Transcript
Page 1: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44552/1/ANGGI...repository.uinjkt.ac.idAuthor: Anggi AnggaraPublish Year: 2015

URGENSI PENDIDIKAN MULTIKULTURAL DI INDONESIA

DALAM PERSPEKTIF AGAMA ISLAM

SKRIPSI

Diajukan kepada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan

Untuk Memenuhi Syarat Mencapai Gelar Sarjana Pendidikan Islam (S.Pd.I)

Oleh

ANGGI ANGGARA

NIM 109011000038

PROGRAM JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN

UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

2015/1437 H

Page 2: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44552/1/ANGGI...repository.uinjkt.ac.idAuthor: Anggi AnggaraPublish Year: 2015
Page 3: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44552/1/ANGGI...repository.uinjkt.ac.idAuthor: Anggi AnggaraPublish Year: 2015
Page 4: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44552/1/ANGGI...repository.uinjkt.ac.idAuthor: Anggi AnggaraPublish Year: 2015
Page 5: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44552/1/ANGGI...repository.uinjkt.ac.idAuthor: Anggi AnggaraPublish Year: 2015
Page 6: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44552/1/ANGGI...repository.uinjkt.ac.idAuthor: Anggi AnggaraPublish Year: 2015

i

ABSTRAK

Anggi Anggara (NIM: 109011000038): Urgensi Pendidikan Multikultural

di Indonesia dalam Agama Islam. Dalam kehidupan selalu ada kemajemukan

suku, bahasa, budaya maupun agama. Dengan adanya berbagai kemajemukan

tersebut menyebabkan kerusuhan dan konflik atas nama sebuah kepentingan dan

mengatasnamakan agama dengan menghalalkan segala dalil untuk memperkuat

tindakannya. Indonesia merupakan salah satu negara yang kaya akan

kemajemukannya, sehingga bangsa Indonesia selalu berupaya menjalin kehidupan

secara damai. Umat Islam sebagai komunitas terbesar di Indonesia berusaha untuk

menyelesaikan masalah kemajemukan agama dengan berbagai cara, diantaranya

melalui bidang pendidikan. Karena pendidikan dianggap sebagai salah satu bidang

yang sangat tepat dan efektif untuk melakukan perubahan.

Pendidikan multikultural bertujuan untuk menanamkan dan membudayakan

nilai-nilai segala jenis ras, budaya dan agama kepada peserta didik, bahwa

Indonesia bukan hanya mempunyai satu budaya, satu ras, ataupun satu agama.

Tetapi Indonesia mempunyai banyak budaya, bahasa, etnis dan agama. Agar tidak

saling berbenturan dan melecehkan terhadap yang lainnya, juga terbiasa dan

mempunyai karakter yang baik dalam berperilaku.Sesuai dengan karakteristik

masalah yang diangkat dalam skripsi ini maka penulis menggunakan metode

deskriptif dengan pendekatan kualitatif, dan penelitian pustaka (library research).

Metode pengumpulan data dalam skripsi ini menggunakan metode dokumentasi

berupa buku, surat kabar, dan literatur-literatur lain yang relevan dengan judul

skripsi.

Konsep pendidikan multikultural dalam Islam mencoba melakukan proses

transformasi prinsip-prinsip multikulturalisme yang ada dalam al-Qur’an untuk

diterapkandan diimplementasikan dalam kehidupan beragama yang

berkebudayaan. Pendidikan multikultural dalam Islam berusaha

mengaktualisasikan pesan normatif agama dengan realitas sosial yang ada. Prinsip

yang perlu dikembangkan dalam pendidikan multikultural antara lain prinsip

kemanusiaan dan kebebasan serta metode dialogis untuk memberikan kebebasan

dalam menghadapi dan menyelesaikan suatu masalah yang berkaitan dengan

kemajemukan masyarakat.

Key: Pendidikan, Multikultural dan Islam

Page 7: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44552/1/ANGGI...repository.uinjkt.ac.idAuthor: Anggi AnggaraPublish Year: 2015

ii

KATA PENGANTAR

Bismillahirrahmanirrahim

Assalamu’alaikum Wr. Wb

Segala puji bagi Allah SWT atas segala rahmat dan nikmatnya, sehingga

penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Sebagai syarat untuk mendapatkan gelar

sarjana pada jurusan Manajemen Pendidikan. Dalam hal ini penulis mengangkat

judul yaitu “URGENSI PENDIDIKAN DI INDONESIA MULTIKULTURAL

DALAM PERSPEKTIF AGAMA ISLAM”

Terimakasih penulis ucapkan atas segala dukungan dan motivasi yang

telah diberikan kepada penulis dari berbagai pihak sehingga penulis mampu

menyelesaikan skripsi ini. Penulis menyadari bahwa dukungan dan motivasi dari

berbagai pihak tersebut sangat membantu penulis dalam melalui hambatan selama

proses penyelesaian skripsi ini. Pada kesempatan ini penulis menyampaikan

terima kasih kepada:

1. Bapak Prof. Dr. Thib Raya selaku Dekan Fakultas Ilmu Tarbiyah dan

Keguruan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Bapak Dr. Abdul Majid Khon selaku Ketua Program Studi Pendidikan Agama

Islam Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Dosen Pembimbing, Bapak Dr. Muhammad Dahlan, M.Hum yang dengan

penuh kesabaran dan kasih sayang memberikan waktu luang untuk

memberikan bimbingan, arahan, nasihat. Semoga kebaikannya menjadi amal

ibadah. Amin

4. Kepada seluruh jajaran Dosen Pendidikan Agama Islam, jasa bapak dan ibu

tak akan pernah saya lupakan, dan terima kasih pula kepada Papak Faza selaku

staf Jurusan Pendidikan Agama Islam jasa ibu sangat berarti.

5. Kepada orang tua saya, Mama Karmila dan Bapak Edi Sidik, Almarhum,

malaikat yang dikirim oleh Allah yang telah memperjuangkan jiwa dan

raganya demi anaknya dalam menempuh pendidik, terima kasih banyak mama

dan bapak jasa-jasamu tak ada tandingannya.

Page 8: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44552/1/ANGGI...repository.uinjkt.ac.idAuthor: Anggi AnggaraPublish Year: 2015

iii

6. Kepada kawan-kawan seperjuangan dan adik-adik Keluaga Besar Himpunan

Mahasiswa Islam Komisariat Tarbiyah, penulis ucapkan terima kasih

motivasinya dalam penyelesaian skripsi ini

7. Kawan-kawan seperjuangan PAI A 2009 terima kasih atas dukungannya,

kalian semua takkan terlupakan yang sudah belajar bersama-sama disaat suka

maupun duka.

8. Kepada kawan-kawan HMI Komisariat Tarbiyah 2009 yang sudah

memberikan motivasinya.

9. Kepada kawan-kawan seperjuangan M. Aziz Akbar, M. Rizki F. Hasan,

Sulhan, Abdurrahman Fadillah, Suci Nurpratiwi, A Hasan Indra, Budiansyah

yang sudah memberikan motivasinya dan kawan-kawan lain yang tak bisa

saya ucapkan satu persatu.

Dan penulis mohon maaf kepada semua pihak yang sudah membantu dan

tidak sempat disebutkan masing-masing penulis ucapkan terima kasih banyak,

atas dukungan kalian semua Skripsi ini dapat diselesaikan.

Wassalamu’alaikum Wr. Wb

Jakarta, 19 April 2015

ANGGI ANGGARA

Page 9: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44552/1/ANGGI...repository.uinjkt.ac.idAuthor: Anggi AnggaraPublish Year: 2015

iv

DAFTAR ISI

LEMBAR PENGESAHAN PEMBIMBING

LEMBAR PENGESAHAN PENGUJI

SURAT PERNYATAAN KARYA ILMIAH

LEMBAR UJI REFERENSI

ABSTRAK ......................................................................................................... i

KATA PENGANTAR ....................................................................................... ii

DAFTAR ISI ...................................................................................................... iv

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah ................................................................ 1

B. Identifikasi Masalah ....................................................................... 12

C. Pembatasan Masalah ...................................................................... 12

D. Rumusan Masalah .......................................................................... 12

E. Tujuan dan Manfaan Penelitian ..................................................... 12

F. Metode penelitian .......................................................................... 13

BAB II LANDASAN TEORI

A. Pendidikan Agama Islam ............................................................... 14

1. Pengertian Pendidikan .............................................................. 14

2. Pendidikan secara umum .......................................................... 15

3. Pendidikan Islam ...................................................................... 17

4. Tujuan Pendidikan Islam .......................................................... 19

B. Multikultural .................................................................................. 21

1. Embrio Lahirnya Multikultural ................................................ 21

2. Definisi/Pengertian Multikultural ............................................ 23

3. Visi Multikultural Pendidikan .................................................. 25

4. Tujuan Pendidikan Multikultural ............................................. 27

C. Gagasan Pendidikan Islam Multikultural ............................................ 29

1. Konsep Pendidikan Multikultural ........................................... 32

2. Pendidikan Agama dan Multikultural ..................................... 35

3. Pendekatan Sosio-Kultural ..................................................... 39

4. Multikulturalisme, Agama dan Integrasi Sosial ..................... 39

Page 10: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44552/1/ANGGI...repository.uinjkt.ac.idAuthor: Anggi AnggaraPublish Year: 2015

v

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

A. Waktu Penelitian ............................................................................ 45

B. Jenis Penelitian .............................................................................. 46

C. Sumber Data .................................................................................. 46

D. Metode Pengumpulan Data ............................................................ 47

E. Teknik Analisis Data ..................................................................... 47

F. Teknik Penulisan ............................................................................ 48

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Teks Ayat dan Terjemahan Tentang Pendidikan Multikultural ..... 49

1. Persaudaran Sesama Manusia ................................................... 49

2. Toleransi .................................................................................... 53

3. Silaturrahim/Ta’aruf..................................................................55

4. Musyawarah/Kebersamaan........................................................56

5. Tolong-Menolong......................................................................59

B. Keberagaman Pendidikan Islam .................................................... 61

1. Universalitas Agama ................................................................. 61

2. Perdamaian Bagi Seluruh Makhluk dalam Al-Qur’an .............. 67

BAB V KESIMPULAN

A. Kesimpulan .................................................................................... 73

B. Saran .............................................................................................. 74

DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................ 77

Page 11: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44552/1/ANGGI...repository.uinjkt.ac.idAuthor: Anggi AnggaraPublish Year: 2015

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Indonesia dengan segala kemajemukannya merupakan tantangan

tersendiri bagi para penduduknya. Terlebih bagi umat Islam, sebagai umat

yang mayoritas di negeri ini.Kemajemukan selain merupakan modal yang

sangat besar untukkemajuan, juga rentan denganterjadinya persinggungan

akibat kemajemukan tersebut. Pertikaian karena kemajemukan termasuk di

dalamnya antar umat beragama atau antara aliran dalam agama tertentu sudah

sering terjadi, baik itu dipicu oleh konflik yang benar-benar konflik agama,

ataupun hanya sekedar menjadikan agama sebagai penyulut konflik.

Sepertinya umat beragama dalam hal ini benar-benar sedang diuji

kedewasaannya untuk bisa saling berinteraksi dengan baik agar bisa menjaga

nama baik agama masing-masing dan tidak saling mengganggu kebebasan

dalam memeluk dan beribadat menurut kepercayaan masing-masing.

Keragaman, konflik, kekerasan dan multikulturalisme telah lama menjadi

bahan telaah beberapa peneliti. Dalam sepuluh tahun terakhir ini perhatian

peneliti terhadap tema tersebut semakin meningkat. Besarnya peneliti tidak

bisa dilepaskan dari faktor keragaman masyarakat Indonesia. Perhatian

peneliti terhadap keragaman di Indonesia tidak dimaksudkan sekedar

mendeskripsikan identitas masing-masing kelompok yang banyak ditelaah

dari perspektif antropologi, tetapi yang tidak kalah menariknya, adalah

Page 12: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44552/1/ANGGI...repository.uinjkt.ac.idAuthor: Anggi AnggaraPublish Year: 2015

2

penggambaran pola interaksi antara masing-masing kelompok; apakah

berpola konflik, integratif, akomodatif dan kompetitif. Salah satu identitas

kelompok yang banyak menarik perhatian peneliti adalah keragaman agama

sebagai salah satu faktor krusial dalam interaksi sosial antara masing-masing

kelompok1.

Konflik yang disebabkan oleh faktor faham keagamaan tentang pemicu

konflik dan aksi kekerasan antara penganut Islam dengan Kristen yang

bermodus perusakan gereja di Situbondo. Perusakan gereja antara lain

disebabkan oleh faham keagamaan yang membenarkan tindakan tersebut.

Masyarakat Situbondo yang dikenal sangat agamis dan berjuluk Kota Santri

merasa terancam dengan pesatnya pertumbuhan gereja. Di kalangan

masyarakat Islam memang telah lama berkembang faham keagamaan ekslusif

yang sering mengkritik faham keagamaan lain. Faham ini menunjukkan

adanya faham ekslusif di kalangan elit muslim yang sering mengkritik faham

ketuhanan Kristen. Faham ini tidak hanya berkembang dikalangan elit, tetapi

telah menyebar hampir kepada seluruh umat Islam. Tentu faham keagamaan

bukan satu-satunya faktor pemicu konflik dan aksi kekerasan antar umat

beragama.2

Konflik kekerasan di Indonesia tak lagi sekedar mencak-mencak, orang

nekad menghilangkan nyawa sesama manusia atas nama pemberantasan etnis,

suku, agama, dan harga diri. Tak bisa mengelak bahwa konflik bermuara pada

kekerasan fisik dan turut menghiasi perjalanan reformasi Indonesia. Beberapa

konflik telah terjadi di beberapa daerah di Indonesia, seperti di Sampit

Kalimantan Tengah, di Jawa Timur, Yogyakarta, Kepulauan Karimun. Orang

bisa marah dalam waktu cepat, tak lagi menyimpan senyum atau sekedar

hidup bersampingan. Walaupun kecendrungan keinginan hidup tanpa

kekerasan, konflik pun tak serta merta berkurang, justru muncul

kecendrungan wacana dan praktik kekerasan yang meluas.3

1Syamsul Arifin, Studi Agama Perspektif Sosiologis dan Isu-Isu Kontemporer, (Malang,

UMM Press, 2009), cet. I, h. 63. 2 Ibid., h. 65.

3Annabel Mc Goldrick, Jake Lynch, Jurnalisme Damai: Bagaimana Melakukannya?,

(Jakarta, LSPP, 2001), cet. I, h. vii

Page 13: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44552/1/ANGGI...repository.uinjkt.ac.idAuthor: Anggi AnggaraPublish Year: 2015

3

Banyak masalah dalam masyarakat terkait diskriminasi dan hak asasi

manusia. Prasangka ras dapat tumbuh sebagai akibat perbedaan budaya.

Orang Timur misalnya, tak mau dipengaruhi kebiasaan mandat dan

kebiasaan-kebiasaan dari Barat, karena mereka takut struktur sosial mereka

berubah dan menganggap kebiasaan-kebiasaan itu sebagai produk kaum

Barbar. Lalu setiap budaya asing mereka meremehkan, menghina, bahkan

membenci. Kurangnya komunikasi antar bangsa kerena kendala bahasa sudah

cukup kuat untuk menyulut prasangka ras jenis sosio-kultural ini.4

Rasialisme dan diskriminasi rasial justu menemukan ladang

penyemaiannya pada yang tidak mau atau malas mengenal golongan atau

kelompok masyarakat manusia lain yang asing atau belum dikenalkannya.

Orang juga sering terperangkap dalam mengidentifikasi orang lain yang

berbeda berdasarkan suku, bangsa, ras, etnik dan agama. Kerap juga

terperangkap pada ciri fisik seperti negro, kulit merah, kulit kuning, keling

atau bule. Sering juga tampilan anatomi tubuh, misalnya hidung betet, mata

sipit, kaki lebar, orang kate dan sebagainya.5

Reproduksi rasisme tingkat wacana oleh sebagian golongan masyarakat

yang berkuasa, memegang teguh fanatisme yang menganggap diri atau

kelompok sebagai yang terbaik, terunggul dan secara berlebihan, dapat

memunculkan sikap diskriminatif rasial pada kelompok lain yang dianggap

lebih rendah tingkatannya. Kasus penembakan Smith yang mendukung

supermasi pada kelompok minoritas di Amerika Serikat sudah

memperlihatkan keterlibatan individu, anggota kelompok, bagian masyarakat

dunia dalam pelanggaran sikap diskriminatif berdasar ras. Juga, kerusuhan

rasial di Los Angeles, Amerika pada 1984. Sejarah juga mencatat tindakan

diskriminasi rasial yang terjadi di berbagai negara lain, termasuk yang maju

macam Inggris, Prancis, Jerman, juga Indonesia dengan kerusuhan Ketapang,

Sambas.6

4Dicky Lopulalan, Benjamin Tukan, Konvensi Internasional Tentang Penghapusan

Segala Bentuk Diskriminasi Rasial, (Jakarta, LSPP, 2000), cet. I. h. 16. 5Ibid., h. 20.

6Ibid.

Page 14: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44552/1/ANGGI...repository.uinjkt.ac.idAuthor: Anggi AnggaraPublish Year: 2015

4

Di tingkat negara, diskriminasi rasial bisa menghasilkan teror dan tindak

kekerasan yang tiada taranya. Bukti sejarah menunjukkan, pemusnahan yang

dilakukan oleh Adolf Hitler antara 1939-1945 memakan korban tak kurang

dari 5.721.500 orang Yahudi Eropa.7 Gambaran lain adalah pemberlakuan

sistem apartheid di Afrika Selatan yang telah menguntungkan empat juta kulit

putih sebagai pemerintah minoritas dan sebaliknya, menyengsarakan,

memisahkan (apartheid = pemisahan), mengklasifikasikan orang atas dasar

ras, membuat 20 juta penduduk etnik Afrika tidak bisa maju lantaran

pengganjalan serikat perdagangan, serta pembatasan masuk ke sekolah

pemerintah.8

Kemudian di Indonesia untuk melanggengkan kekuasaan, pemerintah

atau penguasa satu wilayah mengeluarkan peraturan-peraturan yang bersifat

mengikat dan mengandung muatan diskriminasi rasial. Politik kekuasaan

Orde Baru yang dipertahanlan selama 32 tahun dengan menjalankan politik

SARA (Suku, Agama, Ras dan Antar golongan) telah menghasilkan produk

hukum yang sangat rasialis dari rezim Orde Baru, yakni Inpres No. 2/1980

yang melahirkan kewajiban bagi warga negara tertentu untuk memiliki bukti

sebagai warga negara Indonesia. Hanya dengan dasar pertimbangan demi

kepastian hukum, setiap warga negara keturunan asing yang belum

mempunyai bukti kewarganegaraan wajib memiliki Surat Bukti

Kewarganegaraan Republik Indonesia (SBKRI).9

Menyinggung soal pemerintah Orde Baru yang meminggirkan

masyarakat adat dan kelompok minoritas. Masyarakat adat telah menjadi

salah satu pihak yang paling banyak dirugikan oleh kebijakan-kebijakan

pembangunan selama tiga dekade terakhir ini. Secara sistematis pemerintah

menyingkirkan masyarakat adat dari semua lapangan kehidupan sosial,

politik, hukum, ekonomi dan kultural. Pemerintah juga tidak mengakui agama

yang dipeluk masyarakat adat karena tidak dianggap sebagai agama benar.10

7Ibid.

8Ibid.

9Ibid.

10Sapto Yunus, Kovenan Internasional Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya, (Jakarta:

LPSS, 2000), cet. I, h. 43.

Page 15: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44552/1/ANGGI...repository.uinjkt.ac.idAuthor: Anggi AnggaraPublish Year: 2015

5

Begitu juga dengan faktor religius, perbedaan agama dapat melahirkan

kebencian antar ras. Meski setiap agama yang bersangkutan menganjurkan

saling pengertian, kasih, dan toleransi, dalam sejarah terbukti peperangan

serta penindasan dapat merajarela ketika penganut agama Kristen berhadapan

dengan pemeluk agama Islam, atau antara Katolik dan Protestan sendiri. Di

Timur Tengah, perbedaan agama atau adat sekte agama dapat membakar

kesatuan menjadi kebencian yang memakan banyak korban, seperti yang

terjadi perang saudara di Lebanon dan perang Iran-Irak. Dapat pula muncul

prasangka ras jika pihak tertentu dilihat terlalu hidup enak karena korupsi

atau menindas pihak lain.11

Kecendrungan dorongan dan motif berbeda untuk ikut serta dalam setiap

kerusuhan individual yang bergejolak membuat setiap pertikaian, bentrokan

menaburkan bibit-bibit kekerasan di tempat lainnya terkontaminasi dengan

menghambat arus pengungsi dan menekankan solideritas antar agama.

Konflik-konflik di daerah-daerah disebabkan karena ketidakadilan ekonomi,

tanah yang subur dan sumber daya alam yang berlimpah seharusnya bisa

mensejahterakan lebih dari 1.000 etnis yang hidup di tengahnya. Tapi

kenyataan tak seindah harapan, setidaknya belum untuk saat ini.

Masa reformasi yang diharapkan bisa membuat 200 juta penduduk

memperoleh kehidupan yang lebih baik justru meningkatkan ekskalasi

konflik di tengah masyarakatnya. Setiap kelompok dalam kehidupan

kebangsaan dan kenegaraan telah berkembang sedemikian rupa seolah-olah

sudah menjadi yang terbaik, dengan kata lain kelompok yang satu merasa

lebih baik dari yang lainnya. Faktor kesenjangan juga ditengarai menambah

ricuh konflik horizontal antar suku bangsa yang terjadi.12

Untuk itulah dalam rangka merajut kebersamaan dan saling pengertian

antar sesama warga-bangsa, maka perlu melihat pemikiran pendidikan dalam

bingkai pendidikan multikulturalisme diharapkan perlu memahami konsep

wacana multikultural yang menekankan pada kesederajatan dan kesetaraan

11

Dicky Lopulalan, Benjamin Tukan, Op. Cit, h. 17. 12

Latifudin, Paradigma Pendidikan Multikultural Dalam Pendidikan Islam, Sekolah

Pasca Sarjana UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta, 2008, h. 4.

Page 16: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44552/1/ANGGI...repository.uinjkt.ac.idAuthor: Anggi AnggaraPublish Year: 2015

6

budaya-budaya lokal dan etnisitas tanpa mengabaikan hak-hak dan eksistensi

budaya lain. Hal ini sangat penting untuk dipahami bersama dalam kehidupan

masyarakat yang multikultural seperti di Indonesia ini. Sebab kenyataan yang

tak dapat dielakkan, bangsa Indonesia memiliki keragaman bahasa, sosial,

agama, budaya dan sebagainya. Keragaman tersebut amat kondusif bagi

munculnya konflik dalam berbagai dimensi kehidupan.

Negara Indonesia yang berlandaskan Pancasila dengan semboyan

Bhineka Tunggal Ika, tentunya sangat menghargai kebebasan masing-masing

agama dan budaya, dimana berbagai pihak termasuk pemerintah pun harus

bertindak adil, sehingga tidak terjadi diskriminasi agama, budaya dan etnis

tertentu. Jika paradigma pendidikan multikultural mengarah pada pedagogik

kesetaraan maka disini dapat dilihat bahwa pendidikan Islam melihat pada

pendidikan multikultural yang dalam Islam dikenal dengan istilah sawwamah,

hurriyah, syu’ubah, hanif, ihtiram dan tasyamuh.

Pemahaman multikultural didasarkan kepada pedagogik baru yaitu

pedagogik yang berdasarkan pada kesetaraan manusia (equity pedagogy).

Pedagogik kesetaraan bukan hanya mengakui adanya hanya hak asasi

manusia tetapi juga hak kelompok manusia, kelompok suku bangsa,

kelompok bangsa untuk hidup berdampingan berdasarkan kebudayaan

sendiri. Dengan demikian diakui adanya prinsip kesetaraan individu, antar

individu, antar bangsa, antar budaya, antar agama dan antar etnis. Pedagogik

kesetaraan tidak mengakui perbedaan-perbedaan artifisial yang telah dibuat

oleh manusia di dalam sejarah kehidupannya. Pedagogik kesetaraan

berpangkal kepada pandangan mengenai kesetaraan martabat manusia (digity

of man).13

Di satu sisi perkembangan multikulturalisme didorong oleh keterbukaan

kehudupan manusia karena terbentuknya apa yang disebut global village.

Terutama didorong oleh kemajuan teknologi komunikasi, hubungan antar

manusia di dunia ini semakin terbuka dan menyatu sehingga dimungkinkan

oleh hubungan global yang semakin erat, yang jelas ialah, hubungan

13

Ibid., h. 9.

Page 17: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44552/1/ANGGI...repository.uinjkt.ac.idAuthor: Anggi AnggaraPublish Year: 2015

7

kehidupan ekonomi, globalisasi melahirkan adanya pasar terbuka (open

market), menyebabkan hubungan antar manusia, antar ras, antar agama dan

antar budaya sangat menjadi erat. Disini maka dilihat hubungan atau

keterkaitan antar pendidikan multikultural dengan agama Islam. Pendidikan

multikultural berbasis agama tidak dapat dilepaskan dari pemahaman

pendidikan yang bersifat universal. Hal ini jika dikaitkan dengan pendidikan

Islam perspektif al-qur’an maka, pembahasannya adalah pluralitas, discourse

civilization, serta identitas sosial.14

Oleh krena itu cara beradab untuk menyelesaikan setiap konflik ditengah

masyarakat yang tidak dapat diselesaikan secara damai adalah melalui

hukum. Dalam negara yang beradab, keberadaan masyarakat tidaklah

berkelas, maka Indonesia amat sangat penting untuk mengembalikan negeri

ini menjadi negeri hukum sebagai pedoman dalam menjalankan kehidupan

berbangsa dan bernegara. Di mana-mana dan tanpa terkecuali tindakan yang

bertentangan dengan hukum. Apabila masyarakat dapat mengendalikan

bahwa hukum selalu terlaksana tanpa pandang bulu, mereka tidak akan lagi

main hakim sendiri.15

Jika politik pengakuan berbagai kelompok, entah etnis, religius, jender

ataupun ideologis, menguat secara signifikan dalam masyarakat majemuk,

kompleksitas baru itu pasti akan mengganggu netralitas negara sehingga tidak

mungkin lagi mensterilkan isu-isu agama, kebudayaan dan jender dari politik.

