69
BAB IV
SENI PERTUNJUKAN WAYANG GOLEK PURWA
DI PURWAKARTA
Dalam bab ini, peneliti memaparkan hasil temuan dan pembahasan
mengenai permasalahan yang di kaji, dan merupakan interpretasi dari fakta-fakta
yang terkumpul tentang keberadaan kesenian tradisional wayang golek di
Purwakarta. Adapun pemaparan yang dijelaskan dalam penulisan ini
dikembangkan menjadi empat sub pokok bahasan. Pertama, mengenai kondisi
geografis dan sosial budaya masyarakat Purwakarta, Kedua mengenai latar
belakang dan perkembangan kesenian wayang golek di Purwakarta, yang akan di
bahas pula mengenai awal mula masuknya kesenian wayang golek ke wilayah
Purwakarta, struktur pertunjukan beserta kelengkapan peralatan pertunjukannya.
Ketiga, yaitu tentang faktor penghambat perkembangan kesenian wayang golek
purwa. Dan keempat, adalah mengenai upaya yang dilakukan dalam rangka
pelestarian kesenian taradisional wayang golek purwa baik dari pemerintah
setempat maupun dari seniman kesenian wayang golek.
A. Kondisi Geografis dan Sosial Budaya Masyarakat Purwakarta
Penulis memaparkan tentang kondisi geografis dan sosial budaya
masyarakat Purwakarta secara umum. Hal tersebut bertujuan untuk mengetahui
kaitan antara kondisi geografis dan sosial budaya masyarakat Purwakarta dengan
keberadaan kesenian tradisional wayang golek purwa di Kabupaten Purwakarta.
70
1. Kondisi geografis, Geomorfologis, Klimatologis, dan Administratif
Kabupaten Purwakarta
Kabupaten Purwakarta merupakan salah satu Kabupaten di Provinsi Jawa
Barat. Daerah Purwakarta berada pada posisi geografis antara 6º25' - 6º45' Lintang
Selatan dan 107º30' - 107º40' Bujur Timur. Dari segi transportasi dan komunikasi,
letak geografis Purwakarta cukup strategis, karena dilalui oleh jalan raya negara/
propinsi, jalan tol. Dan jalan kereta api. Jalan-jalan itu menghubungkan
Purwakarta dengan Bandung sebagai ibukota propinsi Jawa Barat (berjarak lebih-
kurang 60 km), dengan Jakarta ibukota negara (berjarak lebih-kurang 120 km),
dan Cirebon sebagai pelabuhan Jawa Barat sebelah Timur (berjarak lebih-kurang
160 km).
Morfologi tanah Kabupaten Purwakarta bervariasi, dari dataran rendah ke
dataran tinggi, dengan ketinggian 150-1500 meter di atas permukaan laut (dpl),
yang makin meninggi kearah pegunungan di bagian tenggara. Beberapa gunung
yang membentang dari Barat ke Timur, antara lain : G. Cantayan, G. Bongkok, G.
Cilalawi, G. Burangrang, G. Cupu, G. Dingdingsari, G. Haur, G. Gedongan, G.
Karadak, G. Kencana, G. Kacapi, G. Lembu, G. Mandalawangi, G. Masigit, G.
Parang, G. Pamoyanan, G. Panawingan, G. Pangukus, G. Sandaan, G.
Sanggabuana, dan G. Sembung.
Secara umum Kabupaten Purwakarta terletak dalam elevasi 83,60-670
meter dari permukaan laut (dpl), terdiri atas.
71
a) Dataran tinggi (pegunungan) dengan luas lebih dari 30% dari luas wilayah
Kabupaten. Dataran itu di daerah selatan meliputi wilayah Kecamatan
Wanayasa, Kecamatan Darangdan dan Kecamatan Bojong.
b) Dataran berbukit meliputi hampir 50% dari seluruh wilayah Kabupaten,
yang mencakup Kecamatan-kecamatan Jatiluhur, Sukasari, Plered,
Sukatani, Tegalwaru, Maniis, Pondoksalam, Kiarapedes, dan Pasawahan.
Bagian terbesar wilayah Barat merupakan daerah Bendungan Ir. H. Juanda
(Waduk Jatiluhur).
c) Dataran rendah dibagian utara dengan luas sekitar 20% dari luas wilayah
Kabupaten Purwakarta, yang meliputi Kecamatan-kecamatan Purwakarta,
Babakan Cikao, Bungursari, Cibatu dan Campaka (Hardjasaputra, 2008:29-
30).
Sedangkan kondisi geologi daerah Purwakarta terdiri dari batuan sedimen
klastik, berupa batu gamping, batu lempung, batu pasir konglomerat, batu pasir
dan batuan vulkanik. Sebagian jenis tanahnya adalah tanah latosol dan sebagian
kecil adalah tanah aluvial, andosol, grumosol, litosol, podsolik dan regosol.
Potensi tersebut mendorong munculnya kegiatan pertambangan. Purwakarta
berada pada cekungan Daerah Aliran Sungai (DAS) Citarum dengan kemiringan
0-40 % dari DAS Cilamaya. Hal itu sangat berpengaruh pada hidrologi dan sistem
drainase daerah Purwakarta. Pada cekungan tersebut dibangun Bendungan Ir. H.
Juanda di Jatiluhur (seluas 7.757 ha) dan Cirata (seluas 182 ha), yang berfungsi
sebagai ”flow control” , irigasi, pembangkit tenaga listrik, juga sebagai sumber air
minum DKI Jakarta. Luas kedua waduk tersebut setara dengan 9,19% luas daerah
72
Purwakarta. Pembangunan bendungan tersebut dimungkinkan oleh keberadaan
sejumlah sungai yang ada di daerah Purwakarta.
Purwakarta beriklim panas yang terbagi atas zona panas dan zona sedang,
berkisar antara 22º - 32º C pada siang hari dan 17º - 26º C pada malam hari.
Secara agroklimat Purwakarta berada di daerah lembab permanen (1-4 bulan
basah/tahun dengan curah hujan 100 mm/bulan). Jumlah bulan kering rata-rata 1-3
bulan/tahun. Curah hujan antara 1413 mm - 4501 mm/tahun, dengan curah hujan
rata-rata 3093 mm/tahun. Curah hujan tertinggi umumnya terjadi pada bulan
Januari, Februari, Maret dan Desember. Kondisi ini biasa terjadi di Kecamatan
Wanayasa (4501 mm). Hari hujan paling banyak adalah 148 hari. Berdasarkan
informasi yang diperoleh dari Badan Pusat Statistik Kabupaten Purwakarta,
diperoleh data bahwa Kabupaten Purwakarta mempunyai luas wilayah sekitar
87.138, 369 Ha atau 871, 38 km², dimana luas ini terdiri dari luas tanah sawah
kering dan semacamnya 17.040, 139 Ha atau 170, 40 km², sedangkan luas tanah
kering (darat) 70.098, 176 Ha atau 700, 98 km² (Hardjasaputra, 2008: 31-33).
Adapun batas-batas wilayah administratif Kabupaten Purwakarta adalah
sebagai berikut.
a. Bagian Barat dan sebagian wilayah Utara berbatasan dengan Kabupaten
Karawang.
b. Bagian Utara dan sebagian wilayah Timur berbatasan dengan Kabupaten
Subang.
c. Bagian Selatan berbatasan dengan Kabupaten Bandung.
73
d. Bagian Barat Daya berbatasan dengan Kabupaten Cianjur (Hardjasaputra,
2008: 38).
Untuk lebih memperjelas gambaran tentang Kabupaten Purwakarta,
berikut ini dapat dilihat peta Kabupaten Purwakarta.
Peta 4.1 Peta Kabupaten Purwakarta
Sumber : www.Purwakarta.com
Pada masa pemerintahan Bupati R. Mukhtar (1969-1979) wilayah
administratif Kabupaten Purwakarta terdiri atas 7 Kecamatan. Salah satu
kecamatan yang berpenduduk paling sedikit adalah kecamatan Pasawahan yaitu
sebanyak 32.947 orang (1974). Pada saat itu Kecamatan Pasawahan terdiri atas 10
74
desa yaitu, Pasawahan, Cihuni, Sawahkulon, Tanjungsari, Salem, Parakansalam,
Ciherang, Cisitu, Selaawi, dan Pondokbungur. Untuk lebih memperjelas
gambaran tentang Kecamatan Pasawahan, berikut ini dapat dilihat peta
Kecamatan Pasawahan.
Peta 4.2 Peta Kecamatan Pasawahan
Sumber: Kantor Kecamatan Pasawahan
Peta di atas merupakan wilayah Kecamatan Pasawahan yang merupakan
lokasi penelitian penulis dalam rangka kajiannya tentang Perkembangan Kesenian
Wayang Golek Purwa, alasan penulis mengambil lokasi penelitian di Kecamatan
Pasawahan adalah karena saat ini satu-satunya paguyuban yang masih bertahan
75
dalam mengembangkan seni tradisional wayang golek purwa di Kabupaten
Purwakarta bertempat di Kecamatan Pasawahan, grup kesenian tersebut adalah
Wargi Mekar.
Untuk lebih memperjelas keadaan masyarakat di Kecamatan Pasawahan
maka penulis mencari informasi di kantor Kecamatan yang bersangkutan, dan
diperoleh informasi bahwa pelaksanaan pembangunan dalam bidang ekonomi,
baik melalui proyek kabupaten dan propinsi maupun proyek nasional yang terjadi
di wilayah kabupaten Purwakarta, berangsur-angsur mendorong kehidupan
ekonomi dan kesejahteraan masyarakat Purwakarta berubah ke arah yang lebih
baik. Kondisi ini tercermin dari potensi ekonomi dalam beberapa bidang, terutama
bidang pertanian, perkebunan, peternakan perikanan, dan industri. Begitu pula
dengan masyarakat yang bertempat tinggal di Kecamatan Pasawahan pada
dasarnya mereka hidup dan mempunyai mata pencaharian sebagai petani.
Keadaan ekonomi masyarakat yang makin bertambah baik akibat adanya
pembangunan dibidang ekonomi menyebabkan masyarakat khususnya yang ada di
Kecamatan Pasawahan, dan umumnya yang ada di wilayah Purwakarta
mempunyai tingkat kesejahteraan yang baik, hal itu secara langsung dapat
mempengaruhi daya beli masyarakat termasuk menyewa jasa para seniman
wayang golek purwa untuk mengadakan pertunjukan dalam berbagai acara, baik
itu acara hajatan, upacara ritual maupun pada saat hari raya lainnya.
76
2. Perkembangan Penduduk dan Mata Pencaharian
Menurut data yang diperoleh dari Badan Pusat Statistik Kabupaten
Purwakarta, berdasarkan luas wilayahnya Purwakarta dinyatakan sebagai kota
terkecil di Jawa Barat. Walaupun demikian perkembangan jumlah penduduknya
dari tahun ke tahun selalu mengalami perubahan. Sejak awal tahun 1969 jumlah
penduduk Kabupaten Purwakarta tiap tahun selalu meningkat terutama sejak
memasuki masa Orde Baru, jumlah penduduk Purwakarta terus bertambah. Secara
tidak langsung hal itu berhubungan erat dengan perubahan kondisi umum
ekonomi dan kesehatan masyarakat ke arah yang lebih baik, sebagai salah satu
dampak dari program pembangunan.
Tabel 2.1 Data Penduduk Kabupaten Purwakarta
Menurut Jenis Kelamin pada Tahun 1969
NO.
KECAMATAN
P E N D U D U K Laki-laki Perempuan Jumlah
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
Purwakarta Jatiluhur Campaka Plered Darangdan Wanayasa Pasawahan
47.296
18.948
24.489
37.617
25.629
16.809
16.128
47.290
18.589
24.779
38.286
27.859
17.894
16.819
94.586
37.537
49.268
75.903
53.488
34.703
32.947
Jumlah
186.916
191.516
378.432
Sumber : Sejarah Purwakarta
77
Tahun 1974 Kabupaten Purwakarta berpenduduk 378.532 orang, terdiri
atas 187.016 laki-laki dan 191.516 perempuan, tersebar di 7 kecamatan yang
mencakup 70 desa. Pada Pelita I (1969-1975), pertumbuhan penduduk Purwakarta
dengan luas wilayah 978,02 kilometer persegi adalah sebagai berikut.
Tabel 2.2 Jumlah dan Kepadatan Penduduk Purwakarta
Tahun 1969-1974
Tahun Laki-laki Perempuan Jumlah Kepadatan
Rata-rata/km²
1969 174.275 179.248 353.523 361
1970 173.450 187.499 360.949 369
1971 185.496 186.619 372.115 380
1972 187.014 188.713 375.727 384
1973 186.417 190.306 376.723 385
1974 187.016 191.516 378.532 387
Sumber : Sejarah Purwakarta Menurut statistik Jawa Barat tahun 1975, pada periode tersebut jumlah
penduduk Kabupaten Purwakarta paling sedikit apabila di bandingkan dengan
penduduk kabupaten-kabupaten lain di Jawa Barat. Tetapi pada tahun-tahun
berikutnya jumlah penduduk yang ada di Purwakarta terus mengalami
pertambahan, hal itu pada dasarnya disebabkan adanya migrasi dari luar
Kabupaten Purwakarta. Selain hal tersebut diakibatkan pula karena di Purwakarta
terdapat daya tarik yang menjadi faktor pendorong urbanisasi dan migrasi, antara
lain adanya kawasan industri dan banyaknya kegiatan pembangunan, baik
pembangunan perumahan maupun pembangunan infrastruktur.
78
Persebaran penduduk di Purwakarta merupakan salah satu masalah yang
dihadapi oleh pemerintah daerah setempat, karena persebaran penduduk tidak
merata. Hal itu terjadi akibat daya dukung lingkungan tidak seimbang antara satu
kecamatan dengan kecamatan lainnya. Oleh karena itu, sebagian kecamatan
berpenduduk cukup padat dan sebagian lagi berpenduduk sedikit. Dampaknya
bagi pembahasan ini adalah dengan tingginya tingkat kelahiran dan persebaran
penduduk di Purwakarta, maka akan berpengaruh terhadap laju pertumbuhan
penduduk sehingga akan mempercepat perubahan, baik itu sosial maupun budaya
masyarakat setempat. Hal tersebut akan berakibat pada suatu perkembangan, yaitu
perkembangan kesenian wayang golek purwa.
Berdasarkan komposisi penduduk di atas bisa dilihat bahwa sebagian
masyarakat berada pada usia dewasa yaitu usia untuk menghasilkan produktifitas
pekerjaan. Kecamatan Pasawahan memiliki potensi tenaga kerja yang produktif
antara usia dewasa lebih dari 50%. Bila dimaksimalkan akan membuat Kecamatan
Pasawahan ini lebih maju dibandingkan dengan kecamatan-kecamatan lain yang
ada di Purwakarta. Meningkatnya potensi tenaga kerja tidak terlepas dari tingkat
pendidikan yang dicapai oleh masyarakat. Mengenai perkembangan pendidikan
di Kabupaten Purwakarta dapat dilihat pada tabel di bawah ini.
