Download - 01. Modul Praktikum

Transcript
Page 1: 01. Modul Praktikum

Teknik Fisika- FTI- Institut Teknologi Sepuluh Nopember

MODUL PRAKTIKUM

JURUSAN TEKNIK FISIKA

FAKULTAS TEKNOLOGI INDUSTRI

INSTITUT TEKNOLOGI SEPULUH NOPEMBER

SURABAYA

2011

TEKNIK OPTIK SEMESTER GASAL

2011/2012

Page 2: 01. Modul Praktikum

KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, atas

petunjuk-Nya kami dapat menyelesaikan Modul Praktikum Teknik Optik

semester gasal 2011/2012. Beberapa pembaharuan dan perbaikan kami

lakukan dari modul praktikum sebelumnya seperti penggabungan dua

praktikum menjadi satu dan adanya praktikum lain seperti penggunaan

software OSLO dan lain sebagainya. Diharapkan dengan adanya modul

praktikum ini, mahasiswa mendapatkan panduan dalam menjalankan

praktikum Teknik Optik yang jumlahnya ada 4 praktikum yaitu

Karakterisasi Spektrum Sumber Cahaya (P1), Interferensi dan

interferometri (P2), Fotografi dan Pengolahan Citra Digital (P3) dan

Desain Divais Optik Geometri (P4)

Ucapan terima kasih tak lupa kami sampaikan kepada beberapa

pihak yang telah memberikan kontribusi dalam penyelesaian modul ini,

yaitu :

Dr. Ir. Totok Soehartanto DEA selaku Ketua Jurusan Teknik

Fisika FTI ITS

Ir. Heru Setijono M.Sc selaku Kepala Laboratorium Rekayasa

Fotonika dan Dosen Mata Kuliah Teknik Optik

Agus M. Hatta ST, M.Si, Ph.D, Dr. Ir. Sekartedjo M.Sc dan Detak

Yan Pratama ST, M.Sc selaku Dosen Mata Kuliah Teknik Optik

Semua Dosen dan Karyawan Jurusan Teknik Fisika FTI ITS

Semua pihak yang telah membantu dalam penyusunan modul ini

Ilmu akan menjadi jalan bagi seseorang untuk menuju pada segala

kemuliaan. Akan tetapi satu hal yang tidak kalah penting adalah menjaga

agar ilmu tetap ada pada diri kita. Apa yang kami lakukan di sini adalah

membantu mahasiswa untuk mendapatkan ilmu yang bermanfaat buat

mereka. Satu pekerjaan besar yang harus mereka lakukan adalah

bagaimana agar ilmu tersebut tetap ada pada diri mereka, yang itu tidak

lain adalah dengan mengaplikasikan dan mengembangkannya.

Sekalipun modul ini telah selesai dengan proses yang cukup

panjang, akan tetapi masih tidak menutup adanya kekurangan padanya.

Segala masukan, kritik dan review sangat kami harapkan untuk semakin

menyempurnakannya pada kesempatan mendatang.

Surabaya, 2011

PENYUSUN

Page 3: 01. Modul Praktikum

MODUL 1

KARAKTERISASI SPEKTRUM SUMBER CAHAYA

1.1 Pokok Bahasan

1. Karakterisasi spektrum sumber cahaya

2. Lebar spektrum sumber cahaya

1.2 Tujuan

Setelah melakukan praktikum ini, mahasiswa mampu :

1. Memahami dan menganalisa karakteristik spektrum sumber cahaya 2. Menentukan lebar spektrum sumber cahaya

1.3 Dasar Teori

1. Sumber Cahaya

Cahaya teremisi dari sebuah sistem atom yang tereksitasi ke level

energi tinggi kemudian jatuh ke level energi rendah dengan memancarkan

radiasi. Proses eksitasi ini dapat diperoleh dengan berbagai cara seperti

efek termal, absorbsi foton. Tumbukan dengan partikel-partikel subatomik

maupun rekasi kimia. Beberapa bentuk mekanisme kesitasi yang lain

seperti radioaktif dapat menghasilkan emisi dengan tingkat energi foton

sangat tinggi[1].

Gambar 1.1 Spektrum Gelombang Elektromagnetik[2]

Gambar 1.1 menunjukkan spektrum gelombang elektromagnetik

(EM). Gelombang EM memiliki spesifikasi dan mekanisme eksitasi yang

spesifik untuk tiap-tiap rentang panjang gelombang. Secara umum kata

cahaya (light) merujuk radiasi EM pada rentang UV hingga infrared[3]. 2. Cahaya Tampak

Cahaya tampak (visible lihgt) adalah rentang dari cahaya

elektromagnetik yang dapat dideteksi oleh mata manusia. Komisi

Page 4: 01. Modul Praktikum

Internasional menspesifikasikan frekuensi dari cahaya tampak adalah

antara 3.16 x 1014 hingga 8.33 x 1014 hz (rentang panjang gelombang

sekitar 830 hingga 360 nm). Banyak buku yang menyatakan rentang

cahaya tampak antaran 400nm(violet) hingga 750nm(merah), hal ini

didasarkan pada respon visual dari mata manusia. emisi cahaya

dihasilkan dari elektron terluar atom dan molekul. Energi foton sekitar 1-

3eV, energi ini cukup besar untuk deteksi foton tunggal[4].

Cahaya tampak baik monokromatik maupun polikromatik memiliki

spektra yang berbeda – beda. Berikut ini contoh spektrum emisi dari

lampu tungsten.

Gambar 1.2 (a) Lampu Tungsten (b) Spektrum emisi keluaran[5]

1.4 Eksperimen 1 : Karakterisasi Spektrum LED

1. Peralatan Eksperimen a. LED biru dan putih @ 1 buah

b. Adaptor DC 1 buah

c. Optical power meter Thorlabs PM100D 1 buah

d. Personal Computer/Notebook yang sudah terinstall program PMD100D

Utility

Gambar 1.3 Set up Eksperimen 1

Page 5: 01. Modul Praktikum

2. Prosedur Eksperimen

a. Susun peralatan seperti gambar 1.3

b. Hubungkan optical power meter dengan laptop melalui kabel USB

c. Nyalakan optical power meter dan jalankan program PMD100D Utility.

