190
BAB IV
PAPARAN DATA DAN TEMUAN PENELITIAN
4.1 Pendayagunaan Kosakata dalam Wacana Politik
Mengikuti pandangan Halliday (1978), Fowler (1985; 1986) serta Fairclough
(1989; 1995) dengan sejumlah modifikasi, kajian terhadap aspek kosakata akan berisi tiga
rincian fitur yang dimiliki kosakata. Pertama, "nilai pengalaman" yang meliputi pilihan-
pilihan: (a) pola kiasifikasi, (b) kata-kata yang secara ideologis diperjuangkan, (c) proses
proses leksikal, (d) relasi makna, dan (e) metafora. Kedua, "nilai relasional" yang meliputi
pilihan-pilihan: (a) ekspresi eufemistik, (b) kata-kata formal, serta (c) kata-kata informal
yang menonjol. Ketiga, "nilai ekspresir yang meliputi pilihan-pilihan: (a) evalu-
asi dan (2) evaluasi negatif Ketiga fitur itu selanjutnya dipaparkan dengan mengi- ,
kik( prosedur AWK yang mencakup tahap-tahap pemerian, penafsiran, dan penjelasan.
Mengikuti pandangan Fairclough (1989:112), setiap fitur linguistik memiliki tiga
nilai, yakni pengalaman, relasional, dan ekspresif. Nilai pengalaman berisi tentang "jejak"
dan "isyarat" cara pengalaman dunia alamiah dan pengalaman dunia sosial penghasil teks
(text producer) direpresentasikan. Nilai pengalaman berkaitan dengan isi (contents),
pengetahuan (knowledge), dan kepercayaan (beliefs). Nilai relasional berisi "jejak" dan
"isyarat" hubungan sosial yang diperankan penghasil teks melalui teks dalam wacana. Nilai
ini mempergunakan relasi dan hubungan timbal batik sosial. Nilai ekspresif berisi "jejak"
dan "isyarat" evaluasi penghasil teks yang berhubungan dengan nilai subjektif.
S umber
TV RI
TV R1
J P
J P
191
4.1.4r Nilai Pengalaman
4.1.1k Pola Klasifikasi
Pola kiasifikasi (classification scheme) berhubungan dengan kosakata yang dior-
ganisasikan dalam tipe-tipe wacana (Fairclough, 1989:114). Pertanyaan yang diajukan
Fairclough berkaitan dengan pola kiasifikasi adalah "pola kiasifikasi apa saja yang diper-
gunakan". Jawaban dari pertanyaan itu adalah pilihan kosakata tertentu yang dipergunakan
untuk pola-pola kiasifikasi pra-ada (pre-existing classification schemes). Pertanyaan ini
sesuai dengan salah satu fimgsi kosakata adalah untuk mengklasifikasikan kondisi realitas.
Sebagai mediator pandangan dunia (world-view), bahasa menjalankan fungsi kiasifikasi.
Hal itu ditegaskan oleh Lee (1992:1) bahwa bahasa dapat dilihat sebagai "alat" untuk
mengklasifikasikan pengalaman dunia kita dalam banyak cara yang berbeda dan dalam
banyak tingkat yang berbeda pula.
Dalam konteks wacana politik Indonesia pada era akhir 1990-an, akhir pemerin-
tahan Soeharto dan saat pemerintahan Habibie keberadaan "kosakata" tertentu sebagai alat
mengklasifikasikan realitas dapat disimak dari keberadaan kata-kata kuncinya. Pada tabel
4.1 berikut ditampilkan pola kiasifikasi yang muncul dalam teks yang dihasilkan oleh
sejumlah elite politik Indonesia.
Tabel 4.1 Pola Klasifikasi pada Teks-Teks yang Dihasilkan oleh Sejumlah Elite Po-
litik Era Pascaorde Baru
No. Nama Latar Topik
1. BJH nidato kenegaaan menyambut pemilu 1999
BJH wawancara satu tahun presiden
2. SH wawancara (1) pemilihan umum
SH wawancara (2) sidang istimewa
Kata yang Digunakan
kedaulatan rakyat
ketuhanan
kearifan sejarah
kedaulatan rakyat
konstitusi
kejujuran
reformasi (sesuai jadwal)
192
Lanjutan label 4.1
No. Nama Latar Topik Kata yang Digunakan Sumber
3. SBY
SBY
4. AWM
05_ HS
6. AR
AR
AR
AR
7. DR DR
8. ABT
9. FB
FB
10. MD
11. MLD
12. DI-1
DH
DH
DH
13. SS
14. KKG
15. AS
AS
16. AT
AT
AT
17. TLS
18. SEY
SEY
19. MDI
20. SBP
SBP
21 GD
GD
22. KHD
23. AMS
24. YIM
YIM
YIM
25. HM
26. MAJ
27. ZN
28. DN
wawancara (1)
wawancara (2)
wawancara
wawancara
wawancara (1)
wawancara (2)
debat capres
wawancara
dialog
wawancara
wawancara
wawancara (1)
wawancara (2)
wawancara
wawancara
wawancara (1)
wawancara (2)
wawancara (3)
dialog
dialog
wawancara
wawancara (1)
wawancara (2)
wawancara (1)
wawancara (2)
wawancara (3)
dialog _
wawancara (1)
wawancara (2)
wawancara
debat capres
wawancara
wawancara (1)
wawancara (2)
debat capres
wawancara
kampanye
dialog RCTI
debat capres
wawancara
dialog
dialog
debat capres
SU MPR 1999
dialog dengan mahasiswa
reformasi menurut ABRI
reformasi menurut ABRI
calon presiden
calon presiden Golkar
visi calon presiden
koalisi antarpartai
pemilihan umum
Indonesia barn
calon presiden
kebocoran bantuan
privatisasi BUMN
tim sukses Habibie
calon presiden
calon presiden
calon presiden
kimjungan
Megawati koalisi
pemilihan umum
utang dari CGI
calon presiden
ekonomi kerakyatan
kecurangan Golkar
calon presiden
Sidang Istimewa
pemilihan umum
totaliterisme
kampanye pemilu tim
sukses Habibie visi
calon presiden
manuver B.J. Habibie
penghentian kerusuhan
kerusuhan Mei visi
calon presiden debat
terbuka capres visi
PBB
Sidang Umum MPR
visi calon presiden
isu caleg nonmuslim
kcal isi
koalisi
visi PUI
konstitusi
konstitusi
reformasi (pelan-pelan)
reformasi (gradual)
reformasi (konstitusi)
formalisme
reformasi & status quo
reformasi & KKN
demokratisasi
reformasi (total)
kejujuran
reformasi
reformasi & koalisi
kecembohan pemerintah
kecerobohan privatisasi
formalisme
profesionaiisme
konstitusi
formalisme
persatuan dan kesatuan
konstitusi
demokratisasi
kemandirian
kebebasan
pemberdayaan rakyat
formalisme
formalisme
reformasi (gradual)
reformasi (konstitusi)
reformasi
reformasi (yg sebenamya)
kepatuhan hukum
pemerataan & formalisme
reformasi (total)
koalisi
kesatuan
keadilan
reformasi
demokratisasi
keadilan
sistem yang mantap
reformasi
diktator mayor
refoi masi
good governance
reformasi
kedaulatan
Gatra
Republik
a JP IP
Gatra
Gatra
SCTV
Indosiar
RCTI
Skandal
Gatra
JP
JP
JP
Gatra
Gatra
Gatra
JP
SCTV
Indosiar
JP
Gatra
JP
Gatra
Gatra
JP
RCTI
Skandal
JP
JP
SCTV
JP
JP
JP
SCTV
SCTV
TVR1
RCTI
SCTV
JP
SCTV
SCTV
RCTI
193
Catatan:
BJH= Bacharuddin Jusuf Habibie TLS= Theo L. Sambuaga
SH = Syarwan Hamid SEY= Slamet Effendy Yusuf
SBY= Susilo Bambang Yudhoyono MDI= Marwah Daud Ibrahim
AWM= Abdul Wahab Makodongan SBP= Sri Bintang Pamungkas
HS = Han Sabamo GD = Gus Dur
AR = Amien Rais KHD= KH Didin Hafiuddin
DR = Dawam Rajardjo AMS= AM Saefuddin
ABT= Abdillah Thoha YIM= Yusril Ihza Mahendra
FB = Faisal Basri HM = Hartono Mardjono
Marzuki Darusman MAJ= Matori Abdul Jalil
MLD = Muladi ZN = Zarkasih Noer
DH= Dimyati Hartono DN = Deliar Noer
SS = Sabam Sirait JP = Jawa Pos
KKG= Kwiek Kian Gie SCTV= Surya Citra Televisi AS = Adi Sasono ' RCTI= Rajawali Citra Televisi Indonesia AT = Akbar Tanjurtg TVRI= Televisi Republik Indonesia
Dari tabel 4.1 di atas dapat diperoleh pemahaman bahwa kata "reformasi" paling banyak
dipergunakan sebagai alat klasifikasi oleh para elit politik Indonesia. Dari 58 klasifikasi
yang dipergunakan, 21 pola (36%) mempergunakan kata "reformasi" secara eksplisit. Se-
mentara itu, 37 pola (64%) mempergunakan kosakata secara beragam dengan pembagian
persentase yang lebih kecil. Dari 37 pola yang ada, kata "konstitusi/formalisme" mendu-
duki persentase yang tertinggi dan diikuti oleh klasifikasi lain dengan persentase yang
lebih kecil. Dari tabel 4.1 di atas tampak adanya "persaingan" pola klasifikasi antara kata
"reformasi" di satu pihak dan kata "konstitusi" di lain pihak.
Penggunaan kata "reformasi" sebagai alat klasifikasi tampak lebih mencolok dalam
teks-teks kampanye partai politik peserta pemilu. Paiia tabel 4.2 berikut ditampilkan pola
klasifikasi teks-teks kampanye partai politik peserta pemilihan umum tahun 1999.
Tabel 4.2 Pola Klasifikasi pada Teks-Teks Kampanye Partai Politik Peserta
Pemilu Tabun 1999
No Partai Model Kampanye Topik Kata yang Digunakan Su.--nber
1. PIB monologis visi 13113 keimanan TVRI
PIB dialogis visi PIB reformasi TVRI
2. KRISNA monologis visi KRISNA reformasi TVRI
KRISNA dialogis visi KRISNA reformasi TVRI
194
Lanjutan Tabel 4.2
No. Nama Model Kampanye Topik Kata yang Digunakan Sumber
3. PNI monologis visi PM
PM dialogis visi PM
4. PADI monologis visi PADI
PADI dialogis visi PADI
5. KAMI monologis
visi KAMI
KAMI monologis
visi KAMI
6. PUI monologis visi PUI
PUI dialogis visi PUI
7. PKU dialogis visi PKU
PKU monologis visi PKU
8. PMB monologis visi PMB
PMB dialogis visi P/vT13
9. PPP monologis visi PPP
PPP dialogis visi PPP
10. PSII monologis visi PSII
PSII dialogis visi PSII
11. PDI-P monologis visi PDI-P
PDI-P dialogis visi PDI-P
12. PAY monologis visi PAY
PAY dialogis visi PAY
13. PKM monologis visi PKM
PKM dialogis visi PKM
14. PDKB dialogis visi PDKB
PDKB monologis visi PDKB
15. PAN dialogis visi PAN
PAN monologis visi PAN
16. PRD dialogis visi PRD
PRD monologis visi PRD
17. PSII-05 monologis visi PSII 1905
PSII-05 dialogis visi PSII 1905
18. PKD dialogis visi PKD
PKD monologis visi PKD
19. PILAR dialogis visi PILAR
PILAR monologis visi PILAR
20. PARI monologis visi PARI
PARI dialogis visi PARI
21. PPIIM monologis visi PPIIM
PPIIM dialogis visi PPIIM
22. PBB monologis visi PBB
PBB dialogis visi PBB
23. PSP monologis visi PSP
PSP dialogis visi PSP
24. PK dialogis visi PK
PK monologis visi PK
25. PM J dialogis visi PNU
PNU monologis visi PNU
26. PM-FM dialogis visi PM-FM
PM-FM monologis visi PNI-FM
27. IPKI monologis visi 1PKI
IPKI dialogis visi IPKI
marhaenisme TVRI
reformasi & nasionalisme TVRI
kedaulatan TVRI
reformasi & kedaulatan TVRI
keislaman Indosiar
keislaman TVRI
demokratisasi TVRI
kedaulatan RCTI
keislaman TVRI
reformasi TVRI
reformasi TVRI
kerakyatan TVRI
reformasi & amar makruf TVRI
reformasi TVRI
antikapitalisme TVRI
keimanan TVRI
konstitusi TVRI
konsistensi TVRI
kerakyatan TVRI
pemberdayaan TVRI
kebangsaan Indosiar
kebangsaan TVRI
kesetaraan TVRI
reformasi TVRI
reformasi & status quo TVRI
reformasi TVRI
revolusi demokratik TVRI
kerakyatan TVRI
kedaulatan TVRI
keimanan TVRI
reformasi TVRI
reformasi TVRI
kedaulatan Indosiar
pemulihan TVRI
kerakyatan TVRI
reformasi TVRI
keislaman TVRI
pembangunan manusia TVRI
refocus & status quo Stadion
reformasi RCTI
keadilan sosial TVRI
keadilan sosial TVRI
keadilan TVRI
keadilan gender TVRI
reformasi (akhlak) TVRI
reformasi (akhlak) TVRI
marhaenisme & kepancasilaan TVRI
marhaenisme TVRI
kebangsaan & kerakyatan TVRI
kebangsaan TVRI
1 9 5
Lanjutan Tabel 4.2
No. Nama Model Kampanye Topik Kata yang Digunakan Sumber
28. PR
PR
29. PID
PID
30. PNI-MM
PM-MM
31. MURBA
MURBA
32. PDI
PDI
33. PGK
PGK
PGK
34. PP
PP
35. PKB PKB
PKB-KM
36. PUDI
PUDI
37. PBN
PBN
38. PMKGR
PMKGR
39. PDR
PDR
40. PCD
PCD
41. PKP
PKP
42. PSPSI
PSPSI
43. PNBI
PNBI
44. PBI
PBI
45. SUM
SUNI
46. PND
PND
47. PUMI
PUMI
48. PPI
PPI
monologis
wawancara
politik dialogis
monologis
dialogis
monologis
monologis
monologis
monologis
dialogis
monologis
dialogis
dialogis
dialogis
monologis
dialogis
monologis
monologis
monologis
monologis
monologis
dialogis
monologis
dialogis
dialogic
monologis
monologis
dialogis
monologis
monologis
monologis
dialogis
monologis
dialogis
monologis
dialogis
monologis
dialogis
dialogis
monologis
dialogis
monologis
dialogis
monologis
visi PR
visi PR
visi PID
visi PID
visi PM-MM
visi PNI-MM
visi MURBA
visi MURBA
visi PDI
visi PDI
visi PGK
visi PGK
visi PGK
visi PP
visi PP
visi PKB
visi PKB
visi PKB
visi PUDI
visi PUDI
visi PBN
visi PBN
visi Partai MKGR
visi Partai MKGR
visi PDR
visi PDR
visi PCD
visi PCD
visi PKP
visi PKP ----
visi PSPI
visi PSPSI
visi PNBI
visi PNBI
visi PBI
visi PBI
visi SUM
visi SUM
visi PND
visi PND
visi PUMI
visi PUMI
visi PPI
PPI
reformasi
kerakyatan
keislaman
keislaman
kemandirian
marhaenisme
reformasi (total)
ekonomi rakyat
reformasi
reformasi
reformasi
reformasi
kerakyatan
reformasi & status quo
reformasi
reformasi
reformasi & kebenaran
kebenaran
Ind. baru & kegagalan orba
reformasi
reformasi
pemberdayaan pekerja
reformasi & kebangsaan
kedaulatan rakyat
kerakyatan
reformasi
reformasi
pernbangunan rohaniah
reformasi
reformasi
reformasi
demokratisasi
reformasi
reformasi
reformasi & kebhinekaan
kesetaraan hak
keislaman
reformasi
reformasi
nasionalisme & kerakyatan
keadilan
persatuan
redefinisi pekerja
reformasi
TVRI
TVRI
TVRI
TVRI
TVRI
TVRI
TVRI
TVRI
TVRI
TVRI
TVRI
TVRI
TVRI
TVRI
TVRI
TVRI
TVRI
Stadion
Indosiar
TVRI
TVRI
TVRI
TVRI
TVRI
TVRI
TVRI
TVRI
TVRI
TVRI
TVRI
TVRI
TVRI
TVRI
TVRI
TVRI
TVRI
TVRI
TVRI
TVRI
TVRI
TVRI
TVRI
TVRI
TVRI
Catatan: PM = Partai Indonesia Baru PADI= Partai Aliansi Demolcrat Indonesia
KRISNA= Partai Kristen Nasional Indonesia KAMI= Partai Kebangkitan Muslimin Indonesia
PM = Partai Nasional Indonesia PUI = Partai Umat Islam
Lanjutan Tabel 4.2
PKU= Partai Kebangkitan Umat
PMB= Partai Masyumi Baru
PPP = Partai Persatuan Pembangunan
Pal = Partai Syarikat Islam Indonesia
PDI-P= Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan
PAY= Partai Abul Yatama
PK/v1= Partai Kebangsaan Merdeka
PDKB= Partai Demokrasi Kasih Bangsa
PAN= Partai Amanat Nasional
PRD= Partai Rakyat Demokratik
PSII-05= Partai Syarikat Islam Indonesia 1905
PKD= Partai Katolik Demokrat
PILAR= Partai Pilihan Rakyat
PART= Partai Rakyat Indonesia
PPIIM= Partai Politik Islam Indonesia Masyumi
PBB= Partai Bulan Bintang
PSP= Partai Solidaritas Pekeija
PK = Partai Keadilan
PNU= Partai Nandlatui Umat
PNI-FM= PM Front Marhaenis
IPKI= lkatan Pendukung Kemerdekaan Indonesia
PR = Partai Republik
P1D-= Partai Islam Demokrat
PNI-MM= PM Massa Marhaenis
MURBA= Partai Musyawarah Rakyat Banyak
PDI = Partai Demokrasi Indonesia
PGK= Partai Golongan Karya
PP = Partai Persatuan
PKB= Partai Kebangkitan Bangsa
PUDI= Partai Uni Demokrasi Indonesia
PBN= Partai Buruh Nasional
PMKGR= Partai MKGR
PDR= Partai Daulat Rakyat
PCD= Partai Cinta Damai
PKP= Partai Keadilan dan Persatuan
PSPSI= Partai SPSI
PNBI = Partai Nasional Bangsa Indonesia
PBI = Partai Bhinneka Tunggal Ika Indonesia
SUNI= Partai Solidaritas Uni Nasional Indonesia
PND= Partai Nasional Demokrat
PUMI= Partai Umat Muslimin Indonesia
PPI= Partai Pekerja Indonesia
a. Klasifileasiiibengan Kata "Reformasi"
Keberadaan kata reformasi sebagai alat atau sarana mengklasifikasikan realitas ini
sejejar dengan kata pembangunan pada era pemerintahan Orde Baru. Seorang menteri
yang membidangi urusan politik dalam negeri, misalnva, memanfaatkan kata reformasi
Kttika menjawab pertanyaan wartawan tentang agenda Sidang Istimewa (SI) MPR RI
1999, seperti kutipan (1) berikut.
Kutipan (1):
SH : Kalau ada yang menolak sidang istimewa, berarti menghalangi usaha reformasi
pemerintah. Sebab, SI adalah jalan menuju pemilu. Kalau Si gagal otomatis pe -
milu gagal. [Data 49.A.I(1)]
Pada kutipan (1) di atas, yang terjadi adalah wawancara lisan tatap muka antara Menteri
Dalam Negeri (SH) dan sejumlah wartawan tentang hal ikilwal yang berhubungan dengan
pelaksanaan SI yang masih menimbulkan pro dan kontra di kalangan masyarakat: seba-
gian menyetujui dan sebagian menentang. Topik yang muncul adalah pandangan peme-
19.7
rintah Habibie terhadap kelompok penentang pelaksanaan SI. Mendagri dalam hal ini
adalah orang yang memiliki kapasitas untuk mewakili pemerintahan Presiden Habibie
untuk memberikan informasi pandangan tentang kebijakan pihak lembaga eksekutif.
Suara Mendagri hakikatnya adalah suara institusi kolektif yang bernama pemerintah.
Suara Mendagri bukanlah suara SH pribadi semata-mata, tetapi lebih merupakan suara
banyak orang melalui proses "pertarungan" yang panjang melalui pembicaraan internal
antarmereka sendiri. Sementara itu, sejumlah wartawan adalah orang yang menjadi repre-
sentasi sebuah institusi tertentu, terutama institusi media massa, yang memiliki hak untuk
mengetahui pandangan pihak eksekutif tersebut.
Pi lihan kata reformasi dalam kutipan di atas selain sebagai "wadah informasi"
semata-mata, kata itu jugs sebagai "pengontrol" terhadap kelompok yang kontra terhadap SI
dan sebagai "penonjol identitas" pemerintah yang sedang berkuasa yang notabene berlabel
Kabinet Reformasi Pembangunan. Yang dinyatakan (asserted) pada kutipan (1) di atas
adalah penegasan tentang urgensi SI sebagai dasar pelaksanaan pemilu. Yang dipra-
anggapkan (presupposed) oleh penuturnya ada tiga, yakni (1) "bahwa ada kelompok yang
menolak SI", (2) "bahwa pemerintah sudah melaksanakan reformasi", dan (3) "bahwa
dalam pandangan pemerintah SI adalah sesuatu yang penting". Yang ingin diimplikasikan
oleh penuturnya adalah "ajakan" untuk menyukseskan pelaksanaan sidang istimewa.
Mengikuti pandangan Fairclough (1989:154 praanggapan dalam teks dapat men-
jalankan fungsinya secara "sungguh-sungguh", "manipulatif', dan bahkan "ideologis".
Praanggapan pertaina dalam kutipan (1) di atas mengemban tugas praanggapan yang se-
benamya. Praanggapan itu "sungguh-sungguh" berfungsi sebagai praanggapan. Hal ini
sesuai dengan realitas masyarakat Indonesia bahwa memang terdapat kelompok masya-
198
rakat yang menentang pelaksanaan SI. Dalam pandangan peneliti, munculnya kelompok
yang kontra disebabkan oleh adanya rasa trauma dengan segala "tipu daya" dan "rekaya-
sa" yang sering dilakukan pada masa pemerintahan mantan Presiden Soeharto terhadap
berbagai persoalan sosial politik. Pemerintahan Habibie yang bersifat transisi
dipandang masih melanjutkan tradisi pemerintahan Orde Baru Soeharto. Mereka yang
kontra itu takut terhadap pelaksanaan SI hanya akan dijadikan jalan melanggengkan
kekuasaan pemerintahan Orde Baru.
Praanggapan kedua dari kutipan (1) di stns menjalankan fungsi "manipulatift.
Meskipun pemerintah berusaha melaksanakan reformasi, tetapi praanggapan ini tidak
memenuhi persyaratan terpenuhinya "pengetahuan bersama" (mutual knowledge) antara
pemerintah di satu pihak dengan pihak lain yang tergabung dengan kelompok yang
menamakan dirinya reformis. Secara kontekstual, pihak yang selama ini meneriakkan
kata reformasi adalah para mahasiswa, masyarakat, dan elemen pro demokrasi lainnya.
Sementara itu, pemerintah yang sedang berkuasa dipandang oleh elemen-elemen refor-
mis sebagai simbol anti reformasi. Dengan perbedaan realitas ini maka syarat pengeta-
huan bersama sebagai salah satu tiang penyangga praanggapan pragmatik tidak
terpenuhi. Praanggapan reformasi versi pemerintahan yang berkuasa. tidak akan
bertemu dengan reformasi versi elemen-elemen kelompok reformis.
Praanggapan ketiga dari kutipan (1) di alas dalam pandangan peneliti menjalan-
kan fungsi "ideologis". Praanggapan ini menjalankan fungsi melayani kekuasaan peme-
rintah yang memiliki kepentingan terhadap suksesnya pelaksanaan pemilihan umum yang
harus didahului oleh SI. Pemerintah tidak memberikan pilihan. SI adalah satu-satunya
jalan me-nuju pemilihan umum. Begitu pentingnya arti SI, dalam pandangan pemerintah,
199
kelom-pok yang menolak SI diberikan predikat "kelompok penghalang". Pandangan versi
pemerintah ini mendapat dukungan dari kelompok yang pro dengan SL Dalam pandangan
peneliti, kelompok yang pro berpendapat bahwa krisis politik yang berkepanjangan pada
era pemerintahan Presiden Habibie harus segera diakhiri dengan dibentuknya pemerin-
tahan baru yang lebih legitimized yang diakui oleh rakyat hasil pemilihan umum Se-
mentara itu, untuk melahirkan pemerintahan yang barn yang diinginkan itu, MPR harus
mengubah peraturan perundangan tentang pemilihan umum dan peraturan perundangan
lain yang bergayut dilahirkan pada zaman pemerintahan Soeharto. Untuk mengubahnya,
MPR hams melakukan SI, tidak dapat dengan cara lain. Dengan demikian, SI adalah j a-
lan satu-satunya mengakhiri krisis.
Dari kutipan (1) di atas, kata reformasi yang semula "hanya" menjadi milik ma-
hasiswa pro demokrasi, kaum "oposisi" pada masa pemerintahan Soeharto, atau kelom-
pok pro reformasi, akhirnya juga digunakan oleh seorang menteri pada pemerintahan
Presiden Habibie yang notabene sudah terlanjur memperoleh predikat anti reformasi dan
pro status quo. Secara leksikal, kedua kata ini memiliki makna 'anti pembaharuan' dan
'mendukung kemapanan'. Pada periode ini, kata anti reformasi dan pro status quo digu-
nakan oleh para reformis untuk menempatkan orang atau kelompok tertentu yang masih
berideologi Orde Baru pada sudut yang berlawanan. Oleh karena itu, seseorang, kelom-
pok, atau institusi yang mendapat predikat kedua kata itu akan sekaligus berarti "musuh
mahasiswa" dan "musuh masyarakat". Dengan demikian, wajar jika kata penggunaan kata
reformasi oleh seorang menteti tidak senacla dengan makna reformasi yang terus di-
1) Penyerahan kekuasaan dari martian Presiden Soeharto kepada (wakil presiden) B.J. Habibie =sill me-
nimbulkan pro dan kotra di kalangan ahli hukum tata negara dan politisi. Sebagian mengatakan sah,
sebagian lain mengatakan tidak sah_ Pemerintahan Presiden Habibie dianggap mewarisi ciari
pemerintahan yang sudah tidak memiliki kepercayaan dari rakyat yang miskin legitimasi.
2 0 0
dengungkan oleh para mahasiswa prodemokrasi karena memiliki perbedaan
kepentingan, sudut pandang, dan cara memandang. Dalam kutipan (1) di atas, kata
reformasi digunakan dalam pengertian 'reformasi versi pemerintah'. Terdapat
perbedaan perspektif dalam memandang kata reformasi itu.
Dalam perkembangannya, setiap orang atau institusi menafsirkan kata reformasi
menurut sudut pandang masing-masing. SBP, Ketua Umum Partai Uni Demokrasi Indo-
nesia (PUDI) menafsirkan kata reformasi dengan "reformasi total", yakni reformasi di
segala bidang, seperti kutipan (2) berikut.
Kutipan (2):
SBP: Kita tahu bahwa gerakan pro reformasi total yang pada alchimya berhasil me-
nyingkirkan mantan Presiden Soeharto adalah bertujuan memperbaiki mengubah
sistem, yaitu sistem orde barn. Sebelum itu, jauh sebelumnya, kami telah menyusun
sistem baru, Indonesia barn. Sesuai dengan namanya mau menggantikan sistem orde
barn. Sistem Indonesia baru inilah yang menurut pendapat saya sistem yang
demokratis yang menolak adanya sistem totalitarism, menolak adanya sentralisme,
menolak adanya militerisme. [Data 36.A.1(2)]
Kutipan (2) di atas berupa tuturan lisan secara langsung dari seorang ketua umum partai
pada acara debat calon presiden yang dilaksanakan oleh Universitas Indonesia. Debat
diikuti oleh para panelis lain para kandidat calon presiden, yakni Amien Rais, Yusril
Ihza Mahendra, dan KH Didin Hafiuddin. Acara debat disaksikan langsung oleh para
partisipan, terutama mahasiswa. Acara itu secara dialogis berlangsung antara moderator
dengan panelis, antar tiap-tiap panelis, dan antara panelis dengan partisipan. Acara ini
disiarkan langsung melalui media elektronik ke seluruh Indonesia. Dengan disiarkannya
secara nasional, acara debat diasumsikan diikuti oleh seluruh masyarakat Indonesia
yang sempat menyaksikan acara debat calon presiden tersebut. Kutipan (2) itu diambil
dari monolog pembuka dalam sesi opening statement acara debat.
201
Dalam pandangan SBP, kata reformasi harus bermakna 'reformasi total', yakni
pembaharuan di segala biciang kehidupan yang sudah amat rusak pada era pemerintahan
Soeharto. "Reformasi total" sebagai wujud sistem Indonesia baru yang menggantikan
sistem Orde Baru haruslah dibangun dari tiga penolakan terhadap subsistem yang selama
ini berjalan, yakni (1) menolak sistem totalitarisme, yakni pandangan yang mengedepan-
kan peranan pemerintah yang berkuasa dalam mengatur seluruh aspek kehidupan masya-
rakat, (2) menolak sentralisme, yakni pandangan yang mengedepankan begitu besarnya
peranan pemerintah pusat, dan (3) menolak militerisme, yakni pandangan yang lebih
menonjolkan aspek keamanan dan militeristik dalam melaksanakan pemerintahan negara.
Rusaknya sistem yang berlangsung di Indonesia disebabkan oleh menonjolnya tiga sistem
itu dalam kehidupan sehari-hari.
Pilihan kata pro reformasi total dalam kutipan (2) di atas selain digunakan
sebagai "wadah informasi" tentang adanya gerakan reformasi total, juga digunakan sebagai
"penonjol identitas" pengjiasil teks. Dengan pilihan terhadap kata itu, penutur ingin me-
nunjukkan keberadaan penutur sebagai kelompok reformis yang ingin menggantikan sis-
tem sebelumnya yang selama ini berjalan. Dasarnya adalah praanggapan pragmatik dari
kutipan (2) di atas. Tiga praanggapan penting perlu dikemukakan, yakni (1) "ada gerakan
pro reformasi total", (2) "terdapat sistem yang tidak baik yang sedang berlaku, yakni sis-
tern Orde Baru", dan (3) "pernah berlaku sistem yang tidak demokratis yang bercirikan
totalitarisme, sentralisme, dan militerisme".
Dalam pandangan peneliti, praanggapan (1) clan (3) di atas menjalankan fungsi-
nya sebagai "praanggapan" dalam pengertian yang sebenarnya. Sementara itu, praanggap-
an (2) menjalankan fungsinya yang "manipulatif'. Dengan menggunakan dua ukuran pra-
202
anggapan pragmatik, yakni kewajaran (felicity) dan pengetahuan bersama, praanggapan
(1) dan (3) di atas memenuhi kedua persyaratan tersebut. Dan parameter kewajaran dua
hal dapat dikemukakan. Pertama, dalam realitas memang terjadi suatu gerakan
reformasi total yang menuntut perubahan yang radikal di segala bidang kehidupan.
Gerakan ini dilakukan oleh masyarakat Indonesia, di mana salah satu tokoh yang
menjadi korbannya adalah SBP sendiri. Kedua, dalam realitas kehidupan sosial politik di
Indonesia memang sedang berlaku subsistem yang mengedepankan sistem totalitarisme,
sentralisme, dan militerisme. Ketiga subsistem Orde Baru itu dipersalahkan sebagai
penyebab utama kehancuran Indonesia.
Sementara itu, praanggapan (2) ditinjau dari aspek kewajaran tidak sepenuhnya
terwakili. Terdapat kesan terlalu membesar-besarkan realitas yang ada meskipun praang-
gapan itu sebagian memenuhi parameter kewajaran. Dalam pandangan peneliti, sistem
Orde Baru yang pernah beijalan dalam kehidupan sosial politik Indonesia tidak sepenuh-
nya jelele. Yang menjadi jelek sebenamya adalah para pelaku sistem Orde Baru yang di
dalamnya penuh dengan budaya korupsi, kolusi, dan nepotisme. Yang membuat jelek ci-
tra sistem Orde Baru adalah penafsiran sebuah sistem demokrasi menurut kepentingan
pelaku Orde Baru tersebut. Padahal, Soeharto sendiri sudah menyatakan, seperti dikutip
Hooker (1990/1996:62), bahwa "setiap insan Indonesia, setiap organisasi, setiap bentuk
usaha apa pun, yang menamakan dirinya Orde Baru hams mengamaikan dan memberi
2) Mengutip amanat keneearaau mantan Presiden Soehartc yang pertama kali pada tahun 1967 yang berhu-
bungan dengan Orde Baru sebagai berikut. "Mempertaharikan, memumikan wujud dan memurnikan pelak-
sanaan Pancasila dan UUD 45—ituiah fungsi dan tujuan Orde Baru. Setiap insan Indonesia, setiap organisasi,
setiap bentuk usaha apa pun, yang menamakan dirinya Orde Baru hams menerima dua iandasan pokok Pan-
casiia dan HUD 45; tidak saja menerina tetapi hams mengamaikan dan memberi isi pada Pancasila dan UUD
45 sebenar-benamya, setepat-tepatnya, semumi-murninya sesuai dengan jiwa dan semangatnya. Dengan demi-
kian, Orde Baru tidak lain adalah tatanan seluruh pesikehidupan rakyat, bangsa, clan tteLpra yang diletakkan
kembaii kepada peiaksanaan kemumian Pancasila dan UUD 45" (dilartip dari Hooker, 1990/1996:62).
203
isi pada Pancasila dan UUD 45 sebenar-benarnya, setepat-tepatnya, semurni-muminya
sesuai dengan jiwa dan semangatnya" (untuk uraian yang lebih lengkap, lihat catatan kaki
[2]). Yang dimaksud dengan "sebenar-benarnya, setepat-tepatnya, semurni-murninya se-
suai dengan jiwa dan semangatnya" tentunya bukan Pancasila dan UUD 45 versi Soe-
harto, tetapi Pancasila dan UUD 45 seperti dikehendaki oleh para pendiri bangsa atau
bapak-bapak bangsa yang merumuskan Pancasila dan UUD 45 pada sekitar tahun 1945.
Berbeda dengan pandangan SBP yang menghendaki adanya reformasi total da-
lam segala aspek kehidupan, elit politik lain, yakni HS, Ketua Fraksi ABRI di DPR RI,
menafsirkan reformasi dengan perubahan yang dilaksanakan secara gradual dan kon-
stitusional. Dalam pandangan HS, reformasi tidak dapat dilaksanakan secara serentak,
tetapi haruslah bertahap. Tidak ada reformasi total, tetapi reformasi gradual. Pandang-
an HS tersebut selanjutnya dapat diperhatikan pada kutipan (3) berikut.
Kutipan (3):
HS: Sikap DPR sebenarnya sudah jelas Pemikiran tentang perlunya reformasi, bad( itu reformasi politik, hukum, dan ekonomi sebenarnya sejalan dengan pemikiran DPR. Dalam berbagai kesempatan pun ketua DPR selalu menandaskan hal ini. Tetapi, kan reformasi tidak begitu saja langsung membawa hasil. Semuanya hams dilakukan secara gradual dan konstitusional. Sekali lagi, membangun rumah bukan berarti merobohkan rumah. [Data 49.A.1(3)]
Kutipan (3) di atas dicuplik dari keterangan lisan HS kepada sejumlah wartawan media
massa. Topik yang diangkat adalah reformasi versi TNI/ABRI. HS adalah individu yang
tepat untuk memberikan keterangan tentang pandangan institusi ABRI. HS adalah Ketua
Fraksi TNI/ABRI di DPR RI. Dengan demikian, pandangan HS sekaligus mencerminkan
pandangan institusi ABRI. HS memandang bahwa reformasi di segala bidang yang di-
kumandangankan para mahasiswa itu sudah menjadi agenda pemikiran DPR. Hanya saja,
pelaksanaan reformasi itu tidak dapat begitu saja bersamaan. Semua bentuk perubahan
204
harus melalui proses penahapan dan harus sesuai dengan rambu-rambu konstitusi.
Semua bentuk perubahan tidak boleh dilakukan di luar koridor konstitusi.
Dalam pandangan HS, reformasi bukanlah proses pembongkaran dengan mem-
bentuk "bangunan yang baru", tetapi proses perbaikan "bangunan yang lama" Hal itu
dapat dilihat dari praanggapan dari kutipan (3) di atas. Beberapa praanggapan penting
yang dapat dikemukakan, yakni (1) "DPR mempunyai sikap tenting reformasi" , (2)
"ada reformasi yang gagal", dan (3) "reformasi tidak boleh total dan kembali ke titik
nor. Ketiga praanggapan tersebut menjalankan fungsinya secara beragam.
Praanggapan pertama dari kutipan (3) di atas, dalam pandangan peneliti, menja-
lankan fungsinya secara "manipulatif' dan "ideologic". Sementara itu, praanggapan (2)
dan (3) dari kutipan (3) di atas menjalankan fungsinya sebagai "praanggapan" yang se-
sungguhnya. Dengan menggunakan ukuran kewajaran dan pengetahuan bersama, pra-
anggapan (1):tersebut tidak sepenuhnya memenuhi persyaratan kedua ukuran itu. Menu-
rut catatan peneliti, sikap DPR terhadap reformasi yang didengungkan mahasiswa Indo-
nesia pada masa awal-awal gerakan reformasi lebih bersifat reaktif daripada proaktif.
Sebagai lembaga kontrol eksekutif dan MPR sebagai lembaga permusyawaratan lebih
cenderung mengikuti anus besar eksekutif untuk tetap melestarikan nilai-nilai lama dengan
alasan konstitusi. MPR dan DPR terjebak ke dalam alam pikiran konstitusionalisme. Hal
ini dibuktikan dengan tekad lembaga legislatif ini mengikuti kemauan eksekutif untuk
tetap mempertahankan UUD 1945 sebagai aturan yang tidak akan diubah 3 Sementara itu,
DPR dipandang terlalu terlambat merespon semangat reformasi yang diperjuangkan
3) Dalam konteks lain, DPR/MPR terjebak dalam budaya latah dengan mencalonkan Jenderal (Purr) Soeharto
menjadi presiden untuk kali ketujuh. Bahkan, Ketua DPR/MPR RI waktu itu, Harmoko, menyampaikan suatu
pemyataan yang nyata-nyata mematikan semangat demokratisasi, yakni bahwa "setelah Soeharto bersedia
dicalonkan sebagai presiden, tidak boleh ada lagi talon lainnya" (Tempo Interalctif vol. VI, 1998-332).
205
mahasiswa Indonesia dan kelompok pro demokrasi lainnya. Dalam perkembangan selan-
jutnya, terutama pada era pemerintalian Presiden Abdurrahman Wahid, fungsi kontrol
yang dimiliki oleh lembaga legislatif ini dilaksanakan dengan senyata-nyatanya,
bahkan terdapat kesan dari beberapa pengamat bahwa fungsi kontrol yang
dilaksanakan oleh DPR terlalu berlebihan.
Praanggapan kedua dan ketiga menjalankan fungsi yang berbeda dengan praang-
gapan pertama. Dengan menggunakan parameter kewajaran dan pengetahuan bersama,
praanggapan kedua dan ketiga menjalankan fungsinya sebagai praanggapan yang sesung-
guhnya. Banyak negara yang melakukan reformasi total dengan mengikis habis sendi-
sendi kekuasaan lama dengan yang baru tidak begitu saja lang,sung berhasil seperti yang
diharapkan sebelum proses reformasi itu. Reformasi total atau revolusi tidak begitu saja
langsnng menjamin perubahan yang diharapkan4 Bahkan, banyak negara yang gagal me-
laksanakan reformasi dengan cara seperti ini. Kalaupun dapat berhasil proses itu memer-
lukan waktu yang tidak cukup satu atau dua tahun, tetapi perlu waktu yang lebih panjang
dengan ukuran dasawarsa atau abad.
Dalain perkembangan selanjutnya, dari istilah reformasi diturunkan kata-kata
turunannya, seperti pro reformasi dan anti reformasi. Kata-kata kunci tersebut digu-
nakan untuk memberikan garis demarkasi terhadap fenomena politik Indonesia, baik si-
kap dan perilaku individu, organisasi massa, maupun partai politik yang sudah berdiri
sejak lama maupun yang baru muncul. Sikap dan perilaku yang penuh dengan korupsi,
kolusi, dan nepotisme (K N) tennasuk ke dalarn klasifikasi anti reformasi, sebaliknya
4) Di Kamboja, misalnya, reformasi total yang gagal dijalankan oleh Khmer Merah itu berangkat dari pemi-
lciran Kieu Samphan yang merumuskan bahwa sebuah bangsa yang diidam-idamkan hams dibangun dari "Mil(
nor dengan meniadakan elemen-elemen sosial yang akan mengganggu masa depan bangsa itu. Reformasi Kmer
itu tidak pemah berhasil. Terlalu besar "harga sosial" yang harus ditanggung oleh seluruh masyarakat.
2O6
yang sikap dan perilaku yang anti-KKN diklasifikasikan ke dalam kelompok pro refor-
masi. Partai-partai politik yang berjumlah 48 itu, misalnya, dalam arus besarnya diklasi-
fikasikan ke dalam partai yang pro reformasi dan anti reformasi meskipun partai yang
sering disebut tidak reformis itu juga mengklaim dirinya sebagai partai yang reformis_
Partai-partai yang hidup semasa OB sering disebut tidak reformis oleh lawan-lawan po-
litiknya. Partai Golkar, misalnya, yang sering disebut-sebut partai status quo mengklaim
dirinya sebagai partai yang pro reformasi. Keberadaan "paradigma baru" Partai Golkar
diakui oleh para elite Partai Golkar menjadi simbol adanya perubahan yang radikal dari
partai yang status quo menjadi partai yang reformis.
Kata reformasi digunalcan secara leas oleh seluruh lapisan masyarakat, baik se-
cam vertikal maupun horisontal. Individu, kelompok, maupun institusi yang semula ter-
kelompok ke dalam anti reformasi pun juga menggunakan kata reformasi dengan fre-
kuensi yang relatif tinggi. Pemerintah, misalnya, menggunakan kata reformasi untuk na-
ma kabinet pemerintahannya dalam rangka mengakomodasikan tuntutan mahasiswa
khususnya dan masyarakat pada umumnya terhadap reformasi di segala kehidupan
bermasyarakat, berbangsa, dan bernegaras. Bahkan, dari label 4.2 di atas dapat diperoleh
pemahaman bahwa sehanyak 98 teks kampanye dari 48 partai politik peserta pemilu 999,
sebanyak 43 teks memilih kata reformasi untuk mengklasifikasikan realitas. Reformasi
tampaknya menjadi kata "wajib" bagi seluruh komponen bangsa dalam segala aktivitas
sosial politiknya.
5) Presiden B.J. Habibie menyusun Kabinet Reformasi Pembangunan dalam waktu yang amat singkat, yakni
hanya sehari. Sesuai dengan Keputusan Presiden Nomor 122JM tahun 1998, 36 menteri kabinet tersebut ke-
mudian dilantik dan diambil sumpahnya pada tanggal 23 Mei 1998. Kemudian, pada tanggal 25 Mei 1998
kabinet melaksanakan sidang pertama. Itu semua merupakan rentetan peristiwa untuk menyikapi gelombang
reformasi itu (Tifa Demokrasi, 1999:1).
2 0 7
b. Klasifikasi dengan Kata "Status Quo"
Klasifikasi terhadap realitas sosial-politik juga menggunakan kata kunci lainnya,
yakni status quo. Kosakata ini menjadi pasangan kata "reformasi". Kosakata ini tidak
pernah dipakai oleh para elite politik dari pihak pemerintah yang berkuasa. Presiden dan
para menteri kabinet reformasi pembangunan, misalnya, dalam berpidato jarang sekali
menggunakan istilah status quo. Partai Golongan Karya (PG) yang selama lebih kurang
tiga puluh tahun sebagai penyangga pemerintahan Orde Baru jarang sekali menggunakan
kata status quo. Kosakata ini lebih banyak dipakai oleh para elite politik yang pada masa
Orde Baru memperoleh predikat "oposisi", "anti pembangunan", "anti Pancasila", "anti
Orde Baru", "ekstrem kiri", "ekstrem kanan", dan sebagainya. Dua kata kunci yang bersi-
fat dikotomis turunan dari istilah status quo, yakni pro status quo dan anti status quo
berfungsi juga sebagai alat untuk membuat garis demarkasi yang digunakan claim me-
ngelompokkan individu, lembaga, organisasi massa, partai politik ke dalam kelompok
"pro" dan "anti" itu.
DR, seorang.ketua dari Partai Amanat Nasional, partai yang dipandang sebagai
pelopor reformasi, menggunakan istilah status quo untuk memberikan predikat kepada
pemerintahan Presiden B.J. Habibie. Alasannya, pemerintahan Habibie masih banyak
persamaannya dengan pemerintahan sebelumnya yang menjadi simbol status quo.
Dalam keterangannya kepada wartawan secara lisan, ungkapan DR dapat diperhatikan
pada kutipan (4) berikut.
Kutipan (4):
DR: Dalam konteks wacana politik saat.ini status quo dan reformis itu adalah peme-
rintahan itu sendiri. Kalau kita mau jujur, maka pemerintahan yang ada saat ini ada-
lah termasuk status quo yang artinya masih menggunakan sistem dan aturan yang
lama serta belurn terlihat perubahan yang berarti. [Data 1 5.A. 1(4)1
208
Yang dinyatakan pada kutipan (4) adalah penegasan DR tentang pemerintahan yang se-
dang berkuasa sebagai pemerintahan yang bersifat status quo. Yang dipraanggapkan oleh
penuturnya adalah (1) "Icita sering berbuat sesuatu dengan tidak jujur", dan (2) "pemerin-
tahan yang sekarang sama dengan pemerintahan sebelumnya". Kedua praanggapan terse-
but menjalankan fungsinya masing-masing yang tidak sama. Praanggapan (1) menjalan-
kan fungsi sebagai "praanggapan yang sesungguhnya". Sementara itu, praanggapan (2)
menjalankan fungsi yang "manipulatif', bahkan fungsi yang "ideologis".
Dengan menggunakan parameter kewajaran dan pengetahuan bersama, praang-
gapan (1) dari pernyataan DR menjalankan fungsi yang "sungguh-sungguh" sebagai pra-
anggapan. Dalam pandangan peneliti, salah satu penyakit dari realitas masyarakat Indone-
sia, khususnya dalam bidang sosial politik, adalah sering berbuat sesuatu secara tidak jur. Banyak fenomena ketidakjujuran yang menjadi bagian kehidupan manusia Indonesia
sehari-hari6. Akhimya, istilah "rekayasa" dan "semua bisa diatur" menjadi akrab
dengan masyarakat Indonesia.
Sementara itu, praanggapan (2) dengan menggunakan parameter yang sama lebih
banyak menjalankan fungsi "manipulatif', bahkan fungsi "ideologis" karena melayani
fungsi-fungsi kekuasaan. Persoalan apakah pemerintahan yang sekarang (pemerintahan
Presiden B.J. Habibie) sama dengan pemerintahan sebelumnya (pemerintahan Soeharto)
masih menimbulkan perdebatan yang sera. Kelompok yang pro Habibie mengklaim bah-
wa presiden ketiga itu cukup banyak melaksanakan amanat refonnasi seperti yang ditun-
6) Munculnya jargon jargonyang dimunculkan oleh masyarakat awam sebagai manifestasi dari adanya wa-
cana tandingan (counter-discourse) terhadap wacana resmi pemerintah, dalam pandangan peneliti, berakar
dari fenomena ketidakjujuran itu. Jargon-jargon itu antara lain: "KUHP" (kasih uang habis perkara), "waskat"
(pengawasan malaikat), "SUMUT" (semua urusan mesti uang tunai), 'PPP" (putra-putri presiden), "LUBER"
(lubang beringin), "UUD" (ujung-ujungnya duit), "pasal 33" ayat (1) bermakna perekonomian Indonesia dia.
tw- bersama oleh keluarga, dan "KOPERASI" (kuperasi).
209
tut oleh kelompok pro demokrasi.7 Sebaliknya, kelompok yang kontra dengan Habibie
menyebut presiden ketiga itu tidak lebih dan tidak kurang sebagai sambungan dari peme-
rintahan sebeluirmya.8 Dengan adanya dua pandangan yang bertentangan itu, praanggap-
an (2) dari kutipan (4) tidak sepenuhnya sesuai dengan realitas yang ads. Terdapat dimen-
si "manipulatif' dan "ideologis" dari praanggapan itu yang perlu dicermati.
Dikotomi ketat antara "pro" dan "anti" terhadap status quo dalam wacana politik
hidup begitu subur secara informal di luar wacana pemerintah yang dianggap sebagai
"wacana resmi". Wacana-wacana yang dihasilkan oleh aktivis mahasiswa, ketua partai
politik, pimpinan LSM, pembela hak asasi manusia (HAM), dan sejumlah pengamat eko-
norni dan politik Indonesia banyak berhubungan dengan dikotomi status quo itu. Partai
politik peserta pemilu 1999 sebagian besar membuat garis lurus antara kata reformasi dan
status quo untuk menjatuhkan partai tertentu, khususnya PG yang selama ini menopang
pemerintahan Orde Baru. Garis lurus itu jugs digunakan oleh sebagian besar partai politik
untuk menempatkan posisi pemerintah yang sedang berkuasa pads barisan status quo.
Sementara itu, sebagian besar partai politik peserta pemilu 1999 itu selalu menempatkan
posisinya dalam barisan reformasi, tidak ada yang menempatkan posisi partainya pada
barisan status quo.
7) Salah satu buku yang memberikan semacam pembelaan kepada Habibie untuk dapat dikelompokkan ke
dalam "reformis" atau "status quo" berjudul Habibie Status Quo? Buku ini merupakan hasil survei terhadap
kumpulan fakta yang bertebaran di media massa yang dilakukan oleh kelompok yang menamakan dirinya Tifa
Demokrasi. Isinya berupa paparan sebanyak 33 kebijakan penting Habibie yang bernafaskan semangat refor-
masi seperti dikehendaki oleh kelompok pro demokrasi.
8) Salah satu kritikan dikemukakan oleh Dawam Rahardjo (lihat kutipan [4]) yang mengatakan bahwa pe-
merintahan yang ada saat ini (pemerintahan Habibie) adalah termasuk status quo karena masih meaggunalcan
sistem dan aturan yang lama serta belum terlihat perubahan yang berarti. Atau, laporan utama Gatra (edisi 7
Agustus 199) tentang calon presiden ke-4 RI yang menempatkan Habibie dalam posisi yang tidak mengun-
tungkan. Menurut laporan tersebut, rapor Habibie terdiri atas "dua biru, enam merah". Dua nilai birunya terdiri
atas dua hal: (1) membebaskan narapidana politik dan tahanan politik, (2) membuka keran kebebasan pers dan
kebebasan politik. Sementara itu, bidang-bidang lainriya memperoleh nilai merah.
210
PG pun yang oleh sebagian besar masyarakat dan partai peserta pemilu diberi pre-
dikat partai pendukung status quo' pada era refomiasi ini menempatkan dirinya dalam
barisan reformasi dengan slogannya yang terkenal "paradigms baru Partai Golkar" dan
"Golkar baru bersatu untuk maju". Penggunaan kata baru oleh para pimpinan PG baru
itu dapat diperhatikan pada kutipan (5) berikut.
Kutipan (5):
PG: Partai Golkar baru menyatu dengan reformasi dengan merespon seluruh aspirasi gerakan reformasi. Partai Golkar baru berada di relung-relung Kati rakyat Indo-nesia. [Data 33.A.1(5)].
Kutipan (5) di atas diambil dan sebagian pidato salah seorang ketua PG pada pembukaan
kampanye dialogis yang ditayangkan melalui media televisi. Dalam forum kampanye itu,
PG tampil bersama-sama dengan Partai Abul Yatama (PAY) dan Partai Rakyat Indonesia
(PARI). Kata baru dalam kutipan (5) diacukan kepada semarigat "reformasi" yang me-
mang menjadi arus besar pemikiran seluruh komponen bangsa pada era pasca-Orde Baru.
Hal senada jugs dapat ditemukan pada kutipan (6) berikut
Kutipan (6):
AT: Golkar baru sudah memperbaharui dirinya untuk menyongsong hari depan yang lebih baik dan lebih maju. Golkar baru memperhatikan perhatian kepada persoalan rakyat. [Data 33.A.1(6)]
Kutipan (6) diambil dari jawaban Ketua Umum PG, Akbar Tanjung, dalam kampanye di-
alogis di televisi. Kampanye itu diikuti oleh peserta dari sejumlah wakil petani, pengojek,
sopir, tukang becak, nelayan, dan pedagang kecil. Dengan menempatkan kata "baru"
9) Dalam kampanye pemilihan umurn yang bersifat dialogis di media televisi, misalnya, Partai Golongan
Karya menjadi bulan-bulanan dua partai mitra dialog yang hadir. PARI dan PAY yang pernah tampil
bersamasama dengan Partai Golkar dalam kampanye dialogis memberikan predikat status quo kepada partai
itu. Ketua PAM, Agus Miftah, secara terang-terangan menuduh PG sebagai partai status quo karena itu PG
perlu dibubarkan saja Hal yang sama dilakukan oleh simpatisan PAY menyebut PG sebagai partai status quo
yang mendatangkan tragedi nasional karena itu PG perlu dihukum.
211
itu, PG berusaha memotong jalur hubungannya dengan "Golkar lama" I° yang oleh kaum
penentangnya PG dianggap "penuh dosa" kepada negara-bangsa Indonesia, seperti
dikemukakan oleh PARI dan PAY.
Kutipan (5) dan (6) berangkat dari praanggapan yang sama, yakni (1) "partai
Golkar yang sebelumnya tidak aspiratif dengan persoalan rakyat", dan (2)"sendi-sendi
partai Golkar yang sebelumnya banyak yang rusak". Praanggapan (1) dan (2) tersebut
menjalankan fungsi sebagai "praanggapan" yang sesungguhnya. Dengan menggunakan
parameter kewajaran dan pengetahuan bersama, kedua praanggapan tersebut dalam
pandangan peneliti sesuai dengan realitas yang ada. Pengakuan Slamet Effendy Yusuf
seperti dipaparkan dalam catatan kaki (10) dapat mempertegas akan ketidakaspiratifnya
partai Golkar lama dan rusaknya sendi-sendi dalam Partai Golkar yang lama.
Dengan kata baru itu, PG mengidentifikasikan dirinya sama dengan partai-partai
lain yang bam lahir atau muncul kembali setelah ramainya era reformasi. PG baru beru-
saha untuk mempertahankan dan memperoleh citra barn dari para anggota dan para sim-
patisan baru. Pada waktu yang bersamaan, PG lama itu sedang menghadapi cacian,
hujatan, dan tuntutan hukum yang mahadahsyat dari sebagian besar rakyat dengan
simbol hujatannya terpusat kepada man-tan Presiders Soeharto.
Pada periode sebelumnya, dalam pelaksanaan pemerintahan, keberadaan peran
dan fungsi PG dengan pemerintah yang berkuasa, khususnya pada periode pemerintahan
) Salah satu katua Partai Golkar, Slaniet Effendy Yusuf, menegaskan bahwa secara internal banyak sekali
perubahan dalam PG di tingkat visi maupun misi. Demikian juga, secara &sternal sangat banyak perubahan
yang telah memberi jalan pada reformasi sehingga bisa betjalan saperti yang diharapkan_ Tiga hal dapat dike-
mukakan, yakni (1) pengambilan keputusan dilakukan secara bottom-up, (2) pengambilan keputusan disco-
nnecting dengan pihak penguasa sebelumnya, di mana ada struktur di luar partai Iebih banyak menentukan
dibanding struktur di dalam partai, dan (3) melihat PG lebih menjadi the rolling party bukan seperti yang lama
rules party, partainya penguasa, di mana Golkar hanya menjadi mesin pengumpul suara yang digunakan oleh
penguasa sebagai alat legitimasi.
212
Soeharto, secara substansi sering tumpang tindih dan kabur. Hal ini tampak pada feno-
mena pejabat presiden selalu menduduki jabatan Ketua Dewan Pembina Golkar, sebuah
jabatan yang amat berkuasa dalam menentukan figur ketua umum partai dan pengurus
lainnya. Hal senada juga dapat diperhatikan pada jabatan wakil presiden dan menteri
senior dalam kepengurusan dewan pembina PG. Oleh karena itu, logis jika kata status
quo tidak pemah dipilih oleh elite partai dart institusi PG dan pemerintah yang berkuasa.
Sikap untuk tidak menggunakan kata status quo juga dipilih oleh sejumlah partai
baru yang dicurigai sebagai "bayi" yang dilahirkan dan dibiayai oleh PG atau elit politik
yang berhubungan dengan PG." Partai-partai tersebut dalam kampanyenya selalu me-
nempatkan dirinya pada barisan yang "anti" atau "musuh" terhadap kelompok status quo
dengan argumentasi masing-masing meskipun mereka tidak pernah sekali pun menyebut
kata "reformasi". Kalau pun menyebut kata "reformasi", kata itu diberi makna lain atau
dipilih hanya sebagai "pemanis" teks kampanye mereka. Hal itu dapat diperhatikan pada
kutipan (7) berikut.
Kutipan (7):
RB: Kalau ditanyakan apakah partai kami itu pendukung status quo, apa yang disebut
status quo itu. Kami memang status quo terhadap nilai-nilai luhur bangsa, yakni
nilai-nilai Sumpah Pemuda, nilai-nilai perjuangan, dan nilai-nilai kerakyatan.
[Data 28.A.1(7)]
Kutipan (7) di atas diambil dart sebagian jawaban yang diberikan oleh pimpinan Partai
Republik (PR) dalam kampanye dialogis yang ditayangkan televisi. Dalam kampanye
dialogis itu, acara juga diikuti oleh dna partai lainnya, yakni PSII-1905 (nomor peserta
11) Beberapa partai politik barn yang didirikan oleh tokoh-tokoh "mantan" kader Golkar, antara lain Partai
Republik, Partai Pilihan Rakyat, dan Partai KAMI dituding memperoleh biaya clan Keluarga Cendana Kasus
Partai KAMI yang memiliki logo yang hampir sama dengan PAN dituding oleh Hasballah Saw'. Wakil
Sekjen PAN, sebagai bagian skenario kelompok status quo mempertahankan kekuasaannya meskipun suet
menemukan bukti yang benar-benar valid tentang keterlibatan kelompok tertentn
21
3 17) dan Partai Persatuan (nomor peserta 34). Kata status quo yang digunakan oleh pim-
pinan PR itu diberi makna yang berbeda dengan makna yang sedang berkembang di ma-
syarakat Indonesia.
c. Klasifikasi dengan Kata "Konstitusi"
Klasifikasi ketiga yang sering dimunculkan adalah kata konstitusi. Elite politik
yang banyak menggunakan klasifikasi tersebut menganut pandangan konstitusionalisme.
Konstitusionalisme merupakan pandangan yang lebih mengedepankan peranan konstitusi
atau peraturan perundangan lainnya dengan menomorduakan dimensi aspirasi yang
berkembang di masyarakat. Perhatikan kutipan (8) berikut.
Kutipan (8):
SBY: Yang ingin dibangun TNI adalah kepatuhan kepada UUD sebagai sebuah sumber nilai dasar yang lahir dari negara Proklamasi 17 Agustus 1945. Nilai dasar la-innya adalah Pancasila sebagai dasar dan ideologi negara, serta nilai negara nasional ini. Konstitusionalisme iarus dihargai. Jangan begitu raja dikhianati atau disimpangkan Bahwa dalam realitasnya, karena singkat dan padatnya, UUD kita perlu penambahan, pelengkap, bahkan amandemen, itu dapat kita bicarakan secara nasional pada forum yang berwenang. Dan, mesti betul-betul diabdikan untuk kepentingan nasional. [Data 49.A.1(8)]
Kutipan (8) di atas dicuplik dari hasil wawancara lisan Susilo Bambang Yudhoyono de-
ngan sejumlah wartawan. Dalam kapasitasnya sebagai Kepala Staf Teritorial (Kaster)
TNI, SBY adalah orang yang tepat untuk menyampaikan pandangan institusi TNI tentang
persoalan sosial politik pada era reformasi. Kata konstitusionalisme yang dikemukakan
selain berperan sebagai "wadah informasi" tentang pentingnya menghargai dan men-
jalankan konstitusi, jugs berperan sebagai "penonjol identitas" institusi TNI akan begitu
concern-nya dengan persoalan bangsa dalam jangka panjang.
Dengan klasifikasi konstitusionalisme tersebut, setiap pemikirmi dan tindakan
yang selalu mematuhi konstitusi yang ada berada pada barisan konstitusionalisme. Se-
21k
baliknya, pemikiran dan tindakan yang tidak mendasarkan pada konstitusi yang berada
pada kelompok barisan inkonstitusionalisme. Dalam konteks ini, banyak elemen refor-
masi ditafsirkan sebagai sesuatu yang inkonstitusionalisme. Selanjutnya, perhatikan
lcutipan (9) berikut.
Kutipan (9):
DH: Maksudnya bukan demikian, tapi kembalikanlah ke UUD '45. Dalam UUD '45 kedaulatan rakyat dilakukan berdasarkan atas hikmat kebijaksanaan dalam permu-syawaratan/perwakiLan. Jadi, yang diutamakan adalah musyawarahnya. Ini yang pokok dan hams kita terapkan.
WAR: Bukan untuk me”garnankan Mega? DH: Bagi kita bukan soal mengamankan Mega. Ini adalah masalah prinsip UUD
'45. [Data 11.A.1(9)]
Kutipan (9) tersebut dicuplik dari keterangan salah seorang ketua PDI-Perjnangan, Dim-
yati Hartono, tentang peluang Megawati sebagai calon presiden dalam Sidang Umum
(SU) MPR. Dalam konteks ini, DH adalah pribadi yang cukup representatif dalam mem-
berikan pandangan institusi PDI-Perjuangan tentang suatu masalah. Suara DH pada haki-
katnya adalah suara PDI-P. Pilihan frasa "kembalikanlah ke UUD '45" selain berperan se-
bagai "wadah informasi" tentang perlunya kembali kepada Konstitusi RI dalam setiap
memecahkan persoalan kenegaraan dan kebangsaan, frasa tersebut juga berperan sebagai
"penonjol identitas" bagi institusi PDI Perjuangan yang tidak pernah mundur sejengkal
pun dalam menegakkan Negara Kesatuan Republik Indonesia. 12 PDI Perjuangan meman-
clang bahwa persoalan yang timbul di Indonesia, khususnya semasa pemerintahan Orde
12) Tentang sikap PDI-P terhadap Pancasila dan UUD '45 dikemukakan bahwa PDI-P tetap akan berlandaskan
Pancasila. dan UUD '45 tidak hanya dalam perjua_ngannya sekarang, namun juga di dalam peryeleriggaraan
negara. Pancasila diyakini kebenarannya sebagai suatu ideologi bangsa yang tepat. Demikian juga, UUD '45
akan tetap dipertahankan dan dipegang denganteguh. Tentang amandemen terhadap Batang Tubuh UUD '45
dikemukakan bahwa PDI-P memandang perubahan UT.TD '45 adalah masniah yang sulit karena prose per-
ubahan tersebut bukan hanya merupakan proses hokum, namun berkaitan dengan ideologi negara, tatanan so-
politik, ekonomi, budaya, dan lain-lain. Adanya tuntutan zaman yang dinamis teiah diantisipasi oieh
UUD '45, yakni dengan memberikan akomodasi pada satu peringkat UU yang lebih rendah dari UUD '45
(lihat buku PDI-Perjuangun ivienjawah, 1999:8-1u).
225
Baru, bukan terletak pada konsepsi dasar Pancasila dan UUD '45, melainkan terletak pada
implementasi yang korup pada pembuatan peraturan perundang-undangan yang lebih
rendah, yaki undang-undang teknis. Pandangan senada ditemukan dalam teks-teks kam-
panye pemilihan umum dari PM (nomor 3), PM Front-Marhaenis (nomor 26), dan PM
Massa-Marhaenis (nomor 30).
Praanggapan utama dari kutipan (9) di atas dapat dirumuskan, yakni "kita semua
(penyelenggara negara) menyimpang dari UUD 1945 seperti dikehendaki oleh para pen-
diri negara". Praanggapan ini menjalankan fungsi sebagai praanggapan yang sebenarnya_
Banyak sendi-sendi pelaksanaan ketatanegaraan yang berjalan di Indonesia tidak sesuai
dengan semangat UUD 1945. Pelaksanaan demokrasi, misalnya, berjalan sesuai dengan
penafsiran pemerintah yang sedang berkuasa. Oleh karena itu, PDI Perjuangan meman-
dang perlunya kembali ke jiwa dan semangat UUD 1945. Dalam pengambilan suara, mi-
salnya, PDI Perjuangan kurang menyetujui pelaksanaan pengambilan suara dengan voting
dan lebih menyetujui musyawarah untuk mufakat". Platform PDI Perjuangan yang ingin
tetap mendasarkan seluruh kegiatannya pada Pancasila dan UUD '45 lebih menge-
depankan musyawarah untuk mencapai mufakat dalam menyelesaikan persoalan-persoal-
an kebangsaan dan kenegaraan. Bagi PDI Perjuangan, pengutamaan musyawarah merupa-
kan masalah prinsip dalam UUD '45. Dengan demikian, PDI Perjuangan memiliki kesa-
maan pandangan dengan pemerintahan Orde Baru yang lebih mementingkan musyawarah
untuk mufakat daripada sekedar pemungutan suara
13) Menurut PDI-P, banyak aspek yang baik dari pemerintahan Orde Baru yang harus dipertahankan. PDI-
Perjuangan memandang pemerintah Orba sebagai berikut. "Pemerintah Orba banyak menuangkan konsep dan
pemikiran yang di atas kertas bagus. Kita bisa belajar banyak dari situ_ Hampir semua isi pidato kenegaraan
yang disampaikan oleh mantan Presiden Soeharto cukup bagus. Masalah Orde Baru adalah bahwa semua
pemikiran dan gagasan yang bagus itu tidak dilaksanakan. Sebaliknya, pelaksanaannya bahkan diselewengkan
atau dikorup" (lthat buku PDI Perjuangan Menjawab, 1999:4).
2 1 6
d. Klasifikasi dengan Kata "Kerakyatan"
Klasifikasi ini meling_kupi klasifikasi yang di dalamnya mencanturnkan kata-kata
rakyat atau kerakyatan, seperti kedaulatan rakyat, ekonomi rakyat, ekonomi kerakyatan,
dan "pemberdayaan rakyat". Perhatikan kutipan (10) berikut.
Kutipan (10):
AS: Politik adalah membangun rakyat yang merdeka. Negeri kita ini adalah negeri merdeka tapi rakyatnya masih membungkuk pada kekuasaan dan pemilik modal. Mungkin kultur ini sudah lama terbentuk. Ini adalah kondisi yang tidak sehat. Sa-ya berpendapat, faktor ekonomi menjadi penting karena kemiskinan itu menjadi faktor budaya membungkuk bila terbentuk dari akumulasi waktu yang panjang. Karena itu, jalur kemiskinan harus dipotong. Kita harus membangun suatu budaya merdeka dan sadar akan hak-hak individualnya. [Data 49.A.1(10)]
Kutipan (10) di atas dicuplik dari basil wawancara sejumlah wartawan dengan Adi Sasono
(AS). Topik yang diangkat adalah sinyalemen tentang hubungan AS dengan Partai Daulat
Rakyat (PDR) karena para pendiri PDR adalah sahabat dan teman dekat AS serta dalam
program-programnya, PDR mencalonkah AS sebagai calon presiden.
Dalam kutipan (10), menurut peneliti, pendayagunaan kata rakyat selain men-
jalankan peran sebagai "wadah informasi" tentang perlunya membangun rakyat Indonesia
menjadi individu-individu yang merdeka dan sadar akan hak-hak individunya itu, kata
rakyat tersebut juga sebagai "penonjol identitas" kerakyatan bagi penghasil teks tersebut.
Hal ini sesuai dengan realitas sosial politik. Dalam konteks ekonomi kerakyatan, nama AS
bukan nama yang asing. Keterlibatannya dalam berbagai kegiatan yang bernuansakan
kerakyatan dalam pandangan peneliti sudah tidak diragukan lagi. Begitu gigihnya
memperjuangkan ekonomi kerakyatan untuk menandingi ekonomi konalornerat saat
menjadi Menteri Koperasi dan Pembinaan Usaha Kecil dan Menengah, sampaisampai
muncul istilah Sasonomics untuk memberikan nama terhadap program-program
21.7
ekonomi kerakyatan Adi Sasono', menyusul nama-narna lain yang lebih dahulu
muncul, seperti Widjojonomics, Soehartonomics, dan Habibienomics.
Penggunaan klasifikasi dengan menggunakan kata kerakyatan dapat dijumpai
juga pada pidato-pidato (mantan) Presiden Habibie. Salah satu cuplikan pidato tersebut
dapat diperhatikan pada kutipan (11) berikut.
Kutipan (11):
BJH: [...] Pemilu tahun ini, di dalam keterbatasan waktu dan dalam atmosfir dinamika
reformasi yang begitu. tinggi, namun tetap berjalan seperti kita harapkan. Ini berarti
bahwa reformasi yang sedang dan akan tents kita laksanakan bukanlah sekedar
suatu retorika namun benar-benar langkah serius untuk mengembalikan kedaulatan
ke tangan rakyat serta menyelamatkan kehidupan Negara Kesatuan Republik
Indonesia. [Data 48 .A. 1 (1 1)]
Kutipan (11) di atas dicuplik dari pidato Presiden Habibie yang ditayangkan melalui me-
dia televisi pada tanggal 6 Juni 1999. Kutipan (11) adalah cuplikan sambutan presiders
yang ditujukan kepada seluruh masyarakat Indonesia yang akan melaksanakan pemilu
tanggal 7 Juni 1999. Dalam proses komunikasi ini, BJH sebagai pribadi yang mewakili
institusi eksekutif untuk menyampaikan sesuatu, sementara itu seluruh masyarakat
Indonesia tanpa kecuali adalah orang-orang yang "diberi" sesuatu itu. Apa yang
disampaikan BJH antara lain berupa informasi, motivasi, dan evaluasi. Kata kerakyatan
yang dipilih BJH selain menjalan peran sebagai "wadah informasi", kata tersebut juga
berperan sebagai "penonjol identitas".
Dalam kutipan (11) di atas, yang ingin disampaikan oleh BJH adalah informasi,
motivasi, dan evaluasi terhadap pemilu yang akan berlangsung sebagai jalan untuk me-
14) Istilah Sasonomics dilontarkan oleh Ekky Syachrudin untuk memberikan nama kepada program
ekonomi kerakyatan Adi Sasono (AS) meskipun AS sendiri dan Faisal Basri tidak menyetujui istilah
tersebut Dalam pandangan AS, ekonomi kerakyatan adalah ekonomi partisipatif yang memberikan akses
adil bagi seluruh lapisan masyarakat di dalam proses produksi, distribusi, dan konsumsi nasional, tanpa
hares mengorbankan fungsi cumber daya alam dan lingkungan (dikutip dari Jawa Pos, 11-2-1999).
218
nyelamatkan Negara Kesatuan Republik Indonesia dengan mengembalikan kedaulatan
ke tangan rakyat, maim yang dipraanggapkan adalah bahwa "selama ini kedaulatan
tidak berada di tangan rakyat, tetapi di tangan penguasa". Dengan menggunakan dua
parameter yang sudah dipaparkan di muka, praanggapan kutipan (11) tersebut
menjalankan fungsinya sebagai praanggapan yang sebenarnya. Perhatikan juga kutipan
(12) berikut. Kutipan (12):
BJH: [...] Apa yang telah terjadi? Memang, pesta demokrasi ini memang diatur, dia-wasi, dan saksinya adalah rakyat Indonesia. Kita harus pandai-pandai memberi-kan ketetapan kepada rakyat bahwa mereka itu tahu siapa sebenamya partai-partai itu. [Data 49.A.1(12)]
Kutipan (12) di atas dicuplik dari hasil wawancara sejumlah wartawan senior Indonesia
dengan Presiden B.J. Habibie. Topik yang diangkat adalah evaluasi satu tahun pemerin-
tahan Habibie. Kutipan (12) adalah jawaban Habibie tentang peranan rakyat dalam pe-
milihan umum. Pilihan kata rakyat pada kutipan dapat memberikan pemahaman
kepada kita akan strategisnya dan pentingnya rakyat di mata Presiden Habibie. Rakyat
bukan semata-mata sebagai orang-orang yang nantinya melaksanakan pemilihan pars
calon wakil rakyat. Lebih dari itu, rakyatlah yang menjadi saksi tentang berbagai hal
yang berhubungan dengan pemilihan umum itu. Dalam pandangan Habibie, rakyat
pada era reformasi ini sudah jauh lebih pintar, lebih kritis, dan lebih canggih daripada
periodeperiode sebelumnya. Pada bagian lain, BJH juga memilih kata rakyat dalam
hubungannya dengan ekonomi nasional, seperti pada kutipan (13) berikut.
Kutipan (13):
BJH: lm semua harus dilaksanakan oleh bangsa Indonesia, tanpa dipengaruhi oleh siapa pun juga. Di lain pihak, pemerintah itu harus mengambil kebijaksanaan-kebijaksa-naan yang menguntungkan ekonomi nasional pada umumnya, khususnya rakyat. Rakyat itu mencerminkan pasar, pasar domestik. Rakyat di pasar domestik daya belinya belum semakmur seperti rakyat di Eropa atau Jepang [Data 49.A.1(13)]
219
Kata rakyat yang dipilih BJH pada kutipan (13) di atas memberikan pemahaman kepada
kita betapa pentingnya rakyat untuk dilindungi 15. Dalam bidang perekonomian nasional,
dalam pandangan BJH, rakyat belumlah dapat dikatakan memadai untuk menjalankan
rods perekonomian. Rakyat Indonesia belumlah semakmur seperti masyarakat di Eropa
atau Jepang yang tingkat perekonomiannya sudah tinggi.
Peng)clasifikasian realitas sosial politik dengan menggunakan kata kerakyatan
dapat ditemukan juga pada teks-teks kampanye. Dan 98 teks kampanye dan 48 partai pe-
serta pemilu 1999, sebanyak 18 teks kampanye (18,4%) mendayagunakan kata kerakyat-
an sebagai alat mengklasifikasikan realitas sosial politik Indonesia. Partai-partai itu
memandang bahwa salah satu penyebab kegagalan Orde Baru disebabkan tidak ditempat-
kannya rakyat sebagaimana mestinya. Dalam konteks pembangunan Indonesia, seharus-
nya rakyatlah yang menjadi subjek pembangunan, bukan sebagai objek pembangunan
Perhatikan kutipan (14) berikut.
Kutipan (14):
PILAR: KesimpuIannya adalah, seperti yang saya katakan tadi„ partai ini namanya
Partai. Pilihan Rakyat, yang didirilcan untuk kepentingan rakyat, yang asasnya
asas kedaulatan rakyat dengan demikian karena rakyat seperti yang dikatakan
oleh Ibu Santoso tadi itu seperti yang terbesar di Indonesia adalah wanita, maka
Partai Pilihan Rakyat mempunyai perhatian yang besar terdapat wanita... [Data
39.A. 1 (14)]
Kutipan (14) dicuplik dari hasil wawancara antara wartawan Indosiar dengan sejumlah
elit Partai Pilihan Rakyat (PILAR) dalam rangka kampanye dialogis pemilu 1999. Topik
yang dikemiikakan adalah asas, tujuan, nisi, dan misi PILAR Dalam kutipan (14) terse-
15) Dalam pidato pelantikannya, 13.11-1 menyatakan bahwa ekonomi kerakyatan menjadi agenda utama Me-
nurut BJH, pemerintah perlu menerapkan tatanan kebijakan ekonomi baru guna menggeser kebijakan ekonomi
sebelumnya yang hanya memberikan keuntungan kepada segelintir orang dan berakibat pada ketimpangan.
Adanya ketimpangan akan menimbulkan kecemburuan sosial yang dapat mengakibatkan kerusuhan dan penja-
rahan massal. Jika dibiarkan terus dapat menimbulkan perpecahan dan disintegrasi bangsa
220
but, kata rakyat yang dipilih memiliki kedudukan yang sangat strategis. Kata rakyat di-
dayagunakan untuk nama partai, tujuan partai, dan asas partai. Dengan demikian, kata
rakyat selain menjalankan peran sebagai "wadah informasi" semata-mata, kata rakyat
juga menjalankan peran sebagai "penonjol identitas" kerakyatan yang melekat pada par-tai
yang bersangkutan.
e. Klasifikasi dengan Kata "Keimanan"
Klasifikasi kelima yang perlu dikemukakan pada bagian ini adalah klasifikasi de-
ngan kata keimanan. Kata-kata yang sering digunakan dalam klasifikasi ini, antara lain
akhlakulkarimah, firman Allah, akhlak, dan iman. Klasifikasi ini banyak dipilih oleh
partai-partai politik yang berasaskan agama. Perhatikan kutipan (15) berikut.
PNU: [...] Dengan rahmat Allah swt beserta inayah-nya di negara Republik Indone- sia yang kita cintai telah terjadi perubahan yang mendasar. Hal ini sesuai dengan firman Allah swt di dalam Al-qufan ....'sesungguluiya Allah tidak mengubah nasib suatu bangsa sehingga bangsa itu tidak mengadakan reformasi dalam din mereka sendiri'. Hal itu berarti sunatullah telah berlaku di negara Republik Indonesia. Oleh sebab itu kami umat Islam dari aliran ahli
sunnah Ival jamaah yang merupakan bagian dari kebhinekaan bangsa Indonesia dan merupakan dari bagian dari kemajemukan bangsa Indonesia turut bertanggung jawab di dalam ikut menyelamatkan bangsa ini di dalam menjalankan pembangunan itu. [Data 25. A.1(15)]
Kutipan (15) dicuplik dari teks kampanye monologis Partai Nandlatul Ummat (PNU) da-
lam rangka pemilu 1999. Topik yang dikemukakan adalah visi dan misi PNU. Dalam ku-
tipan (15) tersebut, terdapat kata-kata kunci yang mencerminkan posisi penuturnya, yakni
kata-kata rahmat Allah, inayah, firman Allah, dan sunatullah. Dengan demikian, kata-
kata yang berkaitan dengan keimanan itu selain menjalankan peran sebagai "wadah in-
formasi", kata tersebut juga bet peran sebagai "penonjol identitas" dari penuturnya. Terda -
pat fenomena yang menarik, yakni dikaitkannya konsep reformasi dengan firman Allah
dan sunatullah. Reformasi dipandang dari dimensi "tangan sang Pencipta".
221
Klasifikasi dengan kata keimanan selanjutnya dapat diperhatikan pada kutipan
(16) berikut.
Kutipan (16):
PDKB: [...] Salam kasih.... Alasan pertama, alasan objektif faktual, yaitu selama 32 tahun Orde Baru diliputi berbagai pelanggaran, terjadi penderitaan, telah terjadi praktik KKN...Dengan demikian berakhirlah masa 32 tahun Orde Baru tanpa kasih. Alasan kedua adalah alasan filosofis konseptual. PDKB meyakini karena kasihnya manusia diciptakan oleh Allah sesuai dengan fitrahnya. Oleh karena itu manusia merupakan ciptaan Allah yang termulia dan dikaruniai oleh kodrat dan harkat yang sama dalam wujud hak asasi manusia. Atas dasar keyakinan itulah visi PDKB adalah kasih, yaitu kasih demi bangsa. Visi merupakan cara pandang, merupakan motivasi yang mendorong pemikiran dan seluruh perju-angan politik PDKB. Dengan demikian, PDKB merupakan partai politik yang terbuka, tanpa mempermasalahkan suku, agama, atau golongan mewujudkan kasih di tengah-tengah kehidupan masyarakat dan bernegara yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. [Data 14.A.1(16)]
Kutipan (16) dicuplik dan teks kampanye monologis Partai Demokrasi Kasih Bangsa
(PDKB) dalam rangka pemilu tahun 1999. Topik yang dikemukakan adalah visi dan misi
PDKB. Dalam kutipan (16) tersebut terdapat kata-kata kunci yang mencerminkan posisi
penutur atau penghasil teksnya, yakni kata-kata kasih, Allah, dan kasih demi bangsa.
Dengan demikian, kata-kata yang berkaitan dengan keimanan itu selain menjalankan
peran sebagai "wadah informasi", kata tersebut jugs berperan sebagai "penonjol identitas"
dari penuturnya, yakni partai politik terbuka yang gerak politiknya berlandaskan "kekato-
likan". Senada dengan kutipan (15), dalam kutipan (16) terdapat fenomena menarik yakni
dikaitkannya konsep keruntuhan Orde Baru dengan konsep kasih. Keruntuhan Orde Baru
dipandang dan dimensi "tangan sang Pencipta".
4.1.1.2 Kata-kata yang Diperjuangkan secara Ideologis
Pertanyaan kedua yang dilontarkan Fai rcl o ugh (1989:110) berkaitan dengan nil ai
pengalaman kosakata adalah "adakah kata-kata yang diperjuangkan secara Ideologis". Kata
yang diperjuangkan adalah kata-kata yang diusahakan ditanamkan atau dinaturali-
222-
sasikan ke dalam pikiran individu masyarakat sasaran melalui berbagai aktivitas agar
kata-kata tertentu itu menjadi bagian dari kehidupan individu dan masyarakat itu dan
katakata itu dipercayai sebagai sesuatu yang "penting" bagi kehidupannya. Dalam
konteks politik Indonesia, banyak kosakata yang diperjuangkan oleh individu atau
institusi agar menjadi bagian kehidupan individu atau institusi lain itu. Pemilik
kosakata tertentu cenderung menaturalisasikan kosakata itu kepada pihak lain.
Perjuangan menaturalisasikan kosakata tertentu itu dilakukan melalui berbagai
macam sarana, seperti: wawancara, kampanye melalui televisi, kampanye langsung di
lapangan terbuka, pidato-pidato tertentu, slogan-slogan, dan sebagainya. Pada tabel 4.3
berikut ditampilkan sejumlah kosakata yang diperjuangkan secara ideologis melalui
berbagai metode penaturalisasian.
Tabel 4.3 Kata-Kata yang Diperjaangkan secara Ideologis dalam Teks-Teks
Kampanye Partai Politik Peserta Pemilu Tahun 1999
No Nama Kosakata Tempat Kosakata Keteringan
I. PIB moral, alchlak, budi pekerti Dengan memilih dan memenangkan slogan partai
PIB kits tingkatkan moral, Add* & budi pekerti bangsa Indonesia
Indonesia Baru, madani Indonesia barn yang madani, visi partai nasionalis, dan religius.
KRISNA umat Kristen Memperjuanglcan aspirasi umat tujuan partai
Kristen sebagai bangsa Indonesia
bangsa Memajukan bangsa vjs partai
3. PNI marhaenisme Marhaenisme asas partai cita-cita prokiamasi Mewujudkancita-cita Proklamasi tujuan perjuangan NKRI 17 Agustus 1945, menegakkan, mem-
bela, dan mengisi kemerdekaan NKRI
rakyat Memperjuangican terlaksananya tujuan paijuangan kejahteraan rakyat
PADI rakyat Rakyat berdnulat negara selamat motto partai
Bank Petani Membentuk Bank Petani tujuan perjuangan
asas partai motto partai
kata panting
pekik partai asas partai kata kunci kata kunci
misi partai
jatidiri partai
jatidiri partai jatidiri partai
tujuan partai
asas partai
komitmen partai
simbol partai asas partai tekad partai
semboyan partai
semboyan partai
motto partai slogan partai program utama
slogan partai
tujuan partai motto partzi
jargon partai pilar partai
2 2 3
Lanjutan Tabel 4.3
5. KAMI Al-quran, hadits
suara rakyat, suara Tuhan
angka lima
Al-quran dan Hadits nabi Suara
rakyat hares berpedoman pada suara Tuhan Angka lima simbol kemenangan bangsa Indonesia
6. PIA Allahuakbar Islam pluralitas
kedaulatan rakyat, kedaulatan Allah
Allahuakbar
Keislaman Pengakuan akan pluralitas Kedaulatan rakyat sebagai math-festasi kedaulatan Allah
7. PKU masyarakat Islami ahlu
sunnah waljamaah
kebangsaan NU
Membangun masyarakat Islami yang plural Akidah Islam ahhisunnah walja-maah Berwawasan kebangsaan Menurut visi politik pendiri NU
8. PMB kaum yang Iemah
Islam
bangsa
Menguatkan kaum yang lemab
Keislaman
Persatuan dan kesatuan bangsa
9. PPP ka'bah Islam Indonesia baru
Tandy [(sash lambang kemenangan Keislaman Indonesia baru dengan pemerataan dan keadilan
10. PSII tauhid
ilmu pengetahuan, siasah
Sebersih-bersih tauhid
Setinggi-tinggi ilmu pengetahuan
dan siasah (politik)
11. PDI-P perjuangan pro-Mega pemulihan
Perjuangan kits sudah bulat Pro-Mega
Pemulihan kepercayaan
12. PAY miskin
pengentasan kemiskinan anak yatim, orang miskin
Abulyatarna adalah partai orang miskin Pengentasan kemiskinan
Ingat anak yatim & orang miskin,
ingat Abulyatama
13. PKM persaudaraan
sembilan pilar Pemulihan persaudaraan sejati Sembilan pilar (Islam, Budha, Hindu, Katolik,- Kristen, Kekaryaan Kerabat, Penghayat Kepercayaan, dan Perempuan)
2 2 4
Lanjutan Tabel 4.4
14. PDKB kasih Kasih demi bangsa semboyan partai
hak asasi manusia Penegakan hak asasi manusia pilar partai
demokrasi Penegakan demokrasi pilar partai
lingkungan hidup Penegakan lingkungan hidup pilar partai
15. PAN reformasi Reformasi kata kunci
KKN KKN kata kunci
status quo Mengakhiri status quo kata kunci
demokrasi, moral agama, Demokrasi berlandaskan moral visi partai
kemajemukan agama, kemanusiaan, & kemajemukan
16. PRD orde rakyat Hidup orde rakyat pekik partai
sosial demokrasi kerakyatan Sosial demokrasi kerakyatan asas partai
17. PSII-1905 akhlak Akhlakul karimah pegangan partai
tauhid Sebersih-bersih tauhid doktrin partai
ilmu Setinggi-tinggi ilmu doktrin partai
siasah Sepandai-pandai siasah doktrin partai
18. PKD kesejahteraan umum Kesejahteraan umum adalah hu- motto partai kum tertinggi
justice. equality, empo- Justice, equality, empowerment, visi partai
werment. peace peace (JEEP)
19. PILAR rakyat Kembalikan kedaulatan ke tangan motto partai
rakyat
pemulihan Program pemulihan bangsa program partai
20. PARI Indonesia baru
penegakan sistem rakyat
Membentuk Indonesia barn dengan masa depan baru Penegakan sistem hukum PARI partainya seluruh rakyat Indonesia
tujuan partai
program partai
slogan partai
21. PPIIM ajaran Islam Mewujudkan ajaran dan hukum tujuan partai Islam dalam kehidupan individu, masyarakat, serta negara
Islam "flak ada alasan untuk fobia terha- slogan partai
clap Islam
ibadah Memilih partai adalah ibadali kata kmci
22. PBB Masyumi Masyumi sebagai semangat slogan partai
pilihan langsung Pilihan presider secara langsung program partai
ekonomi tanpa bunga Sistem ekonomi tanpa bunga program partai
2 2 5
Lanjutan Tabel 4.3
23. PSP merpati putih Merpati putih tak pemah ingkar slogan partai
_lank anti diskriminasi Menghapus diskriminasi tekad partai
memperluas kerja Memperluas peluang kerja tekad partai
24. PK ulama sebagai pemimpin
nilai keadilan
keadilan
Saatnyalah ulama menjadi pe-
mimpin
Penegakan nilai-nilai keadilan
Keadilan membuka jalan bagi
nilai-nilai kebenaran, kebaikan,
ketakwaan, dan kebahagiaan
semboyan partai
makna simbol
slogan partai
25. PNU Islam ahlisunnah waljamaah Islam ahlisunnah waljamaah asas partai akhlak Akhlakul karimah landasan kerja reformasi akhlak Reformasi moral/akhlak program partai
26. PM-FM marhaen Marhaen! pekik partai
marhanism, Pancasila Marhaenisme dan Pancasila landasan partai kemiskinan Mengentas kemiskinan program partai
adil dan makmur Masyarakat adil dan makmur tujuan partai
27. IPKI merdeka, Pancasila
otonomi dwifungsi rakyat partai masa depan
Merdeka, Pancasila! Otonomi daerah di tingkat Il Dwifungsi rakyat Partai massa depan dengan masa lalu tanpa cacat
partai program partai program partai slogan partai
28. PR NKRI Menegakkan NKRI tekad partai nilai budaya Penanaman nilai budaya program partai
social justice Ekonomi yang berorientni pads program partai social justice
29. PID ashadu hubalillah PID, ashadu hubalillah pekik partai Islam Keislaman asas partai akhlak Akhlakul karimah landasan kerja
30. PNI-MM Bung Kamo
rakyat
marhaenisme
Pilihlah partai yang didirikan Bung Karno atau tidak sama sekali Mengembalikan kedaulatan ke tangan rakyat
Ini marhaenisme ash
kata-kata kunci
tujuan partai
slogan partai
31. MURBA sosial demokrat Sosial demokrat yang beragama asas partai
rakyat Membela kepentingan rakyat garis partai
melawan ketidakadilan Melawan ketidakadilan garis partai
memerangi kemiskinan Memerangi kemiskinan garis partai
33. Golkar Golkar barn pro reformasi
Golkar baru bersatu untuk maju slogan partai Golkar barn proreformasi yang slogan partai bertahap dan tidak radikal revolusioner Partai Golkar adalah Golkar baru slogan partai
34. PP
asas partai program partai makna simbol
tujuan partai SDM yang berilmu
Islam hak-hak perempuan bintang
Menyiapkan SDM yang berilmu, punya motivasi tinggi, kreatit dan memiliki kemampuan yang tepat Keislaman yang terbuka Melindungi hak-hak perempuan Bintang adalah lambang kesucian tertinggi
slogan partai kosakata utama strategi politik
35. PKB kebenaran
kebangkitan
PKB membela yang benar Nilai kebenaran Era kebangkitan bangsa
asas partai landasan partai
int; perjuangan
demokratis religius kedaulatan rakyat kedaulatan Tuhan tujuh pilar refonnasi
Demokratis religius Kedaulatan rakyat harus mengakui kedaulatan Tuhan Tujuh pilar reformasi
36. PUDI
37. PBN buruh UMR
anti ekonomi biaya tinggi
Buruh adalah tuan adagium partai UMR berdasarkan kebutuhan hidup agenda partai layak, bukan kebutuhan fisik minimum Anti ekonomi biaya tinggi agenda partai
38. P-MKGR merdeka kebangsaan-kerakyatan, kemanusiaan, moralitas
Merdeka! pekik partai 1Cebangsaan-kerakyatan, kemanu- acas MKGR siaan, moralitas
39. PDR daulat rakyat ekonomi rakyat imari„ ilmu, amal
pekik partai slogan partai
slogan partai program partai dasar penuangan
Hidup daulat rakyat Pekenaan untuk rakyat adalah daulat rakyat Buruh perkasa adalah daulat rakyat Pemberdayaan ekonomi rakyat Iman, ilmu, dan amal
40. PCD pekik partai strategi partai kosakata penting misi partai
cinta damai tarekat anti-KKN menyelamatkan bangsa
Salam cinta damai Pendekatan tarekat Anti-KKN
Menyelamatkan bangsa Indonesia dan kehancuran
226
Lanjutan Tabel 4.3
32. PDI merdeka otonomi daerah
pendidikan keadilan, persatuan
Merdeka, PDI! Otonomi daerah yang seluas-luasnya Penaikan anggaran pendidikan Keadilan dan persatuan
pekik partai program partai
program partai kata lainci
salam nasional salam partai tujuan partai
. prinsip partat
48. PPI pekerja
reformasi total
partai politik peserta pemilu memiliki keberagaman kosakata melalui tema-tema yang
2 2 7
Lanjutan Tabel 4.3
4 1 . P K P menyelamatkan bangsa
Indonesia baru
status quo
keadilan
Berjuang mennyetamatkan bangsa
Berjuang mewujudkan Indonesia
baru Berjuang mengakhiri status quo melalui pemilu Keadilan
program partai tujuan partai
tujuan partai tujuan partai jatidiri partai
4 2 . P-SPSI solidaritas salam
solidaritas
demokrasi NKRI yang kuat, bersih, bebas KKN
Solidaritas pekerja
Salam solidaritas untuk seluruh bangsa Indonesia
Demokrasi Mewujudkan NKRI yang kuat,
bersih, bebas KKN
visi partai pekik partai
platform partai misi partai
43. PNBI budaya
persatuan dan kesatuan
bangsa dan negara
44. PBI kemanusiaan
kebhinekaan
Budaya nasional
Menjunjung tinggi persatuan dan
kesatuan
Mengutamakan bangsa dan negara
Panggilan nurani kemanusiaan
adalah idealisme Nilai-nilai suci kemanusiaan
Kebhinekaan
visi partai
slogan partai
slogan partai
slogan partai
kata penting
kata penting
45. SUNI Pancasila Paricasila asas partai Proklamasi 1945 Seta kepada Proldamasi 1945 garis partai Islam ahlusunnah waljamaah Islam ahlusunnah waljama'ah jatidiri partai
Al-quran, Surlah Rasul Al-quran dan Sunnah Rasulullah pegangan partai
46. PND merdeka
demokrat nasionalis kebangsaan, demokrasi, keadilan
Merdeka!
