dinamika sel darah putih pada domba lokal yang

20
TINJAUAN PUSTAKA Domba Domba merupakan hewan ruminansia kecil yang telah dijinakkan sejak ribuan tahun yang lalu sebagai hewan gembala dataran rendah. Hal ini didasarkan pada penemuan tulang-belulang hewan domba di sekitar pemukiman manusia pada zaman dahulu menurut Smith & Mangkoewidjojo (1988). Klasifikasi domba dalam Herren (2000) adalah sebagai berikut (Gambar 1): kingdom : Animalia filum : Chordata kelas : Mamalia ordo : Artiodactyla famili : Bovidae genus : Ovis spesies : aries Domba merupakan hewan gembala dataran rendah, sehingga memiliki kecenderungan untuk membentuk kelompok besar. Domba juga memiliki perilaku yang cenderung mengabaikan atau menjauhi manusia. Tingkah laku ini penting untuk diketahui dalam pemeliharaan domba di laboratorium, karena domba akan mengalami stres jika dipelihara terpisah dari domba lain (Smith & Mangkoewidjojo 1988). Domba dipelihara untuk dimanfaatkan wol dan dagingnya (Hafes 2000). Menurut Smith dan Mangkoewidjojo (1988), domba juga dapat dimanfaatkan sebagai hewan percobaan di laboratorium. Hal ini karena pemeliharaan domba tidak terlalu mahal, persyaratan kandang sederhana dan persyaratan pakan tidak sulit. Menurut Smith dan Mangkoewidjojo (1988), dalam aplikasi penelitian, domba biasanya digunakan sebagai sumber sel darah merah untuk memproduksi antibodi dan dapat diperoleh serum dalam jumlah yang besar. Domba dapat pula Gambar 1 Domba lokal (Ovis aries). (sumber: foto hasil penelitian)

Upload: phungthu

Post on 30-Dec-2016

234 views

Category:

Documents


3 download

TRANSCRIPT

4

TINJAUAN PUSTAKA

Domba

Domba merupakan hewan ruminansia kecil yang telah dijinakkan sejak

ribuan tahun yang lalu sebagai hewan gembala dataran rendah. Hal ini didasarkan

pada penemuan tulang-belulang hewan domba di sekitar pemukiman manusia

pada zaman dahulu menurut Smith & Mangkoewidjojo (1988). Klasifikasi domba

dalam Herren (2000) adalah sebagai berikut (Gambar 1):

kingdom : Animalia

filum : Chordata

kelas : Mamalia

ordo : Artiodactyla

famili : Bovidae

genus : Ovis

spesies : aries

Domba merupakan hewan gembala dataran rendah, sehingga memiliki

kecenderungan untuk membentuk kelompok besar. Domba juga memiliki perilaku

yang cenderung mengabaikan atau menjauhi manusia. Tingkah laku ini penting

untuk diketahui dalam pemeliharaan domba di laboratorium, karena domba akan

mengalami stres jika dipelihara terpisah dari domba lain (Smith &

Mangkoewidjojo 1988).

Domba dipelihara untuk dimanfaatkan wol dan dagingnya (Hafes 2000).

Menurut Smith dan Mangkoewidjojo (1988), domba juga dapat dimanfaatkan

sebagai hewan percobaan di laboratorium. Hal ini karena pemeliharaan domba

tidak terlalu mahal, persyaratan kandang sederhana dan persyaratan pakan tidak

sulit.

Menurut Smith dan Mangkoewidjojo (1988), dalam aplikasi penelitian,

domba biasanya digunakan sebagai sumber sel darah merah untuk memproduksi

antibodi dan dapat diperoleh serum dalam jumlah yang besar. Domba dapat pula

Gambar 1 Domba lokal (Ovis aries).

(sumber: foto hasil penelitian)

5

digunakan dalam percobaan dasar seperti percobaan fisiologi, farmakologi,

endokrinologi, biokimia, percobaan bedah eksperimental dan penelitian anestesi.

Ukuran tubuh domba yang besar dan memiliki bobot tubuh yang

menyerupai manusia, sangat cocok dan sesuai bila digunakan dalam aplikasi

penelitian sebagai hewan model untuk manusia (Wolfensohn & Lloyd 2000).

Menurut Pearce et al. (2007), domba memiliki kelebihan dibandingkan dengan

anjing. Secara makrostruktur tulang, domba dewasa memiliki dimensi tulang

panjang yang serupa dengan manusia bila dibandingkan dengan anjing. Oleh

karena itu domba sangat cocok dan sesuai bila digunakan sebagai hewan model

dalam percobaan implantasi material tulang untuk tujuan aplikasi pada manusia.

Darah

Darah diklasifikasikan sebagai jaringan konektif. Jaringan ini berupa

cairan yang mengalir ke seluruh tubuh melalui pembuluh pada sistem

kardiovaskular (Colville & Bassert 2008).

Total volume darah pada ruminansia berkisar antara 6 - 7% dari bobot

badan. Total volume darah pada hewan muda yang sedang tumbuh dapat melebihi

10% dari total bobot badan (Meyer & Harvey 2004).

Darah dibagi menjadi dua bagian, yaitu cairan dan padatan (sel). Bagian

cairan disebut plasma yang sebagian besar terdiri atas 91-94% air. Bagian padatan

mengandung sekitar 30-45% dari total kandungan (Lawhead & Baker 2005), yang

terbagi ke dalam tiga jenis, yaitu sel darah merah (eritrosit), sel darah putih

(leukosit) dan platelet (trombosit) (Gambar 2).

