disjum programdbd
DESCRIPTION
;lkjhgfdsTRANSCRIPT
PROGRAM UTAMA PUSKESMAS: DEMAM BERDARAH DENGUE
Oleh :
Lind Octaviani Irawan (0818011072)
Meta Sakina (1018011076)
Monica Lauretta (1018011079)
Nida Choerunnisa (1018011020)
Nyimas Annissa M.A. (1018011086)
ILMU KEDOKTERAN KOMUNITAS
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS LAMPUNG
BANDAR LAMPUNG
2015
I. PENDAHULUAN
Puskesmas (Pusat Kesehatan Masyarakat) adalah unit pelaksana teknik
dinas kesehatan kabupaten atau kota yang bertanggung jawab menyelenggarakan
pembangunan kesehatan di suatu wilayah kerja (Kepmenkes RI No.
128/Menkes/SK/II/2004). Sistem Kesehatan Nasional menyebutkan Puskesmas
adalah pusat pembangunan kesehatan yang berfungsi mengembangkan dan
membina kesehatan masyarakat serta menyelenggarakan pelayanan kesehatan
terdepan dan terdekat dengan masyarakat. Menurut Depkes RI 1991, Puskesmas
merupakan suatu kesatuan organisasi kesehatan fungsional yang merupakan pusat
pengembangan kesehatan masyarakat dan membina peran serta masyarakat
disamping memberikan pelayanan secara menyeluruh dan terpadu kepada
masyarakat di wilayah kerjanya dalam bentuk kegiatan pokok. Setiap kegiatan
pokok Puskesmas dilaksanakan dengan pendekatan pembangunan kesehatan
masyarakat desa. Sebuah puskesmas mempunyai tugas menyampaikan
pertolongan kesehatan dan upaya kesehatan pencegahan kepada keluarga di tiap
rumah di desa-desa melalui petugas puskesmas yang menetap di wilayah kerja
Puskesmas.
Tujuan Puskesmas adalah mendukung tercapainya tujuan pembangunan
kesehatan nasional, yakni meningkatkan kesadaran, kemauan, dan kemampuan
hidup sehat bagi setiap orang yang bertempat tinggal di wilayah kerja puskesmas
agar terwujud derajat kesehatan yang setinggi – tingginya dalam rangka
mewujudkan Indonesia Sehat 2015. Oleh karena pelayanan kesehatan di
Puskesmas merupakan bentuk pemerataan dan peningkatan pelayanan kesehatan
untuk meningkatkan derajat kesehatan rakyat maka, pelayanan ini menjadi akan
lebih efektif jika disertai peran serta masyarakat antara lain dengan
menyelenggarakan pos-pos pelayanan terpadu. Terdapat beberapa fungsi
Puskesmas antara lain:
a. Pusat penggerak pembangunan berwawasan kesehatan
Puskesmas selalu berupaya menggerakkan dan memantau
penyelenggaraan pembangunan lintas sektor termasuk oleh masyarakat
1
dan dunia usaha di wilayah kerjanya, sehingga berwawasan serta
mendukung pembangunan kesehatan. Disamping itu puskesmas aktif
memantau dan melaporkan dampak kesehatan dari penyelenggaraan setiap
program di wilayah kerjanya.
b. Pusat pemberdayaan masyarakat
Puskesmas selalu berupaya agar perorangan terutama pemuka masyarakat,
keluarga dan masyarakat termasuk dunia usaha memiliki kesadaran,
kemauan dan kemampuan melayani diri sendiri dan masyarakat untuk
hidup sehat, berperan aktif dalam memperjuangkan kepentingan kesehatan
termasuk sumber pembiayaannya, serta ikut menerapkan,
menyelenggarakan dan memantau pelaksanaan program
kesehatan.pemberdayaan perorangan, keluarga dan masyarakat.
c. Pusat pelayanan kesehatan strata pertama
Puskesmas bertanggung jawab menyelenggarakan pelayanan kesehatan
tingkat pertama secara menyeluruh, terpadu dan berkesinambungan.
Pelayanan kesehatan kesehatan tingkat pertama yang menjadi tanggung
jawab puskesmas meliputi :
1) Pelayanan kesehatan perorangan
Pelayanan kesehatan perorangan adalah pelayanan yang bersifat
pribadi dengan tujuan utama menyembuhkan penyakit dan
pemulihan kesehatan perorangan, tanpa mengabaikan pemeliharaan
kesehatan dan pencegahan penyakit.
2) Pelayanan kesehatan masyarakat
Pelayanan kesehatan masyarakat adalah pelayanan yang bersifat
publik dengan tujuan utama memelihara dan meningkatkan
kesehatan serta mencegah penyakit tanpa mengabaikan
penyembuhan penyakit dan pemulihan kesehatan. Pelayanan
kesehatan masyarakat tersebut antara lain adalah promosi kesehatan,
pemberantasan penyakit, penyehatan lingkungan, perbaikan gizi,
peningkatan kesehatan keluarga, keluarga berencana, kesehatan jiwa
masyarakat serta program kesehatan masyarakat lainnya.
2
Berdasarkan ketiga fungsi utama puskesmas tersebut dan dengan
memperhatikan tujuan akhirnya maka setiap pelaksanan program kegiatan
pelayanan kesehatan selalu dilaksanakan dengan memperhatikan landasan
strategisnya yaitu :
1. Perikemanusian
2. Pemberdayaan dan kemandirian
3. Adil dan merata
4. Mengutamakan manfaat
Landasan strategis ini akan menjadi nilai-nilai dalam pengembangan setiap
program atau upaya-upaya pelayanan kesehatan yang akan dilaksanakan ditingkat
Puskesmas. Program-program kegiatan pelayanan kesehatan yang dilaksanakan di
Puskesmas dibagi dalam dua kelompok besar yaitu program pokok dan program
pengembangan.
