LAPORAN KASUSAGUSTINUS KRISTANTOKO - 406148120
Perdarahan Saluran Cerna Bagian Atas
Definisi
Perdarahan saluran cerna bagian atas adalah perdarahan yang terjadi dan
berasal pada area proksimal saluran pencernaan bagian proximal dari Ligamentum
Treitz. Yang termasuk organ – organ saluran cerna di proximal Ligamentum
Trieitz adalah esofagus, lambung (gaster), duodenum dan sepertiga proximal dari
jejunum.
Epidemiologi
Data epidemiologik dari Eropa menunjukkan bahwa insidensi tahunan
kejadian perdarahan saluran cerna bagian atas terdapat pada 48 dari 145 per
100.000 populasi di tahun 1960-an dan 1970-an. Di tahun 1978 didapatkan
estimasi total dari jumlah rawat inap rumah sakit akibat perdarahan saluran cerna
bagian atas di Amerika Serikat sebanyak 150 per 100.000 populasi. Penelitian
HMO tunggal terbaru tentang kesehatan dasar pada suatu populasi di Amerika
Serikat, ditemukan sebanyak 102 kasus rawat inap akibat perdarahan saluran
cerna bagian atas per 100.000 populasi di tahun 1995. Pada data 1992 – 1999 dari
National Hospital Discharge Survey ditemukan angka rawat inap tahunan akibat
perdarahan saluran cerna bagian atas didapatkan sebanyak 149 – 172 kasus per
100.000.
Etiopatologi
Etiopatologi terjadinya perdarahan saluran cerna bagian atas menurut
literatur yang ditulis oleh Margaret Shuhart, M.D. , Kris Kowdley, M.D., and Bill
Neighbor, M.D., 2002, yaitu:
1. Erosi/ulkus duodenum.
2. Erosi/ulkus gaster.
3. Stress gastritis.
4. Sindrom Mallory-Weiss.
5. Esofagitis / ulkus esofagus.
RSUD KUDUS 2015 1
LAPORAN KASUSAGUSTINUS KRISTANTOKO - 406148120
6. Varises esofagus/gaster.
7. Hipertensi portal gastropati.
8. Neoplasma
a. Karsinoma gaster.
b. Karsinoma esofagus.
c. Tumor stroma.
9. Anomalitas Pembuluh Darah
a. Angiodisplasia/Ektasia.
b. Lesi dieulafoy.
c. Gastric antral vascular ectasia (GAVE).
d. Telagiectasia hemorragik herediter (Sindrom Osler-Webber-
Rendu).
e. Malformasi arteriovenosa.
10. Erosi aortoduodenale atau fistula.
11. Hemobilia.
12. Hemosuccus pancreatikus.
13. Epistaksis di luar saluran cerna.
14. Factitious bleeding.
Gastritis Erosif
Gastritis merupakan suatu keadaan peradangan atau perdarahan mukosal
lambung yang dapat bersifat akut, kronis, difus, atau lokal. Pada gastritis akan
didapatkan mukosa memerah, edema, dan ditutupi oleh mukus yang melekat serta
sering terjadi erosi kecil dan perdarahan. Derajat perdarahan yang ada sangat
bervariasi. Manifestasi klinis gastritis erosif ini dapat bervariasi dari keluhan
abodmen yang tidak jelas, seperti anoreksia, bersendawa, atau mual, sampai gejala
yang lebih berat seperti nyeri epigastrium, muntah, perdarahan, dan hematemesis.
Pada beberapa kasus tertentu, bila gejala – gejala tersebut menetap dan adanya
RSUD KUDUS 2015 2
LAPORAN KASUSAGUSTINUS KRISTANTOKO - 406148120
resistensi terhadap pengobatan, maka akan diperlukan tindakan diagnostik
tambahan seperti endoskopi, biopsi mukosa, dan analisis cairan lambung untuk
memperjelas penegakan diagnosis. (Lindseth, 2002).
Terjadinya gastritis erosif dapat disebabkan oleh berbagai hal, misalnya:
Penggunaan obat anti – inflamasi non – steroid (OAINS) yang memiliki
efek perusakan mukosa yang bersifat lokal dan sistemik. Contoh OAINS
yang dapat menimbulkan gastritis erosif hingga menjadi ulkus ini adalah
indometasin, diklofenak, aspirin (terutama dosis tinggi), ibuprofen,
naproksen, serta obat – obat yang lain berupa sulfonamida, steroid, dan
digitalis. Selain itu, asam empedu, enzim pankreas, dan etanol juga
diketahui dapat mengganggu sawar mukosa lambung. Efek anti –
inflamasi dan analgetiknya terutama didasarkan melalui penghambatan
siklo – oksigenase sehingga menghambat sintesis prostaglandin (dari asam
arakidonat). Salah satu efek OAINS yang tidak diinginkan adalah obat ini
menghambat sintesis prostaglandin secara sistemik, termasuk di epitel
lambung dan duodenum, serta menurunkan sekresi HCO3- sehingga
memperlemah perlindungan lapisan mukosa dan juga menghentikan
penghambatan sekresi asam. Selain itu, obat ini juga merusak mukosa
secara lokal melalui difusi non-ionik ke dalam sel mukosa. Efek
penghambatan obat ini terhadap agregasi trombosit akan meningkatkan
bahaya perdarahan ulkus.
