23
BAB II
TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN KREDIT, JAMINAN
FIDUSIA, DAN JABATAN NOTARIS
2.1. Tinjauan Umum tentang Perjanjian Kredit
2.1.1. Definisi Perjanjian dan Perjanjian Kredit
Perjanjian diatur di dalam Pasal 1313 sampai dengan Pasal 1351 Bab II
Buku III KUHPdt tentang perikatan-perikatan yang dilahirkan dari kontrak atau
perjanjian. Pasal 1313 KUHPdt menyatakan suatu perjanjian adalah suatu
perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu
orang lain atau lebih. Ketentuan Pasal 1313 KUPdt ini kurang tepat, karena ada
beberapa kelemahan yang perlu dikoreksi. Kelemahan-kelemahan tersebut yaitu
hanya menyangkut sepihak saja yang dapat diketahui dari rumusan kata kerja
“mengikatkan diri” yang sifatnya hanya datang dari satu pihak saja, tidak dari
kedua belah pihak. Seharusnya rumusan itu ialah “saling mengikatkan diri”,
sehingga ada konsensus antara kedua belah pihak. Dalam pengertian “perbuatan”
termasuk juga tindakan penyelenggaraan kepentingan (zaakwarneming), tindakan
melawan hukum (onrechtmatige daad) yang tidak mengandung suatu konsensus,
sehingga seharusnya dipakai istilah “persetujuan”. Selain itu, pengertian
perjanjian terlalu luas karena mencakup juga perjanjian kawin yang diatur dalam
bidang hukum keluarga, padahal yang dimaksud adalah hubungan antara debitur
dan kreditur mengenai harta kekayaan. Perjanjian yang diatur dalam Buku III
KUHPdt sebenarnya hanya meliputi perjanjian yang bersifat kebendaan, bukan
24
bersifat kepribadian. Dan dalam rumusan Pasal 1313 KUHPdt tidak disebutkan
tujuan mengadakan perjanjian, sehingga pihak-pihak mengikatkan diri itu tidak
jelas untuk apa.13
Berdasarkan kelemahan yang terdapat dalam ketentuan Pasal 1313 KUHPdt
tersebut, maka beberapa ahli hukum mencoba merumuskan defenisi perjanjian
secara lebih lengkap, yaitu :
1. Menurut Subekti, perjanjian adalah suatu peristiwa dimana seorang berjanji
kepada seorang lain, atau dimana dua orang itu saling berjanji untuk
melaksanakan sesuatu hal.14
2. Menurut Handri Raharjo, perjanjian merupakan suatu hubungan hukum di
bidang harta kekayaan yang didasari kata sepakat antara subjek hukum yang
satu dengan yang lain, dan diantara mereka (para pihak atau subjek hukum)
saling mengikatkan dirinya sehingga subjek hukum yang satu berhak atas
prestasi dan begitu juga subjek hukum yang lain berkewajiban untuk
melaksanakan prestasinya sesuai dengan kesepakatan yang telah disepakati
para pihak tersebut serta menimbulkan akibat hukum.15
3. Menurut R.Wirjono Prodjodikoro, perjanjiaan diartikan sebagai suatu
perhubungan hukum mengenai harta benda antara dua pihak, dalam mana
suatu pihak berjanji atau dianggap berjanjian untuk melakukan sesuatu hal
13
Abdulkadir Muhammad, 2000, Hukum Perdata Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung,
(selanjutnya disebut dengan Abdulkadir Muhammad II), h. 224-225.
14 R. Subekti, 2008, Hukum Perjanjian, Intermasa, Jakarta, h.1.
15 Handri Raharjo, 2009, Hukum Perjanjian di Indonesia, Pustaka Yustisia, Yogyakarta, h.
42.
25
atau untuk tidak melakukan sesuatu hal, sedang pihak lain berhak menuntut
pelaksanaan janji itu.16
Syarat-syarat sahnya suatu perjanjian menurut ketentuan Pasal 1320
KUHPdt yaitu :
1. Kesepakatan mereka yang mengikatkan dirinya
Kesepakatan adalah persesuaian pernyataan kehendak antar satu orang atau
lebih dengan pihak lainnya. Yang sesuai adalah pernyataannya, karena kehendak
itu tidak dapat dilihat atau diketahui orang lain. Menurut Sudikno Mertokusumo
ada lima cara terjadinya persesuaian pernyataan kehendak, yaitu17
:
a. Bahasa yang sempurna dan tertulis.
b. Bahasa yang sempurna secara lisan.
c. Bahasa yang tidak sempurna asal dapat diterima oleh pihak lawan.
Karena dalam kenyataannya seringkali seseorang menyampaikan
dengan bahasa yang tidak sempurna tetapi dimengerti oleh pihak
lawannya.
d. Bahasa isyarat asal dapat diterima oleh pihak lawannya.
e. Diam atau membisu, tetapi asal dipahami atau diterima oleh pihak
lawan.
2. Kecakapan untuk membuat suatu perjanjian.
Kecakapan bertindak adalah kecakapan atau kemampuan untuk melakukan
perbuatan hukum. Perbuatan hukum adalah perbuatan yang akan menimbulkan
16
Wirjono Prodjodikoro, 2000, Azas-azas Hukum Perjanjian, Mandar Maju, Bandung, h. 4.
17 H. Salim H.S, 2003, Hukum Kontrak Teori Dan Teknik Penyusunan Kontrak, Sinar
Grafika, Jakarta, (selanjutnya disebut H. Salim HS.I), h. 79.
26
akibat hukum. Pada umumnya orang dikatakan cakap melakukan perbuatan
hukum apabila ia sudah dewasa, artinya sudah mencapai umur 21 tahun atau
sudah kawin walaupun belum berumur 21 tahun. Menurut ketentuan pasal 1330
KUHPdt, dikatakan tidak cakap membuat perjanjian ialah orang yang belum
dewasa, orang yang ditaruh dibawah pengampuan, dan wanita bersuami (menurut
hukum nasional Indonesia sekarang, wanita bersuami sudah dinyatakan cakap
melakukan perbuatan hukum, jadi tidak perlu ijin suami).
3. Ada hal tertentu
Yang dimaksud suatu hal tertentu merupakan objek perjanjian yang
merupakan prestasi (pokok perjanjian). Prestasi adalah apa yang menjadi
kewajiban debitur dan menjadi hak kreditur.