Program pokok pelayanan kesehatan Puskesmas dibuat berdasarkan komitmen
nasional, regional & global serta yang mempunyai daya ungkit untuk peningkatan
derajat kesehatan, yaitu: program pengobatan, upaya promosi kesehatan, KIA/KB,
pencegahan dan pengendalian penyakit menular dan tidak menular, kesehatan
lingkungan, serta usaha perbaikan gizi masyarakat. Program pengembangan
pelayanan kesehatan Puskesmas adalah beberapa upaya kesehatan
pengembangan yang ditetapkan Puskesmas dan dinas kesehatan kabupaten/kota
sesuai dengan permasalahan, kebutuhan dan kemampuan puskesmas. Dalam
struktur organisasi puskesmas program pengembangan ini biasa disebut Program
spesifik lokal, yang terdiri dari antara lain: kesehatan sekolah, kesehatan olahraga,
perawatan kesehatan masyarakat, usaha kesehatan kerja, kesehatan gigi dan
mulut, kesehatan jiwa, kesehatan mata, kesehatan usia lanjut, dan pembinaan
pengobatan tradisional.
3
II. ISI
A. Program-Program Utama Puskesmas
Sebagaimana telah dijabarkan sebelumnya bahwa program pokok
Puskesmas merupakan program pelayanan kesehatan yang wajib di laksanakan
karena mempunyai daya ungkit yang besar terhadap peningkatan derajat
kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya. Puskesmas dalam kedudukannya
sebagai penanggungjawab wilayah dan penyedia pelayanan kesehatan harus
mengoperasikan sejumlah kegiatan pokok yang di wujudkan dalam berbagai
program-program kesehatan Puskesmas. Pelaksanaan program-program kesehatan
ini ditujukan untuk memenuhi tanggung jawab terhadap kesehatan wilayah
kerjanya serta anggota masyarakat secara keseluruhan.
Ada 6 program pokok pelayanan kesehatan di Puskesmas yaitu :
1. Program pengobatan (kuratif dan rehabilitatif) yaitu bentuk pelayanan
kesehatan untuk mendiagnosa, melakukan tindakan pengobatan pada
seseorang pasien dilakukan oleh seorang dokter secara ilmiah berdasarkan
temuan-temuan yang diperoleh selama anamnesis dan pemeriksaan
2. Promosi kesehatan yaitu program pelayanan kesehatan puskesmas yang
diarahkan untuk membantu masyarakat agar hidup sehat secara optimal
melalui kegiatan penyuluhan (induvidu, kelompok maupun masyarakat).
3. Pelayanan KIA dan KB yaitu program pelayanan kesehatan KIA dan KB
di Puskesmas yang ditujukan untuk memberikan pelayanan kepada PUS
(Pasangan Usia Subur) untuk ber-KB, pelayanan ibu hamil, bersalin dan
nifas serta pelayanan bayi dan balita.
4. Pencegahan dan pengendalian penyakit menular dan tidak menular yaitu
program pelayanan kesehatan Puskesmas untuk mencegah dan
mengendalikan penular penyakit menular/infeksi (misalnya TB, DBD,
Kusta dll).
5. Kesehatan lingkungan yaitu program pelayanan kesehatan lingkungan di
puskesmas untuk meningkatkan kesehatan lingkungan pemukiman melalui
4
upaya sanitasi dasar, pengawasan mutu lingkungan dan tempat umum
termasuk pengendalian pencemaran lingkungan dengan peningkatan peran
serta masyarakat.
6. Perbaikan gizi masyarakat yaitu program kegiatan pelayanan kesehatan,
perbaikan gizi masyarakat di Puskesmas yang meliputi peningkatan
pendidikan gizi, penanggulangan kurang energi protein, anemia gizi besi,
gangguan akibat kekurangan yodium (gaky), kurang vitamin A, keadaan
zat gizi lebih, peningkatan survailans gizi, dan perberdayaan usaha
perbaikan gizi keluarga/masyarakat.
Pelaksanaan kegiatan pokok Puskesmas diarahkan kepada keluarga sebagai
satuan masyarakat terkecil atau ditujukan untuk kepentingan kesehatan keluarga
sebagai bagian dari masyarakat wilayah kerjanya. Dalam konteks otonomi daerah
saat ini, puskesmas mempunyai peran yang sangat vital sebagai institusi pelaksana
teknis, dituntut memiliki kemampuan managerial dan wawasan jauh ke depan
untuk meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan. Peran tersebut ditunjukkan
dalam bentuk ikut serta menentukan kebijakan daerah melalui sistem perencanaan
yang matang dan realisize, tatalaksana kegiatan yang tersusun rapi, serta sistem
evaluasi dan pemantauan yang akurat. Adapun ke depan, Puskesmas juga dituntut
berperan dalam pemanfaatan teknologi informasi terkait upaya peningkatan
pelayanan kesehatan secara komprehensif dan terpadu.
B. Program Pencegahan Dan Pemberantasan Penyakit Menular
Menurut Direktur Jenderal Pemberantasan Penyakit Menular dan Penyehatan
Lingkungan Departemen Kesehatan (P2M&PL Depkes) Prof Dr dr Umar Fahmi
Achmadi MPH yang juga guru besar ilmu kesehatan lingkungan dan kesehatan
kerja Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, ada empat faktor
yang berperan dalam dinamika transmisi penyakit menular. Yaitu sumber
penyakit, vektor, barrier (penghalang) antara vektor dengan populasi yang
berisiko serta kekebalan manusia.
Identifikasi, intervensi dan pengelolaan terhadap keempat faktor plus faktor
kelima, yaitu perawatan penderita penyakit menjadi satu kesatuan simpul
5
manajemen dalam meningkatkan upaya pemberantasan penyakit menular.
Tentunya hal ini menjadi tantangan bagi para pengelola program kesehatan di
daerah (kabupaten/kota) di era desentralisasi.
Kini sedang dikembangkan manajemen P2M&PL ((Pemberantasan Penyakit
Menular dan Penyehatan Lingkungan) terpadu berbasis wilayah. Model ini sedang
dikembangkan Ditjen P2M&PL dan mulai dimasukkan dalam kurikulum
pelatihan para kepala dinas kesehatan kabupaten/kota.