Menurut Colville dan Bassert (2008), darah memiliki tiga fungsi utama

dalam tubuh, diantaranya adalah sebagai sistem transportasi, sistem regulasi, dan

sistem pertahanan tubuh. Darah sebagai sistem transportasi berperan dalam

membawa oksigen, karbondioksida, zat nutrisi, hasil sisa metabolisme dan

hormon. Peranannya sebagai sistem regulasi adalah menjaga homeostasis dan

suhu tubuh, sedangkan dalam pertahanan tubuh berperan dalam melawan benda

asing.

Proses pembentukan darah secara umum disebut hematopoiesis. Sel darah

ini tidak abadi di dalam tubuh, suatu ketika akan mengalami kerusakan dan

6

kematian, sehingga harus digantikan dan diproduksi secara teratur. Oleh karena

itu hematopoiesis merupakan suatu proses yang berkelanjutan (Colville & Bassert

2008).

Colville dan Bassert (2008) mengatakan bahwa hematopoiesis pada fetus

terjadi di hati dan limpa, dan secara bertahap akan diproduksi di dalam sumsum

tulang. Sel darah diproduksi secara aktif di dalam sumsum tulang pada hewan

yang baru lahir. Sumsum tulang merah pada hewan dewasa ditemukan di tulang

panjang (tulang panggul, sternum dan iga) (Gambar 2).

Gambar 2 Lokasi pembentukan darah (sumsum tulang panjang)

dan komponen sel darah putih (Colville & Bassert 2008).

Sel Darah Putih (Leukosit)

Sel darah putih disebut juga leukosit. Sel ini dikategorikan sebagai

granulosit (neutrofil, eosinofil dan basofil) dan agranulosit (limfosit dan monosit).

Sel granulosit dikarakteristikkan dengan segmentasi atau lobulasi, memiliki

nukleus dan bergranul. Sedangkan agranulosit berupa sel mononuklear dan tidak

bergranul (McCurnin & Bassert 2006).

Pembentukan sel darah putih disebut leukopoiesis. Proses pembentukan ini

terjadi di sumsum tulang (Meyer & Harvey 2004) dan di jaringan limfe. Sel

granulosit dan monosit dibentuk di sumsum tulang, sedangkan sel limfosit

sebagian dibentuk di jaringan limfe (Guyton & Hall 2006). Saat awal proses

leukopoiesis, seluruh sel darah putih yang belum matang terlihat serupa, namun

Sumsum tulang

7

saat perkembangannya memperlihatkan karakter yang unik (Colville & Bassert

2008). Setelah selesai dibentuk, sel-sel ini akan diangkut dalam darah menuju ke

berbagai bagian tubuh yang membutuhkan (Guyton & Hall 2006).

Fungsi utama sel darah putih adalah mempertahankan tubuh dari benda

asing. Setiap tipe sel darah putih memiliki peran unik dalam sistem pertahanan

tersebut. Saat terjadi serangan benda asing, sel darah putih akan menuju jaringan.

Sel ini memanfaatkan darah perifer untuk mengantarkannya dari sumsum tulang

menuju ke lokasi (jaringan yang membutuhkan). Aliran sel darah putih secara

tetap berasal dari sumsum tulang dan masuk menuju jaringan sebagai usaha untuk

mengontrol serangan benda asing dalam tubuh setiap saat (Colville & Bassert

2008).

Menurut Lawhead dan Baker (2005), jumlah total dan tipe sel darah putih

dalam pemeriksaan hematologi dapat digunakan untuk membantu mendiagnosa

keadaan atau status infeksi pada hewan. Jumlah total sel darah putih lebih sedikit

dibandingkan dengan jumlah sel darah merah dan jumlah platelet. Jumlah total sel

darah putih berkisar antara (5 – 20) x 103 /µL pada mamalia (Meyer & Harvey

2004).

Limfosit

Limfosit biasanya berukuran kecil sampai sedang, merupakan sel

mononuklear dengan lingkaran tipis terang sampai gelap (McCurnin & Bassert

2006), sitoplasma berwarna jernih dan tidak bergranul (Gambar 3).

Gambar 3 Sel limfosit dalam preparat ulas darah.

(sumber: foto hasil penelitian. Perbesaran mikroskop 1000x)

16 µm

8

Limfosit diproduksi di berbagai jaringan limfoid, khususnya di kelenjar

limfe, limpa, timus, tonsil dan sebagian sumsum tulang (Guyton & Hall 2006).

Limfosit memiliki nukleus tunggal yang penting dalam fungsi kekebalan.

Limfosit memproduksi antibodi untuk membantu dalam melawan penyakit.

Limfosit dapat ditemukan di semua jaringan dan organ dalam melawan infeksi

(Lawhead & Baker 2005).

Limfosit memiliki sistem sirkulasi secara kontinu, bersama dengan aliran

limfe dari limfonodus dan jaringan limfoid lain. Setelah beberapa jam limfosit

keluar dari aliran darah dan kembali ke jaringan dengan cara diapedesis.

Selanjutnya memasuki pembuluh limfe dan kembali ke dalam sirkulasi darah,

demikian seterusnya, sehingga terjadi sirkulasi limfosit yang terus-menerus di

seluruh tubuh. Limfosit memiliki masa hidup berminggu-minggu atau berbulan-

bulan. Masa hidup ini bergantung pada kebutuhan tubuh terhadap sel-sel tersebut

(Guyton & Hall 2006).