4. Ada suatu sebab yang halal (causa).
Kata causa berasal dari bahasa Latin yang artinya sebab. Sebab adalah suatu
yang menyebabkan dan mendorong orang membuat perjanjian. Pasal 1320
KUHPdt mengartikan causa yang halal bukanlah sebab dalam arti yang
menyebabkan atau mendorong orang membuat perjanjian, melainkan sebab dalam
arti “isi perjanjian itu sendiri” yang menggambarkan tujuan yang hendak dicapai
oleh para pihak.18
Perjanjian kredit merupakan salah satu aspek yang sangat penting yang
menjadi dasar di dalam suatu pemberian kredit, tanpa perjanjian kredit yang
ditandatangani antar pihak bank dan kreditur maka tidak ada pemberian kredit
tersebut. Berdasarkan Pasal 1 angka 11 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998
18
Abdulkadir Muhammad II, op.cit, h. 228-231.
27
Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 Tentang
Perbankan dinyatakan kredit adalah penyediaan uang atau tagihan yang dapat
dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam-
meminjam antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam
untuk melunasi utangnya setelah jangka waktu tertentu dengan pemberian bunga.
Sedangkan perjanjian kredit merupakan ikatan antara bank dengan pihak lain
nasabah peminjam dana yang isinya menetukan dan mengatur hak dan kewajiban
kedua belah pihak yang berhubungan dengan pemberian atau pinjaman kredit
berdasarkan persetujuan atau kesepakatan dalam jangka waktu tertentu yang telah
disetujui atau disepakati bersama akan melunasi utangnya tersebut dengan
sejumlah bunga, imbalan, atau pembagian hasil keuntungan.
Menurut R. Subekti, dalam bentuk apa pun juga pemberian kredit itu
diadakan, dalam semuanya itu pada hakikatnya yang terjadi adalah suatu
perjanjian pinjam-meminjam sebagaimana diatur dalam KUHPdt pada pasal 1754
sampai dengan pasal 1769.19
Menurut H. Salim HS yang diartikan dengan perjanjian kredit adalah
perjanjian yang dibuat antara kreditur dan debitur, di mana kreditur berkewajiban
untuk memberikan uang atau kredit kepada debitur, dan debitur berkewajiban
untuk membayar pokok dan bunga, serta biaya-biaya lainnya sesuai dengan
jangka waktu yang telah disepakati antara keduanya.20
19
Rachmadi Usman, 2000, Aspek-Aspek Hukum Perbankan di Indonesia, PT Gramedia
Pustaka Utama, Jakarta, (selanjutnya disebut dengan Rachmadi Usman II), h. 261.
20 H. Salim H.S, 2006, Perkembangan Hukum Kontrak Diluar KUH Perdata, Raja
Grafindo Persada, Jakarta, (selanjutnya disebut dengan H. Salim HS.II), h. 80.
28
Penyaluran dana melalui kredit mengandung resiko yang tinggi, karena itu
dalam praktek pemberian kredit diharapkan selalu melalui suatu analisa yang baik
dan sehat untuk memperoleh keyakinan atas kemampuan dan kesanggupan debitur
untuk melaksanakan kewajibannya. Untuk memperoleh keyakinan terhadap
kemampuan dan kesanggupan debitur maka bank melakukan penilaian yang
dikenal dengan the five c's of credit (5C) antara lain watak (Character), modal
(Capital), kemampuan (Capacity), jaminan (Collateral), kondisi perekonomian
(Condition of economic). Faktor jaminan (collateral) di dalam dunia perbankan
disebut dengan agunan, dan ini merupakan jaminan secara yuridis yang berfungsi
untuk mengambil pelunasan dari agunan tersebut. Agunan dalam praktek
perbankan dikenal dapat berapa jaminan kebendaan maupun jaminan
perorangan.21
2.1.2. Bentuk Perjanjian Kredit
Menurut hukum, perjanjian kredit dapat dilakukan secara lisan atau tertulis
yang terpenting memenuhi syarat-syarat Pasal 1320 KUHPdt. Namun dari sudut
pembuktian, perjanjian yang dilakukan secara lisan sulit untuk dijadikan sebagai
alat bukti, karena hakekat pembuatan perjanjian adalah sebagai alat bukti bagi
para pihak yang membuatnya. Dalam dunia modern yang kompleks ini perjanjian
lisan tentu sudah tidak dapat disarankan untuk digunakan meskipun secara teori
diperbolehkan karena perjanjian secara lisan sulit dijadikan sebagai alat
pembuktian bila terjadi masalah dikemudian hari. Untuk itu setiap transaksi
21
Peter Mahmud Marzuki, dkk, 1998, Hukum Jaminan Indonesia, Elips, Jakarta, h. 60.
29
apapun haruslah dibuat secara tertulis yang digunakan sebagai alat bukti. Untuk
pemberian kredit perlu dibuat perjanjian kredit sebagai alat bukti.
Dalam praktek bank ada dua bentuk perjanjian kredit yaitu pertama,
perjanjian kredit yang dibuat di bawah tangan dinamakan akta di bawah tangan.
Menurut Pasal 1874 KUHPdt yang dimaksud akta di bawah tangan adalah surat
atau tulisan yang dibuat oleh para pihak tidak melalui perantara pejabat yang
berwenang (pejabat umum) untuk dijadikan alat bukti. Pengikatan yang dilakukan
antara bank dan nasabah tanpa dihadapan notaris.22
Kedua, perjanjian kredit yang
dibuat oleh dan dihadapan notaris atau pengikatan yang dilakukan dihadapan
notaris yang dinamakan akta otentik atau akta notariil. Pasal 1868 KUHPdt akta
otentik adalah akta yang didalam bentuk yang ditentukan oleh undang-undang
yang dibuat atau dihadapan pegawai yang berkuasa (pegawai umum) untuk itu,
ditempat dimana akta dibuatnya. Yang menyiapkan dan membuat perjanjian ini
adalah seorang notaris namun dalam praktek semua syarat dan ketentuan
perjanjian kredit disiapkan oleh bank kemudian diberikan kepada kepada notaris
untuk dirumuskan dalam akta notaril dimana notaris dalam membuat perjanjian
hanyalah merumuskan apa yang diinginkan para pihak yang bersangkutan dalam
bentuk akta notaris atau akta otentik. Perjanjian kredit yang dibuat dalam bentuk
akta notaril atau akta otentik biasanya untuk pemberian kredit dalam jumlah yang
besar dengan jangka waktu menengah atau panjang, seperti kredit investasi, kredit
22
Jopie Jusuf, 2003, Kriteria Jitu Memperoleh Kredit Bank, Elex Media Komputindo,
Jakarta, h. 165.
