Download - 2011sme_BAB IV. Hasil Dan Pembahasan
4. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Sejarah Kebijakan Industri dalam Perekonomian Indonesia
Stabilisasi dan liberalisasi ekonomi pada akhir tahun 1960-an merupakan
starting point bagi pembangunan ekonomi dan industri yang berkelanjutan di
Indonesia. Pada masa pemerintahan Soekarno (orde lama) sampai dengan tahun
1966, pemerintah sangat mengintervensi dan memilih industri yang berorientasi
ke dalam (inward looking) dalam mengembangkan strategi industrinya. Perhatian
pemerintah terfokus pada pengembangan perusahaan BUMN (Badan Usaha Milik
Negara) yang merupakan privatisasi perusahaan domestik dan nasionalisasi
perusahaan asing serta bergerak di sektor manufaktur. Perusahaan BUMN tersebut
didukung dengan kucuran kredit perbankan, subsidi, dan bantuan valuta asing
(valas). Akan tetapi minimnya cadangan devisa nasional menyebabkan
pemerintah menerapkan kontrol devisa, yang pada akhirnya menyebabkan
kelangkaan bahan baku dan suku cadang impor (Kuncoro, 2007).
Selama periode pemerintahan Soekarno sampai tahun 1966, Indonesia
masih tergolong negara yang tertinggal dalam hal pembangunan (least developing
country). Perekonomian mengalami stagnasi akibat inflasi yang sangat tinggi,
ketidakstabilan politik, defisit anggaran yang tak terselesaikan serta campur
tangan pemerintah dalam pasar yang sangat kuat menghasilkan lingkungan yang
tidak menguntungkan bagi perkembangan industri nasional. Pada periode ini,
investasi dalam sektor industri sangat kecil dan masih langkanya investasi asing
(Kuncoro, 2007).
Reformasi pembangunan ekonomi pada masa pemerintahan Soeharto (orde
baru) dalam hal transformasi ekonomi berbasis pertanian ke ekonomi industri
dimulai pada awal tahun 1970. Dengan otoritas yang dimiliki pemerintah, maka
program pembangunan lima tahun (PELITA) dilaksanakan. Pada tiga periode
awal PELITA, pemerintah menyiapkan perubahan dari ekonomi yang berbasis
pertanian ke ekonomi yang berbasis industri. Untuk mewujudkan hal tersebut,
pemerintah menggunakan surplus hasil minyak (oil booming) dan menarik
investasi dari luar negeri (UU Penanaman Modal Asing No. I/1967).
Sejarah industri manufaktur Indonesia, dapat dikatakan baru dimulai pada
46
era dimana harga minyak tinggi untuk pertama kalinya, yaitu sekitar tahun 1970.
Sektor industri pada saat itu masih sangat terbelakang. Dari 14 negara di Asia
Timur dan Asia Selatan, Indonesia adalah negara kedua yang paling tertinggal
dalam hal pembangunan industri setelah Myanmar. Pada tahap awal
perkembangan ini, industri di Indonesia sebagian besar berupa industri sederhana
yang mengolah produk pertanian. United National Industrial Development
Organization (UNINDO) membagi perkembangan industri Indonesia mejadi tiga
fase, yakni fase stabilisasi dan pembaruan (1965-1975), fase industrialisasi yang
didanai devisa minyak pada era oil bonanza (1975-1981), dan fase industrialisasi
yang dimotori ekspor (1982-1997) (Gitaharie, et.al, 2007).
Industrialisasi Indonesia baru dimulai pada fase kedua melalui kebijakan
inward-looking yang ditekankan pada industri subtitusi impor (ISI), dimana
barang-barang yang diproduksi dapat mengurangi atau meniadakan barang impor.
Pada dasarnya strategi ini mirip dengan strategi perdagangan tertutup (autarky),
yaitu melindungi industri pemula (the infant industry argument) dari pesaing
melalui proteksi baik tarif maupun non-tarif. Proteksi diberikan agar industri
dalam negeri dapat memanfaatkan pasar dalam negeri yang cukup besar sehingga
dalam jangka panjang impor akan berkurang dan industri dapat bersaing di pasar
global. Setelah industri mampu bersaing maka proteksi akan dicabut. Kebijakan
ISI ditujukan untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi melalui proteksi
terhadap sektor industri.
Meningkatnya peranan sektor manufaktur selama tahun 1970-1984
menunjukkan rata-rata di atas 20 persen per tahun. Kondisi ekonomi yang tampak
sehat, ternyata terhambat oleh jatuhnya harga minyak dimana pertumbuhan
ekonomi pada tahun 1984-1989 yang mengalami pelambatan yaitu sekitar 4,1
persen per tahun. Untuk mengatasi keadaan tersebut, pemerintah menerapkan
kebijakan liberalisasi ekonomi yaitu mengganti kebijakan industri substitusi impor
menjadi kebijakan promosi ekspor. Kebijakan promosi ekspor merupakan
kebijakan yang menerapkan ekonomi terbuka (Tambunan, 2010).
Adanya kebijakan liberalisasi ekonomi, ekspor mengalami peningkatan
kembali dan perekonomian tumbuh dengan pesat. Pada periode 1981-1985 terjadi
penurunan harga minyak, yang berdampak pada investasi, kebijakan pemerintah,
47
Sumber : Departemen Perindustrian (2006) diacu dalam Kuncoro (2007) dan Suplemen Bisnis Indonesia (Selasa, 11 Januari 2011)Gambar 5. Perkembangan Kebijakan Industri Nasional
PeriodeKebijakan
PeriodeRehabilitasi
danStabilisasi
(1967-1972)
Periodeoil boom
(1972-1981)
Periode PenurunanHarga Minyak(1982-1985)
PeriodePenurunan
Harga Minyak(1986-1996)
PeriodeKrisis danPemulihan
(1997-2004)
Pemulihan danPengembangan
(2005-2009)
PrioritasPengembanganIndustri 2011
Pengembangan IndustriSubstitusi Impor
PengembanganindustriSubstitusi impordenganpendalaman &pemantapanstruktur industri
Pengembanganindustri melaluipenguasaanteknologi dibeberapa bidang(pesawat , mesin,perkapalan)
Pengembanganindustrisubstitusi impordenganpendalaman &pemantapanstruktur industri
Pengembanganindustri melaluipenguasaanteknologi dibeberapa bidang(pesawat , mesin,perkapalan)
Pengembanganindustri orientasiekspor
Revitalisasi,konsolidasi,danrestrukturisasiindustri
Revitalisasi,konsolidasi,danrestrukturisasiindustri
Pengembanganindustriberkeunggulankompetitifdenganpendekatankluster
Revitalisasiindustri pupuk
Revitalisasiindustri gula
Pengembangankluster industriberbasis pertaniandan oleokimia
Pengembangankluster industriberbasis migas dankondesat
Pengembangankawasan ekonomikhusus
Orientasi Inward-looking Outward-looking Inward and Outward-looking
KebijakanIndustri
neraca pembayaran dan impor. Selanjutnya pemerintah menempuh kebijakan
liberalisasi ekonomi dengan mempromosikan ekspor komoditi lain selain minyak
atau produk non migas. Dalam mengganti kehilangan penerimaan dari minyak
yang cukup besar, pemerintah melakukan devaluasi rupiah (26 persen pada tahun
1983 dan 45 persen pada tahun 1986). Kebijakan pemerintah tersebut dapat
meningkatkan ekspor non migas.
Pada tingkat makro selama periode 1983-1988, pemerintah menerapkan
deregulasi sektor moneter dengan membuat kebijakan deregulasi perbankan dan
keuangan. Hasilnya banyak didirikan bank baru dan pemberian kredit meningkat.
Anjloknya harga minyak dunia yang paling rendah terjadi pada tahun 1983.
