dinamika gerakan petani : kemunculan dan

107
DINAMIKA GERAKAN PETANI : KEMUNCULAN DAN KELANGSUNGANNYA (DESA BANJARANYAR KECAMATAN BANJARSARI KABUPATEN CIAMIS) MOCHAMMAD FAJRIN I34061767 DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2011

Upload: lenguyet

Post on 12-Jan-2017

256 views

Category:

Documents


11 download

TRANSCRIPT

Page 1: DINAMIKA GERAKAN PETANI : KEMUNCULAN DAN

DINAMIKA GERAKAN PETANI :

KEMUNCULAN DAN KELANGSUNGANNYA

(DESA BANJARANYAR KECAMATAN BANJARSARI KABUPATEN CIAMIS)

MOCHAMMAD FAJRIN

I34061767

DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT

FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

2011

Page 2: DINAMIKA GERAKAN PETANI : KEMUNCULAN DAN

RINGKASAN

MOCHAMMAD FAJRIN. DINAMIKA GERAKAN PETANI,

KEMUNCULAN DAN KELANGSUNGANNYA. Desa Banjaranyar,

Kecamatan Banjarsari, Kabupaten Ciamis, Provinsi Jawa Barat (Di bawah

Bimbingan Satyawan Sunito)

Gerakan petani merupakan suatu bentuk perlawanan yang sengaja

dilakukan oleh sekelompok petani yang terorganisir untuk menciptakan terjadinya

perubahan dalam pola interaksi atau keadilan untuk petani di dalam masyarakat.

Gerakan tersebut mempunyai ciri-ciri seperti halnya gerakan sosial yaitu i)

memiliki pengorganisasian internal yang rapi, ii) berlangsung lebih lama, iii)

gerakan sengaja bertujuan melakukan reorganisasi kehidupan masyarakat internal

maupun eksternal.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui : i) latar belakang dan proses

perebutan tanah di Desa Banjaranyar. ii) apa makna tanah bagi petani

Banjaranyar, berkaitan dengan kemuculan gerakan petani (pra-reclaiming). iii)

perkembangan gerakan petani Banjaranyar, beserta hubungan gerakan petani

dengan berbagai kekuatan sosial baik di dalam dan si luar desa. Penelitian ini

merupakan sebuah penelitian kualitatif. Penelitian kualitatif merupakan suatu

metode berganda dalam fokus, yang melibatkan suatu pendekatan interpretatif dan

wajar terhadap setiap pokok permasalahannya. Penelitian ini menggunakan

metode observasi partisipasi (participant observation) di lapangan. Metode

observasi partisipasi merupakan sebuah teknik pengumpulan data yang

mengharuskan peneliti melibatkan diri dalam kehidupan masyarakat yang diteliti.

Peneliti harus dapat memahami gejala-gejala yang ada, sesuai dengan maknanya

dengan yang diberikan atau dipahami oleh warga masyarakat yang sedang diteliti,

termasuk dalam pengertian metode ini adalah wawancara dan mendengarkan serta

memahami apa yang didengarnya.

Desa Banjaranyar berdiri di atas tanah eks-perkebunan Agris NV. Warga

mulai menggarap tanah perkebunan semenjak periode awal kemerdekaan. Pada

tahun 1982, penggarapan yang dilakukan warga terusik oleh kedatangan PT RSI.

Page 3: DINAMIKA GERAKAN PETANI : KEMUNCULAN DAN

PT RSI merupakan anak perusahaan PT Bukit Jonggol Asri, pemilik hak kelola

atas lahan eks-perkebunan Agris NV. Hak pengelolaan tersebut kemudian beralih

melalui aksi tukar guling lahan antara PT RSI dengan pihak Perhutani pada tahun

1996. Kuatnya institusi Negara dan Pemerintah Orde baru yang cenderung

represif membuat gerakan perlawanan petani tidak lahir pada saat itu. Tahun

1998, Petani Banjaranyar mulai mengorganisir diri dan melakukan pemotongan

pohon jati Perhutani. Hal tersebut dilakukan sebagai bentuk perlawanan atas

kehadiran Perhutani di atas tanah eks-perkebunan. Kejatuhan rezim Orde Baru

menciptakan momentum yang memudahkan lahirnya gerakan petani Banjaranyar.

Gerakan petani Banjaranyar dapat dilihat sebagai aksi perlawanan petani

terhadap perampasan tanah oleh kapital swasta yang didukung negara melalui

pemberian hak kelola tanah (HGU). Masuknya kapital swasta ke dalam komunitas

petani Banjaranyar, dalam bentuk perampasan tanah, menyebabkan kehidupan

petani semakin terpuruk dan menghadapi krisis subsistensi hingga kebatas

toleransi. Walaupun begitu, lahirnya gerakan petani Banjaranyar tidak hanya

didasarkan pada adanya faktor krisis subsitensi di tingkat petani, termasuk

rasionalitas petani, tetapi juga karena terbukanya kesempatan akibat adanya

reformasi 1998 di Indonesia.

Gerakan petani Banjaranyar yang kemudian bergabung dengan Serikat

Petani Pasundan (SPP), telah merubah gerakan petani Banjaranyar baik itu dari

segi organisasi gerakan, strategi gerakan, dan kepemimpinan gerakan. Semula

gerakan petani Banjaranyar lebih bersifat ke dalam, dengan persatuan sebagai

strategi utamanya. Setelah bergabung dengan SPP, gerakan petani Banjaranyar,

menjadi lebih terbuka dengan berbagai kekuatan sosial lain, baik di dalam ataupun

di luar desa. Hingga tahun 2010, terdapat beberapa kelembagaan di Desa

Banjaranyar, yang dapat dikatakan sebagai hasil dari hubungan tersebut, seperti

koperasi kredit, organisasi wanita dan leyit.

Page 4: DINAMIKA GERAKAN PETANI : KEMUNCULAN DAN

DINAMIKA GERAKAN PETANI :

KEMUNCULAN DAN KELANGSUNGANNYA

(DESA BANJARANYAR KECAMATAN BANJARSARI KABUPATEN CIAMIS)

Oleh

Mochammad Fajrin

I34061767

SKRIPSI

Sebagai Syarat Untuk Mendapatkan Gelar

Sarjana Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat

pada

Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor

DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT

FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

2011

Page 5: DINAMIKA GERAKAN PETANI : KEMUNCULAN DAN

DEPARTEMEN KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT

FAKUTAS EKOLOGI MANUSIA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

Dengan ini menyetakan bahwa Skripsi yang disusun oleh :

NAMA MAHASISWA : Mochammad Fajrin

NRP : I34061767

PROGRAM STUDI : Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat

JUDUL : Dinamika Gerakan Petani, Kemunculan dan Kelangsungannya (Desa Banjaranyar, Kecamatan Banjarsari, Kabupaten Ciamis)

Dapat diterima sebagai syarat kelulusan untuk memperoleh gelar Sarjana Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat pada Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor.

Menyetujui,

Dosen Pembimbing

Dr. Satyawan Sunito

NIP. 19520326 199103 1 001

Mengetahui,

Ketua Departemen

Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat

Dr. Ir. Soeryo Adiwibowo, MS

NIP. 19550630 198103 1 003

Tanggal Lulus : ______________

Page 6: DINAMIKA GERAKAN PETANI : KEMUNCULAN DAN

LEMBAR PERNYATAAN

DENGAN INI SAYA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI YANG

BERJUDUL “DINAMIKA GERAKAN PETANI, KEMUNCULAN DAN

KELANGSUNGANNYA (DESA BANJARANYAR, KECAMATAN

BANJARSARI, KABUPATEN CIAMIS, JAWA BARAT)” BELUM PERNAH

DIAJUKAN SEBAGAI KARYA ILMIAH PADA PERGURUAN TINGGI

LAIN ATAU LEMBAGA LAIN MANAPUN UNTUK TUJUAN MEMPEROLEH

GELAR AKADEMIK TERTENTU. SAYA JUGA MENYATAKAN BAHWA

SKRIPSI INI BENAR – BENAR HASIL KARYA SAYA SENDIRI DAN TIDAK

MENGANDUNG BAHAN – BAHAN YANG PERNAH DITULIS ATAU

DITERBITKAN OLEH PIHAK LAIN KECUALI SEBAGAI BAHAN RUJUKAN

YANG DINYATAKAN DALAM NASKAH.

Bogor, Mei 2011

Mochammad Fajrin

Page 7: DINAMIKA GERAKAN PETANI : KEMUNCULAN DAN

RIWAYAT HIDUP

Mochammad Fajrin (penulis) lahir di Jakarta, 2 Desember 1988. Penulis

merupakan anak tunggal dari pasangan M. Yamin dan Elly Z.

Penulis memulai jenjang pendidikan dengan memasuki Taman Kanak – Kanak

(TK) Putra Setia pada tahun 1992 – 1994. Setelah itu, penulis menyelesaikan Sekolah

Dasar (SD) di SD Perguruan Cikini, Jakarta pada tahun 1994 – 2000, Sekolah

Menengah Pertama (SMP) di SMPN 1, Jakarta pada tahun 2000-2003, dan Sekolah

Menengah Umum (SMU) di SMUN 68, Jakarta pada tahun 2003- 2006. Setelah lulus

dari jenjang SMU penulis melanjutkan studi di Intitut Pertanian Bogor pada tahun 2006

melalui jalur SPMB. Pada tahun kedua di IPB penulis memilih melanjutkan studi pada

jurusan Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia,

Intitut Pertanian Bogor.

Semenjak memasuki jenjang pendidikan tinggi di Institut Pertanian Bogor,

terdapat berbagai kegiatan dan organisasi yang pernah dikuti oleh penulis. Pada tahun

kedua, penulis aktif di Himpunan Mahasiswa Peminat Ilmu Komunikasi dan

Pengambangan Masyarakat (HIMASIERA) dan masuk menjadi salah satu staf di divisi

fotografi dan cinematografi. Pada periode selanjutnya, penulis dipercaya sebagai ketua

HIMASIERA untuk periode 2008-2009. Bersama kawan – kawan dari fakultas lain,

penulis mendirikan organisasi perfilman dalam kampus yaitu Agriculture Filmmaker

Community (AFC) dan dipercaya sebagai ketua pelaksana dalam program kerja

pemutaran film lingkungan di tiga fakultas, yaitu Fakultas Kehutanan, Fakultas

Teknologi Pertanian, dan Fakultas Perikanan. Beberapa waktu setelahnya, penulis aktif

menjadi volunteer di FORCI – Dev, Fakultas Kehutanan IPB. Saat ini penulis aktif

menjadi editor lepas di penerbitan dan percetakan Firdaus, Jakarta.

Page 8: DINAMIKA GERAKAN PETANI : KEMUNCULAN DAN

KATA PENGANTAR

Puji dan Syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas rahmat dan

berkahnya, sehingga dapat menyelesaikan skripsi ini. Penulisan skripsi ini ditujukan

untuk memenuhi syarat mendapatkan gelar Sarjana Komunikasi dan Pengembangan

Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor. Adapun judul dari

skripsi ini ialah Dinamika Gerakan Petani, Kemunculan dan Kelangsungannya (Desa

Banjaranyar, Kecamatan Banjarasari, Kabupaten Ciamis, Jawa Barat).

Skripsi ini bertujuan untuk mengetahui perihal apa dan bagaimana gerakan

petani di Desa Banjaranyar, khususnya yang berkaitan dengan kemunculan dan

kelangsungan gerakan petani. Meskipun sungguh disadari oleh penulis, penelitian kali

ini boleh jadi tidak berarti apa – apa di dalam perkembangan studi – studi meengenai

gerakan petani di Indonesia, tetapi besar harapan penulis, bahwa penulisan skripsi ini

dapat menambah pengetahuan diri dan orang – orang di sekitar penulis prihal

permasalahan gerakan petani.

Bogor, Mei 2011

Mochammad Fajrin

Page 9: DINAMIKA GERAKAN PETANI : KEMUNCULAN DAN

UCAPAN TERIMAKASIH

Puji Syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT karena dengan rahmat dan

izin-Nya penulis dapat menyelesaikan Skripsi yang berjudul “Dinamika Gerakan Petani,

Kemunculan dan Kelangsungannya”. Penulis sangat bersyukur karena penyusunan

Skripsi ini dapat rampung tempat pada waktunya dan sesuai dengan yang direncanakan.

Penulis menyadari bahwa Skripsi ini dapat terselesaikan dengan baik karena

dukungan dan bantuan dari berbagai pihak. Maka dari itu pada kesempatan ini penulis

ingin mengucapkan terima kasih kepada :

1. Dosen Pembimbing Skripsi, Dr. Satyawan Sunito yang telah membimbing dengan

penuh kesabaran, memberi saran dan kritik yang membangun, serta motivasi

sehingga Skripsi ini dapat terselesaikan.

2. Kepada orang tua penulis M. Yamin dan Elly Z. yang telah menyayangi, memberi

dukungan dengan berbagai cara, serta dengan sabar menunggu penulis karena jarang

singgah ke rumah.

3. Kepada sahabat saya Ahsana Riska, yang dengan sabar mau menjadi teman saya

berbagi pemikiran, memberikan semangat, dan segala bantuan yang saya tidak

mampu untuk menyebutkannya satu persatu.

4. Kepada Yusup Napiri Maguantara (Mas Yusup), Agus Budi Wibowo (Mas

Bagong), Ari Mulyono (Mas Ari), karena telah dengan sangat baik mau

meminjamkan buku yang sangat banyak, memberi nasihat dan kritik yang sangat

berguna, ilmu – ilmu hidup yang sangat beragam, dan dengan sangat sabar mau

mendengarkan argumen - argumen dari penulis.

5. Kepada teman – teman di Serikat Petani Pasundan (SPP), Kang Arif, Kang

Agustiana, Kang Jek, Ibu Wati, Bapak Oman, Bung Hermawan , yang dengan

sangat baik mau memberikan tumpangan tempat tinggal, asupan makanan yang enak

– enak, dan segala macam informasi yang resmi ataupun tidak.

6. Kepada teman – teman kontrakan dan tetangga, Raditya M. Rachman, Hafid Faris

Hakim, Anom Kalbuadi, yang dengan sabar mau menjadi teman satu lingkungan

tinggal dengan saya. Dan tidak lupa kepada Bapak Mayor dan keluarga, tetangga

sebelah rumah, karena sudah memberi inspirasi dengan gaya ketentaraannya.

Page 10: DINAMIKA GERAKAN PETANI : KEMUNCULAN DAN

7. Kepada teman – teman penulis di Jurusan Komunikasi dan Pengembangan

Masyarakat, Tya, Irena, Dea, Cecep, Azis, Untung, Irfan, Risman, Lintang, Ina.

Kebersamaan dan segala kenangan yang begitu banyak dan sangat berharga sungguh

sangat berbekas pada diri saya.

8. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu yang telah membantu

menyelesaikan Skripsi ini

Akhirnya penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun. Semoga

Skripsi ini dapat bermanfaat bagi semua pihak.

Bogor, Mei 2 011

Penulis

Page 11: DINAMIKA GERAKAN PETANI : KEMUNCULAN DAN

i  

DAFTAR ISI

DAFTAR ISI………………………………..…………………........................

DAFTAR TABEL..............................................................................................

DAFTAR GAMBAR.........................................................................................

i

iii

iv

BAB I PENDAHULUAN…………….……………………………………….. 1

1.1. Latar Belakang…………………………………...........……………. 1

1.2. Perumusan Masalah..………………......……………………..…….. 4

1.3. Tujuan Penelitian..…………………….……...………………..…… 5

BAB II TINJAUAN TEORITIS.………...……………………………………. 6

2.1. Tinjauan Pustaka................................................................................ 6

2.1.1. Petani dan Tanah.......................................………................... 6

2.1.1.1 Makna Tanah Bagi Petani............................................ 7

2.1.2. Sumber Radikalisasi Petani..................................................... 9

2.1.3. Pengorganisasian Petani.......................................................... 13

2.1.3.1 Organisasi Gerakan...................................................... 16

2.1.3.2. Kepemimpinan............................................................ 19

2.1.4. Gerakan Petani............................................................ 22

2.1.4.1. Gerakan Petani di Indonesia....................................... 24

2.2. Kerangka Pemikiran.......................................................................... 28

2.3. Definisi Konseptual.......................................................................... 29

BAB III PENDEKATAN LAPANG................................................................. 32

3.1. Jenis Penelitian…….....…………….....………………………....... 32

3.2. Unit Analisis.............................................………………………… 33

3.3. Teknis Pengumpulan Data.............………………………............... 34

3.4. Taknis Analisis Data..................................………………………… 35

3.5. Sistimatika Penulisan.................................………………................ 35

Page 12: DINAMIKA GERAKAN PETANI : KEMUNCULAN DAN

ii  

BAB IV LATAR BELAKANG KEMUNCULAN GERAKAN PETANI....... 37

4.1. Desa Banjaranyar….....…………...…………………………........ 37

4.2. Sejarah tanah Perkebunan di Desa Banjaranyar.......…………….... 40

4.2.1. Pembukaan Perkebunan Kopi....………………………....... 40

4.2.2. Perkebunan Agris NV.......................……………………… 42

4.2.3. Periode Pasca Kemerdekaan................………………….....

4.2.4. Era Orde Baru........................................................................

4.3. Pengorganisiran Petani Banjaranyar dan Aksi Perebutan Tanah......

4.3.1. Pertemuan Dengan Agustiana.................................................

4.4. Makna Tanah Bagi Petani Banjaranyar.............................................

BAB V GERAKAN PETANI BANJARANYAR............................................

5.1. Organisasi Gerakan............................................................................

5.2 Strategi Gerakan................................................................................

5.3. Kepemimpinan..................................................................................

BAB VI KELANGSUNGAN GERAKAN PETANI BANJARANYAR.........

6.1. Redistribusi Tanah.............................................................................

6.2 Sistem Kebun....................................................................................

6.3. Organisasi Wanita.............................................................................

6.4. Koperasi............................................................................................

6.5. Lumbung (leyit).................................................................................

6.6. “Aku” Anggota SPP..........................................................................

BAB VII PENUTUP..........................................................................................

7.1. Implikasi Teoritis...............................................................................

7.2. Kesimpulan........................................................................................

DAFTAR PUSTAKA.........................................................................................

47

49

50

54

55

58

58

62

67

71

71

72

75

76

78

80

83

83

88

91

Page 13: DINAMIKA GERAKAN PETANI : KEMUNCULAN DAN

iii  

DAFTAR TABEL

Nomor Teks Halaman

Tabel 1. Stakeholder Pada Kasus Petani Desa Banjaranyar, Tahun 2010.

Tabel 2. Jumlah Kepala Keluarga Petani menurut Luas Lahan yang Dimiliki,

Desa Banjaranyar, Tahun 2005.........................................................

Tabel 3. Jumlah Produksi Kopi Hindia Belanda Dalam pikul, Perkebunan

Pemerintah dan Swasta Tahun 1895 – 1909......................................

33

38

45

Page 14: DINAMIKA GERAKAN PETANI : KEMUNCULAN DAN

iv  

DAFTAR GAMBAR

Nomor Teks Halaman

Gambar 1. Kerangka Pemikiran....…..………………………………….......

Gambar 2. Peta Desa Banjaranyar, Kecamatan Banjarsari.............................

Gambar 3. Produksi Kopi Priyangan, Batavia, dan Sekitarnya, Tahun 1796

– 1810...........................................................................................

Gambar 4. Struktur Organisasi Serikat Petani Pasundan (SPP).......................

Gambar 5. Struktur Organisasi Koperasi Kredit..............................................

29

39

42

60

77

Page 15: DINAMIKA GERAKAN PETANI : KEMUNCULAN DAN

1  

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Sejarah adalah kuburan, begitu kata Vilfredo Pareto (Wiradi,1984), tetapi

tanpa sejarah,“apakah mungkin kita berada disini” ? Dalam sejarah panjang

Indonesia, semenjak masa kolonial hingga saat ini, dapat dilihat bagaimana petani

selalu mewarnai dinamika sejarah bangsa. Diterbitkannya undang – undang

agraria (Agrarische Wet) pada tahun 1870 oleh pemerintah kolonial menjadi

tonggak penting bagi sejarah petani di Indonesia. Dengan adanya undang –

undang tersebut, pemerintah kolonial dapat memberikan keleluasaan kepada

pengusaha swasta asing untuk dapat menyewa tanah dalam waktu yang panjang

dan dengan harga yang murah.

Semenjak saat itu, aliran modal swasta asing deras mengalir membanjiri

Indonesia. Perkebunan – perkebunan swasta besar mulai bermunculan di

Sumatera dan Jawa. Hal ini memberi dampak yang signifikan bagi kehidupan

petani. Karena tidak sedikit dari tanah – tanah perkebunan tersebut, pada mulanya

merupakan tanah garapan milik petani. Pada gilirannya, kebijakan tersebut

menjadi salah satu pemicu munculnya aksi – aksi perlawanan petani. Seperti yang

dituliskan Kuntowijoyo dan Kartodirdjo bahwa, radikalisasi petani pada era

kolonial terjadi karena pengambilan tanah oleh Pemerintah Kolonial untuk

kepentingan aktivitas usaha perkebunan. (Kartodirdjo, 1984; Kuntowijoyo, 1997).

Ketimpangan struktur kepemilikan dan penguasaan tanah yang ada pada

masa kolonial menjadi salah satu pemicu dikeluarkan kebijakan penataan agraria

pada masa orde lama (1945 – 1965). Selama pemerintahan Soekarno, rakyat mulai

merasakan adanya kebebasan (Fauzi, 1999). Hal ini ditandai dengan terbukanya

ruang yang cukup lapang bagi petani untuk membentuk organisasi ditingkat akar

rumput sehingga partisipasi politik ormas petani terbuka luas. Dikeluarkannya

Undang – Undang Pokok Agraria (UUPA 1960) sebagai salah satu kebijakan

pemerintah Soekarno, diakui secara legal sebagai landasan hukum pertanahan

yang sah. Meskipun pada tahap pelaksanaannya pelaksanaan UU tersebut

Page 16: DINAMIKA GERAKAN PETANI : KEMUNCULAN DAN

2  

terhambat baik karena masalah administratif, korupsi, maupun oposisi dari tuan

tanah.

Arah kebijakan agraria berubah pada masa pemerintahan Presiden

Soeharto, rezim ini mempunyai asumsi yang berbeda dalam melihat pembangunan

(Fauzi, 1999). Pada era Orde Baru (1965 – 1998) persoalan land Reform dijadikan

hanya sebatas pada masalah teknis birokrasi dan juga menghapus semua

legitimasi ormas petani dalam program land reform. Dikeluarkannya Undang -

Undang No. 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa yang menghapus proses

politik partisipatif orang desa dan perlibatan militer dalam pengawasan

pembangunan desa. Pada prakteknya hal ini memotong massa desa dengan partai

politik, sehingga kegiatan politik pada tingkatan desa hanya pada saat pemilu

semata. Nasib petani di Pedesaan semakin terpuruk ketika ideologi

developmentalism menjadi pilihan paradigma pembangunan rezim Orde Baru

yang pada kenyataannya sangat problematik bagi petani dengan ditopang investasi

modal asing secara besar – besaran melalui industrialisasi, yang dalam

operasionalsilasinya sangat memerlukan ketersediaan tanah (Fauzi, 2001).

Adanya pemberian hak pengelolaan kawasan oleh pemerintah kepada

pihak swasta atupun Badan Usaha Milik Negara (BUMN), yang marak pada masa

Orde Baru, merupakan bentuk konversi dari hak erfpacht yang ada pada massa

kolonial. Sejalan dengan itu, Mustain (2007) menyatakan bahwa pengelolaan

HGU tersebut dalam praktiknya sering terjadi penyimpangan peruntukan,

penguasaan, dan pengasingan terhadap masyarakat sehingga memicu manifestasi

konflik.

Kejatuhan pemerintahan Orde Baru menciptakan ketidakstabilan di bidang

politik dan ekonomi, baik itu pada tingkat pusat atupun daerah. Sudah menjadi ciri

rezim otoriter modern bahwa ketika pusat tidak dapat bertahan, maka segalanya

akan berantakan dengan begitu cepat. (Simon Philpott, 2003). Krisis ekonomi

pada pertengahan tahun 1997 mendesak lahirnya gagasan reformasi. Reformasi

membuka ruang yang lebih besar bagi rakyat dalam menyuarakan aspirasinya,

terutama dengan dukungan dari banyaknya organisasi non pemerintah yang

memang pesat juga perkembangannya diseluruh dunia pada awal tahun 1990-an

Page 17: DINAMIKA GERAKAN PETANI : KEMUNCULAN DAN

3  

(Hulme dan Edward, dalam Pinky, 2007). Semangat reformasi tidak hanya

dirasakan oleh mahasiwa dan berbagai elemen masyarakat yang melakukan aksi

turun ke jalan di kota – kota besar, tetapi juga dirasakan pada masyarakat di

tingkat akar rumput. Salah satu bentuknya, mengejawantah dalam aksi perebutan

tanah yang dilakukan oleh masyarakat atas tanah – tanah yang pernah menjadi

tanah garapan penduduk, seperti pada kasus wonosobo, kasus Tapos, dan kasus

Desa Keprasan Gunung Kelud.

Kasus perebutan tanah yang ada di Desa Banjaranyar, gerakan yang ada

mulai terorganisir pada tahun 1998. Hal ini ditandai dengan adanya pendataan

jumlah kepala keluarga desa, pembuatan peta daerah reclaim, dan pembentukan

organisasi gerakan pada tingkat lokal desa1. Apabila kita sejajarkan dengan

periode waktu pembagian gerakan petani di Indonesia. Gerakan yang ada di Desa

Banjaranyar bersamaan dengan terjadinya reformasi pada tahun 1998, yang

ditandai dengan turunnya Presiden Soeharto dari tampuk kepmimpinan.

Tanah yang ada di Desa Banjaranyar merupakan tanah milik negara yang

dikelola oleh PT RSI. PT RSI sendiri merupakan sebuah perusahaan perkebunan

swasta yang dimiliki Bambang Trihatmojo, putra dari Soeharto, Presiden kedua

Republik Indonesia. PT RSI mendapatkan Hak Guna Usaha (HGU) dari

pemerintah atas tanah seluas 750 hektar.

Adanya gerakan yang terorganisir di dalam Desa Banjaranyar pada tahun

1998 dapat dilihat sebagai salah satu gejala sosiologis, dimana tersedianya sebuah

kondisi kondusif di dalam masyarakat yang memungkinkan terjadinya suatu aksi

perlawanan petani. Karena, sebuah aksi perlawanan petani tidak mungkin terjadi

pada kondisi yang tidak mendukung (Wolf, 1969). Mengapa dan bagaimana

perlawanan petani yang di Desa Banjaranyar, hal tersebutlah yang mendasari

dilakukannya penelitian kali ini.

Pertanyaan perihal “mengapa dan bagaimana aksi perlawanan petani

secara terbuka dapat terjadi hingga saat ini” dapat diperjelas dengan

menurunkannya menjadi sebuah pertanyaan besar yaitu “mengapa dan bagaimana                                                             1 Komunikasi pribadi penulis dengan salah satu tokoh masyarakat Desa Bangun Karya, pada Studi pendahuluan yang dilaksanakan pada bulan Februari 2010.

Page 18: DINAMIKA GERAKAN PETANI : KEMUNCULAN DAN

4  

petani di Desa Banjaranyar dapat merebut dan mempertahankan tanah”. Apabila

dilihat dari sisi prosesnya dapatlah dipilah menjadi dua bagian, terjadinya

“kemunculan” dari aksi perebutan tanah dan “keberlanjutan” dari aksi perlawanan

tersebut.

Proses kemunculan dari gerakan ini dapat menunjukan dua hal secara

sekaligus, yaitu penyebab atau asal usul (kajian historis) terjadinya aksi perebutan

tanah oleh petani dan kondisi masyarakat secara keseluruhan. Proses

keberlanjutan dari gerakan sebagai aksi petani untuk mempertahankan tanah,

dapat menunjukan perkembangan gerakan petani berserta kaitaannya dengan

berbagai kekuatan sosial lain baik di dalam atau di luar desa.

1.2 Perumusan Masalah

Seperti yang telah dipaparkan diawal, penelitian kali ini mengkaji

kemunculan dan kelangsungan gerakan petani di Desa Banjaranyar, Kecamatan

Banjarsari, Kabupaten Ciamis.

Secara lebih spesifik dapat diuraikan menjadi beberapa pertanyaan analitis,

yaitu:

1. Bagaimana latar belakang dan proses perebutan tanah yang dilakukan

oleh petani di Desa Banjaranyar ?

2. Berkaitan dengan kemunculan (pra – reclaiming) gerakan petani, apa

makna tanah bagi petani di Desa Banjaranyar ?

3. Pertanyaan perihal kelangsungan (faktor – fakor internal dan eksternal)

gerakan petani dalam rangka mempertahankan tanah :

• Bagaimaana perkembangan gerakan petani di Desa

Banjaranyar pasca terjadinya aksi perebutan tanah ?

• Bagaimana hubungan gerakan petani Banjaranyar dengan

berbagai kekuatan sosial baik itu di dalam ataupun di luar desa

Banjaranyar ?

Page 19: DINAMIKA GERAKAN PETANI : KEMUNCULAN DAN

5  

1.3 Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui : i) latar belakang dan proses

perebutan tanah di Desa Banjaranyar. ii) apa makna tanah bagi petani

Banjaranyar, berkaitan dengan kemuculan gerakan petani (pra-reclaiming). iii)

perkembangan gerakan petani Banjaranyar, beserta hubungan gerakan petani

dengan berbagai kekuatan sosial baik di dalam dan si luar desa.

Page 20: DINAMIKA GERAKAN PETANI : KEMUNCULAN DAN

6  

BAB II

PENDEKATAN TEORITIS

2.1 Tinjauan Pustaka

2.1.1 Petani dan Tanah

Moore (1966), mencirikan petani sebagai kelompok yang berbeda dengan

kelompok masyarakat yang lain, dengan melihat posisinya sebagai golongan yang

tersubordinasi serta mempunyai budaya yang tersendiri. Sejalan dengan hal

tersebut Shanin (1971) dalam tulisan yang berjudul Peasantry as a Political

Factor, mendefinisikan petani sebagai produsen pertanian skala kecil yang

menggunakan peralatan yang sederhana dan mengerjakan lahan dengan tenaga

kerja keluarga, dimana hasil produksi sebagian besar digunakan untuk konsumsi

pribadi dan untuk memenuhi kewajiban mereka kepada pemegang kekuatan

politik dan kekuatan ekonomi.

