan di
kantor catatan sipil sesuai yang terdapat dalam ketentuan pencatatan
perkawinan telah diatur dalam Pasal 2 UU 1/1974 dan Undang-undang No.22
Tahun 1946 jo Undang-undang No. 32 Tahun 1954
Jadi untuk pernikahan, masyarakat Baduy tidak ada ada kewajiban
untuk pada prosesi pernikahan mempelai akan mengucapkan kalimat
syahadat (seperti ijab kabul), disaksikan oleh penghulu. Menurut informasi
yang saya dapatkan pencatatan pernikahan oleh KUA tidak berlaku di Baduy,
karena terbentur oleh kepercayaan yang mereka yakini.
Masyarakat Baduy yang telah pindah ke agama Islam otomatis telah
pindah dari kampung Baduy yaitu Desa Kenakes.8 Mereka yang masuk Islam
tinggal di Desa Bojongmenteng, yang mana Desa ini bersebelahan dengan
kampung Baduy. Masyarakat Baduy Muslim terdapat di kampung Landeuh yang
ada di Desa Bojong Menteng
Berdasarkan hasil wawancara dengan kepala Desa Bojong Menteng, ada
33 kepala keluarga yang telah masuk Islam. Beliau mengatakan bahwasannya
warga Baduy yang masuk Islam meningkat setiap tahunnya.9
Dalam hal perkawinan pada masyarakat Baduy Muslim, sedikit dari
masyarakat Baduy yang menikah secara prosedural yang berlaku di Indonesia.
Masyarakat Baduy yang telah masuk Islam mereka melaksakan pernikahan di luar
daerah Baduy. Diantara beberapa masyarakat Baduy, ada yang menikah di KUA
7 Wawancara Pribadi, Mawan, Tokoh Masyarakat, Desa Kenakes, 3 Juli 2019 8 Wawancara Pribadi, Mawan, Tokoh Masyarakat, Desa Kenakes, 3 Juli 2019 9 Wawancara Pribadi dengan Saija,Kepala Desa Bojong Menteng, Interview Pribadi, 4 Juli
2019
51
dan ada yang diluar KUA. Namun sebagian besar dari masyarakat Baduy
melangsungkan pernikahan di bawah tangan atau nikah siri.
Masyarakat Baduy Muslim yang melangsungkan perkawinan di bawah
tangan atau yang sering disebut nikah siri, tidak melaksanakan lagi tradisi tradisi
yang ada pada masyarakat Baduy.10 Adapun adminitrasi yang harus dipenuhi oleh
masyarakat Baduy Muslim yang nikah diantaranya, bukti identitas kedua calon
dan minta izin kepada RT/RW yang biasa disebut masyarakat Baduy yaitu Jaro.
Kemudian bapak Jaro menuliskan di bukunya daftar nama-nama pasangan yang
segera menikah.11
Selanjutnya ada masyarakat Baduy yang menikah di KUA. Mereka yang
menikah di KUA ini kebanyakan masyarakat Baduy yang telah lama pindah ke
Desa Bojongm Menteng. Adapun syarat administrasi yang harus mereka penuhi
adalah:
1. Foto Copy KTP dan Kartu Keluarga (KK) untuk calon pengantin (Catin)
masing-masing 1 (satu) lembar.
2. Surat pernyataan belum pernah menikah (masih gadis/jejaka) di atas
segel/materai bernilai minimal Rp. 6.000,- (enam ribu rupiah) diketahui RT,
RW dan Lurah setempat.
3. Surat keterangan untuk nikah dari Kelurahan setempat yaitu Model N1, N2,
N4, baik calon Suami maupun calon Isteri.
4. Pas photo catin ukuran 2x3 masing-masing 4 (empat) lembar, bagi anggota
ABRI berpakaian dinas.
5. Bagi yang berstatus duda/janda harus melampirkan Surat Talak/Akta Cerai
dari Pengadilan Agama, jika duda/janda mati harus ada surat kematian dan
surat Model N6 dari Lurah setempat.
6. Harus ada izin/Dispensasi dari Pengadilan Agama bagi:
d. Catin laki-laki yang umurnya kurang dari 19 tahun;
e. Catin perempuan yang umurnya kurang dari 16 tahun;
10 Wawancara Pribadi dengan Saija, Kepala Desa, Bojong Menteng, 4 Juli 2019 11 Wawancara Pribadi dengan Saija, Kepala Desa, Bojong Menteng, 4 Juli 2019
52
f. Laki-laki yang ingin berpoligami.
