dmso
TRANSCRIPT
1
SKRIPSI
KAJIAN AKTIVITAS ANTIMIKROBA EKSTRAK KULIT
KAYU MESOYI (Cryptocaria massoia) TERHADAP BAKTERI
PATOGEN DAN PEMBUSUK PANGAN
Oleh
ELSADORA REAPINA M
F 24102132
2007 FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR
2
KAJIAN AKTIVITAS ANTIMIKROBA EKSTRAK KULIT
KAYU MESOYI (Cryptocaria massoia) TERHADAP BAKTERI
PATOGEN DAN PEMBUSUK PANGAN
SKRIPSI
Oleh:
ELSADORA REAPINA M
F 24102132
SKRIPSI
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN
Pada Fakultas Teknologi Pertanian
Institut Pertanian Bogor
2007
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
3
Elsadora Reapina Malthaputri. F 24102132. Kajian aktivitas antimikroba ekstrak kulit kayu mesoyi (Cryptocaria massoia) terhadap bakteri patogen dan pembusuk pangan. Di bawah bimbingan Dr. Ir. Sedarnawati Yasni, M.Agr dan Elvira Syamsir, STP., Msi.
RINGKASAN
Di Indonesia terdapat kira-kira 4000 jenis kayu dan dari jumlah tersebut masih banyak yang belum diketahui sifat dan kegunaannya, termasuk didalamnya adalah tanaman mesoyi (Cryptocaria massoia). Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji aktivitas antimikroba pada kulit kayu mesoyi sebagai salah satu sumber daya alam khas Indonesia yang belum optimal pemanfaatannya. Dengan diketahui aktivitas antimikrobanya diharapkan penggunaan kulit kayu mesoyi dapat dikembangkan sebagai salah satu sumber antimikroba alami.
Penelitian dibagi atas dua tahapan, yaitu penelitian pendahuluan dan penelitian lanjutan. Pada penelitian pendahuluan dilakukan persiapan kultur bakteri uji, proses ekstraksi, dan pengujian aktivitas antimikroba dengan metode uji difusi sumur. Pada penelitian lanjutan dilakukan penentuan nilai MIC dan uji fitokimia terhadap ekstrak kulit kayu mesoyi terpilih.
Persiapan kultur bakteri uji dilakukan dengan metode hitungan cawan dan didapatkan bahwa pengenceran yang diperlukan adalah 10-3. Proses ekstraksi dilakukan dengan metode refluks dan destilasi uap. Proses ekstraksi dilakukan secara tunggal dengan pelarut air dan etanol, serta secara bertingkat dengan pelarut heksan, etil asetat, dan metanol. Rendemen ekstrak air, ekstrak etanol, minyak atsiri, ekstrak heksan, ekstrak etil asetat, dan ekstrak metanol kulit kayu mesoyi berturut-turut adalah 7.80% (w/w), 8.93% (w/w), 2.04% (w/v), 1.69% (w/w), 1.47% (w/w), dan 1.52% (w/w).
Uji difusi sumur menunjukkan bahwa hampir semua ekstrak kulit kayu mesoyi memiliki spektrum penghambatan yang luas karena mampu menghambat semua bakteri uji, kecuali ekstrak air dan ekstrak metanol. Perbedaan ekstrak yang diujikan, bakteri uji yang digunakan, dan interaksi yang terjadi diantaranya memiliki pengaruh yang nyata (p<0.05) terhadap nilai diameter penghambatan. Bakteri uji yang paling sensitif terhadap ekstrak kulit kayu mesoyi adalah Salmonella Thypimurium, sedangkan bakteri yang paling tahan adalah E. coli. Ekstrak kulit kayu mesoyi yang memiliki aktivitas antimikroba paling baik adalah ekstrak etil asetat dan minyak atsiri, sedangkan ekstrak kulit kayu mesoyi yang paling tidak efektif adalah ekstrak air.
Ekstrak yang dipilih untuk diuji lanjut adalah ekstrak etanol dan minyak atsiri. Nilai MIC ekstrak etanol terhadap Bacillus cereus adalah 0.557 (% w/w), sedangkan nilai MIC minyak atsiri terhadap bakteri uji Salmonella Typhimurium adalah 0.005 (% w/w). Uji fitokimia terhadap ekstrak etanol dan minyak atsiri kulit kayu mesoyi membuktikan bahwa ekstrak etanol mengandung fenol dan terpenoid, sedangkan minyak atsiri kulit kayu mesoyi mengandung terpenoid.
4
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
KAJIAN AKTIVITAS ANTIMIKROBA EKSTRAK KULIT
KAYU MESOYI (Cryptocaria massoia) TERHADAP BAKTERI
PATOGEN DAN PEMBUSUK PANGAN
SKRIPSI
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN
Pada Fakultas Teknologi Pertanian
Institut Pertanian Bogor
Oleh
ELSADORA REAPINA M
F 24102132
Dilahirkan Pada Tanggal 24 September 1984
Di Jakarta
Tanggal Lulus : 15 Januari 2007
Menyetujui
Bogor, 24 Januari 2007
Dr. Ir.Sedarnawati Yasni, M.Agr Elvira Syamsir, STP., Msi. Dosen Pembimbing I Dosen Pembimbing II
Mengetahui
Dr. Ir. Dahrul Syah, MSc Ketua Departemen ITP
5
RIWAYAT HIDUP
Penulis yang bernama lengkap Elsadora Reapina Malthaputri adalah anak
kedua dari Bapak Bakri Beck dan Ibu Sri Enery yang dilahirkan di Jakarta pada
tanggal 24 September 1984. Penulis menempuh pendidikan di Taman Kanak-
kanak Aisyah Palangkaraya (1988-1990), Sekolah Dasar Negeri Langkai 12
Palangkaraya (1990-1992), Sekolah Dasar Negeri Anyelir I Depok (1992-1996),
Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama Islam Al-Azhar Pejaten (1996-1999), dan
Sekolah Menengah Umum Negeri 8 Jakarta (1999-2002).
Pada tahun 2002, penulis diterima sebagai mahasiswa pada Departemen
Teknologi Pangan dan Gizi, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian
Bogor melalui jalur Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru (SPMB). Selama
mengikuti perkuliahan, penulis aktif menjadi panitia dalam berbagai kegiatan
seperti Lepas Landas Sarjana FATETA, BAUR 2004, NSPC (National Students’
Paper Competition) dan LCTIP (Lomba Cepat Tepat Ilmu Pangan). Selain itu,
penulis juga pernah mengikuti seminar National Students’ paper competition on
food issue (2003) dan IDF International Conference of FGW Student Forum for
Milk and Milk Product (2005).
Penulis melakukan kegiatan praktek lapang di PT Makro Indonesia dengan
topik mempelajari sistem penyimpanan dan pemajangan bahan pangan segar
dalam usaha mengurangi tingkat kerusakan di makro cabang pasar rebo (Divisi
fresh food) di PT. Makro Indonesia, Jakarta. Sebagai syarat untuk memperoleh
gelar Sarjana Teknologi Pertanian, penulis menyusun skripsi dengan judul
“Kajian aktivitas antimikroba ekstrak kulit kayu mesoyi (Cryptocaria massoia)
terhadap bakteri patogen dan pembusuk pangan” di bawah bimbingan Dr. Ir.
Sedarnawati Yasni, M. Agr dan Elvira Syamsir, STP., MSi.
6
KATA PENGANTAR
Puji syukur dipanjatkan kehadirat Allah SWT yang selalu memberikan
rahmat dan hidayahnya sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi
ini. Shalawat serta salam juga tidak lupa penulis panjatkan kehadirat Rasulullah
SAW. Penyelesaian penulisan skripsi ini tidak terlepas dari bantuan berbagai
pihak, untuk itu penulis mengucapkan terima kasih kepada :
1. Dr .Ir. Sedarnawati Yasni, M.Agr dan Elvira Syamsir, STP., Msi. selaku dosen
pembimbing akademis yang selalu memberikan bimbingan, selama
perkuliahan dan penelitian sampai penulisan skripsi selesai.
2. Ir. Budi Nurtama, M. Agr, atas kesediaannya menjadi dosen penguji.
3. Papa, Mama, kak Ridho dan Rayhan, untuk semua dukungan yang diberikan.
4. Mas Deddy yang sudah menemani dan menyemangati disetiap waktu penulis,
dan Vita Amanda yang mengajarkan arti sahabat sejati.
5. Sahabat-sahabat poobiers-ku, Nungi, Tuxki, Farah, Tish, Tante, Ina, Grid dan
Nene, terima kasih untuk kebersamaan dan waktunya berbagi apa saja.
6. Sahabat-sahabatku, Ratih Woro, Aponk, dan Kanyaka, serta teman-teman
TPG 39, Vero Anna, Ajeng, Didin, Dadik, Ulik, dan Boyon.
7. Eva H. Direja, untuk kerja sama tak terlupakan, dan teman sebimbingan
lainnya, Mba dewi TPG’36, Mba Lily TPG’37, dan Mba Nurma TPG’38.
8. Teman-teman selama di Laboratorium, Inda, Rebek, Manginar, Nanda, Shinta,
Muslimah, Tojay, Ibu Yuspi, Ibu Diana, Ibu Asriani, dan Mba Tri.
9. Laboran-laboran Laboratorium Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan.
10. Pihak-pihak yang tidak dapat disebutkan satu per satu.
Penulis menyadari skripsi ini masih banyak kekurangannya dalam
penulisan, walaupun demikian penulis tetap berharap skripsi ini dapat bermanfaat
bagi yang memerlukannya.
Bogor, Januari 2007
Penulis
7
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ....................................................................................... i
DAFTAR ISI ....................................................................................................... ii
DAFTAR TABEL ............................................................................................... iv
DAFTAR GAMBAR ......................................................................................... v
DAFTAR LAMPIRAN ....................................................................................... vi
I. PENDAHULUAN ...................................................................................... 1
A. Latar Belakang ............................................................................................ 1
B. Tujuan dan Sasaran .................................................................................... 3
II. TINJAUAN PUSTAKA ............................................................................ 4
A. Kulit kayu mesoyi .................................................................................... 4
B. Teknik ekstraksi ........................................................................................ 7
C. Senyawa antimikroba ................................................................................ 11
D. Karakteristik mikroba patogen dan mikroba perusak makanan .............. 12
E. Pengujian aktivitas antimikroba .............................................................. 18
F. Uji fitokimia .............................................................................................. 23
III. BAHAN DAN METODE .......................................................................... 29
A. Bahan dan alat .......................................................................................... 29
B. Tempat dan waktu .................................................................................... 29
C. Metode penelitian ...................................................................................... 30
D. Metode analisis ........................................................................................ 37
E. Pengolahan data ........................................................................................ 43
8
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ............................................................ 45
A. Persiapan kultur bakteri uji .................................................................... 45
B. Aktivitas antimikroba ekstrak kulit kayu mesoyi ................................ 46
C. Uji lanjut ekstrak kulit kayu mesoyi .................................................... 63
V. KESIMPULAN DAN SARAN ................................................................ 70
A. Kesimpulan .............................................................................................. 70
B. Saran ......................................................................................................... 71
DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................... 72
9
DAFTAR TABEL
Tabel 1. Hasil analisis proksimat kulit kayu mesoyi .............................. 6
Tabel 2. Nilai MIC beberapa minyak rempah-rempah .......................... 23
Tabel 3. Komponen fenolik yang ditemukan dalam tanaman .............. 25
Tabel 4. Komponen fenolik tanaman dan aktivitas antimikroba .......... 25
Tabel 5. Total mikroba kultur bakteri uji ............................................ 45
Tabel 6. Nilai rendemen dan karakteristik ekstrak kulit kayu mesoyi .. 47
Tabel 7. Hasil uji statistik GLM-Univariate .......................................... 54
Tabel 8. Nilai MIC (Minimum Inhibitory Concentration) .................... 64
Tabel 9. Hasil uji fitokimia .................................................................. 65
Tabel 10. Karakteristik minyak atsiri kulit kayu mesoyi ...................... 67
10
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1. (a) pohon mesoyi (b) minyak atsiri .................................... 6
Gambar 2. Mesoyi lakton atau 5-Pentylpent-2-en-5-olide (C10H16O2) .. 6
Gambar 3. Bakteri-bakteri uji : (a) P. aeruginosa, (b) B. cereus, (c) E.
coli, (d) S. aureus, dan (e) Salmonella Thypimurium.............. 17
Gambar 4. Dimethyl sulfoxide atau DMSO ............................................ 22
Gambar 5. Diagram alir penelitian ........................................................ 30
Gambar 6. Diagram alir metode hitungan cawan .................................. 32
Gambar 7. Skema ekstraksi tunggal dengan pelarut etanol dan air ...... 34
Gambar 8. Diagram alir proses ekstraksi bertingkat dari ampas kulit
kayu mesoyi.............................................................................. 36
Gambar 9. Diagram alir uji difusi sumur .............................................. 39
Gambar 10. Diagram alir penentuan nilai MIC ...................................... 41
Gambar 11. Jenis ekstrak kulit kayu mesoyi : (a) ekstrak air, (b) ekstrak
etanol, (c) minyak atsiri, (d) ekstrak heksan, (e) ekstrak etil
asetat, dan (f) ekstrak metanol.................................................. 48
Gambar 12. Penghambatan jenis-jenis ekstrak kulit kayu mesoyi terhadap
bakteri uji.......................................................……………… 51
Gambar 13. (a) penghambatan ekstrak etil asetat terhadap P. aeruginosa
dan (b) penghambatan minyak atsiri terhadap Salmonella
Typhimurium dengan kontrol positifnya.................................. 52
Gambar 14. Profil perkiraan aktivitas antimikroba berbagai jenis ekstrak
kulit kayu mesoyi..................................................................... 53
Gambar 15. Profil perkiraan penghambatan berbagai bakteri uji ............ 53
Gambar 16. Penghambatan jenis-jenis ekstrak kulit kayu mesoyi terhadap
jenis bakteri Gram positif dan Gram negatif............................ 58
Gambar 17. Perbandingan diameter penghambatan jenis-jenis ekstrak
kulit kayu mesoyi..................................................................... 61
Gambar 18. Penghambatan pertumbuhan B. cereus oleh ekstrak etanol..... 63
11
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1. Hasil uji kadar air ekstrak air kulit kayu mesoyi .......... 79
Lampiran 2. Perhitungan rendemen ........................................................ 80
Lampiran 3. Data uji konfirmasi ........................................................ 81
Lampiran 4. Perhitungan diameter penghambatan .................................. 82
Lampiran 5. Data aktivitas antimikroba ekstrak etanol ...................... 83
Lampiran 6. Data aktivitas antimikroba minyak atsiri ...................... 83
Lampiran 7. Data aktivitas antimikroba ekstrak heksan ...................... 84
Lampiran 8. Data aktivitas antimikroba ekstrak etil asetat ...................... 84
Lampiran 9. Data aktivitas antimikroba ekstrak metanol ...................... 85
Lampiran 10. Uji statistik metode GLM dengan uji lanjut LSD .............. 86
Lampiran 11. Perkiraan rataan marginal daya hambat jenis-jenis ekstrak
kulit kayu mesoyi terhadap bakteri uji.................................... 93
Lampiran 12. Perkiraan rataan marginal daya hambat bakteri uji oleh
jenis-jenis ekstrak kulit kayu mesoyi...................................... 93
Lampiran 13. Perkiraan rataan marginal daya hambat pertumbuhan bakteri
uji karena interaksi jenis ekstrak kulit kayu mesoyi dengan
jenis bakteri uji.................................................................... 94
Lampiran 14. Struktur dinding sel bakteri (a) Gram positif dan (b) Gram
negatif..................................................................................... 95
Lampiran 15. Penentuan nilai MIC minyak atsiri terhadap Salmonella
Typhimurium..........................................................................
96
Lampiran 16. Penentuan nilai MIC ekstrak etanol terhadap B. cereus .... 97
12
I. PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Salah satu karakteristik bahan pangan adalah mudah sekali mengalami
kerusakan yang disebabkan oleh kontaminasi mikroorganisme. Senyawa
antimikroba ditambahkan ke dalam bahan pangan untuk menghindari
kerusakan ataupun penurunan mutu bahan pangan akibat mikroorganisme.
Senyawa antimikroba terbuat dari bahan yang berasal dari alam
ataupun buatan (sintetik). Saat ini senyawa antimikroba yang banyak
ditambahkan pada makanan (aditif) sebagai pengawet adalah senyawa
antimikroba buatan atau sintetik. Adanya peningkatan taraf hidup, dan
perubahan pola hidup, serta peningkatan pengetahuan dan kesadaran
pentingnya menjaga kesehatan telah mengubah pola pikir sebagian
masyarakat untuk cenderung memilih produk pangan alami daripada produk
pangan yang diawetkan dengan menggunakan pengawet sintetik. Perubahan
perilaku masyarakat tersebut mendorong banyaknya penelitian yang
dilakukan untuk mencari solusi melepaskan ketergantungan terhadap
pengawet sintetik dan kembali ke alam (back to nature), termasuk mencari
sumber pengawet/senyawa antimikroba alami.
Indonesia adalah salah satu pusat keanekaragaman hayati dunia selain
Brazilia dan Tanzania (Agusta, 2000). Indonesia adalah negara penghasil
rempah-rempah khas yang telah dikenal sejak dahulu kala. Rempah banyak
digunakan sebagai bumbu ataupun digunakan secara tradisional untuk
pengobatan suatu penyakit dan pengawetan bahan pangan. Salah satu rempah
di Indonesia yang dimanfaatkan sebagai obat terutama di Indonesia bagian
timur adalah kulit kayu mesoyi.
Mesoyi merupakan salah satu dari 4000 jenis kayu di Indonesia yang
belum diketahui sifat dan kegunaannya (Kartasujana dan Martawijaya, 1973).
Tanaman mesoyi (Cryptocaria massoia) termasuk dalam famili Lauraceae.
Beberapa rempah dari famili ini yang telah lebih banyak dikenal
dibandingkan mesoyi adalah kayu manis (Cinnamomun burmanii) dan
13
antarasa (Litsea cubeba) (Agusta, 2000). Selain itu, bagian kayu dari rempah
yang banyak diteliti adalah kayu secang (Caesalpinia sappan Linn.).
Mesoyi (Cryptocaria massoia) merupakan pohon hutan yang terdapat
di Indonesia, terutama di Indonesia Timur. Kulit kayu merupakan bagian
yang paling banyak dimanfaatkan dari tanaman mesoyi (Guenther, 1972).
Kulit kayu mesoyi lebih banyak digunakan sebagai obat-obatan daripada
sebagai bumbu. Kulit kayu mesoyi banyak digunakan untuk mengobati diare,
kejang, demam, TBC, sakit otot, sakit kepala, dan konstipasi kronis (Lily,
1980).
Sa’roni dan Adjirni (2001) menyatakan bahwa infus kulit kayu mesoyi
dosis 300 mg/100 g bobot badan mempunyai efek antiinflamasi pada tikus
putih, tetapi tidak sekuat fenilbutazon (kontrol) dengan dosis 10 mg/100 g
bobot badan. Mesoyi juga diketahui sebagai rempah yang memiliki khasiat
analgetika. Pada dosis 100 mg/10 g bobot badan, mesoyi memiliki efektivitas
analgetik lebih besar daripada asetosal sebagai kontrol pada dosis 0.52 mg/10
g bobot badan mencit (Widowati dan Pudjiastuti, 2001). Diketahuinya
manfaat kulit kayu mesoyi sebagai antiinflamasi dan analgetika, serta
penggunaan kulit kayu mesoyi secara empiris inilah yang menjadi dasar
perlunya dilakukan penelitian lain agar pemanfaatan kulit kayu mesoyi
semakin luas. Salah satu caranya adalah dengan mempelajari aktivitas
antimikroba dari kulit kayu mesoyi.
Kemampuan mempengaruhi pertumbuhan mikroba dipengaruhi oleh
kandungan komponen bioaktif yang bersifat antimikroba di dalam suatu
bahan. Telah diketahui bahwa kandungan komponen bioaktif rempah-rempah
merupakan komponen yang banyak berperan sebagai senyawa antimikroba.
Diduga kulit kayu mesoyi berpotensi sebagai salah satu sumber senyawa
antimikroba alami, sehingga dapat digunakan sebagai pengawet pangan dan
dikembangkan sebagai bahan pangan fungsional. Dengan demikian nilai
ekonomis kulit kayu mesoyi akan meningkat.
14
B. TUJUAN DAN SASARAN
Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji aktivitas antimikroba beberapa
jenis ekstrak kulit kayu mesoyi terhadap mikroba patogen dan perusak
pangan. Sasaran yang ingin dicapai dari penelitian ini adalah peningkatan
pemanfaatan ekstrak kulit kayu mesoyi sebagai pengawet pangan alami dan
pengembangannya sebagai pangan fungsional.
15
II. TINJAUAN PUSTAKA
A. KULIT KAYU MESOYI
Kulit kayu mesoyi merupakan bagian kulit kayu dari tanaman
mesoyi (Cryptocaria massoia). Mesoyi termasuk famili Lauraceae.
Spesies yang paling populer dari famili tumbuhan ini sebagai penghasil
minyak atsiri adalah Cinnamomun burmannii (kayu manis) dari genus
Cinnamomun, Litsea cubeba (antarasa) dari genus Litsea, dan Cryptocaria
massoia (mesoyi) dari genus Cryptocaria (Agusta, 2000).
Daerah sebaran Cinnamomun dan Cryptocaria di Indonesia terbagi
menjadi dua daerah yang menarik untuk dicermati. Daerah Indonesia
bagian barat dan tengah seperti Sumatera dan Jawa, umumnya didominasi
oleh Cinnamomun, sedangkan Cryptocaria populasinya lebih dominan di
daerah Indonesia timur, terutama Irian Jaya (Agusta, 2000).
Beberapa ilmuwan mengemukakan beberapa nama botani tanaman
mesoyi, antara lain Massoia aromaticum Becc., dan Cinnamomun
xanthoneuron Blume (Guenther, 1972). Saat ini diketahui bahwa terdapat
beberapa varietas tanaman mesoyi, seperti Cryptocaria massoia, Massoia
aromaticum Baecari., Cinnamomun xanthoneuron Blume, dan
Cinnamomun culilawan Blume (Ketaren, 1985). Varietas Cryptocaria
massoia terdapat di daerah Bogor (Ketaren 1985), dan karenanya kulit
kayu mesoyi yang digunakan pada penelitian ini termasuk dalam varietas
Cryptocaria massoia.
Mesoyi digambarkan sebagai pohon hutan yang indah, tingginya
sedang, tegak, dan dapat tumbuh pada tanah berkapur. Mesoyi terdapat di
beberapa daerah di Sumatera, Kalimantan, Jawa, Bali, Seram Selatan dan
Laut Bacan, Pulau Aru dan Kai, dan Irian. Mesoyi memiliki beberapa
bagian penting yang banyak digunakan, antara lain daun, cabang, kulit dan
kayu. Tanaman ini tumbuh pada ketinggian 1000-1500 m diatas
permukaan laut (Heyne, 1987). Selain terdapat di beberapa daerah di
Indonesia, mesoyi juga banyak terdapat di Cina (Guenther, 1972).
16
Mesoyi memiliki beberapa bagian penting yang banyak digunakan.
Daun mesoyi banyak digunakan di Pulau Seram sebagai bahan pengisi
bantal atau sebagai obat dengan mengoleskannya pada kepala saat
perjalanan jauh (Guenther, 1972), karena daun mesoyi memberi efek
menghangatkan.
Kulit kayu mesoyi berwarna coklat, memiliki bau tajam yang khas,
dan rasa yang cenderung kurang disukai (Heyne, 1987). Kulit kayu
mesoyi memiliki ukuran rata-rata lebar 5 cm dan panjang mencapai 100
cm. Biasanya kulit tanaman mesoyi dijual dalam bentuk ikatan atau
potongan (Guenther, 1972). Bagian kulit ini mengeluarkan cairan yang
dapat menyebabkan gatal-gatal bila terkena kulit. Oleh karena itu pada
penanganannya cairan ini harus dikeluarkan terlebih dahulu dengan cara
diletakkan secara berdiri selama beberapa hari. Setelah kering kulit kayu
kayu mesoyi akan terlepas dengan sendirinya. Meskipun demikian kulit
kayu mesoyi tetap mengandung lemak walaupun dibiarkan berhari-hari
(Iskandar dan Ismanto, 2001).