79
Tabel 2.3 Perkembangan Jumlah Sekolah, Murid dan Guru yang Berada di
Bawah Pengawasan P&K dari Tahun 1981-1985 di Kabupaten Purwakarta
Tingkat
Pendidikan
Tahun Jumlah
Sekolah
Jumlah Murid Jumlah Guru
SD 1981
1982
1983
1984
1985
308
376
377
434
436
72.626
75.796
73.040
80.059
80.823
1.741
2.196
2.477
2.645
2.705
SLTP
SLTA
1981
1982
1983
1984
1985
1981
1982
1983
1984
1985
18
21
27
33
29
13
12
14
13
19
7.913
10.042
13.160
11.891
13.941
5.501
5.625
6.997
8.288
9.053
339
453
453
501
585
316
291
358
426
547
Sumber : BPS Purwakarta 1981-1985
Pada tabel tersebut nampak bahwa jumlah SD pada tahun 1983 terlihat
menurun sedangkan jumlah sekolah bertambah, demikian pula pada tingkat SLTP
pada tahun 1984 jumlah muridnya menurun dan juga jumlah sekolahnya menurun
80
pada tahun 1985. Pada tingkat SLTA nampak sekali bahwa jumlah murid terus
bertambah sedangkan jumlah sekolah pada tahun 1984 menurun.
Berdasarkan penjelasan yang diperoleh dari BPS Purwakarta, bahwa
alasan keadaan pendidikan di Purwakarta seperti ini ialah disebabkan oleh
keadaan ekonomi atau biaya sekolah karena keadaan ekonomi masyarakat
pedesaan mempunyai pendapatan rendah terpaksa menarik anak-anaknya untuk
ikut bekerja untuk memperoleh tambahan pendapatan, sedangkan jumlah sekolah
berkurang pada umumnya merupakan sekolah swasta yang berada di daerah
pedesaan yang karena tidak ada biaya terpaksa menutup sekolahnya.
Lebih lanjut BPS Purwakarta memberikan penjelasan melalui wawncara
dengan Bapak Agus Suwono, bahwa penurunan jumlah siswa atau jumlah anak
usia sekolah karena pada tahun-tahun itu jumlah penduduk Purwakarta pun
mengalami penurunan. Ada pula faktor lain yang menyebabkan berkurangnya
sekolah ialah karena adanya program KB. Hal ini dimungkinkan karena dengan
berjalannya program KB maka pertumbuhan penduduk dapat dibatasi hal ini pun
berpengaruh terhadap jumlah anak usia sekolah. Adapun hubungan antara tingkat
pendidikan yang dicapai masayarakat Purwakarta dengan perkembangan kesenian
wayang golek di wilayah ini adalah bahwa tingkat pendidikan masyarakat akan
berpengaruh pada cara pandang mereka terhadap pentingnya upaya pelestarian
kesenian tradisional yang dirasa perlu dilakukan dalam rangka mencegah
musnahnya seni tradisi masyarakat Indonesia.
Berdasarkan informasi yang diperoleh dari Badan Pusat Statistik
Kabupaten Purwakarta, diperoleh data bahwa pada umumnya masyarakat yang
81
berdomisili di bagian tengah Jawa Barat, pola kehidupan masyarakat Kabupaten
Purwakarta didominasi oleh kultur budaya sunda. Sejalan dengan perkembangan
zaman yang ditandai oleh perkembangan teknologi informasi dan komunikasi,
masyarakat Purwakarta banyak dipengaruhi oleh budaya asing. Namun demikian,
budaya masyarakat pada dasarnya tetap bernuansa budaya sunda dan budaya
agama, terutama budaya Islam.
Mayoritas penduduk Purwakarta (99,46%) adalah pemeluk agama Islam
(muslim), dan sisanya adalah non muslim. Dengan kata lain, penduduk
Purwakarta adalah masyarakat beragama. Hal itu antara lain ditunjukan oleh
keberadaan sejumlah sarana ibadah yang dibangun oleh pemerintah dan
masyarakat. Sarana ibadah itu terdiri atas masjid 907 buah, langgar 2.716 buah,
gereja 12 buah, dan 8 pura/kelenteng/vihara. Selain itu, terdapat sarana /fasilitas
pendidikan agama, yaitu 32 Madrasah Aliyah, dan 206 pondokpesantren.
Secara umum tingkat pendidikan SD/MI merupakan tingkat pendidikan
terbanyak yang dicapai oleh penduduk Kabupaten Purwakarta. Yaitu 33.42%
laki-laki dan 38.67% perempuan. Penduduk yang mencapai tingkat pendidikan
perguruan tinggi dan akademi/dipeloma hanya sedikit, yaitu laki-laki 1,57% dan
1,09, perempuan 1,13%, dan 0,49%.
Sarana pendidikan formal terdiri atas Sekolah Dasar 446 unit, Sekolah
Lanjutan Tingkat Pertama 41 unit, Sekolah Menengah Umum 18 unit, Sekolah
Menengah Kejuruan 18 unit, dan 4 perguruan tinggi dengan jenjang pendidikan
Strata 1. Dalam upaya meningkatkan kemajuan di bidang pendidikan secara
kuantitas dan kualitas, dikembangkan intensifikasi pendidikan formal dan non
82
formal. Selain itu berlangsung pula latihan keterampilan kerja dan pendidikan
kaum wanita melalui Tim Penggerak Pemberdayaan Kesejahteraan Keluarga.
Pelayanan Kesehatan Dasar dilaksanakan oleh 19 unit Puskesmas dan 54
unit Puskesmas Pembantu yang tersebar di seluruh Kecamatan. Fasilitas rujukan
dilayani oleh Rumah Sakit Umum Daerah “Bayu Asih” (Tipe C). Kegiatan
kesehatan kemasyarakatan dilaksanakan oleh masyarakat sendiri melalui Pos
Pelayanan Terpadu berjumlah 833 unit Posyandu. Upaya pelayanan kesehatan
swasta dilaksanakan oleh Balai Pengobatan Swasta, rumah bersalin dan apotek,
serta fasilitas laboratorium kesehatan.
Kualitas kesehatan masyarakat mengalami peningkatan, sejalan dengan
perkembangan potensi pembangunan dan pengetahuan masyarakat mengenai
prilaku hidup bersih dan sehat. Secara normatif aspek yang ingin dicapai dalam
meningkatkan pembangunan manusia adalah meningkatkan Angka Harapan
Hidup (AHH), menurunkan Angka Kematian Bayi (AKB) dan menurunkan angka
kematian ibu melahirkan. Tahun 2001 angka kematian tercatat 52,68 per seribu
kelahiran hidup (Hardjasaputra, 2008: 42-44).
Berdasarkan kondisi geologinya, Purwakarta cukup kaya dengan bahan
tambang galian. Bahan tambang itu terdiri atas batu kali, batu andesit, batu
gamping, lempung, pasir, pasir kuarsa, sirtu, tras, fosfat, barit dan gips. Selain itu,
kondisi alam, termasuk jenis tanah berpengaruh pada keragaman hayatinya. Tanah
jenis alluvial dan latosol sangat baik untuk budidaya padi di sawah, palawija dan
perikanan darat.
83
Jenis tanaman pangan yang dikembangkan oleh masyarakat adalah padi,
palawija, sayur-sayuran, dan buah-buahan. Potensi produksi sayuran terdiri dari
komoditas bawang, tomat, melinjo, buncis dan cabe. Komoditi buah-buahan
diantaranya pisang, nenas dan manggis. Sedangkan komoditi perkebunan yang
dijadikan unggulan adalah teh, bambu, kelapa, cengkeh, dan pisang abaka. Selain
itu, produksi hasil hutan berupa kayu pertukangan, kayu bakar, daun kayu putih
dan rotan. Sementara hewan peliharaan yang dikembangkan adalah sapi, kerbau,
domba, kambing, itik, ayam ras dan ayam buras. Selain perikanan kolam dan
perikanan air deras, perikanan jaring apung di Waduk Jatiluhur dan Cirata
merupakan potensi yang belum termanfaatkan secara optimal.
Salah satu bentuk keragaman hayati dan pelestarian plasma nutfah,
Kabupaten Purwakarta telah menentukan pohon Jamuju (Podocarpus imbricatus)
sebagai flora khas Kabupaten Purwakarta, serta ikan tawes (Puntius gonionotus),
dan ikan balidra (Notopterus chitala) sebagai fauna khas Kabupaten Purwakarta
(Hardjasaputra, 2008: 46).
Salah satu potensi penting dalam perekonomian Purwakarta adalah
industri, baik industri besar maupun industri sedang. Industri besar pada
umumnya berupa industri tekstil (termasuk benang tenun dan garment) dan bahan
kimia. Industri besar terkonsentrasi di Kecamatan Jatiluhur, Campaka dan
Bungursari. Hasil industri itu terutama benang tenun dan garment, memberikan
kontribusi besar bagi nilai ekspor sektor perdagangan. Sedangkan industri sedang
antara lain adalah industri keramik dan genteng yang berlokasi didaerah Plered.
84
Industri keramik adalah salah satu potensi ekonomi yang ada di Kabupaten
Purwakarta, pada umumnya usaha keramik ini dilakukan oleh warga Desa Anjun
Plered secara turun-temurun, walaupun ada juga yang memulai bisnis ini tanpa
didahului oleh orang tua ataupun kerabatnya dalam arti kreatif mencari
pemasukan (uang) untuk mencukupi kebutuhan hidup. Selain itu masyarakat yang
ada di Kecamatan Plered juga mengusahakan industri genteng dan batu bata
dalam rangka memperbaiki taraf hidup mereka.
Melihat potensi alam serta keragaman hayati yang dimiliki Purwakarta
memungkinkan masyarakatnya mempunyai mata pencaharian sebagai petani dan
tidak jarang pula banyak diantara penduduk di Kabupaten Purwakarta yang
bekerja sebagai buruh pabrik, selain dari profesi-profesi lain yang suudah lazim
dimiliki oleh penduduk yang ada di Indonesia (Hardjasaputra, 2008: 46).
3. Kondisi Sosial Budaya Masyarakat Purwakarta
Kesenian tradisional yang berkembang dalam masyarakat akan
dipengaruhi oleh keadaan sosial budaya masyarakat pendukungnya. Seni wayang
golek yang berkembang di Kabupaten Purwakarta tentunya juga dipengaruhi oleh
keadaan sosial budaya masyarakat pendukungnya. Salah satu wujud sosial budaya
suatu masyarakat akan dicerminkan dalam suatu adat istiadat. Masyarakat
Purwakarta berpedoman pada adat istiadat Sunda. Masyarakat Sunda adalah
sekelompok orang yang hidup dalam lingkungan sosial budaya Sunda dan dalam
hidupnya menghayati dan menggunakan norma-norma serta nilai-nilai budaya
Sunda (Ekadjati, 1984: 130). Berdasarkan letak geografis Kabupaten Purwakarta
85
yang masih berada dalam wilayah Propinsi Jawa Barat dan mayoritas mempunyai
penduduk dengan etnik Sunda, maka sudah sewajarnya bila bahasa yang
digunakan oleh masyarakat yang tinggal di Purwakarta adalah bahasa Sunda.
Secara umum masyarakat Purwakarta menggunakan bahasa Sunda berdialek
Priangan yang didalamnya terdapat undak-usuk basa (tingkatan bahasa). Menurut
pendapat Ardiwinata (1992: 20) dalam bukunya yang berjudul Tatakrama Oerang
Soenda yang menyatakan bahwa,
Dalam hubungan sehari-hari tingkatan bahasa Sunda yang dipergunakan di
Priangan meliputi :
1. Basa lemes pisan (bahasa yang sangat halus)
2. Basa lemes (bahasa halus)
3. Basa sedeng atau basa lemes keur sorangan (bahasa sedang atau bahasa
halus untuk diri sendiri)
4. Basa kasar (bahasa kasar)
5. Basa kasar pisan (bahasa sangat kasar).
Sebagian masyarakat Purwakarta terutama generasi tua, pemakaian undak-
usuk basa dalam komunikasi sehari-hari masih kuat dan sering digunakan, namun
di kalangan generasi muda pemakaian undak-usuk basa sepertinya sudah
memudar, artinya bahwa generasi muda sekarang sudah tidak lagi membedakan
tingkatan bahasa dalam komunikasi sehari-hari, namun bukan berarti mereka
sering menggunakan bahasa kasar.
86
Sementara itu, masyarakat Purwakarta pada umumnya menganut agama
Islam, selain menjalankan kewajiban beragama dalam kehidupan sehari-hari
mereka masih memadukan antara ajaran agama dan adat. Hal ini dapat terlihat
dengan kebiasaan masyarakat Purwakarta bila akan memanen padi, mereka
umumnya selalu menyediakan sesajen untuk dipersembahkan pada sang penguasa
atas hasil panen yang baik. Setelah memanen padi selanjutnya masyarakat yang
umumnya para petani yang tinggal di Purwakarta selalu mengadakan selamatan
untuk mensyukuri hasil panen yang mereka peroleh. Dengan kenyataan seperti itu
menyebabkan susahnya untuk memisahkan antara adat dan agama karena kedua
unsur ini erat dan telah mengakar serta telah menjadi adat kebiasaan dan
kebudayaan masyarakat Purwakarta (wawancara masyarakat, 4 Agustus 2009).
Selain itu, masyarakat Purwakarta yang khususnya bermukim di pedesaan
banyak yang masih berkunjung ke makam-makam yang dianggap keramat untuk
menyampaikan permohonan atau doa sebelum mengadakan suatu usaha, pesta
atau perhelatan. Hal ini timbul karena masih adanya kepercayaan pada cerita-
cerita mitos, sehingga ajaran agamapun sering diliputi oleh kekuatan-kekuatan
gaib, seperti mengadakan upacara-upacara ritual apabila akan mendirikan rumah,
menanam dan memanen padi dan masih banyak hal lainnya yang dilakukan dan
bukan termasuk unsur-unsur agama Islam, tetapi masih sering dilakukan oleh
masyarakat setempat.
Cerita mitos dan nilai-nilai agama mempunyai fungsi untuk mengatur
sikap dan sistem nilai manusia serta mempertahankan tata tertib sosial dalam
lingkungan masyarakat yang belum banyak menggunakan prinsip-prinsip ilmu
87
pengetahuan modern. Itulah sebabnya di daerah pedesaan disamping orang taat
menjalankan ajaran agama sering juga mereka melakukan hal-hal yang tidak
sesuai dengan ajaran agama Islam. Dengan kata lain sebagian besar dalam alam
pikiran masyarakat Purwakarta khususnya yang bermata pencaharian sebagai
petani dan berada di daerah pedesaan mengakui bahwa batas antara unsur-unsur
ajaran agama Islam dan bukan Islam berbanding tipis dan tidak dapat dibedakan.
Selain itu, nilai-nilai falsafah pewayangan juga sangat mempengaruhi
keadaan sosial budaya masyarakat di Kabupaten Purwakarta. Seni pewayangan
dan padalangan mengandung unsur-unsur falsafah yang sangat berarti bagi
kehidupan manusia. Hal itu menunjukan bahwa seni pewayangan tidak semata-
mata hanya sebagai hiburan saja. Segala perlambang yang terdapat didalam dunia
pewayangan penuh dengan unsur-unsur yang meliputi silib, sindir, simbol, siloka
dan sasmita. Dari kelima unsur yang terdapat didalam seni pewayangan dan
padalangan tersebut dapat ditemukan falsafah tentang kehidupan. Demikian juga
dengan cerita atau lakon yang dibawakan Ki dalang selalu diakhiri dengan
kesimpulan dan memberikan penerangan mana yang baik dan buruk yang harus
bisa dibedakan oleh manusia dalam kehidupannya. Dari hal tersebut dapat dilihat
bahwa betapa banyaknya pelajaran hidup yang bisa didapat dari menonton
pagelaran kesenian wayang golek dab hal itu sangat berpengaruh pada kehidupan
sosial budaya masyarakat Purwakarta yang masih menggemari kesenian wayang
golek (Djunaedi, Penataran Dalang se Jawa Barat: 1981).
