dk2p1 bb menurun

44
4. Jelaskan mengenai konsep autokrin, parakrin dan endokrin Komunikasi antarsel diperantarai oleh molekul sinyal. Tiga jenis komunikasi antarsel: a. Parakrin Molekul sinyal dilepaskan oleh sel dan bekerja mempengaruhi sel yang berada di sekitarnya. b. Autokrin Molekul sinyal dilepaskan oleh sel dan bekerja mempengaruhi sel itu sendiri c. Endokrin Molekul sinyal dilepaskan oleh sel ke dalam aliran darah dan bekerja mempengaruhi sel target yang terletak jauh Sumber: Arthur C, Guyton, Hall JE. Buku ajar fisiologi kedokteran. Ed 11. Jakarta: EGC; 2007. 5. Jelaskan mekanisme pembentukan dan sekresi hormon hipotalamus, hipofisis dan hormon adrenal Hipotalamus-hipofisis

Upload: rayma-hayati

Post on 26-Jan-2016

247 views

Category:

Documents


3 download

DESCRIPTION

a

TRANSCRIPT

Page 1: DK2P1 BB Menurun

4. Jelaskan mengenai konsep autokrin, parakrin dan endokrinKomunikasi antarsel diperantarai oleh molekul sinyal. Tiga jenis komunikasi antarsel:

a. ParakrinMolekul sinyal dilepaskan oleh sel dan bekerja mempengaruhi sel yang berada di sekitarnya.

b. AutokrinMolekul sinyal dilepaskan oleh sel dan bekerja mempengaruhi sel itu sendiri

c. EndokrinMolekul sinyal dilepaskan oleh sel ke dalam aliran darah dan bekerja mempengaruhi sel target yang terletak jauh

Sumber: Arthur C, Guyton, Hall JE. Buku ajar fisiologi kedokteran. Ed 11. Jakarta: EGC; 2007.

5. Jelaskan mekanisme pembentukan dan sekresi hormon hipotalamus, hipofisis dan hormon adrenal

Hipotalamus-hipofisis

Hipotalamus merupakan bagian kecil otak yang menerima input baik langsung maupun tidak dari semua bagian otak. Hipofisis adalah kelenjar endokrin kecil yang terletak di rongga bertulang di dasar otak, di bawah hipotalamus.

Hipofisis dan hipotalamus dihubungkan oleh sebuah tangkai kecil, infundibulum, yang mengandung serat saraf dan pembuluh darah. Hipofisis memiliki dua lobus yang secara anatomis dan fungsional berbeda, hipofisis anterior dan hipofisis posterior. Hipofisis posterior, secara

Page 2: DK2P1 BB Menurun

embriologis berasal dari pertumbuhan berlebihan otak, terdiri dari jaringan saraf dan disebut juga neurohipofisis. Sedangkan hipofisis anterior terdiri dari jaringan epitel kelenjar yang secara embriologis berasal dari penonjolan dari atap mulut. Hipofisis anterior juga disebut dengan adenohipofisis. 

Pada adenohipofisis beberapa spesies, lobus intermedius (lobus ketiga) juga ditemukan, pada vetebra rendah lobus ini mengeluarkan beberapa melanocyte-stimulating hormones atau MSH yang mengatur warna kulit dengan mengontrol penyebaran granula berpigmen melanin. Sedangkan pada manusia MSH sendiri di sekresi oleh hipotalamus anterior. Fungsi MSH ini kalaupun ada, masih belum jelas. 

Perbedaan antara hipofisis anterior dan posterior juga terdapat pada hormon yang mereka hasilkan. Hipofisis anterior mensintesis sendiri hormonnya, sedangkan hipofisis posterior tidak menghasilkan hormon apa-apa, tetapi hanya menyimpan dan mengeluarkan hormon yang telah disintesis oleh hipotalamus, yaitu hormon antidiuretik (ADH) atau vasopresin dan oksitosin yang disintesis oleh badan sel neuron kedalam darah. 

Vasopresin berfungsi untuk meningkatkan retensi H2O oleh ginjal dan untuk kontraksi otot polos arteriol yang berperan dalam sistem kardiovaskular. Sedangkan oksitosin berfungsi untuk merangsang kontraksi otot polos uterus dan mendorong pengeluaran susu dari kelenjar mamaria (payudara).

Dengan adanya masukan stimulatorik ke hipotalamus, vasopresin dan oksitosin dilepaskan ke dalam darah dari hipofisis posterior lewat proses eksositosis granula sekretorik yang bersangkutan. 

Hipofisis anterior mengeluarkan enam hormon releasing dan inhibiting ke dalam darah. 

1. Hormon pertumbuhan (growth hormone, GH), hormon utama yang bertanggung jawab mengatur pertumbuhan secara keseluruhan dan sebagai metabolisme perantara.

2. Thyroid-stimulating hormone, TSH, merangsang sekresi hormon tiroid dan pertumbuhan kelenjar tiroid.

3. Adrenokortikotropik, ACTH, merangsang sekresi kortisol oleh korteks adrenal dan meningkatkan pertumbuhan korteks adrenal.

4. Follicle-stimulating hormone, FSH, pada wanita hormon ini berfungsi untuk menstimulasi folikel ovarium dan pada pria untuk produksi sperma.

5. Luteinizing hormone, LH, pada wanita hormon ini berfungsi untuk ovulasi, pembentukan korpus luteum, dan pengaturan sekresi hormon wanita.

6. Prolaktin, PRL, meningkatkan perkembangan payudara dan pembentukan susu pada wanita.

Hipotalamus dengan sel kelenjar hipofisis dihubungkan oleh pembuluh darah yang berakhir sebagai kapiler pada kedua ujungnya, sehingga disebut sistem porta hipotalamus-hipofisis. Sistem porta ini merupakan saluran vaskular yang penting karena sebagai penghubung antara otak dan sistem endokrin. Hampir semua aliran darah ke hipofisis anterior mula-mula harus melalui hipotalamus. Karena pertukaran bahan-bahan antara darah dan jaringan sekitarnya hanya dapat terjadi pada tingkat kapiler, sistem porta hipotalamus-hipofisis menyediakan suatu rute tempat hormon pelepas dan penghambat dapat diserap di hipotalamus serta dengan segera langsung disampaikan ke hipofisis anterior dalam konsentrasi yang tinggi.

Sekresi hormon hipofisis anterior di kontrol oleh hormon pelepas dan penghambat hipotalamus. Hormon selain menimbulkan efek fisiologisnya, juga bekerja menekan sekresinya. Penekanan ini yang disebut umpan balik negatif lengkung panjang (long-loop negative feedback), dilaksanakan

Page 3: DK2P1 BB Menurun

oleh hormon organ sasaran dengan bekerja secara langsung pada hipofisis itu sendiri atau pada pengeluaran hormon hipotalamus, yang kemudian mengatur fungsi hipofisis anterior. Sebagai contoh, pada sistem CRH-ACTH-kortisol. 

CRH hipotalamus merangsang hipofisis anterior untuk mengeluarkan ACTH, setelah itu ACTH merangsang korteks adrenal untuk mengeluarkan kortisol. Hormon akhir pada sistem ini, kortisol, menghambat sekresi CRH oleh hipotalamus serta menurunkan kepekaan sel-sel penghasil ACTH terhadap CRH dengan bekerja langsung pada hipofisis anterior. Itu dilakukan untuk menstabilkan konsentrasi dalam plasma, agar kadar hormon organ susunannya konstan. 

Sebaliknya jika kadar kortisol menurun, efek inhibisi pada hipotalamus berkurang. Terdapat juga umpan balik negatif lengkung pendek, contohnya prolaktin, bekerja langsung ke hipotalamus untuk mengontrol sekresi prolaktin. Sedangkan untuk umpan balik positif, contohnya estrogen pada sekresi LH, mengakibatkan lonjakan LH untuk ovulasi.

Sumber: Fisiologi manusia, Lauralee Sherwood

HipofisisHipofisis lobus anterior

Macam-macam fungsi hormon yang dihasilkan kelenjar hipofisis lobus anterior dan gangguannya.

Page 4: DK2P1 BB Menurun

Hipofisis pars media

Jenis hormon serta fungsi hipofisis pars media

Hipofisis lobus posterior

Sumber: Fisiologi manusia, Lauralee Sherwood

kelenjar adrenalMedula adrenalMedula adrenal dianggap juga sebagai bagian dari sistem saraf. Sel-sel sekretorinya merupakan modifikasi sel-sel saraf yang melepaskan dua hormon yang berjalan dalam aliran darah: epinephrin (adrenalin) dan norephinephrin (noradrenalin). Peranan adrenalin pada metabolisme normal tubuh belum jelas. Sejumlah besar hormon ini dilepaskan dalam darah apabila seseorang dihadapkan pada tekanan, seperti marah, luka, atau takut. Jika hormon adrenalin menyebar di seluruh tubuh, hormon menimbulkan tanggapan yang sangat luas: laju dan kekuatan denyut jantung meningkat sehingga tekanan darah meningkat. Kadar gula darah danlaju metabolisme meningkat. Bronkus membesar sehingga memungkinkan udara masuk dan keluarparu-paru lebih mudah. Pupil mata membesar. Hormon noradrenalin juga menyebabkan peningkatan tekanan darah.

Korteks AdrenalStimulasi korteks oleh sistem saraf simpatetik menyebabkan dikeluarkannya hormon ke dalam darah yang menimbulkan respon “fight or flight”. Korteks adrenal menghasilkan beberapa hormon steroid yaitu mineralokortikoid, dan glukokortikoid. Mineralokortikoid menjaga keseimbangan elektrolit, glukokortikoid memproduksi respon yang lambat dan jangka panjang dengan meningkatkan tingkat glukosa darah melalui pemecahan lemak dan Protein.

Page 5: DK2P1 BB Menurun

Kortek adrenal mensintesis molekul steroid yang dipilah menjadi tiga kelompok hormon yaitu glukokortikoid, mineralkortikoid dan androgen dengan zona/lapisan penghasil yang berbeda-beda:Seperti kita ketahui, kortek adrenal mempunyai 3 lapisan/zona yaitu :a. Zona glomerulosa : memproduksi hormon mineralkortikoidb. Zona fasikulata : memproduksi hormon glukokortikoid (bersama dengan zona reticularis)c. Zona reticularis : memproduksi homon androgen

Kolesterol, yang didapatkan dari makanan dan sintesis endogen adalah bahan untuk steroidogenesis. Uptake kolesterol dilakukan oleh LDL receptor. Dengan stimulasi dari ACTH, jumlah receptor LDL meningkat.

Di bawah ini, adalah skema jalanya sintesis dari hormon steroid adrenal :Steroidogenesis

Gambar 1. Biosintesis steroid dalam zona fasikulata dan zona retikularis korteks adrenal.

Gambar 2. Biosintesis steroid dalam zona glomerulosa.

Sumber: Fisiologi manusia, Lauralee Sherwood

DHEA-sulfat

Androstenedion

DHEA

17-hidroksiprogesteron

17-hidroksipregnenolon

11-deoksikortisol

KortisolKortikosteron

11-deoksideoksikortikosteron

Progesteron

Pregnenolon

Kolesterol

Aldosteron

P450aldo

18-hidroksikortikosteron

P450aldo

Kortikosteron

P450aldo

11-deoksikortikosteronProgesteronPrognenolon

Kolesterol

Page 6: DK2P1 BB Menurun

6. Jelaskan hormon apa saja yang mempengaruhi penurunan BBA. Hormon insulin

Insulin merupakan hormon yang terdiri dari rangkaian asam amino yang dihasilkan oleh sel beta pankreas. Dalam keadaan normal, bila ada rangsangan pada sel beta, insulin disintesis dan kemudian disekresikan ke dalam darah sesuai kebutuhan tubuh untuk keperluan regulasi glukosa darah. Sintesis insulin dimulai dalam bentuk preproinsulin (prekursor hormon insulin) pada retikulum endoplasma sel beta. Dengan bantuan enzim peptidase, preproinsulin mengalami pemecahan sehingga terbentuk proinsulin, yang kemudian dihimpun dalam gelembung-gelembung (secretory vesicles) dalam sel tersebut. Di sini, dengan bantuan peptidase, proinsulin diuraikanlagi menjadi insulin dan peptida-C (C-Peptide) yang keduanya sudah siap untuk disekresikan secara bersama-sama melalui membran sel.