Shanin (1966) berpendapat bahwa, apabila komoditas atau hasil produksi

pertanian dapat dipertemukan dengan pemenuhan kebutuhan dasar dari rumah

tangga petani akan mencipkan kemerdekaan relatif pada diri petani terhadap

produsen pertanian lain dan pasar. Hal tersebut akan berujung pada terciptanya

stabilitas relatif dalam rumah tangga petani, yang apabila terjadi krisis, mereka

dapat mempertahankan keberadaannya dengan cara meningkatakan usaha kerja,

menekan konsumsi mereka sendiri, ataupun mengatur kembali hubungan mereka

dengan pasar.

Di dalam konteks reforma agraria, tanah menempati posisi yang teramat

penting. Meskipun apabila kita merujuk pada Undang Undang Pokok Agraria,

kata agraria tidak semata – mata dalam artian tanah semata tetapi juga air, udara,

dan ruang angkasa serta segala sesuatu yang terkandung di dalamnya. Kata tanah

mendapatkan penekanan lebih karena dianggap menaungi kesemua hal tersebut.

Redistribusi tanah atau membagi kembali tanah kepada masyarakat

bukanlah reforma agraria. Redistribusi tanah merupakan salah satu jalan yang

dapat ditempuh dalam rangka menjalankan program reforma agraria. Istilah

reforma agraria sendiri merupakan upaya penataan atau perombakan penguasaan

sumberdaya agraria yang adil dan menyeluruh. Reforma agraria tidak hanya

Page 21: DINAMIKA GERAKAN PETANI : KEMUNCULAN DAN

7  

sebatas redistribusi tanah melainkan juga perombakan tatanan sosial ekonomi

politik yang lebih luas (Wiradi, 2000). Pandangan ini menempatkan reforma

agraria dalam konteks perubahan struktur mendasar dan perubahan institusi

(aturan, nilai, dan norma), sehingga reforma agraria seharusnya tidak sepotong –

sepotong dan hanya berwujud pembagian tanah tetapi merupakan perombakan

besar pada struktur sosial ekonomi politik yang terkait dengan tanah pada

kehidupan petani.

Semangat reforma agraria di Indonesia dipercaya merujuk pada paham neo

– populis yang dipopulerkan oleh A.V. Chayanov (Chrysantini, 2005). Neo –

populis melihat bahwa satuan ekonomi rumah tangga merupakan bentuk ekonomi

yang efisien. Oleh karena itu setiap rumah tangga petani wajib menguasai tanah

meskipun kecil. Raforma agraria di Indonesia yang tercermin dalam Undang

Undang Pokok Agraria memiliki semangat untuk memperkuat fondasi ekonomi di

level masyarakat desa, dengan penekanan pada kepemilikan tanah.

Petani memiliki peran vital dalam perkembangan sejarah dunia, khususnya

Indonesia. Apabila kita telisik jauh kebelakang, dalam sejarah masyarakat

Indonesia, terutama dalam sejarah Jawa Abad XIX, pemberontakan petani yang

oleh penjajah dianggap sebagai wabah atau penyakit sosial merupakan bukti

bahwa petani memiliki peran penting dan posisi politik yang diperhitungkan

dalam perkembangan sejarah Indonesia (Sadikin, 2005).

2.1.1.1 Makna Tanah Bagi Petani

Bagi petani tanah tidak hanya sebagai komoditas ekonomi, tetapi juga

bermakna sosial dan keamanan. Secara ekonomi tanah merupakan tempat sumber

makanan, tempat mencari penghidupan, sebagai tempat melakukan aktivitas

produktif, meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan keluarga petani. Secara

sosial tanah berarti eksistensi diri, sebagai tempat untuk menemukan dirinya

secara utuh, bahkan tanah merupakan simbol status sosial di dalam masyarakat.

Di dalam makna keamanan, tanah akan membawa rasa aman tertentu bagi petani

jika sesuatu terjadi pada diri mereka, yang berarti tanah membawa efek psikologis

bagi petani.

Page 22: DINAMIKA GERAKAN PETANI : KEMUNCULAN DAN

8  

Tanah menempati kedudukan strategis dalam kehidupan petani, karena

tanah merupakan modal utama, disanalah tempat atau pangkal dari budaya petani

itu sendiri. Ketika kemudian tanah dapat dimiliki dan diwariskan oleh para petani,

tanah memiliki nilai yang begitu besar. Didalam beberapa kebudayaan, tanah

bahkan dipandang sebagai sikep (istri) kedua (Bahri, 1999).

Bahri (1999) menyatakan, jika menempatkan penekanan pada gerakan

petani dan hubungannya dengan tanah, maka dengan sendirinya akan

memperlihatkan cara – cara pemaknaan petani terhadap tanah. Makna tanah bagi

petani akan tergambar dalam nilai – nilai yang mereka anut atau percayai. Di

dalam kasus gerakan petani yang ada pada era 1980an, memperlihatkan bahwa

petani memberikan makna yang bersifat ideologis terhadap tanah. Petani

mempertahankan tanah bukan hanya karena nilai komoditasnya, tetapi merupakan

akumulasi dari nilai – nilai ideologis yang membentuknya. Petani tanpa tanah

serasa bukan menjadi petani lagi, tanah merupakan warisan dari leluhur yang

harus dijaga keberadaannya (nilai sakral), tanah secara utuh merupakan gambaran

eksistensi dari si petani itu sendiri.

Pemaknaan petani terhadap tanah juga dapat dilihat dari pola kehidupan

(livelihood) dari petani itu sendiri. Thennakoon (2002) dalam sebuah tulisan yang

berjudul Rural Livelihood Strategi and Five Capital : A Comparative Study in

Selected Villages in Sri Langka, menyatakan bahwa di dalam segala aktivitas yang

dilakukan petani di pedesaan seperti bercocok tanam, perburuhan, penjualan kayu,

pertambangan, penyimpanan hasil produksi pertanian dan perdagangan

kesemuanya berkaitan erat dengan tanah. Tanah merupakan bagian penting bagi

petani. Karena tanah merupakan penopang kehidupan petani. Berkurang atau

direbutnya tanah yang dimiliki petani akan membuat mereka tidak dapat

memenuhi kebutuhan subsistensinya. Kalau tanah sulit untuk didapatkan atau

tidak cukup maka salah satu jalan yang ditempuh adalah berkerja semakin keras

atau mengintensifikasikan produksi pertanian.

Sehingga dapatlah dikatakan bahwa tanah bagi petani, seperti halnya

tenaga kerja (Labor), merupakan biaya tetap (fixed cost) yang menjadi aset mutlak

agar petani bisa memenuhi kebutuhan subsistensi keluarganya (Chrysantini,

2005). Di dalam pandangan neo – populis, ukuran luas tanah minimal yang dapat

Page 23: DINAMIKA GERAKAN PETANI : KEMUNCULAN DAN

9  

dimiliki petani amat dipengaruhi oleh jumlah anggota keluarga. Hal inilah yang

kemudian disebut sebagai labor – consumer balance yaitu petani bertindak

sebagai produsen sekaligus sebagai konsumen, memperhitungkan efisiensi

pemilikan atau penguasaan tanah sesuai dengan kebutuhan hidup minimum

berdasarkan jumlah anggota keluarganya (Kitching, 1982).

Petani tidak dapat ditempatkan pada pilihan yang dikotomis di dalam

pemaknaan mereka terhadap tanah. Tanah bagi petani memiliki makna yang

multidimensional. Pertama, dari sisi ekonomi tanah merupakan sarana produksi

yang dapat mendatangkan kesejahteraan. Kedua, secara sosial tanah dapat

menetukan posisi seseorang dalam pengambilan keputusan masyarakat. Ketiga,

sebagai budaya dapat menentukan tinggi rendahnya status sosial pemiliknya.

Keempat, tanah bermakna sakral karena berurusan dengan warisan dan masalah –

masalah transendental (Handayani, 2004)

2.1.2 Sumber Radikalisasi Petani

Awal abad ke-20, bermunculan kajian gerakan sosial di Indonesia yang

lebih menonjolkan pada gagasan atau simbol gerakan mesianik, seperti mitos akan

datangnya Ratu Adil atau juru selamat. Dalam tulisan Drewes, seperti yang

dikutip oleh Bahri (1999), gerakan sosial di Jawa banyak diawali oleh para ulama

yang pada mulanya hanya menyebarkan agama Islam tetapi pada kemudian

berkembang menjadi gerakan perlawanan rakyat terhadap pemeritah kolonial.

Ajaran – ajaran yang mereka kembangkan, harapan – harapan mesianik dan

eskatologi menjadi motivasi utama dalam gerakan perlawanan. Para ulama yang

berperan sebagai motor penggerak petani banyak menanamkan harapan – harapan

akan datangnya sang juru selamat atau Ratu Adil. Hal senada juga dapat kita lihat

pada perlawanan yang dilakukan oleh masyarakat Samin di Jawa Tengah.

Studi yang ada pada awal abad 20 banyak membahas latar belakang dan

nilai – nilai yang dianut oleh para pelaku pemberontakan, motivasi – motivasi

subyektif menjadi aspek utama yang dikaji. Dilain pihak latar belakang sosial

ekonomi dan politik yang berkembang pada saat itu, serta pada lapisan mana

ajaran tersebut tumbuh subur tidak terlalu dibahas. Dengan kata lain aspek

sosiologis dari gerakan tersebut tidak terlalu dimunculkan (Bahri, 1999).

Page 24: DINAMIKA GERAKAN PETANI : KEMUNCULAN DAN

10  

Studi yang dilakukan oleh Scott (1974 dan 1989) dan Popkin (1976), di

pedesaan Asia, mengenai maraknya gerakan perlawanan petani pada masa

kolonial, memperlihatkan terdapatnya empat faktor utama penyebab kemarahan

kaum tani, yaitu perubahan struktur Agraria, meningkatnya eksploitasi,

kemerosotan status sosial, dan desprivasi relatif.

Perubahan struktur agraria di pedesaan Asia, khususnya Jawa, dipengaruhi

adanya sistem kolonialisme. Melalui kolonialisme, desa – desa di Asia terintegrasi

dengan sistem kapitalis dunia. Penduduk desa di Asia pada massa pra-kapitalis

merupakan sebuah unit rumah tangga yang bertumpu pada tingkat subsisten.

Eksploitasi kolonial ditambah dengan tekanan demografi yang semakin

meningkat, mengakibatkan rusaknya pola – pola yang sudah ada, serta

mengkhianati sendi - sendi moral ekonomi petani yang didasarkan pada etika

subsistensi (Scott, 1976).

Kartodirjo (1991) berpendapat bahwa terdapat dua transformasi penting di

era kolonial. Pertama, pengalihan secara besar – besaran disektor pertanian, dari

yang semula merupakan pertanian subsistem menjadi pertanian yang berorientasi

ekspor. Kedua, dibentuknya negara modern yang ditopang oleh birokrasi dan

militer untuk mengontrol wilayah jajahan. Salah satu bentuk transformasi tersebut

mengejawantah dalam bentuk perkebunan – perkebunan besar. Pengenalan sistem

pertanian modern dalam bentuk perkebunan berimplikasi pada meningkatnya

kebutuhan atas tanah dan tenaga kerja. Penguasaan tanah semakin terlepas dari

tangan penduduk, mereka yang tidak memiliki tanah beralih menjadi penggarap

buruh tani upahan dan buruh perkebunan.

Kolonialisme dan masuknya ekonomi uang berangsur – angsur telah

menghapus jaminan sosial yang ada pada masa pra-kapitalis. Transformasi agraria

yang terjadi telah menghilangkan jaring pengaman sosial keluarga – keluarga

petani miskin dari bencana kelaparan. Kedermawanan sosial yang semula ada

pada masa bagi hasil, kini tidak lagi berlaku umum. Pemerintah kolonial sama

sekali tidak memberikan perlindungan kepada para petani miskin terhadap

fluktuasi pasar (Kartodirjo, 1984).

Hal yang menarik justru terlihat dalam karakteristik petani itu sendiri.

Keadaan yang sudah sedemikian buruk ternyata belum cukup untuk membuat

Page 25: DINAMIKA GERAKAN PETANI : KEMUNCULAN DAN

11  

petani berontak untuk melawan. Sifat evolusi petani yang amat sangat terbiasa

hidup dalam kesusahan membuat mereka sudah tertempa untuk dapat

mempergunakan berbagai cara untuk mempertahankan tingkat subsistensi mereka.

Bentuk dari adaptasi petani dalam menghadapi keadaan di sekelilingnya dapat

dilakukan dengan berbagai cara, seperti intensifikasi kerja, migrasi jangka pendek,

mengurangi konsumsi atau mengubah pola konsumsi, dan memecah keluarga

besar menjadi keluarga – keluar kecil untuk mengurangi beban mulut yang

ditanggung (Shanin, 1966).

Aksi perlawanan petani baru dapat terjadi apabila terjadi kemerosotan

ekonomi secara mengejutkan, dimana hal tersebut dibarengi dengan peningkatan

eksploitasi yang dilakukan oleh negara atau tuan tanah. Ekploitasi yang dilakukan

secara berkelanjutan dengan kualitas yang terus meningkat, menimpa banyak

petani, dan hampir terjadi diseluruh wilayah, serta dapat mengancam jaring

pengaman sosial mereka atas sumber – sumber subsistensial, maka besar sekali

kemungkinan eksploitasi tersebut mencetuskan sebuah aksi perlawanan.

Scott (1976) mencoba menjelaskan bahwa lingkup dan sifat dari kejutan –

kejutan eksploitasi memiliki arti penting. Besarnya lingkup kejutan atas

eksploitasi dapat menjadi suatu alasan kolektif petani dalam jumlah besar untuk

bertindak. Terlebih lagi, apabila kejadian tersebut datang secara tiba – tiba

sehingga petani sulit untuk melakukan adaptasi dalam menghadapi beban

tambahan dan tingkat subsistensinya.

Pemberontakan yang terjadi di pedesaan Jawa sebagian besar disebabkan

karena pengambilalihan tanah dalam jumlah yang sangat banyak untuk digunakan

usaha – usaha perkebunan. Ketika dunia dilanda depresi besar pada tahun 1930-an

yang juga amat berdampak pada struktur perekonomian kolonial, terjadi ratusan

pemberontakan petani dalam rangka menentang pungutan pajak yang dilakukan

oleh negara (Kuntowijoyo, 1993).

Noer Fauzi (1999) berpendapat bahwa, pada massa pemerintahan Orde

Baru terdapat sejumlah penyebab yang dikemudian hari dapat menjadi pemicu

terjadinya gerakan petani. Pertama, pemerintah mewajibkan petani

mempergunakan unsur-unsur revolusi hijau demi tercapai dan terjaganya

swasembada beras. Isu yang terkait dengan hal ini seperti: i) pihak petani ingin

Page 26: DINAMIKA GERAKAN PETANI : KEMUNCULAN DAN

12  

mempertahankan penggunaan bibit dan pengelolaan padi secara tradisional, ii)

kesempatan kerja yang menyempit karena penggunaan traktor dan mekanisme

tebasan, iii) harga pupuk dan pestisida yang naik tidak sebanding dengan kenaikan

harga gabah, iv) Kredit Usaha Tani (KUT) yang tidak mampu terbayarkan, v)

praktek Koperasi Unit Desa (KUD).

Kedua, perkebunan-perkebunan mengambil alih tanah-tanah yang

sebelumnya dikuasai oleh rakyat. Isu yang terkait seperti: i) penolakan petani atas

pencerabutan hubungannya dengan tanah, ii) ganti rugi tanah yang tidak memadai,

iii) proletarisasi petani, karena hilangnya hubungan dengan tanah, iv) pemukiman

kembali (resetlement), petani yang tergusur sama sekali dari tanahnya. Variasi

konflik agraria ini, adalah konflik perkebunan dengan petani dalam hubungan

intiplasma dalam program Perusahaan Inti Rakyat-Perkebunan (PIR-Bun). Isu

yang muncul antara lain: i) pengambilan tanah-tanah produktif rakyat petani untuk

PIR - Bun, ii) tercerabutnya rakyat petani dari tanahnya sendiri, menjadi ‘buruh di

tanah sendiri’, iii) langkanya penyuluhan dari pihak perkebunan inti, sehingga

tidak terjadi transfer of technology, iv) rendahnya produktivitas lahan yang

dikelola oleh plasma, v) monopoli pemasaran hasil-hasil komoditi oleh pihak inti,

vi) penentuan harga komoditi yang lebih rendah dari harga pasar, vi) proses kredit

yang tidak diketahui oleh petani plasma dan jumlah hutang yang tidak bisa

terbayarkan, dan vii) korupsi hak petani plasma, baik oleh oknum inti maupun

pihak perantara lainnya.

Ketiga, terdapat sejumlah kasus di mana pemerintah melakukan

pengambilalihan (penggusuran) tanah yang mengatasnamakan “program

pembangunan”, baik oleh pemerintah sendiri maupun swasta. Isu yang terkait

seperti: i) penolakan penduduk untuk menyerahkan tanah garapannya, ii) ganti

rugi yang tidak layak, dan iii) pemukiman kembali penduduk (resetlement) yang

tidak memadai.

Keempat, konflik akibat eksploitasi hutan. Isu yang muncul adalah: i)

penolakan petani untuk keluar dari tanah yang diklaim, ii) kehancuran sumber

daya subsistensi masyarakat adat, iii) penyediaan sumber ekonomi dan

pemukiman alternatif yang memadai, serta iv) kemunduran kualitas ekologis di

tingkat lokal hingga global.

Page 27: DINAMIKA GERAKAN PETANI : KEMUNCULAN DAN

13  

2.1.3 Pengorganisasian Petani

Petani pada dasarnya tidak mempunyai keinginan untuk melakukan

perlawanan kecuali ada tekanan atau krisis yang sangat menekan mereka dan

adanya pihak luar yang mendorong mereka untuk melakukan hal tersebut (Wolf,

1969). Pandangan perihal ketidakmampuan petani dalam mengoraganisir diri

sendiri diperkuat oleh Marx (1850) dalam Peasantry as a Class, bahwa petani

tidak dapat memperjuangkan kepentingan kelas mereka atas nama mereka sendiri.

Mereka tidak mampu merepresentasikan diri mereka kedalam sebuah kelas,

mereka harus diwakilkan. Perwakilan tersebut, pada saat yang bersamaan haruslah

bertindak sebagai pemimpin, pembuat peraturan, dan kekuatan institusional yang

dapat melindungi mereka dari tekanan kelas lain.

Scott (1976) mengemukakan bahwa terdapat beberapa faktor yang perlu

diperhatikan dalam melihat keberhasilan dan kegagalan dalam sebuah gerakan

atau mobilisasi petani. Pertama, kondisi – kondisi yang mendorong timbulnya

pergerakan, kedua, faktor kepemimpinan, dan ketiga, startegi yang digunakan.

Tekanan struktural, kultural, hingga kondisi subsistensi petani yang sudah

melampaui batas toleransi, menurut Scott (1976), hal ini sudah cukup untuk

menjadi pemicu bagi petani untuk melampiaskan kemarahannya terhadap tatanan

sosial yang ada. Petani dianggap selalu bertindak atas nama kelompok, baik dalam

berproduksi, berpolitik, maupun melakukan perlawanan. Petani cenderung

memandang bahwa, petani miskin tidak bisa keluar dari strukturnya atau petani

tidak memilliki taktik dalam melakukan perlawanan.

Gerakan – gerakan perlawanan petani, pada bentuk sederhana seringkali

berpusat pada mitos tentang suatu tatanan sosial yang lebih adil dan merata

ketimbang dengan tatanan sosial yang sekarang bersifat hirarkis. Lahirnya suatu

mitos bersama tentang keadilan yang transedental sering dapat menggerakan

kaum tani untuk melakukan gerakan sosial. Mitos – mitos seperti ini

mempersatuakan kaum tani hingga mampu membentuk koalisi – koalisi petani,

meskipun tidak stabil, sangat rentan, dan hanya dipersatukan untuk sementara

waktu oleh suatu impian milenial (Wolf, 1966).

Wolf (1969) juga menyatakan bahwa petani kelas menengahlah yang

menempati posisi penting dalam mendukung gerakan revolusi petani. Petani kelas

Page 28: DINAMIKA GERAKAN PETANI : KEMUNCULAN DAN

14  

menengah paling mudah terkena dampak penyitaan tanah, fluktuasi pasar,

tingginya tingkat bunga, dan perubahan – perubahan lain yang diakibatkan pasar

dunia. Akibatnya, petani kelas menengah selain lebih mudah menerima gerakan

revolusioner yang menjanjikan restorasi politik dan stabilitas ekonomi, juga

mempunyai basis ekonomi yang independen dan sumberdaya politik taktis yang

tidak dimiliki oleh petani miskin dan buruh tani untuk mendukung suatu gerakan

revolusioner.

Scott (1981), berpendapat bahwa kehidupan petani ditandai oleh hubungan

moral sehingga malahirkan moral ekonomi yang lebih mengutamakan

“keselamatan” dan menjauhkan diri dari bahaya. Moralitas mendahulukan

keselamatan inilah yang kemudian menjadi faktor kunci pendekatan moral

ekonomi petani dalam menjelaskan pengorganisiran petani.

Konsep lain yang dipergunakan Scott (1976) dalam menjelaskan

pengorganisiran petani adalah struktur sosial yang terdapat pada masyarakat pra-

kapitalis. Struktur sosial yang terdapat pada masyarakat ini secara horizontal

ditandai oleh homogenitas yang tinggi dan secara vertical ditandai oleh struktur

yang berbentuk krucut. Pada struktur sosial yang berbentuk kerucut, posisi puncak

strata sosial diduduki kaum elite yang berjumlah sedikit, struktur bawah diduduki

para petani penggarap dan buruh tani dengan jumlah yang banyak. Dalam struktur

masyarakat seperti ini faktor kepemimpinan memegang peran penting dalam

pengorganisiran petani.

Pendekatan moral petani, pada dasarnya berasumsi bahwa gerakan

perlawanan petani semata – mata didasari oleh moralitas tradisional yang

berorientasi ke masa lalu dan masa kini saja, sehingga ketika terjadi perubahan

yang tidak sesuai atau dirasakan akan mengancam kelangsungan kehidupan yang

telah mereka miliki, para petani kemudian mengandalkan perlawanan terbuka.

Pendekatan moral ini mendapatkan kritikan oleh Popkin (1979) yang

mengatakan bahwa petani sesungguhnya tidak terlalu mementingkan kelompok

dan mampu melakukan perlawanan atas dasar kepentingan pribadi di atas

kepentingan umum. Pengorganisiran atau mobilisasi petani memerlukan lebih dari

sekedar konsensus atau intensitas kebutuhan, dan harus ada kepentingan pribadi,

sehingga sebuah perjuangan tidak ditunggangi oleh free rider (pemboncengan).

Page 29: DINAMIKA GERAKAN PETANI : KEMUNCULAN DAN

15  

Petani dipandang sebagai manusia – manusia rasional, kreatif dan juga ingin

menjadi kaya. Namun pada kenyataannya, petani tidak mempunyai kesempatan

sehingga tidak dapat menjual hasil pertaniannya sendiri ke pasar.

Dalam kasus petani di Vietnam, keberhasilan pengorganisiran petani

ditingkat desa, menitikberatkan pada keberhasilan penyelesaian atas masalah –

masalah lokal. Pertama – tama mereka memberikan bantuan bagi proyek – proyek

atau aktivitas yang beresiko dan berskala kecil, dimana keuntungan datang dengan

cepat dan bersifat kongkrit. Kemudian mereka mengembangkan diri dengan

mengorganisir petani pada proyek – proyek yang lebih menantang (spekulatif) dan

berskala lebih besar yang dapat memberikan keuntungan abstrak jangka panjang

(Popkin, 1979).

Popkin (1986) menyatakan bahwa, semua perlawanan petani tidaklah

dimaksudkan untuk menentang program negara (Kasus Revolusi Hijau), tetapi

lebih dimaksudkan untuk menentang kekuasaan para elite desa (Petani Kaya),

yang selama ini mengklaim mewakili komunitas tradisional, padahal lebih

bertujuan untuk mempertahankan tatanan yang lebih menguntungkan mereka.

Terdapat tiga hal penting yang dapat kita garis bawahi pada penelitian

yang dilakukan oleh Popkin (1986), antara lain : i) gerakan yang dilakukan para

petani adalah gerakan anti-feodal, bukan gerakan untuk mengembalikan tradisi

lama (restorasi), tetapi untuk membangun tradisi baru; bukan untuk

menghancurkan ekonomi pasar tetapi untuk mengontrol kapitalisme. ii) tidak ada

kaitan yang signifikan antara ancaman terhadap subsitensi dan tindakan kolektif.

iii) kalkulasi keterlibatan dalam gerakan lebih penting daripada isu ancaman kelas.

Dengan kata lain, adanya perbedaan yang jelas antara rasionalitas individu dengan

resionalitas kelompok.

Kapitalisme dan imperialisme (komersialisasi pertanian, eksploitasi,

ekonomi pasar, ekonomi uang, strata sosial baru di desa) akan menganggu

subsistensi dan tatanan sosial – ekonomi petani sehingga membuat petani bersifat

reaktif. Para petani dalam melakukan gerakan biasanya tidak terlalu meperdulikan

tujuan – tujuan umum, ideologi, sistem filosofi, teori – teori politik, dan organisasi

– organisasi yang revolusioner. Ketidakpuasan petani bersifat jelas, terbatas,

lokal, dan cenderung pragmatis. Aksi – aksi perlawanan petani biasanya untuk

Page 30: DINAMIKA GERAKAN PETANI : KEMUNCULAN DAN

16  

memenuhi kepentingan materil. Suatu kelompok akan berpartisipasi dalam suatu

gerakan yang bersifat kolektif karena ingin mendapatkan keuntungan tertentu atau

mendapat insentif. Hal ini memperlihatkan bahwa keikutsertaan petani dalam

gerakan banyak dipengaruhi oleh jenis, bentuk dan isi harapan – harapan yang

menurutnya bakal menguntungkan (Mustain, 2007).

Olson (1971) dalam buku yang berjudul The Logic of Collective Action

mengkritik argument tersebut dengan menyatakan bahwa pergolakan petani dalam

menetang kekuatan pasar tidaklah selalu mendorong terjadinya gerakan petani.

Mereka melakukan pemberontakan atas dasar hitungan untung rugi yang

ditanggung dari ketidakpuasan atas keadaan status quo. Dari asumsi tersebut,

sangat mungkin dikembangakan sifat dan peran psikologis dalam menjelaskan

partisipasi petani dalam gerakan petani. Orang yang terlibat dalam gerakan lebih

banyak didasari oleh pilihan rasionalnya, tetapi yang menjadi pertanyaan

“mengapa pilihan rasional itu relevan di dalam aksi perlawanan petani”.

Salert (1976) dalam bukunya yang berjudul Revolution and

Revolutionaries : Four Theories, menyatakan bahwa teori rasional petani memang

memberikan pandangan yang cukup bermakna dalam pengorganisiran massa.

Tetapi, banyak orang melebih - lebihkan teori pilihan rasional dan meninggalkan

teori psikologi. Terdapat dua pengembangan teori pilihan rasional, yaitu i) teori

ini melibatkan sifat dan efek psikologis yang diperlukan untuk menjelaskan

partisipasi petani dalam aksi kolektif. ii) Pilihan petani difokuskan pada asumsi

rasionalitas yang membentuk basis teori tentang putusan sebelum membentuk aksi

koletif, perilaku revolusioner akan membentuk pengalaman sosial yang akan

mengakibatkan perubahan perilaku sebagian masyarakat.

2.1.3.1 Organisasi Gerakan

Jo Freeman (1979) dalam tulisan yang berjudul A Model For Analyzing

the Strategic Option of Social Movement Organization berpendapat bahwa

keputusan strategis dalam sebuah gerakan tidak selalu berasal dari pemimpin

gerakan atau sekumpulan elite dalam gerakan, karena sebagian besar gerakan

bukanlah subyek dari sebuah kontrol yang bersifat hirarkis. Dalam melihat

organisasi gerakan terdapat empat elemen penting yang harus diperhatikan, yaitu

Page 31: DINAMIKA GERAKAN PETANI : KEMUNCULAN DAN

17  

i) sumberdaya yang dimobilisasi, ii) pembatasan pada pemanfaatan sumberdaya

tersebut, iii) struktur organisasi gerakan, dan iv) ekspektasi atas target yang

potensial (tujuan gerakan).

Sumberdaya yang dapat dimafaatkan dalam melakukan gerakan bisa

dibagi menjadi dua, yaitu sumberdaya terbatas dan sumberdaya tidak terbatas.

Sumberdaya terbatas termasuk uang, ruang, dan penyebaran ide dasar dari

gerakan kepada publik secara luas. Uang dapat membeli ruang, meskipun tidak

selamanya akan seperti itu. Disisi lain, uang dapat dipergunakan untuk melakukan

publikasi ide – ide gerakan, sebaliknya, publikasi juga dapat digunakan untuk

melakukan pengumpulan uang. Sedangkan sumberdaya tidak terbatas adalah

manusia itu sendiri. Pada kenyataannya, perbedaan mendasar antara organisasi

gerakan dengan perkumpulan individu yang berbasis pada suatu ketertarikan,

terletak pada pengelolaan kedua sumberdaya ini. Haruslah disadari bahwa tidak

setiap orang dapat memberikan kontribusi yang sama pada satu gerakan.

Sumberdaya yang tidak terbatas dapat dipilah menjadi dua kategori besar

yaitu manusia yang berkemampuan dan manusia yang tidak berkemampuan.

Manusia yang berkemampuan merupakan manusia yang memiliki kemampuan

untuk mengorganisir massa, manusia yang mempunyai jaringan dengan berbagai

kelompok terkait, dan manusia yang memiliki jalur kepara pengambil kebijakan.

Sedangkan manusia yang tidak berkemampuan merupakan manusia yang hanya

memiliki waktu dan komitmen kepada gerakan.

