dolanan anak tradisional

Upload: dimasharyanto

Post on 10-Jul-2015

1.427 views

Category:

Documents


10 download

TRANSCRIPT

Ensiklopedi

DHAKONBagi masyarakat Jawa, khususnya bagi kalangan anak-anak perempuan periode tahun 1970-an dan sebelumnya, permainan dhakon mungkin sudah tidak asing lagi. Permainan tradisional ini merupakan bagian dalam dunia bermain mereka, terutama di wilayah pedesaan. Dhakon kayu dengan ukiran juga banyak dijumpai, terutama di kalangan kraton yang dimiliki oleh para ningrat dan bangsawan Jawa. Memang, mainan dhakon ini menjadi salah satu mainan favorit anak perempuan dari kalangan ningrat dan bangsawan kraton. Namun sayang, permainan tersebut lambat laun mulai tidak dikenal lagi oleh generasi sekarang seiring dengan perkembangan zaman. Walaupun begitu, bukan berarti alat dhakon sudah tidak ada di masa kini. Masih banyak dijumpai dhakon di masyarakat Jawa saat ini. Namun fungsi utamanya sudah berubah. Sangat jarang anak perempuan sekarang bermain dhakon. Jika ada dhakon di masyarakat, lebih berfungsi untuk hiasan, asesoris rumah agar tampak njawani atau bisa jadi sudah masuk koleksi museum. Dhakon yang dalam bahasa Indonesia disebut dengan istilah congklak, sebenarnya dapat menyebut ke alat permainan itu sendiri maupun ke nama permainannya. Jika dhakon menunjuk ke alatnya, maka dhakonan lebih menunjuk ke bermain dhakon. Pada umumnya, dhakon dibuat dari bahan sebilah kayu dengan panjang sekitar 50 cm, lebar 15-20 cm, dan tebal sekitar 4-5 cm. Kayu yang dipakai pun bebas jenisnya, yang penting mudah dilubangi (tidak sampai tembus, hanya sekitar 2 cm, bentuknya cekung). Bentuk kayu lebih ke bentuk persegi empat dengan kedua sisi ujung sering dibentuk setengah lingkaran. Lalu, kedua sisi memanjang dibuat lubang berpasangan berjumlah sekitar 3-7 buah. Sementara di kedua ujung juga dibuat lubang cekung agak besar jika dibanding dengan lubang-lubang di sisi kanan kiri. Sehingga total lubang cekung dalam sebuah dhakon antara 8-16 buah. Namun bisa jadi, dhakon tidak dibuat dari kayu, namun bisa dibuat dengan melubangi tanah yang agak keras dengan batu. Jumlah lubang cekungnya bisa sama dengan dhakon yang terbuat dari kayu. Dhakon dari tanah dibuat jika memang si anak yang hendak bermain dhakon tidak mempunyai alat dhakon dari kayu. Memang semua anak zaman dulu belum tentu mempunyai alat dhakon kayu. Maka, cara praktis adalah dengan membuat cekungan pada tanah yang agak keras.

Bahan lain yang sekarang banyak dipergunakan untuk pembuatan dhakon adalah dari plastik. Dhakon plastik banyak dijumpai di toko-toko mainan, di swalayan, di pasar tradisional, atau di pasar-pasar malam. Dhakon plastik lebih enteng atau ringan jika dibandingkan dengan dhakon kayu. Sementara alat lain yang dipakai adalah kecik atau biji buah sawo, sawo manila, srikaya, tanjung, dan sejenisnya. Bisa juga memakai butiran batu krikil yang berukuran kecil, sebesar kecik. Dhakon biasa dipakai oleh anak perempuan. Sebelum bermain, maka setiap lubang dhakon yang berukuran kecil awalnya harus diberi kecik dengan jumlah yang sama, misalnya 6 buah. Maka untuk 5 lubang dikalikan 2 sisi dikalikan 6 kecik, dibutuhkan 60 kecik. Untuk banyaknya kecil setiap lubang bisa menjadi kesepakatan anak yang akan bermain dhakon. Kemudian anak yang akan bermain dhakon mengawali dengan sut untuk mencari pemenang. Pemenang akan mengawali untuk bermain duluan. Ia bebas untuk memilih lubang awal untuk kemudian diambil keciknya, kemudian dibagi ke lubang di sisi kanannya. Setiap lubang diberi satu, termasuk lumbungnya yang berada di sebelah kanan. Lalu setiap lubang milik lawan juga diberi jatah satu. Ketika kecik terakhir dijatuhkan pada lubang yang masih berisi kecik lainnya, maka ia akan terus memainkan permainan. Begitu seterusnya kembali ke lubang yang ada di sisi pemain. Lubang lumbung milik lawan tidak diberi kecik. Jika si pemain saat menjatuhkan kecik terakhir pada lubang yang tidak ada keciknya, maka ia dianggap berhenti bermain dan dilanjutkan ke lawan bermain. Demikian selanjutnya, hingga lubang-lubang kecil kosong keciknya. Permainan dhakon juga mengenal nembak dan mikul. Nembak berlaku jika si pemain saat menjatuhkan kecik terakhir di lubangnya sendiri, sementara lubang di hadapan sisi lawan ada keciknya, maka dikatakan nembak. Dikatakan mikul, jika saat menjatuhkan kecik terakhir di sisi lawan, di kanan kiri ada keciknya. Jika seseorang mengungguli lawannya dalam perolehan kecik, maka ia dianggap menang. Kemudian permainan bisa dilanjutkan lagi hingga beberapa kali putaran atau sampai titik jenuh. Ada pelajaran berharga dari bermain dhakon, di antaranya adalah rasa jujur dan melatih kecerdasan berhitung. Kejujuran permainan ini adalah mutlak. Sebab tanpa didasari rasa jujur, seseorang yang bermain dhakon akan curang sehingga merugikan orang lain. Ketika tidak didasari rasa jujur, maka saat kecik terakhir hendak jatuh pada lubang kosong tanpa kecik, ia pasti akan menjatuhkan kecik itu pada lubang sebelumnya yang ada

keciknya. Atau bisa jadi, lumbungnya sendiri akan lebih diisi satu kecik dalam satu putaran. Banyak cara untuk berbuat curang jika tidak dijiwai dengan rasa jujur. Maka ketika rasa curang sering muncul, biasanya seseorang itu akan dijauhi oleh temannya bermain. Selain itu tentu saja permainan dhakon juga membutuhkan kecerdasan berhitung, seperti di saat memasukkan kecik di setiap lubang maupun saat menghitung biji kecik di saat permainan satu babak usai. Jika tidak pandai berhitung, tentu akan membuat lawan bermain mengakalinya. Maka kecerdasan berhitung memang diperlukan dalam permainan dhakon. Memang pada umumnya permainan tradisional lebih menitikberatkan pada penanaman nilai-nilai budi pekerti, seperti rasa kejujuran pada permainan dhakon atau nilai-nilai lain yang tentu akan dimunculkan pada permainanpermainan tradisional lainnya. Selain itu, pada permainan tradisional pada umumnya juga melibatkan rasa sosial yang tinggi, melibatkan dua orang lebih, dan bukan bersifat individual. Juga biasanya permainan anak tradisional, bahan baku alat langsung diperoleh dari lingkungan alam sekitarnya tanpa melalui proses pengolahan pabrik. Kreativitas anak biasanya lebih dominan dalam permainan tradisional, karena anak dilatih untuk membuat sendiri alat-alat permainan tersebut. Teks dan foto : Suwandi

EGRANGAlat permainan tradisional satu ini sudah tidak asing lagi bagi anak-anak di lingkungan masyarakat Jawa, karena hampir pasti bisa ditemui dengan mudah di berbagai tempat di pelosok pedesaan dan perkotaan, pada masa lalu. Egrang termasuk dolanan anak, karena permainan ini sudah muncul sejak dulu paling tidak sebelum kemerdekaan Republik Indonesia, semasa penjajahan Belanda. Hal itu seperti terekam di Baoesastra (Kamus) Jawa karangan W.J.S. Poerwadarminto terbitan 1939 halaman 113, disebutkan kata egrang-egrangan diartikan dolanan dengan menggunakan alat yang dinamakan egrang. Sementara egrang sendiri diberi makna bambu atau kayu yang diberi pijakan (untuk kaki) agar kaki leluasa bergerak berjalan. Egrang dibuat secara sederhana dengan menggunakan dua batang bambu (lebih sering memakai bahan ini daripada kayu) yang panjangnya masingmasing sekitar 2 meter. Kemudian sekitar 50 cm dari alas bambu tersebut, bambu dilubangi lalu dimasuki bambu dengan ukuran sekitar 20-30 cm yang

berfungsi sebagai pijakan kaki. Maka jadilah sebuah alat permainan yang dinamakan egrang. Boleh jadi, anak-anak di lingkungan masyarakat Jawa membuat permainan egrang dengan memakai bahan dari bambu, karena bahan ini banyak dijumpai di alam sekitarnya. Bambu banyak tumbuh di pekarangan rumah atau di pinggir-pinggir sungai. Selain itu bambu juga merupakan bahan yang cukup kuat untuk permainan ini. Bambu yang biasa dipakai adalah bambu apus atau wulung, dan sangat jarang memakai bambu petung atau ori yang lebih besar dan mudah patah. Alat egrang lebih terbatas pada sebuah permainan individu atau rombongan. Artinya permainan ini bisa dipakai bermain oleh anak secara individu atau beberapa anak secara berombongan. Permainan egrang biasa dipakai untuk bermain santai dan sangat jarang dipakai untuk permainan perlombaan. Anak yang bermain egrang, menginjakkan kaki pada alat pijakan yang tingginya sekitar 50 cm dari tanah. Kedua kaki dipijakkan pada kedua pijakan dan anak mencoba berjalan di atas egrang. Dalam permainan ini, anak harus bisa menjaga keseimbangan badan. Itu yang paling utama. Tanpa bisa menjaga keseimbangan, anak akan sering jatuh. Namun jika anak sudah terlatih, maka ia akan terampil menggunakan permainan egrang. Anak biasanya akan bangga bisa bermain egrang, karena selain bisa menjaga keseimbangan, juga merasa lebih tinggi dengan berpijak di atas pijakan bambu egrang. Sayang, permainan tradisional egrang seperti juga alat-alat permainan tradisional lainnya-- di masa sekarang sudah tidak lagi dikenal oleh anakanak sekarang yang lebih banyak mengenal permainan modern (playstation) atau permainan impor dari plastik. Permainan egrang dan sejenisnya sudah lebih banyak mengisi lembaga museum atau lembaga penelitian yang berkaitan dengan nilai budaya dan sejarah. Di sudut Taman Pintar Yogyakarta juga ditemukan dolanan egrang ini walau keadaannya cukup memprihatinkan. Egrang tinggal menjadi kenangan di masa sekarang dan sekali-sekali masih dipertontonkan dalam acara workshop maupun seminar. Teks dan foto : Suwandi

BENTHIKAnak laki-laki di lingkungan masyarakat Jawa yang lahir sebelum tahun 1970-an, tentu sudah tidak asing lagi dengan sebuah permainan yang dinamakan benthik. Mereka tentu akan teringat

sekali jenis alat permainannya maupun cara bermain. Memang, permainan satu ini juga merupakan salah satu jenis permainan tradisional yang sering dipermainkan oleh anak laki-laki di lingkungan masyarakat tempo dulu. Mungkin bagi anak kelahiran tahun 2000 ke atas, terutama di kalangan perkotaan, permainan ini sudah tidak dikenal lagi, karena memang bukan zamannya lagi. Pada 70 tahun yang lalu, permainan tradisional ini pun sudah dikenal oleh masyarakat Jawa. Terbukti, istilah permainan ini sudah terekam di Baoesastra (Kamus) Djawa karya W.J.S. Poerwadarminta terbitan tahun 1939 di Weltevreden Batavia (Jakarta). Pada halaman 41 kolom 1 disebutkan bahwa makna benthik, salah satunya adalah nama permainan. Memang tidak dijelaskan mendetail, namun permainan ini terus hidup di masyarakat Jawa dengan pola dan peralatan seperti yang sudah disebutkan di atas. Benthik, begitulah sebutannya, dibuat dari 2 potong stik atau kayu bentuk silinder dengan panjang berbeda. Satu potong kayu dengan panjang sekitar 30 cm, yang satunya sekitar 10 cm. Kedua potongan stik tersebut biasanya berdiameter sama, sekitar 2-3 cm. Biasanya potongan kayu tersebut diperoleh dari ranting-ranting pohon yang tumbuh di sekitar halaman, seperti pohon asem, pohon mlandhing (petai Cina), pohon jambu biji, pohon mangga, dan sejenisnya. Ranting pohon yang diambil biasanya dari kayu yang ulet dan tidak mudah patah. Bisa jadi, alat benthik dibuat dari potongan bambu yang dibuat silinder dengan ukuran yang sama seperti di atas. Cara bermainnya pun bisa dianggap mudah. Bisa dilakukan dengan cara beregu atau individu. Jika dilakukan beregu, bisa jadi satu regu (kelompok) terdiri dari 3 atau 4 anak. Ketika satu regu bermain, maka regu yang lain mendapat giliran jaga. Setiap regu secara bergantian memainkan benthik hingga semua mendapat giliran. Setelah selesai, bergantian yang jaga mendapat giliran bermain. Jika dilakukan individu, misalnya 5 anak, maka satu anak mendapat giliran bermain, maka 4 anak lainnya mendapat giliran jaga. Jika anak yang bermain sudah kalah, maka digantikan temannya secara bergantian. Regu atau anak yang mendapatkan angka terbanyak biasanya dianggap sebagai pemenang. Sebelum permainan dimulai, anak-anak membuat sebuah lubang di tanah dengan ukuran memanjang sekitar 7-10 cm, lebar 2-3 cm, Lubang itu digunakan sebagai tolakan melemparkan stik pendek. Setelah itu anak-anak melakukan