Keadaan ini memaksa pemerintah melakukan penyesuaian dalam hal kebijakan
pajak dan moneter pada tahun 1984, sehingga mampu meningkatkan kembali
masuknya investasi asing. Perubahan strategi industri substitusi impor (1970-
1983) ke strategi promosi ekspor (1985) diakui sebagai langkah yang tepat dalam
menghadapi krisis harga minyak yang semakin memburuk. Perubahan-perubahan
mendasar di berbagai sektor seperti pinjaman lunak untuk kegiatan ekspor,
penerapan kebijakan liberalisasi untuk menarik investasi asing, devaluasi rupiah,
serta pengurangan aturan yang membebani swasta (debureaucratization package)
merupakan kebijakan pengurangan proteksi sekaligus pintu bagi sistem ekonomi
terbuka (Tambunan, 2010).
Krisis ekonomi tahun 1997 memberikan dampak yang cukup besar pada
sektor industri. Hal ini menyebabkan pemerintah menempuh kebijakan industri
yang berorientasi pada inward dan outward looking dalam rangka pemulihan
sektor industri. Strategi yang dilakukan pemerintah untuk mengatasi krisis ini
adalah revitalisasi, konsolidasi dan restrukturisasi industri. Tahun 2005-2009
pemerintah fokus pada pemulihan dan pengembangan perekonomian. Salah satu
prioritasnya adalah mengembangkan industri yang mempunyai keunggulan
kompetitif dengan pendekatan kluster (Kuncoro 2007).
Adapun prioritas pemerintah dalam hal pengembangan sektor industri pada
tahun 2011, masih fokus pada revitalisasi industri yaitu industri gula dan pupuk,
pengembangan klaster industri dan pengembangan kawasan ekonomi khusus.
Selain itu, untuk mendorong tumbuhnya sektor industri pemerintah menyiapkan
49
paket insentif dan disinsentif untuk pengembangan industri prioritas. Kebijakan
insentif yang dipersiapkan pemerintah yaitu tax allowance, tax holiday,
kemudahan kredit, pembebasan PPnBM, pembebasan bea masuk barang modal,
bahan baku dan komponen untuk peningkatan daya saing industri pertumbuhan
tinggi.3
Uraian diatas menggambarkan dukungan pemerintah yang cukup banyak
terhadap perkembangan industri di Indonesia. Pembangunan dan pengembangan
industri terutama sektor manufaktur diharapkan meningkatkan pertumbuhan
ekonomi yang pada akhirnya dapat meningkatkan standar hidup masyarakat
Indonesia.
4.2 Perkembangan Ekspor dan Impor di Indonesia
Perekonomian Indonesia sampai saat ini masih sangat tergantung pada
ekspor migas, karena sektor migas masih mempunyai peran penting sebagai
surplus bagi neraca perdagangan luar negeri Indonesia. Hal ini terlihat dari rata-
rata neraca perdagangan (diukur dengan ekspor dikurangi impor) terhadap PDB
selama periode 2000-2009. Selama periode tersebut rata-rata neraca perdagangan
dengan migas sebesar 1,59 persen, lebih tinggi dibanding tanpa migas yaitu
sebesar 1,36 persen (Tabel 7).
Tabel 7. Neraca Perdagangan Migas dan Tanpa Migas, Tahun 2000 – 2009
Termasuk Migas Tanpa MigasRasio Neraca
Perdagangan TerhadapPDBTahun
Ekspor Impor Ekspor ImporTermasuk
MigasTanpaMigas
2000 62.124,00 33.514,80 47.757,40 27.495,30 2,06 1,46
2001 56.320,90 30.962,10 43.684,60 25.490,30 1,76 1,26
2002 57.158,80 31.288,90 45.046,10 24.763,10 1,72 1,35
2003 61.058,20 32.550,70 47.406,80 24.939,80 1,81 1,42
2004 71.584,60 46.524,50 55.939,30 34.792,50 1,51 1,28
2005 85.660,00 57.700,90 66.428,40 40.243,20 1,60 1,50
2006 100.798,60 61.065,50 79.589,10 42.102,60 2,15 2,03
2007 114.100,90 74.473,40 92.012,30 52.540,60 2,02 2,01
2008 137.020,50 129.197,30 107.894,20 98.644,40 0,38 0,44
2009 116.510,00 96.829,20 97.491,70 77.848,50 0,90 0,90Sumber : Badan Pusat Statistik, diolah3 Suplemen Bisnis Indonesia, ”Iming – iming itu bernama insentif”, 11 Januari 2011
50
Dapat dikatakan bahwa sejak berakhirnya oil boom pada awal dekade 80-an,
pemerintah Indonesia berusaha mengurangi ketergantungan ekonomi nasional
pada migas, termasuk di dalam perdagangan luar negeri, khususnya ekspor. Sejak
saat itu, pemerintah merubah kebijakan industrialisasinya dari substitusi impor ke
promosi ekspor, khususnya ekspor produk-produk industri. Akan tetapi beberapa
tahun terakhir kinerja ekspor Indonesia mengalami penurunan. Hal ini terlihat dari
laju pertumbuhan ekspor baik manufaktur maupun non manufaktur mengalami
pertumbuhan yang negatif. Bahkan ekspor produk-produk industri manufaktur
mengalami pertumbuhan yang negatif pada tahun 2009 yaitu sebesar -11,87
persen. Adanya krisis global pada 2008 turut memperburuk kinerja ekspor
Indonesia (Tabel 8).
Tabel 8. Perkembangan Ekspor dan Impor Indonesia Tahun 2005 – 2009
TahunUraian
2005 2006 2007 2008 2009Nilai Ekspor (Juta US $)
a. Manufaktur 42.769,20 47.898,70 52.878,40 58.028,30 51.137,50b. Non Manufaktur 42.890,80 52.899,90 61.222,30 78.992,10 65.372,50
Laju Pertumbuhan Eksporc. Manufaktur 13,74 11,99 10,40 9,74 -11,87d. Non Manufaktur 26,21 23,34 15,73 29,03 -17,24
Nilai Impor (Juta US $) a. Manufaktur 32.495,20 33.394,90 40.704,40 82.600,80 64.949,50 b. Non Manufaktur 25.132,90 27.584,80 33.685,60 46.469,10 31.765,70Laju Pertumbuhan Impor c. Manufaktur 19,61 2,77 21,89 102,93 -21,37 d. Non Manufaktur 30,32 9,76 22,12 37,95 -31,64
Sumber: Badan Pusat Statistik, diolah
Dampak adanya krisis 2008 yang memengaruhi kinerja ekspor Indonesia
menyebabkan neraca perdagangan Indonesia mengalami penurunan dalam
beberapa tahun terakhir. Penyebab utama dari menurunnya kinerja ekspor
Indonesia dikarenakan semakin menurunnya ekspor manufaktur Indonesia
sehingga neraca perdagangan manufaktur menjadi defisit. Pada tahun 2008,
neraca perdagangan manufaktur Indonesia defisit sebesar US $ 24.572,5 juta.
Akan tetapi pada tahun 2009, neraca perdagangan manufaktur mengalami
peningkatan walaupun masih defisit sebesar US $ 13.812,0 juta. Defisitnya neraca
51
perdagangan manufaktur menyebabkan neraca perdagangan ekonomi Indonesia
secara keseluruhan pada beberapa tahun terakhir menjadi menurun. Walaupun
pada tahun 2009 mengalami sedikit peningkatan dari tahun sebelumnya yaitu
sebesar US $ 19.740,80 juta (Tabel 9).
Tabel 9. Neraca Perdagangan Indonesia (Juta US $), Tahun 2005 – 2009
TahunUraian
2005 2006 2007 2008 2009Neraca PerdaganganManufaktur
10.274,00 14.503,80 12.174,00 -24.572,50 -13.812,00
Neraca PerdaganganNon Manufaktur
17.757,90 25.315,10 27.536,70 32.523,00 33.606,80
Neraca Perdagangan(Trade Balance)
28.031,90 39.818,90 39.710,70 7.950,50 19.794,80
Sumber : Badan Pusat Statistik, diolah
Wie (2006) mengungkapkan bahwa kinerja ekspor hasil-hasil industri
Indonesia sejak krisis ekonomi masih belum menggembirakan dan hal ini lebih
banyak disebabkan oleh faktor internal (masalah dalam negeri) dibandingkan
perkembangan faktor eksternal (pertumbuhan perdagangan dunia) yang kurang
menguntungkan.