Model yang dikembangkan bertujuan memperkuat program pemberantasan
penyakit menular dan penyehatan lingkungan di daerah secara komprehensif.
Yakni berdasarkan data dan informasi tenaga epidemiologi daerah, kerja sama
dengan mitra di luar kesehatan serta kerja sama antarwilayah.
Adapun penyakit Menular dikelompokkan berdasarkan sifat penyebarannya di
dalam masyarakat wilayah tersebut, yaitu :
1) Penyakit Menular yang secara endemik berada di dalam wilayah, yang
pada waktu tertentu dapat menimbulkan wabah, yang dikelompokkan
kedalam Penyakit Menular Potensial Wabah seperti ; Diare, DBD,
Malaria, Filaria.
2) Penyakit menular yang berada di wilayah dengan endemisitas yang cukup
tinggi sehingga jika tidak diawasi dapat menjadi ancaman bagi kesehatan
masyarakat umum. Penyakit Menular Endemik Tinggi seperti ;
Tuberkulosis Paru, Lepra, Patek, Rabies, Antraks.
3) Penyakit-penyakit menular lain yang walaupun endemisitasnya tidak
terlalu tinggi didalam masyarakat, tetapi oleh karena sifat penyebarannya
dianggap sangat membahayakan masyarakat, maka penyakit-penyakit ini
perlu di awasi keberadaannya.
6
Demam Berdarah Dengue (DBD)
Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) merupakan salah satu masalah
umum kesehatan masyarakat di Indonesia, sejak tahun 1986 jumlah kasusnya
cenderung meningkat dan penyebarannya bertambah luas. Keadaan ini erat
kaitannya dengan peningkatan mobilitas penduduk sejalan dengan semakin
lancarnya hubungan transportasi serta tersebar luasnya virus Dengue dan nyamuk
penularnya di berbagai wilayah Indonesia (Depkes RI, 2010).
Nyamuk Aedes aegypti merupakan salah satu vektor yang dapat
menyebabkan penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD). Penyakit DBD
merupakan salah satu masalah kesehatan masyarakat di negara – negara yang
mempunyai iklim tropis, termasuk Indonesia. Menurut Mc Michael (2008),
perubahan iklim menyebabkan perubahan curah hujan, suhu, kelembaban, arah
udara sehingga berefek terhadap ekosistem daratan dan lautan serta berpengaruh
terhadap kesehatan terutama terhadap perkembangbiakan vektor penyakit seperti
nyamuk Aedes, malaria dan lainnya.
Sejak tahun 1968 hingga tahun 2009, World Health Organization (WHO)
mencatat negara Indonesia sebagai negara dengan kasus DBD tertinggi di Asia
Tenggara. Di Indonesia, DBD pertama kali ditemukan di kota Surabaya pada
tahun 1968, sebanyak 58 orang terinfeksi dan 24 orang meninggal dunia. Sejak
saat itu, penyakit ini menyebar luas ke seluruh Indonesia. Sampai akhir tahun
2008 juga belum ditemukan obat yang secara efektif dapat mengobati penyakit
DBD (Depkes RI, 2010).
Program pencegahan dan pemberantasan DBD telah berlangsung lebih
kurang 43 tahun dan berhasil menurunkan angka kematian dari 41,3% pada tahun
1968 menjadi 0,87 % pada tahun 2010, tetapi belum berhasil menurunkan angka
kesakitan. Jumlah penderita cenderung meningkat, penyebarannya semakin luas,
menyerang tidak hanya anak-anak tetapi juga golongan umur yang lebih tua. Pada
tahun 2011 sampai bulan Agustus tercatat 24.362 kasus dengan 196 kematian
(Ditjen PP dan PL, Kemenkes RI 2011).
Untuk mengatasi masalah DBD di Indonesia, sejak tahun 2004
Departemen Kesehatan telah bekerja sama dengan Dinas Kesehatan Provinsi dan
7
Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota untuk melaksanakan program nasional
penanggulangan demam berdarah. Program tersebut meliputi surveilans
epidemiologi/sistem kewaspadaan dini dan penanggulangan KLB, penyuluhan,
pemberantasan jentik berkala, larvasidasi dan survei vektor. Selain itu juga
dilakukan kerjasama lintas program melalui Pokjanal DBD dan bulan bakti
gerakan 3M, pengobatan/tata laksana kasus termasuk pelatihan dokter serta
pengadaan sarana untuk buffer stock KLB DBD (Depkes, 2010).
Pemberantasan larva merupakan salah satu pengendalian vektor Aedes
aegypti yang diterapkan hampir diseluruh dunia. Penggunaan insektisida sebagai
larvasida merupakan cara yang paling umum digunakan oleh masyarakat untuk
mengendalikan pertumbuhan vektor tersebut. Insektisida yang sering digunakan di
Indonesia adalah Abate. Penggunaan abate di Indonesia sudah ada sejak tahun
1976. Empat tahun kemudian yakni tahun 1980, temephos 1% (abate) ditetapkan
sebagai bagian dari program pemberantasan massal Aedes aegypti di Indonesia.
(Daniel 2008)
Bandar Lampung merupakan salah satu kota di Indonesia yang tercatat
sebagai daerah endemis Demam Berdarah Dengue (DBD). Data dinas kesehatan
kota Bandar Lampung menyebutkan bahwa pada tahun 2010 terdapat 763 kasus,
tahun 2011 terdapat 399 kasus, tahun 2012 440 kasus, akan tetapi pada tahun
2013 terjadi peningkatan kasus demam berdarah dengue sebesar 576 kasus, 5
orang diantaranya meninggal dunia (Dinas Kesehatan kota Bandar Lampung
2013).
Di Bandar Lampung khususnya wilayah kerja Puskesmas Kedaton pada tahun
2011 ditemukan kasus DBD sebanyak 16 kasus ditemukan, tahun 2012
ditemukan 67 kasus DBD, yang kemudian menurun di tahun 2013 yaitu
ditemukan 35 kasus DBD. Tahun 2014 menurun lagi, ditemukan 18 kasus.
