Download - 51218714 Modul Sistem Saraf Makalah 4
MODUL SISTEM SARAF
KELOMPOK X
KASUS I : Lumpuh Lengan dan Tungkai
ARWITA SARI 03007034
IRFAN SALEH 03007120
WIJAYANTI 03007271
MIRIA NOOR SHINTAWATI 03008163
FAIRUZ BT MHD ROOZI 03008271
AYU PRIMA DEWI 03009036
DIANITA KUSMA WIJAYA 03009070
GADISTA P ANNISA 03009100
LAILIL INDAH SEFTIANI 03009134
MUTIARA CITRARISTI 03009162
RIA AFRIANI 03009200
TARA WANDHITA USMAN 03009250
YULIUS NUGROHO 03009280
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TRISAKTI
JAKARTA, 7 FEBRUARI 2011
BAB I
PENDAHULUAN
Guillain – Barre Syndrome adalah suatu kelainan sistem saraf akut dan difus yang
biasanya timbul setelah suatu infeksi atau diakibatkan oleh autoimun, di mana proses imunologis
tersebut langsung mengenai radiks spinalis dan saraf perifer, dan kadang-kadang juga saraf
kranialis. Saraf yang diserang bukan hanya yang mempersarafi otot, tetapi bisa juga indera
peraba sehingga penderita mengalami baal atau mati rasa. (1, 2)
Fase awal dimulai dengan munculnya tanda – tanda kelemahan dan biasanya tampak
secara lengkap dalam 2 – 3 minggu. Ketika tidak terlihat penurunan lanjut, kondisi ini tenang.
Fase kedua berakhir beberapa hari sampai 2 minggu. Fase penyembuhan ungkin berakhir 4 – 6
bulan dan mungkin bisa sampai 2 tahun. Penyembuhan adalah spontan dan komplit pada
kebanyakan pasien, meskipun ada beberapa gejala neurologis, sisa dapat menetap.
Angka kejadian Guillain – Barre Syndrome, di seluruh dunia berkisar antara 1-1,5 kasus
per 100.000 penduduk per tahun. Sampai saat ini belum ada terapi spesifik untuk Guillain –
Barre Syndrome. Sebagian besar penderita dapat sembuh sendiri. Namun demikian Guillain –
Barre Syndrome memerlukan perawatan yang cukup lama dan angka kecacatan (gejala sisa)
cukup tinggi terutama pada keadaan akut yang dapat menimbulkan gagal napas akibat kelemahan
otot pernapasan dan bisa berlanjut pada kematian. (1, 2) Oleh karena itu, penderita Guillain –
Barre Syndrome memerlukan pengawasan dan perawatan yang baik untuk mempercepat
pernyembuhan dan mencegah komplikasi. Pengetahuan dan keterampilan perawat khususnya
asuhan keperawatan pada penderita Guillain – Barre Syndrome sangat penting untuk
meningkatkan asuhan keperawatan yang profesional.
LAPORAN KASUS
Sesi I
Anda adalah seorang mahasiswa Fakultas Kedokteran yang sedang bertugas di Poliklinik
Neurologi Rumah Sakit. Datang seorang pasien, laki-laki 38 tahun dengan keluhan kebas/baal,
kesemutan dan lumpuh pada keempat ekstremitas, susah bangkit dari berbaring dan duduk, serta
gangguan menelan, tersedak bila minum.
Pasien mengeluh 4 hari yang lalu mulai terasa baal dan kesemutan pada kedua kaki dan betis.
Tungkai bawah mulai terasa berat tetapi pasien masih bisa berjalan. Dua hari yang lalu dua
tungkai bertambah berat sehingga pasien tidak bisa berjalan, pasien mengeluh susah bangkit dari
posisi berbaring atau duduk. Sehari sebelum berobat ke rumah sakit tangannya mulai lemah,
sehingga tidak kuat untuk memegang gelas, tersedak bila minum. Wajah dirasa kaku, sulit
tersenyum dan buka mulut, serta tidak bisa menutup mata dengan rapat. Seminggu sebelumnya
pasien menderita flu.
Pada pemeriksaan didapatkan keadaan umum sakit sedang, kesadaran compos mentis. Tanda
vital dan status generalis dalam batas normal. Tidak didapatkan adanya sesak napas. Pada
pemeriksaan saraf cranial didapatkan paresis N.VII bilateral dan paresis N.IX bilateral.
Pada pemeriksaan motorik didapatkan tetraparesis 3344 | 4433 3333 | 3333
Reflex biceps, triceps, patella dan Achilles -/-
Reflex babinski, chaddock, openheim, Gordon -/-
Sensorik : parestesi terutama pada ujung-ujung tangan dan kaki
Sesi II
1. Laboratorium darah
- Hb = 15,4
- L = 10.600
- LED = 52
- T = 213
- Ht = 47
- E = 5,38
• GDS = 107
• Ureum = 29
• Kreatinin = 0,6
• As.urat = 2,9
• SGOT = 76
• SGPT = 83
• Na = 141
• K = 4,2
• Cl = 101
Hitung jenis leukosit :
• Bas = 0
• Eos = 1
• Bat = 3
• Seg = 86
• Limf = 8
• Mono = 2
2. Lumbal Pungsi
- Cairan LCS : jernih
- Nonne (+)
- Pandy (+)
- Sel : 3
- Protein : ↑↑
- Glukosa : 76
3. Elektromyografi (EMG)
- Motorik conduction velocity (MCV)
o N.tibialis, peroneus dextra & sinistra: DL (distal latency) memanjang, CV
(conduction velocity) menurun, amplitude rendah.
o N. medianus dextra dan sinistra : DL memanjang, CV menurun, amplitude rendah.
- Sensorik conduction velocity (SCV)
o N. suralis, N. medianus dextra & sinistra : gelombang tidak muncul.
- F-wave : N.tibialis dextra & sinistra : prolonged
Kesan : Poliradikuloneuropati berat dengan kecenderungan axonal degeneration.
Rencana Penalaksanaan : pasien dirawta di rumah sakit
1. Terapi medikamentosa
2. Terapi plasmapharesis
3. Rehabilitasi medic
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
ANATOMI
SUSUNAN SARAF PUSAT
Sistem saraf pusat terdiri dari Otak (encephalon; brain) tersusun atas cerebrum dan cerebellum;
Batang Otak yang terdiri dari mesencephalon, pons, medulla oblongata; dan Sumsum tulang belakang
(medulla spinalis).
Otak merupakan suatu struktur gelatin yang mana berat pada orang dewasa sekitar 14 kg. Otak
terdiri dari beberapa bagian yaitu; Proensefalon (otak depan) terdiri dari serebrum dan diensefalon,
mesensefalon (otak tengah) dan rhombensefalon (otak belakang) terdiri dari pons, medula oblongata
dan serebellum.