Insulin berperan penting dalam berbagai proses biologis dalam tubuh terutama menyangkut metabolisme karbohidrat Hormon ini berfungsi dalam proses utilisasi glukosa pada hampir seluruh jaringan tubuh terutama pada otot, lemak, dan hepar. Pada jaringan perifer seperti jaringan otot dan lemak, insulin berikatan dengan sejenis reseptor (insulin receptor substrate) yang terdapat pada membran sel. Ikatan antara insulin dan reseptor akan menghasilkan semacam signal yang berguna bagi proses regulasi atau metabolisme glukosa dalam sel otot dan lemak, dengan mekanisme yang belum begitu jelas. Bebera hal diketahui, diantaranya meningkatkan kuantitas GLUT-4 (glukosa transporter-4) pada membran sel karena proses translokasi GLUT-4 dari dalm sel diaktivasi oleh adanya transduksi signal. Regulasi glukosa tidak hanya ditentukan oleh metabolisme glukosa di jaringan perifer, tapi juga di jaringan hepar. Untuk mendapatkan metabolisme glukosa yang normal diperlukan mekanisme sekresi insulin disertai aksi insulin yang berlangsung normal.

B. Hormon TiroidKelenjar thyroid mensekresi dua jenis hormon, yaitu tiroksin (T4), mencapai 90

% dari seluruh sekresi kelenjar thyroid dan tri-iodotironin (T3) disekresi dalam jumlah kecil. Jika TSH mengikat reseptor sel folikel, maka akan mengakibatkan terjadinya sintesis dan sekresi tiroglobulin yang mengandung asam amino tirosin, ke dalam lumen folikel.

Iodium yang tertelan bersama makanan dibawa aliran darah dalam bentuk ion iodida menuju kelenjar thyroid. Sel-sel folikuler memisahkan iodida dari darah dan mengubahnya menjadi molekul unsur iodium. Molekul iodium bereaksi dengan tirosin dalam tiroglobulin untuk membentuk molekul monoiodotirosin dan diiodotirosin, dua molekul diiodotirosin membentuk T4 sedangkan satu molekul monoiodotirosin dan satu molekul diiodotirosin membentuk T3. Sejumlah besar T3 dan T4 disimpan dalam bentuk

Page 7: DK2P1 BB Menurun

tiroglobulin selama berminggu-minggu. Saat hormon thyroid akan dilepas di bawah pengaruh TSH, enzim proteolitik memisahkan hormon dari tiroglobulin. Hormon berdifusi dari lumen folikel melalui sel-sel folikular dan masuk ke sirkulasi darh. Sebagian besar hormon thyorid yang bersirkulasi bergabung dengan protein plasma.

Hormon thyroid meningkatkan laju metabolisme hampir semua sel tubuh. Hormon ini menstimulasi konsumsi oksigen dan memperbesar pengeluaran energi terutama dalam bentuk panas. Pertumbuhan dan maturasi normal tulang gigi, jaringan ikat, dan jaringan saraf bergantungpada hormon-hormon thyroid. Fungsi thyroid diatur oleh hormon perangsang thyroid (TSH) hipofisis, di bawah kendali hormon pelepas tirotropin (TRH) hipotalamus melalui sistem umpan balik hipofisis-hipotalamus. Faktor utama yang mempengaruhi laju sekresi TRH dan TSH adalah kadar hormon thyroid yang berdirkulasi dan laju metabolik tubuh.

C. Hormon KortisolMineralokortikoid disintesis dalam zona glomerolus. Aldosteron merupakan

mineralokortikoid terpenting mengatur keseimbangan air dan elektrolit melalui pengendaliankadar natrium dan kalium dalam darah. Sekresi aldosteron diatur oleh kadar natrium darah tetapi terutama oleh mekanisme renin-angiotensin. Glukokortikoid disintesis dalam zona fasikulata. Hormon ini meliputi kortikosteron, kortisol, dan kortison. Yang terpenting adalah kortisol. Glukokortikoid mempengaruhi metabolisme glukosa, protein, dan lemak untuk membentuk cadangan molekul yang siap dimetabolisme. Hormon ini meningkatkan sintesis glukosa dari sumber non karbohidrat (glukoneogenesis). Simpanan glikogen di hati (glikogenesis) dan penningkatan kadar glukosa darah. Hormon ini juga meningkatkan penguraian lemak dan protein serta menghambat ambilan asam amino dan sintesis protein. Hormon ini juga menstabilisasi membran lisosom untuk mencegah kerusakan jaringan lebih lanjut. Glukokortikoid adalah melalui kerja ACTH dalam mekanisme umpan balik negatif. Stimulus utama dari ACTH adalah semua jenis stres fisik atau emosional. Stres misalnya trauma, infeksi, atau kerusakan jaringan akan memicu impuls saraf ke hipotalamus. Hipotalamus kemudian mensekresi hormon pelepas kortikotropin (CRH) yang melewati sistem portal hipotalamus-hipofisis menuju kelenjar pituitari anterior, yang melepas ACTH. ACTH bersirkulasi dalam darah meuju kelenjar adrenal dan mengeluarkan sekresi glukokortikoid. Glukokortikoid mengakibatkan peningkatan persediaan asam amino, lemak, dan glukosa dalam darah untuk membantu memperbaiki kerusakan yang disebabkan karena stres dan menstabilkan membran lisosom untukmencegah kerusakan lebih lanjut. Gonadokortikoid (steroid kelamin) disintesis pada zona retikularis dalam jumlah yang relatif sedikit, steroid ini berfungsi terutama sebagai prekursor untuk pengubahan testosteron dan esterogen oleh jaringan lain.

Page 8: DK2P1 BB Menurun

D. Hormon pertumbuhanGH (growth hormon) atau hormon somatotropik (STH) adalah sejenis

hormon protein. Hormon ini mengendalikan seluruh sel tubuh yang mampu memperbesar ukuran dan jumlah disertai efek utama pada pertumbuhan tulang dan massa otot rangka. GH mempercepat laju sintesis protein pada seluruh sel tubuh dengan cara meningkatkan pemasukan asam amino melalui membran sel. GH juga menurunkan laju penggunaan karbohidrat oleh sel tubuh dengan demikian menambah glukosa darah. GH menyebabkan peningkatan mobilisasi lemak dan pemakaian lemak untuk energi. Selain itu, GH menyebabkan hati (mungkin juga ginjal) memproduksi somatomedin, sekelompok faktor pertumbuhan dependen-hipofisis yang sangat penting untuk pertumbuhan tulang dan kartilago.

Pengaturan sekresi hormon pertumbuhan terjadi melalui sekresi dua hormon antagonis. 1. stimulus untuk pelepasan, hormon pelepas hormon pertumbuhan (GHRH) dari hipotalamus dibawa melalui saluran portal hipotalamus-hipofisis menuju hipofisis anterior tempatnya menstimulasi sintesis dan pelepasan GH. Stimulus tambahan untuk pelepasan GH melalui stress, malnutrisi, dan aktivitas yang merendahkan kadar gula darah seperti puasa dan olahraga. 2. Inhibisi pelepasan, sekresi GHRH dihambat oleh peningkatan kadar GH dalam darah melallui mekanisme umpan balik negatif. Somatostatin, hotmon penghambat hormon pertumbuhan (GHIH) dari hipotalamus dibawa menuju hipofisis anterior melalaui sistem portal. Hormonm ini menghambat sintesis dan pelepasan GH. Stimulus tambahan untuk inhibisi GH meliputi obesitas dan peningkatan kadar asam lemak darah.

E. Hormon epinefrinSecara keseluruhan efek hormone epineferin adalah untuk mempersiapkan

tubuh terhadap aktivitas fisik yang merespon stres, kegembiraan, cedera, latihan dan penurunan kadar gula. Efek epinefrin yang lain, yaitu meningkatkan frekuensi jantung, metabolisme, dan komsumsi oksigen. Kadar gula darah meningkat melalui stimulasi glikogenolisis pada hati dan simpanan glikogen otot. Pembuluh darah pada kulit dan organ-organ viseral berkontriksi sementara pembululh di otot rangka dan otot jantung berdilatasi.

Sumber:

1. Price,Sylvia,dkk.2006.Patofisiologi Konsep Klinis Proses-proses Penyakit jilid 1. Jakarta: EGC.

2. Arthur C, Guyton, Hall JE. Buku ajar fisiologi kedokteran. Ed 11. Jakarta: EGC; 2007.

Page 9: DK2P1 BB Menurun

7. Jelaskan apa saja penyakit pada hipofisis, pankreas (endokrin), adrenal, tiroid, dan paratiroidGangguan kelenjar hipofisis:1. Hipopituitarisme2. Gigantise dan akromegali3. Tumor hipofisis4. Gangguan sekresi vasopresinGangguan kelenjar tiroid:1. Hipertiroidisme2. Hipotiroidisme3. Goiter nontoksik4. Neoplasma tiroid5. Sindrom sakit EutiroidGangguan sekresi adrenal;1. Sindrom cushing2. Aldosteronisme3. Hirsutisme4. Virilisme 5. Feokromositoma6. Insufisiensi adrenalPankreas:1. Diabetes melitus

Sumber:

1. Price,Sylvia,dkk.2006.Patofisiologi Konsep Klinis Proses-proses Penyakit jilid 1. Jakarta: EGC.

8. Jelaskan apa saja kelainan dalam bidang endokrin dan metabolisme yang menyebabkan penurunan BB

A. Diabetes Mellitus Tipe 1, disebut juga insulin-dependent diabetes melitus (IDDM), yaitu penyakit yang disebabkan hiperglikemia karena defisiensi sekresi insulin akibat rusaknya sel beta pankreas.

B. Diabetes Mellitus Tipe 2, disebut juga Non Insulin Dependent Diabetes Melitus (NIDDM), yaitu pankreas tetap menghasilkan insulin, kadang kadarnya lebih tinggi dari normal. Tetapi tubuh membentuk kekebalan terhadap efeknya, sehingga terjadi kekurangan insulin relatif. Diabetes tipe II bisa terjadi pada anak-anak dan dewasa, tetapi biasanya terjadi setelah usia 30 tahun. Faktor resiko untuk diabetes tipe II adalah obesitas, 80-90% penderita mengalami obesitas. Diabetes tipe II juga cenderung diturunkan.

C. TirotoksikosisKelainan kelenjar tiroid yang menyebabkan peningkatan produksi tiroid.

Penyebab tirotoksikosis sebagian besar adalah penyakit Graves, goiter multinodular toksik dan mononodular toksik. Pasien tirotoksikosis mengalami peningkatan laju metabolik basal. Terjadi peningkatan pembentukan panas (keringat berlebihan) dan penurunan toleransi terhadap panas. Tubuh yang membakar bahan bakar dengan kecepatan abnormal menyebabkan meningkatnya kebutuhan metabolik, walaupun nafsu makan dan asupannya meningkat berat badan biasanya menurun.

D. Addison disease

Page 10: DK2P1 BB Menurun

Suatu penyakit yang jarang, paling sering terjadi pada orang dewasa; timbul setelah terdapat destruksi korteks adrenal paling sedikit 90%. Etiologinya banyak, termasuk adrenalitis autoimun, proses infeksi (tuberkulosis, histoplasmosis, jamur), kanker metastatik. Gambaran klinis meliputi lemah, kelelahan, anoreksia, hipotensi, mual, muntah dan hiperpigmentasi kulit. Pemeriksaan laboratorium menghasilkan hiperkalemia, rendah natrium, klorida, bikarbonat dan glukosa. Kadar ACTH serum meningkat.