hompimpah atau sut. Permainan benthik biasanya terdiri dari tiga tahap. Tahap pertama, anak yang mendapat giliran bermain, meletakkan stik pendek di atas lubang, lalu dengan bantuan stik panjang, stik pendek dilempar sekuat dan sejauh mungkin. Jika benthik pendek tertangkap tangan, maka anak yang bermain dianggap kalah, sementara yang menangkap stik pendek mendapat nilai, umpamanya dengan dua tangan 10 poin, satu tangan kanan 25 poin, satu tangan kiri 50 poin, dan sebagainya. Jika tidak tertangkap, salah satu anak yang jadi melemparkan stik pendek ke arah stik panjang yang telah ditaruh di atas lubang dengan posisi melintang. Jika stik panjang terkena, maka anak yang bermain kalah. Jika stik pendek tidak mengenai stik panjang, anak yang bermain dapat meneruskan permainan ke tahap kedua. Pada tahap ini, anak yang bermain lalu melemparkan stik pendek ke udara lalu dipukul sekuat tenaga dengan stik panjang agar terlempar sejauh mungkin. Jika stik pendek yang dilempar tertangkap oleh lawan, maka anak yang bermain dianggap kalah. Ia harus menghentikan permainan. Jika tidak tertangkap tangan, maka anak yang jaga harus melemparkan stik pendek ke arah lubang yang telah dibuat. Jika saat dilempar ke arah lubang, stik pendek terpukul oleh anak yang bermain dan terlempar jauh kembali ke arah sebaliknya, maka perolehan poin yang didapat akan semakin banyak. Sebab cara penghitungan poin dengan menggunakan stik panjang, diawali dari lubang ke arah jatuhnya stik pendek. Jika stik pendek yang dilempar ke arah lubang dan tidak terpukul oleh si pemain, maka penghitungan juga dilakukan mulai dari lubang ke arah jatuhnya stik pendek yang lolos dari pukulan kedua. Jika lemparan stik pendek dari lawan masuk ke arah lubang, maka poin yang dikumpulkan oleh anak yang bermain dianggap hangus. Apabila pada tahap kedua, anak yang bermain mendapatkan poin, maka bisa dilanjutkan ke tahap ketiga. Pada tahap ini, anak yang bermain harus meletakkan stik pendek ke dalam lubang. Satu ujung stik dimasukkan ke dalam lubang, sementara ujung stik lainnya timbul di permukaan tanah. Anak yang bermain harus bisa memukul ujung stik yang timbul agar mengudara lalu dipukul sejauh mungkin. Jika tidak dapat memukul kedua kali, maka ia dianggap kalah atau mati dan harus digantikan dengan pemain lainnya. Namun jika berhasil memukul lagi satu kali, dua kali atau seterusnya, maka pemain berhak untuk mengalikan hasil tersebut. Jika terlempar sejauh 20 kali stik panjang dan terpukul 1 kali lagi, maka ia mendapatkan poin 20. Jika ia mampu memukul 2 kali sebelum terlempar jauh, maka ia berhak melipatkan menjadi dua kali. Bisa jadi, ukuran untuk yang berhasil memukul dua kali atau seterusnya, memakai alat ukur

benda lain, misalnya peniti, gabah, dan sebagainya. Semakin ia memukul berulang kali sebelum terlempar jauh, memungkinkan ia akan finish lebih dulu. Begitu seterusnya dalam permainan benthik. Ia akan mengulangi dari awal, apabila tidak mati dalam permainan. Ada sisi positif dari permainan tradisional benthik ini. Anak akan diajarkan untuk bersosialisasi dengan teman bermain. Jika ia tidak dapat bersosialisasi dengan baik, pasti teman bermain akan menjauhinya. Begitu pula sportivitas akan diuji dalam permainan ini. Setiap anak yang tidak berjiwa sportif pasti lama-kelamaan juga akan ditinggalkan oleh rekan bermain. Sayang, permainan itu pada saat ini hanya tinggal kenangan. Paling hanya tinggal didokumentasi lewat tulisan-tulisan, VCD, maupun film-film dokumenter, maupun dikoleksi oleh museum-museum. Teks dan foto : Suwandi

Ensiklopedi

EGRANG BATHOKSelain mengenal egrang dari bambu, anak-anak masyarakat Jawa masa lalu juga mengenal egrang bathok. Egrang jenis terakhir ini dibuat dari bahan dasar tempurung kelapa yang dipadu dengan tali plastik atau dadung. Fungsi utama sama, seperti alat dolanan lain, yakni diciptakan dan dibuat untuk bermain bagi dunia anak. Dolanan egrang bathok tidak terbatas untuk dimainkan oleh anak laki-laki, tetapi juga kadang dipakai untuk bermain anak perempuan. Permainannya pun cukup mudah, kaki tinggal diletakkan ke atas masingmasing tempurung, kemudian kaki satu diangkat, sementara kaki lainnya tetap bertumpu pada batok lain di tanah seperti layaknya berjalan. Permainan tradisional yang menggunakan alat seperti permainan egrang bathok ini, pada umumnya bahan dasarnya banyak diperoleh di sekitar lingkungan anak. Bathok dalam bahasa Indonesia disebut tempurung. Tempurung yang dipakai biasanya berasal dari buah kelapa tua yang telah dibersihkan dari sabutnya. Kemudian tempurung itu dibelah menjadi dua bagian. Isi kelapa dikeluarkan dari tempurung. Tempurung yang terbelah menjadi dua bagian ini kemudian dihaluskan bagian luarnya agar kaki yang berpijak di atasnya bisa merasa nyaman. Masing-masing belahan tempurung kemudian diberi lubang di bagian tengah. Masing-masing lubang tempurung dimasuki tali sepanjang sekitar 2 meter dan diberi pengait. Tali yang

digunakan biasanya tali lembut dan kuat, bisa berupa tali plastik atau dadung yang terbuat dari untaian serat. Jadilah sebuah permainan tradisional yang disebut egrang bathok. Permainan egrang bathok bisa dimainkan secara individu maupun kelompok. Kadang-kadang, permainan ini di masa-masa lalu, biasa pula dipakai untuk perlombaan. Tentu di sini anak diuji ketangkasan dan kecepatan berjalan di atas egrang bathok. Anak yang paling cepat berjalan tanpa harus jatuh dianggap sebagai pemenang. Namun sering pula secara individu anak bermain egrang bathok dalam situasi santai. Pada saat ini, permainan jenis ini sudah sangat jarang dijumpai di lingkungan masyarakat Jawa. Tidak mesti setiap anak terbiasa lagi membuat alat permainan ini. Begitu pula belum tentu pasar tradisional menjual alat permainan ini. Memang saat ini sangat sulit mencari alat permainan ini di pasaran. Paling-paling, hanya ada satu dua koleksi yang diproduksi atau kebetulan disimpan oleh instansi yang peduli, seperti museum dolanan anak, balai penelitian atau orang yang peduli terhadap permainan tradisional. Anak-anak sekarang memang tidak harus memainkan kembali permainanpermainan tradisional, termasuk dolanan egrang bathok. Namun paling tidak generasi tua saat ini bisa mengenalkan kepada generasi muda sekarang. Tentu dengan harapan agar generasi muda sekarang bisa mengenal sejarah kebudayaan nenek moyangnya, termasuk dalam lingkup permainan tradisional dan akhirnya bisa menghargai karya dan identitas bangsanya sendiri walaupun teknologi yang diterapkan kala itu sangat sederhana. Teks dan foto : Suwandi

Ensiklopedi

BEDHIL-BEDHILAN (DOLANAN ANAK TRADISIONAL-5)Entahlah, mungkin karena terinspirasi oleh senjata yang pernah dibawa oleh penjajah di kala itu, anak-anak masyarakat Jawa dua generasi dari sekarang atau yang lebih tua, mengenal permainan anak yang disebut dengan istilah Jawa bedhilbedhilan. Dalam bahasa Indonesia artinya sama

dengan permainan yang menyerupai pistol-pistolan. Walaupun sebenarnya kalau dilihat sepintas tidak mirip sama sekali. Namun bisa jadi penamaan itu diambil dari suara yang dihasilkan dari permainan bedhil-bedhilan yang bersuara mirip pistol dor-dor-dor. Itulah sekelumit penamaan permainan bedhil-bedhilan yang dikenal oleh anak-anak masyarakat Jawa tempo dulu. Permainan ini biasanya dimainkan oleh anak laki-laki, walaupun kadang ada pula anak perempuan yang bermain bedhil-bedhilan. Bahan yang sering dipakai diambil dari sekitar lingkungan alam di sekitar rumah. Biasanya anak-anak membuat bedhilbedhilan dari bahan bambu yang berukuran kecil. Bahan tersebut biasanya diambil dari ranting bambu apus atau beberapa jenis bambu lainnya. Bambu kecil tersebut berdiameter sekitar 1-2 cm dan diambil setiap 1 ruas. Kemudian ruas tersebut dipotong menjadi dua bagian. Bagian bawah dengan ruas tertutup lebih pendek, sementara ruas atas lebih panjang dan dua ujung berlubang. Biasanya dengan perbandingan panjang 1:3. Bambu ruas pendek kemudian dimasuki potongan stik yang berasal dari bambu pula, tetapi biasanya yang sudah kering, agar lebih kuat. Sisa potongan stik kayu dikerut hingga kecil, sehingga bisa masuk pada potongan bambu yang berukuran panjang. Sisa potongan stik kemudian dipotong satu cm lebih pendek dari panjang bambu yang berukuran panjang. Maka jadilah permainan tradisional bedhil-bedhilan. Sementara peluru yang dipakai biasanya bunga jambu air yang sudah rontok. Bisa yang masih kuncup atau yang sudah mekar. Bunga jambu air itu biasa disebut cengkaruk. Bisa juga peluru berasal dari bunga pohon mlandhing (lamtoro gung yang berukuran kecil) yang masih kecil, belum mekar putiknya. Pohon-pohon tersebut biasanya tumbuh di halaman atau pagar pembatas pekarangan rumah, sehingga ketika zaman itu mudah mencarinya. Dan yang jelas semua bahan gratis tidak usah membeli, tinggal mencari. Jika tidak ada bunga-bunga di atas, bisa pula memakai kertas koran yang sudah dibasahi air. Tetapi untuk peluru yang terakhir ini, sering ngadat (macet) di dalam lubang bedhil-bedhilan, sehingga susah dikeluarkan jika terlalu padat atau kebesaran. Peluru-peluru yang berasal dari bunga-bunga di atas dimasukkan satu bersatu ke bedhil-bedhilan. Peluru pertama dipukul-pukul hingga masuk dan dibiarkan hingga ujung lubang. Lalu peluru kedua dimasukkan lagi dengan cara sama hingga masuk di pangkal bedhil-bedhilan. Dari pangkal inilah kemudian disodokkan dengan keras sehingga terdengar bunyi dor seiring dengan peluru yang

pertama terlempar jauh ke depan. Begitu seterusnya hingga bunga-bunga cengkaruk yang dikumpulkan habis, kemudian mencari lagi. Permainan bedhil-bedhilan biasa dibuat oleh anak-anak sendiri. Anak-anak yang membuat permainan ini biasanya berumur 9-12 tahun. Tetapi kadangkadang dibuatkan oleh orang dewasa, bisa orang tua maupun saudarasaudaranya yang lebih tua. Permainan ini cukup awet, apalagi jika bahan yang dibuat sudah kering, bisa bertahan sebulan atau lebih, asalkan tidak pecah terbanting atau keliru memasukkan peluru yang terlalu besar. Tetapi bedhil-bedhilan yang terbuat dari bahan yang masih basah biasanya tidak awet, kecuali sering direndam dalam air. Jika tidak direndam, biasanya berkerut (kusut), sehingga stik sulit dimasukkan. Permainan bedhil-bedhilan biasa dimainkan saat anak-anak sedang senggang, waktunya bermain. Bisa setelah pulang sekolah atau liburan. Dimainkan secara individu atau kelompok. Kadang-kadang dibuat dua regu yang saling berhadapan, seolah-olah bermain tembak-tembakan beneran. Satu kelompok menyerang kelompok lainnya, saling berkejaran. Begitulah dunia anak di masa lalu sangat senang memanfaatkan bahan dari alam sekitar. Bagaimana dengan anak sekarang? Pasti sudah banyak perubahan. Teks dan foto : Suwandi

Ensiklopedi

REBANA-REBANAANBentuknya memang mirip dengan alat musik tradisional rebana yang terbuat dari kulit. Namun untuk rebana yang satu ini ukurannya lebih kecil dan bahannya pun berbeda, sehingga namanya pun rebana-rebanaan karena menyerupai rebana. Sebagian anak lain menyebut mainan ketipungketipungan. Bisa jadi anak-anak di lokasi lain menyebutnya dengan nama lain pula. Mainan tradisional satu ini terbuat dari gerabah berlubang tengah yang diberi kertas semen. Sementara pemukulnya terbuat dari potongan lidi, bilahan bambu atau kayu yang diberi tanah liat atau karet di salah satu sisi ujungnya. Bisa jadi dipukul dengan jari-jari tangan. Jenis mainan ini pernah dipakai bermain oleh anak-anak kecil di masyarakat Jawa lebih dari 30 tahun lalu. Bahkan sekarang pun masih ada sebagian kecil anak-anak yang memainkan alat ini, walaupun sudah dikatakan sudah jarang.