Fisura membagi otak menjadi beberapa lobus. Lobus frontal berkaitan dengan fungsi emosi,
fungsi motorik dan pusat ekspresi bicara. Lobus parietal berhubungan dengan fungsi sensorik dan
orientasi ruang. Lobus temporal mengatur fungsi memori tertentu. Lobus oksipital bertanggungjawab
dalam proses penglihatan. Mesensefalon dan pons bagian atas berisi sistem aktivasi retikular yang
berfungsi dalam kesadaran dan kewaspadaan. Pada medulla oblongata terdapat pusat
kardiorespiratorik.
Area bicara motorik Broca terletak pada gyrus frontalis inferior di antara ramus ascendens
anterior dan ramus ascendens posterior fissure lateralis (area Broadman 44 dan 45). Area ini penting di
hemisphere bagian kiri atau hemisphere dominan dan ablasio akan menimbulkan paralisis fungsi
bicara. Area bicara Broca membentuk kata-kata melalui hubungannya dengan area motorik primer
yang ada di dekatnya; otot-otot laring, mulut, lidah, palatum molle, dan otot-otot pernapasan
distimulasi sesuai kebutuhan. Cerebellum bertanggungjawab dalam fungsi koordinasi dan
keseimbangan.
Nervus Cranialis
Nervus cranialis terdiri dari 12 pasang, yaitu :
1. N. Olfactorius (N.I)
2. N. Opticus (N.II)
3. N.Occulomotorius (N.III)
4. N. Trochlearis (N.IV)
5. N. Trigeminus (N.V)
6. N. Abducens (N.VI)
7. N. Fascialis (N.VII)
8. N.Vestibulocochlearis (N.VIII)
9. N.Glossopharyngeus (N.IX)
10. N. Vagus (N.X)
11. N. Accesorius (N. XI)
12. N. Hypoglossus (N.XII)
Nervus cranialis muncul dari batang otak di beberapa tempat, yaitu di mesencephalon : N. III dan
N. IV; di Pons : N. V; di Batang pons dan MO : N. VI, N.VII, dan N.VIII; di Medulla Oblongata:
N.IX, N.X, N.XI, dan N.XII dan di Medulla spinalis cervicalis : N.XI.
N.I mengurus penciuman yaitu rasa bau/wangi. N.II mengurus penglihatan, mulai dari retina
sampai ke cortex visual primer lobus occipitalis. N.III memberikan saraf motorik dan
proprioseptif untuk otot-otot ekstrinsik mata. N.III bersama N.IV dan N.VI mengurus gerakan
bola mata. N.V mengurus sensoris telinga, muka, orbitam mukosa hidung, sinus, rongga mulut :
gigi dan lidah 2/3 anterior lidah. Serta motoris otot kunyah dan reseptor tekan di periodontal gigi,
reflex rahangm dan proprioseptif otot ekstraokular mata. N.VII mengurus sensoris palatum
molle, tonsil, dan pengecap 2/3 anterior lidah. Dan motoris mengurus otot muka dan m.
orbicularis oculli, m.buccinator, m.stapedius, kelenjar lacrimalis, nasalis, oralis, submaxilaris,
sublingualis dan pembuluh darah. N.VIII mengurus pendengaran dan keseimbangan . N.XI
mengurus salah satunya rasa kecap untuk 1/3 posterior lidah. N.X mengurus alat dalam dan
pencernaan. N.XI mengurus gerakan bahu, kepala dan pita suara. NXII mengurus otot
intrinsiklidah homolateral.
Nervus Glosofaringeus
Nervus glosofaringeus terdiri dari serabut sensorik dan motorik. Ganglion untuk bagian
sensoriknya adalah ganglion petrosum. Serabut ganglion tersebut melintasi bagian dorsolateral
medula oblongata dan berakhir di nukleus solitarius. Sebagian dari serabut tersebut menuju ke
nukleus dorsalis vagi. Sedangkan serabut motoriknya berasal dari nukleus salivatorius inferior
dan sebagian lagi dari nukleus ambiguus. Kedua serabut tersebut muncul pada permukaan
medula oblongata di sulkus lateralis poterior. Bersama sama dengan nervus vagus dan asesorius
ia meninggalkan ruang tengkorak melalui foramen jugulare. Di leher nervus glosofaringeus
membelok kedepan. Dalam perjalanannya ke bawah dan ke depan itu, ia melewati arteria karotis
interna dan vena jugularis interna. Kemudian ia berjalan diapit arteria karotis interna dan vena
jugularis interna. Kemudian ia berjalan diapit oleh arteri karotis interna dan ekterna disamping
larings. Di situ ia bercabang-cabang dan menyaafi muskulus stilofaringeus dan selaput lendir
farings. Cabang-cabang lainnya menyarafi tonsil, selaput lendir an bagian belakang palatum
mole dan 1/3 bagian belakang lidah.
SUSUNAN SARAF PERIFER
Nervus spinalis dari tiap segmen medulla spinalis terbentuk oleh gabungan Radix dorsal
(posterior) dan Radix ventralis (anterior) (sedikit perifer dari ganglion spinale). Bercabang dua
menjadi ramus dorsalis yang terdiri dari rami medialis dan rami lateralis yang akan menuju otot-
otot punggung. Dan ramus ventralis yang akan menuju ke perifer. Radix dorsalis nervi spinalis
bertugas untuk sifat sensoris (rasa suhu, nyeri, rasa ruang) , sedangkan radix ventralis bersifat
motoris (gerakan).
Ramus ventralis nervi spinalis akan membentuk Plexus Cervicalis ( C1C4), Plexus Brachialis
(C5Th1), Plexus Lumbosacralis (L1L5; S1S3), di thoracal tetap teratur segmental sebagai
Nervi intercostales.
PUSAT MOTORIS DAN SENSORIS
Pada corteks cerebral terdapat beberapa daerah :
1. Korteks serebral mengandung 3 jenis fungsional area yaitu motor area, sensori area, dan
asosiasi area. Neuron motoris dan neuron sensoris terdapat pada motoris area dan
sensoris area pada korteks serebri. Semua neuron pada korteks serebri merupakan inter
neuron.
2. Setiap hemisfer terdapat fungsi motoris dan sensoris yang berlawanan pada sisi tubuh
(kontralateral).
3. Sekalipun sebagian besar struktur pada 2 hemisfer kanan dan kiri simetris, tetapi tidak
ada fungsi yang sama. Masing – masing memiliki spesialisasi fungsi kortikal.
4. Yang sangat penting yang harus kita ingat tidak ada fungsi area pada korteks serebri yang
bekerja sendirian.
AREA MOTORIS
Motoris area pada korteks serebri, dengan gerakan volunter yang terkontrol yang terdapat pada
lobus frontalis terdiri dari motor korteks primer, premotor korteks, area broca, frontal eye field.
AREA SENSORIS
Terdapat pada korteks serebri yaitu pada lobus parietal, insular, temporal,dan occipital. Terdiri
dari korteks primer somatosensoris, korteks asosiasi somatosensoris, area visual, area auditory,
korteks olfaktori, korteks gustatory, area sensori visual, korteks vestibuler.
GANGGUAN SISTEM MOTORIK DAN SENSORIK
GANGGUAN SISTEM SENSORIK
1. Sindrom Pemotongan Jaras Sensorik. Sindrom ini bervariasi tergantung dari lokasi
kerusakan sepanjang perjalanan jaras sensorik.