Sumber: 1. Price,Sylvia,dkk.2006.Patofisiologi Konsep Klinis Proses-proses Penyakit jilid 1.

Jakarta: EGC.2. Arthur C, Guyton, Hall JE. Buku ajar fisiologi kedokteran. Ed 11. Jakarta: EGC; 2007.

9. Bagaimana patomekanisme penurunan BBa. Pengaruh Hormon Insulin

Hormon isulin berperan dalam metabolisme glukosa dalam sel. Apabila ada gangguan pada sekresi dan kerja insulin, misalnya hiposekresi dan resistensi insulin, maka akan menimbulkan hambatan dalam utilisasi glukosa serta peningkatan kadar glukosa darah (hiperglikemia). Hiposekresi insulin disebabkan oleh rusaknya sel beta pankreas sedangkan resistensi insulin disebabkan tidak adanya atau tidak sensitifnya reseptor insulin yang berada di permukaan sel. Hiposekresi dan resistensi insulin menyebabkan glukosa tidak masuk ke dalam sel sehingga tidak dihasilkan energi. Akibatnya, terjadi penguraian glikogen dalam otot dan pemecahan protein sehingga menyebabkan penurunan berat badan.

b. Pengaruh Hormon TiroidHormon tiroid berperan dalam metabolisme yang terjadi dalam tubuh. Kelebihan

hormon tiroid menyebabkan peningkatan kecepatan metabolisme basal yang terjadi dalam tubuh. Apabila glukosa tidak mampu mencukupi kebutuhan metabolisme tubuh, maka tubuh menggunakan glikogen dan protein sebagai bahan bakar penggantinya. Akibatnya, massa otot menurun dan berat badan pun menurun.

c. Pengaruh Hormon KortisolSalah satu hormon yang mengatur regulasi berat badan adalah kortisol. Apabila

terjadi penurunan kortisol, akan berakibat pada menurunnya metabolisme dalam tubuh. Penurunan kortisol ini sendiri dapat disebabkan oleh destruksi korteks adrenal. Penurunan metabolisme dalam tubuh akan mengakibatkan penurunan jumlah energi yang diperoleh (ATP menurun). Penurunan produksi ATP menyebabkan otot tidak mendapatkan cukup energi untuk bekerja. Hal ini memicu terjadinya pemecahan di dalam otot sendiri, sehingga massa otot berkurang. Penurunan massa otot ini pada akhirnya akan menyebabkan penurunan berat badan.

Sumber: Sumber:

2. Price,Sylvia,dkk.2006.Patofisiologi Konsep Klinis Proses-proses Penyakit jilid 1. Jakarta: EGC.

3. Arthur C, Guyton, Hall JE. Buku ajar fisiologi kedokteran. Ed 11. Jakarta: EGC; 2007.

10. Jelaskan keterkaitan antara penurunan BB dengan gejala lain yang menyertaiLemah dan lelah disebabkan oleh penurunan utilisasi glukosa oleh jaringan (kekurangan energi) dan terjadi peningkatan metabolisme anaerob yang menghasilkan energi lebih sedikit serta

Page 11: DK2P1 BB Menurun

penumpukan asam laktat. Dapat pula disebabkan oleh ketosis yang kemudian menyebabkan asidosis metabolik, penurunan massa otot akibat penguraian protein, glikogen dan osmosis akibat hiperglikemia.

Pada sebagian besar kasus terjadi penurunan berat badan terlebih dahulu lalu diikuti dengan gejala lemah, lelah dan mengantuk. Defek pada metabolisme (peningkatan pengeluaran glukosa oleh hati, penurunan penyerapan glukosa oleh sel, peningkatan asam lemak darah) memiliki efek penurunan berat badan, juga mengakibatkan peningkatan metabolisme anaerob dan penguraian protein sehingga menyebabkan lemas dan lelah.

Sumber:

4. Price,Sylvia,dkk.2006.Patofisiologi Konsep Klinis Proses-proses Penyakit jilid 1. Jakarta: EGC.

5. Arthur C, Guyton, Hall JE. Buku ajar fisiologi kedokteran. Ed 11. Jakarta: EGC; 2007.

11. Jelaskan mengenai alergi (patofisiologi, etiologi, klasifikasi, tatalaksana, respon imun)

A. PatofisiologiGejala alergi timbul apabila reagin atau IgE yang melekat pada permukaan mast sel atau basophil bereaksi dengan alergen yang sesuai. Interaksi antara alergen dengan IgE yang menyebabkan ikat-silang antara 2 reseptor-Fc mengakibatkan degranulasi sel dan penglepasan substansi-substansi tertentu misalnya histamin, vasoactive amine, prostaglandin, tromboksan, bradikinin. Degranulasi dapat terjadi kalau terbentuk ikat-silang akibat reaksi antara IgE pada permukaan sel dengan anti-IgE.

Histamin melebarkan dan meningkatkan permeabilitas vaskular serta merangsang kontraksi otot polos dan kelenjar eksokrin. Di saluran nafas, histamin merangsang kontraksi otot polos sehingga menyebabkan penyempitan saluran nafas dan menyebabkan membran saluran nafas membengkak serta merangsang ekskresi lendir pekat secara berlebihan.

Hal ini mengakibatkan saluran nafas tersumbat, sehingga terjadi asma, sedangkan pada kulit, histamin menimbulkan benjolan (urtikaria) yang berwarna merah (eritema) dan gatal karena peningkatan permeabilitas pembuluh darah dan pelebaran pembuluh darah. Pada gastrointestinal, histamine menimbulkan reflek muntah dan diare.

B. EtiologiAda beberapa jenis penyebab alergi yaitu :

1. Defisiensi limfosit T yang mengakibatkan kelebihan IgE.

Page 12: DK2P1 BB Menurun

2. Kelainan pada mekanisme umpan balik mediator.3. Faktor genetic4. Faktor lingkungan : debu, tepung sari, tungau, bulu binatang, berbagai jenis makanan

dan zat lain.C. Klasifikasi

Dewasa ini pemakaian istilah alergi, baik dikalangan kedokteran maupun masyarakat luas, telah berubah. Istilah alergi sekarang diartikan sama dengan istilah hipersensitivitas saja. Pada prinsipnya alergi adalah suatu keadaan yang disebabkan oleh suatu reaksi imunologik yang spesifik, suatu keadaan yang ditimbulkan oleh alergen atau antigen, sehingga terjadi gejala - gejala patologik. Secara garis besar, maka reaksi alergi dapat dibagi atas dua golongan, yaitu reaksi tipe cepat( immediate type ) dan tipe lambat ( delayed type ). Yang pertama adalah humoral-mediated sedangkan yang kedua, cell-mediated.

Dewasa ini, umumnya para sarjana di seluruh dunia lebih banyak mempergunakan cara klasifikasi reaksi alergi menurut COOMBS dan GELL, oleh karena dirasakan lebih tepat. Mereka membagi reaksi alergi menjadiempat tipe, yaitu:

1. Reaksi Tipe I atau Reaksi Tipe Anafilaktik2. Reaksi Tipe II atau Reaksi Tipe Sitotoksik3. Reaksi Tipe III atau Reaksi Tipe Kompleks-Toksik4. Reaksi Tipe IV atau Reaksi Tipe SelulerTipe I hingga III, semuanya termasuk alergi atau hipersensi-tivitas tipe cepat,

sedangkan tipe IV termasuk tipe lambat. Alergi adalah suatu reaksi hipersensitivitas yang diawali oleh mekanisme imunologis,

yaitu akibat induksi oleh IgE yang spesifik terhadap alergen tertentu, yang berikatan dengan sel mast. Reaksi timbul akibat paparan terhadap bahan yang pada umumnya tidak berbahaya dan banyak ditemukan dalam lingkungan, disebut alergen. Paparan berulang oleh alergen spesifik akan mengakibatkan reaksi silang terhadap sel mast yang mempunyai ikatan dengan afinitas kuat pada IgE. Sel mast akan teraktivasi dengan melepaskan mediator 3 terlarut seperti histamin untuk kemudian menuju target organ, menimbulkan gejala klinis sesuai dengan target organ tersebut. Penyakit tersebut berhubungan erat dengan faktor genetik dan lingkungan. Alergen dapat masuk ke dalam tubuh melalui beberapa cara seperti inhalasi, kontak langsung, saluran cerna, atau suntikan.

D. Tatalaksana

1. Terapi ideal adalah menghindari kontak dengan alergen penyebab dan eleminasi.

2. Terapi simtomatis dilakukan melalui pemberian :

- Antihistamin dan obat-obat yang menghambat degranulasi sel mast dapat mengurangi gejala-gejala alergi.

- Kortikosteroid yang dihirup bekerja sebagai obat peradangan dan dapat mengurangi gejala suatu alergi.

3. Untuk gejala yang berat dan lama, bila terapi lain tidak memuaskan dilakukan imunoterapi melalui :

- Terapi desensitisasi berupa penyuntikan berulang allergen dalam jumlah yangkecil dapat mendorong pasien membentuk antibody IgG terhadap alergen.

E. Respon imunDasar imunopatologi secara umum

Page 13: DK2P1 BB Menurun

Imunopatologi merupakan suatu mekanisme imunitas atau sistem pertahanan tubuh yang mengalami suatu penyimpangan imunopatologi atau yang disebut kegagalan dari sistem imun yang dapat merugikan tubuh. Macam imunopatologi :1. Hipersensitivitas

Hipersensitivitas yaitu reaksi imun yang patologik, terjadi akibat respon imun yang berlebihan sehingga menimbulkan kerusakan jaringan tubuh. Reaksi hipersensitivitas menurut Coombs dan Gell dibagi menjadi 4 tipe reaksi berdasarkan kecepatan dan mekanisme imun yang terjadi, yaitu tipe I, II, III, dan IV. Kemudian Janeway dan Travers merivisi tipe IV Gell dan Coombs menjadi tipe IVa dan IVb.

Reaksi tipe I yang disebut juga reaksi cepat atau reaksi anafilaksis atau reaksi alergi timbul segera setelah tubuh terpajan dengan alergen. Pada reaksi tipe I, alergen yang masuk ke dalam tubuh menimbulkan respon imun berupa produksi IgE dan penyakit alergi seperti rinitis alergi, asma, dan dermatitis atopi.

Reaksi tipe II atau reaksi sitotoksik atau sitotoksik terjadi karena dibentuk antibodi jenis IgG atau IgM terhadap antigen yang merupakan bagian dari sel pejamu.

Reaksi tipe III disebut juga reaksi kompleks imun, terjadi bila kompleks antigen-antibodi ditemukan dalam sirkulasi/pembuluh darah atau jaringan dan mengaktifkan komplemen.

Reaksi hipersensitivitas tipe IV dibagi dalam DTH (Delayed Type Hypersensitivity) yang terjadi melalui sel CD4+ dan T cell Mediated Cytolysis yang terjadi melalui sel CD8+.

Jenis Hipersensitivitas Mekanisme Imun Patologik Mekanisme Kerusakan Jaringan dan Penyakit

Tipe IHipersensitivitas cepat

IgE Sel mast dan mediatornya  (amin vasoaktif, mediator lipid, dan sitokin)

Tipe IIReaksi melalui antibody

IgM, IgG terhadap permukaan sel atau matriks antigen ekstraseluler

Opsonisasi & fagositosis selPengerahan leukosit (neutrofil, makrofag) atas pengaruh komplemen dan FcRKelainan fungsi seluler (misal dalam sinyal reseptor hormone)

Tipe IIIKompleks imun

Kompleks imun (antigen dalam sirkulasi dan IgM atau IgG)

Pengerahan dan aktivasi leukosit atas pengaruh komplemen dan Fc-R

Tipe IV (melalui sel T)Tipe IVaTipe Ivb

CD4+ : DTHCD8+ : CTL

Aktivasi makrofag, inflamasi atas pengaruh sitokinMembunuh sel sasaran direk, inflamasi atas pengaruh sitokin

2. ImunodefisiensiSekumpulan keadaan yang berlainan, dmana sistem kekebalan tidak berfungsi secara

adekuat, sehingga infeksi lebih sering terjadi, lebih serig berulang, dapat menginfksi cepat dan berlangsung lebih lama dari biasanya. Imuno defisiensi terbagi menjadi 2 yaitu :

Imunodefisiensi Primer merupakan kelainan langka yang penyebabnya bersifat genetik dan terutama ditemukan pada bayi dan anak-anak.