0
20
40
60
80
100
120
140
NA
D
Su
mu
t
Su
mb
ar
Riau
Jamb
i
Su
msel
Ben
gk
ulu
Lam
pu
ng
DK
I
Jabar
Jateng
DIY
Jatim
Bali
NT
B
NT
T
Kalb
ar
Kalten
g
Kalsel
Kaltim
Su
lut
Su
lteng
Su
lsel
Su
ltra
Malu
ku
Pap
ua
-15
-10
-5
0
5
10
15
20
Impor Ekspor
Sumber : Badan Pusat Statistik, diolah
Gambar 6. Rata-rata Pertumbuhan Ekspor – Impor menurut Provinsi,Tahun 2001 – 2009
Selama periode 2001-2009, rata-rata pertumbuhan ekspor maupun impor di
tingkat provinsi mengalami kecenderungan menurun. Rata-rata pertumbuhan
ekspor selama periode tersebut sebesar 5,12 persen turun menjadi -1,17 persen.
52
Sedangkan rata-rata pertumbuhan impor selama periode tersebut, mengalami
penurunan dari 7,01 persen menjadi 2,86 persen. Apabila dilihat rata-rata
pertumbuhan masing-masing provinsi, provinsi Sulawesi Barat mempunyai rata-
rata pertumbuhan ekspor tertinggi (17,29 persen) dan provinsi Nanggroe Aceh
Darussalam mempunyai rata-rata pertumbuhan ekspor yang terendah (-9,99
persen). Selain itu provinsi Nanggroe Aceh Darussalam mempunyai rata-rata
pertumbuhan impor tertinggi yaitu sebesar 126,64 persen. Adapun provinsi Jawa
Barat merupakan wilayah dengan rata-rata pertumbuhan impor terendah (Gambar
6).
Tabel 10. Impor Menurut Golongan Penggunaan Barang, Tahun 2000 – 2009
TAHUN Konsumsi Bahan Baku Barang Modal2000 8,11 77,63 14,252001 7,27 77,12 15,602002 8,47 77,43 14,102003 8,79 78,33 12,882004 8,14 77,82 14,042005 8,01 77,63 14,362006 7,76 77,25 14,992007 8,78 75,85 15,372008 6,43 77,01 16,562009 6,97 71,92 21,11
Sumber : Badan Pusat Statistik , diolah
Apabila dilihat dari struktur impor non migas, Indonesia masih sangat
tergantung pada impor barang-barang konsumsi dan industri (khususnya barang-
barang modal) dan bahan baku serta penolong. Hal ini mencerminkan bahwa
selama ini usaha pemerintah dalam industrialisasi belum berhasil mengurangi
ketergantungan Indonesia terhadap impor atas produk-produk tersebut. Terlihat
pada Tabel 10, bahwa impor bahan baku dan penolong serta barang modal
mempunyai porsi yang terbesar dibandingkan impor barang konsumsi. Selama
periode 2000-2009, rata-rata impor bahan baku sebesar 76,80 persen, impor
barang modal sebesar 15,33 persen, dan impor barang konsumsi sebesar 7,87
persen. Sedangkan rata-rata pertumbuhan impor bahan baku sebesar 15,04 persen,
impor barang modal sebesar 20,90 persen, dan impor barang konsumsi sebesar
12,41 persen selama periode 2001-2009. Ketergantungan Indonesia terhadap
impor barang modal dan bahan baku mencerminkan bahwa industri pendukung
53
(middlestream) di Indonesia belum berkembang. Semakin ironis ketika bahan
baku yang di impor Indonesia dalam bentuk sudah diolah setengah jadi
merupakan bahan baku utama industri dalam negeri (Tambunan, 2006). Disisi lain
dengan masih besarnya ketergantungan industri di Indonesia terhadap input
impor, pada saat impor bahan baku dan barang modal menurun merupakan
indikasi bahwa sektor industri di Indonesia sedang mengalami penurunan kinerja.
Sektor manufaktur Indonesia mempunyai ketergantungan yang tinggi
terhadap input impor. Hal ini mengindikasikan lemahnya keterkaitan industri
dalam negeri. Selain itu, industri manufaktur terkonsentrasi di kota-kota besar
terutama wilayah Jawa. Keadaan ini akan berdampak pada ketimpangan
pendapatan regional dan menyebabkan urbanisasi.
Selama ini pemerintah telah banyak melakukan usaha untuk meningkatkan
daya saing ekspor Indonesia dengan membentuk Badan Ekspor Impor Indonesia.
Akan tetapi, efektivitas langkah yang dilakukan pemerintah selama ini dalam
upaya meningkatkan ekspor ternyata belum menyentuh akar permasalahan yang
dihadapi oleh para eksportir Indonesia. Menurut Word Bank (2004), penyebab
utama lambannnya pertumbuhan ekspor adalah:
1. Daya saing biaya (cost competitiveness) yang merosot akibat apresiasi rupiah
dan inflasi yang lebih tinggi dibanding inflasi mitra dagangnya. Menurut
International Moneter Fund (IMF), biaya satuan pekerja di Indonesia saat ini
35 persen lebih tinggi dibandingkan sebelum krisis. Daya saing biaya dari
industri-industri manufaktur Indonesia disebabkan oleh biaya transaksi
domestik yang besar di Indonesia.
2. Investasi yang menurun. Iklim usaha Indonesia yang buruk menghambat
pertumbuhan ekspor karena tidak bisa menarik investasi asing yang sebelum
krisis justru merupakan pelaku utama dalam mendorong ekspor non migas,
termasuk hasil-hasil industri. Langkanya investasi asing mengakibatkan tidak
adanya penambahan kapasitas produksi, peremajaan mesin-mesin, perluasan
jenis produk (diversifikasi) dan peningkatan mutu barang. Pengalaman
pemerintahan orde baru menunjukkan betapa pentingnya investasi asing, yaitu
PMA dalam peningkatan ekspor non-migas, khususnya ekspor hasil-hasil
industri. Lonjakan ekspor yang menakjubkan dari China dalam 10 tahun
54
terakhir sebagian besar disebabkan oleh kegiatan yang berorientasi ekspor dari
PMA di negara tersebut.
3. Persaingan internasional semakin tajam. China dan Vietnam merupakan
pesaing yang kuat bagi Indonesia karena kedua negara tersebut bersaing dalam
ekspor hasil-hasil industri padat karya yang sama dengan Indonesia. Misalnya
industri tekstil, garmen, dan alas kaki, yang pada kenyataannya tumbuh lebih
pesat dibanding ekspor Indonesia (Pangestu, 2005).
4. Fasilitasi perdagangan yang lemah. Berbagai hambatan di pelabuhan dan
prasarana fisik merupakan salah satu faktor utama yang menambah biaya
ekspor. Meskipun tarif penggunaan pelabuhan Indonesia relatif rendah, namun
hampir semua ekspor Indonesia dalam kontainer disalurkan (transshippedi)
melalui Singapura atau Malaysia. Hal ini dikarenakan Indonesia tidak
mempunyai pelabuhan pendukung dan rendahnya efisiensi pelabuhan
Indonesia.
4.3 Tingkat Keterbukaan Ekonomi (Openness) di Indonesia
Pada akhir abad 19, aliran barang, modal, dan informasi lintas batas negara
telah menciptakan suatu dinamika yang sangat kuat bagi terjalinnya integrasi
global. Namun meletusnya perang dunia pertama yang diikuti dengan terjadinya
depresi hebat (great depression) telah memperlambat proses integrasi dunia.