Akan lebih mudah membayangkan sumberdaya sebagai sesuatu yang

abstrak, uang misalnya, bisa digunakan untuk hampir semua kebutuhan dalam

sebuah gerakan. Sayangnya sumberdaya yang ada dalam sebuah gerakan,

bukanlah sumberdaya cair yang dapat kita gunakan seenaknya. Terdapat

“pembatasan” antara sumberdaya dengan gerakan yang bertindak seperti

penyaring. Joe Freeman (1979) membagi pembatasan dalam pemanfaatan

sumberdaya menjadi lima kategori yaitu, i) nilai yang dianut oleh gerakan, ii)

pengalaman pada masa lalu, iii) konstituen dari gerakan, iv) ekspektasi, dan v)

hubungan dengan kelompok target gerakan.

Hal ketiga yang menjadi penting dalam sebuah organisasi gerakan adalah

struktur gerakan sosial. Menurut Harper (1998), struktur adalah jejaring hubungan

Page 32: DINAMIKA GERAKAN PETANI : KEMUNCULAN DAN

18  

sosial yang sudah mantab dimana interaksi sudah menjadi rutin dan berulang,

antara berbagai peran-sosial, group, organisasi, dan institusi yang membentuk

masyarakat tersebut. Meskipun tidak dapat kita jadikan patokan, definisi

mengenai struktur yang diutarakan oleh Harper (1998) dapat membantu kita

dalam melihat stuktur dari organisasi gerakan petani seperti Serikat Petani

Pasundan (SPP) di Priangan Timur, Institusi Adat pada kasus Tanah Lot, BPRPI

di Sumatra Timur, ataupun KAAPLAG pada kasus Cimacan. Terdapat dua model

dari struktur organisai gerakan, yaitu struktur gerakan yang tersentralisasi, dan

struktur gerakan yang desentralisasi atau tersegmentasi. Struktur gerakan yang

tersentralisasi cenderung membutuhkan sumberdaya yang lebih sedikit apabila

dibandingkan dengan gerakan dengan struktur desentralisasi, dalam menjaga

kesinambungan gerakan.

Guna mewujudkan gerakan sosial yang efektif terdapat tiga hal yang harus

dipertimbangkan dalam menentukan ekspektasi atas target dalam organisasi

gerakan. Pertama adalah struktur dari kesempatan yang terbuka untuk melakukan

aksi massa. Kedua adalah upaya – upaya berupa kontrol sosial yang dapat

dilakukan oleh gerakan. Ketiga, perbandingan hasil dari aksi dengan standar

norma yang ada di masyarakat. Keberhasilan pada suatu gerakan banyak

ditentukan pada bagaimana gerakan itu dapat menemukan titik rataan antara

ketiga kategori tersebut dengan kondisi dilapangan.

Terdapat dua tipe organisasi petani yang melakukan perlawanan, yakni (1)

organisasi yang muncul dari dalam kelompok petani itu sendiri untuk mengatur

diri sendiri. (2) organisasi yang muncul dari luar (Mustain, 2007). Institusi –

institusi petani yang mengorganisir diri sendiri dapat sangat berpengaruh dalam

bentuk perlawanan harian petani. Institusi ini tercipta guna menekan kerugian

yang didapat dalam usaha mendapatkan insentif. Disamping itu, insentif juga

dapat menjadi semacam stimulus bagi institusi petani lain yang mengorganisisr

dirinya sendiri berdasarkan ketidaksepakatan bersama (kolektif). Gerakan petani

yang terorganisasi dari luar (eksternal), dalam mencapai keberhasilan

organisasinya memerlukan mekanisme dengan melaksanakan peraturan tertentu,

yaitu keberhasilan mereka tergantung pada kemampuan dalam memberikan

Page 33: DINAMIKA GERAKAN PETANI : KEMUNCULAN DAN

19  

insentif, yang mampu mengundang para pengikutnya untuk berpartisipasi secara

aktif.

Godwin dalam Ecstein (1990) mengemukakan bahwa selain barang –

barang kolektif, organisasi – organisasi revolusioner tersebut juga menawarkan

insentif untuk mendorong partisipasi dalam berbagai macam aktivitas, khususnya

yang berbahaya seperti perang grilya yang sesungguhnya. Insentif tersebut

diperuntukan para pengikut dan pejuang, di samping dapat meminta pengurangan

pajak dan sewa tanah, keluarga mereka juga dapat meminta penambahan tanah

selain yang telah diberikan kepada pendukung secara umum. Organisasi petani

dikatakan berhasil apabila organisasi tersebut dapat menyeimbangkan antara

pertimbangan insentif individu dengan kebutuhan umum.

2.1.3.2 Kepemimpinan

Pemimpin dan kepemimpinan merupakan satu kesatuan kata yang tidak

dapat dipisahkan. Pemimpin merupakan figur sentral yang menyatukan kelompok.

Kepemimpinan merupakan kemampuan seseorang atau beberapa orang dalam

kelompok dalam mengelola gejala – gejala sosial. Brown (1936) berpendapat

bahwa pemimpin tidak dapat dipisahkan dari kelompok, karena tanpa kelompok

tidak akan ada pemimpin. Pemimpin dapat dipandang sebagai agen primer yang

menentukan struktur, suasana, tujuan, ideologi, bahkan hingga sampai aktivitas

kelompok.

Kepemimpinan dapat juga dikatakan sebagai suatu kemampuan untuk

menangani orang lain untuk memperoleh hasil yang maksimal dengan friksi yang

sedikit mungkin antar anggota kelompok. Terdapat beberapa tipe kepemimpinan

seperti tipe otokratik, tipe paternalistik, tipe kharismatik, tipe laissez faire, dan

tipe demokratik.

Kepemimpinan tipe otokratik dapat dilihat sebagai seorang pemimpin

yang sangat egois. Seorang pemimpin yang otoriter cenderung memperlakukan

para bawahannya sama dengan alat lain dalam organisasi, anggota dipandang

selayaknya mesin. Hal yang paling diutamakan adalah orientasi pada pelaksanaan

dan penyelesaian tugas, tanpa mengaitkan pelaksanaan tugas itu dengan

Page 34: DINAMIKA GERAKAN PETANI : KEMUNCULAN DAN

20  

kepentingan bawahannya. Pemimpin dengan kepemimpinan otoktarik akan selalu

menuntut ketaatan penuh dari para bawahannya.

Kepemimpinan tipe paternalistik banyak ditemui dimasyarakat tradisional,

khususnya agraris. Kepemimpinan ini erat kaitannya dengan tata nilai yang ada di

dalam masyrakat tradisional atau pedesaan. Salah satu cirinya ialah penghormatan

yang begitu tinggi kepada orang tua dan orang yang dituakan. Pemimpinan

dengan kepemimpinan paternalistik bersifat kebapakan, dalam artian bertindak

sebagai tauladan atau panutan masyarakat. Pada umumnya pemimpin semacam ini

merupakan tokoh – tokoh adat, ulama, tetua desa dan guru.

Kepemimpinan tipe kharismatik akan amat bertumpu pada sang

pemimpin. Kharakteristik yang khas dari kepemimpinan kharismatik ialah daya

tarik dari sang pemimpin yang sangat memikat sehingga mampu memperoleh

pengikut pemimpin yang sangat dikagumi pengikutnya, walau terkadang si

pengikut tidak dapat menjelaskan kegagumannya secara kongkrit. Kesulitan yang

sering kali muncul pada kelompok dengan kepemimpinan kharismatik adalah

regenerasi pemimpin. Seorang pemimpin kharismatik akan sulit digantikan,

karena kekaguman anggota akan seseorang pemimpin tidak semudah itu dapat

berpindah dari satu orang ke orang lain.

Pemimpin dengan tipe kepemimpinan laissez faire berpandangan bahwa

organisasi akan berjalan lancar dengan sendirinya karena para anggota organisasi

terdiri dari orang – orang dewasa. Seluruh anggota organisasi dianggap sudah

mengetahui dan memahami tujuan organisasi, sasaran apa yang akan dicapai, dan

tugas apa yang harus ditunaikan. Sehingga pada tipe kepemimpinan ini seorang

pemimpin tidak akan banyak melakukan intervensi. Pendelegasian wewenang

terjadi secara ekstensif, dimana pengambilan keputusan lebih banyak dilakukan

pada anggota menengah.

Kepemimpinan demokratik lebih menekankan peran pemimpin sebagai

seorang koordinator dan integrator dari berbagai unsur dan komponen organisasi.

Pemimpin menyadari bahwa organisasi harus disusun sedemikian rupa sehingga

menggambarkan secara jelas aneka ragam tugas dan kegiatan yang harus dicapai

oleh organisasi. Pembagian tugas tersebut membuat adanya pembagian tugas dan

Page 35: DINAMIKA GERAKAN PETANI : KEMUNCULAN DAN

21  

peran yang jelas, berserta herarki kekuasaannya. Seorang pemimpin dengan

kepemimpinan demokratik akan disegani bukan ditakuti.

Scott (1976) menggunakan pendekatan struktur sosial dan relasi sosial

dalam melihat sebuah gerakan petani. Masyarakat pedesaan apabila dilihat secara

horisontal akan memperlihatkan homogenitas yang tinggi, sedang secara vertikal

akan memperlihatkan bentuk krucut, dimana pada bagian bawah diisi oleh petani

penggarap dan buruh tani dengan masa terbesar, sedangkan pada bagian atas diisi

oleh para elite yang berjumlah sedikit. Didalam struktur masyarakat yang seperti

ini, faktor kepemimpinan memiliki peran yang sangat penting, sedangkan

pemimpin dipegang oleh kelompok elite yang berada pada puncak, dari struktur

sosial yang ada. Mengingat pentingnya faktor kepemimpinan yang ada, maka

dapat diasumsikan bahwa gerakan perlawanan petani tidak mungkin terjadi tanpa

adanya pemimpin.

Petani penggarap dan buruh tani pada dasarnya tidak memiliki kekuatan

sama sekali untuk melakukan perlawanan. Mereka berada dalam keadaan yang

benar – benar tersubordiasi, dimana setiap surplus yang mereka dapatkan akan

terhisap oleh kekuatan ekonomi dan politik yang ada. Petani (Peasant) menjalani

hidup hanya pada keadaan subsistensi mereka, tekanan yang begitu besar

membuat benar – benar dalam keadaan impoten, dan perlawanan petani tidak

mungkin terjadi dalam keadaan tidak berdaya (Wolf, 1966). Di dalam

perjalanannya petani juga tidak memiliki kekuatan untuk mendefinisikan diri

mereka sendiri kedalam sebuah kelas, mereka harus diwakilkan (Marx, 1895).

Para perwakilan ini pada saat yang bersamaan juga bertindak sebagai pemimpin,

pemersatu, dan pemberi kekuatan guna melawan penindasan dari kelas diatasnya.

Pemimpin gerakan petani, haruslah mampu mambangun gerakan yang

memenuhi tiga kriteria yaitu memiliki sumberdaya, adanya anggota baru, dan

mempertahankan anggota lama. Popkin (1986) menyatakan, terdapat enam teknik

yang dapat digunakan pemimpin petani dalam mendapatkan dan mengelola

sumberdaya. Pertama, para pemimpin mendorong pengikutnya untuk melakukan

penjarahan, contohnya, pemberontakan budak terhadap majikannya untuk

mengambil alih posisi majikannya. Kedua, pemimpin mendistribusikan ulang

sumberdaya, suatu strategi “dari dan untuk individu sesuai dengan politiknya”,

Page 36: DINAMIKA GERAKAN PETANI : KEMUNCULAN DAN

22  

contohnya pemberontak Vietnam mengumpulkan donasi dalam jumlah besar dan

sebagian dari uang tersebut dipergunakan untuk membiayai para guru. Ketiga,

pemimpin gerakan merahasiakan kebaikan, persoalan, dan keluhan yang dapat

menarik perhatian kelompoknya secara berlebihan. Ini akan menyelesaikan

masalah kolektif petani dengan cara meminimalisir persaingan dalam

mendapatkan keuntungan di antara anggota kelompok. Keempat, pemimpin

gerakan dapat mematahkan monopoli kaum elite pada institusi politik. Sebagai

contoh, adanya campur tangan pemimpin gerakan pada urusan yang berhubungan

dengan para pendukungnya di pemerintahan lokal. Kelima, pemimpin gerakan

mencari penyokong yang dapat menyediakan sumberdaya. Keenam, sumberdaya

yang ada selalu dibuat dalam kondisi yang sedikit, sehingga selalu diharapkan

oleh para petani miskin dan dapat mengobarkan semangat perlawanan.

Hal yang tidak kalah penting yang harus diperhatikan pemimpin gerakan

adalah pengikut gerakan itu sendiri, baik itu dalam merekrut anggota baru ataupun

mempertahankan anggota lama. Pemimpin gerakan tidak dapat mengatasi dilema

petani hanya dengan ideologi dan mimpi – mimpi tentang “revolusi”,

“sosialisme”, ataupun “tatanan dunia baru”. Pemimpin gerakan haruslah mampu

membantu petani dalam memenuhi kebutuhan yang bersifat kongkrit dan singkat,

seperti makanan, pembangunan jalan, dan pembangunan rumah ibadah. Skocpol

(1991) menyatakan bahwa petani berpartisipasi dalam sebuah gerakan tanpa

melakukan perubahan pada visi yang radikal mengenai masyarakat nasional baru

yang diinginkan, dan tanpa menjadi golongan yang terorganisir untuk diri mereka

sendiri. Petani berjuang lebih disebabkan untuk pemenuhan atas tujuan – tujuan

konkrit, melibatkan aset untuk mendapatkan lebih banyak tanah hak milik, atau

kebebasan (Skocpol, 1991).

2.1.4 Gerakan Petani

Abad ke-18 hingga abad ke-19, pemberontakan petani terbukti menjadi

faktor yang sangat penting dalam semua revolusi sosial yang pernah terjadi di

Perancis, Rusia, dan China. Tanpa adanya pemberontakan petani, radikalisme

perkotaan di negara – negara agraris dan semi agraris tidak akan mampu

menuntaskan sebuah transformasi sosial (Bahri, 1999). Revolusi yang terjadi di

Page 37: DINAMIKA GERAKAN PETANI : KEMUNCULAN DAN

23  

Inggris dan Jerman pada tahun 1848 pada umumnya dipimpin gerakan

revolusioner perkotaan mengalami kegagalan karena tidak terjadinya

pemberontakan pertani terhadap para tuan tanah di pedesaan.

Kekhususan kultural yang dimiliki oleh petani baik itu pada

perkembangan nilai – nilai, persepsi, dan kebudayaan petani tidak serta merta

membuat para ahli dapat mendefnisikan petani secara mudah. Moore (1966),

menyatakan bahwa tidak mungkin mendefinisikan petani dengan ketepatan yang

mutlak karena batasannya kabur pada ujung kenyataan sosial itu sendiri. Hanya

saja adanya bukti penguasaan tanah secara de facto dan cara hidup yang khas

dengan mengelola tanah, dapat dijadikan salah satu ciri yang membedakan petani

dengan yang lain.

Persoalan tidak berhenti pada apa dan bagaimana mendefinisikan petani,

tetapi juga semakin berkembang ketika menganalisa lapisan petani mana yang

terlibat aktif dalam pemberontakan. Marx (1895) menyatakan bahwa lapisan

buruh tani atau proletariat pedesaan merupakan lapisan yang paling revolusioner.

Ia menganggap bahwa sumber radikalisme petani berdasarkan pada pemilikan

atau penguasaan alat produksi tanah. Meskipun masih didalam tulisan yang sama,

Marx (1895) juga menyatakan bahwa sesungguhnya petani dalam melakukan

pemberontakan tidak dapat berdiri sendiri. Petani membutuhkan pemimpin yang

bertugas mewakili mereka dalam melakukan perlawanan terhadap kelas penindas.

Hal berbeda dapat ditemui pada pandangan Wolf (1966) yang menyatakan

bahwa petani menengahlah yang paling dapat diandalkan dalam melakukan

pemberontakan. Petani kelas bawah atau buruh tani tanpa tanah yang

menggantungkan hidupnya kepada tuan tanah, tidak akan memiliki kekuatan

untuk melawan. Petani kelas menengah jelas terganggu dengan keberadaan tuan

tanah baik itu dalam akses terhadap pasar ataupun tekanan kultural yang dirasakan

oleh mereka, terlebih lagi petani kelas menengah memiliki sumberdaya minimal

untuk melakukan perlawanan. Jumlah buruh tani tak bertanah yang besar memang

merupakan sumber potensial untuk melakukan pemberontakan atau revolusi tetapi

pendapat ini tidak selamanya benar dan berlaku disemua tempat.

Gerakan petani dapat dikatakan sebagai salah satu bentuk dari gerakan

sosial (Handayani, 2004). Para ahli telah banyak mencoba untuk melakukan

Page 38: DINAMIKA GERAKAN PETANI : KEMUNCULAN DAN

24  

pendefinisian prihal gerakan sosial. Herbert Blumer (1939), dalam Sadikin (2005)

berpendapat bahwa gerakan sosial merupakan sebagai suatu kegiatan bersama

untuk menentukan suatu tatanan baru dalam kehidupan. Kemunculan gerakan

sosial ditandai adanya kegelisahan akibat kesenjangan antara nilai-nilai harapan

dan kenyataan hidup sehari-hari. Maka itu, suatu kelompok masyarakat

mendambakan tatanan hidup yang baru, dengan membentuk sebuah gerakan yang

terorganisir.

Sadikin (2005) mencoba merangkum berbagai definisi gerakan sosial yang

diutarakan para ahli, sebagai ciri – ciri atau karakter yang melekat dalam gerakan

sosial. Pertama, gerakan sosial merupakan satu bentuk perilaku koletif. Kedua,

gerakan sosial senantiasa memiliki tujuan untuk membuat perubahan sosial atau

mempertahankan suatu kondisi. Ketiga, gerakan sosial tidak identik dengan

gerakan politik yang terlibat dalam perebutan kekuasaan secara langsung.

Keempat, gerakan sosial merupakan perilaku kolektif yang terorganisir, baik

secara formal ataupun tidak. Kelima, gerakan sosial merupakan gejala yang lahir

dalam kondisi masyarakat yang konfliktual.

2.1.4.1 Gerakan Petani di Indonesia

Pada pertengahan abad ke- 19, kita dapat melihat banyak bermunculan

gerakan perlawanan petani di berbagai tempat. Seperti gerakan Haji Rifangi di

Pekalongan (1860), gerakan Mangkuwijoyo di Desa Merbung, Klaten (1886),

Gerakan Tirtowiat alias Raden Joko di Desa Bangkalan, Kartosuro (1886),

pemberontakan petani Banten (1888), pemberontakan petani candi udik (1892),

dan peristiwa Gedangan (1904). Kesemua gerakan yang terjadi pada kurun waktu

tersebut memiliki beberapa kesamaan, baik itu penyebab terjadinya gerakan

ataupun dalam struktur dan pola gerakan. Gerakan yang ada bersifat sangat lokal,

sporadis, dan tidak memiliki hubungan antara gerakan yang satu dengan yang

lain. Perlawanan banyak dipimpin oleh tokoh – tokoh lokal, baik ulama ataupun

bangsawan lokal.

Bahri (1999) berpendapat bahwa, gerakan petani yang ada abad ke-19

belum menunjukan ciri – ciri modern, dalam artian adanya organisasi dalam

lingkup yang luas yang menyatukan gerakan, pandangan dan sikap politik atas

Page 39: DINAMIKA GERAKAN PETANI : KEMUNCULAN DAN

25  

struktur kekuasaan, dan instrumen gerakan yang tertata rapih sehingga dapat

memberikan seruan keseluruh negeri. Hal ini begitu berbeda dengan gerakan yang

lahir pada awal abad ke – 20. Pada tahun 1912, terjadi pengorganisiran petani

secara masif di wilayah Jawa Tengah, Jawa Barat, Banten, dan Sumatera. Sebagai

contoh Serikat Islam (SI), salah satu organisasi yang sangat berpengaruh pada

waktu itu, berhasil mempertemukan gerakan petani di pedesaan dengan gagasan

revolusioner kemerdekaan, seperti pembentukan tatanan masyarakat baru

pengganti tatanan masyarakat kolonial. Tujuan dari gerakan pun tidak lagi hanya

terbatas pada penuntasan masalah di tingkatan lokal, tetapi perubahan sistem

politik, yaitu gugatan dan penggantian sistem pemerintah kolonial.

Organisasi – organisasi modern yang lahir pada awal abad ke – 20 berhasil

memperkenalkan pola perlawanan yang sama sekali berbeda dengan pola

perlawanan petani yang ada sebelumnya, seperti boikot dan pemogokan. Struktur

dan pola gerakan yang ada, terasa lebih tertata dengan adanya pembakuan struktur

organisasi, sistem keanggotaan, dan diterapkannya metode pengorganisiran

masyarakat.

Boikot dan pemogokan merupakan bentuk perlawanan yang diadopsi dari

gerakan buruh dan kelas menengah perkotaan untuk menentang kekuasaan

pemilik modal dan pemerintah yang saat itu sedang marak terjadi di daratan

Eropa. Hal ini pada dasarnya dapat dilihat sebagai suatu hal yang wajar, karena

para motor penggerak organisasi semacam Serikat Islam (SI), Indische Partij (IP),

dan Indische Social – Democratische Partij (ISDP) merupakan anak para

bangsawan yang mendapatkan keistimewaan untuk dapat bersekolah hingga

kejenjang universitas, bahkan banyak diantara mereka yang merupakan lulusan

perguruan tinggi Eropa.

Soe Hok Gie (1964) dalam Skripsinya yang berjudul Dibawah Lentera

Merah menyatakan bahwa, kehadiran organisasi semacam Sarekat Islam telah

merubah kondisi sosial-politik yang ada dimasa kolonial. Petani yang semula

hanya paham prihal cangkul dan persoalan desa, bermetamorfasa menjadi pejuang

– pejuang kemerdekaan yang gigih. Orang – orang seperti Tirtoadisuryo,

Samanhudi, dan Tjokroaminoto, merupakan anak para bangsawan yang telah

Page 40: DINAMIKA GERAKAN PETANI : KEMUNCULAN DAN

26  

mengenyam pendidikan kolonial tetapi tidak pernah melupakan akar budaya

bangsanya.

Pasca kemerdekaan, khususnya pada periode waktu 1950 – 1965, hampir

seluruh organisasi petani yang ada merupakan perpanjangan tangan dari berbagai

partai politik ditingkat nasional. Kehadiran organisasi tani seperti Serikat Tani

Islam Indonesia (STII) yang bernaung di bawah Masyumi, Persatuan Tani

Nahdatul Ulama (PETANU) yang bernaung di bawah NU, Persatuan Tani

Indonesia (PETANI) yang bernaung di bawah PNI, serta Barisan Tani Indonesia

(BTI) yang memiliki hubungan yang erat dengan PKI, menjadi peta gerakan

petani pasca kemerdekaan hingga tahun 1965.

Perdebatan politis yang sangat tajam terlihat ketika penyusunan Undang –

Undang Pokok Agraria (UUPA), di Departemen Agraria dan Dewan

Pertimbangan Agung. PNI dan partai – partai islam berkepentingan untuk

membela para pendukungnya, yang mayoritas pemilik tanah – tanah luas dan

pangreh praja di pedesaan. Dilain pihak, PKI mengklaim dirinya sebagai

perwakilan dari para petani tak bertanah. Akan tetapi, hal ini justru mentah

dengan sendirinya, karena pada beberapa kasus BTI justru melindungi tuan tanah

yang menjadi simpatisan dari PKI.

Pada masa pemerintahan Presiden Soeharto, pemerintah melarang seluruh

organisasi petani yang ada di masa pemerintahan Presiden Soekarno. Petani –

petani mulai kehilangan patron politik karena banyak dari para pemimpin gerakan

dari kelas menengah perkotaan sudah dibunuh dan yang hidup mendapatkan

tekanan yang luar biasa dari Rezim Orde Baru. Pada posisi ini petani kembali

pada tradisi penyesuian diri dan mencari jalan masing – masing untuk

mempertahankan hidup.

Gerakan petani mulai aktif pada pertengahan tahun 1980-an, sebagai

akibat dari intervensi modal yang sangat intensif di wilayah pedesaan. Bersamaan

dengan itu, di wilayah perkotaan juga tumbuh gerakan mahasiswa dan Lembaga

Swadaya Masyarakat (LSM) yang masuk kepedesaan dengan berbagai kegiatan

baik itu dalam hal sosial politik, pendidikan, dan advokasi. Pada massa itu

mahasiswa yang sebelumnya dibungkam oleh Pemerintahan Soeharto mulai turun

ke jalan. LSM yang sudah lebih berpengalaman dalam menangani permasalahan

Page 41: DINAMIKA GERAKAN PETANI : KEMUNCULAN DAN

27  

petani lebih banyak mengambil jalan pembelaan litigasi diperadilan atau

mengirim surat protes kepemerintah.

Petani mulai berkenalan dengan aksi massa dan demontrasi setelah

menjalin hubungan dengan kelompok – kelompok gerakan di perkotaan

khususnya mahasiswa. Di dalam tubuh gerakan mahasiswa sendiri sudah terjadi

pergeseran orientasi, kritik gerakan mahasiswa pada tahun 1980-an kepada

gerakan sebelumnya adalah tidak adanya penyambung antara gerakan mahasiswa

dengan gerakan rakyat. Maka pada akhir 80-an dan awal 90-an terjadi aliansi

gerakan petani dengan mahasiswa dalam bentuk demonstrasi ke DPRD dan kantor

– kantor Gubernur.

Dilihat dari sisi yang lain, amat jelas terlihat bahwa petani tidak memiliki

kemampuan untuk dapat mengorganisir diri mereka sendiri. Petani masih amat

bergantung pada kelompok- kelompok gerakan diperkotaan. Apabila pada awal

abad ke -19 mereka bersandar pada para bangsawan dan tokoh lokal, pada

pertengahan abad ke – 19 mereka bersandar pada organisasi kepartaian seperti SI,

IP, dan ISDP, sedang pada awal kemerdekaan hingga 1965 mereka bergantung

pada partai politik, dan pada massa orde baru mereka bergantung pada gerakan

mahasiswa dan LSM.

Adapun yang terjadi pada saat ini dipandang tidak jauh berbeda dengan

yang terjadi pada massa sebelumnya. Pasca jatuhnya pemerintahan Presiden

Soeharto pada tahun 1998, begitu banyak terjadi gerakan perlawanan petani

diberbagai daerah. Tetapi apabila dilihat secara lebih mendalam, belum terlihat

adanya petani yang dapat mengorganisisr diri mereka sendiri hingga menjadi

sebuah gerakan petani. Serikat Petani Pasundan (SPP) yang ada di wilayah

Priangan Timur memiliki keterkaitan yang sangat jelas dengan gerakan

mahasiswa di kota Ciamis, Tasik, dan Garut. Gerakan petani di Desa Keprasan

Kabupaten Blitar, juga memiliki keterkaitan dengan LBH Surabaya dan Kesmalita

(Kesatuan Mahasiswa Blitar) di Jogjakarta.

Page 42: DINAMIKA GERAKAN PETANI : KEMUNCULAN DAN

28  

2.2 Kerangka Berpikir

Pembahasan prihal kemunculan dan kelangsungan gerakan petani dapat

dipilah dalam dua alur yang berjalan secara paralel, yaitu basis material atau tanah

dan aspek politik petani. Pada periode kemunculan gerakan, terdapat beberapa hal

yang dapat dilihat sebagai faktor – faktor penyebab terjadi gerakan petani, yaitu

pada faktor - faktor meterialnya seperti sejarah penguasaan tanah, serta makna

tanah bagi petani dan pada faktor – fakto subyektif, seperti radikalisasi petani,

serta pengorganisiran petani. Pasca terbetuknya organisasi gerakan dan terjadinya

redistribusi tanah, pembahasan selanjutnya berfokus pada dinamika atau

kelangsungan dari gerakan petani, baik yang dipengaruhi oleh kondisi didalam

organisasi gerakan ataupun pengaruh dari kekuatan sosial lain di luar gerakan

petani. Lihat gambar 1.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Page 43: DINAMIKA GERAKAN PETANI : KEMUNCULAN DAN

29  

(Faktor – Faktor Material)

 

 

 

 

 

---------------------------------------------------------------------------------------------------

(Faktor – Faktor Subyektif)

Keterangan :

: Berhubungan

: Meliputi

-------- : Terpisah

Gambar 1. Kerangka Berpikir Penelitian

KEMUNCULAN GERAKAN (KONDISI KONDUSIF) 

‐SEJARAH PENGUASAAN TANAH 

‐MAKNA TANAH BAGI PETANI 

‐AKSES TERHADAP TANAH 

‐RADIKALISASI PETANI 

‐PENGORGANISASIAN PETANI 

‐KESADARAN POLITIK 

‐PERKEMBANGAN KELEMBAGAAN GERAKAN 

‐REDISTRIBUSI TANAH 

‐LIVELIHOOD  

GERAKAN PETANI : 

‐ORGANISASI GERAKAN 

‐STRATEGI GERAKAN 

‐KEPEMIMPINAN GERAKAN 

‐PENGARUH  AKTOR LUAR PETANI 

Page 44: DINAMIKA GERAKAN PETANI : KEMUNCULAN DAN

30  

2.3 Definisi Konseptual

Petani : Individu atau sekelompok orang yang memiliki (de facto), mengelola, dan

mengembangkan sumberdaya agraria khususnya tanah untuk memenuhi

kebutuhan hidupnya.

Radikalisasi Petani : Faktor – faktor atau kondisi yang dapat memicu terjadinya

aksi perlawanan petani. Pada umumnya, kondisi tersebut berasal dari luar

masyarakat petani, seperti penindasan, pungutan pajak, pengekangan hak,

pembatasan kerja, dsb.

Pengorganisiran Petani : Proses mobilisisasi petani, baik berupa sumberdaya yang

bersifat terbatas seperti uang dan makanan ataupun individu petani itu sendiri,

guna mencapai suatu tujuan tertentu, pengorganisiran dapat bersifat formal atau

informal.

Makna Tanah Bagi Petani : intepretasi yang timbul dari ikatan – ikatan yang ada

antara petani dengan tanah, dapat bersifat ekonomi, sakral, ataupun kultural.

