URGENSI PENDIDIKAN MULTIKULTURAL DI INDONESIA
DALAM PERSPEKTIF AGAMA ISLAM
SKRIPSI
Diajukan kepada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan
Untuk Memenuhi Syarat Mencapai Gelar Sarjana Pendidikan Islam (S.Pd.I)
Oleh
ANGGI ANGGARA
NIM 109011000038
PROGRAM JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
2015/1437 H
i
ABSTRAK
Anggi Anggara (NIM: 109011000038): Urgensi Pendidikan Multikultural
di Indonesia dalam Agama Islam. Dalam kehidupan selalu ada kemajemukan
suku, bahasa, budaya maupun agama. Dengan adanya berbagai kemajemukan
tersebut menyebabkan kerusuhan dan konflik atas nama sebuah kepentingan dan
mengatasnamakan agama dengan menghalalkan segala dalil untuk memperkuat
tindakannya. Indonesia merupakan salah satu negara yang kaya akan
kemajemukannya, sehingga bangsa Indonesia selalu berupaya menjalin kehidupan
secara damai. Umat Islam sebagai komunitas terbesar di Indonesia berusaha untuk
menyelesaikan masalah kemajemukan agama dengan berbagai cara, diantaranya
melalui bidang pendidikan. Karena pendidikan dianggap sebagai salah satu bidang
yang sangat tepat dan efektif untuk melakukan perubahan.
Pendidikan multikultural bertujuan untuk menanamkan dan membudayakan
nilai-nilai segala jenis ras, budaya dan agama kepada peserta didik, bahwa
Indonesia bukan hanya mempunyai satu budaya, satu ras, ataupun satu agama.
Tetapi Indonesia mempunyai banyak budaya, bahasa, etnis dan agama. Agar tidak
saling berbenturan dan melecehkan terhadap yang lainnya, juga terbiasa dan
mempunyai karakter yang baik dalam berperilaku.Sesuai dengan karakteristik
masalah yang diangkat dalam skripsi ini maka penulis menggunakan metode
deskriptif dengan pendekatan kualitatif, dan penelitian pustaka (library research).
Metode pengumpulan data dalam skripsi ini menggunakan metode dokumentasi
berupa buku, surat kabar, dan literatur-literatur lain yang relevan dengan judul
skripsi.
Konsep pendidikan multikultural dalam Islam mencoba melakukan proses
transformasi prinsip-prinsip multikulturalisme yang ada dalam al-Qur’an untuk
diterapkandan diimplementasikan dalam kehidupan beragama yang
berkebudayaan. Pendidikan multikultural dalam Islam berusaha
mengaktualisasikan pesan normatif agama dengan realitas sosial yang ada. Prinsip
yang perlu dikembangkan dalam pendidikan multikultural antara lain prinsip
kemanusiaan dan kebebasan serta metode dialogis untuk memberikan kebebasan
dalam menghadapi dan menyelesaikan suatu masalah yang berkaitan dengan
kemajemukan masyarakat.
Key: Pendidikan, Multikultural dan Islam
ii
KATA PENGANTAR
Bismillahirrahmanirrahim
Assalamu’alaikum Wr. Wb
Segala puji bagi Allah SWT atas segala rahmat dan nikmatnya, sehingga
penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Sebagai syarat untuk mendapatkan gelar
sarjana pada jurusan Manajemen Pendidikan. Dalam hal ini penulis mengangkat
judul yaitu “URGENSI PENDIDIKAN DI INDONESIA MULTIKULTURAL
DALAM PERSPEKTIF AGAMA ISLAM”
Terimakasih penulis ucapkan atas segala dukungan dan motivasi yang
telah diberikan kepada penulis dari berbagai pihak sehingga penulis mampu
menyelesaikan skripsi ini. Penulis menyadari bahwa dukungan dan motivasi dari
berbagai pihak tersebut sangat membantu penulis dalam melalui hambatan selama
proses penyelesaian skripsi ini. Pada kesempatan ini penulis menyampaikan
terima kasih kepada:
1. Bapak Prof. Dr. Thib Raya selaku Dekan Fakultas Ilmu Tarbiyah dan
Keguruan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Bapak Dr. Abdul Majid Khon selaku Ketua Program Studi Pendidikan Agama
Islam Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Dosen Pembimbing, Bapak Dr. Muhammad Dahlan, M.Hum yang dengan
penuh kesabaran dan kasih sayang memberikan waktu luang untuk
memberikan bimbingan, arahan, nasihat. Semoga kebaikannya menjadi amal
ibadah. Amin
4. Kepada seluruh jajaran Dosen Pendidikan Agama Islam, jasa bapak dan ibu
tak akan pernah saya lupakan, dan terima kasih pula kepada Papak Faza selaku
staf Jurusan Pendidikan Agama Islam jasa ibu sangat berarti.
5. Kepada orang tua saya, Mama Karmila dan Bapak Edi Sidik, Almarhum,
malaikat yang dikirim oleh Allah yang telah memperjuangkan jiwa dan
raganya demi anaknya dalam menempuh pendidik, terima kasih banyak mama
dan bapak jasa-jasamu tak ada tandingannya.
iii
6. Kepada kawan-kawan seperjuangan dan adik-adik Keluaga Besar Himpunan
Mahasiswa Islam Komisariat Tarbiyah, penulis ucapkan terima kasih
motivasinya dalam penyelesaian skripsi ini
7. Kawan-kawan seperjuangan PAI A 2009 terima kasih atas dukungannya,
kalian semua takkan terlupakan yang sudah belajar bersama-sama disaat suka
maupun duka.
8. Kepada kawan-kawan HMI Komisariat Tarbiyah 2009 yang sudah
memberikan motivasinya.
9. Kepada kawan-kawan seperjuangan M. Aziz Akbar, M. Rizki F. Hasan,
Sulhan, Abdurrahman Fadillah, Suci Nurpratiwi, A Hasan Indra, Budiansyah
yang sudah memberikan motivasinya dan kawan-kawan lain yang tak bisa
saya ucapkan satu persatu.
Dan penulis mohon maaf kepada semua pihak yang sudah membantu dan
tidak sempat disebutkan masing-masing penulis ucapkan terima kasih banyak,
atas dukungan kalian semua Skripsi ini dapat diselesaikan.
Wassalamu’alaikum Wr. Wb
Jakarta, 19 April 2015
ANGGI ANGGARA
iv
DAFTAR ISI
LEMBAR PENGESAHAN PEMBIMBING
LEMBAR PENGESAHAN PENGUJI
SURAT PERNYATAAN KARYA ILMIAH
LEMBAR UJI REFERENSI
ABSTRAK ......................................................................................................... i
KATA PENGANTAR ....................................................................................... ii
DAFTAR ISI ...................................................................................................... iv
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ................................................................ 1
B. Identifikasi Masalah ....................................................................... 12
C. Pembatasan Masalah ...................................................................... 12
D. Rumusan Masalah .......................................................................... 12
E. Tujuan dan Manfaan Penelitian ..................................................... 12
F. Metode penelitian .......................................................................... 13
BAB II LANDASAN TEORI
A. Pendidikan Agama Islam ............................................................... 14
1. Pengertian Pendidikan .............................................................. 14
2. Pendidikan secara umum .......................................................... 15
3. Pendidikan Islam ...................................................................... 17
4. Tujuan Pendidikan Islam .......................................................... 19
B. Multikultural .................................................................................. 21
1. Embrio Lahirnya Multikultural ................................................ 21
2. Definisi/Pengertian Multikultural ............................................ 23
3. Visi Multikultural Pendidikan .................................................. 25
4. Tujuan Pendidikan Multikultural ............................................. 27
C. Gagasan Pendidikan Islam Multikultural ............................................ 29
1. Konsep Pendidikan Multikultural ........................................... 32
2. Pendidikan Agama dan Multikultural ..................................... 35
3. Pendekatan Sosio-Kultural ..................................................... 39
4. Multikulturalisme, Agama dan Integrasi Sosial ..................... 39
v
BAB III METODOLOGI PENELITIAN
A. Waktu Penelitian ............................................................................ 45
B. Jenis Penelitian .............................................................................. 46
C. Sumber Data .................................................................................. 46
D. Metode Pengumpulan Data ............................................................ 47
E. Teknik Analisis Data ..................................................................... 47
F. Teknik Penulisan ............................................................................ 48
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Teks Ayat dan Terjemahan Tentang Pendidikan Multikultural ..... 49
1. Persaudaran Sesama Manusia ................................................... 49
2. Toleransi .................................................................................... 53
3. Silaturrahim/Ta’aruf..................................................................55
4. Musyawarah/Kebersamaan........................................................56
5. Tolong-Menolong......................................................................59
B. Keberagaman Pendidikan Islam .................................................... 61
1. Universalitas Agama ................................................................. 61
2. Perdamaian Bagi Seluruh Makhluk dalam Al-Qur’an .............. 67
BAB V KESIMPULAN
A. Kesimpulan .................................................................................... 73
B. Saran .............................................................................................. 74
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................ 77
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Indonesia dengan segala kemajemukannya merupakan tantangan
tersendiri bagi para penduduknya. Terlebih bagi umat Islam, sebagai umat
yang mayoritas di negeri ini.Kemajemukan selain merupakan modal yang
sangat besar untukkemajuan, juga rentan denganterjadinya persinggungan
akibat kemajemukan tersebut. Pertikaian karena kemajemukan termasuk di
dalamnya antar umat beragama atau antara aliran dalam agama tertentu sudah
sering terjadi, baik itu dipicu oleh konflik yang benar-benar konflik agama,
ataupun hanya sekedar menjadikan agama sebagai penyulut konflik.
Sepertinya umat beragama dalam hal ini benar-benar sedang diuji
kedewasaannya untuk bisa saling berinteraksi dengan baik agar bisa menjaga
nama baik agama masing-masing dan tidak saling mengganggu kebebasan
dalam memeluk dan beribadat menurut kepercayaan masing-masing.
Keragaman, konflik, kekerasan dan multikulturalisme telah lama menjadi
bahan telaah beberapa peneliti. Dalam sepuluh tahun terakhir ini perhatian
peneliti terhadap tema tersebut semakin meningkat. Besarnya peneliti tidak
bisa dilepaskan dari faktor keragaman masyarakat Indonesia. Perhatian
peneliti terhadap keragaman di Indonesia tidak dimaksudkan sekedar
mendeskripsikan identitas masing-masing kelompok yang banyak ditelaah
dari perspektif antropologi, tetapi yang tidak kalah menariknya, adalah
2
penggambaran pola interaksi antara masing-masing kelompok; apakah
berpola konflik, integratif, akomodatif dan kompetitif. Salah satu identitas
kelompok yang banyak menarik perhatian peneliti adalah keragaman agama
sebagai salah satu faktor krusial dalam interaksi sosial antara masing-masing
kelompok1.
Konflik yang disebabkan oleh faktor faham keagamaan tentang pemicu
konflik dan aksi kekerasan antara penganut Islam dengan Kristen yang
bermodus perusakan gereja di Situbondo. Perusakan gereja antara lain
disebabkan oleh faham keagamaan yang membenarkan tindakan tersebut.
Masyarakat Situbondo yang dikenal sangat agamis dan berjuluk Kota Santri
merasa terancam dengan pesatnya pertumbuhan gereja. Di kalangan
masyarakat Islam memang telah lama berkembang faham keagamaan ekslusif
yang sering mengkritik faham keagamaan lain. Faham ini menunjukkan
adanya faham ekslusif di kalangan elit muslim yang sering mengkritik faham
ketuhanan Kristen. Faham ini tidak hanya berkembang dikalangan elit, tetapi
telah menyebar hampir kepada seluruh umat Islam. Tentu faham keagamaan
bukan satu-satunya faktor pemicu konflik dan aksi kekerasan antar umat
beragama.2
Konflik kekerasan di Indonesia tak lagi sekedar mencak-mencak, orang
nekad menghilangkan nyawa sesama manusia atas nama pemberantasan etnis,
suku, agama, dan harga diri. Tak bisa mengelak bahwa konflik bermuara pada
kekerasan fisik dan turut menghiasi perjalanan reformasi Indonesia. Beberapa
konflik telah terjadi di beberapa daerah di Indonesia, seperti di Sampit
Kalimantan Tengah, di Jawa Timur, Yogyakarta, Kepulauan Karimun. Orang
bisa marah dalam waktu cepat, tak lagi menyimpan senyum atau sekedar
hidup bersampingan. Walaupun kecendrungan keinginan hidup tanpa
kekerasan, konflik pun tak serta merta berkurang, justru muncul
kecendrungan wacana dan praktik kekerasan yang meluas.3
1Syamsul Arifin, Studi Agama Perspektif Sosiologis dan Isu-Isu Kontemporer, (Malang,
UMM Press, 2009), cet. I, h. 63. 2 Ibid., h. 65.
3Annabel Mc Goldrick, Jake Lynch, Jurnalisme Damai: Bagaimana Melakukannya?,
(Jakarta, LSPP, 2001), cet. I, h. vii
3
Banyak masalah dalam masyarakat terkait diskriminasi dan hak asasi
manusia. Prasangka ras dapat tumbuh sebagai akibat perbedaan budaya.
Orang Timur misalnya, tak mau dipengaruhi kebiasaan mandat dan
kebiasaan-kebiasaan dari Barat, karena mereka takut struktur sosial mereka
berubah dan menganggap kebiasaan-kebiasaan itu sebagai produk kaum
Barbar. Lalu setiap budaya asing mereka meremehkan, menghina, bahkan
membenci. Kurangnya komunikasi antar bangsa kerena kendala bahasa sudah
cukup kuat untuk menyulut prasangka ras jenis sosio-kultural ini.4
Rasialisme dan diskriminasi rasial justu menemukan ladang
penyemaiannya pada yang tidak mau atau malas mengenal golongan atau
kelompok masyarakat manusia lain yang asing atau belum dikenalkannya.
Orang juga sering terperangkap dalam mengidentifikasi orang lain yang
berbeda berdasarkan suku, bangsa, ras, etnik dan agama. Kerap juga
terperangkap pada ciri fisik seperti negro, kulit merah, kulit kuning, keling
atau bule. Sering juga tampilan anatomi tubuh, misalnya hidung betet, mata
sipit, kaki lebar, orang kate dan sebagainya.5
Reproduksi rasisme tingkat wacana oleh sebagian golongan masyarakat
yang berkuasa, memegang teguh fanatisme yang menganggap diri atau
kelompok sebagai yang terbaik, terunggul dan secara berlebihan, dapat
memunculkan sikap diskriminatif rasial pada kelompok lain yang dianggap
lebih rendah tingkatannya. Kasus penembakan Smith yang mendukung
supermasi pada kelompok minoritas di Amerika Serikat sudah
memperlihatkan keterlibatan individu, anggota kelompok, bagian masyarakat
dunia dalam pelanggaran sikap diskriminatif berdasar ras. Juga, kerusuhan
rasial di Los Angeles, Amerika pada 1984. Sejarah juga mencatat tindakan
diskriminasi rasial yang terjadi di berbagai negara lain, termasuk yang maju
macam Inggris, Prancis, Jerman, juga Indonesia dengan kerusuhan Ketapang,
Sambas.6
4Dicky Lopulalan, Benjamin Tukan, Konvensi Internasional Tentang Penghapusan
Segala Bentuk Diskriminasi Rasial, (Jakarta, LSPP, 2000), cet. I. h. 16. 5Ibid., h. 20.
6Ibid.
4
Di tingkat negara, diskriminasi rasial bisa menghasilkan teror dan tindak
kekerasan yang tiada taranya. Bukti sejarah menunjukkan, pemusnahan yang
dilakukan oleh Adolf Hitler antara 1939-1945 memakan korban tak kurang
dari 5.721.500 orang Yahudi Eropa.7 Gambaran lain adalah pemberlakuan
sistem apartheid di Afrika Selatan yang telah menguntungkan empat juta kulit
putih sebagai pemerintah minoritas dan sebaliknya, menyengsarakan,
memisahkan (apartheid = pemisahan), mengklasifikasikan orang atas dasar
ras, membuat 20 juta penduduk etnik Afrika tidak bisa maju lantaran
pengganjalan serikat perdagangan, serta pembatasan masuk ke sekolah
pemerintah.8
Kemudian di Indonesia untuk melanggengkan kekuasaan, pemerintah
atau penguasa satu wilayah mengeluarkan peraturan-peraturan yang bersifat
mengikat dan mengandung muatan diskriminasi rasial. Politik kekuasaan
Orde Baru yang dipertahanlan selama 32 tahun dengan menjalankan politik
SARA (Suku, Agama, Ras dan Antar golongan) telah menghasilkan produk
hukum yang sangat rasialis dari rezim Orde Baru, yakni Inpres No. 2/1980
yang melahirkan kewajiban bagi warga negara tertentu untuk memiliki bukti
sebagai warga negara Indonesia. Hanya dengan dasar pertimbangan demi
kepastian hukum, setiap warga negara keturunan asing yang belum
mempunyai bukti kewarganegaraan wajib memiliki Surat Bukti
Kewarganegaraan Republik Indonesia (SBKRI).9
Menyinggung soal pemerintah Orde Baru yang meminggirkan
masyarakat adat dan kelompok minoritas. Masyarakat adat telah menjadi
salah satu pihak yang paling banyak dirugikan oleh kebijakan-kebijakan
pembangunan selama tiga dekade terakhir ini. Secara sistematis pemerintah
menyingkirkan masyarakat adat dari semua lapangan kehidupan sosial,
politik, hukum, ekonomi dan kultural. Pemerintah juga tidak mengakui agama
yang dipeluk masyarakat adat karena tidak dianggap sebagai agama benar.10
7Ibid.
8Ibid.
9Ibid.
10Sapto Yunus, Kovenan Internasional Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya, (Jakarta:
LPSS, 2000), cet. I, h. 43.
5
Begitu juga dengan faktor religius, perbedaan agama dapat melahirkan
kebencian antar ras. Meski setiap agama yang bersangkutan menganjurkan
saling pengertian, kasih, dan toleransi, dalam sejarah terbukti peperangan
serta penindasan dapat merajarela ketika penganut agama Kristen berhadapan
dengan pemeluk agama Islam, atau antara Katolik dan Protestan sendiri. Di
Timur Tengah, perbedaan agama atau adat sekte agama dapat membakar
kesatuan menjadi kebencian yang memakan banyak korban, seperti yang
terjadi perang saudara di Lebanon dan perang Iran-Irak. Dapat pula muncul
prasangka ras jika pihak tertentu dilihat terlalu hidup enak karena korupsi
atau menindas pihak lain.11
Kecendrungan dorongan dan motif berbeda untuk ikut serta dalam setiap
kerusuhan individual yang bergejolak membuat setiap pertikaian, bentrokan
menaburkan bibit-bibit kekerasan di tempat lainnya terkontaminasi dengan
menghambat arus pengungsi dan menekankan solideritas antar agama.
Konflik-konflik di daerah-daerah disebabkan karena ketidakadilan ekonomi,
tanah yang subur dan sumber daya alam yang berlimpah seharusnya bisa
mensejahterakan lebih dari 1.000 etnis yang hidup di tengahnya. Tapi
kenyataan tak seindah harapan, setidaknya belum untuk saat ini.
Masa reformasi yang diharapkan bisa membuat 200 juta penduduk
memperoleh kehidupan yang lebih baik justru meningkatkan ekskalasi
konflik di tengah masyarakatnya. Setiap kelompok dalam kehidupan
kebangsaan dan kenegaraan telah berkembang sedemikian rupa seolah-olah
sudah menjadi yang terbaik, dengan kata lain kelompok yang satu merasa
lebih baik dari yang lainnya. Faktor kesenjangan juga ditengarai menambah
ricuh konflik horizontal antar suku bangsa yang terjadi.12
Untuk itulah dalam rangka merajut kebersamaan dan saling pengertian
antar sesama warga-bangsa, maka perlu melihat pemikiran pendidikan dalam
bingkai pendidikan multikulturalisme diharapkan perlu memahami konsep
wacana multikultural yang menekankan pada kesederajatan dan kesetaraan
11
Dicky Lopulalan, Benjamin Tukan, Op. Cit, h. 17. 12
Latifudin, Paradigma Pendidikan Multikultural Dalam Pendidikan Islam, Sekolah
Pasca Sarjana UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta, 2008, h. 4.
6
budaya-budaya lokal dan etnisitas tanpa mengabaikan hak-hak dan eksistensi
budaya lain. Hal ini sangat penting untuk dipahami bersama dalam kehidupan
masyarakat yang multikultural seperti di Indonesia ini. Sebab kenyataan yang
tak dapat dielakkan, bangsa Indonesia memiliki keragaman bahasa, sosial,
agama, budaya dan sebagainya. Keragaman tersebut amat kondusif bagi
munculnya konflik dalam berbagai dimensi kehidupan.
Negara Indonesia yang berlandaskan Pancasila dengan semboyan
Bhineka Tunggal Ika, tentunya sangat menghargai kebebasan masing-masing
agama dan budaya, dimana berbagai pihak termasuk pemerintah pun harus
bertindak adil, sehingga tidak terjadi diskriminasi agama, budaya dan etnis
tertentu. Jika paradigma pendidikan multikultural mengarah pada pedagogik
kesetaraan maka disini dapat dilihat bahwa pendidikan Islam melihat pada
pendidikan multikultural yang dalam Islam dikenal dengan istilah sawwamah,
hurriyah, syu’ubah, hanif, ihtiram dan tasyamuh.
Pemahaman multikultural didasarkan kepada pedagogik baru yaitu
pedagogik yang berdasarkan pada kesetaraan manusia (equity pedagogy).
Pedagogik kesetaraan bukan hanya mengakui adanya hanya hak asasi
manusia tetapi juga hak kelompok manusia, kelompok suku bangsa,
kelompok bangsa untuk hidup berdampingan berdasarkan kebudayaan
sendiri. Dengan demikian diakui adanya prinsip kesetaraan individu, antar
individu, antar bangsa, antar budaya, antar agama dan antar etnis. Pedagogik
kesetaraan tidak mengakui perbedaan-perbedaan artifisial yang telah dibuat
oleh manusia di dalam sejarah kehidupannya. Pedagogik kesetaraan
berpangkal kepada pandangan mengenai kesetaraan martabat manusia (digity
of man).13
Di satu sisi perkembangan multikulturalisme didorong oleh keterbukaan
kehudupan manusia karena terbentuknya apa yang disebut global village.
Terutama didorong oleh kemajuan teknologi komunikasi, hubungan antar
manusia di dunia ini semakin terbuka dan menyatu sehingga dimungkinkan
oleh hubungan global yang semakin erat, yang jelas ialah, hubungan
13
Ibid., h. 9.
7
kehidupan ekonomi, globalisasi melahirkan adanya pasar terbuka (open
market), menyebabkan hubungan antar manusia, antar ras, antar agama dan
antar budaya sangat menjadi erat. Disini maka dilihat hubungan atau
keterkaitan antar pendidikan multikultural dengan agama Islam. Pendidikan
multikultural berbasis agama tidak dapat dilepaskan dari pemahaman
pendidikan yang bersifat universal. Hal ini jika dikaitkan dengan pendidikan
Islam perspektif al-qur’an maka, pembahasannya adalah pluralitas, discourse
civilization, serta identitas sosial.14
Oleh krena itu cara beradab untuk menyelesaikan setiap konflik ditengah
masyarakat yang tidak dapat diselesaikan secara damai adalah melalui
hukum. Dalam negara yang beradab, keberadaan masyarakat tidaklah
berkelas, maka Indonesia amat sangat penting untuk mengembalikan negeri
ini menjadi negeri hukum sebagai pedoman dalam menjalankan kehidupan
berbangsa dan bernegara. Di mana-mana dan tanpa terkecuali tindakan yang
bertentangan dengan hukum. Apabila masyarakat dapat mengendalikan
bahwa hukum selalu terlaksana tanpa pandang bulu, mereka tidak akan lagi
main hakim sendiri.15
Jika politik pengakuan berbagai kelompok, entah etnis, religius, jender
ataupun ideologis, menguat secara signifikan dalam masyarakat majemuk,
kompleksitas baru itu pasti akan mengganggu netralitas negara sehingga tidak
mungkin lagi mensterilkan isu-isu agama, kebudayaan dan jender dari politik.
Sebaliknya, berbagai konsep pra-politis dari berbagai kelompok etnis, religius
dan jender dalam situasi itu menjadi politis. Sementara itu keadilan
multikultural berarti memberikan hak-hak kolektif yang sama kepada semua
kelompok kultural untuk memelihara dan mengungkapkan tradisi dan
identitas kolektif mereka. Negara misalnya, dapat mengakomodasi sikap-
sikap eksklusif suatu kelompok kultural tertentu dalam norma perkawinan,
pendidikan dan tradisi kultural. Jika untuk mempertahankan integritas sosial
perlu mengambil strategi seperti konsep libealisme ialah management of self-
14
Ibid. 15
Maarif, Kekerasan Atas Nama Agama, (Jurnal Islam dan Sosial, vol. 5, 2010), h. 129.