Tunggu hingga optical power meter terhubung dengan laptop.

d. Nyalakan LED putih dengan jarak 3 cm dari detektor

e. Atur setting wavelength optical power meter pada λ = 400 nm.

f. Amati dan catat nilai daya optik yang terbaca di display optical power

meter. Pengambilan data sebanyak 5 kali berdasarkan sampling yang dilakukan PMD100D Utility. Hasil dirata-rata untuk mendapatkan nilai

daya optik terukur.

g. Lakukan lagi langkah f untuk range λ = 400 - 700 nm dengan

increment 25 nm

h. Ulangi langkah d hingga langkah g untuk LED biru

i. Geser posisi LED biru menjadi berjarak 6 cm dari detektor.

Selanjutnya ulangi langkah e hingga langkah g

j. Buat grafik daya optik sebagai fungsi panjang gelombang untuk

semua sumber cahaya

k. Tentukan lebar spektral tiap sumber cahaya

1.5 Eksperimen 2 : Karakterisasi Spektrum Lampu Halogen dan TL

1. Peralatan Eksperimen

a. Lampu halogen 1 buah

b. Lampu TL 1 buah

c. Monokromator 1 buah

d. Digital lux meter Lutron LX-101A 1 buah

e. Optical power meter Thorlabs PM100D 1 buah

f. Laptop yang sudah terinstall program PMD100D Utility

Gambar 1.4 Set up Eksperimen 2

3. Prosedur Eksperimen a. Susun peralatan seperti gambar 1.4

b. Hubungkan optical power meter dengan laptop melalui kabel USB

c. Nyalakan optical power meter dan jalankan program PMD100D Utility.

Tunggu hingga optical power meter terhubung dengan laptop.

d. Nyalakan lampu halogen. Jaga agar lampu tidak berpindah posisi

selama eksperimen

Page 6: 01. Modul Praktikum

e. Atur setting wavelength optical power meter dan monokromator pada

λ = 400 nm.

f. Amati dan catat nilai daya optik yang terbaca di display optical power

meter. Pengambilan data sebanyak 5 kali berdasarkan sampling yang

dilakukan PMD100D Utility. Hasilnya dirata-rata untuk mendapatkan

nilai daya optik terukur.

g. Lakukan lagi langkah f untuk range λ = 400 - 700 nm dengan

increment 25 nm

h. Ulangi langkah d hingga g untuk lampu TL

i. Buat grafik daya optik sebagai fungsi panjang gelombang untuk semua sumber cahaya

j. Tentukan lebar spektral tiap sumber cahaya

Referensi

[1] Yoshizawa, Toru. Handbook of Optical Metrology – Chapter 1. USA :

CRC Press. 2009

[2] Luxon, James & Parker, David. Industrial Lasers and Their Application.

- Chapter 1. USA : Prentice Hall. 1985.

[3] Warren, Smith. Modern Optical Engineering - Chapter 1. USA : SPIE

Press. 2008

[4] Yoshizawa, Toru. Handbook of Optical Metrology – Chapter 5. USA : CRC Press. 2009

[5] Anonim. An Introduction to the Use of Visible and Ultraviolet Light

for Analytical Measurements. Oxford University Press. 2005

Page 7: 01. Modul Praktikum

MODUL 2

INTERFERENSI DAN INTERFEROMETRI

2.1 Pokok Bahasan

1. Prinsip-prinsip interferensi cahaya

2. Interferometri untuk mengukur konsentrasi larutan

2.2 Tujuan

Setelah melakukan praktikum ini, mahasiswa diharapkan untuk : 1. Memahami prinsip-prinsip interferensi cahaya

2. Memahami komponen-komponen yang diperlukan untuk merancang

sebuah interferometer Michelson

3. Memahami bagaimana cara merancang sebuah interferometer

Michelson

4. Memahami prinsip kerja interferometer Michelson dan aplikasinya

2.3 Dasar Teori

1. Interferensi

Interferensi merujuk pada suatu keadaan di mana dua gelombang

atau lebih saling tumpang tindih pada waktu dan ruang yang sama.

Jumlah total fungsi gelombangnya merupakan penjumlahan dari fungsi gelombang masing-masing gelombang yang saling overlap. Hal ini

merupakan prinsip dasar superposisi. Namun demikian intensitas optik

totalnya bukan merupakan penjumlahan intensitas tiap-tiap gelombang.

Sebab superposisi intensitasnya bergantung pada beda fasa antar

gelombang[1].

Gambar 2.1 Interferensi Celah Ganda[2]

Page 8: 01. Modul Praktikum

Interferensi pada sumber cahaya yang memiliki nilai panjang

gelombang yang sama (monokromatis) akan menghasilkan pola

interferensi yang stabil. Bila gelombang yang berinterferensi merupakan

cahaya polikromatis, maka interferensi akan terjadi pada tiap-tiap

panjang gelombang yang sama.

Gambar 2.1 merupakan interferensi yang terjadi pada celah ganda.

S1 dan S2 adalah celah sempit yang dilalui cahaya dengan nilai panjang

gelombang λ. S1 dan S2 berasal dari S0 dan memiliki fasa yang sama

karena jaraknya dengan S0 pun sama. Maka S1 dan S2 merupakan sumber

cahay yang koheren. Karena nilai R >> d (R dalam orde meter, sedangkan d dalam orde milimeter), maka gambar 2.1 (b) dapat

dianggap seperti gambar 2.1 (c). Beda lintasan antara S1 dan S2 :

𝑆2𝑃 − 𝑆1𝑃 = 𝑑 sin𝜃………… (2.1)

𝐾𝑎𝑟𝑒𝑛𝑎 𝜃 𝑠𝑎𝑛𝑔𝑎𝑡 𝑘𝑒𝑐𝑖𝑙 → sin𝜃 = tan 𝜃

𝑆2𝑃 − 𝑆1𝑃 = 𝑑𝑦

𝑅………… (2.2)

Interferensi konstruktif membentuk pola terang terjadi saat beda lintasan

mλ sedangkan interferensi destruktif yang membentuk pola gelap terjadi

saat beda lintasan (m + ½)λ[2]. dengan 𝑚 = 0, ±1, ±2, ±3………

Interferensi konstruktif mλ = 𝑑𝑦

𝑅………… (2.3)

Interferensi destruktif m λ +1

2 = 𝑑

𝑦

𝑅………… (2.4)

2. Interferometri

Interferometri memanfaatkan prinsip interferensi sehingga

menghasilkan suatu pola yang dapat dianalisis. Teknik ini dapat

digunakan untuk melakukan pengukuran secara akurat. Interferometri

dapat melakukan pengukuran pergeseran maupun geometri hingga orde nanometer. Hal ini dipengaruhi cahaya sebagai tools dalam interferometri

berada pada orde tersebut. Selain cahaya visibel, sinar IR dan UV

merupakan sumber cahaya yang umum digunakan dalam berbagai

aplikasi interferometri[3].