Limfosit bersirkulasi secara berulang dari darah menuju jaringan, limfe

dan kembali ke dalam sirkulasi darah. Populasi limfosit terdiri atas sel T dan sel

B. Masa hidup sel bervariasi, tergantung pada klasifikasinya. Sel T secara umum

memiliki masa hidup yang panjang (100-200 hari), sedangkan sel B memiliki

masa hidup yang pendek (2-4 hari). Menurut Reece (2006), sel T dan sel B

memori memiliki masa hidup yang sangat panjang (dalam hitungan tahun).

Monosit

Monosit memiliki warna biru abu-abu, bersitoplasma dan bentuk nukleus

bervariasi. Nukleus dapat bergerombol, berbentuk oval, amuboid, atau lobulasi

(Gambar 4). Ukuran monosit biasanya lebih besar dibandingkan dengan limfosit

dan neutrofil, yaitu 14–20 µm (Brown 1980). Sitoplasma monosit biasanya lebih

gelap dibandingkan dengan neutrofil band (McCurnin & Bassert 2006).

Monosit dibentuk di dalam sumsum tulang dan bersirkulasi dalam darah

dengan singkat sebelum memasuki jaringan dan berubah menjadi makrofag

(McCurnin & Bassert 2006). Monosit bersirkulasi di dalam darah dan memiliki

masa hidup yang singkat, yaitu berkisar antara 10–20 jam sebelum menuju ke

dalam jaringan (Guyton & Hall 2006). Makrofag dapat berada di dalam jaringan

9

untuk beberapa bulan (Reece 2006) atau bahkan bertahun-tahun sampai sel ini

terpanggil untuk melakukan fungsi pertahanan lokal spesifik (Guyton & Hall

2006).

Gambar 4 Sel monosit dalam preparat ulas darah.

(Anonima Agustus 2010)

Monosit memiliki aktivitas dalam fagositosis mikroba, yaitu dengan

menghilangkan mikroorganisme, mematikan sel atau partikel asing (Lawhead &

Baker 2005). Makrofag memfagosit (memakan) partikel besar dan sel debris sisa

hasil aktivitas neutrofil (McCurnin & Bassert 2006).

Monosit dapat menghancurkan bakteri, virus, partikel asing dan sel debris

yang menyerbu masuk ke dalam tubuh. Monosit mempunyai kemampuan hebat

untuk memberantas agen-agen penyakit di dalam jaringan. Sel ini mampu

memfagosit bakteri sampai 100 bakteri dan mempunyai kemampuan untuk

menelan partikel yang ukurannya jauh lebih besar dari ukuran tubuhnya (Guyton

& Hall 2006).

Neutrofil

Neutrofil memiliki nukleus (inti sel) yang terlihat segmentasi atau terbagi

(Lawhead & Baker 2005) dan warna kromatin yang padat (Underwood 1992)

(Gambar 5A). Tipe ini merupakan neutrofil yang telah matang. Neutrofil yang

belum matang biasa disebut neutrofil band. Sel ini memiliki nukleus yang

berbentuk seperti huruf U (Lawhead & Baker 2005) (Gambar 5B). Sitoplasma

berwarna pink dan mengandung granul (Underwood 1992). Tingginya persentase

20 µm

10

sel band dalam darah menggambarkan aktivitas sel dalam melawan agen infeksi

(Lawhead & Baker 2005).

Gambar 5 Sel neutrofil dalam preparat ulas darah.

A) sel neutrofil segmen; B) sel neutrofil band.

(sumber: foto hasil penelitian. Perbesaran mikroskop 1000x)

Neutrofil memiliki kemampuan fagositik dan bakterisidal yang sangat

berperan dalam kondisi inflamasi (McCurnin & Bassert 2006). Peran neutrofil

yaitu dengan fagositosis (memakan dalam bentuk endositosis) dan

menghancurkan mikroorganisme. Jika tubuh mengalami infeksi, neutrofil akan

berpindah menuju jaringan yang terinfeksi. Sumsum tulang akan melepaskan

neutrofil band dalam jumlah besar sebagai cadangan dalam waktu beberapa jam.

Sumsum tulang akan mulai meningkatkan produksi neutrofil. Produksi neutrofil

yang tinggi memerlukan waktu tiga sampai empat hari sebelum ditransfer menuju

pembuluh darah. Sumsum tulang akan melepaskan sedikit neutrofil dewasa

kedalam darah (Lawhead & Baker 2005). Neutrofil berada di dalam darah sekitar

10 jam dan jumlah neutrofil bergantung pada banyaknya stimulus yang terjadi

(McCurnin & Bassert 2006).

Eosinofil

Eosinofil dikarakteristikkan oleh nukleus segmentasi atau lobulasi, tidak

berwarna, dengan sitoplasma biru pucat (McCurnin & Bassert 2006). Eosinofil

memiliki granul besar dan berwarna merah, inti sel berlobus, biasanya terdapat 2-

A B

15 µm 15 µm

11

3 lobus (Underwood 1992) (Gambar 6). Eosinofil terlihat serupa dengan neutrofil

yang juga memiliki nukleus segmented. Eosinofil juga memiliki ukuran yang

besar dan granul-granul pada sitoplasmanya. Eosinofil berperan dalam melawan

parasit dan juga reaksi alergi. Granul-granul yang terdapat dalam eosinofil

membantu mengontrol peradangan/inflamasi (Lawhead & Baker 2005). McCurnin

& Bassert (2006) memaparkan bahwa eosinofil membantu dalam mengontrol

alergi atau reaksi hipersensitivitas anafilaksis. Eosinofil menuju lokasi reaksi

akibat pelepasan suatu substansi dari sensitisasi sel mast.

Gambar 6 Sel eosinofil dalam preparat ulas darah.