Nasional satu, demokrat jaya
Menghimpun kekuatan nasionalis
Kebangsaan, demokrasi, dan kea-
dilan
47. PUM1 Allah Allahu akbar, Pl.JM1 jaya! pekikpartai Islam Keislaman asas partai penegakan hukum Penegakan hukum dan pemulihan program partai pemulihan ekonomi ekonomi
Tiada hari tanpa pekerja, tiada motto partai pembangunan tanpa pekerja Reformasi total merupakan mo tema perjuangan mentum bagi para pekerja unkuk ikut menentukan arah perjuangan politik
Dari tabel 4.3 di alas dapat diperoleh tiga catatan penting sebagai berikut. Pertama, setiap
2 2 8
ingin diperjuangkannya. Tema-tema yang diperjuangkan pada umumnya relatif mudah
dapat dikenali dari nama dan asas partainya meskipun tidak seluruhnya. Partai yang ber-
asaskan agama, misalnya, memiliki karakteristik yang membedakannya dengan partai yang
berasaskan nasionalisme. Kedua, terdapat berbagai macam sarana dan wahana yang
mewadahi tema-tema yang diperjuangkannya itu. Sarana-sarana itu antara lain slogan par-
tai, asas partai, program partai, simbol partai, dan nomor partai. Ketiga, terdapat berbagai
metode dalam penaluralisasian tema-tema tertentu kepada masyarakat leas. Metode-metode
panaturalisasian itu antara lain kampanye monologis di lapangan terbuka, kampanye
dialogis di gedung-gedung tertentu, kampanye monologis melalui media elektronik, kam-
panye dialogis melalui media elektronik, kampanye melalui pendirian pos-pos komando
(posko), kampanye melalui acara keagamaan, kampanye melalui ikian di media massa,
kampanye melalui kain rentang, baliho, dan kaos. Dan tiga catatan tersebut, catatan pertama
selanjutnya dijabarkan secara lebih jauh karena relevan dengan topik penelitian ini.
Kosakata yang diperjnanOcati oleh partai-partai politik pesexta pemilu amat
bergantung pada asas partai yang dianut oleh partai yang bersangkutan. Dengan
demikian ada hubungan yang erat antara asas partai dengan kosakata yang
diperjuangkan secara ideologis itu. Secara ideologis, dari 48 partai politik peserta pemilu
tahun 1999 dapat diklasifikasikan ke dalam tiga kelompok besar, yakni (1) partai politik
yang berasaskan agama, (2) partai politik yang berasaskan nasionalisme, (3) partai politik
yang berasaskan nasionalisme-agama_ Kelompok pertama adalah partai-partai politik yang
secara eksplisit mencantumkan Islam sebagai asas partainva. Kelomnok kedua adalah eartai-
partai politik yang mencantumkan Pancasila sebagai asas partainya. Kelompok ketiga adalah
partaipartai yang juga mencantumkan Pancasila sebagai asas partai dart mempetjuangkan peran
229
ajaran-ajaran agama dalam mewarnai gerak kehidupan berbangsa dan bernegara. Ketiga
kelompok partai tersebut dapat diperiksa pada tabel 4.4 berikut.
Tabel 4.4 Tiga Kelompok Partai Politik Ditinjau dari Asas Partai
No. Nama Asas
1 . KAMI, PUI, PKU, PMB, PPP, PSII, PSII-05,
PPIIM, PBB, PK, PNU, PP
agama
2 . PNI, PADI, PDI-P, PAY, PKM, PRD, PILAR,
PARI, PSP, PNI-FM, IPKI, PR, PNI-MM,
MURBA, PDI, PG, PUDI, PBN, P-MKGR,
PDR, PKP, P-SPSI, PNBI, P131, PND, PPI
nasionalisme
3 . PIB, KRISNA, PDKB, PAN, PK"), PII), PKB,
PCD, SUNI, PUMI
nasionalisme-agama
a. Kosakata yang Diperjuangkan Partai yang Berasaskan Agama
Dalam penelitian ini, yang dimaksudkan "partai agama" adalah partai politik peserta
pemilu tahun 1999 yang mencantumkan asas partainya dengan agama tertentu secara
eksplisit. Partai politik kelompok pertama tersebut semuanya mencantumkan "Islam" se-
bagai asas partainya dengan mencita-citakan masa depan Indonesia yang berlandaskan
ajaran-ajaran Islam dalam pelaksanaan kegiatan berbangsa dan bernegara.
Beberapa catatan penting yang dapat dikemukakan dipaparkan sebagai berikut. Per-
tama, kelompok partai ini menonjolkan atribut keislaman dalam aktivitas partainya. Pada
umumnya, partai-partai ini menggunakan lambang partai yang beratributkan keisiaman,
Lambang partai-partai politik kelompok pertama ini didominasi oleh lambang "bulan" dan
"bintang" dengan berbagai variasinya, kemudian diikuti oleh lambang "ka'bah" dan
230
"matahari". Dalam mengawali teks kampanyenya, partai-partai tersebut sering mengucap-
kan bacaan Allaahu akbar, baik dalam kampanye monologis maupun dialogis. Selain itu,
partai-partai tersebut membuka teks kampanye dengan model ceramah agama Islam dan
selalu mengutip ayat-ayat suci Al-Quran untuk berbagai tujuan.
Kedua, memandang krisis besar yang melanda bangsa Indonesia bersumber pada
pelecehan nilai-nilai agama Islam dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Ajaran
agama sudah tidak lagi menjadi sumber nilai yang membimbing aktivitas sosial-ekonomi,
sosial-politik, dan sosial-budaya. Krisis yang terjadi bersumber pada krisis akhlak atau
moral, bukan pada krisis yang lain. Manusia-manusia yang menjalankan pemerintahan di
Indonesia sudah tidak mengindahkan ajaran-ajaran agama, khususnya agama Islam. Oleh
karena itu, ajaran agama yang bersumber dari firrnan-firman Tuhan dipandang sebagai
solusi terbaik untuk mengatasi krisis yang terjadi di Indonesia.
Ketiga, model masa depan Indonesia yang diidam-idamkan adalah model masyarakat
Islam pada zaman Nabi Muhammad. Sesuai dengan Perjanjian Madinah, umat Islam
yang jumlahnya paling besar di Indonesia haruslah memegang kekuasaan negara dengan
menjalankan syariat Islam yang ada. Sementara itu, terhadap kaum yang minoritas, umat
Islam yang jumlahnya paling besar itu haruslah melindungi hak-hak mereka dan tidak
boleh menginjak-injak hak mereka itu. Dalam pandangan Islam, agama Islam adalah
rahmat bagi seluruh alam. Agama Islam bukan hanya rahmat bagi orang Islam raja.
Keempat, dalam konteks keindonesiaan, partai-partai kelompok pertama tersebut
menghargai "pluralitas". Indonesia yang dibangun ciari berbagai latar belakang suku,
aeama, ras, dan golongan haruslah dipelihara sebaik-baiknya. Keberagaman itu sebagai
kehendak Tuhan yang tidak boleh dimatikan Partai-partai yang berasaskan agama Islam
1. masyarakat Islam
2. ajaran Islam
3. rahmatan lil alamin
4. peningkatan iman
5. alhamdulillah
6. suara Tuhan
7. atas rahmat Allah
8. firman Allah
9. ayat-ayat suci
10. sunatullah
11. Piagam Madinah
12. akhlakul karimah
13. reformasi akhlak
14. Al-quran dan hadits
15. sunah Rasul
16. pendidikan watak
17. pendidikan agama
18. teladan Rasulullah
2 3 1
tersebut tetap mengakui pemeluk agama lain untuk tetap menjalan syariat menurut ajaran
agama yang dianutnya itu.
Sesuai dengan asas partai yang dianut, partai-partai politik kelompok pertama
ini memperjuangkan kosakata yang berhubungan dengan keislaman dalam berbagai
aktivitas politiknya. Berbagai kosakata yang dipeijuangkan secara ideologic dan
penjelasan terhadap penggunaan kata yang bersangkutan dalam wacana politik pada era
pasca-Orde Baru seianjutnya dapat diperhatikan pada tabel 4.5 berikut.
Tabel 4.5 Kosakata yang Diperjuangkan oleh Partai Politik yang Berasaskan Agama
No. Kosakata Keterangan
'masyarakat ideal seperti yang terjadi pada zaman nabi'
'ajaran yang berlandaskan pada Al-quran dan hadits
nabi' 'rahmat bagi seluruh alam, bukan hanya umat
Islam' 'bertambahnya rasa percaya pada Allah sang
pencipta' 'segala puji bagi Allah'
'suara sang Pencipta yang dituangkan dalam kitab suci'
'atas kasih dari sang Pencipta'
'suara sang Pencipta yang terdapat dalam kitab suci'
'suara Allah yang tidak diragukan lagi kebenarannya'
'sesuai dengan kehendak atau yang digariskan Allah'
Peijanjian pengaturan hak dan kewajiban dalam
rangka kehidupan bermasyarakat/bernegara pada
masyarakat Madinah yang plural pada zaman Nabi
Muhammad' 'moral yang baik sesuai dengan ajaran
agama' 'perubahan secara mendasar pada moral
manusia' 'dua pegangan utama bagi umat Islam agar
selamat di dunia sampai di akhirat'
'ajaran-ajaran Nabi Muhammad yang terpaparkan di
dalam al-hadits'
'pendidikan pengembangan kepribadian atas dasar
ajar-an agama'
'pendidikan untuk pengembangan pemahaman,
keterampilan, dan sikap terhadap agama Islam'
'contoh-contoh baik dari Nabi Muhammad dalam kehi-
dupan pribadi, sosial, dan bernegara'
2 3 2
b. Kosakata yang Diperjuangkan Partai yang Berasaskan Nasionalisme
Dalam penelitian ini, yang dimaksudkan partai nasionalisme adalah partai politik
peserta pemilu tahun 1999 yang mencantumkan asas Pancasila seperti yang tercantum
dalam dasar negara Indonesia. Partai-partai ini memiliki keberagaman latar belakang
yang beragam. Paling tidak terdapat empat latar belakang partai-partai kelompok kedua
ini. Pertama, partai yang dibangun dengan menonjolkan dimensi kemasyarakatan Indo-
nesia, terutama masyarakat kelompok bawah yang mayoritas miskin. Yang dapat dike-
lompokkan ke dalam partai ini antara lain PNI, PNI-FM, dan PM-MM. Kedua, partai yang
dibangun dengan menonjolkan dimensi kelompok masyarakat tertentu yang hak-
haknya memang perlu diperjuangkan. Yang dapat dikelompokkan ke dalam partai ini
antara lain PAY, PSP, PBN, Partai SPS1, PBI, PDR, dan PPI. Ketiga, partai yang diba-
ngun dengan menonjolkan dimensi demokratisasi yang harus diperjuangkan dalam kon-
teks sistem politik Indonesia. Yang dapat dikelompokkan ke dalam partai ini antara lain
PADI, PRD, PILAR, PARI, PR, MURBA, PDI-P, PDI, PUDI, dan PND. Keempat,
partai yang menonjolkan dimensi kebangsaan-kekaryaan yang hams diperjuangkan karena
nilai kebangsaan sudah mulai terkikis. Yang dapat dikelompokkan ke dalam partai ini
antara lain PG, PKM, IPKI, Partai MKGR, dan PKP.
Partai-partai kelompok kedua ini mempeijuangkan nasionalisme Indonesia atas da-
sar kemajemukan yang membentuk Indonesia. Indonesia yang dicita-citakan haruslah ber-
diri di atas kemajemukan itu. Sesuai dengan pengelompokan partai yang berasaskan nasi-
onalisme atas dasar latar belakang partai yang sudah Oipapackan di atas, beberapa catatan
penting berkaitan dengan kosakata yang diperjuangkan oleh partai politik kelompok kedua
ini dapat dikemukakan sebagai berikut.
2 3 3
Pertama, partai-partai yang menonjolkan dimensi sosial kemasyarakatan Indonesia
memperjuangkan kata marhaen dan marhaenisme melalui semboyan yang sangat terke-
nal dari penemunya Soekarno, yakni marhaenisme is Pancasila. Pembangunan Indonesia
yang dilaksanakan pada hakikatnya diperuntukkan bagi para marhaen itu. Tentang krisis
yang terjadi di Indonesia sekarang, partai partai ini memandang bahwa krisis yang terjadi
lebih banyak disebabkan ketidakkonsistenan para pelaksana pemerintahan--dalam hal ini
pemerintahan Orde Baru—terhadap pelaksanaan Pancasila. Cita-cita Proklamasi 17 Agus-
tus 1945 yang mengamanatkan kedaulatan ada di tangan rakyat dan pemihakan kepada
mayoritas masyarakat Indonesia yang miskin banyak diselewengkan oleh Orde Baru.
Kedua, partai-partai yang menonjolkan dimensi kelompok masyarakat tertentu me-
nampilkan tema-tema perjuangan melalui kosakata yang cukup beragam, antara lain anak
yatim, orang miskin, pekerja atau buruh, kelompok minoritas, dan kelompok yang
tertindas. PAY sesuai dengan namanya menonjolkan kosakata anak yatim dan orang
miskin" Slogannya yang terkenal Abulyatama adalah partai orang miskin atau moto
partai ingat anak yatim, ingat Abulyatama; ingat orang miskin, ingat Abulyatama
sering dinaturalisasikan melalui berbagai aktivitas politiknya. PSP, PBN, P-SPSI, dan PPI
yang berlatar belakang dunia perburuhan. Kosakata yang diperjuangkannya berkaitan
dengan hak-hak kaum buruh atau pekerja yang selama ini termarginalkan oleh proses
industrialisasi. Kosakata yang diangkat memiliki keberagaman nuansa, dari yang paling
moderat sarnpai yang cukup radikal. Kosakata yang moderat antara lain menghapus dis-
kriminast, solidaritas pekerja, tiada hari tanpa pekerja, dan dada pembangunan
tanpa pekerja. Sementara itu, kosakata tertentu digunakan dalam ekspresi yang cukup
radikal antara lain kata buruh dalam ungkapan buruh adalah than dan kata ekonomi
234
dalam ungkapan anti ekonomi biaya tinggi. PBI yang lahir dari latar belakang margi-
nalisasi kelompok etnis Tionghoa di Indonesia mengangkat kosakata kebhinekaan.
Dalam pandangan PBI, Indonesia ba' haruslah dibangun dari nilai-nilai suci kemanu-
siaan bukan dari nilai-nilai dominasi kelompok tertentu. Yang terakhir, PDR yang lahir
dari latar belakang kelompok LSIvt yang bergerak dalam pemberdayaan rakyat kecil
mengangkat kosakata melalui tema-tema yang berhubungan dengan pemberdayaan
ekonomi rakyat.
Ketiga, partai-partai yang menonjolkan dimensi demokratisasi menampilkan kosa-
kata melalui tema-tema yang berkaitan dengan kedaulatan rakyat dengan pelbagai vari-
asinya dalam semboyan, motto, dan program partai di satu pihak dan tema-tema yang
lebih beragam di pihak lain_ Tema kedaulatan rakyat ditampilkan oleh PADI, PRD, PI-
LAR, MURBA, PUDI, dan PND. PADI, misalnya, memperjuangkan kosakata melalui
motto partai rakyat berdaulat, negara selamat. PRD menerjemahkan kedaulatan rak-
yat tersebut dalam assay partainya, yakni sosial demokrasi kerakyatan. PILAR menam-
pilkan motto partainya yang cukup terkenal, yakni kembalikan kedaulatan ke tangan
rakyat. MURBA menampilkan asas partainya, yakni sosial demokrat yang beragama
yang mirip dengan asas PUDI, yakni demokrat religius. PND menampilkan salam par-
tainya yang terkenal, yakni nasional satu, demokrat jaya. Kosakata yang diperj uangkan
yang lebih beragam ditampilkan oleh PART, PR., PDI-P, dan PDI. PARI memperjuangkan
kosakata Indonesia baru dalam tema membentuk Indonesia barn dengan masa depan
baru. PR mempeajuangkan kosakata NKRI melalui terra menegakkan Negara Kesatuan
Republik Indonesia karena keprihatinannya terhadap persoalan disintegrasi bangsa. PDI-P
memperjuangkan tema pemulihan kepercayaan dan motto partai yang lebih
235
simbolis, yakni perjuangan kita sudah bulat. Yang terakhir, PDI memperjuangkan tema
keadilan dan persatuan.
Keempat, partai-partai yang menonjolkan dimensi kebangsaan-kekaryaan menam-
pilkan tema-tema yang cukup beragam. PKM memperjuangkan kosakata persaudaraan
melalui tema pemulihan persaudaraan sejati dengan landasan sembilan pilar-nya. IPKI
memperjuangkan kosakata partai masa depan melalui slogannya yang terkanal partai
masa depan dengan masa lain tanpa cacat dengan landasan konsep dwifungsi rakyat.
PG memperjuangkan kosakata paradigma barn. Slogan-slogan Golkar yang terkenal
Golkar baru bersatu untuk maju dan Partai Golkar adalah Golkar baru selalu muncul
dalam setiap aktivitas partainya. Partai MKGR memperjuangkan kosakata dalam tema-
tema kebangsaan-kerakyatan, kemanusiaan, dan moralitas. PKP memperjuangkan
kosakata mengakhiri status quo melalui ungkapan "berjuang mengakhiri status quo
melalui pemilu dengan landasan keadilan."
c. Kosakata yang Diperjuangkan Partai yang Berasaskan Nasionalisme-Agama
Dalam penelitian ini, yang dimaksud dengan partai nasionalisme-agama adalah
partai politik peserta pemilu tahun 1999 yang memiliki latar belakang institusi keagamaan
tertentu, tetapi tidak mencantumkan agama tertentu sebagai asas partai_ Mereka itu pada
umumnya berasaskan Pancasila. Partai-partai ini memanfaatkan hubungan emosi-
onal pemeluk agama tertentu dengan partai politiknya meskipun garis partainya tetap
benvajahkan nasionalisme. Secara garis besar partai-partai ini memiliki latar belakang yang
berbeda. Pertama, partai-partai yam', berlatar belakang komunitas Islam dan membidik
pemilih yang beragama Islam sebagai sasaran pemilihnya. Yang ten-nasuk partai ini
adalah PIB, PAN, PID, PKB, PCD, SUNI, dan PUMI. Kedua, partai yang berlatar be-
236
lakang komunitas Kristen dan membidik pemilih yang beragama Kristen sebagai sasaran
pemilihnya. Yang termasuk ke dalam partai ini adalah Partai KRISNA. Ketiga, partai
yang berlatar belakang komunitas Katolik dan membidik pemilih yang beragama Katolik
sebagai sasaran pemilihnya. Yang termasuk ke dalam partai ini adalah PDKB dan PKD.
Partai-partai kelompok ketiga ink memperjuangkan tema-tema yang sangat beragam
sesuai dengan pengelompokan di atas. Partai-partai yang berlatar belakang komunitas Is-
lam juga memperjuangkan kosakata yang bertema akhlak dengan penekanan pada sub-
subtema tertentu. memperjuangkan tema Indonesia baru yang madani, nasionalis,
dan religius. PIB berkeinginan meningkatkan moral, akhlak, dan budi pekerti bangsa
Indonesia. PAN memperjuangkan tema reformasi dan demokrasi berlandaskan moral
agama, kemanusiaan, dan kemajemukan. PID memperjuangkan tema akhlakul ka ri-
mah dan pekik partainya yang terkenal "PID, ashadu hubalillah". PKB rnemperj uang-
kan kata kebangkitan dalam ungkapan era kebangkitan bangsa dan slogannya yang
terkenal PKB membela yang benar. PCD memperjuangkan kata-kata melalui tema
menyelamatkan bangsa Indonesia dari kehancuran dengan pendekatan tarekat-nya.
Partai SUM memperjuangkan tema setia kepada Proklamasi 17 Agustus 1945 dengan
berlandaskan Al-quran dan Sunnah Rasulullah. PUMI memperjuangkan kata Islam
melalui tema-tema penegakan hukum dan pemulihan ekonomi yang berlandaskan asas
keisiaman.
Kedua, partai politik yang berlatar belakang komunitas Kristen dan membidik
beragama Kristen sebagai basis pemilihnya, yakni Partai KRISNA, inemperj
angkan kata Kristen melalui tema memperjuangkan aspirasi umat Kristen sebagai
bangsa Indonesia. Dalam pandangan KRISNA, selama ini pemeluk Kristen belum
237
menjadi bangsa Indonesia dalam pengertian yang sebenar-benarnya dan belum mempe-
roleh hakhak yang semestinya sebagai bangsa Indonesia.
Ketiga, partai politik yang berlatar belakang komunitas Katolik dan membidik
pemilih beragama Katolik sebagai basis pemilihnya menampilkan tema kasih dan
kesejahteraan umum. PDKB memperjuangkan kata kasih melalui tema-tema
penegakan HAM, demokrasi, dan lingkungan hidup" yang berlandaskan pada motto
kasih demi bangsa. PKD memperjuangkan kata JEEP melalui ungkapan JEEP: just ice,
equality, empowerment, peace yang berlandaskan pada motto kesejahteraan umum
adalah hukum tertinggi.
4.1.1.3 Proses-Proses Leksikal
Seperti sudah dipaparkan pada bab II sebelumnya, istilah "proses leksikal" diguna-
kan Fowler (1985; 1986) yang mengacu pada 'proses memilih kosakata sebagai salah satu
komponen pembentuk wacana oleh kelompok sosial tertentu yang merefleksikan dan
mengekspresikan kepentingan kelompok tertentu itu'. Terdapat tiga bentuk proses leksikal,
yakni (1) leksikalisasi, (2) kelebihan leksikal, dan (3) kekurangan leksikal. Sementara itu,
Fairclough (1989; 1995) menggunakan istilah "pengataan" (wording) yang sejajar dengan
istilah leksikalisasi. Terdapat dua bentuk "pengataan", yakni "pengataan kembali"
(rewording) dan "kelebihan kata" (overwording).
Tujuan kajian terhadap proses-proses leksikal pada wacana politik era pasca-Orde
Baru adalah untuk memperoleh gambaran dan pemaharnan yang komprehensif tentane
pendayagunaan berbagai kosakata yang menjadi karakteristik wacana politik era pascaOrde
Baru yang membedakannya dengan era sebelumnya. Seiring dengan turunnya peme-
rintahan Orde Baru secara formal dari panggung, politik dan bergulirnya iklim yang baru
238
dalam kehidupan sosial politik Indonesia, banyak kosakata sosial politik yang muncul dan
dimunculkan oleh para elite-elite sosial politik Berbagai kosakata yang muncul meliputi
(1) kosakata baru sebagai manifestasi wacana tanding terhadap wacana pemerintahan yang
sebelumnya berkuasa, dan (2) kosakata lama yang memperoleh aksentuasi barn bersamaan
dengan tumbangnya pemerintahan lama. Kosakata jenis pertama ini sebelumnya relatif
jarang muncul, bahkan tidak pernah muncul pada era pemerintahan Orde Baru. Jikalau pun
muncul, kosakata-kosakata itu dipandang "aneh" oleh pemikiran pada masa itu, bahkan
akan dianggap dapat mengguncang sendi-sendi politik pemerintahan Orde Baru. Dan
kacamata paradigma kritis, munculnya kosakata baru itu dapat dipandang sebagai
cerminan atau wujud wacana tandingan (counter-discourse) terhadap wacana "baku" yang
sedang menguasai arus besar pemikiran-pemikiran politik, baik oleh pemerintahar Orde
Baru maupun masyarakat pada umumnya.
a. Kosakata Utama yang Pertama Muncul
Cukup banyak kosakata yang menjadi karakteristik era reformasi yang membeda
kannya dengan era sebelumnya. Dua kosakata utama yang pertama muncul adalah refor
masi dan status quo. Kata reformasi dan status quo, misalnya, adalah dua kata yani
sebenarnya bersifat generik yang tidak menunjuk kepada suatu masa tertentu. Secar
leksikal, kata reformasi memiliki arti 'pembentukan kembali kepada keadaan yang lebil
baik', sedangkan kata status quo memiliki arti 'keadaan yang berlaku seperti sekarang
Akan tetapi, pada perkembangan selanjutnya, dua kosakata itu menjadi trade mark mili
individu, institusi, kelompok pendukung era pasca-Orde Baru yang digunakan sebag alat
untuk membuat garis demarkasi keadaan sosial-politik di Indonesia. Kata reforma5.
diperuntukkan bagi orang, kelompok, institusi pro demokrasi yang menjadi "musul-
239
pemerintahan Orde Baru. Sebaliknya, kata status quo diperuntukkan bagi individu, in-
stitusi, dan kelompok yang berkaitan dengan pemerintahan Orde Baru. Dalam perkem-
bangannya, dalam wacana politik era pasca-Orde Baru, dua kosakata itu menjadi satu
pasangan yang tidak dapat dipisahkan satu dan yang lainnya. Pada pembahasan selanjut-
nya dapat diketahui bahwa dua kosakata itu merupakan pasangan yang berantonim secara
ideologis yang hidup dalam wacana politik Indonesia.
Pada era pasca-Orde Baru dua kosakata itu memperoleh penekanan makna yang
dikaitkan dengan sarana untuk memberikan karakteristik tertentu pada sebuah era yang
membedakannya dengan era sebelumnya, yakni era Orde Baru. Kata reformasi diberi
makna tertentu dengan 'penggantian paradigma. Orde Baru yang dianggap sudah usang
dengan paradigma lainnya yang lebih bard. Selanjutnya, dalam wacana politik era pasca-
Orde Baru ini siapa pun yang bersangkut paut dengan pemerintahan Orde Baru diasum-
sikan bukan seorang rerormis, sebaliknya siapa pun yang tidak bersangkut paut dengan
Orde Baru adalah seorang reformis. Asumsi-asnmsi itu dibangun demikian rupa sehing-
ga mengaburkan konsep reformasi dan reformis itu sendiri. Sementara itu, kata status
quo dikaitkan dengan pemerintahan Orde Baru itu sendiri. Individu, organisasi, institusi
yang bersangkut pant dengan Orde Baru akan memperoleh predikat status quo meskipun
pemikiran-pemikirannya lebih reformis dari seorang reformis, sebaliknya yang tidak
bersangkut paut dengan pemerintahan Orde Baru tidak akan memperoleh predikat status
quo itu. Sama dengan yang pertama, asumsi-asumsi yang dibangun berkenaan dengan
kata status quo ini juga semakin mengaburkan hakikat kata status quo itu sendiri. Per-
kembangan istilah reformasi dan status quo secara singkat dapat digambarkan pada
tabel 4.6 berikut.
240
Tabel 4.6 Pergeseran Makna Kosakata Utama Era Pasca-Orde Baru
. No Kosakata Makna Asli Makria Sekarang Keterangan
1. reformasi pembentukan kembali penggantian paradigma terjadi perubaha.n
kepada bentuk yang le Orba yang dianggap sudah makna dari konsep bih baik' usang dengan paradigma generik kepada kon-
lainnya yang lebih baru' sep spesifik
status quo 'keadaan yang berlaku 'pemerintahan Orde Baru terjadi perubahan seperti sekarang' dan pars pendukungnya' makna dari konsep
generik kepada kon-
sep spesifik
Kosakata lain yang juga bersamaan muncul dengan kedua kosakata di atas adalah
istilah KKN. Bahkan, istilah KKN menjadi latar belakang munculnya istilah reformasi
di atas. Fakta menunjukkan bahwa Indonesia pada era pemerintahan Orde Baru yang pe-
nuh dengan KKN itu perlu direformasi. Dengan demikian, istilah KKN menjadi identi-
tas dari status quo di atas, bahkan banyak rumusan ekstrem yang lahir dalam wacana
politik, yakni KKN adalah status quo. Kosakata yang berupa singkatan ini juga amat
intensif digunakan oleh sejumlah elit politik dalam setiap pidato, pernyataan politik,
dialog, wawancara, seminar, dan sebagainya. Singkatan KKN dipergunakan jauh lebih
intensif daripacia kepanjangannya, yakni korupsi, kolusi, dan nepotisme. KKN
semakin banyak dipakai dalam berbagai aktivitas masyarakat.' Berbeda dengan
perkembangan kedua kosakata utama di atas yang mengalami gejala perubahan makna,
istilah KKN yang sejak semula lahir memiliki makna tertentu dalam perkembangannya
tidak mengalami perubahan makna.
16) Dalam perkembangannya, salah satu dan tiga fenomena korupsi, kolosi, dan nepotisme identik dengan KKN. Tvlisalnya, fenomena fkorupsi (+), kulusi (-) dan 'typo-Gm-tie (-)1 tetap dinamakan KKN. Fenornena
[korupsi (-), koiusi nepotisme (-)J atau [korupsi kolusi (-), nepotisme (-91 pun dinamakan KKN.
Dengan demikian, pada banyak kasus, KKN mengalami gejala spesialisasi (penyempitan makna).
2 41
b. Perkembangan Lanjut Kosakata Utama
I. Perkembangan Kata "Reformasi"
Dalam pralctiknya, satu kata reformasi sebagai kata asal kemudian berkembang ke
dalam berbagai kata turunannya sesuai dengan konteks yang melingkupinya. Para pe-
mimpin partai politik peserta pemilu dalam kampanyenya, baik monologis maupun logis,
secara intensifbanyak mempergunakan kata reformasi dengan berbagai kata turunannya
untuk berbagai tujuan. Para elite politik itu begitu pandai dan terampil mendayagunakan
istilah reformasi ke dalam berbagai bentukan. Penggunaan kata reformasi ada yang hanya
sebagai pemanis pidato dan ada yang menjadi inti dari seluruh pidatonya. Perhatikan
kutipan (15) berikut.
Kutipan (15):
SBP: [...] Oleh karena itu, sistem Orde Baru harus diperbaiki, harus diubah. Saya percaya bahwa tidak ada calon presiden yang akarr_ mampu memperbaiki kesejahteraan hidup rakyat Indonesia tanpa perubahan sistem. Sistem inilah yang disebut dengan tujuh pilar reformasi total. Saya sudah katakan berkali-kali apabila ada yang bertanya apa itu tujuh pilar reformasi total akan saya jawab. [Data 36.A.1(15)]
Kutipan (15) di atas dicuplik dari pidato pembukaan debat calon presiden dari seorang
Ketua Umum PUDI, SBP, ketua umum partai politik yang lahir pada masa ketika Orde
Baru masih berdiri kokoh. Kata reformasi total digunakan untuk memberikan gambaran
tentang 'perubahan secara radikal terhadap semua sistem yang dibangun oleh Orde Baru'.
Pilihan kata reformasi total pada kutipan (15) di atas merupakan "roh" dari seluruh isi
pidato. Dalam kasus itu, kata reformasi telah berkembang menjadi reformasi total. Pe-
nutur memberikan proses atribusi kepada kata reformasi itu dengan sebuah metode
baeaimana sebuah reformasi itu seharusnya dijalankan. Yang disebut dengan reformasi
haruslah "total", tidak boleh dimaknai dengan yang lain.
242
Senada dengan itu, kata reformasi juga digunakan sebagai pembuka pidato
kampanye yang selanjutnya amat mewarnai isi pidatonya, seperti kutipan (18)
berikut. Kutipan (18):
ABT: [...] Para pirsawan yang kami honnati, gerakan reformasi telah merobohkan tembok rezim Orde Baru yang feodalis, demokrasi semu yang sentralistis. PAN lahir dari ra-him reformasi, lahir dari seman at pluralisme budaya dan kemajemnkan PAN adalah pendorong utama lokomotif reformasi. PAN adalah kumpulan orang-orang reformis. [Data 15 . A. 1(18)]
Kata reformasi yang digunakan dalam kutipan (18) jelas merupakan "roh" atau "jiwa"
dari seluruh isi pidato kampanye partai berlambang matahari ini. Kata reformasi ber-
kembang ke dalam berbagai kata turunan. Bandingkan dengan penggunaan kata refor-
masi yang hanya sebagai kata-kata pemanis, berfungsi sebagai atribut saja, seperti
kutipan (19) berikut.
Kutipan (19):
PAY: Partai Abul Yatama hadir dalam era reformasi. Sesuai dengan namanya, yakni 'ba-paknya anak yatim', partai ini berusaha mengurusi para fakir miskin dan anak yatim. Kami bukan partai penghujat, tetapi kami partai yang membawa kesejukan. [Data 12.A.1(19)]
Pada kutipan (19) kata reformasi dikembangkan ke dalam bentukan era reformasaidak
strategisnya kata reformasi dalam pandangan penuturnya membuat perkembangan
kata reformasi tidak begitu signifikan. Hal itu sangat bertolak belakang dengan
perkembangan kata reformasi dalam pandangan PAN seperti yang terdapat pada
kutipan (18) di atas. Dalam kutipan (18) tersebut, kata reformasi dikembangkan ke
dalam berbagai bentuk turunarmya, yakni gerakan reformasi, rahim reformasi,
lokomotif reformasi, dan orang-orang reformis. Jika PAY memandang kata reformasi
sebagai sesuatu yang memiliki makna 'statis', PAN memandang kata reformasi sebagai
sesuatu yang memiliki makna 'dinamis'.
243
Fenomena penggunanaan kata reformasi seperti kutipan (19) di atas juga meng-
hinggapi partai-partai lain yang termasuk "bukan musuh Orde Baru" atau partai "yang
diuntungkan pada pemerintahan Soeharto". Bahkan, ada yang lebih ekstrem dengan
memandang reformasi yang diujungtombaki oleh mahasiswa sebagai sesuatu yang
biasabiasa saja, seperti kutipan (20) berikut.
Kutipan (20):
PSII: [...] Partai ini bukan lahir karena revolusi atau reformasi, tetapi partai ini lahir
karena perintah Allah swt. Partai ini ingin menegakkan amar makruf nahi
munkar. [Data 17.A.1(20)]
Kutipan (20) ini dicuplik dari pidato kampanye monologis yang ditayangkan oleh
TVRI dari pimpinan partai PSII, partai politik yang berasaskan Dienul Islam . Partai
ini tidak ingin mengidentikkan kelahiran partainya dengan arus besar semangat
gerakan reformasi yang diujungtombaki oleh mahasiswa Indonesia. Akan tetapi,
partai ini lebih mengaitkan kelahiran partainya dengan kekuasaan Allah Sang Pencipta
Dari kutipan (15) sampai (20) dapat diperoleh pemahaman bahwa kata reformasi
dibentuk ke dalam berbagai frasa oleh berbagai elite politik Indonesia. Berbagai
bentukan barn kata reformasi secara lebih lengkap ditampilkan pada tabel 4.7 berikut.
Tabel 4.7 Perkembangan Bentuk Kata "Reformasi"
KOSAKATA PROSES PERKEMBANGAN SELANJUTNYA
reformasi perkembangan
bentuk
1. reformasi total
2. gerakan reformasi
3. rahim reformasi
04 lokornotif refonnasi
5. orang-orang reforrnis
6. era reformasi
7. anti reformasi
2 4 4
Lan utan Tabel 4.7
KOSAKATA PROSES PERKEMBANGAN SELANJUTNYA
8. reformis
9. tidak reformis
10. kaum reformis
11. barisan reformasi
12. musuh reformasi
13. reformis sejati
14. mereformasi din
15. reformasi politik
16. reformasi ekonomi
17. reformasi hukum
18. reformasi sosial
19. reformasi personil
20. rerormasi konstitusi
21. reformasi bergulir
22. gerakan pro reformasi total
23. orde reformasi total
24. partai yang pro reformasi
25. reformasi yang gradual dan konstitusional
26. reformasi yang terkendali dan damai
27. tahapan reformasi
28. reformasi sesuai jadwal
29. reformasi pembangunan ekonomi
30. kandungan reformasi
31. garangnya reformasi
32. menyatu dengan gerakan reformasi
33. pesan-pesan reformasi
34. menuntaskan reformasi
35. pejuang reformasi
36. suara reformasi
37. kekuatan reformasi
245_
Dari paparan data di atas dapat dirumuskan bahwa kata reformasi dapat memasuki ke
segala aspek kehidupan untuk memberikan legitimasi keberadaannya. Menurut
pandangan peneliti, dengan memberi label reformasi, para pengguna kata reformasi
percaya bahwa segala aktivitas yang dilakukannya akan memiliki niiai lebih.
Terdapat fenomena yang menarik dari perkembangan kata reformasi di atas. Dan
kacamata morfosintaksis, kata reformasi yang berupa nomina (N) berkembang ke arah
depan, belakang, serta ke depan dan belakang sekaligus. Perkembangan ke arah depan
bermakna bahwa terdapat pemeri di sebelah kin N. Perkembangan ke arah belakang
bermakna bahwa terdapat pemeri di sebelah kanan N. Perkembangan ke erah depan dan
belakang sekaligus bermakna bahwa terdapat pemeri di sebelah kin dan kanan N.
Perkembangan ke arah depan dari kata reformasi dapat diperhatikan pada Label 4.7
di atas pada perkembangan nomor 2, 3, 4, 5, 6, 7, 9, 10, 11, 12, 24, 27, 30, 31, 32, 33, 34,
35, 36, dan 37. Terdapat dua catatan yang perlu dikemukakan. Pertama, perubahan status
kata reformasi dari inti frasa menjadi pewatas frasa. Hal ini diperhatikan pada bentukan
kata gerakan reformasi yang bersusunan "inti(N)+pewatas(N)". Kedua, kata reformasi
tetap berupa inti dengan pengembangan ke arah depan. Ditinjau dari kelas kata pemerinya,
terdapat tiga kelas kata pemeri kata reformasi, yakni (a) pemeri nomina, seperti pada
bentukan lokomotif reformasi (N+N), (b) pemeri ajektiva, seperti pada bentukan anti
reformasi (A+N), dan (c) pemeri majemuk [nomina+yang+ajeictiva], seperti pada
bentukan partai yang pro reformasi (N+yang+A-FN). Ditinjau dari makna grainatikal-
nya, terdapat tiga makna yang muncul dari pembentukan kata reformas:. Pertama, makna
gramatikal 'untuk, seperti yang terdapat pada bentukan gerakan reformasi. Kedua, makna
gramatikal 'posesif, seperti yang terdapat pada bentukan rahim reformasi atau
246
lokomotif reformasi. Ketiga, makna gramatikal 'terhadap', seperti yang terdapat
pada bentukan anti reformasi.
Perkembangan ke arah belakang dari kata reformasi dapat diperhatikan pada tabel
4.7 di atas pada perkembangan nomor 1, 15, 16, 17, 18, 19, 20, 21, 25, 26, 28, dan 29. Di-
tinjau dari kelas kata pemerinya, terdapat dua pemeri kata reformasi, yakni (a) pemeri
nomina, seperti yang terdapat pada bentukan reformasi politik (inti[N]+pewatas[N]) atau
reformasi konstitusi (inti[N]+pewatas[N]), dan (b) pemeri adjektiva, seperti yang terdapat
pada bentukan reformasi total (inti[M-Fpewatas[A]) atau reformasi damai (inti[N]+
pewatas[A]). Terdapat bentukan lain pada pemeri adjektiva yang menggunakan pola
"inti+yang+adjektiva", seperti yang terdapat pada bentukan reformasi yang gradual dan
konstitusional atau reformasi yang terkendali dan damai. Ditinjau Bari makna gramati-
kalnya, terdapat dua makna makna yang muncul dari pembentukan kata reformasi.
Pertama, makna gramatikal 'carat, seperti yang terdapat pada bentukan reformasi total
atau reformasi yang terkendali dan damai. Kedua, makna gramatikal lerhadap', seperti
yang terdapat pada bentukan reformasi ekonomi atau reformasi hukum
Perkembangan ke arah depan dan belakang dari kata reformasi dapat diperhatikan
pada tabel 4.7 di atas pada perkembangan nomor 14, 22, dan 23. Pada bentukan
mereformasi diri terdapat fenomena transposisi atau perubahan kelas kata dari nomina
kepada verba karena proses afiksasi dengan "me-". Bentukan tersebut mengandung
makna gramatikal 'melakukan pekerjaan'. Pada bentukan gerakan pro reformasi total
dan orde reformasi total, terdapat perubahan status kata reformasi seperti yang
terdapat pada bentukan gerakan reformasi. Kata reformasi tidak menjadi inti frasa,
tetapi menjadi pewatas atau atribut frasa.
247
Kata reformasi memperoleh tempat yang amat strategis dalam proses-proses lek-
sikal. Kata tersebut akhirnya juga bersifat ambivalen. Di satu pihak, kata reformasi digu-
nakan dalam wacana politik Indonesia dengan makna yang mengacu kepada semangat
reformasi yang diujungtombaki mahasiswa, yakni reformasi di segala bidang tatanan ke-
hidupan Indonesia, baik sosial politik, sosial ekonomi, maupun sosial budaya. Di lain pi-
hak, kata reformasi digunakan dalam wacana politik Indonesia dengan makna yang "agak"
menyimpang dari makna semula. Fenomena yang kedua ini banyak didayagunakan
oleh interest group yang ingin memperoleh keuntungan pribadi atau kelompoknya. Mak-
na kata reformasi yang diberikan oleh kelompok kedua ini banyak mengalami reduksi,
bahkan manipulasi. Hal ini tampak pada fenomena penggunaan kata reformasi oleh indi-
vidu, institusi, dan kelompok yang jelas-jelas tidak reformis dalam perilakunya.
Begitu intensifnya pendayagunaan kata reformasi mengakibatkan makna refor-
masi menjadi kehilangan makna. Meskipun kata reformasi memperoleh "makna yang
positif' pada awal kelahirannya, pendayagunaan yang superintensif kata tersebut oleh pel-
bagai lapisan masyarakat untuk kepentingan masing-masing membuat kata reformasi
mengalami titik jenuh. Kata reformasi telah mengalami penggunaan yang berlebihan
dalam panggung politik Indonesia. Kata reformasi telah mengalami titik
overlexicalization atau overwording.
2. Perkembangan Kata "Status Ouo"
Jika dibandingkan dengan kata reformasi, kata status quo dikembangkan
menjadi beberapa leksikal yang jumlahnya jauh lebih terbatas. Pengguna kata status
quo jauh bih terbatas dibandingkan kata reformasi. Pada tabel 4.8 berikut ditampilkan
perkembangan kata "status quo" yang dihasilkan &eh para elite politik Indonesia.
2 48
Tabel 4.8 Perkembangan Bentuk Kata "Status Quo"
KOSAKATA PROSES PERKEMBANGAN SELANJUTNYA
status quo perkembanga
n bentuk
1. pro status quo
2. anti status quo
3. pendukig status quo
4. penjaga status quo
5. bukan status quo
6. barisan status quo
7. partai status quo
8. masih status quo
9. mempertahankan status quo
10. rezim status quo
11. keiompok status quo
12. berpikiran status quo
13. status quo lama
14. status quo baru
Dan tabel 4.8 di atas dapat diperoleh pemahaman bahwa kata status quo
didayagunakan dalam jumlah yang lebih terbatas. Terdapat fenomena yang menarik
dan perkembangan kata status quo di atas. Dari kacamata morfosintaksis, kata status
quo berkembang lebih produktif ke arah depan dibandingkan ke arah belakang.
Perkembangan ke arah depan dan kata status quo dapat diperhatikan pada tabel 4.8
di atas pada nomor 1 s.d. 12. Ditinjau dari kelas kata pemerinya, terdapat empat kelas kata
pemeri kata status quo, yakni (a) pemeri nomina, seperti yang terdapat pada bentukan
nenjaga status quo atau partai status quo, (h) pemeri verba, seperti yang terdapat pada
bentukan berpikiran status quo atau mempertahankan status quo, (c) pemeri adjektiva,
seperti yang terdapat pada bentukan pro status quo atau anti status quo, dan (d) pemeri
adverbial, seperti yang terdapat pada bentukan bukan status quo atau masih status quo.
249
Ditinjau dari makna gramatikalnya, beberapa makna yang muncul antara lain (a) makna
'terhadap', seperti yang terdapat pada bentukan pro status quo atau anti status quo, (b)
makna 'posesif, seperti yang terdapat pada bentukan penjaga status quo atau
kelompok status quo.
Perkembangan ke arah belakang dari kata status quo dapat diperhatikan pada
tabel 4.8 di atas pada nomor 13 dan 14. Pemeri di sebelah kanan kata status quo adalah
adjektiva, seperti yang terdapat pada bentukan status quo lama atau status quo baru.
Keduanya memiliki makna gramatikal 'arah'. Perkembangan ke arah belakang dari kata
status quo ini relatif tidak produktif.
Perlu ditegaskan dalam paparan ini bahwa kata-kata itu banyak dipakai dan didaya-
gunakan oleh para elite politik yang pada masa pemerin-tahan Orde Baru dikenal dengan
"kelompok kritis", "musuh orde baru", "korban Orde Baru", dan juga "para pengkhianat
Orde Baru". Sebaliknya, kata-kata di atas jarang dipakai dan dimanfaatkan oleh para elite
politik yang berhubungan erat dengan pemerintahan Orde Baru. Berbeda dengan kata
"reformasi" yang mengalami titik overlexicalization atau overwording, kata status quo
tidak mengalami fenomena serupa. Mengikuti pikiran Fowler (1985; 1986), kata status
quo mengalami proses yang disebut dengan leksikalisasi. Makna kata status quo relatif
tetap seperti ketika gencar-gencamya diteriakkan kaum mahasiswa dan kelompok pro-
demokrasi pada akhir runtuhnya pemerintahan mantan Presiden Soeharto.
3. Perkembangan Kata "KKN"
Jika kata status quo dipergunakan oleh elite poiitik yang lebih terbatas, kata KKN
dipergunakan jauh lebih luas. Jika selama ini kata KKN lebih banyak didayagunakan dan
dipopulerkan oleh Amien Rais (AR), dalam perkembangan selanjutnya kata KKN diper-
250
gunakan oleh banyak elite politik yang beragam, baik yang memperoleh predikat "pro re-
formasi" maupun yang "pro status quo". Di antara para cut politik yang ada, AR beserta
PAN-nya, menurut pengamatan peneliti, memiliki kreativitas yang tinggi untuk mengem-
bangkan kata KKN ke dalam berbagai frasa yang berintikan kata KKN melalui berbagai
aktivitas politiknya. Muncullah kata-kata seperti: praktik KKN, sarang-sarang KKN,
rezim lama yang penuh dengan KKN, bersih KKN, terlibat KKN, tidak bersih dari
KKN, dan anti-KKN. Perhatikan kutipan (21) berikut.
Kutipan (21):
AR: [...] Tetapi, lebih daripada itu, sejumlah tugas yang sangat amat penting buat ke-sejahteraan bangsa Indonesia belum diutik-uiik, belum disinggung saina Mr. Habibie ini. Pertama, sarang-sarang KKN itu masih tetap raja kokoh, kuat, bahkan dalam banyak hal mungkin masih diberi kesempatan tambah kuat lagi.[Data 15.A.1(21)]
Kutipan (21) diambil dari pidato dari Ketua Umum PAN, Amien Rais, pada acara debat
calon presiden yang diadakan oleh Universitas Indonesia. Dalam kutipan tersebut kata
sarang-sarang KKN selain menjalankan peran sebagai "wadah informasi", kata itu juga
berperan sebagai "penonjol identitas" kepeloporan AR dalam pemberantasan KKN di In-
donesia. Dalam berbagai aktivitas politik lainnya, AR beserta PAN-nya banyak memun-
culkan kata KKN. Begitu intensifnya digunakan, kosakata ini menjadi amat ideologis.
Bahkan, dalam perkembangan selanjutnya, partai yang oleh lawan-lawan politiknya se-
lalu diidentikkan dengan praktik KKN pun, seperti PG, menggunakan kata itu dalam
kampanyenya, seperti kutipan (22) berikut.
Kutipan (22):
PG: [...] Bagi Partai Golkar baru, yang dicita-citakan adalah pemerintah sebagai alat ke..- pentingan negara yang bebas dari KKN, penyelenggaraan pemerintahan yang bersih dan berw
-ibawa, termasuk di dalamnya pemeriksaan mantan Presiden Soeharto, dan
pengejawantahan gerakan ekonomi kerakyatan. [Data 33.A.1(22)]
251
Kutipan (22) diambil dari pidato kampanye monologis pengurus teras Partai Golkar, yak-
ni Aulia Rahman, yang ditayangkan lewat TVRI. Dalam kutipan (22) kata bebas dari
KKN lebih menjalankan peran sebagai "penutup kesalahan" ". Dalam kasus tersebut, kata
KKN digunakan secara amat ideologis karena selama ini biang KKN adalah aparat
birokrasi yang notabene adalah orang-orang yang ex officio menjadi anggota PG.
Kata KKN selanjutnya berkembang dalam berbagai bidang kehidupan. Dalam pe-
milihan seorang kepala daerah atau kepala sebuah instansi, misalnya, salah satu kriteria
yang selalu dimunculkan adalah bersih dari KKN atau tidak terlibat KKN. Apabila
bersih dari KKN maka seseorang layak menjadi calon kepala daerah atau kepala instansi,
sebali lava apabila tidak bersih maka seseorang tidak layak menjadi calon. Sebaliknya,
bagi seseorang yang sudah menjadi pejabat tertentu maka is sebaiknya mundur atau di-
munditrkan jika tidak bersih dari KKN atau terlibat KKN.
Penggunaan kosakata bersib dari KKN atau tidak terlibat KKN dalam derajat yang
tidak sepenuhnya sama sejajar dengan penggunaan kata "tidak terlibat PM" dan "tidak
terlibat partai -terlarang" pada era pemerintahan Orde Baru. Pada era pasca-Orde Baru ini
jika seseorang sudah memperoleh predikat tidak bersih dari KKN atau terlibat KKN,
orang tersebut menjadi "tidak layak" untuk menjadi pelayan masyarakat. Hal ini senada
dengan keadaan seseorang pada masa Orde Baru yang "tidak layak", "tidak boleh", atau
"tidak bisa" menjadi pegawai negeri, pemimpin ormas, atau pejabat politik karena
memperoleh predikat , seperti: "terlibat PKI", "tidak bersih lingkungan", "pernah terlibat
dalam partai terlarang", "antipembanmman", "ekstrem Jan "ekstrem kanan".
17) Seperti diketahui bersama, kehancuran perekonomian Indonesia pada era pemerintahan Orde Baru karena
parahnya korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) yang diduga dilakukan oleh orang-orang dari PG yang
menjalankan pemerintahan. Atas dasar itu, mayoritas partai politik peserta pemilu 1999 dalam kampanyenya
selalu mengemukakan kesalahan PG atas peranannya dalam mempertahankan pemerintahan Orde Baru.
2 5 2
c. Leksikalisasi dari Berbagai Bidang Kehidupan
I. Leksikalisasi dari Bidang Sistem Ketatanegaraan
Leksikalisasi yang cukup menonjol untuk dipaparkan pada bahasan ini berasal dan
sistem ketatanegaraan. Leksikalisasi ini terdiri atas dua jenis, yakni (1) kosakata lama
yang memperoleh aksentuasi barn, dan (2) kosakata barn yang berupa kritikan, reaksi,
atau penjungkirbalikan terhadap pelaksanaan ketatanegaraan pada masa pemerintahan
Orde Baru sebagai perwujudan adanya "wacana tanding" (counter discourse) terhadap
pemerintahan sebelumnya. Kosakata jenis ini dipaparkan pada tabel 4.9 berikut.
Tabel 4.9 Leksikalisasi dari Bidang Sistem Ketatanegaraan•
KOSAKATA MAKNA OB MAKNA POB
parlemen yang kredibel
menegakkan demokrasi
Orde Baru
sistem demokrasi parlementer
koalisi
- presiden perempuan
demokratisasi
perbaikan UUD
amandemen UUD
multi-partai
Indonesia baru
totalitarianisme
sentralisme
militerisme
absolutisme
mengubah sistem Orba
pemilihan presiden secara langsung
sistem federalisme
pemerintah yang good governance
otonomi daerah
kelompok oposisi
dwifungsi ABRI
clean and good goverment
pemerintah yang legitimate
sudah digunakan (+)
sudah digunakan (+)
wajib digunakan (+)
sudah digunakan (-)
tidak digunakan
tidak digunakan
sudah digunakan (+)
haram digunalcan (-
) haram digunakan
(-) sedikit digunakan
(-) tidak digunakan
sudah digunakan (-)
sudah digunakan (-)
haram digunakan
sudah digunakan (-)
haram digunakan
jarang digunakan
haram digunakan (-)
sudah digunakan (+)
sudah digunakan (0)
sudah digunakan (-)
digunakan (+)
sudah digunakan (+)
belum digunakan
aksentuasi baru (+)
aksentuasi baru (+)
banyak digunakan (-)
juga digunakan (0)
banyak digunakan (+)
muncul dalam wacana
aksentuasi baru (+)
wajib digunakan (+)
kebutuhan digunakan
(+) banyak digunakan
(+) muncul dalam
wacana aksentuasi baru
(-) aksentuasi baru (-)
digunakan (-)
aksentuasi baru (-)
digunakan (+)
sudah digunakan
muncul dalam wacana
aksentuasi barn (+)
aksentuasi baru (+)
digunakan (+)
digunakan (-)
aksentuasi ba' (+)
sering. digwiakan (+)
Catatan
Malcna OB =
Makna POB =
penggunaan kosakata tertentu pada era Orde Baru beserta kandungan makna yang dibawa-
nya (positif/t. negatif/-, netra1/0)
penggunaan kosakata tertentu pada era pasta-Orde Baru beserta kandungan makna yang di-
bawanya (positif/+, negatif/-, netra1/0)
253
Dari tabel 4.9 di atas dapat diketahui adanya empat pola perubahan leksikal antara era
Orde Baru dan era pasta.-Orde Baru, yakni (1) pada era OB sudah digunakan (+) dan
pada era POB memperoleh aksentuasi bare (+), (2) pada era OB digunakan (+) dan
pada era POB banyak digunakan (-), (3) pada era OB haram digunakan (-) dan pada
era POB banyak digunakan (+), serta (4) pada era OB haram digunakan atau tidak
digunakan dan pada era POB mulai digunakan meskipun terbatas pada wacana.
Pola perubahan leksikal model pertama "sudah digunakan (+) pada OB dan diguna-
kan dengan memperoleh aksentuasi bare (+) pada POB" dapat diperhatikan pada penggu-
naan kata parlemen yang kredibel, menegakkan demokrasi, demokratisasi, totaliter-
isme, sentralisme, absolutisme, pemerintah yang good governance, dan otonomi dae-
rah. Kosakata-kosakata itu sudah digunakan pada era pemerintahan Orde Baru dan mem-
peroleh aksentuasi yang bare pada masa pasca-Orde Baru karena pada masa pemerintahan
Orde Baru kosakata itu lebih merupakan lip service saja. Oleh karena itu, kelompok pro
demokrasi mengaksentuasikannya lagi untuk mendapat tempat dalam wacana politik era
pasca-Orde Baru dalam iklim yang barn.
Pola perubahan leksikal model kedua, yakni "digunakan (+) pada era OB dan digu-
nakan (-) pada era POB" dapat diperhatikan pada penggunaan kata Orde Baru dan dwi-
fungsi ABRI/TNTI. Dua kosakata itu "wajib" digunakan dalam wacana politik era Orde
Baru. Siapa pun orang Indonesia tanpa kecuali haruslah menggunakan dan memahami
kedua kata tersebut Dua kosakata itu selalu menjadi raateri wajib untuk setiap kegiatan
penatarar-penataran yang diadakan. Bahkan, setiap individu yang ingin berkarier dalam
dunia politik, dua kosakata itu menjadi kosakata wajib yang tidak dapat ditawar-tawar
lagi. Sebaliknya, dalam perkembangannya, kedua kosakata itu menjadi kata yang ber-
254
makna negatif seiring mundumya pemerintahan Orde Baru secara formal dari panggung
politik Indonesia. Kata Orde Baru memperoleh makna yang berkaitan dengan
kekejaman', 'antidemolcrasi', dan IKKN. Kata dwifungsi ABRITINI memperoleh
makna yang berkaitan dengan 'keserakahan' dan lekejamad.
Pola perubahan leksikal model ketiga, yakni "haram digunakan (-) pada OB dan
se-ring digunakan (±) pada FOB" dapat diperhatikan pada penggunaan kata perbaikan
UUD, amandemen UUD, dan mengubah sistem Orba. Pada era Orde Barn, dua kosa-
kata pertama adalah kata yang diharamkan untuk dipakai. Pemerintah Orde Barn memi-
liki tekad untuk melestarikan UUD karena sifat fleksibelnya. Meskipun UUD memiliki
peluang untuk diubah, diamandemen, bahkan diganti dengan yang baru sama sekali, pe-
merintah Orba dengan didukung oleh Partai Golkar yang memiliki single mayorily dan
ABRI/TNI yang memiliki kekuatan militer bertekad menjaga UUD 1945 dengan alasan
menjaga kemurnian ajaran. Sementara itu, kata mengubah sistem Orba banyak
dimunculkan oleh kelompok penentang Orde Baru dengan tujuan merevisi sistem Orde
Baru yang memiliki banyak kelemahan.
Pola perubahan leksikal model keempat, yakni "tidak digunakan atau haram digu-
nakan (-) pada era OB dan digunakan pada era POB meskipun terbatas sebagai wacana"
dapat diperhatikan pada penggunaan kata presiden perempuan, Indonesia baru, dan
sistem federalisme. Kata presiden perempuan, misalnya, pada era Orde Baru adalah
kosakata yang rasanya tidak mungkin untuk digunakan. Pada waktu itu, wacana "resmi"
yang berlaku untuk seorang presiden adalah "laid-laki" meskipun tidak ada rumusan hitam
di alas putih. Kata sistem federalisme adalah kata yang sangat diharamkan pada era Orde
Baru. Melalui pelajaran Sejarah Nasional di sekolah formal, sistem federalisme
Catatan
Makna OB (makna kata pada era Orde Baru) & makna POB (makna kata pada era pasca-Orde Baru)
255
yang pernah berlaku di Indonesia pada era Demokrasi Liberal disebutkan sebagai sistem
yang lebih banyak bersifat negatif daripada positifnya. Fenomena kemenangan PDI-P pa-
da pemilu 1999 dan ketimpangan yang semakin mencolok antara pemerintah pusat dan
daerah mengakibatkan dua kosakata itu muncul ke permukaan menjadi wacana alternatif
yang mungkin saja menjadi pilihan. Sementara itu, kata Indonesia barn yang banyak
dipergunakan oleh sebagian besar partai peserta pemilu mengacu kepada cita-cita Indone-
sia yang lebih adil dengan tidak mengulangi kesalahan-kesalahan Orde Baru.
2. Leksikalisasi dari Bidang Hukum
Leksikalisasi lain berasal dan bidang hukum yang berupa ulasan, saran, kritikan,
penilaian, dan penjungkirbalikan terhadap pelaksanaan hukum era Orde Baru. Senada
dengan kosakata jenis di atas, kosakata ini berupa kosakata "tanding" terhadap wacana
"resmi" yang menjadi arus besar pemerintahan Orde Baru. Perhatikan tabel 4.10
berikut. Tabel 4.10 Leksikalisasi dari Bidang Hukum
KOSAKATA MAKNA OB MAKNA POB
reformasi hukum
supremasi hukum
penegakan budaya hukum
pemberantasan mafia peradilan
pembebasan tapol dan napol
melaporkan harta kekayaan
hakim yang bersih dan mandiri
law enforcement
masalah Soeharto
peradilan yang mandiri
pemeriksaan Soeharto & kroni-kroninya
pengadilan mantan Presiden Soeharto
penyelesaian kasus Pak Harto
pengusutan harta Soeharto
pencabutan lima paket U13 politik
provokator
penegakan HAM
belum digunakan
sudah digunakan (+)
sudah digunakan (+)
sudah digunakan (+)
jarang digunakan (-)
jarang digunakan (+)
sudah digunakan (+)
sudah digunakan (+)
belum digunakan
sudah digunakan (+)
belum digunakan
belum digunakan
belum digunakan
belum digimakan
jararg digunakan
belum digunakan
sudah digunakan
banyak digunakan (+)
aksentuasi baru (+)
aksentuasi baru (+)
aksentuasi baru (+)
sering digunakan (+)
banyak digunakan (+)
aksentuasi baru (+)
aksentuasi baru (-)
banyak digunakan (-)
aksentuasi baru (+)
banyak digunakan (+)
banyak digunakan (+)
banyak digunakan (+)
banyak diganakan (+)
banyak digunakan (+)
banyak digunakan (-)
aksentuasi baru (+)
Dan tabel 4.10 dapat diketahui adanya tiga pola perubahan penggunaan leksikal tertentu
antara era Orde Baru dan era pasca-Orde Baru, yakni (1) "belum digunakan pada era OB
dan banyak digunakan pada era POB, (2)"jarang digunakan pada era OB dan banyak
digunakan pada era POB, dan (3) "sudah digunakan pada era OB dan memperoleh
aksentuasi Baru pada era POW.
Pola perubahan penggunaan leksikal model pertama, yakni "belum digunakan pada
era OB dan banyak digunakan pada era POB" dapat diperhatikan pada penggunaan kata-
kata reformasi hukum, masalah Soeharto, pemeriksaan Soeharto dan kroni-kroninya,
pengadilan mantan Presiden Soeharto, penyelesaian kasus Pak Harto, pengusutan
harta Soeharto, dan provokator. Kata reformasi hukum, misalnya, adalah kata yang
barn muncul seiring dengan semangat reformasi muncul di kalangan mahasiswa dan ke-
lompok pro demokrasi dan kemudian banyak digunakan sebagai agenda perjuangan ber-
bagai kelompok. Lima frasa yang senada, yakni masalah Soeharto, pemeriksaan Soe-
harto dan kroni-kroninya, pengadilan mantan Presiden Soeharto, penyelesaian kasus
Pak Harto, dan pengusutan harta Soeharto adalah kata yang barn muncul setelah Soe-
harto mundur secara formal dari panggung politik. Lima kosakata ini menjadi penting pada
era pasca-Orde Baru. Sebagian besar partai politik peserta pemilu tahun 1999, men- jadikan
"lima frasa yang berhubungan dengan Soeharto" itu sebagai janji-janji partai apabila partai
itu memenangkan pemilu, termasuk Partai Golkar yang memiliki keterikatan sejarah
dengan mantan Presiden Soeharto. Hal yang sama terjadi pada kata provokator. Kata ini
juga barn muncul bersamaan dengan meredupnya pemerintahan Orde Baru. Kata ini
senada dengan kata "menunggangi" atau "ditunggangi" yang sering digunakan oleh pe-
merintah Orde Baru untuk menyebut dalang dan korban setiap terjadi kerusuhan di Indo-
257
nesia. Pada era pasca-Orde Baru, kata yang lebih banyak dipilih adalah provokator de-
ngan meninggalkan kata "menunggangi" atau "ditunggangi".
Pola perubahan penggunaan leksikal model kedua, yakni "jarang digunakan pada
era Orde Baru dan kemudian banyak digunakan pada era pasca-Orde Baru" dapat diper-
hatikan pada penggunaan kata pembebasan tapol dan napol, melaporkan harta keka-
yaan, dan pencabutan lima paket UU politik. Kata pembebasan tapoi dan napol ada-
lah kelompok kata yang menjadi kosakata yang "menakutkan" pada era pemerintahan Or-
de Baru karena pada era ini banyak tapol dan napol dipenjara karena bertentangan dengan
ideologi pemerintahan Orde Baru. Dalam pandangan peneliti, individu-individu Indonesia
cenderung enggan menggunakan kosakata ini karena mereka itu tidak mau berkonfrontasi
dengan pemerintah yang sedang berkuasa Pada era pasca-Orde Baru, pembebasan tapol
dan napol menjadi kelompok kata yang banyak digunakan oleh para pej uang HAM.
Kelompok kata ini menjadi parameter apakah pemerintah yang berkuasa itu reformis atau
tidak. Hal yang sama terjadi pada kelompok kata melaporkan harta kekayaan. Kata
tersebut menjadi "barang mewah" pada era Orde Baru. Dalam pandangan peneliti, rasanya
tidak mungkin memunculkan leksikal tersebut ke dalam wacana Orde Baru. Pada
perkembangan selanjutnya, dengan tumbangnya pemerintahan Orde Baru dan tuntutan
pada pemerintahan yang bersih dan transparan, kata melaporkan harta kekayaan
menjadi sebuah tuntutan. Hal senada terjadi pada kelompok kata pencabutan lima UU
politik Kelompok kata ini menjadi barang mahal pada era Orde Baru. Pada masa itu ba-
nyak individu atau kelompok yang tidak cukup memiliki keberanian memunculkan kosa-
kata itu. Pada perkembangan selanjutnya, kelompok kata itu menjadi parameter bagi pe-
merintah yang berkuasa pada era pasca-Orde Baru apakah berjiwa reformis atau tidak.
258
Pola perubahan penggunaan leksikal model ketiga, yakni "sudah digunakan pada era Orde
Baru dan memperoleh aksentuasi barn pada era pasca-Orde Baru" dapat diper-
hatikan pada pilihan atau penggunaan kata-kata supremasi hukum, penegakan budaya
hukum, pemberantasan mafia peradilan, hakim yang bersih dan mandiri, law enfor-
cement, peradilan yang mandiri, dan penegakan HAM. Kata-kata tersebut sudah sering
muncul dalam wacana politik era pemerintahan Orde Baru meskipun dalam realitas
dunia hukum perjuangan menegakkan kata-kata itu masih jauh dari berhasil. Hukum
masih banyak dilecehkan oleh para perangkat hukum dan masyarakat. Para penegak
hukum masih sering mempermainkan hukum. Penghargaan terhadap hak asasi manusia
masih jauh dari harapan. Atas dasar itu, pada era pasca-Orde Baru kosakata itu
memperoleh aksentuasi baru agar pada era ini tujuan tersebut dapat dicapai sesuai
dengan harapan masyarakat Indonesia dan agar kelemahan-kelemahan yang terjadi
sebelumnya tidak terulang lagi.
3. Leksikalisasi dari Bidang Ekonomi
Leksikalisasi lain yang dikemukakan berasal dari bidang ekonomi yang pada per-
kembangannya menjadi komoditas politik. Kosakata di bidang ekonomi akhirnya menjadi
ideologis. Kosakata yang ada sudah muncul pada era Orde Baru dengan makna 'versi Or-
de Baru, tetapi kosa-kata itu semakin memperoleh aksentuasi pada era reformasi ini dengan
makna yang bergeser, seperti ditampilkan pada tabel 4.11 berikut.
Tabel 4.11 Leksikalisasi dari Bidang Ekonomi
KOSAKATA MAKNA OB MAKNA POB
pemberdayaan ekonomi sudah digunakan (+) aksentuasi baru (+)
stabilitas moneter sudah digunakan (+) aksentuasi barn (+)
krisis moneter sudah digunakan (-) aksentuasi baru (-)
pemburukan ekonomi sudah digunakan (-) aksentuasi baru (-)
2 5 9
Lanjutan Tabel 4.11
penyehatan perbankan sudah digunakan (+) aksentuasi baru (+)
angka inflasi sudah digunakan aksentuasi baru
pemulihan ekonomi sudah digunakan (+) alcsentuasi baru (+)
ekonomi kerakyatan sudah digunakan (4-) aksentuasi barn (+)
ekonomi konglomerat sudah digunakan (+) peyoratif (-)
Sasonomics sudah digunakan (+) peyoratif (-)
Widjojonomics sudah digunakan (+) peyoratif (-) Habibienomics sudah digunalcan (+)
peyoratif (-) S o e h a r t o n o m i c s s u d a h d i g u n a k a n ( - F ) peyoratif (-) ekonomi partisipatif sudah digunakan (+) artikulasi baru (+)
ekonomi model Orba sudah digunakan (+) peyoratif (-)
antimonopoti dan oligopoli sudah digunakan (+) artikulasi baru (+)
restrukturisasi ekonomi sudah digunakan (+) artikulasi barn (+)
krisis ekonomi sudah digunakan (-) artikulasi baru (-)
kurs rupiah sudah digunakan artikulasi baru
JPS sudah digunakan (+) peyoratif (-)
restrukturisasi perbankan sudah digunakan (+) artikulasi barn (+)
privatisasi BUMN sudah digunakan artikulasi baru
letter of intent. sudah digunakan (-) artikulasi barn (-)
C atatan
Makna OB rnakna kata pada era pemerintahan Orde Baru
Makna POB : makna kata pada era pemerintahan pasca-Orde Baru
Dari Label 4.11 dapat diketahui adanya dua pola perubahan penggunaan leksikal tertentu
antara era Orde Baru dan era pasca-Orde Baru, yakni (1) "sudah digunakan pada era Orde
Baru dan mendapat aksentuasi ba' pada era pasca-Orde Baru", dan (2) "sudah digunakan
pada era Orde Ban' dan digunakan pada era pasca-Orde Ban' dengan makna sekarang
menjadi lebih jelek (peyoratif)".
Pola perubahan penggunaan leksikal model pertama, yakni "sudah digunakan pada
era Orde Baru dan mendapat artikulasi baru pada era pasca-Orde Bane dapat diperhatikan
pada penggunaan kata-kata antara lain, seperti pemberdayaan ekonomi, ekonomi
kerakyatan, ekonomi partisipatit stabilitas meneter, dan kurs runiah. Kosakata ter-
sebut adalah kosakata lama yang sudah muncul dalam wacana Orde Baru. Tiga kosakata
pertama sudah lama dimunculkan oleh pars elit pemerintahan Orde Baru sebagai bentuk
260
operasionalisasi ekonomi Pancasila meskipun perwujudannya masih jauh dari harapan.
Oleh karena itu, pada era pasca-Orde Baru tiga kosakata itu memperoleh aksentuasi baru
sesuai dengan tujuan yang diharapkan. Sementara itu, dua kosakata terakhir menjadi ko-
sakata penting karena kedudukannya yang strategis dalam stabilisasi ekonomi. Masuknya
Indonesia ke pasar dunia membuat stabilitas moneter dan kurs rupiah menjadi kata
kunci yang hams diperhatikan oleh para pelaku ekonomi. Bahkan, dalam perkembang-
annya, keberhasilan atau tidaknya seorang pemimpin Indonesia diukur dari stabilitas
moneter dan kurs rupiah terhadap perdagangan mata uang internasional.
Pola perubahan penggunaan leksikal model kedua, yakni "sudah digunakan pada era
Orde Barn dan digunakan pada era pasca-Orde Baru dengan makna sekarang menjadi lebih
jelek atau mengalatni perubahan makna peyoratif' dapat diperhatikan pada penggunaan kata-kata
pada ekonomi konglomerat, Sasonomics, Widjojonomics, Habibienomics,
Soehartonomics, ekonomi modeal Orba, dan JPS. Kata ekonomi konglomerat, misalnya,
pada era Orde Baru memperoleh tempat yang sangat strategis sebagai penopang
perekonomian nasionalls. Akan tetapi, perekonomian model ini ternyata tidak tahan
dengan krisis ekonomi global yang membuat ekonomi Indonesia terpuruk, pada era pas-
ca-Orde Barn ekonomi ini digugat sebagai "biang kerok" hancurnya ekonomi Indonesia.
Sebagian besar partai politik peserta pemilu tahun 1999 menjadikan anti ekonomi kong-
lomerat menjadi bahan kampanyenya dengan menonjolkan ekonomi kerakyatan. Dengan
demikian, wajar jika banyak partai politik dalam kampanyenya mengetengahkan ekonomi
model Oriaa dengan ekonomi konglomerat. Akhirnya, kata-kata ekonomi kong-
18) Mantan Presiden Soeharto dalam banyak kesempatan mengemukakan tiga pilar penyangga perekonomian
nasional, yakni (1) BUMN, (2) koperasi, dan (3) konglomerat. Hal im menandakan bahwa ekonomi konglo-
merat mendapat tempat yang strategis dalam ekonomi model Orde Baru.
26
1 lomerat dan ekonomi model Orba telah mengalami peyoratif Demikian juga, kata Sa-
sonomics, Widjojonomics, Habibienomics, dan Soehartonomics pada perkembangan
selanjutnya mengalami penurunan makna dari makna asalnya. "Sasonomics" yang semula
bermakna 'ekonomi kerakyatan' akhirnya identik dengan 'ekonomi populis dengan cara
membagi-bagi uang tanpa konsep yang jelas'. "Widjojonomics" yang semula bermakna
'ekonomi yang menetes ke bawah' akhirnya identik dengan 'ekonomi pertumbuhan tanpa
pemerataan'. "Habibienomics" yang semula bermakna 'ekonomi yang mengintegrasikan
teknologi canggih' akhirnya identik dengan 'ekonomi biaya tinggi'. "Soehartonomics"
yang semula bermalcna 'ekonomi kekeluargaan' akhirnva identik dengan 'ekonomi keluar-
ga Cendana'. Empat kosakata yang berhubungan dengan konsep ekonomi itu akhirnya
mengalami penurunan makna.
d. Leksikalisasi Khusus
Dalam penelitian ini, yang dimaksud dengan "leksikalisasi khusus" adalah proses
memilih kosakata tertentu yang tidak termasuk ke dalam bidang-bidang ketatanegaraan,
hukum, atau ekonomi. Terdapat dua macam, yakni (1) leksikalisasi yang berhubungan
dengan hal ikhwal pemilu tahun 1999, yakni pemilu multipartai kedua dalam sejarah In-
donesia setelah pemilu tahun 1955, dan (2) leksikalisasi yang dinamakan dengan "politik
angka", yakni penyakralan atau pementingan sebuah angka atau nomor tertentu dalam
wacana politik Indonesia.
1. Leksikalisasi yang Berhubungan dengan Pemilu Tahun 1999
Leksikalisasi khusus yang pertama perlu dikemukakan adalah leksikalisasi yang
berasal dari hal-hal yang berkaitan dengan pemilihan umum multipartai tahun 1999.
Beberapa dari kosakata itu sudah cukup lama dipeijuangkan sejak era pemerintahan Orde
2 6 2
Baru oleh beberapa partai politik tertentu dan barn mendapatkan saat yang tepat pada era
pasta.-Orde Baru. Beberapa kosakata itu pada era Orba "dig, mak an" dengan makna
negatif , seperti dapat diperhatikan pada tabel 4.12 berikut.
Tabel 4.12 Leksikalisasi yang Berhubungan dengan Pemilu Tahun 1999
KOSAKATA MAKNA OB MAKNA POB
partai gurem belum digunakan (-) banyak digunakan (-)
pemilu yang jurdil jarang digunakan (+) banyak digunakan (+)
money politics sudah digunakan (-) aksentuasi barn (-)
menang atas pilihan rakyat, bukan atas rekayasa sudah digunakan (+) aksentuasi baru (+)
kemenangan rakyat atan publik sudah digunakan (+) aksentuasi barn (+)
voting sudah digunakan (-) aksentuasi barn (+)
Dart tabel 4.12 dapat diketahui adanya tiga pola perubahan penggunaan leksikal tertentu
antara era Orde Baru dan era pasca-Orde Baru, yakni (1) "belum digunakan pada era Orde
Baru dan banyak digunakan pada era pasca-Orde Baru", (2) "jarang digunakan pada era
Orde Baru dan banyak digunakan pada era pasca-Orde Ban', dan (3) "sudah digunakan
pada era Orde Baru dan memperoleh aksentuasi barn pada era pasca-Orde Baru".
Pola perubahan penggunaan model pertama, yakni "belum digunakan pada era Or-
de Baru dan banyak digunakan pada era pasca-Orde Baru" dapat diperhatikan pada peng-
gunaan kata partai gurem. Kata gurem mengacu kepada serangga kecil yang bisa hidup
di tempat pengeraman telur ayam. Partai gurem adalah sebutan untuk partai-partai kecil
peserta pemilu pada tahun 1999. Pada zaman Orba, kata gurem lebih banyak disandingkan
dengan kata "petani" menjadi petani gurem. Kata ini sexing digunakan oleh mantan
Presiden Soeharto ketika melakukan kontak tarn dengan para petani dart seiuruh Indonesia.
Pada era pasca-Orde Baru, kata gurem digunakan untuk konteks yang berbeda, yakni
konteks kepartaian untuk pemilihan umum tahun 1999. Dari seluruh partai peserta
263
pemilihan umum tahun 1999, dari 48 partai yang ada, lima perenamnya (83%)
mendapat predikat partai gurem.
Pola perubahan penggunaan model kedua, yakni "jarang digunakan pada era Orde
Baru dan banyak digunakan pada era pasca-Orde Baru" dapat diperhatikan pada penggu-
naan kata pemilu yang jurdil. Kata jurdil adalah singkatan dan kata "jujur" dan "adil".
Jurdil merupakan asas pemilihan umum tahun 1999 sebagai pelengkap asas LUBER
(langsung, umum, bebas, rahasia). Asas jurdil sudah lama diperjuangkan sebagai asas
pemilu oleh sebuah partai politik sejak era pemerintahan Orde Baru meskipun tidak
berhasil. Baru pada pemilihan umum 1999 usulan itu diakomodasikani! Fakta menunjuk-
kan meskipun sudah ada asas LUBER namun kecurangan dan ketidakberesan pelaksana-
an pemilu masih sering terjadi. Bahkan, dalam masyarakat berkembang plesetan LUBER
dengan memberikan akronim 'lubang beringin'.
Pola perubahan penggunaan model ketiga, yakni "sudah digunakan pada era Orde
Baru dan memperoleh aksentuasi bare pada era pasca-Orde Baru" dapat diperhatikan pada
penggunaan kata-kata money politics, menang atas pilihan rakyat, bukan atas reka-
yasa, kemenangan rakyat atau publik, dan voting. Kata money politics adalah istilah
yang dibeiikan kepada partai-partai besar yang menggunakan kekuatan uangnya untuk
menarik massa dalam pemilu. Dalam pemilu tahun 1999, melakukan money politics ter-
masuk tindalcan berkategori pidana. Partai yang paling banyak terkena tuduhan politik
uang adalah PG dan partai gurem tertentu yang dipiakarsai oleh mantan tokoh-tokoh
Partai Golkar. Frasa menang atas pilihan rakyat, bukan atas rekayasa dan kemenang-
19) Asas "jujur" dan "add" sudah lama diperjuangkan oleh Partai Persatuan Pembangunan (PPP) sebagai asas
pemilihan umum, tetapi tidak berhasil. Pada pemilu 1997; PPP sekali lagi memperjuangkan asas jurdil seba-
gai pelengkap asas LUBER yang sudah ada, tetapi digagalkan oleh Fraksi Karya Pembangunan (FKP) yang
memiliki suara mayoritas di DPR-RI.
264
an rakyat atau publik sudah lama digunakan dalam wacana politik Orde Ban'. Kosakata
ini sering dimunculkan untuk memberikan komentar tentang proses pemilihan organisasi
sosial kemasyarakatan dan organisasi sosial politik melalui sistem pemilihan "musyawa-
rah untuk mufakat". Pada era pasca-Orde Baru, kosakata itu memperoleh aksentuasi barn
untuk memberikan penekanan agar setiap proses pemilihan haruslah bersifat demokratis
terlepas dan segala rekayasa. Kata terakhir, yakni voting, adalah kata yang agak "diha-
ramkan" pada era Orde Ban' meskipun secara eksplisit dirumuskan dalam konstitusi.
Pada pemerintahan era Orde Baru, hasil musyawarah melalui voting memiliki derajat
yang lebih rendah daripada hasil musyawarah melalui mufakat. Demokrasi dengan me-
ngedepankan musyawarah untuk mufakat amat dijunjung tinggi dalam setiap pengam-
bilan keputusan dengan menomorduakan model voting. Dalam pemikiran Orde Baru.
hasil voting mencerminkan adanya demokrasi yang tidak bulat, sementara itu hasil "mu-
fakat" mencerminkan demokrasi yang bulat yang sesuai dengan demokrasi Pancasila. 2.
Leksikalisasi dari "Politik Angka"
Dalam penelitian ini, yang dimaksudkan dengan "politik angka" adalah
penyakralan dan pementingan angka, nomor, atau bilangan terentu yang memiliki makna
politis. Terdapat dua macam leksikalisasi "politik angka", yakni (1) leksikalisasi yang
berhubungan dengan masa pemerintahan tertentu, dan (2) leksikalisasi yang berhubungan
dengan nomor unit partai tertentu dalam pemilihan umum tahun 1999.
a) Leksikalisasi yang Berkaitan dengan Masa Pemerintahan
Terdapat satu fenomena yang cukup menarik dalam gejala ;eksikalisasi ini, yakni
proses leksikalisasi dan "politik angka" yang berhubungan dengan masa sebuah pemerin-
tahan tertentu. Pada era ini, pilihan leksikal dengan memanfaatkan "angka" cukup me-
265
nonjol. Terdapat berbagai pilihan angka dengan pemfokusan yang berbedabeda antara
satu dengan yang lainnya. Fokus itu ditekankan pada peristiwa tertentu, seperti (1) usia
orde bare, (2) orde lama dan orde barn, dan (3) usia Indonesia merdeka. Kosakata-kosa-
kata itu meliputi 32 tahun, masa 30 tahun, kurang lebih 30 tahun, 30 tahun terakhir,
32 tahun terakhir, 40 tahun terakhir, kurang lebih 50 tahun terakhir, dan 53 tahun
terakhir. Penggunaan kata-kata itu mengikuti pola "belum digunakan pada era Orde Baal
dan banyak digunakan dengan makna yang negatif pada era pasca-Orde Baru". Angka-
angka di atas banyak dipergunakan pars elite politik dalam kampanyenya, baik yang dia-
logis maupun yang monologis. Angka-angka 32, 30-an, dan kurang lebih 30 digunakan
dengan frekuensi yang cukup tinggi, terutama oleh pars elite politik yang menjadi "korban
Orde Baru" atau "musuh Orde Baru" dalam memberikan citra negatif terhadap Orde Baru.
Bahican, dalam kampanye pemilu tahun 1999 banyak partai politik peserta pemilu yang
mengawali kampanyenya dengan memaparkan ape yang terjadi di angka 32 dan 30-
an itu. Angka 32 dan 32-tahunan itu akhimya menjadi bersifat politis-ideologis. Semen-
tara itu, angka 40, 50-dan 53 banyak dipergunakan oleh partai politik yang memiliki hu-
bungan sejarah dengan pemerintahan Orde Lama. Perhatikan kutipan (23)
berikut. Kutipan (23):
PNI: Merdeka! Saudara-saudara sebangsa dan setanah air, negara dan bangsa rakyat In-
donesia benar-benar berada dalam keadaan yang amat menglchawatirkan oleh kare-
na kesalahan dalam mengurus pemerintahan selama 30 tahun [...] [Data 3.A.1(23)]
Kutipan (23) adalah bagian pembukaan pidato kampanye monologis dari Ketua Partai
Nasional Indonesia yang ditayangkan melalui media televisi, partai politik yang didirikan
pertama kali oleh presiders pertama Indonesia Penggunaan angka 30 tahun pada kutipan
(23) jelas mengimplikasikan bahwa angka itu memiliki urgensi untuk diketengahkan se-
a66.
jak awal pidato kampanye. Dalam pandangan PNI, masa 30 tahun adalah masa
kegelapan dan kedzaliman, yakni 'adanya salah urus penyelenggaraan
pemerintahan Indonesia'. Begitu rusaknya tatanan yang ada sehingga wajar jika angka
itu diketengahkan sejak awal. Beberapa partai politik lain memiliki pola yang sama
dengan PM dalam menyampaikan pidato kampanyenya, seperti dapat diperhatikan pada
kutipan (24) berikut. Kutipan (24):
SBP: [...] Sistem Indonesia baru inilah yang menurut pendapat saya sistem yang demokratis
yang menolak adanya sistem totalitarism, menolak adanya sentralisme. Kerusakan-
kerusakan yang ditimbulkan oleh rezim Soeharto selaina 30 tahun. Mikan alang
kepalang, baik sistem sosial ekonomi politik maupun budaya ditambah dengan
pertumpahan darah di mana-mana di Indonesia....Dan oleh karena itu, saya
menghinthau kepada rakyat Indonesia lainnya yang ingin merdeka, seperti: Gera-'can
Sulawesi Merdeka, di Maluku, di Irian., bahkan Riau pun ingin merdeka, bahwa
sesungguhnya yang menjadi biang ketok semua _____ kejahatan-kejahatan Or- de Baru selama 30 tahun. [Data 36.A.1(24)]
Kutipan (24) adalah cuplikan pidato pembukaan Sri Bintang Pamungkas dalam debat ca-Ion
presiders dari Partai Uni Demokrasi Indonesia (PUDI). Jika dalam pandangan PM, angka 30
identik dengan 'salah urns', dalam pandangan PUDI angka 30 tahun identik dengan
'kerusakan-kerusakan sistem sosial, politik, dan budaya' yang tidak terperikan yang
mengakibatkan disintegrasi bangsa.