3. Interferometer Michelson

Salah satu alat yang dapat dipergunakan untuk mengidentifikasi pola

interferensi tersebut adalah interferometer. Alat ini dapat dipegunakan

untuk mengukur panjang gelombang atau perubahan panjang gelombang

dengan ketelitian sangat tinggi berdasarkan penentuan garis-garis

interferensi. Walaupun pada awal mula dibuatnya alat ini dipergunakan

untuk membuktikan ada tidaknya eter[4]. Interferometer Michelson merupakan seperangkat peralatan yang

memanfaatkan gejala interferensi. Prinsip interferensi adalah kenyataan

bahwa beda lintasan optik (d) akan membentuk suatu frinji. Gambar

dibawah merupakan diagram skematik interferometer Michelson. Oleh

permukaan beam splitter (pembagi berkas) cahaya laser, sebagian

dipantulkan ke kanan dan sisanya ditransmisikan ke atas. Bagian yang

dipantulkan ke kanan oleh suatu cermin. Adapun bagian yang

Page 9: 01. Modul Praktikum

ditransmisikan ke atas oleh cermin datar (cermin 2) juga akan

dipantulkan kembali ke beam splitter, kemudian bersatu dengan cahaya

dari cermin 1 menuju layar, sehingga kedua sinar akan berinterferensi

yang ditunjukkan dengan adanya pola-pola cincin gelap-terang (frinji)[5].

Gambar 2.2 Interferometer Michelson[1]

Dengan menggunakan persamaan hubungan antara perubahan

lintasan optik, frinji yang terbentuk dan panjang gelombang yaitu

2

Nd

Gambar 2.3 Hubungan Antara Intensitas Dengan Perubahan Lintasan

Optik Pada Fenomena Interferensi

Interferometer juga dapat digunakan untuk menentukan nilai indeks

bias suatu medium tertentu. Nilai indeks bias pada suatu benda dapat

dihubungkan dengan sifat-sifat pada pola interferensi gelombang cahaya

monokromatik yang terbentuk. Pola interferensi tersebut terakumulatif

dalam pola frinji yang terbentuk dengan menggunakan bantuan

interferometer. Sehingga nilai indeks bias dapat diketahui dengan menghubungkan antara nilai panjang gelombang monokromatik yang

masuk, ketebalan medium kedua, dan perubahan sudut yang terjadi

dengan pola-pola frinji yang terbentuk yang secara mudah dapat

diketahui dari kuantitas frinji yang bersangkutan[6].

Dalam persamaan yang diturunkan oleh Prof. Ernest Henninger dari

DePauw University yang diambil dari buku Light : Principles and

Measurements, oleh Monk, McGraw-Hill, 1937 dijelaskan dimana N

merupakan jumlah frinji yang terbentuk, λ ialah panjang gelombang

Page 10: 01. Modul Praktikum

sumber cahaya, t merupakan ketebalan bahan gelas, ialah sudut rotasi

bahan.

Selanjutnya, dengan memanfaatkan perubahan indeks bias yang

terjadi ketika medium gelas dibiarkan kosong dibandingkan dengan pola

interferensi yang terbentuk ketika medium diisi dengan larutan sampel

maka selanjutnya akan dapat diketahui konsentrasi dari larutan tersebut

dengan membuat grafik perbandingan antara indeks bias dan konsentrasi

larutan dengan rumus berikut:

Nit

iNtn

)cos1(2

)cos1)(2(

..............(2.5)

2.4 Eksperimen 1 Interferometer Young

1. Peralatan Eksperimen

a. Laser He-Ne

b. Slit tunggal dengan lebar slit 0,3 mm

c. Slit Ganda dengan lebar slit 0,4 mm

d. Mistar e. Layar sebagai penangkap sinar

2. Prosedur Eksperimen

a. Siapkan semua peralatan

b. Pasang slit tunggal di depan laser He-Ne dengan jarak 5 cm

c. Pasang layar pada jarak 50 cm di belakang slit tunggal

d. Nyalakan laser He-Ne

e. Amati pola interferensi yang terjadi

f. Tentukan nilai y1, y2 dan y3 (titik terang pertama, kedua dan ketiga)

pada pola interferensi yang terjadi

g. Ulangi langkah d hingga langkah f dengan variasi jarak layar 100 cm,

150 cm, 200 cm dan 250 cm

2.5 Eksperimen 2 Interferometer Michelson

1. Peralatan Eksperimen

a. Meja Optik

b. Sumber cahaya (Laser He-Ne)

c. Detektor cahaya (Thorlabs Optical Power Meter PM100D dan S100C)

d. Beam Splitter 50:50

e. Movable mirror (M2)

f. Fixed mirror (M1)

g. Kaca preparat berbagai variasi

h. Layar pengamatan

i. Convex lens

j. Microdisplacement

2. Prosedur Eksperimen

a. Susun peralatan seperti gambar 2.2

b. Nyalakan laser He-Ne

Page 11: 01. Modul Praktikum

c. Amati frinji yang terbentuk pada layar pengamatan. Gunakan convex

lens untuk mengamati frinji lebih jelas.

d. Jika frinji yang terbentuk tidak bergerak maka sistem telah stabil.

Amati nilai intensitas yang nampak pada detektor

e. Geser movable mirror dan amati perubahan bentuk frinji

Referensi

[1] Saleh, Bahaa E.A. & Teich, Malvin Carl. Fundamentals of Photonics -

Chapter 2. USA : John & Wiley Sons, Inc. 1991.

[2] Young, Hugh D and Freedman, Roger A. University Physics 12th

edition - Chapter 35. USA : Pearson Education Inc. 2008

[3] Yoshizawa, Toru. Handbook of Optical Metrology – Chapter 6. USA :

CRC Press. 2009

[4] Halliday, Resnick.1986. Fisika jilid 2 edisi ketiga. Jakarta: Erlangga

[5] Soedojo, P. 1992. Azas-azas Ilmu Fisika Jilid 3 Optika. Yogyakarta:

Gajah Mada University Press.

[6] Hariharan, P. 2007. Basic Of Interferometry. Sydney: Academic Press

Page 12: 01. Modul Praktikum

MODUL 3

FOTOGRAFI DAN PENGOLAHAN CITRA DIGITAL

3.1 Pokok Bahasan

1. Dasar-dasar teknik fotografi digital

2. Aplikasi digital image processing

3.2 Tujuan

Setelah melakukan praktikum ini, mahasiswa diharapkan :

1. Memahami cara kerja dan prinsip dasar dari parameter-parameter kamera digital (image resolution, ISO, aperture, shutter speed, focal

length).