8
intersts, dan multikultural mengambil strategi management of cultural
identities. Masalah terbesar yang dihadapi model ini adalah relativisme nilai-
nilai. Sekalipun keadilan multikultural dapat ditegakkan pada ranah politis
dengan berlakunya hukum positif yang memproteksi hak-hak kolektif, pada
ranah sosial akan terjadi kultural makna keadilan.
Di dalam relativisme tesebut, berbagai tradisi kultural justru mengisolasi
diri secara eksklusif satu sama lain. Mosaik identitas-identitas itu harus
dibayar dengan ongkos hilangnya rasa kekitaan yang lebih luas, yaitu “kita
sebagai warga negara republik Indonesia”yang berbagi nilai-nilai bersama.
Makna keadilan itulah yang dalam radar tertentu dialami dalam masyarakat
Indonesia sebagai krisis moral.16
Dengan demikian, bisa dikatakan bahwa perasangka ras dan agama
bukan muncul akibat insting manusia atau karena adanya sikap yang
diturunkan. Namun, perasangka ini bertalian dengan pendidikan yang
diberikan orang tua di rumah atau yang diperoleh dari isi buku pelajaran di
sekolah atau dari media massa. Hal ini bisa terjadi karena kekurangpahaman
pada konsepsi dasar rasialisme dan diskriminasi rasial, atau karena media itu
sendiri mengusung paham yang rasis.17
Di Indonesia, pluralisme dan multikulturalisme terutama yang terkait
dengan agama seakan ditakdirkan selalu berada dalam posisi problematis.
Siapapun tidak ada yang menampik terhadap fakta keragaman Indonesia.
Sejarah keragaman agama di Indonesia telah berlangsung sangat lama, jauh
sebelum datangnya Islam, masyarakat nusantara telah terpola ke dalam
berbagai agama dan kepercayaan. Tidak hanya Islam, agama-agama lainnya
pun berdatangan. Dalam versi negara, pada saat ini ada enam agama yang
diakui eksistensinya, yaitu Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Buddha dan
Konghucu.18
Tentang kemajemukan (pluralizm) dapat dilihat dari artikulasi yang
diberikannya terhadap term al-Islam yang secara intrinsik berarti kedamaian,
16
Ibid., h. 41. 17
Op. Cit, h. 18. 18
Syamsul Arifin, op, cit. h. 164.
9
ketundukan atau sikap pasrah. Bahkan dapat dielaborasikan dalam term al-
Islam dengan al-iman dan taqwa. Yang semuanya merujuk pada arti
ketundukan, aman dan mencegah diri dari kehancuran dan kebinasaan.
Sehingga dalam pandangan keuniversalan Islam terletak pada esensi dan
subtansi ajaran yang rahmatan lil’alamin, memelihara kedamaian dengan
mengarahkan para pemeluknya memiliki sikap tunduk dan patuh kepada
ajaran al-qur’an. Klaim kebenaran (truth claim) dan klaim keselamatan (claim
salvation) yang memicu sikap konfrontasi atau konflikantara manusia dengan
dalih perbedaan agama dan keyakinan harus dibuang jauh-jauh, sebaliknya
kerjasama dan perdamaian dapat ditumbuhkembangkan.19
Dalam kehidupan sehari-hari sebelum dicampuri dengan kepentingan
ideologis, ekonomi, sosial-politik dan agama, manusia menjalani kehidupan
yang bersifat pluralis secara alamiah tanpa begitu banyak mempertimbangkan
sampai pada tingkat “benar tidak nya” realitas pluralistik yang menyatu
dalam kehidupan sehari-hari. Baru ketika manusia dengan kepentingannya
(organisasi, politik, agama dan budaya) mulai mengangkat isu pluralistik pada
puncak kesadaran mereka dan menjadikannya sebagai pusat perhatian, maka
pluralitas yang semula bersifat alamiah, wajar berubah menajadi hal yang
sangat penting. Tak bisa dipungkiri, bumi sebagai tempat hunian umat
manusia adalah satu. Namun, telah menjadi sunatullah, para penghuninya
terdiri dari berbagai macam ras, suku, bahasa, budaya dan agama. Dengan
demikian kemajemukan merupakan fenomena yang tidak dapat dihindari dari
berbagai ruang kehidupan termasuk dalam kehidupan beragama.
Dalam perkembangan selanjutnya, dunia pendidikan tidak lagi bisa
difokuskan pada pembangunan kepribadian perorangan saja. Peradaban
manusia yang semakin maju menuntut pendidikan untuk lebih
memperhatikan aspek sosial masyarakat. Pada kenyataannya, pendidikan
kemasyarakatan lebih penting dari pada pendidikan individual, karena
pendidikan sebenarnya merupakan sebuah fungsi sosial. Selanjutnya
19
Muhamad Irfan, Basuki, Membangun Inklusifisme Faham Keagamaan, (Ponorogo,
STAIN Ponorogo Press, 2009), cet, I, h. 17.
10
masyarakat dan lingkungan merupakan sarana penyelenggaraan pendidikan.20
Sebagai salah satu fungsi sosial, pendidikan mempunyai peranan penting
dalam memerdekakan pemikiran setiap anggota masyarakat, sebab
kemerdekaan pemikiran awal terciptanya masyarakat yang beradab,
berbudaya dan tidak tertindas. Oleh karena itu hakikat pendidikan sebagai
suatu proses memanusiakan anak manusia, yakni menyadari akan manusia
yang merdeka. Manusia merdeka adalah manusia yang kreatif yang terwujud
di dalam budayanya, karena manusia dibesarkan di dalam habitusnya yang
membudaya. Hidup di dalam budayanya dan menciptakan atau merekontruksi
budayanya itu sendiri, memanusiakan berarti membudaya.21
Pendidikan sebagai faktor utama perkembangan budaya masyarakat,
seringkali dimanfaatkan oleh berbagai pemikiran dan ideologi untuk
menyebarkan pemahaman dan pola pikirnya. Sudah tidak asing lagi jika suatu
pemikiran mendominasi lembaga atau sistem pendidikan tertentu. Di antara
pemikiran-pemikiran yang banyak memberikan pengaruh dan bahkan
menentukan tujuan dan metode pembelajaran suatu sistem pendidikan adalah
ideologi agama.22
Pendidikan merupakan institusi sosial yang dipandang strategis untuk
mendiseminasikan wacana lintas agama. Posisi strategis pendidikan sebagai
media untuk mensosialisasikan sikap pluralistik, pendidikan multikultural
tidak hanya ingin mengembangkan pengetahuan, tetapi juga ingin
mengembangkan sikap pluralistik, demokratis, humanis dan keadilan terkait
dengan perbedaan kultural yang ada di sekitar peserta didik.23
Paparan di atas memberikan isyarat penting bahwa kajian seputar
keragaman, konflik, kekerasan dan multikulturalisme, telah melimpah.
Meskipun demikian, tidak berarti kajian di seputar topik tersebut tidak
memiliki daya tarik lagi terutama dari kepentingan pengembangan ilmu
20
Yulia Rahman, Nasionalisme dan Islam Dalam Pembelajaran Agama, (Bandung,
Friska Agung Insani, 2000), h. 30. 21
Ibid., h. 30. 22
Ibid. 23
Syamsul Arifin, Op.cit., h. 66.
11
pengetahuan. Dari semua topik yang telah diteliti, topik multikulturalisme
nampaknya masih membutuhkan kajian yang lebih mendalam lagi terutama
untuk memperkokoh kebenaran pragmatisnya. Di beberapa negara konsep
multikulturalisme telah mengalami pelembagaan sebagai bagian dari
pendekatan kebijakan publik dalam menghadapi persoalan kemajemukan. Ini
berarti konsep multikulturalisme dianggap benar secara pragmatis karena
memiliki kegunaan dalam realitas empirik. Di Indonesia multikulturalisme
memang telah memperoleh apresiasi terutama dari kalangan akademisi. Salah
satu bentuk apresiasi misalnnya nampak pada adanya wacana
multikulturalisme sebagai alternatif dari pluralisme. Apresiasi juga terlihat
pada berbagai upaya untuk mengobjektivasikan multikulturalisme dalam
berbagai bidang kehidupan seperti yang bisa diamati dalam dunia
pendidikan.24
Ada dua masalah yang menjadi keprihatinan dikalangan umat Islam
Indonesia menyangkut pendidikan. Pertama ialah memudarnya nilai-nilai
agama, tumbuhnya sikap sekuler atau sikap anti agama di sebagian
masyarakat Indonesia. Ini dirasakan terutama sejak berdirinya sekolah-
sekolah modern pada masa kolonial Belanda. Kalangan pemimpin Islam
yakin apabila keadaan tersebut terus berlanjut, maka negara dan masyarakat
Indonesia akan rapuh. Sebab itu, pendidikan agama harus menjadi materi
pendidikan pokok. Kedua ialah rendahnya mutu pengetahuan modern para
siswa di lembaga-lembaga pendidikan Islam.25
Dari beberapa kasus pengalaman tersebut tampaknya hingga hari ini
pendidikan multikultural masih menyimpan sejumlah persoalan dalam
konteks Indonesia. Oleh karenanya sudah semestinya pendidikan Islam
memberikan respon terhadap gejala multikultural yang sedang booming dan
menggejala saat ini. Maka dari itu penulis tertarik mengulas judul “Urgensi
Pendidikan Multikultural Di Indonesia dalam Perspektif Agama Islam”
24
Op.cit., h. 66-67. 25
Azyumardi Azra, Menteri-Menteri Agama RI: Biografi Sosial-Politik, (Jakarta: PPIM,
1998), h. 235.
12
B. Identifikasi Masalah
Berdasarkanlatarbelakang masalah di atas penulis mengidentifikasikan
masalah-masalah sebagai berikut:
1. Kesadaran sebagai anggota masyarakat yang rendah terhadap
keberagaman sosial
2. Sering terjadi konflik antar individu maupun kelompok di Indonesia
3. Penyamarataan yang rendah dalam bermasyarakat
4. Terjadinya diskriminasi dan kesenjangan sosial.
C. PembatasanMasalah
Dengan membaca identifikasi masalah, sesungguhnya penelitian terhadap
aspek pendidikan nasioal dengan menggunakan pendidikan multikultural
tentulah sangat luas dan kompleks, karena keterbatasan ruang dan waktu.
Agar penelitian ini memiliki arah yang jelas dan tepat dalam pembahasannya,
perlu ada pembatasan pada hubungan pendidikan multikultural di Indonesia
dalam agama Islam.
1. Urgensi pendidikan multikultural?
2. Bagaimana pemahaman pendidikan multikultural menurut Islam?
D. Rumusan Masalah
Dari batasan masalah tersebut dapat dirumuskan sebuah pertanyaan yang
akan dijawab oleh peneliti, yaitu:
1. Seberapa besar urgensi Pendidikan Multikultural Di Indonesia?
2. Bagaimana pemahaman Islam terhadap pendidikan multikultural?
E. Tujuan dan Manfaan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah menentukan pandangan dasar Islam terhadap
wacana pendidikan multikultural dan membongkar wacana yang dilontarkan
intelektual muslim seputar hal itu sebagai bagian dari tuntutan zaman.
Sedangkan manfaat dari penelitian ini adalah mensosialisasikan pendidikan
multikultural dari sudut pandang Islam untuk mengintegrasikan kemajemukan
demi terciptanya kerukunan hidup berbangsa dan beragama.
13
F. Metode Penelitian
Metode yang digunakan adalah metode deskriptif analitis, yaitu
penelitian yang dimaksud mengadakan pendeskripsian yang berkaitan dengan
tema yang dibahas. Adapun jenis penelitian yang digunakan dalam pencarian
data adalah penelitian kepustakaan (library research), yaitu penelitian yang
dilakukan dengan cara membaca, mempelajari dan meneliti buku-buku, kitab-
kitab, majalah, surat kabar, jurnal dan sumber lainnya yang berkaitan dengan
tema ini. Sedangkan teknik penulisannya berpedoman pada buku Pedoman
Penulisan Skripsi, Tesis dan Disertasi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
14
BAB II
LANDASAN TEORI
A. Pendidikan Agama Islam
1. Pengertian Pendidikan
Di dalam Undang-Undang tentang Sistem Pendidikan Nasional, pasal 1
dijelaskan bahwa “Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk
mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik
secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan
spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak
mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan
negara”.1 Dalam pasal 1 ayat 2 tentang pendidikan nasional ialah pendidikan
yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 yang berakar pada nilai-nilai agama, kebudayaan
nasional Indonesia dan tanggap terhadap tuntutan perubahan zaman.2
Kemudian, dalam pasal 16 diterangkan pendidikan berbasis masyarakat
adalah penyelenggaraan pendidikan berdasarkan kekhasan agama, sosial,
budaya, aspirasi, dan potensi masyarakat sebagai perwujudan pendidikan dari,
dan untuk masyarakat.3 Dari sini dapat dipahami bahwa dalam kegiatan
bimbingan pengajaran dan pelatihan terkandung makna pendidikan.
1Undang-Undang Tentang Sisdiknas dan Peraturan Pelaksanaannya, (Jakarta: CV.
Tamita Utama, 2004), h. 4. 2 Ibid., h. 5.
3Ibid
15
Di kalangan penulis Indonesia, istilah pendidikan biasanya diarahkan
pada Pembina an watak, moral, sikap atau kepribadian atau lebih mengarah
pada efektif, sementara pengajaran lebih diarahkan pada penguasaan ilmu
pengetahuan atau menonjolkan dimensi kognitif dan psikomotorik.
Pengertian pendidikan bahkan lebih diperluas cakupannya sebagai
aktivitas dan fenomena. Pendidikan sebagai aktivitas berarti upaya yang
secara sadar dirancang untuk membantu seseorang atau sekelompok orang
dalam mengembangkan pandangan hidup (bagaimana orang akan menjalani
dan memanfaatkan kehidupannya), sikap hidup dan keterampilan hidup, baik
yang bersifat manual (petunjuk praktis) maupun mental dan sosial.
Sedangkan pendidikan sebagai fenomena adalah peristiwa perjumpaan antara
dua orang atau lebih yang dampaknya ialah berkembangnya suatu pandangan
hidup atau keterampilan hidup pada salah satu atau beberapa pihak.4
Ahmad Tafsir menambahkan, bahwa pendidikan adalah bimbingan atau
pimpinan secara sadar oleh pendidik terhadap perkembangan jasmani dan
rohani anak didik menuju terbentuknya kepribadian yang utama.Jadi,
pendidikan adalah berbagai usaha yang dilakukan oleh seseorang (pendidik)
terhadap seseorang (anak didik) agar tercapai perkembangan maksimal yang
positif. Sekarang jelaslah bahwa pendidikan adalah bimbingan yang diberikan
kepada seseorang agar dapat berkembang secara maksimal.5
Dari istilah-istilah tersebut, kiranya dapat ditarik kesimpulan bahwa
pendidikan bisa diartikan sebagai suatu proses yang komprehensip dari
pengembangan kepribadian manusia secara keseluruhan, yang meliputi
bidang intelektual, spritual, emosional dan fisik.6
2. Pendidikan secara umum
Kata pendidikan ditinjau dari segi etimologi berasal dari kata dasar didik
yang berarti memelihara dan memberi latihan, ajaran, pimpinan mengenai
4Muhaimin, dkk, Paradigma Pendidikan Islam: Upaya Mengefektifkan Pendidikan
Agama Islam di Sekolah, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 1997), cet. 5, h. 37. 5Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan Dalam Perspektif Islam,(Bandung: PT Remaja
Rosdakarya, 2008), cet. 1, h. 24-28. 6Anshori, Pendidikan Islam Transformatif, (Jakarta: Referensi, 2012), cet. I, h. 10.
16
akhlak dan kecerdasan pikiran. Pendidikan sebagai daya upaya untuk
memajukan perkembangan budi pekerti (kekuatan batin), pikiran (intelek) dan
jasmani anak-anak. Maksudnya ialah untuk memajukan kesempurnaan hidup,
yaitu kehidupan dan penghidupan anak-anak, selaras dengan alam dan
masyarakat.
Memperhatikan definisi di atas dapat ditarik pengertian bahwa
pendidikan adalah usaha yang dilakukan seseorang atau sekelompok orang
dalam mempengaruhi orang lain yang bertujuan untuk mendewasakan
manusia seutuhnya, baik lahir maupun batin. Artinya, dengan pendidikan
manusia bisa memiliki kestabilan dalam pandangan hidup dan
kestabilandalam nilai-nilai kehidupan dengan penuh rasa tanggung jawab.7
Plato mengatakan bahwa tujuan pendidikan sesungguhnya adalah
penyadaran terhadap self knowing and self realizationkemudian inquiri,
reasoning and logic. Jadi, disini jelas bahwa tujuan pendidikan memberikan
penyadaran terhadap apa yang diketahuinya, kemudian pengetahuan tersebut
harus direalisasikan sendiri dan selanjutnya mengadakan penelitian serta
mengetahui hubungan kausal, yaitu alasan dan alur pikirnya. Ahli filsafat lain
seperti Aristoteles mengatakan bahwa tujuan pendidikan penyadaran terhadap
self realization, yaitu kekuatan efektif (virtue) kekuatan untuk menghasilkan
(efficacy) dan kekuatan untuk mencapai kebahagiaan hidup melalui kebiasaan
dan kemampuan berfikir rasional.8
Dari pengertian di atas, pendidikan dikatakan sebagai sebuah proses yang
dilakukan secara sadar dan terencana untuk mengembangkan potensi-potensi
yang dimiliki peserta didik. Dengan dasar itu, pendidikan dimaksudkan untuk
membekali peserta didik agar mampu menjadi warga negara yang baik.9
Sebetulnya, tujuan umum pendidikan Islam sinkron dengan tujuan agama
Islam, yaitu berusaha mendidik individu mukmin agar tunduk, bertakwa dan
7Armai Arif, Pembaharuan Pendidikan Islam di Minangkabau, (Jakarta: Suara ADI,
2009), cet. I, h. 32. 8Sukardjo dan Ukim Komarudin, Landasan Pendidikan dan Aplikasinya, (Jakarta: PT
Raja Grafindo, 2014), cet. I, h. 4. 9Armai Arif dan Sholehuddin, Perencanaan Sistem Pendidikan Agama Islam, (Jakarta:
PT. Wahana Kardofa, 2009), cet. I, h. 2-3.
17
beribadah dengan baik kepada Allah, sehingga memperoleh kebahagiaan di
dunia dan di akhirat.10
3. Pendidikan Islam
Pendidikan menurut Islam adalah sarana untuk melatih badan (fisik),
fikiran dan jiwa dengan menerapkan berbagai ilmu pengetahuan, yaitu ilmu
fardhu ain dan ilmu fardhu kifayah. Ilmu fardhu ain seperti rukun Islam
diwajibkan bagi setiap orang dan ilmu fardhu kifayah yang merupakan ilmu
pilihan seseorang diperlukan untuk masyarakat dalam kehidupannya dan
untuk melestarikan alam. Tujuan pendidikan Islam adalah terbentuknya
kepribadian muslim, bahwa tujuan demikian identik dengan tujuan hidup
setiap orang muslim, adapun tujuan hidup seorang muslim adalah
menghamba (ibadah) kepada Allah.11
Masih sejalan dengan uraian tersebut, tujuan pendidikan Islam dalam
Konferensi Pendidikan Islam tahun 1980, bahwa pendidikan harus
merealisasikan cita-cita Islam yang mencakup pengembangan kepribadian
muslim yang bersifat menyeluruh secara harmonis yang berdasarkan
psikologis dan fisiologis maupun yang mengacu kepada keimanan dan
sekaligus berilmu pengetahuan secara berkesinambungan sehingga
terbentuknya manusia muslim paripurna yang berjiwa tawakal secara total
kepada Allah.12
Dalam seminartentang “Sistem Pendidikan Islam di Indonesia”, yang
diadakan oleh BKS-Perguruan Tinggi Swasta di Jakarta pada 13-16 mei 1979,
disimpulkan tentang kependidikan Islam; Pendidikan Islam ialah usaha yang
berlandaskan untuk membantu manusia dalam mengembangkan dan
mendewasakan kepribadiannya, baik jasmaniyah maupun rohaniyah untuk
memikul tanggung jawab memenuhi tuntunan zaman dan masa depan.13
10
Rizaluddin, Sejarah Pemikiran Pendidikan Islam, Jakarta: FAI UHAMKA, 2008, cet. I, h. 7.
11Armai Arif, op.cit., h. 137.
12Abdul Halim, Wawasan Pendidikan Islam, (Jakarta: Kalam Mulia, 2002), cet. I, h. 18-
19. 13
Muhamad H Talhah, Islam Dalam Perspektif Sosio-Kultural, (Jakarta: Lantabora Pers,
2005), cet. I, h. 97.
18
Bangsa Indonesia telah merumuskan tujuan pendidikan nasional melalui
TAP MPR dan dimasukkan sebagai GBHN. Tujuan tersebut ialah untuk
meningkatkan ketakwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa, kecerdasan,
keterampilan, mempertinggi budipekerti, memperkuat kepribadian dan
mempertebal semangat kebangsaan agar menumbuhkan pembangunan
manusia yang dapat membangun dirinya sendiri serta bersama-sama
bertanggung jawab atas pembangunan bangsa. Rumusan tersebut merupakan
tujuan akhir dari pendidikan nasional atau yang disebut sebagai ultimate aims
of education. Dalam tujuan akhir ini masih dapat mengandung bagian-bagian
tertentu yang disebut sebagai tujuan khusus (Proxsimate Objective). Tujuan
khusus ini banyak ditentukan oleh nilai-nilai yang menjiwai proses
pendidikan. Bagi seseorang religius (muslim), tujuan khusus pendidikannya
adalah untuk mencapai suatu kesempurnaan dan kesempurnaan itu baginya
ialah kebijakan kepada Allah dan sesama manusia (atqakum billah wa
anfaukum linnas), itulah yang merupakan citra tertinggi keagamaan.14
Dalam konteks pendidikan Islam, berarti pandangan hidup, sikap hidup
dan keterampilan hidup harus bernafaskan juga dijiwai oleh ajaran dan nilai-
nilai Islam yang bersumber dari al-Qur’an dan sunnah/hadis. Pendidikan
dalam perspektif Islam dapat mengandung pengertian pendidikan atau
pengajaran keagamaanatau ke-Islaman, dan pendidikan atau pengajaran
agama Islam.15
Dari pengertian di atas dapat ditarik suatu pengertian, bahwa yang
dimaksud dengan pendidikan Islam melalui pengajaran, bimbingan dan
latihan yang dilakukan dengan sadar dan penuh tanggungjawab dalam rangka
pembentukan, pembinaan, pendayagunaan dan pengembangan pikir, zikir dan
kreasi manusia, sehingga terbentuk pribadi muslim sejati, yang mampu
mengembangkan kehidupan dengan penuh tanggung jawab dalam rangka
beribadah kepada Allah Swt untuk mencapai kebahagiaan hidup di dunia dan
di akhirat.16
14
Ibid., h. 99. 15
Ahmad Sadali, dkk, Islam Untuk Disiplin Ilmu Pengetahuan, (Jakarta: PT. Bulan
Bintang, 1987), cet. I, h,. 38. 16
Ibid., h. 33.
19
4. Tujuan Pendidikan Islam
Tujuan pendidikan agama Islam yaitu menciptakan manusia yang
berakhlak Islam, beriman, dan bertaqwa sebagai suatu kebenaran serta
berusaha dan mampu membuktikan kebenaran melalui akal, rasa, dalam
seluruh perbuatan dan tingkah laku sehari-hari. Karena pendidikan tidak
hanya mengajarkan atau mentransformasikan ilmu dan keterampilan serta
kepekaan budaya atau agama, akan tetapi seyogyanya memberi perlengkapan
kepada anak didik untuk mampu memecahkan persoalan-persoalan yang
sudah nampak maupun yang baru akan nampak jelas dimasa yang akan
datang. Dengan perkataan lain pendidikan Islam harus berorientasi ke masa
yang akan datang (futuristic), karena sesungguhnya anak didik masa kini
adalah bangsa yang akan datang.
Persoalan-persoalan yang harus dipecahkan oleh manusia sebagai
anggota masyarakat dan warganegara mungkin tidak hanya akan dihadapi
satu atau dua kali, tetapi seringkali selama hidupnya. Disinilah antara lain
letak pentingnya bahwa ruang lingkup materi pendidikan tidak hanya
merupakan perbendaharaan ilmu pengetahuan yang harus dihafalkan
(cognitive learning), atau berbagai latihan keterampilan yang spesifik
(psychomotoric training), akan tetapi yang lebih penting bahwa ilmu
pengetahuan disampaikan sedemikian rupa dalam satu susunan yang
memungkinkan untuk berfungsi sebagai masukan (input) yang dapat
diperoses didalam otak, sehingga memungkinkan terbentuknya suatu sikap
apresiatif dan suatu konsep idea tentang suatu masalah dan atau sebagai
pemecah masalah. Yang paling penting diperhatikan, karena seringkali
diabaikan ialah suatu bagian dari belajar secara kognitif yaitu pembinaan
sikap yang melandasi perbuatan seseorang yang committed kepada perintah
Allah dengan ikhlas atau pembinaan yang disebut akhlak.17
Konsep ini hendaknya juga berfungsi sebagai suatu dasar yang dapat
dikembangkan lebih lanjut didalam proses belajar, baik secara formal maupun
secara informal atau non-formal terus menerus selama hidup. Pada akhirnya
17
Nur Uhbiyati, Ilmu Pendidikan Islam, (Bandung: Pustaka Setia, 1997), cet. I, h. 41.
