Download - 12.7 Translate Diah
Digoksin dan hubungan glikosida jantung
Keracunan digoksin dapat menyebabkan bradikardi yang berat dan aritmia,
termasuk ventricular takikardi, ventricular fibrilasi, dan blockade AV node.
Glikosida jantung yang berasal dari binatang dan hewan mengahasilkan beberapa
efek, termasuk yang ditemukan pada bunga oleander, bunga bakung, kulit katak,
dan beberapa pengobatan herbal. Tidak ada data yang mendukung pemakaian
penawar racun (antidotum) yang spesifik di dalam pengaturan henti jantung
(cardiac arrest) karena overdosis digoksin. Resusitasi untuk henti jantung harus
mengikuti standar BLS dan ACLS, dengan penggunaan spesifik antidotum pada
fase setelah henti jantung jika karditoksisitas terjadi.
Antibodi Fab antidigoksin harus diberikan untuk pasien dengan ancaman
keracunan glikosida jantung yang berat (kelas I, LOE B). Satu vial antidigoksin
Fab adalah standar untuk menetralkan 0,5 mg dari digoksin. Walaupun dosis ideal
tidak diketahui, srtategi yang layak adalah sebagai berikut:
Jika dosis oral dari digoksin diketahui, 2 vial Fab untuk setiap milligram
dari digoksin oral.
Pada kasus toksisitas digoksin kronis atau ketika dosis oral tidak diketahui,
perhitungan jumlah vial dengan menggunakan formula: kensentrasi serum
digoksin (ng/mL) x BB (kg)/100.
Pada kasus kritis dimana terapi diperlukan sebelum tingkat serum digoksin
diperoleh atau pada kasus dengan ancaman hidup akibat toksisitas
glikosida jantung, dapat diberikan 10-20 vial.
Hiperkalemi adalah suatu tanda dari beratnya keracunan glikosida jantung yang
akut dan prognosis buruk. Antidigoksin Fab mungkin dapat diberikan untuk
pasien dengan keracunan akut dari digoksin atau berhubungan dengan glikosida
jantung dimana serum potassium melebihi 5.0 mEq/L.
Kokain
Tidak ada data yang mendukung untuk penggunaan kokain secara spesifik dalam
intervensi henti jantung karena overdosis kokain. Resusitasi dari henti jantung
harus mengikuti standar BLS dan ACLS, dengan antidotum spesifik yang
digunakan untuk tahap post resusitasi jika kardiotoksisitas berat atau
neurotoksisitas terjadi. Pada sebuah kasus yang baik secara keseluruhan dan
neurologi utuh dengan survival (55%) pada pasein dengan henti jantung
dihubungkan dengan overdosis kokain yang diterapi dengan standar terapi.
Kokain menyebabkan takikardi dan hipertensi lebih dominan disebabkan oleh
stimulasi sistem saraf pusat. Strategi terapi kemungkinan dari studi sindrom
koronari akut, rangkaian kasus kecil, dan penelitian kokain dengan probandus
manusia. Mungkin layak untuk mencoba agen yang menunjukkan efektifitas pada
manajemen dari sindrom koronari akut pada pasien dengan toksisitas
kardiovaskular berat. ᾱ-bloker (phentolamine), benzodiazepine (lorazepam,
diazepam), kalsium canel bloker (verapamil), morfin, dan nitrogliserin sublingual
mungkin digunakan jika diperlukan untuk mengontrol hipertensi, takikardi dan
agigasi (kelas IIb, LOE B). Tersedianya data tidak mendukung penggunaan dari 1
agen diatas yang lain di dalam terapi dari toksisitas kardiovaskular karena kokain
(kelas IIb, LOE B).
Ada bukti jelas bahwa kokain dapat mempercepat sindrom koronari akut. Untuk
kokain menyebabkan hipertensi atau ketidaknyaman dada, benzodiazepine,
nitrogliserin dan atau morfin dapat menguntungkan (kelas IIa, LOE B). Karena
efek dari kokain dan obat stimulasi lain adalah sementara, obat dan dosis harus
dipilih secara hati-hati untuk mengurangi resiko terjadinya hipotensi setelah obat
di metabolisme. Studi laboratoirum katerisasi menunjukkan bahwa kokain mampu
mengurangi diameter arteri coroner. Efek ini digantikan oleh morpin,
nitrogliserin, phentolamine, dan verapamil; tidak berubah dengan labetalol; dan
diperburuk oleh propranol. Beberapa studi menyatakan bahwa β-bloker
memperburuk perfusi jantung dan atau menyebabkan hipertensi paradoxical
ketika penggunaan kokain. Meskipun bukti kontraindikasi ada, rekomendasi yang
ada adalah pengobatan β-bloker murni pada pengaturan dari kokain tidak di
indikasikan (kelas IIb, LOE C).
