Download - 141915011 cc-besar

Transcript
Page 1: 141915011 cc-besar

Homework Help https://www.homeworkping.com/

Research Paper helphttps://www.homeworkping.com/

Online Tutoringhttps://www.homeworkping.com/

click here for freelancing tutoring sitesLaporan Kasus Besar

SEORANG LAKI-LAKI 42 TAHUN DENGAN MELENA ET CAUSA

VARISES ESOFAGUS GRADE III, VARISES FUNDUS TIPE II, DENGAN

GAMBARAN HIPERTENSI PORTA, DAN KLINIS SIROSIS HEPATIS ET

CAUSA HEPATITIS B

Oleh:

Muhammad Ibrahim P. G9911112101

Reschita Adityanti G9911112121

Sofina Kusnadi G9911112132

Pembimbing:

1

Page 2: 141915011 cc-besar

dr. P. Kusnanto, SpPD-KGEH

KEPANITERAAN KLINIK BAGIAN ILMU PENYAKIT DALAM

FAKULTAS KEDOKTERAN UNS / RSUD DR. MOEWARDI

SURAKARTA

2013

HALAMAN PENGESAHAN

Laporan Kasus Ilmu Penyakit Dalam

dengan judul :

SEORANG LAKI-LAKI 42 TAHUN DENGAN MELENA ET CAUSA VARISES ES-

OFAGUS GRADE III, VARISES FUNDUS TIPE II, DENGAN GAMBARAN

HIPERTENSI PORTA, DAN KLINIS SIROSIS HEPATIS ET CAUSA HEPATITIS B

Oleh:

Muhammad Ibrahim P. G9911112101

Reschita Adityanti G9911112121

Sofina Kusnadi G9911112132

Tahun 2013

Telah disahkan pada hari , tanggal Februari 2013

Pembimbing

2

Page 3: 141915011 cc-besar

dr. P. Kusnanto, SpPD-KGEH

3

Page 4: 141915011 cc-besar

DAFTAR MASALAH

Nama : Tn. K No. RM : 01047658

No. Problem Tanggal ditemukan

MasalahSelesai Terkontrol Tetap

1.

Melena et causa Varises esofagus grade III, varises

fundus tipe II dengan gambaran

gastropati hipertensi porta

31 Januari 2013 √

2.Klinis sirosis

hepatis et causa hepatitis B

31 Januari 2013 √

4

Page 5: 141915011 cc-besar

LAPORAN KASUS

I. IDENTITAS PASIEN

Nama : Tn. K

Tgl lahir : 17-01-1971

Umur : 42 tahun

Jenis kelamin : laki-laki

Agama : Islam

Pekerjaan : Buruh

Alamat : Bakulan RT/RW 01/1 Wonogiri

No. RM : 01 04 76 58

Tanggal masuk : 30 Januari 2013

Tanggal pemeriksaan : 1 Februari 2013

II. ANAMNESIS

Anamnesis dan pemeriksaan fisik dilakukan pada tanggal 1 Februari 2013 di

bangsal Melati I Kamar I G.

A. Keluhan Utama

Buang air besar berwarna hitam.

B. Riwayat penyakit sekarang

Pasien mengeluh BAB berwarna hitam sejak satu minggu yang lalu.

Frekuensi BAB 2-3 kali per hari. Setiap BAB ± ⅓ gelas belimbing,

konsistensi cair, tidak terdapat lendir. BAB disertai nyeri perut dan perut

terasa sebah. Terdapat keluhan mual tetapi tanpa disertai muntah. Pasien

merasa lemas dan mudah lelah.

Sekitar enam bulan yang lalu, pasien mengeluh BAB konsistensi cair,

tanpa lendir dan darah, selama 2 hari. Frekuensi BAB 4-5 kali per hari,

5

Page 6: 141915011 cc-besar

masing-masing sebanyak ± ½ gelas belimbing. Keluhan ini muncul setelah

pasien makan makanan pedas. Saat itu pasien juga mengeluh nyeri perut,

mual, muntah, serta nafsu makan menurun. Pasien juga mengalami muntah

warna hitam, ketika disiram dengan air, menjadi berwarna merah. Kemudian

pasien mendapat pengobatan di RS Wonogiri dan kondisinya membaik.

Sekitar sepuluh bulan yang lalu, saat pasien bekerja di Tangerang,

pasien mengalami keluhan yang sama yaitu BAB berwarna hitam tanpa

disertai lendir selama satu minggu. Frekuensi BAB 2-3 kali per hari. Setiap

BAB ± ⅓ gelas belimbing, konsistensi cair, tidak terdapat lendir. Lalu, pasien

dirawat di RS Tangerang dan kondisinya membaik.

Sekitar satu setengah tahun yang lalu, pasien mengalami keluhan

yang sama yaitu BAB berwarna hitam tanpa disertai lendir selama 4 hari.

Frekuensi BAB 3-4 kali per hari. Setiap BAB ± ⅓ gelas belimbing,

konsistensi cair, tidak terdapat lendir. Satu hari sebelum keluhan ini muncul,

pasien mengalami demam. Pasien kemudian dibawa ke RS Wonogiri dan

mendapat terapi serta transfusi darah. Setelah Hb normal, pasien

dipulangkan.

.

C. Riwayat penyakit dahulu

1. Riwayat melena : diketahui (+)

2. Riwayat mondok : (+) karena BAB hitam di RS

Wonogiri dan RS swasta di

Tangerang

3. Riwayat sakit gula : disangkal

4. Riwayat sakit jantung : Disangkal

5. Riwayat penyakit ginjal : Disangkal

6. Riwayat sakit asma : Disangkal

7. Riwayat batuk lama : Disangkal

8. Riwayat alergi : Disangkal

9. Riwayat sakit kuning : Disangkal

6

Page 7: 141915011 cc-besar

D. Riwayat penyakit keluarga

1. Riwayat sakit kuning : (+) ayah

2. Riwayat tekanan darah tinggi : disangkal

3. Riwayat DM : disangkal

4. Riwayat Asma : disangkal

5. Riwayat TBC : disangkal

6. Riwayat keganasan : disangkal

E. Riwayat Sosial Ekonomi

Pasien adalah seorang pria dengan satu orang istri, 1 orang anak. Saat

ini pasien bekerja sebagai buruh bangunan. Pasien menggunakan fasilitas

pembayaran secara umum. Sebelum sakit, pasien makan tidak teratur 2-4x

kali sehari dengan nasi, sayur, dan makan lauk pauk daging, telur, ikan, tahu,

tempe, dan minum air putih. Pasien terkadang mengkonsumsi minuman

penambah energi sebelum makan. Pasien memiliki tidak memiliki riwayat

merokok, minum alcohol, minum jamu, minum obat anti nyeri penggunaan

IVDU.

F. Anamnesis Sistem

1. Kepala : Sakit kepala (-), pusing cekot cekot (-),

nggliyer (-), jejas (-) , leher cengeng (-)

2. Mata : Penglihatan kabur (-), pandangan

ganda, (-), pandangan berputar (-), berkunang-

kunang (-), mata kuning (-)

3. Hidung : Pilek (-), mimisan (-), tersumbat (-)

4. Telinga : Pendengaran berkurang (-),

berdenging (-), keluar cairan (-),

darah (-)

7

Page 8: 141915011 cc-besar

5. Mulut : Sariawan (-), luka pada sudut bibir

(-), bibir pecah- pecah (-), gusi

berdarah (-),

mulut kering (-), lidah kotor (-)

6. Leher dan tenggorokan : Sakit menelan (-), suara serak (-),

gatal (-),

7. Sistem respirasi : Sesak napas (-), batuk (-),

dahak cair (-), batuk darah (-),

mengi (-)

8. Sistem kardiovaskuler : Sesak napas (-), nyeri dada

(-), berdebar- debar (-)

9. Sistem gastrointestinal : Mual (-), muntah (-),

muntah darah (-),

perut sebah (+), nyeri perut (+), diare (-),

nyeri ulu hepar (-),

nafsu makan menurun (-), susah berak (-),

berak hitam (+),

BB turun (-)

10. Sistem muskuloskeletal : lemas (+), mudah lelah (+), nyeri otot (-),

nyeri sendi (-), kaku otot (-)

11. Sistem genitourinaria : Sering kencing (-), nyeri saat kencing (-),

keluar darah (-), kencing nanah (-), sulit

memulai kencing (-), warna kencing kuning

pekat (-)

12. Ekstremitas : Atas :Luka (-), ujung jari terasa dingin

(-), kesemutan (-), bengkak(-), sakit

sendi (-),panas (-), berkeringat (-)

Bawah : Luka (-), tremor (-), ujung jari

terasa dingin (-), kesemutan di

kedua kaki (-), sakit sendi (-),

bengkak (-/-) pitting oedem

13. Sistem neuropsikiatri : Kejang (-), gelisah (-), kesemutan (-),

8

Page 9: 141915011 cc-besar

mengigau (-), emosi tidak stabil (-)

14. Sistem Integumentum : Kulit kuning (-), pucat (- ),

gatal (-), bercak hitam di tangan dan kaki (-)

III. PEMERIKSAAN FISIK

Pemeriksaan fisik dilakukan tanggal 1 Februari 2013.

1. Keadaan umum : Tampak sakit ringan,

compos mentis,

gizi kesan cukup

2. Tanda vital : Tekanan darah : 120/ 70

mmHg

Frekuensi napas : 20x/ menit

Nadi : Frekuensi 84x/ menit,

reguler, isi dan tegangan

cukup, equal

Heart rate : 90x/ menit, pulsus defisit (-)

Suhu : 36,7 0C per axiller

3. Status Gizi : BB 65 kg

TB 170 cm

BMI 65/ (1,70)2 = 22,4 kg/m2 kesan berat

badan normoweight.

4. Kulit : Ikterik (-), ekhimosis di kaki (-), turgor (N), kulit

kering di kedua tungkai (-), hematoma di tangan (-).

5. Kepala : Bentuk mesocephal, rambut warna hitam, mudah

rontok(-), mudah dicabut (-), luka (-)

6. Wajah : Moon face (-), atrofi musculus temporalis (-)

oedem (-)

7. Mata : Konjungtiva pucat (+/+), sklera ikterik (-/-),

perdarahan subkonjungtiva (-/-), pupil isokor den-

gan diameter 3mm/3mm, reflek cahaya (+/+)

normal, edema palpebra (-/-), strabismus (-/-),

lensa keruh (-/-)

9

Page 10: 141915011 cc-besar

8. Telinga : Sekret (-/-), darah (-/-), nyeri tekan mastoid (-)

gangguan fungsi pendengaran (-/-)

9. Hidung : Epistaksis (-), napas cuping hidung (-), sekret (-),

fungsi pembau baik

10. Mulut : Sianosis (-), gusi berdarah (-), mukosa basah (+), bibir ker-

ing (-), sariawan (-), pucat (-), lidah kotor (-), tepi lidah

hiperemis (-), lidah tremor (-), papil lidah atropi (-), luka

pada sudut bibir (-), pharyng hiperemis (-), tonsil (T1/T1).

11. Leher : JVP (R+2 cm); trakea di tengah, simetris; KGB tidak

membesar

12. Thoraks : Bentuk normochest, simetris, atrofi musculus pectoralis

(-/-), spider nevi (-), ginecomastia (-), retraksi interkostalis

(-), retraksi supraklavikula (-), pernapasan thorakoabdomi-

nal, sela iga melebar (-), pembesaran kelenjar getah bening

aksilla(-), rambut ketiak rontok (-)

Jantung

Inspeksi : Ictus cordis tidak tampak

Palpasi : Ictus cordis tidak kuat angkat

Perkusi :

Batas kiri atas : SIC II linea parasternalis sinistra

Batas kiri bawah : SIC V 1 cm medial linea mediclavicularis

sinistra

Batas kanan atas : SIC II linea sternalis dextra

Batas kanan bawah : SIC IV linea sternalis dextra

Pinggang jantung : SIC III ±1 cm lateral linea parasternalis sinistra

Kesan : Batas jantung kesan tidak melebar

Auskultasi : Bunyi jantung I-II intensitas murni, reguler, bising (-),

gallop (-).