Kejadian iskemia, misalnya vaskulitis atau saat melakukan lari maraton.
Stres, yakni kegagalan multi-organ, luka bakar, pembedahan, trauma
sistem saraf pusat.
Penyalahgunaan konsumsi alkohol dan zat kimia korosif.
Trauma akibat gastroskopi, tertelannya benda asing, rasa enek, muntah dan
mual berlebihan.
Trauma radiasi. (Silbernagl dan Lang, 2007; Lindseth, 2002)
RSUD KUDUS 2015 3
LAPORAN KASUSAGUSTINUS KRISTANTOKO - 406148120
Gambar 9. Gastritis erosif, tampak inflamasi pada lapisan mukosa gaster (sumber dari : http://odlarmed.com/wp-content/uploads/2008/10/clip_image008-300x200.jpg)
Tukak Peptik (Ulkus Peptikum)
Penyakit tukak peptik yaitu tukak lambung dan tukak duodenum
merupakan penyakit yang masih banyak ditemukan dalam klinik terutama dalam
kelompok umur di atas umur 45 tahun. Perdarahan yang terjadi pada saluran cerna
bagian atas akibat tukak peptik atau ulkus peptikum merupakan penyulit yang
paling sering ditemukan, sedikitnya ditemukan pada 15 hingga 25% kasus selama
perjalanan penyakit. Walaupun ulkus di setiap tempat dapat mengalami
perdarahan, namun tempat perdarahan yang paling sering adalah dinding posterior
bulbus duodenum, karena di tempat ini dapat terjadi erosi arteri
pankreatikoduodenalis atau arteria gastroduodenalis. (Akil, 2007; Lindseth, 2002)
Gambar 10. Ulkus dan perforasi disertai perdarahan pada gaster (sumber dari : http://altincekodhima.com/images/19235.jpg)
RSUD KUDUS 2015 4
LAPORAN KASUSAGUSTINUS KRISTANTOKO - 406148120
Gejala yang berkaitan dengan perdarahan ulkus bergantung pada
kecepatan kehilangan darah. Hematemesis atau melena dengan tanda syok apabila
perdarahan masif dan perdarahan tersembunyi yang kronik sehingga dapat
menyebabkan terjadinya anemia defisiensi besi. Hasil pemeriksaan darah samar
dari feses dapat memperlihatkan hasil yang positif (tes guaiac positif) atau feses
mungkin berwarna hitam dan seperti ter (melena). Perdarahan masif dapat
mengakibatkan hematemesis (muntah darah), menimbulkan syok, dan dapat
memerlukan transfusi darah serta pembedahan darurat. Hilangnya nyeri sering
menyertai perdarahan sebagai efek bufer darah. Mortalitas berkisar hingga 10%,
dan pasien yang berusia lebih dari 50 tahun memiliki angka mortalitas yang lebih
tinggi. Kelompok ini mewakili sekitar 20 hingga 25% kematian total dari ulkus
peptikum. (Akil, 2007; Lindseth, 2002)
Gambar 11. Ulkus peptikum pada gaster dan duodenum (sumber dari : http://images.medicinenet.com/images/illustrations/peptic_ulcer.jpg)
Insiden perdarahan akibat tukak sebesar 15 – 25% dan cenderung
meningkat pada usia lanjut, yakni di atas usia 60 tahun akibat adanya penyakit
degeneratif dan meningkatnya pemakaian OAINS (20% tanpa simptom dan tanda
penyakit sebelumnya). Sebagian besar perdarahan dapat berhenti secara spontan,
sebagian memerlukan tindakan endoskopi terapi, bila gagal dilanjutkan dengan
terapi operasi (5% dari pasien yang memerlukan transfusi darah). Pemberian
pantozol/PPI 2 amp/100cc NaCl 0.9 drips selama 10 jam secara parenteral dan
RSUD KUDUS 2015 5
LAPORAN KASUSAGUSTINUS KRISTANTOKO - 406148120
diteruskan beberapa hari dapat menurunkan kejadian ulang perdarahan, pemberian
transfusi dengan memperhatikan tanda – tanda hemodinamik, yakni:
1. Tekanan darah sistol < 100 mmHg
2. Hb < 10 gr%
3. Nadi > 100x/menit
4. Hematokrit < 30% / jam dianjurkan untuk pemberian transfusi dengan
darah segar hingga hematokrit mencapai > 30%. (Tarigan, 2007).