20
pendididkan Islam diharapkan dapat menghasilkan manusia secara sadar
mampu mengucapkan kalimat seperti dalam al-Qur’an surat az-Zukhruf (43):
13.
بحان ال تويت عليه و تقولوا س ذا اس ك ا توا عل ظهوره مث تذكروا نعمة رب ى خر لا لتس
) هذا و (٣١الزخرف:ما كا ل مقرني
Supaya kamu duduk di atas punggungnya kemudian kamu ingat nikmat
Tuhanmu apabila kamu telah duduk di atasnya, dan supaya kamu
mengucapkan maha suci Tuhan telah menundukkan semua ini bagi kami
padahal kami sebelumnya tidak mampu menguasainya. az-Zukhruf (43): 13.
Dengan demikian usaha pendidikan Islam diproyeksikan kepada:
a. Pembinaan ketaqwaan dan akhlakul karimah yang dijabarkan didalam
pembinaan kompetensi enam aspek ke-imanan, lima aspek ke-Islaman dan
multi aspek ke-ihsanan.
b. Mempertinggi kecerdasan dan kemampuan anak didik.
c. Memajukan ilmu pengetahuan dan teknologi beserta manfaat dan
aplikasinya.
d. Meningkatkan kualitas hidup.
e. Memelihara, mengembangkan dan meningkatkan budaya dan lingkungan.
f. Memperluas pandangan hidup sebagai manusia yang komunikatif terhadap
keluarga, masyarakat, bangsa, sesama manusia dan makhluk lainnya.18
Dengan demikian pendidikan Islam diharapkan menghasilkan manusia
yang berguna bagi dirinya sendiri dan masyarakatnya serta senang dan gemar
mengamalkan juga mengembangkan ajaran Islam dalam berhubungan dengan
Allah dan dengan sesamanya, dapat mengambil manfaat yang semakin
meningkat dari alam semesta ini untuk kepentingan hidup di dunia kini dan di
akhirat nanti. Tujuan ini kelihatannya terlalu ideal sehingga sukar dicapai,
tetapi dengan kerja keras yang dilakukan secara berencana dengan kerangka-
kerangka kerja yang konseptual mendasar, pencapaian tujuan itu bukanlah
sesuatu yang mustahil.19
18
Ibid., h. 42. 19
Ibid.
21
Banyak sekali konsep dan teori tujuan pendidikan Islam yang telah
dikemukakan oleh para ahli pendidikan, baik pada zaman klasik, pertengahan
maupun dewasa ini. Dapat dipahami, bahwa beragamnya konsep dan teori
pendidikan Islam merupakan bukti adanya usaha dari para intelektual muslim
dan masyarakat muslim umumnya untuk menciptakan suatu sistem
pendidikan yang baik bagi masyarakat. Namun demikian, berkembangnya
pemikiran tentang tujuan pendidikan Islam tidak pernah melenceng dari
prinsip dasar yang menjadi asas dan pijakan dalam pengembangan tujuan
pendidikan Islam. Diantara prinsip tersebut adalah prinsip universal,
keseimbangan, kejelasan, dinamis dan relevan.20
Dalam pandangan Hamka, tujuan pendidikan Islam adalah mengenal dan
mencari keridhoan Allah, membangun budipekerti untuk berakhlak mulia,
serta mempersiapkan peserta didik untuk hidup secara layak dan berguna
ditengah-tengah komunitas sosial (masyarakat).21
Pengertian lain tentang
pendidikan Islam adalah suatu sistem kependidikan yang mencakup seluruh
aspek kehidupan oleh hamba Allah, sebagaimana Islam telah menjadi
pedoman bagi seluruh aspek kehidupan manusia, baik duniawi maupun
ukhrawi.22
Pada hakikatnya, tujuan akhir pendidikan Islam adalah
merealisasikan ubudiyah kepada Allah di dalam kehidupan manusia baik
individu maupun masyarakat.23
B. Multikultural
1. Embrio Lahirnya Multikultural
Latar historis multikultural, pemikiran tentang pluralisme agama muncul
pada masa-masa pencerahan Eropa abad ke 18 Masehi, sebagai masa awal
kebangkitan gerakan pemikiran modern di Eropa. Bahwa abad ke 18
merupakan abad kebangkitan Eropa dari masa kegelapan, feodalisme dan
dominasi gereja terhadap negara dan masyarakat ke masa pencerahan
20
Ahmad Sadali,op.cit.,h. 18. 21
Samsul Nizar, Memperbincangkan Dinamika Intelektual dan Pemikiran Hamka
Tentang Pendidikan Islam, (Jakarta: Kencana, 2008), cet. I, h. 116. 22
Arifin, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: PT. Bumi Aksara, 2009), h. 8. 23
Samsul Nizar, op, cit., h. 30.
22
pemikiran yang berorientasi superioritas akal (rasionalisme) dan pembebasan
akal dari kungkungan agama (gereja). Dominasi gereja dan prilaku korup
kalangan pastoral tingkat tinggi ditambah hiruk-pikuk konflik-konflik etnik,
sekterian, ras, mazhab dan keagamaan yang berprilaku intoleran
memperburuk hubungan gereja dan kehidupan diluar gereja yang semakin
memuncak dengan munculnya paham liberalisme.
Konflik gereja dan kehidupan di luar gereja tersebut telah melahirkan
arus pemikiran dan gerakan yang bersifat anti gereja di Eropa. Gerakan
tersebut merupakan perlawanan terhadap hak-hak istimewa, dugaan korupsi
dikalangan pastoral tingkat tinggi, dan terhadap situasi yang disebut sebagai
keyakinan yang tak tercerahkan dilingkungan Katolik Roma yang telah
melakukan kontrol dan pengawasan terhadap negara, ilmu pengetahuan dan
pendidikan. Situasi kacau balau telah mengantarkan pada kelahiran paham
“liberalisme” dengan komposisi utama kebebasan, toleransi, persamaan, dan
keragaman atau pluralisme. Maka di lihat dari karakter kemunculannya dan
kondisi sosial politik yang mengitarinya, paham liberalisme merupakan
produk pemikiran sosial-politik sebagai reaksi terhadap dominasi gereja
Katolik dan stagnasi pemikiran saat itu.
Isu pluralisme agama kemudian berkembang ke isu multikulturalisme.
Perkembangan isu ini memiliki dua implikasi. Pertama, dari aspek
terminologis pengertian pluralisme mencakup keragaman dalam segala aspek
seperti pluralisme politik, pluralisme budaya, pluralisme bahasa, dan
pluralisme agama. Oleh karena itu pluralisme agama adalah salah satu aspek
dari pluralisme. Pengertian multikulturalisme lebih diarahkan kepada
keragaman budaya. Orientasi kebudayaan dengan berbagai unsur lebih
ditonjolkan atau dipertajam dalam istilah multikulturalisme. Karena
menjangkau segala aspek kebudayaan, maka pengertian multikulturalisme
menjadi lebih luas dibanding istilah pluralisme agama sebab dalam paradigma
antropologi, agama merupakan bagian dari kebudayaan. Dengan kata lain,
istilah multikulturalisme dipilih untuk menjangkau segala aspek keragaman
berlatar budaya, bukan hanya agama seperti selama ini yang banyak
23
dipahami. Dalam kenyataannya, tema-tema multikulturalisme menjangkau
bidang yang lebih luas seperti bahasa, difabilitas, ras dan etnik, gender,
orientasi seksual dan sebagainya.
Prinsip penting dalam konsep multikultiralisme yang selama ini banyak
dikemukakan adalah prinsip kesetaraan. Dari prinsip kesetaraan muncul
keterbukaan, inklusivitas, penerimaan terhadap keragaman (akseptabilitas),
keadilan dan kepedulian. Salah satu instituisi yang dipandang sering
menghambat penegakan prinsip-prinsip tersebut adalah agama.24
2. Pengertian Multikultural
Multikultural berarti beraneka ragam kebudayaan. Akar kata dari
multikulturalisme adalah kebudayaan, yaitu kebudayaan yang dilihat dari
fungsinya sebagai pedoman bagi kehidupan manusia. Multikulturalisme tidak
hanya merujuk pada kenyataan sosial antropologis adanya pluralitas
kelompok etnis, bahasa dan agama yang berkembang di Indonesia tetapi juga
mengasumsikan sebuah sikap demokratis dan egaliter untuk bisa menerima
keragaman budaya.25
Multikulturalisme adalah sebuah ideologi yang menekankan
kesederajatan dalam perbedaan-perbedaan budaya. Pendidikan multikultural
sebagai pendidikan untuk/tentang keragaman kebudayaan dalam merespon
perubahan demografi dan kultur lingkungan masyarakat tertentu atau bahkan
dunia secara keseluruhan. Bahwa paradigma pendidikan multikultural
mencakup subjek-subjek ketidakadilan, kemiskinan, penindasan dan
keterbelakang kelompok-kelompok minoritas dalam berbagai bidang
diantaranya sosial-budaya, ekonomi, dan pendidikan.
Multikulturalisme” pada dasarnya adalah pandangan dunia yang
kemudian dapat diterjemahkan dalam berbagai kebijakan kebudayaan yang
menekankan penerimaan terhadap realitas keagamaan, pluralitas, dan
multikultural yang terdapat dalam kehidupan masyarakat. Multikulturalisme
24
Dody Trauma, Pendidikan Agama Islam Berwawasan Multikulturalisme, (Jakarta:
Kementerian Agama RI, 2010),cet. I. h. 69. 25
Ibid., h. 70.
24
dapat juga dipahami sebagai pandangan dunia yang kemudian diwujudkan
dalam kesadaran politik.26
Masyarakat Multikultural disusun atas tiga kata, yaitu Masyarakat, Multi,
dan Kultural. “Masyarakat” artinya adalah sebagai satu kesatuan hidup
manusia yang berinteraksi menurut sistem adat istiadat tertentu yang bersifat
terus menerus dan terikat oleh rasa toleransi bersama, “Multi” berarti banyak
atau beranekaragam, dan “Kultural” berarti Budaya. Jadi, dapat disimpulkan
bahwa masyarakat multikultural adalah suatu masyarakat yang terdiri atas
banyak struktur kebudayaan. Hal tersebut disebabkan karena banyaknya suku
bangsa yang memilik struktur budaya sendiri yang berbeda dengan budaya
suku bangsa yang lainnya.27
Multikultural juga dapat diartikan sebagai keragaman atau perbedaan
terhadap suatu kebudayaan dengan kebudayaan yang lain. Sehingga
masyarakat multikultural dapat diartikan sebagai sekelompok manusia yang
tinggal dan hidup menetap di suatu tempat yang memiliki kebudayaan dan
ciri khas tersendiri yang mampu membedakan antara satu masyarakat dengan
masyarakat yang lain. Setiap masyarakat akan menghasilkan kebudayaannya
masing-masing yang akan menjadi ciri khas bagi masyarakat tersebut.28
Tujuannya adalah untuk mencapai pemberdayaan bagi kelompok-
kelompok minoritas. Kemudian istilah multikultural dapat digunakan baik
pada tingkat deskriptif maupun normatif, yang menggambarkan isu-isu dan
masalah-masalah pendidikan berkaitan dengan masyarakat multikultural.
Oleh karena itu, kurikulum pendidikan multikultural mencakup subjek seperti
toleransi, tema-tema tentang perbedaan etnik-kultural, agama, bahaya
diskriminasi, penyelesaian konflik, mediasi, HAM, demokrasi, pluralitas dan
kemanusiaan universal.Bahwa kemanusiaan manusia pada dasarnya adalah
pengakuan akan pluralitas, heterogenitas dan keberagaman manusia itu
sendiri. Keberagaman itu bisa berupa ideologi, agama, paradigma, polapikir,
26
Azyumardi Azra, Identitas dan Krisis Budaya, Membangun Multikulturalisme
Indonesia, (Jakarta: PPIM, 2007), h. 34. 27
Ibid., h. 36. 28
Ibid.
25
kebutuhan, keinginan dan tingkat intelektualitas. Pendidikan multikultural
mampu menghargai dan menghormati semua bentuk keragaman agar mampu
meredam berbagai gejolak yang mengarah kepada permusuhan, genoid atau
bahkan tindakan kekerasan.29
3. Visi Multikultural Pendidikan
Indonesia adalah bangsa majemuk.Hal ini ditandai dengan banyaknya
etnis, suku, agama, bahasa, budaya dan adat istiadat.Kemajemukan tersebut
belakangan dikenal sebagai masyarakat multikultural, masyarakat yang
anggotanya memiliki latarbelakang budaya dan agama yang beragam.
Keragaman merupakan modal sosial (social capital) yang sangat
berharga bila dimanfaatkan dengan baik, maka akan menjadi keuntungan
besar bagi kejayaan bangsa Indonesia. Tetapi juga sangat rentan terjadi
konflik antar warga dan antar agama manakala tidak dikelola dengan benar.
Dalam konteks ini, kemajemukan dan multikultural bisa menjadi faktor
destruktif dan menimbulkan bencana dahsyat. Konflik dan kekerasan sosial
yang sering terjadi antar kelompok masyarakat merupakan bagian dari
kemajemukan dan multikultural yang tidak bisa dikelola dengan baik.
Rendahnya kesadaran multikultural ditengah kehidupan umat manusia, bukan
semata masalah domestik Indoneisa, melainkan juga masalah global.
Tantangan di atas sangat penting untuk zaman milenium ini, karena abad
yang lampau ternyata telah merangkum 25 sampai 35 peperangan pertahun.
Terjadinya peperangan terkait dengan kekerasan struktural. Kekerasan
struktural adalah buah dari ketidakadilan, penindasan sosial, gender,
militerisme, rasisme, kerusakan ekosistem dan kegagalan untuk memenuhi
kebutuhan-kebutuhan mendasar manusia (human basic needs). Salah satu
bentuk kekerasan langsung yang paling ekstrim, yaitu peperangan yang telah
mematikan 40 juta manusia sejak tahun 1990. Kesadaran tentang betapa
gawatnya masalah konflik dan kekerasan pada tataran global ternyata telah
29
Suwito, Fauzan, Sejarah Sosial Pendidikan Islam, (Jakarta: Kencana, 2005), cet. I, h.
25.
26
cukup dimiliki oleh berbagai pihak di dunia. Gerakan dan sosialisasi akan
pentingnya kehidupan yang damai pada tataran global dan disertai dengan
pentingnya kehidupan multikultural harus saling memahami dan
menghormati adalah bukti bahwa kehidupan damai merupakan dambaan
semua umat manusia.
Untuk mengubah kerangka fikir baik kolektif maupun individual bangsa
Indonesia dalam menghadapi persoalan sosio-kultural, pendidikan dipandang
sebagai faktor penting dalam menumbuhkembangkan kesadaran akan nilai-
nilai kehidupan multikultural. Pendidikan dalam perspektif ini boleh
dipandang sebagai upaya pendewasaan manusia, kebebasan manusia dari
tindak anarkisme dan transendensi dari manusia atas nilai-nilai multikultural
dalam kehidupan berbangsa, sehingga kehidupan sosio-kultural semakin baik
kualitasnya. Kesadaran multikultural adalah kesediaan kelompok lain secara
sama sebagai kesatuan, tanpa memperdulikan perbedaan budaya, etnik,
gender, bahasa dan agama.
Kesadaran multikultural dapat berkembang baik apabila ditanamkan
sejak awal terhadap generasi muda lewat lembaga pendidikan. Melalui
pendidikan, sikap saling menghargai terhadap perbedaan akan berkembang
dengan baik. Pendidikan berbasis multikultural ini membantu siswa untuk
mengerti, menerima dan menghargai orang dari suku, budaya, nilai dan
agama yang berbeda. Untuk itu, anak didik perlu diajak melihat nilai budaya
lain sehingga mengerti secara mendalam. Modelnya dengan tidak
menyembunyikan budaya lain atau menyeragamkan berbagai budaya menjadi
satu budaya nasional. Dalam pendidikan berbasis multikultural, tiap budaya
diakomodasi dan memiliki nilai sendiri. Disinilah dibutuhkan keterbukaan
hati dan fikiran, serta diperlukan pemahaman relativitas nilai budaya.
Dalam konteks di atas, pendidikan Islam mempunyai peranan
pentinguntuk menanamkan kesadaran multikultural kepada anak didik.
Sayangnya, di Indonesia sendiri masih kurang partisipasi ilmuan muslim
dalam perdebatan teoritis, pelahiran teori serta pengembangan teori.
Kenyataan ini tercermin dari kurangnya publikasi ilmiah dalam jurnal
27
maupun penerbitan buku yang ditulis para pakar pendidikan Islam, yang
mengetengahkan perdebatan, pelahiran atau pengembangan konsep
pendidikan Islam berbasis multikultural. Tak pelak sampai saat ini, para guru
Islam di sekolah-sekolah umum maupun madrasah masih kesulitan mencari
model pendidikan Islam berwawasan multikultural.
Padahal di Indonesia, agama seringkali menjadi sumber konflik dan
kekerasan sosial. Untuk mencegah terjadinya konflik yang bersumber pada
agama maka mengajarkan agama secara inklusif dan kontekstual menjadi
penting. Materi-materi agama Islam yang diajarkan di sekolah mempunyai
pengaruh yang signifikan dalam membentuk pemahaman ke-Islaman bagi
setiap muslim.30
4. Tujuan Pendidikan Multikultural
Perbaikan dunia pendidikan merupakan bagian terpenting bagi upaya
mengangkat martabat bangsa. Perbaikan pendidikan dengan mendudukkan
pendidikan sebagaimana fungsinya, yakni membentuk watak serta peradaban
bangsa yang bermartabat secara operasional adalah mendudukkan sekolah
sebagai agen multikulturalisme.31
Tujuan pendidikan multikultural ada dua yakni: tujuan awal dan tujuan
akhir. Tujuan awal merupakan tujuan sementara karena tujuan ini hanya
berfungsi sebagai perantara agar tujuan akhir tercapai dengan baik. Pada
dasarnya tujuan awal pendidikan multikultural yaitu membantu wacana
pendidikan, mengambil kebijakan dalam dunia pendidikan. Mampu
mentransformasikan pendidikan multikultural dan mampu menanamkan nilai-
nilai pluralisme, humanisme dan demokrasi secara langsung kepada orang-
orang dan kepada para peserta didik. Sedangkan tujuan akhir pendidikan
multikultural adalah peserta didik tidak hanya mampu memahami dan
menguasai materi yang dipelajarinya akan tetapi diharapkan juga bahwa
peserta didik akan mempunyai karakter yang kuat untuk bersikap demokratis,
30
Ali Maksin, Pluralisme dan Multikulturalisme: Paradigma Baru Pendidikan Islam di
Indonesia, (Yogyakarta: Aditia Media Publishing, 2011), cet. I, h. 8. 31
Suwito, Fauzan, op, cit., h. 74.
28
pluralis dan humanis. Ketiga hal tersebut adalah ruh pendidikan multikultural.
Sedangkan tujuan pendidikan multikultural adalah:
a. Pengajaran siswa dengan cara etnik tertentu tentang kebudayaan yang
mereka miliki, termasuk di dalamnya pengajaran bahasa pusaka dan
budaya.
b. Pengajaran kepada semua siswa tentang keanekaragaman budaya
tradisional, baik dalam dan luar negeri. Ketika pembelajaran dapat
disampaikan dalam berbagai cara, sesuatu yang tidak biasanya terlewat
adalah susunan secara sistematis dari isu utama budaya dan entitas bangsa.
c. Mempromosikan penerimaan menunjukkan perbedaan atau
keanekaragaman etnik dalam masyarakat.
d. Bahwa manusia dengan perbedaan agama, ras, suku, kebangsaan memiliki
kebebasan yang sama.
e. Menunjukkan penerimaan secara penuh dan ditandai dengan perlakuan
yang sama yakni keseimbangan antara budaya subetnik dengan perbedaan
agama, ras, suku kebangsaan, dan lain-lain.
f. Membantu siswa untuk menyesuaikan bentuk budaya, untuk dirinya
sendiri dan untuk masyarakat.
Berdasarkan tujuan pendidikan multikultural tersebut, pendidikan
multikultural berupaya mengajak warga pendidikan untuk menerima
perbedaan yang ada pada sesama manusia sebagai hal-hal yang alamiah
(natural sunnatullah). Selain itu, pendidikan multikultural menanamkan
kesadaran kepada siswa akan kesetaraan (equality), keadilan (justice),
kemajemukan (plurality), kebangsaan, ras, suku, bahasa, tradisi,
penghormatan agama, menghendaki terbangunnya tatanan kehidupan yang
seimbang, harmoni, fungsional dan sistematik juga tidak menghendaki
terjadinya proses diskriminasi, kemanusiaan (humanity), dan nilai-nilai
demokrasi (democration values) yang diperlukan dalam berbagai aktivitas
sosial.32
32
Larasati Minten Ayu, Tujuan Pendidikan Multikultural, (Yogyakarta: Kompasiana,
2012), h. 39.
29
C. Gagasan Pendidikan Islam Multikultural
Strategi pendidikan multikultural, sejak lama telah berkembang di Eropa,
Amerika dan di negara-negara maju lainnya. Gagasan ini, dengan demikian
bukan merupakan hal baru. Strategi ini adalah pengembangan dari studi
interkultural dan multikulturalisme. Dalam perkembangannya, studi ini
menjadi sebuah studi khusus tentang pendidikan multikultural yang pada
awalnya bertujuan agar populasi mayoritas dapat bersikap toleran terhadap
para imigran baru. Studi ini juga mempunyai tujuan politis sebagai alat
kontrol sosial penguasa terhadap warganya, agar kondisi negara aman dan
stabil.
Sementara itu, Indonesia mengalami pengalaman yang menyedihkan.
Kekerasan, pemberontakan, pembumihangusan dan pembunuhan generasi
genocid. Peperangan, perpecahan dan ancaman disintegrasi bangsa telah
terjadi sejak zaman kerajaan Singosari, Sriwijaya, Majapahit, Goa, Mataram
hingga pada era terkini. Pembunuhan besar-besaran terhadap masa pengikut
Partai Komunis Indonesia pada tahun 1965, kekerasan terhadap etnis Cina di
Jakarta pada Mei 1998, perang Islam Kristen di Maluku Utara pada tahun
1999-2003 dan perang etnis antar warga Dayak dan Madura yang terjadi sejak
tahun 1931 hingga tahun 2000 yang telah menyebabkan kurang lebih 2000
nyawa manusia melayang sia-sia adalah bagian dari sejarah kelam bangsa
ini.33
Berdasarkan kenyataan yang memilukan inilah, maka keberadaan
pendidikan multikultural sangat diperlukan. Pendidikan multikultural adalah
strategi pendidikan yang diaplikasikan pada semua jenis mata pelajaran
dengan cara menggunakan perbedaan-perbedaan kultural yang ada pada siswa
seperti perbedaan etnis, agama, bahasa, gender, kelas sosial, ras, kemampuan
dan umur agar proses belajar menjadi efektif dan mudah. Pendidikan
multikultural sekaligus juga melatih dan membangun karakter siswa agar
mampu bersikap demokratis, humanis dan pluralis dalam lingkungan mereka.
Dengan kata lain dapat digambarkan melalui sebuah pribahasa “sambil
33
Ibid., h. 41.
30
menyelam minum air” artinya selain siswa diharapkan dapat dengan mudah
memahami, menguasai, dan mempunyai kompetensi yang baik terhadap mata
pelajaran yang diajarkan guru, siswa juga diharapkan mampu untuk selalu
bersikap dan menerapkan nilai-nilai demokratis, humanisme, dan pluralisme
di sekolah dan di luar sekolah.