Sebaliknya, berbagai konsep pra-politis dari berbagai kelompok etnis, religius

dan jender dalam situasi itu menjadi politis. Sementara itu keadilan

multikultural berarti memberikan hak-hak kolektif yang sama kepada semua

kelompok kultural untuk memelihara dan mengungkapkan tradisi dan

identitas kolektif mereka. Negara misalnya, dapat mengakomodasi sikap-

sikap eksklusif suatu kelompok kultural tertentu dalam norma perkawinan,

pendidikan dan tradisi kultural. Jika untuk mempertahankan integritas sosial

perlu mengambil strategi seperti konsep libealisme ialah management of self-

14

Ibid. 15

Maarif, Kekerasan Atas Nama Agama, (Jurnal Islam dan Sosial, vol. 5, 2010), h. 129.

Page 18: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44552/1/ANGGI...repository.uinjkt.ac.idAuthor: Anggi AnggaraPublish Year: 2015

8

intersts, dan multikultural mengambil strategi management of cultural

identities. Masalah terbesar yang dihadapi model ini adalah relativisme nilai-

nilai. Sekalipun keadilan multikultural dapat ditegakkan pada ranah politis

dengan berlakunya hukum positif yang memproteksi hak-hak kolektif, pada

ranah sosial akan terjadi kultural makna keadilan.

Di dalam relativisme tesebut, berbagai tradisi kultural justru mengisolasi

diri secara eksklusif satu sama lain. Mosaik identitas-identitas itu harus

dibayar dengan ongkos hilangnya rasa kekitaan yang lebih luas, yaitu “kita

sebagai warga negara republik Indonesia”yang berbagi nilai-nilai bersama.

Makna keadilan itulah yang dalam radar tertentu dialami dalam masyarakat

Indonesia sebagai krisis moral.16

Dengan demikian, bisa dikatakan bahwa perasangka ras dan agama

bukan muncul akibat insting manusia atau karena adanya sikap yang

diturunkan. Namun, perasangka ini bertalian dengan pendidikan yang

diberikan orang tua di rumah atau yang diperoleh dari isi buku pelajaran di

sekolah atau dari media massa. Hal ini bisa terjadi karena kekurangpahaman

pada konsepsi dasar rasialisme dan diskriminasi rasial, atau karena media itu

sendiri mengusung paham yang rasis.17

Di Indonesia, pluralisme dan multikulturalisme terutama yang terkait

dengan agama seakan ditakdirkan selalu berada dalam posisi problematis.

Siapapun tidak ada yang menampik terhadap fakta keragaman Indonesia.

Sejarah keragaman agama di Indonesia telah berlangsung sangat lama, jauh

sebelum datangnya Islam, masyarakat nusantara telah terpola ke dalam

berbagai agama dan kepercayaan. Tidak hanya Islam, agama-agama lainnya

pun berdatangan. Dalam versi negara, pada saat ini ada enam agama yang

diakui eksistensinya, yaitu Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Buddha dan

Konghucu.18

Tentang kemajemukan (pluralizm) dapat dilihat dari artikulasi yang

diberikannya terhadap term al-Islam yang secara intrinsik berarti kedamaian,

16

Ibid., h. 41. 17

Op. Cit, h. 18. 18

Syamsul Arifin, op, cit. h. 164.

Page 19: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44552/1/ANGGI...repository.uinjkt.ac.idAuthor: Anggi AnggaraPublish Year: 2015

9

ketundukan atau sikap pasrah. Bahkan dapat dielaborasikan dalam term al-

Islam dengan al-iman dan taqwa. Yang semuanya merujuk pada arti

ketundukan, aman dan mencegah diri dari kehancuran dan kebinasaan.

Sehingga dalam pandangan keuniversalan Islam terletak pada esensi dan

subtansi ajaran yang rahmatan lil’alamin, memelihara kedamaian dengan

mengarahkan para pemeluknya memiliki sikap tunduk dan patuh kepada

ajaran al-qur’an. Klaim kebenaran (truth claim) dan klaim keselamatan (claim

salvation) yang memicu sikap konfrontasi atau konflikantara manusia dengan

dalih perbedaan agama dan keyakinan harus dibuang jauh-jauh, sebaliknya

kerjasama dan perdamaian dapat ditumbuhkembangkan.19

Dalam kehidupan sehari-hari sebelum dicampuri dengan kepentingan

ideologis, ekonomi, sosial-politik dan agama, manusia menjalani kehidupan

yang bersifat pluralis secara alamiah tanpa begitu banyak mempertimbangkan

sampai pada tingkat “benar tidak nya” realitas pluralistik yang menyatu

dalam kehidupan sehari-hari. Baru ketika manusia dengan kepentingannya

(organisasi, politik, agama dan budaya) mulai mengangkat isu pluralistik pada

puncak kesadaran mereka dan menjadikannya sebagai pusat perhatian, maka

pluralitas yang semula bersifat alamiah, wajar berubah menajadi hal yang

sangat penting. Tak bisa dipungkiri, bumi sebagai tempat hunian umat

manusia adalah satu. Namun, telah menjadi sunatullah, para penghuninya

terdiri dari berbagai macam ras, suku, bahasa, budaya dan agama. Dengan

demikian kemajemukan merupakan fenomena yang tidak dapat dihindari dari

berbagai ruang kehidupan termasuk dalam kehidupan beragama.

Dalam perkembangan selanjutnya, dunia pendidikan tidak lagi bisa

difokuskan pada pembangunan kepribadian perorangan saja. Peradaban

manusia yang semakin maju menuntut pendidikan untuk lebih

memperhatikan aspek sosial masyarakat. Pada kenyataannya, pendidikan

kemasyarakatan lebih penting dari pada pendidikan individual, karena

pendidikan sebenarnya merupakan sebuah fungsi sosial. Selanjutnya

19

Muhamad Irfan, Basuki, Membangun Inklusifisme Faham Keagamaan, (Ponorogo,

STAIN Ponorogo Press, 2009), cet, I, h. 17.

Page 20: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44552/1/ANGGI...repository.uinjkt.ac.idAuthor: Anggi AnggaraPublish Year: 2015

10

masyarakat dan lingkungan merupakan sarana penyelenggaraan pendidikan.20

Sebagai salah satu fungsi sosial, pendidikan mempunyai peranan penting

dalam memerdekakan pemikiran setiap anggota masyarakat, sebab

kemerdekaan pemikiran awal terciptanya masyarakat yang beradab,

berbudaya dan tidak tertindas. Oleh karena itu hakikat pendidikan sebagai

suatu proses memanusiakan anak manusia, yakni menyadari akan manusia

yang merdeka. Manusia merdeka adalah manusia yang kreatif yang terwujud

di dalam budayanya, karena manusia dibesarkan di dalam habitusnya yang

membudaya. Hidup di dalam budayanya dan menciptakan atau merekontruksi

budayanya itu sendiri, memanusiakan berarti membudaya.21

Pendidikan sebagai faktor utama perkembangan budaya masyarakat,

seringkali dimanfaatkan oleh berbagai pemikiran dan ideologi untuk

menyebarkan pemahaman dan pola pikirnya. Sudah tidak asing lagi jika suatu

pemikiran mendominasi lembaga atau sistem pendidikan tertentu. Di antara

pemikiran-pemikiran yang banyak memberikan pengaruh dan bahkan

menentukan tujuan dan metode pembelajaran suatu sistem pendidikan adalah

ideologi agama.22

Pendidikan merupakan institusi sosial yang dipandang strategis untuk

mendiseminasikan wacana lintas agama. Posisi strategis pendidikan sebagai

media untuk mensosialisasikan sikap pluralistik, pendidikan multikultural

tidak hanya ingin mengembangkan pengetahuan, tetapi juga ingin

mengembangkan sikap pluralistik, demokratis, humanis dan keadilan terkait

dengan perbedaan kultural yang ada di sekitar peserta didik.23

Paparan di atas memberikan isyarat penting bahwa kajian seputar

keragaman, konflik, kekerasan dan multikulturalisme, telah melimpah.

Meskipun demikian, tidak berarti kajian di seputar topik tersebut tidak

memiliki daya tarik lagi terutama dari kepentingan pengembangan ilmu

20

Yulia Rahman, Nasionalisme dan Islam Dalam Pembelajaran Agama, (Bandung,

Friska Agung Insani, 2000), h. 30. 21

Ibid., h. 30. 22

Ibid. 23

Syamsul Arifin, Op.cit., h. 66.

Page 21: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44552/1/ANGGI...repository.uinjkt.ac.idAuthor: Anggi AnggaraPublish Year: 2015

11

pengetahuan. Dari semua topik yang telah diteliti, topik multikulturalisme

nampaknya masih membutuhkan kajian yang lebih mendalam lagi terutama

untuk memperkokoh kebenaran pragmatisnya. Di beberapa negara konsep

multikulturalisme telah mengalami pelembagaan sebagai bagian dari

pendekatan kebijakan publik dalam menghadapi persoalan kemajemukan. Ini

berarti konsep multikulturalisme dianggap benar secara pragmatis karena

memiliki kegunaan dalam realitas empirik. Di Indonesia multikulturalisme

memang telah memperoleh apresiasi terutama dari kalangan akademisi. Salah

satu bentuk apresiasi misalnnya nampak pada adanya wacana

multikulturalisme sebagai alternatif dari pluralisme. Apresiasi juga terlihat

pada berbagai upaya untuk mengobjektivasikan multikulturalisme dalam

berbagai bidang kehidupan seperti yang bisa diamati dalam dunia

pendidikan.24

Ada dua masalah yang menjadi keprihatinan dikalangan umat Islam

Indonesia menyangkut pendidikan. Pertama ialah memudarnya nilai-nilai

agama, tumbuhnya sikap sekuler atau sikap anti agama di sebagian

masyarakat Indonesia. Ini dirasakan terutama sejak berdirinya sekolah-

sekolah modern pada masa kolonial Belanda. Kalangan pemimpin Islam

yakin apabila keadaan tersebut terus berlanjut, maka negara dan masyarakat

Indonesia akan rapuh. Sebab itu, pendidikan agama harus menjadi materi

pendidikan pokok. Kedua ialah rendahnya mutu pengetahuan modern para

siswa di lembaga-lembaga pendidikan Islam.25

Dari beberapa kasus pengalaman tersebut tampaknya hingga hari ini

pendidikan multikultural masih menyimpan sejumlah persoalan dalam

konteks Indonesia. Oleh karenanya sudah semestinya pendidikan Islam

memberikan respon terhadap gejala multikultural yang sedang booming dan

menggejala saat ini. Maka dari itu penulis tertarik mengulas judul “Urgensi

Pendidikan Multikultural Di Indonesia dalam Perspektif Agama Islam”

24

Op.cit., h. 66-67. 25

Azyumardi Azra, Menteri-Menteri Agama RI: Biografi Sosial-Politik, (Jakarta: PPIM,

1998), h. 235.

Page 22: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44552/1/ANGGI...repository.uinjkt.ac.idAuthor: Anggi AnggaraPublish Year: 2015

12

B. Identifikasi Masalah

Berdasarkanlatarbelakang masalah di atas penulis mengidentifikasikan

masalah-masalah sebagai berikut:

1. Kesadaran sebagai anggota masyarakat yang rendah terhadap

keberagaman sosial

2. Sering terjadi konflik antar individu maupun kelompok di Indonesia

3. Penyamarataan yang rendah dalam bermasyarakat

4. Terjadinya diskriminasi dan kesenjangan sosial.

C. PembatasanMasalah

Dengan membaca identifikasi masalah, sesungguhnya penelitian terhadap

aspek pendidikan nasioal dengan menggunakan pendidikan multikultural

tentulah sangat luas dan kompleks, karena keterbatasan ruang dan waktu.

Agar penelitian ini memiliki arah yang jelas dan tepat dalam pembahasannya,

perlu ada pembatasan pada hubungan pendidikan multikultural di Indonesia

dalam agama Islam.

1. Urgensi pendidikan multikultural?

2. Bagaimana pemahaman pendidikan multikultural menurut Islam?

D. Rumusan Masalah

Dari batasan masalah tersebut dapat dirumuskan sebuah pertanyaan yang

akan dijawab oleh peneliti, yaitu:

1. Seberapa besar urgensi Pendidikan Multikultural Di Indonesia?

2. Bagaimana pemahaman Islam terhadap pendidikan multikultural?

E. Tujuan dan Manfaan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah menentukan pandangan dasar Islam terhadap

wacana pendidikan multikultural dan membongkar wacana yang dilontarkan

intelektual muslim seputar hal itu sebagai bagian dari tuntutan zaman.

Sedangkan manfaat dari penelitian ini adalah mensosialisasikan pendidikan

multikultural dari sudut pandang Islam untuk mengintegrasikan kemajemukan

demi terciptanya kerukunan hidup berbangsa dan beragama.

Page 23: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44552/1/ANGGI...repository.uinjkt.ac.idAuthor: Anggi AnggaraPublish Year: 2015

13

F. Metode Penelitian

Metode yang digunakan adalah metode deskriptif analitis, yaitu

penelitian yang dimaksud mengadakan pendeskripsian yang berkaitan dengan

tema yang dibahas. Adapun jenis penelitian yang digunakan dalam pencarian

data adalah penelitian kepustakaan (library research), yaitu penelitian yang

dilakukan dengan cara membaca, mempelajari dan meneliti buku-buku, kitab-

kitab, majalah, surat kabar, jurnal dan sumber lainnya yang berkaitan dengan

tema ini. Sedangkan teknik penulisannya berpedoman pada buku Pedoman

Penulisan Skripsi, Tesis dan Disertasi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

Page 24: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44552/1/ANGGI...repository.uinjkt.ac.idAuthor: Anggi AnggaraPublish Year: 2015

14

BAB II

LANDASAN TEORI

A. Pendidikan Agama Islam

1. Pengertian Pendidikan

Di dalam Undang-Undang tentang Sistem Pendidikan Nasional, pasal 1

dijelaskan bahwa “Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk

mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik

secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan

spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak

mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan

negara”.1 Dalam pasal 1 ayat 2 tentang pendidikan nasional ialah pendidikan

yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik

Indonesia Tahun 1945 yang berakar pada nilai-nilai agama, kebudayaan

nasional Indonesia dan tanggap terhadap tuntutan perubahan zaman.2

Kemudian, dalam pasal 16 diterangkan pendidikan berbasis masyarakat

adalah penyelenggaraan pendidikan berdasarkan kekhasan agama, sosial,

budaya, aspirasi, dan potensi masyarakat sebagai perwujudan pendidikan dari,

dan untuk masyarakat.3 Dari sini dapat dipahami bahwa dalam kegiatan

bimbingan pengajaran dan pelatihan terkandung makna pendidikan.

1Undang-Undang Tentang Sisdiknas dan Peraturan Pelaksanaannya, (Jakarta: CV.

Tamita Utama, 2004), h. 4. 2 Ibid., h. 5.

3Ibid

Page 25: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44552/1/ANGGI...repository.uinjkt.ac.idAuthor: Anggi AnggaraPublish Year: 2015

15

Di kalangan penulis Indonesia, istilah pendidikan biasanya diarahkan

pada Pembina an watak, moral, sikap atau kepribadian atau lebih mengarah

pada efektif, sementara pengajaran lebih diarahkan pada penguasaan ilmu

pengetahuan atau menonjolkan dimensi kognitif dan psikomotorik.

Pengertian pendidikan bahkan lebih diperluas cakupannya sebagai

aktivitas dan fenomena. Pendidikan sebagai aktivitas berarti upaya yang

secara sadar dirancang untuk membantu seseorang atau sekelompok orang

dalam mengembangkan pandangan hidup (bagaimana orang akan menjalani

dan memanfaatkan kehidupannya), sikap hidup dan keterampilan hidup, baik

yang bersifat manual (petunjuk praktis) maupun mental dan sosial.

Sedangkan pendidikan sebagai fenomena adalah peristiwa perjumpaan antara

dua orang atau lebih yang dampaknya ialah berkembangnya suatu pandangan

hidup atau keterampilan hidup pada salah satu atau beberapa pihak.4

Ahmad Tafsir menambahkan, bahwa pendidikan adalah bimbingan atau

pimpinan secara sadar oleh pendidik terhadap perkembangan jasmani dan

rohani anak didik menuju terbentuknya kepribadian yang utama.Jadi,

pendidikan adalah berbagai usaha yang dilakukan oleh seseorang (pendidik)

terhadap seseorang (anak didik) agar tercapai perkembangan maksimal yang

positif. Sekarang jelaslah bahwa pendidikan adalah bimbingan yang diberikan

kepada seseorang agar dapat berkembang secara maksimal.5

Dari istilah-istilah tersebut, kiranya dapat ditarik kesimpulan bahwa

pendidikan bisa diartikan sebagai suatu proses yang komprehensip dari

pengembangan kepribadian manusia secara keseluruhan, yang meliputi

bidang intelektual, spritual, emosional dan fisik.6

2. Pendidikan secara umum

Kata pendidikan ditinjau dari segi etimologi berasal dari kata dasar didik

yang berarti memelihara dan memberi latihan, ajaran, pimpinan mengenai

4Muhaimin, dkk, Paradigma Pendidikan Islam: Upaya Mengefektifkan Pendidikan

Agama Islam di Sekolah, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 1997), cet. 5, h. 37. 5Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan Dalam Perspektif Islam,(Bandung: PT Remaja

Rosdakarya, 2008), cet. 1, h. 24-28. 6Anshori, Pendidikan Islam Transformatif, (Jakarta: Referensi, 2012), cet. I, h. 10.

Page 26: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44552/1/ANGGI...repository.uinjkt.ac.idAuthor: Anggi AnggaraPublish Year: 2015

16

akhlak dan kecerdasan pikiran. Pendidikan sebagai daya upaya untuk

memajukan perkembangan budi pekerti (kekuatan batin), pikiran (intelek) dan

jasmani anak-anak. Maksudnya ialah untuk memajukan kesempurnaan hidup,

yaitu kehidupan dan penghidupan anak-anak, selaras dengan alam dan

masyarakat.

Memperhatikan definisi di atas dapat ditarik pengertian bahwa

pendidikan adalah usaha yang dilakukan seseorang atau sekelompok orang

dalam mempengaruhi orang lain yang bertujuan untuk mendewasakan

manusia seutuhnya, baik lahir maupun batin. Artinya, dengan pendidikan

manusia bisa memiliki kestabilan dalam pandangan hidup dan

kestabilandalam nilai-nilai kehidupan dengan penuh rasa tanggung jawab.7

Plato mengatakan bahwa tujuan pendidikan sesungguhnya adalah

penyadaran terhadap self knowing and self realizationkemudian inquiri,

reasoning and logic. Jadi, disini jelas bahwa tujuan pendidikan memberikan

penyadaran terhadap apa yang diketahuinya, kemudian pengetahuan tersebut

harus direalisasikan sendiri dan selanjutnya mengadakan penelitian serta

mengetahui hubungan kausal, yaitu alasan dan alur pikirnya. Ahli filsafat lain

seperti Aristoteles mengatakan bahwa tujuan pendidikan penyadaran terhadap

self realization, yaitu kekuatan efektif (virtue) kekuatan untuk menghasilkan

(efficacy) dan kekuatan untuk mencapai kebahagiaan hidup melalui kebiasaan

dan kemampuan berfikir rasional.8

Dari pengertian di atas, pendidikan dikatakan sebagai sebuah proses yang

dilakukan secara sadar dan terencana untuk mengembangkan potensi-potensi

yang dimiliki peserta didik. Dengan dasar itu, pendidikan dimaksudkan untuk

membekali peserta didik agar mampu menjadi warga negara yang baik.9

Sebetulnya, tujuan umum pendidikan Islam sinkron dengan tujuan agama

Islam, yaitu berusaha mendidik individu mukmin agar tunduk, bertakwa dan

7Armai Arif, Pembaharuan Pendidikan Islam di Minangkabau, (Jakarta: Suara ADI,

2009), cet. I, h. 32. 8Sukardjo dan Ukim Komarudin, Landasan Pendidikan dan Aplikasinya, (Jakarta: PT

Raja Grafindo, 2014), cet. I, h. 4. 9Armai Arif dan Sholehuddin, Perencanaan Sistem Pendidikan Agama Islam, (Jakarta:

PT. Wahana Kardofa, 2009), cet. I, h. 2-3.

Page 27: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44552/1/ANGGI...repository.uinjkt.ac.idAuthor: Anggi AnggaraPublish Year: 2015

17

beribadah dengan baik kepada Allah, sehingga memperoleh kebahagiaan di

dunia dan di akhirat.10

3. Pendidikan Islam

Pendidikan menurut Islam adalah sarana untuk melatih badan (fisik),

fikiran dan jiwa dengan menerapkan berbagai ilmu pengetahuan, yaitu ilmu

fardhu ain dan ilmu fardhu kifayah. Ilmu fardhu ain seperti rukun Islam

diwajibkan bagi setiap orang dan ilmu fardhu kifayah yang merupakan ilmu

pilihan seseorang diperlukan untuk masyarakat dalam kehidupannya dan

untuk melestarikan alam. Tujuan pendidikan Islam adalah terbentuknya

kepribadian muslim, bahwa tujuan demikian identik dengan tujuan hidup

setiap orang muslim, adapun tujuan hidup seorang muslim adalah

menghamba (ibadah) kepada Allah.11

Masih sejalan dengan uraian tersebut, tujuan pendidikan Islam dalam

Konferensi Pendidikan Islam tahun 1980, bahwa pendidikan harus

merealisasikan cita-cita Islam yang mencakup pengembangan kepribadian

muslim yang bersifat menyeluruh secara harmonis yang berdasarkan

psikologis dan fisiologis maupun yang mengacu kepada keimanan dan

sekaligus berilmu pengetahuan secara berkesinambungan sehingga

terbentuknya manusia muslim paripurna yang berjiwa tawakal secara total

kepada Allah.12

Dalam seminartentang “Sistem Pendidikan Islam di Indonesia”, yang

diadakan oleh BKS-Perguruan Tinggi Swasta di Jakarta pada 13-16 mei 1979,

disimpulkan tentang kependidikan Islam; Pendidikan Islam ialah usaha yang

berlandaskan untuk membantu manusia dalam mengembangkan dan

mendewasakan kepribadiannya, baik jasmaniyah maupun rohaniyah untuk

memikul tanggung jawab memenuhi tuntunan zaman dan masa depan.13

10

Rizaluddin, Sejarah Pemikiran Pendidikan Islam, Jakarta: FAI UHAMKA, 2008, cet. I, h. 7.

11Armai Arif, op.cit., h. 137.

12Abdul Halim, Wawasan Pendidikan Islam, (Jakarta: Kalam Mulia, 2002), cet. I, h. 18-

19. 13

Muhamad H Talhah, Islam Dalam Perspektif Sosio-Kultural, (Jakarta: Lantabora Pers,

2005), cet. I, h. 97.

Page 28: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44552/1/ANGGI...repository.uinjkt.ac.idAuthor: Anggi AnggaraPublish Year: 2015

18

Bangsa Indonesia telah merumuskan tujuan pendidikan nasional melalui

TAP MPR dan dimasukkan sebagai GBHN. Tujuan tersebut ialah untuk

meningkatkan ketakwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa, kecerdasan,

keterampilan, mempertinggi budipekerti, memperkuat kepribadian dan

mempertebal semangat kebangsaan agar menumbuhkan pembangunan

manusia yang dapat membangun dirinya sendiri serta bersama-sama

bertanggung jawab atas pembangunan bangsa. Rumusan tersebut merupakan

tujuan akhir dari pendidikan nasional atau yang disebut sebagai ultimate aims

of education. Dalam tujuan akhir ini masih dapat mengandung bagian-bagian

tertentu yang disebut sebagai tujuan khusus (Proxsimate Objective). Tujuan

khusus ini banyak ditentukan oleh nilai-nilai yang menjiwai proses

pendidikan. Bagi seseorang religius (muslim), tujuan khusus pendidikannya

adalah untuk mencapai suatu kesempurnaan dan kesempurnaan itu baginya

ialah kebijakan kepada Allah dan sesama manusia (atqakum billah wa

anfaukum linnas), itulah yang merupakan citra tertinggi keagamaan.14

Dalam konteks pendidikan Islam, berarti pandangan hidup, sikap hidup

dan keterampilan hidup harus bernafaskan juga dijiwai oleh ajaran dan nilai-

nilai Islam yang bersumber dari al-Qur’an dan sunnah/hadis. Pendidikan

dalam perspektif Islam dapat mengandung pengertian pendidikan atau

pengajaran keagamaanatau ke-Islaman, dan pendidikan atau pengajaran

agama Islam.15

Dari pengertian di atas dapat ditarik suatu pengertian, bahwa yang

dimaksud dengan pendidikan Islam melalui pengajaran, bimbingan dan

latihan yang dilakukan dengan sadar dan penuh tanggungjawab dalam rangka

pembentukan, pembinaan, pendayagunaan dan pengembangan pikir, zikir dan

kreasi manusia, sehingga terbentuk pribadi muslim sejati, yang mampu

mengembangkan kehidupan dengan penuh tanggung jawab dalam rangka

beribadah kepada Allah Swt untuk mencapai kebahagiaan hidup di dunia dan

di akhirat.16

14

Ibid., h. 99. 15

Ahmad Sadali, dkk, Islam Untuk Disiplin Ilmu Pengetahuan, (Jakarta: PT. Bulan

Bintang, 1987), cet. I, h,. 38. 16

Ibid., h. 33.

Page 29: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44552/1/ANGGI...repository.uinjkt.ac.idAuthor: Anggi AnggaraPublish Year: 2015

19

4. Tujuan Pendidikan Islam

Tujuan pendidikan agama Islam yaitu menciptakan manusia yang

berakhlak Islam, beriman, dan bertaqwa sebagai suatu kebenaran serta

berusaha dan mampu membuktikan kebenaran melalui akal, rasa, dalam

seluruh perbuatan dan tingkah laku sehari-hari. Karena pendidikan tidak

hanya mengajarkan atau mentransformasikan ilmu dan keterampilan serta

kepekaan budaya atau agama, akan tetapi seyogyanya memberi perlengkapan

kepada anak didik untuk mampu memecahkan persoalan-persoalan yang

sudah nampak maupun yang baru akan nampak jelas dimasa yang akan

datang. Dengan perkataan lain pendidikan Islam harus berorientasi ke masa

yang akan datang (futuristic), karena sesungguhnya anak didik masa kini

adalah bangsa yang akan datang.

