31
3 METODE PENELITIAN
3.1 Kerangka Pemikiran
Umumnya pemanfaatan sumberdaya di perairan Gugus Pulau Nain adalah
budidaya rumput laut. Pemanfaatan yang tidak terkendali telah mendorong
timbulnya penurunan produksi rumput laut. Kondisi ini menunjukkan bahwa
sumberdaya perairan tersebut belum dikelola secara berkelanjutan, apabila
dibiarkan akan terjadi penurunan produksi berulang kali yang nantinya
berpengaruh terhadap keberlanjutan pemanfaatan sumberdaya itu sendiri. Ini juga
akan berdampak pada penurunan kesejahteraan pembudidaya rumput laut.
Dalam usaha budidaya rumput laut perlu diterapkan suatu pengelolaan
yang tepat dengan memperhatikan sumber dan jenis bibit, kesesuaian lahan,
mencegah penurunan kualitas perairan, dan dampak ekonominya sehingga akan
meningkatkan produktifitas usaha budidaya. Pada prinsipnya, penelitian ini untuk
mendapatkan suatu informasi pengelolaan usaha budidaya rumput laut
berdasarkan berbagai kriteria yang mencakup aspek biologi, ekologi dan sosial
ekonomi. Skema kerangka pemikiran penelitian seperti pada Gambar 4.
Gambar 4 Kerangka pemikiran penelitian.
Perikanan Tangkap Perikanan
Budidaya
KJA Rumput laut Tidak diteliti
Metode
Produksi turun 1. Primer
2. Sekunder
1. Uji tumbuh
2. Kualitas air
3. Sosek
1. Pertumbuhan
2. Kesesuaian
3. Daya dukung
4. CBA
Pengalaman
meneliti
Data & Info
Jenis data
Untuk para pengambil
kebijakan dan pengusaha
Penelitian
Manfaat
5. DEA
Pengelolaan Sumberdaya Perairan Gugus Pulau Nain Saran Kebijakan
32
3.2 Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian dilakukan dalam beberapa tahap di Gugus Pulau Nain,
Kecamatan Wori, Kabupaten Minahasa Utara, Sulawesi Utara (Gambar 5).
Tahap I : Uji pertumbuhan rumput laut, diikuti dengan pengamatan parameter
kualitas air. Pada tahap ini dilakukan juga wawancara dengan
berpedoman pada kuisioner. Tahap ini dilakukan mulai Januari 2007
–Juni 2008.
Tahap II : Monitoring dan evaluasi lewat uji pertumbuhan rumput laut serta
pengamatan kualitas air yang dilakukan pada bulan Mei – Agustus
2009 dan Juni – September 2010.
Tahap III : Pengamatan distribusi potensi bahan pencemar serta pengamatan
parameter kualitas air di sekeliling Perairan Gugus Pulau Nain. Pada
tahap akhir ini dilakukan juga wawancara yang berpedoman pada
kuisioner. Tahap ini dilakukan pada bulan Mei 2011.
Sumber: modifikasi dari Google maps 2011 (not to scale)
Gambar 5 Lokasi penelitian dan titik-titik pengamatan.
Tahap I : Pertumbuhan rumput laut dan pengamatan kualitas air di areal
budidaya rumput laut (2007 – 2008).
Pertumbuhan rumput laut dan pengamatan kualitas air di luar areal
budidaya rumput laut (2007 – 2008).
Tahap II : Evaluasi dan monitoring 2009 dan 2010.
Tahap III : Pengamatan distribusi potensi bahan pencemar di perairan (2011).
Pengamatan kualitas air sekeliling pulau (2011).
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
1
2
3
4 5
6
7
8
9 10
11
33
3.3 Pengumpulan Data
3.3.1 Jenis data
Data yang dikumpulkan meliputi data primer dan data sekunder. Data
primer diperoleh langsung pada lokasi penelitian melalui uji pertumbuhan rumput
laut, pengukuran parameter kualitas air, dan kuisioner. Data sekunder dilakukan
melalui penelusuran pustaka dari jurnal dan laporan penelitian, serta data dari
instansi terkait. Jenis data penelitian ini selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 3.