Anak-anak biasanya tidak membuat sendiri dolanan tradisional jenis satu ini, melainkan membeli di pasar tradisional atau pedagang mainan keliling. Namun begitu saat ini sudah tidak banyak pasar-pasar tradisional maupun pedagang mainan keliling yang menjual jenis mainan ini karena terdesak oleh mainan jenis modern yang lebih awet. Tentu selain itu pembuat mainan ini juga sudah langka mengingat prospek penjualannya yang agak seret. Tetapi kadang-kadang, tidak disangka kita masih bisa menjumpai seorang pedagang mainan tradisional menjajakan dolanan ini. Memang jenis mainan satu ini jika dibandingkan dengan jenis dolanan yang lebih modern kalah jauh. Dari bahannya saja, sudah berbeda. Dolanan rebana-rebanaan tradisional ini terbuat dari gerabah dan kertas semen yang tentu mudah rusak, walaupun harganya masih sangat terjangkau untuk ukuran sekarang. Sementara mainan modern lebih awet dan praktis. Selain itu, produksi dolanan tradisional tadi sudah sangat langka, berbeda dengan dolanan modern yang banyak diproduksi oleh pabrik. Di samping itu suara yang ditimbulkan dari mainan tradisional hanya monoton tung tung saja sehingga anak-anak di zaman sekarang kurang tertarik dengan jenis mainan tradisional tersebut. Namun begitu, tidak berarti mainan tradisional ini sudah tidak bisa ditemui di masyarakat sekarang. Selain masih ditemukan di sekeliling kita, walaupun sudah jarang, mainan tradisional rebana-rebanaan ini juga kadang masih dikoleksi oleh museum atau institusi lain yang peduli terhadap mainan tradisional, khususnya di masyarakat Jawa. Tentu selain bentuk benda aslinya, bisa ditemukan dalam bentuk dokumentasi lain, seperti foto atau berupa audio visual. Teks dan foto : Suwandi

Ensiklopedi

GOBAG SODOR (DOLANAN ANAK TRADISIONAL-7)Dolanan tradisional gobag sodor ini tentu sudah tidak asing lagi bagi anak-anak masyarakat Jawa yang sekarang berumur 30 tahun ke atas. Permainan yang akrab di kalangan anak-anak di

tahun 1970-an ini sering dimainkan oleh anak laki-laki maupun kadangkadang orang dewasa oleh kalangan masyarakat Jawa di kala waktu senggang, apalagi ketika malam bulan purnama. Salah satu kegiatan mengisi bulan purnama biasanya dengan memainkan dolanan tradisional berupa dolanan gobag sodor. Permainan ini ternyata juga sudah terekam dalam Baoesastra (kamus) Djawa tahun 1939 karangan W.J.S. Poerwadarminto terbitan J.B. Wolters Uitgevers Maatschappij, N.V. Groningen, Batavia. Di kamus itu tercatat di halaman 158, disebutkan hanya dengan istilah gobag, yang menerangkan sebagai sebuah jenis permainan anak. Di masyarakat Jawa seringkali pula disebut dengan permainan gobag sodor. Permainan gobag sodor membutuhkan tempat yang agak luas, paling tidak untuk bermain gobag sodor ini membutuhkan luas lapangan sekitar 6 meter x 15 meter. Padahal rumah sekarang sudah jarang yang mempunyai luas halaman tersebut. Maka tidak aneh jika permainan gobag sodor ini semakin hari jarang dimainkan oleh anak-anak sekarang karena keterbatasan lahan. Selain itu, permainan ini membutuhkan jumlah anak yang cukup untuk bermain, paling tidak 810 anak. Ketika masa lalu, anak-anak masih banyak punya waktu luang sehingga bisa bermain bersama-sama. Namun sekarang, anakanak sudah banyak pilihan mainan, sehingga sulit untuk diajak bermain kelompok. Walaupun sebenarnya permainan ini mempunyai kelebihan dalam sikap bersosialisasi. Anak diajak bisa bekerjasama dengan teman bermain. Selain itu, permainan ini juga menuntut pelaku bermain untuk bersikap sportif dalam permainan dan tidak boleh curang atau egois. Anak-anak juga dituntut untuk bermain energik karena memang sifat permainan ini cepat.

Cara bermain gobag sodor termasuk cukup mudah. Sebelum bermain, biasanya anak-anak yang hendak bermain mencari lahan bermain yang cukup luas dan rata. Di atas lahan tersebut kemudian digambari garis persegi empat dengan lebar 6 meter dan panjang 15 meter. Kotak persegi panjang itu kemudian dibelah menjadi 2 bagian sama panjang dengan ukuran masing-masing 3 meter. Kemudian panjangnya juga dibagi-bagi lagi menjadi 4 bagian, setiap bagian dengan lebar 3 meter juga. Selain itu, di bagian tengah juga ditarik garis ke depan dan ke belakang masing-masing sekitar 2-3 meter. Maka jadilah lapangan untuk bermain gobag sodor. Biasanya jaman dulu anak-anak membuat garis-garis gobag sodor ini dengan air kendi agar lebih awet dan tidak mudah terhapus. Namun bisa pula dengan menaburkan batu kapur yang sudah lembut atau digaris dengan tongkat kayu atau bambu. Setelah itu, anak-anak yang bermain, misalnya 10 anak harus dibagi 2 regu. Masing-masing regu beranggotakan 5 anak. Ketua regu melakukan sut untuk menentukan pemenang. Setelah dilakukan sut, maka regu pemenang akan main duluan dengan menempatkan diri di kedua garis depan di kanan kiri maupun di ujung garis sodor. Sementara yang kalah menempatkan diri di masing-masing garis melintang untuk menjaga anakanak yang akan ke belakang. Satu pemain yang kalah harus bertugas menjaga garis sodor (garis tengah yang membagi dua bagian kanan dan kiri). Setelah semua siap, anak-anak yang bertugas sebagai sodor dan penjaga garis depan berusaha menyentuh anak-anak yang telah melakukan start. Setelah itu anak-anak yang mendapat giliran main harus berusaha keras melewati setiap garis yang dijaga lawan. Anak-anak yang mendapat giliran main harus berusaha sampai garis paling belakang dan kembali ke garis depan. Anak-anak ini juga harus berusaha menghindari sentuhan pemain penjaga yang menjaga setiap garis. Jika ada 2 anak yang mendapat giliran main berada di dalam satu kotak, maka pemain lawan boleh mengunci. Sementara anak-anak lain yang bermain tidak boleh sampai finish terlebih dahulu, sebelum anak-anak yang terkunci bisa meloloskan diri. Jika anak yang bermain tadi bisa meloloskan diri dari jebakan, maka anak yang lain bisa menuju finish dan dianggap sebagai pemenang. Namun jika ada anak yang mendapat giliran main tersentuh oleh lawan sebelum anak lain mencapai finish, maka dianggap kalah dan harus bergantian main. Begitu seterusnya. Jika ada regu yang menang, biasanya

mendapat hadiah gendongan dari lawan bermain. Jarak gendongan ditentukan oleh kedua regu yang bermain. Permainan tradisional gobag sodor memang salah satu permainan yang murah meriah tanpa harus mengeluarkan uang. Namun sayang, permainan ini sudah dianggap kuno dan jarang dimainkan oleh anak-anak sekarang. Walaupun tidak menutup kemungkinan, kadang-kadang masih dijumpai di sekitar kita, tetapi biasanya dalam rangka perayaan tujuh belasan atau festival dolanan anak. Suwandi

Ensiklopedi

JARANAN (DOLANAN ANAK TRADISIONAL8)Mungkin terinspirasi terhadap hewan kuda (bahasa Jawa: jaran) sebagai binatang tunggangan, maka anak-anak di masyarakat Jawa menciptakan sebuah dolanan anak yang disebut jaranan kuda-kudaan. Bentuk, gambar, dan hiasan-hiasannya memang dibuat menyerupai hewan kuda. Akhirnya mainan itu biasa disebut jaranan. Hampir di setiap daerah di wilayah Jawa mengenal dolanan khas ini. Hingga sekarang masih banyak dijumpai dolanan model ini di berbagai pelosok wilayah Jawa, khususnya apabila ada pasar malam, pertunjukan wayang kulit, pasar-pasar tradisional, cembengan, sekaten, atau pertunjukan tradisional lain saat perayaan merti dhusun (nyadran). Seni tradisional Jawa bahkan ada pula yang memakai jaranan sebagai salah satu alat untuk pertunjukannya, misalnya Jathilan. Hanya saja, bentuk dan ukurannya lebih besar, sesuai dengan postur orang dewasa. Kamus (Baoesastra) Jawa karya W.J.S. Poerwadarminto terbitan Groningen Batavia tahun 1939 halaman 82 pun telah mencatat istilah jaranan sebagai salah satu bentuk dolanan anak di masyarakat Jawa. Dalam kamus itu diterangkan bahwa jaranan adalah bentuk suatu dolanan permainan yang menyerupai jaran kuda. Berarti memang sebelum tahun 1939, jaranan sudah menyebar di masyarakat Jawa

sebagai salah satu bentuk permainan yang sering digunakan oleh anakanak. Jaranan biasanya dibuat dari bahan gedheg dinding bambu yang dibentuk menyerupai jaran kuda. Selesai dibentuk menyerupai kuda, dibingkai dengan belahan bambu di semua pinggirnya. Juga digambari dengan cat atau sejenisnya sehingga terlihat gambar kuda. Tidak lupa dihiasi dengan rumbai-rumbai di sekitar leher dengan rafia. Ukuran untuk anak-anak biasanya tidak lebih dari 40 cm (tinggi) dan 100 cm (panjang). Namun begitu, untuk bahan yang lebih sederhana, biasanya jaranan dibuat dari pelepah daun pisang. Setelah daunnya dibuang, pelepah dierati beberapa bagian lalu dibentuklah menyerupai jaranan. Lalu diberi tali di bagian kepala dan ekor. Tali tersebut dikalungkan di leher anak yang bermain jaranan ini. Di beberapa daerah, seperti di Kulon Progo, seperti yang pernah dijumpai oleh Tembi, jaranan dibuat dari bahan bonggol bambu. Bonggol bambu ini dibuat menyerupai kuda dan dimodifikasikan dengan kayu lain yang digunakan sebagai tubuh kuda-kudaan. Jadilah dolanan yang disebut jaranan. Ada pula yag dibuat dari kayu dengan kepala mirip kuda dan bagian tubuh dibuat bergoyang, sehingga anak-anak bisa duduk dan bermain di atasnya. Kiranya yang disebut terakhir ini adalah mainan inovasi baru, yang dulu belum dikenal. Bahkan hingga saat ini masih banyak pula di masyarakat Jawa yang melestarikan seni tradisi Jathilan. Seni tradisi ini sering pula disebut kuda lumping karena menggunakan media utama berupa jaranan. Hanya ukuran jaranan ini lebih besar sesuai dengan postur orang dewasa yang memainkan. Dalam seni tradisi Jathilan biasanya sudah dilengkapi dengan tabuhan musik tradisional dan seringkali dipertontonkan dalam berbagai acara, seperti festival, pasar malam, penyambutan tamu, upacara tradisi, dan sebagainya. Anak-anak yang bermain jaranan bisa sendirian atau bisa pula berkelompok dengan teman-temannya. Saat ini, dalam bermain jaranan, biasanya anakanak tampil dalam acara festival. Bahkan dolanan ini juga dilengkapi dengan syair yang berjudul Jaranan. Teks lengkapnya demikian: //Jaranan, jaranan, jarane, jaran teji/ sing nunggang dara Bei/ sing ngiring para mantri/ jret-jret nong/ jret-jret gung/ srek-srek turut lurung/ gedebug krincing, gedebug krincing/ prok, prok, gedebug jedher//.