Gambar 12. Ulkus peptikum pada duodenum (sumber dari: http://altincekodhima.com/images/bleeding-indication-picture.jpg)
Gejala dan Tanda Klinis
Gejala dan tanda klinis perdarahan saluran cerna bagian atas yang sering
ditemukan pada pasien adalah:
1. Anemia defisiensi besi akibat perdarahan tersembunyi yang telah
berlangsung lama.
2. Hematemesis dan atau melena yang disertai atau tanpa anemia, dengan
atau tanpa gangguan hemodinamik, derajat hipovolemi menentukan
tingkat kegawatan pasien. (Adi, 2007)
Adapun manifestasi klinis yang ditemukan sebagai ciri khas dari
perdarahan saluran cerna bagian atas terutama dapat dibedakan dari perdarahan
saluran cerna bagian bawah, antara lain: hematemesis, melena, emesis yang
RSUD KUDUS 2015 6
LAPORAN KASUSAGUSTINUS KRISTANTOKO - 406148120
berwarna seperti kopi, nyeri pada epigastrium, dan reaksi vasovagal seperti mual,
muntah dan rasa enek. (Sabatine, 2011)
Tatalaksana Perdarahan Saluran Cerna Bagian Atas
Pengelolaan dasar pasien perdarahn saluran cerna sama seperti perdarahan
pada umumnya, yakni meliputi pemeriksaan awal, resusitasi, diagnosis, dan
terapi. Tujuan pokoknya adalah mempertahankan stabilitas hemodinamik,
menghentikan perdarahan, dan mencegah terjadinya perdarahan ulang. Konsensus
Nasional PGI – PEGI – PPHI menetapkan bahwa pemeriksaan awal dan resusitasi
pada kasus perdarahan wajib dan harus bisa dikerjakan pada setiap lini pelayanan
kesehatan masyarakat sebelum dirujuk ke pusat layanan yang lebih tinggi. Adapun
langkah – langkah praktis pengelolaan perdarahan saluran cerna bagian atas
adalah sebagai berikut:
1. Pemeriksaan awal, penekanan pada evaluasi status hemodinamik.
2. Resusitasi, terutama untuk stabilisasi hemodinamik.
3. Melanjutkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan lain yang
diperlukan.
4. Memastikan perdarahan saluran cerna bagian atas atau bagian bawah.
5. Menegakkan diangosis pasti penyebab perdarahan.
6. Terapi untuk menghentikan perdarahan, penyembuhan penyebab
perdarahan dan mencegah terjadinya perdarahan ulang.
Dengan adanya penegakan diagnosis penyebab perdarahan sangat menentukan
langkah terapi yang akan diambil pada tahap selanjutnya. (Adi, 2007)
Pemeriksaan Awal Pada Perdarahan Saluran Cerna
Langkah awal pada semua kasus perdarahan saluran makanan adalah
menentukan beratnya perdarahan dengan memfokuskan pada status hemodinamik.
Pemeriksaannya meliputi:
1. Tekanan darah dan nadi dalam posisi berbaring.
2. Perubahan ortostatik tekanan darah dan nadi.
RSUD KUDUS 2015 7
LAPORAN KASUSAGUSTINUS KRISTANTOKO - 406148120
3. Ada tidaknya vasokonstriksi perifer berupa akral teraba dingin.
4. Kelayakan nafas.
5. Tingkat kesadaran.
6. Produksi urin.
Perdarahan akut dalam jumlah besar melebihi 20% volume intravaskuler
akan mengakibatkan kondisi hemodinamik tidak stabil, dengan tanda – tanda
sebagai berikut:
1. Hipotensi (< 90/60 mmHg atau MAP < 70 mmHg) dengan frekuensi nadi
lebih dari 100x/menit.
2. Tekanan diastolik ortostatik turun lebih dari 10 mmHg atau sistolik turun
lebih dari 20 mmHg.
3. Frekuensi nadi ortostatik meningkat 15x/menit.
4. Akral dingin.
5. Kesadaran menurun.
6. Anuria atau oliguria (produksi urin kurang dari 30 ml/jam).
Kecurigaan perdarahan akut dalam jumlah besar selain ditandai dengan
kondisi hemodinamik tidak stabil ialah bila ditemukan:
1. Hematemesis.
2. Hematoskezia.
3. Darah segara pada aspirasi pipa nasogastrik dan dengan lavase tidak
segera jernih.
4. Hipotensi persisten.
5. Dalam waktu 24 jam telah menghabiskan transfusi darah melebihi 800 –
1000 ml.
(Adi, 2007)
RSUD KUDUS 2015 8
LAPORAN KASUSAGUSTINUS KRISTANTOKO - 406148120
Resusitasi Terutama Untuk Stabilisasi Hemodinamik Pada Perdarahan
Saluran Cerna.