Pada overdosis yang berat, kokain bertindak sebagai antiaritmia Vaughan-
Williams kelas Ic, menghasilkan kompleks luas takikardi melalui beberapa
mekanisme, termasuk blockade dari canel sodium jantung. Meskipun tidak ada
bukti keracunan kokain pada manusia, perhitungan dari bukti pada terapi komplek
luas takikardi disebabkan oleh agen (flecainide) kelas Ic yang lain dan
antidepresan trisiklik menyatakan bahwa efektifitas hipertonik sodium bikarbonat
mungkin menguntungkan. Strategi terapi khusus digunakan untuk sodium channel
bloker lain yang terlibat dari 1 mL/kg dari sodium bicarbonate solution (8,4%, 1
mEq/mL) IV bolus, dapat diulang jika diperlukan hingga hemodinamik stabil
tercapai dan durasi QRS ≤ 120 ms. Bukti yang ada mendukung maupun
menyangkal untuk lidokain pada managemen dari kompleks luas takikardi yang
disebabkan kokain.
Antidepresan Siklik
Beberapa obat dapat memperpanjang interval QRS pada overdosis obat. Termasuk
antiaritmia Vaughan-Williams kelas Ia dan Ic (contoh: procainamide, quinidine,
flecainide), antidepresan siklik (contoh: amitriptyline), dan kokain. Antiaritmia
tipe Ia dan Ic tidak ditinjau di 2010. Serupa dengan antiaritmia tipe Ia,
antidepresan siklik memblok cardiak sodium channel, menyebabkan hipotensi dan
kompleks luas aritmia pada keadaan overdosis.
Henti jantung disebabkan oleh toksisitas antidepresan siklik harus di tanggulangi
dengan pedoman terapi BLS dan ACLS. Suatu rangkaian kasus yang kecil dari
pasien degan henti jantung mengalami perbaikan dengan sodium bikarbonat dan
epinephrine, tetapi penggunaan serentak physostigmine pada periode awal henti
jantung pada studi ini mengurangi kemampuan untuk keseluruhan studi.
Administrasi dari sodium bikarbonat dari henti jantung karena overdosis
antidepresan siklik mungkin dipertimbangkan (kelas IIb, LOE C).
Strategi pengobatan untuk terapi dari kardiotoksisitas anti depresan siklik yang
berat termasuk peningkatan serum sodium, serum pH, atau keduanya. Kontribusi
relatif dari hypernatremia dan alkalemia masih kontroversial, tetapi dalam
prakteknya kebanyakan pengaruh dari sodium bikarbonat yang hipertonik (8,4%,
1 mEq/mL). Bolus sodium bikarbonat dari 1 mL/kg mungkin diperlukan untuk
mencapai hemodinamik yang stabil (MAP dan perfusi adekuat) dan QRS
menyempit (kelas IIb, LOE C). Tingkat serum sodium dan pH harus dimonitor,
dan hypernatremia berat (sodium > 155 mEq/L) dan alkalemia (pH > 7,55) harus
dihindari. Sejumlah vasopressor dan inotropic dihubungkan dengan perbaikan
terapi dari hipotensi trisiklik induce, epineprin, norepineprin, dopamine, dan
dobutamin.
Ketoksikan Anestetik Lokal
Efek anastesi local dalam intravaskular, seperti bupivacaine, mepivakain atau
lidokain dapat menyebabkan serangan kejang dan kolaps pembuluh darah jantung
berulang hingga henti jantung. Laporan kasus klinik dan studi kontrol pada
binatang melaporkan bahwa infus lipid iv dapat mengurangi toksisitas melalui
redistribusi dari lokal anastesi dari tempat reaksinya atau dengan menambah
lintasan metabolism didalam miosit jantung.
Laporan kasus menunjukkan hasil dari sirkulasi spontan pada pasien dengan henti
jantung tidak berespon yang lama dengan ACLS, mengusulkan penggunaan lipid
iv selama henti jantung. Meskipun dosis ideal belum ada, karena variasi dosis
bervariasi pada semua studi, mungkin layak untuk mempertimbangkan 1,5 mL/kg
dari 20% emulsi rantai panjang asam lemak sebagai bolus inisial, diulang setiap 5
menit sampai kardiovaskular stabil (kelas IIb, LOE C). Setelah pasien stabil,
beberapa sumber menyarankan infus maintenance 0,25 mL/kg per menit untuk
30-60 menit. Dosis maksimum yang disarankan 12 mL/kg.
