dmso

108
1 SKRIPSI KAJIAN AKTIVITAS ANTIMIKROBA EKSTRAK KULIT KAYU MESOYI (Cryptocaria massoia) TERHADAP BAKTERI PATOGEN DAN PEMBUSUK PANGAN Oleh ELSADORA REAPINA M F 24102132 2007 FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

Upload: ecy-ngajow

Post on 27-Oct-2015

539 views

Category:

Documents


1 download

TRANSCRIPT

Page 1: Dmso

1

SKRIPSI

KAJIAN AKTIVITAS ANTIMIKROBA EKSTRAK KULIT

KAYU MESOYI (Cryptocaria massoia) TERHADAP BAKTERI

PATOGEN DAN PEMBUSUK PANGAN

Oleh

ELSADORA REAPINA M

F 24102132

2007 FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

Page 2: Dmso

2

KAJIAN AKTIVITAS ANTIMIKROBA EKSTRAK KULIT

KAYU MESOYI (Cryptocaria massoia) TERHADAP BAKTERI

PATOGEN DAN PEMBUSUK PANGAN

SKRIPSI

Oleh:

ELSADORA REAPINA M

F 24102132

SKRIPSI

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN

Pada Fakultas Teknologi Pertanian

Institut Pertanian Bogor

2007

FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

Page 3: Dmso

3

Elsadora Reapina Malthaputri. F 24102132. Kajian aktivitas antimikroba ekstrak kulit kayu mesoyi (Cryptocaria massoia) terhadap bakteri patogen dan pembusuk pangan. Di bawah bimbingan Dr. Ir. Sedarnawati Yasni, M.Agr dan Elvira Syamsir, STP., Msi.

RINGKASAN

Di Indonesia terdapat kira-kira 4000 jenis kayu dan dari jumlah tersebut masih banyak yang belum diketahui sifat dan kegunaannya, termasuk didalamnya adalah tanaman mesoyi (Cryptocaria massoia). Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji aktivitas antimikroba pada kulit kayu mesoyi sebagai salah satu sumber daya alam khas Indonesia yang belum optimal pemanfaatannya. Dengan diketahui aktivitas antimikrobanya diharapkan penggunaan kulit kayu mesoyi dapat dikembangkan sebagai salah satu sumber antimikroba alami.

Penelitian dibagi atas dua tahapan, yaitu penelitian pendahuluan dan penelitian lanjutan. Pada penelitian pendahuluan dilakukan persiapan kultur bakteri uji, proses ekstraksi, dan pengujian aktivitas antimikroba dengan metode uji difusi sumur. Pada penelitian lanjutan dilakukan penentuan nilai MIC dan uji fitokimia terhadap ekstrak kulit kayu mesoyi terpilih.

Persiapan kultur bakteri uji dilakukan dengan metode hitungan cawan dan didapatkan bahwa pengenceran yang diperlukan adalah 10-3. Proses ekstraksi dilakukan dengan metode refluks dan destilasi uap. Proses ekstraksi dilakukan secara tunggal dengan pelarut air dan etanol, serta secara bertingkat dengan pelarut heksan, etil asetat, dan metanol. Rendemen ekstrak air, ekstrak etanol, minyak atsiri, ekstrak heksan, ekstrak etil asetat, dan ekstrak metanol kulit kayu mesoyi berturut-turut adalah 7.80% (w/w), 8.93% (w/w), 2.04% (w/v), 1.69% (w/w), 1.47% (w/w), dan 1.52% (w/w).

Uji difusi sumur menunjukkan bahwa hampir semua ekstrak kulit kayu mesoyi memiliki spektrum penghambatan yang luas karena mampu menghambat semua bakteri uji, kecuali ekstrak air dan ekstrak metanol. Perbedaan ekstrak yang diujikan, bakteri uji yang digunakan, dan interaksi yang terjadi diantaranya memiliki pengaruh yang nyata (p<0.05) terhadap nilai diameter penghambatan. Bakteri uji yang paling sensitif terhadap ekstrak kulit kayu mesoyi adalah Salmonella Thypimurium, sedangkan bakteri yang paling tahan adalah E. coli. Ekstrak kulit kayu mesoyi yang memiliki aktivitas antimikroba paling baik adalah ekstrak etil asetat dan minyak atsiri, sedangkan ekstrak kulit kayu mesoyi yang paling tidak efektif adalah ekstrak air.

Ekstrak yang dipilih untuk diuji lanjut adalah ekstrak etanol dan minyak atsiri. Nilai MIC ekstrak etanol terhadap Bacillus cereus adalah 0.557 (% w/w), sedangkan nilai MIC minyak atsiri terhadap bakteri uji Salmonella Typhimurium adalah 0.005 (% w/w). Uji fitokimia terhadap ekstrak etanol dan minyak atsiri kulit kayu mesoyi membuktikan bahwa ekstrak etanol mengandung fenol dan terpenoid, sedangkan minyak atsiri kulit kayu mesoyi mengandung terpenoid.

Page 4: Dmso

4

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN

KAJIAN AKTIVITAS ANTIMIKROBA EKSTRAK KULIT

KAYU MESOYI (Cryptocaria massoia) TERHADAP BAKTERI

PATOGEN DAN PEMBUSUK PANGAN

SKRIPSI

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN

Pada Fakultas Teknologi Pertanian

Institut Pertanian Bogor

Oleh

ELSADORA REAPINA M

F 24102132

Dilahirkan Pada Tanggal 24 September 1984

Di Jakarta

Tanggal Lulus : 15 Januari 2007

Menyetujui

Bogor, 24 Januari 2007

Dr. Ir.Sedarnawati Yasni, M.Agr Elvira Syamsir, STP., Msi. Dosen Pembimbing I Dosen Pembimbing II

Mengetahui

Dr. Ir. Dahrul Syah, MSc Ketua Departemen ITP

Page 5: Dmso

5

RIWAYAT HIDUP

Penulis yang bernama lengkap Elsadora Reapina Malthaputri adalah anak

kedua dari Bapak Bakri Beck dan Ibu Sri Enery yang dilahirkan di Jakarta pada

tanggal 24 September 1984. Penulis menempuh pendidikan di Taman Kanak-

kanak Aisyah Palangkaraya (1988-1990), Sekolah Dasar Negeri Langkai 12

Palangkaraya (1990-1992), Sekolah Dasar Negeri Anyelir I Depok (1992-1996),

Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama Islam Al-Azhar Pejaten (1996-1999), dan

Sekolah Menengah Umum Negeri 8 Jakarta (1999-2002).

Pada tahun 2002, penulis diterima sebagai mahasiswa pada Departemen

Teknologi Pangan dan Gizi, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian

Bogor melalui jalur Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru (SPMB). Selama

mengikuti perkuliahan, penulis aktif menjadi panitia dalam berbagai kegiatan

seperti Lepas Landas Sarjana FATETA, BAUR 2004, NSPC (National Students’

Paper Competition) dan LCTIP (Lomba Cepat Tepat Ilmu Pangan). Selain itu,

penulis juga pernah mengikuti seminar National Students’ paper competition on

food issue (2003) dan IDF International Conference of FGW Student Forum for

Milk and Milk Product (2005).

Penulis melakukan kegiatan praktek lapang di PT Makro Indonesia dengan

topik mempelajari sistem penyimpanan dan pemajangan bahan pangan segar

dalam usaha mengurangi tingkat kerusakan di makro cabang pasar rebo (Divisi

fresh food) di PT. Makro Indonesia, Jakarta. Sebagai syarat untuk memperoleh

gelar Sarjana Teknologi Pertanian, penulis menyusun skripsi dengan judul

“Kajian aktivitas antimikroba ekstrak kulit kayu mesoyi (Cryptocaria massoia)

terhadap bakteri patogen dan pembusuk pangan” di bawah bimbingan Dr. Ir.

Sedarnawati Yasni, M. Agr dan Elvira Syamsir, STP., MSi.

Page 6: Dmso

6

KATA PENGANTAR

Puji syukur dipanjatkan kehadirat Allah SWT yang selalu memberikan

rahmat dan hidayahnya sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi

ini. Shalawat serta salam juga tidak lupa penulis panjatkan kehadirat Rasulullah

SAW. Penyelesaian penulisan skripsi ini tidak terlepas dari bantuan berbagai

pihak, untuk itu penulis mengucapkan terima kasih kepada :

1. Dr .Ir. Sedarnawati Yasni, M.Agr dan Elvira Syamsir, STP., Msi. selaku dosen

pembimbing akademis yang selalu memberikan bimbingan, selama

perkuliahan dan penelitian sampai penulisan skripsi selesai.

2. Ir. Budi Nurtama, M. Agr, atas kesediaannya menjadi dosen penguji.

3. Papa, Mama, kak Ridho dan Rayhan, untuk semua dukungan yang diberikan.

4. Mas Deddy yang sudah menemani dan menyemangati disetiap waktu penulis,

dan Vita Amanda yang mengajarkan arti sahabat sejati.

5. Sahabat-sahabat poobiers-ku, Nungi, Tuxki, Farah, Tish, Tante, Ina, Grid dan

Nene, terima kasih untuk kebersamaan dan waktunya berbagi apa saja.

6. Sahabat-sahabatku, Ratih Woro, Aponk, dan Kanyaka, serta teman-teman

TPG 39, Vero Anna, Ajeng, Didin, Dadik, Ulik, dan Boyon.

7. Eva H. Direja, untuk kerja sama tak terlupakan, dan teman sebimbingan

lainnya, Mba dewi TPG’36, Mba Lily TPG’37, dan Mba Nurma TPG’38.

8. Teman-teman selama di Laboratorium, Inda, Rebek, Manginar, Nanda, Shinta,

Muslimah, Tojay, Ibu Yuspi, Ibu Diana, Ibu Asriani, dan Mba Tri.

9. Laboran-laboran Laboratorium Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan.

10. Pihak-pihak yang tidak dapat disebutkan satu per satu.

Penulis menyadari skripsi ini masih banyak kekurangannya dalam

penulisan, walaupun demikian penulis tetap berharap skripsi ini dapat bermanfaat

bagi yang memerlukannya.

Bogor, Januari 2007

Penulis

Page 7: Dmso

7

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ....................................................................................... i

DAFTAR ISI ....................................................................................................... ii

DAFTAR TABEL ............................................................................................... iv

DAFTAR GAMBAR ......................................................................................... v

DAFTAR LAMPIRAN ....................................................................................... vi

I. PENDAHULUAN ...................................................................................... 1

A. Latar Belakang ............................................................................................ 1

B. Tujuan dan Sasaran .................................................................................... 3

II. TINJAUAN PUSTAKA ............................................................................ 4

A. Kulit kayu mesoyi .................................................................................... 4

B. Teknik ekstraksi ........................................................................................ 7

C. Senyawa antimikroba ................................................................................ 11

D. Karakteristik mikroba patogen dan mikroba perusak makanan .............. 12

E. Pengujian aktivitas antimikroba .............................................................. 18

F. Uji fitokimia .............................................................................................. 23

III. BAHAN DAN METODE .......................................................................... 29

A. Bahan dan alat .......................................................................................... 29

B. Tempat dan waktu .................................................................................... 29

C. Metode penelitian ...................................................................................... 30

D. Metode analisis ........................................................................................ 37

E. Pengolahan data ........................................................................................ 43

Page 8: Dmso

8

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ............................................................ 45

A. Persiapan kultur bakteri uji .................................................................... 45

B. Aktivitas antimikroba ekstrak kulit kayu mesoyi ................................ 46

C. Uji lanjut ekstrak kulit kayu mesoyi .................................................... 63

V. KESIMPULAN DAN SARAN ................................................................ 70

A. Kesimpulan .............................................................................................. 70

B. Saran ......................................................................................................... 71

DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................... 72

Page 9: Dmso

9

DAFTAR TABEL

Tabel 1. Hasil analisis proksimat kulit kayu mesoyi .............................. 6

Tabel 2. Nilai MIC beberapa minyak rempah-rempah .......................... 23

Tabel 3. Komponen fenolik yang ditemukan dalam tanaman .............. 25

Tabel 4. Komponen fenolik tanaman dan aktivitas antimikroba .......... 25

Tabel 5. Total mikroba kultur bakteri uji ............................................ 45

Tabel 6. Nilai rendemen dan karakteristik ekstrak kulit kayu mesoyi .. 47

Tabel 7. Hasil uji statistik GLM-Univariate .......................................... 54

Tabel 8. Nilai MIC (Minimum Inhibitory Concentration) .................... 64

Tabel 9. Hasil uji fitokimia .................................................................. 65

Tabel 10. Karakteristik minyak atsiri kulit kayu mesoyi ...................... 67

Page 10: Dmso

10

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. (a) pohon mesoyi (b) minyak atsiri .................................... 6

Gambar 2. Mesoyi lakton atau 5-Pentylpent-2-en-5-olide (C10H16O2) .. 6

Gambar 3. Bakteri-bakteri uji : (a) P. aeruginosa, (b) B. cereus, (c) E.

coli, (d) S. aureus, dan (e) Salmonella Thypimurium.............. 17

Gambar 4. Dimethyl sulfoxide atau DMSO ............................................ 22

Gambar 5. Diagram alir penelitian ........................................................ 30

Gambar 6. Diagram alir metode hitungan cawan .................................. 32

Gambar 7. Skema ekstraksi tunggal dengan pelarut etanol dan air ...... 34

Gambar 8. Diagram alir proses ekstraksi bertingkat dari ampas kulit

kayu mesoyi.............................................................................. 36

Gambar 9. Diagram alir uji difusi sumur .............................................. 39

Gambar 10. Diagram alir penentuan nilai MIC ...................................... 41

Gambar 11. Jenis ekstrak kulit kayu mesoyi : (a) ekstrak air, (b) ekstrak

etanol, (c) minyak atsiri, (d) ekstrak heksan, (e) ekstrak etil

asetat, dan (f) ekstrak metanol.................................................. 48

Gambar 12. Penghambatan jenis-jenis ekstrak kulit kayu mesoyi terhadap

bakteri uji.......................................................……………… 51

Gambar 13. (a) penghambatan ekstrak etil asetat terhadap P. aeruginosa

dan (b) penghambatan minyak atsiri terhadap Salmonella

Typhimurium dengan kontrol positifnya.................................. 52

Gambar 14. Profil perkiraan aktivitas antimikroba berbagai jenis ekstrak

kulit kayu mesoyi..................................................................... 53

Gambar 15. Profil perkiraan penghambatan berbagai bakteri uji ............ 53

Gambar 16. Penghambatan jenis-jenis ekstrak kulit kayu mesoyi terhadap

jenis bakteri Gram positif dan Gram negatif............................ 58

Gambar 17. Perbandingan diameter penghambatan jenis-jenis ekstrak

kulit kayu mesoyi..................................................................... 61

Gambar 18. Penghambatan pertumbuhan B. cereus oleh ekstrak etanol..... 63

Page 11: Dmso

11

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Hasil uji kadar air ekstrak air kulit kayu mesoyi .......... 79

Lampiran 2. Perhitungan rendemen ........................................................ 80

Lampiran 3. Data uji konfirmasi ........................................................ 81

Lampiran 4. Perhitungan diameter penghambatan .................................. 82

Lampiran 5. Data aktivitas antimikroba ekstrak etanol ...................... 83

Lampiran 6. Data aktivitas antimikroba minyak atsiri ...................... 83

Lampiran 7. Data aktivitas antimikroba ekstrak heksan ...................... 84

Lampiran 8. Data aktivitas antimikroba ekstrak etil asetat ...................... 84

Lampiran 9. Data aktivitas antimikroba ekstrak metanol ...................... 85

Lampiran 10. Uji statistik metode GLM dengan uji lanjut LSD .............. 86

Lampiran 11. Perkiraan rataan marginal daya hambat jenis-jenis ekstrak

kulit kayu mesoyi terhadap bakteri uji.................................... 93

Lampiran 12. Perkiraan rataan marginal daya hambat bakteri uji oleh

jenis-jenis ekstrak kulit kayu mesoyi...................................... 93

Lampiran 13. Perkiraan rataan marginal daya hambat pertumbuhan bakteri

uji karena interaksi jenis ekstrak kulit kayu mesoyi dengan

jenis bakteri uji.................................................................... 94

Lampiran 14. Struktur dinding sel bakteri (a) Gram positif dan (b) Gram

negatif..................................................................................... 95

Lampiran 15. Penentuan nilai MIC minyak atsiri terhadap Salmonella

Typhimurium..........................................................................

96

Lampiran 16. Penentuan nilai MIC ekstrak etanol terhadap B. cereus .... 97

Page 12: Dmso

12

I. PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Salah satu karakteristik bahan pangan adalah mudah sekali mengalami

kerusakan yang disebabkan oleh kontaminasi mikroorganisme. Senyawa

antimikroba ditambahkan ke dalam bahan pangan untuk menghindari

kerusakan ataupun penurunan mutu bahan pangan akibat mikroorganisme.

Senyawa antimikroba terbuat dari bahan yang berasal dari alam

ataupun buatan (sintetik). Saat ini senyawa antimikroba yang banyak

ditambahkan pada makanan (aditif) sebagai pengawet adalah senyawa

antimikroba buatan atau sintetik. Adanya peningkatan taraf hidup, dan

perubahan pola hidup, serta peningkatan pengetahuan dan kesadaran

pentingnya menjaga kesehatan telah mengubah pola pikir sebagian

masyarakat untuk cenderung memilih produk pangan alami daripada produk

pangan yang diawetkan dengan menggunakan pengawet sintetik. Perubahan

perilaku masyarakat tersebut mendorong banyaknya penelitian yang

dilakukan untuk mencari solusi melepaskan ketergantungan terhadap

pengawet sintetik dan kembali ke alam (back to nature), termasuk mencari

sumber pengawet/senyawa antimikroba alami.

Indonesia adalah salah satu pusat keanekaragaman hayati dunia selain

Brazilia dan Tanzania (Agusta, 2000). Indonesia adalah negara penghasil

rempah-rempah khas yang telah dikenal sejak dahulu kala. Rempah banyak

digunakan sebagai bumbu ataupun digunakan secara tradisional untuk

pengobatan suatu penyakit dan pengawetan bahan pangan. Salah satu rempah

di Indonesia yang dimanfaatkan sebagai obat terutama di Indonesia bagian

timur adalah kulit kayu mesoyi.

Mesoyi merupakan salah satu dari 4000 jenis kayu di Indonesia yang

belum diketahui sifat dan kegunaannya (Kartasujana dan Martawijaya, 1973).

Tanaman mesoyi (Cryptocaria massoia) termasuk dalam famili Lauraceae.

Beberapa rempah dari famili ini yang telah lebih banyak dikenal

dibandingkan mesoyi adalah kayu manis (Cinnamomun burmanii) dan

Page 13: Dmso

13

antarasa (Litsea cubeba) (Agusta, 2000). Selain itu, bagian kayu dari rempah

yang banyak diteliti adalah kayu secang (Caesalpinia sappan Linn.).

Mesoyi (Cryptocaria massoia) merupakan pohon hutan yang terdapat

di Indonesia, terutama di Indonesia Timur. Kulit kayu merupakan bagian

yang paling banyak dimanfaatkan dari tanaman mesoyi (Guenther, 1972).

Kulit kayu mesoyi lebih banyak digunakan sebagai obat-obatan daripada

sebagai bumbu. Kulit kayu mesoyi banyak digunakan untuk mengobati diare,

kejang, demam, TBC, sakit otot, sakit kepala, dan konstipasi kronis (Lily,

1980).

Sa’roni dan Adjirni (2001) menyatakan bahwa infus kulit kayu mesoyi

dosis 300 mg/100 g bobot badan mempunyai efek antiinflamasi pada tikus

putih, tetapi tidak sekuat fenilbutazon (kontrol) dengan dosis 10 mg/100 g

bobot badan. Mesoyi juga diketahui sebagai rempah yang memiliki khasiat

analgetika. Pada dosis 100 mg/10 g bobot badan, mesoyi memiliki efektivitas

analgetik lebih besar daripada asetosal sebagai kontrol pada dosis 0.52 mg/10

g bobot badan mencit (Widowati dan Pudjiastuti, 2001). Diketahuinya

manfaat kulit kayu mesoyi sebagai antiinflamasi dan analgetika, serta

penggunaan kulit kayu mesoyi secara empiris inilah yang menjadi dasar

perlunya dilakukan penelitian lain agar pemanfaatan kulit kayu mesoyi

semakin luas. Salah satu caranya adalah dengan mempelajari aktivitas

antimikroba dari kulit kayu mesoyi.

Kemampuan mempengaruhi pertumbuhan mikroba dipengaruhi oleh

kandungan komponen bioaktif yang bersifat antimikroba di dalam suatu

bahan. Telah diketahui bahwa kandungan komponen bioaktif rempah-rempah

merupakan komponen yang banyak berperan sebagai senyawa antimikroba.

Diduga kulit kayu mesoyi berpotensi sebagai salah satu sumber senyawa

antimikroba alami, sehingga dapat digunakan sebagai pengawet pangan dan

dikembangkan sebagai bahan pangan fungsional. Dengan demikian nilai

ekonomis kulit kayu mesoyi akan meningkat.

Page 14: Dmso

14

B. TUJUAN DAN SASARAN

Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji aktivitas antimikroba beberapa

jenis ekstrak kulit kayu mesoyi terhadap mikroba patogen dan perusak

pangan. Sasaran yang ingin dicapai dari penelitian ini adalah peningkatan

pemanfaatan ekstrak kulit kayu mesoyi sebagai pengawet pangan alami dan

pengembangannya sebagai pangan fungsional.

Page 15: Dmso

15

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. KULIT KAYU MESOYI

Kulit kayu mesoyi merupakan bagian kulit kayu dari tanaman

mesoyi (Cryptocaria massoia). Mesoyi termasuk famili Lauraceae.

Spesies yang paling populer dari famili tumbuhan ini sebagai penghasil

minyak atsiri adalah Cinnamomun burmannii (kayu manis) dari genus

Cinnamomun, Litsea cubeba (antarasa) dari genus Litsea, dan Cryptocaria

massoia (mesoyi) dari genus Cryptocaria (Agusta, 2000).

Daerah sebaran Cinnamomun dan Cryptocaria di Indonesia terbagi

menjadi dua daerah yang menarik untuk dicermati. Daerah Indonesia

bagian barat dan tengah seperti Sumatera dan Jawa, umumnya didominasi

oleh Cinnamomun, sedangkan Cryptocaria populasinya lebih dominan di

daerah Indonesia timur, terutama Irian Jaya (Agusta, 2000).

Beberapa ilmuwan mengemukakan beberapa nama botani tanaman

mesoyi, antara lain Massoia aromaticum Becc., dan Cinnamomun

xanthoneuron Blume (Guenther, 1972). Saat ini diketahui bahwa terdapat

beberapa varietas tanaman mesoyi, seperti Cryptocaria massoia, Massoia

aromaticum Baecari., Cinnamomun xanthoneuron Blume, dan

Cinnamomun culilawan Blume (Ketaren, 1985). Varietas Cryptocaria

massoia terdapat di daerah Bogor (Ketaren 1985), dan karenanya kulit

kayu mesoyi yang digunakan pada penelitian ini termasuk dalam varietas

Cryptocaria massoia.

Mesoyi digambarkan sebagai pohon hutan yang indah, tingginya

sedang, tegak, dan dapat tumbuh pada tanah berkapur. Mesoyi terdapat di

beberapa daerah di Sumatera, Kalimantan, Jawa, Bali, Seram Selatan dan

Laut Bacan, Pulau Aru dan Kai, dan Irian. Mesoyi memiliki beberapa

bagian penting yang banyak digunakan, antara lain daun, cabang, kulit dan

kayu. Tanaman ini tumbuh pada ketinggian 1000-1500 m diatas

permukaan laut (Heyne, 1987). Selain terdapat di beberapa daerah di

Indonesia, mesoyi juga banyak terdapat di Cina (Guenther, 1972).

Page 16: Dmso

16

Mesoyi memiliki beberapa bagian penting yang banyak digunakan.

Daun mesoyi banyak digunakan di Pulau Seram sebagai bahan pengisi

bantal atau sebagai obat dengan mengoleskannya pada kepala saat

perjalanan jauh (Guenther, 1972), karena daun mesoyi memberi efek

menghangatkan.