1. Lesi kortikal atau subkortikal dalam daerah sensorik motorik lengan atau tungkai
menyebabkan parestesia dan mati rasa pada extemitas sisi yang berlawanan.
2. Lesi jaras sensorik tepat di bawah talamus menyebabkan hilangnya semua
kualitas sensorik separuh tubuh kontralateral.
3. Jaras sensorik lain selain nyeri dan suhu mengalami kerusakan terjadi hipestesia
pada sisi kontralateral wajah dan tubuh.
4. Jika kerusakan terbatas pada lemnikus trigeminalis dan spinotalamikus lateral
pada pusat otak, tidak ditemukan sensasi nyeri dan suhu pada wajah dan tubuh
kontralateral, semua kualitas sensorik lainnya tidak terganggu.
5. Keterlibatan lemniskus medialis dan traktus spinotalamikus anterior,
menghilangkan semua kualitas sensorik pada bagian kontralateral tubuh kecuali
sensasi nyeri dan suhu.
6. Kerusakan nukleus dan traktus trigeminal spinalis dan traktus spinotalamikus
lateral, menyebabkan hilangnya sensasi nyeri dan suhu pada wajah ipsilateral dan
tubuh kontralateral.
7. Kerusakan funikuli posterior menyebabkan menghilangnya sensasi sikap, getaran,
diskriminasi dan sensasi lain yang berhubungan dengan ataksia ipsilateral.
8. Lesi pada kornu posterior , menghilangkan sensasi suhu dan nyeri ipsilateral
semua kualitas lain tetap utuh ( gangguan disosiasi sensibilitas).
9. Cedera beberapa radiks posterior yang berdekatan, diikuti oleh perestesia
radikular dan nyeri,dan juga penurunan atau hilangnya semua kualitas sensorik
pada masing-masing segmen tubuh. Jika radiks yang cedera mesuplai saraf dari
lengan atau tungkai,ditemukan hipotonia atau atonia, arefleksia dan ataksia.
10. Sindroma Cedera Funikulus Posterior
1. Hilangnya sikap dan sensasi lokomotor dengan mata tertutup pasien tidak
dapat mengetahui posisi anggota tubuhnya
2. Astereognosis: dengan mata tertutup, pasien tidak dapat mengenal dan
menggambarkan bentuk dan bahan dari objek yang dirabanya.
3. Hilangnya diskriminasi dua titik
4. Hilangnya sensasi getaran: pasien tidak dapat merasakan getaran dari
garpu tala yang ditempelkan pada tulang
GANGGUAN SISTEM MOTORIK
LESI UPPER MOTOR NEURON
LESI TRACTUS CORTICOSPINAL (TRACTUS PYRAMIDAL)
1. Tes Babinsky positif. Ingat bahwa tanda babinsky secara normal terdapat selama setahun
pertama kehidupan, karena tractus kortikospinal tidak bermielin sampai akhir tahun
kehidupan pertama.
2. Arefleksia abdominalis superficial. Reflek ini tergantung pada integritas tractus, yang
menimbulkan eksitasi tonik pada neuron internunsial.
3. Arefleksia cremaster.
4. Kehilangan penampilan gerakan volunter terlatih yang halus.
LESI TRACTUS DESCENDEN SELAIN TRACTUS CORTICOSPINAL (TRACTUS
EKSTRAPIRAMIDAL)
1. Paralisa parah dengan sedikit atau tanpa adanya atrofi otot
2. Spastik atau hipertonisasi otot. anggota gerak tubuh bawah dalam ekstensi dan anggota
gerak atas dipertahankan dalam keadaan fleksi
3. Peningkatan reflek otot serta klonus dapat ditemukan pada fleksor jari tangan,muskulus
quadrisep femoris dan otot paha.
4. Reaksi pisau lipat. Mengadakan gerakan pasif suatu sendi terdapat tahanan oleh adanya
spastisitas otot.
LESI LOWER MOTOR NEURON
1. Paralisis flaksid otot yang disuplai.
2. Atrofi otot yang disuplai.
3. Kehilangan reflek otot yang disuplai.
4. Vasikulasi muskuler. Keadaan ini merupakan twitching otot yang hanya terlihat jika
terdapat kerusakan yang lambat dari sel
5. Kontraktur muskuler. Ini adalah pemendekan otot yang mengalami paralise, lebih sering
terjadi pada otot antagonis, dimana kerjanya tidak lagi dilawan oleh otot yang mengalami
paralise.3
Pendarahan otak
Otak disuplai oleh dua a. carotis interna dan dua a.vertebralis. keempat arteri ini beranastomosis
pda permukaan inferior otak dan membentuk circulus Willisi (circulus arteriosus).
A.communicans anterior, a. cerebri anterior, a.carotis interna, a.communicans posterior, a.cerebri
posterior, dan a.basilaris ikut membentuk circulus ini. Circulus ini memungkinkan darah yang
masuk melalui a. carotis interna atau a.vertebralis didistribusikan ke setiap bagian dari kedua
hemisphere cerebri. Cabang cabang arteri kortikal dan central dari circulus ini menyuplai
substansi otak.
Sedangkan sistem vena otak tidak mempunyai jaringan otot dan di dalam dindingnya yang
sangat tipis dan tidak mempunyai katup. Vena tersebut keluar dari otak dan bermuara ke dalam
sinus venosus cranialis.
CAIRAN SEREBROSPINAL
Cairan serebrospinal mengelilingi ruang subaraknoid di sekitar otak dan medulla spinalis. Cairan
ini juga mengisi ventrikel dalam otak.
Komposisi
Cairan serebrospinal menyerupai plasma darah dan cairan intersisial
(air,elektrolit,oksigan,karbondioksida, glukose, beberapa lekosit ( terutama limfosit ) dan sedikit
protein.
Produksi
Cairan serebrospinal dihasilkan oleh pleksus koroid yaitu jaring-jaring kapiler berbentuk bunga
kol yang menonjol dari pia mater ke dalam dua ventrikel otak
Sirkulasi
Cairan bergerak dari ventrikel lateral melalui foramen interventrikuler ( foramen munro ) menuju
ventrikel ketiga otak,kemudian mengalir melalui akuaduktus serebral ( Sylvius ) menuju
ventrikel keempat cairan mengalir melalui tiga lubang langit-langit ventrikel keempat kemudan
bersirkulasi melalui ruang subaraknoid. Setelah mencapai ruang subaraknoid,maka cairan
serebrospinal akan bersirkulasi sekitar otak dan medulla spinalis,lalu keluar menuju sistem
vaskular. Sebagian besar cairan serebrospinal direabsorpsi ke dalam darah melalui struktur
khusus yang dinamakan villi araknoidalis kedalam sinus vena pada dura mater dan kembali ke
aliran darah tempat asal produksi cairan tersebut.