Pada kondisi hemodinamik tidak stabil, berikan infus cairan kristaloid
(misalnya cairan garam fisiologis) dengan tetesan cepat menggunakan dua jarum
berdiameter besar (minimal 16 G) dan pasang monitor CVP (central venous
pressure); tujuannya memulihkan tanda – tanda vital dan mempertahankan tetap
stabil. Biasanya tidak sampai memerlukan cairan koloid (misalnya dekstran)
kecuali pada kondisi hipoalbuminemia berat. Secepatnya kirim pemeriksaan darah
untuk menentukan golongan darah, kadar hemoglobin, hematokrit, trombosit,
leukosit. Adanya kecurigaan diatesis hemoragik perlu segera ditindaklanjuti
dengan melakukan tes Rumpel-Leede, pemeriksaan waktu perdarahan, waktu
pembekuan, retraksi bekuan darah, PTT, dan aPTT.
Kapan transfusi darah diberikan sifatnya sangat individual, tergantung dari
jumlah darah yang hilang, perdarahan masih aktif atau sudah berhenti, lamanya
perdarahan berlangsung, dan akibat klinik dari perdarahan tersebut. Pemberian
transfusi darah pada perdarahan saluran cerna dipertimbangkan pada keadaan
berikut ini:
1. Perdarahan dalam kondisi hemodinamik tidak stabil.
2. Perdarahan baru atau masih berlangsung dan diperkirakan jumlahnya 1
liter atau lebih.
3. Perdarahan baru atau masih berlangsung dengan hemoglobin kurang
dari 10 g% atau hematokrit kurang dari 30%.
4. Terdapat tanda – tanda oksigenasi jaringan yang menurun.
Perlu dipahami bahwa nilai hematokrit untuk memperkirakan jumlah
perdarahan kurang akurat bila perdarahan sedang atau baru berlangsung. Proses
hemodilusi dari cairan ekstravaskuler selesai dalam waktu 24 hingga 72 jam
setelah onset perdarahan. Target pencapaian hematokrit setelah transfusi darah
tergantung kasus yang dihadapi, untuk usia muda dengan kondisi sehat cukup
RSUD KUDUS 2015 9
LAPORAN KASUSAGUSTINUS KRISTANTOKO - 406148120
sebesar 20 – 25%, usia lanjut sebanyak 30%, sedangkan pada hipertensi portal
jangan melebihi hingga 27 – 28%. (Adi, 2007)
Membedakan Perdarahan Saluran Cerna Bagian Atas atau Bawah
Cara praktis dalam membedakan perdarahan saluran cerna bagian atas atau
saluran cerna bagian bawah terdapat pada tabel berikut ini.
Tabel 1. Perbedaan Perdarahan Saluran Cerna Bagian Atas dan Perdarahan Saluran Cerna Bagian Bawah.
Perdarahan Saluran
Cerna Bagian Atas
Perdarahan Saluran
Cerna Bagian Bawah
Manifestasi klinik pada
umumnya
Hematemesis dan/melena Hematoskezia
Aspirasi nasogastrik Berdarah Jernih
Rasio (BUN/Kreatinin) Meningkat > 35 < 35
Auskultasi usus Hiperaktif Normal
Seorang pasien yang datang dengan keluhan hematemesis, muntahan
seperti kopi karena berubahnya darah oleh asam lambung, hampir pasti
perdarahannya berasal dari saluran cerna bagian atas. Timbulnya melena, berak
hitam lengket dengan bau busuk, bila perdarahannya berlangsung sekaligus
sejumlah 50 – 100 ml atau lebih. Untuk lebih memastikan keterangan melena
yang diperoleh dari anamnesis, dapat dilakukan pemeriksaan digital rektum.
Perdarahan saluran cerna bagian atas dengan manifestasi hematoskezia
dimungkinkan bila perdarahannya cepat dan banyak melebihi 1000 ml dan disertai
kondisi hemodinamik yang tidak stabil atau syok.
Pada semua kasus perdarahan saluran cerna disarankan untuk pemasangan
pipa nasogastrik, kecuali pada perdarahan kronik dengan hemodinamik stabil atau
yang sudah jelas perdarahan saluran cerna bagian bawah. Pada perdarahan saluran
cerna bagian atas akan keluar cairan seperti kopi atau cairan darah segar sebagai
RSUD KUDUS 2015 10
LAPORAN KASUSAGUSTINUS KRISTANTOKO - 406148120
tanda bahwa perdarahan masih aktif. Selanjutnya dilakukan bilas lambung dengan
air suhu kamar. Sekiranya sejak awal tidak ditemukan darah pada cairan aspirasi,
dianjurkan pipa nasogastrik tetap terpasang sampai 12 atau 24 jam. Bila selama
kurun waktu tersebut hanya ditemukan cairan empedu dapat dianggap bukan
perdarahan saluran cerna bagian atas.
