KEWENANGAN GUBERNUR DALAM PEMBATALAN
PERDA KABUPATEN TABANAN
Abstrak:
Perda kabupaten adalah peraturan perundang-undangan yang dibentuk oleh
dewan perwakilan rakyat kabupaten dengan persetujuan bersama kepala daerah
kabupaten. Tujuan dari perda kabupaten ini adalah untuk penyelenggaraan urusan
pemerintahan di daerah setempat sehingga sesuai dengan keadaan masyarakatnya.
Terdapat perda yang dibatalkan oleh Gubernur, yaitu pembatalan Perda Nomor 6
Tahun 2008 Tentang Retribusi Pemakaian Kekayaan Milik Daerah Kabupaten
Tabanan melalui Peraturan Gubernur Nomor 12 Tahun 2009. Namun pada prinsipnya,
Perda kabupaten hanya dapat dibatalkan oleh Presiden melalui Peraturan Presiden.
Kata kunci : pembatalan, perda kabupaten, Gubernur.
A. Pendahuluan
Perda (selanjutnya disebut Perda) merupakan peraturan yang diberlakukan di
daerah-daerah sesuai dengan wilayah. Perda provinsi berlaku untuk tingkat provinsi,
sedangkan Perda kabupaten hanya diberlakukan pada kabupaten. Perda diadakan
karena setiap daerah memiliki perbedaan sumber daya alam, sumber daya manusia,
memiliki perbedaan-perbedaan pola hidup, kebudayaan, dll, sehingga tidak dapat
disamakan satu dengan yang lain dalam hal pengelolaannya. Untuk itulah
penyelenggaraan pemerintahan daerah haruslah disesuaikan dengan daerah masing-
masing melaluai suatu kebijakan aturan yang sesuai dengan keadaan daerah setempat,
aturan inilah yang disebut dengan Perda.
1
Perda adalah peraturan perundang-undangan yang dibentuk oleh dewan
perwakilan rakyat daerah dengan persetujuan bersama kepala daerah (pasal 1 angka 7
UU No.10 Th.2004). Fungsi anggota dewan perwakilan rakyat (DPR) dalam
pembentukan Perda adalah sebagai wakil dari rakyat untuk mewakili aspirasi rakyat di
daerah. Hal ini demi menciptakan peraturan yang mencerminkan keadilan, kepastian
hukum bagi semua pihak, baik pemerintah maupun rakyat yang dalam hal ini diwakili
oleh DPR.
Pembatalan Perda merupakan suatu hal yang tidak dapat dihindari apabila
terjadi hal-hal yang membuat aturan Perda tersebut harus dibatalkan, misalnya apabila
dikaitkan dengan perundang-undangan yang lebih tinggi ternyata aturan Perda
tersebut bertentangan atau tidak sesuai sehingga menimbulkan pertentangan yang
pada akhirnya dapat mengakibatkan aturan Perda tersebut dapat dibatalkan.
Pembatalan aturan Perda kabupaten, secara normatif dapat dibatalkan oleh Presiden
yang ditetapkan melalui Peraturan Presiden sebagaimana yang diatur dalam Pasal 145
ayat (3) Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah
(selanjutnya disebut UU Pemda) dan Pasal 158 ayat (5) Undang-Undang Republik
Indonesia Nomor 28 Tahun 2009 Tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah. Pasal
145 (2) dan (3) UU Pemda menentukan bahwa Perda yang bertentangan dengan
kepentingan umum dan/atau peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi dapat
dibatalkan oleh Pemerintah (sesuai dengan ayat 2 UU Pemda). Keputusan pembatalan
Perda tadi ditetapkan dengan Peraturan Presiden paling lama 60 (enam puluh) hari
sejak diterimanya Perda itu oleh Pemerintah (sesuai dengan ayat 3 UU Pemda).
Pada prinsipnya, Perda hanya dapat dibatalkan oleh Presiden melalui
Peraturan Presiden seperti yang telah diatur dengan tegas dan jelas pada pasal 145
2
ayat (3) UU Pemda. Pemerintah yang dimaksud dalam pasal 145 UU Pemda ini
adalah Presiden, walaupun Presiden memberikan kewenangan tersebut pada para
Menterinya, selama aturan dalam Pasal 145 UU Pemda belum direvisi maka tetaplah
menjadi kewenangan Presiden. Namun pada kenyataannya terdapat Perda yang
dibatalkan oleh Gubernur.
Pembatalan perda yang dilakukan oleh Gubernur terjadi di Kabupaten
Tabanan, Provinsi Bali yaitu pembatalan Perda Nomor 6 Tahun 2008 Tentang
Retribusi Pemakaian Kekayaan Milik Daerah Kabupaten Tabanan melalui Peraturan
Gubernur Nomor 12 Tahun 2009. Hal ini disebabkan karena Perda ini dinilai tidak
sesuai dengan Keputusan Gubernur Bali Nomor 597/01-A/HK/2008 Tentang
Penetapan Evaluasi Rancangan Perda Kabupaten Tabanan Tentang Retribusi
Pemakaian Kekayaan Milik Daerah. Hal ini menggambarkan bahwa Perda harus
tunduk kepada Keputusan Gubernur padahal Keputusan Gubernur tidak termasuk
dalam hierarki peraturan perundang-undangan.
Pembatalan Perda oleh Peraturan Gubernur ini merupakan suatu masalah
normatif yang sangat menarik untuk dikaji. Karena disatu sisi, Gubernur merupakan
“Perpanjangan tangan” dari Pemerintah Pusat, sehingga dinilai dapat menjalankan
kewenangan pemerintah pusat di daerah, dalam artian Gubernur dapat dilimpahkan
kewenangan-kewenangan, termasuk membatalkan Perda Kabupaten/Kota, tetapi disisi
lain, kewenangan pembatalan Perda Kabupaten/Kota Tabanan bukanlah kewenangan
Gubernur untuk membatalkannya, karena tidak ada payung hukum yang jelas tentang
hal tersebut.