Namun tidak adanya kasus dengan kematian tiap tahun.
8
1. Epidemiologi
Di Indonesia, masalah penyakit tersebut muncul sejak tahun 1968 di
Surabaya. Belakangan ini, masalah DBD telah menjadi masalah klasik yang
kejadiannya hampir dipastikan muncul setiap tahun terutama pada awal
musim penghujan (Departemen Kesehartan RI, 2012). Indonesia pernah
mengalami kasus terbesar (53%) DBD pada tahun 2005 di Asia Tenggara
yaitu 95.270 kasus dan kematian 1.298 orang (CFR=1,36%) (World Health
Organization, 2006). Berdasarkan data terakhir yang diperoleh dari
Departemen Kesehatan RI, sepanjang tahun 2007 tercatat sebanyak lebih dari
156.697 orang terkena demam dengue. Dari jumlah tersebut, lebih dari 1.296
orang meninggal dunia. Kejadian tersebut meliputi 11 propinsi yang dilanda
kejadian luar biasa (KLB) DBD, yaitu: Jawa barat, Sumatera Selatan,
Lampung, Daerah Khusus Ibu kota Jakarta, Jawa Tengah, Kalimantan Timur,
Sulawesi Selatan, Sulawesi Tengah, Jawa Timur, Banten, dan Yogyakarta.
Menurut Dinas Kesehatan Provinsi Lampung, pada bulan Januari 2010
terdapat 365 kasus DBD dengan 6 orang meninggal dunia di provinsi
Lampung. Kota Bandar Lampung merupakan daerah endemis DBD. Dari 98
kelurahan di seluruh kecamatan kota Bandar Lampung terdapat 85 kelurahan
mengalami endemis, 12 kelurahan sporadis dan 1 kelurahan potensial DBD
pada tahun 2009. Dari 85 kelurahan endemis tersebut terjadi penurunan setiap
tahunnya akan tetapi terdapat satu kelurahan yang tetap tinggi kejadiannya
yaitu Kelurahan Rajabasa. Untuk daerah sporadis sendiri pernah terjadi 45
kasus di Kelurahan Pinang Jaya yang merupakan angka terbesar pada daerah
sporadis. Sedangkan satu – satunya kelurahan potensial adalah Kelurahan
Kedaung. Pada tahun 2010, Dinas Kesehatan kota Bandar Lampung mencatat
penderita demam berdarah dari 13 kecamatan di Bandar Lampung dari bulan
Januari hingga bulan Mei mencapai 364 kasus dan 8 orang meninggal dunia.
Kasus DBD terbesar terjadi di kecamatan Kedaton dan disusul kecamatan
Sukarame yang berturut-turut mencapai 66 kasus dan 50 kasus (Dinas
Kesehatan kota Bandar Lampung, 2010).
9
2. Etiologi dan Penularan DBD
a. Etiologi
Penyakit DBD disebabkan oleh virus dengue. Virus ini termasuk dalam
grupB Antropod Borne Virus (Arboviroses) kelompok flavivirus dari family
flaviviridae,yang terdiri dari empat serotipe, yaitu DEN 1, DEN 2, DEN 3,
DEN 4. Masing-masing saling berkaitan sifat antigennya dan dapat
menyebabkan sakit pada manusia. Keempat tipe virus ini telah ditemukan di
berbagai daerah di Indonesia. DEN 3 merupakan serotipe yang paling sering
ditemui selama terjadinya KLB di Indonesia diikuti DEN 2, DEN 1, dan DEN
4. DEN 3 juga merupakan serotipe yang paling dominan yang berhubungan
dengan tingkat keparahan penyakit yang menyebabkan gejala klinis yang berat
dan penderita banyak yang meninggal.
b. Penularan
Nyamuk Aedes aegypti maupun Aedes albopictus merupakan vektor
penularan virus dengue dari penderita kepada orang lain melalui gigitannya.
Nyamuk Aedes aegypti merupakan vektor penting di daerah perkotaan (daerah
urban) sedangkan daerah pedesaan (daerah rural) kedua spesies nyamuk
tersebut berperan dalam penularan. Demam berdarah dengue tidak menular
melalui kontak manusia dengan manusia. Virus dengue sebagai penyebab
demam berdarah hanya dapat ditularkan melalui nyamuk. Oleh karena itu,
penyakit ini termasuk kedalam kelompok arthropod borne diseases. Virus
dengue berukuran 35-45 nm. Virus ini dapat terus tumbuh dan berkembang
dalam tubuh manusia dan nyamuk.
Terdapat tiga faktor yang memegang peran pada penularan infeksi
dengue,yaitu manusia, virus, dan vektor perantara. Virus dengue masuk ke
dalam tubuh nyamuk pada saat menggigit manusia yang sedang mengalami
viremia, kemudian virus dengue ditularkan kepada manusia melalui gigitan
nyamuk Aedes aegypti dan Aedes albopictus yang infeksius.
Seseorang yang di dalam darahnya memiliki virus dengue
(infektif )merupakan sumber penular DBD. Virus dengue berada dalam darah
10
selama 4-7 hari mulai 1-2 hari sebelum demam (masa inkubasi instrinsik). Bila
penderita DBD digigit nyamuk penular, maka virus dalam darah akan ikut
terhisap masuk ke dalam lambung nyamuk. Selanjutnya virus akan
berkembang biak dan menyebar ke seluruh bagian tubuh nyamuk, dan juga
dalam kelenjar saliva. Kira-kira satu minggu setelah menghisap darah
penderita (masa inkubasi ekstrinsik), nyamuk tersebut siap untuk menularkan
kepada orang lain. Virus ini akan tetap berada dalam tubuh nyamuksepanjang
hidupnya. Oleh karena itu nyamuk Aedes aegypti yang telah menghisap virus
dengue menjadi penular (infektif) sepanjang hidupnya.Penularan ini terjadi
karena setiap kali nyamuk menggigit (menusuk),sebelum menghisap darah
akan mengeluarkan air liur melalui saluran alat tusuknya (probosis), agar darah
yang dihisap tidak membeku. Bersama air liur inilah virusdengue dipindahkan
dari nyamuk ke orang lain. Hanya nyamuk Aedes aegypti betina yang dapat
menularkan virus dengue.