88
B. Latar Belakang dan Perkembangan Kesenian Wayang Golek di
Purwakarta
1. Sejarah Masuknya Kesenian Wayang Golek ke Wilayah Purwakarta
Awal mula munculnya wayang golek tidak diketahui secara jelas karena
tidak ada keterangan lengkap, baik tertulis maupun lisan. Kehadiran wayang golek
tidak dapat dipisahkan dari wayang kulit karena wayang golek merupakan
perkembangan dari wayang kulit. Disebutkan bahwa pada tahun 1583 M, Sunan
Kudus membuat wayang dari kayu yang kemudian disebut wayang golek yang
dapat dipentaskan pada siang hari. Sejalan dengan itu Ismunandar mengemukakan
bahwa pada awal abad ke-16 Sunan Kudus membuat bangun “wayang purwo”
yang berjumlah 70 buah dengan cerita Menak yang diiringi gamelan Salendro.
Pertunjukkannya dilakukan pada siang hari. Wayang ini tidak memerlukan kelir,
bentuknya menyerupai boneka yang terbuat dari kayu (bukan dari kulit
sebagaimana halnya wayang kulit) oleh karena itu, disebut sebagai wayang golek.
Tidak sedikit dari masyarakat kita yang memiliki anggapan bahwa seni
padalangan atau pewayangan di Pasundan berasal dari Jawa Tengah. Hal ini
didasarkan pada kejadian sejarah bahwa orang Sunda pernah mendapat pengaruh
dari Mataram. Terlebih masih adanya bukti-bukti yang menguatkan hal tersebut,
diantaranya dalam pola raut (keureutan) muka wayang dan mahkota (hiasan
dikepala) yang meniru wayang kulit purwa. Kakawen atau suluk masih
menggunakan bahasa kawi atau Jawa Kuno, begitu pula dengan alur cerita
mengikuti pola cerita pujangga Jawa (Ki Dalang Suherman Elan Surawisastra,
wawancara, 2009).
89
Dari pernyataan di atas dapat dilihat bahwa seni padalangan atau
pewayangan di Priangan datangnya dari Jawa Tengah, yang melewati Tegal dan
Cirebon. Akan tetapi, walaupun seni padalangan dan pewayangan berasal dari
Jawa Tengah tidak semua pola pagelaran dalam pertunjukan wayang meniru
wayang kulit purwa karena para seniman Sunda beranggapan bahwa pola
pagelaran wayang tersebut diolah dan diserasikan dengan selera masyarakat
Sunda, sehingga terjadi perbedaan antara wayang golek purwa di Jawa Barat
dengan wayang kulit di Jawa Tengah. Dengan kata lain, dalam pagelaran wayang
golek purwa, kita memiliki ciri khas sendiri (Soepandi, 1988: 23).
Mengenai sejarah masuknya wayang ke wilayah Priangan dijelaskan
bahwa sekitar tahun 1244 M wayang telah masuk ke Jawa Barat dibawa oleh
Prabu Surya Amiluhur. Bahkan, Brandes berpendapat sebelum datangnya
pengaruh Hindu para karuhun kita telah mengenal wayang. Namun, dari
pendapat-pendapat di atas kurang di sertai oleh bukti-bukti yang menguatkan
kebenarannya.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Wiryanapura mengenai asal-
usul Dalang, kita mendapatkan informasi mengenai sejarah masuknya wayang ke
Jawa Barat. Dijelaskan bahwa pada masa jabatan Bupati Bandung dipegang oleh
Indradireja atau Adipati Wiranatakusuma II yang menjabat tahun 1794-1829
berhasil mendatangkan dalang asal Tegal bernama Ki Dipa Guna Permana yang
bertugas menjadi dalang lebet atau dalang tetap di Kraton. Selain mementaskan
wayang Ki Dipa Guna Permana juga menurunkan keahliannya pada Ki Gubyar
yang menyebarkan wayang di Purwakarta dan Ki Klungsung yang menjadi guru
90
Dalang-dalang di Garut. Jadi, dapat dikatakan bahwa Ki Dipa Permana
merupakan leluhur para Dalang di Pasundan atau Jawa Barat dan Ki Gubyar
sebagai dalang yang berhasil menyebarkan kesenian wayang golek di wilayah
Purwakarta.
Setelah Adipati Wiranatakusuma II lengser dan digantikan oleh Dalem
Karang Anyar atau Adipati Wiranatakusuma III tahun 1829-1846 menjabat
sebagai bupati Bandung, beliau memanggil dua dalang asal tegal, yaitu Ki
Darman dan Ki Surangsing. Kedua dalang tersebut mendapatkan tugas yang
berbeda, dimana Ki Darman ditugaskan untuk mencoba membuat wayang dari
bahan kayu atau wayang golek purwa dan kemudian menetap di Cibiru,
sedangkan Ki Surasungsing membuat gambelan sebagai pengiring jalannya
pertunjukan wayang dan kemudian beliau menetap di Cimahi.
Cerita-cerita Purwa merupakan sastra agama Hindu yang mengkisahkan
kepahlawanan misalnya Ramayana dan Mahabarata. Kedua sastra tersebut dengan
cepat menyerap dan menyebar di Indonesia, karena adanya keselarasan antara
kegemaran masyarakat pada waktu itu dengan isi cerita kedua epos tersebut.
Dengan diterimanya kebudayaan Hindu oleh masyarakat kita, maka timbul
akulturasi antara kebudayaan lokal, dalam hal ini kepercayaan animime-
dinamisme dengan kebudayaan Hindu. Berangkat dari sinilah banyak para
pujangga mulai menyalin kakawen-kakawen yang berasal dari bahasa sangsakerta
kedalam bahasa Jawa Kuno atau bahasa kawi dimana kedua bahasa tersebut lebih
dimengerti oleh masyarakat pada waktu itu.
91
Sebelum membahas mengenai sejarah masuknya wayang khususnya
wayang golek ke Priangan, penulis sedikit menjelaskan mengenai sejarah
masuknya dan berkembangnya wayang secara umum.
Secara umum wayang merupakan seni kalangenan (jenis kesenian yang
tidak dipertontonkan bagi masyarakat umum dan hanya dipertunjukan
untuk hiburan kalangan tertentu) yang sangat akrab bagi sebagian besar
masyarakat Indonesia terutama masyarakat pulau Jawa. keberadaanya terus
berkembang dalam budaya bangsa Indonesia. Wayang dengan bentuk
pagelarannya merupakan karya cipta asli bangsa Indonesia yang diakui oleh
UNESCO sebagai karya adhi luhung dunia. Tahun 1988 di pulau Jawa terdapat
kurang lebih 40 jenis wayang yang digolongkan menurut ceritanya, cara pentas
dan cara pembuatannya. Kini hampir sepertiganya telah punah.
Menyusuri keberadaan wayang harus seiring dengan sejarah
perkembangan agama Hindu di Indonesia. Bukti awal tentang keberadaan
wayang terdapat diantaranya dalam prasasti Tembaga yang bertahun 840 M (762
Saka), isinya menyebutkan salah satu jenis pekerjaan yang bernama “Aringgit”
yang mengandung arti tukang wayang atau Dalang. Tukang Wayang atau Aringgit
ini juga dikenal dengan nama “Juru bharata” yaitu orang yang mampu medar
lalakon turunan Bharata, sama halnya dengan sebutan juru pantun yaitu orang
yang mampu medar (menceritakan) cerita pantun (wawancara dengan Ki Dalang
Suherman, 2009).
Kemudian dalam prasasti Ugrasena (896 M) disebutkan beberapa
kelompok kesenian, diantaranya yang disebut “Parbawayang”, atau pertunjukan
92
wayang. Prasasti Balitung (907 M/829 saka) juga menyiratkan keberadaan
wayang yang tertera dalam kalimat “Sigaligi mawayang buat Hyang, macarita
Bhima Kumara”.
Menurut sumber lain (Jajang Suryana, 2001) bukti lebih tua dari yang
tercatat dalam Prasasti Tembaga, bahwa sekitar 778 M masa Wangsa Syailendra
hingga 907 M masa Wangsa Sanjaya keberadaan wayang, terutama wayang kulit
telah ada dan sering menampilkan cerita tentang roh nenek moyang, selanjutnya
setelah adanya akulturasi dari agama Hindu cerita Ramayana dan Mahabharata
mulai populer.
Wangsa Sanjaya memliki kepekaan yang lebih kental dalam menafsirkan
ajaran Hindu Siwa yang menjadi agama resmi Mataram Kuno saat itu. Hal
tersebut diwujudkan dengan mendirikan komplek Candi di Dieng yang semua
unsurnya baik nama, arsitektur, maupun lokasinya diambil dari kitab Mahabarata.
Sehingga seluruh tempat di Dieng sarat nuansa pewayangan dari nama Kawah,
telaga, sampai nama candi yang terbagi dalam empat komplek, yakni kelompok
Candi Dwarawati dan Parikesit, kelompok Candi Dwarawati Timur, kelompok
Candi Setyaki, Ontorejo, Petruk, Nala Gareng, dan Nakula-Sadewa, serta
kelompok Candi Arjuna, Semar, Sembodro, Puntadewa, dan Srikandi.
Umumnya setiap Candi Hindu dihiasi dengan relief dari kisah-kisah
wayang. Fragmen-fragmen tersebut merupakan substansi ide yang akhirnya
mendorong kalangan para seniman pada waktu itu untuk memvisualkannya dalam
bentuk lainnya. Adanya indikasi demikian maka peranan Candi Hindu dimasa
93
Wangsa Sanjaya sebagai trah Galuh menjadi pemicu awal terciptanya seni
wayang di Nusantara.
Menurut perkiraan para Dalang berdasarkan cerita turun temurun. Wayang
kulit awal terbuat dari kulit kayu dengan dengan cerita berdasarkan Mahabharata
yaitu cerita Bhima Kumara. Selanjutnya muncul wayang yang dibuat dari daun
lontar (disebut wayang purwa awal). Dalam cerita Jawa, yang memiliki wayang
purwa adalah Sri Jayabaya, ketika bertahta di Mamongan, Kediri ( 939 M).
terbuat dari daun tal dan menggambarkan wajah para dewa, manusia zaman purba
atau purwa yang ditiru dari bentuk arca. Sedangkan wayang yang terbuat dari kulit
binatang diciptakan oleh Raden Panji Inukertapati pada 1223 M (Raden Panji
Ksatriaan) ketika menjadi Raja di Janggala. Tokoh yang berjuluk Prabu Surya
Amisena ini sebelumnya juga mengembangkan wayang daun tal. Pada jaman
itulah pertunjukan wayang kulit dengan semua kelengkapanya mulai terbentuk,
termasuk tatabeuhan dengan laras salendro dan awal penggunaan kakawen yang
begitu berpengaruh kepada perkembangannya. Kepopuleran pertunjukan wayang
juga tercantum dalam Kakawih Arjunawiwaha yang digubah oleh Empu Kanwa
sekitar abad ke 11. Hal itu menandakan bahwa seni wayang saat itu telah
berkembang dan berpengaruh serta sangat digandrungi oleh masyarakat.
Kemunculan wayang kulit yang kemudian diikuti oleh pertumbuhan
Wayang Lontar ( sekitar 934 M), dan wayang kertas atau wayang beber
( sekitar 1140 M ), menjadi awal morfologi dimensi bentuk selanjutnya. Pada
tahun 1315 Raja Brawijaya V menciptakan wayang krucil atau wayang klitik.
Jenis ini merupakan boneka dengan bahan dasar kayu namun bentuknya pipih,
94
mendekati bentuk wayang kulit, sedangkan raut tokoh-tokohnya merupakan tiruan
dari raut wayang beber. barulah pada awal abad ke 16 muncul wayang tiga
dimensi yang disebut golek.
Perubahan ideologi agama dari masa Hindu dan Buddha ke masa Islam
juga berpengaruh kuat terhadap tatacara pagelaran wayang. Tahun 1515 Raden
Patah yang berkuasa di Demak merubah bentuk wayang agar tidak mirip
manusia (karena diharamkan dalam ajaran Islam). Penokohan wayang satu persatu
dipisahkan mandiri dan tidak di beberkan. Wayang tersebut terbuat dari kulit dan
diberi sampurit (jepitan) untuk menancapkan wayang. Namun belum ditatah,
hanya diberi warna saja untuk membedakan tokoh. Raden Patah dibantu oleh para
wali diantaranya Sunan Giri menciptakan keragaman tokoh wanara pada lakon
Ramayana. Sunan Bonang menciptakan bentuk-bentuk binatang seperti gajah,
kuda, garuda dan sebagainya. Sunan Kalijaga mengatur kelir, gebog dan
belincong. Sedangkan Raden Patah sendiri selain merubah gambar wayangnya
juga menciptakan Gugunungan serta mengatur janturan wayang. Karena ide
Sunan Kalijaga yang menciptakan kelir, gebog dan belincong yang menimbulkan
efek bayangan sehingga kemudian timbul anggapan bahwa wayang dimaknai
sebagai bayang-bayang manusia adalah berkat jasanya Sunan Kalijaga. Karena
sebelumnya tidak ada pagelaran wayang yang menggunakan bayangan sebagai
titik tampilan, sehingga pertunjukannyapun harus malam hari.
Saat itu wayang kulit mencapai masa keemasannya. Bahkan oleh para wali
sering pagelaran wayang pergunakan sebagai media ampuh penyebaran agama
Islam. Menurut beberapa cerita, Sunan Kalijaga mempunyai cara yang jitu untuk
95
mengislamkan masyarakat yaitu dengan menggratiskan setiap pagelaran wayang.
Dan penonton hanya diwajibkan mengucapkan kalimah syahadat sebagai syarat
menonton pagelaran.
Kehadiran wayang trimatra baru muncul setelah perkembangan wayang
dwimatra semakin popular, Catatan khusus tentang wayang golek ditulis
diantaranya oleh M.A Salmun dan R.M Ismunandar, dengan kalimat senada
mereka menjelaskan bahwa pada abad ke 16 atau pada tahun 1583 M, Sunan
Kudus membuat wayang yang dapat dimainkan dengan kayu sehingga
pertunjukan wayang dapat dilaksanakan pada siang hari karena sebelumnya
pertunjukan wayang kulit harus dimalam hari.
Lebih rinci Ismunandar menjelaskan bahwa bentuk wayang seperti
boneka tersebut, mengambil bentuk ”wayang purwo” dengan cerita-cerita menak
(berjumlah tujuh puluh buah), diiringi gamelan salendro dan pertunjukanya tidak
memakai kelir, hanya memakai plangkan ( tempat meletakan wayang golek yang
terbuat dari kayu). Wayang ini disebut wayang golek. Wayang jenis ini
merupakan wayang yang berdiri utuh, bukan lagi wayang sebagai penutup pada
setiap pertunjukan wayang kulit, seperti yang disebutkan oleh sejumlah penulis
bahwa setelah usai pertunjukan wayang kulit, biasanya menjelang akhir pagelaran
selalu ditampilkan tarian dengan menggunakan wayang golek wanita dengan
tokoh yang tidak terdapat dalam cerita wayang.
Pada Wayang Golek Sunda saat ini, tarian tersebut dikenal dengan istilah
tari maktal yang dipakai di awal cerita. Golek sendiri dalam bahasa Jawa
mengandung arti mencari (nggoleki), dalam kaitannya sebagai penutup pagelaran
96
dimaksudkan agar penonton dapat mencari makna atau inti pelajaran dari cerita
yang di gelar. Di Jawa Barat keberadaan wayang disinyalir sudah ada sebelum
abad ke 16 M, hal itu tersurat dari sumber naskah sejarah yang bernama
Sanghiang Siksa Kandang Karesian.