Perbandingan BUN dan kreatinin serum juga dapat dipakai untuk
memperkirakan asal perdarahan, nilai puncak biasanya dicapai dalam 24 hingga
48 jam sejak terjadinya perdarahan, normal perbandingannya 20, di atas 35
kemungkinan perdarahan berasal dari saluran cerna bagian atas, dibawah 35
kemungkinan perdarahan berasal dari saluran cerna bagian bawah. Pada kasus
yang masih sulit untuk menentukan asal perdarahannya, langkah pemeriksaan
selanjutnya ialah endoskopi saluran cerna bagian atas. (Adi, 2007)
Terapi Perdarahan Saluran Cerna Bagian Atas
Terapi Perdarahan Saluran Cerna Bagian Atas Non-Endoskopis
Pemberian vitamin K pada pasien dengan penyakit hati kronis yang
mengalami perdarahan saluran cerna bagian atas diperbolehkan, dengan
pertimbangan pemberian tersebut tidak merugikan dan relatif murah.
Vasopressin dapat menghentikan perdarahan saluran cerna bagian atas
lewat efek vasokonstriksi pembuluh darah splanknikus, menyebabkan aliran darah
dan tekanan vena porta menurun. Digunakan di klinik untuk perdarahan akut
varises esofagus sejak tahun 1953. Pernah dicoba pada terapi perdarahan
nonvarises, namun berhentinya perdarahan tidak berbeda dengan plasebo.
Terdapat dua bentuk sediaan, yakni pitresin yang mengandung vasopressin murni
dan preparat pituitary gland yang mengandung vasopressin dan oxytocin.
Pemberian vasopressin dilakukan dengan mengencerkan sediaan vasopressin 50
unit dalam 100 ml dekstrose 5%, diberikan 0.5 – 1 mg/menit/iv selama 20 – 60
menit dan dapat diulang tiap 3 – 6 jam; atau setelah pemberian pertama
dilanjutkan per infus 0.1 – 0.5 U/menit. Vasopressin dapat menimbulkan efek
RSUD KUDUS 2015 11
LAPORAN KASUSAGUSTINUS KRISTANTOKO - 406148120
samping serius berupa insufisiensi koroner mendadak, oleh karena itu
pemberiannya disarankan bersamaan dengan preparat nitrat, misalnya nitrogliserin
intravena dengan dosis awal 40 mcg/menit kemudian secara titrasi dinaikkan
sampai maksimal 400 mcg/menit dengan tetap mempertahankan tekanan sistolik
di atas 90 mmHg.
Somatostatin dan analognya (ocreotide) diketahui dapat menurunkan
aliran darah splanknikus, khasiatnya lebih selektif dibanding vasopressin.
Penggunaan di klinik pada perdarahan akut varises esofagus dimulai sekitar tahun
1978. Somatostatin dapat menghentikan perdarahan akut varises esofagus pada 70
– 80% kasus, dan dapat pula digunakan pada perdarahan nonvarises. Dosis
pemberian somatostatin, diawali dengan bolus 250 mcg/iv, dilanjutkan per infus
250 mcg/jam selama 12 – 24 jam atau sampai perdarahan berhenti; ocreotide
dosis bolus 100 mcg/iv dilanjutkan per infus 25 mcg/jam selama 8 – 24 jam atau
sampai perdarahan berhenti.
Obat-obatan golongan anti sekresi asam yang dilaporkan bermanfaat untuk
mencegah perdarahan ulang saluran cerna bagian atas karena tukak peptik adalah
inhibitor pompa proton dosis tinggi. Diawali bolus omeprazol 80 mg/iv kemudian
dilanjutkan per infus 8 mg/kgBB/jam selama 72 jam, perdarahan ulang pada
kelompok plasebo 20% sedangkan yang diberi omeprazol hanya 4.2%. Suntikan
omeprazol yang beredar di Indonesia hanya untuk pemberian bolus, yang bisa
digunakan per infus adalah persediaan esomeprazol dan pantoprazol dengan dosis
sama seperti omeprazol. Pada perdarahan saluran cerna bagian atas ini, obat –
obatan seperti antasida, sukralfat, dan antagonis reseptor H2 masih boleh
diberikan untuk tujuan penyembuhan lesi mukosa penyebab perdarahan.
Antagonis reseptor H2 dalam mencegah perdarahan ulang saluran cerna bagian
atas dikarenakan tukak peptik kurang bermanfaat.
RSUD KUDUS 2015 12
LAPORAN KASUSAGUSTINUS KRISTANTOKO - 406148120
Terapi Perdarahan Saluran Cerna Bagian Atas Secara Endoskopis
Terapi endoskopi ditujukan pada perdarahan tukak yang masih aktif atau
tukak dengan pembuluh darah yang tampak. Metode terapinya meliputi:
1. Contact thermal (monopolar atau bipolar elektrokoagulasi, heater probe).
2. Noncontact thermal (laser).
3. Nonthermal (misalnya suntikan adrenalin, polidokanol, alkohol,
cyanoacrylate, atau pemakaian klip).
