dokumen.tips hipertensi dalam kehamilan 558463b263abc
DESCRIPTION
fbdafTRANSCRIPT
TUGAS
HIPERTENSI DALAM KEHAMILAN
Disusun Oleh :
Kristyawan Hendri Atmono, S. Ked 08310166
KEPANITRAAN KLINIK SENIOR
BAGIAN ILMU KEDOKTERAN KOMUNITAS
DINAS KESEHATAN KOTA TASIKMALAYA
PUSKESMAS CIPEDES
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MALAHAYATI
2013
HIPERTENSI DALAM KEHAMILAN
A. Pengertian
Hipertensi dalam kehaliman (HDK) adalah keadaan yang ditemukan
sebagai komplikasi medik pada wanita hamil dan sebagai penyebab morbiditas
dan mortalitas pada ibu dan janin. Secara umum HDK dapat didefinisikan
sebagai kenaikan darah sistolik > 140 mmHg dan atau tekanan darah diastolik
>90 mmHg yang diukur paling kurang 6 jam pada saat yang berbeda.
Terdapat beberapa perbedaan mengenai klasifikasi hipertensi
pada hipertensi secara umum dengan hipertensi dalam
kehamilan. NHBPEP (National High Blood Pressure Education
Working Group Report on High Blood Pressure in Pregnancy)
memiliki klasifikasi tersendiri karena pada kehamilan, terjadi
beberapa perubahan hemodinamik yang mempengaruhi
tekanan darah.
Tabel 1. Klasifikasi Hipertensi
Klasifikasi JNC 7 (Tidak
Hamil)
Klasifikasi NHBPEP
(Hamil)
Normal:
TDS ≤ 120 mmHg
TDD ≤ 80 mmHg
Normal/acceptable pada
kehamilan
TDS ≤ 140 mmHg
TDD ≤ 90 mmHg
Pre Hipertensi:
TDS 120 - 139 mmHg
TDD 80 - 89 mmHg
Hipertensi Stage 1:
TDS ≤ 120 mmHg
TDD ≤ 80 mmHg
Hipertensi Ringan:
TDS 140 -150 mmHg
TDD 90 - 109 mmHg
Hipertensi Stage 2 Hipertensi Berat
TDS 160 - 179 mmHg
TDD 100 - 110 mmHg
TDS ≥ 160 mmHg
TDD ≥ 110 mmHg
Hipertensi Stage 3
TDS 180 - 209 mmHg
TDD 110 - 119 mmHg
Menurut NHBPEP (National High Blood Pressure Education
Program Working Group on High Blood Pressure in Pregnancy),
hipertensi dalam kehamilan meliputi:
1. Hipertensi Gestasional
Didapatkan tekanan darah ≥ 140/90 mmHg untuk pertama
kalinya pada kehamilan, tidak disertai dengan proteinuria dan
tekanan darah kembali normal < 12 minggu pasca persalinan.
Hipertensi gestasional terjadi sekitar 6% dari total
kehamilan dan separuhnya berkembang menjadi preeklamsia
dengan ditemukannya proteinuri. Diagnosis pasti sering dibuat di
belakang, Jika tes laboratorium tetap normal dan tekanan darah
menurun pasca melahirkan, maka diagnosisnya adalah hipertensi
gestational (sebelumnya disebut transcient hypertension).
Wanita dengan hipertensi gestational harus dianggap beresiko
terjadinya preeklamsia, yang dapat berkembangkan setiap saat,
termasuk minggu pertama pasca melahirkan. Sekitar 15% hingga
45% perempuan awalnya didiagnosis dengan hipertensi
gestational akan mengembangkan preeklamsia, dan
kemungkinan lebih besar pada pasien yang memiliki riwayat
preeklamsia sebelumnya, miscarriage, dan riwayat hipertensi
kehamilan sebelumnya (Davis et.al, 2007).
2. Preeklamsi
Preeclampsia adalah sindrom yang memiliki manifestasi
klinis seperti new-onset hypertension pada saat kehamilan
(setelah usia kehamilan 20 minggu, tetapi biasanya mendekati
hari perkiraan lahir), berhubungan dengan proteinuria: 1+
dipstick atau 300 mg dalam 24 jam urin tampung. Sindrom ini
terjadi pada 5 - 8 % dari seluruh kehamilan. Pengobatan
antihipertensi pada pasien ini bukan ditujukkan untuk
menyembuhkan atau memulihkan preeklamsia. Preeklamsia
dapat berkembangkan secara tiba-tiba pada wanita muda, pada
wanita yang sebelumnya normotensive, sehingga perlu
pencegahan gangguan kardiovaskular dan serebrovaskular
sebagai konsekuensi dari berat dan cepat peningkatan tekanan
darah, hal ini adalah tujuan utama manajemen klinis yang
membutuhkan kebijaksanaan penggunaan obat antihipertensi
(Levine et.al, 2004).
3. Eklamsi
Serangan konvulsi pada wanita dengan preeklampsia yang
tidak dapat dihubungkan dengan sebab lainnya disebut eklamsi.
Konvulsi terjadi secara general dan dapat terlihat sebelum,
selama, atau setelah melahirkan. Pada studi terdahulu, sekitar
10% wanita eklamsi, terutama nulipara, serangan tidak muncul
hingga 48 jam setelah postpartum. Setelah perawatan prenatal
bertambah baik, banyak kasus antepartum dan intrapartum
sekarang dapat dicegah, dan studi yang lebih baru melaporkan
bahwa seperempat serangan eklampsia terjadi di luar 48 jam
postpartum (Cunningham, 2005).