2. Melakukan dan menjelaskan dasar-dasar pengolahan citra digital

seperti cropping, konversi citra RGB ke citra grayscale serta

menampilkan histogram citra grayscale.

3.3 Dasar Teori

1. Fotografi Digital

Fotografi digital adalah salah satu cabang fotografi yang menggunakan

sensor cahaya untuk menangkap citra yang difokuskan oleh lensa. Citra

yang ditangkap kemudian disimpan dalam bentuk file digital kemudian

diproses melalui pengolahan citra (color correction, sizing, cropping, dan lain-lain), preview, atau dicetak. Sebelum ditemukannya teknologi citra

digital, citra fotografi ditangkap menggunakan film fotografi dan diproses

secara kimia. Dengan fotografi digital, citra dapat ditampilkan, dicetak,

disimpan, dan dimanipulasi menggunakan komputer tanpa proses kimia.

Salah satu instrumen yang paling banyak dipakai untuk merekam citra

digital adalah kamera digital. Pada dasarnya, kamera digital adalah divais

fotografi yang terdiri dari „lightproof box’dengan lensa di ujungnya, dan

sensor citra digital. Terdapat dua tipe dasar kamera digital : (1) digital

single-lens reflex (DSLR) dan (2) digital rangefinder[1].

Gambar 3.1 Proses Pengambilan citra pada kamera DSLR

Page 13: 01. Modul Praktikum

2. Focal length

Parameter penting dari sebuah lensa, disamping kualitasnya adalah

focal length. Secara teknis focal length didefinisikan sebagai jarak dari

bagian jalur optik dimana cahaya merambat menuju lensa dan difokuskan

ke sensor. Jarak focal lenght dinyatakan dalam satuan milimeter. Dari

sudut pandang praktis, focal length merupakan nilai dari perbesaran

lensa. Semakin panjang focal lenght, maka semakin besar perbesaran

objeknya. Selain perbesaran, focal length menentukan perspektif dari

objek[2].

Gambar 3.2 Prinsip kerja focal length

3. Shutter speed

Shutter speed merupakan waktu yang dibutuhkan oleh shutter

kamera untuk membuka dan menutup kembali dalam mengambil gambar

objek. Expossure citra ditentukan dari kombinasi shutter speed dan

bukaan apperture. Pada user interface kamera, shutter speed ditampilkan

dalam fraksi satu detik. yaitu: 1 ; 2 ; 4 ; 8 ; 15 ; 30 ; 60 ; 125 ; 250 ;

500 ; 1000 ; 2000 ; dan B. .Angka 1 berarti shutter membuka dengan

kecepatan 1/1 detik. Angka 2000 berarti shutter membuka dengan

kecepatan 1/2000 detik, dan seterusnya. B (Bulb) berarti kecepatan tanpa batas waktu (shutter membuka selama shutter release ditekan).

Fotografer menggunakan shutter speed untuk menangkap objek

bergerak. Misalnya objek mobil yang difoto akan menghasilkan citra blur

ketika menggunakan shutter speed rendah misalnya 1/8. Di sisi lain,

shutter speed yang besar (misalnya 1/1000) mampu menangkap citra

baling-baling helikopter yang berputar dengan jelas[3].

4. Apperture

Apperture adalah bukaan lensa yang diatur dengan melakukan

setingan iris atau diafragma yang memungkinkan pengaturan jumlah

cahaya masuk ke dalam sensor. Semakin besar apperture, maka semakin

banyak cahaya yang masuk ke dalam lensa. Ukuran apperture dinyatakan

dalam satuan f-stops. Angka-angka ini tertera pada lensa : 1,4 ; 2 ; 2,8 ; 4 ; 5,6 ; 8 ; 11 ; 16 ; 22 ; dan seterusnya. Angka-angka tersebut

menunjukkan besar kecilnya bukaan diafragma pada lensa. Aperture

digunakan untuk menentukan intensitas cahaya yang masuk. Semakin

besar f-stops, semakin kecil bukaan aperture, sehingga cahaya yang

Page 14: 01. Modul Praktikum

masuk semakin sedikit. Sebaliknya, semakin kecil f/angka semakin lebar

bukaan diafragmanya sehingga cahaya yang masuk semakin banyak[4].

5. ISO

ISO (International Standarts Organization) pada kamera merupakan

benchmark rating yang menunjukkan nilai kuantitatif sensitivitas dari film

kamera. Semakin tinggi rating ISO, semakin sensitif film terhadap

cahaya, sehingga semakin sedikit cahaya yang diperlukan untuk

mengambil objek. Hampir semua kamera DSLR memiliki setting ISO dari

100 sampai 3200. Pada setting ISO 400 keatas, beberapa kamera mengalami kesulitan untuk mempertahankan konsistensi expossure tiap

satuan piksel pada citra. Untuk meningkatkan sensitivitas sensor pada

kondisi tersebut, kamera meningkatkan tegangan input dari tiap elemen

sensor sebelum dikonversi menjadi sinyal digital. Pada saat sinyal elektrik

dari tiap elemen diamplifikasi, terjadi anomali pada piksel dengan warna

gelap. Hasil dari piksel sporadis dengan nilai kecerahan yang tidak sesuai

disebut sebagai „digital noise‟[5].

6. Representasi Citra Warna

Citra warna tersusun dari kombinasi 256 intensitas warna dasar (red,

green, blue). Setiap piksel adalah gabungan ketiga warna tersebut,

sehingga masing-masing piksel memiliki tiga komposisi warna dasar, dan diperlukan memori penyimpanan tiga kali lipat[6]. Untuk representasi citra

warna, dapat dinyatakan dalam persamaan dibawah ini:

(3.1)

(3.2)

f x y 1( )

f 1 1( )

f 2 1( )

f 3 1( )

......

f m 1( )

f 1 2( )

f 2 2( )

f 3 2( )

.......

f m 2( )

f 1 3( )

f 2 3( )

f 3 3( )

.......

f m 3( )

......

......

......

.......

........

f 1 n( )

f 2 n( )

f 3 n( )

.......

f m n( )

f x y 2( )

f 1 1( )

f 2 1( )

f 3 1( )

......

f m 1( )

f 1 2( )

f 2 2( )

f 3 2( )

.......

f m 2( )

f 1 3( )

f 2 3( )

f 3 3( )

.......

f m 3( )

......

......

......

.......