RSUD KUDUS 2015 13
LAPORAN KASUSAGUSTINUS KRISTANTOKO - 406148120
SIROSIS HEPAR
Sirosis Hepatis adalah penyakit hati kronis yang tidak diketahui penyebabnya
dengan pasti. Telah diketahui bahwa penyakit ini merupakan stadium terakhir
dari penyakit hati kronis dan terjadinya pengerasan dari hati (Sujono H, 2002).
Patogenesis
Mekanisme terjadinya proses yang berlangsung terus mulai dari hepatitis
virus menjadi Sirosis Hepatis belum jelas. Patogenesis yang mungkin terjadi
yaitu :
1. Mekanis
2. Immunologis
3. Kombinasi keduanya
Namun yang utama adalah terjadinya peningkatan aktivitas fibroblast dan
pembentukan jaringan ikat.
Mekanis
Pada daerah hati yang mengalami nekrosis konfluen, kerangka reticulum
lobul yang mengalami kolaps akan berlaku sebagai kerangka untuk terjadinya
daerah parut yang luas. Dalam kerangka jaringan ikat ini, bagian parenkim hati
yang bertahan hidup berkembang menjadi nodul regenerasi.
Teori Imunologis
Sirosis Hepatis dikatakan dapat berkembang dari hepatitis akut jika melalui
proses hepatitis kronik aktif terlebih dahulu. Mekanisme imunologis mempunyai
peranan penting dalam hepatitis kronis. Ada 2 bentuk hepatitis kronis :
Hepatitis kronik tipe B
Hepatitis kronik autoimun atau tipe NANB
Proses respon imunologis pada sejumlah kasus tidak cukup untuk menyingkirkan
virus atau hepatosit yang terinfeksi, dan sel yang mengandung virus ini
merupakan rangsangan untuk terjadinya proses imunologis yang berlangsung
RSUD KUDUS 2015 14
LAPORAN KASUSAGUSTINUS KRISTANTOKO - 406148120
terus sampai terjadi kerusakan sel hati.
Dari kasus-kasus yang dapat dilakukan biopsy hati berulang pada penderita
hepatitis kronik aktif ternyata bahwa proses perjalanan hepatitis kronis bisa
berlangsung sangat lama. Bisa lebih dari 10 tahun.
Patofisiologi
Ada 2 faktor yang mempengaruhi terbentuknya asites pada penderita Sirosis
Hepatis, yaitu :
1. Tekanan koloid plasma yang biasa bergantung pada albumin di dalam
serum. Pada keadaan normal albumin dibentuk oleh hati. Bilamana hati
terganggu fungsinya, maka pembentukan albumin juga terganggu, dan
kadarnya menurun, sehingga tekanan koloid osmotic juga berkurang.
Terdapatnya kadar albumin kurang dari 3 gr % sudah dapat merupakan
tanda kritis untuk timbulnya asites.
2. Tekanan vena porta. Bila terjadi perdarahan akibat pecahnya varises
esophagus, maka kadar plasma protein dapat menurun, sehingga tekanan
koloid osmotic menurun pula, kemudian terjadilah asites. Sebaliknya bila
kadar plasma protein kembali normal, maka asitesnya akan menghilang
walaupun hipertensi portal tetap ada (Sujono Hadi). Hipertensi portal
mengakibatkan penurunan volume intravaskuler sehingga perfusi ginjal
pun menurun. Hal ini meningkatkan aktifitas plasma rennin sehingga
aldosteron juga meningkat. Aldosteron berperan dalam mengatur
keseimbangan elektrolit terutama natrium . dengan peningkatan
aldosteron maka terjadi terjadi retensi natrium yang pada akhirnya
menyebabkan retensi cairan.
Klasifikasi
SHERLOCK secara morfologi membagi Sirosis Hepatis berdasarkan besar
kecilnya nodul, yaitu :
Makronoduler (Irreguler, multinoduler)
Mikronoduler (regular, monolobuler)
RSUD KUDUS 2015 15
LAPORAN KASUSAGUSTINUS KRISTANTOKO - 406148120
Kombinasi keduanya
Etiologi
Penyebab yang pasti dari Sirosis Hepatis sampai sekarang belum jelas.
1. Faktor keturunan dan malnutrisi
WATERLOO (1997) berpendapat bahwa faktor kekurangan nutrisi terutama
kekurangan protein hewani menjadi penyebab timbulnya Sirosis Hepatis.
Menurut CAMPARA (1973) untuk terjadinya Sirosis Hepatis ternyata ada bahan
dalam makanan, yaitu kekurangan alfa 1-antitripsin.
2. Hepatitis virus
Hepatitis virus sering juga disebut sebagai salah satu penyebab dari Sirosis
Hepatis. Dan secara klinik telah dikenal bahwa hepatitis virus B lebih banyak
mempunyai kecenderungan untuk lebih menetap dan memberi gejala sisa serta
menunjukkan perjalanan yang kronis bila dibandingkan dengan hepatitis virus A.
penderita dengan hepatitis aktif kronik banyak yang menjadi sirosis karena
banyak terjadi kerusakan hati yang kronis.
