dinamika bursa saham asing dan makroekonomi terhadap ihsg
DESCRIPTION
The development of the interaction of monetary indicators, foreign stocks, and the stock price index in the context of the dynamics of the relationship are discussed short and long term. The analysis technique used is cointegration analysis and error correction mechanisms for the period 2003-2010. From the research results that: a) in the short term, rising inflation will lead to decline in the stock price index, but in the long run, instead of rising inflation, ceteris paribus, it will increase the stock price index. Partially, the inflation rate did not significantly influence the stock price index in both the short-and long-term, b) 3-month SBI rate negative, but not significant effect on the stock price index in both the short and long term.TRANSCRIPT
Jurnal Akuntansi & Bisnis (Journal of Accounting & Business)
Volume 14, No1, Februari 2013
Tjiptohadi Sawarjuwono dan Devi Kalajanti Menumbuhkan Cinta Profesi Akuntan Publik Bagi Generasi Penerus
Hartina Husein Pengaruh Pertumbuhan Penjualan dan Pangsa Pasar Relatif terhadap
Discretionary Revenue Yulia Sandra Nur Fitriana Fraud Risk Factor (Opportunity) dan Fraudulent Financial Statements
(Empirical Study on Non Financial Firm in Indonesia) Isna Putri Rahmawati dan Bambang Riyanto Perilaku Manajemen Laba: Pengaruh Jenis Profesi, Love of Money,
Sikap Skeptis, dan Komitmen Profesional Ferda Puspitaningrum Pengaruh Kualitas Audit dan Perusahaan Suspect Terhadap Real
Earnings Management Annisa Perdany dan Sri Suranta Pengaruh Kompetensi dan Independensi Auditor Terhadap Kualitas
Audit Investigatif Pada Kantor Perwakilan BPK-RI Yogyakarta Rowland Bismark Fernando Pasaribu dan Dionysia Kowanda Dinamika Bursa Saham Asing dan Makroekonomi Terhadap Indeks
Harga Saham Gabungan Bursa Efek Indonesia
Jurnal Akuntansi dan Bisnis Vol.14 No.1 Hal.
1-112 Surakarta
Februari 2013 ISSN
1412-0852
Jurnal Akuntansi & Bisnis (Journal of Accounting & Business) Volume 14, No1, Februari 2013
ISSN: 1412-0852
Chairman
Head of Accounting Department
Universitas Sebelas Maret
Editor in-Chief:
Sulardi
Editorial Board
Bandi
Universitas Sebelas Maret
Y Anni Aryani
Universitas Sebelas Maret
Rahmawati
Universitas Sebelas Maret
Djoko Suhardjanto
Universitas Sebelas Maret
Editorial Staff
Isna Putri Rahmawati
Halim Dedy Perdana
Editorial Office
Fakultas Ekonomi Universitas Sebelas Maret
Jl. Ir. Sutami 36A, Surakarta 57126
Jurnal Akuntansi dan Bisnis (JAB) is published by Accounting Department, Faculty Economics-
Universitas Sebelas Maret. Published two times a year, February and August, JAB Is a media of
communications and reply forum for scientific work especially concerning the fields of economics
studies, business and accounting. Papers presented in JAB are solely that of author. Editorial staff
may edit the papers, as long as not change its meaning.
ISSN: 1412-0852
Jurnal Akuntansi & Bisnis (Journal of Accounting & Business)
Volume 14, No1, Februari 2013
Tjiptohadi Sawarjuwono dan Devi Kalajanti Menumbuhkan Cinta Profesi Akuntan Publik Bagi Generasi Penerus
1-15
Hartina Husein Pengaruh Pertumbuhan Penjualan dan Pangsa Pasar Relatif terhadap
Discretionary Revenue
17-26
Yulia Sandra Nur Fitriana Fraud Risk Factor (Opportunity) dan Fraudulent Financial Statements
(Empirical Study on Non Financial Firm in Indonesia)
27-43
Isna Putri Rahmawati dan Bambang Riyanto Perilaku Manajemen Laba: Pengaruh Jenis Profesi, Love of Money,
Sikap Skeptis, dan Komitmen Profesional
45-60
Ferda Puspitaningrum Pengaruh Kualitas Audit dan Perusahaan Suspect Terhadap Real
Earnings Management
61-74
Annisa Perdany dan Sri Suranta Pengaruh Kompetensi dan Independensi Auditor Terhadap Kualitas
Audit Investigatif Pada Kantor Perwakilan BPK-RI Yogyakarta
75-87
Rowland Bismark Fernando Pasaribu dan Dionysia Kowanda Dinamika Bursa Saham Asing dan Makroekonomi Terhadap Indeks
Harga Saham Gabungan Bursa Efek Indonesia
89-112
89
Dengan semakin terintegrasinya
perekonomian dunia, hampir semua negara
(termasuk Indonesia) tidak dapat lepas dari
pengaruh aliran modal antarnegara. Salah
satu karakteristik pemodal di pasar modal
adalah memperkecil risiko investasi. Pada
masa lalu, ketika sistem keuangan dunia
masih tertutup, pemodal melakukan inves-
tasi pada banyak jenis saham (yang pola
pergerakannya berbeda) pada pasar modal
dalam negeri. Namun dengan semakin ter-
bukanya sistem finansial dunia, pemodal
dapat mengurangi risiko dengan
melakukan investasi di beberapa negara.
Pemodal berharap jika investasi hanya pa-
da satu negara dimana jika terjadi kondisi
Jurnal Akuntansi dan Bisnis Vol. 14, No. 1, Februari 2013: 89-112
www.fe.uns.ac.id
aUniversitas Gunadarma
Vol. 14, No. 1, Februari 2013: 89-112
90
yang buruk, maka investasi di negara yang
lain diharapkan lebih baik dan dapat men-
jadi kompensasi. Dengan demikian inves-
tasi pemodal tersebut tidak hanya di-
pengaruhi oleh kondisi satu negara saja.
Perihal pengaruh ini pun semakin
menjadi rancu batasannya, yakni mana
yang dapat dikontrol dan mana yang diluar
kendali. Sebagai contoh, pada akhir tahun
2003 indeks pada posisi 691,895, kemudi-
an naik turun, bahkan sempat mencapai
puncaknya pada level 818,159 tanggal 27
April 2004. Level ini merupakan level yang
tertinggi dan selanjutnya jatuh berfluktuasi
ke level 700. Fluktuasi IHSG ini tidak ter-
lepas dari berbagai faktor internal, seperti
pemilu dan adanya terror bom. Demikian
juga fenomena suku bunga, pelemahan ru-
piah, yang juga berkorelasi dan men-
imbulkan dampak terhadap pergerakan
harga saham. Faktor eksternal antara lain
menguatnya dollar AS, China memperlam-
bat pertumbuhan ekonomi, harga minyak
melonjak tak keruan, serta bank sentral AS
menaikkan tingkat bunga yang kini 1,5 per-
sen. Investor yang masuk berinvestasi ke
bursa ketika IHSG pada level tertinggi akan
memiliki potensi kerugian setelah indeks
jatuh.
Fluktuasi indeks bursa saham suatu
negara juga tak lepas dari dinamika
perekonomian global, hal ini terlihat jelas
pada saat terjadinya krisis di Amerika Seri-
kat pada 2006-2007 yang lalu. Pada Awal
Agustus 2007, indeks bursa saham Ameri-
ka Serikat anjlok. Akibatnya terasa di se-
luruh dunia. Kurs rupiah melemah dari Rp
9.000 ke Rp 9.300, imbal hasil surat utang
negara melejit 30 basis poin ke 9,3 persen,
imbal hasil surat utang negara (dollar) naik
24 basis poin ke 6,8 persen dan indeks bur-
sa saham Jakarta jatuh. Gejolak itu
disebabkan oleh jatuhnya pasar surat
utang di Amerika Seri-
kat. Untuk memudahkan penjelasan, sub-
prime mortgage securities adalah surat
utang yang ditopang jaminan kredit
kepemilikan rumah (KPR) yang profil debi-
tornya memiliki kemampuan membayar
yang rendah. Melemahnya ekonomi Ameri-
ka Serikat menyebabkan meningkatnya per-
sentase gagal bayar debitor KPR segmen
tersebut. Akibatnya, harga surat utang
jatuh. Kejatuhan harga
surat utang membawa
kerugian bagi bank dan perusahaan pengel-
ola dana ( ) yang membeli
surat utang tersebut. Akibatnya, harga sa-
ham perbankan di Amerika Serikat ter-
gerus. Lalu mengapa kesalahan yang dil-
akukan investor di Amerika Serikat, tetapi
pasar keuangan Indonesia terkena dampak-
nya. Sudah sering kita alami gejolak pasar
keuangan di negara sedang berkembang
hampir selalu berdampak negatif ke Indo-
nesia, tetapi kali ini gejolak di pasar keu-
angan negara maju juga berdampak negatif
ke Indonesia. Mengapa nasib bursa efek
Indonesia seperti tersandera oleh pasar
keuangan internasional? Inilah dampak
dari globalisasi pasar keuangan, ternyata
yang memiliki surat utang
bukan hanya perbankan di Amerika
Serikat, tetapi ada juga perbankan di Aus-
tralia, Singapura, Taiwan, China, atau di
India. Perbankan di benua lain pasti juga
memiliki eksposur ke surat utang
. Akibatnya, harga saham per-
bankan di seluruh dunia jatuh. Berhubung
psikologi pasar selalu cenderung ekstrem,
banyak pelaku pasar percaya bahwa meru-
ginya perbankan besar akan berdampak
kepada pelambatan laju pertumbuhan
kredit, pelambatan kegiatan ekonomi, dan
seterusnya. Akibatnya, harga saham non-
perbankan di seluruh dunia pun jatuh.
Telah banyak model struktural
ekonomi memasukkan harga aset sebagai
bagian mekanisme transmisi kebijakan
moneter. Sebagai contoh, Modigliani (1971)
dan Mishkin (1977) mendiskusikan saluran-
saluran di mana kebijakan moneter
mempengaruhi output perekonomian me-
lalui perubahan harga saham. Teori
ekonomi menyarankan bahwa kebijakan
moneter yang ekspansif seringkali diaso-
siasikan dengan tingkat pengembalian sa-
ham yang lebih tinggi dan sebaliknya bila
kebijakan moneter tersebut bersifat restrik-
tif yang berimplikasi dengan rendahnya
tingkat pengembalian saham. Fluktuasi
tingkat suku bunga yang merefleksikan pe-
rubahan kebijakan moneter dapat secara
langsung mempengaruhi biaya modal se-
bagaimana halnya ekspektasi tingkat keun-
tungan perusahaan, yang karenanya me-
Dinamika Bursa Saham Asing dan Makroekonomi Terhadap Indeks Harga Saham (Pasaribu dan Kowanda)
91
nyebabkan fluktuasi dalam harga saham
(Durham, 2001). Studi lainnya mengacu pa-
da alasan-alasan tambahan untuk hub-
ungan antara kebijakan moneter dan ting-
kat pengembalian saham. Patellis (1997)
berpendapat bahwa kebijakan moneter
dapat merepresentasikan sumber penting
dari siklus bisnis dan karenanya
mempengaruhi tingkat pengembalian sa-
ham. Berdasarkan Chami, et.al (1999), ke-
naikan pada jumlah uang beredar, yang
meningkatkan ekspektasi inflasioner, me-
nyebabkan penurunan pada nilai riil divi-
den mendatang yang dibayarkan terhadap
para pemegang saham, menjadikan saham
kurang menarik dan karenanya mengurangi
harga saham. Gilchrist and Leahy (2002)
berpendapat bahwa perubahan pada harga
aset dapat mempengaruhi pandangan para
pembuat kebijakan akan kondisi
perekonomian dan kebijakan yang diper-
lukan. Studi mereka ini mengindikasikan
bahwa pengaruh kebijakan moneter ter-
hadap harga aset memiliki implikasi yang
penting terhadap manajer investasi, inves-
tor dan bank sentral.
Dengan menggunakan data negara-
negara G-7, Lastrapes (1998) menunjukkan
kejutan moneter mempengaruhi tingkat
pengembalian saham, sementara Kaen et.al
(1997) menemukan bahwa perubahan pada
kebijakan Bundesbank mempengaruhi sa-
ham-saham bank Jerman. Hasil penelitian
Conover et.al (1999) juga menyatakan bah-
wa adanya hubungan yang signifikan anta-
ra kebijakan moneter dan fluktuasi indeks
bursa di negara-negara maju tersebut. Se-
mentara Durham (2001), melaporkan hub-
ungan yang semakin lemah antara indi-
kator-indikator kebijkan moneter yang ber-
beda-beda dengan kinerja saham jangka
panjang.
Risiko tingkat suku bunga dan nilai
tukar valas adalah dua faktor ekonomi dan
keuangan yang penting yang
mempengaruhi nilai saham. Tingkat suku
bunga yang merefleksikan harga uang,
memiliki pengaruh terhadap variabel-
variabel lainnya di pasar uang dan pasar
modal. Tingkat suku bunga secara tidak
langsung mempengaruhi valuasi harga sa-
ham dan juga volatilitasnya menciptakan
pergeseran antara instrumen pasar uang
dan pasar modal. Volatilitas suku bunga
valuasi saham dengan cara mempengaruhi
nilai dasar perusahaan, seperti pendapatan
bersih suku bunga, penjualan, dan se-
terusnya. Kenaikan pada suku bunga ber-
pengaruh negatif terhadap nilai aset me-
lalui tingkat pengembalian yang diper-
lukan. Selanjutnya, kenaikan pada tingkat
suku bunga mengarahkan para investor
untuk mengubah stuktur investasinya dari
pasar modal kepada pasar uang pendapa-
tan tetap (Surat Utang Negara, Obligasi).