4. Hipertensi kronik dengan superimposed preeklamsi
Timbulnya proteinuria ≥ 300 mg/ 24 jam pada wanita hamil
yang sudah mengalami hipertensi sebelumnya. Proteinuria hanya
timbul setelah kehamilan 20 minggu.
5. Hipertensi kronik (preexisting hypertention)
Ditemukannya tekanan darah ≥ 140/ 90 mmHg, sebelum
kehamilan atau sebelum kehamilan 20 minggu dan tidak
menghilang setelah 12 minggu pasca persalinan. Wanita usia
subur dengan hipertensi esensial stage I yang tidak memiliki
kerusakan organ target dan dalam kondisi kesehatan yang baik
memiliki prognosis yang baik dalam kehamilan. Walaupun
terdapat peningkatan resiko terjadi superimposed preeclampsia,
akan tetapi secara fisiologi akan terjadi penurunan tekanan
darah selama kehamilan dan penurunan kebutuhan terhadap
agen antihipertensi. Capaian tatalaksananya adalah
mempertahankan tekanan darah pada level yang memiliki resiko
gangguan kardiovaskular dan serebrovaskular pada ibu yang
minimal (Abalos et.al, 2007).
Kadang-kadang, wanita dengan hypertensi kehamilan akan
tetap hipertensi setelah melahirkan. Pada pasien ini
kemungkinan besar memiliki hipertensi kronis yang sudah ada
sebelumnya, yang tertutup/tak tampak di awal kehamilan oleh
karena respon fisiologis dari kehamilan yakni vasodilasi. Kejadian
hipertensi pada periode pasca melahirkan dan waktu maksimum
untuk normalisasi tekanan darah belum diketahui. Pada
umumnya, hipertensi > 140/90 mm Hg menetap lebih dari 3
bulan pasca melahirkan didignosis sebagai hipertensi kronis.
B. Diagnosis
Selain pemantauan tekanan darah, diperlukan pemeriksaan
laboratorium guna memantau perubahan dalam hematologi, ginjal,
dan hati yang dapat mempengaruhi prognosis pasien dan janinnya.
Pemeriksaan laboratorium yang dianjurkan untuk memantau pasien
hipertensi dalam kehamilan adalah hemoglobin dan hematokrit
untuk memantau hemokonsentrasi yang mendukung diagnosis
hipertensi gestasional. Pemeriksaan enzim AST, ALT, dan LDH
untuk mengetahui keterlibatan hati. Urinalisis untuk mengetahui
adanya proteinuria atau jumlah ekskresi protein urin 24 jam.
Kreatinin serum diperiksa untuk mengetahui fungsi ginjal, yang
umumnya pada kehamilan kreatinin serum menurun. Asam urat
perlu diperiksa karena kenaikan asam urat biasanya dipakai
sebagai tanda beratnya pre eklampsia. Pemeriksaan EKG
diperlukan pada hipertensi kronik. Seperti juga pada kehamilan
tanpa hipertensi, perlu pula dilakukan pemeriksaan gula darah dan
kultur urin (Suhardjono, 2007).
Diagnosis hipertensi dalam kehamilan berarti adalah
ditemukannya peningkatan tekanan darah pada pemeriksaan vital
sign. Standar pengukuran tekanan darah adalah sebagai berikut.
Tekanan darah sebaiknya diukur pada posisi duduk dengan posisi
cuff setinggi jantung. Adanya penekanan vena kava inferior oleh
uterus gravid pada posisi berbaring dapat mengganggu
pengukuran sehingga terjadi pengukuran yang lebih rendah.
Sebelum pengukuran, wanita hamil dianjurkan untuk duduk tenang
5-10 menit (Gipson dan Carson, 2009).
Hipertensi didiagnosa apabila tekanan darah pada waktu
beristirahat 140/90 mmHg atau lebih besar, fase ke V Korotkoff
digunakan untuk menentukan tekanan darah diastolik. Dahulu
telah dianjurkan agar peningkatan tambahan tekanan diastolik 15
mmHg atau sistolik 30 mmHg digunakan sebagai kriteria
diagnostik, bahkan apabila tekanan darah saat diukur di bawah
140/90 mmHg. Kriteria tersebut sekarang ini tidak lagi dianjurkan
karena bukti menunjukkan bahwa wanita tersebut tidak memiliki
kecenderungan untuk mengalami efek samping merugikan saat
kehamilan. Sebagai tambahan, tekanan darah biasanya menurun
pada trimester ke-II kehamilan dan tekanan diastolik pada
primigravida dengan kehamilan normotensi kadang-kadang naik
sebesar 15 mmHg. Oedem telah ditinggalkan sebagai kriteria
diagnostik karena hal tersebut juga banyak terjadi pada wanita
hamil yang normotensi. Oedem dianggap patologis bila menyeluruh
dan meliputi tangan, muka, dan tungkai. Sebagai catatan, oedem
tidak selalu terdapat pada pasien preeklamsi maupun eklamsi
(Brooks, 2005).
