dna arsitektur nias pada lorong gravitasi nusantara kontemporer

27
DNA Arsitektur Nias pada Lorong Gravitasi Nusantara Kontemporer Galih Widjil Pangarsa Jurusan Arsitektur Universitas Brawijaya arsiteknusantara.blogspot.com

Upload: galih-widjil-pangarsa

Post on 28-Mar-2016

247 views

Category:

Documents


18 download

DESCRIPTION

Lorong gravitasi di rumah tinggal Ary Indra yang esensinya tak jauh dari fahombo Nias, boleh dipandang sebagai temuan rancangan penting dalam praksis dan keilmuan arsitektur di Indonesia --bahkan untuk ukuran global. Apakah Ary sengaja mempelajari Arsitektur Nias dan kemudian berupaya dengan sengaja untuk menemukan “DNA”-nya? Tidak. Ary hanya menyalur-wujudkan intuisinya. Intuisi merupakan hal sangat mendasar dalam desain arsitektur. Marilah kita turun ke desa-desa Nusantara, untuk menggali dan menata ulang Arsitektur Nusantara Masa Depan, daripada bermimpi untuk menyetarai para starchitects (para superstar praktisi arsitektur atau superstar teoritisi, lihat Pangarsa, 2009b). Yang perlu dijadikan ”star”dalam pembelajaran arsitektur atau apa saja, adalah juga karya dan prosesnya bukan hanya pelakunya belaka.

TRANSCRIPT

Page 1: DNA Arsitektur Nias pada Lorong Gravitasi Nusantara Kontemporer

DNA Arsitektur Nias pada

Lorong Gravitasi Nusantara Kontemporer

Galih Widjil Pangarsa

Jurusan Arsitektur Universitas Brawijaya arsiteknusantara.blogspot.com

Page 2: DNA Arsitektur Nias pada Lorong Gravitasi Nusantara Kontemporer
Page 3: DNA Arsitektur Nias pada Lorong Gravitasi Nusantara Kontemporer

DNA Arsitektur Nias pada

Lorong Gravitasi Nusantara Kontemporer (http://www.youtube.com/watch?v=5_esQt-JK2U)

Galih Widjil Pangarsa Jurusan Arsitektur

Universitas Brawijaya

arsiteknusantara.blogspot.com 2011

Page 4: DNA Arsitektur Nias pada Lorong Gravitasi Nusantara Kontemporer

© Galih Widjil Pangarsa, Januari 2011

Gambar sampul luar dan dalam: Rumah Ary Indra dan rumah adat Nias

Desain grafis: Galih Widjil Pangarsa ISBN [e-book] dalam proses

E-book engine pada arsiteknusantara.blogspot.com powered by ©You

Publish

1. Teori arsitektur 2. Arsitektur Jawa 3. Arsitektur Nusantara

4. Ruang di dalam Arsitektur

Foto-foto ilustrasi yang tidak dicantumkan sumbernya berasal dari sumber bebas (open

source), atau sedang dalam proses pengizinan dari yang pihak-pihak yang mengklaim memiliki hak

atasnya (yang terkadang, tak lagi memakai/ merawat website mereka). Jika mereka tidak

berhasil dikontak, kami mohon dengan hormat untuk memahami bahwa para fotografer yang

karyanya terpakai di dalam buku ini pun memfoto objek-objek arsitektur tanpa

memberikan imbalan apapun kepada pihak--pihak (umumnya rakyat kecil) yang berkaitan

dengan objek foto mereka.

Kami berterimakasih kepada mereka, semoga amalnya bagi penerbitan e-book untuk

mencerdaskan kehidupan bangsa Indonesia ini, mendapat ganjaran yang lebih baik dan

melimpah dari Allah, Tuhan Yang Maha Pemurah.