Persoalan-persoalan yang harus dipecahkan oleh manusia sebagai

anggota masyarakat dan warganegara mungkin tidak hanya akan dihadapi

satu atau dua kali, tetapi seringkali selama hidupnya. Disinilah antara lain

letak pentingnya bahwa ruang lingkup materi pendidikan tidak hanya

merupakan perbendaharaan ilmu pengetahuan yang harus dihafalkan

(cognitive learning), atau berbagai latihan keterampilan yang spesifik

(psychomotoric training), akan tetapi yang lebih penting bahwa ilmu

pengetahuan disampaikan sedemikian rupa dalam satu susunan yang

memungkinkan untuk berfungsi sebagai masukan (input) yang dapat

diperoses didalam otak, sehingga memungkinkan terbentuknya suatu sikap

apresiatif dan suatu konsep idea tentang suatu masalah dan atau sebagai

pemecah masalah. Yang paling penting diperhatikan, karena seringkali

diabaikan ialah suatu bagian dari belajar secara kognitif yaitu pembinaan

sikap yang melandasi perbuatan seseorang yang committed kepada perintah

Allah dengan ikhlas atau pembinaan yang disebut akhlak.17

Konsep ini hendaknya juga berfungsi sebagai suatu dasar yang dapat

dikembangkan lebih lanjut didalam proses belajar, baik secara formal maupun

secara informal atau non-formal terus menerus selama hidup. Pada akhirnya

17

Nur Uhbiyati, Ilmu Pendidikan Islam, (Bandung: Pustaka Setia, 1997), cet. I, h. 41.

Page 30: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44552/1/ANGGI...repository.uinjkt.ac.idAuthor: Anggi AnggaraPublish Year: 2015

20

pendididkan Islam diharapkan dapat menghasilkan manusia secara sadar

mampu mengucapkan kalimat seperti dalam al-Qur’an surat az-Zukhruf (43):

13.

بحان ال تويت عليه و تقولوا س ذا اس ك ا توا عل ظهوره مث تذكروا نعمة رب ى خر لا لتس

) هذا و (٣١الزخرف:ما كا ل مقرني

Supaya kamu duduk di atas punggungnya kemudian kamu ingat nikmat

Tuhanmu apabila kamu telah duduk di atasnya, dan supaya kamu

mengucapkan maha suci Tuhan telah menundukkan semua ini bagi kami

padahal kami sebelumnya tidak mampu menguasainya. az-Zukhruf (43): 13.

Dengan demikian usaha pendidikan Islam diproyeksikan kepada:

a. Pembinaan ketaqwaan dan akhlakul karimah yang dijabarkan didalam

pembinaan kompetensi enam aspek ke-imanan, lima aspek ke-Islaman dan

multi aspek ke-ihsanan.

b. Mempertinggi kecerdasan dan kemampuan anak didik.

c. Memajukan ilmu pengetahuan dan teknologi beserta manfaat dan

aplikasinya.

d. Meningkatkan kualitas hidup.

e. Memelihara, mengembangkan dan meningkatkan budaya dan lingkungan.

f. Memperluas pandangan hidup sebagai manusia yang komunikatif terhadap

keluarga, masyarakat, bangsa, sesama manusia dan makhluk lainnya.18

Dengan demikian pendidikan Islam diharapkan menghasilkan manusia

yang berguna bagi dirinya sendiri dan masyarakatnya serta senang dan gemar

mengamalkan juga mengembangkan ajaran Islam dalam berhubungan dengan

Allah dan dengan sesamanya, dapat mengambil manfaat yang semakin

meningkat dari alam semesta ini untuk kepentingan hidup di dunia kini dan di

akhirat nanti. Tujuan ini kelihatannya terlalu ideal sehingga sukar dicapai,

tetapi dengan kerja keras yang dilakukan secara berencana dengan kerangka-

kerangka kerja yang konseptual mendasar, pencapaian tujuan itu bukanlah

sesuatu yang mustahil.19

18

Ibid., h. 42. 19

Ibid.

Page 31: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44552/1/ANGGI...repository.uinjkt.ac.idAuthor: Anggi AnggaraPublish Year: 2015

21

Banyak sekali konsep dan teori tujuan pendidikan Islam yang telah

dikemukakan oleh para ahli pendidikan, baik pada zaman klasik, pertengahan

maupun dewasa ini. Dapat dipahami, bahwa beragamnya konsep dan teori

pendidikan Islam merupakan bukti adanya usaha dari para intelektual muslim

dan masyarakat muslim umumnya untuk menciptakan suatu sistem

pendidikan yang baik bagi masyarakat. Namun demikian, berkembangnya

pemikiran tentang tujuan pendidikan Islam tidak pernah melenceng dari

prinsip dasar yang menjadi asas dan pijakan dalam pengembangan tujuan

pendidikan Islam. Diantara prinsip tersebut adalah prinsip universal,

keseimbangan, kejelasan, dinamis dan relevan.20

Dalam pandangan Hamka, tujuan pendidikan Islam adalah mengenal dan

mencari keridhoan Allah, membangun budipekerti untuk berakhlak mulia,

serta mempersiapkan peserta didik untuk hidup secara layak dan berguna

ditengah-tengah komunitas sosial (masyarakat).21

Pengertian lain tentang

pendidikan Islam adalah suatu sistem kependidikan yang mencakup seluruh

aspek kehidupan oleh hamba Allah, sebagaimana Islam telah menjadi

pedoman bagi seluruh aspek kehidupan manusia, baik duniawi maupun

ukhrawi.22

Pada hakikatnya, tujuan akhir pendidikan Islam adalah

merealisasikan ubudiyah kepada Allah di dalam kehidupan manusia baik

individu maupun masyarakat.23

B. Multikultural

1. Embrio Lahirnya Multikultural

Latar historis multikultural, pemikiran tentang pluralisme agama muncul

pada masa-masa pencerahan Eropa abad ke 18 Masehi, sebagai masa awal

kebangkitan gerakan pemikiran modern di Eropa. Bahwa abad ke 18

merupakan abad kebangkitan Eropa dari masa kegelapan, feodalisme dan

dominasi gereja terhadap negara dan masyarakat ke masa pencerahan

20

Ahmad Sadali,op.cit.,h. 18. 21

Samsul Nizar, Memperbincangkan Dinamika Intelektual dan Pemikiran Hamka

Tentang Pendidikan Islam, (Jakarta: Kencana, 2008), cet. I, h. 116. 22

Arifin, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: PT. Bumi Aksara, 2009), h. 8. 23

Samsul Nizar, op, cit., h. 30.

Page 32: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44552/1/ANGGI...repository.uinjkt.ac.idAuthor: Anggi AnggaraPublish Year: 2015

22

pemikiran yang berorientasi superioritas akal (rasionalisme) dan pembebasan

akal dari kungkungan agama (gereja). Dominasi gereja dan prilaku korup

kalangan pastoral tingkat tinggi ditambah hiruk-pikuk konflik-konflik etnik,

sekterian, ras, mazhab dan keagamaan yang berprilaku intoleran

memperburuk hubungan gereja dan kehidupan diluar gereja yang semakin

memuncak dengan munculnya paham liberalisme.

Konflik gereja dan kehidupan di luar gereja tersebut telah melahirkan

arus pemikiran dan gerakan yang bersifat anti gereja di Eropa. Gerakan

tersebut merupakan perlawanan terhadap hak-hak istimewa, dugaan korupsi

dikalangan pastoral tingkat tinggi, dan terhadap situasi yang disebut sebagai

keyakinan yang tak tercerahkan dilingkungan Katolik Roma yang telah

melakukan kontrol dan pengawasan terhadap negara, ilmu pengetahuan dan

pendidikan. Situasi kacau balau telah mengantarkan pada kelahiran paham

“liberalisme” dengan komposisi utama kebebasan, toleransi, persamaan, dan

keragaman atau pluralisme. Maka di lihat dari karakter kemunculannya dan

kondisi sosial politik yang mengitarinya, paham liberalisme merupakan

produk pemikiran sosial-politik sebagai reaksi terhadap dominasi gereja

Katolik dan stagnasi pemikiran saat itu.

Isu pluralisme agama kemudian berkembang ke isu multikulturalisme.

Perkembangan isu ini memiliki dua implikasi. Pertama, dari aspek

terminologis pengertian pluralisme mencakup keragaman dalam segala aspek

seperti pluralisme politik, pluralisme budaya, pluralisme bahasa, dan

pluralisme agama. Oleh karena itu pluralisme agama adalah salah satu aspek

dari pluralisme. Pengertian multikulturalisme lebih diarahkan kepada

keragaman budaya. Orientasi kebudayaan dengan berbagai unsur lebih

ditonjolkan atau dipertajam dalam istilah multikulturalisme. Karena

menjangkau segala aspek kebudayaan, maka pengertian multikulturalisme

menjadi lebih luas dibanding istilah pluralisme agama sebab dalam paradigma

antropologi, agama merupakan bagian dari kebudayaan. Dengan kata lain,

istilah multikulturalisme dipilih untuk menjangkau segala aspek keragaman

berlatar budaya, bukan hanya agama seperti selama ini yang banyak

Page 33: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44552/1/ANGGI...repository.uinjkt.ac.idAuthor: Anggi AnggaraPublish Year: 2015

23

dipahami. Dalam kenyataannya, tema-tema multikulturalisme menjangkau

bidang yang lebih luas seperti bahasa, difabilitas, ras dan etnik, gender,

orientasi seksual dan sebagainya.

Prinsip penting dalam konsep multikultiralisme yang selama ini banyak

dikemukakan adalah prinsip kesetaraan. Dari prinsip kesetaraan muncul

keterbukaan, inklusivitas, penerimaan terhadap keragaman (akseptabilitas),

keadilan dan kepedulian. Salah satu instituisi yang dipandang sering

menghambat penegakan prinsip-prinsip tersebut adalah agama.24

2. Pengertian Multikultural

Multikultural berarti beraneka ragam kebudayaan. Akar kata dari

multikulturalisme adalah kebudayaan, yaitu kebudayaan yang dilihat dari

fungsinya sebagai pedoman bagi kehidupan manusia. Multikulturalisme tidak

hanya merujuk pada kenyataan sosial antropologis adanya pluralitas

kelompok etnis, bahasa dan agama yang berkembang di Indonesia tetapi juga

mengasumsikan sebuah sikap demokratis dan egaliter untuk bisa menerima

keragaman budaya.25

Multikulturalisme adalah sebuah ideologi yang menekankan

kesederajatan dalam perbedaan-perbedaan budaya. Pendidikan multikultural

sebagai pendidikan untuk/tentang keragaman kebudayaan dalam merespon

perubahan demografi dan kultur lingkungan masyarakat tertentu atau bahkan

dunia secara keseluruhan. Bahwa paradigma pendidikan multikultural

mencakup subjek-subjek ketidakadilan, kemiskinan, penindasan dan

keterbelakang kelompok-kelompok minoritas dalam berbagai bidang

diantaranya sosial-budaya, ekonomi, dan pendidikan.

Multikulturalisme” pada dasarnya adalah pandangan dunia yang

kemudian dapat diterjemahkan dalam berbagai kebijakan kebudayaan yang

menekankan penerimaan terhadap realitas keagamaan, pluralitas, dan

multikultural yang terdapat dalam kehidupan masyarakat. Multikulturalisme

24

Dody Trauma, Pendidikan Agama Islam Berwawasan Multikulturalisme, (Jakarta:

Kementerian Agama RI, 2010),cet. I. h. 69. 25

Ibid., h. 70.

Page 34: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44552/1/ANGGI...repository.uinjkt.ac.idAuthor: Anggi AnggaraPublish Year: 2015

24

dapat juga dipahami sebagai pandangan dunia yang kemudian diwujudkan

dalam kesadaran politik.26

Masyarakat Multikultural disusun atas tiga kata, yaitu Masyarakat, Multi,

dan Kultural. “Masyarakat” artinya adalah sebagai satu kesatuan hidup

manusia yang berinteraksi menurut sistem adat istiadat tertentu yang bersifat

terus menerus dan terikat oleh rasa toleransi bersama, “Multi” berarti banyak

atau beranekaragam, dan “Kultural” berarti Budaya. Jadi, dapat disimpulkan

bahwa masyarakat multikultural adalah suatu masyarakat yang terdiri atas

banyak struktur kebudayaan. Hal tersebut disebabkan karena banyaknya suku

bangsa yang memilik struktur budaya sendiri yang berbeda dengan budaya

suku bangsa yang lainnya.27

Multikultural juga dapat diartikan sebagai keragaman atau perbedaan

terhadap suatu kebudayaan dengan kebudayaan yang lain. Sehingga

masyarakat multikultural dapat diartikan sebagai sekelompok manusia yang

tinggal dan hidup menetap di suatu tempat yang memiliki kebudayaan dan

ciri khas tersendiri yang mampu membedakan antara satu masyarakat dengan

masyarakat yang lain. Setiap masyarakat akan menghasilkan kebudayaannya

masing-masing yang akan menjadi ciri khas bagi masyarakat tersebut.28

Tujuannya adalah untuk mencapai pemberdayaan bagi kelompok-

kelompok minoritas. Kemudian istilah multikultural dapat digunakan baik

pada tingkat deskriptif maupun normatif, yang menggambarkan isu-isu dan

masalah-masalah pendidikan berkaitan dengan masyarakat multikultural.

Oleh karena itu, kurikulum pendidikan multikultural mencakup subjek seperti

toleransi, tema-tema tentang perbedaan etnik-kultural, agama, bahaya

diskriminasi, penyelesaian konflik, mediasi, HAM, demokrasi, pluralitas dan

kemanusiaan universal.Bahwa kemanusiaan manusia pada dasarnya adalah

pengakuan akan pluralitas, heterogenitas dan keberagaman manusia itu

sendiri. Keberagaman itu bisa berupa ideologi, agama, paradigma, polapikir,

26

Azyumardi Azra, Identitas dan Krisis Budaya, Membangun Multikulturalisme

Indonesia, (Jakarta: PPIM, 2007), h. 34. 27

Ibid., h. 36. 28

Ibid.

Page 35: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44552/1/ANGGI...repository.uinjkt.ac.idAuthor: Anggi AnggaraPublish Year: 2015

25

kebutuhan, keinginan dan tingkat intelektualitas. Pendidikan multikultural

mampu menghargai dan menghormati semua bentuk keragaman agar mampu

meredam berbagai gejolak yang mengarah kepada permusuhan, genoid atau

bahkan tindakan kekerasan.29

3. Visi Multikultural Pendidikan

Indonesia adalah bangsa majemuk.Hal ini ditandai dengan banyaknya

etnis, suku, agama, bahasa, budaya dan adat istiadat.Kemajemukan tersebut

belakangan dikenal sebagai masyarakat multikultural, masyarakat yang

anggotanya memiliki latarbelakang budaya dan agama yang beragam.

Keragaman merupakan modal sosial (social capital) yang sangat

berharga bila dimanfaatkan dengan baik, maka akan menjadi keuntungan

besar bagi kejayaan bangsa Indonesia. Tetapi juga sangat rentan terjadi

konflik antar warga dan antar agama manakala tidak dikelola dengan benar.

Dalam konteks ini, kemajemukan dan multikultural bisa menjadi faktor

destruktif dan menimbulkan bencana dahsyat. Konflik dan kekerasan sosial

yang sering terjadi antar kelompok masyarakat merupakan bagian dari

kemajemukan dan multikultural yang tidak bisa dikelola dengan baik.

Rendahnya kesadaran multikultural ditengah kehidupan umat manusia, bukan

semata masalah domestik Indoneisa, melainkan juga masalah global.

Tantangan di atas sangat penting untuk zaman milenium ini, karena abad

yang lampau ternyata telah merangkum 25 sampai 35 peperangan pertahun.

Terjadinya peperangan terkait dengan kekerasan struktural. Kekerasan

struktural adalah buah dari ketidakadilan, penindasan sosial, gender,

militerisme, rasisme, kerusakan ekosistem dan kegagalan untuk memenuhi

kebutuhan-kebutuhan mendasar manusia (human basic needs). Salah satu

bentuk kekerasan langsung yang paling ekstrim, yaitu peperangan yang telah

mematikan 40 juta manusia sejak tahun 1990. Kesadaran tentang betapa

gawatnya masalah konflik dan kekerasan pada tataran global ternyata telah

29

Suwito, Fauzan, Sejarah Sosial Pendidikan Islam, (Jakarta: Kencana, 2005), cet. I, h.

25.

Page 36: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44552/1/ANGGI...repository.uinjkt.ac.idAuthor: Anggi AnggaraPublish Year: 2015

26

cukup dimiliki oleh berbagai pihak di dunia. Gerakan dan sosialisasi akan

pentingnya kehidupan yang damai pada tataran global dan disertai dengan

pentingnya kehidupan multikultural harus saling memahami dan

menghormati adalah bukti bahwa kehidupan damai merupakan dambaan

semua umat manusia.

Untuk mengubah kerangka fikir baik kolektif maupun individual bangsa

Indonesia dalam menghadapi persoalan sosio-kultural, pendidikan dipandang

sebagai faktor penting dalam menumbuhkembangkan kesadaran akan nilai-

nilai kehidupan multikultural. Pendidikan dalam perspektif ini boleh

dipandang sebagai upaya pendewasaan manusia, kebebasan manusia dari

tindak anarkisme dan transendensi dari manusia atas nilai-nilai multikultural

dalam kehidupan berbangsa, sehingga kehidupan sosio-kultural semakin baik

kualitasnya. Kesadaran multikultural adalah kesediaan kelompok lain secara

sama sebagai kesatuan, tanpa memperdulikan perbedaan budaya, etnik,

gender, bahasa dan agama.

Kesadaran multikultural dapat berkembang baik apabila ditanamkan

sejak awal terhadap generasi muda lewat lembaga pendidikan. Melalui

pendidikan, sikap saling menghargai terhadap perbedaan akan berkembang

dengan baik. Pendidikan berbasis multikultural ini membantu siswa untuk

mengerti, menerima dan menghargai orang dari suku, budaya, nilai dan

agama yang berbeda. Untuk itu, anak didik perlu diajak melihat nilai budaya

lain sehingga mengerti secara mendalam. Modelnya dengan tidak

menyembunyikan budaya lain atau menyeragamkan berbagai budaya menjadi

satu budaya nasional. Dalam pendidikan berbasis multikultural, tiap budaya

diakomodasi dan memiliki nilai sendiri. Disinilah dibutuhkan keterbukaan

hati dan fikiran, serta diperlukan pemahaman relativitas nilai budaya.

Dalam konteks di atas, pendidikan Islam mempunyai peranan

pentinguntuk menanamkan kesadaran multikultural kepada anak didik.

Sayangnya, di Indonesia sendiri masih kurang partisipasi ilmuan muslim

dalam perdebatan teoritis, pelahiran teori serta pengembangan teori.

Kenyataan ini tercermin dari kurangnya publikasi ilmiah dalam jurnal

Page 37: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44552/1/ANGGI...repository.uinjkt.ac.idAuthor: Anggi AnggaraPublish Year: 2015

27

maupun penerbitan buku yang ditulis para pakar pendidikan Islam, yang

mengetengahkan perdebatan, pelahiran atau pengembangan konsep

pendidikan Islam berbasis multikultural. Tak pelak sampai saat ini, para guru

Islam di sekolah-sekolah umum maupun madrasah masih kesulitan mencari

model pendidikan Islam berwawasan multikultural.

Padahal di Indonesia, agama seringkali menjadi sumber konflik dan

kekerasan sosial. Untuk mencegah terjadinya konflik yang bersumber pada

agama maka mengajarkan agama secara inklusif dan kontekstual menjadi

penting. Materi-materi agama Islam yang diajarkan di sekolah mempunyai

pengaruh yang signifikan dalam membentuk pemahaman ke-Islaman bagi

setiap muslim.30

4. Tujuan Pendidikan Multikultural

Perbaikan dunia pendidikan merupakan bagian terpenting bagi upaya

mengangkat martabat bangsa. Perbaikan pendidikan dengan mendudukkan

pendidikan sebagaimana fungsinya, yakni membentuk watak serta peradaban

bangsa yang bermartabat secara operasional adalah mendudukkan sekolah

sebagai agen multikulturalisme.31

Tujuan pendidikan multikultural ada dua yakni: tujuan awal dan tujuan

akhir. Tujuan awal merupakan tujuan sementara karena tujuan ini hanya

berfungsi sebagai perantara agar tujuan akhir tercapai dengan baik. Pada

dasarnya tujuan awal pendidikan multikultural yaitu membantu wacana

pendidikan, mengambil kebijakan dalam dunia pendidikan. Mampu

mentransformasikan pendidikan multikultural dan mampu menanamkan nilai-

nilai pluralisme, humanisme dan demokrasi secara langsung kepada orang-

orang dan kepada para peserta didik. Sedangkan tujuan akhir pendidikan

multikultural adalah peserta didik tidak hanya mampu memahami dan

menguasai materi yang dipelajarinya akan tetapi diharapkan juga bahwa

peserta didik akan mempunyai karakter yang kuat untuk bersikap demokratis,

30

Ali Maksin, Pluralisme dan Multikulturalisme: Paradigma Baru Pendidikan Islam di

Indonesia, (Yogyakarta: Aditia Media Publishing, 2011), cet. I, h. 8. 31

Suwito, Fauzan, op, cit., h. 74.

Page 38: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44552/1/ANGGI...repository.uinjkt.ac.idAuthor: Anggi AnggaraPublish Year: 2015

28

pluralis dan humanis. Ketiga hal tersebut adalah ruh pendidikan multikultural.

Sedangkan tujuan pendidikan multikultural adalah:

a. Pengajaran siswa dengan cara etnik tertentu tentang kebudayaan yang

mereka miliki, termasuk di dalamnya pengajaran bahasa pusaka dan

budaya.

b. Pengajaran kepada semua siswa tentang keanekaragaman budaya

tradisional, baik dalam dan luar negeri. Ketika pembelajaran dapat

disampaikan dalam berbagai cara, sesuatu yang tidak biasanya terlewat

adalah susunan secara sistematis dari isu utama budaya dan entitas bangsa.

c. Mempromosikan penerimaan menunjukkan perbedaan atau

keanekaragaman etnik dalam masyarakat.

d. Bahwa manusia dengan perbedaan agama, ras, suku, kebangsaan memiliki

kebebasan yang sama.

e. Menunjukkan penerimaan secara penuh dan ditandai dengan perlakuan

yang sama yakni keseimbangan antara budaya subetnik dengan perbedaan

agama, ras, suku kebangsaan, dan lain-lain.

f. Membantu siswa untuk menyesuaikan bentuk budaya, untuk dirinya

sendiri dan untuk masyarakat.

Berdasarkan tujuan pendidikan multikultural tersebut, pendidikan

multikultural berupaya mengajak warga pendidikan untuk menerima

perbedaan yang ada pada sesama manusia sebagai hal-hal yang alamiah

(natural sunnatullah). Selain itu, pendidikan multikultural menanamkan

kesadaran kepada siswa akan kesetaraan (equality), keadilan (justice),

kemajemukan (plurality), kebangsaan, ras, suku, bahasa, tradisi,

penghormatan agama, menghendaki terbangunnya tatanan kehidupan yang

seimbang, harmoni, fungsional dan sistematik juga tidak menghendaki

terjadinya proses diskriminasi, kemanusiaan (humanity), dan nilai-nilai

demokrasi (democration values) yang diperlukan dalam berbagai aktivitas

sosial.32

32

Larasati Minten Ayu, Tujuan Pendidikan Multikultural, (Yogyakarta: Kompasiana,

2012), h. 39.

Page 39: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44552/1/ANGGI...repository.uinjkt.ac.idAuthor: Anggi AnggaraPublish Year: 2015

29

C. Gagasan Pendidikan Islam Multikultural

Strategi pendidikan multikultural, sejak lama telah berkembang di Eropa,

Amerika dan di negara-negara maju lainnya. Gagasan ini, dengan demikian

bukan merupakan hal baru. Strategi ini adalah pengembangan dari studi

interkultural dan multikulturalisme. Dalam perkembangannya, studi ini

menjadi sebuah studi khusus tentang pendidikan multikultural yang pada

awalnya bertujuan agar populasi mayoritas dapat bersikap toleran terhadap

para imigran baru. Studi ini juga mempunyai tujuan politis sebagai alat

kontrol sosial penguasa terhadap warganya, agar kondisi negara aman dan

stabil.

Sementara itu, Indonesia mengalami pengalaman yang menyedihkan.

Kekerasan, pemberontakan, pembumihangusan dan pembunuhan generasi

genocid. Peperangan, perpecahan dan ancaman disintegrasi bangsa telah

terjadi sejak zaman kerajaan Singosari, Sriwijaya, Majapahit, Goa, Mataram

hingga pada era terkini. Pembunuhan besar-besaran terhadap masa pengikut

Partai Komunis Indonesia pada tahun 1965, kekerasan terhadap etnis Cina di

Jakarta pada Mei 1998, perang Islam Kristen di Maluku Utara pada tahun

1999-2003 dan perang etnis antar warga Dayak dan Madura yang terjadi sejak

tahun 1931 hingga tahun 2000 yang telah menyebabkan kurang lebih 2000

nyawa manusia melayang sia-sia adalah bagian dari sejarah kelam bangsa

ini.33

Berdasarkan kenyataan yang memilukan inilah, maka keberadaan

pendidikan multikultural sangat diperlukan. Pendidikan multikultural adalah

strategi pendidikan yang diaplikasikan pada semua jenis mata pelajaran

dengan cara menggunakan perbedaan-perbedaan kultural yang ada pada siswa

seperti perbedaan etnis, agama, bahasa, gender, kelas sosial, ras, kemampuan

dan umur agar proses belajar menjadi efektif dan mudah. Pendidikan

multikultural sekaligus juga melatih dan membangun karakter siswa agar

mampu bersikap demokratis, humanis dan pluralis dalam lingkungan mereka.

Dengan kata lain dapat digambarkan melalui sebuah pribahasa “sambil

33

Ibid., h. 41.

Page 40: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44552/1/ANGGI...repository.uinjkt.ac.idAuthor: Anggi AnggaraPublish Year: 2015

30

menyelam minum air” artinya selain siswa diharapkan dapat dengan mudah

memahami, menguasai, dan mempunyai kompetensi yang baik terhadap mata

pelajaran yang diajarkan guru, siswa juga diharapkan mampu untuk selalu

bersikap dan menerapkan nilai-nilai demokratis, humanisme, dan pluralisme

di sekolah dan di luar sekolah.