Proses ini kembali berlanjut secara menyakinkan sejak 25 tahun yang lalu
sebagaimana ditandai oleh kegairahan kegiatan perdagangan, keuangan
internasional serta mobilitas manusia antar negara yang semakin tinggi. Kegiatan
perdagangan merupakan pencetus awal terjadinya proses integrasi global dan
kegiatan perdagangan antar negara telah memperlihatkan transformasi yang jelas,
baik dari sisi komoditas yang diperdagangkan maupun dari sisi negara tujuan
ekspor (UNDP, 2005).
Keterbukaan ekonomi (openness) dapat dipandang sebagai kesempatan atau
peluang untuk mengoptimalkan keuntungan yaitu keuntungan statis maupun
dinamis dari perdagangan luar negeri serta dampak eksternal yang positif dari
penanaman modal asing (Wie, 2002). Menurut UNDP (2005), ada tiga alasan
yang mendorong semakin meningkatnya kegiatan perdagangan antar negara yaitu
55
1) perubahan kebijakan domestik yang dikombinasikan dengan berkembangnya
teknologi, 2) hambatan impor seperti tarif dan investasi asing, semakin berkurang
di negara berkembang, 3) turunnya biaya transportasi, komunikasi, dan teknologi
informasi membuka kesempatan baru.
Oleh sebab itu, semakin terbuka suatu daerah (dalam konteks ekspor dan
impor) maka semakin tinggi pula tingkat investasi serta aliran barang dan jasa
pada daerah tersebut. Hubungan khusus antara sumberdaya tenaga kerja, modal,
dan sumberdaya daerah akan terkoordinasi secara sempurna oleh mekanisme
pasar di mana perdagangan memainkan peran utamanya sebagai multiplier effect
dalam pertumbuhan ekonomi daerah. Pada saat multiplier effect tersebut mulai
tersebar, akan tercipta insentif ekonomi untuk pembentukan investasi baru
(Tambunan, 2010).
Selama periode 2001-2009, rata-rata pertumbuhan openness di tingkat
provinsi mempunyai kecenderungan menurun. Rata-rata pertumbuhan openness di
tingkat provinsi pada tahun 2001 sebesar 1,19 persen turun menjadi -5,25 persen
pada tahun 2009. Pada tahun 2009, openness Indonesia mengalami penurunan dari
tahun sebelumnya yaitu sebesar US $ 266.217,8 juta (0,86 persen) menjadi
sebesar US $ 213.339,2 juta (0,82 persen). Selama periode 2000-2009, tingkat
keterbukaan ekonomi (openness) Indonesia mencapai titik terendah pada tahun
2002 yaitu sebesar US $ 88.447,7 juta (Gambar 7).
0.82
0.73
0.75
0.65
0.70
0.75
0.80
0.85
0.90
2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009
Sumber : Badan Pusat Statistik, diolah
Gambar 7. Tingkat Keterbukaan Ekonomi (Openness) Indonesia, Tahun2000 – 2009
Selama periode 2000-2009, provinsi Kalimantan Timur mempunyai rata-rata
openness tertinggi yaitu sebesar 1,65 persen dan provinsi Sulawesi Tengah
56
merupakan wilayah dengan openness terendah yaitu sebesar 0,27 persen. Provinsi
Kalimantan Timur merupakan provinsi yang relatif terbuka dibandingkan dengan
provinsi lainnya, diikuti oleh provinsi Papua, DKI Jakarta, dan Jawa Tengah
(Gambar 8).
0.000.200.400.600.801.001.201.401.601.80
Su
lTen
g
Su
mb
arM
aluk
u
Ben
gk
ulu
Su
lTra
Su
lSel
NT
BN
AD
KalB
arS
ulU
t
Su
msel
Lam
pu
ng
NT
TS
um
ut
KalT
eng
KalS
el
Bali
DIY
JatimJam
bi
Riau
Jabar
Jateng
DK
IP
apu
a
KalT
im
Sumber : Badan Pusat Statistik, diolah
Gambar 8. Rata-rata Tingkat Keterbukaan Ekonomi (Openness) menurutProvinsi, Tahun 2000 – 2009
Tingkat keterbukaan regional (daerah) sangat berkorelasi dengan investasi
dan pertumbuhan ekonomi. Oleh karena itu, tingkat keterbukaan ekonomi
memberikan ruang terbuka bagi pemerintah daerah untuk tidak melakukan
proteksi terhadap daerahnya yang ditandai dengan perdagangan tertutup. Sebab
semakin tinggi tingkat keterbukaan suatu daerah maka investasi yang masuk
semakin meningkat dan masyarakat semakin sejahtera, dengan ditandai
pertumbuhan ekonomi yang tinggi. Dengan meningkatkan keterbukaan ekonomi,
setiap daerah harus dapat menentukan potensi ekonomi yang dapat memberikan
keuntungan kompetitif bagi daerahnya sehingga mampu menyerap banyak tenaga
kerja.
China merupakan salah satu negara yang cukup berhasil dalam mendorong
kegiatan perdagangan dan investasi berkat komitmennya untuk melakukan
modernisasi dan membuka perekonomian yang mulai dilakukan sejak tahun 1970-
an (Drysdale, 2002). Begitu juga dengan Vietnam, merupakan salah satu negara
yang berhasil dalam memanfaatkan keterbukaan ekonomi dan saat ini berada
dalam tahap transisi menuju ekonomi pasar (market economy). Sejak reformasi
ekonomi yang dilakukan pada tahun 1980-an, Vietnam secara bertahap
57
mengambil manfaat dari kegiatan perdagangan dan investasi.
4.4 Peranan Investasi Asing (Foreign Direct Investment) di Indonesia
Investasi baik domestik maupun asing disinyalir mampu meningkatkan
pertumbuhan ekonomi yang dapat mengurangi pengangguran. Fakta yang terjadi
saat ini, rasio investasi (Pembentukan Modal Tetap Bruto) terhadap PDB di
Indonesia masih sangat kecil. Selama periode 2005-2009, rata-rata rasio investasi
terhadap PDB sebesar 24,38 persen. Sedangkan rata-rata rasio konsumsi terhadap
PDb sebesar 66,13 persen. Oleh karenanya investasi harus didorong, sebab
pemerintah tidak dapat lagi mengandalkan pertumbuhan ekonomi pada konsumsi,
melainkan harus ditopang investasi (Gambar 9).
0%
10%
20%
30%
40%
50%
60%
70%
80%
90%
100%
2005 2006 2007 2008 2009
K onsum s i P M T B E skpor Im por
Sumber : Badan Pusat Statistik, diolah
Gambar 9. Struktur Pembentuk PDB Indonesia (persentase), Tahun 2005 –2009
Dalam konteks pembangunan ekonomi, investasi mempunyai peran penting
dalam memacu pertumbuhan ekonomi. Pada dasarnya investasi baik domestik
maupun asing membutuhkan iklim bisnis yang kondusif. Secara umum, masuknya
aliran investasi sangat tergantung pada investment attractiveness dan iklim
investasi serta iklim bisnis yang mendukung.
Investasi asing (foreign direct investment/FDI) mempunyai peran penting
dalam suatu pembangunan ekonomi, selain membawa unsur teknologi dan modal
ekstra juga karena dalam banyak hal dapat membuka pasar baru bagi suatu
perekonomian. Hal ini berarti kebijakan pemanfaatan pasar global dari pasar lokal
sebagai suatu sumber investasi menjadi sangat strategis dalam menentukan
peningkatan pendapatan. Suatu investasi asing (FDI) tergantung banyak pada tiga
58
hal agar berjalan efektif. Ketiga hal tersebut adalah (1) iklim ekonomi makro yang
stabil baik harga, nilai tukar dan organisasi buruh, (2) kondisi fisik infrastruktur
(jalan, listrik, air bersih, jembatan), dan (3) human research development,
pendidikan, ketrampilan, dan kesehatan. Kualitas dari ketiga hal tersebut akan
menentukan produktivitas investasi termasuk investasi asing (FDI).