Fungsi
Cairan serebrospinal berfungsi sebagai bantalan untuk jaringan lunak otak dan medulla
spinalis,juga sebagai media pertukaran nutrien dan zat buangan antara darah dan otak serta
medulla spinalis. Secara klinis cairan serebrospinal dapat diambil untuk pemeriksaan melalui
prosudur pungsi lumbal , yaitu jarum berongga diinsersi ke dalam ruang subaraknoid di antara
lengkung saraf vertebra lumbal ke tiga dan ke empat.4
HISTOLOGI
JARINGAN SARAF PERIFER
Yang dimaksud dengan serat saraf yaitu axon beserta selubungnya.
serat saraf bermielin yaitu axon beserta selubung myelin nya dan selubung sel Schwann.
Sedangkan serat saraf tak bermielin (remak) yaitu axon atau beberapa axon diselubungi oleh
selubung Schwann.
Mielinisasi di sistem saraf pusat dilakukan oleh oligodendroglia, sedangkan mielinisasi di
sistem saraf tepi dilakukan oleh sel Schwann, selubung yang dibentuk oleh sel Schwann disebut
neurilemma dan neurilemma dibatasi oleh nodus ranvier.
Oligodendroglia merupakan neuroglia yang mempunyai sedikit cabang protoplasma, inti
bulat, lebih kecil daripada inti astrosit, sebagai satelit perineural, berfungsi untuk mielinisasi di
sistem saraf pusat. Lokasinya di substansia grissea dan substansia alba di SSP. Cabang-cabang
protoplasmanya sedikit, sel ini dapat menopang kapiler darah. Kaki-kaki yang
menopang/memegang pembuluh darah ini disebut kaki-kaki perivaskuler. Sel ini kadang-kadang
dapat menempel pada pembuluh darah disebut sel satelit perivascular. Karena banyaknya
oligodendroglia, maka dalan SSP ada pembuluh darah yang rapat sehingga tidak dapat ditembus
oleh partikel-partikel sehingga disebut blood brain barrier. Selain menopanh pembuluh darah,
oligodendroglia membentuk satelit perineural yang berbentuk pyramid. Cabang-cabang di sel
pyramid membentuk kaki perineural.
Sel Schwann mempunyai inti bulat lonjong atau bulat, akan mendekati axon dan
memeluk axon tersebut, sehingga terdapat suatu bangunan yang disebut mesaxon, lama
kelamaan menjadi panjang dan melilit seluruh axon, sehingga dijumpai bangunan berbentuk
lamellae yang tersusun secara konsentris.
Seratvsaraf yang tak bermielin maka mielinisasi sangat sukar terjadi, contohnya serat
remak. Serat saraf otonom menyalurkan rangsang lambat menuju ke otot polos, kelenjar-
kelenjar. Pada serat saraf yang tidak bermielin satu sel Schwann membungkus banyak axon,
sehingga myelin tidak cukup, maka tidak terbentuk selubung (lamellae). Serat saraf bermielin
menghantarkan rangsang cepat, termasuk saraf serebrospinal.
Dengan H.E lipid dalam selubung myelin lebur, sehingga myelin tampak pucat atau
putih, sedangkan protein tampak seperti benang-benang halus yang disebut neurokeratin. Dengan
asam osmium, myelin menjadi hitam, sedang dengan sudan III, myelin jadi kuning sampai
orange atau jingga.
DEGENERASI DAN REGENERASI SUSUNAN SARAF
Neuron sentral atau perifer tidak dapat membelah, bila mengalami degenerasi maka akan
hilang. Bila axon suatu saraf terpotong maka akan terjadi perubahan degenerative (degenerasi
Waller) yang diikuti fase regenerasi. Perubahan yang tampak pada segmen proksimal berbeda
dengan yang terjadi pada segmen distal. Segmen proksimal mempertahankan kontinuitasnya
dengan perikarion dan sering mengalami regenerasi. Sedangkan segmen distal sama sekali
berdegenerasi dan diabsorpsi oleh makrofag jaringan.
Perubahan yang tampak pada perikarion adalah:
1. Kromatolisis, substansi Nissl hancur, sifat basofil sitoplasma menurun.
2. Volume perikarion meningkat
3. nucleus pindah ke tepi perikarion
Sel Schwann di bagian distal berproliferasi dalam sisa jaringan ikat, membentuk kolom sel-sel
yang padat. Hanya axon yang tumbuh menembus kolom sel ini akan dapat tumbuh terus dan
mencapai efektor di organ. Pada kaki yang diamputasi, ujung serta saraf yang tumbuh
membentuk massa bulat yang sakit disebut Neuroma Amputasi.5
FISIOLOGI
Tekanan intrakranial (TIK) dipengaruhi oleh volume darah intrakranial, cairan serebrospinal dan
parenkim otak. Dalam keadaan normal TIK orang dewasa dalam posisi terlentang sama dengan
tekanan CSS yang diperoleh dari lumbal pungsi yaitu 4 – 10 mmHg. Kenaikan TIK dapat
menurunkan perfusi otak dan menyebabkan atau memperberat iskemia. Prognosis yang buruk
terjadi pada penderita dengan TIK lebih dari 20 mmHg, terutama bila menetap.
Pada saat cedera, segera terjadi massa seperti gumpalan darah dapat terus bertambah sementara
TIK masih dalam keadaan normal. Saat pengaliran CSS dan darah intravaskuler mencapai titik
dekompensasi maka TIK secara cepat akan meningkat. Sebuah konsep sederhana dapat
menerangkan tentang dinamika TIK. Konsep utamanya adalah bahwa volume intrakranial harus
selalu konstan, konsep ini dikenal dengan Doktrin Monro-Kellie.
Otak memperoleh suplai darah yang besar yaitu sekitar 800ml/min atau 16% dari cardiac output,
untuk menyuplai oksigen dan glukosa yang cukup. Aliran darah otak (ADO) normal ke dalam
otak pada orang dewasa antara 50-55 ml per 100 gram jaringan otak per menit. Pada anak, ADO
bisa lebih besar tergantung pada usainya. ADO dapat menurun 50% dalam 6-12 jam pertama
sejak cedera pada keadaan cedera otak berat dan koma. ADO akan meningkat dalam 2-3 hari
berikutnya, tetapi pada penderita yang tetap koma ADO tetap di bawah normal sampai beberapa
hari atau minggu setelah cedera. Mempertahankan tekanan perfusi otak/TPO (MAP-TIK) pada
level 60-70 mmHg sangat direkomendasikan untuk meningkatkan ADO.6
SINDROMA GUILLAIN BARRE 7
Sindroma ini sering dicirikan oleh kelumpuhan otot ekstremitas yang akut dan progresif,
biasanya muncul setelah infeksi. Interval antara penyakit yang mendahului dengan awitan
biasanya antara 1-3 minggu. Pada umumnya didahului oleh influenza atau infeksi saluran napas
atas atau saluran pencernaan.