Nyamuk betina sangat menyukai darah manusia (anthropophilic) dari pada
darah binatang. Kebiasaan menghisap darah terutama pada pagi hari jam
08.00-10.00 dan sore hari jam 16.00-18.00. Nyamuk betina mempunyai
kebiasaan menghisap darah berpindah-pindah berkali-kali dari satu individu ke
individu lain (multiplebiter). Hal ini disebabkan karena pada siang hari
manusia yang menjadi sumbe rmakanan darah utamanya dalam keadaan aktif
bekerja/bergerak sehingga nyamuk tidak bisa menghisap darah dengan tenang
sampai kenyang pada satu individu.Keadaan inilah yang menyebabkan
penularan penyakit DBD menjadi lebih mudah terjadi.
c. Tempat Potensial Bagi Penularan DBD
Penularan penyakit DBD dapat terjadi di semua tempat yang terdapat
nyamuk penularnya. Tempat-tempat potensial untuk terjadinya penularan DBD
adalah :
1) Wilayah yang banyak kasus DBD (rawan/endemis)
2) Tempat-tempat umum merupakan tempat berkumpulnya orang-orang
yangdatang dari berbagai wilayah sehingga kemungkinan terjadinya
pertukaranbeberapa tipe virus dengue cukup besar.
11
Tempat-tempat umum itu antara lain :
a) Sekolah
Anak murid sekolah berasal dari berbagai wilayah, merupakan
kelompokumur yang paling rentan untuk terserang penyakit DBD.
b) Rumah Sakit/Puskesmas dan sarana pelayanan kesehatan lainnya :
Orang datang dari berbagai wilayah dan kemungkinan diantaranya
adalahpenderita DBD, demam dengue atau carier virus dengue.
c) Tempat umum lainnya seperti :
Hotel, pertokoan, pasar, restoran, tempat-tempat ibadah dan lain-
lain.
3) Pemukiman baru di pinggiran kota
Karena di lokasi ini, penduduk umumnya berasal dari berbagai wilayah,
makakemungkinan diantaranya terdapat penderita atau carier yang
membawa tipe virus dengue yang berlainan dari masing-masing lokasi
awal.
d. Diagnosis
Diagnosis DBD ditegakkan berdasarkan kriteria diagnosis menurut
WHO tahun 1997 terdiri dari kriteria klinis dan laboratorium :
a) Kriteria Klinis
a. Demam tinggi mendadak, tanpa sebab yang jelas, berlangsung terus
menerus selama 2-7 hari.
b. Terdapat manifestasi perdarahan ditandai dengan : uji tourniquet
positif, petechie, echymosis, purpura, perdarahan mukosa, epistaksis,
perdarahan gusi,hematemesis dan malena.
Uji tourniquet dilakukan dengan terlebih dahulu menetapkan tekanan
darah. Selanjutnya diberikan tekanan di antara sistolik dan diastolik pada
alat pengukur yang dipasang pada lengan di atas siku; tekanan ini
diusahakan menetap selama percobaan. Setelah dilakukan tekanan selama
5 menit,diperhatikan timbulnya petekia pada kulit di lengan bawah bagian
12
medial pada sepertiga bagian proksimal. Uji dinyatakan positif apabila
pada 1 inchi persegi (2,8 x 2,8 cm) didapat lebih dari 20 petekia.
c. Pembesaran hati (hepatomegali).
d. Syok (renjatan), ditandai nadi cepat dan lemah serta penurunan
tekanannadi,hipotensi, kaki dan tangan dingin, kulit lembab, dan
gelisah.
b) Kriteria Laboratorium
a. Trombositopeni
b. Hemokonsentrasi, dapat dilihat dari peningkatan hematokrit 20%
atau lebih.
c) Derajat Penyakit DBD, menurut WHO tahun 1997
Derajat penyakit DBD diklasifikasikan dalam 4 derajat, yaitu :
a. Derajat I Demam disertai dengan gejala umum nonspesifik, satu-
satunya manifestasi perdarahan ditunjukkan melalui uji tourniquet
yang positif.
b. Derajat II Selain manifestasi yang dialami pasien derajat I,
perdarahan spontan juga terjadi, biasanya dalam bentuk perdarahan
kulit dan atau perdarahan lainnya.
c. Derajat III Demam, perdarahan spontan, disertai atau tidak disertai
hepatomegali dan ditemukan gejala-gejala kegagalan sirkulasi
meliputi nadi yang cepat dan lemah, tekanan nadi menurun (< 20
mmHg) atau hipotensi disertai kulit lembab dan dingin serta gelisah.
d. Derajat IV Demam, perdarahan spontan, disertai atau tidak disertai
hepatomegali dan ditemukan gejala syok (renjatan) yang sangat berat
dengan tekanan darah dan denyut nadi yang tidak terdeteksi.
3. Pengobatan
Pada dasarnya terapi DBD adalah bersifat suportif dan simtomatis.
Penatalaksanaan ditujukan untuk mengganti kehilangan cairan akibat
kebocoran plasma dan memberikan terapi substitusi komponen darah
13
bilamana diperlukan. Dalam pemberian terapicairan, hal terpenting yang perlu
dilakukan adalah pemantauan baik secara klinis maupun laboratoris. Proses
kebocoran plasma dan terjadinya trombositopenia pada umumnya terjadi
antara hari ke 4 hingga 6 sejak demam berlangsung. Pada hari ke-7 proses
kebocoran plasma akan berkurang dan cairan akan kembali dari ruang
interstitial ke intravaskular. Terapi cairan pada kondisi tersebut secara
bertahap dikurangi. Selain pemantauan untuk menilai apakah pemberian
cairan sudah cukup atau kurang, pemantauan terhadap kemungkinan
terjadinya kelebihan cairan serta terjadinya efusi pleura ataupun asites yang
masif perlu selalu diwaspadai.