Pulmo

Inspeksi Statis : Normochest, simetris, sela iga tidak melebar,

10

Page 11: 141915011 cc-besar

iga tidak melebar

Dinamis : Pengembangan dada kanan=kiri simetris, sela

iga tidak melebar, retraksi interkostalis (-),

retraksi supraklavikula (-).

Palpasi Statis : NT (-)

Dinamis : Fremitus raba kanan = kiri

Perkusi Kanan : Sonor

Kiri : Sonor, mulai redup pada batas paru jantung.

Auskultasi Kanan : Suara dasar vesikuler (+), suara tambahan

wheezing (-), ronki basah kasar (-), ronki

basah halus (-)

Kiri : Suara dasar vesikuler (+), suara tambahan

wheezing (-), ronki basah kasar (-), ronki

basah halus (-)

13. Abdomen

Inspeksi : Dinding perut = dinding dada, distensi (-) , venektasi

(-), sikatrik (-), striae (-), vena kolateral (-), hernia

umbilikalis (-)

Auskultasi : Bising usus (+) normal

Perkusi : Timpani, undulasi (+), pekak sisi (-), pekak alih (-),

puddle sign (-),

area troube pekak, ascites (-)

Palpasi : hepar tidak teraba, lien teraba schuffner 2, nyeri

tekan (+) regio hypochondriaca dextra, Murphy

sign (-) bruit (-),bruit (-)

14. Punggung : Kifosis (-), lordosis (-), skoliosis (-), nyeri ketok

kostovertebra (-) bengkak (-).

15. Genitourinaria : Ulkus (-), sekret (-), tanda-tanda radang (-), nyeri tekan

suprapubik (-)

16. Kelenjar getah bening inguinal: KGB inguinal tidak membesar

17. Ekstremitas :

11

Page 12: 141915011 cc-besar

Atas : kanan = kiri simetris, ruam (-), nyeri tekan (-), deformitas (-),

inflamasi (-), luka (-), kuku sendok (-), jari tabuh (-), sianosis (-),

ikterik (-) krepitasi (-), telapak warna jerami (-), kulit kering (-),

Bawah :

kanan : ruam (-), nyeri tekan (-), deformitas (-), inflamasi (-), luka

(-), sianosis (-), ikterik (-), krepitasi (-), kulit kering (-),

callus (-)

kiri : ruam (-), nyeri tekan (-), deformitas (-), inflamasi (-), luka

(-), sianosis (-), ikterik (-), krepitasi (-), kulit kering (-),

callus (-)

Akral dingin Oedema

IV. PEMERIKSAAN PENUNJANG

A. Laboratorium Darah

30/01/13 31/01/13 Satuan Nilai RujukanDARAH RUTIN

Hb 9.4 9.6 gr/dl Lk : 13.5-18.0Pr : 12.0-16.0

Hct 31 32 % 33-45AE 4.17 4.39 106/Ul 4.50 – 5.90

AL 2.9 2.8 103/Ul 4.5-11

AT 63 53 103/Ul 150-440

Gol darah B

PT 16.7 detik 10.0-15.0APTT 33.4 detik 20.0-40.0INR 1.440

INDEKS ERITROSITMCV 72.0 /um 80.0-96.0MCH 21.8 pg 28.0-33.0

MCHC 30.2 g/dl 33.0-36.0RDW 22.7 % 11.6-14.6HDW 4.1 g/dl 2.2-3.2MPV 5.8 fl 7.2-11.1

12

- -

- -

Page 13: 141915011 cc-besar

PDW 24 % 25-65HITUNG JENIS

Eosinofil 3.80 % 0.00-4.00Basofil 0.40 % 0.00-2.00Netrofil 57.60 % 55.00-80.00Limfosit 25.50 % 22.00-44.00Monosit 7.00 % 0.00-7.00

LUC 4.00 % -KIMIA KLINIK

GDS 122 mg/dl 60-140SGOT 34 u/L 0-35SGPT 27 u/L 0-45∂ GT 29 u/L < 55

Protein total 6.9 g /dl 6.4-8.3Albumin 4.3 3.7 mg /dl 3.5-5.2Globulin 3.2 g/dlKreatinin 1.0 mg/dl 0.9-1.3Ureum 35 mg/dl <50

ElektrolitNatrium 139 mmol/L 136-145Kalium 3.3 mmol/L 3.3-5.1Klorida 104 mmol/L 98-106

SEROLOGIHEPATITISHBsAg Reaktif Non reaktif

B. Urine rutin

Urinalisa 31/01/13 Satuan Nilai Rujukan MAKROSKOPIS

Warna KuningKekeruhan clearKIMIA URIN

Ph 6.0 4.5-8.0Berat Jenis 1.020 1.015- 1.025Eritrosit Negatif /ul NegatifLeukosit Negatif /ul NegatifGlukosa Normal mg/dl NormalKeton Negatif mg/dl NegatifUrobilinogen Normal mg/dl NegatifBilirubin Negatif mg/dl NegatifNitrit Negatif NegatifMIKROSKOPIS

Eritrosit 0.7 /ul 0-6.4

13

Page 14: 141915011 cc-besar

Eritrosit 0 /LPB 0-5Leukosit /ul 0-5.8Leukosit 1 /LPB 0-12

Epitel Squamous - /LPB NegatifEpitel Transisional - /LPB NegatifEpitel Bulat - /LPB NegatifSilinderHyaline 0 /LPK 0-3Granulated - /LPK NegatifLeukosit - /LPK NegatifBakteri 54.1 /ul 0.0-2150.0Kristal 0 /ul 0Yeast like cell 0.0 /ul 0Sperma 0.0 /ul 0Konduktivitas 11.2 mg/cm 3-32.0Lain-lain Bakteri (-), Kristal amorf (-)

C. USG (18 Juli 2012)

Hepar : ukuran normal, tepi regular, parenkim homogen,

tak tampak nodul, v. hepatica maupun v. porta

tampak normal.duktus biliaris intra maupun

ekstrahepatal tidak melebar.

Vesika felea : ukuran normal, dinding tak menebal, tak tampak

massa, tak tampak batu maupun sludge

Pankreas : ukuran normal, parenkim homogen, ekogenitas

normal, tak tampak kalsifikasi maupun massa,

v. lienalis tak melebar

Lien : ukuran 16, 7 cm

Aorta : ukuran normal, dinding tak menebal, tak tampak

pembesaran kelenjar getah bening paraaorta

Ginjal kanan : ukuran normal, parenkim tampak normal,

korteks tak menipis, PCS tak melebar, tak

tampak batu

Ginjal kiri : ukuran normal, parenkim tampak normal,

\ korteks tak menipis, PCS tak melebar, tak

tampak batu

Vesika urinaria : dinding tak menebal, tak tampak batu maupun

14

Page 15: 141915011 cc-besar

massa

Prostat : bentuk dan ukuran normal, tak tampak

nodul/kalsifikasi

Tampak cairan bebas intraabdomen.

Kesan :

Splenomegali

Cairan bebas intraabdomen

Tak tampak kelainan pada sonografi intraabdomen

D. ENDOSKOPI (31 Januari 2013)

Hasil pemeriksaan endoskopi:

Esofagus : tampak varises esofagus grade III, LS, BC, RCS.Gaster : mukosa inflamasi dengan gambaran skin snake

appearance, hiperemis fundus, fundus tampak varises fundus tipe II.

Duodenum : mukosa dan himen dalam batas normal.

Hasil pemeriksaan STE:Esofagus : tampak varises esofagus grade III post STE 1

15

Page 16: 141915011 cc-besar

V. RESUME

Pasien mengeluh BAB berwarna hitam sejak satu minggu yang lalu.

Frekuensi BAB 2-3 kali per hari. Setiap BAB ± ⅓ gelas belimbing,

konsistensi cair, tidak terdapat lendir. BAB disertai nyeri perut dan perut

terasa sebah. Terdapat keluhan mual tetapi tanpa disertai muntah. Pasien

merasa lemas dan mudah lelah.

Sekitar enam bulan yang lalu, pasien mengeluh BAB konsistensi cair,

tanpa lendir dan darah, selama 2 hari. Frekuensi BAB 4-5 kali per hari,

masing-masing sebanyak ± ½ gelas belimbing. Keluhan ini muncul setelah

pasien makan makanan pedas. Saat itu pasien juga mengeluh nyeri perut,

mual, muntah, serta nafsu makan menurun. Pasien juga mengalami muntah

warna hitam, ketika disiram dengan air, menjadi berwarna merah.

Sekitar sepuluh bulan yang lalu, saat pasien bekerja di Tangerang,

pasien mengalami keluhan yang sama yaitu BAB berwarna hitam tanpa

disertai lendir selama satu minggu. Frekuensi BAB 2-3 kali per hari. Setiap

BAB ± ⅓ gelas belimbing, konsistensi cair, tidak terdapat lendir. Lalu, pasien

dirawat di RS Tangerang dan kondisinya membaik.

Sekitar satu setengah tahun yang lalu, pasien mengalami keluhan

yang sama yaitu BAB berwarna hitam tanpa disertai lendir selama 4 hari.

Frekuensi BAB 3-4 kali per hari. Setiap BAB ± ⅓ gelas belimbing,

konsistensi cair, tidak terdapat lendir. Sekitar sepuluh bulan yang lalu, saat

pasien bekerja di Tangerang, pasien mengalami keluhan yang sama yaitu

BAB berwarna hitam tanpa disertai lendir selama satu minggu. Frekuensi

BAB 2-3 kali per hari. Setiap BAB ± ⅓ gelas belimbing, konsistensi cair,

tidak terdapat lendir.

16

Page 17: 141915011 cc-besar

Pasien memiliki riwayat kebiasaan minum minuman penambah

energi. Ayah pasien memiliki riwayat menderita penyakit hepatitis.

Pada pemeriksaan fisik didapatkan conjungtiva anemis, undulasi

(+), splenomegali. Pada pemeriksaan laboratorium didapatkan Hb: 9.4 g/dl,

Hct: 31 %, AL: 2.9 ribu/ul,AT: 63 ribu/ul, AE: 4.17 juta/ul, MCV: 72.0/um,

MCH: 21.8 pg, MCHC: 30.2 g/dl, RDW: 22.7%, HDW: 4.1g/dl, MPV: 5.8 fl,

PDW: 24%, PT: 16.7 detik, HbsAg reaktif. Pada pemeriksaan USG

didapatkan splenomegali (ukuran lien 16, 7 cm). Pada pemeriksaan

endoskopi didapatkan tampak varises esofagus grade III, tampak mukosa

inflamasi dengan gambaran skin snake appearance, hiperemis fundus, fundus

tampak varises fundus tipe II. Pada pemeriksaan STE tampak varises

esofagus grade III post STE 1.

VI. DAFTAR ABNORMALITAS

Anamnesis:

1. BAB hitam

2. Nyeri perut

3. Perut terasa sebah

4. Mual

5. Badan lemas dan mudah lelah

6. Riwayat BAB hitam dan muntah darah

7. Riwayat penyakit keluarga: hepatitis (+) ayah pasien

Pemeriksaan fisik:

8. Conjungtiva anemis

9. Lien teraba schuffner 2

10. Nyeri tekan regio hypochondriaca dextra, undulasi (+)

Pemeriksaan penunjang:

10. Hb 9,4 g/dl11. HCT 31 %12. AL 2.9 103/µl

17

Page 18: 141915011 cc-besar

13. AE 4.17 106/µl14. AT 63 103/µl15. MCV 72.0 /µm16. MCH 21.8 pg17. MCHC 30.2 g/dl18. RDW 22.7 %

19. HDW 4.1 g/dl 20. MPV 5.8 fl 21. PDW 24 % 22. PT 16.7 detik 23. HbsAg Reaktif24. Pemeriksaan USG : splenomegali (ukuran lien 16, 7 cm)

25. Pemeriksaan endoskopi: tampak varises esofagus grade III, tampak

mukosa inflamasi dengan gambaran skin snake appearance, hiperemis

fundus, fundus tampak varises fundus tipe II.