(sumber: foto hasil penelitian. Perbesaran mikroskop 1000x)

Eosinofil berperan dalam merespon adanya reaksi alergi dan pertahanan

terhadap infeksi agen parasit (Underwood 1992) dan mengurangi inflamasi (Bush

1991). Eosinofil diproduksi dalam jumlah besar saat terjadi infeksi parasit.

Eosinofil bekerja dengan melekatkan diri pada parasit melalui permukaan molekul

dan melepaskan zat-zat yang dapat membunuh parasit. Eosinofil akan bermigrasi

ke daerah jaringan alergik yang meradang akibat pelepasan faktor kemotaktik

yang dilepaskan oleh sel mast dan basofil yang berperan dalam reaksi alergi.

Eosinofil diduga mampu mendetoksifikasi beberapa zat pencetus peradangan yang

dilepaskan oleh sel mast dan basofil, memfagositosis dan menghancurkan

kompleks alergen antibodi, sehingga mencegah penyebaran proses peradangan

setempat (Guyton & Hall 2006).

Basofil

15 µm

12

Basofil berwarna gelap dengan granul dan nukleus yang segmented

(lobulasi) (Lawhead & Baker 2005). Basofil memiliki granul basofilik gelap

(biru), tetapi juga sangat bervariasi pada tiap spesies (McCurnin & Bassert 2006)

(Gambar 7). Basofil serupa dengan eosinofil, keduanya termasuk sel yang

merespon terhadap reaksi alergi. Beberapa granul dalam basofil mengandung

histamin. Histamin menyebabkan peradangan pada lapisan saluran hidung dan

sistem pernafasan. Peradangan akan menimbulkan gejala bersin, hidung berair,

bahkan dapat menyebabkan demam (Lawhead & Baker 2005). Basofil relatif

jarang ditemukan dalam preparat ulas darah (McCurnin & Bassert 2006).

Gambar 7 Sel basofil dalam preparat ulas darah.

(Anonimb Agustus 2010).

Peradangan dan Persembuhan Luka

Cedera yang dialami oleh suatu jaringan dapat menyebabkan kerusakan

sel. Kerusakan sel akan melepaskan mediator yang menghasilkan akumulasi sel

polimorfik (neutrofil, eosinofil dan basofil) dan makrofag, serta faktor humoral

seperti antibodi menuju lokasi kerusakan. Proses ini disebut inflamasi yang

merupakan proses dalam persembuhan (Wolfensohn & Lloyd 2000).

Inflamasi merupakan respon pertahanan setempat yang ditimbulkan oleh

cedera atau kerusakan jaringan, yang berfungsi menghancurkan, mengurangi atau

menahan agen pencedera maupun jaringan yang cedera (Dorland 2002).

Wolfensohn dan Lloyd (2000) mengatakan bahwa proses inflamasi dapat

menunjukkan berbagai gambaran klinis sebagai tanda utama inflamasi, yang

meliputi:

1. Panas (kalor), lokasi tersebut akan panas saat disentuh,

15 µm

13

2. Kemerahan (rubor), kemerahan terjadi akibat dilatasi pembuluh darah,

3. Pembengkakan (tumor), infiltrasi sel dan cairan menyebabkan area tersebut

membengkak,

4. Sakit (dolor), stimuli mediator inflamasi pada syaraf menyebabkan sakit.

Beberapa analgesik bekerja dengan memblok pelepasan mediator inflamasi,

5. Functio laesa (kehilangan fungsi).

Setelah kerusakan sel, terjadi perubahan pada jaringan yang merupakan

hasil dari inflamasi dan persembuhan. Rangkaian kejadian tersebut terdiri atas

beberapa fase, diantaranya yaitu:

Fase Inflamasi

1) Hemoragi, perdarahan terjadi akibat kerusakan pembuluh darah dan kemudian

ditahan oleh platelet dan fibrin sehingga membentuk keropeng (Wolfensohn &

Lloyd 2000). McGavin dan Zachary (2007) memaparkan bahwa hemostasis

terjadi dengan segera setelah terjadi perlukaan (Gambar 8) kecuali terdapat

kelainan pada proses pembekuan darah. Hemostasis dikontrol melalui

vasoplasma, yang merupakan proses pengkerutan pembuluh darah dalam

merespon perlukaan. Selama awal periode vasokonstriksi, platelet berkumpul

dan melekat pada kolagen, terutama kolagen yang terdapat di dasar membran

sel epitel yang cedera. Sewaktu melekat, platelet mensekresikan bahan

vasokonstriktif untuk: 1) mempertahankan konstriksi pembuluh darah, 2)

menginisiasi proses trombogenesis untuk menyumbat kebocoran, dan 3)

menginisiasi perbaikan pembuluh darah (angiogenesis).

Secara garis besar, peradangan ditandai dengan vasodilatasi pembuluh darah

lokal yang mengakibatkan terjadinya akumulasi darah yang berlebihan,

kenaikan permeabilitas kapiler yang disertai kebocoran cairan dalam jumlah

besar ke dalam ruang interstitial, dan migrasi sejumlah besar granulosit dan

monosit ke dalam jaringan (Gambar 8A), sehingga terjadi pembengkakan sel

jaringan (Guyton & Hall 2006).

2) Inflamasi, menurut McGavin dan Zachary (2007), terjadi selama 24 jam

setelah perlukaan vascular. Fase inflamasi (inflamasi akut) pada perbaikan

jaringan terbentuk secara penuh dan akan berlanjut dalam 96 jam (± 4 hari)

atau lebih jika proses persembuhan tersebut mengalami infeksi, trauma atau

14

beberapa gangguan lainnya. Pada fase ini terlihat gejala inflamasi yang

meliputi kemerahan, kebengkakan, sakit dan kehilangan fungsi (functio laesa).