Tujuan awal pendidikan multikultural yaitu membangun wacana
pendidikan multikultural dikalangan guru, dosen, ahli pendidikan, pengambil
kebijakan dalam dunia pendidikan dan mahasiswa jurusan pendidikan
maupun mahasiswa umum. Harapannya adalah apabila mereka mempunyai
wacana pendidikan multikultural yang baik maka kelak mereka tidak hanya
mampu membangun kecakapan dan keahlian terhadap pelajaran yang
diajarkan. Adapun tujuan akhir pendidikan multikultural ini adalah peserta
didik tidak hanya mampu memahami dan menguasai materi pelajaran yang
dipelajarinya melainkan peserta didik mempunyai karakter yang kuat untuk
selalu bersikap demokratis, pluralis dan humanis.34
Setelah meletakan multikultural pendidikan Islam, tibalah waktunya
membicarakan pandangan Islam terhadap pergeseran nilai kultural di
Indonesia. Hubungan antar umat manusia bertambah luas dan bertambah
cepat berkat kemajuan transportasi dan komunikasi yang jaringannya meluas
ke seluruh dunia, manusia sudah saling dekat antara satu sama lain. Namun
demikian, tentulah ada perbedaan antara hubungan lingkungan yang terlalu
luas dan abstrak dengan hubungan dalam masyarakat kecil. Hubungan yang
konkrit antar orang yang serumah menjadi layu dan kering dari perasaan
kehangatan suku dan keluarga yang besar.35
Islam sebagai agama mengandung pedoman bagi manusia dalam
berkebudayaan. Agama Islam membawa nilai yang memberi arti hidup dan
kehidupan, memberi arah dan hidup manusia yang puncaknya adalah ridho
Allah swt. Agama Islam juga mengakui hajat kebutuhan manusia dalam
hidup. Haknya memenuhi kebutuhan untuk kepuasan yang diharapkannya itu,
34
Ibid., h. 23. 35
Muhammad Siregar, Islam Untuk Berbagai Aspek Kehidupan, (Yogyakarta: Tiara
Wacana, 1999), cet. 1, h. 133-134.
31
harus ada keseimbangan diantara semuanya. Agama Islam mengakui
bermacam-macam nilai yang penting bagi manusia, tetapi juga mempunyai
nilai-nilai dasar, norma-norma yang asasi, yang memberikan patokan
terhadap berbagai kegiatan kultural manusia.
Kesimpulan tersebut mengingatkan akan pentingnya untuk memberi arah
terhadap perkembangan kebudayaan Indonesia, untuk selalu dibenahi dengan
nilai-nilai yang bersumber dari ajaran Islam. Untuk itu dituntut peran dan
perhatian semua pihak, para ulama, cendikiawan, tokoh masyarakat, tokoh
pendidikan sebagai tanggungjawab terhadap masa depan bangsa Indonesia
yang mayortias beragama Islam.36
Mengenai kebudayaan Indonesia Ki Hajar Dewantara berpendapat bahwa
kebudayaan Indonesia harus berpangkal pada kebudayaan sendiri.
Menurutnya, kebudayaan Indonesia merupakan segala puncak dan sari dari
kebudayaan bernilai di seluruh kepulauan Indonesia. Jadi kebudayaan
nasional Indonesia didukung oleh kebudayaan-kebudayaan daerah yang tinggi
mutunya, baik yang lama maupun ciptaan baru. Jadi kebudayaan daerah
mendukung dan memperkaya kebudayaan Indonesia.37
Dengan mengenal dan mencintai kebudayaan Indonesia, masyarakat akan
menemukan kepribadiannya. Dengan mengenal kebudayaan bangsa Indonesia
tidak akan mudah meniru kebudayaan asing yang tidak sesuai dan tidak ada
gunanya bagi kemajuan kebudayaan Indonesia. Dengan menemukan
kepribadian bangsa Indonesia tidak akan mudah dipengaruhi oleh kebudayaan
dari luar yang mungkin akan merusak. Dengan demikian kita akan lebih sadar
dan tahu mana yang baik dan yang buruk. Dengan menemukan kepribadian
bangsa Indonesia, akan mampu memilih unsur-unsur buruk. Ki Hajar
Dewantara seorang tokoh dan pemimpin kebudayaan Indonesia yang berhasil
membimbing bangsa dalam menemukan kepribadian.38
Pancasila sebagai asas dalam berbangsa dan bernegara merupakan
pandangan hidup yang telah diakui dan disetujui bersama dalam melihat
36
Ibid., h. 135. 37
Sagimun, Ki Hajar Dewantara, (Jakarta: Bhratara Karya Aksara, 1983), cet. II, h. 38-
39. 38
Ibid., h. 40.
32
segala hal di negara tercinta ini. Karena itu, dalam rangka pembinaan
kebudayaan daerah, dasar filsafat negara, Pancasila harus menjadi tolak ukur.
Dengan kata lain, unsur kebudayaan daerah perlu terus dipelihara, yaitu yang
mengandung unsur religius, yang memupuk rasa ketakwaan kepada Tuhan
Yang Maha Esa, yang dapat menanamkan jiwa prikemanusiaan,
meningkatkan rasa cinta kepada keadilan, memperkuat rasa persatuan,
mendidik agar mendahulukan kepentingan umum daripada kepentingan
pribadi, serta menumbuhkan sifat-sifat lain yang meningkatkan taraf
kehidupan jasmaniah.
Kebudayaan nasional adalah sebagai perwujudan, perpaduan unsur-unsur
kebudayaan daerah. Kesadaran akan kebudayaan nasional yang berdiri di atas
kebudayaan suku atau daerah bukanlah merupakan kesadaran yang timbul
dengan serta merta. Kesadaran kearah perwujudan kebudayaan nasional
haruslah berakal pada pengalaman antara kebudayaan daerah yang satu
dengan kebudayaan yang lain. Proses tumbuhnya kesadaran akan adanya
persamaan itu makin tampak ketika bangsa Indonesia memperoleh
kemerdekaan. Seterusnya inilah yang diharapkan dapat lebih cepat dan tepat
melengkapi dan memperkaya budaya dalam berbagai macam perwujudannya.
Dalam menghadapi kebudayaan dari luar, sebagai bangsa Indonesia
menjadikan Pancasila sebagai filter, dan sebagai seorang muslim, ajaran al-
Qur’an dan hadits adalah tetap menjadi pegangan dan pedoman dalam
memilih dan mengambil kebudayaan untuk dikembangkan. Hal ini sejalan
dengan apa yang seharusnya menjadi pilihan seorang muslim.39
1. Konsep Pendidikan Multikultural
Multikulturalisme secara sederhana dapat diartikan sebagai pengakuan
atas pluralisme budaya. Pluralisme budaya bukanlah suatu yang given tetapi
merupakan suatu proses internalisasi nilai-nilai dalam suatu komunitas.
Pendidikan multikultural adalah sebuah pendekatan pada pengajaran dan
pembelajaran yang didasarkan atas nilai dan kepercayaan demokratis dan
39
Muhamad Siregar, op, cit., h. 141-142.
33
melihat keragaman sosial dan interpendensi sebagai bagian dari pluralisme
budaya. Multikultural dan pendidikan merupakan rangkaian kata yang
berisikan esensi dan konsekuensi yang tidak dapat dipisahkan. Dalam
multikulturalisme terdapat materi dan kajian yang menjadi dasar pijakan
pelaksanaan pendidikan yang kedua-duanya sama-sama penting. Dalam
pendidikan terdapat fondasi dan akar-akar kultur yang disarikan dari nilai-
nilai kultur masyarakat.40
Pandangan agama terhadap perbedaan, tidak dapat dipungkiri bahwa
perbedaan antar manusia adalah realitas yang tak terbantahkan.
Perkembangan teknologi komunikasi, informasi dan transportasi dewasa ini
membuat pertemuan antara kelompok-kelompok yang berbeda latarbelakang
tersebut semakin sering terjadi. Mobilitas penduduk antar daerah, bahkan
antar negara, menjadi semakin tinggi dan semakin mudah jugamurahnya alat
transfortasi. Sehingga masyarakat satu negara atau daerah bisa dengan mudah
dan sering berkunjung kedaerah/negara lain yang berbeda dengan mereka.
Hal ini membuat pertemuan dan bahkan pertukaran budaya semakin sering
terjadi. Menyadari bahwa perbedaan adalah sunatullah maka ajaran agama
sangat membuka diri terhadap berbagai perbedaan tersebut.
Agama Islam tidak membeda-bedakan derajat seseorang karena status
sosial atau nilai hartanya, perbedaan antara satu orang dan lainnya hanya
dinilai atas dasar kebaikan dan ketaatannya kepada Allah. Hal ini
dimungkinkan karena ajaran Islam tidak diturunkan untuk ras atau etnis
tertentu saja, melainkan untuk seluruh manusia. Dengan demikian dapat
dipahami bahwa ajaran agama sangat demokratis dalam menyikapi
perbedaan-perbedaan yang dibenarkan dalam ajaran agama memiliki batasan-
batasan umat manusia. Namun demikian, seperti dijelaskan diatas, perbedaan
yang dibenarkan dalam agama memiliki batasan-batasan tertentu, sepanjang
tidak jauh bertentangan dengan ajaran agama itu sendiri. Oleh sebab itu,
disamping membenarkan adanya perbedaan, ajaran agama juga mengajarkan
untuk menyikapi perbedaan-perbedaan itu secara positif.
40
Zainal Abidin, Neneng Habibah, Pendidikan Agama Islam Dalam Perspektif
Multikulturalisme, (Jakarta: Balai Penelitian dan Pembangunan Agama, 2004), cet, I, h. 47.
34
Multikultural dapat diartikan sebagai keragaman atau perbedaan terhadap
suatu kebudayaan dengan kebudayaan yang lain. Sehingga masyarakat
multikultural dapat diartikan sebagai kelompok manusia yang tinggal dan
hidup menetap disuatu tempat yang memiliki kebudyaan dan ciri khas
tersendiri yang mampu membedakan antara satu masyarakat dengan
masyarakat yang lain. Setiap masyarakat akan menghasilkan kebudayaannya
masing-masing yang akan menjadi ciri khas bagi masyarakat tersebut, dari
sinilah muncul istilah multikulturalisme. Dibandingkan pluralisme,
multikultural sebenarnya relatif baru, secara konseptual terdapat perbedaan
signifikan antara pluralisme, keragaman, dan multikultural. Inti dari
multikulturalisme adalah kesediaan menerima kelompok lain secara sama
sebagai kesatuan, tanpa mempedulikan perbedaan budaya, etnik, gender,
bahasa, ataupun agama. Apabila pluralisme sekedar merepresentasikan
adanya kemajemukan, multikulturalisme memberikan penegasan bahwa
dengan segala perbedaan itu adalah sama didalam ruang publik.
Multikulturalisme menjadi semacam respon kebijakan baru terhadap
keragaman, dengan kata lain adanya komunitas-komunitas yang berbeda saja
tidak cukup, sebab yang terpenting adalah bahwa komunitas-komunitas itu
diperlakukan sama oleh negara. Yang harus dipahami adalah akar kata dari
multikulturalisme ini sendiri adalah kebudayaan sehingga sebagai pranata-
pranata sosial nantinya diperlukan pengawasan-pengawasan yang harusnya
dilakukan oleh pemerintah.41
Memahami Islam dalam memandang dan menyikapi masalah-masalah
sosial kemasyarakatan, dalam kajian Islam sebagai suatu perangkat ajaran dan
nilai, bahwa memang Islam telah meletakkan konsep dan doktrin yang
memberikan rahmat bagi al-alamin. Namun sejarah umat Islam kerap kali
mencatat fenomena-fenomena sosial yang dialami oleh komunitas ini sebagai
kebalikan atau paling tidak penyimpangandari konsep-konsep dasar
kemasyarakatan Islam. Disini menunjukan, suatu nilai-nilai normatif itu pada
41
Ibid., h. 51
35
saat tertentu harus berbenturan dengan realitas sosial yang dipengaruhi oleh
macam-macam kepentingan dan tuntutan akan mengalami bahaya distorsi.42
Islam sebagai ajaran yang memuat nilai-nilai normatif dalam memandang
dan menempatkan martabat, hakikat manusia, baik sebagai individu maupun
sebagai anggota kelompok sosial. Hal ini dapat diuraikan sebagai berikut:
a. Konsep kesamaan (as-sawiyah), yang memandang manusia pada
dasarnya sama derajatnya. Satu-satunya perbedaan bentuk kualitatif
dalam pandangan Islam adalah ketakwaan.
b. Konsep keadilan (al-‘adalah), yang membongkar budaya nepotisme dan
sikap-sikap korup, baik dalam politik, ekonomi, hukum, hak dan
kewajiban, bahkan dalam praktik-praktik keagamaan.43
c. Konsep kebebasan/kemerdekaan (al-hurriyah), yang memandang semua
manusia pada hakikatnya hanya hamba Tuhan saja, sama sekali bukan
hamba sesama manusia.44
2. Pendidikan Agama dan Multikultural
Indonesia terdiri dari ribuan pulau dan ratusan suku dengan budayanya
masing-masing, dalam dunia yang semakin terbuka, maka perjumpaan dan
pergaulan antar suku semakin mudah. Dengan demikian sikap multikultural
merupakan sikap yang terbuka pada perbedaan. Mereka yang memiliki sikap
multikultural berkeyakinan dengan perbedaan, bila tidak dikelola dengan baik
memang bisa menimbulkan konflik, namun bila dikelola dengan baik maka
perbedaan justru memperkaya dan bisa sangat produktif. Salah satu syarat
agar sikap multikultural efektif adalah mau menerima kenyataan hakiki
bahwa manusia bukan makhluk sempurna, manusia membutuhkan
sesamanya.45
42
Thalhah Hasan, Islam Dalam Perspektif Sosio Kultural, (Jakarta: Lantabora Press,
2005), cet. I, h. 141-142. 43
Ibid., h. 147. 44
Ibid 45
Andre, Ujan Ata, Multikulturalisme: Belajar Hidup Bersama Dalam Perbedaan,
(Jakarta: PT. Indeks, 2009), h. 16.
36
Pada dasarnya program pendidikan multikultural tidak lagi difokuskan
kepada kelompok-kelompok agama atau mainstream budaya barat (budaya
ras putih). Program multikultural melihat masalah-masalah masyarakat secara
lebih luas. Bukan hanya memasukan masalah-masalah struktur ras, tetapi juga
mempersoalkan masalah-masalah kemiskinan, penindasan dan
keterbelakangan kelompok-kelompok minoritas dalam ilmu pengetahuan.
Lahirnya studi-studi mengenai pluralisme yang ada didalam masyarakat
ethnic studies mulai dikembangkan, bukan saja didalam program-program
penelitian pendidikan tinggi, tetapi juga memasuki kurikulum sekolah
menengah dan tingkat dasar.46
Dengan kata lain sikap yang seharusnya
mendasari masyarakat multikultural adalah sikap rendah hati (mau menerima
kenyataan), bahwa tidak ada seorang pun yang mampu memiliki kebenaran
absolut, karena kebenaran absolut melampaui ruang dan waktu, padahal
manusia adalah makhluk yang terikat pada ruang dan waktu. Manusia
merupakan makhluk yang berjalan bersama menuju kebenaran absolut
tersebut. Untuk itu perlu mengembangkan sikap hormat akan keunikan
masing-masing pribadi atau kelompok tanpa membeda-bedakan entah atas
dasar gender, agama dan etnis.47
Berkaitan dengan pernyataan-pernyataan di atas, bangunan Indonesia
Baru dari hasil reformasi adalah sebuah masyarakat multikultural Indonesia.
Berbeda dengan masyarakat majemuk yang menunjukkan keanekaragaman
suku bangsa dan kebudayaan suku bangsa, multikulturalisme dikembangkan
dari konsep pluralisme budaya dengan menekankan pada kesederajatan
budaya yang ada dalam sebuah masyarakat. Multikultural ini mengusung
semangat untuk hidup berdampingan secara damai (peace full ceoxistence)
dalam perbedaan kultur yang baik secara individual maupun kelompok dan
masyarakat. Dengan demikian, corak masyarakat Indoneisa yang Bhinneka
Tunggal Ika bukan lagi keanekaragaman suku bangsa dan kebudayaan, tetapi
keanekaragaman kebudayaan yang ada dalam masyarakat Indonesia.48
46
H. A. R Tilaar, Perubahan Sosial dan Pendidikan: Pengantar Pedagogik
Transformatif Untuk Indonesia, (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 2012), cet. I, h. 484. 47
Ibid., h. 17. 48
Dasim Budimansyah, Karim Suryadi, PKN dan Masyarakat Multikultural, (Bandung:
Program Studi Pendidikan Kewarganegaraan, UPI, 2008), cet. I, h. 29.
37
Multikulturalisme adalah landasan budaya yang terkait dengan
pencapaian civility (keadaban) yang amat esensial bagi terwujudnya
demokrasi yang berkeadaban dan keadaban yang demokratis. Kebijakan-
kebijakan responsif dan afirmatif sebagai bentukyang menjadi dasar
multikulturalisme memberikan insentif dalam penumbuhan dan penguatan
perasaan (kesatuan dalam keragaman). Semua ini mendorong tumbuhnya
trush secara bersama-sama didalam warganegara, sehingga memperkuat
partisipasi dalam proses-proses politik demoktratis. Semua ini merupakan
faktor-faktor kunci dalam konsolidasi dan pendalaman demokrasi sehingga
negara-bangsa mampu bertahan dan berkelanjutan. Terkait dengan
pengembangan masyarakat dan demokrasi multikultural, peran pendidikan
menjadi takterelakkan. Salah satu strategi penting adalah pendidikan
multikultural yang dapat berlangsung dalam setting pendidikan formal atau
informal langsung atau tidak langsung. Pendidikan multikultural ini diarahkan
untuk mewujudkan kesadaran, toleransi, pemahaman dan pemersatu antar
budaya dan kaitannya dengan pandangan dunia, konsep, nilai, keyakinan dan
sikap.49
Kemudian, lebih lanjut pembahasan mengenai pendidikan multikultural,
apabila pendidikan dikaitkan dengan pembangunan karakter dan kebangsaan,
maka persoalan yang dihadapi pendidikan Islam dilapangan adalah
bagaimana membuktikan bahwa Islam dan nilai kultur maupun institusinya
betul-betul menjadi aset yang konstruktif dan suportif bagi ke-Indonesiaan.
Cara terbaik untuk mendukung Indonesia supaya lebih maju adalah melalui
peningkatan mutu pendidikan. Salah satu ciri pendidikan bermutu adalah
adanya standar skill (keahlian) yang dijaga. Selama ini lembaga pendidikan
Islam telah memiliki dua modal skill lain, yaitu moralitas dan integritas.
Keduanya adalah modal dasar untuk pembangunan karakter bangsa.
Begitu pentingnya multikulturalisme bagi studi ke Islaman, paham ini
secara nyata telah menghidupkan kembali sebuah kaidah lama yang sudah
49
Ibid., h. 30-31.
38
akrab digunakan oleh para ulama fikih, yaitu sesuatu yang dinilai benar oleh
adat, para ulama sudah sejak lama menganggap bahwa tradisi dan
kebudayaan dapat dijadikan sebagai landasan hukum, sebagaimana teks
dijadikan sebagai sumber primer.50
Perhatian Islam terhadap kebudayaan, secara sosiologis bisa dilihat dari
watak fleksibelitas Islam sepanjang sejarah, Islam bisa berinteraksi dengan
berbagai kebudayaan. Dalam hal ini aspek kebudayaan menjadi penting
dalam rangka membangun toleransi. Toleransi tidak bisa diusung hanya
dengan komunitas agama-agama saja, melainkan oleh keseluruhan etnis yang
terdapat dalam sebuah bangsa. Negara-negara yang menganut sistem
demokrasi, pada umumnya mempunyai kesadaran yang tinggi perihal
pentingnya multikulturalisme untuk membangun toleransi, asimilasi dan
persamaan hak diantara warga negara. Karena itu multikulturalisme menjadi
keniscayaan untuk mendorong toleransi, baik dalam ranah intra agama
maupun antar agama. Bukan hanya itu, multikulturalisme mengajak semua
untuk meneropong ranah etnisitas dan kebudayaan, ranah yang terakhir ini
kerap kali dilupakan tatkala membahas isu-isu keagamaan, terutama dalam
kaitannya dengan toleransi.51
Multikulturalisme dapat dijadikan sebagai alternatif untuk memetakan
paradigma toleransi dalam al-Qur’an. Sejauh ini, harus diamini, bahwa al-
Qur’an merupakan kitab suci yang mengkampanyekan dan mendorong
toleransi. Al-qur’an hadir untuk menjadi petunjuk dan cahaya bagi umat
manusia. Yang dimaksud petunjuk dan cahaya adalah toleransi, kerukunan
dan kedamaian. Dengan demikian, paradigma toleransi mempunyai landasan
normatif yang kuat dari al-Qur’an. Yang lebih penting dari itu, al-Qur’an
merupakan kitab suci yang senantiasa terbuka dengan pemikiran dan paham
kontemporer, terutama untuk kemaslahatan umat. Tatkala al-Qur’an
memberikan perhatian yang besar terhadap toleransi, yang mana didalamnya
juga terdapat ayat-ayat yang bernuansa inklusifisme, pluralisme dan
50
Kusuma dkk, Paradigma Baru Pendidikan, (Jakarta: IISEP, 2008), cet. I, h. 100. 51
Zuhai Misrawi, Al-Qur’an Kitab Toleransi Inklusifisme, Pluralisme dan
Multikulturalisme, (Jakarta: FITRAH, 2007), cet. I, h. 216-217.
39
multikulturalisme, maka al-Qur’an sesungguhnya telah hadir pada setiap
zaman dan tempat.52
3. Pendekatan Sosio-Kultural
Pendekatan ini bertumpu pada pandangan bahwa manusia adalah
makhluk yang bermasyarakat dan berkebudayaan, sehingga dipandang
sebagai homo socius danhomo sapiens dalam kehidupan bermasyarakat dan
berkebudayaan. Pada hakikatnya manusia itu disamping sebagai makhluk
individu juga sebegai makhluk sosial, karena manusia tidak dapat hidup
sendiri terpisah dari manusia lainnya. Manusia senantiasa hidup dalam
kelompok-kelompok kecil seperti keluarga atau kelompok yang lebih luas
lagi yaitu masyarakat. Pendekatan ini sangat efektif dalam membentuk sifat
kebersamaan siswa dalam lingkungannya, baik disekolah maupun
dilingkungan masyarakat. Pola pendekatan ini ditekankan pada aspek tingkah
laku dimana guru hendaklah dapat menanamkan rasa kebersamaan dan siswa
dapat menyesuaikan diri baik dalam individu maupun sosialnya. Bentuk-
bentuk pengaplikasian pendekatan dalam al-qur’an disebutkan sebagai
berikut:
a. Tolong menolong antar sesama manusia
b. Kesatuan masyarakat
c. Persaudaraan antar anggota masyarakat.53
4. Multikulturalisme, Agama dan Integrasi Sosial
Berdirinya negara Indonesia dilatarbelakangi oleh masyarakat yang
demikian majemuk, baik secara etnis, geografis, kultural, maupun religius.
Manusia tidak dapat mengingkari sifat pluralistik bangsa ini, sehingga perlu
diberi tempat bagi perkembangan kebudayaan suku bangsa dan kebudyaan
agama yang dianut oleh warga negara Indonesia. Masalah suku bangsa dan
kesatuan-persatuan nasional Indonesia telah menunjukkan bahwa satu negara
yang multietnik memerlukan suatu kebudayaan nasional untuk
52
Ibid., h. 218. 53
Zuhai Misrawi, op, cit, h. 103.
40
menginfestasikan peranan identitas dan solidaritas nasional di antara
warganya.Gagasan tentang kebudayaan nasional Indonesia yang menyangkut
kesadaran dan identitas sebagai suatu bangsa telah dirancang saat bangsa
Indonesia belum merdeka. Manusia secara kodrati diciptakan sebagai
makhluk yang mengusung nilai harmoni. Perbedaan yang mewujud baik
secara fisik maupun mental, sebenarnya merupakan kehendak Tuhan yang
seharusnya dijadikan sebagai sebuah potensi untuk menciptakan sebuah
kehidupan yang menjunjung tinggi toleransi dikehidupan sehari-hari.
Kebudayaan suku bangsa dan kebudayaan agama, bersama-sama dengan
pedoman kehidupan berbangsa dan bernegara mewarisi prilaku dan kegiatan.
Berbagai kebudayaan itu beriringan saling melengkapi bahkan mampu saling
menyesuaikan dalam kehidupan sehari-hari. Tetapi yang sering terjadi malah
sebaliknya. Perbedaan-perbedaan menciptakan ketegangan hubungan antar
anggota masyarakat, hal ini disebabkan oleh sifat dasar yang selalu dimiliki
masyarakat majemuk.54
Realitas harus diakui dengan sikap terbuka, logis dan dewasa karena
dengannya, kemajemukan yang ada dapat berkumpul, jika keterbukaan dan
kedewasaan sikap dikesampingkan, besar kemungkinan tercipta masalah-
masalah yang menggoyahkan persatuan dan kesatuan bangsa. Keterbukaan,
kedewasaan sikap, pemikiran global yang bersifat inklusif, serta kesadaran
kebersamaan dalam mengarungi sejarah, merupakan modal yang sangat
menentukan bagi terwujudnya sebuah bangsa yang Bhinneka Tunggal Ika.
Menyatu dalam keragaman dalam kesatuan, segala bentuk kesenjangan
didekatkan dengan keanekaragaman sebagai kekayaan bangsa. Sikap inilah
yang perlu dikembangkan dalam pola pikir masyarakat untuk menuju
Indonesia raya merdeka.55
Salah satu tujuan sekolah dalam masyarakat demokratis adalah
membangun dan berbagi pengalaman pendidikan diantara peserta didik yang
memiliki kriteria dan latarbelakang yang berbeda-beda. Gagasan tentang
54
Eli Setiadi, Ilmu Sosial dan Budaya Dasar, (Jakarta: Kencana, 2009), cet. 5, h. 152. 55
Ibid., h. 154.