........

f 1 n( )

f 2 n( )

f 3 n( )

.......

f m n( )

Page 15: 01. Modul Praktikum

R G B

1 Pixel

256 256 256 Tingkat Kombinasi Warna

(3.3)

Masing-masing f(x,y,1), f(x,y,2) dan f(x,y,3) mewakili R, G dan B.

Dari persamaan (3.1), (3.2) dan (3.3) menunjukkan bahwa penyimpanan

citra warna diperlukan space 3 kali citra grayscale, representasi dapat dilihat pada gambar 3.3

Gambar 3.3 Komposisi kombinasi warna tiap pixel[6]

7. Thresholding Citra

Thresholding (pengambangan) artinya adalah nilai piksel pada citra

yang memenuhi syarat nilai ambang yang kita tentukan dirubah kenilai

tertentu yang dikehendaki. Secara matematis ditulis pada persamaan 3.4

berikut ini:

(3.4)

Dengan fi(x,y) adalah citra asli (input), fo(x,y) adalah piksel citra baru

(hasil/output), In adalah nilai ambang yang ditentukan. Nilai piksel pada

(x,y) citra output akan sama dengan I1 jika nilai piksel (x,y) citra input

tersebut <I1. Nilai piksel (x,y) citra input akan sama dengan I2 jika I1 <

fi(x,y)< I2, dan seterusnya.

Sebagai contoh citra greyscale 8 bit akan dipetakan menjadi peta

biner (hitam dan putih saja) dengan nilai ambang tunggal = 128 maka

persamaan matematisnya

f x y 3( )

f 1 1( )

f 2 1( )

f 3 1( )

......

f m 1( )

f 1 2( )

f 2 2( )

f 3 2( )

.......

f m 2( )

f 1 3( )

f 2 3( )

f 3 3( )

.......

f m 3( )

......

......

......

.......

........

f 1 n( )

f 2 n( )

f 3 n( )

.......

f m n( )

fo x y( ) I1 fi x y( ) I1

I2 I1 fi x y( ) I2

......

In In 1 fi x y ( ) In

Page 16: 01. Modul Praktikum

(3.5)

Ini berarti piksel yang nilai intensitasnya dibawah 128 akan diubah

menjadi hitam (nilai intensitas = 0), sedangkan piksel yang nilai

intensitasnya diatas 128 akan menjadi putih (nilai intensitas = 255)[7].

3.4 Contoh citra hasil thresholding

8. Mengubah Citra Warna Menjadi Citra Gray-Scale

Proses awal yang banyak dilakukan dalam image processing adalah

mengubah citra berwarna menjadi citra gray-scale, hal ini digunakan

untuk menyederhanakan model citra. Seperti telah dijelaskan di depan,

citra berwarna terdiri dari 3 layer matrik yaitu R-layer, G-layer dan B-

layer. Sehingga untuk melakukan proses-proses selanjutnya tetap

diperhatikan tiga layer di atas. Bila setiap proses perhitungan dilakukan

menggunakan tiga layer, berarti dilakukan tiga perhitungan yang sama.

Sehingga konsep itu diubah dengan mengubah 3 layer di atas menjadi 1

layer matrik gray-scale dan hasilnya adalah citra gray-scale. Dalam citra

ini tidak ada lagi warna, yang ada adalah derajat keabuan.[8]

Untuk mengubah citra berwarna yang mempunyai nilai matrik

masing-masing R, G dan B menjadi citra grayscale dengan nilai S, maka

konversi dapat dilakukan dengan mengambil rata-rata dari nilai R, G dan

B sehingga dapat dituliskan menjadi:

(3.6)

9. Histogram

Histogram citra merupakan tool yang digunakan untuk mengetahui

sebaran tingkat keabuan suatu citra. Informasi sebaran tingkat keabuan

tersebut sangat bermanfaat untuk memisahkan objek dengan latar

belakang dari suatu citra[9]. Misalnya suatu citra dengan ukuran matrik 8

x 8, dengan tingkat keabuan antara 0 sampai dengan 7.

fo x y( ) 0 fi x y( ) 128if

255 fi x y( ) 128if

SR G B

3

Page 17: 01. Modul Praktikum

Gambar 3.5 Distribusi Tingkat Keabuan

10. Listing Program

a. Program 1 : Cropping

function cropping(CitraInput,I1)

In = (I1*2);

In(In<1)=255;

In(In<3)=0;

Ro = double(CitraInput(:,:,1));

Go = double(CitraInput(:,:,2));

Bo = double(CitraInput(:,:,3));

Rn= Ro - In;

Gn= Go - In;

Bn= Bo - In;

Rn(Rn<0)=0;

Gn(Gn<0)=0;

Bn(Bn<0)=0;

R = uint8(Rn);

G = uint8(Gn);

H

1

3

2

3

4

1

6

7

2

4

5

1

7

7

1

7

4

1

6

4

1

2

7

1

6

1

4

2

2

3

7

4

7

2

5

0

7

1

0

0

3

3

0

3

2

0

0

2

0

0

2

4

6

1

0

0

1

5

7

6

5

4

3

1

Page 18: 01. Modul Praktikum

B = uint8(Bn);

Crop(:,:,1)=R;

Crop(:,:,2)=G;

Crop(:,:,3)=B;

figure;

imwrite(Crop,'data1.bmp');

imshow(Crop)

clc

Ib = In;

Ib(Ib<1)=1;

Ib(Ib>1)=0;

LuasRegion =(sum(sum(Ib)))

b. Program 2 Konversi RGB to Gray

function RGB2GRAY(CitraInput)

Rc = double(CitraInput(:,:,1));

Gc = double(CitraInput(:,:,2));

Bc = double(CitraInput(:,:,3));

Gray = (Rc + Gc + Bc)/3;

Gray=uint8(Gray);

Grayscale(:,:,1)=Gray;

Grayscale(:,:,2)=Gray;

Grayscale(:,:,3)=Gray;

imwrite(Grayscale,'datagray1.bmp');

figure;

imshow(Grayscale);

c. Program 3 histogram

function histogram(CitraInput,LuasRegion,A,B)

[baris, kolom] = size(CitraInput);

Keabuan(1,1:256)=0;

for m = 1 : baris

for n = 1 : kolom

NilaiGray = CitraInput(m,n);

Keabuan(NilaiGray+1) = Keabuan(NilaiGray+1)+1;

end

end

Keabuan(2,1:256)=[0:255];

Page 19: 01. Modul Praktikum

figure;

bar(Keabuan(2,A+1:B+1),(Keabuan(1,A+1:B+1))/LuasRegion);

grid;

axis([A B 0 max((Keabuan(1,A+1:B+1))/LuasRegion)]);

title('Frekuensi Distribusi Tingkat Keabuan');

xlabel('Nilai Tingkat Keabuan');

ylabel('Frekuensi Tingkat Keabuan (x 100%)');