Sejumlah mediator dari sel yang rusak menyebabkan datangnya sel polimorfik

dan faktor humoral (Wolfensohn & Lloyd 2000). Menurut McGavin dan

Zachary (2007), neutrofil dan makrofag memfagosit dan mendegradasi enzim,

mengurangi dan membersihkan sel debris hasil jaringan yang rusak. Makrofag

mensekresikan berbagai faktor kemotaktik dan growth factor yang

mendukung fase proliferasi (granulasi) (Gambar 8B).

3) Pengerutan luka pertama, sel fibroblas setempat mengkerut untuk mengurangi

area luka.

Fase Proliferasi (Granulasi Jaringan)

1) Proliferasi Epitel

Fase ini terjadi selama 12-24 jam. Sel membelah dan bermigrasi menuju

permukaan luka.

2) Granulasi

Fibroblas dan kapiler di bawah epitel memulai proliferasi kurang lebih selama

36 jam (Wolfensohn & Lloyd 2000), dan dapat terjadi kurang lebih 4 hari

setelah perlukaan dan berlanjut hingga 3-4 minggu atau lebih bergantung

besarnya luka. Fase ini dikarakteristikkan dengan pembentukan endotelium

baru (angiogenesis), epitelium (epitelisasi) dan stroma jaringan konektif untuk

memulihkan struktur dan fungsi normal jaringan tersebut (McGavin &

Zachary 2007). Granulasi jaringan terbentuk sewaktu inflamasi berkurang dan

area tersebut akan dibersihkan dari sel nekrotik debris oleh makrofag

(Wolfensohn & Lloyd 2000).

Fase Maturasi (Remodelling)

Fase remodelling (maturasi, perubahan bentuk) terjadi kurang lebih 3-4

minggu setelah perlukaan jaringan terjadi, fase ini terjadi setelah didahului oleh

fase inflamasi dan proliferasi yang sempurna. Fase ini merupakan perubahan

granulasi jaringan dari jaringan konektif yang belum matang dan mengubahnya

menjadi jaringan konektif dewasa membentuk kolagen ekstraselular (Gambar 8C).

15

Remodelling akan berakhir dalam waktu 2 tahun atau lebih (McGavin & Zachary

2007).

Gambar 8 Proses perbaikan kerusakan jaringan (McGavin & Zachary 2007).

Tulang

Tulang terdiri atas bahan organik dan anorganik. Kurang lebih 20% tulang

terdiri atas air dan sisanya terdiri atas bahan anorganik berupa kalsium fosfat (65-

70%), matriks protein dan kolagen (30-35%). Bahan anorganik mengandung

komponen utama yaitu kalsium fosfat dan kalsium karbonat, dengan sedikit

magnesium, fluoride dan sodium (Kalfas 2001), fosfor, mangan, timah dan

tembaga (McGavin & Zachary 2007).

Sel tulang meliputi struktur yang menopang keutuhan tulang yang terdiri

atas osteoblas, osteosit dan osteoklas (McGavin & Zachary 2007). Osteoblas

merupakan sel yang berasal dari fibroblas (Dorland 2002). Sel ini banyak terdapat

di permukaan tulang (periosteal, endosteal, trabekular, intracortical) yang

memproduksi matriks tulang (osteoid), menginisiasi mineralisasi matriks (deposisi

hidroksiapatit). Osteosit merupakan sel yang terletak di dalam matriks tulang. Sel

ini mendeteksi adanya perubahan saat terjadi tekanan pada tulang dan perubahan

24 hours 3-7 days

Weeks

Fibrous union

Scab

Neutrophils

Clot

B A

C

Fibroblast

Mitoses

Granulation tissue

Macrophage

New capillary

16

bentuk struktur tulang. Sel osteosit menempati ruang yang kecil pada tulang yang

disebut lakuna yang memiliki hubungan dengan osteoblas dan osteosit lainnya

yang dihubungkan dengan kanalikuli. Osteoklas merupakan sel yang berasal dari

hematopoietik stem sel tipe granulosit monosit. Sel ini berupa sel multinuklear

yang berespon terhadap resorpsi tulang (McGavin & Zachary 2007). Osteoklas

menjadi sangat aktif dengan adanya hormon paratiroid yang menyebabkan terjadi

peningkatan resorpsi tulang dan pelepasan garam-garam tulang (fosfor dan

khususnya kalsium) ke dalam cairan ekstraseluler (Dorland 2002).

Mineral kristal dari hidroksiapatit merupakan hasil pengendapan di sekitar

serabut kolagen yaitu osteoid (Kalfas 2001). Osteoid menyerupai tulang,

merupakan matriks tulang atau tulang muda yang belum mengalami kalsifikasi

(Dorland 2002).

Persembuhan dan Perbaikan Fraktur Tulang

Persembuhan fraktur diawali dengan memperbaiki jaringan yang

dipengaruhi berbagai faktor lokal dan sistemik. Persembuhan terjadi pada tiga

tahap atau lebih, diantaranya adalah: 1) tahap inflamasi awal; 2) tahap perbaikan;

dan 3) tahap remodelling.