Terapi nonfarmakologis yang diberikan meliputi tirah baring (pada
trombositopenia yang berat) dan pemberian makanan dengan kandung-an gizi
yang cukup, lunak dan tidak mengandung zat atau bumbu yang mengiritasi
saluaran cerna. Sebagai terapi simptomatis, dapat diberikan antipiretik berupa
parasetamol, serta obat simptomatis untuk mengatasi keluhan dispepsia.
Pemberian aspirin ataupun obat antiinflamasi nonsteroid sebaiknya dihindari
karena berisiko terjadinya perdarahan pada saluran cerna bagian atas
(lambung/duodenum).Protokol pemberian cairan sebagai komponen utama
penatalaksanaan DBD dewasa mengikuti 5 protokol,mengacu pada protokol
WHO. Protokol ini terbagidalam 5 kategori, sebagai berikut:
1. Penanganan tersangka DBD tanpa syok (gambar1).
2. Pemberian cairan pada tersangka DBD dewasa diruang rawat (gambar 2).
3. Penatalaksanaan DBD dengan peningkatan hematokrit>20% (gambar 3).
4. Penatalaksanaan perdarahan spontan pada DBD dewasa.
5. Tatalaksana sindroma syok dengue pada dewasa (gambar 4).
14
Gambar 1. Penanganan tersangka DBD tanpa syok
Gambar 2. Pemberian cairan pada tersangka DBD dewasa di ruang rawat
15
Gambar 3. Penatalaksanaan DBD dengan peningkatan hematokrit >20%
16
Gambar 4. Tatalaksana sindroma syok dengue pada dewasa
17
4. Pecegahan
Pencegahan penyakit DBD dapat dibagi menjadi 3 tingkatan yaitu pencegahan
primer, pencegahan sekunder, dan pencegahan tersier.
a. Pencegahan Primer
Pencegahan tingkat pertama ini merupakan upaya untuk mempertahankan
orang yang sehat agar tetap sehat atau mencegah orang yang sehat menjadi
sakit.
1) Survailans Vektor
Surveilans untuk nyamuk Aedes aegypti sangat penting untuk
menentukan distribusi, kepadatan populasi, habitat utama larva, faktor
resiko berdasarkan waktu dan tempat yang berkaitan dengan
penyebaran dengue, dan tingkat kerentanan atau kekebalan insektisida
yang dipakai, untuk memprioritaskan wilayah dan musim untuk
pelaksanaan pengendalian vektor.
Data tersebut akan memudahkan pemilihan dan penggunaan sebagian
besar peralatan pengendalian vektor, dan dapat dipakai untuk
memantau keefektifannya. Salah satu kegiatan yang dilakukan adalah
survei jentik.Survei jentik dilakukan dengan cara melihat atau
memeriksa semua tempatatau bejana yang dapat menjadi tempat
berkembang biakan nyamuk Aedes aegypti dengan mata telanjang
untuk mengetahui ada tidaknya jentik,yaitu dengan caravisual. Cara ini
cukup dilakukan dengan melihat ada tidaknya jentik disetiap
tempatgenangan air tanpa mengambil jentiknya.
Ukuran-ukuran yang dipakai untuk mengetahui kepadatan jentik Aedes
aegyptiadalah :
a. House Indeks (HI), yaitu persentase rumah yang terjangkit larva
dan atau pupa.
HI = Jumlah Rumah Yang Terdapat Jentik x 100%
Jumlah Rumah yang Diperiksa
b. Container Indeks (CI), yaitu persentase container yang terjangkit
larva atau pupa.
CI = Jumlah Container Yang Terdapat Jentik x 100%
18
Jumlah Container Yang Diperiksa
c. Breteau Indeks (BI), yaitu jumlah container yang positif per-100
rumah yangdiperiksa.
BI = Jumlah Container Yang Terdapat Jentik x 100 rumah
Jumlah Rumah Yang Diperiksa
Dari ukuran di atas dapat diketahui persentase Angka Bebas Jentik
(ABJ), yaitu jumlah rumah yang tidak ditemukan jentik per jumlah
rumah yang diperiksa.
ABJ = Jumlah Rumah Yang Tidak Ditemukan Jentik x 100%
Jumlah Rumah Yang Diperiksa
Pemeriksaan Jentik Berkala (PJB) merupakan bentuk evaluasi
hasilkegiatan yang dilakukan tiap 3 bulan sekali disetiap
desa/kelurahan endemispada 100 rumah/bangunan yang dipilih secara
acak (random sampling).Angka Bebas Jentik dan House Indeks lebih
menggambarkan luasnyapenyebaran nyamuk disuatu wilayah.
2) Pengendalian Vektor
Pengendalian vektor adalah upaya untuk menurunkan kepadatan
populasi
nyamuk Aedes aegypti. Secara garis besar ada 3 cara pengendalian
vektor yaitu :
a. Pengendalian Cara Kimiawi
Pada pengendalian kimiawi digunakan insektisida yang ditujukan
pada nyamuk dewasa atau larva.Insektisida yang dapat digunakan
adalah dari golongan organoklorin, organofosfor, karbamat, dan
pyrethoid.Bahan-bahan insektisida dapat diaplikasikan dalam
bentuk penyemprotan (spray) terhadap rumah-rumahpenduduk.
Insektisida yang dapat digunakan terhadap larva Aedes aegypti
yaitu dari golongan organofosfor (Temephos) dalam bentuk sand
19
granules yang larut dalam air di tempat perindukan nyamuk atau
sering disebut dengan abatisasi.
b. Pengendalian Hayati / Biologik
Pengendalian hayati atau sering disebut dengan pengendalian
biologis dilakukan dengan menggunakan kelompok hidup, baik
dari golongan mikroorganisme hewan invertebrate atau
vertebrata.Sebagai pengendalian hayati dapat berperan sebagai
patogen, parasit dan pemangsa.Beberapa jenis ikan kepala timah
(Panchaxpanchax), ikan gabus (Gambusiaaffinis) adalah pemangsa
yang cocok untuk larva nyamuk.Beberapa jenis golongan cacing
nematoda seperti Romanomarmis iyengari dan
Romanomarmisculiforax merupakan parasit yang cocok untuk
larva nyamuk.
c. Pengendalian Lingkungan
Pengendalian lingkungan dapat digunakan beberapa cara antara
lain dengan mencegah nyamuk kontak dengan manusia yaitu
memasang kawat kasa pada pintu, lubang jendela, dan ventilasi di
seluruh bagian rumah. Hindari menggantung pakaian di kamar
mandi, di kamar tidur, atau di tempat yang tidakterjangkau sinar
matahari.