Imunodefisiensi Sekunder lebih sering dijumpai dibandingkan imunodefisiensi primwe dan kerap kali terjadi sebagai akibat dari prises penyakit yang

Page 14: DK2P1 BB Menurun

mendasarinya atau akibat dari terapi terhadap penyakit lain. Contohnya AIDS, terjadi imunosupresi.

3. AutoimunKegagalan fungsi sistem kekebalan tubuh yang membuat tubuh menyerang

jaringannya sendiri. Sistem imunitas menjaga tubuh melawan pada apa yang terlihatnya sebagai bahan asing atau berbahaya. Bahan antigen termasuk mikroorganisme, parasit, sel kanker dan pencangkokan organ serta jaringan.

Sumber: 1. Corwin, Elizabeth J. 2009. Buku Saku Patofisiologi, Ed. 3. Jakarta: EGC.2. Subowo. 2010. Imunologi Klinik, Ed. 2. Jakarta : Sagung Seto.

12. Jelaskan mengenai antihistamin (Indikasi, kontraindikasi, efek samping, mekanisme, edukasi)

Sewaktu diketahui bahwa Histamin memepengaruhi banyak proses fisiologik dan patologik, maka dicarikan obat yang dapat mengantagonis efek Histamin. Epinefrin merupakan antagonis fisiologik pertama yang digunakan. Antara tahun 1937-1972, beratus-ratus antihistamin ditemukan dan sebagian digunakan dalam terapi tetapi efeknya tidak banyak berbeda.

Antihistamin misalnya antergan, neoantergan, difenhidramin dan tripelenamin dalam dosis terapi efektif untuk mengobati edema, eritem dan pruritus tetapi tidak dapat melawan efek hipersekresi asam lambung akibat Histamin. Antihistamin tesebut digolongkan dalam antihistamin penghambat reseptor H1 (AH1).

Sesudah tahun 1972, ditemukan kelompok antihistamin baru, yaitu burinamid, mitiamid dan simetidin yang dapat menghambat sekresi asam lambung akibat Histamin. Kedua jenis antihistamin ini bekerja secara kompetetif, yaitu dengan menghambat antihistamin dan reseptor Histamin H1 dan H2

1. Antagonis Reseptor H1 (AH1)A. Indikasi

AH1 berguna untuk pengobatan simtomatik berbagai penyakit alergi dan mencegah atau mengobati mabuk perjalanan.Penyakit alergi.

AH1 berguna untuk mengobati alergi tipe eksudatif akut misalnya pada polinosis dan urtikaria. Efeknya bersifat paliatif, membatasi dan menghambat efek Histamin yang dilepaskan suwaktu reaksi antigen-antibodi terjadi. AH1 tidak berpengaruh terhadap intensitas reaksi antigen-antibodi terjadi. AH1 tidak berpengaruh terhadap intensitas reaksi antigen-antibodi yang merupakan penyebab berbagai gangguan alergik. Keadaan ini hanya bisa diatasi dengan menghindari allergen, desensitilasi atau menekan reaksi tersebut dengan kortikosteroid.AH1 tidak dapat melawan reaksi alergi akibat peranan autokoid lain. Asma bronchial terutama disebabkan oleh SRS-A atau leukotrien, sehingga AH1 saja tidak efektif. AH1 dapat mengatasi asma bronchial ringan bila diberikan sebagai profilaksis. Untuk asma bronchial berat, aminofilin, epinefrin dan isoproterenolol merupakan pilihan utama. Pada reaksi anafilaktif, AH1 hanya merupakan tambahan dari epinefrin yang merupakan obat terpilih. Pada angioedema berat dengan edema laring, efinefrin juga paling baik hasilnya.AH1 dapat menghilangkan bersin, rinore dan gatal pada mata, hidung dan tenggorokan pada pasien seasonal hay fever. AH1 efektif terhadap alergi yang disebabkan debu, tetapi kurang efektif bila jumlah debu banyak dan kontaknya lama. Kongesti hidung kronik lebih refrakter

Page 15: DK2P1 BB Menurun

terhadap AH1. AH1 tidak efektif pada rhinitis vasomotor. Manfaat AH1 untuk mengobati batuk pada anak dengan asma diragukan, karena AH1 mengentalkan sekresi bronkus sehingga dapat menyulitkan ekspektorasi. AH1 efektif untuk mengatasi urtikaria akut, sedangkan urtikaria kronik hasilnya kurang baik. Kadang-kadang AH1 dapat mengatasi dermatitis kontak, dan gigitan serangga. Reaksi tranfusi darah tipe nonhemolitik dan nonpirogenik ringan dapat diatasi dengan AH1. Demikian juga reaksi alergi seperti gatal-gatal, urtikaria dan angiodema umumnya dapat diobati dengan AH1.

B. Mekanisme (Farmakodinamik dan farmakokinetik)FarmakodinamikAntagonis terhadap Histamin. AH1 menghambat efek Histamin pada pembuluh darah, bronkus dan bermacam-macam otot polos. Selain itu AH1 bermanfaat untuk mengobati reaksi hipersensitivitas atau keadaan lain yang disertai penglepasan Histamin endogen yang berlebihan.

Otot polos. Secara umum AH1 efektif menghambat kerja Histamin pada otot polos usus dan bronkus. Bronkokontriksi akibat Histamin dapat dihambat oleh AH1 pada percobaan dengan marmot.

Permeabilitas kapiler. Peninggian permeabilitas kapiler dan edema akibat Histamin, dapat dihambat dengan efektif oleh AH1.

Reaksi anafilaksis dan alergi. Reaksi anafilaksis dan reaksi alergi refrakter terhadap pemberian AH1, karena disini bukan Histamin saja yang berperan tetapi autakoid lain yang dilepaskan. Efektifitas AH1 melawan beratnya reaksi hipersensitivitas berbeda-beda tergantung beratnya gejala akibat Histamin.

Kelenjar eksogrin. Efek perangsangan Histamin terhadap sekresi cairan lambung tidak dapat dihambat oleh AH1. AH1 dapat mencegah asfiksi pada marmot akibat Histamin, tetapi hewan ini mungkin mati karena AH1 tidak mencegah perforasi lambung akibat Hipersekresi cairan lambung. AH1 dapat menghambat sekresi saliva dan sekresi kelenjar eksokrin lain akibat Histamin.

Susunan saraf pusat. AH1 dapat merangsang maupun menghambat SSP. Efek perangsangan yang kadang-kadang terlihat dengan dosis AH1 biasanya ialah Insomnia, gelisah, dan eksitasi. Efek perangsangan ini juga dapat terjadi pada keracunan AH1. Dosis terapi AH1 umumnya dapat menyebabkan penghambatan SSP dengan gejala misalnya kantuk, berkurangnya kewaspadaan, dan waktu reaksi yang lambat.Anestetik lokal. Beberapa AH1 bersifat anestetik lokal dengan intesitas berbeda. AH1 yang baik sebagai anestetik lokal adalah prometazin dan pirilamin. Akan tetapi untuk menimbulkan efek tersebut dibutukan kadar yang beberapa kali lebih tinggi dari pada sebagai antihistamin.Antikolinergik. Banyak AH1 bersifat mirip atropine. Efek ini tidak memadai untuk terapi, tetapi efek antikolinergik ini dapat timbul pada beberapa pasien berupa mulut kering, kesukaran miksi dan impotensi. Terfenadin dan astemizol tidak berpengaruh terhadap reseptor muskarinik.

Sistem kardiovaskular. Dalam dosis terapi, AH1 tidak memperlihatkan efek yang berarti pada Sistem kardiovaskular. Beberapa AH1 memperlihatkan sifat seperti kuinidin pada konduksi miokard berdasarkan sifat anestetik lokalnya.FarmakokinetikSetelah pemberian oral atau parenteral, AH1 diabsorpsi secara baik. Efeknya timbul 15-30 menit setelah pemberian oral dan maksimal setelah 1-2 jam. Lama kerja AH1 generasi 1` setelah pemberian dosis tunggal umumnya 4-6 jam, sedangkan beberapa derivate piperizin seperti meklizin dan hidroksizin memiliki masa kerja yang lebih panjang, seperti juga umumnya antihistamin generasi 2.

Page 16: DK2P1 BB Menurun

Difenhidramin yang diberikan secara oral akan mencapai kadar maksimal dalam darah setelah kira-kira 2 jam, dan menetap pada kadar tersebut untuk 2 jam berikutnya, kemudian di eliminasi dengan masa paruh kira-kira 4 jam. Kdar tertinggi terdapat pada paru-paru sedangkan pada limpa, ginjal, otak, otot dan kulit kadarnya lebih rendah.Tempat utama Biotransformasi AH1 ialah hati, tetapi dapat juga pada paru-paru dan ginjal. Tripelenamin mengalami hidroksilasi dan konjugasi, sedangkan klorsiklizin dan siklizin terutama mengalami demetilasi. Hidroksizin merupakan prodrug, dan metabolit aktif hasil karboksilasi terfenadin. AH1 diekresi melalui urin setelah 24 jam, terutama dalam bentuk metabolitnya.

C. Efek SampingPada dosis terapi , semua AH1 menimbulkan efek samping walaupun jarang bersifat

serius dan kadang-kadang hilang bila pengobatan diteruskan.  Terdapat variasi yang besar dalam toleransi terhadap obat antar individu ,kadang – kadang efek samping ini sangat menganggu sehingga terapi perlu dihentikan. Efek samping yang paling sering  ialah sedasi ,yang justru menguntungkan pasien yang dirawat  di RS atau pasien yang perlu banyak tidur. Tetapi efek ini menganggu bagi pasien yang memerlukan kewaspadaan tinggi sehingga meningkatkan kemungkinan terjadinya kecelakaan. Pengurangan dosis atau penggunaan AH1

jenis lain mungkin dapat mengurangi efek sedasi ini. Astemizol , terfenadin ,loratadin tidak atau kurang menimbulkan sedasi.

Pemberian terfenadin atau astemizol dosis terapi bersama ketokonazol ,itrakonazol , atau antibiotik golongan makrolid seperti eritromisin dapat mengakibatkan terjadinya perpanjangan interval QT dn mencetuskan terjadinya aritmia vertikel (torsades de pointes) yang mungkin fatal. Keadaan ini disebabkan karena antimikroba di atas menghambat metabolisme terfenadin atau astemizol oleh enzim CYP3A4 sehingga terjadi peningkatan kadar antihistamin di dalam darah. Karena interaksi yang berbahaya tersebut maka terfenedin dan astemizol dikontraindikasikan pemberianya pada pasien dengan penyakit hati .

Sumber: Farmakologi dan Terapi. Edisi 5. Departemen Farmakologi dan Terapeutik Fakultas Kedokteran UI: Jakarta, 2007.

2. Antagonis Reseptor H2 (AH2)Antagonis reseptor H2 bekerja menghambat  sekresi asam lambung. Burimamid dan metiamid merupakan antagonis reseptor H2 yang pertama kali ditemukan,namun karena toksik tidak digunakan di klinik. Antagonis reseptor H2 yang ada dewasa ini adalah simetedin, ranitidin, famotidin, dan nizatidin.