Basri dan Patunru (2008) menyimpulkan bahwa rendahnya tingkat investasi
dan lambatnya pertumbuhan ekspor Indonesia disebabkan oleh kendala-kendala di
sisi penawaran yang pada akhirnya bermuara pada apresiasi nilai tukar, ekonomi
biaya tinggi (termasuk kondisi infrastruktur yang buruk, pungutan liar, biaya
logistik), serta perubahan pola investasi dari sektor tradeable (umumnya sektor
komoditi ekstraktif) ke sektor non-tradeable (umumnya sektor konstruksi,
transportasi, dan komunikasi) (Tambunan, 2010).
Tabel 11. Nilai Realisasi Investasi Asing Menurut Sektor, Tahun 2000 - 2009
Nilai Realisasi Investasi AsingTahun
Primer Sekunder Tersier2000 1,17 48,19 50,642001 4,49 62,40 33,122002 3,32 50,87 45,802003 4,65 34,50 60,852004 6,70 60,93 32,372005 4,47 38,22 57,312006 8,89 60,41 30,702007 5,80 45,42 48,792008 2,26 30,36 67,382009 4,28 35,42 60,30
Sumber : Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), diolah
Selama periode 2000-2009, nilai realisasi investasi asing (PMA) mengalami
perkembangan yang fluktuatif. Selain itu, sebagian besar investasi asing
ditanamkan pada sektor tersier (sektor konstruksi, transportasi, dan komunikasi).
Hal ini merupakan salah satu penyebab mengapa sektor sekunder (sektor industri)
cenderung menurun kinerjanya. Selama periode 2000-2009, investasi asing di
sektor tersier sebesar 48,73 persen sedangkan di sektor sekunder sebesar 46,67
persen. Pada tahun 2009, proporsi investasi asing (PMA) di sektor sekunder
sebesar 35,42 persen dan menunjukkan peningkatan dibandingkan tahun 2008
yaitu sebesar 30,36 persen. Sedangkan proporsi investasi asing (PMA) di sektor
59
tersier pada tahun 2009 sebesar 60,29 persen dan mengalami penurunan
dibandingkan tahun 2008 yaitu sebesar 67,38 persen. Walaupun peranan investasi
asing (PMA) di sektor sekunder lebih kecil dibandingkan dengan peranan
investasi asing (PMA) di sektor tersier, tetapi investasi asing (PMA) di sektor
sekunder mengalami peningkatan. Selama periode 2000-2009, laju pertumbuhan
investasi asing (PMA) di sektor sekunder sebesar -54,32 persen meningkat
menjadi 15,15 persen. Hal ini secara tidak langsung menunjukkan bahwa sektor
sekunder mempunyai kinerja yang membaik (Tabel 11).
Kalimantan4.03%
Sulawesi1.22%
Malpapua0.68%Bali Nusa
1.08%
Jawa81.17%
Sumatera11.83%
Sumber : Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), diolah
Gambar 10. Nilai Realisasi Penanaman Modal Asing (PMA) Menurut Pulau,Tahun 2000 – 2009
Pada Gambar 10, terlihat bahwa investor asing lebih senang menanamkan
modalnya di pulau Jawa dibandingkan pulau-pulau lain yang ada di Indonesia.
Pulau Sumatera merupakan pulau kedua yang dilirik oleh investor asing dalam
menanamkan modalnya. Rata-rata proporsi nilai investasi asing selama tahun
2000-2009 di pulau Jawa sebesar 81,17 persen, sedangkan pulau Sumatera sebesar
11,83 persen. Hal ini menunjukkan bahwa pulau-pulau lain masih kurang atraktif
dalam menarik minat investor asing. Apabila dilihat dari rata-rata nilai investasi
asing yang masuk di tingkat provinsi selama periode 2000-2009, investor asing
lebih banyak menanamkan modalnya di provinsi DKI Jakarta (US$ 3.233,04 juta),
Jawa Barat (US$ 2.270,42 juta) dan Jawa Timur (US$ 811,73 juta). Sedangkan
wilayah yang kurang menarik bagi investor asing adalah provinsi Sulawesi
Tenggara (US$ 0,66 juta) dan Sulawesi Tengah (US$ 1,72 juta).
Iklim usaha dan investasi yang selalu mengedepankan isu efisiensi dan
60
efektifitas kinerja daerah dipercaya menjadi faktor utama yang menentukan
tinggi/rendahnya kinerja sektor industri (Tambunan, 2010). Studi World Bank
mengenai persepsi iklim investasi di Indonesia tahun 2007 menemukan bahwa
sampai saat ini sudah terjadi banyak perkembangan positif iklim investasi di
Indonesia. Dari 22 indikator permasalahan investasi yang ditemukan para pelaku
usaha di lapangan, 19 indikator menunjukkan perbaikan dan hanya 3 indikator
(ketersediaan sarana pendukung/infrastruktur, akses keuangan, dan pertanahan)
yang mengalami ”perburukan” kinerja. Hasil tersebut menunjukkan masih banyak
persoalan yang harus dibenahi untuk dapat menarik investor melakukan investasi
di Indonesia.
4.5 Faktor – faktor yang Memengaruhi Deindustrialisasi di Indonesia
Analisis data panel untuk mengestimasi faktor-faktor yang memengaruhi
deindustrialisasi di Indonesia menggunakan data 26 provinsi selama periode
2000-2009. Model yang digunakan dalam penelitian ini merupakan model yang
independen satu sama lain, sehingga untuk meyakinkan bahwa masing-masing
persamaan dapat diestimasi secara terpisah maka perlu dilakukan uji
independence. Uji independence yang digunakan dalam penelitian ini adalah uji
Breusch-Pagan dan correlation matrix.
Hasil uji Breusch-Pagan memperlihatkan bahwa hipotesis nol tidak ditolak,
yang artinya bahwa persamaan 3.19 – 3.21 mempunyai disturbance terms yang
independen (χ2(3) = 3,874; P = 0,275). Matriks korelasi (correlation matrix)
memperlihatkan hasil bahwa persamaan 3.19 dan 3.20 yang melihat efek tidak
langsung (indirect effect model), mempunyai korelasi yang cukup kuat (r =
0,1287). Akan tetapi persamaan utama (3.21) tidak berkorelasi (independen)
dengan persamaan lainnya (r = -0,000 dengan persamaan 3.19 dan r = -0,000
dengan persamaan 3.20). Gabungan hasil dari uji Breusch-Pagan dan matriks
korelasi disturbance terms memperlihatkan bahwa setiap persamaan dapat
dilakukan estimasi secara terpisah.
Pemilihan metode regresi perlu dilakukan sebelum menentukan model
estimasi yang terbaik. Uji hausman dilakukan untuk mengetahui metode regresi
yang terbaik antara metode fixed effects model dan random effects model dalam
61
model estimasi data panel. Statistik uji hausman yang mengikuti distribusi chi
square (χ2) dengan derajat bebas sebanyak jumlah variabel bebas dalam model
digunakan untuk mengetahui metode yang tepat antara fixed effects model dan
random effecst model. Berdasarkan hasil uji hausman diperlihatkan bahwa
random effects model ditolak ( P > χ2 = 0.000 ). Hal ini menunjukkan bahwa fixed
effects model lebih konsisten untuk mengestimasi model yang mempengaruhi
faktor-faktor deindustrialisasi.
Regresi data panel juga harus memenuhi asumsi dasar bahwa estimasi
parameter dalam model regresi harus bersifat BLUE (Best Linier Unbiased
Estimate), yaitu bebas dari heteroskedastisitas dan autokorelasi. Uji wald
digunakan untuk mendeteksi ada tidaknya heteroskedastisitas, dimana hasilnya
menunjukkan ada heteroskedastisitas dalam data yang digunakan (P > χ2 = 0,000).