30
modal kerja, kredit sindikasi (kredit yang diberikan lebih dari satu kreditur atau
lebih dari satu bank).23
2.2. Tinjauan Umum tentang Jaminan Fidusia
2.2.1. Definisi dan Prinsip-Prinsip Jaminan Fidusia
Fidusia dikenal dengan berbagai nama atau istilah. Di dalam bahasa Belanda
disebut dengan fiducie, sedangkan dalam bahasa Inggris disebut fiduciary transfer
of ownership yang artinya kepercayaan. Asser Van Oven menyebutnya dengan
“hak milik sebagai jaminan” (zekerheids-eigendom) , Blon menyebutnya sebagai
“hak jaminan tanpa penguasaan” (bezitsloos zekerheidsrecht), Kahrel memakai
istilah “gadai yang diperluas” (Verruimd Pandbegrip), sedangkan Dr. A.
Veenheren menyebutnya dengan istilah “penyerahan hak milik sebagai
jaminan”(eigendom overdracht tot zekerheid). Fidusia lazim disebut dengan
istilah fiduciaire eigendom overdract (FEO)24
, yaitu penyerahan hak milik
berdasarkan atas kepercayaan. Di dalam Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor
42 Tahun 1999 Tentang Jaminan Fidusia dapat dilihat definisi dari fidusia. Fidusia
adalah Pengalihan hak kepemilikan suatu benda atas dasar kepercayaan dengan
ketentuan bahwa benda yang hak kepemilikannya yang diadakan tersebut tetap
dalam penguasaan pemilik benda. Adapun cara penyerahan dan pemindahan
kebendaan fidusia dilakukan secara constitutum possesorium, sebab kebendaan
fidusia yang akan diserahkan dan dipindahtangankan tersebut tetap berada dalam
23
Sutarno, 2003, Aspek-Aspek Hukum Perkreditan pada Bank, Alfabeta, Bandung, h. 101.
24 Frieda Husni Hasbullah dan Surini Ahlan Syarif, 2001, Hukum Kebendaan Perdata,
Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Depok, h. 131.
31
penguasaan pemilik asal (pemberi fidusia).25
Jaminan fidusia dituangkan dalam
bentuk perjanjian. Biasanya dalam memberikan pinjaman uang, kreditor
mencantumkan dalam perjanjian itu bahwa debitor harus menyerahkan barang-
barang tertentu sebagai jaminan pelunasan utangnya.26
Menurut Dr. A Hamzah dan Senjun Manulang mengartikan “Fidusia adalah
suatu cara pengoperan hak milik dari pemiliknya (debitur), berdasarkan adanya
perjanjian pokok (perjanjian utang piutang) kepada kreditur, akan tetapi yang
diserahkan hanya haknya saja secara yuridise-levering dan hanya dimiliki oleh
kreditur secara kepercayaan saja (sebagai jaminan utang debitur), sedangkan
barangnya tetap dikuasai oleh debitur, tetapi bukan lagi sebagai eigenaar maupun
bezitter, melainkan hanya sebagai detentor atau houder dan atas nama kreditur-
eigenaar. Definisi tersebut didasarkan pada konstruksi hukum adat, karena istilah
yang digunakan adalah pengoperan. Pengoperan diartikan sebagai suatu proses
atau cara mengalihkan hak milik kepada orang lain. Unsur-unsur yang tercantum
dalam definisi yang dikemukan oleh Dr. A. Hamzah dan Senjun Manulang adalah
adanya pengoperan, dari pemiliknya kepada kreditur, adanya perjanjian pokok,
penyerahan berdasarkan kepercayaan, bertindak sebagai detentor atau houder.27
Disamping istilah fidusia, dikenal juga istilah Jaminan Fidusia. Istilah
Jaminan Fidusia ini dikenal dalam Pasal 1 angka 2 UUJF. Jaminan Fidusia adalah
25
Rachmadi Usman I, Op.cit, h. 152.
26 Oey Hoey Tiong, 1984, Fiducia sebagai Jaminan Unsur‐Unsur Perikatan, Ghalia
Indonesia, Jakarta, h. 21.
27 H. Salim HS, 2004, Perkembangan Hukum Jaminan di Indonesia, Raja Grafindo
Persada, Jakarta, (selanjutnya disebut dengan H. Salim HS.III), h. 56.
32
hak jaminan atas benda bergerak baik yang berwujud maupun yang tidak
berwujud dan benda tidak bergerak khususnya bangunan yang tidak dapat
dibebani hak tanggungan sebagaimana yang dimaksud dalam Undang-Undang
Nomor 4 Tahun 1996 tenatng Hak Tanggungan yang tetap berada dalam
penguasaan pemberi fidusia, sebagai agunan bagi pelunasan utang tertentu, yang
memberikan kedudukan yang diutamakan kepada penerima fidusia terhadap
kreditur lainnya. Unsur-unsur jaminan fidusia yang terkandung di dalam definisi
tersebut yaitu :
1. Adanya hak jaminan
2. Adanya objek, yaitu benda bergerak baik yang berwujud maupun yang tidak
berwujud dan benda tidak bergerak, khususnya bangunan yang tidak
dibebani hak tanggungan.
3. Benda menjadi objek jaminan tetap berada dalam penguasaan pemberi
fidusia
4. Memberikan kedudukan yang diutamakan kepada kreditur.
Dalam UUJF, pembentuk Undang-Undang tidak mencantumkan secara
tegas asas-asas hukum jaminan fidusia yang menjadi fundamen dari pembentukan
norma hukumnya. Oleh karena itu untuk menemukan asas-asas hukum jaminan
fidusia dicari dengan jalan menelaah pasal demi pasal dari Undang-Undang
Jaminan Fidusia tersebut. Adapun asas-asas Jaminan Fidusia yang terdapat dalam
UUJF, yaitu28
:
28
Tan Kamello, 2006, Hukum Jaminan Fidusia Suatu Kebutuhan yang Didambakan,
Alumni, Bandung, h. 159.
33
a. Asas Spesialitas
Asas ini ditegaskan dalam Pasal 1 dan 2 UUJF. Objek jaminan fidusia
merupakan agunan atau jaminan atas pelunasan utang tertentu. Oleh karena
itu, objek jaminan fidusia harus jelas dan tertentu pada satu segi, dan pada
segi lain harus pasti jumlah utang debitur atau paling tidak dipastikan atau
diperhitungkan jumlahnya.
b. Asas Assesoir
Menurut Pasal 4 UUJF, jaminan fidusia adalah perjanjian ikutan dari suatu
perjanjian pokok yang menimbulkan kewajiban bagi para pihak untuk
memenuhi suatu prestasi. Perjanjian pokoknya adalah perjanjian utang.