3.4 Eksperimen

1. Peralatan Eksperimen

a. Kamera Digital SLR

b. PC/notebook yang terinstal software Matlab

c. Gelas

d. Larutan e. Pengaduk

2. Prosedur Praktikum

a. Persiapkan kamera digital dan software MATLAB yang telah berisi

listing program dasar pengolahan citra digital (cropping, RGB2GRAY,

histogram).

b. Sediakan gelas bening berisi air dengan konsentrasi larutan berbeda-

beda (minimal 5 larutan).

c. Ambillah salah satu gelas bening yang berisi larutan sebagai objek

gambar dengan ISO, shutter speed dan aperture berbeda-beda,

tetapi resolusi dan focal length dikondisikan sama. (minimal 5 kali

pengambilan gambar, setiap pengambilan gambar dicatat ISO,

shutter speed dan aperture-nya) d. Berdasarkan pengambilan gambar no.3, pilihlah diantara gambar-

gambar tersebut yang merupakan gambar terbaik kemudian gunakan

parameter ISO dan aperture-nya sebagai acuan untuk pengambilan

gambar selanjutnya.

e. Ambillah gelas bening yang berisi larutan dengan konsentrai

berbeda-beda sebagai objek gambar dengan ISO dan aperture yang

telah ditentukan pada no.4. (masing-masing larutan cukup1 kali

pengambilan gambar).

f. Lakukan proses cropping untuk memisahkan objek larutan dengan

background disekelilingnya. Citra yang telah dicropping dikonversi ke

citra grayscale kemudian tampilkan histrogram citra grayscale

tersebut.

LANGKAH-LANGKAH CROPPING

data1 = imread('aqua.jpg'); % definisikan matrik citra

larutan

imshow(data1) % menampilkan citra data1

Page 20: 01. Modul Praktikum

Gambar 3.6 imshow(data1)

region=roipoly; % memilih dan mendefinisikan matrik

wilayah cropping

Gambar 3.7 region=roipoly;

cropping(data1,region) % mencropping data1 dengan

"region" sebagai daerah cropping, maka akan tampil hasil

cropping dengan nama yang didefinisikan pada program 1

“data1.bmp” serta muncul nilai luasan daerah yang

dicropping (catat luas daerah tersebut).

Page 21: 01. Modul Praktikum

Gambar 3.8 Hasil cropping (tersimpan otomatis dengan nama data1.bmp)

LuasRegion =

13501

LANGKAH-LANGKAH KONVERSI RGB TO GRAY

Datakonversi1 = imread('data1.bmp'); %definisikan citra

gray yang akan dikonversi

RGB2GRAY(Datakonversi1) % menkonversi RGB ke Gray

Gambar 3.9 Hasil konversi RGB to Grayscale (tersimpan otomatis

dengan nama datagray1.bmp)

LANGKAH-LANGKAH MENAMPILKAN HISTOGRAM

Page 22: 01. Modul Praktikum

histo1=imread('datagray1.bmp'); %definisikan citra gray

yang akan ditampilkan histogramnya

histogram2(histo1,13501,1,255) % menampilkan histogram

pada objek "histo1", dengan luasan region 13501,

dengan batas bawah keabuan 1 dan batas atas 255

Gambar 3.10 histogram citragray yang telah dicropping

histogram(histo1,13501,110,120) % batas bawah keabuan 110

dan batas atas 120

Gambar 3.11 histogram citragray bata bawah 110 dan batas

atas 120

Kemudian catat “frekuensi tingkat keabuan” tertinggi pada

nilai tingkat keabuan. Serta catat pula nilai frekuensi

Page 23: 01. Modul Praktikum

pada nilai tingkat keabuan 2 kekanan dan 2 kekiri dari

puncak frekuensi tingkat keabuan tertinggi

Contoh

Data1 untuk konsentrasi xxx

113 4.2%

114 4%

115 5%

116 4%

117 3.25%

g. Lakukan pula langkah f untuk citra-citra yang lain.

h. Berdasarkan langkah f dan g, pilihlah 5 derajat keabuan yang

tertinggi diantara semua citra pada berdasarkan tampilan histogram

citra grayscale-nya. Kemudian dicatat nilai “prosentase frekuensi

tingkat keabuan” pada masing-masing derajat keabuan yang telah ditentukan.

i. Plot dalam excel berdasar data dari langkah h dengan konsentrasi

larutan sebagai sumbu-x dan “prosentase frekuensi tingkat kebuan”

sebagai sumbu y. Kemudian analisa hasil grafik tersebut.

REFERENSI

[1] Apple. Aperture Digital Photography Fundamentals. Apple Computer

Inc. 2005 : 7-12

[2] Imaging Source. Calculating the Focal Length-The Parameter You

Need. The Imaging Source Technology based on Standarts. Germany.

2006 : 5

[3] Moloney Kevin. Shutter Speed. University of Colorado. 2008 [pdf] (URL http://www.colorado.edu/Journalism/photojournalism/tech.pdf

accessed on October 27 2011)

[4] W Piston David. Choosing Objective Lenses:The Importance of

Numerical Aperture and Magnification in Digital Optical Microscopy.

Department of Physiology and Biophysics. Vandrbilt University. 1998

:2-3

[5] SLR Digital Photography. What is ISO setting on your digital SLR

(DSLR) camera and how do you use it?. 2011 (html)

(http://www.slrphotographyguide.com/camera/settings/iso.shtml

accessed on October 27 2011)

[6] Purnomo Mauridhi Hery dan Arif Muntasa. 2010. Konsep Pengolahan

Citra Digital dan Ekstraksi Fitur. Graha Ilmu. Halaman 29-31 (citra

warna) dan 148 – 161 (deteksi tepi)

[7] http://sonoku.com/delphi/thresholding-citra-menggunakan-delphi/

[8] Ramadijanti Nana, Achmad Basuki dan Riyanto Sigit. 2008. Modul

Ajar D4 Teknologi Informasi Praktikum Pengolahan Citra. PENS-ITS.

Halaman 35-36.

[9] Dwayne Phillips, (2000), “Image Processing In”, C R & D Publications,

Second Edition.