B. PEMBAHASAN
3
I. Kewenangan Daerah Otonom
Karena berkaitan dengan otonomi daerah, maka pengkajian mengenai
permasalahan tersebut diawali dengan Pasal 18 Undang-undang Dasar 1945 yang
menyebutkan dalam ayat (1) nya bahwa “Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi
atas daerah-daerah provinsi dan daerah provinsi itu dibagi atas kabupaten dan kota,
yang tiap-tiap provinsi, kabupaten, dan kota itu mempunyai pemerintahan daerah,
yang diatur dengan undang-undang.” Selanjutnya disebutkan dalam ayat (2) bahwa
“Pemerintah daerah provinsi, daerah kabupaten, dan kota mengatur dan mengurus
sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi daerah”. Hal ini juga diatur dalam
pasal 2 ayat UU Pemda.
Berdasarkan penjelasan pasal 2 ayat (2) UU Pemda, yang dimaksud dengan
asas otonomi dan tugas pembantuan adalah bahwa “pelaksanaan urusan pemerintahan
oleh daerah dapat diselenggarakan secara langsung oleh pemerintah daerah itu sendiri
dan dapat pula penugasan oleh pemerintah provinsi ke pemerintah kabupaten/kota dan
desa atau penugasan dari pemerintah kabupaten/kota ke desa” sehingga berdasarkan
pasal ini, dapat dikatakan bahwa Pemerintah Kabupaten Tabanan mempunyai
wewenang untuk menyelenggarakan urusan-urusan pemerintahan secara mandiri atau
disebut juga dengan otonomi daerah.
Pengertian otonomi daerah dapat dilihat pada pasal 1 angka 5 UU Pemda yang
menyebutkan otonomi daerah adalah “hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom
untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan
masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan”. Wewenang
tersebut mencakup wewenang untuk mengelola kekayaan milik daerah, khususnya
kabupaten tabanan.
4
Membahas sumber wewenang sangatlah berkaitan erat dengan prinsip
penyelenggaraan pemerintahan yakni prinsip dekonsentrasi, tugas pembantuan dan
desentralisasi karena berdasarkan prinsip dekonsentrasi dan desentralisasi terjadi
pelimpahan dan penyerahan wewenang dari pemerintah pusat kepada daerah otonom.
Berdasarkan pasal 1 angka 8 UU Pemda dekonsentrasi adalah “pelimpahan wewenang
pemerintahan oleh Pemerintah kepada Gubernur sebagai wakil pemerintah dan/atau
kepada instansi vertikal di wilayah tertentu”. Melalui prinsip dekonsentrasi ini
dilakukan “pelimpahan wewenang dari pemerintah pusat kepada pejabat-pejabatnya
atau aparatmya di daerah untuk melaksanakan wewenang tertentu dalam
menyelenggarakan urusan pemerintah pusat di daerah”1.
Pada hakekadnya, alat pemerintah pusat ini, melaksanakan “pemerintahan
sentral di daerah-daerah dan berwenang mengambil keputusan sendiri sampai tingkat
tertentu berdasarkan kewenangannya”2. Untuk itu alat yang bersangkutan
bertanggungjawab langsung terhadap pemerintah pusat yang memikul semua biaya
dan tanggungjawab terakhir mengenai urusan-urusan dekonsentrasi tersebut. Sehingga
dapat dikatakan bahwa urusan-urusan pemerintahan yang dilaksanakan oleh aparat
pemerintah pusat (seperti Gubernur) di daerah tetap menjadi tanggung jawab
pemerintah pusat. Dalam penjelasan Peraturan Pemerintah Nomor 39 Tahun 2001
tentang Penyelenggaraan Dekonsentrasi, ditentukan bahwa tujuan diselenggarakan
dekonsentrasi adalah:
a. Meningkatkan efisiensi dan efektivitas penyelenggaraan pemerintahan, pengelolaan pembangunan, dan pelayanan terhadap kepentingan umum;
b. Terpeliharanya komunikasi sosial kemasyarakatan dan sosial budaya dalam sistem administrasi negara;
1 H. Andi Mustari Pide,1999, Otonomi Daerah Dan Kepala Daerah Memasuki Abad XXI, Gaya Media Pratama, Jakarta, h. 30.
2 Amrah Muslimin, 1982, Aspek-aspek Hukum Otonomi Daerah, Alumni, Bandung, h. 4.
5
c. Terpeliharanya keserasian pelaksanaan pembangunan nacional;d. Terpeliharanya keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Tugas pembantuan, dalam pasal 1 angka 9 UU Pemda adalah “penugasan dari
Pemerintah kepada daerah dan/atau desa, dari pemerintah provinsi kepada
kabupaten/kota dan/atau desa serta dari pemerintah kabupaten/kota kepada desa untuk
melaksanakan tugas tertentu”. Dasar pemikiran untuk dilaksanakannya tugas
pembantuan ini, karena tidak semua urusan pemerintahan dapat diserahkan kepada
daerah menjadi urusan rumah tangganya. Jadi, beberapa urusan pemerintahan masih
merupakan urusan pemerintah pusat, akan tetapi adalah berat sekali bagi pemerintah
pusat untuk melaksanakan urusan yang masih menjadi wewenangnya berdasarkan
dekonsentrasi karena :
Terbatasnya kemampuan perangkat pemerintah pusat di daerah. Dari segi daya guna dan hasil guna, kurang dapat dipertanggungjawabkan
apabila semua urusan pemerintah pusat di daerah harus dilaksanakan sendiri oleh aparatnya di daerah karena hal itu akan memerlukan tenaga dan biaya yang sangat besar jumlahnya.
Dari segi sifatnya, berbagai urusan pemerintah pusat sangat sulit untuk dilaksanakan dengan baik tanpa keikutsertaan pemerintah daerah.3
Untuk itulah UU Pemda memberikan kemungkinan/ alternatif bagi penyelenggaraan
pemerintahan di daerah untuk melaksanakannya sesuai dengan asas tugas
pembantuan. Dalam penjelasan umum Peraturan Pemerintah Nomor 52 Tahun 2001
tentang Penyelenggaraan Tugas Pembantuan ditentukan bahwa tujuan diterapkannya
prinsip tugas pembantuan adalah untuk ”memperlancar pelaksanaan tugas dan
penyelesaian permasalahan serta membantu pengembangan pembangunan bagi daerah
dan desa”.