Kulit kayu mesoyi berwarna coklat, memiliki bau tajam yang khas,

dan rasa yang cenderung kurang disukai (Heyne, 1987). Kulit kayu

mesoyi memiliki ukuran rata-rata lebar 5 cm dan panjang mencapai 100

cm. Biasanya kulit tanaman mesoyi dijual dalam bentuk ikatan atau

potongan (Guenther, 1972). Bagian kulit ini mengeluarkan cairan yang

dapat menyebabkan gatal-gatal bila terkena kulit. Oleh karena itu pada

penanganannya cairan ini harus dikeluarkan terlebih dahulu dengan cara

diletakkan secara berdiri selama beberapa hari. Setelah kering kulit kayu

kayu mesoyi akan terlepas dengan sendirinya. Meskipun demikian kulit

kayu mesoyi tetap mengandung lemak walaupun dibiarkan berhari-hari

(Iskandar dan Ismanto, 2001).

Kulit kayu mesoyi banyak digunakan sebagai obat-obatan, makanan,

dan jamu. Penggunaannya sebagai obat, antara lain sebagai campuran

pada obat kejang perut, dan obat keputihan. Di Sumatera, Kalimantan,

Jawa dan Bali, kulit kayu mesoyi digunakan pada hari-hari dingin karena

dapat membuat badan lebih hangat. Di Jawa dan Bali, kulit kayu mesoyi

dibuat menjadi bubur, yang berfungsi selain membuat badan lebih hangat

juga dapat mengharumkan badan (Heyne, 1987).

Kulit kayu mesoyi berwarna kelabu muda, kaki batang kasar dan

retak, dan bagian dalam berwarna kemerah-merahan. Potongan kulit kayu

mesoyi dan minyak hasil penyulingannya dapat dilihat pada Gambar 1.

Komposisi kulit kayu mesoyi dapat dilihat pada Tabel 1. Saat ini, kulit

kayu mesoyi banyak diambil minyaknya sebagai bahan baku parfum.

Minyak kulit kayu mesoyi dihasilkan dari proses penyulingan uap kulit

kayu mesoyi. Komponen utama minyak kulit kayu mesoyi adalah

persenyawaan mesoyi-lakton (Ketaren, 1985). Struktur persenyawaan

mesoyi-lakton dapat dilihat pada Gambar 2.

Page 17: Dmso

17

(a) (b)

Gambar 1. (a) pohon mesoyi (Sudibyo, 1998) dan (b) minyak atsiri kulit

kayu mesoyi (Anonima, 2004)

Tabel 1. Hasil analisis proksimat kulit kayu mesoyi

Komposisi Persentase (%) Air 10.73 Protein 5.15 Lemak 4.01 Abu 6.44 Karbohidrat 73.67

Gambar 2. Mesoyi Lakton atau 5-Pentylpent-2-en-5-olide (C10H16O2)

(Leffingwell, 1999)

Sebagai tanaman khas Indonesia, kulit kayu mesoyi belum banyak

dimanfaatkan dan diteliti kegunaannya bila dibandingkan dengan tanaman

khas Indonesia lainnya seperti kayu manis, antarasa, dan kayu secang.

Kayu manis dengan senyawa sinamaldehid sebagai komponen utamanya,

telah diketahui sebagai salah satu rempah penghasil minyak yang

memiliki aktivitas antimikroba (Davidson dan Naidu, 2000). Litsea

Page 18: Dmso

18

cubeba (antarasa) diketahui sebagai rempah yang memiliki aktivitas

antimikroba (Mulia, 2000). Kayu secang (Caesalpinia sappan Linn)

merupakan rempah di Indonesia yang juga berasal dari kayu dan telah

terbukti memiliki aktivitas antimikroba (Sundari et al., 1998).

B. TEKNIK EKSTRAKSI

Ekstraksi adalah suatu cara memisahkan komponen tertentu dari

suatu bahan sehingga didapatkan zat yang terpisah secara kimiawi

maupun fisik. Ekstraksi biasanya berkaitan dengan pemindahan zat

terlarut diantara dua pelarut yang tidak saling bercampur. Proses

ekstraksi bertujuan untuk mendapatkan bagian-bagian tertentu dari

bahan yang mengandung komponen-komponen aktif. Teknik ekstraksi

yang tepat berbeda untuk masing-masing bahan. Hal ini dipengaruhi

oleh tekstur, kandungan bahan, dan jenis senyawa yang ingin didapat

(Nielsen, 2003).

Terdapat dua jenis ekstraksi yang dikenal, yaitu dengan

menggunakan panas dan tanpa pemanasan. Pada penelitian ini digunakan

teknik ekstraksi yang menggunakan pemanasan, atau biasa disebut

refluks. Pembagian jenis ekstraksi dapat juga dilakukan menurut pelarut

yang digunakan. Untuk pembagian ini, ekstraksi dibagi menjadi

ekstraksi tunggal dan ekstraksi bertingkat. Ekstraksi tunggal adalah

teknik ekstraksi pada bahan secara langsung menggunakan satu jenis

pelarut, sedangkan ekstraksi bertingkat adalah ekstraksi dengan beberapa

pelarut organik yang tingkat kepolarannya berbeda-beda.

Proses ekstraksi yang dilakukan pada penelitian ini adalah

ekstraksi tunggal dengan pemanasan (refluks), destilasi uap, dan

ekstraksi bertingkat dengan pemanasan (refluks). Berikut akan

dijelaskan lebih lanjut proses ekstraksi tersebut.

Page 19: Dmso

19

1. Refluks

Refluks adalah teknik ekstraksi dengan menggunakan panas.

Kelebihan dari refluks adalah dapat mempercepat proses ekstraksi,

dan mendapatkan komponen bahan lebih banyak (rendemen lebih

besar). Pengaplikasian panas dapat meningkatkan kelarutan bahan

dan membuat komponen-komponen didalamnya lebih mudah

terekstrak (Adawiyah, 1998). Selain itu, penggunaan panas juga

lebih mendekati pada aplikasi sehari-hari, yaitu rempah sering

digunakan sebagai bumbu dan dalam pengolahannya biasanya

melalui proses pemasakan (panas). Kekurangannya adalah resiko

terjadinya kerusakan komponen yang terekstrak karena terkena

panas.

Untuk memperkecil resiko, maka refluks dilakukan dengan

waktu yang lebih singkat. Selain itu, pemilihan pelarut yang

digunakan juga dapat mengurangi kerusakan oleh panas. Pelarut

yang baik digunakan pada cara panas adalah pelarut organik dengan

titik didih lebih rendah daripada air, seperti benzena (Pomeranz dan

Meloan, 1994).

Pada refluks, baik tunggal ataupun bertingkat, bahan diekstraksi

pada suhu tinggi selama 3 jam. Cairan kemudian disaring dan bahan

diekstraksi kembali selama dua jam. Hal ini bertujuan untuk

meningkatkan rendemen (Adawiyah, 1998). Gambar alat refluks

dapat dilihat pada Lampiran 2.

2. Destilasi uap

Destilasi adalah cara ekstraksi yang telah dikenal sejak dahulu

kala dan digunakan secara luas selama ribuan tahun. Awalnya alat

yang terdiri dari evaporator dan kondensor banyak digunakan untuk

mendapatkan konsentrat dari minuman beralkohol. Destilasi dapat

diartikan sebagai proses yang memisahkan dua atau lebih campuran

Page 20: Dmso

20

bahan yang memiliki titik didih yang berbeda. Pemisahan terjadi

dengan mengeluarkan komponen volatil (Kister, 1992).

Untuk mendapatkan minyak atsiri, dilakukan destilasi uap.

Destilasi uap adalah salah satu jenis ekstraksi tanpa menggunakan

panas. Pada metode ini, air sebagai sumber uap panas berada pada

ketel yang berbeda yang kemudian dialirkan dari bejana uap ke

dalam bahan (Ketaren, 1985). Setelah bahan banyak teruapkan, maka

bahan akan mendidih kemudian air dan minyak naik melalui tabung

dan mengalami kondensasi. Distilat yang diperoleh terdiri dari dua

lapisan, yaitu lapisan minyak dan lapisan air. Dengan demikian

minyak dapat dipisahkan dari air (Mulia, 2000).

Ekstraksi minyak atsiri dengan metode destilasi uap memiliki

beberapa kelemahan, yaitu: (1) tidak baik digunakan terhadap

beberapa jenis minyak yang mengalami kerusakan oleh adanya panas

dan air, (2) minyak atsiri yang mengandung fraksi ester akan

terhidrolisa karena adanya air dan panas, (3) komponen minyak yang

larut dalam air tidak dapat diekstraksi, dan (4) bau minyak sedikit

berubah dari bau wangi alamiah (Ketaren, 1985).

3. Ekstraksi dengan pelarut organik

Ekstraksi secara bertingkat dilakukan dengan menggunakan

beberapa pelarut dengan tingkat kepolaran yang berbeda. Hal ini

dikarenakan tingkat kepolaran berbagai komponen non-volatil dalam

rempah-rempah berbeda-beda juga. Hal-hal yang perlu diperhatikan

mengenai pelarut adalah: (1) pelarut polar akan melarutkan senyawa

polar, (2) pelarut organik akan cenderung melarutkan senyawa

organik, dan (3) pelarut air cenderung melarutkan senyawa

anorganik dan garam dari asam ataupun basa (Achmadi, 1992).

Prinsip ekstraksi menggunakan pelarut organik adalah bahan

yang akan diekstrak dikontakkan langsung dengan pelarut selama

selang waktu tertentu, sehingga komponen yang akan diekstrak akan

Page 21: Dmso

21

terlarut dalam pelarut. Kelebihan dari ekstraksi menggunakan pelarut

organik adalah mendapatkan senyawa yang lebih terkonsentrasi dan

memiliki aroma yang hampir benar-benar sama dengan bahan alami

awal (Anonimb, 2006). Pengekstraksian minyak tumbuhan dengan

kimiawi (pelarut organik) adalah cara paling ekonomis karena

membutuhkan sedikit biaya dengan hasil yang banyak. Tetapi bahan-

bahan kimia yang digunakan dikhawatirkan dapat mengganggu

kesehatan dan mencemari lingkungan (Iskandar, 2003). Kekurangan

ini disebabkan terdapatnya residu pelarut organik didalam ekstrak.

Oleh karena itu, setelah proses ekstraksi selesai, penting dilakukan

penghilangan sisa pelarut organik yang terdapat dalam bahan

(Anonimb, 2006).

Pada penelitian ini, ekstraksi dilakukan secara berturut-turut

menggunakan heksan, etil asetat, dan metanol. Dengan demikian

akan diperoleh ekstrak yang mengandung senyawa non polar,

senyawa dengan kepolaran menengah, dan senyawa polar.

Proses ekstraksi dengan pelarut non-polar (heksan) diperlukan

untuk menghilangkan lemak (defatting), sehingga pelarut yang lain

lebih efektif dalam mengekstraksi ampas mesoyi. Heksan adalah

hidrokarbon alkana dengan rumus molekul C6H14. Heksan biasanya

merupakan cairan tak berwarna dan bersifat non-polar. Heksan

memiliki titik didih 69°C dan dapat larut dalam air (Anonimh, 2006).

Etil asetat adalah komponen organik semi polar dengan rumus

molekul C4H8O2. Etil asetat adalah cairan tidak berwarna dan

memiliki bau tajam yang kurang enak. Keuntungan menggunakan

etil asetat sebagai pelarut disebabkan oleh sifatnya yang volatil, non-

toksik, dan tidak higrokopis (Anonimi, 2006).

Metanol adalah alkohol sederhana dengan senyawa kimia dengan

rumus molekul CH3OH. Metanol merupakan cairan kimia tak

berwarna, volatil, dapat terbakar, beracun, dengan bau yang lebih

dalam dan lebih wangi dibandingkan etanol. Metanol banyak

Page 22: Dmso

22

digunakan sebagai pelarut dan bahan bakar. Titik didih pelarut ini

adalah 64.7°C. Metanol bersifat polar dan karenanya akan

mengekstrak komponen-komponen polar dari bahan (Anonimc,

2006).

C. SENYAWA ANTIMIKROBA

Senyawa antimikroba adalah senyawa biologis atau senyawa kimia

yang digunakan dalam dosis kecil dengan tujuan untuk mencegah ataupun

menghambat pertumbuhan dan aktivitas mikroba (Ray, 2001). Senyawa ini

terdapat didalam bahan pangan dengan berbagai cara. Beberapa

diantaranya terdapat secara alamiah, ditambahkan dengan sengaja, ataupun

terbentuk selama pengolahan atau oleh mikroorganisme yang tumbuh

selama fermentasi (Fardiaz, 1992). Dalam bidang pangan, senyawa

antimikroba umumnya digunakan sebagai senyawa aditif untuk mencegah

pembusukan makanan karena adanya pertumbuhan mikroba (Branen,

1993).

Senyawa antimikroba yang ditambahkan pada makanan untuk

mengawetkan harus mempunyai beberapa kriteria ideal, antara lain

memiliki aktivitas antimikroba, aman untuk dikonsumsi manusia,

ekonomis, tidak menyebabkan perubahan kualitas makanan, memiliki

aktivitas antimikroba yang baik pada kondisi lingkungan makanan, efektif

pada dosis kecil, serta bersifat membunuh daripada menghambat

pertumbuhan mikroba (Ray, 2001). Pemilihan senyawa antimikroba

pangan yang baik didasarkan pada kemampuannya menghambat jenis-

jenis mikroba. Biasanya senyawa antimikroba yang dapat menghambat

lebih banyak bakteri, baik bakteri pembusuk ataupun patogen (spektrum

penghambatan yang luas) lebih diharapkan (Branen, 1993).

Penghambatan terhadap bakteri uji dapat bersifat bakterisidal

ataupun bakteristatik. Bakteristatik artinya dapat menghambat

pertumbuhan bakteri secara cukup signifikan, dan bila bahan penghambat

dihilangkan maka bakteri akan pulih dan dapat tumbuh kembali (Prescott

Page 23: Dmso

23

et al., 2003). Bakterisidal dapat diartikan sebagai bahan yang dapat

membunuh bakteri yang menjadi target. Aktivitas dari senyawa yang

bersifat bakterisidal sangat tergantung pada konsentrasi antimikroba yang

digunakan (Prescott et al., 2003).

Fakta yang menunjukkan adanya hubungan antara rempah-rempah

dengan mikrobiologi diantaranya adalah: (1) beberapa rempah diketahui

memiliki aktivitas antimikroba, (2) rempah-rempah dapat menstimulasi

metabolisme mikroorganisme, (3) rempah-rempah menjadi berjamur bila

disimpan pada tempat dengan kelembaban tinggi, dan (4) terkadang

rempah mengandung mikroba secara alami (Farkas, 2000). Rempah-

rempah dan ekstrak-ekstrak tanaman telah banyak diketahui memiliki

aktivitas antimikroba. Kayu manis, bawang putih, bawang bombay, jahe,

dan banyak rempah lainnya telah terbukti memiliki aktivitas antimikroba.

Hal ini membuka jalan untuk banyak penelitian yang bertujuan

mempelajari kemungkinan penggunaan bahan alami sebagai pengawet

(Ray, 2001).

Senyawa antimikroba dapat menyebabkan kerusakan sel bakteri

dengan beberapa cara. Secara umum mekanisme kerja antimikroba dalam

menghambat mikroba adalah: (1) bereaksi dengan membran sel, (2)

inaktivasi enzim esensial, dan (3) mendestruksi atau menginaktivasi fungsi

dari materi genetik (Davidson, 1993).

D. KARAKTERISTIK MIKROBA PATOGEN DAN MIKROBA

PEMBUSUK MAKANAN

Bakteri yang akan diuji pada penelitian ini mewakili bakteri patogen

dan pembusuk pangan. Bakteri yang akan diuji adalah Staphylococcus

aureus, Eschericia coli, Salmonella Typhimurium, Pseudomonas

aeruginosa, dan Bacillus cereus. Staphylococcus aureus, Eschericia coli,

Salmonella Typhimurium, dan Bacillus cereus mewakili jenis bakteri

patogen, sedangkan Pseudomonas aeruginosa mewakili bakteri pembusuk

pangan.

Page 24: Dmso

24

Bakteri dikategorikan patogen bila bakteri tersebut dapat

menyebabkan penyakit bagi manusia yang mengkonsumsi makanan yang

mengandung bakteri ini dalam jumlah tertentu. Beberapa bakteri patogen

juga dapat menghasilkan toksin (racun), sehingga jika toksin tersebut

dikonsumsi oleh manusia dapat menyebabkan intoksikasi. Pada

intoksikasi, sekalipun makanan atau bahan pangan sudah dipanaskan,

toksin yang sudah terbentuk masih tetap aktif dan bisa menyebabkan

keracunan meski bakteri tersebut sudah tak ada dalam makanan

(Ardiansyah, 2006).

Kualitas pangan akan menurun jika terdapat bakteri pembusuk di

dalamnya. Pembusukan (spoilage) adalah istilah yang digunakan untuk

menggambarkan penurunan kualitas dari warna, tekstur, aroma, dan rasa

makanan hingga titik dimana makanan tersebut tidak dapat diterima oleh

manusia (Shiddieqy, 2006). Bakteri-bakteri uji ini dapat dikelompokkan atas golongan bakteri

Gram positif dan bakteri Gram negatif. Bakteri yang termasuk kedalam

kelompok bakteri Gram positif adalah Staphylococcus aureus dan Bacillus

cereus, sedangkan yang termasuk pada bakteri Gram negatif adalah

Eschericia coli, Pseudomonas aeruginosa, dan Salmonella Typhimurium.

1. Staphylococcus aureus

Stapilokoki merupakan kumpulan sel yang tidak beraturan dan

berbentuk seperti buah anggur. Staphylococcus aureus merupakan

golongan bakteri Gram positif, famili Micrococcaceae, dan

berbentuk bulat dengan diameter 0.5-1.5 µm. Staphylococcus aureus

dapat hidup secara aerobik maupun anaerobik fakultatif, bersifat

non-motil dan tidak membentuk spora (Parker, 2000). Gambar S.

aureus dapat dilihat pada Gambar 3.

S. aureus dapat tumbuh pada kisaran suhu 7-48°C dengan suhu

optimum pertumbuhannya adalah 35-37oC. S. aureus terbukti

mampu bertahan pada suhu beku (freezing), dan pada suhu -18°C

dapat bertahan pada daging dan produk unggas dengan tidak atau

Page 25: Dmso

25

hanya mengalami sedikit perubahan dalam jumlah sel (White dan

Hall, 1984). Beberapa strain dari S. aureus juga tahan panas. Faktor-

faktor yang mempengaruhi ketahanan S. aureus terhadap panas

adalah suhu dimana sel tersebut tumbuh dan umur sel (Parker, 2000).

S. aureus yang tumbuh dibawah suhu 30°C lebih sensitif terhadap

panas dibandingkan S. aureus yang tumbuh di atas suhu 30°C,

sedangkan S. aureus yang tumbuh di atas suhu 40°C lebih resisten

terhadap panas (Smith dan Marmer, 1991). Sel S. aureus pada masa

awal fase log lebih tidak tahan panas dibandingkan sel pada masa

stasioner. Kondisi penyembuhan dari sel S. aureus yang rusak akibat

panas berlangsung optimum pada suhu 32°C dan pH 6.0 (Parker,

2000).

S. aureus adalah salah satu mikroba patogen yang paling tahan

terhadap lingkungan kering. S. aureus dapat tumbuh pada

lingkungan dengan nilai aw yang lebih rendah dibandingkan bakteri

patogen lain. Batas nilai aw untuk pertumbuhan akan lebih rendah

pada kondisi lingkungan aerobik daripada anaerobik, dan bila suhu

dan pH turun batas nilai aw yang diharapkan untuk pertumbuhan

meningkat. Kisaran pH untuk pertumbuhan S. aureus adalah antara

4.0-10.0 dalam kondisi lingkungan yang cocok, dengan pH

optimumnya adalah 6.0-7.0 (Parker, 2000).

Hampir seluruh strain S. aureus bersifat patogen dan dapat

memproduksi 6 jenis enterotoksin (A, B, C1, C2, D, dan E) dengan

tingkat toksisitas yang berbeda yang tahan panas, dimana ketahanan

panasnya melebihi sel vegetatifnya. Sebagian besar kasus keracunan

makanan disebabkan oleh enterotoksin tipe A. S. aureus sering

menyebabkan orang yang mengkonsumsi susu dari sapi yang

menderita mastitis stapilokoki menjadi sakit (Parker, 2000).

2. Escherichia coli

Bakteri koliform dibedakan atas dua kelompok yaitu fekal dan

nonfekal. Escherichia coli merupakan jenis bakteri dari kelompok

Page 26: Dmso

26

fekal yang berasal dari saluran pencernaan manusia dan biasanya

diisolasi dari kotoran manusia. Escherichia coli merupakan bakteri

Gram negatif yang berbentuk batang. E. coli termasuk famili

Enterobacteriaceae. Panjang E. coli adalah 2.0-6.0 µm dan lebarnya

adalah 1.1-1.5 µm. E. coli bersifat motil atau non motil dengan

flagela peritrikat bersifat fakultatif anaerob. Kisaran suhu untuk

pertumbuhan E. coli adalah 10-40oC, dengan suhu optimum

pertumbuhannya adalah 37oC. Gambar E. coli dapat dilihat pada

Gambar 3.

E. coli mengandung enterotoksin dan faktor virus lainnya yang

dapat menyebabkan diare. Bakteri ini adalah penyebab utama infeksi

pada saluran kencing dan nosocomial, termasuk septisimia dan

meningitis (Holt, et al.., 1994).

3. Bacillus cereus

B. cereus adalah bakteri Gram positif yang memiliki sel

berukuran cukup besar. B. cereus bersifat fakultatif dan dapat

menghasilkan spora yang tahan terhadap suhu tinggi dan

pengeringan. Spora B. cereus umumnya berbentuk silinder. B. cereus

dapat tumbuh secara aerobik dan juga anaerobik (Granum, 2000).

Gambar B. cereus dapat dilihat pada Gambar 3.

Suhu optimum pertumbuhan B. cereus adalah 35-40°C, tetapi

beberapa strain B. cereus diketahui dapat tumbuh pada suhu 4-6°C

atau bersifat psikrotropik (Driessen, 1993). B. cereus yang dapat

menyebabkan keracunan makanan adalah jenis B. cereus yang

tumbuh pada suhu 30-40°C atau bersifat mesofilik (Granum, 2000).

Bacillus cereus merupakan saprofit umum pada tanah

(Granum, 2000). B. cereus banyak terdapat pada daging, sayuran,

nasi goreng, sup, makaroni, keju, produk roti, kacang-kacangan dan

salad mentah.

B. cereus dapat menyebabkan penyakit pada manusia lewat

makanan (food borne illness). Penyakit yang ditimbulkan oleh B.

Page 27: Dmso

27

cereus adalah muntah-muntah, diare, dan sakit perut (Granum,

2000). Sindrom diare disebabkan oleh setidaknya dua jenis

enterotoksin yang dihasilkan selama pertumbuhan vegetatif B. cereus

didalam usus kecil. Untuk mencegah dampak buruk B. cereus,

makanan harus dijaga agar jumlah kontaminasinya tidak tinggi.

Batas aman konsumsi B. cereus adalah 1x106 (Granum, 1994). Hal

ini dapat dilakukan dengan pemasakan yang dapat membunuh sel

vegetatif dan mencegah germinasi spora; pemanasan kemudian

pendinginan secepatnya sehingga memberikan shok; dan

penyimpanan pada suhu refrigerator.

4. Salmonella Typhimurium

Bakteri dari jenis Salmonella merupakan bakteri penyebab

infeksi. Jika tertelan dan masuk ke dalam tubuh maka menimbulkan

gejala yang disebut salmonelosis. Gejala salmonelosis yang paling

sering terjadi adalah gastroenteritis. Selain gastroenteritis, beberapa

spesies Salmonella juga dapat menimbulkan gejala penyakit lainnya,

misalnya demam enterik seperti demam tifoid dan demam paratifoid

serta infeksi lokal (Fardiaz, 1992).

Salmonella merupakan salah satu genus dari

Enterobacteriaceae. Salmonella berbentuk batang, Gram negatif,

anaerobik fakultatif, dan aerogenik. Biasanya, Salmonella bersifat

motil dan mempunyai flagela peritrikus. Kebanyakan strain

Salmonella bersifat aerogenik, dapat menggunakan sitrat sebagai

sumber karbon, dan tidak membentuk H2S (Fardiaz,1992). Gambar

Salmonella Typhimurium dapat dilihat pada Gambar 3.