Kulit kayu mesoyi banyak digunakan sebagai obat-obatan, makanan,
dan jamu. Penggunaannya sebagai obat, antara lain sebagai campuran
pada obat kejang perut, dan obat keputihan. Di Sumatera, Kalimantan,
Jawa dan Bali, kulit kayu mesoyi digunakan pada hari-hari dingin karena
dapat membuat badan lebih hangat. Di Jawa dan Bali, kulit kayu mesoyi
dibuat menjadi bubur, yang berfungsi selain membuat badan lebih hangat
juga dapat mengharumkan badan (Heyne, 1987).
Kulit kayu mesoyi berwarna kelabu muda, kaki batang kasar dan
retak, dan bagian dalam berwarna kemerah-merahan. Potongan kulit kayu
mesoyi dan minyak hasil penyulingannya dapat dilihat pada Gambar 1.
Komposisi kulit kayu mesoyi dapat dilihat pada Tabel 1. Saat ini, kulit
kayu mesoyi banyak diambil minyaknya sebagai bahan baku parfum.
Minyak kulit kayu mesoyi dihasilkan dari proses penyulingan uap kulit
kayu mesoyi. Komponen utama minyak kulit kayu mesoyi adalah
persenyawaan mesoyi-lakton (Ketaren, 1985). Struktur persenyawaan
mesoyi-lakton dapat dilihat pada Gambar 2.
17
(a) (b)
Gambar 1. (a) pohon mesoyi (Sudibyo, 1998) dan (b) minyak atsiri kulit
kayu mesoyi (Anonima, 2004)
Tabel 1. Hasil analisis proksimat kulit kayu mesoyi
Komposisi Persentase (%) Air 10.73 Protein 5.15 Lemak 4.01 Abu 6.44 Karbohidrat 73.67
Gambar 2. Mesoyi Lakton atau 5-Pentylpent-2-en-5-olide (C10H16O2)
(Leffingwell, 1999)
Sebagai tanaman khas Indonesia, kulit kayu mesoyi belum banyak
dimanfaatkan dan diteliti kegunaannya bila dibandingkan dengan tanaman
khas Indonesia lainnya seperti kayu manis, antarasa, dan kayu secang.
Kayu manis dengan senyawa sinamaldehid sebagai komponen utamanya,
telah diketahui sebagai salah satu rempah penghasil minyak yang
memiliki aktivitas antimikroba (Davidson dan Naidu, 2000). Litsea
18
cubeba (antarasa) diketahui sebagai rempah yang memiliki aktivitas
antimikroba (Mulia, 2000). Kayu secang (Caesalpinia sappan Linn)
merupakan rempah di Indonesia yang juga berasal dari kayu dan telah
terbukti memiliki aktivitas antimikroba (Sundari et al., 1998).
B. TEKNIK EKSTRAKSI
Ekstraksi adalah suatu cara memisahkan komponen tertentu dari
suatu bahan sehingga didapatkan zat yang terpisah secara kimiawi
maupun fisik. Ekstraksi biasanya berkaitan dengan pemindahan zat
terlarut diantara dua pelarut yang tidak saling bercampur. Proses
ekstraksi bertujuan untuk mendapatkan bagian-bagian tertentu dari
bahan yang mengandung komponen-komponen aktif. Teknik ekstraksi
yang tepat berbeda untuk masing-masing bahan. Hal ini dipengaruhi
oleh tekstur, kandungan bahan, dan jenis senyawa yang ingin didapat
(Nielsen, 2003).
Terdapat dua jenis ekstraksi yang dikenal, yaitu dengan
menggunakan panas dan tanpa pemanasan. Pada penelitian ini digunakan
teknik ekstraksi yang menggunakan pemanasan, atau biasa disebut
refluks. Pembagian jenis ekstraksi dapat juga dilakukan menurut pelarut
yang digunakan. Untuk pembagian ini, ekstraksi dibagi menjadi
ekstraksi tunggal dan ekstraksi bertingkat. Ekstraksi tunggal adalah
teknik ekstraksi pada bahan secara langsung menggunakan satu jenis
pelarut, sedangkan ekstraksi bertingkat adalah ekstraksi dengan beberapa
pelarut organik yang tingkat kepolarannya berbeda-beda.
Proses ekstraksi yang dilakukan pada penelitian ini adalah
ekstraksi tunggal dengan pemanasan (refluks), destilasi uap, dan
ekstraksi bertingkat dengan pemanasan (refluks). Berikut akan
dijelaskan lebih lanjut proses ekstraksi tersebut.
19
1. Refluks
Refluks adalah teknik ekstraksi dengan menggunakan panas.
Kelebihan dari refluks adalah dapat mempercepat proses ekstraksi,
dan mendapatkan komponen bahan lebih banyak (rendemen lebih
besar). Pengaplikasian panas dapat meningkatkan kelarutan bahan
dan membuat komponen-komponen didalamnya lebih mudah
terekstrak (Adawiyah, 1998). Selain itu, penggunaan panas juga
lebih mendekati pada aplikasi sehari-hari, yaitu rempah sering
digunakan sebagai bumbu dan dalam pengolahannya biasanya
melalui proses pemasakan (panas). Kekurangannya adalah resiko
terjadinya kerusakan komponen yang terekstrak karena terkena
panas.
Untuk memperkecil resiko, maka refluks dilakukan dengan
waktu yang lebih singkat. Selain itu, pemilihan pelarut yang
digunakan juga dapat mengurangi kerusakan oleh panas. Pelarut
yang baik digunakan pada cara panas adalah pelarut organik dengan
titik didih lebih rendah daripada air, seperti benzena (Pomeranz dan
Meloan, 1994).
Pada refluks, baik tunggal ataupun bertingkat, bahan diekstraksi
pada suhu tinggi selama 3 jam. Cairan kemudian disaring dan bahan
diekstraksi kembali selama dua jam. Hal ini bertujuan untuk
meningkatkan rendemen (Adawiyah, 1998). Gambar alat refluks
dapat dilihat pada Lampiran 2.
2. Destilasi uap
Destilasi adalah cara ekstraksi yang telah dikenal sejak dahulu
kala dan digunakan secara luas selama ribuan tahun. Awalnya alat
yang terdiri dari evaporator dan kondensor banyak digunakan untuk
mendapatkan konsentrat dari minuman beralkohol. Destilasi dapat
diartikan sebagai proses yang memisahkan dua atau lebih campuran
20
bahan yang memiliki titik didih yang berbeda. Pemisahan terjadi
dengan mengeluarkan komponen volatil (Kister, 1992).
Untuk mendapatkan minyak atsiri, dilakukan destilasi uap.
Destilasi uap adalah salah satu jenis ekstraksi tanpa menggunakan
panas. Pada metode ini, air sebagai sumber uap panas berada pada
ketel yang berbeda yang kemudian dialirkan dari bejana uap ke
dalam bahan (Ketaren, 1985). Setelah bahan banyak teruapkan, maka
bahan akan mendidih kemudian air dan minyak naik melalui tabung
dan mengalami kondensasi. Distilat yang diperoleh terdiri dari dua
lapisan, yaitu lapisan minyak dan lapisan air. Dengan demikian
minyak dapat dipisahkan dari air (Mulia, 2000).
Ekstraksi minyak atsiri dengan metode destilasi uap memiliki
beberapa kelemahan, yaitu: (1) tidak baik digunakan terhadap
beberapa jenis minyak yang mengalami kerusakan oleh adanya panas
dan air, (2) minyak atsiri yang mengandung fraksi ester akan
terhidrolisa karena adanya air dan panas, (3) komponen minyak yang
larut dalam air tidak dapat diekstraksi, dan (4) bau minyak sedikit
berubah dari bau wangi alamiah (Ketaren, 1985).
3. Ekstraksi dengan pelarut organik
Ekstraksi secara bertingkat dilakukan dengan menggunakan
beberapa pelarut dengan tingkat kepolaran yang berbeda. Hal ini
dikarenakan tingkat kepolaran berbagai komponen non-volatil dalam
rempah-rempah berbeda-beda juga. Hal-hal yang perlu diperhatikan
mengenai pelarut adalah: (1) pelarut polar akan melarutkan senyawa
polar, (2) pelarut organik akan cenderung melarutkan senyawa
organik, dan (3) pelarut air cenderung melarutkan senyawa
anorganik dan garam dari asam ataupun basa (Achmadi, 1992).
Prinsip ekstraksi menggunakan pelarut organik adalah bahan
yang akan diekstrak dikontakkan langsung dengan pelarut selama
selang waktu tertentu, sehingga komponen yang akan diekstrak akan
21
terlarut dalam pelarut. Kelebihan dari ekstraksi menggunakan pelarut
organik adalah mendapatkan senyawa yang lebih terkonsentrasi dan
memiliki aroma yang hampir benar-benar sama dengan bahan alami
awal (Anonimb, 2006). Pengekstraksian minyak tumbuhan dengan
kimiawi (pelarut organik) adalah cara paling ekonomis karena
membutuhkan sedikit biaya dengan hasil yang banyak. Tetapi bahan-
bahan kimia yang digunakan dikhawatirkan dapat mengganggu
kesehatan dan mencemari lingkungan (Iskandar, 2003). Kekurangan
ini disebabkan terdapatnya residu pelarut organik didalam ekstrak.
Oleh karena itu, setelah proses ekstraksi selesai, penting dilakukan
penghilangan sisa pelarut organik yang terdapat dalam bahan
(Anonimb, 2006).
Pada penelitian ini, ekstraksi dilakukan secara berturut-turut
menggunakan heksan, etil asetat, dan metanol. Dengan demikian
akan diperoleh ekstrak yang mengandung senyawa non polar,
senyawa dengan kepolaran menengah, dan senyawa polar.
Proses ekstraksi dengan pelarut non-polar (heksan) diperlukan
untuk menghilangkan lemak (defatting), sehingga pelarut yang lain
lebih efektif dalam mengekstraksi ampas mesoyi. Heksan adalah
hidrokarbon alkana dengan rumus molekul C6H14. Heksan biasanya
merupakan cairan tak berwarna dan bersifat non-polar. Heksan
memiliki titik didih 69°C dan dapat larut dalam air (Anonimh, 2006).
Etil asetat adalah komponen organik semi polar dengan rumus
molekul C4H8O2. Etil asetat adalah cairan tidak berwarna dan
memiliki bau tajam yang kurang enak. Keuntungan menggunakan
etil asetat sebagai pelarut disebabkan oleh sifatnya yang volatil, non-
toksik, dan tidak higrokopis (Anonimi, 2006).
Metanol adalah alkohol sederhana dengan senyawa kimia dengan
rumus molekul CH3OH. Metanol merupakan cairan kimia tak
berwarna, volatil, dapat terbakar, beracun, dengan bau yang lebih
dalam dan lebih wangi dibandingkan etanol. Metanol banyak
22
digunakan sebagai pelarut dan bahan bakar. Titik didih pelarut ini
adalah 64.7°C. Metanol bersifat polar dan karenanya akan
mengekstrak komponen-komponen polar dari bahan (Anonimc,
2006).
C. SENYAWA ANTIMIKROBA
Senyawa antimikroba adalah senyawa biologis atau senyawa kimia
yang digunakan dalam dosis kecil dengan tujuan untuk mencegah ataupun
menghambat pertumbuhan dan aktivitas mikroba (Ray, 2001). Senyawa ini
terdapat didalam bahan pangan dengan berbagai cara. Beberapa
diantaranya terdapat secara alamiah, ditambahkan dengan sengaja, ataupun
terbentuk selama pengolahan atau oleh mikroorganisme yang tumbuh
selama fermentasi (Fardiaz, 1992). Dalam bidang pangan, senyawa
antimikroba umumnya digunakan sebagai senyawa aditif untuk mencegah
pembusukan makanan karena adanya pertumbuhan mikroba (Branen,
1993).
Senyawa antimikroba yang ditambahkan pada makanan untuk
mengawetkan harus mempunyai beberapa kriteria ideal, antara lain
memiliki aktivitas antimikroba, aman untuk dikonsumsi manusia,
ekonomis, tidak menyebabkan perubahan kualitas makanan, memiliki
aktivitas antimikroba yang baik pada kondisi lingkungan makanan, efektif
pada dosis kecil, serta bersifat membunuh daripada menghambat
pertumbuhan mikroba (Ray, 2001). Pemilihan senyawa antimikroba
pangan yang baik didasarkan pada kemampuannya menghambat jenis-
jenis mikroba. Biasanya senyawa antimikroba yang dapat menghambat
lebih banyak bakteri, baik bakteri pembusuk ataupun patogen (spektrum
penghambatan yang luas) lebih diharapkan (Branen, 1993).
Penghambatan terhadap bakteri uji dapat bersifat bakterisidal
ataupun bakteristatik. Bakteristatik artinya dapat menghambat
pertumbuhan bakteri secara cukup signifikan, dan bila bahan penghambat
dihilangkan maka bakteri akan pulih dan dapat tumbuh kembali (Prescott
23
et al., 2003). Bakterisidal dapat diartikan sebagai bahan yang dapat
membunuh bakteri yang menjadi target. Aktivitas dari senyawa yang
bersifat bakterisidal sangat tergantung pada konsentrasi antimikroba yang
digunakan (Prescott et al., 2003).
Fakta yang menunjukkan adanya hubungan antara rempah-rempah
dengan mikrobiologi diantaranya adalah: (1) beberapa rempah diketahui
memiliki aktivitas antimikroba, (2) rempah-rempah dapat menstimulasi
metabolisme mikroorganisme, (3) rempah-rempah menjadi berjamur bila
disimpan pada tempat dengan kelembaban tinggi, dan (4) terkadang
rempah mengandung mikroba secara alami (Farkas, 2000). Rempah-
rempah dan ekstrak-ekstrak tanaman telah banyak diketahui memiliki
aktivitas antimikroba. Kayu manis, bawang putih, bawang bombay, jahe,
dan banyak rempah lainnya telah terbukti memiliki aktivitas antimikroba.
Hal ini membuka jalan untuk banyak penelitian yang bertujuan
mempelajari kemungkinan penggunaan bahan alami sebagai pengawet
(Ray, 2001).
Senyawa antimikroba dapat menyebabkan kerusakan sel bakteri
dengan beberapa cara. Secara umum mekanisme kerja antimikroba dalam
menghambat mikroba adalah: (1) bereaksi dengan membran sel, (2)
inaktivasi enzim esensial, dan (3) mendestruksi atau menginaktivasi fungsi
dari materi genetik (Davidson, 1993).
D. KARAKTERISTIK MIKROBA PATOGEN DAN MIKROBA
PEMBUSUK MAKANAN
Bakteri yang akan diuji pada penelitian ini mewakili bakteri patogen
dan pembusuk pangan. Bakteri yang akan diuji adalah Staphylococcus
aureus, Eschericia coli, Salmonella Typhimurium, Pseudomonas
aeruginosa, dan Bacillus cereus. Staphylococcus aureus, Eschericia coli,
Salmonella Typhimurium, dan Bacillus cereus mewakili jenis bakteri
patogen, sedangkan Pseudomonas aeruginosa mewakili bakteri pembusuk
pangan.
24
Bakteri dikategorikan patogen bila bakteri tersebut dapat
menyebabkan penyakit bagi manusia yang mengkonsumsi makanan yang
mengandung bakteri ini dalam jumlah tertentu. Beberapa bakteri patogen
juga dapat menghasilkan toksin (racun), sehingga jika toksin tersebut
dikonsumsi oleh manusia dapat menyebabkan intoksikasi. Pada
intoksikasi, sekalipun makanan atau bahan pangan sudah dipanaskan,
toksin yang sudah terbentuk masih tetap aktif dan bisa menyebabkan
keracunan meski bakteri tersebut sudah tak ada dalam makanan
(Ardiansyah, 2006).
Kualitas pangan akan menurun jika terdapat bakteri pembusuk di
dalamnya. Pembusukan (spoilage) adalah istilah yang digunakan untuk
menggambarkan penurunan kualitas dari warna, tekstur, aroma, dan rasa
makanan hingga titik dimana makanan tersebut tidak dapat diterima oleh
manusia (Shiddieqy, 2006). Bakteri-bakteri uji ini dapat dikelompokkan atas golongan bakteri
Gram positif dan bakteri Gram negatif. Bakteri yang termasuk kedalam
kelompok bakteri Gram positif adalah Staphylococcus aureus dan Bacillus
cereus, sedangkan yang termasuk pada bakteri Gram negatif adalah
Eschericia coli, Pseudomonas aeruginosa, dan Salmonella Typhimurium.
1. Staphylococcus aureus
Stapilokoki merupakan kumpulan sel yang tidak beraturan dan
berbentuk seperti buah anggur. Staphylococcus aureus merupakan
golongan bakteri Gram positif, famili Micrococcaceae, dan
berbentuk bulat dengan diameter 0.5-1.5 µm. Staphylococcus aureus
dapat hidup secara aerobik maupun anaerobik fakultatif, bersifat
non-motil dan tidak membentuk spora (Parker, 2000). Gambar S.
aureus dapat dilihat pada Gambar 3.
S. aureus dapat tumbuh pada kisaran suhu 7-48°C dengan suhu
optimum pertumbuhannya adalah 35-37oC. S. aureus terbukti
mampu bertahan pada suhu beku (freezing), dan pada suhu -18°C
dapat bertahan pada daging dan produk unggas dengan tidak atau
25
hanya mengalami sedikit perubahan dalam jumlah sel (White dan
Hall, 1984). Beberapa strain dari S. aureus juga tahan panas. Faktor-
faktor yang mempengaruhi ketahanan S. aureus terhadap panas
adalah suhu dimana sel tersebut tumbuh dan umur sel (Parker, 2000).
S. aureus yang tumbuh dibawah suhu 30°C lebih sensitif terhadap
panas dibandingkan S. aureus yang tumbuh di atas suhu 30°C,
sedangkan S. aureus yang tumbuh di atas suhu 40°C lebih resisten
terhadap panas (Smith dan Marmer, 1991). Sel S. aureus pada masa
awal fase log lebih tidak tahan panas dibandingkan sel pada masa
stasioner. Kondisi penyembuhan dari sel S. aureus yang rusak akibat
panas berlangsung optimum pada suhu 32°C dan pH 6.0 (Parker,
2000).
S. aureus adalah salah satu mikroba patogen yang paling tahan
terhadap lingkungan kering. S. aureus dapat tumbuh pada
lingkungan dengan nilai aw yang lebih rendah dibandingkan bakteri
patogen lain. Batas nilai aw untuk pertumbuhan akan lebih rendah
pada kondisi lingkungan aerobik daripada anaerobik, dan bila suhu
dan pH turun batas nilai aw yang diharapkan untuk pertumbuhan
meningkat. Kisaran pH untuk pertumbuhan S. aureus adalah antara
4.0-10.0 dalam kondisi lingkungan yang cocok, dengan pH
optimumnya adalah 6.0-7.0 (Parker, 2000).
Hampir seluruh strain S. aureus bersifat patogen dan dapat
memproduksi 6 jenis enterotoksin (A, B, C1, C2, D, dan E) dengan
tingkat toksisitas yang berbeda yang tahan panas, dimana ketahanan
panasnya melebihi sel vegetatifnya. Sebagian besar kasus keracunan
makanan disebabkan oleh enterotoksin tipe A. S. aureus sering
menyebabkan orang yang mengkonsumsi susu dari sapi yang
menderita mastitis stapilokoki menjadi sakit (Parker, 2000).
2. Escherichia coli
Bakteri koliform dibedakan atas dua kelompok yaitu fekal dan
nonfekal. Escherichia coli merupakan jenis bakteri dari kelompok
26
fekal yang berasal dari saluran pencernaan manusia dan biasanya
diisolasi dari kotoran manusia. Escherichia coli merupakan bakteri
Gram negatif yang berbentuk batang. E. coli termasuk famili
Enterobacteriaceae. Panjang E. coli adalah 2.0-6.0 µm dan lebarnya
adalah 1.1-1.5 µm. E. coli bersifat motil atau non motil dengan
flagela peritrikat bersifat fakultatif anaerob. Kisaran suhu untuk
pertumbuhan E. coli adalah 10-40oC, dengan suhu optimum
pertumbuhannya adalah 37oC. Gambar E. coli dapat dilihat pada
Gambar 3.
E. coli mengandung enterotoksin dan faktor virus lainnya yang
dapat menyebabkan diare. Bakteri ini adalah penyebab utama infeksi
pada saluran kencing dan nosocomial, termasuk septisimia dan
meningitis (Holt, et al.., 1994).
3. Bacillus cereus
B. cereus adalah bakteri Gram positif yang memiliki sel
berukuran cukup besar. B. cereus bersifat fakultatif dan dapat
menghasilkan spora yang tahan terhadap suhu tinggi dan
pengeringan. Spora B. cereus umumnya berbentuk silinder. B. cereus
dapat tumbuh secara aerobik dan juga anaerobik (Granum, 2000).
Gambar B. cereus dapat dilihat pada Gambar 3.
Suhu optimum pertumbuhan B. cereus adalah 35-40°C, tetapi
beberapa strain B. cereus diketahui dapat tumbuh pada suhu 4-6°C
atau bersifat psikrotropik (Driessen, 1993). B. cereus yang dapat
menyebabkan keracunan makanan adalah jenis B. cereus yang
tumbuh pada suhu 30-40°C atau bersifat mesofilik (Granum, 2000).
Bacillus cereus merupakan saprofit umum pada tanah
(Granum, 2000). B. cereus banyak terdapat pada daging, sayuran,
nasi goreng, sup, makaroni, keju, produk roti, kacang-kacangan dan
salad mentah.
B. cereus dapat menyebabkan penyakit pada manusia lewat
makanan (food borne illness). Penyakit yang ditimbulkan oleh B.
27
cereus adalah muntah-muntah, diare, dan sakit perut (Granum,
2000). Sindrom diare disebabkan oleh setidaknya dua jenis
enterotoksin yang dihasilkan selama pertumbuhan vegetatif B. cereus
didalam usus kecil. Untuk mencegah dampak buruk B. cereus,
makanan harus dijaga agar jumlah kontaminasinya tidak tinggi.
Batas aman konsumsi B. cereus adalah 1x106 (Granum, 1994). Hal
ini dapat dilakukan dengan pemasakan yang dapat membunuh sel
vegetatif dan mencegah germinasi spora; pemanasan kemudian
pendinginan secepatnya sehingga memberikan shok; dan
penyimpanan pada suhu refrigerator.
4. Salmonella Typhimurium
Bakteri dari jenis Salmonella merupakan bakteri penyebab
infeksi. Jika tertelan dan masuk ke dalam tubuh maka menimbulkan
gejala yang disebut salmonelosis. Gejala salmonelosis yang paling
sering terjadi adalah gastroenteritis. Selain gastroenteritis, beberapa
spesies Salmonella juga dapat menimbulkan gejala penyakit lainnya,
misalnya demam enterik seperti demam tifoid dan demam paratifoid
serta infeksi lokal (Fardiaz, 1992).
Salmonella merupakan salah satu genus dari
Enterobacteriaceae. Salmonella berbentuk batang, Gram negatif,
anaerobik fakultatif, dan aerogenik. Biasanya, Salmonella bersifat
motil dan mempunyai flagela peritrikus. Kebanyakan strain
Salmonella bersifat aerogenik, dapat menggunakan sitrat sebagai
sumber karbon, dan tidak membentuk H2S (Fardiaz,1992). Gambar
Salmonella Typhimurium dapat dilihat pada Gambar 3.
Salmonella hidup secara anaerobik fakultatif. Bakteri ini tidak
dapat berkompetisi secara baik dengan mikroba-mikroba yang umum
terdapat di dalam makanan seperti bakteri-bakteri pembusuk, bakteri
genus lainnya dalam famili Escericieae dan bakteri asam laktat. Oleh
karena itu, pertumbuhannya sangat terhambat dengan adanya
bakteri-bakteri tersebut (Cox, 2000).