Sejarah Penguasaan Tanah : catatan – catatan histografis atau dokumen sejarah

yang berkisah tentang tanah, baik itu pembahasan soal kepemilikan, penyawaan,

perebutan, ataupun alih fungsi tanah serta kaitannya dengan orang atau

sekolompok orang disekitar tanah. Seringkali catatan histografis berbentuk sejarah

lisan (oral history).

Gerakan Petani : suatu bentuk perlawanan yang sengaja dilakukan oleh

sekelompok petani yang terorganisir untuk menciptakan terjadinya perubahan

dalam pola interaksi keadilan untuk petani di dalam masyarakat. Dalam gerakan

tersebut diharapkan mempunyai ciri-ciri seperti halnya gerakan sosial yaitu 1)

memiliki pengorganisasian internal yang rapi, 2) berlangsung lebih lama, 3)

gerakan sengaja bertujuan melakukan reorganisasi kehidupan masyarakat internal

maupun eksternal.

Page 45: DINAMIKA GERAKAN PETANI : KEMUNCULAN DAN

31  

Organisasi Gerakan : betuk formal dari pengorganisiran petani, yang didalamnya

terdapat struktur (hierarki) organisasi, memiliki tujuan yang jelas, dan adanya

unsur kepemimpinan.

Pemimpin Gerakan : orang atau sekelompok orang yang bertugas untuk

memimpin suatu gerakan, pemimpin merupakan tokoh sentral atau motor

penggerak pada sebuah gerakan petani.

Strategi Gerakan : cara atau media yang digunakan gerakan petani guna mencapai

suatu tujuan, dapat berupa aksi boikot, pemogokan, demonstrasi atau aksi massa,

dsb.

Redistribusi Tanah : Pembagian kembali objek redistribusi atau tanah kepada

petani.

Pola Pertanian : tata cara bercocok tanah yang dipergunakan oleh sekelompok

orang atau masyarakat didalam suatu luasan lahan. Pola ini dapat berupa sistem

kebun, perkebunan, ataupun persawahan.

Page 46: DINAMIKA GERAKAN PETANI : KEMUNCULAN DAN

32  

BAB III

PENDEKATAN LAPANG

3.1 Jenis Penelitian

Jenis penelitian ini merupakan penelitian kualitatif. Penelitian kualitatif

merupakan suatu metode berganda dalam fokus, yang melibatkan suatu

pendekatan interpretatif dan wajar terhadap setiap pokok permasalahannya. Ini

berarti penelitian kualitatif bekerja dalam seting yang alami, yang berupaya untuk

memahami, memberi tafsiran pada fenomena yang dilihat dari arti yang diberikan

orang-orang kepadanya. Penelitian kualitatif melibatkan penggunaan dan

pengumpulan berbagai bahan empiris seperti studi kasus, pengalaman pribadi,

introspeksi, riwayat hidup, wawancara, pengamatan, teks sejarah, interaksional

dan visual: yang menggambarkan momen rutin dan problematis, serta maknanya

dalam kehidupan individual dan kolektif (Denzin and Lincoln, 2009).

Penelitian ini menggunakan metode observasi partisipasi (participant

observation) di lapangan. Metode observasi partisipasi merupakan sebuah teknik

pengumpulan data yang mengharuskan peneliti melibatkan diri dalam kehidupan

masyarakat yang diteliti. Peneliti harus dapat memahami gejala-gejala yang ada,

sesuai dengan maknanya dengan yang diberikan atau dipahami oleh warga

masyarakat yang sedang diteliti, termasuk dalam pengertian metode ini adalah

wawancara dan mendengarkan serta memahami apa yang didengarnya (Denzin

and Lincoln, 2009).

Peneliti dalam upaya memahami kehidupan objek penelitian telah

melakukan live in di lokasi tersebut, agar dapat melihat secara langsung

mengetahui dan memahami berbagai kondisi masyarakat. Maka itu, scope

temporal dalam penelitian ini akan dilaksanakan selama enam bulan yaitu April

sampai Agustus 2010. Sementara scope spatial dalam penelitian ini terfokus pada

masyarakat petani Desa Banjaranyar yang berlokasi di Kecamatan Banjarsari,

Kabupaten Ciamis, Jawa Barat.

Page 47: DINAMIKA GERAKAN PETANI : KEMUNCULAN DAN

33  

3.2 Unit Analisis

Unit analisis adalah gerakan petani yang terhimpun dalam Organisasi Tani

Lokal (OTL) Banjaranyar . Gerakan petani tersebut memperjuangkan nasib petani

Banjaranyar yang meliputi sekitar 195 kepala keluarga. Responden penelitian

dipilih secara purposif berdasar telaah peran dalam proses gerakan petani.

Responden adalah stakeholder yang dinilai relevan untuk memperkuat bobot

analisis penelitian yaitu, LBH SPP, pengurus Serikat Petani Pasundan (SPP) -

pendamping, FARMACI, dan Perangkat Desa Banjaranyar. Lihat tabel 1.

Tabel 1. Daftar Stakeholder dan Perannya Dalam Kasus Gerakan Petani Desa

Banjaranyar Tahun 2010

Di dalam Desa Banjaranyar Di luar Desa Banjaranyar Individu Individu

Petani atau massa nonstruktural di Desa Banjaranyar, termasuk buruh tani, dalam hal ini mereka petani tidak bertanah Sekjen Serikat Petani Pasundan Pelaku Sejarah Lokal Anggota DPRD Ciamis Tokoh Masyarakat Perangkat Desa

Organisasi Organisasi Organisasi Tani Lokal (OTL) Banjaranyar 1 LBH SPP Koperasi Usaha Tani SPP FARMACI

PT. RSI

Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Ciamis

                              

Page 48: DINAMIKA GERAKAN PETANI : KEMUNCULAN DAN

34  

3.3 Teknik Pengumpulan Data

Data bersumber dari data primer dan sekunder. Data primer adalah data

yang langsung diperoleh dari sumbernya untuk mengetahui sejarah, pandangan

dan perkembangan sebuah kasus. Teknik pengumpulan data ini dilakukan melalui

a) wawancara tertuntun dengan menggunakan daftar pertanyaan, b) wawancara

mendalam dengan stakeholders, dan c) diskusi dengan stakeholder. Wawancara

langsung dilakukan terhadap: 1) Pemimpin Gerakan, 2) Pamong desa, 3) Pejabat

tingkat kabupaten, kecamatan, dan desa 4) Petani, 5)Masyarakat lain.

Penelitian kali ini juga menggunakan pendekatan sejarah (historical

approach), yang akan menguraikan sejarah, fenomena, problamatika, dan

dilematika di dalam gerakan petani Banjaranyar. Analisis difokuskan pada era

reformasi, yaitu tahun 1997 hingga tahun 2010. Namun karena keterbatasan

sumber – sumber tulisan, maka pendekatan sejarah lisan (oral history) dijadikan

sebagai salah satu pilihan penting dalam upaya pengumpulan data. Pendekatan

sejarah lisan dimaksud untuk menggali ingatan kolektif, terutama berupa social

memory atau community’s collective memory yang dapat dipakai menyusun

sejarah Desa Banjaranyar, khususnya yang berkaitan dengan gerakan petani

Banjaranyar. Sejarah lisan sangat membantu memberikan penjelasan mengenai

hal – hal yang berkaitan dengan kesinambungan (continuity) dan perubahan

(discontinuity) kehidupan sosial, ekonomi, politik, dan budaya melalui ingatan

kolektif atau disebut sebagai history of memory or memory of history (Fentress

dan Wickham, 1992).

Data sekunder adalah jenis data yang mengutip dari sumber lain.

Pengumpulan data untuk studi peristiwa bersumber dari 1) surat, memorandum,

dan pengumuman lain, 2) agenda, hasil penemuan, dan tulisan laporan peristiwa,

3) dokumen administrasi, proposal, progress report, dan dokumen internal, 4)

kliping dan artikel dalam media massa.

Data sekunder diperoleh peneliti dari:

• Arsip-arsip kantor pertanahan di tingkat kabupaten, kecamatan, dan

kelurahan.

• Arsip – arsip kasus sengketa lahan Serikat Petani Pasundan (SPP)

Page 49: DINAMIKA GERAKAN PETANI : KEMUNCULAN DAN

35  

• Surat resmi dari Pemda Kabupaten Ciamis yang berkaitannya dengan

topik.

• Artikel-artikel tentang topik dalam surat kabar, majalah, internet dan

laporan penelitian yang telah dipublikasikan.

• Arsip-arsip dan laporan penelitian dari lembaga advokasi yang mengenai

kasus tersebut.

3.4 Teknik Analisis Data

Teknik analisis data terdiri dari beberapa langkah sebagai berikut,

pertama, data dikumpulkan dengan cara observasi langsung, interview, dan

mengumpulkan data dari kepustakaan, arsip, dan berita pers. Kedua, melakukan

penilaian dan pengamatan terhadap data primer dan sekunder yang selanjutnya

disesuaikan dengan keadaan di lapangan. Ketiga, melakukan intepretasi data

untuk dikaji berdasar kerangka dasar teori. Keempat, pencapaian kesimpulan dari

penelitian (Surakhmad, 1994).

Page 50: DINAMIKA GERAKAN PETANI : KEMUNCULAN DAN

36  

BAB IV

LATAR BELAKANG KEMUNCULAN GERAKAN PETANI

4.1 Desa Banjaranyar

Desa Banjaranyar secara administratif masuk kedalam wilayah Kabupaten

Ciamis, tepatnya di wilayah Kecamatan Banjarsari. Secara geografis, Desa

Banjaranyar terletak di 108’32 bujur timur dan 07’30 bujur selatan. Pada bagian

utara Banjaranyar berbatasan dengan Desa Karang Mukti, sebelah timur

berbatasan dengan Desa Cigayam, sebelah selatan berbatasan dengan Desa

Kalijaya dan Pasawahan, dan pada bagian barat berbatasan dengan Desa Cikupa.

Sebelum adanya pemekaran, Desa Banjaranyar masuk kedalam wilyah

Desa Cigayam. Pada akhir tahun 1990an terjadi pemekaran Desa Cigayam

menjadi dua desa yaitu Desa Cigayam dan Desa Banjaranyar. Nama Banjaranyar

sendiri berasal dari adanya kota yang bernama Banjar, karena ini merupakan desa

baru maka nama Anyar pun disandingkan dengan kata Banjar. Sehingga, nama

Banjaranyar dapat diartikan sebagai daerah Banjar yang baru. Nama tersebut

mengandung harapan, semoga Desa Banjaranyar dapat berkembang menjadi

daerah yang maju seperti Kota Banjar.

Tahun 2007, diadakan kajian oleh Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD)

Kabupaten Ciamis prihal desa tertinggal. Desa Banjaranyar merupakan satu dari

enam puluh satu desa tertinggal yang berada di dalam wilayah Kabupaten Ciamis.

Kajian yang dilakukan SKPD Ciamis didasarkan pada empat variabel utama.

Pertama, variabel alam dan lingkungan yang menunjukan pemafaatan prasaranan

dan potensi ekonomi desa. Kedua, variabel keadaan penduduk yaitu hal – hal yang

menunjukan tingkat kesejahteraan penduduk meliputi tingkat kepadatan penduduk

per kilometer persegi, persentase penduduk yang bekerja sebagai buruh tani, dan

presentasi rumah tangga petani. Ketiga, variabel sarana prasarana dan akses, yaitu

seperti fasilitas pendidikan, fasilitas kesehatan, jumlah tenaga kesehatan, sanitasi,

dan sumber air bersih. Keempat, variabel sosial dan ekonomi penduduk, seperti

keluarga pengguna listrik, penggunaan bahan bakar, kasus kejadian wabah

penyakit (busung lapar).

Page 51: DINAMIKA GERAKAN PETANI : KEMUNCULAN DAN

37  

Desa Banjaranyar dinyatakan amat kurang kurang pada poin ketiga yaitu

sarana prasarana dan akses jalan. Jarak antara Banjaranyar dengan Kota

Banjarsari, yang merupakan Ibu Kota Kecamatan Banjarsari, sesungguhnya hanya

15 kilometer, tetapi butuh waktu lebih dari dua jam untuk sampai ke Desa

Banjaranyar. Kondisi jalan yang berbatu memperlambat waktu tempuh dari dan

menuju Banjaranyar. Selain kondisi jalan yang belum baik, sanitasi atau fasilitas

MCK (Mandi Cuci Kakus) dinilai amat kurang. Pada tahun 2007 hanya satu dari

lima warga Banajaranyar yang memiliki fasilitas MCK di dalam rumah.

Sebagian besar masyarakat Desa Banjaranyar bekerja di sektor pertanian.

Hal ini tercermin di dalam data monografi desa. Penduduk Desa Banajaranyar

berjumlah 4283 orang atau 1420 KK (Kepala Keluarga) dan sebanyak 1139 KK

bekerja disektor pertanian. Banyaknya warga masyarakat yang bekerja di sektor

pertanian, tidak serta merta membuat adanya pemerataan dalam kepemilikan

tanah.

Tabel 2. Jumlah Kepala Keluarga Petani Menurut Luas Lahan yang Dimiliki,

Desa Banjaranyar, Tahun 2005

No Luasan Tanah

(Hektar)

Jumlah Kepala

Keluarga Petani

(KK)

Jumlah Kepala

Keluarga Petani

(%)

1 0 739 52,04

2 0 – 0,5 135 9,51

3 0,5 – 1 255 15,84

4 >1 10 0.70

Sumber : Data Monografi Desa Banjaranyar Tahun 2005

Struktur kepemilikan tanah yang ada di Desa Banjaranyar dirasa masih

timpang. Jumlah Kepala Keluarga (KK) yang bekerja sebagai petani ada 400 KK,

tetapi hanya 10 KK yang memiliki tanah lebih besar dari 1 hektar, 135 KK

memiliki tanah antara 0,5 – 1 hektar, dan 255 KK memiliki tanah dengan luasan

dibawan 0,5 hektar. Sisanya, sebanyak 739 KK tidak memiliki tanah dan bekerja

sebagai buruh tani

Page 52: DINAMIKA GERAKAN PETANI : KEMUNCULAN DAN

38  

Berdasarkan pembagian daerah melalui Sistem Karesidenan yang ada

dimasa Pemerintahan Kolonial Hindia Belanda. Desa Banjaranyar, yang

merupakan bagian dari wilayah Kabupaten Ciamis, masuk kedalam wilayah

Karesidenan Priyangan Timur. Pada tahun 1950an, Karesidenan Priyangan Timur

dijadikan daerah basis massa perjungan Darul Islam/Tentara Islam Indonesia

(DII/TII) yang dipimpin oleh SM Kartosuwiryo. Penetrasi gerakan DI/TII yang

masuk hingga ke desa – desa, boleh jadi meredam penetrasi gerakan komunis

yang mulai marak kembali pada akhir tahun 1950an.

Tahun 1966, pasca terjadinya Gerakan 30 September (G30S) 1965, terjadi

pembunuhan masal orang - orang yang dituduh sebagai komunis. Aksi

pembunuhan masal yang terjadi di berbagai daerah, dirasa tidak terlalu

memepengaruhi kehidupan warga. Karena kondisi Desa Banjarnyar pada saat itu

relatif stabil. Orang – orang yang menggarap lahan bekas perkebunan AGRIS NV

tidak dibunuh atau dikebiri hak – haknya karena tuduhan komunis. Sehingga

penggarapan lahan bekas perkebunan AGRIS NV terus berjalan hingga akhir

tahun 1970an.

Gambar 2. Peta Desa Banjaranyar, Kecamatan Banjarsarsari

Page 53: DINAMIKA GERAKAN PETANI : KEMUNCULAN DAN

39  

4.2 Sejarah Tanah Perkebunan Di Desa Banjaranyar

4.2.1 Pembukaan Perkebunan Kopi

Desa Banjaranyar berdiri di atas tanah perkebunan yang dahulunya

dikelola oleh perusahaan perkebunan swasta asing bernama AGRIS NV. Kontur

tanah Desa Banjaranyar yang berbukit – bukit, hawa dingin yang menyelimuti

desa, orang – orang yang berkomunikasi dengan bahasa sunda, dan keterkaitan

dengan sejarah panjang dengan perkebunan kopi, memang mengingatkan pada

kisah Prijangansteelsel yang tertulis di dalam buku Max Havelaar.

Sejarah tanah perkebunan yang ada di Desa Banjaranyar dapat dirunut

hingga awal tahun 1700-an. Yaitu, ketika tanah Priyangan bersama dengan

Batavia (Jakarta) dan sebagian kecil wilayah Majenang dijadikan daerah

penanaman kopi oleh VOC (Vereeningde Oost Indische Compagnie). Tepatnya

pada tahun 1707, VOC menetapkan tanah Priyangan sebagai salah satu daerah

ujicoba penanaman kopi. Keberhasilan dari uji coba tersebut, memicu

dilakukannnya pembukaan perkebunan kopi secara masif ditanah Priyangan.

Perkebunan kopi Priyangan yang dibuka pada priode tahun 1707 – 1730

tidak menggunakan tanah garapan rakyat, melainkan tanah – tanah bukaan baru di

wilayah hutan. Di Ciamis sendiri, dalam data Dinas Kehutanan dan Perkebunan

Kabupaten Ciamis tahun 2005, tercatat beberapa perkebunan kopi besar yang ada

pada periode tersebut, seperti Perkebunan Bangkelung, Gunung Bitung,

Panawangan, dan Perkebunan Cigayam. Di dalam area lahan Perkebunan

Cigayam inilah, tepatnya disisi sebelah utara perkebunan, dikemudian hari lahir

sebuah desa yang bernama Desa Banjaranyar.

Berdasarkan pada sistem pengelolaan perkebunan kopi yang ada pada

awal abad ke -18. Pengelolaan perkebunan kopi Priyangan, pada tahapan

pelaksanaannya diserahkan sepenuhnya kepada para bupati dan dilakukan

menurut sistem feodal. Melalui tata cara kerja paksa, penduduk diwajibkan untuk

melakukan kerja rodi, seperti pembukaan lahan baru ditanah hutan, penggarapan

lahan, penanaman biji kopi, pemeliharaan, dan pengangkutan panen biji kopi dari

perkebunan ke tempat penampungan. Pelaksanaan penanaman kopi paksa yang

dilakukan di Priyangan ini kemudian dikenal sebagai dengan sebutan Sistem

Priangan atau Prijanganstelsel (Kartodirdjo, 1991).

Page 54: DINAMIKA GERAKAN PETANI : KEMUNCULAN DAN

40  

Awal abad ke – 18 daerah Priyangan, khususnya Priyangan Timur,

merupakan daerah dataran tinggi dengan jumlah penduduk yang sedikit. Dari data

VOC Cirebon, seperti yang dikutip oleh Kartodirdjo (1991), pada tahun 1705

daerah Priyangan timur dan tengah hanya dihuni oleh 10.000 kepala keluarga.

Jumlah penduduk yang begitu terbatas tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan

perkebunan akan tenaga kerja. Guna memenuhi kebutuhan akan tenaga kerja di

perkebunan, pada periode tersebut terjadi mobilisasi tenaga kerja dari luar

kedalam wilayah Priyangan. Tercatat pada tahun 1720 daerah Priyangan timur

dan tengah telah dihuni oleh 20.000 kepala keluarga. Sehingga dengan kata lain,

selama diberlakukannya Sistem Priyangan (Prijanganstelsel) terjadi peningkatan

sebesar seratus persen atau 10.000 kepala keluarga dalam tempo lima belas tahun.

Berhasilnya penanaman kopi di daerah Priyangan ditopang oleh empat

faktor (Kartodirdjo, 1991). Pertama, faktor alami yang membuat kopi dapat

tumbuh dengan baik di Priyangan, baik itu di dataran tinggi ataupun dataran

rendah. Kedua,daerah Priyangan yang memiliki topografi pegunung memberi

perlindungan yang baik bagi tanaman kopi dari tiupan angin yang kuat. Ketiga,

karakteristik tanah, khususnya pada pada tanah perkebunan yang baru dibuka di

atas tanah hutan, sangat cocok untuk tanaman kopi. Keempat, faktor ekonomi,

harga pembayaran kopi pada masa – masa awal (1707 – 1720) tidak hanya stabil

dan bagus, tetapi juga termasuk tinggi. Hal ini tercermin dari data harga

pembelian VOC di daerah Priyangan, bahwa harga pasaran biji kopi 15 – 40 kali

lebih besar dari harga beras dalam takaran yang sama.

Faktor terakhir yang tidak kalah penting yaitu tidak adanya aksi

perlawanan secara besar - besar yang dilakukan petani Priyangan guna mencegah

penanaman kopi di daerah mereka. Perkebunan – perkebunan kopi yang ada di

wilayah Priyangan tidak menggunakan tanah garapan masyarakat untuk keperluan

perkebunan. Pada periode 1700 – 1730 tidak ditemukan adanya perebutan tanah

garapan (tanaman pangan) rakyat oleh pihak perkebunan kopi. Perkebunan –

perkebunan kopi yang ada di Priyangan dibangun diatas tanah kehutanan yang

tidak digarap oleh rakyat. Kartodirdjo (1991) mengistilahkan fenomena perluasan

tanah perkebunan kopi di Priyangan sebagai “celah angin surplus” atau vent-for-

surplus.

Page 55: DINAMIKA GERAKAN PETANI : KEMUNCULAN DAN

41  

Gambar 3 Produksi Kopi Priyangan, Batavia, dan Sekitarnya Tahun 1796 – 1810

Sumber : Sartono Kartodirdjo, dalam Sejarah Perkebunan Di Indonesia : Kajian

Sosial Ekonomi, 1991.

Getirnya kehidupan yang dialami oleh para pekerja di perkebunan –

perkebunan kopi Priyangan berbekas dalam ingatan para petani di Desa

Banjaranyar. Hal tersebut kemudian terabadikan dalam sebuah lagu berjudul

“Dengkleung dengdek”. Pada bait awal lagu ini bercerita tentang pahitnya

kehidupan dimasa taman kopi Priyangan. Pada bait selanjutnya lagu ini bercerita

tentang seorang gadis yang sedih berkepanjangan karena ditinggal sang pujaan

hati yang harus bekerja di perkebunan kopi. Menurut para tetua desa, lagu

Dengkleung Dengdek diciptakan oleh para buruh yang bekerja di Perkebunan

Kopi Priyangan. Sedangkan, menurut kisah sejarah yang dikeluarkan oleh

Pemerintah Kabupaten Ciamis, lagu tersebut diciptakan oleh Bupati Aria pada

saat beliau menjabat sebagai Bupati Galuh pada tahun 1839 – 1886. Hingga saat

penelitian ini dilaksanakan, lagu Dengkleung dengdek masih sering dinyanyikan

oleh para petani tua Desa Banjaranyar, ketika beekerja di tanah garapannya.

4.2.2 Perkebunan AGRIS NV

Lahirnya Undang – Undangn Agraria Hindia Belanda (Agrarische Wet)

pada tahun 1870 memberikan warna baru bagi perjalanan sejarah perkebunan di

0

20.000

40.000

60.000

80.000

100.000

120.000

1796 1797 1798 1799 1807 1808 1809 1810

Kopi

Kopi

Page 56: DINAMIKA GERAKAN PETANI : KEMUNCULAN DAN

42  

Indonesia. Apabila pada masa sewa tanah terdapat pemisahan antara pemerintah

dengan perkebunan. Pada masa sistem tanam paksa pemerintah menghendaki

adanya penyatuan kembali antara pemerintah dengan kehidupan perusahaan

dalam menangani produksi tanaman ekspor. Maka, pasca diterbitkannya

Agrarische Wet 1870 pemerintah secara formal memberikan kebebasan dan

keluasaan kepada para pemodal untuk melakukan usaha – usaha perkebunan. Para

penguasaha perkebunan diberikan akses langsung kepada para petani untuk

melakukan penyewaan tanah dan penyerapan tenaga kerja. Tetapi, pada

kenyataannya struktur sosial – politik masyarakat yang masih tradisional dan semi

feodal, membuat posisi petani tidak dalam kondisi yang kuat dan cenderung

dirugikan.

Salah satu hal yang dapat disoroti didalam Agrariche Wet adalah

keberadaan dari Hak Erfpacht yaitu hak untuk melakukan pengolahan diatas

sebidang tanah yang diberikan oleh Pemerintah Kolonial kepada pihak swasta

dalam jangka waktu tertentu. Pada awalnya, kesempatan yang ada banyak

dipergunakan oleh pengusaha perseorangan. Para penguasaha perseorangan

tersebut merupakan orang - orang yang telah berpengalaman dalam teknik

penanaman dan penglolaan perkebunan pada massa Sistem Tanam Paksa

(Mustain, 2007).

Pada perjalanannya, timbul berbagai permasalahan seperti krisis yang

terjadi pada tahun 1875 dan 1895, serta wabah penyakit pada tanaman kopi yang

terjadi pada tahun 1890an yang mengakibatkan kebangkrutan pada banyak

perusahaan perseorangan. Hal tersebut menimbulkan desakan untuk mengganti

perusahaan perseorangan dengan perusahaan besar berbentuk NV, salah satunya

ialah AGRIS NV. Perusahaan – perusahaan ini secara kolektif bernaung di bawah

Cultuuralbank atau Unie guna mengatasi permasalah dalam hal permodalan. Pada

momentum inilah perusahan perkebunan masuk kedalam jaringan perbankan.

Sehingga perusahaan perkebunan berubah menjadi perusahaan besar dengan

kapital-intensif (Kartodirdjo, 1991).

Berdasarkan data Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Ciamis

yang dihimpun hingga tahun 2010. AGRIS NV merupakan perkebunan yang

berdiri diatas lahan seluas 755,07 Ha. Hak Erfpacht yang dimiliki oleh AGRIS

Page 57: DINAMIKA GERAKAN PETANI : KEMUNCULAN DAN

43  

NV dikeluarkan pada tanggal 30 November 1928, dengan kode No. 472, yang

terbagi atas dua blok. Blok pertama berada disebelah utara dengan luas tanah

377,53 Ha (Erf. Verf No.20), yang berbatasan dengan Desa Cikaso. Blok kedua

berada diselatan dengan luas tanah 377,53 Ha (Erf Verf No. 214) berbatasan

dengan Desa Cigayam, Cikaso, dan Pasawahan. Hak yang dimiliki AGRIS NV

atas tanah tersebut akan habis pada 24 Januari 1975.

Didalam laporan berita acara perkebunan VOC tahun 1720, tercatat bahwa

Blok Cigayam merupakan perkebunan dengan tanaman kopi sebagai komoditas

utamanya. Blok Cigayam inilah yang kemudian pada tahun 1928 menjadi tanah

erfpacht yang hak pengelolaannya diberikan kepada perusahaan perkebunan

AGRIS NV. Perkebunan AGRIS NV tidak lagi menanam kopi, melainkan

menanam pohon karet sebagai komoditas utama. Perubahan komoditas yang

ditanam, dari kopi menjadi karet, di perkebunan AGRIS NV pada periode awal

1900an, dikarenakan dua hal yaitu faktor alam dan kebijakan liberalisasi ekonomi

yang dikeluarkan oleh Pemerintah Kolonial.

Pertama yaitu faktor alam. Pada periode awal tahun 1900an, Pemerintah

Hindia Belanda mencoba memperkenalkan beberapa tanaman pengganti kopi

seperti karet, teh, indogo, dan kina. Karena pada periode tersebut tanaman kopi

terjangkit wabah penyakit yang menyebar dibeberapa tempat di Priyangan, hingga

akhirnya masuk ketanaman kopi yang berada di daerah Galuh (Ciamis).

Penyebaran wabah penyakit tersebut memiliki dampak besar pada hasil produksi

kopi di Hindia Belanda secara keseluruhan. Hal ini dapat dilihat dari data

komoditas hasil perkebunan Pemerintah Hindia Belanda tahun 1900 hingga tahun

1909. Pada tahun 1900 - 1904, hasil keseluruhan panen kopi mencapai 615.000

pikul, dimana kemudian terjadi penurunan drastis pada tahun 1905 - 1909 yang

hanya menghasilkan kopi sebesar 371.000 pikul.

Page 58: DINAMIKA GERAKAN PETANI : KEMUNCULAN DAN

44  

Tabel 3. Jumlah Produksi Kopi Hindia Belanda, Perkebunan Pemerintah dan

Swasta Tahun 1895 – 1909 (dalam pikul)

Tahun Produksi Kopi

Perkebunan Pemerintah

(pikul)

Produksi Kopi

Perkebunan Swasta

(pikul)

1895 – 1899 314.000 446.000

1900 – 1904 212.000 403.000

1905 – 1909 98.000 273.000

Sumber : Cowan, 1961, Economic Development of Southeast – Asia.

Kedua yaitu diterbitkannya Agrarisch Wet pada tahun 1870 sebagai bentuk

dari kebijakan liberaliasi ekonomi yang dikeluarkan oleh Pemerintah Hindia

Belanda (Wiradi, 2000). Pasca Agrarisch Wet, perkebunan AGRIS NV dengan

memegang Hak Erfpacht yang diberikan Pemerintah Hindia Belanda, memiliki

kemerdekaan penuh untuk mengatur segala sesuatu di dalam perkebunan.

Pemerintah Kolonial tidak lagi dapat memaksakan pihak perkebunan, baik itu

berkaitan dengan komoditas yang ditanam ataupun sistim pengelolaan

perkebunan, seperti yang terjadi pada massa Sistem Tanam Paksa. Sehingga,

meskipun pada tahun 1925 dilakukan introdusir varietas kopi robusta yang

dikenal tanahan terhadap wabah penyakit oleh Pemerintah Kolonial. Perkebunan

AGRIS NV tetap melakukan penanaman karet dan tidak berubah kembali menjadi

perkebunan kopi. Karena perkebunan memiliki kebebasan untuk menentukan

komoditas yang akan ditanam.

Strukur organisasi perusahaan perkebunan AGRIS NV tidak berbeda jauh

dengan perusahaan perkebunan berbentuk “NV” pada umumnya. Perusahan

perkebunan berbentuk “NV” selain bercirikan kapital – intensif, juga menuntut

adanya R and D atau pengembangan dan penelitian dalam hal peningkatan hasil

produksi (Kartodirdjo, 1991). Stasiun percobaan dan penelitian disokong dengan

adanya teknologi maju, tata kerja yang lebih efisien dan juga kepekaan terhadap

pasar global. Ditanamnya pohon karet sebagai komoditas utama di perkebunan

AGRIS NV, dapat dilihat sebagai jalan yang ditempuh perusahaan perkebunan

guna menjawab kebutuhan pasar global.