1. Simetidin dan RanitidinA. Indikasi

Simetidin, ranitidin, dan antagonis reseptor H2 lainnya efektif untuk mengatasi gejala akut tukak duodenum dan mempercepat penyembuhannya. Dengan dosis lebih kecil umumnya dapat membantu mencegah kambuhnya tukak duodenum.Antagonis reseptor H2 satu kali sehari yang diberikan pada malam hari efektif untuk mengatasi gejala akut tukak duodenum. Penyembuhan tukak duodenum umumnya dipercepat dengan pemberian simetidin 800 mg, ranitidin 300 mg,famotidin 40mg, atau nizatidin 300 mg satu kali sehari selama 8 minggu. Karena ekskresi antagonis reseptor H2 terutama melalui ginjal maka pada pasien gangguan fungsi ginjal dosis perlu dikurangi. Terapi pemeliharaan ntuk mencegah kekambuhan hanya

Page 17: DK2P1 BB Menurun

membutulhkan dosis setengahnya dan diberikan satu kali sehari. Umumnya obat obat diberikan secara oral.Selain untuk tukak duodenum, dengan dosis yang sama, simetidin, ranitidin dan antagonis reseptor H2 lainnya juga efektif untuk mengatasi gejala dan mempercepat penyembuhan tukak lambung.Antagonis reseptor H2 juga diindikasikan untuk gangguan refluks lambung-esofagus (gastroesophageal reflux disorder = GERD), meskipun lebih sulit diatasi, memerlukan frekuensi pemberian yang lebih sering, dan dosis perhari yang mungkin lebih besar.Pada pasien Zollinger Ellison Syondrome, simetidin, ranitidin, dan antagonis reseptor H2 lainnya efektif untuk mengatasi gejala akibat sekresi asam lambung yang berlebihan tetapi memerlukan dosis yang jauh lebih besar dan pemberian yang lebih sering dibandingkan dengan tukak peptik. Antagonis reseptor H2 juga diindikasikan untuk profilaksis tukak stres (stress ulcers).

B. Mekanisme (farmakokinetik dan farmakodinamik)FarmakodinamikSimetidin dan ranitidin menghambat reseptor H2 secara selektif dan reversibel. Perangsangan reseptor H2 akan merangsang sekresi asam lambung, sehingga pada pemberian simetidin atau ranitidin sekresi asam lambung di hambat. Pengaruh fisiologik simetidin dan ranitidin terhadap reseptor H2 lainnya, tidak begitu penting. Walaupun tidak sebaik penekanan sekresi asam lambung pada keadaan basal, simetidin ranitidin dapat menghambat sekresi asam lambung akibat perangsangan obat muskarinik, stimulasi vagus, atau gastrin. Simetidin dan juga mengganggu volume dan kadar pepsin cairan lambung.FarmakokinetikBiovailabilitas oral simatidin sekitar 70%, sama dengan setelah pemberian IV atau IM. Ikatan protein plasmanya hanya 20%. Absobsi simetidin diperlambat oleh makanan, sehingga simetidin iberikan bersama atau segera setelah makan dengan maksud untuk memperpanjang efek pada periode pascamakan. Absorbsi simetidin terutama terjadi pada menit ke 60-90. Simetidin masuk ke dalam SSP dan kadarnya dalam cairan spinal 10-20% darikadar serum. Sekitar 50-80% dari dosis IV dan 40% dari dosis oral simetidin diekskresi dalam bentuk asal dalam urine. Masa paruh eliminasinya sekitar 2 jam.

Biovailabilitas ranitidin yang diberikan secara oral sekitar 50% dan meningkat pada pasien  penyakit hati. Masa paruhnya kira-kira 1,7-3 jam padaoarang dewasa, dan memanjang pada orang tua dan pada pasien ginjal. Kadar puncak pada plasma dicapai dalam 1-3 jam setelah penggunaan 150mg ranitidin secara oral, dan yang terikat protein plasma 15%.  Ranitidin mengalami metabolisme lintas pertama dihati dalam jumlah cukup besar etelah pemberian oral. Ranitidin dan metabolitnya diekskresi terutama melalui ginjal, sisanya melalui tinja. Sekitar 70% dari ranitidin yang diberikan IV dan 30% dari yang diberikan secara oral diekskresi dalam urin dalam bentuk asal. Meskipun dari penelitian tidak didapatkan efek yang merugikan pada fetus, namun karena simetidin, ranitidin, dan antagonis reseptor H2 lainnya dapat melalui plasenta maka penggunaannya hanya bila sangat diperlukan. Antagonis reseptor H2 juga melalui ASI dan dapat mempengaruhi fetus.

C. Efek sampingInsidens efek samping kedua obat ini rendah dan umunya berhubungan dengan penghambatan terhadap reseptor H2, beberapa efek samping lain tidak berhubungan dengan penghambatan reseptor, Efek samping ini antara lain nyeri kepala, pusing,

Page 18: DK2P1 BB Menurun

malaise, mialgia, mual, diare, konstipasi, ruam kulit,pruritus, hilangan libido dan impoten.

Simetidin mengikat reseptor androgen dengan akibat disfungsi seksual dan ginekomastia. Ranitidin tidak berefek antiandrogenik sehingga penggantian terapi dengan ranitidin mungkin akan menghilangkan impotensi dan ginekomastia akibat simetidin. Simetidin IV akan merangsang sekresi prolaktin, tetapi hal ini pernah pula dilaporkan setelah pemberian simetidin kronik secara oral. Pengaruh ranitidin terhadap peninggiann prolaktin ini kecil.

2. FamotidinA. Indikasi

Efektivitas obat ini untuk tukak duodenum an tukak lambung setelah 8 minggu pengobatan sebanding dengan ranitidin dan simetidin. Pada penelitian berpembanding selama 6 bulan, famotidin juga mengurangi kekambuhan tukak duodenum yang secara klinis bermakna. Famotidin kira-kira sama efektif dengan AH2 lainnya pada pasien sindrom Zollinger-Ellison, meskipun untuk keadaan ini omeprazol merupakan obat terpilih. Efektivitas famotidin untuk profilaksis tukak lambung,  refluks esofagitis dan pencegahan tukak stres kurang lebih sama dengan antagonis reseptor AH2 lainnya.

B. Mekanisme (farmakodinamik dan farmakokinetik)FarmakodinamikSeperti halnya dengan simetidin dan ranitidin, famotidin merupakan AH2 sehingga dapat menghambat sekresi asam lambung pada keadaan basal, malam dan akibat distimulasi oleh pentagastrin. Fanitidin tiga kali lebih paten daripada ranitidin dan 20 kali lebih paten daripada simetidin.

FarmakokinetikFamotidin mencapai kadar puncak di plasma kira-kira dalam  2 jam setelah penggunaan secara oral, masa paruh eliminasi 3-8 jam dan bioavailabilitas 40-50%. Metabolit utama adalah famotidin-S-oksida. Setelah dosis oral tunggal, sekitar 25% dari dosis ditemukan dalam bentuk asal di urin. Pada pasien gagal ginjal berat  masa paruh eliminasi dapat melebihi 20 jam.

C. Efek sampingEfek samping famotidin biasanya ringan dan jarang terjadi, misalnya sakit kepala, pusing, dan konstipasi dan diare.Seperti halnya dengan ranitidin, famotidin nampaknya lebih baik dari simetidin karena tid menimbulkan efek antiandrogenik.

3. NizatidinA. Indikasi

Efektivitas untuk pengobatan gangguan asam lambung sebanding dengan ranitidin dan simetidin. Dengan pemberian satu atau dua kali sehari biasanya dapat menyembuhkan tukak duodenum dalam 8 minggu dan dalam pemberian satu kali sehari nizatidin mencegah kekambuhan. Meskipun data nizatidin masih terbatas, efektivitasnya pada tukak lambung nampaknya sama dengan AH2 lainnya.Padarefluks esofagitis, sindrom Zollinger-Ellison dan gangguan asam lambung lainnya, nizatidin diperkirakan sama efektif dengan ranitidin meskipun masih diperlukan pembuktian lebih lanjut.

B. Mekasnisme (farmakodinamik dan fermakokinetik)Farmakodinamik

Page 19: DK2P1 BB Menurun

Potensi nizatidin dalam menghambat sekresi asam lambung kurang lebih sama dengan ranitidin.FarmakokinetikBioavaibilitas oral nizatidin lebih dari 90% dan  tidak dipengaruhi oleh makanan atau antikolinergik. Klirens menurun pada pasien uremik dan usia lanjut.

Kadar puncak dalam serum setelah pemberian oral dicapai dalam 1 jam, masa paruh plasma sekitar 11/2  jam dan lama kerja sampai dengan 10 jam. Nizatidin disekresi terutama melalui ginjal, 90% dari dosis yang digunakan ditemukan di urin dalam 16 jam.

C. Efek sampingNizatidin umumnya jarang menimbulkan efek samping. Efak samping ringan saluran cerna dapat terjadi. Peningkatan kadar asam urat dan transminase serum ditemukan pada beberapa pasien yang nampaknya dapat menimbulkan gejala klinik yang bermakna. Seperti halnya dengan AH2 lainnya, potensi nizatidin untuk menombulkanhepatotoksisitas rendah. Nizatidin tidak memiliki efek antiandrogenik. Nizatidin dapat menghambat alkohol dehidrogenase pada mukosa lambung dan menyebabkan kadar alkohol yang lebih tinggi dalam kadar serum. Nizatidin tidak menghambat sistem P-450. Pada sukarelawan sehat tidak dilaporkan terjadinya interaksi obat bila nizatidin diberikan bersama teofilin, lidokain, warfarin, klordiazepoksid, diazepam atau lorazepam. Penggunaan bersama antasidtidak menurunkan absorpsi nizatidin secara bermakna. Ketokonazol yang membutuhkan pH asam menjadi kurang efektif bila pH lambung lrbih tinggi pada pasien yang mendapat AH2.

Sumber: Farmakologi dan Terapi. Edisi 5. Departemen Farmakologi dan Terapeutik Fakultas Kedokteran UI: Jakarta, 2007.

3. Antialergi lainAH1 tidak sepenuhnya efektif untuk pengobatan simtomatik reaksi hipersensitivitas akut. Hal ini disebabkan oleh fungsi histamin yang sebenarnya merupakan pemacu untuk dibentuk dan dilepasnya autakoid lain. Baru kemudian histamin dan autakoid lain ini bersama-sama menimbulkan gejala alergi. Untuk menghambat semua efek ini diperlukan penghambat berbagai autakoid tersebut hal ini pada kenyataannya sulit dicapai, sebab tersedia penghambat untuk semua autakoid. Itulah sebabnya pengobatan reaksi alergi lebih ditujukan pada penggunaan antagonis fisiologis misalnya epinefrin pada anafilaksis dan kortikostiroid pada gejala alergi yang tidak berespons terhada AH1. Tetapi terapi ini, seperti halnya pengambat autakoid, tidak tertuju pada penyebabnya.

Salah satu terapi hipersensitivitas lain ialah secara profilaksis yaitu menghambat produksi atau penglepasan autakoid dari sel mast dan basofil yang telah disensitisasi oleh antigen spesifik.