Salmonella hidup secara anaerobik fakultatif. Bakteri ini tidak

dapat berkompetisi secara baik dengan mikroba-mikroba yang umum

terdapat di dalam makanan seperti bakteri-bakteri pembusuk, bakteri

genus lainnya dalam famili Escericieae dan bakteri asam laktat. Oleh

karena itu, pertumbuhannya sangat terhambat dengan adanya

bakteri-bakteri tersebut (Cox, 2000).

Page 28: Dmso

28

Salmonella Typhimurium dapat tumbuh pada suhu 5-47°C

dengan suhu optimum 35-37°C. Nilai pH optimum untuk

pertumbuhannya adalah 6.5-7.5, sedangkan aw optimum adalah

0.945-0.999 (Cox, 2000).

5. Pseudomonas aeruginosa

Pseudomonas aeruginosa termasuk ordo Pseudomonadales,

sub ordo Pseudomonadaceae, dan famili Pseudomonadaceae,

merupakan bakteri aerob obligat dan oksidase positif. Beberapa

spesies bersifat motil dengan flagela polar, sedangkan spesies

lainnya bersifat non-motil (Bennik, 2000). Pseudomonas aeruginosa

adalah Gram negatif, berbentuk batang, tidak membentuk spora, dan

berukuran kecil (Gambar 3).

Pseudomonas aeruginosa tumbuh dengan baik pada suhu

37oC. Bakteri ini memproduksi senyawa-senyawa yang

menimbulkan bau busuk dan pigmen tiosianin yang berwarna biru.

Untuk pertumbuhan yang baik, diperlukan aw minimum 0.96-0.98,

pH optimum 6.6-7.0, dan suhu pertumbuhan optimum 37°C (Bennik,

2000).

(a) (b) (c)

(d) (e)

Gambar 3. Bakteri-bakteri uji: (a) P. aeruginosa, (b) B. cereus, (c) E.

coli, (d) S. aureus, dan (e) Salmonella Thypimurium.

Page 29: Dmso

29

E. PENGUJIAN AKTIVITAS ANTIMIKROBA

Pengujian aktivitas antimikroba dapat dilakukan dengan metode in

vitro ataupun dengan metode aplikasi (Davidson dan Parish, 1989).

Metode aplikasi adalah metode dimana senyawa antimikroba

diaplikasikan secara langsung terhadap produk pangan untuk mengukur

pengaruhnya terhadap mikroflora alami produk pangan tersebut. Metode

in vitro adalah uji aktivitas antimikroba dengan senyawa antimikroba

yang tidak diaplikasikan langsung kepada produk. Metode ini hanya bisa

memberikan informasi awal tentang potensi kegunaan komponen

sebagai antimikroba. (Davidson dan Parish, 1993). Salah satu metode

pengujian aktivitas antimikroba secara in vitro adalah uji difusi sumur

dan penentuan nilai MIC.

1. Uji difusi sumur

Uji difusi sumur adalah cara menguji aktivitas antimikroba

yang paling banyak digunakan (NCCLS, 1991). Branen (1993)

menyatakan bahwa uji difusi sumur merupakan cara yang sederhana

dan cepat, walaupun cara ini memiliki kelemahan pada data yang

dihasilkan karena lebih bersifat kualitatif. Aktivitas antimikroba

yang terlihat pada uji difusi sumur dipengaruhi oleh beberapa faktor,

antara lain: (1) tipe dan ukuran cawan, (2) tipe agar, pH, dan

kandungan garamnya, (3) kemampuan zat untuk berdifusi kedalam

agar, (4) karakteristik media, dan (5) jenis bakteri uji yang

digunakan.

Ekstrak yang dimasukkan ke dalam sumur atau lubang akan

berdifusi masuk kedalam agar selama masa inkubasi. Bila memiliki

sifat antimikroba, ekstrak ini akan menimbulkan gradien konsentrasi

di dalam agar dan membentuk penghambatan yang akan terlihat

sebagai zona bening. Semakin jauh jarak masuk ke dalam agar, maka

konsentrasi ekstrak yang dapat menghambat pertumbuhan bakteri uji

juga akan semakin berkurang. Berkurangnya konsentrasi berarti

Page 30: Dmso

30

kekuatan ekstrak berkurang dan hanya beberapa bakteri yang dapat

terhambat. Hal inilah yang menimbulkan gradien konsentrasi pada

tingkat-tingkat konsentrasi tertentu (Davidson dan Parish, 1993).

Batas dari zona bening adalah pada saat kekuatan ekstrak sudah

jauh berkurang, sehingga tidak lagi menghambat pertumbuhan

bakteri uji. Zona bening yang terbentuk disebut juga diameter

penghambatan. Diameter penghambatan yang terbentuk dipengaruhi

oleh beberapa faktor, antara lain konsentrasi ekstrak, tingkat

kelarutan ekstrak, dan kemampuan ekstrak untuk berdifusi kedalam

agar (Prescott et al., 2003).

2. Penggunaan Kontrol

Pada uji difusi sumur digunakan kontrol sebagai pembanding.

Kontrol negatif yang digunakan adalah pelarut untuk melarutkan

ekstrak, yaitu Dimetilsulfoksida (DMSO), sedangkan kontrol positif

yang digunakan adalah antibiotik. Tujuan menggunakan kontrol

negatif adalah untuk melihat pengaruh DMSO terhadap aktivitas

antimikroba ekstrak. Kontrol positif digunakan sebagai pembanding

terhadap aktivitas antimikroba ekstrak, karena antibiotik merupakan

senyawa antimikroba yang telah dibuat secara terstandar.

a. Kontrol positif

Kontrol positif yang digunakan adalah antibiotik dengan

spektrum antimikroba yang luas, yaitu amoxycillin. Antibiotik

adalah produk metabolit yang dihasilkan organisme tertentu,

yang dalam jumlah amat kecil bersifat merusak atau menghambat

mikroorganisme lainnya. Antibiotik merupakan zat kimia yang

dihasilkan oleh suatu mikroba dan bersifat menghambat

mikroorganisme yang lain.

Antibiotik merupakan bahan yang sering digunakan dalam

penelitian. Beberapa antibiotik yang sering digunakan pada

Page 31: Dmso

31

penelitian adalah penicillin, actinomycins, chloramphenicol,

cycloserine, asam nalidiksik dan novobiosin, rifampin,

cycloheximide, daunomisin, mitomisin C, dan polioksin (Prescott

et al., 2003).

Suatu zat antibiotik hendaknya memiliki sifat sebagai

berikut: (1) mampu menghambat atau merusak patogen spesifik,

(2) tidak mengakibatkan berkembangnya bentuk-bentuk resisten,

(3) tidak menimbulkan efek samping yang dikehendaki, (4) tidak

mengganggu flora alamiah dari suatu benda atau manusia, (5)

harus dapat dimasukkan dari mulut tanpa diinaktifkan, dan (6)

sangat mudah larut dalam air.

Amoxycillin adalah senyawa antibiotik semisintesis dari

Penisilin. Penisilin merupakan salah satu antibiotik yang umum

dan banyak beredar di masyarakat. Penisilin merupakan

antibiotik modern yang pertama, dan merupakan antibiotik yang

bermanfaat karena paling luas penggunaannya. Penisilin

ditemukan sebagai metabolit sekunder dari kapang jenis tertentu,

yaitu Penicillium notatum, dan P. Chrysogenum.

Cara kerja penisilin menghambat pertumbuhan bakteri

adalah dengan menghambat pembentukan dinding sel bakteri.

Penisilin menghambat kerja enzim yang mengkatalis reaksi

pemindahan peptida-peptida dalam proses pembentukan

peptidoglikan dinding sel. Kemampuan ini dimiliki penisilin

karena kemiripan struktur dengan enzim pengkatalis. Penisilin

diketahui efektif karena memiliki kemampuan menghambat

sintesis peptidoglikan dinding sel bakteri. Penghambatan tersebut

bersifat spesifik dan sedikit sekali mempunyai efek buruk bagi

pemakai (Prescott et al., 2003).

Penisilin menghambat bakteri patogen hanya bila bakteri

tersebut sedang berada pada fase log (Prescott et al., 2003). Hal

ini sesuai dengan kemampuan penisilin menghambat sintesis

peptidoglikan dinding sel yang terjadi pada fase log. Penisilin

Page 32: Dmso

32

menghalangi pembentukan ikatan peptidoglikan dengan

sempurna dan pada akhirnya dapat mengakibatkan osmotik lisis

(Prescott et al., 2003). Bila sel bakteri yang peka terhadap

penisilin ditumbuhkan dengan tambahan antibiotik ini, sel bakteri

tersebut akan menjadi luar biasa besar ukurannya serta memiliki

bentuk yang tidak umum lalu kemudian lisis.

Saat ini telah diketahui beberapa mekanisme penghambatan

penisilin yang lain. Pensilin diketahui dapat berikatan dengan

protein pengikat dan dapat menghancurkan bakteri dengan

mengaktifkan enzim autolisis. Penisilin menstimulasi protein

khusus yang disebut hollins untuk membentuk lubang pada

membran plasma. Hal ini akan mengakibatkan membran rusak

dan menyebabkan kematian. Beberapa antibiotik lain yang

memiliki mekanisme serupa dengan penisilin adalah

cephalosporins, vancomycin, dan bakitrasin (Prescott et al.,,

2003).

Penisilin G efektif terhadap beberapa bakteri patogen Gram

positif, misalnya Streptococcus dan Staphylococcus. Ampisilin,

yang merupakan salah satu turunan penisilin, diketahui efektif

untuk dikonsumsi dengan diminum, dan memiliki spektrum

penghambatan bakteri yang lebih luas antara lain dapat

menghambat bakteri Gram negatif, seperti Haemophilus,

Salmonella, dan Shigella.

b. Kontrol negatif

Kontrol negatif yang digunakan pada uji difusi sumur

adalah DMSO (dimetil sulfoksida). DMSO adalah pelarut yang

umum digunakan dalam analisis atau percobaan, karena

kemampuannya untuk melarutkan senyawa baik polar ataupun

non polar. DMSO memiliki sifat seperti emulsifier. Rumus

senyawa DMSO adalah (CH3)2SO. Gambar strukturnya dapat

dilihat pada Gambar 4.

Page 33: Dmso

33

Gambar 4. Dimethyl sulfoxide atau DMSO (Anonimd, 2006)

DMSO merupakan cairan bening dengan bau seperti

bawang putih. DMSO memiliki titik didih 189°C dan dapat larut

dalam air. DMSO bersifat stabil dalam kondisi normal dan

bersifat higrokopis. DMSO efektif sebagai pelarut dalam proses

ekstraksi dan pemisahan komponen aroma (flavor), serta dalam

fraksinasi komponen tidak jenuh dari suatu bahan (Anonimd,

2006).

3. Penentuan Nilai MIC

MIC (Minnimum Inhibitory Concentration) adalah konsentrasi

terendah dari suatu senyawa antimikroba dimana antimikroba tersebut

masih memiliki kemampuan menghambat mikroba dalam periode

inkubasi tertentu (Davidson dan Parish, 1993). Nilai MIC penting

diketahui untuk mengkonfirmasi resistensi bakteri uji terhadap senyawa

antimikroba dan untuk menentukan aktivitas senyawa antimikroba baru

(Anonimc, 2006).

Penentuan MIC dapat dilakukan dengan cara padat ataupun cara

cair. Perbedaan cara padat dan cara cair terletak pada jenis media agar

yang digunakan untuk analisis. Pada cara cair, mikroba uji yang telah

ditumbuhkan didalam media cair kemudian ditambahkan senyawa

antimikroba dalam selang konsentrasi tertentu (Davidson dan Parish,

1993). Cara ini disebut metode kontak. Nilai MIC ditentukan pada

konsentrasi dimana mikroba didalam media cair sudah tidak tumbuh

lagi, dengan ciri-ciri media agar cair bening (tidak keruh) (Davidson dan

Parish, 1993). Pada cara padat digunakan uji difusi sumur. Data diameter

penghambatan kemudian diolah dengan regresi sehingga didapat

persamaan sederhana yang dapat digunakan untuk mencari nilai MIC.

Page 34: Dmso

34

Kelebihan dari metode kontak adalah hasilnya yang lebih akurat.

Kelemahannya adalah waktu yang dibutuhkan lebih lama, diperlukan

ketelitian dan pengulangan analisis berkali-kali untuk mendapatkan data

yang valid. Kelebihan dari metode difusi sumur untuk menentukan nilai

MIC adalah cara ini lebih sederhana dan waktu yang diperlukan lebih

singkat, sedangkan kelemahannya adalah datanya kurang akurat.

Beberapa nilai MIC dari minyak rempah-rempah terhadap beberapa

bakteri dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2. Nilai MIC (Minnimum Inhibitory Concentration) beberapa

minyak rempah-rempah (% v/v) (Hammer, et al., 1999a)

Rempah-rempah

Ent

eroc

occu

s

faec

alis

E. c

oli

Pseu

dom

onas

aeru

gino

sa

Salm

onel

la

Thy

piim

uriu

m

S. a

ureu

s

Can

dida

albi

cans

Basil >2.0 0.5 >2.0 2.0 2.0 0.5

Jinten hitam 1.0 >2.0 >2.0 >2.0 >2.0 >2.0

Cengkeh 0.5 0.25 >2.0 >2.0 0.25 0.12

Jahe >2.0 >2.0 >2.0 >2.0 >2.0 >2.0

Oregano 0.25 0.12 2.0 0.12 0.12 0.12

Tanaman lemon 0.12 0.06 1.0 0.25 0.06 0.06

Tanaman teh 2.0 0.25 >2.0 0.5 0.5 0.5

Thyme 0.5 0.12 >2.0 >2.0 0.25 0.12

Peppermint 2.0 0.5 >2.0 1.0 1.0 0.5

F. UJI FITOKIMIA

Fitokimia mempelajari aneka ragam senyawa organik yang

dibentuk dan ditimbun oleh tumbuhan, yaitu mencakup struktur kimia,

biosintesis, perubahan serta metabolisme, penyebaran secara alamiah,

dan fungsi biologis. Kandungan kimia tumbuhan dapat digolongkan

Page 35: Dmso

35

berdasarkan asal biosintesis, sifat kelarutan, dan adanya gugus kunci

tertentu (Harborne, 1996).

Uji fitokimia biasanya memiliki kegunaan dalam fisiologi

tumbuhan, patologi tumbuhan, ekologi tumbuhan (interaksi antara

tumbuhan dengan lingkungan), paleobotani (tumbuhan berperan dalam

menguji hipotesis tentang fosil), dan genetika tumbuhan (Harborne,

1996). Pada bidang fisiologi tumbuhan, uji fitokimia dilakukan untuk

mengidentifikasi baik secara awal ataupun lanjut senyawa-senyawa yang

menyusun tanaman, seperti penentuan struktur, asal-usul biosintesis, dan

fungsi kerja senyawa tersebut dalam tanaman.

Uji fitokimia dilakukan untuk mengetahui metabolit sekunder dari

tumbuhan. Beberapa jenis metabolit sekunder memiliki aktivitas

antimikroba (Naidu, 2000). Metabolit sekunder tanaman yang banyak

terdapat pada batang, daun, kayu, bunga, dan buah antara lain adalah

saponin, flavonoid, fenol, alkaloid, steroid dan terpenoid, serta tanin.

1. Fenol

Fenol merupakan senyawa yang memiliki sebuah cincin aromatik

dengan satu atau lebih gugus hidroksil. Fenol dan turunannya memiliki

sifat cenderung larut dalam air (Suradikusumah, 1989). Fenol

merupakan senyawa yang penting karena merupakan kelas besar

diantara senyawa-senyawa penyusun tanaman. Senyawa fenolik terdiri

atas ribuan struktur. Beberapa senyawa fenol yang banyak ditemukan

di tanaman dapat dilihat pada Tabel 3.

Komponen antimikroba yang terkandung dalam fraksi-fraksi

minyak esensial rempah-rempah banyak mengandung komponen jenis

fenol (Beuchat, 1994). Komponen fenolik dari tanaman yang memiliki

aktivitas antimikroba dapat dilihat pada Tabel 4.

Page 36: Dmso

36

Tabel 3. Komponen fenolik yang ditemukan dalam tanaman (Nychas, 1994)

Senyawa fenol Sumber Senyawa fenol Sumber

Asam benzoat Rempah-rempah Isovanilin Alpukat

Kafein Teh, kopi Katekin Kulit anggur, teh

Eugenol Kayu manis Vanilin Vanila

Tanin Anggur, teh,

rempah-rempah

Asam

hidrobenzoat Wortel

Tabel 4. Komponen fenolik tanaman dan aktivitas antimikrobanya

(Davidson dan Naidu, 2000)

Sumber Senyawa fenolik Spektrum antimikroba

Nigella sativa L. Timohidrokuinon Bakteri Gram positif

Anethum graveolens L. Minyak atsiri Saccaromyces vini

Ducrosia anethifolia α-pinen / limonen Bakteri Gram positif, khamir

Thymus vulgaris Minyak atsiri Enterobakteria patogen

Ocimum sp. Minyak atsiri E. coli, S. aureus

Melaleuca alternifolia Linalool / terpinen E. coli, S. aureus

Mekanisme antimikroba senyawa fenolik adalah mengganggu

kerja di dalam membran sitoplasma mikroba. Termasuk diantaranya

adalah mengganggu transpor aktif dan kekuatan proton (Davidson,

1993). Fenol dapat membentuk ikatan hidrogen dengan protein

(Suradikusumah, 1989). Hal ini sesuai dengan Juven et al. (1994) yang

menyatakan bahwa thymol dapat bereaksi dengan kandungan protein

membran sitoplasma Salmonella Thypimurium. Kompleks ini

membuat perubahan permeabilitas membran sel mikroba dan membuat

Salmonella Thypimurium dapat dihambat.

2. Flavonoid

Flavonoid banyak terdapat dalam buah-buahan, sayuran, kacang-

kacangan, biji-bijian, akar, dan bunga (Middleton dan Kandaswami,

Page 37: Dmso

37

1994). Flavonoid merupakan bagian dari fenol. Flavonoid umumnya

terdapat dalam tumbuhan, dalam bentuk aglikon maupun terikat pada

gula sebagai glikosida (Harborne, 1996).

Flavonoid memegang peranan penting dalam biokimia dan

fisiologi tanaman, diantaranya berfungsi sebagai antioksidan,

penghambat enzim, dan prekursor bagi komponen toksik (Middleton

dan Kandaswami, 1994). Flavonoid pada tumbuhan berfungsi untuk

mengatur pertumbuhan, mengatur fotosintesis, mengatur kerja

antimikroba dan anti-virus, dan mengatur kerja anti-serangga

(Robinson, 1995). Selain itu, banyak dari jenis flavonoid merupakan

pigmen tanaman, seperti antosianin, flavonol, dan kalkon (Harborne,

1987).

Flavonoid merupakan golongan yang penting karena memiliki

spektrum aktivitas antimikroba yang luas dengan mengurangi

kekebalan pada organisme sasaran (Naidu, 2000). Flavonoid juga

penting dalam teknologi pangan karena turut serta dalam

meningkatkan kualitas sensori dan nutrisi dari buah dan produk-produk

pangan dari buah-buahan. Flavonoid memiliki kerangka dasar yang

terdiri dari 15 atom karbon, dengan dua cincin benzen terikat dan

membentuk struktur C6-C3-C6 (Suradikusumah, 1989).

Isoflavon merupakan jenis flavonoid yang banyak terdapat pada

tanaman dan memiliki aktivitas antimikroba yang paling tinggi

dibandingkan jenis flavonoid lainnya. Sebagai contoh isoflavon dapat

menghambat pertumbuhan kapang dan membantu dalam mengontrol

wabah penyakit (Naidu, 2000).

3. Saponin

Saponin merupakan senyawa yang secara alami mengandung

glikosida, banyak terdapat di tumbuhan (Naidu, 2000). Gruiz (1996)

menyatakan bahwa 76% dari jenis tanaman di Asia mengandung

saponin. Saponin bersifat seperti sabun. Keberadaan saponin dapat

dideteksi dengan mengamati kemampuannya membentuk busa.

Page 38: Dmso

38

Saponin menghambat pertumbuhan atau membunuh mikroba

dengan cara berinteraksi dengan membran sterol. Efek utama saponin

terhadap bakteri adalah adanya pelepasan protein dan enzim dari

dalam sel-sel (Zablotowicz et al.,, 1996).

4. Terpenoid

Terpenoid merupakan senyawa besar yang terkandung dalam

tumbuhan. Penggolongan terpenoid didasarkan pada adanya molekul

isopren. Secara kimiawi, terpenoid bersifat larut dalam lemak dan

terdapat dalam sel tumbuhan (Suradikusunah, 1989). Terpenoid

merupakan zat pengatur pertumbuhan tanaman. Salah satu golongan

terpenoid yang berpotensi sebagai antimikroba adalah triterpenoid.

Triterpenoid (C30) tersebar luas dalam damar, gabus dan kutin

tumbuh-tumbuhan. Triterpenoid termasuk senyawa yang merupakan

komponen aktif dalam obat. Senyawa ini banyak digunakan untuk

menyembuhkan penyakit gangguan kulit. Triterpenoid memiliki sifat

antijamur, insektisida, antibakteri, dan antivirus (Robinson, 1995).

5. Tanin

Tanin adalah polifenol tanaman yang memiliki rasa pahit

(Anonime, 2006). Nama tanin diambil dari kegunaannya menyamak

kulit binatang. Senyawa yang tergolong tanin adalah senyawa

polifenol yang mengandung gugus hidroksil dan gugus lainnya

(misalnya karboksil), sehingga mampu membentuk kompleks kuat

dengan protein. Senyawa tanin memiliki berat molekul antara 500-

20.000 μg.

Tanin mempunyai rasa sepat dan mempunyai kemampuan

menyamak kulit. Tanin terdiri dari berbagai asam fenolat. Beberapa

tanin dapat mempunyai aktivitas antioksidan, menghambat

pertumbuhan tumor, dan menghambat enzim seperti reverse

transkripitase dan DNA topoisomerase (Robinson, 1995).

Page 39: Dmso

39

Tanin memiliki beberapa fungsi kesehatan, diantaranya

antioksidan dan relaksasi. Selain itu tanin merupakan senyawa yang

secara klinis memiliki kemampuan anti-diare, hemostatik, dan anti-

hemorhodial (Anonime, 2006).

6. Alkaloid

Alkaloid adalah senyawa alami amina, baik pada tanaman,

hewan, ataupun jamur. Senyawa yang tergolong kedalam alkaloid

adalah senyawa-senyawa yang mengandung nitrogen. Kebanyakan

alkaloid memiliki rasa sepat. (Anonimf, 2006).

Alkaloid banyak ditemukan pada tanaman berbunga. Alkaloid

merupakan metabolit sekunder pada tanaman, misalnya kentang dan

tomat. Beberapa tanaman yang terbukti mengandung alkaloid adalah

Litsea firma, Phoebe cuneata BL., Litsea diversifolia BL. (Santoni,

2004; Alfinus, 2004; Hakim, 2004).

Alkaloid memiliki efek farmakologi pada hewan dan juga

manusia, seperti penggunaannya sebagai analgesik dan anaestetik.

Alkaloid yang biasa digunakan sebagai analgesik dan anaestetik adalah

morfin dan kodein. Selain berguna sebagai obat-obatan, alkaloid juga

dapat bersifat racun, misalnya strisin dan konin (Anonimf, 2006).

Page 40: Dmso

40

III. BAHAN DAN METODE

A. BAHAN DAN ALAT

Bahan baku utama pada penelitian ini adalah bubuk kulit kayu mesoyi.

Bubuk kulit kayu mesoyi yang digunakan didapat dari pasar Tanah Abang,

Jakarta Pusat. Untuk proses ekstraksi digunakan aquades, heksan teknis, etil

asetat teknis, metanol teknis, etanol teknis, es batu, dan gas N2. Bahan-bahan

yang digunakan untuk persiapan kultur, uji difusi sumur dan penentuan MIC

(Minimum Inhibition Concentration) adalah spiritus, antibiotik, alkohol 70%,

NaCl, Dimetil Sulfoksida (DMSO), dan Nutrient Broth (NB) serta Nutrient

Agar (NA).

Kultur murni bakteri uji yang digunakan terdiri dari bakteri patogen

yaitu Staphylococcus aureus, Eschericia coli, Salmonella Typhimurium, dan

Bacillus cereus, sedangkan kultur bakteri uji yang merupakan bakteri

pembusuk yaitu Pseudomonas aeruginosa.