Tabel 3 Jenis data primer dan sekunder penelitian
No Jenis Data Parameter Alat/Metode
1
2
3
Biologi
rumput laut
Data fisika
Data kimia
- Pertambahan berat (g)
- Biota pengganggu
- Kedalaman (m)
- Kecerahan (m)
- Keterlindungan
- Kec. arus (cm/detik)
- Substrat dasar perairan
- Suhu (0C)
- Salinitas (ppt)
- TSS (mg/l)
- Derajat keasaman/pH
- Nitrat (mg/l)
- Fosfat (mg/l)
- Tali panjang
- Buku identifikasi
- Batu duga/data sekunder
- Pinggan secchi
- Visual & wawancara
- Layang-layang(drift float)
- Visual & wawancara
- Termometer
- Salinometer
- Laboratorium Baristand
- pH meter
- Spektrofotometer (Lab.)
- Spektrofotometer (Lab.)
4 Budidaya
rumput laut
- Wawancara
- Data sekunder
- Kuisioner
- Instansi terkait
5 Sosial –
ekonomi
- Wawancara
- Data sekunder
- Kuisioner
- Instansi terkait
3.3.2 Pengambilan data
1) Pertumbuhan rumput laut
Penelitian ini untuk mendeskriptifkan keadaan yang aktual dan mengkaji
penyebab dari gejala tertentu dengan tujuan mendapatkan data pengembangan
usaha budidaya rumput laut. Kajian survei dan percobaan melalui analisis
ekologis dan biologis rumput laut Kappaphycus alvarezii yang digunakan sebagai
bibit di Perairan Gugus Pulau Nain.
a) Uji pertumbuhan rumput laut dimulai pada bulan Januari 2007 – April 2008,
dilakukan percobaan sebanyak 9 siklus penanaman (9 kali panen), masa
pemeliharaan membutuhkan waktu selama 45 hari (6 minggu).
34
b) Percobaan dilakukan pada 5 stasiun pengamatan di areal budidaya (rataan
karang) dan 5 stasiun di luar areal budidaya (lereng karang) dengan
menempatkan satu unit wadah budidaya di masing-masing stasiun (Gambar 6).
c) Rumput laut uji adalah Kappaphycus alvarezii yang sering disebut ’Cottonii’.
d) Uji pertumbuhan dengan beda kedalaman yaitu: di permukaan (0 cm), 50 cm
dan 100 cm di bawah permukaan air.
e) Percobaan lanjutan sebagai monitoring dan evaluasi dilakukan pada bulan Mei
–Agustus 2009 di areal budidaya di 5 stasiun pada titik percobaan yang sama
dengan percobaan pertama pada tahun 2007 – 2008. Pada bulan Juni –
September 2010 dilakukan di luar areal budidaya pada 5 stasiun yang sama
seperti tahap penelitian di tahun 2007 – 2008 (Gambar 6).
f) Keseluruhan uji pertumbuhan dimulai dengan persiapan wadah sebagai
kerangka untuk pengikatan bibit. Wadah berukuran 3 x 3 x 1,5 m3, pelampung
diameter 20 cm, pelampung Y-50, pelampung botol plastik, tali induk dan tali
jangkar PE 10 mm, tali bantalan 8 PE mm, tali ris PE 4 mm, tali rafiah,
pemberat dan jangkar beton ± 20 kg (Gambar 5).
Gambar 6 Instalasi wadah uji pertumbuhan Kappaphycus alvarezii.
g) Penentuan penggunaan bibit rumput laut uji ini didasarkan pada jenis yang
dibudidaya di Perairan Gugus Pulau Nain. Bibit rumput laut dipilih dari
35
tanaman yang masih segar, sehat, kenyal, muda, dan banyak cabang. Berat
awal bibit yang ditanam adalah 100 gram. Masing-masing bibit di tanam pada
kedalaman 0 cm, 50 cm, dan 150 cm (Gambar 7).
h) Pengamatan dan penimbangan perubahan bobot rumput laut dilakukan pada
awal pemeliharaan, kemudian setiap interval waktu 15 hari (2 minggu).
Gambar 7 Konstruksi wadah dan posisi tanam rumput laut (Mudeng 2007).