A. Natrium kromolinKromolin adalah obat yang dapat menghambat penglepasan histamin dari sel

mast paru-paru dan tempat-tempat tertentu, yang diinduksi oleh antigen. Walaupun penggunaan kromolin terbatas, obat ini berharga untuk profilaksis asma bronkial dan kasus atopik tertentu.

a. Indikasi

Page 20: DK2P1 BB Menurun

Penggunaan utama kromolin untuk terapi profilaksis rangan asma bronkial pada pasien asma bronkial jangan sampai sedang.Penggunaan teratur selama lebih dari 2-3 bulan mengurangi hiperreaktivitas bronkus. Kromolin tidak bermanfaat untuk terapi asma bronkial akut atau pada status asmatkus. Kromalin diidikasikan pula untuk rinitis alergika dan penyakit atopik pada mata.

b. Mekanisme (farmakodinamik dan farnakokinetik)FarmakodinamikKromolin tidak merelaksasi bronkus atau otot polos lain. Kromolin juga tidak menghambat respons otot tersebut terhadap berbagai obat yang bersifat spasmogenik. Tetapi kromolin menghambat  penglepasan histamin dan autakoid termasuk leukotrien dari paru-paru manusia pada proses alergi yang diperantarai IgE.Karena itu kromolin mengurangi bronkospasme. Hambatan penglepasan leukotrien teutama penting pada pasien as bronkial, karena leukotrien merupakan penyebab utama bronkokonstriksi. Kromolin bekerja pada sel mast paru-paru, yaitu sasaran primer dalam reaksi hipersensitivitas tipe cepat. Kromolin tidak menghambat ikatan IgE dengan sel mast atau interaksi antara kompleks sel IgE dengan antigen spesifik, tetapi menekanrespons sekresi akibat reaksi tersebut.FarmakokinetikKromolin diabsorpsi amat buruk setelah pemberian oral, karena itu perlu diberikan secara inhalasi pada pasien asma bronkial. Dengan turbo inhaler 10% bubuk halus kromolin dapat mencapai paru-paru bagian dalam, kemudian kromolin diabsorpsi masuk peredaran darah, dengan waktu paruh kira-kira 80 menit. Kromolin tidak dibiotransformasi, dan diekskresi dalam bentuk asal 50% bersama urin dan 50% dalam empedu.

B. NedokromilNedokromil merupakan senyawa dengan struktur kimia dan efek farmakodinamik dan efek sampinf mirip kromolin seperti halnya dengan kromolin nedokromil menghambat penglepasan mediator dari sel mast bronkus dan diindikasikan mencegah untuk serangan asma pada pasien asma bronkial ringan sampai sedang. Nedokromil umumnya lebih efektif dari kromolin. Berbeda dengan kromolin yang boleh diberikan pada semua umur, nedokromil hanya diindikasikan untuk pasien asma yang berusia 12 tahun keatas.

C. KetotifenKetotifen atau 4 (1-metil-4 piperidiliden(-4H-benzo-(4,5)-siklohepta(1,2-b)tiofen 10 (9H)-one hidrogen fumarat, bersifat antianafilaktik karena menghambat penglepasan histamin. Ketotifen juga bersifat antihistamin kuat.IndikasiKetotifen telah digunakan untuk profilaksis asma bronkial. Untuk tujuan ini ketotifen digunakan secara oral untuk jangka waktu 12 bulan.FarmakokinetikKetotifen fumarat diabsorbsi dari saluran cerna. Bentuk utuh dan metabolitnya diekresi bersama urin dan tinja.Efek samping

Page 21: DK2P1 BB Menurun

Efek samping ketotifen sama seperti efek samping AH1. Pernah dilaporkan ketotifen meningkatkan nafsu makan dan menambah berat badan. Kombinasi ketotifen dengan antidiabetik oral telah dilaporkan dapat menurunkan jumlah trombosit secara reversibel, karena itu kombinasi kedua obat ini harus dihindarkan. Ketotifen harus diberikan secara hati-hati pada pasien yang alergi terhadap Obat ini.

Sumber: Farmakologi dan Terapi. Edisi 5. Departemen Farmakologi dan Terapeutik Fakultas Kedokteran UI: Jakarta, 2007.

13. Jelaskan mengenai kortikosteroid (Indikasi, kontraindikasi, efek samping, mekanisme, edukasi)

Kortikosteroid dibagi menjadi 2 kelompok berdasarkan atas aktivitas biologis yang menonjol darinya, yakni glukokortikoid (contohnya kortisol) yang berperan mengendalikan metabolisme karbohidrat, lemak, dan protein, juga bersifat anti inflamasi dengan cara menghambat pelepasan fosfolipid, serta dapat pula menurunkan kinerja eosinofil. Kelompok lain dari kortikosteroid adalah mineralokortikoid (contohnya aldosteron), yang berfungsi mengatur kadar elektrolit dan air, dengan cara penahanan garam di ginjal. Beberapa kortikosteroid menunjukkan kedua jenis aktivitas tersebut dalam beberapa derajat, dan lainnya hanya mengeluarkan satu jenis efek. Hormon kortikosteroid dihasilkan dari kolesterol di korteks kelenjar adrenal yang terletak di atas ginjal. Reaksi pembentukannya dikatalisis oleh enzim golongan sitokrom P450.

A. IndikasiKecuali untuk terapi substitusi pada defisiensi, penggunaan kortikosteroid pada awalnya lebih banyak bersifat empiris. Dari pengalaman klinis dapat diajukan minimal 6 prinsip terapi yang perlu diperhatikan sebelum obat ini digunakan.:

1. Untuk tiap penyakit pada tiap pasien, dosis efektif  harus ditetapkan dengan trial and error, dan harus dievaluasi dari waktu ke waktu sesuai dengan perubahan penyakit

2. Suatu dosis tunggal besar kortikosteroid umumnya tidak berbahaya3. Penggunaan kortikosteroid untu beberapa hari tanpa adanya kontraindikasi spesifik,

tidak membahayakanecuali dengan dosis yang sangat besar.4. Bila pengobatan diperpanjang sampai 2 minggu atau lebih hingga dosis melebihi

dosis substitusi, insiden efek samping dan efek letal potensial akan bertambah; dosis ekivalen hidrokortisol 100 mg/hari lebih dari dua minggu hampir selalu menimbulkan iatrogenic cushing syndrome. Bila terpaksa pasien harus juga diberi diet tinggi protein dan kalium. Awasi dan sadari risiko pengaruhnya terhadap metabolism, terutama bila gejala terkait telah muncul misalnya diabetes yang resisten insulin, osteoporosis, lambatnya penyembuhan luka

5. Kecuali untuk insufisiensi adrenal, penggunaan kortikosteroid buan merupakan terapi kausal ataupun kuratif tetapi hanya bersifat paliatif karena efek anti-inflamasinya

6. Penghentian pengobatan tiba2 pada terapi jangka panjang dengan dosis besar, mempunyai risiko insufisiensi adrenal yang hebat dan dapat mengancam jiwa pasien.

Secara ringkas dapat dikatakan bahwa bila kortikosteroid akan digunakan untuk jangka panjang, harus diberikan dalam dosis minimal yang masih efektif. Dosis ini ditentukan

Page 22: DK2P1 BB Menurun

secara trial and error. Pada keadaan yang tidak mengancam jiwa pasien, misalnya untuk mengurangi nyeri pada arthritis rheumatoid, dosis awal harus kecil kemudian secara bertahap ditingkat sampai keadaan tersebut mereda dan dapat ditoleransi pasien. Kemudian dalam periode singkat dosis harus diturunkan bertahap sampai tercapai dosis minimal dimana gejala semula timbul kembali. Bila terapi bertujuan mengatasi keadaan yang dapat mengancam pasien misalnya pemfigus maka dosis awal haruslah lebih besar. Bila dalam beberapa hari belum terlihat efeknya, dosis dapat dilipatgandakan. Dalam hal ini, sebelum mengambil keputusan, dokter harus dapat mempertimbangkan antara bahaya pengobatan dan bahaya akibat penyakit sendiri.

Untuk keadaan yang tidak mengancam jiwa pasien, kortikosteroid dosis besar dapat diberikan untuk waktu singkat selama tidak ada kontraindikasi spesifik.

Besarnya dosis glukokortiroid yang dapat menyebabkansupresi hipofisis dan korteks adrenal ternyata sangat bervariasi dan belum dapat dipastikan dengan tepat. Umumnya, makin besar dosis dan makin lama waktu pengobata, makin besar kemungkinan terjadinya supresi tersebut. Untuk mengurangi resiko supresi hipofisis-adrenal ini, dapat dilakukan modifikasi cara pemberian obat, misalnya dosis tunggal selang 1 atau 2 hari, tetapi cara ini tidak dapat diterapkan untuk semua penyakit. Sediaan yang masa kerjanya panjang juga tidak dapat diberikan menurut cara ini.

Terapi SubstitusiPemberian kortiosteroid disini bertujuan memperbaiki kekurangan akibat insufisiensi sekresi korteks adrenal akibat gagguan fungsi atau struktur adrenal sendiri (insufisiensi primer) atau hipofisis (insufisiensi sekunder)

Terapi non-endrokin                Dibawah ini dibahas bebrapa penyakit  yang bukan merupakan kelainan adrenal atau hipofisis, tetapi diobati dengan glukokortikoid. Dasar pemakaian kortikosteroid disini adalah efek antiinfamasinya dan kemampuannya menekan reaksi imun. Pada penyakit yang dasarnya respon imun, obat ini bermanfaat. Pada keadaan yang perlu  at penanganan reaksi radang atau reaksi imun untuk mencegah kerusakan jaringan yang parah dan menimbulkan kecacatan, penggunaan kortikosteroid mungkin berbahaya sehingga perlu disertai dengan penanganan tepat bagi penyebabnya. Yang dipakai adalah preparat kerja singkat dan kerja sedang misalnya prednisone atau prednisolon dengan dosis serendah mungkin. Kemungkinan efek samping harus terus dimonitor.                Dosis glukoortikoid yang digunakan bervariasi, sesuai dengan keadaan penyakitnya. Umumnya dianjurkan dosis prednison sebagai prototip sediaan kortikosteroid, tetapi hal ini tidak berarti bahwa obat ini mempunyai keistimewaan dibandingkan sediaan lain.

Penyakit alergi. Gejala penyakit alergi yang hanya berlangsung dalam waktu tertentu, dapat diatasi dengan glukokortikoid sebagai obat tambahan disamping obat primernya; misalnya pada hay-fever, penyakit serum, urtikaria, dermatitis kontak, reaksi obat, edeme angioneurotik. Pada reaksi yang gawat , misalnya anafilaksis dan edema angioneurotik glotis, diperlukan pemberian adrenalin dengan segera. Pada keadaan yang mengancam jiwa pasien, korikosteroid dapat diberikan IV, misalnya deksametason natrium fosfat(8-12 mg). Pada penyakit yang tidak begitu berat, seperti penyakit serum, hay-fever, antihistamin masih merupakan pilihan obat utama.

Page 23: DK2P1 BB Menurun

Sumber: Farmakologi dan Terapi. Edisi 5. Departemen Farmakologi dan Terapeutik Fakultas Kedokteran UI: Jakarta, 2007.

B. KontraindikasiSebenarnya sampai sekarang tidak ada kontra indikasi absolut kortikosteroid. Pemberian dosis tunggal besar bila diperlukan selalu dapat dibenarkan, keadaan yang mungkin dapat merupakan kontra indikasi relatif dapat dilupakan, terutama pada keadaan yang mengancam jiwa pasien. Bila obat akan diberikan untuk beberapa hari atau beberapa minggu, kontra indikasi relatif yaitu diabetes mellitus, tukak peptic/duodenum, infeksi berat, hipertensi atau gangguan sistem kardiovaskular lain patut diperhatikan. Dalam hal yang terakhir ini dibutuhkan pertimbangan matang antara resiko dan keuntungan sebelum obat diberikan.

Sumber: Farmakologi dan Terapi. Edisi 5. Departemen Farmakologi dan Terapeutik Fakultas Kedokteran UI: Jakarta, 2007.