Tanda dan gejala kelemahan motorik terjadi dengan cepat, tetapi progresivitasnya akan berhenti
setelah berjalan 4 minggu. Kelumpuha terjadi secara simetris, lebih dari satu anggota gerak,
jarang yang asimetris. Kelumpuhan dapat ringan dan terbatas pada kedua tungkai saja, dan dapat
pula terjadi paralisis total keempat anggota gerak yang terjadi secara cepat, dalam waktu kurang
dari 72 jam. Keadaan ini disebut sebagai ascending paralysis atau ascending Landry’s paralysis.
Gangguan sensorik umumnya ringan. Sensibilitas dalam biasanya lebih terpengaruh. Hipotoni
dan hiporefleksi selalu ditemukan. Fungsi saraf otonom dapa pula terganggu.takikardia, aritmia
jantung, hipotensi postural, hipertensi, atau gejala-gejala gangguan vasomotor dapat melengkapi
gejala dan tanda klinik sindrom Guillain Barre.
Nervi kranialis dapat terkena. Kelemahan otot eajah terjadi pada 50% kasus dan sering bilateral.
Saraf kranialis lainnya dapat pula terkena, khususnya yang mengurus lidah, otot-otot menelan,
dan otot-otot motorik ekstra-okular. Terlibatnya nervi kranialis dapat merupakan awal sindrom
Guillain Barre.
BAB III
PEMBAHASAN
STATUS NEUROLOGI
I. Identitas pasien
Nama : -
Umur : 38 tahun
Jenis kelamin : Laki-laki
Kawin/tidak :
Pendidikan :
Alamat :
Tanggal masuk :
Nomor CM :
II. Subjektif
1. Keluhan utama : tetraplegi
2. Riwayat penyakit sekarang :
• disfagia
• paresis N. VII bilateral
• paresis N. IX bilateral
3. Riwayat penyakit dahulu : menderita flu
4. Riwayat penyakit keluarga :
5. Riwayat sosial ekonomi dan pribadi :
Anamnesis terperinci :
1. Sejak kapan merasakan hal tersebut? (dalam hal ini rasa kebas dan baal,
kelumpuhan pada ektremitas, serta gangguan menelan)
2. Bagaimana mula timbulnya?
3. Lokalisasi keluhan atau kelainan.
4. Bagaimana sifat keluhan atau kelainan?
5. Faktor-faktor apakah yang meringankan atau memperberat keluhan, gejala atau
kelainan?
6. Apakah ada penyakit penyerta lain? (contohnya DM)
III. Objektif
1. Status Pasien
STATUS GENERALIS
Keadaan umum: sakit sedang
Kesadaran : compos mentis
1. Kemampuan membuka kelopak mata (E)
• Secara spontan 4
• Atas perintah 3
• Rangsangan nyeri 2
• Tidak bereaksi 1
2. Kemampuan komunikasi (V)
• Orientasi baik 5
• Jawaban kacau 4
• Kata-kata tidak berarti 3
• Mengerang 2
• Tidak bersuara 1
3. Kemampuan motorik (M)
• Kemampuan menurut perintah 6
• Reaksi setempat 5
• Menghindar 4
• Fleksi abnormal 3
(gerakan dekortikasi)
• Ekstensi 2
(gerekan deserbrasi)
• Tidak bereaksi 1
Tanda vital : Normal
Tekanan darah:
Nadi :
Pernapasan :
Suhu :
Kepala :
Muka :
Mata :
Leher :
Thorax :
• Jantung
• Paru-paru
Abdomen :
Ekstremitas :
STATUS LOKALIS
1. Status psikus
Cara berpikir :
Perasaan hati :
Tingkah laku :
Ingatan :
Kecerdasan :
2. Status neurologis
A. Tanda rangsang meningeal
Kaku kuduk :
Brudzinski I :
Brudzinski II :
Laseque :
Kernig :
B. Kepala
Bentuk :
Nyeri tekan :
Pulsasi :
Simetri :
C. Leher
Sikap :
Pregerakan :
D. Afasia motorik :
Afasia sensorik :
Disartria :
E. Nervi kranialis
N. I ( Olfaktorius )
Subjktif :
Dengan bahan :
N. II ( Optikus )
Tajam penglihatan :
Lapang penglihatan :
Melihat warna :
Fundus okuli :
N. III ( Okulomotorius )
Sela mata :
Pergerakan bulbus :
Strabismus :
Nistagmus :
Eksoftalmus :
Pupil :
• Besarnya :
• Bentuknya :
Refleks cahaya :
Reflex cahaya konsensual :
Reflex konvergensi :
Melihat kembar :
N. IV ( Trokhlearis )
Pergerakan mata :
(kebawah – ke dalam)
Sikap bulbus :
Melihat kembar :
N. V ( Trigeminus )
Membuka mulut :
Mengunyah :
Menggigit :
Refleks kornea :
Ensibilitas muka :
N. VI ( Abducen )
Pergerakan mata ( ke lateral):
Sikap bulbus :
Melihat kembar :
N. VII ( Facialis ) : paresis bilateral
Mengerutkan dahi :
Menutup mata : (-)
Memperlihatkan gigi : (-)
Bersiul :
Perasaan lidah :
Hiperakusis :
N. VIII ( Vestibulokokhlearis )
Detik arloji :
Suara berbisik :
Tes Swabach :
Tes Rinne :
Tes Weber :
N. IX ( Glossofaringeus) : paresis bilateral
Perasaan lidah : 1/3 belakang
Sensibilitas faring :
N. X ( Vagus )
Arkus faring :
Berbicara :
Menelan :
Nadi :
Refleks okulokardiak :
N. XI ( Accecorius )
Mengangkat bahu :
Memalingkan kepala:
N. XII ( Hipoglosus )
Pergerakan lidah :
Tremor lidah :
Artikulasi :
F. Badan dan Anggota Gerak
1. Badan
Respirasi :
Gerak kolumna vertebralis :
Sensibilitas
• Taktil :
• Nyeri :
• Suhu :
• Diskriminasi 2 titik :
2. Anggota gerak atas
Motorik : paraplegi +/+
Pergerakan :
Kekuatan :
Trofi :
Tonus :
Refleks fisiologis
• Biseps : (-)
• Triseps: (-)
• Radius :
• Ulna :
Refleks patologis
• Hofman – Tromner :
Sensibilitas: parestesi ujung-ujung tangan
• Taktil :
• Suhu :
• Nyeri :
• Diskriminasi 2 titik :
3. Anggota gerak bawah
Motorik : paraplegi +/+
Pergerakan :
Kekuatan :
Trofi :
Tonus :
Refleks fisiologis :
• Patella (-)
• Achiles (-)
Refleks patologis :
• Babinski (-)
• Chaddock (-)
• Schaeffer
• Oppenheim (-)
• Gordon (-)
• Mendel
• Bechterew
• Rossolimo
Klonus
• Paha
• Kaki
Sensibilitas : parestesi ujung-ujung kaki
• Taktil
• Suhu
• Nyeri
• Diskriminasi 2 titik
G. Koordinasi, gait dan keeimbangan
Cara berjalan :
Tes Romberg :
Disdiadokinesis :
Ataksia :
Rebound phenomenon:
Dismetri :
H. Gerakan abnormal
Tremor :
Athetose :
Mioklonik :
Chorea :
I. Alat vegetative
Miksi
Defekasi
Reflex anal
Reflex kremaster
Reflex bulbokavernosa
J. Laseque
Patrick :
Kontra Patrick:
CARA PEMERIKSAAN SISTIM MOTORIK.