Sebaliknya, penurunan suku bunga akan
menyebabkan kenaikan pada nilai saat ini
dari dividen masa mendatang
(Hashemzadeh dan Taylor, 1988). Tingkat
suku bunga dianggap sebagai salah satu
faktor yang sangat berpengaruh terhadap
harga saham (Modigliani and Chon, 1979).
Volatilitas nilai tukar valas adalah salah
satu sumber utama pada ketidakpastian
makroekonomi yang mempengaruhi perus-
ahaan. Setelah liberalisasi keuangan dan
deregulasi serta adopsi rezim nilai tukar
mengambang, banyak negara-negara
dihadapkan pada permasalahan volatilitas
nilai tukar valuta asing.
Di sisi lain, nilai tukar valas
mempengaruhi nilai perusahaan terutama
karena arus kas mendatang perusahaan
akan berubah-ubah sesuai dengan fluktuasi
nilai tukar valas. Luehrman (1991) menya-
takan bahwa depresiasi mata uang suatu
negara mempengaruhi tingkat kompetitif
perusahaan-perusahaan dalam kompetisi
internasional perihal kenaikan dalam per-
mintaan bahan baku ekspornya. Adler dan
Dumas (1984) menyatakan bahwa meski
operasional perusahaan tersebut di dalam
negeri, ia dapat dipengaruhi oleh fluktuasi
nilai tukar valas baik pada harga input dan
output-nya. Pada saat yang sama, apabila
terjadi denominasi nilai tukar pada negara
tujuan impor, semakin lemah nilai tukar
mata uang negara pengimpor secara lang-
sung berpengaruh negatif terhadap kenai-
kan biaya impor barangnya. Namun sudut
pandang tersebut diatas pun tidak selalu
mutlak sifatnya, bila dikaitkan dengan
dinamika pasar modal karena kenyataann-
ya, pergerakan antara indeks harga saham
gabungan dan SBI pun tidak selalu berla-
wanan arah. Pada periode Juni 2004 hingga
92
Juni 2006 misalnya, terlihat anomali bahwa
kedua indikator ini bergerak searah.
Dengan kata lain kenaikan pada SBI juga
tidak selalu direspon negatif oleh para
pelaku di pasar saham.
Di sisi lain, secara teoretis, investasi
pada saham dapat memberikan perlin-
dungan nilai yang baik dari pengaruh
inflasi karena saham merupakan klaim ter-
hadap sejumlah aset riil. Teori tersebut
dikemukakan antara lain oleh Bodie (1976)
serta Fama dan Schwert (1977). Berdasar-
kan teori tersebut, tingkat pengembalian
riil dari saham seharusnya tidak ter-
pengaruh oleh perubahan harga barang
dan jasa. Berlawanan dengan harapan dari
teori tersebut, kenyataan empiris di Ameri-
ka Serikat (AS) menunjukkan bahwa inflasi
dan tingkat pengembalian investasi pada
saham berkorelasi secara negatif dalam arti
inflasi yang sangat tinggi cenderung dis-
ertai dengan tingkat pengembalian inves-
tasi pada saham yang rendah. Kenyataan
empiris di AS pada periode 1953-1971 ter-
sebut dikemukakan Fama (1981) dengan
menggunakan hipotesa pendekatan ( )
yang menjelaskan bahwa karena tingkat
pengembalian investasi pada saham berko-
relasi positif dengan aktivitas ekonomi riil
dan aktivitas ekonomi riil berkorelasi
negatif dengan perubahan harga-harga ba-
rang dan jasa (inflasi), maka tingkat
pengembalian investasi pada saham berko-
relasi negatif dengan inflasi. Hipotesa ter-
sebut menyiratkan bahwa tingkat pengem-
balian investasi pada saham lebih erat
terkait dengan aktivitas ekonomi riil da-
ripada dengan inflasi.
Terkait dengan hal ini, studi yang dil-
akukan oleh Spyrou (2004) menyimpulkan
bahwa di beberapa negara berkembang,
selain Indonesia, kenyataan empiris
menunjukkan bahwa inflasi berkorelasi
secara positif dengan tingkat pengembalian
investasi pada saham. Temuan tersebut
mengindikasikan bahwa dengan tingkat
inflasi yang tinggi dapat diharapkan ting-
kat pengembalian investasi pada saham
yang tinggi pula. Menurut Spyrou (2004),
indikasi tersebut kemungkinan disebabkan
oleh korelasi positif antara inflasi dan ak-
tivitas ekonomi riil di banyak negara
berkembang serta kemungkinan adanya
keterkaitan erat antara kebijakan moneter
dengan kebijakan sektor riil di negara-
negara tersebut.
Pola interaksi antar aktivitas ekonomi
global pun juga seringkali memunculkan
gambaran anomali bila dihadapkan kausali-
tas teoritis dan fakta. Contoh hal ini terjadi
pada awal tahun 2009 dimana nilai tukar
kurs rupiah terhadap dolar Amerika yang
terus mengalami penurunan mulai dari kis-
aran Rp 10.800 per awal Januari hingga
mencapai Rp 12.000 USD1 per awal Febru-
ari. Meski fenomena pelemahan kurs ini
juga praktis terjadi pada hampir semua
mata uang dunia terhadap dollar AS, tetap
saja ini menimbulkan kekhawatiran. Dunia
usaha masih dihinggapi trauma pelemahan
rupiah sebagaimana terjadi pada krisis
1998. Menurut Prasetiantono (2009), setid-
aknya bisa dipetakan adanya lima faktor
penyebabnya: , dalam setahun ter-
akhir terjadi penurunan hebat arus modal
masuk dari negara-negara maju ke negara-
negara pasar sedang berkembang di Asia.
Pada Januari-Agustus 2008, modal masuk
terpangkas 40 persen, dari 100 miliar dol-
lar AS menjadi 60 miliar dollar AS (World
Bank, Global Economic Prospects 2009:
Commodities at the Crossroads). Modal
asing yang masuk dapat dikategorikan
menjadi tiga jenis, yakni penerbitan ob-
ligasi, penjualan saham, dan pinjaman per-
bankan. Ini belum termasuk penurunan
modal asing langsung. Situasi kian membu-
ruk sejak 15 September 2008 ketika Leh-
man Brothers bangkrut. Investor di New
York, Amerika Serikat, pun kemudian
melakukan konsolidasi. Mereka menarik
dananya dari seluruh dunia untuk menata
ulang portofolionya. Kondisi pasar sedang
berkembang bahkan diperkirakan mengala-
mi defisit aliran modal, berarti lebih ban-
yak modal keluar daripada modal masuk.
Dalam kasus Indonesia, hal itu dapat
dideteksi dari merosotnya cadangan devisa
dari level tertinggi 57 miliar (Juli 2008)
menjadi 51 miliar dollar AS. Repatriasi
modal menyebabkan naiknya permintaan
terhadap dollar AS sehingga kurs dollar AS
menguat. Inilah penjelasan, mengapa dollar
AS justru menguat ketika perekonomian AS
memburuk? Kedua, surplus perdagangan
Indonesia menurun tajam, dari 40 miliar
Vol. 14, No. 1, Februari 2013: 89-112
Dinamika Bursa Saham Asing dan Makroekonomi Terhadap Indeks Harga Saham (Pasaribu dan Kowanda)
93
dollar AS (2007 dan 2006) menjadi hanya
11 miliar dollar AS (2008). Surplus 2008
berasal dari ekspor 136 miliar dollar AS
dikurangi impor 125 miliar dollar AS. Ek-
spor mulai melemah sejak Oktober 2008
ketika AS dan seluruh dunia sudah me-
masuki periode krisis. Hal ini juga diikuti
oleh menurunnya impor, seiring dengan
kian mahalnya dollar AS. Menipisnya sur-
plus perdagangan menghilangkan peluang
untuk menambah cadangan devisa. Ketiga,
euforia stimulus fiskal AS. Keputusan un-
tuk menginjeksi stimulus fiskal 787 miliar
dollar AS juga berkorelasi dengan kenaikan
kurs dollar AS. Keempat, sebelum 15 Sep-
tember 2008, banyak mata uang dunia
cenderung terlalu mahal ( ) ter-
hadap dollar AS. Akibatnya, neraca
perdagangan tertekan hebat (defisit). Indo-
nesia kurang lebih punya masalah mirip.
Karena kurs dollar AS terlalu murah
( ), impor melonjak sangat be-
sar. Pada Juli 2008, impor kita mencapai
rekor tertinggi 12,82 miliar dollar AS, pa-
dahal ekspor cuma 12,55 miliar dollar AS.
Akibatnya, terjadi defisit perdagangan
hampir 300 juta dollar AS. kami menduga
hal ini terjadi karena dollar AS underval-
ued, atau sebaliknya rupiah .
Koreksi yang diperlukan adalah kombinasi
antara dollar AS menguat dan rupiah
melemah. Kelima, Bank Indonesia
menurunkan suku bunganya terlalu cepat.
Kebijakan ini memang sangat diperlukan
untuk memacu sektor riil. Namun,
penurunan BI Rate yang terakhir dari 8,75
persen ke 8,25 persen justru dilakukan pa-
da saat rupiah lemah, yakni Rp 11.700 per
dollar AS.
Anomali interaksi antara indikator
moneter dan indeks harga saham gabungan
adalah konsekuensi bagi para pelaku pasar
(sektor riil dan keuangan) dalam menyikapi
dinamika aktivitas perekonomian yang ada,
terlebih bila dikaitkan dengan konteks lib-
eralisasi ekonomi yang seringkali
menghasilkan output yang bertentangan
dengan kausalitas definisi antar indikator.
Pemetaan pada pola pergerakan dinamis
indikator yang dimaksud adalah suatu tan-
tangan dan peluang baik bagi kalangan
akademisi dan praktisi guna menghasilkan
estimasi yang sekomprehensif mungkin
dalam menjelaskan interaksi tersebut.
Berdasarkan pemaparan singkat diat-
as, penelitian ini bertujuan untuk:
1. Melihat perkembangan indeks harga sa-
ham gabungan, tingkat inflasi, cadangan
devisa, tingkat suku bunga SBI, jumlah
uang beredar, kurs rupiah terhadap
Dolar Amerika Serikat, kurs rupiah ter-
hadap Euro, dan bursa saham asing
94
(KLSE, STI, PSEI, dan SSE)
2. Mengetahui pengaruh masing-masing
variabel tersebut baik secara simultan
maupun secara parsial terhadap indeks
harga saham gabungan (IHSG).
Globalisasi secara sederhana diartikan
sebagai integrasi perekonomian suatu
negara ke dalam perekonomian dunia
(global). Proses integrasi perekonomian
global itu sendiri, antara lain dicerminkan
oleh adanya liberalisasi perdagangan dan
investasi (ekonomi) (Darwin, 2005).
Gejala globalisasi terjadi dalam
kegiatan finansial, produksi, investasi dan
perdagangan yang kemudian
mempengaruhi tata hubungan ekonomi
antarbangsa. Proses globalisasi itu telah
meningkatkan kadar hubungan saling
ketergantungan antarnegara, bahkan men-
imbulkan proses menyatunya ekonomi
dunia, sehingga batas-batas antarnegara
dalam berbagai praktik dunia usaha atau
bisnis seakanakan dianggap tidak berlaku
lagi (Halwani, 2005). Lebih lanjut Halwani
(2005) menjelaskan bahwa globalisasi
ekonomi ditandai dengan makin menip-
isnya batas-batas investasi atau pasar
secara nasional, regional ataupun inter-
nasional. Hal itu disebabkan oleh adanya
hal-hal berikut ini.
1. Komunikasi dan transportasi yang se-
makin canggih.
2. Lalu lintas devisa yang semakin bebas.
3. Ekonomi negara yang makin terbuka.
4. Penggunaan secara penuh keunggulan
komparatif dan keunggulan kompetitif
tiap-tiap negara.
5. Metode produksi dan perakitan dengan
organisasi manajemen yang makin
efisien.
6. Semakin pesatnya perkembangan perus-
ahaan multinasional di hampir seluruh
dunia.
Dua kata kunci di dalam globalisasi
adalah interaksi dan integrasi, yakni in-
teraksi ekonomi antar negara dan tingkat
integrasinya. Interaksi ekonomi antar nega-
ra mencakup arus perdagangan, produksi
dan keuangan, sedangkan integrasi berarti
bahwa perekonomian lokal atau nasional
setiap negara secara efektif merupakan ba-
gian yang tidak otonom dari satu
perekonomian tunggal dunia. Jadi
pengertian integrasi lebih tegas dibanding-
kan interaksi. Berdasarkan kedua kata
kunci tersebut pengertian globalisasi
ekonomi adalah bahwa suatu kondisi di-
mana perekonomian nasional dan lokal ter-
integrasi kedalam satu perekonomian tung-
gal yang bersifat global (Thoha, 2001).