C. Efek samping1. Withdrawal of Therapy

Pemberian kortikosteroid jangka lama (>2 minggu) yang dihentikan secara mendadak dapat menimbulkan insufisiensi adrenal akut (krisis adrenal). Insufisensi adrenal akut sebaiknya dibedakan dari Addison disease, di mana pada Addison disease terjadi destruksi adrenokorteks oleh bermacam penyebab (mis.autoimun, granulomatosa, keganasan dll). Insufisiensi adrenal akut terjadi akibat penekanan sumbu hipothalamus-hipofisis-adrenal oleh kortikosteroid eksogen, sehingga kelenjar adrenal kurang memproduksi kortikosteroid endogen.  Pada saat kortikosteroid eksogen dihentikan, terjadilah kekurangan kortikosteroid (endogen). Dapat terjadi kehilangan ion Na+dan shock, terkait aktivitas mineralokortikoid yang ikut berkurang.  Gejala yang timbul antara lain gangguan saluran cerna, dehidrasi, rasa lemah, hipotensi, demam, mialgia, dan arthralgia. Hal ini diatasi dengan pemberian hidrokortison, disertai asupan air, Na+, Cl-, dan glukosa secepatnya.  Untuk menghindari insufisiensi adrenal maka penghentian penggunaan kortikosteroid harus secara perlahan /bertahap.

2. Perubahan Metabolik Karena kortikosteroid (glukokortikoid) berperan dalam memetabolisme glukosa yaitu melalui peningkatan glukoneogenesis dan aktivitas enzim glukosa-6-pospat, maka akan timbul gejala berupa peninggian kadar glukosa dalam darah sehingga terjadi hiperglikemia dan glikosuria. Dapat juga terjadi resistensi insulin dan gangguan toleransi glukosa, sehingga menyebabkan diabetes steroid (steroid-induced diabetes).

3. Respon ImunKortikosteroid selain memiliki efek metabolik juga memiliki efek antiinflamasi. Efek antiinflamasi ini terjadi melalui mekanisme penekanan aktifitas fosfolipase sehingga mencegah pembentukan prostaglandin, prostasiklin, tromboksan dan leukotrien. Penekanan sistem imun ini bermanfaat untuk menghentikan reaksi peradangan, namun dapat memudahkan pasien terkena infeksi. Oleh karena itu pada pemberian kortikosteroid sebagai antiinflamatik sebaiknya disertakan dengan pemberian antibiotik/antifungal untuk mencegah infeksi.

4. Ulkus PeptikumTukak lambung merupakan komplikasi yang kadang-kadang terjadi pada pengobatan dengan kortikosteroid. Sebab itu bila ada kecurigaan dianjurkan untuk melakukan pemeriksaan radiologi terhadap saluran cerna bagian atas sebelum obat diberikan. Pemberian dosis besar

Page 24: DK2P1 BB Menurun

sebaiknya dilakukan pada waktu lambung berisi, dan di antara waktu makan diberikan antasida (bila perlu). Perforasi yang terjadi sewaktu terapi kortikosteroid dosis besar sangat berbahaya karena dapat berlangsung dengan gejala klinis minimal.

Pada penelitian case-control yang dilakukan Sonia H, dkk di Inggris antara tahun 1993 sampai dengan tahun 1998 didapatkan bahwa penggunaan streroid meningkatkan risiko terkena perdarahan gastrointestinal bagian atas sebesar 1.8 kali dibandigkan yang tidak mengkonsumsi streroid. Risko ini juga akan bertambah berat jika pemakaian streroid diikuti dengan pemakain NSAID.

Sedangkan hasil penelitian prospektif yang dilakukan oleh Jiing-Chyuan Luo, dkk pada 67 penderita SLE yang mendapatkan pengobatan terapi kortikosteroid, didapatkan bahwa pengunaan steroid dosis tinggi de novo tidak memicu terjadinya ulkus gaster pada pasien-pasien SLE. Akan tetapi, penggunaan Aspirin disertai terapi denyut metylprednisolon meningkatkan terjadinya ulkus gaster. Kortikosteroid meningkatkan sekresi dari asam lambung, mengurangi mukus, hiperplasia gastrin dan sel parietal.

5. MiopatiKatabolisme protein akibat penggunaan kortikosteroid yang dapat menyebabkan berkurangnya massa otot, sehingga menimbulkan kelemahan dan miopatik. Miopatik biasanya terjadi pada otot proksimal lengan dan tungkai, bahu dan pelvis, dan pada pengobatan dengan dosis besar. Miopatik merupakan komplikasi berat dan obat harus segera dihentikan.

Pada myopati yang paling berperan adalah menghambat uptake dari glukosa pada otot skeletal. Kortikosteroid juga diduga berperan dalam pemecahan dari protein otot. Hal ini secara langsung disebabkan oleh degredasi protein dan inhibisi sintesis sintesis protein.

6. Perubahan Tingkah LakuPsikosis merupakan komplikasi berbahaya dan sering terjadi. Kemungkinan hal ini terjadi karena adanya gangguan keseimbangan elektrolit dalam otak, sehingga mempengaruhi kepekaan otak. Berbagai bentuk gangguan jiwa dapat muncul, antara lain: nervositas, insomnia, psikopatik, skizofrenik, kecenderungan bunuh diri. Gangguan jiwa akibat penggunaan hormon ini dapat hilang segera atau dalam beberapa bulan setelah obat dihentikan.

7. Glaukoma (steroid-induced glaucoma) dan KatarakPatofisiologi glaukoma akibat kortikosteroid belum diketahui dengan baik. Diduga terdapat defek berupa peningkatan akumulasi glikosaminoglikan atau peningkatan aktivitas respons protein trabecular-meshwork inducible glucocorticoid (TIGR) sehingga menyebabkan obstruksi cairan. Selain itu bukti lain mengisyaratkan terjadi perubahan sitoskeleton yang menghambat pinositosis aqueous humor atau menghambat pembersihan glikosaminoglikans dan menyebabkan akumulasi.

Kortikosteroid oral diduga meningkatkan resistensi aliran aquos humor yang berpotensi meningkatkan tekanan intraokular, hal inilah yang mencetuskan terjadinya glaukoma. Disisi lain, pengobatan Kortikosteroid juga berpotensi meningkatkan opasififikasi dari kristalin lensa sehingga meningkatkan pembetukan katarak.

8. OsteoporosisOsteoporosis terjadi pada 40% individu yang mendapatkan pengobatan kortikosteroid sistemik, khususnya pada anak-anak, remaja, dan wanita post-menopouse. Sekitar 1 dari 3 pasien yang mengkonsumsi kortikosteroid selama 5 sampai 10 tahun mengalami fraktur vertebrata dan meningkat pada wanita post-menopouse. Bone-lose terjadi secara cepat pada 6 bulan pertamapenggunaan kortikosteroid dan terus berlanjut dengan kecpatan yang lebih

Page 25: DK2P1 BB Menurun

lambat, dengan kehilangan sebesar 3-10% pertahun. Studi terbaru menunjukkan bahwa resiko untuk fraktur meningkat sekalipun menggunakan dosis rendah prednison (2,5 mg/hari).

Kortikosteroid dapat menurunkan kadar Ca2+ dalam darah dengan cara menghambat pembentukan osteoklast, namun dalam jangka waktu lama malah menghambat pembentukan tulang (sintesis protein di osteoblast) dan meningkatkan resorpsi sehingga memicu terjadinya osteoporosis. Selain itu juga menurunkan absorpsi Ca2+ dan PO43- dari intestinal dan meningkatkan ekskresinya melalui ginjal, sehingga secara tidak langsung akan mengaktifkan PTH yang menyebabkan resorpsi. Salah satu komplikasinya adalah fraktur vertebra akibat osteoporosis dan kompresi.

9. Osteonekrosis.Osteonekrosis atau Avaskular Nekrosis(AVN) adalah manifestasi dari nyeri serta keterbatasan dari satu atau lebih sendi. Hal ini menyebabkan hipertensi interosseous yang mengakibatkan iskemia tulang dan nekrosis. Pada pemakaian kortikosteroid terjadi hipertropi liposit pada interosseous, sehingga terjadi hipertensi, selain itu kortikosteroid juga memicu apoptosis dari osteoblast yang turut berperan sebagaia penyebab AVN.

Kortikosteroid bisa memepengaruhi metabolisme dari osteoblast, osteoclast, stromal cell sumsum tulang dan sel adiposa. Hal ini terjadi melalui mekanisme pengaktifan dan penghamabatan dari regulator yang berhubungan dengan adipognesis dan osteogenesis. Hal ini mengakibatkan jumlah serta ukuran stem-cell adiposit akan meningkat drastis, sebaliknya akan terjadi penurunan dari osteoblast sel-sel tulang, secara bersamaan aktivitas dari osteoclast juga terjadi, semua hal ini menginduksi untuk terjadi osteonekrosis.

10. Regulation of GrowthPada anak-anak penggunaan kortikosteroid dapat menyebabkan pertumbuhan terhambat. Mekanisme terjadinya melalui stimulasi somatostatin, yang menghambat growth hormone. Selain itu kortikosteroid menyebabkan kehilangan Ca2+ melalui ginjal, akibatnya terjadi sekresi PTH yang meningkatkan aktivitas osteoklast meresorpsi tulang. Kortikosteroid juga menghambat hormon-hormon gonad, yang pada akhirnya menyebabkan gangguan proses penulangan sehingga menghambat pertumbuhan.

11. EndokrinSalah satu efek samping kortikosteroid adalah gangguan endokrin. Kortikosteroid menyebabkan penurunan produksi insulin oleh sel beta dan resistensi insulin. Hal ini mengakibatkan perubahan pada metabolisme glukosa pada tubuh. Kekurangan produksi insulin serta resistensi mengakibatkan tingginya kadar glukosa dalam darah.

12. KardiovaskularPenggunaan Kortikosteroid jangka panjang dapat meyebabkan hipertensi dengan dua mekanisme kerja. Pertama melalui jalur retensi sodium sehingga meningkatkan volume plasma. Jalur kedua melaui respon vasopresor terhadap angitensin II dan katekolamin.

13. KulitPenggunaan kortikosteroid topikal juga dapat menyebabkan beberapa efek samping seperti, striae, telangiektasis, eritema, perioral dan peroocular acneform. Penggunaan kortikosteroid topikal dapat menfasilitasi proliferasi dari dari Propionibacterium acnes, hal inilah yang berperan dalam pembentukan timbulnya acnes Rosaea. Selain itu, supresi terhadap sistem imun lokal kulit juga dapat memicu timbulnya pertumbuhan dari jamur.

Sumber: Sardimon, S.Ked EFEK SAMPING PENGGUNAAN KORTIKOSTEROID JANGKA PANJANG Departemen Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin RSMH Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya 2012.

Page 26: DK2P1 BB Menurun

D. Mekanisme(Farmakokinetik dan farmakodinamik)Farmakokinetik

 Kortisol dan analog sintetiknya pada pemberian oral diabsorbsi cukup baik. Untuk mendapatkan efek yang lama kortisol dan esternya diberikan secara IM. Perubahan struktur kimia sangat mempengaruhi kecepatan absorbsi, mulai kerja dan lama kerja karena juga mempengaruhi afinitas terhadap reseptor, dan ikatan protein. Predison adalah produg yang dengan cepat diubah menjadi prednisolon bentuk aktifnya dalam tubuh. glukokortikoid dapat diabsorbsi melalui kulit sakus konjungtiva dan ruang sinovial. Penggunaan jangka panjang ayau pada daerah kulit yang luas dapat menyebabkan efek sistemik, antara lain supresi korteks adrenal.

Pada keadaan normal, 90% kortosol trikat pada 2 jenis protein plasma yaitu globulin pengikat kortikosteroid dan albumin. Anfinitas globulin tinggi tetapi kapasitas ikatan rendah, sebaliknya afinitas albumin rendah tetapi kapasitas ikatannya relatif tinggi. Karena itu pada kadar rendah atau normal sebagian besar kortikosteroid terikat globulin. Bila kadar kortikosteroid meningkat jumlah hormon yang terikat albumin  dan bebas juga meningkat, sedangkan yang terikat globulin sedikt mengalami perubahan. Kortikosteroid berkompetisi sesamanya untuk berikatan dengan globulin pengikat kortikosteroid. Kortisol mempunyai afinitas tinggi sedangkan metabolit yang terkonyugasi dengan asam glukoronat dan aldoteron afinitasnya rendah.