Naskah ini dianggap sebagai sumber sejarah yang lengkap karena
mempunyai isi semacam Ensiklopedia tentang pemerintahan, kepercayaan,
kebudayaan, kesusastraan, pertanian, etika, kemiliteran dan lain-lain dari
masyarakat sunda. Naskah dengan candrasangkala “nora catur sagara wulan”
atau 1440 saka ( 1518 M) merupakan petuah Sang Sadu sebagai prinsif hidup
masyarakat sunda. Pada poin ke empat tertulis Mikukuh Darma Pitutur yang
salah satunya petuahnya adalah menyangkut aspek budaya.
Khusus mengenai wayang, naskah ini menyebutkan : “ Hayang dek
nyaho di sakweh ning carita ma, geus ma: Darmajati, Sanghyang Hayu,
Jayasena, Sedanama, Pujayakarna, Ramayana, Adiparwa, Korawasrama,
Bimasorga, Ranggalawe, Boma, Sumana, Kalapurbaka, Jarini, Tantri.
Sing sawatek caritama, mamen Tanya ” , artinya : jika ingin tahu semua cerita
seperti Darmajati …. Dst. Segala sifat cerita bertanyalah kepada memen
(Dalang). Istilah memen atau dalang juga disebut dalam kata yang berbeda, yaitu
pada poin ke 5 yang disebut Ngawakan Tapa Di Nagara, tertulis kalimat “sing
sawatek guna, aya ma satya diguna di kahulunan, eta kehna turutaneun,
kena eta ngawakan tapa di nagara”.
Maksudnya, setiap orang yang memiliki keahlian, mulai dari anak gembala
sampai kepada pembesar negara, membaktikan keahliannya ke pada negara
97
dengan penuh kesetiaan. Aneka keahlian yang tersebut salah satunya adalah medu
wayang atau dalang wayang. Dari keterangan tersebut, keberadaan seni wayang
di tatar sunda sudah berkembang pada masa itu. Melihat naskah tersebut yang
memuat berbagai aspek budaya dengan lengkap, maka boleh jadi keberadaan
wayang sendiri sudah ada pada masa-masa sebelumnya. Bahkan tidak menutup
kemungkinan keberadaaanya seiring dengan awal perkembangan wayang jaman
Mataram Kuno (masa Wangsa Syailendra dan Sanjaya, 778 M). Namun
perkembanganya untuk menjadi seni pertunjukan, tidak sepesat di wilayah Jawa.
Hal ini dapat disebabkan oleh perbedaan pemahaman terhadap ajaran agama
khususnya Hindu yang mengalami akulturasi dengan ajaran asli sunda yaitu
agama Sanghyang.
Naskah Sanghyang Siksa Kandang Karesian tidak menyebutkan jenis
wayang yang pernah ada pada masa itu, namun dapatlah ditarik kesimpulan
sepertinya para dalang (memen/medu wayang) mementaskan pagelaran wayang
dengan jenis wayang kulit atau wayang beber, seiring dengan populernya wayang
tersebut di wilayah Jawa pada masa itu. Menurut M.A Salmun pada buku
Padalangan 2 yang dicetak tahun 1954 masuknya wayang ke sunda berkat jasa
putra Prabu Surya Amisena yang bernama Maha Prabu Mahesa Tandreman
(Prabu Surya Amiluhur) yang menjadi raja di Pajajaran setelah kerajaan Janggala
yang diperintah sebelumnya, hancur tersapu banjir besar. (Namun keterangan
tentang tokoh ini tidak cocok dengan kajian sejarah Sunda). Raja inilah yang
mengembangkan wayang di Pajajaran. Malah tahun 1224 M , bahan wayang dari
daun lontar diganti dengan daluang, sejenis kertas yang tebal dan liat terbuat dari
98
papagan saeh (papagan: irisan kayu, saeh: sejenis pohon yang kulitnya
bisa dipakai untuk membuat daluang/karton). Ukurannya ditambah, baik
tinggi maupun besarnya agar dapat terlihat dari jarak jauh.
Pada saat penyebaran agama Islam di Jawa Barat terutama di Cirebon,
tahun 1479-1568 wayang kulit juga dimanfaatkan oleh Sunan Gunung Jati sebagai
media pengislaman penduduk dengan menggunakan cara yang sama dengan
metode Sunan Kalijaga di Jawa Tengah. Daerah Sunda yang pertama kali
tersentuh oleh wayang golek yang diciptakan Sunan Kudus adalah daerah
Cirebon dengan nama Wayang Cepak yang mulai dikenal pada abad ke 16 pada
zaman Panembahan Ratu (cicit Sunan Gunung Jati). Setelah itu kemudian tersebar
ke berbagai daerah terutama setelah adanya jalan Pos yang dibuat antara tahun
1808 sampai 1811 maka perkembangannya lebih jauh masuk ke daerah Priangan.
Sedangkan wayang golek purwa di Sunda mulai dikenal di abad ke 19 dengan
dibukanya jalan raya Daendels yang menembus daerah pedalaman priangan.
Selain Wayang Golek yang mulai digemari di wilayah pedalaman, tumbuh
pula varian wayang lainnya. Seperti Wayang Wong Sunda dan Wayang
Lilingong. Wayang Lilingong bisa disebut sebagai tiruan dari konsep Wayang
Krucil. Wayang Suluh muncul di Jawa Tengah setelah usai Perang Dunia ke II
yang diciptakan oleh Generasi Baru Angkatan Muda Republik Indonesia
berdasarkan keputusan Kongres Pemuda RI ke 2 yang difungsikan untuk memberi
penerangan tentang arti dan tujuan perjuangan revolusi kepada masyarakat yang
buta huruf pada waktu itu. Ceritanya diangkat dari kisah- perjuangan seperti
Perang Surabaya, Linggarjati, dan Perundiangan Renville . Maka tokoh-
99
tokoh seperti Bung Karno, Bung Tomo Bung Hatta sampai van Mook dan Jendral
Spoor pun diukir dari bahan kulit.
Sedangkan di Jawa Barat muncul Wayang Golek Modern yang diciptakan
oleh R. Umar Partasuanda. Gagasan Wayang Modern tersebut timbul manakala
Jepang melarang adanya pertunjukan kesenian melewati pukul 12 malam.
Sedangkan pagelaran Wayang Golek biasanya sapeuting jeput. Akhirnya timbul
inisiatif untuk meringkas lakon dari 10 jam menjadi 3 jam tanpa kehilangan
essensi cerita. Kegiatan ngawayang ini ditampilkan di Jawatan Radio Jepang
dengan istilah ditambul.
Kemudian Partasuanda mengambil konsep atau unsur sandiwara untuk
dimasukan dalam pagelaran wayang diantaranya, dalang harus bisa lebih dari 2
orang, kemudian adanya setting/background yang dapat diganti-ganti sesuai
dengan suasana cerita. Dan ditunjang juga dengan adanya effek, baik lighting,
sound, sampai ke teknik pertempuran yang menggunakan arus listrik. Wayang
Modern tersebut bisa dikatakan sebagai hasil modifikasi dari teknik pembuatan
sebuah film (wawancara dengan Ki Dalang Suherman, 2009).
Dari penjelasan di atas bisa dikatakan bahwa masuknya seni wayang golek
ke wilayah Purwakarta tidak terlepas dari sejarah masuknya wayang ke daerah
Priangan, karena wilayah Purwakarta merupakan bagian dari wilayah Jawa Barat
maka tidak berlebihan pula bahwa seni wayang golek yang ada di Purwakarta
mendapat pengaruh langsung dari dalang yang menjadi pelopor berkembangnya
seni pewayangan dan padalangan yang berasal dari Jawa Tengah. Terlepas dari
hal tersebut Purwakarta juga memiliki kesenian daerah yang bersumber dari
100
kesenian Jawa Barat itu sendiri. Sesuai dengan trend atau perubahan zaman, seni
yang ada di Kabupaten Purwakarta pun berkembang sampai akhirnya memiliki
identitas tertentu, terutama dalam bentuk gerak, tari, gaya, peralatan dan busana.
Masyarakat yang ada di Kabupaten Purwakarta masih berupaya
mempertahankan kesenian tradisional dari generasi ke generasi. Keberhasilan
masyarakat Purwakarta dalam mempertahankan kesenian-kesenian tradisional
terlihat dari masih bertahannya kesenian-kesenian tradisional tersebut sampai saat
ini, termasuk kesenian wayang golek purwa yang keberadaannya masih
dilestarikan sebagai salah satu warisan budaya bangsa.
2. Pertunjukan Kesenian Wayang Golek Purwa
Sebelum melaksanakan pagelaran wayang golek, dalang biasanya
melakukan ritual-ritual sebagai berikut :
1. Membakar kemenyan, dengan tujuan :
- Memanjatkan doa dan memohon perlindungan kepada Tuhan YME
- Menerapkan mantra atau jampi dengan tujuan memberikan sugesti kepada
penonton agar tidak meninggalkan pagelaran sebelum selesai.
2. Penyajian lagu yang dianggap sakral dan judulnya sesuai dengan adat atau
kebiasaan di daerah dimana pagelaran diselenggarakan. Misalnya di
Kabupaten Purwakarta dan Subang serta di beberapa daerah lainnya lagu
Kembang Gadung (wawancara Ki Dalang Suherman, 2009). Berikut
adalah syair lagu Kembang Gadung yang sering dinyanyikan dalam
pagelaran kesenian wayang golek Purwa khususnya di daerah Purwakarta.
101
Kembang Gadung
Muji Syukur Ka Hyang Agung Ka Gusti Nu Maha Suci Kembang Gadung nu kahatur Ka sadaya kaom dangu Neda jembar hampurana Ka Gusti Nu Maha Suci Neda diaping dijaring Neda sapa’at pangriksa Sareng ka para karuhun Nyanggakeun ieu pangbakti Ulah bade hiri dengki Kembang gadung nu kahatur Nyanggakeun ieu pangbakti Pangbakti ti seuweu siwi.
Setelah melakukan ritual-ritual yang biasa dilakukan oleh Ki dalang,
selanjutnya pertunjukan wayang digelar, dan waktu penyelenggaraan biasanya
dilakukan semalam suntuk. Dalam penyelenggaraan pertunjukan wayang terdapat
struktur pertunjukan yang diawali dengan :
1. Tatalu
Tatalu merupakan suatu tanda pertunjukan wayang akan dimulai, selain itu
tatalu mempunyai fungsi untuk menarik masa atau penonton. Tatalu dimainkan
sebelum dalang naik ke atas panggung dan tatalu merupakan bentuk pagelaran
yang dimainkan di luar garapan dalang.
2. Tari Maktal atau Ngembankeun
Tari maktal atau ngembankeun merupakan pertunjukan awal dalang yang
bertujuan memperlihatkan keahlian dalang dalam menarikan wayang.
102
3. Jejer
Yang dimaksud dengan jejer merupakan babak pertama dalam pagelaran
wayang golek dan Jejer merupakan awal permasalahan dari seluruh rangkaian
cerita yang akan digarap oleh dalang selama pagelaran. Jejer bila dilihat dari segi
filosofisnya merupakan simbol lahirnya manusia ke alam dunia.
4. Bebegalan
Bebegalan merupakan suatu adegan yang secara filosofis menggambarkan
bahwa manusia dimana sudah dewasa akan bertemu dengan masalah-masalah
hidup, oleh karena itu didalam babak bebegalan selalu diceritakan adanya
gangguan dari sekelompok perusuh yang akan menghalangi perjalanan tokoh yang
diceritakan dalam babak jejer. Secara otomatis dalam bebegalan kelompok
penghambat harus terkalahkan oleh tokoh utama dalam jejer. Selain itu, babak
bebegalan merupakan babak demonstrasi dalang dalam mempertontonkan teknik
olah wayang dalam adegan perang, sekaligus untuk merubah suasana penonton
dari situasi serius memperhatikan cerita jejer kepada situasi yang lebih menarik
yaitu dengan menyaksikan adegan peperangan dalam cerita wayang.
5. Nagara Sejen
Negara sejen merupakan adegan lanjutan dari babak jejer dengan tokoh
yang berbeda. Bila dilihat unsur filosofisnya Negara sejen menggambarkan
bahwa hidup di dunia ini ternyata makin lama manusia akan terus diuji dalam
rangka menguatkan jati dirinya serta mengasah kebijaksanaannya dalam
menghadapi segala masalah yang datang terus menerus dalam kehidupannya.
103
6. Perang Kembang
Perang kembang merupakan adegan peperangan antara tokoh yang
diceritakan pada jejer dengan tokoh lain yang ada pada jejer Nagara sejen atau
yang lainnya sesuai alur cerita. Secara filosofis hal itu menggambarkan bahwa
tantangan hidup yang dihadapi manusia akan semakin banyak dan akan semakin
tinggi pula resiko yang akan dihadapi olehnya.
7. Patapan
Patapan adalah adegan selanjutnya yang biasanya menampilkan tokoh
agamis. Dalam tokoh adegan pada umumnya, tokoh utama dalam adegan yang
diceritakan jejer memohon pertolongan kepada tokoh didalam adegan patapan
untuk menyelesaikan permasalahan yang sedang dihadapinya. Secara filosofi hal
itu menggambarkan bahwa manusia semakin tua harus banyak mendekatkan diri
kepada hal-hal yang baik.
8. Perang Ruket atau Perang Akhir
Perang ruket merupakan adegan terakhir dari suatu jalan cerita yang
digarap oleh dalang dan merupakan klimaks cerita. Dalam adegan ini tokoh yang
dijadikan peran utama dalam cerita berhasil menyelesaikan masalah-masalah yang
dihadapinya. Hal itu biasanya bisa berbentuk membuka tabir rahasia atau bentuk-
bentuk lain sesuai jalan cerita.
9. Tutug
Dalam adegan ini diceritakan berkumpulnya kembali tokoh yang dijadikan
peran utama dengan keluarga setelah dapat menyelesaikan segala permasalahan
104
yang dihadapi, dan merupakan kesimpulan akhir dari cerita atau lakon yang
dipagelarkan (wawancara dengan Ki Dalang Suherman, 4 Agustus 2009).
1). Alat Musik dan Lagu yang digunakan dalam Pertunjukan Wayang
Golek Purwa
Karawitan dalam pertunjukan wayang merupakan salah satu seni yang
harus ada dan dipertontonkan. Adanya karawitan tidak bisa dipisahkan dari cerita
serta suasana lakon yang dipertunjukan. Oleh sebab itu dalan, juru kawih serta
juru gending harus seirama, satu jiwa dan satu rasa dalam pertunjukan kesenian
wayang golek. Misalnya dalang harus mempunyai suara yang bisa diubah-ubah
supaya bisa menimbulkan rasa sedih, bahagia, prihatin dan lain-lain. Sedangkan
juru kawih harus mengetahui bagaimana menyajikan rumpaka, bukan hanya
menuruti keinginannya sendiri, melainkan harus sesuai dengan adegan wayang
yang diperankan oleh dalang serta juru gending seharusnya mempunyai kepekaan
untuk membaca keadaan dalam cerita yang diperankan oleh dalang, misalnya bila
keadaan adegan wayang dalam cerita itu sedang sedih sudah seharusnya pula juru
gending menyajikan irama yang menggugah rasa sedih.
Dalam pertunjukan wayang golek keharmonisan yang dipertontonkan
bukan hanya dari segi penyajian dalang saja, tetapi harus ditunjukan pula dalam
segi posisi waditra-waditra gamelan yang dipakai. Keteraturan posisi waditra
sangat berpengaruh pada kualitas suara yang di hasilkan, serta hubungan fungsi
tabeuh setiap waditra. Seperti gambar di bawah ini adalah susunan posisi waditra
gamelan wayang golek gaya Priangan.
