249
9. POLITIK SEAFOOD SAVERS
Politik selalu menyangkut tujuan-tujuan dari seluruh masyarakat (public
goals) dan bukan tujuan yang bersifat pribadi (private goals). Politik lebih
memfokuskan kepada kegiatan pada suatu sistem politik yang menyangkut proses
yang menentukan dalam melaksanakan tujuan itu sendiri. Untuk melaksanakan
tujuan-tujuan tersebut perlu ditentukan kebijakan-kebijakan umum (public policies)
yang menyangkut pengaturan dan pembagian dari sumber-sumber yang tersedia
(Budihardjo, 1989:8). Damsar (2010: 11-12), menambahkan bahwa pengertian
politik dapat dipahami sebagai kekuasaan, kehidupan publik, pemerintahan/negara,
konflik dan resolusi konflik, kebijakan, pengambilan keputusan dan pembagian atau
alokasi.
Easton, 1953 dalam bukunya The Political System (dalam Martin, 1990: 5-10)
menjelaskan bahwa sistem politik adalah sistem yang dapat memelihara dan
mengubah tatanan masyarakat. Sehingga dapat dikatakan bahwa sistem politik dapat
diartikan sebagai suatu mekanisme yang mengalokasikan nilai-nilai otoritatif
sebagaimana nilai tersebut mempengaruhi distribusi sebagai penggunaan kekuasaan.
Sifat otoritatif diartikan sebagai hal umum yang dianggap sah, sedangkan nilai-nilai
otoritatif diartikan sebagai sumberdaya yang langka dan kekuasaan sendiri diartikan
sebagai kekuatan yang tidak terdefinisikan secara jelas. Kekuasaan dapat berupa
dukungan dari komunitas sebagai suatu rangkain dukungan kesulurahan, dukungan
regime, dan dukungan otoritas politik itu sendiri yang berarti tujuan politis tertentu.
Sehingga konsep politik menurut Easton berarti mekanisme “pengalokasian nilai-nilai
otoritatif” seperti mempengaruhi distribusi dan kekuasaan yang dialokasikan kepada
masyarakat.
Ada banyak pandangan tentang apa yang sebenarnya dimaksud dengan politik
(Caporaso and Levine, 1992). Politik dapat diartikan sebagai “siapa yang
mendapatkan apa, kapan dan bagaimana” (Lasswell, 1996); “pertarungan untuk
mendapatkan kekuasaan” (Morgenthau, 1948); “seni dan ilmu dari pemerintahan atau
“sosialisasi konflik” (Schattschneider, 1960), “pola-pola kekuasaan, aturan dan
250
kewenangan” (Easton, 1981); “konflik murni, yaitu pertentangan antar grup atau
kutub (Schmitt, 1976) dan “ penyelerasan kepentingan-kepentingan yang saling
bertentangan melalui kebijakan publik (Crick, 1964). Kekuasaan, kewenangan,
kehidupan publik, pemerintahan, negara, konflik dan resolusi konflik semuanya
terkait dalam pemahaman politik (dalam Caporaso and Levine, 1992).
Menurut Damsar, (2010: 66), menyebutkan bahwa kekuasaan terbagi menjadi
dua macam, yaitu kekuasaan yang bersifat paksaan (coercive) dan kekuasaan
sah/otoritas. Terminologi kekuasaan itu sendiri adalah kemampuan untuk menguasai
dan mempengaruhi orang lain untuk melakukan sesuatu atau kemampuan untuk
mengatasi perlawanan dari orang lain untuk mencapai tujuan, khususnya untuk
mempengaruhi orang lain. Paksaan adalah kemampuan untuk mempengaruhi orang
lain dengan cara tidak memiliki legitimasi (sah), sedangkan otoritas adalah
kemampuan untuk mempengaruhi orang lain sebagai suatu bentuk yang terlegitimasi.
Penggunaan kekuasaan dapat dilakukan dengan menggunakan cara kerjasama,
persaingan dan konflik.
Dalam politik pengelolaan sumberdaya perikanan di Wakatobi terdapat
berbagai bentuk kekuasaan yang dijalankan oleh pilar negara, pilar masyarakat dan
pilar pasar. Ketiga pilar tersebut mempunyai kekuasaan dan cara yang berbeda dalam
memanfaatkan dan menggunakan sumberdaya pesisir dan kelautan termasuk di
dalamnya sumberdaya perikanan. Melalui beberapa regime pengelolaan sumberdaya,
politik pengelolaan sumberdaya perikanan di Wakatobi dijelaskan sebagai berikut:
9.1. Pengelolaan Terumbu Karang, dari Common Property Right ke State dan
Private Property Right (Tata Kelola Berbasis Area/Luasan)
Menurut Adhuri (2005), kritik pengelolaan sumberdaya tersebut sering
ditemui ketidakharmonisan antara masyarakat dengan aparat pengelola dari pusat,
yang disebabkan karena terbatasnya kemampuan sumberdaya manusia dan finansial
dalam pelaksanaan monitoring, surveillance dan controlling (MSC), kebijakan-
kebijakan yang dihasilkan, subordinasi kepentingan ekonomi jangka pendek dengan
kepentingan ekonomi jangka panjang (konservasi), serta terjadinya resistensi dari
251
masyarakat tentang aturan pengelolaan yang bersifat top-down. Sehingga diperlukan
sebuah transformasi kekuasaan dengan sebuah istilah devolution. Devolution of major
resources management and allocation to the local level may be more effective
than management effort which distant and understaffed government agencies can
provide (Bailey and Zernerm, 1992; dalam Adhuri, 2005).
Dalam pengelolaan sumberdaya alam dibutuhkan kesadaran pemerintah pusat
untuk membagikan atau menumpahkan tanggung jawab dan kekuasaan dalam
pengelolaan lingkungan hidup kepada pemerintah daerah untuk mengelola dan
memanfaatkan wilayahnya. Hal ini dharapkan agar pemanfaatan sumberdaya alam
lebih efektif dan berlanjut. Carney and Farrington (1998), menyebutkan beberapa
pembaharuan tipe (type of reform) pengelolaan sumberdaya alam, yaitu privatisasi,
desentralisasi dan deregulasi. Ketiga tipe pembaharuan pengelolaan sumberdaya
alam, yang dianggap ideal dan mementingkan rakyat adalah desentralisasi. Carney
dan Farrington (1998), menyebutkan bahwa desentralisasi adalah pergeseran
kekuasaan dari pusat ditumpahkan atau dikuasakan ke daerah. Pergeseran kekuasaan
di dalam desentralisasi, terdapat dua tipe, yaitu devolusi dan dekonsentrasi. Devolusi
adalah desentralisasi yang di dalamnya terdapat transformasi kekuasaan berupa
pembetukan dan revitalisasi kebijakan berdasar kepentingan daerah. Jadi hukum dan
kebijakan serta legislatif dibentuk sesuai dengan porsi dan kepentingan daerah.
Sedangkan dekonsentrasi adalah pergeseran atau transformasi kekuasaan bersifat
operasional kekuasaan dari kementrian pusat kepada sub unit daerah. Dekonsentrasi
sering disebut sebagai redefinisi dari pergeseran skup dari kementrian pusat terbagi
menjadi sub unit, dan tidak terjadi perubahan atau pergesaran kekuasaan apapun.