3) Survailans Kasus
Surveilans kasus DBD dapat dilakukan dengan surveilans aktif
maupun pasif. Di beberapa negara pada umumnya dilakukan
surveilans pasif. Meskipun system surveilans pasif tidak sensitif
dan memiliki spesifisitas yang rendah, namun system ini berguna
untuk memantau kecenderungan penyebaran dengue jangka
panjang. Pada surveilans pasif setiap unit pelayanan kesehatan
(rumah sakit, Puskesmas,poliklinik, balai pengobatan, dokter
praktek swasta, dll) diwajibkan melaporkan setiap penderita
20
termasuk tersangka DBD ke dinas kesehatan selambat-lambatnya
dalam waktu 24 jam.
Surveilans aktif adalah yang bertujuan memantau penyebaran
dengue didalam masyarakat sehingga mampu mengatakan
kejadian, dimana berlangsung penyebaran kelompok serotipe virus
yang bersirkulasi, untuk mencapai tujuan tersebut sistem ini harus
mendapat dukungan laboratorium diagnostik yang baik.Surveilans
seperti ini pasti dapat memberikan peringatan dini atau memiliki
kemampuan prediktif terhadap penyebaran epidemi penyakit DBD.
4) Gerakan Pemberantasan Sarang Nyamuk
Gerakan PSN adalah keseluruhan kegiatan yang dilakukan oleh
masyarakat dan pemerintah untuk mencegah penyakit DBD yang
disertai pemantauan hasil-hasilnya secara terus menerus.Gerakan
PSN DBD merupakan bagian terpenting dari keseluruhan upaya
pemberantasan penyakit DBD, dan merupakan bagian dari upaya
mewujudkan kebersihan lingkungan serta prilaku sehat dalam
rangka mencapai masyarakat dan keluarga sejahtera.
Dalam membasmi jentik nyamuk penularan DBD dengan cara
yang dikenal dengan istilah 3M, yaitu :
o Menguras bak mandi, bak penampungan air, tempat minum hewan
peliharaan minimal sekali dalam seminggu.
o Menutup rapat tempat penampungan air sedemikian rupa sehingga
tidak dapat diterobos oleh nyamuk dewasa.
o Mengubur barang-barang bekas yang sudah tidak terpakai, yang
semuanya dapat menampung air hujan sebagai tempat
berkembangbiaknya nyamuk Aedes aegypti.
b. Pencegahan Sekunder
Penemuan, pertolongan, dan pelaporan penderita DBD dilaksanakan oleh
petugas kesehatan dan masyarakat dengan cara :
21
1) Bila dalam keluarga ada yang menunjukkan gejala penyakit DBD,
berikan pertolongan pertama dengan banyak minum, kompres dingin
dan berikan obatpenurun panas yang tidak mengandung asam salisilat
serta segera bawa ke dokter atau unit pelayanan kesehatan.
2) Dokter atau unit kesehatan setelah melakukan pemeriksaan/diagnosa
dan pengobatan segaera melaporkan penemuan penderita atau tersangka
DBD tersebut kepada Puskesmas, kemudian pihak Puskesmas yang
menerima laporan segera melakukan penyelidikan epidemiologi dan
pengamatan penyakit dilokasi penderita dan rumah disekitarnya untuk
mencegah kemungkinan adanya penularan lebih lanjut.
3) Kepala Puskesmas melaporkan hasil penyelidikan epidemiologi dan
kejadian luar biasa (KLB) kepada Camat, dan Dinas Kesehatan
Kota/Kabupaten, disertai dengan cara sepenuhnya.
c. Pencegahan Tersier
Pencegahan tingkat ketiga ini dimaksudkan untuk mencegah kematian
akibat penyakit DBD dan melakukan rehabilitasi. Upaya pencegahan ini
dapat dilakukan dengan :
1) Transfusi Darah
Penderita yang menunjukkan gejala perdarahan seperti hematemesis
dan malena diindikasikan untuk mendapatkan transfusi darah
secepatnya.
2) Stratifikasi Daerah Rawan DBD
Adapun jenis kegiatan yang dilakukan disesuaikan dengan stratifikasi
daerah rawan seperti :
a) Endemis
Yaitu Kecamatan, Kelurahan, yang dalam 3 tahun terakhir selalu
ada kasus DBD. Kegiatan yang dilakukan adalah fogging sebelum
musim penularan.
b) Sporadis
Yaitu Kecamatan, Kelurahan, yang dalam 3 tahun terakhir ada
kasus DBD.Kegiatan yang dilakukan adalah Pemeriksaan Jentik
22
Berkala (PJB), PSN (Pemberantasan Sarang Nyamuk) dan 3M,
penyuluhan tetap dilakukan.
c) Potensial
Yaitu Kecamatan, Kelurahan, yang dalam 3 tahun terakhir tidak
ada kasus DBD. Tetapi penduduknya padat, mempunyai hubungan
transportasi denganwilayah lain dan persentase rumah yang
ditemukan jentik > 5%. Kegiatan yang dilakukan adalah PJB, PSN,
3M dan penyuluhan.
d) Bebas
Yaitu Kecamatan, Kelurahan yang tidak pernah ada kasus DBD.
Ketinggian dari permukaan air laut > 1000 meter dan persentase
rumah yang ditemukan jentik ≤ 5%. Kegiatan yang dilakukan
adalah PJB, PSN, 3M dan penyuluhan.(SMP), Abatisasi selektif,
dan penyuluhan kesehatan kepada masyarakat.