28
Salmonella Typhimurium dapat tumbuh pada suhu 5-47°C
dengan suhu optimum 35-37°C. Nilai pH optimum untuk
pertumbuhannya adalah 6.5-7.5, sedangkan aw optimum adalah
0.945-0.999 (Cox, 2000).
5. Pseudomonas aeruginosa
Pseudomonas aeruginosa termasuk ordo Pseudomonadales,
sub ordo Pseudomonadaceae, dan famili Pseudomonadaceae,
merupakan bakteri aerob obligat dan oksidase positif. Beberapa
spesies bersifat motil dengan flagela polar, sedangkan spesies
lainnya bersifat non-motil (Bennik, 2000). Pseudomonas aeruginosa
adalah Gram negatif, berbentuk batang, tidak membentuk spora, dan
berukuran kecil (Gambar 3).
Pseudomonas aeruginosa tumbuh dengan baik pada suhu
37oC. Bakteri ini memproduksi senyawa-senyawa yang
menimbulkan bau busuk dan pigmen tiosianin yang berwarna biru.
Untuk pertumbuhan yang baik, diperlukan aw minimum 0.96-0.98,
pH optimum 6.6-7.0, dan suhu pertumbuhan optimum 37°C (Bennik,
2000).
(a) (b) (c)
(d) (e)
Gambar 3. Bakteri-bakteri uji: (a) P. aeruginosa, (b) B. cereus, (c) E.
coli, (d) S. aureus, dan (e) Salmonella Thypimurium.
29
E. PENGUJIAN AKTIVITAS ANTIMIKROBA
Pengujian aktivitas antimikroba dapat dilakukan dengan metode in
vitro ataupun dengan metode aplikasi (Davidson dan Parish, 1989).
Metode aplikasi adalah metode dimana senyawa antimikroba
diaplikasikan secara langsung terhadap produk pangan untuk mengukur
pengaruhnya terhadap mikroflora alami produk pangan tersebut. Metode
in vitro adalah uji aktivitas antimikroba dengan senyawa antimikroba
yang tidak diaplikasikan langsung kepada produk. Metode ini hanya bisa
memberikan informasi awal tentang potensi kegunaan komponen
sebagai antimikroba. (Davidson dan Parish, 1993). Salah satu metode
pengujian aktivitas antimikroba secara in vitro adalah uji difusi sumur
dan penentuan nilai MIC.
1. Uji difusi sumur
Uji difusi sumur adalah cara menguji aktivitas antimikroba
yang paling banyak digunakan (NCCLS, 1991). Branen (1993)
menyatakan bahwa uji difusi sumur merupakan cara yang sederhana
dan cepat, walaupun cara ini memiliki kelemahan pada data yang
dihasilkan karena lebih bersifat kualitatif. Aktivitas antimikroba
yang terlihat pada uji difusi sumur dipengaruhi oleh beberapa faktor,
antara lain: (1) tipe dan ukuran cawan, (2) tipe agar, pH, dan
kandungan garamnya, (3) kemampuan zat untuk berdifusi kedalam
agar, (4) karakteristik media, dan (5) jenis bakteri uji yang
digunakan.
Ekstrak yang dimasukkan ke dalam sumur atau lubang akan
berdifusi masuk kedalam agar selama masa inkubasi. Bila memiliki
sifat antimikroba, ekstrak ini akan menimbulkan gradien konsentrasi
di dalam agar dan membentuk penghambatan yang akan terlihat
sebagai zona bening. Semakin jauh jarak masuk ke dalam agar, maka
konsentrasi ekstrak yang dapat menghambat pertumbuhan bakteri uji
juga akan semakin berkurang. Berkurangnya konsentrasi berarti
30
kekuatan ekstrak berkurang dan hanya beberapa bakteri yang dapat
terhambat. Hal inilah yang menimbulkan gradien konsentrasi pada
tingkat-tingkat konsentrasi tertentu (Davidson dan Parish, 1993).
Batas dari zona bening adalah pada saat kekuatan ekstrak sudah
jauh berkurang, sehingga tidak lagi menghambat pertumbuhan
bakteri uji. Zona bening yang terbentuk disebut juga diameter
penghambatan. Diameter penghambatan yang terbentuk dipengaruhi
oleh beberapa faktor, antara lain konsentrasi ekstrak, tingkat
kelarutan ekstrak, dan kemampuan ekstrak untuk berdifusi kedalam
agar (Prescott et al., 2003).
2. Penggunaan Kontrol
Pada uji difusi sumur digunakan kontrol sebagai pembanding.
Kontrol negatif yang digunakan adalah pelarut untuk melarutkan
ekstrak, yaitu Dimetilsulfoksida (DMSO), sedangkan kontrol positif
yang digunakan adalah antibiotik. Tujuan menggunakan kontrol
negatif adalah untuk melihat pengaruh DMSO terhadap aktivitas
antimikroba ekstrak. Kontrol positif digunakan sebagai pembanding
terhadap aktivitas antimikroba ekstrak, karena antibiotik merupakan
senyawa antimikroba yang telah dibuat secara terstandar.
a. Kontrol positif
Kontrol positif yang digunakan adalah antibiotik dengan
spektrum antimikroba yang luas, yaitu amoxycillin. Antibiotik
adalah produk metabolit yang dihasilkan organisme tertentu,
yang dalam jumlah amat kecil bersifat merusak atau menghambat
mikroorganisme lainnya. Antibiotik merupakan zat kimia yang
dihasilkan oleh suatu mikroba dan bersifat menghambat
mikroorganisme yang lain.
Antibiotik merupakan bahan yang sering digunakan dalam
penelitian. Beberapa antibiotik yang sering digunakan pada
31
penelitian adalah penicillin, actinomycins, chloramphenicol,
cycloserine, asam nalidiksik dan novobiosin, rifampin,
cycloheximide, daunomisin, mitomisin C, dan polioksin (Prescott
et al., 2003).
Suatu zat antibiotik hendaknya memiliki sifat sebagai
berikut: (1) mampu menghambat atau merusak patogen spesifik,
(2) tidak mengakibatkan berkembangnya bentuk-bentuk resisten,
(3) tidak menimbulkan efek samping yang dikehendaki, (4) tidak
mengganggu flora alamiah dari suatu benda atau manusia, (5)
harus dapat dimasukkan dari mulut tanpa diinaktifkan, dan (6)
sangat mudah larut dalam air.
Amoxycillin adalah senyawa antibiotik semisintesis dari
Penisilin. Penisilin merupakan salah satu antibiotik yang umum
dan banyak beredar di masyarakat. Penisilin merupakan
antibiotik modern yang pertama, dan merupakan antibiotik yang
bermanfaat karena paling luas penggunaannya. Penisilin
ditemukan sebagai metabolit sekunder dari kapang jenis tertentu,
yaitu Penicillium notatum, dan P. Chrysogenum.
Cara kerja penisilin menghambat pertumbuhan bakteri
adalah dengan menghambat pembentukan dinding sel bakteri.
Penisilin menghambat kerja enzim yang mengkatalis reaksi
pemindahan peptida-peptida dalam proses pembentukan
peptidoglikan dinding sel. Kemampuan ini dimiliki penisilin
karena kemiripan struktur dengan enzim pengkatalis. Penisilin
diketahui efektif karena memiliki kemampuan menghambat
sintesis peptidoglikan dinding sel bakteri. Penghambatan tersebut
bersifat spesifik dan sedikit sekali mempunyai efek buruk bagi
pemakai (Prescott et al., 2003).
Penisilin menghambat bakteri patogen hanya bila bakteri
tersebut sedang berada pada fase log (Prescott et al., 2003). Hal
ini sesuai dengan kemampuan penisilin menghambat sintesis
peptidoglikan dinding sel yang terjadi pada fase log. Penisilin
32
menghalangi pembentukan ikatan peptidoglikan dengan
sempurna dan pada akhirnya dapat mengakibatkan osmotik lisis
(Prescott et al., 2003). Bila sel bakteri yang peka terhadap
penisilin ditumbuhkan dengan tambahan antibiotik ini, sel bakteri
tersebut akan menjadi luar biasa besar ukurannya serta memiliki
bentuk yang tidak umum lalu kemudian lisis.
Saat ini telah diketahui beberapa mekanisme penghambatan
penisilin yang lain. Pensilin diketahui dapat berikatan dengan
protein pengikat dan dapat menghancurkan bakteri dengan
mengaktifkan enzim autolisis. Penisilin menstimulasi protein
khusus yang disebut hollins untuk membentuk lubang pada
membran plasma. Hal ini akan mengakibatkan membran rusak
dan menyebabkan kematian. Beberapa antibiotik lain yang
memiliki mekanisme serupa dengan penisilin adalah
cephalosporins, vancomycin, dan bakitrasin (Prescott et al.,,
2003).
Penisilin G efektif terhadap beberapa bakteri patogen Gram
positif, misalnya Streptococcus dan Staphylococcus. Ampisilin,
yang merupakan salah satu turunan penisilin, diketahui efektif
untuk dikonsumsi dengan diminum, dan memiliki spektrum
penghambatan bakteri yang lebih luas antara lain dapat
menghambat bakteri Gram negatif, seperti Haemophilus,
Salmonella, dan Shigella.
b. Kontrol negatif
Kontrol negatif yang digunakan pada uji difusi sumur
adalah DMSO (dimetil sulfoksida). DMSO adalah pelarut yang
umum digunakan dalam analisis atau percobaan, karena
kemampuannya untuk melarutkan senyawa baik polar ataupun
non polar. DMSO memiliki sifat seperti emulsifier. Rumus
senyawa DMSO adalah (CH3)2SO. Gambar strukturnya dapat
dilihat pada Gambar 4.
33
Gambar 4. Dimethyl sulfoxide atau DMSO (Anonimd, 2006)
DMSO merupakan cairan bening dengan bau seperti
bawang putih. DMSO memiliki titik didih 189°C dan dapat larut
dalam air. DMSO bersifat stabil dalam kondisi normal dan
bersifat higrokopis. DMSO efektif sebagai pelarut dalam proses
ekstraksi dan pemisahan komponen aroma (flavor), serta dalam
fraksinasi komponen tidak jenuh dari suatu bahan (Anonimd,
2006).
3. Penentuan Nilai MIC
MIC (Minnimum Inhibitory Concentration) adalah konsentrasi
terendah dari suatu senyawa antimikroba dimana antimikroba tersebut
masih memiliki kemampuan menghambat mikroba dalam periode
inkubasi tertentu (Davidson dan Parish, 1993). Nilai MIC penting
diketahui untuk mengkonfirmasi resistensi bakteri uji terhadap senyawa
antimikroba dan untuk menentukan aktivitas senyawa antimikroba baru
(Anonimc, 2006).
Penentuan MIC dapat dilakukan dengan cara padat ataupun cara
cair. Perbedaan cara padat dan cara cair terletak pada jenis media agar
yang digunakan untuk analisis. Pada cara cair, mikroba uji yang telah
ditumbuhkan didalam media cair kemudian ditambahkan senyawa
antimikroba dalam selang konsentrasi tertentu (Davidson dan Parish,
1993). Cara ini disebut metode kontak. Nilai MIC ditentukan pada
konsentrasi dimana mikroba didalam media cair sudah tidak tumbuh
lagi, dengan ciri-ciri media agar cair bening (tidak keruh) (Davidson dan
Parish, 1993). Pada cara padat digunakan uji difusi sumur. Data diameter
penghambatan kemudian diolah dengan regresi sehingga didapat
persamaan sederhana yang dapat digunakan untuk mencari nilai MIC.
34
Kelebihan dari metode kontak adalah hasilnya yang lebih akurat.
Kelemahannya adalah waktu yang dibutuhkan lebih lama, diperlukan
ketelitian dan pengulangan analisis berkali-kali untuk mendapatkan data
yang valid. Kelebihan dari metode difusi sumur untuk menentukan nilai
MIC adalah cara ini lebih sederhana dan waktu yang diperlukan lebih
singkat, sedangkan kelemahannya adalah datanya kurang akurat.
Beberapa nilai MIC dari minyak rempah-rempah terhadap beberapa
bakteri dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2. Nilai MIC (Minnimum Inhibitory Concentration) beberapa
minyak rempah-rempah (% v/v) (Hammer, et al., 1999a)
Rempah-rempah
Ent
eroc
occu
s
faec
alis
E. c
oli
Pseu
dom
onas
aeru
gino
sa
Salm
onel
la
Thy
piim
uriu
m
S. a
ureu
s
Can
dida
albi
cans
Basil >2.0 0.5 >2.0 2.0 2.0 0.5
Jinten hitam 1.0 >2.0 >2.0 >2.0 >2.0 >2.0
Cengkeh 0.5 0.25 >2.0 >2.0 0.25 0.12
Jahe >2.0 >2.0 >2.0 >2.0 >2.0 >2.0
Oregano 0.25 0.12 2.0 0.12 0.12 0.12
Tanaman lemon 0.12 0.06 1.0 0.25 0.06 0.06
Tanaman teh 2.0 0.25 >2.0 0.5 0.5 0.5
Thyme 0.5 0.12 >2.0 >2.0 0.25 0.12
Peppermint 2.0 0.5 >2.0 1.0 1.0 0.5
F. UJI FITOKIMIA
Fitokimia mempelajari aneka ragam senyawa organik yang
dibentuk dan ditimbun oleh tumbuhan, yaitu mencakup struktur kimia,
biosintesis, perubahan serta metabolisme, penyebaran secara alamiah,
dan fungsi biologis. Kandungan kimia tumbuhan dapat digolongkan
35
berdasarkan asal biosintesis, sifat kelarutan, dan adanya gugus kunci
tertentu (Harborne, 1996).
Uji fitokimia biasanya memiliki kegunaan dalam fisiologi
tumbuhan, patologi tumbuhan, ekologi tumbuhan (interaksi antara
tumbuhan dengan lingkungan), paleobotani (tumbuhan berperan dalam
menguji hipotesis tentang fosil), dan genetika tumbuhan (Harborne,
1996). Pada bidang fisiologi tumbuhan, uji fitokimia dilakukan untuk
mengidentifikasi baik secara awal ataupun lanjut senyawa-senyawa yang
menyusun tanaman, seperti penentuan struktur, asal-usul biosintesis, dan
fungsi kerja senyawa tersebut dalam tanaman.
Uji fitokimia dilakukan untuk mengetahui metabolit sekunder dari
tumbuhan. Beberapa jenis metabolit sekunder memiliki aktivitas
antimikroba (Naidu, 2000). Metabolit sekunder tanaman yang banyak
terdapat pada batang, daun, kayu, bunga, dan buah antara lain adalah
saponin, flavonoid, fenol, alkaloid, steroid dan terpenoid, serta tanin.
1. Fenol
Fenol merupakan senyawa yang memiliki sebuah cincin aromatik
dengan satu atau lebih gugus hidroksil. Fenol dan turunannya memiliki
sifat cenderung larut dalam air (Suradikusumah, 1989). Fenol
merupakan senyawa yang penting karena merupakan kelas besar
diantara senyawa-senyawa penyusun tanaman. Senyawa fenolik terdiri
atas ribuan struktur. Beberapa senyawa fenol yang banyak ditemukan
di tanaman dapat dilihat pada Tabel 3.
Komponen antimikroba yang terkandung dalam fraksi-fraksi
minyak esensial rempah-rempah banyak mengandung komponen jenis
fenol (Beuchat, 1994). Komponen fenolik dari tanaman yang memiliki
aktivitas antimikroba dapat dilihat pada Tabel 4.
36
Tabel 3. Komponen fenolik yang ditemukan dalam tanaman (Nychas, 1994)
Senyawa fenol Sumber Senyawa fenol Sumber
Asam benzoat Rempah-rempah Isovanilin Alpukat
Kafein Teh, kopi Katekin Kulit anggur, teh
Eugenol Kayu manis Vanilin Vanila
Tanin Anggur, teh,
rempah-rempah
Asam
hidrobenzoat Wortel
Tabel 4. Komponen fenolik tanaman dan aktivitas antimikrobanya
(Davidson dan Naidu, 2000)
Sumber Senyawa fenolik Spektrum antimikroba
Nigella sativa L. Timohidrokuinon Bakteri Gram positif
Anethum graveolens L. Minyak atsiri Saccaromyces vini
Ducrosia anethifolia α-pinen / limonen Bakteri Gram positif, khamir
Thymus vulgaris Minyak atsiri Enterobakteria patogen
Ocimum sp. Minyak atsiri E. coli, S. aureus
Melaleuca alternifolia Linalool / terpinen E. coli, S. aureus
Mekanisme antimikroba senyawa fenolik adalah mengganggu
kerja di dalam membran sitoplasma mikroba. Termasuk diantaranya
adalah mengganggu transpor aktif dan kekuatan proton (Davidson,
1993). Fenol dapat membentuk ikatan hidrogen dengan protein
(Suradikusumah, 1989). Hal ini sesuai dengan Juven et al. (1994) yang
menyatakan bahwa thymol dapat bereaksi dengan kandungan protein
membran sitoplasma Salmonella Thypimurium. Kompleks ini
membuat perubahan permeabilitas membran sel mikroba dan membuat
Salmonella Thypimurium dapat dihambat.
2. Flavonoid
Flavonoid banyak terdapat dalam buah-buahan, sayuran, kacang-
kacangan, biji-bijian, akar, dan bunga (Middleton dan Kandaswami,
37
1994). Flavonoid merupakan bagian dari fenol. Flavonoid umumnya
terdapat dalam tumbuhan, dalam bentuk aglikon maupun terikat pada
gula sebagai glikosida (Harborne, 1996).
Flavonoid memegang peranan penting dalam biokimia dan
fisiologi tanaman, diantaranya berfungsi sebagai antioksidan,
penghambat enzim, dan prekursor bagi komponen toksik (Middleton
dan Kandaswami, 1994). Flavonoid pada tumbuhan berfungsi untuk
mengatur pertumbuhan, mengatur fotosintesis, mengatur kerja
antimikroba dan anti-virus, dan mengatur kerja anti-serangga
(Robinson, 1995). Selain itu, banyak dari jenis flavonoid merupakan
pigmen tanaman, seperti antosianin, flavonol, dan kalkon (Harborne,
1987).
Flavonoid merupakan golongan yang penting karena memiliki
spektrum aktivitas antimikroba yang luas dengan mengurangi
kekebalan pada organisme sasaran (Naidu, 2000). Flavonoid juga
penting dalam teknologi pangan karena turut serta dalam
meningkatkan kualitas sensori dan nutrisi dari buah dan produk-produk
pangan dari buah-buahan. Flavonoid memiliki kerangka dasar yang
terdiri dari 15 atom karbon, dengan dua cincin benzen terikat dan
membentuk struktur C6-C3-C6 (Suradikusumah, 1989).
Isoflavon merupakan jenis flavonoid yang banyak terdapat pada
tanaman dan memiliki aktivitas antimikroba yang paling tinggi
dibandingkan jenis flavonoid lainnya. Sebagai contoh isoflavon dapat
menghambat pertumbuhan kapang dan membantu dalam mengontrol
wabah penyakit (Naidu, 2000).
3. Saponin
Saponin merupakan senyawa yang secara alami mengandung
glikosida, banyak terdapat di tumbuhan (Naidu, 2000). Gruiz (1996)
menyatakan bahwa 76% dari jenis tanaman di Asia mengandung
saponin. Saponin bersifat seperti sabun. Keberadaan saponin dapat
dideteksi dengan mengamati kemampuannya membentuk busa.
38
Saponin menghambat pertumbuhan atau membunuh mikroba
dengan cara berinteraksi dengan membran sterol. Efek utama saponin
terhadap bakteri adalah adanya pelepasan protein dan enzim dari
dalam sel-sel (Zablotowicz et al.,, 1996).
4. Terpenoid
Terpenoid merupakan senyawa besar yang terkandung dalam
tumbuhan. Penggolongan terpenoid didasarkan pada adanya molekul
isopren. Secara kimiawi, terpenoid bersifat larut dalam lemak dan
terdapat dalam sel tumbuhan (Suradikusunah, 1989). Terpenoid
merupakan zat pengatur pertumbuhan tanaman. Salah satu golongan
terpenoid yang berpotensi sebagai antimikroba adalah triterpenoid.
Triterpenoid (C30) tersebar luas dalam damar, gabus dan kutin
tumbuh-tumbuhan. Triterpenoid termasuk senyawa yang merupakan
komponen aktif dalam obat. Senyawa ini banyak digunakan untuk
menyembuhkan penyakit gangguan kulit. Triterpenoid memiliki sifat
antijamur, insektisida, antibakteri, dan antivirus (Robinson, 1995).
5. Tanin
Tanin adalah polifenol tanaman yang memiliki rasa pahit
(Anonime, 2006). Nama tanin diambil dari kegunaannya menyamak
kulit binatang. Senyawa yang tergolong tanin adalah senyawa
polifenol yang mengandung gugus hidroksil dan gugus lainnya
(misalnya karboksil), sehingga mampu membentuk kompleks kuat
dengan protein. Senyawa tanin memiliki berat molekul antara 500-
20.000 μg.
Tanin mempunyai rasa sepat dan mempunyai kemampuan
menyamak kulit. Tanin terdiri dari berbagai asam fenolat. Beberapa
tanin dapat mempunyai aktivitas antioksidan, menghambat
pertumbuhan tumor, dan menghambat enzim seperti reverse
transkripitase dan DNA topoisomerase (Robinson, 1995).
39
Tanin memiliki beberapa fungsi kesehatan, diantaranya
antioksidan dan relaksasi. Selain itu tanin merupakan senyawa yang
secara klinis memiliki kemampuan anti-diare, hemostatik, dan anti-
hemorhodial (Anonime, 2006).
6. Alkaloid
Alkaloid adalah senyawa alami amina, baik pada tanaman,
hewan, ataupun jamur. Senyawa yang tergolong kedalam alkaloid
adalah senyawa-senyawa yang mengandung nitrogen. Kebanyakan
alkaloid memiliki rasa sepat. (Anonimf, 2006).
Alkaloid banyak ditemukan pada tanaman berbunga. Alkaloid
merupakan metabolit sekunder pada tanaman, misalnya kentang dan
tomat. Beberapa tanaman yang terbukti mengandung alkaloid adalah
Litsea firma, Phoebe cuneata BL., Litsea diversifolia BL. (Santoni,
2004; Alfinus, 2004; Hakim, 2004).
Alkaloid memiliki efek farmakologi pada hewan dan juga
manusia, seperti penggunaannya sebagai analgesik dan anaestetik.
Alkaloid yang biasa digunakan sebagai analgesik dan anaestetik adalah
morfin dan kodein. Selain berguna sebagai obat-obatan, alkaloid juga
dapat bersifat racun, misalnya strisin dan konin (Anonimf, 2006).
40
III. BAHAN DAN METODE
A. BAHAN DAN ALAT
Bahan baku utama pada penelitian ini adalah bubuk kulit kayu mesoyi.
Bubuk kulit kayu mesoyi yang digunakan didapat dari pasar Tanah Abang,
Jakarta Pusat. Untuk proses ekstraksi digunakan aquades, heksan teknis, etil
asetat teknis, metanol teknis, etanol teknis, es batu, dan gas N2. Bahan-bahan
yang digunakan untuk persiapan kultur, uji difusi sumur dan penentuan MIC
(Minimum Inhibition Concentration) adalah spiritus, antibiotik, alkohol 70%,
NaCl, Dimetil Sulfoksida (DMSO), dan Nutrient Broth (NB) serta Nutrient
Agar (NA).
Kultur murni bakteri uji yang digunakan terdiri dari bakteri patogen
yaitu Staphylococcus aureus, Eschericia coli, Salmonella Typhimurium, dan
Bacillus cereus, sedangkan kultur bakteri uji yang merupakan bakteri
pembusuk yaitu Pseudomonas aeruginosa.
Peralatan yang digunakan pada proses ekstraksi adalah peralatan
refluks, oven vakum, kertas saring Whatman No.1, termometer, sudip, gelas
ukur 100 ml, botol berwarna gelap, corong kaca, botol kaca bening, rotavapor,
labu refluks, tabung rotavapor, plastik, kain, dan alat saring vakum.