Kriteria diagnosis hipertensi dalam kehamilan rekomendasi
dari The Associety of Obstetrician and Gynaecologists of Canada
(JOGC Vol 30 number 3, March 2008) adalah: 1. Pemeriksaan
tekanan darah harus dilakukan di rumah sakit atau tempat
pelayanan kesehatan primer, 2. Hipertensi dalam kehamilan
didefinisikan sebagai tekanan diastolic >90 mmHg, didapatkan
pada minimal 2 kali pemeriksaan pada lengan yang sama, 3.Wanita
dengan sistolik >140mmHg harus dipantau untuk mengawasi
adanya perkembangan kearah hipertensi diastolic, 4. Hipertensi
berat, didefinisikan sebagai tekanan darah sistolik ≥160 mmHg
atau tekanan darah diastolic ≥110mHg,5. Untuk hipertensi tidak
berat, pemeriksaan tekanan darah serial harus dicatat sebelum
menegakkan diagnosis hipertensi, 6. Pada hipertensi berat,
konfirmasi pemeriksaan ulang dilakukan setelah 15 menit
1.Hipertensi Gestasional
Kriteria Diagnosis pada hipertensi gestasional yaitu :
TD 140/90 mmHg yang timbul pertama kali selama
kehamilan.
Tidak ada proteinuria.
TD kembali normal < 12 minggu postpartum.
Diagnosis akhir baru bisa ditegakkan postpartum.
Mungkin ada gejala preeklampsia lain yang timbul,
contohnya nyeri epigastrium atau trombositopenia
(Cunningham, 2005).
2.Pre Eklamsia dan Eklamsia
Kriteria diagnosis pada preeklamsi terdiri dari :
Kriteria minimal, yaitu :
TD 140/90 mmHg pada kehamilan > 20 minggu.
Proteinuria 300 mg/24 jam atau 1+ dipstick.
Kemungkinan terjadinya preeklamsi :
TD 160/110 mmHg.
Proteinuria 2.0 g/24 jam atau 2+ dipstick.
Kreatinin serum > 1.2 mg/dL kecuali sebelumnya diketahui
sudah meningkat.
Trombosit <100.000/mm3.
Hemolisis mikroangiopati (peningkatan LDH).
Peningkatan ALT atau AST.
Nyeri kepala persisten atau gangguan penglihatan atau
cerebral lain.
Nyeri epigastrium persisten. (Cunningham, 2005)
Beratnya preeklamsi dinilai dari frekuensi dan intensitas
abnormalitas yang dapat dilihat pada Tabel 2.2. Semakin banyak
ditemukan penyimpangan tersebut, semakin besar kemungkinan
harus dilakukan terminasi kehamilan. Perbedaan antara
preeklamsi ringan dan berat sulit dibedakan karena preeklamsi
yang tampak ringan dapat berkembang dengan cepat menjadi
berat.
Meskipun hipertensi merupakan syarat mutlak dalam
mendiagnosis preeklampsia, tetapi tekanan darah bukan
merupakan penentu absolut tingkat keparahan hipertensi dalam
kehamilan. Contohnya, pada wanita dewasa muda mungkin
terdapat proteinuria +3 dan kejang dengan tekanan darah
135/85 mmHg, sedangkan kebanyakan wanita dengan tekanan
darah mencapai 180/120 mmHg tidak mengalami kejang.
Peningkatan tekanan darah yang cepat dan diikuti dengan
kejang biasanya didahului nyeri kepala berat yang persisten atau
gangguan visual.
Pada preeklamsia dapat terjadi komplikasi akibat tekanan
darah yang tinggi sehingga terjadi kejang. Kejang terjadi tanpa
adanya riwayat epilepsy dan bukan merupakan proses
intracranial. Keadaan ini dikenal sebagai keadaan eklamsia.
Tabel 2. Gejala berat hipertensi dalam kehamilan (Cunningham,
2005)
Abnormalitas < 100 mmHg ≥ 110 mmHg
Tekanan
darah
diastolik
Trace - 1+ Persisten ≥ 2+
Proteinuria Tidak ada Ada
Sakit kepala Tidak ada Ada
Nyeri perut
bagian atas
Tidak ada Ada
Oliguria Tidak ada Ada
Kejang
(eklamsi)
Tidak ada Ada
Serum
Kreatinin
Normal Meningkat
Trombositope
ni
Tidak ada Ada
Peningkatan
enzim hati
Minimal Nyata
Hambatan
pertumbuhan
janin
Tidak ada Nyata
Oedem paru Tidak ada Ada
3.Superimposed Preeclampsia
Kriteria diagnosis Superimposed Preeclampsia adalah :
Proteinuria 300 mg/24 jam pada wanita dengan hipertensi
yang belum ada sebelum kehamilan 20 minggu.
Peningkatan tiba-tiba proteinuria atau tekanan darah atau
jumlah trombosit <100.000/mm3 pada wanita dengan
hipertensi atau proteinuria sebelum kehamilan 20 minggu
(Brooks, 2005).
4.Hipertensi Kronis
Diagnosis hipertensi kronis yang mendasari dilakukan apabila :
Hipertensi (≥ 140/90 mmHg) terbukti mendahului kehamilan.
Hipertensi (≥ 140/90 mmHg) diketahui sebelum 20 minggu,
kecuali bila ada penyakit trofoblastik.
Hipertensi berlangsung lama setelah kelahiran.