Dengan menggunakan angka dari 0 – minus 4
– Nilai 0 -1 -2 -3 -4
– Gerakan bebas + + + + -
– Melawan gravitasi + + + - -
– Melawan pemeriksa + + - - -
Nilai O berarti normal, -1 = parese ringan, -2 = parese moderat, -3= parese hebat, -4 = paralisis.
Anggota gerak atas.
• Pemeriksaan otot oponens digiti kuinti ( C7,C8,T1,saraf ulnaris)
• Pemeriksaan otot aduktor policis ( C8,T1 , saraf ulnaris ).
• Pemeriksaan otot interosei palmaris ( C8,T1,saraf ulnaris ).
• Pemeriksaan otot interosei dorsalis ( C8,T1, saraf ulnaris ).
• Pemeriksaan abduksi ibu jari.
• Pemeriksaan otot ekstensor digitorum (C7,8,saraf radialis ).
• Pemeriksaan otot pektoralis mayor bagian atas ( C5-C8).
• Pemeriksaan otot pektoralis mayor bagian bawah ( C5-C8).
• Pemeriksaan otot latisimus dorsi ( C5-C8, saraf subskapularis).
• Pemeriksaan otot seratus aterior ( C5-C7,saraf torakalis ).
• Pemeriksaan otot deltoid ( C5,C5, saraf aksilaris ).
• Pemeriksaan otot biseps ( C5,C6, saraf muskulokutaneus ).
• Pemeriksaan otot triseps ( C6-C8, saraf radialis ).
Anggota gerak bawah.
• Pemeriksaan otot kuadriseps femoris ( L2-L4,saraf femoralis ).
• Pemeriksaan otot aduktor ( L2-L4, saraf obturatorius).
• Pemeriksaan otot kelompok ” hamstring ” (L4,L5,S1,S2,saraf siatika ).
• Pemeriksaan otot gastroknemius ( L5,S1, S2,saraf tibialis ).
• Pemeriksaan otot fleksor digitorum longus ( S1, S2, saraf tibialis).
Pada pasien ini didapatkan hasil pemeriksaan motorik : tetraparesis 3344 | 4433 3333 | 3333
PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan laboratorium darah
Nilai Normal Hasil InterpretasiHb 13,5-17,5 15,4 NormalLeukosit 5.000-11.000 10.600 NormalLED <15 mm/jam 52 MeningkatTrombosit 150.000-400.000 213.000 NormalHematokrit 41-53 47 NormalEritrosit 2-6 juta 5,38 NormalHitung jenis
0-1/1-3/2-6/50-
70/20-40/2-80/1/3/86/8/2
Netrofil segmen
meningkat dan
limfosit menurunGDS <180 107 NormalUreum 15-40 29 NormalKreatinin 0,5-1,5 0,6 NormalAsam urat 2,5-9 2,9 NormalSGOT 5-40 76 MeningkatSGPT 5-41 83 MeningkatNatrium 135-145 141 NormalKalium 3,5-5,2 4,2 NormalKlorida 95-105 101 Normal
Pada hasil pemeriksaan laboratorium didapatkan nilai LED yang meningkat, peningkatan
nilai LED bisa dikarenakan adanya infeksi kronis ataupun adanya keganasan. Pada nilai hitung
jenis leukosit, didapatkan peningkatan netrofil segmen menandakan aanya reaksi infeksi dalam
tubuh, begitu juga dengan penurunan nilai limfosit. Limfosit dapat menurun apabila dalam
keadaan terinfeksi virus ataupun bakteri. limfosit juga dapat menurun pada seseorang dengan
sistem imun yang rendah. Peningkatan SGOT dan SGPT yang tidak diikuti dengan kelainan lain
pada hasil pemeriksaan laboratorium dapat terjadi pada syndrome guillain bare . pada syndrom
tersebut, nilai SGOT dan SGPT dapat meningkat tanpa ada arti tertentu atau gangguan pada
fungsi organ tersebut.
Pemeriksaan Lumbal Pungsi
- Cairan LCS : jernih
Ini menunjukkan hasil yang normal. Tidak ada kekeruhan pada LCS.
- Nonne (+)
Test ini dilakukan untuk menguji kadar globulin dalam LCS. Hasil tes ini dipengaruhi
oleh kenaikan kadar globulin. Hasil positif menunjukkan adanya kenaikan globulin
yang dapat ditandai dengan adanya cincin keruh pada tabung yangtelah diisi LCS dan
reagen berupa larutan jenuh amonium sulfat.
- Pandy (+)
Test ini juga hampir sama dengan test Nonne, akan tetapi test ini lebih bermakna
daripada test Nonne.
- Sel : 3
Menunjukkan sel masih dalam kadar yang normal. Jumlah sel normal 0-5
- Protein : ↑↑
Mengalami peningkatan. Nilai normalnya 15-45
- Glukosa : 76
Masih dalam batas normal, nilai normalnya 48-86
Kesimpulan: Pada penyakit Guillain Barre terdapat kenaikan protein tanpa diikuti kenaikan sel,
dinamakan disosiasi albumino sitologik.
Hasil Pemeriksaan Elektromyografi (EMG)
o Motorik Conduction Velocity (MCV)
• N. tibialis, peroneus dextra & sinistra: DL (distal latency) memanjang, CV
(conduction velocity) menurun, amplitudo rendah
• N. medianus dextra & sinistra: DL memanjang, CV menurun, amplitudo rendah
Dari pemeriksaan impuls motorik, didapatkan penurunan waktu dan
kecepatan hantar saraf yang mungkin disebabkan oleh proses demyelinisasi pada
Guillain Barre Syndrome.
Penurunan amplitudo menandakan adanya ‘conduction block’ yang
disebabkan oleh demyelinisasi fokal.
o Sensorik Conduction Velocity (SCV)
• N. Suralis, N medianus dextra & sinistra: gelombang tidak muncul
Dari pemeriksaan impuls sensoris, gelombang tidak muncul dikarenakan
sudah tidak ada konduksi impuls yang mencapai electrode.
o F-Wave: N. tibialis dextra & sinistra: prolonged
F-wave memanjang: terjadi hambatan konduksi saraf pada lengan dan
tungkai
Kesan: Poliradikuloneuropati berat dengan kecenderungan axonal degeneration
PATOFISIOLOGI
Infeksi virus terjadi 1 sampai 3 minggu sebelum awitan kelemahan motorik. Dalam kasus ini
penderita mengeluh seminggu sebelumnya menderita flu, maka infeksi yang terjadi adalah
infeksi pada traktus respiratorius. Kejadian pencetus (virus atau proses inflamasi) merubah sel T
yang tersensitisasi dan makrofag akan menyerang mielin. Akibatnya adalah cedera demielinisasi
ringan hingga berat yang mengganggu konduksi impuls dalam saraf perifer yang terserang.