Berbeda dengan kutipan di atas, Partai Bulan Bintang, partai politik berasas Islam yang
mengklaim sebagai partai penerus semangat Partai Masyumi yang sudah dibubarkan oleh
Soekarno pada tahun 1960-an, memandang bahwa angka yang memiliki signifikansi adalah
angka 53. Perhatikan kutipan (25) berikut.
Kutipan (25):
Yllvl: [...] Karena itu, yang paling penting bagi kita sekalian adalah mencegah terulang-
nya kesulitan-kesulitan ini, jangan nasib masa depan suatu bangsa diserahkan
pada satu orang seperti yang terjadi di 53 tahun belakangan ini yang pada
akhimya menyulitkan kita bersama. [Data 22.A.1(25)]
2 6 7
Kutipan (25) diambil dari cuplikan pidato pembukaan Yusril Thza Mahendra dalam debat
calon presiden dan Ketua Umum PBB yang ditayangkan lewat televisi. Jika diperhatikan,
dalam pandangan PBB rentangan 53 tahun yang di dalamnya terdapat pemerintahan
Orde Lama dan Orde Baru, memiliki karakteristik yang tidak jauh berbeda. Kerusakan-
kerusakan sistem yang ada terjadi karena adanya kekuasaan absolut pada satu tangan
yang sama-sama dipraktikkan oleh Orde Lama dan Orde Baru, bukan pada Orde Baru
saja, seperti dapat diperhatikan pada kutipan (23) dan (24) sebelunmya.
Pementingan angka 40, 50, dan 53 seperti dikemukakan oleh PBB juga dilakukan
oleh partai-partai yang memiliki ikatan sejarah dengan Partai Masyumi yang sudah dibu-
barkan oleh Soekarno itu. Partai-partai itu antara lain Partai Masyumi Baru dan Partai
Politik Islam Indonesia Masyumi.
b) Leksikalisasi yang Berkaitan dengan Nomor Urut Partai pada Pemilu Tahun 1999
Sementara itu, politik angka lainnya yang juga cukup menarik adalah penyakralan
nomor urut partai peserta pemilihan umum tahun 1999 untuk menarik para simpatisan
partai. Nomor peserta pemilu yang hasilnya diperoleh melalui undian itu dalam pandangan
elite partainya memiliki makna khusus. Angka-angka yang dianggap sakral atau keramat
itu dapat diperhatikan pada tabel 4.12 berikut.
Tabel 4:13 Leksikalisasi yang Berkaitan dengan Nomor Urut Partai
KOSAKATA MAKNA OB MAKNA POB
angka 1 sudah digunakan (+) digunakan (+)
angka 5 belum digunakan digunakan (+)
angka 17 belum digunakan digunakan (+)
angka 28 belum digunakan digunakan (+)
angka 44 belum digunakan digunakan (+)
angka 45 belum digunakan digunakan (+)
2 6 8
Dari tabel 4.13 dapat diketahui adanya dua pola perubahan penggunaan
leksika1tertentu antara Orde Baru dan era pasca-Orde Baru, yakni (1) "swish digunakan
pada era Orde Baru dan digunakan (lagi) pada era pasca-Orde Baru", dan (2) "belum
digunakan pada era Orde Baru dan digunakan pada era pasca-Orde Baru_
Pola perubahan penggunaan leksikal model pertama, yakni "sudah digunakan pada
era Orde Baru dan digunakan pada era pasca-Orde Baru" dapat diperhatikan pada
pcnggunaan angka 1. Pada era Orde Baru, angka 1 dikeramatkan oleh Partai Persatuan
Pem-
bangunan (PPP) yang memiliki nomor urut satu. Dalam pandangan PPP, angka 1 adalah
lembang leesaan' dan lemenangan'. Pada era pasca-Orde Baru, angka 1 dikeramatkan
oleh Partin Indonesia Baru (PIB). PPP tidak lagi mengeramatkan angka tersebut karena
dalam pemilu tahun 1999 partai tersebut memperoleh nomor undian "9". Dalam pemilu
tahun 1999, angka 1 adalah nomor peserta pemilu bagi Partai Indonesia Ban' (PIB). Da-
lam pandangan PIB, angka 1 memiliki beberapa makna. Pertama, angka 1 sesuai dengan
lambang partai yang bertuliskan Allahu Akbar 'Allah Mahabesar'. Angka 1 adalah lam-
bang keesaan Allah Sang Pencipta sekaligus lambang lebesaran' sang Pencipta. Kedua,
angka 1 adalah nomor yang diidam-idamkan bagi Para juara, bukan nomor lainnya.
Hal ini dapat diperhatikan pada kutipan (26) berikut.
Kutipan (26):
PIB: PIB nomor 1, .A,Ilahuakbar.K.alau sudah adz nomor satu, untuk apa mencari nomor lain. Kami bukan partai status quo, bukan partai kroni keluarga Cendana. Kami partai mitik unist Islam seluruh Indonesia.[Data 1.A.1(26);
Kutipan (26) diambil dari cupiikan pidato pembukaan kampanye dialogis pimpinan partai
FIB an ditayangkan lewat teleVisi. Dalam kampanye itu, hadir juga dua partai lainnya,
yalmi Partai Buruh Nasional (nomor 37) dan Partai Pekeija Indonesia (nomor 48). Dan
269
kutipan tersebut jelaslah bahwa angka 1 bagi PIB memiliki signifikansi tertentu, yakni
sebagai penonjol identitas partai yang mengharapkan simpati dari para pemilih
Indonesia yang sebagian besar pemeluknya beragama Islam.
Pola perubahan penggunaan leksikal model kedua, yakni "belum digunakan pada
era Orde Baru dan digunakan pada era pasca-Orde Baru" dapat diperhatikan pada peng-
gunaan angka-angka 5, 17, 28, 44, dan 45 Angka 5, misalnya, adalah nomor peserta
pemilu bagi Partai Kebangkitan Muslimin Indonesia (Partai KAMI), partai yang berasas-
kan Al-Qur'an dan Hadist. Angka 5 bagi elit partai KAMI memiliki tiga makna yang ber-
kaitan dengan Pancasila, 'rukun Islam', dan jumlah salat wajib' setiap hari bagi pemeluk
agama Islam. Perhatikan kutipan (27) berikut.
Kutipan (27):
KIVU: Nomor peserta "S"bagi KAMI memiliki makna yang amat dalam. Pertama, angka
"5" adalah simbol kemenangan bagi bangsa Indonesia, yakni ideologi negara Pan-
casila_ Kedua, angka "5" lima adalah manifestasi rukun Islam yang jumlahnya juga
"5". Ketiga, angka "5" juga merupakan jumlah salat wajib bagi kaum muslimin
setiap han. [Data 5.A. 1(27)]
Kutipan (27) dicuplik dari pidato kampanye monologis partai KAMI yang ditayangkan
mclalui televisi. Makna 5 yang pertama sesuai dengan misi dan tujuan partai ini yang
mendambakan pelaksanaan Pancasila dan UUD 1945 secara murni dan konsekuen mes-
kipun partai ini berasas Al-Qur'an dan Hadist. Partai ini tidak ingin mengubah ideologi
negara Pancasila dengan ideologi Islam. Makna 5 yang kedua sesuai dengan lima rukun
Islam yang hams dilakukan oleh kaum muslimin yang merupakan simpatisan dan pen-
dukung Partai KAMI, yakni (1) membaca dua kalimat syahadat, (2) menjalankan salat,
(3) melaksanakan puasa, (4) membayar zakat, dan (5) melaksanakan ibadah haji ke tanah
suci bagi yang mampu. Makna 5 yang ketiga sesuai dengan kewajiban kaum muslimin
2 7 0
untuk melaksanakan salat wajib sebanyak lima kali dalam sehari, yakni Isar, subuh,
dhuhur, `asar, dan maghrib. Kata "Islam" itu sendiri merupakan akronim dari lima
salat wajib tersebut.
Angka kedua, yakni 17 adalah nomor peserta pemilu bagi Partai Syarikat Islam
Indonesia-1905 (PSII 1905) yang berasaskan Dienul Islam. Dalam menafsirkan angka 17
itu, partai PSII mengaitkannya dengan 17 rakaat dan tanggal 17. Angka 17 rakaat ada-
lab jumlah minimal pemeluk agama Islam menjalankan salat wajib (fardlu) setiap hari.
Kewajiban menjalankan salat wajib bagi pemeluk agama Islam sesuai dengan asas partai.
Tanggal 17 yang dimaksud adalah tanggal ketika bangsa Indonesia menyatakan
kemerdekaannya lepas dari cengkeraman penjajah. Dengan deinikian, angka 17 dalam
pandangan PSII-1905 memiliki dimensi vertikal dan horisontal dalam pemaknaannya,
yakni makna 'kepatuhan' dan 'kebangsaan'.
Angka ketiga, yakni 28 adalah nomor peserta pemilu bagi Partai Republik (PR).
Angka 28 bagi PR memiliki makna sakral, yakni angka 28 memiliki dimensi kesejarahan
tahun 1928. Pada tahun itu Para pemuda dari segenap suku bangsa di seluruh Nusantara
bersatu dengan mengikrarkan sumpah kebangsaaan yang disebut Sumpah Pemuda. Ini
sesuai dengan tujuan PR yang salah satunya adalah menegakkan dan memelihara ke-
satuan serta persatuan Republik Indonesia.
Angka keempat, yakni 44 adalah nomor peserta pemilu bagi Partai Bhinneka
Tunggal Ika Indonesia (PBI). Angka 44 bagi PBI memiliki makna khusus, yakni simbol
dari 'dna kursi yang sama-sama bentuk dan fungsinya. ini sesuai dengan platform PBI
yang ingin memperjuangkan persamaan hak bagi setiap warga negara dengan tanpa me-
mandang perbedaan suku, agama, ras, golongan , jenis kelamin, dan sebagainya. Dalam
271
pandangan PBI, setiap warga tanpa kecuali memiliki hak, kewajiban, dan kedudukan yang
sama untuk hidup di bumi Indonesia.
Angka kelima, yakni 45 adalah nomor peserta pemilu bagi Partai Solidaritas Uni
Nasional Indonesia (SUNI). Angka 45 bagi partai SUNI adalah angka keramat bagi bangsa
Indonesia, yakni proklamasi kemerdekaan tahun 1945. Ini sesuai dengan harapan
partai SUM bahwa cita-cita proklamasi kemerdekaan 45 semoga saja dapat diwujudkan
menjadi kenyataan, yakni masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan Undang-
Undang Dasar (UUD) 1945 di bawah naungan Allah yang Mahaadil.
4.1.1.4 Relasi Makna yang Signifikan secara Ideologis
Dalam pandangan Fairclough (1989:116) keberadaan kata-kata tertentu dalam hu-
bungannya dengan relasi maknanya sering memiliki signifikansi ideologis. Relasi makna
yang sering memiliki signifikansi ideologis meliputi anionimi, sinonimi, dan hiponinzi.
Dalam wacana politik Indonesia pasca-Orde Baru, ketiga relasi makna utama itu dapat
dilacak dan dianalisis keberadaannya, seperti dipaparkan berikut ini.
a. Antonimi
Antonim adalah kata yang berlawanan makna dengan kata yang lain (Richards,
Platt, & Platt, 1992:18). Relasi makna pertama yang signifikan secara ideologis pada era
pasca-Orde Ban' ini adalah keberadaan kata reformis yang dipertentangkan dengan status
quo. Secara semantic, dua kata ini pada hakikatnva adalah kata yang tidak berantonim
sehingga tidak dapat dipertentangkan. Status quo dan reformis adalah dua hal yang
berbeda. Status quo itu adalah sebuah kondisi kekuasaan atau yang sedang herkuasa,
sedangkan reformis itu berkaitan dengan sebuah paradigrna tentang 'perlunya
pembaharuan terhadap sesuatu'. Dengan demikian, dapat saja orangnya adalah orang la-
272
ma, tetapi paradigmanya barn, demikian juga sebaliknya, orangnya barn, tetapi berpa-
radigma lama.
Dua kosakata itu, dalam perkembangan selanjutnya melesat berkembang menjadi
dua kata yang berantonim dan diikuti oleh sejumlah kata turunannya yang diperlakukan
sebagai kata yang berantonim. Kata-kata utama wacana politik era reformasi yang beran-
tonim itu dapat diperhatikan pada tabel 4.13 berikut ini.
'label 4.14 Antonini Utama yang Bersifat Ideologis
KATA UTAMA MAKNA ANTONEVI MAKNA
reformis 'orang atau kelompok status quo 'situasi dan kondisi za-
yang berpaham sangat man seperti yang ada
menyetujui pembaha pada zaman sekarang'
ruan di segala bidang'
pro reformasi 'paham yang berada atau pro status quo 'paha-m yang berada atau
berdiri pada kelompok berdiri pada kelompok
yang menyetujui adanya yang menyetujui adanya
pembaharuan di segala keadaan yang tetap atau
bidang' stagnasi di segala bidang'
anti reformasi 'paham yang berada atau
berdiri pada kelompok
yang tidak menyetujui
adanya pembaharuan di
segala bidang'
anti status qua 'paham yang berada atau
berdiri pada kelompok
yang tidak menyetujui
adanya keadaan yang
tetap atau stagnasi di
segala bidang'
Dari tabel 4.14 di otas dapat diketahui bahwa dalam wacana politik Indonesia,
antonimi yang berlaku adalah antonim mutlak. Rumus untuk antonim mutlak ini adalah
"Jika (A) adalah antonim (B) maka (-A) = (B) dan (-B) = (A)". Jika rumus itu kan
kepada gejala antonimi di atas, garnbaran antonimi itu akar terlihat sebagai berikut.
reformis x status quo
tidak reformis = status quo
bukan status quo = reformis
proreformasi x prostatus quo
273
bukan proreformasi = prostatus quo
bukan prostatus quo = proreformasi
antireformasi x antistatus quo
tidak antireformasi = antistatus quo
tidak antistatus quo = antireformasi
Gejala penggunaan antonimi seperti terpapar pada deretan kata di atas banyak
digunakan oleh pars elite politik, baik yang menyetujui dikotomi seperti itu maupun
yang tidak menyetujuinya. Para tokoh dari partai politik yang oleh masyarakat umum
terkelompok pada golongan status quo, misalnya, tidak menyetujui pembagian garis
atas dasar dikotomi itu. Dalam pandangan kelompok ini, secara leksikal pun dua kata
itu memang bukanlah dua kata yang berantonim. Perhatikan kutipan (28) berik-ut.
Kutipan (28):
SEY: Sikap itu mtmcul karena dilandasi apriori (su'udzon). Karena apa? Partai-partai la-in sebagai kompetitor mengambil langkah paling mudah untuk mencari popula-ritas. Yaitu, membuat garis yang bernama status quo dan "reformis" Padahal, secara pemikiran, mereka yang mengatakan reformis itu pemikirannya masih kuno semua. [Data 33.A.1(28)].
Kutipan (28) dicuplik dari ujaran lisan Slamet Effendy Yusuf, seorang clit Partai Golkar
yang selama kurang lebih 30 tahun menopang pemerintahan Orde Baru. Ujaran itu disam-
paikan dalam wawancara dengan sejumlah wartawan cetak. Sejumlah elit partai Golkar,
seperti pada kutipan (28) di atas tidak sependapat dengan pandangan yang mendikotomi-
kan antara kata status quo di satu pihak dan reformis di pihak lainnya karena dua kata itu
memang tidak tepat ditempatkan pada dua sudut yang saling bertentangan.
Sementara itu salah seorang elit politik dari kelompok reformis memiliki pan-
dangan yang agak bertenaangan dengan elit dalam kutipan (28) di atas. Dalam
pandangannya, tersirat bahwa dua istilah di atas, yakni status quo dan reformasi adalah
dua kata yang beroposisi. Dawarn Rahardjo, misalnya, memandang dua kosakata tersebut
2 7 4
sebagai istilah yang terkelompok dalam satu perspektif saja, yakni perspektif
pemerintah yang berkuasa. Tuturan DR itu dapat diperhatikan pada kutipan (29)
berikut. Kutipan (29):
DR: Dalam konteks wacana politik saat ini status quo dan reformis itu adalah peme-rintahan itu sendiri. Kalau kita mau jujur, maka pemerintahan yang ada saat ini adalah termasuk status quo yang artinya masih menggunakan sistem dan aturan yang lama serta belum terlihat perubahan yang berarti. ...Memang saya mendengar penyidikan telah mencapai sekian kali lipat, tetapi penuntutannya kan masih ku-rang. Berapa banyak pejabat yang diduga terlibat korupsi disidik? Dari sini kita dapat menyimpulkan bahwa pemerintah yang sekarang secara umum masih bersifat status quo. [Data 15.A. 1(29)]
Kutipan (29) dicuplik dari ujaran lisan Dawam Rahardjo, elit politik PAN, partai yang
mendapat predikat lokomotif reformasi. Ujaran itu disampaikan dalam wawancara de-
ngan sejumlah wartawan media cetak untuk mengomentari pemerintahan Presiden B.J.
Habibie. Politik antonimi dalam kutipan (29) selain menjalankan peran sebagai "wadah
informasi", antonimi itu juga menjalankan peran sebagai "pengontrol" kelompok lain
yang tidak menyetujui politik antonimi tersebut. Politik antonimi itu juga menjalankan
peran sebagai "penonjol identitas". Pada kutipan (29) di atas, status quo dan reformis
dipergunakan dalam -fungsi adjektiva. Secara morfologis, reformis adalah adjektif yang
senada dengan kata-kata seperti: nasionalis, agamis, liberalis, dan sebagainya, sementara
itu status quo adalah nomina, sama dengan kata reformasi yang juga nomina.
Kosakata lain yang muncul sebagai bentuk politik antonimi adalah munculnya kata
ekonomi kerakyatan sebagai oposisi ekonomi konglomerat. Beberapa partai politik
yang menonjolkan program partainya dengan "ekonomi kerakyatan" atau ekonomi rak-
yat dengan mengambil tempat yang oposisi dengan kata ekonomi konglomerat yang
sempat menjadi saiah satu andalan dalam pilar ekonomi Orde Baru. Dalam konteks ini,
kata ekonomi kerakyatan berdiri di nisi tertentu, sebaliknya kata ekonomi konglomerat
20) Wawacana Adi Sasono dengan sejumlah wartawan media massa tentang ekonomi kerakyatan dapat di-
lihat pada harian Aiwa Pos edisi 11 Februari 1999.
275
berada di sisi yang lain. Bahkan, beberapa partai politik memprogramkan anti
ekonomi konglomeratif dalam kebijakan partainya. Perhatikan kutipan (30) berilatt
Kutipan (30):
PDI: Dalam bidang ekonomi, PDI sudah lama berjuang menegakkan konsep ekonomi kerakyatan yang memiliki ketahanan yang sangat tinggi,tetapi pemerintah Orde Baru telah membangun perekonomian yang bersifat konglomeratif yang hanya bertumpu pada sekelompok orang saja. Sistem konglomerasi yang selama ini di-bangga-banggakan dan dikatakan fundamental ekonomi kita kuat temyata sangat rentan terhadap badai perekonomian global. Sistem ekonomi konglomerasi mem-buat perekonomian kita terpuruk hingga saat ini. Untuk menggantikan ekonomi konglomerasi yang telah runtuh itu kami tents berjuang membangun ekonomi ke-rakyatan yang benar-benar bertumpu pada keraampuan rakyat. [Data 32.A. 1(30)1
Kutipan (30) di atas dicuplik dari kampanye monologis Partai Demokrasi Indonesia yang
ditayangkan melalui media televisi. Dalam pandangan PDI, ekonomi konglomerat sa-
ngat anti terhadap konsep "kerakyatan" karena hanya dilakukan oleh sedikit pelaku eko-
nomi. Karena sifatnya yang "tidak merakyat" itu, PDI mengusulkan penerapan ekonomi
kerakyatan yang merniliki sifat "merakyat" karena benar-benar bertumpu kepada kemam-
puan rakyat Indonesia.
Hal yang sama terjadi juga pada politik antonimi antara kata ekonomi kerakyatan
dan ekonomi biaya tinggi, seperti dilontarkan oleh Partai Buruh Nasional, atau antara
kata ekonomi rakyat dan ekonomi pemodal, seperti dilontarkan oleh Partai Masynmi
Baru, atau juga antara kata ekonomi kerakyatan dan ekonomi model Orba seperti
dilontarkan oleh Adi Sasono2°
dan Partai Daulat Rakyat. Politik antonimi itu juga
diperjuangkan oleh tiap-tiap partai politik melalui berbagai aktivitas politiknya.
Kosakata ketiga sebagai bentuk politik antonimi adalah munculnya dikotomi kata
Golkar dan Partai Golkar yang dinaturalisasikan oleh Partai Golkar. Yang dimaksud
276
dengan Golkar adalah organisasi politik peserta pemilu yang kurang lebih tiga puluh
tahun mendukung pemerintahan Orde Baru yang memiliki sifat "anti reformasi" dan "pro
status quo". Sementara itu, yang dimaksud dengan Partai Golkar adalah Golkar barn
dengan "paradigma baru"-nya, yakni pro reformasi yang bertahap dan tidak radikal revo-
lusioner. Dalam setiap aktivitas politiknya, sejumlah elit Partai Golkar selalu mengete-
ngahkan dikotomi itu. Hal ini merupakan fenomena yang cukup menarik. Dalam pan-
dangan peneliti, dengan kebijakan politik yang bersifat "menidak" terhadap dirinya sen-
diri dalam baju yang lama, Partai Golkar berusaha untuk menarik simpati para pendu-
kungnya yang sudah jauh berkurang dibandingkan dengan pemilu-pemilu sebelumnya.
Politik antonimi Partai Golkar itu dapat diperhatikan pada tabel 4.15 berikut
Tabel 4.15 Antonimi Partai Golkar yang Bersifat Ideologis
NO GOLONGAN KARYA PARTAL GOLONGAN KARYA
1 anti reformasi pro reformasi yang bertahap dan tidak
radikal revolusioner
2 pro status quo terbuka
mandiri
demokrati
s moderat
solid
mengakar
responsif
Jika diperhatikan tabel 4.15 tersebut terdapat fenomena yang menarik yakni berubah
totalnya ciri baju yang dikenakan oleh sebuah partai politik yang substansinya masih
tetap sama. Dengan demikian, antonimi dalam kasus tersebut sangat bermuatan politis-
ideologis. Kosakata Partai Golkar mengambil posisi pada sudut yang beroposisi dengan
Golongan Karya yang pernah menjadi penopang utama pemerintahan Orde Baru. Satu
kata kunci yang sering dimunculkan oleh elit PG adalah istilah disconnecting antara "Par-
tai Golkar" dengan "Golkar dan pihak penguasa sebelumnya".
277
Kosakata keempat sebagai bentuk politik antonimi adalah munculnya dikotomi
kata sistem Indonesia baru dengan sistem Orde Baru, seperti sering
dinaturalisasikan oleh Sri Bintang Pamungkas. Perhatikan kutipan (31) berikut.
Kutipan (31):
SBP: [...] Sebelum itu jauh sebe1umnya kami telah menyusun sistem baru, Indonesia bans. Sesuai dengan namanya mau menggantikan sistem Orde Baru. Sistem Indonesia baru inilah yang menurut pendapat saya sistem yang demokratis yang menolak adanya sistem totaliarism, menolak adanya sentralisme, menolak adanya militerisme. [Data 36.A.1(31)]
Dalam kutipan (31) jelas tampak adanya usaha SBP untuk "menidak" terhadap "sistem
Orde Baru" yang memiliki sifat-sifat totaliarism, sentralisme, dan militerisme dengan
menaturalisasikan konsep "sistem Indonesia Baru" yang anti terhadap totaliarism,
sentralisme, dan militerisme.
Kosakata lain yang muncul sebagai bentuk politik antonimi adalah penggunaan
kata kawasan barat Indonesia dan kawasan timur Indonesia seperti dikemukakan
oleh Marwah Daud Ibrahim, salah seorang elit Partai Golkar dari kelompok Iramasuka.
Perhatikan kutipan (32) berikut.
Kutipan (32):
MDI: Ide dasar Iramasuka semestinya untuk mengimbangkan pemerataan antara kawas-an barat dan timur. Sebab harus diakui, selama berpuluh-puluh tahun, pemba-
ngunan di negeri ini hanya terkonsentrasi di kawasan barat. Kawasan timur hanya dijadikan wilayah pemerasan. Alain di sana diporakporandakan terus-
menerus. [Data 33.A.1(32)]
Antonimi yang dinaturalisasikan oleh MDI tersebut cukup menarik. Kawasan barat In-
donesia di satu pihak dan kawasan timur Indonesia di lain pihak memiliki sejumlah ka-
rakteristik yang sifatnya bertolak belakang. Barat memiliki sifat 'maju', sebaliknya timur
memiliki sifat 'terbelakang'. Barat memiliki sifat 'memeras', sebaliknya timur memiliki
sifat 'diperas'. Barat memiliki sifat 'menikmatit, sebaliknya timur memiliki sifat 'dinik-
278
mati'. Barat memiliki sifat tmemorak-porandalcad, sebaliknya timur memiliki sifat 'dipo-
rak-porandalcan'.Sifat-sifat itu dapat dikembangkan ke dalam berbagai rumusan. Sisi yang
menarik lainnya adalah keberadaan akronim yang tidak simetris. Jika "kawasan timur
Indonesia" sering disingkat KTI, "kawasan barat Indonesia" tidak ada seorang pun yang
menyingkat KBI. Dalam pandangan peneliti, akronimisasi ini mengandung nuansa po-
litis-ideologis. Termasuk ke dalam fenomena politik antonimi adalah dikotomi kata Jawa
dan luar Jawa,serta muslim dan nonmuslim dalam setiap persoalan social politik.
b. Sinonimi
Keberadaan antonimi yang amat ideologis di alas sekaligus mengimplikasikan ke-
beradaan sinonimnya. Menurut Richards, Platt, & Platt (1992:368) sinonim adalah "sebuah
kata yang memiliki makna yang sama atau hampir sama dengan kata yang lainnya". Secara
lebih luas, sinonimi memiliki beberapa rumusan definisi. Pertama, sinonimi berkaitan
dengan leksem-lelcsem dengan acuan ekstralinguistik yang sama. Kedua, sinonimi
berkaitan dengan leksem-leksem yang mengandung makna yang sama. Ketiga, sinonimi
berkaitan dengan leksem-leksem yang dapat disubstitusi dalam konteks yang sama.
Politik sinonimi dalam wacana politik Indonesia era pasca-Orde Baru cukup me-
nonjol. Dibandingkan dengan antonimi, penggunaan sinonimi memiliki frekuensi yang
lebih banyak. Tiga kata utama untuk politik sinonimi, yakni reformis, pro reformasi, dan
anti reformasi beserta kata sinonimnya banyak digunakan oleh para elite politik dalam
memberikan pernyataan-pernyataan politisnya. Sama dengan politik antonimi, dalam
sinonimi pun berlaku sinonim mutlak. Rumus untuk sinonim ini adalah (A) = (B). Kon-
sekuensinya adalah bahwa bila seseorang memperoleh predikat reformis berarti sekaligus
is adalah seorang yang anti-status quo, paham proreformasi bermakna sekaligus
279
bermakna anti-status quo, dan paham antireformasi bermakna sekaligus pro-status quo.
Pada era pasca-Orde Baru ini sinonimi utama yang signifikan secara ideologis
muncul dalam wacana politik dapat diperhatikan pada Label 4.16 berikut. Tabel
4.16 Sinonimi Utama yang Bersifat Ideologis
KOSAKATA MAKNA SINONIM MAKNA
reformis 'orang atau kelompok
yang berpaham sangat
menyetujui pembaha-
man di segala bidang'
anti status quo 'orang atau kelompok
yang berada atau berdin
pada kelompok yang sa-
ngat tidak menyetuj-ui
adanya keadaan yang
tetap atau stagnasi di
segala bidang'
pro reformasi 'paham yang berada
atau berdiri pada ke-
lompok yang menye-
tujui pembaharuan di
segala bidang'
anti status quo 'paham yang berada atau
berdiri pada kelompok
yang sangat tidak menye-
tujui adanya keadaan
yang tetap atau stagnasi
di segala bidang'
anti reforrnasi 'paham yang berada
.thn berdiri pada ke-
lompok yang tidak
menyetujui adanya
pembaharuan di
segala bidang'
pro status quo 'paham yang berada atau
berdiri pada kelompok
yang sangat menyetujui
adanya keadaan yang te-
tap atau stagnasi di
segala bidang'
Apabila rumus sinonimi di atas diaplikasikan dalam konteks wacana politik Indo-
nesia, aplikasi politik sinonimi itu dapat dipaparkan sebagai berikut. Jika seorang elit
politik atau partai politik tertentu memperoleh predikat reformis, berarti individu atau
partai itu sekaligus memperoleh predikat anti status quo. Jika seorang ketua LSM atau
seorang menteri kabinet sudah memperoleh predikat proreformosi, berarti orang itu
memperoleh predikat anti status quo sekaligus. Jika seorang mahasiswa memperoleh
sebutan anti reformasi, mahasiswa tersebut otomatis akan memperoleh sebutan pro
280
status quo. Politik sinonimi seperti itu secara tersirat diterapkan oleh Partai Golongan
Karya di dalam memandang Golongan Karya (lama) seperti dapat diperhatikan pada
tabel 4.15 di atas.
Ketiga leksikon utama, yakni reformis, pro reformasi, dan anti reformasi
beserta sinonimnya menjadi amat ideologis dalam perkembangannya, jauh berkembang
dari makna leksikalnya yang lahir pada akhir pemerintahan Orde Baal atau akhir
pemerintahan mantan Presiden Soeharto. Ketiga leksikon utama di atas didayagunakan
dan dinaturalisasikan oleh setiap orang untuk tujuan masing-masing. Misalnya, seorang
penjual masakan yang ingin meningkatkan daya tarik penjualannya, penjual itu dengan
sengaja memasang iklan harga reformasi. Di lorong-lorong gedung perkuliahan banyak
tulisan yang berbunyi pahlawan reformasi untuk memberikan pujian kepada seorang
mahasiswa yang berani menentang keputusan ketua jurusan.
Pendayagunaan sinonimi yang memiliki signifikansi ideologis dilakukan oleh para
elite partai politik peserta pemilu tahun 1999 untuk menarik para simpatisan atau pemilih
untuk memilih partainya. Dengan politik sinonimi itu, para pemilih ditempatkan pada po-
sisi yang dilematis, memilih atau tidak sama sekali. Perhatikan paparan kalimat-kalimat
yang mendayagunakan politik sinonimi pada tabel 4.17 berikut.
Tabel 4.17 Perkembangan Sinonimi yang Bersifat Ideologis
NO KOSAKATA PEMARKAH
SINON1M
SINONIM
menunda kehendak rakyat sama dengan menunda kehendak reformasi
2 pengerahan massa sama dengan perendahan martebat manusia
3 ekonomi rakyat adalah daulat rakyat
4 kemenangan PDR adalah kemenangan kaum rniskin
kemenangan PDR berarti kemenangan rakyat
2 8 1
6 memilih Partai Golkar sama dengan mempertahankan NKRI
7 memilih Partai Golkar sama dengan menanti disintegrasi bangsa
8 memilih Partai SPSI berarti mengakhiri (crisis di segala bidang
9 hidup Partai SPSI 0 hidup reformis
10 mengabaikan kesehatan wanita berarti mengabaikan generasi penerus
11 PND adalah partai masa depan
12 kalau ada yang menolak SI berarti menghalangi usaha reformasi pemerintah
13 bila ada pihak-pihak
yang menolak SI
berarti hanya ingin merusak negara ini
14 penguasa
pengusaha
adalah
adala
h
pengusaha
penguasa
Kalimat-kalimat di atas hanyalah sebagian dari pendayagunaan politik sinonimi yang
dilakukan para elite partai politik peserta pemilu. Dari tabel 4.17 di atas dapat
diketahui bahwa dalam politik antonimi para elite politik banyak mendayagunakan
pemarkah sinonim antara lain: "sama dengan", "adalah", "berarti", dan "zero".
Sama dengan yang terjadi pada pilihan antonimi, dalam sinonimi juga bersifat
ologis. Kalimat "ekonomi rakyat adalah daulat rakyat", misalnya, bagian yang terdefinisi,
yakni "ekonomi rakyat" tidak memiliki kesejajaran atau kesamaan dengan bagian yang
mendefinisikan, yakni "daulat rakyat". Hal ini menyimpang dan menyalahi kaidah sinoni-
mi yang ada. Mengikuti pandangan Palmer (1981:88), sebuah sinonimi akan mengikuti
formula universal, yakni Vx(A(x)-->B(x). Lambang Vx adalah penjumlah universal
(universal quantifier) yang bermakna 'untuk semua'. Lambang A adalah bagian kalimat
yang teridentifikasi. Lambang B adalah bagian kalimat yang mengidentifikasikan. Formu-
la tersebut dapat dibaca "semua A adalah B dan semua B adalah A". Dengan demikian,
kalimat di atas seharusnya dapat dimaknai "semua ekonomi rakyat adalah daulat rakyat
dan semua daulat rakyat adalah ekonomi rakyat". Sinonirni seperti inn tidak memberikan
282
gambaran realitas yang sebenarnya. Semua ekonomi rakyat jelas tidak sepenuhnya
berarti daulat rakyat dan semua daulat rakyat tidak sepenuhnya ekonomi rakyat. Masih
ada peluang elemen di luar daulat rakyat yang dapat disebut ekonomi rakyat.
Kalimat yang lain, misalnya "memilih Partai Golkar sama dengan mempertahan-
kan NKRI" adalah fenomena pilihan sinonimi yang bersifat ideologis-politis. Dengan
mengikuti formula Palmer di atas, kalimat tersebut dapat dimaknai "semua (yang) memi-
lih Partai Golkar sama dengan mempertahankan NKRI dan semua (yang) mempertahan-
kan NKRI sama dengan memilih Partai Golkar". Sinonimi seperti ini tidak memberikan
gambaran realitas yang sebenarnya. Semua yang memilih Partai Golkar tidak sepenuhnya
sama dengan mempertahankan NKRI dan semua yang mempertahankan NKRI tidak se-
penuhnya sama dengan memilih partai Golkar. Realitas sosial menunjukkan bahwa yang
ingin mempertahankan NKRI bukan hanya Partai Golkar, melainkan juga partai-partai
lain di luar Partai Golkar.
Kalimat-kalimat lain dapat diterangkan dengan mengikuti formula universal dari
Palmer di atas. Fenomena pilihan sinonimi dalam wacana politik pada hakikatnya
adalah fenomena pelanggaran formula universal itu. Dalam pandangan peneliti, hal ini
bukan persoalan yang alamiah atau arbitraris, melainkan fenomena yang direncanakan
secara matang sebagai bagian dari strategi besar penghasil teks dalam
menaturalisasikan berbagai informasi politik ke dalam alam pikiran para pendukung
dan simpatisan partainya. c. Hiponimi
Hiponimi adalah hubungan antara dua kata di mana rnakna satu kata meliputi
makna kata yang lain (Richards, Platt, & Platt, 1992:169). Hubungan dalam hiponimi ber-
sifat unilateral atau searah, berbeda dengan sinonimi yang memiliki hubungan bilateral
283
atau simetris. Hiponimi mengandung hubungan transitif, artinya jika A adalah hiponim
dari B dan B adalah hiponim dari C maka A seharusnya merupakan diponim dari C. Da-
lam hiponimi terdapat dua hal, yakni (1) hiponimi tingkat atas disebut dengan superor-
dinat, dan (2) hiponimi tingkat bawah disebut dengan subordinat atau hiponim.
Dalam wacana politik Indonesia era pasca-Orde Baru ini, politik hiponimi cukup
didayagunakan oleh partai-partai peserta pemilu dalam kampanyenya. Dalam pandangan
peneliti, pendayagunaan politik hiponimi ini adalah memperjuangkan sebuah atau bebe-
rapa kosakata tertentu yang dianggap "penting" oleh partai politik tertentu yang memiliki
sejumlah kosakata subordinat yang mungkin saja kata subordinat itu dianggap "penting"
atau menjadi superordinat oleh partai lain. Tujuannya adalah agar pidato yang disampai-
kannya bersifat argumentatif-persuasif. Dalam fenomena ini, yang terjadi adalah proses
perebutan nilai yang dianggap penting atau utama yang membawahkan nilai lain yang
diasumsikan kurang penting atau nilai pendukung.
Beberapa partai politik peserta pemilu tahun 1999, seperti PKB, PK, PKD, serta
PDKB, sangat mendayagunakan politik hiponimi. Partai Kebangkitan Bangsa, misalnya,
memandang bahwa kebenaran adalah pusat dari semua nilai akan bermuara.
PK mengedepankan bahwa kosakata yang menjadi superordinat adalah nilai keadiian.
PKD mengedepankan bahwa kosakata yang menjadi superordinat adalah nilai kesejah-
teraan umum. PDKB menganggap bahwa kosakata yang menjadi superordinat adalah
nilai integrasi bangsa.
Dalam pidato kantpanye secara monologis-lisan yang ditayangkan melalui TVRI,
Ketua Umum PKB mendayagunakan politik hiponimi dalam pidato kampanyenya,
seperti dapat diperhatikan pada kutipan (33) sebagai berikut.
Nilai
Kebenaran
nilai nilai
2 84
Kutipan (33):
MA.1: [...] yang kita harapkan adalah menuntaskan reformasi secara total dan damai untuk sampai kepada tatanan masyarakat, bangsa, dan nasional yang benar, yang ber-kedaulatan rakyat, yang berdemokrasi. Oleh karena itu, PKB selalu mengedepan-kan nilai kebenaran sesuai dengan semboyan PKB "membela yang benar". PKB membawa aspirasi bangsa dengan tidak membeda-bedakan suku, agama, ras, dan asal-usul atas dasar nilai-nilai demokrasi, nilai hukum, nilai kedaulatan rakyat, nilai kesamaan yang kesemuanya dirangkum dalam satu nilai, yakni nilai kebenaran. [Data 35.A.1(33)]
Dari kutipan (33) dapat diperoleh pemahaman bahwa elit PKB mendayagunakan hiponimi untuk kepentingan tertentu. Semua nilai yang balk semua berpusat
pada satu nilai, yakni kebenaran. Dari teori hiponimi, kata nilai kebenaran menduduki superordinat, sedangkan nilai-nilai "demokrasi", "hukurn", "kedaulatan
rakyat", dan "kesamaan" menduduki Inponim. Politik hiponimi PKB itu dapat diperhatikan pada gambar 4.1 berikut. Nilai kebenaran yang dinaturalisasikan oleh
PKB sebagai superordinat sangat relevan dengan semboyan PKB, yakni "maju tak gentar, membela yang
nal nilai benar". Dengan demikian, semua prog-
demokrasi hukum kedaulatan rakyat kesamaan
ram aksi PKB mengarah kepada satu
Gambar 4.1 Pont& Hiponimi PKB nilai utama atau nilai yang paling po-
k
ok, yakni nilai kebenaran.
"demokrasi", "hukum", "kedaulatan
rakyat" dan "kesamaan" hanyalah nilai antara atau nilai pendukung untuk menuju kepada
nilai utama itu. Hubungan antara nilai "demokrasi", "hukum", "kedaulatan falcyat",
"kesamaan" dan nilai kebenaran adalah hubungan
hiponnn. Hubungan antara yang terdapat pada subordinatnya adalah hubungan
kohiponim.
285
Sementara itu, PK mengedepankan bahwa kosakata utama yang menjadi superor-
dinat adalah nilai keadilan. Hal ini dapat diperhatikan pada kutipan (34) berikut.
Kutipan (34):
NMI Indonesia sebenamya kaya, tapi yang makmur sebagian karena proses pengelola-annya belum adil. Keadilan membuka jalan bagi nilai-nilai kebenaran, kebaik-an, ketakwaan, dan kebahagiaan. [Data 24.A.1(34)]
Kutipan (34) diambil tuturan Nur Mahmudi Ismail, Ketua Umum Partai Keadilan, ketika
memberikan keterangan lisan kepada wartavvan. Dari kutipan itu jelas bahwa PK menge-
depankan nilai keadilan yang memiliki subordinat nilai kebenaran, nilai kebaikan,
nitai ketakwaan, dan nilai kebahagiaan. Kosakata utama yang dinaturalisasikan oleh
NMI sesuai dengan nama partai yang dipimpinnya, yakni Partai Keadilan. Dalam pan-
dangan NMI, persoalan yang terjadi di Indonesia secara nasional adalah adanya ketidak-
adilan dalam berbagai bidang kehidupan, yakni bidang sosial politik, sosial ekonomi, dan
sosial budaya. Politik hiponimi PK itu dapat diperhatikan pada gambar 4.2 berikut.
Dari gambar 4.2 tersebut dapat dike- Nilai
Kim tahui hubungan antara nilai-nilai
N benaran, kebaikan, ketakwaan, dan \ N
\ kebahagiaan dengan nilai keadilan.
nitai nilai nilai
kebenaran kebaikan ketakwaan kebahagiaan Keberadaan nilai kebenaran dalam
gambar 4.1 dan 4.2 merupakan feno-
mena 4.2 Patik Hiponimi Partai Keathlan
mena yang menarik. Jika dalam gam-
bar 4.1 nilai kebenaran berada pada posisi superordinat, sebaliknya dalam gambar 4.2
nilai kebenaran berada pada posisi subordinat. Fenomena ini, dalam pandangan peneliti,
semakin memperkuat adanya pertimbangan politis-ideologis dalam memilih nilai utama
Nilai
Kesejahteraan Umum
286
untuk dinaturalisasikan melalui berbagai aktivitas politik sebuah partai politik. Apa yang
menjadi nilai ittatna dari sebuah partai, mungkin saja menjadi nilai tambahan bagi partai
lainnya. Dalam pandangan peneliti, fenomena ini menjadi contoh adanya peranan institusi
dalain menentukan perspektivitas pilihan sebuah nilai kehidupan yang dianggap pokok
ataii utama dan berbagai nilai kehidupan yang dianggap sebagai nilai tambahan. Institusi
yang mengutamakan nilai kebenaran akan memandang nilai itulah yang menjadi nilai
utama. Sebaliknya, institusi yang mengutamakan nilai keadilan akan memandang nilai
itulah yang menjadi nilai utama
Politik hiponimi seperti kedua contoh di atas ju2a didayagunakan oleh Partai Katolik Demokrat. Dalam pandangan PKD, nilai utama yang menjadi hukum
tertinggi adalah nilai kesejahteraan umum. Pemilihan nilai utama ini sesuai dengan moto partainya, yakni salus populi sepreme lex lesejahteraan umum adalah hukum
tertinggi. Nilai utama ini digerakkan oleh sejumlah nilai bawahan, yakni nilai keadilan, nilai kesetaraan, nilai pemberdayaan, dan nilai perdamaian. Dalam berbagai
aktivitas politiknya, empat nilai bawahan itu oleh pars elite politik PKD selalu dinaturalisasikan dengan akronim JEEP yang merupakan singkatan dari empat kata bahasa
Inggris, yakni justice, equality, empo-
werment, serta peace. Akronim JEEP me- ZAN / \
ngandung makna bahwa PKD bisa menjadi rz / \
\
"wahana" atau kendaraan politik bagi
kaum ,/ nilai %Alai nihti Leacirtan 1
-.]actaraan pemberdavaan padamaian
yang bemgarna Katolik di Indonesia. Politik
hiponimi PKD itu dapat diperhatikan pada Gambar 43 Palitik Hipottimi
PKD
gambar 4.3 berikut.
penegakan HAM
Gambar 4.4 Politik Iliponimi PDKB
287
Senada dengan uraian sebelumnya, terdapat fenomena yang menarik, yakni keberadaan
nilai keadilan antara PKD dan PK. Oleh PKD, nilai keadilan dipandang sebagai nilai
bawahan atau nilai subordinat dan nilai utama nilai kesejahteraan umum. Sebaliknya,
oleh PK nilai keadilan dipandang sebagai nilai pokok atau utama yang membawahi
nilainilai lainnya.
Politik hiponimi selanjutnya digunakan oleh Partai Demokrasi Kasih Bangsa (PD-
KB). Dalam pandangan PDKB, nilai utama yang perlu dijunjung tinggi adalah nilai
integrasi bangsa yang hams dibangun dan tiga pilar pokok, yakni penegakan hak asasi
manusia, demokrasi, dan lingkungan hidup. Latar belakang Indonesia yang sangat ma-
jemuk itu haruslah menampatkan nilai integrasi bangsa sebagai nilai pokok atau utama.
Politik hiponimi PDKB dapat diperhatikan pada gambar 4.4 berikut.
Senada dengan paparan sebelumnya,
Nilai
Integrasi Bangsa dalam gambar 4.4, nilai demokrasi N N. N dalam pandangan PDKB merupakan
N. nilai subordinat yang berada di ba-
'- demokrasi lingkungan hidup
wah nilai integrasi bangsa. Hal ini sangat berbeda dengan politik
hiponimi yang terdapat teks kampanye Sri Bintang Pamungkas
(SBP) yang menempatkan nilai demokrasi sebagai nilai tertinggi yang harus diperjuangkan oleh segenap partai politik. Dalam pidato pembukaan debat calon
presiden yang diarlakan oleh Universitas Indonesia, Ketua Umum PLTDI ini mendefmisikan kata demokratis yang sesuai dengan semangat reformasi.
Selanjutnya, perhatikan kutipan (35) berikut.
2 8 8
Kutipan (35):
SBP: [...] Sistem Indonesia bare inilah yang menurut pendapat saya sistem yang demo-kratis yang menolak adanya sistem totalitarism, menolak adanya sentralisme, menolak adanya militerisme. [Data 36.A.1(35)].
Politik hiponimi dari PUDI seperti yang terdapat dalam kutipan (35) di atas dapat di-
paparkan pada gambar 4.5 berikut ini.
Seperti dapat diperhatikan pada gambar
Sistem 4.5, PUDI menempatkan nilai demok- yang Demokratis
AN
N rasi sebagai nilai utama yang hams di-
perjuangkan melalui berbagai metode
z -N
menolak menolak menolak naturalisasi. Terwujudnya nilai demok-
totalitarisme sentralisme militerisme
Gambar 4.5 PolitikHiponimi PUDI rasi itu hams dibangun dad tiga nilai
bawahan yang berupa tindakan negasi
atau penolakan terhadap sesuatu, yakni
menolak totaliterisme, menolak sentralisme, dan menolak militerisme. Dalam pan-
dangan PUDI, hancurnya Indonesia disebabkan adanya penyelewengan nilai-nilai de-
mokrasi universal yang dilakukan oleh pemerintahan Orde Baru, khususnya pemerin-
tahan mantan Presiden Soeharto. Meskipun pemerintahan Orde Baru mengklaim melak-
sanakan demokrasi Pancasila, dalam pandangan PUDI, demokrasi yang dilaksanakan
oleh Orde Baru jauh dari nilai-nilai demokrasi yang universal itu.
Pendayagunaan politik hiponimi, seperti sudah dipaparkan di atas, juga dilakukan
oleh Partai Nasional Indonesia (PNI), peserta nomor 3 peinilu tahun 1999. Dalam pan-
dangan PNI, sasaran akhir partainya adulah menciptakan pemerintahan yang bersih dan
berwibawa. Nilai utama itu dibangun dari empat nilai bawahan yang dilakukan dengan
Gambar 4.6 Politik Hiponimi PM
289
cara penolakan, yakni tidak nepotis, tidak kapitalis, tidak konglomeratif, dan tidak
korup. Hubungan antara superordinat dengan subordinat dari politik hiponimi PM dapat
diperhatikan pada gambar 4.6 berikut.
Dari gambar 4.6 tersebut dapat diketa-
Pemerintah
yang Bersih dan Berwibawa hui bahwa untuk menciptakan pemerin-
tah yang "bersih" dan "berwibawa" di- / N
bangun dari aspek-aspek pembentuk- N.
tidak tidak tidak tidak
nepotis kapitalistis konglomeratif korup nya, yakni "tidak nepotis", "tidak kapi-
talistis", "tidak konglomeratif', dan "ti-
dak korup". Hal ini sesuai dengan pengamatan PM bahwa kehancuran
Indonesia dewasa ini karena membudayanya penyakitpenyakit "nepotis",
"kapitalis", "konglomeratif', dan "korup". Penyakit-penyakit itu sangat bertentangan dengan filosofi negara, yakni Pancasila.
Gejala-gejala pendayagunaan hiponimi seperti contoh-contoh di atas memiliki
frekuensi yang cukup banyak dilakukan oleh para pemimpin partai politik peserta
pemilu 1999. Dari paparan di atas dapat disimpulkan bahwa politik hiponimi dalam
pandangan peneliti memiliki kedudukan yang sangat strategis dalam menaturalisasikan
sebuah nilai utama agar mendapatkan tempat dalam hati dan pikiran para pendengar.
Contoh di atas di atas hanyalah sebagian dari berbagai politik hiponimi yang dilakukan
oleh banyak par-tai politik peserta pemilu tahun 1999.
4.1.1.5 Metafora
Sebelum tahap analisis terhadap pendayagunaan metafora dalam wacana politik
Indonesia, terlebih dahulu dipaparkan beberapa hal ikhwal yang berkaitan dengan meta-
290
fora, khususnya metafora dalam pandangan linguistik. Metafora adalah ungkapan keba-
hasaan yang maknanya tidak dapat dijangkau secara langsung dari lambang yang dipakai
karena makna yang dimaksud terdapat pada predikasi ungkapan kebahasaan itu (Wahab,
1990:142). Metafora jugs mengandung makna tentang pemahaman dan pengalaman akan
sejenis hal yang dimaksudkan dengan perihal yang lain. Hal ini senada dengan pendapat
Richards, Platt, & Platt (1992:139) bahwa dalam metafora itu sesuatu yang dideskripsi-
kan diganti dengan uraian lain yang dapat dibandingkan.
Dalam pandangan lingistik, terdapat tiga jenis metafora, yakni (1) metafora no-
minatif, baik nominatif subjektif maupun nominatif objektif, (2) metafora predikatif, dan
(3) metafora kalimat. Metafora nominatif subjektif adalah metafora yang lambang has-
nya muncul hanya pada subjek kalimat (pokok kalimat), sementara komponen-
komponen kalimat yang lain tetap dinyatakan dengan kata-kata yang mempunyai makna
langsung. Pada metafora nominatif objelctif, lambang kias hanya muncul pada objek
kalimat atau komplemen, sementara komponen lain dari kalimat tetap dinyatakan
dengan kata yang mempunyai makna langsung. Dalam metafora predikatif, kata-kata
lambang kias hanya terdapat pada predikat kalimat, sedangkan subjek dan objeknya
(jika ada) masih dinyatakan dalam makna langsung. Metafora yang terakhir, yakni
metafora kalimat adalah metafora yang seluruh lambang kias yang dipakai tidak terbatas
pada nominatif dan predikatnya saja, melainkan seluruh komponen dalam kalimat
metaforis itu merupakan lam-bang kias.
Dalam dunia politik, analisis terhadap metafora mentpakan langkah awal mema-
hami bahasa politik itu (Beard, 2000:19). Metafora disematkan ke dalam cara bagaimana
kita mengkonstruksikan dunia di sekitar kita dan cara dunia dikonstruksikan oleh orang
291
lain untuk kites Dalam pandangan Beard (2000:21) sumber metafora secara umum
berkaitan dengan "olahraga" dan "perang" yang keduanya melibatkan pertandingan
fisik dalam berbagai cara. Gibbs mengemukakan tiga catatan penting berkaitan dengan
matefora politik (Beard, 2000:22). Pertama, metafora bukan hanya sebagai alat retoris
semata-mata, tetapi menunjukkan bagaimana masyarakat memahami politik. Kedua,
kunci metafora politik melibatkan konsep-konsep "musuh" dan "lawan", melibatkan
konsep-konsep "pemenang" dan "pecundang". Ketiga, metafora tidak memberikan
saran bahwa sebuah pemerintahan dapat dicapai melalui diskusi, kerjasama, dan
bekerja bersama-sama. a. Metafora Nominatif
Wacana politik Indonesia mendayagunakan pilihan metafora nominatif, baik no-
minatif subjektif maupun nominatif objektif yang memiliki maksud dan tujuan tertentu.
Pemakaian metafora nominatif muncul dalam wacana politik yang dihasilkan oleh ber-
bagai elit politik, baik dan elite partai politik peserta pemilu tahun 1999 maupun elite
pemerintahan yang berkuasa. Secara kuantitas, pilihan jenis metafora nominatif lebih
banyak didominasi oleh pilihan metafora nominatif objektif. Sementara itu, metafora
nominatif subjektif dipergunakan secara relatiflebih sedikit. Pilihan metafora nominatif
subjektif, misalnya, dapat diperhatikan pada kutipan (36) berikut.
Kutipan (36):
GD: Wong reshuffle di tubuh milker raja juga orang-orang dia. Bahkan, saya curiga
berbagai kebijakan yang dikeluarkan pemerintahan sekarang juga masih bergantung
pada dia. [Data 35.A. 1(36)]
Kutipan (36) di atas dicuplik dari wawancara lisan Gus Dur dengan sejumlah wartawan
media massa. Dalam wawancara itu, sejumlah wartawan mempertanyakan tindakan kon-
troversial Gus Dur yang masih sering mengunjungi mantan Presiden Soeharto di rumah-
2 9 2
nya di Jalan Cendana, Jakarta Sebagai elite politik Gus Dur wajib memberikan keterang-
an tentang tindakannya yang melawan arus itu. Sementara itu, sebagaian besar masyara-
kat menuntut agar mantan presiden kedua Indonesia itu segera diadili karena kesalahan-
kesalahannya pada masa lalu ketika menjabat presiden selama lebih kurang tiga puluh
tahun. Dalam pandangan Gus Dur, meskipun Pak Harto sudah tidak menjabat presiden
secara formal, tetapi pengaruhnya dari "belakang lap?' terhadap pengambilan keputusan
jalannya pemerintahan Habibie dan ABRUTNI masih sangat besar. Gus Dur memilih
metafora tubuh untuk mewakili konsep "institusi" ABRJJTNI.
Dalam kutipan (36) di atas kata tubuh menjalankan peran "menghidupkan"
kata yang mengikutinya. Penggunaan kata "ABRI/TNI" yang didahului kata tubuh
menjadikan susunan kata tersebut menjadi lebih animate. Penggunaan metafora
nominatif subjektif seperti kutipan di atas dapat diperiksa pada kutipan (37) berikut.
Kutipan (37):
Alt: [...] Tetapi, lebih dari itu sejimilah togas yang sangat amat penting buat kesejahte-raan bangsa Indonesia itu belum diuthik-uthik, belum disinggung sama Mister Habibie ini Pertama, sarang-sarang KKN itu masih tetap saja kokoh, kuat, bahkan dalam banyak hal mungkin masih diberi kesempatan tambah kuat lagi. [Data 15.A.1(37)]
Kutipan (37) di atas dicuplik dan pidato Amien Rais pada acara debat calon presiden
yang terbuka untuk umum yang ditayangkan oleh media televisi. Menjawab pertanyaan
moderator debat, Amien Rais memberikan catatan bahwa salah satu kelemahan dalam
pemerintahan Presiden Habibie adalah masih bertahannya kebiasaan atau tradisi peme-
rintahan Soetiarto yang penuh dengan korupsi. kclusi, dan nepotisme. Bahkan, dalam
pandangan Ketua Partai Amanat Nasional (PAN) ini, KKN di Indonesia ada kecende-
rungan bertambah kokoh dan kuat. Begitu kuatnya, tokoh reformasi itu memilih meta-
293
fora sarang yang maknanya identik dengan 'rumah tinggal', yakni suatu tempat yang
bersifat relatif permanen yang berfungsi sebagai tempat tinggal penghuninya. Kata
sarang juga dapat dimaknai dengan `tempat berkembang Dengan kata sarang KKN
yang dipilih membuat publik menjadi lebih yakin akan keberadaan KKN yang semakin
merajalela itu.
Yang menarik dari pilihan metafora di atas adalah penaturalisasian kata sarang
yang memiliki asosiasi makna binatang'. Sarang adalah "rumah tinggal sejumlah bina-
tang". Dalam pandangan peneliti, jika kita menyetujui pandangan Beard (2000) bahwa
pilihan metafora mencerminkan bagaimana seseorang mengkonstruksikan realitas di
sekitarnya, pendayagunaan kata sarang oleh Amien Rais itu memberikan informasi ten-
tang bagaimana Amien Rais mengkonstruksikan realitas KKN yang sudah sangat mem-
budaya di lingkungan kita.
Selain mendayagunakan metafora nominatif-subjektif, wacana politik Indonesia
juga mendayagunakan metafora nominatif-objektif. Pilihan metafora nominatif objektif
dapat diperhatikan pada kutipan (38) berikut.
Kutipan (38):
GD: [...] Sekalipun pemerintah sudah membentuk tim untuk mengusut kasus itu, bahlcan telah membentuk tim pencari fakta, namun belum menghasilkan buah yang memu- askan. Kita masih menunggu basil kerja tim ink [Data 35.A.1(38)]
Kutipan (38) di atas dicuplik dari ujaran lisan Gus Dur dalam menjawab pertanyaan dari
sejumlah wartawan media massa. Salah satu persoalan yang ditanyakan adalah masalah
keterlambatan Pernerintah Indonesia. terutama aparat penegak hukurn, dalam menye-
lesaikan kasus kerusuhan massal pada bulan Mei 1998. Dalam pandangan Gus Dur, pe-
merintah Indonesia kurang sigap menuntaskan masalah tragedi kemanusiaan itu. Pada
2 9 4
bagian lain Gus Dur juga mendayagunakan metafora nominatif objektif seperti kutipan
(39) berikut.
Kutipan (39):
GD: [...] Mereka minta jaminan hukum. Nah, kita ini punya apa. Paling hanya bisa menghimbau. Karena itulah, pemerintah harus mengambil langkah yang konkret dalam menangani kasus itu.[Data 35.A.1(37)]
Dalam kutipan (39) Abdurrahman Wahid menggunakan kata langkah untuk meng-
gantikan "kebijakan". Secara leksikal, kata langkah mengandung makna 'jangkah kaki'
atau 'perbuatan'. Dengan demikian, dalam teks itu GD berusaha untuk "menghidupkan"
kata "kebijakan".
Pendayagunaan jenis metafora seperti di atas didayagunakan juga oleh Sri
Bintang Pam ungkas, Ketua Partai Uni Demokrasi Indonesia, seperti dapat diperhatikan
pada kutipan (40) berikut.
Kutipan (40):
SBP: [...] Tampaknya Habibie akan mengulang proses ini. Hebatnya, melalui ICMI connection itu, Amien diikutkan dalam permainan. Lihat saja sendiri pada minggu lalu Amien bertemu dengan Habibie. Semua itu merupakan setting politik yang bergerak dari ICMI [Data 36.A.1(40)]
Kutipan (40) di atas dicuplik dari ujaran lisan Sri Bintang Pamungkas dalam wawancara
dengan sejumlah wartawan. Pertanyaan yang diajukan oleh sejumlah wartawan kepada
musuh utama pemerintahan mantan Presiden Soeharto ini adalah tentang persoalan lang-
kah Habibie dalam mengokohkan pencalonannya kembali sebagai Presiden Republik
Indonesia dengan jalan merangkui beberapa elemen partai politik yang memiliki massa
yang signifikan. Sri Bintang menggunakan metafora setting dalam membicarakan akti-
vitas politik Habibie. Jika dicermati, kata setting pada mulanya digunakan dalam bidang
teater, drama, atau sandiwara. Dalam konteks ini, pendayagunaan metafora nominatif
295
setting dalam kutipan (40) di atas di atas memberikan pemahaman bahwa Ketua PUDI
memandang persoalan politik adalah persoalan teater di mana di dalamnya ada pemain,
alur, sutradara, skenario, babak, latar, dan sebagainya. Dalam pandangan PUDI, setiap
aktor politik menjalankan peran tertentu yang menyerupai peran-peran dalam teater.
Penggunaan metafora nominatif objektif yang memiliki kemiripan dengan
kutipan (40) di atas dapat ditemukan pada kutipan (41) berikut.
Kutipan (41):
MDI: [...] Jadi menurut saya, ini kesempatan emas bagi Golkar untuk memasuki fase benlcutnya. Yakni, fase demokrasi dan fase kebebasan yang mulai dinilanati sejak Pak Akbar menjadi ketua Partai Golkar. [Data 33.A.1(41)]
Kutipan (41) di atas dicuplik dan ujaran lisan elit politik Partai Golkar, Marwah Daud
Ibrahim (MDI), dalam wawancara dengan sejumlah wartawan. Topik pertanyaan yang
diajukan kepada tokoh wanita asal Sulawesi Selatan (Sulsel) itu adalah tentang persete-
ruannya dengan elit Partai Golkar lainnya, Marzuki Darusman, tentang pencalonan
kernbali Habibie sebagai presiden Republik Indonesia. MDI menggunakan metafora
emas yang dilekatkan sesudah kata "kesempatan". Secara etimologis, kata emas
bermakna 'logam yang mahal'. Jika diperuntukkan kepada perhiasan, emas merupakan
benda perhiasan yang amat berharga dan mahal harganya. Harga dan nilai emas di pasar
ditentukan oleh naik turunnya harga dan nilai mata uang dolar di pasar internasional
yang se-ring sulit diduga, termasuk kurs dolar terhadap mata uang rupiah. Naiknya
harga dolar akan mempengaruhi naiknya harga emas, demikian juga sebaliknya. Frasa
kesempatan emas inenginformasikan bahwa "kesempatan yang berharga dan mahal
harganya" itu datangnya sulit diduga dan belum tentu datang untuk kedua kalinya
karena itu harus dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya.
296
Frasa setting politik dan kesempatan emas di atas memiliki kemiripan dalam
mendayagunakan metafora nominatif ke dalam frasa subordinatif Selanjutnya
perhatikan pendayagunaan metafora nominatif dari elit politik PAN, Dawam Rahardjo,
seperti pada kutipan (42) dan dari elit politik Partai Golkar, Marzuki Darusman, seperti
kutipan (42) di bawah ini.
Kutipan (42):
DR: Menurut saya apa yang dilakukan oleh partai-partai yang melakukan komunike, ba- ils di Paso inaupun yang di Karulca Candra adalah hanya merupakan manuver politik saja, bahkan itu bisa jadi merupakan bentuk ketidakpercayaan diri partai tersebut dengan kekuatan mereka serta khawatir dengan kekuatan Golkar. [Data 15.A. 1(42)]
Kutipan (43):
MD: [...] Kesimpulan TGPF tentang tanggal 14 Mei itu hanya sebagai titik pangkat dalam menyelidiki lebih jauh bagaimana sebenarnya anatomi dari proses politik yang pada saat yang sama mengalami juga eskalasi kekerasan. [Data 33.A.1(43)]
Kutipan (42) di alas dicuplik dari ujaran lisan Dawam Rahardjo (DR) dalam wawancara dengan
sejumlah wartawan_ Topik yang diajukan kepada DR adalah komunike partai-partai
peserta pemilu untuk membentuk suatu aliansi strategis dan koalisi antarpartai untuk
membendung kemenangan Partai Golkar. DR mendayagunakan metafora nominatif ma-
nuver politik Secara etimologis, kata manuver adalah istilah untuk aktivitas kapal atau
pesawat dalam peperangan atau latihan perang yang membentuk formasi gerakan ter-
tentu. Dalam manuver terkandung makna 'sulit dilakukan, mengandung keberanian, dan
ada efek bahayanya'. Dengan demikian, manuver dalam politik memiliki kesepadanan
makna dengan makna kata manuver dalam konteks peperangan.
Kutipan (43) di atas dicuplik dari ujaran lisan Marzuki Darusman (MD) dalam wa-
wancara dengan sejumlah wartawan. Topik yang diajukan kepada elit Partai Golkar da-
297
lam kapasitasnya sebagai Ketua Tim Gabungan Pencari Fakta itu adalah masalah keru-
suhan 13-15 Mei 1998 yang clikaitkan dengan pertemuan sejumlah tokoh militer dan sipil
di Markas Kostrad. MD menggunakan metafora titik pangkal untuk memberikan se-
butan kepada "pertemuan sipil-militer" itu. Secara etimologis, pangkal mengandung arti
bagian yang dibawah (besar)' atau bagian yang mula-mula'. Frasa, titik pangkal dalam
kutipan (41) itu mengandung makna 'asal muasal pokok masalah'. Untuk persoalan yang
sama, dalam bagian lain wacana tersebut, MD juga menggunakan metafora titik simpul.
Secara etimologis, kata simpul mengandung makna fikatan tali'. Dengan demikian, "per-
temuan sipil-militer di Makostrad" merupakan asal-muasal pokok masalah kerusuhan
Mei yang sulit diuraikan kasusnya secara satu persatu.
Terdapat kekhasan lain dalam metafora yang didayagunakan dalam wacana
politik Indonesia. Beberapa elit politik mendayagunakan metafora nominatif dengan jalan
nominalisasi. Hal itu dapat diperhatikan pada kutipan (44) berikut.
Kutipan (44):
FB: [...] Tetapi, krisis ekonomi yang melanda Indonesia ini menyadarkan Bank Dunia
bahwa efektivitas bantuan itu akan terganggu akibat banyak kebocoran. Dulu me-
reka mengklaim 95 persen tidak ada masalah. [Data 15.A..1(44)]
Kutipan (44) di atas dicuplik dari ujaran lisan Faisal Basri ekonom kritis yang juga
elit politik Partai Amanat Nasional (PAN). Ujaran itu muncul dari FB dalam wawancara
dengan sejumlah wartawan. Pertanyaan yang diajukan kepada politisi yang juga dosen di
FE UI adalah masalah kebocoran dana bantuan Bank Dunia oleh pejabat RI_ Dalam
pandangan F 3, isu sinyaleinen kebocoran bantuan Bank Dunia FB bukan mengada-ada
dan merupakan dugaan yang memiliki dasar berpijak. Dalam wawancara itu FB menggu-
nakan metafora kebocoran terhadap kasus korupsi di Indonesia. Secara morfoiogis, kata
298
kebocoran dibentuk melalui proses afiksasi dari bentuk dasar adjektif bocor dan afiks
"ke-an". Hasil afiksasi kedua morfem itu adalah bentuk nomina. Oleh karena itu, proses
terbentuknya kosakata yang dimaksud dinamakan juga nominalisasi. Jika dianalisis, kata
bocor mengandung makna 'berlubang hingga dapat kemasukan air atau isinya dapat
keluar'. Dengan demikian, kata kebocoran dalam kutipan (42) mengandung makna
berlubang dan isinya keluar'. Pendayagunaan metafora nominatif seperti kutipan (44) di
atas dapat diperhatikan juga pada kutipan (45) berikut.
Kutipan (45):
KHD: [.. Kemudian, pengebirian proses demokratisasi atas pembangunan ekonomi jus-tru menjadi bumerang. Hari ini ekonomi kita sangat terpuruk. utang luar negeri kita menumpuk, serta masyarakat dan politisi tak terberdayakan. [Data 24.A.4(23))
Kutipan (45) di atas dicuplik dari ujaran lisan K.H. Didin Hafiuddin (KHD), elite politik
yang juga calon presiden dari Partai Keadilan (PK). Ujaran itu muncul dalam acara debat
calon presiden yang diadakan oleh Universitas Indonesia dan disiarkan secara langsung ke
seluruh pelosok tanah air melalui media televisi. Dua pilihan metafora yang muncul dalam
wacana politik yang dihasilkan KHD adalah kata pengebirian dan kata bumerang.
Metafora pertama dipilih melalui proses nominalisasi, sedangkan metafora kedua dipilih
melalui cara "biasa", yakni pemanfaatan sesuatu untuk mengekspresikan suatu yang lain.
Nominalisasi pada kata pengebirian dibentuk melalui afiksasi dari bentuk dasar verba
kebiri mendapat konfiks "ke-an". Secara leksikal, kata kebiri bermakna 'menghilangkan
jantannya'. Dengan demikian, kata pengebirian pada kutipan (45) di atas mengandung
ntak-tia 'menghilangkan sendi-sendi yang amat pokok atau fundamental'. Sementara itu,
kata bumerang adalah jenis senjata yang dimiliki suku Aborigin di Australia yang
memiliki kekhasan dapat kembali kepada pemiliknya setelah senjata itu digu-
299
nakan untuk kepentingan tertentu. Kata bumerang pada kutipan (43) di atas mengan-
dung makna 'kembali mengenai diri sendiri'.
Terdapat kekhasan lain dalam metafora nominatif yang didayagunakan elite poli-
tik dalam wacana politik Indonesia. Hal ini tampak pada teks politik Sri Bintang Pamung-
kas, Ketua Umum PUDI, ketika mengikuti debat calon presiden yang diadakan oleh Ul.
Perhatikan kutipan (46) berikut.
Kutipan (46):
SBP: Yang dijual adalah ide, yang dijual adalah konsep, bukan bendera, bukan penge-rahan massa. Kita pun tidak mampu membangun podium yang harganya seratus juta [Data 36.A.1(46)]
Berbeda dengan metafora nominatif yang sudah dipaparkan di atas, pilihan metafora yang
dimunculkan Sri Bintang Pamungkas (SBP) dalam kutipan (46) adalah menggunakan
metode "nominalisasi+yang". Dalam menjawab pertanyaan sejumlah wartawan, SBP, mi-
salnya, menggunakan frasa yang dijual. Proses nominalisasi frasa yang dijual berasal
dari verba dijual yang diikutkan setelah kata yang. Secara morfologi, konjungsi "yang"
yang diikuti verba atau adjektif berfungsi membentuk nomina. Dengan demikian, "yang
dijual" merupakan kelas kata nomina. Verba dasar "jual" sebagai bentuk dasar dari kata
kompleks "dijual" memiliki makna 'memberikan sesuatu dengan ganti uang'. Meskipun
frasa "yang dijual" adalah nomina, makna "yang dijual" dalam kutipan (46) di atas me-
ngandung makna 'memberikan sesuatu, berkaitan dengan perdagangan'. Pilihan frasa yang
dijual dapat memberikan pemahaman kepada kita tentang bagaimana SBP meng-
konstruksikan realitas "ide" atau "konsep" yang harus dinaturalisasikan kepada publik.
Terdapat nuansa makna materialisme dalam pilihan metafora nominatif SBP, yakni se-
buah ide atau program yang diukur dengan sejumlah uang.
3 0 0
b. Metafora Predikatif
Wacana politik Indonesia juga mendayagunakan pilihan metafora predikatif. Pi-
lihan metafora predikatif yang muncul cukup signifikan dalam memberikan gambaran
tentang dimensi ideologi dalam wacana politik Indonesia. Beberapa verba metaforis,
seperti dibantai, membekukan, memeriksa, dicabik-cabik, ngotot-ngototan,
mencairkan, kebakaran jenggot, membidik, dilibas, bercermin, bercakar,
bertaring, menyeret, mrotoli, digebukin, menggembar-gemborkan, dan menjual
muncul dalam ujaran para elite politik. Perhatikan kutipan (47) berikut.
Kutipan (47):
SH: Saya bersyukur sekali kawan-kawan seperti Bang Buyung, Adi Andojo, Andi
Mallarangeng, dan juga memiliki kesadaran kuat. Kadang-kadang mereka
rela dibantai orang untuk mempertahankan idealisme yang baik. [Data 49.A.1(47)]
Kutipan (47) di atas dicuplik dari ujaran lisan Syarwan Hamid, Menteri Dalam Negeri
dalam Kabinet Refoimasi Pembangunan, dalam wawancara dengan sejumlah wartawan
media massa. Topik yang diajukan kepada purnawirawan perwira tinggi ABRI/TNI itu
adalah pelaksanaan pemilu 1999 yang diharapkan berlangsung benar-benar jujur dan adil
tanpa ada tekanan, tanpa ada pesanan dari siapa pun. Termasuk di dalam pembahasan itu
adalah keberadaan KPU yang penuh dengan persoalan karena orang-orang yang duduk di
dalamnya mulai mementingkan diri sendiri dan kelompoknya, bukan mementingkan
bangsa secara keseluruhan. Dalam wawancara itu, SH menggunakan metafora dibantai
yang sebenarnya bukan istilah politik. Secara leksikal, verba bantai memiliki makna
'menyemhelih binatane, seperti lembu, kerbau, dan sebagainya'. Dengan demikian, verba
dibantai memiliki asosiasi makna 'kebinatangan'. Jika kata bantai itu dipergunakan
dalam konteks wacana politik, terdapat kesan 'sarkasme' dalam penggunaan itu. Dengan
301
demikian, kata dibantai dalam kutipan (47) di atas mengandung makna Vikalahlcan
dan diperlakukan seperti hewan potong'.
Pilihan dan penaturalisasian metafora predikatif yang memiliki nuansa makna
'sarkasme' seperti kutipan (47) di atas dapat diperhatikan juga pada kutipan (48)
berikut. Kutipan (48):
SBP: Menurut saya, Habibie sedang membidik Mega dan PDI Perjuangan-nya. Terlalu berat dan sulit bagi dia kalau membidik rakyat secara keseluruhan. Apalagi selama ini rakyat sudah melihat kiprah Habibie. Dengan mendekati keluarga Bung Kamo, barangkali Habibie punya angan-angan mengumpulkan dua partai besar, PDI Perjuangan dan Golkar. Ini juga kalau dilihat dari pemyataan orang-orang Habibie, seperti Achmad Tirtosudiro. Secara tersirat, Tirto kan mengatakan akan mendukung Mega anal ICMI tidak dilibas. [Data 36.A.1(48)]
Kutipan (48) di atas dicuplik dari ujaran lisan Sri Bintang Pamungkas dalam wawancara
dengan wartawan media massa. Topik yang dibahas adalah masalah manuver Habibie
yang tampaknya proaktif dengan tuntutan reformasi agar memperoieh kredit poin untuk
pencalonannya kembali sebagai presiden. Wacana yang dihasilkan oleh Ketua PUDI itu
mendayagunakan metafora membidik, kiprah, dan dilibas. Kata membidik dan dilibas
memiliki nuansa makna yang senada dengan dibantai Secara leksikal, kata bidik memi-
liki makna 'mengarahkan senapan dan sebagainya dengan memincingkan mata sebelah'.
Sama dengan kata dibantai di atas jika kata membidik dipilih dalam wacana politik
mengandung nuansa makna sarkasme. Dengan demikian, metafora membidik dalam
kutipan (48) mengandung makna 'mengincar dengan serius agar jangan sampai terlepas'.
Demikian juga, kata dilibas yang digunakan dalam wacana politik mengandung nuansa
makna sarkasme. Kata libas makna dihabisi, ditumpas, tidak diberi
kesempatan hidup'. Sementara itu, kata kiprah secara leksikal berasal dari dunia pewa-
yangan yang bermakna 'gerakan yang menunjukkan kejantanan dari tokoh wayang yang
302
numnya memiliki sifat jahat, seperti Suyudono dan Rahwana'. Nuansa sarkasme
seperti tparan di atas dapat juga diperhatikan pada kutipan (49) berikut. utipan
(49):
FB: Kalau target mendapat USD 1 miliar dilakukan dengan jual murah-murah dan obral, bisa saja target itu tercapai. tetapi, yang benar saja. Ini harta dan kekayaan negara. Jangan sampai dicabik-cabik begitu. Sudah tahu kondisi perekonomian kita sedang dilanda }crisis dan di sana banyak bolong, ini mau menjual BUMN dengan harga obral. [Data 15.A.1(49)]
.utipan (49) di atas dicuplik dari ujaran lisan Faisal Basri menjawab pertanyaan warta-
an. Topik yang dibahas adalah program privatisasi BUMN yang dilakukan oleh Menteri
egara Pembinaan BUMN. Dalam wacana yang dihasilkan oleh Sekretaris PAN itu terapat
pendayagunaan metafora dicabik-cabik untuk memberikan penilaian terhadap tngkah
privatisasi yang terkesan asal-asalan tanpa ada perencanaan yang matang. Secara :ksikal,
kata cabik memiliki makna 'sobek atau robek'. Kata dicabik-cabik memiliki iakna
'disobek-sobek atau dirobek-robek'. Penggunaan kata dicabik dalam wacana olitik
mengandung nuansa makna sarkasme. Kata dicabik biasanya digunakan dalam onteks
binatang buas, seperti harimau, singa, dan kucing ketika memakan mangsanya.
. Metafora Kalimat
Dalam wacana politik Indonesia terdapat fenomena pendayagunaan metafora ka-
imat oleh beberapa elite politik. Beberapa elite politik menyelipkan metafora kalimat
[slam wacana politik yang dihasilkannya. Dalam wawancara dengan sejumlah wartawan,
corang tokoh LSM Adi Sasono (AS), misalnya, mendayagunakan pilihan metafora kali-
nat ketika menyatnpaikan pendapatnva tentang datangnya angin reformasi yang diu-
ungtombaki oleh mahasiswa Indonesia sebagai sebuah keniscayaan seperti perjalanan
iukum-hukum alam. Perhatikan kutipan (50) berikut.
303
itipan (50):
AS: [...] Dalam sejarah kita era baru selalu dimulai dan kelompok generasi muda. Jadi, fajar telah menyingsing. Tidak ada yang bisa menahan matahari
terbit esok hari. [Data 49.A.1(50)]
clam kutipan (50) di atas, AS mendayagunakan pilihan metafora kalimat dalam mem-
:rikan komentar tentang datangnya era reformasi yang tidak dapat dibendung. Kalimat
jar telah menyingsing memberikan gambaran tentang keadaan akan datangnya zaman
Liu menggantikan zaman "lama". Kalimat matahari terbit esok hari memberikan make
tentang 'kepastian datangnya era baru yang lebih menyegarkan'. Metafora kalimat dam
kutipan (50) di atas mengandung makna 'datangnya era baru, yakni era reformasi, iatu
era yang berupa suatu keharusan dan tidak dapat dicegah kedatangannya untuk
Lenggantikan era lama yang semakin usang' Siapa pun tidak dapat mencegah datangnya
To baru itu meskipun dengan menggunakan senjata yang mematikan.
Pendayagunaan metafora kalimat dalam wacana politik seperti yang terdapat
pada utipan (50) di atas dapat diperhatikan juga pada kutipan (51) berikut.
:utipan (51):
AM: [...] Hadirin yang ada di rumah dan yang ada di studio. Jadi, kita ini sekarang
berdiri di atas rumah yang telah runtuh. Dan yang ingin kita lakukan adalah membangun kembali rumah Indonesia. [Data 24.A.1(51)]
:utipan (51) di atas dicuplik dari ujaran lisan Anis Matta (AM), Sekretaris Jenderal Parai
Keadilan (PK), dalam kampanye dialogis yang ditayangkan melalui televisi. AM
nendayagunakan metafora kalimat untuk memberikan gambaran yang lebih konkret
entang kondisi sosial-politik, sosial-ekonomi, dan sosial-budaya Indonesia yang begitu
)arah. Metafora kalimat kita ini sekarang berdiri di atas rumah yang telah runtuh itu
nemberikan pemahaman tentang bagaimana PK memandang hakikat krisis multidimensi
301+
ng terjadi di Indonesia. Untuk membangun rumah Indonesia yang telah runtuh itu,
ng dilakukan bukan program perbaikan atau bukan program tambal sulam, tetapi
seba.nya yang dilakukan adalah pembangunan kembali secara total dengan bahan-
bahan ng "mungkin saja" barn.
Pendayagunaan metafora kalimat juga dilakukan oleh Partai Golkar dalam kam-
nye dialogis. Dalam menyikapi berbagai kritikan terhadap PG, khususnya
pelaksanaan molcratisasi dalam tubuh partai, elit politik PG menggunakan metafora
kalimat seperti rtipan (52) berikut.
atipan (52):
AR: Sekarang Golkar sudah memberikan penyuluhan-penyuluhan kepada masya-
rakat supaya kedaulatan itu ada di tangan rakyat. Yang berdaulat itu ralcya, bukan
pemimpin..Profpram Golkar adalah program yang mengutamakan rakyat yang ber-
danlat. DPD-DPD I tetap melaksanakan itu bahwa pemilihan ketua umum kita be-
rangkat dari bawah. Tidak ada kiriman-kiriman lagi seperti membeli kucing
dalam karung. [Data 33.A.1(52)]
[etafora kalimat dalam kutipan (52) di atas digunakan untuk memberikan penegasan
shwa PG dengan paradigma barunya adalah partai yang memiliki semangat dan bernafas
formasi. Kebiasaan-Golkar lama yang selalu menentukan pemimpin dan pengurusnya as
penunjukan Ketua Dewan Pembina, dalam PG barn kebiasaan itu sudah dikikis ha-S.
Kekuatan arus bawah yang menjadi tema utama reformasi sudah diaplikasikan dalam iri
PG. Pemimpin partai bukan kucing dalam karung yang dipilihkan secara mutlak leh
atasan. Sebaliknya, pemimpin partai haruslah dipilih atas suara arus bawah yang iayoritas
meskipun pemimpin itu "bisa saja" tidak disenangi oleh berbagai pihak yang iemiliki
kepentingan tertentu. Dalam memilih pemimpin, PG melalcsanakannya secara emokratis
dengan menolak kucing dalam karung itu. Dengan demikian, memilih peninpin
ibaratnya jangan seperti membeli kucing dalam karung.
305
Fenomena yang menarik dari pilihan PG terhadap metafora kucing untuk membe-
kan bandingan dengan "pemimpin". Konsisten dengan pandangan Beard (2000) bahwa
lihan metafora mencerminkan bagaimana seseorang mengkonstruksikan realitas di se-
tamya, pendayagunaan metafora kucing dalam karung oleh PG memberikan informasi
:ntang bagaimana PG mengkonstruksikan realitas pemimpin dalam tubuh partai itu.
Pendayagunaan metafora kalimat yang senada juga dilakukan oleh Abdurrahman
Jahid, deklarator PKB, seperti dapat diperhatikan pada kutipan (53) berikut.
.utipan (53):
GD: Ini bisa dijawab dalam satu tarikan napas. NU sebagai janz'iyah tidak menjadi par-tai polink. NU sudah enjoy dan pas sebagai organisasi kemasyarakatan Islam. Mereka itu perk' dibuatkan wadah biar tidak gentayangan. [Data 35.A.1(53)]
:utipan (53) adalah cuplikan keterangan GD untuk memberikan penegasan bahwa PKB dalah
partai "anak kandung" NU karena disamping PKB terdapat tiga partai politik larmya yang juga
didirikan oleh elite politik dari lingkungan NU, yakni (1) Partai SUNI, 2) Partai Nandlatul
Ummat (PNU), dan (3) Partai Kebangkitan Umat (PKU). Kata walah dalam kutipan (53)
mengandung makna 'tempat menampung sesuatu'. Frasa genta7angan umumnya digunakan
untuk memberikan sebutan bagi gerakan atau perpindahan 'roh halus atau makhluk
halus lainnya". Pilihan kata gentayangan mengimplikasikan nakna bahwa makhluk itu
tidak memiliki tempat yang pasti. Ini adalah sebuah fenomena menarik, yakni
bagaimana seorang elite politik membandingkan anggota sebuah institusi ktagamaan
tertentu dengan gerakan roh halus atau makhluk halus lainnya.
Paparan di atas hanyalah sebagian dari pendayagunaan metafora dalam teks-teks
politik era pasca-Orde Baru_ Satu catatan penting dapat dikemukakan bahwa dalam pen-
dayagunaan metafora, partai-partai politik yang tergolong "partai gurem" cenderung men-
306
ayagunakan metafora yang "menggigit". Beberapa metafora dapat dipaparkan secara
ngkat sebagai berikut.
partai kami bertekad menyeret Soeharto (Partai Buruh Nasional)
kita berkubang dalam lumpur kemelaratan (Partai Masyumi Baru)
kubangan kesulitan dan kemiskinan (Partai Republik Indonesia)
rezim bercakar tajam (Partai Islam Demokrat)
sekali layar terkembang, surut kita berpantang (Partai Islam Demokrat)
binatang ekonomi bertaring kuat (Partai Islam Demokrat)
PG, partai yang sering melalukan serangan fajar (Dawam Rahardjo)
banyak partai yang mencuri start kampanye (Partai Golkar)
benaug merah sejarah yang terputus scat Orde Baru (Partai Nasional Bangsa
Indonesia)
Kata menyeret memiliki nuansa makna yang isarkasmel. Kata ini lebih cocok jika
ikaitkan dengan dunia "binatang" atau "barang". Metafora berkubang dalam lumpur
ernelaratan dan kubangan kesulitan dan kemiskinan memiliki nuansa makna yang
.arkasme. Frasa berkubang dalam lumpur itu identik dengan dunia "binatang", seperti
erbau. Metafora rezim bercakar tajam dan binatang ekonomi bertaring kuat juga
aemiliki nuansa makna yang isarkasme. Frasa cakar tajam dan bertaring kuat itu idenik
dengan dunia "binatang buas pemakan daging" atau karnivora. Metafora sekali layar
erkembang, surut kita berpantang memiliki makna 'tekad yang menyala-nyala'. Meta-
bra ini identik dengan dunia pelayaran. Metafora serangan fajar berkaitan dengan dunia
'peperangan". Metafora ini mengandung nuansa makna 'sarkasme'. Metafora mencuri ;tart
kampanye juga mengandung nuansa makna yang (sarkasme'. Metafora ini diambil sari
dunia olahraga atletik. Demikian juga, metafora benang merah sejarah tidak metgandung
nuansa makna yang 'sarkasme'. Metafora ini diambil dart dunia pertekstilan. Dengan
pendayagunaan metafora seperti itu konsep yang semula tampak "biasa-biasa saja"
membuat menjadi "lebih hidup", "lebih menggigit", bahkan "hiperbolis".
3 0 7
.1.2 Nilai Relasional
.1.2.1 Ekspresi Eufemistik
Secara umum, penggunaan ekspresi eufemistik dalam wacana politik yang lahir ada
era pasca-Orde Baru ini tidak begitu banyak, bahkan dapat dikatakan amatlah teratas,
baik wacana yang dilahirkan oleh elite politik dari eksekutif maupun para elite olitik
dari partai-partai politik peserta pemilu tahun 1999. Pernyataan-pernyataan para
Jenteri yang muncul di media massa sangat jarang menggunakan eufemisme.
Demikian iga, materi kampanye partai politik di televisi maupun yang langsung di
lapanganpangan terbuka jarang menggunakan eufemisme. Sebaliknya, pilihan kata
yang muncul vi h didominasi oleh nuansa "kelangsungan", bahkan "kekasaran". Jika
pada era Orde aru, politik eufemisme banyak didayagunakan pada teks-teks politik
untuk berbagai ijuan dan keperluan, pada era pasca-Orde Baru ini yang menonjol
adalah pendayagunaa "ekspresi kelangsungan" dan "ekspresi kekasaran". Kalau pun
muncul, ekspresi eufeiistik pada era pasca-Orde Baru itu hanyalah menirukan apa
yang sering disampaikan ara elite politik pada era Orde Baru. Pada era pasca-Orde
Baru, ekpresi kelangsungan memudahkan publik memahami bahasa politik yang
diungkapkan oleh para elite olitik Indonesia.
Salah satu ekspresi eufemistik yang muncul adalah penggunaan frasa bantuan
sing. Frasa ini dipergunakan untuk memperhalus kata "pinjaman" atau "utang". Frasa
antuan asing sudah lama digunakan dalam wacana politik pada era Orde Baru untuk
ienghaluskan kata-kata "pinjaman", "utang", dan "kredit" yang biasanya diperoleh ielalui
organisasi dana internasional, seperti: IGGI, CGI, IMF, World Bank, dan sebaainya.