Sebagai suatu perjanjian accesoir, perjanjian jaminan fidusia memiliki sifat
ketergantungan terhadap perjanjian pokok dan keabsahannya semata-mata
ditentukan oleh sah tidaknya perjanjian pokok, serta sebagai perjanjian
bersyarat dimana hanya dapat dilaksanakan jika ketentuan yang diisyaratkan
dalam perjanjian pokok telah atau tidak dipenuhi.29
c. Asas Droit de Suite
Menurut Pasal 20 UUJF dinyatakan Jaminan Fidusia tetap mengikuti benda
yang menjadi objek Jaminan Fidusia dalam tangan siapapun berada, kecuali
pengalihan atas benda persediaan yang menjadi obyek Jaminan Fidusia.
Ketentuan ini mengakui prinsip droit de suite yang telah merupakan bagian
dari peraturan perundang-undangan Indonesia dalam kaitannya dengan hak
29
Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani, 2000, Jaminan Fidusia, Raja Grafindo Persada,
Jakarta, h. 125.
34
mutlak atas kebendaan (in rem). Dengan memberikan sifat droit pada
fidusia, maka hak kreditur tetap mengikuti bendanya kedalam siapapun ia
berpindah, termasuk terhadap pihak ketiga pemilik baru, yang berkedudukan
sebagai pihak ketiga pemberi jaminan.30
d. Asas Droit de Preference
Pengertian Asas Preferen atau hak didahulukan ditegaskan dalam Pasal 27
ayat (1) UUJF yaitu memberi hak didahulukan atau diutamakan kepada
penerima fidusia terhadap kreditur lain untuk mengambil pemenuhan
pembayaran pelunasan utang atas penjualan benda objek fidusia. Kualitas
hak didahulukan penerima fidusia, tidak hapus meskipun debitur pailit atau
dilikuidasi sebagaimana diatur dalam Pasal 27 ayat (3) UUJF.
e. Asas bahwa jaminan fidusia dapat diletakan atas hutang yang baru akan ada
(kontijen). Dalam Pasal 7 UUJF ditentukan bahwa objek jaminan fidusia
dapat dibebankan kepada hutang yang telah ada dan yang akan ada.
f. Asas bahwa jaminan fidusia dapat dibebankan terhadap benda yang akan
ada.
g. Asas Pemisahan Horizontal
Asas bahwa jaminan fidusia dapat dibebankan terhadap bangunan atau
rumah yang terdapat diatas tanah milik orang lain.
h. Asas bahwa pemberi jaminan fidusia harus orang yang memiliki
kewenangan hukum atas objek jaminan fidusia.
30
J. Satrio, 2002, Hukum Jaminan Hak Jaminan Kebendaan Fidusia, Citra Aditya Bakti,
Bandung, h. 278-280.
35
i. Asas Publisitas atau Publikasi
Asas bahwa jaminan fidusia harus didaftarkan ke Kantor Pendaftaran
Fidusia. Hal ini dapat dilihat dalam ketentuan dalm Pasal 11 UUJF.
j. Asas Pendakuan
Asas bahwa benda yang dijadikan objek jaminan fidusia tidak dapat dimiliki
oleh kreditur penerima jaminan fidusia sekalipun hal itu diperjanjikan.
k. Asas Itikad Baik
Asas bahwa pemberi jaminan fidusia yang tetap menguasai benda jaminan
harus mempunyai itikad baik. Asas ini memiliki arti subjektif sebagai
kejujuran bukan arti objektif sebagai kepatutan seperti dalam hukum
perjanjian. Dengan asas ini diharapkan bahwa pemberi jaminan fidusia wajib
memelihara benda jaminan, tidak mengalihkan, menyewakan, dan
menggadaikannya kepada pihak lain.
l. Asas bahwa jaminan fidusia mudah dieksekusi yang dapat dilihat dalam
Pasal 15 UUJF.
2.2.2. Obyek dan Subyek Jaminan Fidusia
Sebelum berlakunya UUJF, pada umumnya benda yang menjadi obyek
Jaminan Fidusia adalah benda bergerak yang terdiri dari benda dalam persediaan
(inventory), benda dagangan, piutang, peralatan mesin, dan kendaraan bermotor.31
Guna memenuhi kebutuhan masyarakat yang terus berkembang, maka obyek
hukum dalam Jaminan Fidusia dalam perspektif UUJF diberikan pengertian yang
31
Suhariningsih, 2011, Analisis Yuridis Terhadap Perjanjian Kredit Dengan Jaminan
Barang Inventory Dalam Bingkai Jaminan Fidusia, Wisnuwardhana Press, Malang, h. 23.
36
luas yaitu yaitu benda bergerak baik yang berwujud maupun tidak berwujud dan
benda tidak bergerak, khususnya bangunan yang tidak dapat dibebani hak
tanggungan. Sebagai contoh bangunan yang tidak dapat dibebani hak tanggungan
dalam hal ini adalah kaitannya dengan rumah susun,sebagaimana yang diatur
dalam Undang-undang Nomor 16 Tahun 1985 Tentang Rumah Susun.
Para pihak yang menjadi subyek hukum dalam Jaminan Fidusia ini adalah
mereka yang mengikatkan diri dalam perjanjian jaminan fidusia, yang terdiri atas
pihak pemberi fidusia dan penerima fidusia. Pemberi fidusia bisa orang
perseorangan atau korporasi pemilik benda yang menjadi obyek jaminan fidusia.
Hal ini berarti bahwa pemberi fidusia tidak harus debitur sendiri, tetapi bisa pihak
lain, dalam hal ini bertindak sebagai penjamin pihak ketiga yaitu mereka yang
merupakan pemilik obyek jaminan fidusia yang menyerahkan benda miliknya
untuk dijadikan sebagai jaminan fidusia. Pemberi fidusia harus memiliki hak
kepemilikan atas benda yang akan menjadi objek jaminan fidusia pada saat
pemberian fidusia tersebut dilakukan.32
Demikian pula Penerima fidusia adalah orang perseorangan atau korporasi
yang mempunyai piutang yang pembayarannya dijamin dengan Jaminan
Fidusia.33
Di dalam UUJF tidak terdapat pengaturan yang khusus berkaitan
dengan syarat penerima fidusia, berarti perseorangan atau korporasi yang
bertindak sebagai penerima fidusia ini bisa warga negara Indonesia atau pihak
32
Rachmadi Usman, 2011, Hukum Kebendaan, Sinar Grafika, Jakarta, (selanjutnya disebut
dengan Rachmadi Usman III), h. 288.
33 Kashadi, 2000, Hak Tanggungan dan Jaminan Fidusia, Badan Penerbit Undip,
Semarang, h. 95-96.
37
asing, baik yang berkedudukan di dalam maupun diluar negeri, sepanjang
dipergunakan untuk kepentingan pembangunan di wilayah negara Indonesia.