105
Posisi Waditra-waditra Gamelan Wayang Golek Gaya Priangan
(Soepandi, 1988: 183).
Instrumen atau waditra yang tergabung didalam unit gamelan wayang
golek purwa secara lengkap dan mempunyai fungsi yang tidak dapat dipisahkan
satu sama lainnya, waditra tersebut adalah:
• Rebab
• Kendang
• Gambang:
• Bonang
• Rincik (Bonang panerus)
• Saron pangbarep (Saron I)
• Saron II/Saron anak
JAGAT PANGGUNGAN/RAJA
JAGAT PASEBAN/PATIH JANTURAN KENCA
JURU LADEN II
BONANG
KOTAK
DALANG JANTURAN KATUHU
JURU LADEN I
REBAB GAMBANG
PASINDEN JURU ALOK
GENDER SARON I SARON II PEKING
KENDANG
KEMPUL GOONG KENONG
106
• Peking
• Demung
• Jengglong
• Kempul dan Gong
Selain yang disebutkan di atas, kadang-kadang ada beberapa waditra atau
instrumen yang sengaja dihilangkan mengingat kondisi keuangan yang tidak
memadai, diantaranya yaitu waditra rincik atau peking. Didalam
perkembangannya, gamelan wayang yang lengkap adalah gamelan yang terdiri
atas gamelan pelog-salendro bahkan ada yang mempergunakan gamelan
surupan/laras/angga nada madenda atau minor di samping gamelan pelog dan
salendro.
Disamping kelengkapan waditra atau instrumen yang digunakan dalam
pertunjukan wayang golek, hal lain yang harus diperhatikan adalah lagu yang
dinyanyikan pada saat pertunjukan wayang golek berlangsung. Lagu atau
kakawen berasal dari kata Ka-kawi-an, kawi berarti bahasa kawi atau Jawa kuno.
Selain itu, ada pendapat lain yang mengemukakan bahwa kakawen berasal dari
kata Ka-kawih-an, Kawih adalah lagu-lagu sekaran di daerah Pasundan. Dengan
kata lain kakawen adalah lagu-lagu Sunda yang terdapat dalam salah satu sekaran
(Soepandi, 1988: 137-138).
Dalam seni padalangan Jawa atau di beberapa tempat di Jawa Barat
kakawen sama artinya dengan suluk. Oleh karena itu banyak dalang yang
mengatakan bahwa lagu yang termasuk kakawen disebut suluk. Suluk berasal dari
kata seloka yang artinya adalah simbol-simbol, pepatah, dan penerangan-
107
penerangan yang di rangkai kedalam syair atau puisi. Sedangkan menurut Prabu
Harjono, suluk adalah lagu-lagu yang dinyanyikan oleh dalang memakai syair
yang memberi penerangan atau petuah-petuah kepada masyarakat (Salmun, 1981:
22).
Dari beberapa pendapat di atas dapat di simpulkan bahwa kakawen ialah
lagu-lagu sekaran yang di nyanyikan oleh dalang yang menggunakan bahasa
Kawi/Jawa Kuno yang dirangkai menjadi puisi dalam rangka memberikan
penerangan atau petuah kepada masyarakat.
Adapun kakawen yang sering digunakan dalam pagelaran wayang golek
adalah sebagai berikut:
Saur Nira
Saur nira tan ana panjang Sininggih sabda uninga Saur nira tan ana panjang
Sininggih sabda uninga Wala bakti dening asih Ya dening asih Wong asih ora ketara
Betet Ijo
Betet ijo kepodang ulese kuning Abang matuke ulese keduwung Sandang rawit puter gemeke ya lurik lurik Kadya bocah nganggo kakalung Sendon/Telutur
Sri tinon pasewakan Busana maneka warna Kebakpuspiteng udiana Miang hajrah sarwarukma Renggengmanik nawata narawata Narawungkang majuwala najuwala
108
Saur nira adalah kakawen yang dilantunkan oleh dalang pada awal babak
setelah murwa (kakawen awal) yang kemudian dilanjutkan oleh syair Betet Ijo dan
diakhiri oleh Sendon/Talutur. Selanjutnya bila cerita berganti babak, maka diawali
dengan kakawen lainnya yang disesuaikan dengan adegan, contohnya :
• Adegan di dalam kraton mempergunakan kakawen syair Gedong Duwur.
Gedong Duwur
Gedong duwur kari samun Pagulingan sepi tingtrim Petetan samya murag Balingbing lan jeruk manis
Artinya:
Gedung tinggi sunyi senyap
Peristirahatan dingin sejuk
Tunas berjatuhan
Belimbing dan jeruk manis
• Sedangkan bila adegan tersebut menceritakan lakon berada didalam hutan
maka kakawen yang dipakai adalah Kayu Agung.
Kayu agung
Kayu agung babar wite Samya rembel godonge Samya rogol ya pangpange Sekar mekar ing galihe Pandele si pandan arum
Selain itu, dalam pertunjukan seni wayang terdapat nilai-nilai kebudayaan
tradisional yang dapat diwariskan pada generasi muda sekarang, nilai-nilai
tradisional tersebut antara lain adalah :
109
a. Seni Ukir
Seni ukir yang terdapat dalam wayang golek dapat dilihat pada bentuk
ukiran muka wayang. Bentuk tersebut menjadi ciri khas atau karakteristik
dari wayang, yang antara lain ialah Ladak yaitu karakteristik wayang yang
bersifat sombong, angkuh dan selalu berperan antagonis sedangkan
Lungguh adalah karakteristik wayang yang menggambarkan karakter
pendiam dan berbudi luhur.
b. Seni Rupa
Seni rupa yang terdapat dalam wayang golek dapat dilihat dari warna-
warna polesan cat pada setiap wayang. Polesan cat dan warna yang
digunakan menggambarkan karakter dan mengandung arti misalnya,
- Skema warna merah menggambarkan kebringasan, sifat toma
(angkara murka), ketidaksabaran, rasa wera (amarah).
- Hitam dan biru menggambarkan ketentraman, kebangkitan rohani,
dan kedewasaan.
- Warna putih menggambarkan kemurnian, budi luhur dan tata
krama.
- Warna mas dan kuning merupakan ciri khas para narapati dan
kaum ningrat.
c. Seni Suara
Seni suara yang terdapat dalam wayang golek dapat didengarkan dalam
bentuk tembang-tembang Sunda yang dibawakan oleh Juru kawih, yang
110
mengiringi atau mengisi acara pada saat pertunkukan wayang sedang
berlangsung.
d. Seni Tari
Seni tari yang terdapat dalam wayang golek dapat dilihat pada saat dalang
mempertunjukan tarian yang dibawakan oleh wayang.
e. Seni Sastra
Seni sastra yang terdapat dalam wayang golek dapat didengarkan dalam
bahasa yang digunakan dalam pagelaran wayang golek. Bahasa yang
digunakan bukan bahasa sehari-hari tapi menggunakan bahasa kraton.
Selain dari tata bahasa yang digunakan seni sastra dapat dilihat dari
penulisan cerita wayang seperti cerita Ramayana dan Mahabarata.
f. Tata Krama
Nilai tata krama yang terdapat dalam wayang golek dapat dilihat pada
ketaatan para dalang memeang teguh aturan atau pakem padalangan.
Selain itu nilai tata krama tersebut bisa dilihat dari bagaimana cara
meletakan wayang dalam sikap berdiri ataupun duduk pada orang yang
dianggap lebih tua (wawancara dengan Ki Dalang Suherman, 2009).
2). Anggota dalam Pertunjukan Wayang Golek Purwa
Garapan pagelaran wayang baik wayang kulit maupun wayang golek tidak
terlepas dari unsur-unsur pendukung. Unsur pendukung yang dimaksud meliputi
Dalang, nayaga, dan juru kawih. Ketiga pendukung yang secara khusus ini terkait
erat untuk mengadakan pertunjukan atau pagelaran wayang. Baik atau tidaknya
111
pertunjukan wayang yang mereka sajikan kepada para penonton, tentunya sangat
dibutuhkan kekompakan atau harmonisasi garapan. Ketiga unsur tersebut harus
benar-benar profesional, dan didukung pula dengan peralatan yang memadai,
seperti gamelan, wayang/golek, panggung dan pengeras suara.
1. Dalang
Seseorang yang telah mendapat predikat dalang yang oleh sebagian
masyarakat sangat dihormati, sehingga apabila mereka memanggil seseorang
dengan sebutan dalang harus diawali dengan kata Ki (kiayi) yang artinya orang
berilmu. Oleh karena ituki dalang sebagai peran utama dalam pagelaran wayang
dituntut untuk menguasai berbagai ilmu yang ada kaitannya dengan
pewayangan/padalangan, hal itu antara lain :
- Ilmu sejarah. Khusus sejarah pewayangan dari asal-usul wayang sampai
kepada falsafahnya.
- Ilmu sastra (Jawa, Sunda dan Sansekerta atau Kawi)
- Ilmu karawitan minimal seorang dalang harus mengetahui nada dan suara
gamelan
- Ilmu tari
- Ilmu teater
- Ilmu kawih, dll
Hal-hal yang disebutkan di atas harus sudah dipahami dengan benar oleh
seorang dalang karena ilmu tersebut merupakan pokok dalam suatu pagelaran
wayang. Bila dalang tidak menguasai ilmu-ilmu tersebut, maka akan timbul
112
cemoohan dari masyarakat terutama penonton yang menyaksikan pertunjukan
wayang.
Dalam suatu pertunjukan wayang fungsi atau peran seorang dalang sangat
dominan sekali dan banyak yang harus mereka lakukan. Misalnya dalang sebagai
penulis naskah atau skenario, dalang sebagai sutradara, dalang sebagai pemeran
utama, dan dalang sebagai penata gending atau musik pengiring (pengatur lagu).
Oleh karena itu, baik atau buruknya suatu pagelaran sangat ditentukan oleh
seorang dalang.
2. Nayaga/Pangrawit
Nayaga tidak kalah pentingnya dalam pertunjukan wayang. Mereka dapat
menentukan warna pagelaran wayang, bahkan nayaga dapat menghancurkan
pagelaran walaupun seberapa pentingnya seorang dalang, bila nayaganya kurang
menguasai, maka akan terjadi hal-hal yang tidak diinginkan. Nayaga harus tahu
makna cerita yang dibawakan oleh ki dalang, sehingga nayaga bisa memberikan
isi lagu yang sesuai untuk mewarnai sebuah cerita wayang.
Salah satu contoh, apabila adegan sedih tentunya gamelan yang dimainkan
oleh seorang nayaga harus turut mewarnai kesedihan cerita wayang, sehingga
akan menggugah hati penontonnya. Jangan sebaliknya adegan sedih diiringi oleh
gamelan jaipongan.
Nayaga harus memahami betul ilmu karawitan, mereka dituntut bisa
bekerjasama dengan para pendukung lainya sebagai nayaga yang propesional.
113
3. Juru Kawih
Juru kawih di Jawa biasa disebut Waranggana (Warangono), di daerah
Jawa Barat atau Priangan biasa menyebutnya dengan sebutan “Sinden” atau “Juru
kawih”. Juru kawih artinya orang yang melantunkan lagu sebagai pendukung
dalam lakon yang dibawakan oleh ki Dalang.
Juru kawih merupakan pemacu dalam kelangsungan kehidupan
rombongan atau grup kesenian wayang golek dimana ia bergabung. Juru kawih
yang baik adalah Juru kawih yang menguasai ilmu kawih atau tarik suara serta
didukung pula oleh pribadi dan figur juru kawih itu sendiri. Juru kawih bisa
mewarnai cerita sesuai dengan kehendak cerita itu sendiri, seperti halnya seorang
nayaga. Disaat adegan sedih lagu yang ia bawakan harus turut mewarnai cerita
yang sedang di pentaskan sehingga penonton akan tertarik dan terbawa suasana
(wawancara dengan Ki Dalang Suherman, 2009).
3). Fungsi Kesenian Wayang Golek Purwa
Dari hasil wawancara yang telah dilakukan oleh penulis, khususnya
kepada Dalang wayang golek purwa, bahwa fungsi pertunjukan wayang golek itu
sangat beragam, akan tetapi fungsi ritual merupakan fungsi yang paling utama
dalam pertunjukan wayang, termasuk di daerah Jawa Barat dan sekitarnya. Fungsi
pertunjukan wayang tersebut antara lain :
a) Upacara Ngaruat
Walaupun masyarakat kita telah banyak dipengaruhi oleh industrialisasi,
namun masih banyak desa-desa khususnya yang ada di Jawa Barat mempunyai
114
mata pencaharian sebagai petani tradisional yang tidak terlepas dari seni upacara
adat setempat, antara lain adalah upacara Ngaruat. Upacara ini adalah upacara
yang dilakukan untuk menghindarkan diri dari bahaya pemangsaan Batara Kala,
diantaranya dilakukan kepada anak tunggal, saramba (empat orang anak laki-
laki), serambi (empat orang anak perempuan), pandawa (lima orang anak laki-
laki), pandawai (lima orang anak perempuan), nanggung bugang (kakak dan adik
atau semua anak yang ada di keluarga tersebut meninggal), pindah rumah, dan
mendirikan banugunan baru.
Selain itu masyarakat Sunda juga percaya bahwa yang akan menjadi
mangsa Batara Kala itu adalah talaga tanggal kaosar (seorang anak perempuan
yang diapit oleh dua orang anak laki-laki), pancuran emas (seorang anak laki-laki
yang diapit oleh dua orang anak perempuan), ugang-aging (semua anak dalam
keluarga tersebut meninggal). Untuk menyelamatkan diri dari bahaya Batara Kala,
mereka harus diruat. Baik dengan menggunakan wayang golek (khususnya bagi
orang-orang yang mampu), maupun diruat dengan menggunakan pantun (pada
umumnya untuk mereka yang kurang mampu). Pada dasarnya ruatan harus
menceritakan Batara Kala atau Sudamala. Anak yang diruat pada pagi harinya
harus dimandikan dengan cai pangruatan (air bunga dalam bokor yang berisi
uang receh yang disebut cangkrub cai). Setelah dimandikan, maka anak tersebut
dianggap selamat dari ancaman sang Batara Kala.
b) Sedekah Bumi
Sedekah bumi adalah salah satu upacara penghormatan terhadap roh-
roh yang dipercaya sebagai menguasai tanah. Di Banten, penguasa tanah itu
115
dinamakan guriang tanah. Upacara ini adalah upaya para petani yang
menghendaki agar produksi pertaniannya meningkat, dan dilaksanakan tatkala
akan menebarkan benih padi, menuai padi, atau menyimpan padi ke dalam
lumbung masing-masing.
Didalam kegiatan ini bisanya dilaksanakan pertunjukan wayang golek
purwa terutama di daerah Priangan, sedangkan di daerah Cirebon masyarakatnya
melakukan pertunjukan wayang kulit. Mereka beranggapan bahwa jika tidak
melaksanakan upacara tersebut akan merasa tidak puas dan berdosa jika tidak
melaksanakan pertunjukan wayang. Lebih lanjut lagi mereka takut jika
dikemudian hari terjadi malapetaka yang tidak diinginkan. Itulah sebabnya Dalang
wayang golek maupun wayang kulit sangat berperan dalam masyarakat agraris.
Di daerah Sumedang terdapat istilah ngidepkeun, yaitu upacara
menerima dan menyimpan padi di lumbung. Pada kegiatan tersebut diadakan
upacara penghormatan terhadap Dewi Padi yang disertai dengan saajian Jentreng
atau ngekngek, yaitu sebuah alat petik dan sebuah alat gesek yang disebut
tarawangsa. Ada pula yang mementaskan wayang golek purwa dalam upacara
tersebut terutama bagi mereka yang mampu serta menggemari seni wayang golek.