Sebagaimana kita ketahui bahwa sekitar 10 % penderita hepatitis virus B
akut akan menjadi kronis. Apalagi bila pada pemeriksaan laboratories ditemukan
HBs Ag positif dan menetapnya e-Antigen lebih dari 10 minggu disertai tetap
meningginya kadar asam empedu puasa lebih dari 6 bulan, maka mempunyai
prognosis kurang baik (Sujono Hadi).
3. Zat hepatotoksik
Beberapa obat-obatan dan zat kimia dapat menyebabkan terjadinya
kerusakan fungsi sel hati secara akut dan kronik. Kerusakan hati secara akut akan
berakibat nekrosis atau degenerasi lemak. Sedangkan kerusakan kronik akan
berupa Sirosis Hepatis. Pemberian bermacam obat-obatan hepatotoksik secara
berulang kali dan terus menerus. Mula-mula akan terjadi kerusakan setempat,
kemudian terjadi kerusakan hati yang merata, dan akhirnya dapat terjadi Sirosis
Hepatis. Zat hepatotoksik yang sering disebut-sebut adalah alcohol. Efek yang
nyata dari etil-alkohol adalah penimbunan lemak dalam hati (Sujono Hadi).
RSUD KUDUS 2015 16
LAPORAN KASUSAGUSTINUS KRISTANTOKO - 406148120
4. Penyakit Wilson
Suatu penyakit yang jarang ditemukan, biasanya terdapat pada orang-orang
muda dengan ditandai Sirosis Hepatis, degenerasi ganglia basalis dari otak, dan
terdapatnya cincin pada kornea yang berwarna coklat kehijauan disebut Kayser
Fleiscer Ring. Penyakit ini diduga disebabkan defisiensi bawaan dan sitoplasmin.
5. Hemokromatosis
Bentuk sirosis yang terjadi biasanya tipe portal. Ada 2 kemungkinan
timbulnya hemokromatosis, yaitu :
sejak dilahirkan, penderita mengalami kenaikan absorpsi dari Fe.
kemungkinan didapat setelah lahir (aquisita), misalnya dijumpai pada
penderita dengan penyakit hati alkoholik. Bertambahnya absorpsi dari Fe,
kemungkinan menyebabkan timbulnya Sirosis Hepatis.
6. Sebab-sebab lain
kelemahan jantung yang lama dapat menyebabkan timbulnya sirosis
kardiak. Perubahan fibrotik dalam hati terjadi sekunder terhadap anoksi
dan nekrosis sentrilibuler.
sebagai akibat obstruksi yang lama pada saluran empedu akan dapat
menimbulkan sirosis biliaris primer. Penyakit ini lebih banyak dijumpai
pada kaum wanita.
penyebab Sirosis Hepatis yang tidak diketahui dan digolongkan dalam
sirosis kriptogenik. Penyakit ini banyak ditemukan di Inggris (menurut
Reer 40%, Sherlock melaporkan 49%). Penderita ini sebelumnya tidak
menunjukkan tanda-tanda hepatitis atau alkoholisme, sedangkan dalam
makanannya cukup mengandung protein.
Gambaran klinik
Menurut Sherlock, secara klinis, Sirosis Hepatis dibagi atas 2 tipe, yaitu :
sirosis kompensata atau latent chirrosis hepatic
sirosis dekompensata atau active chirrosis hepatic
Atau
Sirosis Hepatis tanpa kegagalan faal hati dan hipertensi portal. Sirosis
Hepatis ini mungkin tanpa gejala apapun, tapi ditemukan secara kebetulan
RSUD KUDUS 2015 17
LAPORAN KASUSAGUSTINUS KRISTANTOKO - 406148120
pada hasil biopsy atau pemeriksaan laparoskopi
Sirosis Hepatis dengan kegagalan faal hati dan hipertensi portal. Pada
penderita ini sudah ada tanda-tanda kegagalan faal hati misalnya ada
ikterus, perubahan sirkulasi darah, kelainan laboratirim pada tes faal hati.
Juga ditemukan tanda-tanda hipertensi portal, misalnya asites,
splenomegali, venektasi di perut.
Laboratorium
Urine
Dalam urin terdapat urobilinogen, juga terdapat bilirubin bila penderita ada
ikterus. Pada penderita dengan asites, maka ekskresi natrium berkurang, dan pada
penderita yang berat ekskresinya kurang dari 3 meq (0,1).
Tinja
Mungkin terdapat kenaikan sterkobilinogen. Pada penderita ikterus ekskresi
pigmen empedu rendah.