26. Pemeriksaan STE tampak varises esofagus grade III post STE 1.

VII. ANALISIS DAN SINTESIS

1.Abnormalitas 1,2,3,4,5,6,25,26 Melena et causa varises esofa-

gus grade III, Varises fundus grade

II, dengan gambaran Gastropati

hipertensi porta

2.Abnormalitas 1,2,3,4,5,6,7,8,10, Klinis sirosis hepatis

11,12,13,14,15,16,17,18,19,20,21,22,24,25,26

VIII. PROBLEM DAN PEMECAHAN MASALAH

1. Melena et causa varises esofagus grade III, varises fundus grade II, den-

gan gambaran gastropati hipertensi porta

Ass: Pasien mengeluh BAB berwarna hitam sejak satu minggu yang lalu.

Frekuensi BAB 2-3 kali per hari. Setiap BAB ± ⅓ gelas belimbing,

konsistensi cair, tidak terdapat lendir. BAB disertai nyeri perut dan

18

Page 19: 141915011 cc-besar

perut terasa sebah. Terdapat keluhan mual tetapi tanpa disertai muntah.

Pasien merasa lemas dan mudah lelah.

Hasil pemeriksaan endoskopi:

Esofagus : tampak varises esofagus grade III, LS, BC, RCS.

Gaster : mukosa inflamasi dengan gambaran skin snake appearance,

hiperemis fundus, fundus tampak varises fundus tipe II.

Duodenum : mukosa dan himen dalam batas normal.

Hasil pemeriksaan STE:

Esofagus : tampak varises esofagus grade III post STE 1

IpDx: Skleroterapi endoskopi

Ip Tx: Bed rest tidak total

Diet hepar rendah lemak 1700 kkal

Infus NaCl 0,9%

Injeksi Ranitidin 50 mg/12 jam

Injeksi vit K/8 jam

Spironolakton 100 mg 1-0-0-0

Propanolol 10 mg 2x1

Lactulac 3xCI

Sulcrafat 3xCI

Skleroterapi endoskopi

IpMx: awasi tanda-tanda perdarahan, endoskopi 3 minggu kemudian

IpEx: Edukasi pasien untuk diet makanan lunak. Edukasi tentang penyakit dan

penjelasan tentang terapinya.

2. Klinis Sirosis Hepatis et causa Hepatitis B

Ass: pasien merasa mudah lelah, lemas, nyeri tekan regio hypochondriaca

kanan, splenomegali, riwayat BAB hitam dan muntah darah berulang,

pemeriksaan USG: ukuran lien 16.7 cm. Riwayat keluarga menderita hepatitis

(+), HbsAg (+). Hb: 9.4 g/dl, Hct: 31 %, AL: 2.9 ribu/ul,AT: 63 ribu/ul, AE:

4.17 juta/ul, MCV: 72.0/um, MCH: 21.8 pg, MCHC: 30.2 g/dl, RDW: 22.7%,

HDW: 4.1g/dl, MPV: 5.8 fl, PDW: 24%, PT: 16.7 detik

19

Page 20: 141915011 cc-besar

IpDx: bilirubin total, bilirubin direk, bilirubin indirek, cek albumin ulang, anti

HbC, GDT, Retikulosit, TIBC, ferritin, SI

Ip Tx:

- Diet hepar rendah lemak

- Curcuma 3x1

- Methioson 1x1

- Asam folat 3x1

- Vit B complex 3x1

IpMx: cek DR3, SGOT/SGPT satu minggu kemudian

IpEx: Edukasi pasien tentang diet, aktivitas yang tidak terlalu melelahkan, dan

istirahat cukup. Edukasi tentang cara penularan penyakit, perlunya vaksinasi,

dan komplikasi penyakit.

20

Page 21: 141915011 cc-besar

PROGRESS NOTE

Tanggal 31 Januari 2013 1 Februari 2013Subyektif Tidak ada keluhan Tidak ada keluhanObyektif KU: compos mentis

T : 100/60Rr : 20x/menitN : 84x/menitSuhu : 36, 3°CMata: CP (+/+), SI(-/-)Leher: JVP(R+2)cm, KGB tidak membesar.Cor: IC tdk tampak, IC tdk kuat angkat, Batas jantung kesan tidak melebar, BJ I-II murni, intensitas normal, reguler, bising (-) Pulmo: Pengembangan dada kanan=kiri, fremitus raba kanan=kiri, sonor/sonor, SDV(+/+), ST(-/-) Abdomen: DP//DD, bising usus (+) normal, undulasi (+) tympani, supel, hepar tidak teraba, lien teraba schuffer 2, nyeri tekan regio hypochondriaca dextraAkral dingin:

_ _

_ _

Oedem:

KU: lemah, CMT : 110/70Rr : 20x/menitN : 80x/menitSuhu : 36,5 °CMata: CP (+/+), SI(-/-)Leher: JVP(R+2)cm, KGB tidak membesar.Cor: IC tdk tampak, IC tdk kuat angkat, Batas jantung kesan tidak melebar, BJ I-II murni, intensitas normal, reguler, bising (-) Pulmo: Pengembangan dada kanan=kiri, fremitus raba kanan=kiri, sonor/sonor, SDV(+/+), ST(-/-) Abdomen: DP//DD, bising usus (+) normal, undulasi (+), tympani, supel, hepar tidak teraba, lien teraba schuffer 2, nyeri tekan regio hypochondriaca dextraAkral dingin:

_ _

_ _

Oedem:

Pemeriksaan Penunjang

terlampir terlampir

Assesment Melena et causa varises esophagus grade III, varises fundus tipe II, dengan gambaran gastropati hipertensi portal

Klinis sirosis hepatis et causa Hepatitis B

Melena et causa varises esophagus grade III, varises fundus tipe II, dengan gam-baran gastropati hipertensi portal

Klinis sirosis hepatis et causa Hepatitis B

Planning - STE- Cek DR2, PT, APTT- Cek urine feses rutin- EKG

- GDT, retikulosit, TIBC, ferritin, SI

21

- -- -

- -- -

Page 22: 141915011 cc-besar

Terapi - Bed rest tidak total- Diet hepar 1700 kkal- Infus NaCl 0,9%- Injeksi Ranitidin 50 mg/12 jam- Injeksi vit K/8 jam- Spironolakton 100 mg 1-0-0-0- Propanolol 10 mg 2x1- Lactulac 3xCI- Sulcrafat 3xCI- Methioson 1x1- Curcuma 1x1- Asam folat 3x1- B complex 3x1- Skleroterapi endoskopi

- Bed rest tidak total- Diet hepar 1700 kkal- Infus NaCl 0,9%- Injeksi Ranitidin 50 mg/12 jam- Injeksi vit K/8 jam- Spironolakton 100 mg 1-0-0-0- Propanolol 10 mg 2x1- Lactulac 3xCI- Sulcrafat 3xCI- Methioson 1x1- Curcuma 1x1- Asam folat 3x1- B complex 3x1

ALUR KETERKAITAN MASALAH

22

Vena porta terjepit dan mengecil

Hipertensi porta

Tekanan vena porta meningkat

Darah tidah dapat melewati vena porta

Collateral system

Varises esofagus

Peradangan portal dan lobular hepar

Sirosis Hepatis

Distorsi arsitektur hepar: fibrosis pada zona porta maupun septa porta

Varises gaster

Perdarahan

Splenomegali

Hipersplenisme Pansitopenia

Page 23: 141915011 cc-besar

TINJAUAN PUSTAKA

A. Hepatitis B1. Definisi

Hepatitis adalah infeksi virus pada hepar yang berhubungan dengan

manifestasi klinis berspektrum luas dari infeksi tanpa gejala, melalui hepatitis ikterik

sampai nekrosis hepar. Hepatitis B merupakan virus DNA yang berkulit gansa yang

berukuran 42 nm. Virus hepatitis B ditularkan melalui darah dan cairan tubuh lainnya,

termasuk semen dan saliva. Virus ini 100 kali lebih infeksius daripada virus HIV, tidak

seperti HIV, virus hepatitis B dapat hidup di luar tubuh manusia pada darah yang

kering lebih dari 1 minggu (Soemoharjo & Gunawan, 2007).

2. Anatomi dan Fungsi Hepar

a.  Anatomi Hepar

Hepar adalah organ terbesar yang terletak di sebelah kanan atas rongga 

perut dibawah diafragma. Beratnya 1.500 gr atau 2,5 % berat  orang badan orang

dewasa normal. 

Pada kondisi hidup berwarna merah tua karena  kaya akan persediaan 

darah.Hepar terbagi menjadi lobus kiri dan lobus kanan yang dipisahkan oleh liga

menfalsiformis. Lobus kanan hepar lebih besar dari lobus kirinya dan mempunyai 

3  bagian utama yaitu : lobus kanan atas, lobus kaudatus, dan lobus kuadratus

(Sloane, 2004).

Hepar disuplai oleh dua pembuluh darah yaitu : 

a. Vena porta hepatika yang berasal dari lambung dan usus, yang kaya akan nutrien

23

Page 24: 141915011 cc-besar

seperti asam amino, monosakarida, vitamin yang larut dalam air, dan mineral.

b. Arteri hepatika, cabang dari arteri kuliaka yang kaya akan oksigen.

Cabang-cabang   pembuluh darah   vena porta  hepatika  dan arteri hepatika

mengalirkan darahnya ke sinusoid. Hematosit menyerap  nutrien, oksigen, dan zat

racun dari darah sinusoid. Di dalam hematosit zat racun akan dinetralkan sedangkan

nutrien akan ditimbun atau dibentuk zat baru, dimana zat tersebut akan disekresikan

ke peredaran darah tubuh.

b. Fungsi Hepar

Hepar merupakan pusat metabolisme tubuh yang mempunyai banyak fungsi 

dan penting untuk mempertahankan hidup. Ada 4 (empat) macam fungsi hepar

yaitu :

a. Fungsi Pembentukan dan Ekskresi Empedu.

Empedu dibentuk oleh hepar. Melalui saluran empedu interlobular yang

terdapat di dalam hepar, empedu yang dihasilkan dialirkan kekantung empedu

untuk disimpan.  

Dalam sehari sekitar 1 liter empedu diekskresikan oleh hepar. Bilirubin

ataupigmen empedu yang dapat menyebabkan warna kuning pada  cairan

tubuh sangat penting sebagai indikator penyakit hepar dan saluran empedu.

b. Fungsi Pertahanan Tubuh

Hepar juga berperan dalam pertahanan tubuh baik berupa detoksifikasi 

maupunfungsi perlindungan. Detoksifikasi dilakukan dengan berbagai proses

dilakukanoleh enzimenzim hepar terhadap zatzat beracun, baik yang masuk  

dari luarmaupunyang dihasilkan oleh tubuh sendiri. 

Dengan proses   detoksifikasi, zat   berbahaya  akan diubah menjadi 

zat yang secara fisiologis tidak aktif.

Fungsi perlindungan  dilakukan  oleh  sel kuffer  yang  berada pada 

dinding sinusoid hepar. 

24

Page 25: 141915011 cc-besar

Dengan cara fagositosis, sel  kuffer  dapat  membersihkan  sebagian

besar kuman yang masuk ke dalam hepar melalui vena porta 

sehingga tidak menyebar keseluruh tubuh.

c. Fungsi Metabolik

Disamping menghasilkan energi dan tenaga, hepar mempunyai peran 

penting pada metabolisme karbohidrat, protein, lemak, dan vitamin.

d. Fungsi Vaskuler

Pada orang dewasa, jumlah aliran darah ke hepar diperkirakan sekitar 

1.200-1.500 cc per menit. 