Suwandi

Ensiklopedi

JAMURAN (DOLANAN ANAK TRADISIONAL-9)Bagi anak-anak perempuan masyarakat Jawa yang hidup di sekitar tahun 1960-hingga 1970-an tentu tidak asing lagi dengan dolanan anak yang disebut Jamuran. Ketika televisi belum menjamur seperti sekarang, hiburan mereka kebanyakan adalah bermain di lapangan terbuka. Beraneka ragam dolanan anak mereka mainkan, salah satunya adalah jamuran. Seiring dengan merebaknya hiburan televisi dan lainnya, permainan tradisional jamuran ini sudah jarang lagi dimainkan oleh anak-anak perempuan. Jika masih ada pun hanya sebatas dalam kegiatan festival, workshop, seminar, atau sejenisnya. Dari segi istilah, kiranya nama jamuran diambil dari nama tumbuhan jamur. Jamur yang berbentuk seperti payung bulat itulah yang menjadi inspirasi nama dolanan jamuran. Berarti jamuran adalah sebuah nama dolanan, yang permainannya membentuk lingkaran seperti jamur. Maka anak-anak menyebutnya dengan dolanan jamuran. Biasanya yang memainkan dolanan jamuran ini adalah anak-anak perempuan. Namun tidak menutup kemungkinan juga dimainkan oleh anakanak laki-laki atau campuran. Sementara umur anak-anak yang bermain dolanan ini setingkat usia TK sampai SD, sekitar 6-13 tahun. Jika ada anak di bawah usia 6 tahun ikut, biasanya dianggap pupuk bawang atau bawang kothong alias dianggap cuma ikut-ikutan, karena dianggap belum paham tentang cara bermain yang sesungguhnya. Dolanan jamuran ini, dulu sering dimainkan di saat waktu senggang di hari libur di saat pagi, sore, atau malam hari ketika bulan purnama. Dolanan jamuran tidak membutuhkan peralatan bantu kecuali hanya tanah lapang atau halaman yang cukup luas. Biasanya memakai halaman rumah, halaman sekolah, halaman balai desa, atau di lapangan. Sebelum anak-anak melakukan permainan ini, mereka melakukan hompipah untuk menentukan pemenang dan yang dadi. Anak yang bermain umumnya lebih dari 4 anak. Idealnya sekitar 10 anak. Setelah dilakukan hompipah, anak yang kalah akan menjadi pemain dadi. Ia berposisi di tengah, sementara anak lain mengelilinginya sambil melingkar dan bergandengan tangan.

Anak-anak yang mengelilinginya sambil menyanyikan sebuah tembang jamuran, yaitu: //jamuran, ya ge ge thok/ jamur apa ya ge ge thok/ jamur gajih mbejijih saara-ara/ semprat-semprit jamur apa?// Setelah nyanyian selesai, maka anak yang dadi segera mengucapkan sebuah jamur, misalnya jamur lot kayu. Maka seketika pemain yang mengelilinginya harus segera mencari pohon atau benda-benda yang berasal dari kayu untuk dipeluknya. Jika ada anak yang kesulitan mencarinya maka bisa segera ditangkap oleh anak yang dadi. Jadilah anak yang ditangkap itu menjadi anak yang dadi. Ia harus berada di tengah, semantara anak lain termasuk yang menangkapnya kembali mengelilingi anak yang baru dadi tadi. Begitulah seterusnya, ketika permainan kembali mulai, anak-anak mengawali dengan tembang jamuran seperti di atas. Berbagai jenis jamur yang biasanya diucapkan oleh anak yang dadi. Hal itu biasanya tergantung dari wawasan anak yang dadi. Macam-macam jenis jamur yang sering diucapkan anak saat bermain jamuran, seperti jamur kethek menek, jamur kendhil borot, jamur gagak, jamur kendhil, dan sebagainya. Saat anak yang dadi mengucapkan jamur kethek menek, maka pemain lain harus segera mencari tempat yang bisa dipanjat. Yang penting mereka tidak menginjak tanah. Ketika ada anak yang kesulitan mencari tempat panjatan dan segera ditangkap oleh anak yang dadi, maka anak yang ditangkap akan berubah menjadi anak yang dadi. Jika ada anak yang dadi sampai berulangkali, dinamakan dikungkung. Tentu anak yang bermain jamuran harus bisa bersosialisi dengan teman, tidak boleh egois, harus cekatan, banyak akal, dan tidak boleh cengeng. Jika anak tidak bisa memenuhi kriteria itu tentu akan mudah ditinggalkan temanteman bermain lainnya. Itulah pendidikan yang diajarkan dalam permainan tradisional jamuran. Suwandi

Ensiklopedi

JEG-JEGAN (DOLANAN ANAK TRADISIONAL-10)Untuk permainan anak yang satu ini lebih sering dimainkan oleh anak laki-laki daripada anak perempuan. Namun begitu, kadang pula dimainkan oleh anak perempuan saja atau campuran, yakni anak laki-laki dan perempuan. Permainan jeg-

jegan membutuhkan kecepatan berlari dan kekuatan fisik, sehingga lebih banyak dimainkan oleh anak laki-laki daripada perempuan. Di tempat lain, permainan ini juga disebut betengan, karena memang memerlukan tempat bersinggah atau markas bagi kedua kubu pemain. Istilah jeg-jegan berasal dari kata jeg yang artinya menduduki. Jadi jegjegan adalah suatu permainan, di mana pemain yang kalah harus meninggalkan tempat markasnya dan harus berpindah ke markas lain setelah diduduki oleh pemain lawan. Demikian pula dengan istilah betengan yang sering dipakai di tempat lain. Betengan berasal dari kata beteng. Beteng adalah satu tempat yang biasanya menjadi pertahanan suatu pasukan. Jika suatu kelompok pasukan kalah maka ia harus meninggalkan betengnya. Permainan jeg-jegan atau betengan sering dimainkan oleh dua regu yang saling berhadapan, misalnya regu I (anggota A,B,C,D,E) berhadapan dengan regu II (anggota F,G,H,I, dan J). Setiap regu atau kelompok idealnya dimainkan lebih dari 4 orang agar permainan bisa berjalan seru. Namun bisa juga dimainkan kurang dari 4 orang untuk setiap regu. Masing-masing regu diwakili oleh seorang anggotanya, sebelum bermain melakukan sut untuk menentukan kalah menang. Misalkan, regu I kalah dan regu II menang. Selain itu keduanya juga harus menentukan markas, bisa berujud pohon, tiang, dan sebagainya. Sebisa mungkin, kedua markas itu berjarak sekitar 10-20 meter. Selain itu juga sudah harus ditentukan tempat penjara (berupa garis melingkar) yang biasanya dibuat sejajar dengan masing-masing beteng yang jaraknya sekitar 3-5 meter. Bagi regu yang kalah biasanya harus memancing diri untuk keluar dari markas/beteng, yang sebelumnya harus memegang beteng. Pemain kalah, misalnya A, yang keluar dari markas. Maka ia bisa dikejar oleh pemain lawan, misalnya F. Sebelumnya, pemain F juga harus sudah memegang beteng. Jika pemain A tadi bisa terkejar dan tertangkap pemain F, maka pemain A harus menjadi tahanan regu II. Ia harus dipenjara di tempat yang sudah disediakan di dekat beteng regu II dengan cara berdiri. Anggota regu I, misalkan B, berusaha untuk membantu meloloskan temannya yang tertangkap. Sebelumnya pemain B juga sudah harus memegang beteng. Saat akan meloloskan A, ia juga bisa menangkap pemain F yang belum kembali ke markas. Begitu seterusnya saling mengejar dan meloloskan kawan yang tertangkap lawan. Setiap pemain yang telah kembali ke markasnya dianggap lebih kuat daripada pemain lawan yang tidak kembali ke markasnya. Bisa jadi saat berkejar-kejaran, anggota regu I ada yang menyelinap dan memegang beteng lawan. Maka regu I dianggap menang. Tetapi saat ia

akan memegang beteng lawan, keburu ditangkap regu II, maka ia juga ikut tertangkap dan menjadi tahanan. Begitulah seterusnya, regu yang pertama kali dapat menduduki atau memegang beteng lawan dianggap menjadi pemenang. Jika regu I dapat menduduki markas lawan, maka regunya mendapat nilai 1. Permainan bisa diulangi kembali seperti semula. Tentu permainan ini membutuhkan sportivitas dari setiap pemain. Jika ada yang bermain curang, tentu ia akan selalu diancam oleh teman lainnya dan tidak akan dipercaya lagi untuk ikut bermain. Selain itu permainan ini juga membutuhkan kerjasama yang baik di antara anggota dalam satu tim atau regu. Setiap pemain harus bisa mengetahui posisinya sebagai penunggu markas atau pecundang. Tidak boleh saling egois. Jika larinya tidak bisa kencang, maka lebih baik berposisi penunggu markas. Begitulah permainan ini yang masih sering dimainkan oleh anak-anak di masyarakat Jawa di era tahun 1980-an. Tentu berbeda dengan situasi sekarang. Teks: Suwandi Repro Foto bersumber dari Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional Yogyakarta

Ensiklopedi

SOBYUNG (DOLANAN ANAK TRADISIONAL-11)Bagi anak-anak sekarang yang belum pernah mendengar nama permainan tradisional ini tentu merasa aneh dan asing. Namun tidak demikian bagi anak-anak masyarakat Jawa yang pernah mendengar atau bahkan memainkannya. Begitulah nama permainannya cukup sederhana. Sering dimainkan oleh anak-anak perempuan di kalangan masyarakat Jawa tempo dulu yang sekarang sudah agak jarang dimainkan lagi. Walaupun kadang dilakukan oleh anak-anak laki-laki atau campuran laki-laki dan perempuan. Permainan sobyung menurut Baoesastra (Kamus) Djawa karangan W.J.S. Poerwadarminta tahun 1939 halaman 578 berarti jenis permainan anak yang dimainkan dengan cara menunjukkan jari-jari tangan kemudian dihitung dengan nama janak, deng (bandeng), urang, dan kper. Kalau sumber lain, hitungan janak merupakan hitungan terdiri dari jan dan nak. Sehingga menurut sumber lain itu, yakni buku Permainan Rakyat DIY

karangan Ahmad Yunus (editor) terbitan Departemen P & K, menyebutkan hitungannya adalah jan, nak, deng, urang, dan kper. Hanya beda pada istilah janak dan jan, nak. Dolanan anak sobyung ini biasanya dimainkan oleh 5 anak. Namun bisa pula dimainkan oleh 4, 6, atau 7 anak. Pemain umumnya berusia 6 hingga 10 tahun. Namun bisa pula lebih, asalkan anak-anak yang bermain sudah memahami aturan main. Selain itu, anak-anak yang bermain juga harus mempunyai wawasan luas, cekatan, bandel (tidak cengeng), dan tidak egois. Sebab sifat permainan ini adalah hiburan. Anak yang bermain sobyung tidak membutuhkan tempat yang luas, kecuali hanya sebatas alas tikar saja. Bisa dimainkan di teras rumah, di dalam rumah, di halaman rumah, atau tempat-tempat lain, asalkan nyaman bagi anak-anak yang bermain. Waktu bermain juga bebas, kadangkala dimainkan saat liburan, malam bulan purnama, atau waktu senggang (istirahat sekolah). Namun akhir-akhir ini lebih banyak dimainkan dalam acara festival, workshop, atau acara-acara sejenisnya. Anak yang akan bermain, biasanya mereka duduk sambil berkeliling, saling berhadapan satu sama lain. Salah satu dapat dijadikan ketua atau pemimpin. Biasanya yang jadi pemimpin permainan dipilih yang tertua, berlaku adil, atau yang cerdas. Setelah itu, anak-anak yang bermain mengucapkan kata so sambil mengangkat kedua tangan ke atas (kira-kira sebatas telinga). Lalu sambil mengucapkan kata byung, anak-anak meletakkan kedua tangan (dengan jari-jari diregangkan) ke atas lantai atau tikar, kecuali pemimpin hanya tangan sebelah karena tangan satunya berfungsi untuk menghitung. Dalam meregangkan jari-jari tangan setiap pemain bebas memilih. Misalkan, anak A menunjukkan tangan kiri dua, tangan kanan tiga. Sementara anak B menunjukkan tangan kiri lima, tangan kanan satu. Begitu pula dengan pemain-pemain lainnya. Setelah itu, pemimpin mulai menghitung. Selanjutnya ada dua versi permainan sobyung yang sempat direkam. Pertama, anak-anak mulai menghitung jari-jari yang diregangkan tadi dengan menyebut jan, nak, deng, urang, dan kper. Setiap jari yang jatuh pada hitungan kelima, harus ditekuk hingga jari-jari setiap pemain berkurang. Begitu diulang-ulang hingga akhirnya tinggal ada satu anak yang jarinya masih tersisa. Maka anak itulah yang dianggap dadi, misalkan D. Sementara keempat anak, A, B, C, dan E dianggap anak yang menang. Permainan dilanjutkan dengan menghukum D. Misalkan mulai dari anak A. Anak A dan D saling berhadapan. Lalu A bernyanyi are-are bang ji sambil meletakkan salah satu jarinya misalkan ibu jari, telunjuk, atau kelingking-di lutut anak yang kalah. Anak D juga harus menirukan sesuai dengan jari anak yang menghukum. Jika tidak sama, dilanjutkan bang ro dan