2.2.3. Pembebanan Jaminan Fidusia
Di dalam Pasal 5 ayat (1) UUJF dinyatakan Pembebanan benda dengan
Jaminan Fidusia dibuat dengan akta notaris dalam bahasa Indonesia dan
merupakan Akta Jaminan Fidusia. Jadi setiap perbuatan hukum yang bermaksud
membebani benda dengan jaminan fidusia dibuktikan dengan akta notaris. Akta
notaris merupakan akta autentik dan mempunyai kekuatan pembuktian yang
paling semnpurna, karenanya pembebanan benda dengan jaminan fidusia
dituangkan dalam akta notaris yang merupakan Akta Jaminan Fidusia. Dalam
Pasal 1870 KUHPdt dinyatakan bahwa suatu akta autentik memberikan suatu
bukti yang sempurna tentang apa yang dimuat didalamnya diantara para pihak
beserta para ahli warisnya ataupun orang-orang yang mendapatkan hak dari
mereka selaku penggantinya. Atas dasar itulah UUJF mengharuskan dan
mewajibkan pembebanan benda yang dijamin dengan Jaminan Fidusia dilakukan
dengan akta notaris. Mengingat objek jaminan fidusia pada umumnya adalah
barang bergerak yang tidak terdaftar, sudah sewajarnya bentuk akta autentiklah
yang dianggap paling dapat menjamin kepastian hukum berkenaan dengan objek
jaminan fidusia.34
Dalam Pasal 6 UUJF dinyatakan bahwa Akta Jaminan Fidusia sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 5 sekurang-kurangnya memuat :
34
Fred B.G. Tumbuan, 2000, Mencermati Pokok-Pokok Undang-Undang Fidusia, Yayasan
Pusat Pengkajian Hukum, Jakarta, h. 23.
38
1. Identitas pihak Pemberi dan Penerima Fidusia
2. Data perjanjian pokok yang dijamin fidusia
3. Uraian mengenai benda yang menjadi obyek jaminan fidusia
4. Nilai penjaminan
5. Nilai benda yang menjadi jaminan fidusia.
Diisyaratkan penyebutan data-data diatas di dalam Akta Jaminan Fidusia
sudah bisa diduga berkaitan dengan prinsip spesialitas yang dianut oleh UUJF dan
yang pada gilirannya mendukung prinsip kepastian hukum yang menjadi salah
satu tujuan Undang-Undang Fidusia.35
Sementara itu, ketentuan dalam Pasal 7 UUJF menegaskan bahwa utang
yang pelunasannya dijamin dengan fidusia dapat berupa :
1. Utang yang telah ada
2. Utang yang akan timbul dkemudian hari yang telah diperjanjikan dalam
jumlah tertentu, atau
3. Utang yang ada pada saat eksekusi dapat ditentukan jumlahnya berdasarkan
perjanjian pokok yang menimbulkan kewajiban memenuhi suatu prestasi.
Pasal 8 UUJF memberikan kemungkinan bahwa Jaminan Fidusia dapat
diberikan kepada lebih dari satu Penerima Fidusia atau kepada kuasa atau wakil
dari Penerima Fidusia tersebut. Selanjutnya, Pasal 9 UUJF menetapkan bahwa
jaminan fidusia dapat diberikan terhadap satu atau lebih satuan atau jenis benda,
termasuk piutang, baik yang telah ada pada saat jaminan diberikan maupun yang
diperoleh kemudian. Pembebanan jaminan atas benda atau piutang yang diperoleh
35
J. Satrio, op.cit, h. 204.
39
kemudian mana tidak perlu dilakukan dengan perjanjian jaminan tersendiri.
Dalam Pasal 10 UUJF ditegaskan bahwa kecuali diperjanjikan lain, jaminan
fidusia meliputi hasil benda yang menjadi objek jaminan fidusia dan juga klaim
asuransi, dalam hal benda yang menjadi objek jaminan fidusia diasuransikan.
2.3. Tinjauan Umum tentang Jabatan Notaris
2.3.1. Definisi Jabatan Notaris
Dewasa ini, notaris kian populer di kalangan masyarakat. Keberadaannya
semakin dibutuhkan dalam membantu dan melayani masyarakat untuk membuat
suatu alat bukti tertulis yang bersifat otentik mengenai keadaan, peristiwa atau
perbuatan hukum.36
Maka tidak jarang berbagai peraturan perundangan
mewajibkan perbuatan hukum tertentu dibuat dalam akta otentik. Akta otentik
yang dibuat oleh notaris memiliki kekuatan hukum yang sangat kuat mengingat
akta otentik merupakan alat bukti yang sempurna. Notaris dan produk aktanya
dapat dimaknai sebagai upaya Negara untuk menciptakan kepastian dan
perlindungan hukum bagi anggota masyarakat. Mengingat dalam wilayah hukum
privat atau perdata, Negara menempatkan notaris sebagai pejabat umum yang
berwenang dalam pembuatan akta otentik, untuk kepentingan pembuktian atau
alat bukti.
Di Indonesia, istilah notaris sudah dikenal semenjak zaman kolonial
Belanda. Istilah notaris berasal dari kata notarius, dalam bahasa Romawi. Kata
36
Habib Adjie, 2008, Hukum Notaris Indonesia (Tafsir Tematik Terhadap UU No. 30
Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris), Refika Aditama, Bandung, (selanjutnya disebut dengan
Habib Adjie I), h. 14.
40
tersebut diberikan kepada orang-orang yang menjalankan pekerjaan menulis.
Selain pendapat tersebut, notarius juga berasal dari perkataan nota dan literaria
yaitu tanda tulisan atau karakter yang dipergunakan untuk menuliskan atau
menggambarkan ungkapan kalimat yang disampaikan narasumber. Tanda atau
karakter yang dimaksud adalah tanda yang dipakai dalam penulisan cepat
(stenografie).37
Pada awalnya jabatan notaris hakikatnya adalah sebagai pejabat umum
(private notary) yang ditugaskan oleh kekuasaan umum untuk melayani
kebutuhan masyarakat akan alat bukti otentik yang memberikan kepastian
hubungan hukum keperdataan. Jadi, sepanjang alat bukti otentik tetap diperlukan
oleh sistem hukum negara maka jabatan notaris akan tetap diperlukan
eksistensinya di tengah masyarakat.
Hukum positiv di Indonesia telah mengatur jabatan notaris dalam suatu
undang-undang khusus. Pemerintah bersama dengan Dewan Perwakilan Rakyat
menetapkan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris.