3 Y.W. Sunindhia dan Ninik Widiyanti, , 1987, Praktek Penyelenggaraan Pemerintahan Di Daerah, PT. Bina Aksara, Jakarta, h. 117.
6
Kemudian prinsip yang penting untuk dikaji dalam pembahasan ini adalah
desentralisasi karena prinsip ini menyebabkan adanya daerah otonom dan melalui
prinsip ini dilakukan penyerahan wewenang pemerintahan kepada daerah otonom,
khususnya wewenang untuk mengelola kekayaan milik daerah kabupaten. Secara
etimologis istilah desentralisasi berasal dari bahasa latin yaitu “de = lepas, dan
centrum = pusat, sehingga dapat diartikan melepaskan dari pusat. Dari sudut pandang
ketatanegaraan, yang dimaksud desentralisasi adalah pelimpahan kekuasaan
pemerintah dari pusat kepada daerah-daerah yang mengurus rumah tangganya sendiri
(daerah otonom)”4.
Berdasarkan pasal 1 angka 6 UU Pemda, daerah otonom merupakan “kesatuan
masyarakat hukum yang mempunyai batas-batas wilayah yang berwenang mengatur
dan mengurus urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat menurut
prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dalam sistem Negara Kesatuan
Republik Indonesia”. Penyerahan wewenang ini dimaksudkan “memberikan
kesempatan kepada aparat daerah termasuk wakil-wakil rakyatnya untuk
berpartisipasi di dalam merencanakan dan melaksanakan berbagai kebijakan
pembangunan tanpa harus mendapat arahn dan atau diarahkan oleh pusat”5.
Kewenangan untuk mengatur sendiri urusan pemerintahan mengandung
makna bahwa daerah, dengan inisiatif sendiri dapat membentuk peraturan-peraturan
yang berwujud Perda. Hal ini merupakan prinsip otonomi daerah dimana negara
dalam hal ini memberikan kewenangan ke daerah-daerah otonom untuk mengurus
sendiri pemerintahannya. Namun disisi lain, berdasarkan prinsip Negara Kesatuan,
4 Abdurrahman, 1987, Beberapa Pemikiran Tentang Otonomi Daerah, PT. Media Sarana Press, Jakarta, h. 71.
5 A.W. Widjaja, 1992, Titik Berat Pada Daerah Tingkat II, Rajawali Pers, Jakarta, h. 21.
7
maka hanya terdapat satu kekuasaan pemerintahan yaitu pemerintah pusat, sehingga
pemerintah pusat tetap berwenang untuk turut campur dalam kegiatan sosial guna
melaksanakan tugas-tugas penyelenggaraan kepentingan umum, hal ini dikenal
dengan istilah Freies Ermessen. Berkenaan dengan hal tersebut, E.Utrecht
menyebutkan terdapat tiga kekuasaan pemerintah daerah, yaitu:
I. Membuat peraturan atas inisiatif sendiri, terutama dalam menghadapi soal-soal genting yang belum ada pengaturannya, tanpa bergantung pada pembuat undang-undang pusat;
II. Membuat aturan atas dasar delegasi, karena pembuat undang-undang pusat tidak mampu memperhatikan tiap-tiap soal yang timbul dalam pergaulan sehari-hari, sehingga penyesuaian antara peraturan perundang-undangan yang dibuat oleh pusat dengan keadaan yang sungguh-sungguh terjadi di masyarakat menjadi tugas dan tanggung jawab pemerintah daerah.
III. Kewenangan untuk menafsirkan sendiri aturan perundang-undangan yang dibuat oleh pusat. 6
Dasar pemikiran untuk dilakukan penyerahan wewenang untuk
menyelenggarakan urusan pemerintahan kepada daerah otonom berdasarkan
desentralisasi adalah:
a. Kemampuan pemerintah berikut perangkatnya yang ada di daerah terbatas;b. Wilayah negara sangat luas, terdiri lebih dari 3000 pulau-pulau besar dan
kecil;c. Pemerintah tidak mungkin mengetahui seluruh dan segala macam
kepentingan dan kebutuhan rakyat yang tersebar di seluruh pelosok negara;d. Hanya rakyat setempatlah yang mengetahui kebutuhan, kepentingan, dan
masalah yang dihadapi dan hanya mereka yang mengetahui bagaimana cara yang sebaik-baiknya untuk memenuhi kebutuhan tersebut;
e. Dilihat secara hukum, Undang-undang Dasar 1945 pasal 18, menjamin adanya daerah dan wilayah. Sebagai konsekuensinya pemerintah diwajibkan melaksanakan asas desentralisasi dan dekonsentrasi.
f. Adanya sejumlah urusan pemerintahan yang bersifat kedaerahan dan memang lebih berdayaguna dan berhasilguna jika dilaksanakan oleh daerah;
g. Daerah mempunyai kemampuan dan perangkat yang cukup memadai untuk menyelenggarakan urusan rumah tangganya maka desentralisasi dilaksanakan dalam penyelenggaraan pemerintahan di daerah. 7
6 Ridwan, HR, 2002, Hukum Administrasi Negara, UII Press, Yogyakarta, h.16.7 Victor M. Situmorang dan Cormentyna Sitanggang, 1994, Hukum Administrasi
Pemerintahan Di Daerah, Sinar Grafika Jakarta, h. 33.m
8
Dengan adanya penyerahan urusan pemerintah ini, maka berdasarkan pasal
3ayat (3) UU Pemda, pemerintah daerah termasuk pemerintah kabupaten Tabanan
mempunyai kewenangan wajib dan pilihan karena dalam pasal ini ditentukan bahwa
“Urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan pemerintah daerah terdiri atas
urusan wajib dan urusan pilihan”. Berdasarkan penjelasan pasal 3 ayat (3) UU Pemda,
yang dimaksud dengan urusan wajib adalah urusan yang sangat mendasar yang
berkaitan dengan hak dan pelayanan dasar warga negara antara lain:
a. Perlindungan hak konstitusional;b. Perlindungan kepentingan nacional, kesejahteraan masyarakat, ketentraman
dan ketertiban umum dalam kerangka menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia; dan
c. Pemenuhan komitmen nasional yang berhubungan dengan perjanjian dan konvensi internasional.