Peralatan yang digunakan pada proses ekstraksi adalah peralatan

refluks, oven vakum, kertas saring Whatman No.1, termometer, sudip, gelas

ukur 100 ml, botol berwarna gelap, corong kaca, botol kaca bening, rotavapor,

labu refluks, tabung rotavapor, plastik, kain, dan alat saring vakum.

Alat-alat untuk persiapan kultur, uji difusi agar dan penentuan nilai

MIC adalah otoklaf, shaker, gelas piala, sudip, timbangan, sudip, peralatan

gelas, plastik tahan panas, cawan petri, ose, pipet mikron ukuran 1000 μl dan

200 μl, tip untuk pipet mikro, alat pembuat sumur, botol kaca, tusuk gigi, jar

atau botol kaca, gelas piala, cawan petri, jangka sorong, bunsen bakar,

baskom, tissue, label, pembungkus aluminium, dan gunting.

B. TEMPAT DAN WAKTU

Penelitian dilakukan di Laboratorium Mikrobiologi Pangan, Pusat

Antar Universitas, Institut Pertanian Bogor, dan Laboratorium Kimia Pangan,

Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, Fakultas Teknologi Pertanian,

Institut Pertanian Bogor. Penelitian dilakukan dari Februari 2006 hingga

September 2006.

Page 41: Dmso

41

C. METODE PENELITIAN

Penelitian dibagi menjadi penelitian pendahuluan dan penelitian

lanjutan. Penelitian pendahuluan terdiri dari beberapa tahap, yaitu : (1)

persiapan kultur bakteri uji, (2) proses ekstraksi, dan (3) pengujian aktivitas

antimikroba dengan uji difusi sumur. Penelitian kemudian dilanjutkan dengan

beberapa tahap, yaitu : (1) penentuan MIC dan (2) uji fitokimia (Gambar 5).

Bubuk kayu kulit kayu mesoyi

Jenis ekstrak terpilih

Gambar 5. Diagram alir penelitian

Ekstraksi tunggal (air, etanol, minyak atsiri)

Ekstraksi bertingkat (heksan, etil asetat, metanol)

Ekstraksi Persiapan kultur bakteri uji

Uji aktivitas antimikroba

Penentuan nilai MIC

Uji fitokimia

Ekstrak

Page 42: Dmso

42

1. Penelitian Pendahuluan

a. Persiapan kultur bakteri uji

Pada tahap persiapan kultur bakteri uji dilakukan perhitungan

total mikroba menggunakan metode hitungan cawan. Persiapan kultur

ini perlu dilakukan untuk mengetahui jumlah total mikroba sehingga

dapat dihitung pengenceran yang diperlukan agar saat kultur digunakan

pada uji difusi sumur total mikroba pada cawan adalah 1x105 hingga

1x106 dan jumlah ini stabil di setiap cawan.

Kultur murni yang berupa padatan diambil satu ose, kemudian

dilarutkan secara aseptis dalam media pertumbuhan NB 10 ml. Media

NB yang telah berisi mikroba kemudian diinkubasi pada suhu ruang

(37°C) selama 24 jam. Setelah itu, dari NB 10 ml diambil 1 ml dan

dimasukkan kedalam NB 9 ml, kemudian diinkubasi pada suhu 37°C

selama 24 jam. Bila pada NB 9 ml cairannya berwarna keruh maka

diambil 1 ml dari NB 9 ml dan diencerkan pada pengencer (larutan

fisiologis 0.85%) sampai pengenceran ke-8. Pada pengenceran ke-5

sampai dengan ke-8, diambil 1 ml dan dimasukkan kedalam cawan petri

steril. Kemudian diberi media pertumbuhan agar dengan metode tuang

(pour plate). Cawan kemudian diinkubasi pada suhu 37°C selama 48

jam.

Bila pada NB 9 ml cairannya berwarna bening maka diambil 1 ml

dari NB 9 ml dan diencerkan pada larutan pengencer (larutan fisiologis

0.85%) sampai pengenceran ke-5. Pada pengenceran ke-0 sampai

dengan ke-5, diambil 1 ml dan dimasukkan kedalam cawan petri steril.

Kemudian diberi media pertumbuhan agar dengan metode tuang (pour

plate). Cawan kemudian diinkubasi pada suhu 37°C selama 48 jam.

Diagram alir persiapan kultur menggunakan metode hitungan cawan

dapat dilihat pada Gambar 6.

Setelah dilakukan tahapan persiapan kultur dan telah didapat

jumlah total mikroba, maka selanjutnya dihitung pengenceran yang

diperlukan saat mengerjakan uji difusi sumur.

Page 43: Dmso

43

Kultur Bakteri

Diambil satu ose

Dimasukkan ke dalam 10 ml NB steril

Diinkubasi 24 jam pada suhu 37 ºC

Diambil 1 ml

Dimasukkan ke dalam 9 ml NB steril

Diinkubasi 24 jam pada suhu 37 ºC

Diamati kekeruhannya

Keruh Agak bening

Dipipetl 1 ml Dipipet 1 ml

Dimasukkan ke dalam Dimasukkan ke dalam 9 ml pengencer steril 9 ml pengencer steril

Dilakukan pengenceran dari 101-108 Dilakukan pengenceran dari 100-105

Dipipet masing-masing 1ml Dipipet masing-masing 1 ml dari pengenceran 105-108 dari pengenceran 100-105 Masing-masing dimasukkan Masing-masing dimasukkan ke dalam cawan petri steril ke dalam cawan petri steril

Kedalam cawan petri dituang agar

Didiamkan hingga agar membeku

Diinkubasi 48 jam pada 37 ºC

Diamati dan dihitung total mikroba

Ditentukan jumlah µl NB yang akan dimasukkan ke dalam 25 ml NA cair ( A )

Gambar 6. Diagram alir metode hitungan cawan

Page 44: Dmso

44

b. Proses ekstraksi

Ekstraksi tunggal dilakukan dengan mengekstrak secara langsung

bubuk kulit kayu mesoyi. Tujuan dari ekstraksi tunggal adalah

mendapatkan ekstrak kulit kayu mesoyi yang dekat dengan aplikasi

sehari-hari, dengan menggunakan pelarut yang aman dan mudah didapat

(air dan etanol teknis). Selain itu, penyulingan minyak atsiri juga

merupakan ekstraksi tunggal. Minyak atsiri diperoleh dengan teknik

destilasi uap, sedangkan ekstrak etanol dan air diperoleh dengan teknik

ekstraksi refluks.

Pada ekstraksi tunggal bubuk kulit kayu mesoyi dilakukan

ekstraksi langsung dengan etanol teknis dan juga aquades sebagai

pelarut. Perbandingan antara pelarut dengan bahan adalah 3:1 (v/w).

Suhu refluks harus dibawah titik didih pelarut yang digunakan.

Karenanya ekstraksi dengan pelarut etanol teknis berlangsung pada suhu

60°C, sedangkan ekstraksi dengan aquades berlangsung pada suhu

100°C.

Proses ekstraksi bahan secara refluks dicoba selama 5 jam secara

langsung dan 5 jam dengan pengulangan ekstraksi. Ekstraksi bahan

selama 5 jam dengan pengulangan dilakukan dengan mengekstraksi

bahan selama 3 jam yang kemudian diekstraksi kembali selama 2 jam.

Ekstrak hasil refluks selama 5 jam secara langsung ternyata memiliki

karakteristik yang lebih tidak baik dibandingkan dengan ekstrak hasil

proses refluks selama 3 jam yang kemudian direfluks kembali selama 2

jam. Karakteristik yang tidak baik tersebut antara lain tidak adanya bau

khas mesoyi dan rendemen yang lebih sedikit. Karenanya untuk

selanjutnya, baik pada ekstraksi tunggal ataupun ekstraksi bertingkat,

ekstraksi refluks dilakukan selama 3 jam dan cairan disaring dengan

kertas saring Whatman No.1 kemudian diekstraksi kembali selama 2

jam dengan menambahkan pelarut dengan jumlah yang sama.

Cairan ekstrak yang didapat kemudian disaring dengan kertas

saring Whatman No.1 menggunakan penyaring vakum. Proses ekstraksi

Page 45: Dmso

45

tunggal ini menghasilkan ekstrak air dan ekstrak etanol. Diagram alir

proses ekstraksi tunggal menggunakan etanol dan air dapat dilihat pada

Gambar 7.

Dipekatkan dengan rotavapor pada suhu 40 oC Dipekatkan dengan rotavapor

pada suhu 50 oC

Dihembuskan gas N2

Gambar 7. Skema ekstraksi tunggal dengan pelarut etanol dan air

Kulit kayu mesoyi didestilasi uap untuk mendapatkan minyak

atsiri. Dari minyak atsiri diperoleh komponen volatil kulit kayu mesoyi.

Ampas kulit kayu mesoyi hasil penyulingan uap minyak atsiri tentu

masih mengandung komponen-komponen yang bersifat non-volatil,

karena itulah diekstraksi lanjut secara bertingkat menggunakan pelarut

organik dengan rasio antara pelarut dan bahan adalah 3:1 (v/w). Tujuan

Direfluks dengan etanol (60 oC, 3 jam)

Direfluks dengan air (100 oC, 3 jam)

Ampas Filtrat

Bubuk Kulit Kayu Mesoyi

Ampas Filtrat

Ulangan (60°C, 2 jam)

Ekstrak etanol

Ekstrak air

Ulangan (60°C, 3 jam)

Page 46: Dmso

46

ekstraksi bertingkat adalah fraksinasi dan mengisolasi komponen aktif.

Setelah dikeringkan dengan oven vakum selama 24 jam pada suhu

kamar (35-40°C), ampas kulit kayu mesoyi kemudian diekstraksi

dengan pelarut heksan.

Setelah heksan yang merupakan pelarut non polar kemudian

dilanjutkan proses ekstraksi secara bertingkat dengan pelarut yang lebih

tinggi kepolarannya, yaitu etil asetat (semi polar) dan metanol (polar).

Suhu yang digunakan pada proses ekstraksi bertingkat adalah 60°C.

Pada ekstraksi bertingkat dilakukan proses pengulangan refluks

selama 3 jam kemudian diekstraksi kembali dengan pelarut yang sama

selama 2 jam. Cairan ekstrak yang didapat disaring dengan kertas saring

Whatman No.1 menggunakan penyaring vakum. Setiap penggantian

pelarut ampas dikeringkan dengan oven vakum selama 24 jam pada

suhu kamar (35-40°C). Diagram alir ekstraksi bertingkat dapat dilihat

pada Gambar 8. Pada proses ekstraksi bertingkat ini diperoleh ekstrak

heksan, ekstrak etil asetat, dan ekstrak metanol.

Jenis-jenis ekstrak kulit kayu mesoyi yang didapat, kecuali

minyak atsiri, kemudian dipekatkan menggunakan rotavapor. Ekstrak

air dirotavapor pada suhu 50oC, sedang ekstrak etanol, ekstrak heksan,

ekstrak etil asetat, dan ekstrak metanol dirotavapor pada suhu 40°C.

Suhu ini dipilih sehingga diharapkan senyawa aktif yang terkandung

dalam ekstrak tidak akan rusak.

Ekstrak kemudian dihembus dengan gas N2 sebelum disimpan.

Penghembusan ekstrak dengan gas N2 dilakukan terhadap seluruh

ekstrak etanol, ekstrak heksan, ekstrak etil asetat, dan ekstrak metanol.

Botol ekstrak yang telah seluruhnya diganti kandungan udaranya dari

O2 menjadi N2 akan menjadi dingin. Selain itu, ciri-ciri lainnya adalah

berat ekstrak yang terus berkurang, yang berarti pelarut telah

dihilangkan oleh hembusan N2. Penghembusan gas N2 dihentikan bila

botol ekstrak tidak menjadi lebih lebih dingin lagi dan berat ekstrak

sudah stabil. Berat ekstrak yang stabil adalah bila berat sudah tidak

berubah, atau paling tidak perubahannya tidak lebih dari 0,1 gr.

Page 47: Dmso

47

Ulangan

(60 ºC, 2 jam)

Ulangan

(60 ºC, 2 jam)

Ulangan

(60 ºC, 2 jam)

Khusus untuk ekstrak air kulit kayu mesoyi dilakukan analisis

kadar air ekstrak, karena air tidak dapat dihilangkan secara sempurna

oleh rotavapor. Pengukuran kadar air ekstrak air kulit kayu mesoyi

dilakukan dengan metode azeotropik.

Direfluks dengan heksan (60 oC, 3 jam)

`

Direfluks dengan etil asetat (60 oC, 3 jam) Dipekatkan (40 oC)

Dihembus gas N2

Direfluks dengan metanol Dipekatkan (40 oC)

(60 oC, 3 jam)

Dihembus gas N2

Dipekatkan (40°C)

Dihembus gas N2

Gambar 8. Diagram alir proses ekstraksi bertingkat dari ampas kulit kayu mesoyi

c. Uji Difusi Sumur

Pengujian aktivitas antimikroba awal ekstrak-ekstrak kulit kayu

mesoyi dilakukan dengan uji difusi sumur. Uji difusi sumur merupakan

Ampas Filtrat

Ampas Filtrat

Ampas Filtrat

Ekstrak metanol

Ampas hasil destilasi uap

Ekstrak heksan

Ekstrak etil asetat

Page 48: Dmso

48

uji kualitatif. Pada uji difusi sumur diukur diameter penghambatan.

Hasilnya kemudian digunakan untuk memilih ekstrak yang akan diuji

lebih lanjut. Hasil uji difusi sumur diolah secara statistik. Uji lebih lanjut

yang dilakukan adalah penentuan nilai MIC dan uji fitokimia.

Sesuai dengan hasil perhitungan total mikroba pada tahap

persiapan kultur bakteri uji, maka untuk mendapatkan total mikroba yang

seragam didalam cawan uji difusi agar sebanyak 1x105, maka kultur

harus diencerkan sebanyak 10-3. Cara untuk mengencerkan sebanyak 10-3

kali adalah dengan memasukkan 25μl bakteri uji kedalam 25 ml agar.

2. Penelitian Lanjutan

Penelitian lanjutan bertujuan untuk mengetahui nilai MIC dan

komponen fitokimia yang dimiliki ekstrak kulit kayu mesoyi terpilih.

Ekstrak terpilih adalah ekstrak yang dapat menghambat semua bakteri uji.

Ekstrak-ekstrak terpilih didasarkan pada hasil uji difusi sumur secara

kualitatif yang diolah secara statistik.

Ekstrak terpilih adalah minyak atsiri dan ekstrak etanol. Penentuan

nilai MIC dilakukan terhadap satu jenis mikroba yang pada uji difusi

sumur sebelumnya dapat dihambat paling optimum oleh ekstrak terpilih.

Analisis fitokimia yang dilakukan terhadap kedua ekstrak terpilih adalah

analisis secara kualitatif fenol, tanin, saponin, terpenoid, steroid,

flavonoid, dan alkaloid.

D. METODE ANALISIS

Pengujian aktivitas antimikroba ekstrak-ekstrak kayu dilakukan

dengan beberapa metode analisis, antara lain: (1) uji difusi sumur, (2)

penentuan MIC (Minimum Inhibition Concentration), dan (3) uji fitokimia.

1. Perhitungan nilai rendemen

Sejumlah bubuk kulit kayu mesoyi (sekitar 30 g) dimasukkan

kedalam tabung refluks dan diekstraksi selama 3 jam kemudian

Page 49: Dmso

49

dilanjutkan selama 2 jam. Cairan ekstrak yang didapat kemudian

dirotavapor dan dihembus gas N2 untuk menghilangkan pelarut. Setelah

didapat ekstrak tanpa pelarut kemudian dapat dihitung rendemennya

dengan rumus berikut ini.

dimana: W = berat ekstrak (g) W0 = berat bahan yang diekstrak (g) Ukuran sampel bubuk kulit kayu mesoyi = 40 mesh

2. Uji difusi sumur (metode modifikasi Garriga et al., 1993)

Pengujian aktivitas antimikroba dilakukan dengan uji difusi sumur.

Uji difusi sumur dilakukan 3 kali ulangan dari ekstrak-ekstrak kulit kayu

mesoyi yang sama. Ekstrak-ekstrak kulit kayu mesoyi dilarutkan dalam

DMSO dan diuji efektivitasnya terhadap lima mikroba dari jenis bakteri

patogen dan bakteri perusak pangan dengan jumlah total mikroba dalam

cawan adalah 1x105 hingga 1x106 koloni/ml. Total mikroba dikonfirmasi

dengan metode hitungan cawan.

DMSO digunakan sebagai kontrol negatif untuk menghilangkan

pengaruh DMSO terhadap mikroba uji. Selain kontrol negatif, digunakan

juga antibiotik amoxycillin sebagai kontrol positif. Antibiotik dilarutkan

dalam DMSO pada konsentrasi 0,01%.

Kultur yang akan digunakan untuk uji difusi sumur disegarkan

terlebih dahulu dengan cara diambil satu ose, lalu ditumbuhkan pada

media pertumbuhan NB 10 ml dan diinkubasi pada suhu 37°C selama 24

jam. Setelah diinkubasi diambil kembali 1 ml dan dipindahkan kedalam

NB 9 ml untuk kemudian diinkubasi pada suhu dan waktu yang sama. Dari

kultur yang telah disegarkan dan berumur 24 jam diambil sebanyak yang

diperlukan, sesuai dengan hasil perhitungan pada tahapan persiapan kultur

sebelumnya (nilai A), dan dimasukkan kedalam media agar 25 ml yang

kemudian dituang kedalam cawan petri steril.

Rendemen = ( W/W0 ) × 100 % (w/w)

Page 50: Dmso

50

Agar kemudian dibiarkan membeku. Setelah beku, dibuat

lubang/sumur menggunakan alat pembuat sumur. Pengujian dilakukan

duplo, karenanya pada setiap satu cawan dibuat 6 lubang/sumur. Dua

lubang/sumur diisi dengan ekstrak kulit kayu mesoyi, dua lubang/sumur

lainnya diisi dengan kontrol positif, dan 2 lubang/sumur sisanya diisi

dengan kontrol negatif. Cawan uji difusi sumur kemudian disimpan

didalam refrigerator selama 30 menit, lalu diinkubasi tidak terbalik pada

suhu 37°C selama 24 jam. Diagram alir uji difusi sumur dapat dilihat pada

Gambar 9.

Kultur mikroba yang telah disegarkan berumur 24 jam

Dipipet sejumlah 25 μl

Dimasukkan ke dalam botol berisi 25 ml NA cair steril

Dituang ke dalam cawan petri steril

Dibiarkan beku dan dibuat 6 lubang/sumur 1

2 3 5 4

6

Keterangan : 1 = dimasukkan 50 μl antibiotik 2 = dimasukkan 50 μl antibiotik 3 = dimasukkan 50 μl DMSO 4 = dimasukkan 50 μl DMSO 5 = dimasukkan 50 μl larutan ekstrak 6 = dimasukkan 50 μl larutan ekstrak

Diinkubasi pada suhu optimum selama 24 jam

Diamati dan diukur diameter penghambatan tiap sumur

Gambar 9. Diagram alir uji difusi sumur

Page 51: Dmso

51

3. Penentuan nilai MIC (Minimum Inhibition Concentration) (modifikasi

metode Bloomfield, 1991)

Nilai MIC ditentukan dengan cara padat menggunakan metode

Bloomfield (1991), yaitu dengan memplotkan antara ln konsentrasi ekstrak

pada sumbu X terhadap nilai kuadrat zona penghambatan pada sumbu Y.

Perpotongan dari regresi linier Y = a + bX dengan sumbu X sebagai nilai

Mt. Nilai MIC adalah 0.25 x Mt.

Konsentrasi ekstrak yang dibuat untuk penentuan nilai MIC adalah

10, 20, 30, 40, dan 50% (w/w) yang kemudian dimasukkan ke dalam 5

botol bening kecil. Ekstrak yang digunakan adalah ekstrak-ekstrak terbaik

pada uji difusi sumur.

Kultur yang akan digunakan untuk uji difusi sumur disegarkan

terlebih dahulu dengan cara diambil satu ose, lalu ditumbuhkan pada

media pertumbuhan NB 10 ml dan diinkubasi pada suhu 37°C selama 24

jam. Setelah diinkubasi diambil kembali 1 ml dan dipindahkan kedalam

NB 9 ml untuk kemudian diinkubasi pada suhu dan waktu yang sama. Dari

kultur yang telah disegarkan dan berumur 24 jam diambil sebanyak yang

diperlukan, sesuai dengan hasil perhitungan pada tahapan persiapan kultur

sebelumnya (nilai A), dan dimasukkan kedalam media agar 25 ml yang

kemudian dituang kedalam cawan petri steril.

Agar kemudian dibiarkan membeku. Setelah beku, dibuat

lubang/sumur menggunakan alat pembuat sumur. Pengujian dilakukan

duplo. Cawan uji difusi sumur kemudian disimpan didalam refrigerator

selama satu jam, lalu diinkubasi tidak terbalik pada suhu 37°C selama 24

jam. Diagram alir uji difusi sumur dapat dilihat pada Gambar 10. Setelah

itu, dilakukan pengamatan jumlah bakteri menggunakan metode hitungan

cawan dan dihitung nilai MIC.

Page 52: Dmso

52

Kultur mikroba yang telah disegarkan berumur 24 jam

Di-vorteks

Dipipet sejumlah 25 μl

Dimasukkan ke dalam botol berisi 25 ml NA cair steril

Dituang ke dalam cawan petri steril

Dibiarkan beku

Dibuat 6 lubang/sumur Dibuat 4 lubang/sumur 1 1 2 5 6 3 2 3 4 4 Ket: 1 = dimasukkan 50 μl ekstrak 10/30% Ket:1=dimasukkan 50 μl ekstrak 50% 2 = dimasukkan 50 μl ekstrak 10/30% 2= dimasukkan 50 μl ekstrak 50% 3 = dimasukkan 50 μl ekstrak 20/40% 3= dimasukkan 50 μl DMSO 4 = dimasukkan 50 μl ekstrak 20/40% 4= dimasukkan 50 μl DMSO 5 = dimasukkan 50 μl DMSO 6 = dimasukkan 50 μl DMSO

Diinkubasi pada suhu optimum selama 24 jam

Diamati dan diukur diameter penghambatan tiap sumur

Gambar 10. Diagram alir penentuan nilai MIC

4. Uji fitokimia

Fitokimia saat ini telah menjadi ilmu kimia terapan yang banyak

digunakan untuk mengetahui secara kualitatif kandungan kimia tanaman

(Harborne, 1996). Kandungan kimia tanaman perlu diketahui untuk

menduga komponen aktif yang menyebabkan suatu bahan tanaman

memiliki aktivitas antimikroba. Uji fitokimia yang dilakukan adalah

Page 53: Dmso

53

identifikasi terhadap beberapa jenis metabolit sekunder yang umum

terdapat pada tanaman. Identifikasi dilakukan terhadap metabolit sekunder

karena metabolit sekunder merupakan kandungan dalam bahan yang

biasanya menjadi senyawa aktif yang memiliki sifat antimikroba.

a. Uji golongan fenol dan tanin (Houghton dan Raman, 1998)

Ekstrak kulit kayu mesoyi sebanyak 1 ml ditambahkan beberapa

tetes FeCl3. Bila terbentuk warna hitam kehijauan, maka ekstrak berarti

mengandung senyawa golongan fenol. Larutan kemudian ditambahkan

gelatin. Bila terbentuk gel yang cukup stabil, maka ekstrak berarti

mengandung senyawa dari golongan tanin.

b. Uji golongan flavonoid (Harborne, 1996)

Ekstrak kulit kayu mesoyi sebanyak 1 ml ditambahkan beberapa

tetes H2SO4, lalu dikocok kuat-kuat atau menggunakan vorteks. Bila

terbentuk warna kuning, maka berarti ekstrak mengandung senyawa

golongan flavon dan flavonol. Bila yang terbentuk adalah warna jingga

atau krem, maka berarti ekstrak mengandung senyawa golongan

flavonoid. Bila yang terbentuk adalah warna krem atau merah tua, maka

ekstrak mengandung senyawa golongan khalkon.

c. Uji golongan saponin (Harborne, 1996)

Ekstrak kulit kayu mesoyi sebanyak 1 ml ditambahkan air panas,

kemudian dikocok kuat-kuat atau menggunakan vorteks, selama 10

detik. Bila kemudian terbentuk busa stabil yang tahan hingga lebih dari

10 menit, maka berarti ekstrak mengandung senyawa dari golongan

saponin.