Tujuan awal pendidikan multikultural yaitu membangun wacana

pendidikan multikultural dikalangan guru, dosen, ahli pendidikan, pengambil

kebijakan dalam dunia pendidikan dan mahasiswa jurusan pendidikan

maupun mahasiswa umum. Harapannya adalah apabila mereka mempunyai

wacana pendidikan multikultural yang baik maka kelak mereka tidak hanya

mampu membangun kecakapan dan keahlian terhadap pelajaran yang

diajarkan. Adapun tujuan akhir pendidikan multikultural ini adalah peserta

didik tidak hanya mampu memahami dan menguasai materi pelajaran yang

dipelajarinya melainkan peserta didik mempunyai karakter yang kuat untuk

selalu bersikap demokratis, pluralis dan humanis.34

Setelah meletakan multikultural pendidikan Islam, tibalah waktunya

membicarakan pandangan Islam terhadap pergeseran nilai kultural di

Indonesia. Hubungan antar umat manusia bertambah luas dan bertambah

cepat berkat kemajuan transportasi dan komunikasi yang jaringannya meluas

ke seluruh dunia, manusia sudah saling dekat antara satu sama lain. Namun

demikian, tentulah ada perbedaan antara hubungan lingkungan yang terlalu

luas dan abstrak dengan hubungan dalam masyarakat kecil. Hubungan yang

konkrit antar orang yang serumah menjadi layu dan kering dari perasaan

kehangatan suku dan keluarga yang besar.35

Islam sebagai agama mengandung pedoman bagi manusia dalam

berkebudayaan. Agama Islam membawa nilai yang memberi arti hidup dan

kehidupan, memberi arah dan hidup manusia yang puncaknya adalah ridho

Allah swt. Agama Islam juga mengakui hajat kebutuhan manusia dalam

hidup. Haknya memenuhi kebutuhan untuk kepuasan yang diharapkannya itu,

34

Ibid., h. 23. 35

Muhammad Siregar, Islam Untuk Berbagai Aspek Kehidupan, (Yogyakarta: Tiara

Wacana, 1999), cet. 1, h. 133-134.

Page 41: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44552/1/ANGGI...repository.uinjkt.ac.idAuthor: Anggi AnggaraPublish Year: 2015

31

harus ada keseimbangan diantara semuanya. Agama Islam mengakui

bermacam-macam nilai yang penting bagi manusia, tetapi juga mempunyai

nilai-nilai dasar, norma-norma yang asasi, yang memberikan patokan

terhadap berbagai kegiatan kultural manusia.

Kesimpulan tersebut mengingatkan akan pentingnya untuk memberi arah

terhadap perkembangan kebudayaan Indonesia, untuk selalu dibenahi dengan

nilai-nilai yang bersumber dari ajaran Islam. Untuk itu dituntut peran dan

perhatian semua pihak, para ulama, cendikiawan, tokoh masyarakat, tokoh

pendidikan sebagai tanggungjawab terhadap masa depan bangsa Indonesia

yang mayortias beragama Islam.36

Mengenai kebudayaan Indonesia Ki Hajar Dewantara berpendapat bahwa

kebudayaan Indonesia harus berpangkal pada kebudayaan sendiri.

Menurutnya, kebudayaan Indonesia merupakan segala puncak dan sari dari

kebudayaan bernilai di seluruh kepulauan Indonesia. Jadi kebudayaan

nasional Indonesia didukung oleh kebudayaan-kebudayaan daerah yang tinggi

mutunya, baik yang lama maupun ciptaan baru. Jadi kebudayaan daerah

mendukung dan memperkaya kebudayaan Indonesia.37

Dengan mengenal dan mencintai kebudayaan Indonesia, masyarakat akan

menemukan kepribadiannya. Dengan mengenal kebudayaan bangsa Indonesia

tidak akan mudah meniru kebudayaan asing yang tidak sesuai dan tidak ada

gunanya bagi kemajuan kebudayaan Indonesia. Dengan menemukan

kepribadian bangsa Indonesia tidak akan mudah dipengaruhi oleh kebudayaan

dari luar yang mungkin akan merusak. Dengan demikian kita akan lebih sadar

dan tahu mana yang baik dan yang buruk. Dengan menemukan kepribadian

bangsa Indonesia, akan mampu memilih unsur-unsur buruk. Ki Hajar

Dewantara seorang tokoh dan pemimpin kebudayaan Indonesia yang berhasil

membimbing bangsa dalam menemukan kepribadian.38

Pancasila sebagai asas dalam berbangsa dan bernegara merupakan

pandangan hidup yang telah diakui dan disetujui bersama dalam melihat

36

Ibid., h. 135. 37

Sagimun, Ki Hajar Dewantara, (Jakarta: Bhratara Karya Aksara, 1983), cet. II, h. 38-

39. 38

Ibid., h. 40.

Page 42: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44552/1/ANGGI...repository.uinjkt.ac.idAuthor: Anggi AnggaraPublish Year: 2015

32

segala hal di negara tercinta ini. Karena itu, dalam rangka pembinaan

kebudayaan daerah, dasar filsafat negara, Pancasila harus menjadi tolak ukur.

Dengan kata lain, unsur kebudayaan daerah perlu terus dipelihara, yaitu yang

mengandung unsur religius, yang memupuk rasa ketakwaan kepada Tuhan

Yang Maha Esa, yang dapat menanamkan jiwa prikemanusiaan,

meningkatkan rasa cinta kepada keadilan, memperkuat rasa persatuan,

mendidik agar mendahulukan kepentingan umum daripada kepentingan

pribadi, serta menumbuhkan sifat-sifat lain yang meningkatkan taraf

kehidupan jasmaniah.

Kebudayaan nasional adalah sebagai perwujudan, perpaduan unsur-unsur

kebudayaan daerah. Kesadaran akan kebudayaan nasional yang berdiri di atas

kebudayaan suku atau daerah bukanlah merupakan kesadaran yang timbul

dengan serta merta. Kesadaran kearah perwujudan kebudayaan nasional

haruslah berakal pada pengalaman antara kebudayaan daerah yang satu

dengan kebudayaan yang lain. Proses tumbuhnya kesadaran akan adanya

persamaan itu makin tampak ketika bangsa Indonesia memperoleh

kemerdekaan. Seterusnya inilah yang diharapkan dapat lebih cepat dan tepat

melengkapi dan memperkaya budaya dalam berbagai macam perwujudannya.

Dalam menghadapi kebudayaan dari luar, sebagai bangsa Indonesia

menjadikan Pancasila sebagai filter, dan sebagai seorang muslim, ajaran al-

Qur’an dan hadits adalah tetap menjadi pegangan dan pedoman dalam

memilih dan mengambil kebudayaan untuk dikembangkan. Hal ini sejalan

dengan apa yang seharusnya menjadi pilihan seorang muslim.39

1. Konsep Pendidikan Multikultural

Multikulturalisme secara sederhana dapat diartikan sebagai pengakuan

atas pluralisme budaya. Pluralisme budaya bukanlah suatu yang given tetapi

merupakan suatu proses internalisasi nilai-nilai dalam suatu komunitas.

Pendidikan multikultural adalah sebuah pendekatan pada pengajaran dan

pembelajaran yang didasarkan atas nilai dan kepercayaan demokratis dan

39

Muhamad Siregar, op, cit., h. 141-142.

Page 43: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44552/1/ANGGI...repository.uinjkt.ac.idAuthor: Anggi AnggaraPublish Year: 2015

33

melihat keragaman sosial dan interpendensi sebagai bagian dari pluralisme

budaya. Multikultural dan pendidikan merupakan rangkaian kata yang

berisikan esensi dan konsekuensi yang tidak dapat dipisahkan. Dalam

multikulturalisme terdapat materi dan kajian yang menjadi dasar pijakan

pelaksanaan pendidikan yang kedua-duanya sama-sama penting. Dalam

pendidikan terdapat fondasi dan akar-akar kultur yang disarikan dari nilai-

nilai kultur masyarakat.40

Pandangan agama terhadap perbedaan, tidak dapat dipungkiri bahwa

perbedaan antar manusia adalah realitas yang tak terbantahkan.

Perkembangan teknologi komunikasi, informasi dan transportasi dewasa ini

membuat pertemuan antara kelompok-kelompok yang berbeda latarbelakang

tersebut semakin sering terjadi. Mobilitas penduduk antar daerah, bahkan

antar negara, menjadi semakin tinggi dan semakin mudah jugamurahnya alat

transfortasi. Sehingga masyarakat satu negara atau daerah bisa dengan mudah

dan sering berkunjung kedaerah/negara lain yang berbeda dengan mereka.

Hal ini membuat pertemuan dan bahkan pertukaran budaya semakin sering

terjadi. Menyadari bahwa perbedaan adalah sunatullah maka ajaran agama

sangat membuka diri terhadap berbagai perbedaan tersebut.

Agama Islam tidak membeda-bedakan derajat seseorang karena status

sosial atau nilai hartanya, perbedaan antara satu orang dan lainnya hanya

dinilai atas dasar kebaikan dan ketaatannya kepada Allah. Hal ini

dimungkinkan karena ajaran Islam tidak diturunkan untuk ras atau etnis

tertentu saja, melainkan untuk seluruh manusia. Dengan demikian dapat

dipahami bahwa ajaran agama sangat demokratis dalam menyikapi

perbedaan-perbedaan yang dibenarkan dalam ajaran agama memiliki batasan-

batasan umat manusia. Namun demikian, seperti dijelaskan diatas, perbedaan

yang dibenarkan dalam agama memiliki batasan-batasan tertentu, sepanjang

tidak jauh bertentangan dengan ajaran agama itu sendiri. Oleh sebab itu,

disamping membenarkan adanya perbedaan, ajaran agama juga mengajarkan

untuk menyikapi perbedaan-perbedaan itu secara positif.

40

Zainal Abidin, Neneng Habibah, Pendidikan Agama Islam Dalam Perspektif

Multikulturalisme, (Jakarta: Balai Penelitian dan Pembangunan Agama, 2004), cet, I, h. 47.

Page 44: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44552/1/ANGGI...repository.uinjkt.ac.idAuthor: Anggi AnggaraPublish Year: 2015

34

Multikultural dapat diartikan sebagai keragaman atau perbedaan terhadap

suatu kebudayaan dengan kebudayaan yang lain. Sehingga masyarakat

multikultural dapat diartikan sebagai kelompok manusia yang tinggal dan

hidup menetap disuatu tempat yang memiliki kebudyaan dan ciri khas

tersendiri yang mampu membedakan antara satu masyarakat dengan

masyarakat yang lain. Setiap masyarakat akan menghasilkan kebudayaannya

masing-masing yang akan menjadi ciri khas bagi masyarakat tersebut, dari

sinilah muncul istilah multikulturalisme. Dibandingkan pluralisme,

multikultural sebenarnya relatif baru, secara konseptual terdapat perbedaan

signifikan antara pluralisme, keragaman, dan multikultural. Inti dari

multikulturalisme adalah kesediaan menerima kelompok lain secara sama

sebagai kesatuan, tanpa mempedulikan perbedaan budaya, etnik, gender,

bahasa, ataupun agama. Apabila pluralisme sekedar merepresentasikan

adanya kemajemukan, multikulturalisme memberikan penegasan bahwa

dengan segala perbedaan itu adalah sama didalam ruang publik.

Multikulturalisme menjadi semacam respon kebijakan baru terhadap

keragaman, dengan kata lain adanya komunitas-komunitas yang berbeda saja

tidak cukup, sebab yang terpenting adalah bahwa komunitas-komunitas itu

diperlakukan sama oleh negara. Yang harus dipahami adalah akar kata dari

multikulturalisme ini sendiri adalah kebudayaan sehingga sebagai pranata-

pranata sosial nantinya diperlukan pengawasan-pengawasan yang harusnya

dilakukan oleh pemerintah.41

Memahami Islam dalam memandang dan menyikapi masalah-masalah

sosial kemasyarakatan, dalam kajian Islam sebagai suatu perangkat ajaran dan

nilai, bahwa memang Islam telah meletakkan konsep dan doktrin yang

memberikan rahmat bagi al-alamin. Namun sejarah umat Islam kerap kali

mencatat fenomena-fenomena sosial yang dialami oleh komunitas ini sebagai

kebalikan atau paling tidak penyimpangandari konsep-konsep dasar

kemasyarakatan Islam. Disini menunjukan, suatu nilai-nilai normatif itu pada

41

Ibid., h. 51

Page 45: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44552/1/ANGGI...repository.uinjkt.ac.idAuthor: Anggi AnggaraPublish Year: 2015

35

saat tertentu harus berbenturan dengan realitas sosial yang dipengaruhi oleh

macam-macam kepentingan dan tuntutan akan mengalami bahaya distorsi.42

Islam sebagai ajaran yang memuat nilai-nilai normatif dalam memandang

dan menempatkan martabat, hakikat manusia, baik sebagai individu maupun

sebagai anggota kelompok sosial. Hal ini dapat diuraikan sebagai berikut:

a. Konsep kesamaan (as-sawiyah), yang memandang manusia pada

dasarnya sama derajatnya. Satu-satunya perbedaan bentuk kualitatif

dalam pandangan Islam adalah ketakwaan.

b. Konsep keadilan (al-‘adalah), yang membongkar budaya nepotisme dan

sikap-sikap korup, baik dalam politik, ekonomi, hukum, hak dan

kewajiban, bahkan dalam praktik-praktik keagamaan.43

c. Konsep kebebasan/kemerdekaan (al-hurriyah), yang memandang semua

manusia pada hakikatnya hanya hamba Tuhan saja, sama sekali bukan

hamba sesama manusia.44

2. Pendidikan Agama dan Multikultural

Indonesia terdiri dari ribuan pulau dan ratusan suku dengan budayanya

masing-masing, dalam dunia yang semakin terbuka, maka perjumpaan dan

pergaulan antar suku semakin mudah. Dengan demikian sikap multikultural

merupakan sikap yang terbuka pada perbedaan. Mereka yang memiliki sikap

multikultural berkeyakinan dengan perbedaan, bila tidak dikelola dengan baik

memang bisa menimbulkan konflik, namun bila dikelola dengan baik maka

perbedaan justru memperkaya dan bisa sangat produktif. Salah satu syarat

agar sikap multikultural efektif adalah mau menerima kenyataan hakiki

bahwa manusia bukan makhluk sempurna, manusia membutuhkan

sesamanya.45

42

Thalhah Hasan, Islam Dalam Perspektif Sosio Kultural, (Jakarta: Lantabora Press,

2005), cet. I, h. 141-142. 43

Ibid., h. 147. 44

Ibid 45

Andre, Ujan Ata, Multikulturalisme: Belajar Hidup Bersama Dalam Perbedaan,

(Jakarta: PT. Indeks, 2009), h. 16.

Page 46: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44552/1/ANGGI...repository.uinjkt.ac.idAuthor: Anggi AnggaraPublish Year: 2015

36

Pada dasarnya program pendidikan multikultural tidak lagi difokuskan

kepada kelompok-kelompok agama atau mainstream budaya barat (budaya

ras putih). Program multikultural melihat masalah-masalah masyarakat secara

lebih luas. Bukan hanya memasukan masalah-masalah struktur ras, tetapi juga

mempersoalkan masalah-masalah kemiskinan, penindasan dan

keterbelakangan kelompok-kelompok minoritas dalam ilmu pengetahuan.

Lahirnya studi-studi mengenai pluralisme yang ada didalam masyarakat

ethnic studies mulai dikembangkan, bukan saja didalam program-program

penelitian pendidikan tinggi, tetapi juga memasuki kurikulum sekolah

menengah dan tingkat dasar.46

Dengan kata lain sikap yang seharusnya

mendasari masyarakat multikultural adalah sikap rendah hati (mau menerima

kenyataan), bahwa tidak ada seorang pun yang mampu memiliki kebenaran

absolut, karena kebenaran absolut melampaui ruang dan waktu, padahal

manusia adalah makhluk yang terikat pada ruang dan waktu. Manusia

merupakan makhluk yang berjalan bersama menuju kebenaran absolut

tersebut. Untuk itu perlu mengembangkan sikap hormat akan keunikan

masing-masing pribadi atau kelompok tanpa membeda-bedakan entah atas

dasar gender, agama dan etnis.47

Berkaitan dengan pernyataan-pernyataan di atas, bangunan Indonesia

Baru dari hasil reformasi adalah sebuah masyarakat multikultural Indonesia.

Berbeda dengan masyarakat majemuk yang menunjukkan keanekaragaman

suku bangsa dan kebudayaan suku bangsa, multikulturalisme dikembangkan

dari konsep pluralisme budaya dengan menekankan pada kesederajatan

budaya yang ada dalam sebuah masyarakat. Multikultural ini mengusung

semangat untuk hidup berdampingan secara damai (peace full ceoxistence)

dalam perbedaan kultur yang baik secara individual maupun kelompok dan

masyarakat. Dengan demikian, corak masyarakat Indoneisa yang Bhinneka

Tunggal Ika bukan lagi keanekaragaman suku bangsa dan kebudayaan, tetapi

keanekaragaman kebudayaan yang ada dalam masyarakat Indonesia.48

46

H. A. R Tilaar, Perubahan Sosial dan Pendidikan: Pengantar Pedagogik

Transformatif Untuk Indonesia, (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 2012), cet. I, h. 484. 47

Ibid., h. 17. 48

Dasim Budimansyah, Karim Suryadi, PKN dan Masyarakat Multikultural, (Bandung:

Program Studi Pendidikan Kewarganegaraan, UPI, 2008), cet. I, h. 29.

Page 47: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44552/1/ANGGI...repository.uinjkt.ac.idAuthor: Anggi AnggaraPublish Year: 2015

37

Multikulturalisme adalah landasan budaya yang terkait dengan

pencapaian civility (keadaban) yang amat esensial bagi terwujudnya

demokrasi yang berkeadaban dan keadaban yang demokratis. Kebijakan-

kebijakan responsif dan afirmatif sebagai bentukyang menjadi dasar

multikulturalisme memberikan insentif dalam penumbuhan dan penguatan

perasaan (kesatuan dalam keragaman). Semua ini mendorong tumbuhnya

trush secara bersama-sama didalam warganegara, sehingga memperkuat

partisipasi dalam proses-proses politik demoktratis. Semua ini merupakan

faktor-faktor kunci dalam konsolidasi dan pendalaman demokrasi sehingga

negara-bangsa mampu bertahan dan berkelanjutan. Terkait dengan

pengembangan masyarakat dan demokrasi multikultural, peran pendidikan

menjadi takterelakkan. Salah satu strategi penting adalah pendidikan

multikultural yang dapat berlangsung dalam setting pendidikan formal atau

informal langsung atau tidak langsung. Pendidikan multikultural ini diarahkan

untuk mewujudkan kesadaran, toleransi, pemahaman dan pemersatu antar

budaya dan kaitannya dengan pandangan dunia, konsep, nilai, keyakinan dan

sikap.49

Kemudian, lebih lanjut pembahasan mengenai pendidikan multikultural,

apabila pendidikan dikaitkan dengan pembangunan karakter dan kebangsaan,

maka persoalan yang dihadapi pendidikan Islam dilapangan adalah

bagaimana membuktikan bahwa Islam dan nilai kultur maupun institusinya

betul-betul menjadi aset yang konstruktif dan suportif bagi ke-Indonesiaan.

Cara terbaik untuk mendukung Indonesia supaya lebih maju adalah melalui

peningkatan mutu pendidikan. Salah satu ciri pendidikan bermutu adalah

adanya standar skill (keahlian) yang dijaga. Selama ini lembaga pendidikan

Islam telah memiliki dua modal skill lain, yaitu moralitas dan integritas.

Keduanya adalah modal dasar untuk pembangunan karakter bangsa.

Begitu pentingnya multikulturalisme bagi studi ke Islaman, paham ini

secara nyata telah menghidupkan kembali sebuah kaidah lama yang sudah

49

Ibid., h. 30-31.

Page 48: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44552/1/ANGGI...repository.uinjkt.ac.idAuthor: Anggi AnggaraPublish Year: 2015

38

akrab digunakan oleh para ulama fikih, yaitu sesuatu yang dinilai benar oleh

adat, para ulama sudah sejak lama menganggap bahwa tradisi dan

kebudayaan dapat dijadikan sebagai landasan hukum, sebagaimana teks

dijadikan sebagai sumber primer.50

Perhatian Islam terhadap kebudayaan, secara sosiologis bisa dilihat dari

watak fleksibelitas Islam sepanjang sejarah, Islam bisa berinteraksi dengan

berbagai kebudayaan. Dalam hal ini aspek kebudayaan menjadi penting

dalam rangka membangun toleransi. Toleransi tidak bisa diusung hanya

dengan komunitas agama-agama saja, melainkan oleh keseluruhan etnis yang

terdapat dalam sebuah bangsa. Negara-negara yang menganut sistem

demokrasi, pada umumnya mempunyai kesadaran yang tinggi perihal

pentingnya multikulturalisme untuk membangun toleransi, asimilasi dan

persamaan hak diantara warga negara. Karena itu multikulturalisme menjadi

keniscayaan untuk mendorong toleransi, baik dalam ranah intra agama

maupun antar agama. Bukan hanya itu, multikulturalisme mengajak semua

untuk meneropong ranah etnisitas dan kebudayaan, ranah yang terakhir ini

kerap kali dilupakan tatkala membahas isu-isu keagamaan, terutama dalam

kaitannya dengan toleransi.51

Multikulturalisme dapat dijadikan sebagai alternatif untuk memetakan

paradigma toleransi dalam al-Qur’an. Sejauh ini, harus diamini, bahwa al-

Qur’an merupakan kitab suci yang mengkampanyekan dan mendorong

toleransi. Al-qur’an hadir untuk menjadi petunjuk dan cahaya bagi umat

manusia. Yang dimaksud petunjuk dan cahaya adalah toleransi, kerukunan

dan kedamaian. Dengan demikian, paradigma toleransi mempunyai landasan

normatif yang kuat dari al-Qur’an. Yang lebih penting dari itu, al-Qur’an

merupakan kitab suci yang senantiasa terbuka dengan pemikiran dan paham

kontemporer, terutama untuk kemaslahatan umat. Tatkala al-Qur’an

memberikan perhatian yang besar terhadap toleransi, yang mana didalamnya

juga terdapat ayat-ayat yang bernuansa inklusifisme, pluralisme dan

50

Kusuma dkk, Paradigma Baru Pendidikan, (Jakarta: IISEP, 2008), cet. I, h. 100. 51

Zuhai Misrawi, Al-Qur’an Kitab Toleransi Inklusifisme, Pluralisme dan

Multikulturalisme, (Jakarta: FITRAH, 2007), cet. I, h. 216-217.

Page 49: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44552/1/ANGGI...repository.uinjkt.ac.idAuthor: Anggi AnggaraPublish Year: 2015

39

multikulturalisme, maka al-Qur’an sesungguhnya telah hadir pada setiap

zaman dan tempat.52

3. Pendekatan Sosio-Kultural

Pendekatan ini bertumpu pada pandangan bahwa manusia adalah

makhluk yang bermasyarakat dan berkebudayaan, sehingga dipandang

sebagai homo socius danhomo sapiens dalam kehidupan bermasyarakat dan

berkebudayaan. Pada hakikatnya manusia itu disamping sebagai makhluk

individu juga sebegai makhluk sosial, karena manusia tidak dapat hidup

sendiri terpisah dari manusia lainnya. Manusia senantiasa hidup dalam

kelompok-kelompok kecil seperti keluarga atau kelompok yang lebih luas

lagi yaitu masyarakat. Pendekatan ini sangat efektif dalam membentuk sifat

kebersamaan siswa dalam lingkungannya, baik disekolah maupun

dilingkungan masyarakat. Pola pendekatan ini ditekankan pada aspek tingkah

laku dimana guru hendaklah dapat menanamkan rasa kebersamaan dan siswa

dapat menyesuaikan diri baik dalam individu maupun sosialnya. Bentuk-

bentuk pengaplikasian pendekatan dalam al-qur’an disebutkan sebagai

berikut:

a. Tolong menolong antar sesama manusia

b. Kesatuan masyarakat

c. Persaudaraan antar anggota masyarakat.53

4. Multikulturalisme, Agama dan Integrasi Sosial

Berdirinya negara Indonesia dilatarbelakangi oleh masyarakat yang

demikian majemuk, baik secara etnis, geografis, kultural, maupun religius.

Manusia tidak dapat mengingkari sifat pluralistik bangsa ini, sehingga perlu

diberi tempat bagi perkembangan kebudayaan suku bangsa dan kebudyaan

agama yang dianut oleh warga negara Indonesia. Masalah suku bangsa dan

kesatuan-persatuan nasional Indonesia telah menunjukkan bahwa satu negara

yang multietnik memerlukan suatu kebudayaan nasional untuk

52

Ibid., h. 218. 53

Zuhai Misrawi, op, cit, h. 103.

Page 50: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44552/1/ANGGI...repository.uinjkt.ac.idAuthor: Anggi AnggaraPublish Year: 2015

40

menginfestasikan peranan identitas dan solidaritas nasional di antara

warganya.Gagasan tentang kebudayaan nasional Indonesia yang menyangkut

kesadaran dan identitas sebagai suatu bangsa telah dirancang saat bangsa

Indonesia belum merdeka. Manusia secara kodrati diciptakan sebagai

makhluk yang mengusung nilai harmoni. Perbedaan yang mewujud baik

secara fisik maupun mental, sebenarnya merupakan kehendak Tuhan yang

seharusnya dijadikan sebagai sebuah potensi untuk menciptakan sebuah

kehidupan yang menjunjung tinggi toleransi dikehidupan sehari-hari.

Kebudayaan suku bangsa dan kebudayaan agama, bersama-sama dengan

pedoman kehidupan berbangsa dan bernegara mewarisi prilaku dan kegiatan.

Berbagai kebudayaan itu beriringan saling melengkapi bahkan mampu saling

menyesuaikan dalam kehidupan sehari-hari. Tetapi yang sering terjadi malah

sebaliknya. Perbedaan-perbedaan menciptakan ketegangan hubungan antar

anggota masyarakat, hal ini disebabkan oleh sifat dasar yang selalu dimiliki

masyarakat majemuk.54

Realitas harus diakui dengan sikap terbuka, logis dan dewasa karena

dengannya, kemajemukan yang ada dapat berkumpul, jika keterbukaan dan

kedewasaan sikap dikesampingkan, besar kemungkinan tercipta masalah-

masalah yang menggoyahkan persatuan dan kesatuan bangsa. Keterbukaan,

kedewasaan sikap, pemikiran global yang bersifat inklusif, serta kesadaran

kebersamaan dalam mengarungi sejarah, merupakan modal yang sangat

menentukan bagi terwujudnya sebuah bangsa yang Bhinneka Tunggal Ika.