Foto-foto rumah Ary Indra adalah dokumentasi

pribadinya dan/atau Aboday

Page 5: DNA Arsitektur Nias pada Lorong Gravitasi Nusantara Kontemporer

Kematian dan DNA ”Arsitektur Tradisional”

ampaknya masih banyak yang belum sepenuhnya menyadari, bahwa kajian Arsitektur Nusantara bukanlah untuk mengembalikan masa lalu. Yang mempelajari sejarah pun, tak jarang terjebak pada paradigma lama: belajar sejarah adalah untuk “memeti-eskan” tipologi tertentu (demi kepentingan

kolonial yang kadang-kadang dibungkus istilah ”post-kolonial”); slogan yang dipakai adalah “pelestarian”, ”tangible-intangible heritage”, dan seterusnya. Kajian Arsitektur Nusantara dan induknya, yaitu kajian Sejarah Arsitektur Indonesia, adalah justru untuk membangun bersama sebuah bidang pijak dalam rangka mempersiapkan masa depan arsitektur yang lebih baik di negeri ini. Persis seperti batu pijak pada upacara lompat batu dari Nias “fahombo” yang terkenal itu. Persoalannya, dapatkah kita mengambil hikmah pelajaran dari masa lalu? Hikmah pelajaran yang perlu dipetik dan dirumuskan itu sebetulnya adalah inti dasar karakter arsitektural yang unik,

Page 6: DNA Arsitektur Nias pada Lorong Gravitasi Nusantara Kontemporer

yang hanya dijumpai di suatu tempat. Bila boleh diibaratkan sebagai kode genetika atau DNA, maka inti dasar karakter arsitektural itulah yang sebenarnya diperlukan untuk menumbuh-kembangkan, atau mempertahankan eksistensi suatu arsitektur ―Nias, misalnya. Inti dasar itu didapatkan dari kedalaman yang berbeda-beda, karena arsitektur dapat dilihat berlapis-lapis. Ada lapis artifact, yaitu dimensi fisiknya saja. Ada konsep-konsep dasar dan terapan keilmuan yang disepakati secara sosial (socifact) di bawahnya. Ada pula dimensi filosofi yang memuat nilai-nilai pembentuk mentalitas (mentifact), yang terdapati jauh lebih dalam lagi. Pada inti dasar pembentuk karakter arsitektur pada ketiga dimensi itulah “DNA Arsitektur” mesti dipilah dan disusun dengan bijak. “Kematian” karakter arsitektur justru berawal dari ketidak-tepatan pandangan tentang “tradisi”. Sering tradisi dimaknai sebagai sesuatu yang statis. Bahkan, tradisi diagung-agungkan sebagai “kitab suci”, yang tak boleh sesenti pun berubah rupa dan tak bisa sejengkal pun diijinkan untuk bergeser konsep. Yang baik dan layak dari masa lalau sudah semestinya ditum-buh-kembangkan; yang buruk dan tak layak lagi bagi keluhur-an budi manusia, sudah sepantasnya diperbaiki (bukan dibu-ang begitu saja). Prof. Josef Prijotomo dengan lugas menyata-kan bahwa “Arsitektur Tradisional telah mati”. Gantinya, kita mempunyai Arsitektur Nusantara. Saya mufakat.

Page 7: DNA Arsitektur Nias pada Lorong Gravitasi Nusantara Kontemporer

Meski arsitektur dari masa lalu Nusantara sedang sakratul maut, kita sebetulnya masih punya kesempatan untuk menelisik dan merumuskan “DNA Arsitektur” tiap lokalitas. Bahkan jika kelak, Nusantara-Masa-Lalu telah benar-benar wafat, kita tetap bisa membangun arsitekturnya untuk masa depan, asalkan “DNA’-nya telah terdokumentasikan. Masa depan yang lebih baik mesti kita persiapkan bersama (Pangarsa, 2008a).