Page 54: Dmso

54

d. Uji golongan terpenoid dan steroid (Harborne, 1996)

Ekstrak kulit kayu mesoyi sebanyak 1 ml ditambahkan 2 ml

kloroform. Kemudian ditambahkan beberapa tetes asam asetat glasial

dan H2SO4 pekat. Larutan kemudian dikocok perlahan. Bila warna

larutan berubah menjadi biru atau hijau, maka berarti ekstrak

mengandung senyawa dari golongan steroid. Bila warna yang terbentuk

adalah merah atau ungu, maka berarti ekstrak mengandung senyawa

golongan terpenoid.

e. Uji golongan alkaloid (modifikasi Houghton dan Raman, 1998)

Ekstrak kulit kayu mesoyi sebanyak 1 ml ditambahkan beberapa

tetes NaOH, lalu dikocok kuat-kuat atau divorteks dan disaring dengan

kertas saring Whatman No.1. Filtrat kemudian ditambahkan beberapa

tetes H2SO4 pekat, lalu divorteks. Lapisan bening yang terbentuk

dipermukaan kemudian diambil dan dipindahkan ke tiga tabung reaksi

yang lain. Masing-masing kemudian ditambahkan beberapa tetes

pereaksi Mayer, Dragendorf, dan Wagner. Bila bereaksi membentuk

endapan putih dengan pereaksi Mayer, maka berarti ekstrak

mengandung senyawa golongan Alkaloid. Bila dengan pereaksi

Dragendorf larutan berubah warna menjadi oranye, maka berarti ekstrak

mengandung senyawa golongan alkaloid. Bila terbentuk warna coklat

setelah ditambahkan pereaksi Wagner, maka berarti ekstrak

mengandung senyawa dari golongan alkaloid.

E. PENGOLAHAN DATA

Analisis statistik dilakukan dengan menggunakan program SPSS 11.0

untuk mengetahui pengaruh aktivitas ekstrak, bakteri uji, dan interaksi

diantaranya terhadap nilai diameter penghambatan. Metode yang digunakan

adalah General Linear Model (GLM) dan uji lanjut LSD pada taraf

kepercayaan 0.05. Penelitian dilakukan dengan rancangan faktorial. Percobaan

Page 55: Dmso

55

faktorial dicirikan oleh perlakuan yang merupakan komposisi dari segala

kemungkinan kombinasi dari taraf-taraf dua faktor atau lebih (Mattjik dan

Sumertajaya, 2000). Model linear dari rancangan ini secara umum adalah

sebagai berikut:

Yijk = μ + αi + βj + (αβ)ij + ε ijk

dimana : Yijk = nilai pengamatan pada faktor A (ekstrak) dan faktor B (bakteri)

μ, α, β = komponen rataan aditif

i = taraf faktor A (ekstrak kulit kayu mesoyi)

j = taraf faktor B (bakteri uji)

k= ulangan

(αβ)ij = interaksi antara faktor A dan faktor B

ε ijk = pengaruh acak sebaran normal

Page 56: Dmso

56

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. PERSIAPAN KULTUR BAKTERI UJI

Persiapan kultur bakteri uji dilakukan untuk menentukan jumlah total

mikroba dari kultur bakteri uji. Total mikroba penting diketahui agar dapat

dihitung pengenceran yang diperlukan, sehingga total mikroba menjadi

seragam untuk semua jenis bakteri uji dalam semua cawan, baik untuk uji

difusi sumur maupun penentuan MIC, sehingga diameter penghambatan yang

terukur dapat langsung dibandingkan secara proporsional. Hasil penghitungan

total mikroba dengan metode hitungan cawan dapat dilihat pada Tabel 5.

Tabel 5. Total Mikroba Kultur Bakteri Uji

Jenis Bakteri Uji Total Mikroba (CFU/ml)

Staphylococcus aureus 4.7x108

Eschericia coli 4.6x108

Salmonella Typhimurium 5.4x108

Pseudomonas aeruginosa 9.5x108

Bacillus cereus 5.4x108

Total mikroba yang diharapkan pada semua cawan pada pengujian

dengan difusi sumur adalah antara 1x105 hingga 1x106. Total mikroba antara

1x105 hingga 1x106 merupakan total mikroba yang cukup sehat dan tidak

terlalu banyak. Inokulum yang mengandung terlalu banyak atau terlalu sedikit

bakteri, dapat menyebabkan kesalahan hasil uji (Piddock, 1990). Dari hasil

perhitungan didapatkan bahwa kelima bakteri uji harus diencerkan sebanyak

10-3 untuk mendapatkan total mikroba standar dalam cawan, yaitu antara

1x105 hingga 1x106.

Page 57: Dmso

57

B. AKTIVITAS ANTIMIKROBA EKSTRAK KULIT KAYU MESOYI

1. Proses Ekstraksi

Proses ekstraksi bertujuan untuk memisahkan secara kasar senyawa

yang terkandung dalam bubuk kulit kayu mesoyi dan mendapatkan ekstrak.

Untuk mendapatkan minyak atsiri digunakan teknik ekstraksi destilasi uap,

dan untuk mendapatkan ekstrak lainnya dilakukan proses ekstraksi

menggunakan air dan pelarut organik dengan cara refluks. Sebelum

diekstraksi, bubuk kulit kayu mesoyi diayak pada ayakan berukuran 40 mesh

untuk mendapatkan ukuran bubuk yang lebih seragam. Ukuran partikel

bahan yang seragam berpengaruh terhadap pengeluaran senyawa aktif pada

tahap ekstraksi (Agusta, 2000). Proses ekstraksi dilakukan secara tunggal dan

bertingkat. Setelah ekstrak kasar terkumpul, dilakukan proses pemekatan

menggunakan rotavapor, dan sebelum disimpan dihembuskan gas N2

kedalam botol agar tidak terjadi proses oksidasi karena ruang gas oksigen

telah terganti oleh gas nitrogen.

Pada ekstrak air, pemekatan dengan rotavapor tidak efisien, karena

kemampuan pompa vakum untuk menurunkan tekanan pada rotavapor

rendah. Selain itu, suhu yang digunakan pada waktu memekatkan ekstrak air

adalah 50°C, suhu ini sangat rendah dibandingkan titik didih air, sehingga

pemekatan selama 4 jam tidak dapat menghilangkan kandungan air dalam

ekstrak. Oleh karena itu, sangat penting dilakukan pengukuran kadar air dari

ekstrak air secara terpisah sebelum dilakukan uji aktivitas antimikrobanya.

Kadar air dari ekstrak air diukur dengan metode azeotropik, dan dilakukan

secara duplo. Hasil analisis menunjukkan bahwa rata-rata kadar air dalam

ekstrak air kulit kayu mesoyi adalah 79.83% (Lampiran 1).

Dari proses ektraksi yang dilakukan diperoleh beberapa jenis ekstrak,

yaitu ekstrak air, ekstrak etanol, minyak atsiri, ekstrak heksan, ekstrak etil

asetat, dan ekstrak metanol dari kulit kayu mesoyi. Masing-masing jenis

ekstrak yang diperoleh dihitung nilai rendemennya berdasarkan rumusan

yang tertera pada Lampiran 2. Nilai rendemen dari ekstrak-ekstrak mesoyi

dapat dilihat pada Tabel 6, sedangkan karakteristik jenis-jenis ekstrak kulit

kayu mesoyi dapat dilihat pada Gambar 11.

Page 58: Dmso

58

Tabel 6. Nilai Rendemen dan Karakteristik Jenis-jenis Ekstrak Kulit Kayu Mesoyi

Nama Ekstrak Pelarut Metode

Ekstraksi Rendemen

(%) Karakteristik Ekstrak

38.68a,c) Ekstrak air Air Refluks

7.80 a,d)

Berwarna coklat, tidak terlalu berb

\au khas, agak keruh

Ekstrak etanol Etanol Refluks 8.93 a) Berwarna coklat muda,

bening Minyak

atsiri - Distilasi uap 2.04 b) Bening, berbau sangat

khas mesoyi Ekstrak heksan Heksan Refluks 1.69 a) Berwarna kuning,

tampak terpisah

Ekstrak etil asetat Etil asetat Refluks 1.47 a)

Berwarna coklat tua kehitaman, bau khas

mesoyi Ekstrak metanol Metanol Refluks 1.52 a) Berwarna coklat tua

a)Rendemen berdasarkan w/w dengan pembagi yaitu berat bubuk/ampas yang diekstrak b)Rendemen berdasarkan v/w dengan pembagi yaitu berat bubuk kulit kayu mesoyi awal c)Rendemen ekstrak air sebelum dikurangi dengan air yang terkandung d)Rendemen setelah dikurangi dengan air yang terkandung didalam ekstrak yaitu 79.83%

Pada Tabel 6 dapat dilihat bahwa ekstrak air dan ekstrak etanol

memiliki rendemen sebesar 7.80% (w/w) dan 8.93% (w/w). Rendemen

ekstrak air dan etanol lebih besar dibandingkan dengan rendemen ekstrak

heksan, ekstrak etil asetat, dan ekstrak metanol yang berturut-turut sebesar

1.69% (w/w), 1.47% (w/w), dan 1.52% (w/w).

Ekstraksi dengan air dan etanol dilakukan secara langsung atau tunggal,

tanpa perlakuan awal apapun, sehingga ekstrak yang didapat mengandung

berbagai komponen, yang larut dalam kedua pelarut tersebut. Berbeda

dengan ekstraksi tunggal, rendemen ekstrak heksan, etil asetat, dan metanol

menunjukkan nilai rendemen kandungan komponen non-volatil saja, karena

sampel yang digunakan adalah ampas dari proses destilasi uap. Secara rinci

proses ekstraksi bertingkat yang dilakukan dapat dijelaskan sebagai berikut.

Page 59: Dmso

59

(a) (b)

(c) (d)

(e) (f)

Gambar 11. Jenis-jenis Ekstrak Kulit Kayu Mesoyi : (a) ekstrak air, (b) ekstrak

etanol, (c) minyak atsiri, (d) ekstrak heksan, (e) ekstrak etil asetat,

dan (f) ekstrak metanol

Ekstraksi dengan heksan dilakukan terhadap ampas hasil destilasi uap,

yang telah diambil kandungan volatil dari bahan. Ekstraksi dengan heksan

dimaksudkan untuk menghilangkan kandungan lemak bahan. Proses

ekstraksi kemudian dilanjutkan dengan pelarut etil asetat untuk mengambil

komponen-komponen yang bersifat semi polar dan dengan pelarut metanol

untuk mengambil komponen-komponen yang tersisa, yaitu senyawa-senyawa

yang bersifat polar. Dengan cara ekstraksi bertingkat menggunakan berbagai

tingkat kepolaran pelarut organik yang digunakan, diperoleh jenis-jenis

ekstrak dengan kandungan lebih spesifik, dan nilai rendemen yang rendah

menunjukkan karakteristik kandungan zat dalam kulit kayu mesoyi.

Page 60: Dmso

60

Setiap pelarut memiliki kemampuan yang berbeda-beda dalam

mengekstrak komponen suatu bahan dan rendemen hanya merupakan acuan

awal untuk menentukan pelarut yang lebih baik karena nilai rendemen tidak

selalu berbanding lurus dengan aktivitas antimikroba. Nilai rendemen yang

lebih tinggi berarti lebih efektif digunakan untuk mengekstrak kulit kayu

mesoyi untuk maksud tertentu.

Rendemen ekstrak etanol (8.93%) lebih besar bila dibandingkan dengan

ekstrak air (7.80%). Hal ini menunjukkan bahwa pelarut etanol lebih efektif

dalam mengekstrak komponen polar kulit kayu mesoyi daripada air. Etanol

diketahui merupakan pelarut yang lebih baik dalam mengekstrak senyawa

antimikroba dibandingkan air dan heksan (Ahmad et al., 1998), sehingga

umumnya etanol digunakan untuk melarutkan zat antimikroba, komponen

aroma pangan, dan komponen warna yang tidak dapat dilarutkan oleh air

(Anonimh, 2006).

Rendemen minyak atsiri sangat rendah bila dibandingkan dengan

ekstrak air dan etanol, yaitu sebesar 2.04% (v/w). Walaupun demikian nilai

rendemen minyak atsiri mesoyi ini tergolong cukup tinggi bila dibandingkan

dengan rendemen minyak atsiri jinten hitam (0.34% v/w), dan lebih tinggi

dari beberapa jenis minyak atsiri yang juga berasal dari bagian kayu,

misalnya kayu manis memiliki rendemen minyak atsiri sebesar 0.5-1.0%, dan

kayu secang yang memiliki rendemen sebesar 0.16-0.20% (Davidson dan

Naidu, 2000; Sundari et al., 1998).

Semua jenis ekstrak dari kulit kayu mesoyi yang diperoleh memiliki bau

khas mesoyi yang sangat tajam. Selain karena jumlah komponen volatilnya

yang cukup besar bila dibandingkan kandungan pada rempah lain, bau tajam

mesoyi juga dapat disebabkan karena kandungan komponen volatilnya yang

memang memiliki bau tajam.

Pada ekstraksi bertingkat dengan pelarut organik yang berbeda-beda

kepolarannya, nilai rendemen ketiga jenis ekstrak berbeda yaitu ekstrak

heksan, ekstrak etil asetat, dan ekstrak metanol, berturut-turut adalah 1.69%

(w/w), 1.47% (w/w), dan 1.52% (w/w). Untuk ekstrak heksan, etil asetat, dan

metanol, nilai rendemen yang dihasilkan oleh ketiga pelarut hampir sama,

Page 61: Dmso

61

dan dapat dikatakan bahwa komponen aktif bersifat non-polar, semi-polar,

dan polar yang jumlahnya relatif sama.

2. Uji Difusi Sumur

Pada masing-masing ekstrak kulit kayu mesoyi dilakukan pengujian

aktivitas antimikrobanya terhadap 5 jenis bakteri uji dengan metode uji difusi

sumur. Uji difusi sumur bertujuan untuk mengetahui potensi awal mesoyi

sebagai antimikroba alami.

Keseragaman ukuran dan fisiologi bakteri uji bersifat kritis dan

karenanya harus dapat dikontrol dengan baik (Davidson dan Parish, 1993).

Oleh karena itu setiap uji difusi sumur perlu disertai dengan uji konfirmasi.

Uji konfirmasi adalah penghitungan total mikroba dengan tujuan

mengkonfirmasi bahwa total mikroba didalam cawan terdapat dalam rentang

1x105-1x106. Uji konfirmasi menggunakan metode hitungan cawan

(Lampiran 3).

Pada uji difusi sumur digunakan kontrol negatif dan kontrol positif

sebagai pembanding. Kontrol positif yang digunakan adalah antibiotik

dengan spektrum antimikroba yang luas, yaitu amoxycillin, dan kontrol

negatif yang digunakan adalah DMSO yang merupakan pelarut untuk

melarutkan jenis-jenis ekstrak kulit kayu mesoyi sebelum digunakan dalam

pengujian. Dari pengamatan dapat diketahui bahwa nilai diameter

penghambatan DMSO terhadap bakteri-bakteri uji adalah nol, berarti DMSO

merupakan pelarut ekstrak yang baik karena dapat melarutkan dengan baik

tanpa memberikan pengaruh dalam aktivitas penghambatan terhadap bakteri

uji. Ekstrak-ekstrak kayu mesoyi dilarutkan didalam DMSO dengan

konsentrasi 28% (w/w) dan diuji aktivitas antimikrobanya dengan uji difusi

sumur.

Page 62: Dmso

62

a. Perbandingan aktivitas antimikroba jenis-jenis ekstrak kulit kayu

mesoyi terhadap bakteri-bakteri uji

0

4

8

12

16

Ekstrak air Ekstrak etanol Minyak atsiri Ekstrak heksan Ekstrak etilasetat

Ekstrak metanol

Jenis Ekstrak Kulit Kayu Mesoyi

Dia

met

er P

engh

amba

tan

(mm

)

E. coli Salmonella typhimurium P. aeruginosa B. cereus S. aureus

Gambar 12. Penghambatan jenis-jenis ekstrak kulit kayu mesoyi terhadap

bakteri uji

Secara umum dapat dilihat pada Gambar 12 bahwa ekstrak kulit

kayu mesoyi memiliki profil aktivitas antimikroba yang berbeda-beda

terhadap bakteri-bakteri uji. Jenis-jenis ekstrak kulit kayu mesoyi memiliki

aktivitas antimikroba terhadap bakteri-bakteri uji, kecuali ekstrak air.

Jenis-jenis ekstrak kulit kayu mesoyi, kecuali ekstrak metanol, mampu

menghambat semua bakteri uji. Hal ini menunjukkan bahwa hampir semua

ekstrak kulit kayu mesoyi memiliki aktivitas antimikroba dengan spektrum

yang cukup luas. Spektrum penghambatan tergantung pada jenis dan

kekuatan senyawa antimikroba masing-masing komponen yang terekstrak

karena masing-masing pelarut dapat mengekstrak komponen aktif yang

berbeda-beda. Selain itu, aktivitas antimikroba juga dipengaruhi oleh

jumlah komponen aktif yang terekstrak.

Ekstrak air tidak memiliki aktivitas antimikroba (Gambar 12). Hal

ini diduga karena ekstrak air yang masih bercampur dengan pelarutnya

(air). Air yang tidak dapat dihilangkan dengan sempurna membuat kadar

Page 63: Dmso

63

komponen aktif yang terekstrak rendah, dan akan mempengaruhi jumlah

komponen aktif ekstrak yang diujikan dalam sumur sehingga tidak

sebanding dengan konsentrasi pengujian ekstrak lain di dalam sumur.

Tidak adanya aktivitas antimikroba dari ekstrak air juga dapat disebabkan

oleh ketidakmampuan air dalam mengekstrak komponen-komponen

esensial yang bersifat antimikroba.

Secara umum jenis ekstrak kulit kayu mesoyi memiliki profil

penghambatan yang serupa untuk setiap bakteri uji, kecuali untuk

Salmonella Typhimurium dan P. aeruginosa (Gambar 12). Pada kedua

bakteri uji tersebut terdapat satu jenis ekstrak mesoyi yang memiliki

penghambatan mencolok dibandingkan jenis ekstrak kulit kayu mesoyi

lainnya, sedangkan pada B. cereus, E. coli, dan S. aureus diameter

penghambatan jenis ekstrak kulit kayu mesoyi tidak jauh berbeda. Minyak

atsiri menghambat Salmonella Typhimurium dengan nilai diameter

penghambatan yang jauh lebih besar daripada jenis ekstrak kulit kayu

mesoyi lainnya, sedangkan jenis ekstrak yang menghambat P. aeruginosa

lebih kuat daripada jenis ekstrak lainnya adalah ekstrak etil asetat kulit

kayu mesoyi (Gambar 13).

Gambar 13. (a) penghambatan ekstrak etil asetat terhadap P. aeruginosa,

(b) penghambatan minyak atsiri terhadap S. Typhimurium

yang hampir sama besar dengan kontrol positifnya

Uji statistik dilakukan untuk memperkirakan profil penghambatan

oleh semua jenis ekstrak kulit kayu mesoyi dan bakteri uji. Nilai perkiraan

Kontrol positif

Minyak atsiri

Ekstrak etil asetat

Page 64: Dmso

64

S. aureusB. cereus

P. aeruginosaS. Typhimurium

E. coli

20

10

0

-10

EKSTRAK

ekstrak air

ekstrak etanol

minyak atsiri

ekstrak heksan

ekstrak etil asetat

ekstrak metanol

Jenis Bakteri Uji

ekstrak metanolekstrak etil asetat

ekstrak heksanminyak atsiri

ekstrak etanolekstrak air

20

10

0

-10

BAKTERI

E. coli

S. Typhimurium

P. aeruginosa

B. cereus

S. aureus

Jenis Ekstrak Kulit Kayu Mesoyi

dapat dilihat pada Lampiran 11 dan Lampiran 12. Profil penghambatan

dapat dilihat pada Gambar 14 dan Gambar 15.

Gambar 14. Profil perkiraan aktivitas antimikroba berbagai jenis ekstrak

kulit kayu mesoyi

Gambar 15. Profil perkiraan penghambatan berbagai bakteri uji

Rat

aan

Dia

met

er P

engh

amba

tan

(mm

) R

ataa

n D

iam

eter

Pen

gham

bata

n (m

m)

Page 65: Dmso

65

Selain untuk memperkirakan profil ekstrak, uji statistik juga

dilakukan untuk membandingkan potensi aktivitas antimikroba di antara

jenis-jenis ekstrak dan untuk mengetahui jenis mikroba yang memiliki

sensitivitas paling tinggi terhadap senyawa antimikroba yang terkandung

dalam kulit kayu mesoyi. Pengujian itu dilakukan melalui pengolahan

secara statistik terhadap nilai diameter penghambatan bagi setiap bakteri

uji. Hasil uji statistik dapat dilihat pada Tabel 7 dan Lampiran 10.

Tabel 7. Hasil uji statistik GLM-Univariate

Sumber keragaman Jumlah

Kuadrat

Derajat

Bebas

Kuadrat

Tengah

Nilai

F Sig.

Ekstraka) 671.819 5 134.364 81.623 0.000

Bakterib) 225.704 4 56.426 34.277 0.000

Interaksi antara ekstrak

dengan bakteri ujic)

213.562 20 10.678 6.487 0.000

Galat 98.770 60 1.646 - -

Total 3794.768 90 - - - a) Hasil uji statistik terhadap enam jenis ekstrak kulit kayu mesoyi b) Hasil uji statistik terhadap lima bakteri uji c) Hasil uji statistik terhadap interaksi antara jenis ekstrak kulit kayu mesoyi dengan

jenis bakteri uji

Perbedaan jenis ekstrak kulit kayu mesoyi yang diuji berpengaruh

nyata (p<0.05) terhadap pertumbuhan bakteri uji, dan juga terdapat

pengaruh nyata (p<0.05) antara jenis bakteri yang diujikan terhadap nilai

diameter penghambatan dari masing-masing jenis ekstrak. Selain itu, uji

statistik juga menunjukkan terdapat interaksi antara jenis ekstrak kulit

kayu mesoyi dengan jenis bakteri uji yang berpengaruh nyata (p<0.05)

terhadap nilai diameter penghambatan (Tabel 7). Hal ini menunjukkan

perbedaan jenis ekstrak atau jenis bakteri yang diujikan memiliki aktivitas

antimikroba yang secara statistik berbeda pula.

Interaksi antara jenis ekstrak dan jenis bakteri uji bersifat spesifik.

Setiap jenis ekstrak kulit kayu mesoyi memiliki kekuatan penghambatan

pertumbuhan yang berbeda pada masing-masing jenis bakteri uji dengan

Page 66: Dmso

66

nilai penyimpangan masing-masing yang berbeda (Lampiran 10b dan

Lampiran 10d).

Uji statistik berguna untuk memilih ekstrak yang akan diuji lanjut

beserta bakteri targetnya. Ekstrak yang paling tidak efektif dalam

menghambat jenis bakteri uji adalah ekstrak air (Lampiran 10g). Ekstrak

etil asetat dan minyak atsiri merupakan ekstrak yang paling efektif dalam

menghambat pertumbuhan bakteri uji. Uji statistik lanjut menunjukkan

bahwa ekstrak etil asetat dan minyak atsiri kulit kayu mesoyi tidak

berbeda nyata (p>0.05), sehingga tidak dapat ditentukan ekstrak yang

memiliki aktivitas antimikroba lebih baik diantara keduanya (Lampiran

10g). Jenis ekstrak kulit kayu mesoyi yang lainnya, yaitu ekstrak metanol,

ekstrak etanol, dan ekstrak heksan memiliki aktivitas antimikroba yang

sama kuatnya (p>0.05) (Lampiran 10g).

Faktor antimikroba biasanya terkandung dalam minyak esensial

dari rempah-rempah (Farrel, 1990). Minyak atsiri kulit kayu mesoyi dapat

menghambat bakteri-bakteri uji dengan diameter penghambatan paling

besar terhadap Salmonella Typhimurium (14.60 mm) dibandingkan

dengan keempat bakteri uji lainnya (Gambar 12). Minyak atsiri dari

rempah-rempah sering diartikan sebagai senyawa aromatik bersifat volatil

yang didapat dengan proses destilasi uap. Kelebihan dari minyak ini dalam

industri adalah bebas dari enzim dan mikroba pengkontaminan, kelarutan

yang seragam, dan mudah dalam penanganan dan penyimpanan (Lund et

al., 2000). Nilai diameter penghambatan dan penyimpangan data ekstrak

etil asetat kulit kayu mesoyi dapat dilihat pada Lampiran 6.