Menyatu dalam keragaman dalam kesatuan, segala bentuk kesenjangan

didekatkan dengan keanekaragaman sebagai kekayaan bangsa. Sikap inilah

yang perlu dikembangkan dalam pola pikir masyarakat untuk menuju

Indonesia raya merdeka.55

Salah satu tujuan sekolah dalam masyarakat demokratis adalah

membangun dan berbagi pengalaman pendidikan diantara peserta didik yang

memiliki kriteria dan latarbelakang yang berbeda-beda. Gagasan tentang

54

Eli Setiadi, Ilmu Sosial dan Budaya Dasar, (Jakarta: Kencana, 2009), cet. 5, h. 152. 55

Ibid., h. 154.

Page 51: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44552/1/ANGGI...repository.uinjkt.ac.idAuthor: Anggi AnggaraPublish Year: 2015

41

pengalaman diikat oleh konsep integrasi melalui penekanan pada kurikulum

yang mendorong peserta didik menangkap nilai-nilai bersama atau

kebersamaan yang baik dalam pendidikan umum, sebuah kurikulum

diorganisasikan dengan melibatkan isu-isu personal dan sosial, merencanakan

bersama antara guru dengan siswa dan berkomitmen terhadap keterpaduan

pengetahuan. Penataan kurikulum ini bukan hanya menjadikan pengetahuan

lebih mudah diakses oleh peserta didik, tetapi juga dapat membantu

menciptakan latar kelas yang demokratis sebagai sebuah konteks untuk

integrasi sosial. Integrasi pengetahuan bersumber dari gagasan mengenai

penggunaan pengetahuan demokratis sebagai sebuah alat untuk membangun

kecerdasan pemecahan masalah. Keadaan ini akan selalu melibatkan konsep

integrasi sosial (biasanya dilakukan dalam membentuk masyarakat kelas atau

class room communities), integrasi sekolah dengan kehidupan masyarakat,

penggunaan problem-centered, dan desain kurikulum integratif.56

Gagasan dari integrasi pengalaman adalah memahami diri dan dunianya

(persepsi, keyakinan, nilai, dsb) berdasarkan atas pengalaman yang

dibangunnya. Apa yang dipelajari dari refleksi pengalaman menjadi sebuah

sumber ketika bersentuhan dengan masalah, isu dan situasi lain, baik

personal atau sosial. Jenis belajar ini melibatkan pengalaman konstruktif dan

reflektif yang tidak hanya memperluas dan memperdalam pemahaman

pembelajaran tentang diri dan dunia, melainkan juga dipelajari dengan

membawa dan meletakkannya untuk digunakan dalam situasi baru. Jadi apa

yang disebut dengan integrative learning melibatkan pengalaman-

pengalaman menjadi bagian keseharian yang tidak terlupakan. Belajar seperti

itu melibatkan dua cara. Pertama, pengalaman baru diintegrasikan kedalam

skema makna. Kedua, mengintegrasikan atau mengorganisasikan pengalaman

masa lalu untuk membantu peserta didik dalam menghadapi situasi

permasalahan baru, riset menyatakan bahwa akses terhadap pengetahuan itu

lebih baik dilakukan melalui integrasi yang rinci dengan cara mengutuhkan

56

Muhammad Yunus, Pendekatan Integratif vs Pendekatan Interdisiplin: Dikotomi atau

Continum, (Jurnal Edukasi, vol. X , 2009) , h. 284.

Page 52: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44552/1/ANGGI...repository.uinjkt.ac.idAuthor: Anggi AnggaraPublish Year: 2015

42

gagasan-gagasan (whole ideas) yang terpecah-pecah. Semakin bermakna

suatu peristiwa, semakin dalam terproses secara elaboratif, semakin

tersituasikan dalam konteks dan semakin berakar dalam budaya,

latarbelakang, metakognitif dan pengetahuan personal, maka semakin siap

pula untuk dipahami, dipelajari dan diingat.57

Pendidikan tidak lagi berfungsi sebagai media tunggal pelahiran

kepribadian dan penumbuhan kemampuan profesional seseorang ditengah

persaingan antar pribadi dan komunitas yang semakin sengit. Peradaban

kebudayaan dan keberagaman ini, merupakan hasil persaingan dari beragam

nilai dan pengalaman hidup yang terus berubah dan berkembang dalam

satuan waktu yang cepat. Kehidupan manusia personal dan komunitas dalam

lingkup etnis, bangsa dan juga keagamaan seperti kehilangan pijakan

tradisionalnya. Oleh sebab itu, tentang peluang untuk menemukan kembali

nilai dasar yang dapat dijadikan rujukan untuk konsep dan praktik pendidikan

yang memberi harapan bagi kelahiran kepribadian yang saleh sekaligus

profesional menjadi penting. Namun manusia dalam realitas sosialnya adalah

pelaku sejarah, maka yang diperlukan ialah sebuah jangkar peradaban yang

setiap saat bisa dibongkar agar laju peradaban bergerak untuk memberi

kesempatan pengendapan kebudayaan. Karena bagaimana pun manusia tidak

mungkin hidup tanpa tradisi yang mencerminkan suatu tata nilai yang setiap

saat dapat dijadikan tempat bertanya untuk menjawab dimana dan kemana

akan bergerak kedepan sejarah.58

Barangkali harus mengambil suatu intisari bahwa seluruh perubahan

peradaban yang telah sampai pada tahapan global tidak lain ialah sebuah

bentuk takdir dan praktis wahyu Tuhan itu sendiri. Sementara itu perlu

memahami bahwa fakta baru peradaban sosial terdapat sejumlah nilai dan

sistem yang dapat ditemukan dalam tafsir kitab suci tentang identitas sejarah

kehidupan. Nilai-nilai kemanusiaan, keterbukaan atau kejujuran, keadilan,

dan kesamaan derajat dan universalitas selain personal, bisa ditemukan dalam

57

Ibid., h. 383. 58

Pendidikan Islam dan Tantangan Globalisasi, Buah Fikir Seputar Filsafat, Politik,

Ekonomi, Sosial dan Budaya, (Yogyakarta: AR-RUZZ Media, 2004), cet. I, h. 3-4.

Page 53: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44552/1/ANGGI...repository.uinjkt.ac.idAuthor: Anggi AnggaraPublish Year: 2015

43

peradaban global, tetapi juga bisa menemukan dalam tafsir kitab suci. Karena

itu penting mengambil suatu kesimpulan yang menyatakan bahwa sekurang-

kurangnya dalam beberapa peradaban sosial merupakan praktis kitab suci

tanpa simbol keilahian. Inilah yang antara lain pernah dikemukakan oleh

Aguste Comte bahwa ilmu pengetahuan dan teknologi adalah agama masa

depan. Kesimpulan yang penting sekaligus kontroversial ialah bahwa

peradaban bisa berarti sebagai sesuatu kesalehan tanpa simbol keilahian atau

simbol ilahiyah dalam praktis peradaban.59

Titik silang beragam tradisi dalam peradaban yang dipicu penemuan ilmu

pengetahuan dan teknologi memungkinkan munculnya suatu bentuk

kesalehan yang bisa disebut sebagai kesalehan multikultural. Dalam bahasa

keagamaan merupakan persilangan antara ayat-ayat qauliyah dan kitab kitab

suci, dan ayat-ayat kauniyah dari pengalaman sejarah. Mungkin memerlukan

rekonstruksi tafsir kitab suci perubahan dasar pengalaman sejarah

keseluruhan umat manusia, perlu menyadari bahwa peruntukkan utama

penurunan kitab suci ialah untuk kepentingan manusia, bukan kepentingan

Tuhan sendiri. Pengalaman peradaban dalam batas tertentu berhasil

memenuhi sebagian kebutuhan manusia tidak sama sekali bertentangan

dengan nilai-nilai dasar dan etika universal kemanusiaan yang bersumber

kitab suci bisa diberi arti sebagai kesalehan religius. Seluruhnya

mengandaikan sebuah model pendidikan baru yang tidak lagi bisa dikonsep

dan dipraktikkan berdasar nilai standar buku verbal, tetapi berdasar nilai-nilai

etika kritis kemanusiaan yang setiap saat bisa didaur ulang guna menjawab

berbagai persoalan baru yang terus berubah cepat.60

Agama sebagai nilai yang diwahyukan oleh Tuhan untuk kehidupan

manusia. Diyakini sebagai jalan keselamatan, dengan bimbingan agama

diharapkan manusia mempunyai pegangan yang pasti dan benar. Agama

memiliki dimensi vertikal (ritual) dan dimensi horizontal yang tidak sekedar

mengajarkan keyakinan eskatologis yang berorientasi kepentingan akhirat

59

Ibid., h. 5. 60

Muhamad Yunus, op, cit, h. 5.

Page 54: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44552/1/ANGGI...repository.uinjkt.ac.idAuthor: Anggi AnggaraPublish Year: 2015

44

semata, akan tetapi mengajarkan juga substansi kehidupan yang normatif di

dunia. Maka pembinaan masyarakat melalui pendekatan keagamaan

merupakan salah satu bentuk safety valve institution, yaitu suatu institusi yang

menjadikan obyek-obyek tertentu yang dapat mengalihkan perhatian pihak-

pihak yang bertikai agar tersalur kearah lain. Demikian secara langsung atau

tidak langsung pembinaan masyarakat melalui pendekatan keagamaan akan

menjadi pedoman kegiatan dalam berbagai pranata yang ada dalam

masyarakat (keluarga, ekonomi, politik dan pendidikan) akan dipengaruhi,

digerakan dan diarahkan oleh berbagai sistem nilai yang bersumber pada

ajaran agama yang dianutnya. Oleh karena itu, pembinaan masyarakat melalui

pendekatan keagamaan dianggap sebagai salah satu upaya yang mampu dan

memadai dalam mengatasi konflik sosial yang terjadi di masyarakat.61

61

Ali Nurdin dan Abdul Aziz, Islam dan Prospek Keberagaman di Indonesia,

(Jakarta:UIN Press, 2006), cet. I, h. 93.

Page 55: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44552/1/ANGGI...repository.uinjkt.ac.idAuthor: Anggi AnggaraPublish Year: 2015

45

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

Penelitian adalah proses yang digunakan untuk mengumpulkan dan

menganalisis informasi guna meningkatkan pemahaman pada suatu topik.

Penelitian menjadi penting karena beberapa alasan, di antaranya penelitian dapat

menambah pengetahuan, yaitu penelitian berguna untuk memberikan kontribusi

pada informasi yang ada mengenai suatu permasalahan. Penelitian

jugameningkatkan praktik, karena penelitian memberikan ide-ide baru sebagai

bahan pertimbangan saat menjalankan pekerjaan. Terakhir, penelitian dapat

menginformasikan perdebatan kebijakan, karena penelitian memberikan

percakapan mengenai isu-isu penting ketika membuat kebijakan melakukan

perdebatan pada suatu topik kebijakan.1

Pada bab ini dijelaskan mengenai metode penelitian yang digunakan dalam

penulisan karya ilmiah skripsi. Metode penelitian meliputi waktu penelitian, jenis

penelitian, sumber data, metode pengumpulan data, teknik analisis data dan teknik

penulisan yang akan diuraikan sebagai berikut:

A. Waktu Penelitian

Penelitian yang berjudul “Urgensi Pendidikan Multikultural Di

Indonesia Dalam Perspektif Agama Islam” dilaksanakan dalam waktu

beberapa bulan: dari bulan Agustus sampai bulan Oktober 2014 tahap tersebut

digunakan untuk pengumpulan data mengenai sumber-sumber tertulis yang

diperoleh dari buku-buku yang ada di perpustakaan serta sumber lain yang

1Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik, (Jakarta: PT.

Rineka Cipta, 2010), cet. 14, h. 21.

Page 56: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44552/1/ANGGI...repository.uinjkt.ac.idAuthor: Anggi AnggaraPublish Year: 2015

46

mendukung penelitian, terutama yang berkaitan dengan judul yang diangkat

dari berbagai sumber sebagai primer.

B. Jenis Penelitian

Penelitian ini bersifat kualitatif. Penelitian ini memakai pendekatan

kualitatif menekankan dinamika hubungan antara fenomena yang diamati, dan

senantiasa menggunakan logika ilmiah.2 Data kualitatif terdiri dari deskripsi

rinci mengenai, kutipan-kutipan langsung dan dokumentasi kasus pengukuran

kualitatif merupakan data pengalaman dunia data kualitatif berbeda dengan

data kuantitatif, data kuantitatif ringkas, hemat dan mudah dijumlah untuk

dianalisis. Data kuantitatif sistematik, terstandar dan mudah diuraikan dalam

halaman sempit. Data kualitatif mendalam dan rinci (depth and detail). Data

yang mendalam dan rinci muncul dalam kutipan langsung dan deskripsi yang

cermat, dan kerincian data bervariasi tergantung tempat dan tujuan penelitian

tertentu.3

C. Sumber Data

Sumber data yang digunakan dalam penelitian kualitatif ini diperoleh

dari sumber literatur yang berupa karya ilmiah baik buku, makalah, artikel dan

lain-lain yang relevan dengan pembahasan skripsi.4

Sumber tersebut dibedakan menjadi dua bagian sumber primer dan

sumber sekunder.

1. Sumber data primer adalah sumber data utama dari berbagai referensi.5

2. Sumber data skunder adalah sumber data yang di peroleh dari sumber-

sumber lain yang berkaitan dengan masalah penelitian dan memberi

interpretasi terhadap sumber primer.6

Adapun data sekunder dalam penelitian ini adalah buku-buku

pendidikan, artikel-artikel, majalah dan sebagainya yang relevan dengan

pembahasan skripsi.

2Imam Gunawan, Metode Penelitian Kualitatif, (Jakarta, Bumi Aksara, 2013), cet. I, h. 80.

3Wiliam, Evaluasi: Teori, Model, Standar, Aplikasi dan Profesi, (Jakarta: Rajawali Pers,

2012), cet. II, h. 154. 4Ibid., h. 156.

5Saeful Azwar, Metode Penelitian, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1998), h. 89. 6Ibid, h. 91

Page 57: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44552/1/ANGGI...repository.uinjkt.ac.idAuthor: Anggi AnggaraPublish Year: 2015

47

D. Metode Pengumpulan Data

Metode yang penulis gunakan dalam pengumpulan data adalah metode

dokumentasi. Yang dimaksud dengan metode dokumentasi yaitu mencari data

mengenai fariabel berupa buku-buku, jurnal, surat kabar, majalah, artikel dan

lain sebagainya yang representatif, relevan dan mendukung terhadapat objek

kajian sehingga diperoleh jawaban yang dapat dipertanggungjawabkan dari

permasalahan yang telah dirumuskan. Dokumen yang telah diperoleh

kemudian dianalisis (diurai), dibandingkan dan dipadukan (sintesis)

membentuk satu hasil kajian yang sistematis, padu dan utuh. Analisis

dokumen yang penulis gunakan yaitu metode analisis isi (content analisis).

Metode konten analisis adalah metode yang sifatnya mendeskripsikan,

membahas dan mengkritik gagasan primer yang selanjutnya dikonfrontasikan

dengan gagasan primer yang lain dalam upaya studi perbandingan, hubungan

dan pengembangan model.7

Prinsip dasar kajian memiliki ciri utama, yaitu sebagai berikut:

1. Prosesnya harus mengikuti aturan, dan aturan itu sendiri haruslah berasal

dari kriteria yang ditentukan dan prosedur yang ditetapkan

2. Prosesnya sistematis

3. Prosesnya diarahkan untuk menggeneralisasi

4. Mempersoalkan isi yang termanifestasikan

5. Menekankan analisis secara kuantitatif, namun hal tersebut dapat pula

dilakukan bersama analisis kualitatif.

Kajian isi (content analysis dokumen) metode penelitian kualitatif adalah

metodelogi penelitian yang memanfaatkan seperangkat prosedur untuk

menarik kesimpulan yang shahih dari sebuah buku atau dokumen.8

E. Teknik Analisis Data

Analisis data kualitatif adalah pengujian sistematik dari suatu untuk

menetapkan bagian-bagiannya, hubungan antar kajian dan hubungannya

keseluruhan. Analisis data merupakam bagian yang sangat penting dalam

penelitian karena dari analisis ini akan diperoleh temuan, baik temuan

7Suryadi Suryabrata, Metode Penelitian, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1998), h. 8.

8Wiliam, Op, cit, h. 181.

Page 58: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44552/1/ANGGI...repository.uinjkt.ac.idAuthor: Anggi AnggaraPublish Year: 2015

48

substantif maupun formal. Pada hakikatnya, analisis data adalah sebuah

kegiatan untuk mengatur, mengelompokkan, memberi kode/tanda, dan

mengkatagorikan sehingga diperoleh suatu temuan berdasarkan fokus atau

masalah yang dijawab.

Teknik analisis data yang penulis lakukan dalam penelitian ini yaitu

dengan cara:

1. Pengumpulan data, yakni membuat catatan data yang dikumpulkan

terhadap buku-buku mengenai pendidikan agama Islam dan pendidikan

multikultural.

2. Reduksi data, yaitu merangkum, menyeleksi, memfokuskan pada hal-hal

penting, mencari tema dan polanya, sehingga dengan direduksinya data

tersebut dapat memudahkan dalam melakukan pengumpulan data. Setelah

itu penulis membaca dan memilah-milah bahan yang dipandang perlu dan

cocok juga terkait dengan penyajian data. Setelah membaca dan memilah-

milah bahan, langkah selanjutnya yang penulis lakukan adalah mengolah

data-data dan refrensi tersebut untuk kemudian disajikan secara sistematis.

Bentuk penyajian data yaitu dengan teks naratif dan deskriptif. Seluruh

data yang terkumpul dianalisis mempertahankan keaslian teks yang

memaknainya. Yang menjadi fokus utama dalam penelitian skripsi ini

adalah pembentukan teori dalam kajian ini, sedapat mungkin oleh penulis

akan didasarkan kepada data yang ditemukan dari sumber tersebut.

3. Penarikan kesimpulan, setelah data yang terkumpul direduksi dan

selanjutnya disajikan, maka langkah yang terakhir dalam menganalisis

data penelitian ini adalah penarikan kesimpulan, dan kesimpulan tersebut

mula-mula masih sangat kabur dan perlu dikaji ulang. Akan tetapi dengan

bertambahnya data melalui verifikasi, maka kemudian penulis memperoleh

kesimpulan yang jelas.

F. Teknik Penulisan

Secara teknis, penelitian ini disandarkan pada pedoman penulisan skripsi

Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Tahun 2015.

Page 59: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44552/1/ANGGI...repository.uinjkt.ac.idAuthor: Anggi AnggaraPublish Year: 2015

49

BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Teks Ayat dan Terjemahan Tentang Pendidikan Multikultural

1. Persaudaraan Sesama Manusia

Salah satu alasan yang dijelaskan al-Qur’an adalah bahwa manusia satu

sama lain bersaudara karena mereka berasal dari sumber yang satu, Q.S. Al-

Hujurat/49: 13 menegaskan hal ini:

ن خوقناك من ذكر أو أهث و جؼوياك شؼو ا امياس ا ن أكرمك غيد هللا ب و قبائل متؼارفو أيه

ا ا

. ن هللا ػوي خبي أثقىك ا

“Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari

seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu

berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling mengenal.

Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah

orang yang paling bertakwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah maha

mengetahui lagi maha mengenal.”

Hubungan antara mansia dengan Tuhan-nya sekaligus menuntut agar

setiap orang senantiasa memelihara hubungan antara manusia dengan

sesamanya. Sesungguhnya berbagai fitrah yang sederhana merupakan hakikat

yang sangat besar, sangat mendalam dan sangat berat. Sekiranya manusia

mengarahkan pendengaran dan hati mereka kepada-Nya niscaya telah cukup

untuk mengadakan berbagai perubahan besar di dalam kehidupan mereka dan

mentransformasikan mereka dari beraneka ragam kebodohan kepada iman,

keterampilan dan petunjuk, kepada peradaban yang sejati dan layak bagi

manusia. Dan diantara tanda-tanda-Nya adalah penciptaan langit dan bumi

Page 60: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44552/1/ANGGI...repository.uinjkt.ac.idAuthor: Anggi AnggaraPublish Year: 2015

50

serta perbedaan lidah kamu dan warna kulit kamu. Sesungguhnya yang

demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang alim.1

تم شد من امغي فمن كفر بمطاغوت وؤمن بهلل فقد اس ن قد ثبي امره كراه ف ادلا ل بمؼرو س

ع ػوي اموثقى ال اه .فصام ميا وهللا س

"Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam); sesungguhnya telah

jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat. Karena itu barangsiapa

yang ingkar kepada Thaghut dan beriman kepada Allah, maka sesungguhnya

dia telah berpegang kepada buhul tali yang amat kuat yang tidak akan putus.

Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui." (QS.Al-Baqarah:

256).

Ayat ini menerangkan tentang kesempurnaan ajaran Islam, dan

bahwasanya karena kesempurnaan bukti-buktinya, kejelasan ayat-ayat dan

keadaannya merupakan ajaran akal dan ilmu, ajaran fitrah dan hikmah, ajaran

kebaikan dan perbaikan, ajaran kebenaran dan jalan yang lurus, maka karena

kesempurnaannya dan penerimaan fitrah terhadapnya, maka Islam tidak

memerlukan pemaksaan, karena pemaksaan itu terjadi pada suatu perkara

yang dijauhi oleh hati, tidak memiliki hakikat dan kebenaran, atau ketika

bukti-bukti dan ayat-ayatnya tidak ada, maka barangsiapa yang telah

mengetahui ajaran ini dan dia menolaknya maka hal itu didasari karena

kedurhakaannya, karena ( قد تبيه الرشد مه الغي ) "sesungguhnya telah jelas jalan

yang benar daripada jalan yang sesat" hingga tidak ada suatu alasan pun

bagi seseorang dan tidak pula hujjah apabila dia menolak dan tidak

menerimanya.

ؼ ذ كيت أػداء ا و ال ثفرقو و اغتصموا ببل هللا جك ا فأمف بي و اذكروا هؼمة هللا ػو

خوان.قووبك فأصبحت بيؼمتو ا

“Dan berpegang teguhlah kamu sekalian kepada tali agama Allah,

dan janganlah kamu bercerai-berai, dan ingatlah akan nikmat Allah

kepadamu ketika kamu dahulu (masa Jahiliyah) bermusuh-musuhan,

1Abdurrahman Azzam, Konsepsi Perdamaian Islam, (Jakarta: PT Karya Unipress,

1985), cet. I, h. 66-70.

Page 61: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44552/1/ANGGI...repository.uinjkt.ac.idAuthor: Anggi AnggaraPublish Year: 2015

51

maka Allah mempersatukankan hati mu, lalu menjadilah kamu karena

nikmat Allah orang-orang yang bersaudara dan kamu telah berada

ditepi jurang api neraka, lalu Allah menyelamatkan kamu dari padanya.

Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu, agar kamu

mendapat petunjuk.”

Pesan utama pada ayat ini ditunjukkan kepada kaum muslim secara

kolektif atau dalam konteks bermasyarakat, hal ini dapat dilihat dari

penggunaan kata jami’a yang mengandung arti semua, dan firman-Nya wa

laa tafarraquu, yang berarti janganlah bercerai-berai. Sehingga secara umum

maksud ayat ini adalah upaya sekuat tenaga untuk mengaitkan diri satu

dengan yang lain dengan tuntunan Allah sambil menegakkan disiplin diantara

kamu semua tanpa terkecuali.2

Kemudian tentang persaudaraan. Dalam kaitan ini sebagai analogi kota

Madinah sebagai tempat turunnya wahyu Allah, sekaligus pusat lahirnya

masyarakat Islam, terdiri dari beberapa kelompok keyakinan. Semuanya

disebut secara sistematis dan kategoris dalam al-Qur’an. Misalnya, dalam

surat at-Taubah/9: 100 dan 117, disebutkan kaum Muhajirin dan kaum

Anshar, sedangkan pada ayat 101 disebutkan dengan jelas adanya golongan

Yahudi, Nasrani dan Musyrik, baik yang tinggal di Madinah maupun

sekitarnya. Hal ini pula disebutkan dalam Q.S. Al-Maidah/5: 82.

Ini berarti masyarakat Madinah adalah masyarakat yang mempunyai

ideologi yang beragam kalau dilihat dari latar belakang agama, etnik dan

budaya yang dimiliki oleh masyarakat di kota Madinah.3Keragaman

masyarakat Madinah ini dapat mengakibatkan munculnya persoalan-

persoalan ekonomi dan kemasyarakatan. Karena perbedaan-perbedaan

kepentingan dan budaya yang melatarbelakangi sehingga tidak mudah

mencari titik temu di antara berbagai perbedaan tersebut. Oleh karena itu,

Nabi Muhammad mengantisipasinya melalui Piagam Madinah (Mitsaq

Madinah). Kendatipun ada Piagam Madinah, tetapi provokasi orang-orang

munafik kepada orang-orang Anshar untuk mengembargo perbelanjaan

2Ali Nurdin, Quranic Society: Menelusuri Konsep Masyarakat Ideal dalam Al-Quran,

(Jakarta: Erlangga, 2006), h. 270-271. 3Al-Munawar, Hukum Islam dan Pluralitas Sosial, (Jakarta: Penamadani, 2004), cet. I,

h. 183.

Page 62: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44552/1/ANGGI...repository.uinjkt.ac.idAuthor: Anggi AnggaraPublish Year: 2015

52

orang-orang Muhajirin tetap berlangsung baik dalam skala kecil maupun

skala besar.

Upaya untuk menghindari konflik diantara masyarakat Madinah yang

pluralistik ini khususnya di kalangan orang-orang beriman adalah dengan

mempererat tali persaudaraan antara mereka dengan kelompok non-muslim

melalui Piagam Madinah seperti disinggung di atas. Perjanjian-perjanjian

inilah yang mengikat berbagai elemen sosial Madinah secara adil.4

Begitu Islam mengajak segenap umat manusia kepada satu ikatan

persaudaraan umum sebagaimana ia menganjurkan rasa ramah dan kasih

sayang antar sesama. Karena hanya dengan kedua dasar inilah perdamaian

dan kebahagiaan yang sebenar-benarnya dapat dicapai dan dapat memasuki

pintu gerbang surga Tuhan.