Tatalaksana Pencegahan Peristiwa DBD
Pencegahan penyakit DBD yang terpenting adalah dengan memutuskan
rantai penularan antara host dengan vektor yang menularkan penyakit DBD. Cara
pencegahan yang terbaik adalah dengan melaksanakan Pemberantasan Sarang
Nyamuk (PSN) dengan melibatkan peran serta masyarakat. PSN yang
dicanangkan dalam rangka pencegahan DBD adalah 3 M ( Menutup, Menguras
dan Mengubur ).
Adapun kegiatan-kegiatan yang dapat dilakukan untuk peran serta
masyarakat antara lain :
a) Penyuluhan kesehatan
b) Membersihkan tempat-tempat penampungan air sedikitnya sekali/ minggu
c) Mengubur benda-benda yang dapat menampung air hujan seperti kaleng
bekas, botol, ban bekas, dan tempat-tempat lain yang dapat menjadi
tempat perindukan nyamuk aedes aegypti.
d) Menutup tempat-tempat penyimpanan air seperti tempayan, drum, dll.
e) Mengganti air pot bunga seminggu sekali
23
f) Melipat baju-baju yang tergantung
g) Memelihara ikan pemakan jentik ( ikan kepala timah, ikan gupi, dll) pada
kolam hias yang ada di rumah / di lingkungan rumah.
h) Memasukkan larvasida ( abate ) pada pempat penampungan air yang tidak
dapat dikuras / di tutup rapat, 10 gram untuk 100 liter air.
Untuk memberantas nyamuk dewasa dilakukan pengasapan ( fogging ) di
dalam rumah penderita dan di dalam rumah-rumah sekitar rumah penderita
dengan radius sejauh 100 meter, sebanyak 2 kali dengan interval waktu 10
hari.
Tatalaksana Pasien, Kontak, dan Lingkungan
Bila ada kasus DBD harus segera di laporkan ke Dinas Kesehatan Tingkat
II dalam waktu 24 jam. Pasien harus di rawat untuk mencegah timbulnya syok.
Berikan pengobatan simptomatis dan dipantau tekanan darahnya serta di monitor
dan di pantau pula kadar trombosit darahnya.
Pada orang-orang yang berada di sekitar pasien perlu di amati sedikitnya
selama 6 hari untuk memastikan apakah tetap sehat atau jatuh sakit.
Pada masyarakat di lingkungan pasien perlu di berikan penyuluhan tentang
penyakit DBD, terutama yang menyangkut cara-cara penularan penyakit dan cara-
cara pencegahannya.
Tatalaksana Waktu KLB
Bila ada KLB DBD, harus segera di lakukan tindakan terhadap pasien dan
masyarakat sekitar pasien. Penyuluhan harus segera diberikan kepada masyarakat
yang tinggal di sekitar rumah pasien. Segera dilakukan pengasapan ( fogging )
massal di desa atau kelurahan dengan prioritas yang insidens ( attack rate) tingi
serta dengan memperhatikan wilayah kesatuan epidemiologis. Abatisasi massal,
gerakan pemberantasan nyamuk melalui 3 ”M” di desa/ kelurahan, sekolah dan
tempat-tempat umum, dan melaksanakan PSN dengan mengikut sertakan
partisipasi masyarakat.
24
Tindakan Internasional
Karena penyakit DBD termasuk penyakit Wabah, maka harus sampai ke
perwakilan WHO.
Alur Pelaporan Kasus DBD di Puskesmas Kedaton
1. Jika terdeteksi DBD di bidan desa tanpa adanya hasil lab di konfirmasi
dengan pemeriksaan laboratorium.
2. Jika terdeteksi DBD di puskesmas + terdapat hasil lab diturunkan TGC
(tim gerak cepat) berupa penyelidikan epidemiologi langsug ke lokasi
penderita berada.
Tujuan PE (penyelidikan epidemiologi):
Untuk melihat pada jarak 100 meter ada atau tidak penderita lain
termasuk kasus demam. Selain itu, dilakukan pemeriksaan jentik di
tempat penampungan air, bak mandi, dispenser, belakang kulkas,
dan sekitar rumah. Selama peninjauan di lokasi juga dilakukan
pembagian bubuk abate dan penyuluhan 4M.
Didapatkan kesimpulan PE, apabila jumlah penderita ≥ 3 orang
termasuk kejadian demam satu minggu, dilakukan pelaporan ke
KUPT lalu KUPT yang memutuskan diperlukan fogging atau
tidak.
Dilakukan pelaporan ke tingkat II ke provinsi ke pusat
25
Kasus DBD di Puskesmas Kedaton
1. Tahun 2011 terdapat 16 kasus DBD
2. Tahun 2012 terdapat 67 kasus DBD
3. Tahun 2013 terdapat 35 kasus DBD
4. Tahun 2014 terdapat 18 kasus DBD
5. Tahun 2015 sampai saat ini sudah didapatkan 5 kasus DBD
Adapun tindakan yang telah dilakukan yaitu melaksanakan PE
(penyelidikan epidemiologis) oleh petugas surveilans dan bidan desa yang
bersangkutan dengan memberikan penyuluhan 3 M plus dan PJB serta fogging
focus di sekitar rumah penderita DBD.
26
Dinas Kesehatan
Desa Puskesmas dan puskesmas Perawatan
Penyelidikan Epidemiologi
Keluarga RS/ Unit Pelayanan Kesehatan
DAFTAR PUSTAKA
Andri Sanityoso. 2006. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam FKUI Jilid I Edisi IV.
Jakarta.
Dinas Kesehatan Provinsi Lampung. 2004. Pedoman Kerja Puskesmas.
Dr. R. Soehadi dkk. 1995. Pedoman Praktis Pelaksanaan Kerja di Puskesmas.
Podorejo, Magelang.
Trihono, 2002. Pedoman Manajemen Puskesmas. Proyek Kesehatan Keluarga dan
Gizi, Departemen Kesehatan.
www.depkes-ri.com
www.medicine.com
27