Bromley, 1991 dalam Hanna, et.al, (1995: 17), menjelasakan bahwa terdapat
dua komponen dalam (hak kepemilikan sumberdaya) regime property right, yaitu: 1).
property rights itu sendiri, melekat sifat hak kepemilikan dan kewajibannya dalam
memanfaatkan potensi sumberdaya di dalamnya, dan 2). property rule, seperti aturan-
aturan yang mengikat hak dan kewajiban dari yang memiliki sumberdaya. Hanna,
et.al., 1995: 18 menjelaskan beberapa tipe regime pengelolaan sumberdaya alam
berdasarakan atas spectrum kepemilikannya (Mc Cay and Acheson 1987; Berkes,
252
1989; Bromley, 1989 and Ostrom, 1990), menyebutkan tipe regime kepemilikan
sumberdaya alam, diantaranya adalah:
• Private property (res privatae),kepemilikan atas sumberdaya yang dimiliki secara individual, kepemilikan individu mempunyai hak dalam kontrol dan akses dalam pemanfaatan sumberdaya secara sosial dan ekonomi (Black, 1968);
• Common property (res communes), kepemilikan sumberdaya yang dimiliki oleh kelompok atau komunitas, mempunyai sifat melarang masuk terhadap bukan pemilik.
• State property (res publicae), kepemilikan sumberdaya yang dimiliki oleh kepentingan unit politik, pemerintah/negara dimana kewenangannya terdapat pada agen publik.
• Open access (res nullius), sumberdaya yang tidak bertuan, tidak ada yang memiliki dan property yang bersifat open to all. Dinamika dari open access merupakan kajian utama dari “Tragedy of the Common”.
Pengelolaan sumberdaya alam menjadi kawasan konservasi laut di Perairan
Wakatobi, di kuasai dengan sistem komando dari pusat, walaupun terdapat sistem
komunal dan devolusi kekuasaan pemerintah yang dimiliki oleh pemerintah daerah
serta sistem pasar. Permasalahan pengelolaan sumberdaya perikanan dan kelautan di
Kawasan Taman Nasional Wakatobi, menjadi menarik, ketika Wakatobi ditunjuk,
seluruh daerah Kabupaten Wakatobi menjadi luasan konservasi Taman Nasional.
Melihat potensi sumberdaya dan human capital Wakatobi, tak lain kecuali mereka
bermata pencaharian sebagai nelayan. Eksistensi nelayan Bajo, dikenal sebagai suku
laut yang tidak mempunyai akses atas sumberdaya lahan, menjadi permasalahan
tersendiri ketika terdapat zonasi baik yang datang dari sistem zonasi Taman Nasional
dan sistem zonasi Daerah Perlindungan Laut (Marine Sanctuary), sebagai
pengelolaan tata ruang dari COREMAP Phase II yang didukung oleh DKP
Kabupaten.
Transisi kepemilikan sumberdaya perairan di Wakatobi, mengalami
tranformasi sejak Tahun 1996, dengan ditunjuknya perairan Wakatobi menjadi
Taman Nasional Kepulauan Wakatobi melalui Keputusan Menteri Kehutanan No.
393/KPTS-VI/1996, kemudian ditetapkan melalui Keputusan Menteri Kehutanan No.
19 Agustus Tahun 2002 yang meliputi seluruh wilayah Kabupaten Wakatobi dan
namanya menjadi Taman Nasional Wakatobi. Desember Tahun 2003 Wakatobi
253
mekar dari Kabupaten Buton dan menjadi wilayah kabupaten tersendiri, sehingga
memunculkan permasalahan bahwa batas dan luas kawasan TNW berhimpit dan
sama persis dengan luasan Kabupaten Wakatobi (RPTNW 2008: 2).
Dalam rangka harmonisasi pengelolaan kawasan konservasi taman nasional
dengan pembangunan daerah, sebagai ujud untuk mengantisipasi berbagai perubahan
politik, dan pemerintahan serta kondisi sosial, ekonomi dan budaya sehingga
dilakukanlah revisi RPTN dalam jangka waktu 25 tahun kedepan (1998-2023). Hal
ini dilakukan dengan maksud untuk mengelola kawasan dalam perencanaan
pengelolaan Taman Nasional Wakatobi, sebagai dasar pijakan kebijakan dan renstra
Kabupaten Wakatobi yang selaras dengan pengelolaan TNW (RPTNW, 2008: 4).
Taman Nasional Wakatobi, terdapat 6 zonasi, yaitu zona inti, zona
pemanfaatan bahari, zona pariwisata, zona pemanfaatan lokal, zona pemanfaatan
tradisional dan zona khusus. Zona khusus adalah zona daratan yang diserahkan
kekuasaannya kepada pemerintah daerah. Menurut RPTN sebagai zona khusus adalah
zona penyangga, dimaksudkan agar pengelolaan mata pencaharian masyarakat dan
kebijakan pembangunan wilayah pesisir dan daratan Wakatobi selaras dengan
pengembangan wilayah perairan sebagai kawasan konservasi taman nasional
(RPTNW, 2008: 3).
Dalam prakteknya bahwa keharmonisan antara taman nasional dengan daerah,
belum terlihat bersinergis betul. Kabupaten Wakatobi sebagai daerah pemekaran baru
membutuhkan modal dalam membangun wilayahnya. Penetapan leading sektor
perikanan dan pariwisata sebagai agen pembangunan di Wakatobi, tentunya harus
melihat pertimbangan sebagai kawasan konservasi taman nasional. Potensi Wakatobi
yang dominan hanyalah perikanan, untuk pariwisata belum bisa dikatakan sebagai
kemandiaran untuk menyokong pembangunan daerah.
Sebelum ditetapkan sebagai Taman Nasional, nelayan Wakatobi, baik orang
darat mauapun orang Bajo mengenal laut adalah sebagai sumberdaya milik bersama
dan siapa saja boleh memanfaatkan hasil lautnya. Hal ini menjadikan nelayan Bajo
sebagai suku laut menjelajah disetiap karang yang ada di gugusan karang Wakatobi
adalah kebun milik mereka (koko dilao). Setelah ditetapkan sebagai Taman Nasional,
254
yang pengelolaan kawasan dengan menggunakan sistem zonasi, terdapat perubahan
anggapan dan kebiasaan nelayan dalam menangkap ikan. Hal ini pada awalnya
menimbulkan konflik penolakan zonasi oleh masyarakat terhadap taman nasional.
Aturan-aturan taman nasional dengan menggunakan sistem zonasi, dengan tujuan
untuk konservasi terumbu karang dalam jangka panjang demi keberlanjutan
ekosistem dan mendukung praktek ekonomi masyarakat jangka panjang. Akan tetapi
aturan-aturan konservasi zonasi taman nasional, mendapat reaksi dari nelayan,
dikarenakan terdapat aturan yang melarang nelayan beroperasi dan hanya
diperbolehkan pada zona pemanfaatan umum dan pemanfaatan lokal.
Tata ruang zonasi taman nasional laut tidak semudah dengan tata ruang taman
nasional yang ada di daratan, karena laut tidak bisa diberi marka (bouy) dan untuk
tata batasnya tidaklah jelas. Mata pencaharian nelayan menangkap ikan sebagai
komoditas, mempunyai sifat fugitive, bergerak bebas. Secara otomatis nelayan akan
mencari daerah yang banyak ikannya, walaupun masuk dalam zona yang tidak
diperbolehkan untuk aktifitas penangkapan ikan. Pemahaman dualisme tentang zonasi
di kawasan Wakatobi masih terjadi pemahaman simpang siur sampai sekarang.