Kemudian dalam penjelasan pasal ini juga ditentukan bahwa yang dimaksud dengan
urusan pilihan adalah “urusan yang secara nyata ada di daerah dan berpotensi untuk
meningkatkan kesejahteraan masyarakat sesuai dengan kondisi, kekhasan dan potensi
unggulan daerah”. Sehubungan dengan ini dalam pasal 14 ayat (1) UU Pemda
ditentukan bahwa urusan wajib yang menjadi kewenangan pemerintahan daerah untuk
kabupaten/kota merupakan urusan yang berskala kabupaten/kota meliputi:
a. Perencanaan, dan pengendalian pembangunan;b. Perencanaan, pemanfaatan, dan pengawasan tata ruang;c. Penyelenggaraan ketertiban umum dan ketenteraman masyarakat;d. Penyediaan sarana dan prasarana umum;e. Penanganan bidang kesehatan;f. Penyelenggaraan pendidikan;g. Penanggulangan masalah sosial;h. Pelayanan bidang ketenagakerjaan;i. Fasilitas pengembangan koperasi, usaha kecil dan menengah;j. Pengendalian lingkungan hidup;k. Pelayanan pertanahan;l. Pelayanan kependudukan dan catatan sipil;m. Pelayanan administrasi umum pemerintahan;n. Pelayanan administrasi penanaman modal;o. Penyelenggaraan pelayanan dasar lainnya; dan
9
p. Urusan wajib lainnya yang diamanatkan oleh peraturan perundang-undangan.
Kemudian yang menjadi urusan pemerintahan kabupaten/kota yang bersifat pilihan
berdasarkan ayat (2) pasal ini meliputi “urusan pemerintahan yang secara nyata ada
dan berpotensi untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat sesuai dengan kondisi,
kekhasan dan potensi unggulan daerah yang bersangkutan”. Dari uraian sebelumnya
dapat dikatakan bahwa retribusi pemakaian kekayaan milik daerah kabupaten tabanan
merupakan urusan pilihan bagi Pemerintah Kabupaten Tabanan, sehingga Bupati
Kabupaten Tabanan memiliki kewenangan untuk menyelenggarakan urusan-urusan
pemerintahan sehubungan dengan retribusi pemakaian kekayaan milik daerah
kabupaten tabanan. Bersifat pilihan disini diartikan bahwa seandainya Bupati
Kabupaten Tabanan tidak melakukan pungutan retribusi terhadap kekayaan milik
daerah, maka hal tersebut tidaklah serta-merta menjadi kewenangan Provinsi,
melainkan tetap menjadi kewenangan kabupaten karena kekayaan milik kabupaten,
hanya saja rakyat kabupaten tabanan dibebaskan dari pungutan retribusi tersebut.
II. Konstruksi Perda
Berdasarkan uraian sebelumnya, dapat dikatakan bahwa melalui desentralisasi
dilakukan penyerahan urusan pemerintahan kepada pemerintah daerah dengan
maksud agar penyelenggaraan urusan tersebut menjadi efektif dan efisien. Dalam
praktek, kedua istilah ini sering digunakan secara bersama-sama dan terkadang
disamakan dengan istilah berhasil guna dan berdaya guna. Efektif mengandung makna
”terjadinya suatu efek atau akibat yang dikehendaki”8. Sehingga, perda Retribusi
pemakaian kekayaan milik daerah kabupaten tabanan dapat dikatakan efektif atau
8 Sundarso, 1988, Organisasi dan Metode, Karunika , Jakarta h.9.6.
10
berhasil guna jika urusan tersebut telah dilakukan sesuai dengan perencanaan
misalnya sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang mendasari pembuatan
perda tersebut. Kemudian pada istilah efisiensi yang disebut juga berdaya guna,
terjadi perbandingan antara hasil nyata yang dicapai dengan pengorbanan yang
dikeluarkan oleh pemerintah kabupaten tabanan dalam rangka melakukan urusan
terkait dengan Retribusi pemakaian kekayaan milik daerah kabupaten tabanan seperti
pengorbanan pikiran, tenaga, waktu, ruang, dan benda termasuk uang. Maksudnya,
perda Retribusi pemakaian kekayaan milik daerah kabupaten tabanan akan dikatakan
efisien apabila hasil yang dicapai secara nyata mengorbankan pikiran, tenaga, waktu,
ruang, dan benda/uang yang paling sedikit/ seefisien mungkin.