Hipertensi kronis dalam kehamilan sulit didiagnosis apalagi
wanita hamil tidak mengetahui tekanan darahnya sebelum
kehamilan. Pada beberapa kasus, hipertensi kronis didiagnosis
sebelum kehamilan usia 20 minggu, tetapi pada beberapa wanita
hamil, tekanan darah yang meningkat sebelum usia kehamilan
20 minggu mungkin merupakan tanda awal terjadinya
preeklamsi.
Sebagian dari banyak penyebab hipertensi yang mendasari
dan dialami selama kehamilan dicatat pada Tabel 2.2. Hipertensi
esensial merupakan penyebab dari penyakit vaskular pada >
90% wanita hamil. Selain itu, obesitas dan diabetes adalah sebab
umum lainnya. Pada beberapa wanita, hipertensi berkembang
sebagai konsekuensi dari penyakit parenkim ginjal yang
mendasari.Seperti:
1 Obesitas
2 Hipertensi esensial
3
.
Kelainan arterial : Hipertensi renovaskular
Koartasi aorta
4
.
Gangguan-gangguan
endokrin :
Diabetes mellitus
Sindrom cushing
Aldosteronism primer
Pheochromocytoma
Thyrotoxicosis
5
.
Glomerulonephritis
(akut dan kronis)
6
.
Hipertensi renoprival : Glomerulonephritis kronis
Ketidakcukupan ginjal kronis
Diabetic nephropathy
7
.
Penyakit jaringan
konektif :
Lupus erythematosus
Systemic sclerosis
Periarteritis nodosa
8 Penyakit ginjal polikistik
9
.
Gagal ginjal
Pada beberapa wanita dengan hipertensi kronis, tekanan
darah dapat meningkat sampai tingkat abnormal, khususnya
setelah 24 minggu. Jika disertai oleh proteinuria, maka
preeklamsi yang mendasarinya dapat didiagnosis. Preeklamsi
yang mendasari hipertensi kronis ini sering berkembang lebih
awal pada kehamilan daripada preeklamsi murni, dan hal ini
cenderung akan menjadi lebih berat dan sering menyebabkan
hambatan dalam pertumbuhan janin. Indikator tentang beratnya
hipertensi sudah diperlihatkan pada Tabel 2.1 dan digunakan
juga untuk menggolongkan preeklamsi yang mendasari
hipertensi kronis tersebut (Cunningham, 2005).
A.PENATALAKSANAAN
Setiap wanita harus dievaluasi sebelum konsepsi untuk
menentukan kondisi tekanan darahnya. Jika terdapat hipertensi,
dapat ditentukan beratnya, sebab sekunder yang mungkin,
kerusakan target organ, dan rencana strategis
penatalaksanaannya. Kebanyakan wanita penderita hipertensi yang
merencanakan kehamilan harus menjalani skrining adanya
faeokromositoma karena angka morbiditas dan mortalitasnya yang
tinggi apabila keadaan ini tidak terdiagnosa pada ante partum.
Pada umumnya, frekuensi kunjungan antenatal menjadi
sering pada akhir trimester untuk menemukan awal preeklamsi.
Wanita hamil dengan tekanan darah yang tinggi (140/90 mmHg)
akan dievaluasi di rumah sakit sekitar 2-3 hari untuk menentukan
beratnya hipertensi. Wanita hamil dengan hipertensi yang berat
akan dievaluasi secara ketat bahkan dapat dilakukan terminasi
kehamilan. Wanita hamil dengan penyakit yang ringan dapat
menjalani rawat jalan.
Pada wanita penderita hipertensi yang merencanakan
kehamilan, penting diketahui mengenai penggantian medikasi anti
hipertensi yang telah diketahui aman digunakan selama kehamilan,
seperti metildopa atau beta bloker. Penghambat ACE dan ARB
jangan dilanjutkan sebelum terjadinya konsepsi atau segera
setelah kehamilan terjadi.
Perawatan di rumah sakit dipertimbangkan pada wanita
dengan hipertensi berat, terutama apabila terdapat hipertensi yang
persisten atau bertambah berat atau munculnya proteinuria.
Evaluasi secara sistematis meliputi :
Pemeriksaan detil diikuti pemeriksaan harian terhadap gejala
klinis seperti sakit kepala, pandangan kabur, nyeri epigastrium,
dan penambahan berat badan secara cepat.
Penimbangan berat badan saat masuk rumah sakit dan setiap
hari setelahnya.
Analisis proteinuria saat masuk rumah sakit dan setiap 2 hari.
Pengukuran tekanan darah dengan posisi duduk setiap 4 jam
kecuali saat pertengahan tengah malam dengan pagi hari.
Pengukuran serum kreatinin, hematokrit, trombosit, dan serum
enzim hati, frekuensi pemeriksaan tergantung beratnya
penyakit.
Evaluasi berkala tentang ukuran janin dan cairan amnion secara
klinis dan dengan menggunakan ultrasonografi (Brooks, 2004).
Selain itu, pasien juga dianjurkan mengurangi aktivitas
sehari-harinya yang berlebihan. Tirah baring total tidak diperlukan,
begitu pula dengan pemberian sedatif. Diet harus mengandung
protein dan kalori dalam jumlah yang cukup. Pembatasan garam
tidak diperlukan asal tidak berlebihan (Cunningham, 2005).