Page 24: 01. Modul Praktikum

MODUL 4

DESAIN DIVAIS OPTIK GEOMETRI

4.1 Pokok Bahasan

1. Desain divais optik berbasis optika geometri

2. Optimasi untuk menurunkan aberasi pada piranti

4.2 Tujuan

Setelah melakukan praktikum ini, mahasiswa diharapkan bisa :

1. Mendesain divais optik berbasis optika geometri

2. Melakukan optimasi desain untuk menurunkan aberasi

4.3 Dasar Teori

1. Parameter Dasar Sistem Optik Geometri

Gambar 4.1 Contoh Sistem Optika Geometri[1]

Gambar 4.1 merupakan sistem optika geometri dengan 6

permukaan. Bila diikuti kembali penjalaran sinar-sinar solid yang telah direfraksikan oleh semua permukaan dan dipotongkan dengan garis lurus

dari titik pembentukan image, jarak perpotongan dengan titik

pembentukan image merupakan panjang fokus. Dalam sistem lensa yang

terdiri atas lebih dari 1 lensa, fokusnya disebut sebagai effective focal

length (EFL). Sementara F number merupakan hubungan antara EFL

dengan lebar berkas cahaya[1].

2. Kualitas Sistem Optik

Kualitas sistem optik ditentukan oleh desainnya yang memiliki

aberasi minimal. Bila efek difraksi diabaikan, maka sistem optik tanpa

aberasi akan menghasilkan bayangan pada satu titik fokus. Untuk

mendesain suatu sistem optik yang sempurna, harus dilakukan

perhitungan besar aberasi dan pengaruhnya ke pembentukan bayangan. Berikut adalah jenis-jenis aberasi [1] :

Page 25: 01. Modul Praktikum

a. Aberasi Spheris

Aberasi spheris terjadi sinar-sinar paraksial yang masuk pada

ketinggian sistem optik yang berbeda menuju fokus ternyata jatuh

pada titik yang berbeda[1].

b. Coma

Coma merupakan variasi perbesaran sebagai fungsi aperture. Coma

terjadi untuk sinar-sinar non-perpendicular terhadap sistem lensa.

Bayangan oleh sinar-sinar yang melewati pinggir lensa akan memiliki

tinggi yang berbeda dibanding sinar-sinar melalui pusat lensa[2].

c. Astigmata Aberasi yang terjadi saat sinar-sinar pada bidang tangensial

(meridional) dan bidang sagittal (radial) tidak difokuskan pada jarak

yang sama dari[3].

d. Curvature of Field

Aberasi jenis ini akan menyebabkan image yang tidak tepat pada

fokus akan blur[1].

e. Distorsi

Distorsi tidak menghasilkan efek aberasi seperti biasanya. Distorsi

berpengaruh terhadap perbesaran image, bukan terhadap ketajaman

image. Suatu objek berbetuk persegi akan menghasilkan image

dengan sudut-sudutnya melengkung sebagai akibat efek distorsi[1].

f. Aberasi Kromatis Aberasi akibat sistem optik yang digunakan memiliki indeks bias

sebagai fungsi panjang gelombang sinar-sinar. Akibatnya sinar

dengan panjang gelombang berbeda akan memiliki fokus yang

berbeda pula[1].

g. Lateral Color

Aberasi yang disebabkan perbesaran image merupakan fungsi

panjang gelombang. Contoh simpel dari lateral color misalnya

terbentuknya warna pelangi di pinggir lensa yang memiliki lateral

color besar[1].

3. Optical Software for Layout and Optimization

Optical Software for Layout and Optimization (OSLO) merupakan

sebuah perangkat lunak yang berfungsi dalam mendesain sistem optik. OSLO menyediakan lingkungan komputasi untuk desain optik. Selain

fungsi pada umumnya yaitu memberikan optimasi dan evaluasi sistem

optik, OSLO memiliki fitur antarmuka jendela khusus yang memungkinkan

kita untuk bekerja interaktif guna menyelidiki detail dari sistem optik kita

selama proses pendesainan. OSLO menerima masukan berupa simbolik

maupun numerik dengan menggunakan menu, toolbar maupun perintah;

fungsi slider untuk analisis real-time, dan kotak dialog otomatis serta

menu untuk peningkatan program custom.

OSLO bekerja mirip dengan program windows lain. Jika kita sudah

familiar dengan perangkat lunak windows lain, maka kita akan dapat

menggunakan OSLO tanpa kesulitan. Namun, antarmuka pengguna OSLO

memang mengandung beberapa fitur unik yang membuat sebuah program desain yang efisien dan mudah digunakan optik, dan kita dapat

meningkatkan produktivitas kita dengan membaca bab ini.

Page 26: 01. Modul Praktikum

Screenshot di bawah ini menunjukkan sebuah konfigurasi khas OSLO.

Umumnya, kita memasukkan data baik dalam spreadsheet atau pada

command line. Kita dapat memasukkan perintah secara langsung pada

command line atau dengan meng-klik menu atau tombol toolbar. Perintah

dan menu yang benar-benar terintegrasi, tidak ada komando terpisah dan

mode masukan grafis. Keluaran dari OSLO biasanya muncul dalam teks

atau jendela grafis, sesuai dengan jenis Keluaran yang akan ditampilkan.

Sebagian besar OSLO ditulis dalam CCL, bahasa byte-code modern

yang mirip dengan Java. Tambahan compiler dan linker yang yang mulus

diintegrasikan dengan program untuk menyediakan code byte efisiensi dengan kemudahan penggunaan bahasa interaktif.

Gambar 4.2 Worksheet pada Software OSLO

4.4 Eksperimen

1. Peralatan Eksperimen

a. PC/Notebook yang sudah terinstal software OSLO

2. Prosedur Eksperimen

Berikut ini merupakan tutorial membuat desain landscape lens di

software OSLO.

a. Lens Entry

Langkah awal untuk membuat desain lensa pada OSLO adalah

memasukkan spesifikasi dari lensa. Langkah-langkahnya adalah sebagai

berikut :

1) Pilih “File<<New Lens” dari menu OSLO

Page 27: 01. Modul Praktikum

2) Isikan nama “Landscape1” pada kotak New File name. Pilih Custom

lens pada File type dan isikan “3” pada Number of Surfaces untu

jumlah permukaan lensa. Klik “OK”.

