dmd

12
DMD Duchenne muscular dystrophy (DMD) merupakan penyakit distrofi muskular progresif, bersifat herediter, dan mengenai anak laki-laki. Insidensi penyakit itu relatif jarang, hanya sebesar satu dari 3500 kelahiran bayi laki-laki. Penyakit tersebut diturunkan melalui X-linked resesif, dan hanya mengenai pria, sedangkan perempuan hanya sebagai karier. Biasanya anak- anak yang menderita distrophya jenis Duchene dibawa ke dokter karena sering jatuh, dan kalau sudah jatuh tidak dapat berdiri dengan cepat. Kelemahan otot- otot tungkai pada anak- anak tersebut tidak memungkinkan mereka bangkit secara wajar. Dari sikap duduk di lantai dan kemudian berdiri dilakukannya dengan cara yang khas, pertama mereka menempatkan lengan di lantai sebagaimana anak hendak merangkak, kemudian tungkai diluruskan dan tangan bergerak setapak demi setapak kearah kaki, setelah kaki terpegang, kedua tangan memanjat tungkai, demikianlah akhirnya tubuh dapat digerakkan. BATASAN Duchenne muscular dystrophy adalah penyakit X-linked otot yang bersifat progresif akibat tidak terbentuknya protein distropin. Penyakit ini mengenai anak laki-laki dan proses distrofi otot sudah dimulai sejak lahir, munculnya kelemahan berjalan pada awal dekade kedua, dan biasanya akan meninggal pada usia 20 tahun. Pada DMD terdapat kelainan genetik yang

Upload: meita-religia

Post on 07-Nov-2015

7 views

Category:

Documents


1 download

DESCRIPTION

wd

TRANSCRIPT

DMD

Duchenne muscular dystrophy (DMD) merupakan penyakit distrofi muskular progresif, bersifat herediter, dan mengenai anak laki-laki. Insidensi penyakit itu relatif jarang, hanya sebesar satu dari 3500 kelahiran bayi laki-laki. Penyakit tersebut diturunkan melalui X-linked resesif, dan hanya mengenai pria, sedangkan perempuan hanya sebagai karier. Biasanya anak- anak yang menderita distrophya jenis Duchene dibawa ke dokter karena sering jatuh, dan kalau sudah jatuh tidak dapat berdiri dengan cepat. Kelemahan otot- otot tungkai pada anak- anak tersebut tidak memungkinkan mereka bangkit secara wajar. Dari sikap duduk di lantai dan kemudian berdiri dilakukannya dengan cara yang khas, pertama mereka menempatkan lengan di lantai sebagaimana anak hendak merangkak, kemudian tungkai diluruskan dan tangan bergerak setapak demi setapak kearah kaki, setelah kaki terpegang, kedua tangan memanjat tungkai, demikianlah akhirnya tubuh dapat digerakkan.

BATASANDuchenne muscular dystrophy adalah penyakit X-linked otot yang bersifat progresif akibat tidak terbentuknya protein distropin. Penyakit ini mengenai anak laki-laki dan proses distrofi otot sudah dimulai sejak lahir, munculnya kelemahan berjalan pada awal dekade kedua, dan biasanya akan meninggal pada usia 20 tahun. Pada DMD terdapat kelainan genetik yang terletak pada kromosom X, lokus Xp21.22-4 yang bertanggung jawab terhadap pembentukan protein distrofin

EPIDEMIOLOGIInsidensi penyakit itu relatif jarang, hanya sebesar satu dari 3500 kelahiran bayi laki-laki. Penyakit tersebut diturunkan melalui X-linked resesif, dan hanya mengenai pria, sedangkan perempuan hanya sebagai karier.Pada wanita mutasinya harus terdapat pada kedua kopi dari gen untuk menyebabkan gangguan ini (pengecualian yang jarang, pada karier yang menunjukkan gejala, bisa terjadi karena kompensasi dosis/inaktivasi X). Pada pria jauh lebih sering menderita penyakit terkait X resesif dibandingkan wanita. Secara klinis, gangguan akibat Duchenne muscular dysthropy mulai tampak pada usia 3-7 tahun, yakni lordosis, gaya berjalan waddling, dan tanda Gowers. Manifestasi klinis berupa pseudohypertrophy muncul 1-2 tahun kemudian. Kebanyakan pasien harus memakai kursi roda pada usia 12 tahun.