Pemahaman yang ganda sampai saat ini terjadi di nelayan disebabkan karena
nelayan belum mempercayai adanya penetapan zonasi. Simpang siur informasi
tentang penetapan zonasi di gunakan oleh kepentingan segelintir orang untuk
kepentingan politisnya. Dalam sebuah kasus di Pulau Tomia terjadi pada Tahun 2009,
dimana bakal caleg mengkampanyekan dirinya, dengan menggunakan zonasi taman
nasional sebagai alatnya untuk memperoleh dukungan massa terutama dari nelayan.
Nelayan, terutama Bajo masih menganggap zonasi baru menjadi wacana dan belum
ditetapkan oleh Taman Nasional Wakatobi dan Pemerintah Daerah Wakatobi.
Pemahaman ini disebabkan oleh informasi dari kepentingan politik dalam meraih
dukungan massa.
Belum selesainya permasalahan pemahaman dan ketaatan nelayan terhadap
sistem zonasi taman nasional, Tahun 2009 munculah Daerah Perlindungan Laut
(DPL) yang di usung oleh COREMAP Phase II dan Dinas Kelautan dan Perikanan
(DKP) Wakatobi. Kebijakan desentralisasi sebagai semangat otonomi daerah
255
terwujud pada devolusi kewenangan dan kekuasaan KKP kepada daerah melalui
dinas/instansi yang terkait yaitu DKP. DPL merupakan konsep awal yang bagus
bahwa partisipasi komunal ditonjolkan untuk berperan aktif dalam mengelola
kawasan laut milik desa. DPL dibentuk dari luasan laut milik desa, diambil 10 %
sebagai daerah perlindungan laut.
Terlihat di lapangan, bahwa DPL menimbulkan kritik dari masyarakat, bahwa
DPL bersifat sangat ekslusif bagi penduduk desa yang mempunyai laut. Pertama,
DPL dibentuk dengan pertimbangan tutupan karang masih bagus yaitu ≥50 persen.
Dalam kawasan DPL tidak diperbolehkan untuk aktifitas penangkapan ikan dan
budidaya. Akan tetapi praktek di lapangan, DPL dimanfaatkan sebagai budidaya
rumput laut. Hal ini jelas sudah menyimpang dari tujuan dibentuknya DPL. Sifat
ekslusifitas komunal atau kelompok tertentu, tentunya akan mengalienasi pengguna
sumberdaya perikanan lain seperti nelayan Bajo. Kedua, DPL digunakan sebagai
zona pariwisata dalam site penyelaman untuk kepentingan wisata, yang tidak jarang
dimanfaatkan oleh perusahaan wisata swasta, sehingga, nelayan pun tidak bisa
menggunakan sumberdaya yang ada di daerah tersebut untuk menangkap ikan,
terlebih-lebih ketika ada wisatawan menyelam. Pihak resort pariwisata yang
mempunyai site penyelaman melarang keras nelayan untuk melintas di wilayah
tersebut. Ketiga, bahwa DPL adalah zonasi dalam zonasi, didalam aturannya, terdapat
pengaturan yang berbeda yaitu milik komunal/ masyarakat yang mempunyai DPL.
Akan tetapi pihak taman nasional berdiam diri dan mendukung, karena tujuannya
adalah mendukung konservasi taman nasional. Keempat, penentuan DPL yang
dilakukan oleh COREMAP Phase II sebagai no take zone area, di lokasikan pada
zona pemanfaatan tradional (lokal) dalam koridor sistem zonasi taman nasional. Hal
ini menjadikan lebih sempit akses pemanfaatan nelayan terhadap sumberdaya
perikanan di kawasan zonasi taman nasional.
Sistem tata ruang perairan Wakatobi baik zonasi kawasan taman nasional
ataupun DPL adalah sistem kavling area, sehingga hal ini menimbulkan kesenjangan
akses untuk nelayan yang tidak memiliki wilayah laut, seperti Bajo. Kavling tersebut
diwujudkan sebagai praktek zonasi kawasan konservasi yang diyakini sumberdaya
256
yang melekat di dalam kawasan (area) pun ikut ter-kavling dalam kerangka zona
konservasi. Pandangan pola pengkavlingan, dinilai oleh sosiolog perikanan (Craig
Harris dalam Satria, 2009a:54), sebagai pola pengelolaan yang bersifat modernisasi.
Modernisasi dalam pengelolaan sumberdaya perikanan adalah dicirikan dengan
kuatnya dominasi (state) yang didistribusikan secara top down. Lahirnya DPL,
menjadikan bentuk disparitas sesama komunitas yang hidup di Wakatobi. Nelayan
Bajo tidak mempunyai hak akses, pemanfaatan dan pengelolaan terhadap DPL. DPL
menjadi milik komunal bagi masyarakat desa yang mempunyai wilayah laut desa dan
DPL tetapi hal tersebut menjadi “komunalisasi” yang bersifat ekslusi, dilakukan oleh
kelompok masyarakat desa tertentu yang mempunyai DPL dan laut desa terhadap
nelayan Bajo.
Menyangkut hak kepemilikan dan penguasaan sumberdaya perikanan dan
pesisir, nelayan Bajo yang hidupnya menggantungkan dari komoditas laut baik
karang maupun laut dalam, tidak mempunyai pilihan lain, selain harus melaut di
daerah yang menjadi milik negara. Hak nelayan yang tidak mempunyai wilayah laut
menjadi terampas khususnya nelayan Bajo untuk hak memanfaatkan (withdrawal
right) maupun hak mengelola (management right). Adapun temuan data di lapangan
berkaitan dengan hak kepemilikan sumberdaya adalah sebagai berikut: Tabel 9.1. Hak nelayan Bajo terhadap Kepemilikan Sumberdaya Perikanan di Wakatobi
Kemampuan Menggunakan Sumberdaya
Zona Pemanfaatan Lokal
Zona DPL Zona Pariwisata
Akses X X X
Pemanfaatan X - -
Pengelolaan X - -
Eksklusi X - -
Pengalihan - - -
Tipe Hak Propieter Authorized
entrance
Authorized
entrance
Sumber: diolah dari data primer hasil wawancara dan pengamatan lapang (April-Juni 2012)
257
Tabel 9.2. Hak nelayan daratan (desa lain yang mempunyai wilayah laut desa (DPL) terhadap
Kepemilikan Sumberdaya Perikanan di Wakatobi
Kemampuan Menggunakan Sumberdaya
Zona Pemanfaatan Lokal
Zona DPL Zona Pariwisata
Akses X X X
Pemanfaatan X X -
Pengelolaan X X -
Eksklusi X X -
Pengalihan - - -
Tipe Hak Propieter Claimant Authorized
entrance
Sumber: diolah dari data primer hasil wawancara dan pengamatan lapang (April-Juni 2012)
Tabel 9.3. Hak pengusaha resort pariwisata terhadap Kepemilikan Sumberdaya Perikanan di Wakatobi
Kemampuan Menggunakan Sumberdaya
Zona Pemanfaatan Lokal
Zona DPL Zona Pariwisata
Akses X X X
Pemanfaatan X - X
Pengelolaan X - X
Eksklusi X - X
Pengalihan - - X
Tipe Hak Propieter Claimant Owner
Sumber: diolah dari data primer hasil wawancara dan pengamatan lapang (April-Juni 2012)
Praktek dilapangan mengenai ketidakharmonisan antara pemerintah daerah
dan pihak taman nasional tercermin dalam pengaturan sumberdaya perikanan dalam
kawasan. DKP sebagai instansi yang mempunyai tugas untuk perikanan daerah
bergerak sendiri dan mempunyai kewenangan dalam sektor perikanan dari mulai
perijinan, monitoring sampai kontrol, sedangkan Balai Taman Nasional Wakatobi
sangat patuh dengan garis komando konservasinya. Sehingga sistem lempar batu,
sembunyi tangan terhadap pengawasan sumberdaya perikanan di kawasan konservasi
taman nasional laut terjadi dikarenakan mempunyai dualisme kewenangan. Akibat
yang terjadi dari adanya dualisme kewenangan adalah masuknya pihak ketiga (free
258
rider) yang memanfaatkan sumberdaya perikanan yang ikut serta memanfaatkan
sumberdaya perikanan di dalam kawasan. Praktek terdapatnya free riders adalah
masih terjadinya penangkapan komoditas yang seharusnya tidak boleh dieksploitasi
dalam kawasan, dan praktek produksi penangkapanya masih menggunakan illegal
fishing gear. Terdapatnya praktek illegal fishing seperti penggunaan cyanide untuk
menangkap Napoleon dan menggunakan bom untuk menangkap ikan karang segar,
tak lain dampak dari ego kepentingan antara daerah dengan taman nasional, sehingga
nelayan yang menjadi korban sebagai pelaku illegal fishing. Ego kepentingan antara
pemerintah daerah dan Taman Nasional terlihat dari tumpang tindih kewenangan
dalam sektor perikanan. Pemerintah daerah melalui DKP mempunyai kewenangan
dalam sektor perikanan sedangkan Taman Nasional Wakatobi mempunyai kekuasaan
terhadap kawasan konservasinya.