Alat-alat untuk persiapan kultur, uji difusi agar dan penentuan nilai
MIC adalah otoklaf, shaker, gelas piala, sudip, timbangan, sudip, peralatan
gelas, plastik tahan panas, cawan petri, ose, pipet mikron ukuran 1000 μl dan
200 μl, tip untuk pipet mikro, alat pembuat sumur, botol kaca, tusuk gigi, jar
atau botol kaca, gelas piala, cawan petri, jangka sorong, bunsen bakar,
baskom, tissue, label, pembungkus aluminium, dan gunting.
B. TEMPAT DAN WAKTU
Penelitian dilakukan di Laboratorium Mikrobiologi Pangan, Pusat
Antar Universitas, Institut Pertanian Bogor, dan Laboratorium Kimia Pangan,
Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, Fakultas Teknologi Pertanian,
Institut Pertanian Bogor. Penelitian dilakukan dari Februari 2006 hingga
September 2006.
41
C. METODE PENELITIAN
Penelitian dibagi menjadi penelitian pendahuluan dan penelitian
lanjutan. Penelitian pendahuluan terdiri dari beberapa tahap, yaitu : (1)
persiapan kultur bakteri uji, (2) proses ekstraksi, dan (3) pengujian aktivitas
antimikroba dengan uji difusi sumur. Penelitian kemudian dilanjutkan dengan
beberapa tahap, yaitu : (1) penentuan MIC dan (2) uji fitokimia (Gambar 5).
Bubuk kayu kulit kayu mesoyi
Jenis ekstrak terpilih
Gambar 5. Diagram alir penelitian
Ekstraksi tunggal (air, etanol, minyak atsiri)
Ekstraksi bertingkat (heksan, etil asetat, metanol)
Ekstraksi Persiapan kultur bakteri uji
Uji aktivitas antimikroba
Penentuan nilai MIC
Uji fitokimia
Ekstrak
42
1. Penelitian Pendahuluan
a. Persiapan kultur bakteri uji
Pada tahap persiapan kultur bakteri uji dilakukan perhitungan
total mikroba menggunakan metode hitungan cawan. Persiapan kultur
ini perlu dilakukan untuk mengetahui jumlah total mikroba sehingga
dapat dihitung pengenceran yang diperlukan agar saat kultur digunakan
pada uji difusi sumur total mikroba pada cawan adalah 1x105 hingga
1x106 dan jumlah ini stabil di setiap cawan.
Kultur murni yang berupa padatan diambil satu ose, kemudian
dilarutkan secara aseptis dalam media pertumbuhan NB 10 ml. Media
NB yang telah berisi mikroba kemudian diinkubasi pada suhu ruang
(37°C) selama 24 jam. Setelah itu, dari NB 10 ml diambil 1 ml dan
dimasukkan kedalam NB 9 ml, kemudian diinkubasi pada suhu 37°C
selama 24 jam. Bila pada NB 9 ml cairannya berwarna keruh maka
diambil 1 ml dari NB 9 ml dan diencerkan pada pengencer (larutan
fisiologis 0.85%) sampai pengenceran ke-8. Pada pengenceran ke-5
sampai dengan ke-8, diambil 1 ml dan dimasukkan kedalam cawan petri
steril. Kemudian diberi media pertumbuhan agar dengan metode tuang
(pour plate). Cawan kemudian diinkubasi pada suhu 37°C selama 48
jam.
Bila pada NB 9 ml cairannya berwarna bening maka diambil 1 ml
dari NB 9 ml dan diencerkan pada larutan pengencer (larutan fisiologis
0.85%) sampai pengenceran ke-5. Pada pengenceran ke-0 sampai
dengan ke-5, diambil 1 ml dan dimasukkan kedalam cawan petri steril.
Kemudian diberi media pertumbuhan agar dengan metode tuang (pour
plate). Cawan kemudian diinkubasi pada suhu 37°C selama 48 jam.
Diagram alir persiapan kultur menggunakan metode hitungan cawan
dapat dilihat pada Gambar 6.
Setelah dilakukan tahapan persiapan kultur dan telah didapat
jumlah total mikroba, maka selanjutnya dihitung pengenceran yang
diperlukan saat mengerjakan uji difusi sumur.
43
Kultur Bakteri
Diambil satu ose
Dimasukkan ke dalam 10 ml NB steril
Diinkubasi 24 jam pada suhu 37 ºC
Diambil 1 ml
Dimasukkan ke dalam 9 ml NB steril
Diinkubasi 24 jam pada suhu 37 ºC
Diamati kekeruhannya
Keruh Agak bening
Dipipetl 1 ml Dipipet 1 ml
Dimasukkan ke dalam Dimasukkan ke dalam 9 ml pengencer steril 9 ml pengencer steril
Dilakukan pengenceran dari 101-108 Dilakukan pengenceran dari 100-105
Dipipet masing-masing 1ml Dipipet masing-masing 1 ml dari pengenceran 105-108 dari pengenceran 100-105 Masing-masing dimasukkan Masing-masing dimasukkan ke dalam cawan petri steril ke dalam cawan petri steril
Kedalam cawan petri dituang agar
Didiamkan hingga agar membeku
Diinkubasi 48 jam pada 37 ºC
Diamati dan dihitung total mikroba
Ditentukan jumlah µl NB yang akan dimasukkan ke dalam 25 ml NA cair ( A )
Gambar 6. Diagram alir metode hitungan cawan
44
b. Proses ekstraksi
Ekstraksi tunggal dilakukan dengan mengekstrak secara langsung
bubuk kulit kayu mesoyi. Tujuan dari ekstraksi tunggal adalah
mendapatkan ekstrak kulit kayu mesoyi yang dekat dengan aplikasi
sehari-hari, dengan menggunakan pelarut yang aman dan mudah didapat
(air dan etanol teknis). Selain itu, penyulingan minyak atsiri juga
merupakan ekstraksi tunggal. Minyak atsiri diperoleh dengan teknik
destilasi uap, sedangkan ekstrak etanol dan air diperoleh dengan teknik
ekstraksi refluks.
Pada ekstraksi tunggal bubuk kulit kayu mesoyi dilakukan
ekstraksi langsung dengan etanol teknis dan juga aquades sebagai
pelarut. Perbandingan antara pelarut dengan bahan adalah 3:1 (v/w).
Suhu refluks harus dibawah titik didih pelarut yang digunakan.
Karenanya ekstraksi dengan pelarut etanol teknis berlangsung pada suhu
60°C, sedangkan ekstraksi dengan aquades berlangsung pada suhu
100°C.
Proses ekstraksi bahan secara refluks dicoba selama 5 jam secara
langsung dan 5 jam dengan pengulangan ekstraksi. Ekstraksi bahan
selama 5 jam dengan pengulangan dilakukan dengan mengekstraksi
bahan selama 3 jam yang kemudian diekstraksi kembali selama 2 jam.
Ekstrak hasil refluks selama 5 jam secara langsung ternyata memiliki
karakteristik yang lebih tidak baik dibandingkan dengan ekstrak hasil
proses refluks selama 3 jam yang kemudian direfluks kembali selama 2
jam. Karakteristik yang tidak baik tersebut antara lain tidak adanya bau
khas mesoyi dan rendemen yang lebih sedikit. Karenanya untuk
selanjutnya, baik pada ekstraksi tunggal ataupun ekstraksi bertingkat,
ekstraksi refluks dilakukan selama 3 jam dan cairan disaring dengan
kertas saring Whatman No.1 kemudian diekstraksi kembali selama 2
jam dengan menambahkan pelarut dengan jumlah yang sama.
Cairan ekstrak yang didapat kemudian disaring dengan kertas
saring Whatman No.1 menggunakan penyaring vakum. Proses ekstraksi
45
tunggal ini menghasilkan ekstrak air dan ekstrak etanol. Diagram alir
proses ekstraksi tunggal menggunakan etanol dan air dapat dilihat pada
Gambar 7.
Dipekatkan dengan rotavapor pada suhu 40 oC Dipekatkan dengan rotavapor
pada suhu 50 oC
Dihembuskan gas N2
Gambar 7. Skema ekstraksi tunggal dengan pelarut etanol dan air
Kulit kayu mesoyi didestilasi uap untuk mendapatkan minyak
atsiri. Dari minyak atsiri diperoleh komponen volatil kulit kayu mesoyi.
Ampas kulit kayu mesoyi hasil penyulingan uap minyak atsiri tentu
masih mengandung komponen-komponen yang bersifat non-volatil,
karena itulah diekstraksi lanjut secara bertingkat menggunakan pelarut
organik dengan rasio antara pelarut dan bahan adalah 3:1 (v/w). Tujuan
Direfluks dengan etanol (60 oC, 3 jam)
Direfluks dengan air (100 oC, 3 jam)
Ampas Filtrat
Bubuk Kulit Kayu Mesoyi
Ampas Filtrat
Ulangan (60°C, 2 jam)
Ekstrak etanol
Ekstrak air
Ulangan (60°C, 3 jam)
46
ekstraksi bertingkat adalah fraksinasi dan mengisolasi komponen aktif.
Setelah dikeringkan dengan oven vakum selama 24 jam pada suhu
kamar (35-40°C), ampas kulit kayu mesoyi kemudian diekstraksi
dengan pelarut heksan.
Setelah heksan yang merupakan pelarut non polar kemudian
dilanjutkan proses ekstraksi secara bertingkat dengan pelarut yang lebih
tinggi kepolarannya, yaitu etil asetat (semi polar) dan metanol (polar).
Suhu yang digunakan pada proses ekstraksi bertingkat adalah 60°C.
Pada ekstraksi bertingkat dilakukan proses pengulangan refluks
selama 3 jam kemudian diekstraksi kembali dengan pelarut yang sama
selama 2 jam. Cairan ekstrak yang didapat disaring dengan kertas saring
Whatman No.1 menggunakan penyaring vakum. Setiap penggantian
pelarut ampas dikeringkan dengan oven vakum selama 24 jam pada
suhu kamar (35-40°C). Diagram alir ekstraksi bertingkat dapat dilihat
pada Gambar 8. Pada proses ekstraksi bertingkat ini diperoleh ekstrak
heksan, ekstrak etil asetat, dan ekstrak metanol.
Jenis-jenis ekstrak kulit kayu mesoyi yang didapat, kecuali
minyak atsiri, kemudian dipekatkan menggunakan rotavapor. Ekstrak
air dirotavapor pada suhu 50oC, sedang ekstrak etanol, ekstrak heksan,
ekstrak etil asetat, dan ekstrak metanol dirotavapor pada suhu 40°C.
Suhu ini dipilih sehingga diharapkan senyawa aktif yang terkandung
dalam ekstrak tidak akan rusak.
Ekstrak kemudian dihembus dengan gas N2 sebelum disimpan.
Penghembusan ekstrak dengan gas N2 dilakukan terhadap seluruh
ekstrak etanol, ekstrak heksan, ekstrak etil asetat, dan ekstrak metanol.
Botol ekstrak yang telah seluruhnya diganti kandungan udaranya dari
O2 menjadi N2 akan menjadi dingin. Selain itu, ciri-ciri lainnya adalah
berat ekstrak yang terus berkurang, yang berarti pelarut telah
dihilangkan oleh hembusan N2. Penghembusan gas N2 dihentikan bila
botol ekstrak tidak menjadi lebih lebih dingin lagi dan berat ekstrak
sudah stabil. Berat ekstrak yang stabil adalah bila berat sudah tidak
berubah, atau paling tidak perubahannya tidak lebih dari 0,1 gr.
47
Ulangan
(60 ºC, 2 jam)
Ulangan
(60 ºC, 2 jam)
Ulangan
(60 ºC, 2 jam)
Khusus untuk ekstrak air kulit kayu mesoyi dilakukan analisis
kadar air ekstrak, karena air tidak dapat dihilangkan secara sempurna
oleh rotavapor. Pengukuran kadar air ekstrak air kulit kayu mesoyi
dilakukan dengan metode azeotropik.
Direfluks dengan heksan (60 oC, 3 jam)
`
Direfluks dengan etil asetat (60 oC, 3 jam) Dipekatkan (40 oC)
Dihembus gas N2
Direfluks dengan metanol Dipekatkan (40 oC)
(60 oC, 3 jam)
Dihembus gas N2
Dipekatkan (40°C)
Dihembus gas N2
Gambar 8. Diagram alir proses ekstraksi bertingkat dari ampas kulit kayu mesoyi
c. Uji Difusi Sumur
Pengujian aktivitas antimikroba awal ekstrak-ekstrak kulit kayu
mesoyi dilakukan dengan uji difusi sumur. Uji difusi sumur merupakan
Ampas Filtrat
Ampas Filtrat
Ampas Filtrat
Ekstrak metanol
Ampas hasil destilasi uap
Ekstrak heksan
Ekstrak etil asetat
48
uji kualitatif. Pada uji difusi sumur diukur diameter penghambatan.
Hasilnya kemudian digunakan untuk memilih ekstrak yang akan diuji
lebih lanjut. Hasil uji difusi sumur diolah secara statistik. Uji lebih lanjut
yang dilakukan adalah penentuan nilai MIC dan uji fitokimia.
Sesuai dengan hasil perhitungan total mikroba pada tahap
persiapan kultur bakteri uji, maka untuk mendapatkan total mikroba yang
seragam didalam cawan uji difusi agar sebanyak 1x105, maka kultur
harus diencerkan sebanyak 10-3. Cara untuk mengencerkan sebanyak 10-3
kali adalah dengan memasukkan 25μl bakteri uji kedalam 25 ml agar.
2. Penelitian Lanjutan
Penelitian lanjutan bertujuan untuk mengetahui nilai MIC dan
komponen fitokimia yang dimiliki ekstrak kulit kayu mesoyi terpilih.
Ekstrak terpilih adalah ekstrak yang dapat menghambat semua bakteri uji.
Ekstrak-ekstrak terpilih didasarkan pada hasil uji difusi sumur secara
kualitatif yang diolah secara statistik.
Ekstrak terpilih adalah minyak atsiri dan ekstrak etanol. Penentuan
nilai MIC dilakukan terhadap satu jenis mikroba yang pada uji difusi
sumur sebelumnya dapat dihambat paling optimum oleh ekstrak terpilih.
Analisis fitokimia yang dilakukan terhadap kedua ekstrak terpilih adalah
analisis secara kualitatif fenol, tanin, saponin, terpenoid, steroid,
flavonoid, dan alkaloid.
D. METODE ANALISIS
Pengujian aktivitas antimikroba ekstrak-ekstrak kayu dilakukan
dengan beberapa metode analisis, antara lain: (1) uji difusi sumur, (2)
penentuan MIC (Minimum Inhibition Concentration), dan (3) uji fitokimia.
1. Perhitungan nilai rendemen
Sejumlah bubuk kulit kayu mesoyi (sekitar 30 g) dimasukkan
kedalam tabung refluks dan diekstraksi selama 3 jam kemudian
49
dilanjutkan selama 2 jam. Cairan ekstrak yang didapat kemudian
dirotavapor dan dihembus gas N2 untuk menghilangkan pelarut. Setelah
didapat ekstrak tanpa pelarut kemudian dapat dihitung rendemennya
dengan rumus berikut ini.
dimana: W = berat ekstrak (g) W0 = berat bahan yang diekstrak (g) Ukuran sampel bubuk kulit kayu mesoyi = 40 mesh
2. Uji difusi sumur (metode modifikasi Garriga et al., 1993)
Pengujian aktivitas antimikroba dilakukan dengan uji difusi sumur.
Uji difusi sumur dilakukan 3 kali ulangan dari ekstrak-ekstrak kulit kayu
mesoyi yang sama. Ekstrak-ekstrak kulit kayu mesoyi dilarutkan dalam
DMSO dan diuji efektivitasnya terhadap lima mikroba dari jenis bakteri
patogen dan bakteri perusak pangan dengan jumlah total mikroba dalam
cawan adalah 1x105 hingga 1x106 koloni/ml. Total mikroba dikonfirmasi
dengan metode hitungan cawan.
DMSO digunakan sebagai kontrol negatif untuk menghilangkan
pengaruh DMSO terhadap mikroba uji. Selain kontrol negatif, digunakan
juga antibiotik amoxycillin sebagai kontrol positif. Antibiotik dilarutkan
dalam DMSO pada konsentrasi 0,01%.
Kultur yang akan digunakan untuk uji difusi sumur disegarkan
terlebih dahulu dengan cara diambil satu ose, lalu ditumbuhkan pada
media pertumbuhan NB 10 ml dan diinkubasi pada suhu 37°C selama 24
jam. Setelah diinkubasi diambil kembali 1 ml dan dipindahkan kedalam
NB 9 ml untuk kemudian diinkubasi pada suhu dan waktu yang sama. Dari
kultur yang telah disegarkan dan berumur 24 jam diambil sebanyak yang
diperlukan, sesuai dengan hasil perhitungan pada tahapan persiapan kultur
sebelumnya (nilai A), dan dimasukkan kedalam media agar 25 ml yang
kemudian dituang kedalam cawan petri steril.
Rendemen = ( W/W0 ) × 100 % (w/w)
50
Agar kemudian dibiarkan membeku. Setelah beku, dibuat
lubang/sumur menggunakan alat pembuat sumur. Pengujian dilakukan
duplo, karenanya pada setiap satu cawan dibuat 6 lubang/sumur. Dua
lubang/sumur diisi dengan ekstrak kulit kayu mesoyi, dua lubang/sumur
lainnya diisi dengan kontrol positif, dan 2 lubang/sumur sisanya diisi
dengan kontrol negatif. Cawan uji difusi sumur kemudian disimpan
didalam refrigerator selama 30 menit, lalu diinkubasi tidak terbalik pada
suhu 37°C selama 24 jam. Diagram alir uji difusi sumur dapat dilihat pada
Gambar 9.
Kultur mikroba yang telah disegarkan berumur 24 jam
Dipipet sejumlah 25 μl
Dimasukkan ke dalam botol berisi 25 ml NA cair steril
Dituang ke dalam cawan petri steril
Dibiarkan beku dan dibuat 6 lubang/sumur 1
2 3 5 4
6
Keterangan : 1 = dimasukkan 50 μl antibiotik 2 = dimasukkan 50 μl antibiotik 3 = dimasukkan 50 μl DMSO 4 = dimasukkan 50 μl DMSO 5 = dimasukkan 50 μl larutan ekstrak 6 = dimasukkan 50 μl larutan ekstrak
Diinkubasi pada suhu optimum selama 24 jam
Diamati dan diukur diameter penghambatan tiap sumur
Gambar 9. Diagram alir uji difusi sumur
51
3. Penentuan nilai MIC (Minimum Inhibition Concentration) (modifikasi
metode Bloomfield, 1991)
Nilai MIC ditentukan dengan cara padat menggunakan metode
Bloomfield (1991), yaitu dengan memplotkan antara ln konsentrasi ekstrak
pada sumbu X terhadap nilai kuadrat zona penghambatan pada sumbu Y.
Perpotongan dari regresi linier Y = a + bX dengan sumbu X sebagai nilai
Mt. Nilai MIC adalah 0.25 x Mt.
Konsentrasi ekstrak yang dibuat untuk penentuan nilai MIC adalah
10, 20, 30, 40, dan 50% (w/w) yang kemudian dimasukkan ke dalam 5
botol bening kecil. Ekstrak yang digunakan adalah ekstrak-ekstrak terbaik
pada uji difusi sumur.
Kultur yang akan digunakan untuk uji difusi sumur disegarkan
terlebih dahulu dengan cara diambil satu ose, lalu ditumbuhkan pada
media pertumbuhan NB 10 ml dan diinkubasi pada suhu 37°C selama 24
jam. Setelah diinkubasi diambil kembali 1 ml dan dipindahkan kedalam
NB 9 ml untuk kemudian diinkubasi pada suhu dan waktu yang sama. Dari
kultur yang telah disegarkan dan berumur 24 jam diambil sebanyak yang
diperlukan, sesuai dengan hasil perhitungan pada tahapan persiapan kultur
sebelumnya (nilai A), dan dimasukkan kedalam media agar 25 ml yang
kemudian dituang kedalam cawan petri steril.
Agar kemudian dibiarkan membeku. Setelah beku, dibuat
lubang/sumur menggunakan alat pembuat sumur. Pengujian dilakukan
duplo. Cawan uji difusi sumur kemudian disimpan didalam refrigerator
selama satu jam, lalu diinkubasi tidak terbalik pada suhu 37°C selama 24
jam. Diagram alir uji difusi sumur dapat dilihat pada Gambar 10. Setelah
itu, dilakukan pengamatan jumlah bakteri menggunakan metode hitungan
cawan dan dihitung nilai MIC.
52
Kultur mikroba yang telah disegarkan berumur 24 jam
Di-vorteks
Dipipet sejumlah 25 μl
Dimasukkan ke dalam botol berisi 25 ml NA cair steril
Dituang ke dalam cawan petri steril
Dibiarkan beku
Dibuat 6 lubang/sumur Dibuat 4 lubang/sumur 1 1 2 5 6 3 2 3 4 4 Ket: 1 = dimasukkan 50 μl ekstrak 10/30% Ket:1=dimasukkan 50 μl ekstrak 50% 2 = dimasukkan 50 μl ekstrak 10/30% 2= dimasukkan 50 μl ekstrak 50% 3 = dimasukkan 50 μl ekstrak 20/40% 3= dimasukkan 50 μl DMSO 4 = dimasukkan 50 μl ekstrak 20/40% 4= dimasukkan 50 μl DMSO 5 = dimasukkan 50 μl DMSO 6 = dimasukkan 50 μl DMSO
Diinkubasi pada suhu optimum selama 24 jam
Diamati dan diukur diameter penghambatan tiap sumur
Gambar 10. Diagram alir penentuan nilai MIC
4. Uji fitokimia
Fitokimia saat ini telah menjadi ilmu kimia terapan yang banyak
digunakan untuk mengetahui secara kualitatif kandungan kimia tanaman
(Harborne, 1996). Kandungan kimia tanaman perlu diketahui untuk
menduga komponen aktif yang menyebabkan suatu bahan tanaman
memiliki aktivitas antimikroba. Uji fitokimia yang dilakukan adalah
53
identifikasi terhadap beberapa jenis metabolit sekunder yang umum
terdapat pada tanaman. Identifikasi dilakukan terhadap metabolit sekunder
karena metabolit sekunder merupakan kandungan dalam bahan yang
biasanya menjadi senyawa aktif yang memiliki sifat antimikroba.
a. Uji golongan fenol dan tanin (Houghton dan Raman, 1998)
Ekstrak kulit kayu mesoyi sebanyak 1 ml ditambahkan beberapa
tetes FeCl3. Bila terbentuk warna hitam kehijauan, maka ekstrak berarti
mengandung senyawa golongan fenol. Larutan kemudian ditambahkan
gelatin. Bila terbentuk gel yang cukup stabil, maka ekstrak berarti
mengandung senyawa dari golongan tanin.
b. Uji golongan flavonoid (Harborne, 1996)
Ekstrak kulit kayu mesoyi sebanyak 1 ml ditambahkan beberapa
tetes H2SO4, lalu dikocok kuat-kuat atau menggunakan vorteks. Bila
terbentuk warna kuning, maka berarti ekstrak mengandung senyawa
golongan flavon dan flavonol. Bila yang terbentuk adalah warna jingga
atau krem, maka berarti ekstrak mengandung senyawa golongan
flavonoid. Bila yang terbentuk adalah warna krem atau merah tua, maka
ekstrak mengandung senyawa golongan khalkon.
c. Uji golongan saponin (Harborne, 1996)
Ekstrak kulit kayu mesoyi sebanyak 1 ml ditambahkan air panas,
kemudian dikocok kuat-kuat atau menggunakan vorteks, selama 10
detik. Bila kemudian terbentuk busa stabil yang tahan hingga lebih dari
10 menit, maka berarti ekstrak mengandung senyawa dari golongan
saponin.