1. Pengobatan Hipertensi Kronis
Wanita dengan hipertensi tingkat I memiliki risiko rendah
untuk komplikasi kardiovaskular selama kehamilan dan hanya
menjalani terapi perubahan gaya hidup karena tidak ada bukti
bahwa terapi farmakologis meningkatkan prognosis neonatal.
Lebih lanjut lagi, tekanan darah biasanya menurun pada awal
kehamilan, disamping itu hipertensi mudah di kontrol dengan
atau tanpa medikasi. Modifikasi gaya hidup, latihan aerobik
ringan harus dibatasi berdasarkan teori yang menyatakan bahwa
aliran darah plasenta yang inadekuat dapat meningkatkan risiko
preeklampsia. Walaupun data pada wanita hamil bervariasi,
banyak ahli yang merekomendasikan restriksi intake garam
sebesar 2,4 gram. Penggunaan alkohol dan rokok harus
dihentikan (Gibson dan Carson, 2007).
Wanita hamil dengan hipertensi kronis harus dievaluasi
sebelum kehamilan sehingga obat-obat yang memiliki efek
berbahaya terhadap janin dapat diganti dengan obat lain seperti
metildopa dan labetalol. Metil dopa merupakan obat anti
hipertensi yang umum digunakan dan tetap menjadi obat pilihan
karena tingkat keamanan dan efektivitasnya yang baik. Banyak
wanita yang diterapi dengan diuretika, akan tetapi apakah terapi
diuretik dilanjutkan selama kehamilan masih menjadi bahan
perdebatan. Terapi diuretik berguna pada wanita dengan
hipertensi sensitif garam atau disfungsi diastolik ventrikel. Akan
tetapi diuretik harus dihentikan apabila terjadi preeklamsi atau
tanda-tanda pertumbuhan janin terhambat. Keputusan untuk
memulai terapi anti hipertensi pada hipertensi kronis tergantung
dari beratnya hipertensi, ada tidaknya penyakit kardiovaskular
yang mendasari, dan potensi kerusakan target organ. Obat lini
pertama yang biasanya dipergunakan adalah metildopa. Bila
terdapat kontra indikasi (menginduksi kerusakan hepar) maka
obat lain seperti nifedipin atau labetalol dapat digunakan
(Cunningham, 2005).
Tabel 3. Pilihan obat pada hipertensi gestasional dan hipertensi kronis
dalam kehamilan
Obat (resiko
FDA)
Dosis Keterangan
Agen yang
umum diberikan:
Methyldopa
0.5- 3.0
gram/hari
Pilihan obat berdasar
NHBEP, tercatat aman
pada trimester awal
Lini kedua
Labetalol 200-1200
mg/hari
Dapat dikaitkan dengan
fetal growth restriction
Nifedipin 30-120 mg/hari
dengan
preparat lepas
lambat
Dapat menghambat
persalinan dan memiliki
efek sinergis dengan
MgSO4 untuk menurunkan
tekanan darah
Hydralazin 20-300 mg/hari
dibagi dalam 2-
4 dosis
pemberian
Dapat digunakan bersama
agen simpatolitik, dapat
menyebabkan
trombositopenia neonates
Β-Blocker Tergantung
pada agen
yang dipilih
Menurunkan tekanan
darah uretroplasenta,
menyebabkan stress
hipoksia janin, resiko
growth restriction pada
trimester I-II (atenolol),
dosis terlalu tinggi
menyebabkan hipoglikemi
neonates
Hidrochlortiazid 12.5 – 25
mg/hari
Menyebabkan gangguan
elektrolit, dapat digunakan
sebagai kombinasi dengan
metildopa dan vasodilator
untuk mengurangi retensi
cairan.
Kontraindikasi
ACE-inhibitor
dan ARB tipe I
Menyebabkan fetal death,
gangguan jantung,
fetophaty,
oligohidramnion, growth
restriction, renal agenesis
dan neonatal anuric renal
failure
Tidak ada agen antihipertensi yang aman digunakan pada
trimester pertama. Terapi dengan obat diindikasikan pada
hipertensi kronis tanpa komplikasi dan saat tekanan diastolic
≥100mmHg. Tatalaksana dengan dosis yang lebih rendah
diberikan pada pasien dengan diabetes mellitus, gagal ginjal,
atau kerusakan organ target.
Pilihan obat antihipertensi pada Preeklampsia dan
Eklamsia
Prinsip pengobatan antihipertensi pada pasien dengan
preeklamsia dan eklamsia adalah untuk mencegah hipertensi
meningkat secara progresif, mempertahankan tekanan darah
pada level yang memiliki resiko terendah terhadap gangguan
kardiovaskular dan serebrovaskular pada ibu (Abalos et.al,
2007). Pada keadaan hipertensi yang berat dalam kehamilan,
didefinisikan sebagai tekanan darah > 160/110mmHg, keadaan
ini membutuhkan pengobatan karena pada keadaan ini terjadi
peningkatan resiko terjadinya perdarahaan cerebral, terapi pada
keadaan ini untuk mencegah kematian ibu. Target pengobatan
terhadap kedaruratan hipertensi berat dalam kehamilan adalah
penurunan tekanan diastolic menjadi 90-100mmHg.