41
pengalaman diikat oleh konsep integrasi melalui penekanan pada kurikulum
yang mendorong peserta didik menangkap nilai-nilai bersama atau
kebersamaan yang baik dalam pendidikan umum, sebuah kurikulum
diorganisasikan dengan melibatkan isu-isu personal dan sosial, merencanakan
bersama antara guru dengan siswa dan berkomitmen terhadap keterpaduan
pengetahuan. Penataan kurikulum ini bukan hanya menjadikan pengetahuan
lebih mudah diakses oleh peserta didik, tetapi juga dapat membantu
menciptakan latar kelas yang demokratis sebagai sebuah konteks untuk
integrasi sosial. Integrasi pengetahuan bersumber dari gagasan mengenai
penggunaan pengetahuan demokratis sebagai sebuah alat untuk membangun
kecerdasan pemecahan masalah. Keadaan ini akan selalu melibatkan konsep
integrasi sosial (biasanya dilakukan dalam membentuk masyarakat kelas atau
class room communities), integrasi sekolah dengan kehidupan masyarakat,
penggunaan problem-centered, dan desain kurikulum integratif.56
Gagasan dari integrasi pengalaman adalah memahami diri dan dunianya
(persepsi, keyakinan, nilai, dsb) berdasarkan atas pengalaman yang
dibangunnya. Apa yang dipelajari dari refleksi pengalaman menjadi sebuah
sumber ketika bersentuhan dengan masalah, isu dan situasi lain, baik
personal atau sosial. Jenis belajar ini melibatkan pengalaman konstruktif dan
reflektif yang tidak hanya memperluas dan memperdalam pemahaman
pembelajaran tentang diri dan dunia, melainkan juga dipelajari dengan
membawa dan meletakkannya untuk digunakan dalam situasi baru. Jadi apa
yang disebut dengan integrative learning melibatkan pengalaman-
pengalaman menjadi bagian keseharian yang tidak terlupakan. Belajar seperti
itu melibatkan dua cara. Pertama, pengalaman baru diintegrasikan kedalam
skema makna. Kedua, mengintegrasikan atau mengorganisasikan pengalaman
masa lalu untuk membantu peserta didik dalam menghadapi situasi
permasalahan baru, riset menyatakan bahwa akses terhadap pengetahuan itu
lebih baik dilakukan melalui integrasi yang rinci dengan cara mengutuhkan
56
Muhammad Yunus, Pendekatan Integratif vs Pendekatan Interdisiplin: Dikotomi atau
Continum, (Jurnal Edukasi, vol. X , 2009) , h. 284.
42
gagasan-gagasan (whole ideas) yang terpecah-pecah. Semakin bermakna
suatu peristiwa, semakin dalam terproses secara elaboratif, semakin
tersituasikan dalam konteks dan semakin berakar dalam budaya,
latarbelakang, metakognitif dan pengetahuan personal, maka semakin siap
pula untuk dipahami, dipelajari dan diingat.57
Pendidikan tidak lagi berfungsi sebagai media tunggal pelahiran
kepribadian dan penumbuhan kemampuan profesional seseorang ditengah
persaingan antar pribadi dan komunitas yang semakin sengit. Peradaban
kebudayaan dan keberagaman ini, merupakan hasil persaingan dari beragam
nilai dan pengalaman hidup yang terus berubah dan berkembang dalam
satuan waktu yang cepat. Kehidupan manusia personal dan komunitas dalam
lingkup etnis, bangsa dan juga keagamaan seperti kehilangan pijakan
tradisionalnya. Oleh sebab itu, tentang peluang untuk menemukan kembali
nilai dasar yang dapat dijadikan rujukan untuk konsep dan praktik pendidikan
yang memberi harapan bagi kelahiran kepribadian yang saleh sekaligus
profesional menjadi penting. Namun manusia dalam realitas sosialnya adalah
pelaku sejarah, maka yang diperlukan ialah sebuah jangkar peradaban yang
setiap saat bisa dibongkar agar laju peradaban bergerak untuk memberi
kesempatan pengendapan kebudayaan. Karena bagaimana pun manusia tidak
mungkin hidup tanpa tradisi yang mencerminkan suatu tata nilai yang setiap
saat dapat dijadikan tempat bertanya untuk menjawab dimana dan kemana
akan bergerak kedepan sejarah.58
Barangkali harus mengambil suatu intisari bahwa seluruh perubahan
peradaban yang telah sampai pada tahapan global tidak lain ialah sebuah
bentuk takdir dan praktis wahyu Tuhan itu sendiri. Sementara itu perlu
memahami bahwa fakta baru peradaban sosial terdapat sejumlah nilai dan
sistem yang dapat ditemukan dalam tafsir kitab suci tentang identitas sejarah
kehidupan. Nilai-nilai kemanusiaan, keterbukaan atau kejujuran, keadilan,
dan kesamaan derajat dan universalitas selain personal, bisa ditemukan dalam
57
Ibid., h. 383. 58
Pendidikan Islam dan Tantangan Globalisasi, Buah Fikir Seputar Filsafat, Politik,
Ekonomi, Sosial dan Budaya, (Yogyakarta: AR-RUZZ Media, 2004), cet. I, h. 3-4.
43
peradaban global, tetapi juga bisa menemukan dalam tafsir kitab suci. Karena
itu penting mengambil suatu kesimpulan yang menyatakan bahwa sekurang-
kurangnya dalam beberapa peradaban sosial merupakan praktis kitab suci
tanpa simbol keilahian. Inilah yang antara lain pernah dikemukakan oleh
Aguste Comte bahwa ilmu pengetahuan dan teknologi adalah agama masa
depan. Kesimpulan yang penting sekaligus kontroversial ialah bahwa
peradaban bisa berarti sebagai sesuatu kesalehan tanpa simbol keilahian atau
simbol ilahiyah dalam praktis peradaban.59
Titik silang beragam tradisi dalam peradaban yang dipicu penemuan ilmu
pengetahuan dan teknologi memungkinkan munculnya suatu bentuk
kesalehan yang bisa disebut sebagai kesalehan multikultural. Dalam bahasa
keagamaan merupakan persilangan antara ayat-ayat qauliyah dan kitab kitab
suci, dan ayat-ayat kauniyah dari pengalaman sejarah. Mungkin memerlukan
rekonstruksi tafsir kitab suci perubahan dasar pengalaman sejarah
keseluruhan umat manusia, perlu menyadari bahwa peruntukkan utama
penurunan kitab suci ialah untuk kepentingan manusia, bukan kepentingan
Tuhan sendiri. Pengalaman peradaban dalam batas tertentu berhasil
memenuhi sebagian kebutuhan manusia tidak sama sekali bertentangan
dengan nilai-nilai dasar dan etika universal kemanusiaan yang bersumber
kitab suci bisa diberi arti sebagai kesalehan religius. Seluruhnya
mengandaikan sebuah model pendidikan baru yang tidak lagi bisa dikonsep
dan dipraktikkan berdasar nilai standar buku verbal, tetapi berdasar nilai-nilai
etika kritis kemanusiaan yang setiap saat bisa didaur ulang guna menjawab
berbagai persoalan baru yang terus berubah cepat.60
Agama sebagai nilai yang diwahyukan oleh Tuhan untuk kehidupan
manusia. Diyakini sebagai jalan keselamatan, dengan bimbingan agama
diharapkan manusia mempunyai pegangan yang pasti dan benar. Agama
memiliki dimensi vertikal (ritual) dan dimensi horizontal yang tidak sekedar
mengajarkan keyakinan eskatologis yang berorientasi kepentingan akhirat
59
Ibid., h. 5. 60
Muhamad Yunus, op, cit, h. 5.
44
semata, akan tetapi mengajarkan juga substansi kehidupan yang normatif di
dunia. Maka pembinaan masyarakat melalui pendekatan keagamaan
merupakan salah satu bentuk safety valve institution, yaitu suatu institusi yang
menjadikan obyek-obyek tertentu yang dapat mengalihkan perhatian pihak-
pihak yang bertikai agar tersalur kearah lain. Demikian secara langsung atau
tidak langsung pembinaan masyarakat melalui pendekatan keagamaan akan
menjadi pedoman kegiatan dalam berbagai pranata yang ada dalam
masyarakat (keluarga, ekonomi, politik dan pendidikan) akan dipengaruhi,
digerakan dan diarahkan oleh berbagai sistem nilai yang bersumber pada
ajaran agama yang dianutnya. Oleh karena itu, pembinaan masyarakat melalui
pendekatan keagamaan dianggap sebagai salah satu upaya yang mampu dan
memadai dalam mengatasi konflik sosial yang terjadi di masyarakat.61
61
Ali Nurdin dan Abdul Aziz, Islam dan Prospek Keberagaman di Indonesia,
(Jakarta:UIN Press, 2006), cet. I, h. 93.
45
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
Penelitian adalah proses yang digunakan untuk mengumpulkan dan
menganalisis informasi guna meningkatkan pemahaman pada suatu topik.
Penelitian menjadi penting karena beberapa alasan, di antaranya penelitian dapat
menambah pengetahuan, yaitu penelitian berguna untuk memberikan kontribusi
pada informasi yang ada mengenai suatu permasalahan. Penelitian
jugameningkatkan praktik, karena penelitian memberikan ide-ide baru sebagai
bahan pertimbangan saat menjalankan pekerjaan. Terakhir, penelitian dapat
menginformasikan perdebatan kebijakan, karena penelitian memberikan
percakapan mengenai isu-isu penting ketika membuat kebijakan melakukan
perdebatan pada suatu topik kebijakan.1
Pada bab ini dijelaskan mengenai metode penelitian yang digunakan dalam
penulisan karya ilmiah skripsi. Metode penelitian meliputi waktu penelitian, jenis
penelitian, sumber data, metode pengumpulan data, teknik analisis data dan teknik
penulisan yang akan diuraikan sebagai berikut:
A. Waktu Penelitian
Penelitian yang berjudul “Urgensi Pendidikan Multikultural Di
Indonesia Dalam Perspektif Agama Islam” dilaksanakan dalam waktu
beberapa bulan: dari bulan Agustus sampai bulan Oktober 2014 tahap tersebut
digunakan untuk pengumpulan data mengenai sumber-sumber tertulis yang
diperoleh dari buku-buku yang ada di perpustakaan serta sumber lain yang
1Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik, (Jakarta: PT.
Rineka Cipta, 2010), cet. 14, h. 21.
46
mendukung penelitian, terutama yang berkaitan dengan judul yang diangkat
dari berbagai sumber sebagai primer.
B. Jenis Penelitian
Penelitian ini bersifat kualitatif. Penelitian ini memakai pendekatan
kualitatif menekankan dinamika hubungan antara fenomena yang diamati, dan
senantiasa menggunakan logika ilmiah.2 Data kualitatif terdiri dari deskripsi
rinci mengenai, kutipan-kutipan langsung dan dokumentasi kasus pengukuran
kualitatif merupakan data pengalaman dunia data kualitatif berbeda dengan
data kuantitatif, data kuantitatif ringkas, hemat dan mudah dijumlah untuk
dianalisis. Data kuantitatif sistematik, terstandar dan mudah diuraikan dalam
halaman sempit. Data kualitatif mendalam dan rinci (depth and detail). Data
yang mendalam dan rinci muncul dalam kutipan langsung dan deskripsi yang
cermat, dan kerincian data bervariasi tergantung tempat dan tujuan penelitian
tertentu.3
C. Sumber Data
Sumber data yang digunakan dalam penelitian kualitatif ini diperoleh
dari sumber literatur yang berupa karya ilmiah baik buku, makalah, artikel dan
lain-lain yang relevan dengan pembahasan skripsi.4
Sumber tersebut dibedakan menjadi dua bagian sumber primer dan
sumber sekunder.
1. Sumber data primer adalah sumber data utama dari berbagai referensi.5
2. Sumber data skunder adalah sumber data yang di peroleh dari sumber-
sumber lain yang berkaitan dengan masalah penelitian dan memberi
interpretasi terhadap sumber primer.6
Adapun data sekunder dalam penelitian ini adalah buku-buku
pendidikan, artikel-artikel, majalah dan sebagainya yang relevan dengan
pembahasan skripsi.
2Imam Gunawan, Metode Penelitian Kualitatif, (Jakarta, Bumi Aksara, 2013), cet. I, h. 80.
3Wiliam, Evaluasi: Teori, Model, Standar, Aplikasi dan Profesi, (Jakarta: Rajawali Pers,
2012), cet. II, h. 154. 4Ibid., h. 156.
5Saeful Azwar, Metode Penelitian, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1998), h. 89. 6Ibid, h. 91
47
D. Metode Pengumpulan Data
Metode yang penulis gunakan dalam pengumpulan data adalah metode
dokumentasi. Yang dimaksud dengan metode dokumentasi yaitu mencari data
mengenai fariabel berupa buku-buku, jurnal, surat kabar, majalah, artikel dan
lain sebagainya yang representatif, relevan dan mendukung terhadapat objek
kajian sehingga diperoleh jawaban yang dapat dipertanggungjawabkan dari
permasalahan yang telah dirumuskan. Dokumen yang telah diperoleh
kemudian dianalisis (diurai), dibandingkan dan dipadukan (sintesis)
membentuk satu hasil kajian yang sistematis, padu dan utuh. Analisis
dokumen yang penulis gunakan yaitu metode analisis isi (content analisis).
Metode konten analisis adalah metode yang sifatnya mendeskripsikan,
membahas dan mengkritik gagasan primer yang selanjutnya dikonfrontasikan
dengan gagasan primer yang lain dalam upaya studi perbandingan, hubungan
dan pengembangan model.7
Prinsip dasar kajian memiliki ciri utama, yaitu sebagai berikut:
1. Prosesnya harus mengikuti aturan, dan aturan itu sendiri haruslah berasal
dari kriteria yang ditentukan dan prosedur yang ditetapkan
2. Prosesnya sistematis
3. Prosesnya diarahkan untuk menggeneralisasi
4. Mempersoalkan isi yang termanifestasikan
5. Menekankan analisis secara kuantitatif, namun hal tersebut dapat pula
dilakukan bersama analisis kualitatif.
Kajian isi (content analysis dokumen) metode penelitian kualitatif adalah
metodelogi penelitian yang memanfaatkan seperangkat prosedur untuk
menarik kesimpulan yang shahih dari sebuah buku atau dokumen.8
E. Teknik Analisis Data
Analisis data kualitatif adalah pengujian sistematik dari suatu untuk
menetapkan bagian-bagiannya, hubungan antar kajian dan hubungannya
keseluruhan. Analisis data merupakam bagian yang sangat penting dalam
penelitian karena dari analisis ini akan diperoleh temuan, baik temuan
7Suryadi Suryabrata, Metode Penelitian, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1998), h. 8.
8Wiliam, Op, cit, h. 181.
48
substantif maupun formal. Pada hakikatnya, analisis data adalah sebuah
kegiatan untuk mengatur, mengelompokkan, memberi kode/tanda, dan
mengkatagorikan sehingga diperoleh suatu temuan berdasarkan fokus atau
masalah yang dijawab.
Teknik analisis data yang penulis lakukan dalam penelitian ini yaitu
dengan cara:
1. Pengumpulan data, yakni membuat catatan data yang dikumpulkan
terhadap buku-buku mengenai pendidikan agama Islam dan pendidikan
multikultural.
2. Reduksi data, yaitu merangkum, menyeleksi, memfokuskan pada hal-hal
penting, mencari tema dan polanya, sehingga dengan direduksinya data
tersebut dapat memudahkan dalam melakukan pengumpulan data. Setelah
itu penulis membaca dan memilah-milah bahan yang dipandang perlu dan
cocok juga terkait dengan penyajian data. Setelah membaca dan memilah-
milah bahan, langkah selanjutnya yang penulis lakukan adalah mengolah
data-data dan refrensi tersebut untuk kemudian disajikan secara sistematis.
Bentuk penyajian data yaitu dengan teks naratif dan deskriptif. Seluruh
data yang terkumpul dianalisis mempertahankan keaslian teks yang
memaknainya. Yang menjadi fokus utama dalam penelitian skripsi ini
adalah pembentukan teori dalam kajian ini, sedapat mungkin oleh penulis
akan didasarkan kepada data yang ditemukan dari sumber tersebut.
3. Penarikan kesimpulan, setelah data yang terkumpul direduksi dan
selanjutnya disajikan, maka langkah yang terakhir dalam menganalisis
data penelitian ini adalah penarikan kesimpulan, dan kesimpulan tersebut
mula-mula masih sangat kabur dan perlu dikaji ulang. Akan tetapi dengan
bertambahnya data melalui verifikasi, maka kemudian penulis memperoleh
kesimpulan yang jelas.
F. Teknik Penulisan
Secara teknis, penelitian ini disandarkan pada pedoman penulisan skripsi
Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Tahun 2015.
49
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Teks Ayat dan Terjemahan Tentang Pendidikan Multikultural
1. Persaudaraan Sesama Manusia
Salah satu alasan yang dijelaskan al-Qur’an adalah bahwa manusia satu
sama lain bersaudara karena mereka berasal dari sumber yang satu, Q.S. Al-
Hujurat/49: 13 menegaskan hal ini:
ن خوقناك من ذكر أو أهث و جؼوياك شؼو ا امياس ا ن أكرمك غيد هللا ب و قبائل متؼارفو أيه
ا ا
. ن هللا ػوي خبي أثقىك ا
“Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari
seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu
berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling mengenal.
Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah
orang yang paling bertakwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah maha
mengetahui lagi maha mengenal.”
Hubungan antara mansia dengan Tuhan-nya sekaligus menuntut agar
setiap orang senantiasa memelihara hubungan antara manusia dengan
sesamanya. Sesungguhnya berbagai fitrah yang sederhana merupakan hakikat
yang sangat besar, sangat mendalam dan sangat berat. Sekiranya manusia
mengarahkan pendengaran dan hati mereka kepada-Nya niscaya telah cukup
untuk mengadakan berbagai perubahan besar di dalam kehidupan mereka dan
mentransformasikan mereka dari beraneka ragam kebodohan kepada iman,
keterampilan dan petunjuk, kepada peradaban yang sejati dan layak bagi
manusia. Dan diantara tanda-tanda-Nya adalah penciptaan langit dan bumi
50
serta perbedaan lidah kamu dan warna kulit kamu. Sesungguhnya yang
demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang alim.1
تم شد من امغي فمن كفر بمطاغوت وؤمن بهلل فقد اس ن قد ثبي امره كراه ف ادلا ل بمؼرو س
ع ػوي اموثقى ال اه .فصام ميا وهللا س
"Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam); sesungguhnya telah
jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat. Karena itu barangsiapa
yang ingkar kepada Thaghut dan beriman kepada Allah, maka sesungguhnya
dia telah berpegang kepada buhul tali yang amat kuat yang tidak akan putus.
Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui." (QS.Al-Baqarah:
256).
Ayat ini menerangkan tentang kesempurnaan ajaran Islam, dan
bahwasanya karena kesempurnaan bukti-buktinya, kejelasan ayat-ayat dan
keadaannya merupakan ajaran akal dan ilmu, ajaran fitrah dan hikmah, ajaran
kebaikan dan perbaikan, ajaran kebenaran dan jalan yang lurus, maka karena
kesempurnaannya dan penerimaan fitrah terhadapnya, maka Islam tidak
memerlukan pemaksaan, karena pemaksaan itu terjadi pada suatu perkara
yang dijauhi oleh hati, tidak memiliki hakikat dan kebenaran, atau ketika
bukti-bukti dan ayat-ayatnya tidak ada, maka barangsiapa yang telah
mengetahui ajaran ini dan dia menolaknya maka hal itu didasari karena
kedurhakaannya, karena ( قد تبيه الرشد مه الغي ) "sesungguhnya telah jelas jalan
yang benar daripada jalan yang sesat" hingga tidak ada suatu alasan pun
bagi seseorang dan tidak pula hujjah apabila dia menolak dan tidak
menerimanya.
ؼ ذ كيت أػداء ا و ال ثفرقو و اغتصموا ببل هللا جك ا فأمف بي و اذكروا هؼمة هللا ػو
خوان.قووبك فأصبحت بيؼمتو ا
“Dan berpegang teguhlah kamu sekalian kepada tali agama Allah,
dan janganlah kamu bercerai-berai, dan ingatlah akan nikmat Allah
kepadamu ketika kamu dahulu (masa Jahiliyah) bermusuh-musuhan,
1Abdurrahman Azzam, Konsepsi Perdamaian Islam, (Jakarta: PT Karya Unipress,
1985), cet. I, h. 66-70.
51
maka Allah mempersatukankan hati mu, lalu menjadilah kamu karena
nikmat Allah orang-orang yang bersaudara dan kamu telah berada
ditepi jurang api neraka, lalu Allah menyelamatkan kamu dari padanya.
Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu, agar kamu
mendapat petunjuk.”
Pesan utama pada ayat ini ditunjukkan kepada kaum muslim secara
kolektif atau dalam konteks bermasyarakat, hal ini dapat dilihat dari
penggunaan kata jami’a yang mengandung arti semua, dan firman-Nya wa
laa tafarraquu, yang berarti janganlah bercerai-berai. Sehingga secara umum
maksud ayat ini adalah upaya sekuat tenaga untuk mengaitkan diri satu
dengan yang lain dengan tuntunan Allah sambil menegakkan disiplin diantara
kamu semua tanpa terkecuali.2
Kemudian tentang persaudaraan. Dalam kaitan ini sebagai analogi kota
Madinah sebagai tempat turunnya wahyu Allah, sekaligus pusat lahirnya
masyarakat Islam, terdiri dari beberapa kelompok keyakinan. Semuanya
disebut secara sistematis dan kategoris dalam al-Qur’an. Misalnya, dalam
surat at-Taubah/9: 100 dan 117, disebutkan kaum Muhajirin dan kaum
Anshar, sedangkan pada ayat 101 disebutkan dengan jelas adanya golongan
Yahudi, Nasrani dan Musyrik, baik yang tinggal di Madinah maupun
sekitarnya. Hal ini pula disebutkan dalam Q.S. Al-Maidah/5: 82.
Ini berarti masyarakat Madinah adalah masyarakat yang mempunyai
ideologi yang beragam kalau dilihat dari latar belakang agama, etnik dan
budaya yang dimiliki oleh masyarakat di kota Madinah.3Keragaman
masyarakat Madinah ini dapat mengakibatkan munculnya persoalan-
persoalan ekonomi dan kemasyarakatan. Karena perbedaan-perbedaan
kepentingan dan budaya yang melatarbelakangi sehingga tidak mudah
mencari titik temu di antara berbagai perbedaan tersebut. Oleh karena itu,
Nabi Muhammad mengantisipasinya melalui Piagam Madinah (Mitsaq
Madinah). Kendatipun ada Piagam Madinah, tetapi provokasi orang-orang
munafik kepada orang-orang Anshar untuk mengembargo perbelanjaan
2Ali Nurdin, Quranic Society: Menelusuri Konsep Masyarakat Ideal dalam Al-Quran,
(Jakarta: Erlangga, 2006), h. 270-271. 3Al-Munawar, Hukum Islam dan Pluralitas Sosial, (Jakarta: Penamadani, 2004), cet. I,
h. 183.
52
orang-orang Muhajirin tetap berlangsung baik dalam skala kecil maupun
skala besar.
Upaya untuk menghindari konflik diantara masyarakat Madinah yang
pluralistik ini khususnya di kalangan orang-orang beriman adalah dengan
mempererat tali persaudaraan antara mereka dengan kelompok non-muslim
melalui Piagam Madinah seperti disinggung di atas. Perjanjian-perjanjian
inilah yang mengikat berbagai elemen sosial Madinah secara adil.4
Begitu Islam mengajak segenap umat manusia kepada satu ikatan
persaudaraan umum sebagaimana ia menganjurkan rasa ramah dan kasih
sayang antar sesama. Karena hanya dengan kedua dasar inilah perdamaian
dan kebahagiaan yang sebenar-benarnya dapat dicapai dan dapat memasuki
pintu gerbang surga Tuhan.
Islam adalah suatu agama yang menuntut setiap pemeluknya
mengembangkan dan memperlambangkan persaudaraan dan kasih sayang
dalam setiap masa dan setiap tempat. Sungguh benar sekali ajaran agama
Islam dapat merapatkan tali persaudaraan dalam kalangan bangsa-bangsa di
dunia. Bahkan salah satu dari mukjizat yang terbesar ialah
mempersaudarakan bangsa-bangsa yang sebelumnya hidup dalam
permusuhan dan persengketaan turun-temurun. Persatuan dan persaudaraan
didalam Islam bukan karena didorong oleh perasaan terdesak atau tertekan
dan bukan pula karena dibangkitkan oleh rasa fanatik bangsa dan turunan,
tetapi berdasarkan pada prikemanusiaan semata-mata.5
براىي و م ش يا بو ا و ما وص م
يا ا ي أوي ن ما و ى بو هواا و اذ وى و ح مك من ادل
و. ن و ال ثتفرقوا ف موا اذ ػس أن أق
“Allah telah membuatkan aturan bagi kamu, sebagai agama,
pengajaran yang telah diwasiatkan kepada Nuh dan telah Kami wahyukan
kepadamu dan telah Kami wasiatkan pula kepada Ibrahim, Musa dan Isa
bahwa hendaklah kamu dirikan agama itu dan jangan kamu bercerai-
berai.”