Darah
Biasanya dijumpai normositik normokromik anemia yang ringan, kadang-
kadang dalam bentuk makrositer, yang disebabkan kekurangan asam folat dan
vitamin B12 atau karena splenomegali. Bilamana penderita pernah mengalami
perdarahan gastrointestinal, maka akan terjadi hipokromik anemia. Juga dijumpai
leukopeni bersama trombositopeni. Waktu protombin memanjang dan tidak dapat
kembali normal walaupun telah diberi pengobatan dengan vitamin K. gambaran
sumsum tulang terdapat makronormoblastik dan terjadi kenaikan plasma sel pada
kenaikan kadar globulin dalam darah.
Tes faal hati
Penderita sirosis banyak mengalami gangguan tes faal hati, lebih-lebih lagi
bagi penderita yang sudah disertai tanda-tanda hipertensi portal. Hal ini tampak
jelas menurunnya kadar serum albumin <3,0% sebanyak 85,92%, terdapat
peninggian serum transaminase >40 U/l sebanyak 60,1%. Menurunnya kadar
tersebut di atas adalah sejalan dengan hasil pengamatan jasmani, yaitu ditemukan
asites sebanyak 85,79%.
RSUD KUDUS 2015 18
LAPORAN KASUSAGUSTINUS KRISTANTOKO - 406148120
Komplikasi
Komplikasi yang sering timbul pada penderita Sirosis Hepatis diantaranya
adalah:
1. Perdarahan Gastrointestinal
Setiap penderita Sirosis Hepatis dekompensata terjadi hipertensi portal,
dan timbul varises esophagus. Varises esophagus yang terjadi pada suatu waktu
mudah pecah, sehingga timbul perdarahan yang massif. Sifat perdarahan yang
ditimbulkan adalah muntah darah atau hematemesis biasanya mendadak dan
massif tanpa didahului rasa nyeri di epigastrium. Darah yang keluar berwarna
kehitam-hitaman dan tidak akan membeku, karena sudah tercampur dengan asam
lambung. Setelah hematemesis selalu disusul dengan melena (Sujono Hadi).
Mungkin juga perdarahan pada penderita Sirosis Hepatis tidak hanya disebabkan
oleh pecahnya varises esophagus saja. FAINER dan HALSTED pada tahun 1965
melaporkan dari 76 penderita Sirosis Hepatis dengan perdarahan ditemukan 62%
disebabkan oleh pecahnya varises esofagii, 18% karena ulkus peptikum dan 5%
karena erosi lambung.
2. Koma hepatikum
Komplikasi yang terbanyak dari penderita Sirosis Hepatis adalah koma
hepatikum. Timbulnya koma hepatikum dapat sebagai akibat dari faal hati sendiri
yang sudah sangat rusak, sehingga hati tidak dapat melakukan fungsinya sama
sekali. Ini disebut sebagai koma hepatikum primer. Dapat pula koma hepatikum
timbul sebagai akibat perdarahan, parasentese, gangguan elektrolit, obat-obatan
dan lain-lain, dan disebut koma hepatikum sekunder.
Pada penyakit hati yang kronis timbullah gangguan metabolisme protein,
dan berkurangnya pembentukan asam glukoronat dan sulfat. Demikian pula
proses detoksifikasi berkurang. Pada keadaan normal, amoniak akan diserap ke
dalam sirkulasi portal masuk ke dalam hati, kemudian oleh sel hati diubah
menjadi urea. Pada penderita dengan kerusakan sel hati yang berat, banyak
amoniak yang bebas beredar dalam darah. Oleh karena sel hati tidak dapat
mengubah amoniak menjadi urea lagi, akhirnya amoniak menuju ke otak dan
bersifat toksik/iritatif pada otak.
RSUD KUDUS 2015 19
LAPORAN KASUSAGUSTINUS KRISTANTOKO - 406148120
3. Ulkus peptikum
Menurut TUMEN timbulnya ulkus peptikum pada penderita Sirosis
Hepatis lebih besar bila dibandingkan dengan penderita normal. Beberapa
kemungkinan disebutkan diantaranya ialah timbulnya hiperemi pada mukosa
gaster dan duodenum, resistensi yang menurun pada mukosa, dan kemungkinan
lain ialah timbulnya defisiensi makanan.
4. Karsinoma hepatoselular
SHERLOCK (1968) melaporkan dari 1073 penderita karsinoma hati
menemukan 61,3 % penderita disertai dengan Sirosis Hepatis. Kemungkinan
timbulnya karsinoma pada Sirosis Hepatis terutama pada bentuk postnekrotik
ialah karena adanya hiperplasi noduler yang akan berubah menjadi adenomata
multiple kemudian berubah menjadi karsinoma yang multiple.
5. Infeksi
Setiap penurunan kondisi badan akan mudah kena infeksi, termasuk juga
penderita sirosis, kondisi badannya menurun. Menurut SCHIFF, SPELLBERG
infeksi yang sering timbul pada penderita sirosis, diantaranya adalah : peritonitis,
bronchopneumonia, pneumonia, tbc paru-paru, glomeluronefritis kronik,
pielonefritis, sistitis, perikarditis, endokarditis, erysipelas maupun septikemi.
RSUD KUDUS 2015 20