Tabel 4. Pilihan obat dalam control kedaruratan pada Hipertensi Berat
dalam kehamilan
Obat (resiko
FDA)
Dosis dan
pemberian
Keterangan
Labetalol 10-20 mg IV,
dilanjutkan 20-80 mg
setiap 20-30 menit.
Maksimal 300mg,
dengan infuse
kecepatan
1-2mg/menit
Insidensi hipotensi
maternal lebih rendah
dan efek samping,
penggunaan labetalol
saat ini menggantikan
hydralazin, tidak
diperbolehkan pada
wanita dengan asma
dan CHF.
Hydralazin 5 mg, IV atau IM,
dilanjutkan 5-10 mb
tiap 20-40 menit.
Evaluasi tekanan
darah setiap 3 jam.
Kecepatan infuse 0.5-
10mg/jam, bila tidak
berhasil diturunkan
dengan 20 mg IV atau
30mg IM, diganti obat
lain
Merupakan pilihan
obat dari NHBEP,
telah lama diketahui
keamanan dan
efikasinya
Nifedipin Hanya direkomendasi
dengan tablet,
diberikan 10-30mg
per oral, diulang
setiap 45 menit bila
perlu
Lebih disarankan
preparat yang long
acting, akan tetapi
pada bidang obstetric
lebih banyak disukai
preparat short acting
Diazoxide 30-50mg IV setiap 5-
15 menit
Jarang digunakan,
menyebabkan
berhentinya
persalinan,
hiperglikemia
Kontraindikasi
relatif
nitroprusid
Drip 0.25-5
ug/kgBB/menit
Dapat menyebabkan
keracunan sianoda
bila digunakan >4 jam
Pada keadaan hipertensi ensefalopati, perdarahan, atau
eklamsia membutuhkan terapi antihipertensi parenteral untuk
menurunkan mean arterial pressure. Wanita dengan
preeklamsia,perlu pertimbangan dalam memberikan terapi
hipertensi berat yang akut. Diberikan dosis yang lebih rendah
karena pada pasien ini terjadi deplesi volume intravascular dan
meningkatnya resiko terjadi hipotensi.
B.PILIHAN OBAT ANTIHIPERTENSI DALAM KEHAMILAN
Tujuan utama dalam mengobati hipertensi kronis dalam
kehamilan adalah menurunkan risiko maternal, tetapi pemilihan
obat anti hipertensi lebih memperhatikan keselamatan janin.
Terapi lini I yang banyak disukai adalah metil dopa, berdasarkan
laporan tentang stabilnya aliran darah uteroplasental dan
hemodinamika janin dan ketiadaan efek samping yang buruk pada
pertumbuhan anak yang terpapar metil dopa saat dalam
kandungan (Abalos, 2007).
Terapi anti hipertensi harus memperhatikan keamanan
maternal. Seleksi obat anti hipertensi dan rute pemberian
tergantung pada antisipasi waktu persalinan. Jika persalinan
terjadi lebih dari 48 jam kemudian, metil dopa oral lebih disukai
karena keamanannya. Alternatif lain seperti labetalol oral dan
beta bloker serta antagonis kalsium juga dapat dipergunakan. Jika
persalinan sudah akan terjadi, pemberian antihipertensi
parenteral lebih praktis dan efektif. Anti hipertensi diberikan
sebelum induksi persalinan pada tekanan darah diastol 105-110
mmHg atau lebih dengan tujuan menurunkannya sampai 95-105
mmHg (Cunningham, 2005).
Jenis-jenis obat yang dipergunakan dalam penanganan
hipertensi dalam kehamilan :
1. Metildopa
Merupakan agonis α-adrenergik, dan merupakan satu-
satunya obat anti hipertensi yang telah terbukti keamanan
jangka panjang untuk janin dan ibu. Obat ini menurunkan
resistensi total perifer tanpa menyebabkan perubahan pada
laju jantung dan cardiac output. Obat ini menurunkan tekanan
darah dengan menstimulasi reseptor sentral α-2 lewat α-metil
norefinefrin yang merupakan bentuk aktif metil dopa. Sebagai
tambahan, dapat berfungsi sebagai penghambat α-2 perifer
lewat efek neurotransmitter palsu. Jika metil dopa digunakan
sendiri, sering terjadi retensi cairan dan efek anti hipertensi
yang berkurang. Oleh karena itu, metil dopa biasanya
dikombinasikan dengan diuretik untuk terapi pada pasien yang
tidak hamil. Dosis awal 250 mg 3 kali sehari dan ditingkatkan 2
gram/hari. Puncak plasma terjadi 2-3 jam setelah pemberian.
Paruh wakti 2 jam. Efek maksimal terjadi dlam 4-6 jam setelah
dosis oral. Kebanyakan disekresi lewat ginjal. Efek samping
yang sering dilaporkan adalah sedasi dan hipotensi postural.
Terapi lama (6-12 bulan) dengan obat ini dapat menyebabkan
anemia hemolitik dan merupakan indikasi untuk
memberhentikan obat ini (Cunningham, 2005).
2. Hidralazin
Merupakan obat pilihan, golongan vasodilator arteri
secara langsung yang dapat menyebabkan takikardi dan
meningkatkan cardiac output akibat hasil respon simpatis
sekunder yang dimediasi oleh baroreseptor. Efek
meningkatkan cardiac output penting karena dapat
meningkatkan aliran darah uterus. Hidralazin dimetabolisme
oleh hepar.