Selain yang disebutkan di atas, wayang golek purwa juga biasa
dipertunjukan oleh orang-orang yang akan melaksanakan upacara kenduri,
khitanan puteranya, menikahkan anak gadisnya, serta pada hari-hari nasional,
terutaa HUT RI pada bulan Agustus. Pementasan wayang golek purwa dengan
Dalang dan Juru kawih merupakan kebanggaan dan pameran kekayaan budaya
bangsa. Fungsi lain yang terdapat dalam kesenian wayang golek purwa adalah
116
wayang golek purwa sebagai sarana pengembangan alam pikiran orang Jawa
Barat. Wayang golek merupakan mitologi yang mempertentangkan sebuah
dualitas kosmologi antara langit dan bumi, bulan dan matahari, makhluk-nakhluk
khayangan(dewa-dewa) dan makhluk-makhluk bumi (manusia). Hal ini,
melambangkan alam pikiran orang Jawa yang bertolak dari suatu distingsi antara
dua segi dua fundamental realitas, yaitu segi lahir dan batin. Kedua segi ini
bersatu dalam diri manusia.
Pandangan dualistik ini tercermin dalam struktur cerita wayang, baik
dalam Mahabarata maupun Ramayana. Dalam cerita Mahabarata terdapat dua
kelompok yang saling bertentangan, yaitu kelompok Pandawa yang memerankan
satria-satria yang berwatak baik dan kelompok Kurawa yang memerankan satria-
satria yang berwatak tidak baik, sombong, angkuh, licik dan sebagainya. Dalam
penempatannyapun disetiap pagelaran kelompok Pandawa berada di sebelah
kanan dalang dan Kurawa disebelah kiri dalang. Selain itu terdapat tokoh-tokoh
seperti Abiyasa, Dorna dan Kresna yang semuanya merupakan praga-praga untuk
menjabarkan konsep ekuilibrium dalam menjaga keseimbangan alam.
Demikian dalam cerita Ramayana dimana ada dua kelompok yang
bertentangan, yaitu kelompok Rama dengan satria-satria baik dan kelompok
Rahwana dengan satria-satria yang buruk.
Secara lahiriah, kesenian wayang merupakan hiburan yang mengasyikkan
baik ditinjau dari segi wujud maupun seni pakelirannya. Namun demikian dibalik
apa yang tersurat ini terkandung nilai adiluhung sebagai santapan rohani secara
tersirat. Peranan seni dalam pewayangan merupakan unsur dominan. Akan tetapi
117
bilamana dikaji secara mendalam dapat ditelusuri nilai-nilai edukatif yang sangat
penting dalam kehidupan manusia.
Unsur-unsur pendidikan tampil dalam bentuk perlambang. Oleh karena itu
sampai dimana seseorang dapat melihat nilai- nilai tersebut tergantung dari
kemampuan menghayati dan mencerna bentuk-bentuk simbol atau lambang dalam
pewayangan. Dalam lakon-lakon tertentu misalnya baik yang diambil dari Serat
Ramayana maupun Mahabarata sebenarnya dapat diambil pelajaran yang
mengandung pendidikan. Bagaimana peranan Kesenian Wayang sebagai sarana
penunjang Pendidikan Kepribadian Bangsa, rasanya perlu mendapat tinjauan
secara khusus. Berdasarkan sejarahnya, kesenian wayang jelas lahir di bumi
Indonesia. Sifat lokal genius yang dimiliki bangsa Indonesia, maka secara
sempurna terjadi pembauran kebudayaan asing, sehingga tidak terasa sifat
asingnya.
Berbicara kesenian wayang dalam hubungannya dengan Pendidikan
Kepribadian Bangsa tidak dapat lepas dari pada tinjauan kesenian wayang itu
sendiri dengan falsafah hidup bangsa Indonesia yaitu Pancasila. Pancasila sebagai
falsafah negara dan pandangan hidup bangsa Indonesia, merupakan ciri khusus
yang dapat membedakan bangsa Indonesia dengan bangsa lain. Pancasila adalah
norma yang mengatur tingkah laku dan perikehidupan bangsa. Menurut TAP
MPR - Rl No. II/ MPR/1993 tentang Garis-Garis Besar Haluan Negara, disana
dikemukakan bahwa untuk mewujudkan tujuan nasional sebagaimana termaktub
dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945. Perlu menetapkan Ketetapan
yang mengatur Garis- Garis Besar Haluan Negara yang didasarkan atas aspirasi
118
dan Kepribadian Bangsa demi penghayatan dan pengamalan kehidupan
kenegaraan yang demokratis - konstitusional berdasarkan Pancasila dan Undang-
Undang Dasar 1945.
Pengertian Kepribadian Bangsa adalah suatu ciri khusus yang konsisten
dari bangsa Indonesia yang dapat memberikan identitas khusus, sehingga secara
jelas dapat dibedakan dengan bangsa lain. Rumusan Pancasila secara resmi
ditetapkan dengan syah sebagai falsafah Negara dan pandangan hidup bangsa
Indonesia sejak berlakunya Undang-Undang Dasar 1945 sebagai Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia. Dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar
1945 alinea 4 tercanang rumusan Pancasila yang berbunyi:
Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan
Indonesia. dan Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam
permusyawaratan/ perwakilan, serta dengan mewujudkan suatu keadilan sosial
bagi seluruh rakyat Indonesia. Jiwa Pancasila seperti yang termaktub dalam
Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 tersebut, bukanlah masalah yang baru
dalam dunia pewayangan.
� Asas Ketuhanan Yang Maha Esa.
Dalam dunia pewayangan dikenal tokoh yang biasa disebut "Hyang
Suksma Kawekas" Tokoh ini tidak pernah diwujudkan dalam bentuk wayang,
tetapi diakui sebagai Dewa yang Tertinggi. Tokoh Dewa - Dewa yang diwujud
kan dalam bentuk wayang, misalnya Batara Guru, Batara Narada, Batara Wisnu,
Batara Brahma, Batara Kamajaya dan lain sebagainya dalam pewayangan
digambarkan seperti manusia biasa. Mereka juga dilukiskan memiliki watak serta
119
tabiat yang banyak persamaannya dengan manusia lumrah. Dalam cerita-cerita
mereka sering pula berbuat salah, bahkan tidak jarang terpaksa minta bantuan
manusia dalam menghadapi hal-hal tertentu. Kekawih Arjunawiwaha misalnya,
merupakan contoh yang jelas. Pada saat raksasa Nirwatakawaca mengamuk di
Suralaya karena maksudnya meminang Dewi Supraba ditolak para Dewa. Para
Dewa tidak mampu menghadapinya. Untuk mengamankan Suralaya para Dewa
minta bantuan bagawan Mintaraga atau bagawan Ciptaning yaitu nama Arjuna
saat menjadi pertapa. Sebagai imbalan jasa karena bagawan Ciptaning berhasil
membunuh Raksasa Nirwatakawaca diberi hadiah Dewi Supraba dan Pusaka
Pasopati. Disini terlihat bahwa kebenaran yang bersifat mutlak hanya dimiliki
Dewa Tertinggi yaitu Hyang Suksma Kawekas. Ajaran ini tidak jauh berbeda
dengan ajaran yang terkandung di dalam sila Ketuhanan Yang Maha Esa.
� Asas Kemanusiaan.
Jiwa yang terkandung dalam sila Kemanusiaan, pada hakekatnya suatu
ajaran untuk mengagung-agungkan norma-norma kebenaran. Bahwasanya
kebenaran adalah di atas segala- galanya. Kendatipun kebenaran mutlak hanya
berada di tangan Tuhan Yang Maha Esa, namun untuk menjaga keseimbangan
kehidupan antara manusia perlu dipupuk kesadaran tenggang rasa yang besar.
Kebenaran yang sejati mempunyai sifat unifersil, artinya berlaku kapan saja,
dimana saja dan oleh siapapun Juga. Tokoh dalam dunia pewayangan yang
memiliki sifat dan watak mengabdi kebenaran banyak jumlahnya. Sebagai contoh
dapat dipetik dari Serat Ramayana. Di dalam Serat Ramayana dikenal putera
Alengka bernama Raden Wibisono yang mempunyai watak mencerminkan ajaran
120
kemanusiaan.
Kisah inti dalam Serat Ramayana berkisar pada kemelut yang terjadi di
antara Prabu Dasamuka yang merampas isteri Rama. Tindakan Prabu Dasamuka
ini dinilai berada diluar batas kemanusiaan. Raden Wibisono sadar akan hal
tersebut, Prabu Dasamuka dianggap melanggar norma perikemanusiaan. Oleh
karena itu Raden Wibisono ikut aktif membantu Raden Rama untuk memerangi
saudaranya sendiri. Demi kemanusiaan Raden Wibisono rela mengorbankan
saudara sendiri yang dianggap berada difihak yang salah.
� Asas Persatuan
Dalam dunia pewayangan tokoh yang memilih jiwa kebangsaan tinggi
terlukis pada diri tokoh Kumbakarna digambarkan dalam bentuk raksasa, namun
memiliki jiwa ksatria. Sebagai adik Raja Dasamuka, Kumbakarna memiliki sifat
yang berbeda. Kumbakarna menentang tindakan Prabu Dasamuka yang merampas
Dewi Sinta isteri Rama.
Sikap menentang sama dengan sikap Raden Wibisono, tetapi jalan yang
ditempuh berbeda. Raden Wibisono menentang dengan aktif memihak Raden
Rama, tetapi Kumbakarna tetap berfihak Alengka demi negaranya. Niatnya bukan
perang membela kakaknya, tetapi bagaimanapun juga Alengka adalah negaranya
yang wajib dibela walaupun harus mengorbankan jiwa raga.
Oleh karena itu nama Kumbakarna tercanang sebagai nasionalis yang sejati. Benar
atau salah Alengka adalah negaranya.
121
� Asas Kerakyatan/Kedaulatan rakyat.
Dalam dunia pewayangan dikenal tokoh punakawan yang bernama Semar.
Semar adalah punakawan dari para ksatria yang luhur budinya dan baik
pekertinya. Sebagai punakawan Semar adalah abdi, tetapi berjiwa pamong,
sehingga oleh para ksatria Semar dihormati.
Penampilan tokoh Semar dalam pewayangan sangat menonjol. Walaupun
dalam kehidupan sehari-hari tidak lebih dari seorang abdi, tetapi pada saat-saat
tertentu Semar sering berperan sebagai seorang penasehat dan penyelamat para
ksatria disaat menghadapi bahaya baik akibat ulah sesama manusia maupun akibat
ulah para Dewa. Dalam pewayangan tokoh Semar sering dianggap sebagai Dewa
yang ngejawantah atau Dewa yang berujud manusia. Menurut Serat Kanda
dijelaskan bahwa Semar sebenarnya adalah anak Syang Hyang Tunggal yang
semula bernama Batara Ismaya saudara tua dari Batara Guru.
Semar sebagai Dewa yang berujud manusia mengemban tugas khusus menjaga
ketenteraman dunia dalam penampilan sebagai rakyat biasa. Para ksatria utama
yang berbudi luhur mempunyai keyakinan bilamana menurut segala nasehat
Semar akan mendapatkan kebahagiaan. Semar dianggap memiliki kedaulatan
yang hadir ditengah-tengah para ksatria sebagai penegak kebenaran dan keadilan.
Dengan kata lain Semar adalah simbul rakyat yang merupakan sumber kedaulatan
bagi para ksatria atau yang berkuasa.
� Asas Keadilan Sosial
Unsur keadilan dalam dunia pewayangan dilambangkan dalam diri tokoh
Pandawa. Pandawa yang terdiri dari Puntadewa, Bima, Arjuna, Nakula dan
122
Sadewa secara bersama-sama memerintah Negara Amarta. Kelimanya
digambarkan bersama bahagia dan bersama-sama menderita Tiap-tiap tokoh
Pandawa mempunyai ciri watak yang berlainan antara satu dengan lainnya, namun
dalam segala tingkah lakunya selalu bersatu dalam menghadapi segala tantangan.
Puntadewa yang paling tua sangat terkenal sebagai raja yang adil dan jujur ;
bahkan diceriterakan berdarah putih. Puntadewa dianggap titisan Dewa Dharma
yang memiliki watak menonjol selalu mementingkan kepentingan orang lain, rasa
sosialnya sangat besar (Sutini: Sejarah perkembangan wayang).
4. Perkembangan Kesenian Wayang Golek Purwa di Kabupaten
Purwakarta Tahun 1968-1990
Jawa Barat merupakan salah satu daerah yang tergolong kaya akan
keanekaragaman budayanya. Kekayaan tersebut dapat tercermin dengan
banyaknya jenis-jenis kesenian yang hidup dan berkembang di seluruh pelosok
wilayah budayanya. Kesenian yang merupakan salah satu aspek kebudayaan
sangatlah menonjol diantara aspek-aspek budaya lainnya. Kesenian dapat pula
mencirikan potensi budaya daerah setempat.
Seni padalangan dalam hal ini pertunjukan wayang golek adalah salah
satu produk kebudayaan rakyat (Folk culture), yang berkembang secara turun-
temurun melalui paguron dalang dengan bentuk ragam gaya dan alirannya.
Masing-masing kesenian wayang golek kini tengah memasuki era perkembangan
yang pesat, baik kualitas maupun kuantitasnya, sehingga keberadaannya sangat
akrab dengan selera tatanan masyarakat industri yang memandang wayang golek
123
sebagai sarana hiburan segar, merakyat dan dapat memberikan makna spritual
melalui kandungan nilai-nilai filosofisnya.
Iklim kondusif yang menjadikan seni wayang golek dapat masuk pada
semua lapisan masyarakat adalah adanya kepuasan penonton yang terpenuhi
seleranya, dan hal itu merupakan hasil keterampilan dengan berbagai bentuk
kreativitas dalang sebagai seniman pelaku. Dengan demikian tidak mengherankan
apabila di Jawa Barat banyak muncul dalang kondang dengan gaya dan ciri
khasnya masing-masing.
Menurut pembagian wilayahnya, padalangan Jawa Barat terbagi menjadi
dua gaya atau aliran, yaitu padalangan gaya Cirebon (wilayah pantai utara) yang
terkenal dengan jenis pertunjukan wayang kulit purwa. Daerah persebarannya
meliputi Cirebon, Indramayu, dan Majalengka. Selain wayang kulit purwa di
Cirebon banyak muncul pertunjukan wayang topeng disamping wayang golek itu
sendiri, dan kini keberadaannya masih bertahan.
Gaya padalangan lainnya adalah wayang golek Priangan, yang daerah
sebarannya meliputi Bandung, Sumedang, Ciamis, Tasikmalaya, Garut, Cianjur,
Purwakarta, dan Subang. Sedangkan untuk daerah seperti Sukabumi, Bogor,
Karawang dan Bekasi memiliki gaya tersendiri sebagai sub gaya Priangan
(Cahyahedi, 2000: 1-2).