Islam adalah suatu agama yang menuntut setiap pemeluknya

mengembangkan dan memperlambangkan persaudaraan dan kasih sayang

dalam setiap masa dan setiap tempat. Sungguh benar sekali ajaran agama

Islam dapat merapatkan tali persaudaraan dalam kalangan bangsa-bangsa di

dunia. Bahkan salah satu dari mukjizat yang terbesar ialah

mempersaudarakan bangsa-bangsa yang sebelumnya hidup dalam

permusuhan dan persengketaan turun-temurun. Persatuan dan persaudaraan

didalam Islam bukan karena didorong oleh perasaan terdesak atau tertekan

dan bukan pula karena dibangkitkan oleh rasa fanatik bangsa dan turunan,

tetapi berdasarkan pada prikemanusiaan semata-mata.5

براىي و م ش يا بو ا و ما وص م

يا ا ي أوي ن ما و ى بو هواا و اذ وى و ح مك من ادل

و. ن و ال ثتفرقوا ف موا اذ ػس أن أق

“Allah telah membuatkan aturan bagi kamu, sebagai agama,

pengajaran yang telah diwasiatkan kepada Nuh dan telah Kami wahyukan

kepadamu dan telah Kami wasiatkan pula kepada Ibrahim, Musa dan Isa

bahwa hendaklah kamu dirikan agama itu dan jangan kamu bercerai-

berai.”

4Ali Nurdin, op, cit., h. 184.

5Abdurrahman Azzam.,Op.cit.,h. 281.

Page 63: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44552/1/ANGGI...repository.uinjkt.ac.idAuthor: Anggi AnggaraPublish Year: 2015

53

2. Toleransi

Yang dimaksud dengan toleransi adalah memberikan kebebasan terhadap

orang lain. Perwujudan kerukunan dan toleransi umat beragama direalisasikan

dengan; pertama, bahwa setiap penganut agama mengakui eksistensi agama-

agama lain dan menghormati segala hak asasi penganutnya. Kedua, dalam

pergaulan bermasyarakat, tiap golongan umat beragama menekankan sikap

saling mengerti, menghormati dan menghargai. Dengan demikian, kerukunan

dan toleransi ditumbuhkan oleh kesadaran yang bebas dari segala macam

bentuk tekanan atau terhindar dari pengaruh hipokrisi (kemunafikan).

Persaudaraan yang diperintahkan al-Qur’an tidak hanya tertuju kepada

sesama muslim, namun juga kepada sesama warga masyarakat yang non-

muslim.6

Menyikapi fakta keberagaman sosial, al-Qur’an menganjurkan agar umat

Islam mengajak kepada komunitas lain (Yahudi dan Nasrani) untuk mencari

sudut pandang yang sama. Surat Al-Baqarah ayat 62:

ن ن اذوم الخر و عل صامحا منوا اا ى و امصىبئي من امن بهلل و ام ن ىادو و اميص و اذ

زهون. م و ال ه ي م و ال خوف ػوي فويم أجره غيد رب“Sungguh orang-orang yang beriman, orang-orang Yahudi,

orang-orang Nasrani, orang-orang Shabi’in, siapa saja yang beriman

kepada Allah dan Hari Akhir, dan mengerjakan kebaikan (perbuatan yang

patut), maka tetaplah bagi mereka pahala disisi Tuhan (Rabb) mereka dan

tak ada ketakutan atas mereka dan tidak pula mereka bersedih hati.”

Surat Al-Ma’idah ayat 69:

ن ن اذوم الخر و عل صامحا منوا اا ى من امن بهلل و ام ن ىادو و امصىبؤون و اميص و اذ

زهون. م و ال ه ي فل خوف ػوي“Sungguh orang-orang yang beriman, orang-orang Yahudi,

orang-orang Shabi’in, orang-orang Nasrani, siapa saja yang beriman

kepada Allah dan Hari Akhir, dan mengerjakan kebaikan (perbuatan yang

patut), maka tak ada ketakutan atas mereka dan tidak pula mereka

bersedih hati.”7

6Sarjuni, Pengantar Studi Islam, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2011), cet. I, h.

56-57. 7Leli Nurohmah, Kesetaraan, Kemajemukan dan HAM, (Jakarta: Rahima, 2010), cet. I,

h. 91.

Page 64: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44552/1/ANGGI...repository.uinjkt.ac.idAuthor: Anggi AnggaraPublish Year: 2015

54

Tema utama wahyu Allah adalah mengembalikan manusia kepada sistem

perhambaan yang sesungguhnya, tegaklah dengan sempurna bangunan

hablumminannas yang sesuai dengan fitrah manusia, karena risalah para

Rasul dan kemudian tegas dakwah para mubaligh, adalah mempertemukan

fitrah manusia dengan wahyu Ilahi, sebagaimana dalam firman-Nya:

تؼي ا يك وس

. يك هؼبد و ا

“Hanya kepada Engkau-lah kami berhamba, dan hanya kepada

Engkau-lah kami memohon pertolongan.”

نة. ال من بؼد ما جائتم امبن أوثوا امكتاب ا و ما ثفرق اذ

“Dan tidaklah berpecah belah orang-orang yang didatangkan Al-

Kitab (kepada mereka) melainkan sesudah datang kepada mereka bukti

yang nyata.”(Q.S. 98: 4).

Islam mengajarkan bahwa kedudukan manusia di hadapan Allah adalah

sama, tidakada yang lebih tinggi. Posisi ini berlaku bagi segala aspek

kehidupan, yang meliputi tata sosial, politik dan ekonomi. Konsekuensi

pertama dari sistem perhambaan adalah manusia merdeka dari berbagai

bentuk penjajahan yang diciptakan oleh Allah, yang termasuk dalam

kemerdekaan adalah tidak membiarkan kezaliman merajalela. Konsekuensi

kedua dari kemutlakan kekuasaan Allah atas manusia ialah bahwa hak hidup

sepenuhnya berada ditangan Allah, dan manusia dengan bebas menikmatinya.

Pelanggaran terhadap hak hidup seseorang tanpa alasan yang sahih menurut

pandangan al-Qur’an, merupakan penghinaan bagi kemanusiaan seluruhnya.8

Barangsiapa membunuh satu jiwa bukan karena qishash, atau karena jiwa

itu tidak mengadakan kekacauan di atas bumi, maka ia seolah-olah

membunuh seluruh manusia. Dan barangsiapa menghidupkan jiwa tadi, maka

ia seolah-olah menghidupkan seluruh manusia. Oleh karena itu Islam

mengadakan ketetapan-ketetapan yang menyangkut perlindungan hidup

seseorang, diantaranya, larangan melenyapkan jiwa tanpa alasan yang haq,

(QS. 6: 151), mendamaikan kelompok yang saling berperang, dengan langkah

8Saefuddin, Desekularisasi Pemikiran: Landasan Islamisasi, (Bandung: Mizan, 1998),

cet. IV, h. 184-185.

Page 65: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44552/1/ANGGI...repository.uinjkt.ac.idAuthor: Anggi AnggaraPublish Year: 2015

55

pertama menghentikan pihak yang berlaku melampaui batas dari

penganiayaannya, tanpa melihat dahulu mana pihak yang benar.9

Seharusnya pendidikan toleransi sebagai wahana rekonsiliasi sosial,

selama Orde Baru yang menonjol adalah bentuk-bentuk keseragaman, maka

melalui pendidikan toleransi peserta didik diajak untuk menghayati suasana

kebhinnekaan, sehingga suasan inklusif dan komunikatif akan terasa satu

sama lain. Melalui pendidikan yang toleran, situasi tegang dan penuh konflik

akan diarahkan kepada sikap empatik dan inklusif terhadap pluralitas yang

menjunjung tinggi integrasi dan rekonsiliasi sosial mempersempit semangat

provinsionalisme, dan sektarian.

Secara psikologis, pendidikan toleransi dan empati mampu memperhalus

sensibilitas manusia, membuatnya menyadari eksistensi dirinya sebagai

bagian kecil dari sistem sosial dan kosmo yang lebih besar. Dengan demikian,

melalui toleransi dan empati, manusia menyerap perasaan dan pengalaman

kehidupan orang lain yang berasal dari ranah geopolitik, geokultural, dan

geoetnis berbeda.10

3. Silaturrahim/ta’aruf

Secara etimologis, berasal dari dua kata yaitu shilah dan ar-rahim. Kata

shilah berarti sambungan, hubungan, atau ikatan, dan ar-rahim berarti

peranakan, rahim, kerabat atau keluarga. Kata ar-rahim juga diartikan dengan

kasih sayang. Secara terminologis, silaturahim adalah menyambungg tali

kekeluargaan dan kekerabatan dengan penuh ketulusan dan kasih sayang.

Tapi secara umum silaturrahim dapat dimaknai dengan menyambung tali

persodaraan antar sesama manusia tanpa melihhat perbedaan yang ada di

antara mereka. Keberagaman dan keberbedaan yang ada dalam masyarakat

akan tereliminir dengan adanya silaturrahim. Silaturrahim tidak hanya

menghilangkan sekat dan perbedaan, tapi juga dapat menumbuhkan rasa

kasih sayang antar sesama, membuka pintu rizki dan memperpanjang umur.11

9Op.cit.,h. 185.

10Sukardjo, Ukim, Landasan Pendidikan Konsep dan Aplikasinya, (Jakarta: Rajawali

Press, 2012), h. 76. 11

Op.Cit. h. 66.

Page 66: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44552/1/ANGGI...repository.uinjkt.ac.idAuthor: Anggi AnggaraPublish Year: 2015

56

Oleh karena itu, menjadi sangat penting bagi kita untuk menyadari bahwa

silaturrahim tidak hanya merekayasa gerak gerik tubuh, namun harus

melibatkan pula aspek hati dan pikiran. Dengan kombinasi bahasa tubuh dan

bahasa hati serta pikiran. Kita akan mempunyai kekuatan untuk bisa berbuat

lebih baik dan lebih bermutu dari pada yang dilakukan orang lain pada kita.

Silaturrahim adalah kunci terbukanya rahmat dan pertolongan Allah

SWT. Dengan terhubungnya silaturrahim, maka persodaraan akan terjalin

dengan baik. Ini sangat penting, sebab bagaimana pun besarnya umat Islam

secara kuanitatif, sama sekali tidak ada artinya, laksana buih dilautan yang

mudah diombang ambing gelombang, bila di dalam nya tidak ada peratuan

dan kerjasama untuk taat kepada Allah SWT.12

4. Musyawarah/kebersamaan

Al-Qur’an tidak mentolelir adanya perbedaan antara yang satu dengan

yang lain, laki-laki, wanita atas partisipasi yang sama dalam kehidupan

bermasyarakat. Sejalan dengan pandangan ini, al-Qur’an menegaskan tentang

prinsip syura (musyawarah) untuk mengatur proses pembuatan keputusan

yang dilakukan masyarakat multikultural, sayang nya selama berabad-abad,

di kalangan kaum muslim telah mengalami kekeliruan fatal dalam

menafsirkan karakteristik syura ini. Mereka memahami bahwa syura sama

dengan penguasa berkonsultasi dengan orang-orang yang menunntut

pandangan mereka yang sangat bijaksana, dengan tidak ada keharusan untuk

mengimmplementasikan nasihat mereka.13

Pandangan ini jelas merusak makna syura itu sendiri. Al-Qur’an dengan

jelas menyebutkan ”sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarah

antara mereka” (Asy-Syura (42): 38). Yang dimaksud “urusan mereka”

adalah bukan urusan indivdu, kelompok atau elitt tertentu tetapi “urusan

masyarakat pada umumnya” dan milik masyarakat secara keseluruhan. Dan

“musyawarah antar mereka” yaitu urusan mereka dibicarakan dan diputuskan

12

Op.Cit. h. 68 13

Junaedi, dkk, Pendidikan Kewarganegaraan, Jakarta Learning Assistance Program

for Islamc Schools Pendidikan Guru Madrasah Ibtidaiyah 2009, Edisi pertama aket 8-14.

Page 67: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44552/1/ANGGI...repository.uinjkt.ac.idAuthor: Anggi AnggaraPublish Year: 2015

57

melalui saling konsultasi dan diskusi, bukan diputuskan oleh seorang

individu atau elit yang tidak dipilih oleh masyarakat. Dari sini dipahami

bahwa syura tidak sama maknanya “seorang meminta nasihat orang lain”

tetapi adalah saling menasihati melalui diskusi dalam posisi yang sama

secara langsung ini berarti bahwa kepala negara tidak boleh enolak begitu

saja keputusan yang telah diambil melalui musyawarah.14

Jika terjadi friksi atau perselisihan antara satu dengan yang lain, maka

Islam menawarkan jalan perdamaian melalui dialog. Islam tidak lantas

menyeru bukan sekedar kampanye dan adu kekuatan untuk menyelesaikan

sebuah permasalahan. Sebab pada intinya, Islam adalah agama yang cinta

damai, agama yang selalu menyeru kepada kebijaksanaan dan manfaat,

agama yang menawarkan titik temu dan menjauhi titik selisih. Islam juga

menyeru pada semua umat manusia menuju cita-cita bersama, yaitu kesatuan

dan persaudaraan lemanusiaan tanpa membedakan ras, etnik, kebudayaan dan

bahkan agama.15

…سواء بيىىا وبيىكم تعالوا إلي كلمة ٱلكتبيأهل قل

Katakanlah: “Hai Ahli Kitab , marilah berpegang kepada suatu kalimat

ketetapan yang ditak ada perselisihan antara kami dan kamu, … QS. Al-

Imran 3. 64.

Dialog bukan semata percakapan, tapi lebih dari itu, dialog adalah

pertemuan dua pikiran dan hati mengenai persoalan bersama, dengan

komitmen untuk saling belajar agar dapat berubah, tumbuh dan berkembang.

“Berubah” artinya dialog terbuka, jujur dan simpatik, agar dapat membawa

pada kesepahaman bersama, dan dapat membedakan mana prasangka, dan

stereotip. Juga dapat mengeliminir celaan dan hinaan antar sesama.

“Tumbuh” karena dialog mengantarkan pada informasi, klarifikasi dari

sumber primer dan dapat mendiskusikannya secara terbuka dan tulus. Dialog

14

Ibid. 15

Munzir Suparta, Islamic Multicultural Education: Sebuah Refleksi atas Pendidikan

Agama Islam di Indonesia, Jakarta: Gifani Alfatana Sejahtera, 2010, cet. II, h. 59.

Page 68: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44552/1/ANGGI...repository.uinjkt.ac.idAuthor: Anggi AnggaraPublish Year: 2015

58

merupakan oangkal pencerahan nurani dan akal pikiran menuju kematangan

cara beragama dan bermasyarakat yang menghargai “kelainan”.

Dengan demikian, nilai sawa’ (persamaan) adalah menyangkut cara

manusia melakukan perjumpaan dengan memahami diri sendiri dan dunia

orang lain pada tingkat terdalam, membuka kemungkinan-kemungkinan

untuk menggali dan menggapai sekala makna fundamental kehidupan secara

individu dan kolektif denan dimensinya. Secara eksperimental, sawa’ sawa

tampil kepermukaan dan menjangkau perjumpaan antar dunia multikultural

yang begitu luas. Ketika manusia hidup melalui perjumpaan agama-agama,

seolah kita mendapatkan pengalaman antarkultural.16

Pluralitas dan multikultural untuk dialog, bukan pertentangan, adalah

teknologi masa depan yang muncul dari pandangan rasional otentik berbasis

wahyu progresif yang merupakan dasar bagi semua pengalaman keagamaan

dan kultural. Dialog membawa pada pandangan dunia keagamaan dana

kultural yangg tidak parsial atau ideologi sipil yang tidak diskriminatif.

Dalam dialog, seseorang harus memperhatikan etika dan aturan main yang

berlaku. Tidak boleh asal-asalan, ada strategi dan metode yang harus dipakai.

Dengan strategi yang baik, dialog akan mampu mengantarkan seseorang

pada titik kebersamaand an kesepahaman yang indah. Di antara strategi

berdialog yang baik adalah: pertama, tidak boleh ada rasa ingin menang

sendiri; kedua, tidak boleh menganggap diri lebih superioritas dan

menganggap orang lain inferior; ketiga, selalu memperhatikan etika dan

norma-norma sopan santun.17

… ٱلأمروشاورهم في …“...dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu”. Q.S. Ali-

Imran 3. 159.

Musyawarah adalah merundingkan sebuah permasalahan untuk

mendapatkan kesepakatan dan konsensus bersama. Musyawarah

meniscayakan adanya komitmen bersama untuk melaksanakan hasil

16

Ibid., h. 60. 17

Ibid.

Page 69: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44552/1/ANGGI...repository.uinjkt.ac.idAuthor: Anggi AnggaraPublish Year: 2015

59

kesepakatan dengan sebaik—baiknya. Menghianati hasil musyawarah berarti

sama dengan menyulut api permusuhan dan ketidakharmonisan antar sesama.

Serumit apapun suatu masalah, pasti dapat dicari solusinya melaluii

musyawarah. Pada hakekatnya tak ada satu masalahpun yang tidak dapat

dipecahkan. Dengan musyawarah, kebutuhan akan terbuka lebar. Dengan

musyawarah, kejumudan akan tercairkan. Denan musyawarah, perseteruan

akan dapat didamaikan. Dan dengan musyawarah, perbedaan akan dapat

disatukan.18

5. Tolong menolong

Salah satu perbedaan dan keistimewaan agama Islam dari agama-agama

lain ialah bahwa Islam tidak hanya mengatur urusan-urusasn yang mengenai

ibadah saja, tetapi juga mengatur urusan-urusan yang mengenai masyarakat

tentang hak dan kewajiban tiap-tiap orang terhadap rumah tangganya,

keluarganya, tetangganya, sekampungnya, sebangsanya bahkan antar bangsa

dan bangsa.

Islam ialah agama yang memperhatikan soal kemasyarakatan dan

perbaikan masyarakat sehingga sampai dalam atuan-aturran yang mengenai

ibadah pun terkandung usaha dan wasilah yang wujudnya menuju perbaikan

masyarakat. Menurut ajaran agamanya umat Islam itu seluruhnya harus hidup

merupakan satu kesatuan yang sokong menyokong dan bergotong-royong

dadlam segala-galanya baik dalam usaha menyelenggarakan kebaikan dan

keutamaan maupun dalam usaha melenyapkan dan menghindarkan bahaya

dan kejahatan.19

Betapa besar perhatian Islam terhadap hidup gotong-royong dan gugur-

gunung itu, dapatlah kita lihat, sehingga dari setiap segi pengajaran yang

terkandung di dalamnya adalah berisi anjuran yang demikian wujudnya.

Keberbedaan harus dispakati dengan bijak dan arif. Keberagaman budaya

dan adat kebiasaan harus dijadikan modal dasar untuk membeangun sebuah

18

Ibid. 19

A. Azzam Pasha, Konsepsi Perdamian Islam, Jakarta: PT. Karya Unipress, 1985,

cet. I, h. 82.

Page 70: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44552/1/ANGGI...repository.uinjkt.ac.idAuthor: Anggi AnggaraPublish Year: 2015

60

konstruksi masyarakat yang kokoh. Jika dianalogikan dengan bangunan

rumah, maka akan sadar bahwa rumah dapat berdiri dengan kokoh bukan

karena kesamaan bahan baku bangunan tapi karena keberbedaan, tentu

keberbedaan yang terorganisir, tertata, dan terstruktur. Keberbedaan bahan

baku bangunan bila ditata dengan rapi, maka akan menghasilkan konstruksi

rumah yang indah dan layak huni. Sebaliknya, jika keberbedaan bahan baku

bangunan itu ditata dengan baik dan teratur, alih-alih rumah akan berdiri

kokoh.

Demikian halnya dengan masyarakat, jika keberbedaan yang ada dalam

masyarakat itu ditata dengan baik dan teratur, maka akan menghasilkan

sebuah perbedaan yang kokoh dan tangguh. Bila tidak, maka keberbedaan itu

akan menjadi sumber konflik dan momok yang mankutkan. Oleh sebab itu,

Islam menawarkan sebuah konsep berupa gotong royong dan tolong

menolong.

.… ٱلعدونو ٱلإثمولا تعاوووا علي ٱلتقوىو ٱلبروتعاوووا علي …

“...Dan tolong menolonglah kamu dalam mengerjakan kebajikan dan

takwa, dan jangan tolong menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran”.

QS. Al-Maidah 5. 2.

Dalam ta’awun ada banyak manfaat yang dapat diambil, diantaranya

adalah, ta’wun dapat membantu merealisasikan planning dengan lebih

sempurna. Dalam ta’awun terdapat proses saling tukar kebaikan dan

memberikan tambahan dalam mendapatkan ide-ide dan pemikiran. Ta’awun

dabat mempercepat tercapainya target sebuah pekerjaan, juga akan

menghemat waktu. Ta’awun akan mempermudah sebuah pekerjaan,

memperbanyak orang yang berbuat baik, menumbuhkan persatuan dan sikap

saling membantu. Apabila dibiasakan, ta’awun akan menjadi modal untuk

membangun kehidupan sebuah umat.

Page 71: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44552/1/ANGGI...repository.uinjkt.ac.idAuthor: Anggi AnggaraPublish Year: 2015

61

B. Keberagaman Pendidikan Islam

1. Universal Agama

Isu perbedaan agama sangat sensitif, sementara perkembangan sosial

justru semakin mengarah kepada pluralitas pemeluk agama. Dengan dasar

tersebut, keragaman agama yang ada hendaknya didekati dengan dua cara:

pertama, agama diposisikan sebagai fenomena sosial dan budaya yang perlu

diketahui para siswa. Setiap agama memiliki tradisi dan simbol-simbol yang

khas, semua agama mengajarkan pemeluknya untuk cinta damai, menolong

sesama dan membenci semua kejahatan. Siapapun yang tidak mencintai

kedamaian dan moralitas, dia telah menghianati ajaran agamanya.20

Pembahasan ini lebih banyak ditekankan pada dua hal yang saling

berkaitan dalam pendidikan Islam. Kedua hal itu adalah pembaharuan

pendidikan Islam dan modernisasi pendidikan Islam. Dalam liputan istilah

pertama, tentu saja ajaran-ajaran formal Islam harus diutamakan, dan kaum

muslim harus dididik mengenai ajaran-ajaran agama mereka. Yang diubah

adalah cara menyampaikannya kepada peserta didik, sehingga mereka akan

mampu memahami dan mempertahankan “kebenaran”. Bahwa hal ini

memiliki validitas sendiri, dapat dilihat pada kesungguhan anak-anak muda

muslim terpelajar, untuk menerapkan apa yang mereka anggap sebagai

“ajaran-ajaran yang benar” tentang Islam. Contoh paling mudahnya adalah

menggunakan tutup kepala disekolah non-agama, yang di negeri ini dikenal

sebagai jilbab. Ke-Islaman lahiriyah seperti itu juga terbukti dari semakin

tingginya jumlah mereka dari tahun ke tahun yang melakukan ibadah umrah

atau haji.21

Demikian juga semangat menjalankan ajaran Islam, datang lebih banyak

dari komunitas luar sekolah, antara berbagai komponen masyarakat Islam.

Dengan kata lain pendidikan Islam tidak hanya disampaikan dalam ajaran-

ajaran formal Islam disekolah-sekolah agama atau madrasah belaka,

melainkan juga melalui sekolah-sekolah non-agama yang tersebar di seluruh

penjuru dunia. Hal lain yang harus diterima sebagai kenyataan hidup kaum

20

Ibid.,h. 76. 21

Abdurrahman Wahid, Islamku Islam Anda Islam Islam Kita Agama Masyarakat

Negara Demokrasi, (Jakarta: The Wahid Institute, 2006), cet. I, h. 225

Page 72: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44552/1/ANGGI...repository.uinjkt.ac.idAuthor: Anggi AnggaraPublish Year: 2015

62

muslim dimana-mana, adalah respon umat Islam terhadap tantangan

demokrasi. Tantangan seperti pengentasan kemiskinan, pelestarian

lingkungan hidup dan sebagainya. Itulah yang perlu direnungkan secara

mendalam bagi pendidikan Islam.

Pendidikan Islam tentu saja harus sanggup “meluruskan” responsi

terhadap tantangan modernisasi. Namun kesadaran kepada hal itu belum

tumbuh dalam pendidikan Islam secara menyeluruh. Dengan kata lain,

haruslah menyimak perkembangan pendidikan Islam di berbagai tempat, dan

membuat peta yang jelas tentang konfigurasi pendidikan Islam itu sendiri. Hal

ini merupakan pekerjaan yang harus ditangani dengan baik.22

Perubahan sosial merupakan suatu kenyataan yang tidak dapat

dipungkiri, sebab hal itu termasuk sunnatullah, hanya saja dalam

penampilannya, perubahan sosial tersebut ada yang direncanakan oleh

sekelompok manusia, dan diarahkan menurut kepentingan tertentu.

Dalam menghadapi proses perubahan sosial, para pemimpin organisasi

Islam dituntut untuk peningkatan pemahamannya terhadap hakikat Islam itu

sendiri, disamping memahami tentang proses perubahan yang terjadi di dalam

masyarakat, agar bobot dan peranan sebagai wadah perjuangan dan pranata

sosial lebih dapat diandalkan di masa mendatang.23

Jelas dari uraian di atas, pendidikan Islam memiliki banyak model

pengajaran, baik yang berupa pendidikan sekolah maupun pendidikan non-

formal seperti pengajian dan sebagainya. Tak terhindari lagi, keragaman jenis

dan corak pendidikan Islam terjadi seperti yang terlihat di tanah air dewasa

ini. Ketidakmampuan menghadapi kenyataan ini, yaitu hanya melihat

lembaga pendidikan formal seperti sekolah dan madrasah di tanah air sebagai

sebuah institusi pendidikan Islam, hanyalah akan mempersempit pandangan

tentang pendidikan Islam itu sendiri. Hal ini bermakna bahwa hanya

mementingkan satu sisi belaka dari pendidikan Islam dan melupakan sisi non-

formal dari pendidikan Islam itu sendiri. Tentu saja hal ini menjadi tugas

22

Ibid., h. 226. 23

Thalhah Hasan, Prospek Islam Dalam Menghadapi Tantangan Zaman,(Jakarta:

Bangun Prakarya, 2000), cet. I, h. 39-40.

Page 73: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44552/1/ANGGI...repository.uinjkt.ac.idAuthor: Anggi AnggaraPublish Year: 2015

63

berat bagi perencana pendidikan Islam, kenyataan ini menunjukkan

perjuangan pendidikan Islam.24

Karenanya, peta keberagaman pendidikan Islam seperti dimaksudkan di

atas, haruslah bersifat lengkap dan tidak mengabaikan kenyataan yang ada.