seterusnya. Namun jika belum sampai bang sepuluh kebetulan jari yang ditunjukkan disamai oleh jari anak yang dihukum, yakni anak D, maka hukuman dihentikan. Lalu dilanjutkan dengan hukuman pemain B. Apabila sampai bang sepuluh anak yang dihukum belum bisa menebak atau menyamai jari yang ditunjukkan oleh pemain yang menang, maka dilanjutkan dengan tahap selanjutnya. Tahap hukuman selanjutnya adalah hukuman wayangan. Anak yang menang pada babak pertama dan tebakannya belum terjawab dapat dilanjutkan pada tahapan ini. Maka sang anak akan menyanyikan lagu gung-gung-gung dang gentak gendhang sambil mengangkat salah satu tangannya. Saat nyanyian jatuh pada kata gendhang maka si anak harus segera menempelkan tangan yang diangkat tadi pada salah satu anggota badan, misalkan telinga, hidung, dan sebagainya. Langkah itu harus cepat dilakukan agar tidak bisa ditirukan oleh pemain kalah. Jika anak yang kalah bisa menirukan dengan tiruan gerak yang sama, maka kesempatan pemain menang telah habis. Hukuman lain berupa tamparan telapak tangan. Anak yang kalah meletakkan salah satu tangan menyerupai orang hendak bersalaman di hadapan pemain yang menang. Lalu anak pemenang meletakkan kedua tangan di sisi kanan kiri telapak tangan yang kalah dan posisinya sejajar. Lalu anak pemenang segera mangayunkan salah satu atau kedua tangannya menampar tangan anak yang kalah. Jika ayunan tangan mengenai telapak tangan anak yang kalah, maka dilakukan terus hingga tangan anak yang menang tidak mengenai sasarannya. Hukuman ini memang agak menyakitkan bagi anak yang kalah, karena akan terasa panas oleh tamparan tangan lawan. Maka jika ada anak yang merasa kasihan dengan anak yang kalah, maka dapat dilakukan dengan cara agak pelan. Jika hukuman sudah selesai, dilanjutkan dengan permainan dari awal lagi. Versi kedua, anak-anak yang bermain sama, yakni meletakkan jari-jari tangan di atas lantai atau tikar. Bebas, boleh dua tangan atau satu tangan. Jari yang ditunjukkan juga bebas, boleh satu, dua, atau lima. Namun sebelumnya sudah harus disepakati, akan menyebutkan nama-nama apa, misalnya nama hewan, nama orang, nama PO Bus, dan sebagainya. Jika sudah ada kesepakatan, misalkan nama hewan, maka setiap kali nanti di akhir menyebutkan huruf-huruf, maka harus menyebutkan nama hewan sesuai dengan abjad awalnya. Lalu pemimpin dolanan sobyung mulai menyebut jari-jari yang ditunjukkan dengan abjad mulai dari /A/ hingga abjad terakhir sesuai dengan jumlah jari yang ditunjukkan oleh semua pemain. Jika dari kelima pemain, si pemimpin terakhir menyebut jari-jari yang ditunjukkan dengan huruf /O/, maka anakanak yang bermain segera menyebut hewan-hewan yang berawal dengan

huruf /O/, misalnya onta, orong-orong, dan sebagainya. Jika ada pemain yang belum sempat menyebutkan nama hewan yang berawal dengan huruf /O/ atau terakhir kali menyebutnya, maka dianggap pemain yang dadi. Bisa jadi, sekali menyebut belum semuanya memperoleh nama hewan, maka diulangi lagi hingga ada satu pemain terakhir yang dadi. Pemain yang dadi lalu mendapat hukuman sesuai dengan kesepakatan. Biasanya hukuman dengan cara seperti di atas, yakni menampar telapak tangan. Jika semua sudah menghukumnya, permainan dapat diulangi dari awal. Begitulah permainan tradisional sobyung yang sering dimainkan oleh anakanak masyarakat Jawa tempo dulu. Teks: Suwandi Repro Foto bersumber dari Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional Yogyakarta

Ensiklopedi

GAMPARAN (1) (DOLANAN ANAK TRADISIONAL-12)Pernahkah Anda mendengar permainan gamparan? Memang begitu asing di telinga kita jenis permainan anak tradisional satu ini, lebih-lebih bagi anak-anak sekarang. Namun tidak untuk anak-anak yang hidup di era sebelum tahun 1970-an lalu. Anak-anak masyarakat Jawa terutama yang hidup di kala itu, permainan tradisional gamparan begitu akrab di telinga mereka, karena permainan jenis ini sering dilakukan saat mereka sedang bermain-main di waktu senggang atau liburan. Nama permainannya begitu unik kan? Istilah gamparan berasal dari bahasa Jawa yang berasal dari kata dasar gampar. Kata nggampar seperti dalam Baoesastra (Kamus) Djawa karangan W.J.S. Poerwadarminta (1939) halaman 130 kolom 1 berarti menendang, melemparkan batu dengan menggunakan bantuan kaki. Sementara istilah gamparan berarti jenis permainan anak dengan alat batu yang dilemparkan. Ternyata istilah dolanan gamparan sudah tercantum di dalam kamus yang berusia lebih dari 70 tahun. Dimungkinkan sebelum istilah gamparan ini masuk dalam kamus, kiranya sudah menjadi permainan yang sering dimainkan oleh anak-anak di kalangan masyarakat Jawa.

Sesuai dengan penjelasan di atas, permainan gamparan menggunakan media bermain berupa batu. Namun kadang kala dipadukan dengan media pecahan tegel atau batu bata. Selain media tersebut, anak-anak hanya membutuhkan tanah lapang yang agak luas kira-kira 5 x 10 meter. Semakin banyak pemain, biasanya semakin membutuhkan halaman yang luas. Permainan gamparan biasa dimainkan di halaman depan atau belakang rumah. Biasa juga dimainkan di tanah lapang, yang penting halaman terbebas dari rumput agar mudah terlihat dan bermain. Sangat jarang dimainkan di halaman bersemen, karena dapat memudahkan batu, batu bata, atau pecahan tegel pecah. Lebih baik lagi jika halaman yang dipakai bermain banyak pepohonan untuk menghindari sinar matahari sekaligus untuk berteduh dan terhindar dari panas. Anak-anak yang bermain gamparan biasa mengambil waktu di pagi, siang atau sore hari. Sangat jarang mengambil hari malam biarpun terang bulan, karena permainan ini membutuhkan penerangan cukup. Permainan gamparan selalu dimainkan oleh anakanak sebaya secara berpasangan. Minimal dimainkan oleh dua anak. Namun kebanyakan dimainkan lebih dari 4 anak, bisa 6, 8, atau 10 anak. Mereka yang bermain gamparan umumnya anak-anak berumur sekitar 914 tahun. Lebih sering dimainkan oleh anakanak laki-laki. Tetapi kadang juga dimainkan campuran. Asalkan setiap pasangan sebaya, misalnya laki-laki dengan laki-laki dan perempuan dengan perempuan. Awalnya setiap anak yang akan bermain gamparan telah menyiapkan alat gampar batu yang disebut gacuk dengan diameter sekitar 57 cm. Besarnya batu sebaiknya disesuaikan dengan ukuran kaki. Batu yang menjadi gacuk sebaiknya berbentuk pipih dan agak lonjong. Selain itu juga setiap pasangan harus menyiapkan sebuah batu agak besar sebagai gasangan dengan diameter sekitar 1020 cm. Jika pemain terdiri dari 3 pasang, maka harus menyediakan batu gasangan 3 buah. Batu pasangan juga sebaiknya yang berbentuk pipih dan ada sisi yang datar agar mudah berdiri tegak. Batu gasangan dipilih batu yang keras karena sering terhantam atau terlempari batu gacuk. Kalau tidak ada batu pipih besar, bisa digantikan dengan pecahan tegel atau sejenisnya. Selain itu, anak-anak yang bermain juga harus menyiapkan tanah lapang cukup luas, misalnya di halaman depan rumah. Setelah itu, mereka setidaknya membuat dua atau tiga garis di tanah, bisa dengan kayu, air, atau batu kapur yang lembut. Setiap garis dengan panjang antara 24 meter, tergantung jumlah pasangan yang bermain. Sementara jarak garis pertama dengan garis kedua kira-kira 2 meter, sementara jarak garis kedua

dengan garis ketiga kira-kira 45 meter. Sebenarnya jarak antar garis, seperti garis pertama dan ketiga bisa disepakati oleh anal-anak yang bermain. Garis saku atau garis lempar berfungsi untuk batas melempar gacuk ke arah batu gasangan. Sementara garis gasangan berfungsi untuk menempatkan batu-batu gasangan setiap pasangan. Setelah garis selesai, setiap pasangan melakukan sut untuk menentukan menang-kalah. Bagi anak-anak yang kalah berkumpul menjadi satu regu, begitu pula yang menang. Permainan gamparan dilakukan empat tahap. Tahap pertama, anak yang kalah berdiri di dekat garis gasangan. Jika batu gasangan belum berdiri, maka tugasnya mendirikan batu gasangan. Sementara semua anak yang menang berjajar di belakang garis 1 dengan membawa batu gacuk. Setiap anak menfokuskan pada masing-masing batu gasangan. Setelah itu satu-persatu melemparkan batu gacuk ke arah batu gasangan dengan cara dilempar dengan tangan dan diusahakan mengenai batu gasangan sehingga roboh atau terlempar. Jika ada salah satu anggota yang berhasil merobohkan batu gasangan, otomatis langsung dilanjutkan ke permainan tahap kedua. Namun, jika dalam satu regu tidak ada yang bisa merobohkan batu gasangan, maka, batu-batu gacuk yang telah dilempar mendekati batu gasangan itu harus dilempar lagi ke sasaran batu gasangan. Namun lemparan kedua ini harus dilempar lewat bawah pantat. Pelemparan seperti ini, satu kaki dalam posisi lutut di tanah, sementara posisi kaki lain seperti berjongkok. Selain itu, jika batu gacuk berada kurang dari satu langkah dengan garis maka pelemparan dilakukan dengan tangan kiri, namun jika batu gacuk lebih dari satu langkah dengan garis, maka pelemparan dilakukan dengan tangan kanan. bersambung Teks: Suwandi Repro Foto bersumber dari Buku Permainan Rakyat DIY Editor: Ahmad Yunus, Departemen P&K, tahun 1980/1981.

Ensiklopedi

GAMPARAN (2) (DOLANAN ANAK TRADISIONAL-12)Masih ada satu lagi aturan dalam tahap pertama dalam permainan gamparan. Jika batu gacuk

yang dilempar tidak mengenai batu gasangan namun saat jatuhnya berada di garis batu gasangan, maka untuk mengenai sasaran ke batu gasangan harus dengan cara berdiri tempat di atas batu gasangan lalu menjatuhkan batu gacuk lewat atas kepala. Posisi badan saat menjatuhkan batu gacuk dengan membelakangi batu gasangan. Jika si pemain tidak bisa menjatuhkan batu gasangan bisa dibantu oleh teman satu regu. Jika teman satu regu tidak bisa menjatuhkan batu gasangan maka regu tersebut dianggap kalah dan harus digantikan regu yang jaga atau nggasang. Namun jika salah satu pemain bisa menjatuhkan batu gasangan dengan batu gacuk maka dilanjutkan ke permainan kedua. Tahap kedua, regu yang bermain (menang) berdiri lagi di belakang garis saku atau garis 1. Semua anak meletakkan garis gacuk di atas jari-jari kaki lalu diayun-ayunkan sambil engklek menuju garis gasangan masingmasing hingga melewati garis gasangan atau garis 3. Setelah melewati lalu membalikkan badan dan melemparkan batu gacuk ke arah batu gasangan lewat kaki yang ada batu gacuknya. Jika batu gasangan roboh, maka ia berhak untuk membantu temannya yang gagal merobohkan batu gasangan. Namun jika ia sendiri gagal merobohkan batu gasangan bisa dibantu temannya. Saat merobohkan batu gasangan harus dengan kekuatan agar batu yang dilempari sasaran bisa roboh. Sebab kadangkadang walaupun sudah dirobohkan, tetapi jika tidak kuat, maka batu gasangan tidak mau roboh. Jika regu pemenang semua berhasil merobohkan batu gasangan maka bisa melanjutkan pada permainan tahap ketiga. Namun jika tidak berhasil, misalnya ada satu batu gasangan yang gagal dirobohkan, maka regu yang jaga, misalnya regu B, berhak untuk gantian bermain. Namun jika nanti regu B juga telah mati maka regu A yang kembali bermain harus memulai bermain dari tahap kedua ini, dan tidak harus bermain dari awal lagi. Pada permainan tahap ketiga, regu A yang telah dapat merobohkan semua batu gasangan kembali ke garis 1. Semua anak regu A meletakkan kembali batu gacuk di atas jari-jari kaki. Mereka berusaha untuk mengincar batu gasangannya masing-masing. Setelah meletakkan gatu gacuk di atas jari-jari kaki, maka dengan sekali langkah, batu gacuk dilemparkan ke sasaran batu gasangan dan harus kena. Jika ada pemain dari regu A yang tidak dapat merobohkan batu gasangan maka bisa dibantu teman lain satu regu yang telah berhasil merobohkan batu gasangan. Namun jika ada satu batu gasangan yang tidak dapat dirobohkan, maka regu A tidak dapat meneruskan permainan dan harus diganti regu B. Sebaliknya jika regu A berhasil merobohkan semua batu gasangan maka dapat melanjutkan ke langkah permainan yang keempat.