4Ali Nurdin, op, cit., h. 184.
5Abdurrahman Azzam.,Op.cit.,h. 281.
53
2. Toleransi
Yang dimaksud dengan toleransi adalah memberikan kebebasan terhadap
orang lain. Perwujudan kerukunan dan toleransi umat beragama direalisasikan
dengan; pertama, bahwa setiap penganut agama mengakui eksistensi agama-
agama lain dan menghormati segala hak asasi penganutnya. Kedua, dalam
pergaulan bermasyarakat, tiap golongan umat beragama menekankan sikap
saling mengerti, menghormati dan menghargai. Dengan demikian, kerukunan
dan toleransi ditumbuhkan oleh kesadaran yang bebas dari segala macam
bentuk tekanan atau terhindar dari pengaruh hipokrisi (kemunafikan).
Persaudaraan yang diperintahkan al-Qur’an tidak hanya tertuju kepada
sesama muslim, namun juga kepada sesama warga masyarakat yang non-
muslim.6
Menyikapi fakta keberagaman sosial, al-Qur’an menganjurkan agar umat
Islam mengajak kepada komunitas lain (Yahudi dan Nasrani) untuk mencari
sudut pandang yang sama. Surat Al-Baqarah ayat 62:
ن ن اذوم الخر و عل صامحا منوا اا ى و امصىبئي من امن بهلل و ام ن ىادو و اميص و اذ
زهون. م و ال ه ي م و ال خوف ػوي فويم أجره غيد رب“Sungguh orang-orang yang beriman, orang-orang Yahudi,
orang-orang Nasrani, orang-orang Shabi’in, siapa saja yang beriman
kepada Allah dan Hari Akhir, dan mengerjakan kebaikan (perbuatan yang
patut), maka tetaplah bagi mereka pahala disisi Tuhan (Rabb) mereka dan
tak ada ketakutan atas mereka dan tidak pula mereka bersedih hati.”
Surat Al-Ma’idah ayat 69:
ن ن اذوم الخر و عل صامحا منوا اا ى من امن بهلل و ام ن ىادو و امصىبؤون و اميص و اذ
زهون. م و ال ه ي فل خوف ػوي“Sungguh orang-orang yang beriman, orang-orang Yahudi,
orang-orang Shabi’in, orang-orang Nasrani, siapa saja yang beriman
kepada Allah dan Hari Akhir, dan mengerjakan kebaikan (perbuatan yang
patut), maka tak ada ketakutan atas mereka dan tidak pula mereka
bersedih hati.”7
6Sarjuni, Pengantar Studi Islam, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2011), cet. I, h.
56-57. 7Leli Nurohmah, Kesetaraan, Kemajemukan dan HAM, (Jakarta: Rahima, 2010), cet. I,
h. 91.
54
Tema utama wahyu Allah adalah mengembalikan manusia kepada sistem
perhambaan yang sesungguhnya, tegaklah dengan sempurna bangunan
hablumminannas yang sesuai dengan fitrah manusia, karena risalah para
Rasul dan kemudian tegas dakwah para mubaligh, adalah mempertemukan
fitrah manusia dengan wahyu Ilahi, sebagaimana dalam firman-Nya:
تؼي ا يك وس
. يك هؼبد و ا
“Hanya kepada Engkau-lah kami berhamba, dan hanya kepada
Engkau-lah kami memohon pertolongan.”
نة. ال من بؼد ما جائتم امبن أوثوا امكتاب ا و ما ثفرق اذ
“Dan tidaklah berpecah belah orang-orang yang didatangkan Al-
Kitab (kepada mereka) melainkan sesudah datang kepada mereka bukti
yang nyata.”(Q.S. 98: 4).
Islam mengajarkan bahwa kedudukan manusia di hadapan Allah adalah
sama, tidakada yang lebih tinggi. Posisi ini berlaku bagi segala aspek
kehidupan, yang meliputi tata sosial, politik dan ekonomi. Konsekuensi
pertama dari sistem perhambaan adalah manusia merdeka dari berbagai
bentuk penjajahan yang diciptakan oleh Allah, yang termasuk dalam
kemerdekaan adalah tidak membiarkan kezaliman merajalela. Konsekuensi
kedua dari kemutlakan kekuasaan Allah atas manusia ialah bahwa hak hidup
sepenuhnya berada ditangan Allah, dan manusia dengan bebas menikmatinya.
Pelanggaran terhadap hak hidup seseorang tanpa alasan yang sahih menurut
pandangan al-Qur’an, merupakan penghinaan bagi kemanusiaan seluruhnya.8
Barangsiapa membunuh satu jiwa bukan karena qishash, atau karena jiwa
itu tidak mengadakan kekacauan di atas bumi, maka ia seolah-olah
membunuh seluruh manusia. Dan barangsiapa menghidupkan jiwa tadi, maka
ia seolah-olah menghidupkan seluruh manusia. Oleh karena itu Islam
mengadakan ketetapan-ketetapan yang menyangkut perlindungan hidup
seseorang, diantaranya, larangan melenyapkan jiwa tanpa alasan yang haq,
(QS. 6: 151), mendamaikan kelompok yang saling berperang, dengan langkah
8Saefuddin, Desekularisasi Pemikiran: Landasan Islamisasi, (Bandung: Mizan, 1998),
cet. IV, h. 184-185.
55
pertama menghentikan pihak yang berlaku melampaui batas dari
penganiayaannya, tanpa melihat dahulu mana pihak yang benar.9
Seharusnya pendidikan toleransi sebagai wahana rekonsiliasi sosial,
selama Orde Baru yang menonjol adalah bentuk-bentuk keseragaman, maka
melalui pendidikan toleransi peserta didik diajak untuk menghayati suasana
kebhinnekaan, sehingga suasan inklusif dan komunikatif akan terasa satu
sama lain. Melalui pendidikan yang toleran, situasi tegang dan penuh konflik
akan diarahkan kepada sikap empatik dan inklusif terhadap pluralitas yang
menjunjung tinggi integrasi dan rekonsiliasi sosial mempersempit semangat
provinsionalisme, dan sektarian.
Secara psikologis, pendidikan toleransi dan empati mampu memperhalus
sensibilitas manusia, membuatnya menyadari eksistensi dirinya sebagai
bagian kecil dari sistem sosial dan kosmo yang lebih besar. Dengan demikian,
melalui toleransi dan empati, manusia menyerap perasaan dan pengalaman
kehidupan orang lain yang berasal dari ranah geopolitik, geokultural, dan
geoetnis berbeda.10
3. Silaturrahim/ta’aruf
Secara etimologis, berasal dari dua kata yaitu shilah dan ar-rahim. Kata
shilah berarti sambungan, hubungan, atau ikatan, dan ar-rahim berarti
peranakan, rahim, kerabat atau keluarga. Kata ar-rahim juga diartikan dengan
kasih sayang. Secara terminologis, silaturahim adalah menyambungg tali
kekeluargaan dan kekerabatan dengan penuh ketulusan dan kasih sayang.
Tapi secara umum silaturrahim dapat dimaknai dengan menyambung tali
persodaraan antar sesama manusia tanpa melihhat perbedaan yang ada di
antara mereka. Keberagaman dan keberbedaan yang ada dalam masyarakat
akan tereliminir dengan adanya silaturrahim. Silaturrahim tidak hanya
menghilangkan sekat dan perbedaan, tapi juga dapat menumbuhkan rasa
kasih sayang antar sesama, membuka pintu rizki dan memperpanjang umur.11
9Op.cit.,h. 185.
10Sukardjo, Ukim, Landasan Pendidikan Konsep dan Aplikasinya, (Jakarta: Rajawali
Press, 2012), h. 76. 11
Op.Cit. h. 66.
56
Oleh karena itu, menjadi sangat penting bagi kita untuk menyadari bahwa
silaturrahim tidak hanya merekayasa gerak gerik tubuh, namun harus
melibatkan pula aspek hati dan pikiran. Dengan kombinasi bahasa tubuh dan
bahasa hati serta pikiran. Kita akan mempunyai kekuatan untuk bisa berbuat
lebih baik dan lebih bermutu dari pada yang dilakukan orang lain pada kita.
Silaturrahim adalah kunci terbukanya rahmat dan pertolongan Allah
SWT. Dengan terhubungnya silaturrahim, maka persodaraan akan terjalin
dengan baik. Ini sangat penting, sebab bagaimana pun besarnya umat Islam
secara kuanitatif, sama sekali tidak ada artinya, laksana buih dilautan yang
mudah diombang ambing gelombang, bila di dalam nya tidak ada peratuan
dan kerjasama untuk taat kepada Allah SWT.12
4. Musyawarah/kebersamaan
Al-Qur’an tidak mentolelir adanya perbedaan antara yang satu dengan
yang lain, laki-laki, wanita atas partisipasi yang sama dalam kehidupan
bermasyarakat. Sejalan dengan pandangan ini, al-Qur’an menegaskan tentang
prinsip syura (musyawarah) untuk mengatur proses pembuatan keputusan
yang dilakukan masyarakat multikultural, sayang nya selama berabad-abad,
di kalangan kaum muslim telah mengalami kekeliruan fatal dalam
menafsirkan karakteristik syura ini. Mereka memahami bahwa syura sama
dengan penguasa berkonsultasi dengan orang-orang yang menunntut
pandangan mereka yang sangat bijaksana, dengan tidak ada keharusan untuk
mengimmplementasikan nasihat mereka.13
Pandangan ini jelas merusak makna syura itu sendiri. Al-Qur’an dengan
jelas menyebutkan ”sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarah
antara mereka” (Asy-Syura (42): 38). Yang dimaksud “urusan mereka”
adalah bukan urusan indivdu, kelompok atau elitt tertentu tetapi “urusan
masyarakat pada umumnya” dan milik masyarakat secara keseluruhan. Dan
“musyawarah antar mereka” yaitu urusan mereka dibicarakan dan diputuskan
12
Op.Cit. h. 68 13
Junaedi, dkk, Pendidikan Kewarganegaraan, Jakarta Learning Assistance Program
for Islamc Schools Pendidikan Guru Madrasah Ibtidaiyah 2009, Edisi pertama aket 8-14.
57
melalui saling konsultasi dan diskusi, bukan diputuskan oleh seorang
individu atau elit yang tidak dipilih oleh masyarakat. Dari sini dipahami
bahwa syura tidak sama maknanya “seorang meminta nasihat orang lain”
tetapi adalah saling menasihati melalui diskusi dalam posisi yang sama
secara langsung ini berarti bahwa kepala negara tidak boleh enolak begitu
saja keputusan yang telah diambil melalui musyawarah.14
Jika terjadi friksi atau perselisihan antara satu dengan yang lain, maka
Islam menawarkan jalan perdamaian melalui dialog. Islam tidak lantas
menyeru bukan sekedar kampanye dan adu kekuatan untuk menyelesaikan
sebuah permasalahan. Sebab pada intinya, Islam adalah agama yang cinta
damai, agama yang selalu menyeru kepada kebijaksanaan dan manfaat,
agama yang menawarkan titik temu dan menjauhi titik selisih. Islam juga
menyeru pada semua umat manusia menuju cita-cita bersama, yaitu kesatuan
dan persaudaraan lemanusiaan tanpa membedakan ras, etnik, kebudayaan dan
bahkan agama.15
…سواء بيىىا وبيىكم تعالوا إلي كلمة ٱلكتبيأهل قل
Katakanlah: “Hai Ahli Kitab , marilah berpegang kepada suatu kalimat
ketetapan yang ditak ada perselisihan antara kami dan kamu, … QS. Al-
Imran 3. 64.
Dialog bukan semata percakapan, tapi lebih dari itu, dialog adalah
pertemuan dua pikiran dan hati mengenai persoalan bersama, dengan
komitmen untuk saling belajar agar dapat berubah, tumbuh dan berkembang.
“Berubah” artinya dialog terbuka, jujur dan simpatik, agar dapat membawa
pada kesepahaman bersama, dan dapat membedakan mana prasangka, dan
stereotip. Juga dapat mengeliminir celaan dan hinaan antar sesama.
“Tumbuh” karena dialog mengantarkan pada informasi, klarifikasi dari
sumber primer dan dapat mendiskusikannya secara terbuka dan tulus. Dialog
14
Ibid. 15
Munzir Suparta, Islamic Multicultural Education: Sebuah Refleksi atas Pendidikan
Agama Islam di Indonesia, Jakarta: Gifani Alfatana Sejahtera, 2010, cet. II, h. 59.
58
merupakan oangkal pencerahan nurani dan akal pikiran menuju kematangan
cara beragama dan bermasyarakat yang menghargai “kelainan”.
Dengan demikian, nilai sawa’ (persamaan) adalah menyangkut cara
manusia melakukan perjumpaan dengan memahami diri sendiri dan dunia
orang lain pada tingkat terdalam, membuka kemungkinan-kemungkinan
untuk menggali dan menggapai sekala makna fundamental kehidupan secara
individu dan kolektif denan dimensinya. Secara eksperimental, sawa’ sawa
tampil kepermukaan dan menjangkau perjumpaan antar dunia multikultural
yang begitu luas. Ketika manusia hidup melalui perjumpaan agama-agama,
seolah kita mendapatkan pengalaman antarkultural.16
Pluralitas dan multikultural untuk dialog, bukan pertentangan, adalah
teknologi masa depan yang muncul dari pandangan rasional otentik berbasis
wahyu progresif yang merupakan dasar bagi semua pengalaman keagamaan
dan kultural. Dialog membawa pada pandangan dunia keagamaan dana
kultural yangg tidak parsial atau ideologi sipil yang tidak diskriminatif.
Dalam dialog, seseorang harus memperhatikan etika dan aturan main yang
berlaku. Tidak boleh asal-asalan, ada strategi dan metode yang harus dipakai.
Dengan strategi yang baik, dialog akan mampu mengantarkan seseorang
pada titik kebersamaand an kesepahaman yang indah. Di antara strategi
berdialog yang baik adalah: pertama, tidak boleh ada rasa ingin menang
sendiri; kedua, tidak boleh menganggap diri lebih superioritas dan
menganggap orang lain inferior; ketiga, selalu memperhatikan etika dan
norma-norma sopan santun.17
… ٱلأمروشاورهم في …“...dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu”. Q.S. Ali-
Imran 3. 159.
Musyawarah adalah merundingkan sebuah permasalahan untuk
mendapatkan kesepakatan dan konsensus bersama. Musyawarah
meniscayakan adanya komitmen bersama untuk melaksanakan hasil
16
Ibid., h. 60. 17
Ibid.
59
kesepakatan dengan sebaik—baiknya. Menghianati hasil musyawarah berarti
sama dengan menyulut api permusuhan dan ketidakharmonisan antar sesama.
Serumit apapun suatu masalah, pasti dapat dicari solusinya melaluii
musyawarah. Pada hakekatnya tak ada satu masalahpun yang tidak dapat
dipecahkan. Dengan musyawarah, kebutuhan akan terbuka lebar. Dengan
musyawarah, kejumudan akan tercairkan. Denan musyawarah, perseteruan
akan dapat didamaikan. Dan dengan musyawarah, perbedaan akan dapat
disatukan.18
5. Tolong menolong
Salah satu perbedaan dan keistimewaan agama Islam dari agama-agama
lain ialah bahwa Islam tidak hanya mengatur urusan-urusasn yang mengenai
ibadah saja, tetapi juga mengatur urusan-urusan yang mengenai masyarakat
tentang hak dan kewajiban tiap-tiap orang terhadap rumah tangganya,
keluarganya, tetangganya, sekampungnya, sebangsanya bahkan antar bangsa
dan bangsa.
Islam ialah agama yang memperhatikan soal kemasyarakatan dan
perbaikan masyarakat sehingga sampai dalam atuan-aturran yang mengenai
ibadah pun terkandung usaha dan wasilah yang wujudnya menuju perbaikan
masyarakat. Menurut ajaran agamanya umat Islam itu seluruhnya harus hidup
merupakan satu kesatuan yang sokong menyokong dan bergotong-royong
dadlam segala-galanya baik dalam usaha menyelenggarakan kebaikan dan
keutamaan maupun dalam usaha melenyapkan dan menghindarkan bahaya
dan kejahatan.19
Betapa besar perhatian Islam terhadap hidup gotong-royong dan gugur-
gunung itu, dapatlah kita lihat, sehingga dari setiap segi pengajaran yang
terkandung di dalamnya adalah berisi anjuran yang demikian wujudnya.
Keberbedaan harus dispakati dengan bijak dan arif. Keberagaman budaya
dan adat kebiasaan harus dijadikan modal dasar untuk membeangun sebuah
18
Ibid. 19
A. Azzam Pasha, Konsepsi Perdamian Islam, Jakarta: PT. Karya Unipress, 1985,
cet. I, h. 82.
60
konstruksi masyarakat yang kokoh. Jika dianalogikan dengan bangunan
rumah, maka akan sadar bahwa rumah dapat berdiri dengan kokoh bukan
karena kesamaan bahan baku bangunan tapi karena keberbedaan, tentu
keberbedaan yang terorganisir, tertata, dan terstruktur. Keberbedaan bahan
baku bangunan bila ditata dengan rapi, maka akan menghasilkan konstruksi
rumah yang indah dan layak huni. Sebaliknya, jika keberbedaan bahan baku
bangunan itu ditata dengan baik dan teratur, alih-alih rumah akan berdiri
kokoh.
Demikian halnya dengan masyarakat, jika keberbedaan yang ada dalam
masyarakat itu ditata dengan baik dan teratur, maka akan menghasilkan
sebuah perbedaan yang kokoh dan tangguh. Bila tidak, maka keberbedaan itu
akan menjadi sumber konflik dan momok yang mankutkan. Oleh sebab itu,
Islam menawarkan sebuah konsep berupa gotong royong dan tolong
menolong.
.… ٱلعدونو ٱلإثمولا تعاوووا علي ٱلتقوىو ٱلبروتعاوووا علي …
“...Dan tolong menolonglah kamu dalam mengerjakan kebajikan dan
takwa, dan jangan tolong menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran”.
QS. Al-Maidah 5. 2.
Dalam ta’awun ada banyak manfaat yang dapat diambil, diantaranya
adalah, ta’wun dapat membantu merealisasikan planning dengan lebih
sempurna. Dalam ta’awun terdapat proses saling tukar kebaikan dan
memberikan tambahan dalam mendapatkan ide-ide dan pemikiran. Ta’awun
dabat mempercepat tercapainya target sebuah pekerjaan, juga akan
menghemat waktu. Ta’awun akan mempermudah sebuah pekerjaan,
memperbanyak orang yang berbuat baik, menumbuhkan persatuan dan sikap
saling membantu. Apabila dibiasakan, ta’awun akan menjadi modal untuk
membangun kehidupan sebuah umat.
61
B. Keberagaman Pendidikan Islam
1. Universal Agama
Isu perbedaan agama sangat sensitif, sementara perkembangan sosial
justru semakin mengarah kepada pluralitas pemeluk agama. Dengan dasar
tersebut, keragaman agama yang ada hendaknya didekati dengan dua cara:
pertama, agama diposisikan sebagai fenomena sosial dan budaya yang perlu
diketahui para siswa. Setiap agama memiliki tradisi dan simbol-simbol yang
khas, semua agama mengajarkan pemeluknya untuk cinta damai, menolong
sesama dan membenci semua kejahatan. Siapapun yang tidak mencintai
kedamaian dan moralitas, dia telah menghianati ajaran agamanya.20
Pembahasan ini lebih banyak ditekankan pada dua hal yang saling
berkaitan dalam pendidikan Islam. Kedua hal itu adalah pembaharuan
pendidikan Islam dan modernisasi pendidikan Islam. Dalam liputan istilah
pertama, tentu saja ajaran-ajaran formal Islam harus diutamakan, dan kaum
muslim harus dididik mengenai ajaran-ajaran agama mereka. Yang diubah
adalah cara menyampaikannya kepada peserta didik, sehingga mereka akan
mampu memahami dan mempertahankan “kebenaran”. Bahwa hal ini
memiliki validitas sendiri, dapat dilihat pada kesungguhan anak-anak muda
muslim terpelajar, untuk menerapkan apa yang mereka anggap sebagai
“ajaran-ajaran yang benar” tentang Islam. Contoh paling mudahnya adalah
menggunakan tutup kepala disekolah non-agama, yang di negeri ini dikenal
sebagai jilbab. Ke-Islaman lahiriyah seperti itu juga terbukti dari semakin
tingginya jumlah mereka dari tahun ke tahun yang melakukan ibadah umrah
atau haji.21
Demikian juga semangat menjalankan ajaran Islam, datang lebih banyak
dari komunitas luar sekolah, antara berbagai komponen masyarakat Islam.
Dengan kata lain pendidikan Islam tidak hanya disampaikan dalam ajaran-
ajaran formal Islam disekolah-sekolah agama atau madrasah belaka,
melainkan juga melalui sekolah-sekolah non-agama yang tersebar di seluruh
penjuru dunia. Hal lain yang harus diterima sebagai kenyataan hidup kaum
20
Ibid.,h. 76. 21
Abdurrahman Wahid, Islamku Islam Anda Islam Islam Kita Agama Masyarakat
Negara Demokrasi, (Jakarta: The Wahid Institute, 2006), cet. I, h. 225
62
muslim dimana-mana, adalah respon umat Islam terhadap tantangan
demokrasi. Tantangan seperti pengentasan kemiskinan, pelestarian
lingkungan hidup dan sebagainya. Itulah yang perlu direnungkan secara
mendalam bagi pendidikan Islam.
Pendidikan Islam tentu saja harus sanggup “meluruskan” responsi
terhadap tantangan modernisasi. Namun kesadaran kepada hal itu belum
tumbuh dalam pendidikan Islam secara menyeluruh. Dengan kata lain,
haruslah menyimak perkembangan pendidikan Islam di berbagai tempat, dan
membuat peta yang jelas tentang konfigurasi pendidikan Islam itu sendiri. Hal
ini merupakan pekerjaan yang harus ditangani dengan baik.22
Perubahan sosial merupakan suatu kenyataan yang tidak dapat
dipungkiri, sebab hal itu termasuk sunnatullah, hanya saja dalam
penampilannya, perubahan sosial tersebut ada yang direncanakan oleh
sekelompok manusia, dan diarahkan menurut kepentingan tertentu.
Dalam menghadapi proses perubahan sosial, para pemimpin organisasi
Islam dituntut untuk peningkatan pemahamannya terhadap hakikat Islam itu
sendiri, disamping memahami tentang proses perubahan yang terjadi di dalam
masyarakat, agar bobot dan peranan sebagai wadah perjuangan dan pranata
sosial lebih dapat diandalkan di masa mendatang.23
Jelas dari uraian di atas, pendidikan Islam memiliki banyak model
pengajaran, baik yang berupa pendidikan sekolah maupun pendidikan non-
formal seperti pengajian dan sebagainya. Tak terhindari lagi, keragaman jenis
dan corak pendidikan Islam terjadi seperti yang terlihat di tanah air dewasa
ini. Ketidakmampuan menghadapi kenyataan ini, yaitu hanya melihat
lembaga pendidikan formal seperti sekolah dan madrasah di tanah air sebagai
sebuah institusi pendidikan Islam, hanyalah akan mempersempit pandangan
tentang pendidikan Islam itu sendiri. Hal ini bermakna bahwa hanya
mementingkan satu sisi belaka dari pendidikan Islam dan melupakan sisi non-
formal dari pendidikan Islam itu sendiri. Tentu saja hal ini menjadi tugas
22
Ibid., h. 226. 23
Thalhah Hasan, Prospek Islam Dalam Menghadapi Tantangan Zaman,(Jakarta:
Bangun Prakarya, 2000), cet. I, h. 39-40.
63
berat bagi perencana pendidikan Islam, kenyataan ini menunjukkan
perjuangan pendidikan Islam.24
Karenanya, peta keberagaman pendidikan Islam seperti dimaksudkan di
atas, haruslah bersifat lengkap dan tidak mengabaikan kenyataan yang ada.