Beberapa data binatang menyatakan bahwa infus lipid sendiri mungkin lebih
efektif dari pada standar dosis dari epineprin atau vasopressin. Meskipun ada
bukti terbatas untuk merubah kebiasaan kardiotoksisitas yang berat, beberapa
masyarakat menyarankan penggunaan klinik sesuai protokol. Karena ini
merupakan area pengembangan klinik, konsultan toksikologi medis, anastesiologi,
atau spesialis lain dengan pengetahuan terbaru sangat direkomendasikan.
Carbon Monoksida
Terlepas dari komplikasi pada penyalahgunaan obat, karbon monoksida adalah
penyebab utama kematian akibat keracunan di United States. Untuk mengurangi
kemampuan hemoglobin membawa oksigen, karbon monoksida menyebabkan
kerusakan sel langsung pada otak dan miokardium. Pada orang yang selamat dari
keracuanan karbon monoksida memiliki resiko untuk gangguan neurologis.
Beberapa studi menyarankan bahwa setiap beberapa pasien yang mengalami henti
jantung karena keracunan karbon monoksida dapat bertahan hidup setelah dibawa
ke rumah sakit, dengan mengabaikan terapi dan mengikuti sirkulasi spontan.
Perawatan rutin pada pasien dengan henti jantung dan kardiotoksisitas berat akibat
keracunan karbon monoksida harus mengikuti standar BLS dan ACLS.
Oksigen Hiperbarik
Dua studi melaporkan bahwa efek neurologi diperbaiki pada pasien dengan
toksisitas karbon monoksida dengan semua keparahan (tidak termasuk pasien
koma) dan ringan hingga sedang (tidak termasuk kehilangan kesadaran dan
ketidakstabilan jantung) dimana mendapat terapi oksigen hiperbarik untuk
keracunan karbon monoksida. Studi yang lain menyatakan bahwa tidak ditemukan
perbedaan pada neurologically intact survival. Pada tinjauan ulang dan evidence
based klinik yang ada menyimpulkan bahwa, berdasarkan evidence yang ada,
perbaikan pada neurologically intact survival mengikuti terapi untuk keracunan
karbon monoksida dengan oksigen hiperbarik itu mungkin namun tidak terbukti.
Terapi oksigen hiperbarik dihubungkan dengan rendahnya insidensi dari efek
samping yang berat. Karena terapi oksigen hiperbarik memiliki resiko yang kecil,
tersedianya data menyebutkan bahwa terapi oksigen hiperbarik mungkin
membantu dalam terapi keracunan akut karbon monoksida pada pasien dengan
toksisitas berat (kelas IIb, LOE C).
Pasien dengan keracunan karbon monoksida dengan luka pada jantung memiliki
resiko tinggi pada pembuluh darah jantung dan semua menyebabkan kematian
dalam 7 tahun setelah itu, bahkan jika oksigen hiperbarik diberikan. Meskipun
data mengenai intervensi pada populasi kurang, ini perlu dilakukan follow up
pada pasien.
Pada dasar bukti yang bertentangan, kebiasaan pemberian terapi hiperbarik pada
pasien melalui resusitasi dari toksisitas kardiovaskular harus hati-hati,
pertimbangan resiko dari transport mungkin memperbaiki neurologically intact
survival.
Sianida
Sianida adalah bahan kimia yang umum. Sebagai bahan tambahan pada industri,
sianida dapat ditemukan di pencucian perhiasan, penyepuhan elektrik, dan sebagai
produk metabolik dari obat antitumor amygdalin (laetrile). Sianida adalah
komponen utama dari asap rokok, dan keracunan sianida harus dipertimbangkan
pada korban yang menghirup asap rokok yang mempunyai hipotensi, depresi
system saraf pusat, asidosis metabolik, atau jelaga dalam hidung atau pengeluaran
secret saluran nafas. Keracunan sianida menyebabkan kolaps pembuluh darah
jantung, dengan manifestasi hipotensi, asidosis laktat, apneu, dan kejang.