Prajudi Ato Sudirdjo menyebutkan beberapa persyaratan yang harus dipenuhi
dalam penyelenggaraan pemerintahan yaitu:
(1).Efektifitas, artinya kegiatannya harus mengenai sasaran atau tujuan yang telah ditetapkan atau direncanakan;
(2).Legimitas, artinya kegiatan administrasi negara jangan sampai menimbulkan heboh oleh karena tidak dapat diterima masyarakat setempat atau lingkungan yang bersangkutan;
(3).Yuridikitas, adalah syarat yang menyatakan bahwa perbuatan para pejabat administrasi negara tidak boleh melawan atau melanggar hukum dalam arti luas;
(4).Legalitas, merupakan syarat yang menyatakan bahwa tidak satupun perbuatan atau keputusan administrasi negara yang boleh dilakukan tanpa dasar atau pangkal suatu ketentuan undang-undang (tertulis) dalam arti luas; bila sesuatu dijalankan dengan dalih “keadaan darurat” maka kedaruratan itu wajib dibuktikan kemudian; bilamana kemudian tidak terbukti, maka perbuatan tersebut dapat digugat dipengadilan;
(5).Moralitas, adalah salah satu syarat yang paling diperhatikan oleh masyarakat; moral dan ethik umum maupun kedinasan wajib dijunjung tinggi; perbuatan tidak senonoh, sikap kasar, kurang ajar, tidak sopan, kata-kata yang tidak pantas, dan sebagainya wajib dihindarkan;
(6).Efisien, wajib dikejar seoptimal mungkin; kehematan biaya dan produktivitas wajib diusahakan setinggi-tingginya;
11
(7).Teknik dan teknologi yang setinggi-tingginya wajib dipakai untuk pengembangan atau mempertahankan mutu prestasi yang sebaik-baiknya. 9
Pembatalan Perda oleh Gubernur ini dimaksudkan demi terciptanya efisiensi
waktu, biaya, serta mengembalikan kewenangan otonomi daerah pada proporsi yang
sebenarnya, dalam artian Perda Kabupaten/Kota dinilai tidak memerlukan Peraturan
Presiden dalam pembatalannya, karena hal tersebut memerlukan banyak biaya, waktu
yang panjang, serta proses yang tidak sederhana. Namun dalam doktrin hukum
dikenal asas a contrario actus yang berarti bahwa suatu peraturan hanya dapat
dibatalkan oleh peraturan sejenis atau yang lebih tinggi. Sementara Peraturan
Gubernur tidak dapat dikatakan sebagai peraturan sejenis atau peraturan yang lebih
tinggi sebab Peraturan Gubernur merupakan produk eksekutif sedangkan Perda
merupakan produk hukum legislatif dan eksekutif.
Indonesia adalah negara hukum sebagaimana yang telah ditegaskan sejak
negara ini didirikan (sesuai dengan pasal 1 ayat 3 UUD 1945). Konsekuensi dari
penerapan prinsip negara hukum ini adalah pengaturan seluruh aktivitas masyarakat
dalam koridor hukum. Dalam negara hukum diperlukan pembagian kekuasaan untuk
membagi beban kerja dan tanggung jawab. Montesquieu dalam bukunya yang
berjudul De L’esprit Des Lois mengajarkan bahwa kekuasaan harus dibedakan
menjadi tiga yakni:
a. Kekuasaan legislatif atau membuat perundang-undangan yang dipegang oleh parlemen.
b. Kekuasaan eksekutif yang menjalankan pemerintahan yang dipegang oleh pemerintah.
9 Ibid, dikutip dari Prajudi Atmosudirdjo, 1983, hukum Administrasi Negara, Ghalia Indonesia, Jakarta, h. 79-80.
12
c. Kekuasaan yudisial atau kehakiman, yakni badan yang menjalankan hukum yang telah dibuat oleh parlemen. 10
Kekuasaan legislatif, eksekutif dan yudisial ini berada pada level pusat
maupun level daerah. Salah satu kekuasaan yang berada di level daerah adalah
kekuasaan dalam membentuk Perda. Perda merupakan suatu produk hukum yang
dibuat bersama oleh badan legislatif dan eksekutif di daerah. Pengaturan secara
normatif mengenai Perda dalam hierarki Peraturan Perundang-undangan dapat dilihat
dalam Pasal 7 ayat (1) Undang-undang Nomor 10 Tahun 2004 Tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-undangan Perda yang mengklasifikasikan jenis dan hierarki
Peraturan Perundang-undangan sebagai berikut :
a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; b. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang; c. Peraturan Pemerintah; d. Peraturan Presiden; e. Perda.
Perda meliputi Perda provinsi dibuat oleh dewan perwakilan rakyat daerah
provinsi bersama dengan gubernur, Perda kabupaten/kota dibuat oleh dewan
perwakilan rakyat daerah kabupaten/kota bersama bupati/walikota serta Peraturan
Desa/peraturan yang setingkat, dibuat oleh badan perwakilan desa atau nama lainnya
bersama dengan kepala desa atau nama lainnya. Dalam Stufenbautheorie dikatakan
bahwa “peraturan hukum keseluruhannya diturunkan dari norma yang berada di
puncak piramid, dan semakin ke bawah semakin ragam dan menyebar.”11 Dengan
demikian Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Undang-
Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang, Peraturan Pemerintah dan 10 Adami Chazawi, 2002, Pelajaran Hukum Pidana I Stelsel Pidana, Tindak Pidana, Teori-
teori Pemidanaan & Batas Berlakukan Hukum Pidana, RajaGrafindo Persada, Jakarta, hal. 170-171.11 Achmad Ali, 2009, Menguak Teori Hukum (Legal Theory) dan Teori Peradilan
(JudicialPrudence) Termasuk Interpretasi Undang-undang (Legisprudence), Kencana Prenada Media Group, Jakarta, hal. 62.
13
Peraturan Presiden menjadi pedoman dari penyusunan Perda sehingga Perda tidak
boleh bertentangan dengan peraturan-peraturan tersebut.
Berdasarkan hierarki sebagaimana yang diatur dalam Pasal 7 ayat (1) Undang-
undang Nomor 10 Tahun 2004 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan
maka Perda merupakan salah satu bentuk Peraturan Perundang-undangan yang harus
disusun berdasarkan pada asas Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang
baik. Adapun asas-asas tersebut meliputi asas:
a. Kejelasan tujuan; Yang dimaksud dengan "kejelasan tujuan" adalah bahwa setiap Pembentukan Peraturan Perundang-undangan harus mempunyai tujuan yang jelas yang hendak dicapai.
b. Kelembagaan atau organ pembentuk yang tepat; Yang dimaksud dengan asas “kelembagaan atau organ pembentuk yang tepat” adalah bahwa setiap jenis Peraturan Perundang-undangan harus dibuat oleh lembaga/pejabat Pembentuk Peraturan Perundang-undangan yang berwenang. Peraturan Perundang-undangan tersebut dapat dibatalkan atau batal demi hukum, apabila dibuat oleh lembaga/pejabat yang tidak berwenang.