Hidralazine diberikan dengan cara intravena ketika
tekanan diastol mencapai 110 mmHg atau lebih atau tekanan
sistolik mencapai lebih dari 160 mmHg. Dosis hidralazine
adalah 5-10 mg setiap interval 15-20 menit sampai tercapai
hasil yang memuaskan, yaitu tekanan darah diastol turun
sampai 90-100 mmHg tetapi tidak terdapat penurunan perfusi
plasenta. Efek puncak tercapai dalam 30-60 menit dan lama
kerja 4-6 jam. Efek samping seperti flushing, dizziness,
palpitasi, dan angina. Hidralazine telah terbukti dapat
menurunkan angka kejadian perdarahan serebral dan efektif
dalam menurunkan tekanan darah dalam 95% kasus
preeklamsi (Cunningham, 2005).
3. Labetalol
Labetalol merupakan penghambat beta non selektif dan
penghambat α1-adrenergik post sinaps yang tersedia dalam
bentuk oral maupun intra vena.
Labetalol diberikan secara intravena, merupakan
pemblok β 1 dan non selektif β, dan digunakan juga untuk
mengobati hipertensi akut pada kehamilan. Pada sebuah
penelitian yang membandingkan labetalol dengan hidralazine
menunjukkan bahwa labetalol menurunkan tekanan darah
lebih cepat dan efek takikardi minimal, tetapi hidralazine
menurunkan tekanan arteri rata-rata lebih efektif. Protokol
pemberian adalah 10 mg intravena. Jika tekanan darah belum
turun dalam 10 menit, maka diberikan 20 mg labetalol.
Kemudian 10 menit berikutnya 40 mg, selanjutnya 80 mg,
pemberian diteruskan sampai dosis maksimal kumulatif
mencapai 300 mg atau tekanan darah sudah terkontrol. Onset
kerja adalah 5 menit, efek puncak 10-20 menit, dan durasi
kerja 45 menit-6 jam. Pemberian labetalol secara intra vena
tidak mempengaruhi aliran darah uteroplasenter. Pengalaman
membuktikan bahwa labetalol dapat ditoleransi baik oleh ibu
maupun janin. Menurut NHBPEP, pemberian labetalol tidak
melebihi 220 mg tiap episode pengobatan (Reynold et.al,
2003).
4. Klonidin
Merupakan agonis α-adrenergik lainnya. Terapi biasanya
dimulai dengan dosis 0.1 mg 2 kali sehari dan ditingkatkan
secara incremental 0.1-0.2 mg/hari sampai 2.4 mg/hari.
Tekanan darah menurun 30-60 mmHg. Efek maksimal 2-4 jam
dan lama kerja 6-8 jam. Aliran darah ginjal dan laju filtrasi
glomerulus dapat terjaga, tetapi cardiac output menurun
namun tetap berespon terhadap latihan fisik. Efek samping
adalah xerostomia dan sedasi. Penghentian klonidin dapat
menyebabkan krisis hipertensi yang dapat diatasi dengan
pemberian kembali klonidin. Sampai sekarang belum ada
penelitian besar yang mempelajari klonidin seperti metil dopa
(Reynold, 2003).
5. Prazosin
Merupakan pemblok kompetitif pada reseptor α1-
adrenergik. Obat ini dapat menyebabkan vasodilatasi pada
resistensi dan kapasitas pembuluh darah sehingga
menurunkan preload dan afterload. Prazosin menurunkan
tekanan darah tanpa menurunkan laju jantung, curah jantung,
aliran darah ginjal, dan laju filtrasi glomerulus. Obat ini
dimetabolisme hampir seluruhnya di hepar. Sekitar 90%
ekskresi obat melalui kandung empedu ke dalam faeses.
Selama kehamilan, absorbsi menjadi lambat dan waktu paruh
menjadi lebih panjang. Dalam sebuah penelitian, kadar puncak
tercapai dalam 165 menit pada wanita hamil. Prazosin dapat
menyebabkan hipotensi mendadak dalam 30-90 menit setelah
pemberian. Hal ini dapat dihindari dengan pemberian sebelum
tidur. Percobaan binatang menunjukkan tidak ada efek
teratogenik. Prazosin bukan merupakan obat yang kuat
sehingga sering dikombinasikan dengan beta bloker (Reynold,
2003).
6. Diuretik
Obat ini memiliki efek menurunkan plasma dan ECF
sehingga curah jantung dan tekanan darah menurun, juga
menurunkan resistensi vaskular akibat konsentrasi sodium
interselular pada sel otot polos.
Obat diuretika yang poten dapat menyebabkan
penurunan perfusi plasenta karena efek segera meliputi
pengurangan volume intravaskular, dimana volume tersebut
sudah berkurang akibat preeklamsi dibandingkan dengan
keadaan normal. Oleh karena itu, diuretik tidak lagi digunakan
untuk menurunkan tekanan darah karena dapat meningkatkan
hemokonsentrasi darah ibu dan menyebabkan efek samping
terhadap ibu dan janin. Pemakaian furosemid saat ante partum
dibatasi pada kasus khusus dimana terdapat edema pulmonal.
Obat diuretika seperti triamterene dihindari karena merupakan
antagonis asam folat dan dapat meningkatkan risiko defek
janin (Reynold, 2003).