54
d. Uji golongan terpenoid dan steroid (Harborne, 1996)
Ekstrak kulit kayu mesoyi sebanyak 1 ml ditambahkan 2 ml
kloroform. Kemudian ditambahkan beberapa tetes asam asetat glasial
dan H2SO4 pekat. Larutan kemudian dikocok perlahan. Bila warna
larutan berubah menjadi biru atau hijau, maka berarti ekstrak
mengandung senyawa dari golongan steroid. Bila warna yang terbentuk
adalah merah atau ungu, maka berarti ekstrak mengandung senyawa
golongan terpenoid.
e. Uji golongan alkaloid (modifikasi Houghton dan Raman, 1998)
Ekstrak kulit kayu mesoyi sebanyak 1 ml ditambahkan beberapa
tetes NaOH, lalu dikocok kuat-kuat atau divorteks dan disaring dengan
kertas saring Whatman No.1. Filtrat kemudian ditambahkan beberapa
tetes H2SO4 pekat, lalu divorteks. Lapisan bening yang terbentuk
dipermukaan kemudian diambil dan dipindahkan ke tiga tabung reaksi
yang lain. Masing-masing kemudian ditambahkan beberapa tetes
pereaksi Mayer, Dragendorf, dan Wagner. Bila bereaksi membentuk
endapan putih dengan pereaksi Mayer, maka berarti ekstrak
mengandung senyawa golongan Alkaloid. Bila dengan pereaksi
Dragendorf larutan berubah warna menjadi oranye, maka berarti ekstrak
mengandung senyawa golongan alkaloid. Bila terbentuk warna coklat
setelah ditambahkan pereaksi Wagner, maka berarti ekstrak
mengandung senyawa dari golongan alkaloid.
E. PENGOLAHAN DATA
Analisis statistik dilakukan dengan menggunakan program SPSS 11.0
untuk mengetahui pengaruh aktivitas ekstrak, bakteri uji, dan interaksi
diantaranya terhadap nilai diameter penghambatan. Metode yang digunakan
adalah General Linear Model (GLM) dan uji lanjut LSD pada taraf
kepercayaan 0.05. Penelitian dilakukan dengan rancangan faktorial. Percobaan
55
faktorial dicirikan oleh perlakuan yang merupakan komposisi dari segala
kemungkinan kombinasi dari taraf-taraf dua faktor atau lebih (Mattjik dan
Sumertajaya, 2000). Model linear dari rancangan ini secara umum adalah
sebagai berikut:
Yijk = μ + αi + βj + (αβ)ij + ε ijk
dimana : Yijk = nilai pengamatan pada faktor A (ekstrak) dan faktor B (bakteri)
μ, α, β = komponen rataan aditif
i = taraf faktor A (ekstrak kulit kayu mesoyi)
j = taraf faktor B (bakteri uji)
k= ulangan
(αβ)ij = interaksi antara faktor A dan faktor B
ε ijk = pengaruh acak sebaran normal
56
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
A. PERSIAPAN KULTUR BAKTERI UJI
Persiapan kultur bakteri uji dilakukan untuk menentukan jumlah total
mikroba dari kultur bakteri uji. Total mikroba penting diketahui agar dapat
dihitung pengenceran yang diperlukan, sehingga total mikroba menjadi
seragam untuk semua jenis bakteri uji dalam semua cawan, baik untuk uji
difusi sumur maupun penentuan MIC, sehingga diameter penghambatan yang
terukur dapat langsung dibandingkan secara proporsional. Hasil penghitungan
total mikroba dengan metode hitungan cawan dapat dilihat pada Tabel 5.
Tabel 5. Total Mikroba Kultur Bakteri Uji
Jenis Bakteri Uji Total Mikroba (CFU/ml)
Staphylococcus aureus 4.7x108
Eschericia coli 4.6x108
Salmonella Typhimurium 5.4x108
Pseudomonas aeruginosa 9.5x108
Bacillus cereus 5.4x108
Total mikroba yang diharapkan pada semua cawan pada pengujian
dengan difusi sumur adalah antara 1x105 hingga 1x106. Total mikroba antara
1x105 hingga 1x106 merupakan total mikroba yang cukup sehat dan tidak
terlalu banyak. Inokulum yang mengandung terlalu banyak atau terlalu sedikit
bakteri, dapat menyebabkan kesalahan hasil uji (Piddock, 1990). Dari hasil
perhitungan didapatkan bahwa kelima bakteri uji harus diencerkan sebanyak
10-3 untuk mendapatkan total mikroba standar dalam cawan, yaitu antara
1x105 hingga 1x106.
57
B. AKTIVITAS ANTIMIKROBA EKSTRAK KULIT KAYU MESOYI
1. Proses Ekstraksi
Proses ekstraksi bertujuan untuk memisahkan secara kasar senyawa
yang terkandung dalam bubuk kulit kayu mesoyi dan mendapatkan ekstrak.
Untuk mendapatkan minyak atsiri digunakan teknik ekstraksi destilasi uap,
dan untuk mendapatkan ekstrak lainnya dilakukan proses ekstraksi
menggunakan air dan pelarut organik dengan cara refluks. Sebelum
diekstraksi, bubuk kulit kayu mesoyi diayak pada ayakan berukuran 40 mesh
untuk mendapatkan ukuran bubuk yang lebih seragam. Ukuran partikel
bahan yang seragam berpengaruh terhadap pengeluaran senyawa aktif pada
tahap ekstraksi (Agusta, 2000). Proses ekstraksi dilakukan secara tunggal dan
bertingkat. Setelah ekstrak kasar terkumpul, dilakukan proses pemekatan
menggunakan rotavapor, dan sebelum disimpan dihembuskan gas N2
kedalam botol agar tidak terjadi proses oksidasi karena ruang gas oksigen
telah terganti oleh gas nitrogen.
Pada ekstrak air, pemekatan dengan rotavapor tidak efisien, karena
kemampuan pompa vakum untuk menurunkan tekanan pada rotavapor
rendah. Selain itu, suhu yang digunakan pada waktu memekatkan ekstrak air
adalah 50°C, suhu ini sangat rendah dibandingkan titik didih air, sehingga
pemekatan selama 4 jam tidak dapat menghilangkan kandungan air dalam
ekstrak. Oleh karena itu, sangat penting dilakukan pengukuran kadar air dari
ekstrak air secara terpisah sebelum dilakukan uji aktivitas antimikrobanya.
Kadar air dari ekstrak air diukur dengan metode azeotropik, dan dilakukan
secara duplo. Hasil analisis menunjukkan bahwa rata-rata kadar air dalam
ekstrak air kulit kayu mesoyi adalah 79.83% (Lampiran 1).
Dari proses ektraksi yang dilakukan diperoleh beberapa jenis ekstrak,
yaitu ekstrak air, ekstrak etanol, minyak atsiri, ekstrak heksan, ekstrak etil
asetat, dan ekstrak metanol dari kulit kayu mesoyi. Masing-masing jenis
ekstrak yang diperoleh dihitung nilai rendemennya berdasarkan rumusan
yang tertera pada Lampiran 2. Nilai rendemen dari ekstrak-ekstrak mesoyi
dapat dilihat pada Tabel 6, sedangkan karakteristik jenis-jenis ekstrak kulit
kayu mesoyi dapat dilihat pada Gambar 11.
58
Tabel 6. Nilai Rendemen dan Karakteristik Jenis-jenis Ekstrak Kulit Kayu Mesoyi
Nama Ekstrak Pelarut Metode
Ekstraksi Rendemen
(%) Karakteristik Ekstrak
38.68a,c) Ekstrak air Air Refluks
7.80 a,d)
Berwarna coklat, tidak terlalu berb
\au khas, agak keruh
Ekstrak etanol Etanol Refluks 8.93 a) Berwarna coklat muda,
bening Minyak
atsiri - Distilasi uap 2.04 b) Bening, berbau sangat
khas mesoyi Ekstrak heksan Heksan Refluks 1.69 a) Berwarna kuning,
tampak terpisah
Ekstrak etil asetat Etil asetat Refluks 1.47 a)
Berwarna coklat tua kehitaman, bau khas
mesoyi Ekstrak metanol Metanol Refluks 1.52 a) Berwarna coklat tua
a)Rendemen berdasarkan w/w dengan pembagi yaitu berat bubuk/ampas yang diekstrak b)Rendemen berdasarkan v/w dengan pembagi yaitu berat bubuk kulit kayu mesoyi awal c)Rendemen ekstrak air sebelum dikurangi dengan air yang terkandung d)Rendemen setelah dikurangi dengan air yang terkandung didalam ekstrak yaitu 79.83%
Pada Tabel 6 dapat dilihat bahwa ekstrak air dan ekstrak etanol
memiliki rendemen sebesar 7.80% (w/w) dan 8.93% (w/w). Rendemen
ekstrak air dan etanol lebih besar dibandingkan dengan rendemen ekstrak
heksan, ekstrak etil asetat, dan ekstrak metanol yang berturut-turut sebesar
1.69% (w/w), 1.47% (w/w), dan 1.52% (w/w).
Ekstraksi dengan air dan etanol dilakukan secara langsung atau tunggal,
tanpa perlakuan awal apapun, sehingga ekstrak yang didapat mengandung
berbagai komponen, yang larut dalam kedua pelarut tersebut. Berbeda
dengan ekstraksi tunggal, rendemen ekstrak heksan, etil asetat, dan metanol
menunjukkan nilai rendemen kandungan komponen non-volatil saja, karena
sampel yang digunakan adalah ampas dari proses destilasi uap. Secara rinci
proses ekstraksi bertingkat yang dilakukan dapat dijelaskan sebagai berikut.
59
(a) (b)
(c) (d)
(e) (f)
Gambar 11. Jenis-jenis Ekstrak Kulit Kayu Mesoyi : (a) ekstrak air, (b) ekstrak
etanol, (c) minyak atsiri, (d) ekstrak heksan, (e) ekstrak etil asetat,
dan (f) ekstrak metanol
Ekstraksi dengan heksan dilakukan terhadap ampas hasil destilasi uap,
yang telah diambil kandungan volatil dari bahan. Ekstraksi dengan heksan
dimaksudkan untuk menghilangkan kandungan lemak bahan. Proses
ekstraksi kemudian dilanjutkan dengan pelarut etil asetat untuk mengambil
komponen-komponen yang bersifat semi polar dan dengan pelarut metanol
untuk mengambil komponen-komponen yang tersisa, yaitu senyawa-senyawa
yang bersifat polar. Dengan cara ekstraksi bertingkat menggunakan berbagai
tingkat kepolaran pelarut organik yang digunakan, diperoleh jenis-jenis
ekstrak dengan kandungan lebih spesifik, dan nilai rendemen yang rendah
menunjukkan karakteristik kandungan zat dalam kulit kayu mesoyi.
60
Setiap pelarut memiliki kemampuan yang berbeda-beda dalam
mengekstrak komponen suatu bahan dan rendemen hanya merupakan acuan
awal untuk menentukan pelarut yang lebih baik karena nilai rendemen tidak
selalu berbanding lurus dengan aktivitas antimikroba. Nilai rendemen yang
lebih tinggi berarti lebih efektif digunakan untuk mengekstrak kulit kayu
mesoyi untuk maksud tertentu.
Rendemen ekstrak etanol (8.93%) lebih besar bila dibandingkan dengan
ekstrak air (7.80%). Hal ini menunjukkan bahwa pelarut etanol lebih efektif
dalam mengekstrak komponen polar kulit kayu mesoyi daripada air. Etanol
diketahui merupakan pelarut yang lebih baik dalam mengekstrak senyawa
antimikroba dibandingkan air dan heksan (Ahmad et al., 1998), sehingga
umumnya etanol digunakan untuk melarutkan zat antimikroba, komponen
aroma pangan, dan komponen warna yang tidak dapat dilarutkan oleh air
(Anonimh, 2006).
Rendemen minyak atsiri sangat rendah bila dibandingkan dengan
ekstrak air dan etanol, yaitu sebesar 2.04% (v/w). Walaupun demikian nilai
rendemen minyak atsiri mesoyi ini tergolong cukup tinggi bila dibandingkan
dengan rendemen minyak atsiri jinten hitam (0.34% v/w), dan lebih tinggi
dari beberapa jenis minyak atsiri yang juga berasal dari bagian kayu,
misalnya kayu manis memiliki rendemen minyak atsiri sebesar 0.5-1.0%, dan
kayu secang yang memiliki rendemen sebesar 0.16-0.20% (Davidson dan
Naidu, 2000; Sundari et al., 1998).
Semua jenis ekstrak dari kulit kayu mesoyi yang diperoleh memiliki bau
khas mesoyi yang sangat tajam. Selain karena jumlah komponen volatilnya
yang cukup besar bila dibandingkan kandungan pada rempah lain, bau tajam
mesoyi juga dapat disebabkan karena kandungan komponen volatilnya yang
memang memiliki bau tajam.
Pada ekstraksi bertingkat dengan pelarut organik yang berbeda-beda
kepolarannya, nilai rendemen ketiga jenis ekstrak berbeda yaitu ekstrak
heksan, ekstrak etil asetat, dan ekstrak metanol, berturut-turut adalah 1.69%
(w/w), 1.47% (w/w), dan 1.52% (w/w). Untuk ekstrak heksan, etil asetat, dan
metanol, nilai rendemen yang dihasilkan oleh ketiga pelarut hampir sama,
61
dan dapat dikatakan bahwa komponen aktif bersifat non-polar, semi-polar,
dan polar yang jumlahnya relatif sama.
2. Uji Difusi Sumur
Pada masing-masing ekstrak kulit kayu mesoyi dilakukan pengujian
aktivitas antimikrobanya terhadap 5 jenis bakteri uji dengan metode uji difusi
sumur. Uji difusi sumur bertujuan untuk mengetahui potensi awal mesoyi
sebagai antimikroba alami.
Keseragaman ukuran dan fisiologi bakteri uji bersifat kritis dan
karenanya harus dapat dikontrol dengan baik (Davidson dan Parish, 1993).
Oleh karena itu setiap uji difusi sumur perlu disertai dengan uji konfirmasi.
Uji konfirmasi adalah penghitungan total mikroba dengan tujuan
mengkonfirmasi bahwa total mikroba didalam cawan terdapat dalam rentang
1x105-1x106. Uji konfirmasi menggunakan metode hitungan cawan
(Lampiran 3).
Pada uji difusi sumur digunakan kontrol negatif dan kontrol positif
sebagai pembanding. Kontrol positif yang digunakan adalah antibiotik
dengan spektrum antimikroba yang luas, yaitu amoxycillin, dan kontrol
negatif yang digunakan adalah DMSO yang merupakan pelarut untuk
melarutkan jenis-jenis ekstrak kulit kayu mesoyi sebelum digunakan dalam
pengujian. Dari pengamatan dapat diketahui bahwa nilai diameter
penghambatan DMSO terhadap bakteri-bakteri uji adalah nol, berarti DMSO
merupakan pelarut ekstrak yang baik karena dapat melarutkan dengan baik
tanpa memberikan pengaruh dalam aktivitas penghambatan terhadap bakteri
uji. Ekstrak-ekstrak kayu mesoyi dilarutkan didalam DMSO dengan
konsentrasi 28% (w/w) dan diuji aktivitas antimikrobanya dengan uji difusi
sumur.
62
a. Perbandingan aktivitas antimikroba jenis-jenis ekstrak kulit kayu
mesoyi terhadap bakteri-bakteri uji
0
4
8
12
16
Ekstrak air Ekstrak etanol Minyak atsiri Ekstrak heksan Ekstrak etilasetat
Ekstrak metanol
Jenis Ekstrak Kulit Kayu Mesoyi
Dia
met
er P
engh
amba
tan
(mm
)
E. coli Salmonella typhimurium P. aeruginosa B. cereus S. aureus
Gambar 12. Penghambatan jenis-jenis ekstrak kulit kayu mesoyi terhadap
bakteri uji
Secara umum dapat dilihat pada Gambar 12 bahwa ekstrak kulit
kayu mesoyi memiliki profil aktivitas antimikroba yang berbeda-beda
terhadap bakteri-bakteri uji. Jenis-jenis ekstrak kulit kayu mesoyi memiliki
aktivitas antimikroba terhadap bakteri-bakteri uji, kecuali ekstrak air.
Jenis-jenis ekstrak kulit kayu mesoyi, kecuali ekstrak metanol, mampu
menghambat semua bakteri uji. Hal ini menunjukkan bahwa hampir semua
ekstrak kulit kayu mesoyi memiliki aktivitas antimikroba dengan spektrum
yang cukup luas. Spektrum penghambatan tergantung pada jenis dan
kekuatan senyawa antimikroba masing-masing komponen yang terekstrak
karena masing-masing pelarut dapat mengekstrak komponen aktif yang
berbeda-beda. Selain itu, aktivitas antimikroba juga dipengaruhi oleh
jumlah komponen aktif yang terekstrak.
Ekstrak air tidak memiliki aktivitas antimikroba (Gambar 12). Hal
ini diduga karena ekstrak air yang masih bercampur dengan pelarutnya
(air). Air yang tidak dapat dihilangkan dengan sempurna membuat kadar
63
komponen aktif yang terekstrak rendah, dan akan mempengaruhi jumlah
komponen aktif ekstrak yang diujikan dalam sumur sehingga tidak
sebanding dengan konsentrasi pengujian ekstrak lain di dalam sumur.
Tidak adanya aktivitas antimikroba dari ekstrak air juga dapat disebabkan
oleh ketidakmampuan air dalam mengekstrak komponen-komponen
esensial yang bersifat antimikroba.
Secara umum jenis ekstrak kulit kayu mesoyi memiliki profil
penghambatan yang serupa untuk setiap bakteri uji, kecuali untuk
Salmonella Typhimurium dan P. aeruginosa (Gambar 12). Pada kedua
bakteri uji tersebut terdapat satu jenis ekstrak mesoyi yang memiliki
penghambatan mencolok dibandingkan jenis ekstrak kulit kayu mesoyi
lainnya, sedangkan pada B. cereus, E. coli, dan S. aureus diameter
penghambatan jenis ekstrak kulit kayu mesoyi tidak jauh berbeda. Minyak
atsiri menghambat Salmonella Typhimurium dengan nilai diameter
penghambatan yang jauh lebih besar daripada jenis ekstrak kulit kayu
mesoyi lainnya, sedangkan jenis ekstrak yang menghambat P. aeruginosa
lebih kuat daripada jenis ekstrak lainnya adalah ekstrak etil asetat kulit
kayu mesoyi (Gambar 13).
Gambar 13. (a) penghambatan ekstrak etil asetat terhadap P. aeruginosa,
(b) penghambatan minyak atsiri terhadap S. Typhimurium
yang hampir sama besar dengan kontrol positifnya
Uji statistik dilakukan untuk memperkirakan profil penghambatan
oleh semua jenis ekstrak kulit kayu mesoyi dan bakteri uji. Nilai perkiraan
Kontrol positif
Minyak atsiri
Ekstrak etil asetat
64
S. aureusB. cereus
P. aeruginosaS. Typhimurium
E. coli
20
10
0
-10
EKSTRAK
ekstrak air
ekstrak etanol
minyak atsiri
ekstrak heksan
ekstrak etil asetat
ekstrak metanol
Jenis Bakteri Uji
ekstrak metanolekstrak etil asetat
ekstrak heksanminyak atsiri
ekstrak etanolekstrak air
20
10
0
-10
BAKTERI
E. coli
S. Typhimurium
P. aeruginosa
B. cereus
S. aureus
Jenis Ekstrak Kulit Kayu Mesoyi
dapat dilihat pada Lampiran 11 dan Lampiran 12. Profil penghambatan
dapat dilihat pada Gambar 14 dan Gambar 15.
Gambar 14. Profil perkiraan aktivitas antimikroba berbagai jenis ekstrak
kulit kayu mesoyi
Gambar 15. Profil perkiraan penghambatan berbagai bakteri uji
Rat
aan
Dia
met
er P
engh
amba
tan
(mm
) R
ataa
n D
iam
eter
Pen
gham
bata
n (m
m)
65
Selain untuk memperkirakan profil ekstrak, uji statistik juga
dilakukan untuk membandingkan potensi aktivitas antimikroba di antara
jenis-jenis ekstrak dan untuk mengetahui jenis mikroba yang memiliki
sensitivitas paling tinggi terhadap senyawa antimikroba yang terkandung
dalam kulit kayu mesoyi. Pengujian itu dilakukan melalui pengolahan
secara statistik terhadap nilai diameter penghambatan bagi setiap bakteri
uji. Hasil uji statistik dapat dilihat pada Tabel 7 dan Lampiran 10.
Tabel 7. Hasil uji statistik GLM-Univariate
Sumber keragaman Jumlah
Kuadrat
Derajat
Bebas
Kuadrat
Tengah
Nilai
F Sig.
Ekstraka) 671.819 5 134.364 81.623 0.000
Bakterib) 225.704 4 56.426 34.277 0.000
Interaksi antara ekstrak
dengan bakteri ujic)
213.562 20 10.678 6.487 0.000
Galat 98.770 60 1.646 - -
Total 3794.768 90 - - - a) Hasil uji statistik terhadap enam jenis ekstrak kulit kayu mesoyi b) Hasil uji statistik terhadap lima bakteri uji c) Hasil uji statistik terhadap interaksi antara jenis ekstrak kulit kayu mesoyi dengan
jenis bakteri uji
Perbedaan jenis ekstrak kulit kayu mesoyi yang diuji berpengaruh
nyata (p<0.05) terhadap pertumbuhan bakteri uji, dan juga terdapat
pengaruh nyata (p<0.05) antara jenis bakteri yang diujikan terhadap nilai
diameter penghambatan dari masing-masing jenis ekstrak. Selain itu, uji
statistik juga menunjukkan terdapat interaksi antara jenis ekstrak kulit
kayu mesoyi dengan jenis bakteri uji yang berpengaruh nyata (p<0.05)
terhadap nilai diameter penghambatan (Tabel 7). Hal ini menunjukkan
perbedaan jenis ekstrak atau jenis bakteri yang diujikan memiliki aktivitas
antimikroba yang secara statistik berbeda pula.
Interaksi antara jenis ekstrak dan jenis bakteri uji bersifat spesifik.
Setiap jenis ekstrak kulit kayu mesoyi memiliki kekuatan penghambatan
pertumbuhan yang berbeda pada masing-masing jenis bakteri uji dengan
66
nilai penyimpangan masing-masing yang berbeda (Lampiran 10b dan
Lampiran 10d).
Uji statistik berguna untuk memilih ekstrak yang akan diuji lanjut
beserta bakteri targetnya. Ekstrak yang paling tidak efektif dalam
menghambat jenis bakteri uji adalah ekstrak air (Lampiran 10g). Ekstrak
etil asetat dan minyak atsiri merupakan ekstrak yang paling efektif dalam
menghambat pertumbuhan bakteri uji. Uji statistik lanjut menunjukkan
bahwa ekstrak etil asetat dan minyak atsiri kulit kayu mesoyi tidak
berbeda nyata (p>0.05), sehingga tidak dapat ditentukan ekstrak yang
memiliki aktivitas antimikroba lebih baik diantara keduanya (Lampiran
10g). Jenis ekstrak kulit kayu mesoyi yang lainnya, yaitu ekstrak metanol,
ekstrak etanol, dan ekstrak heksan memiliki aktivitas antimikroba yang
sama kuatnya (p>0.05) (Lampiran 10g).
Faktor antimikroba biasanya terkandung dalam minyak esensial
dari rempah-rempah (Farrel, 1990). Minyak atsiri kulit kayu mesoyi dapat
menghambat bakteri-bakteri uji dengan diameter penghambatan paling
besar terhadap Salmonella Typhimurium (14.60 mm) dibandingkan
dengan keempat bakteri uji lainnya (Gambar 12). Minyak atsiri dari
rempah-rempah sering diartikan sebagai senyawa aromatik bersifat volatil
yang didapat dengan proses destilasi uap. Kelebihan dari minyak ini dalam
industri adalah bebas dari enzim dan mikroba pengkontaminan, kelarutan
yang seragam, dan mudah dalam penanganan dan penyimpanan (Lund et
al., 2000). Nilai diameter penghambatan dan penyimpangan data ekstrak
etil asetat kulit kayu mesoyi dapat dilihat pada Lampiran 6.