Ekstrak etil asetat dalam menghambat pertumbuhan P. aeruginosa

merupakan aktivitas antimikroba yang terbesar dibandingkan kemampuan

jenis ekstrak yang lain (Gambar 12). Selain itu, ekstrak etil asetat juga

memiliki kemampuan menghambat pertumbuhan B. cereus paling baik

(Gambar 12). Hal ini berarti ekstrak etil asetat memiliki spektrum

hambatan yang luas karena merupakan ekstrak yang paling kuat dalam

menghambat bakteri pembusuk P. aeruginosa dan bakteri patogen B.

Page 67: Dmso

67

cereus. Nilai diameter penghambatan dan penyimpangan data ekstrak etil

asetat kulit kayu mesoyi dapat dilihat pada Lampiran 8.

Kuatnya aktivitas antimikroba ekstrak etil asetat kulit kayu mesoyi

disebabkan karena pelarut etil asetat yang bersifat semi-polar sehingga

senyawa yang terkandung didalam ekstrak merupakan senyawa-senyawa

yang bersifat semi-polar. Senyawa antimikroba yang bersifat semi-polar

memiliki aktivitas antimikroba yang baik karena senyawa antimikroba

membutuhkan keseimbangan sifat hidrofilik-lipofilik untuk mendapatkan

aktivitas antimikroba yang optimal. Sifat hidrofilik dibutuhkan agar

senyawa antimikroba tersebut dapat larut di dalam senyawa polar (air)

tempat mikroba biasanya tumbuh, sedangkan sifat lipofilik dibutuhkan

agar senyawa antimikroba dapat bereaksi dengan membran mikroba

(Branen, 1993).

Heksan merupakan pelarut organik non-polar dan karenanya hanya

dapat mengekstrak senyawa-senyawa yang juga bersifat non-polar dari

kulit kayu mesoyi. Dari diameter penghambatan yang terukur diketahui

bahwa senyawa-senyawa non-polar yang terkandung dalam kulit kayu

mesoyi merupakan senyawa yang memiliki aktivitas antimikroba

walaupun tidak terlalu baik dibandingkan dengan jenis ekstrak lainnya.

Ekstrak heksan adalah ekstrak yang memiliki aktivitas penghambatan

paling lemah terhadap E. coli dan S. aureus, dan ekstrak heksan

merupakan ekstrak kedua yang memiliki aktivitas antimikroba paling

lemah dalam menghambat B. cereus dan P. aeruginosa (Lampiran 7).

Ekstrak heksan memiliki aktivitas penghambatan pertumbuhan paling baik

terhadap Salmonella Typhimurium, tetapi bukan merupakan yang terkuat

dalam menghambat Salmonella Typhimurium. Oleh karena itu, ekstrak

heksan bukan merupakan sumber antimikroba yang cukup baik karena

dengan aktivitas antimikroba yang paling baik ekstrak heksan tetap tidak

menjadi yang terkuat dalam menghambat pertumbuhan Salmonella

Typhimurium.

Ekstrak metanol tidak dapat menghambat seluruh bakteri uji, yaitu

tidak memiliki aktivitas penghambatan terhadap E. coli. Dengan demikian

Page 68: Dmso

68

ekstrak metanol merupakan ekstrak kulit kayu mesoyi yang cenderung

memiliki spektrum penghambatan yang sempit dibandingkan kemampuan

jenis-jenis ekstrak kulit kayu mesoyi lainnya. Oleh karena itu, ekstrak

metanol bukan merupakan senyawa antimikroba yang cukup baik untuk

dikembangkan menjadi sumber pengawet pangan alami. Pengawet pangan

alami yang baik memiliki spektrum penghambatan yang luas (Branen,

1993). Nilai diameter penghambatan dan penyimpangan data ekstrak

metanol kulit kayu mesoyi dapat dilihat pada Lampiran 9.

Uji statistik juga bertujuan untuk mengetahui jenis bakteri uji yang

paling sensitif terhadap aktivitas antimikroba jenis ekstrak kulit kayu

mesoyi. Secara statistik, bakteri uji yang memiliki sensitivitas paling

tinggi terhadap jenis ekstrak kulit kayu mesoyi adalah Salmonella

Typhimurium, sedangkan yang paling tahan terhadap aktivitas antimikroba

kulit kayu mesoyi adalah E. coli. Bakteri B. cereus dapat dihambat lebih

baik dibandingkan S. aureus, P. aeruginosa, dan E. coli, tetapi masih lebih

tahan dibandingkan Salmonella Typhimurium (Lampiran 10g).

Aktivitas antimikroba kulit kayu mesoyi lebih rendah dalam

menghambat pertumbuhan P. aeruginosa dibandingkan dengan aktivitas

penghambatannya pada B. cereus dan Salmonella Typhimurium. Ekstrak

kulit kayu mesoyi memiliki aktivitas antimikroba yang sama antara P.

aeruginosa dengan S. aureus (Lampiran 10f). Hal ini berarti aktivitas

antimikroba kulit kayu mesoyi lebih rendah pada bakteri pembusuk

dibandingkan dengan bakteri patogen, kecuali untuk E. coli. Selain kulit

kayu mesoyi, penisilin sebagai antimikroba yang telah umum digunakan

memiliki aktivitas antimikroba terhadap banyak bakteri, tetapi tidak

mampu menghambat bakteri pembusuk. Turunan penisilin, yaitu

karbenisilin dan tikarsilin, mampu menghambat bakteri pembusuk seperti

Pseudomonas sp. (Prescott et. al., 2003).

Page 69: Dmso

69

b. Perbandingan aktivitas antimikroba terhadap jenis bakteri Gram

positif dan Gram negatif

0

2

4

6

8

10

12

14

16

E. coli Salmonellatyphimurium

P. aeruginosa B. cereus S. aureus

Rat

aan

Dia

met

er P

engh

amba

tan

(mm

Ekstrak air Ekstrak etanol Minyak atsiriEkstrak heksan Ekstrak etil asetat Ekstrak metanol

Gram negatif Gram positif

Gambar 16. Penghambatan jenis-jenis ekstrak kulit kayu mesoyi

terhadap jenis bakteri Gram positif dan Gram negatif

Beberapa ekstrak rempah mengandung zat antimikroba yang

memiliki spektrum luas, sedangkan beberapa ekstrak rempah lainnya

hanya dapat menghambat jenis mikroorganisme tertentu (Conner, 1993).

Pada Gambar 16 dapat dilihat bahwa hampir semua jenis ekstrak kulit

kayu mesoyi memiliki spektrum yang luas karena mampu menghambat

bakteri uji baik Gram positif ataupun Gram negatif. Senyawa antimikroba

yang memiliki spektrum penghambatan yang luas lebih diinginkan dalam

pengawetan bahan pangan, karena senyawa antimikroba dapat secara

efektif menghambat semua jenis mikroorganisme yang bersifat merusak

ataupun patogen pada bahan pangan yang biasanya berupa bakteri,

kapang, dan khamir (Ray, 2001).

Secara umum bakteri Gram positif paling baik dihambat oleh

ekstrak etil asetat, sedangkan jenis ekstrak yang dapat menghambat bakteri

Gram negatif lebih baik adalah minyak atsiri dan ekstrak etil asetat

Page 70: Dmso

70

(Gambar 16). Rata-rata diameter penghambatan minyak atsiri terhadap

bakteri uji Gram negatif adalah 7.87 mm dan rata-rata diameter

penghambatan terhadap bakeri uji Gram positif adalah 7.44 mm. Ekstrak

heksan juga dapat menghambat jenis bakteri uji yang tergolong dalam

Gram negatif dan Gram positif dengan rata-rata 5.52 mm dan 6.11 mm,

sedangkan rata-rata diameter penghambatan jenis bakteri uji yang

tergolong pada Gram negatif dan Gram positif oleh ekstrak etil asetat

adalah 8.07 mm dan 9.20 mm.

Ekstrak metanol menghambat bakteri uji yang tergolong Gram

negatif dan Gram positif dengan diameter penghambatan rata-rata adalah

6.44 mm dan 6.41 mm. Dari data tersebut diketahui bahwa minyak atsiri,

ekstrak heksan, ekstrak etil asetat, dan ekstrak metanol kulit kayu mesoyi

dapat menghambat bakteri, baik dari jenis Gram negatif ataupun Gram

positif dengan kekuatan antimikroba yang hampir sama. Hal ini sesuai

dengan uji lanjut statistik (Lampiran 10f), yang menunjukkan bahwa

kekuatan penghambatan jenis ekstrak kulit kayu mesoyi terhadap bakteri

Gram negatif P. aeruginosa dan bakteri Gram positif S. aureus tidak

berbeda nyata (p>0.05).

Walaupun demikian, ekstrak etanol memiliki kecenderungan yang

berbeda. Rata-rata penghambatan ekstrak etanol terhadap jenis bakteri uji

yang tergolong Gram negatif adalah 4.34 mm, sedangkan rata-rata

penghambatan terhadap jenis bakteri uji yang tergolong Gram positif

adalah 7.12 mm. Dengan demikian dapat dikatakan ekstrak etanol kulit

kayu mesoyi dapat menghambat bakteri dari kelompok Gram positif lebih

baik daripada bakteri dari kelompok Gram negatif. Hal ini sesuai dengan

uji lanjut statistik (Lampiran 10f), yang menunjukkan bahwa kekuatan

penghambatan jenis ekstrak kulit kayu mesoyi terhadap bakteri Gram

negatif E. coli, Salmonella Thypimurium, dan P. aeruginosa berbeda

nyata (p<0.05) dengan bakteri Gram positif B. cereus. Penghambatan

terhadap bakteri Gram negatif E. coli dan Salmonella Thypimurium

berbeda nyata (p<0.05) dengan bakteri Gram positif S. aureus.

Page 71: Dmso

71

Aktivitas antimikroba yang lebih baik terhadap bakteri Gram

positif juga dapat disebabkan oleh kandungan di dalam ekstrak. Pelarut

etanol yang bersifat polar akan mengekstrak komponen-komponen yang

juga bersifat polar. Komponen polar yang biasa terkandung didalam

tanaman dan diketahui memiliki aktivitas antimikroba adalah senyawa

fenolik. Gram positif diketahui lebih sensitif dan dapat dihambat oleh

minyak esensial tanaman yang mengandung senyawa fenolik

dibandingkan Gram negatif (Davidson dan Naidu, 2000). Penyebabnya

adalah bakteri Gram negatif memiliki lapisan luar selain peptidoglikan

yang melindungi membran dengan lebih baik sehingga lebih tahan

terhadap zat-zat antimikroba (Branen, 1993). Lapisan membran sel bakteri

dapat dilihat pada Lampiran 14. Diduga bahwa ekstrak etanol kulit kayu

mesoyi mengandung komponen yang termasuk dalam senyawa fenolik

ataupun memiliki sifat yang serupa dengan senyawa fenolik.

c. Perbandingan aktivitas antimikroba terhadap aktivitas kontrol positif

Amoxycillin sebagai kontrol positif dalam penelitian ini merupakan

turunan semisintetik dari penisilin. Penisilin mampu menghambat bakteri

pada masa pertumbuhannya melalui mekanisme menghambat sintesis

peptidoglikan. Penisilin menghambat kerja enzim yang menjadi katalis

dari reaksi transpeptidasi karena strukturnya yang sangat serupa.

Peptidoglikan yang tidak sempurna kemudian dapat menyebabkan osmotik

yang tidak normal dan lisis (Prescott et. al., 2003).

Kontrol positif merupakan antimikroba yang telah murni dan

karenanya digunakan dalam konsentrasi yang kecil yaitu 0.01%,

sedangkan pengujian jenis-jenis ekstrak kulit kayu mesoyi dilakukan pada

konsentrasi 28%, sehingga perbandingan konsentrasi antara ekstrak

dengan kontrol positifnya sebesar 2800:1. Karena kontrol positif

merupakan antibiotik yang telah teruji sebagai senyawa antimikroba yang

kuat, penggunaan perbandingan ini bertujuan untuk mengukur potensi

aktivitas antimikroba kayu mesoyi (Gambar 17).

Page 72: Dmso

72

0

4

8

12

16

20

E. coli S. Typhimurium P.aeruginosa S. aureus B. cereus

Rat

aan

Dia

met

er P

engh

amba

tan

(mm

)

Kontrol + E. etanol Kontrol + M. atsiri Kontrol +

E. heksan Kontrol + E. etil asetat Kontrol + E. metanol

Gambar 17. Perbandingan diameter penghambatan jenis-jenis ekstrak kulit

kayu mesoyi

Secara umum kontrol positif diketahui dapat menghambat

Salmonella Typhimurium, Staphylococcus aureus, dan Bacillus cereus,

tetapi tidak dapat menghambat Eschericia coli dan Pseudomonas

aeruginosa. Hal ini diduga karena resistensi atau kecilnya konsentrasi

yang digunakan. Resistensi beberapa jenis bakteri terhadap penisilin

berhubungan dengan mekanisme penisilin yang mengganggu

pembentukan peptidoglikan, sedangkan beberapa bakteri hanya memiliki

sedikit peptidoglikan atau bahkan tidak memiliki peptidoglikan (Heritage

et al., 1999). Selain itu, dapat juga disebabkan karena bakteri tersebut

dapat mensintesis penisilinase, yaitu enzim yang dihasilkan oleh bakteri

yang resisten terhadap penisilin. Enzim ini dapat menghancurkan penisilin

dengan menghidrolisis ikatan pada penisilin (Prescott et al., 2003).

Kontrol positif menghambat pertumbuhan bakteri uji dengan

penghambatan terhadap Salmonella Typhimurium lebih besar daripada

terhadap S. aureus dan B. cereus. Hal ini sesuai dengan Granum (2000)

yang menyatakan bahwa penisilin tidak efektif terhadap B. cereus.

Page 73: Dmso

73

Secara umum, pada konsentrasi yang jauh lebih besar, jenis ekstrak

kulit kayu mesoyi memiliki diameter penghambatan yang jauh lebih kecil

dibandingkan kontrol positifnya. Ekstrak etanol dan ekstrak metanol kulit

kayu mesoyi memiliki diameter penghambatan terhadap Salmonella

Typhimurium sebesar sepertiga dari diameter penghambatan oleh kontrol

positif, sehingga didapat bahwa perbandingan kekuatan penghambatan

antara ekstrak etanol dan ekstrak metanol terhadap kontrol positifnya

adalah 1:8000.

Selain itu, perbandingan diameter penghambatan antara minyak

atsiri, ekstrak heksan, dan ekstrak etil asetat kulit kayu mesoyi terhadap

kontrol positifnya dalam menghambat Salmonella Typhimurium adalah

setengah. Oleh karena itu, didapat bahwa perbandingan kekuatan

penghambatan antara minyak atsiri, ekstrak heksan, dan ekstrak etil asetat

kulit kayu mesoyi terhadap kontrol positifnya dalam menghambat

Salmonella Typhimurium adalah 1:5000. Perbandingan diameter

penghambatan jenis-jenis ekstrak kulit kayu mesoyi dengan kontrol

positifnya terhadap S. aureus hampir mencapai setengah, sehingga didapat

bahwa perbandingan kekuatan penghambatan antara ekstrak etanol dan

metanol terhadap kontrol positifnya adalah 1:5000.

Ekstrak heksan dan ekstrak metanol kulit kayu mesoyi

menghambat pertumbuhan Bacillus cereus dengan diameter penghambatan

yang hampir sama besar dengan kontrol positif (Gambar 17).

Perbandingan aktivitas ekstrak heksan dan ekstrak metanol terhadap

kontrol positifnya dalam menghambat B. cereus adalah 1:3000. Minyak

atsiri, ekstrak etil asetat, dan ekstrak etanol memiliki diameter

penghambatan yang sedikit lebih tinggi dibandingkan kontrol positifnya

terhadap B. cereus (Gambar 17), sehingga didapat bahwa perbandingan

kekuatan antara minyak atsiri, ekstrak etil asetat, dan ekstrak etanol

dengan kontrol positifnya adalah 1:2000.

Page 74: Dmso

74

C. UJI LANJUT EKSTRAK KULIT KAYU MESOYI

1. Penentuan Nilai MIC (Minimum Inhibitory Concentration)

Nilai MIC adalah nilai konsentrasi terendah dari senyawa antimikroba

yang dapat menghambat pertumbuhan mikroba uji secara signifikan.

Penentuan nilai MIC dilakukan terhadap dua ekstrak kulit kayu mesoyi yaitu

ekstrak etanol dan minyak atsiri. Ekstrak etanol akan menunjukkan aktivitas

antimikroba kandungan polar dari kulit kayu mesoyi, sedangkan minyak

atsiri akan menunjukkan aktivitas antimikroba dari kandungan volatil kulit

kayu mesoyi. Penentuan MIC ekstrak etanol kulit kayu mesoyi dilakukan

terhadap Bacillus cereus, sedangkan minyak atsiri dilakukan terhadap

Salmonella Typhimurium. Gambar penghambatan B. cereus oleh ekstrak

etanol kulit kayu mesoyi dengan konsentrasi 30% dan 40% pada penentuan

nilai MIC metode padat dapat dilihat pada Gambar 18.

Gambar 18. Penghambatan pertumbuhan B. cereus oleh ekstrak etanol

Data hasil pengujian difusi sumur dari masing-masing ekstrak dibuat

kurva dan dihitung persamaan regresinya. Nilai sumbu X didapat dari

menghitung nilai logaritma murni (Ln) dari konsentrasi ekstrak yang

digunakan. Nilai diameter penghambatan dikuadratkan, dan menjadi nilai

sumbu Y. Setelah mendapat persamaan dengan bentuk y = a + bx, maka

dapat dihitung nilai MIC. Cara penghitungannya dapat dilihat pada Lampiran

15 dan Lampiran 16.

Page 75: Dmso

75

Tabel 8. Nilai MIC (Minimum Inhibitory Concentration)

Bakteri Uji Sampel MesoyiNilai MIC

(% w/w)

Nilai MIC

(ppm)

Bacillus cereus Ekstrak etanol 0.557 5570

Salmonella Typhimurium Minyak atsiri 0.005 50

Nilai MIC seperti pada Tabel 8, menunjukkan bahwa nilai MIC ekstrak

etanol terhadap Bacillus cereus sebesar 0.557 (% w/w), sedangkan nilai MIC

minyak atsiri terhadap bakteri uji Salmonella Typhimurium adalah 0.005 (%

w/w). Nilai MIC minyak atsiri terhadap Salmonella Typhimurium lebih kecil

daripada nilai MIC ekstrak etanol terhadap Bacillus cereus. Hal ini

menunjukkan bahwa minyak atsiri dapat menghambat pertumbuhan

Salmonella Typhimurium secara lebih efektif daripada kerja ekstrak etanol

dalam menghambat pertumbuhan Bacillus cereus.

Nilai MIC minyak atsiri terhadap bakteri uji Salmonella Typhimurium

merupakan nilai MIC yang rendah dibandingkan nilai MIC beberapa rempah

lainnya misalnya jinten hitam yang memiliki nilai MIC 0.084% (w/w)

terhadap Salmonella Typhimurium. Hal ini berarti Salmonella Typhimurium

memiliki sensitivitas yang tinggi terhadap minyak atsiri mesoyi. Selain itu,

diketahui bahwa minyak atsiri rempah yang juga berasal dari kayu, yaitu

kayu manis yang lebih tidak efektif daripada minyak atsiri kulit kayu mesoyi.

Kayu manis memiliki nilai MIC terhadap Campylobacter jejuni, E. coli,

Salmonella Enteritidis, L. monocytogenes, dan S. aureus pada uji difusi agar

dengan masa inkubasi 24 jam, masing-masing sebesar 0.05, 0.05, 0.05, 0.03,

dan 0.04% (Smith-Palmer et al., 1998).

2. Uji Fitokimia

Sensitivitas yang tinggi terhadap suatu zat antimikroba sangat terkait

dengan senyawa yang terkandung didalamnya, oleh karena itu perlu

diketahui komponen aktif yang ada didalam minyak atsiri dan ekstrak etanol

mesoyi. Uji fitokimia dilakukan untuk mengetahui senyawa aktif yang

Page 76: Dmso

76

terkandung di dalam ekstrak secara kualitatif. Uji fitokimia pada penelitian

ini dilakukan untuk mengetahui keberadaan senyawa fenol, tanin, saponin,

flavonoid, alkaloid, steroid dan terpenoid. Hasil analisis dapat dilihat pada

Tabel 9.

Tabel 9. Hasil Uji Fitokimia

Sampel Fenol Tanin Saponin Steroid Terpenoid Flavonoid Alkaloid

Ekstrak

etanol + - - - + - -

Minyak

atsiri - - - - + - -

Dari Tabel 9 dapat dilihat bahwa ekstrak etanol kulit kayu mesoyi

mengandung senyawa fenol dan terpenoid, sedangkan minyak atsiri kulit

kayu mesoyi mengandung senyawa terpenoid. Tidak banyaknya jenis

senyawa metabolit sekunder yang terkandung di dalam kulit kayu mesoyi

menunjukkan bahwa kulit kayu mesoyi mengandung senyawa yang

jumlahnya dominan dan bukan merupakan senyawa aktif umum yang banyak

terdapat dalam jenis tanaman atau rempah lainnya. Umumnya minyak

esensial rempah mengandung beberapa campuran senyawa dan hanya sedikit

yang mengandung satu jenis komponen kimia yang persentasenya sangat

tinggi. Beberapa minyak esensial rempah yang memiliki senyawa yang

terkandung secara dominan misalnya minyak mustard (Brassica alba) yang

mengandung alil isotiosianat 93%, kayu manis (Cinnamomun cassia)

mengandung sinamaldehida 97%, dan cengkeh (Eugenia aromatica) yang

mengandung senyawa fenol, terutama eugenol, sebesar 85% (Agusta, 2000).

a. Minyak atsiri kulit kayu mesoyi

Komposisi dan kandungan minyak atsiri dari rempah bervariasi

antara satu rempah dengan rempah lainnya, bahkan antara rempah yang

sejenis. Hal ini tergantung pada cara perawatan pada saat rempah ditanam,

geografi, dan kondisi iklim saat pertumbuhan (Lund et al., 2000). Hasil uji

Page 77: Dmso

77

fitokimia menunjukkan bahwa minyak atsiri kulit kayu mesoyi

mengandung terpenoid. Hal ini sesuai dengan Agusta (2000) yang

menyatakan bahwa minyak atsiri umumnya mengandung monoterpena

yang bersifat volatil dan turunan oksigen dari terpen.

Senyawa antimikroba yang terkandung pada rempah-rempah dapat

merupakan senyawa yang umum terdapat pada rempah-rempah ataupun

senyawa yang tidak terdapat pada rempah lain. Kulit kayu mesoyi

terutama minyak atsirinya, memang telah terbukti banyak mengandung

senyawa khusus yang disebut mesoyi lakton. Senyawa ini telah dikenal di

pasaran karena minyak atsiri kulit kayu mesoyi banyak dijual sebagai

bahan campuran parfum (Ketaren, 1985). Dalam perdagangan minyak

atsiri, mutu minyak mesoyi ditentukan oleh kandungan laktonnya.

Mesoyi lakton terkandung secara dominan didalam minyak atsiri

mesoyi. Senyawa ini merupakan komponen pembentuk bau mesoyi yang

sangat khas. Senyawa utama dalam mesoyi adalah mesoyi lakton yang

terdiri dari lakton I berkisar antara 55-80% dan lakton II berkisar antara 5-

20% (hasil riset Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Obat yang tidak

dipublikasikan). Selain itu terdapat juga senyawa pinen dan benzil benzoat

dalam jumlah kecil. Mesoyi lakton akan memberikan panas bila terkena

kulit secara langsung dan dapat menyebabkan iritasi.

Dari hasil uji fitokimia (Tabel 9), minyak atsiri kulit kayu mesoyi

diketahui hanya mengandung terpenoid, sehingga diduga mesoyi lakton

merupakan senyawa yang termasuk dalam kelas terpenoid. Salah satu

golongan utama terpenoid dalam tanaman adalah monoterpenoid yang

termasuk didalamnya adalah monoterpena lakton yang lebih dikenal

dengan iridoid. Contoh dari monoterpena lakton adalah nepetalakton, yang

merupakan senyawa pemberi bau pada Nepeta cataria Labiateal

(Suradikusumah, 1989). Monoterpena adalah terpenoid dengan susunan

C10, hal ini sesuai dengan struktur kimia mesoyi lakton yang memiliki

rumus molekul C10H16O2 (Leffingwell, 1999).