Dijelaskan oleh Satria, (2009a:55), bahwa ketidakharmonisan antara
perikanan dan konservasi merupakan cerminan dari simpang siur dan tumpang
tindihnya kewenangan dan kebijakan yang menjadi kiblat masing-masing instansi.
Pada level lokal terjadi ketidakharmonisan antara taman nasional, pemerintah daerah,
nelayan, dan pengusaha wisata. Pada level nasional terjadi ketidakharmonisan antara
KKP dengan Kemenhut. Pada level nasional, dicerminkan oleh adanya pertimbangan
dasar kebijakan yang tidak pernah saling sinergis. Cerminan ketidaksinergisan dalam
produk hukum sebagai dasar kebijakan seperti: dalam Keputusan DitJend PHKA No.
SK.149/IV-KK/2007 tentang Zonasi Taman Nasional Wakatobi yang tidak
menimbang dari Undang Undang No. 31 Tahun 2004 Tentang Perikanan, dan
Undang-Undang No. 27 Tahun 2007 tentang PWP3K. Hal tersebut pun terjadi
sebaliknya, ketika Kemenhut merujuk ke umbrella act Undang-Undang No. 5 Tahun
1990, KKP, dalam membentuk peraturan, belum terlihat merujuk terhadap Undang-
Undang tersebut. Sehingga hal ini menurut Satria (2009a: 69), disebut sebagai bentuk
disharmonisnya produk hukum yang menyebabkan konflik institusional di kedua
institusi pemerintah.
Tumpang tindih kepentingan menjadi permasalahan klasik mengenai
penanganan konservasi laut. Tetapi, apabila di tengok lebih jauh, perebutan
259
kewenangan tersebut berkaitan dengan masalah teknis-birokratis sebagai politik
anggaran dari masing-masing institusi. Dalam hal ini, konservasi kawasan belum bisa
menopang kesejahteraan nelayan, dan belum bisa memberikan jawaban alternatif,
livelihood terhadap nelayan ikan konsumsi karang hidup, khusunya nelayan Bajo.
Sehingga boleh dikatakan bahwa nelayan, belum tersentuh permasalahannya dan
selalu berada dalam dua paradigma, yaitu konservasi dan developmentalis sebagai
ujud dari pemekaran daerah baru di dalam kawasan konservasi.
9.2. Transformasi Politik Seafood Savers sebagai Pengelolaan Komoditas
Ikan Konsumsi Karang Hidup berbasis Pasar
Selama dua dekade sudah, United Nation Convention on the Law of the Sea
(UNCLOS), sumberdaya perikanan dunia mendapat perhatian yang cukup serius
berkaitan tentang keberlanjutannya, berkaitan dengan konsep yang dinyatakan oleh
Hardin sebagai “tragedy of the commons”, dimana telah terjadi penangkapan berlebih
(overexploitation), penurunan daya kapasitas sumberdaya di bawah ambang batas
(overcapacity) dan terjadinya konflik antar pengguna sumberdaya perikanan (OECD;
19). Merujuk dari laporan FAO 1994 (OECD, 2006; 20), bahwa terjadi penurunan
tangkapn dalam beberapa tahun terakhir yang terjadi pada ikan komersial (ikan
demersal). Penurunan hasil tangkapan ikan demersal komersial, dikarenakan
mempunyai siklus trophic level yang rentan dalam produksi ikan di alam, dan hal ini
juga terjadi pada komoditas ikan pelagis kecil (Pauly et. al., 1998, dalam OECD,
2006; 20).
Ketidakseimbangan antara pemanfaatan (frekuensi penangkapan ikan) dan
kemampuan stok produktivitas ikan terjadi karena faktor meningkatnya pengguna
sumberdaya perikanan, dan praktek overfishing serta belum jelasnya kebijakan yang
mengatur (unrugelated) praktek penangkapan ikan. Pengelolaan sumberdaya
perikanan seharusnya di dukung oleh keuntungan secara teknik dan merupakan
lapangan pekerjaan tambahan bagi nelayan (didukung oleh kebijakan pemerintah),
untuk menghambat laju degradasi sumberdaya perikanan. Secara bersamaan,
260
pertumbuhan produksi perikanan dapat menjadi andalan pembangunan bagi beberapa
negara (OECD, 2006; 20).
OECD Tahun 2006, memaparkan paradigma pembangunan berkelanjutan
sektor perikanan yang terdiri dari tiga pilar, yaitu lingkungan, ekonomi dan sosial.
Permasalahan dasar dalam penggunaan sumberdaya perikanan adalah terletak pada
aspek ekonomi. Persaingan industri perikanan sebagai upaya meningkatkan produksi,
menciptakan sisi negatif, terhadap peningkatan penggunaan sumberdaya perikanan
yang semakin langka (menurun). Outline mekanisme pengelolaan secara ekonomi
sumberdaya perikanan beserta implikasinya digambarkan sebagai berikut:
Gambar. 9.1. Outline mekanisme pengelolaan sumberdaya perikanan secara ekonomi
Melihat kondisi perikanan di Wakatobi yang berada pada dua konsep besar
paradigma developmentalis dan konservasi, diperlukan jalan tengah untuk
menyelesaikan permasalahan perikanan terutama berkaitan dengan komoditas ikan
Sifat Sumberdaya Perikanan
Common Renewable
Crowding exteralitas (jangka pendek)
Stock externalitas (jangka panjang)
Overexploitation Overcapacity
Equity issue (konflik pengguna)
Efficiency issue (hilangnya penyewaan sumberdaya)
Resources conservation issue
Sumber: Diadopsi Boncoeur dan Troadec, 2003; OECD, 2006,
261
konsumsi karang hidup. Konservasi kawasan seperti taman nasional dan DPL belum
bisa memberikan jawaban antara realitas kebutuhan masyarakat dan keberlanjutan
perikanan.