Page 8: DNA Arsitektur Nias pada Lorong Gravitasi Nusantara Kontemporer

Daya Hidup Peradaban Arsitektur Berbagai macam filosofi dan paradigma keilmuan arsitektur boleh dan sah saja untuk dibangun oleh siapa pun. Termasuk untuk mempertanyakan: dalam proses perjalanan sebuah peradaban, apa sih yang sebetulnya mesti dipertahankan dan apa yang boleh dan bahkan harus diubah? Sudah barang tentu yang mengandung nilai-nilai peluhuran manusia-lah yang mesti dipertahan-lestarikan; manusia yang luhur pasti bukan yang merusak alam. Proses kehidupan manusia, secara mendasar, adalah kesinambung-lanjutan upaya perbaikan. Sinambung menyangkut aspek spasial, lanjut berkaitan dengan segi temporal. Seperti pada manusia yang jasadnya akan hancur, begitulah layaknya kita mendudukkan arsitektur. Yang tak boleh hancur bahkan mesti ditingkatkan

Page 9: DNA Arsitektur Nias pada Lorong Gravitasi Nusantara Kontemporer

kualitasnya adalah unsur ruhaniyah si manusia. Dalam arsitektur ―sekali lagi― nilai-nilai untuk peluhuran budi-pekerti manusialah yang pantas dilestarikan. Itulah yang mesti yang tertuang menjadi konsep-konsep arsitektural. Itu bukan lagi sekedar DNA. Itu adalah daya hidup peradaban manusia. Peradaban yang kehilangan keluhuran budi-pekerti, bukan lagi peradaban masyarakat manusia, tetapi peradaban masyarakat raksasa nan buas disebabkan individualisme liarnya. Mereka yang memandang arsitektur atau peradaban hanya sebatas fisik saja pasti terjebak pada dialektisme yang sebetulnya hampir tak berguna: tradisional-modern, lokal-global, memperbandingkan untuk mempertentangkan langgam-rupa yang satu dengan yang lain, dan seterusnya. Saya mengulang pernyataan yang sering saya sampaikan di berbagai kesempatan, lisan maupun tulisan. Bahwa sekarang adalah masa untuk memahami arsitektur secara lebih esensial, yang menjadikan arsitektur sebagai bagian dari wujud upaya bahu-membahu berbagai kalangan dan lapisan masyarakat ―bahkan antarbangsa-bangsa― untuk keluar dari jebakan pengkerdilan dan

Page 10: DNA Arsitektur Nias pada Lorong Gravitasi Nusantara Kontemporer

penghancuran benih-sifat kemanusiaan. Arsitektur masa depan adalah arsitektur yang menjadi bagian dari sumbu pensetimbang kehidupan masyarakat manusia dan masyarakat alam. Ilmu arsitektur masa depan mesti memuat kemajemuk-binekaan lokalitas dan ketunggal-ikaan universalitas. Tiap lokalitas pasti mengandung nilai universal; tiap universalitas pasti mewujud pada keadaan lokal yang berbeda-beda. Rasionalitas modernisme yang dikibarkan Renaissance sudah waktunya ditanggalkan. Tak ada lagi posisi ”as above” negeri-negeri yang dipandang ”maju” (berkat rekayasa politik kebudayaan mereka) dan ”harus ditaati negeri-negeri yang sedang berkembang” semata-mata karena ”yang sedang berkembang” dipaksa ada pada posisi sebagai pihak ”so below”. Tak ada lagi ”as above so below” Eropa-Amerika dengan ”Eurocentrism”-nya terhadap negeri-negeri non-Eropa. Seluruh bangsa dan negeri di bumi ini selayaknya berkedudukan sama-sederajat.

Page 11: DNA Arsitektur Nias pada Lorong Gravitasi Nusantara Kontemporer

Apakah hanya karena ukuran-ukuran subjektif-global Nias harus dipandang lebih rendah dari Jerman (yang pernah mengincarnya untuk dikoloni), atau mesti lebih rendah dari Amerika? Siapakah yang mempolitisasikan ukuran-ukuran global?