Lagi-lagi berhadapan dengan kenyataan sejarah, yang mempunyai hukum-

hukumnya sendiri. Mengembangkan keadaan dengan tidak memperhitungkan

hal ini, mungkin hanya bersifat menina-bobokan belaka dari tugas sebenarnya

yang harus dipikul dan dilaksanakan. Sikap mengabaikan keberagaman ini,

adalah sama dengan sikap burung onta yang menyembunyikan kepalanya di

bawah timbunan pasir tanpa menyadari badannya masih tampak. Jika masih

berpikir seperti itu, akan berakibat sangat besar bagi perkembangan Islam di

masa yang akan datang. Oleh karena itu jalan terbaik adalah membiarkan

keanekaragaman sangat tinggi dalam pendidikan Islam dan membiarkan

perkembangan waktu dan tempat yang akan menentukan.25

Selain itu, kenyataan perkembangan sejarah dan kebudayaan Indonesia

tidak bisa dilepaskan dari sentuhan dan pengaruh agama-agama yang ada dan

berkembang di Indonesia. Mula-mula datang agama Hindu, disusul Buddha,

Islam, kemudian Kristen baik Protestan maupun Katolik. Selain itu

kedatangan bangsa Cina yang membawa agama Kong Hu Chu ikut pula

memperkaya dunia keagamaan di Indonesia. Kehadiran agama-agama besar

ini, terutama tiga yang pertama (Hindu, Buddha, Islam) tidak saja bersifat

kerohanian tetapi juga secara fisik dan politis seperti terlihat dalam wujud

kerajaan-kerajaan Hindu, Buddha, dan Islam.

Sementara itu kedatangan penjajahan Barat ke berbagai kepulauan

nusantara bersamaan dengan penyebaran agama Kristen. Kenyataan ini bagi

masyarakat telah menimbulkan kesan secara stereotipikal bahwa agama

Kristen identik dengan penjajah, yang membawa bekas dan pengaruh yang

tidak sedikit dalam perkembangan dan perjalanan sejarah bangsa Indonesia.

Situasi ini ditambah dengan klaim setiap agama terhadap kebenaran ajaran

24

Abdurrahman Wahid, op.cit, h. 226. 25

Ibid., h. 227.

Page 74: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44552/1/ANGGI...repository.uinjkt.ac.idAuthor: Anggi AnggaraPublish Year: 2015

64

(truth claim) masing-masing membawa dampak dalam hubungan antar

beragama di Indonesia. Bertolak dari pandangan bahwa Islam merupakan

agama kemanusiaaan (fitrah), yang membuat cita-citanya sejajar dengan cita-

cita kemanusiaan universal. Pemikiran yang dikehendaki oleh Islam adalah

suatu sistem yang menguntungkan semua orang termasuk mereka yang non-

muslim, adalah sejalan dengan watak inklusif Islam. Pandangan ini telah

memperoleh dukungan dalam sejarah awal Islam.26

Perlu disadari bahwa masyarakat Indonesia sangat pluralistik, baik dari

segi etnis, adat istiadat maupun agama. Itulah sebabnya masalah toleransi

atau hubungan antar agama menjadi sangat penting. Namun demikian

tetaplah optimis bahwa dalam soal toleransi dan pluralisme ini, Islam telah

membuktikan kemampuannya secara meyakinkan. Fakta bahwa Islam

memperkuat toleransi dan memberikan apresiasi terhadap pluralisme, sangat

kohesif dengan nilai-nilai Pancasila yang sejak semula mencerminkan tekad

dari berbagai golongan dan agama untuk bertemu dalam titik kesamaan dalam

kehidupan berbangsa dan bernegara.

Dasar pandang tentang hubungan Islam dan pluralisme seperti yang

sering dikemukakan para ahli dan pakar pendidikan, sebenarnya berpijak

pada semangat humanitas dan universal Islam. Pada dasarnya terkandung

pengertian bahwa Islam itu merupakan agama kemanusiaan (fitrah) atau

dengan kata lain, cita-cita Islam itu sejalan dengan cita-cita kemanusiaan pada

umumnya. Dan kerasulan atau misi Nabi Muhammad adalah untuk

mewujudkan rahmat bagi seluruh alam. Jadi bukan semata-mata untuk

menguntungkan komunitas Islam saja. Semua agama yang benar pasti bersifat

Al-Islam karena mengajarkan kepasrahan kepada Tuhan. Tafsir al-Islam, akan

bermuara pada konsep kesatuan kenabian, kesatuan kemanusiaan. Konsep ini

merupakan kelanjutan dari konsep ke-Maha Esa-an Tuhan. Semua konsep ini

menjadikan Islam bersifat kosmopolit dan menjadi rahmat seluruh alam

(rahmatan lil’alamin), dan bukan hanya bagi umat Islam semata. Posisi

26

Syafi’i Anwar, Pemikiran dan Aksi Islam Indonesia, (Jakarta: Paramadina, 1995), cet.

I, h. 228-229.

Page 75: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44552/1/ANGGI...repository.uinjkt.ac.idAuthor: Anggi AnggaraPublish Year: 2015

65

seperti ini mengharuskan Islam menjadi penengah (al-Wasith), dan saksi

(syuhada) di antara semua manusia.

Meskipun tidak sepenuhnya sama dengan yang ada di zaman modern ini,

namun prinsip-prinsip kebebasan beragama dizaman modern adalah

pengembangan lebih lanjut, yang lebih konsisten dengan yang pernah ada

dalam zaman Islam klasik. Umat Islam juga harus menjadi golongan yang

terbuka, yang bisa tampil dengan rasa percaya diri yang tinggi terhadap ide

pertumbuhan dan perkembangan, yakni paradigma tentang etos gerak yang

dinamis dalam ajaran Islam. Jika doktrin Islam diproyeksikan kepada

Indonesia, maka kemajemukan sosial-budaya yang merupakan ciri menonjol

Indonesia sebagai suatu nation haruslah dipertimbangkan. Karena itu

berharap bahwa masyarakat beragama, termasuk kaum muslim Indonesia,

menerima multikulturalisme sebagai sebuah imperatif dan menyadari segala

konsekuensinya. Dasar pandang ini adalah karena Islam sendiri dengan tegas

mengajarkan paham kemajemukan beragama (religious plurality).27

Sementara itu, melihat hubungan antara Islam dengan pluralisme dalam

konteks manifestasi universalisme dan kosmopolitanisme ajaran Islam, ajaran

yang dengan sempurna menampilkan universalisme Islam adalah 5 (lima)

jaminan dasar tersbut tersebar dalamliteratur hukum agama (al-Kutub al-

Fiqhiyah), yang terdiri dari: 1. Keselamatan fisik warga masyarakat dari

tindakan badani di luar ketentuan hukum; 2. Keselamatan keyakinan agama

masing-masing tanpa ada paksaan untuk berpindah agama; 3. Keselamatan

keluarga dan keturunan; 4. Keselamatan harta benda dan milik pribadi di luar

prosedur hukum; dan 5. Keselamatan profesi.

Secara keseluruhan, kelima jaminan dasar tersebut menampilkan

universalitas pandangan hidup yang utuh dan bulat. Kelima jaminan dasar

tersebut hanya menyajikan kerangka teoritik, atau mungkin hanya berdimensi

moralistik belaka yang tidak berfungsi, jika tidak didukung oleh

kosmopolitanisme peradaban Islam itu muncul dalam sejumlah unsur dominan,

seperti hilangnya batas etnis, kuatnya pluralitas budaya heterogenitas politik.

27

Ibid., h. 230-233.

Page 76: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44552/1/ANGGI...repository.uinjkt.ac.idAuthor: Anggi AnggaraPublish Year: 2015

66

Kosmopolitanisme peradaban Islam tercapai atau berada pada titik optimal,

manakala tercapai keseimbangan antara kecenderungan normatif kaum muslim

dan kebebasan berfikir semua warga masyarakat (termasuk mereka yang non-

muslim). Kosmopolitanisme seperti ini adalah kosmopolitanisme yang kreatif,

karena di dalamnya warga masyarakat mengambil inisiatif untuk mencari

wawasan terjauh dari keharusan berpegang pada kebenaran.

Dengan demikian format perjuangan Islam pada akhirnya adalah

partisipasi penuh dalam upaya membentuk Indonesia yang kuat, demokratis,

dan penuh keadilan di masa depan. Tujuan akhirnya adalah memfungsikan

Islam sebagai kekuatan integratif dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Kesanalah hendaknya kesadaran masa Islam diarahkan dan dikembangkan

oleh gerakan Islam disuatu negara. Tujuan tersebut lebih mengaitkannya

dengan setting sosial-budaya, peradaban Islam itu sendiri merupakan sebuah

sistem yang terbuka. Artinya peradaban Islam mengakui sumbangan

peradaban lain, akibatnya peradaban Islam menjadi lebih subur di tengah

pluralitas budaya dan peradaban dunia.

Dalam konteks ini pula, bahwa Islam pun memberikan budaya dan

peradaban kepada umat manusia, budaya Islam adalah kosmopolitan. Artinya,

Islam adalah budaya yang merangkum atau mengatasi budaya-budaya lokal,

regional, dan nasional. Islam mengatasi budaya-budaya kesukuan dan

budaya-budaya kenasionalan. Dengan dasar pemikiran bahwa Islam

merupakan sistem yang terbuka, umat Islam dapat menerima aspek-aspek

positif dari ideologi atau paham apapun. Pada saat yang sama, perlu disadari

bahwa peradaban Islam itu otentik, mempunyai kepribadian yang utuh dan

sistem tersendiri. Akhirnya dalam konteks politik Indonesia, bahwa umat

Islam haruslah bisa memadukan kepentingan nasional dan kepentingan Islam.

Hal ini akan menjadi langkah yang strategis agar umat Islam tidak menjadi

bulan-bulanan dari perjalanan sejarah.28

28

Syafi’i Anwar, op.cit., h. 235-236.

Page 77: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44552/1/ANGGI...repository.uinjkt.ac.idAuthor: Anggi AnggaraPublish Year: 2015

67

2. Perdamaian Bagi Seluruh Makhluk Dalam Al-Qur’an

Kedamaian dan rasa aman adalah syarat mutlak bagi tegak dan sejahtera

suatu masyarakat. Keamanan dan kesejahteraan merupakan dua hal yang

saling terkait. Jika tak ada rasa aman, maka kesejahteraan tidak dapat diraih

dan dirasakan, dan bila kesejahteraan tidak terwujud, maka keamanan tidak

dapat terasa, bahkan kekacauan dan kegelisahan tumbuh subur. Itulah

sebabnya al-Qur’an menggarisbawahi keduanya, bahkan menyandingkan

antara lain dengan merekam permohonan Nabi Ibrahim as, yang menyatakan:

وم ا و اذ قال ا ءامنا و ارزق اىل من امثمرات من ءامن بهلل و بم براىي رب اجؼل ىذا بلالخر قال و ا

ئس اممصي ل ػذاب اميار و ه ا ل مث أضطره . من كفر فأمتؼو قو

“Dan ingatlah ketika Ibrahim berdoa: Tuhanku, jadikanlah negeri ini negeri yang aman sentosa dan berikanlah rezeki dari buah-buahan kepada penduduknya yang beriman di antara mereka kepada Allah dan Hari Akhir. Kemudian Dia berfirman: Dan kepada orang kafir pun Aku beri kesenangan semata, kemudian Aku paksa ia menjalani siksa meraka dan itulah seburuk-buruk tempat kembali.” (QS. Al-Baqarah/2: 126)

Ini berarti bahwa Allah menghendaki dan memerintahkan agar keamanan

dan kesejahteraan harus dapat menyentuh semua anggota masyarakat yang

beriman maupun yang kafir. Hal ini dipertegas dalam surat at-Taubah ayat 6,

dimana Allah memerintahkan Nabi Muhammad saw dan umat Islam dengan

firman-Nya:

ن أاد وتجارك فأجره ا م هللا مث أبوغو مأمنو, ذل بأنم قوم مضا من اممشكي اس يت سمع لك

ؼومون.

“Dan jika seorang di antara orang-orang musyrik meminta perlindungan kepadamu, maka lindungilah ia supaya ia sempat mendengar firman Allah, kemudian antarkanlah ia ke tempat yang aman baginya. Demikiaan itu disebabkan mereka kaum yang tidak mengetahui”

Mufti Mesir dan Syaikh Al-Azhar, Muhammad Sayid Thanthawi,

menulis dalam tafsirnya bahwa pemberian rasa aman dan perlindungan itu

merupakan puncak dari perlakuan yang diajarkan Islam terhadap kaum

musyrik, dan puncak dari segala puncak adalah pengawalan dan penjagaan

yang diberikan kepada sang musyrik, yang secara teoritis berpotensi menjadi

musuh Islam dan kaum muslim, hingga ia keluar dari perbatasan wilayah

Islam.29

29

Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur’an Jilid 2, (Ciputat: Lentera Hati, 2006), cet. I,

h. 82-83.

Page 78: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44552/1/ANGGI...repository.uinjkt.ac.idAuthor: Anggi AnggaraPublish Year: 2015

68

Ayat di atas juga membuktikan bahwa kendati seseorang itu musyrik,

selama tidak bermaksud jahat kepada kaum muslim, mereka pun adalah

manusia yang berhak memperoleh perlindungan, bukan saja menyangkut

nyawa dan harta benda mereka, tetapi juga menyangkut kepercayaan dan

keyakinan mereka. Memberikan petunjuk betapa Islam memberi kebebasan

berfikir serta membuka peluang seluas-luasnya bagi setiap orang untuk

menemukan kebenaran dalam saat yang sama memberikan perlindungan

kepada mereka yang berbeda keyakinan, selama mereka tidak mengganggu

kebebasan berfikir dan beragama pihak lain.

Sekali lagi al-Qur’an sangat mendambakan terciptanya kedamaian dan

kesejahteraan. Hakikat ini terbaca juga dalam QS. Quraisy/106 ayat 3-4. Di

dalamnya Allah menyebutkan dua anugerah besar yang dinikmati oleh

masyarakat Mekkah pada masa Nabi Muhammad Saw yaitu nikmat

keamanan dan nikmat kecukupan pangan/kesejahteraan. Firman-Nya:

ي أطؼميم من جوع و ءامنم من خوف. ؼبدوا رب ىذا امبت اذ فو

“Maka hendaklah mereka menyembah Tuhan pemilik rumah ini

(Ka’bah). Yang telah memberi makanan kepada mereka untuk

menghilangkan lapar dan mengamankan mereka dari ketakutan.”

Al-Qur’an juga mengingatkan bahwa jika ada ajakan damai dari siapa

pun, maka ajakan itu harus disambut:

. ع امؼوي هو ىو امسمن جنحوا نوسل فاجنح مياو ثوك ػل هللا ا

و ا

“Dan jika mereka condong perdamaian, maka condonglah

kepadanya dan bertawakallah kepada Allah. Sesungguhnya Dia-lah yang

Maha mendengar lagi Maha mengetahui.” (QS. Al-Anfal/8: 61)

Ayat ini menunjukkan bahwa kaum kafir pun memperoleh rasa aman,

namun tentu saja rasa aman yang sempurna dirasakan oleh orang-orang

mukmin.

ميم المن و ه ميتدون. منم بظل أومئن ءامنوا و مم وبسوا ا اذ

“Orang-orang yang beriman dan tidak mencampurkan

keimanannya dengan kezaliman/syirik, mereka itulah yang mendapat

keamanan dan merekalah orang-orang yang mendapat petunjuk.” (QS.

Al-An’am/6: 82)

Page 79: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44552/1/ANGGI...repository.uinjkt.ac.idAuthor: Anggi AnggaraPublish Year: 2015

69

Sejalan dengan ayat di atas, seseorang yang meneladani sifat Allah As-

Salam, paling tidak, bila tidak dapat memberi manfaat kepada selainnya,

maka jangan sampai dia mencelakakannya. Jika dia tidak dapat memasukan

rasa gembira ke dalam hatinya, maka paling tidak jangan sampai dia

meresahkannya. Jika dia tidak dapat memujinya, maka paling tidak dia jangan

mencelanya.30

Janganlah berharap yang tidak berbuat baik terhadap yang

berbuat jahil al-Qur’an menganjurkan agar diberikan kepadanya “salam”

karena demikian itulah sifat hamba-hamba Allah yang rahman:

ذا خاطبمامجاىوون قاموا سلما. ن مشون ػل االرض ىون و ا و غباد امرحن اذ

“Hamba-hamba Allah yang maha pengasih ialah mereka yang

berjalan di bumi dengan rendah hati, dan apabila orang-orang jahil

menyapa (memperlakukan mereka dengan kejahilan) mereka berkata:

salama (yakni bersikap damai dan mencari keselamatan bersama).” (QS.

Al-Furqan/25: 63)

Sikap itu diambil karena as-Salam (keselamatan) adalah batas antara

keharmonisan/kedekatan dan perpisahan, serta batas antara rahmat dan siksa.

Inilah yang paling wajar atau batas minimal yang diterima seorang jahil dari

hamba Allah yang rahman, atau si penjahat dari seorang yang muslim, atau

yang meneladani Allah yang memiliki sifat Al-Mu’min (pemberi rasa aman).

Hal itu dilakukannya dalam rangka menghindari kejahilan yang lebih besar

atau menanti waktu untuk lahirnya kemampuan mencegahnya.31

Dalam sebagian besar sejarah Islam, pluralisme dan dialog agama

dikembangkan tidak hanya kepada umat Kristen dan Yahudi sebagaimana

dengan tegas dinyatakan dalam al-Qur’an sebagai ahlul kitab, melainkan juga

kepada umat agama lain. Kaum Majusi misalnya, sudah dikenal sejak zaman

Nabi Muhammad Saw dipesankan agar diperlakukan dengan baik. Pesan

itulah yang dijadikan kebijakan kekhalifahan Islam ketika dakwah Islam

masuk ke wilayah Persia pada abad pertama Hijrah. Para pemeluk agama

Majusi di wilayah itu diperlakukan dengan baik dan candi mereka tidak

30

Syafi’i Anwar, op,cit., h. 84-86. 31

Op,cit., h. 86-87.

Page 80: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44552/1/ANGGI...repository.uinjkt.ac.idAuthor: Anggi AnggaraPublish Year: 2015

70

diganggu. Bahkan belakangan, pada masa kekhalifahan al-Mu’tashim dan

Bani Abbas (833-842), salah seorang imam masjid dan muazin dihukum

karena menghancurkan sebuah candi api di Sughd dan mendirikan masjid di

atasnya.

Sementara itu, hubungan Islamantara lain berlangsung di Cina, alam

karya yang terbit menyusul perjumpaan agama dilakukan usaha untuk melihat

kesamaan dan perbedaan. Dalam Cheng-Chiao Chen Cu’uan (penjelasan

bernilai mengenai agama yang benar), buku Islam yang pertama kali ditulis

dalam bahasa Cina, Wang Tay-yu (w. 1650) menyajikan sejumlah konsep

Konfusianisme untuk menjelaskan Islam dan menyatakan bahwa kedua

agama tersebut mempunyai pandangan yang sama dalam hal moral individu,

cinta, persaudaraan dan keeratan hubungan sosial. Adapun Liu Chih (w.

1736), penulis muslim yang paling menonjol di Cina pada abad ke-17 dan ke-

18 dalam T’ien-fang hsingli (Filsafat Arab), antara lain menyatakan bahwa

istilah Cina li (ketinggian moral) bersifat universal dan kaum muslim pun

berupaya mencapainya. Dalam karya yang sama, ia juga memuji beberapa

pahlawan Konfusianisme dan memandang ajaran sufisme Islam memiliki

banyak kesamaan dengan ajaran Konfusianisme.32

Pada pokoknya, perbedaan antara kaum muslim dengan ahlal-kitab

menyerupai perbedaan antara orang-orang ber-tauhid yang murni

sikapnyadalam beragama kepada-Nya (Allah) dan bertindak sesuai dengan

kitab dan sunnah (di satu pihak), dan mereka yang berbuat bid’ah (dilain

pihak) yang menyimpang dari keduanya (kitab dan sunnah) itu, yang telah

ditinggalkan oleh Nabi untuk umat. Dengan penjabaran prinsip-prinsip di

atas, kiranya menjadi jelas bahwa agama Islam mengajarkan sikap-sikap yang

lebih inklusivistik dalam bermasyarakat yang mengakui kemajemukan

masyarakat itu antara lain disebabkan kemajemukan keberagaman para

anggotanya.33

32

Ensiklopedi Tematis Dunia Islam, Dinamika Masa Kini, (Jakarta: PT Ikhtar Baru Van

Hoeve), h. 230. 33

Budhy Munawar, Ensiklopedi Nurcholish Majid: Pemikiran Islam di Kanvas

Peradaban, (Jakarta: Mizan, 2006), cet. I, h. 3448.

Page 81: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44552/1/ANGGI...repository.uinjkt.ac.idAuthor: Anggi AnggaraPublish Year: 2015

71

Berpangkal dari berbagai pandangan asasi mengenai toleransi Islam, al-

Qur’an mengajarkan bahwa umat Islam harus menghormati semua pengikut

kitab suci (Ahl al-Kitab). Sama halnya dengan semua kelompok manusia,

termasuk umat Islam sendiri, diantara kaum pengikut kitab suci itu ada yang

lurus dan ada yang tidak. Dari mereka ada yang memusuhi kaum beriman,

tetapi juga ada yang menunjukkan sikap persahabatan yang tulus. Dalam al-

Qur’an disebutkan terutama kaum Nasrani sebagai yang paling dekat rasa

cintanya kepada kaum beriman, karena diantara mereka ada pendeta-pendeta

dan rahib-rahib, dan mereka tidak berbohong, sebagaimana dalam surat Al-

Maidah/5 ayat 82:

نل ن ءامنوا متجدن أشد امياس ػداو نل كوا و متجدن أقربم مود ن أش ن ءامنوا اهيود و اذ

ى ن هصن قاموا ا سي و رىبان و أنم ال اذ ون. ذل بأن منم قس تكب س

Sesungguhnya kamu dapati orang-orang yang keras

permusuhannya terhadap orang-orang yang beriman ialah orang-orang

Yahudi dan orang-orang musyrik. Dan sesungguhnya kamu dapati yang

paling dekat persahabatannya dengan orang-orang yang beriman ialah

orang-orang yang berkata: “Sesungguhnya kamu ini orang Nasrani”.

Yang demikian itu disebabkan karena di antara mereka itu (orang-orang

Nasrani) terdapat pendeta-pedeta dan rahib-rahib juga karena

sesungguhnya mereka tidak menyombongkan diri.34

ن ظوموا منم و قوموا ءامن ال اذال بمت ه أيسن ا

ادموا أىل امكتاب ا ي و ال ت يا ا بذ م

أىزل ا

ن ل مسومون. ميك وااد و ن مييا و ا ك و ا م و أىزل ا

Dan janganlah kamu berdebat dengan Ahli Kitab, melainkan

dengan cara yang baik, kecuali dengan orang-orang zalim di antara

mereka, dan katakanlah: “Kami telah beriman kepada kitab-kitab yang

diturunkan kepada kami dan yang diturunkan kepadamu Tuhan kami dan

Tuhanmu adalah satu dan kami hanya kepada-Nya berserah diri”. (QS.

29: 46).

Oleh karena itu keharmonisan hidup dengan sesama manusia

(keselarasan sosial), alam dan menjaga hubungan yang intensif dengan sang

pencipta (keselarasan batin) sehingga akan membuahkan moral yang baik

menjadi sangat penting. Gambaran kehidupan religi pada dewasa ini

Indonesia merdeka cukup beragam dengan suasana multikultural. Selayaknya

34

Ibid., h. 3042.

Page 82: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44552/1/ANGGI...repository.uinjkt.ac.idAuthor: Anggi AnggaraPublish Year: 2015

72

apabila setiap religi di Indonesia baik yang merupakan religi dunia yang telah

menyebar luas maupun religi etnik yang hanya dikenal dalam lingkup

wilayah terbatas dapat tumbuh sewajarnya tanpa ada campur tangan pihak

lain. Kenyataan memang ada pula bentuk baru akibat akulturasi, semua itu

dapat dianggap sebagai fenomena budaya yang khas Indonesia. Kekhasan itu

dapat dianggap sebagai fenomena budaya konteks historis, politik sosial, dan

pengaruh luar yang pernah terjadi pada zamannya.35

35

Mukhlis Paeni, Sejarah Kebudayaan Indonesia: Religi dan Falsafah, (Jakarta: PT

Raja Grafindo Persada, 2009), h. 181.

Page 83: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44552/1/ANGGI...repository.uinjkt.ac.idAuthor: Anggi AnggaraPublish Year: 2015

73

BAB V

KESIMPULAN

A. Kesimpulan

Dari berbagai uraian yang ada di bab-bab sebelumnya, maka disimpulkan :

1. Indonesia sebagai negara dengan masyarakat yang multikultural niscaya

memerlukan pendidikan agama yang sesuai dengan kondisi multikultural,

yakni pendidikan agama yang mampu menumbuhkan kesadaran

berbudaya, sadar akan hadirnya berbagai perbedaan kebudayaan dan

kesatuan sosial dalam masyarakat Indonesia yang majemuk. pendidikan

agama Islam harus bersifat stabilitas dan bersifat fluiditas. Stabilitas

berarti tidak berubah atau tidak menginginkan perubahan, ini berkaitan

dengan ajaran ketauhitan dalam Islam. Sedangkan fluiditas bahwa

dimungkinkan dalam pendidikan agama Islam terjadi perubahan-

perubahan. Pendidikan agama Islam hendaknya bisa menjadi pendidikan

yang berasal dari masyarakat, yakni pendidikan yang memberikan

jawaban kepada kebutuhan (needs) dari masyarakat sendiri.

2. Islam sebagai agama kemanusiaan dan agama rahmat bagi alam semesta,

sangat mempelajari dan bahkan melakukan hubungan yang harmonis,

bukan saja terhadap sesama manusia akan tetapi antar manusia dengan

manusia lainnya. Islam juga sangat mempelajari dan menghormati

Page 84: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44552/1/ANGGI...repository.uinjkt.ac.idAuthor: Anggi AnggaraPublish Year: 2015

74

keberbedaan, baik berbeda keyakinan, suku, ras maupun perbedaan-

perbedaan lainnya.

3. Pembelajaran pendidikan agama Islam berwawasan multikultural

diharapkan dapat membentuk perspektif kultur Islam yang baru dan lebih

matang, membina relasi antar kultur Islam yang harmonis, tanpa

mengesampingkan dinamika, proses dialektika dan kerjasama timbal balik.

Paradigma multikultural perlu diposisikan sebagai landasan utama

penyelenggaraan pembelajaran yang memiliki beberapa pendekatan untuk

mengintegrasikan dan mengembangkan perspektif multikultural, yakni

mempromosikan konsep diri yang positif, memberikan pengayaan

literatur-literatur Islam yang bermuatan pengetahuan Islam yang plural

ataupun multikultural kepada anak didik. Pendidikan agama Islam

dalampendidikan multikultural tidak semata menyentuh proses

pemindahan pengetahuan (transfer of knowledge), namun juga membagi

pengalaman dan ketrampilan (haring experience and skill) Pembelajaran

pendidikan agama Islam berwawasan multikultural mengajarkan tentang

kerukunan atau toleransi dan demokrasi.