Isu besar dari wacana pengelolaan sumberdaya perikanan berbasis pasar,
dikarenakan keprihatinan terhadap degradasi sumberdaya lingkungan yang semakin
menunjukan kerusakan. Menurut Hempel, 1996 (dalam Riyanto, 2005:10), terdapat
empat faktor yang menjadi degradasi lingkungan yaitu: Pertama, nilai-nilai dasar
yang menyebabkan terjadinya degradasi lingkungan adalah etika antroposentris yaitu
demi memenuhi kepuasannya manusia cenderung mengorbankan spesies (flora dan
fauna) disekitarnya dan etika kontemposentris yaitu lemahnya pengkayaan oleh
generasi sekarang ke generasi yang akan datang; Kedua, pertumbuhan penduduk dan
perkembangan teknologi; Ketiga, perilaku konsumen yaitu ketegangan antara
keinginan dan kebutuhan serta konsekuensi ekologinya; dan Keempat politik
ekonomi.
Selain keempat aspek tersebut, Satria (2009a:35-36), menambahkan bahwa,
degradasi sumberdaya perikanan disebabkan adanya kegagalan pasar dan kegagalan
tata kelola. Oleh karena itu pendekatan pasar menjadi acuan kebijakan pengelolaan
komoditas yang berkaitan dengan sumberdaya. Kebijakan pasar tersebut adalah
kebijakan kouta, dan kebijakan ecolabelling. Kebijkan kouta lebih menekankan pada
produsen, sementara ecolabelling pada penekanan level konsumen. Solusi dari
kegagalan tata kelola adalah, perlu di wujudkannya kolaboratif manajemen,
pengelolaan sumberdaya perikanan yang mengikutsertakan semua stakeholder, yaitu
negara, masyarakat dan pasar.
Belum terwujudnya pengelolaan komoditas dan kawasan terumbu karang
yang ideal, setidaknya dapat dipetakan penyebabnya selain tumpang tindih
kewenangan daerah dan pusat tetapi juga karena kawasan konservasi berbasis area
tidak mengikutsertakan peran pasar untuk bertanggung jawab terhadap proses
eksploitasi komoditas. Eksploitasi komoditas ikan konsumsi karang hidup terjadi
sebagai akibat adanya permintaan pasar regional di Hong Kong yang berlangsung
terus menerus. Salah satu dampak dari eksploitasi sumberdaya ikan konsumsi karang
262
hidup, masih terdapat praktek-praktek illegal fishing yang sehuarusnya tidak terjadi
di dalam kawasan konservasi masih berlangsung dikarenakan adanya permintaan
pasar terhadap spesies yang tidak boleh ditangkap.
Seafood Savers, muncul sebagai wacana global dan wacana lokal. Sebagai
wacana global produk Seafood Savers merupakan pengelolaan sumberdaya perikanan
karang hidup yang diterapkan pada kawasan yang masih terdapat praktek-praktek
(bad practice) yang tergolong dalam karakter IUU Fishing. Sampai saat ini belum
diketemukan aturan khusus yang mengatur ikan konsumsi karang hidup. Keunikan
dan dinamika komoditas ini adalah menjaga agar tetap hidup komoditas dari mulai
ditangkap sampai di tangan konsumen yang didalamnya terdapat praktek-praktek
spesifik tertentu yang tidak berada di perikanan tangkap lainnya. Sebagai wacan
lokal, Seafood Savers merupakan regime pengelolaan sumberdaya perikanan yang
bertumpu pada rasionalitas pasar.
Seperti dijelaskan dalam Bab. VI. bahwa komoditas ikan konsumsi karang
hidup mempunyai dampak sosial dan ekonomi, terdapat dalam jaringan penangkapan,
sampai jaringan distribusi dan jaringan pengaman merupakan upaya memanfaatkan
hasil tangkapan liar di dalam kawasan konservasi. Jaringan penangkapan, jaringan
pemasaran sampai pada jaringan pengaman menyebabkan terjadinya perubahan-
perubahan kondisi yang berdampak pada aspek sosial, ekonomi, ekologi dan
kebijakan. Secara kajian ekologi, adaptasi ikan konsumsi karang hidup adalah di
ekosistem karang yang merupakan salah satu dari delapan potensi konservasi
kawasan Taman Nasional Wakatobi yang dilindung (menjadi area target).
Kehadiran Seafood Savers sebagai wacana lokal merupakan inisiasi
pengelolaan perikanan yang di inisiasikan oleh WWF Indonesia, guna mengelola
komoditas ikan konsumsi karang hidup di dalam kawasan konservasi yang berbasis
pasar sebagai penyokong antara kepentingan konservasi dan developmentalis.
Tentunya kehadiran Seafood Savers, menjadi hal yang pro dan kontra, terlebih
kepentingan dari Seafood Savers, adalah untuk siapa?.
Dukungan dalam konservasi, Seafood Savers adalah proses bridging
mechanism untuk mengurangi adanya praktek IUU Fishing. Ikan konsumsi karang
263
hidup, banyak ditangkap dengan menggunakan cara-cara yang tidak ramah
lingkungan, seperti cyanide. Permasalahan klasik dari komoditas ikan konsumsi
karang hidup adalah belum ditemukannya regulasi yang spesifik mengenai perikanan
tangkap maupun batas quota tangkap untuk ikan konsumsi karang hidup. Selain itu,
permasalahan pelaporan mengenai produksi ikan konsumsi karang hidup sampai
sekarang juga belum jelas. Agenda besar adanya Seafood Savers adalah terwujudnya
Fisheries Improvement Management, sebagai usaha sertifikasi eco-label.
Temuan di lapangan, bahwa di Wakatobi masih beroperasi eksportir yang
mengirimkan produksi ikan konsumsi karang hidup dengan menggunakan kapal
impor langsung dari Hong Kong. Operasi daerah penangkapan berada di Wakatobi,
akan tetapi ijin pengawasan ada di Buton. Sedangkan ijin untuk surat keterangan asal
ikan ada di Wakatobi, dengan mengatasnamakan baik dari nama CV. ataupun dari
kordinatror yang menjadi kepercayaan CV. tersebut. Tentunya hal ini menjadikan
dualisme pelaporan hasil tangkapan. Tercatat di Buton dan juga di Wakatobi dengan
quota yang berbeda. Tercatat di DKP Wakatobi, jumlah ekspor ikan itu hanya
2500kg, sedangkan di Buton bisa mencapai 7000kg. Faktor ini disebabkan karena di
Buton, itu sudah mengambil ikan dari area penangkapan daerah lain, seperti di
Selayar. Akan tetapi hal ini menjadi ganjil, ketika merunut dari hasil wawancara
dengan penjaga keramba, bahwasanya kapal Hong Kong, membawa ikan ke
Wakatobi dan mengangkut, apabila jumlah minimum ikan yang ada di dua keramba
Wakatobi itu 4000kg.