Page 12: DNA Arsitektur Nias pada Lorong Gravitasi Nusantara Kontemporer
Page 13: DNA Arsitektur Nias pada Lorong Gravitasi Nusantara Kontemporer
Page 14: DNA Arsitektur Nias pada Lorong Gravitasi Nusantara Kontemporer

Ruang-Visual dan Gravitasi

entu sangat banyak yang dapat dipetik sebagai hikmah pelajaran dari arsitektur Nias, sebagaimana nyaris tak terbatas pula

butir-butir mutiara kehidupan dari wilayah budaya Nusantara yang lain. Jalan (ewali) di desa-desa Nias Selatan adalah ruang untuk pertahanan desa, menjemur bencana, bermain anak-anak, upacara, hasil bumi, berdagang, evakuasi saat pesta-adat, dan integrasi sosial (owasa); itu adalah ruang simbolis dan politik dengan berbagai megalit (sobewe hare hare, öli batu); juga ruang tempat nenek moyang mereka dipercaya ikut berpartisipasi pada berbagai aktivitas; ewali termasuk ruang pusat-desa (ewali gorahua) adalah ruang-publik yang mewadahi hampir seluruh segi kehidupan bersama (Viaro, 2007). Hikmah pelajaran lain apa yang bisa dipetik?

Page 15: DNA Arsitektur Nias pada Lorong Gravitasi Nusantara Kontemporer

Kesatu, bahwa ruang bersama itu adalah ruang sosial untuk tujuan pendidikan masyarakat pula. Buktinya ada pada fahombo, tradisi lompat batu yang tersohor. Seorang pemuda baru diakui sebagai lelaki dewasa atau prajurit bila telah teruji fahombo. Seorang pemudi baru dipandang dewasa bila telah berperan-serta dalam ritual adat di ruang yang sama. Kedua, bahwa ada hubungan antar-ruang dalam dan luar yang sangat serasi lewat ruang di bawah atap-emper (mbelembele). Ketiga, bahwa di masa lalu, ternyata ruang-dalam rumah Nias pernah berfungsi sebagai ruang-pengawasan (surveillance) terhadap keadaan di hadapan rumah. Khususnya tentang tradisi fahombo, ada hal istimewa. Amatilah bahwa sang peloncat mesti berkonsentrasi penuh pada dinding batu yang akan ia lompati. Bila anda menjadi sang pelompat, pasti pada diri anda terbentuk sebuah “lorong visual”; aneka pemandangan di sebelah-menyebelah anda, betapa pun menariknya, pasti untuk sementara harus diabaikan. Bahkan, sekiranya mata anda bisa menge-zoom dinding batu itu, pasti anda pun membuat

“zoomspace” sepanjang jalur berlari anda. Di buku Arsitektur untuk Kemanusiaan (Pangarsa, 2008b), saya menulis: “Konsep zoomspace di atas, hampir sama dengan konsep alur-jelajah visual (visual scanpaths). Sebuah penelitian cukup mendalam tentang gerak visual oleh Prof. Ralf Weber, yang memimpin tim di Department of Architecture and the Telerobotics and Neurology Unit of the School of Optometry, University of California di Berkeley untuk melaksanakan penelitian berjudul “The Impact of Formal Properties on Eye Movement During the Perception of Architecture“ menemukan hal penting. Bahwa bahwa pengalaman visual dalam arsitektur dipengaruhi oleh beraneka-rupa karakteristik geometrik-formal seperti ukuran, kontras, arah, sumbu-simetri, ketertutupan, dan lain-lain; faktor-faktor tersebut dapat mengubah alur-jelajah visual (visual scanpaths) dan menyebabkan kesadaran dan apresiasi desain arsitektural tertentu (Weber, 2002). Temuan penelitian juga menunjukkan pula bahwa mata manusia tidak melacak bentuk-bentuk dasar secara lengkap, namun terfokus pada pus