Page 59: DINAMIKA GERAKAN PETANI : KEMUNCULAN DAN

45  

Lapisan atas struktur organisasi perusahaan perkebunan berbentuk “NV”,

terdapat seorang administratuer dan beberapa opzichter, yang diisi oleh orang –

orang Eropa. Administratuer ialah pimpinan umum yang merupakan sutu jabatan

puncak yang ada di perusahaan perkebunan. Opzicher merupakan pembantu

pemimpin umum yang mengepalai beberapa mandor dan bertugas mengawasi

kinerja perkebunan. Sedangkan, pada lapisan bawah terdapat buruh – buruh yang

dikelompokan ke dalam beberapa regu (ploeg) dan dipimpin oleh seorang kepala

regu (ploeg baas) (Kartodirdjo, 1991). Di dalam perusahaan perkebunan AGRIS

NV kepala regu sering kali disebut sebagai “mandor”.

Komunikasi yang terjadi antara orang Eropa yang berada pada lapisan

atas, dengan para pribumi yang berada pada lapisan bawah terjalin dalam suatu

mekanisme tertentu. Mandor selain bertugas sebagai kepala regu juga bertidak

sebagai penghubung antara para buruh perkebunan dengan para Opzicher.

Sedangkan pada lapisan atas para Opzicher-lah yang bertindak sebagai “schakel”

atau penghubung mata rantai. Sehingga praktis tidak pernah terjadi komunikasi

secara langsung antara seorang pemipin perkebunan atau Administratuer dengan

para buruh perkebunan.

Lokasi perkebunan AGRIS NV tidak terlalu jauh dari pemukiman warga,

dalam artian mudah dijangkau oleh penduduk desa sekitar perkebunan. Tidak

diketahui secara jelas apakah desa disekitar perkebunan AGRIS NV merupakan

hasil evolusi dari bedeng buruh kopi dimasa Prijangansteelsel atau bukan. Hanya

saja, menurut para tetua Desa Banjaranyar, terdapat buruh perkebunan yang

berasal dari penduduk desa. Bahkan, para wanita desa juga ada yang bekerja di

perkebunan, terutama dibagian penyadapan getah karet.

Guna memenuhi kebutuhan perkebunan akan tenaga kerja. Perkebunan

AGRIS NV juga mengambil tenaga kerja dari luar daerah Ciamis, selain para

pekerja yang berasal dari desa sekitar perkebunan. Titik pembeda antara buruh

pendatang dengan orang desa sekitar yang menjadi buruh, terdapat pada logat

bahasa yang digunakan. Walaupun seluruh buruh perkebunan AGRIS NV

menggunakan bahasa sunda sebagai bahasa komunikasi sehari - hari. Tetapi,

dialek sunda yang berbeda antara daerah satu dengan daerah yang lain dapat

dijadikan salah satu indikator penentu darimana buruh tersebut berasal.

Page 60: DINAMIKA GERAKAN PETANI : KEMUNCULAN DAN

46  

Titik – titik sentuh antara perusahaan perkebunan dengan rakyat yang

mudah menimbulkan konflik seperti perampasan tanah garapan dan lahan

pemukiman warga, tidak ditemukan di perkebunan AGRIS NV. Fenomena Tricle

down effect atau efek tetesan justru dirasakan oleh penduduk desa sekitar

perkebunan. Keberadaan perkebunan membuka lapangan pekerjaan bagi

penduduk desa sekitar. Letak perkebunan yang dekat dengan desa membuat

kehidupan di perkebunan tidak terisolasi dari dunia luar. Bahkan, terdapat buruh

perkebunan yang telah selesai bekerja, pada sore harinya dapat kembali ke desa

untuk melanjutkan perkerjaan di rumah.

Perbedaan yang mencolok memang terlihat pada taraf hidup golongan atas

(administratuer dan opzicher) dengan taraf hidup golongan bawah (buruh

perkebunan). Perbedan tersebut terdapat pada berbagai macam sisi seperti akses

pendidikan, transportasi, hiburan, dan berbagai pelayanan lainnya. Cerita – cerita

prihal kebiasaan para administratuer dan opzcher yang suka menghabiskan waktu

di Kota Bandung dan Ciamis untuk bersenang – senang, sudah menjadi rahasia

umum dikalangan buruh dan penduduk sekitar perkebunan. Namun, karena

kesadaran akan diskriminasi belum berkembang dimasyarakat, maka rakyat

menerima perbedaan tersebut sebagai suatu hal yang biasa.

4.2.3 Periode Pasca Kemerdekaan

Pasca diproklamirkannya teks proklamasi oleh Soekarno Hatta pada

tanggal 17 Agustus 1945, terjadi perubahan besar pada peta politik di Indonesia.

Hal ini juga mempengaruhi kondisi perusahaan – perusahaan perkebunan yang

ada di Indonesia. Agrarische Wet 1870 yang menjadi dasar dari hak penggunaan

lahan bagi banyak perusahaan perkebunan kemudian dihapuskan. Produk

kebijakan Pemerintah Hindia Belanda tersebut dianggap tidak memihak pada

kepentingan rakyat Indonesia, tetapi lebih bertujuan untuk memberi kemudahan

bagi para pemodal asing.

AGRIS NV sebagai salah satu perusahaan perkebunan asing yang

mendapatkan hak penglolaan lahan dari Pemerintah Hindia Belanda terjebak

dalam kondisi yang tidak jelas. Lahan yang semula dikelola sebagai perkebunan

karet, dibakar oleh warga. Para administratuer dan opczhier tidak lagi diketahui

Page 61: DINAMIKA GERAKAN PETANI : KEMUNCULAN DAN

47  

keberadaannya. Besar kemungkinan, para petinggi perkebunan tersebut ikut dalam

eksodus warga Eropa yang keluar dari Indonesia pada massa Pendudukan Jepang

(1943 – 1945). Praktis pada saat itu tidak ada kegiatan dari perusahaan

perkebunan di atas tanah perkebunan, baik itu berupa penanaman, penyadapan

pohon karet, atupun pengasapan getah karet.

Pada akhir tahun 1940an, warga sekitar perkebunan AGRIS NV mulai

melakukan penggarapan di atas tanah perkebunan. Penggarapan yang dilakukan

oleh warga tidak dilaksanakan secara berkelompok, tetapi digarap oleh masing –

masing keluarga. Luasan tanah yang digarap oleh masing – masing kelurga pun

berbeda – beda, bergantung dari jumah anggota keluarganya. Pada keluarga yang

memiliki jumlah anggota keluarga besar akan menggarap luasan tanah yang besar,

begitu sebaliknya. Penggarapan yang dilakukan oleh warga, salah satunya dipicu

oleh pidato Presiden Soekarno yang tersebar melalui radio – radio, hingga bisa

terdengar ditelinga warga Banjaranyar. Di dalam podato tersebut, Presiden

Soekarno memerintahkan warga untuk menggarap tanah - tanah perkebunan asing

dan seluruh tanah perkebunan asing akan dikembalikan kepada rakyat.

Pada tahun 1950an, terdapat dua kejadian penting ditingkat nasional yang

cukup mempengaruhi kondisi perkebunan di Kabupaten Ciamis. Pertama, yaitu

pasca Perundingan Meja Bundar di tahun 1949, seluruh perkebunan milik asing

harus dikembalikan, sedangkan perkebunan milik Pemerintah Kolonial diambil

alih oleh Pemerintah Republik Indonesia. Kedua, yaitu nasionasasi seluruh aset

terutama aset perkebunan oleh Pemerintah Republik Indonesia. Perkebunan –

perkebunan yang ada pada saat itu akan berdiri di bawah Pusat Perkebuna Negara

Baru (PPN – Baru) dan Perusahaan Negara Perkebunan (PNP) yang kesemuanya

dimiliki oleh Pemerintah Republik Indonesia.

Dua kejadian penting yang terjadi pada periode tahun 1950an tersebut,

praktis tidak mempengaruhi aktivitas warga dalam menggarap lahan bekas

perkebunan AGRIS NV. Pada saat ditetapkannya keputusan Konferensi Meja

Bundar (KMB), warga tetap menggarap lahan AGRIS NV. Pada tahun 1955,

ketika Pemerintah Republik menasionalisasi aset perkebunan, tanah bekas

perkebunan Agris NV tidak masuk kedalam daftar tanah yang akan dikelola

Pemerintah, sehingga pengarapanpun terus dilanjutkan. Dari 42 Hak Erfpacht

Page 62: DINAMIKA GERAKAN PETANI : KEMUNCULAN DAN

48  

yang ada di Kabupaten Ciamis, hanya lahan perkebunan di daerah Batulawang,

Cigugur, Cikupa, Cimanggu, Karangkamiri, Ciparanti, dan Bangunharja yang

masuk kedalam daftar tanah yang akan dikelola oleh Pemerintah melalui

Perusahaan Negara Perkebunan (PNP). Tanah perkebunan Blok Cigayam (AGRIS

NV) tidak termasuk dalam daftar tanah tersebut. Pada saat ini, seluruh lahan yang

dikelola oleh PNP tersebut, dikelola PT.Perkebunan Nusantara (PTPN) VIII.

4.2.4 Era Orde Baru

Pada tahun 1982, aktivitas penggarapan rakyat terusik dengan masuknya

PT. RSI ditanah bekas perkebunan AGRIS NV. Menurut penuturan Bapak Oman

yang merupakan salah satu tokoh masyarakat di Desa Banjarnyar, pada tahun

1982 datang seorang wanita yang bernama Ibu Jua. Wanita ini disebut – sebut

sebagai utusan PT RSI untuk mengurus masalah pertanahan, baik itu jual beli

tanah dengan masyarakat ataupun perizinan ditingkat pemerintah desa dan

kecamatan.

Berdasarkan data Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Ciamis

yang dihimpun hingga tahun 2010, tanah seluas 755,07 hektar yang berada di

wilayah Kecamatan Banjarsari dibebaskan kepada PT. Bukit Jonggol Asri,

berdasar pada SK.Men No. 1 yang dikeluarkan pada tanggal 24 Januari 1975.

Pada tahap pelaksanaannya, PT Bukit Jonggol Asri memberikan kuasa kelola

kepada PT RSI selaku anak perusahaan. Sehingga, dengan kata lain PT RSI tidak

mendapatkan Hak Guna Usaha (HGU) atas tanah eks-perkebunan AGRIS NV

secara langsung, tetapi melalui PT Bukit Jonggol Asri selaku perusahaan induk.

PT Bukit Jonggol Asri (BJA) merupakan salah satu perusahaan properti

yang terkemuka di Indonesia. Nama perusahaan ini mulai mencuat kepermukaan

setelah terlibat dalam proyek pengembangan 30.000 hektar lahan didaerah

Jonggol pada tahun 1990an. PT. Bukit Jonggol Asri merupakan salah satu

perusahaan yang berada dibawah Group Bimantara yang dimiliki oleh Bambang

Trihatmojo, salah satu putra dari Presiden Soeharto. Nama Bambang Trihatmojo

yang merupakan pemilik perusahaan telah memberi dampak tersendiri bagi warga

Desa Banjarnyar. Warga Banjaranyar cenderung enggan untuk melakukan

perlawanan guna mencegah masuknya perusahaan dilahan eks-perkebunan.

Page 63: DINAMIKA GERAKAN PETANI : KEMUNCULAN DAN

49  

Mereka lebih memilih untuk diam, meskipun dalam perencanaan pengambangan

perusahaan, tanah – tanah garapan warga termasuk di dalam lahan yang akan

digunakan oleh perusahaan.

Di dalam perencanaan pengembangan perusahaan yang disampaikan

kepada masyarakat, PT. RSI berencana mengembangkan usaha gula singkong.

Tanah yang dahulu merupakan lahan perkebunan AGRIS NV akan dirubah

menjadi perkebunan singkong terpadu. Sedangkan tanah – tanah yang telah

digarap oleh rakyat akan dibeli dengan harga yang layak oleh perusahaan. Pada

perjalanannya, proses jual beli inilah yang terjebak dalam kondisi yang tidak jelas.

Dipihak masyarakat, tidak ada kepastian tentang kapan waktu pembelian dan

harga dari tanah yang akan dibeli oleh perusahaan. Dipihak Pemerintah Daerah,

terutama Camat Kecamatan Banjarsari selaku Pejabat Pembuat Akta Tanah

(PPAT), juga tidak dapat memberi kepastian prihal jual beli tersebut.

Pada tahun 1996, Bapak Eman selaku Camat dari Kecamatan Banjarsari

mengabarkan kepada masyarakat bahwa tanah eks-perkebunan AGRIS NV sudah

tidak lagi dikelola oleh PT RSI. Hak pengelolaan tanah tersebut sudah dialihkan

kepada Perhutani. Pernyataan prihal tukar guling lahan antara PT. RSI dengan

Perhutani diperkuat dengan kehadiran Bapak Jamaludi, pejabat IRPH Perhutani

Ciamis, beberapa hari setelahnya. Pasca kejadian tersebut, Perhutani selaku

penerima hak pengelolaan tanah, melakukan penanaman bibit pohon jati di tanah

seluas 708,5 hektar. Kegiatan penanaman dan pengelolaan pohon jati oleh

Perhutani kemudian terhenti pada tahun 1998.

4.3 Pengorganisiran Petani Banjaranyar dan Aksi Perebutan Tanah

Kerusuhan Tasik yang terjadi pada tanggal 26 Desember 1997 dan

kejatuhan Presiden Soeharto dari tampuk kepemimpinan pada tahun 1998,

memberi dampak psikologis bagi warga Kabupaten Ciamis, khususnya

masyarakat Desa Banjaranyar. Masyarakat mulai berani untuk berbicara. Cerita –

cerita tentang ketidakadilan dan kemiskinan yang dialami oleh warga di sekitar

lahan eks-perkebunan, mulai merebak ditengah – tengah masyarakat.

Warga Desa Banjaranyar, yang sebagian besar berkerja disektor pertanian,

mulai mempertanyaan prihal hak pengelolaan lahan yang dimiliki oleh Perhutani.

Page 64: DINAMIKA GERAKAN PETANI : KEMUNCULAN DAN

50  

Warga juga mulai mempertanyakan prihal apa manfaat yang dapat mereka terima

dari hak pengelolaan tersebut. Pada gilirannya, isu – isu yang berkembang di

tengah masyarakat berubah menjadi aksi penyerangan terhadap lahan eks-

perkebunan.

Aksi penyerangan lahan eks-perkebunan oleh warga, berawal dari

penebangan pohon jati Perhutani secara diam - diam. Penebangan pohon

dilakukan pada malam hari, dengan harapan pelaku penebangan tidak diketahui

oleh pihak berwajib, baik itu Kepolisian, TNI ataupun petugas Perhutani. Pada

setiap malamnya, rata – rata warga berhasil menebang pohon jati seluas 5 hektar.

Aksi penebangan pohon ini tidak bertujuan untuk mencuri kayu,

melainkan bertujuan merusak pohon jati yang menjadi simbol keberadaan

Perhutani diatas lahan eks-perkebunan. Hal ini dibuktikan dengan dibiarkannya

kayu hasil tebangan berserakan dikawasan perkebunan. Bahkan, beberapa hari

setelah penebanganpun tidak ada warga Banjaranyar yang mengambil kayu

tersebut.

Pada awalnya penebangan hanya dilakukan oleh lima orang, yang dimotori

oleh Bapak Oman. Seiring berjalannya waktu, dari hari ke hari jumlah warga yang

ikut melakukan penebangan makin bertambah. Hingga setelah kurang lebih

sebulan dilakukan penebangan pohon jati Perhutani, hampir seluruh lelaki Desa

Banjaranyar ikut andil dalam penebangan tersebut. Para lelaki Banjaranyar

memang menjadi motor dalam aksi penebangan ini. Ibu – ibu, para gadis, dan

anak – anak dilarang untuk ikut andil dalam penebangan, karena dinilai berbahaya

dan penuh dengan resiko.

Menurut penuturan Ibu Wati istri dari Pak Oman, ketika melakukan

penebangan jati Perhutani, Pak oman biasanya pergi pada pukul sebelas malam

dan baru kembali sebelum adzan subuh atau sekitar pukul setengah empat pagi. Ia

dan para istri lainnya sesungguhnya tau apa yang dilakukan suami dan anak lelaki

mereka. Tetapi, tidak ada satu pun dari mereka yang mau membicarakan hal

tersebut diruang publik, seperti diwarung ketika berbelanja ataupun dipengajian

rutin masjid. Susana mencekam yang ada di desa mendorong mereka untuk tidak

membicarakan aksi penebangan ini di ruang publik.

Page 65: DINAMIKA GERAKAN PETANI : KEMUNCULAN DAN

51  

Besarnya luas lahan yang telah ditebang oleh warga, mulai mengusik

Perhutani selaku pengelola lahan. Pria – pria berbaju dinas TNI dan Brimob dari

Kepolisian mulai sering terlihat di sekitaran desa. Banbinsa yang semula jarang

melakukan pemeriksaan keliling desa, mulai rutin melakukan patroli. Rumah

Bapak Oman beberapa kali didatangi oleh anggota TNI yang menanyakan soal

penebangan kayu di arel perkebunan. Isu yang berkembang pada saat itu, orang –

orang yang menebang pohon jati perhutani merupakan para pencuri kayu. Para

pencuri kayu ini akan ditangkap dan dimasukan ke penjara.

Pada akhir tahun 1998, Pak Oman yang dipandang sebagai penggerak

warga dipanggil oleh Danrem Ciamis untuk dimintai keterangan. Pak Oman

diminta untuk mengakui bahwa ia dan warga lainnya telah melakukan pencurian

kayu di wilayah kerja Perhutani. Setelah seharian penuh diintrogasi oleh petugas,

pada akhirnya Pak Oman mengakui bahwa ia melakukan penebangan kayu, tetapi

tidak melakukan pencurian kayu. Ia berdalih bahwa pohon – pohon jati yang

berada dilahan eks-perkebunan AGRIS NV baru berumur 1 – 3 tahun, masih

terlalu muda untuk dijual.

Pemanggilan Pak Oman ke Danrem Ciamis tidak menyurutkan semangat

perlawanan warga, tetapi justru lebih mengobarkan semangat perlawanan. Warga

menjadi semakin solid dan berani menunjukan ketidaksukaan mereka terhadap

kehadiran Perhutani dilahan eks-perkebunan. Sehari setelah kembalinya Pak

Oman ke desa, warga berkumpul disamping rumah Pak Oman untuk

membicarakan kelanjutan aksi penebangan. Dari hasil musyawarah tersebut,

diputuskan bahwa aksi penebangan pohon jati dihentikan dan tanah – tanah yang

kosong karena ditebang akan digarap oleh warga.

Pada tahun 1999, melalui Sidang Umum Istimewa MPR, Abdurahman

Wahid atau Gus Dur terpilih menjadi Presiden Republik ke – 4. Di dalam salah

satu pernyataannya setelah menjadi Presiden, Gus Dur menyatakan bahwa rakyat

diperbolehkan untuk menggarap tanah – tanah perkebunan dan tanah – tanah

rakyat yang dahulu direbut oleh perkebunan akan dikembalikan kepada rakyat.

Meskipun tidak mendengar dan melihat secara langsung, pernyataan Gus Dur

prihal penggarapan tanah perkebunan juga sampai ketelinga warga Banjaranyar.

Page 66: DINAMIKA GERAKAN PETANI : KEMUNCULAN DAN

52  

Pasca tersebarnya kabar tersebut, semangat Warga Banjaranyar untuk menggarap

dan menuntut hak atas tanah semakin membesar.

Pada tanggal 26 April 1999 , warga Desa Banajaranyar bersepakat untuk

membentuk Panitia Pembebasan Tanah. Panitia Pembebasan Tanah merupakan

organisasi bentukan warga yang betugas untuk mewakili warga dalam

memperjuangkan hak – hak mereka atas tanah. Pak Oman ditunjuk sebagai ketua

dari panitia pembebasan tanah. Sedangkan jumlah anggota panitia pembebasan

tanah, tidak pernah diketahui secara pasti. Karena tidak pernah dilakukan

pendataan prihal jumlah anggota. Seluruh anggota panitia merupakan warga

Banjaranyar yang mau ikut memperjuangkan hak mereka atas tanah eks-

perkebunan. Menurut Beno, salah seorang pemuda Desa Banjaranyar, pada waktu

pembentukan panitia, warga sangat solid, setiap pertemuan panitia selalu disesaki

warga. Pada waktu itu, penduduk Banjaranyar percaya bahwa dengan berjuang

secara bersama mereka akan lebih mudah untuk mendapatkan tanah.

Perjuangan yang dilakukan Panita Pembebasan Tanah Desa Banjaranyar

tidak hanya sebatas memotori warga untuk melakukan penggarapan di tanah eks-

perkebunan. Pertemuan – pertemuan dengan para pemangku kepentingan lain juga

dijalankan, seperti pertemuan dengan Dinas Kehutanan dan Badan Pertanahan

Nasional (BPN). Meskipun pertemuan - pertemuan tersebut bukanlah inisiasi

warga Banjaranyar tetapi undangan dari pemangku kepentingan lain.

Di dalam berbagai pertemuan dengan BPN, diketahui bahwa

sesungguhnya status tanah eks-perkebunan berada dalam kondisi yang tidak jelas.

Hak Erfpacht yang dimiliki oleh AGRIS NV seharusnya hangus sebelum massa

habis waktunya, yaitu tahun 1945. Pemerintah Hindia Belanda selaku pemberi

Hak Erfpacht, telah jatuh dan digantikan dengan Pemerintah Republik Indonesia.

Maka dengan sendirinya Hak Erfpacht yang telah dikeluarkan kepada AGRIS NV

tidak berlaku lagi, karena Pemerintah Hindia Belanda sudah tidak ada.

Selain itu, aksi tukar guling lahan antara PT. Bukit Jonggol Asri, selaku

penerima Hak Guna Usaha (HGU) lahan eks-perkebunan, dengan Perhutani

dinggap tidak sah. Hal ini dikarenakan tidak adanya bukti tertulis yang mendasari

dilakukannya tukarguling lahan antara PT. Bukit Jonggol Asri dengan Perhutani.

Baik Perhutani ataupun Badan Pertanahan nasional, sama – sama tidak dapat

Page 67: DINAMIKA GERAKAN PETANI : KEMUNCULAN DAN

53  

membuktikan bahwa hak kelola lahan eks-perkebunan AGRIS NV telah diberikan

kepada pihak Perhutani. Telebih lagi, pada akhir Desember 1999, Perhutani

membantah telah mendapatkan hak kelola lahan dan tidak tau menahu soal tukar

guling lahan eks-perkebunan AGRIS NV dengan PT. Bukit Jonggol Asri. Hal

inilah yang kemudian menambah keyakinan warga untuk terus menggarap lahan

eks-perkebunan. Karena tanah tersebut dianggap sebagai tanah tak bertuan.

4.3.1 Pertemuan Dengan Agustiana

Pasca dilakukannya pertemuan dengan Badan Pertanahan Nasional (BPN)

di Kota Ciamis. Pak Oman dan beberapa orang warga Banjaranyar bertemu

dengan Agustiana yang pada saat itu bergabung dengan aktivis mahasiswa

Ciamis, Tasik, dan Garut dalam YAPEMAS (Yayasan Pengembangan

Masyarakat). Di dalam pertemuan tersebut Agustiana mengajak warga

Banjaranyar untuk melakukan perjuangan bersama dalam memperjuangkan hak

atas tanah dengan membentuk Serikat Petani Pasundan (SPP).

Menurut Agustiana, pada tahun 1999 di daerah Priayangan Timur begitu

banyak kasus persengketaan tanah, baik itu di atas tanah perkebunan ataupun di

atas tanah kehutanan (Perhutani). Pasca terjadinya reformasi pada tahun 1998,

warga yang semula ditekan oleh Pemerintah Orde Baru mulai berani menuntut

hak mereka atas tanah. Hal ini dibarengi dengan meningkatnya gerakan

mahasiswa di kawasan Ciamis, Tasik dan Garut. Ia berpendapat bahwa, gerakan

mahasiswa yang membesar pada tahun 1998 dapat bertahan, hanya apabila

bergabung dengan gerakan rakyat, seperti gerakan petani dalam menuntut tanah.

Menurut Bapak Oman, Agustiana mengajak warga Banjaranyar untuk

bergabung membentuk Serikat Petani Pasundan (SPP) dan membubarkan Panitia

Pembebasan Tanah. Panitia Pembebasan Tanah dianggap tidak akan dapat

bertahan lama, karena hanya bertujuan untuk mendapatkan tanah dan selesai pada

kasus Banjarnyar. Sedangkan Serikat Petani Pasundan (SPP) tidak hanya

bertujuan untuk mendapatkan hak atas tanah tetapi juga bertujuan untuk

meningkatkan kesejahteraan rakyat dengan tanah tersebut. Selain daripada itu,

bergabungnya warga Banjaranyar dapat menjadi penyokong dalam membantu

Page 68: DINAMIKA GERAKAN PETANI : KEMUNCULAN DAN

54  

penyelesaian kasus sengketa tanah di desa – desa lain di wilayah Ciamis, Tasik,

dan Garut.

Pasca pertemuan dengan Agustiana di depan gedung BPN, Pak Oman

mengumpulkan warga Banjaranyar untuk membicarakan usulan bergabungnya

gerakan warga Banjaranyar dalam menuntut hak atas tanah dengan Serikat Petani

Pasundan (SPP). Pertemuan yang digelar setelah waktu sholat isya dan diadakan

di dekat rumah Pak Oman juga turut dihadiri Agustianan sebagai perwakilan dari

YAPEMAS. Setelah melakukan beberapa kali pertemuan, pada akhirnya warga

Banjaranyar bersepakat untuk bergabung dengan Serikat Petani Pasundan (SPP).

Tanggal 24 Januari 2000 di Kota Garut, bersama dengan petani dari daerah

Ciamis, Tasik, Garut, warga Desa Banjaranyar ikut mendeklarasikan berdirinya

Serikat Petani Pasundan (SPP). Panitia Pembebasan Tanah yang semula menjadi

wadah organisasi gerakan petani Banjaranyar dalam menuntut hak atas tanah

dibubarkan dan digantikan dengan Organisasi Tani Lokal (OTL) Banjaranyar.

4.4 Makna Tanah Bagi Petani Banajaranyar

“dulu beno waktu awal nikah, beras aja dikirim dari sini. Coba liat sekarang, alahamdulillah udah mulai bisa mandiri. Tanah dia 250 bata ajah, cukup tuh buat idup...” (Wati, petani penggarap)

Hubungan – hubungan yang terjadi antara tanah dengan petani

Banjaranyar tidak hanya didasarkan pada hubungan ekonomi semata. Tanah boleh

jadi merupakan tempat dimana mereka menjalani mata pencaharian sebagai

petani. Terlebih lagi, diatas tanah tersebut jugalah petani Banjarnyar menjalin

hubungan yang berdasarkan ikatan – ikantan solidaritas sosial. Ketika ada petani

yang gagal panen atau mengalami musibah maka beban ini tidak semata – mata

ditanggung oleh petani tersebut. Begitu pula ketika terdapat salah saorang anak

muda yang baru menikah. Anggota komunitas lainnya secara swadaya akan

membantu guna mengurangi beban yang diderita. Bantuan sering kali berupa

beras dan hasil bumi lainnya, tetapi tidak jarang bantuan dapat pula berupa

pekerjaan seperti menggarap tanah garapan tetangganya.

Page 69: DINAMIKA GERAKAN PETANI : KEMUNCULAN DAN

55  

“kalo saya mening punya tanah tapi susah makan daripada bisa makan tapi gak punya tanah. Bingung de, kalo gak punya tanah mah....” (Ati, petani penggarap)

Bagi petani Banjaranyar tanah erat kaitannya dengan rasa aman, aman dari

sisi ekonomi dan aman sisi sosial. Aman dari sisi ekonomi berarti petani tersebut

mempunyai jaminan atas penghasilan yang akan didapatnya dari hasil pertanian.

Keberadaan tanah garapan memungkinkan petani untuk dapat memanfaatkan

potensi dari tanah tersebut. Sehingga Tercipta garansi – garansi secara psikologis,

bahwa masih ada harapan akan hasil panen dari tanaman di atas tanah garapan,

menciptakan kepercayaan diri bagi si petani dalam mengarungi hidup.

Aman dari sisi sosial dapat dilihat dari persepsi masyarakat prihal orang

yang tidak punya tanah garapan. Orang yang tidak punya tanah garapan

dipersepsikan sebagai manusia yang miskin ekonominya, miskin kemauannya,

dan miskin semangatnya.

“susah berarti kalo gak punya tanah.. dari dulu juga kan, orang sini tanah jarang yang beli... paling sekarang – sekarang aja ada yang beli, itu juga bukan beli, paling sewa buat balong... lagian sih... masa tinggal ngegarap aja gak mau... berarti kan dia males orangnya... kalo ada gitu anak muda sini yang gak ada tanah, sepetak aja gitu... dijamin susah cari istri juga...” (Jandi, Sekdes Banjaranyar) Penduduk Banjaranyar cenderung tidak memiliki banyak pilihan mata

pencaharian. Sebagian besar masyarakat merupakan orang yang menggantungkan

hidupnya pada sektor pertanian. Hal inilah yang kemudian menciptakan

ketergantungan yang tinggi antara penduduk Banjaranyar dengan tanah.

Rasa aman yang diberikan dari keberadaan tanah inilah yang kemudian

terusik dengan kehadiran PT RSI dilahan eks-perkebunan pada awal tahun

1980an. Kuatnya institusi Negara dan Pemerintahan yang cenderung represif

selama masa Orde Baru, membuat petani Banjaranyar tidak mampu untuk

melakukan gerakan perlawanan. Baru setelah kejatuhan rezim Orde Baru dan

melemahnya institusi Negara pada tahun 1998, petani Banjaranyar berani

melakukan gerakan perlawanan.