Ekstrak etil asetat dalam menghambat pertumbuhan P. aeruginosa
merupakan aktivitas antimikroba yang terbesar dibandingkan kemampuan
jenis ekstrak yang lain (Gambar 12). Selain itu, ekstrak etil asetat juga
memiliki kemampuan menghambat pertumbuhan B. cereus paling baik
(Gambar 12). Hal ini berarti ekstrak etil asetat memiliki spektrum
hambatan yang luas karena merupakan ekstrak yang paling kuat dalam
menghambat bakteri pembusuk P. aeruginosa dan bakteri patogen B.
67
cereus. Nilai diameter penghambatan dan penyimpangan data ekstrak etil
asetat kulit kayu mesoyi dapat dilihat pada Lampiran 8.
Kuatnya aktivitas antimikroba ekstrak etil asetat kulit kayu mesoyi
disebabkan karena pelarut etil asetat yang bersifat semi-polar sehingga
senyawa yang terkandung didalam ekstrak merupakan senyawa-senyawa
yang bersifat semi-polar. Senyawa antimikroba yang bersifat semi-polar
memiliki aktivitas antimikroba yang baik karena senyawa antimikroba
membutuhkan keseimbangan sifat hidrofilik-lipofilik untuk mendapatkan
aktivitas antimikroba yang optimal. Sifat hidrofilik dibutuhkan agar
senyawa antimikroba tersebut dapat larut di dalam senyawa polar (air)
tempat mikroba biasanya tumbuh, sedangkan sifat lipofilik dibutuhkan
agar senyawa antimikroba dapat bereaksi dengan membran mikroba
(Branen, 1993).
Heksan merupakan pelarut organik non-polar dan karenanya hanya
dapat mengekstrak senyawa-senyawa yang juga bersifat non-polar dari
kulit kayu mesoyi. Dari diameter penghambatan yang terukur diketahui
bahwa senyawa-senyawa non-polar yang terkandung dalam kulit kayu
mesoyi merupakan senyawa yang memiliki aktivitas antimikroba
walaupun tidak terlalu baik dibandingkan dengan jenis ekstrak lainnya.
Ekstrak heksan adalah ekstrak yang memiliki aktivitas penghambatan
paling lemah terhadap E. coli dan S. aureus, dan ekstrak heksan
merupakan ekstrak kedua yang memiliki aktivitas antimikroba paling
lemah dalam menghambat B. cereus dan P. aeruginosa (Lampiran 7).
Ekstrak heksan memiliki aktivitas penghambatan pertumbuhan paling baik
terhadap Salmonella Typhimurium, tetapi bukan merupakan yang terkuat
dalam menghambat Salmonella Typhimurium. Oleh karena itu, ekstrak
heksan bukan merupakan sumber antimikroba yang cukup baik karena
dengan aktivitas antimikroba yang paling baik ekstrak heksan tetap tidak
menjadi yang terkuat dalam menghambat pertumbuhan Salmonella
Typhimurium.
Ekstrak metanol tidak dapat menghambat seluruh bakteri uji, yaitu
tidak memiliki aktivitas penghambatan terhadap E. coli. Dengan demikian
68
ekstrak metanol merupakan ekstrak kulit kayu mesoyi yang cenderung
memiliki spektrum penghambatan yang sempit dibandingkan kemampuan
jenis-jenis ekstrak kulit kayu mesoyi lainnya. Oleh karena itu, ekstrak
metanol bukan merupakan senyawa antimikroba yang cukup baik untuk
dikembangkan menjadi sumber pengawet pangan alami. Pengawet pangan
alami yang baik memiliki spektrum penghambatan yang luas (Branen,
1993). Nilai diameter penghambatan dan penyimpangan data ekstrak
metanol kulit kayu mesoyi dapat dilihat pada Lampiran 9.
Uji statistik juga bertujuan untuk mengetahui jenis bakteri uji yang
paling sensitif terhadap aktivitas antimikroba jenis ekstrak kulit kayu
mesoyi. Secara statistik, bakteri uji yang memiliki sensitivitas paling
tinggi terhadap jenis ekstrak kulit kayu mesoyi adalah Salmonella
Typhimurium, sedangkan yang paling tahan terhadap aktivitas antimikroba
kulit kayu mesoyi adalah E. coli. Bakteri B. cereus dapat dihambat lebih
baik dibandingkan S. aureus, P. aeruginosa, dan E. coli, tetapi masih lebih
tahan dibandingkan Salmonella Typhimurium (Lampiran 10g).
Aktivitas antimikroba kulit kayu mesoyi lebih rendah dalam
menghambat pertumbuhan P. aeruginosa dibandingkan dengan aktivitas
penghambatannya pada B. cereus dan Salmonella Typhimurium. Ekstrak
kulit kayu mesoyi memiliki aktivitas antimikroba yang sama antara P.
aeruginosa dengan S. aureus (Lampiran 10f). Hal ini berarti aktivitas
antimikroba kulit kayu mesoyi lebih rendah pada bakteri pembusuk
dibandingkan dengan bakteri patogen, kecuali untuk E. coli. Selain kulit
kayu mesoyi, penisilin sebagai antimikroba yang telah umum digunakan
memiliki aktivitas antimikroba terhadap banyak bakteri, tetapi tidak
mampu menghambat bakteri pembusuk. Turunan penisilin, yaitu
karbenisilin dan tikarsilin, mampu menghambat bakteri pembusuk seperti
Pseudomonas sp. (Prescott et. al., 2003).
69
b. Perbandingan aktivitas antimikroba terhadap jenis bakteri Gram
positif dan Gram negatif
0
2
4
6
8
10
12
14
16
E. coli Salmonellatyphimurium
P. aeruginosa B. cereus S. aureus
Rat
aan
Dia
met
er P
engh
amba
tan
(mm
Ekstrak air Ekstrak etanol Minyak atsiriEkstrak heksan Ekstrak etil asetat Ekstrak metanol
Gram negatif Gram positif
Gambar 16. Penghambatan jenis-jenis ekstrak kulit kayu mesoyi
terhadap jenis bakteri Gram positif dan Gram negatif
Beberapa ekstrak rempah mengandung zat antimikroba yang
memiliki spektrum luas, sedangkan beberapa ekstrak rempah lainnya
hanya dapat menghambat jenis mikroorganisme tertentu (Conner, 1993).
Pada Gambar 16 dapat dilihat bahwa hampir semua jenis ekstrak kulit
kayu mesoyi memiliki spektrum yang luas karena mampu menghambat
bakteri uji baik Gram positif ataupun Gram negatif. Senyawa antimikroba
yang memiliki spektrum penghambatan yang luas lebih diinginkan dalam
pengawetan bahan pangan, karena senyawa antimikroba dapat secara
efektif menghambat semua jenis mikroorganisme yang bersifat merusak
ataupun patogen pada bahan pangan yang biasanya berupa bakteri,
kapang, dan khamir (Ray, 2001).
Secara umum bakteri Gram positif paling baik dihambat oleh
ekstrak etil asetat, sedangkan jenis ekstrak yang dapat menghambat bakteri
Gram negatif lebih baik adalah minyak atsiri dan ekstrak etil asetat
70
(Gambar 16). Rata-rata diameter penghambatan minyak atsiri terhadap
bakteri uji Gram negatif adalah 7.87 mm dan rata-rata diameter
penghambatan terhadap bakeri uji Gram positif adalah 7.44 mm. Ekstrak
heksan juga dapat menghambat jenis bakteri uji yang tergolong dalam
Gram negatif dan Gram positif dengan rata-rata 5.52 mm dan 6.11 mm,
sedangkan rata-rata diameter penghambatan jenis bakteri uji yang
tergolong pada Gram negatif dan Gram positif oleh ekstrak etil asetat
adalah 8.07 mm dan 9.20 mm.
Ekstrak metanol menghambat bakteri uji yang tergolong Gram
negatif dan Gram positif dengan diameter penghambatan rata-rata adalah
6.44 mm dan 6.41 mm. Dari data tersebut diketahui bahwa minyak atsiri,
ekstrak heksan, ekstrak etil asetat, dan ekstrak metanol kulit kayu mesoyi
dapat menghambat bakteri, baik dari jenis Gram negatif ataupun Gram
positif dengan kekuatan antimikroba yang hampir sama. Hal ini sesuai
dengan uji lanjut statistik (Lampiran 10f), yang menunjukkan bahwa
kekuatan penghambatan jenis ekstrak kulit kayu mesoyi terhadap bakteri
Gram negatif P. aeruginosa dan bakteri Gram positif S. aureus tidak
berbeda nyata (p>0.05).
Walaupun demikian, ekstrak etanol memiliki kecenderungan yang
berbeda. Rata-rata penghambatan ekstrak etanol terhadap jenis bakteri uji
yang tergolong Gram negatif adalah 4.34 mm, sedangkan rata-rata
penghambatan terhadap jenis bakteri uji yang tergolong Gram positif
adalah 7.12 mm. Dengan demikian dapat dikatakan ekstrak etanol kulit
kayu mesoyi dapat menghambat bakteri dari kelompok Gram positif lebih
baik daripada bakteri dari kelompok Gram negatif. Hal ini sesuai dengan
uji lanjut statistik (Lampiran 10f), yang menunjukkan bahwa kekuatan
penghambatan jenis ekstrak kulit kayu mesoyi terhadap bakteri Gram
negatif E. coli, Salmonella Thypimurium, dan P. aeruginosa berbeda
nyata (p<0.05) dengan bakteri Gram positif B. cereus. Penghambatan
terhadap bakteri Gram negatif E. coli dan Salmonella Thypimurium
berbeda nyata (p<0.05) dengan bakteri Gram positif S. aureus.
71
Aktivitas antimikroba yang lebih baik terhadap bakteri Gram
positif juga dapat disebabkan oleh kandungan di dalam ekstrak. Pelarut
etanol yang bersifat polar akan mengekstrak komponen-komponen yang
juga bersifat polar. Komponen polar yang biasa terkandung didalam
tanaman dan diketahui memiliki aktivitas antimikroba adalah senyawa
fenolik. Gram positif diketahui lebih sensitif dan dapat dihambat oleh
minyak esensial tanaman yang mengandung senyawa fenolik
dibandingkan Gram negatif (Davidson dan Naidu, 2000). Penyebabnya
adalah bakteri Gram negatif memiliki lapisan luar selain peptidoglikan
yang melindungi membran dengan lebih baik sehingga lebih tahan
terhadap zat-zat antimikroba (Branen, 1993). Lapisan membran sel bakteri
dapat dilihat pada Lampiran 14. Diduga bahwa ekstrak etanol kulit kayu
mesoyi mengandung komponen yang termasuk dalam senyawa fenolik
ataupun memiliki sifat yang serupa dengan senyawa fenolik.
c. Perbandingan aktivitas antimikroba terhadap aktivitas kontrol positif
Amoxycillin sebagai kontrol positif dalam penelitian ini merupakan
turunan semisintetik dari penisilin. Penisilin mampu menghambat bakteri
pada masa pertumbuhannya melalui mekanisme menghambat sintesis
peptidoglikan. Penisilin menghambat kerja enzim yang menjadi katalis
dari reaksi transpeptidasi karena strukturnya yang sangat serupa.
Peptidoglikan yang tidak sempurna kemudian dapat menyebabkan osmotik
yang tidak normal dan lisis (Prescott et. al., 2003).
Kontrol positif merupakan antimikroba yang telah murni dan
karenanya digunakan dalam konsentrasi yang kecil yaitu 0.01%,
sedangkan pengujian jenis-jenis ekstrak kulit kayu mesoyi dilakukan pada
konsentrasi 28%, sehingga perbandingan konsentrasi antara ekstrak
dengan kontrol positifnya sebesar 2800:1. Karena kontrol positif
merupakan antibiotik yang telah teruji sebagai senyawa antimikroba yang
kuat, penggunaan perbandingan ini bertujuan untuk mengukur potensi
aktivitas antimikroba kayu mesoyi (Gambar 17).
72
0
4
8
12
16
20
E. coli S. Typhimurium P.aeruginosa S. aureus B. cereus
Rat
aan
Dia
met
er P
engh
amba
tan
(mm
)
Kontrol + E. etanol Kontrol + M. atsiri Kontrol +
E. heksan Kontrol + E. etil asetat Kontrol + E. metanol
Gambar 17. Perbandingan diameter penghambatan jenis-jenis ekstrak kulit
kayu mesoyi
Secara umum kontrol positif diketahui dapat menghambat
Salmonella Typhimurium, Staphylococcus aureus, dan Bacillus cereus,
tetapi tidak dapat menghambat Eschericia coli dan Pseudomonas
aeruginosa. Hal ini diduga karena resistensi atau kecilnya konsentrasi
yang digunakan. Resistensi beberapa jenis bakteri terhadap penisilin
berhubungan dengan mekanisme penisilin yang mengganggu
pembentukan peptidoglikan, sedangkan beberapa bakteri hanya memiliki
sedikit peptidoglikan atau bahkan tidak memiliki peptidoglikan (Heritage
et al., 1999). Selain itu, dapat juga disebabkan karena bakteri tersebut
dapat mensintesis penisilinase, yaitu enzim yang dihasilkan oleh bakteri
yang resisten terhadap penisilin. Enzim ini dapat menghancurkan penisilin
dengan menghidrolisis ikatan pada penisilin (Prescott et al., 2003).
Kontrol positif menghambat pertumbuhan bakteri uji dengan
penghambatan terhadap Salmonella Typhimurium lebih besar daripada
terhadap S. aureus dan B. cereus. Hal ini sesuai dengan Granum (2000)
yang menyatakan bahwa penisilin tidak efektif terhadap B. cereus.
73
Secara umum, pada konsentrasi yang jauh lebih besar, jenis ekstrak
kulit kayu mesoyi memiliki diameter penghambatan yang jauh lebih kecil
dibandingkan kontrol positifnya. Ekstrak etanol dan ekstrak metanol kulit
kayu mesoyi memiliki diameter penghambatan terhadap Salmonella
Typhimurium sebesar sepertiga dari diameter penghambatan oleh kontrol
positif, sehingga didapat bahwa perbandingan kekuatan penghambatan
antara ekstrak etanol dan ekstrak metanol terhadap kontrol positifnya
adalah 1:8000.
Selain itu, perbandingan diameter penghambatan antara minyak
atsiri, ekstrak heksan, dan ekstrak etil asetat kulit kayu mesoyi terhadap
kontrol positifnya dalam menghambat Salmonella Typhimurium adalah
setengah. Oleh karena itu, didapat bahwa perbandingan kekuatan
penghambatan antara minyak atsiri, ekstrak heksan, dan ekstrak etil asetat
kulit kayu mesoyi terhadap kontrol positifnya dalam menghambat
Salmonella Typhimurium adalah 1:5000. Perbandingan diameter
penghambatan jenis-jenis ekstrak kulit kayu mesoyi dengan kontrol
positifnya terhadap S. aureus hampir mencapai setengah, sehingga didapat
bahwa perbandingan kekuatan penghambatan antara ekstrak etanol dan
metanol terhadap kontrol positifnya adalah 1:5000.
Ekstrak heksan dan ekstrak metanol kulit kayu mesoyi
menghambat pertumbuhan Bacillus cereus dengan diameter penghambatan
yang hampir sama besar dengan kontrol positif (Gambar 17).
Perbandingan aktivitas ekstrak heksan dan ekstrak metanol terhadap
kontrol positifnya dalam menghambat B. cereus adalah 1:3000. Minyak
atsiri, ekstrak etil asetat, dan ekstrak etanol memiliki diameter
penghambatan yang sedikit lebih tinggi dibandingkan kontrol positifnya
terhadap B. cereus (Gambar 17), sehingga didapat bahwa perbandingan
kekuatan antara minyak atsiri, ekstrak etil asetat, dan ekstrak etanol
dengan kontrol positifnya adalah 1:2000.
74
C. UJI LANJUT EKSTRAK KULIT KAYU MESOYI
1. Penentuan Nilai MIC (Minimum Inhibitory Concentration)
Nilai MIC adalah nilai konsentrasi terendah dari senyawa antimikroba
yang dapat menghambat pertumbuhan mikroba uji secara signifikan.
Penentuan nilai MIC dilakukan terhadap dua ekstrak kulit kayu mesoyi yaitu
ekstrak etanol dan minyak atsiri. Ekstrak etanol akan menunjukkan aktivitas
antimikroba kandungan polar dari kulit kayu mesoyi, sedangkan minyak
atsiri akan menunjukkan aktivitas antimikroba dari kandungan volatil kulit
kayu mesoyi. Penentuan MIC ekstrak etanol kulit kayu mesoyi dilakukan
terhadap Bacillus cereus, sedangkan minyak atsiri dilakukan terhadap
Salmonella Typhimurium. Gambar penghambatan B. cereus oleh ekstrak
etanol kulit kayu mesoyi dengan konsentrasi 30% dan 40% pada penentuan
nilai MIC metode padat dapat dilihat pada Gambar 18.
Gambar 18. Penghambatan pertumbuhan B. cereus oleh ekstrak etanol
Data hasil pengujian difusi sumur dari masing-masing ekstrak dibuat
kurva dan dihitung persamaan regresinya. Nilai sumbu X didapat dari
menghitung nilai logaritma murni (Ln) dari konsentrasi ekstrak yang
digunakan. Nilai diameter penghambatan dikuadratkan, dan menjadi nilai
sumbu Y. Setelah mendapat persamaan dengan bentuk y = a + bx, maka
dapat dihitung nilai MIC. Cara penghitungannya dapat dilihat pada Lampiran
15 dan Lampiran 16.
75
Tabel 8. Nilai MIC (Minimum Inhibitory Concentration)
Bakteri Uji Sampel MesoyiNilai MIC
(% w/w)
Nilai MIC
(ppm)
Bacillus cereus Ekstrak etanol 0.557 5570
Salmonella Typhimurium Minyak atsiri 0.005 50
Nilai MIC seperti pada Tabel 8, menunjukkan bahwa nilai MIC ekstrak
etanol terhadap Bacillus cereus sebesar 0.557 (% w/w), sedangkan nilai MIC
minyak atsiri terhadap bakteri uji Salmonella Typhimurium adalah 0.005 (%
w/w). Nilai MIC minyak atsiri terhadap Salmonella Typhimurium lebih kecil
daripada nilai MIC ekstrak etanol terhadap Bacillus cereus. Hal ini
menunjukkan bahwa minyak atsiri dapat menghambat pertumbuhan
Salmonella Typhimurium secara lebih efektif daripada kerja ekstrak etanol
dalam menghambat pertumbuhan Bacillus cereus.
Nilai MIC minyak atsiri terhadap bakteri uji Salmonella Typhimurium
merupakan nilai MIC yang rendah dibandingkan nilai MIC beberapa rempah
lainnya misalnya jinten hitam yang memiliki nilai MIC 0.084% (w/w)
terhadap Salmonella Typhimurium. Hal ini berarti Salmonella Typhimurium
memiliki sensitivitas yang tinggi terhadap minyak atsiri mesoyi. Selain itu,
diketahui bahwa minyak atsiri rempah yang juga berasal dari kayu, yaitu
kayu manis yang lebih tidak efektif daripada minyak atsiri kulit kayu mesoyi.
Kayu manis memiliki nilai MIC terhadap Campylobacter jejuni, E. coli,
Salmonella Enteritidis, L. monocytogenes, dan S. aureus pada uji difusi agar
dengan masa inkubasi 24 jam, masing-masing sebesar 0.05, 0.05, 0.05, 0.03,
dan 0.04% (Smith-Palmer et al., 1998).
2. Uji Fitokimia
Sensitivitas yang tinggi terhadap suatu zat antimikroba sangat terkait
dengan senyawa yang terkandung didalamnya, oleh karena itu perlu
diketahui komponen aktif yang ada didalam minyak atsiri dan ekstrak etanol
mesoyi. Uji fitokimia dilakukan untuk mengetahui senyawa aktif yang
76
terkandung di dalam ekstrak secara kualitatif. Uji fitokimia pada penelitian
ini dilakukan untuk mengetahui keberadaan senyawa fenol, tanin, saponin,
flavonoid, alkaloid, steroid dan terpenoid. Hasil analisis dapat dilihat pada
Tabel 9.
Tabel 9. Hasil Uji Fitokimia
Sampel Fenol Tanin Saponin Steroid Terpenoid Flavonoid Alkaloid
Ekstrak
etanol + - - - + - -
Minyak
atsiri - - - - + - -
Dari Tabel 9 dapat dilihat bahwa ekstrak etanol kulit kayu mesoyi
mengandung senyawa fenol dan terpenoid, sedangkan minyak atsiri kulit
kayu mesoyi mengandung senyawa terpenoid. Tidak banyaknya jenis
senyawa metabolit sekunder yang terkandung di dalam kulit kayu mesoyi
menunjukkan bahwa kulit kayu mesoyi mengandung senyawa yang
jumlahnya dominan dan bukan merupakan senyawa aktif umum yang banyak
terdapat dalam jenis tanaman atau rempah lainnya. Umumnya minyak
esensial rempah mengandung beberapa campuran senyawa dan hanya sedikit
yang mengandung satu jenis komponen kimia yang persentasenya sangat
tinggi. Beberapa minyak esensial rempah yang memiliki senyawa yang
terkandung secara dominan misalnya minyak mustard (Brassica alba) yang
mengandung alil isotiosianat 93%, kayu manis (Cinnamomun cassia)
mengandung sinamaldehida 97%, dan cengkeh (Eugenia aromatica) yang
mengandung senyawa fenol, terutama eugenol, sebesar 85% (Agusta, 2000).
a. Minyak atsiri kulit kayu mesoyi
Komposisi dan kandungan minyak atsiri dari rempah bervariasi
antara satu rempah dengan rempah lainnya, bahkan antara rempah yang
sejenis. Hal ini tergantung pada cara perawatan pada saat rempah ditanam,
geografi, dan kondisi iklim saat pertumbuhan (Lund et al., 2000). Hasil uji
77
fitokimia menunjukkan bahwa minyak atsiri kulit kayu mesoyi
mengandung terpenoid. Hal ini sesuai dengan Agusta (2000) yang
menyatakan bahwa minyak atsiri umumnya mengandung monoterpena
yang bersifat volatil dan turunan oksigen dari terpen.
Senyawa antimikroba yang terkandung pada rempah-rempah dapat
merupakan senyawa yang umum terdapat pada rempah-rempah ataupun
senyawa yang tidak terdapat pada rempah lain. Kulit kayu mesoyi
terutama minyak atsirinya, memang telah terbukti banyak mengandung
senyawa khusus yang disebut mesoyi lakton. Senyawa ini telah dikenal di
pasaran karena minyak atsiri kulit kayu mesoyi banyak dijual sebagai
bahan campuran parfum (Ketaren, 1985). Dalam perdagangan minyak
atsiri, mutu minyak mesoyi ditentukan oleh kandungan laktonnya.
Mesoyi lakton terkandung secara dominan didalam minyak atsiri
mesoyi. Senyawa ini merupakan komponen pembentuk bau mesoyi yang
sangat khas. Senyawa utama dalam mesoyi adalah mesoyi lakton yang
terdiri dari lakton I berkisar antara 55-80% dan lakton II berkisar antara 5-
20% (hasil riset Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Obat yang tidak
dipublikasikan). Selain itu terdapat juga senyawa pinen dan benzil benzoat
dalam jumlah kecil. Mesoyi lakton akan memberikan panas bila terkena
kulit secara langsung dan dapat menyebabkan iritasi.
Dari hasil uji fitokimia (Tabel 9), minyak atsiri kulit kayu mesoyi
diketahui hanya mengandung terpenoid, sehingga diduga mesoyi lakton
merupakan senyawa yang termasuk dalam kelas terpenoid. Salah satu
golongan utama terpenoid dalam tanaman adalah monoterpenoid yang
termasuk didalamnya adalah monoterpena lakton yang lebih dikenal
dengan iridoid. Contoh dari monoterpena lakton adalah nepetalakton, yang
merupakan senyawa pemberi bau pada Nepeta cataria Labiateal
(Suradikusumah, 1989). Monoterpena adalah terpenoid dengan susunan
C10, hal ini sesuai dengan struktur kimia mesoyi lakton yang memiliki
rumus molekul C10H16O2 (Leffingwell, 1999).