Untuk mendeteksi adanya autokorelasi, maka dilakukan uji Wooldridge. Hasil dari
Wooldridge test menunjukkan bahwa ada autokorelasi dalam data panel (P > F =
0,1373).
Berdasarkan hasil uji pemilihan metode regresi memberikan kesimpulan
bahwa metode Fixed Effects Model lebih konsisten dan efisien untuk model
estimasi faktor-faktor yang memengaruhi deindustrialisasi di Indonesia. Akan
tetapi dalam data panel yang digunakan ternyata terdapat heteroskedastisitas dan
autokorelasi sehingga keadaan ini perlu diatasi agar diperoleh model yang efisien
tetapi bersifat unbiased dan konsisten. Adanya heteroskedatisitas dan autokorelasi
dalam data panel dapat diatasi dengan menggunakan metode General Least
Square dalam melakukan estimasi. Secara keseluruhan estimasi model yang
digunakan setelah melakukan pemilihan metode regresi dan melihat keberadaan
heteroskedastisitas serta autokorelasi maka metode Fixed Effecst Generalized
Least Square (FE-GLS).
Keakuratan dari estimasi model dapat ditingkatkan dengan melakukan
pemeriksaan akan keberadaan outlier dari data panel. Hasil dari pemeriksaan
ternyata terdapat outlier yang berasal dari variabel pendapatan perkapita untuk
tiga provinsi yaitu provinsi Riau, DKI Jakarta, dan Kalimantan Timur, sehingga
semua data ketiga provinsi tersebut dikeluarkan. Model yang digunakan untuk
mengestimasi faktor-faktor yang memengaruhi deindustrialisasi di Indonesia pada
62
akhirnya menggunakan data panel yang terdiri dari 23 provinsi selama periode
2000 sampai 2009. Metode regresi yang digunakan untuk mengetahui faktor-
faktor yang memengaruhi deindustrialisasi di Indonesia adalah Fixed Effects
General Least Square (FE-GLS).
Tabel 12. Hasil Regresi Panel Data dengan Variabel Dependen RelativeManufacturing Employment
Variabel Independen Domestic Causes(Model 1)
Global Causes(Model 2)
4,16738***PDRB per kapita (NA)
(0,77555)-0,31214***
(PDRB per kapita)2 (NA2)(0,06213)
-0,13651***Pertumbuhan produktivitas (PG)
(0,03363)0,00095**
(Pertumbuhan produktivitas)2 (PG2)(0,00043)
0,05793***Openness (opnguna)
(0,01083)98,22012***
PMA / Foreign Direct Investment(27,70653)
0,07254Human Capital (HC)
(0,04579)-0,03146
Unemployment (Un)(0,08741)
-3,04235 1,41734Konstanta (C)
(2,18360) (1,55316)Wald χ2 46,13 61,11
Sumber: Hasil pengolahan dengan Stata 9.0Keterangan: Angka dalam kurung merupakan nilai standar error. Variabel dependen adalahrelative manufacturing employment. * = P < 0,05 ; ** = P < 0,01 ; *** = P < 0,001
Berdasarkan Tabel 12, berikut ini diberikan ulasan untuk masing-masing
model estimasi faktor-faktor yang memengaruhi deindustrialisasi dengan
memisahkan antara faktor domestik (pendapatan per kapita dan pertumbuhan
produktivitas) serta faktor global (keterbukaan ekonomi dan penanaman modal
asing):
Model 1 : Domestic Causes Deindustrialization
Model pertama merupakan model estimasi untuk melihat faktor domestik yang
diperkirakan memengaruhi deindustrialisasi. Berdasarkan dari hasil estimasi,
diperlihatkan bahwa variabel pendapatan per kapita dan pertumbuhan
63
produktivitas secara statistik signifikan memengaruhi deindustrialisasi.
Variabel pendapatan per kapita menunjukkan hubungan positif, artinya bahwa
peningkatan pendapatan per kapita akan meningkatkan share pekerja
manufaktur. Tetapi kuadrat pendapatan per kapita mempunyai hubungan
negatif, artinya bahwa peningkatan pendapatan per kapita selanjutnya hingga
mencapai tingkat tertentu akan menurunkan share pekerja manufaktur.
Sedangkan pertumbuhan produktivitas mempunyai hubungan yang negatif
tetapi kuadrat pertumbuhan produktivitas mempunyai hubungan yang positif.
Seperti halnya pendapatan per kapita, peningkatan produktivitas pada awalnya
akan menurunkan share pekerja manufaktur. Akan tetapi peningkatan
produktivitas berikutnya akan meningkatkan share pekerja manufaktur. Hal ini
menunjukkan bahwa pendapatan per kapita dan pertumbuhan produktivitas
sektor manufaktur mempunyai hubungan jangka panjang dengan share pekerja
manufaktur.
Model 2 : Global Causes Deindustrialization
Model kedua merupakan model estimasi untuk melihat faktor globalisasi
ekonomi yang diperkirakan memengaruhi deindustrialisasi. Berdasarkan hasil
estimasi dari model kedua, diperoleh bahwa faktor globalisasi ekonomi yang
diwakili dengan tingkat keterbukaan ekonomi (openness) dan investasi asing
langsung (foreign direct investment) – selanjutnya disebut sebagai penanaman
modal asing (PMA) mempunyai hubungan yang positif dan secara signifikan
memengaruhi share pekerja manufaktur (relative manufacturing employment).
Hal ini menandakan bahwa semakin terbuka suatu perekonomian daerah dan
semakin banyak investasi asing masuk maka akan meningkatkan share pekerja
manufaktur. Artinya faktor globalisasi ekonomi yaitu openness dan foreign
direct investment memengaruhi terjadinya deindustrialisasi. Selain itu, variabel
tenaga kerja terampil (human capital) mempunyai hubungan yang positif
walaupun secara statistik tidak signifikan. Sehingga peningkatan jumlah
tenaga kerja terampil akan meningkatkan share pekerja manufaktur.
Sedangkan variabel pengangguran (unemployment) mempunyai hubungan
negatif tetapi tidak signifikan, artinya peningkatan jumlah pengangguran akan
diikuti dengan penurunan share pekerja manufaktur.
64
Sedangkan kedua model estimasi (indirect model) berikut untuk melihat
pengaruh globalisasi ekonomi yang secara tidak langsung diduga memengaruhi
terjadinya deindustrialisasi di Indonesia (Tabel 13).
Model 3
Model 3 (indirect model) merupakan model estimasi untuk melihat hubungan
antara globalisasi ekonomi dengan kesejahteraan daerah (yang didekati dengan
PDRB per kapita). Berdasarkan hasil estimasi diperoleh bahwa variabel
openness dan human capital mempunyai hubungan positif dan signifikan
secara statistik dengan pendapatan per kapita. Hal ini menunjukkan bahwa
peningkatan kedua variabel tersebut maka akan meningkatkan kesejahteraan
(pendapatan per kapita). Adapun variabel investasi asing langsung (PMA) dan
variabel unemployment (pengangguran) mempunyai hubungan positif dengan
pendapatan per kapita akan tetapi tidak signifikan secara statistik. Artinya
bahwa peningkatan investasi dan pengangguran akan menyebabkan
kesejahteraan daerah (pendapatan per kapita) juga meningkat.