Integrasi ekonomi adalah kebijakan
komersial atau perdagangan yang secara
diskriminatif mengurangi atau mengha-
puskan hambatan-hambatan perdagangan
hanya di antara pihak tertentu saja, yakni
di negara-negara yang memutuskan untuk
bersatu membentuk integrasi ekonomi ter-
sebut.
Menurut Djamalius dalam Hanie
(2006), integrasi ekonomi merupakan pen-
ciptaan struktur perekonomian inter-
nasional yang lebih bebas dengan jalan
menghapuskan semua pembatasan-
pembatasan yang dibuat terhadap beker-
janya perdagangan bebas dan dengan jalan
memasukkan semua bentuk bentuk kerja
sama dan unifikasi. Integrasi dapat dipakai
sebagai alat untuk mengakses pasar yang
lebih besar, menstimulasi pertumbuhan
ekonomi sebagai upaya untuk meningkat-
kan kesejahteraan nasional.
Dalam penelitian ini integrasi IHSG
dengan indeks bursa saham regional
mempunyai arti sebagai penyatuan bursa-
bursa saham dengan menganalisis keterkai-
tan atau hubungannya dilihat dari harga
saham, suku bunga dan tingkat inflasi.
Adapun negara-negara yang akan diteliti
adalah Indonesia, Hongkong dan Singapu-
ra.
Suku bunga, tingkat inflasi dan harga
saham Indonesia memiliki keterkaitan
dengan suku bunga, tingkat inflasi, harga
saham Hongkong dan Singapura. Indeks
Bursa Saham (IHSG) berkorelasi positif dan
negatif dengan Indeks Bursa Regional
(Hangseng dan STI). Adanya penyatuan
atau integrasi ini dapat mempengaruhi per-
tumbuhan pasar modal di masing-masing
negara. Saham di bursa-bursa Asia
melemah terpengaruh anjloknya saham
Vol. 14, No. 1, Februari 2013: 89-112
Dinamika Bursa Saham Asing dan Makroekonomi Terhadap Indeks Harga Saham (Pasaribu dan Kowanda)
95
Wall Street. Di Hong Kong, indeks
Hangseng turun dan indeks STI mengalami
penurunan terendah dalam dua tahun tera-
khir mengikuti penurunan indeks Dow
Jones. Menurut para investor, penurunan
tingkat suku bunga bisa mengangkat
ekonomi karena bisa menurunkan harga
barang konsumen (Hariyanto, 2001). Con-
toh lain, menjelang akhir tahun 2006 lalu,
dapat dilihat bahwa Bursa Efek Jakarta ber-
sama dengan bursa Shanghai China dan
Mumbai India merupakan trio bursa di Asia
dengan kinerja paling baik. Ketiganya ber-
sama-sama memecahkan rekor indeksnya
masing-masing. Diketahui bahwa pertum-
buhan indeks sebesar 57.25 persen dicapai
bursa Jakarta, 65.05 persen oleh bursa
Shanghai dan 48.64 persen oleh bursa
Mumbai. Memasuki masa peralihan semes-
ter pertama dan kedua sempat terjadi
penurunan indeks akibat ketidakpastian
tingkat suku bunga global. Tetapi, setelah
itu indeks di BEJ terus melaju dan sempat
mencapai level 1.800. Inflasi yang terken-
dali dan tingkat suku bunga yang terus
menurun membuat optimisme ke lantai
bursa. Dimana para investor tertarik untuk
membeli saham di bursa.
Globalisasi adalah salah satu penyebab
dari korelasi antara IHSG dengan berbagai
indeks yang ada di berbagai belahan dunia.
Investor, baik perseorangan maupun yang
tergabung dalam sebuah dana yang
dikelola oleh seorang manajer investasi,
bisa dengan bebas melakukan alokasi aset
tanpa melihat batas-batas negara. Secara
khusus, fund manager ini membuat IHSG
berhubungan dengan bursa yang lain.
Maraknya pembentukan fund regional yang
menggunakan indeks yang terdiri dari sa-
ham-saham yang ada dalam satu regional
sebagai , adalah penyebab dari
semakin besarnya korelasi antara IHSG
dengan berbagai indeks regional. Manajer
investasi regional bisa dengan bebas me-
masukkan portofolio regionalnya dari satu
negara ke negara yang lain. Manajer inves-
tasi bisa saja keluar dari suatu negara un-
tuk menginvestasikan dana yang dimilikin-
ya selama kedua bursa tersebut masih be-
rada dalam satu regional. Sebagai contoh,
untuk 2006, arus dana asing memang
cenderung untuk keluar dari bursa Korea
dan Taiwan, tapi masih masuk untuk bursa
Indonesia dan India.
Beberapa manajer investasi
menggunakan indeks regional sebagai
dari prestasinya dalam
melakukan investasi. Indeks regional ini
adalah indeks yang komponennya terdiri
dari saham-saham yang terdaftar di bebera-
pa negara. Manajer investasi yang
menggunakan indeks regional sebagai
benchmark bisa jadi cenderung untuk
keluar dari seluruh region apabila terjadi
guncangan di satu negara yang menjadi
tujuan investasinya (Utomo, 2007). Contoh
indeks regional ini adalah MSCI Asia Ex Ja-
pan yang berisi saham-saham yang di-
perdagangkan di bursa utama Asia di luar
Jepang, atau FTSE atau ASEAN 40 Index
yang berisi saham-saham yang ada di bursa
ASEAN. Selain itu Nikkei-225 Bursa Saham
Jepang, Hangseng Bursa Saham Hongkong,
Strait Times Bursa Saham Singapura, SET
Bursa Saham Thailand dan lain-lain.
Variabel yang berhubungan dengan
harga saham adalah tingkat inflasi. Besar
kecilnya laju inflasi akan mempengaruhi
suku bunga riil. Hal ini cukup berpengaruh
bagi instrumen-instrumen pasar modal.
Bila inflasi mengalami kenaikan maka
pemerintah akan berusaha untuk
menurunkannya dengan cara mengen-
dalikan jumlah uang beredar. Hal ini me-
nyebabkan meningkatnya tingkat suku
bunga riil. Dengan meningkatnya tingkat
suku bunga riil maka akan menyebabkan
investor cenderung untuk mengurangi
kegiatan investasinya. Dana investasi akan
cenderung untuk diendapkan dalam ben-
tuk deposito karena tingkat pengembalian
yang ditawarkan deposito lebih besar
dibandingkan dengan tingkat pengem-
balian yang ditawarkan pasar saham.
Dengan berkurangnya transaksi di pasar
saham tersebut maka akan menyebabkan
turunnya harga saham (Vimala, 2005).
↑→
→ ↑→
↓→ ↓
96
Hubungan antara suku bunga dengan
harga saham dapat dilihat dari hubungan
antara suku bunga dengan investasi. Inves-
tasi sangatlah dipengaruhi oleh tingkat su-
ku bunga. Bila suku bunga mengalami ke-
naikan maka masyarakat cenderung untuk
tidak berinvestasi karena memilih untuk
menanamkan modalnya dalam tabungan
atau deposito. Hal ini dikarenakan dengan
tingkat suku bunga yang tinggi maka ting-
kat pengembalian yang akan diterima akan
lebih tinggi dibandingkan dengan berinves-
tasi dalam pasar modal. Ini menyebabkan
berkurangnya transaksi di pasar modal
terutama pasar saham sehingga akan me-
nyebabkan penurunan harga saham.
Bila hal sebaliknya yang terjadi,
dengan menurunnya tingkat suku bunga
maka akan menyebabkan masyarakat tidak
menanamkan modalnya dalam tabungan
atau deposito. Masyarakat akan menginves-
tasikan modalnya pada instrumen investasi
dengan imbalan hasil yang lebih tinggi dan
salah satu pilihan adalah dengan berinves-
tasi dalam pasar modal. Hal ini menyebab-
kan transaksi pasar modal akan meningkat
dan menyebabkan harga saham ikut men-
galami peningkatan.
Maysami dan Koh (2000) meneliti hub-
ungan demikian di Singapura. Mereka
menemukan bahwa inflasi, pertumbuhan
jumlah uang beredar, perubahan jangka
pendek dan jangka panjang tingkat bunga
dan variasi dalam nilai tukar membentuk
hubungan kointegrasi dengan perubahan
indeks gabungan pasar saham Singapura.
Sementara Islam dan Watanapalachaikul
(2003) menunjukkan, hubungan jangka
panjang yang kuat dan signifikan antara
harga saham dan faktor makro ekonomi
(suku bunga, harga obligasi, kurs mata
uang asing, rasio , kapitalisasi
pasar, dan indeks harga konsumen) selama
1992 sampai 2001 di Thailand.
Wongbangpo dan Sharma (2002)
mengkaji hubungan antara harga saham
dan beberapa faktor makroekonomi di lima
negara ASEAN (Indonesia, Malaysia, Filipi-
na, Singapura dan Thailand). Temuan
penelitian menyatakan bahwa dalam
jangka panjang harga saham berhubungan
positif terhadap pertumbuhan output, se-
mentara untuk jangka pendek, harga sa-
ham ternyata adalah fungsi masa lalu dan
saat ini dari variabel-variabel mak-
roekonomi.
Maysami dan Sims (2002, 2001a,
2001b) menggunakan teknik pemodelan
untuk menjelaskan hub-
ungan antar variabel makroekonomi dan
tingkat pengembalian saham di Hongkong
dan Singapura (Maysami dan Sim, 2002b)
Malaysia dan Thailand (Maysami dan Sim,
2001a), serta Jepang dan Korea (Maysami
dan Sim, 2001b). Dengan menggunakan
pendekatannya Hendry (1986) yang
memungkinkan dilakukannya deduksi ter-
hadap hubungan jangka pendek antara var-
iabel makroekonomi sebagaimana halnya
penyesuaian jangka panjang terhadap ting-
kat keseimbangan. Mereka menganalisis
pengaruh suku bunga, inflasi, penawaran
uang, nilai tukar dan aktivitas riil secara
bersamaan dengan variabel dummi untuk
menangkap akibat dari krisis keuangan
Asia 1997. Hasil penelitiannya mengkonfir-
masi pengaruh variabel makroekonomi ter-
hadap indeks harga saham gabungan tiap-
tiap negara, meski terjadi perbedaan peri-
hal tipe dan ukuran asosiasi mengacu pada
perbedaan struktur keuangan negara mas-
ing-masing.
Maghyereh (2002) meneliti hubungan
jangka panjang antara harga saham dan
variabel makroekonomi Yordania dipilih,
sekali lagi dengan menggunakan (1988)
kointegrasi Johansen analisis dan data seri
bulanan waktu untuk periode Januari 1987
sampai Desember 2000. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa variabel ekonomi
makro tercermin pada harga saham di
pasar modal Yordania.
Sementara penelitian Omran (2003)
difokuskan pada memeriksa dampak dari
suku bunga riil sebagai faktor kunci pada
kinerja pasar saham Mesir, baik dari segi
aktivitas pasar dan likuiditas. Analisis koin-
tegrasi melalui mekanisme koreksi kesala-
han (ECM) menunjukkan hubungan jangka
panjang dan jangka pendek yang signifikan
antara variabel-variabel, yang menyiratkan
bahwa suku bunga riil berdampak pada
kinerja pasar saham.
Hassan (2003) menggunakan teknik
Vol. 14, No. 1, Februari 2013: 89-112
Dinamika Bursa Saham Asing dan Makroekonomi Terhadap Indeks Harga Saham (Pasaribu dan Kowanda)
97
kointegrasi multivariat Johansen (1988,
1991, 1992b) dan (1990) Johansen dan
'Juselius untuk menguji keberadaan hub-
ungan jangka panjang antara harga saham
di kawasan Teluk Persia. Menggunakan
model vektor koreksi kesalahan, ia juga
meneliti jangka pendek dinamika harga
dengan menguji keberadaan dan arah
antarwaktu Granger-kausalitas. Analisis
indeks harga mingguan di Kuwait, Bahrain,
Oman dan saham pasar menunjukkan bah-
wa: (1) harga saham telah berkointegrasi
dengan satu vektor kointegrasi dan dua
tren stokastik umum yang menunjukkan
adanya keseimbangan, stabil jangka pan-
jang hubungan antara mereka, dan (2) har-
ga tidak dipengaruhi oleh perubahan
jangka pendek tetapi bergerak sepanjang
nilai-nilai tren satu sama lain. Oleh karena
itu, informasi tentang tingkat harga akan
sangat membantu untuk memprediksi pe-
rubahan mereka.