ETIOLOGI Pada DMD terdapat kelainan genetik yang terletak pada kromosom X, lokus Xp21.22-4 yang bertanggung jawab terhadap pembentukan protein distrofin. Perubahan patologi pada otot yang mengalami distrofi terjadi secara primer dan bukan disebabkan oleh penyakit sekunder akibat kelainan sistem saraf pusat atau saraf perifer. Duchenne muscular dystrophy disebabkan adanya mutasi pada gen yang bertanggung jawab dalam mengkodekan distrofin. Mutasi yang terjadi mengakibatkan hilangnya protein distrofin, baik berupa delesi, duplikasi maupun mutasi pergeseran yang menimbulkan hilangnya protein otot yang besar dan dikaitkan dengan fenotif umum yang terlihat pada penderita Duchenne muscular dystrophy.

PATOGENESISDMD merupakan kelainan yang diturunkan, dan masing-masing MD mengikuti pola pewarisan yang berbeda. Tipe yang paling dikenal, Duchenne muscular dystrophy (DMD), diwariskan dengan pola terkait X resesif, yang berarti bahwa gen yang bermutasi yang menyebabkan penyakit ini terletak pada kromosom X, dan oleh karenanya terkait seks. Pada pria satu salinan yang berubah dari gen ini pada masing-masing sel sudah cukup untuk menyebabkan kelainan ini. Pada wanita mutasinya harus terdapat pada kedua kopi dari gen untuk menyebabkan gangguan ini (pengecualian yang jarang, pada karier yang menunjukkan gejala, bisa terjadi karena kompensasi dosis/inaktivasi X). Pada pria oleh karenanya terkena penyakit terkait X resesif jauh lebih sering dibandingkan wanita. Penyebab utama proses degeneratif pada DMD kebanyakan akibat delesi pada segmen gen yang bertanggung jawab terhadap pembentukan protein distrofin pada membran sel otot, sehingga menyebabkan ketiadaan protein tersebut dalam jaringan otot. Gangguan fungsi distrofin menyebabkan sarkolemma otot menjadi kurang stabil. Ketidakstabilan ini menyebabkan kerusakan otot, nekrosis, dan fibrosis. Ketiadaan distrofin akan bermanifestasi pada masalah fisiologis otot berupa kesulitan gerak secara progresif akibat adanya fragilitas membran miofibril, sehingga terjadi siklus degenerasi dan regenerasi kronis yang disertai hilangnya potensi regenerasi.

GEJALA DAN TANDA

Tahap 1 Presimptomatik a. Kreatine kinase biasanya meningkat. b. Riwayat keluarga biasanya positif. 2. Tahap 2 Fase awal berjalan a. Waddling gait, muncul pada anak usia 2-6 tahun; sering pada gejala klinis pertama pasien Duchenne muscular dystrophy. b. Kelemahan progresif terjadi pada otot-otot proximal, terutama ekstremitas bawah, tetapi selanjutnnya naik ke otot flexor leher, bahu dan lengan. c. Karena kelemahan otot punggung proximal dan otot ekstremitas, orangtua sering mengatakan bahwa anak laki-lakinya menekan lututnya sebagai usaha untuk berdiri; dikenal sebagai tanda Gowers. 3. Tahap 3 Fase akhir berjalan a. Lebih sulit berjalan. b. Sekitar usia 8 tahun, kebanyakan pasien memperlihatkan kesulitan menaiki tangga dan kelemahan otot respirasi. Kelemahan ini berlangsung lambat, tetapi pasti. c. Tidak dapat bangkit dari lantai. d. Terjadi hipoksia nokturnal seperti letargi dan sakit kepala di pagi hari.

4. Tahap 4 Fase awal tidak mampu berjalan a. Dapat bergerak sendiri untuk beberapa waktu b. Masih dapat mempertahankan postur tubuh c. Perkembangan skoliosis

5. Tahap 5 Fase akhir tidak mampu berjalan a. Skoliosis berlangsung progresif, sehingga menjadi bergantung pada kursi roda. b. Jika kursi roda tidak mampu menolong lagi, gejala berkembang ke arah respirasi terminal atau gagal jantung, biasanya terjadi pada usia dua puluhan; gizi buruk dapat juga menjadi komplikasi serius pada seseorang dengan DMD tahap akhir yang berat. c. Terbentuk kontraktur otot.