UUJN yang dinyatakan berlaku mulai tanggal 6 Oktober 2004, dan diundangkan
dalam Lembaran Negara RI Tahun 20004 Nomor 117. Pembaharuan terhadap
Undang-Undang ini terus dilakukan karena sudah tidak sesuai lagi dengan
perkembangan hukum dan kebutuhan masyarakat serta untuk menjamin kepastian,
ketertiban, dan perlindungan hukum maka dikeluarkanlah Undang-Undang
37
Hartanti Sulihandari dan Nisya Rifiani, 2013, Prinsip-Prinsip Dasar Profesi Notaris,
Dunia Cerdas, Jakarta, h. 4.
41
Nomor 2 Tahun 2014 Tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun
2004 Tentang Jabatan Notaris.
Merujuk pada Pasal 1 UUJN menyatakan bahwa notaris adalah pejabat
umum yang berwenang untuk membuat akta otentik dan kewenangan lainnya.
Notaris dikualifikasikan sebagai pejabat umum. Pejabat umum adalah seseorang
yang diangkat dan diberhentikan oleh pemerintah dan diberi wewenang dan
kewajiban untuk melayani publik dalam hal-hal tertentu karena ia ikut serta
melaksanakan suatu kekuasaan yang bersumber pada kewibawaan dari
pemerintah. Dalam jabatannya tersimpul suatu sifat atau ciri khas yang
membedakannya dan jabatan-jabatan lainnya dalam masyarakat.
Kedudukan notaris sebagai pejabat umum merupakan suatu jabatan
terhormat yang diberikan oleh negara secara atributif melalui Undang-Undang
kepada seseorang yang dipercayainya. Sebagai pejabat umum, notaris diangkat
oleh menteri, berdasarkan Pasal 2 UUJN. Dengan diangkatnya seorang notaris,
maka ia dapat menjalankan tugasnya dengan bebas, tanpa dipengaruhi badan
eksekutif dan badan lainnya dan dapat bertindak netral dan independen. Tugas
notaris adalah untuk melaksanakan sebagian fungsi publik dari negara dan bekerja
untuk pelayanan kepentingan umum khususnya dalam bidang hukum perdata,
walaupun notaris bukan merupakan pegawai negeri yang menerima gaji dari
negara. Pelayanan kepentingan umum tersebut adalah dalam arti bidang pelayanan
pembuatan akta dan tugas-tugas lain yang dibebankan kepada notaris, yang
melekat pada predikat sebagai pejabat umum dalam ruang lingkup tugas dan
42
kewenangan notaris. Akta notaris yang diterbitkan oleh notaris memberikan
kepastian hukum bagi masyarakat.
Notaris mempunyai peran serta dalam aktivitas menjalankan profesi hukum
yang tidak dapat dilepaskan dari persoalan-persoalan mendasar yang berkaitan
dengan fungsi serta peranan hukum itu sendiri, yang mengatur segala kehidupan
masyarakat. Tanggung jawab notaris yang berkaitan dengan profesi hukum tidak
dapat dilepaskan pada pendapat bahwa dalam melaksanakan jabatannya tidak
dapat dilepaskan dari keagungan hukum itu sendiri, sehingga notaris diharapkan
bertindak untuk merefleksikannya di dalam pelayannya kepada masyarakat.
Kewenangan sebagaimana dimaksud UUJN adalah membuat akta otentik
mengenai semua perbuatan, perjanjian, dan ketetapan yang diharuskan oeh
peraturan perundang-undangan dan/atau dikehendaki oleh yang berkepentingan
untuk dinyatakan dalam akta otentik, menjamin kepastian tanggal pembuatan akta,
menyimpan akta, memberikan grosse, salinan dan kutipan akta, semuanya itu
sepanjang pembuatan akta-akta itu tidak juga ditugaskan atau dikecualikan
kepada pejabat lain yang ditetapkan oleh Undang-Undang. Dalam hal ini, notaris
mendapat kuasa dari Kementrian Kehakiman untuk mengesahkan dan
menyaksikan berbagai surat perjanjian, surat wasiat, akta dan sebagainya. Apa
yang diperjanjikan dan dinyatakan didalam akta itu adalah benar, seperti apa yang
diperjanjikan dan dinyatakan oleh para pihak, sebagai yang dilihat atau didengar
oleh notaris, terutama benar mengenai tanggal akta, tanda tangan di dalam akta,
identitas yang hadir, dan tempat akta itu dibuat.
2.3.2. Asas Pelaksanaan Tugas dan Kewajiban Notaris
43
Asas atau prinsip merupakan sesuatu yang dapat dijadikan sebagai alas,
dasar, tumpuan, tempat untuk menyandarkan sesuatu, mengembalikan sesuatu hal
yang hendak dijelaskan.38
Asas hukum mengandung nilai-nilai dan tuntutan-
tuntutan etis, sehingga ia merupakan jembatan antara peraturan-peraturan hukum
dengan cita-cita sosial dan pandangan etis masyarakatnya. Melalui asas hukum
ini, peraturan-peraturan hukum berubah sifatnya menjadi bagian dari suatu tatanan
etis.
Ada beberapa asas yang harus dijadikan pedoman daam menjalankan tugas
jabatan notaris, yaitu sebagai asas-asas pelaksanaan tugas jabatan notaris yang
baik, dengan substansi dan pengertian untuk kepentingan notaris. Asas-tersebut
yaitu :
1. Asas Kepastian Hukum
Indonesia merupakan negara hukum dimana negara hukum bertujuan untuk
menjamin bahwa kepastian hukum terwujud dalam masyarakat. Hukum bertujuan
untuk mewujudkan kepastian dalam hubungan antar manusia, yaitu menjamin
prediktabilitas, dan juga bertujuan untuk mencegah bahwa hak yang terkuat yang
berlaku. Menurut Abdullah Choliq, implementasi asas kepastian hukum ini
menuntut dipenuhinya hal-hal sebagai berikut :
a. Syarat legalitas dan konstitusionalitas, tindakan pemerintah dan pejabatnya
bertumpu pada perundang-undangan dalam kerangka konstitusi.
b. Syarat Undang-Undang menetapkan berbagai perangkat aturan tentang tata
cara pemerintah dan para pejabatnya melakukan tindakan.
38
Mahadi, 1989, Falsafah Suatu Pengantar, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, h. 119.
44
c. Syarat perundang-undangan hanya mengikat warga masyarakat setelah
diundangkan dan tidak berlaku surut (non retroaktif)
d. Asas peradilan bebas terjaminnya objektivitas, imparsialitas, adil dan
manusiawi.