Semua anak Regu A kembali ke garis 1 untuk memulai permainan tahap keempat (tahap terakhir dari permainan gamparan). Semua anak regu A meletakkan batu gacuk di atas kepala lalu berjalan pelan-pelan menuju masing-masing batu gasangan. Setelah tiba di garis ketiga dan berdekatan dengan batu gasangan maka segera menundukkan kepala untuk menjatuhkan batu gacuk menuju sasaran batu gasangan. Jika si anak dapat merobohkan batu gasangan maka ia dapat membantu temannya yang gagal merobohkan batu gasangan. Jika regu A dapat merobohkan semua batu gasangan maka mereka mencapai game dan berhak mendapatkan 1 sawah (nilai 1 point). Namun jika ada satu atau lebih batu gasangan yang belum sempat roboh, maka digantikan regu lawan untuk melanjutkan permainannya. Begitu pun jika regu A dapat game harus digantikan oleh regu B untuk bergantian bermain. Mereka terus berkejar-kejaran mencari sebanyak-banyaknya sawah dari permainan itu hingga merasa lelah, bosan, atau waktunya habis. Regu yang banyak memperoleh sawah atau nilai dianggap regu pemenang. Permainan gamparan ini memang salah satu permainan anak tradisional karena lebih banyak membutuhkan alat-alat sederhana yang mudah dijumpai di sekitar alam, misalnya batu. Permainan ini juga membutuhkan ketrampilan, ketangkasan, serta kekuatan fisik agar bisa memenangkan permainan. Sayangnya, permainan yang membutuhkan kekompakan ini sekarang sudah sangat jarang dijumpai di masyarakat Jawa saat ini. Teks: Suwandi Repro Foto bersumber dari Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional Yogyakarta

Ensiklopedi

JETHUNGAN-1 (DOLANAN ANAK TRADISIONAL-13)Keceriaan anak-anak kampung dulu juga sering terlihat dari permainan jethungan. Ada banyak tempat di Jawa yang mengenal jenis dolanan anak tradisional masyarakat Jawa ini, walaupun dengan nama yang agak berbeda, seperti jethungan, jelungan, dhelikan, atau umpetan. Namun prinsip permainan sama, yaitu pemain pemenang

bersembunyi, sementara pemain kalah atau dadi berusaha mencari pemain lain tanpa harus meninggalkan terlalu jauh pangkalan sebagai tempat bermain. Istilah jethungan juga telah terekam di Baoesastra (Kamus) Djawa karangan W.J.S. Porwadarminto terbit tahun 1939. Pada halaman 84, kamus tersebut menyebut bahwa jethungan adalah jenis dolanan anak. Di kamus itu pula, disebutkan bahwa nama lain jethungan adalah jelungan dan jembelungan. Dari istilah di kamus ini menunjukkan bahwa jenis permainan tradisional ini sudah dikenal sebelum tahun 1939 oleh anak-anak masyarakat Jawa. Istilah jethungan atau jelungan biasa digunakan di suatu daerah karena istilah itu sering diucapkan oleh pemain-pemain yang berhasil tiba di pangkalan tanpa bisa ditebak oleh pemain kalah. Sementara istilah dhelikan dan umpetan yang dipakai di daerah lain, lebih menunjuk ke pemain yang menang ketika sedang bersembunyi. Sementara tidak ada referensi yang jelas terhadap keterangan kata jembelungan. Seperti umumnya permainan tradisional yang dikenal oleh anak-anak di lingkungan Jawa, dolanan jethungan juga tidak membutuhkan biaya dan perlengkapan yang mahal. Dolanan ini dapat dimainkan oleh anak-anak tanpa harus mengeluarkan biaya, karena hanya membutuhkan tempat yang cukup luas. Dulu, dolanan ini biasa dimainkan di halaman rumah, di dalam rumah, di jalan-jalan kampung, di lapangan, maupun di perkampungan. Anak-anak yang senang bermain jethungan berumur 614 tahun. Namun ada kalanya anak-anak yang lebih besar ikut bermain. Permainan dilakukan secara berkelompok, artinya lebih ideal dimainkan antara 410 anak. Jethungan sering dimainkan saat-saat waktu senggang, seperti sore hari atau malam hari. Saat liburan kadang juga dimainkan pada pagi hari. Begitu pula ketika di sekolah, bisa dilakukan waktu istirahat. Anak-anak yang hendak memainkan dolanan jethungan biasanya setelah berkumpul, menyepakati beberapa peraturan sederhana, misalnya, pembatasan wilayah permainan, tidak diperkenankan masuk rumah (jika bermain di luar rumah), harus melihat sungguh-sungguh yang ditunjuk (dithor, disekit) bukan asal spekulasi, waktu menutup mata tidak boleh melirik, tidak boleh terus-menerus menunggu pangkalan (tunggu brok), dan sebagainya. Jika mereka sudah membuat peraturan sederhana, mereka memilih sebuah pangkalan untuk dijadikan pusat permainan, misalnya pohon, sudut tembok, gardu ronda, tembok gapura, sudut pagar, tiang rumah, atau lainnya. Pangkalan sebisa mungkin mudah dijangkau oleh semua pemain.

Semua anak yang akan bermain, misalnya berjumlah tujuh anak (A,B,C,D,E,F, dan G), harus melakukan hompimpah terlebih dahulu untuk menentukan kalah menang. Saat telah terdapat satu pemain yang dadi, maka anak-anak yang menang sut segera bersembunyi ke tempat-tempat yang tidak mudah terlihat oleh anak yang dadi. Pemain dadi memberi kesempatan ke anak-anak yang akan bersembunyi, biasanya memakai hitungan 1-10 dan jika semua pemain menang telah bersembunyi, lalu mereka meneriakkan kata wis, ndhuuuk atau diam saja. Dengan kode seperti itu, berarti pemain dadi siap untuk mencarinya. Ia harus mencari anak-anak yang bersembunyi satu-persatu. Jika telah menemukan satu anak, misalkan bernama B, maka ia segera menyebut namanya (sekit B) lalu berlomba berlari kembali ke pangkalan dengan anak yang ditebak atau istilah lainnya telah disekit. Jika B tadi kalah cepat tiba di pangkalan berarti ia yang dadi. Sementara pemain yang kalah menjadi anak yang menang, berarti ikut bersembunyi. Teks: Suwandi Repro Foto bersumber dari buku Permainan Rakyat DIY, Ahmad Yunus, 1980/1981.

Ensiklopedi

JETHUNGAN-2 (DOLANAN ANAK TRADISIONAL-13)Namun sebaliknya jika yang disekit B larinya lebih cepat daripada pemain yang dadi dan lebih duluan memegang pohon yang menjadi pangkalan, maka pemain B lolos terhindar menjadi pemain dadi. Kemudian pemain kalah, misalkan G, harus kembali mencari pemainpemain lain yang masih bersembunyi. Kebetulan jika pemain C misalnya lolos lagi dari tebakan dan segera memegang pohon sambil meneriakkan jethung, maka pemain C pun lolos dari dadi. Demikian seterusnya hingga ada pemain yang ditebak atau disekit dan ia kalah cepat memegang pangkalan daripada pemain dadi. Jika pemain yang dadi terlalu penakut, biasanya ia lebih banyak tunggu pangkalan atau disebut tunggu brok. Jika ini terjadi, maka pemain yang bersembunyi akan selalu mengejek dengan kata-kata sing dadi tunggu brok, sing dadi tunggu brok begitu seterusnya. Maka pemain kalah akan merasa risih dan muncul keberanian untuk mencari asal suara-suara ejekan tadi. Ia akan berani mulai mencari walaupun dengan risiko jika larinya kalah

cepat, maka ia akan sering dadi. Bagi anak yang sering dadi biasa sering disebut dikungkung. Jika ia tidak tahan bisa menangis. Tetapi kadang pula ia tetap bandel dan cuek dikatakan tunggu brok jika memang tidak punya keberanian mencari jauh-jauh pemain yang bersembunyi. Jika sudah menghadapi anak yang tunggu brok biasanya pemain yang bersembunyi akan membalasnya dengan bersembunyi semakin jauh dari pangkalan, bisa jadi ditinggal masuk rumah, mencari buah, tiduran, dan sebagainya. Ada dua versi permainan jethungan untuk menentukan pemain dadi berikutnya. Versi pertama, seperti yang dijelaskan di atas, yakni setiap kali pemain yang disekit duluan kalah lari memegang pangkalan, ia dianggap yang dadi pada tahap berikutnya. Tetapi versi lain anak yang akan dadi baru ditentukan dadi apabila semua pemain yang ikut bermain sudah ditebak semuanya, baik yang bisa menangkap pangkalan duluan atau yang kalah cepat datang ke pangkalan. Misalkan jika dari enam anak yang menang, A,B,C,D,E, dan F, ada tiga anak A,B, dan C yang lolos bisa lebih dulu menangkap pangkalan, maka anak tersebut dianggap menang. Namun ada tiga anak lain misalkan D,E, dan F yang saat disekit saat berlomba menangkap pohon yang menjadi pangkalan, merela kalah duluan menangkapnya daripada pemain dadi. Maka ketiga anak tersebut yang bakal menjadi pemain dadi berikutnya. Setelah semua pemain berkumpul, maka pemain dadi berada di paling depan dekat pohon pangkalan. Sementara itu semua pemain A,B,C,D,E, dan F berjajar di belakangnya sambil berdiri acak. Misalkan dengan urutan F,D,E,C,A, dan B. Sambil menutup mata, pemain dadi harus menebak salah satu pemain yang berjajar di belakangnya dengan menyebut angka urutan. Misalkan pemain dadi menyebut angka 3, maka pemain yang berjajar di urutan ketiga, yaitu pemain E, menjadi pemain yang dadi berikutnya. Sebab ia saat berlomba menangkap pangkalan kalah duluan dengan pemain G. Namun jika pemain G saat menebak anak yang berjajar menebak urutan ke-6, sementara yang menduduki urutan ke-6 adalah pemain B, maka terpaksa pemain G dadi lagi, karena pemain B termasuk salah satu pemain yang lolos saat beradu kecepatan menangkap pangkalan. Begitulah permainan jethungan berlangsung dari tahap awal ke tahap awal berikutnya. Permainan jethungan memang membutuhkan kecepatan, ketepatan, dan keberanian bermain. Kecepatan dibutuhkan saat berlomba berlari dengan pemain lawan, ketepatan diperlukan saat menebak pemain lawan harus tepat tidak boleh keliru, dan keberanian diperlukan jika terpaksa harus dikungkung dan tidak boleh tunggu brok. Jika dimainkan pada malam

hari, anak-anak harus berani menembus gelapnya malam agar tidak mudah ditebak oleh pemain dadi. Sayang, permainan tradisional jethungan saat ini juga sudah mulai ditinggalkan oleh para pendukungnya. Sudah sangat jarang anak-anak bermain jethungan, kecuali mungkin di saat-saat ada acara festival dolanan, sarasehan, parade, atau lomba dolanan anak. Teks: Suwandi Repro Foto bersumber dari buku Permainan Rakyat DIY, Ahmad Yunus, 1980/1981.