Saat berada dalam tahap inflamasi, terjadi hematoma di daerah sekitar

fraktur pada beberapa jam pertama hingga beberapa hari (Gambar 9). Sel

inflamatori (makrofag, monosit, limfosit dan sel polimorfonuklear) dan fibroblas

menginfiltrasi tulang dengan mediasi prostaglandin (Kalfas 2001). Saat terjadi

hematoma, faktor pertumbuhan melepaskan makrofag dan platelet dalam

pembekuan darah dan ploriferasi jaringan osteogenik. Faktor pertumbuhan

(protein tulang, Transforming growth factor-β/TGF-β dan platelet) merupakan

komponen penting dalam menstimulasi terjadinya proliferasi sel mesenkim dalam

perbaikan jaringan. Sel mesenkim yang memiliki kemampuan osteogenik, secara

aktif berproliferasi sehingga memulai terjadinya penetrasi hematoma dari perifer

dalam waktu 24-48 jam. Proliferasi sel mesenkim yang terjadi saat hematoma,

membuat jaringan kolagen merenggang atau terlepas. Proliferasi ini membentuk

kolagen dan vaskularisasi baru yang disebut ―granulasi jaringan‖ (McGavin &

Zachary 2007).

17

McGavin dan Zachary (2007) mengatakan bahwa kalus terbentuk pada 4-6

minggu setelah fraktur terjadi. Kalus merupakan gumpalan jalinan tulang tak

terorganisasi yang berkembang mengikuti pola bekuan fibrin yang terbentuk

sebelumnya dan akan digantikan oleh tulang dewasa yang keras (Dorland 2002).

Gambar 9 menunjukkan pembentukan kalus yang terjadi pada bagian eksternal

(dibentuk oleh periosteum) atau bagian dalam (dibentuk antara ujung fragmen dan

endosteum atau medullary cavity). Kalus pertama ini menghubungkan antar celah

dan mengelilingi daerah di sekitar fraktur. Pada suatu saat, jalinan antara fraktur

tersebut akan digantikan oleh tulang dewasa menjadi lebih kuat, yaitu dengan

terbentuknya lamella dewasa (sebagai kalus kedua). Bergantung pada kekuatan

mekanis, kalus pada akhirnya akan dikurangi (diresorpsi) oleh osteoklas sampai

terbentuk tulang normal. Kalus tersebut mengandung kartilago hialin. Jumlah

kartilago yang ada menggambarkan kecukupannya dalam suplai darah (McGavin

& Zachary 2007).

Gambar 9 Diagram skematik pembentukan kalus dan perbaikan fraktur.

(McGavin & Zachary 2007)

Proses penyempurnaan perbaikan tulang (bone remodelling) terjadi dalam

hitungan bulan hingga tahun (McGavin & Zachary 2007). Proses ini terjadi

melalui absorpsi jaringan tulang dan deposisi simultan tulang baru. Pada tulang

normal, kedua proses tersebut berada dalam keseimbangan yang dinamis (Dorland

2002).

18

Perbaikan fraktur bergantung oleh sejumlah faktor, seperti umur hewan,

banyaknya suplai darah menuju tulang, keberadaan agen infeksi dan adanya

kerusakan di sekitar jaringan. Persembuhan paling baik terjadi pada hewan muda

dan dengan suplai darah yang cukup (Frandson 1992).

Implantasi material (logam, plastik dan semen tulang) sering dipisahkan

dengan daerah di sekitar tulang oleh selaput tipis pada jaringan fibrous, kadang-

kadang dengan kartilago metaplastik yang merupakan bentuk dari respon trauma

operasi, pergerakan implan, atau korosi dari material implan. Permukaan material

implan dapat memicu pertumbuhan bakteri, dan campuran bakteri dengan cairan

akan membentuk sesuatu yang tahan terhadap antibiotika dan sel inflamatori.

Partikel mikroskopis debris dari fiksasi material implan akan mendatangkan

respon makrofag atau giant cell multinuclear. Sel inflamatori akan melepaskan

sitokin dan growth factor yang menghasilkan resorpsi tulang dan merusak

permukaan implan tulang, menyebabkan pelepasan dan kerusakan implan

(McGavin & Zachary 2007).

Material Implan Tulang

Biomaterial menurut Darwis (2008) adalah suatu material, baik alami

maupun buatan manusia (sintetis) yang digunakan untuk berkontak dengan sistem

biologi. Penggunaan biomaterial ini bertujuan untuk memperbaiki (repair),

memulihkan (restore) atau mengganti (replace) jaringan yang rusak atau sakit.

Beberapa contoh biomaterial alamiah yaitu autograft, allograft, kolagen

dan serat protein, sedangkan biomaterial sintetik atau sering disebut biomedical

material adalah keramik (Darwis 2008). Autograft menurut Kalfas (2001)

merupakan jenis graft yang ditransplantasikan dari bagian lain tubuh resipien

(individu itu sendiri). Dorland (2002) menyatakan bahwa autograft atau

autologous merupakan pencangkokan jaringan yang berasal dari tempat lain di

dalam atau pada bagian organisme itu sendiri. Menurut Kalfas (2008), allograft

ditransplantasikan dari gen nonidentik pada tubuh donor. Pencangkokan jaringan

pada jenis ini dilakukan di antara individu dari spesies yang sama tetapi berbeda

genotipe-nya (Dorland 2002).

19

Penggunaan material alamiah terkadang memiliki keterbatasan, antara lain

membutuhkan sayatan tambahan, dapat menyebarkan penyakit menular (Kalfas

2001), dan kemungkinan terdapatnya perbedaan karakter mineral pada tulang

(Stavropoulos 2008).

Biomaterial yang digunakan sebagai material implan tulang harus

memiliki struktur dan sifat yang mirip dengan tulang, sehingga dapat membantu

mempercepat proses persembuhan tulang (Guyton & Hall 2006). Idealnya bone

graft harus memiliki kemampuan: 1) osteoinduktif dan osteokonduktif; 2)

stabilitas biomekanik; 3) bebas penyakit; 4) memiliki faktor antigen minimal

(Kalfas 2001), 5) bioaktif, biodegradable, bioresorbable dan biocompatible

dengan tubuh (Lane et al. 1999), dan tidak bersifat toksik (Laurenchin & Yusuf

2009). Material tersebut biasanya berupa bahan keramik seperti hidroksiapatit

(HA) dan trikalsium fosfat (TKF) serta bahan polimer seperti kitosan.