Selanjutnya perhatikan kutipan (54) berikut ini.
3 0 8
utipan (54):
KKG: Selama 32 tahun, Orba mengandalkan bantuan asing sebagai salah satu sumber pembiayaan pembangunan. Mulanya, kita bisa dibuat percaya bahwa penggunaan bantuan sifatnya hauya sebagai pelengkap. Kata pemerintah Orba, bantuan asing
semalcin lama seinakin berkurang dan pembangunan kita sepenulmya mengandalkan pembiayaan secara mandiri. {Data 11.A.2(1)]
utipan (54) dicuplik dan pernyataan lisan Kwik Kian Gie, salah seorang elit PDT, partai
trig memenangkan pemilu tahun 1999 dalam wawancara dengan sejumlah wartawan
tedia massa. Tentunya, dalam pemikiran KKG, bantuan asing yang dimaksud adalah
rtang" atau "pinjaman". Indonesia sebagai negara pengutang memiliki kewajiban me-
gembalikan utang itu serta disertai dengan kewajiban membayar bunga pinjamannya.
ata bantuan memiliki konotasi bahwa peminjam tidak memiliki kewajiban mengern-
alikan bantuan itu.
Kata bantuan asing sudah begitu lama dinaturalisasikan dalam pikiran seluruh
iasyarakat Indonesia melalui berbagai aktivitas politik para elite pemerintah Orde Baru.
egitu lamanya kata itu dipergunakan dalam kehidupan sosial masyarakat, menurut
landangan peneliti, sampai-sampai masyarakat tidak menyadari bahwa semua itu adalah
hutang" yang harus kita kembalikan kepada si peminjam. Bahkan, KKG, seorang pe-
nimpin partai politik yang terkenal kritis dengan berbagai kebijakan ekonomi pemeintah
Orde Baru pun sampai-sampai menggunakan istilah bantuan, bukan istilah "utang" itau
"pinjaman".
Masih dari pimpinan partai pemenang pemilu, ekspresi eufemistik juga
digunakan intuk memperhalus sebuah maksud karena jika digunakan bentuk aslinya
akan menda.angkan ketersinggungan. Perhatikan kutipan (55) berikut ini.
K utipan (55):
309
SSG: Saya selalu berkata bahwa kongres PDI jalan terus. Itu ada kerusuhan kalau ada pi-hak ketiga yang night mengacau. Seperti dulu, aparat-aparat keamanan disuruh pa-
,
kai baju PDI. Dan kita punya bukti cukup banyak Jadi, kalau ada kekac,anan, itu jelas bukan berasal dari warga PDI, melainkan dan faktor ekstern yang sengaja mendiskreditkan PDI agar tidak disenangi rakyat. [Data 11.A.2(2)]
utipan (55) dicuplik dari ujaran lisan pimpinan PDI ketika diwawancarai oleh
wartawan iedia cetak. Yang dimaksud faktor ekstern dalam kutipan itu adalah
'pemerintah Orde ,aru yang sedang berkuasa'. Dalam pandangan peneliti, PDI sebagai
partai politik cukup isegani oleh pemerintah Orde Baru, khususnya mantan Presiden
Soeharto. PDI di bawah impinan Megawatt Soekarnoputri tidak begitu tunduk dengan
kebijalon pemerintah )rde Baru. Pemerintah yang berkuasa sering menggunakan jargon
"PDI tidak akomodaif'. Hal ini sangat berbeda dengan kondisi PDI ketika dipimpin
Soerjadi yang sangat iropemcrintah Orde Baru. Oleh karena itu, pemerintah melalui
berbagai kebijakannya )erusaha untuk menghambat gerak PDI.
JiKa disimak kutipan (54) dan (55) di atas, pendayagunaan ekspresi eufemistik
un:uk kepentingan politik sudah muncul pada saat pemerintahan Orde Baru,
khususnya pemerintahan mantan Presiden Soeharto. Ketika Soeharto secara formal
sudah turun dari pemerintahan, ekspresi eufemistik itu masih didayagunakan oleh
beberapa elite politik yang ada. Beberapa ekspresi eufemistik yang masih muncul pada
era pasca-Orde Baru dapat diperhatikan pada tabel 4.18 berikut.
Tabel 4.18 Beberapa Ekspresi Eufemistik pada Era Pasca-Orde Baru
EKSPRESI EUFEMISTIK EKS. SEBENARNYA PENGRASIL
1. Kondisi ini akan btrtambah buruk k2rena masih banyak "kekaaak-kanakan" SEY
pensimpin parpol yang belum dewasa.
2. Ini rnasalah teknis raja Bukan karena ada masalah-masa- "pemberian utang" GKS
lah tertentu yang menyebabkan penundaan pencairan dana karena letter of intent
sudah diterima mereka
310
anjutan label 4.18
Tetapi, kerukunan umat beragama itu munculnya dari ba "ikut campur terlibat" MF
wah. Tugas pemerintah hanya memfasilitasi.
Sebagian besar atialah pandangan yang positif dan kons- "mengada-ada" SBY
truktif, sebagian kecil adalah pandangan yang benar tetapi
masih harus dibahas lebih lanjut. Sebagian lagi adalah
masalah yang terlalu dilebih-lebihkan,didramatisasi, di-
generalisasi, disimplifikasi,kadang-kadang juga meng
gunakan analogi yang tidak tepat.
Say-a melihat bahwa keinginan demikian kurang tepat, "salah dan tidak masuk SBY
kurang Iogis, dan kurang reatistis. aka„
Kita sebaiknya percaya bahwa DPR mampu menga "ragu-ragu dengan ke AWM
komodasikan keinginan reformasi. mampuan DPR
Pak Amien bilang, sebagai partai yang hanya dapat 9% "tidak balk" ABT
kurang pantaslah terlalu menonjolkan diri.
Tapi yang jelas, ini bukan OTh (organisasi tar.pa bentuk) "liar" MD
Untuk rnenghindari penggunaan fasilitas negara, mereka "penyelewengan" AT
akan mengambil cuti.
atatan:
EY= Slamet Effendy Yusuf AWM= Abdul Wahab Makodongan
iKS= Ginandjar Kartasasmita ABT= Abdiilah nobs
IF= Malik Fajar MD= Marzuki Darusman
BY= Susilo Bambang Yudhoyono AT= Akbar Tarijung
)ati tabel 4.18 di atas dapat diperoleh pemahaman bahwa ekspresi eufemistik yang diha-
ilkan merupakan ekspresi yang sudah muncul pada eca. Orde Baru. Fenomena yang me-
arik dari tabel 4.18 di atas adalah keberadaan ekspresi eufemistik yang dimunculkan lada
era pasca-Orde Baru sebagian besar (89%) dihasilkan pleb para elite politik yang ernah
menjadi "orang-orang" penting pada era pemerintahan Orba. Sebaliknya, hanya ebagaian
kecil saja ekspresi eufemistik yang dipilih oleh orang-orang di luar Orde Baru.
3 1 1
.1.2.2 Kata-Kata Formal dan Informal yang Mencolok
Pertanyaan yang dikemukakan Fairclough (1989:111) berhubungan dengan persoan
ini adalah "adakah kata-kata formal dan informal yang mencolok sekali". Kedua ujud
pilihan kata itu berada di bawah payung persoalan formalitas (formality), yakni ;buah
kepemilikan yang lazim dalam banyak masyarakat, baik pada tingkat praksis mum
wacana, yang berkenaan dengan prestise sosial yang tinggi dan akses yang terbatas
airclough, 1989: 65). Dalam persoalan ini yang terjadi adalah tuntutan formalitas dalam
;buah relasi sosial. Hal ini jelas dalam tampak dalam kosakata yang secara konsisten
Tjadi pilihan yang fakultatif dari pilihan yang lebih formal sampai pilihan yang tidak
)rmal dari alternatif yang tersedia. Formalitas juga berkenaan dengan ekspresi kesanman
yang menyangkut persoalan saling menjaga muka (face) antarpartisipan, saling Lenjaga
status dan posisi partisipan.
Kata-Kata Formal
Wacana politik Indonesia pada era pasca-Orde Baru banyak memanfaatkan aspek
)rmalitas itu, khususnya dalam bentuk-bentuk linguistiknya. Pada tataran
kosakata, Lisalnya, wacana politik banyak mendayagunakan istilah-istilah asing.
Keberadaan islah-istilah itu dapat dipandang sebagai pemarkah identitas sosial
penuturnya. Beberapa Lite politik sering memilih kosakata tertentu, seperti dapat
disimak pada kutipan (56) erikut.
.utipan (56):
SE \': Dalam memandang hakikat partai, kita melihat partai ini harus menjadi partainya rakyat, yang ingin menjadi the rulling party bukan seperti yang lama rules party, partainya penguasa di mana Golkar hanya menjadi mesin pengumpul suara yang digunakan oleh penguasa sebagai alat legitimasi. Sekarang ini tidak. [Data 33.A.2(3)]
us. Pertanyaan yang diajukan wartawan adalah masalah tanggapan AS terhadap pelaksa-
312
ttipan (54) di atas dicuplik dari ujaran lisan Slamet Effendy Yusuf, seorang elite PG
lam wawancara kepada sejumlah wartawan media massa. Pertanyaan yang dimuncul-
n wartawan adalah tentang bagaimana tanggapan elite PG terhadap adanya tuduhan
ttus quo pada PG. Dalam wawancara itu, muncul istilah-istilah yang dapat menunjukn
markah identitas sosial penuturnya, seperti: bottom up, top down, a priori, paradig-
i, disconnecting, common enemy, partisanship, civil war, pemerintahan yang totaliter,
'nsense, dan visi maupun mini. Kehadiran kosakata asing itu, dalam pandangan peneliti
alah bagian dari strategi penuturnya untuk menunjukkan autoritas dan superioritas PG
hadapan petuturnya, yang dalam hal ini adalah masyarakat
Indonesia. Dengan demiki , kosakata as ing yang dipi l ih selain
berperan sebagai "wadah informasi" juga yang le -h pent ing adalah
berperan sebagai "pengontrol" terhadap petutur serta sebagai
"penonident i tas" bagi penuturnya.
Hal senada dapat diperiksa pada ujaran lisan seorang menteri dalam bidang ekogni
pada Kabinet Reformasi Pembangunan ketika menjawab pertanyaan dari sejumlah
artawan. Pada wawancara itu banyak dimunculkan istilah-istilah yang bermarkah for-
al, khususnya dari bidang ekonomi sesuai dengan bidang garapan menteri di alas. Per-
aikani kutipan (57) berikut ini.
utipan (57):
AS: [...1 Bahkan„ pertumbuhan sempat mencapai 8,3 persen pada akhir pelita VI. Namutt, ini tidak diikuti pemerataan. Teori trickle down effect yang diagung-agungkan itu tidak terbukti. Yang terjadi justsu kesenjangan semakin lebar, baik antarwiiayah, sektor, maupun pelaku ekonomi. Hasil-hasil petnbangtman, sebagaimana kita lihat, hanya dinikmati scbagian kecil masyarakat [Data 39.A.2(4)]
utipan (57) dicuplik dari scbagian teks wawancara Adi Sasorio dengan wartawan Jawa
313 -
Ian ekonomi kerakyatan yang menimbulkan pro dan kontra di masyarakat. Dalam kupan
(57) AS memunculkan kata trickle down effect, nama sebuah teori ekonomi yang pilih
pemerintah Orde Baru untuk mengembangan sistem perekonomian nasional. Katatta
formal lain yang muncul dalam teks itu itu adalahpolitical will, resource based eco)my,
regulasi yang memihak rakyat, hollow middle, paradigma lama, paradigma baru, rcses,
ekonomi partisipatif, dan dualistik struktur ekonomi nasional. Pilihan kosakata ;ing ini
dapat menunjukkan keberadaan autoritas dan superioritas penuturnya. Dan kaanata
kotnunikasi politik, pilihan kata-kata formal itu dapat "mempengaruhi", "meng-
"mempesonakan", bahkan "membingungkan" penerimanya. Jika kata-kata
itimidasi", perti itu dapat membingungkan penerimanya, misalnya, AS sebagai pemegang jabatan
ia harus berpikir bahwa pars penerima teks itu bukan hanya sebagian masyarakat ing
terbatas, tetapi juga sebagian masyarakat lain yang juga menjadi "penikmat teks ,Tara
tidak langsung". Istilah "penikmat teks secara tidak langsung" digunakan dalam
z,nelitian ini sebagai adaptasi dart konsep "pembaca tidak langsung" (implied reader)
an Leech & Short (1981). Yang dimaksud dengan "penikmat teks tidak langsung" adath
penikmat hipotetis yang bersama-sama dengan penutur atau penghasil teks politik ang
tidak hanya memiliki pengetahuan latar belakang yang sama, tetapi juga memiliki
merangkat presuposisi, simpati, dan standar yang sama apakah sesuatu itu menyenang-
an atau tidak, baik atau jelek, serta benar atau salah. Dengan memperhatikan "penikmat
tidak langsung" itu, pengaruh yang mempesonakan atau membingkan dart sebuah
kemungkinan kecil teijadi.
Agak berbeda dengan dua kutipan di atas, berikut ini disajikan contoh teks dart
.bdurrahman Wahid, seorang elit partai PKB yang sekarang menduduki lembaga kepre-
314
lenan Indonesia. Ciri formal tidak ditunjukkan dan berbagai kosakata bahasa
Inggris, api dan pilihan kata atau ungkapan bahasa Arab_ Hal itu dapat diperhatikan
pada kuan (58) berikut.
Ltipan (58):
GD: Tapi, yang penting saya telah berusaha melakukan yang terbaik_ Di dalam hadist nabi diajarkan bahwa niat baik seorang muslim lebih baik daripada amal perbuatannya. Niyyzuttul mukmini Idiairun min amalihi. Jack, kalau apa yang saya lakukan itu ternyata gagal, mestinya tidak hanya dilihat dan kegagalan itu. Tapi, juga harus diukur dan niatnya. [Data 35.A.2(5)]
itipan (58) di atas dicuplik dari hasil wawancara lisan antara Gus Dur dengan sejumiah
trtawan media massa. Kalimat yang dicetak miring di atas dapat memuncukan kesan to
nada tuturan yang formal meskipun sebagian besar masyarakat Indonesia beragatna
am. Dalam pandangan GD, apa yang diiakukannya bukanlah ambisi pribadi atau am-
lembaga yang dipimpinnya, tetapi apa yang dilakukan GD memiliki landasan hukum
rmal, yakni hadist nabi. Dalam wacana yang lengkap GD tidak terlalu banyak menda-
gunakan politik formalitas dalam bahasa Inggris. Hampir semua pilihan bahasa yang la
tidak menunjukkan sifat formal. Hanya satu kata formal yang muncul, yakni kata
shuffle, sebaliknya GD banyak metnunculkan kata-kata informal yang akan dipaparkan
Ida subbab berikut.
Fenomena seperti kutipan (56), (57), dan (58) di atas banyak terjadi dalam wacana
Aitik Indonesia. Pada tabel 4.19 berikut dipaparkan beberapa pilihan leksikal yang da-
rt pemarkah aspek formalitas penggunaan bahasa.
abel 4.19 Daftar Kosakata Formal sari Beberapa Partai Politik
NTO PARTAI KOSAKATA FORMAL NO PARTAI KOSAKATA FORMAL
I PAY moral force
political
force
9 PCD national building
character building
315
mjutan Tabel 4.19
40 PA_RTM KOSAKATA FORMAL NO PARTAI KOSAKATA FORMAL
■ KAMI ekonomi nba
konglomeratisme
sekularisme
liberalisme
kapitalisme
10 PUI pengakuan pluralitas
hasrat demokratisasi
kedaulatan Allah
constitutional
reform judicial
review PSII amar makruf nahi munkar
masyarakat jahiliah
masyarakat madani
11 PN1-FM kemiskinan
struktural
kemiskinan absolut
kemiskinan spriritual PNI nepotis
kapitalis
konglomeratif
pendidikan yang demokratis
12 PPP amar makruf nahi munkar
tindakan walk-out
krisis akhlak
era globalisasi
PAN rezim orba yang feodalistis
demokratisasi bangsa
semangat pluralisme budaya
rekonsiliasi bangsa
masyarakat madani good
gevernance character &
nation building erosi
nasionalisme erosi
patriotisme
13 PNBI subordinat kapitalisme
intemasional
posisi strategis-dialektis
aktualicasi jiwa kejuangan
revolusi moral dan mental
era peperangan budaya
aktualisasi kesadaran bela
negara
membangun orde rakyat
kesabaran revol'isioner
antitesis kapitalisme
intemasional
strategi global budaya
PKD sumber
moralitas
equality
empowerment
justice peace
14 PBB anti monolitik
reformasi
konstitusi sharing
yang adil ijtihad
politik status quo
lama status quo
barn r PG paradigms baru
mekanisme bottom
up kristalisasi
monopoli interpretasi
kesetaraan gender
masyarakat madani
15 PN1-MM anti konglomerasi
American minded anti
federal state
marhaenisme is
Pancasila
I PKB rule of law
judicial review
constitutional
reform transformasi
masyarakat madani
rekonsiliasi nasional
politik akhlakul karimah
16 PK konsolidasi nasional
recovery krisis ekonomi
rckonsiruksi masa depan
masyarakat madani
ambivalensi sikap
marginalisasi peran
agama amar makruf nahi
munkar redefinisi doktrin
ABRI
316
njutan Tabel 4.19
7 PART sosial demokrast yang religius
oligarkis dan monolit
demoralisasi
dehumanisasi
dekulturasi
destabilisasi
eksploitasi kapital
manifesto politik ABRI
restrukturisasi ekonomi
demokratisasi komprehensif
pragmatisme-materialisme
negara sebagai kontrak
sosial national state system
judicial review
rekonsolidasi otoritarian
moral force kepoliticalforce
cita-cita the founding fathers
menegakkan rule of law
constitutional reform
centre capital ke grass capi-
tal
centre economy ke grass eco-
nomy
18 PK totalitarisme
absolutisme sentralisme
law enforcement
instabilitas di bidang
politik disintegrasi
bangsa Habibie
connection
ICMI connection
19 IPKI krisis
kebangsaan neo-
Orla neo-Orba
Dart paparan di atas, partai-partai politik peserta pemilu banyak mendayagunakan
litik formalitas dalam menyampaikan program-programnya. Satu catatan penting dapat
cemukakan bahwa partai-partai politik yang relatif ba' cenderung lebih mendayagu.
kan politik formalitas dalam teks-teks kampanyenya. PARI, misalnya, melalui ketua
iumnya banyak mendayagunakan kosakata bermarkah formal dalam bidang sosial poik
dan sosial ekonomi. Hal yang sama jugs dilakukan oleh beberapa partai politik lain ng
relatif baru, seperti PNBI, PUDI, PK, dan sebagainya. Sementara itu partai-partai na,
seperti PPP, PG, dan PDI-P, tidak begitu banyak memanfaatkan politik formalitas.
ogram-program partai disampaikan melalui kosakata yang bet nada "biasa-biasa" atau
atar-datar" saja yang sudah akrab dengan persepsi sebagian besar masyarakat
Indonesia. ereka itu lebih banyak menggunakan kosakata sehari-hari (colloquial).
317
Kosakata-kosakata di atas dalam pandangan sebagian masyarakat Indonesia mung-
kin saja tidak bermarkah formal. Akan tetapi, seorang elite politik hams berpikir bahwa
keseluruhan mitra tutur dalam komunikasi politik adalah keseluruhan masyarakat Indo-
nesia yang memiliki keberagaman latar belakang kemampuan, baik dalam memahami
persoalan sosial-ekonomi, sosial-politik, dan sosial-budaya maupun kemampuan dalam
Denguasaan bahasa Indonesia, khususnya bahasa Indonesia ragam politik dan birokrasi.
Mitra tutur dalam komunikasi politik bukan hanya masyarakat yang ada di kota-kota be-
>ar yang amat akrab dengan pilihan kosakata-kosakata politik di atas, tetapi juga yang
ter3ebar ke seluruh penjuru tanah air yang tidak begitu mengetahui dan memahami
kosakaa-kosakata itu.
Ditinjau dari sudut petutur, pilihan terhadap berbagai kosakata yang bermarkah for-
nal di atas akan berpengaruh terhadap nada percakapan atau nada tuturan yang juga for-
nal. Sebuah nada tuturan yang formal akan menciptakan sebuah jarak sosial antara penu-
ur (elite politik) dengan petutur (masyarakat luas). Terciptanya sebuah jarak sosial ber-
mplikasi terhadap ketidakidealan sebuah komunikasi politik, yakni kesamaan pemahamm
antara apa yang disampaikan oleh elite politik dengan apa yang dipahami oleh masyaakat
luas. Ini sesuai dengan rumusan Leech & Short (1981:314) bahwa sebuah gaya fornal
diasosiasikan dengan "jaralc" dari komunikasi publik yang serius. Pilihan bentuk-benuk
formal itu dapat dipandang sebagai ketidaktepatan atau ketidakcocokan dalam me-
iyesuaikan dengan konteks situasi dan konteks budaya yang melingkupinya.
r. Data-Rata Informal
Selain mendayagunakan politik formalitas yang berkenaan dengan identitas status
Ian posisi subjek, wacana politik Indonesia juga mendayagunakan politik informalitas
318
yang memiliki makna sosial yang beragam. Dan pilihan kosakata yang ada, pilihan
kata dari bahasa daerah Jawa begitu mendominasi, baik dan elite politik berlatar
belakang etnis sulcu Jawa maupun yang non-Jawa.
Politik informalitas didayagunakan untuk berbagai tujuan_ Pada kasus tertentu, po-
litik informalitas dipilih sebagai sarana untuk memberikan olok-olok kepada kebijakan
tertentu. Dalam kasus seperti itu, banyak muncul kosakata bermarkah informal meskipun
topik yang dibahas tergolong persoalan yang cukup berat, seperti kutipan (59) berikut.
Kutipan (59):
FB: Karen itu, jangan-jangan privatisasi ini untuk mendukung pemenangan Golkar. lni jangan-jangan. Dulu Tanri Abeng, dalam kasus 2 persen untuk Golkar, mem-bantah BUMN tidak memberikan dana politik. Memapg, bukan dia yang membe-rikan. Kekuasaan itu memang begitu, cenderung otoriter. Mentang-mentang ber-kuasa, lalu bertindak arogan. Mestinya ingat, mandat dia sebagai menteri sangat ter-batas. Jangan karena jadi menteri lain memaksakan kehendak. [Data 15.A.2(6)]
Kutipan (59) di arcs dicuplik dari ujaran lisan pimpinan partai berlambang matahari ber-
sinar lima betas dalam wawancara dengan sejumlah media cetak. Topik pertanyaan yang
diajukan kepada Faisal Basri itu adalah sekitar persoalan privatisasi BUMN yang sedang
menjadi wacana perdebatan politik Indonesia. Privatisasi itu menjadi persoalan karena
privatisasi yang dilakukan oleh Menteri Negara Pembinaan BUMN menimbulkan kesan
di masyarakat hanYa menjual aset-aset BUMN tanpa adanya perencanaan yang matang.
Pilihan kata-kata informal ditunjukkan oleh pilihan kosakata yang berasal Bari bahasa
daerah dan kosakata sehari-hari, seperti jangan-jangan dan mentang-mentang. Dalam
teks yang lengkap beberapa kosakata Jawa, seperti bolong juga muncul. Kehadiran kata-
kata bermarkah informal di atas cukup mempengaruhi keinformalan wacana secara kese-
luruhan meskipun pada bagian wacana tertentu pendayagunakan formalitas juga muncul,
seperti dapat diperhatikan pada kutipan (60) berikut.
3 1 9
:utipan (60):
FB: Bikinlah blue print privatisasi yang benar. Bukan banya mengejar target kenangan melulu. Privatisasi seharusnya disiapkan dengan baik, can momentum yang baik se-hingga mendapat harga yang baik pula. Dengan perencanaan yang baik, privatisasi bisa memperbailci strulctur pasar yang pada gilirannya akan memberi kontribusi bagi penyelesaian kemelut ekonomi. Jangan asal jual dan ngotot-ngototan mencapai target keuangan begitu. [Data 33.A.1(54)]
endayagunaan formalitas dalam kutipan (60) di atas tampak dari pilihan leksikal dan
alimatnya yang mengakibatkan terbentuknya formalisme retoris pada sebagian teks.
tetapi, secara keseluruhan nada informal yang muncul dalam teks terasa lebih do-
iinan. Kosakata-kosakata lain bermarkah informal yang hadir dalam wacana itu antara tin
jual murakinurah dan obral, banyak &Wong, harga obral, jangan sok kuasa dan
roganiab, hambur-hambur uang, dan jangan asal jual dan ngotot-ngototan. Politik
iformalitas juga digunakan oleh para elite politik untuk memberikan kritilcan, penilaian,
an bahkan "relecehan" terhadap realitas yang amat tidak sesuai dengan tatanan normatif
ang ada. Realitas yang bertentangan dengan norma-norma yang ada itu sudah berlangung
lama sehingga amat mengganggu rasa keadilan masyarakat. Meskipun kosakata ang
dipilih bermarkah informal, nada pengucapan yang muncul adalah nada sarkasme.
Pada wacana lain, Faisal Basri j uga mendayagunakan politik informalitas
dengan nenggunakan piranti modus kalimat, kosakata dan ragam kalimat bahasa
daerah, dan artikel tertentu. Piranti modus kalimat yang dimaksud adalah
pendayagunaan kalimat anya untuk memberikan jawaban terhadap pertanyaan mitra
bicara. Hal itu dapat diperiatikan pada kutipan (61) berikut.
(.utipan (61):
FB: Lain, apa ekonomi kerakyatan itu? Misalnya, kita impor sapi terus kita berikan ke koperasi, begitu? Konsepnya dung yang jelas. Jangan reaksioner. Wong DPR-nya saja seperti itu. Wajar kb.awatir ada Sasonomics.[Data 15.A.2(7)]
320
ada pengucapan yang muncul dan kutipan (61) adalah nada kepercakapanan (conversa-
malization), yaitu suatu kecenderungan perubahan ke arah informalitas bahasa.
Berbaii piranti teks yang ada mendukung terbentuknya kesan informalitas itu.
Senada dengan kutipan (59) dan (61) pendayagunaan informalitas banyak dilakuto
oleh Gus Dur, elite politik yang sekarang menjadi orang nomor satu di Indonesia. lite
politik yang juga. deklarator PKB ini memanfaatkan politik informalitas seperti yang
rdapat dalam kutipan (62) berikut.
utipan (62):
GD: Ya, biarkan saja. Saya tahu kalau saya dikatakan gombal dan mencla-mencle. Tapi,
yang penting saya telah berusaha melakukan yang terbaik....[Data 35.A.1(8)].
.utipan (62) di atas dicuplik dari ujaran lisan Gus Dur ketika menjawab pertanyaan war-
swan tentang perilakunya yang kontroversial dengan sering mendatangi mantan Presiden
oeharto padahal opini publik yang terbentuk menghendaki untuk mengasiugkan mantan
enguasa Orde Baru itu. Kehadiran dua kosakata bahasa Jawa pasaran, yakni gombal dan
iencla-mencle amat mempengaruhi karakteristik wacana tersebut menjadi amat infornal.
Kedua kosakata itu dipilih untuk menunjukkan sikap acuh tak acuh Gus Dur atas erbagai
kritikan, tudingan, dan penilaian masyarakat umum atas perilaku Gus Dur yang ering
menentang anus. Kehadiran kosakata "pasaran" itu dapat memerankan fungsi "petonjol
identitas" Gus Dur, yakni sikapnya yang_cenderung_dekonstruktif terhadap berba;ai
realitas yang ada. Gus Dur telah banyak melakukan dekonstruksi terhadap berbagai trus
besar pandangan yang sedang berlaku di masyarakat. Dalam perkembangan selanutnya,
gaya Gus Dur yang dekonstruktif yang sudah muncul ketika yang bersangkutan nenjadi
Ketua NU itu secara konsisten muncul dalam teks-teks yang dihasilkan Gus Dur.
Selanjutnya, perhatikan kutipan (63) berikut.
321
.utipan (63):
GD: Wong mereka tidak tahu kok. Dijelaskan bagaimana lagi. Sudah saya katakan tadi, secara riil Pak Harto memang masih punya kekuasaan. Sehingga saya berpandangan bahwa Pak Harto perlu diajak rembukan. Kalau orang lain menganggapnya tidak punya pengaruh dan kekuasaan lagi, ya terserah. Saya tidak akan memaksa mereka punya pemahaman seperti saya. Saya juga tidak akan memaksa mereka agar menga-jak Pak Harto rembukan. [Data 35.A.2(9)]
Ialam kutipan (63) pilihan kata wong, kok, rembukan, dan ya terserah
mempengaruhi ;rbentuknya nada informal pada kutipan teks tersebut. Sebagai
perbandingan, dalam wama yang lain, sebaliknya, politik formalitas juga digunalcan
oleh Gus Dur dalam mengoientari peristiwa tragedi kerusuhan Mei 1998. Hal itu dapat
diperhatikan pada kutipan i4) berikut.
.utipan (64):
GD: Pemerintah sekarang behun menunjuldcan sikap yang serius dalam menangani kasus kerusuhan Mei lalu. Sekalipun pemerintah sudah membentuk tim untuk mengusut kasus itu, balikan telah membentuk tim pencari fakta, namun belum menghasilkan buah yang memuaskan. Kita masih menunggu basil kerja tim itu. Sementara itu, masyarakat intemasional berharap agar inasalah ini segera. tuntas. Kalau penanganan kasus itu tidak tuntas, pemerintah akan tents dikecam. [Data 35.A.2(55)]
.utipan (64) dicuplik dari jawaban lisan Gus Dur terhadap pertanyaan dari sejumlah war-
twan media cetak. Dalam kutipan (64) Gus Dui• amat serius dan sungguh-sungguh dalam
tembicarakan tragedi kemanusiaan yang menimpa suku Tiong Hoa di Indonesia yang
iemperoleh sorotan dunia intemasional itu. Akibat kerusuhan itu, Indonesia memperoleh
redikat bangsa pelanggar HAM. Oleh karena itu, pilihan kosakata yang muncul bermarah
formal. Pilihan kata yang bermarkah informal tidak muncul dalam wacana itu. Nada ang
dimunculkan dalam teks itu adalali nada formalisme retoris.
Beberapa elit politik lain, seperti Dimyati Hartono, Sri Sultan HE X, dan Amien
.ais, Akbar Tanjung, dan Abdillah Toha juga mendayagunakan politik informalitas untuk
ujuan-tujuan tertentu. Pendayagunaan pilihan kata bermarkah informal umumnya dilaku-
322
m dalam wawancara dengan sejumlah wartawan media massa. Dalam peristiwa
komukatif yang lebih resmi, pilihan kata bermarkah informal jarang dilakukan.
Perhatikan itipan (65) berikut.
utipan (65):
DH: Mega talon presiden PDI Perjuangan adalah harga mati. Tidak bisa ditawar lagi
karena menjadi keputusan kongres. Kita berjuang untuk itu. Tidak ada altematif. Ke-
putusan itu hanya bisa diubah oleh kongres. Kita biasakan menaati aturan. Apa pun
yang menjadi keputusan kongres, we fight for it! Kita paling konsisten dalam pene-
gakan hukum. Orang lain baru ngomong, kita sudah jalan. Orang lain bersem-
boyan, kita sudah digebukin. [Data 11.A.20
utipan (65) ini dicuplik dari wawacara Dimyati Hartong) dengan sejumlah wartawan me-
is Topik yang diangkat adalah isu pencalonan Megawati sebagai Presiden Indo-
esia ke-4 yang sudah diputuskan oleh konggres PDI Perjuangan. Dalam kutipan (65) itu
111 mendayagunakan kosakata bahasa Jawa yang bercampur dengan dialek Betawi. Pilih-
lkosakata ngomong dan digebukin dalam paraton/paragraf itu memberikan penegasan 3.-
hadap paparan sebelumnya bahwa pencalonan Megawati sebagai presiden merupakan e-
putusan bulat dan tidak dapat ditawar-tawar lagi. Dalam kasus ini, terdapat fenomena ang
unik, yakni mendayagunakan kosakata kolokial untuk mencapai tujuan yang serius ntuk
mendukung pilihan kosakata sebelumnya yang menggunakan bentukan yang formal an
ekspresi bahasa Inggris.
Dalam teks lain yang berisi topik pencalonan Megawati sebagai presiden, DH ti-
tak sekali pun mendayagunakan politik informalitas_ Sebaliknya, DH hanya mendaya-
/ ;unak,an politik formalitas melalui pilihan kata dan kalimat tertentu untuk mencapai efek
Ian tujuan yang lebih serius, yakni munculnya nada formal dalam teks yang
dihasilkankya. Nada formal dapat menimbulkan kesan "imperatif' pada tanggapan
petuturnya. Seanjutnya perhatikan kutipan (66) berikut.
323
itipan (66):
HB: Ya, dia ngomong Ulan saya jadi calon presiden dari Golkar. Memang tidak saya te-gaskan, kok. Saya bersikap ngapain hams saya tegaskan. Pemilu saja belum berlang-song Partai politik joga belum ada kepastian konstelasi politiknya. Kita ini kan ber-main politik. Lha wong pemilu saja belum. [Data 49.A.2(11)]
itipan (66) di atas dicuplik clari hasil wawancara wartawan media massa dengan Sri
ltan Hamengku Buwono (HB) X. Topik yang ditanyakan adalah isu seputar pencalon-
rya sebagai caion presiden oleh Partai Golongan Karya. Dalam cuplikan teks di atas, 3
mendayagunakan kata-kata bahasa Jawa dan dialek Betawi, seperti ngomong, kok,
vain, dan wong yang memerankan penonjol identitas dan penghasil teksnya. Dalam ,s-
teks lain, BB lebih cenderung mendayagunakan politik informalitas ini.
Pendayagunaan politik informalitas dalam wacana politik Indonesia juga
muncul [am ujaran Amien Rais, seorang ketua umum partai yang mendapat predikat
"lokomotif ormasi". Perhatikan kutipan (67) berikut.
itipan (67):
AR [...] Kemudian saya hams adil dalam hal ini bahwa Mister Habibie says kira sudah melakukan beberapa hal yang cukup terpuji, yaitu menjamin kebebasan pers, mem-buka kebebasan mimhar, dan juga melepaskan sejumlah tahanan politik itu saya kira perlu kita anggap sebagai kredit poin bagi Mister Habibie. Tetapi lebih daripada itu, sejumlah tugas yang sangat amat penting buat kesejahtetaan bangsa itu belum diu- thik-uthik, belum disinggung sama Mister Habibie 15.A.2(12)]
itipan (67) di atas dicuplik dari pidato pembukaan Ketua Umum Partai Amanat Nasial
dalam acara debat calon presiden yang diadakan oleh Universitas Indonesia dan dita-
igkan langsung oleh media televisi. Dalam teks itu, AR mendayagunakan kosakata
rasa Jawa diuddk-uthik 'diseniuh dan dikeijakan'. Pilihan kosakata itu selain sebagai
dah informasi juga berfungsi sebagai penonjol identitas. Pilihan kosakata diuthikiik
lebih dimungkinkan karena pertimbangan ketepatan representasi kata terhadap litas
yang dimaksud_ Kata "disinggung" dalam bahasa Indonesia yang digunakan untuk
324
','njelaskan makna diuthik-uthik tidak sepenuhnya representatif terhadap konsep yang
naksudkan. Pilihan kosakata itu sekaligus j uga sebagai penonjol identitas penghasil
akan latar belakang dan intensifnya dalam kehidupan dengan kebudayaan
etniknya. nutur yang berbahasa pertama bahasa daerah sering mengalami kesulitan
mencari ilah untuk sebuah konsep tertentu dalam bahasa Indonesia. Perhatikan
kutipan (68) rikut.
ttipan (68):
AR: Secara pribadi saya tak punya motivasi tinggi untuk memperebutkan kursi presiden. Berhubung PAN adalah terkecil dari lima besar. Namun, pemilihan presiden di MPR itu masih memungkinkan saya untuk mengikuti proses itu. Jadi, sekarang saya stel kendho saja. [Data 15.A.2(13)]
itipan (68) dicuplik dari basil wawancara media massa dengan Amien Rais. Topik yang
tngkat adalah bagaimana sikap Amien Rais tentang ambisinya menjadi Presiden RI de-
m hasil pemilu yang menempatkan PAN di urutan kelima dari lima besar partai peme-
rig pemilu. Dalam teks itu, AR mendayagunakan ungkapan Jawa, yakni stel kendho
tuk menggantikan ungkapan bahasa Indonesia "menahan diri". Perhatikan juga kutipan
)) berikut.
itipan (69):
AR: Tokoh luar itu lucu bin ajaib. Karena orang yang tidak pemah kelihatan, tidak ikut pemilu, tidak pemah punya konstituen tiba-tiba menjadi presiden. Itu ketemu pirung
perkara. [Data 15.A.2(14)]
tlam kutipan (69) AR mendayagunakan ekspresi informalitas, seperti lucu bin ajaib
n ketemu pirang perkara yang membuat teks secara keseluruhan memiliki nada in-
rmal meskipun pokok persoalan yang dibicarakan cukup serius. Ungkapan ketemu pi-
ng perkara dipilih untuk menggantikan konsep 'tidak beralasan dan tidak tepat'.
igkapan dari Amien Rais yang mendayagunakan politik informalitas yang muncul da-
325
lam teks-teks lain secara konsisten senada dengan munculnya gaya dekonstruksi Gus
Dur di atas. Beberapa ungkapan AR dalam memanfaatkan politik informalitas dapat
diperhatikan pada paparan berikut.
Golkar makin remuk, mrotoli dari waktu ke waktu
Jangan sampai PAN menjadi kancil pilek
Birokrasi kita perlu adanya sodhokan moral
Jangan sampai terjadi, apakah politik dagang sapi, dagang kuda, dagang kambing,
atau dagang kucing.
Dalam wacana politik Indonesia era pasca-Orde Baru, terdapat fenomena yang cu-
kup unik berkaitan dengan pendayagunaan informalitas di atas, yakni munculnya fenome-
na camper kode (code-mixing) bahasa Jawa dalam ujaran lisan yang dasar bahasanya (la-
nguage base) adalah bahasa Indonesia dalam teks-teks politik yang dihasilkan oleh elite
politik non-Jawa. Perhatikan kutipan (70) berikut:
Kutipan (70):
AN: You saja tidak berani menyimpan hang kok mengharap orang Londo mau masuk ke sini. Pada zaman sekarang ini, orang Jawa bilang zaman edan. Bagaimana tidak, penembakan mahasiswa, kerusuhan Ketapang, bagaimana penyelesaiannya? Apa you bangga mempunyai bangsa demikian? [Data 49.A.2(15)]
Kutipan (70) di atas dicuplik dari ujaran lisan seorang pengamat ekonomi yang sekarang
.menjabat sebagai salah seorang pimpinan bank sentral. Pengamat ekonomi tersebut me-
miliki latar belakang etnis Barak atau Tapanuli. Dalam kutipan (70) di atas dua pilihan
kosakata bermarkah informalitas, yakni Londo dan edan adalah kosakata yang sering
muncul dalam komunikasi yang berpartisipan elite politik yang berlatar belakang Jawa.
Dalam komunikasi antarpenutur bahasa Jawa sering muncul pilihan kosakata wong
Londo 'orang asingt dan jaman edan 'zaman yang penuh dengan kegilaan'. Akrabnya
ungkapan wong Londo danjaman edan merupakan wuj ud tidak terputusnya masyarakat
Jawa dari sejarah masa lalunya. Fenomena itu juga dapat memberikan gambaran tentang
326
egitu kentalnya ungkapan Jawa dalam mempengaruhi penutur yang non-Jawa. Disukai
tau tidak, diakui atau tidak, disadari atau tidak, kebudayan Jawa cukup determinatif ter-
adap kebudayaan lainnya. Hal senada juga ditemukan pada wacana lain, seperti kutipan
71) berikut.
.utipan (71):
SH: Tidak. Mereka mengerti kok. Apalagi sekarang mereka tahu bahwa pemilu berjalan
jurdil dan itu diakui. Itu artinya ekonomi kita punya landasan untuk berkembang
terus. Semua menyadari dan menurut saya mengapresiasi kok. Memang, ada tahap
yang saya agak ngenes menghadapi kesalahpengertian orang....[Data 49.A.1(16)]
utipan (71) di atas dicuplik dari ujaran lisan Menteri Dalam Negeri dalam wawancara
engan sejumlah wartawan media massa. Kehadiran kosakata bahasa Jawa "pasaran",
a.kni kata ngenes menjadikan gejala pendayagunaan itu menjadi fenomena yang unik.
enada dengan kutipan sebelumnya, elite politik dalam kutipan (71) tersebut memiliki
Aar belakang etnik yang non-Jawa, yakni etnik Melayu-Riau.
Pendayagunaan politik informalitas seperti terdapat pada kutipan di atas cukup ba-
yak muncul dalam wacana politik Indonesia meskipun tidak seintensif politik formal-
asnya. Ekspresi informal di atas cukup memberikan nuansa pada tingkat keinformalan
'.;buah teks secara keseluruhan. Pendayagunaan kosakata bermarkah informal banyak
iuncul dalam teks-teks hasil wawancara dan sedikit sekali muncul dalam teks-teks kam-
anye partai politik. Dengan mendayagunakan politik informalitas ini kesan yang dimun-
ulkan adalah kesan "intim" antara penutur dengan petuturnya.
.1.3 Nilai Ekspresif
Nilai ekspresif, mengikuti pandangan Fairclough (1989:112) berisi "jejak" (a trot?)
dan "isyarat" (a cue) evaluasi dan penghasil teks. Nilai ekspresif berhubungan dengan
lentitas subjek dan identitas sosial yang selanjutnya berhubungan dengan nilai-nilai sub-
327
;ktif. Berkaitan dengan nilai ekspresif tersebut, ada dua macam evaluasi yang dikemu-
akan, yakni (1) evaluasi positif dan (2) evaluasi negatif
Pada paparan sebelumnya tentang proses leksikal, masalah evaluasi positif dan
neatif Bari penghasil teks terhadap realitas sosial-politik, sosial-ekonomi, dan sosial-
budaa secara tidak langsung sudah terbahas. Hal ini dapat diperhatikan pada tabel 4.7,
4.8, 9, 4.10, 4.11, dan 4.12. Dalam tabel-tabel itu secara langsung dibubuhkan tanda
positif 1-) dan negatif (-) pada setiap proses leksikal yang digunakan pada era Orde
Baru dan asca-Orde Baru meskipun tidak semua kata yang dipilih oleh penghasil teks
selalu megandung evaluasi positif atau negatif itu.
.1.3.1 Evaluasi Positif
Dalam wacana politik Indonesia era pasca-Orde Baru, muncul banyak kosakata
ntuk mengekspresikan "evalnasi positif' itu, baik ditinjau dari sudut penghasil wacana,
akni pars elite politik maupun dari sudut penikmat atau penerima wacana, yakni masya-
akat pada umumnya. Secara historis ada dua jenis evaluasi positif, yakni (1) evaluasi
ositif yang sudah muncul sejak era Orde Baru dan (2) evalnasi positif bare muncul sejak
ra pasca-Orde Baru. Evaluasi yang kedua ini pada umumnya adalah jenis kosakata yang
adir untuk mengisi wacana tanding (counter discourse) terhadap wacana yang baku pada
;ra sebelumnya.
Kosakata-kosakata "lama" yang mengekspresikan evaluasi positif terhadap realitas
,osial-ekonomi, sosial-politik, dan sosial-budaya pada zaman Orde Baru hadir kembali
Liam jumlah yang cukup banyak meskipun secara kualitatif kehadiran kata itu tidak
)egitu memberikan warna terhadap anus besar wacana politik pada era pasca-Orde Baru.
meskipun sama, kosakata itu ditafsirkan dan dimaknai secara kontekstual sesuai dengan
328
mangat zaman baru yang memilih strategi "menidak" dengan era Orde Baru, yakni era
sca-Orde Baru. Pilihan ungkapan seperti ekonomi yang berorientasi kepada
keadilan sial (social justice), misalnya, sudah lama didengung-dengungkan sejak era
pemeitahan mantan Presiden Soeharto. Kosakata itu kemudian memperoleh
"revitalisasi" da era pasca-Orde Ban' dengan memberikan penilaian terhadap 'Mar
belakang praktik onomi Orde Baru yang dinilai tidak mencerminkan keadilan sosial.
Oleh karena itu, .onomi yang berorientasi kepada keadilan sosial hams dimaknai
sebagai 'ekonomi ng benar-benar mencerminkan keadilan sosial yang hakiki dengan
meninggalkan kebiaan-kebiasaan yang kotor seperti era Orde Barn'.
Hal yang sama terjadi pada ungkapan lama lain yang tetap muncul dalam wacana
link era pasca-Orde Baru, antara lain otonomi daerah, ekonomi kerakyatan, penga-
pan akan pluralitas, nilai kebenaran, nilai demokrasi, nilai hukum, nilai kedatdat-
i rakyat, memelihara kesatuan dan persatuan Indonesia, masyarakat Bhinneka
inggal Ika, orientasi pada kepentingan rakyat, bentuk negara kesatuan, pemerin-
ii yang good governance, dan wakil rakyat yang representatif. Kosakata itu masih
pergunakan dalam wacana politik pada era pasca-Orde Baru dengan memperoleh ak-
ntuasi baru dan revitalisasi yang sebenar-benarnya. Kosakata itu haruslah dimaknai
lam pengertian yang sebenarnya, buican atas tafsiran sebuah pemerintahan yang akan
elahirkan makna tertentu yang bersifat ideologis. Pengalaman selama ini mengajarkan
;pada kita bahwa setiap periode pemerintahan tertentu cenderung menafsirkan "kosaka"
tertentu menurut ideologinya sendiri.
Kosakata-kosakata "barn" yang mengekspresikan evaluasi positif terhadap realitas
sosial-politik, dan sosiai-budaya era reformasi maupun evaluasi terhadap
329 Orde Baru begitu banyak muncul dalam wacana politik Indonesia.
Terdapat beberapa nis kosakata "baru" itu, yakni (1) kosakata utama yang
dijadikan tema perjuangan, (2) )sakata "pendobrak" tradisi orde baru, (3)
kosakata "harapan-harapan" yang diinginkan. Kosakata jenis pertama berpusat
pada kata reformasi yang selalu dijadikan bahan jakan oleh para elite politik.
Kosakata-kosakata seperti reformasi, reformasi secara tat dan damai,
lokomotif reformasi, mengandung pesan-pesan reformasi, pahlawan formasi,
menyatu dengan reformasi, merespon aspirasi gerakan reformasi, refor -
is, suara reformasi, kekuatan reformasi, dan mereformasi semua peraturan perun-
ingan yang tidak sesuai yang mengandung evaluasi positif dari sejumlah penghasil
ks banyak digunakan untuk berbagai aktivitas politik. Kosakata bermarkah evalnasi
isitif jenis pertama di atas didayagunakan oleh para elit partai, baik oleh para
pimpinan nal politik peserta pemilu tahun 1999, pimpinan ABRUTNI, mauptm oleh
para anggota ibinet Reformasi Pembangunan meskipun dengan perspektivitas makna
yang beragam. irena bermarkah positif, kosakata di atas benar-benar didayagunakan
secara intensif .n ekstensif.
Kosakata jenis kedua yang berupa kosakata "pendobrak" tradisi Orde Baru yang
tuduh oleh kaum "reformis" sebagai orde yang penuh dengan ketidakadilan sosial-
onomi, sosial-politik, dan sosial-budaya banyak didayagunakan oleh para elite politik
ng pada era Orde Baru memperoleh predikat "musuh Orde Baru". Berbagai ungkapan,
perti mengikis habis KKl, memperkecil jarak kaya-miskin, mengembalikan kedautan
rakyat, penegakan tiukum dan HAM, bebas ICKN, tidak nepotis, tidak kapitalis, tidak
korup, pemerataan sama dengan pertumbuhan, perombakan total sistem rde Baru, dan
kita tinggalkan budaya lama juga cukup banyak didayagunakan oleh
330
tum reformis untuk menegakkan kembali berbagai penyimpangan yang terjadi pada
era rde Baru. Ungkapan-ungkapan itu memiliki sifat yang imperatif bagi pihak-pihak
yang asih berpikir dan berperilaku "lama".
Kosakata pendobrak yang inuncul pada era Itasca-Orde Barn itu merupakan
bentuk :alcsi adanya realitas sosial-politik, sosial-ekonomi, dan sosial-budaya pada
era sebelumia yang jauh dari harapan masyarakat Indonesia. Hal ini dipaparkan
dalam bentuk tabel perti dapat diperhatikan pada tabel 4.20 berikut.
abet 4.20 Beberapa Kosakata Pendobrak Tradisi Orde Baru
REALITAS ERA ORDE BARU >
KOSAKATA PENDOBRAK
• KKN di sebagian besar
• mengikis habis KKN sektor kehidupan • bebas KKN
• jurang kaya-miskin semakin
lebar
• memperkecil jarak
kayamiskin
• menguatnya autoritarianisme • mengembalikan kedaulatan
• pelecehan hukum dan HAM rakyat
• pertumbuhan & pemerataan • penegakan hukum dan HAM
ekonomi tidak seimbang • tidak nepotis
menguatnya budaya . - • tidak korup
menerabas • tidak kapitalistis
• menguatnya budaya "instari" • pemerataan sama dengan
• menguatnya budaya: materi- pertumbuhan
alisme, hedonisme, sekularis-
me, dan ekonomisme
•
•
perombakan total
sistem Orde Baru
kita tinggalkan budaya lama
)ari tabel 4.20 di atas dapat diperoleh pemahaman bahwa realitas pelaksanaan sistem )rde
Baru yang dituduh banyak diwarnai dengan ketidakadilan menjadi sumber utama
nunculnya berbagai kosakata jenis kedua di atas. Kosakata jenis kedua ini begitu diper-
uangkan sebagai prasyarat terbentuknya sistem Indonesia baru yang diidam-idamkan. rika
mengir_girikap suatu sistem Indonesia ham yang lebih demokratis, sistem budaya Lana
yang begitu subur tumbuh pada era pemerintahan Orde Baru yang bersifat mengham3at
dan merusak hams dikikis habis. Kosakata yang barn yang diharapkan adalah kosaka-
331
kosakata lahir sesuai dengan semangat zaman barn yang lebih adil, terbuka, dan
menljung hak asasi dan hukum dengan meninggalkan serta menanggalkan kosakata
Orde iru yang sudah usang.
Kosakata jenis ketiga yang berupa kosakata "harapan-harapan" bagi suatu sistem
donesia barn, sebuah sistem yang diharapkan mendobrak dan memperbaiki sistem rig
dibangun oleh pemerintahan Orde Baru. Beberapa kosakata yang muncul sebagai
xesentasi berbagai subsistem yang diharapkan dapat menopang sistem Indonesia barn
ng diidam-idamkan. Kosakata-kosakata seperti perubahan konstitusi, perlunya re-
nsiliasi, merombak sistem peradilan, law enforcement, membebaskan tapol dan
Lpol, pengadilan yang independen, masyarakat madani, meninggalkan monopoli
terpretasi, menyongsong era Indonesia baru, membangun Indonesia baru,
pembasan kekuasaan presiden, dan paradigma barn.
Kosakata barn tersebut pada era sebelumnya adalah kata yang dianggap tabu clan
wacana politik Indonesia. Dua kosakata baru itu, yakni pembatasan kekuasaan pre-
len dan paradigma barn mendapat tempat yang strategis dalam wacana politik. Masa
pan demokrasi Indonesia adalah persoalan suksesnya mengatur lembaga kepresiden-
dan penerapan paradigma barn. Banyak dugaan bahwa kerusakan pelaksanaan >tem
Orde Baru terjadi karena kekuasaan presiden yang begitu besar di atas kekuasaan
mbaga tinggi dan tertinggi lainnya. Atas dasar itu, kekuasaan presiden diusulkan untuk
batasi, baik wewenang maupun jumlah masa jabatan_ Begitu rusaknya pelaksanaan sis-
m sebelumnya, semua komponen Orde Baru dalam menatap sistem Indonesia barn--
item yang diimpikan oleh sebagian besar masyarakat Indonesia—banyak mengemuka-
iri konsep paradigma baru untuk merevisi paradigma yang selama ini dianutnya. Pa-
332
idigma lama dalam bidang sosial-politik, sosial-ekonomi, dan sosial-budaya haruslah
iganti dengan paradigma baru yang lebih mampu menjawab persoalan negara-bangsa
idonesia secara hakiki. Oleh karena itu, kata paradigma baru menjadi sangat populer i
tengah masyarakat. Kata paradigma baru banyak didayagunakan oleh sejumlah kom-
onen penyokong tiang Orde Baru, antara lain: Partai Golongan Karya, institusi ABRI/
NI, dan birokrasi Indonesia dalam rangka menyesuaikan dengan semangat reformasi ang
menjadi ants besar wacana politik Indonesia pada era pasca-Orde Baru.
.1.3.2 Evaluasi Negatif
Selain evaluasi positif, dalam wacana politik Indonesia era pasca-Orde Baru bayak
diwarnai munculnya kosakata yang mengekspresikan evaluasi yang bersifat negatif, aik
ditinjau dan sudut penghasil wacana--para elite politik-- maupun penerima wacana olitik
itu--masyarakat awam pada umumnya. Kosakata-kosakata yang bermarkah negatif u
sebagian besar diacukan kepada pemerintahan Orde Baru, baik institusi maupun pe-
tIcsananya. Partai-partai politik peserta pemilu tahun 1999 tampaknya mendayagunakan
celemahan" dan "keburukan" Orde Baru sebagai pembangun wacana politiknya masing-
lasing. Sementara itu, beberapa partai politik korban pemerintahan Soekarno juga me-
ianfaatkan "kelemahan" dan "keburukan" pemerintahan yang sering disebut Orde Lama
leh pemerintahan Soeharto sebagai bahan pembentuk wacana politiknya. Bagi partai
olitik kategori terakhir ini, pemerintahan Soekamo dan Soeharto selain memiliki ke-
Alihan juga memiliki banyak "kelemahan" dan "keburukan" yang perlu disikapi oleh
komponen bangsa secara arif.
Kelemahan-kelemahan yang menjadi bahan evaluasi negatif meliputi bidang-bi-
ang: perundang-undangan dan hukum, dan suprastruktur politilc, karakteristik pelaksana
333
titusi Orde Baru, dan ekonomi. Kosakata-kosakata bermarkah negatif dalam bidang
..rundang-undangan dan hukum" antara lain undang-undang pemilu yang tidak demo-
atis, perundang-undangan kita lemah, lembaga tinggi tidak terdefinisi, demokrasi
nu yang sentralistis, mafia peradilan, pemikiran antidemokrasi, dan negara yang
Eak tact hukum. Beberapa kosakata kunci, seperti tidak demokratis, lemah, tidak -
definisi, sentralistis, dan antidemokrasi tidak dapat dilepaskan dari karakteristik
rundang-undangan dan hukum pada era pemerintahan Orde Baru yang diakui banyak iak
tidak memihak kepada kepentingan masyarakat, tetapi memihak kepada penguasa.
Kosakata-kosakata bermarkah negatif dalam bidang "suprastruktur politik" seperti
kayasa, oligarkis, rekonsilidasi otoritarianisme, pengerahan massa, belum demo-
atis, dan money politics juga banyak digunakan pada era pasca-Orde Baru. Berbagai
sakata di alas sangat lekat dengan pemerintahan Orde Baru. Kata rekayasa, inisalnya,
nua proses politik di Indonesia tidak lepas dari rekayasa itu. Demikian juga, kata olirids,
otoritarianisme, pengerahan massa, money politics juga predikat yang diarahn kepada
pemerintahan pengganti Orde Lama ini. Sebagian besar partai politik korban de Baru
selalu mengangkat isu-isu tersebut untuk mencari simpati dari para calon milih. Bahkan,
kata money politics yang dimunculkan dalam wacana politik selalu
dengan partai-partai pendukung pemerintahan Orde Baru, yakni PG dan partai-
rtai kecil yang dicurigai didirikan oieh sejumlah simpatisan PG.
Kosakata-kosakata bermarkah negatif dalam bidang "karakteristik pelaksana dan
laksanaan institusi Orde Baru secara umurn" begitu banyak muncul, seperti Orde Baru
lak demokratis, infrastruktur hancur, demoralisasi, dehumanisasi, dekulturasi,
engeringkan nilai jati diri, militerisme, 32 tahun Orba, keluarga Soeharto dan
334
atus quo, produk Orba, negara yang sangat korup, negara pelanggar HAM, krisis
segala bidang, merajalelanya KKN, erosi nasionalisme dan patriotisme, serta
,ntralistik Di antara kosakata bermarkah negatif, kosakata yang berkaitan dengan
:laksana dan pelaksanaan Orde Baru ini secara kuantitatif cukup banyak. Dari paparan
sakata di alas tampaknya tidak ada satu sifat positif pun yang melekat pada Orde
Baru, tususnya dari pandangan partai-partai pesaing Partai Golkar. Sementara itu, Partai
GolLr lebih banyak menampilkan kosakata bermarkah positif. Kata 32 tahun,
misalnya,
sebagian besar lawan politik Partai Golkar sering diidentikkan dengan periode "ke-
Japan" dan "ketidakadilan" dalam pemerintahan di Indonesia. Hal senada dijumpai juga
Lda pilihan kata keluarga Soeharto, kroni, KKN, status quo, dan militerisme.
Kosakata-kosakata bermarkah negatif dalam bidang "ekonomi", khususnya eko)mi
OrdeBaru juga banyak dimunculkan antara lain monolit, oligopoli, kapitalistis,
!nyelewengan JPS, eksploitasi kapital, ekonomi biaya tinggi, teori trickle down
feet, dan konglomerat. Beberapa kosakata, seperti monoht, oligopoli, kapitalistis,
£ploitasi kapital,thn ekonomi biaya tinggi adalah kritikan-kritikan yang dilontarkan
eh sej umlah partai politik terhadap pelaksanaan ekonomi Orde Baru. Kata konglome-
misalnya, yang memperoleh konotasi makna positif karena mendapat predikat Rhotru
perekonomian nasional pada era Soeharto akhirnya memperoleh konotasi makna Ong
negatif karena dituduh sebagai biang kehancuran perekonomian nasional. Kata
i trickle down effect 'teori menetes ke bawah' mendapat tempat yang istimewa dalam
acana politik Indonesia era pasca-Orde Barn. Aplikasi teori ekonomi yang diagung-
;ungkan dan dipuja-puja pada era Orde Baru, temyata tidak seideal yang diharapkan. ida
awalnya, teori itu dipilih dengan tujuan untuk mencapai pemerataan ekonomi dalam
335
rangka keadilan sosial. Kelompok pelaku ekonomi yang menikmati kue pertumbuhan
onomi diharapkan dapat "meneteskan" rezekinya itu kepada kelompok ekonomi yang
lemah. Ternyata harapan yang cukup mulia itu tidak pemah terlaksana, bahkan
kenpok yang sudah kaya semakin memperkaya dirinya, sementara itu kelompok
miskin nakin tidak berdaya. Akhirnya, aplikasiteori itu semakin mengakibatkan
kesenjangan rig begitu besar antara kelompok kaya dan kelompok miskin.
Kosakata lain yang bermarkah negatif seperti Orde Lama belum demokratis,
integrasi, dan federasi juga muncul dalam wacana politik Indonesia pada era
pascade Baru. Kosakata pertama orde lama belum demokratis dilontarkan oleh
beberapa -tai yang lahir dan partai politik yang pernah jaya pada era Soekarno. Partai
yang berribang "bulan dan bintang" memiliki kecenderungan melontarkan isu tersebut.
Pada era de Baru, kata Orde Lama sudah diberi makna yang negatif oleh era Orde
Baru, yakni rtu periode pemerintahan yang penuh dengan ketidakadilan sosial,
kemiskinan, dan tidakteraturan pembangunan ekonomi.
Kosakata kedna disintegrasi adalah istilah yang dilontarkan oleh lawan-lawan
kik Orde Baru terhadap akibat-akibat dalam bidang sosial-ekonomi, sosial-politik, dan
>ial-budaya karena penanganan yang salah oleh Orde Barn terhadap terhadap seinua
)ek kehidupan. Kata itu berkembang menjadi beberapa kosakata, seperti disintegrasi
ngsa dan disintegrasi sosial. Bahkan, beberapa partai politik peserta pemilu tahun ?91
selalu mengemukakan kata disintegrasi jika PG memenangkan
Kosakata terakhir federasi adalah kosakata politik yang dilontarkan oleh Partai
aanat Nasional untuk mengatasi persoalan bangsa. Dalam pandangan PAN, perlu
dicari untuk memecahkan munculnya gejala separatisme yang dapat mengakibatkan
336
disintegrasi bangsa dengan jalan membentuk pemerintahan federal, seperti pernah diprak-
tikkan dalam Republik Indonesia Serikat. Dengan federalisme, pemerintah daerah dapat
mengelola daerahnya masing dengan seluas-luasnya. Dalam wacana politik Indonesia,
rata federasi masih memperoleh konotasi makna yang negatif karena sebagian besar
partai peserta pemilu tetap menghendaki bentuk negara kesatuan seperti yang sudah ber-
alan selama ini dengan penerapan autonomi daerah yang seluas-luasnya.
1.1.4 Catatan Penutup: Sebuah Penjelasan
Paparan di atas masih belum menjawab persoalan "mengapa" sebuah bentukan ko-
;akata tertentu dipilih dan dianggap istimewa oleh elite politik tertentu, sebaliknya diting-
;alkan dan tidak dianggap istimewa oleh elite politik lainnya. Rumusan ini mengantarkan
vita kepada tahap eksplanasi yang menjadi analisis terakhir dalam analisis wacana kritis.
)alam tahap eksplanasi ini wacana politik Indonesia era pasca-Orde Ban) akan ditempat-
can dalam sebuah elemen dari "proses sosiokultural" pada dua tataran, yakni (1) tataran
nstitusional dan (2) tataran sosial. Tahap eksplanasi ini akan menunjukkan bagaimana
cedua proses itu secara ideologis ditentukan oleh relasi-relasi kekuasaan dan pertarungan
celcuasaan pada kedua tataran. Tahap ini juga akan menunjukkan bagaimana proses sosi-
)kultural itu secara ideologis determinatif dari relasi-relasi kekuasaan dan pertarungan
cekuasaan pada kedua tataran itu.
Mengambil pandangan Fairclough (1989:192-194), tahap eksplanasi ini dikem-
)angkan dari dua pertanyaan besar yang akan menjadi acuan dalam paparan ini. Pertanya-
pertama yang diajukan adalah "proses institusional apa yang terjadi dalam teks politik
ra pasca-Orde Baru dan bagaimana proses itu secara ideologis 'ditentukan' oleh relasi-
elasi kekuasaan dan pertarungan kekuasaan serta determinatif dari relasi-relasi kekua-
337
saan dan pertarungan kekuasaan pada kedua tataran di atas". Untuk menjawab pertanya-
an pertama ini peneliti mendayagunakan berbagai informasi yang terdapat dalam institusi
politik, seperti portal politik, parlemen, institusi pemerintahan, dan media massa. Perta-
tyaan kedua yang diajukan adalah "proses sosiokultural apa yang terjadi dalam teks
Jolitik dan bagaimana proses itu secara ideologis 'ditentukan' oleh relasi-relasi kekuasaan
Ian pertarungan kekuasaan serta determinatif dari relasi-relasi kekuasaan dan pertarunam
kekuasaan pada kedua tataran di atas". Untuk menjawab pertanyaan kedua, peneliti
nendayagunakan berbagai informasi yang terdapat dalam sistem sosial dan budaya Indo-
nesia yang melatarbelakangi para elite politik Indonesia.
1.1.4.1 Proses Institusional
Terdapat sebuah proses institusional yang cukup kompleks dalam wacana politik
ndonesia pada era pasca-Orde Baru. Proses itu berupa "pertarungan" lintas institusi yang
Ichirnya bermuara ke dalam wacana politik. Pilihan dan pemaknaan terhadap istilah po-
itik tertentu amatlah dipengaruhi oleh asumsi-asumsi yang dibangun elite politik pada
ataran institusi. Pemaknaan terhadap kata reformasi, misalnya, amatlah ditentukan oleh
nstitusi yang melingkupi dan mendeterminasi elite politik. Dalam konteks ini terdapat
uatu "pertarungan pemaknaan" yang amat kontradiktif dan saling berseberangan antara
nstitusi pemerintah yang dianggap resmi dan institusi kemahasiswaan yang dianggap
idak resmi. Meskipun begitu, institusi pemerintah berusaha menemukan formula akomo-
Iasi menjembatani polarisasi dalam pemaknaan kata reformasi itu. Dari semula
menolak nientah-mentah" makna reformasi versi institusi kemahasiswaan, yakni 'peru-
ahan di segala bidang secara total' akhimya dirumuskan makna akomodasi, yakni 'pent-
ahan di segala bidang dengan sesuai konstitusi secara bertahap'. Dengan demikian, per-
338
-ungan pemaknaan terhadap kosakata politik tidak lagi bersifat konfrontatif. Yang
rkembang selanjutnya adalah tidak adanya "regim kebenaran" (regime of truth)21dalam
;mberikan pemaknaan dan penafsiran makna terhadap kosakata politik tertentu. Dalam
nteks yang lebih luas, "wacana resmi" dan "wacana tanding" berkomunikasi secara dia-
ctis melalui sebuah pertarungan tertentu. Dari kacamata analisis wacana kritis, dalam
rtarungan ini tidak ada seorang pun yang terlepas dari rezim-rezim kebenaran ini.
Dalam memberikan makna terhadap kata status quo, yang terjadi adalah proses
ertarungan pemaknaan" antara institusi pemerintah dan Partai Golkar di satu pihak dan
stitusi mahasiswa serta kelompok pro demokrasi di lain pihak. Dengan menggunakan
gumentasinya masing-masing, kata status quo ditempatkan dalam posisi yang amat ide-
ogis. lnstitusi mahasiswa dan kelompok pro demokrasi menggunakan dan memaknai tta
status quo atas dasar alasan yang berbeda dengan institusi pemerintah yang sedang
;rkuasa dan Partai Golkar. Institusi mahasiswa dan kelompok pro demokrasi memaknai
ita status quo dalam oposisinya dengan kata reformasi. Sebaliknya, institusi Partai
olkar, khususnya, mengajak masyarakat Indonesia menggunakan dan memaknai kata
atus quo sesuai dengan makna lelcsikal dan etimologinya, sebuah istilah yang bersifat
:.,nerik yang tidak mengacu kepada suatu periode pemerintahan atau rezim tertentu.
Pros dialektika pemaknaan terhadap kata tersebut pada perkembangan selanjutnya
berjalan ;cara tidak seimbang. Relasi-relasi kekuasaan yang dibangun oleh institusi
mahasiswa an kelompok pro demokrasi lebih berhasil "memaksa" ke mana arah
pemaknaan kata talus quo daripada relasi kekuasaan yang dibangun oleli Partai Golkar.
1) Istilah rezim kebenaran (regime of truth) digunakan dalam Birch (1996:75) dalam konteks strategi pe-
gendalian dan penguasaan wacana publik melalui kolonisasi, marginalisasi, pemberian, dan sebagainya. Seap
penghasil teks berusaha agar apa yang dihasilkannya dapat diterima, cocok, tepat, dan dominan sehingga
aenjadi teks yang dianggap resmi.
339
Dalam memberikan makna terhadap kata konstitusionalisme, yang terjadi dalam
vacana politik Indonesia era pasca-Orde Barn adalah "pertarungan pemaknaan" antara
nstitusi TNIIABRI di satu pihak dan institusi mahasiswa serta kelompok pro demokrasi
li lain pihak. Institusi TNI/ABRI yang mengklaim dirinya sebagai penjaga negara akan
nenggunakan dan memaknai kata tersebut atas dasar "kesetiaannya pada negara dan
langsa". Sebaliknya, institusi mahasiswa memaknai kata tersebut dalam pengertian Teo-
lalisme' atau 'simbol kejumudan'. Dalam perkembangan selanjutnya, dua pemaknaan ini
erus berdialektika dalam segala aspek kehidupan. Kedua makna itu masih "bertarung"
mtuk memperebutkan tempat sesuai dengan tuntutan zamannya.
"Pertarungan pemaknaan" terhadap kata konstitusionalisme juga berlangsung anara
partai-partai yang berakar pada ajaran Soekarno dan partai-partai yang berasas dan
)erbasis massa Islam. Institusi partai-partai yang mengklaim sebagai pewaris ajaran Soe-
zarno sangat berkepentingan dengan pelestarian ajaran Pancasila dan Undang-Undang
)asar 1945 sesuai dengan ideologi institusi partai yang dianut. Dalam pandangan instiusi
partai ini persatuan Indonesia hanya dapat dicapai melalui perekat ajaran para foundng
fathers yang clilahirkan dalam bentuk ideologi dan konstitusi negara. Sebaliknya, intitusi
partai yang berasaskan Islam dan berbasis massa Islam memandang bahwa segala ;iptaan
manusia tidak ada yang abadi. Yang abadi hanyalah ciptaan Tuhan Sang Pencipta. \pa pun
bentuknya, selama itu ciptaan manusia tidak ada yang abadi serta memiliki batyak
kelemahan sesuai dengan sifat manusia yang lemah. Institusi ini sadar bahwa menuut
ajaran agama, manusia adalah makhluk yang lemah atau dhaif. Dan si pencipta yang
nemiliki banyak kelemahan tidak akan mungkin menghasilkan karya yang sempuma tan-
is Dan pertarungan ini memunculkan istilah pro amandemen dan anti amande-
31+0
en terhadap konstitusi. Dalam konteks ini, yang terjadi adalah adanya "pertarungan
ttoritas" antara kedua blok institusi partai politik.
Dalam memberikan makna terhadap kata kerakyatan, yang terjadi adalah "proses
:rlombaan pengejawantahan" dan semua institusi pemerintahan yang berkuasa dan initusi
politik yang ada. Masing-masing institusi mengklaim dirinya sebagai pengartikusi resmi
kata kerakyatan itu. Masing-masing institusi merasa dirinya sebagai autoritas
:ngartikulasi kata-kata atau frasa yang mengandung kerakyatan, seperti kedaulatan
kyat, ekonomi rakyat/kerakyatan, dan pemberdayaan rakyat. Melalui relasi-relasi
:kuasaan yang dimilikinya, masing-masing institusi yang ada menggunakan dan memak-
kata kerakyatan itu untuk menarik simpati dan masyarakat Indonesia. Dalam kon-
ks ini, kata kerakyatan menjadi senjata solidaritas institusi politik di hadapan
masyakat Indonesia.
Proses institusi juga terjadi dalam fenomena pilihan antonimi dan hiponimi. Dalam
ttonimi, misalnya, pilihan terhadap kata-kata tertentu yang dipandang sebagai kata yang
Tantonim pada hakikatnya adalah proses pertarungan antarinstitusi yang mendeterrnisi
subjek penghasil teksnya. Dikotomi kata-kata, seperti reformis x status quo, ekonoi
kerakyatan x ekonomi konglomerat, ekonomi kerakyatan x ekonomi biaya tinggi,
Lonomi kerakyatan x ekonomi pemodal, ekonomi kerakyatan x ekonomi model
Orde aru, sistem Orde Baru x sistem Indonesia barn, kawasan barat Indonesia x
kawast timur Indonesia, Jawa x luar Jawa, dan musiim x nonmuslim sangat bersifat
ideogis yang dapat dimakuai dari proses pertarungan autarinstitusi yang berlangsurtg lama
in sangat rumit. Sebagian besar pasangan kosakata tersebut berantonimi secara ideolos-
politis meskipun secara etimologis tidak selalu berantonim.
341
Hal senada juga amat tampak pada pilihan hiponimi. Pilihan terhadap kosakata ter-
ntu yang dianggap sebagai kosakata utama atau pokok yang akan menduduki superornat
pada hakikatnya adalah sebuah proses perebutan sebuah nilai yang dianggap penting in
beberapa nilai lainnya dianggap sebagai nilai pendukung yang menduduki subordinat.
lihan kosakata tertentu, seperti nilai kebenaran antara PKB dan PK, nilai keadilan
itara PK dan PKD, serta nitai demokrasi antara PKB, PDKB, dan PUDI, misalnya,
enunjukkan adanya pertarungan antarinstitusi meskipun tidak secara langsung berhaman
satu lawan satu. Ideologi yang berada di belakang subjek institusi akan mengarahm ke
mana sebuah pilihan kosakata itu dianggap penting atau diistimewakan, sementara
3sakata yang lain dianggap tidak terlalu penting atau dikemudiankan. Proses mengisti-
iewakan dan mengemudiankan sebuah pilihan kata tertentu dapat dipandang sebagai
agian dari politik komunikasi yang sedang dilakukan oleh elite politik tersebut.
Masih banyak contoh yang dapat dikemukakan berkenaan dengan dimensi proses istitusi
berkaitan dengan penggunaan atau pilihan kata dalam wacana politik pada era asca-Orde
Baru. Keberadaan nilai elcspresif kosakata politik yang bermuara pada evalusi positif
dan negatif yang dimiliki kosakata politik, misalnya, dapat menambah perbenlaharaan
contoh dari proses institusi itu. Sebuah kosakata yang mengekspresikan suatu alai positif
tertentu adalah hasil dari proses pertarungan antarinstitusi yang berlangsung nelalui
proses yang rumit melalui relasi-relasi pengendalian dan penguasaan tertentu. Dari
paparan di atas dapat diperoleh pemahaman bahwa pilihan terhadap kosakata ertentu
dalam wacana politik pada era pasca-Orde Elam bukan semata-mata persoalan
nengartikulasikan dan mengaksentuasikan sebuah bentuk tertentu. Lebih jauh dari itu,
lersoalan pilihan terhadap kosakata dalam wacana politik adalah persoalan konteks in-
342 tuasional yang mel ingkupi subjek penghasi l teks . Subjek -subjek
i tu berada di bawah sebuah s t ruktur yang mendeterminasinya. Dalam
wacana pol i t ik , pi l ihan kosakata ing muncul bukan lagi pi l ihan
pribadi el i te pol i t ik yang merdeka, tetap i pi l ihan i tu lebih
inyak ditentukan oleh ideologi institusi yang berada di belakang subjek itu.
.1.4.2 Proses Sosiokultural
Terdapat proses sosiokultural yang cukup kompleks dalam wacana politik Indonea pada
era pasca-Orde Baru. Proses itu berupa "pertarungan" sistem sosiobudaya "lama" engan
sistem sosiobudaya "baru". Sistem budaya lama Indonesia yang didominasi oleh istem
budaya Jawa mendapat tantangan sistem budaya yang lebih global yang secara ormatif
tidak sesuai dengan budaya lama. Memanfaatkan pandangan Alisj ahbana (1982; 986),
proses sosiokultural yang terjadi dalam wacana politik Indonesia adalah "pertaungan"
antara sistem budaya "ekspresif' dan "progresif'. Sistem budaya ekpresif adalah istem
budaya yang didominasi oleh nilai-nilai agama, seni, dan nilai solidaritas. Sistem ludaya
ekspresif banyak dijumpai pada sistem budaya etnik. Sistem budaya progresif tdalah
sistem budaya yang didominasi oleh nilai-nilai teori dan ekonomi. Sistem budaya
ni terdapat pada masyarakat yang sudah maju.
Masih berkuasanya alam pikiran lama yang tercermin dalam pilihan kata pada teks
,rang dihasilkan oleh elite politik Indonesia, seperti kata konstitusionalisme beserta ko-
3akata lain, seperti gotong royong, serasi-selaras-seimbang, mikul dhuwur mendhem
iero, dan sebagainya merupakan bukti masih berkuasanya alam pikiran dalam kebudaya-
an ekspresif Pilihan ungkapan-ungkapan, seperti reformasi yang gradual dan konstitu-
sional, reformasi yang terkendali dan damai, dan reformasi sesuai jadwal dapat cila-
cak pada konsep keseimbangan atau harmoni pada sistem budaya tradisi. Dalam budaya
343
wa, misalnya, segala sesuatu haruslah diacukan kepada konsep yang paling dasar, yakni
selarasan dengan dunia atau kosmos, baik makrokosmos (jagad gedhe) maupun mik-
kosmos (jagad cilik). Jagad besar mencakup semua lingkungan tempat seseorang hiip,
sebaliknya jagad kecil adalah diri dan batin manusia itu sendiri. Jagad kecil harus
usahakan sedemikian rupa dijaga keselarasannya, yakni keselarasan hubungan batin dan
smaninya_ Jagad kecil sebagai bagian dari jagad besar hams terus dijaga agar hubungan-
ra dengan unsur-unsur yang lain dari jagad besar tetap selaras. Pilihan kata-kata gradu,
konstitusional, terkendali, damai, dan sesuai jadwal dapat dipahami sebagai wujud
ituk tetap menjaga keharmonisan hubungan antara makrokosmos dan mikrokosmos. pa
pun perubahan yang diinginkan haruslah tetap menjaga keharmonisan antara jagad ;sar
dan jagad kecil itu.
Pada waktu yang sama kehidupan sistem budaya progresif tidak dapat
dihindarkan. ntutan masyarakat untuk dapat hidup lebih maju mendorong semakin
berkuasanya nilai on dan ekonomi. Dalam sistem budaya ini, peranan ilmu pengetahun
dalam memecahm masalah-masalah kehidupan amatlah strategis. Demikian juga,
kemajuan ekonomi .enjadi parameter apakah sebuah bangsa itu maju dan tidak. Bangsa
yang maju adalah ingsa yang kuat secara ekonomis. Prinsip efisiensi dijunjung tinggi.
Metode konflik dan mnpetisi secara terbuka menjadi bagian dan nilai-nilai yang
dianjurkan demi kemajuan. ilihan ungkapan reformasi total oleh sebagian elite politik
dapat dilacak pada sistem ilai budaya yang progresif itu.
Dengan demikian, pemaknaan kata reformasi di atas dapat dipandang dari proses
)siokultural, yakni "pertaningan" antara sistem budaya lama yang ekspresif dengan sis-
m budaya barn yang progresif. Sistem budaya ekspresif mengedepankan kosakata gra-
344
ual, konstitusional, terkendali, damai, dan sesuai jadwal sebagai wujud dari pene-
van konsep keselarasan. Sebaliknya, sistem budaya progresif mengedepankan kata total
ebagai wujud dari penerapan konsep efisiensi, konflik, dan kompetisi. Pertentangan
antra "tradisi" dan "modernitas" dalam kehidupan sosial yang lebih luas dapat
diketahui ada tataran pilihan sebuah kosakata tertentu.
Selain dapat dilihat dari suatu proses "pertarungan" antarsistem budaya, wacana
potik Indonesia era pasca-Orde Baru dapat juga dilihat dari "usaha elite politik untuk
emberikan kontribusi ke arah perjuangan sosial. Elite politik begitu intensif
memperjurigkan apa yang begitu diyakininya melalui teks-teks politiknya. Hal ini dapat
diperha-
kan pada pendayagunaan "politik angka". Angka satu, lima, dan tujuh betas banyak
iperjuangkan oleh partai-partai yang memiliki nomor urut partai yang sesuai dengan
igka-angka itu. Dalam konteks ini, aktivitas politik dipercayai sebagai bagian dari ak-
vitas religius. Aktivitas politik bukan semata-mata bersifat horisontal, tetapi aktivitas
Dlitik bersifat vertikal. Dengan demikian, dalam pandangan penghasil wacananya, me-
entukan suara kepada partai yang bernomor satu, lima, dan tujuh belas selain dapat di-
andang dari aspek pemenuhan dan pelaksanaan hak-hak politik sebagai warga
negara, tga dapat dipandang dari usaha mengharap berkah dan karunia dari Sang
Pencipta bagi ehidupan setelah mati.
345
1.2 Pendayagunaan Gramatika dalam Wacana Politik
Mengikuti pandangan Fairclough (1989; 1995), aspek gramatika dalam penelitian
)erupa aspek-aspek yang berhubungan dengan persoalan-persoalan klausa atau kalimat.
ajian terhadap aspek gramatika akan berisi tiga rincian fitur yang dimilikinya. Pertama,
:ajian "nilai pengalaman" meliputi kajian terhadap pilihan-pilihan: (a) ketransitifan, (b)
(c) pilihan kalimat aktif-pasif, dan (d) pilihan kalimat positif-negatif Kelua, kajian
"nilai relasional" meliputi kajian terhadap pilihan-pilihan: (a) modus kalimat, b)
modalitas relasional, dan (c) pronomina persona. Kajian terhadap modus kalimat
perian dan penafsiran terhadap pilihan kalimat deklaratif, interogatif, dan imperatif
",.ajian terhadap modalitas relasional berisi perian dan penafsiran terhadap berbagai
mo[al yang berkenaan dengan persoalan autoritas satu partisipan dalam hubungannya
degan partisipan lainnya. Kajian terhadap pronomina persona akan berisi tentang
perian an penafsiran tentang strategi elite politik dalam menghadirkan dirinya di
hadapan mayarakat Indonesia. Ketiga, kajian "nilai ekspresif' meliputi kajian terhadap
pilihan moalitas yang berkenaan dengan autoritas penutur dalam kaitannya dengan
kebenaran reresentasi realitas.
Nilai Pengalaman
pt.1.1 Ketransitifan
Teori ketransitifan ini bersumber dari fungsi representasional bahasa, yakni fungsi
iahasa yang bertugas (1) menyandikan (encode) pengalaman tentang dunia dan (2) mem-
awa gambaran tentang realitas. Gambaran mental itu dapat berupa struktur frasa, klausa,
an kata. Salah satu pertanyaan pokok yang dimunculkan Fairclough (1989:120) dalam
ienganalisis wacana dengan paradigma kritis adalah "tipe-tipe proses dan partisipan apa
31+6
aja yang menonjol". Seperti sudah dipaparkan pada bab II, istilah "proses" dan "partisi-
an" dalam pandangan Fairciough (1989) diacukan kepada sistem atau teori ketransitifan.
)alam pandangan Halliday (1985; 1994) sistem ketransitifan (transitivity system) ini
ienjelaskan berbagai macam proses yang terlibat dan struktur yang mewujudkannya.
Kajian terhadap ketransitifan akan menghasilkan perian tentang berbagai pilihan
roses dan partisipan dalam klausa. Sebagai contoh, analisis terhadap teks politik yang
ihasilkan oleh 26 elite politik diperoleh informasi bahwa klausa material mendominasi
eseluruhan proses yang digunakan. Hal itu dapat diperhatikan pada tabel 5.1 berikut.
:abet 5.1 Pilihan Sistem Ketransitifan dalam Teks-Teks yang Dihasilkan oleh 26
Elite Politik Indonesia era Paca-Orde Baru
To Nana Politikus
E proses dianahsts
material E (%)
mental E (%)
relasi E (%)
1. SH 90 48(53,3)* 22(24,4) 20(22,2)
2. AT 55 21(38,2)* 21(38,2)* 13(23,6)
3. GD 60 28(46,6)* 23(38,4) 9(15,0)
4. DR 29 7(24,1) 5(17,3) 17(58,6)* 15. MDI 144 87(60,4)* 21(14,6) 36(25,0)
6. HS 28 15(53,6)* 7(25,0) 6(21,4) 1 7 . MD 57 32(56,1)* 11(19,3) 14(24,6)
1 8 . FB 82 60(73,2)* 10(12,2) 12(14,6)
1 9 . SSS 36 19(52,8)* 5(13,9) 12(33,3)
0. AWM 40 32(80,0)* 5(12,5) 3(7,5)
1. SBY 78 56(71,8)* 7(8,9) 15(19,2)
2. SEY 98 60(61,2)* 17(17,3) 21(21,4)
3. HM 38 24(63,2)* 3(7,9) 11(28,9)
4. SBP 106 68(64,2)* 18(16,9) 20(18,9)
5. ATS 14 6(42,9)* 5(35,8) 3(21,4)
6. YIM 80 43(53,8)* 15(18,8) 22(27,5)
7. KHD 61 31(50,8)* 13(21,3) 17(27,9)
8. AR 48 31(64,6)* 8(16,7) 9(18,8)
[9. KKG 26 17(65,4)* 3(11,5) 6(23,1)
!O. DH 24 14(58,3)* 4(16,7) 6(25,0)
11. AS 48 32(66,7)* 4(8,3) 12(25,0)
12 RH 80 52(65,0)* 14(17,5) 14(17,5)
13. AMS 24 17(70,8)* 4(16,7) 3(12,5)
14. YAB 30 20(66,7)* 6(20,0) 4(13,3) ?5. MLD 20 5(25,0) 9(45,0)* 6(30,0)
16. ABT 22 7(31,8) 7(31,8) 8(36,4)*
2atatan: ( )* Pilihan sistem ketransitifan dalam klausa yang menonjol
347
Dari tabel di atas dapat diperoleh pemahaman bahwa proses "material" atau pro-3
"tindakan" dalam klausa begitu menonjol didayagunakan dalam wacana politik basa
Indonesia pada era pasca-Orde Baru. Sebagai gambaran awal, dari 26 ujaran elite litik
yang dianalisis, dapat dikemukakan empat hal penting sebagai berikut. Pertama, bagian
besar teks politik, yakni teks yang dihasilkan oleh 23 elite politik, begitu didoinasi oleh
proses material. Kedua, teks politik dari 2 elite politik, yakni Dawam Raharo (DR) dan
Abdillah Toha (ABT), didominasi proses relasional atau proses atribusi. ;,dua elite
politik itu (DR & ABT) adalah Ketua Partai Amanat Nasional (PAN). Keti1, 1 teks
politik mendayagunakan dua proses yang sama-sama dominan, yakni proses aterial dan
mental, secara seimbang. Teks politik ini dihasilkan oleh Akbar Tanjung a), Ketua
Umum Partai Golongan Karya (PG). Keempat, 1 teks politik didominasi oleh
roses mental atau proses merasakan secara dominan. Teks ini dihasilkan oleh Muladi
vILD), salah seorang Ketua PG. Secara umum, proses material lebih mendominasi teks-
:Ics politik pada era pasca-Orde Baru.
Belum seluruh ujaran elite politik dianalisis, baik dari segi penghasil wacana
ma-pun jenis wacananya. Namun, dalam pandangan peneliti, kecenderungan adanya
pendaagunaan klausa proses material atau tindakan oleh para elite politik Indonesia
dapat diertanggungjavvabkan secara metodologis. Oleh karena itu, jika elite politik
Indonesia ;bih banyak menonjolkan aspek-aspek yang berkaitan dengan "perbuatan",
"kejadian", Ian "perilaku", hasil analisis sistem ketransifan di atas dapat memberikan
jawaban awal entang kecenderungan-kecenderungan dalam budaya politik Indonesia
yang lebih meigedepankan perilaku-perilaku yang mengandalkan kekuatan fisik
daripada kekuatan )tak atau nalar.
348
Proses Material
Proses material disebut juga proses tindakan. Berbagai pilihan klausa yang ber -oses
"material" begitu mendominasi ketransitifan dalam berbagai wacana politik baha.