Ensiklopedi

GATHENG-1 (DOLANAN ANAK TRADISIONAL-14)Batu menjadi salah satu alat yang dominan dipakai oleh anak-anak masyarakat Jawa dalam permainan tradisional. Banyak dolanan anak yang menggunakan batu, termasuk permainan gatheng. Batu yang digunakan dalam permainan gatheng biasanya tidak terlalu besar, hanya sebesar buah tanjung atau sebesar kelereng ukuran standard kira-kira diameter 1 cm atau lebih sedikit. Batu dengan ukuran tersebut biasa disebut dengan kerikil. Kerikil banyak dijumpai di alam sekitar atau di pekarangan. Ternyata dolanan gatheng sudah berumur tua, terbukti, di zaman kerajaan Mataram Islam sekitar abad XVII, ada salah satu putra raja yang memiliki batu gatheng, yaitu Raden Rangga. Batu gatheng miliknya itu ternyata cukup besar, melebihi ukuran normal, karena Raden Rangga dianggap salah satu putra raja Mataram yang cukup sakti. Bahkan batu gatheng yang diyakini milik Raden Rangga tersebut, sekarang masih tersimpan di Kotagede, Yogyakarta (Sukirman, Permainan Tradisional Jawa, Kepel Pres 2004, halaman 72). Bukti lain, kata gatheng juga ditemukan di Baoesastra (Kamus) Jawa karangan W.J.S. Poerwadarminto diterbitkan oleh JB. Wolters Uitgevers Maatschappij tahun 1939. Pada halaman 134 kolom 2 diterangkan bahwa gatheng termasuk nama dolanan anak yang menggunakan kerikil berjumlah 5 buah. Kerikil tersebut ada yang dilemparkan ke atas, sebagian lain diambil memakai tangan (diraup). Dari keterangan di atas, jelas bahwa permainan gatheng memang termasuk dolanan anak yang sudah berumur tua. Dolanan

itu hingga saat ini masik dikenal oleh sebagian masyarakat termasuk anakanak karena masih dimainkan ketika waktu senggang. Hanya mungkin intensitasnya tidak seperti zaman dulu karena pilihan permainan anak zaman sekarang semakin banyak dan bervariasi. Namun begitu juga sudah banyak anak-anak yang merasa asing dengan permainan ini karena memang tidak pernah diperkenalkan oleh orang tuanya. Jadi mereka menganggap asing dolanan ini. Dolanan gatheng termasuk permainan perorangan. Awalnya, dolanan ini biasa dimainkan oleh anak-anak perempuan. Namun dalam perkembangannya juga sering dimainkan oleh anak laki-laki. Jadi saat ini permainan ini sudah dianggap permainan umum, biasa dimainkan anak perempuan maupun laki-laki. Anak-anak yang bermain gatheng biasanya setingkat SD atau berumur antara 714 tahun. Dolanan gatheng dimainkan oleh anak-anak di saat sore hari setelah pulang sekolah. Kadang dimainkan pada pagi hari jika mereka sedang libur sekolah atau dimainkan di saat istirahat sekolah. Tempat bermain gatheng bebas, yang penting bisa memberi nyaman kepada anak-anak yang bermain, karena tidak memerlukan tempat yang luas. Satu meter persegipun sudah bisa dipakai oleh anak-anak untuk bermain gatheng. Asalkan tempatnya rata, bisa di teras rumah atau sekolah, di dalam rumah, di halaman rumah, di bawah pohon, atau di tempat-tempat nyaman lainnya. Dolanan gatheng sering dimainkan minimal oleh dua anak atau bisa lebih, misalnya 3 atau 4 anak. Jika lebih dari 4 sebaiknya membentuk kelompok baru. Anak-anak yang akan bermain gatheng, misalkan 4 anak, sebelum bermain biasanya mereka sudah mempersiapkan 5 kerikil sama besar. Setelah itu mereka duduk melingkar di tempat yang rata. Hompipah dilakukan pertama kali untuk mencari pemenang urutan pertama hingga keempat. Misalkan B sebagai pemenang pertama, maka ia mendapatkan giliran bermain pertama kali, kemudian disusul pemenang selanjutnya, misalkan C,D, dan A. gket satu sama lain. Sebab jika ada yang lengket atau menyatu akan menyulitkan bagi pemain. Setelah itu, pemain B mengambil salah satu kerikil lalu dilemparkan ke atas kira-kira 40-60 cm. Bisa lebih tinggi asalkan masih di sekitar area bermain. Sambil melemparkan sebuah kerikil ke atas, pemain B berusaha mengambil lagi sebuah kerikil lainnya sambil digenggam terus menangkap kerikil yang dilemparkan tadi sebelum kerikil jatuh ke lantai. Jika pemain B tidak berhasil menangkap kerikil yang dilemparkan ke atas, berarti pemain B dianggap mati dan harus digantikan pemain C. Begitu pula jika ada kerikil yang lengket dan saat diambil pemain B bergerak, maka

permainan oleh pemain B untuk sementara juga dianggap mati dan harus digantikan pemain lainnya. bersambung Teks: Suwandi (Sumber: Buku Permainan Tradisional Jawa, Sukirman Dharmamulya, dkk, Kepel Press, 2004)

Ensiklopedi

GATHENG-2 (DOLANAN ANAK TRADISIONAL-14)Saat pemain B berhasil mengambil kerikil pertama dan kemudian menangkap kerikil yang dilemparkan, maka ia harus meletakkan sebuah kerikil di sampingnya. Kemudian ia berusaha mengambil kerikil lainnya dan melemparkan kerikil yang masih berada di tangan sambil kemudian menangkapnya lagi. Begitu seterusnya hingga kerikil yang berada di hadapannya terambil semuanya. Setelah itu semua kerikil disebar lagi di hadapannya. Jika telah menyelesaikan tahap pertama ini, pemain B harus melangkah ke tahapan yang disebut saku garo. Pemain B di dalam tahapan saku garo harus kembali mengambil sebuah kerikil yang tadi telah disebar. Kerikil itu kembali dilempar ke atas sambil meraup dua kerikil sekaligus yang ada di lantai lalu dilanjutkan menangkap kerikil yang dilemparkan. Jika tidak berhasil harus digantikan oleh pemain giliran selanjutnya. Namun jika berhasil, maka melakukan cara yang sama, setelah dua kerikil yang ada di tangan diletakkan di sebelahnya. Jika pada pengambilan 2 kerikil selanjutnya pun berhasil, maka ia kembali menyebar semua kerikil di hadapannya dan ia telah sampai ke tahapan selanjutnya yang disebut saku galu. Pada tahapan saku galu, pemain B kembali mengulangi cara sama, yakni mengambil satu kerikil kemudian dilempar ke atas sambil mengambil 3 kerikil sekaligus dilanjutkan menangkap kerikil yang dilempar. Setelah berhasil, ketiga kerikil kembali diletakkan disampingnya. Ia kembali mengambil sisa kerikil dengan cara yang sama. Jika berhasil semuanya, ia melangkah ke tahapan yang disebut saku gapuk.

Pada tahapan saku gapuk, pemain B menata empat kerikil saling berdempetan. Setelah itu ia kembali melemparkan sebuah kerikil lainnya ke atas dan dengan secepatnya mengambil semua kerikil yang berdempetan di hadapannya tadi untuk diraup sambil ndulit atau menempelkan jari telumpuk ke lantai kemudian diakhiri dengan menangkap kerikil yang dilemparkan ke atas tadi. Jika ia dapat menangkap kerikil tadi berarti pemain B telah berhasil mendapatkan sawah atau nilai satu. Maka pemain giliran berikutnya berhak bermain selanjutnya. Demikian seterusnya hingga setiap pemain mendapatkan sawah yang banyak. Biasanya jumlah maksimal sawah sudah ditentukan, misalnya 5, 8, atau 10 sawah. Anak yang sudah mencapai sawah atau nilai 10 misalnya, maka anak yang paling kalah diukum dengan cara duduk slonjor. Setelah duduk slonjor posisi duduk dengan kaki lurus ke depan, anak yang menang memukulmukul kaki kiri yang slonjor secara pelan-pelan, lalu salah satu tangan kanan pemain yang menang mengepalkan tangannya ke atas. Pemain kalah dengan mata tertutup diminta menebak jumlah kerikil yang berada di tangan yang diangkat ke atas. Jumlah kerikil yang berada di genggaman tangan boleh sebagian atau seluruhnya, agar tidak mudah ditebak. Jika tidak semuanya, sebagian kerikil bisa disembunyikan di tempat yang aman, tidak kelihatan oleh pemain kalah. Saat memukul-pukul kaki pemain kalah dengan pelan, para pemain menang menyanyikan lagu Genjeng yang syairnya demikian: Genjeng-genjeng/ debog bosok jambe wangen/ mur murtimur mur murtimur/ walang kadung dening cekung/ rondhe-rondhe/ pira satak pira lawe/ salawa aja na badhe/ picak jengkol pira kiye/ cakuthu cakuthu/ badhoganmu tahu basu/ aku dhewe carang madu//. Setelah tiba syair carang madu pemain kalah diminta membuka mata lalu menebak kerikil yang berada di genggaman tangan yang diangkat ke atas oleh salah satu pemain pemenang. Jika tebakan pemain kalah tepat, maka permainan dapat dilanjutkan. Namun jika tebakannya salah, lagu tadi bisa diulangi lagi hingga tebakannya benar. Setiap kali pemain yang gagal di tengah permainan, maka ia akan mengulangi pada giliran berikutnya tidak mulai dari awal lagi tetapi dari tahapan yang masih gagal. Misalnya, pemain C pada permainan pertama gagal di tahapan ketiga yakni saku galu, maka setelah mendapat giliran berikutnya, ia berhak memulai di tahapan saku galu. Dolanan gatheng memberi pelajaran kepada anak-anak untuk bermain sportif. Setiap anak yang belum trampil harus berani menerima kenyataan dan harus berani memberikan kesempatan kepada pemain lain, jika dirinya

belum bisa menyelesaikan setiap tahapan. Setiap kali gagal harus berani mengatakan kalah atau gagal. Anak juga tidak boleh curang. Walaupun kadang pemain lain terlena, namun jika ia saat bermain melakukan kesalahan harus berani mengatakan salah dan memberikan kesempatan kepada orang lain. Permainan ini juga mengajarkan kecekatan kepada anakanak, tepatnya ketika anak-anak melemparkan kerikil ke atas dan harus segera menangkapnya. Begitulah permainan gatheng yang saat ini sudah tergilas oleh permainan modern yang lebih bersifat individualistis. Suwandi Sumber: Buku Permainan Tradisional Jawa, Sukirman Dharmamulya, dkk, Kepel Press, 2004

Ensiklopedi

ANCAK-ANCAK ALIS-1 (DOLANAN ANAK TRADISIONAL-15)Satu lagi permainan tradisional masyarakat Jawa yang sering dimainkan oleh anak-anak tanpa harus membutuhkan peralatan tetap, yaitu ancak-ancak alis. Di zaman dulu, sebelum kemerdekaan bangsa Indonesia, permainan yang diiringi dengan lagulagu dolanan ini terkenal di berbagai wilayah pedesaan di masyarakat pertanian Jawa. Dolanan ini biasa dimainkan oleh anak-anak laki-laki dan perempuan sebaya sekolah dasar. Tetapi kadang pula anak-anak yang lebih besar pada zaman dulu masih suka memainkan dolanan ini. Malam terang bulan menjadi waktu favorit mereka untuk bermain, apalagi jika pas hari libur. Tetapi kadangkadang pula dimainkan waktu pagi atau sore hari, sesuai dengan kelonggaran waktu yang dimiliki oleh anak-anak. Di sekolah, anak-anak memainkan di waktu jam istirahat. Permainan ancak-ancak alis memang sulit untuk dirunut sejarahnya, terutama jika dikaitkan dengan asal-usul katanya. Sebab, kata ancak sendiri menurut Baoesastra (Kamus) Jawa berarti sebuah perlengkapan sesaji yang dibuat dari belahan bambu yang dianyam berbentuk empat persegi panjang dengan ukuran sekitar 25 x 25 cm dan memiliki bingkai dari pelepah pisang. Sementara kata alis, dalam syair lagu ini lebih menunjuk ke seekor kerbau. Makna lain alis adalah rambut yang tumbuh di atas mata. Jadi jika kata-kata itu digabung, sebenarnya tidak bisa mengacu ke jenis permainan tradisional

di atas. Namun begitulah kadang kala nama dolanan itu tidak mengacu sama sekali dengan makna kata dolanan itu sendiri. Permainan ancak-ancak alis hanya membutuhkan lahan yang cukup luas. Semakin banyak anak yang ikut maka lahan yang dibutuhkan semakin luas. Paling tidak lahan yang dibutuhkan berukuran 5 x 7 meter. Namun semakin luas, akan semakin membuat leluasa bagi anak-anak yang bermain. Biasanya lahan yang digunakan untuk bermain adalah halaman rumah, lapangan, halaman kebun, halaman sekolah, dan sebagainya. Lebih baik jika halaman yang dipakai rata, berumput, atau bersemen. Di kanan kiri lapangan yang dipakai untuk bermain lebih baik lagi jika ditumbuhi tanaman sehingga tidak kelihatan terlalu gersang dan panas. Anak-anak yang hendak bermain ancak-ancak alis, baik laki-laki dan perempuan, biasanya berkumpul lebih dulu sebelum bermain. Misalkan ada 12 anak yang hendak bermain, maka 2 di antara mereka harus dipilih untuk menjadi petani (pemain yang bertugas menjadi induk semang atau ketua). Mereka yang dipilih menjadi petani atau induk semang biasanya berusia paling tua dengan memiliki kesamaan tinggi badan, besar tubuh, dan kekuatan. Namun bisa jadi ditentukan sesuai dengan kesepakatan anakanak yang bermain. Setelah disepakati, maka kedua pemain menjauh dari kerumunan anak-anak lain yang bermain. Mereka membuat kesepakatan bersama terhadap penggunaan nama-nama pertanian untuk diri mereka dan tidak boleh diketahui oleh pemainpemain lainnya. Misalkan, petani A sepakat mengambil nama bagi dirinya pacul, dan pemain B menamakan dirinya dengan garu. Sementara pemain-pemain lainnya sudah berjajar membentuk ular. Pemain tertinggi atau terbesar biasanya mengambil posisi di depan. Kemudian pemain lainnya berjajar di belakangnya sambil tangannya memegang pinggang pemain di depannya sehingga membentuk seperti ular. Kedua petani A dan B berdiri berhadap-hadapan seperti membentuk sebuah gapura dengan tangan diangkat ke atas sehingga telapak tangan saling menempel. Keduanya lalu menyanyikan lagu: /ancak-ancak alis/ si alis kebo janggitan/ anak-anak kebo dhungkul/ si dhungkul bang-bang teyo/ tiga rendheng/ enceng-enceng gogo beluk/ unine pating cerepluk/ ula sawa ula dumung/ gedhene salumbang bandhung/ sawahira lagi apa?//. Ketika keduanya menyanyikan lagu itu, pemain-pemain lain yang bergandengan berputar-putar mengelilingi kedua induk semang, dengan melewati gapura.