Berbicara mengenai bagimana kesenian wayang golek muncul dan
berkembang di wilayah Jawa Barat tidak dapat dipisahkan dari peranan
masyarakat dan warga Jawa Barat sendiri sebagai pendukung dan peminat
kesenian wayang golek. Berdasarkan sumber yang ditemukan oleh peneliti dan
124
dari hasil wawancara dengan narasumber terutama Ki Dalang Suherman, maka
diperoleh keterangan bahwa masuknya seni wayang golek ke wilayah Priangan
termasuk ke wilayah Purwakarta tidak terlepas dari sejarah munculnya wayang di
daerah Jawa, mula-mula sekali diciptakan oleh Raja Jayabaya dari kerajaan
Memenang/Kediri. Tercatat dalam sejarah, pada tahun 861 M, Raja Hindu
Jayabaya dari Memenang Jawa, memerintahkan seniman-senimannya untuk
membuat gambar dari patung-patung leluhurnya di atas daun palem. Dia
kemudian menyebutnya wayang Purwa. Selanjutnya wayang Purwa pun
mengalami pergeseran makna, hingga saat ini wayang Purwa lebih dikenal
sebagai wayang kulit. Bentuk gambaran wayang tersebut ditiru dari gambaran
relief cerita Ramayana pada candi Penataran di Blitar. Cerita Ramayana sangat
menarik perhatiannya karena Jayabaya termasuk penyembah Dewa Wisnu yang
setia, bahkan oleh masyarakat dianggap sebagai penjelmaan atau titisan Bhatara
Wisnu. Pigur tokoh yang digambarkan untuk pertama kali adalah Bhatara Guru
atau Sanghyang Jagadnata yaitu perwujudan dari Dewa Wisnu.
Kemudian wayang ini berkembang sebagai salah satu sarana pemujaan
yaitu untuk menopang kehidupan religius pada masa berkembangnya kerajaan
Hindu-Buddha, yaitu sebagai sarana pemujaaan terhadap Sanghyang Widhi,
dalam cerita wayang mengandung unsur penghormatan terhadap arwah nenek
moyang, terbukti dengan berlangsungnya kegiatan ngeruat, ngaruat, yang
melengkapi sebuah pertunjukan wayang. Hal ini juga sangat erat kaitannya
dengan sumber cerita wayang itu sendiri yaitu kisah (lakon) didalamnya yang
diambil dari dua buah epic terkenal dari cerita kehidupan masyarakat Hindu yang
125
berasal dari India. Yang pertama lakon wayang ini diambil dari epic Ramayana
yang didalamnya mengisahkan mengenai perjuangan tokoh Sri Rama yang ingin
merebut kembali sang istri yaitu Dewi Sinta dari dekapan seorang denawa atau
raksesa yang bernama Rahwana. Selain kisah Ramayana biasanya lakon
pewayangan ini juga diambil dari epic Mahabarata yang didalamnya mengisahkan
tentang pertentangan yang terjadi antara Pandawa (anak-anak dari Pandu
Dewanata yaitu Yudhistira, Bima, Arjuna, Nakula, Sadewa) dengan Kurawa
(anak-anak dari Destarata adik dari Pandu Dewanata yaitu Suyodana atau
Duryodana, Dursasana, dan saudara-saudaranya yang semuanya berjumlah seratus
orang bersaudara), selain itu dipihak Kurawa ini juga ada seorang saudara
kandung dari Pandawa yaitu Karna yang memiliki karakter setia dan lebih
memilih untuk membantu Kurawa, karena dia merasa berhutang budi dan
akhirnya pertentangan ini berakhir melalui pertumpahan darah yang memuncak di
padang Kurusetra.
Menurut dugaan, sebagaimana wayang kulit didaerah Jawa, wayang golek
digunakan oleh para wali untuk menyebarkan Islam ditanah Pasundan. Karena
ajaran Hindu sudah cukup akrab di masyarakat Sunda kala itu, sehingga cerita
Mahabarata dari tanah Hindu dimodifikasi untuk mengajarkan ketauhidan.
Misalnya, dalam cerita Mahabarata para Dewa punya wewenang yang sangat
absolut sebagai penentu nasib dan takdir yang tidak bisa disanggah, maka wali
membuat objek baru yang posisinya lebih kuat yaitu lewat tokoh Semar yang
pada akhirnya Semar tersebut turun ke bumi karena kesalahannya untuk
mendampingi setiap kejadian dalam babak Bharata Yudha, baik sebagai penengah
126
atau sebagai eksekutor. Selain itu pada tahun 1564 Sunan Bonang memanbah
semarak pagelaran wayang golek ini dengan menyertakan iringan gamelan, dan
juga salah satu trik yang digunakan oleh Sunan Kalijaga untuk mengislamkan
masyarakat pada waktu itu dengan jalan menggunakan dua kalimah syahadat
sebagai tiket masuk sehingga secara langsung orang yang menonton pertunjukan
wayang golek ini memeluk agama Islam.
Berbicara mengenai bagaimana kesenian wayang golek muncul dan
berkembang di wilayah Jawa Barat (Priangan) tidak dapat dilepaskan dari peranan
masyarakat dan warga Jawa Barat sendiri sebagai pendukung dan peminat
kesenian wayang golek. Oleh karena itu, sejarah kemunculan wayang golek ini
akan coba saya ungkapkan berdasarkan keterangan dari tokoh yang saya
wawancarai dan dari beberapa sumber literatur yang penulis temukan. Menurut
sumber yang penulis temukan ada dua kelompok ahli yang memperkirakan secara
berbeda tentang asal mula wayang: yang pertama adalah kelompok Jawa yang
mengangap bahwa wayang adalah hasil olah gagasan asli masyarakat Jawa tanpa
bantuan bangsa Hindu (India), dan pendapat yang kedua adalah dari kelompok
India yang beranggapan adanya pengaruh langsung kebudayaan India terhadap
lahirnya kesenian wayang.
Menurut kitab Siksa Kandang Karesian, yang ditulis pada tahun 1518 M,
disebutkan bahwa leluhur kita sudah mengenal wayang. Didalam sumber tersebut
disebutkan bahwa mereka sudah mulai mencatat nama tokoh-tokoh wayang,
diantaranya adalah Darmayanti, Sanghyang Bayu, Jayasena, Sedamana, Mpu
Jayakarma, Ramayana, Adiparwa, Korawasarma, Bimasorga, Rangga Lawe,
127
Boma, Sumana, Kala Purba, Jarini, Tantri dan disebutkan pula nama dalang dalam
kita tersebut. Nama tokoh-tokoh wayang yang telah disebutkan diatas adalah
nama-nama tokoh yang ada dalam cerita Ramayana dan Mahabarata. Ada juga
yang mengatakan bahwa wayang golek yang ada di Jawa Barat berasal dari Jawa
Timur, yang dibawa oleh Prabu Surya Amiluhur kira-kira pada tahun 1244 M.
Tetapi masih sedikit sumber yang mendukung pendapat tersebut. Bahkan menurut
Brandes sebelum datangnya orang Hindu bangsa kita sudah mengenal wayang.
(Soepandi, 1988 : 32).
Perkembangan wayang golek di Jawa Barat diawali dengan kemunculan
wayang golek Purwa yang mulai lahir di Priangan, yang secara pasti ada kaitan
langsung dengan wayang golek menak Cirebon yang biasa disebut wayang golek
papak atau golek cepak. Tetapi, kaitan tersebut hanya sebatas kesamaan raut golek
yang trimatra (bentuk tiga dimensi), unsur cerita golek yang secara langsung akan
menentukan raut tokoh golek, sama sekali berbeda. Golek menak bercerita tentang
wong agung menak, raja menak atau Amir Ambyah, yang berunsur cerita Islam.
Sedangkan golek Purwa ceritanya lebih bersumber dari agama Hindu, yaitu
Mahabarata dan Ramayana.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Wiryanapura, masuknya
wayang golek ke wilayah Jawa Barat diawali pada tanggal 2 Oktober 1799,
bertepatan dengan menjabatnya Indradireja (Wiranatakusuma III) sebagai Patih
Citeurep Dayeuh Kolot yang mendatangkan Dalang dari Tegal, yaitu dalang Ki
Dipa Guna Permana yang sengaja diundang untuk melakukan pemenatasan
wayang bersama murid-muridnya. Kemudian setelah salah satu dalang dari Tegal
128
itu melakukan pementasan, berlanjut pada tahun 1829-1846 murid dari Ki Dipa
Guna Permana yang berasal dari Tegal itu diundang kembali oleh Adipati
Wiranatakusuma III untuk datang ke Bandung dan menjadi dalang di kraton.
Kemudian jenis wayang yang berkembang selanjutnya adalah jenis wayang
Papak atau wayang menak dengan bentuk trimatra (tiga dimensi) yang merupakan
hasil paduan antara gagasan Dalem Karang Anyar, pada masa akhir masa
jabatanya sebagai Bupati Kabupaten Bandung tahun 1840-an, dengan Ki Darman
sebagai seorang juru wayang kulit asal Tegal yang tinggal di Cibiru, Kabupaten
Bandung. Pada awalnya, hasil ciptaan Ki Darman berupa golek gepeng yang
meniru pola raut wayang kulit (Somantri, 1989). Dalem Karang Anyar yaitu
Wiranatakusuma III berperan menyempurnakan raut golek awal itu hingga bulat
torak seperti bentuk wayang sekarang ini.
Keturunan Ki Darman sampai saat ini masih terus menghidupkan kegiatan
pembuatan golek. Tersebarnya pusat pembuatan golek di kawasan Jawa Barat,
seperti di Jelekong, Ciparay, Salacau, Cimareme, Sukabumi, Bogor, Karawang,
Indramayu, Cirebon, Garut, Ciamis, dan ditempat lainnya ditunjang oleh
keturunan dan murid-murid Ki Darman yang mengembangkan kegiatannya di luar
Cibiru yang tetap dijadikan “kiblat” bagi pembuatan golek yang melahirkan gaya
Cibiruan.
Pada perkembangan berikutnya, Giriharja yaitu kelompok dalang yang
tinggal di Jelekong dan Ciparay menjadi “kiblat” kedua, yang melahirkan gaya
Giriharjaan, terutama setelah adanya gembrakan di tahun 1980-an. Gebrakan
yang dimaksud oleh kelompok Giriharja yang di motori oleh Ade Kosasih
129
Sunarya adalah upaya para dalang Giriharja dalam menghadirkan pola dan isi
pertunjukan golek yang berbeda dengan pola pertunjukan golek yang telah mapan
tetapi mulai tidak disukai oleh masyarakat pada waktu itu. Giriraharja tetap
menginduk pada gaya Cibiruan, tetapi dengan memperketat gaya meniru setepat-
tepatnya ciri-ciri raut yang ada pada wayang kulit. Dalam gaya Cibiruan yang
aslipun muncul usaha baru yang dimotori oleh M. Duyeh untuk mencoba
menyempurnakan raut golek Cibiruan yang ramping menjadi raut yang lebih
membulat, serta menambahkan pola hias bunga dengan warna merah. Gaya
Cibiruan yang asli dan Giriharjaan dianggap oleh M. Duyeh kurang menampilkan
ciri Jawa Barat, dan hanya sebagai pengekor wayang kulit. Sejak tahun 1920-an
pertunjukan wayang golek mulai diiringi oleh sinden, dan sejak saat itulah
popularitas sinden sangat menanjak bahkan mengalahkan popularitas wayang
golek itu sendiri, terutama ketika zamannya Upit Sarimanah dan Titim Patimah,
yaitu sekitar tahun 1960-an. Dalam pertunjukan wayang golek lakon yang biasa
dipertunjukan adalah lakon Carangan, hanya kadang-kadang saja dipertunjukan
pula lakon galur. Hal ini seakan menjadi ukuran kepandaian para dalang
menciptakan lakon Carangan yang bagus dan menarik. Hal tersebut secara
langsung sangat berpengaruh pada perkembangan seni wayang golek purwa yang
berkembang di wilayah Purwakarta (wawancara dengan Ki Dalang Suherman,
2009).
Di dalam kehidupan masyarakat Sunda, pertunjukan wayang golek tidak
hanya berperan sebagai sarana hiburan. Didalamnya juga terkandung nilai-nilai
yang bisa dipetik bagi kehidupan manusia. Nilai-nilai tersebut tidak hanya
130
bersangkutan dengan hal-hal spiritual dan religius. Tetapi juga bersangkutan
dengan persoalan-persoalan etika kehidupan, bahkan berpolitik dan bernegara.
Dengan bahasanya sendiri, wayang golek bahkan mampu menerjemahkan
fenomena politik dan kenegaraan yang kaku, formal, dan penuh ketabuan ke
dalam bahasa awam yang cair dan mudah di pahami. Melihat fenomena tersebut
tidaklah mengherankan jika selama rentang waktu tertentu, wayang golek pernah
dijadikan simbol gengsi dan memiliki tempat khusus di hati masyarakat Sunda.
Setiap pertunjukan wayang golek, akan selalu dipenuhi penonton.
Masalahnya sekarang adalah seberapa jauh kedudukan pertunjukan
wayang golek mempunyai arti yang cukup penting bagi pengembangan rohani
masyarakat Sunda dewasa ini, setelah berbagai bentuk hiburan lainnya yang
datang dari Barat. Apabila memang laju budaya yang datang dari Barat tersebut
adalah sebuah arus nilai yang harus ditaklukan oleh seni tradisional, termasuk
oleh wayang golek. Sehingga seni tradisional bisa tetap ada dan berkembang di
masyarakat.
Salah satu faktor yang menghambat atau menurunnya minat masyarakat
terhadap seni wayang golek adalah salah satunya mengenai kendala bahasa yang
digunakan dalam pagelaran wayang, yaitu menggunakan bahasa Sunda kraton
atau bahasa Sunda menak, padahal sekarang pengajaran bahasa Sunda di lembaga-
lembaga pendidikan terutama di sekolah-sekolah sudah sangat terbatas, oleh
karenya untuk mengatasi masalah ini maka perlu adanya kerjasama antara
pemerintah, institusi, sekolah, dan pihak orang tua untuk mewariskan nilai-nilai
budaya yang terkandung dalam kesenian wayang golek kepada generasi muda
131
sedini mungkin. Salah satu wujud nyata dari hal ini mungkin dapat dicontohkan
dari apa yang telag coba dirintis oleh Dewan Kuarator Yayasan Pusat Kebudayaan
(YPK) yang merasa berkewajiban menangkal arus penurunan daya apresiasi
tersebut. Hal itu diwujudkan dengan cara menghidupkan kembali pertunjukan
wayang golek yang diselenggarakan setiap dua minggu sekali di gedung kesenian
YPK yang berlokasi di jalan Naripan, Bandung.
Terjadinya penurunan daya apresiasi masyarakat tersebut antara lain bisa
dilihat dari adanya kenyataan jika pertunjukan tersebut sangat sedikit jumlahnya,
hal itu terutama dapat dilihat di wilayah Purwakarta sendiri. Minat masyarakat
Purwakarta dalam mendukung dan melestarikan kesenian wayang golek ini
memang mengalami penurunan, hal itu dapat dibuktikan dengan menurunnya
jumlah frekuansi pagelaran wayang golek yang diselenggarakan di daerah
Purwakarta. Selain itu, menurunnya popularitas seni wayang golek di Purwakarta
dapat dilihat dari banyaknya jumlah dalang yang masih aktif melakukan
pementasan wayang di wilayah Purwakarta. Untuk memperjelas hal tersebut dapat
dilihat dari tabel di bawah ini (wawancara dengan Ki Dalang Suherman, 2009).
Tabel 2.4 Nama-nama dalang di Kabupaten Purwakarta Tahun 1969-2009
No Nama Dalang Alamat
1.
2.
3.
4.
Gandasuhayat
Suhada
Ihing
Mi’at Gandamiharja
Ciseureuh, Purwakarta
Ciseureuh, Purwakarta
Cikopak, Purwakarta
Campaka, Purwakarta
132
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
13.
14.
15.
16.
17.
18.
19.
20.
21.
22.
23.
24.
25.
26.
27.