Indonesia. Tiga kategori makna yang terkandung dalam klausa material, yakni makna
erbuatan', 'kejadian, dan 'perilaktt, semuanya muncul dalam wacana. Dan analisis teridap
teks yang dihasilkan oleh 26 elite politik menunjukkan bahwa proses material degan
makna 'perbuatad dan 'kejadian' mendominasi teks dan makna 'perilaku' menduduki )sisi
yang paling akhir. Selanjutnya, perhatikan tabel 5.2 berikut.
abel 5.2 Pilihan Klausa Proses Material dalam Teks-Teks yang Dihasilkan 26 Elite
Politik Indonesia era Pasca-Orde Baru
o Nama E Proses Material
Perbuatan E (%)
Kejadian E (%)
Perilaku E (%)
I SF. 27 12(44,4)* 12(44,4)* 3(11,1)
). AT 21 14(66,7)* 6(28,6) 1(4,8)
3. GD 29 10(34,5) 16(55,2)* 3(10,3)
1_ DR 13 5(38,5)* 5(38,5)* 3(23,1)
5. MDI 34 13(38,2) 20(58,8)* 1(2,9)
5. HS 7 3(42,9) 4(57,1)* 0(0,00)
7. MD 26 6(23,1) 19(73,1)* 1(3,8)
8. FB 46 16(34,8) 30(65,2)* 0(0,00)
9. SSS 12 6(50,0)* 6(50,0)* 0(0,00)
0. AWM 15 5(33,3) 10(66,7)* 0(0,00)
1. SBY 40 23(57,5)* 17(42,5) 0(0,00)
2. SEY 28 15(53,6)* 12(42,9) 1(3,6)
3. HM 14 3(21,4) 11(78,6)* 0(0,00)
4. SBP 23 11(47,8)* 11(47,8)* 1(4,3)
5. ATS 3 1(33,3) 2(66,7)* 0(0,00)
6. YIM 25 18(72,0)* 7(28,0) 0(0,00)
7. KHD 20 7(35,0) 13(65,0)* 0(0,00)
8. AR 29 14(48,3)* 12(41,4) 3(10,3)
9. KKG 11 4(36,4) 7(63,6)* 0(0,00)
0. DH 30 10(33,3) 18(60,0)* 2(6,7)
, 1 . AS 29 11(37,9) 18(62.1)* 0(0,00)
.2. RH 30 20(66,7)* 10(33,3) 0(0,00)
3, AMS 14 7(50,0)* 7(50,0)* 0(0,00)
:4. AN 14 6(42,9) 8(57,1)* 0(0,00)
5. ABT 7 5(71,4)* 2(28,6) 0(0,00)
6. MLD 5 5(100)* 0(0,00) 0(0,00)
l',atatan: O* Pilihan proses material dalam klausa yang menonjol
349
Dari tabel 5.2 di atas dapat dikemukakan beberapa hal sebagai berikut. Pertama, eks-teks
politik yang dihasilkan oleh .18 elite politik didominasi proses material yang
iermakna 'kejadian'. Kedua, teks-teks politik yang dihasilkan oleh 13 elite politik dido-
ninasi proses material yang bermalcna 'perbuatan'. Ketiga, teks-teks politik yang dihasil-
:an 5 elite politik didominasi dua proses material secara seimbang, yakni makna 'per-
luatan' clan 'kejadian'. Keempat, tidak ada teks politik yang didominasi oleh proses mate-
ial dengan makna 'perilaku'.
Seperti sudah dipaparkan pada bab 11, pilihan ketransitifan menurut Fowler (1985)
ienunjukkan pilihan pandangan dunia (world-view) atau ideologi penuturnya. Pilihan
etransitifan yang berbeda dalam klausa sering berarti adanya perbedaan ideologi itu. Hail
penelitian ini menunjukkan bahwa posisi ideologis penutur dapat muncul dalam "pro-
"partisipan", baik aktor atau agen maupun tuivan (goal), serta "keterangan". Bebees",
1pa elite politik menyembunyikan posisi ideologis secara beragam. Dari tabel 5.2 dapat
iketahui bahwa para elite politik Indonesia lebih menyukai menyampaikan ide-ide polik
yang memiliki makna 'kejadian' dan 'perbuatan'. Pam elite lebih banyak menyandikan
ejadian-kejadian di sekitarnya, sebaliknya sedikit menyandikan perilaku. Berbagai verba
ang menduduki proses dalam klausa, seperti: merusak, menyelamatkan, menyampai-
an, menjalankan, memberikan, menolak, memilih, mendukung, mengklaim, melaku-
an, menindak, membekukan, meminta, mengandalkan, mengubah, menyerap,
iemberikan, memainkan, mendorong, berkunjung, bertindak, membangun, menun-
iskan, bergerak, membidik, mengemban, memprioritaskan, membubarkau, menun-
tskan, memberantas, menyeret, dan sebagainya banyak didayagunakan oleh para elite
olitik Indonesia di atas pada era pasca-Orde Baru.
350
Dari analisis ketransitifan di atas dapat diketahui ideologi dan posisi ideologis para
elite politik di Indonesia dalam keseluruhan wacana politik Indonesia. Berikut ini dipa-
parkan beberapa ideologi yang muncul dari tuturan elite politik. Yang dimaksud ideologi
dalam penelitian ini mengikuti pandangan Beard (2000:118), yakni seperangkat ide atau
nilai yang dipegang oleh kelompok atau individu. Seperti sudah dipaparkan pada bagian
sebelumnya, ideologi elite politik dapat dimunculkan melalui "agen", "proses", "goal",
maupun "keterangan" dalam klausa.
I. Ideologi Elite Politik "Mempertahankan apa yang Sudah Ada"
Dan analisis ketransitifan dapat diketahui beberapa elite politik Indonesia yang ber-
ideologi "mempertahankan apa yang sudah ada". Ideologi ini adalah ideologi yang umum-
nya dipercayai oleh elite politik yang sedang mengemban tugas sebagai pelaksana peme-
rintahan Indonesia dan elite politik lain yang menginginkan sebuah reformasi yang ber-
langsung dalam keadaan damai. Ideologi tersebut umumnya memiliki karakteristik, antara
lain: (1) menonjolkan peranan pembangunan, (2) menyakralkan dan mempertahankan UUD
1945, (3) tidakmengakomodasi suara-suara di luar lembaga formal pemerintahan, dan (4)
menyakralkan jabatan-jabatan eksekutif di pemerintahan. Selanjutnya, perhatikan kutipan
(72) berikut.
Kutipan (72):
SH: Saya kira, kalau dibandingkan, jumlah rakyat yang mendukung digelar SI jauh lebih banyak. Sebab, misi rakyat yang ingin tetap melaksanakan SI ingin menyelamatkan negara dan bangsa. [Data 49.B.1(1)]
Kutipan (72) di atas dicuplik dari tuturan Menteri Dalam Negeri, Syarwan Hamid (SH)
dalam keterangan persnya kepada sejumlah wartawan. Persoalan yang dikemukakan adalah
komentar Mendagri terhadap pelaksanaan Sidang Istimewa (SI) yang masih me-
351
nimbulkan pro dan kontra di tengah masyarakat. Yang tercetak tebal dalam kutipan (72)
di atas merupakan klausa yang berjenis proses material yang di dalamnya mengandung
ideologi penuturnya. Ideologi itu dapat diperhatikan pada verba yang digunakan, yakni
kata menyelamatkan. Kategori makna klausa ini adalah 'perbuatad atau 'tindakad. Klau-
sa di atas dapat dianalisis ketransitifannya sebagai berikut.
misi rakyat yang ingin tetap melaksanakan SI ingin menyelamatkan negara dan bangsa
aktor proses perbuatan goal
Dalam pandangan SH, situasi dan kondisi bangsa ini sudah sangat mengkhawatirkan.
Oleh karena itu, negara dan bangsa perlu diselamatkan. Verba menyelamatkan dari ben-
tuk dasar selamat memiliki makna lerhindar dari bahaya' atau 'tidak mendapatkan kece-
lakaan'. Kosakata ini banyak digunakan dalam konteks, seperti "menyelamatkan penum-
pang", "menyelamatkan korban bencana alam", "menyelamatkan anak dari ancaman bina-
tang bias", "menyelamatkan masyarakat dari ancaman penyakit masyarakat", dan seba-
gainya. Dengan demikian, verba menyelamatkan mengandung makna 'melepaskan dari
bahaya yang mengancam
Dengan demikian, dalam kutipan (72) di atas, analisis terhadap ideologi penutur-
nya dapat dikemukakan sebagai berikut. Pertama, pandangan penutur terhadap kondisi
negara dan pemerintahan Indonesia disampaikan lewat verba yang menduduki "proses"
itu. Negara Indonesia dapat diidentikan dengan "sesuatu" yang berada dalam keadaan
yang sedang terancam bahaya yang datang dari War. Sebagai individu yang berada di
dalam lingkaran institusi pemerintahan, jelaslah SH memiliki kepentingan untuk me-
nyukseskan Sidang Istimewa (SI) MPR dan memiliki kepentingan untuk membujuk,
mengajak, serta mempengaruhi anggota masyarakat lainnya yang masih bersikap acuh
352
tak acuh atau apatis terhadap pelaksanaan SI tersebut. Kedua, penyembunyian atau pe-
ngaburan "agen" atau goal yang ingin mengancam negara dengan cara nominalisasi.
Nominalisasi seperti itu dapat mengurangi intensitas makna 'ancaman'. Persoalan
nominalisasi ini selanjutnya diuraikan pada bagian selanjutnya.
Dan perspektif yang tidak jauh berbeda dengan paparan sebelumnya, seorang
Ketua Umum Partai Golkar, Ir. Akbar Tanjung (AT) memberikan penilaian tentang
pelaksa naan sidang umum (SI) seperti kutipan (73) berikut.
Kutipan (73):
AT: Bila SI tidak dilakukan, kita tidak bisa menjalankan reformasi secara konstitu-
sional dan gradual. Karena, inilah langkah menuju reformasi total ini. Salah satu
kuncinya dengan melakukan SI. Data 49.B.1(2)].
Klausa yang bercetak tebal dalam kutipan (73) tersebut dapat dianalisis
ketransitifannya sebagai berikut.
kita tidak bisa menjalankan reformasi secara konstitusional dan gradual,
bila SI tidak dilakukan
aktor proses perbuatan goal keterangan
Kutipan (73) di atas merupakan sebagian keterangan pers AT ketika menyampaikan ke-
pada sejumlah wartawan. Persoalan yang diangkat adalah sekitar pro dan kontra terhadap
pelaksanaan Sidang Istimewa MPR. Tiga hal yang perlu dikemukakan sehubungan de-
ngan posisi ideologis penutur dalam kutipan (73) di ens. Pertama, pilihan aktor atau agen
dengan pronomina persona kita. Pronomina kita bersifat inklusif dengan mengikutsertakan
keterlibatan mitra tutur. Ini amat bersifat politis untuk mengaiak orang lain terlibat di
dalam persoalan itu. Kedua, penggunaan bentuk negasi dalam verba yang menduduki
proses dalam klausa. Pilihan frasa tidak bisa menjalankan mengandung makna tidak
adanya pilihan bagi kita atau paling tidak menggiring pendengar kepada pilihan diko-
353
tomis yang hitam-putih, yakni melakukan SI atau tidak. Ketiga, posisi ideologis penutur
diletakkan pada keterangan klausa, yakni (1) pilihan klausa subordinatif bila SI tidak di-
lakukan, dan (2) frasa secara konstitusional dan gradual. Penempatan (1) pada awal
tuturan memberikan makna bahwa penutur memandang begitu pentingnya arti SI bagi
pemerintah yang sedang berkuasa. Penonjolan klausa subordinatif ke depan itu mengaki-
batkan peran agen atau aktor sedikit tidak begitu penting. Demikian juga dengan penem-
patan posisi ideologis penutur pada bagian keterangan atau penjelasan klausa. Pilihan
frasa secara konstitusional dan gradual adalah jargon yang dikembangkan oleh para pihak
ekselcutif atau pelaksana pemerintahan baik sipil maupun ABRI untuk memberikan
tandingan kepada konsep secara total yang dikembangkan oleh mahasiswa dan kelompok
pro demokrasi lainnya.
Kutipan (72) dan (73) di atas dapat diidentifikasi sebagai ideologi yang "memper-
tahankan apa yang sudah ada". Tatanan sosial, politik, ekonomi, dan budaya yang sudah
terbangun dalam rentang waktu yang panjang dipercayai oleh sebagian elite politik Indo-
nesia sebagai sesuatu yang harus dipertahankan. Pikiran atau tindakan untuk mengubah
sistem yang ada tidak mendapatkan tempat, bahkan dianggap bermusuhan. Sistem yang
ada dianggap sebagai sistem terbaik begitu dinaturalisasikan melalui berbagai aktivitas.
Beberapa kasus, seperti mengkritik kebijakan pemerintah, menafsirkan ideologi negara
dengan penafsiran selain Pancasila, serta tindakan mengubah sistem yang lain disikapi
dan dianggap sebagai pandangan atau gerakan yang "antipembangunan".
Ideologi yang sejenis dengan kutipan (72) dan (73) di atas dapat ditemukan
juga dalam teks politik dan elite politik lainnya pada era pasca-Orde Baru. Hal itu
dapat diperhatikan pada kutipan (74) berikut.
354
Kutipan (74):
SB Y: Pembaharuan yang didukung ABRI itu tentu hares yang konstitusional, konseptual, gradual, tepat sasaran, dan sesuai urgensinya. ABRI tidak pernah akan
mendorong dan mendukung pembaruan yang revolusioner, radikal,dan dramatis.Sehab
di situ akan mengandung kerawanan yang tinggi, resiko yang tinggi, dan instabilitas dalam gerak pembangunan.[Data 49.B. 1(3)]
Kutipan (74) dicuplik dari hasil wawancara dari individu yang berkompeten memberikan
keterangan tentang hal ikhwal politik dalam institusi ABRI/TNI, yakni Kepala Staf Teri-
tonal ABRU TNT Letnan Jendral TNI Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Klausa yang
bercetak tebal adalah contoh klausa yang mengandung ideologi penuturnya. Klausa itu
dapat dianalisis sebagai berikut.
ABRI tidak pernah akan mendo-
rong dan mendukung
pembaruan yang revolusio-
ner, radikal, dan dramatis
0
aktor proses material goal keterangan
Beberapa catatan posisi ideologi penutur yang dapat dikemukakan terhadap klausa terce-
tak miring pada kutipan (74) di atas. Pertama, penutur mendayagunakan semacam gaya
bahasa tautologi 'gaya bahasa yang menggim akar} sinonim' dalam klausa, yakni verba
yang menduduki proses materialnya. Penggunaan kata mendorong dan mendukung da-
lam satu rangkaian tuturan jelas memiliki signifikansi tertentu, yakni memberikan pene-
kanan tentang pentingnya frasa yang mengikuti proses materialnya. Kedua, frasa yang
menduduki "tujuan" menunjulckan sikap institusi ABRUTNI dalam menyikapi gerakan
reformasi "total" yang digerakkan oleh mahasiswa Indonesia dan sejumlah tokoh yang
terkelornpok ke dalam gerakan prodemokrasi. ABRI memaknai reformasi total dengan
makna 'pembaruan yang revolusioner, radikal, dan dramatis'. Penafsiran makna reformasi
total oleh institusi ABRI tersebut jelas menunjukkan posisi ideologi yang segaris dengan
355
pemerintahan yang sedang berkuasa, yakni 'perubahan yang pelan-pelan sesuai dengan
aturan yang berlaku', bukan 'perubahan yang revolusioner, radikal, dan dramatis'.
Apa yang disampaikan oleh SBY di atas tidak jauh berbeda dengan apa yang dike-
mukakan oleh Kepala Pusat Penerangan (Kapuspen) ABRI tahun 1988 Brigjen TM Ab-
dul Wahab Makodongan (AWM), seperti dalam kutipan (75) dan (76) serta Ketua Fraksi
ABRITINI DPR Letjen TM Hari Sabarno (HS), seperti dalam kutipan (77) berikut.
Kutipan (75):
AWM: Sebelum saya menjelaskan hal tersebut perlu ditekankan di sini bahwa ABRI dalam
gerakan reformasi selalu mendukung reformasi yang mengarah ke kondisi
yang lebih balk- Perubahan atau reformasi itu tentu tidak bisa dilakukan
secara total, harus pelan-pelan. Sekarang ini, tampaknya belum ada kesepakatan
bersama coal itu. [Data 49.B.1(4)]
Kutipan (75) di atas dicuplik dari hasil wawancara AWM dengan sejumlah wartawan media
cetak dan elektronik. Persoalan yang diangkat adalah bagaimana tanggapan institusi
ABRITTNI terhadap aksi-aksi unjuk rasa ataupun demonstrasi mahasiswa dan gerakan pro
demokrasi yang marak di berbagai kampus di Indonesia. Dalam setiap aksinya, para ma-
hasiswa itu selalu meneriakkan kata "reformasi", terhadap berbagai aspek kehidupan. Sato
catatan penting berkaitan dengan kutipan (75) di atas dapat dikemukakan bahwa susunan
Idausa dapat didayagunakan untuk penonjolan atau penyembunyian posisi ideologis. Hal itu
dapat diperhatikan pada klausa pertama kutipan (75) di atas. Klausa yang di dalatnnya
mengandung ideologi ABRI diletakkan dalam klausa subordinatif atau anak kalimat dan
tidak ditempatkan sebagai induk kalimat. Fenomena ini memberikan pemahaman kepada
kita bahwa ABRI berusaha menyembunyikan posisi ideologisnya atau minimal tidak
menonjolkan posisi ideologis dalam arus reformasi yang begitu dahsyat. Penyembunyian
klausa yang memuat ideologis adalah bagian dan strategi elite politik da-
356
lam menjalankan politik komunikasinya. Pada era pasca-Orde Baru di mana sejumlah
pendukung pemerintahan Orde Baru memperoleh hujatan dari berbagai pihak, apa yang
dilakukan oleh ABRI/TNI bukan sesuatu yang luar biasa.
Dua klausa tanggapan AWM terhadap gerakan reformasi yang dapat
memberikan informasi tentang posisi ideologis penuturnya dikemukakan pada bagian
ini. Klausa pertama (disebut 75a) pada bagian yang tercetak tebal dalam kutipan (75) di
atas dapat dianalisis ketransitifannya sebagai berikut.
ABRI dalam gerak-
an reformasi
selalu mendukung reformasi yang mengarah
ke kondisi yang lebih baik 0
aktor proses perbuatan goal keterangan
Beberapa catatan dapat dikemukakan berkaitan dengan kutipan (75a) di atas. Pertama,
pengeksplisitan identitas aktor yang berupa agen dalam klausa. Sebagai wakil dari in-
stitusi, penutur tidak menggunakan pronomina persona tertentu, seperti "kami" atau "ki-
ta", atau "saya". Sebaliknya, penutur menggunakan nomina tertentu, yakni nama institusi
yang diwakilinya, yakni ABRI. Kedua, frasa yang menduduki goal menunjukkan sikap
institusi ABRITTNI dalam menyikapi dan memaknai gerakan reformasi "total" yang
digerakkan oleh mahasiswa Indonesia dan sejumlah tokoh prodemokrasi lainnya. Dalam
pandangan ABRIiTNI, reformasi haruslah mengarah kepada kondisi yang lebih baik dari
sebelumnya. Oleh karena itu reformasi harus dilaksanakan secara hati-hati dengan jadwal
yang direncanakan secara matang. Reformasi tidak boleh dijalankan secara total, sebalik-
nya reformasi harus dijalankan secara pelan-pelan, seperti dapat diperhatikan pada klausa
selanjutnya dalam kutipan (75) di atas. Klausa kedua tersebut (75b) dapat dianalisis
sistem ketransitifannya sebagai berikut.
357
perubahan atau
reformasi itu
tentu tidak bisa
dilakukan
0 secara total, harus
pelan-pelan
goal proses perbuatan aktor keterangan
Beberapa catatan dapat dikemukakan berkaitan dengan analisis ketransitifan dalam (75b)
di atas. Pertama, penonjolan bentuk yang dianggap sinonimnya dari konsep yang seha-
rusnya lebih dikedepankaft Penutur menonjolkan pilihan kata perubahan daripada kata
reformasi padahal topik yang sedang dibicarakan adalah masalah reformasi. Dan kasus
itu, dapat diperoleh pemahaman bahwa penutur memperlakukan fenomena "reformasi"
sebagai suatu hal yang tidak terlalu penting. Kedua, penggunaan bentuk negatif dalam
frasa yang menduduki proses. Hal ini mengindikasikan ideologi ABRI/TNI yang tidak
memberikan altematif pilihan dalam penafsiran sesuatu. Cara berpikir yang bersifat diko-
tomi menjadi ciri khas institusi ini. Ketiga, tidak hadirnya unsur aktor dalam klausa. Ada
dua kemungkinan penafsiran yang dapat dikemukakan, yakni (1) penutur dengan sengaja
tidak memunculkan aktor yang berupa persona pelaku ini karena sudah menjadi pengeta-
huan umum bagi matyaralcat banyak, atau (2) penutur dengan sengaja menyembunyikan
aktor yang berupa persona karena kepentingan ideologis. Keempat, penafsiran ABRI/ TNI
tentang reformasi yang dimunculkan dalam frasa yang menduduki keterangan. Hal ini
relevan dengan catatan pertama yang sudah dipaparkan sebelumnya.
Dengan demikian, posisi ideologis ABRI/TNI selain dapat diperhatikan dalam
penempatan klausa yang mengandung ideologi dalam klausa subordinatif atau anak kali-
mat, dapat juga diperhatikan dalam pilihan agen dengan sinonim, ketidakhadiran atau
penyembunyian aktor, dan pilihan antonim dalam frasa yang menduduki keterangan. Se-
lanjutnya perhatikan kutipan (76) berikut.
358
Kutipan (76):
AWM: Sekarang ini, tampaknya, belum ada kesepakatan bersama soal itu. Jangan lupa
juga, reformasi harus dijalankan sesuai dengan UUD 1945, Pancasila, mem-
perhatikan stabilitas nasional, persatuan dan kesatuan bangsa, serta dila-
kukan secara berkesinambungan. [Data 49.B.1(5)]
Kutipan (76) di atas adalah bagian lanjutan dari kutipan (75) sebelumnya. Satu catatan
penting dapat dikemukakan di sini. ABRI memandang pentingnya "reformasi yang
sesuai konstitusi" dengan mendayagunakan frasa jangan lupa juga pada awal klausa
yang mengandung ideologi ABRI/TI41 itu. Dengan menggunakan frasa jangan lupa
juga itu untuk mengawali klausa membuat klausa lanjutannya menjadi begitu penting
untuk diperhatikan oleh pendengar.
Yang tercetak tebal adalah klausa kompleks yang terdiri atas tiga klausa seder-
hana. Klausa kompleks ini dapat dianalisis sistem ketransitifannya menjadi tiga
analisis sebagai berikut. Klausa pertama (76a) yang berbunyi reformasi harus
dijalankan sesuai dengan UUD 1945, Pancasila dapat dianalisis sebagai berikut.
reformasi harus dijalankan 0 sesuai dengan UUD 1945 dan Pancasila
goal proses perbuatan aktor keterangan
Catatan yang dapat dikemukakan dan analisis di atas adalah sebagai berikut_ Pertama,
ketidakhadiran unsur aktor dalam klausa. Pengisi unsur aktor yang harus menjalankan
reformasi ini dapat bermacam-macam sesuai dengan yang dikehendaki oleh penuturnya.
Hanya saja, karena makna reformasi sudah ditentukan oleh penutur dengan rambu-rambu
UUD 1945 dan Pancasila, pengisi aktornya menjadi bersifat ideologis. Kedua, pernalc-
naan ABRI/TNI terhadap hakikat reformasi dimunculkan dalam frasa yang menduduki
keterangan, yakni frasa sesuai dengan UUD 1945 dan Pancasila. Dalam klausa ini, pe-
359
nutur lebih menonjolkan peran keterangan daripada peran aktor. Dan analisis tersebut
dapat dipahami bahwa yang lebih penting adalah reformasi yang sesuai dengan
UUD 1945 dan Pancasila, bukan siapa yang menjalankan reformasi itu. Yang
penting adalah "apanya", bukan "siapanya".
• Klausa kedua (76b) yang berbunyi reformasi memperhatikan stabilitas nasional,
persatuan, dan kesatuan bangsa dapat dianalisis sebagai berikut.
reformasi memperhatikan stabilitas nasional, persatuan, dan kesatuan
0
aktor proses mental goal keterangan
Catatan yang dapat dikemukakan dari analisis di atas adalah sebagai berikut. Pertama,
penonjolan unsur goal dalam memaknai hakikat reformasi. Daiam pandangan ABRI,
reformasi haruslah memperhatikan stabilitas nasional, persatuan, dan kesatuan. Ke-
dua, pilihan aktor dalam klausa yang bukan pronomina, tetapi lebih mendayagunakan
nomina. Dalam kasus ini, aktor dalam klausa adalah agen yang tidak bemyawa (inani-
mate) dalam proses mental atau proyeksi. Agen yang dihadirkan berupa nomina
abstrak, yakni kata reformasi.
Fenomena menarik dan kutipan (76) dan analisis (76a) dan (76b) adalah disisip-
kannya proses mental ke dalam klausa kompleks yang berupa proses material. Jika
disusun, klausa kompleks (tercetak tebal) pada kutipan (76) terdiri atas proses
"materialmental-material". Hal ini memperkuat temuan penelitian sebelumnya bahwa
anus besar pilihan ketransitifan dalam klausa dalam teks-tens politik bahasa Indonesia
yang dihasilkan oleh para elit politik Indonesia adalah pendayagunaan proses material
atau tindakan secara lebih menonjol dibandingkan proses lainnya.
360
Klausa ketiga (76c) yang berbunyi reformasi dilakukan secara berkesinambang-
an dapat dianalisis sistem ketransitifannya sebagai berikut.
reformasi dilakukan 0 secara berkesinambungan
goal proses perbuatan aktor keterangan
Beberapa catatan dikemukakan clari analisis di atas adalah sebagai berikut. Pertama, ke-
tidakhadiran unsur aktor yang berupa yang berupa "pelaku" dalam klausa. Ini
merupakan fenomena yang menarik. Pertanyaan tentang siapa yang harus melakukan
reformasi akan mendatangkan jawaban yang beragam karena masih belum menyatunya
pandangan ten-tang maim reformasi itu. Jawaban terhadap pertanyaan itu bisa
bermacam-macam. Kedua, pandangan ABRI/TNI dalam memaknai cara melaksanakan
reformasi yang muncul dalam frasa yang menduduki keterangan. Dari analisis tersebut
dapat diperoleh pemahaman bahwa yang terpenting bagi institusi ABRIJTNI adalah
"cara melakukan reformasi", bukan siapa yang melakukannya. Selanjutnya, perhatikan
kutipan (77) berikut. Kutipan (77):
HS: Sikap DPR sebenamya sudah jelas. Pemikiran tentang perlunya reformasi, baik itu refonnasi politik, hukum, dan ekonomi sebenamya sejalan dengan pemikiran DPR. Dalam berbagai kesempatan pun ketua DPR setalu menandaskan hal ini. Tetapi, kan reformasi tidak begitu saja langsung membawa hasil. Semuanya harus
dilakukan secara gradual dan konstitusional. Sekali lagi, membangun rumah bukan berarti merobohkan rumah. [Data 49.B.1(6)]
Kutipan (77) adalah sebagian dari keterangan Ketua Fraksi ABRYTNI di DPR, Letjen Ha-
ri Sabarno (HS) kepada sejumlah wartawan media cetak dan elektronik. Topik pembica-
raannya adalan tanggapan fraksi ABRI DPR tentang tuntutan sej umlah kelompok masya-
rakat, terutama mahasiswa, yang meminta agar lima paket undang-undang politik dicabut
karena hanya memasung kehidupan demokrasi. Seperti diketahui, ABRI pada periode
sebelumnya adalah penyangga pemerintahan Orba yang berusaha mempertahankan lima
361
paket UU politik tersebut. Klausa yang tercetak tebal dalam kutipan (77) di atas dapat
dianalisis sistem ketransitifannya sebagai berikut.
semuanya harus dilakukan 0 secara gradual dan konstitusional
goal proses material aktor keterangan
Beberapa catatan dapat dikemukakan di sini. Pertama, ketidakhadiran aktor dalam klausa
tersebut. Fenomena ini senada dengan yang muncul dalam klausa (75b), (76a), dan (76c).
Kedua, pandangan institusi ABRUTNI dalam memaknai hakikat pelaksanaan reformasi
yang dimunculkan dalam frasa yang menduduki keterangan yakni secara gradual dan
konstitusional. Fenomena ini juga senada dengan yang muncul dalam klausa (75b),
(76a), dan (76c). Dari analisis terhadap klausa dalam kutipan (73), (74), (75), dan (76)
dapat diperoleh pemahaman bahwa sebagai institusi yang dikenal cukup solid dalam
sistem kepemimpinannya, pendayagunaan klausa dalam wacana politik oleh para elite
institusi ABRUTNI tersebut memiliki kemiripan.
2. Ideologi Elite Politik "Pembaharuan di Segala Bidang Kehidupan"
Dari analisis ketransitifan dapat diketahui adanya beberapa elite politik Indonesia
yang berideologi "pembaharuan di segala bidang". Ideologi ini adalah ideologi yang
umumnya dipercayai oleh elite politik yang menuntut turunnya Presiden Soeharto dari
singgasana kepresidenan atau dari kalangan eksekutif yang juga menuntut adanya demo-
kratisasi di segala bidang. Perhatikan kutipan (77) berikut.
Kutipan (77):
SBP: Jika pemilihan umum mendatang ini kalau pada akhimya hams menimbulican kem-
bali, harus membangkitIcan kembali orde barn, disintegrasi pasti akan terjadi.
Oleh karena itu, Orde Baru harus ditumbangkan. Apa pun yang terjadi, Orde
Baru yang ingin menang harus dikalahkan. Mereka harus dihukum. [Data
36.B. 1(7)]
362
Kutipan (77) tersebut merupakan cuplikan teks politik yang dihasilkan oleh Sri Bintang
Pamungkas dalam acara debat calon presiden yang diadakan oleh Universitas Indonesia
dan disiarkan secara langsung melalui media elektronik. Kutipan (77) tersebut dibangun
oleh klausa-klausa yang berproses "material". Sistem ketransitifan pada klausa pertama
(77a), kedua (77b), ketiga (77c), dan keempat (77d) mengandung makna 'kejadian'.
Satu catatan penting dapat dikemukakan berkaitan dengan kutipan (77) di atas
adalah menonjolnya ragam pasif dalam pilihan klausanya. Jika Orwell (1946) menyaran-
kan penggunaan ragam aktif dalam kalimat-kalimat bahasa politik, pilihan ragam pasif
dari SBP di atas memiliki makna ideologis tertentu. Dalam kutipan (77) tersebut, SBP
lebih menonjolkan goal daripada "aktor". Artinya, yang lebih penting dalam klausa
tersebut adalah "tujuan" dan proses yang ada, bukan "siapa" yang melakukan proses itu.
Hal ini dapat diperhatikan dan analisis sistem ketransitifan klausa (77a), (77b), (77c),
dan (77d) berikut.
Klausa (77a) yang berbunyi jika pemilihan umum mendatang ini kalau pada
akhirnya harus menimbulkan kembali, harus membangkitkan kembali Orde
Baru, disintegrasi pasti akan terjadi dapat dianalisis sebagai berikut.
disintegrasi pasti akan terjadi 0 jika pemilihan umum mendatang ini kalau
pada akhirnya harms menimbulkan kembali,
harus membangkitkan kembali orde bare
goal proses kejadian aktor keterangan
Beberapa catatan dapat dikemukakan sebagai berikut. Pertama, ketidakhadiran aktor da-
lam klausa karena dalam klausa tersebut yang lebih ditonjolkan adalah goal-nya, yakni
"disintegrasi". Kedua, pengedepanan unsur keterangan klausa dalam teks secara keselu-
ruhan memberikan pemahaman akan ideologi penutur yang anti Orde Baru. Unsur yang
363
menduduki keterangan berupa paparan tentang 'syarat' atau 'pengandaiarf. Dengan pola
ekspresi "jika...maka...", dalam pandangan peneliti klausa tersebut memiliki kekuatan
imperatif bagi penerima wacana.
Klausa (77b) yang berbunyi Orde Baru harus ditumbangkan dapat dianalisis
sistem ketransitifannya sebagai berikut.
Orde Baru harus ditumbangkan 0 0
goal proses kejadian aktor keterangan
Satu catatan penting dapat dikemukakan, yakni ketidakhadiran aktor dalam klausa. Klau-
sa tersebut dibangun oleh dua unsur, yakni goal dan proses. Dalam klausa itu unsur yang
terpenting adalah goal-nya, bukan aktornya. Klausa itu memprasyaratkan bahwa peme-
rintahan Orde Baru sebagai musuh bersama telah melakukan sesuatu yang merugikan
bangsa sehingga perlu untuk ditumbangkan. Dalam konteks ini, presuposisi yang ada
tidak sepenuhnya menjalankan fungsinya sebagai presuposisi, tetapi lebih berfungsi
"ideologis", yakni merepresentasikan ideologi penghasil teks yang 'anti Orde Baru'.
Klausa (77c) yang berbunyi Orde Baru yang ingin menang hams dikalahkan
dapat dianalisis sistem ketransitifannya sebagai berikut.
Orde Baru yang ingin menang harus dikalahkan 0 0
goal proses kejadian aktor keterangan
Sama dengan penjelasan terhadap klausa (77b) di atas, klausa (77c) ini juga tidak meng-
hadirkan aktor dan lebih mengedepankan kehadiran goal-nya. Kelompok kata yang men-
duduki goal, yakni Orde Baru yang ingin menang memperoleh pengedepanan posisi.
Klausa di atas mempersyaratkan bahwa Orde Barn yang pernah berbuat kesalahan ter-
hadap bangsa Indonesia dan memiliki ambisi untuk memenangkan pemilihan umum. Da-
364
lam konteks ini, presuposisi yang ada menjalankan fungsi yang "sesungguhnya". Presu-
posisi yang ada sekaligus menjalankan fungsi "ideologis", yakni merepresentasikan ide-
ologi penghasil teks yang 'anti Orde Baru'.
Klausa terakhir, klausa (77d), yang berbunyi mereka harus dihukum dapat
dianalisis sistem ketransitifannya sebagai berikut.
mereka harus dihukum 0 0
goal proses kejadian aktor keterangan
Satu catatan penting dapat dikemukakan berkaitan dengan analisis klausa (77d) adalah
tidak hadimya unsur aktor dalam klausa Hal ini sama dengan klausa-ldausa sebelumnya.
Klausa itu terdiri alas dua unsur, yakni goal dan proses. Klausa itu mempersyaratkan
bahwa Orde Baru telah melakukan kesalahan yang berhubungan dengan "pidana" atau
"perdata". Dalam konteks ini, presuposisi yang ada menjalankan fungsinya sebagai "pre-
suposisi yang sesungguhnya". Kebijakan-kebijakan Orde Baru yang berkaitan dengan
kehidupan sosial-politik, sosial-ekonomi, dan sosial-budaya akhimya menjerumuskan
Indonesia ke dalam krisis berkepanjangan yang sulit untuk diselesaikan.
Ideologi yang menginginkan "pernbaharuan di segala bidang" atau "anti Orde
Baru" itu jugs dapat ditemukan dalam klausa-klausa yang muncul dalam teks-teks kam-
panye partai politik peserta pemilu tahun 1999. Bahkan, sebagian besar partai-partai itu
mendayagtmalcan ideologi "pembaharuan di segala bidang" clan "anti Orde Baru"
secara intensif dan ekstensif dalam berbagai aktiviias
c Ideologi Elit Pollak "Pementingan Sistem yang Mantap, bukan Figur"
Elite politik kelompok ketiga ini memandang bahwa rusaknya perikehidupan so-
sial-politik, sosial-ekonomi, dan sosial-budaya Indonesia disebabkan oleh belum adanya
365
sistem yang mantap dalam setiap bidang kehidupan itu. Era pemerintahan Soekarno yang
ditandai oleh pengkultusan individu Soekarno sebagai Panglima Besar Revolusi (PBR)
berakhir dengan tragedi sosial politik yang menyedihkan. Era yang disebut dengan
Orde Lama itu ditandai dengan menonjolnya figur Soekamo dalam setiap pengambilan
keputusan. Era pemerintahan Soeharto yang ditandai oleh pengkultusan individu
Soeharto sebagai Bapak Pembangunan jugs berakhir dengan tragedi sosial-politik dan
sosial-ekonomi yang menyedihkan, khususnya krisis ekonomi dan krisis kepercayaan
yang begitu • panjang. Era yang disebut dengan Orde Baru itu identik dengan figur
Soeharto dalam setiap gerak kehidupan. Oleh karena itu, pada era pasca-Orde Baru
sejumlah elite politik memandang bahwa kesalahan dua periode pemerintahan yang
mementingkan figur itu diharapkan tidak terulang. Perhatikan kutipan (78) berikut.
Kutipan (78):
Y1B: Jangan nasib masa depan suatu bangsa diserahkan pada satu orang seperti
yang terjadi di 53 tahun belakangan ini yang pada alchimya menyulifican kita
bersama. Suatu negara yang kuat barns dibangun di atas suatu sistem yang
kuat. Kits bangun suatu sistem, bukan tunduk pada orang. [Data 22.B.1(8)]
Kutipan (78) itu dicuplik dari teks yang dihasilkan Yusril Ihza Mahendra dalam debat
calon presiden yang diadakan oleh Universitas Indonesia dan disiarkan secara langsung
melalui media elektronik. Tiga kalimat dalam kutipan (78) cukup memberikan informasi
tentang posisi ideologi penghasil teksnya. Klausa pertama (78a) yang berbunyi nasib ma-
sa depan suatu bangsa diserahkan pada satu orang seperti yang terjadi di 53 tahun
belakangan ini dapat dianalisis sistem ketransitifaimya sebagai berikut
nasib masa depan suatu bangsa
diserahkan 0 pada satu orang seperti yang ter-
jadi di 53 tahun belakangan ini
goal proses kejadian aktor keterangan
366
Beberapa catatan dapat dikemukakan berkaitan dengan analisis klausa (78a) di atas. Per-
tama, ketidakhadiran unsur yang menduduki aktor dalam klausa. Hal ini senada dengan
yang terjadi pada klausa-klausa sebelumnya. Kedua, posisi ideologis yang cenderung
netral dapat diperhatikan pada unsur yang menduduki keterangan dalam klausa. YIlVI
sebagai penghasil klausa (78a) memandang bahwa sepanjang usia kemerdekaan Indonesia
yang sudah berumur 53 tahun itu, sistem pemerintahannya lebih mengandalkan karisma
tokoh atau figur seseorang yang dianggap berjasa besar bagi bangsa Indonesia. Ketiga,
pilihan kata diserahkan untuk bagian yang menduduki proses. Kata diserahkan berasal
dari bentuk dasar serah yang memiliki makna imemberikant. Dengan demikian, kata
diserahkan bermalcna 'diberilcan'. Dalam sebuah negara modem yang demokratis,
sebuah jabatan politis hams diperoleh melalui pertarungan politis. Kata diberikan hanya
cocok dipergunakan untuk sistem kenegaraan yang menganut sistem kerajaan yang
monarkhi di mana jabatan politis merupakan jabatan yang turun-temurun. Realitas sistem
politik Indonesia selama 53 tahun lebih berupa proses "penyerahan", bukan proses
kompetisi yang jujur dan adil.
Klausa kedua (78b) yang berbunyi suatu negara yang kuat harus dibangun di
atas suatu sistem yang kuat dapat dianalisis sistem ketransitifannya sebagai berikut.
suatu negara yang kuat hams dibangun 0 di atas sistem yang kuat
goal proses kejadian aktor keterangan
Beberapa catatan dapat dikemukakan berkaitan dengan analisis klausa 78b di atas. Perta-
ma, ketidakhadiran aktor dalam klausa sama seperti dalam klausa-klausa sebelumnya.
Dalam kasus ifli, penghasil teks memandang bahwa yang penting dalam klausa itu adalah
"apa yang hams dibangun", bukan "siapa yang membangun". Dalam perspektif lain, da-
367
lam klausa yang berproses kejadian kehadiran aktor tidak begitu signifikan, sebaliknya
kehadiran goal merupakan sebuah kewajiban. Kedua, sistem yang kuat merupakan pra-
syarat sebuah negara yang kuat. Tidak boleh lagi sebuah negara dibangun di atas
karisma seseorang yang dianggap berjasa bagi sebuah negara. Ketiga, kata dibangun
mengimplikasikan bahwa sebuah negara selalu dalam proses "menjadi", semuanya
harus terus-menerus diusahakan oleh para elit politik sebuah negara.
Klausa ketiga (78c) yang berbunyi kita bangun suatu sistem, bukan tunduk pada
orang dapat dianalisis sistem ketransitifannya sebagai berikut.
kita bangun suatu sistem bukan tunduk pada orang
aktor proses perbuatan goal keterangan
Beberapa catatan dapat dikemukakan berkaitan dengan analisis klausa (78c) di atas.
Pertama, penggunaan pronomina persona kita pada klausa. Pronomina tersebut memiliki
makna inklusif, dalam pengertian bahwa tugas membangun suatu sistem yang kuat adalah
tugas seluruh bangsa Indonesia, bukan hanya "saya" atau "kami". Kedua, pemilihan kata
bangun dalam bagian yang menduduki proses. Secara leksikal, kata bangun mengandung
makna 'bentuk'. Hal ini mengimplikasikan bahwa "sistem" bukanlah suatu barang jadi,
tetapi sesuatu yang harus dibentuk melalui proses yang panjang. Proses itu dapat juga
bersifat trial and error yang dilakukan secara sadar melalui usaha yang terencana melalui
beberapa generasi. Sistem bukanlah sesuatu yang bersifat instan, sebaliknya sistem harus
dibentuk melalui proses yang lama.
Beberapa partai politik yang memiliki hubungan sejarah dengan Partai Masyumi
yang pernah berjaya pada era Orde Lama dan alchirnya dibubarkan oleh Presiden Soekar-
no banyak mendayagunakan klausa dengan ketransitifan seperti yang muncul dalam ku-
368
tipan (78) di atas. Dan analisis terhadap sistem ketransitifan yang terdapat pada klausa-
klausanya dapat diketahui posisi ideologis mereka, yakni ideologi yang mementingkan
sistem yang mantap, bukan mementingkan figur atau tokoh.
b. Proses Mental atau Proses Proyeksi
Memperhatikan pendapat Halliday (1985:111), proses mental dapat diklasi fikasi-
kan menjadi tiga golongan besar, yakni (1) persepsi, (2) afeksi, dan (3) kognisi. Yang ter-
masuk proses persepsi, antara lain melihat, mendengar, dan memandang. Yang termasuk
proses afeksi, antara lain menyukai, khawatir, optimis, dan merasa. Yang termasuk proses
kognisi, antara lain berpikir, berpendapat, mengetahui, dan memahami.
Dalam Halliday (1994), proses mental berubah namanya menjadi proses proyeksi,
seperti dapat ditemukan dalam paparan Butt et al. (1995). Terdapat perkembangan teori
dalam pandangan Halliday terbaru ini. Jika dalam Halliday (1985) proses verbal berdiri
sendiri di luar proses mental, dalam Halliday (1994) proses verbal dimasukkan ke dalam
proses mental atau proses proyeksi. Dalam penelitian ini, klasifikasi ketransitifan proses
mental mengikuti pandangan Halliday (1985) dan Halliday (1994) tersebut.
Keempat subproses proyeksi atau mental secara umum didayagunakan dalam teks-
teks politik bahasa Indonesia. Dan teks-teks politik yang dihasilkan oleh 26 elite politik
yang dianalisis pada tahap awal dapat dipaparkan sebagai berikut. Pertama, 11 elite politik
menghasilkan teks-teks politik yang didominasi oleh proses afeksi. Kedua, 9 elite politik
menghasilkan teks-teks politik yang didominasi oleh proses kognisi. Ketiga, 5 elite politik
menghasilkan teks-teks politik yang didominasi oleh proses persepsi. Keempat, 4 elite
politik menghasilkan teks-teks politik yang didominasi oleh proses verbal. Paparan secara
lebih lengkap dapat diperhatikan pada tabel 5.3 berikut.
36,9
Tabel 53 Pilihan Klausa Proses Proyeksi atau Mental dalam Teks-Teks yang
Dihasilkan oleh 26 Elite Politik era Pasca-Orde Baru
No Nama Elite
E Proses Proyeksi
Persejosi E (%).
Afeksi E (%)
Kognisi E (%)
Verbal E (%)
01. SH 27 1(3,70) 10(37,0)* 8(29,6) 8(29,6) 02. AT 21 2(9,5) 8(38,1)* 6(28,6) 5(23,8)
03. GD 20 1(5,0) 8(40,0)* 7(35,0) 4(20,0)
04. DR 8 5(62,5)* 0(0,00) 3(37,5) 0(0,00)
05. MDI 20 5(25,0) 3(15,0) 8(40,0)* 4(20,0)
06. HS 5 0(0,00) 0(0,00) 3(60,0)* 2(40,0)
07. MD 13 5(38,5)* 3(23,1) 4(30,8) 1(7,7)
08. FB 10 3(30,0)* 2(20,0) 3(30,0)* 2(20,0)
09. SSS 6 0(0,00) 4(66,7)* 1(16,7) 1(16,7)
10. AWM 6 0(0,00) 3(50,0)* 2(33,3) 1(16,7)
11. SBY 30 7(23,3) 7(23,3) 9(30,0)* 7(23,3)
12. SEY 16 6(37,5)* 5(31,3) 3(18,8) 2(12,5)
13. HM 4 2(50,0)* 1(25,0) 1(25,0) 0(0,00)
14. SBP 22 3(13,6) 5(22,7) 8(36,4)* 6(27,3)
15. ATS 8 0(0,00) 3(37,5)* 3(37,5)* 2(25,0)
16. YIM 9 0(0,00) 4(44,4)* 4(44,4)* 1(11,1)
17. KHD 16 4(25,0) 3(18,8) 3(18,8) 6(37,5)*
18. AR 15 3(20,0) 10(66,7)* 1(6,7) 1(6,7)
19. KKG 4 0(0,00) 2(50,0)* 1(25,0) 1(25,0)
20. DH 23 6(26,1) 5(21,7) 4(17,4) 8(34,8)*
21. AS 7 2(28,6) 3(42,9)* 2(28,6) 0(0,00)
22. RH 12 3(25,0) 1(8,3) 2(16,6) 6(50,0)*
23. AMS 3 1(33,3) 0(0,00) 0(0,00) 2(66,6)*
24. AN 4 0(0,00) • 1(25,0) 2(50,0)* 1(25,0)
25. ABT 7 0(0,00) 2(28,6) 4(57,1)* 1(14,3)
26. MILD 9 2(22,2) 5(55,6)* 1(11,1) 1(11,1)
Catatan:
Singkatan nama elit politik sudah dipaparkan pada bagian sebelumnya.
( )* Sistem ketransitifan yang menonjol
Paparan dalam tabel 53 di atas memberikan informasi yang menarik. Elite politik
Indonesia memiliki kecenderungan mendayagunakan proses mental yang berkategori
afeksi. Sementara itu, proses kognisi, persepsi, dan verbal secara berturut-turut mengikuti
proses afeksi. Memang, belum sernua teks politik dart bebet apa elite politik lainnya yang
dianalisis. Akan tetapi, kecenderungan itu dalam pandangan peneliti akan dijumpai juga
dalam teks-teks politik lainnya. Beberapa verba dalam bahasa Indonesia, seperti kira/
mengira, khawatir, menghargai, menyadari, yakin, menduga, menebak, (me)rasa,
370
kecewa, curiga, (ber) harap, (meng)anggap, dan sebagainya banyak mendominasi tu-
turan-tuturan para elite politik Indonesia. Kata kira dan rasa, khususnya, dalam
konstruksi seperti saya kira, kami kira, saya rasa, dan kami rasa kemunculannya
memiliki frekuensi yang tinggi dalam teks-teks politik tersebut. Hal ini
menginformasikan bahwa elite politik Indonesia lebih mengedepankan verba yang
memiliki makna 'afeksi'. Sementara itu, proses proyeksi yang bermakna 'kognisi',
'persepsi', dan verbal tidak begitu intensif dipilih. Elite politik lebih banyak
mendayagunakan verba yang lebih menonjolkan dimensi perasaan.
Tabel 5.3 memunculkan pertanyaan "apakah klausa proses proyeksi yang bermak-
na afeksi itu cocok digunakan dalam teks-teks politik yang akan selalu melibatkan orang
banyak sebagai penerimanya". Teks politik yang dihasilkan oleh elite politik adalah satu
unsur dan sebuah politik komunikasi yang di dalamnya akan selalu melibatkan mekanis-
me pengendalian dan penguasaan. Kedua mekanisme ini, dalam pandangan peneliti, ha-
ruslah melibatkan sebuah cara bertutur yang mantap dan pasti agar daya kontrol dan ku-
asa itu dapat berjalan efektif Sebuah cara bertutur yang didominasi oleh aspek perasaan
pada din penuturnya amatlah tidak kondusif bagi pelaksanaan politik komunikasi. Ung-
kapan saya rasa dan saya kira, misalnya, memunculkan nuansa malcna 'fidak begitu ya-
kin dengan apa yang dikemukakannya'. Dalam komunikasi politik, klausa yang bertipe
proses proyeksi dengan makna 'persepsi' dan 'kognisi' agaknya lebih sesuai dengan peng-
ucapan dalam wacana politik.
c. Proses Relasi atau Proses Menjadi
Proses relasi atau proses menjadi terdiri atas tiga modus, yakni (1) atributif, dan
(2) identifikasi (Halliday, 1985), serta (3) eksistensial (Halliday, 1994). Proses atributif
3 7 -
dicirikan dengan "a is an attribute off, sementara proses identifikasi dicirikan oleh "a
is the identtb) off. Proses eksistensial dicirikan dengan penggunaan kata "ada" atau "tidak
ada". Dua modus yang pertama masing-masingnya memiliki tiga tipe, yakni (1) intensif,
(2) keadaan, dan (3) posesif. Paparan secara lengkap, lihat bab II halaman 171-174.
Teks-teks politik bahasa Indonesia pada era pasca-Orde Baru juga mendayaguna-
kan proses-proses relasi secara beragam. Terdapat elite politik yang mendayagunakan
ketiga proses dalam klausa relasi dan ada juga yang lebih dominan pada klausa tertentu.
Selanjutnya, perhatikan tabel 5.4 berikut.
Tabel 5.4 Pilihan Klausa Proses Relasi dalamTeks-Teks yang Dihasilkan oleh 26
Elite Politik era Pasca-Orde Baru
No Nama E Proses Relasi
Atributif (%)
Identifikasi (%)
Eksistensial
01. SH 20 8(40) 10(50)* 2(10)
02. AT 21 7(33) 9(43)* 5(24)
03. GD 10 4(40) 5(50)* 1(10)
04. DR 11 3(27) 8(73)* 0(0)
05. MIDI 27 13(48)* 10(37) 4(15)
06. HS 6 3(50)* 3(50)* 0(0)
07. MD 23 14(61)* 8(35) 1(4)
08. FB 14 3(21) 6(43)* 5(36)
09. SSS 6 4(67)* 1(17) 1(17)
10. AWM 2 0(0) 0(0) 2(100)*
11. SBY 22 8(36) 12(55)* 2(9)
12. SEY 22 7(32) 14(64)* 1(5)
13. HM 12 4(33)* 4(33)* 4(33)*
14. SBP 16 6(37) 10(63)* 0(0)
15. ATS 6 3(50)* 3(50)* 0(0)
16. YIM 6 0(0) 6(100)* 0(0)
17. KHD 7 2(29) 5(71)* 0(0)
18. AR 21 12(57)* 7(33) 2(10)
19. KKG 4 1(25) 3(75)* 0(
0)
20. DH 29 12(41) 14(48)* 3(10)
21. AS 24 4(17) 14(58)* 6(25)
22. RH 0 0(0) 0(0) 0(
0)
23. AMS 6 1(17) 5(83)* 0(0)
24. AN 0 0(0) 0(0) 0(0)
25. ABT 8 0(0) 6(75)* 2(25)
26. MLD 6 5(83)* 0(0) 1(17)
jumlah wartawan media mass& Masalah yang diangkat adalah persoalan dialog yang dita-
3 7 2
Dan tabel 5.4 di atas dapat diketahui beberapa hal penting sebagai berikut. Pertama,
teks politik dari 15 elite politik didominasi oleh klausa relasi yang bermakna 'identifikasi'.
Kedua, teks politik dari 6 elite politik didominasi oleh klausa relasi yang bermalcna
tatribusf. Ketiga, teks politik dari 2 elite politik didominasi oleh klausa relasi yang
bermakna 'aksistensial'. Keempat, teks politik dari 2 elite politik didominasi oleh dua
klausa relasi yang bermakna latribusi' clan 'identifikasi'. Kelima, teks politik dari 1 elite
politik didominasi oleh tiga klausa relasi secara seimbang yang bermakna 'atribusi', 'iden-
tifikasi', dan 'eksistensial'. Keenam, teks politik dari 2 elite politik tidak mendayagunakan
sama sekali klausa relasi.
Dengan demikian, elite politik Indonesia era pasca-Orde Baru memiliki kecende-
rungan mendayagunakan klausa relasi yang memiliki makna Identifikasit. Klausa identi-
fikasi adalah sistem ketransitifan yang kedudukan antara "teridentifikasi" (identified) dan
"pengidentifikasi" (identifier) dapat dibalik (reversible) dalam penggunaannya. Sebuah
rumusan, seperti a adalah b dapat digunakan secara berkebalikan b adalah a secara be-
bas. Banyak tuturan elite politik Indonesia yang mendayagunakan klausa identifikasi de-
ngan memanfaatkan konjungsi adalah itu. Bahkan, identifikasi dengan adalah ini men-
dominasi dari keseluruhan klausa identifikasi. Perhatikan kutipan (79) berikut.
Kutipan (79):
SBY: [...] Saya mencatat ada banyak pandangan dan pemilciran darifloor. Sebagian besar adalah pandangan yang positif dan konstruktif. Sebagian kecil adalah pandangan yang besar, tempi masih hams dibahas lebih lanjut karena masalahnya tidak seder- hana. Sebagian lagi adalah masalah yang terlalu didramaiisasi, digeneralisasi, disimplifikasi, kathmg-kadang juga menggunakan analogi yang tidak tepat. [Data 49.B.1(9)]
Kutipan (79) dicuplik dari teks basil wawancana Susilo Bambang Yudhoyono dengan se-
wartawan media massa. Topik yang diangkat adalah tanggapan terhadap konsep Indo-
373
warkan ABRI kepada mahasiswa Indonesia untuk mengatasi persoalan politik Indonesia.
Pada kutipan (79) itu terdapat tiga klausa, yakni klausa 2, 3, dan 4, yang mendayagunakan
klausa identifikasi dengan konjungsi adalah. Klausa kedua yang berbunyi sebagian besar
adalah pandangan yang positif dan konstruktif dapat dianalisis sistem ketransitifannya
sebagai berikut.
sebagian besar adalah pandangan yang positif dan konstruktif
teridentifikasi proses relasional pengidentifikasi
Urutan klausa kedua dengan teridentifikasi+proses relasional+pengidentifikasi dapat
dibalik secara bebas dengan urutan pengidentifikasi+proses relasional+teridentifikasi.
Analisis yang sama dapat diterapkan pada klausa ketiga dan keempat Sebagian besar,
klausa identifikasi yang didayagunakan oleh elite politik Indonesia pada era pasca-Orde
Baru menggunakan pola-pola seperti itu. Bahkan, dan tabel 5.4 di atas dapat diketahui
bahwa seluruh klausa relasional yang dipilih oleh beberapa elite politik semuanya meru-
pakan klausa identifikasi dengan konjungsi adalah.
Pada beberapa kasus, pendayagunaan klausa relasional dengan konjungsi
adalah memiliki kekhasan karena tidak dapat dibalik secara bebas seperti klausa-
klausa pada kutipan (79) di atas. Selanjutnya perhatikan kutipan (80) berikut.
Kutipan (80):
DR: Dalam konteks wacana politik saat ini status quo dan reformis itu adalah pemerintahan itu sendiri. Kalau kita mau jujur, maka pemerintahan yang ada saat ini adalah
termasuk status quo, yang artinya masih menggunakan sistem dan aturan yang lama serta belum terlihat perubahan yang berarti. [Data 15.B.1(10)]
Kutipan (80) dicuplik dari teks hasil wawancara Dawam Rahardjo (DR) dengan sejumlah
374
nesia barn atau Indonesia masa depan yang diidam-idamkan termasuk pandangannya
ten-tang pemerintahan Presiden Habibie. Dalam kutipan (80) kalimat pertama dan kedua
mengandung klausa yang menggunakan konjungsi adalah. Klausa pertama yang berbu-
nyi dalam konteks wacana politik saat ini status quo dan reformis adalah pemerin-
tahan itu sendiri dapat dianalisis sistem ketransitifannya sebagai berikut.
status quo dan
reformis
adalah pemerintahan itu
sendiri
dalam konteks wacana
politik saat ini
pengidentifikasi proses relasional teridentifikasi keterangan
Satu catatan penting dapat dikemukakan berkaitan dengan analisis sistem ketransitifan di
atas adalah bahwa penghasil teks mendayagunakan urutan pengidentifikasi+proses
relasional+teridentifikasi dalam kluasa relasional. Lazimnya, sebuah klausa identifikasi
dituangkan dalam urutan teridentifikasi+proses relasional+pengidentifikasi. Dengan
demikian, urutan proses relasional yang didayagunakan oleh DR memiliki makna ideolo-
gis-politis tertentu yang ingin mengedepankan bagian klausa yang menjadi pengisi peng-
identifikasi. Model penggunaan klausa yang berproses relasi atau proses menjadi dengan
ma'am 'identifikasi' seperti ini banyak dijumpai dalam teks-teks kampanye partai politik
peserta pemilu tahun 1999.
Pola yang berbeda dengan klausa pertama kutipan (80) dapat ditemukan pada klau-
sa kedua yang menggunakan urutan teridentifikasi+proses relasional+pengidentifikasi
pada kutipan yang sama seperti lazimnya digunakan pada klausa-klausa pada kutipan (79)
di alas. Hanya saja, klausa kedua pada kutipan (80) tidak dapat dibalik secara bebas se-
perti klausa-klausa pada kutipan (79) sebelumnya. Susunan klausa seperti ini mengandung
makna, yakni penutur ingin menonjolkan unsur yang menduduki "teridentifikasi".
375
4.2.1.2 Nominalisasi
Fenomena nominalisasi banyak didayagunakan dalam teks-teks politik Indonesia
pada era pasca-Orde Ban'. Seperti sudah dipaparkan pada bab II bahwa pilihan nominal-
isasi memiliki signifikansi ideologis tertentu. Fairclough (1989) dan Butt et al. (1995)
mengaitkan nominalisasi dengan nilai pengalaman klausa. Berikut ini dipaparkan hal
ikhwal pendayagunaan nominalisasi era pasca-Orde Baru, yakni paparan tentang fungsi
nominalisasi dalam klausa yang di dalamnya termasuk juga paparan tentang berbagai no-
minalisasi yang digunakan.
Ditinjau dari fungsinya dalam klausa, berbagai nominalisasi yang ada menduduki
fungtor-fungtor: (1) partisipan, (2) proses, dan (3) keterangan. Kemunculan nominalisasi
dalam fungtor-fungtor itu memiliki frekuensi yang cukup beragam. Terdapat nominalisasi
yang muncul dalam fungtor tertentu dengan frekuensi yang cukup tinggi, misalnya nomi-
nalisasi partisipan. Sebaliknya, terdapat nominalisasi fungtor tertentu dengan frekuensi
yang cukup rendah.
a. Nominalisasi Partisipan
Nominalisasi yang menduduki partisipan dapat digolongkan menjadi dua kelompok,
yakni (1) nominalisasi yang menduduki agen, dan (2) nominalisasi yang menduduki goal
dalam klausa. Nominalisasi yang menduduki partisipan, baik agen maupun goal banyak
muncul dalam teks-teks politik yang dihasilkan oleh sejumlah elite politik Indonesia era
pasca-Orde Baru. Berikut ini dipaparkan dua jenis nominalisasi itu.
Pertama, nominalisasi yang menduduki agen dalam klausa. Ncminalisasi agen ini
muncul dengan sejumlah bentuk, antara lain seperti "nominalisasi `1\1+yang"', "nomina-
lisasi 'yang"', "nominalisasi itanyam, "nominalisasi lanya±yangm, dan sebagainya yang
376
akan dipaparkan kemudian. Beberapa nominalisasi yang menduduki agen klausa dapat
diperhatikan pada paparan berikut.
Misi rakyat yang ingin tetap melaksanakan SI ingin menyelamatkan negara dan bangsa (SH).
Pemerintah, seperti yang pernah disampaikan Presiden Habibie ingin menjalankan agenda
reformasi sesuai jadwal (SH).
Apa yang kita gunakan sebagai pengganti lima UU yang dicabut tersebut? (HS)
Pemikiran tentang perlunya reformasi, balk reformasi politik, hukum, dan ekonomi sebenamya
sejalan dengan pemikiran DPR (HS).
Yang menjadikan kelompok Iramasuka mendukung beliau karena perhatian yang dimiliki beliau
pada kawasan ini memang cukup besar (MDI).
Berbagai kebijakan yang beliau lakukan selama menjadi presiden saat ini sangat berarti bagi orang-
orang daerah (MD).
Toni trickle down effect yang diagung-agungkan itu tidal( terbukti (AS).
Paradigma ekonomi barn ini diharapkan dapat mendorong tumbuhnya pengusaha kecil, menengah,
dan koperasi (AS).
Yang terpenting bahwa PDI telah membuktikan sebagai partai besar yang dipilih rakyat (DH).
Yang sesungguhnya terjadi bukan bantuan, tetapi utang kepada pihak asing (KKG).
Pos penerimaan dalam APBN yang diisi dari bantuan asing akan berkurang (KKG).
Kampannye dalam bentuk pengerahan massa berpotensi menimbulkan bentrokan antarpendukung
partai-partai (SEY).
Yang perlu dirumuskan antara lain waktu atau jadwal kampanye (SEY).
Kerusakan-kerusakan yang ditimbulkan oleh rezim orde baru Soeharto selama tiga puluh tahun
bukan alang kepalang, baik sistem sosial ekonomi, politik, maupun budaya ditambah daigan pertum-
pahan darah di mana-mana di Indonesia (SBP).
Mereka yang bertanggung jawab adalah orde baru, pars pengikut Soeharto, termasuk Pak Habibie,
termasuk Pak Wiranto, termasuk Harmoko (SBP).
Yang paling penting bagi kita sekalian adalah mencegah terulangnya kesulitan-kesulitan ini (YIM).
Yang paling diperjuangkan dan khususnya saya perjuangkan adalah upaya untuk membangun suatu
sistem yang kuat (VIM).
Dialog yang ditawarkan pimpinan ABRI itu adalah niat baik, prakarsa untuk membangun sebuah
komunikasi politik di_antara sesama komponen masyarakat (SBY).
Dialog yang dilakukan tentunya dalam kerangka sistem, bukan di luar sistem (SBY).
Kalau Anda menanyakan kepada saya yang paling ideal tentu saja jawabannya adalah Amien Rais.
Itu yang paling ideal. (DR).
Apa yang dilakukan oleh partai-partai yang melakukan komunike, balk yang di Paso maupun
yang di Kartika Candra adalah hanya merupakan maneuver politik saja, bahkan itu bisa jadi merupa-
kan bentuk ketidakpercayaan diri partai tersebut dengan kekuatan mereka serta khawatir dengan
kekuatan Golkar (DR).
Yang bercetak tebal dalam paparan di atas adalah nominalisasi yang menduduki agen
dalam klausa_ Nominalisasi jenis pertama ini dalam teks-teks politik bahasa Indonesia
era pasta-Orde Baru cukup dominan. Selanjutnya, perhatikan kutipan (81) berikut.
Kutipan (81):
SH: [...] Saya kira kalau dibandingkan, jumlah rakyat yang mendukung digelar SI jauh leblh banyak. Sebab, mini rakyat yang ingin tetap melaksanakan SI ingin
menyelamatkan negara dan bangsa. [Data 49.B.2(11)]
377
Kutipan (81) dicuplik dari teks basil wawancara wartawan media massa dengan Syarwan
Hamid (SH). Topik yang diangkat adalah persoalan pelaksanaan Sidang Istimewa yang
masih menimbulkan pro dan kontra di masyarakat. Dalam kutipan (81) terdapat pendaya-
gunaan nominalisasi pada konstruksi misi rakyat yang ingin tetap melaksanakan SI
yang menduduki partisipan. Ditinjau dari susunan fungtornya, klausa kedua itu disusun
dengan pola "agen+proses+goa/ll dengan nominalisasi sebagai pengisi bagian klausa yang
menduduki agen itu.
Jika dikembalikan kepada ide dasar Halliday bahwa pemolaan klausa adalah sebuah
model variabel dari pengalaman manusia", pilihan nominalisasi agen dalam susunan
"agen+proses+goar itu merupakan model variabel bagaimana elite politik Indonesia
memandang pengalaman atau realitas, yakni masalah pelaksanaan Sidang Istimewa yang
masih pro dan kontra itu. Dalam kasus itu, penghasil teks memandang bahwa misi ingin
menyelamatkan negara dan bangsa sebagai bagian yang menduduki "proses" lebih pen-
ting daripada misi rakyat yang ingin tetap melaksanakan SI sebagai bagian yang men-
duduki "partisipan" meskipun dalam kenyataannya pelaksanaan SI adalah pintu gerbang
untuk menyelamatkan negara dan bangsa. Dalam teori fungsional, proses lebih penting
daripada partisipan atau "proses" lebih penting daripada "sesuatu". Dengan demikian,
terdapat fenomena yang unik dalam nominalisasi SH itu, yakni "menyembunyikan" ide
dasar yang lebih penting ke dalam penggunaan nominalisasi agen dan mengedepankan ide
yang kurang penting ke dalam "proses" klausa.
Pendayagunaan nominalisasi seperti yang dilakukan SH di atas banyak dilakukan
oleh elite-elite politik lainnya, baik dari pihak pemerintah yang berkuasa maupun dari
kelompok oposisi. Hal ini dapat diperhatikan pada kutipan (82) berikut.
378
Kutipan (82):
KKG: [...] Sikap seperti ini memang membawa konsekuensi. Misalnya, jika bantuan asing seperti bantuan CGI diperkecil maka proyek-proyek yang mengandalkan bantuan asing akan dipangkas. Pos penerimaan dalam APBN yang diisi dari
bantuan asing juga akan berkurang. [Data 11.B.2(12)]
Kutipan (82) dicuplik dari teks hasil wawancara sejumlah wartawan media massa dengan
Kwik Kian Gie (KKG), salah seorang elit politik PDI Perjuangan. Topik yang diangkat
adalah tanggapan KKG tentang masalah utang dari CGI yang menjadi andalan untuk me-
nutupi defisit APBN. Dalam kutipan (82) itu terdapat pendayagunaan nominalisasi agen
pada bentukan pos penerimaan dalam APBN yang diisi dari bantuan asing. Dengan
demikian, klausa tersebut disusun dengan pola "agen+proses" dengan pendayagunaan
nominalisasi untuk mengisi bagian klausa yang menduduki agen itu.
Jika dikembalikan kepada ide Halliday seperti analisis dalam kutipan (81) di atas,
pilihan nominalisasi agen dalam susunan "agen+proses" adalah model variabel tentang
bagaimana elit politik Indonesia memandang aspek pengalaman atau realitas yang ada,
yakni peranan utang CGI untuk menutupi defisit APBN. Dalam kasus itu, penghasil teks
memandang bahwa pos APBN juga akan berkurang sebagai Idausa utama lebih penting
daripada adanya pos penerimaan APBN dari utang lembaga keuangan asing meski-
pun dalam kenyataannya keberadaan "utang asing" itu jauh lebih penting dan mendasar
daripada keberadaan pos APBN yang akan berkurang. Jumlah utang luar negeri Indo-
nesia yang semakin membesar dari tahun ke tahun menjadi persoalan yang sangat berat
bagi anak cucu penerus pemimpin Indonesia.
Nominalisasi agen hadir dalam berbagai bentuk, antara lain (1) nominalisasi "nomi-
na+yang", (2) nominalisasi "Yang", dan (3) nominalisasi "tanya+yang". Pertama, nomina-
lisasi dengan bentuk "nomina+yang" dapat diperhatikan pada contoh-contoh ke-1, 2, 6,
379
7, 11, 14, 15, 18, dan 19 pada paparan di di atas. Nominalisasi bentuk pertama ini didaya-
gunakan secara lebih ekstensif dalam teks-teks politik era pasca-Orde Baru. Kedua, nomi-
nalisasi dengan bentuk "Yang" dapat diperhatikan pada contoh-contoh ke-5, 9, 10, 13, 16,
dan 17. Ketiga, nominalisasi dengan bentuk "tanya+ yang" dapat diperhatikan pada con-
toh-contoh ke-3 dan 21.
Apa pun bentuk nominalisasi yang dipilih, terdapat satu fenomena yang menarik
yakni keberadaan nominalisasi sebagai alat untuk mencapai tujuan ideologis-politis ter-
tentu. Pilihan nominalisasi bukan semata-mata alasan linguistis yakni menominalkan
suatu verba atau adjektiva tertentu melalui proses tertentu, tetapi lebih jauh dan itu pilih-
an nominalisasi merupakan sarana yang sangat strategis untuk keperluan menyembunyi-
kan "agenda tertentu" dalam mencapai tujuan ideologic tertentu.
Kedua, nominalisasi yang menduduki goal dalam klausa. Goal dalam kasus ini
bermalum luas bergantung pada klausa yang dipilih. Termasuk ke dalam konsep goal ini
adalah goal itu sendiri, fenomena, ucapan, dan atau proyeksi . Jika yang muncul adalah
proses material, nominalisasi yang dimaksud adalah nominalisasi goal. Jika yang muncul
adalah proses mental, nominalisasi yang dimaksud adalah nominalisasi fenomena. Jika
yang muncul adalah proses verbal, nominalisasi yang dimaksud adalah nominalisasi
ucapan. Nominalisasi goal ini muncul dalam tiga bentuk, yakni (1) "nominalisasi 'N+
yang"', (2) "nominalisasi 'tanya+ yang"', dan (3) "nominalisasi rbahwa+N" yang akan
dipaparkan kemadian. Beberapa nominalisasi yang menduduki goal klausa dapat diper-
hatikan pada paparan berikut.
Mereka harusnya menjelaskan poin-poin mana yang ditolak (SH).
Saya tidak munafik ingin mencari peluang-peluang yang mungkin menguntungkan saya (SH).
Kalau terus-menerus dibiarkan, bisa dipastikan akan menimbulkan dampak yang kurang baik bagi
negeri ini (MDI).
3 8 0
Selama ini perbedaannya sangat jelas. Di sate sisi, Pak Akbar mengatakan bahwa Pak Marzuki belum
keluar dari ketentuan rapim (MDI).
Komentar itu mengada-ada, Kita ini kan mengurifs puluhan juta rakyat kecil yang kehidupan eko-
nominya kita dorong terus (AS).
Mbak Mega adalah seorang negarawan. Karena itu, dia menjunjung tinggi aturan main yang ditetap-
kan (DH).
Mereka harus mematuhi peraturan-peraturan pemilu, balk yang ada dalam UU Politik maupun
yang dirumuskan KPU (SEY).
Saya melihat bahwa dari sudut pandang agama Islam yang saya anut perkara gender itu memang
sudah amat jelas sekali (AR).
Mereka kan mendengarjuga bahwa kita meminta mereka pulang (GD).
Saya melihat bahwa keinginan demikian kurang tepat, kurang logis, dan kurang realistis (SBY).
Sebab, di situ akan mengandung kerawanan yang tinggi, resiko yang tinggi dan instabilitas dalam
gerak pembangunan (SBY).
Saya melihat apa yang dilakukan PDI Perjuangan bukan sesuatu yang luar biasa (HM).
Yang tercetak tebal pada paparan di atas adalah nominalisasi yang menduduki goal da-
lam klausa. Nominalisasi yang menduduki goal klausa dalam teks-teks politik bahasa
Indonesia relatif cukup banyak meskipun tidak sebanyak nominalisasi agentifnya.
Untuk memperoleh gambaran secara lebih komprehensif terhadap pendayagunaan
nominalisasi goal, selanjutnya perhatikan kutipan (83) berikut.
Kutipan (83):
SBY: Saya melihat bahwa keinginan demikian kurang tepat, kurang logis, dan ku-
rang realistis. Pengambilan kebijakan di negara kita tidak hanya dilakukan oleh presiden....Secara vertikal dan horisontal, banyak pihak yang berperan dalam perumusan kebijaksanaan. [Data 49.B.1(13)]
Kutipan (83) dicuplik dari teks basil wawancara sejumlah wartawan media massa dengan
Letnan Jenderal Susilo Bambang Yudhoyono dalam kapasitasnya sebagai Kaster TNI.
Topik yang diangkat adalah masalah permintaan sejumlah elemen mahasiswa Indonesia
untuk berdialog dengan presiden. Dalarn kutipan (83) di atas terdapat "nominalisasi feno-
mena" pada klausa pertama_ yakni bahwa keinginan demikian kurang tepat, kurang
logis, dan kurang realistis. Klausa pertama disusun dengan urutan "pengindera+proses
mental+ fenomena". Fenomena ini memberikan pemahaman bahwa bagian klausa yang
menduduki fenomena kurang memperoleh pementingan dibandingkan dengan bagian
381
klausa yang menduduki prosesnya meskipun dalam fenomena itu sebenarnya tersembunyi
ide yang lebih penting daripada bagian sebelumnya.
Pendayagunaan nominalisasi yang senada dengan klausa pertama kutipan (83) di
atas selanjutnya dapat diperhatikan pada kutipan (84) berikut.
Kutipan (84):
MDI:Selama ini perbedaannya sangat jelas. Di sate sisi, Pak Akbar mengatakan bahwa Pak Marzuki belum keluar dari ketentuan rapim. Tetapi di pihak lain, kita meng-anggap apa yang dilakukannya sudah di luar keputusan rapim. Nah, karena ada perbedaan pandang itulah, akhimya pertemuan tersebut perlu dilakukan. Kita perlu mengadakan dialog.... [Data 33.B.1(14)]
Kutipan (84) dicuplik dan teks hasil wawancara wartawan Jawa Pos dengan Marwah
Daud Ibrahim, salah seorang elit politik Partai Golkar dari kelompok Iramasuka Nusan-
tara. Topik yang diangkat adalah persoalan pencalonan Habibie sebagai calon Presiden
dari Partai Golkar. Dalam kutipan (84) di atas terdapat pendayagunaan nominalisasi pada
klausa kedua, yakni bahwa Pak Marzuki belum keluar dari ketentuan rapim. Klausa
kedua disusun dengan urutan "pengucap+proses+ucapan". Hal ini memberikan pemaham-
an bahWa klausa yang tnemperoleh nominalisasi diperlakukan sebagai bagian yang tidak
terlalu penting daripada bagian klausa yang menduduki "proses verbal". Nominalisasi
yang ada hanya berupa "kutipan" atau "ucapan".
Nominalisasi goal hadir dalam berbagai bentuk, yakni (1) nominalisasi "N+yang",
(2) nominalisasi "bahvva+N", dan (3) nominalisasi "tanya+yang". Nominalisasi "N+yang"
dapat diperhatikan pada contoh-contoh ke-1, 2, 3, 5, 6, 7, dan 11. Nominalisasi bentuk
pertama ini didayagunakan secara lebih ektensif oleh elite politik. Nominalisasi "bah-
wa+N" dapat diperhatikan pada contoh-contoh ke-4, 8, 9, dan 10. Nominalisasi dengan
formula "tanya+yang" dapat diperhatikan pada contoh ke-12.
3 8 2
b. Nominalisasi Proses
Dalam pandangan Halliday (1985; 1994) pemolaan pengalaman manusia dalam
kerangka fungsi pengalaman bahasa terpusat pada konsep "proses" yang selanjutnya diikuti
oleh konsep "partisipan", dan "keterangan". Dalam konteks wacana politik Indonesia era
pasca-Orde Baru, kepusatan "proses" dalam melaporkan pengalaman manusia tidak
berkorelasi dengan pendayagunaan nominalisasi yang menduduki proses. Dari teksteks
politik yang dianalisis, nominalisasi yang menduduki proses klausa tidak muncul dalam
penggunaan, tidak seperti yang terjadi pada nominalisasi agen dan goal klausa di atas yang
begitu dominan dalam teks-teks politik.
Fenomena tidak munculnya pendayagunaan nominalisasi proses dapat dicari ja-
wabnya pada teori ketransitifan Halliday (1985: 1994) yang di dalamnya terdapat sub-
bahasan tentang nominalisasi. Jika nominalisasi didayagunakan elite politik Indonesia
untuk mengurangi penonjolan sebuah kluasa tertentu yang penting untuk melaporkan
realitas di sekitar manusia, sangat tidak masuk akal jika nominalisasi itu ditempatkan pada
bagian klausa yang menduduki proses sebagai pusat klausa. Seperti sudah dipaparkan di
depan, proses dalam klausa adalah aspek utama dari nilai pengalaman bahasa sebagai alat
untuk melaporkan realitas atau pengalaman manusia.
c. Nominalisasi Keterangan
Analisis terhadap teks-teks politik Indonesia era pasca-Orde Baru menunjukkan
bahwa nominalisasi yang menduduki keterangan dalam klausa juga didayagunakan oleh
sejumlah elite politik. Berbeda dengan nominalisasi partisipan yang frekuensi pemun-
culannya begitu tinggi, nominalisasi keterangan hanya memiliki frekuensi yang rendah.
Nominalisasi keterangan ini muncul dalam bentuk tunggal, yakni nominalisasi "N+yang".
383
Pendayagunaan nominalisasi keterangan dalam teks-teks politik Indonesia era pasca-
Orde Baru selanjutnya dapat diperhatikan pada paparan berikut.
Khusus usaha menengah, posisinya sangat penting untuk mengisi hollow middle yang selama ini men-
jadi persoalan besar dalam ciri dualistik struktur ekonomi nasional (AS).
Kemungkinan besar Habibie juga akan mendapat dukungan dari partai Islam yang tampaknya khawatir
dengan kelompok Megawati yang tidak sesuai dengan mereka maka partai Islam ini pasti akan menulih
mendukung Habibie daripada mendukung Megawati yang tidal( jelas (DR).
Yang tercetak tebal pada paparan di atas adalah nominalisasi yang menduduki keterangan
atau keadaan (circumstance) dalam klausa. Contoh nominalisasi (1) dalam paparan di atas
adalah cuplikan dan teks hasil wawancara wartawan Jawa Pos dengan Adi Sasono (AS).
Topik yang diangkat adalah masalah ekonomi kerakyatan yang menjadi tema perjuangan
AS sebagai Menteri Koperasi dan Pembinaan Usaha Kecil, Menengah, dan Koperasi.
Klausa yang memuat nominalisasi (1) disusun dengan urutan "partisipan+proses+
keterangan". Dalam klausa itu terdapat nominalisasi keterangan, yakni untuk mengisi
hollow middle yang setama ini menjadi persoalan besar dalam ciri dualistik struktur
ekonomi nasional. Susunan klausa dengan nominalisasi keterangan itu memberikan
pemahaman bahwa bagian klausa yang menduduki keterangan kurang memperoleh pe-
mentingan dibandingkan dengan bagian yang menduduki proses dalam klausa.
Contoh nominalisasi (2) dalam paparan adalah cuplikan dari teks hasil wawancara
wartawan Skandal dengan Dawam Rahadjo (DR). Topik yang diangkat adalah penilaian
Partai Amanat Nasional terhadap reformasi yang dilaksanakan oleh Kabinet Presiden
Habibie. Klausa yang memuat nominalisasi (2) disusun dengan urutan "agen+proses+
goa/+keterangan". Dalam klausa itu terdapat nominalisasi keterangan, yakni clan partai
Islam yang tampaknya khawatir dengan kelompok Megawati yang tidak sesuai de-
ngan mereka. Susunan klausa dengan nominalisasi keterangan itu memberikan pema-
384
haman bahwa bagian klausa yang menduduki keterangan kurang memperoleh pementingan
dibandingkan dengan bagian yang menduduki proses dalam klausa.
4.2.1.3 Kalimat Aktif dan Pasif
Secara umum, teks-teks politik Indonesia era pasca-Orde Baru lebih didominasi
oleh penggunaan kalimat aktif dibandingkan dengan kalimat pasif. Dengan demikian,
jika fenomena ini diacukan kepada pendapat Orwell (1946) yang menganjurkan agar elite
politik lebih menggunakan kalimat aktif dibandingkan dengan kalimat pasif, realitas pen-
dayagunaan bahasa politik Indonesia era pasca-Orde Baru sudah relatif ideal seperti anjuran
Orwell di atas.
Untuk selanjutnya, paparan pada bagian ini difokuskan pada ragam kalimat pasif.
Dalam pandangan Fairclough (1989:124) persoalan kalimat aktif dan pasif berkaitan erat
dengan persoalan "proses tindakan" dalam kerangka sistem ketransitifan. Proses tindakan
yang dimunculkan dengan ragam pasif sering memunculkan kalimat pasif tanpa kehadiran
agen (agentless passive) yang pada tataran selanjutnya dapat mengakibatkan "kausalitas"
dan "peragenan" yang tidak jelas. Dengan demikian, pilihan kalimat pasif sebagai
pembangun teks-teks politik akan memiliki signifikansi ideologis tertentu sebagai bagian
dari strategi komunikasi politiknya.
Elite politik Indonesia era pasca-Orde Baru juga mendayagunakan secara intensif
bentuk kalimat pasif untuk berbagai aktivitas politiknya. Terdapat tiga bentuk pasif, yakni
(1) pasif di-, (2) pasif dengan pengedepanan objek, dan (3) pasif ter. Tiga bentuk pasif
tersebut selanjutnya dipaparkan sebagai berikut. Penyebaran Dendayagunaan bentuk pasif
oleh elite politik Indonesia era pasca-Orde Baru selanjutnya dapat diperhatikan pada tabel
5.5 berikut.
385
Tabel 5.5 Pendayagunaan Bentuk Pasif oleh 21 Elite Politik Indonesia era Pasca-
Orde Baru
No Nama Elite Politik Pasif di Pasif Persona Pasif ter
1. SH -1-1- +
2. AT ++ -
3. DR ++ + +
4. GD ++ + -
5. HM ++
6. SBP -H- - +
7. AWM -4-+ -
8. SSG -F-F + -
9. FB -1-+ +
10. SBY -H- - -
11. M D -H- + +
12. AS -4-1- +
13. KKG ++ +
14. HS ++ + -
15. DH ++ -
16. SEY ++ +
17. MDI -H- + +
18. AN -4-4- - 19. YIM -H- +
20. KHD -I-F +
21. AR -F-F +
Catatan:
-H- = banyak didayagunakan
+ = sedikit didayagunakan -
= tidak didayagunakan.
Dan tabel 5.5 di atas dapat diperoleh pemahaman bahwa bentuk pasif "di-" lebih
banyak didayagunakan oleh elite politik Indonesia untuk berbagai aktivitas politiknya,
diikuti oleh pasif dengan verba "ter-" dan pasif persona. Penjelasan tentang
pendayagunaan ketiga bentuk pasif di atas selanjutnya dipaparkan pada bagian berikut.
a. Kalimat Pasif dengan Verba "di-"
Basil analisis menunjukkan bahwa bentuk kalimat pasif dengan verba "di-"
paling banyak didayagunakan dalam teks-teks politik pada era pasca-Orde Baru.
Selanjutnya perhatikan kutipan (85) berikut.
386
Kutipan (85):
SH: Memang, dari awal diakui di sana sini ada kelemahan. Sebagai sebuah lembaga
baru, dan di dalamnya juga terdiri atas orang-orang yang berbeda, pemerintah
berusaha mencermati dengan dekat sekali. Pendekatan ini dilakukan dengan
landasan pada keharmonisan hubungan antara pemerintah anggota KPU lainnya.
[Data 49. B.1(15)]
Kutipan (85) dicuplik dari teks hasil wawancara wartawan Jawa Pos dengan Syarwan
(SH). Topik yang diangkat adalah masalah Komisi Pemilihan Umum yang
langkahlangkahnya semakin kontra produktif. Pada kutipan (85) tersebut kalimat
pertama dibangun dari ragam pasif, kalimat kedua dibangun dari ragam aktif, kalimat
ketiga dibangun dari ragam pasif.
Pada kalimat pertama, ketidakhadiran agen menimbulkan satu pertanyaan penting,
yakni "siapa yang mengakui?". Jika yang berbicara adalah SH selaku Menteri Dalam Ne-
get i yang sekaligus penanggung jawab KPU, jawaban terhadap pertanyaan itu adalah "pe-
merintah". Dalam kasus itu SH tidak mengedepankan agen pemerintah yang menjadi
"penanggung jawab KPU dengan mengakui kelemahan-kelemahan kinerjanya", tetapi
lebih menyembunyikan kehadiran agen dengan mendayagunakan pasif tanpa kehadiran
agen, peranan "agen yang bertanggung jawab" dinetralkan.
Pada kalimat kedua, SH mendayagunakan bentuk kalimat aktif dengan mengede-
pankan kehadiran agen dalam kalimat. Ketidakhadiran goal dalam kalimat itu tidak
menimbulkan pertanyaan karena secara eksplisit sudah hadir dalam keterangan yang
diekspresikan lebih dahulu daripada klausa intinya, yakni agen dan proses. Dalam
kalimat kedua, kegiatan mencermati dilakukan oleh lembaga yang merasa sangat
berjasa, yakni pemerintah. Dengan demikian, pilihan ragam aktif dengan menonjolkan
peranan agen mengandung makna ideologis-politis.
387
Pada kalimat ketiga, SH mendayagunakan bentuk kalimat pasif dengan ketidakha-
diran agen. Jika diperhatikan, ketidakhadiran agen pada kalimat ketiga ini berbeda dengan
kalimat pertama. Pada kalimat ketiga, ketidakhadiran agen tidak menimbulkan per-
masalahan yang signifikan terhadap penghilangan agen. Agen dapat ditemukan dalam
teks secara keseluruhan. Agen pada kalimat ketiga haruslah dicari hubungannya dengan
kalimat yang lain. Pilihan bentuk kalimat pasif pada kalimat ketiga relatif tidak mengan-
dung makna ideologis-politis.
Model-model pendayagunaan bentuk pasif seperti path kutipan (85) di atas
banyak muncul dalam teks-teks lain yang dihasilkan oleh sejumlah elite politik
Indonesia era pasca-Orde Baru. Hal ini dapat diperhatikan pada kutipan (86) berikut.
Kutipan (86):
SBY: Dalam paradigma bare kami, ya, TNI ingin memberikan ruang yang lebih luas ke-pada komponen bangsa di luar TNI untuk mengambil inisiatif yang tepat. Sebab, kalau kita yang mengambil prakarsa, suasana psikologis bangsa belum memung-
kinkan. Niat baik TNI untuk ikut menjadi solusi dengan cepat bisa ditangkap sebagai intervensi bare TNI dalam politik nasional. Tapi, Icami tidak apatis, tidak masa bodoh. Kami tetap mencermati dinamika yang berkembang sekarang. [Data 49. B.1(16)]
Kutipan (86) dicuplik dari teks hasil wawancara wartawan Gatra dengan Susilo Bambang
Yudhoyono, selaku Kepala Staf Teritorial TNT. Topik yang diangkat adalah pandangan
TNI dalam perpolitikan nasional setelah era dwifungsi ABRI dihapuskan. Dalam kutipan
(86) terdapat pendayagunaan bentuk aktif dan pasif sekaligus dalam satu paragraf basil dari
pertanyaan wartawan Gatra, yakni "mengapa TNI tak mengambil inisiatif membicarakan
soal amandemen UUD 1945 dengan kelompok masyarakat lain". Bentuk aktifnya
ditunjukkan oleh keberadaan verba-verba memberikan, memungkinkan, dan mencer-
mati. Sementara, bentuk pasifnya ditunjukkan oleh keberadaan verba ditangkap. Pilihan
388
bentuk aktif dalam kalimat 1, 2, dan 6 mengimplikasikan adanya penonjolan agen, yakni
TNI, kita, dan kami. Hal ini jelas mengandung makna ideologis-politis. Pilihan bentuk
pasif tanpa kehadiran agen pada kalimat 4 juga mengandung makna ideologis tertentu.
Kalimat tersebut tersebut lebih mengedepankan unsur goal, yakni niat baik TM. Penutur
sebagai representasi dari institusi TNI memiliki kepentingan untuk itu. Sebaliknya,
jawaban terhadap "siapa yang menangkap" tidak begitu penting. Dengan demikian, untuk
mencapai tujuan politiknya penutur begitu memaksimalkan peranan bentuk aktif dan pasif
sebagai sarana untuk menonjolkan atau menghilangkan peranan agen dalam klausa.
Yang menjadi pertanyaan selanjutnya adalah apakah model pendayagunaan ben-
tuk aktif dan pasif hanya dilakukan oleh elite politik dari pemerintah yang berkuasa.
Untuk menjawab pertanyaan tersebut, perhatikan kutipan (87) berikut.
Kutipan (87):
DH: [...] Tahun 1997, ketika pidato pertanggungjawaban Soeharto, Mbak Mega menga-takan MPR jangan menerima pertanggungjawaban Soeharto. Itu nanti akan me-nimbulkan bencana nasional. Nah, temyata tepat. Apa orang seperti itu dikatakan
takut bicara keliru? Ketika Soeharto dicalonkan lagi sebagai presiden, sekali lagi, Mbak Mega mengeluarkan statement-nya agar jangan sampai memilih kembali Soeharto. Waktu itu, tokoh-tokoh reformis itu kan masih tidur. Kan objektivitas berpikir seperti ini hams dibuat. [Data 11.B.1(17)]
Kutipan (87) dicuplik dari teks hasil wawancara wartawan Gatra dengan Dimyati Hartono,
salah seorang elite politik Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan. Topik yang diangkat
adalah seputar pencalonan Megawati Soekarnoputri sebagai calon presiden dari PDI
Perjuarigan. Dalam kutipan (87) di atas, DH begitu intensif mendayagunakan bentuk aktif
dan pasif secara simultan untuk mencapai tujuan politis tertentu. Bentuk aktif ciicirikan
oleh penggunaan verba-verba mengatakan, menimbulkan, mengeluarkan", dan tidur".