2) Pengukuran kualitas air di areal budidaya rumput laut
a) Pengamatan parameter air dilakukan di setiap stasiun.
b) Sampel air diambil pada permukaan air laut dan di kedalaman 1 meter.
c) Parameter air yang diamati langsung yaitu kecepatan arus, kecerahan,
kedalaman, dasar perairan, suhu, salinitas, dan pH.
d) Parameter nitrat dan fosfat terlarut dianalisis di Laboratorium Balai Pelatihan
Kesehatan (Bapelkes) Manado.
3) Pengukuran kualitas air di sekitar permukiman penduduk
a) Pengamatan parameter air pada 11 stasiun, terdiri dari 20 titik di sekeliling
pulau (sejajar garis pantai) ditentukan secara sengaja. Stasiun I di depan Desa
Nain dengan kepadatan pemukiman yang relatif sedikit, St. II di depan Desa
Nain dengan kepadatan pemukiman yang padat, dan St. III di depan sumur
‘Aer jere’ yang merupakan tempat aktivitas tinggi penggunaan air tawar. St.
IV dan V di bagian selatan pulau, St. VI di sisi selatan Kampung Tarente, St.
VII di depan Kampung Tarente, St. VIII di sisi utara Kampung Tarente, St. IX
36
di sisi Timur Desa Tatampi, St. X di depan Desa Tatampi, dan St. XI di sisi
barat Desa Tatampi (Gambar 5 & 8).
b) Pengamatan ke arah laut dilakukan pada Stasiun I, II dan III. Pada St. I ditarik
garis 450 ke arah selatan dari garis pantai, St. II tegak lurus garis pantai, dan
St. III 450 ke arah utara dari garis pantai (Gambar 8).
c) Titik awal (0) ditentukan pada ketinggian air 1 meter, ditandai dengan patok
kayu. Antar titik berikutnya berjarak 50 m (titik 1), 100 m (titik 2), dan 200 m
(titik 3) ke arah laut, kemudian ditandai dengan pelampung (Gambar 8).
Pengambilan sampel air dilakukan pada permukaan dan di tengah kolom air.
Pengambilan sampel air di tengah kolom air tergantung kedalaman perairan.
d) Parameter air yang diukur yaitu: nitrat, fosfat dan total padatan tersuspensi
(TSS) yang dianalisis di Laboratorium Balai Industri dan Standarisasi
(Baristand) Manado.
Sumber: Google maps (2011) dan foto koleksi pribadi.
Gambar 8 Titik awal pengukuran kualitas air di sekitar permukiman penduduk.
Pengamatan di titik awal dilakukan saat air bergerak surut, sedangkan pada
titik lainnya, dimulai berturut-turut dari titik 3, 2, dan 1 pada saat air akan
bergerak pasang. Clark (1986) menyatakan bahan-bahan pencemar yang ada di
kawasan pesisir akan mengikuti arus pasang surut. Bahan-bahan terperangkap
St.1
St.2
St.3
37
dalam suatu jarak tertentu (terakumulasi), sesuai dengan Pariwono et al. (1989)
yang menyatakan bahwa pasang surut akan menggerakan massa air secara
horisontal yang akan membawa bahan pencemar. Pasut selain membantu proses
pengenceran juga merupakan salah satu fenomena alam yang berperan dalam
penyebaran zat pencemar.
1) Data sosial, ekonomi, dan kelembagaan budidaya rumput laut
Data sosial ekonomi di Pulau Nain dikumpulkan secara langsung dengan
cara wawancara yang berpedoman pada kuisioner. Data jumlah penduduk, mata
pencaharian, dan tingkat pendidikan diperoleh dari Kantor Desa Nain, Kantor
Kecamatan Wori, dan Badan Pusat Statistik. Letak desa dan kampung di Pulau
Nain seperti pada Gambar 9.
Responden ditetapkan secara sengaja yaitu penduduk yang termasuk dalam
usia angkatan kerja 15 – 64 tahun yang berjumlah 1.671 orang (Pandelaki, 2011).
Menurut Mondiringin (2005) 90% penduduk Desa Nain beraktivitas di bidang
budidaya daya rumput laut, baik sebagai pembudidaya, pekerja, penampung dan
penjual. Jumlah angkatan kerja sebanyak 1.671, yang berusaha di bidang rumput
Sumber: Google maps (2011) & Foto koleksi pribadi
Gambar 9 Permukiman penduduk di Gugus Pulau Nain.