Persoalan kepastian hukum bukan lagi semata-mata menjadi tanggung jawab
negara seoorang. Kepastian hukum itu harus menjadi nilai bagi setiap pihak dalam
sendi kehidupan, diluar peranan negara itu sendiri dalam penerapan hukum
legislasi maupun yudikasi. Sehubungan dengan hal tersebut diatas, notaris dalam
menjalankan tugas jabatannya wajib berpedoman secara normatif kepada aturan
aturan hukum yang berkaitan dengan segala tindakan yang akan diambil untuk
kemudian dituangkan dalam akta. Bertindak berdasarkan aturan hukum yang
berlaku tentunya akan memberikan kepastian kepada para pihak, bahwa akta yang
dibuat dihadapan atau oleh notaris telah sesuai dengan aturan hukum yang
berlaku, sehingga jika terjadi permasalahan, akta notaris dapat dijadikan pedoman
oleh para pihak.39
2. Asas Persamaan
Persamaan mensyaratkan adanya perlakuan yang setara, dimana pada situasi
sama harus diperlakukan dengan sama, dan dengan perdebatan, dimana pada
situasi yang berbeda diperlakukan dengan berbeda pula. Keadilan dan persamaan
mempunyai hubungan yang sangat erat, begitu eratnya sehingga jika terjadi
39 Habib Adjie, 2009, Meneropong Khazanah Notaris dan PPAT Indonesia (Kumpulan
Tulisan Tentang Notaris dan PPAT), PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, (selanjutnya disebut
dengan Habib Adjie II), h. 185.
45
perlakuan yang tidak sama, hal tersebut merupakan suatu ketidakadilan yang
serius.
Secara prinsipil hukum harus diterapkan secara sama kepada siapa saja, baik
kepada si kaya maupun kepada si miskin, kepada laki-laki- maupun perempuan,
kepada mayoritas maupun kepada golongan minoritas, kepada kulit putih maupun
kepada kulit berwarna. Namun tidak berarti keadilan hanya mengenai perlakuan
yang sama saja. Memberlakukan hukum yang sama kepada orang dalam
kualifikasi yang berberda, justru dapat menimbulkan ketidak adilan. Jadi,
kualifikasi orang-orang dalam masyarakat tetap dibutuhkan untuk mengukur suatu
keadilan. Siapapun yang dapat memenuhi kualifikasi yang sama, harus diberikan
hak yang sama pula.
Notaris dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat tidak membeda-
bedakan satu dengan yang lainnya berdasarkan keadaan sosial-ekonomi atau
alasan lainnya. Bahkan notaris wajib memberikan jasa hukum di bidang
kenotariatan secara cuma-cuma kepada orang yang tidak mampu, yang mana hal
ini diatur dalam pasal 37 UUJN. Hanya alasan hukum yang boleh dijadikan dasar
bahwa notaris tidak dapat memberikan jasa kepada yang menghadap notaris.
Menurut Habib Adjie, ada beberapa hal yang menjadi alasan notaris
menolak memberikan jasanya untuk membuat akta, yaitu40
:
a. Apabila notaris sakit sehingga tidak dapat memberikan jasanya, jadi
berhalangan karena fisik.
40
Habib Adjie, 2011, Hukum Notaris Indonesia (Tafsir Tematik Terhadap UU No. 30
Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris), PT. Refika Aditama, Bandung, (selanjutnya disebut dengan
Habib Adjie III), h. 87.
46
b. Apabila notaris tidak ada karena cuti, jadi karena sebab yang sah.
c. Apabila notaris karena kesibukan pekerjaannya tidak dapat melayani orang
lain.
d. Apabila surat-surat yang diperlukan untuk membuat sesuatu akta, tidak
diserahkan kepada notaris.
e. Apabila penghadap atau saksi instrumentair yang diajukan oleh penghadap
tidak dikenal oleh notaris atau tidak dapat diperkenalkan kepadanya.
f. Apabila yang berkepentingan tidak mau membayar bea materai yang
diwajibkan.
g. Apabila karena pemberian jasa tersebut, notaris melanggar sumpahnya atau
melakukan perbuatan melanggar hukum.
h. Apabila pihak-pihak yang menghendaki bahwa notaris membuat akta dalam
bahasa yang tidak dikuasainya dengan bahasa yang tidak jelas sehingga
notaris tidak mengerti apa yang dikehendaki oleh mereka.
Sebagaimana yang diatur dalam Pasal 16 ayat (1) huruf a UUJN, notaris
dalam menjalankan tugas jabatannya wajib bertindak menjaga kepentingan para
pihak yang terkait dalam perbuatan hukum. Disamping itu, wajib mengutamakan
adanya keseimbangan antara hak dan kewajiban para pihak. Notaris dituntut untuk
senantiasa mendengar dan mempertimbangkan keinginan para pihak agar
tindakannya dituangkan dalam akta notaris, sehingga kepentingan para pihak
terjaga secara proporsional yang kemudian dituangkan kedalam bentuk akta
notaris.
3. Asas Kepercayaan
47
Jabatan notaris merupakan jabatan kepercayaan yang harus selaras dengan
mereka yang menjalankan tugas jabatan notaris sebagai orang yang dapat
dipercaya. Notaris sebagai jabatan kepercayaan, wajib untuk menyimpan rahasia
mengenai akta yang dibuatnya dan keterangan atau pernyataan para pihak yang
diperoleh dalam pembuatan akta, kecuali Undang-Undang memerintahkannya
untuk membuka rahasia dan memberikan keterangan atau pernyataan tersebut
kepada pihak yang memintanya.
Hal tersebut diatas merupakan hak ingkar notaris yang diatur dalam Pasal 4
ayat (2) UUJN dan Pasal 16 ayat (1) huruf e UUJN. Pasal 4 ayat (2) UUJN
mengenai sumpah notaris menyatakan “Bahwa saya akan merahasiakan isi akta
dan keterangan yang diperoleh dalam pelaksanaan jabatan saya”. Sedangkan Pasal
16 ayat (1) huruf e UUJN menyatakan “Notaris berkewajiban merahasiakan
segala sesuatu mengenai akta yang dibuatnya dan segala keterangan yang
diperoleh guna pembuatan akta sesuai dengan sumpah atau janji jabatan, kecuali
Undang-Undang menentukan lain”.
Kewajiban ingkar dapat dilakukan dengan batasan sepanjang notaris
diperiksa oleh instansi mana saja yang berupaya untuk meminta pernyataan atau
keterangan dari notaris sehubungan dengan akta yang telah atau pernah dibuat
oleh atau dihadapan notaris tersebut. Sehubungan dengan hal tersebut, Habib adjie
berpendapat bahwa notaris mempunyai kewajiban ingkar bukan untuk
kepentingan diri notaris tapi untuk kepentingan para pihak yang telah
mempercayakan kepada notaris, bahwa notaris dipercaya oleh para pihak mampu
48
menyimpan semua keterangan atau pernyataan para pihak yang pernah diberikan
dihadapan notaris yang berkaitan dalam pembuatan akta.