Pilihan terhadap bentuk aktif ini mengandung makna bahwa DH ingin menonjolkan
389
peranan agen dalam klausa, yakni Mbak Mega, penerimaan pertanggungjawaban
presiden Soeharto, dan tokoh-tokoh reformis. Bentuk pasif "di-" dengan ketidakhadir-
an agen dicirikan oleh penggunaan verba-verba dikatakan dan dibuat. Pilihan terhadap
bentuk pasif "di-" ini mengandung makna bahwa DH ingin menonjolkan peran-an goal
dalam klausa, yakni Mbak Mega, dan objektivitas berpikir versi PDI. Sementara,
jawaban terhadap siapa yang "mengatakan" dan "membuat" itu tidak penting.
Penonjolan goal dalam konstruksi pasif "di-" seperti yang terdapat pada
konstruksi di atas dapat ditemukan pada tuturan AR, seperti terdapat dalam kutipan (88)
berikut. Kutipan (88):
AR: Ini memang fenomena yang menarik. Saya kira, bukan polling Gatra solo, polling
lembaga lain indikasinya juga ke sana. Kalau masyarakat ditanya calon presiden
yang paling potensial, biasanya saya disebut yang paling sering. Ketika pertanya-
annya pada partai politik itu justru PAN adalah nomor dua atau nomor tiga. Nah,
karena itu, Sidang Umum MPR jadi sangat krusial. [Data 15.B.1(18)]
Kutipan (88) adalah cuplikan dari teks hasil wawancara wartawan Gatra dengan Amien
Rais. Topik yang diangkat adalah tanggapan AR terhadap pencalonan Habibie sebagai
calon presiden dari Partai Golkar. Dalam kutipan (88) itu AR mendayagunakan bentuk
pasif "di-" dengan ketidakhadiran agen, seperti terdapat pada bentukan disebut. Dalam
konstruksi itu, kehadiran goal saya sebagai maujud yang disebut menjadi lebih penting
daripada "siapa yang menyebut". AR sebagai penghasil teks memiliki kepentingan
menonjolkan saya untuk tujuan politisnya.
Dan paparan di atas dapat diperoleh pemahaman bahwa bentuk aktif dan pasif "di"
didayagunakan oleh elite politik Indonesia, baik dari pihak pemerintah yang berkuasa ma-
upun dari kelompok oposisi. Pilihan bentuk aktif dan pasif "di" oleh elite politik mengan-
dung kepentingan ideologis-politis tertentu. Ketidakhadiran agen dalam pasif "di-" me-
390
nimbulkan kesan bahwa ekspresi tersebut lebih bersifat impersonal, kaku, dan formal.
Dari sudut paradigma kritis, pilihan bentuk alctif dan pasif yang mengimplikasikan posisi
ideologis tertentu dapat dipandang sebagai salah satu bentuk politik komunikasi yang di
dalamnya terdapat dimensi penguasaan dan pengendalian.
b. Kalimat Pasif dengan Pengedepanan Objek
Mengikuti pendapat Chung (1976) seperti yang sudah dipaparkan pada bab II, ben-
tuk pasif pengedepanan objek adalah konstruksi pasif seperti pada "saya munculkan",
"saya katakan", "saya pilih", dan sebagainya. Bentuk pasif dengan pengedepanan objek
disebut juga pasif persona. Selanjutnya perhatikan kutipan (89) berikut.
Kutipan (89):.
SSG: [...] Ya, tinggal sekarang istilahnya adalah good will daripada mereka. Apakah bangsa dan negara mau dipecah belah? Apakah bangsa ini mau diadu antara satu dengan yang lain. Yang penting kami mempunyai satu pemikiran agar kongres ini...Yang jelas materi kongres sudah kita siapkan, ketetapan dan
keputusan kongres juga sudah kita tetapkan. [Data 11.B.1(19)]
Kutipan (89) dicuplik dari teks hasil wawancara wartawan Skandal dengan Soetardjo
Soerjogoeritno, salah seorang elite politik Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan. Masa-
lah yang diangkat adalah persiapan PDI-P untuk kongres di Bali yang salah satu agenda
utamanya adalah mencalonkan Megawati sebagai calon presiden dari PDI-P.
Dalam kutipan (89) itu SSG mendayagunakan bentuk pasif secara lebih menonjol
daripada bentuk aktifnya. Bentuk pasif yang dipilih ada dua jenis, yakni pasif "di-" pada
verba dipecah belah dan diadu, dan pasif persona pada verba kita siapkan dan kita
tetapkan. Pertama, pada verba pasif "di-", SSG ingin menonjolkan peran goal, yakni
"bangsa dan negara". Sementara itu, siapa yang menjadi agen yang "memecah belah" dan
"mengadu" sudah sangat jelas dan menjadi pengetahuan umum bagi sebagian besar ma-
391
syarakat Indonesia Pada masa lalu, "pemerintah yang berkuasa" selalu yang ditunjuk se-
bagai aktor pemecah belah sejumlah institusi yang melawan atau berseberangan pan-
dangan dengan pemerintah yang berkuasa Kedua, pada bentuk pasif pengedepanan objek
atau pasif persona, SSH ingin menonjolkan peran agen dalam klausa, yakni kita. Semen-
tara itu, bentuk aktif yang dipilih dicirikan oleh verba mempunyai. Pada bentuk aktif ini,
SSH juga ingin menonjolkan keberadaan agen, yakni kami. Pilihan bentuk aktif dan pasif
oleh salah seorang elite politik PDI-P di atas mengandung makna ideologis-politis ter-
tentu, yakni ideologi partai yang diperjuangkan oleh penghasil teksnya. Selanjutnya per-
hatikan kutipan (90) berikut.
Kutipan (90):
AR: Saya tetap optimistis. Seperti kita ketahui, partai besar yang lain adalah Partai Per-satuan Pembangunan. Kits tahu PPP secara resmi tidak mencalonkan Habibie. Ja-di, Habibie hanya dicalonkan oleh Golkar yang makin lemah. Maka, sulit bagi Habibie untuk mencapai anglca 50%. [Data 15.B.1(20]
Kutipan (90) dicuplik dari teks hasil wawancara wartawan Gatra dengan Amien Rais,
Ketua Umum Partai Amanat Nasional. Topik yang diangkat adalah tanggapan AR tentang
pencalonan Habibie sebagai talon presiden dari Partai Golkar. Dalam kutipan (90) AR
mendayagunakan bentuk pasif pada konstruksi verba kita tahu dan dicalonkan.
Pada pasif yang pertama, pilihan terhadap bentukan kita tahu oleh AR mengan-
dung dua makna. Pertama, penghasil teks menonjolkan peranan agen dalam klausa, yakni
kita, tempat penghasil teks termasuk di dalamnya. Dalam konteks ini, AR memiliki ke-
pentingan untuk menonjolkar► peran keagenannya. Kedua, penghasil teks menciptakar.
inklusivitas hubungan antara penghasil teks dengan penerima teks. Dengan politik in-
klusivitas itu, jarak individu dan jarak sosial antara penghasil teks dan penerima teks
392
menjadi dekat. Ini didukung fakta bahwa pilihan pasif persona, seperti kita tahu akan
menimbulkan kesan sebuah ekspresi yang bersifat personal, lentur, dan informal.
Pada pasif yang kedua, pilihan terhadap konstruksi verba dicalonkan dengan
kehadiran goal dan agen secara lengkap mengandung dua makna. Pertama, pilihan kata
"Habibie" sebagai goal yang ditonjolkan adalah fenomena yang biasa karena memang
topik yang diangkat adalah persoalan "Habibie" sebagai calon presiders. Penonjolan mauj
d "Habibie" dalam ekspresi bentuk pasif adalah dalam rangka menyesuaikan dengan topik
yang dipilihnya. Kedua, pengeksplisitan kehadiran agen, yakni "Golkar" oleh penghasil
teks memiliki tujuan tertentu. Dalam konteks ini, jawaban terhadap pertanyaan "siapa
mencalonkan Habibie" atau "Habibie dicalonkan oleh siapa" merupakan sesuatu yang amat
signifikan untuk dikemukakan sebagai bagian dari strategi penutur untuk memojokkan
Habibie karena dicalonkan oleh institusi yang dianggap "cacat".
Dan kacamata paradigma kritis, pilihan pasif persona yang berkesan lebih perso-
nal, lentur, dan informal seperti dilakukan oleh beberapa elite politik dapat dipandang se-
bagai usaha untuk menaturalisasikan peran agen dalam klausa untuk menjadi bagian dunia
bawah sadar masyarakat Indonesia. Politik komunikasi tidak hams identik dengan pe-
nguasaan dan pengontrolan dalam alam sadar, tetapi juga penaturalisasian secara tidak
atau bawah sadar itu.
c. Kalimat Pasif dengan Verba "ter-"
Seperti sudah dipaparkan sebelumnya bahwa bentuk pasif dengan verba "ter-" ti
dak begitu intensif didayagunakan oleh elite politik Indonesia pada era pasca-Orde Baru.
Untuk memperoleh gambaran tentang penggunaan pasif "ter-" dalam wacana politik,
perhatikan kutipan (91) berikut.
393
Kutipan (91):
DR: [...] Contohnya berkaitan dengan kasus korupsi, kita tihat sampai sae ini belum terlihat usaha yang keras dan benar-benar serius dari pemerintah dalam memberantas KKN, padahal pemerintah sudah dibekali aturan yang cukup kuat namun usaha untuk hal itu masih belum terlihat serius. [Data 15.B.1(21)]
Kutipan (91) dicuplik dari teks hasil wawancara wartawan Skandal dengan Dawam Ra-
hardjo, seorang elit politik Partai Amanat Nasional. Topik yang diangkat adalah penilaian
DR terhadap satu tahun pemerintahan Presiden Habibie. Pada kutipan (91) itu terdapat
pendayagunaan bentuk pasif "ter-", yakni pada bentukan verba terlihat. Pilihan terhadap
verba terlihat berimplikasi terhadap kehadiran agen dan tidak menuntut kehadiran goal.
Jawaban terhadap siapa yang melihat menjadi tidak penting dalam bentuk pasif seperti
itu. Yang lebih penting adalah goal dan prosesnya. Senada dengan pasif "di-", bentuk
pasif "ter-" ini mengandung makna dan memiliki karakteristik yang lebih impersonal dan
lebih formal.
Fenomena pendayagunaan bentuk pasif "ter-" seperti kutipan (91) di atas dapat
diperhatikan pada kutipan (92) berikut.
Kutipan (92):
SBP: Kalau ini berhasil bisa jadi yang berkoalisi nanti justru PDI Perjuangan. Golkarnya Habibie, dan PAN. Siapa yang menjadi presiden. itu soal nanti. Yang terpenting, ICMI-connection ini tidak terpotong dalam kekuasaan nanti. Lagi pula, Tirto sudah bilang massa Amien dengan PAN-nya bukan sekarang, tetapi nanti. Lima tahun ke depan. Secara tersirat, Tirto kan mengatakan akan mendukung Mega asal ICMI tidak dilibas. Masalahnya, apakah Amien Rais dengan partainya mau dengan PDI Perjuangan. Itu yang masih hares ditunggu. [Data 36.B.1(22)]
Kutipan (92) dicuplik dari teks hasil wawancara wartawan Jawa Pos dengan Sri Bintang
Pamungicas, Ketua Umum PUDI. Topik yang diangkat adalah masalah koalisi antarpartai
dalam membentuk pemerintahan setelah hasil pemilu tahun 1999 diumumkan hasilnya.
Pada kutipan (92) terdapat pendayagunaan bentuk pasif "ter-" pada kalimat "Yang ter-
394
penting, ICMI-connection ini tidak terpotong dalam kekuasaan nanti". Persoalan
pasif seperti ini sama dengan kutipan (91) di atas. Jawaban terhadap pertanyaan "siapa
yang memotong" menjadi tidak signifikan. Kalimat dengan susunan "agen+proses keja-
dian+keterangan" itu mengandung makna yang impersonal dan formal.
Yang harus dijelaskan adalah persoalan urutan intensitas pilihan bentuk pasif yang
diawali bentuk "di-", " dan yang terakhir "pasif persona". Mengapa bentuk "di-" dan
"ter-" lebih mendominasi teks-teks politik pada era pasca-Orde Baal ini? Mengapa bentuk
"pasif persona" sedikit didayagunakan? Dua pertanyaan ini mengarahkan kita kepada pe-
mahaman bahwa elite politik Indonesia lebih menyukai memilih dan mendayagunakan
bentuk pasif yang mengandung makna impersonal, kaku, serta formal dan kurang menyu-
kai bentuk pasif yang mengandung makna personal, lentur, dan informal.
4.2.1.4 Kalimat Positif dan Negatif
Seperti sudah dipaparkan pada bab II, nilai pengalaman umumnya dipaparkan da-
lam kalimat positif. Pada kasus tertentu, nilai pengalaman dikemukakan dalam kalimat
negatif. Dengan demikian, pilihan terhadap kalimat negatif tertentu akan memiliki sig-
nifikansi tertentu. Pertanyaan yang layak dimunculkan adalah "mengapa elite politik
Indonesia pada era pasca-Orde Ban' lebih memilih kalimat negatif jika nilai pengalaman
itu dapat diungkapkan dalam kalimat positif'. Dua pilihan kalimat itu selanjutnya dipa-
parkan secara bergantian.
a. Kalimat Positif
Dalam wacana politik Indonesia era pasca-Orde Baru, pilihan kalimat positif lebin
banyak didayagunakan oleh para elite politik Indonesia dibandingkan dengan pilihan ka-
limat negatifnya. Untuk memberikan pemahaman bahwa kalimat positif lebih banyak
395
didayagunakan untuk melaporkan nilai pengalaman realitas sosial politik, selanjutnya
perhatikan kutipan (93) berikut.
Kutipan (93):
DH: Kita ini sering berasumsi, yang punya, katakanlah apriori untuk mendiskreditkan
seseorang. Kadang kita kehilangan objektivitas berpikir. Dikatakan Mbak Mega ta-
kut keliru. Tapi orang lupa tahun 1993, ketika pemimpin-pemimpin yang sekarang
berkoar refonnis masih tidur, orang pertama yang berani menentang Soeharto ada-
lah Megawati. [Data 11.B.4(1)]
Kutipan (93) dicuplik Bari teks hasil wawancara wartawan Gatra dengan Dimyati Harto-
no, salah seorang elit PDI-P. Topik yang diangkat adalah pencalonan Megawati sebagai
calon Presiden Indonesia. Kutipan (93) adalah satu jawaban utuh DH terhadap pertanyaan
"apa diamnya Mega karena takut salah". Nilai pengalaman dari realitas sosial politik se-
mua dilaporkan oleh DH dengan menggunakan kalimat positif. Kutipan itu dapat mengin-
formasikan bahwa kalimat positif lebih banyak didayagunakan dalam wacana politik. Dan
satu paragrafjawaban, tidak satu pun penghasil teks (DH) mendayagunakan kalimat
negatif. Sebagai gambaran kasar, sebuah teks yang dihasilkan oleh DH yang terdiri atas
sembilan paragrafjaWaban terhadap sembilan pertanyaan, enam di antaranya adalah pa-
ragraf yang dibangun oleh kalimat-kalimat positif. Sementara, tiga paragraf yang lain di-
bangun oleh campuran kalimat positif dan negatif dengan jumlah kalimat positif lebih
banyak daripada kalimat negatifnya.
Mengikuti cara berpikir Leech (1983:164), kutipan (93) di atas dapat dianalisis
sebagai berikut. Pertama, satu paragraf dalam kutipan (93) dibangun oleh lima proposisi
positif, yang meliputi (1) kita sering mendiskreditkan seseorang, (2) kita kehilangan ob-
jektivitas berpikir, (3) orang sering mengatakan Megawati takut berbuat keliru, dan (4)
tahun 1993 Megawati berani menentang Soeharto. Kedua, DH mengatakan kepada warta-
396
wan Gatrabahwa 1-2-3-4. Dalam konteks ini, wartawan Gatra sebagai penerima atau pe-
tutur dapat menjadi representasi seluruh masyarakat Indonesia. Ketiga, proses pada kedua
itu bertujuan membuat wartawan dan seluruh masyarakat Indonesia mengetahui bahwa 1-
2-3-4. Keempat, DH percaya bahwa 1-2-3-4. Kelima, DH percaya bahwa wartawan dan
seluruh masyarakat Indonesia tidak mengetahui bahwa 1-2-3-4. Keenam, DH percaya
bahwa sebaiknya wartawan dan seluruh masyarakat Indonesia mengetahui 1-2-3-4.
Paparan di atas adalah contoh pendayagunaan kalimat positif oleh elite politik
yang menjadi oposan pemerintah yang berkuasa. Pendayagunaan kalimat-kalimat
positif dalam membangun teks politik dapat diperhatikan juga pada tuturan salah
seorang petinggi institusi TNI. Perhatikan kutipan (94) berikut.
Kutipan (94):
SBY: TNI sebagai lembaga membangun semacam harapan atau kriteria. TNI juga me-ngembangkan konsep secara organisasional, kira-kira GBHN nanti seperti apa. Dart situ, setiap anggota fraksi TNI akan paham garis organisasi, sikap, dan pandangan politik lembaganya. Dari situ sudah cukup bagi kami untuk mendorong mereka mengambil bagian secara baik dalam persidangan. Silakan berpartisipasi secara sehat, demokratis, dan bertanggung jawab. [Data 49.B.1(24)]
Kutipan (94) dicuplik dari teks hasil wawancara wartawan Gatra dengan Susilo Bambang
Yudhoyono. Topik yang diangkat adalah peranan fraksi TNI dalam Sidang Umum MPR
setelah TNI menghapus fungsi politik praktisnya. Kutipan (94) adalah satu paragraf ja-
waban lengkap dari sebuah pertanyaan "pimpinan TNI masih akan mengontrol anggota
fraksinya, atau mereka bebas menentukan sikap". Paragraf tersebut dibangun oleh lima
kalimat positif dan tanpa kalimat negatif. Kutipan (94) di alas dapat dianalisis sebagai
berikut. Pertama, paragraf itu dibangun oleh empat proposisi positif, yakni (1) TNI mem-
bangun kriteria, (2) TNI mengembang konsep secara organisasional, (3) anggota fraksi
TNI paham garis organisasi, sikap, dan pandangan politik lembaganya, dan (4) TM mem-
397
persilakan anggota fraksinya untuk berpartisipasi dalam persidangan secara sehat, demo-
kratis, dan bertanggung jawab. Kedua, SBY mengatakan kepada wartawan Gatra dan
seluruh masyarakat Indonesia bahwa 1-2-3-4. Ketiga, proses pada kedua itu bertujuan
membuat wartawan Gatra dan seluruh masyarakat Indonesia mengetahui bahwa 1-2-3-4.
Keempat, SBY percaya bahwa 1-2-3-4. Kelima, SBY percaya bahwa wartawan Gatra dan
seluruh masyarakat Indonesia tidak mengetahui bahwa 1-2-3-4. Keenam, SBY percaya
bahwa sebaiknya wartawan Gatra dan seluruh masyarakat Indonesia mengetahui bahwa
1-2-3-4.
Kutipan (93) dan (94) adalah dua contoh dan banyak pendayagunaan kalimat posi-
tif dalam teks-teks politik pada era pasca-Orde Baru. Analisis tahap ketiga dari dua analisi
s di atas tampak belum sepenuhnya tepat mewakili tujuan komunikasi tersebut. Apa yang
disampaikan oleh elite politik tidak semata-mata harus "diketahui", tetapi lebih jauh apa
yang disampaikan haruslah "dipercayai" oleh penerima atau petutur. Pilihan terhadap
kalimat positif dalam teks-teks politik mengimplikasikan makna bahwa penghasil teks
mengambil isu terhadap realitas secara eksplisit. Nilai pengalaman yang dilaporkan oleh
penghasil teks sesuai dengan kasus yang ada di dalam realitas, tidak menggunakan negasi
dari realitas itu. Dengan demikian, komunikasi yang terjadi dalam teks-teks politik itu
lebih bersifat langsung.
b. Kalimat Negatif
Daiam teks-teks politik Indonesia era pasca-Orde Baru, kalimat negatif yang dipilih
menggunakan tiga bentuk kosakata peniatkali negatif, yakni "tidak", "bukan", dan
"jangan". Untuk memperoleh pemahaman pendayagunaan kalimat negatif dalam teks-
teks politik Indonesia era pasca-Orde Baru, selanjutnya perhatikan (95) berikut.
398
Kutipan (95):
ABT: Sudah kita putuskan dalam rapat di Dewan Pimpinan Pusat PAN bahwa kami tidak
akan berkoalisi dengan siapa-siapa. Kami tak ingin mengambil inisiatif mencalon-
kan Amien sebagai presiden. Tapi, kalau ada anggota MPR yang mencalonkan
Amien, ya itu terserah mereka. Pak Amien bilang, sebagai partai yang hanya dapat
9%, kurang pantaslah terlalu menonjolkan diri. [Data 15.B.1(25]
Kutipan (95) dicuplik dari teks hasil wawancara wartawan Gatra dengan Abdillah Thoha
(ABT), salah seorang elite Partai Amanat Nasional. Topik yang diangkat adalah mundur-
nya Amien Rais dari bursa calon presiden karena perolehan suara PAN dalam pemilihan
umum 1999 yang tidak signifikan (9% suara). Dalam kutipan itu terdapat
pendayagunaan bentuk negatif, yakni kalimat 1, 2, dan 4. Bentuk negatif pada kalimat
pertama ditandai oleh penggunaan kata tidak, pada kalimat kedua ditandai oleh tak, dan
pada kalimat keempat ditandai oleh kata kurang.
Kalimat pertama kutipan (95) mengandung proposisi negatif, yakni "kami (PAN)
tidak akan berkoalisi dengan siapa-siapa". Mengikuti cara berpikir Leech (1983:164),
kalimat dapat dianalisis sebagai berikut. Pertama, kalimat pertama dibangun dari propo-
sisi negatif, yakni tidak akan berkoalisi dengan siapa-siapa". Kedua, ABT menga-
takan kepada wartawan Gatra dan seluruh masyarakat Indonesia bahwa "kami tidak akan
berkoalisi dengan siapa-siapa". Ketiga, komunikasi pada analisis kedua bertujuan mem-
buat wartawan Gatra dan seluruh masyarakat Indonesia mengetahui bahwa "kami tidak
akan berkoalisi dengan siapa-siapa". Keempat, ABT percaya bahwa "kami tidak akan ber-
koalisi dengan siapa-siapa". Kelima, ABT percaya bahwa wartawan Gatra dan seluruh
masyarakat Indonesia tidak mengetahui bahwa "kami tidak won berkoalisi dengan siapa-
siapa". Keenam, ABT percaya bahwa sebaiknya wartawan Gatra dan seluruh masyarakat
Indonesia mengetahui bahwa "kami tidak akan berkoalisi dengan siapa-siapa". Ketujuh,
399
ABT sebelumnya telah cenderung percaya atau ABT yakin bahwa wartawan Gatra dan
seluruh masyarakat Indonesia sebelumnya telah cenderung percaya bahwa "kami tidak
akan berkoalisi dengan siapa-siapa" itu benar.
Kalimat kedua kutipan (95) mengandung proposisi negatif, yakni "kami (PAN) ti-
dak mencalonkan Amien sebagai presiden". Mengikuti cara berpikir Leech (1983:165),
kalimat kedua itu dapat dianalisis sebagai berikut. Pertama, kalimat kedua dibangun dari
proposisi negatif, yakni "kami tidak mencalonkan Amien sebagai presiden". Kedua, ABT
mengatakan kepada wartawan Gatra dan seluruh masyarakat Indonesia bahwa "kami ti-
dak mencalonkan Amien sebagai presiden". Ketiga, komunikasi pada analisis kedua ber-
tujuan membuat wartawan Gatra dan seluruh masyarakat Indonesia mengetahui bahwa
"kami tidak mencalonkan Amien sebagai presiden". Keempat, ABT percaya bahwa "kami
tidak mencalonkan Amien sebagai presiden". Kelima, ABT percaya bahwa. wartawan
Gatra dan seluruh masyarakat Indonesia tidak mengetahui bahwa "kami tidak akan men-
calonkan Amien sebagai presiden". Keenam, ABT percaya bahwa sebaiknya wartawan
Gatra dan seluruh masyarakat Indonesia mengetahui bahwa "kami tidak akan mencalon-
kan Amien sebagai presiden". Ketujuh, ABT sebelumnya telah cenderung percaya atau
ABT yakin bahwa wartawan Gatra dan seluruh masyarakat Indonesia sebelumnya telah
cenderung percaya bahwa "kami tidak akan mencalonkan Amien Rais sebagai presiden"
itu adalah sesuatu yang benar.
Kalimat keernpat dalam kutipan (95) di atas dapat dianalisis dengan model analisis
Leech seperti sudah diaplikasikan pada kalimat pertama dan kedua di atas. Yang menjadi
pertanyaan selanjutnya adalah "mengapa elite politik memilih menggunakan kalimat ne-
gatif tersebut". Kalimat pertama yang berbunyi sudah kita putuskan dalam rapat di
400
Dewan Pimpinan Pusat PAN bahwa 'kami tidak akan berkoalisi dengan siapa-
siapa"' jika dipositifkan menjadi "sudah kita putuskan dalam rapat di Dewan Pimpinan
Pusat PAN bahwa 'kami akan berjuang sendirian"'. Dalam kasus ini kalimat positif yang
ada menjadi terlalu luas dibandingkan dengan kalimat negatifnya. Konsep "tidak
berkoalisi" jauh lebih informatif mewakili konsep yang dimaksud dibandingkan dengan
"berjuang sendirian" yang memiliki makna yang terlalu umum yang tidak hanya dalam
konsep dunia politik saja. Proposisi pasif tersebut dipilih karena memang proposisi
aktifnya tidak mewakili sepenuhnya konsep yang dimaksud atau bentuk positifnya
bermakna terlalu Inas. Dengan demikian, bentuk negatif pada kalimat pertama kutipan (95)
memang benarbenar menjalankan fungsinya sebagai "negasi".
Persoalan di atas berbeda dengan yang dipaparkan oleh Leech (1983:101) tentang
fenornena kalimat negatif di mana bentuk negatifnya lebih tidak informatif (negative un-
informativeness) daripada bentuk positifnya. Seperti dicontohkan oleh Leech, kalimat
Abraham Lincoln tidak ditembak oleh Ivan Mazeppa mengandung makna bahwa jumlah
populasi fakta-fakta negatif jauh lebih besar daripada jumlah populasi fakta-fakta positif
Jumlah orang yang tidak menembak Abraham Lincoln berjuta-juta kali lebih banyak dari-
pada jumlah orang yang menembaknya. Oleh karena itu bentuk negatif itu sangat kurang
informasinya dibandingkan dengan bentuk positifnya, yakni Abraham Lincoln ditembak
oleh John Wilkes Booth. Dengan demikian, dalam kasus ini kalimat negatif seharusnya
dihindari jika kalimat positif dapat digunakan.
Fenomena ketidakinformatifan negatif dapat dijumpai dalam pendayagunaan ben-
tuk negatif pada kalimat kedua. Bentuk pasif yang berbunyi kami tak ingin mengambil
inisiatif mencalonkan Amien sebagai presiders jika dipositifkan menjadi kami meng-
401
ambit sikap pasif untuk mencalonkan Amien sebagai presiden. Dalam kasus ini, sikap
yang diambil oleh DPP PAN adalah "pasif' terhadap pencalonan Amien Rais karena suara
PAN yang sangat tidak signifikan untuk mengambil inisiatif DPP PAN mengambil sikap
"tabu diri" dengan keadaan yang dimilikinya. ABT secara normatif seharusnya meng-
gunakan bentuk positif dan tidak menggunakan bentuk negatif Bentuk positifnya jauh
lebih informatif dan lebih langsung daripada bentuk negatifnya. Dengan demikian, pilihan
bentuk pasif dalarn kalimat kedua kutipan (95) di atas menjalankan fungsinya yang
"manipulatif', bahkan "ideologis".
Pendayagunaan bentuk-bentuk negatif seperti kutipan (95) di atas dapat
dijumpai juga pada teks politik yang dihasilkan oleh elit politik lainnya. Selanjuthya
perhatikan kutipan (96) berikut.
Kutipan (96):
SBY: Saya mencatat ada banyak pandangan dan pernikiran dari floor. Sebagian besar adalah pandangan yang positif dan konstruktif. Sebagian kecil adalah pandangan yang benar, tetapi masih harus dibahas lebih lanjut karena masalahnya tidak se-derhana. Sebagian lagi adalah masalah yang terlalu dilebih-lebihkan, didramatisasi, disimplifikasi, kadang-kadang juga menggunakan analogi yang tidak tepat. Sehing-ga says jelaskan sikap dan pandangan politik ABRI/TNI untuk menampik hal-hal yang kurang realistik, kurang objektif, kurang berdasar itu. [Data 49.B.1(26]
Kutipan (96) dicuplik dari teks hasil wawancara wartawan Republika dengan Susilo
Barn-bang Yudhoyono, seorang elit politik dari institusi ABRI/TNI. Topik yang dibahas
adalah tuntutan mahasiswa dan masyarakat Indonesia untuk mendialogkan reformasi
dengan pemerintas yang berkuasa. Dalam kutipan (96) terdapat pendayagunaan bentuk
negatif, yakni dalam konstruksi tidak sederhana pada kalimat ketiga, konstruksi tidak
tepat pada kalimat keempat, kurang realistik, kurang objektif, kurang berdasar"
pada kalimat kelima atau kalimat terakhir. Bentuk-bentuk negatif itu menjalan fungsinya
402
secara beragam, ada yang benar-benar berfungsi sebagai "negasi", ada yang
menjalankan fungsi yang "manipulatif', dan bahkan ada yang "ideologis".
Kalimat ketiga kutipan (96) di atas, yakni rumusan "sebagian kecil adalah pan-
dangan yang benar, tetapi masih harus dibahas lebih lanjut karena masalahnya tidak se-
derhana" dapat dirumuskan dengan bentuk positifnya, yakni "sebagian kecil adalah pan-
dangan yang benar, tetapi masih harus dibahas lebih lanjut karena masalahnya rumit".
Konstruksi negasi tidak sederhana memiliki kesamaan makna dengan konstruksi positif
rumit. Dalam pemakaian, secara normatif seharusnya penghasil teks tersebut lebih tepat
menggunakan bentuk positifnya. Dengan demikian, terdapat fungsi manipulatif, bahkan
ideologis dari bentuk negatif yang dipilih oleh elite politik yang bersangkutan.
Fenomena yang sama teijadi juga pada pilihan negasi pada kalimat keempat kutip-
an (96) di atas, yakni konstruksi "sebagian lagi adalah masalah yang terlalu dilebih-lebih-
kan, didramatisasi, disimplifikasi, kadang-kadang juga menggunakan analogi yang tidak
tepat". Ungkapan tidak tepat dapat dirumuskan bentuk positifnya, yakni salah. Jika
kedua kata itu dapat saling menggantikan, secara normatif, penutur seharusnya menggu-
nakan bentuk positifnya. Dengan demikian, terdapat fungsi manipulatif, bahkan
ideologis dari bentuk negatif yang dipilih oleh elite yang bersangkutan.
Kalimat kelima kutipan (96) di atas, yakni rumusan "saya jelaskan sikap dan pan-
dangan politik ABRI/TNI untuk menampik hal-hal yang kurang realistik, kurang ob-
jektif, kurang berdasar itu" dapat dirumuskan dengan bentuk positifnya, yakni "saya
jelaskan sikap dan pandangan politik ABRI/TNI untuk menampik hal-hal yang imajina-
tif, subjektif, dan semaunya saja (Jawa: ngawur). Konstruksi kurang realistik tidak
sepenuhnya bersinonim dengan kata imajinatif Dengan demikian, dalam penggunaan-
403
nya kedua kata itu memiliki perilaku yang tidak sama. Konstruksi kurang objektif tidak
sepenuhnya bersinonim dengan subjektif karena sesuatu yang kurang objektif belum
tentu subjektif. Dalam konteks objektif ini, selain subjektif terdapat pilihan kata inter-
subjektif. Konstruksi kurang berdasar sulit ditemukan bentuk positifnya dalam kata
bahasa Indonesia. Dengan demikian, pada kalimat kelima, bentuk negatifnya lebih
tepat, lebih cocok, dan lebih sesuai digunakan daripada bentuk positifnya. Pilihan
negasi pada kalimat kelima ini menjalankan fungsi sebagai negasi yang sebenarnya.
Dalam konteks komunilcasi politik, elite politik yang bersangkutan sudah sesuai secara
normatif dalam memilih bentuk negatif itu.
Bentuk negasi yang dipaparkan sebelumnya.ditandai oleh penggunaan kata-kata
"tidak", "tak", dan "kurang". Berikut ini, dipaparkan pendayagunaan bentuk negasi
yang lain, seperti terdapat pada kutipan (97) berikut.
Kutipan (97):
YIM: Kesulitan-kesulitan seperti ini, dalam bidang ekonomi, sosial, politik, ancaman dis- integrasi bangsa, kerawanan sosial, instabilitas di bidang politik, dan sebe-
narnya bukan pertama-tama dalam sejarah republik ini. [Data 22.B.1(27)]
Kutipan (97) dicuplik dari teks pidato pembukaan debat calon presiden oleh Yusril Ihza
Mahendra yang diadakan oleh Universitas Indonesia dan ditayangkan melalui media te-
levisi. Topik yang diangkat oleh YIM adalah perlunya membangun sistem yang kuat da-
lam sistem ketatanegaraan Indonesia yang selama ini lebih mengandalkan figur pribadi
tertentu. Dalam kutipan (97) di atas penghasil teks mendayagunakan bentuk negasi, yakni
disintegrasi dan instabilitas. Bentuk negatif disintegrasi merupakan padanan bentuk
positif perpecahan, sementara itu instabilitas merupakan padanan bentuk kekacauan
atau kegoncangan. Dalam penggunaan, bentuk negatifnya memiliki makna yang lebih
4-04
teknis daripada bentuk positifnya. Dengan demikian, secara normatif penghasil teks su-
dah menggunakan bentuk pasif secara tepat. Bentuk negasi dalam kutipan (97) menja-
lankan fungsinya sebagai negasi yang sebenamya.
Bentuk negasi yang menjalankan fungsi "manipulatif', bahkan "ideologis" dapat
diperhatikan pada kutipan (98) berikut.
Kutipan (98):
MDI: Kalau ingin melakukan komunikasi secara jujus, kelebihan semacam itu mestinya diungkapkan juga. Saya setuju bila pers mengungkap beberapa ketidakmampuan
dan ketidakberhasilan Pak Habibie. Tapi agar informasi itu adil dan jujur, kele-bihan-kelebihan yang dimiliki beliau juga harus diberitakan secara imbang. Kesalahan satu bagi beliau seakan begitu saja menghilangkan beberapa kelebihan yang dimildci Pak Habibie. Itu namanya tidak adil. [Data 33.B.1(28)j
Kutipan (98) dicuplik dan teks hasil wawancara wartawan Jawa Pos dengan Marwah Da-
ud Ibrahim, salah seorang elite Partai Golkar dari kelompok Iramasuka Nusantara. Topik
yang diangkat adalah peranan kelompok Iramasuka Nusantara dalam pencalonan B.J.
Habibie sebagai presiden dan Partai Golkar. Dalam kutipan (98) terdapat tiga bentuk pasif,
yakni ketidakmampuan, ketidakberhasilan, dan tidak adil. Kata negatif keti-
dakmampuan memiliki bentuk positif kebodohan dan kelemahan, kata ketidakberha-
silan memiliki bentuk positif kegagalan, serta tidak adil memiliki bentuk positif aniaya.
Dalam penggunaannya, kata-kata negatif itu memiliki makna yang lebih halus dan lebih
tidak langsung. Kata-kata negatif itu memiliki nuansa eufemisme. Sementara itu, katakata
positifnya memiliki makna yang lebih langsung dan lebih lugas. Secara normatif, dalam
komunikasi politik yang lebih jujur dan terbuka, pilihan bentuk positiflah yang lebih
sesuai. Pilihan bentuk negatif memiliki signifikansi ideologis tertentu. Dengan demikian,
pilihan bentuk negatif dalam kutipan (98) menjalankan fungsi "manipulatif', dan bahkan
"ideologis".
405
Dari paparan di atas dapat diperoleh pemahaman bahwa bentuk negasi yang dipilih
dan didayagunakan oleh elite politik pada era pasca-Orde Baru menjalankan beberapa
peran. Terdapat bentuk negasi yang menjalankan peran sebagai "negasi yang sebenarnya"
karena bentuk positifnya tidak cocok untuk digunakan atau bentuk positifnya terlalu luas.
Selain itu, terdapat juga bentuk negasi yang menjalankan peran sebagai "manipulatif'
karena penggunaannya dipaksakan sementara bentuk positifnya tersedia. Terdapat juga
bentuk negasi yang menjalankan peran sebagai "ideologis" jika bentuk negasinya itu di-
paksakan penggunaannya dan dipetjuangkan melalui berbagai aktivitas politik penghasil
teks. Peran bentuk negasi yang "manipulatif" dan "ideologic" sering tidak dapat dipisahkan
dalam pilihan bentuk negasi itu.
4.2.2 Nilai Relasional
4.2.2.1 Modus Kalimat
Modus kalimat berkaitan dengan cam bagaimana kalimat itu diekspresikan kepada
mitra bicara atau orang lain. Salah satu pertanyaan yang dilontarkan oleh Fairclough
(1989:111) berkaitan dengan nilai relasional gramatika adalah "modus apa saja yang di-
gunakan". Jawaban terhadap pertanyaan itu adalah paparan tentang pendayagunaan kali-
mat-kalimat deklaratif, interogatif, dan imperatif.
a. Kalimat Deklaratif
Secara umum, kalimat deklaratif mendominasi teks-teks politik era pasca-Orde
Baru. Fenomena ini mungkin saja berlaku pada teks-teks lain. Hal ini mengandung makna
bahwa elite politik Indonesia sebagai penghasil teks berperan sebagai pemberi informasi,
sementara itu masyarakat Indonesia sebagai penerima informasi. Selanjutnya, perhatikan
kutipan (99) berikut.
4 0 6
Kutipan (99):
AT: Saya nggak tahu dari mana isu-isu mengenai munaslub. Saya kira, isu itu dari
orang yang tak bertanggung jawab, yang ingin memecah belah Golkar. Mungkin,
mereka tidak suka Golkar solid dan maju. Saya kira, isu itu tak mempengaruhi su-
asana rapim. [Data 3 3 .B .2( 1)]
Kutipan (99) dicuplik dari teks hasil wawancara wartawan Gatra dengan Akbar
Tanjung (AT), Ketua umum Partai Golkar. Topik yang diangkat adalah isu penggantian
Akbar Tanjung sebagai Ketua Partai Golkar setelah Habibie ditunjuk sebagai calon
tunggal presiden dari Partai Golkar. Kutipan (99) adalah paragraf jawaban yang lengkap
dari sebuah pertanyaan yang diajukan kepada AT, yakni "kalau tak berhasil menjadikan
Habibie sebagai calon tunggal, kabarnya bakal ada munaslub untuk mendongkel Anda.
Mengapa?" Mengikuti alur berpikir Leech (1983:114), dari kacamata sintaksis, paragraf
tersebut dibangun oleh empat "kalimat deklaratif'. Dan kacamata semantik, paragraf
tersebut dibangun oleh empat "proposisi". Dari kacamata pragmatik, paragraf tersebut
dibangun oleh empat "pernyataan".
Kalimat deklaratif pertama, yakni saya nggak tahu dari mana isu-isu munaslub
menempatkan penutur (elite politik) sebagai pemberi informasi dan petutur (masyarakat
Indonesia) sebagai penerima informasi. Dalam konteks tindak ujaran, kalimat pertama ini
menjalankan fungsi tindak ujaran representatif atau asertif, yakni mengikat penuturnya
kepada kebenaran atas apa yang dikatakannya. Dalam kalimat pertama, penutur "me-
nyatakan" sesuatu kepada orang lain. Kalimat lain yang memiliki karakteristik yang sama
dengan kalimat pertama adalah kalimat keempat atau terakhir.
Kalimat deklaratif kedua, yakni Saya kira, isu itu dari orang yang tak bertang-
gung jawab, yang ingin memecah belah Golkar menempatkan penutur dan petutur
dalam posisi yang beragam secara simultan. Dalam kalimat itu, penutur dapat berposisi se-
407
bagai pemberi informasi dan dapat juga sebagai "pemerintah". Sementara itu, petutur da-
pat berposisi sebagai penerima informasi dan dapat juga sebagai "orang yang diperintah
untuk berbuat sesuatu", yakni berbuat untuk tidak menyebarkan isu-isu yang merugikan
Partai Golkar. Dalam konteks tindak ujaran, kalimat kedua ini menjalankan fungsi tindak
ujaran direktif, yakni tindak ujaran yang dimaksudkan agar pendengar melakukan tindak-
an yang disebutkan dalam ujaran itu. Dalam kalimat pertama, penutur "menantang" orang
yang berusaha memecah belah Partai Golkar agar tidak mengulangi apa yang sudah diker-
jakannya.Tindak menantang itu dapat juga bermakna bahwa siapa pun yang berusaha me-
mecah belah Partai Golkar akan dihadapi oleh kader-kader Partai Golkar dalam rangka
mempertahankan institusi partainya. Fenomena seperti kalimat deklaratif kedua ini dapat
dijumpai juga pada kalimat deklaratif ketiga.
Pendayagunaan kalimat deklaratif seperti paparan di atas dapat dijumpai juga
pada tuturan elite politik lainnya, seperti yang terdapat pada kutipan (100) berikut.
Kutipan (100):
AR: [...] Saya terlalu yakin, jika Golkar dibiarkan sendiri, dia akan kempes dan tidak akan pernah melampaui 12% peraihan suaranya. Itu berarti berita gembira buat bangsa Indonesia. Sebab kita perlu pembaharuan. Golkar tidak boleh lagi me-mimpin bangsa ini karena putra terbaik bangsa yang lain yang akan memimpin bangsa memasuki abad ke-21. [Data 15.B.2(2)]
Kutipan (100) dicuplik dari teks hasil wawancara wartawan Gatra dengan Amien Rais.
Topik yang diangkat adalah tanggapan PAN terhadap pencalonan Habibie sebagai
calon presiden dari Partai Golkar. Pada kutipan (100) tersebut, dari kacamata sintaksis,
empat kalimat pembangun paragraf tersebut semuanya adalah kalimat deklaratif. Dari
kacamata semantik, paragraf tersebut dibangun oleh empat proposisi. Dari kacamata
pragmatik, paragraf tersebut dibangun oleh empat pernyataan.
408
Kalimat deklaratif pertama, yakni saya terlalu yakin jika Golkar dibiarkan sen-
diri, dia akan kempes dan tidak akan pernah melampaui 12% peraihan suaranya
menempatkan penutur (elit politik) sebagai pemberi informasi dan petutur (masyarakat
Indonesia) sebagai penerima informasi. Dalam konteks tindak ujaran, kalimat pertama ini
menjalankan fungsi tindak representatif atau asertif. Dalam kalimat itu, penutur "me-
nyatakan" sesuatu kepada orang lain atau masyarakat Indonesia. Kalimat lain yang memi-
liki karakteristik dengan kalimat deklaratif pertama adalah kalimat kedua.
Kalimat deklaratif ketiga, yakni kita perlu pembaharuan menempatkan penutur
dan petutur dalam posisi yang beragam. Dalam kalimat itu, penutur dapat berposisi seba-
gai pemberi informasi dan dapat juga sebagai "pejanji". Sementara itu, petutur dapat ber-
posisi sebagai penerima informasi dan dapat juga sebagai "pengharap". Dalam konteks
tindak ujaran, kalimat ketiga ini menjalankan fungsi tindak representatif. Penutur "me-
nyatakan" sesuatu kepada orang lain. Kalimat ketiga ini juga menjalankan fungsi tindak
komisif Penutur "berjanji" kepada orang lain jika partainya memenangkan pemilihan
umum penutur itu akan melakukan pembaharuan di segala bidang.
Kalimat deklaratif keempat, yakni Golkar tidak boleh lagi memimpin bangsa
ini karena putra terbaik bangsa yang lain yang akan memimpin bangsa memasuki
abad ke-21 menempatkan penutur pada posisi penutur dan petutur dalam posisi yang juga
beragam. Dalam kalimat itu, penutur dapat berposisi sebagai pemberi informasi dan dapat
juga sebagai "pelarang". Sementara itu, petutur dapat berposisi sebagai penerima informasi
dan dapat juga sebagai "pengharap". Dalam konteks tindak ujaran, kalimat keempat ini
menjalankan fungsi tindak representatif Penutur "menyatakan" sesuatu kepada orang lain.
Kalimat keempat itu juga menjalankan fungsi tindak deklarasi, yakni tindak
409
ujaran yang dilakukan penutur dengan maksud untuk menciptakan hal tertentu yang baru.
Penutur "melarang" suatu golongan tertentu untuk memerintah negara ini karena akumu-
lasi kesalahan yang pernah dibuatnya yang akhirnya menyengsarakan rakyat Indonesia.
Dan kutipan (99) dan (100) di atas dapat diperoleh pemahaman bahwa pendaya-
gunaan kalimat deklaratif dalam teks-teks politik dapat berimplikasi pada posisi
penutur dan petutur dalam peristiwa komunikatif tertentu. Sebuah kalimat dekiaratif
dapat menjalankan fungsi tindak ujaran tertentu atau bahkan berbagai tindak ujaran.
Selanjutnya, perhatikan kutipan (101) berikut.
Kutipan (101):
YIM: [...] Oleh karena negara adalah suatu organisasi kekuasaan maka tataran di dalam negara harus diatur secara tegas kemungkinan terjadinya penyimpangan-penyim-pangan karena kekuasaan itu sebenarnya sangat menggoda.Tidak ada seorang pun di antara kita yang berani menjamin bahwa meskipun pada awalnya is seorang yang idealis tetapi jika kekuasaan telah berada di tangannya maka kekuasaan itu itu senantiasi akan membuka peluang suatu kediktatoran baru di masa depan. Ka-rena itu, yang paling penting bagi kita sekalian adalah mencegah terulangnya kesulitan-kesulitan ini. [Data 22.B.2(3)]
Kutipan (101) dicuplik dari teks pidato Yusril Ihza Mahendra pada pembukaan debat ca-
lon presiden yang diadakan oleh UI dan disiarkan oleh media televisi. Topik yang diang-
kat adalah perlunya membangun sistem yang kuat yang tidak berorientasi pada figur da-
lam sistem tata negara Indonesia. Pengalaman menunjukkan bahwa selama 53 tahun usia
Indonesia merdeka pelaksanaan pemerintahan lebih berorientasi pada figur pemimpin
tertentu yang mengakibatkan muncuinya sebuah pemerintahan yang diktator daripada
penciptaan sistem yang kuat. Mundumya pemimpin tertentu identik dengan malapetaka.
Dan kacamata sintaksis, kutipan (101) di atas dibangun oleh tiga kalimat deklaratif Dari
kacamata semantik, kutipan yang sama dibangun oleh minimal tiga proposisi. Dari kaca-
mata pragmatik, kutipan itu dibangun oleh tiga pernyataan.
k b
Kalimat deklaratif pertama menempatkan penutur sebagai pemberi informasi dan
petutur sebagai penerima informasi. Dalam konteks tindak ujaran, kalimat pertama ini
menjalankan fungsi tindak representatif Penutur "menyatakan" sesuatu kepada orang lain
sehingga orang lain mengetahui informasi tersebut, yakni perlunya mengatur tatanan ne-
gara Indonesia. Dengan aturan yang ketat akan terbentuk sebuah sistem yang kuat sehing-
ga siapa pun orang yang mengisi sistem itu harus menaati sistem yang ada.
Kalimat deklaratuf kedua menempatkan penutur dan petutur dalam posisi yang
beragam. Dalam kalimat itu, penutur dapat berposisi sebagai pemberi informasi dan dapat
juga sebagai "pengkiritik". Sementara itu, peturur dapat berposisi sebagai penerima
informasi dan dapat juga berposisi sebagai "pengharap", Dalam konteks tindak ujaran,
kalimat kedua ini menjalankan fungsi tindak ekspresif, yakni tindak ujaran yang dila-
kukan dengan maksud agar ujarannya diartikan sebagai evaluasi tentang hal yang disebut-
kan dalam ujaran itu. Kalimat kedua itu berupa "kritikan" penutur terhadap individu-
individu yang akan menduduki kursi kekuasaan yang bersifat sangat menggoda.
Kalimat deklaratif ketiga juga menempatkan penutur dan petutur dalam posisi
yang beragam. Dalam kalimat itu, penutur dapat berposisi sebagai pemberi informasi dan
dapat juga sebagai "penyaran", sementara itu petutur berposisi sebagai penerima infor-
masi. Dalam konteks tindak ujaran, kalimat ketiga itu menjalankan fungsi tindak direktif
Penutur "menyarankan" kepada orang lain agar hati-hati untuk tidak mengulang lagi ke-
sulitan-kesulitan yang pernah terjadi dalam sistem pernerintahar. Indonesia.
Paparan terhadap kutipan (99), (100), dan (101) memberikan pemahaman bahwa
pilihan terhadap kalimat deklaratif sebagai saran pembentuk teks politik memiliki di-
mensi yang cukup menarik. Sebuah modus kalimat deklaratif tidaklah selalu berkorelasi
411
dengan posisi subjek tertentu. Sebuah kalimat deklaratif dapat juga memberikan infor-
masi berbagai posisi yang diemban subjek tertentu. Pilihan terhadap kalimat deklaratif
tidaklah sesederhana seperti yang sudah diduga oleh Fairclough (1989).
b. Kalimat Interogatif
Kalimat interogatifjuga cukup banyak didayagunakan dalam teks-teks politik
Bahasa Indonesia pada era pasca-Orde Baru. Untuk memperoleh gambaran yang
komprehensif pendayagunaan kalimat interogatif dalam teks-teks politik, selanjutnya
perhatikan kutipan (102) berikut.
Kutipan (102):
HM: Lho, kan jelas siapa orang-orang yang berada di PDI Perjuangan. Itu seperti Jacob
Tobing yang mantan ketua Bapilu Golkar 1997, Theo Syafei, dan lain-lain, masak
begitu mudahnya loncat ke PDI Perjuangan. Bukankah mereka orang yang dulu
dipakai Orde Baru? Apakah PDI Perjuangan tidak khawatir kebiasaan Orde
Baru akan ditularkan kepada mereka? [Data 22.B.2(4)].
Kutipan (102) di atas adalah cuplikan dan wawancara salah seorang ketua Partai Bulan
Bintang, Hartono Mardjono, dengan beberapa wartawan media massa. Topik yang
diangkat wartawan adalah tanggapan dari PBB tentang begitu banyaknya calon
legislatif PDI yang didominasi oleh calon yang beragama non-Islam. Dalam kutipan
(102) terdapat dua kalimat interogatif, yakni kalimat ketiga dan keempat.
Kalimat interogatif pertarna, yakni bukankah mereka orang yang dulu dipakai
Orde Baru? tidak menempatkan posisi tertentu secara normatif pada penutur maupun
petutur. Jika dalam kalimat interogatif yang biasa menempatkan penutur sebagai subjek
yang mentinta informasi dan petutur adalah subjek yang menyediakan informasi, analisis
terhadap kalimat tersebut akan menemui kendala. Dalam kasus ini, penutur lebih sebagai
penyedia informasi dan petutur sebagai penerima informasi. Dengan demikian, kalimat
4-
12 tersebut yang secara sintaksis adalah kalimat interogatif, secara semantis bukanlah
pertanyaan, tetapi lebih berupa proposisi yang seharga dengan kalimat deklaratif. Kalimat
tersebut secara pragmatik bukanlah bertanya, tetapi lebih berupa pernyataan. Kalimat
tersebut menjalankan fungsi sebagai tindak representatif Penutur "menyatakan" sesuatu
kepada orang lain, yakni "para pemikir PDI Perjuangan sekarang berasal dari tokoh-
tokoh Partai Golkar yang pernah lama dipakai oleh pemerintahan Orde Baru".
Kalimat interogatif kedua, yakni apakah PDI Perjuangan tidak khawatir kebia-
saan Orde Baru akan ditularkan kepada mereka? juga tidak menempatkan posisi
tertentu secara normatif pada penutur maupun petutur. Dalam kalimat interogatif kedua,
penutur bukan sebagai subjek yang meminta informasi dan petutur sebagai subjek yang
menyediakan informasi, tetapi penutur adalah orang yang menyediakan informasi dan
petutur adalah subjek yang menerima informasi. Senada dengan rumusan sebelumnya,
kalimat interogatif kedua tersebut secara sintaksis adalah kalimat interogatif. Dan kaca-
mata semantik, kalimat tersebut bukanlah pertanyaan, tetapi lebih berupa proposisi. Dan
kacamata pragmatik, kalimat tersebut bukanlah aktivitas bertanya, tetapi lebih berupa
pernyataan. Dalam konteks tindak ujaran, kalimat interogatif kedua tersebut menja-
lankan fungsi sebagai tindak direktif. Penutur "memperingatkan" kepada petutur, yakni
PDI Perjuangan, untuk selalu menerapkan prinsip kehati-hatian dalam menghadapi se-
jumlah elite hasil "lompat pagar". Yang dimaksud elite "lompat pagar" ini adalah elite
atau pimpinan PDI-P yang sebelumnya anggota Partai Golkar yang sekarang me-
warnai paradigma berpikir PDI-P..
Pendayagunaan kalimat interogatif dalam teks-teks politik pada era pasca-Orde
Baru seperti di atas dapat juga diperhatikan pada kutipan (103) berikut.
413
Kutipan (103):
DR:Memang saya mendengar penyidikan telah mencapai sekian kali lipat tetapi pe- nuntutannya kan masih kurang dan ini bisa kita lihat dari pemberitaan di mass media. Berapa banyak pejabat yang diduga terlibat korupsi disidik? Dan sini kita dapat menyimpulkan bahwa pemerintah yang sekarang secara umum masih bersifat status quo. [Data 15.B.2(5)]
Kutipan (103) dicuplik dari teks hasil wawancara wartawan Skandal dengan Dawam Ra-
hardjo. Topik yang diangkat adalah pandangan PAN tentang konsep Indonesia baru. Da-
lam paragraf tersebut DR mendayagunakan satu kalimat interogatif, yakni "berapa ba-
nyak pejabat yang diduga terlibat korupsi disidik" untuk mencapai tujuan tertentu.
Dari kacamata sintaksis, kalimat yang tercetak miring dalam paragraf tersebut adalah ka-
limat interogatif Secara normatif kalimat tersebut seharusnya menempatkan penutur pada
posisi sebagai subjek yang meminta atau mengharapkan informasi dan menempatkan
petutw sebagai penyedia informasi. Akan tetapi, dalam kasus tersebut posisi penutur lebih
banyak sebagai "pemberi informasi" dan posisi petuturnya sebagai "penerima informasi".
Kalimat tersebut secara semantis bukanlah sebuah pertanyaan yang digunakan untuk
"bertanya", tetapi lebih berupa proposisi untuk menyampaikan sebuah "pernyataan"
tertentu. Kalimat tersebut dalam konteks tindak ujaran menjalankan fungsi representatif
Penutur "menyatakan" sesuatu kepada orang lain bahwa 'sangat sedikit pejabat yang di-
duga terlibat itu disidik'.
Terdapat fenomena yang menarik dalam kutipan (103) di atas, yakni keberadaan
kalimat interogatif yang dapat ditemukan jawabannya secara implisit dengan melihat hu-
bungan antara kalimat kedua dan ketiga. Kalimat terakhir yang berbunyi "dari sini kita
dapat menyimpulkan bahwa pemerintah yang sekarang secara umum masih bersifat sta-
tus quo" mengimplikasikan bahwa 'sangat sedikit pejabat yang diduga terlibat KKN itu
4-14
disidik'. Hal ini dapat diketahui dari keberadaan parameter sifat reformis yang salah
satunya adalah penyidikan pejabat yang diduga melakukan korupsi, kolusi, dan nepotis-
me. Jika orang yang diduga KKN disidik berarti pemerintah sekarang bersifat reformis,
sebaliknya jika orang yang diduga KKN belum disidik berarti pemerintah yang sekarang
masih bersifat status quo. Selanjutnya, perhatikan kutipan (104) berikut.
Kutipan (104):
KKG: Bagaimanapun, kita berkepentingan mengubah persepsi masyarakat. Masyarakat harus disadarkan bahwa membangun dengan mengandalkan utang bukan jalan yang bijaksana. Setelah 32 tahun kita mengandalkan utang,
hasilnya seperti se-karang kan? Utang tidak terkendali lagi. Utang ratusan triliun
ini siapa yang menanggung kalau bukan anak cucu kita. [Data 11.B.2(6)]
Kutipan (104) dicuplik dari teks hasil wawancara wartawan Jawa Pos dengan Kwik Kian
Gie. Topik yang diangkat adalah peranan utang luar negeri terhadap Anggaran Penda-
patan dan Belanja Negara (APBN). Fenomena yang menarik dari kutipan (104) adalah
pendayagunaan kalimat interogatif dan pencantuman jawaban terhadap pertanyaan itu
secara eksplisit oleh penghasil teksnya. Dalam kutipan (104) terdapat kalimat interogatif,
yakni setelah 32 tahun kita mengandalkan utang, hasilnya seperti sekarang, kan?
diikuti oleh kalimat jawab, yakni "utang tidak terkendali lagi". Teijadi sebuah proses mo-
nolog untuk membawa petutur memahami suatu masalah yang cukup penting, minimal
dalam pandangan penuturnya. Demilcian juga, dalam kalimat interogatif terakhir penutur
serta merta memberikan jawaban terhadap pertanyaan yang diajukannya sendiri.
Kalimat interogatif pertama dan kedua pada kutipan (104) di atas menempatkan
penutur sebagai pemberi informasi dan petutur sebagai penerima informasi. Dengan de-
mikian, kalimat yang tercetak tebal pada kutipan (104), ditinjau dari kacamata sintaksis,
adalah kalimat interogatif. Ditinjau dari kacamata semantik, kedua kata di atas bukanlah
415
"pertanyaan", melainkan lebih berupa "proposisi". Dari kacamata pragmatik, kedua kata
di atas bukanlah aktivitas "bertanya", melainkan lebih berupa aktivitas "menyatakan
sesuatu" kepada orang lain. Dengan demikian, kedua kalimat di atas, dalam konteks
tindak ujaran, menjalankan tindak asertif. Penghasil teks "menyatakan" sesuatu kepada
orang lain, yakni bahwa "utang yang dijadikan andalan dalam pembangunan malah
membawa kesengsaraan dan kemelaratan" dan "yang menanggung utang yang begitu
besar adalah generasi penerus pemimpin bangsa yang notabene tidak ikut utang".
Selanjutnya, perhatikan kutipan (105) berikut.
Kutipan (105):
MDI: Kalau yang kalah akan terus melakukan protes, lalu bagaimana negara ini
akan bisa membangun? Kapan kita bisa berdemokrasi? Begitu juga bila Pak
Habibie terpilih dengan beds dua kursi, kita juga harus bisa menerimanya. Jangan
melakukan protes dengan mengerahkan massa. [Data 33.B.2(7)]
Kutipan (105) dicuplik dari teks hasil wawancara wartawan Jawa Pos dengan Marwah
Daud Ibrahim, salah seorang elite Partai Golkar. Topik yang diangkat adalah pencalonan
Habibie sebagai calon presiden dari Partai Golkar yang masih menimbilkan pro dan kontra
di dalam tubuh Partai Golkar sendiri. Dalam kutipan (105) di atas dua kalimat interogatif
secara berturut-turut didayagunakan oleh MDI. Dua kalimat interogatif tersebut di-
kemukakan dengan berdasar pada sebuah "pengandaian" atau "persyaratan", yakni "kalau
yang kalah akan tents melakukan protes. Dengan demikian, kedua kalimat itu tidak me-
merlukan jawaban. Dari kacamata sintaksis, kalimat tersebut memang kalimat interogatif
Dari kacainata semantik, kalimat tersebut bukanlah pertanyaan, tetapi lebih berupa pro-
posisi. Dari kacamata pragmatik, kalimat tersebut bukanlah aktivitas bertanya, tetapi lebih
merupakan aktivitas "menyatakan" sesuatu. Penghasil teks ingin menyatakan bahwa untuk
bisa membangun dan bisa berdemokrasi harus berangkat dari suatu landasan terten-
416
tu, yakni setiap pelaku demokrasi haruslah siap untuk menang dan sekaligus siap untuk
kalah. Pihak yang menang hams menghormati pihak yang kalah, sebaliknya pihak yang
kalah hams menghormati pihak yang menang dan tidak boleh melakukan protes.
Dan paparan terhadap pendayagunaan kalimat interogatif yang terdapat pada
kutipan (102), (103), (104), dan (105) dapat diperoleh suatu pemahaman, yakni
terdapat kesamaan karakteristik kalimat interogatif yang didayagunakan. Pada kutipan-
kutipan tersebut kalimat interogatif yang didayagunakan tidaklah memerlukan j
awaban. Jika terdapat kalimat yang memerlukan jawaban, maka jawaban itu sudah
disediakan oleh penghasil teksnya atau penerima dapat menarik kesimpulan dari
keberadaan konteks linguistik, konteks lokal, dan konteks globalnya.
Yang menjadi pertanyaan "mengapa elite politik memiliki kecenderungan memi-
lih 'kalimat interogatif yang tidak bertanya' atau 'kalimat interogatif yang menyatakan'
daripada kalimat "interogatif yang benar-benar bertanya?" Jawaban terhadap pertanyaan
tersebut dapat dicari pada karakteristik komunikasi yang terjadi pada kutipan (102) sampai
(105) di atas. Contoh kutipan di atas berupa komunikasi politik yang berupa wawancara di
mana salah satu partisipan meminta informasi dan partisipan lainnya memberikan
informasi. Dengan demikian, terdapat hubungan antarpartisipan yang tidak sederajat yang
mengakibatkan tidak terjadi distribusi komunikasi yang adil dan ideal. Elite politik tidak
memiliki kesempatan untuk memilih "kalimat interogatif yang benar-benar bertanya" da-
lam jenis komunikasi itu karena mitra komunikasinya tidak memiliki kapasitas politis ter-
tentu untuk menjawab pertanyaan yang mungkin diajukan oleh elite politik penghasil teks
itu. Dalam pandangan peneliti, secara kodrati jenis komunikasi seperti itu lebih berorientasi
pada elite politik yang diwawancarai.
4-17
Contoh di atas akan berbeda jika komunikasi itu terjadi antara elit politik satu de-
ngan elit politik lainnya. Selanjutnya, perhatikan kutipan (106) berikut.
Kutipan (106):
ROT: Pertama-tama kami ingin menyampaikan pertanyaan kepada rekan kami dari Par-
tai Masyumi. Pada tahun 60 Partai Masyumi dibubarkan oleh pemerintahan
Soekarno. Mungkin alasan politik atau alasan hukuin saya tidak tahu.
Bagaimana pandangan Partai Masyumi terhadap partai-partai politik yang ikut
bertanggung jawab terhadap dosa-dosa politik pada zaman Orde Baru?Ada dua
partai politik pada saat itu dan satu Golkar. Menurut pendapat kami mereka pun
mempunyai dosa politik. Apakah terhadap mereka harus juga dikenakan sanksi
politik, atau dibubarkan, atau bagaimana? Bagaimana sikap Masyumi terhadap
hal seperti itu? Kemudian mengenai Partai Pekerja Indonesia, bagaimana
konsep daripada Partai Pekerja Indonesia terhadap kenyataan sekarang ini
terhadap kurang lebih 20 juta rakyat Indonesia menganggur?, Konsep
bagaimana partai ini bisa menyelesesaikan masalah ini supaya masaiah ini tidak
menjadi masalah yang rumit bagi negara kita?. Terima kasih.
MOD: Saya persilahkan Saudara Abdullah Hehamahua menjawab dulu, kemudian
giliran Pak Saleh Said Harahap untuk menjawab pertanyaan. Saya persilakan.
AH: Terima kasih. Pertanyaan yang menarik. Sikap Masyumi terhadap Golkar
dan
mitranya selama pemerintahan Orde Baru. Jelas. Pada penjelasan saya tadi. Pada
start pertama jika Partai Masyumi ditakdirkan untuk memerintah Indonesia maka
Soeharto dan seluruh kroninya hams ditangkap dan diadili.[...]
SSH: Bapak-bapak yang saya hormati dan bapak yang saya segani Bapak R.O. Tam-
bunan. Sebenarnya jelas, Partai Pekerja Indonesia mempunyai satu kata
perjuangan, yaitu tidak mungkin masyarakat sejahtera kalau dia menganggur,
sampai kiamat pun dia tak mungkin sejahtera kalau dia menganggur.
[Data 19/21/48.B.2(8)]
Kutipan (106) dicuplik dari teks kampanye dialog antara Partai Pilihan Rakyat, PPIIM, dan
Partai Pekerja Indonesia. Kampanye dialogis itu ditayangkan melalui media televisi
dipimpin oleh seorang moderator dengan juru kampanye masing-masing R.O. Tambunan
dari PILAR, Abdullah Hehamahua dari Partai Politik Islam Indonesia Masyumi, dan Sa leh
Said Harahap dari Partai Pekerja Indonesia. Teks tersebut adalah bagian dari sesi tanya
jawab antara masing-rnasing juru kampanye. R.O. Tambunan dari PILAR memperoleh
kesempatan pertama untuk mengajukan pertanyaan kepada juru kampanye kedua par -tai
lainnya. Kedua partai lairmya kemudian diberi kesempatan oleh moderator untuk men-
jawab pertanyaan dari pertanyaan PILAR.
418
Dalam kutipan (106) terdapat tiga kalimat interogatif yang ditujukan kepada jur-
kam PPIIM dan dua kalimat interogatif yang ditujukan kepada jurkam PPI. Terdapat fe-
nomena yang unik dalam pilihan kalimat interogatif tersebut. Tiga kalimat interogatif yang
ditujukan kepada PPIIM, yakni (1) bagaimana pandangan Partai Masyumi terhadap
partai-partai politik yang ikut bertanggung jawab terhadap dosa-dosa politik pada
zaman Orde Baru, (2) apakah terhadap mereka harus juga dikenakan sanksi politik,
atau dibubarkan, atau bagaimana, dan (3) bagaimana sikap Masyumi terha-
dap hat seperti itu. Ketiga kalimat interogatif itu dirumuskan dari satu proposisi yang
sama, yakni "PPIIM mempunyai pandangan terhadap partai-partai pendukung peme-
rintahan Orde Baru". Ketiga kalimat interogatif itu masing-masingnya tidak
memerlukan jawaban sendiri-sendiri, tetapi cukup dijawab dengan satu jawaban karena
ketiga kalimat interogatif itu mengacu kepada jawaban yang sama.
Pola kalimat interogatif seperti yang didayagunakan oleh ROT kepada PPIIM itu
dapat diperhatikan pada ROT yang ditujukan pada PPI. Kalimat interogatif pertama ba-
gaimana konsep daripada Partai Pekerja Indonesia terhadap kenyataan sekarang ini
terhadap kurang lebih 20 juta rakyat Indonesia yang menganggur dan kalimat kedua
konsep bagaimana partai ini bisa menyelesaikan masalah ini supaya masalah ini
tidak menjadi masalah yang rumit bagi negara kita dirumuskan dari proposisi yang
sama, yakni "PPI mempunyai tanggapan tertentu terhadap pengangguran di Indonesia".
Kedua kalimat interogatif itu memerlukan satu jawaban saja.
Kedua pendayagunaan kalimat interogatif di atas membentuk pola tertentu.
Pola itu dapat dijelaskan melalui gambar 5.1 berikut.
1419
'
I\
/1 K1-1 I
1
P
. ' / 1 M-2 1 .1 I
J
KI-n
Catatan
P= proposisi
KI-1= kalimat interogatif pertama
KI-2= kalimat interogatif kedua Ki-
n= kalimat interogatif selanjutnya
J= jawaban
Dan gambar 5.1 tersebut dapat dike-
tahui bahwa setiap penanya memili-
ki proposisi tertentu yang kemudian
Gambar 5.1 Pola Pendayagunaan Kalimat Interogatif
dalam Teks-Teks Politik dijabarkannya ke dalam beberapa
kalimat interogatif. Jumlah kalimat interogatif yang dilahirkan dart satu proposisi ter-
sebut sangat relatif bergantung pada tingkat kerumitan jawaban yang hams diberikan ke-
pacla penanya. Semakin sederhana atau semakin konkret pertanyaan yang diajukan
semakin sedikit jumlah kalimat interogatif yang dilahirkannya. Sebaliknya, semakin
kompleks atau semakin abstrak pertanyaan yang diajukan semakin banyak jumlah
kalimat interogatif yang dilahirkannya. Selanjutnya, jawaban yang diberikan oleh mitra
dialog merangkum ketiga pertanyaan karena antara pertanyaan yang satu dan pertanyaan
lainnya memiliki kecenderungan arah jawaban yang sama.
Model pendayagunaan beberapa kalimat interogatif dalam bertanya seperti yang
sudah dipaparkan sebelumnya cukup banyak muncul dalam kampanye dialogis pemilu
tahun 1999. Selain pendayagunaan beberapa kalimat interogatif dalam satu tahapan
bertanya, terdapat juga pendayagunaan kalimat interogatif yang bersifat langsung,
yakni bertanya dengan rnendayagunakan satu kalimat interogatif. Perhatikan kutipan
(107) berikut. Kutipan (107):
MOD: Sekarang giliran bertanya selanjutnya adalah Bapak Abdullah Hehamahua dad Partai
Masyumi. Silakan mengajukan pertanyaan Anda!
AH: Saudara dart PILAR, pertanyaan yang saya ajukan berkaitan dengan statement
yang tadi anda ajukann jika PILAR memegang kekuasaan maka akan melakukan
420
pembersihan KKN. Bagaimana membersihkan KKN di Indonesia?Dari PPI yang menarik adalah mencalonkan Sri Sultan sebagai calon presiden. Sementara itu, Golkar juga mengajukan calon presiden yang salah satunya adalah Sri Sultan. Apakah antara PPI dan Golkar ada kemitraan dalam
pencalonan presiden? [Data 21.B.2(9)]
Kutipan (107) adalah lanjutan dialog yang sudah dipaparkan pada kutipan (106) di atas.
Pada kutipan (107) merupakan tahapan pemberian giliran bertanya kepada juru kampanye
PPIIM, Abdullah Hehamahua. Berbeda dengan kutipan (106), dalam kutipan ini AH
menggunakan satu kalimat interogatif untuk bertanya kepada dua juru kampanye yang
lain. Satu pertanyaan kepada PILAR , yakni bagaimana membersihkan KKN di
Indonesia? dan satu pertanyaan untuk PPI, yakni apakah antara PPI dan Golkar ada
kemitraan dalam pencalonan presiden? diajukan oleh Ketua Umum PPIIM dalam
termin tanya jawab tersebut.
Dari paparan di atas dapat diperoleh pemahaman bahwa kalimat interogatif
cukup banyak didayagunakan dalam teks-teks politik Indonesia pada era pasca-Orde
Baru meskipun tidak sebanyak kalimat deklaratifnya. Jenis kalimat interogatif yang
didayagunakan cukup beragam, dan kalimat interogatif yang "tidak bertanya" sampai
pada kalimat interogatif yang "benar-benar bertanya".
c. Kalimat Imperatif
Selain kalimat deklaratif dan interogatif, kalimat imperatif juga didayagunakan
dalam teks-teks politik Indonesia era pasca-Orde Baru. Hal itu dapat diperhatikan pada
kutipan (108) berikut.
Kutipan (108):
AS: Kita ingin terjadi perubahan mendasar. Tidak boleh lagi hanya pengusaha besar yang terlibat kegiatan pembangunan dan menikmati hasil-hasilnya.Ke depan kita berharap para pengusaha kecil, menengah, dan koperasi yang jumlahnya mencapai 40 juta ikut menikmati hasil-hasil pembangunan dan terlibat aktif dalam proses produksi serta distribusi nasional. [Data 49.B.2(10)]
14-21-
Kutipan (108) dicuplik dari teks hasil wawancara wartawan Jawa Pos dengan Adi Sasono
(AS). Topik yang diangkat adalah masalah politik ekonomi kerakyatan yang menjadi
program utama Departemen Koperasi dan Pembinaan Usaha Kecil dan Menengah yang
dipimpin oleh AS. Dalam kutipan (108) tersebut AS mendayagunakan kalimat imperatif
untuk tujuan melarang pelaksanaan prinsip ekonomi yang tidak mengacu kepada konsep
"kerakyatan". Kalimat imperatif itu dimarkahi oleh penggunaan kita ingin, tidak boleh
lagi, dan kita berharap. Dalam kasus ini, AS sebagai penutur adalah subjek yang "me-
minta", "melarang", "memerintahkan" sesuatu kepada orang atau pihak lain untuk mela-
kukan atau tidak melakukan perbuatan tertentu. Kalimat-kalimat tersebut memiliki makna
"perintah" sehingga subjek yang menjadi tujuan perintah itu secara normatif hams me-
laksanakan perintah itu. Mitra tutur atau petutur yang dimaksud dalam "permintaan", "pe-
larangan", dan "pemerintahan" itu bukanlah orang kedua yang diajak berbicara, tetapi
orang ketiga yang tidak hadir dalam peristiwa komunikatif itu, yakni para pelaku pereko-
nomian yang selama ini disebut konglomerat dan sangat diuntungkan oleh pelaksanaan
ekonomi model Orde Baru.
Kalimat imperatif pertama yang bermarkah kita ingin berimplikasi pada keingin-
an penutur kepada pihak lain agar melakukan sebuah tindakan yang sangat diinginkan
oleh penuturnya itu. Kalimat imperatif kedua yang bermarkah tidak boleh lagi merupa-
kan larangan penutur yang berimplikasi pada perluasan keterlibatan pengusaha dalam
kegiatan ekonomi kerakyatan. Kalimat jai sekaligus juga larangan kepada pihak-pihak
tertentu untuk melakukan sesuatu. Kalimat imperatif ketiga dengan markah utama kita
berharap berimplikasi pada harapan penutur kepada pihak lain agar melakukan sebuah
tindakan yang sangat diharapkan oleh penuturnya itu.
4-22
Pendayagunaan kalimat imperatif dengan menggunakan pemarkah imperatif
lain dapat diperhatikan pada kutipan (109) berikut.
Kutipan (109):
SBY: Jangan ada gerakan-gerakan keluar dari kampus yang hanya mengganggu ketertiban.
Jangan ada gerakan, meskipun di dalam kampus, yang melebihi batas kepatutan.
Pada dasamya, ABRI lebih mengimbau ekspresi politik, penyampaian aspirasi
politik yang lebih tepat, lebih tertib, menggunakan saluran yang ada, mekanisme
yang ada. [Data 49. B.2(11)]
Kutipan (109) dicuplik dari teks basil wawancara wartawan Republika dengan Susilo
Bambang Yudhoyono (SBY). Topik yang diangkat adalah persoalan gerakan mahasiswa
yang meneriakkan reformasi total. Dalam kutipan tersebut, SBY mendayagunakan tiga
kalimat imperatif. Ketiga kalimat itu ditandai oleh penggunaan konstruksi jangan ada
dan mengimbau. Kalimat imperatif pertama secara semantis merupakan bentuk "larang-
an" kepada pihak mahasiswa dan kelompok pro demokrasi lainnya untuk tidak mengada-
kan unjuk rasa di jalan karena akan dapat mengganggu ketertiban umum. Kalimat impe-
ratif kedua secara semantis merupakan bentuk "larangan" kepada pihak mahasiswa untuk
tidak mengadakan gerakan yang melebihi "sopan santun" berunjuk rasa. Kalimat impe-
ratif ketiga secara semantis merupakan bentuk "imbauan" kepada semua pihak agar dapat
mengekspresikan kemauan politik secara konstitusional dan tidak ke luar dan konstitusi
itu. Ketiga kalimat imperatif tersebut secara pragmatik berupa impositif "pembebanan"
kepada petutur untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu.
Pendavagunaan kalimat imperatif dalam teks-teks politik era pasca-Orde Baru.
selain menggunakan pemarkah tidak boleh, berharap, jangan, dan imbau juga
menggunakan "verba imperatif', pemarkah "supaya+verba imperatif pasif'.
Selanjutnya perhatikan kutipan (110) berikut.
423
Kutipan (110):
SH: Materi SI itu kan sudah disepakati di MPR. Dan, yang bertugas menggodok ma- te: kan ada sendiri. Jadi, kalau ada suara tidak puas, sampaikan saja ke MPR. [Data 49.B.2(12)]
Kutipan (110) dicuplik dari teks hasil wawancara wartawan Jawa Pos dengan Syarwan
Hamid (SH). Topik yang diangkat adalah masalah pelaksanaan Sidang Istimewa MPR
untuk mempersiapkan sejumlah ketetapan bagi pembentukan pemerintahan baru yang
lebih diakui oleh rakyat. Dalam kutipan tersebut, SH mendayagunakan kalimat imperatif
dengan verba imperatif "sampaikan". Kalimat ini secara semantic merupakan bentuk "pe-
rintah" dari penutur kepada pihak petutur untuk melakukan sesuatu seperti dikehendaki
oleh penuturnya. Kalimat tersebut secara pragmatik akan memberikan pembebanan
kepada petutur untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu seperti yang dikehendaki
oleh penuturnya. Perhatikan juga kutipan (111) berikut.
Kutipan (111):
GD: Jadi, pemerintah harus tegas sajalah. Siapa yang membuat kerusuhan itu supaya
ditindak saja. Jangan dibiarkan. Kalau tindakan nyata sudah dilakukan, orang-orang yang lari ke luar negeri itu segera pulang. [Data.35.B.2(13)]
Kutipan (111) dicuplik dari teks hasil wawancara wartawan dengan Abdurrahman Wahid
(Gus Dur). Topik yang diangkat adalah masalah penanganan kerusuhan Mei 1998 yang
berjalan sangat lambat, bahkan terkesan stagnasi. Dalam kutipan tersebut GD mendaya-
gunakan kalimat imperatif dengan verba imperatif pasif. Kalimat tersebut secara seman-
tis merupakan "perintah" dari seorang penutur kepada petutur agar melakukan sesuatu
seperti dikehendaki oleh petuturnya. Kalimat tersebut secara pragmatik memberikan
pembebanan petutur untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu seperti dikehendaki
oleh penuturnya. Sedikit berbeda dengan kutipan (110) di atas, dalam kasus ini, bagi
424
petutur kalimat ini mengandung nuansa yang lebih halus karena penggunaan kata supaya
sebelum verba imperatifnya. Petutur akan merasa bahwa penutur tidak memerintah
secara langsung.
Pendayagunaan kalimat imperatif dalam teks-teks politik era pasca-Orde Baru
juga menggunakan kata ingin, seperti yang terdapat dalam kutipan (112) berikut.
Kutipan (112):
PSP: Kami ingin agar pemilu ini berjalan cinta dan damai. Kita ingin memperjuangkan hak
asasi dan hak-hak politik kaum perempuan. Kami juga ingin bagaimana kedaulatan
rakyat itu dapat tegak. [Data 23.B.2(14)]
Kutipan (112) dicuplik dan teks kampanye dialogis Partai Solidaritas Pekerja (PSP) un-
tuk pemilihan umum 1999. Topik yang diangkat adalah pemaparan program-program
par-tai jika partai itu dipercayai oleh rakyat untuk duduk di dalam Dewan Penvakilan
Rakyat. Dalam kutipan tersebut juru kampanye PSP mendayagunakan kalimat imperatif
dengan kata ingin. Dengan demikian, kalimat tersebut secara semantis merupakan
"keinginan" elit politik PSP untuk berbuat sesuatu jika PSP dipercayai rakyat, secara
pragmatik kalimat tersebut akan memberikan pembebanan kepada petutur agar sesuatu
yang diinginkan oleh penuturnya dapat diwujudkan. Kalimat tersebut juga sekaligus
"keinginan" elit politik PSP agar komponen bangsa yang lain juga memperjuangkan
program serupa jika mendapat mandat dari pemilihnya. Senada dengan kutipan (111)
tersebut, kutipan (112) merupakan imperatif yang bersifat tidak langsung sehingga dalam
diri petuturnya terdapat kesan "solidaritas", bukan "kekuasaan".
Pendayagunaan kalimat imperatif dalam teks-teks politik era pasca-Orde Baru
juga menggunakan kata-kata ajakan, seperti marilah. Hal ini dapat diperhatikan pada
kutipan (113) berikut.
4 25
Kutipan (113):
AWM: Saya berharap semua pihak jangan berapriori dulu. Jangan berburuk sangka.
Dailog belum digelar, tetapi sudah ada yang menyatakan menolak. Dari situ
bisa saja muncul berbagai kesamaan. Karena itu, sebaiknya, marilah kita
berdialog dulu. [Data 49. B .2(15)]
Kutipan (113) dicuplik dari teks basil wawancara wartawan Jawa Pos dengan A. Wahab
Makodongan. Topik yang diangkat adalah masalah dialog yang ditawarkan oleh pimpinan
TNI kepada komponen mahasiswa yang menuntut adanya reformasi total di segala bidang
kehidupan. Dalam kutipan tersebut, AWM mendayagunakan tiga kalimat imperatif, yakni
kalimat pertama dengan markah berharap, kalimat kedua dengan markah jangan, dan
kalimat kelima dengan markah marilah. Kalimat pertama itu secara semantis merupakan
"pengharapan" penutur kepada pihak lain agar melakukan atau tidak melakukan sesuatu.
Kalimat kedua itu secara semantis merupakan "larangan" yang disampaikan penutur ke-
pada pihak lain agar tidak melakukan sesuatu. Kalimat kelima itu secara semantis meru-
pakan "ajakan" penutur kepada pihak lain agar melakukan sesuatu secara bersama-sama
antara penutur dan pihak lain itu.
Dari paparan di atas dapat diperoleh pemahaman bahwa selain kalimat deklaratif
dan interogatif, kalimat imperatif juga didayagunakan di dalam teks-teks politik Indonesia
era pasca-Orde Baru. Berbagai bentuk kalimat imperatif dari yang bersifat langsung
sampai yang tidak langsung didayagunakan untuk tujuan politis penghasil teksnya. Apa
pun bentuk imperatif yang dipilih, dari kacamata pragmatik penggunaan kalimat ini ber-
implikasi pada "pembebanan" kepada petutur agar melakukan atau tidak melakukan sesu-
atu seperti yang dikehendaki oleh penuturnya.
Dari keseluruhan pendayagunaan modus kalimat yang ada, kalimat deklaratif de-
ngan makna "menyatakan" menduduki tempat pertama dalam jurnlah. Kalimat interogatif
426
yang didayagunakan pun secara sernantis juga lebih banyak berkaitan dengan makna
"menyatakan" itu. Hal ini berarti bahwa posisi elite politik Indonesia dalam teks-teks
politik lebih banyak mengambil posisi sebagai "pemberi informasi", sementara itu
masyarakat Indonesia lebih banyak sebagai "penerima informasi".
4.2.2.2 Modalitas Relasional
Pertanyaan pokok yang dikemukakan Fairclough (1989:126) berkaitan dengan
modalitas relasional adalah "adakah fitur-fitur penting dan modalitas relasional". Moda-
litas relasional berkenaan dengan persoalan autoritas satu partisipan dalam hubungannya
dengan partisipan lainnya dalam komunikasi. Modalitas relasional berbeda dengan
modalitas ekspresif. Yang terakhir ini adalah modalitas yang berkenaan dengan
persoalan autoritas penutur terhadap kebenaran dan kemungkinan dari suatu representasi
realitas. Modalitas ekspresif berkenaan dengan evalliasi penutur terhadap kebenaran.
Modalitas relasional ini cukup banyak didayagunakan dalam teks-teks politik
Indonesia era pasca-Orde Baru. Beberapa makna yang muncul berkenaan dengan
pilihan modalitas relasional ini, antara lain: 'keharusan', 'keteramalan', 'kemampuan',
'kepastian', 'kemungkinan', keinginan', 'harapan', 'pembiaran', dan 'perintah'. Modalitas-
modalitas itu secara formal ditunjukkan oleh penggunaan modal tertentu sebagai wujud
tingkat jaminan atau komitmen penuturnya. Tiap-tiap pilihan modalitas relasional
tersebut dipaparkan sebagai berikut.
a. Modalitas yang Menyatakan 'Keharusan'
Modalitas yang menyatakan makna 'keharusan' ditandai oleh penggunaan kata-
kata, antara lain harus, mesti, wajib, harusnya, dan seharusnya. Perhatikan kutipan
(114) berikut.
4 2 7
Kutipan (114):
MD: Ya, kalau yang kecil-kecil ini ditumpuk-tumpuk, kan menjadi besar juga. Dan
tentu, sokongan kepadanya akan bertambah banyak, khususnya dari kaum re-
formis. Tetapi, bagaimana pun dia harus mencari formula yang lebih tepat agar
hasilnya cukup efekti khususnya soal pengusutan Pak Harto. [Data 33.B.2(16)]
Kutipan (114) dicuplik dari teks basil wawancara wartawan Jawa Pos dengan Marzuki
Darusman, salah seorang elite Partai Golkar. Topik yang diangkat dalam wawancara ada-
lah masalah langkah-langkah yang diambil Presiden Habibie dalam rangka mengum-
pulkan poin untuk pencalonannya kembali sebagai presiden keempat RI. Dalam kutipan
tersebut (114) tersebut MD menggunakan modal harus untuk menyatakan bahwa apa
yang dikemukakannya adalah sesuatu yang amat penting sehingga "wajib" dilakukan oleh
Habibie. Kata harus dalam kalimat di atas mengandung imlikasi imperatif bagi sasaran
yang dituju. Selanjutnya, perhatikan juga kutipan (115) berikut.
Kutipan (115):
SH: Beberapa penolakan partai-partai itu bisa menjadi masukan bagi dewan. Sebab,
memang banyak pandangan-pandangan yang perlu didengarkan. Tetapi, jangan ter-
lalu cepat menolak. Mereka harusnya menjelaskan poin-poin mana yang ditolak.
Itu harus dijelaskan lagi. [Data 49.B.2(17)]
Kutipan (115) dicuplik dari teks hasil wawancara wartawan Indonesia dengan Syarwan
Hamid. Topik yang diangkat adalah masalah penolakan oleh sebagian komponen bangsa
terhadap rencana pelaksanaan Sidang Istimewa MPR. Dalam kutipan tersebut, SH men-
dayagunakan tiga modal yang menyatakan makna 'keharusan', yakni perk, harusnya,
dan harus. Modal harus memiliki makna 'keharusan' yang paling tinggi, kemudian di-
ikuti harusnya dan yang terakhir adalah perk.
Satu rumusan penting berkaitan dengan contoh kutipan (114) dan (115) di atas
adalah masalah penonjolan autoritas oleh penutur terhadap pihak lain agar melakukan
428
suatu tindakan tertentu yang tidak dapat ditawar-tawar. Elite politik ingin menunjukkan
bahwa posisi yang sedang didudukinya dan aktor yang sedang diperankannya itu
memiliki kekuatan imperatif dan direktif untuk menggerakkan orang lain dalam suatu
komunikasi politik yang sering bersifat timpang.
b. Modalitas yang Menyatakan 'Keteramalan'
Modalitas yang menyatakan malcna 'keteramalan' ditandai oleh penggunaan kata-
kata, antara lain akan, saya kira, saya rasa, saya pikir, agaknya, kelihatannya, diduga,
dikira, pada hemat saya, dan menurut pendapat saya. Modalitas jenis ini banyak
didayagunakan dalam teks-teks politik Indonesia era pasca-Orde Baru. Perhatikan kutipan
(116) berikut.