Pada permainan versi sederhana, setelah anak melewati gapura, maka untuk pemain yang berada di paling belakang (misalkan pemain C) dihentikan oleh kedua induk semang dengan cara tangan-tangan si petani diturunkan sehingga seolah-olah mengurung pemain C. Sementara pemainpemain yang masih berbaris menjauhi pemain A dan B. Lalu pemain C yang tertangkap tadi ditanya secara bisik-bisik oleh pemain A dan B. Pemain C disuruh untuk memilih pacul atau garu. Ketika pemain C memilih pacul, maka ia menjadi teman A dan harus berdiri di belakangnya. Kemudian A dan B menyanyikan lagu ancak-ancak alis seperti di atas. Sementara pemainpemain lain kembali berputar-putar sambil melewati gapura yang dibuat pemain A dan B. Setelah itu pemain paling belakang (misalkan pemain D) dikurung lagi oleh pemain A dan B untuk ditanya lagi secara bisik-bisik. Jika untuk kali ini pemain D memilih garu, maka ia menjadi anak semang pemain B dan harus berdiri di belakangnya. Demikian seterusnya hingga pemainpemain yang berputar-putar tersebut habis. Jika pemain A mendapatkan anak semang lebih banyak maka kelompoknya dianggap pemenang. Kadang-kadang untuk merahasiakan nama-nama pertanian yang dikehendaki kedua pemain A dan B, bisa diubah sesuai dengan kesepakatan berdua, dengan cara sama, yaitu menjauh dari anak-anak semang yang sudah diperoleh. Setelah itu keduanya menyepakati nama-nama pertanian baru, misalkan arit dan luku, alu dan lumpang, atau lainnya. Setelah disepakati, mereka berdua kembali ke tempat semula dan menyanyikan lagi lagu ancak-ancak alis. Setelah ada pemain paling belakang ditangkap lalu ditanya memilih alat pertanian apa. bersambung Suwandi Sumber: Buku Permainan Tradisional Jawa, Sukirman Dharmamulya, dkk, Kepel Press, 2004

Ensiklopedi

ANCAK-ANCAK ALIS-2 (DOLANAN ANAK TRADISIONAL-15)Kedua induk semang terus berlomba mencari anak semang sebanyak-banyaknya dengan cara menanyai setiap anak semang yang dijaring. Ketika induk semang A, misalkan sudah mendapat anak semang lebih banyak daripada induk semang

B, tetapi induk semang B merasa belum merasa kalah, maka ia bersama anak semangnya bisa menantang induk semang A dan anak semangnya untuk beradu kekuatan, misalkan lomba tarik tambang. Jika dalam tarik tambang ini, induk semang B dan anak buahnya memang, maka kelompok ini dianggap sebagai pemenang dari permainan ancak-ancak alis. Bentuk tantangan bermacam-macam, bisa tarik tambang seperti di atas, atau bentuk lain, misalnya lomba kecepatan lari, adu panco, dan sebagainya. Namun semua itu harus disepakati terlebih dahulu, sebelum permainan ancak-ancak alis berlangsung. Pada versi yang lebih lengkap, setelah kedua induk semang A dan B selesai menyanyikan lagu ancak-ancak alis, maka rombongan anak yang membentuk ular-ularan memberi jawaban yang berbeda-beda, misalnya lagi mluku, lagi nandur, lagi nglilir, lagi ijo, dan seterusnya. Setiap jawaban disebutkan setelah kedua induk semang selesai menyanyikan lagu ancakancak alis. Sementara itu anak-anak yang bergandengan itu tadi terus berbolak-balik ke kiri ke kanan dengan melewati terowongan yang dibuat oleh kedua induk semang. Setiap jawaban tadi disampaikan setelah keduanya selesai menyanyikan lagi ancak-ancak alis sambil melewati terowongan. Namun jika jawaban yang disampaikan adalah lagi wiwit, maka anak yang berada di paling belakang segera mengambil dedaunan muda, kemudian bergabung lagi dengan rombongan anak-anak yang membentuk ular-ularan, termasuk kedua induk semang bergabung di barisan paling depan. Semuanya terus berjalan berlika-liku membentuk angka delapan atau berputar-putar sambil menyanyikan lagu selingan, yakni: /menyang pasar Kadipaten/ leh-olehe jadah manten/ menyang pasar Ki Jodhog/ leh-olehe Cina bidhog//. Usai menyanyikan lagu selingan, kedua induk semang A dan B kembali ke posisi semula sambil menyanyikan lagi lagu ancak-ancak alis, sementara rombongan anak lain berputar-putar lagi. Selesai nyanyian kemudian dijawab lagi. Jika jawabannya lagi panen, maka anak yang berada di baringan paling belakang saat ditangkap kedua induk semang, ia disuruh memilih jawaban garu atau pacul. Demikian seterusnya hingga tinggal satu anak yang berbaris tertangkap oleh kedua induk semang. Setelah pemain terakhir ditangkap, maka sebagian anak lain sudah ikut induk semang A dan sebagian ikut induk semang B. Kemudian induk semang A dan B menyanyikan lagu: dikekuru dilelemu/ dicecenggring digegering//. Sambil menyanyikan lagu itu, posisi tangan pemain A dan B diubah berbentuk lingkaran, sambil menyanyikan lagu lain

yakni: /kidang lanang apa wadon?/ yen lanang mlumpata/ yen wadon mbrobosa//. Lalu anak yang ditangkap terakhir tadi disuruh melompat atau menerobos. Tetapi kedua pemain A dan B selalu menghalang-halangi. Jika pemain terakhir tadi tidak bisa lolos, maka akan ditanya untuk memilih garu atau pacul seperti pemain lainnya di atas. Jika ia memilih garu, maka ikut induk semang A dan jika memilih pacul, maka ia ikut induk semang B. Jika induk semang B mendapat anak buah lebih banyak maka rombongannya dianggap sebagai pemenang. Namun, seperti penjelasan di atas, bisa jadi rombongan yang kalah, bisa mengajak beradu lomba lain, untuk menentukan kemenangan jika sudah disepakati bersama sebelumnya. Permainan ancak-ancak alis memang harus membutuhkan kesabaran karena memerlukan waktu yang lama. Selain itu tentu memerlukan pula kekompakan bermain. Yang terpenting setiap mempunyai sportivitas yang tinggi agar permainan berjalan lancar. Jika ada anak yang bermain kurang sportif, biasanya akan dijauhi dari anak-anak lainnya dan tidak diajak lagi bermain bersama-sama. Sayang, permainan ini sudah tidak banyak dikenal oleh anak-anak sekarang, kecuali hanya beberapa kelompok saja yang masih terbiasa main dalam acara festival dan sejenisnya. Suwandi Sumber: Buku Permainan Tradisional Jawa, Sukirman Dharmamulya, dkk, Kepel Press, 2004

Ensiklopedi

ANCAK-ANCAK ALIS-2 (DOLANAN ANAK TRADISIONAL-15)Kedua induk semang terus berlomba mencari anak semang sebanyak-banyaknya dengan cara menanyai setiap anak semang yang dijaring. Ketika induk semang A, misalkan sudah mendapat anak semang lebih banyak daripada induk semang B, tetapi induk semang B merasa belum merasa kalah, maka ia bersama anak semangnya bisa menantang induk semang A dan anak semangnya untuk beradu kekuatan, misalkan lomba tarik tambang. Jika dalam tarik tambang ini, induk semang B dan anak buahnya memang, maka kelompok ini dianggap sebagai pemenang dari permainan ancak-ancak alis. Bentuk tantangan bermacammacam, bisa tarik tambang seperti di atas, atau bentuk lain, misalnya lomba kecepatan lari, adu panco, dan sebagainya. Namun semua itu harus

disepakati terlebih dahulu, sebelum permainan ancak-ancak alis berlangsung. Pada versi yang lebih lengkap, setelah kedua induk semang A dan B selesai menyanyikan lagu ancak-ancak alis, maka rombongan anak yang membentuk ular-ularan memberi jawaban yang berbeda-beda, misalnya lagi mluku, lagi nandur, lagi nglilir, lagi ijo, dan seterusnya. Setiap jawaban disebutkan setelah kedua induk semang selesai menyanyikan lagu ancakancak alis. Sementara itu anak-anak yang bergandengan itu tadi terus berbolak-balik ke kiri ke kanan dengan melewati terowongan yang dibuat oleh kedua induk semang. Setiap jawaban tadi disampaikan setelah keduanya selesai menyanyikan lagi ancak-ancak alis sambil melewati terowongan. Namun jika jawaban yang disampaikan adalah lagi wiwit, maka anak yang berada di paling belakang segera mengambil dedaunan muda, kemudian bergabung lagi dengan rombongan anak-anak yang membentuk ular-ularan, termasuk kedua induk semang bergabung di barisan paling depan. Semuanya terus berjalan berlika-liku membentuk angka delapan atau berputar-putar sambil menyanyikan lagu selingan, yakni: /menyang pasar Kadipaten/ leh-olehe jadah manten/ menyang pasar Ki Jodhog/ leh-olehe Cina bidhog//. Usai menyanyikan lagu selingan, kedua induk semang A dan B kembali ke posisi semula sambil menyanyikan lagi lagu ancak-ancak alis, sementara rombongan anak lain berputar-putar lagi. Selesai nyanyian kemudian dijawab lagi. Jika jawabannya lagi panen, maka anak yang berada di baringan paling belakang saat ditangkap kedua induk semang, ia disuruh memilih jawaban garu atau pacul. Demikian seterusnya hingga tinggal satu anak yang berbaris tertangkap oleh kedua induk semang. Setelah pemain terakhir ditangkap, maka sebagian anak lain sudah ikut induk semang A dan sebagian ikut induk semang B. Kemudian induk semang A dan B menyanyikan lagu: dikekuru dilelemu/ dicecenggring digegering//. Sambil menyanyikan lagu itu, posisi tangan pemain A dan B diubah berbentuk lingkaran, sambil menyanyikan lagu lain yakni: /kidang lanang apa wadon?/ yen lanang mlumpata/ yen wadon mbrobosa//. Lalu anak yang ditangkap terakhir tadi disuruh melompat atau menerobos. Tetapi kedua pemain A dan B selalu menghalang-halangi. Jika pemain terakhir tadi tidak bisa lolos, maka akan ditanya untuk memilih garu atau pacul seperti pemain lainnya di atas. Jika ia memilih garu, maka ikut induk semang A dan jika memilih pacul, maka ia ikut induk semang B. Jika induk semang B mendapat anak buah lebih banyak maka rombongannya

dianggap sebagai pemenang. Namun, seperti penjelasan di atas, bisa jadi rombongan yang kalah, bisa mengajak beradu lomba lain, untuk menentukan kemenangan jika sudah disepakati bersama sebelumnya. Permainan ancak-ancak alis memang harus membutuhkan kesabaran karena memerlukan waktu yang lama. Selain itu tentu memerlukan pula kekompakan bermain. Yang terpenting setiap mempunyai sportivitas yang tinggi agar permainan berjalan lancar. Jika ada anak yang bermain kurang sportif, biasanya akan dijauhi dari anak-anak lainnya dan tidak diajak lagi bermain bersama-sama. Sayang, permainan ini sudah tidak banyak dikenal oleh anak-anak sekarang, kecuali hanya beberapa kelompok saja yang masih terbiasa main dalam acara festival dan sejenisnya. Suwandi Sumber: Buku Permainan Tradisional Jawa, Sukirman Dharmamulya, dkk, Kepel Press, 2004

Ensiklopedi

BETHET THING-THONG-2 (DOLANAN ANAK TRADISIONAL-16)Lagu Bethet Thing-Thong dinyanyikan terus oleh si embok hingga jari-jemari yang diregangkan oleh setiap pemain satu-persatu ditekuk. Jika ada pemain yang jarinya sudah ditekuk semua, maka ia menang dan berhak menjadi pemain yang mentas. Lalu si embok kembali menyanyikan lagu tersebut hingga tinggal satu pemain yang masih meregang