Pasien henti jantung atau ketidakstabilan kardiovaskular disebabkan oleh atau
dugaan keracunan sianida harus diberikan terapi antidotum sianida dengan
scavenger sianida (hidroksi kobalamin iv atau nitrat seperti sodium nitrit dan atau
inhalasi nitrit amyl), sesegera mungkin diikuti pemberian sodium tiosulfat iv).
Hidroksikobalamin dan sodium nitrit mampu mengikat sianida dalam serum dan
melawan efek keracunan sianida. Karena nitrit mempengaruhi susunan
methemoglobin dan dapat menyebabkan hipotensi, hidroksikobalamin memiliki
keamanan, pada anak dan korban inhalasi asap rokok dapat juga karena keracunan
karbon monoksida.
Sodium tiosulfat bertindak sebagai metabolik kofaktor, penambahan detoksifikasi
dari sianida menjadi tiosianat. Tiosulfat menigkatkan efektifitas dari sianida
scavengers pada percobaan binatang dan telah digunakan pada manusia dengan
hidroksikobalamin dan sodium nitrat. Sodium tiosulfat menyebabkan muntah
namun tidak toksik. Oleh karena itu, didasarkan bukti yang tersedia, regimen
terapi dari 100% oksigen dan hidroksikobalamin, dengan atau tanpa sodium
tiosulfat, direomendasikan (kelas I, LOE B).
Part 12.8: Hubungan henti jantung dengan trauma
BLS dan ACLS untuk trauma pada pasien memiliki dasar yang sama dengan
pasien henti jantung primer, dengan berfokus pada airway, breathing, dan
circulation. Pada kasus henti jantung reversible perlu ditambahkan. Sementara
CPR pada pasien trauma tanpa denyut nadi itu sia-sia, beberapa penyebab henti
jantung reversible pada trauma dibenarkan dan perawatan dapat menjadi life-
saving. Ini termasuk hipoksia, hipovolemi, pneumothoraks sekunder karena
cardiac output yang kurang atau tamponade pericardial dan hipotermi.
Modifikasi BLS
Ketika terjadi trauma multisystem atau trauma didaerah kepala dan leher, servikal
harus dalam keadaan stabil. Jaw thrust harus digunakan sebagai pengganti head
tilt-chin lift untuk mempertahankan jalan nafas pasien. Jika nafas tidak adekuat
dan wajah pasien penuh darah, ventilasi harus dengan penghalang (guedle),
masker, atau bag-mask dengan syarat tulang servikal tetap stabil. Hentikan
perdarahan yang tampak dengan kompresi langsung dan dressing. Jika pasien
tidak berespon meskipun sudah diberi pertolongan nafas, sediakan CPR standard
dan indikasi defibrillation.
Modifikasi ACLS
Setelah inisiasi BLS, jika ventilasi bag-mask tidak adekuat, pertahankan jalan
nafas saat menjaga kestabilan servikal. Jika penjagaan jalan nafas tidak mungkin
dan ventilasi tidak adekuat, dapat dipertimbangkan dilakukan cricothyrotomy.
Penurunan unilateral suara nafas selama tekanan positif ventilasi harus dicurigai
kemungkinan pneumothoraks, hemothoraks, atau rupture dari diafragma.
Ketika jalan nafas, oksigenasi dan ventilasi adekuat, evaluasi dan bantu sirkulasi.
Kontrol perdarahan yang mungkin terjadi dan ganti kehilangan volume jika
kehilangan darah secara signifikan menekan volume sirkulasi darah. Resusitasi
henti jantung akan menjadi tidak efektif pada hipovolemi berat yang tidak
terkontrol.
Terapi PEA memerlukan identifikasi dan terapi dari penyebab yang reversible,
seperti hipovolemi berat, hipotermi, tamponade jantung, atau tension
pnumothoraks. Pengembangan dari rhythms bradiasistolik seringkali
mengindikasikan adanya hipovolemi berat, hipoksemi berat, atau gagal jantung
dan nafas. Fibrilasi ventrikel (VF) dan ventricular takikardi (VT) dilakukan
dengan CPR dan defibrilasi. Rekomendasi untuk terapi mengenai tamponade
jantung pada henti jantung karena trauma, lihat Part 12.14: “Henti Jantung Karena
Tamponade Jantung.”
Resusitasi thoracotomy dapat diindikasikan pada pasien khusus. Tinjauan ulang
literatur dari 1966-1999, dibawa oleh American College of Surgeons Committee
on Trauma, didapatkan survival rate 7,8% (11,2% untuk luka dan 1,6% untuk lesi
tumpul) pada korban trauma yang lain memiliki mortalitas 100%. Para praktisi
harus melihat guidelines untuk mempertahankan atau mengakhiri resusitasi,
dimana dikembangkan untuk korban henti jantung karena trauma melalui komite
National Association of EMS Physicians and the American College of Surgeons
Committee on Trauma.