Kutipan (116):
SBP: Untuk mewujudkan Indonesia, siapa pun yang menjadi presiden nanti jika
tidak mewujudkan Indonesia baru saya kira akan gagal untuk mewujudkan ke-
makmuran yang abadi bagi masyarakat Indonesia. [Data 36.B.2(18)]
Kutipan (116) dicuplik dan teks pembukaan debat calon presiden yang disampaikan oleh
Sri Bintang Pamungkas. Topik yang dikemukakan oleh SBP adalah perlunya melakukan
reformasi total di semua bidang kehidupan untuk mewujudkan suatu sistem Indonesia ba-
re untuk menggantikan sistem Orde Baru yang tidak mencerminkan prinsip-prinsip de-
mokrasi. Dalam kutipan (116) SBP mendayagunakan dua modal yang menyatakan 'ke-
teramalan' sekaligus, yakni saya kira dan akan. Dua modal tersebut dipergunakan SBP
untuk memberikan "ramalan" atau "prediksi" bagi siapa saja yang nantinya menduduki
presiden keempat Republik Indonesia. Dalam prediksi SBP, Indonesia ba' adalah syarat
mutlak keberhasilan seorang presiden di Indonesia. Selanjutnya, perhatikan juga kutipan
(117) berikut.
1+29
Kutipan (117):
AS:Secara politis, format ekonomi baru ini, tidak lain, dimaksudkan untuk mencip- takan suatu perekonomian berbasis ekonomi pasar. Meski begitu, ini tidak berarti dunia usaha berskala besar akan dirugilcan, apalagi dilarang. Nantinya, akan ada aturan yang tegas, jelas, dan transparan yang memisahkan masalah kekuasaan po-litik dengan kegiatan ekonomi. Prinsipnya, ada peraturan yangnnantinya bisa menjamin keadilan. Jadi, praktik KKN bisa dicegah sedini-dininya. [Data 49. B.2(19)]
Kutipan (117) dicuplik dari teks hasil wawancara antara wartawan Jawa Pos dengan Adi
Sasono. Topik yang diangkat adalah masalah ekonomi kerakyatan yang sedang digulirkan
sebagai program utama Departemen Koperasi dan Pembinaan Usaha Kecil dan Menengah
dalam Kabinet Reformasi Pembangunan. Dalam kutipan (117) AS mendayagunakan
modal yang menyatakan 'keteramalan', yakni akan. Dengan modal ini, penghasil teks
memiliki prediksi tentang suatu masa depan perekonomian jika diatur sesuai dengan
prinsip-prinsip demokrasi ekonomi yang mementingkan masyarakat banyak.
Selain modal akan dan saya kira, modalitas relasional yang menyatakan mak-
na 'keteramalan' juga dinyatakan dengan konstruksi "pasti tidak mungkin", seperti
dapat diperhatikan pada kutipan (118) berikut.
Kutipan (118):
SBY: Kalau dialog diharapkan bisa menyelesaikan semua masalah saya kira itu pan-dangan yang tidak tepat. Bagaimana mungkin sebuah dialog yang digelar sekali dua kali mampu menyelesaikan segenap agenda pembangunan, menuntaskan berbagai masalah, apalagi kalau lingkupnya sangat luas dan masalalmya juga tidak sederhana. Pasti tidak mungkin sebuah dialog harus menyelesaikan semua masalah apalagi kalau diinginkan tindak lanjut dengan segera dan tuntas. [Data 49. B.2(20)]
Kutipan (118) dicuplik dan teks basil wawancara wartawan Republika dengan Susilo
Bambang Yudhoyono. Topik yang diangkat adalah masalah pelaksanaan Sidang Istimewa
yang diagendakan untuk mengamandemen Undang-Undang Dasar 1945. Dalam kutipan
(118) tersebut SBY mendayagunakan modal yang menyatakan 'keteramalan', yakni saya
430
kira, dan pasti tidak mungkin. Demikian juga, kehadiran konstruksi interogatif bagai-
mana mungkin memperkuat adanya makna keteramalan itu. Dengan modal-modal ter-
sebut, penghasil teks memprediksi adanya sebuah ketidakberhasilan dalam menuntaskan
masalah-masalah bangsa yang besar dan rumit hanya melalui beberapa tahapan dialog.
Dan kutipan (116), (117), dan (118) di atas dapat diperoleh pemahaman bahwa
melalui teks-teks politiknya, sejumlah elite politik Indonesia menempatkan dirinya
sebagai "pemrediksi" tentang berbagai hal yang berkaitan dengan sosial ekonomi,
sosial politik, dan sosial budaya. Ketepatan akan prediksi itu akan menambah nilai elite
yang bersangkutan untuk mencapai tujuan politisnya melalui berbagai aktivitas
politisnya itu. c. Modalitas yang Menyatakan 'Kemampuan'
Modalitas yang menyatakan makna 'kemampuan' ditandai oleh penggunaan
katakata dapat, bisa, mampu, dan sanggup. Perhatikan kutipan (119) berikut.
Kutipan (119):
MD: Langkah-langkah komprehensif ini dapat menjadikannya sebagai simbol perubahan. Sulitnya saat ini kan cap yang mengatakan Pak Habibie tidak ada bedanya dengan Pak Harto. Karena itu, untuk soal yang satu ini harus segera ditegaskan dan dilakukan. {Data 33.B.2(21)]
Kutipan (119) dicuplik dan teks hasil wawancara wartawan Jawa Pos dengan Marzuki
Darusman. Topik yang diangkat adalah masalah pencalonan B.J. Habibie sebagai calon
presiden dan Partai Golkar. Dalam kutipan (119) MD mendayagunakan modal yang me-
nyatakan kemampuan', yakni dapat. Dengan keberadaan modal dapat dalam kalimat itu
menginformasikan bahwa penghasil teks ingin menunjukkan 'kemampuan' untuk me-
lakukan sesuatu. Dimensi 'kemampuan' ini semakin dipertegas oleh pendayagunaan mo-
dal harus dalam paragraf yang sama yang menyatakan makna 'keharusan'. Selanjutnya,
perhatikan juga kutipan (120) berikut.
4.31
Kutipan (120):
DH: Mega sebagai talon Presiden PDI Perjuangan adalah harga mati. Tidak bisa di- tawar lagi karena menjadi keputusan kongres. Kita berjuang untuk itu. Tidak ada alternatif. Keputusan itu hanya bisa diubah oleh kongres. Kita biasakan menaati aturan. [Data 11.B.2(22)]
Kutipan (120) dicuplik dari teks hasil wawancara wartawan Gatra dengan Dimyati Hartono,
salah seorang elite PDI Perjuangan. Topik yang diangkat adalah masalah pencalonan
Megawati Soekarnoputri sebagai calon presiden dari PDI Perjuangan meskipun terdapat
gerakan yang mempersoalkan perempuan sebagai presiden. Dalam kutipan (120) DH
mendayagunakan modalitas yang menyatakan 'kemampuan', yakni bisa. Dengan modal bisa
itu penghasil teks ingin menunjukkan kemampuannya untuk berbuat sesuatu yang
diperjuangkan. Penggagalan Megawati sebagai calon Presiden Republik Indonesia hanya
mampu dilakukan melalui kongres PDI Perjuangan.
Kutipan (119) dan (120) di atas dapat diperoleh pemahaman bahwa melalui teks-
teks politiknya, sejumlah elite politik Indonesia menempatkan dirinya sebagai "pelaku yang
memiliki kemampuan" untuk melakukan berbagai hal. Ini adalah konsekuensi dari posisi
yang didudukinya yang menuntut sejumlah 'kemampuan'. Dengan kemampuan yang
dimilikinya berarti elite itu memiliki sejumlah kelebihan yang tidak dimiliki oleh elite
politik lain yang selanjutnya menambah autoritas yang ada pada dirinya. Dengan di-
milikinya autoritas itu, penutur akan semakin menghargai keberadaan penutur itu yang
memang layak menjadi pemimpin.
d. Modalitas yang Menyatakan 'Kepaitian'
Modalitas yang menyatakan makna 'kepastian' ditandai oleh penggunaan katakata,
antara lain pasti, tentu, saya yakin, saya percaya, dan tentunya. Perhatikan kutipan (121)
berikut.
432
Kutipan (121):
YIM: Kesulitan-kesulitan seperti ini sebenarnya bukan pertama-tama terjadi dalam se-jarah republik ini. Kita sudah berulang kali mengalami kesulitan-kesulitan seperti ini, tetapi alhamdulillah berkat rahmat Allah swt dan berkat perjuangan kita bersama kesulitan-kesulitan seperti itu satu per satu dapat kita atasi bersama-sama. Saya yakin dan percaya sebagai bangsa yang pernah ditimpa pengalaman-pengalaman yang cukup berat 53 tahun terakhir ini, saya yakin kita mampu menyelesaikan persoalan-persoalan besar yang dihadapi oleh bangsa ini. [Data 22. B.2(23)]
Kutipan (121) dicuplik dan teks pidato pembukaan debat calon presiden yang disampaikan
oleh Yusril Ihza Mahendra. Topik yang diangkat adalah perlunya membangun sistem
pemerintahan yang kuat di Republik Indonesia. Dalam kutipan (121) tersebut YIM men-
dayagunakan modal yang menyatakan makna kepastiad, yakni saya yakin dan saya per-
caya. "Kepastian" bukan semata-mata kepastian yang buta yang tanpa pijakan. Sebalik-
nya, "kepastiar." itu berdasar pada rahmat Sang Pencipta. Dalam konteks ini, penghasil
teks menggunakan kata alhamd u I i Ila h yang bermakna 'segala puji bagi Allah'. Dengan
menggunakan modal saya yakin dan saya percaya elite politik penghasil teks ingin me-
nunjukkan "optimisme"-nya akan terjadinya sesuatu yang diharapkan oleh penghasil teks
itu. Selanjutnya, perhatikan juga kutipan (122) berikut.
Kutipan (122):
MLD: Walau begitu saya yakin dengan kemampuan Akbar. Di Sidang Umum MPR nanti, dia pasti mampu mengatasi persoalan perbedaan pendapat itu. Sikapnya yang tenang dan bijaksana pasti akan mampu menyelesaikan persoalan. [Data 33.B.2(24)]
Kutipan (122) dicuplik dan teks hasil wawancara wartawan Gatm dengan Muladi, salah
seorang elite Partai Golkar. Topik yang diangkat adalah munculnya gerakan di dalam tu-
buh Partai Golkar yang menolak Habibie sebagai calon presiden dari Partai Golkar. Da-
lam kutipan (122) tersebut penghasil teksnya menggunakan modal yang menyatakan
433
makna 'kepastian', yakni saya yakin dan pasti. Makna 'kepastian' itu menjadi semakin
intensif dengan kehadiran kata mampu dan akan mampu yang memiliki makna 'ke-
mampuan' dalam konstruksi pasti mampu dan pasti akan mampu. Dalam pandangan
MLD, Ketua Umum Partai Golkar akan "tidak boleh tidak" mampu menyelesaikan
masalah perpecahan di dalam tubuh Partai Golkar itu.
Kutipan (121) dan (122) di atas dapat memberikan pemahaman bahwa melalui
teks-teks politiknya sejumlah elite politik Indonesia dapat menunjukkan sesuatu yang
pasti dalam bidang-bidang sosial budaya, sosial politik, dan sosial ekonomi. Dengan
modal yang menyatakan 'kepastian' tersebut penghasil teks ingin menunjukkan sesuatu
yang pasti akan terjadi kepada elite politik lain atau masyarakat Indonesia pada
umumnya sebagai bentuk penonjolan autoritas yang dimilikinya.
e. Modalitas yang Menyatakan 'Kemungkinan'
Modalitas yang menyatakan makna 'kemungkinan' ditandai oleh penggunaan kata-
kata, antara lain dapat, mungkin, boleh, bisa, dapat saja, bisa saja, barang-kali, boleh
jadi, dan bisa jadi. -Secara leksikal, kata mungkin berarti 'tidak mustahil. Perhatikan
kutipan (123) berikut.
Kutipan (123):
SH: [...] Tetapi, dari awal sebenarnya orientasi kita adalah penyelenggaraan pemilu yang sukses, yaitu pemilu yang berlangsung secara jujur dan adil atau jurdil. Tetapi, belakangan memang muncul masalah-masalah di KPU. Barangkali mun-culnya masalah-masalah itu karena kekhawatiran keberadaan partai-partai kecil di KPU. [Data 49.B.2(25)]
Kutipan (123) dicuplik dan teks hasil wawancara Nkartawan J-C1WC1 Nos dertgan Syarwan
Hamid. Topik yang diangkat adalah keberadaan Komisi Pemilihan Umum yang mulai
disorot masyarakat karena berbagai persoalan yang melanda tubuh institusi itu. Dalam
14.3
44- kutupan (123) tersebut penghasil teks menggunakan modal yang menyatakan
'kemungkinan', yakni barangkali. Selain itu, SH juga menggunakan modal lainnya,
yakni sebenarnya dan memang. Dengan modal barangkali SH menduga adanya sesuatu
yang mungkin berkenaan dengan keberadaan partai-partai gurem yang diduga sebagai
penyebab semrawutnya KPU. Selanjutnya, perhatikan juga kutipan (124) berikut.
Kutipan (124):
HM: Ya, kalau tidak, janji itu hanya omong kosong belaka. Dan itu akan memun-
culkan dua hal yang akan ditanggung PDI Perjuangan. Pertama, barangkali un-
tuk pertama dan terakhir kali PDI-P memenangi pemilu. Kedua, akan berakibat
semakin sulitnya posisi PDI-P dalam mengegolkan Megawati menjadi presiden
sebab kelompok lain tentu banyak yang tidak simpati. [Data 22.B.2(26)]
Kutipan (124) dicuplik dari teks hasil wawancara wartawan Aiwa Pos dengan Hartono
Mardjono, salah seorang ketua Partai Bulan Bintang. Topik yang diangkat adalah menge-
mukanya isu calon legislatif nonmuslim yang mendominasi daftar calon leeislatif PD1
Perjuangan yang diajukan ke KPU. Dalam kutipan tersebut penghasil teks menggunakan
beberapa modal, yakni kata akan yang mengandung makna 'keteramalan', kata barangkali
yang mengandung makna 'kemungkinan', dan kata tenth yang mengandung makna
'kepastian'. Yang menarik dari kutipan (124) di atas adalah penggunaan beberapa modal
yang saling berkaitan antara sate dengan lainnya, baik yang sifatnya beroposisi seperti
'keteramalan' dengan 'kemungkinan' serta yang saling mendukung seperti 'keteramalan'
dengan 'kepastian'.
Kutipan (123) dan (124) di atas dapat memberikan pemahaman bahwa melalui
teks-teks politiknya, sejumlah elite politik Indonesia dapat mengungkapkan adanya "ke-
mungkinan-kemungkinan" dari fenomena dunia sosial di sekelilingnya. Kemungkinan-
kemungkinan itu berkaitan dengan keteramalan dan kepastian, bahkan mungkin saja ber-
435
kaitan dengan makna-makna modalitas lainnya. Dengan mendayagunakan modalitas ini
elite politik ingin menunjukkan autoritas kepada elite politik lainnya dan masyarakat
Indonesia tentang kemampuannya dalam membuat prediksi-prediksi yang dapat
dipercaya kebenarannya.
f. Modalitas yang Menyatakan 'Keinginan'
Modalitas yang menyatakan makna 'keinginan' ditandai oleh penggunaan kata-
kata, antara lain ingin, mau, hendak, menghendaki, berhasrat, berniat, berketetapan,
dan mudah-mudahan. Perhatikan kutipan (125)
berikut. Kutipan (125):
SH: Bila ada pihak-pihak yang menolak sidang istimewa, berarti hanya ingin merusak
negara ini. SI adalah landasan bagi pemilu. Saya kira kalau dibandingkan, jumlah
rakyat yang mendukung digelar SI jauh lebih banyak sebab misi rakyat yang ingin
tetap melaksanakan SI ingin menyelamatkan bangsa dan negara. [Data 49.B. 2(27)]
Kutipan (125) dicuplik dan teks basil wawancara wartawan Jawc Pos dengan Syarwan
Hamid. Topik yang diangkat adalah pro dan kontra pelaksanaan Sidang Istimewa MPR
tahun 1999 sebagai jalan satu-satunya untuk mengakhiri krisis politik di Indonesia pasca
pemerintahan Orde Baru. Dalam kutipan (125) penghasil teks menggunakan tiga modal
ingin dalam satu paragraf. Penutur juga menggunakan modal yang menyatakan 'ketera-
malan', yakni saya kira. Dengan modalitas yang menyatakan 'keinginan', penghasil teks
ingin menunjukkan bahwa dalam diri elite politik terdapat dimensi-dimensi yang beru-
saha akan diraih atau dicapainya. Selanjutnya, perhatikan juga kutipan (126) berikut.
Kutipan (126):
ABT: Sudah kita putuskan dalam rapat di Dewan Pimpinan Pusat PAN bahwa kami tak
akan berkoalisi dengan siapa-siapa. Kami tak ingin mengambil inisiatif menca-
lonkan Amien sebagai presiden. Tapi, kalau ada anggota MPR yang mencalonkan
Amien, ya itu terserah mereka. Pak Amien bilang sebagai partai yang hanya dapat
9%, kurang pantaslah terlalu menonjolkan diri. [Data 15.B.2(28)]
436
Kutipan (126) dicuplik dari teks hasil wawancara wartawan Gatra dengan Abdillah Toha,
salah seorang ketua Partai Amanat Nasional. Topik yang diangkat adalah mundurnya
Amien Rais dari bursa calon presiden karena perolehan suara PAN yang tidak signifikan.
Dalam kutipan (126) tersebut penghasil teks menggunakan dua modal, yakni tak akan
yang menyatakan makna 'keteramalan' dan tak ingin yang menyatakan makna 'keingin-
an" atau "ketidakinginan". Dengan menggunakan modal tak ingin penghasil teks ingin
menunjukkan bahwa PAN tidak memiliki hasrat mencalonkan Amien sebagai presiden. g.
Modalitas yang Menyatakan 'Harapan'
Modalitas yang menyatakan makna 'harapan' ditandai oleh penggunaan kata-
kata, antara lain harap, mengharapkan, berharap, mudah-mudahan, semoga, dan
hendaknya. Perhatikan kutipan (127) berikut.
Kutipan (127):
AS:[...] Kita ingin terjadi perubahan mendasar....Ke depart_ kita berharap para pengu- saha kecil, menengah, dan koperasi yang jumlahnya mencapai 40 juta ikut menik-mati hasil-hasil pembangunan dan terlibat aktif dalam proses produksi serta distri-busi nasional. Kita yakin kalau kita beri perhatian dan perkembangannya dido-rong, mereka akan mampu memberikan kontribusi besar bagi perekonomian na-sional [Data 49.B.2(29)]
Kutipan (127) dicuplik dari teks hasil wawancara wartawan Jawa Pos dengan Adi Sasono.
Topik yang diangkat adalah masalah ekonomi kerakyatan yang menjadi program utama
departemen yang dipimpinnya dalam Kabinet Reformasi Pembangunan. Dalam kutipan
(127) AS menggunakan beberapa modal sekaligus, yakni ingin yang menyatakan makna
'keinginan', berha rap yang menyatakan makna 'harapan', "yakin" yang menyatakan
makna 'kepastiarf, dan akan yang menyatakan makna 'keteramalan'. Dengan modal ber-
harap penghasil teks ingin menunjukkan kepada elit politik lain dan masyarakat Indonesia
bahwa is menanti-nantikan sesuatu agar terj adi, yakni keterlibatan aktif pengusaha
Hartono. Topik yang diangkat adalah kunjungan Megawati ke Timor Timur sebelum pe-
437
kecil, menengah, dan koperasi dalam proses perekonomian nasional. Selanjutnya, per-
hatikan juga kutipan (128) berikut.
Kutipan (128):
SEY: Yang perlu dirumuskan antara lain waktu dan jadwal kampanye. Mereka juga perlu
merumuskan model-model dan etika kampanye. Saya berharap partaipartai yang
akan kampanye nanti menjual produk atau program mereka sendiri. Kami juga
mengusulkan, kalau memang suatu partai bisa membeli jam tayang untuk
kampanye, KPU harus memberi kesempatan. [Data 33.B.2(30)]
Kutipan (128) dicuplik dari teks hasil wawancara wartawan Jawa Pos dengan Slamet
Effendy Yusuf, salah seorang elite Partai Golkar. Topik yang diangkat adalah masalah
pelaksanaan kampanye terselubung yang sudah marak dilakukan oleh partai-partai politik
peserta pemilu 1999. Dalam kutipan (128) di atas penghasil teks menggunakan beberapa
modal, yakni berha rap yang menyatakan 'harapan', akan yang menyatakan 'keteramal-
an', dan harus yang menyatakan 'keharusan'. Dengan modal berharap penghasil teks
ingin menunjukkan suatu himbauan kepada elit partai politik lain agar dapat berkompetisi
secara sehat dengan tidak boleh menjelek-jelekkan program partai lainnya. Partaipartai
politik haruslah mengkampanyekan program-program mereka sendiri.
h. Modalitas yang Menyatakan Tembiaran'
Modalitas yang menyatakan makna 'pembiaran' ditandai oleh penggunaan kata-
kata biar, biarlah, dan biar sajalah. Perhatikan kutipan (129) berikut.
Kutipan (129):
DH: Yang terpenting, PDI-P telah membuktikan sebagai partai besar yang dipilih rakyat.
Biar sajalah orang menafsirkan apa saja soal kedatangan Mbak Mega. Yang jelas,
kami n-,emiliki sikap yang objektif dan jemih. [Data 11.B.2(31)]
Kutipan (129) dicuplik dari teks hasil wawancara wartawan Jawa Pos dengan Dimyati
438
laksanaan jajak pendapat dimulai. Dalam kutipan tersebut penghasil teks menggunakan
modal yang menyatakan makna 'pembiaran', yakni biar sajalah. Dengan modal biar
sajalah DH ingin menunjukkan sikap partainya yang "tidak peduli", "tidak melarang",
dan "tidak meneguhkan" terhadap suatu hal, yakni berbagai macam penafsiran tentang
kedatangan Ketua Umum PDI Perjuangan itu ke Timor Timur. Selanjutnya, perhatikan j
uga kutipan (130) berikut.
Kutipan (130):
GD: Ya, biarkan saja. Saya tahu kalau saya dikatakan gombal dan mencla-mencle. Tapi,
yang penting, saya telah berusaha melakukan yang terbaik... Jadi kalau apa yang
saya lakukan itu temyata gagal, mestinya tidak hanya dilihat dari kegagalan itu. Ta-
pi, juga harus diukur dari niatnya. Karena itu, soal orang punya penafsiran ma-
cam-macam, saya tidak peduli. [Data 35.B.2(32)}
Kutipan (130) dicuplik dari teks hasil wawancara wartawan Jawa Pos dengan Abdurrah-
man Wahid. Topik yang diangkat adalah kontroversi kunjungan Gus Dur ke rumah man-
tan Presiden Soeharto sementara publik menghendaki untuk mengisolasi mantan penguasa
pemerintahan Orde Ban'. Dalam kutipan (130) penghasil teks menggunakan modalitas
yang menyatakan makna 'pembiaran', yakni biarkan saja. Dengan modal biarkan saja
GD ingin menunjukkan sikap pribadinya yang "tidak peduli", "tidak melarang", dan "tidak
meneguhkan" terhadap suatu hal kepada elit politik lain atau masyarakat Indonesia pada
umumnya, yakni hujatan yang ditujukan kepada dirinya karena mendatangi orang yang
dianggap sebagai musuh sebagian besar masyarakat. Selanjutnya, perhatikan juga kutipan
(131) berikut.
Kutipan ( 131):
YAB: Tak ada alasan menolak pertanggungjawaban Presiden Habibie hanya karena
terganjal Tap MPR Nomor VI/MPR/1978. Hams dipahami, masalah Timtim
adalah persoalan internasional. Kita selama ini boleh saja mengklaim Timtim
sebagai wilayah Indonesia. Tapi dalam pergaulan intemasional kita selalu diru-
4 3 9
gikan. Sebab, mereka memandang Timtim bukan wilayah Indonesia. Makanya, pelaksanaan jajak pendapat merupakan jalan terbaik. [Data 33.B.2(33)]
Kutipan (131) dicuplik dari teks hasil wawancara wartawan Jawa Pos dengan Yasril
Ananta Baharudin, salah seorang elite Partai Golkar. Topik yang diangkat adalah tang-
gapan terhadap kemungkinan ditolaknya pertanggungjawaban Presiden Habibie dalam
Sidang Umum MPR karena masalah Timor Timur. Dalam kutipan (131) tersebut meng-
gunakan modalitas yang menyatakan makna 'pembiaran', yakni boleh saja. Sama dengan,
modal "biar sajalah" dalam kutipan (129) dan (130) di atas, modal boleh saja mengan-
dung makna 'tidak peduli', 'tidak melarang', dan `tidak meneguhkan'. Dengan demikian,
YAB sebagai tokoh Partai Golkar dari faksi Iramasuka Nusantara ingin menunjukkan si-
kap faksinya yang tidak peduli, tidak melarang, dan tidak meneguhkan terhadap sikap
elite politik lain yang mengklaim Timtim sebagai bagian dari Indonesia.
h. Modalitas yang Menyatakan 'Perintah'
Modalitas yang menyatakan makna 'perintah' ditandai oleh penggunaan kata-
kata, antara lain wajib, harus, melarang, dilarang, tidak boleh, memerintahkan,
dan jangan. Perhatikan kutipan (132) berikut.
Kutipan (132):
SBP: Saya selama ini sudah mengatakan bahwa para penjahat itu harus dihukum terlebih dahulu. Saya tidak mengatakan orde baru harus bubar. Tetapi, menurut pendapat saya, mereka harus dihukum. Golkar dan kroni-kroninya
harus tidak boleh ikut pemilu. [Data 36.B.2(34)]
Kutipan (132) dicuplik dari teks pidato pembukaan debat calon presiden yang disampai-
kan oleh Sri Bintang Pamungkas. Topik yang diangkat adalah perlunya mengadili semua
elemen yang terkait dengan pemerintahan Orde Baru sebagai syarat membentuk suatu
sistem Indonesia Baru. Dalam kutipan (132) penghasil teks menggunakan beberapa mo-
440
dal, yakni harus yang menyatakan 'perintah', dan harus tidak boleh yang menyatakan
larangan'. Dengan modal harus penghasil teks ingin menunjukkan autoritasnya di ha-
dapan elit politik lainnya dan masyarakat Indonesia secara keseluruhan yang dapat
memberikan perintah kepada pihak lain atau pihak yang berwenang untuk melakukan
sesuatu. Selanjutnya, perhatikan juga kutipan (133) berikut.
Kutipan (133):
SBY: [...] Maka, mesti dilakukan kajian secara mendalam dan saksama. Saya kira kurang
cukup waktu untuk melakukan pekerjaan besar ini. Lebih baik bersepakat dulu
secara nasional, perubahan macam apa, dengan cara apa. Apa cukup dengan Tap
Majelis yang memperjelas sebagaimana Tap yang mengatur masa jabatan
presiden? Atau dielaborasi dalam UU? Atau barangkali amandemen?[Data 49.
B.6(35)]
Kutipan (133) dicuplik dari teks hasil wawancara wartawan Gatra dengan Susilo Bam-
bang Yudhoyono. Topik yang diangkat adalah tanggapan TNI terhadap pro dan kontra
agenda utama SU MPR 1999. Dalam kutipan tersebut SBY menggunakan modalitas yang
menyatakan 'perintah', yakni mesti. Dalam kutipan tersebut, SBY juga menggunakan
modal saya kira yang menyatakan makna 'keteramalan'. Dengan modal mesti tersebut
penghasil teks ingin menunjukkan autoritasnya kepada elite politik lain dan masyarakat
Indonesia secara keseluruhan agar elite politik Indonesia dapat berbuat sesuatu, yakni
melakukan kajian yang mendalam, seksama, dan pertimbangan yang benar-benar masak
sebelum melaksanakan amandemen atau pun perubahan terhadap pasal-pasal dalam
Batang Tubuh UUD 1945.
j. Modalitas yang Menyatakan 'Permintaant
Modalitas yang menyatakan makna 'permiritaan' ditandai oleh penggunaan
katakata, antara lain saya minta, saya mohon, silakan, tolong, dan mohon.
Perhatikan kutipan (134) berikut.
441
Kutipan (134):
SBY: Saya khawatir jika agendanya terlalu banyak justru nanti hasilnya tidak sempurna. Bisa jadi menimbulkan cacat barn dan tetap tersisa meski Sidang Umum MPR selesai. Jadi, tolong ini benar-benar dipahami oleh seluruh rakyat apalagi kalau ingin selesai dalam waktu kurang dan tiga bulan. [Data 49.B.2(36)]
Kutipan (134) dicuplik dari teks hasil wawancara wartawan Gatra dengan Susilo Barn-
bang Yudhoyono. Topik yang diangkat adalah tanggapan TNI terhadap pro dan kontra
agenda utama SU MPR 1999. Dalam kutipan (134) SBY menggunakan modalitas yang
menyatakan makna 'permintaan', yakni tolong. Dengan modal tolong tersebut penghasil
teks meminta kepada seluruh masyarakat Indonesia umumnya dan khususnya elite politik
agar benar-benar memahami plus minus amandemen terhadap Batang Tubuh UUD 1945
jika dilakukan dengan tergesa-gesa tanpa perencanaan yang matang. Efek yang diharapkan
adalah kepatuhan mitra tutur untuk memenuhi permintaan penghasil teks.
4.2.2.3 Strategi Kehadiran Diri
Strategi pars elite politik "menghadirkan dirinya" dalam komunikasi politik adalah
persoalan bagaimana sejumlah elite politik Indonesia itu memilih bentuk pronomina
persona ketika berkomunikasi dengan orang atau partisipan lain. Pilihan strategi kehadiran
diri berimplikasi terhadap jarak sosial yang tercipta antara penutur dan petururnya.
Beberapa strategi kehadiran diri yang digunakan dan dipilih oleh elite politik dalam ko-
munikasi adalah (1) penggunaan pronomina persona jamak kita, dan (2) penggunaan pro-
nomina jamak kami, (3) penggunaan pronomina persona tunggal saya, dan (4) peneeunaan
nomina tertentu sebagai pengeanti pronomina.
a. Strategi Kehadiran Did dengan Kita
Pronomina persona kita cukup mendominasi dalam sejumlah pilihan strategi yang
ada. Seorang elite politik dan pihak pemerintah yang berkuasa, misalnya, banyak meng-
442
gunakan kita ketika memberikan keterangan kepada khalayak. Hal itu dapat
diperhatikan pada kutipan (135) berikut.
Kutipan (135):
HM: Bukan coal menang atau kalah. Karena pada prinsipnya yang menuntut itu bukan
kita sebagai partai. Tetapi, rakyat Indonesia telah menegur PDI Perjuangan, me-
ngapa PDI Perjuangan mau dijadikan tunggangan kelompok tertentu...[Data 22.
B.2(37)]
Kutipan (135) dicuplik dari teks hasil wawancara wartawan Jawa Pos dengan Hartono
Mardjono. Topik yang diangkat adalah pro dan kontra calon legislatif nonmuslim yang
mendominasi daftar caleg PDI Perjuangan yang diusulkan ke KPU. Dalam kutipan (135)
penghasil teks menghadirkan dirinya dengan pronomina persona kita. Pronomina kita
adalah pronomina persona jamak yang bersifat inldusif. Dalam kita terkandung kehadir-
an "saya" dan "Anda", "penutur" dan "petutur". Terdapat fenomena yang menarik dalam
kutipan tersebut, yakni konstruksi kita sebagai partai. Secara normatif, penghasil teks
seharusnya hadir dengan menggunakan pronomina persona "kami" sebagai media meng-
hadirkan dirinya karena memang tuntutan yang paling keras berkaitan dengan dominan-
nya caleg nonmuslim PDI Perjuangan dikemukakan oleh sejumlah elite partai dari Partai
Bulan Bintang. Dalam konteks ini, penutur "melibatkan" dan "menyeret" petutur ke da-
lam persoalan yang mungkin saja hanya dipersoalkan oleh penutur secara eksklusif. Pe-
nutur memandang masalah tersebut bukan masalah saya semata yang bersifat eksklusif,
tetapi kita yang bersifat inklusif
Dalam kutipan (135) di atas terciapat proses pelibatan partisipan dari eksklusif ke
inldusif. Fenomena seperti itu banyak dijumpai dalam pilihan strategi kehadiran diri oleh
sejumlah elite politik pada era pasca-Orde Baru. Perhatikan juga kutipan (136) berikut.
443
Kutipan (136):
SBP: Justru kelebihan [daripada] PUDI adalah itu. Kita ingin tentunya mengubah sistern.
Pada masa lalu kita tidak melihat di mana-mana, saya kira sebagian besar dari
partai-partai kita ini terjebak di dalam alam pikiran lama. ...Jadi memang kita
sengaja tidak mengerahk[e]n massa. Kita pun tidak mampu. Kita pun tidak
mampu membikin yang namanya podium seharga seratus juta. Kita tidak menjual
bendera, kita tidak menjual massa. Kita menjual visi. Kita menjual konsep. [Data
36.B.2(38)]
Kutipan (136) dicuplik dari teks jawaban terhadap pertanyaan yang diajukan oleh mode-
rator debat dalam sesi dialog debat calon presiden. Kutipan tersebut adalah sebagian ja-
waban yang disampaikan oleh Sri Bintang Pamungkas. Topik yang diangkat adalah pena-
waran program PUDI jika memenangkan pemilihan umum 1999. Dalam kutipan (136)
tersebut penghasil teks menggunakan pronomina kita secara intensif. Pronomina kita di-
gunakan sebanyak sepuluh kali. Dari sepuluh kali penggunaan, satu kali kita digunakan
sebagaimana seharusnya seperti dalam konstruksi partai-partai kita, sementara itu sem-
bilan kali kita mengandung makna politis. Sama dengan yang terdapat dalam kutipan
(135) sebelumnya, penggunaan sebanyak sembilan kali kita dalam kutipan (136) juga
mengandung makna pelibatan petutur ke dalam persoalan yang dihadapi oleh penutur
meskipun petutur belum tentu menghadapi persoalan yang sama. Terdapat proses peli-
batan dari eksklusif ke arah inklusif. Saya atau kami dengan sengaja melibatkan dan me-
nyeret Anda ke dalam persoalan saya atau kami sehingga tampaknya menjadi persoalan
kita. Selanjutnya, perhatikan juga kutipan (137) berikut.
Kutipan (137):
HS: Kita hams berpikir jemih dalam menyikapi masalah ini. Kalau saya boleh meng-
gunakan analogi, kita ini kan berkeinginan memperbaiki rumah. Menurut saya, cara
memperbaikinya bukan dengan merobohkan rumah yang telah kita bangun. Kalau
dicabut, maka akan terjadi kekosongan peraturan. Apa yang kita gunakan sebagai
pengganti lima UU yang dicabut tersebut. [Data 49.B.2(39)]
444
Kutipan (137) dicuplik dari teks basil wawancara wartawan Jawa Pos dengan Hari
Sabarno, salah seorang elit dari Fraksi TNI. Topik yang diangkat adalah komentar TIN
terhadap tuntutan pencabutan lima paket UU Politik karena tidak sesuai dengan semangat
reformasi. Dalam kutipan (137) HS menggunakan pronomina kita dan says dalam peng-
gunaan yang seharusnya. Penggunaan kita dalam kutipan tersebut mengimplikasikan
keterlibatan "penutur" dan "petutur" dalam pengertian yang seharusnya. Kita dalam ku-
tipan tersebut tidak mengandung makna politis. Kita yang digunakan dalam kutipan
tersebut dipilih dengan makna orang pertama jamak yang inklusif. Selanjutnya, perhati-
kan juga kutipan (138) berikut.
Kutipan (138):
SSG: Itu nanti di dalam rangka ini, terserah kebijakan. Apakah istilah pendamping, apaapa
itu urusan nanti. Yang penting kami mempunyai satu pemikiran, agar kongres
ini...Yang jelas mated kongres sndah kits siapkan, ketetapan atau keputusan kongres
juga sudah kita tetapkan. Sehingga untuk menghemat waktu dan menghemat dull,
kita tidak menghendaki adanya bantuan dari pemerintah. [Data 11.B.2(40)]
Kutipan (138) dicuplik dari teks hasil wawancara wartawan Skandal dengan Soetardjo
Soerjogoentno, salah seorang elit PDI Perjuangan. Topik yang diangkat adalah masalah
persiapan kongres PDI-P di Bali. Dalam kutipan (136) SSG menggunakan pronomina
persona kami dan kita untuk acuan persona yang sama, yakni orang pertama jamak yang
elcsIdusil Secara normatif, kita dalam kutipan tersebut adalah kami. Dengan demikian,
terdapat fenomena penggunaan yang "goyah" antara kami dan kita untuk acuan persona
yang sama. Penghasil teks terombang-ambing dalam pelibatan partisipan komunikasi an-
tara yang eksklusif dan inklusif. Keterombang-ambingan penutur, dari pandangan para-
digma kritis sebagai bagian dari politik komunikasi yang dijalankan oleh elite politik da-
lam pelaksanaan pengendalian dan dan penguasaan penutur kepada petuturnya.
kan oleh Amien Rais. Topik yang diangkat adalah perlunya segera menyelenggarakan
4 4 5
b. Strategi Kehadiran Diri dengan Saya
Sama dengan paparan di atas, strategi kehadiran diri dengan pronomina persona
saya juga banyak digunakan oleh para elite politik dalam menjalankan komunikasi poli-
tiknya. Perhatikan kutipan (139) berikut.
Kutipan (139):
GD: Begini, tujuan saya mendatangi Pak Harto hingga tujuh kali itu kan untuk mem-berikan penjelasan kepada yang bersangkutan bahwa kondisi bangsa ini sedang se-perti ini. Sehingga saya menyarankan agar Pak Harto bersedia membantu dengan melakukan begini dan begitu. Dulu, saya berharap hati Pak Harto bisa ditakhluk-kan. Tetapi, setelah tujuh kali saya lakukan, ternyata saran-saran saya itu tidak di-laksanakan . [Data 33 .B.2(41)]
Kutipan (139) dicuplik Bari teks hash wawancara wartawan Jawa Pos dengan Abdurrah-
man Wahid (Gus Dur). Topik yang diangkat adalah tanggapan Gus Dur terhadap komentar
masyarakat yang memojokkan dirinya karena perilakunya yang kontroversial dengan
mendatangi rumah mantan Presiden Soeharto. Dalam kutipan (139) GD menggunakan lima
kali pronomina persona saya. Penggunaan saya oleh Gus Dur tersebut mengandung
makna bahwa GD menghadirkan dirinya sebagai orang pertama tunggal. Dalam konteks
tersebut GD menggithakan pronomina saya sesuai dengan aturan normatif penggunaan
pronomina tersebut. Dengan demikian, pilihan tersebut tidak mengandung muatan kepen-
tingan ideologis tertentu. Selanjutnya, perhatikan juga kutipan (140) berikut.
Kutipan (140):
AR: [...] Kemudian mengapa saya punya confidence untuk running for president, apa yang bisa saya tawarkan kepada rakyat Indonesia. Yang pertama barangkali track
record saya yang insyaallah bersih dari insyaallah saya tidak kena pence-
maran atau polusi, tidak bersinggungan dengan rezini lama Orde Baru. Saya kira sekian. Ter:ma kasih. [Data 15.B.2(42)]
Kutipan (140) dicuplik dari teks pidato pembukaan debat calon presiden yang disampai -
L446
pemilu untuk mengakhiri krisis politik di Indonesia. Dalam kutipan (140) di atas AR
menggunakan strategi kehadiran diri dengan pronomina persona saya. AR hadir debat
tersebut sebagai "orang pertama tunggal". Sesuai dengan konteks komunikasinya,
yakni "debat calon presiden" yang bertujuan menguji wawasan orang per orang para
calon presiden, penggunaan saya oleh AR tersebut sesuai dengan nonna penggunaan
pronomina yang berlaku. Selanj utnya, perhati kan j uga kutipan (141) berikut.
Kutipan (141):
SBY: Asumsi yang dibangun oleh sebagian masyarakat—saya tidak yakin kalau asumsi
itu pandangan seluruh masyarakat Indonesia—saya amat yakin itu buah pikiran
kelompok masyarakat. ABRI sangat tidak setuju dengan asumsi-asurnsi itu dan
memang bukan itu tujuan ABR1 untuk mengadakan dialog. Saya tidak sependa-
pat dengan pandangan "coba kita lihat, mampu tidak pemerintah menyelesaikan
krisis ini dalam jangka waktu sekian bulan". Bagi ABRI, apa memang hanya
tanggung jawab pemerintah menyelesaikan krisis. Tanggung jawab kita. [Data
49.B.2(43)]
Kutipan (141) dicuplik dan teks hasil wawancara wartawan Republika dengan Susilo
Bambang Yudhoyono. Topik yang diangkat adalah tanggapan institusi TNI/ABRI terhadap
tuntutan reformasi yang dikemukakan oleh mahasiswa Indonesia. Dalam kutipan (141)
tersebut penghasil teks hadir dengan beberapa strategi, yakni pronomina persona saya dan
kita, serta nomina ABRI. Penggunaan saya dalam kutipan (141) menimbulkan pertanyaan
pokok. Siapakah saya dalam kutipan tersebut? Pronomina saya dapat mengacu kepada
"SBY sebagai orang pertama tunggal" yang lepas Bari baju institusinya. Pronomina saya
juga dapat mengacu kepada "SBY sebagai orang pertama tunggal yang menggunakan baju
institusi". Dalarn konteks institusi TNILABR I, sejumlah agen yang hadir akan
menyuarakan "suara kolektif' sesuai dengan garis kepemimpinan TNI/ ABRI yang bersifat
lini. Dengan demikian, pronomina saya dapat mendua makna, yakni saya sebagai orang
pertama tunggal dan saya sebagai institusi TNI/ABRI. Untuk menambah pema-
447
haman tentang pilihan strategi kehadiran diri dengan saya, selanjutnya perhatikan juga
kutipan (142) berikut.
Kutipan (142):
SEY: Bisa dikatakan andil yang terbesar itu. Bisa Anda bayangkan kalau seandainya saya
sebagai salah sate ketua harian Partai Golkar mengintruksikan untuk meladeni,
apa jadinya nanti. Tapi kita masih memikirkan nasib bangsa dan negara ini.
Seandainya kita meladeni maka akan terjadi apa yang dinamakan civil war atau
perang sipil. [Data 33.B.2(44)]
Kutipan (142) dicuplik dari teks hasil wawancara wartawan Skandal dengan Slamet Ef-
fendy Yusuf, salah seorang ketua harian Partai Golkar. Topik yang diangkat adalah
tanggapan Partai Golkar terhadap hujatan sejumlah komponen masyarakat yang
ditujukan kepada Partai Golkar karena partai ini dianggap memiliki saham di dalam
proses kehancuran bangsa. Dalam kutipan (142) tersebut SEY menggunakan dua
strategi kehadiran diri, yakni strategi saya dan kita. Penggunaan pronomina saya dalam
kalimat di atas sesuai dengan norma sosiolinguistis yang berlaku, yakni "orang pertama
tunggal". Hanya saja, dalam konteks tersebut, penggunaan saya mengandung nuansa
makna "penonjolan kekuasaan". Sementara itu, penggunaan pronomina kita dalam
kedua kalimat di atas mengandung makna ideologis-politis, yakni melibatkan petutur ke
dalam persoalan penutur meskipun petutur itu belum tentu menghadapi persoalan yang
sama. Dua fenomena itu mengandung proses pelibatan partisipan "orang kedua" ke
"orang pertama jamak" dalam sebuah komunikasi politik.
c. Strategi Kehadiran Diri dengan Kami
Meskipun tidak sebanyak pronomina kita, strategi kehadiran diri dengan prono-
mina persona kami juea cukup banyak digunakan oleh para elit politik dalam menjalan-
kan komunikasi politiknya. Seperti sudah dipaparkan pada bagian sebelumnya, pronomi-
448
na persona kami sering digunakan secara bergantian dengan kita. Perhatikan kutipan (143)
berikut.
Kutipan (143):
MDI: Begin, sebelum saya menjawab pertanyaan Anda tersebut, terlebih dahulu saya ingin menjelaskan tentang Iramasuka yang Anda sebut tadi. Ide dasar Iramasuka semestinya untuk mengimbangkan pemerataan antara kawasan barat dan timur. ...Persoalan itu bagi kami merupakan persoalan serius. Kalau terus menerus dibi-arkan, bisa dipastikan akan menimbulkan dampak yang kurang baik bagi negeri ini. [Data 33.B.2(45)]
Kutipan (143) dicuplik dari teks hasil wawancara wartawan Jana Pos dengan Marwah
Daud Ibrahim. Topik yang diangkat adalah peran kaukus Iramasuka Nusantara dalam
memperjuangkan pemerataan pembangunan di kawasan timur Indonesia. Dalam kutipan
tersebut MDI menggunakan dua strategi kehadiran diri, yakni strategi saya dan kami.
Kedua strategi tersebut digunakan sebagaimana seharusnya sesuai dengan norma-norma
sosiolinguistis. Penggunaan saya oleh MDI dalam konteks 'orang pertama tunggal', yakni
sebagai pribadi is wajib menjawab pertanyaan dan mitra bicara (wartawan) dengan tanpa
melibatkan institusi kolektifnya. Demikian juga, penggunaan kami dalam kalimat terse-but
mengandung makna 'orang pertama jamak', yakni sebagai sekelompok orang yang
termasuk ke dalam kelompok saya dan aku yang berlcwnpul menjadi kami yang merasakan
adanya ketidakadilan dalam pembangunan. Dalam pandangan MDI, kelompok orang yang
termasuk Anda, kamu, kalian, dan kalian semua tidak termasuk ke dalam kelompok
yang merasakan ketidakadilan itu. Sebaliknya, Anda, kamu, kalian, dan kalian semua
mungkin saja orang yang melakukan penyebab ketidakadilan itu. Dengan demikian,
penggunaan kami dalam kutipan (143) di atas sudah sesuai dengan norma sosiolinguistis,
yakni pronomina saya untuk orang pertama tunggal dan kami untuk orang pertama jamak.
Selanjutnya, perhatikan juga kutipan (144) berikut.
bang Yudhoyono. Topik yang diangkat adalah masalah usulan dari berbagai komponen
449
Kutipan (144):
SEY: [...] Saya berharap partai-partai yang akan berkampanye nanti menjual produk atau program mereka sendiri....Kami juga mengusulkan agar model debat antarparpol lebih diperbanyak. Baik itu melalui media elektronik maupun media cetak. Kami juga mengusulkan kalau memang suatu partai bisa membeli jam tayang untuk kampanye, KPU hams memberikan kesempatan. [Data 33.B.2(46)]
Kutipan (144) dicuplik dari teks hasil wawancara wartawan Jawa Pos dengan Slamet Ef-
fendy Yusuf. Topik yang diangkat adalah tanggapan Partai Golkar terhadap pelaksanaan
kampanye pemilu secara tidak langsung sebelum jadwal kampanye diumumkan. Dalam
kutipan tersebut SEY menggunakan dua strategi kehadiran diri, yakni strategi saya dan
kami. Penggunaan pronomina saya dalam kutipan di atas sesuai dengan norma-norma
interaksi, yakni saya dalam pengertian 'orang pertama tunggal'. Sebagai pribadi is memiliki
hak untuk menggunakan pronomina saya dalam mengemukakan suatu pendapat. Demikian
juga, penggunaan pronomina kami dalam kutipan tersebut hadir dalam pengertian 'orang
pertama jamak'. Sebagai pribadi yang membawa misi partai, SEY mewakili institusi Partai
Golkar yang di dalamnya berkumpul sejumlah aku atau saya yang secara kolektif
mengusulkan sesuatu kepada pihak lain.
Pronomina kami, seperti sudah dipaparkan sebelumnya, sexing digunakan secara
bergantian dengan kita untuk kepentingan politis, seperti pada kutipan (145) berikut.
Kutipan (145):
SBY: Dalam paradigma bare kami ya, TNI ingin memberikan ruang yang lebih luas kepada komponen bangsa di luar TNI untuk mengambil inisiatif yang tepat. Se-bab, kalau kita yang mengambil prakarsa, suasana psikologis bangsa belum me-mungkinkan. Niat baik TNI untuk ikut mencari solusi dengan cepat bisa ditang-kap Eebagai intervensi barn TNI dalam politik nasional. Tapi, kami tidak apatis, tidak masa bodoh. Kami tetap mencermati dinamika yang berkembang sekarang. [Data 49.B.7(11)]
Kutipan (145) dicuplik dari teks hasil wawancara wartawan Gatra dengan Susilo Barn-
450
masyarakat agar UUD 1945 diamandemen dalam Sidang Umum MPR 1999. Dalam ku-
tipan tersebut SBY menggunakan dua macam strategi kehadiran diri, yakni strategi ka-mi
dan kita. Penggunaan pronomina kami dalam kutipan di atas sesuai dengan norma-norma
interaksi, yakni kam dalam pengertian 'orang pertama jamak'. Kami dalam ku-tipan di
atas adalah 'kumpulan dari orang pertama tunggal' yang duduk di dalam institusi
TNUABRI. Dengan demikian, penggunaan kami dalam konstruksi "paradigma baru ka-
mi", "kami tidak apatis", dan "kami tetap mencermati dinamika" sudah sesuai dengan
penggunaan yang seharusnya. Akan tetapi, ketika kami ingin mengambil prakarsa politik
Indonesia, penghasil teks hadir dengan kita. Ini sekali lagi menunjukkan bahwa penutur
tidak bersedia menanggung resiko sendiri, tetapi melibatkan petutur atau orang ke dua
untuk terlibat di dalam persoalan penutur.
d. Strategi Kehadiran Diri dengan Nomina Tertentu
Selain tiga strategi di atas, sejumlah elite politik hadir dengan memilih strategi
dengan menggunakan nomina tertentu untuk menggantikan kata-kata kita, saya, atau
kami. Perhatikan kutipan (146) berikut.
Kutipan (146):
SEY: Golkar memandang kurun waktu tersebut terlalu lama. Sekarang ini kan sebenarnya telah terjadi kampanye partai-partai di masyarakat. Partai-partai saat ini bebas menggelar deklarasi, memasang spanduk, umbul-umbul, bendera, dan membangun posko-posko. Jadi, kampanye ini sebenarnya sudah dimulai. [Data 33. B.2(48)]
Kutipan (146) dicuplik dan teks basil wawancara wartawan Jawa Pos dengan Slamet Ef-
fendy Yusuf. Topik yang diangkat adalah masalah niulai maraknya kampanye terselubung
partai-partai peserta pemilihan umum tahun 1999. Dalam kutipan (146) penghasil teks
hadir dengan menggunakan strategi "nomina", yakni Golkar. Meskipun pertanyaan yang
diaju-kan itu ditujukan kepada Anda, penghasil teks tidak menjawab dengan pronomina
451.
diaju-kan itu ditujukan kepada Anda, penghasil teks tidak menjawab dengan pronomina
tertentu, seperti saya, kami, atau bahkan kita. Dalam konteks ini, SEY lebih memilih hadir
dengan wajah institusinya. Hal ini sesuai dengan hakikat wacana institusi di mana subjek
individu akan lebur ke dalam subjek institusi. Suara yang diaktualisasikan oleh subjek
individu adalah hasil dan banyak tangan individu-individu yang terlibat dalam institusi
tersebut. Selanjutnya, perhatikan juga kutipan (147) berikut.
Kutipan (147):
ABT: Sudah kita putuskan dalam rapat di Dewan Pimpinan Pusat PAN bahwa kami tak akan berkoalisi dengan siapa-siapa. Kami tak ingin mengambil inisiatif mencalonkan Amien sebagai presiden....[Data 15.B.2(49)]
Kutipan (147) dicuplik dan teks hasil wawancara wartawan Gatra dengan Abdillah Toha.
Topik yang diangkat adalah masalah mundurnva Amien Rais dan bursa calon presiden
karena perolehan PAN yang tidak signifikan pada pemilu tahun 1999. Dalam kutipan (147)
penghasil teks hadir dengan strategi pronomina kita dan kami meskipun pertanyaan yang
diajukan ditujukan kepada institusi PAN. Hal ini berbeda dengan fenomena pilihan strategi
kehadiran diri dengan nomina meskipun pertanyaan yang diajukan ditujukan kepada
pronomina kedua Anda.
Fenomena pilihan strategi kehadiran diri dengan penggunaan nomina tertentu se-
perti pada kutipan (146) di atas banyak dijumpai dalam teks-teks kampanye partai politik
peserta pemilu tahun 1999. Dalam menyampaikan program-programnya atau dalam dialog
antarpartai, para juru kampanye cenderung hadir dengan strategi kehadiran nomina, yakni
nama partai yang diwakilinya. Hal ini wajar karena para jurkam itu hadir atas nama
partainya, bukan atas nama pribadi. pertanyaan-pertanyaan yang diajukan kepada jurkam
tertentu selalu menggunakan nomina nama partai, bukan pronomina tertentu.
4 5 2
4.2.3 Nilai Ekspresif
Sesuai dengan jalan pikiran Fairclough (1989:128), piranti gramatika yang me-
ngandung nilai ekspresif adalah modalitas, khususnya modalitas ekspresif. Seperti sudah
dipaparkan pada bagian sebelumnya, modalitas ekspresif berkenaan dengan persoalan
autoritas penutur dalam kaitannya dengan kebenaran atau kemungkinan representasi rea-
litas. Modalitas ekspresif akan berupa evaluasi penutur terhadap kebenaran. Senada dengan
modalitas relasional, modalitas ekspresif terdiri atas modalitas yang menyatakan makna
'keharusan', 'keteramalan', 'kemampuan', 'kepastian', dan sebagainya.
4.2.3.1 Modalitas yang Menyatakan 'Keharusant
Modalitas yang menyatakan makna 'keharusan' ditandai oleh penggunaan katakata
modal, antara lain harus, mesti, wajib, harusnya, dan seharusnya. Perhatikan kutipan
(148) berikut.
Kutipan (148):
AWM: Sebelum saya menjelaskan hal tersebut perlu ditekankan di sini bahwa ABRI dalam gerakan reformasi selalu mendukung reformasi yang mengarah ke kondisi yang lebih baik. Sekarang ini tampaknya belum ada kesepakatan bersama soal itu. Jangan lupa, reformasi harus dijalankan sesuai dengan UUD 1945, Pancasila, memperhatikan stabilitas nasional, persatuan dan kesatuan bangsa, serta dilakukan secara kesinambungan. [Data 49.B.3(1)]
Kutipan (148) dicuplik dari teks hasil wawancara wartawan Jawa Pos dengan Abdul Wa-
hab Makodongan, Kepala Pusat Penerangan TNI/ABRI. Topik yang diangkat adalah
tanggapan institusi 'TNI/ABRI terhadap tuntutan mahasiswa dan kelompok pro demokrasi
agar pemerintah mereformasi segala bidang. Dalam kutipan (148) di atas penghasil teks
menggunakan modalitas yang menyatakan makna 'keharusan'. Dengan modal harus ter-
sebut institusi TNI/ABRI ingin menunjukkan autoritasnya dalam memandang kebenaran,
yakni reformasi yang baik adalah reformasi yang dijalankan sesuai dengan UUD 1945
453
dan Pancasila, reformasi yang memperhatikan stabilitas nasional dan persatuan serta
kesatuan bangsa, reformasi yang dilakukan secara kesinambungan. Selanjutnya,
perhatikan juga kutipan (149) berikut.
Kutipan (149):
SBP: Kerusakan-kerusakan yang ditimbulkan oleh rezim Soeharto selama tiga puluh
tahun, bukan alang kepalang, baik sistem sosial, ekonomi, politik, maupun
budaya, ditambah dengan pertumpahan darah di mana-mana di Indonesia. Oleh
karena itu, sistem ini harus diperbaiki, harus diubah. Orde Baru harus
ditumbangkan. Apa pun yang terjadi, Orde Baru yang ingin menang harus
dikalahkan. [Data 36.B. 3(2)]
Kutipan (149) dicuplik dan teks pidato pembukaan debat calon presiden yang disampai-
kan oleh Sri Bintang Pamungkas. Topik yang diangkat adalah masalah kerusakan-keru-
sakan yang ditimbulkan oleh pemerintahan Orde Ban' selama lebih kurang tiga puluh ta-
hun berkuasa di Indonesia. Dalam kutipan (149) tersebut penghasil teks menggunakan
modalitas yang menyatakan makna leharusare. Dengan modal harus tersebut, SBP seba-
gai ketua partai yang menjadi simbol perlawanan terhadap Orde Baru ingin menunjukkan
autoritasnya dalam memandang kebenaran, yakni tidak diperbolehkannya Orde Baru
untuk muncul kembali di panggung politik Indonesia karena dosa dan kesalahan yang
sudah diperbuat selama memerintah.
4.2.3.2 Modalitas yang Menyatakan 'Keteramalan'
Modalitas yang menyatakan makna 'keteramalan' ditandai oleh penggunaan
katakata, antara lain akan, saya kira, saya rasa, saya pikir, agaknya, kelihatannya,
diduga, dikira, dan menu rut pendapat saya. Perhatikan kutipan (150) berikut.
Kutipan (150):
SH: Saya kira ide pembentukan komite itu sendiri akan menimbulkan berbagai
permasalahan. Siapa yang nantinya memberikan mandat. Siapa yang akan
membentuk. Kepada siapa akan bertanggung jawab. [Data 49.B.3(3)]
454
Kutipan (150) di atas dicuplik dari teks hasil wawancara wartawan Jawa Pos dengan
Syarwan Hamid. Topik yang diangkat adalah tanggapan pemerintah terhadap ide pem-
bentukan Komite Nasional untuk menggantikan MPR yang masih dianggap produk pe-
merintahan Orde Baru. Dalam kutipan tersebut SH menggunakan modalitas yang menya-
takan makna 'keteramalan'. Dengan modal saya kira dan akan penghasil teks ingin
menunjukkan autoritasnya dalam memberikan "prediksi" atau "ramalan" terhadap suatu
kebenaran akan realitas, yakni pembentukan Komite Nasional hanya akan mendatangkan
berbagai persoalan yang sulit untuk dipecahkan.
4.2.3.3 Modalitas yang Menyatakan 'Kepastian'
Modalitas yang menyatakan makna Icepastian' ditandai oleh penggunaan kata-kata
antara lain pasti, tentu, saya yakin, saya percaya, dan tentunya. Perhatikan kutipan (151)
berikut.
Kutipan (151):
AR: Saya terlalu yakin jika Golkar dibiarkan sendiri dia akan kempes dan tidak akan pemah melampaui 12% peraihan suaranya. Itu berarti berita gembira buat bangsa Indonesia sebab kita perlu pembaharuan.Golkar tidak boleh lagi memimpin bangsa ini karena putra terbaik bangsa yang lain yang akan memimpin bangsa memasuki abad ke-21. [Data 15 .B .3(4)]
Kutipan (151) dicuplik dari teks hasil wawancara wartawan Gatra dengan Amien Rais.
Topik yang diangkat adalah tanggapa AR terhadap pencalonan Habibie sebagai calon pre-
siden dari Partai Golkar. Dalam kutipan (151) di atas penghasil teks menggunakan moda-
litas yang menyatakan 'kepastian'. Dengan modal terlalu yakin AR ingin menunjukkan
aatoritasaya dalam memberikan evali Iasi kepada elite politik lain dan seluruh masyarakat
Indonesia bahwa realitas yang ada pada Partai Golkar semakin hari menunjukkan adanya
pembusukan.
4 5 5
4.2.3.4 Modalitas yang Menyatakan 'Harapan'
Modalitas yang menyatakan makna 'harapan' ditandai oleh penggunaan kata-kata
antara lain harap, mengharapkan, berharap, mudah-mudahan, semoga, dan hendak-
nya. Perhatikan kutipan (152) berikut.
Kutipan (152):
AR: Kemudian yang ketiga saya melihat bahwa kesempatan yang paling bogus untuk menaucapkan masa lalu yang penuh dengan KKN, yang penuh dengan kedzaliman sosial ekonomi dan lain-lain itu memang lewat pemilu saja yang free
dan fair yang jujur dan adil dan mudah-mudahan dengan pemilu yang jurdil itu bisa dimiliki sebuah parlemen DPR yang juga kredibel di mata rakyat dan mudah-
mudahan pemerintahan mendatang juga cukup absah mewakili kita dengan itu saja kira-kira kita sudah membangun sistem demokrasi kita di masa-masa mendatang. [Data 15. B.3(5)]
Kutipan (128) dicuplik dari teks pidato pembukaan debat calon presiden yang disampai-
kan oleh Amien Rais. Topik yang diangkat adalah pandangan Amien Rais sebagai kandi-
dat calon presiden tentang situasi dan kondisi bangsa Indonesia. Dalam kutipan (128)
penghasil teks menggunakan modalitas yang menyatakan makna 'harapan', yakni mudah-
mudahan. Dengan modal mudah-mudahan penghasil teks ingin menunjukkan autori-
tasnya dalam berharap terhadap sesuatu kepada elite politik dan seluruh masyarakat Indo-
nesia, yakni pemilu yang jujur dan adil akan menghasilkan parlemen yang kredibel dan
pemerintahan yang absah.
Dan paparan di atas dapat diperoleh pemahaman bahwa modalitas dalam bahasa
Indonesia cukup didayagunakan dalam pemunculan autoritas individu atau institusi, baik
yang berkaitan dengan partisipan lain dalam komunikasi maupun berkaitan dengan evalu-
asi terhadap kebenaran realitas. Satu catatan venting dapat dikemukakan bahwa modalitas
relasional dan ekspresif ini tidak dapat dipisahkan satu dengan lainnya. Satu contoh
kutipan modalitas mungkin saja dapat ditinjau dari kedua modalitas tersebut.
456
4.2.4 Catatan Penutup: Sebuah Penjelasan
Paparan di atas masih belum menjawab persoalan "mengapa" sebuah bentukan gra-
matika tertentu dipilih dan dianggap istimewa oleh elite politik tertentu, sebaliknya di-
tinggalkan dan tidak dianggap istimewa oleh elite politik lainnya. Rumusan ini mengan-
tarkan kita kepada tahap eksplanasi yang menjadi analisis terakhir dalam analisis wacana
kritis. Dalam tahap eksplanasi ini wacana politik Indonesia era pasca-Orde Baru akan
ditempatkan dalam sebuah elemen dari "proses sosiokultural" pada dua tataran, yakni (1)
tataran institusional dan (2) tataran sosial. Tahap eksplanasi ini akan menunjukkan bagai-
mana kedua proses itu secara ideologis ditentukan oleh relasi-relasi kekuasaan dan perta-
rungan kekuasaan pada kedua tataran. Tahap ini juga akan menunjukkan bagaimana pro-
ses sosiokultural itu secara ideologis determinatif dari relasi-relasi kekuasaan dan perta-
rungan kekuasaan pada kedua tataran itu.
Mengambil pandangan Fairclough (1989:192-194), tahap eksplanasi ini dikem-
bangkan dari dua pertanyaan besar yang akan menjadi acuan dalam paparan ini. Pertanyaan
pertama yang diajukan adalah "proses institusional apa yang terjadi dalam teks politik era
pasca-Orde Baru dan bagaimana proses itu secara ideologis 'ditentukan' oleh relasirelasi
kekuasaan dan pertarungan kekuasaan serta determinatif dari relasi-relasi kekuasaan dan
pertarungan kekuasaan pada kedua tataran di atas". Untuk menjawab pertanyaan pertama
ini peneliti mendayagunakan berbagai informasi yang terdapat dalam institusi
politik, seperti partai politik, parlemen, institusi pemerintahan, dan media massa. Perta-
nyaan kedua yang diajukan adalah "proses sosiokultural apa yang terjadi dalam teks
politik dan bagaimana proses itu secara ideologis 'ditentukan' oleh relasi-relasi kekuasaan
dan pertarungan kekuasaan serta determinatif dari relasi-relasi kekuasaan dan pertarung-
457
an kekuasaan pada kedua tataran di atas". Untuk menjawab pertanyaan kedua, peneliti
mendayagunakan berbagai informasi yang terdapat dalam sistem sosial dan budaya
Indonesia yang melatarbelakangi para elite politik Indonesia.
4.2.4.1 Proses In stit us lona'
Terdapat sebuah proses institusional yang cukup kompleks dalam wacana politik
Indonesia pada era pasca-Orde Baru. Proses itu berupa "pertarungan" lintas institusi _yang
akhirnya bermuara ke dalam wacana politik. Pilihan dan pemaknaan terhadap penggunaan
bentuk-bentuk gramatika tertentu amatlah dipengaruhi oleh asumsi-asumsi yang dibangun
elite politik pada tataran institusi. Dalam pilihan sistem ketransitifan, misalnya, amatlah
ditentukan oleh institusi yang melingkupi dan mendeterminasi elite politik. Da-lam konteks
ini terdapat suatu "pertarungan pilihan ketransitifan" yang amat kontradiktif antara institusi
pemerintah yang dianggap resmi dan institusi nonpemerintah yang mengklaim dirinya
sebagai kelompok pro demokrasi. Institusi pemerintah sangat menonjolkan peran "proses"
klausa sebagai pembawa ideologi institusi. Verba-verba yang menduduki proses, yakni
ingin menyelamatkan, tidak bisa menjalankan, tidak pernah akan mendorong dan
mendukung, dan selalu mendukung cukup ditonjolkan dalam pilihan klausa. Verba-
verba yang mendatangkan makna tmempertahankan apa yang sudah ada' begitu
diperjuangkan melalui berbagai proses naturalisasi agar menjadi bagian dari kesadaran
masyarakat Indonesia. Sebaliknya, institusi nonpemerintah sangat menonjolkan peran
"goal" dalam klausa atas ungkapan-ungkapan politik yang lebih didominasi ragam pasif
Nomina-nomina seperti disintegrasi, Orde Baru, Orde Baru yang ingin menang, dan
mereka (Orde Baru) cukup ditonjolkan dalam pilihan klausa. Nomina-nomina yang
mendatangkan makna 'pembaharuan di segala bidang kehidupan' begitu diperjuangkan
k58
melalui-berbagai proses naturalisasi agar menjadi bagian dari kesadaran masyarakat In-
donesia. Di luar kedua institusi di atas, institusi yang memiliki sejarah masa lalu dengan
Partai Masywni yang pernah jaya pada pada pemerintahan Orde Lama dan sudah dibubar-
kan oleh Soekarno menonjolkan peran "keterangan" klausa sebagai pembawa ideologi
konstitusi. Pengisi keterangan, seperti di atas sistem yang kuat, pada satu orang seperti
yang terjadi di 53 tahun belakangan ini, dan bukan tunduk pada orang menempatkan
posisi ideologi penghasil teksnya, yakni "pementingan sistem yang mantap, bukan pada
figur". Ideologi itu begitu diperjuangkan melalui berbagai proses naturalisasi agar menjadi
bagian dari kesadaran masyarakat Indonesia.
Dalam pilihan nominalisasi, antara institusi pemerintah yang berkuasa dengan in-
stitusi kelompok pro demokrasi tidak terlalu terjadi pertarungan antarinstitusi itu. Terda-
pat kesamaan dalam pilihan nominalisasi itu, yakni adanya kecenderungan menyembu-
nyikan ide dasar yang lebih penting ke dalam penggunaan nominalisasi agen dan menge-
depankan ide yang kurang penting ke dalam bagian yang menduduki "proses" dalam
klausa yang menggunakan pola urutan "agen+proses+goal" atau "agen+proses".
Dalam pilihan kalimat pasif, antara institusi pemerintah yang berkuasa dengan in-
stitusi kelompok pro demokrasi tidak terlalu terjadi pertarungan antarinstitusi itu. Terdapat
kesamaan dalam pilihan kalimat pasif, yakni terdapatnya kecenderungan memilih bentuk
pasif yang berverba "di-", kemudian diikuti oleh pasif dengan verba "ter-", dan yang
terakhir pasif dengan pengedepanan objek atau pasif persona. Dengan demikian, elite
politik Indonesia memiliki kecenderungan menggunakan pasif tanpa kehadiran agen.
Pilihan bentuk ini mengakibatkan persoalan "kausalitas" dan "peragenan" yang tidak jelas.
Ketidakhadiran agen dalam pilihan pasif "di-" menimbulkan kesan bahwa ekspresi
459
tersebut lebih bersifat impersonal, kaku, dan formal. Sebaliknya, bentuk pasif yang
dapat menim-bulkan kesan sebuah ekspresi yang bersifat personal, lentur, dan
informal tidak terlalu dipilih oleh elite politik Indonesia.
Dalam pilihan kalimat positif dan negatif, antara institusi pemerintah yang berkua-
sa dengan institusi kelompok pro demokrasi tidak terlalu terjadi pertarungan antarinstitusi
itu. Terdapat kesamaan dalam pilihan kalimat positif dan negatif, yakni kecenderungan
memilih bentuk negatif yang menjalankan fungsi "manipulatif" dan "ideologis". Elite
politik Indonesia cenderung menggunakan bentuk negatif meskipun terdapat bentuk posi-
tifnya yang lebih bersifat langsung dalam melaporkan realitas.
Fenomena tidak terjadinya pertarungan antarinstitusi juga terjadi pada pilihan-
pilihan modus kalimat, modalitas relasional, strategi kehadiran diri, dan modalitas
ekspresif Terdapat kecenderungan fenomena yang sama dalam pilihan masing-masing
bentuk gramatika tersebut. Pilihan modus-modus kalimat deklaratif, interogatif, dan im-
peratif yang dilakukan oleh sejumlah elite politik Indonesia, baik dan institusi pemerin-
tah maupun nonpemerintah memiliki kecenderungan yang sama. Demikian juga dengan
yang terjadi dalam pilihan-pilihan modalitas dan strategi kehadiran diri juga menunjuk-
kan kecenderungan karakteristik yang sama.
4.2.4.2 Proses Sosiokultural
Terdapat sebuah proses sosiokultural yang cukup kompleks dalam wacana politik
Indonesia pada era pasca-Oide Baru. Proses itu berupa "pertarungan" lintas sistem sosio-
budava "lama" dan sistem sosiobudaya "barn". Sistern budaya lama Indonesia yang dido-
minasi oleh sistem budaya Jawa mendapat tantangan sistem budaya yang lebih global
yang secara normatif tidak sesuai dengan budaya lama. Memanfaatkan pandangan Ali-
460
sjahbana (1982:1986), proses sosiokultural yang terjadi dalam wacana politik Indonesia
adalah "pertarungan" antara sistem budaya "ekspresif' dan "progresif', termasuk di da-
lamnya sistem budaya yang berdasarkan "agama".
Masih berkuasanya alam pikiran lama yang tercermin dalam pilihan sistem ketran-
sitifan yang dilakukan oleh sejumlah elite politik Indonesia. Sistem budaya lama yang di-
personifikasikan pada diri institusi pemerintah yang berkuasa mendapat tantangan dari
sistem budaya baru yang dipersonifikasikan pada din institusi nonpemerintah. Sistem bu-
daya lama yang bermuara pada ideologi mempertahankan apa yang sudah ada menda-
pat tantangan dari sistem budaya baru yang bermuara pada ideologi pembaharuan di se-
gala bidang kehidupan. Pada tataran gramatika ini, pertarungan antara "sistem budaya
lama" dengan "sistem budaya barn" mendapat bantuan pencerahan dari jalan tengah, yak-
ni dari sistem budaya Islam, sistem budaya agama dari salah satu agama besar di Indo-
nesia. Dalam pandangan sistem budaya ini, ajaran agama haruslah dijadikan sumber mo-
ral dalam menjalankan aturan pemerintahan. Oleh karena itu, yang terpenting dalam me-
laksanakan roda pemerintahan Indonesia adalah perlunya diperjuangkan ideologi yang
dapat memperbaiki Indonesia, yakni pementingan sistem yang mantap, bukan figur.
Dua catatan penting tentang sistem budaya agama Islam perlu dikemukakan. Perta-
ma, dalam kaitannya dengan nilai kuasa, Islam memandang bahwa kekuasaan ada semata-
mata di tangan Allah dan manusia sebagaimana isi alam yang lain takhluk sepenuhnya
kepada-Nya. Allah adalah sumber dari segala kekuasaan. Ini amat relevan dengan jabaran
ideologi yang diperjuangkan, yakni menemukan "aturan main yang mantap, bukan tokoh
yang memiliki banyak kelemahan di hadapan Tuhan". Kedua, dalam kaitannya dengan
nilai solidaritas, Islam mengajarkan bahwa kedudukan manusia itu sama saja di hadapan
461
Tuhan dan alam semesta. Islam tidak memandang asal-usul, suku, pekerjaan, status kedu-
dukan, kekuasaan, dan sebagainya. Semuanya sama di hadapan Tuhan-Nya. Yang mem-
bedakan satu dengan lainnya adalah tingkat ketakwaan tiap-tiap individu. Ideologi "pe-
mentingan pembentukan sistem yang mantap" diperjuangkan dalam rangka untuk menga-
plikasikan nilai solidaritas itu. Sesama manusia hams sating mengasihi karena mereka itu
pada hakikatnya bersaudara. Nilai demokratis dijunjung tinggi.
Selain dapat dipandang dari pertarungan lintas sistem sosiokultural, pendayagunaan
gramatika juga dapat dipandang dari perspektif usaha elite politik untuk memberikan
"kontribusi ke arah perjuangan sosial". Perjuangan elite politik dalam menaturalisasikan
ideologi yang dipegangnya dilakukan melalui pendayagunaan aspek-aspek gramatika itu.
Pendayagunaan kalimat negatif, misalnya, elite politik memiliki kecenderungan yang cu-
kup besar memilih bentuk-bentuk negasi yang menjalankan fungsi manipulatif dan ideo-
logis. Elite politik lebih memiliki kecenderungan memilih bentuk negatif meskipun ide itu
dapat disampaikan dalam bentuk positifnya. Sebaliknya, bentuk negasi yang menjalankan
fungsi "negasi yang sesungguhnya" sedikikit dipilih. Dalam konteks pilihan pronomina
persona pertama inldusif dan eksklusif yang sering ditumpangtindihkan, kita dapat
menyikapinya sebagai goyahnya elite politik dalam menempatkan posisi dalam dua
institusi, yakni institusi partai atau kelompok in-group-nya dengan institusi masyarakat
yang lebih bias. Kedua institusi memiliki kekuatan determinasi yang amat besar sehingga
elite politik sering tidak memiliki kesempatan dalam menampilkan jatidirinya. Identitas
yang muncul adalah identitas kolektif yang tidak dapat dihindarkan. Tindak ujaran yang
dikemukakan juga merupakan tindak ujaran kolektif sebagai perwujudan subjek institusi-
nya. Individu yang unik sering terkungkung oleh "tangan-tangan" di balik institusi itu.
4 6 2
4.3 Pendayagunaan Struktur Teks dalam Wacana Politik
Kajian terhadap struktur tekstual akan berisi rincian tentang (1) konvensi-konvensi
interaksional yang digunakan, dan (2) pengurutan dan penyusunan teks. Kajian ten-tang
konvensi interaksional yang digunakan akan memerikan (a) sistem pengambilan giliran
(turn-taking), dan (b) pengontrolan mitra tutur. Kajian tentang pengurutan dan penyusunan
teks akan memerikan tentang bagaimana teks-teks politik itu disusun secara berurutan Bari
awal sampai akhir.
Dua pertanyaan besar yang muncul berkaitan dengan struktur tekstual politik In-
donesia pada era pasca-Orde Baru adalah (1) konvensi-konvensi interaksional apa yang
digunakan dalam teks-teks politik, dan (2) bagaimana elemen-elemen teks-teks politik
diurutkan sehingga terbentuk sebuah teks politik yang utuh. Pertanyaan pertama ditujukan
kepada teks-teks politik yang terkategorikan ke dalam teks-teks dialog. Pertanyaan kedua
ditujukan kepada teks-teks politik, baik yang berupa dialog maupun monolog. Analisis
terhadap struktur teks politik akan menginformasikan berbagai hal yang berkaitan dengan
"kekuasaan dan "solidaritas" yang diaktualisasikan melalui struktur teks itu.
Secara garis besar, hasil analisis menunjukkan bahwa elite politik Indonesia pada
era pasca-Orde Baru begitu mendayagunakan piranti struktur teks untuk kepentingan po-
litikriya. Gilir tutur, misalnya, banyak didayagunakan oleh elite politik untuk menunjukkan
kekuasaan yang dimilikinya.
4.3.1 Konvensi Interaksional
Dua hal yang inenonjol dalam konvensi interaksi dalam teks-teks dialog politik era
pasca-Orde Baru adalah (1) pengelolaan gilir-tutur (turn-taking), dan (2) sistem pe-
ngontrolan antarpartisipan. Untuk yang pertama, pengelolaan gilir-tutur dalam teks-teks
463
politik dilakukan melalui seperangkat aturan dengan moderator dialog sebagai pengelola
pokok dialog. Proses transisi dan distribusi tutur dalam dialog politik diatur sedemikian
rupa sehingga setiap partai peserta pemilu memiliki hak dan kewajiban berbicara secara
adil dan merata. Untuk yang kedua, pengontrolan partisipan satu kepada partisipan lain-
nya dilakukan melalui berbagai metode, dari yang bersifat tidak langsung sampai yang
bersifat langsung.
4.3.1.1 Pengelolaan Gilir-Tutur
Ditinjau dari partisipan yang terlibat, terdapat dua jenis teks politik yang berupa
dialog. Pertama, teks politik yang berupa wawancara oleh wartawan dengan elite politik
tertentu. Teks ini lebih banyak berupa aktivitas meminta dan memberikan informasi antara
wartawan dengan elite politik tertentu. Kedua, teks politik yang berupa dialog antarelite
politik dalam membahas persoalan tertentu. Teks ini lebih banyak berupa aktivitas
berdiskusi terhadap berbagai persoalan antarelite politik Indonesia. Mereka secara resip-
rokal bertanya, meminta dan memberikan pendapat, menguji dan menawarkan konsep,
membandingkan program, dan sebagainya.
a. Dalam Teks yang Berupa Wawancara
Teks politik yang berupa wawancara dilakukan antara wartawan media massa de-
ngan salah seorang elite politik tertentu. Satu fenomena menarik dari teks politik dalam
bentuk wawancara pada era pasca-Orde Baru dibandingkan dengan era Orde Baru adalah
posisi yang diambil wartawan. Perhatikan kutipan (153) berikut.
Kutipan (153):
WAR: Kalau tak berhasil menjadikan Habibie sebagai calon tunggal, kabarnya bakal ada munaslub
untuk mendongkel Anda. Mengapa?
AT: Saya nggak tahu dari mana isu-isu mengenai munaslub itu. Saya kira, isu itu dari
orang
yang tidak bertanggung jawab, yang ingin memecah belah Golkar. Mungkin, mereka tidak
suka Golkar solid dan maju. Saya kira, isu itu tak mempengaruhi suasana rapim.
464
WAR: Rekan-rekan Anda di Golkar mengharapkan Anda sebagai calon, kenapa Anda menolak?
AT: Ya, kan sudah saya bilang. Saya tidak dalam posisi untuk calon presiden. Bahwa nama
saya masuk, tentu itu suatu penghormatan bagi saya sebagai ketua umum. Tapi, saya tidak
dalam posisi menjadi calon.
WAR: Anda punya hambatan psikologis terhadap Habibie?
AT: Nggak ada. Karena saya tidak dalam posisi untuk itu, saya tidak merasa ada hambatan apa- apa.
WAR: Jadi, Anda memang tidak slap menjadi presiden, walau dicalonkan forum?
AT: Tidak mungkin itu, karena memang kita..Kan saya sudah mengatakan saya tidak d alam
posisi menjadi calon presiden. Saya tidak bersedialah menjadi calon presiden. WAR: Karena
apa?
AT: Saya menganggap ada yang lebih pantas, yang lebih tepat, yang lebih cocok
WAR: Polling terakhir yang kami lakukan menunjukkan 41% untuk PDI Perjuangan dan 27% untuk
Golkar. Komentar Anda?
AT: Jajak pendapat itu, ya dilihat dari mana, respondennya di mana, dan kota-kotanya di mana.
Apakah itu bisa mewakili seluruh Indonesia? Kan tergantung tempat dan walctunya. [Data
33.C.1(1)]
Kutipan (153) dicuplik dan teks hasil wawancara wartawan (WAR) Gatra dengan Akbar
Tanjung (AT). Topik yang diangkat adalah masalah pencalonan Habibie sebagai calon
tunggal presiden dari Partai Golkar. Beberapa catatan penting dapat dikemukakan berkait
dengan kutipan (153) adalah (1) pengambilan posisi wartawan, (2) piranti distribusi giliran,
dan (3) sifat kelangsungan pertanyaan yang diajukan oleh wartawan.
Pertama, pengambilan posisi wartawan di hadapan elite politik yang diwawancarai
adalah posisi koordinatif. Dalam pandangan peneliti, wartawan berangkat dari asumsi
adanya kesetaraan hak dan kewajiban dalam komunikasi politik. Hal ini dapat diperhatikan
dan pilihan pronomina persona kedua Anda yang ditujukan kepada elite politik yang
bersangkutan. Pilihan ini memberikan makna bahwa dalam pandangan wartawan elite
politik memiliki kedudukan yang sejajar dengan dirinya. Hal ini akan berbeda jika war-
tawan menyebut elite politik dengan pronomina persona Bapak, seperti yang sering
digunakan pada era Orde Baru. Pilihan pronomina persona Anda memberikan pemahaman
tenting jarak sosial yang berbeda dengan pilihan pronomina persona Bapak. Nilai
solidaritas akan tercipta dalam pilihan pronomina Anda. Sebaliknya, nilai kekuasaan akan
lebih menonjol dalam pilihan pronomina persona Bapak.
465
Kedua, piranti linguistis untuk distribusi giliran berbicara sangat mudah dikenali.
Hal ini sesuai dengan jenis peristiwa komunikatifnya yang berupa wawancara politik yang
lebih bersifat satu arah dengan tanpa perubahan partisipan. Piranti distribusi giliran
berbicara sangat tampak pada pertanyaan yang diajukan wartawan. Dalam wawancara li-
san, piranti distribusi dapat dikenali dari "isi" rumusan pertanyaan dan "intonasi" menaik
dalam kalimat interogatif. Wartawan dalam konteks ini hanya akan berperan sebagai "pe-
nanya" dan "pencari informasi". Piranti-piranti dipaparkan sebagai berikut.
Mengapa? (pertanyaan ke-1)
Kenapa Anda menolak? (pertanyaan ke-2)
Anda punya hambatan psikologis terhadap Habibie? (pertanyaan ke-3)
Anda memang tidak siap menjadi presiden walau dicalonkan forum?
(pertanyaan ke-4)
Karena apa? (pertanyaan ke-5)
Komentar Anda? (pertanyaan ke-6)
Sebaliknya, elite politik hanya akan berperan sebagai "penjawab", "penyedia", dan
"pemberi informasi". Peran-peran partisipan sebagai "penanya" dan "penjawab"
dijalankan oleh elite politik relatif tetap, artinya peran itu tidak akan berganti subjek
pengisinya. Dengan deinikian, wartawan sebagai "penanya" cenderung menggunakan
kalimat interogatif yang berupa pertanyaan untuk memperoleh jawaban tertentu.
Ketiga, kalimat-kalimat interogatif yang diajukan oleh wartawan cukup menonjol
sifat "kelangsungannya". Pilihan-pilihan ekpresi kebahasaan, seperti untuk mendongkel
Anda, Anda menolak, dan Anda memang tidak siap menjadi presiden dapat membe-
rikan gambaran akan sifat kelangsungan itu. Kata mendongkel, misalnya, cukup menon-
jol sifat kelangsungan, bahkan memiliki nuansa makna yang cukup kasar jika digunakan
dalam konteks menurunkan seorang pemimpin organisasi dari posisi ketua umum. Meski-
pun menggunakan verba metafora, kosakata itu menonjol sifat kelangsungannya.
1+66
Piranti linguistis yang digunakan oleh pewawancara seperti kutipan (153) di atas
amat mudah ditemukan dalam teks. Beberapa ekspresi kebahasaan, seperti mengapa,
kenapa Anda menolak, karena apa, dan komentar Anda seperti sudah dipaparkan di atas
memberikan informasi atau signal kepada mitra tutur untuk segera memasuki giliran
berbicara. Selain piranti linguistis tersebut, mitra tutur juga dapat mengenalinya dari
piranti suprasegmental, yakni intonasi tanya yang selalu muncul dalam setiap ekspresi
kebahasaan wartawan. Selanjutnya, perhatikan juga kutipan (154) berikut.
Kutipan (154):
WAR: Sekarang tentang dana kampanye Golkar. Dan mana sekarang sumbangan dana diperoleh,
setelah dana dari Yayasan Dakab sudah distop?
AT: Kami sudah tidak lagi terima dana Dakab. Dan kami sudah mengembalikan dana yang kita
pakai ke Yayasan Dakab. Sekarang cumber dana kami berasal dari para simpatisan. Pada
waktu yang lalu, masih ada dana-dana yang merupakan peninggalan kepengurusan lama,
ada juga sebagian yang disimpan di bank.
WAR: Ada kabar, Golkar disumbang BUMN dan Grup Texmaco?
AT: Tidak ada itu sama sekali, tidak ada karena kita punya pembukuan. Tidak ada dana bantuan
dari Texmaco. Tetapi, memang ada simpatisan kami yang memberikan dana.
WAR: Ada suara-suara yang mengusulkan agar Golkar membubarkan dirt
AT: Yang paling berhak menentukan Golkar itu bubar atau tidak, internal Golkar sendiri. Ke-
cuali jika Golkar melakukan kegiatan-kegiatan yang menurut undang-undang melanggar
prinsip-prinsip dasar kehidupan bermasyarakat dan bemegara, barn aparatur hulaun mem-
bubarkan. Kalau masyarakat ingin membubarkan Golkar, itu tidak relevan. Kita ingin me-
ngetahui apa alasan-alasan pembubaran itu. Atas dasar apa mereka minta Golkar dibubar-
kan. Apa salah Golkar kepada negara, kepada republik ini? Golkar kan sudah turut berjasa,
ikut membangun bangsa dan negara ini. Kalau pertanyaannya dahulu, mengapa seseorang
diizinkan berkuasa sekian lama? Pertanyaan itu jangan hanya ditanyakan khusus kepada
Golkar. Tanyakan kepada semua kekuatan social politik di negara ini. Semua ikut nang-
gung. Nggak boleh seluruh kesalahan ditimpakan kepada Golkar.
[Data 33 . C. I (2)]
Kutipan (154) dicuplik dari teks hasil wawancara wartawan Gatra (WAR) dan Akbar
Tanjung (AT). Topik yang diangkat adalah tanggapan Ketua Umum Partai Golkar terse-
but terhadap berbagai hujatan yang ditujukan kepada Partai Golkar. Hujatan itu meliputi
tudingan melakukan praktik politik uang, pro status quo, serta pelopor korupsi, kolusi, dan
nepotisme. Beberapa hal penting berkaitan dengan gilir-tutur pada kutipan (154) di atas
dikemukakan sebagai berikut.
467
Pertama, sesuai dengan jenis peristiwa komunikatif, yakni wawancara, distribusi
gilir tutur sangat ditentukan oleh wartawan sebagai "penanya". Wartawan memiliki
"kekuasaan" yang besar dalam menentukan arah tuturan yang disampaikan oleh elite
politik. Bahkan, dalam banyak hal pertanyaan yang diajukan kepada elite politik selalu
memojokkan elite politik yang bersangkutan.
Kedua, keteraturan gilir-tutur dalam kutipan di atas amat jelas. Pilihan kalimat
interogatif dalam tuturan wartawan mengindikasikan terjadinya gilir-tutur pada
tahapan selanjutnya. Sesuai dengan norma interaksi, partisipan yang ditanya memiliki
kewajiban moral dan sosial untuk menjawab pertanyaan itu.
Kutipan (153) dan (154) di atas memberikan pemahaman akan amat berkuasanya
wartawan dalam sebuah peristiwa komunikasi politik. Untuk memberikan gambaran
yang komprehensifterhadap gilir-tutur dalam teks politik, selanjutnya perhatikan juga
kutipan (155) berikut. Jika dalam kutipan (153) dan (154) elite politik yang ditanya
wartawan adalah orang yang menjadi bagian integral pemerintahan Orba, dalam kutipan
(155) berikut elite politik yang ditanya wartawan adalah orang dan kelompok reformis.
Kutipan (155):
WAR: Setelah tak mencapai target, arah politik PAN selanjutnya ke mana?
ABT: Sudah kita putuskan dalam rapat di Dewan Pimpinan Pusat PAN bahwa kami tak akan
berkoalisi dengan siapa-siapa Kami tak ingin mengambil inisiatif mencalonkan Amien
sebagai presiden. Tapi, kalau ada anggota MPR yang mencalonkan Amien, ya itu terserah
mereka. Pak Amien bilang, sebagai partai yang hanya dapat 9%, kurang pantaslah terlalu
menonjolkan diri.
WAR: Apakah PAN punya calon altematif?
ABT: Saya kira, sampai saat ini belum. Yang jelas bukan B.J. Habibie. Sampai sekarang, belum
ada rencana untuk mencalonkan siapa-siapa.