c. Kesesuaian antara jenis dan materi muatan; Yang dimaksud dengan asas "kesesuaian antara jenis dan materi muatan" adalah bahwa dalam Pembentakan Peraturan Perundang-undangan harus benar-benar memperhatikan materi muatan yang tepat dengan jenis Peraturan. Perundang-undangannya.
d. Dapat dilaksanakan; Yang dimaksud dengan asas "dapat dilaksanakan" adalah bahwa setiap Pembentukan Peraturan Perundang-undangan harus memperhitungkan efektifitas Peraturan Perundang-undangan tersebut di dalam masyarakat, baik secara filosofis, yuridis maupun sosiologis.
e. Kedayagunaan dan kehasilgunaan; Yang dimaksud dengan asas "kedayagunaan dan kehasilgunaan" adalah bahwa setiap Peraturan Perundang-undangan dibuat karena memang benar-benar dibutuhkan dan bermanfaat dalam mengatur kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara
f. Kejelasan rumusan; Yang dimaksud dengan asas "kejelasan rumusan" adalah bahwa setiap Peraturan Perundang-undangan harus memenuhi persyaratan teknis penyusunan Peraturan Perundang-undangan, sistematika dan pilihan kata atau terminologi, serta bahasa hukumnya jelas dan mudah dimengerti, sehingga tidak menimbulkan berbagai macam interpretasi dalam pelaksanaannya.
14
g. Keterbukaan. Yang dimaksud dengan asas "keterbukaan" adalah bahwa dalam proses Pembentukan Peraturan Perundang-undangan mulai dari perencanaan, persiapan, penyusunan, dan pembahasan bersifat transparan dan terbuka. Dengan demikian seluruh lapisan masyarakat mempunyai kesempatan yang seluas-luasnya untuk memberikan masukan dalam proses pembuatan Peraturan Perundang-undangan.
Agar Perda itu berfungsi maka ia harus memenuhi syarat berlakunya hukum
sebagai kaidah yakni:
a) Kaidah hukum berlaku secara yuridis, apabila penentuannya didasarkan pada kaidah yang lebih tinggi tingkatannya atau terbentuk atas dasar yang telah ditetapkan.
b) Kaidah hukum berlaku secara sosiologis, apabila kaidah tersebut efektif. Artinya, kaidah itu dapat dipaksakan berlakunya oleh penguasa walaupun tidak diterima oleh warga masyarakat (teori kekuasaan) atau kaidah itu berlaku karena adanya pengakuan dari masyarakat.
c) Kaidah hukum berlaku secara filosofis, yaitu sesuai dengan cita hukum sebagai nilai positif yang tertinggi. 12
III. Kewenangan Negara Terhadap Daerah Otonom
Macam-macam urusan pemerintahan membawa konsekuensi pada perlunya
pengaturan. Atas dasar itu pemerintah mau tidak mau harus mengeluarkan peraturan
baik yang sifatnya mengikat secara umum artinya mengikat setiap orang maupun
peraturan yang jangkauan berlakunya hanya mengikat individu-individu.13 Hal inilah
yang diistilahkan sebagai public policy (kebijakan publik). Public policy (kebijakan
publik) adalah serangkaian tindakan yang ditetapkan dan dilaksanakan oleh
pemerintah dengan tujuan tertentu demi kepentingan masyarakat. Jika suatu
pemerintah negara melakukan pelayanan dengan beorientasi kepada public interest
atau public needs maka yang harus dipikirkan oleh pemerintah itu ialah how to serve
12 H. Zainuddin Ali, 2010, Filsafat Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, hal. 94.13
Johanes Usfunan, 2002, Perbuatan Pemerintah yang Dapat Digugat, Djambatan, Jakarta, hal. 17.
15
the public, sehingga pemerintah itu bertindak sebagai public servant (pelayanan
masyarakat) yang menyelenggarakan public service (layanan publik).14
Kebijakan publik dapat berupa peraturan perundang-undangan yang
terkodifikasi secara formal dan legal. Setiap peraturan dari tingkat “Pusat” atau
“Nasional” hingga tingkat Desa atau Kelurahan adalah Kebijakan Publik.15 Tiga
kelompok kebijakan publik: 16
1. Kebijakan publik yang bersifat makro atau umum, atau mendasar, yaitu kelima peraturan yang disebut diatas
2. Kebijakan publik yang bersifat mesa atau menengah, atau penjelas pelaksanaan. Kebijakan ini dapat berbentuk Peraturan Menteri, Surat Edaran Menteri, Peraturan Gubernur, Peraturan Bupati dan Peraturan Walikota. Kebijakannya dapat pula berbentukj Surat Keputusan Bersama atau SKB antar Menteri, Gubernur, dan Bupati atau Walikota.
3. Kebijakan publik yang bersifat mikro adalah kebijakan yang mengatur pelaksanaan atau implementasi dari kebijakan diatasnya. Bentuk kebijakannya adalah peraturan yang dikeluarkan oleh aparat publik di bawah Menteri, Gubernur, Bupati dan Walikota.
Menilik dari adanya pengelompokan kebijakan publik ini maka Peraturan
Gubernur berada pada tingkat menengah. Pasal 1 angka 2 Peraturan Menteri Dalam
Negeri Nomor 16 Tahun 2006 Tentang Prosedur Penyusunan Produk Hukum Daerah
mengkategorikan Peraturan Gubernur ini sebagai produk hukum daerah dimana
dikatakan bahwa “Produk hukum daerah adalah Peraturan yang diterbitkan oleh
kepala daerah dalam rangka pengaturan penyelenggaraan pemerintahan daerah.”
Peraturan Gubernur merupakan produk hukum yang bersifat mengatur dalam
menciptakan tata kelola pemerintahan yang baik (good governance).