Page 16: DNA Arsitektur Nias pada Lorong Gravitasi Nusantara Kontemporer

at tata-susunan keseluruhannya; terfokus pada masa yang terbesar, atau pada objek dengan beda jarak formal yang cukup besar dari keseluruhan bentuk”. Dengan pengertian di atas, dapatlah diamati bahwa pada si pelompat batu, ruang visual "hilang" tiba-tiba karena anti-gravitasi dan retro-perspektif. Pada fahombo, ada loncatan ke arah atas-depan yang esensinya adalah sebuah upaya “bebas sementara” dari gaya gravitasi, atau sebuah gerak “anti-gravitasi”. Sedangkan yang saya maksud “retro-perspektif” adalah membaliknya posisi si peloncat saat ia mendarat; pandangannya tertuju pada arah ia datang; setelah “mendarat”, kemudian ia berbenah posisi badan ke arah semula. Bagi saya pribadi, seolah ada pesan lain yang tertangkap dari fahombo. Si peloncat harus bebas. Pertama ia mesti membebaskan dirinya dari ketakutan; ia mesti berani namun penuh tanggung-jawab terhadap keselamatan dirinya. Ia bisa “melawan” hukum alam sesaat saja, tetapi ia akan kembali menginjakan kakinya di bumi yang “menariknya kembali” dalam lingkup ketetapan hukum alam. Saat itu, ia mesti menengok dari mana ia datang, sebelum ia meneruskan arah langkah (perjalanan hidupnya). Si peloncat harus menjadi manusia bebas (dan mempertanggung-jawabkan kebebasannya). Lorong Gravitasi ”Playing House” di Jakarta Kontemporer

Semua hal yang dijumpai di Nias seperti saya paparkan di atas adalah “sebuah kebetulan” belaka, bila ternyata sama dengan apa yang saya lihat pada rumah tinggal Ary Indra ―bos Aboday. Kebetulan itu berawal dari kesempatan pertemuan dengan rekan-rekan SAMM Pada pertemuan informal itu, Ary mempresentasikan beberapa karyanya untuk sekedar

Page 17: DNA Arsitektur Nias pada Lorong Gravitasi Nusantara Kontemporer

menjadi bahan diskusi. Ketika saya melihat dokumentasi rumah Ary, saya cukup surprised. Bahkan dari Dari sekian karya yang dipresentasikannya, rumah tinggalnya

yang terletak di perumahan Bumi Serpong Damai, Tangerang (2010), menarik perhatian karena beberapa hal..

Keesatu, dari lantai atas ruang dalam rumahnya, ada kualitas surveillance” yang sama dengan rumah Nias. Dari ruang dalam atas, orang dapat mengawasi ruang luar, termasuk halamannya yang tanpa pagar. Sekiranya hal ini diterapkan pada rumah-rumah lain, tentu lingkungan rumah Ary akan sekualitas dengan ewali.

Page 18: DNA Arsitektur Nias pada Lorong Gravitasi Nusantara Kontemporer
Page 19: DNA Arsitektur Nias pada Lorong Gravitasi Nusantara Kontemporer

Kedua“prosotan”-nya. Ia menamai karyanya dengan “The Playing House”; penjelasan Aboday, biro arsitek tempat Ary menjadi salah satu principal-nya, di website Dezeen: “The house will be mostly occupied by a multi generation family of 3. However, the king of the house is a 5 year old boy who thinks that life is all about play, hence the design of the house… It is his choice of ‘transportation mode’ from his bedroom in 2nd floor to dining room in the 1st floor, instead of the normal open staircase located between the small library and living area”. Apakah benar itu hanya “rumah untuk bermain”? Benarkah tak ada tujuan pendidikannya? Apakah bukan berarti pula mendidik anak menjadi “bebas” dalam arti bebas dari ketakutan dan bertanggung-jawab atas keselamatannya sendiri? Bagi saya, dalam suasana bermain anak-anak itu, tentu masih ada misi pendidikan keluarga yang dilangsungkan. Jika di Nias nuansa bermain itu bisa didapatkan dari ewali, di rumah Ary hanya dapat dirasakan untuk keluarganya saja. Alangkah indahnya jika konsep ewali sebagai ruang-bersama untuk social learning dapat ditransformasikan pula pada perumahan kontemporer kita.