38
laut diperkirakan berjumlah 1.504 orang. Dalam penelitian ini jumlah responden
ditetapkan dengan menggunakan rumus Slovin (1960) in Hikmat (2002):
21 Ne
Nn
(1)
dimana : N = populasi
n = responden
e = nilai kesalahan yang ditentukan (10%).
Berdasarkan persamaan ini maka dari 1.504 orang dipilih sebanyak 94 responden
sebagai target wawancara.
3.3.3 Analisis data
1) Parameter pertumbuhan
Parameter yang diukur adalah pertambahan berat maka yang diukur
langsung adalah data berat (gram) rumput laut uji selama penelitian. Parameter
yang ditelaah adalah:
a) Laju pertumbuhan harian (Penniman et al. 1986) :
G (%) = [(Wt/W0)1/t
– 1] x 100% (2)
dimana: G = laju pertumbuhan per hari (%)
Wt = berat pada saat pengukuran (gram)
Wo = berat awal (gram)
T = waktu penelitian (hari)
b) Pertumbuhan mutlak (Effendie 1997):
∆W = Wt – Wo (3)
dimana: ∆W = pertumbuhan mutlak dalam berat (gram)
Wt = berat pada saat pengukuran (gram)
Wo = berat awal (gram)
Pengamatan epifit dan hama pada rumput laut diamati selama penelitian.
Sampel yang belum diketahui identitasnya dimasukkan ke dalam wadah plastik
yang berisi silika gel sebagai pengawet, kemudian dibawa ke laboratorium untuk
diamati dengan menggunakan mikroskop.
39
2) Kesesuaian lahan
Pengamatan spasial dengan menggunakan pendekatan sistem informasi
geografis (SIG) adalah untuk mendapatkan bobot dan skor dalam menentukan
kelas kesesuaian lahan. Proses yang dilakukan melalui tahapan penyusunan basis
data spasial dan teknik tumpang susun serta menentukan daya dukung atau daya
tampung lahan dalam kawasan yang ditentukan.
Analisis ketersedian ruang ini didasarkan pada kesesuaian perairan yang
mendukung budidaya rumput laut. Kesesuaian ruang perairan secara spasial
menggunakan parameter fisika, kimia dan biologi perairan yang merupakan
prasyarat kelayakan budidaya rumput laut. Selanjutnya ditentukan tingkat
kelayakan dengan memberikan bobot pada setiap parameter yang terukur
berdasarkan hasil studi pustaka dan informasi dari para pakar. Matriks skoring
dapat dilihat pada Tabel 4. Bobot terbesar sampai terkecil diberikan berdasarkan
besarnya pengaruh parameter terhadap kegiatan budidaya rumput laut.
Pengisian tabel skoring mengikuti langkah-langkah berikut:
a) Pengisian nilai pada kolom 3 untuk nilai teramati adalah hasil pengukuran
langsung dan analisis laboratorium.
b) Pengisian nilai pada kolom 6,7, dan 8 berdasarkan kolom 3:
- Skor 5 untuk kisaran nilai yang diinginkan
- Skor 2 untuk kisaran nilai yang dibolehkan
- Skor 0 untuk kisaran nilai di luar yang diinginkan dan dibolehkan
c) Pengisian nilai pada kolom 9 :
- Bobot 3 apabila paramater sangat berpengaruh pada kelangsungan usaha
budidaya rumput laut
- Bobot 2 apabila parameter cukup berpengaruh pada kelangsungan usaha
budidaya rumput laut
- Bobot 1 apabila parameter tidak terlalu berpengaruh pada kelangsungan
usaha budidaya rumput laut
d) Pengisian nilai pada kolom 10 berdasarkan nilai perkalian antara nilai skor
dengan nilai bobot untuk masing-masing parameter.