Islam (2003) mereplikasi studinya
Maysami dan Sims dalam menjelaskan hub-
ungan penyesuaian dinamik jangka pendek
dan hubungan keseimbangan jangka pan-
jang antara empat variabel makroekonomi
(suku bunga, tingkat inflasi, nilai tukar, dan
produktivitas industri) dan indeks harga
gabungan saham Kuala Lumpur. Kes-
impulan studinya hampir serupa. Terdapat
hubungan yang signifikan jangka pendek
(dinamik) dan jangka panjang
(keseimbangan) secara statistik antara vari-
abel makroekonomi dan tingkat pengem-
balian pasar saham Kuala Lumpur. Ibrahim
(1999) juga meneliti interaksi dinamis anta-
ra indeks gabungan KLSE, dan tujuh varia-
bel makroekonomi (indeks produksi indus-
tri, jumlah uang beredar M1 dan M2, in-
deks harga konsumen, cadangan devisa,
kredit agregat dan nilai tukar). Hasil penga-
matannya menyatakan bahwa variabel mak-
roekonomi berpengaruh terhadap indeks
saham Malaysia, ia menyimpulkan bahwa
pasar saham Malaysia belum efisien secara
informasi. Hasil yang sama juga diperoleh
atas studi yang dilakukan Chong dan Koh
(2003). Mereka menunjukkan bahwa harga
saham, kegiatan ekonomi, suku bunga riil
dan keseimbangan uang riil di Malaysia itu
terkait dalam jangka panjang baik di pra-
dan pasca periode kontrol modal.
Boucher (2004) mempertimbangkan
perspektif baru pada hubungan antara har-
ga saham dan inflasi, dengan mem-
perkirakan tren jangka panjang pada harga
saham riil, sebagaimana tercermin dalam
rasio laba-harga, dan keduanya: ekpektasi
inflasi dan inflasi riil. Mereka mempelajari
peran penyimpangan sementara dari ke-
cenderungan umum dalam rasio laba-harga
dan inflasi riil untuk memprediksi fluk-
tuasi pasar saham. Secara khusus, mereka
menemukan bahwa deviasi ini menunjuk-
kan kemampuan peramalan yang substan-
sial dalam sampel dan di luar sampel un-
tuk keduanya, baik ekspektasi tingkat
pengembalian dan realisasi tingkat
pengembalian serta ekses tingkat pengem-
balian. Selain itu, mereka menemukan bah-
wa variabel ini memberikan informasi ten-
tang tingkat pengembalian saham di masa
depan periode pendek dan menengah yang
tidak ditangkap oleh variabel peramalan
lain yang populer.
Chuang et al. (2007) mengkaji apakah
variabel-variabel makroekonomi, khu-
susnya jumlah uang beredar, dan defisit
APBN yang dianggap memiliki fungsi pent-
ing guna memprediksi harga saham di Tai-
wan, Hongkong, Singapura, dan Korea Se-
latan. Data yang digunakan adalah indeks
harga saham, jumlah penawaran uang, dan
besarnya defisit APBN. Hasil penelitiannya
secara umum konsisten dengan literatur
mengenai makroekonomi. Temuan lainnya
menyatakan bahwa terjadi hubungan kese-
imbangan jangka panjang antara kebijakan
makroekonomi dan harga saham atas
keempat negara tersebut, sementara untuk
periode jangka pendek, harga saham tidak
otomatis langsung menyesuaikan atas pe-
rubahan kebijakan moneter dan fiskal yang
terjadi.
Chen (2008) meneliti apakah variabel-
variabel makroekonomi dapat memprediksi
resesi di pasar saham. Variabel yang
digunakannya antara lain, tingkat
suku bunga, tingkat inflasi, jumlah uang
beredar, agregat output, dan tingkat
pengangguran. Bukti empiris dari data bu-
lanan indeks harga S&P 500 menyatakan
bahwa diantara variabel makroekonomi
yang dipertimbangkan sebagai prediktor
yang memiliki daya penjelas yang memadai
98
adalah spread kurva imbal hasil dan ting-
kat inflasi berdasarkan kinerja peramalan
sampel yang dilakukan.
Kumar (2008) membangun dan
memvalidasi hubungan jangka panjang
harga saham dengan nilai tukar dan inflasi
dalam konteks India. Ada banyak
penelitian tentang hubungan antara indeks
saham dengan variabel makroekonomi. Hal
ini memberikan latar belakang subyektif
yang kuat untuk menguji adanya hubungan
seperti di India. Penelitian ini terutama di-
tangani dengan metode empiris dengan
menggabungkan teknik statistik yang ber-
beda untuk memeriksa adanya kointegrasi
antara indeks saham (Sensex) dan variabel
lainnya. Ko-integrasi merupakan indikator
yang diterima dengan baik untuk konteks
penjelasan hubungan jangka panjang anta-
ra lebih dari satu variabel .
Penelitian ini mengambil pertimbangan
sepuluh tahun pengalaman ekonomi India
masa lalu yang tercermin ke dalam indeks
saham, indeks harga grosir dan nilai tukar.
Sebuah hubungan kausal tidak dapat diten-
tukan tanpa adanya ko-integrasi antara var-
iabel ekonomi makro yang dipilih.
Gilbert (2008) menganalisis hubungan
antara kejutan pengumuman mak-
roekonomi, tingkat pengembalian intraday
pada indeks S&P 500, dan revisi terhadap
data yang diumumkan. Informasi ini tidak
berhubungan dengan kejutan pengumu-
man awal dan memprediksi revisi masa
depan: Harga meningkat ketika revisi beri-
kutnya akan positif. Pengamatan ini sangat
baik untuk kegiatan nyata dan variabel in-
vestasi seperti gaji non-pertanian, produksi
industri, dan pesanan pabrik. Hasilnya me-
nunjukkan bahwa pelepasan informasi pu-
blik memang berpotensi dalam memicu
agregasi informasi swasta yang lebih
akurat.
Adam dan Tweneboah (2008) meneliti
dampak dari variabel makroekonomi ter-
hadap harga saham dalam indeks saham
Databank. Untuk mewakili pasar saham
dan (a) mengarahkan ke dalam investasi
asing, (b) suku bunga T-Bill (sebagai ukuran
tingkat suku bunga), (c) indeks harga kon-
sumen (sebagai ukuran inflasi), (d) harga
minyak mentah, dan (e) nilai tukar yang
digunakan sebagai variabel makroekonomi.
Mereka menganalisis data kuartalan 1991-
2007 untuk variabel-variabel di atas
dengan menggunakan model co-integrasi,
model vektor koreksi uji kesalahan (VECM).
Hasil penelitiannya menetapkan bahwa ko-
integrasi yang terjadi diantara variabel
makroekonomi dan harga saham di Ghana
menunjukkan adanya hubungan jangka
panjang. Analisis VECM menunjukkan bah-
wa nilai lag dari suku bunga dan inflasi
memiliki pengaruh yang signifikan ter-
hadap pasar saham. Sementara investasi
langsung asing, harga minyak, dan nilai
tukar menunjukkan pengaruh yang lemah
pada perubahan harga.
Manurung (1996) melakukan
penelitian tentang pengaruh variabel mak-
ro, investor asing, bursa yang, telah maju
terhadap indeks BEI. Variabel makro
ekonomi yang dimasukkan ke dalam model
yaitu, tingkat bunga deposito, kurs dolar
Amerika Serikat, defisit transaksi berjalan,
tingkat inflasi, penawaran uang yang
diukur dengan M2, pengeluaran
pemerintah dan produk domestik bruto.
Hasilnya, variabel inflasi tiga bulan, penge-
luaran pemerintah, dan produk domestik
bruto tidak signifikan dalam
mempengaruhi indeks di Bursa Efek Indo-
nesia. Sedangkan, sisanya terbukti
mempengaruhi indeks di Bursa Efek Indo-
nesia.
Pemerintah pun menganggap interaksi
aliran modal yang masuk dan keluar me-
lalui pasar modal dan perdagangan valuta
asing adalah penting, sehingga melalui
BAPEPAM melakukan kajian terhada pola
hubungan interaksi secara jangka pendek
dan jangka panjang. Penelitian yang dil-
akukan BAPEPAM ini bertujuan untuk men-
guji hubungan kointegrasi dan hubungan
kausalitas antara aliran modal asing, perge-
rakan indeks harga saham dan pergerakan
nilai tukar rupiah serta untuk mengetahui
hubungan dinamis diantara ketiga variabel
penelitian tersebut periode 2000-2007. Da-
ta yang digunakan adalah data time series
harian berasal dari Badan Pengawas Pasar
Modal dan Lembaga Keuangan (Bapepam-
LK), Kustodian Efek Indonesia (KSEI) dan
Bank Indonesia (BI). Teknik analisis
Vol. 14, No. 1, Februari 2013: 89-112
Dinamika Bursa Saham Asing dan Makroekonomi Terhadap Indeks Harga Saham (Pasaribu dan Kowanda)
99
menggunakan metode
dan
dalam rerangka VAR ( ).
Variabel yang digunakan dalam penelitian
ini adalah Indeks Harga Saham Gabungan
(IHSG), Nilai Tukar Rupiah terhadap Dolar
(Kurs) dan . Hasil
penelitian menunjukkan secara empiris
bahwa uji akar unit ( ) dengan
metode (ADF)
menunjukkan bahwa ketiga variabel mem-
iliki atau tidak stasioner pada da-
ta level, namun stasioner pada tingkat
yaitu variabel-variabel tersebut
mempunyai derajat integrasi yang sama
pada I(1). Dari hasil uji Kointegrasi menun-
jukkan bahwa ketiga variabel penelitian
mempunyai hubungan kointegrasi atau
keseimbangan jangka panjang. Dari hasil
uji kausalitas menunjukkan bahwa IHSG
lebih mampu menjelaskan pengaruhnya
terhadap aliran modal asing yang masuk ke
Indonesia, sedangkan aliran modal asing
mampu menjelaskan pengaruhnya ter-
hadap pergerakan nilai tukar rupiah.
Dengan menggunakan multivariate VECM
yang ditunjukkan oleh
maupun
memberikan hasil bahwa aliran modal as-
ing yang masuk ke Indonesia pada periode
penelitian memberikan pengaruh yang pos-
itif terhadap pergerakan indeks harga sa-
ham gabungan, dan juga memberikan
pengaruh yang positif terhadap perubahan
nilai tukar rupiah. Perubahan nilai tukar
rupiah yang menguat/melemah mem-
berikan pengaruh yang positif/negatif ter-
hadap pergerakan indeks harga saham
gabungan. Disamping itu, masing-masing
variabel dapat saling menjelaskan apabila
terjadi kejutan terhadap salah satu varia-
bel.
Menurut Hajiji (2008) perkembangan
nilai indeks harga saham gabungan (IHSG)
dipengaruhi oleh beberapa faktor dalam
sistem pasar keuangan di Indonesia. IHSG
selama periode penelitian mengalami fluk-
tuasi namun secara umum mengalami ke-
naikan. Suku bunga SBI dan tingkat inflasi
selama periode penelitian mengalami fluk-
tuasi. Kurs Rupiah terhadap Dolar Amerika
juga berfluktuasi namun pergerakannya
cukup stabil. Perkembangan nilai indeks
harga saham gabungan (IHSG) secara simul-
tan dipengaruhi oleh instrumen pasar keu-
angan seperti suku bunga SBI, inflasi dan
kurs Rupiah terhadap Dolar AS. Kurs ber-
pengaruh negatif dan signifikan secara
statistik terhadap IHSG sedangkan suku
bunga SBI dan inflasi juga berpengaruh
negatif tetapi tidak signifikan secara statis-
tik. Hal ini menunjukkan bahwa investor
selama periode penelitian tidak terlalu
memperhatikan pergerakan SBI dan inflasi
namun cenderung lebih memperhatikan
pergerakan Rupiah terhadap Dolar AS. Pe-
rubahan dalam IHSG dapat dijelaskan oleh
kurs Dolar Amerika, suku bunga SBI dan
inflasi sebesar 26,5 persen. Kecilnya
pengaruh faktor-faktor pasar keuangan di
atas dalam mempengaruhi nilai IHSG kare-
na banyak informasi dan faktor-faktor lain
yang juga dijadikan bahan pertimbangan
oleh para investor dalam menanamkan in-
vestasinya di bursa saham.
Penelitian Mansur (2009) bertujuan
untuk menguji pengaruh tingkat suku bun-
ga SBI dan kurs dolar AS terhadap Indeks
Harga Saham Gabungan (IHSG) di Busa Efek
Jakarta (BEJ). Analisis model yang menun-
jukkan besarnya pengaruh dari dalam
negeri memberikan hasil bahwa secara ber-
sama-sama tingkat suku bunga SBI dan
kurs dolar AS memberikan pengaruh yang
signifikan. Tetapi secara individual me-
nyimpulkan bahwa tingkat suku bunga SBI
dalam periode tahun 2000 sampai 2002
ternyata tidak memberikan pengaruh yang
signifikan terhadap Indeks Harga Saham
Gabungan di BEJ. Pengaruh yang signifikan
diberikan oleh kurs dolar AS dan besarnya
pengaruh kurs dolar AS tehadap IHSG Bur-
sa Efek Jakarta sebesar 51,55 % dengan
arah pengaruh negatif. Artinya apabila ru-
piah terdepresiasi terhadap dolar AS maka
IHSG cenderung akan melemah dan begitu
juga sebaliknya, apabila rupiah terapresiasi
terhadap dolar AS maka IHSG akan men-
galami penguatan. Tidak signifikannya
tingkat suku bunga SBI terjadi karena pada
periode penelitian, yaitu tahun 2000 sam-
pai tahun 2002 terjadi banyak sentimen
diluar variabel yang diteliti. Faktor sen-
timen tersebut berasal dari situasi politik,
ekonomi dan keamanan dalam negeri serta
faktor kebijakan-kebijakan investasi. Misal-
100
nya di dalam bidang keamanan adanya
konflik di Aceh, Ambon dan Papua, serta
peristiwa bom Bali yang terjadi pada akhir
tahun 2002. Dibidang politik terjadinya
pergantian pimpinan nasional atau presi-
den. Di bidang ekonomi adalah proses re-
strukturisasi dan privatisasi yang terus ber-
jalan sepanjang tahun 2000 sampai tahun
2002. Pengaruh dari variabel-variabel lain
diluar variabel yang diteliti (variabel residu)
tersebut cukup besar kepada IHSG, yaitu
sekitar 48,45%.