Darah tersebut berasal dari vena porta  sekitar 1.200 cc dan dari

arteri hepatica sekitar 300 cc.  Bila  terjadi kelemahan  fungsi  jantung  kanan 

Dalam memompa darah,  maka  darah  dari  hepar yang   dialirkan 

ke  jantung  melalui vena hepatica  dan  selanjutnya  masuk  ke  dalam 

vena kava inferior. Akibatnya terjadi pembesaran hepar  karena  bendungan 

pasif oleh darah yang jumlahnya sangat besar. (Sloane, 2004)

3. Etiologi

Virus hepatitis B merupakan kelompok virus DNA dan tergolong dalam family

Hepadnaviridae. Nama family Hepadnaviridae ini disebut demikian karena virus

bersifat hepatotropis dan merupakan virus dengan genom DNA. Virus hepatitis B

tidak bersifat sitopatik (Isselbacher, 2006).

4. Manifestasi Klinis

Gejala berkembang dan muncul antara 30-180 hari setelah terpapar virus.

Awalnya gejala seperti flu biasa. Gejala-gejala yang muncul antara lain :

a. Kehilangan nafsu makan

b. Cepat lelah

c. Mual dan muntah

d. Gatal seluruh tubuh

e. Nyeri abdomen kanan atas

f. Kuning, kulit dan atau sklera

25

Page 26: 141915011 cc-besar

g. Warna urin seperti teh

h. Warna feses lebih pucat

Hepatitis fulminan adalah perkembangan yang lebih berat dari bentuk akut.

Gejalanya:

a. Ketidakseimbangan mental seperti : bingung, letargi, halusinasi (hepatic en-

cephalopati)

b. Keadaan sangat lemah

c. Ikterik

d. Pembengkakan abdomen (Isselbacher, 2006).

5. Diagnosis

Skrining untuk hepatitis B rutin memerlukan pemeriksaan sekurang-kurangnya

2 pertanda serologis. HBsAg adalah pertanda serologis pertama infeksi yang muncul

dan terdapat pada hampir semua orang yang terinfeksi. Kenaikannya sangat

bertepatan dengan mulainya gejala. HBeAg sering muncul selama fase akut dan

menunjukkan status yang sangat infeksius. Karena kadar HBsAg turun sebelum akhir

gejala, antibodi IgM terhadap antigen core hepatitis B (IgM anti HBcAg) juga

diperlukan karena dapat naik awal pasca infeksi dan menetap selama beberapa bulan

sebelum diganti dengan IgG anti-HBcAg, yang menetap selama beberapa tahun. IgM

anti-HBcAg biasanya tidak ada pada infeksi HBV perinatal. Anti-HBcAg adalah satu

pertanda serologis infeksi HBV akut yang paling berharga karena ia muncul hampir

bersamaan dengan HBsAg dan terus kemudian dalam perjalanan penyakit bila HBsAg

telah menghilang. Hanya anti-HBsAg yang ada pada orang-orang yang diimunisasi

dengan vaksin hepatitis B, sedang anti-HBsAg dan anti-HBcAg terdeteksi pada orang

dengan infeksi yang sembuh. (Isselbacher, 2006).

6. Penatalaksanaan

Tatalaksana hepatits B akut tidak membutuhkan terapi antiviral dan prinsipnya

adalah suportif. Pasien dianjurkan beristirahat cukup pada periode simptomatis.

Hepatitis B immunoglobulin (HBIg) dan kortikosteroid tidak efektif. Lamivudin 100

26

Page 27: 141915011 cc-besar

mg/hari dilaporkan dapat digunakan pada hepatitis fulminan akibat eksaserbasi akut

HVB.

Pada HBV kronis, tujuan terapi adalah untuk mengeradikasi infeksi dengan

menjadi normalnya nilai aminotransferase, menghilangnya replikasi virus dengan

terjadinya serokonversi HBeAg menjadi antiHBe dan tidak terdeteksinya HBV-DNA

lagi. Bila respons terapi komplit, akan terjadi pula serokonversi HBsAg menjadi anti

HBs, sehingga sirosis serta karsinoma hepatoseluler dapat dicegah.(Dienstag, 2005)

7. Komplikasi

Hepatitis fulminan akut terjadi lebih sering pada HBV daripada virus hepatitis

lain, dan risiko hepatitis fulminan lebih lanjut naik bila ada infeksi bersama atau

superinfeksi dengan HDV. Mortalitas hepatitis fulminan lebih besar dari 30%.

Transplantasi hepar adalah satu-satunya intervensi efektif.

Infeksi VHB juga dapat menyebabkan hepatitis kronis, yang dapat

menyebabkan sirosis dan karsinoma hepatoseluler primer. Interferon alfa-2b tersedia

untuk pengobatan hepatitis kronis pada orang-orang berumur 18 tahun atau lebih

dengan penyakit hepar kompensata dan replikasi HBV. (Dienstag, 2005)

B. Sirosis Hepatis

1. Definisi

Sirosis hepar adalah penyakit hepar menahun yang difus ditandai dengan

adanya pembentukan jaringan ikat serta nodul. Biasanya dimulai dengan adanya

proses peradangan, nekrosis sel hepar yang luas, pembentukan jaringan ikat dan usaha

regenerasi nodul. Distorsi arsitektur hepar akan menimbulkan perubahan sirkulasi

mikro dan makro menjadi tidak teratur akibat penambahan jaringan ikat dan nodul

tersebut.

2. Patogenesis

27

Page 28: 141915011 cc-besar

Penyebab terbanyak sirosis hepar di Asia Tenggara adalah virus hepatitis B

dan C. Demikian juga di Indonesia, pada penderita sirosis hepar, prevalensi virus

hepatitis B berkisar 21,2 - 46,9 % dan virus hepatitis C 38,7 - 73,9%10-12. Infeksi

virus hepatitis B dan C menimbulkan peradangan sel hepar. Peradangan ini

menyebabkan nekrosis yang meliputi daerah yang luas, terjadi kolaps lobulus hepar

dan ini memacu timbulnya jaringan kolagen. Tingkat awal yang terjadi adalah septa

yang pasif yang dibentuk oleh jaringan retikulum penyangga yang mengalami kolaps

dan kemudian berubah bentuk jadi jaringan parut. Jaringan parut ini dapat

menghubungkan daerah porta yang satu dengan lainnya atau porta dengan sentral

(bridging necrosis). Pada tahap berikut, kerusakan parenkim dan peradangan yang

terjadi pada sel duktulus, sinusoid dan sel-sel retikuloendotelial didalam hepar akan

memacu terjadinya fibrogenesis yang akan menimbulkan septa aktif. Sel limfosit T

dan makrofag juga mungkin berperan dengan sekresi limfokin yang dianggap sebagai

mediator dari fibrogenesis. Septa aktif tersebut akan menjalar menuju kedalam

parenkim hepar dan berakhir di daerah portal. Pembentukan septa tingkat kedua ini

yang sangat menentukan perjalanan progresif sirosis hepar. Pada tingkat yang

bersamaan nekrosis jaringan parenkim akan memacu pula proses regenerasi sel-sel

hepar. Regenerasi yang timbul akan mengganggu pula pembentukan susunan jaringan

ikat tadi. Keadaan ini yaitu fibrogenesis dan regenerasi sel yang terjadi terus menerus

dalam hubungannya dengan peradangan dan perubahan vaskular intrahepatik serta

gangguan kemampuan faal hepar, pada akhirnya menghasilkan susunan hepar yang

dapat dilihat pada sirosis hepar. Walaupun etiologinya berbeda, gambaran histologis

sirosis hepar sama atau hampir sama.

Mekanisme terjadinya sirosis bisa terjadi secara :

a. Mekanik

Dimulai dari kejadian hepatitis viral akut, timbul peradangan luas, nekrosis

luas, dan pembentukan jaringan ikat luas disertai pembentukan nodul regenerasi

oleh sel parenkim hepar yang masih baik. Jadi fibrosis pasca nekrosis adalah

dasar timbulnya sirosis hepar.

b. Imunologis

Hepatitis viral akut menimbulkan peradangan sel hepar, nekrosis bridging

dengan melalui hepatitis kronik agresif diikuti timbulnya sirosis hepar.

Perkembangan dengan cara inimembutuhkan waktu 4 tahun, sel yang

28

Page 29: 141915011 cc-besar

mengandung virus merupakan sumber rangsangan terjadinya proses imunologis

yang berlangsung terus-menerus sampai terjadi kerusakan hepar.

c. Campuran keduanya.

3. Klasifikasi :

Terdiri atas:

a. Etiologi

1) Hepatitis virus tipe B dan C

2) Alkohol

3) Metabolik: penyakit Wilson, DM, hemokromatosis idiopatik, dll

4) Kolestasis kronik

5) Obstruksi aliran vena hepatik

6) Gangguan imunologis: hepatitis lupoid, hepatitis kronik aktif

7) Toksik dan obat

8) Operasi pintas usus halus pada obesitas

9) Malnutrisi

10) Etiologi tanpa diketahui penyebabnya

b. Klasifikasi Morfologi

11) mikronoduler

12) makronuduler

13) campuran

c. Klasifikasi Fungsional

14) kompensasi baik (laten, sirosis dini)

15) Dekompensasi (aktif, disertai kegagalanhepar dan hipertensi portal).

4. Manifestasi Klinis :

a. Keluhan tergantung fase penyakitnya

b. Fase kompensasi sempurna

Pada fase ini pasien tidak mengeluh atau juga bisa keluhan samar-samar

tidak khas seperti pasien tidak merasa bugar/fit, anoreksia, perut kembung, mual,

mencret atau konstipasi, BB turun dan lain sebagainya.

c. Fase Dekompensasi

Pasien sirosis hepar dalam fase ini sudah dapat ditegakkan diagnosisnya

dengan bantuan pemeriksaan klinis, laboratorium dan pemeriksaan penunjang

lainnya. Terutama bila timbul komplikasi kegagalan hepar dan hipertensi portal

29

Page 30: 141915011 cc-besar

dengan manifestasi seperti eritema palmaris, spider nevi, vena kolateral pada

dinding perut, ikterus, edema pretibial dan asites. Ikterus dengan air kemih

berwarna seperti teh pekat mungkin disebabkan proses penyakit yang berlanjut

atau transformasi kearah keganasan hepar, dimana tumor akan menekan saluran

empedu atau terbentuknya trombus saluran empedu intrahepatik. Bisa juga pasien

datang dengan gangguan pembekuan darah seperti perdarahan gusi, epistaksis,

gangguan siklus haid, atau haid berhenti. Kadang-kadang pasien sering mendapat

flu akibat infeksi sekunder atau keadaan aktivitas sirosis itu sendiri.

5. Gambaran Klinis

Gambaran klinis dari sirosis hepar, secara umum disebabkan oleh kegagalan

hepar/hepatoselular dan hipertensi portal.

a. Kegagalan hepar (kegagalan hepatoselular)

Dijumpai gejala subjektif berupa lemah, berat badan menurun,

kembung, mual dan lain-lain. Pada pemeriksaan fisik dijumpai : spider nevi,

eritema palmaris, asites, pertumbuhan rambut yang berkurang, atrofi testis dan

ginekomastia pada pria, ikterus, ensefalopati hepatik, hipoalbuminemia

disertai terbaliknya ratio albumin dan globulin serum.

b. Hipertensi Portal

Hipertensi portal adalah sindroma klinik umum yang berhubungan

dengan penyakit hepar kronik dan mempunyai karakteristik peningkatan

tekanan portal yang patologis. Peningkatan tekanan portal karena peningkatan

resistensi vaskular dan aliran darah portal yang meningkat. Peningkatan

resistensi vaskular karena meningkatnya resistensi intrahepatik dan resistensi

kolateral portosistemik. Tekanan portal normal berkisar antara 5-10 mmHg.