Commotio Cordis
Commotion cordis adalah VF yang dicetuskan oleh benturan/pukulan dari depan
dada selama repolarisasi jantung. Truma tumpul jantung dapat dilihat adanya
memar jantung dengan trauma miokardium dan beresiko perubahan EKG dan
aritmia. Bahkan benturan/pukulan kecil dari depan dada selama repolarisasi
jantung, seperti serangan baseball atau hockey puck, bias mencetuskan VF, juga
disebut commotion cordis. Bahkan kejadian commotion cordis biasanya pada
orang muda usia 18 tahun yang aktif di olahraga namun dapat terjadi selama
aktifitas harian. Benturan/pukulan precordial dapat menyebabkan VF yang kritis.
Defibrilasi cepat sering kali menolong henti jantung pada korban muda. Ketetapan
segera BLS digunakan pada defibrillator external automatic (AED) dan ACLS
sesuai untuk VF pada saat ini.
Part 12.9: Henti jantung pada hipotermi accidental
Hipotermi accidental atau tidak sengaja adalah masalah kesehatan serius dan
dapat dicegah. Hipotermi berat (suhu tubuh < 30 oC [86 oF] dihubungkan dengan
tekanan dari fungsi tubuh yang kritis, dimana dapat muncul secara klinis pada
korban pada awal penilaian. Oleh karena itu, prosedur life-saving harus diaktifkan
kecuali jika korban mati (rigor mortis, decomposition, hemisection, decapitation).
Korban harus sesegera mungkin dibawa ke pusat kesehatan dengan agresif selama
resusitasi.
Terapi Utama untuk korban Hipotermia
Ketika korban sangat dingin tetapi memiliki perfusi rhythm yang stabil,
penyelamat harus fokus pada intervensi bahwa mencegah kehilangan panas dan
mulai untuk menghangatkan korban perlahan. Intervensi tambahan termasuk
dibawah ini:
Mencegah evaporasi kehilangan panas dengan memindah pakaian basah
dan membatasi korban dari paparan lingkungan. Penghangatan pasif secara
umum dan adekuat untuk pasien dengan hipotermi ringan (suhu > 34 oC
[93,2 oF]).
Untuk pasien dengan dengan hipotermi sedang (30-34 oC [86-93,2 oF])
dengan perfusi rhythm, teknik yang sesuai dengan menghangatkan dari
luar. Menghangatkan sendiri secara pasif akan tidak adekuat untuk pasien.
Untuk pasien dengan hipotermi berat (< 30 oC [86 oF]) dengan perfusi
rhythm, sering kali digunakan penghangatan dari dalam, meskipun
beberapa laporan berhasil menghangatkan dengan teknik penghangatan
aktif dari luar. Teknik ini meliputi mencegah udara atau alat penghangat
permukaan yang lain.
Pasien dengan hipotermi berat dan henti jantung dapat dihangatkan lebih
cepat dengan cardiopulmonary bypass. Teknik alternative yang efektif
untuk menghangatkan suhu inti meliputi air hangat pada thoraks dan
menghangatkan darah extracorporeal dengan partial bypass.
Teknik menghangatkan suhu inti meliputi penghangatan cairan iv atau
intraosseous (IO) dan kelembaban oksigen. Transfer panas dengan
mengukur tidak cepat, dan harus dipertimbangkan dengan teknik
penghangatan aktif.
Jangan menunda prosedur kegawatan seperti managemen airway dan
pemasangan selang pembuluh darah. Meskipun pasien memiliki iritabilitas
jantung, ini seharusnya tidak ditunda untuk keperluan intervensi.
Diluar tahap inisial kritis, terapi dari hipotermi berat (suhu < 30 oC [86 oF])
dilapangan masih kontroversial. Beberapa bagian tidak memiliki waktu atau
peralatan untuk menilai suhu inti tubuh atau teknik menghangatkan secara agresif.
Modifikasi BLS
Ketika korban hipotermi, frekuensi nadi dan pernafasan menjadi lambat atau sulit
diketahui, dan ECG asistol. Jika korban hipotermi tidak menunjukkan tanda –
tanda kehidupan, mulai CPR segera. Jika korban tidak bernafas, mulai beri
pertolongan nafas segera.