Demielinisasi akson saraf perifer menyebabkan timbulnya gejala positif dan negatif. Gejala
positif adalah parestesia yang berasal dari aktivitas impuls abnormal dalam serat sensoris. Pada
kasus ini ditemukan parestesia pada ujung-ujung tangan dan kaki. Serta ditemukan paresis N.VII
dan N. IX yang bilateral. Gejala negatif adalah kelemahan atau paralisis otot, hilangnya refleks
tendon, dan menurunnya sensasi. Dua gejala negatif pertama tersebut disebabkan oleh kerusakan
akson motorik; yang terakhir disebabkan oleh kerusakan serabut sensorik.8 Paralisis otot disini
adalah pada ekstremitas atas dan bawah. Hilangnya refleks tendon ditemukan pada pemeriksaan
neurologis yang menunjukkan hasil negatif (-) pada pemeriksaan refleks fisiologis. Menurunnya
sensasi ditandai dengan rasa kebas/baal pada ekstremitas.
Diagnosis kerja
Guillain Barre Syndrome
Dasar diagnosis :
Didukung dari riwayat influenza yang dialami sebelumnya, kemudian ditandai dengan ascenden
paralysis serta gangguan sensorik dan motorik. Dari pemeriksaan penunjang didapatkan adanya
infeksi. Dan dari pemeriksaan LCS di dapatkan peningkatan protein tanpa disertai dengan
peningkatan jumlah sel yang mendukung diagnosis Guillain Barre Syndrome. Dan dari
pemeriksaan EMG terdapat kesan poliradikuloneuropati berat dengan kecenderungan axonal
degeneration.
Diagnosis Banding
1. Poliomyelitis
Poliomielitis merupakan infeksi dari virus jenis enteroviral yang dapat bermanifestasi
dalam 4 bentuk yaitu, infeksi yang tidak jelas, menetap, nonparalitik, dan paralitik
Gejala Klinis
Berdasarkan keluhan awal penderita akan mengeluh seperti adanya infeksi ringan seperti
akibat flu, atau batuk. Pada kasus infeksi yang tidak jelas, keluhan disertai dengan adanay
mual, muntah, nyeri perut, yang berlangsung selama kurang dari 5 hari, dan berkembang
menjadi iritasi dari selaput otak. Pada paralitik osteomyelitis keluhan akan terus
berkembang dari kelemahan anggota gerak sampai gangguan pernafasan. Penderita yang
telah sembuh dari polio akan menimbulkan gejala sindroma postpolio berupa kelemahan
dan ketidak seimbangan pada anggota gerak yang terinfeksi sebelumnya. Keluhan ini
timbul dalam rentang waktu 20 – 40 tahun.
Pemeriksaan Klinis
Pada kasus ringan akan ditemukan gejala berupa :
• Demam
• Sakit kepala
• Mual
• Muntah
• Nyeri perut
• Peradangan tenggorokan
Pada kasus nonparalisis akan ditemukan gejala :
• Kaku kuduk
• Sakit kepala yang hebat
• Nyeri di bagian belakang anggota gerak bawah
• Perdangan selaput otak
Pada kasus paralisis akan ditemukan gejala :
• Gangguan pada saraf-saraf otot pada lokasi tertentu atau menyebar
• Gangguan fungsi otot yang tidak simetris (berbeda antara kiri-kanan)
• Pengecilan ukuran otot (beberapa minggu)
• Kesembuhan dapat total, sebagian atau tidak
2. Myastenia Gravis9
Miastenia gravis gemiliki gambaran yang khas yaitu kelemahan dan kelelahan otot
terutama setelah beraktivitas. Pada miastenia gravis derajat ringajn, gambaran klinisnya
sering kali tidak jelas,seperti ptosis. Kelemahan otot timbul saat diprovokasi oleh
aktivitas berulang.
Penyebabnya diduga merupakan gangguan autoimun (dimana antibody didalam tubuh
menyerang sel ataupun jaringan yang membentuk antibody itu sendiri) yang merusak
fungsi reseptor asetilkolin dan mengurangi efesiensi hubungan neuromuscular sehingga
kontraksi otot lemah.
GEJALA
• Kelopak mata lemah dan layu
• Otot mata lemah, yang menyebabkan penglihatan ganda.
• Kelemahan berlebihan pada otot yang terkena setelah digunakan
• Kelemahan tersebut hilang ketika otot beristirahat tetapi berulang ketika digunakan kembali
• kesulitan berbicara dan menelan dan kelemahan pada lengan dan kaki adalah sering terjadi
• Pegangan tangan bisa berubah-ubah antara lemah dan normal. Berubah-ubahnya pegangan ini disebut pegangan milkmaid
• Otot leher bisa menjadi lemah
• Sensasi tidak terpengaruh
• Ketika orang dengan myasthenia gravis menggunakan otot secara berulang-ulang, otot tersebut biasanya menjadi lemah
• Pada beberapa orang, otot diperlukan untuk respirasi yang melemah. Keadaan ini mengancam nyawa
3. Neuropathy Diabetic
Penyakit ginjal progresif yang disebabkan oleh angiopati kapiler-kapiler glomeruli
ginjal,.yang ditandai dengan nodular glomerulosclerosis
Gejala dan Tanda
Gejala yang muncul tergantung pada lokasi dan jenis saraf yang mengalami neuropati.
Bentuk yang sering terjadi adalah:
• Neuropati sensori-motorik
(saraf sensori-motorik : persarafan yang mengatur sistem sensorik/persepsi dan
pergerakan)
o Gejala sensorik : kesemutan, baal, kebas, mati rasa, nyeri, sensasi
tertusuk/terbakar.
o Gejala motorik : kelemahan otot
Penyebab
Kejadian neuropati diabetik berawal dari hiperglikemia (kadar gula darah yang tinggi, di
atas nilai normal) berkepanjangan. Keadaan ini akan mengaktifkan jalur metabolisme
abnormal yang menghasilkan timbunan produk–produk akhir glukosa (sorbitol dan
advance glycosilation end products/AGEs). Bahan–bahan tersebut mengganggu
transmisi sinyal sel-sel saraf, menurunkan kemampuan saraf membuang radikal bebas,
dan juga merusak sel saraf secara langsung. Selain itu keadaan hiperglikemia juga
mengganggu peredaran darah ke sistem saraf.10
DIAGNOSIS NEUROLOGIS
1. Diagnosis Klinis:
- Tetraplegi
- Disfagia
- Hemiparesis bilateral
2. Diagnosis Topis:
- Lesi N.VII perifer
- Lesi N.IX perifer
- Radix dorsal ventral
3. Diagnosis Patologis:
- Demyelinisasi
- Degenerasi axon
4. Diagnosis Etiologis:
Infeksi Virus Influenza
PENATALAKSANAAN
1. Rawat Inap
2. IVIg : bekerja menghambat resptor makrofag, menghambat komplemen pengikat, dan
menetralisir antibodi patologis.