Hipertensi portal timbul bila terdapat kenaikan tekanan dalam sistem portal

yang sifatnya menetap di atas harga normal. Disebut hipertensi portal bila

tekanan portal lebih dari 15 mmHg.

Sirkulasi hiperdinamik pada sirosis hepar :

Hipertensi portal pada sirosis hepar dihubungkan dengan sirkulasi

hiperdinamik yang ditandai dengan penurunan tahanan arterial, vasodilatasi

perifer dan regional. Vasodilatasi yang disertai dengan peningkatan kardiak

indeks dan aliran darah regional. Aliran darah yang hiperkinetik dijumpai pada

daerah splanknik dan sirkulasi sistemik dengan aliran darah ke intestinal,

30

Page 31: 141915011 cc-besar

lambung, limpa dan pankreas meningkat lebih 50% diatas nilai kontrol.

Sirkulasi hiperdinamik splanknik adalah konstribusi yang utama menyebabkan

gejala hipertensi portal. Meskipun sistem kolateral sistemik terbentuk untuk

mengurangi sirkulasi portal akan tetapi komplikasi hipertensi portal masih

dapat terjadi dan yang paling penting adalah timbulnya varises esofagus

perdarahan varises. Sirkulasi hiperdemik tampak pada pasien dengan

ekstremitas hangat, nadi yang kuat, denyut jantung yang cepat, cardiac output

meningkat dan volume darah meningkat. Bila terjadi progesifitas penyakit,

tahanan vaskular semakin menurun : vasodilatasi menjamin perfusi jaringan

yang adekuat, tetapi jika menetap, tekanan arteri yang rendah akan

menyebabkan gangguan sekunder pada ginjal. Ekspansi volume darah ini

dikuti dengan ginjal menahan natrium dan air yang menimbulkan

hiperaldosteronisme sekunder, teraktivasinya sistem saraf simpatis,

meningkatnya sekresi arginin vasopresin yang akhirnya mengurangi aliran

darah ke ginjal.

6. Diagnosa

Diagnosa sirosis hepar ditegakkan berdasarkan pemeriksaan klinis, laboratorium

dan pemeriksaan penunjang lainnya seperti ultrasonografi. Pada stadium kompensasi

sempurna kadang-kadang sangat sulit menegakkan diagnosa sirosis hepar. Pada

stadium dekompensasi kadang tidak sulit menegakkan diagnosis dengan adanya

asites, edema pretibial, splenomegali, vena kolateral, eritema palmaris dan albumin

serum yang menurun. Ultrasonografi merupakan pemeriksaan non invasif, aman dan

mempunyai ketepatan yang tinggi. Needlemann dkk mendapatkan bahwa ketepatan

ultasonografi sekitar 88 %, dan Taylor mendapatkan ketepatan sekitar 93 %,

sedangkan Sujono Hadi dan beberapa peneliti lain mendapatkan ketepatan diagnosa

sirosis hepar dengan ultrasonografi sekitar 88-100%. Gambaran ultrasonografi pada

sirosis hepar tergantung pada berat ringannya penyakit. Diagnosa pasti dari sirosis

hepar ditegakkan melalui pemeriksaan histopatologi (biopsi hepar).

7. Komplikasi :

a. Kegagalan hepar (hepatoseluler):

Kegagalan hepar, timbul spider nevi, eritema palmaris, ascites, hipoalbumin

b. Hipertensi portal :

31

Page 32: 141915011 cc-besar

Hipertensi portal menimbulkan splenomegali, varises esophagus caput

medussae, hemorhoid.

8. Prognosa

Prognosis dari sirosis hepar tergantung dari beberapa hal dan tidak selamanya

buruk. Sampai saat ini yang paling populer dipakai sebagai parameter dalam upaya

menentukan prognostik sirosis hepar adalah kriteria Child yang dikaitkan dengan

kemungkinan menghadapi operasi. Kriteria tersebut sederhana dan dapat dimengerti,

walaupun bila diteliti akan mungkin terjadi tumpang tindih pada tiap faktor pada

kasus yang sama. (Tarigan, 2007).

Angka kematian Child A pada operasi berkisar 10-15 %, Child B 30% dan Child

C diatas 60%2. Kriteria/klasifikasi Child ini tidak hanya digunakan untuk persiapan

operasi, tetapi dapat dimanfaatkan untuk terapi konservatif. Oleh Pugh dan kawan-

kawan, nutrisi pada kriteria Child ini diganti dengan pemanjangan masa protrombin.

Parameter yang diukur pada kriteria Child Pugh dapat dilihat pada tabel dibawah.

Kriteria modifikasi Child Pugh :

Parameter Grade

A(1) B(2) C (3)

Bilirubin serum (mg/dl) < 2,0 2,0 – 3,0 > 3,0

Albumin serum (mg/dl) > 3,5 2,8 – 3,5 < 2,8

Asites - Mudah dikontrol

Sulit dikontrol

Ensefalopati - Minimal Berat/koma

Pemanjangan masa pro-trombin (detik)

< 4 4 - 6 > 6

Grade (Klasifikasi) A bila skor : 5-6Grade (Klasifikasi) B bila skor : 7-9Grade (Klasifikasi) C bila skor : 10-15

C. Pansitopeni

32

Page 33: 141915011 cc-besar

1. Definisi

Pansitopenia adalah menurunnya sel darah merah, sel darah putih dan trombosit.

Penurunan sel darah merah (anemia) ditandai dengan menurunnya tingkat hemoglobin

(>13,5 g/dL pada pria atau >12 g/dL pada wanita) dan hematokrit. Penurunan sel

darah merah (hemoglobin) menyebabkan penurunan jumlah oksigen yang dikirimkan

ke jaringan, biasanya ditandai dengan kelemahan, kelelahan, dispnea, takikardia, ek-

tremitas dingin dan pucat.

Kelainan kedua setelah anemia yaitu leukopenia atau menurunnya jumlah sel

darah putih (leukosit) kurang dari 4500-10000/mm3. Penurunan sel darah putih ini

akan menyebabkan agranulositosis dan akhirnya menekan respon inflamasi. Respon

inflamasi yang tertekan akan menyebabkan infeksi dan penurunan sistem imunitas

fisik dimana dapat menyerang pada selaput lendir, kulit, silia, saluran nafas sehingga

bila selaput lendirnya yang terkena maka akan mngakibatkan ulserasi dan nyeri pada

mulut serta faring, sehingga mengalami kesulitan dalam menelan dan menyebabkan

penurunan masukan diet dalam tubuh.

Kelainan ketiga setelah anemia dan leukopenia yaitu trombositopenia. Trom-

bositopenia didefinisikan sebagai jumlah trombosit di bawah 100.000/mm3. Trom-

bositopenia dapat mengakibatkan ekimosis, petekie, epistaksis, perdarahan saluran

kemih, dan perdarahan saluran cerna. Gejala dari perdarahan saluran cerna adalah

anoreksia, nausea, konstipasi, atau diare dan stomatitis (sariawan pada lidah dan mu-

lut). Perdarahan saluran cerna dapat menyebabkan hematemesis melena (Brunner and

Suddarth, 2002).

2. Etiologi

a. Sindrom kegagalan sumsum tulang

Pengurangan kuantitatif jaringan hematopoietik (defisiensi sumsum tulang)

1) Anemia hipoproliferatif dan aplastik

Anemia Fanconi, Anemia Idiopatik, Infeksi Virus (Hepatitis B, Epstein-

Barr, Sitomegalovirus, Parvovirus), Bakteri (tuberkulosis), Neoplasma

(penyakit hematopoietik klonal, keganasan sekunder, karsinoma, limfoma, sin-

drom mielodisplastik) yang prosesnya ekstensif dimana yang pertama kali

mengalami penekanan adalah produksi sel darah merah dibandingkan jenis sel

lain, toksik (obat kloramfenikol, fenilbutazon, kemoterapim iradiasi), penyakit

autoimun (SLE, artritis reumatoid, pansitopenia autoimun.

2) Penggantian sumsum tulang oleh sel-sel non hematopoietik

33

Page 34: 141915011 cc-besar

Mielofibrosis (idiopatik, sekunder, limfoma dan penyakit granulo-

matosa) adalah penggantian sumsum tulang hematopoietik oleh elemen

jaringan ikat fibrosa. Sindrom ini adalah sekelompok gangguan heterogen den-

gan pertumbuhan klonal, tanpa kendali dan tidak stabil yang ditandai dengan

gangguan pematangan, ketidak-responsivan terhadap terapi vitamin dan besi

standar, dan kecenderungan untuk mengalami leukemia akut. Karena karakter-

istik terakhir inilah penyakit ini dahulu disebut sebagai "sindrom

praleukemik", tetapi hanya sekitar 23% sampai 35% ysng berkembang men-

jadi leukemia akut. Tanda utama penyakit ini adalah hematopoiesis yang tidak

efektif, yang mencakup perkembangan eritroid, perkembangan granulopoietik

dan pembentukan trombosit. Gambaran klinis utama dari penyakit ini adalah

anemia yang tidak responsif terhadap pengobatan hematinik standar (vitamin

dan besi), demam, infeksi berulang, atau mudah berdarah. Splenomegali bi-

asanya bukan tanda sindrom mielodisplastik, namun pasien mungkin datang

dengan gambaran klinisi keadaan hipermetabolik berupa demam dan penu-

runan berat badan, serta gambaran peningkatan pertukaran sel, seperti gout ak-

ibat hiperurisemia atau nyeri tulang karena ekspansi tulang (Ronald A. Sacher,

Richard A. McPherson, )

b. Hematopoiesis yang tidak efektif pada anemia megaloblastik dan sindrom

mielodisplastik.

c. Hemodilusi.

d. Hipersplenisme/Splenomegali.

e. Penyakit autoimun.

3. Terapi

Terapi suportif komprehensif yang bersamaan dengan usaha untuk mengobati

gagal sumsum tulang yang mendasari bila penyebab pansitopenia adalah sindrom

kegagalan sumsum tulang. Terapi utama meliputi penggunaan globulin antithimosit

(ATG), dapat ditambahkan kortikosteroid, siklosporin, transplantasi sumsum tulang

dan penggunaan satu atau lebih faktor penstimulasi-koloni hematopoietik. Bagi pen-

derita dengan donor saudara yang cocok, transplantasi sumsum tulang alogenik

menawarkan kemungkinan kesempatan bertahan hidup jangka panjang sebesar 45-

70%. Risiko yang terkait dengan pendekatan ini meliputi komplikasi segera transplan-

tasi. Karena hanya seperempat sampai sepertiga dari penderita akan mempunyai

donor yang cocok, penggunaan donor terdaftar yang bukan keluarga dan donor kurang

34

Page 35: 141915011 cc-besar

cocok juga telah dicoba dengan berhasil. Alternatif lain, ATG (tanpa transplantasi)

telah menghasilkan respons 45% dan angka ketahanan hidup pada penderita ini (60%)

tidak banyak berbeda dengan penderita yang mengalami transplantasi sumsum tulang.

Penggunaan faktor pertumbuhan hematopoietik, meskipun memberi hasil pada

beberapa penderita, tidak mempunyai dampak besar saat ini, meskipun tetap mungkin

bahwa kombinasi dengan sitokin akan memberi efek lebih besar, paling tidak pada

penderita yang tidak menunjukkan deplesi sel induk yang mencolok. Terapi lain yang

telah digunakan di masa lalu dengan hasil tidak konsisten meliputi androgen, siklofos-

famid, dan plasmaferesis.

4. Komplikasi

Komplikasi utama pansitopenia sangat mencolok terkait dengan risiko per-

darahan yang mengancam kehidupan karena trombositopenia yang lama atau infeksi

karena neutropenia yang menetap. Penderita dengan neutropenia yang menetap karena

gagal sumsum tulang mempunyai risiko tinggi bukan saja untuk infeksi bakteri yang

serius tetapi juga untuk mikosis invasif.