Page 20: DNA Arsitektur Nias pada Lorong Gravitasi Nusantara Kontemporer

Untuk saya, yang sangat unik, prosotan itu menghubungkan dua keadaan spasio-visual atas-bawah dengan memanfaatkan gravitasi (bergerak searah ke bawah saja). Saya cenderung menamainya “lorong gravitasi”. Apabila pada fahombo Nias, si pelompat batu tiba-tiba "kehilangan" ruang visual karena lompatan anti-gravitasi dan pengalaman retro-perspektifnya melewati dinding batu setinggi 2,3 meter, maka pada prosotan rumah Ary terjadi hal yang esensinya sama ―yaitu tentang gerak-kinetis dan gravitasi― namun perwujudan arsitek-turalnya sangat berbeda. Di rumah Ary, si peluncur, tiba-tiba “kehilangan” ruang visual ketika melewati "lorong gravitasi". Bagi seorang yang baru pertama kali meluncur lewat prosotan ini, ada ruang visual “baru” di bawah (meski bagi para penghuni rumah, hal itu menjadi kejadian rutin sehari-hari yang lambat laun tak lagi mendatangkan kejutan). Beda mendasarnya, di Nias ada upaya “melawan” gravitasi; di rumah Ary, si peluncur “sekedar mengikuti” gravitasi.

Page 21: DNA Arsitektur Nias pada Lorong Gravitasi Nusantara Kontemporer

Itu yang pertama. Yang kedua, di Nias tak ada “pembelokan perspektif”; di prosotan beton rumah Ary, terjadi peralihan titik-hilang disebabkan “prespektif yang berbelok” bahkan belokan ini terjadi bersamaan dengan pengalaman ruang yang lain, yaitu merambah ke “wilayah outdoor”. Lebih unik lagi, ada pengalaman menembus “sapuan cahaya matahari” di lorong gravitasi itu, karena Ary memasang skylight di bagian atas prosotan betonnya. Seandainya saja lantai dan atap prosotan itu dari bahan yang transparan, tentu pengalaman ruang dan visual si peluncur lebih kaya lagi. Sebab, prosotan itu melewati kolam pula. Namun demikian, beberapa pembaca Dezeen memberi komentar dengan nada mengkhawatirkan jika prosotan beton yang kasar dan tentu mudah mengelupas permukaannya itu, membahayakan para peluncur. Betulkah bahwa manusia adalah homo ludens, makhluk yang bermain?

Page 22: DNA Arsitektur Nias pada Lorong Gravitasi Nusantara Kontemporer
Page 23: DNA Arsitektur Nias pada Lorong Gravitasi Nusantara Kontemporer

Penutup: Intuisi dalam Desain Arsitektur Sepengetahuan saya lewat informasi internet, hanya ada satu desain lain yang juga memakai slide atau prosotan, yaitu sebuah rumah tinggal yang didesain oleh Level Architects, sebuah biro arsitek di Yokohama (Designboom, edisi Januari 2011). Tapi desain Level Architects bagi saya terlalu rasionalistik. Lorong luncuran yang didesainnya terlalu lebar, sehingga kesan tarikan gravitasi di dalam sarana transpor bangunan itu kurang kuat, kurang dramatis. Tibalah saat untuk mengajukan pertanyaan penting. Apakah Ary Indra sengaja mempelajari Arsitektur Nias dan kemudian berupaya dengan sengaja untuk menemukan “DNA Arsitektur Nias”? Menurut penuturannya, prosotan itu adalah untuk memenuhi permintaan anaknya. Jadi? Ary Indra tampaknya tak punya kesengajaan agar desainnya “ber-DNA”

Nias. Di sinilah saya sampai pada kesimpulan bahwa Ary hanya menyalur-wujudkan intuisinya. Mengapa dalam beberapa hal intuisi itu bisa bersubstansi sama dengan arsitektur Nias? Mengapa tidak? Atau, mengapa saya menghubungkannya dengan Nias? Carilah di Nusantara, apakah ada tradisi serupa dengan fahombo. Tampaknya tradisi lompat batu sebagai edukasi hanya dijumpai di Nias. Lalu bagaimana peran intuisi dalam perancangan arsitektur? Sepanjang mengikuti pengalaman beberapa rekan arsitek Indonesia selain Ary Indra seperti misalnya Eko Prawoto, Adi Purnomo atau Mamo, tak kurang bukti terbukti bahwa intuisi memang merupakan hal sangat mendasar dalam desain arsitektur. Saya sampai pada sebuah simpulan pada buku saya (Pangarsa, 2008b): ”...di zaman