B. Saran

Dalam akhir tulisan ini penulis mencoba berpartisipasi untuk

memajukan dunia pendidikan agama Islam dalam rangka mewujudkan

kesadaran beragama di lingkungan yang beragam, menumbuhkan sikap

toleransi terhadap keragaman, menghargai eksistensi berbagai macam

golongan, kelompok, keragaman. Dalam penerapan Pendidikan agama Islam

berwawasan multikultural tugas untuk membawa peserta didik pada

kesadaran multikultural tidak hanya berada di pundak guru tapi juga sekolah,

tempat dimana guru bekerja; masyarakat sebagai quality control pendidikan

dan kebijakan-kebijakan pemerintah dalam hal pendidikan. Sekolah

sebaiknya menerapkan undang-undang lokal, yakni undang-undang sekolah

yang diterapkan secara khusus di satu sekolah tertentu. Dalam undang-

undang tersebut hendaknya dicantumkan larangan terhadap segala bentuk

Page 85: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44552/1/ANGGI...repository.uinjkt.ac.idAuthor: Anggi AnggaraPublish Year: 2015

75

diskriminasi di sekolah. Adanya undang-undang tersebut diharapkan semua

unsur yang ada seperti guru, kepala sekolah, pegawai administrasi, dan murid

dapat belajar untuk selalu menghargai orang lain di lingkungan sekolah. Aktif

mengikuti atau melaksanakan dialog keagamaan atau antar iman dengan

peserta dialog adalah murid yang berada di bawah bimbingan gurunya, karena

dengan dialog kita bisa mengenal dengan lebih dekat seluk beluk kelompok

lain, mengenalnya dengan baik maka akan muncul rasa saling menghargai

dan menghormati.

Hal lain yang penting dalam penerapan pendidikan agama berwawasan

multikultural adalah kurikulum dan literatur yang dipakai dalam

pembelajaran. Pendidikan agama Islam di sekolah yakni literatur yang

mengemas ajaran Islam secara menyeluruh dan lengkap menampung khilafah

dari berbagai aliran intern agama Islam serta dapat membangun wacana

peserta didik tentang pemahaman. keberagamaan yang inklusif dan moderat.

Pada intinya, kurikulum pendidikan agama Islam berwawasan multikultural

adalah kurikulum yang memuat nilai-nilai pluralisme dan toleransi

keberagamaan. Semoga skripsi ini bisa memberikan sumbangsih pemikiran

yang dapat menggugah sekaligus mencerahkan bagi para penentu kebijakan,

pelaku, praktisi dan pemerhati pendidikan serta masyarakat yang mempunyai

kepedulian terhadap dunia yang diyakini akan memberikan investasi besar

bagi kemajuan bangsa Indonesia. Dengan semua ini pun pemerintah terus

mengupayakan kemajuan pendidikan di Indonesia, dengan mengasumsikan

pendidikan merupakan ujung tombak untuk membangun Indonesia yang adil

dan makmur. Dengan berkembangnya wacana ini, maka saatnya bukan hanya

para sarjana pendidikan dan kaum intelektual tetapi semua elemen seluruh

masyarakat Indonesia khususnya masyarakat daerah untuk berupaya

merumuskan dan menyempurnakan kurikulum yang berbasis multikultural,

kemudian menerapkannya dalam sistem pendidikan di Indonesia. Dengan

mengajarkan pendidikan multikultural dalam pendidikan Islam, diharapkan

pendidikan Islam mampu melahirkan peserta didik yang religius sekaligus

memiliki kesadaran dalam menghargai pluralitas agama, sosial, budaya,

Page 86: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44552/1/ANGGI...repository.uinjkt.ac.idAuthor: Anggi AnggaraPublish Year: 2015

76

etnisitas, ras, bahasa, dan lainnya. Dengan begitu pendidikan Islam bisa

menjadi satu resolusi konflik sekaligus berkontribusi dalam

menumbuhkembangkan nilai-nilai perdamaian di bumi nusantara. Serta

intervensi pemerintah harus terus dan tetap mengupayakan kemajuan

pendidikan di Indonesia, karena pendidikan adalah ujung tombak untuk

membangun Indonesia yang adil dan makmur. Dengan demikian diharapkan

masyarakat yang majemuk dan beragam dapat hidup dalam persatuan, saling

berdampingan dan menghargai perbedaan.

Page 87: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44552/1/ANGGI...repository.uinjkt.ac.idAuthor: Anggi AnggaraPublish Year: 2015

77

DAFTAR PUSTAKA

Abidin, Zainal dan Habibah, Neneng, Pendidikan Agama Islam dalam Perspektif

Multikulturalisme, Jakarta: Balai Penelitian dan Pembangunan Agama.

Almunawar, 2004, Hukum Islam dan Pluralitas Sosial, Jakarta: Penamadani.

Andre, Ujan Ata, Multikulturalisme: Belajar Hidup Bersama dalam Perbedaan,

Jakarta: PT. Indeks, 2009.

Anshori, Pendidikan Islam Transformatif, Jakarta: Referensi, 2012.

Anwar, Syafi’I, Pemikiran dan Aksi Islam Indonesia, Jakarta: Paramadina, 1995.

Arif, Armai dan Sholehuddin, Perencanaan Sistem Pendidikan Agama Islam,

Jakarta: PT. Wahana Kardofa, 2009.

Arif, Armai, Pembaharuan Pendidikan Islam di Minangkabau, Jakarta: Suara

ADI, 2009.

Arifin, Ilmu Pendidikan Islam, Jakarta: PT. Bumi Aksara, 2009.

Arifin, Syamsul, Studi Agama Perspektif Sosiologis dan Isu-Isu Kontemporer,

Malang, UMM Press, 2009.

Azra, Azyumardi, Menteri-Menteri Agama RI: Biografi Sosial-Politik,

Jakarta: PPIM, 1998.

Azwar, Saeful, Metode Penelitian, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1998.

Azzam, Abdurrahman, Konsepsi Perdamaian Islam, Jakarta: PT Karya Unipress,

1985.

Budimansyah, Dasim dan Karim Suryadi, PKN dan Masyarakat Multikultural,

Bandung: Program Studi Pendidikan Kewarganegaraan, UPI, 2008.

Freddy, Puspa Ragam: Konsep dan Isu Kewarganegaraan, Bandung: Widya

Aksara Press, 2010.

Gunawan, Imam, Metode Penelitian Kualitatif, Jakarta, Bumi Aksara, 2013.

Halim, Abdul, Wawasan Pendidikan Islam, Jakarta: Kalam Mulia, 2002.

Hasan, Thalhah, Islam dalam Perspektif Sosio Kultural, Jakarta: Lantabora Press,

2005.

Page 88: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44552/1/ANGGI...repository.uinjkt.ac.idAuthor: Anggi AnggaraPublish Year: 2015

78

Hayati, Zahrotul, Pendidikan Multikultural Dalam Perspektif Islam, Skripsi pada

Strata Satu Perpustakaan Utama UIN Syarif Hidayatullah Jakarta,

Jakarta, 2008.

Irfan, Muhamad, Basuki, Membangun Inklusifisme Faham Keagamaan,

Ponorogo, STAIN Ponorogo Press, 2009.

Junaedi, dkk, Pendidikan Kewarganegaraan, Jakarta Learning Assistance

Program for Islamc Schools Pendidikan Guru Madrasah Ibtidaiyah,

Edisi pertama aket 8-14, 2009.

Kusuma dkk, Paradigma Baru Pendidikan, Jakarta: IISEP, 2008.

Latifudin, Paradigma Pendidikan Multikultural Dalam Pendidikan Islam,

Sekolah Pasca Sarjana UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta, 2008.

Lopulalan, Dicky dan Benjamin Tukan, Konvensi Internasional Tentang

Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Rasial, Jakarta, LSPP, 2000.

Maarif, Kekerasan Atas Nama Agama, Jakarta: MAARIF Institut, vol. 5, no. 2,

2010.

Maksin, Ali, Pluralisme dan Multikulturalisme: Paradigma Baru Pendidikan

Islam di Indonesia, Yogyakarta: Aditia Media Publishing, 2011.

Mc Goldrick, Annabel, Lynch, Jake, Jurnalisme Damai: Bagaimana

Melakukannya?, Jakarta, LSPP, 2001.

Minten Ayu, Larasati, Tujuan Pendidikan Multikultural, Yogyakarta:

Kompasiana, 2012.

Misrawi, Zuhai, Al-Qur’an Kitab Toleransi Inklusifisme, Pluralisme dan

Multikulturalisme, Jakarta: FITRAH, 2007.

Muhaimin, dkk, Paradigma Pendidikan Islam: Upaya Mengefektifkan Pendidikan

Agama Islam di Sekolah, Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 1997.

Munawar, Budhy, Ensiklopedi Nurcholish Majid: Pemikiran Islam di Kanvas

Peradaban, Jakarta: Mizan, 2006.

Nizar, Samsul, Memperbincangkan Dinamika Intelektual dan Pemikiran Hamka

Tentang Pendidikan Islam, Jakarta: Kencana, 2008.

Nur, Uhbiyati, Ilmu Pendidikan Islam, Bandung: Pustaka Setia, 1997.

Nurdin, Ali, Aziz, Abdul, Islam dan Prospek Keberagaman di Indonesia, Jakarta:

UIN Press, 2006.

Page 89: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44552/1/ANGGI...repository.uinjkt.ac.idAuthor: Anggi AnggaraPublish Year: 2015

79

Nurdin, Ali, Quranic Society: Menelusuri Konsep Masyarakat Ideal dalam Al-

Quran, Jakarta: Erlangga, 2006.

Nurohmah, Leli, Kesetaraan, Kemajemukan dan HAM, Jakarta: Rahima, 2010.

Paeni, Mukhlis, Sejarah Kebudayaan Indonesia: Religi dan Falsafah, Jakarta: PT

Raja Grafindo Persada, 2009.

Rahman, Yulia, Nasionalisme dan Islam Dalam Pembelajaran Agama, Bandung,

Friska Agung Insani, 2000.

Republik Indonesia, Undang-Undang Tentang Sisdiknas dan Peraturan

Pelaksanaannya, Jakarta: CV. Tamita Utama, 2004.

Rizaluddin, Sejarah Pemikiran Pendidikan Islam, Jakarta: FAI UHAMKA, 2008.

Sadali, dkk, Islam Untuk disiplin Ilmu Pengetahuan, Jakarta: PT. Bulan Bintang,

1987.

Saefuddin, Desekularisasi Pemikiran: Landasan Islamisasi,Bandung: Mizan,

1998.

Sagimun, Ki Hajar Dewantara, Jakarta: Bhratara Karya Aksara, 1983.

Sarjuni, Pengantar Studi Islam, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2011.

Setiadi, Eli, Ilmu Sosial dan Budaya Dasar, Jakarta: Kencana, 2009.

Shihab, Quraish, Membumikan Al-Qur’an Jilid 2, Ciputat: Lentera Hati, 2006.

Siregar, Muhammad, Islam Untuk Berbagai Aspek Kehidupan, Yogyakarta: Tiara

Wacana, 1999.

Sukardjo dan Komarudin, Ukim, Landasan Pendidikan dan Aplikasinya, Jakarta:

PT Raja Grafindo, 2014.

Suparta, Munzir, Islamic Multicultural Education: Sebuah Refleksi atas Pendidikan

Agama Islam di Indonesia, Jakarta: Gifani Alfatana Sejahtera, 2010.

Suryabrata, Suryadi, Metode Penelitian, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1998.

Suwito, 2005, Sejarah Sosial Pendidikan Islam, Jakarta: Kencana.

Tafsir, Ahmad, Ilmu Pendidikan Dalam Perspektif Islam, Bandung: PT Remaja

Rosdakarya, 2008.

Talhah, Muhamad 2005, Islam dalam Perspektif Sosio-Kultural, Jakarta:

Lantabora Pers.

Page 90: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44552/1/ANGGI...repository.uinjkt.ac.idAuthor: Anggi AnggaraPublish Year: 2015

80

Tilaar, H. A. R, Perubahan Sosial dan Pendidikan: Pengantar Pedagogik

Transformatif Untuk Indonesia, Jakarta: PT. Rineka Cipta, 2012.

Trauma, Dody, Pendidikan Agama Islam Berwawasan Multikulturalisme, Jakarta,

2010.

Van Hoeve, Ensiklopedi Tematis Dunia Islam, Dinamika Masa Kini, Jakarta: PT

Ikhtar Baru, 2000.

Wahid, Abdurrahman, Islamku Islam Anda Islam Islam Kita Agama Masyarakat

Negara Demokrasi, Jakarta: The Wahid Institute, 2006.

Wiliam, Evaluasi: Teori, Model, Standar, Aplikasi dan Profesi, Jakarta: Rajawali

Pers, 2012.

Yunus, Muhammad, Pendekatan Integratif vs Pendekatan Interdisiplin: Dikotomi

atau Continum, Jakarta: FITK UIN Syarif Hidayatullah, 2009.

Yunus, Sapto, Kovenan Internasional Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya, Jakarta:

LPSS, 2000.

_________Prospek Islam dalam Menghadapi Tantangan Zaman,Jakarta: Bangun

Prakarya, 2000.

________Landasan Pendidikan Konsep dan Aplikasinya, Jakarta: Rajawali Press,

2012.

________Pendidikan Islam dan Tantangan Globalisasi, Buah Fikir Seputar:

Filsafat, Politik, Ekonomi, Sosial dan Budaya, Yogyakarta: AR-RUZZ Media,

2004.

Page 91: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44552/1/ANGGI...repository.uinjkt.ac.idAuthor: Anggi AnggaraPublish Year: 2015

LAMPIRAN

DAFTAR REFERENSI

Judul : URGENSI PENDIDIKAN MULTIKULTURAL

DALAM PERSPEKTIF AGAMA ISLAM

Nama : Anggi Anggara

NIM : 109011000038

Dosen Pembimbing : Dr. Muhammad Dahlan, M.Hum

No. No.

Footnote Nama Rujukan/Sumber

Halaman

Skripsi

Paraf

Pembimbing

BAB I

1 25 Azyumardi Azra, Menteri-Menteri Agama RI:

Biografi Sosial-Politik, (Jakarta: PPIM, 1998), h.

235.

2 3 Annabel Mc Goldrick, Jake Lynch,

Jurnalisme Damai: Bagaimana

Melakukannya?, (Jakarta, LSPP, 2001), cet.

I, h. vii

3 4 Dicky Lopulalan, Benjamin Tukan,

Konvensi Internasional Tentang

Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi

Rasial, (Jakarta, LSPP, 2000), cet. I. h. 16.

4 12 Latifudin, Paradigma Pendidikan

Multikultural Dalam Pendidikan Islam,

Sekolah Pasca Sarjana UIN Syarif

Hidayatullah, Jakarta, 2008, h. 4.

5 15 Maarif, Kekerasan Atas Nama Agama, Jakarta:

MAARIF Institut, 2010, vol. 5, no. 2. h. 129.

6 19 Muhamad Irfan, Basuki, Membangun

Inklusifisme Faham Keagamaan, (Ponorogo,

STAIN Ponorogo Press, 2009), cet, I, h. 17.

7 1 Syamsul Arifin, Studi Agama Perspektif

Sosiologis dan Isu-Isu Kontemporer,

(Malang, UMM Press, 2009), cet. I, h. 63.

Page 92: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44552/1/ANGGI...repository.uinjkt.ac.idAuthor: Anggi AnggaraPublish Year: 2015

8 10 Sapto Yunus, Kovenan Internasional Hak

Ekonomi, Sosial dan Budaya, (Jakarta:

LPSS, 2000), cet. I, h. 43.

9 20 Yulia Rahman, Nasionalisme dan Islam

Dalam Pembelajaran Agama, (Bandung,

Friska Agung Insani, 2000), h. 30.

BAB II

10 15, 16 A. Sadali, dkk, Islam Untuk disiplin Ilmu

Pengetahuan, Jakarta: PT. Bulan Bintang, 1987,

cet. I, h. 38.

15

11 12 Abdul Halim, Wawasan Pendidikan Islam,

(Jakarta: Kalam Mulia, 2002), cet. I, h. 18-19.

14

12 5 Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan Dalam

Perspektif Islam,(Bandung: PT Remaja

Rosdakarya, 2008), cet. 1, h. 24-28.

12

13 27 Ali Maksin, Pluralisme dan Multikulturalisme:

Paradigma Baru Pendidikan Islam di Indonesia,

(Yogyakarta: Aditia Media Publishing, 2011),

cet. I, h. 8.

23

14 57 Ali Nurdin, Abdul Aziz, Islam dan Prospek

Keberagaman di Indonesia, (Jakarta:UIN Press,

2006), cet. I, h. 93.

41

15 41 Andre, Ujan Ata, Multikulturalisme: Belajar

Hidup Bersama dalam Perbedaan, (Jakarta: PT.

Indeks, 2009), h. 16.

32

16 6 Anshori, Pendidikan Islam Transformatif,

(Jakarta: Referensi, 2012), cet. I, h. 10.

12

17 22 Arifin, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: PT.

Bumi Aksara, 2009), h. 8.

18

18 9, 11 Armai Arif dan Sholehuddin, Perencanaan

Sistem Pendidikan Agama Islam, (Jakarta: PT.

Wahana Kardofa, 2009), cet. I, h. 2-3.

13, 14

19 7, 20 Armai Arif, Pembaharuan Pendidikan Islam di

Minangkabau, (Jakarta: Suara ADI, 2009), cet. I,

h. 32.

12, 18

Page 93: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44552/1/ANGGI...repository.uinjkt.ac.idAuthor: Anggi AnggaraPublish Year: 2015

20 44, 45 Dasim Budimansyah, Karim Suryadi, PKN dan

Masyarakat Multikultural, (Bandung: Program

Studi Pendidikan Kewarganegaraan, UPI, 2008),

cet. I, h. 29.

33, 34

21 24, 25 Dody Trauma, Pendidikan Agama Islam

Berwawasan Multikulturalisme, (Jakarta: 2010,

cet. I. H. 69.

20

22 50, 51 Eli Setiadi, Ilmu Sosial dan Budaya Dasar,

(Jakarta: Kencana, 2009), cet. 5, h. 152.

37

23 42, 43 H. A. R Tilaar, Perubahan Sosial dan

Pendidikan: Pengantar Pedagogik Transformatif

Untuk Indonesia, (Jakarta: PT. Rineka Cipta,

2012), cet. I, h. 484.

33

24 46 Kusuma dkk, Paradigma Baru Pendidikan,

(Jakarta: IISEP, 2008), cet. I, h. 100.

35

25 29, 30 Larasati Minten Ayu, Tujuan Pendidikan

Multikultural, (Yogyakarta: Kompasiana, 2012),

h. 39.

25, 27

26 3 Muhaimin, dkk, Paradigma Pendidikan Islam:

Upaya Mengefektifkan Pendidikan Agama Islam

di Sekolah, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya,

1997, cet. 5, h. 37.

11

27 13, 14,

16

Muhamad H Talhah, Islam dalam Perspektif

Sosio-Kultural, (Jakarta: Lantabora Pers, 2005),

cet. I, h. 97.

14, 15

28 31, 32,

35

Muhammad Siregar, Islam Untuk Berbagai

Aspek Kehidupan, (Yogyakarta: Tiara Wacana,

1999), cet. 1, h. 133-134.

27, 29

29 52, 53 Muhammad Yunus, Pendekatan Integratif vs

Pendekatan Interdisiplin: Dikotomi atau

Continum, (Jakarta: FITK UIN Syarif

Hidayatullah, 2009), vol. X, h. 284.

38, 39

30 17, 18,

19

Nur Uhbiyati, Ilmu Pendidikan Islam, (Bandung:

Pustaka Setia, 1997), cet. I, h. 41.

16, 17

31 54, 55,

56

Pendidikan Islam dan Tantangan Globalisasi,

Buah Fikir Seputar: Filsafat, Politik, Ekonomi,

39. 40

Page 94: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44552/1/ANGGI...repository.uinjkt.ac.idAuthor: Anggi AnggaraPublish Year: 2015

Sosial dan Budaya, (Yogyakarta: AR-RUZZ

Media, 2004), cet. I, h. 3-4.

32 10, 11 Rizaluddin, Sejarah Pemikiran Pendidikan

Islam, Jakarta: FAI UHAMKA, 2008, cet. I, h. 7.

13, 14

33 33, 34 Sagimun, Ki Hajar Dewantara, (Jakarta:

Bhratara Karya Aksara, 1983), cet. II, h. 38-39.

28

34 21, 23 Samsul Nizar, Memperbincangkan Dinamika

Intelektual dan Pemikiran Hamka Tentang

Pendidikan Islam, (Jakarta: Kencana, 2008), cet.

I, h. 116.

18

35 8 Sukardjo dan Ukim Komarudin, Landasan

Pendidikan dan Aplikasinya, (Jakarta: PT Raja

Grafindo, 2014), cet. I, h. 4.

13

36 26, 28 Suwito, Sejarah Sosial Pendidikan Islam,

(Jakarta: Kencana, 2005), cet. I, h. 25.

21, 24

37 38, 39,

40

Thalhah Hasan, Islam dalam Perspektif Sosio

Kultural, (Jakarta: Lantabora Press, 2005), cet. I,

h. 141-142.

31, 32

38 1, 2 Undang-Undang Tentang Sisdiknas dan

Peraturan Pelaksanaannya, (Jakarta: CV. Tamita

Utama, 2004), h. 4.

10

39 4 Zahrotul Hayati, Pendidikan Multikultural

Dalam Perspektif Islam, Skripsi pada Strata Satu

Perpustakaan Utama UIN Syarif Hidayatullah

Jakarta, Jakarta, 2008, h. 10.

11

40 36, 37 Zainal Abidin, Neneng Habibah, Pendidikan

Agama Islam dalam Perspektif

Multikulturalisme, Jakarta: Balai Penelitian dan

Pembangunan Agama, cet, I, h. 47.

29, 31

41 47, 48,

49

Zuhai Misrawi, Al-Qur’an Kitab Toleransi

Inklusifisme, Pluralisme dan Multikulturalisme,

(Jakarta: FITRAH, 2007), cet. I, h. 216-217.

35, 36

BAB III

42 1 Imam Gunawan, Metode Penelitian Kualitatif,

(Jakarta, Bumi Aksara, 2013), cet. I, h. 80.

42

43 4, 5 Saeful Azwar, Metode Penelitian, (Yogyakarta:

Pustaka Pelajar, 1998), h. 89.

43

Page 95: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44552/1/ANGGI...repository.uinjkt.ac.idAuthor: Anggi AnggaraPublish Year: 2015

44 6 Suryadi Suryabrata, Metode Penelitian, (Jakarta:

PT Raja Grafindo Persada, 1998), h. 8.

43

45 2, 3, 7 Wiliam, Evaluasi: Teori, Model, Standar,

Aplikasi dan Profesi, (Jakarta: Rajawali Pers,

2012), cet. II, h. 154.

42, 43,

44

BAB IV

46 5, 7, 8 Abdurrahman Azzam, Konsepsi

Perdamaian Islam, (Jakarta: PT Karya

Unipress, 1985), cet. I, h. 281.

49, 51

47 14, 15,

17, 18

Abdurrahman Wahid, Islamku Islam

Anda Islam Islam Kita Agama

Masyarakat Negara Demokrasi,

(Jakarta: The Wahid Institute, 2006), cet.

I, h. 225

54, 55,

56

48 1, 2, 4 Ali Nurdin, Quranic Society: Menelusuri

Konsep Masyarakat Ideal dalam Al-

Quran, (Jakarta: Erlangga, 2006), h. 270-

271.

47, 48

49 3 Al-Munawar, Hukum Islam dan

Pluralitas Sosial, (Jakarta: Penamadani,

2004), cet. I, h. 183.

48

50 26, 27 Budhy Munawar, Ensiklopedi

Nurcholish Majid: Pemikiran Islam di

Kanvas Peradaban, (Jakarta: Mizan,

2006), cet. I, h. 3448.

64, 65

51 25 Ensiklopedi Tematis Dunia Islam,

Dinamika Masa Kini, (Jakarta: PT Ikhtar

Baru Van Hoeve), h. 230.

64

52 9, 11 Leli Nurohmah, Kesetaraan,

Kemajemukan dan HAM, (Jakarta:

Rahima, 2010), cet. I, h. 185.

52, 53

Page 96: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44552/1/ANGGI...repository.uinjkt.ac.idAuthor: Anggi AnggaraPublish Year: 2015

53 28 Mukhlis Paeni, Sejarah Kebudayaan

Indonesia: Religi dan Falsafah, (Jakarta:

PT Raja Grafindo Persada, 2009), h. 181.

66

54 22 Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur’an

Jilid 2, (Ciputat: Lentera Hati, 2006),

cet. I, h. 82-83.

61

55 10 Saefuddin, Desekularisasi Pemikiran:

Landasan Islamisasi,(Bandung: Mizan,

1998), cet. IV, h. 184-185.

52

56 5 Sarjuni, Pengantar Studi Islam, (Jakarta:

PT Raja Grafindo Persada, 2011), cet. I,

h. 56-57.

50

57 12, 13 Sukardjo, Ukim, Landasan Pendidikan

Konsep dan Aplikasinya, (Jakarta:

Rajawali Press, 2012), h. 76.

52, 54

58 19, 20,

21, 23,

24

Syafi’i Anwar, Pemikiran dan Aksi Islam

Indonesia, (Jakarta: Paramadina, 1995),

cet. I, h. 228-229.

57, 58,

60, 63

59 15 Thalhah Hasan, Prospek Islam dalam

Menghadapi Tantangan Zaman,(Jakarta:

Bangun Prakarya, 2000), cet. I, h. 39-40.

55

BAB V

60 1, 2 Freddy, Puspa Ragam: Konsep dan Isu

Kewarganegaraan, (Bandung: Widya Aksara

Press, 2010), cet. II, h. 121.

67, 68

Page 97: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44552/1/ANGGI...repository.uinjkt.ac.idAuthor: Anggi AnggaraPublish Year: 2015

Untuk memenuhi validasi skripsi yang berjudul URGENSI PENDIDIKAN

MULTIKULTURAL DALAM PERSPEKTIF AGAMA ISLAM, maka perlu

pengujian daftar referensi untuk mengetahui sumber data yang diperoleh.

Jakarta, 19 April 2015

Pembimbing


Top Related