7. Izin Orang Tua (Model N5) bagi catin yang umurnya kurang dari 21 baik
laki-laki maupun perempuan.
8. Bagi catin yang tempat tinggalnya bukan di wilayah KUA Leuwidamar
harus ada surat Rekomendasi Nikah dari KUA setempat.
9. Bagi anggota TNI/POLRI harus ada izin Kawin dari pejabat
Atasan/Komandan.
10. Bagi catin yang akan melangsungkan pernikahan ke luar wilayah kecamatan
Leuwidamar harus ada surat rekomendasi nikah dari KUA Kecamatan
Leuwidamar.
11. Kedua catin mendaftarkan diri ke KUA Leuwidamar sekurang-kurangnya
10 (sepuluh) hari kerja dari waktu melangsungkan pernikahan. Apabila
kurang dari 10 (sepuluh) hari kerja, harus melampirkan surat Dispensasi
Nikah dari Camat Leuwidamar.
12. Bagi WNI keturunan, selain syarat-syarat tersebut dalam point 1-10 harus
melampirkan foto copy Akta Kelahiran dan status kewarganegaraannya
(K1).
13. Surat Keterangan Tidak Mampu dari Lurah/Kepala Desa bagi mereka yang
tidak mampu.
Semua syarat inilah yang dipenuhi dan dilakukan oleh masyarakat Baduy
Muslim. Adapun syarat maupun tradisi yang dilakukan masyarakat Baduy yang
masih menganut kepercayaan sunda wiwitan, tidak lagi dilaksanakan oleh muallaf
Baduy. Mereka sudah benar benar meninggalkan adat Baduy.12
B. Administrasi Perkawinan Masyarakat Baduy Muslim Menurut Hukum
Islam
Setiap tahunnya msyarakat asli Baduy yang masuk Islam meningkat setiap
tahunnya. Adapun faktor yang mempengaruhinya adalah semakin terbukanya
kepribadian mereka, sehingga memunculkan perbedaan pandangan dan ketidak
harmonisan rumah tangga. Yang mana perbedaan itu menimbulkan tekanan batin
12 Wawancara Pribadi dengan Saija, Kepala Desa, Bojong Menteng, 4 Juli 2019
53
sehingga terjadi konversi untuk mencari hal hal baru dalam upaya merdakan
tekanan psikologis. Kalau kita kaji secara agama, memang ini adalah bentuk
kekuasaan Allah, dan hidayah dari Allah swt.
Masyarakat Baduy yang masuk Islam, yang telah menikah secara adat
Baduy, mereka tidak mengulang pernikahannya lagi. Dalam Literatur fikihpun
dikatakan bahwasannya, pasangan yang telah menikah dengan cara agama
mereka, kemudian sepasang kekasih itu masuk Islam, maka dalam Islam mereka
tidak perlu menikah ulang lagi secara Islam.13
Dalam syariat Islam baik al-Qur’an maupun Hadis tidak mengatur secara
jelas tentang pencatatan perkawinan dan akta nikah sebagai alat bukti. Ini berbeda
dengan ayat muamalah (mudayyanah) yang dalam situasi tertentu diperintahkan
untuk mencatatkannya.14 Dalam Hukum Islam, mencatatkan perkawinan
merupakan hal yang wajib, sebagaimana yang dijelaskan dalam Firman Allah
surat Al- Baqarah ayat 282.
) 282البقرة(
13 Http: //Islam.nu.or.id/102450 Suami isteri muallaf apakah mengulang akad nikah diakses
pada tanggal 15 September 2019 14 Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2003), Cet, Ke-6,
h. 107
54
Artinya : “Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu'amalah tidak
secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. dan
hendaklah seorang penulis di antara kamu menuliskannya dengan benar. dan
janganlah penulis enggan menuliskannya sebagaimana Allah mengajarkannya,
meka hendaklah ia menulis, dan hendaklah orang yang berhutang itu
mengimlakkan (apa yang akan ditulis itu), dan hendaklah ia bertakwa kepada
Allah Tuhannya, dan janganlah ia mengurangi sedikitpun daripada hutangnya.