3) Selanjutnya akan muncul sheet baru

Isikan data sebagai berikut:

Lens : Landscape1

Ent beam radius : 5

Field angle : 20

4) Selanjutnya mengisi data dibawahnya:

a) Masukkan “BK7” di kolom GLASSS pada permukaan pertama (baris

kedua, setelah OBJ). Maka material yang digunakan antara

permukaan 1 dan 2 adalah material BK7

b) Klik kanan permukaan kedua pada kolom APARTURE RADIUS, dan

pilih “Aparture Stop”. Maka SRF pada permukaan 2 akan menjadi

“AST”

c) Pada permukaan pertama isikan data berikut:

- RADIUS = 50

-THICKNESS=4 d) Pada permukaan kedua, isikan data berikut:

-THICKNESS= 10

5) Pada permukaan ketiga, ketebalan dapat dicari langsung. Klik kanan

kolom pada THICKNESS dan akan muncul pop up menu. Klik “Solves

(S)>> Axial ray…”. Enter “0” pada Enter Solve Value. Ini menunjukkan

Page 28: 01. Modul Praktikum

bahwa pada permukaan ketiga membuat ketinggian axial ray=0 pada

permukaan keempat.

6) Klik tombol pada kolom “SPECIAL” di permukaan ketiga

a) Pilih “Surface Control (F)>> General”

b) Muncul Pop up menu dan klik kanan pada tombol “Automatic”. Pilih

“Drawn”

c) Klik tanda centang hijau pada pop up menu untuk

menghilangkannya

d) Akan muncul huruf “F” pada kolom SPECIAL di permukaaan 3

7) Ulangi langkah nomer 6 untuk permukaan 4

Bila dilakukan dengan benar, maka sheet akan menjadi seperti berikut:

8) Cek semua data termasuk Efl (Effective Focal Legth). “S” pada kolom THICKNESS berarti nilai tersebut hasil „solve‟. “S” pada kolom

APARTURE RADIUS juga sama artinya, yaitu nilai hasil dari „solve‟.

9) Klik tanda centang hijau untuk menutup sheet dan menyimpannya

dengan memilih “File>>Save Lens” dari menu OSLO. Maka file kalian

akan tersimpan dengan nama “Landscape1.len”.

10) Jika ingin membuka kembali klik “File>>Open Lens” dari menu OSLO.

Pilih “Private” dan “Open Lens File Dialog”. Klik OK.

b. Menggambar Lensa

Page 29: 01. Modul Praktikum

Bagian ini akan menjelaskan bagaimana menggambar lensa dan

detail bagian dari sketsa lensa dalam OSLO.

1) Klik “Draw Off” pada lembar Surface Data. Jendela baru berlabel

„Autodraw‟ akan muncul secara otomatis setelah mengkliknya.

2) Pada menu toolbar pilih “Lens<<Lens Drawing Conditions”. Maka

spreadsheet dibawah ini muncul mentupi spreadsheet lensa.

3) Paramater yang diganti adalah „Image space rays‟. Ganti „Final dist‟

dengan cara kanan tombol tersebut menjadi „Draw rays to image

surface‟

4) Setelah itu klik tanpa centang berwarna hijau dan jendela „Autodraw‟

akan mengubah gambar secara otomatis

Page 30: 01. Modul Praktikum

c. Optimasi Bagian selanjutnya adalah melakukan optimasi agar didapatkan focal

length tepat pada 100mm dan menghilangkan koma Seidel.

1) Pilih pada menu toolbar “Optimize>>Generate Error

Function>>Aberration Operands…”. Fungsi eror baru saja terbentuk

dan OSLO mngoptimasinya.

2) Drag dan klik baris 11-20 dan tekan tombol „delete‟

3) Lalu klik baris 1-9 dan tekan „delete‟

4) CMA3 merupakan bilangan pangkat tiga dari aberasi koma. EFL

merupakan Effective Focal Length. Semua operand dalam OSLO

diisikan dengan nol, namun tujuan dari optimasi ini tidak

menginginkan EFL nol tetapi 100

Page 31: 01. Modul Praktikum

5) Memodifikasi operand kedua menjadi „OCM21-100.0‟ sekaligus

mengganti namanya menjadi „EFL_ERR‟

6) Klik tanda centang hijau. Lalu klik „OPEN‟ pada text window. Maka

akan muncul jendela operand beserta fungsi eror

7) Pada Lens spreadsheet,klik kanan kolom RADIUS pada baris

permukaan pertama. Pilih „Variable(V)‟

8) Ulangi langkah 21 untuk THICKNESS pada permukaan kedua

9) Cek symbol V yang berarti Variable pada Radius permukaan pertama

dan Thickness permukaan kedua.

10) Klik tanda centang hijau dan buka kembali untuk mempercepat

buffer dan menyimpan sementara.

11) Untuk mengoptimasi, klik “Ite” di text window. Disini akan terlihat fungsi diiterasikan sampai hasil erornya mencapai 0pabila terdapat

kesalahan, tanda silang merah dapat digunakan atau membuka

kembali file yang telah disimpan.

Page 32: 01. Modul Praktikum

12) Cek lens spreadsheet dan terlihat Efl tepat 100. Hal ini menunjukkan

operand telah dikoreksi.

13) Klik „Abr‟ di text window untuk melihat semua aberasi pada lensa. Aberasi Koma Seidel CMA3 akan mendekati nol

14) Klik centang hijau untuk menyimpan hasil pekerjaan.

d. Slider-Wheel Design

Bagian ini akan menjelaskan bagaimana menganalisa lensa

menggunakan Slider Wheel untuk menemukan bentuk optimal. Efek dari

permukaaan melengkung lensa juga akan terlihat disini.

Page 33: 01. Modul Praktikum

1) Tetap dengan pekerjaan sebelumnya yaitu lensa landscape, buka

“Optimize>>Slider Wheel Design” dari menu OSLO.

2) Mengatur Slider Wheel Setup seperti dibawah ini:

a. Klik „Spot diagram‟

b. Set „Graphic scale‟ menjadi “1.0”

c. Pilih „All points‟

d. Klik 2 dan 4 di kolom Surf . Pilih mode “Curvature(CV)” pada

kedua baris.

3) Tutup spreadsheet dengan mengklik tanda centang hijau

4) Selanjutnya akan muncul sheet baru yaitu GW31 dan GW32 berupa

grafis

5) Modifikasi gambar grafis dengan cara memperbesar atau

mengecilkannya.

Page 34: 01. Modul Praktikum

Referensi

[1] Fischer, Robert & Tadic, Bijana. Optical System Design – Chapter 1.

USA : Mc-Graw Hill. 2004

[2] Fischer, Robert & Tadic, Bijana. Optical System Design – Chapter 5.

USA : Mc-Graw Hill. 2004

[3] Rutten & van Venrooij. Telescope Optics : A Comphrehensive Manual

for Amateur Astronomers – Chapter 4. USA : Wilmann - Bell.

1999

[4] Warren, Smith. Modern Optical Engineering - Chapter 1. USA : SPIE

Press. 2008


Top Related