Kehamilan atau penggunaan estrogen dapat meningkatkan kadar globulin pengikat kortikosteroid, kortisol plasma total dan kortisol bebas sampai beberapa kali. Telah diketahui bahwa hal ini tidak terlalu bermakna dalam tubuh. Biotransformasi steroid terjadi didalam dan diluar hati. Metabolitnya merupakan senyawa inaktif atau berpotensi rendah. Perubahan gugus keton menjadi gugus hidroksil hanya terjadi di hati. Sebagian besar hasil reduksi gugus keton pada atom C3 melalui gugus hidroksinya secara enzimatik bergabung dengan asam sulfat atau asam glukoronat membentuk ester yang mudah larut dan kemudian diekresi . reaksi ini terutama terjadi di hepar dan sebagian keci di ginjal. Setelah penyuntikan IV steroid radioaktif sebagian besar dalam waktu 72 jam diekresi dala urin, sedangkan di fases dan empedu hampir tidak ada. Diperkirakan paling sedikit 70% kortisol yang diekresi mengalami metabolisme di hapar. Masa paruh eliminasi kortisol sekitar 1,5 jam. Adanya ikatan rangkap atom C 1-2 atau subtitusi atom fluor memperlambat proses metabolisme dan karenanya dapat memperpanjang massa paruh eliminasi.    

FarmakodinamikKortikosteroid mempengaruhi metabolisme karbohidrat, protein dan lemak; dan mempengaruhi juga fungsi sistem kardiovaskular, ginjal , otot lurik, sistem saraf dan organ lain. Korteks adrenal berfungsi homeostatik, artinya penting bagi organisme untuk dapat mempertahankan diri dalam menghadapi perubahan lingkungan. Dengan demikian, hewan tanpa korteks adrenal hanya dapat hidup apabila diberikan makanan yang cukup dan teratur, NaCl dalam jumlah cukup banyak dan temperatur sekitarnya dipertahankan dalam batas-batas tertentu. Fungsi kortikosteroid penting untuk kelangsungan hidup organisme.

Efek kortikosteroid kebanyakan berhubungan dengan besarnya dosis, makin besar dosis terapi makin besar efek yang didapat. Tetapi disamping itu juga ada keterkaitan kerja kortikosteroid dengan hormon hormon lain. Peran kortikosteroid dalam kerjasama ini disebut permissive effects yaitu kortikosteroid diperlukan supaya terjadi suatu efek hormon lain, diduga mekanismenya adalah melalui pengaruh steroid terhadap pembentukan protein yang mengubah respons jaringan terhadap hormon lain. Misalnya otot polos bronkus tidak akan berespons terhadap katekolamin bila tak ada kortikosteroid, dan pemberian kortikosteroid

Page 27: DK2P1 BB Menurun

dosis fisiologis akan mengembalikan respons tersebut. Begitu pula efek lipolitik katekolamin, ACTH, hormon pertumbuhan pada sel lemak akan menghilang bila tak ada kortikosteroid.

Suatu dosis kortikosteroid dapat memberikan efek fisiologik atau farmakologik, tergantung keadaan sekitar, dan aktivitas individu. Misalnya, hewan tanpa kelenjar adrenal yang berada dalam keadaan optimal hanya membutuhkan kortikosteroid dosis kecil untuk dapat mempertahankan hidupnya. Tetapi bila keadaan sekitarnya tidak optimal, maka dibutuhkan dosis obat yang lebih tinggi untuk mempertahankan hidupnya. Bila dosis obat yang relatif tinggi ini diberikan berulang kali pada hewan yang sama dalam keadaan optimal, akan terjadi hiperkortisisme, yaitu gejala kelebihan kortikosteroid. Diduga, adanya variasi aktivitas sekresi kortikosteroid pada orang normal menunjukkan  adanya variasi kebutuhan organisme akan hormon tersebut.

Pengaruh kortikosteroid terhadap fungsi dan organ tubuh ialah sebagai berikut :1. Metabolisme Karbohidrat dan Protein

Pengaruh kortikosteroid pada metabolisme karbohidrat terlihat pada hewan yang di adrenalektomi. Hewan ini hanya dapat bertahan hidup, tanpa penurunan kadar glukosa darah dan glikogen hepar., bila diberi makanan cukup. Bila hewan tersebut dipuaskan sebentar saja maka cadangan karbohidrat berkurang dengan cepat. Glikogen hepar dan otot akan berkurang, timbul timbul hipoglikemia serta peningkatan sensitivitas terhadap insulin. Gambaran gangguan metabolisme karbohidrat ini mirip dengan gejala yang dijumpai pada pasien Addison. Pemberian glukokortikoid, misalnya kortisol, dapat memperbaiki keadaan diatas; cadangan glikogen terutama di hepar bertambah, glukosa darah tetap normal pada keadaan puasa, dan sensitivitas terhadap insulin kembali normal. Peningkatan produksi glukosa ini diikuti oleh bertambahanya ekskresi nitrogen. Hal ini menunjukkan terjadinya katabolisme protein menjadi karbohidrat. Perubahan diatas terjadi pada seseorang yang diberi kortikosteroid dosis besar untuk waktu lama, yang dapat menimbulkan gejala seperti diabetes mellitus. Pada keadaan tersebut glukosa darah cenderung meninggi,  resistensi terhadap insulin meninggi, toleransi terhadap glukosa menurun dan mungkin terjadi glukosuria.

2. Kesimbangan Air dan ElektrolitMineralokortikoid dapat meningkatkan reabsorpsi Na+ serta ekskresi K+ dan H+ di tubuli distal. Dengan dasar mekanisme inilah, pada hiperkortisisime terjadi kedaan sebaliknya: hiponatremia, hiperkalemia, volume cairan ekstrasel berkurang dan hidrasi sel.

3. Sistem Kardiovaskular Kortikosteroid dapat mempengaruhi sistem kardiovaskular secara langsung maupun tidak langsung. Pengaruh tidak langsung ialah terhadap keseimbangan air dan elektrolit; misalnya pada hiperkortisisme, terjadi pengurangan volume yang diikuti peningkatan viskositas darah. Bila keadaan ini didiamkan akan timbul hipotensi dan akhirnya kolaps kardiovaskular. Pengaruh langsung steroid terhadap sistem kardiovaskular antara lain pada kapiler, arteriol, dan miokard.

4. Otot rangkaUntuk mempertahankan otot rangka agar dapat berfungsi dengan baik, dibutuhkan kortikosteroid dalam jumlah cukup. Tetapi apabila hormon ini berlebihan, timbul gangguan fungsi otot rangka tersebut.

5. Susunan saraf pusatKostikosteroid dapat mempengaruhi susunan saraf pusat baik secara tidak langsung maupun langsung, meskipun hal yang terakhir ini belum dapat dipastikan.

Page 28: DK2P1 BB Menurun

Pengaruh tidak langsung disebabkan efeknya pada metabolisme karbohidrat, sistem sirkulasi dan keseimbangan elektrolit. Adanya efek steroid pada susunan saraf pusat ini dapat dilihat dari timbulnya perubahan mood, tingkah laku, EEG dan kepekaan otak pada mereka yang sedang menggunakan kostikosteroid terutama untik waktu yang lama atau pada pasien penyakit addison.

6. Efek Anti InflamasiKortisol dan analog sintetik dapat mencegah atau menekan timbulnya gejala inflamasi akibat radiasi, infeksi zat kimia, mekanik atau alergen. Gejala ini umumnya berupa kemerahan, rasa sakit dan panas,pembengkakan ditempat radang. Secara mikroskopik obat ini menghambat manifestasi inflamasi dini yaitu edema, deposit fibrin, dilatasi kapiler, migrasi leukosit ketempat radang dan aktifitas fagositosis.

7. Elemen Pembentukan DarahGlukokortikoid dapat meningkatkan kadar hemoglobin dan jumlah sel darah merah, hal ini terbukti dari seringnya timbul polisitemia pada sindrom cushing. Sebaliknya pasien penyakit addison dapat mengalami anemia normokromik, normositik ringan.

Glukokortikoid juga dapat meningkatkan jumlah leukosit polimorfonuklear, karena mempercepat masuknya sel-sel tersebut kedalam darah dari sumsum tulang dan mengurangi kecepatan berpindahnya sel dari sirkulasi. Sebaliknya jumlah sel limfosit, eosofil, monosit dan basofil dalam darah dapat menurun sesudah pemberian glukokortikoid. Penurunan limfosit, monosit, dan eosinofil tampaknya lebih banyak disebabkan karena retribusi elemen dari pada akibat destruksi sel.

8. Jaringan Limfoid Dan Sistem ImunologiPada insufisiensi korteks adrenal terjadi peningkatan massa jaringan limfoid dan limfositosis, pasien sindrom cushing menunjukan limfositopenia dan massa jaringan  limfoid berkurang. Meskipun pada manusia glukokortikoid tidak menyebabkan lisis jaringan limfoid yang masif, golongan obat ini dapat mengurangi jumlah sel pada leukimia limfoblastik akut dan beberapa keganasan sel limfosit. Kortikosteroid bukan hanya mengurangi jumlah limfosit tetapi juga respons imunnya.

9. PertumbuhanPenggunaan glukokortikoid pada anak dalam waktu yang lama, dapat menghambat pertumbuhan , karena efek antagonisnya terhadap kerja hormon pertumbuhan diperifer. 

Sumber: Farmakologi dan Terapi. Edisi 5. Departemen Farmakologi dan Terapeutik Fakultas Kedokteran UI: Jakarta, 2007.

14. Jelaskan keterkaitan antara penghentian obat alergi dengan keluhan pada pemicuAda dua penyebab timbulnya efek samping pada penggunaan kortikosteroid. Efek samping dapat timbul karena penghentian pemberian secara tiba-tiba atau pemberian terus-menerus terutama dengan dosis besar.                Pemberian kortikosteroid jangka lama yang dihentikan tiba-tiba dapat menimbulkan insufisiensi adrenal akut dengan gejala demam, mialgia, artralgia dan malaise. Insufisiensi terjadi akibat kurang berfungsinya kelenjar adrenal yang telah lama tidak memproduksi kortikosteroid endogen karena rendahnya mekanisme umpan balik oleh kortikosteroid eksogen. 

Page 29: DK2P1 BB Menurun

Penghentian obat kortikosteroid harus dihentikan perlahan-lahan. Penggunaan obat golongan kortikosteroid tidak boleh dihentikan secara mendadak karena akan mengganggu adaptasi tubuh. Penghentian harus perlahan-lahan dengan dosis yang makin lama makin berkurang. Karena selama penggunaan kortikosteroid dari luar, produksi hormon ini secara alami dari tubuh akan terhenti, maka jika penggunaan dari luar tiba-tiba dihentikan, tubuh akan kekurangan hormon ini secara normal dan akan terjadi reaksi-reaksi yang tidak diinginkan, seperti: kadar gula darah turun, tekanan darah turun drastis dari posisi duduk ke berdiri (hipotensi ortostatik), dehidrasi (kekurangan cairan), lemah, lesu, dan asupan energy yang kurang.

Sumber: Penggunaan kortikosteroid di klinik ( The use of corticosteroid in clinics ) Abdul Latief Azis Divisi Gawat Darurat Lab/SMF Ilmu Kesehatan Anak FK Unair/RSUD dr Soetomo Surabaya

AnoreksiaBB menurun

MualMuntah

Lemah

Glikogen hati menurun

Hipoglikemi

Glukoneogenesmenurun

Kekurangan volume

cairan dan elektrolit

HiponatremiaDehidrasi

Androgen menurun

Kortisol menurun

Aldosteron menurun

Insufisiensi adrenal

Pemberian kortikosteroid jangka lama yang dihentikan tiba-tiba