Page 70: DINAMIKA GERAKAN PETANI : KEMUNCULAN DAN

56  

Secara de jure, sesungguhnya petani yang menggarap tanah eks-

perkebunan AGRIS NV belum diakui kepemilikan atas tanah garapannya oleh

Negara. Karena Badan Pertanahan Nasional (BPN) selaku pihak yang berwenang

belum mengeluarkan setifikat kepemilikan atas tanah tersebut, baik itu setifikat

kepemilikan per-individu ataupun secara kelompok..

Tanah, bagi petani Banjaranyar juga dapat dipandang sebagai sarana

ekstistensi mereka dikehidupan bermasyarakat. Sebagai contoh, iuran wajib

bulanan di Organisasi Tani Lokal (OTL) Banjaranyar didasarkan pada luasan

tanah yang digarap oleh masing – masing petani. Petani yang menggarap tanah

satu kavling akan ditarik iuran sebesar dua puluh ribu rupiah dan untuk dua

kavling akan dikenakan iuran empat puluh ribu rupiah.

Pasca masa perebutan tanah eks-perkebunan AGRIS NV oleh warga, tanah

dijadikan alat penghargaan bagi warga Banjaranyar yang dinggap berjasa bagi

perjuangan perebutan tanah. Orang – orang tersebut mendapatkan tanah garapan

lebih besar daripada warga pada umumnya. Apabila masing – masing warga

hanya mendapatkan satu hingga dua kapling tanah. Orang yang dianggap berjasa

dalam perjuangan perebutan tanah akan mendapatkan empat hingga lima kavling

tanah, dengan satu kavling sama dengan dua ratus lima puluh bata.

“tanah itu idup mati.. bapak dapetnya susah.. mesti gelut dulu sama orang yang loreng – loreng itu... jadi gak bakal dijual, kepikiran juga enggak...” (Oman, petani penggrap) “embung jual tanah sih... ibu kan dah tua, garap juga gak kuat... tinggal ke haji belom... makanya nanem jengjeng, tar kalo dah gede baru jual... nambahin ongkos munggah haji...” (Adminah, petani penggarap) Segala macam kegiatan ekonomi yang terjadi diatas tanah garapan

memang tidak dapat menyingkirkan makna tanah dari unsur ekonomi. Kegiatan –

kegiatan seperti “ngaborong” untuk pekerja penggarap tanah, “ijon” tanaman

kayu rakyat, dan jual beli pohon dibawah tegakan kayu, mudah kita temui di Desa

Banjaranyar.

Page 71: DINAMIKA GERAKAN PETANI : KEMUNCULAN DAN

57  

BAB V

GERAKAN PETANI BANJARANYAR

5.1 Organisasi Gerakan

Bergabungnya gerakan petani Banjaranyar dengan Serikat Petani

Pasundan (SPP) membawa sejumlah konsekuensi. Konsekuensi tersebut berupa

pembubaran Panitia Pembebasan Tanah Banjaranyar, kepatuhan pada segala tata

pertaturan di dalam SPP, mekanisme penerimaan anggota, dan kesediaan untuk

mengikuti aksi – aksi atau demonstrasi yang dilakukan oleh SPP.

Pada tanggal 26 April 1999, warga Banjaranyar membentuk Panitia

Pembebasan Tanah Banjaranyar. Organisasi ini merupakan wadah perjuangan

warga Banjaranyar untuk mendapatkan hak atas tanah di lahan eks-perkebunan

AGRIS NV. Pasca bergabungnya warga Banjaranyar dengan Serikat Petani

Pasundan (SPP), Panitia Pembebasan Tanah Banjaranyar dibubarkan dan

digantikan dengan Organisasi Tani Lokal (OTL) Banjaranyar. Bergabungnya

gerakan Banjaranyar dengan Serikat Petani Pasundan (SPP) ditandai dengan ikrar

bersama di Garut pada tahun 2000, yang diikuti oleh warga Banjaranyar dan

petani lain dari wilayah Ciamis, Garut, Tasik.

Oraganisai Tani Lokal (OTL) Banjaranyar merupakan salah satu dari

organisasi petani lokal yang berada dibawah Serikat Petani Pasundan (SPP). OTL

berdiri ditingkatan desa dengan tujuan menjaga kesinambungan gerakan massa di

tingkat akar rumput. Selain bertujuan untuk menanamkan nilai – nilai gerakan,

OTL juga merupakan sarana penghubung atau jalur informasi antara anggota SPP

di desa dengan kesekertariatan SPP di Kota Ciamis. OTL inilah yang kemudian

mempermudah sekertariat SPP untuk mendapatkan gambaran tentang kondisi desa

dan segala permasalahan yang ada di dalam masyarakat desa.

Menurut Agustiana, Sekjen SPP, pendirian OTL baik itu di Desa

Banjaranyar ataupun di desa – desa lainnya bertujuan untuk menjaga massa pada

tingkat akar rumput agar tetap teguh pada garis perjuangan SPP. Pendefinisian

garis perjungan SPP dijabarkan melalui 9 kewajiban anggota SPP, yaitu :

1. Wajib memiliki rasa solidaritas baik sesama anggota maupun sesama manusia

tanpa memandang suku.

Page 72: DINAMIKA GERAKAN PETANI : KEMUNCULAN DAN

58  

2. Wajib mengikuti dan membangun sikap bergotong royong.

3. Wajib ikut melaksanakan musyawarah dalam pengambilan keputusan

organisasi.

4. Wajib iman dan takwa terhadap Allah SWT.

5. Wajib menjaga lingkungan hidup dan kelestarian alam.

6. Wajib berjuang untuk mendapatkan kesejahteraan dan kehidupan yang layak.

7. Wajib menjadi pemimpin masyarakat yang arif dan bijaksana.

8. Wajib mencari ilmu dan membangun kepintaran dan kecerdasan.

9. Wajib memperjuangkan kebenaran dan keadilan yang hakiki.

Organisasi Tani Lokal berada pada lapisan yang paling bawah. Pada

lapisan atas terdapat terdapat Kongres Dewan Pimpinan OTL sebagai pemegang

kekuasaan tertinggi. Kongres akan memberikan mandat penuh kepada seorang

Sekertaris Jendral (Sekjen) untuk menjalankan organisasi. Di dalam menjalankan

roda organisasi Sekjen akan dibantu oleh tiga orang Koordinator, tiga orang

deputi atau wakil dan tiga orang kepala divisi.

Tiga orang koordinator yang dibagi berdasarkan wilayah kerja, yaitu

Koordinator wilayah Garut, Koordinator wilayah Tasik, dan Koordinator wilayah

Ciamis. Tetapi khusus untuk wilayah Kabupaten Ciamis, wilayah kerja dibagi

kembali menjadi tiga yaitu Ciamis tengah, Ciamis Selatan, dan Ciamis Utara. Hal

ini disebabkan karena banyaknya kasus sengketa lahan yang ada di wilayah

Kabupaten Ciamis. OTL Banjaranyar berada di bawah Koordinator wilayah

Ciamis, tepatnya Ciamis Tengah.

Tiga orang kepala divisi dibagi berdasarkan fungsi pendukung oraganisasi,

seperti divisi penguatan organisasi, divisi pengolahan sumberdaya hutan, dan

divisi informasi dan telekomunikasi. Secara struktural keberadaan divisi masuk ke

dalam kesekertariatan Sekjen. Pada perkembangannya, guna memenuhi

kebutuhan organisasi keberadaan divisi mengalami beberapa penyesuaian. Hingga

saat ini, terdapat dua divisi baru, yaitu divisi pengembangan ekonomi masyarakat

dan divisi hukum yang kemudian berkembangan menjadi Lembaga Bantuan

Hukum (LBH) SPP.

Page 73: DINAMIKA GERAKAN PETANI : KEMUNCULAN DAN

59  

Pertanggungjawaban sekertariat SPP, dalam hal ini Sekjen SPP kepada

Dewan Pimpinan OTL, seharusnya dilakukan satu kali setiap dua tahun. Hal ini

merujuk pada profile SPP yang dikeluarkan pada tahun 2001. Tetapi, hingga saat

ini pertanggungjawaban tersebut belum pernah dilakukan. Pada prakteknya,

mekanisme pertanggungjawaban dilakukan melalui temu OTL yang dilakukan

setiap tiga bulanan di sekretariat SPP. Lama waktu kepengurusan seorang Sekjen

tidak diketahui secara pasti. Semenjak berdirinya SPP pada tahun 2000 hingga

dilakukannya penelitian ini pada tahun 2010, Sekjen Serikat Petani Pasundan

(SPP) tetap dipegang oleh Agustiana.

Gambar 4. Struktur Organisasi Serikat Petani Pasundan (SPP)

Organisasi Tani Lokal (OTL) Banjaranyar beranggotakan warga

masyarakat Desa Banjaranyar. Hingga saat ini tercatat, terdapat 190 Kepala

Keluarga (KK) yang terdaftar sebagai anggota dari OTL Banjaranyar. Apabila ada

seseorang yang berkeinginan untuk menjadi anggota, maka orang tersebut wajib

memenuhi beberapa persyaratan atau disebut sebagai tata tertib anggota, yaitu :

1. Mendaftarkan diri pada dewan pimpinan Organisasi Tani Lokal setempat

dan direkomendir oleh Koordinator Dewan Pimpinan Organisasi Tani

Lokal.

Kongres Dewan Pimpinan OTL

Kesekretariatan Sek.Jen 

Koord DPP Kab Garut 

Koord DPP Kab Tasikmalaya 

Koord DPP Kab Ciamis 

Koord. DPP

Wilayah 

Koord. DPP

Wilayah

Koord. DPP

Wilayah 

Koord. DPP

Wilayah 

Koord. DPP

Wilayah 

Koord. DPP

Wilayah 

DPP OTL

DPP OTL

DPP OTL 

DPP OTL 

DPP OTL 

DPP OTL 

A n g g o t a

Page 74: DINAMIKA GERAKAN PETANI : KEMUNCULAN DAN

60  

2. Melaksanakan agenda dan program yang telah diputuskan secara parsitipatif

oleh musyawarah Dewan Pimpinan Organisasi Tani Lokal.

3. Membayar iuran wajib anggota yang diputuskan secara musyawarah yang

besarnya ditetapkan oleh musyawarah Dewan Pimpinan Organisasi Tani

Lokal masing-masing.

4. Memiliki kartu anggota Serikat Petani Pasundan.

5. Menjaga nama baik Serikat Petani Pasundan.

6. Menjalin silahturahmi dengan sesama anggota dan pimpinan Organisasi

Tani Lokal dan sesama anggota lainnya

7. Memperjuangkan hak untuk membangun kesejahteraan ekonomi, sosial,

politik, dan budaya bagi anggota.

8. Memelihara dan menjaga keseimbangan lingkungan hidup yang berkeadilan

dan kesetaraan.

9. Berjuang membangun kepintaran dan kecerdasan.

10. Berjuang merebut keadilan dan kecerdasan.

11. Meningkatkan kebersamaan dan gotong-royong.

12. Melaksanakan 9 (Sembilan) Wajib SPP.

13. Mengontrol dan mengawasi kinerja Dewan Pimpinan Organisasi Tani Lokal

masing-masing.

14. Hal-hal yang belum tercantum dari poin 1 sampai dengan poin 13 akan

diatur dan dimusyawarahkan dikemudian hari.

Hal ini jelas berbeda dengan organisasi yang sebelumnya dibetuk oleh

warga Banjaranyar, yaitu Panitia Pembebasan Tanah (PPT). Di dalam PPT tidak

dikenal adanya persyaratan khusus untuk masuk menjadi anggota organisasi.

Seluruh warga Banjaranyar yang berkeinginan bergabung dengan PPT, cukup

Page 75: DINAMIKA GERAKAN PETANI : KEMUNCULAN DAN

61  

datang dan ikut aktif di dalam setiap rapat dan kegiatan PPT. Maka, dengan

sendirinya orang tersebut sudah menjadi anggota PPT.

OTL Banjaranyar dipimpin oleh seorang ketua yang dibantu sekertaris

OTL dan bendahara OTL. Mekanisme pemilihan ketua OTL di Desa Banajaranyar

dilakukan secara musyawarah. Seluruh anggota OTL berhak mencalonkan

siapapun, asalkan orang tersebut merupakan anggota SPP. Setelah seorang ketua

terpilih menjadi ketua OTL, barulah kemudian ketua OTL diberikan hak untuk

dapat memilih sekertaris dan bendahara. Keberadaan ketua OTL tidak hanya

bertugas untuk menjalankan amanah organisasi, tetapi juga bertindak sebagai

pemersatu dari para anggota OTL.

Butir – butir peraturan baik itu 9 wajib anggota ataupun tata tertib

anggota, tidak ditetapkan oleh OTL Banjaranyar sendiri. Seluruh peraturan yang

ada dimusyawarahkan di dalam rapat Dewan Pimpinan OTL Serikat Petani

Pasundan (SPP). Setelah disepakati oleh seluruh anggota Dewan Pimpinan OTL

SPP, maka peraturan tersebut akan disebarkan keseluruh anggota, untuk segera

dilaksanakan.

Sistem keanggotaan yang ada di OTL Banjaranyar memang merujuk pada

pada sistem keanggotaan yang ada di Serikat Petani Pasundan (SPP). Hal ini

merupakan salah satu konsekuensi yang harus ditanggung gerakan petani

Banjaranyar ketika bergabung dengan SPP. Di dalam tubuh SPP terdapat dua

macam keanggotaan yaitu anggota dan pendamping. Kedua tipe anggota tersebut

diperlakukan sama, dalam artian keduanya memiliki kewajiban untuk mentaati 9

wajib anggota, tata tertib anggota, dan segala keputusan Dewan Pimpinan OTL

SPP.

Anggota merupakan para petani yang berada di desa dalam wilayah kerja

dan berada di bawah koordinasi OTL. Pendamping adalah para mahasiswa yang

ikut andil dalam perjuangan petani. Secara struktural, pendamping SPP berada di

dalam kesekertarian Sekjen dan bertanggungjawab langsung kepada Sekjen SPP.

Sebagian besar pendamping merupakan mahasiswa yang berasal dari universitas

yang ada tiga Kabupaten di Priyangan Timur, yaitu Garut, Ciamis, Tasik.

Pendamping inilah yang kemudian bertugas mengadvokasi para petani dan

menyadarkan petani prihal hak dan kewajiban mereka, khususnya hak petani atas

Page 76: DINAMIKA GERAKAN PETANI : KEMUNCULAN DAN

62  

tanah. Meskipun, tidak jarang pada prakteknya para pendamping ini harus juga

belajar bercocok tanam kepada para petani.

5.2 Strategi Gerakan

Bergabungnya gerakan petani Banjaranyar dengan Serikat Petani

Pasundan (SPP), telah memperbesar ruang gerak dari gerakan petani Banjaranyar.

Gerakan petani yang semula hanya berputar pada lingkup desa dan satu daerah

reclaim berkembang menjadi sebuah gerakan petani ditingkatan regional, yaitu

Karesidenan Priayangan Timur. Selain meluasnya ruang gerak, penggabungan ini

juga berdampak pada strategi gerakan yang digunakan.

Pada mulanya, perlawanan yang dilakukan oleh petani Banjaranyar berupa

pendudukan lahan eks-perkebunan. Pendudukan ini diawali dengan pemotongan

pohon – pohon jati Perhutani, yang dikuti dengan penggarapan dilahan tersebut.

Setelah dianggap memiliki kekuatan yang cukup, dibentuklah organisasi untuk

mewadahi perjungan guna mendapatkan hak atas tanah. Terbentuknya organisasi

yang kemudian disebut sebagai Panitia Pembebasan Tanah Banjaranyar berhasil

meningkatkan persatuan diantara petani penggarap.

Pada periode tahun 1999 – 2000 ketika terbentuknya panitia pembebasan

tanah, persatuan diantara warga Banjaranyar, memang dianggap sebagai cara yang

paling ampuh untuk merebut dan mempertahankan tanah.

“waktu panitia kita pikir gini, yang penting nyatu dulu. Guyub ajah yang penting. Emang keliatan si... tiap ada pertemuan rame, semua orang dateng. Orang tani, orang dagang, guru, dateng semua. Polisi juga takut kalo gitu mah... masa dia mau nangkep sekampung, kan gak mungkin.” (Oman, petani penggarap)

Persatuan yang terjadi di antara warga desa juga disokong oleh penyebaran

ide gerakan yang gencar dilakukan oleh para anggota panitia. Penyebaran ide –

ide perjuangan dilakukan melalui pertemuan desa, pertemuan panitia tanah,

rembuk warga, serta pembicaraan informal lainnya. Penyebaran ide perjungan

tidak hanya terbatas pada para petani penggarap, tetapi seluruh warga Desa

Banjaranyar. Media komunikasi yang dipakai, lebih banyak menggunakan

Page 77: DINAMIKA GERAKAN PETANI : KEMUNCULAN DAN

63  

komunikasi langsung dari mulut ke mulut. Tidak ada selebaran ataupu pamflet

yang disebarkan untuk memasifkan gerakan.

Strategi perjuangan yang digunakan pada massa terbentuknya panita

pembebasan tanah memang lebih bersifat ke dalam desa. Penggunaan strategi

guna memanfaatkan sumberdaya, individu, ataupun institusi di luar desa seperti

penggunaan media massa, penguatan jaringan dengan aktivis mahasiswa dan

LSM, serta audiensi dengan para pemangku kepentingan belum dilakukan secara

maksimal. Perjuangan keluar desa yang sempat dilakukan oleh panitia

pembebasan tanah, baru berupa pertemuan dengan Badan Pertanahan Nasional

(BPN) Kabupaten Ciamis diakhir tahun 1999.

Pada tahun 2000, setelah bergabungnya gerakan petani Banjaranyar

dengan dengan Serikat Petani Pasundan (SPP), strategi yang digunakan dalam

melakukan perlawanan mengalami perubahan, baik yang bersifat kedalam ataupun

keluar desa. Sistem keanggotaan yang diterapkan oleh SPP telah merubah tata

cara penyebaran ide gerakan di dalam desa. Penyebaran ide gerakan tidak lagi

ditujukan kepada seluruh warga desa, melainkan hanya kepada anggota SPP,

khususnya OTL Banjaranyar.

Di dalam profile SPP yang dikeluarkan pada tahun 2001, seluruh anggota

SPP diwajibkan untuk menjadi seorang khalifah. Khalifah dimuka bumi, khalifah

dalam menguasai sumberdaya agraria, dan juga khalifah dalam membuat dan

menjalankan kebijakan di tingkatan desa.

“kami mengesampingkan negara, karena fungsi negara proses dari rakyat ini. Bagaimana agar rakyat didesa tidak miskin... dapat memiliki tanah... dan juga terlibat dalam proses pembuatan kebijakan di tingakat desa. Jadi seluruh anggota SPP harus mampu ngasih manfaat kedesanya, dan harus mau dan mampu jadi pemimpin di desa. Karena manusia memang tugasnya jadi khalifah... pemimpin...” (Agustiana, Sekjen Serikat Petani Pasundan)

Seluruh anggota OTL Banjaranyar selalu didorong untuk dapat berperan di

desa. Selain ikut andil dalam program – program yang dikeluarkan oleh

Pemerintah desa, anggota OTL juga dituntut untuk ikut dalam program

pemerintah pusat yang mengalir ke desa. Bahkan, pada periode kepemimpinan

Page 78: DINAMIKA GERAKAN PETANI : KEMUNCULAN DAN

64  

saat ini Kepada Desa Banajaranyar merupakan anggota Serikat Petani Pasundan

(SPP).

Berbagai macam peran yang diambil oleh anggota OTL di desa, dapat

dikatakan bertujuan untuk meminimalisir resistensi yang berasal dari dalam desa.

Menurut Hermawan, salah satu pendamping yang ada di OTL Banajaranyar,

perjuangan mendapatkan tanah merupakan perjalanan yang penuh dengan

rintangan. Segala macam rintangan tersebut akan menjadi berkali – kali lipat

kesulitannya apabila di dalam desa sendiri ada resistensi pada keberadaan OTL

Banjaranyar (SPP).

Serikat Petani Pasundan (SPP) tidak hanya berisikan para petani, tetapi

juga para mahasiswa yang kemudian menjadi pendamping di dalam organisasi.

Kehadiran para mahasiswa inilah yang kemudian memberikan warna baru pada

strategi gerakan yang digunakan. Perubahan strategi gerakan jelas terlihat pada

hubungan gerakan petani Banajaranyar dengan berbagai kekuatan diluar desa.

Pada massa panitia pembebasan tanah, petani Banajaranyar tidak pernah

sekalipun melakukan aksi demontrasi. Keterbatasan dana, rasa takut apabila

melakukan perlawanan di luar desa, jauhnya jarak antara Desa Banjaranyar

dengan pusat pemerintahan dan ketidaktahuan tentang apa itu demontrasi menjadi

beberapa faktor penyebab tidak dipilihnya demonstrasi sebagai strategi

perlawanan. Pasca tahun 2000, sudah tidak terhitung berapa kali OTL Banjaranyar

sudah melakukan aksi demontrasi, baik itu ke Pemerintah Pusat (Jakarta) ataupun

ke Pemerintah Daerah (Bandung dan Ciamis).

Pada setiap aksi demontrasi, sudah ada semacam pembagian tugas. Para

pengurus OTL di Desa Banjaranyar bertugas untuk mengumpulkan massa aksi

dan uang dari para anggota. Besaran iuran aksi disesuaikan dengan luas tanah

yang digarap, untuk setiap kavling tanah garapan anggota akan dikenai iuran

sebesar Rp 20.000,00. Uang hasil iuran anggota tersebut kemudian digunakan

untuk menyewa truk, untuk mengangkut masa aksi, dan perbekalan selama

dilakukannya aksi demontrasi. Bagi para pendamping yang bertugas di

kesekertariatan Sekjen, bertugas untuk mengurus perizinan aksi di Kepolisian,

menetukan target dan tuntutan aksi, menghubungi media masa, serta mengurus

Page 79: DINAMIKA GERAKAN PETANI : KEMUNCULAN DAN

65  

bantuan hukum apabila ada anggota yang tertangkap selama demonstrasi

berlangsung.

Demontrasi yang dilakukan Serikat Petani Pasundan (SPP) tidak hanya

diikuti oleh OTL Banjaranyar, tetapi seluruh OTL wajib mengikuti setiap aksi

demonstrasi. Hingga saat ini terdapat 36 OTL yang tersebar di tiga wilayah

Kabupaten, yaitu Garut, Tasik, dan Ciamis. Aksi demontrasi terakhir yang

dilakukan pada Juli 2010, tidak kurang dari 6000 orang turut memenuhi Kota

Bandung dengan satu tuntutan. Tuntutan yang dibawa ialah permintaan kepada

Kepala Dinas Kehutanan Jawa Barat untuk mencabut penyataannya, yang

menyatakan bahwa anggota SPP merupakan para pencuri kayu.

Penggunaan media masa, baik saat demonstrasi ataupun tidak, juga

merupakan hal baru bagi gerakan petani Banjaranyar. Kemampuan media untuk

dapat membentuk opini masyarakat, terutama masyarakat di luar lingkup desa,

dianggap dapat membantu perjungan mereka.

“pake wartawan kan supaya semua orang jadi tau. Ada apa disini... orang Jakarta tau, Bandung tau, mas juga jadi tau... Pejabat juga kan sering susah ditemuin nya. Kalo berita kita ada di tipi sama koran gitu... kan dia jadi tau kalo kita ini masih terus berjuang... hoyong tanah yeuh pak.. kasih dong.” (Hermawan, pendamping Serikat Petani Pasundan)

Strategi gerakan yang baru pada tahun 2004 mulai dilakukan ialah

intervensi pada ranah politik praktis, baik ditingkat eksekutif ataupun legislatif.

Pada tahun 2004 sistem pemilihan umum (Pemilu) di Indonesia dirubah menjadi

sistem pemilihan langsung. Seluruh penduduk Indonesia yang telah memenuhi

persyaratan, berhak memilih langsung pemimpin diekskutif (Presiden, Gubernur,

Bupati) dan perwakilan dilegislatif (DPR, DPRD). Perubahan sistem pemilihan

umum dimanfaat dengan cara memasukan anggota SPP menjadi calon anggota

legislatif. Hingga saat ini terdapat empat orang anggota SPP yang telah menjadi

anggota dewan di DPRD Ciamis. Begitu pula dengan Pemilu Kepala Daerah

Kabupaten Ciamis, mekipun tidak ada anggota SPP yang mencalonkan diri

sebagai Bupati, posisi penting SPP berada pada arah dukungan masa gerakan.

Page 80: DINAMIKA GERAKAN PETANI : KEMUNCULAN DAN

66  

“SPP itu tidak akan mendukung salah satu calon... kalo orang – orangnya saya gak bisa jamin ya... kan urusan masing – masing... tapi bagi calon bupati yang tidak mendukung perjuangan SPP... dijamin gak bakal didukung sama SPP... saya juga yakin gak bakal menang tuh...” (Agustiana, Sekjen Serikat Petani Pasundan)

Intervensi keranah politik praktis, berangkat dari kesadaran bahwa

perjuangan perebutan hak – hak petani atas tanah sulit berhasil bila tidak ada

dukungan dari pemerintah. Gerakan petani merupakan sarana yang digunakan

untuk dapat memaksa pemerintah memperhatikan hak – hak petani. Di dalam

prosesnya SPP, termasuk OTL Banjaranyar di dalam nya, memilih untuk tidak

hanya memaksa dan menunggu kebaikan Pemerintah tetapi juga berperan aktif

dalam terhadap jalannya pemerintahan.

“dulu waktu susno jadi Kapolda, kan kita dituduh makar. Dosa tuh dia... makanya sekarang blangsak gitu... kalo mau makar, ngapain kita dukung puying jadi anggota DPRD. Kita ini mau ingetin pemerintah kalo petani itu ada, petani itu susah... kalo diingetin susah ya kita masuk dong... biar bisa ngingetinnya tiap hari.” (Jek, Koordinator Wilayah Ciamis Serikat Petani Pasundan)

5.3 Kepemimpinan

Selayaknya yang dinyatakan oleh Scott (1971), kepemimpinan merupakan

salah satu syarat penting terbentuknya gerakan petani. Marx (1875)

menganalogikan petani seperti kentang di dalam keranjang, yang meskipun

bersatu susungguhnya terpisah antara satu dengan yang lain. Petani membutuhkan

perwakilan yang berasal dari kelas yang berbeda untuk menyatukan dan

menyatakan diri mereka ke dalam sebuah kelas. Perwakilan inilah yang kemudian

bertugas untuk memimpin dan membantu mereka, guna melawan kelas – kelas

penindas.

Rabu 2 Juni 2010, pukul dua siang Oman kembali kerumah. Pria berusia

57 tahun ini telah lima jam berada di ladang. Ladang yang berisi tanaman cokelat

(kakao), kopi, singkong, pisang, dan dua buah balong (kolam ikan) dirawatnya

setiap hari dengan bantuan istri dan beberapa orang tetangga. Tubuh tua Oman

sudah tidak lagi mampu bekerja sehari penuh di ladang. Sesekali ia mengeluhkan

Page 81: DINAMIKA GERAKAN PETANI : KEMUNCULAN DAN

67  

kondisi tubuhnya yang mudah sekali lemas. Terlebih lagi penyakit chikungunya

yang dideritanya dalam tiga minggu terakhir membuat seluruh persendiannya

sering terasa sakit, terutama pada waktu malam hari.

Penampilan Oman dirasa kurang meyakinkan untuk menjadi seorang

pemimpin gerakan petani. Ia bukanlah seorang orator ulung yang dapat membuat

orang – orang terpukau ketika berpidato. Oman lebih banyak diam ketika aksi

demonstrasi ataupun pertemuan dengan para pemangku kepentingan. Siapa yang

menyangka, lelaki ini telah berhasil membakar semangat warga Banajaranyar

untuk merebut tanah eks-perkebunan AGRIS NV.

Tahun 1998, Oman mengajak beberapa warga untuk membabat tanaman

jati yang ditanam Perhutani di lahan eks-perkebunan. Kejatuhan rezim Orde Baru

menciptakan momentum dan menumbuhkan keberanian diantara warga

Banjaranyar untuk melawan. Kemampuan Oman dalam mempengaruhi orang lain

ketika berbicara secara langsung, membuat aksi pembabatan pohon jati semakin

mudah dilakukan. Ia berusaha menyadarkan warga bahwa di dalam tanah eks-

perkebunan, juga terdapat hak mereka.

“tanah ada didepan mata masa digarap aja gak boleh... kalo warga disini udah pada kaya sih gak papa.. tapi ini kan susah... mau idup aja mesti ke kota... ngegarap juga bukan buat dijual.. buat idup aja...” (Oman, Petani Panggarap)

Oman dipandang sebagai seorang yang gigih dan berpengetahuan luas.

Pengalamannya selama lebih dari 25 tahun menjadi seorang Pegawai Negeri Sipil

(PNS), cukup membuat ia mengetahui kondisi diluar desa. Warga Banjaranyar

sering datang ke rumah Oman untuk bertanya prihal banyak hal, seperti soal tanah

garapan, permasalahan seputar pertanian, hingga sekolah yang baik untuk anak –

anak mereka.

Berdasarkan tipe – tipe kepemimpinan, kepemimpinan Oman dapat

digolongkan kedalam tipe kepemimpinan paternalistik. Oman dihormati di desa

sebagai seorang tetua desa, bukan hanya karena sudah cukup berumur, tetapi juga

karena dipandang sebagai orang yang mampu memberi suri tauladan. Pada saat

pembentukan Panitia Persiapan Tanah Banjaranyar, Oman ditunjuk sebagai ketua.

Page 82: DINAMIKA GERAKAN PETANI : KEMUNCULAN DAN

68  

Ia adalah penggagas aksi pembabatan pohon jati Perhutani, Oman jugalah yang

menyusun strategi selama pembabatan berlangsung.

Pada saat gerakan petani Banjaranyar meleburkan diri kedalam Serikat

Petani Pasundan, oman kembali ditunjuk menjadi Ketua Organisasi Tani Lokal

(OTL) Banjaranyar. Tidak banyak perubahan pada gaya kepemimpinan Oman. Ia

lebih sebagai “bapak” bagi para anggota OTL. Pertemuan rutin anggota ia buat

sedemikian rupa sehingga tidak terasa membosankan bagi anggota. Persoalan –

persoalan yang dibahas tidak melulu mengenai tanah garapan dan strategi aksi

perlawanan. Para anggota diberikan ruang untuk menyampaikan keluh kesah dan

segala permasalahan pribadi mereka.