Tabel 13. Hasil Estimasi Panel Data untuk Indirect Effect Model
Indirect EffectVariabel Independen
Model 3 (Y1) Model 4 (Y2)
0,02966*** 0,21073***Openness (opnguna)(0,00454) (0,05039)
5,89644 -58,98787PMA / Foreign Direct Investment
(11,62214) (128,86650)
0,09972*** 0,24594Human Capital (HC)
(0,01921) (0,21298)
0,02183 2,10108***Unemployment (Un)
(0,03666) (0,40654)
0,7636 -22,74487**Konstanta (C)
(0,65151) (7,22395)
Wald χ2 70,53 43,91Sumber: Hasil pengolahan dengan Stata 9.0Keterangan: Angka dalam kurung merupakan nilai Standar Error. Variabel dependenmasing-masing adalah Y1= national affluence; Y2= productivity growth. Variabel kontrol
dimasukan ke dalam semua model.* = P < 0,05 ; ** = P < 0,01 ; *** = P < 0,001
65
Model 4
Adapun model 4 (indirect model) merupakan model estimasi yang ingin
melihat hubungan antara pertumbuhan produktivitas dengan globalisasi
ekonomi. Variabel openness dan unemployment mempunyai hubungan yang
positif dan signifikan memengaruhi pertumbuhan produktivitas. Hal ini
memperlihatkan bahwa keterbukaan ekonomi (openness) yang semakin
meningkat menyebabkan peningkatan dalam produktivitas di sektor
manufaktur, artinya sektor manufaktur dapat mencapai efisiensi dalam proses
produksi serta mampu bersaing di pasar global. Dan peningkatan
pengangguran (unemployment) akan menyebabkan produktivitas sektor
manufaktur juga meningkat, artinya bahwa sektor manufaktur lebih banyak
pada aktivitas industri yang padat modal. Misal dengan menerapkan
automation atau labor-saving technologies. Sedangkan variabel human capital
menunjukkan hubungan yang positif tetapi tidak signifikan secara statistik.
Dengan adanya labor-saving technologies maka diperlukan tenaga kerja yang
terampil. Sehingga permintaan akan tenaga kerja tidak terampil menurun,
keadaan ini pada akhirnya menyebabkan terjadinya pengangguran. Adapun
variabel investasi asing (PMA) menunjukkan hubungan yang negatif (tidak
sesuai harapan) dan tidak signifikan secara statistik. Hal ini dapat dijelaskan
dengan menurunnya investasi asing (PMA) yang masuk ke Indonesia. Selain
itu proporsi investasi asing (PMA) yang masuk di sektor sekunder (industri)
lebih kecil dibandingkan proporsi investasi asing (PMA) yang ditanamkan di
sektor tersier (jasa).
Berdasarkan Tabel 14, merupakan model estimasi faktor-faktor yang
memengaruhi deindustrialisasi baik secara langsung maupun tidak langsung
(combined model):
Model 5 : Combined model
Berdasarkan hasil estimasi terhadap model 5 (combined model), diperoleh
bahwa hampir semua variabel independen menunjukkan hasil yang signifikan
secara statistik pada taraf nyata (α) 5 persen dan sejalan dengan penelitian-
penelitian terdahulu (Rowthorn dan Ramaswamy, 1997,1999; Alderson,
66
1997,1999; Saeger, 1997; Kollmeyer, 2009). Hanya variabel human capital
mempunyai hubungan yang positif tetapi tidak signifikan berpengaruh
terhadap relative manufacturing employment. Sedangkan variabel
unemployment (pengangguran) mempunyai hubungan positif tetapi signifikan
pada taraf nyata 5 persen dalam memengaruhi relative manufacturing
employment. Hasil dari estimasi model menunjukkan bahwa globalisasi
ekonomi memengaruhi deindustrialisasi secara langsung dengan besaran
koefisien yang cukup besar.
Tabel 14. Hasil Estimasi Model Faktor-faktor yang MemengaruhiDeindustrialisasi di Indonesia, Tahun 2000–2009
Variabel Independen Combined Model Elastisitas
3,72805***PDRB per kapita (NA)
(0,69528)3,66
-0,31598***(PDRB per kapita)2 (NA2)
(0,05468)-4,9
-0,17660***Pertumbuhan produktivitas (PG)
(0,03035)-0,71
0,00146***(Pertumbuhan produktivitas)2 (PG2)
(0,00036)1,04
0,08957***Openness / (opnguna)
(0,00994)0,84
62,06371**PMA/ Foreign Direct Investment
(24,02833)0,09
0,04541Human Capital (HC)
(0,04265)0,21
0,19477*Unemployment (Un)
(0,08208)0,14
-9,81584***Konstanta (C)
(2,11140)-
Wald χ2 186,98 -Sumber: Hasil pengolahan dengan Stata 9.0Keterangan : Angka dalam kurung merupakan nilai Standar Error.* = P < 0,05 ; ** = P < 0,01 ; *** = P < 0,001
Berikut ini akan diberikan ulasan untuk masing-masing variabel independen
yang memengaruhi relative manufacturing employment berdasarkan pada estimasi
combined model yaitu :
67
a. Pendapatan Per Kapita
Berdasarkan hasil estimasi model 5 (combined model) diperoleh hubungan
non linear antara pendapatan per kapita dengan proporsi pekerja manufaktur
yaitu membentuk kurva U-terbalik (inverted U-shape). Hal ini
mengindikasikan bahwa provinsi-provinsi dengan pendapatan per kapita
rendah dan menengah seiring dengan peningkatan pendapatan per kapita,
akan meningkatkan proporsi pekerja manufaktur. Tetapi pada batas
kemakmuran tertentu penambahan peningkatan pendapatan per kapita akan
menurunkan proporsi pekerja manufaktur. Keadaan ini menandakan bahwa
secara keseluruhan perekonomian di Indonesia mengalami perlambatan
dikarenakan mengalami sejumlah goncangan (shock) dalam sistem
perekonomian. Hasil ini mendukung analisis deskriptif Aswicahyono (2004)
yang menyatakan bahwa terjadinya proses deindustrialisasi di Indonesia
bukanlah dampak dari keberhasilan pembangunan ekonomi melainkan
disebabkan karena adanya sejumlah goncangan (shock) dalam sistem
perekonomian. Berdasarkan hasil penelitian ini, sejumlah guncangan
perekonomian terhadap sistem perekonomian yang mendorong terjadinya
proses deindustrialisasi di Indonesia adalah turunnya investasi asing langsung
(foreign direct investment) dan menurunnya kinerja perdagangan luar negeri.
Langkah penting yang harus dilakukan untuk meningkatkan kembali peranan
sektor manufaktur adalah dengan mengatasi guncangan tersebut sehingga
tidak memperburuk kondisi perekonomian Indonesia. Berdasarkan hasil
estimasi yang diperoleh menunjukkan bahwa beberapa provinsi di Indonesia
selama periode 2000-2009 telah mencapai titik balik (turning point) dalam
pendapatan per kapitanya. Selama periode penelitian, pendapatan per kapita
masing-masing provinsi di Indonesia mencapai turning point sebesar 5,89 juta
per kapita. Pada tahun 2000, terdapat tujuh provinsi yang telah mencapai
turning point yaitu provinsi Jawa Timur, Sumatera Utara, Kalimantan
Tengah, Kalimantan Selatan, Sumatera Selatan, Nangroe Aceh Darussalam
dan Papua. Dibandingkan pada tahun 2000, pada tahun 2009 terdapat dua
belas provinsi yang mencapai turning point, sehingga terdapat lima provinsi
baru yang mencapai turning point yaitu Sulawesi Utara, Sulawesi Tengah,
68
Kalimantan Barat, Jawa Barat, Bali dan Sumatera Barat. Secara keseluruhan
pendapatan per kapita masing-masing provinsi selama tahun 2000-2009 terus
mengalami peningkatan, akan tetapi cukup banyaknya provinsi yang
mencapai turning point menandakan bahwa perekonomian Indonesia secara
keseluruhan mengalami perlambatan. Hal ini terlihat dari hubungan non
linear antara proporsi pekerja sektor manufaktur dengan pendapatan per
kapita (national affluence) yang membentuk kurva U-terbalik (Gambar 11).