Berdasarkan hasil riset Balai Penelitian Tanaman Rempah dan
Obat yang tidak dipublikasikan, diketahui bahwa minyak atsiri kulit kayu
78
mesoyi tidak mengandung eugenol. Eugenol merupakan senyawa yang
diketahui memiliki aktivitas antimikroba dan termasuk dalam golongan
fenol. Hal ini sesuai dengan hasil uji fitokimia dimana uji terhadap minyak
atsiri kulit kayu mesoyi menunjukkan hasil fenol yang negatif. Balai
Penelitian Tanaman Rempah dan Obat telah meneliti sifat fisik senyawa
yang terkandung dalam minyak atsiri mesoyi dari beberapa sampel minyak
atsiri kulit kayu mesoyi seperti tertera pada Tabel 10.
Tabel 10. Karakteristik minyak atsiri kulit kayu mesoyi
Nilai*) Karakteristik
Sampel 1 Sampel 2 Sampel 3 Sampel 4 Sampel 5
Berat jenis (25°C) 0.9860 0.9767 0.9795 0.9840 0.9855
Indeks bias (25°C) 1,4726 1.4747 1.4720 1.4715 1.4734
Putaran optik -88°48’ 97°24’ 89°30’ -82°20’ -86°30’
Bilangan asam 5.20 26.96 20.50 8.15 6.40 *) Sampel 1-5 diperoleh dari sumber yang berbeda Sumber: Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Obat (tidak dipublikasikan)
b. Ekstrak etanol kulit kayu mesoyi
Ekstrak etanol kulit kayu mesoyi menunjukkan hasil yang positif
terhadap adanya senyawa dari golongan fenol dan terpenoid. Menurut
Pelczar et. al. (1993), komponen utama pada rempah yang telah diketahui
memiliki aktivitas antimikroba adalah komponen fenolik. Komponen
fenolik merupakan komponen yang banyak terdapat di alam. Fenol
merupakan senyawa yang digunakan sebagai antimikroba dan antiseptik
sejak tahun 1867, yaitu untuk membersihkan alat-alat operasi (Davidson,
1993).
Senyawa fenolik diketahui memiliki aktivitas antimikroba dengan
beberapa mekanisme penghambatan. Mekanisme fenol dalam
menghambat bakteri P. aeruginosa adalah dengan bereaksi dengan
komponen fosfolipid pada membran sel yang menyebabkan meningkatnya
79
permeabilitas. Fenol juga diketahui dapat mempengaruhi enzim yang
dimiliki oleh E. coli, yaitu dehidrogenase dan oksidase (Davidson, 1993).
Selain itu, fenol diketahui menghambat pertumbuhan mikroba dengan
meningkatkan permeabilitas membran sel. Permeabilitas membran sel
mikroba berubah karena fenol mengganggu sistem transport, transport
elektron, dan produksi energi (Ismaeil dan Pierson, 1990). Komponen
fenolik terkandung dalam banyak tanaman dan buah yang telah menjadi
konsumsi manusia sehari-hari, karenanya komponen fenolik merupakan
komponen pengawet yang lebih aman dibandingkan pengawet sintetik
(Davidson dan Naidu, 2000).
Etanol 70% diketahui dapat mengekstrak flavonoid dengan baik.
Walaupun begitu, uji fitokimia yang dilakukan terhadap ekstrak etanol
menunjukkan hasil flavonoid yang negatif. Flavonoid dan tanin
merupakan senyawa yang termasuk kedalam senyawa fenolik. Hal ini
berarti senyawa fenolik yang terkandung dalam ekstrak etanol kulit kayu
mesoyi tidak termasuk dalam kelas flavonoid dan tanin. Menurut Ketaren
(1985) senyawa fenolik yang terkandung di dalam kulit kayu mesoyi
adalah eugenol. Eugenol diketahui memiliki aktivitas antimikroba.
Eugenol dapat menghambat pertumbuhan B. subtilis dengan total mikroba
1x105 CFU/ml pada konsentrasi 0.06% (v/v) setelah diinkubasi pada suhu
ruang selama 72 jam. Selain itu eugenol juga diketahui sebagai zat
antimikroba paling efektif dibandingkan timol, anetol, dan mentol dalam
menghambat Salmonella Thypimurium, S. aureus, dan V.
parahaemolyticus (Davidson dan Naidu, 2000).
Hasil uji fitokimia juga menunjukkan bahwa seperti minyak atsiri,
ekstrak etanol kulit kayu mesoyi mengandung terpenoid (Tabel 9). Hal ini
mungkin terjadi karena terpenoid terdiri atas beberapa macam senyawa.
Terpenoid pada tanaman dapat berupa monoterpena dan seskuiterpena
yang mudah menguap (C10 dan C15), diterpena yang lebih sukar menguap
(C20), dan senyawa yang tidak menguap, yaitu triterpenoid dan sterol
(C30), serta pigmen karotenoid (C40) (Harborne, 1996).
80
Pada penelitian ini, ekstrak etanol didapat melalui ekstraksi pada
suhu tinggi dan dihembus dengan gas N2, karenanya terpenoid yang
terkandung di dalam ekstrak etanol tidak mungkin monoterpena dan
seskuiterpena. Selanjutnya menurut Harborne (1996) triterpenoid dapat
dipilah menjadi sekurang-kurangnya empat golongan, yaitu: (1) triterpena
sebenarnya, (2) steroid, (3) saponin, dan (4) glikosida jantung. Hasil uji
fitokimia menunjukkan negatif terhadap keberadaan steroid dan saponin di
dalam ekstrak etanol kulit kayu mesoyi, karenanya terpenoid yang
terkandung di dalam ekstrak etanol diduga termasuk dalam golongan
diterpena, triterpena sebenarnya, glikosida jantung, atau karotenoid.
81
V. KESIMPULAN DAN SARAN
A. KESIMPULAN
Mesoyi adalah tanaman rempah khas Indonesia yang belum
banyak dimanfaatkan dan banyak tumbuh di Indonesia Timur terutama di
Irian Jaya. Efek antiinflamasi, analgetik, dan penggunaan mesoyi secara
tradisional sebagai obat menjadi dasar untuk perlunya dilakukan
penelitian lain, antara lain menguji efek antimikroba beberapa jenis
ekstrak kulit kayu mesoyi.
Rendemen ekstrak air, ekstrak etanol, minyak atsiri, ekstrak
heksan, ekstrak etil asetat, dan ekstrak metanol kulit kayu mesoyi
berturut-turut adalah 7.80% (w/w), 8.93% (w/w), 2.04% (v/w), 1.69%
(w/w), 1.47% (w/w), dan 1.52% (w/w). Hampir semua ekstrak kulit kayu
mesoyi memiliki spektrum penghambatan yang luas karena mampu
menghambat semua bakteri uji, kecuali ekstrak air dan ekstrak metanol.
Ekstrak air tidak memiliki aktivitas antimikroba, sedangkan ekstrak
metanol tidak mampu menghambat pertumbuhan E. coli. Perbedaan
ekstrak yang diujikan, bakteri uji yang digunakan, dan interaksi yang
terjadi diantaranya memiliki pengaruh yang nyata (p<0.05) terhadap nilai
diameter penghambatan. Bakteri uji yang paling sensitif terhadap
ekstrak-ekstrak kulit kayu mesoyi adalah Salmonella Thypimurium,
sedangkan bakteri yang paling tahan adalah E. coli. Ekstrak kulit kayu
mesoyi yang memiliki aktivitas antimikroba paling baik adalah ekstrak
etil asetat dan minyak atsiri, sedangkan ekstrak kulit kayu mesoyi yang
paling tidak efektif adalah ekstrak air.
Ekstrak yang dipilih untuk diuji lanjut adalah ekstrak etanol dan
minyak atsiri. Nilai MIC ekstrak etanol terhadap Bacillus cereus sebesar
0.557 (% w/w), sedangkan nilai MIC minyak atsiri terhadap bakteri uji
Salmonella Typhimurium adalah 0.005 (% w/w). Uji fitokimia terhadap
ekstrak etanol dan minyak atsiri kulit kayu mesoyi membuktikan bahwa
ekstrak etanol mengandung fenol dan terpenoid, sedangkan minyak atsiri
kulit kayu mesoyi mengandung terpenoid.
82
B. SARAN
Berdasarkan hasil penelitian, beberapa hal yang perlu dilakukan
lebih lanjut adalah: • Pengujian aktivitas antimikroba jenis-jenis ekstrak kulit kayu mesoyi
pada sistem pangan tertentu mewakili pangan nabati dan hewani.
Aplikasi senyawa antimikroba pada bahan pangan dilakukan untuk
mengetahui potensinya sebagai pengawet alami.
• Pengujian jenis-jenis ekstrak kulit kayu mesoyi untuk mengetahui
batas pemakaian yang aman.
• Identifikasi komponen aktif jenis-jenis ekstrak kulit kayu mesoyi
dengan metode Thin Layer Chromatoraphy (TLC) atau dengan alat
Gas Chromatography-Mass Spectrophotometer (GC-MS).
• Perluasan pemanfaatan kulit kayu mesoyi sebagai tanaman khas
Indonesia dapat dilakukan dengan melakukan pengujian lainnya
seperti aktivitas antioksidan, dan uji farmakologis lain seperti anti-
diare.
83
DAFTAR PUSTAKA
Achmadi, S. 1992. Kimia Kayu. FMIPA, IPB, Bogor. Adawiyah, D. R. 1998. Kajian Pengembangan Metode Ekstraksi Komponen
Antimikroba Buah Atung (Parinarium gaberium Hassk.). Tesis. FATETA-IPB. Bogor.
Agusta, A. 2000. Minyak Atsiri Tumbuhan Tropika Indonesia. Penerbit ITB.
Bandung. Ahmad, I., Mehmood, Z., Mohammad, F. 1998. Screening of Some Indian
Medicinal Plants for Their Antimicrobial Properties. Di dalam Ahmad, I., dan Arina, Z. B. 2001. Antimicrobial and Phytochemical Studies on 45 Indian Medicinal Plants Againts Multi-drug Resistent Human Pathogens. Journal of Ethnopharmacology 74, 113-123.
Alfinus. 2004. Isolasi dan Karakterisasi Alkaloid dari Phoebe cuneata bl. dan
Triterpenoid dari Litsea elliptica. www.digilib.itb.ac.id [19 November 2006]
Anonima. 2004. Massoia Oil. www.haldin-natural.com [28 Agustus 2006] Anonimb. 2006. The Essential Oil Source. www.libertynatural.com [28 Agustus
2006] Anonimc. 2006. Methanol. www.wikipedia.com [02 Desember 2006] Anonimd. 2006. Dimethyl Sulfoxide. www.chemicalland21.com [28 Agustus
2006] Anonime. 2006. Tannins. www.wikipedia.com [02 Desember 2006] Anonimf. 2006. Alkaloid. www.wikipedia.com [19 November 2006] Anonimg. 2006. Ethanol. www.wikipedia.com [19 November 2006] Anonimh. 2006. Hexane. www.wikipedia.com [19 November 2006] Anonimi. 2006. Ethyl Acetat. www.wikipedia.com [19 November 2006] Ardiansyah. 2006. Keamanan Pangan Fungsional Berbasis Pangan Tradisional.
www.beritaiptek.com [19 November 2006] Bennik, M. H. J. 2000. Pseudomonas aeruginosa. Di dalam Robinson, R. K., Carl
A. Batt, dan Pradip D. Patel. (eds.) Encyclopedia of Food Microbiology. Academic Press. New York, USA.
84
Branen, A. L. 1993. Introduction to Use of Antimicrobials. Di dalam Davidson, P.
M., dan Alfred, L. B. (eds.) Antimicrobials in Foods 2nd edition. Marcel Dekker, Inc. New York.
Beuchat, L. R. 1994. Antimicrobial Properties of Spices and Their Essential Oils.
Di dalam Naidu, A. S. (ed.). 2000. Natural Food Antimicrobial Systems. CRC Press. USA.
Conner, D. E. 1993. Naturally Occuring Compounds. Di dalam Davidson, P. M.,
dan Alfred, L. B. (eds.) Antimicrobials in Foods 2nd edition. Marcel Dekker, Inc. New York.
Cox, J. 2000. Salmonella Thypimurium. Di dalam Robinson, R. K., Carl A. Batt,
dan Pradip D. Patel. (eds.) Encyclopedia of Food Microbiology. Academic Press. New York, USA.
Davidson, P. M., dan A. S. Naidu. 2000. Phyto-phenols. Di dalam A. S. Naidu
(Ed.). Natural Food Antimicrobial Systems. CRC Press. New York. Davidson, P. M. 1993. Parabens and Phenolic Compounds. Di dalam Davidson, P.
M., dan Alfred, L. B. (eds.) Antimicrobials in Foods 2nd edition. Marcel Dekker, Inc. New York.
Davidson, P. M. 1993. Parabens and Phenolic Compounds. Di dalam Naidu, A. S.
(ed.). 2000. Natural Food Antimicrobial Systems. CRC Press. USA. Davidson, P. M., dan Mickey E. Parish. 1989. Methods for Testing The Efficacy
of Food Antimicrobials. Di dalam Davidson, P. M., dan Alfred, L. B. (eds.). 1993. Antimicrobials in Foods 2nd edition. Marcel Dekker, Inc. New York.
Davidson, P. M., dan Mickey E. Parish. 1993. Methods for Evaluation. Di dalam
Davidson, P. M., dan Alfred, L. B. (eds.). Antimicrobials in Foods 2nd edition. Marcel Dekker, Inc. New York.
Driessen, F. M. 1993. Importance of Bacillus Cereus in Fermented Milks and
Processed Non-fermented Dairy Products. Di dalam Lund, B. M. et. al (eds.). 2000. The Microbiological Safety and Quality of Food Volume II. Aspen Publishers, Inc. Gaithersburg, Maryland.
Fardiaz, S. 1992. Mikrobiologi Pangan I. PT. Gramedia Pustaka Utama
bekerjasama dengan PAU Pangan dan Gizi-IPB. Jakarta. Farrel, Kenneth T. 1990. Spices, Condiments, and Seasonings 2nd edition. Van
Nostrand Reinhold. New York.
85
Garigga, M., M. Hugas, T. Aymerich dan J. M. Monfort. 1993. Bacteriocinogenic Activity of Lactobacilli from Fermentation Sausages. Journal of Applied Microbiology, 7 : 142-148.
Granum, P. E. 1994. Bacillus Cereus and its toxins. Di dalam Lund, B. M. et. al
(Eds.). 2000. The Microbiological Safety and Quality of Food Volume II. Aspen Publishers, Inc. Gaithersburg, Maryland.
Granum, P. E., dan Tony C. B. Bacillus species. Di dalam Lund, B. M. et. al
(Eds.). 2000. The Microbiological Safety and Quality of Food Volume II. Aspen Publishers, Inc. Gaithersburg, Maryland.
Gruiz, K. 1996. Fungitoxic Activity of Saponins: Practical Use and Fundamental
Principiles. Di dalam Naidu, A. S. (ed.). 2000. Natural Food Antimicrobial Systems. CRC Press. USA.
Guenther, E. 1972. The Essential Oils. Di dalam Iskandar, M. I., dan Agus
Ismanto. 2001. Tinjauan Beberapa Sifat dan Manfaat Tumbuhan Masoyi (Massoia aromaticum Becc.). Warta Tumbuhan Obat Indonesia Tahun 2001 Volume 5 Nomor 2 Edisi 2001. Jakarta.
Hakim, E. H. 2004. Alkaloid dari Kulit Akar Litsea diversifolia bl..
www.digilib.itb.ac.id [19 November 2006] Hammer, K. A., Carson, C. A., dan Riley, T. V. 1999a. Antmicrobial Activity of
Essential Oils and Other Plant Extract. Di dalam Naidu, A. S. (ed.). 2000. Natural Food Antimicrobial Systems. CRC Press. USA.
Hammer, K. A., Carson, C. A., dan Riley, T. V. 1999b. Influence of Organic
Matter, Cations and Surfactants on The Antimicrobial Activity of Melaleuca alternifolia (Tea Tree) Oil. Di dalam Naidu, A. S. (ed.). 2000. Natural Food Antimicrobial Systems. CRC Press. USA.
Harborne, J. B. 1996. Metode Fitokimia. Penuntun Cara Modern Menganalisis
Tumbuhan. Terjemahan. K. Padmawinata dan I. Soediro. Penerbit ITB. Bandung.
Heritage, J., E. G. V. Evans, dan R. A. Killington. 1999. Microbiology in Action.
Cambridge University Press. London. Heyne, K. 1987. Tumbuhan Berguna Indonesia II. Yayasan Sarana Wana Jaya.
Jakarta. Holt, John G., Noel R. Kriey, Peter H. A. Sneath, James T. Staley, dan Stanley T.
Williams. 1994. Bergey’s Manual of Determinative Bacteriology 9th edition. Lippincott Williams&Wilkins Co. Baltimore, USA.
86
Houghton P. J. dan A. Raman. 1998. Laboratory Handbook for the Fractionation of Natural Extracts. Chapman and Hall, London.
Iskandar, M. I., dan Agus Ismanto. 2001. Tinjauan Beberapa Sifat dan Manfaat
Tumbuhan Masoyi (Massoia aromaticum Becc.). Warta Tumbuhan Obat Indonesia Tahun 2001 Volume 5 Nomor 2 Edisi 2001. Jakarta.
Iskandar, S. 2003. Minyak Tumbuhan, Sumber Energi Alami. www.chem-is-
try.org.id [19 November 2006] Ismaeil, A. A., dan Pierson, M. D. 1990. Inhibition of Germination, Outgrowth
and Vegetative Growth of Clostridium botulinum 67B by Spice Oils. Di dalam Lund, B. M. et. al (Eds.). 2000. The Microbiological Safety and Quality of Food Volume I. Aspen Publishers, Inc. Gaithersburg, Maryland.
Juven, B. J., Kanner J., Schved F., dan Weisslowicz, H. 1994. Factors That
Interact With The Antibacterial Action of Thyme Essential Oil and Its Active Constituent. Di dalam Naidu, A. S. (ed.). 2000. Natural Food Antimicrobial Systems. CRC Press. USA.
Kartasajuna, I., dan A. Martawijaya. 1973. Kayu Perdagangan Indonesia. Sifat
dan Kegunaannya. Di dalam Warta Tumbuhan Obat Indonesia Tahun 2001 Volume 5 Nomor 2 Edisi 2001. Jakarta.
Ketaren, S. 1985. Pengantar Teknologi Minyak Atsiri. PN Balai Pustaka. Jakarta. Kister, H. Z. 1992. Distillation Design. McGraw-Hill, Inc. USA. Leffingwell. 1999. Delta-lactones and Molecular Structures.www.leffingwell.com
[28 Agustus 2006] Lily, P. 1980. Medicinal Plants of South East Asia. Di dalam Widowati, L., dan
Pudjiastuti. 2001. Khasiat Analgetika Kulit Batang Masoyi (Massoia aromaticum Becc.) Pada Mencit Putih. Warta Tumbuhan Obat Indonesia Tahun 2001 Volume 5 Nomor 2 Edisi 2001. Jakarta.
Lund, B. M., T. C. Baird-Parker, dan G. W. Gould. 2000. The Microbial Safety
and Quality of Food. Vol II. Mattjik, A. A., dan I Made Sumertajaya. 2000. Perancangan Percobaan Edisi
Kedua. IPB Press. Bogor. Middleton, E., dan Chithan K. 1994. The Impact of Plant Flavonoids on
Mammalian Biology : Implication for Immunity, Inflammation, and Cancer. Di dalam Harborne, J. B. (ed.). The Flavonoids. Chapman&Hall. London.
87
Mulia, L. 2000. Kajian Aktivitas Antimikroba Buah Andaliman (Zanthoxylum acanthopodicum) dan Antarasa (Litsea cubeba). Skripsi. FATETA, IPB, Bogor.
Naidu, A. S. 2000. Natural Food Antimicrobial Systems. CRC Press. USA. NCCLS. 1991. Antimicrobial Susceptibility Testing 3rd edition. Di dalam
Davidson, P. M., dan Alfred, L. B. (eds.). Antimicrobials in Foods 2nd edition. Marcel Dekker, Inc. New York.
Nielsen, S. Suzanne. 2003. Food Analysis 3rd edition. Kluwer Academic / Plenum
Publisher. New York, USA. Nychas, G. J. 1994. Natural Antimicrobial From Plants. Di dalam Naidu, A. S.
(ed.). 2000. Natural Food Antimicrobial Systems. CRC Press. USA. Parhusip, Adolf J. N. 2006. Kajian Mekanisme Antibakteri Ekstrak Andaliman
(Zanthoxylum acanthopodium DC) terhadap Bakteri Patogen Pangan. Disertasi. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Parker, Tony C. B. 2000. Staphylococcus aureus. Di dalam Lund, B. M. et al.
(Eds.). The Microbiological Safety and Quality of Food Volume II. Aspen Publishers, Inc. Gaithersburg, Maryland.
Piddock, L. J. 1990. Techniques Used for The Determination of Antimicrobial
Resistance and Sensitivity in Bacteria. Di dalam Davidson, P. M., dan Alfred, L. B. (eds.). Antimicrobials in Foods 2nd edition. Marcel Dekker, Inc. New York.
Pomeranz, Y., dan Clifton E. Meloan. 1994. Food Analysis Theory and Practise
3rd edition. Chapman and Hall Publishing Company. New York, USA. Prescott, L. M, John P. Harley, dan Donald A. Klein. 2003. Microbiology 5th
edition. McGraw-Hill. USA. Ray, B. 2001. Fundamental Food Microbiology 2nd edition. CRC Press. USA. Robinson. 1995. Phyto-chemistry in Plants. Di dalam Naidu, A. S. (ed.). 2000.
Natural Food Antimicrobial Systems. CRC Press. USA. Santoni, A. 2004. Beberapa Alkaloid dari Kulit Batang Litsea firma (BI.)Hk.f
(Lauraceae). www.digilib.itb.ac.id [19 November 2006] Sa’roni, dan Adjirni. 2001. Efek Antiinflamasi Kulit Batang Massoia aromaticum
Becc. (Masoyi) Pada Tikus Putih. Warta Tumbuhan Obat Indonesia Tahun 2001 Volume 5 Nomor 2 Edisi 2001. Jakarta.
88
Shiddieqy, M. I. 2006. Bakteri Menyebabkan Keracunan Susu. www.pikiran-rakyat.com [19 November 2006]
Smith, J. L., dan Marmer, B. S. 1991. Death and Injury of Staphylococcus aureus:
Effect of Growth Temperature. Di dalam Lund, B. M. et al. (Eds.). The Microbiological Safety and Quality of Food Volume II. Aspen Publishers, Inc. Gaithersburg, Maryland.
Smith-Palmer, A., Stewart, J., dan Fyfe, L. 1998. Di dalam Naidu, A. S. (ed.).
2000. Natural Food Antimicrobial Systems. Antimicrobial Properties of Plant Essential Oils and Essences Againts Five Important Food-Borne Pathogens. CRC Press. New York.
Sundari, D., W. Lucie, dan M. W. Winarno. 1998. Informasi Khasiat, Keamanan,
dan Fitokimia Tanaman Secang (Caesalpinia sappan Linn). Di dalam Warta Tumbuhan Obat Indonesia Volume 4 Nomor 3:1 Edisi 1998. Jakarta.
Suradikusumah, E. 1989. Kimia Tumbuhan. Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan, Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Pusat Antar Universitas Ilmu Hayat, IPB.
Widowati, L., dan Pudjiastuti. 2001. Khasiat Analgetika Kulit Batang Masoyi
(Massoia aromaticum Becc.) Pada Mencit Putih. Di dalam Warta Tumbuhan Obat Indonesia Tahun 2001 Volume 5 Nomor 2 Edisi 2001. Jakarta.
White, C. A., dan Hall, L. P. 1984. The Effect of Temperature Abuse on
Staphylococcus aureus and Salmonella in Raw Beef and Chicken Substrates During Freezing. Di dalam Lund, B. M. et al. (Eds.). The Microbiological Safety and Quality of Food Volume II. Aspen Publishers, Inc. Gaithersburg, Maryland.