40
Tabel 4 Skoring areal budidaya rumput laut Kappaphycus alvarezii
Parameter Satuan Ter-
amati Sangat sesuai Sesuai
Skor Bobot Nilai
0 2 5
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Kec. arus cm/det 20 – 30 1 –19atau31–45 3
Kecerahan % 80 – 100 60 – 79 3
Keterlindungan - Terlindung Ckp terlindung 3
Kedalaman m 1 – 15 16 – 30 3
Salinitas ppt 32 – 34 28 – 31 2
Substrat - Pasir bkarang Pasir blumpur 3
Suhu 0C 29 – 31 25 – 28 2
pH - 6,5 – 8,5 6 – 9 2
Fosfat mg/l 0,9 – 3 0,1 – < 0,9 2
Nitrat mg/l 0,02 – 1 0,01 – < 0,02
atau 1 – 2
2
Sumber: modifikasi dari Kamlasi (2008), Pong-Masak et al. (2008), Masitasari (2009).
Total nilai dari hasil perkalian nilai skor dengan bobot dipakai untuk
menentukan klas kesesuaian lahan budidaya rumput laut berdasarkan karakteristik
kualitas perairan dengan perhitungan sebagai berikut:
(4)
dimana:
I = interval klas kesesuaian lahan
ai = faktor pembobot
Xn = nilai tingkat kesesuaian lahan
k = jumlah kelas kesesuaian lahan yang diinginkan
Berdasarkan rumus, diperoleh interval kelas dan nilai (skor) kesesuaian lahan
sebagai berikut:
78 – 99 = Sangat sesuai (S1)
57 – 77 = Sesuai (S2)
17 – 56 = Tidak Sesuai (N)
Dalam penelitian ini kelas kesesuaian lahan/perairan dibedakan pada tiga
tingkatan yang didefinisikan oleh FAO 1976 in Hardjowigeno et al. (2001):
41
Sangat sesuai, yaitu perairan tidak mempunyai faktor pembatas yang berat atau
hanya mempunyai faktor pembatas yang kurang berarti (minor) dan secara
nyata tidak akan menurunkan produktivitas perairan ubudidaya rumput laut.
Sesuai, yaitu perairan mempunyai faktor pembatas yang agak berat dan akan
mempengaruhi produktivitas perairan untuk kegiatan budidaya rumput laut
dan ikan kerapu. Dalam pengelolaannya diperlukan tambahan masukan
(input) teknologi dan tingkat perlakuan.
Tidak sesuai, yaitu perairan mempunyai faktor pembatas yang sifatnya permanen,
sehingga tidak sesuai untuk budidaya rumput laut dan ikan kerapu.
3. Analisis daya dukung
Analisis daya dukung adalah untuk mengestimasi jumlah unit budidaya
yang dapat didukung pada potensi areal yang ditentukan sebelumnya. Analisis
daya dukung perairan untuk budidaya rumput laut di perairan Gugus Pulau Nain
dilakukan pendekatan dengan kapasitas luas areal budidaya yang sesuai, dan
metode budidaya yang diterapkan. Parameter yang menjadi acuan dalam
penentuan daya dukung lahan tersebut menurut Rauf (2007) adalah:
a. Luas perairan budidaya rumput laut yang sesuai
Luas perairan budidaya rumput laut yang sesuai dapat diperoleh dari hasil
analisis kesesuaian dengan menggunakan SIG.
b. Kapasitas perairan
Kapasitas perairan diartikan sebagai luasan lahan perairan yang dapat
dimanfaatkan untuk kegiatan budidaya rumput laut secara terus menerus yang
secara sosial tidak menimbulkan konflik serta secara ekologis tidak mengganggu
ekosistem pesisir. Besarnya kapasitas lahan yang ditetapkan dalam studi ini
dianalisis dengan formula sebagai berikut:
Gambar 10 Skema unit budidaya rumput laut (modifikasi dari Rauf 2007).
l2 l1 L1 L2
p1
p2
42
(5)
dimana:
KA = Kapasitas areal
∆L = L2 – L1
L1 = Luas unit budidaya
L2 = Luas yang sesuai untuk satu unit budidaya
l1 = lebar unit budidaya
l2 = lebar yang sesuai untuk satu unit budidaya
p1 = panjang unit budidaya
p2 = panjang yang sesuai untuk satu unit budidaya
Kapasitas perairan ditentukan dari selisih antara luas perairan yang sesuai
dengan luas unit budidaya dibagi dengan luas perairan yang sesuai kali 100%.