0.00
5.00
10.00
15.00
20.00
2.00 4.00 6.00 8.00 10.00 12.00
N A
O bservedQ uadratic
R M E
Sumber: Badan Pusat Statistik, diolah
Gambar 11. Scatter Plot National Affluence dan Relative ManufacturingEmployment, Tahun 2000-2009
b. Pertumbuhan Produktivitas
Seperti halnya pendapatan per kapita, variabel pertumbuhan produktivitas
juga menunjukkan hubungan non linear antara pertumbuhan produktivitas
dengan proporsi pekerja manufaktur dengan membentuk kurva U. Hal ini
mengindikasikan bahwa provinsi-provinsi dengan pertumbuhan produktivitas
sektor manufaktur yang rendah akan menurunkan proporsi pekerja
manufaktur. Akan tetapi seiring dengan peningkatan produktivitas sektor
manufaktur akan meningkatkan proporsi pekerja manufaktur. Relatif cepatnya
69
peningkatan pertumbuhan produktivitas sektor manufaktur berhubungan
dengan peningkatan value added (nilai tambah) sektor manufaktur, sehingga
permintaan akan tenaga kerja sektor manufaktur juga meningkat.
0.00
5.00
10.00
15.00
20.00
0.00 50.00 100.00 150.00
PG
ObservedQuadratic
RM E
Sumber: Badan Pusat Statistik, diolah
Gambar 12. Scatter Plot Productivity Growth dan Relative ManufacturingEmployment, Tahun 2000-2009
Berdasarkan hasil estimasi yang diperoleh menunjukkan bahwa selama
periode 2000-2009 Indonesia telah mencapai titik balik (turning point) dalam
hal pertumbuhan produktivitas. Selama periode penelitian, pertumbuhan
produktivitas masing-masing provinsi di Indonesia mencapai turning point
sebesar 60,49 dan belum ada satupun provinsi yang telah mencapai turning
point produktivitasnya (Gambar 12). Hal ini membuktikan bahwa
produktivitas sektor manufaktur di Indonesia secara keseluruhan masih
rendah yang menyebabkan proporsi pekerja sektor manufaktur juga rendah.
Akan tetapi selama periode tersebut terdapat dua provinsi yang hampir
mencapai turning point produktivitasnya yaitu provinsi Nangroe Aceh
Darussalam sebesar 60,22 pada tahun 2000 dan provinsi Sumatera Selatan
sebesar 55,20 pada tahun 2009.
70
c. Keterbukaan Ekonomi (Openness)
Tingkat keterbukaan ekonomi (openness) yang diukur dengan ekspor
ditambah impor mempunyai hubungan yang positif dan signifikan dengan
proporsi pekerja sektor manufaktur. Nilai elastisitas variabel openness sebesar
0,84. Artinya bahwa peningkatan openness sebesar 1 persen, ceteris paribus
akan meningkatkan proporsi pekerja manufaktur sebesar 0,84 persen.
Keadaan ini menunjukkan bahwa suatu daerah yang lebih terbuka dalam
perekonomiaannya akan lebih baik dibandingkan perekonomian yang
tertutup. Semakin meningkat keterbukaan ekonomi (openness) suatu daerah
atau negara mengindikasikan bahwa kinerja perdagangan daerah atau negara
tersebut meningkat. Dengan meningkatnya kinerja perdagangan terutama
ekspor manufaktur, secara tidak langsung mengindikasikan bahwa produk-
produk manufaktur lokal dapat bersaing. Hal ini secara tidak langsung
menyebabkan proporsi pekerja manufaktur semakin meningkat seiring dengan
meningkatnya demand produk manufaktur.
d. Investasi Asing Langsung (Foreign Direct Investment)
Investasi asing langsung (Foreign Direct Investment) yang didekati dengan
nilai realisasi Penanaman Modal Asing (PMA) mempunyai hubungan yang
positif dan signifikan dengan proporsi pekerja manufaktur. Nilai elastisitas
PMA sebesar 0,09. Hal ini berarti bahwa peningkatan 1 persen pada investasi
asing, ceteris paribus akan meningkatkan proporsi pekerja manufaktur
sebesar 0,09 persen. Sehingga semakin banyak investasi asing yang masuk ke
dalam suatu daerah atau negara, terutama di sektor manufaktur
mengakibatkan proporsi pekerja manufaktur semakin meningkat. Hal ini
menunjukkan bahwa investasi asing yang ditanamkan di sektor manufaktur
memberikan efek yang positif dengan menyerap banyak tenaga kerja.
e. Human Capital
Variabel human capital mempunyai hubungan yang positif dengan proporsi
pekerja manufaktur, akan tetapi tidak signifikan secara statistik. Hal ini
menunjukkan bahwa semakin meningkat ketrampilan tenaga kerja yang
tersedia, maka proporsi pekerja manufaktur semakin meningkat. Artinya
bahwa tenaga kerja yang terampil mampu meningkatkan produktivitas, karena
71
efisiensi dapat tercapai dalam proses produksi sehingga output meningkat.
Oleh karenanya meningkatkan ketrampilan tenaga kerja merupakan salah satu
bentuk investasi jangka panjang.
f. Pengangguran (Unemployment)
Hubungan variabel unemployment (pengangguran) dengan proporsi pekerja
manufaktur menunjukkan hubungan yang positif dan signifikan secara
statistik pada taraf nyata 5 persen. Nilai elastisitas variabel unemployment
sebesar 0,21 artinya bahwa apabila pengangguran meningkat sebesar 1 persen,
ceteris paribus akan meningkatkan proporsi pekerja manufaktur sebesar 0,21
persen. Hasil penelitian ini berbeda dengan penelitian Alderson (1997,1999)
dan Kollmeyer (2009), yang menyimpulkan bahwa peningkatan
pengangguran akan menyebabkan deindustrialisasi di negara-negara maju.
Akan tetapi hasil penelitian ini sejalan dengan hasil penelitian yang dilakukan
Kassem (2010) dengan judul ”Premature Deindustrialization–The Case Of
Colombia”. Penelitian tersebut menyimpulkan bahwa perlambatan kegiatan
perekonomian tidak selalu diterjemahkan dengan pengangguran, karena
peraturan atau hukum yang tidak fleksibel menyebabkan biaya tinggi bagi
perusahaan untuk menyesuaikan perubahan permintaan tenaga kerja terhadap
pengangguran. Bazen dan Thirlwall (1989) menyebutkan bahwa fokus
terhadap pekerja sektor manufaktur sangat berguna untuk melihat peningkatan
pendapatan pada level produktivitas pekerja dan hubungan antara
industrialisasi dan penciptaan tenaga kerja. Sehingga deindustrialisasi positif
tidak menyebabkan bertambahnya pengangguran dan sebaliknya
deindustrialisasi negatif dapat menyebabkan bertambahnya jumlah
pengangguran (Jalilian dan Weiss, 2000). Gambar 13 juga memperkuat
argumen tersebut, bahwa sejak tahun 2004 laju pertumbuhan pengangguran
cenderung mempunyai pola yang sama dengan laju pertumbuhan penyerapan
tenaga kerja di sektor industri. Selama periode 2004-2009, rata-rata
pertumbuhan tenaga kerja di sektor industri sebesar 2,76 persen lebih tinggi
dibandingkan rata-rata pertumbuhan jumlah angkatan kerja (2,44 persen) dan
pengangguran (-1,35 persen). Hal ini menyiratkan bahwa penyerapan tenaga
kerja di sektor industri semakin meningkat akan tetapi peningkatan jumlah
72
tenaga kerja relatif konstan. Selain itu, rata-rata pertumbuhan tenaga kerja
sektor industri informal (3,87 persen) lebih tinggi dibanding rata-rata
pertumbuhan tenaga kerja sektor industri formal (2,76 persen) selama periode
2004-2009.
-20
-10
0
10
20
30
40
2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009
Pengangguran Naker Industri Formal
Naker Total Naker Industri Informal
Sumber : Badan Pusat Statistik, diolah
Gambar 13. Laju Pertumbuhan Angkatan Kerja dan Pengangguran diIndonesia, Tahun 2001 – 2009
26