Penelitian Frensidy (2009) berusaha
untuk mengetahui pengaruh aliran bersih
asing, kurs dolar Amerika, dan indeks re-
gional (dengan proxy indeks Hang Seng)
terhadap pergerakan IHSG periode Januari
2006 – Oktober 2007. Selain itu, penelitian
ini juga mencoba untuk mencari model
yang paling tepat untuk menjelaskan hub-
ungan variabel-variabel independen di atas
dan perubahan IHSG. Dari hasil perhi-
tungan diperoleh temuan bahwa Aliran ber-
sih dana asing (NFF) mempengaruhi peru-
bahan IHSG secara positif dan signifikan.
Sementara itu, hubungan antara perubahan
kurs dengan perubahan IHSG adalah
negatif dan koefisien hubungan antara pe-
rubahan indeks Hang Seng dengan peru-
bahan IHSG adalah positif. Secara kese-
luruhan, variasi variabel bebas seperti ali-
ran bersih dana asing, perubahan kurs, dan
perubahan indeks Hang Seng me-
nyumbangkan 56,9% variasi variabel peru-
bahan IHSG, cukup signifikan. Semua vara-
bel independen signifikan pada = 1%. Be-
gitu juga dengan nilai F-stastitik untuk
keseluruhan model yang juga signifikan
pada α = 1%.
Studi yang dilakukan Endri (2009) ber-
tujuan untuk menginvestigasi hubungan
dinamis jangka panjang dan jangka pendek
faktor-faktor makroekonomi yang terdiri
dari suku bunga, jumlah uang beredar, nilai
tukar rupiah terhadap dolar Amerika Seri-
kat, dan tingkat inflasi dengan pergerakan
tingkat pengembalian Indeks Harga Saham
Gabungan (IHSG) di Bursa Efek Indonesia.
Berdasarkan uji kointegrasi data awal
(level) menunjukkan bahwa variabel tingkat
pengembalian IHSG terkointegrasi dengan
variabel bebas makro ekonomi. Atau
dengan kata lain, analisis dari hasil uji sta-
sioneritas terhadap nilai residu membuk-
tikan bahwa antara variabel makro
ekonomi yang terdiri dari suku bunga de-
posito satu bulan, suku bunga Sertifikat
Bank Indonesia, jumlah uang beredar, nilai
tukar rupiah terhadap dolar Amerika Seri-
kat dan tingkat inflasi dengan pergerakan
tingkat pengembalian IHSG terdapat kese-
imbangan hubungan jangka. Jadi, variabel
makro ekonomi dapat dikatakan memiliki
pengaruh signifikan terhadap tingkat
pengembalian IHSG atau setiap perubahan
pada variabel makro ekonomi akan
berdampak pada perubahan tingkat
pengembalian IHSG dalam jangka panjang.
Sementara berdasarkan pengujian dengan
menggunakan metode mekanisme koreksi
kesalahan (ECM) menunjukkan bahwa ter-
dapat keseimbangan jangka pendek antara
variabel makro ekonomi dan tingkat
pengembalian IHSG. Implikasinya, variabel
makro ekonomi signifikan dalam
mempengaruhi tingkat pengembalian IHSG
atau setiap perubahan pada variabel makro
ekonomi akan berdampak pada perubahan
tingkat pengembalian IHSG dalam jangka
pendek. Selain itu, dalam jangka pendek
variabel tingkat pengembalian IHSG akan
menurun dan mampu menyesuaikan peru-
bahan variabel makro ekonomi pada satu
periode berikutnya untuk mengoreksi
kesalahan dan menuju keseimbangan
jangka panjang sebesar 91,10%.
Penelitian Witjaksono (2010) bertujuan
untuk mengetahui Pengaruh Tingkat Suku
Bunga SBI, Harga Minyak Dunia, Harga
Emas Dunia, Kurs Rupiah, Indeks Nikkei
225, dan Indeks Dow Jones terhadap IHSG
selama periode 2000-2009. Hasil dari
penelitian ini menunjukkan bahwa variabel
Tingkat Suku Bunga SBI, dan Kurs Rupiah
berpengaruh negatif terhadap IHSG. Se-
mentara variabel Harga Minyak Dunia, Har-
ga Emas Dunia, Indeks Nikkei 225 dan In-
deks Dow Jones berpengaruh positif ter-
hadap IHSG. Selain itu diperoleh bahwa
nilai adjusted R square adalah 96.1 persen.
Ini berarti 96.1 persen pergerakan IHSG
dapat diprediksi dari pergerakan ketujuh
variabel independen tersebut.
Penelitian yang dilakukan Novianto
(2011) bertujuan untuk menganalisis
bagaimana pengaruh variabel nilai tukar
Vol. 14, No. 1, Februari 2013: 89-112
Dinamika Bursa Saham Asing dan Makroekonomi Terhadap Indeks Harga Saham (Pasaribu dan Kowanda)
101
(kurs) dolar Amerika, tingkat suku bunga
SBI, inflasi, dan jumlah uang beredar ter-
hadap variabel IHSG (Indeks Harga Saham
Gabungan) di Bursa Efek Indonesia secara
parsial dan simultan. Berdasarkan hasil,
diperoleh hasil bahwa secara simultan
keempat variabel berpengaruh signifikan
terhadap Indeks Harga Saham Gabungan
(IHSG) di Bursa Efek Indonesia (BEI). Secara
parsial variabel nilai tukar (kurs) rupiah
dan jumlah uang beredar (M2) berpengaruh
signifikan. Sedangkan variabel inflasi dan
tingkat suku bunga SBI tidak signifikan.
Studi yang dilakukan Aso (2011) ber-
tujuan untuk mencoba meneliti tentang
keterkaitan antara indikator ekonomi mak-
ro terhadap pergerakan Indeks Harga Sa-
ham Gabungan (IHSG) di Bursa Efek Jakarta
(BEJ). Dari hasil uji empiris diperoleh kes-
impulan bahwa indikator ekonomi makro
(tingkat suku bunga SBI, tingkat inflasi,
nilai tukar rupiah terhadap dolar AS dan
jumlah uang beredar dalam arti luas) mem-
iliki pengaruh yang signifikan terhadap
IHSG. Temuan penelitian lainnya, yakni: a)
dalam jangka pendek seluruh variabel indi-
kator ekonomi makro berpengaruh signif-
ikan terhadap IHSG. Untuk variabel tingkat
suku bunga SBI, tingkat inflasi, nilai tukar
rupiah terhadap dolar memiliki hubungan
negatif terhadap IHSG dalam jangka pen-
dek. Sedangkan untuk variabel jumlah
uang beredar berpengaruh terhadap IHSG
dalam arah positif; b) dalam jangka pan-
jang, variabel jumlah uang beredar dalam
arti luas tidak berpengaruh terhadap IHSG.
Sedangkan variabel tingkat suku bunga SBI
dan tingkat inflasi memiliki pengaruh yang
signifikan terhadap IHSG dengan arah yang
serupa pada jangka pendek. Variabel nilai
tukar rupiah berpengaruh signifikan ter-
hadap IHSG dengan arah yang berbeda sep-
erti pada jangka pendek, arah pengaruh
variabel nilai tukar rupiah dalam jangka
panjang adalah positif.
Perumusan hipotesis dalam uji
penelitian ini adalah sebagai berikut.
H1 Tingkat inflasi berpengaruh negatif
dengan IHSG
H2 Tingkat Suku Bunga Bank Indonesia
berpengaruh negatif dengan IHSG
H3 Jumlah uang yang beredar ber-
pengaruh positif dengan IHSG
H4 Nilai tukar rupiah terhadap dolar
Amerika Serikat berpengaruh negatif
dengan IHSG
H5 Nilai tukar rupiah terhadap euro Uni-
Eropa berpengaruh positif dengan
IHSG
H6 Cadangan devisa berpengaruh positif
dengan IHSG
H7 Indeks pasar Kuala Lumpur berpenga-
ruh negatif dengan IHSG
H8 Indeks pasar Singapura berpengaruh
negatif dengan IHSG
H9 Indeks pasar Filipina berpengaruh pos-
itif dengan IHSG
H10 Indeks pasar Shanghai berpengaruh
positif dengan IHSG
Populasi dalam penelitian ini
menggunakan indikator moneter Indonesia
dan indeks gabungan pasar modal Negara-
negara asia-pasifik perusahaan. Adapun
pengambilan sampel menggunakan metode
judgment sampling, yaitu pemilihan sam-
pel berdasarkan pada kriteria-kriteria ter-
tentu. Penelitian dilakukan dengan
menggunakan data sekunder berupa data
bulanan periode Januari 2003 sampai
dengan Desember 2010. Data makro
ekonomi diperoleh dari Statistik Ekonomi
Keuangan Indonesia yang dipublikasikan
oleh Bank Indonesia. Sedangkan, data IHSG,
indeks pasar Kuala Lumpur (KLSE), indeks
pasar Singapura (STI), indeks pasar Filipina
(PSEI), dan indeks pasar Shanghai-RRC (SSE)
diperoleh dari website bursa efek Indonesia
(BEI), dan yahoo.finance.com.
Uji akar-unit digunakan untuk menge-
tahui proses stasioner variabel yang
digunakan. Metode analisis data yang
digunakan dalam penelitian adalah
menggunakan model persamaan kointe-
grasi dan .
Karena yang digunakan adalah data
runtun waktu, maka penting diketahui
apakah setiap variabel yang digunakan
merupakan sebuah proses yang stasioner
( ). Yaitu, apakah kovarian
102
antara dua elemen dalam variabel hanya
tergantung pada perbedaan jarak waktu
antara keduanya, sehingga variabel
tersebut mempunyai rataan yang konstan
( ) dan varian yang tertentu /
( ). Hal ini dikarenakan
seringkali dijumpai hasil persamaan regresi
yang memiliki nilai tinggi, akan tetapi
sesungguhnya tidak terdapat hubungan
antara variabel bebas dan variabel tak
bebasnya. Oleh karena itu, perlu diuji
stationaritas dari variabel-variabel yang
terlibat. Untuk mengetahui stasionaritas
dilakukan dengan uji akar unit (
). Data runtun waktu disebut tidak
stasioner jika mempunyai akar unit. Uji
stasioneritas ini juga dipakai sebagai dasar
untuk menentukan perlu tidaknya ,
serta lamanya tersebut. Pengujian
akar unit dilakukan dengan menggunakan
. Pendekatan
ADF mengontrol korelasi dengan orde lebih
tinggi dengan cara menambahkan
dari variable tak bebas
pada sisi kanan regresi yang hasilnya
sebagaimana persamaan di bawah ini:
.. (1)
adalah runtun waktu yang akan di
uji. dihitung dari , dimana
merupakan jumlah observasi. Runtun
waktu yang tidak stasioner (menggandung
sebuah akar unit), sebelum diintegrasikan
harus diuji derajat integrasinya lebih
dahulu untuk melihat pada tingkat berapa
variable-variable tersebut akan terjadi
stasioner. Untuk menguji persamaan (3.5)
digunakan nilai kritis
(ADF) dibandingkan hasil t-statistik.
Jika nilai γ negatif dan signifikan, serta nilai
absolute t-statistik masih lebih besar dari
nilai ADF berarti runtun waktu tersebut
dikatakan stasioner I(0). Sedangkan jika
runtun waktu belum stasioner maka
dilakukan uji akar unit pada perbedaan
tingkat kedua dengan menggunakan
persamaan:
.. (2)
Jika variable stasioner pada perbe-
daan tingkat kedua maka variable ber-
integrasi pada I. Dalam proses pengujian,
proses dengan menggunakan persamaan 1
disebut proses uji pada , se-
dangkan proses dengan menggunakan per-
samaan 2 disebut proses uji
.
Menurut Nachrowi dan Usman (2006)
model persamaan kointegrasi
(Cointegration) dapat digunakan jika dalam
pengujian kointegrasi masing-masing varia-
bel Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG),
tingkat inflasi (INFLASI), Sertifikat Bank In-
donesia (SBI3M
), jumlah uang beredar
(JUBM2
), nilai tukar rupiah terhadap dolar
Amerika Serikat (IDRUSD
), nilai tukar rupiah
terhadap euro Uni-Eropa (IDREUR
), cadangan
devisa (CadDev), Indeks Harga Saham
Gabungan Kuala Lumpur (KLSE), Indeks
Harga Saham Gabungan Singapura (STI),
Indeks Harga Saham Gabungan Manila
(PSEI), dan Indeks Harga Saham Gabungan
Shanghai (SSE) saling terintegrasi pada or-
do 0 atau dinotasikan I(0). Dalam
ekonometrika variabel yang saling terkoin-
tegrasi dikatakan dalam kondisi memiliki
keseimbangan jangka panjang (
) (Gujarati 2003). Bila kita dapat
membuktikan bahwa seluruhnya terkointe-
grasi, maka kita dapat menyimpulkan bah-
wa regresi tersebut bukanlah regresi palsu,
tetapi regresi yang terkointegrasi. Dengan
demikian, interprestasi dengan
menggunakan model di atas tidak akan me-
nyesatkan khususnya untuk analisis jangka
panjang.