Luas unit budidaya (L1) ditentukan berdasarkan luas rata-rata unit budidaya yang
ada di Perairan Gugus Pulau Nain, yaitu 12 m2. Luas yang sesuai untuk satu unit
budidaya (L2) ditentukan berdasarkan hasil evaluasi kesesuaian areal. Daerah yang
berwarna biru merupakan jarak antara unit budidaya yang diasumsikan 2 m yaitu
duakali lebar maksimal badan perahu yang dipakai petani rumput laut dalam
melakukan aktivitasnya di Perairan Gugus Pulau Nain.
c. Luasan unit budidaya
Luasan unit budidaya adalah besaran yang menunjukkan luasan dari satu
unit budidaya rumput laut dengan setiap luasan unit budidaya berbeda-beda
tergantung dari metode budidaya yang diterapkan. Dalam kajian ini luasan satu
unit budidaya didasarkan pada metode long line dengan ukuran 20 x 60 m2 atau
0,12 ha.
d. Daya dukung perairan
Daya dukung perairan menunjukkan kemampuan maksimal lahan untuk
mendukung aktivitas budidaya secara terus menerus tanpa menimbulkan
penurunan kualitas, baik lingkungan biofisik maupun sosial. Berdasarkan
pendekatan tersebut di atas maka daya dukung perairan untuk budidaya rumput
laut dapat dihitung dengan menggunakan formula sebagai berikut:
43
DDARL = LAS x KA (6)
dimana:
DDARL = Daya dukung areal budidaya rumput laut (ha)
LAS = Luas areal yang sesuai (ha)
KA = Kapasitas areal (ha)
Jumlah unit wadah budidaya yang dapat didukung berdasarkan daya
dukung yang diperoleh menggunakan persamaan:
JUBRL =
. (7)
dimana:
JUBRL = jumlah unit budidaya rumput laut (unit)
DDA = daya dukung areal perairan (ha)
LUB = luas unit budidaya (unit/ha)
4. Distribusi limbah
Pada bagian ini, analisis dilakukan secara deskriptif yaitu menggambarkan
secara sistematis fakta dan karakteristik objek dan subjek yang diteliti secara
tepat. Menurut Best (1982) in Hartoto (2009), penelitian deskriptif merupakan
metode penelitian yang berusaha menggambarkan dan menginterpretasi objek
sesuai dengan apa adanya. Selanjutnya Hartoto (2009) menyatakan penelitian
deskriptif sering disebut noneksperimen karena tidak dilakukan kontrol dan
manipulasi variabel penelitian. Penelitian ini juga memerlukan tindakan yang teliti
pada setiap komponennya agar dapat menggambarkan subjek atau objek yang
diteliti mendekati kebenarannya.
5. Cost benefit analysis (CBA)
CBA telah digunakan secara luas untuk menilai kelayakan suatu kegiatan
usaha (Fauzi & Anna 2003). Metode ini pada prinsipnya merupakan proses untuk
menilai tujuan dan cara-cara untuk mencapai tujuan tersebut dengan
menggunakan teori data dan model. Keunggulan metode ini adalah sangat praktis
digunakan sehingga menjadi alat analisis ekonomi yang sangat populer. Walaupun
demikian menurut Fauzi & Anna (2003) metode ini mempunyai kelemahan, yaitu
tidak cukup mampu menangkap aliran keuntungan dan biaya yang terkait dengan
aliran barang dan jasa dari sumberdaya alam serta cenderung mengurangi berbagai
informasi menjadi satuan tunggal dalam bentuk nilai uang.
44
a) Net Present Value (NPV). Metode NPV merupakan metode yang
memperhatikan nilai waktu dari uang. Metode ini menggunakan suku bunga
diskonto yang akan mempengaruhi arus dari uang. NPV dapat dihitung dari
selisih nilai proyek pada awal tahun dikurangi dengan tingkat bunga diskonto.