jika yang berhutang itu orang yang lemah akalnya atau lemah (keadaannya) atau
Dia sendiri tidak mampu mengimlakkan, Maka hendaklah walinya mengimlakkan
dengan jujur. dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang-orang lelaki
(di antaramu). jika tak ada dua oang lelaki, Maka (boleh) seorang lelaki dan dua
orang perempuan dari saksi-saksi yang kamu ridhai, supaya jika seorang lupa
Maka yang seorang mengingatkannya. janganlah saksi-saksi itu enggan (memberi
keterangan) apabila mereka dipanggil; dan janganlah kamu jemu menulis hutang
itu, baik kecil maupun besar sampai batas waktu membayarnya. yang demikian
itu, lebih adil di sisi Allah dan lebih menguatkan persaksian dan lebih dekat
kepada tidak (menimbulkan) keraguanmu. (Tulislah mu'amalahmu itu), kecuali
jika mu'amalah itu perdagangan tunai yang kamu jalankan di antara kamu, Maka
tidak ada dosa bagi kamu, (jika) kamu tidak menulisnya. dan persaksikanlah
apabila kamu berjual beli; dan janganlah penulis dan saksi saling sulit
menyulitkan. jika kamu lakukan (yang demikian), Maka Sesungguhnya hal itu
adalah suatu kefasikan pada dirimu. dan bertakwalah kepada Allah; Allah
mengajarmu; dan Allah Maha mengetahui segala sesuatu”.
Mengenai ayat ini, ulama berbeda pendapat tentang hukum pencatatan
tersebut. Sebagian ulama mengatakan bahwa pencatatan tersebut hukumnya tidak
wajib karena hanya bersifat anjuran. Hal ini menurut Quraish Shihab berdasarkan
praktik para sahabat Nabi ketika itu, keadaan kaum muslimin ketika turunnya ayat
ini belum banyak yang memilki kepandaian tulis menulis, maka jika perintah
tersebut bersifat wajib tentunya akan sangat memberatkan masyarakat muslim
pada saat itu. Namun demikian ayat ini mengisyaratkan pentingnya belajar tulis
menulis, karena dalam hidup seseorang bisa saja mengalami kebutuhan pinjam
dan meminjamkan. Hal ini diisyaratkan dengan penggunaan kata اذا (apabila) yang
terdapat pada awal penggalan ayat ini, yang lazim digunakan untuk kepastian
akan terjadinya sesuatu.15
Mayoritas masyarakat Baduy Muslim melangsungkan pernikhan siri.
Adapun adminitrasi yang harus dipenuhi oleh masyarakat Baduy Muslim yang
15 M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah, Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur’an, (Jakarta:
Lentera Hati, 2002), Cet. Ke-1, h. 564-565.
55
nikah diantaranya, bukti identitas kedua calon dan minta izin kepada RT/RW yang
biasa disebut masyarakat Baduy yaitu jaro. Kemudian bapak jaro menuliskan di
bukunya daftar nama-nama pasangan yang segera menikah.
Dalam agama Islam pernikahan sah apabila telah memenuhi syarat dan
Rukun Nikah. Menurut Imam asy-Syafi’i sahnya perkawinan apabila telah
memenuhi Rukun Nikah. Adapun Rukun Nikah menurut imam asy-Syafi’i adalah
calon suami, calon isteri, wali, dua orang saksi dan sigat. 16Berdasarkan penelitian
yang penulis lakukan, bahwa semua rukun ini telah tercukupi oleh masyarakat
Baduy itu sendiri. Jelas pernikahan masyarakat Baduy Muslim sah menurut
hukum Islam.
C. Analisis Penulis
Masyarakat Baduy yang telah masuk Islam menikah sudah tidak lagi
meggunakan tradi ataupun adat mereka sebelumya. Berdasarkan hasil penelitian
penulis, pernikahan masyarakat Baduy Muslim terbagi kepada dua
pengelompokan. Yang pertama menikah secara siri atau menikah dibawah tangan.
Adapun pernikahan mereka itu dilangsungkan di depan Penghulu. Penghulu ini
merupakan orang alim atau pemuka agama yang ada di kampung tersebut.
Penghulu ini merupakan orang yang pernah ditunjuk oleh kepala KUA (naib)
untuk membantu naib menikahkan masyarakat muslim yang ada di Bojong
Menteng. Penghulu yang diangkat oleh naib orang yang paham agama. Namun
sejak tahun 2018 surat perintah dari kepala KUA (naib) itu telah di cabut. Akan
tetapi masyarakat muslim tersebut tetap menggunakan jasa penghulu itu untuk
menikahkan masyarakat Baduy Muslim. Adapun peranan dari Penghulu ini hanya
menikahkan, tidak merangkap menjadi wali.