Selain membuka ruang untuk para anggota disetiap pertemuan rutin, ia

juga menjadikan rumahnya sebagai rumah bagi semua orang. Apabila ada yang

tidak tersampaikan pada pertemuan rutin, setiap anggota OTL bisa

menyampaikannya di rumah Oman. Hampir setiap hari selepas bekerja di ladang,

Oman selalu kedatangan tamu, baik para anggota ataupun orang luar desa. Letak

rumah Oman berada di tengah jalur penghubung antara Kota Banjarsari dengan

Desa Pasawahan dan Desa Bangunkarya. Sehingga, para anggota ataupun

pendamping SPP dari desa lain sering kali singgah di rumah Oman.

Bergabungnya gerakan petani Banjaranyar, juga dapat dikatakan sebagai

pertemuan dua orang pemimpin. Oman yang merupakan pemimpin gerakan petani

pada tingkat desa bertemua dengan Agustiana yang merupakan pemimpin gerakan

petani ditingkat daerah, yaitu Priyangan Timur. Kedua orang ini mempunyai tipe

kepemimpinan yang berbeda. Apabila Oman memiliki gaya kepemimpinan yang

paternalistik, maka Agustiana merupakan sosok pemimpin yang kharismatik.

Nama Agustiana mulai dikenal oleh penduduk Priyangan Timur dan

sekitarnya, pasca terjadinya kerusuhan Tasik pada tahun 1997. Ia dan beberapa

orang lainnya ditangkap oleh pihak Kepolisian dan dituduh sebagai dalang dari

kerusuhan Tasik. Setelah keluar dari penjara, dengan memanfaatkan momentum

reformasi, Agustiana dan beberapa aktivis mahasiswa melakukan pengorganisiran

petani di wilayah Ciamis, Garut, dan Tasik. Pengorganisiran ini difokuskan pada

aksi perebutan hak atas tanah, baik itu di lahan perkebunan ataupun Perhutani.

Page 83: DINAMIKA GERAKAN PETANI : KEMUNCULAN DAN

69  

Agustiana merupakan pemimpin yang memiliki begitu banyak pengikut.

Balas jasa, kekaguman, gigih, dan perhatian dengan nasip petani, merupakan

beberapa contoh dari kesan yang disampaikan anggota SPP terhadap sosok

Agustiana. Loyalitas anggota SPP terhadap sosok Agustiana, bahkan terlihat pada

kehidupan sehari – hari. Sebagai contoh, pada minggu pertama bulan Juni 2010,

Agustiana menjalankan ibadah umroh. Pukul 10.00 sebelum sebelum berangkat

ke Arab Saudi, Agustiana mengirimkan pesan singkat kepada Koordinator

wilayah Ciamis, Garut, dan Tasik. Pesan tersebut berisikan permohonan izin

pamit ke tanah suci dan permohonan doa untuk keselamatan selama beribadah.

Beberapa saat kemudian, kooordinator mengirimkan pesan tersebut kepada

seluruh ketua OTL di wilayah kerjanya masing – masing. Pada malam harinya di

Desa Banjaranyar, pukul 19.10 tidak kurang dari 40 orang anggota OTL

Banjaranyar datang ke rumah Oman dengan berpakaian muslim lengkap. Mereka

semua datang dengan tujuan untuk mendoakan Agustiana agar selamat selama

menjalankan ibadah umroh.

Permasalahan justru timbul pada regenerasi dari kepemimpinan didalam

tubuh Serikat Petani Pasundan (SPP). Loyalitas yang begitu besar kepada

Agustiana, membuat seakan – akan sosok Agustiana tidak tergantikan sebagai

seorang pemimpin. Bagi seluruh anggota SPP, khususnya yang berada

dikesekertariatan Sekjen dan OTL Banjaranyar, beranggapan bahwa tidak ada satu

orang pun anggota SPP yang pantas menggantikan Agustiana.

“Agustiana mah kasep, pinter, ulet... punya istri berapa juga dia mah pantes – pantes aja... coba liat... mau Bupati, BPN, DPRD, semua juga nurut ama dia... dan yang paling penting... dia itu peduli sama nasip petani... gak ada ganti nya...” (Oman, Petani Penggarap) “saya juga bingung kalo ditanya siapa gantinya kang agus... gak ada sih kayaknya... susah nyari orang konsisten kayak dia gitu... kalo sekarang, baru dampingin satu desa ajah.. udah mau jadi anggota dewan.” (Hermawan, Pendamping Serikat Petani Pasundan) “gak tau... gak ada yang pantes gantiin kayaknya sih... lagian juga yang laen kan sadar diri... beda derajat gitu...” (Wati, Petani Penggarap)

Page 84: DINAMIKA GERAKAN PETANI : KEMUNCULAN DAN

70  

BAB VI

KELANGSUNGAN GERAKAN PETANI BANJARANYAR

6.1 Redistribusi Tanah

Pada tahun 2000, perjuangan warga atas lahan eks-perkebunan AGRIS NV

mulai membuahkan hasil. Lahan perkebunan seluas 708,35 hektar

diredistribusikan kepada warga desa sekitar perkebunan, yaitu Desa Kalijaya,

Desa Pasawahan, Desa Cigayam, dan Desa Banjaranyar. Di Desa Banjaranyar

terdapat 195 orang yang kemudian mendapatkan tanah. Redistribusi tanah yang

ada di Desa Banjaranyar didasarkan pada tiga hal, yaitu ramah lingkungan,

berkesinambungan, dan berkeadilan

Pertama, ramah lingkungan yaitu pada setiap pembagian tanah faktor alam

menjadi hal yang harus diperhatikan. Tanah dengan kemiringan 60 derajat atau

lebih, tidak boleh ditanami tanaman musiman. Tanaman kayu seperti Albasia

(jengjeng/sengon), kayu afrika, dan tanaman buah (nangka, durian, manggis, dll)

amat dianjurkan pada tanah tersebut. Setelah ditanami tanaman kayu, barulah di

antaranya diperbolehkan ditanami tumbuhan lain, seperti kapol, singkong, dan

pisang. Hal ini bertujuan untuk menjaga kestabilan tanah, karena tanah dengan

kemiring lebih dari 60 derat amat rentan terjadi longsor.

Kedua, berkesinambungan yaitu kemampuan dan kemauan petani dalam

menggarap tanah. Pembagian tanah juga melihat dari kapasitas petani penerima

tanah dalam menggarap. Kapasitas petani dalam menggarap tidak hanya dilihat

dari keahlian seseorang, tetapi juga dari usia petani dan jumlah anggota keluarga

petani. Apabila tanah yang telah diberikan tidak digarap selama tiga tahun, maka

tanah tersebut akan diambil kembali dan diberikan kepada petani yang mau dan

mampu untuk menggarap. Selain penggarapan yang dilakukan secara

berkesinambungan, keberadaan tanah redistribusi juga diharapkan dapat

meningkatkan kesejahteraan petani.

Ketiga, berkeadilan yaitu pembagian luasan tanah tidak berat sebelah atau

hanya menguntungkan satu atau dua orang semata. Seseorang bisa mendapatkan

tanah garapan apabila sudah berusia 21 tahun atau sudah menikah. Luasan tanah

yang diterima antar petani pun berbeda - beda. Petani yang mendapatkan tanah di

Page 85: DINAMIKA GERAKAN PETANI : KEMUNCULAN DAN

71  

pinggir jalan desa maka akan mendapatkan tanah seluas 140 bata atau 2000 meter

persegi. Sedangkan petani yang mendapatkan tanah di tengah atau jauh dari jalan

desa, maka akan mendapatkan tanah garapan seluas 33000 meter persegi.

Segala tata peraturan redistribusi tanah yang ada di Desa Banjaranyar,

merujuk pada peraturan redistribusi tanah yang dikeluarkan oleh Serikat Petani

Pasundan (SPP). Peraturan tersebut pada awalnya dimusyawarahkan di dalam

pertemuan rutin tiga bulanan para ketua OTL di sekretariat SPP. Setelah

disepakati secara bersama, barulah peraturan tersebut diterapkan diseluruh OTL,

termasuk OTL Banjaranyar. Pada tingkat pelaksanaan, redistribusi tanah

diserahkan kepada pengurus OTL dengan terlebih dahulu bermusyawarah

bersama para anggota OTL.

6.2 Sistem Kebun

Sartono Kartodirdjo (1991) menyatakan bahwa, sistem perkebunan

komersial pada dasarnya merupakan sistem perkebunan Eropa (European

plantation). Sistem perkebunan tersebut sama sekali berbeda dengan sistem kebun

(garden system) yang telah lama ada di Indonesia. Sistem kebun merupakan usaha

pertanian dengan skala kecil, tidak padat modal, penggunaan lahan terbatas,

kurang berorientasi pasar dan sumber tenaga kerjanya terpusat pada anggota

keluarga.

Tanah redistribusi warga pada mulanya merupakan lahan perkebunan

kopi. Pada saat Indonesia dikuasai oleh Pemerintahan Kolonial Hindia Belanda,

lahan tersebut dikelola oleh perusahaan perkebunan AGRIS NV, dengan karet

sebagai komoditas utama. Perubahan kepemimpinan nasional, juga turut merubah

kondisi perkebunan. Pasca kemerdekaan, tepatnya pada era Ode Baru, hak

pengelolaan lahan diberikan kepada PT. RSI. Pada perjalanannya, terjadi tukar

guling hak kelolaan lahan antara PT RSI dengan Perhutani. Hingga tahun 1998,

Perhutani melakukan penanaman pohon jati pada lahan tersebut.

Pada tahun 2000, tanah seluas 708 hektar dibagikan kepada warga di desa

sekitar perkebunan. Di Desa Banjaranyar, para petani menggarap secara mandiri

dan dengan sendirinya menghapuskan sistem perkebunan yang semula ada.

Tenaga kerja yang dipergunakan untuk menggarap tanah terpusat pada tenaga

Page 86: DINAMIKA GERAKAN PETANI : KEMUNCULAN DAN

72  

kerja keluarga. Sehingga besar kecilnya jumlah anggota keluarga amat

mempengaruhi cepat lambatnya penggarapan dan jenis tanaman yang akan

ditanam. Apabila ada perkerjaan yang tergolong berat, seperti pembuatan kolam

ikan, pembersihan dan pembukaan lahan, ataupun pemanenan dalam jumlah yang

besar, maka pekerjaan tersebut akan dibantu oleh buruh tani.

Tanah yang digarap oleh petani Banjaranyar sebagian besar merupakan

kebun campur yang didominasi oleh tanaman sengon (jengjeng), singkong,

pisang, dan kelapa. Tanaman pangan seperti singkong dan pisang pada umumnya

dikonsumsi sendiri. Sedangkan kelapa dijual kepada pengumpul kelapa yang ada

di Kota Banjarsari, Ibu Kota Kecamatan. Setiap butir buah kelapa dihargai tujuh

ratus rupiah. Menurut penuturan Jandi, Sekdes (Sekertaris Desa) Banjaranyar,

harga kelapa jatuh pasca kepemimpinan SBY. Harga tetinggi ada pada massa

kepemimpinan Presiden Habiebie, untuk setiap butir kelapa dihargai lima ribu

rupiah.

Salah satu hal yang paling menonjol dari tanah garapan petani Banjaranyar

ialah keberadaan dari tanaman kayu, khususnya pohon sengon (jengjeng).

Seorang petani di Desa Banjaranyar bisa menanam empat puluh hingga seratus

pohon sengon di atas tanah garapannya. Menurut penuturan Oman, pemimpin

gerakan petani Banjaranyar, pohon sengon merupakan salah satu tanaman yang

banyak ditanam karena memberikan penghasilan besar bagi petani. Batang (kayu)

pohon sengon sangat mudah untuk dijual dan memiliki harga yang tinggi.

Sedangkan daun dan ranting – ranting muda, dapat digunakan sebagai pakan

ternak. Terdapat tiga cara yang biasa digunakan petani Banjaranyar untuk menjual

kayu sengon (jengjeng), yaitu menjual ke-pengumpul, sistem ijon dan dijual

langsung pabrik pengolahan.

Pengumpul merupakan sebutan bagi orang yang memborong tanaman

kayu rakyat. Apabila petani ingin menjual pohon sengon mereka kepada

pengumpul mereka tidak perlu membawa batang pohon sengon ketempat

pengumpulan kayu. Mereka cukup menunggu di tanah garapan mereka masing –

masing. Karena hampir setiap hari, selalu ada saja pengumpul yang berkeliling

desa untuk memborong kayu. Pohon sengon apabila dijual kepada pengumpul,

Page 87: DINAMIKA GERAKAN PETANI : KEMUNCULAN DAN

73  

lima puluh tanaman sengon yang berumur lima tahun, akan dibeli dengan harga

tiga juta rupiah.

Ijon merupakan cara penjualan pohon sengon sebelum masa panen tiba.

Setelah waktu panen barulah sengon tersebut diambil oleh penangguk ijon.

Memang terdapat kelemahan ketika menjual pohon sengon dengan cara ijon, yaitu

petani akan mendapatkan harga jual yang rendah. Sebagai contoh untuk lima

puluh batang pohon sengon yang dijual dengan sistem ijon hanya dihargai satu

setengah juta rupiah, atau tiga puluh ribu per batang. Hal ini sungguh merugikan

petani, karena apabila dijual pada waktu panen, pohon sengon akan berharga tidak

kurang dari enam puluh ribu per batang. Penangguk ijon tidak selalu berperan

sebagai pengumpul, karena sering kali petani sengon meng-ijon-kan tanaman

sengonnya kepada warga desa lain yang dianggap kaya.

Ketiga ialah menjual pohon sengon langsung ke pabrik pengolahan kayu.

Penjualan pohon sengon langsung ke pabrik pengolahan kayu lebih

menguntungkan petani. Karena harga beli per batang kayu sengon bisa mencapai

Rp 100.000,00. Hanya saja untuk memasukan kayu ke pabrik petani harus

menanggung sendiri biaya penebangan dan pengangkutan kayu. Pabrik tidak

menyediakan fasilitas penjemputan dan penebangan di Desa Banjaranyar.

Terdapat dua pabrik yang biasa menjadi tempat tujuan penjualan kayu sengon

petani Banjaranyar yaitu PT. AP dan PT. BKL.

Sistem kebun (garden system) juga dapat dilihat sebagai jalan yang

ditempuh petani Banjaranyar untuk mendapatkan kemerdekaan pada sektor

ekonomi. Sistem kebun memberikan keleluasaan kepada petani untuk dapat

menanam dan memanfaatkan hasil pertanian sesuai dengan keinginan dan

kebutuhan mereka. Hal ini dimungkinkan karena pengambilan keputusan yang

berkaitan dengan komoditas pertanian dan pemanfaatan hasil berada pada tingkat

rumah tangga petani.

Sebagai contoh, Beno seorang petani penggarap di Desa Banjaranyar,

membutuhkan uang untuk biaya anaknya masuk Sekolah Menengah Pertama

(SMP). Ia memiliki dua puluh pohon sengon diatas tanah garapannya. Pada bulan

Juni, ia menjual sepuluh pohon sengon, dan menunda penjualan sepuluh pohon

sengon sisanya. Ia beranggapan bahwa sepuluh batang pohon sengon sudah cukup

Page 88: DINAMIKA GERAKAN PETANI : KEMUNCULAN DAN

74  

untuk memenuhi biaya sekolah anaknya. Sedangkan sepuluh pohon sengon

sisanya akan ditebang nanti, ketika anaknya memerlukan biaya untuk masuk ke

Sekolah Menengah Atas (SMA). Kemerdekaan semacam inilah yang tidak dapat

dimiliki oleh petani pada pengelolaan lahan berbasis sistem perkebunan. Karena

pada sistem pengelolaan lahan berbasis perkebunan, pengambilan keputusan

berada pada tingkat pengelola lahan perkebunan (manajer perkebunan atau

administrature) bukan pada rumah tangga petani.

6.3 Organisasi Wanita

Tahun 2005, setelah dilaksanakannya redistribusi lahan ditahun 2000,

terjadi penurunan semangat para anggota OTL Banjaranyar. Hal ini ditandai

dengan semakin sedikitnya partisipasi anggota dalam berbagai kegiatan OTL,

seperti pertemuan rutin, iuran aksi demontrasi, relawan untuk menjadi massa aksi,

dan partisipasi dalam berbagai kegiatan di sekretariat SPP.

Ibu Wati, yang pada tahun 2005 sudah menjadi Ketua OTL Banjaranyar,

memberikan usulan agar setiap OTL memiliki organisasi wanita. Usulan ini

disampaikannya pada rapat tiga bulanan ketua – ketua OTL di sekretariat SPP. Ia

berpendapat bahwa, wanita terutama ibu – ibu bisa lebih militan dibanding bapak

– bapak. Sehingga, ketika semangat para bapak – bapak sedang menurun, tugas

sang wanitalah untuk menumbuhkan semangat itu kembali.

“kalo ibu – ibu mah gak hese... dimintain iuran juga cepet... kan kalo ditagih gitu ibu – ibu pada malu... jadi bayarnya cepet... lagian ibu – ibu juga lebih kompak... coba liat pengajian bapak – bapak, mana ada yang awet... kalo pengajian ibu – ibu sampe sekarang juga masih...” (Wati, Ketua OTL Banjaranyar) Tahun 2005 dibentuklah organisasi wanita OTL Banjaranyar yang secara

struktural berada di bawah Organisasi Tani Lokal (OTL) Banjaranyar. Organisasi

ini berisikan para wanita yang telah dewasa, terutama para istri dan anak dari

anggota OTL yang sebagian besar laki – laki. Keberadaan dari Organisasi

Kewanitaan didukung penuh oleh Serikat Petani Pasundan (SPP) selaku

organisasi induk. Hal tersebut terlihat dalam pelatihan – pelatihan yang

difasilitasi SPP, seperti pelatihan kepemimpinan, pelatihan organisasi, pelatihan

Page 89: DINAMIKA GERAKAN PETANI : KEMUNCULAN DAN

75  

penangan konflik, dan pelatihan pertanian. Pelatihan kepemimpinan dan

penanganan konflik, sesungguhnya berangkat dari kenyataan bahwa para ibu

inilah yang memiliki intensitas yang lebih tinggi dengan tanah garapan dan rumah

tangga daripada para lelaki.

Di Desa Banjaranyar, para wanita yang tergabung di organisasi wanita

OTL berperan besar dalam persiapan aksi demonstrasi. Ibu – ibu inilah yang

kemudian berkeliling desa guna mengumpulkan uang iuran aksi dan melakukan

pendataan bagi anggota yang akan ikut aksi demonstrasi. Penarikan uang iuran

antar sesama ibu – ibu mempermudah pengumpulan uang. Bahkan, tidak jarang

penarikan uang iuran aksi juga dibantu oleh anak – anak gadis yang berumur

belasan tahun.

Keberadaan organisasi ini telah berhasil menumbuhkan kembali semangat

perjuangan petani Banjaranyar. Penguatan organisasi gerakan tidak lagi hanya

dilakukan pada tingkatan kelompok ataupun desa. Tetapi, penguatan organisasi

dilakukan pada tingkat rumah tangga. Intensitas yang tinggi antara seorang ibu

dan anggota anggota keluarga yang lain dalam satu rumah tangga petani,

membuat penyebaran ide gerakan berjalan secara efektif dan efisien. Bahkan,

melalui tangan para ibu, penyebaran ide gerakan bisa dilakukan setiap hari di

dalam rumah setiap anggota OTL.

6.4 Koperasi

“tujuan dari adanya SPP itu bukan cuma supaya petani dapet tanah. Tapi supaya petani hidup dengan layak.. naik ekonomi nya... kami adakan pelatihan tata cara bertani, bukan buat menggurui tapi supaya tani nya mereka tidak hanya sebatas buat makan... tapi bisa buat lain – lain juga... nah.. salah satu jalannya kita diriin koperasi ini” (Erna, Pendamping Serikat Petani Pasundan)

Koperasi OTL Banjaranyar berdiri pada tahun Juni 2009. Hingga saat

penelitian ini berlansung, terdapat empat puluh delapan orang yang terdaftar

sebagai anggota koperasi. Tiap – tiap anggota diwajibkan membayar iuran

sebesar lima belas ribu rupiah perbulan. Iuran inilah yang kemudian dijadikan

modal untuk melaksanakan kegiatan koperasi.

Page 90: DINAMIKA GERAKAN PETANI : KEMUNCULAN DAN

76  

Koperasi yang diberinama Koperasi Kredit ini, mengkhususkan diri pada

usaha keuangan simpan pinjam. Setiap anggota berhak menyimpan dan

meminjam sejumlah uang jika telah memenuhi sejumlah persyaratan. Apabila ada

seseorang yang ingin menyimpan uang di koperasi kredit, ia harus menjadi

anggota koperasi terlebih dahulu. Setiap orang yang berkeinginan untuk

bergabung diwajibkan untuk membayar iuran pokok sebesar dua puluh lima ribu

rupiah dan iuran bulanan sebesar lima belas ribu rupiah. Anggota koperasi yang

berhak melakukan pinjaman ialah mereka yang telah menjadi anggota selama

setahun dan membayar iuran bulanan.

Koperasi ini dipimpin oleh seorang ketua yang dibantu oleh seorang

sekertaris dan bendahara. Seluruh kegiatan koperasi dilakukan oleh pengurus dan

diawasi oleh Dewan Pengawas Koperasi. Kegiatan koperasi meliputi pendataan

anggota, pendaftaran anggota, pengumpulan uang iuran bulanan, pengurusan uang

kas, dan pencatatan kredit. Khusus untuk pemberian izin pengeluaran kredit dan

besaran kredit yang akan diberikan, diolah dan dikeluarkan oleh Dewan Kredit,

sedangkan pengurus koperasi hanya bertugas untuk mencatat datanya.

Keterangan : : Pengawasan

: Koordinasi

: Kepengurusan

Gambar 5 .Struktur Organisasi Koperasi Kredit

Dewan Pengawas

Dewan Kredit Pengurus Koperasi :

Ketua, sekertaris, bendahara

Anggota

Page 91: DINAMIKA GERAKAN PETANI : KEMUNCULAN DAN

77  

Seluruh kegiatan koperasi akan dievaluasi satu kali pada setiap bulannya.

Evaluai tersebut dilakukan oleh petugas dari Dinas Koperasi Propinsi Jawa Barat

(Dinkop Jabar). Selain mengevaluasi, Dinkop Jabar juga memtugas membimbing

pengurus koperasi kredit, baik itu berupa pengiriman anggota pada berbagai

pelatihan terkait ataupun turorial secara langsung.

Berdirinya koperasi ini juga membawa harapan besar terhadap

peningkatan kemampun para anggota koperasi, khususnya dalam bidang

pengelolaan keuangan. Para anggota koperasi, tidak hanya mendapatkan

kesempatan untuk meminjam dan menabung sejumlah uang, tetapi juga diberikan

kesempatan untuk mendapatkan pendidikan melalui berbagai pelatihan.

Pentingnya pendidikan sebagai dasar berjalannya kegiatan koperasi, terlihat jelas

dalam slogan yang tertulis di setiap buku tabungan anggota.

“Koperasi kredit mencapai hasil gilang gemilang.... Koperasi kredi dimulai dengan pendidikan... Koperasi kredit berkembang melalui pendidikan... Kopreasi kredit dikontrol melalui pendidikan... Dan bergantung pada pendidikan...”

6.5 Lumbung (leyit)

Lumbung merupakan istilah yang diberikan oleh masyarakat di Kampung

Bulaksitu, Desa Banjaranyar kesebuah tempat penyimpanan gabah yang berada di

belakang rumah Ibu Wati. Menurut penuturan Hermawan, salah seorang

pendamping SPP, pada masyarakat Sunda terdapat istilah sendiri untuk menyebut

lumbung yaitu dengan istilah “leyit”. Sehingga masyarakat lebih nyaman

menyebut bangunan tersebut dengan sebutan lumbung daripada leyit.

Apabila kita telisik lebih dalam, lumbung yang ada di Desa Banjaranyar

bukanlah semata – mata nama dari sebuah tempat penyimpanan gabah milik

petani. Lumbung merupakan kelembagaan rakyat yang dibangun atas inisiasi

bersama antara petani Banjaranyar dengan lembaga dari luar desa yaitu KRKP

(Koalisi Rakyat Untuk Kedaulatan Pangan).

Jaringan yang dibangun oleh SPP (Kesekertariatan Sekjen) dengan

berbagai Organisasi Non – Pemerintah (ORNOP), gerakan mahasiswa, dan

Page 92: DINAMIKA GERAKAN PETANI : KEMUNCULAN DAN

78  

kelompok – kelompok masyarakat, membuat hubungan antara petani dengan

kekuatan sosial diluar desa menjadi lebih sering terjadi. Penelitian – penelitian

yang dilakukan oleh peneliti dari dalam dan luar negeri, program – program

bantuan, dan pengenalan teknologi baru acap kali ada di Desa Banjaranyar. Salah

satu program yang masih berjalan pada saat penelitian ini dilakukan ialah program

leyit atau lumbung masyarakat.

Pembangunan lumbung atau leyit dilatarbelakangi oleh adanya bencana

gempa Tasik yang terjadi pada tahun 2009. Gempa Bumi sebesar 7,3 SR berhasil

merusak beberapa bangunan dan rumah warga. Di Desa Banjaranyar sebanyak

delapan rumah warga tercatat rusak berat dan dua puluh tujuh rumah rusak ringan.

Bencana yang dialami warga Banjaranyar sesungguhnya tidak hanya gempa bumi,

tetapi kelangkaan pangan yang terjadi setelah gempa tersebut.

Jauhnya jarak antara Desa Banjaranyar dengan pasar yang berada di Kota

Banjarsari, Ibukota Kecamatan, membuat warga kesulitan dalam memperoleh

bahan pangan. Sedangkan di tingkat desa, warga tidak bisa mengharapkan bahan

pangan dari hasil pertanian karena sawah mereka belum memasuki masa panen.

Hal ini juga diperparah dengan ketiadaannya cadangan pangan yang dimiliki oleh

warga. Sehingga, warga hanya bergantung pada bantuan yang datang dari luar

desa. Menurut penuturan Ibu Wati, bantuan dari pemerintah pun tidak terlalu bisa

diharapkan karena lambatnya pengiriman bantuan. Bantuan yang pertama kali

masuk ke wilayah desa bukanlah bantuan yang berasal dari pemerintah tetapi

bantuan dari Serikat Petani Pasundan (SPP).

Keberadaan Lumbung sebagai tempat penyimpanan gabah yang dimiliki

secara kolektif oleh masyarakat, diharapkan dapat mencegah terjadinya

kelangkaan pangan dikemudian hari. Baik itu yang disebabkan karena bencana

alam ataupun karena kegagalan panen.

Lumbung memiliki anggota yang dilihat berdasarkan kepala keluarga.

Satu kepala keluarga akan memiliki satu keanggotaan dilumbung. Menurut Ibu

Wati apabila sebuah keluarga memiliki anak yang sudah menikah, maka anak

tersebut diperbolehkan untuk memilki keanggotaan terpisah dengan keluarga

lamanya. Keanggotaan disini berarti anggota diperbolehkan untuk menyimpan

atupun meminjam gabah dilumbung tersebut. Keanggotaan lumbung pun tidak

Page 93: DINAMIKA GERAKAN PETANI : KEMUNCULAN DAN

79  

tertutup hanya pada masyarakat yang memiliki lahan saja. Bagi warga yang tidak

mempunyai lahan, tetapi ingin menyimpan gabah dilumbung hal itu dapat

dilakukan. Keanggotaan lumbung bersifat sukarela, seorang warga diberikan

kebebasan untuk menjadi anggota lumbung dan ketika ia merasa tidak nyaman, ia

pun diberikan kebebasan untuk keluar dari keanggotaan lumbung.

Terdapat beberapa peraturan yang diterapkan dalam proses simpan pinjam

di lumbung ini. Setiap anggota diperbolehkan meminjam gabah yang ada

dilumbung dan diwajibkan mengembalikan pinjaman tersebut dengan melebihkan

lima kilogram dari total pinjaman. Hal ini dimaksudkan agar cadangan gabah

yang ada didalam lumbung dapat terus bertambah. Sehingga apabila sewaktu –

waktu dibutuhkan gabah masih tersedia didalam lumbung. Pengembalian

pinjaman tidak dapat digantikan dengan uang, gabah yang dipinjam oleh anggota

haruslah dikembalikan dalam bentuk gabah.

Pengembalian pinjaman anggota banyak dilakukan sewaktu musim panen

tiba. Proses penyimpananpun biasanya dilakukan anggota sewaktu musim panen

tiba. Sebagai contoh, apabila diibaratkan dalam satu kali panen seorang anggota

mendapatkan tujuh pocong padi, maka ia harus menyisihkan dua pocong untuk

disimpan ke dalam lumbung.

Pada umumnya, peminjaman gabah banyak dilakukan pada periode musim

panen menuju musim tanam. Menurut Bapak Oman, peminjaman gabah tidak

hanya disebabkan karena bencana alam atau terjadinya kegagalan panen pada

sawah anggota. Apabila anggota mengadakan hajatan seperti pernikahan atau

sunatan, sehingga ia membutuhkan gabah, itupun diperbolehkan untuk meminjam.

Dari keberadaan lumbung ini sedikit banyak dapat terlihat seperti apa

sesungguhnya pola hubungan yang dibangun antara gerakan petani Banjaranyar

dengan kekuatan sosial lain yang berada di luar desa. Keterbukaan yang ada di

dalam gerakan petani Banjaranyar, serta jejaring yang dibangun melalui Serikat

Petani Pasundan (SPP) sebagai organisasi induk menjadikan gerakan petani

Banjaranyar menjadi gerakan petani yang inklusive. Keterbukaan semacam ini

pula yang kemudian membuat OTL Banjaranyar menjadi sebuah organisasi

gerakan yang begitu dinamis dalam menanggapi perubahan dari luar organisasi.