Secara matematik rumus menghitung NPV dapat dituliskan sebagai berikut:
(8)
dimana:
t = 1,2, …
i = interest rate (discount rate)
= the discount factor
Metode ini memperhatikan nilai waktu uang, maka arus kas masuk (cash
inflow) yang digunakan dalam menghitung NPV (nilai sekarang bersih) adalah
arus kas masuk yang didiskontokan atas dasar discount rate tertentu (biaya modal
dan tingkat bunga yang berlaku umum). Selisih antara PV penerimaan kas dengan
PV pengeluaran kas dinamakan NPV. Kriteria keputusan adalah:
Jika NPV bertanda positif (NPV > 0), maka rencana investasi diterima.
Jika NPV bertanda negatif (NPV < 0), maka rencana investasi ditolak.
b) Net Benefit Cost Ratio (NBC ratio). Benefit-cost ratio adalah cara evaluasi usaha
dengan membandingkan nilai sekarang seluruh hasil yang diperoleh suatu
usaha dengan nilai sekarang seluruh biaya usaha. Rumus BCR dapat ditulis
sebagai berikut:
(9)
Apabila BCR lebih besar dari 0 (BCR>0) maka usaha tersebut
menggambarkan keuntungan dan layak dilaksanakan, namun bila BCR sama
dengan 0 (BCR=0) maka usaha tersebut tidak untung dan tidak rugi (marjinal)
sehingga usaha tersebut dilanjutkan atau tidak terserah pengambil keputusan,
sedangkan bila BCR kurang dari 0 (BCR<0) maka usaha tersebut merugikan
sehingga tidak layak untuk dilaksanakan.
45
6) Data envelopment analysis (DEA)
DEA merupakan metode untuk mengukur efisiensi relatif yang
mempunyai beberapa keunggulan dibandingkan metode-metode yang lain.
Menurut Fauzi & Anna (2005) pengukuran efisiensi dengan DEA tidak semata-
mata diukur dari rasio output dan input, tetapi juga memasukkan faktor
pembobotan dari setiap output dan input yang digunakan. DEA dapat mengukur
efisiensi relatif dengan berbagai kendala yang ada. Di dalam DEA, efisiensi
diartikan sebagai target untuk mencapai efisiensi maksimum dengan kendala
relatif efisiensi dari seluruh unit yang tidak boleh melebihi 100%. Dengan
mengidentifikasi alokasi input dan output, dapat dianalisis lebih jauh penyebab
ketidakefisiensian. Secara matematis efisiensi relatif di dalam DEA merupakan
solusi dari persamaan :
maxm
m
i ij
im
k kj
k
w y
Ev x
(10)
dengan kendala : 1m
m
i ij
i
k kj
k
w y
untuk setiapunit ke jv x
wi dan vk masing-masing adalah bobot output ke i dan bobot input ke k.
Selanjutnya dinyatakan bahwa pemecahan masalah pemrograman
matematis di atas akan menghasilkan nilai Em yang maksimum sekaligus nilai
bobot (w dan v) yang mengarah ke efisiensi. Jadi, jika nilai = 1, unit ke-m tersebut
dikatakan efisien relatif terhadap unit yang lain. Sebaliknya, jika nilai lebih kecil
dari 1, unit lain dikatakan lebih efisien, relatif terhadap unit m, meskipun
pembobotan dipilih untuk memaksimisasi unit m. Melalui teknik linearisasi,
persamaan (10) dapat dirubah menjadi persamaan linier sehingga pemecahan
melalui pemrograman linear dapat dilakukan. Linearisasi persamaan di atas
menghasilkan persamaan:
(11)
46
dengan kendala:
wi, vk ≥ ɛ
Salah satu manfaat dilakukannya linearisasi adalah dapat dilakukan
pemecahan pemrograman linear di atas dengan persamaan dual dari persamaan
(11). Primal dan dual variable dari persamaan (11) dapat ditulis kembali sebagai:
Model primal
maxmm i ij
i
E w y
dengan kendala:
—vk ≤ —ɛ k = 1, 2…m
—wi ≤ —ɛ i = 1, 2…t
= 1, 2…n
Variabel dual
0
Dengan demikian dual dari persamaan (11) dapat ditulis sebagai:
min
:
; 1...
; 1...
, , 0
m
m i k
i k
kj m k kj j
j
i ij j ij
j
j i k
Z S S
dengan kendala
x Z S x k m
S y y i t
S S
(12)