Yang kedua masyarakat Baduy Muslim menikah di KUA. Berdasarkan
penelitian yang penulis lakukan, yang mana data ini di dapatkan ketika
wawancara dengan kepala KUA. Bahwa masyarakat yang telah melakukan nikah
16 Ahmad Atabik dan Khoridatul Madhiiah, Pernikahan dan Hikmahnya Perspektif Hukum
Islam, Yudisia,Vol.5 No. 2 Desember 2014
56
di KUA sejak 2017 ada 3 pasangan. Pada tahun 2017 ada 1 pasangan, 2018 tidak
ada, dan 2019 ada 2 pasangan.17. Dengan jumlah ini tentu masih minim sekali
Baduy Muslim yang menikah di KUA. Salah satu warga kampung Lendeuh
Herman mengatakan dia tidak mengetahui bagaimana prosedur perkawinan,
karena dari pemerintah sendiri tidak pernah mengadakan sosialisasi.18 Masyarakat
Baduy Muslim sangat berharap adanya program dari pemerintah untuk itsbat
nikah, karena mereka juga ingin memiliki buku nikah.19
Sedikitnya masyarakat Baduy Muslim yang melangsungkan pernikahan di
KUA disebabkan beberapa faktor, diantaranya:
1. Rendahnya pendidikan dari masyarakat Baduy yang menyebabkan
terhambatnya mereka menangkap suatu informasi
2. Tidak masifnya sosialisasi dari pemerintah
3. Kurangnya informasi yang di dapat oleh masyarakat Baduy Muslim itu
sendiri, karena memang mereka tidak memiliki tv dan yang lain-lain.
4. Sikap apatis dari masyarakat Baduy Muslim, yang tidak mau susah untuk
mengurus persyaratan untuk menikah.
5. Tidak lengkapnya persyaratan, seperti KTP dan lain-lain.
Berdasarkan wawancara dengan Sanah salah satu penyuluh agama honorer
yang ada di Kecamatan Leuwidamar, beliau memang mengakui bahwasannya
kurangnya sosialisai dari pemerintah KUA setempat. Hal ini disebabkan karena
sedikitnya sumber daya manusia yang ada di Leuwidamar. Selain sumber daya
manusia yang sedikit, honor yang diberikan kepada penyuluh itu bisa dikatakan
jauh dari cukup.20 Menurut penulis hal inilah yang menyebabkan kurang
maksimalnya kinerja dari penyuluh yang ada.
Penulis menyimpulkan, perkawinan pada masyarakat Baduy Muslim
terbagi dua, menikah secara siri, dan menikah secara resmi yang di catatkan di
17 Wawancara Pribadi dengan HM Abdul Mufti, Kepala KUA, Leuwidamar, 5 Juli 2019 18 Wawancara Pribadi dengan Herman, Masyarakat, Bojong Menteng, 5 Juli 2019 19 Wawancara Pribadi dengan Naspah,Tokoh Masyarakat, Bojong Menteng, 5 Juli 2019 20 Wawancara Pribadi dengan Sarminah, Penyuluh Agama Honorer, Leuwidamar, 5 Juli 2019
57
KUA. Perintah pencatatan perkawinan tertuang dalam Undang-Undang Nomor 22
Tahun 1946 tentang Pencatatan Nikah, Talak, dan Rujuk Data yang penulis dapat
bahwasannya masyarakat Baduy Muslim lebih banyak menikah secara siri
dibanding yang menikah di KUA.
Dampak hukum yang timbul apabila menikah secara siri adalah tidak
tercatatnya perkawinan tersebut di KUA, dengan kata lain perkawinan itu tidak
sah secara hukum indonesia karena tidak memiliki legalitas. Adapun dampak dari
tidak tercatatnya perkawinan adalah:
1. Perkawinan dianggap tidak sah
2. Tidak adanya kejelasan terhadap status anak
Anak hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibu dan
keluarga ibu akibat lebih jauh dari perkawinan yang tidak tercatat
adalah, baik isteri maupun anak-anak yang dilahirkan dari perkawinan
tersebut tidak berhak menuntut nafkah ataupun warisan dari ayahnya.