Page 94: DINAMIKA GERAKAN PETANI : KEMUNCULAN DAN

80  

6.6 “Aku” Anggota SPP

Kelangsungan dari gerakan petani di Desa Banjaranyar salah satunya juga

ditopang oleh nama besar dari Serikat Petani Pasundan (SPP). Pasca 10 tahun

keberadaan SPP di wilayah Priyangan Timur, SPP sudah dikenal luas oleh

masyarakat, khususnya aparat dan pejabat Pemerintah Daerah. Kisah – kisah

keberhasilan SPP dalam merebut tanah dibanyak wilayah Priyangan Timur,

menciptakan kesan bahwa SPP merupakan sebuah organisasi yang kuat dan

memiliki massa yang begitu banyak. Hal tersebut kemudian diperkuat dengan aksi

– aksi demontrasi yang diadakan SPP dengan melibatkan ribuan massa.

Strategi intervensi yang dilakukan SPP pada ranah politik praktis juga

menjadikan jaringan SPP semakin meluas. Apabila pada tahun – tahun awal

perjuangan, jaringan hanya sebatas pada Organisasi Non- Pemerintah (ORNOP),

organisasi – organisai gerakan mahasiswa, dan kelompok – kelompok masyarakat.

Maka, pada tahun 2004 setelah diberlakukannya sistem Pemilihan Umum

(Pemilu) secara langsung, jaringan SPP meluas hingga ke lembaga – lembaga

pemerintahan, seperti DPRD dan Pemerintah Kabupaten. Hal inilah yang

kemudian menciptakan kengganan bagi aparat Perintah (Kepolisian, TNI, dan

Pegawai Dinas Kabupaten) untuk “bermain – main” dengan anggota SPP.

Nama besar SPP sebagai organisasi tani terbesar di Priyangan Timur,

secara tidak langsung membuat anggotanya mendapatkan keistimewaan, baik di

dalam ataupun di luar desa. Di dalam Desa Banjaranyar, para anggota OTL

mendapatkan pengakuan dari warga desa lain sebagai seorang pejuang dan

pembela hak - hak petani. Selain itu, para pemimpin OTL juga diberikan ruang

khusus di Desa dalam berbagai kesempatan. Sebgai Contoh, Ibu Wati, ketua OTL

Banjaranyar, ditunjuk sebagai ketua pelaksana program desa dasawisma di Desa

Banjaranyar. Beno, sekertaris OTL Banjaranyar, ditunjuk sebagai ketua pemuda

Desa Banjaranyar. Otang, anggota OTL Banjaranyar, terpilih sebagai Kepala

Desa (Kades) Desa Banjaranyar.

“orang spp kan yang dulu perjuangin tanah... susah juga itu... kalo gak ada ya... mungkin dikit orang sini yang punya tanah garapan kali ya... lagian dulu, anak muda itu susah cari kerja disini... mau kerja mesti kekota dulu... sekarang mau tani tanah udah ada.. kalo gak punya tanah juga bisa ngeburuh

Page 95: DINAMIKA GERAKAN PETANI : KEMUNCULAN DAN

81  

kan...” (Jandi, Sekertaris Desa Banjaranyar, bukan anggota SPP) “iya lah.. kan orang SPP dapet pelatihan mulu.. gratis juga lagi... ya pantes atuh jadi pada pinter gitu... lagian juga dia kan pada dapet pelatihan bukan buat sendiri, ngajarin ke yang laen juga....” (Adminah, penjaga warung, Bukan anggota SPP)

Keistimewaan juga dirasakan anggota OTL ketika berurusan dengan

aparat Pemerintah. Salah satu kasus yang terjadi pada bulan Juni 2010. Seorang

anggota OTL Banjaranyar pergi ke kota Ciamis dengan mengendarai sepeda

motor. Setelah memasuki Kota Ciamis, orang tersebut ditangkap oleh petugas

Kepolisian karena tidak mengenakan helm (pelindung kepala) ketika berkendara.

Ketika ditangkap, ia mengeluarkan Kartu Tanda Anggota SPP, dan pada saat itu

juga ia dilepaskan tanpa alasan yang jelas. Kejadian - kejadian sejenis juga dapat

dengan mudah ditemui pada pengalaman anggota OTL Banjaranyar diberbagai

kesempatan. Hal inilah yang kemudian menciptakan rasa bangga para diri anggota

karena merasa mendapat perlakuan khusus dari aparat pemerintah.

Page 96: DINAMIKA GERAKAN PETANI : KEMUNCULAN DAN

82  

BAB VII

PENUTUP

7.1 Implikasi Teoritis

Pembahasan prihal gerakan petani sesungguhnya dapat dilihat melalui

perpektif moral ekonomi petani, yang dipelopori oleh Scott (1976). Ia menyatakan

bahwa kehidupan petani ditandai oleh hubungan moral sehingga melahirkan

moral ekonomi. Ketika pertumbuhan negara hanya berupa perlindungan dan

pertumbuhan fisik semata, sehingga pemenuhan atas kebutuhan dasar petani tidak

lagi menjadi hal yang mendesak, maka yang tertinggal hanyalah kewajiban –

kewajiban ekonomis kaum elite. Di mata petani miskin, kewajiban – kewajiban

ekonomis kaum elite adalah memerhatikan kebutuhan petani, menyesuaikan

tuntutan mereka akan tenaga kerja dan padi, serta menyediakan pangan di musim

paceklik. Kekuatan moral dan harapan – harapan ini sudah cukup untuk menjadi

bara api, yang dikemudian hari dapat berubah menjadi aksi kemarahan dan

tindakan kekerasan, apabila terjadi pelanggaran terhadap kewajiban itu.

Scott (1976) tidak pernah menggambarkan petani sebagai sebuah

kelompok masyarakat yang begitu reaktif, dalam artian begitu mudah melakukan

pemberontakan. Ia menggambarkan petani sebagai sekelompok manusia yang

yang lebih mengutamakan “dahulukan keselamatan” dan menjauhkan diri dari

bahaya. Namun, apabila tekanan struktural dan kultural hingga kondisi subsistensi

petani yang sudah melampauai batas toleransi, dimana tekanan tersebut

berdampak sedemikian parah dan terjadi dalam tempo yang relatif singkat, maka

tidak ada lagi pilihan bagi petani selain melakukan pemberontakan. Scott (1994)

menganalogikan petani pada kondisi tersebut ibarat orang yang terandam didalam

air hingga sebatas hidung, sehingga riak yang begitu kecil saja sudah dapat

menenggelamkannya.

Begitupun dengan gerakan petani Banjaranyar, masuknya PT RSI (1983 –

1996) dan Perhutani (1996 – 1998) membuat petani Banjaranyar tidak dapat lagi

melakukan penggarapan di atas tanah perkebunan. Bahkan mereka menyatakan

bahwa kehadiran PT RSI tidak memberikan manfaat apa – apa bagi warga dan

hanya menguntungkan para pemilik perusahaan dan pemerintah.

Page 97: DINAMIKA GERAKAN PETANI : KEMUNCULAN DAN

83  

Konsep lain yang digunakan Scott (1976) dalam menjelaskan gerakan

petani ialah konsep kepemimpinan dan struktur sosial. Struktur sosial yang ada

dimasyarakat pedesaan, secara hirizontal ditandai dengan homogenitas yang

tinggi dan secara vertikal ditandai dengan struktur yang berbentuk kerucut.

Struktur kerucut seperti ini, posisi puncak statifikasi sosial dihuni oleh oleh kaum

elite yang berjumlah sedikit, sedangkan pada lapisan bawah dihuni oleh para

petani penggarap dan buruh tani dalam jumlah yang banyak. Struktur masyarakat

yang seperti ini membuat faktor kepemimpinan menjadi faktor penting didalam

gerakan perlawanan petani.

Struktur krucut seperti yang dikatakan Scott (1976), dapat ditemui di Desa

Banjaranyar. Peran Bapak Oman dalam gerakan petani Banjaranyar, terasa begitu

dominan. Bapak Oman tidak hanya bertindak sebagai pemimpin gerakan, tetapi

juga sebagai motor sekaligus pemersatu dari gerakan petani Banjaranyar. Bahkan,

gerakan petani Banjaranyar terkesan bergantung pada sosok Bapak Oman.

Gerakan petani Banjaranyar boleh jadi tidak pas apabila disandingkan

dengan teori ekonomi politik sebagaimana disampaikan Popkin (1979) dalam The

Rational Peasant : The Politic Economy of Rural Society in Vietnam. Tetapi,

pernyataan Popkin (1979) bahwa gerakan perlawanan petani terjadi ketika

sebagian besar individu merasa dirugikan setelah melakukan tawar menawar

dengan negara, merupakan sebuah kenyataan di Desa Banjaranyar.

Gerakan petani tidak melawan kapitalisme, tetapi melawan perampasan

tanah oleh para kapitalis perkebunan yang menyebabkan petani kehilangan

eksistensi diri dan sumber penghidupannya. Popkin (1979) menolak pendekatan

moral ekonomi Scott (1976) yang beranggapan bahwa gerakan petani sebagai

reakasi difensif untuk mempertahankan institusi dan norma – norma tradisional

dari ancaman kapitalisme dan kolonialisme. Bahkan, pasca dilakukannya

redistribusi tanah, petani Banjaranyar justru berusaha untuk menjalin hubungan

dengan pasar dengan memanfaatkan berbagai jaringan didalam ataupun diluar

desa. Salah satu contohnya pada proses tata niaga kayu sengon di Desa

Banjaranyar.

Di dalam tulisannya, Popkin (1979) lebih fokus pada tindakan - tindakan

rasional petani. Petani merupakan individu – individu yang bebas

Page 98: DINAMIKA GERAKAN PETANI : KEMUNCULAN DAN

84  

mengembangkan kreativitasnya secara rasional. Petani juga manusia yang ingin

kaya, seperti kebanyakan orang lainnya. Pilihan strategi gerakan petani

Banjaranyar dengan melakukan pendudukan lahan pada dasarnya bisa disebut

sebagai sebuah pilihan yang rasional. Karena, meskipun dalam pelaksanaannya

terlihat sisi – sisi komunalitas dan emosionalitas, tetapi tindakan masing – masing

individu petani Banjaranyar (untuk ikut atau tidak ikut melakukan pendudukan

lahan) sudah tentu melalui pemikiran dan pertimbangan individu secara rasional.

Kemunculan gerakan petani pada tahun 1998, memang melahirkan

pertanyaan besar prihal situasi dan kondisi yang terjadi pada saat tersebut. Wolf

(1966), menyatakan bahwa sebuah pemberontakan tidak akan mungkin terjadi

pada situasi yang tidak mendukung. Pada awal tahun 1998 hanya segelintir

manusia, baik itu yang berasal dari Negara barat ataupun timur, yang

memperkirakan bahwa pada pertengahan tahun 1998 akan terjadi kejatuhan rezim

Soeharto. Hal ini diperkuat oleh Geoff Forrester seperti dikutip oleh oleh Simon

Philpott (2003) menyatakan bahwa Presiden Soeharto baru saja dipilih sebagai

Presiden secara bulat oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) dua bulan

sebelumnya, kendati para elit pendukung dan demonstrasi jalanan banyak

menyuarakan ketidaksetujuan. Namun, hanya sedikit pengamat Indonesia yang

meramalkan akhir kekuasaan Soeharto akan datang begitu cepat.

Kejatuhan pemerintahan Presiden Soeharto pada tahun 1998 menciptakan

ketidakstabilan dibidang politik dan ekonomi, baik itu pada tingkat pusat atupun

daerah. Sudah menjadi ciri rezim otoriter modern bahwa ketika pusat tidak dapat

bertahan, maka segalanya akan berantakan dengan begitu cepat. (Simon Philpott,

2003).

Krisis ekonomi yang terjadi pada pertengahan tahun 1997 mendesak

lahirnya gagasan reformasi. Reformasi membuka ruang yang lebih besar bagi

rakyat dalam menyuarakan aspirasinya, terutama dengan dukungan dari

banyaknya organisasi non pemerintah yang memang pesat juga perkembangannya

diseluruh dunia pada awal tahun 1990-an (Hulme dan Edward, dalam Pinky,

2007). Reformasi sendiri dimaknai sebagai sebagi suatu gerakan pembaharu yang

bertujuan untuk mengoreksi bekerjanya berbagai instansi dan berusaha

menghilangkan berbagai kebobrokan yang dianggap sebagai sumber malfunction

Page 99: DINAMIKA GERAKAN PETANI : KEMUNCULAN DAN

85  

nya institusi – institusi, dalam suatu tata sosial. Reformasi juga berusaha

membongkar nilai – nilai tetapi tidak seluruhnya, melainkan hanya selected

aspects dari tata sosial yang ada. (Wiradi, 2009).

Semangat reformasi 1998 tidak hanya dirasakan oleh mahasiwa dan

berbagai elemen masyarakat yang melakukan aksi turun ke jalan di kota – kota

besar, tetapi juga dirasakan pada masyarakat di tingkatan akar rumput. Salah satu

bentuknya, mengejawantah dalam aksi – aksi okupasi tanah yang dilakukan oleh

masyarakat atas tanah – tanah yang pernah menjadi tanah garapan rakyat.

Berdasarkan data Dirjen Perkebunan, Departemen Kehutanan dan Perkebunan,

hingga September 2000, jumlah luas tanah yang di reclaim mencapai 118.830 ha

pada perkebunan Negara, dan 48.051 ha pada perkebunan swasta, termasuk lahan

perkebunan PT. RSI yang kemudian digarap oleh petani Banjaranyar.

Tanah – tanah perkebunan yang kemudian digarap oleh warga memang

tidak hanya bertindak sebagai simbol perjuangan. Namun, juga bertindak sebagai

alat produksi yang kemudian diharapkan dapat memenuhi kebutuhan hidup petani

itu sendiri. Shanin (1966) berpendapat bahwa, apabila komoditas atau hasil

produksi pertanian bila dapat dipertemukan dengan pemenuhan kebutuhan dasar

dari rumah tangga petani, maka akan mencipkan kemerdekaan relatif pada diri

petani terhadap produsen pertanian lain dan pasar. Hal tersebut akan berujung

pada terciptanya stabilitas relatif dalam rumah tangga petani, yang apabila terjadi

krisis, mereka dapat mempertahankan keberadaannya dengan cara meningkatakan

usaha kerja, menekan konsumsi mereka sendiri, ataupun mengatur kembali

hubungan mereka dengan pasar.

Boleh jadi apa yang dikatakan Shanin (1966), merupakan suatu penjelasan

dari apa yang terjadi pada petani Banjaranyar pasca redistribusi tanah. Pola

pertanian kebun yang dilakukan oleh petani Banjaranyar memberikan keleluasaan

dan kemerdekaan relatif pada rumah tangga petani terhadap produsen petani lain

dan pasar. Hasil dari luasan tanah garapan yang rata – rata dua hingga tiga kavling

per-keluarga petani, sudah dapat dipertemukan dengan pemenuhan kebutuhan

rumah tangga petani.

Dalam konteks yang lebih makro, Saturnino M. Boras Jr (2010)

menyatakan bahwa, neoliberalisme secara signifikan telah mengubah dinamika

Page 100: DINAMIKA GERAKAN PETANI : KEMUNCULAN DAN

86  

hubungan pertukaran di dalam dan di antara negara – negara yang berada di utara-

selatan. Proses serempak yang terjadi oleh globalisasi “dari atas”, desentralisasi

sepihak “dari bawah”, dan privatisasi “dari samping” melalui negara sebagai

pusatnya, memainkan kunci utama dalam pertumbuhan dan perkembangan sistem

agraria, dan proses ini telah menggoncang masyarakat pedesaan hingga keakar –

akarnya. Proses yang secara luas terjadi pada masyarakat pedesaan itu, celakanya

terjadi secara bersamaan dengan gelombang restrukturisasi agraria, yang

memberikan kekuasaan penuh pada kapital domestik dan korporasi untuk

mendikte syarat – syarat pertukaran dan produksi pertanian.

Boras (2010) kemudian menekankan pada dampak, yang ia sebut sebagai

”pemenang dan pecudang” dalam proses restrukturisasi global-lokal saat ini.

Orang – orang yang semula bermata pencaharian disektor pertanian, kemudian

dengan cepat menghadapi kondisi yang teramat buruk. Buruknya kondisi

masyarakat pertanian di pedesaan, berujung pada diversifikasi mata pencaharian

(desa dan desa-kota, on-farm, off-farm, non-farm) yang dijalankan dengan

terpaksa atau sebaliknya menjadi semakin tersebar luas. Akses dan kontrol

terhadap tanah, pada gilirannya didefinisikan ulang dan hak kepemilikan atas

tanah telah direstrukturisasi guna menopang kapital swasta. Proses global – lokal

inilah yang kemudian mempengaruhi gerakan agraria dalam berbagai bentuk.

Fenomena muncul dan berkembangnya gerakan petani Banjaranyar yang

kemudian tergabung dalam Serikat Petani Pasundan (SPP), juga dapat dilihat

sebagai salah satu dampak dari proses restrukturisasi global-lokal, seperti yang

disampaikan Boras (2010). Kehadiran SPP tidak semata – mata menjadi gerakan

yang “melokalisasi” perlawanan – perlawanan mereka sebagai respons terhadap

desentralisasi yang parsial, ataupun berfokus pada segala macam aktivitas yang

bertujuan untuk menggantikan fungsi negara dalam hal isu – isu pembangunan

seperti memberikan pelayanan sosial pada masyarakat. Tetapi, SPP merupakan

sebuah gerakan yang menyatukan berbagai macam permasalahan pada tingkatan

yang benar – benar lokal, menjadi sebuah gerakan pada tingkatan regional, yang

di dalam strategi gerakannya juga memanfaatkan segala macam sumberdaya dari

berbagai level (lokal, regional, nasional, ataupun internasional). Kehadiran SPP

bukan dalam rangka menggantikan peran dan fungsi negara, tetapi untuk

Page 101: DINAMIKA GERAKAN PETANI : KEMUNCULAN DAN

87  

memaksa negara dan kekuatan ekonomi-politik (kapital swasta dan BUMN)

lainya untuk dapat menjalankan kewajiban mereka untuk memenuhi kebutuhan

petani.

7.2 Kesimpulan

Gerakan petani Banjaranyar dapat dilihat sebagai aksi perlawanan petani

terhadap perampasan tanah oleh kapital swasta yang didukung negara melalui

pemberian hak kelola tanah (HGU). Masuknya kapital swasta ke dalam komunitas

petani Banjaranyar, dalam bentuk perampasan tanah, menyebabkan kehidupan

petani semakin terpuruk dan menghadapi krisis subsistensi hingga kebatas

toleransi. Kondisi ini berakibat pada : i) terjadinya degradasi sosial dan hilangnya

eksistensi diri petani, khususnya permasalahan yang berkaitan dengan akses dan

kontrol petani terhadap tanah. ii) petani mengalami diversifikasi mata pencaharian

atau mobilitas profesi, secara horizontal : dari petani menjadi buruh industri atau

pekerja di sektor informal dan secara vertikal : dari petani dengan lahan terbatas

menjadi petani yang tidak memiliki lahan atau buruh tani. Hal inilah yang

kemudian melahirkan anggapan bahwa kehadiran kapital swasta tidak membawa

manfaat bagi masyarakat Banjaranyar.

Kondisi kehidupan petani yang sudah sedemikian terpuruk tetap saja tidak

membuat petani Banjaranyar memiliki kemampuan dan keberanian untuk

melakukan pemberontakan. Faktor kekuatan dan kekuasaan negara tetap menjadi

persoalan untuk lahirnya sebuah pemberontakan petani. Oleh karena itu, lahirnya

gerakan petani Banjaranyar tidak hanya didasarkan pada adanya faktor krisis

subsitensi di tingkat petani, termasuk rasionalitas petani, tetapi juga karena

terbukanya kesempatan akibat reformasi 1998, yang memungkinkan tokoh

gerakan seperti Pak Oman untuk dapat mengorganisir petani Banjaranyar.

Pasca redistribusi tanah yang dilakukan pada tahun 2000, secara de facto

tanah eks-perkebunan sudah dikuasai oleh petani. Secara ekonomi kehidupan

petani Banjaranyar yang mendapatkan tanah juga menjadi lebih baik, dalam artian

terjadinya peningkatan penghasilan petani. Tanah – tanah garapan hasil

redistribusi telah berhasil memberikan keleluasaan dan kemerdekaan relatif

kepada petani terhadap petani lain dan pasar. Hasil pertanian dari tanah

Page 102: DINAMIKA GERAKAN PETANI : KEMUNCULAN DAN

88  

redistribusi, setidaknya cukup untuk memenuhi kebutuhan subsisten petani.

Kiching (1982), menyebut fenomena ini sebagai labor – consumer balance yaitu

petani bertindak sebagai produsen sekaligus sebagai konsumen, memperhitungkan

efisiensi pemilikan atau penguasaan tanah sesuai dengan kebutuhan hidup

minimum berdasarkan jumlah anggota keluarganya.

Keberhasilan menguasai kembali tanah dan adanya peningkatan ekonomi

sebenarnya tidak serta merta membuat seluruh persoalan yang ada menjadi

selesai. Perbaikan ekonomi bagi para pemegang tanah garapan juga melahirkan

permasalahan baru seperti munculnya kesenjangan sosial antara peserta

reclaiming dan bukan peserta reclaiming. Kenyataan bahwa gerakan petani

Banjaranyar dapat bertahan hingga 12 tahun, pada beberapa kasus justru

memperkuat posisi elite desa dan tidak signifikan membantu petani kecil sebagai

pihak yang termarginalkan.

Gerakan petani Banjaranyar yang kemudian tergabung dalam Serikat

Petani Pasundan (SPP) memang berhasil meningkatkan posisi tawar petani di-

hadapan para pemangku kepentingan (pemerintah pusat, pemerintah daerah,

perusahaan swasta, BUMN, LSM) lainnya. Tetapi, petani yang meningkat posisi

tawarnya adalah petani yang memiliki KTA SPP (Kartu Tanda Anggota SPP) dan

tidak semua petani di Desa Banjaranyar merupakan anggota SPP. Pada tahun

2010 ketika penelitian ini dilakukan, para petani tidak bertanah atau buruh tani

justru banyak didominasi oleh petani yang bukan anggota SPP. Pada

kenyataannya kehadiran gerakan petani, justru melahirkan golongan elite baru di

Desa Banjaranyar. Para elite baru ini yang kemudian disokong dengan kisah

heroik tetang aksi perebutan tanah dan kepemilikan de facto atas tanah redistribusi

eks-perkebunan. Fenomena ini justru memperlihatkan bahwa petani miskin

memiliki kecederungan yang begitu kuat untuk selalu berada dalam ”situasi

kemiskinan” dimana petani miskin akan tetap menjadi pihak yang lemah dan

termarjinalkan.

Keberadaan gerakan petani di Desa Banjaranyar hingga saat ini (1998 –

2010), boleh jadi dapat dipandang sebagai sebuah prestasi dalam konteks

keberlanjutan sebuah gerakan petani. Tetapi, keberadaannya yang mengejawantah

dalam bentuk organisasi gerakan (OTL Banjaranyar) secara terus menerus dalam

Page 103: DINAMIKA GERAKAN PETANI : KEMUNCULAN DAN

89  

kurun waktu 12 tahun justru melahirkan masalah baru. Organisasi gerakan (OTL

Banjaranyar) belum mampu bertranformasi menjadi institusi ekonomi yang dapat

menyokong dan mepermudah kehidupan petani Banjaranyar. OTL Banjaranyar

saat ini, sangat maksimal apabila menjadi pusat informasi “aksi reclaiming tanah

Desa Banjaranyar”, tetapi kurang maksimal dalam hal membantu petani

memenuhi kebutuhan seperti pupuk, modal tanam, akses pasar, bibit, dll.

Terlepas dari berbagai permasalahan itu semua, sesungguhnya gerakan

petani Banjaranyar dapat dilihat sebagai sebuah gerakan kemanusiaan. Karena

tanah menjadi sumber sekaligus taruhan hidup bagi petani. Terlebih lagi, tanah

tidak hanya sebagai simbol eksistensi diri sebagai petani, melainkan juga simbol

harga diri sebagai manusia pedesaan yang hidupnya bersumber dari sektor

pertanian. Sehingga perampasan tanah bagi petani juga dapat dilihat sebagai

perampasan hak hidup dari petani itu sendiri. Seperti halnya pameo yang ada di

daerah Priangan Timur yang menyatakan bahwa, “tiadalah mungkin ada petani

kalau tidak ada tanah yang bisa digarap”.

Page 104: DINAMIKA GERAKAN PETANI : KEMUNCULAN DAN

90  

DAFTAR PUSTAKA

Aji, Gutomo Bayu. 2005. Tanah Untuk Penggarap, Pengalaman Serikat Petani Pasundan Menggarap Lahan – Lahan Perkebunan dan Kehutanan, Bogor : Pustaka Latin

Bachriadi, Dianto dan Anton Lucas. 2001. Merampas Tanah Rakyat : Kasus Tapos dan Cimacan, Jakarta : KPG (Kepustakaan Populer Gramedia)

Bahri, Syaiful dkk. 1999. Gerakan dan Pertumbuhan Organisasi Petani di Indonesia : Studi Kasus Gerakan Petani Era 1980-an, Jakarta : Sekertariat Bina Desa

Boras Jr, S., Edelman, M., Kay, C. 2010. Gerakan – Gerakan Agraria Transnasional, Yogyakarta : STPN Press dan Sajogyo Institute

Chrysantini, Pinky. 2007. Berawal Dari Tanah : Melihat ke Dalam Aksi Pendudukan Tanah, Bandung : Yayasan AKATIGA

Denzin, Noman K dan Yvonna S. Lincoln. 2009. Handbook of Qualitattive Research, Yogyakarta : Pustakapelajar

Eckstein, Susan. 1989. Power and Popular Protest, Latin American Social Movement. Berkeley : University of California Press

Fauzi, Noer. 2008. Dua Abad Penguasaan Tanah : Pola Penguasaan Tanah Pertanian di Jawa Dari Masa ke Masa, Penyunting : Soediono M.P. Tjondronegoro dan Gunawan Wiradi, edisi revisi, Jakarta : Yayasan Obor Indonesia

-----------. 1999. Petani dan Penguasa , Dinamika Perjalanan Politik Agraria Indonesia. Yogyakarta : Pustaka Pelajar dan KPA

Freeman, Joe. 1979. A Model for Analyzing The Strategic Option of Social Movement. Jurnal, Cambridge

Handayani, Dwi Wahyu. 2004. Gerakan Petani Pagilaran : Kecamatan Blado Kabupaten Batang Jawa Tengah. Program Pascasarjanan Studi Ilmu Politik Konsentrasi Politik Lokal dan Otonomi Daerah, Yogjakarta : Universitas Gajah Mada

Kartodirjo, Sartono. 1984. Pemberontakan Petani Banten 1888. Jakarta : Pustaka Jaya

-----------. 1991. Sejarah Perkebunan di Indonesia, kajian sosial ekonomi. Yogyakarta : Aditya Media

Kitching, G. 1982. Development and Underdevelopment in Historical Perspective. London : Methuen & Co Ltd

Kuntowijoyo. 1993. Radikalisasi Petani : Esai – Esai Sejarah. Yogyakarta : Bentang Intervisi Utama

Marx, Karl. 1895. dalam Teodor Shanin (ed), Peasantry as a Class, Middlesex : Penguin Books, 1971

Moore, Barirington. 1966. Social Origins of Dictatorship and Democracy : Lord and Peasant in the Making of the Modern World. Middlesex : Penguin Books

Mustain. 2007. Petani vs Penguasan : Gerakan Sosial Petani Melawan Hegemoni Negara, Yogjakarta : Ar Ruzz media

Olson, Mancur. 1971. The Logic of Collective Action : Public Goods and The Theory of Group, Cambirdge : Harvard University Press

Page 105: DINAMIKA GERAKAN PETANI : KEMUNCULAN DAN

91  

Philpott, Simon. 2003. Meruntuhkan Indonesia : Politik Postkolonial dan Otorianisme, penerjemah Nurudin MHD, Ali, Uzair Fauzan, Yogyakarta : LKIS

Popkin, Samuel L. 1979. The Rational, Peasant. The Political Economy of Rural Society in Vietnam. Berkeley: University of California Press

Popkin, Samuel L. 1986. Petani Rasional. Jakarta : Penerbit Yayasan Padamu Negeri

Sadikin. 2005. Perlawanan Petani, Konflik Agraria, Dan Gerakan Sosial. Jurnal Analisis Sosial Vol. 10 No.1 Juni : Perdebatan Konseptual Tentang Kaum Marginal, Yayasan Akatiga

Salert, Barbara. 1976. Revolution and Revolutionaries : Four Theories, New York : Elsevier

Scott, James C. 1976. The Moral Economy Of The Peasent, New Heaven : Yale University Press

---------. 1989. Peasant Resistance. New York : Rmunk Me Sharpe ---------. 2000. Senjata Orang –Orang Kalah : Bentuk – Bentuk Perlawanan

Sehari – Sehari Kaum tani, penerjemah : A. Rahman Zainudin, Sayogyo,

Mien Joebhaar, Jakarta : Yayasan Obor Indonesia

Shanin, Teodor. 1966. dalam Teode Shanin (ed), Peasantry as a Political Factor,

Middlesex : Penguin Books, 1971

Skocpol, Theda. 1991. Negara dan Revolusi Sosial : Suatu Analisis Komparatif

Tentang Perancis, Rusia, dan Cina. Jakarta : Erlangga

Suhendar, Endang dan Yohana Budi Winarni. 1998. Petani dan Konflik Agraria,

Bandung : Yayasan AKATIGA

Wiradi, Gunawan. 2000. Reforma Agraria : Perjalanan yang Belum Berakhir.

Yogyakarta : INSIST Press

Wolf, Eric R. 1969. dalam Teodor Shanin (ed), On Peasant Rebellion, Middlesex

: Penguin Books, 1971

Page 106: DINAMIKA GERAKAN PETANI : KEMUNCULAN DAN

92  

Lampiran 1. Dokumentasi

Gambar 6. Akses Jalan Menuju Tanah Garapan

Gambar 7. Jalan Desa

Gambar 8. Tanah Garapan

Page 107: DINAMIKA GERAKAN PETANI : KEMUNCULAN DAN

93  

Gambar 9. Pemanenan Tanaman Kayu

Gambar 10. Hasil Panen