Belum adanya aturan khusus tentang komoditas ikan konsumsi karang hidup
di dalam kawasan sehingga menjadikan adanya dualisme pelaporan quota,
disebabkan daerah belum mempunyai aturan tentang penataan keramba-keramba ikan
konsumsi karang hidup milik eksportir. Jarak lokasi keramba dengan pulau menjadi
kendala dalam proses pengawasan.
Walaupun kawasan perairan Wakatobi sudah menjadi taman nasional, akan
tetapi sifat dari komoditas ikan konsumsi karang hidup tetap bersifat wild capture.
Sifat dari wild capture, menjadikan komoditas ikan konsumsi karang hidup tidak ada
yang memiliki ketika bebas di alam. Kondisi ini disebut dengan ferea naturae.
264
Menurut, Fauzi, 2010: 19, kondisi ferea naturae adalah kondisi dimana ikan memiliki
sifat alamiah (wild by nature), tidak ada yang berhak mengklaim kepemilikannya dan
kepemilikan hanya berlaku ketika seseorang menangkapnya. Dengan kondisi seperti
inilah komoditas perikanan mengalami gejala kegagalan pasar.
IUU Fishing, yang terjadi pada komoditas ikan konsumsi karang hidup
memunculkan fenomena kegagalan pasar. Kegagalan pasar dicirikan sebagai berikut:
1. Adanya persaingan yang tidak sehat.
Komoditas ikan konsumsi karang hidup mempunyai sifat oligopsoni
dan oligopoli, dimana penjual banyak, pembeli sedikit (level
produsen), dan penjual sedikit pembeli banyak (level konsumen).
Harga merupakan kewenangan eksportir, yang bisa memainkan harga
pasar di tingkat produsen dan harga pasar di tingkat konsumen.
2. Eksternalitas adalah kondisi pasar, ketika dalam aktifitas ekonomi
pihak ketiga.
Komoditas ikan konsumsi karang hidup, terdapat ekternalitas ekonomi
negatif, yaitu turut campurnya pihak ketiga yang tidak terlibat
langsung dalam produksi komoditas. Rent seeking¸ menjadi
eksternalitas negatif pihak ketiga. Sehingga terdapat
ketidakseimbangan antara social benefit dengan social cost. Apabila
social cost lebih tinggi daripada social benefit, maka tidak ada biaya
beban moral untuk rekoveri masyarakat dan lingkungan (Fauzi: 2005:
20, Rustiadi, 2011:32).
3. Asimetris informasi.
Merupakan situasi dimana informasi tidak tersebar merata atau terjadi
ketidakpastian informasi. Eksportir ikan konsumsi karang hidup
mempunyai informasi lebih banyak, baik harga maupun akses pasar
daripada nelayan/kordinator.
Perubahan sosial-ekonomi dari Seafood Savers, belum terasa nyata untuk
nelayan. Seafood Savers, merupakan aturan antara perusahaan dengan nelayan yang
mengikat nelayan. Artinya, posisi antara perusahaan dan nelayan tidak berimbang
265
dalam posisi tawar. Adanya informasi asimetris tentang produk dan harga masih
dikuasai oleh perusahaan Seafood Savers terhadap nelayannya. Pemberian premium
price, menguntungkan nelayan tanpa ikatan hutang terhadap kordinator (patron)
untuk pendapatan, akan tetapi nelayan yang masih dalam ikatan kordinator tidak bisa
merasakan adanya premium price. Pola pergeseran kekuasaan sebagai itikad baik
perusahaan Seafood Savers menghapus rantai patronase menjadi ikatan kontrak yang
bersifat terbatas dalam jangka waktu. Dikarenakan struktur patronase sudah hidup
sebelum Seafood Savers diinisiasikan. Ikatan nelayan mempunyai ikatan hutang
terhadap kios, sebagai penjamin modal nelayan untuk melaut.
Dalam wawancaranya di Bali, perusahaan yang menjadi anggota Seafood
Savers pesimis Seafood Savers akan berhasil tanpa ada campur tangan regulasi dari
pemerintah. Perusahaan tersebut, belum memakai logo Seafood Savers karena
pihaknya, berkeyakinan akan melaksanakan kaidah-kaidah perikanan ramah tangkap,
akan tetapi tidak mengikuti prosedur dari WWF (14 Juli 2012). Pesimistis dengan
adanya Seafood Savers, dikarenakan penerapan untuk batas minimum quota tangkap
untuk ukuran, tidak diikuti oleh perusahaan eksportir ikan konsumsi karang hidup
lainnya.
Pada pertemuan workshop konservasi Napoleon, bahwa eksportir
keanggotaan Seafood Savers, sangat khawatir dan pesimis tentang moratorium
Napoleon dan berubah status menjadi Appendix I dalam CITES. Menurutnya, ketika
pemerintah tidak tegas melarang Napoleon, maka di lapangan masih banyak praktek
penangkapan Napoleon yang menggunakan bius. Sehingga, ini akan merusak bisnis
bagi perusahaan yang sudah mengikuti standar ramah lingkungan seperti Seafood
Savers.
9.3. Analisis Politik Seafood Savers, Sebagai Pengelolaan Perikanan Karang
Hidup melalui Mekanisme Pasar
Seafood Savers, secara politik diartikan sebagai pengelolaan sumberdaya
perikanan dengan mendekatkan pada aspek pasar. Kajian OECD tentang using market
mechanism to manage fisheries; 2006, menjelaskan bahwa ada tiga tipologi
266
instrument pengelolaan sumberdaya perikanan. Pertama, tipologi pengelolaan
berdasar pada metode kontrol. Kedua, tipologi pengelolaan berdasar pada tujuan
kebijakan (peraturan), dan Ketiga, tipologi berdasar pada variabel kontrol.
Pertama, instrument pengelolaan sumberdaya perikanan berdasar pada
metode kontrol. Secara general, instrument metode kontrol menekankan pada bidang
ekonomi sebagai kebijakan pengelolaan. Ada dua macam, yaitu,
• Pertama, instrument ekonomi yang menekankan cost dan benefit terhadap
perusahaan perikanan atau nelayan terhadap penggunaan sumberdaya
perikanan. Instrument ekonomi diantaranya adalah:
a) Menciptakan pasar (market creation), misalnya hak penjualan atau
ijin. Instrument ini merupakan instrument pasar, berupa keputusan
ekonomi yang dilakukan oleh aktor yang berinteraksi dalam jaringan
pasar menyangkut hak dan ijin sebagai atribut kekuasaan para aktor
yang berinteraksi. Hak tersebut di kemukakan Tara Scott (1998) dalam
OECD (2006), seperti hak ekslusif pengguna, hak untuk mendapatkan
keuntungan dan hak untuk menjual.
b) Monetary transfer, misalnya, pembayaran atau pajak (seperti, paak,
subsidi, dan fee). Hal ini di lakukan dengan tujuan sebagai bentuk
ekonomi insentif dan bukan pendekatan pasar. 2). Pengukuran
pengelolaan atas pasar berdasar pada peraturan dan legalisasi.
Peraturan dan legalisasi dalam pengelolaan pasar dinilai lebih fleksibel
daripada instrument eknonomi, meskipun aktor pasar tidak dapat lebih
bebas dalam menggunakan sumberdaya akan tetapi dinilai
mengeluarkan cost yang sedikit dalam berproduksi.