Model persamaan kointegrasi
digunakan untuk mengestimasi keseim-
bangan antara variabel makro ekonomi dan
IHSG dalam jangka panjang. Berikut ini
disajikan model persamaan kointegrasi an-
tar variabel makro ekonomi (variabel inde-
penden) dan IHSG (variabel dependen) yai-
tu:
(3)
k
j
tjtjtt yyy1
1.
k
j
tjtjtt yyy1
2
1
2 .
Vol. 14, No. 1, Februari 2013: 89-112
Dinamika Bursa Saham Asing dan Makroekonomi Terhadap Indeks Harga Saham (Pasaribu dan Kowanda)
103
Persamaan tersebut dapat dituliskan
kembali sebagai berikut.
.. (4)
Jika μ1 stasioner, maka „IHSG, INFLASI,
SBI3M
, JUBM2
, IDRUSD
, IDREUR
, CadDev, KLSE,
STI, PSEI, dan SSE dikatakan terkointegrasi.
Hal ini dimungkinkan terjadi karena trend
IHSG, INFLASI, SBI3M
, JUBM2
, IDRUSD
, IDREUR
,
CadDev, KLSE, STI, PSEI, dan SSE saling
menghilangkan, sehingga variabel yang tid-
ak stasioner tersebut dapat menghasilkan
residual yang stasioner. Parameter yang
didapat disebut dengan parameter kointe-
grasi dan regresi yang didapat disebut
dengan parameter kointegrasi dan regresi
yang didapat disebut dengan regresi koin-
tegrasi.
Pada model koreksi kesalahan ini,
pergerakan jangka pendek variabel-variabel
dalam sistem dipengaruhi oleh deviasi dari
keseimbangan. Koreksi kesalahan ini meru-
pakan hasil yang diperoleh dari residual
estimasi persamaan kointegrasi.
Model ECM untuk melihat hubungan
jangka pendek antara variabel makro
ekonomi dan return IHSG yang dihasilkan
dari model persamaan kointegrasi (6) ada-
lah sebagai berikut.
μi-1 adalah kesalahan kointegrasi lag
1, atau secara matematis dituliskan, se-
bagai berikut.
Dari model yang terbentuk diatas
dapat terlihat bahwa hubungan perubahan
INFLASI, SBI3M
, JUBM2
, IDRUSD
, IDREUR
, CadDev,
KLSE, STI, PSEI, dan SSE terhadap „RIHSG‟‟
dalam jangka panjang akan diseimbangkan
oleh sebelumnya. Dari persamaan
diatas, ΔINFLASI, ΔSBI3M
, ΔJUBM2
, ΔIDRUSD
,
ΔIDREUR
, ΔCadDev, ΔKLSE, ΔSTI, ΔPSEI, dan
ΔSSE menggambarkan „gangguan‟ jangka
pendek dari INFLASI, SBI3M
, JUBM2
, IDRUSD
,
IDREUR
, CadDev, KLSE, STI, PSEI, dan SSE,
dan error kointegrasi merupakan
penyesuaian menuju keseimbangan jangka
panjang. Dengan demikian, jika koefisien
α11
signifikan, maka koefisien tersebut akan
menjadi penyesuaian bila terjadi fluktuasi
variabel-variabel yang diamati menyimpang
dari „hubungan‟ jangka panjangnya.
Indonesia sebagai salah satu negara
dalam kelompok mem-
iliki kaitan antara inflasi bulanan dan
kinerja bulanan indeks harga saham gabun-
gan yang menarik untuk dikaji. Grafik 2
menunjukkan pola kaitan tersebut dengan
inflasi bulanan untuk setiap bulan yang
diurutkan secara naik dalam periode Janu-
ari 2003 sampai dengan Desember 2010.
Dalam periode bulan ketika harga-harga
barang dan jasa naik dengan laju yang ting-
gi, tingkat pengembalian tahunan dari in-
vestasi pada saham cenderung memburuk
hingga mencapai kerugian sebesar 18,38
persen persen ketika inflasi bulanan men-
capai titik tertinggi di bulan November
2005. Secara keseluruhan dalam periode
Januari 2003 sampai dengan Desember
2010. Rata-rata tingkat pengembalian in-
vestasi saham dan tingkat inflasi bulanan
dalam periode tersebut adalah berturut-
turut sebesar 2,66%, dan 7,91 persen.
Menariknya investasi dalam bursa saham
juga didorong oleh rendahnya suku bunga
penyimpanan di perbankan. Suku bunga
penyimpanan tersebut dapat dilihat dari
dua aspek, yaitu nominal dan riil. Suku
bunga penyimpanan nominal adalah suku
bunga penyimpanan per tahun yang dipu-
blikasikan oleh bank-bank setiap harinya,
sedangkan suku bunga penyimpanan riil
adalah suku bunga nominal dikurangi den-
gan laju inflasi pada saat yang bersangku-
tan. Secara teoretis, apabila suku bunga
104
penyimpanan riil di suatu negara mengala-
mi penurunan, maka investasi di bursa sa-
ham menjadi lebih menarik karena investor
cenderung untuk mencari tingkat pen-
gembalian yang lebih tinggi. Contoh hubun-
gan antara inflasi, suku bunga penyimpa-
nan riil perbankan, dan tingkat pengemba-
lian investasi pada bursa saham dapat di-
lihat secara kronologis dari Januari 2003
sampai dengan Desember 2010. Hal yang
menarik untuk diamati adalah ketika suku
bunga bank Indonesia berada pada tingkat
yang sangat rendah dalam area positifnya
(6,26%) dan laju inflasi berada di bawah
angka enam persen (Juni 2009, 3,65%), in-
vestasi pada saham memberikan tingkat
pengembalian yang sangat menarik. Hal
lain yang juga menarik adalah ketika suku
bunga bank indonesia melebihi laju inflasi,
investasi di bursa saham juga memberikan
tingkat pengembalian yang sangat menarik
(Januari 2003 – Februari 2005), kecuali pa-
da periode Maret-April 2005 dimana ting-
kat inflasi lebih tinggi dibanding tingkat
SBI. Pola tersebut kembali terjadi pada Mei-
September 2005, Oktober 2006-Februari
2008 (rata-rata tingkat pengembalian bu-
lanan sebesar 3,55%), dan Desember 2008-
November 2010 (rata-rata tingkat pengem-
balian bulanan sebesar 4,65%). Keterkaitan
inflasi, SBI dan kinerja IHSG dalam periode
Januari 2003 sampai dengan Desember
2010 mengindikasikan bahwa investasi pa-
da saham dapat diharapkan untuk mem-
berikan tingkat pengembalian yang lebih
menarik dibandingkan dengan penyim-
panan uang di bank. Namun, perlu diingat
bahwa investasi di bursa saham adalah in-
vestasi yang mengandung risiko, Sebagai
contoh, IHSG yang ditutup di level tertinggi
pada Desember 2010 (3703,51) mengalami
peningkatan tingkat pengembalian sebesar
4,88 persen dibanding bulan November
yang sebesar 3531,12, meski pada saat
yang sama, terjadi kenaikan laju inflasi
(11,64 basis point) dan SBI (0,78 basis
point).
Berdasarkan pengujian stasioner ter-
hadap seluruh variabel dengan
menggunakan unit root ADF-test mem-
berikan hasil bahwa kecuali variabel M2
dan SSE (baru stasioner pada perbedaan
kedua), seluruh variabel stasioner pada
tingkat perbedaan pertama..
Pengujian kointegrasi dilakukan
dengan menggunakan prosedur Engel-
Granger. Dimana sebelum dilakukan pen-
gujian dilakukan estimasi terhadap model
dengan menggunakan regresi linier biasa
(OLS). Residu dari hasil estimasi akan dil-
Vol. 14, No. 1, Februari 2013: 89-112
Dinamika Bursa Saham Asing dan Makroekonomi Terhadap Indeks Harga Saham (Pasaribu dan Kowanda)
105
akukan dengan menggunakan teknik koin-
tegrasi.
Dari estimasi OLS diperoleh residunya
untuk dilakukan pengujian kointegrasi
dengan menggunakan unit root ADF-test.
Hasilnya menunjukkan bahwa residual
model estimasi adalah stasioner, yang
artinya diantara variabel-variabel yang di-
masukkan ke dalam model adalah terkoin-
tegrasi, sehingga hasil OLS sebelumnya
(tabel 2) merupakan persamaan jangka
panjangnya. Selanjutnya untuk mem-
peroleh persamaan jangka pendek dari per-
samaan jangka panjangnya, maka dil-
akukan dengan
(ECM). Estimasi terhadap ECM dilakukan
dengan cara memasukkan variabel ke da-
lam model dalam bentuk perbedaan per-
tama dan memasukkan residual periode
sebelumnya dari hasil model estimasi OLS.
Hasil ECM merupakan pergerakan dalam
jangka pendeknya, namun tetap dalam
kerangka alur jangka panjangnya. Atau
dengan kata lain, analisis dari hasil uji sta-
sioneritas terhadap nilai residu membuk-
tikan bahwa antara variabel makro
ekonomi yang terdiri dari tingkat inlasi D
(INFLASI), suku bunga Sertifikat Bank Indo-
nesia 3 bulan D(SBI-3M), jumlah uang
beredar D(JUB-M2), nilai tukar rupiah ter-
hadap dolar Amerika Serikat D(IDR_USD),
dan nilai tukar rupiah terhadap euro Uni-
Eropa tingkat inflasi D(IDR_EUR), cadangan
devisa, bursa asing (D(KLSE), D(STI), D
(PSEI), D(SSE-CHINA)) (lihat tabel 4) dengan
pergerakan IHSG, D(IHSG) terdapat hub-
ungan atau keseimbangan jangka panjang
pada pengujian dengan data bentuk level.
Dengan demikian, hasil uji kointegrasi
dengan bentuk level sesuai dengan pern-
VARIABEL Tingkat Level Tk. Perbedaan I
t-Stat Prob t-Stat Prob
IHSG 0.27 0.9754 -6.46 0.0000
SBI-3M -1.98 0.2949 -3.36 0.0157
INFLASI -1.60 0.4767 -6.89 0.0000
JUB (M2) 2.43 1.0000 0.2886
IDR-USD -2.37 0.1541 -6.49 0.0000
IDR-EURO -1.27 0.6375 -6.77 0.0000
CAD.DEVISA 2.33 1.0000 -6.94 0.0000
KLSE 1.3 0.9984 -8.38 0.0000
STI 0.87 0.9945 -7.76 0.0000
PSEI 1.08 0.9971 -8.93 0.0000
SSE-CHINA -1.16 0.6863 0.6347
Perbedaan II t-Stat Prob
JUB (M2) -8.72 0.0000
SSE-CHINA -10.04 0.0000
Tabel 1. Hasil Uji Stasioner
C 1165.837 615.0530 1.895506 0.0614 INFLASI 0.946714 12.69646 0.074565 0.9407 SBI_3M -47.04367 30.16168 -1.559716 0.1225 JUB-M2 0.000813 0.000285 2.850453 0.0055
IDR_USD -0.307341 0.082619 -3.719971 0.0004 IDR_EUR 0.117301 0.057817 2.028826 0.0456 CADDEV 0.036370 0.009982 3.643418 0.0005
KLSE 2.127860 0.444980 4.781919 0.0000 STI -1.207955 0.221114 -5.463035 0.0000 PSEI 0.010481 0.214953 0.048761 0.9612
SSE-CHINA 0.037415 0.071065 0.526495 0.5999
R-squared 0.951765 Mean dependent var 1657.919
Adjusted R-squared 0.946091 S.D. dependent var 859.9068 Log likelihood -638.8501 F-statistic 167.7216
Durbin-Watson stat 0.832409 Prob(F-statistic) 0.000000
Tabel 2. Estimasi OLS
106
yataan yang dikemukakan oleh Gujarati
(2003); Nachrowi dan Usman (2006) bah-
wasanya kombinasi linear yang bersifat sta-
sioner dapat terjadi diantara dua variabel
yang masing-masing tidak stasioner atau
mengikuti pola . Apabila hal
yang demikian terjadi kesepuluh variabel
tersebut dikatakan saling terintegrasi.
Hasil regresi sebelumnya pada data
awal menunjukkan hubungan positif ter-
jadi antara inflasi, jumlah uang beredar
(M2), nilai tukar rupiah terhadap euro, ca-
dangan devisa, bursa saham Malaysia, bur-
sa saham Filipina, bursa saham Shanghai
dan IHSG dan hubungan negatif terjadi an-
tara nilai tukar rupiah terhadap dolar
Amerika, bursa saham Singapura, dan
IHSG. Dari hasil perhitungan empiris juga
diperoleh temuan bahwa, jumlah uang
beredar (M2), nilai tukar rupiah terhadap
euro, cadangan devisa, bursa saham Malay-
sia memiliki pengaruh signifikan yang posi-
tif terhadap IHSG. Sementara nilai tukar
rupiah terhadap dolar Amerika, indeks
gabungan bursa saham Singapura ber-
pengaruh negatif terhadap IHSG Indonesia.