WAR: Katanya, PAN akan berkoalisi dengan Golkar untuk menggclkan Habibie?
ABT: Nggak betid itu, benta-berita itu tidak benar. Golkar sudah dicoret dari daftar. Kalaupun
Golkar minus Habibie seperti banyak diisukan sekarang, tetap tidak akan berkoalisi.
Kultur Golkar sulit berubah. Kalau kita diasosiasikan dengan Golkar, hancur partai kita WAR:
Kalau begitu, mengapa Amien Rais sampai harus bertemu Presiden Habibie?
ABT: Amien Rais memang bertemu dengan Habibie, tapi dalam rangka silaturahrni dan menda-
patkan masukan. Yang perlu ditegaskan di sini, pertemuan itu bukan atas inisiatif Amien,
melainkan atas permintaan Habibie. [Data 15.C. 1(3)]
468.
Kutipan (155) dicuplik dari teks hasil wawancara wartawan Gatra (WAR) dengan Abdil-
lah Toha (ABT). Topik yang diangkat adalah tanggapan pengurus teras PAN atas peroleh-
an suara PAN yang tidak signifikan untuk pencalonan Amien Rais sebagai Presiden Re-
publik Indonesia. Dalam kutipan (155) distribusi gilir-tutur amat ditentukan oleh wartawan.
Meskipun tidak sebesar seperti kutipan (153) dan (154), dalam (155) kekuasaan wartawan
masih cukup besar. Pilihan kalimat interogatif , seperti "katanya, PAN akan berkoalisi
dengan Golkar untuk mengegolkan Habibie" menunjukkan kekuasaan yang
dimiliki wartawan. Pertanyaan yang dikemukakan wartawan adalah isu yang
berkembang di kalangan masyarakat yang tingkat kebenarannya masih perlu
dipertanyakan dan dikonfirmasikan kepada elite politik yang bersangkutan.
Dimensi kekuasaan yang dimiliki wartawan terhadap elite politik Indonesia dapat
diketahui dari jenis pertanyaan yang diajukan wartawan terhadap elite politik itu. Se-
baliknya, dimensi kekuasaan yang dimiliki wartawan sekaligus dapat diketahui dari jenis
jawaban yang dikemukakan oleh elite politik tersebut. Terdapat beberapa bentuk perta-
nyaan yang umumnya diajukan, yakni (1) pertanyaan yang sungguh-sungguh (sincere qu-
estions), (2) pertanyaan retoris (rhetorical questions), (3) pertanyaan klarifikasi (clarifi-
cation question), dan (4) pertanyaan konfirmasi (confirmatory question). Mengikuti pan-
dangan Green (1989:154) pertanyaan yang sungguh-sungguh menunjukkan bahwa
penutur menginginkan beberapa informasi tentang apa yang dipercayai oleh petutur.
Pertanyaan retoris menunjukkan bahwa penutur menganggap bahwa petutur tidak hanya
mengetahui jawaban terhadap pertanyaan itu, tetapi juga petutur mengetahui bahwa penu-
tur dan orang lainnya juga mengetahui jawabannya. Pertanyaan retoris juga menunjukkan
bahwa penutur menganggap petutur tidak hanya tidak mengetahui jawaban, tetapi orang
Catatan: * Jumlah yang dominan
469
lain juga tidak mengetahui jawaban itu. Pertanyaan kiarifikasi menunjukkan bahwa pe-
nutur mengetahui apa yang sudah dibicarakan, tetapi penutur tidak yakin apa yang
dibicarakan. Pertanyaan konfirmasi menunjukkan bahwa penutur mempunyai dugaan
tentang kebenaran jawaban, tetapi penutur tidak yakin dengan kebenaran jawaban itu.
Dari analisis terhadap berbagai jenis & fungsi jawaban yang dikemukakan elite
politik dari pertanyaan yang diajukan wartawan dapat diketahui tingkat kekuasaan
dalam komunikasi politik. Berbagai jenis dan fungsi jawaban yang dikemukakan 23
elite politik pada era pasca-Orde Baru dapat diperhatikan pada bagan 6.1 berikut.
Bagan 6.1 Jenis dan Fungsi Jawaban 23 Elit Politik pada era Pasca-Orde Baru dari
Pertanyaan yang Diajukan Wartawan
NO ELIT E JAWABAN
JAWABAN DARI PERTANYAAN
Sungguh-sungguh Retorts Klarifikasi Konfirmasi
01. DH 20 4 0 9* 7
02. ABT 11 3 0 3 5*
03. SBY 27 13* 0 10 4
04. MD 20 5 0 12* 2
05. MLD 10 4* 0 4* 2
06. AT 30 9 0 11* 10
07. AR 15 5 0 7* 3
08. AS 17 4 0 5 8*
09. DR 6 4* 0 2 0
10. MDI 19 7 0 10* 2
11. KKG 5 2 0 3* 0
12. SEY 15 7* 0 4 4
13. GD 11 2 0 5* 4
14. SH 17 2 0 9* 6
15. HS 4 1 0 0 3*
16. HM 8 2 0 5* 1
17. SBP 5 3* 0 0 2
I S. SSG 11 1 0 4 6*
19. AWM 5 1 0 3* 1
20. FB 19 8* 0 6 5
21. AMS 13 4 0 8* 1
22. AB 12 3 0 8* 1
23. H13 15 3 0 7* 5
47
0 Dart tabel 6.1 di atas dapat dikemukakan beberapa catatan penting sebagai berikut. Per-
tama, jawaban terhadap pertanyaan yang berfungsi untuk "mengklarifikasi" dan "meng-
konfirmasi" suatu hal cukup mendominasi jawaban elite politik Indonesia. Jawaban-ja-
waban tersebut berupa upaya mengklarifikasi dan mengkonfirmasi dari berbagai pertanyaan
yang berupa "tuduhan", "dugaan", "perkiraan", "sangkaan", dan "prediksi" terhadap
berbagai hal yang ada pada elite politik Indonesia. Sebelum mengajukan pertanyaan, dalam
pandangan peneliti, wartawan Indonesia sudah membawa "anggapan", "asumsi", dan
"dugaan" terhadap sesuatu yang dimiliki elite politik. Dengan demikian, pertanyaan yang
diajukan wartawan memiliki kecenderungan "menyudutkan", "mengarahkan", bahkan
"memprovokasi" elite politik. Kedua, tidak terdapat satu pertanyaan retoris pun yang
diajukan wartawan Indonesia kepada sejumlah elite politik di atas. Hal ini masuk akal
karena pertanyaan yang diajukan wartawan selalu memiliki pamrih untuk dijawab elite
politik. Pertanyaan retoris cenderung hanya digunakan oleh elite politik.
Dari penjelasan di atas dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa pada era pasca-Orde
Baru ini, elite politik tidak terlalu cukup memiliki kekuasaan yang besar. Sebaliknya,
wartawan memiliki kekuasaan yang cukup besar di hadapan elite politik Indonesia pada
umumnya. Jenis dan fungsi pertanyaan yang diajukan wartawan yang didominasi oleh
tujuan "mengklarifikasi" dan "mengkonfirmasi" dibandingkan dengan "pertanyaan yang
sungguh-sungguh" untuk memperoleh informasi yang belum diketahuinya dapat membe-
rikan informasi tentang dimensi kekuasaan itu.
b. Dalam Teks yang Berupa Dialog
Teks politik yang berupa dialog berupa aktivitas membicarakan atau mendiskusikan
berbagai masalah politik antara sejumlah elite politik Indonesia yang dipimpin oleh
471
seorang moderator atau fasilitator. Berbeda dengan teks yang berupa wawancara, dalam
teks yang berupa dialog ini proses gilir-tuturnya jauh lebih rumit karena setiap partisipan
secara normatif memiliki hak dan kewajiban yang sama dalam komunikasi politik itu.
Pengambilan tuturan dalam teks yang berupa dialog menjadi fenomena yang sangat me-
narik untuk mengungkapkan dimensi kekuasaan yang ingin ditonjolkan oleh elite politik
tertentu. Perhati kan kutipan (156) beri kut.
Kutipan (156):
MOD: [...] sangat relevan dan sangat menjurus masalah...dalam rangka menciptakan suatu
kampanye...dan bila perlu yang dengan akhlak. Silakan, Pak!
BS: Barangkali dengan nada yang mudah-mudahan kemungkinan tidak mengeluarkan per-
nyataan seperti itu. Karena bagairnanapun juga kesatuan dan persatuan bangsa harus di
atas segalanya, Dan untuk itu hams bersama-sarna. Indonesia yang kokoh ini tidak bisa
dibangun oleh orang perorangan dan dengan kesombongan arogansi. Terima kasih.
MOD: Terutama antara barisan reformasi, ya Pak. Aaa...masih ada waktu barangkali...saya ber-
usaha untuk fair, adil...sekarang ganti kepada yang ada di depan. Silakan!
PEN: Terima kasih saudara moderator. Selamat malam. Assalamualaikum wr. wb. Tadi Anda
sudah menyatakan [...]
MOD- [Namanya...namanya]
PEN: Nama saya...dari Partai Persatuan Pembangunan, satu pertanyaan kepada PADI...tadi Anda
mengedepankan berkali-kali soal pentingnya kedaulatan rakyat, tapi saya belum melihat
gambaran jelas program PADI sendiri dalam...apa yang sudah diupayakan oleh PADI...
apakah misalnya PADI ingin setelah dipilih nanti masuk sidang umum oleh..dalam waktu
dekat atau dalam punya program khusus memilih presiden langsung oleh rakyat atau
misalnya caleg hams menyuarakan aspirasi rakyat itu belum kami dengar, sementara kami
sendiri P3 sudah berjuang cukup lama dan apakah PADI bersedia mendukung upaya-upaya
yang sudah dilaksanakan oleh P3 selama ini? Terima kasih, Paid Assalamualaikum wr.wb.
MOD: Silakan, Pak Bambang!
BS: Ya, terima kasih. Memang...sebelum PADI berserikat menjadi suatu partai, saya kira PADI
sudah memberikan banyak masukan kepada temen-temen partai P3 di DPR. Banyak
sekali kita memberikan masukan, terutama pembatasan terhadap Undang-Undang Dasar
45 dan sebagainya. Sebelum kita menjadi partai kita sudah banyak memberikan masukan
sebab kita melihat bahwa PADI berpendapat bahwa peijuangan untuk memantapkan
kedaulatan rakyat tidak bisa diperjuangkan oleh PADI sendiri. PADI tidak pemah merasa
dirinya besar, tidak pemah merasa dirinya benar, tidak pemah merasa mau menangan
sendiri, gitu lho. [Data 4.C. 1 (4)]
Kutipan (156) dicuplik dari teks kampanye diaiogis pemilu 1999 yang ditayangkan oleh
TVRI. Dalam kampanye itu hadir tiga partai, yakni PADI, PPP, dan PKU, yang masing-
masing diwakili oleh juru kampanye partai yang bersangkutan. Dalam kutipan (156) ter-
sebut terdapat proses dialogis antara moderator (MOD), Bambang Sulistomo (BS) yang
472
mewakili PADI, dan penanya (PEN) dari simpatisan partai politik tertentu. Topik yang
muncul dalam kutipan tersebut adalah program yang ditawarkan dan sudah dikerjakan
oleh Partai Aliansi Demokrat Indonesia.
Beberapa hal berkaitan dengan gilir tutur pada kutipan (156) dapat dikemukakan
sebagai berikut. Pertama, moderator mengambil giliran di saat salah seorang penanya
masih berbicara. Moderator memotong suatu unit tuturan yang belum selesai. Hal ini
dilakukan karena penanya tidak mematuhi norma-norma berbicara yang sudah
disepakati, yakni menyebutkan identitas dan afiliasi partai politiknya. Apa yang
dilakukan moderator, dalam konteks tersebut, bukanlah aib tetapi sebuah langkah yang
"bijaksana" yang sangat diharapkan sesuai dengan norma-norma kampanye dialogis
yang sudah disepakati bersama. Kedua, pendistribusian giliran bertutur oleh moderator
secara eksplisit menggunakan ekspresi linguistis tertentu, yakni "silakan, Pak",
"silakan", dan "silakan, Pak Barn-bang". Dengan piranti linguistik itu, partisipan akan
secara mudah mengambil kesempatan untuk bertutur. Ketiga, masa panjang giliran yang
diperoleh BS secara leluasa dapat dimanfaatkan secara normal tanpa mendapat
"pemotongan" dari moderator. Hal ini terjadi karena BS sudah mematuhi salah satu
norma pokok dalam kampanye dialogis, yakni menjawab secara langsung kepada pokok
masalah. Patuh atau tidaknya partisipan dalam mematuhi norma dialog berpengaruh
pada ada atau tidaknya intervensi moderator terhadap proses dialog itu.
Dalam kutipan (156) proses pengambilan giliran tidak terlalu menimbulkan masa-
lah karena para pelaku dialog inenjalankan tugas dan kewajibannya relatif sesuai dengan
norma dialog yang disepakati. Pada bagian berikut ditampilkan contoh dialog yang
proses gilir-tuturnya relatif lebih rumit. Selanjutnya, perhatikan kutipan (157) berikut.
473
Kutipan (157):
MOD I: Tadi Anda mengatakan bahwa kami tidak ingin menjual bendera, tapi menjual gagasan.
Menjual gagasan butuh tenaga pemasaran. Pertanyaannya adalah sejauh ini rakyat melihat
tenaga pemasarannya hanyalah Bung Bintang dan tidak melihat tenaga pemasaran lainnya
yang secara sistemik dan terorganisir. Yang kedua[selama ini]
SBP: [Saya, saya] khawatir Bung Eep Saiful-
lah ketinggalan zaman. Sudah sangat terkenal sekali sejak sembilan puluh enam. Jadi, saya
harapkan Saudara betul-betul meneliti dan kemarin Kompas telah membedah partai-partai
baru, dan termasuk di situ PUDI. Betul untuk memperbaiki republik ini dan menyejahtera-
kan kehidupan rakyat [Indonesia].
MOD2: [Saya kira] betul Bung Eep masih ada waktu untuk belajar. Tapi saya
ingin tanya. Lni yang kedua Bung Bintang. Akhir-akhir ini isu tentang Napol dan eks
Napol PKI merebak kembali. Pertanyaan saya, bila Anda dipilih menjadi presiden,
akankah Anda mengakomodasikan eks Napol PM ini ke dalam [kabinet Anda]
SBP: [Para tapol dan napol itu musuh Soeharto].
Saya pun musuh politik Soeharto. Kita Tidal( perlu khawatir dengan keberadaan mereka
[itu]
MOD2: [Pertanyaan saya] Pertanyaan saya, akankah Anda mengakomodasi napol PKI itu ke dalam
kabinet Anda?
SBP: Mereka telah dihukum. Kalau mereka mernpiinyai kemampuan yang hebat dan
diandalkan
bagaimana juga dapat dipersandingkan dengan warganegara yang lainnya. Mereka mem-
punyai kesempatan.
MOD1: Satu hal Bung Bintang, harus diklarifikasi dengan baik. Ini bukan soal ketinggalan zaman
atau perlu belajar karena kebebasan pers sekarang. Dan saya kira sangat dapat mengingat
jauh lebih baik. Bagaimana berkiprah. Dengan studi yang saya lakukan PUDI adalah Bung
Bintang sehingga muncul pertanyaan bagaimana mungkin rakyat dapat mempertanyakan
kepada Bung Bintang dan [... ]
SBP: [!That's wrong is that] What's wrong is that?
[Data 36.C. 1(5)]
Catatan:
Tempat terjadinya pemotongan tuturan
Kutipan (157) dicuplik dari teks debat calon presiden pada sesi tanya jawab antara mode-
rator dengan pars calon. Dalam kutipan itu terjadi proses dialog antara moderator pertama
(MOD1), moderator kedua (MOD2), dan salah seorang calon presiden peserta debat,
yakni Sri Bintang Pamungkas (SBP). Persoalan yang diangkat untuk ditanyakan kepada
SBP adalah adanya kontradiksi dalam program perjuangan PUDI dengan realita yang ada
pada partai itu. Di satu pihak program PUDI lebih mengedepankan pembentukan sistem
Indonesia barn yang kuat dan membangun partai yang tidak menjual "bendera" dan tidak
menjual "massa" dengan lebih mengedepankan penawaran "konsep" dan "program" par-
tai. Di lain pihak, PUDI hanya dikenal karena ketua umumnya menjadi musuh besar pe-
474
nguasa pemerintahan Orde Baru, yakni mantan Presiden Soeharto, dibandingkan
dengan program-program partai yang ditawarkan kepada masyarakat Indonesia.
Beberapa catatan yang dapat dikemukakan dengan masalah gilir-tutur yang
terdapat pada kutipan (157) adalah sebagai berikut. Pertama, pengambilan giliran dengan
jalan memotong waktu tuturan masih sedang berlangsung amat menonjol. SBP
melakukan pemotongan tuturan yang menjadi hak partisipan lain--dalam hal ini
moderator--sebanyak tiga kali. Satu kali memotong waktu tuturan moderator kedua dan
dua kali memotong waktu tuturan moderator kesatu. Moderator kedua melakukan hal
yang sama sebanyak dua kali, yakni memotong waktu tuturan SBP masih berlangsung.
Bahkan, dari proses pemotongan tuturan itu mengakibatkan terjadinya "tumpang tindih
tutur" sebanyak empat kali, yakni (1) pemotongan tuturan MOD1 oleh SBP (bans 5), (2)
pemotongan tuturan SBP oleh MOD2 (bans 10 dan 17), dan (3) pemotongan tuturan
MOD2 oleh SBP (baris 14). Kedua, moderator kesatu dan kedua serta SBP sama-sama
ingin menunjukkan kekuasaan yang dimilikinya. Pertanyaan yang diajukan oleh MOD1
dan MOD2 lebih didominasi oleh berbagai "gugatan" konsep yang ditawarkan salah
seorang kandidat calon presiden. Sebaliknya, SBP menggugat berbagai pertanyaan dan
pemyataan yang diajukan oleh moderator kesatu dan kedua itu. Dalam pandangan SBP,
banyak pertanyaan dan pernyataan yang diajukan moderator karena kurang memahami
apa yang dimaui oleh PUDI umumnya dan SBP khususnya. Menggunakan kerangka
berpikir Fairclough (1989: 184), SBP memandang bahwa apa yang dikemukakan oleh
moderator termasuk ke dalam kategori pertanyaan atau pernyataan yang "tak pantas"
(undue) dalam mengomrol jawaban SBP tersebut. Untuk memperdalam persoalan gilir-
tutur itu, selanjutnya perhatikan juga kutipan (158) berikut.
4 75
Kutipan (158):
MOD: Apa yang kira-kira yang dapat disimpulkan dari kejadian itu, dan kalau Anda jadi presiden
persoalan-persoalan itu mau diapain?
YIM: Baik terima kasih. Pertama, kalau dilihat secara filosofis sampai hari kiamat pun
kita keja-
hatan itu akan tetap ada di muka bumi ini. Mustahil kita akan melenyapkan kejahatan itu
secara total....Masalahriya adalah dalam pendidikan kita sekarang dianggap Indonesia itu
satu keseragaman untuk kemudian diperlakukan secara sama, Karena kejadian di
Tasikmalaya dulu, seorang polisi menempeleng seorang kiyai, padahal kita tahu kalau
kiyai ditempeleng para santrinya akan ngamuk. Jadi, ini persoalannya adalah kekeliruan-
kekeliruan kita dalam melakukan pendekatan-pendekatan sehingga masyarakat yang
majemuk yang sebenamya mempunyai potensi yang besar bibit disintegrasi itu tidak
ditangani secara sungguh-sungguh yang dapat menenangkan semua pihak. Saya melihat
bahwa krisis di bidang ekonomi dan politik [...]
SBP: [Ya, saya kira] yang terjadi yang terlupakan oleh Saudara
Yusril adalah absolutisme, sentralisme, dan militerisme yang kemudian mengakibatkan
bermacam pembunuhan-pembunuhan. Ini yang dilupakan. Itulah yang membikin dis-
integrasi. Terima [kasih]
MOD2: [Ya] Ada pertanyaan lagi, ini titipan dari mahasiswa kedokteran. Sesuai
dengan fakultas kedokteran maka pertanyaannya ini ada kaitannya dengan kesehatan.
Data kesehatan terakhir menunjukkan bahwa gangguan penyakit jantung dan pare
semakin menjadi sebab pertamanya kematian di Indonesia. Sementara itu, telah banyak
penelitian menunjukkan bahwa rokok menjadi salah satu penyebab utama timbulnya
penyakit jantung dan paru-paru. Mengingat tingginya moralitas di Indonesia Anda
sebagai seorang perokok apa yang akan Anda lakukan bila menjadi seorang presiden
untuk menurunkan resiko angka penyebab penyakit jantung dan paru-paru. Sila[kan].
YIM: Pertama, kita harus
memberikan semua perlindungan yang sama kepada warganegara. Kita tidak boleh mem-
berikan diskriminasi kepada rakyat atas dasar mereka merokok atau tidak. itu yang per-
tama.Yang kedua, sudah tentu merokok akan mengganggu orang di ruangan ber-AC
seperti ini. Negara harus menyediakan suatu tempat yang memang khusus untuk para pe-
rokok itu. Keadilan harus kita junjung, jangan kita tidak suka kepada seseorang karena si-
fat-sifat yang melekat pada orang itu kemudian keberadaan orang itu kita basmi. Kita
sebenamya berpotensi menjadi ditaktor. Kalau saya tidak setuju dengan Saudara Imam,
banyak yang tidak setuju dengan Anda dengan pertanyaannya, atau saya tidak setuju
dengan Saudara Eep yang mengatakan bahwa saya penulis pidato Soeharto sehingga Soe-
harto terpilih berkali-kali. Soeharto sudah menjadi presiden ketika saya kelas 3 SD Bung
Eep, kita harus menyadari itu, dan kemudian saya masuk ke sekretariat negara pada tahun
1995, pada bulan April 1995. Jadi soal merokok, saya kira ada hak-hak yang diberikan
kepada mereka, baik proses penyadaran kepada mereka, baik proses penyadaran kepada
din sendiri. Ini yang mesti dilakukan. Saya menyadari hal itu. Kita semua menyadari kita
semua mempunyai kelemahan-kelemahan. Saya kira sangat naif jika seseorang merokok
kemudian dia dijegal kesempatannya untuk menjadi presiden. Demokrasi apa ini? Untuk
Saudara mahasiswa kedokteran yang dijurubicarai oleh Pak Imam Prasojo, apa tidak ada
pertanyaan yang lebih bermutu untuk seorang kandidat presiden daripada pertanyaan
tentang rokok?
[Data 22. C .1(6)]
Kutipan (158) dicuplik dari teks debat calon presiden pada sesi tanya jawab antara mode-
rator dengan para calon presiden. Dalam kutipan itu terjadi proses dialog antara moderator
pertama (MOD) dan moderator kedua (MOD2) dengan salah seorang calon presiden
476.
peserta debat, yakni Yusril Ihza Mahendra (YIM). Dalam sesi dialog itu hadir juga par-
tisipan lain, yakni SBP. Persoalan yang diangkat untuk ditanyakan kepada YIM terdapat
dua hal, yakni masalah kejahatan yang semakin marak di Indonesia dan masalah kese-
hatan, khususnya merokok yang menjadi kebiasaan salah seorang calon presiden itu.
Beberapa catatan dapat dikemukakan berkaitan dengan masalah gilir-tutur yang
terdapat dalam kutipan (158) sebagai berikut. Pertama, terdapat beberapa pengambilan
giliran dengan jalan memotong waktu tuturan masih berlangsung. Hal ini dapat diperhati-
kan pada (1) pemotongan tuturan YIM oleh SBP (bans 13), (2) pemotongan tuturan SBP
oleh MOD2, dan (3) pemotongan tuturan MOD2 oleh YIM. Sama dengan yang terjadi
pada kutipan (157), pemotongan tuturan mengakibatkan terjadinya "tumpang tindih tu-
tur". Kedua, moderator dan YEA sama-sama ingin menunjukkan kekuasaan yang dimilik-
inya. Moderator kedua, khususnya, berusaha untuk menguasai YIM dengan pertanyaan-
pertanyaannya yang cukup "memojolckan". Sebaliknya, YIM juga menggugat dan mem-
protes pernyataan yang disampaikan moderator dan pertanyaan yang diajukannya karena
dalam pandangan YIM pertanyaan dan pernyataan itu tidak sepenuhnya sesuai dengan
realitas yang ada. Ketiga, munculnya partisipan lain (SBP) dengan langsung mengambil
giliran ketika tuturan partisipan lain sedan berlangsung meskipun waktu gilir tutur tidak
berada pada SBP. Sesi ini adalah sesi tanya jawab antara moderator dan YIM, sementara
itu sesi tanya jawab antara moderator dan SBP sudah berlalu beberapa waktu sebelumnya.
Dalam konteks ini terdapat fenomena yang menarik, yakni pemotongan tuturan YIM oleh
SBP meskipun tidak mendapat signal dari pengatur dialog, yakni moderator, untuk
memajukan konsepnya yang belum disinggung oleh YIM. Selanjutnya, perhatikan juga
kutipan (159) berikut.
477
Kutipan (159):
MOD3: Saya ingin tahu pandangan dari Bung Amien, kalau nanti sudah menduduki singgasana
kepresidenan ini apakah memang masalah yang dihadapi perempuan itu begitu besamya
dan hanya dapat diselesaikan oleh satu kementerian yang namanya kementerian peranan
wanita. Nah kira-kira gimana gitu?
AR: Baiklah, Bu Harkristuti Harkrisnowo, saya melihat bahwa dari sudut pandang
agama Islam
yang saya anut, perkara jender itu memang sudah amat jelas sekali. Di dalam kitab suci
dikatakan bahwa "mukmin laki-laki maupun perempuan duduk sama rendah dan berdiri
sama tinggi di hadapan Allah swt". Nah, kalau prinsip wahyu ini kita turunkan ke dalam
prinsip moral kemudian kita ejawantahkan ke dalam kehidupan sosial ekonomi kita maka
saya ingin melihat ke depan makin banyak tokoh-tokoh wanita kita yang masuk ke
lembaga legislatif, yudisial atau lembaga pengawasan dan lembaga eksekutif, dan jangan
lupa bahwa suara perempuan lebih banyak daripada suara laki-laki. Kalau tidak salah
pemilih perempuan 52 persen dan lak-laki 48 persen. Ini [maklum]
MOD3: [Bahkan lima puluh tujuh persen
saya kira_]
AR: [Are you sure?] kalau lima tujuh persen ada selisih [sepuluh persen]
MOD3: [Itu artinya suara perempuan]..
AR: [Oke-oke] apa pun bottom line-nya
adalah bahwa suara perempuan lebih banyak daripada laki-laki sehingga jika saya
ditakdirkan Allah menjadi pemimpin negeri ini, Mbak Harkristuti don't worry saya akan
kasih kesempatan sebanyak mungkin bidang-bidang yang sekarang ini belum dimasuki
oleh kaum wanita kita, untuk menjadi menteri-menteri, dirjen, bupati, apalagi wapres.
Anda akan saya pertimbangkan. Jadi, saya kira itu jawaban saya.
MOD3: Apakah menurut Bung Amien, urusan peranan wanita itu bisa [eee]
AR: [Saya kira] UPW itu mencu-
rigakan, malah merupakan comminstanding departement, departemen yang mengina
wanita. Sepertinya wanita itu makhluk khusus, laki-laki itu makhluk normal. Kita kembali
ke zaman dulu bahwa wanita itu subhuman, separo manusia. Jadi akan lucu kalau UPW
dipertahankan. Saya sarankan untuk dibubarkan saja supaya duduk sama rendah berdiri
sama tinggi.
[Data 15.C.1(7)]
Kutipan (159) dicuplik dari teks debat calon presiden pada sesi tanya jawab antara
moderator dengan para calon presiden. Dalam kutipan itu terjadi proses dialog antara
moderator ketiga (MOD3) dengan salah seorang calon presiden peserta debat, yakni
Amien Rais (AR). Persoalan yang diangkat untuk ditanyakan kepada AR adalah
masalah kedudukan perempuan dalam konteks keindonesiaan dan masalah keberadaan
menteri yang mengurusi wanita.
Beberapa catatan dapat dikemukakan berkaitan dengan masalah gilir-tutur yang
terdapat dalam kutipan (159) sebagai berikut. Pertama, terdapat beberapa pengambilan
giliran dengan jalan memotong waktu tuturan masih berlangsung. Hal ini dapat diperha-
478
tikan pada (1) pemotongan tuturan AR oleh MOD3 (bans 14 dan 17) dan (2) pemotongan
tuturan MOD3 oleh AR (bans 16, 18, dan 25). Sama dengan yang terjadi pada kutipan
(157) dan (158), pemotongan tuturan dalam kutipan (159) mengakibatkan terjadinya
"tumpang tindih tutur". Kedua, moderator dan AR ingin menunjukkan kekuasaan yang
dimilikinya. MOD3 berusaha menguasai AR dengan pertanyaan-pertanyaan yang cukup
problematis, bahkan masalah yang masih kontroversi. MOD3 juga berusaha menguasai
AR dengan beberapa kali memotong tuturan AR ketika tuturan itu masih sedang berlang-
sung. Bahkan, saat memotong tuturan itu, MOD3 berusaha untuk mengarahkan jawaban
AR menurut jalan pemikiran MOD3. Sebaliknya, AR juga tidak mau begitu saja dikuasai
oleh MOD3 dengan jalan memotong tuturan MOD3 yang sedang berlangsung. Dua hal
yang terjadi ketika AR memotong tuturan MOD3, yakni (1) mengklarifikasikan apakah
tuturan yang disampaikan oleh MOD3 itu benar atau tidak dengan piranti pengklarifikasi
tertentu, yakni "Are you sure?", dan (2) menjawab secara langsung pertanyaan MOD3 ke-
tika pertanyaan itu belum selesai dikemukakan secara lengkap oleh MOD3. Hal ini mem-
berikan informasi bahwa AR cukup menguasai persoalan yang diajukan oleh moderator.
Hal ini sekaligus dapat ditafsirkan bahwa AR ingin menunjukkan kepada masyarakat In-
donesia akan kesiapannya menjadi calon presiden atas dasar kapabilitas yang dimilikinya.
Dari paparan di atasdapat diperoleh pemahaman bahwa persoalan gilir-tutur
merupakan piranti yang dapat digunakan untuk menunjukkan kekuasaan yang dimiliki
individu dalam komunikasi politik pada era pasca-Orde Baru. Pengambilan giliran
bukan semata-mata pergantian siapa yang berperan sebagai penutur dan siapa yang
selanjutnya berperan sebagai petutur. Lebih dari itu, pengambilan giliran berkaitan
erat dengan dimensi kekuasaan yang melekat pada partisipan komunikasi.
47/9
Dari analisis gilir-tutur dalam teks yang berupa wawancara dapat disimpulkan
beberapa hal sebagai berikut. Pertama, pengambilan posisi wartawan yang koordinatif di
hadapan elite politik mengimplikasikan adanya kekuasaan wartawan yang "sejajar" de-
ngan kekuasaan yang dimiliki oleh elite politik itu. Kedua, piranti linguistis yang diguna-
kan wartawan sebagai sarana mendisli _ ibusikan giliran berbicara relatif mudah dikenali.
Wartawan sebagai "penggali informasi" cnderung menggunakan kalimat interogatif untuk
ditujukan kepada elite politik sebagai "penyedia informasi". Wartawan cenderung meng-
gunakan bahasa yang "langsung" menuju sasaran. Ketiga, pertanyaan yang diajukan war-
tawan kepada elite politik didominasi oleh pertanyaan yang bertujuan untuk "mengklarifi-
kasikan" dan "mengkonfirmasikan" sesuatu.
Dari analisis gilir-tutur dalam teks yang berupa dialog dapat disimpulkan sebagai
berikut. Pertama, pendistribusian giliran bertutur oleh moderator secara eksplisit menggu-
nakan piranti linguistik tertentu. Piranti itu antara lain "silakan", "silakan, Pak", "silakan,
Pak+nama diri", "langsung saja, Pak", dan sebagainya. Kedua, masa panjang giliran yang
diperoleh oleh individu peserta diskusi bergantung pada jawaban yang diberikan partisi-
pan. Jika partisipan menjawab pertanyaan sesuai dengan aturan-aturan yang berlaku dalam
diskusi, moderator cenderung tidak mengintervensi masa tuturan partisipan. Jika partisipan
menjawab pertanyaan tidak sesuai dengan aturan-aturan yang berlaku dalam diskusi,
moderator cenderung mengintervensi masa tuturan partisipan dengan jalan memo-tong
tuturan ketika tuturan itu masih berlangsung. Ketiga, kekuasaan yang dimiliki individu
sering diaktualisasikan melalui pengambilan tuturan yang sering tidak mematuhi norma-
norma komunikasi. Akibatnya, pengambilan tuturan mengakibatkan terjadinya tumpang
tindih tutur. Moderator menunjukkan kekuasaannya melalui pengarahan jawab-
480
an yang diberikan partisipan. Sebaliknya, partisipan menunjukkan kekuasaannya melalui
pemrotesan pertanyaan dan pernyataan yang dikemukakan oleh moderator.
4.3.1.2 Sistem Pengontrolan Partisipan
Analisis terhadap sistem pengambilan tuturan di atas secara eksplisit menginfor-
masikan adanya pengontrolan satu partisipan terhadap partisipan lainnya dalam peristiwa
komunikatif tertentu. Sistem pengontrolan satu partisipan terhadap partisipan lainnya
menggunakan berbagai metode pengontrol. Dan analisis terhadap teks-teks yang dihasil-
kan oleh sejumlah elite politik Indonesia pada era pasca-Orde Baru dapat diketahui bahwa
elite politik Indonesia mengontrol elite politik lainnya dalam dialog dengan sejumlah
metode, antara lain (1) interupsi, (2) penegasan, (3) pengarahan topik, dan (4) formulasi.
a. Pengontrolan dengan Interupsi
Salah satu bentuk bagaimana partisipan satu mengontrol partisipan lainnya dalam
dialog politik adalah "menginterupsi" jawaban yang diberikan oleh partisipan tertentu.
Perhatikan kutipan (160) berikut.
Kutipan (160):
MOD: Selanjutnya saya persilakan Partai Rakyat Indonesia untuk mengajukan masing-masing satu
pertanyaan.
PARI: Saya tidak mengajukan pertanyaan, tapi penawaran. Karena saya sudah dengar latar betakang
danplOann dari Abul Yatama. Saya anggap Partai Abul Yatama agak spesifik Lahir dari
lingkungan yayasan anak yatim, memperjuangkan anak yatim. Saya pikir itu bagian yang
integral dari program perjuangan Partai Rakyat Indonesia_ Mengapa Abul Yatama tidak
bergabung saja. Kemudian untuk Partai Golkar. Asas sama, Pancasila dan Undang-Un-
dang Dasar 45, negara kesatuan sama, spirit proldamasi sama, mengapa tidak bergabung
kepada Partai Rakyat saja.
PGK: Inilah demokrasi yang kita kembangkan. Setiap warga negara mempunyai hak dan
kewa-
jiban yang sama. Setiap warga negara berhak membuat partai, dan tentu saja membuat
[ormas].
MOD: [Partai] Rakyat, oartai Rakyat, apa sudah selesai?
PARI: Betum. Satu lagi, Golkar, saya memang memuji, struktumya masih baik, tetapi popularitas
turun. Bicara masa depan, sulit kata-kata yang akan diucapkan Golkar karena persoalan 32
tahun amat beratnya. Saya tanya yang ringan saja, tidak yang berat-berat. Bagaimana itu,
bantuan dari Partai LDP kepada Golkar? Kalau memang itu beta] ada bantuan, itu pe-
langgaran. Yang kedua, apa bettil Golkar terlibat JPS? Ini tanya bukan menuduh. Betul
nggak terlibat. Dan yang ketiga [...]
1481
MOD: [Baik], sudah selesai.
PARI: [Satu] raja. Yang ketiga, apa betul ada money politic untuk
memperoleh dukungan massa. Itu pertanyaan.
PGK: Jadi itu pertanyaan dan [...]
MOD: [Sebelum] diberikan jawaban, hanya satu pertanyaan yang berhak
dijawab.
PGK: Yang penting money politic ya. Saya tidak tahu kalau kita lihat di mass media
maupun ju-
ga dalam pertemuan-pertemuan denga kawan wartawan, Golkar ini dituduh money politic.
Ini tidak tahu, apakah money politic dalam konteks bantuan, money politic curiga dalam
rangka hasil politik. Tapi, marilah kita lihat kebijakan elit partai bahwa tidak ada satu pun
kebijaksanaan internal dari Golkar yang membenkan arahan kepada bawahan untuk me-
narik dukungan massa dengan cara itu, manarik hari rakyat. [How to winning...]
PARI: [Tapi], dari mana
uang kok begitu banyak?
PGK: Dan sumbangan Para simpatisan Golkar. Golkar ini kan besar. Nanti kan ada audit.
Mana
yang betul-betul bersih, dan mana yang [...]
PART: [Yayasan] Dakab apa masih membantu?
PGK: Tidak ada.
[Data 12/20/33 .0 . 1(8)]
Kutipan (160) dicuplik dari teks kampanye dialogis yang ditayangkan oleh TVRI. Peserta
kampanye dialogis itu berasal dari Partai Abul Yatama (PAY), Partai Rakyat Indonesia
(PARI), dan Partai Golongan Karya (PGK). Setiap partai diwakili oleh juru kampanye
partai masing-masing. Kutipan (160) adalah sesi tanya jawab antarjuru kampanye di mana
PARI melalui Ketua Umumnya, Agus Miftah, memperoleh giliran mengajukan perta-
nyaan kepada kedua partai lainnya.
Beberapa catatan berkaitan dengan sistem pengontrolan partisipan dalam kutipan
(160) dapat dipaparkan sebagai berikut. Pertama, Partai Rakyat Indonesia yang dijurubi-
carai oleh Agus Miftah beberapa kali menginterupsi tuturan juru kampanye PGK (bans 32
dan 36). Dengan interupsi itu, PART dapat menghentikan kontribusi PGK dalam dialog
itu. Dalam bentuk lain, interupsi PARI juga dapat menghentikan kontribusi yang oleh
PART dianggap tidak relevan dengan jawaban pertanyaan yang dikehendaki oleh PART.
Kedua, interupsi yang dilakukan oleh PARI tidak melalui fasilitator diskusi. Dengan de-
mikian, terjadi "pelanggaran" norma-norma interaksi oleh PART dalam komunikasi politik
di atas. Pelanggaran-pelanggaran terhadap beberapa norma interaksi dalam komu-
482
nikasi politik di atas dapat ditafsirkan sebagai usaha PARI untuk menunjukkan kekuasaan
yang dimilikinya. Sebagai partai yang relatif baru lahir, usaha PARI untuk menunjukkan
kekuasaan ini bertujuan untuk menarik simpati para calon pemilihnya.
Perlu dipaparkan di sini bahwa pengontrolan partisipan satu kepada partisipan
yang lain yang terjadi di dalam kutipan (160) tidak semata-mata menggunakan metode
interupsi, tetapi juga menggunakan metode lainnya, seperti "penegasan" yang akan
dipaparkan pada bagian tersendiri. Selanjutnya, perhatikan juga kutipan (161) berikut.
Kutipan (161):
MAJ: Dan satu sistem nasional yang tidak demokratik, sentralistik, otoriter, menjadi satu sis-
tem nasional yang demokratik, yang terbuka, transparan, yang accountable . Berangkatnya
gampang aja, kalau bicara demokrasi dart segi-segi nilai bahwa ada nilai kebebasan, tetapi
juga ada nilai politik, persamaan atau kesetaraan menuju apa, menuju persaudaraan sejati.
Kebebasan diberikan, kesetaraan harus ada itu dalani rangka bersaudara. Lha, oleh sebab
itu, sikap diskriminatif itu tidak demokratis. Dengan demikian, apabila pada dirinya punya
nilai-nilai yang tidak diskriminatif berarti itu kelompok reformis. Lalu yang kedua, itu
semua dilakukan agar nilai demokrasi tidak hanya sekedar menjadi retorika, tetapi juga
diaktualisasikan. Untuk dapat teraktualisasikan saya kira ada dua hal, yaitu constitutional
reform dan cultural reform. Karena constitutional reform saya kira tidak cukup perlu ada
cultural reform. ... Orang hams masuk pasal 37, orang hams menerima perubahan. Tetapi,
perubahan tidak sekedar diubah, tetapi juga perlu dihindarkan dart [penyimpangan dart
UUD 1945. Oleh karena itu,].
DH: [Jadi, saya kira saya
setuju] cuma kita hams punya koridor yang jelas. Jangan sampai reformasi itu bertujuan
untuk- membentuk negara baru, bikin undang-undang dasar baru, dasar negara baru. Nair,
ini yang [keliru]
MAJ: [Oleh karena itu, saya tambahkan] dalam constitutional reform itu kita harus ya
bahwa Pembukaan Undang-Undang 45 Dasar itu tidak boleh diubah. Itu merupakan satu
kesepakatan, ya, karena Undang-Undang Dasar 45 itu merupakan kesepakatan para
republik yang hams kita jaga bersama.
DH: Ya, tapi, di samping itu kita juga membutuhkan analisis yang tajam terhadap
pemerintahan
32 tahun. Yang terjadi 32 tahun ini, kita ada pertanyaan begini "sebenamya terpuruknya
bangsa kita ini, apa sih sebabnya?". Apa karena konsep dasar yang namanya Pancasila dan
Undang-Undang Dasar 45 itu yang nggak bener atau implementasinya yang nggak bener.
Nah, itu. Kita melihat temyata implementasinya yang nggak bener. [Data 9/11/35. C .1(9)]
Kutipan (161) dicuplik dart teks dialog politik yang ditayangkan oleh Surya Citra Televisi
(SCTV). Dialog yang dipimpin oleh seorang moderator itu diikui oleh tiga elit partai po-
litik, masing-masing Matori Abdul Jalil (MAJ) dart PKB, Dimyati Hartono (DH) dart PDI
Perjuangan, dan Zarkasih Noer (ZN) dart PPP. Topik yang diangkat adalah seputar hasil
MOD: [Sebelum] diberikan jawaban, hanya satu pertanyaan yang berhak dijawab.
PGK: Yang penting money politic ya. Saya tidal( tahu kalau kits lihat di mass media maupun ju-
483
pemilihan umum 1999, kabinet koalisi, dan amandemen konstitusi. Dalam kutipan (161)
DH menginterupsi dengan jalan mengambil giliran berbicara meskipun MAJ masih berbi-
cara (baris 14). Interupsi itu mengakibatkan terjadinya tumpang tindih tutur, yakni ketika
MAJ sedang mengucapkan "penyimpangan dari UUD 1945, oleh karena itu"dengan tu-
turan DH "jadi, saya kira saya setuju". Dengan interupsi yang dilakukan DH, kontribusi
yang diberikan oleh MAJ menjadi terhenti sementara.
Yang menarik dari interupsi yang terdapat pada kutipan (161) adalah adanya feno-
mena "interupsi resiprokal", yakni tindakan saling menginterupsi antara MAJ dan DH
untuk menghentikan kontribusi yang diberikan mitra tutur. Setelah DH menginterupsi
MAJ (baris 14), kemudian berganti MAJ menginterupsi DH (bans 18). Dan dimensi
kekuasaan peristiwa ini dapat dimaknai bahwa kedua elit politik itu saling menunjukkan
kekuasaan yang dimilikinya. Di satu sisi, DH sebagai representasi dari partai pemenang
pemilihan umum tentu ingin menunjukkan bahwa masa depan Indonesia pasca-Habibie
akan sangat ditentukan oleh berbagai pemikiran PDI. Di sisi lain, MAJ sebagai represen-
tasi PKB juga ingin menunjukkan bahwa partai yang dibidani oleh organisasi NU, yang
memiliki anggota lebih kurang 40 juta, juga berhak menyumbangkan berbagai pemikiran
tentang Indonesia masa depan.
b. Pengontrolan dengan Penegasan
Bentuk kedua bagaimana partisipan satu mengontrol partisipan lainnya dalam
dialog politik pada era pasca-Orde Baru adalah "meminta penegasan" penutur lainnya
ten-tang berbagai hal. Perhatikan kutipan (162) berikut.
Kutipan (162):
1+84
ga dalam pertemuan-pertemuan denga kawan wartawan, Golkar ini dituduh money politic.
Ini tidak tabu, apakah money politic dalam konteks bantuan, money politic curiga dalam
rangka basil politik. Tapi, marilah kita lihat,kebijalcan elit partai bahwa tidak ada satu pun
kebijaksanaan internal dari Golkar yang memberikan arahan kepada bawahan untuk me-
narik dukungan massa dengan cara itu, manarik hari rakyat. [How to winning...]
PART.
[Tapi], dari mana itu uang Golkar kok begitu banyak?
PGK: Dari sumbangan para simpatisan Golkar. Golkar ini kan besar. Nanti kan ada audit.
Mana
yang betul-betul bersih, dan mana yang [...]
PART: [Yayasan] Dakab apa masih membantu?
PGK: Tidak ada,
[Data 12/20/33.C.1(10)]
Kutipan (162) dalam bentuk yang lebih panjang sudah dikemukakan pada kutipan (160) di
atas. Dua pertanyaan yang dikemukakan oleh PARI dapat dipandang sebagai upaya PART
untuk memperoleh penegasan tentang "sumber dana Golkar" yang selama masa pe-
merintahan Orde Baru menjadi sesuatu yang sangat misterius. Karena begitu misterius,
masyarakat akhirnya menduga-duga bahwa sumber dana Golkar berasal dari dana Yayasan
Dakab yang dibentuk oleh mantan Presiden Soeharto. Sumber dana Dakab diambil melalui
pemotongan dana tertentu dari para pengusaha besar. 1uran ini merupakan iuran wajib
sebagai sebuah bentuk komitmen pengusaha dalam memenangkan partai yang menjadi
mesin pengumpul suara bagi pemerintahan Orde Baru. Selanjutnya, perhatikan juga
kutipan (163) berikut.
Kutipan (163):
MOD: Kesempatan berikutnya kepada Partai Syarikai Islam Indonesia 1905 untuk mengajukan
pertanyaan kepada kedua juru kampanye. Silakan, Pak.
PSII: Pertama-tama ingin saya sampaikan kepada Partai Republic Kami dari Partai
Syarikat Is-
lam Indonesia '05 ini sudah terlampau banyak tampil untuk hal-hal seperti ini. Barangkali
di kesempatan yang berbahagia ini kami tidak akan menanyakan hal-hal yang sangat
ekstrem barangkali. Kami di sini ingin ada kejelasan, apakah benar, ada sekelompok orang
mengatakan Partai Republik ini partainya status quo, begitu. Sama saja dengan partainya
Partai Persatuan. Itu yang kami ingin tahu, barangkali. Terima kasih. Karena bagi kami,
semua partai ini sama saja. Itu barangkali yang kaini tanyakan.
MOD: Satu pertanyaan untuk Partai Persatuan. Silakan.
PSII: Barangkali sama. Kami ingin tariyakan kepada Partai Persatuan. Nampaknya
Partai Parsa-
tuan ada semacam multilintas. Dalam arti memiliki lambang yang sangat semarak. Nam-
paknya cukup hijau di mana-mana Meskipun kehijauannya itu dibantu oleh rekannya.
Apakah Partai Persatuan itu merupakan bagian dari partai status quo, barangkali begitu.
[Data 17/28/34.C.1(11)]
485
Kutipan (163) dicuplik dari teks kampanye dialogis yang ditayangkan oleh TVRI. Kam-
panye dialogis yang dipimpin oleh seorang moderator (MOD) ini diikuti oleh tiga juru
kampanye dari Partai Republik (PR), Partai Syarikat Islam Indonesia 1905 (PSII), dan
Partai Persatuan (PP). Kutipan (163) adalah sebagian sesi tanya jawab antarjuru kampa-
nye dengan giliran bertanya diberikan kepada PSII '05. Topik yang diangkat adalah
masalah predikat status quo atau tidak yang ada pada dua partai mitra dialog PSII '05.
Dengan demikian, dalam kasus itu PSII 1905 ingin memperoleh "penegasan" dari dua
partai lainnya tentang tuduhan atau dugaan bahwa kedua partai itu merupakan bagian
dari pemerintahan Orde Bann yang dijadikan simbol status quo itu. Pertanyaan dengan
menggunakan piranti "apa benar" (bans 6) adalah bentuk dari permintaan penegasan dari
orang lain terhadap suatu hal yang masih bersifat tidak jelas atau samar-samar. Dengan
meminta penegasan itu, apa yang dituduhkan PSII 1905 kepada kedua partai politik mitra
dialog dapat diperoleh suatu kebenaran yang nyata dari sumber aslinya.
c. Pengontrolan dengan Pengarahan Topik
Bentuk ketiga bagaimana partisipan satu mengontrol partisipan lainnya dalam
dialog politik pada era pasca-Orde Baru adalah "mengarahkan topik" yang hams
dikemukakan oleh partisipan lainnya. Dengan pengarahan topik tersebut, jawaban yang
diberikan oleh partisipan lainnya akan cenderung sesuai dengan pengarahan yang
diberikan. Perhatikan kutipan (164) berikut.
Kutipan (164):
MOD: Selanjutnya akarr_ ada tanya jawab dari ketiga partai.masing-masing kepada juru karnpanye
satu pertanyaan. Saya mulai dari Partai Abul Yatama. Silakan, Pak.
PAY: Terima kasih. Pertama saya tujukan kepada Bapak KH Agus Miftah. Tadi disebutkan bahwa
sektor nil yang sekarang terpuruk akan diupayakan untuk bangkit kembali untuk
mengangkat seluruh derajat bangsa Indonesia ini. Upaya apa yang secara nyata telah di-
rintis atau pun disiapkan oleh Partai Rakyat Indonesia.
PARI: Karena partai politik itu bukan LSM [...]
1+86
MOD: [Maaf], sebelum dijawab, silakan satu pertanyaan
lagi kepada Golongan Karya.
PART: 0, begitu.
PGK: Pak Nugroho jangan hanya tanya kepada Partai Rakyat Indonesia saja, dong. Partai
Golkar
juga ada [ha, ha, ha].
PAM: [Cukup] mewakili.
PAY: Baik, kepada Bapak Haji Aulia Rahman dari Golkar, kami ingin tanyakan. Satu hal yang
mungkin menjadi pertanyaan kita bersama. Satu saja Pak "apa yang telah disumbangkan
secara nyata oleh Golkar kepada masyarakat Indonesia selama ini?" Terima kasih.
MOD: Saya persilakan PARI untuk [menjawab]
[Data 12/20/33 . C . 1(12)]
Kutipan (164) 'dicuplik dari teks kampanye dialogis yang ditayangkan melalui TVRI.
Teks ini merupakan bagian awal dari teks yang sudah dipaparkan pada kutipan (160) di
atas. Pertanyaan yang diajukan oleh PAY, yakni "upaya apa yang secara nyata telah di-
rintis atau pun disiapkan oleh Partai Rakyat Indonesia" (bans 5-6) dan "apa yang telah
disumbangkan secara nyata oleh Golkar kepada masyarakat Indonesia selama ini" (bans
15-16) merupakan usaha PAY untuk "mengarahkan pokok persoalan yang harus dikemu-
kakan oleh dua partai mitra dialognya. Dengan pertanyaan itu, jawaban PARI dan PGK
tidak akan keluar dari koridor yang sudah ditentukan. Ini sesuai dengan norma di skusi
atau dialog, yakni partisipan menjawab sesuai dengan isi pertanyaan yang diajukan. Ja-
waban yang keluar dari isi pertanyaan akan memperoleh "resiko dialogis", yakni mempe-
roleh interupsi dari moderator atau bahkan memperoleh interupsi dari penanya. Selanjut-
nya, perhatikan juga kutipan (165) berikut.
Kutipan (165):
MAJ: Oleh karena itu, saya tambahkan, dalam constitutional reform itu kita hams ya bahwa
Pembukaan Undang-Undang 45 Dasar itu tidak boleh diubah. Itu merupakan satu kese-
pakatan, ya, karena Undang-Undang Dasar 45 itu merupakan kesepakatan para pendiri
republik yang hams kita jaga bersama,
DH: Ya, tapi, di samping itu kita juga membutuhkan analisis yang tajam terhadap
pemerintahan
32 tahun. Yang terjadi 32 tahun ini, kita ada pertanyaan begini "sebenamya ierpurulawa
bangsa kita ini, apa sih sebabnya?". Apa karena konsep dasar yang namanya Pancasila dan
Undang-Undang Dasar 45 itu yang nggak bener atau implementasinya yang nggak bener.
Nah, itu. Kita melihat temyata implementasinya yang nggak bener.
MAJ: Tapi persoalannya begini, ya Pak Dim, ya Kalau kita bicara tentang implementasi,
kita
akan bicara tentang sistem dan struktur. Kalau struktumya seperti struktur kursi ini,
slonjor saja nggak bisa bagai kita bisa duduk dalam pengertian [terlentang].
4 8 7
[Ya, ya, saya mengerti]
MAJ: [Oleh karena itu], sekarang bagai-
mana constituional reform dalam pengertian sebatas, misalnya bagaimana masa jabatan
presiden yang akan datang itu [dibatasi].
DH: [Itu saya setuju], itu saya setuju. Jadi, misalnya begini. Kita
jangan sampai meninggalkan jalan yang diberik[e]n oleh undang-undang dasar itu sendiri.
Kita mesti hati-hati terhadap amandemen, apa reform konstitusi [...]
[Data 9/11/35.C.1(13)]
Kutipan (165) merupakan lanjutan dari dialog yang sudah dipaparkan pada kutipan (161)
di atas. Pernyataan MAJ (baris 10-12) merupakan usaha MAJ untuk "mengarahkan" po-
kok persoalan yang hams dikemukakan oleh DH. Adanya "arahan topik" yang disampai-
kan oleh MAJ itu membuat jawaban DH mengikuti arahan dari MAJ itu. Meskipun pada
awalnya jawaban DH terdapat kesan adanya "anti amandemen" (baris 5-9), munculnya
arahan topik dari MAJ mengakibatkan terdapatnya pergeseran pada jawaban DH yang
"menerima" amandemen meskipun dalam konsep yang terbatas (bans 17).
d. Pengontrolan dengan Formulasi
Bentuk keempat bagaimana partisipan satu mengontrol partisipan lainnya
dalam dialog politik pada era pasca-Orde Baru adalah "memformulasikan" apa yang
sudah disampaikan sebelumnya. Bentuk keempat pengontrolan ini juga dapat berupa
"memformulasikan" apa yang sudah disampaikan oleh mitra tutur pada waktu
sebelumnya. Perhatikan kutipan (166) berikut.
Kutipan (166):
DH: Permasalahannya, kita mesti menyadari, konstitusi itu bukan cuma mengatur aturan-aturan
hukum. Di situ ada filsafat, di situ ada dasar negara, konsep ketatanegaraan, sistem politik,
sistem sosial budaya, ada semua. Kalau kita mau merubah, itu mesti harus betul-betul dari
hasil penelitian, pengkaiian yang betul. Jangan sampai nanti merubah, kita menemukan
yang satu rusak yang lain. Undang-undang dasar itu sebenamya, yang dikemukakan oleh
Pak Maori tacli betul sekali, gimaiia caranya presiden agar jangar_ terlain berkuasa? Di
sana kita bisa moricari cara lain_ Kita buat undang-undang tentang status, kedudukan, dan
tanggung jawab presiden. Di situ diatur. Kalau melanggar bagaimana? Itu yang kita atur
yang selama ini tidak ada.
MOD: Jika dikaitkan dengan nanti pemerintahan gotong royong atau koalisasi atau ana nun namanya
bagaimana nanti kedudukan presiden?
DH: Tidak ada masalah karena ini mengatur CR111ruhrtya ini tic•n■_:.,Ynn TittKih Apalz-h
nPR_ atau
di luar DPR masyarakat dapat mengontrol, presiden salah, telah melanggar aturan.
488
MAJ: Soty, cuma pengertiannya begini. Harapan saya begini, kehatian-hatian jangan melalui
pendekatan konservatif. Selama ini kadang-kadang kita sangat berhati-hati, dengan
menggunakan istilah seperti tidak sesuai dengan nilai-nilai budaya bangsa, jangan sampai
menuju ke arah itu. Keberhati-hatian itu keberhati-hatian dalam pengertian yang sesung-
guhnya.
DH: Jadi, esensinya harus dipegang betul. Esesnsinya adalah terpuruknya bangsa ini karena
sentralisasi kekuasaan. Sentralisasi kekuasaan itu di tangan presiden. Bagaimana itu diba-
tasi?
MOD: Kalau itu menyangkut dengan undang-undang dasar, bisa dong, undang-undang dasar itu di
ubah .
DH: Secara teori, bisa. Karena ada, tadi disebut tentang pasal 37.
ZN: Dan, memang kalau dikaitkan dengan Undang-Undang Dasar 1945 kita kan menganut
sistem presidensil, kan. Bagaimana kaitannya dengan koalisi tadi kan. Padahal, di satu
pihak terdapat hak prerogatif presiden untuk mengangkat pembantu-pembantunya. Di
sinilah barangkali kita harus melihat kembali Undang-Undang Dasar 1945 itu. Atau de-
ngan kata lain, kita tidak usah mentabukan amandemen, Iah. Kita sesuaikan dengan situasi
dan kondisi kita.
DH: Saya bukan masalah tabu. Tapi, saya ingin apakah cara yang kita tempuh, apakah amande-
men it is only one, kan tidak. Apakah dengan undang-undang itu terbuka peluangnya
menurut Undang-Undang Dasar 1945. Lha ini yang harus kita kaji.
MOD: Tetapi, kalau kita berbicara pemerintahan koalisi kalau dengan model seperti yang ada
sekarang seperti tidak punya makna.
MM: Saya kira bukan masalah bermakna atau tidak bermalcria, Kembali pada yang dikemukakan
oleh Pak Dimyati tadi, ada satu jiwa di dalam Undang-Undang Dasar 1945 dan Pancasila itu,
yaitu jiwa gotong-royong. Jadi kalau orang sudah memerintah, o ini pemerintahan partai
saya, tidak. Lalu kemudian dari situ, sekaligus kita melakukan constitutional reform dan
cultural reform. Kita berhati-hati. Kita serius. Kita pelajari sungguh-sungguh. Tidak dalam
pengertian kita bersikap konservatif Sehingga berharap tidak ada amandemen.... [Data
9/11/35.0 . 1(14)]
Kutipan (166) merupakan kelanjutan dan teks dialog yang sudah dipaparkan pada
kutipan (165) di atas. Dalam kutipan itu, DH dan MAJ "memformulasikan" kembali
jawaban yang sudah dikemukakan sebelumnya. Tuturan DH pada baris 19-21, yakni
masalah "terpuruknya bangsa Indonesia", merupakan formulasi ciari tuturan DH
sebelumnya (lihat kutipan 165 baris 5-9). Tuturan DH pada kutipan (166) baris 5-9,
yakni "pengaturan kekuasaan presiden", merupakan formulasi tuturan MAJ sebelumnya
(lihat kutipan 165 baris 14-16). Tuturan MAJ pada baris 40-43, yakni masalah
"constitutional reform dan cultural reform", merupakan formulasi dari tuturan MAJ
sebelumnya (lihat kutipan 161 baris 9-11). Tuturan MAJ pada baris 37-39, yakni "jiwa
yang terdapat dalam UndangUndang Dasar 1945 dan Pancasila", merupakan formulasi
dari tuturan DH sebelumnya (lihat kutipan 166 baris 1-5).
489
Dengan memformulasikan kembali pandangan pribadi maupun pandangan orang
lain, seorang penutur dapat mengarahkan ke mana topik itu akan dibawa. Suka atau tidak
suka orang lain akan mengikuti arah topik yang kita kehendaki, yang pada kasus tertentu
akan meninggalkan arah topik yang dikehendaki oleh orang lain. Dengan metode formu-
Iasi itu juga seseorang dapat menunjukkan kekuasaannya di hadapan orang lain agar
"tunduk" dengan kemauan seorang penutur. Dalam dimensi yang netral, metode
formulasi juga akan membantu mitra dialog mudah memahami jalan pikiran yang
dilontarkan ke dalam forum dialog itu. Dalam sebuah uraian yang panjang, metode
formulasi merupakan satu tuntutan agar partisipan dialog tidak "kehilangan jejak" dalam
mengikuti alur pokok pikiran yang harus dibicarakan. Ini sangat bermanfaat dalam dialog
yang tidak lain berlangsung dalam komunikasi lisan. Selanjutnya, perhatikan juga
kutipan (167) berikut. Kuti pan (167):
PART: Baik. Memang kalau merasa menjadi rakyat Indonesia, memang ini partainya. Jadi per-
tanyaannya Bapak itu, memang pertanyaan yang baik, tapi sekarang ini partai, bukan
LSM. Terutama yang akan kami kemukakan adalah konsep kebijakan. Kalau Partai
Rakyat Indonesia memenangkan pemilu dan saya menjadi presiden Republik Indonesia
inilah kebijakan yang akan saya lakukan. Tadi sudah saya katakan, kita akan mengadakan
restrukturisasi ekonomi secara menyeluruh. .Ini jawaban saya, Pak. Ringkas tapi tepat.
Entah jawaban Golkar.
MOD: Silakan Partai Golkar untuk menjawab!
PGK: Memang jawaban dari partai kami, nomor 33 ini, seperti ditanyakan oleh Partai Abul Ya-
tama apa yang akan, sudah, atau telah diprogramkan Golkar dalam membawa bangsa ini
ke milenium ketiga. Pertama, mengajak masyarakat RI, visi baru kita tetap setia kepada
Pancasila dan UUD 45. Itu yang pertama. Yang kedua adalah memberikan pendidikan po-
litik supaya pendidikan politik yang Orde Baru, yaitu pendidikan dengan pendekatan ter-
pusat, Golkar sudah memberikan penyuluhan-penyuluhan agar kedauatan itu ada di tangan
rakyat. Yang berkuasa itu rakyat, bukan pernimpin. Di bidang ekonomi, sederhana saja.
Akses pengusaha kecil menjadi dasar pertumbuhan ekonomi. Selama ini, selama Orde
Baru, pendekatan konglomerasi itu tidak memenuhi harapan seluruh bangsa Indonesia.
Jadi kedaulatan dan keadilan, baik dalam bidang politik maupun ekonomi dan lain-lain. Itu
program Golkar. Program yang meneutamakar rakyat. Rakyat yang kita ketengahkan.
Kedaulatan ada di tangan rakyat. Semua berasal dari [bawah].
PARI: [Itu] baru janji
PGK: Kita aktualisasikan janji itu. Temyata di mass media di sana dapat kita baca bahwa
pemi-
lihan ketua. umum Golkar semua berasal dari bawah, tanpa rekayasa Kalau Bung Agus
Miftah berbicara bahwa itu baru janji, lihat saja bagaimana pemilihan ketua DPD-DPD,
semua berasal secara bottom-up. [eee]
MOD: [Baik] dan Golongan Karya waktu sudah selesai.
[Data 12/20/33.C.1(15)]
490
Kutipan (167) merupakan bagian awal dari teks kampanye dialogis yang sudah dipapar-
kan pada kutipan (160) di atas. Kutipan (167) merupakan babak tanya jawab antarjuru
kampanye dengan giliran bertanya berada pada Partai Abul Yatama. Dua partai lain,
yakni PARI dan PGK memperoleh giliran menjawab pertanyaan yang dilontarkan oleh
PAY. Jawaban yang dikemukakan oleh PARI yang menggunakan piranti "tadi sudah
saya katakan" (baris 5-6) merupakan formulasi dari apa yang sudah dikemukakan pada
sesi "penyampaian visi dan misi partai", tahap pertama dalam kampanye dialogis.
PARI tidak susah-susah mencari jawaban yang bersifat "baru" terhadap pertanyaan
yang dilontarkan oleh PAY, tetapi cukup mengulangi atau merumuskan kembali dari
uraian yang sudah dikemukakan sebelumnya.
Sebaliknya, jawaban yang diberikan oleh PGK dalam menjawab pertanyaan PAY
merupakan sebuah "uraian baru", bukan basil formulasi atau reformulasi dari apa yang
sudah dikemukakan sebelumnya. Hal ini disebabkan PGK dalam babak "penyampaian
visi dan misi partai" tidak menyampaikan program-program partai, tetapi lebih banyak
mengemukakan "paradigma baru Golkar" untuk membedakannya dengan "Golkar lama".
4.3.2 Pengurutan Teks
Persoalan pengurutan teks adalah persoalan "linearisasi", yang dalam pandangan
Brown & Yule (1983:125) adalah persoalan bagaimana penghasil teks mengurutkan kata-
kata tunggal menjadi kalimat dan mengurutkan kalimat-kalimat ke dalam sebuah teks
yang lebih besar. Dalam wacana politik, misalnya, apa yang disampaikan pertama-tama
oleh elite politik sebagai penghasil teks akan mempengaruhi tafsiran teks selanjutnya.
Dari analisis terhadap teks-teks politik yang berupa monolog yang dihasilkan oleh sejum-
lah elite politik Indonesia era pasca-Orde Baru dapat diketahui bahwa elite politik In-
491
donesia mengurutkan unsur-unsur pembangun teks dengan menggunakan pola-pola ter-
tentu. Pola-pola yang dipilih oleh sejumlah elit politik mendatangkan implikasi
ideologic tertentu yang sering tidak disadari oleh para pendengarnya.
4.3.2.1 Pota Umum
Perlu dikemukakan pada bagian ini, terdapat "kesamaan pola" umum pengurutan
unsur-unsur teks dalam teks politik. Semua teks monologis dibangun dari urutan unsur
teks yang sama. Semua teks monologis dikembangkan dengan linearisasi tematisasi yang
sama. Secara garis besar, teks politik Indonesia era pasca-Orde Baru diurutkan dengan
menggunakan pola urutan:
(1) pembukaan (mengawali teks dengan salam dan atau dengan pekik partai tertentu)
(2) eksposisi (memaparkan berbagai hal yang berhubungan dengan partai tertentu)
(3) persuasi (merayu penonton agar memilih partai tertentu)
(4) penutup (mengakhiri teks dengan salam).
Unsur-unsur pokok (1)-(2)-(3)-(4) di atas pada umumnya ditata secara kronologis. Hanya
Baja, ada beberapa partai politik yang menatanya dengan (1)-(2/3)-(4) atau (1)-(3/2)-(4),
dalam pengertian bahwa unsur eksposisi dan persuasi ditata dengan saling bergantian.
Yang membedakan antara satu partai dengan partai lainnya adalah "penekanan" dan
"pengisian" materi pada tahap eksposisi. Terdapat partai yang secara relatif komprehensif
memaparkan hal ikhwal yang berkaitan dengan partai politik tertentu. Paparan tersebut
secara normatif berangicat dan asumsi bahwa apa yang dipaparkannya itu sesuai dengan
ekspektasi pendengamya. Sebaliknya, terdapat partai tertentu yang hanya memaparkan
satu isu penting menurut pandangan partai tertentu yang belum tentu sesuai dengan ek-
spektasi pendengarnya. Paparan ini sangat berorientasi pada kepentingan penuturnya. Be-
rikut ini dikemukakan beberapa pengembangan pola umum pengurutan teks yang me-
nonjol dari teks kampanye monologis pemilihan umum tahun 1999.
492
4.3.2.2 Pola Pengembangan
a. Pola I
Pola yang pertama adalah urutan ideal dari sebuah teks monolog kampanye. Seca-
ra normatif, sesuai dengan ekspektasi masyarakat dalam mengikuti kampanye
monologis, sebuah teks paling tidak mengandung berbagai elemen yang "seharusnya"
ada dalam sebuah teks politik. Pola pertama yang diasumsikan lengkap ini dibangun
dari unsur-unsur teks kampanye monologis sebagai berikut.
Pertama, teks diawali dengan "salam pembuka". Terdapat beberapa model salam
pembuka, yakni (1) "assalamualaikum wr. wb.", (2) "assalamualaikum wr. wb. + ayatayat
suci Al-Quran, (3) "assalamualaikum wr. wb." + salam sejahtera bagi kita semua, (4)
"selamat malam", (5) "selamat malam + salam kasih", dan (6) salam + pekik partai. Pi-
lihan berbagai salam pembuka akan memberikan prosedur interpretatif bagi pendengar
atau penganalisis akan identitas partai politik yang sedang berkampanye. Salam pembuka
yang disampaikan dengan assalamualaikum wr. wb. + ayat-ayat suci Al-Quran, misalnya,
secara normatif akanmenginformasikan kepada pendengar akan identitas partai yang ber-
kampanye, yakni (1) berasaskan Islam, dan (2) berbasis massa Islam meskipun meng-
gunakan asas Pancasila. Salam pembuka yang disampaikan dengan assalamualaikum wr.
wb. + pekik nasional akan menginformasikan kepada pendengar akan identitas partai
yang berkampanye, yakni partai politik yang berasaskan Pancasila dan berbasis massa
yang berpandangan hidup nasionalisme. Salam pembuka yang disampaikan dengan "sa-
iam kasih + selamat rnalam" akan menginformasikan kepada pendengar akan identitas
partai yang berkampanye, yakni partai yang berbasis massa Nasrani. Pilihan salam
pembuka mengandung signifikansi ideologis tertentu.
493
Satu catatan penting yang perlu dipaparkan berkaitan dengan paparan di atas ada-
lah pilihan salam pembuka tidak selalu sepadan dengan identitas elit atau partai yang di-
maksud. Sebuah partai yang berbasis massa Kristen, yakni Partai Krisna, dalam kampa-
nyenya memilih salam pembuka dengan as'salamualaikum wr. wb. Ini merupakan feno-
mena yang cukup menarik. Jawaban yang dapat dikemukakan. Pertama, Partai Krisna
memandang bahwa salam as.s.alatnualaikum wr. wb. adalah salam nasional. Ini berarti
yang berhak menggunakan salam tersebut adalah seluruh masyarakat Indonesia tanpa ke-
cuali dan tanpa membedakan latar belakang agama yang dianutnya. Kedua, Partai Krisna
membidik calon pemilih partai bukan hanya masyarakat Indonesia yang berlatar belakang
Kristen--hal ini dapat dilihat dan nama partai yang dipilih--, tetapi juga masyarakat Indo-
nesia yang beragama Islam yang notabene sebagai pemeluk agama terbesar di Indonesia.
Kedua, paparan teks selanjutnya diikuti oleh paparan tentang identitas partai yang
bersangkutan. Yang dipaparkan antara lain meliputi (1) nama partai, (2) para pendiri dan
tokoh terkenal partai, (3) tanggal berdiri partai, (4) latar belakang pendirian partai, (5)
nomor urut partai dalam pemilihan umum 1999 dan makna gambar atau logo partai, serta
(6) tempat deklarasi pendirian partai. Dalam pandangan elit partai, identitas partai yang
dipilih mengandung makna tertentu yang mencerminkan visi dan missi partai. Bahkan,
seperti sudah dipaparkan pada analisis kosakata, nomor partai tertentu mengandung makna
yang amat dalam meskipun nomor unit pemilu itu adalah hasil dari undian yang
dilaksanakan oleh Komisi Pemilihan Umum.
Ketiga, paparan teks selanjutnya diikuti oleh paparan tentang program-prom am
partai. Bagian ini umumnya merupakan uraian yang cukup panjang. Program-program
partai umumnya meliputi bidang-bidang (1) politik, (2) ekonomi, (3) hukum, (4) sosial
494
budaya, dan (5) hankamnas. Setiap bidang tersebut dijabarkan secara rinci sesuai visi dan
missi partai yang bersangkutan. Dalam memaparkan bagian ini sebagian besar menggu-
nakan metode pemaparan "komparasi", yakni menampilkan realitas pelaksanaan bidang
tertentu pada era pemerintahan Orde Baru yang penuh dengan "ketidakadilan" itu yang
selanjutnya dibandingkan dengan pandangan dan harapan partai terhadap konsep serta
pelaksanaan bidang yang dimaksud.
Keempat, paparan teks selanjutnya diikuti oleh paparan tentang tahap persuasi,
yakni aktivitas juru kampanye mempersuasi masyarakat Indonesia agar memilih partai
yang bersangkutan. Pada bagian ini para jurkam menampilkan berbagai keunggulan par-
tai sebagai satu-satunya partai yang akan dapat memberikan jawaban masa depan Indo-
nesia yang diharapkan oleh setiap orang. Untuk memperkuat daya persuasinya, para juru
kampanye dan partai yang berasaskan Islam dan berbasis massa Islam tidak segan-segan
mengutip ayat-ayat suci Al-Quran yang relevan dengan konteks yang dimaksud. Semen-
tara itu, partai lain mendayagunakan pantun-pantun tertentu yang relevan.
Kelima, paparan teks selanjutnya diakhiri dengan penutup. Terdapat beberapa
model yang dipilih, yakni (1) "assalamualaikum wr. wb.", (2) "ayat suci Al-Quran +
assalamualaikum wr. wb., (3) "sekian + terima kasih + selamat malam", dan (4) "salam
penutup + pekik partai". Pilihan salam penutup "sepadan" dengan salam pembukanya.
Pola pengurutan teks dengan model yang pertama secara normatif sesuai dengan
ekspektasi pendengar terhadap hakikat sebuah teks politik. Masyarakat Indonesia pada
umumnya "berharap" bahwa apa yang disampaikan melalui sebuah kampanye monologis
dapat memberikan dan memenuhi kebutuhan masyarakat akan informasi minimal sebuah
partai politik tertentu. Model pertama ini umumnya dipilih oleh partai-partai politik yang
495
relatif baru. Partai politik yang ban' berdiri setelah jatubnya pemerintahan Orde Ban' me-
miliki kepentingan tertentu untuk menampilkan pola pertama ini. Model pertama ini da-
pat divisualisasikan seperti gambar 6.1 berikut.
Catatan gambar 6.1:
1. Pembukaan 1
2. Eksposisi 2 2a. Identitas partai 2a 2b. Program-program partai
2b 3. Persuasi
4. Penutupan 3
4
Gambar 6.1 Pola I Pengurutan Teks Politik
b. Pola II
Pola yang kedua adalah urutan penahapan dengan menonjolkan bagian tertentu
dan "meniadakan" bagian lainnya. Pilihan pola kedua ini amat ideologis karena "memak-
sa" pendengar untuk mengikuti pilihan tematik sesuai kehendak partai dan "memaksa"
pendengar untuk tidak mengetahui hal lain yang penting bagi pendengarnya itu. Pola ke-
dua ini dibangun dari unsur-unsur teks kampanye monologis sebagai berikut.
Pertama, teks diawali dengan "salam pembuka". Terdapat beberapa model
salam pembuka, yakni (1) "assalamualaikum wr. wb.", (2) "assalamualaikum wr. wb. +
ayatayat suci Al-Quran, (3) "assalamualaikum wr. wb." + salam sejahtera bagi kita
semua, (4) "selamat malam", (5) "selamat malam + salam kasih", dan (6) salam + pekik
partai. Pilihan berbagai salam pembuka akan memberikan prosedur interpretatif bagi
pendengar akan identitas partai politik yang sedang berkampanye. Bagian pertama ini
relatif sama dengan pola I di atas.
966
Kedua, paparan teks selanjutnya diikuti oleh paparan tentang satu hal penting
menurut kacamata partai yang bersangkutan. Partai Golkar, misalnya, memaparkan seca-
ra panjang lebar tentang "paradigma barn" Golkar dengan "agak" mengesampingkan pa-
paran tentang program-program partai. Partai Rakyat Indonesia secara panjang lebar me-
maparkan gerakan reformasi yang diujungtombaki oleh mahasiswa Indonesia. Dalam
pandangan PARI, reformasi adalah segala-galanya sebagai pintu gerbang memasuki In-
donesia barn. Partai Persatuan Pembangunan secara terinci memaparkan perjalanan pan-
jang partai yang penuh dengan dinamika dan kesalahan-kesalahan masa lalu yang sudah
diperbuat oleh pemerintahan Orde Baru. Misalnya, partai ini selalu mengemukakan tin-
dakan walk-out yang cukup menggemparkan pada Sidang Umum MPR tahun 1978 ketika
majelis menetapkan Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4) ke dalam se-
buah ketetapan MPR.
Ketiga, paparan teks selanjutnya diikuti oleh paparan tentang tahap persuasi, yakni
aktivitas juru kampanye mempersuasi masyarakat Indonesia agar memilih partai yang
bersangkutan. Pada bagian ini Para jurkam menampilkan berbagai keunggulan partai se-
bagai satu-satunya partai yang akan dapat memberikan jawaban masa depan Indonesia
yang diharapkan oleh setiap orang. Untuk memperkuat dava persuasinya, para juru kam-
panye dari partai yang berasaskan Islam dan berbasis massa Islam tidak segan-segan me-
ngutip ayat-ayat suci Al-Quran yang relevan dengan konteks yang dimaksud. Sementara
itu, partai lain mendayagunakan pantun-pantun tertentu yang relevan. Bagian ketiga ini
relatuf sama dengan pola I di atas.
Keempat, paparan teks selanjutnya diakhiri dengan penutup. Terdapat beberapa
model yang dipilih, yakni (1) "assalamualaikumwr. wb.", (2) "ayat suci Al-Quran + assa-
497
lamualaikum wr. wb., (3) "sekian + terima kasih + selamat malam", dan (4) "salam
penutup + pekik partai". Pilihan salam penutup "sepadan" dengan salam pembukanya:
Pola pengurutan teks dengan model kedua ini sangat menonjolkan dimensi kekua-
saan dari pihak elite atau partai politik. Pada tahap eksposisi, partai politik hanya membe-
rikan sesuatu yang sesuai dengan kehendak partai, bukan atas ekspekstasi pendengarnya.
Modal kedua ini dapat divisualisasikan seperti gambar 6.2 berikut.
Catatan gambar 6.2:
1
2
2 a
3
4
Gambar 6.2 Pola II Pengurutan Teks Politik
1. Pembukaan
2. Eksposisi
2a. Aspek tertentu yang dianggap pentin
3. Persuasi
4. Penutupan
c. Pola III
Pola yang ketiga adalah urutan penahapan dengan linearisasi yang "amburadul",
dalam pengertian bahwa pemaparan identitas partai, program-program partai, dan
persuasi tidak diurutkan secara teratur sehingga mudah dipahami oleh pendengamya.
Pola ketiga ini dibangun dari unsur-unsur teks kampanye monologis sebagai berikut.
Pertama, teks diawali dengan "salam pembuka". Terdapat beberapa model salam
pembuka, yakni (1) "assalamualaikum wr. wb.", (2) "assalamualaikum wr. wb. + avat-
ayat suci Al-Quran, (3) "assalamualaikum wr. wb." + salam sejahtera bagi kita semua,
(4) "selamat malam", (5) "selamat malam + salam kasih", dan (6) salam + pekik partai.
Pilihan berbagai salam pembuka akan memberikan prosedur interpretatif bagi pendengar
498
akan identitas partai politik yang sedang berkampanye. Bagian pertama ini relatif sama
dengan pola I dan II di atas.
Kedua, paparan teks selanjutnya diikuti oleh paparan tentang banyak hal yang
berkaitan dengan partai. Secara tematik, bagian ini secara implisit berisi visi dan missi
partai, program-program partai, identitas partai. Hanya saja, dalam pengurutannya,
bagian kedua ini tidak ditata secara linear yang memudahkan pemahaman pendengar.
Terdapat kesan, juru kampanye menggunakan logika berpikir yang berputar-putar.
Ketiga, paparan teks selanjutnya diakhiri dengan penutup. Terdapat beberapa mo-
del yang dipilih, yakni (1) "assalamualaikum wr. wb.", (2) "ayat suci Al-Quran + assa-
lamualaikum wr. wb., (3) "sekian + terima kasih + selamat malam", dan (4) "salam penu-
tup + pekik partai". Pilihan salam penutup "sepadan" dengan salam pembukanya.
Pola pengurutan teks dengan model ketiga ini menimbulkan kesan bahwa pengha-
sil teks tidak merencanakan secara matang teks yang dipaparkannya. Pada tahap
eksposisi, partai politik secara panjang lebar memaparkan berbagai hal yang berkaitan
dengan partai politiknya dengan menggunakan pilihan penahapan yang sulit dipahami.
Model ketiga ini dapat divisualisasikan seperti gambar 6.3 berikut.
Catatan gambar 6.3:
1
2 a
2 b
3
1. Pembukaan
2a Eksposisi/persuasi
2b Persuasi/eksposisi
3. Penutupan
Gambar 6.3 Pola III Pengurutan Teks Politik
499
4.3.3 Catatan Penutup: Sebuah Penjelasan
Paparan di atas masih belum menjawab persoalan "mengapa" sebuah penyusunan
struktur tekstual tertentu dipilih dan dianggap istimewa oleh elite politik tertentu, sebalik-
nya ditinggalkan dan tidak dianggap istimewa oleh elite politik lainnya. Rumusan ini
mengantarkan kita kepada tahap eksplanasi yang menjadi analisis terakhir dalam analisis
wacana kritis. Dalam tahap eksplanasi ini wacana politik Indonesia era pasca-Orde Baru
akan ditempatkan dalam sebuah elemen dari "proses sosiokultural" pada dua tataran, yak-
ni (1) tataran institusional dan (2) tataran sosial. Tahap eksplanasi ini akan menunjukkan
bagaimana kedua proses itu secara ideologis ditentukan oleh relasi-relasi kekuasaan dan
pertarungan kekuasaan pada kedua tataran. Tahap ini juga akan menunjukkan bagaimana
proses sosiokultural itu secara ideologis determinatif dari relasi-relasi kekuasaan dan per-
tarungan kekuasaan pada kedua tataran itu.
Mengambil pandangan Fairclough (1989:192--194), tahap eksplanasi ini dikem-
bangkan dari dua pertanyaan besar yang akan menjadi acuan dalam paparan ini. Perta-
nyaan pertama yang diajukan adalah "proses institusional apa yang terjadi dalam teks po-
litik era pasca-Orde Baru dan bagaimana proses itu secara ideologis 'ditentukan' oleh re-
lasi-relasi kekuasaan dan pertarungan kekuasaan serta determinatif dari relasi-relasi ke-
kuasaan dan pertarungan kekuasaan pada kedua tataran di atas". Untuk menjawab perta-
nyaan pertama ini peneliti mendayagunakan berbagai informasi yang terdapat dalam in-
stitusi politik, seperti partai politik, parlemen, institusi pemerintahan, dan media massa.
Pertanyaan kedua yang diajukan adalah "proses sosiokultural apa yang terjadi dalam teks
politik dan bagaimana proses itu secara ideologis ditentukan' oleh relasi-relasi kekuasaan
dan pertarungan kekuasaan serta determinatif dari relasi-relasi kekuasaan dan pertarung-
500
an kekuasaan pada kedua tataran di atas". Untuk menjawab pertanyaan kedua, peneliti
mendayagunakan berbagai informasi yang terdapat dalam sistem sosial dan budaya Indo-
nesia yang melatarbelakangi para elite politik Indonesia.
4.3.3.1 Proses Institusional
Terdapat sebuah proses institusional yang cukup kompleks dalam wacana politik
Indonesia pada era pasca-Orde Baru. Proses itu berupa "pertarungan" lintas institusi yang
akhirnya bermuara ke dalam wacana politik. Pilihan dan pemaknaan terhadap struktur
tekstual tertentu amatlah dipengaruhi oleh asumsi-asumsi yang dibangun elite politik pada
tataran institusi. Dalam pengambilan gilir-tutur, misalnya, yang terjadi adalah "per-
tarungan" antarinstitusi, yakni antara institusi partai yang sudah berdiri pada era peme-
rintahan Orde Baru dan institusi partai yang baru berdiri pada era pasca-Orde Baru. Tiga
partai "lama", yakni PPP, PG, dan PDI bekerja keras mengambil gilir-tutur dalam setiap
kampanye dialogis untuk mempertahankan diri dari serangan lawan-lawan politiknya. Se-
baliknya, partai-partai "baru" begitu aktif mengambil gilir tutur untuk menunjukkan keku-
asaannya di hadapa elite politik lairmya dan masyarakat Indonesia secara keseluruhan.
Pertarungan itu dapat diperhatikan pada begitu banyaknya munculnya tumpang tindih tu-
tur dalam teks-teks politik yang bersifat dialogis.
Dalam pengontrolan mitra tutur, yang terjadi adalah "pertarungan"
antarinstitusi, yakni antara institusi partai yang sudah berdiri pada era pemerintahan
Orde Baru dan institusi partai yang barn berdiri pada era pasca-Orde Baru. Tiga partai
lama, yakni PPP, PG, dan PDI bekerja keras mempertahankan din dari pengontrolan partai-
partai lawan politiknya. Mitra dialog ketiga partai politik lama itu cenderung mengontrol arah
topik jawaban yang dikehendakinya. Sebaliknya, partai-partai barn begitu aktif mendayaguna-
501
kan berbagai metode pengontrolan kepada partai-partai lama sebagai manifestasi kekua-
saan yang ingin dinaturalisasikannya kepada mitra dialognya.
Dalam penataan elemen-elemen teks monologis, misalnya, yang terjadi adalah
suatu "pertarungan" antarinstitusi, yakni institusi yang bersangkut paut dengan pemerin-
tahan Orde Baru, yakni PG, dan institusi yang tidak bersangkut paut dengan pemerintahan
Orde Baru itu, yakni partai di luar PG. Fenomena yang terjadi adalah "persaingan" dalam
penataan elemen-elemen teks politik. Institusi PG menggunakan penataan teks politik ke
dalam pola II, yakni memberikan penekanan pada tahap eksposisi dengan materi yang di-
anggap penting oleh institusi ini. Fakta menunjukkan bahwa PG banyak memaparkan se-
cara panjang lebar materi tentang konsep "paradigma barn Golkar", yakni cara pandang
dan cara bersikap dari PG untuk menyelaraskan dengan semangat reformasi yang diku-
mandangkan mahasiswa dan kelompok prodemokrasi. Sebaliknya, institusi non-PG menata
teks politiknya ke dalam dua cara. Pertama, institusi yang menata teks politik ke dalam
pola II, sama dengan institusi PG. Yang membedakannya adalah pengisi bagian eksposisi
yang lebih-banyak menyoroti kelemahan-kelemahan atau kebobrokan-kebobrokan
pemerintahan Orde Baru yang di dalamnya termasuk PG. Kedua, institusi yang menata
teks politiknya ke dalam pola I, yakni pola penataan yang relatif lengkap dari sebuah teks
politik monologis sesuai dengan ekspektasi masyarakat Indonesia.
4.3.3.2 Proses Sosiokultural
Terdapat proses sosiokultural yang cukup kompleks dalam wacana politik Indone-
sia pada era pasca-Orde Baru. Proses itu berupa "pertarungan" sistem sosiobudaya "lama"
dengan sistem sosiobudaya "bare". Sistem budaya lama Indonesia yang didominasi oleh
sistem budaya Jawa mendapat tantangan sistem budaya yang lebih global yang secara
502
normatif tidak sesuai dengan budaya lama. Proses pertarungan juga berlangsung antara
"sistem budaya tradisi" dan "sistem budaya agama".
Memanfaatkan pandangan Alisjahbana (1982; 1986), proses sosiokultural yang
terjadi dalam wacana politik Indonesia adalah "pertarungan" antara sistem budaya "ek-
spresif' dan "progresif'. Sistem budaya ekpresif adalah sistem budaya yang didominasi
oleh nilai-nilai agama dan seni. Sistem budaya progresif adalah sistem budaya yang
didominasi oleh nilai-nilai teori dan ekonomi. Pertarungan ini dapat diperhatikan pada
sifat teks yang disusunnya. Partai-partai yang memiliki latar belakang marhaenisme,
misalnya, cenderung menyusun teks dengan nada ketidaklangsungan, sebaliknya
partai-partai yang berasaskan dengan "sosial demokrasi" cenderung menyusun teks
dengan nada kelangsungan.
Dalam proses sosiokultural juga terjadi pertarungan antara sistem budaya tradisi
dan sistem budaya agama (Islam). Dalam penyusunan teks politiknya, elite politik yang
lebih dikuasai oleh sistem budaya tradisi cenderung membangun teks dengan mengemu-
kakan landasan-landasan yang berasal dari nilai tradisi, misalnya nilai-nilai yang dijun-
jung tinggi oleh sistem budaya tertentu. Sementara itu, elite politik yang lebih dikuasai
oleh sistem budaya agama (Islam) cenderung membangun teks politiknya dengan
mengemukakan landasan-land2san yang berasal dari kitab suci Al-Quran dan Al-Hadits.
Bahkan, ayat-ayat suci AI-Quran dan sabda Nabi digunakan sebagai pembangun teks
politik mereka, mulai dari perribukaan, isi, sampai pada penutupan.