Page 24: DNA Arsitektur Nias pada Lorong Gravitasi Nusantara Kontemporer

pendidikan arsitektur yang sangat rasionalistik di Indonesia ini, ternyata masih ada arsitek (-arsitek) yang dapat menumbuh-kembangkan metoda intuitif. ...memakai pendekatan rasionalistik yang terlalu ketat dalam mendesain ―khususnya untuk mendapatkan ide― ibarat memakai baju besi. Lamban tak lincah serta mudah membuat lelah. Memakai cara intuisi ibarat melepas panah. Bila terlatih membidik, sasaran jarak jauh pun cepat-tepat-mudah tertembus anak panah, dan selesailah masalah. Bahkan setelahnya pun jiwa kreatif masih dalam suasana segar, siap melepaskan ide-ide baru, tak layu-kuyu seperti yang terjadi dalam proses yang mengutama-pertamakan programming. Seperti yang saya alami dahulu kala, sering membuat pusing; para mahasiswa bisa jadi sering pula merasakannya”. Lebih lanjut saya tulis pula seperti tiga alinea di bawah. Seperti halnya Archimedes yang kegirangan dengan ungkapan eureka-nya, (para arsitek pasti) pernah mengalami proses “kebetulan“-nya sendiri-sendiri dalam variasi dan tataran yang sangat beragam, [I]ntuisi mungkin bisa diibaratkan laksana deret-kali, ia meloncat.

Intuisi datang bertandang di hati siapa saja yang pantas dan siap menerimanya. Desain dalam programming yang ketat, ibarat deret-hitung yang berjalan tertatih-letih. Sayangnya, panah intuisi kini hampir tak pernah disadari karena terlalu lama tersimpan rapat di balik ketat-kakunya baju besi programming. Bahkan dikenal pun tidak. Padahal, intuisi tersaksikan dan teralami pada setiap saat. Kalau pun harus mengatakan bahwa itu telah dikenal dalam dunia perancangan arsitektur, paling-paling hanya dicatat sebagai metoda black box, tanpa penjabaran lebih dalam. Pemicu perbuatan desain bisa dari dua arah ―deduktif dan/atau induktif― yang sama sekali tak mudah untuk dideteksi: dari titik mana berawal, simultan atau tidak. Yang jelas, titik-pangkalnya dua. Pertama, intuisi yang diuraikan pada suatu ide dan gagasan. Kedua, tanggapan (atas sesuatu) yang dikerucutkan pada suatu kerangka pemahaman. Desain adalah persis seperti perbuatan manusia yang bisa digolongkan pada dua tataran: batiniyah dan lahiriyah, spiritual dan intelektual. Intuisi adalah spiritual; penjabaran gagasan desain dan programming adalah intelektual. Keduanya

Page 25: DNA Arsitektur Nias pada Lorong Gravitasi Nusantara Kontemporer

ada dalam keterpaduan tak terpisahkan ―yang sama sekali tidak bisa dan salah sangat besar apabila dipandang dialektis sebagai dua kubu atau kutub metoda yang dipertentangkan. [I]ntuisi juga berlaku dalam hal “membaca huruf-huruf“ alam, manusia dan masyarakatnya, lingkungan arteologis binaannya, maupun tulisan-harafiah tipografisnya. Penelitian atau riset baik dalam aktifitas mendesain mapun dalam kegiatan yang lain, esensinya membaca sesuatu. Metodologi dengan filosofi, teori, paradigma, metoda dan teknik ―dari jenis apa pun― adalah sekedar alat memudahkan membaca. Namun ketika si pembaca menetapkan titik pemahamannya ―untuk diuraikan dan/atau dikerucutkan― ia sebenarnya didorong oleh sesuatu intuisi. Garis besarnya intuisi adalah keilhaman-spiritual (Pangarsa, 2006: 47). Jauh lebih rumit lagi jika harus menjawab: intuisi yang bagaimana yang mesti diajarkan di sekolah-sekolah arsitektur? Cukup wajar bila Moore (2003), akhirnya hanya berani menyatakan bahwa intuisi