Kemudian, hasil penelitian menggunakan
metode ECM hanya menghasilkan tiga vari-
abel yang memiliki pengaruh signifikan
terhadap indeks harga saham gabungan,
yakni: nilai tukar rupiah terhadap dolar
Amerika, cadangan devisa, dan indeks har-
ga saham gabungan Filipina.
Inflasi adalah ukuran ekonomi yang
memberikan gambaran tentang pening-
katan harga rata-rata barang dan jasa yang
diproduksi oleh sistem perekonomian.
Inflasi yang tinggi akan mengakibatkan
daya beli masyarakat menurun dan dapat
mendorong timbulnya resesi. Mening-
katnya inflasi secara relatif adalah sinyal
negatif bagi investor di pasar modal. Hal
tersebut karena inflasi akan meningkatkan
pendapatan dan biaya perusahaan. Jika
peningkatan biaya faktor-faktor produksi
lebih tinggi dari peningkatan harga yang
dapat dinikmati oleh perusahaan, maka
profitabilitas akan menurun. Meningkatnya
laju inflasi akan menyebabkan para inves-
tor enggan untuk menginvestasikan
dananya dalam bentuk saham, mereka
cenderung untuk memilih investasi dalam
t-Statistic Prob.*
Augmented Dickey-Fuller test statistic 1.828761 0.0001
Test critical values: 1% level -3.500669 5% level -2.892200 10% level -2.583192
*MacKinnon (1996) one-sided p-values.
Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.
C 2.743766 12.89911 0.212710 0.8321
D(INFLASI) -5.668488 8.538134 -0.663902 0.5086
D(SBI_3M) -47.45460 31.63361 -1.500132 0.1374
D(JUB-M2) 0.000236 0.000392 0.603571 0.5478
D(IDR_USD) -0.154878 0.059372 -2.608620 0.0108
D(IDR_EUR) 0.051037 0.039838 1.281111 0.2037
D(CAD-DEV) 0.029200 0.007081 4.123887 0.0001
D(KLSE) -0.070766 0.313749 -0.225551 0.8221
D(STI) -0.090534 0.138599 -0.653211 0.5154
D(PSEI) 0.277384 0.115090 2.410155 0.0182
D(SSE-CHINA) 0.029294 0.053198 0.550673 0.5833
RESID01(-1) -0.092754 0.068386 -1.356332 0.1787
R-squared 0.470250 Mean dependent var 34.89547
Adjusted R-squared 0.400042 S.D. dependent var 130.9796
Log likelihood -567.2464 F-statistic 6.697968
Durbin-Watson stat 1.800011 Prob(F-statistic) 0.000000
Vol. 14, No. 1, Februari 2013: 89-112
Dinamika Bursa Saham Asing dan Makroekonomi Terhadap Indeks Harga Saham (Pasaribu dan Kowanda)
107
bentuk logam mulia atau real estate, jenis
ini dapat melindungi investor dari kerugian
yang disebabkan inflasi. Dari hasil empiris,
diperoleh hasil bahwa memang secara
jangka pendek, meningkatnya inflasi akan
menyebabkan penurunan angka indeks
harga saham gabungan, namun dalam
jangka panjang, justru kenaikan inflasi,
, justru akan meningkatkan
indeks harga saham gabungan. Secara par-
sial tingkat inflasi tidak berpengaruh sig-
nifikan terhadap indeks harga saham
gabungan baik dalam jangka pendek atau-
pun jangka panjang. Dari hasil tersebut
penelitian ini mendukung penelitian sebe-
lumnya yang dilakukan oleh Manurung
(1996), Novianto (2011), dan Hajiji (2008)
serta Aso (2011) untuk hasil empiris jangka
pendek, sedang pada hasil empiris jangka
panjang, penelitian berbeda dengan studi
yang dilakukannya. Dengan kata lain, pada
jangka panjang, kenaikan inflasi akan
menurunkan capital gain yang menyebab-
kan berkurangnya keuntungan yang di-
peroleh investor. Di sisi perusahaan, ter-
jadinya peningkatan inflasi, dimana pen-
ingkatannya tidak dapat dibebankan kepa-
da konsumen, dapat menurunkan tingkat
pendapatan perusahaan. Hal ini berarti risi-
ko yang akan dihadapi perusahaan akan
lebih besar untuk tetap berinvestasi dalam
bentuk saham, sehingga permintaan ter-
hadap saham menurun. Inflasi dapat
menurunkan keuntungan suatu perusahaan
sehingga sekuritas di pasar modal menjadi
komoditi yang tidak menarik. Dalam
jangka pendek, hubungan negatif inflasi
dengan harga saham berarti terdapat pelu-
ang bagi perusahaan untuk memperoleh
profitabilitas lebih besar karena harga ba-
han baku menjadi lebih murah dengan
asumsi harga penjualan tetap atau bahkan
naik.
Perubahan tingkat suku bunga SBI
akan memberikan pengaruh bagi pasar
modal dan pasar keuangan. Apabila tingkat
suku bunga naik maka secara langsung
akan meningkatkan beban bunga. Perus-
ahaan yang mempunyai yang ting-
gi akan mendapatkan dampak yang sangat
berat terhadap kenaikan tingkat bunga. Ke-
naikan tingkat bunga ini dapat mengurangi
profitabilitas perusahaan sehingga dapat
memberikan pengaruh terhadap harga sa-
ham perusahaan yang bersangkutan. Selain
kenaikan beban bunga, tingkat suku bunga
SBI yang tinggi dapat menyebabkan inves-
tor tertarik untuk memindahkan dananya
ke deposito. Hal ini terjadi karena kenaikan
tingkat suku bunga SBI akan diikuti oleh
bank-bank komersial untuk menaikkan
tingkat suku bunga simpanan. Apabila ting-
kat suku bunga deposito lebih tinggi dari
tingkat pengembalian yang diharapkan
oleh investor, tentu investor akan menga-
lihkan dananya ke deposito. Terlebih lagi
investasi di deposito sendiri merupakan
salah satu jenis investasi yang bebas risiko.
Pengalihan dana oleh investor dari pasar
modal ke deposito tentu akan mengakibat-
kan penjualan saham besar-besaran sehing-
ga akan menyebabkan penurunan indeks
C 1165.84 0.061 2.74 0.832
INFLASI 0.9467 0.941 -5.6685 0.509
SBI_3M -47.0437 0.123 -47.4546 0.137
JUB-M2 0.0008 0.006 0.0002 0.548
IDR_USD -0.3073 0.000 -0.1549 0.011
IDR_EUR 0.1173 0.046 0.0510 0.204
CADDEV 0.0364 0.001 0.0292 0.000
KLSE 2.1279 0.000 -0.0708 0.822
STI -1.2080 0.000 -0.0905 0.515
PSEI 0.0105 0.961 0.2774 0.018
SSE-CHINA 0.0374 0.600 0.0293 0.583
Adj.R2 94.61% 40.00% Sig.F 0.000 0.000
108
harga saham. Bagi masyarakat sendiri, ting-
kat suku bunga yang tinggi berarti tingkat
inflasi di negara tersebut cukup tinggi.
Dengan adanya inflasi yang tinggi akan me-
nyebabkan berkurangnya tingkat konsumsi
riil masyarakat sebab nilai uang yang di-
pegang masyarakat berkurang. Ini akan me-
nyebabkan konsumsi masyarakat atas ba-
rang yang dihasilkan perusahaan akan
menurun pula. Hal ini tentu akan mengu-
rangi tingkat pendapatan perusahaan se-
hingga akan mempengaruhi tingkat keun-
tungan perusahaan, yang pada akhirnya
akan berpengaruh terhadap harga saham
perusahaan tersebut. Dari hasil empiris,
diperoleh hasil bahwa tingkat SBI-3 bulan
berpengaruh negatif, namun tidak signif-
ikan terhadap indeks harga saham gabun-
gan baik dalam jangka pendek dan jangka
panjang. Ini berarti jika tingkat SBI (3M)
mengalami kenaikan, otomatis menyebab-
kan suku bunga bank naik. Hal ini cender-
ung mendorong investor untuk menyimpan
uangnya di bank daripada menginvestasi-
kan uangnya dalam pasar modal (membeli
saham). Meski hasil empiris juga menya-
takan bahwa naik turunnya SBI-3M ini tidak
memiliki pengaruh yang signifikan ter-
hadap IHSG baik secara jangka pendek atau
jangka panjang. Hasil penelitian ini sepend-
apat dengan penelitian yang dilakukan
Novianto (2011), Hajiji (2008), dan Mansur
(2009) .
Dalam pengertian luas uang yang
beredar (M2) meliputi mata uang dalam
peredaran, uang giral, uang kuasi. Uang
kuasi terdiri dari deposito berjangka, ta-
bungan dan rekening (tabungan) valuta as-
ing milik swasta domestik. Uang beredar
menurut pengertian luas ini dinamakan
juga likuiditas perekonomian. Berdasarkan
hasil empiris diperoleh hasil bahwa kenai-
kan jumlah uang beredar secara jangka
pendek , akan meningkatkan
indeks harga saham gabungan sebesar
0,024%, dimana dalam jangka panjang pen-
ingkatannya bertambah menjadi sekitar
0,081%. Dalam jangka pendek berpengaruh
perubahan jumlah uang yang beredar tidak
signifikan terhadap fluktuasi indeks harga
saham gabungan. Baru pada jangka pan-
jang, perubahan tersebut berpengaruh sig-
nifikan. Hasil empiris ini mendukung
penelitian yang dilakukan Manurung
(1996), Endri (2009), Novianto (2011).
Nilai kurs dollar merupakan salah satu
faktor yang cukup berpengaruh terhadap
naik turunnya IHSG. Jika nilai kurs dollar
tinggi maka investor akan lebih menyukai
investasi dalam bentuk Dollar AS
dibandingkan dengan investasi pada surat-
surat berharga karena investasi pada surat-
surat berharga merupakan investasi jangka
panjang. Demikian pula sebaliknya, jika
nilai kurs dollar AS turun maka investor
akan lebih menyukai investasi pada surat-
surat berharga sehingga akan
mempengaruhi nilai transaksi saham yang
akan berpengaruh kepada IHSG. Berdasar-
kan hasil empiris baik secara jangka pen-
dek maupun jangka panjang, nilai tukar
rupiah terhadap dolar Amerika ber-
pengaruh negatif dan signifikan terhadap
indeks harga saham gabungan. Artinya apa-
bila rupiah terdepresiasi terhadap dolar AS
maka IHSG cenderung akan melemah dan
begitu juga sebaliknya, apabila rupiah
terapresiasi terhadap dolar AS maka IHSG
akan mengalami penguatan. Hasil empiris
ini mendukung hasil penelitian terdahulu
yang dilakukan oleh Manurung (1996),
BAPEPAM (2008), Frensidy (2009), Novianto
(2011), Hajiji (2008), Mansur (2009), dan
studinya Aso (2011) untuk hasil bahasan
jangka pendek. Sementara untuk nilai tukar
rupiah terhadap mata uang euro, fluktuasi
yang terjadi malah justru meningkatkan
indeks harga saham gabungan. Jika tidak
terjadi perubahan nilai kurs, pada periode
jangka pendek akan meningkatkan indeks
sebesar 0,05 sementara dalam jangka pan-
jang kenaikan tersebut meningkat menjadi
sebesar 0,11. Pengaruh apresiasi atau
depresiasi rupiah terhadap euro tidak sig-
nifikan dalam periode jangka pendek. Peru-
bahan tersebut baru berpengaruh signif-
ikan pada jangka panjang. Untuk cadangan
devisa negara, setiap kenaikan yang terjadi
justru meningkatkan indeks harga saham
gabungan. Pada jangka pendek, kenaikan
ini adalah sebesar 0.029, sementara untuk
jangka panjang, kenaikan cadangan devisa
yang terjadi , akan mening-
katkan nilai indeks sebesar 0.036. Dengan
kata lain, cadangan devisa negara ber-
pengaruh positif dan signifikan terhadap
Vol. 14, No. 1, Februari 2013: 89-112
Dinamika Bursa Saham Asing dan Makroekonomi Terhadap Indeks Harga Saham (Pasaribu dan Kowanda)
109
indeks harga saham gabungan baik dalam
jangka pendek ataupn jangka panjang.