D. Perdarahan Saluran Cerna Bagian Atas

Perdarahan saluran cerna bagian atas (SCBA) adalah perdarahan saluran cerna

proksimal dari ligamentum Treitz, yakni ligamentum yang menggantungkan pars tertium

duodenum ke diafragma dekat dengan flexura lienalis colon. Untuk keperluan klinik

dibedakan perdarahan varises dan non varises, karena antara keduanya terdapat ketidak-

samaan dalam pengelolaan dan prognosisnya. Manifestasi klinik perdarahan saluran

cerna bagian atas bisa beragam tergantung lama, kecepatan, banyak sedikitnya darah

yang hilang, dan apakah perdarahan berlangsung terus menerus atau tidak (Peter &

Dougherty, 2000). PSCA 4 kali lebih sering ditemukan dibanding perdarahan saluran

cerna bagian bawah (Fallah et al., 2000).

Pada perdarahan SCBA, kemungkinan pasien datang dengan:

1. Anemia defisiensi besi akibat perdarahan tersembunyi yang berlangsung lama

2. Hematemesis dan atau melena disertai atau tanpa anemia, dengan atau tanpa gang-

guan hemodinamik, dimana derajat hipovolemi menentukan tingkat kegawatan pasien

(Anderson & Wilson, 1995).

PSCA secara umum dibagi menjadi dua yaitu PSCA karena ruptur varises dan

PSCA bukan karena varises. Pada PSCA karena varises, patofisiologi yang mendasari

adalah meningkatnya tekanan vena porta yang mengakibatkan vena-vena esophagus,

35

Page 36: 141915011 cc-besar

lambung melebar dan juga menyebabkan gastropati. Sedangkan PSCA yang non varises,

melibatkan perdarahan arteriel seperti ulkus dan ruptur mukosa yang dalam, atau per-

darahan vena tekanan rendah seperti pada teleangiektasi dan angioektasis. Dengan anam-

nesis dan pemeriksaan fisik yang seksama dapat menentukan kira-kira lokasi PSCA. Ri-

wayat penyakit hati kronis/ alkohol bisa memperkirakan perdarahan berasal dari gas-

tropati hipertensi portal atau pecahnya varises esophagus. Riwayat pemakaian obat anti

inflamasi non steroid/ obat-obat anti rematik/ penghilang nyeri yang berkaitan dengan

cyclooxygenase-1 yang menurunkan ketahanan mukosa terhadap asam lambung, bisa

menuntun kita ke arah ulkus lambung. Perlu dipertimbangkan juga kemungkinan infeksi

H.Pylori. Ada hubungan yang kuat antara infeksi H.Pylori dengan ulkus duodeni. Kuman

ini merusak ‘mucosal barrier’ dan menyebabkan inflamasi mukosa lambung dan duode-

num serta menyebabkan ulkus dan perdarahan berulang (Stabile & Stamos, 2000).

Perdarahan SCBA sebagian besar disebabkan oleh pecahnya varises esofagus,

pecahnya varises gaster (di kardia atau di fundus). Selain itu, penyebab perdarahan

SCBA lain yang sering dilaporkan adalah gastritis erosif, tukak peptik, gastropati

kongestif, sindroma Mallory-weiss, dan keganasan. Perdarahan SCBA ini biasanya

bervariasi dari hanya anemia dengan perdarahan tersamar yang diketahui pada tes ben-

zidin, klinis melena sampai hematemesis melena masif (Perhimpunan Dokter Spesialis

Penyakit Dalam Indonesia, 2007).

Perdarahan saluran cerna bagian atas (SCBA) yang bermanifestasi sebagai he-

matemesis dan melena akibat varises esofagus dapat ditemukan dalam praktek sehari-

hari dan merupakan salah satu keadaan darurat dalam bidang gastroenterologi.

E. Gastropati Hipertensi Porta

Hipertensi portal didefinisikan sebagai peningkatan tekanan porta yang menetap

di atas nilai normal yaitu 6 sampai 12 cm H2O tanpa memandang penyakit dasarnya.

Mekanisme utama yang menimbulkan hipertensi portal adalah peningkatan resistensi ali-

ran darah melalui hepar. Di samping itu, biasanya terjadi peningkatan aliran arteria

splangnikus. Kedua faktor tersebut mengurangi aliran keluar melalui vena hepatika dan

meningkatkan aliran masuk sehingga menimbulkan beban berlebihan pada sistem portal.

Pembebanan sistem portal ini merangsang timbulnya aliran kolateral guna menghindari

obstruksi hepatik (varises). Tekanan balik pada sistem portal menyebabkan splenomegali

dan bertanggung jawab atas timbulnya asites (Anderson & Wilson, 1995; Sepregi &

36

Page 37: 141915011 cc-besar

Malfertheiner, 2005. Manifestasi klinis yang ditemukan pada hipertensi portal adalah

varises esophagus, asites, hipersplenisme dan ensefalopati (Jong & Sjamsuhidajat, 2005).

Whipple mengusulkan penggolongan hipertensi portal menjadi dua kelompok kli-

nis yaitu yang disebabkan oleh sumbatan intrahepatik dan ekstrahepatik. Sumbatan intra-

hepatik biasanya disebabkan oleh sirosis hepatis. Sumbatan ekstrahepatik meliputi sum-

batan pada vena porta sendiri, vena mesenterika, dan vena lienalis karena sepsis, throm-

bosis, atau trauma didaerah splanknik (Jong & Sjamsuhidajat, 2005). Berikut ini penye-

bab intrahepatik dan ekstrahepatik dari hipertensi porta.

1. Kelainan-kelainan intrahepatik.

a. Virus hepatitis

b. Sirosis portal

c. Sirosis biliaris

d. Tumor primer dan metastatik

e. Parasit :

1) Leishmaniasis donovani (kala azar)

2) Schistosomiasis

3) Fassioliasis hepatika

4) Klonorkhiasis

f. Trombosis dari V. hepatika (penyakit Chiari)

g. Amyloidosis hepatika

2. Kelainan-kelainan ekstrahepatik (Banti’s Syndrom)

a. Infrahepatik

1. Stenosis dari V. porta

a) Aplasia congénita

b) Flebosklerosis

2. Kompresi pada vena

a) Proses inflamasi

b) Kista (mesenterik, pankreatik)

c) Tumor (retroperitoneal, intraperitoneal )

d) Aneurisma arteri (aortik, splenik)

c. Trombosis dari vena

a) Primer, spontan

37

Page 38: 141915011 cc-besar

b) Traumatik

c) Tromboflebitis

d. Fistula arteriovenosa

b. Suprahepatik

3. Dekompensasio kordis

4. Perikarditis konstriktiva

5. Penyebab-penyebab yang tidak diketahui

Saluran kolateral penting yang timbul akibat sirosis dan hipertensi portal yaitu

pada esophagus bagian bawah. Pirau darah melalui saluran ini ke vena kava menye-

babkan dilatasi vena-vena tersebut (varises esophagus). Varises ini terjadi pada sekitar

70% penderita sirosis lanjut. Perdarahan dari varises ini sering menyebabkan kematian

(Anderson & Wilson, 1995). Kolateral yang menjadi varises di submukosa lambung

bagian atas dan esophagus bagian bawah yang mengalirkan darah kedalam vena Azy-

gos yang dapat pecah di salulan cerna bagian atas (Jong & Sjamsuhidajat, 2005).

Sirkulasi kolateral juga melibatkan vena superficial dinding abdomen, dan tim-

bulnya sirkulasi ini mengakibatkan dilatasi vena vena sekitar umbilicus (kaput medusa).

Dilatasi anastomosis antara cabang-cabang vena mesenterika inferior dan vena-vena rec-

tum sering mengakibatkan terjadinya hemoroin interna. Perdarahan dari hemoroid yang

pecah biasanya tidak hebat, karena tekanan tidak setinggi tekanan pada esophagus oleh

karena jarak yang lebih jauh dari vena porta (Anderson & Wilson, 1995; Sepregi &

Malfertheiner, 2005).

F. Varises esophagus

1. Anatomi Esofagus

Esofagus dimulai dari tepi bawah kartilago krikoidea setinggi servikal VI atau

VII dan berakhir pada muaranya di lambung (kardia) setinggi ± 25 cm, sedang

permulaan esofagus dari gigi seri ± 15 cm. Jadi jarak antara kardia denagn gigi seri

orang dewasa ± 40 cm. Bila ditinjau secara anatomis, esofagus mempunyai 3 tempat

penyempitan :

a. Di tepi bawah kartilago krikoidea, yaitu pada permulaan esofagus.

b. Di belakang bifurkatio trakhea. Pada tempat ini esofagus terletak di antara

trakhea, bronkhus dan aorta.

38

Page 39: 141915011 cc-besar

c. Tepat diatas dan didalam hiatos esofagus.

Secara fisiologik, esofagus adalah salah satu bagian dari traktus

gastrointestinal yang aktif dan secara anatomik merupakan bagian yang tergolong

sederhana. Fungsi esofagus terutama untuk penelanan yaitu akan mendorong dan

meneruskan makanan, karena :

a. Kontraksi dari otot-otot yang menyebabkan gelombang-gelombang peristaltik,

terutama terhadap makanan padat.

b. Sebaliknya untuk makanan cair, maka fungsi esofagus adalah meneruskan

makanan cair tersebut, karena gaya berat sendiri (Viswanatha, 2013).

2. Klasifikasi Varises Esofagus

1) Klasifikasi Dagradi

Menurut Dagradi, berdasarkan hasil pemeriksaan esofagoskopi dengan Eder –

Hufford esofagoskop, maka varises esofagus dapat dibagi dalam beberapa tingkatan,

yaitu.

Tingkat 1 : Dengan diameter 2 – 3 mm, terdapat pada submukosa, sukar dilihat

penonjolan ke dalam lumen. Hanya dapat dilihat setelah dilakukan

kompresi.

Tingkat 2 : Mempunyai diameter 2 – 3 mm, masih terdapat di submukosa, mulai

terlihat penonjolan di mukosa tanpa kompresi.

Tingkat 3 : Mempunyai diameter 3 – 4 mm, panjang, dan sudah mulai terlihat

berkelok-kelok, terlihat penonjolan sebagian dengan jelas pada mukosa

lumen.

Tingkat 4 : Dengan diameter 4 – 5 mm, terlihat panjang berkelok – kelok.

Sebagian besar dari varises terlihat nyata pada mukosa lumen.

Tingkat 5 : Mempunyai diameter lebih dari 5 mm, dengan jelas sebagian besar

atau seluruh esofagusnya terlihat penonjolan serta berkelok-keloknya

varises.

Klasifikasi tersebut dimaksudkan untuk ikut menentukan tindakan lebih lanjut

pada hipertensi portal.

2) Klasifikasi Palmer & Brick

39

Page 40: 141915011 cc-besar

Palmer dan Brick menilai bentuk, warna, tekanan dan panjangnya varises

esofagus serta membaginya dalam tingkat ringan, bila diameter varises esofagus

lebih kecil dari 3 mm, tingkat sedang bila diameter varises esofagus 3-6 mm dan

berat bila diameter varises esofagus lebih besar dari 6 mm. Selain itu diukur pula

panjang dan tekanan dalam varises tersebut. Klasifikasi – klasifikasi ini

bermaksud untuk memberikan gambaran yang seragam dari varises esofagus, serta

tanda – tanda yang erat hubungannnya dengan perdarahan varises tersebut.

3) Klasifikasi Omed

1) Besarnya

Besarnya varises esofagus dibagi dalam 4 derajat, yaitu :

a) Penonjolan dalam dinding lumen yang minimal sekali

b) Penonjolan kedalam lumen sampai ¼ lumen dengan pengertian bahwa

esofagus dalam keadaan relaksasi yang maksimal.

c) Penonjolan kedalam lumen sampai setengahnya.

d) Penonjolan kedalam lumen sampai lebih dari setengah dari lumen

esofagus.