Berdasarkan hasil riset Balai Penelitian Tanaman Rempah dan

Obat yang tidak dipublikasikan, diketahui bahwa minyak atsiri kulit kayu

Page 78: Dmso

78

mesoyi tidak mengandung eugenol. Eugenol merupakan senyawa yang

diketahui memiliki aktivitas antimikroba dan termasuk dalam golongan

fenol. Hal ini sesuai dengan hasil uji fitokimia dimana uji terhadap minyak

atsiri kulit kayu mesoyi menunjukkan hasil fenol yang negatif. Balai

Penelitian Tanaman Rempah dan Obat telah meneliti sifat fisik senyawa

yang terkandung dalam minyak atsiri mesoyi dari beberapa sampel minyak

atsiri kulit kayu mesoyi seperti tertera pada Tabel 10.

Tabel 10. Karakteristik minyak atsiri kulit kayu mesoyi

Nilai*) Karakteristik

Sampel 1 Sampel 2 Sampel 3 Sampel 4 Sampel 5

Berat jenis (25°C) 0.9860 0.9767 0.9795 0.9840 0.9855

Indeks bias (25°C) 1,4726 1.4747 1.4720 1.4715 1.4734

Putaran optik -88°48’ 97°24’ 89°30’ -82°20’ -86°30’

Bilangan asam 5.20 26.96 20.50 8.15 6.40 *) Sampel 1-5 diperoleh dari sumber yang berbeda Sumber: Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Obat (tidak dipublikasikan)

b. Ekstrak etanol kulit kayu mesoyi

Ekstrak etanol kulit kayu mesoyi menunjukkan hasil yang positif

terhadap adanya senyawa dari golongan fenol dan terpenoid. Menurut

Pelczar et. al. (1993), komponen utama pada rempah yang telah diketahui

memiliki aktivitas antimikroba adalah komponen fenolik. Komponen

fenolik merupakan komponen yang banyak terdapat di alam. Fenol

merupakan senyawa yang digunakan sebagai antimikroba dan antiseptik

sejak tahun 1867, yaitu untuk membersihkan alat-alat operasi (Davidson,

1993).

Senyawa fenolik diketahui memiliki aktivitas antimikroba dengan

beberapa mekanisme penghambatan. Mekanisme fenol dalam

menghambat bakteri P. aeruginosa adalah dengan bereaksi dengan

komponen fosfolipid pada membran sel yang menyebabkan meningkatnya

Page 79: Dmso

79

permeabilitas. Fenol juga diketahui dapat mempengaruhi enzim yang

dimiliki oleh E. coli, yaitu dehidrogenase dan oksidase (Davidson, 1993).

Selain itu, fenol diketahui menghambat pertumbuhan mikroba dengan

meningkatkan permeabilitas membran sel. Permeabilitas membran sel

mikroba berubah karena fenol mengganggu sistem transport, transport

elektron, dan produksi energi (Ismaeil dan Pierson, 1990). Komponen

fenolik terkandung dalam banyak tanaman dan buah yang telah menjadi

konsumsi manusia sehari-hari, karenanya komponen fenolik merupakan

komponen pengawet yang lebih aman dibandingkan pengawet sintetik

(Davidson dan Naidu, 2000).

Etanol 70% diketahui dapat mengekstrak flavonoid dengan baik.

Walaupun begitu, uji fitokimia yang dilakukan terhadap ekstrak etanol

menunjukkan hasil flavonoid yang negatif. Flavonoid dan tanin

merupakan senyawa yang termasuk kedalam senyawa fenolik. Hal ini

berarti senyawa fenolik yang terkandung dalam ekstrak etanol kulit kayu

mesoyi tidak termasuk dalam kelas flavonoid dan tanin. Menurut Ketaren

(1985) senyawa fenolik yang terkandung di dalam kulit kayu mesoyi

adalah eugenol. Eugenol diketahui memiliki aktivitas antimikroba.

Eugenol dapat menghambat pertumbuhan B. subtilis dengan total mikroba

1x105 CFU/ml pada konsentrasi 0.06% (v/v) setelah diinkubasi pada suhu

ruang selama 72 jam. Selain itu eugenol juga diketahui sebagai zat

antimikroba paling efektif dibandingkan timol, anetol, dan mentol dalam

menghambat Salmonella Thypimurium, S. aureus, dan V.

parahaemolyticus (Davidson dan Naidu, 2000).

Hasil uji fitokimia juga menunjukkan bahwa seperti minyak atsiri,

ekstrak etanol kulit kayu mesoyi mengandung terpenoid (Tabel 9). Hal ini

mungkin terjadi karena terpenoid terdiri atas beberapa macam senyawa.

Terpenoid pada tanaman dapat berupa monoterpena dan seskuiterpena

yang mudah menguap (C10 dan C15), diterpena yang lebih sukar menguap

(C20), dan senyawa yang tidak menguap, yaitu triterpenoid dan sterol

(C30), serta pigmen karotenoid (C40) (Harborne, 1996).

Page 80: Dmso

80

Pada penelitian ini, ekstrak etanol didapat melalui ekstraksi pada

suhu tinggi dan dihembus dengan gas N2, karenanya terpenoid yang

terkandung di dalam ekstrak etanol tidak mungkin monoterpena dan

seskuiterpena. Selanjutnya menurut Harborne (1996) triterpenoid dapat

dipilah menjadi sekurang-kurangnya empat golongan, yaitu: (1) triterpena

sebenarnya, (2) steroid, (3) saponin, dan (4) glikosida jantung. Hasil uji

fitokimia menunjukkan negatif terhadap keberadaan steroid dan saponin di

dalam ekstrak etanol kulit kayu mesoyi, karenanya terpenoid yang

terkandung di dalam ekstrak etanol diduga termasuk dalam golongan

diterpena, triterpena sebenarnya, glikosida jantung, atau karotenoid.

Page 81: Dmso

81

V. KESIMPULAN DAN SARAN

A. KESIMPULAN

Mesoyi adalah tanaman rempah khas Indonesia yang belum

banyak dimanfaatkan dan banyak tumbuh di Indonesia Timur terutama di

Irian Jaya. Efek antiinflamasi, analgetik, dan penggunaan mesoyi secara

tradisional sebagai obat menjadi dasar untuk perlunya dilakukan

penelitian lain, antara lain menguji efek antimikroba beberapa jenis

ekstrak kulit kayu mesoyi.

Rendemen ekstrak air, ekstrak etanol, minyak atsiri, ekstrak

heksan, ekstrak etil asetat, dan ekstrak metanol kulit kayu mesoyi

berturut-turut adalah 7.80% (w/w), 8.93% (w/w), 2.04% (v/w), 1.69%

(w/w), 1.47% (w/w), dan 1.52% (w/w). Hampir semua ekstrak kulit kayu

mesoyi memiliki spektrum penghambatan yang luas karena mampu

menghambat semua bakteri uji, kecuali ekstrak air dan ekstrak metanol.

Ekstrak air tidak memiliki aktivitas antimikroba, sedangkan ekstrak

metanol tidak mampu menghambat pertumbuhan E. coli. Perbedaan

ekstrak yang diujikan, bakteri uji yang digunakan, dan interaksi yang

terjadi diantaranya memiliki pengaruh yang nyata (p<0.05) terhadap nilai

diameter penghambatan. Bakteri uji yang paling sensitif terhadap

ekstrak-ekstrak kulit kayu mesoyi adalah Salmonella Thypimurium,

sedangkan bakteri yang paling tahan adalah E. coli. Ekstrak kulit kayu

mesoyi yang memiliki aktivitas antimikroba paling baik adalah ekstrak

etil asetat dan minyak atsiri, sedangkan ekstrak kulit kayu mesoyi yang

paling tidak efektif adalah ekstrak air.

Ekstrak yang dipilih untuk diuji lanjut adalah ekstrak etanol dan

minyak atsiri. Nilai MIC ekstrak etanol terhadap Bacillus cereus sebesar

0.557 (% w/w), sedangkan nilai MIC minyak atsiri terhadap bakteri uji

Salmonella Typhimurium adalah 0.005 (% w/w). Uji fitokimia terhadap

ekstrak etanol dan minyak atsiri kulit kayu mesoyi membuktikan bahwa

ekstrak etanol mengandung fenol dan terpenoid, sedangkan minyak atsiri

kulit kayu mesoyi mengandung terpenoid.

Page 82: Dmso

82

B. SARAN

Berdasarkan hasil penelitian, beberapa hal yang perlu dilakukan

lebih lanjut adalah: • Pengujian aktivitas antimikroba jenis-jenis ekstrak kulit kayu mesoyi

pada sistem pangan tertentu mewakili pangan nabati dan hewani.

Aplikasi senyawa antimikroba pada bahan pangan dilakukan untuk

mengetahui potensinya sebagai pengawet alami.

• Pengujian jenis-jenis ekstrak kulit kayu mesoyi untuk mengetahui

batas pemakaian yang aman.

• Identifikasi komponen aktif jenis-jenis ekstrak kulit kayu mesoyi

dengan metode Thin Layer Chromatoraphy (TLC) atau dengan alat

Gas Chromatography-Mass Spectrophotometer (GC-MS).

• Perluasan pemanfaatan kulit kayu mesoyi sebagai tanaman khas

Indonesia dapat dilakukan dengan melakukan pengujian lainnya

seperti aktivitas antioksidan, dan uji farmakologis lain seperti anti-

diare.

Page 83: Dmso

83

DAFTAR PUSTAKA

Achmadi, S. 1992. Kimia Kayu. FMIPA, IPB, Bogor. Adawiyah, D. R. 1998. Kajian Pengembangan Metode Ekstraksi Komponen

Antimikroba Buah Atung (Parinarium gaberium Hassk.). Tesis. FATETA-IPB. Bogor.

Agusta, A. 2000. Minyak Atsiri Tumbuhan Tropika Indonesia. Penerbit ITB.

Bandung. Ahmad, I., Mehmood, Z., Mohammad, F. 1998. Screening of Some Indian

Medicinal Plants for Their Antimicrobial Properties. Di dalam Ahmad, I., dan Arina, Z. B. 2001. Antimicrobial and Phytochemical Studies on 45 Indian Medicinal Plants Againts Multi-drug Resistent Human Pathogens. Journal of Ethnopharmacology 74, 113-123.

Alfinus. 2004. Isolasi dan Karakterisasi Alkaloid dari Phoebe cuneata bl. dan

Triterpenoid dari Litsea elliptica. www.digilib.itb.ac.id [19 November 2006]

Anonima. 2004. Massoia Oil. www.haldin-natural.com [28 Agustus 2006] Anonimb. 2006. The Essential Oil Source. www.libertynatural.com [28 Agustus

2006] Anonimc. 2006. Methanol. www.wikipedia.com [02 Desember 2006] Anonimd. 2006. Dimethyl Sulfoxide. www.chemicalland21.com [28 Agustus

2006] Anonime. 2006. Tannins. www.wikipedia.com [02 Desember 2006] Anonimf. 2006. Alkaloid. www.wikipedia.com [19 November 2006] Anonimg. 2006. Ethanol. www.wikipedia.com [19 November 2006] Anonimh. 2006. Hexane. www.wikipedia.com [19 November 2006] Anonimi. 2006. Ethyl Acetat. www.wikipedia.com [19 November 2006] Ardiansyah. 2006. Keamanan Pangan Fungsional Berbasis Pangan Tradisional.

www.beritaiptek.com [19 November 2006] Bennik, M. H. J. 2000. Pseudomonas aeruginosa. Di dalam Robinson, R. K., Carl

A. Batt, dan Pradip D. Patel. (eds.) Encyclopedia of Food Microbiology. Academic Press. New York, USA.

Page 84: Dmso

84

Branen, A. L. 1993. Introduction to Use of Antimicrobials. Di dalam Davidson, P.

M., dan Alfred, L. B. (eds.) Antimicrobials in Foods 2nd edition. Marcel Dekker, Inc. New York.

Beuchat, L. R. 1994. Antimicrobial Properties of Spices and Their Essential Oils.

Di dalam Naidu, A. S. (ed.). 2000. Natural Food Antimicrobial Systems. CRC Press. USA.

Conner, D. E. 1993. Naturally Occuring Compounds. Di dalam Davidson, P. M.,

dan Alfred, L. B. (eds.) Antimicrobials in Foods 2nd edition. Marcel Dekker, Inc. New York.

Cox, J. 2000. Salmonella Thypimurium. Di dalam Robinson, R. K., Carl A. Batt,

dan Pradip D. Patel. (eds.) Encyclopedia of Food Microbiology. Academic Press. New York, USA.

Davidson, P. M., dan A. S. Naidu. 2000. Phyto-phenols. Di dalam A. S. Naidu

(Ed.). Natural Food Antimicrobial Systems. CRC Press. New York. Davidson, P. M. 1993. Parabens and Phenolic Compounds. Di dalam Davidson, P.

M., dan Alfred, L. B. (eds.) Antimicrobials in Foods 2nd edition. Marcel Dekker, Inc. New York.

Davidson, P. M. 1993. Parabens and Phenolic Compounds. Di dalam Naidu, A. S.

(ed.). 2000. Natural Food Antimicrobial Systems. CRC Press. USA. Davidson, P. M., dan Mickey E. Parish. 1989. Methods for Testing The Efficacy

of Food Antimicrobials. Di dalam Davidson, P. M., dan Alfred, L. B. (eds.). 1993. Antimicrobials in Foods 2nd edition. Marcel Dekker, Inc. New York.

Davidson, P. M., dan Mickey E. Parish. 1993. Methods for Evaluation. Di dalam

Davidson, P. M., dan Alfred, L. B. (eds.). Antimicrobials in Foods 2nd edition. Marcel Dekker, Inc. New York.

Driessen, F. M. 1993. Importance of Bacillus Cereus in Fermented Milks and

Processed Non-fermented Dairy Products. Di dalam Lund, B. M. et. al (eds.). 2000. The Microbiological Safety and Quality of Food Volume II. Aspen Publishers, Inc. Gaithersburg, Maryland.

Fardiaz, S. 1992. Mikrobiologi Pangan I. PT. Gramedia Pustaka Utama

bekerjasama dengan PAU Pangan dan Gizi-IPB. Jakarta. Farrel, Kenneth T. 1990. Spices, Condiments, and Seasonings 2nd edition. Van

Nostrand Reinhold. New York.

Page 85: Dmso

85

Garigga, M., M. Hugas, T. Aymerich dan J. M. Monfort. 1993. Bacteriocinogenic Activity of Lactobacilli from Fermentation Sausages. Journal of Applied Microbiology, 7 : 142-148.

Granum, P. E. 1994. Bacillus Cereus and its toxins. Di dalam Lund, B. M. et. al

(Eds.). 2000. The Microbiological Safety and Quality of Food Volume II. Aspen Publishers, Inc. Gaithersburg, Maryland.

Granum, P. E., dan Tony C. B. Bacillus species. Di dalam Lund, B. M. et. al

(Eds.). 2000. The Microbiological Safety and Quality of Food Volume II. Aspen Publishers, Inc. Gaithersburg, Maryland.

Gruiz, K. 1996. Fungitoxic Activity of Saponins: Practical Use and Fundamental

Principiles. Di dalam Naidu, A. S. (ed.). 2000. Natural Food Antimicrobial Systems. CRC Press. USA.

Guenther, E. 1972. The Essential Oils. Di dalam Iskandar, M. I., dan Agus

Ismanto. 2001. Tinjauan Beberapa Sifat dan Manfaat Tumbuhan Masoyi (Massoia aromaticum Becc.). Warta Tumbuhan Obat Indonesia Tahun 2001 Volume 5 Nomor 2 Edisi 2001. Jakarta.

Hakim, E. H. 2004. Alkaloid dari Kulit Akar Litsea diversifolia bl..

www.digilib.itb.ac.id [19 November 2006] Hammer, K. A., Carson, C. A., dan Riley, T. V. 1999a. Antmicrobial Activity of

Essential Oils and Other Plant Extract. Di dalam Naidu, A. S. (ed.). 2000. Natural Food Antimicrobial Systems. CRC Press. USA.

Hammer, K. A., Carson, C. A., dan Riley, T. V. 1999b. Influence of Organic

Matter, Cations and Surfactants on The Antimicrobial Activity of Melaleuca alternifolia (Tea Tree) Oil. Di dalam Naidu, A. S. (ed.). 2000. Natural Food Antimicrobial Systems. CRC Press. USA.

Harborne, J. B. 1996. Metode Fitokimia. Penuntun Cara Modern Menganalisis

Tumbuhan. Terjemahan. K. Padmawinata dan I. Soediro. Penerbit ITB. Bandung.

Heritage, J., E. G. V. Evans, dan R. A. Killington. 1999. Microbiology in Action.

Cambridge University Press. London. Heyne, K. 1987. Tumbuhan Berguna Indonesia II. Yayasan Sarana Wana Jaya.

Jakarta. Holt, John G., Noel R. Kriey, Peter H. A. Sneath, James T. Staley, dan Stanley T.

Williams. 1994. Bergey’s Manual of Determinative Bacteriology 9th edition. Lippincott Williams&Wilkins Co. Baltimore, USA.

Page 86: Dmso

86

Houghton P. J. dan A. Raman. 1998. Laboratory Handbook for the Fractionation of Natural Extracts. Chapman and Hall, London.

Iskandar, M. I., dan Agus Ismanto. 2001. Tinjauan Beberapa Sifat dan Manfaat

Tumbuhan Masoyi (Massoia aromaticum Becc.). Warta Tumbuhan Obat Indonesia Tahun 2001 Volume 5 Nomor 2 Edisi 2001. Jakarta.

Iskandar, S. 2003. Minyak Tumbuhan, Sumber Energi Alami. www.chem-is-

try.org.id [19 November 2006] Ismaeil, A. A., dan Pierson, M. D. 1990. Inhibition of Germination, Outgrowth

and Vegetative Growth of Clostridium botulinum 67B by Spice Oils. Di dalam Lund, B. M. et. al (Eds.). 2000. The Microbiological Safety and Quality of Food Volume I. Aspen Publishers, Inc. Gaithersburg, Maryland.

Juven, B. J., Kanner J., Schved F., dan Weisslowicz, H. 1994. Factors That

Interact With The Antibacterial Action of Thyme Essential Oil and Its Active Constituent. Di dalam Naidu, A. S. (ed.). 2000. Natural Food Antimicrobial Systems. CRC Press. USA.

Kartasajuna, I., dan A. Martawijaya. 1973. Kayu Perdagangan Indonesia. Sifat

dan Kegunaannya. Di dalam Warta Tumbuhan Obat Indonesia Tahun 2001 Volume 5 Nomor 2 Edisi 2001. Jakarta.

Ketaren, S. 1985. Pengantar Teknologi Minyak Atsiri. PN Balai Pustaka. Jakarta. Kister, H. Z. 1992. Distillation Design. McGraw-Hill, Inc. USA. Leffingwell. 1999. Delta-lactones and Molecular Structures.www.leffingwell.com

[28 Agustus 2006] Lily, P. 1980. Medicinal Plants of South East Asia. Di dalam Widowati, L., dan

Pudjiastuti. 2001. Khasiat Analgetika Kulit Batang Masoyi (Massoia aromaticum Becc.) Pada Mencit Putih. Warta Tumbuhan Obat Indonesia Tahun 2001 Volume 5 Nomor 2 Edisi 2001. Jakarta.

Lund, B. M., T. C. Baird-Parker, dan G. W. Gould. 2000. The Microbial Safety

and Quality of Food. Vol II. Mattjik, A. A., dan I Made Sumertajaya. 2000. Perancangan Percobaan Edisi

Kedua. IPB Press. Bogor. Middleton, E., dan Chithan K. 1994. The Impact of Plant Flavonoids on

Mammalian Biology : Implication for Immunity, Inflammation, and Cancer. Di dalam Harborne, J. B. (ed.). The Flavonoids. Chapman&Hall. London.

Page 87: Dmso

87

Mulia, L. 2000. Kajian Aktivitas Antimikroba Buah Andaliman (Zanthoxylum acanthopodicum) dan Antarasa (Litsea cubeba). Skripsi. FATETA, IPB, Bogor.

Naidu, A. S. 2000. Natural Food Antimicrobial Systems. CRC Press. USA. NCCLS. 1991. Antimicrobial Susceptibility Testing 3rd edition. Di dalam

Davidson, P. M., dan Alfred, L. B. (eds.). Antimicrobials in Foods 2nd edition. Marcel Dekker, Inc. New York.

Nielsen, S. Suzanne. 2003. Food Analysis 3rd edition. Kluwer Academic / Plenum

Publisher. New York, USA. Nychas, G. J. 1994. Natural Antimicrobial From Plants. Di dalam Naidu, A. S.

(ed.). 2000. Natural Food Antimicrobial Systems. CRC Press. USA. Parhusip, Adolf J. N. 2006. Kajian Mekanisme Antibakteri Ekstrak Andaliman

(Zanthoxylum acanthopodium DC) terhadap Bakteri Patogen Pangan. Disertasi. Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Parker, Tony C. B. 2000. Staphylococcus aureus. Di dalam Lund, B. M. et al.

(Eds.). The Microbiological Safety and Quality of Food Volume II. Aspen Publishers, Inc. Gaithersburg, Maryland.

Piddock, L. J. 1990. Techniques Used for The Determination of Antimicrobial

Resistance and Sensitivity in Bacteria. Di dalam Davidson, P. M., dan Alfred, L. B. (eds.). Antimicrobials in Foods 2nd edition. Marcel Dekker, Inc. New York.

Pomeranz, Y., dan Clifton E. Meloan. 1994. Food Analysis Theory and Practise

3rd edition. Chapman and Hall Publishing Company. New York, USA. Prescott, L. M, John P. Harley, dan Donald A. Klein. 2003. Microbiology 5th

edition. McGraw-Hill. USA. Ray, B. 2001. Fundamental Food Microbiology 2nd edition. CRC Press. USA. Robinson. 1995. Phyto-chemistry in Plants. Di dalam Naidu, A. S. (ed.). 2000.

Natural Food Antimicrobial Systems. CRC Press. USA. Santoni, A. 2004. Beberapa Alkaloid dari Kulit Batang Litsea firma (BI.)Hk.f

(Lauraceae). www.digilib.itb.ac.id [19 November 2006] Sa’roni, dan Adjirni. 2001. Efek Antiinflamasi Kulit Batang Massoia aromaticum

Becc. (Masoyi) Pada Tikus Putih. Warta Tumbuhan Obat Indonesia Tahun 2001 Volume 5 Nomor 2 Edisi 2001. Jakarta.

Page 88: Dmso

88

Shiddieqy, M. I. 2006. Bakteri Menyebabkan Keracunan Susu. www.pikiran-rakyat.com [19 November 2006]

Smith, J. L., dan Marmer, B. S. 1991. Death and Injury of Staphylococcus aureus:

Effect of Growth Temperature. Di dalam Lund, B. M. et al. (Eds.). The Microbiological Safety and Quality of Food Volume II. Aspen Publishers, Inc. Gaithersburg, Maryland.

Smith-Palmer, A., Stewart, J., dan Fyfe, L. 1998. Di dalam Naidu, A. S. (ed.).

2000. Natural Food Antimicrobial Systems. Antimicrobial Properties of Plant Essential Oils and Essences Againts Five Important Food-Borne Pathogens. CRC Press. New York.

Sundari, D., W. Lucie, dan M. W. Winarno. 1998. Informasi Khasiat, Keamanan,

dan Fitokimia Tanaman Secang (Caesalpinia sappan Linn). Di dalam Warta Tumbuhan Obat Indonesia Volume 4 Nomor 3:1 Edisi 1998. Jakarta.

Suradikusumah, E. 1989. Kimia Tumbuhan. Departemen Pendidikan dan

Kebudayaan, Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Pusat Antar Universitas Ilmu Hayat, IPB.

Widowati, L., dan Pudjiastuti. 2001. Khasiat Analgetika Kulit Batang Masoyi

(Massoia aromaticum Becc.) Pada Mencit Putih. Di dalam Warta Tumbuhan Obat Indonesia Tahun 2001 Volume 5 Nomor 2 Edisi 2001. Jakarta.

White, C. A., dan Hall, L. P. 1984. The Effect of Temperature Abuse on

Staphylococcus aureus and Salmonella in Raw Beef and Chicken Substrates During Freezing. Di dalam Lund, B. M. et al. (Eds.). The Microbiological Safety and Quality of Food Volume II. Aspen Publishers, Inc. Gaithersburg, Maryland.