Komin
Wirta
Unus
Uci Sanusi
Mamat Juharamuda
Juhara
Oman
Jawani
Oji Sopandi
Wiraatmaja
Aros Suryana
Aan Sonjaya
Enjang
Rahmat
Kosim
Suherman Elan Surawisastra
Juhamad
Bono
Dayat Gandaputra
Didi
Samin
Icut Saputra
Aseng Sonjaya
Tegal munjul, Purwakarta
Maracang, Purwakarta
Pondok salam, Purwakarta
Cihuni, Purwakarta
Plered, Purwakarta
Wanayasa, Purwakarta
Taringgul, Purwakarta
Cilingga, Purwakarta
Purwakarta
Cianting, Purwakarta
Campaka, Purwakarta
Bunder, Purwakarta
Maracang, Purwakarta
Maracang, Purwakarta
Maracang, Purwakarta
Pasawahan, Purwakarta
Darangdan, Purwakarta
Darangdan, Purwakarta
Ciseureuh, Purwakarta
Darangdan, Purwakarta
Bungursari, Purwakarta
Jatiluhur, Purwakarta
Campaka, Purwakarta
133
28.
29.
30.
31.
32.
33.
34.
35.
Asep Toni
Amin Wigana
Mamad
Ajat Sudrajat
Ujang Jaya Taryana
Suwardi Taryana
Aska Wiganda
E. Kosasih
Campaka, Purwakarta
Campaka, Purwakarta
Darangdan, Purwakarta
Campaka, Purwakarta
Cianting, Purwakarta
Bungursari, Purwakarta
Purwakarta
Purwakarta
Sumber : Data PEPADI Kabupaten Purwakarta Tahun 1990.
Sedangkan dalang yang masih aktif melakukan pementasan wayang golek
di Purwakarta pada perkembangan selanjutnya sudah sangat sedikit jumlahnya,
hal itu bisa dilihat dari tabel berikut.
Tabel 2.5 Nama-nama Dalang yang masih Aktif Melakukan Pementasan Wayang
Golek di Kabupaten Purwakarta Tahun 2009
No. Nama Dalang
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
Suherman Elan Surawisastra
Ujang Jaya Taryana
E. Kosasih Barnas Somantri
Amin Wiganda
Dede Nurkolab
Asep Toni
Samin Sonjaya
Enjang
134
9.
10.
Rahmat
Kosim
Sumber : Data PEPADI Kabupaten Purwakarta Tahun 1993.
Dari data tersebut dapat dilihat bahwa pada perkembangannya kesenian
tradisional mulai mengalami kemunduran dan kurang diminati oleh masyarakat
pada umumnya. Hal itu pada hakikatnya diakibatkan oleh beberapa faktor yang
menyebabkan mundurnya seni wayang golek yang tadinya merupakan kesenian
primadona yang diagung-agungkan serta mempunyai nilai falsafah hidup yang
sangat banyak, ternyata harus tergeser oleh banyaknya kesenian-kesenian luar
yang datang ke negara kita sehingga masyarakat pun mulai tergusur arus
globalisasi yang melanda bangsa kita.
Berdasarkan hasil wawancara dengan masyarakat Purwakarta tanggal 4
Agustus 2009, peneliti memperoleh informasi bahwa menurunnya minat
masyarakat Purwakarta dalam mendukung dan melestarikan kesenian wayang
golek memang mengalami penurunan, hal ini dapat dibuktikan dengan
menurunnya jumlah frekuensi pagelaran wayang yang dipertunjukan di daerah
Purwakarta. Selain itu berdasarkan penuturan dari narasumber yang telah peneliti
wawancarai yaitu Ki Dalang Suherman bahwa kesenian wayang golek sudah
mulai tergusur oleh kesenian atau budaya yang baru. Faktor lain yang
menyebabkan menurunnya minat masyarakat terhadap kesenian wayang golek
adalah karena biaya yang relatif tinggi yang harus dikeluarkan untuk
menyelenggarakan perrtunjukan wayang golek, oleh karena itu sekarang
135
masyarakat lebih memilih untuk menggunakan hiburan lain yang lebih praktis dan
murah, misalnya organ tunggal.
Selain itu menurut penuturan Ki Dalang Suherman bahwa pada
perkembangannya sekarang fungsi wayang golek mengalami pergeseran dari yang
tadinya berfungsi sebagai sarana pewarisan nilai-nilai budaya luhur (adhiluhung),
misalnya pewarisan nilai tata krama, penyebaran agama yang didalamnya terikat
pada berbagai macam aturan yang ketat (pakem padalangan) kini telah mengalami
perubahan dalam berbagai aspek, misalnya dalam bentuk wayang itu sendiri atau
dalam bahasa yang digunakan. Hal ini dikarenakan adanya tuntutan dari
masyarakat terhadap kesenian wayang golek agar kesenian ini bisa beradaptasi
dengan perkembangan zaman, misalnya fungsi dari wayang golek sekarang ini
lebih mengutamakan aspek hiburan dan ekonomi semata, walaupun hal itu harus
mengesampingkan aturan-aturan yang menjadi identitas dari kesenian wayang
golek ini sehingga mungkin jika dibiarkan akan dapat menggerus kelestarian dan
kemurnian dari kesenian wayang golek ini, namun apabila kesenian ini masih
mempertahankan aturan-aturan yang masih bersifat konservatif (kolot) tanpa
beradaptasi dengan perkembangan zaman, maka kesenian ini akan ditinggalkan
oleh generasi berikutnya.
136
C. Faktor Penghambat Perkembangan Kesenian Wayang Golek Purwa
Manusia dan seni merupakan dua hal yang tidak adapt dipisahkan, karena
manusia memiliki kebutuhan yang mendasar yaitu kebutuhan untuk berekspresi.
Lewat aktivitas seni manusia bisa mengekspresikan emosi, pikiran serta
kehendaknya secara seimbang.
Dalam mengarungi sebuah kehidupan sudah pasti manusia akan
berhadapan dengan apa yang dinamakan masalah. Dalam hal ini tentu masalah
tersebut akan adapt menghambat kehidupan manusia menuju apa yang
diimpikannya. Jelas disini bahwa secara ilmiah, untuk menuju suatu kesuksesan
manusia tentu sebelumnya akan menghadapi berbagai hambatan. Sama halnya
dengan kesenian, untuk bertahan atau mengembangkan suatu kesenian, apalagi
yang bersifat tradisional diperlukan kerja keras untuk menghadapi segala
hambatan tersebut.
Kondisi kesenian wayang golek purwa sebagai salah satu kesenian
tradisional yang dari masa ke masa terus mengalami pergeseran fungsi, seiring
dengan terjadinya arus perubahan maka kesenian wayang golek pun hanya
menjadi sebuah tontonan saja tanpa berfikir dan merenungi nilai-nilai apa yang
terkandung didalamnya. Bahkan sebagian masyarakat terutama dari kalangan
generasi muda tidak terlalu menyukai kesenian wayang golek. Keadaan ini
semakin lama semakin memprihatinkan sehingga kesenian wayang golek yang
merupakan kesenian tradisional Sunda, akan sedikit demi sedikit mengalami
kepunahan. Fenomena kemunduran serta kurang begitu dikenalnya kesenian
wayang golek yang terjadi pada sebagian masyarakat di Kbupaten Purwakarta
137
tentu tidak terlepas dari faktor-faktor yang mengikutinya. Dibawah ini dipaparkan
mengenai faktor internal maupun eksternal yang menjadi penghambat dalam
perkembangan kesenian wayang golek purwa.
1. Faktor Internal
a. Pribadi Dalang
Berdasarkan wawancara yang dilakukan peneliti dengan beberapa dalang,
diperoleh informasi bahwa mundurnya seni padalangan disebabkan oleh pribadi
dalang itu sendiri. Pribadi dalang yang dimaksud meliputi :
1) Kurang menjaga harga diri
Prilaku dalang yang tidak sesuai dengan predikat dalang yaitu itu
satunya adalah dalang berfungsi sebagai juru didik. Oleh karena itu,
dalang harus mempunyai berkepribadian luhur, berkarisma dan
berwibawa.
2) Kurangnya Latihan
Dalang kurang memilki kemampuan yang maksimal sesuai dengan
perkembangan pengetahuan masyarakat atau penonton.
3) Kurangnya Hubungan
Dalang tidak memilki konektifitas atau hubungan baik dengan
instansi-instansi atau lembaga-lembaga yang sekiranya akan
menguntungkan dalang itu sendiri (wawancara dengan Ki Dalang
Suherman, 2009).
138
2. Faktor Eksternal
1) Pengaruh Kesenian Luar atau Kesenian Modern
Dengan kemajuan zaman, banyak bermunculan bentuk kesenian-kesenian
modern yang lebih menarik dan dianggap lebih simpel bila dibandingkan dengan
kesenian tradisional, hal itu terutama bagi generasi muda, pada dasarnya hal ini
merupakan tantangan yang harus dihadapi oleh seni tradisional yang anggotanya
lebih banyak dibanding seni lain, salah satu contoh kesenian luar yang banyak
diminati oleh generasi muda sekarang seperti organ tunggal, layar tancap, dan lain
sebagainya.
2) Pengaruh Teknik Modern
Dengan kemajuan teknologi, demikian banyak bentuk pagelaran atau
pertunjukan yang oleh masyarakat dianggap lebih menarik dibandingkan
pagelaran seni wayang golek. Hal itu bisa dilihat dari teknik penyajiannya serta
alat-alat yang digunakan, dan oleh generasi muda hal tersebut dianggap lebih
menarik dan diminati dibandingkan dengan seni tradisional yang dianggap kuno
untuk selera zaman sekarang.
4) Lingkungan Masyarakat
Tumbuh dan berkembangnya jenis kesenian akan bergantung kepada
lingkungan masyarakatnya sendiri, salah satu contohnya jika lingkungan
masyarakatnya mayoritas kurang berkemampuan serta mengerti akan arti penting
kesenian tradisional maka di daerah itu pertunjukan wayang golek akan sangat
tidak diminati dan kurang berkembang. Selain itu, bila lingkungan masyarakatnya
139
merupakan masyarakat agamis yang fanatik maka pagelaran seni tradisional akan
mendapat hambatan (wawancara dengan Ki Dalang Suherman, 1 Agustus 2009).
D. Upaya yang dilakukan Pemerintah Purwakarta dalam Mengembangkan
Kesenian Wayang Golek
Wayang sebagai salah satu seni tradisional Indonesia dalam berbagai
bentuk dan fungsinya telah berkembang sejak lama. Sudah dikenal pada masa pra
sejarah dan berkembang hingga kini, dengan melintasi pengalaman sejarah yang
panjang. Seni pewayangan dapat dikatakan adalah produk asli bangsa Indonesia
karena tumbuh dan berkembang dari akal budi bangsa Indonesia yang
berkembang menjadi seni budaya yang indah dan penuh kandungan ajaran hidup
dan kehidupan yang bermanfaat.
Berbagai bentuk wayang telah berkembang di Indonesia, beraneka bentuk
dan cerita yang semuanya itu sangat akrab dengan masyarakat Indonesia. Oleh
karena itu, wayang digemari oleh pendukungnya terutama masyarakat Indonesia.
Tidak dapat dipungkiri bahwa wayang dalam berbagai bentuk dan fungsinya dari
waktu ke waktu telah berjasa dalam memberikan hiburan kepada masyarakat.
Selain itu, dengan menayksikan pertunjukan seni wayang juga banyak
memberikan keuntungan yang bermanfaat pada masyarakat seperti penerangan
pembangunan, ajaran-ajaran hidup dan lain-lain. Untuk itu perlu adanya suatu
pelestarian yang harus dilakukan oleh berbagai pihak diantaranya ialah :
140
1. Upaya yang dilakukan Pemerintah
Sesuai dengan visi-misi Departemen Kebudayaan dan Pariwisata
Kabupaten Purwakarta yaitu pertama melestarikan seni tradisional dan kedua
mengemas seni tradisional agar tetap di gandrungi oleh masyarakat dengan cara
koordinasi dengan instansi terkait dan promosi. Maka dari itu, melestarikan
kesenian tradisional daerah adalah sebuah kewajiban yang harus dilaksanakan.
Untuk itu upaya pelestarikan kesenian wayang golek purwa yang sudah dilakukan
oleh pemerintah Purwakarta, yaitu dengan cara mengikuti ajang perlombaan
Binojakrama Padalangan. Hal tersebut sesuai dengan pendapat Edi Sedyawati
(1981: 50) yang menyatakan bahwa “mengembangkan seni pertunjukan
tradisional Indonesia berarti memperbesar volume penyajiannya, dan meluaskan
wilayah pengenalannya”.
Mengingat banyaknya keuntungan atau manfaat yang dapat kita ambil dari
menonton pertunjukan wayang golek, sudah sepantasnya bila pemerintah sebagai
salah satu lembaga yang dapat mendukung pelestarian kesenian tradisional sunda
terutama kesenian wayang golek menggalakan program pemerintah dalam rangka
pelestarian kesenian tradisional tersebut. Dalam upaya melestarikan, membina dan
mengembangkan seni wayang golek saat ini, pemerintah telah menggalakan
kebijakan dan langkah-langkah yang dapat di laksanakan dalam rangka pelestarian
budaya tradisional.
141
2. Upaya yang dilakukan Seniman
Pemerintaha adalah suatu alat atau penggerak keputusan, oleh karena itu
harus ada pihak yang menjalankan keputusan atau kebijakan tersebut. Dalam
bidang kebudayaan pihak tersebut adalah seniman, yaitu orang yang terjun
langsung melaksanakan kebijakan-kebijakannya. Oleh karena itu usaha
pelestarian bukan hanya diperlukan dari pemerintah saja tetapi diperlukan juga
peran dari para senimannya.
Demikian adalah usaha-usaha yang dilakukan oleh para seniman wayang
golek purwa untuk tetap melestarikan kesenian wayang diantaranya adalah :
1. Penataran dan Saresehan
Penataran merupakan suatu bentuk upaya untuk menambah
wawasan dan pengetahuan dalang dalam rangka meningkatkan
kemampuannya. Baik dalam segi pengetahuan umum atau pengetahuan
secara khusus bidang padalangan.
2. Binojakrama Padalangan
Binojakrama padalangan merupakan upaya evaluasi sampai sejauh
mana kemampuan dalang dalam menggarap seninya untuk dapat
memenuhi selera penonton dengan tetap berpijak kepada tetekon atau
pakem padalangan sehingga dalang yang bersangkutan mempunyai ukuran
kemampuannya sendiri.
142
3. Mengeluarkan Buku atau Diktat
Pada umumnya para dalang memiliki pengetahuan dari hasil
mendengar secara turun temurun dari gurunya. Sehingga kata-kata baik
itu Murwa atau kakawen banyak yang salah menurut kamus oleh karena
itu dengan banyaknya buku atau diktat yang bisa dibaca atau dipelajari
oleh para dalang akan meningkatkan pengetahuannya dan menyamakan
pengetahuan para dalang secara keseluruhan.
4. Perkumpulan atau Organisasi
Sebagaimana yang telah dijelaskan di atas salah satu penghambat
perkembangan para dalang adalah kurangnya hubungan oleh karena itu
sangat perlu para dalang untuk mempunyai atau masuk dalam sebuah
organisasi atau perkumpulan.
5. Pagelaran
Banyaknya jumlah pagelaran yang dilaksanakan oleh para dalang
akan menambah pengalaman yang bermanfaat dan akan menunjang
pada meningkatnya kemampuan dalang itu sendiri. Hal ini dibuktikan
dengan dilibatkannya dalang dalam pagelaran-pagelaran, baik yang
bersifat kampanye atau penyuluhan-penyuluhan terhadap masyarakat
atau penonton (wawancara Ki Dalang Suherman, 1 Agustus 2009).