• Kedua, pengelolaan SDP berdasar pada tujuan peraturan. Pengelolaan SDP
pada instrument ini terdapat dua pengukuran, yang masing-masing berbeda
pada istilah dan tujuan serta kemampuan modalnya. Dua pengaturan tersebut
adalah
267
a) Menjaga produktivitas stok ikan melalui tindakan teknis, seperti
instrument pengaturan terhadap ukuran tangkap, jenis alat tangkap
yang diperolehkan dan TAC, jumlah quota yang boleh ditangkap.
b) Menyesuaikan kapasitas penangkapan ikan untuk melalui kontrol dan
akses. Hal ini berarti berbagi kapasitas produktif dan reproduktif antar
pengguna terhadap stok ikan, seperti seleksi terhadap perusahaan yang
berhak untuk beroperasi dalam penangkapan ikan, dan pembagian
distribusi alokasi penangkapan ikan untuk setiap perusahaan
perikanan. Berikut dijelaskan
dengan gambar tentang dua komponen pengelolaan sumberdaya perikanan
menurut OECD, 2006; 22:
Gambar 9.2. Pengelolaan sumberdaya perikanan karang dengan program Seafood Savers.
• Ketiga, tipologi pengelolaan sumberdaya perikanan berbasis variabel kontrol.
Tipologi pengelolaan ini berdasar pada jenis sumberdaya perikanan yang
bersifat fugitive (Ciriacy-Wantrup, 1952). Karena sifat yang melekat pada
sumberdaya ikan adalah fugitive maka diperlukan aturan untuk mengelola
dengan kontrol variabel, seperti moda aturan penangkapan ikan yang
dilakukan oleh nelayan atau perusahaan perikanan, seperti aturan Total
Allowed Catch (TAC), maupun Individual Transferable Qouta (ITQ).
Ketiga pilar tersebut adalah instrument pasar dalam pengelolaan sumberdaya
perikanan yang berbasis pada aturan pasar. Setidaknya ada empat alasan mengapa hal
Pengelolaan Perikanan (Seafood Savers)
2). Akses dan kontrol untuk perusahaan: sharing that capacity
among all the harvester
1).Aturan Penangkapan: -Teknik Penangkapan, -Jenis yang
ditangkap,- Minimal size yang ditangkap
d). mengikuti aturan perusahaan
c). Mengikuti aturan pemerintah dan aturan kawasan konservasi
b). Pembatasan area tangkap dan penggunaan alat tangkap
a). Selektifitas Penangkapan
Sumber: Diadopsi dari Boncoeur and Troades, 2003;
268
ini muncul seagai bentuk keprihatinan sumberdaya perikanan yang mengalami
overcapacity maupun overexploitation:
1. Pertama, insentif ekonomi tidak terbentuk sebagai hasil interaksi pasar;
2. Kedua, pajak dan biaya sumber daya hampir tidak digunakan sebagai
insentif ekonomi (sebagian besar digunakan untuk biaya pemuliah
pengelolaan sumberdaya);
3. Ketiga, subsidi tidak digunakan secara tepat akan tetapi digunakan dalam
proyek “subsidi perikanan dan pembangunan berkelanjutan”;
4. Keempat, efek utama dari insentif ekonomi diharapkan dapat dikelola
sebagai input (misalnya dari pemasukan ijin lisensi kapal) atau output
(misalnya retribusi quota tangkap) sehingga hak akses dibayarkan kepada
pemegang hak.
Tabel 9.4. Tipologi instrument pengelolaan SDP berbasis pasar
Tujuan kebijakan Metode kontrol Variabel kontrol Usaha Perikanan (input control)
Usaha Penangkapan (output control)
Pengelolaan produksi dan reproduksi
kapasitas stok ikan
Pengaturan (administrative
pengukuran secara teknik)
-mesh size -size/amount of gear
-area/time closure
-size and sex selectivity -TAC
Pengaturan akses (insentif-akses kontrol)
Peraturan (administrasi akses dan kontrol)
-Limiteda non-transferablec
permits/license (LL) -Individual non-
tranferable effort quota (IE)
-Territorial User Right in Fisheries (TURF) -Other types of effort
limits
-Individualb non-transferablec qoutas -Community-based catch qoutas (CQ)
-Other type of catch limits (maximum
landings or vessel catch limits-VC)
Ekonomi berbasis pasar (akses ekonomi
kontrol atau hak
-Transferablec licences a(LTL)
-Individual tranferable effort qoutas (ITE)
Individualb tranferable qoutas (ITQ)
Economic not market-based (monetary
transfer)
-inputd tax -Subsidy -Charges
-Landing tax -Subsidy -Charges
a Sistem yang membatasi jumlah kapal yang berhak menangkap ikan, maksimum kapasitas penangkapan dan waktu penangkapan ikan..
269
b kuota individu = pembagian TAC (Total Allowable Catch) dialokasikan untuk kapal atau perusahaan perikanan.
c Transferable= tradable on market. d komponen usaha perikanan (konsumsi menengah, modal, dan tenaga kerja).
Sumber: OECD Secretariat and Boncoceur and Troades, 2003; 26.
Menarik dikaji, apakah Seafood Seavers adalah bentuk pengelolaan
sumberdaya yang berbasis pasar dan merupakan instrument baru pengelolaan
sumberdaya perikanan yang efektif dan efesien?, bagaimana keberpihakan Seafood
Savers terhadap nelayan yang rentan modal dan sumberdaya perikanan?. Tentunya
belum dapat dianalisis keberhasilan dari seafood Savers, mengingat Seafood Savers
adalah program inisiasi baru dari WWF Indonesia. Akan tetapi kebijakan dari
Seafood Savers, menjadi sebuah kebijakan yang menarik untuk dianalisis.
Berdasarkan dari konsep OECD, 2006 tentang Using Market Mechanism to Manage
Fisheries, Seafood Savers merupakan kebijakan pengelolaan sumberdaya perikanan
yang berdasar pada instrument pola pengaturan sumberdaya berdasar atas produksi
dan reproduksi kapasitas stok ikan pada level nelayan dan pola pengaturan akses dan
kontrol pada level perusahaan.
Seafood Savers adalah pola pengaturan yang terdapat pada aturan produksi
dan reproduksi. Pada level nelayan, aturan tersebut memberikan pembelajaran
terhadap nelayan untuk menangkap ikan secara lestari. Adapun pengaturan yang
terdapat pada Seafood Savers, adalah:
1. Pengaturan penggunaan alat tangkap.
Pengaturan penggunaan alat tangkap pada level nelayan merupakan aturan
Seafood Savers, guna mendukung kebijakan konservasi dan keberlanjutan
perikanan. Kebijakan konservasi ini tertuang dalam amanah Taman
Nasional, di mana kawasan pesisir Wakatobi adalah kawasan konservasi.
Sedangkan untuk keberlanjutan perikanan, dengan menggunakan praktek-
praktek perikanan lestari untuk mendukung ekonomi keerlanjutan
masyarakat, seperti yang diamanahkan oleh UU No. 31 Tahun 2004.