2) Bentuknya

Dibedakan 3 macam bentuk varises esofagus, yaitu :

a) Sederhana (simple), ialah penonjolan mukosa yang berwarna kebiru-

biruan dan berkelok-kelok dengan atau tanpa adanya kelainan pada

mukosanya.

b) Penekanan (congested), ialah penonjolan mukosa yang berwarna merah

tua disertai tanda pembengkakan mukosa dan dengan tanda-tanda

perdarahan.

c) Varises yang berdarah, ialah varises yang mengeluarkan darah segar

karena adanya robekan pada permukaan varises tersebut.

3) Varises dengan Stigmata (tanda-tanda perdarahan)

Ialah terdapatnya bekuan atau pigmen darah dipermukaan varises yang

menandakan telah terjadi perdarahan. Klasifikasi Omed ini belum banyak

digunakan meskipun sudah lebih baik daripada klasifikasi Dagradi atau

Palmer & Brick, karena dirasakan tidak praktis.

3. Klasifikasi Perhimpunan Endoskopi Gastrointestinal Jepang

40

Page 41: 141915011 cc-besar

Perhimpunan Endoskopi Gastrointestinal Jepang membuat klasifikasi yang

disebut Endoscopio Diagnosis and Classification of Esophageal Varises in Japan.

Klasifikasi ini didasrkan atas tanda-tanda yang dilihat pada pengamatan

pemeriksaan endoskopi yang dibedakan dalam 4 kategori, yaitu : warna (colour),

tanda warna merah (red colour sign), bentuk (form), dan lokalisasi.

a. Warna

Ialah warna yang dilihat dengan mata pada pengamatan endoskopi, oleh

karena warna pada foto akan berlainan, yang banyak tergantung dri

pencahayaan dan film yang dipakai. Mengenai warna dibedakan atas putih

dan biru (CW dan CB).

b. Tanda warna merah (red colour sign/RCS)

Perubahan warna pada mucosa varises yang selalu menjadi merah merupakan

tanda perdarahan baru atau risiko tinggi untuk terjadinya perdarahan.

Ada 4 sub kategori yang masing-masing adalah :

1) Red Wall Marking (RWM),

Adalah tanda pelebaran pembuluh darah pada dinding varises yang

memanjang dan menyerupai cambuk.

2) Cherry Red Spot (CRS),

Ialah bintik-bintik merah yang banyak dengan diameter lebih dari 2 mm,

terdapat pada dinding varises.

3) Hemato Cystic Spot (HCS),

Ialah tanda warna merah yang lebih besar, lebar dan kistik. Terdapat

pada varises yang besar dan merupakan resiko tinggi untuk terjadinya

perdarahan.

4) Diffuse Redness (DR),

Ialah warna merah yang diffus pada mucosa varises, tidak terdapat

permukaan yang meninggi atau cekung seperti pada esofagitis.

c. Lokalisasi

Biasanya dimulai dari esophagogastric junction yang makin meluas ke

oral. Jadi kebanyakan di 1/3 bagian esofagus sebelah distal.

d. Gejala Klinis

41

Page 42: 141915011 cc-besar

Keluhan yang ditimbulkan oleh varises esofagus sendiri sebetulnya tidak

ada. Yang seringkali terjadi adalah timbulnya perforasi dan terjadi perdarahan

yang masif, yaitu hematemesis dan melena.

Pecahnya varises esofagus dapat terjadi secara spontan tanpa adanya

faktor pencetus, menyebabkan terjadinya hematemesis masif dengan atau

tanpa melena. Kadang-kadang status hemodinamik pasien masih stabil atau

hanya takikardia ringan, namun sering pula sampai terjadi renjatan. Perdarahan

SCBA berbeda dengan perdarahan eksternal yang mudah dilihat/diukur.

Lumen usus mempunyai kemampuan untuk menyimpan volume darah

sebelum keluar melalui muntah atau peranum. Terjadinya hipotensi postural

(10 mmHg atau lebih) menggambarkan bahwa kemungkinan telah terjadi

kehilangan darah sedikitnya 20%. Jika terjadi renjatan, menandakan telah

terjadi kehilangan volume darah sekitar 40%.

Penilaian berkala hemoglobin dan hematokrit dapat membantu kita

mengantisipasi jumlah darah yang akan ditransfusikan. Namun harus diingat

bahwa nilai hematokrit dipengaruhi oleh faktor hemodilusi, sehingga pada

awal perdarahan kurang dapat menggambarkan berapa banyak darah yang

telah hilang.

d. Diagnosis

Pada varises esofagus yang tidak menimbulkan perdarahan, biasanya

tidak memberikan keluhan, sukar dapat dibuat diagnosis dengan pemeriksaan

fisik, oleh karena itu perlu dilakukan pemeriksaan rontgenologik dan

endoskopik. Tidak jarang ditemukan varises esofagus secara kebetulan pada

pemeriksaan rontgenologik atau esofagoskopik. Pada penderita hematemesis

sebagai akibat pecahnya varises esofagus, dapat segera dilakukan pemeriksaan

rontgenologik dan endoskopik, guna menemukan lokalisasi perdarahan dengan

pasti.

1. Rontgenologik

Pemeriksaan rontgen harus dilakukan pada berbagai posisi, dengan

memberikan bubur yang kental. Bila ditemukan adanya efek pengisian bulat-

bulat atau panjang pada 1/3 bagian bawah esofagus, maka merupakan

gambaran dari varises esofagus.

42

Page 43: 141915011 cc-besar

2. Esofagoskopik

Pemeriksaan esofagoskopik lebih banyak membantu menegakkan

diagnosis, akan terlihat varises yang berwarna keabu-abuan atau biru kemerah-

merahan. Demikian pula ditentukan tingkatan klasifikasi dari varises.

Pemeriksaan ini sebaiknya merupakan pemeriksaan rutin pada setiap penderita

dengan hematemesis, apalagi ditemukan endoskop serat optik yang lentur.

G. Varises Gaster

Varises gaster sering terjadi pada bagian kardia dan fundus, terdapat pada 20%

pasien dengan hipertensi portal dan sebagian besar penyebabnya non sirosis. Mereka

berkembang menempati seluruh atau per bagian (sebelah kiri) dari hipertensi portal

sebagai akibat dari trombosis vena splenika.

Walaupun varises gaster angka kejadiannya lebih kecil daripada varises esofagus,

pecahnya varises gaster lebih sulit ditangani daripada varises esofagus, perdarahan pada

varises gaster lebih berat, transfusi harus dilakukan dengan cepat agar tidak mempercepat

kematian, dan pada varises gaster merupakan insiden tertinggi terjadinya perdarahan

ulang. Adapun jumlah prevalensi tertinggi gastro renal shunt, perdarahan varises gaster

dapat terjadi pada tekanan sistem portal bila tekanannya < 12 mmHg dan merupakan

insiden tertinggi terjadinya ensefalopati. Faktor-faktor resiko yang menyebabkan

perdarahan gaster termasuk lokasi fundus, ukuran, red color sign dan beratnya kriteria

Child. Varises gaster sebaiknya diimplikasikan sebagai sumber perdarahan jika darah

yang keluar sifatnya menyembur, dan berupa bekuan, menandakan adanya varises gaster

yang luas, bukan varises esofagus, dan juga bukan dari sumber pardarahan yang lain.

1. Klasifikasi Varises Gaster

Sarin membagi varises gaster berdasarkaan lokasi anatomis, hubungannya

dengan varises esofagus dan pembagian menjadi varises gaster primer dan

sekunder (Sarin & Agarwal, 2001).

A. Gastroesofageal varises

Varises gastroesofageal adalah varises yang melewati gastroesofageal

junction dan selalu berhubungan dengan varises esofagus.

1. Tipe 1 (GOV 1) : Terdapat pada 2 sampai 5 cm dibawah gastroesofageal

junction sepanjang kurvatura minor gaster. Umumnya varises ini ber-

jalan lurus.

43

Page 44: 141915011 cc-besar

2. Tipe 2 (GOV 2) : Varises ini ditemukan berjalan menuju fundus

gaster, berkelok-kelok atau terdapat elevasi noduler pada cardia. Isolated

Gastric Varises

Varises gaster yang ditemukan tanpa adanya varises esofagus,

1. Tipe 1 (IGV 1) : Terdapat pada fundus gaster atau beberapa cm dibawah

cardia

2. Tipe 2 (IGV 2) : Varises ektopik yang ditemukan pada bagian lain

dari gaster misal : anthrum, pylorus, corpus atau duodenum pars I.

Gambar 1. Klasifikasi Varises Gaster menurut Sarin & Agarwal (2001)

Selain sistem klasifikasi Sarin, terdapat pula sistem klasifikasi Hosking dan Johnson (1998),

yaitu sebagai berikut:

Tabel 1. Sistem Klasifikasi Varises Gaster menurut Hosking dan Johnson (1998).

Tipe Deskripsi Tatalaksana

I Varises gaster tampak sebagai perluasan

varises esophagus ke inferior melewati

squamo-columnar junction

Sclerotherapy

injeksi

II Varises gaster berlokasi di fundus,

tetapimeluas ke kardia, pada umumnya

Portosystemic

shunting

44

Page 45: 141915011 cc-besar

berhubungan dengan varises esofagus

III Varises gaster terisolasi pada fundus, pada

umumnya timbul akibat hipertensi porta

sektorial

Splenektomi

2. Patogenesis Varises Gaster

Varises gaster dapat timbul pada pasien dengan hipertensi portal

generalisata (misal pada sirosis) atau segmental (misal pada trombosis V.

Lienalis). Pada hipertensi portal generalisata, tekanan portal disalurkan melalui

Vena Gastrica Sinistra ke Vena esofagus distal dan melalui Vena Gastrica Brevis

dan Posterior ke plexus vena di fundus dan cardia. Pada hipertensi portal

segmental, varises gaster terbentuk tanpa adanya varises esofagus. Umumnya

disebabkan oleh obstruksi Vena Lienalis. Aliran darah akan mengalir retrograd

melalui Vena Gastrica Posterior dan Brevis secara hepatopetal melalui Vena

Coronaria ke Vena porta. Kondisi ini membypass vena di esofagus bagian bawah

(Guadalupe et al., 2007).

Aliran retrograd yang terjadi melalui Vena Gastroepiploica Sinistra ke

Dextra dan juga Vena Mesenterica Superior dapat menerangkan terjadinya

varises ektopik di gaster. Bagaimana rute ini terjadi pada peningkatan tekanan

porta sampai saat ini belum diketahui dengan pasti. Ukuran dan panjang vena

kolateral diperkirakan mempengaruhi timbulnya varises esofagus atau gaster.

Faktor faktor yang mempengaruhi terjadinya perdarahan pada varises gaster

antara lain ukuran varises, adanya bintik kemerahan pada varises fundus, serta

klasifikasi Child (sirosis hepatis) penderita (Guadalupe et al., 2007).

3. Tatalaksana

Pada garis besarnya, penatalaksanaan pasien dengan perdarahan SCBA,

apapun penyebabnya (termasuk perdarahan akibat pecahnya varises esofagus)

terdiri atas penatalaksanaan umum dan penatalaksanaan khusus (Gow &

Chapman, 2001; Sarin et al., 2006).

a. Penatalaksanaan Umum

Penatalaksanaan umum bertujuan untuk sesegera mungkin

memperbaiki keadaan umum dan menstabilkan hemodinamik (resusitasi). Bila

45

Page 46: 141915011 cc-besar

memungkinkan, pasien akan lebih baik jika dirawat diruang gawat darurat

intensif untuk menjamin pengawasan hemodinamik.

Resusitasi cairan biasanya dengan memberikan cairan kristaloid (NaCl

fisiologis atau Ringer laktat) bahkan jika perlu diberikan larutan koloid. Pada

keadaan tertentu sebaiknya dipasang dua jalur infus dengan jarum besar,

sekaligus untuk mempersiapkan jalur intravena untuk pemberian transfusi darah.