Secara umum, gejala-gejala yang dapat ditemukan pada DMD adalah sebagai berikut:1. Kelemahan otot yang progresif bahkan dapat terjadi kehilangan masa otot. 2. Gangguan keseimbangan. 3. Mudah merasa lelah 4. Kesulitan dalam aktivitas motorik 5. Peningkatan lumbal lordosis yang berakibat pada pemendekan otot panggul 6. Sering jatuh 7. Kesulitan berjalan, cara berjalan yang aneh 8. Waddling Gait 9. Deformitas jaringan ikat otot 10. pseudohipertrophy ( mengalami pembesaran pada lidah dan betis), dimana terjadi pengisisan oleh jar ikat dan jaringan lemak. 11. Mengalami kesulitan belajar 12. Jangkauan gerak terbatas 13. Kontraktur otot (biasanya pada tendon Achilles dan kerusakan otot hamstring) karena serat otot memendek dan mengalami fibrosis yang muncul pada jaringan ikat. 14. Gangguan respirasi 15. Ptosis 16. Atrofi Gonad 17. Scoliosis 18. Beberapa jenis MD dapat menyerang jantung, menyebabkan cardiomyopathy atau aritmia

DIAGNOSIS BANDING 1. Congenital Muscular Dystrophy (CDM) 2. Congenital Myopathies (CM) 3. Polymyositis 4. Emery-Dreifuss Muscular Dystrophy 5. Facioscapulohumeral Dystrophy (FD) 6. Limb-Girdle Muscular Dystrophy

DIAGNOSADiagnosis dari DMD didasarkan terutama pada hasil biopsi otot. Dalam beberapa kasus, suatu tes darah DNA mungkin cukup membantu. Pemeriksaan lainnya yang dapat membantu antara lain, peningkatan kadar CK serum dan pemeriksaan elektromyografi, yang konsisten dengan keterlibatan miogenik. Seringkali, terdapat kehilangan jaringan otot, yang sulit untuk dilihat karena pada DMD menyebabkan penumpukan jaringan lemak dan jaringan ikat yang membuat otot tampak lebih besar. Ini disebut dengan pseudohipertrofi.Pada tahun 1868, Duchenne menetapkan kriteria diagnostik yang masih digunakan sampai sekarang untuk penyakit distrofi otot. Kriteria-kriteria tersebut antara lain, (1) kelemahan yang dimulai dari lengan; (2) hiperlordosis dengan gaya berjalan yang khas; (3) hipertrofi otot yang lembek; (4) perjalanan penyakit yang progresif; (5) penurunan kontraktilitas otot dengan rangsangan listrik pada tahap lanjut; dan (6) disfungsi vesika urinria dan pencernaan, gangguan sensorik, atau demam.

TERAPI Pemberian kortikosteroid, seperti prednisolon pada pasien DMD dapat mempertahankan fungsi dan kekuatan otot, serta memperlambat proses degenerasi penyakit. Mekanisme kortikosteroid dalam memperlambat proses degenerasi otot masih belum jelas. Efek samping pemberian kortikosteroid adalah peningkatan berat badan, retardasi pertumbuhan, hirsutisme dan osteoporosis.Latihan fisik berupa fisioterapi dan pemakaian alat bantu dapat diberikan. Untuk mencegah kontraktur plantar fleksi yang berpengaruh pada keseimbangan dan cara berjalan, dapat diberikan latihan stretching heel-cord dan pemakaian ankle foot orthosis (AFO) pada waktu malam. Tetapi pemakaian alat ortosis atau stretching tidak dapat mencegah terjadinya kontraktur. Ketika kontraktur tendo achilles bertambah berat dan mempengaruhi ambulasi, maka dapat dilakukan lengthening tendon Achilles. Pemakaian knee ankle foot orthosis (KAFO) digunakan saat otot quadriceps mulai lemah yang disertai berkembangnya fleksi kontraktur lutut sehingga membantu pasien untuk dapat berdiri dan berjalan. Alat tersebut dapat digunakan pada pasien dengan knee flexion contracture