Namun demikian, Putusan Mahkamah Konstitusi mengabulkan
permohonan Macicha Muktar sehingga anak hasil perkawinan siri
memiliki hubungan perdata dengan ayahnya.21
3. Nikah siri dapat mempengaruhi kondisi Psikologis karena adanya perasaan
tidak nyaman tidak memiliki dokumen dokumen seperti akta kelahiran.22
4. Kesulitan untuk administrasi tertentu.
Salah satu syarat untuk naik haji bagi pasangan yang telah menikah
adalah Buku Nikah. Berdasarkan wawancara dengan salah satu pegawai
Pengadilan Agama Kota Tangerang, setiap tahunnya banyak masyarakat
yang mengajukan permohonan itsbat nikah dengann alasan untuk salah
satu syarat naik haji.23
21 Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010 22 Drs. Ali Uraidy., MH., “Perkawinan Sirri dan Akibat Hukumnya Ditinjau dari Undang
Undang No.1 Tahun 1974”, Jurnal Ilmiah FENOMENA, Volume X, Nomor 2, November 2012
hal. 990 23 Wawancara Pribadi dengan Pak Ibro, Pegawai PA Tangerang, Tangerang, 2 September 2019
58
Menurut hukum Islam perkawinan masyarakat Baduy Muslim telah
memenuhi syarat perkawinan, dan bisa kita katakan perkawinannya sah secara
Islam. Diantara rukun yang dipenuhi adalah ada mempelai laki-laki, mempelai
perempuan, wali nikah, dua orang saksi laki-laki dan ijab kabul. Kemudian syarat
yang telah dipenuhi adalah, pengantin beragama islam, keduanya bukan mahram,
mengetahui wali akad nikah, tidak sedang melaksanakan haji, bukan paksaan.
59
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Masyarakat Baduy yang telah masuk Islam, mereka sudah tidak lagi
melaksanakan tradisi ataupun adat istiadat yang dilaksanakan oleh
masyarakat Baduy pada umumnya. Adapun administrasi perkawinan yang
harus dipenuhi oleh masyarakat Baduy Muslim Bojong Menteng adalah
identitas kedua calon, kemudian meminta izin kepada Jaro (Pak RW).
Kemudian Jaro tersebut menuliskan di bukunya nama pasangan yang akan
menikah. Berdasarkan hukum Islam perkawinan seperti ini sah, akan tetapi
dalam hukum positif tidak sah karena dalam UU No.1 Tahun 1974
perkawinan harus dilaksanakan di depan pejabat yang berwenang
2. Masyarakat Baduy muslim dalam melangsungkan perkawinan terbagi dengan
2 cara, yaitu perkawinan yang dilangsungkam di depan Pegawai Pencatatan
Perkawinan dan dibawah tangan atau siri. Perkawinan yang dilangsungkan
masyarakat Baduy muslim di hadapan Pegawai Pencatatan Perkawinan atau
KUA sah menurut hukum positif dan hukum Islam. Kemudian perkawinan
yang dilangsungkan dibawah tangan atau siri tidak sah menurut hukum
positif, karena menurut hukum positif perkawinan sah apabila dilangsungkan
di hadapan Pegawai Pencatatan Perkawinan. Sedangkan menurut hukum
Islam perkawinan masyarakat Baduy Muslim sah, karena telah memenuhi
rukun dan syarat perkawinan.
B. Saran-saran
1. Diharapkan kepada penyuluh agama Leuwidamar agar memberikan arahan
dan pendidikan keagamaan kepada masyarakat Baduy Muslim mengenai
ajaran Islam secara menyeluruh .
2. Peniliti yang ingin meneliti dengan tema yang sama dengan skripsi ini, agar
melakukan penelitiannya dari berbagai aspek, bukan saja di bidang
perkawinan.
3. Diharapkan kepada Pemerintah Daerah memberi fasilitas yang memadai
untuk terselenggaranya administrasi perkawinan yang tertib.
DAFTAR PUSTAKA
A. Buku
Asnawi, Muhammad, Nikah Dalam Perbincangan Dan Perbedaan. Yogyakarta:
Darussalam.2004
Badan Pusat Statistik. Kecamatan Leuwidamar dalam Angka 2018.Lebak : Badan
Pusat Statistik. 2018.