Zablotowicz, R. M., R. E. Hoagland, S. C. Wagner. 1996. Effects of Saponin on
The Growth and Activity of Rhizosphere Bacteria. Di dalam Naidu, A. S. (ed.). Natural Food Antimicrobial Systems. CRC Press. USA.
89
90
Lampiran 1. Hasil Uji Kadar Air Ekstrak Air Kulit Kayu Mesoyi
Hasil analisis (%)
I II Rata-rata (%)*)
78.71 80.95 79.83 *) merupakan rata-rata dari dua kali pengukuran (duplo)
91
Lampiran 2. Perhitungan Rendemen Keterangan : Wa = berat botol berisi ekstrak (g) Wb = berat botol kosong (g) W0 = berat bahan yang diekstrak (g) Ukuran sampel bubuk kulit kayu mesoyi = 40 mesh
Ekstrak W0 Wa Wb Heksan 32.14 8.28 7.74
Etil asetat 27.80 8.24 7.83 Metanol 25.72 8.05 7.66 Etanol 30.10 10.32 7.63
Air 30.76 129.50 117.60 Contoh : Ekstrak heksan
Rendemen (% w/w) = (Wa – Wb) = (8.28 – 7.74) × 100 % W0 32.14
= 1.69 % (w/w)
Rendemen = ( Wa-Wb ) × 100 % (w/w) W0
92
Lampiran 3. Data Uji Konfirmasi
Jumlah koloni (CFU/ml)*) Bakteri Uji
Ulangan 1 Ulangan 2 Ulangan 3 Rata-rata
E. coli 1.2x108 2.1x108 4.1x108 2.5x108
S. Typhimurium 2.4x108 5.6x108 6.1x108 4.7x108
P. aeruginosa 1.2x108 1.1x108 3.5x108 1.9x108
S. aureus 2.4x108 3.3x108 1.9x108 2.5x108
B. cereus 1.7x108 1.2x108 2.0x108 1.6x108 *)Rata-rata dari duplo
93
Lampiran 4. Perhitungan Diameter Penghambatan (mm)
Keterangan : A = pengukuran diameter pertama (mm) B = pengukuran diameter kedua (mm) C = pengukuran diameter ketiga (mm) D = diameter setiap lubang/sumur = 6 mm
Contoh:
A = 10.9 mm Ф = ( 10.9 + 10.5 + 10.4) - 6 B = 10.5 mm 3
C = 10.4 mm = 4.6 mm D = 6 mm
Ф = ( A + B + C ) - D 3
DA, B, C
94
Lampiran 5. Data Aktivitas Antimikroba Ekstrak Etanol
Diameter Penghambatan Ekstrak Etanol (mm)
Gram negatif Gram positif
Ulangan
E. c
oli
Salm
onel
la
Typ
him
uriu
m
P. a
erug
inos
a
B. c
ereu
s
S. a
ureu
s
Ulangan 1 4.100 4.800 3.150 7.450 6.250
Ulangan 2 4.350 5.750 3.400 7.500 6.650
Ulangan 3 3.730 6.050 3.750 7.900 7.000
Mean 4.060 5.530 3.430 7.620 6.630
SD 0.3119 0.6526 0.3014 0.2466 0.3753
SE 0.1801 0.3768 0.1740 0.1424 0.2167
Lampiran 6. Data Aktivitas Antimikroba Minyak Atsiri
Diameter Penghambatan Minyak Atsiri (mm)
Gram Negatif Gram positif
Ulangan
E. c
oli
Salm
onel
la
Typ
him
uriu
m
P. a
erug
inos
a
B. c
ereu
s
S. a
ureu
s
Ulangan 1 3.600 14.800 4.050 8.100 7.450
Ulangan 2 4.900 13.250 5.400 7.750 6.150
Ulangan 3 4.550 15.750 4.550 8.600 6.600
Mean 4.350 14.600 4.670 8.150 6.730
SD 0.6727 1.2619 0.6825 0.4272 0.6602
SE 0.3884 0.7286 0.3941 0.2466 0.3812
95
Lampiran 7. Data Aktivitas Antimikroba Ekstrak Heksan
Diameter Penghambatan Ekstrak Heksan (mm) Gram Negatif Gram Positif
Ulangan
E. c
oli
Salm
onel
la
Typ
him
uriu
m
P. a
erug
inos
a
B. c
ereu
s
S. a
ureu
s
Ulangan 1 3.200 7.700 5.200 6.050 5.450
Ulangan 2 3.900 10.350 4.200 6.900 5.100
Ulangan 3 3.850 7.050 4.250 7.600 5.550
Mean 3.650 8.370 4.550 6.850 5.370 SD 0.3905 1.7481 0.5635 0.7762 0.2363 SE 0.2255 1.0093 0.3253 0.4481 0.1364
Lampiran 8. Data Aktivitas Antimikroba Ekstrak Etil Asetat
Diameter Penghambatan Ekstrak Etil Asetat (mm)
Gram Negatif Gram Positif
Ulangan
E. c
oli
Salm
onel
la
Typ
him
uriu
m
P. a
erug
inos
a
B. c
ereu
s
S. a
ureu
s
Ulangan 1 5.850 8.200 8.550 11.750 8.150
Ulangan 2 4.150 10.250 14.050 9.050 8.100
Ulangan 3 4.150 10.800 6.650 9.050 9.100
Mean 4.720 9.750 9.750 9.950 8.450
SD 0.9815 1.3702 3.8432 1.5588 0.5635
SE 0.5667 0.7911 2.2189 0.9000 0.3253
96
Lampiran 9. Data Aktivitas Antimikroba Ekstrak Metanol
Diameter Penghambatan Ekstrak Metanol (mm)
Gram Negatif Gram Positif
Ulangan
E. c
oli
Salm
onel
la
Typ
him
uriu
m
P. a
erug
inos
a
B. c
ereu
s
S. a
ureu
s
Ulangan 1 0.000 5.250 6.100 7.600 7.300
Ulangan 2 0.000 7.750 8.450 5.050 5.400
Ulangan 3 0.000 6.200 4.900 6.800 0.000
Mean 0.000 6.400 6.480 6.480 6.350
SD 0.0000 1.2619 1.8058 1.3042 1.3435
SE 0.0000 0.7286 1.0426 0.7530 0.9500
97
Lampiran 10a. Uji Statistik metode GLM Univariate dengan Uji Lanjut LSD Univariate Analysis of Variance
Between-Subjects Factors
ekstrak air 15ekstraketanol 15
minyakatsiri 15
ekstrakheksan 15
ekstrak etilasetat 15
ekstrakmetanol 15
E. coli 18S.Thypimurium
18
P.aeroginosa 18
B. cereus 18S. aureus 18
12
3
4
5
6
EKSTRAK
12
3
45
BAKTERI
Value Label N
98
Lampiran 10b. Uji Statistik metode GLM Univariate dengan Uji Lanjut LSD Descriptive Statistics
Dependent Variable: HAMBATAN
.0000 .00000 3
.0000 .00000 3
.0000 .00000 3
.0000 .00000 3
.0000 .00000 3
.0000 .00000 154.0600 .31193 35.5333 .65256 33.4333 .30139 37.6167 .24664 36.6333 .37528 35.4553 1.64606 154.3500 .67268 3
14.6000 1.26194 34.6667 .68252 38.1500 .42720 36.7333 .66018 37.7000 3.90759 153.6500 .39051 38.3667 1.74809 34.5500 .56347 36.8500 .77621 35.3667 .23629 35.7567 1.89980 154.7167 .98150 39.7500 1.37022 39.7500 3.84318 39.9500 1.55885 38.4500 .56347 38.5233 2.66377 15
.0000 .00000 36.4000 1.26194 36.4833 1.80578 36.4833 1.30416 34.2333 3.78726 34.7200 3.12209 152.7961 2.10782 187.4417 4.66326 184.8139 3.38491 186.5083 3.29604 185.2361 3.06281 185.3592 3.68699 90
BAKTERIE. coliS. ThypimuriumP. aeroginosaB. cereusS. aureusTotalE. coliS. ThypimuriumP. aeroginosaB. cereusS. aureusTotalE. coliS. ThypimuriumP. aeroginosaB. cereusS. aureusTotalE. coliS. ThypimuriumP. aeroginosaB. cereusS. aureusTotalE. coliS. ThypimuriumP. aeroginosaB. cereusS. aureusTotalE. coliS. ThypimuriumP. aeroginosaB. cereusS. aureusTotalE. coliS. ThypimuriumP. aeroginosaB. cereusS. aureusTotal
EKSTRAKekstrak air
ekstrak etanol
minyak atsiri
ekstrak heksan
ekstrak etil asetat
ekstrak metanol
Total
Mean Std. Deviation N
99
Lampiran 10c. Uji Statistik metode GLM Univariate dengan Uji Lanjut LSD
Tests of Between-Subjects Effects
Dependent Variable: HAMBATAN
3695.998a 30 123.200 74.841 .000671.819 5 134.364 81.623 .000225.704 4 56.426 34.277 .000213.562 20 10.678 6.487 .000
98.770 60 1.6463794.768 90
SourceModelEKSTRAKBAKTERIEKSTRAK * BAKTERIErrorTotal
Type III Sumof Squares df Mean Square F Sig.
R Squared = .974 (Adjusted R Squared = .961)a.
100
Lampiran 10d. Uji Statistik metode GLM Univariate dengan Uji Lanjut LSD Parameter Estimates
Dependent Variable: HAMBATAN
-7.02E-16 .741 .000 1.000 -1.482 1.4826.633 .741 8.955 .000 5.152 8.1156.733 .741 9.090 .000 5.252 8.2155.367 .741 7.245 .000 3.885 6.8488.450 .741 11.407 .000 6.968 9.9324.233 .741 5.715 .000 2.752 5.715
-4.233 1.048 -4.041 .000 -6.329 -2.1382.167 1.048 2.068 .043 7.118E-02 4.2622.250 1.048 2.148 .036 .155 4.3452.250 1.048 2.148 .036 .155 4.345
0a . . . . .
4.233 1.482 2.857 .006 1.270 7.197
-2.167 1.482 -1.462 .149 -5.130 .797
-2.250 1.482 -1.519 .134 -5.213 .713
-2.250 1.482 -1.519 .134 -5.213 .713
0a
. . . . .
1.660 1.482 1.120 .267 -1.303 4.623
-3.267 1.482 -2.205 .031 -6.230 -.303
-5.450 1.482 -3.679 .001 -8.413 -2.487
-1.267 1.482 -.855 .396 -4.230 1.697
0a
. . . . .
1.850 1.482 1.249 .217 -1.113 4.813
5.700 1.482 3.847 .000 2.737 8.663
-4.317 1.482 -2.914 .005 -7.280 -1.353
-.833 1.482 -.562 .576 -3.797 2.130
0a
. . . . .
2.517 1.482 1.699 .095 -.447 5.480
.833 1.482 .562 .576 -2.130 3.797
-3.067 1.482 -2.070 .043 -6.030 -.103
-.767 1.482 -.517 .607 -3.730 2.197
0a
. . . . .
.500 1.482 .337 .737 -2.463 3.463
-.867 1.482 -.585 .561 -3.830 2.097
-.950 1.482 -.641 .524 -3.913 2.013
-.750 1.482 -.506 .615 -3.713 2.213
0a
. . . . .
0a
. . . . .
0a
. . . . .
0a
. . . . .
0a
. . . . .
0a
. . . . .
Parameter[EKSTRAK=1 ][EKSTRAK=2 ][EKSTRAK=3 ][EKSTRAK=4 ][EKSTRAK=5 ][EKSTRAK=6 ][BAKTERI=1 ][BAKTERI=2 ][BAKTERI=3 ][BAKTERI=4 ][BAKTERI=5 ][EKSTRAK=1 ]* [BAKTERI=1 ][EKSTRAK=1 ]* [BAKTERI=2 ][EKSTRAK=1 ]* [BAKTERI=3 ][EKSTRAK=1 ]* [BAKTERI=4 ][EKSTRAK=1 ]* [BAKTERI=5 ][EKSTRAK=2 ]* [BAKTERI=1 ][EKSTRAK=2 ]* [BAKTERI=2 ][EKSTRAK=2 ]* [BAKTERI=3 ][EKSTRAK=2 ]* [BAKTERI=4 ][EKSTRAK=2 ]* [BAKTERI=5 ][EKSTRAK=3 ]* [BAKTERI=1 ][EKSTRAK=3 ]* [BAKTERI=2 ][EKSTRAK=3 ]* [BAKTERI=3 ][EKSTRAK=3 ]* [BAKTERI=4 ][EKSTRAK=3 ]* [BAKTERI=5 ][EKSTRAK=4 ]* [BAKTERI=1 ][EKSTRAK=4 ]* [BAKTERI=2 ][EKSTRAK=4 ]* [BAKTERI=3 ][EKSTRAK=4 ]* [BAKTERI=4 ][EKSTRAK=4 ]* [BAKTERI=5 ][EKSTRAK=5 ]* [BAKTERI=1 ][EKSTRAK=5 ]* [BAKTERI=2 ][EKSTRAK=5 ]* [BAKTERI=3 ][EKSTRAK=5 ]* [BAKTERI=4 ][EKSTRAK=5 ]* [BAKTERI=5 ][EKSTRAK=6 ]* [BAKTERI=1 ][EKSTRAK=6 ]* [BAKTERI=2 ][EKSTRAK=6 ]* [BAKTERI=3 ][EKSTRAK=6 ]* [BAKTERI=4 ][EKSTRAK=6 ]* [BAKTERI=5 ]
B Std. Error t Sig. Lower Bound Upper Bound95% Confidence Interval
This parameter is set to zero because it is redundant.a.
101
Lampiran 10e. Uji Statistik metode GLM Univariate dengan Uji Lanjut LSD Post Hoc Tests EKSTRAK
Multiple Comparisons
Dependent Variable: HAMBATANLSD
-5.4553* .46850 .000 -6.3925 -4.5182-7.7000* .46850 .000 -8.6371 -6.7629-5.7567* .46850 .000 -6.6938 -4.8195-8.5233* .46850 .000 -9.4605 -7.5862-4.7200* .46850 .000 -5.6571 -3.78295.4553* .46850 .000 4.5182 6.3925
-2.2447* .46850 .000 -3.1818 -1.3075-.3013 .46850 .523 -1.2385 .6358
-3.0680* .46850 .000 -4.0051 -2.1309.7353 .46850 .122 -.2018 1.6725
7.7000* .46850 .000 6.7629 8.63712.2447* .46850 .000 1.3075 3.18181.9433* .46850 .000 1.0062 2.8805-.8233 .46850 .084 -1.7605 .11382.9800* .46850 .000 2.0429 3.91715.7567* .46850 .000 4.8195 6.6938
.3013 .46850 .523 -.6358 1.2385-1.9433* .46850 .000 -2.8805 -1.0062-2.7667* .46850 .000 -3.7038 -1.82951.0367* .46850 .031 .0995 1.97388.5233* .46850 .000 7.5862 9.46053.0680* .46850 .000 2.1309 4.0051
.8233 .46850 .084 -.1138 1.76052.7667* .46850 .000 1.8295 3.70383.8033* .46850 .000 2.8662 4.74054.7200* .46850 .000 3.7829 5.6571-.7353 .46850 .122 -1.6725 .2018
-2.9800* .46850 .000 -3.9171 -2.0429-1.0367* .46850 .031 -1.9738 -.0995-3.8033* .46850 .000 -4.7405 -2.8662
(J) EKSTRAKekstrak etanolminyak atsiriekstrak heksanekstrak etil asetatekstrak metanolekstrak airminyak atsiriekstrak heksanekstrak etil asetatekstrak metanolekstrak airekstrak etanolekstrak heksanekstrak etil asetatekstrak metanolekstrak airekstrak etanolminyak atsiriekstrak etil asetatekstrak metanolekstrak airekstrak etanolminyak atsiriekstrak heksanekstrak metanolekstrak airekstrak etanolminyak atsiriekstrak heksanekstrak etil asetat
(I) EKSTRAKekstrak air
ekstrak etanol
minyak atsiri
ekstrak heksan
ekstrak etil asetat
ekstrak metanol
MeanDifference
(I-J) Std. Error Sig. Lower Bound Upper Bound95% Confidence Interval
Based on observed means.The mean difference is significant at the .05 level.*.
102
Lampiran 10f. Uji Statistik metode GLM Univariate dengan Uji Lanjut LSD
Multiple Comparisons
Dependent Variable: HAMBATANLSD
-4.6456* .42768 .000 -5.5010 -3.7901-2.0178* .42768 .000 -2.8733 -1.1623-3.7122* .42768 .000 -4.5677 -2.8567-2.4400* .42768 .000 -3.2955 -1.58454.6456* .42768 .000 3.7901 5.50102.6278* .42768 .000 1.7723 3.4833
.9333* .42768 .033 .0779 1.78882.2056* .42768 .000 1.3501 3.06102.0178* .42768 .000 1.1623 2.8733
-2.6278* .42768 .000 -3.4833 -1.7723-1.6944* .42768 .000 -2.5499 -.8390
-.4222 .42768 .327 -1.2777 .43333.7122* .42768 .000 2.8567 4.5677-.9333* .42768 .033 -1.7888 -.07791.6944* .42768 .000 .8390 2.54991.2722* .42768 .004 .4167 2.12772.4400* .42768 .000 1.5845 3.2955
-2.2056* .42768 .000 -3.0610 -1.3501.4222 .42768 .327 -.4333 1.2777
-1.2722* .42768 .004 -2.1277 -.4167
(J) BAKTERIS. ThypimuriumP. aeroginosaB. cereusS. aureusE. coliP. aeroginosaB. cereusS. aureusE. coliS. ThypimuriumB. cereusS. aureusE. coliS. ThypimuriumP. aeroginosaS. aureusE. coliS. ThypimuriumP. aeroginosaB. cereus
(I) BAKTERIE. coli
S. Thypimurium
P. aeroginosa
B. cereus
S. aureus
MeanDifference
(I-J) Std. Error Sig. Lower Bound Upper Bound95% Confidence Interval
Based on observed means.The mean difference is significant at the .05 level.*.
103
Lampiran 10g. Uji Statistik metode GLM Univariate dengan Uji Lanjut LSD
Nilai rata-rata diameter penghambatan (mm) E.coli P.aerginosa S.aureus B.cereus S. Typhimurium 2.80 4.81 5.24 6.51 7.44
●
EA EMet EEt EH MA EEtA
Nilai rata-rata diameter penghambatan (mm) EA EMet EEt EH MA EEtA 0.00 4.72 5.46 5.76 7.70 8.52
Keterangan : EA =ekstrak air
EMet =ekstrak metanol EEt =ekstrak etanol EH =ekstrak heksan MA =minyak atsiri EEtA =ekstrak etil asetat
E.coli P. aeruginosa S. aureus B. cereus S. thypimurium
104
Lampiran 11. Perkiraan rataan marginal daya hambat jenis-jenis ekstrak kulit
kayu mesoyi terhadap bakteri uji
2. EKSTRAK
Dependent Variable: HAMBATAN
-4.91E-16 .331 -.663 .6635.455 .331 4.793 6.1187.700 .331 7.037 8.3635.757 .331 5.094 6.4198.523 .331 7.861 9.1864.720 .331 4.057 5.383
EKSTRAKekstrak airekstrak etanolminyak atsiriekstrak heksanekstrak etil asetatekstrak metanol
Mean Std. Error Lower Bound Upper Bound95% Confidence Interval
Lampiran 12. Perkiraan rataan marginal daya hambat bakteri uji oleh jenis-jenis
ekstrak kulit kayu mesoyi
3. BAKTERI
Dependent Variable: HAMBATAN
2.796 .302 2.191 3.4017.442 .302 6.837 8.0474.814 .302 4.209 5.4196.508 .302 5.903 7.1135.236 .302 4.631 5.841
BAKTERIE. coliS. ThypimuriumP. aeroginosaB. cereusS. aureus
Mean Std. Error Lower Bound Upper Bound95% Confidence Interval
105
Lampiran 13. Perkiraan rataan marginal daya hambat pertumbuhan bakteri uji
karena interaksi jenis ekstrak kulit kayu mesoyi dengan jenis
bakteri uji
4. EKSTRAK * BAKTERI
Dependent Variable: HAMBATAN
-8.88E-16 .741 -1.482 1.4821.332E-15 .741 -1.482 1.482-1.33E-15 .741 -1.482 1.482-8.88E-16 .741 -1.482 1.482-7.02E-16 .741 -1.482 1.482
4.060 .741 2.578 5.5425.533 .741 4.052 7.0153.433 .741 1.952 4.9157.617 .741 6.135 9.0986.633 .741 5.152 8.1154.350 .741 2.868 5.832
14.600 .741 13.118 16.0824.667 .741 3.185 6.1488.150 .741 6.668 9.6326.733 .741 5.252 8.2153.650 .741 2.168 5.1328.367 .741 6.885 9.8484.550 .741 3.068 6.0326.850 .741 5.368 8.3325.367 .741 3.885 6.8484.717 .741 3.235 6.1989.750 .741 8.268 11.2329.750 .741 8.268 11.2329.950 .741 8.468 11.4328.450 .741 6.968 9.932
-7.99E-15 .741 -1.482 1.4826.400 .741 4.918 7.8826.483 .741 5.002 7.9656.483 .741 5.002 7.9654.233 .741 2.752 5.715
BAKTERIE. coliS. ThypimuriumP. aeroginosaB. cereusS. aureusE. coliS. ThypimuriumP. aeroginosaB. cereusS. aureusE. coliS. ThypimuriumP. aeroginosaB. cereusS. aureusE. coliS. ThypimuriumP. aeroginosaB. cereusS. aureusE. coliS. ThypimuriumP. aeroginosaB. cereusS. aureusE. coliS. ThypimuriumP. aeroginosaB. cereusS. aureus
EKSTRAKekstrak air
ekstrak etanol
minyak atsiri
ekstrak heksan
ekstrak etil asetat
ekstrak metanol
Mean Std. Error Lower Bound Upper Bound95% Confidence Interval
106
Lampiran 14. Struktur Dinding Sel Bakteri: (a) Gram positif dan (b) Gram
negatif (Kightley, 2006)
(a)
(b)
107
Lampiran 15. Penentuan Nilai MIC Minyak Atsiri Terhadap Salmonella
Typhimurium
Sumbu X
Sumbu Y
Kurva :
Jika y = 0 x = -75.641/19.611 = - 3.857070012 Mt = 0.021129819 Mic = 0.005282455
Konsentrasi Ln [ ]
10 2.302585
30 3.401197
40 3.688879
50 3.912023
Diameter Penghambatan (mm)
Ulangan 1 Ulangan 2
I II I II X
Kuadrat
9.5 12.8 13.7 13.1 12.25 150.0625 11.5 12.4 15.9 13.7 13.35 178.2225 11.9 11.1 14.8 11.2 12.25 150.0625 12.6 13.1 14.9 15.6 14.1 198.81
y = 19.611x + 75.641R2 = 0.5656
80
120
160
200
1 2 3 4 5ln [ ]
kuad
rat d
iam
eter
pe
ngha
mba
tan
108
Lampiran 16. Penentuan Nilai MIC Ekstrak Etanol Terhadap Bacillus cereus
Sumbu X
Sumbu Y
Kurva :
Jika y = 0 x = 29.584/36.974 = 0.80013 Mt = 2.22583 Mic = 0.556457
Konsentrasi Ln [ ]
10 2.302585
20 2.995732
30 3.401197
40 3.688879
50 3.912023
Diameter Penghambatan (mm)
Ulangan 1 Ulangan 2
I II I II X
Kuadrat
7.7 7.9 7.1 6.8 7.35 54.0225 8.9 9.0 9.2 8.9 9 81.0 9.5 10.3 10.0 9.7 9.85 97.0225 10.5 10.8 11.1 10.6 10.8 116.64 10.8 10.1 9.9 10.3 10.3 106.09
y = 36.974x - 29.584R2 = 0.9246
40
80
120
160
1 1.5 2 2.5 3 3.5 4 4.5
ln [ ]
kuad
rat d
iam
eter
pen
gham
bata
n