Hidroksiapatit (HA)

Hidroksiapatit (HA) merupakan mineral alami dari senyawa apatit

kalsium fosfat yang berupa garam kristal dengan rumus Ca10(PO4)6(OH)2. HA

merupakan senyawa kalsium apatit yang paling stabil dibandingkan dengan

kalsium fosfat lainnya , yaitu oktakalsium fosfat (OKF), dikalsium fosfat dihidrat

(DKFD), dan trikalsium fosfat (TKF) (Saraswathy et al. 2001).

Biomaterial HA pada dasarnya digunakan sebagai bahan pengganti tulang

atau untuk melapisi implan prostetik yang akan ditumbuhkan ke dalam tulang,

untuk gigi, ortopedik dan praktik medis lainnya (Aoki 1991). Laporan lain

mengatakan bahwa HA banyak digunakan sebagai bahan pengganti dalam

cangkok tulang (Fujishiro et al. 2005).

HA memiliki sifat biocompatible, osteoconduction dan osteoinduction

(Shi 2004, Fujishiro et al. 2005). Biocompatible dalam hal ini memiliki arti

bahwa terjadi harmonisasi dengan sistem tubuh, tidak mempunyai efek toksik atau

mengganggu fungsi biologis (Dorland 2002). Osteoconduction adalah sifat fisik

yang dimiliki graft untuk menyediakan ruang dan sebagai perancah agar

persembuhan tulang dapat berjalan. Sifat ini memberikan ruang bagi pertumbuhan

vaskularisasi baru dan infiltrasi sel prekursor osteogenik ke dalam tulang (Kalfas

20

2001) sehingga mempercepat proses regenerasi tulang (Fujishiro et al. 2005).

Osteoconductive dapat ditemukan pada autograft dan allograft, demineralisasi

matriks tulang, hidroksiapatit, kolagen, dan kalsium fosfat. Osteoinduction berarti

kemampuan material graft untuk menginduksi stem sel menjadi sel tulang

dewasa. Proses ini berhubungan dengan kehadiran faktor pertumbuhan tulang

dengan material graft atau suplemen bone graft. Protein morfogenik tulang dan

demineralisasi matriks tulang merupakan prinsip osteoconductive material (Kalfas

2001).

Sifat lain yang dimiliki HA yaitu biodegradable dan incorporation

(Sunil et al. 2008). Biodegradable berarti material tersebut mudah mengalami

dekomposisi melalui proses biologi normal (Dorland 2002). Hal ini berarti bahwa

material HA dapat terdegradasi dengan sendirinya.

Guyton dan Hall (2006) menjelaskan HA dan fosfat merupakan garam

kristal yang terdapat pada struktur matriks organik tulang dan gigi, sehingga

penggabungan antara HA dengan fosfat dapat memberikan persembuhan tulang

dengan baik karena HA memiliki sifat fisis, kimia, mekanis dan biologis yang

mirip dengan struktur tulang. Struktur HA relatif stabil, memiliki sifat

biokompatibilitas yang baik sehingga cepat bergabung dengan jaringan tulang

(Ratajska et al. 2008). Struktur HA adalah berpori, terserap ulang (resorpsi), tidak

korosi, inert, tahan aus dan bioaktif (Putri 2008). Bioaktif berarti mampu

berkontak dengan sistem jaringan dan mampu bereaksi dengan jaringan (Purnama

2006). Akan tetapi kelemahan sifat-sifat pada HA adalah getas dan mudah patah

(Putri 2008).

HA memiliki sifat yang stabil, namun kemampuan penyerapannya kecil.

Maka untuk menyeimbangkan sifat stabil ini ditambahkan trikalsium fosfat (TKF)

yang memiliki daya penyerapan yang lebih tinggi. HA dan TKF merupakan bahan

sintetis yang memiliki umur simpan panjang, menyebabkan reaksi inflamasi yang

minimal, memiliki resiko penularan agen dan reaksi imonologi yang rendah

(Brown 2002). Saat diimplantasikan ke hewan atau manusia, HA tidak

menimbulkan respon tubuh terhadap benda asing (Aprilia 2008). Ratajska et al.

(2008) melaporkan bahwa HA tidak menginduksi respon penolakan imun.

21

Nurlaela (2009) melaporkan bahwa senyawa kalsium fosfat HA dapat

dibuat dengan melakukan presipitasi larutan pada suhu 37ºC dengan

menggunakan prekursor CaO untuk kalsium dan prekursor KH2PO4 untuk fosfat.

CaO sendiri dihasilkan melalui kalsinasi dari cangkang telur ayam maupun bebek

pada suhu 1000 ºC selama 5 jam (untuk cangkang telur ayam) dan 900 ºC selama

3-5 jam (untuk cangkang telur bebek). Kedua prekursor ini, yaitu CaO dan

KH2PO4 akan bereaksi membentuk HA dengan persamaan reaksi:

10CaO + 6KH2PO4 + 2KOH → Ca10(PO4)6(OH)2 + 8KOH + 2H2O.

Tri Kalsium Fosfat (TKF)

Trikalsium fosfat (TKF) adalah senyawa dengan rumus Ca3(PO4)2.