Zablotowicz, R. M., R. E. Hoagland, S. C. Wagner. 1996. Effects of Saponin on

The Growth and Activity of Rhizosphere Bacteria. Di dalam Naidu, A. S. (ed.). Natural Food Antimicrobial Systems. CRC Press. USA.

Page 89: Dmso

89

Page 90: Dmso

90

Lampiran 1. Hasil Uji Kadar Air Ekstrak Air Kulit Kayu Mesoyi

Hasil analisis (%)

I II Rata-rata (%)*)

78.71 80.95 79.83 *) merupakan rata-rata dari dua kali pengukuran (duplo)

Page 91: Dmso

91

Lampiran 2. Perhitungan Rendemen Keterangan : Wa = berat botol berisi ekstrak (g) Wb = berat botol kosong (g) W0 = berat bahan yang diekstrak (g) Ukuran sampel bubuk kulit kayu mesoyi = 40 mesh

Ekstrak W0 Wa Wb Heksan 32.14 8.28 7.74

Etil asetat 27.80 8.24 7.83 Metanol 25.72 8.05 7.66 Etanol 30.10 10.32 7.63

Air 30.76 129.50 117.60 Contoh : Ekstrak heksan

Rendemen (% w/w) = (Wa – Wb) = (8.28 – 7.74) × 100 % W0 32.14

= 1.69 % (w/w)

Rendemen = ( Wa-Wb ) × 100 % (w/w) W0

Page 92: Dmso

92

Lampiran 3. Data Uji Konfirmasi

Jumlah koloni (CFU/ml)*) Bakteri Uji

Ulangan 1 Ulangan 2 Ulangan 3 Rata-rata

E. coli 1.2x108 2.1x108 4.1x108 2.5x108

S. Typhimurium 2.4x108 5.6x108 6.1x108 4.7x108

P. aeruginosa 1.2x108 1.1x108 3.5x108 1.9x108

S. aureus 2.4x108 3.3x108 1.9x108 2.5x108

B. cereus 1.7x108 1.2x108 2.0x108 1.6x108 *)Rata-rata dari duplo

Page 93: Dmso

93

Lampiran 4. Perhitungan Diameter Penghambatan (mm)

Keterangan : A = pengukuran diameter pertama (mm) B = pengukuran diameter kedua (mm) C = pengukuran diameter ketiga (mm) D = diameter setiap lubang/sumur = 6 mm

Contoh:

A = 10.9 mm Ф = ( 10.9 + 10.5 + 10.4) - 6 B = 10.5 mm 3

C = 10.4 mm = 4.6 mm D = 6 mm

Ф = ( A + B + C ) - D 3

DA, B, C

Page 94: Dmso

94

Lampiran 5. Data Aktivitas Antimikroba Ekstrak Etanol

Diameter Penghambatan Ekstrak Etanol (mm)

Gram negatif Gram positif

Ulangan

E. c

oli

Salm

onel

la

Typ

him

uriu

m

P. a

erug

inos

a

B. c

ereu

s

S. a

ureu

s

Ulangan 1 4.100 4.800 3.150 7.450 6.250

Ulangan 2 4.350 5.750 3.400 7.500 6.650

Ulangan 3 3.730 6.050 3.750 7.900 7.000

Mean 4.060 5.530 3.430 7.620 6.630

SD 0.3119 0.6526 0.3014 0.2466 0.3753

SE 0.1801 0.3768 0.1740 0.1424 0.2167

Lampiran 6. Data Aktivitas Antimikroba Minyak Atsiri

Diameter Penghambatan Minyak Atsiri (mm)

Gram Negatif Gram positif

Ulangan

E. c

oli

Salm

onel

la

Typ

him

uriu

m

P. a

erug

inos

a

B. c

ereu

s

S. a

ureu

s

Ulangan 1 3.600 14.800 4.050 8.100 7.450

Ulangan 2 4.900 13.250 5.400 7.750 6.150

Ulangan 3 4.550 15.750 4.550 8.600 6.600

Mean 4.350 14.600 4.670 8.150 6.730

SD 0.6727 1.2619 0.6825 0.4272 0.6602

SE 0.3884 0.7286 0.3941 0.2466 0.3812

Page 95: Dmso

95

Lampiran 7. Data Aktivitas Antimikroba Ekstrak Heksan

Diameter Penghambatan Ekstrak Heksan (mm) Gram Negatif Gram Positif

Ulangan

E. c

oli

Salm

onel

la

Typ

him

uriu

m

P. a

erug

inos

a

B. c

ereu

s

S. a

ureu

s

Ulangan 1 3.200 7.700 5.200 6.050 5.450

Ulangan 2 3.900 10.350 4.200 6.900 5.100

Ulangan 3 3.850 7.050 4.250 7.600 5.550

Mean 3.650 8.370 4.550 6.850 5.370 SD 0.3905 1.7481 0.5635 0.7762 0.2363 SE 0.2255 1.0093 0.3253 0.4481 0.1364

Lampiran 8. Data Aktivitas Antimikroba Ekstrak Etil Asetat

Diameter Penghambatan Ekstrak Etil Asetat (mm)

Gram Negatif Gram Positif

Ulangan

E. c

oli

Salm

onel

la

Typ

him

uriu

m

P. a

erug

inos

a

B. c

ereu

s

S. a

ureu

s

Ulangan 1 5.850 8.200 8.550 11.750 8.150

Ulangan 2 4.150 10.250 14.050 9.050 8.100

Ulangan 3 4.150 10.800 6.650 9.050 9.100

Mean 4.720 9.750 9.750 9.950 8.450

SD 0.9815 1.3702 3.8432 1.5588 0.5635

SE 0.5667 0.7911 2.2189 0.9000 0.3253

Page 96: Dmso

96

Lampiran 9. Data Aktivitas Antimikroba Ekstrak Metanol

Diameter Penghambatan Ekstrak Metanol (mm)

Gram Negatif Gram Positif

Ulangan

E. c

oli

Salm

onel

la

Typ

him

uriu

m

P. a

erug

inos

a

B. c

ereu

s

S. a

ureu

s

Ulangan 1 0.000 5.250 6.100 7.600 7.300

Ulangan 2 0.000 7.750 8.450 5.050 5.400

Ulangan 3 0.000 6.200 4.900 6.800 0.000

Mean 0.000 6.400 6.480 6.480 6.350

SD 0.0000 1.2619 1.8058 1.3042 1.3435

SE 0.0000 0.7286 1.0426 0.7530 0.9500

Page 97: Dmso

97

Lampiran 10a. Uji Statistik metode GLM Univariate dengan Uji Lanjut LSD Univariate Analysis of Variance

Between-Subjects Factors

ekstrak air 15ekstraketanol 15

minyakatsiri 15

ekstrakheksan 15

ekstrak etilasetat 15

ekstrakmetanol 15

E. coli 18S.Thypimurium

18

P.aeroginosa 18

B. cereus 18S. aureus 18

12

3

4

5

6

EKSTRAK

12

3

45

BAKTERI

Value Label N

Page 98: Dmso

98

Lampiran 10b. Uji Statistik metode GLM Univariate dengan Uji Lanjut LSD Descriptive Statistics

Dependent Variable: HAMBATAN

.0000 .00000 3

.0000 .00000 3

.0000 .00000 3

.0000 .00000 3

.0000 .00000 3

.0000 .00000 154.0600 .31193 35.5333 .65256 33.4333 .30139 37.6167 .24664 36.6333 .37528 35.4553 1.64606 154.3500 .67268 3

14.6000 1.26194 34.6667 .68252 38.1500 .42720 36.7333 .66018 37.7000 3.90759 153.6500 .39051 38.3667 1.74809 34.5500 .56347 36.8500 .77621 35.3667 .23629 35.7567 1.89980 154.7167 .98150 39.7500 1.37022 39.7500 3.84318 39.9500 1.55885 38.4500 .56347 38.5233 2.66377 15

.0000 .00000 36.4000 1.26194 36.4833 1.80578 36.4833 1.30416 34.2333 3.78726 34.7200 3.12209 152.7961 2.10782 187.4417 4.66326 184.8139 3.38491 186.5083 3.29604 185.2361 3.06281 185.3592 3.68699 90

BAKTERIE. coliS. ThypimuriumP. aeroginosaB. cereusS. aureusTotalE. coliS. ThypimuriumP. aeroginosaB. cereusS. aureusTotalE. coliS. ThypimuriumP. aeroginosaB. cereusS. aureusTotalE. coliS. ThypimuriumP. aeroginosaB. cereusS. aureusTotalE. coliS. ThypimuriumP. aeroginosaB. cereusS. aureusTotalE. coliS. ThypimuriumP. aeroginosaB. cereusS. aureusTotalE. coliS. ThypimuriumP. aeroginosaB. cereusS. aureusTotal

EKSTRAKekstrak air

ekstrak etanol

minyak atsiri

ekstrak heksan

ekstrak etil asetat

ekstrak metanol

Total

Mean Std. Deviation N

Page 99: Dmso

99

Lampiran 10c. Uji Statistik metode GLM Univariate dengan Uji Lanjut LSD

Tests of Between-Subjects Effects

Dependent Variable: HAMBATAN

3695.998a 30 123.200 74.841 .000671.819 5 134.364 81.623 .000225.704 4 56.426 34.277 .000213.562 20 10.678 6.487 .000

98.770 60 1.6463794.768 90

SourceModelEKSTRAKBAKTERIEKSTRAK * BAKTERIErrorTotal

Type III Sumof Squares df Mean Square F Sig.

R Squared = .974 (Adjusted R Squared = .961)a.

Page 100: Dmso

100

Lampiran 10d. Uji Statistik metode GLM Univariate dengan Uji Lanjut LSD Parameter Estimates

Dependent Variable: HAMBATAN

-7.02E-16 .741 .000 1.000 -1.482 1.4826.633 .741 8.955 .000 5.152 8.1156.733 .741 9.090 .000 5.252 8.2155.367 .741 7.245 .000 3.885 6.8488.450 .741 11.407 .000 6.968 9.9324.233 .741 5.715 .000 2.752 5.715

-4.233 1.048 -4.041 .000 -6.329 -2.1382.167 1.048 2.068 .043 7.118E-02 4.2622.250 1.048 2.148 .036 .155 4.3452.250 1.048 2.148 .036 .155 4.345

0a . . . . .

4.233 1.482 2.857 .006 1.270 7.197

-2.167 1.482 -1.462 .149 -5.130 .797

-2.250 1.482 -1.519 .134 -5.213 .713

-2.250 1.482 -1.519 .134 -5.213 .713

0a

. . . . .

1.660 1.482 1.120 .267 -1.303 4.623

-3.267 1.482 -2.205 .031 -6.230 -.303

-5.450 1.482 -3.679 .001 -8.413 -2.487

-1.267 1.482 -.855 .396 -4.230 1.697

0a

. . . . .

1.850 1.482 1.249 .217 -1.113 4.813

5.700 1.482 3.847 .000 2.737 8.663

-4.317 1.482 -2.914 .005 -7.280 -1.353

-.833 1.482 -.562 .576 -3.797 2.130

0a

. . . . .

2.517 1.482 1.699 .095 -.447 5.480

.833 1.482 .562 .576 -2.130 3.797

-3.067 1.482 -2.070 .043 -6.030 -.103

-.767 1.482 -.517 .607 -3.730 2.197

0a

. . . . .

.500 1.482 .337 .737 -2.463 3.463

-.867 1.482 -.585 .561 -3.830 2.097

-.950 1.482 -.641 .524 -3.913 2.013

-.750 1.482 -.506 .615 -3.713 2.213

0a

. . . . .

0a

. . . . .

0a

. . . . .

0a

. . . . .

0a

. . . . .

0a

. . . . .

Parameter[EKSTRAK=1 ][EKSTRAK=2 ][EKSTRAK=3 ][EKSTRAK=4 ][EKSTRAK=5 ][EKSTRAK=6 ][BAKTERI=1 ][BAKTERI=2 ][BAKTERI=3 ][BAKTERI=4 ][BAKTERI=5 ][EKSTRAK=1 ]* [BAKTERI=1 ][EKSTRAK=1 ]* [BAKTERI=2 ][EKSTRAK=1 ]* [BAKTERI=3 ][EKSTRAK=1 ]* [BAKTERI=4 ][EKSTRAK=1 ]* [BAKTERI=5 ][EKSTRAK=2 ]* [BAKTERI=1 ][EKSTRAK=2 ]* [BAKTERI=2 ][EKSTRAK=2 ]* [BAKTERI=3 ][EKSTRAK=2 ]* [BAKTERI=4 ][EKSTRAK=2 ]* [BAKTERI=5 ][EKSTRAK=3 ]* [BAKTERI=1 ][EKSTRAK=3 ]* [BAKTERI=2 ][EKSTRAK=3 ]* [BAKTERI=3 ][EKSTRAK=3 ]* [BAKTERI=4 ][EKSTRAK=3 ]* [BAKTERI=5 ][EKSTRAK=4 ]* [BAKTERI=1 ][EKSTRAK=4 ]* [BAKTERI=2 ][EKSTRAK=4 ]* [BAKTERI=3 ][EKSTRAK=4 ]* [BAKTERI=4 ][EKSTRAK=4 ]* [BAKTERI=5 ][EKSTRAK=5 ]* [BAKTERI=1 ][EKSTRAK=5 ]* [BAKTERI=2 ][EKSTRAK=5 ]* [BAKTERI=3 ][EKSTRAK=5 ]* [BAKTERI=4 ][EKSTRAK=5 ]* [BAKTERI=5 ][EKSTRAK=6 ]* [BAKTERI=1 ][EKSTRAK=6 ]* [BAKTERI=2 ][EKSTRAK=6 ]* [BAKTERI=3 ][EKSTRAK=6 ]* [BAKTERI=4 ][EKSTRAK=6 ]* [BAKTERI=5 ]

B Std. Error t Sig. Lower Bound Upper Bound95% Confidence Interval

This parameter is set to zero because it is redundant.a.

Page 101: Dmso

101

Lampiran 10e. Uji Statistik metode GLM Univariate dengan Uji Lanjut LSD Post Hoc Tests EKSTRAK

Multiple Comparisons

Dependent Variable: HAMBATANLSD

-5.4553* .46850 .000 -6.3925 -4.5182-7.7000* .46850 .000 -8.6371 -6.7629-5.7567* .46850 .000 -6.6938 -4.8195-8.5233* .46850 .000 -9.4605 -7.5862-4.7200* .46850 .000 -5.6571 -3.78295.4553* .46850 .000 4.5182 6.3925

-2.2447* .46850 .000 -3.1818 -1.3075-.3013 .46850 .523 -1.2385 .6358

-3.0680* .46850 .000 -4.0051 -2.1309.7353 .46850 .122 -.2018 1.6725

7.7000* .46850 .000 6.7629 8.63712.2447* .46850 .000 1.3075 3.18181.9433* .46850 .000 1.0062 2.8805-.8233 .46850 .084 -1.7605 .11382.9800* .46850 .000 2.0429 3.91715.7567* .46850 .000 4.8195 6.6938

.3013 .46850 .523 -.6358 1.2385-1.9433* .46850 .000 -2.8805 -1.0062-2.7667* .46850 .000 -3.7038 -1.82951.0367* .46850 .031 .0995 1.97388.5233* .46850 .000 7.5862 9.46053.0680* .46850 .000 2.1309 4.0051

.8233 .46850 .084 -.1138 1.76052.7667* .46850 .000 1.8295 3.70383.8033* .46850 .000 2.8662 4.74054.7200* .46850 .000 3.7829 5.6571-.7353 .46850 .122 -1.6725 .2018

-2.9800* .46850 .000 -3.9171 -2.0429-1.0367* .46850 .031 -1.9738 -.0995-3.8033* .46850 .000 -4.7405 -2.8662

(J) EKSTRAKekstrak etanolminyak atsiriekstrak heksanekstrak etil asetatekstrak metanolekstrak airminyak atsiriekstrak heksanekstrak etil asetatekstrak metanolekstrak airekstrak etanolekstrak heksanekstrak etil asetatekstrak metanolekstrak airekstrak etanolminyak atsiriekstrak etil asetatekstrak metanolekstrak airekstrak etanolminyak atsiriekstrak heksanekstrak metanolekstrak airekstrak etanolminyak atsiriekstrak heksanekstrak etil asetat

(I) EKSTRAKekstrak air

ekstrak etanol

minyak atsiri

ekstrak heksan

ekstrak etil asetat

ekstrak metanol

MeanDifference

(I-J) Std. Error Sig. Lower Bound Upper Bound95% Confidence Interval

Based on observed means.The mean difference is significant at the .05 level.*.

Page 102: Dmso

102

Lampiran 10f. Uji Statistik metode GLM Univariate dengan Uji Lanjut LSD

Multiple Comparisons

Dependent Variable: HAMBATANLSD

-4.6456* .42768 .000 -5.5010 -3.7901-2.0178* .42768 .000 -2.8733 -1.1623-3.7122* .42768 .000 -4.5677 -2.8567-2.4400* .42768 .000 -3.2955 -1.58454.6456* .42768 .000 3.7901 5.50102.6278* .42768 .000 1.7723 3.4833

.9333* .42768 .033 .0779 1.78882.2056* .42768 .000 1.3501 3.06102.0178* .42768 .000 1.1623 2.8733

-2.6278* .42768 .000 -3.4833 -1.7723-1.6944* .42768 .000 -2.5499 -.8390

-.4222 .42768 .327 -1.2777 .43333.7122* .42768 .000 2.8567 4.5677-.9333* .42768 .033 -1.7888 -.07791.6944* .42768 .000 .8390 2.54991.2722* .42768 .004 .4167 2.12772.4400* .42768 .000 1.5845 3.2955

-2.2056* .42768 .000 -3.0610 -1.3501.4222 .42768 .327 -.4333 1.2777

-1.2722* .42768 .004 -2.1277 -.4167

(J) BAKTERIS. ThypimuriumP. aeroginosaB. cereusS. aureusE. coliP. aeroginosaB. cereusS. aureusE. coliS. ThypimuriumB. cereusS. aureusE. coliS. ThypimuriumP. aeroginosaS. aureusE. coliS. ThypimuriumP. aeroginosaB. cereus

(I) BAKTERIE. coli

S. Thypimurium

P. aeroginosa

B. cereus

S. aureus

MeanDifference

(I-J) Std. Error Sig. Lower Bound Upper Bound95% Confidence Interval

Based on observed means.The mean difference is significant at the .05 level.*.

Page 103: Dmso

103

Lampiran 10g. Uji Statistik metode GLM Univariate dengan Uji Lanjut LSD

Nilai rata-rata diameter penghambatan (mm) E.coli P.aerginosa S.aureus B.cereus S. Typhimurium 2.80 4.81 5.24 6.51 7.44

EA EMet EEt EH MA EEtA

Nilai rata-rata diameter penghambatan (mm) EA EMet EEt EH MA EEtA 0.00 4.72 5.46 5.76 7.70 8.52

Keterangan : EA =ekstrak air

EMet =ekstrak metanol EEt =ekstrak etanol EH =ekstrak heksan MA =minyak atsiri EEtA =ekstrak etil asetat

E.coli P. aeruginosa S. aureus B. cereus S. thypimurium

Page 104: Dmso

104

Lampiran 11. Perkiraan rataan marginal daya hambat jenis-jenis ekstrak kulit

kayu mesoyi terhadap bakteri uji

2. EKSTRAK

Dependent Variable: HAMBATAN

-4.91E-16 .331 -.663 .6635.455 .331 4.793 6.1187.700 .331 7.037 8.3635.757 .331 5.094 6.4198.523 .331 7.861 9.1864.720 .331 4.057 5.383

EKSTRAKekstrak airekstrak etanolminyak atsiriekstrak heksanekstrak etil asetatekstrak metanol

Mean Std. Error Lower Bound Upper Bound95% Confidence Interval

Lampiran 12. Perkiraan rataan marginal daya hambat bakteri uji oleh jenis-jenis

ekstrak kulit kayu mesoyi

3. BAKTERI

Dependent Variable: HAMBATAN

2.796 .302 2.191 3.4017.442 .302 6.837 8.0474.814 .302 4.209 5.4196.508 .302 5.903 7.1135.236 .302 4.631 5.841

BAKTERIE. coliS. ThypimuriumP. aeroginosaB. cereusS. aureus

Mean Std. Error Lower Bound Upper Bound95% Confidence Interval

Page 105: Dmso

105

Lampiran 13. Perkiraan rataan marginal daya hambat pertumbuhan bakteri uji

karena interaksi jenis ekstrak kulit kayu mesoyi dengan jenis

bakteri uji

4. EKSTRAK * BAKTERI

Dependent Variable: HAMBATAN

-8.88E-16 .741 -1.482 1.4821.332E-15 .741 -1.482 1.482-1.33E-15 .741 -1.482 1.482-8.88E-16 .741 -1.482 1.482-7.02E-16 .741 -1.482 1.482

4.060 .741 2.578 5.5425.533 .741 4.052 7.0153.433 .741 1.952 4.9157.617 .741 6.135 9.0986.633 .741 5.152 8.1154.350 .741 2.868 5.832

14.600 .741 13.118 16.0824.667 .741 3.185 6.1488.150 .741 6.668 9.6326.733 .741 5.252 8.2153.650 .741 2.168 5.1328.367 .741 6.885 9.8484.550 .741 3.068 6.0326.850 .741 5.368 8.3325.367 .741 3.885 6.8484.717 .741 3.235 6.1989.750 .741 8.268 11.2329.750 .741 8.268 11.2329.950 .741 8.468 11.4328.450 .741 6.968 9.932

-7.99E-15 .741 -1.482 1.4826.400 .741 4.918 7.8826.483 .741 5.002 7.9656.483 .741 5.002 7.9654.233 .741 2.752 5.715

BAKTERIE. coliS. ThypimuriumP. aeroginosaB. cereusS. aureusE. coliS. ThypimuriumP. aeroginosaB. cereusS. aureusE. coliS. ThypimuriumP. aeroginosaB. cereusS. aureusE. coliS. ThypimuriumP. aeroginosaB. cereusS. aureusE. coliS. ThypimuriumP. aeroginosaB. cereusS. aureusE. coliS. ThypimuriumP. aeroginosaB. cereusS. aureus

EKSTRAKekstrak air

ekstrak etanol

minyak atsiri

ekstrak heksan

ekstrak etil asetat

ekstrak metanol

Mean Std. Error Lower Bound Upper Bound95% Confidence Interval

Page 106: Dmso

106

Lampiran 14. Struktur Dinding Sel Bakteri: (a) Gram positif dan (b) Gram

negatif (Kightley, 2006)

(a)

(b)

Page 107: Dmso

107

Lampiran 15. Penentuan Nilai MIC Minyak Atsiri Terhadap Salmonella

Typhimurium

Sumbu X

Sumbu Y

Kurva :

Jika y = 0 x = -75.641/19.611 = - 3.857070012 Mt = 0.021129819 Mic = 0.005282455

Konsentrasi Ln [ ]

10 2.302585

30 3.401197

40 3.688879

50 3.912023

Diameter Penghambatan (mm)

Ulangan 1 Ulangan 2

I II I II X

Kuadrat

9.5 12.8 13.7 13.1 12.25 150.0625 11.5 12.4 15.9 13.7 13.35 178.2225 11.9 11.1 14.8 11.2 12.25 150.0625 12.6 13.1 14.9 15.6 14.1 198.81

y = 19.611x + 75.641R2 = 0.5656

80

120

160

200

1 2 3 4 5ln [ ]

kuad

rat d

iam

eter

pe

ngha

mba

tan

Page 108: Dmso

108

Lampiran 16. Penentuan Nilai MIC Ekstrak Etanol Terhadap Bacillus cereus

Sumbu X

Sumbu Y

Kurva :

Jika y = 0 x = 29.584/36.974 = 0.80013 Mt = 2.22583 Mic = 0.556457

Konsentrasi Ln [ ]

10 2.302585

20 2.995732

30 3.401197

40 3.688879

50 3.912023

Diameter Penghambatan (mm)

Ulangan 1 Ulangan 2

I II I II X

Kuadrat

7.7 7.9 7.1 6.8 7.35 54.0225 8.9 9.0 9.2 8.9 9 81.0 9.5 10.3 10.0 9.7 9.85 97.0225 10.5 10.8 11.1 10.6 10.8 116.64 10.8 10.1 9.9 10.3 10.3 106.09

y = 36.974x - 29.584R2 = 0.9246

40

80

120

160

1 1.5 2 2.5 3 3.5 4 4.5

ln [ ]

kuad

rat d

iam

eter

pen

gham

bata

n