Untuk transfusi darah biasanya diberikan packed red cell dengan INRs > 1,8 – 2,0

(20 ml/kg) dosis awal dilanjutkan dengan 10 mg/kg tiap 6 jam atau < 50.000 u/L

pada perdarahan aktif, dengan pertimbangan untuk pemulihan cairan intravena.

Bilas lambung dengan menggunakan air es atau larutan NaCl

fisiologis sebaiknya dilakukan, selain untuk tujuan diagnostik juga dalam usaha

untuk menghentikan perdarahan. Teknik bilas lambung harus tepat sehingga tidak

menimbulkan trauma mukosa SCBA. Dari aspirat sonde dapat kita perkirakan

bahwa perdarahan berlangsung aktif bila darah yang keluar berwarna segar

(belum bercampur dengan asam lambung). Darah segar cair tanpa bekuan harus

diwaspadai adanya gangguan hemostasis. Untuk memperbaiki faal hemostasis

dapat diberikan injeksi vitamin K dan asam traneksamat. Pemberian antasida oral,

sukralfat dan injeksi penyekat reseptor H2 dapat diberikan jika ada dugaan

kerusakan mukosa yang menyertai perdarahan. Dengan menekan sekresi asam,

diharapkan mekanisme pembekuan darah tidak terganggu oleh terjadinya lisis

bekuan pada lesi yang terlalu cepat.

b. Penatalaksanaan Khusus

Sejumlah kepustakaan melaporkan bahwa hampir 50% kasus

perdarahan SCBA karena pecahnya varises esofagus akan berhenti secara spontan

setelah penatalaksanaan resusitasi, sehingga eksplorasi diagnostik dapat

dikerjakan secara elektif (khususnya endoskopi). Terdapat dua pilihan yaitu,

endoskopi emergensi (emergency endoscopy) atau endoskopi dini (early

endoscopy). Keduanya mempunyai kelebihan dan kekurangan. Endoskopi

emergensi seyogyanya dilakukan tidak hanya untuk menentukan sumber

perdarahan tetapi juga dapat dilakukan endoskopi terapeutik lebih lanjut. Secara

teknis tindakan endoskopi emergensi sulit dilakukan sehingga diperlukan skill

yang tinggi (karena umumnya lapangan pandang tertutup oleh darah), serta

peralatan yang memadai (sebaiknya alat endoskopi dengan double channel) dan

dukungan alat serta tim resusitasi yang lengkap.

46

Page 47: 141915011 cc-besar

Management dari varises gaster akut serupa dengan varises esofagus,

kecuali dalam terapi endoskopi lebih sulit dan tidak mungkin karena lokasi

perdarahan sering tertutupi dengan darah.

c. Terapi Farmakologik

Terapi farmakologi dilakukan segera setelah dicurigai terjadinya

perdarahan varises bahkan sebelum diagnosis endoskopik ditegakkan.

1) Antibiotik

Pasien dengan perdarahan saluran cerna bagian atas 50% memungkinkan

terjadinya infeksi bakteri (bakteremia) selama dirawat di rumah sakit seperti

bakteri peritonitis, pneumonia, UTI dengan atau tanpa disertai sepsis. Terapi

profilaksis dapat diberikan secara oral atau parenteral, biasanya diberikan

norfloxacin 400 mg (atau golongan quinolon lainnya) per os atau melalui NGT

dua kali perhari selama tujuh hari.

2) Obat-obat vasoaktif yang dapat digunakan dalam keadaan ini adalah :

Vasopresin (Pitresin) :

Golongan obat ini diharapkan dapa menghentikan perdarahan melalui efek

vasokonstriksi pembuluh darah splanik sehingga menyebabkan penurunan

aliran darah portal dan tekanan vena porta.

Dosis yang dianjurkan adalah 0,2 – 0,4 unit/menit selama 1 – 24 jam. Obat

ini juga dapat menurunkan aliran darah koroner, sehingga dapat

menimbulkan insufisiensi koroner akut.

Somatostatin dan Octreotide.

Beberapa penelitian melaporkan bahwa efektifitas golongan obat ini dalam

menghentikan perdarahan SCBA akibat pecahnya varises esofagus adalah

70 – 80% sebanding dengan skleroterapi emergensi varises esofagus.

Dilaporkan bahwa golongan obat ini dapat mencegah terjadinya

perdarahan ulang setelah tindakan skleroterapi varises esofagus.

Dosis somatostatin : 250 mikrogram bolus diikuti dengan tetesan infus

kontinyu 250 mikrogram /jam.

Dosis octreotide: tetesan infus kontinyu 50 mikrogram/jam.

d. Balloon Tamponade (Sengstaken-Blakemore Tube)

47

Page 48: 141915011 cc-besar

Gambar 2. Tamponade Balon untuk Varises Esofagus

Sengstaken-Blakemore 48aló (SB 48aló) mempunyai tiga pipa dan dua

48alón lambung dan esofagus. Pemasangan tamponade 48alón ini hanya

bersifat sementara jadi bukan merupakan terapi yang menetap tetapi

merupakan tindakan sementara dalam menunggu terapi endoskopi skleroterapi

atau ligasi dilakukan.

e. Terapi Endoskopik

1) Skleroterapi

Dengan menggunakan etoksisklerol, penyuntikan dapat

dilakukan intravarises atau paravarises. Untuk itu diperlukan fungsi

hemostatik yang cukup baik.

Gambar 3. Skleroterapi Endoskopi

Beberapa penelitian melaporkan bahwa skleroterapi endoskopis

dapat mengontrol perdarahan SCBA akibat pecahnya varises esofagus

48

Page 49: 141915011 cc-besar

antara 70 - 90%, namun sebagian besar memerlukan tindakan skleroterapi

lanjutan.

2) Rubber Band Ligation

Akhir-akhir ini ligasi varises esofagus makin banyak dilakukan,

karena efektivitasnya yang lebih baik serta resiko perdarahan durante

tindakan dan komplikasinya yang lebih rendah dibanding skleroterapi

endoskopik. Saat ini banyak dipakai six shooter ligator atau local five

shooter ligator yang dikembangkan oleh Subbagian Gastroenterologi

Bagian Ilmu Penyakit Dalam FKUI RSUPN Dr. Cipto mangunkusumo

Jakarta, ada pengalaman penggunaan rubber band ligation pada varises

fundus dengan hasil yang cukup memuaskan.

f. Prosedur Portal Dekompresive

Dilakukan pada pasien dengan perdarahan varises yang tidak dapat

dikontrol dengan pemberian terapi farmakologik dan terapi endoskopi.

Transvenosus Intrahepatik Portosystemic Shunts

Terapi skleroterapi dan ligasi maupun terapi farmakologik dilakukan

pada 10 – 20% perdarahan varises sering terjadi berulang. TIPS dapat

mengontrol secara efektif perdarahan akut varises yang nonresponsive pada

terapi endoskopi dan terapi farmakologik dengan menurunkan tekanan vena

portal, IVC pressure < 10 mmHg. Pemasangan TIPS mempunyai tingkat

keberhasilan hampir 100%. Pada terapi ini dilakukan pemasangan stent

melalui vena jugularis menuju vena hepatik.

g. Tindakan pembedahan

Dilakukan pada perdarahan masif sehingga terdapat keterbatasan

manfaat endoskopik baik untuk diagnosis maupun terapeutik karena lapang

pandang yang tertutup oleh bekuan darah. Terapi bedah antara lain dengan

melakukan transeksi esofagus, dilakukan devaskularisasi atau operasi pintas.

Namun biasanya keadaan umum pasien sudah buruk dan sering menjadi

kendala dalam melakukan operasi.

a. Pada pasien dengan Hipertensi Portal Segmental

49

Page 50: 141915011 cc-besar

Splenectomy merupakan terapi pilihan yang paling efektif untuk

mengatasi hal ini pada pasien tanpa adanya kelainan hepar.

Angka mortalitas yang timbul setelah tindakan ini berkisar antara

7%.Tomikawa melakukan devaskularisasi gaster dan splenektomi pada

pasien dengan IGV dengan eradikasi 100% dari varises gaster tanpa

rekurensi selama follow up 46 bulan.Hal yang sama juga dilaporkan oleh

Nagral

b. Pada pasien dengan Hipertensi Portal Generalisata

Hosking dan Johnson menganjurkan ligasi dari varises serta

devaskularisasi gaster untuk mengontrol perdarahan aktif. Bila varises

terdapat pada curvatura minor maka prosedur pintas

mesocaval/mesorenal adalah pilihan. Pada prosedur elektif , Pintas Distal

Splenorenal dapat pula dilakukan

Sarin menganjurkan tindakan devaskularisasi untuk perdarahan yang

tidak terkontrol dan pintas portosistemik untuk perdarahan ulang yang

berasal dari varises gaster.

DAFTAR PUSTAKA

50

Page 51: 141915011 cc-besar

Soemoharjo, S., Gunawan, S. 2007. Hepatitis B Kronik. Dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit

Dalam Edisi IV Jilid I. Pusat Penerbitan FK UI. Jakarta. Hal:433.

Sloane, E., 2004. Anatomi dan Fisiologi. Penerbit Buku Kedokteran. (EGC), Jakarta.

Brunner & suddarth.2002. Buku Keperawatan Medikal Bedah vol.2, Ed 8 cetakan 1.

Jakarta:EGC.

Tarigan P, et.al. 2007. Sirosis Hepar, dalam: Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid I. Jakarta:

Balai Penerbit FK UI. Pp: 271-9

Isselbacher, Kurt. Hepatology. Thomas D Boyer MD, Teresa L Wright MD, Michael P

Manns MD A Textbook of Liver Disease. Fifth Edition. Saunders Elsevier. Canada. 2006

Dienstag, Jules L. Viral Hepatitis. Kasper, Braunwald, Fauci, et all. In Harrison’s : Principles

of Internal Medicine : 1822-37. McGraw-Hill, Medical Publishing Division, 2005.

Stabile BE, Stamos MJ. 2000. Surgical management of gastrointestinal bleeding.

Gastroenterol Clin North Am. 29(1):189-222

Peter DJ, Dougherty JM. 2000. Evaluation of the patient with gastrointestinal bleeding : an

evidence based approach. Emerg Med Clin North Am. 17(1):239-61.

Fallah MA, Prakash C, Edmundowicz S. 2000. Acute gastrointestinal bleeding. Med Clin

North Am. 84(5):1183-208.

Anderson SP, Wilson LM. 1995. Patofisiologi konsep klinis proses-proses penyakit, ed 4.

Jakarta: EGC. h 445.

Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia. 2007. Buku ajar ilmu penyakit

dalam. Jakarta : Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI. h 219.

Jong Wd, Sjamsuhidajat R. 2005. Buku Ajar Ilmu Bedah. Jakarta: ECG. h 517.

Sepregi A, Malfertheiner P. 2005. Management of Portal Hypertension. 23:5 

(DOI:10.1159/000084719)

Viswanatha B. 2013. Gross Anatomy of Esophagus.

http://emedicine.medscape.com/article/1948973-overview. [Diakses pada 11 Februari

2013.

Guadalupe GT, Sanyal AJ, Grace ND, Carey W, Practice Guidelines Committee of The

American Association for the Study of Liver Disease. 2007. Prevention and Management

of Gastroesophageal Varises and Variceal Hemorrhage in Cirrhosis. Hepatology.

46(3):922-38.

Sarin SK, Agarwal SR. 2001. Gastric varises and portal hypertensive gastropathy. Clinics in

Liver Disease. 5(3):727-767.

51

Page 52: 141915011 cc-besar

Sarin SK, Negi S. 2006. Management of Gastric Variceal Hemorhage, Indian Journal

Gastroenterologi. http://www.indianjgastro.com [diakses pada 11 Februari 2013].

GOW PJ, Chapman RW. 2001. Modern Management of Oesophageal Varices. Postgrad

Med . 75-81 .

52


Top Related