14 Solly Lubis, 2007, Kebijakan Publik, Mandar Maju, Bandung, hal. 9.
15 Riant Nugroho D., 2006, Kebijakan Publik Untuk Negara-negara Berkembang Model-model Perumusan, Implementasi dan Evaluasi, Elex Media Komputindo Gramedia, Jakarta, hal 30-31.
16
Ibid., hal 31.
16
Good governance berkenaan dengan penyelenggaraan tiga tugas dasar
pemerintah yaitu:
1. Menjamin keamanan setiap orang dan masyarakat (to guarantee the security of all person and society itself).
2. Mengelola suatu struktur yang efektif untuk sektor publik, sektor swasta dan masyarakat (to manage an effective framework for the public sector, the private sector and civil society).
3. Memajukan sasaran ekonomi, sosial dan bidang lainnya sesuai dengan kehendak rakyat (to promote economic, social and other aims in accordance with the wishes of the population). 17
Untuk mewujudkan good governance ini maka pemerintah wajib mengeluarkan
produk hukum yang menjamin kesejahteraan rakyat.
F.A.M.Stroink dan J.G.Steenbeek menyebutkan bahwa hanya ada dua cara
organ pemerintahan memperoleh wewenang yaitu atribusi dan delegasi. Mengenai
atribusi dan delegasi disebutkan bahwa “atribusi berkenaan dengan penyerahan suatu
wewenang baru sedangkan delegasi menyangkut pelimpahan wewenang dari
wewenang yang telah ada (oleh organ yang telah memperoleh wewenang secara
atributif kepada organ lain, jadi delegasi secara logis selalu didahului oleh atribusi)”.18
Selain itu dalam praktek terjadi pula pelimpahan wewenang berdasarkan mandat,
yaitu pelimpahan kewenangan yang tidak disertai dengan pelimpahan tanggung
jawab, sehingga yang dilimpahkan hanyalah pekerjaannya saja sedangkan dalam
penyelesaian pekerjaan tersebut tetap atas nama pemberi mandat.
Terkait dengan adanya pembatalan Perda Kabupaten Tabanan Nomor 6 Tahun
2008 Tentang Retribusi Pemakaian Kekayaan Milik Daerah Kabupaten Tabanan maka
17
Addink Reader dalam H. Muladi, 2009, Hak Asasi Manusia Hakekat, Konsep dan Implikasinya Dalam Perspektif Hukum dan Masyarakat, Refika Aditama, Bandung, hal. 67.
18 Ridwan H.R, op.cit, h. 75.
17
pembatalan tersebut seharusnya dilakukan melalui Peraturan Presiden karena menjadi
kewenangan Presiden yang didapat secara atributif, yaitu diberikan kewenangan oleh
Undang-undang. Hal ini didasarkan pada Pasal 158 Undang-undang Republik
Indonesia Nomor 28 Tahun 2009 Tentang Pajak Daerah Dan Retribusi Daerah yang
dijabarkan sebagai berikut:
(1) Perda yang telah ditetapkan oleh gubernur/bupati/walikota disampaikan kepada Menteri Dalam Negeri dan Menteri Keuangan paling lama 7 (tujuh) hari kerja setelah ditetapkan.
(2) Dalam hal Perda bertentangan dengan kepentingan umum dan/atau peraturan perundangundangan yang lebih tinggi, Menteri Keuangan merekomendasikan pembatalan Perda dimaksud kepada Presiden melalui Menteri Dalam Negeri.
(3) Penyampaian rekomendasi pembatalan oleh Menteri Keuangan kepada Menteri Dalam Negeri sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan paling lambat 20 (dua puluh) hari kerja sejak tanggal diterimanya Perda sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(4) Berdasarkan rekomendasi pembatalan yang disampaikan oleh Menteri Keuangan, Menteri Dalam Negeri mengajukan permohonan pembatalan Perda dimaksud kepada Presiden.
(5) Keputusan pembatalan Perda sebagaimana dimaksud pada ayat (4) ditetapkan dengan Peraturan Presiden paling lama 60 (enam puluh) hari kerja sejak diterimanya Perda sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(6) Paling lama 7 (tujuh) hari kerja setelah keputusan pembatalan sebagaimana dimaksud pada ayat (5), Kepala Daerah harus memberhentikan pelaksanaan Perda dan selanjutnya DPRD bersama Kepala Daerah mencabut Perda dimaksud.
(7) Jika provinsi/kabupaten/kota tidak dapat menerima keputusan pembatalan Perda sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dengan alasan-alasan yang dapat dibenarkan oleh peraturan perundang-undangan, Kepala Daerah dapat mengajukan keberatan kepada Mahkamah Agung.
(8) Jika keberatan sebagaimana dimaksud pada ayat (7) dikabulkan sebagian atau seluruhnya, putusan Mahkamah Agung tersebut menyatakan Peraturan Presiden menjadibatal dan tidak mempunyai kekuatan hukum.
(9) Jika Pemerintah tidak mengeluarkan Peraturan Presiden untuk membatalkan Perda sebagaimana dimaksud pada ayat (5), Perda dimaksud dinyatakan berlaku.
Dengan demikian pembatalan Perda merupakan kewenangan Presiden yang
ditetapkan melalui Peraturan Presiden. Walaupun Presiden menyerahkan kewenangan
18
tersebut pada Menteri Dalam Negeri, namun pada pelaksanaan pembatalan perda
haruslah tetap atas nama Presiden, karena penyerahan kewenangan tersebut hanyalah
bersifat mandat. Sedangkan gubernur tidak memiliki kewenangan dalam pembatalan
Perda kabupaten, dikarenakan kedudukan Gubernur disini bukanlah sebagai
perpanjangan tangan/ wakil dari pemerintah pusat. Selain itu Gubernur tidak dapat
menangani pembatalan Perda kabupaten karena pembatalan perda kabupaten terkait
dengan kepentingan umum dari seluruh rakyat di kabupaten tersebut, sehingga tidak
dilimpahkan secara delegasi kepada Gubernur. Retribusi pemakaian kekayaan milik
daerah Kabupaten Tabanan adalah menjadi tanggung jawab Kabupaten Tabanan
karena hal tersebut berdampak lokal, dalam artian dampak yang ditimbulkan hanyalah
dalam lintas batas regional di daerah kabupaten tabanan saja, hal ini dapat dilihat pada
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 38 Tahun 2007 Tentang Pembagian
Urusan Pemerintahan Antara Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi, dan
Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota, halaman 577 yang membagi urusan pajak dan
retribusi daerah.