- dosis : dewasa atau anak 2g/kg IV, umumnya dibagi dalam 5 dosis
- kontraindikasi : reaksi anafilaktik dapat terjadi pada pasien defisiensi IgA yang
berinteraksi dengan antibodi anti-IgA. Jika hal ini terjadi, pemberian IVIg dapat disertai
dengan preparat IgA dosis rendah.10
3. Plasmaferesis atau plasma ekspander : mekanismenya adalah membuang imunoglobin
dan antibodi dari serum dengan cara memindahkan darah tubuh dan menggantinya
dengan fresh frozen plasma, albumin atau salin.
- dosis dewasa atau anak : 3-5 kali penggantian, 50ml/kg plasma secara IV selama 1-2
minggu
- kontraindikasi : septtikemi, perdarahan aktif dan instabilitas kardiovaskular yang berat. 11
4. Pemberian steroid: Untuk meningkatkan daya imun.
5. Fisioterapi: 12
• Muskuloskeletal
Penatalaksanaan pada masalah kekuatan otot
Penatalaksanaan pada Luas Gerak Sendi (LGS)
Penatalaksanaan pada Panjang Otot
• Kardiopulmonari
Penatalaksanaan pada Kemampuan Ekspansi Dada
Penatalaksaaan pada Pembersihan Saluran Pernafasan
Penatalaksanaan pada Gangguan Menelan
• Sistem Saraf Otonomik
• Sensasi
PROGNOSIS
Ad Vitam : Ad Bonam
Syndrom guillain bare merupakan penyakit yang dikarenakan oleh imunopatologik. Pada
syndrom ini dapat disebabkan oleh virus, maka dari itu pada dasarnya dapat sembuh sendiri
karena self limiting disease. Proses pemulihan penyakit ini dimulai setelah minggu keempat dari
awal terserang. Sekitar 80 % dari pasien mengalami pemulihan lengkap selama beberapa bulan
sampai beberapa tahun.
Ad Sanationam : Ad Bonam
Pada guillain bare dapat terjadi kekambuhan kelemasan otot dan rasa kesemutan yang berulang-
ulang selama bertahun tahun. Angka kekambuhan itu tidak begitu besar hanya 3 %. Selain itu
tidak ada keluhan dari pasien.
Ad Fungsionam : Ad Malam
Pada fungsi organ setelah terserang guillain bare adalah dubia ad malam karena pada guillain
bare sudah terdapat degenerasi akson.
KOMPLIKASI
Yang paling berat adalah kematian, akibat kelemahan atau paralisis pada otot-otot pernafasan.
Tiga puluh persen% penderita ini membutuhkan mesin bantu pernafasan untuk bertahan hidup,
sementara 5% penderita akan meninggal, meskipun dirawat di ruang perawatan intensif.
Sejumlah 80% penderita sembuh sempurna atau hanya menderita gejala sisa ringan, berupa
kelemahan ataupun sensasi abnormal, seperti halnya kesemutan atau baal. Lima sampai sepuluh
persen mengalami masalah sensasi dan koordinasi yang lebih serius dan permanen, sehingga
menyebabkan disabilitas berat; 10% diantaranya beresiko mengalami relaps.
Dengan penatalaksanaan respirasi yang lebih modern, komplikasi yang lebih sering terjadi lebih
diakibatkan oleh paralisis jangka panjang, antara lain sebagai berikut:
1. Paralisis otot persisten
2. Gagal nafas, dengan ventilasi mekanik
3. Aspirasi
4. Retensi urin
5. Masalah psikiatrik, seperti depresi dan ansietas
6. Nefropati, pada penderita anak
7. Hipo ataupun hipertensi
8. Tromboemboli, pneumonia, ulkus
9. Aritmia jantung
10.Ileus
KESIMPULAN
Pada pasien ini kelompok kami mendiagnosis terjadinya Guillain Barre
Syndrome. Hal tersebut dt didapatkan berdasarkan hasil dari anamnesis, pemeriksaan
fisik dan pemeriksaan penunjang. Riwayat infeksi yang menyerang tractus respiratorius
dan paralisis yang bersifat ascenden menjadi salah satu ciri khas dari sindroma ini.
Ditambah pula dengan pemeriksaan LCS yang menunjukkan adanya penigkatan protein
tanda disertai dengan peningkatan jumlah sel.
Penatalaksanaan yang diberikan meliputi terapi medikamentosa, plasmapharesis
dan rehabilitasi medik. Prognosis untuk pasien ini baik, karena pada dasarnya merupakan
self limiting disease dan memiliki angka kekambuhan yang kecil.
DAFTAR PUSTAKA
1. http://medlinux.blogspot.com/2007/10/sindroma-guillain-barre.html. 22 November 08.
(31 Januari 2010).
2. Japardi, Iskandar. Sindrom Guillain Barre.
http://library.usu.ac.id/download/fk/bedah-iskandar%20japardi46.pdf . FK USU. (31
Januari 2010).
3. Martini, frederic. Fundamental Of Anatomy & Physiology. Pearson International edition.
7th Ed. New york.p. 496-513
4. Snell RS. Kepala dan Leher. In: Snell RS, editor. Anatomi Klinik Untuk Mahasiswa
Kedokteran. 6th Ed. Jakarta: EGC; 2006.p.740-62
5. Arifin F, Kartawiguna E, Arkeman H, David. Jaringan Saraf. Diktat Kuliah Histologi 1.
Jakarta:Fakultas Kedokteran Universitas Trisakti; 2003.p.34-41S
6. Whittle IR, Myles L. Neurosurgery. Principles and Practice of Surgery. 4th Ed. Elsevier
Churchill Livingstone; 2007.p.551-61
7. Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia.Sindrom Guillain Barre. In: Harsono,
editor. Buku Ajar Neurologi Klinis. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. 2008;
p.307-8.
8. Price S, Wilson L. Gangguan Sistem Neurologik. In: Hartanto H, Susi N, Wulansari P,
Mahanani D, editors. Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. 6th ed.
Volume 2. Jakarta: EGC. 2006; p1152
9. Lubis Meiny. Miastenia Gravis-Kelemahan Otot. Available at :http://www.mer-
c.org/penyakit-infeksi/202-miastenia-gravis-kelemahan-otot.html, accessed 3 Feb,2011
10.Kurniadi A. Diabetes Mellitus Tipe 2 dengan Neuropati dan Nefropati Diabetik.
Available at :http://www.fkumyecase.net/wiki/index.php?
page=Diabetes+Mellitus+Tipe+2+dengan+Neuropati+dan+Nefropati+Diabetik,
Accessed 3 Feb 2011
11.Dewanto G, Suwono w, Riyanto B, Turana Y. Panduan Praktis Diagnosis dan Tata
Laksana Penyakit Saraf. Jakarta: EGC.2009; p.66-7
12.Santoso J. Penatalaksanaan Fisioterapi Pada Kasus Guillain-Barre Syndrome. Available
at: http://fisioterapigpm.blogspot.com/2010/02/penatalaksanaan-fisioterapi-pada-
kasus.html, Accessed 4 Feb 2011