Empat bursa asing yang digunakan
dalam penelitian ini memiliki dinamika im-
plikasi terhadap fluktuasi indeks harga sa-
ham gabungan Indonesia. Pada periode
jangka pendek, kenaikan pada indeks
gabungan bursa saham Malaysia dan Singa-
pura , justru akan mengu-
rangi indeks saham di Indonesia masing-
masing sebesar 0,07 dan 0,09. Sementara
untuk dua bursa lainnya, PSEI dan Shang-
hai, memiliki implikasi positif terhadap
fluktuasi IHSG Indonesia. Fluktuasi di
kedua bursa tersebut masing-masing akan
meningkatkan IHSG sebesar 0,2274 (PSEI)
dan 0,02 (SSE). Secara jangka panjang,
kecuali bursa saham Singapura, fluktuasi
yang terjadi di tiga bursa saham tersebut
akan meningkatkan IHSG. Secara simultan,
perkembangan indikator moneter dan bur-
sa asing berpengaruh positif dan signifikan
terhadap indeks harga saham gabungan
baik secara jangka pendek dan jangka pan-
jang. Sejumlah 40 persen variasi dari fluk-
tuasi indeks harga saham gabungan dapat
dijelaskan oleh indikator moneter dan bur-
sa asing tersebut, sementara dalam jangka
panjang kapasitas tersebut meningkat
menjadi 94,61 persen. Hal ini berarti
mengindikasikan bahwa indeks harga sa-
ham gabungan tersebut tidak serta merta
hanya cerminan penawaran dan per-
mintaan saham semata oleh para agen sa-
ham di bursa, tapi sudah semakin kom-
pleks. Dengan kata lain, terdapat dinamika
keterkaitan yang perlu dicermati dalam
berinvestasi saham di bursa efek Indonesia.
Penelitian ini bertujuan untuk melihat
perkembangan indeks harga saham gabun-
gan, tingkat inflasi, cadangan devisa, ting-
kat suku bunga SBI, jumlah uang beredar,
kurs rupiah terhadap Dolar Amerika Seri-
kat, kurs rupiah terhadap Euro, dan bursa
saham asing (KLSE, STI, PSEI, dan SSE)
mengetahui pengaruh masing-masing varia-
bel tersebut baik secara simultan maupun
secara parsial terhadap indeks harga sa-
ham gabungan (IHSG). Dari hasil empiris
diperoleh beberapa temuan sebagai beri-
kut: a) secara jangka pendek, mening-
katnya inflasi akan menyebabkan
penurunan angka indeks harga saham
gabungan, namun dalam jangka panjang,
justru kenaikan inflasi, ,
justru akan meningkatkan indeks harga
saham gabungan. Secara parsial tingkat
inflasi tidak berpengaruh signifikan ter-
hadap indeks harga saham gabungan baik
dalam jangka pendek ataupun jangka pan-
jang; b) tingkat SBI-3 bulan berpengaruh
negatif, namun tidak signifikan terhadap
indeks harga saham gabungan baik dalam
jangka pendek dan jangka panjang; c) ke-
naikan jumlah uang beredar secara jangka
pendek, akan meningkatkan indeks harga
saham gabungan sebesar 0,024%, dimana
dalam jangka panjang peningkatannya ber-
tambah menjadi sekitar 0,081%. Dalam
jangka pendek perubahan jumlah uang
yang beredar tidak berpengaruh signifikan
terhadap fluktuasi indeks harga saham
gabungan. Baru pada jangka panjang, peru-
bahan tersebut berpengaruh signifikan; d)
nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika
berpengaruh negatif dan signifikan ter-
hadap indeks harga saham gabungan baik
secara jangka pendek maupun jangka pan-
jang. Artinya, apabila rupiah terdepresiasi
terhadap dolar AS maka IHSG cenderung
akan melemah dan begitu juga sebaliknya,
apabila rupiah terapresiasi terhadap dolar
AS maka IHSG akan mengalami penguatan;
e) cadangan devisa negara berpengaruh
positif dan signifikan terhadap indeks har-
ga saham gabungan baik dalam jangka pen-
dek ataupun jangka panjang; f) Untuk bur-
sa asing, pada periode jangka pendek, ke-
naikan pada indeks gabungan bursa saham
Malaysia dan Singapura ,
justru akan mengurangi indeks saham di
Indonesia, sementara untuk dua bursa
lainnya, PSEI dan Shanghai, memiliki im-
plikasi positif terhadap fluktuasi IHSG In-
donesia. Fluktuasi di kedua bursa tersebut
masing-masing akan meningkatkan IHSG.
Secara jangka panjang, kecuali bursa sa-
ham Singapura, fluktuasi yang terjadi di
tiga bursa saham tersebut akan meningkat-
kan IHSG; g) secara simultan, perkem-
bangan indikator moneter dan bursa asing
berpengaruh positif dan signifikan ter-
hadap indeks harga saham gabungan baik
110
secara jangka pendek dan jangka panjang.
Sejumlah 40 persen variasi dari fluktuasi
indeks harga saham gabungan dapat di-
jelaskan oleh indikator moneter dan bursa
asing tersebut, sementara dalam jangka
panjang kapasitas tersebut meningkat
menjadi 94,61 persen.
Stabilitas ekonomi makro dan perkem-
bangan bursa asing merupakan hal yang
perlu mendapat perhatian investor karena
memiliki pengaruh terhadap perkem-
bangan Indeks Harga Saham di Bursa Efek
Jakarta. Dengan rendahnya tingkat suku
bunga SBI dan tingkat inflasi, nilai tukar
rupiah terhadap dolar AS yang stabil dan
keseimbangan jumlah uang beredar (M2)
dalam jangka pendek maupun jangka pan-
jang akan dapat meningkatkan minat inves-
tasi di pasar modal Indonesia yang dapat
dilihat dari peningkatan IHSG. Dalam
jangka pendek, pemerintah dapat
melakukan kebijakan penambahan jumlah
uang beredar dalam rangka meningkatkan
IHSG. Akan tetapi dalam jangka panjang
(dua bulan berikutnya) pemerintah hen-
daknya mempertimbangkan dan memper-
hatikan gejolak harga sebagai dampak dari
melonjaknya jumlah uang beredar. Pelema-
han nilai tukar rupiah dalam jangka pan-
jang hendaknya perlu disikapi dengan ke-
bijakan yang intervensif. Hal ini dikare-
nakan pelemahan nilai tukar rupiah dalam
jangka pendek dan jangka panjang dipasti-
kan mendorong penurunan investasi pada
pasar modal. Oleh karena itu, penurunan
IHSG sebagai dampak dari pelemahan nilai
tukar rupiah tidak boleh dianggap hanya
merupakan fenomena jangka pendek saja.
Pemerintah dapat menjadikan nilai tukar
rupiah sebagai instrumen kebijakan yang
dapat digunakan dalam menarik minat in-
vestor asing untuk masuk ke dalam negeri
melalui pasar modal melalui penyesuaian
kebijakan SBI dan jumlah uang beredar
yang ada
Adam AM, Tweneboah (2008). Macroeco-
nomic Factors & Stock Market Move-
ment: Evidences from Ghana,
112556, University library of Munich,
Germany.
Atje R, Javanovic (1993). Stock Market And
develoopment, ,
37: 632-640.
BAPEPAM. 2008. Analisis Hubungan Kointe-
grasi dan Kausalitas Serta Hubungan
Dinamis Antara Aliran Modal Asing, Pe-
rubahan Nilai Tukar dan Pergerakan
IHSG Di Pasar Modal.
Boucher C (2004). Stock Prices, Inflation
and Stock Returns Predictability,
, 70(1): 63-84.
Chong, C.S. and K.L. Goh, 2005. “Inter-
Temporal Linkages of Economic Activity,
StockPrices and Monetary Policy in Ma-
laysia”, The Asia Pacific Journal of Eco-
nomics and Business9 (1), pp. 48-61
Endri. 2009. Keterkaitan Dinamis Faktor
Fundamental Makroekonomi dan Imbal
Hasil Saham.
, No. 2, Vol.11, Augustus.
Fama E (1970). Efficient Capital Markets: A
Review of Theory and Empirical Work,
25: 383-417.
Fama, Eugene F. 1981. Stock Returns, Real
Activity, Inflation and Money.
, 71, 545-565
Fama, Eugene F. and G William Schwert.
1977. Asset returns and inflation.
, 5, 115-146.
Frensidy, Budi. 2009. Analisis Pengaruh
Aksi Beli-Jual Asing, Kurs, dan Indeks
Hang Seng Terhadap Indeks Harga Sa-
ham Gabungan Di BEJ dengan Model
GARCH. , FEUI.
Gilbert T (2008). Information Aggregation
around Macroeconomic Announcements:
The Link between Revisions and Stock
Returns,
. 20: 56-89.
Granger CWJ (1986). Developments in the
study of co integrated economic varia-
bles, Oxford
, 48: 213-228.
Hajiji, Ajid. 2008. Pengaruh Kurs Dolar
Amerika Serikat, Suku Bunga SBI dan
Inflasi terhadap Perubahan Indeks Harga
Saham gabungan di Bursa Efek Jakarta.
Kertas Kerja, IPB.
Hassan, A. H. 2003. Financial integration of
stock markets in the Gulf: A multivariate
cointegration analysis.
8(3).
Vol. 14, No. 1, Februari 2013: 89-112
Dinamika Bursa Saham Asing dan Makroekonomi Terhadap Indeks Harga Saham (Pasaribu dan Kowanda)
111
Hendry DF (1986). Econometric modeling
with co integrated variables: An over-
view, Oxford Bull. Econ. Stat., 48(3): 201-
212.
Ibrahim MH (1999). Macroeconomic varia-
bles and stock prices in Malaysia: an em-
pirical analysis,
, 13(2): 495-574
Islam M (2003). The Kuala Lumpur stock
market and economic factors: a general-
to- specific error correction modeling
test,
, 30(2): 40-67.
Islam M, Watanapalachaikul S (2003). Time
series financial econometrics of the Thai
stock market: a multivariate error cor-
rection and valuation model,
, 10(5): 90-127.
Jaffe J, Mandelkar G (1976). The Fisher ef-
fect for risky assets: An empirical inves-
tigation, , 31: 447-456.
Johansen S, Juselius K (1990). Maximum
likelihood estimation and inference on c
ointegration with application to the de-
mand for money,
. 52: 169-210.
Johansen S, Juselius K (1990). Maximum
likelihood estimation and inference on
co integration with application to the
demand for money,
. 52: 169-210.
Maghyereh, A. I. 2002. Causal relations
among stock prices and macroeconomic
variables in the small, open economy of
Jordan. available at http://ssrn.com/
abstract=317539.
Mansur, Moh. 2009. Pengaruh Tingkat Suku
Bunga SBI dan Kurs Dolar AS Terhadap
Indeks Harga Saham Gabungan Bursa
Efek Jakarta Periode Tahun 2000-2002.
Working Paper In Accounting and Fi-
nance, October, Department of Account-
ing, Padjadjaran University.
Manurung, A.H. 1996. Pengaruh Variabel
Makro, Investor Asing, Bursa Yang Telah
Maju terhadap Indeks BEJ, , Pro-
gram Pascasarjana Program Studi Ilmu
Ekonomi, UI, Jakarta, tidak dipublikasi-
kan.
Maysami RC, Koh TS (2000). A vector error
correction model of the Singapore stock
market, , 9:
79-96.
Maysami RC, Loo SW, Koh TK (2004). Co-
movement among sectoral stock market
indices and cointegration among dually
listed companies. ,
23:33-52.
Maysami RC, Sim HH (2001a). An empirical
investigation of the dynamic relations
between macroeconomics variable and
the stock markets of Malaysia and Thai-
land. , 20: 1-20.
Maysami RC, Sim HH (2001b). Macroeco-
nomic forces and stock returns: a gen-
eral-to-specific ECM analysis of the Japa-
nese and South Korean markets.
, 1
(1): 83-99.
Maysami RC, Sim HH (2002). Macroeconom-
ics variables and their relationship with
stock returns: error correction evidence
from HongKong and Singapore.
., 44(1): 69-85.
McKinnon RI (1973). Money and Capital in
Economic Development, Brookings Insti-
tutions, Washington, DC.
Nelson CR (1976). Inflation and rates of
return on common stocks,
, 31(2): 471-483.
Novianto, Aditya. 2011. Analisis Pengaruh
Nilai Tukar (Kurs) Dollar Amerika-
Rupiah, Tingkat Suku Bunga SBI, Inflasi,
dan Jumlah Uang Beredar (M2) Terhadap
Indeks Harga Saham Gabungan Di Bursa
Efek Indonesia. , UNDIP-
Semarang.
Omran, M. M. 2003. Time series analysis of
the impact of real interest rates on stock
market activity and liquidity in Egypt:
Co-integration and error correction
model approach.
8(3).
Prasetiantono, A Tony. Mengapa Rupiah
Tak Kunjung Menguat? , Senin,
16 Februari 2009.
Ross SA (1976). The arbitrage theory of
capital asset pricing,
, 13: 341-360.
Spyrou. 2004. Are Stocks a Good Hedge
Against Inflation? Evidence from Emerg-
ing Markets.
, 36, 41-48.
Sukarso, Aso. 2011. Pengaruh Perubahan
Indikator Ekonomi Makro Terhadap In-
deks Harga Saham Gabungan Di Bursa
112
Efek Jakarta Tahun 2001-2006.
Vol 4, Nomor 2,
Juni.
Witjaksono, Ardian Agung. 2010. Analisis
Pengaruh Tingkat Suku Bunga SBI, Harga
Minyak Dunia, Harga Emas Dunia, Kurs
Rupiah, Indeks Nikkei 225, dan Indeks
Dow Jones terhadap IHSG (studi kasus
pada IHSG di BEI selama periode 2000-
2009). Tesis, UNDIP, Semarang.
Wongbangpo P, Subhash CS (2002). Stock
Market and Macroeconomic Fundamen-
tal Dynamic Interactions: ASEAN-5
Countries, omics,
13: 27-51
Vol. 14, No. 1, Februari 2013: 89-112