Lagi-lagi berhadapan dengan kenyataan sejarah, yang mempunyai hukum-
hukumnya sendiri. Mengembangkan keadaan dengan tidak memperhitungkan
hal ini, mungkin hanya bersifat menina-bobokan belaka dari tugas sebenarnya
yang harus dipikul dan dilaksanakan. Sikap mengabaikan keberagaman ini,
adalah sama dengan sikap burung onta yang menyembunyikan kepalanya di
bawah timbunan pasir tanpa menyadari badannya masih tampak. Jika masih
berpikir seperti itu, akan berakibat sangat besar bagi perkembangan Islam di
masa yang akan datang. Oleh karena itu jalan terbaik adalah membiarkan
keanekaragaman sangat tinggi dalam pendidikan Islam dan membiarkan
perkembangan waktu dan tempat yang akan menentukan.25
Selain itu, kenyataan perkembangan sejarah dan kebudayaan Indonesia
tidak bisa dilepaskan dari sentuhan dan pengaruh agama-agama yang ada dan
berkembang di Indonesia. Mula-mula datang agama Hindu, disusul Buddha,
Islam, kemudian Kristen baik Protestan maupun Katolik. Selain itu
kedatangan bangsa Cina yang membawa agama Kong Hu Chu ikut pula
memperkaya dunia keagamaan di Indonesia. Kehadiran agama-agama besar
ini, terutama tiga yang pertama (Hindu, Buddha, Islam) tidak saja bersifat
kerohanian tetapi juga secara fisik dan politis seperti terlihat dalam wujud
kerajaan-kerajaan Hindu, Buddha, dan Islam.
Sementara itu kedatangan penjajahan Barat ke berbagai kepulauan
nusantara bersamaan dengan penyebaran agama Kristen. Kenyataan ini bagi
masyarakat telah menimbulkan kesan secara stereotipikal bahwa agama
Kristen identik dengan penjajah, yang membawa bekas dan pengaruh yang
tidak sedikit dalam perkembangan dan perjalanan sejarah bangsa Indonesia.
Situasi ini ditambah dengan klaim setiap agama terhadap kebenaran ajaran
24
Abdurrahman Wahid, op.cit, h. 226. 25
Ibid., h. 227.
64
(truth claim) masing-masing membawa dampak dalam hubungan antar
beragama di Indonesia. Bertolak dari pandangan bahwa Islam merupakan
agama kemanusiaaan (fitrah), yang membuat cita-citanya sejajar dengan cita-
cita kemanusiaan universal. Pemikiran yang dikehendaki oleh Islam adalah
suatu sistem yang menguntungkan semua orang termasuk mereka yang non-
muslim, adalah sejalan dengan watak inklusif Islam. Pandangan ini telah
memperoleh dukungan dalam sejarah awal Islam.26
Perlu disadari bahwa masyarakat Indonesia sangat pluralistik, baik dari
segi etnis, adat istiadat maupun agama. Itulah sebabnya masalah toleransi
atau hubungan antar agama menjadi sangat penting. Namun demikian
tetaplah optimis bahwa dalam soal toleransi dan pluralisme ini, Islam telah
membuktikan kemampuannya secara meyakinkan. Fakta bahwa Islam
memperkuat toleransi dan memberikan apresiasi terhadap pluralisme, sangat
kohesif dengan nilai-nilai Pancasila yang sejak semula mencerminkan tekad
dari berbagai golongan dan agama untuk bertemu dalam titik kesamaan dalam
kehidupan berbangsa dan bernegara.
Dasar pandang tentang hubungan Islam dan pluralisme seperti yang
sering dikemukakan para ahli dan pakar pendidikan, sebenarnya berpijak
pada semangat humanitas dan universal Islam. Pada dasarnya terkandung
pengertian bahwa Islam itu merupakan agama kemanusiaan (fitrah) atau
dengan kata lain, cita-cita Islam itu sejalan dengan cita-cita kemanusiaan pada
umumnya. Dan kerasulan atau misi Nabi Muhammad adalah untuk
mewujudkan rahmat bagi seluruh alam. Jadi bukan semata-mata untuk
menguntungkan komunitas Islam saja. Semua agama yang benar pasti bersifat
Al-Islam karena mengajarkan kepasrahan kepada Tuhan. Tafsir al-Islam, akan
bermuara pada konsep kesatuan kenabian, kesatuan kemanusiaan. Konsep ini
merupakan kelanjutan dari konsep ke-Maha Esa-an Tuhan. Semua konsep ini
menjadikan Islam bersifat kosmopolit dan menjadi rahmat seluruh alam
(rahmatan lil’alamin), dan bukan hanya bagi umat Islam semata. Posisi
26
Syafi’i Anwar, Pemikiran dan Aksi Islam Indonesia, (Jakarta: Paramadina, 1995), cet.
I, h. 228-229.
65
seperti ini mengharuskan Islam menjadi penengah (al-Wasith), dan saksi
(syuhada) di antara semua manusia.
Meskipun tidak sepenuhnya sama dengan yang ada di zaman modern ini,
namun prinsip-prinsip kebebasan beragama dizaman modern adalah
pengembangan lebih lanjut, yang lebih konsisten dengan yang pernah ada
dalam zaman Islam klasik. Umat Islam juga harus menjadi golongan yang
terbuka, yang bisa tampil dengan rasa percaya diri yang tinggi terhadap ide
pertumbuhan dan perkembangan, yakni paradigma tentang etos gerak yang
dinamis dalam ajaran Islam. Jika doktrin Islam diproyeksikan kepada
Indonesia, maka kemajemukan sosial-budaya yang merupakan ciri menonjol
Indonesia sebagai suatu nation haruslah dipertimbangkan. Karena itu
berharap bahwa masyarakat beragama, termasuk kaum muslim Indonesia,
menerima multikulturalisme sebagai sebuah imperatif dan menyadari segala
konsekuensinya. Dasar pandang ini adalah karena Islam sendiri dengan tegas
mengajarkan paham kemajemukan beragama (religious plurality).27
Sementara itu, melihat hubungan antara Islam dengan pluralisme dalam
konteks manifestasi universalisme dan kosmopolitanisme ajaran Islam, ajaran
yang dengan sempurna menampilkan universalisme Islam adalah 5 (lima)
jaminan dasar tersbut tersebar dalamliteratur hukum agama (al-Kutub al-
Fiqhiyah), yang terdiri dari: 1. Keselamatan fisik warga masyarakat dari
tindakan badani di luar ketentuan hukum; 2. Keselamatan keyakinan agama
masing-masing tanpa ada paksaan untuk berpindah agama; 3. Keselamatan
keluarga dan keturunan; 4. Keselamatan harta benda dan milik pribadi di luar
prosedur hukum; dan 5. Keselamatan profesi.
Secara keseluruhan, kelima jaminan dasar tersebut menampilkan
universalitas pandangan hidup yang utuh dan bulat. Kelima jaminan dasar
tersebut hanya menyajikan kerangka teoritik, atau mungkin hanya berdimensi
moralistik belaka yang tidak berfungsi, jika tidak didukung oleh
kosmopolitanisme peradaban Islam itu muncul dalam sejumlah unsur dominan,
seperti hilangnya batas etnis, kuatnya pluralitas budaya heterogenitas politik.
27
Ibid., h. 230-233.
66
Kosmopolitanisme peradaban Islam tercapai atau berada pada titik optimal,
manakala tercapai keseimbangan antara kecenderungan normatif kaum muslim
dan kebebasan berfikir semua warga masyarakat (termasuk mereka yang non-
muslim). Kosmopolitanisme seperti ini adalah kosmopolitanisme yang kreatif,
karena di dalamnya warga masyarakat mengambil inisiatif untuk mencari
wawasan terjauh dari keharusan berpegang pada kebenaran.
Dengan demikian format perjuangan Islam pada akhirnya adalah
partisipasi penuh dalam upaya membentuk Indonesia yang kuat, demokratis,
dan penuh keadilan di masa depan. Tujuan akhirnya adalah memfungsikan
Islam sebagai kekuatan integratif dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Kesanalah hendaknya kesadaran masa Islam diarahkan dan dikembangkan
oleh gerakan Islam disuatu negara. Tujuan tersebut lebih mengaitkannya
dengan setting sosial-budaya, peradaban Islam itu sendiri merupakan sebuah
sistem yang terbuka. Artinya peradaban Islam mengakui sumbangan
peradaban lain, akibatnya peradaban Islam menjadi lebih subur di tengah
pluralitas budaya dan peradaban dunia.
Dalam konteks ini pula, bahwa Islam pun memberikan budaya dan
peradaban kepada umat manusia, budaya Islam adalah kosmopolitan. Artinya,
Islam adalah budaya yang merangkum atau mengatasi budaya-budaya lokal,
regional, dan nasional. Islam mengatasi budaya-budaya kesukuan dan
budaya-budaya kenasionalan. Dengan dasar pemikiran bahwa Islam
merupakan sistem yang terbuka, umat Islam dapat menerima aspek-aspek
positif dari ideologi atau paham apapun. Pada saat yang sama, perlu disadari
bahwa peradaban Islam itu otentik, mempunyai kepribadian yang utuh dan
sistem tersendiri. Akhirnya dalam konteks politik Indonesia, bahwa umat
Islam haruslah bisa memadukan kepentingan nasional dan kepentingan Islam.
Hal ini akan menjadi langkah yang strategis agar umat Islam tidak menjadi
bulan-bulanan dari perjalanan sejarah.28
28
Syafi’i Anwar, op.cit., h. 235-236.
67
2. Perdamaian Bagi Seluruh Makhluk Dalam Al-Qur’an
Kedamaian dan rasa aman adalah syarat mutlak bagi tegak dan sejahtera
suatu masyarakat. Keamanan dan kesejahteraan merupakan dua hal yang
saling terkait. Jika tak ada rasa aman, maka kesejahteraan tidak dapat diraih
dan dirasakan, dan bila kesejahteraan tidak terwujud, maka keamanan tidak
dapat terasa, bahkan kekacauan dan kegelisahan tumbuh subur. Itulah
sebabnya al-Qur’an menggarisbawahi keduanya, bahkan menyandingkan
antara lain dengan merekam permohonan Nabi Ibrahim as, yang menyatakan:
وم ا و اذ قال ا ءامنا و ارزق اىل من امثمرات من ءامن بهلل و بم براىي رب اجؼل ىذا بلالخر قال و ا
ئس اممصي ل ػذاب اميار و ه ا ل مث أضطره . من كفر فأمتؼو قو
“Dan ingatlah ketika Ibrahim berdoa: Tuhanku, jadikanlah negeri ini negeri yang aman sentosa dan berikanlah rezeki dari buah-buahan kepada penduduknya yang beriman di antara mereka kepada Allah dan Hari Akhir. Kemudian Dia berfirman: Dan kepada orang kafir pun Aku beri kesenangan semata, kemudian Aku paksa ia menjalani siksa meraka dan itulah seburuk-buruk tempat kembali.” (QS. Al-Baqarah/2: 126)
Ini berarti bahwa Allah menghendaki dan memerintahkan agar keamanan
dan kesejahteraan harus dapat menyentuh semua anggota masyarakat yang
beriman maupun yang kafir. Hal ini dipertegas dalam surat at-Taubah ayat 6,
dimana Allah memerintahkan Nabi Muhammad saw dan umat Islam dengan
firman-Nya:
ن أاد وتجارك فأجره ا م هللا مث أبوغو مأمنو, ذل بأنم قوم مضا من اممشكي اس يت سمع لك
ؼومون.
“Dan jika seorang di antara orang-orang musyrik meminta perlindungan kepadamu, maka lindungilah ia supaya ia sempat mendengar firman Allah, kemudian antarkanlah ia ke tempat yang aman baginya. Demikiaan itu disebabkan mereka kaum yang tidak mengetahui”
Mufti Mesir dan Syaikh Al-Azhar, Muhammad Sayid Thanthawi,
menulis dalam tafsirnya bahwa pemberian rasa aman dan perlindungan itu
merupakan puncak dari perlakuan yang diajarkan Islam terhadap kaum
musyrik, dan puncak dari segala puncak adalah pengawalan dan penjagaan
yang diberikan kepada sang musyrik, yang secara teoritis berpotensi menjadi
musuh Islam dan kaum muslim, hingga ia keluar dari perbatasan wilayah
Islam.29
29
Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur’an Jilid 2, (Ciputat: Lentera Hati, 2006), cet. I,
h. 82-83.
68
Ayat di atas juga membuktikan bahwa kendati seseorang itu musyrik,
selama tidak bermaksud jahat kepada kaum muslim, mereka pun adalah
manusia yang berhak memperoleh perlindungan, bukan saja menyangkut
nyawa dan harta benda mereka, tetapi juga menyangkut kepercayaan dan
keyakinan mereka. Memberikan petunjuk betapa Islam memberi kebebasan
berfikir serta membuka peluang seluas-luasnya bagi setiap orang untuk
menemukan kebenaran dalam saat yang sama memberikan perlindungan
kepada mereka yang berbeda keyakinan, selama mereka tidak mengganggu
kebebasan berfikir dan beragama pihak lain.
Sekali lagi al-Qur’an sangat mendambakan terciptanya kedamaian dan
kesejahteraan. Hakikat ini terbaca juga dalam QS. Quraisy/106 ayat 3-4. Di
dalamnya Allah menyebutkan dua anugerah besar yang dinikmati oleh
masyarakat Mekkah pada masa Nabi Muhammad Saw yaitu nikmat
keamanan dan nikmat kecukupan pangan/kesejahteraan. Firman-Nya:
ي أطؼميم من جوع و ءامنم من خوف. ؼبدوا رب ىذا امبت اذ فو
“Maka hendaklah mereka menyembah Tuhan pemilik rumah ini
(Ka’bah). Yang telah memberi makanan kepada mereka untuk
menghilangkan lapar dan mengamankan mereka dari ketakutan.”
Al-Qur’an juga mengingatkan bahwa jika ada ajakan damai dari siapa
pun, maka ajakan itu harus disambut:
. ع امؼوي هو ىو امسمن جنحوا نوسل فاجنح مياو ثوك ػل هللا ا
و ا
“Dan jika mereka condong perdamaian, maka condonglah
kepadanya dan bertawakallah kepada Allah. Sesungguhnya Dia-lah yang
Maha mendengar lagi Maha mengetahui.” (QS. Al-Anfal/8: 61)
Ayat ini menunjukkan bahwa kaum kafir pun memperoleh rasa aman,
namun tentu saja rasa aman yang sempurna dirasakan oleh orang-orang
mukmin.
ميم المن و ه ميتدون. منم بظل أومئن ءامنوا و مم وبسوا ا اذ
“Orang-orang yang beriman dan tidak mencampurkan
keimanannya dengan kezaliman/syirik, mereka itulah yang mendapat
keamanan dan merekalah orang-orang yang mendapat petunjuk.” (QS.
Al-An’am/6: 82)
69
Sejalan dengan ayat di atas, seseorang yang meneladani sifat Allah As-
Salam, paling tidak, bila tidak dapat memberi manfaat kepada selainnya,
maka jangan sampai dia mencelakakannya. Jika dia tidak dapat memasukan
rasa gembira ke dalam hatinya, maka paling tidak jangan sampai dia
meresahkannya. Jika dia tidak dapat memujinya, maka paling tidak dia jangan
mencelanya.30
Janganlah berharap yang tidak berbuat baik terhadap yang
berbuat jahil al-Qur’an menganjurkan agar diberikan kepadanya “salam”
karena demikian itulah sifat hamba-hamba Allah yang rahman:
ذا خاطبمامجاىوون قاموا سلما. ن مشون ػل االرض ىون و ا و غباد امرحن اذ
“Hamba-hamba Allah yang maha pengasih ialah mereka yang
berjalan di bumi dengan rendah hati, dan apabila orang-orang jahil
menyapa (memperlakukan mereka dengan kejahilan) mereka berkata:
salama (yakni bersikap damai dan mencari keselamatan bersama).” (QS.
Al-Furqan/25: 63)
Sikap itu diambil karena as-Salam (keselamatan) adalah batas antara
keharmonisan/kedekatan dan perpisahan, serta batas antara rahmat dan siksa.
Inilah yang paling wajar atau batas minimal yang diterima seorang jahil dari
hamba Allah yang rahman, atau si penjahat dari seorang yang muslim, atau
yang meneladani Allah yang memiliki sifat Al-Mu’min (pemberi rasa aman).
Hal itu dilakukannya dalam rangka menghindari kejahilan yang lebih besar
atau menanti waktu untuk lahirnya kemampuan mencegahnya.31
Dalam sebagian besar sejarah Islam, pluralisme dan dialog agama
dikembangkan tidak hanya kepada umat Kristen dan Yahudi sebagaimana
dengan tegas dinyatakan dalam al-Qur’an sebagai ahlul kitab, melainkan juga
kepada umat agama lain. Kaum Majusi misalnya, sudah dikenal sejak zaman
Nabi Muhammad Saw dipesankan agar diperlakukan dengan baik. Pesan
itulah yang dijadikan kebijakan kekhalifahan Islam ketika dakwah Islam
masuk ke wilayah Persia pada abad pertama Hijrah. Para pemeluk agama
Majusi di wilayah itu diperlakukan dengan baik dan candi mereka tidak
30
Syafi’i Anwar, op,cit., h. 84-86. 31
Op,cit., h. 86-87.
70
diganggu. Bahkan belakangan, pada masa kekhalifahan al-Mu’tashim dan
Bani Abbas (833-842), salah seorang imam masjid dan muazin dihukum
karena menghancurkan sebuah candi api di Sughd dan mendirikan masjid di
atasnya.
Sementara itu, hubungan Islamantara lain berlangsung di Cina, alam
karya yang terbit menyusul perjumpaan agama dilakukan usaha untuk melihat
kesamaan dan perbedaan. Dalam Cheng-Chiao Chen Cu’uan (penjelasan
bernilai mengenai agama yang benar), buku Islam yang pertama kali ditulis
dalam bahasa Cina, Wang Tay-yu (w. 1650) menyajikan sejumlah konsep
Konfusianisme untuk menjelaskan Islam dan menyatakan bahwa kedua
agama tersebut mempunyai pandangan yang sama dalam hal moral individu,
cinta, persaudaraan dan keeratan hubungan sosial. Adapun Liu Chih (w.
1736), penulis muslim yang paling menonjol di Cina pada abad ke-17 dan ke-
18 dalam T’ien-fang hsingli (Filsafat Arab), antara lain menyatakan bahwa
istilah Cina li (ketinggian moral) bersifat universal dan kaum muslim pun
berupaya mencapainya. Dalam karya yang sama, ia juga memuji beberapa
pahlawan Konfusianisme dan memandang ajaran sufisme Islam memiliki
banyak kesamaan dengan ajaran Konfusianisme.32
Pada pokoknya, perbedaan antara kaum muslim dengan ahlal-kitab
menyerupai perbedaan antara orang-orang ber-tauhid yang murni
sikapnyadalam beragama kepada-Nya (Allah) dan bertindak sesuai dengan
kitab dan sunnah (di satu pihak), dan mereka yang berbuat bid’ah (dilain
pihak) yang menyimpang dari keduanya (kitab dan sunnah) itu, yang telah
ditinggalkan oleh Nabi untuk umat. Dengan penjabaran prinsip-prinsip di
atas, kiranya menjadi jelas bahwa agama Islam mengajarkan sikap-sikap yang
lebih inklusivistik dalam bermasyarakat yang mengakui kemajemukan
masyarakat itu antara lain disebabkan kemajemukan keberagaman para
anggotanya.33
32
Ensiklopedi Tematis Dunia Islam, Dinamika Masa Kini, (Jakarta: PT Ikhtar Baru Van
Hoeve), h. 230. 33
Budhy Munawar, Ensiklopedi Nurcholish Majid: Pemikiran Islam di Kanvas
Peradaban, (Jakarta: Mizan, 2006), cet. I, h. 3448.
71
Berpangkal dari berbagai pandangan asasi mengenai toleransi Islam, al-
Qur’an mengajarkan bahwa umat Islam harus menghormati semua pengikut
kitab suci (Ahl al-Kitab). Sama halnya dengan semua kelompok manusia,
termasuk umat Islam sendiri, diantara kaum pengikut kitab suci itu ada yang
lurus dan ada yang tidak. Dari mereka ada yang memusuhi kaum beriman,
tetapi juga ada yang menunjukkan sikap persahabatan yang tulus. Dalam al-
Qur’an disebutkan terutama kaum Nasrani sebagai yang paling dekat rasa
cintanya kepada kaum beriman, karena diantara mereka ada pendeta-pendeta
dan rahib-rahib, dan mereka tidak berbohong, sebagaimana dalam surat Al-
Maidah/5 ayat 82:
نل ن ءامنوا متجدن أشد امياس ػداو نل كوا و متجدن أقربم مود ن أش ن ءامنوا اهيود و اذ
ى ن هصن قاموا ا سي و رىبان و أنم ال اذ ون. ذل بأن منم قس تكب س
Sesungguhnya kamu dapati orang-orang yang keras
permusuhannya terhadap orang-orang yang beriman ialah orang-orang
Yahudi dan orang-orang musyrik. Dan sesungguhnya kamu dapati yang
paling dekat persahabatannya dengan orang-orang yang beriman ialah
orang-orang yang berkata: “Sesungguhnya kamu ini orang Nasrani”.
Yang demikian itu disebabkan karena di antara mereka itu (orang-orang
Nasrani) terdapat pendeta-pedeta dan rahib-rahib juga karena
sesungguhnya mereka tidak menyombongkan diri.34
ن ظوموا منم و قوموا ءامن ال اذال بمت ه أيسن ا
ادموا أىل امكتاب ا ي و ال ت يا ا بذ م
أىزل ا
ن ل مسومون. ميك وااد و ن مييا و ا ك و ا م و أىزل ا
Dan janganlah kamu berdebat dengan Ahli Kitab, melainkan
dengan cara yang baik, kecuali dengan orang-orang zalim di antara
mereka, dan katakanlah: “Kami telah beriman kepada kitab-kitab yang
diturunkan kepada kami dan yang diturunkan kepadamu Tuhan kami dan
Tuhanmu adalah satu dan kami hanya kepada-Nya berserah diri”. (QS.
29: 46).
Oleh karena itu keharmonisan hidup dengan sesama manusia
(keselarasan sosial), alam dan menjaga hubungan yang intensif dengan sang
pencipta (keselarasan batin) sehingga akan membuahkan moral yang baik
menjadi sangat penting. Gambaran kehidupan religi pada dewasa ini
Indonesia merdeka cukup beragam dengan suasana multikultural. Selayaknya
34
Ibid., h. 3042.
72
apabila setiap religi di Indonesia baik yang merupakan religi dunia yang telah
menyebar luas maupun religi etnik yang hanya dikenal dalam lingkup
wilayah terbatas dapat tumbuh sewajarnya tanpa ada campur tangan pihak
lain. Kenyataan memang ada pula bentuk baru akibat akulturasi, semua itu
dapat dianggap sebagai fenomena budaya yang khas Indonesia. Kekhasan itu
dapat dianggap sebagai fenomena budaya konteks historis, politik sosial, dan
pengaruh luar yang pernah terjadi pada zamannya.35
35
Mukhlis Paeni, Sejarah Kebudayaan Indonesia: Religi dan Falsafah, (Jakarta: PT
Raja Grafindo Persada, 2009), h. 181.
73
BAB V
KESIMPULAN
A. Kesimpulan
Dari berbagai uraian yang ada di bab-bab sebelumnya, maka disimpulkan :
1. Indonesia sebagai negara dengan masyarakat yang multikultural niscaya
memerlukan pendidikan agama yang sesuai dengan kondisi multikultural,
yakni pendidikan agama yang mampu menumbuhkan kesadaran
berbudaya, sadar akan hadirnya berbagai perbedaan kebudayaan dan
kesatuan sosial dalam masyarakat Indonesia yang majemuk. pendidikan
agama Islam harus bersifat stabilitas dan bersifat fluiditas. Stabilitas
berarti tidak berubah atau tidak menginginkan perubahan, ini berkaitan
dengan ajaran ketauhitan dalam Islam. Sedangkan fluiditas bahwa
dimungkinkan dalam pendidikan agama Islam terjadi perubahan-
perubahan. Pendidikan agama Islam hendaknya bisa menjadi pendidikan
yang berasal dari masyarakat, yakni pendidikan yang memberikan
jawaban kepada kebutuhan (needs) dari masyarakat sendiri.
2. Islam sebagai agama kemanusiaan dan agama rahmat bagi alam semesta,
sangat mempelajari dan bahkan melakukan hubungan yang harmonis,
bukan saja terhadap sesama manusia akan tetapi antar manusia dengan
manusia lainnya. Islam juga sangat mempelajari dan menghormati
74
keberbedaan, baik berbeda keyakinan, suku, ras maupun perbedaan-
perbedaan lainnya.
3. Pembelajaran pendidikan agama Islam berwawasan multikultural
diharapkan dapat membentuk perspektif kultur Islam yang baru dan lebih
matang, membina relasi antar kultur Islam yang harmonis, tanpa
mengesampingkan dinamika, proses dialektika dan kerjasama timbal balik.