7. ACE-inhibitor
Obat ini menginduksi vasodilatasi dengan menginhibisi enzim
yang mengkonversi angiotensi 1 menjadi angiotensin 2
(vasokonstriktor poten), tanpa penurunan curah jantung.
Sebagai tambahan, obat ini juga meningkatkan sintesis
prostaglandin vasodilatasi dan menurunkan inaktivasi
bradikinin (vasodilator poten). Contoh obat ini seperti
captopril, enalapril, dam lisinopril (National Heart, Lung, and Blood
Institute, 2004).
8. Obat anti hipertensi lain
NHBPEP merekomendasikan nifedipin (Ca channel
blocker). Obat ini menginhibisi influk transmembran ion
kalsium dari ECS ke sitoplasma kemudian memblok eksitasi
dan kontraksi coupling di jaringan otot polos dan
menyebabkan vasodilatasi dan penurunan resistensi perifer.
Obat ini mempunyai efek tokolitik minimal. Dosis 10 mg oral
dan diulang tiap 30 menit bila perlu. Nifedipin merupakan
vasodilator arteriol yang kuat sehingga memiliki masalah
utama hipotensi. Pemberian nifedipin secara sub lingual,
menurut penelitian yang dilakukan oleh Mabie dan kawan-
kawan, menunjukkan bahwa dapat terjadi penurunan tekanan
darah yang cepat sehingga dapat menyebabkan hipotensi.
Karena alasan ini, nifedipin tidak digunakan pada pasien
dengan IUGR atau denyut jantung janin abnormal. Walaupun
nifedipin tampak lebih potensial, obat ini masih memerlukan
penelitian lebih lanjut untuk digunakan dalam kehamilan
(Reynold, 2003).
Pemakaian obat anti hipertensi lain seperti verapamil
lewat infus 5-10 mg per jam dapat menurunkan tekanan darah
arteri rata-rata sebesar 20%. Obat lain seperti nimodipin dapat
digunakan baik secara oral maupun infus dan terbukti dapat
menurunkan tekanan darah pada wanita penderita preeklamsi
berat. Hal ini dinyatakan pada penelitian yang dilakukan oleh
Belforts dan kawan-kawan. Pemakaian ketanserin secara intra
vena juga memberikan hasil yang baik menurut penelitian
Bolte dan kawan-kawan. Nitroprusid tidak direkomendasikan
lagi oleh NHBPEP kecuali tidak ada respon terhadap pemberian
hidralazin, labetalol atau nifedipin. Sodium nitroprussid dapat
menyebabkan vasodilatasi arteri dan vena tanpa efek
terhadap susunan saraf otonom atau pusat. Onset kerja 1-2
menit, puncak kerja terjadi setelah 1-2 menit, dan lama kerja
3-5 menit. Obat ini sangat efektif dalam mengontrol tekanan
darah dalam hitungan menit di ICU. Rekomendasi penggunaan
obat secara intra vena tidak lebih dari 30 menit pada ibu non
parturien karena efek samping toksisitas sianida dan tiosianat
pada janin. Trimethaphan merupakan pemblok ganglionik yang
digunakan oleh ahli anestesi dalam menurunkan tekanan
darah sebelum laringoskopi dan intubasi untuk anestesi
umum. Efek samping terhadap janin adalah ileus mekonium.
Nitrogliserin diberikan secara intra vena sebagai vasodilator
vena yang tampak aman bagi janin. Obat ini merupakan anti
hipertensi potensi sedang (Cunningham, 2005).
DAFTAR PUSTAKA
Cunningham FG. 2005. Obstetri William Edisi 21. Jakarta: EGC.
Davis GK, Mackenzie C, Brown MA, Homer CS, Holt J, dan McHugh MG. 2007. Predicting transformation from gestational hypertension preeclampsia in clinical practice: a possible role for 24 hour ambulat blood pressure monitoring. Hypertens Pregnancy.
National Heart, Lung, and Blood Institute, Prevention, Detection, Evaluation, and Treatment of High Blood Pressure. 2004. The Seventh Report of the Joint National Committee. NIH publication,.
Purwanto B. 2009. Pathogenesis, Etiology, and Management of Hypertension and Nefrotoxic Agents. Disampaikan pada Half Day Simposium: Renal Disease Induced by Nefrotoxic Agents. Surakarta
Roeshadi RH. 2004. Hipertensi dalam Kehamilan. In: Hariadi R. Ilmu kedokteran fetomaternal. Surabaya: Himpunan Kedokteran fetomaternal POGI.
AJOG. 2000. Working group on high blood pressure in keywords: Eclampsia, hypertension, preeclampsia, pregnancy, treatment. American Journal of Obstetrics and Gynecology. 183(1).
Suhardjono. 2007. Hipertensi pada Kehamilan. In: Sudoyo dkk (ed). Buku Ajar Ilmu Peyakit Dalam Jilid I Edisi IV. Jakarta: FKUI, pp: 614-15.
Reynolds C, Mabie W, dan Sibai B. 2003. Hypertensive States of Pregnancy. In: Current Obstetrics and Gynecologic Diagnosis and Treatment, edisi ke-9. New York : McGraw-Hill, pp: 338-353 .
Yogiantoro M. 2007. Hipertensi Esensial. In: Sudoyo dkk (ed). Buku Ajar Ilmu Peyakit Dalam Jilid I Edisi IV. Jakarta: FKUI, pp: 610-14.