Sesuai dengan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, maka hanya ada
satu kekuasaan pemerintahan yang terletak pada pemerintah pusat yang kemudian
diberikan secara desentralisasi dan dekonsentrasi pada daerah. Artinya, sewaktu-
waktu kewenangan daerah dapat ditarik kembali oleh pemerintah pusat sebagai
pemegang kewenangan penyelenggaraan negara. Hal ini dapat dilihat pada pasal 4
ayat (1) UUD 1945 yang menentukan bahwa “Presiden Republik Indonesia
memegang kekuasaan pemerintahan menurut Undang-undang Dasar” kemudian,
19
terkait dengan pencabutan kewenangan daerah otonom oleh pusat dapat dilihat pada
pasal 6 UU Pemda.
C. KESIMPULAN DAN SARAN
I. KESIMPULAN
Gubernur tidak dapat membatalkan perda kabupaten tabanan, karena Gubernur
tidak memiliki kewenangan untuk itu. Kewenangan membatalkan perda merupakan
kewenangan Presiden yang ditetapkan melalui Peraturan Presiden. Desentralisasi dan
Dekonsentrasi bukanlah penyerahan kewenangan sepenuhnya terhadap daerah yang
dikepalai oleh Kepala Daerah/ Gubernur.
II. SARAN
Agar pengawasan preventif dan represif terhadap perda tetap dilakukan.
Pengawasan preventif berarti pengawasan sebelum perda tersebut diberlakukan
sehingga apabila terdapat hal-hal yang bertentangan dengan pembentukan perda,
misalnya bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, dapat dicegah
pemberlakuannya. Preventif dapat dilakukan dengan merevisi, serta memeriksa/
evaluasi sebelum perda ditetapkan dalam rapat paripurna. Evaluasi perda dapat
dilakukan oleh Gubernur, dan/atau Menteri Dalam Negeri sebelum perda itu
ditetapkan, hal ini akan mengurangi kerugian yang ditimbulkan apabila setelah
ditetapkan, baru diketahui kejanggalannya.
Pengawasan Represif, dilakukan setelah perda ditetapkan/ diberlakukan.
Pengawasan ini dapat dilakukan oleh semua lapisan masyarakat, yaitu untuk
mengetahui apakah perda tersebut efektif dan efisien untuk diberlakukan, apakah
perda tersebut telah memenuhi asas keadilan dan kepastian hukum, dan faktor-faktor
20
lain untuk menguji keberlakuan perda tersebut, sehingga apabila perda tersebut tidak
layak untuk diterapkan, dapat diajukan laporan untuk membetalkan perda tersebut.
21
DAFTAR PUSTAKA
BUKU
Abdurrahman, 1987, Beberapa Pemikiran Tentang Otonomi Daerah, PT. Media Sarana Press, Jakarta.
Achmad Ali, 2009, Menguak Teori Hukum (Legal Theory) dan Teori Peradilan (JudicialPrudence) Termasuk Interpretasi Undang-undang (Legisprudence), Kencana Prenada Media Group, Jakarta.
Adami Chazawi, 2002, Pelajaran Hukum Pidana I Stelsel Pidana, Tindak Pidana, Teori-teori Pemidanaan & Batas Berlakukan Hukum Pidana, RajaGrafindo Persada, Jakarta.
A.W. Widjaja, 1992, Titik Berat Pada Daerah Tingkat II, Rajawali Pers, Jakarta.
Amrah Muslimin, 1982, Aspek-aspek Hukum Otonomi Daerah, Alumni, Bandung.
H. Andi Mustari Pide, 1999, Otonomi Daerah Dan Kepala Daerah Memasuki Abad XXI, Gaya Media Pratama, Jakarta.
Y.W. Sunindhia dan Ninik Widiyanti, 1987, Praktek Penyelenggaraan Pemerintahan Di Daerah, PT. Bina Aksara, Jakarta.
Ridwan, HR, 2002, Hukum Administrasi Negara, UII Press, Yogyakarta.
Victor M. Situmorang dan Cormentyna Sitanggang, 1994, Hukum Administrasi Pemerintahan Di Daerah, Sinar Grafika Jakarta,.
Sundarso, 1988, Organisasi dan Metode, Karunika, Jakarta.
H. Zainuddin Ali, 2010, Filsafat Hukum, Sinar Grafika, Jakarta.
Johanes Usfunan, 2002, Perbuatan Pemerintah yang Dapat Digugat, Djambatan, Jakarta.
Solly Lubis, 2007, Kebijakan Publik, Mandar Maju, Bandung.
Riant Nugroho D., 2006, Kebijakan Publik Untuk Negara-negara Berkembang Model-model Perumusan, Implementasi dan Evaluasi, Elex Media Komputindo Gramedia, Jakarta.
22
SUMBER HUKUM
Undang-undang Dasar Republik Indonesia tahun 1945.
Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2009 Tentang Pajak Daerah
dan Retribusi Daerah.
Undang-undang Nomor 10 Tahun 2004 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-
undangan.
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 38 Tahun 2007 Tentang Pembagian
Urusan Pemerintahan Antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi, Dan
Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota.
Peraturan Daerah Kabupaten Tabanan Nomor 6 Tahun 2008 Tentang Retribusi
Pemakaian Kekayaan Milik Daerah Kabupaten Tabanan.
Peraturan Gubernur Bali Nomor 12 Tahun 2009 Tentang Pembatalan Perda
Kabupaten Tabanan Nomor 6 Tahun 2008 Tentang Retribusi Pemakaian
Kekayaan Milik Daerah Kabupaten Tabanan.
23