Paradigma multikultural perlu diposisikan sebagai landasan utama
penyelenggaraan pembelajaran yang memiliki beberapa pendekatan untuk
mengintegrasikan dan mengembangkan perspektif multikultural, yakni
mempromosikan konsep diri yang positif, memberikan pengayaan
literatur-literatur Islam yang bermuatan pengetahuan Islam yang plural
ataupun multikultural kepada anak didik. Pendidikan agama Islam
dalampendidikan multikultural tidak semata menyentuh proses
pemindahan pengetahuan (transfer of knowledge), namun juga membagi
pengalaman dan ketrampilan (haring experience and skill) Pembelajaran
pendidikan agama Islam berwawasan multikultural mengajarkan tentang
kerukunan atau toleransi dan demokrasi.
B. Saran
Dalam akhir tulisan ini penulis mencoba berpartisipasi untuk
memajukan dunia pendidikan agama Islam dalam rangka mewujudkan
kesadaran beragama di lingkungan yang beragam, menumbuhkan sikap
toleransi terhadap keragaman, menghargai eksistensi berbagai macam
golongan, kelompok, keragaman. Dalam penerapan Pendidikan agama Islam
berwawasan multikultural tugas untuk membawa peserta didik pada
kesadaran multikultural tidak hanya berada di pundak guru tapi juga sekolah,
tempat dimana guru bekerja; masyarakat sebagai quality control pendidikan
dan kebijakan-kebijakan pemerintah dalam hal pendidikan. Sekolah
sebaiknya menerapkan undang-undang lokal, yakni undang-undang sekolah
yang diterapkan secara khusus di satu sekolah tertentu. Dalam undang-
undang tersebut hendaknya dicantumkan larangan terhadap segala bentuk
75
diskriminasi di sekolah. Adanya undang-undang tersebut diharapkan semua
unsur yang ada seperti guru, kepala sekolah, pegawai administrasi, dan murid
dapat belajar untuk selalu menghargai orang lain di lingkungan sekolah. Aktif
mengikuti atau melaksanakan dialog keagamaan atau antar iman dengan
peserta dialog adalah murid yang berada di bawah bimbingan gurunya, karena
dengan dialog kita bisa mengenal dengan lebih dekat seluk beluk kelompok
lain, mengenalnya dengan baik maka akan muncul rasa saling menghargai
dan menghormati.
Hal lain yang penting dalam penerapan pendidikan agama berwawasan
multikultural adalah kurikulum dan literatur yang dipakai dalam
pembelajaran. Pendidikan agama Islam di sekolah yakni literatur yang
mengemas ajaran Islam secara menyeluruh dan lengkap menampung khilafah
dari berbagai aliran intern agama Islam serta dapat membangun wacana
peserta didik tentang pemahaman. keberagamaan yang inklusif dan moderat.
Pada intinya, kurikulum pendidikan agama Islam berwawasan multikultural
adalah kurikulum yang memuat nilai-nilai pluralisme dan toleransi
keberagamaan. Semoga skripsi ini bisa memberikan sumbangsih pemikiran
yang dapat menggugah sekaligus mencerahkan bagi para penentu kebijakan,
pelaku, praktisi dan pemerhati pendidikan serta masyarakat yang mempunyai
kepedulian terhadap dunia yang diyakini akan memberikan investasi besar
bagi kemajuan bangsa Indonesia. Dengan semua ini pun pemerintah terus
mengupayakan kemajuan pendidikan di Indonesia, dengan mengasumsikan
pendidikan merupakan ujung tombak untuk membangun Indonesia yang adil
dan makmur. Dengan berkembangnya wacana ini, maka saatnya bukan hanya
para sarjana pendidikan dan kaum intelektual tetapi semua elemen seluruh
masyarakat Indonesia khususnya masyarakat daerah untuk berupaya
merumuskan dan menyempurnakan kurikulum yang berbasis multikultural,
kemudian menerapkannya dalam sistem pendidikan di Indonesia. Dengan
mengajarkan pendidikan multikultural dalam pendidikan Islam, diharapkan
pendidikan Islam mampu melahirkan peserta didik yang religius sekaligus
memiliki kesadaran dalam menghargai pluralitas agama, sosial, budaya,
76
etnisitas, ras, bahasa, dan lainnya. Dengan begitu pendidikan Islam bisa
menjadi satu resolusi konflik sekaligus berkontribusi dalam
menumbuhkembangkan nilai-nilai perdamaian di bumi nusantara. Serta
intervensi pemerintah harus terus dan tetap mengupayakan kemajuan
pendidikan di Indonesia, karena pendidikan adalah ujung tombak untuk
membangun Indonesia yang adil dan makmur. Dengan demikian diharapkan
masyarakat yang majemuk dan beragam dapat hidup dalam persatuan, saling
berdampingan dan menghargai perbedaan.
77
DAFTAR PUSTAKA
Abidin, Zainal dan Habibah, Neneng, Pendidikan Agama Islam dalam Perspektif
Multikulturalisme, Jakarta: Balai Penelitian dan Pembangunan Agama.
Almunawar, 2004, Hukum Islam dan Pluralitas Sosial, Jakarta: Penamadani.
Andre, Ujan Ata, Multikulturalisme: Belajar Hidup Bersama dalam Perbedaan,
Jakarta: PT. Indeks, 2009.
Anshori, Pendidikan Islam Transformatif, Jakarta: Referensi, 2012.
Anwar, Syafi’I, Pemikiran dan Aksi Islam Indonesia, Jakarta: Paramadina, 1995.
Arif, Armai dan Sholehuddin, Perencanaan Sistem Pendidikan Agama Islam,
Jakarta: PT. Wahana Kardofa, 2009.
Arif, Armai, Pembaharuan Pendidikan Islam di Minangkabau, Jakarta: Suara
ADI, 2009.
Arifin, Ilmu Pendidikan Islam, Jakarta: PT. Bumi Aksara, 2009.
Arifin, Syamsul, Studi Agama Perspektif Sosiologis dan Isu-Isu Kontemporer,
Malang, UMM Press, 2009.
Azra, Azyumardi, Menteri-Menteri Agama RI: Biografi Sosial-Politik,
Jakarta: PPIM, 1998.
Azwar, Saeful, Metode Penelitian, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1998.
Azzam, Abdurrahman, Konsepsi Perdamaian Islam, Jakarta: PT Karya Unipress,
1985.
Budimansyah, Dasim dan Karim Suryadi, PKN dan Masyarakat Multikultural,
Bandung: Program Studi Pendidikan Kewarganegaraan, UPI, 2008.
Freddy, Puspa Ragam: Konsep dan Isu Kewarganegaraan, Bandung: Widya
Aksara Press, 2010.
Gunawan, Imam, Metode Penelitian Kualitatif, Jakarta, Bumi Aksara, 2013.
Halim, Abdul, Wawasan Pendidikan Islam, Jakarta: Kalam Mulia, 2002.
Hasan, Thalhah, Islam dalam Perspektif Sosio Kultural, Jakarta: Lantabora Press,
2005.
78
Hayati, Zahrotul, Pendidikan Multikultural Dalam Perspektif Islam, Skripsi pada
Strata Satu Perpustakaan Utama UIN Syarif Hidayatullah Jakarta,
Jakarta, 2008.
Irfan, Muhamad, Basuki, Membangun Inklusifisme Faham Keagamaan,
Ponorogo, STAIN Ponorogo Press, 2009.
Junaedi, dkk, Pendidikan Kewarganegaraan, Jakarta Learning Assistance
Program for Islamc Schools Pendidikan Guru Madrasah Ibtidaiyah,
Edisi pertama aket 8-14, 2009.
Kusuma dkk, Paradigma Baru Pendidikan, Jakarta: IISEP, 2008.
Latifudin, Paradigma Pendidikan Multikultural Dalam Pendidikan Islam,
Sekolah Pasca Sarjana UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta, 2008.
Lopulalan, Dicky dan Benjamin Tukan, Konvensi Internasional Tentang
Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Rasial, Jakarta, LSPP, 2000.
Maarif, Kekerasan Atas Nama Agama, Jakarta: MAARIF Institut, vol. 5, no. 2,
2010.
Maksin, Ali, Pluralisme dan Multikulturalisme: Paradigma Baru Pendidikan
Islam di Indonesia, Yogyakarta: Aditia Media Publishing, 2011.
Mc Goldrick, Annabel, Lynch, Jake, Jurnalisme Damai: Bagaimana
Melakukannya?, Jakarta, LSPP, 2001.
Minten Ayu, Larasati, Tujuan Pendidikan Multikultural, Yogyakarta:
Kompasiana, 2012.
Misrawi, Zuhai, Al-Qur’an Kitab Toleransi Inklusifisme, Pluralisme dan
Multikulturalisme, Jakarta: FITRAH, 2007.
Muhaimin, dkk, Paradigma Pendidikan Islam: Upaya Mengefektifkan Pendidikan
Agama Islam di Sekolah, Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 1997.
Munawar, Budhy, Ensiklopedi Nurcholish Majid: Pemikiran Islam di Kanvas
Peradaban, Jakarta: Mizan, 2006.
Nizar, Samsul, Memperbincangkan Dinamika Intelektual dan Pemikiran Hamka
Tentang Pendidikan Islam, Jakarta: Kencana, 2008.
Nur, Uhbiyati, Ilmu Pendidikan Islam, Bandung: Pustaka Setia, 1997.
Nurdin, Ali, Aziz, Abdul, Islam dan Prospek Keberagaman di Indonesia, Jakarta:
UIN Press, 2006.
79
Nurdin, Ali, Quranic Society: Menelusuri Konsep Masyarakat Ideal dalam Al-
Quran, Jakarta: Erlangga, 2006.
Nurohmah, Leli, Kesetaraan, Kemajemukan dan HAM, Jakarta: Rahima, 2010.
Paeni, Mukhlis, Sejarah Kebudayaan Indonesia: Religi dan Falsafah, Jakarta: PT
Raja Grafindo Persada, 2009.
Rahman, Yulia, Nasionalisme dan Islam Dalam Pembelajaran Agama, Bandung,
Friska Agung Insani, 2000.
Republik Indonesia, Undang-Undang Tentang Sisdiknas dan Peraturan
Pelaksanaannya, Jakarta: CV. Tamita Utama, 2004.
Rizaluddin, Sejarah Pemikiran Pendidikan Islam, Jakarta: FAI UHAMKA, 2008.
Sadali, dkk, Islam Untuk disiplin Ilmu Pengetahuan, Jakarta: PT. Bulan Bintang,
1987.
Saefuddin, Desekularisasi Pemikiran: Landasan Islamisasi,Bandung: Mizan,
1998.
Sagimun, Ki Hajar Dewantara, Jakarta: Bhratara Karya Aksara, 1983.
Sarjuni, Pengantar Studi Islam, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2011.
Setiadi, Eli, Ilmu Sosial dan Budaya Dasar, Jakarta: Kencana, 2009.
Shihab, Quraish, Membumikan Al-Qur’an Jilid 2, Ciputat: Lentera Hati, 2006.
Siregar, Muhammad, Islam Untuk Berbagai Aspek Kehidupan, Yogyakarta: Tiara
Wacana, 1999.
Sukardjo dan Komarudin, Ukim, Landasan Pendidikan dan Aplikasinya, Jakarta:
PT Raja Grafindo, 2014.
Suparta, Munzir, Islamic Multicultural Education: Sebuah Refleksi atas Pendidikan
Agama Islam di Indonesia, Jakarta: Gifani Alfatana Sejahtera, 2010.
Suryabrata, Suryadi, Metode Penelitian, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1998.
Suwito, 2005, Sejarah Sosial Pendidikan Islam, Jakarta: Kencana.
Tafsir, Ahmad, Ilmu Pendidikan Dalam Perspektif Islam, Bandung: PT Remaja
Rosdakarya, 2008.
Talhah, Muhamad 2005, Islam dalam Perspektif Sosio-Kultural, Jakarta:
Lantabora Pers.
80
Tilaar, H. A. R, Perubahan Sosial dan Pendidikan: Pengantar Pedagogik
Transformatif Untuk Indonesia, Jakarta: PT. Rineka Cipta, 2012.
Trauma, Dody, Pendidikan Agama Islam Berwawasan Multikulturalisme, Jakarta,
2010.
Van Hoeve, Ensiklopedi Tematis Dunia Islam, Dinamika Masa Kini, Jakarta: PT
Ikhtar Baru, 2000.
Wahid, Abdurrahman, Islamku Islam Anda Islam Islam Kita Agama Masyarakat
Negara Demokrasi, Jakarta: The Wahid Institute, 2006.
Wiliam, Evaluasi: Teori, Model, Standar, Aplikasi dan Profesi, Jakarta: Rajawali
Pers, 2012.
Yunus, Muhammad, Pendekatan Integratif vs Pendekatan Interdisiplin: Dikotomi
atau Continum, Jakarta: FITK UIN Syarif Hidayatullah, 2009.
Yunus, Sapto, Kovenan Internasional Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya, Jakarta:
LPSS, 2000.
_________Prospek Islam dalam Menghadapi Tantangan Zaman,Jakarta: Bangun
Prakarya, 2000.
________Landasan Pendidikan Konsep dan Aplikasinya, Jakarta: Rajawali Press,
2012.
________Pendidikan Islam dan Tantangan Globalisasi, Buah Fikir Seputar:
Filsafat, Politik, Ekonomi, Sosial dan Budaya, Yogyakarta: AR-RUZZ Media,
2004.
LAMPIRAN
DAFTAR REFERENSI
Judul : URGENSI PENDIDIKAN MULTIKULTURAL
DALAM PERSPEKTIF AGAMA ISLAM
Nama : Anggi Anggara
NIM : 109011000038
Dosen Pembimbing : Dr. Muhammad Dahlan, M.Hum
No. No.
Footnote Nama Rujukan/Sumber
Halaman
Skripsi
Paraf
Pembimbing
BAB I
1 25 Azyumardi Azra, Menteri-Menteri Agama RI:
Biografi Sosial-Politik, (Jakarta: PPIM, 1998), h.
235.
2 3 Annabel Mc Goldrick, Jake Lynch,
Jurnalisme Damai: Bagaimana
Melakukannya?, (Jakarta, LSPP, 2001), cet.
I, h. vii
3 4 Dicky Lopulalan, Benjamin Tukan,
Konvensi Internasional Tentang
Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi
Rasial, (Jakarta, LSPP, 2000), cet. I. h. 16.
4 12 Latifudin, Paradigma Pendidikan
Multikultural Dalam Pendidikan Islam,
Sekolah Pasca Sarjana UIN Syarif
Hidayatullah, Jakarta, 2008, h. 4.
5 15 Maarif, Kekerasan Atas Nama Agama, Jakarta:
MAARIF Institut, 2010, vol. 5, no. 2. h. 129.
6 19 Muhamad Irfan, Basuki, Membangun
Inklusifisme Faham Keagamaan, (Ponorogo,
STAIN Ponorogo Press, 2009), cet, I, h. 17.
7 1 Syamsul Arifin, Studi Agama Perspektif
Sosiologis dan Isu-Isu Kontemporer,
(Malang, UMM Press, 2009), cet. I, h. 63.
8 10 Sapto Yunus, Kovenan Internasional Hak
Ekonomi, Sosial dan Budaya, (Jakarta:
LPSS, 2000), cet. I, h. 43.
9 20 Yulia Rahman, Nasionalisme dan Islam
Dalam Pembelajaran Agama, (Bandung,
Friska Agung Insani, 2000), h. 30.
BAB II
10 15, 16 A. Sadali, dkk, Islam Untuk disiplin Ilmu
Pengetahuan, Jakarta: PT. Bulan Bintang, 1987,
cet. I, h. 38.
15
11 12 Abdul Halim, Wawasan Pendidikan Islam,
(Jakarta: Kalam Mulia, 2002), cet. I, h. 18-19.
14
12 5 Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan Dalam
Perspektif Islam,(Bandung: PT Remaja
Rosdakarya, 2008), cet. 1, h. 24-28.
12
13 27 Ali Maksin, Pluralisme dan Multikulturalisme:
Paradigma Baru Pendidikan Islam di Indonesia,
(Yogyakarta: Aditia Media Publishing, 2011),
cet. I, h. 8.
23
14 57 Ali Nurdin, Abdul Aziz, Islam dan Prospek
Keberagaman di Indonesia, (Jakarta:UIN Press,
2006), cet. I, h. 93.
41
15 41 Andre, Ujan Ata, Multikulturalisme: Belajar
Hidup Bersama dalam Perbedaan, (Jakarta: PT.
Indeks, 2009), h. 16.
32
16 6 Anshori, Pendidikan Islam Transformatif,
(Jakarta: Referensi, 2012), cet. I, h. 10.
12
17 22 Arifin, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: PT.
Bumi Aksara, 2009), h. 8.
18
18 9, 11 Armai Arif dan Sholehuddin, Perencanaan
Sistem Pendidikan Agama Islam, (Jakarta: PT.
Wahana Kardofa, 2009), cet. I, h. 2-3.
13, 14
19 7, 20 Armai Arif, Pembaharuan Pendidikan Islam di
Minangkabau, (Jakarta: Suara ADI, 2009), cet. I,
h. 32.
12, 18
20 44, 45 Dasim Budimansyah, Karim Suryadi, PKN dan
Masyarakat Multikultural, (Bandung: Program
Studi Pendidikan Kewarganegaraan, UPI, 2008),
cet. I, h. 29.
33, 34
21 24, 25 Dody Trauma, Pendidikan Agama Islam
Berwawasan Multikulturalisme, (Jakarta: 2010,
cet. I. H. 69.
20
22 50, 51 Eli Setiadi, Ilmu Sosial dan Budaya Dasar,
(Jakarta: Kencana, 2009), cet. 5, h. 152.
37
23 42, 43 H. A. R Tilaar, Perubahan Sosial dan
Pendidikan: Pengantar Pedagogik Transformatif
Untuk Indonesia, (Jakarta: PT. Rineka Cipta,
2012), cet. I, h. 484.
33
24 46 Kusuma dkk, Paradigma Baru Pendidikan,
(Jakarta: IISEP, 2008), cet. I, h. 100.
35
25 29, 30 Larasati Minten Ayu, Tujuan Pendidikan
Multikultural, (Yogyakarta: Kompasiana, 2012),
h. 39.
25, 27
26 3 Muhaimin, dkk, Paradigma Pendidikan Islam:
Upaya Mengefektifkan Pendidikan Agama Islam
di Sekolah, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya,
1997, cet. 5, h. 37.
11
27 13, 14,
16
Muhamad H Talhah, Islam dalam Perspektif
Sosio-Kultural, (Jakarta: Lantabora Pers, 2005),
cet. I, h. 97.
14, 15
28 31, 32,
35
Muhammad Siregar, Islam Untuk Berbagai
Aspek Kehidupan, (Yogyakarta: Tiara Wacana,
1999), cet. 1, h. 133-134.
27, 29
29 52, 53 Muhammad Yunus, Pendekatan Integratif vs
Pendekatan Interdisiplin: Dikotomi atau
Continum, (Jakarta: FITK UIN Syarif
Hidayatullah, 2009), vol. X, h. 284.
38, 39
30 17, 18,
19
Nur Uhbiyati, Ilmu Pendidikan Islam, (Bandung:
Pustaka Setia, 1997), cet. I, h. 41.
16, 17
31 54, 55,
56
Pendidikan Islam dan Tantangan Globalisasi,
Buah Fikir Seputar: Filsafat, Politik, Ekonomi,
39. 40
Sosial dan Budaya, (Yogyakarta: AR-RUZZ
Media, 2004), cet. I, h. 3-4.
32 10, 11 Rizaluddin, Sejarah Pemikiran Pendidikan
Islam, Jakarta: FAI UHAMKA, 2008, cet. I, h. 7.
13, 14
33 33, 34 Sagimun, Ki Hajar Dewantara, (Jakarta:
Bhratara Karya Aksara, 1983), cet. II, h. 38-39.
28
34 21, 23 Samsul Nizar, Memperbincangkan Dinamika
Intelektual dan Pemikiran Hamka Tentang
Pendidikan Islam, (Jakarta: Kencana, 2008), cet.
I, h. 116.
18
35 8 Sukardjo dan Ukim Komarudin, Landasan
Pendidikan dan Aplikasinya, (Jakarta: PT Raja
Grafindo, 2014), cet. I, h. 4.
13
36 26, 28 Suwito, Sejarah Sosial Pendidikan Islam,
(Jakarta: Kencana, 2005), cet. I, h. 25.
21, 24
37 38, 39,
40
Thalhah Hasan, Islam dalam Perspektif Sosio
Kultural, (Jakarta: Lantabora Press, 2005), cet. I,
h. 141-142.
31, 32
38 1, 2 Undang-Undang Tentang Sisdiknas dan
Peraturan Pelaksanaannya, (Jakarta: CV. Tamita
Utama, 2004), h. 4.
10
39 4 Zahrotul Hayati, Pendidikan Multikultural
Dalam Perspektif Islam, Skripsi pada Strata Satu
Perpustakaan Utama UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta, Jakarta, 2008, h. 10.
11
40 36, 37 Zainal Abidin, Neneng Habibah, Pendidikan
Agama Islam dalam Perspektif
Multikulturalisme, Jakarta: Balai Penelitian dan
Pembangunan Agama, cet, I, h. 47.
29, 31
41 47, 48,
49
Zuhai Misrawi, Al-Qur’an Kitab Toleransi
Inklusifisme, Pluralisme dan Multikulturalisme,
(Jakarta: FITRAH, 2007), cet. I, h. 216-217.
35, 36
BAB III
42 1 Imam Gunawan, Metode Penelitian Kualitatif,
(Jakarta, Bumi Aksara, 2013), cet. I, h. 80.
42
43 4, 5 Saeful Azwar, Metode Penelitian, (Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 1998), h. 89.
43
44 6 Suryadi Suryabrata, Metode Penelitian, (Jakarta:
PT Raja Grafindo Persada, 1998), h. 8.
43
45 2, 3, 7 Wiliam, Evaluasi: Teori, Model, Standar,
Aplikasi dan Profesi, (Jakarta: Rajawali Pers,
2012), cet. II, h. 154.
42, 43,
44
BAB IV
46 5, 7, 8 Abdurrahman Azzam, Konsepsi
Perdamaian Islam, (Jakarta: PT Karya
Unipress, 1985), cet. I, h. 281.
49, 51
47 14, 15,
17, 18
Abdurrahman Wahid, Islamku Islam
Anda Islam Islam Kita Agama
Masyarakat Negara Demokrasi,
(Jakarta: The Wahid Institute, 2006), cet.
I, h. 225
54, 55,
56
48 1, 2, 4 Ali Nurdin, Quranic Society: Menelusuri
Konsep Masyarakat Ideal dalam Al-
Quran, (Jakarta: Erlangga, 2006), h. 270-
271.
47, 48
49 3 Al-Munawar, Hukum Islam dan
Pluralitas Sosial, (Jakarta: Penamadani,
2004), cet. I, h. 183.
48
50 26, 27 Budhy Munawar, Ensiklopedi
Nurcholish Majid: Pemikiran Islam di
Kanvas Peradaban, (Jakarta: Mizan,
2006), cet. I, h. 3448.
64, 65
51 25 Ensiklopedi Tematis Dunia Islam,
Dinamika Masa Kini, (Jakarta: PT Ikhtar
Baru Van Hoeve), h. 230.
64
52 9, 11 Leli Nurohmah, Kesetaraan,
Kemajemukan dan HAM, (Jakarta:
Rahima, 2010), cet. I, h. 185.
52, 53
53 28 Mukhlis Paeni, Sejarah Kebudayaan
Indonesia: Religi dan Falsafah, (Jakarta:
PT Raja Grafindo Persada, 2009), h. 181.
66
54 22 Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur’an
Jilid 2, (Ciputat: Lentera Hati, 2006),
cet. I, h. 82-83.
61
55 10 Saefuddin, Desekularisasi Pemikiran:
Landasan Islamisasi,(Bandung: Mizan,
1998), cet. IV, h. 184-185.
52
56 5 Sarjuni, Pengantar Studi Islam, (Jakarta:
PT Raja Grafindo Persada, 2011), cet. I,
h. 56-57.
50
57 12, 13 Sukardjo, Ukim, Landasan Pendidikan
Konsep dan Aplikasinya, (Jakarta:
Rajawali Press, 2012), h. 76.
52, 54
58 19, 20,
21, 23,
24
Syafi’i Anwar, Pemikiran dan Aksi Islam
Indonesia, (Jakarta: Paramadina, 1995),
cet. I, h. 228-229.
57, 58,
60, 63
59 15 Thalhah Hasan, Prospek Islam dalam
Menghadapi Tantangan Zaman,(Jakarta:
Bangun Prakarya, 2000), cet. I, h. 39-40.
55
BAB V
60 1, 2 Freddy, Puspa Ragam: Konsep dan Isu
Kewarganegaraan, (Bandung: Widya Aksara
Press, 2010), cet. II, h. 121.
67, 68
Untuk memenuhi validasi skripsi yang berjudul URGENSI PENDIDIKAN
MULTIKULTURAL DALAM PERSPEKTIF AGAMA ISLAM, maka perlu
pengujian daftar referensi untuk mengetahui sumber data yang diperoleh.
Jakarta, 19 April 2015
Pembimbing