adalah “a meta-physical concept, that is deepley problematic educationally“ . Inilah pekerjaan besar bersama para aktifis kampus. Dan sebenarnya, bukan hanya tentang intuisi yang dibuktikan oleh para rekan arsitek praktisi. Tetapi juga tentang penjembatanan (bridging) antara dunia kampus dengan dunia praksis, sehingga ilmu yang dikembangkan di kampus-kampus kita benar-benar realistis. Dari kilas balik karya Ary Indra di atas, sesungguhnya sudah amat jelas bahwa Arsitektur Nusantara bagai ”buku empirik” yang menunggu para arsitek dan para ilmuwan arsitektur untuk turun dari menara gading masing-masing (termasuk diri saya, tentu saja) untuk membaca Arsitektur Nusantara dengan jeli. Marilah kita turun ke desa-desa Nusantara, untuk menggali dan menata ulang Arsitektur Nusantara Masa Depan, daripada bermimpi untuk menyetarai para starchitects (para superstar praktisi arsitektur atau superstar teoritisi, lihat Pangarsa, 2009b). Yang perlu dijadikan ”star”dalam pembelajaran arsitektur atau apa saja, adalah karya desain, bukan arsiteknya. Lebih bijak mendengar apa yang

Page 26: DNA Arsitektur Nias pada Lorong Gravitasi Nusantara Kontemporer

dikatakan seseorang dari pada menghakiminya dengan melihat siapa yang berbicara. Dalam istilah yang sering saya pakai, belajar arsitektur bukan hanya dari ”buku garing” atau ”buku kering” yaitu publikasi analog-digital buatan manusia (yang di zaman ini sangat eurocentric), tetapi justru yang utama ialah dari ”buku teles” atau ”buku basah”, yaitu alam-budaya Nusantara. Khususnya bagi para pemuda (bukan dalam arti usia, namun dalam arti mereka yang selalu mempunyai semangat perbaikan untuk masa depan negeri Indonesia yang lebih baik), saya ucapkan: selamat belajar!

Page 27: DNA Arsitektur Nias pada Lorong Gravitasi Nusantara Kontemporer

Bacaan Buku Garing Designboom, House with Slide, http://www.designboom.com/weblog/ cat/9/view/13359/level-architects-

house-with-slide.html). Dezeen, Playhouse, August 26th, 2010, http://www.dezeen.com/2010/08/26/ playhouse-by-aboday/ Moore, Kathryn, 2003. Overlooking the Visual, Journal of Architecture, Vol 8, Spring 2003, pp 25-40 Pangarsa, Galih Widjil, 2006, Merah-Putih Arsitektur Nusantara, Penerbit Andi, Yogyakarta ________, 2008a, Bahtera Kemanusiaan Nusantara Di Laut Karawitan Arsitektur, (keynote speaker)

Seminar Nasional Jelajah Nusantara, Jurusan Arsitektur ITS, 13-14 Nopember 2008, Surabaya ________, 2008b, Arsitektur untuk Kemanusiaan Teropong Visual Culture. Teropong Visual Culture atas

Karya-karya Eko Prawoto, Surabaya, Wastu Lanas Citra, [ISBN 978-602-8114-24-0] ________, 2009a, Eurocentricm: Kebuntuan Keilmuan Arsitektur (E-article; http://issuu.com/

eurocentrism/docs/) uploaded 9 April 2009 ________, 2009b, Starchitect & The Beauty of the Beast (E-article; http://issuu.com/ eurocentrism/ docs/)

uploaded 5 Mei 2009 Viaro, Alain (in collaboration with Arlette Ziegler), 2007, Nias Reconstruction in The Respect of The

Tradition, IUED, Geneva ________, 1980, Urbanisme et architecture traditionnels de l’île de Nias, Unesco, Paris Weber, Ralf, Yun Choi & Lawrence Stark, 2002. The impact of Formal Properties on Eye Movement

During the Perception of Architecture, Journal of Architectural and Planning Research, No 19, Sring 2002, pp 57-69.