C.E Permana. Kesetaraan Gender dalam adat inti jagat Baduy. Jakarta:
Wedatama Widya Sastra.2001.
Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam dan Urusan Haji Proyek
Peningkatan Sarana Keagamaan Islam, Zakat dan Wakaf, Pedoman
Pegawai Pencatat Nikah dan Pembantu Pegawai Pencatat Nikah. Jakarta:
Bimas Islam. 1999.
Djoewisno. Potret Kehidupan Masyarakat Baduy”, Orang-orang Baduy Bukan
Suku Terasing Mereka yang Mengasingkan Diri. PT Cipta Pratama ADV.
Eksplisit,Tegas. Gamnblang, Tidak Tersembunyi, Tidak Bertele-Tele,
Faizal, Liky. Akibat Hukum Pencatatan Perkawinan. Lampung. Dosen Fakultas
Syariah IAIN Raden Intan Lampung.
Hasan, M. Ali. Pedoman Hidup Berumah Tangga dalam Islam. Jakarta: Siraja.
2006.
Hasanah Aan. Jurnal Wacana. Pengembangan Pendidikan Karakter Berbasis
Kearifan Lokal Pada Masyarakat Minoritas (Studi Atas Kearifan Lokal
Masyarakat Adat Suku Baduy Banten), (Universitas Islam Negeri Sunan
Gunung Djati Bandung, Volume XXI, Nomor 1 Tahun 2012.
Indrawardana, Ira. Sunda Wiwitan Dalam Dinamika dan Zaman. Konferensi
Nasional Budaya Sunda. 2011.
Kartono, Kartini, Pengantar Metodologi Riset Sosisal. Bandung: CV Mandar
Maju. 1996.
Kharlie, Ahmad Tholabi, Hukum Keluarga Indonesia. Jakarta: Bumi
Aksara.2013.
Madhiiah, Khoridatul dan Ahmad Atabik. Pernikahan dan Hikmahnya Perspektif
Hukum Islam, Yudisia,Vol.5 No. 2 Desember 2014
Manan, Abdul, Aneka Masalah Hukum Perdata Islam di Indonesia. Jakarta:
Kencana. 2008.
Mardani, Hukum Keluarga Islam di Indonesia. Jakarta: Kencana.2016.
Mardjono, Hartono. Menegakkan Syari’at Islam dalam Konteks Keindonesiaan:
Proses Penerapan Nilai-nilai Islam dalam Aspek Hukum, Politik, dan
Lembaga Negara. Bandung: Mizan. 1997.
Masykuroh, Yufi Wiyos Rini. Bp4 Kepenghuluan. Bandar Lampung: Fakultas
Syari’ah IAIN Raden Intan Lampung. 2014.
Mulyani, Sri, Relasi Suami Isteri Dalam Islam. Jakarta: Pusat Studi Wanita UIN
Syarif Hidayatullah. 2004
Oktavia, Yolla. Jurnal Wacana. Resepsi Masyarakat Kabupaten Lebak Banten
Terhadap Upacara Seba Suku Baduy”,Universitas Diponegoro.
Pasal 2-11 Peraturan Pemerintah Repuplik Indones ia Nomor 9 Tahun 1975
Tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan jo. Pasal 3 - Pasal 18 Peraturan Menteri Agama Nomor
19 Tahun 2018 tentang Pencatatan Perkawinan.
Permana, R. Cecep Eka. Kearifan Lokal Masyarakat Baduy Menghadapi
Perubahan Indonesia, (SEBUMI3) Universitas Kebangsaan Malaysia.
2010.
Prihantono, Feri, Kehidupan Berkelanjutan Masyarakat suku Baduy, Dalam
Jurnal Asia Good ESD Practice Project, Bintari. Bina Karta Lestari.
Foundation. 2006.
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010
Qodir, Abdul, Pencatatan Pernikahan dalam Perspektif Undang-undang dan
Hukum Islam. Depok : Azza Media. 2014.
Rofiq, Ahmad. Hukum Perdata Islam di Indonesia. Jakarta : PT Raja Grafindo
Persada. 2013.
Rukmana, Ayi. Tradisi perkawinan baduy dalam dengan baduy luar, (studi kasus
desa kanekes kecamatan leuwidamar kabupaten lebak). Jakarta: Uin
Syarif Hidayatullah Jakarta.2016.