Pengaturan penggunaan alat tangkap yang tertuang dalam aturan Seafood
Saevers merupakan kebijakan awal untuk memberikan transformasi
270
pembelaaran dan penyadaran terhadap masyarakat, bagaimana menangkap
ikan secara lestari untuk kehidupan mereka dimasa mendatang. Artinya
adalah bahwa sumberdaya perikanan semakin menunjukkan angka
keprihatinan, ditunjukkan karena penangkapan berlebih dan penangkapan
yang bersifat merusak. Sehingga dibutuhkan kesadaran masyarakat untuk
menggunakan alat tangkap yang ramah lingkungan, untuk kepentingan
masyarakat itu sendiri. Alat tangkap yang tidak diperbolehkan adalah alat
tangkap yang dapat mengganggu keseimbangan eksosistem karena bersifat
merusak, seperti bom dan bius, dan alat tangkap yang dalam prakteknya
dapat merusak terumbu karang seperti ganco dan alat lainnya yang
penggunaannya dapat mengancam kerusakan terumbu karang.
2. Pengaturan penangkapan ikan berdasar waktu dan tempat.
Seafood Savers menyadarkan kepada masyarakat untuk menangkap ikan
karang dalam jangka waktu tertentu dan area tertentu. Hal ini dikarenakan
kawasan perairan Wakatobi adalah kawasan konservasi yang pola
pengaturan luasnnya diatur dengan sistem zonasi. Penyadaran konservasi
terhadap akan pentingnya penataan ruang zonasi dimaksudkan adalah
sebagai tempat bank ikan dan tempat pemijahan ikan (SPAGs). Seafood
Savers merupakan aturan yang disinkronisasikan dengan aturan Taman
Nasional juga dengan aturan perikanan berkelanjutan. Hal ini terlihat,
bahwa Seafood Savers adalah jalan tengah sebagai pintu konservasi dan
pintu pembangunan. Artinya, adalahlah bagaimana menciptakan kondisi
perikanan sebagai leading sektor perikanan masyarakat yang ramah
lingkungan dalam kawasan konservasi dengan mematuhi kaidah-kaidah
aturan perundang-undangan perikanan dan konservasi.
Seafood Savers juga mengatur tentang pola dan ritme, penangkapan ikan
karang. Hal ini belum terlihat berjalan, karena aturan Seafood Savers,
meganjurkan kepada nelayan untuk tidak menangkap ikan dalam waktu
bertelur. Tetapi pegetahuan nelayan ikan akan mudah ditangkap ketika
271
ikan tersebut bertelur, dan ikan akan mengalami blooming di karang ketika
musim bertelur.
3. Pengaturan hasil tangkapan ikan berdasar pada size minimum.
Pengaturan penangkapan ikan dalam aturan Seafood Savers, adalah
diharapkan nelayan mampu dan bersedia menangkap ikan dalam batas
minimum ukuran tertentu. Untuk ukuran yang dijalankan oleh UD. PMB
(seagai firm yang terdaftar dalam Seafood Savers), sudah menerapkan
sistem minimum sizing tangkapan ikan konsumsi karang hidup dengan
batas minimum adalah 600 grams. Hal ini dimaksudkan oleh aturan
Seafood Savers dan perusahaan adalah guna menjaga reproduksi ikan
karang. Diperkirakan, diatas 600 grams sudah mengalami reproduksi
sekali, sehingga siklus perkembangan ikan akan terus berlanjut. Akan
tetapi berdasar fakta di lapangan hal ini sangat susah dipatuhi oleh nelayan
anggota UD. PMB. Tentunya ada faktor lain dan rasionalitas nelayan
terutama berkaitan dengan ongkos melaut. Sehingga nelayalan harus
mendapatkan hasil apapun ketika melaut untuk menghidari kerugian.
Untuk penerapan ikan pelagis Seafood Savers menerapkan prinsip Best
Management Practices dalam pengelolaan perikanan pelagis pasca
tangkap dengan sistem loing. Loing adalah istilah pillet pada ikan tuna
yang dikehendaki oleh perusahaan ekspor tuna. Ekspor tuna dari Wakatobi
dikirim ke Jepang. Untuk konsumen di Jepang sudah menerapkan prinsip-
prinsip green consumerism (MSC, Japan).
Aturan Seafood Savers pengelolaan sumberdaya perikanan dalam poin 1 dan
poin 2 adalah aturan yang mengatur skala penangkapan pada level nelayan, dalam
kajian diatas sebagai input kontrol, sedangkan pada poin 3 adalah sebagai output
kontrol. Arti dari input dan output kontrol itu sendiri adalah sebagai monitoring dari
hasil penangkapan ikan dilapangan. Input kontrol merupakan sebuah monitoring atas
kontrol sdari praktek bagaimana ikan itu ditangkap, terjadi penangkapan di daerah
mana dan dengan cara menggunakan apa ikan tersebut ditangkap. Sedangkan output
kontrol adalah sebagai monitoring hasil dari produksi penangkapan ikan, beserta
272
permintaan minimal size yang diterima oleh eksportir juga termasuk kriteria fisik ikan
bebas dari penangkapan yang menggunakan bahan yang bersifat merusak. Selain ada
level nelayan dalam aktifitas produksi penangkapan ikan, Seafood Saver juga
mengatur mengenai kinerja perusahan dengan beberapa langkah kirteria perusahan
dinilai telah melakukan praktek penangkapan yang baik (good practice).
Kepentingan politik dari program Seafood Savers sebagai kekuasaan dalam
pengelolaan sumberdaya perikanan karang di Wakatobi. Berdasar temuan hasil di
lapangan, di analisis bahwa politik Seafood Savers terdapat empat aspek pola
kekuasaan pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya perikanan karang yang ada di
Wakatobi.
• Pertama, terdapatnya pola kemitraan yang terjalin antara pihak pengelola
kawasan konservasi Taman Nasional Wakatobi, Pemerintah Daerah
Kabupaten Wakatobi, dalam hal ini adalah Dinas Kelautan dan Perikanan,
serta merupakan pola kemitraan yang berbasis pasar dan komunitas dengan
kepentingan ekonomi guna mendukung nilai tambah penghasilan nelayan
yang terdapat pada premium price dan ekologi sebagai keberlanjutan praktek
pemanfaatan perikanan yang ramah lingkungan;
• Kedua, dalam hal sosiologi, peranan politik Seafood Savers menggunakan
kekuasaannya dalam pengelolaan sumberdaya perikanan karang, mencoba
menggeser pola jaringan produksi antara nelayan-kordinator yang kian
meluruh dengan pola jaringan kerja produksi nelayan-eksportir dalam bentuk
kontraktual. Hal ini dikhawatirkan akan menimbulkan potensial konflik laten
yang muncul dari kordinator yang kehilangan kekuasaan secara ekonomi dan
kepercayaan sebagai elit lokal yang merupakan pola jaringan produksi
tradsional;
• Ketiga, Seafood Savers sebagai ajang dan wadah berkompetisi antara
perusahaan yang good practice dengan yang masih menggunakan cara lama
bad practice (roving bandit). Ajang kompetisi tersebut dikhawatirkan akan
menimbulkan pola-pola korporasi dengan jaringan pemanfaatan baru yang
lebih eksploitatif terhadap nelayan dan sumberdaya; dan
273
• Keempat, Seafood Savers, sebagai sarana kekuatan instrument baru yang
memungkinkan terimplementasikan menjadi sebuah kebijakan (policy) dalam
pengelolaan sumberdaya perikanan karang di kawasan konservasi, mengingat
kemampuan regime pengelolaan bersifat komando dinilai kurang maksimal
dalam tujuan konservasi yang mendukung livelihood nelayan Wakatobi, serta
sebagai kebijakan jalan tengah dalam kawasan yang mempunyai dualisme
pengelolaan yang bersifat state dan local government.