Senyawa ini dikenal sebagai tribasic calsium phosphate atau "abu tulang". TKF

dapat berbentuk kristal alfa dan beta. Kristal alfa biasanya dibentuk dengan

temperatur tinggi. Kristal β-TKF dalam bentuk granul halus dapat diserap

sempurna, sedangkan dalam bentuk blok hanya diserap sebagian (Schwartz et al.

2004).

Senyawa ini banyak ditemukan pada kerangka tulang maupun gigi hewan

vertebrata. Senyawa ini di alam tidak sepenuhnya murni. Sebagian besar

mengandung kadar fosfat 30% - 40%. Kandungan senyawa ini sering digunakan

sebagai pengganti untuk memperbaiki kerusakan jaringan tulang (Anonim1 2009).

Menurut Aoki (1991), TKF sejenis dengan kalsium fosfat dengan rasio

Ca/P 1.50. TKF memiliki sifat biodegradable, terutama β-TKF (Cai et al. 2009),

memiliki tingkat kerapuhan yang tinggi (Viswanath et al. 2008) dan cepat diserap

(Bohner 2000). Sifat ini menunjukkan bahwa material tersebut mampu

didegradasi oleh tubuh. TKF bersifat osteoconductive (Laurenchin & Yusuf

2009). Kemampuan ini memungkinkan terjadinya vaskularisasi baru dan infiltrasi

sel-sel prekursor osteogenik ke dalam celah atau pori-pori bone graft (Kalfas

2001).

Jika dibandingkan dengan HA, TKF lebih bersifat bioresorbable (mudah

diserap) tetapi kurang bersifat osteoinductive. Hal ini menunjukkan bahwa TKF

tidak mampu menginduksi stem sel menjadi sel tulang dewasa, sehingga

diperlukan waktu yang lebih lama untuk menyelesaikan proses pembentukan

22

jaringan tulang yang baru (Zerwek et al. 1992). Trikalsium fosfat memiliki

kemampuan biodegradation dan incorporation yang lebih baik ketika

digabungkan dengan HA (Sunil et al. 2008).

TKF dapat digunakan sebagai senyawa tunggal ataupun dikombinasikan

dengan senyawa lain yang biodegradable, polimer resorbable seperti asam

polyglycolic. TKF dapat juga digabungkan dengan bahan autologus untuk

kepentingan cangkok tulang (Anonim1 2009).

Penggabungan antara HA dan TKF dalam pembuatan biomaterial untuk

aplikasi biomedis sangat menguntungkan karena dapat meningkatkan kekuatan

mekaniknya (Viswanath et al. 2008). HA-TKF yang merupakan senyawa apatit

alami dalam tulang (Saraswaty et al. 2009) memungkinkan bahan tersebut dapat

diterima oleh tubuh. Senyawa ini tidak menimbulkan inflamasi, respon imunologi

dan respon iritasi terhadap jaringan (Murugan & Ramakrishna 2004)

Kitosan

Kitosan adalah polisakarida linear yang terdiri dari β-(1-4)-D-glukosamin

dan N-asetil-D-glukosamin (asetat). Kitosan diproduksi dari deasetilasi kitin yang

merupakan struktur elemen dalam eksoskeleton krustasea (kepiting, udang)

(Anonim2). Kitosan banyak dijumpai di alam dan memiliki kemampuan

osteoconduction serta biocompatibility yang baik dalam jaringan (Hua et al.

2005).

Keutamaan kitosan adalah bersifat biodegradable dan biocompatible

(Maachou et al. 2008). Saraswaty et al. (2001) menambahkan bahwa kitosan juga

memiliki biodegradabilitas, fleksibilitas dan ketahanan terhadap panas yang tinggi

karena ikatan intramolekul hidrogen yang terbentuk antara gugus hidroksil dan

amino.

Penelitian dengan implan yang dilapisi kitosan menunjukkan hasil yang

terjadi granulasi dan kapsulasi pada jaringan di sekitar implan akibat material

implan yang tidak stabil (Turck et al. 2007), sehingga biasanya digabungkan

dengan senyawa kalsium fosfat seperti HA (Feng Zhao et al. 2002) yang memiliki

sifat senyawa yang stabil (Saraswathy et al. 2001). Polimer kitosan sebagian besar

digunakan sebagai campuran untuk perekat dalam penggunaannya dengan HA.

23

Kombinasi HA-Kitosan baik untuk memproduksi scaffold (perancah, tempat

bertaut/bergantungan) (Ratajaska et al. 2008). Idealnya campuran tersebut harus

memiliki porositas tinggi, ruang yang besar (berpori), untuk memberi ruang yang

cukup bagi perkembangan jaringan dan vaskularisasi baru. Penggabungan ini

berbentuk pelet berpori sehingga menyediakan jejaring untuk migrasi sel yang

memungkinkan terjadinya pertumbuhan jaringan (Feng Zhao et al. 2002).

Kitosan dapat meningkatkan rasio persembuhan luka, mendukung

pertumbuhan sel dan memberikan hasil yang baik dalam aplikasi pada bidang

rekayasa jaringan. Kitosan juga menunjukkan sifat bakteriostatik dan fungistatik

yang mencegah infeksi (Aprilia 2008).

Penelitian yang dilakukan Nurlaela (2009) menunjukkan bahwa

pembuatan senyawa gabungan HA-Kitosan dapat dilakukan dengan presipitasi

secara ex situ, yaitu dengan melarutkan serbuk kitosan ke dalam asam asetat 3%

sehingga didapatkan larutan kitosan 2%. Penggabungan dengan senyawa HA

dilakukan dengan meneteskan larutan kitosan pada hasil presipitasi senyawa

kalsium fosfat.