Menurut Pitlo, seorang kepercayaan tidak berhak untuk begitu saja menurut
sekehendaknya mempergunakan hak ingkarnya, karena kewajiban merahasiakan
ini mempunyai dasar yang bersifat hukum publik (een publiekrechtelijke inslag)
yang kuat. Sungguhpun pada kenyataannya seorang individu memperoleh
keuntungan daripadanya, akan tetapi kewajiban merahasiakan itu bukan
dibebankan untuk melindungi individu itu, melainkan dibebankan untuk
kepentingan masyarakat umum.41
Hal ini berarti bahwa seharusnya tidak begitu saja seorang pejabat yang
dipercaya seperi notaris mempergunakan hak ingkarnya tanpa memperhatikan
kepentingan-kepentingan lain.
4. Asas Kehati-hatian
Asas kehati-hatian ini merupakan penerapan dari Pasal 16 ayat (1) huruf a,
antara lain dalam menjalankan tugas jabatannya notaris wajib bertindak seksama.
Pelaksanaan asas kecermatan wajib dilakukan dalam pembuatan akta dengan
melakukan pengenalan terhadap penghadap berdasarkan identitasnya yang
diperlihatkan kepada notaries, menanyakan, kemudian mendengarkan dan
mencermati keinginan atau kehendak para pihak tersebut, memeriksa bukti surat
yang berkaitan dengan keinginan atau kehendak para pihak tersebut, memberikan
saran dan membuat kerangka akta untuk memenuhi keinginan atau kehendak para
pihak tersebut, memenuhi segala teknik administratif pembuatan akta notaris,
41
G.H.S. Lumban Tobing, 1983, Peraturan Jabatan Notaris, Erlangga, Jakarta, h. 124.
49
seperti pembacaan, penandatanganan, memberikan salinan dan pemberkasan
untuk minuta, melakukan kewajiban lain yang berkaitan dengan pelaksanaan
tugas jabatan notaris.
Notaris mempunyai peranan untuk menentukan suatu tindakan dapat
dituangkan dalam bentuk akta atau tidak. Sebelum sampai pada keputusan seperti
ini, notaris harus mempertimbangkan dan melihat semua dokumen yang
diperlihatkan kepada notaris, meneliti semua bukti yang diperlihatkan kepadanya,
mendengarkan keterangan atau pernyataan para pihak. Keputusan tersebut harus
didasarkan pada alasan hukum yang harus dijelaskan kepada para pihak.
Pertimbangan tersebut harus memperhatikan semua aspek hukum termasuk
masalah hukum yang akan timbul di kemudian hari.
Selain itu, setiap akta yang dibuat di hadapan atau oleh notaris harus
mempunyai alasan dan fakta yang mendukung untuk akta yang bersangkutan atau
ada pertimbangan hukum yang harus dijelaskan kepada para pihak/penghadap.
5. Asas Profesionalitas
Asas ini merupakan suatu persyaratan yang diperlukan untuk menjabat suatu
pekerjaan (profesi) tertentu, yang dalam pelaksanaannya memerlukan ilmu
pengetahuan, keterampilan, wawasan dan sikap yang mendukung sehingga
pekerjaan profesi tersebut dapat dilaksanakan dengan baik sesuai dengan yang
direncanakan. Dengan demikian dapat dipahami bahwa profesionalisme
merupakan suatu kualitas pribadi yang wajib dimiliki oleh seseorang dalam
50
menjalankan suatu pekerjaan tertentu dalam melaksanakan pekerjaan yang
diserahkan kepadanya.42
Menurut Abdul Manan, agar seseorang dapat digolongkan profesional harus
memenuhi kriteria atau persyaratan sebagai berikut :
a. Mempunyai keterampilan tinggi dalam suatu bidang pekerjaan, mahir dalam
mempergunakan peralatan tertentu yang diperlukan dalam melaksanakan
tugas yang dibebankan kepadanya.
b. Mempunyai ilmu pengetahuan yang cukup memadai, pengalaman yang
memadai dan mempunyai kecerdasan dalam menganalisis suatu masalah,
peka dalam membaca situasi, cepat dan cermat dalam mengambil keputusan
yang terbaik untuk kepentingan organisasi.
c. Mempunyai kemampuan untuk mengantisipasi segala permasalahan yang
terbentang dihadapannya.
d. Mempunyai sikap mandiri berdasarkan keyakinan akan kemampuan pribadi
serta terbuka untuk menyimak dan menghargai pendapat orang lain, namun
cermat dalam memiliki hal terbaik bagi perkembangan pribadinya.
Profesionalisme dalam profesi notaris mengutamakan keahlian (keilmuan)
seorang notaris dalam menjalankan tugas jabatannya bedasarkan UUJN dan Kode
Etik Jabatan Notaris. Tindakan profesionalitas notaris dalam menjalankan tugas
jabatannya diwujudkan dalam melayani masyarakat dan akta yang dibuat
dihadapan atau oleh notaris. Dimana notaris tersebut harus didasari atau
42 Abdul Manan, 2006, Aspek-Aspek Pengubah Hukum, Kencana Prenada Media,
Jakarta, h. 151.
51
dilengkapi dengan berbagai ilmu pengetahuan hukum dan ilmu-ilmu lainnya yang
harus dikuasai secara terintegrasi oleh notaris, sehingga akta yang dibuat di
hadapan atau oleh notaris tersebut mempunyai kedudukan sebagai alat bukti yang
sempurna dan kuat. Hal ini sesuai dengan Pasal 16 ayat (1) huruf d UUJN yang
mewajibkan seorang notaris untuk memberikan pelayanan sesuai dengan
ketentuan dalam UUJN kecuali ada alasan untuk menolaknya.
Sehubungan dengan tindakan profesionalitas notaris dalam memberikan
pelayanan kepada masyarakat, maka tentunya seorang notaris tidak boleh
menyalahgunakan wewenang yang telah diberikan kepadanya berdasarkan UUJN.
Penyalahgunaan wewenang dalam hal ini mempunyai pengertian yaitu suatu
tindakan yang dilakukan oleh notaris di luar dari wewenang yang telah ditentukan.
Jika notaris membuat suatu tindakan di luar wewenang yang telah ditentukan,
maka tindakan notaris dapat disebut sebagai tindakan penyalahgunaan wewenang.
Jika tindakan seperti itu merugikan para pihak, maka para pihak yang merasa
dirugikan dapat menuntut notaris yang bersangkutan dengan kualifikasi sebagai
suatu tindakan hukum yang merugikan para pihak. Para pihak yang menderita
kerugian dapat menuntut penggantian biaya, ganti rugi dan bunga kepada notaris.