Sanusi, Ahmad “Pelaksanaan Isbat Nikah di Pengadilan Agama Pandeglang”,
Ahkam: Jurnal Ilmu Syariah. Januari, 2016.
Saputra, Riswandi 13.blogspot.com, diakses pada 5 maret 2019.
60
Shihab, M. Quraish, Tafsir al-Misbah, Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur’an.
Jakarta: Lentera Hati. 2002.
Sihabudi, Ahmad dan Asep Kurnia. Saatnya Baduy Bicara. Jakarta; Bumi Aksara.
2010.
Soekanto, Soerjono. Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta: UI-Press. 2015.
Sopyan, Yayan. Islam-Negara: Transformasi Hukum Perkawinan Islam dalam
Hukum Nasional.
Sugiyono.Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D. Bandung; Alfabeta.
2015.
Suryani, Ita. Jurnal Wacana. Menggali Keindahan Alam Dan Kearifan Lokal
Suku Baduy. Akademi Komunikasi Bina Sarana Informatika. 2014.
Syakit, Muhammad Fu’ad. PerkawinanTerlarang. Jakarta: CV. Cendekia Sentra
Muslim (anggota IKAPI). 2002.
Ulber, Silalahi. Metode Penelitian Sosial. Bandung; Refika Aditama. 2009.
Undang-Undang No. 1 Tahun1974 Pasal 2 Ayat 1. “ Perkawinan adalah Sah
Apabila dilakukan Menurut Hukum Masing-Masing Agama dan
Kepercayaan itu.”
Uraidy, Ali. “Perkawinan Sirri dan Akibat Hukumnya Ditinjau dari Undang
Undang No.1 Tahun 1974”. Jurnal Ilmiah FENOMENA, Volume X,
Nomor 2, November 2012
Wahid, Maskur. Jurnal Wacana. Sunda Wiwitan Baduy Agama Penajaga Alam
Lindung Di Desa Kenakaes Banten. IAIN Sultan Maulana Hasanudin
Banten.
Wilodati. Sistem Tatanan Masyarakat dan Kebudayaan Orang Baduy (Suatu
Kajian Terjhadap Perubahan Sosial dan Kelestarian Nilai-Nilai
Tradisional Masyarakat Baduy.
Yusuf, A Muri. Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan Penelitian
Gabungan. Jakarta: Kencana. 2014.
Http: //Islam.nu.or.id/102450 Suami isteri muallaf apakah mengulang akad
nikah diakses pada tanggal 15 September 2019
B. Skripsi dan Tesis
Ahmadi, Andhika Kharis, “Respon Penghulu KUA Kecamatan Pamulang Tentang
Pembebasan Biaya Administrasi Nikah dan Rujuk”.Skripsi S-1 Fakultas
Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta,
2013.
Hakim, Ade Luqman,“Suku Baduy”. Skripsi S-1 Fakultas Ilmu Sosial, Universitas
Negeri Yogyakarta. 2005.
Irawan, Rudini, “Pendidikan dalam Pandangan Mayarakat Baduy Dalam”.
(Skripsi S-1 Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, Universitas Islam
Syarif Hidayatullah Jakarta. 2017.
C. Wawancara
Wawancara Pribadi dengan Rahmat, Tokoh Agama, Bojong Menteng, 4 Juli 2019
Wawancara Pribadi dengan Ibu Kesih Tokoh Masyarakat, Kenakes, 3 Juli 2019
Wawancara Pribadi dengan Pasudin ,Tokoh Adat, Kenakes, 3 Juli 2019
Wawancara Pribadi dengan Mawan, Tokoh Masyarakat, Desa Kenakes, 3 Juli
2019
Wawancara Pribadi dengan Saija, Kepala Desa, Bojong Menteng, 4 Juli 2019
Wawancara Pribadi dengan HM Abdul Mufti, Kepala KUA, Leuwidamar, 5 Juli
2019
Wawancara Pribadi dengan Herman, Masyarakat, Bojong Menteng, 5 Juli 2019
Wawancara Pribadi dengan Naspah,Tokoh Masyarakat, Bojong Menteng, 5 Juli
2019
Wawancara Pribadi dengan Sarminah, Penyuluh Agama Honorer, Leuwidamar, 5
Juli 2019
Wawancara Pribadi dengan Pak Ibro, Pegawai PA Tangerang, Tangerang, 2
September 2019
LAMPIRAN
60