diktat teknik pengaturan

80
DASAR-DASAR TEKNIK PENGATURAN Oleh: Mohammad Dhandhang Purwadi UNTUK KALANGAN SENDIRI JURUSAN TEKNIK MESIN, FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS NASIONAL 14 Juli 2002

Upload: dimas-sri-merdeka

Post on 31-Jul-2015

1.418 views

Category:

Documents


39 download

TRANSCRIPT

Page 1: Diktat Teknik Pengaturan

DASAR-DASAR

TEKNIK PENGATURAN

Oleh:

Mohammad Dhandhang Purwadi

UNTUK KALANGAN SENDIRI

JURUSAN TEKNIK MESIN, FAKULTAS TEKNIK

UNIVERSITAS NASIONAL

14 Juli 2002

Page 2: Diktat Teknik Pengaturan

Untuk: SYLVA RIJANTI, Taqiyya Maryam, ’Aqila Hanifah

Tata letak & cetak dengan LaTEX

Page 3: Diktat Teknik Pengaturan

M. Dhandhang P. — Dasar-2 T. Pengaturan (Rev. Juli 2002) 2

Kata Pengantar

Puji syukur kehadhlirat Allah SWT, karena dengan berkah, rahmat dan

hidayah-Nya diktat ini dapat diselesaikan.

Tujuan utama dari penulisan diktat ini adalah untuk membantu mahasiswa

dalam memahami isi perkuliahan Teknik Pengaturan. Dengan adanya diktat

ini diharapkan mahasiswa dapat mengefisiensikan proses dan waktu pema-

haman terhadap materi yang disampaikan oleh dosen yang bersangkutan di

depan kelas tanpa kehilangan waktu untuk mencatat.

Dalam diktat ini dibahas masalah teknik pengaturan yang mendasar, se-

hingga pembaca akan dapat mengikuti isi buku ini dengan mudah. Persoalan

teknik pengaturan yang lebih kompleks dan canggih, pembahasannya dapat

diperoleh dari buku teks yang lengkap dan tersedia diperpustakaan universi-

tas.

14 Juli 2002

Penulis

Page 4: Diktat Teknik Pengaturan

M. Dhandhang P. — Dasar-2 T. Pengaturan (Rev. Juli 2002) 3

Daftar Isi

1 Pendahuluan 7

2 Transformasi Laplace dan Kebalikannya 10

2.1 Variabel dan Fungsi Kompleks . . . . . . . . . . . . . . . . . . 11

2.2 Transformasi Laplace (Laplace Transform) . . . . . . . . . . . . 11

2.3 Transformasi Laplace Balik (Invers Laplace Transform) . . . . 12

2.4 Metode Ekspansi Fraksional . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 13

2.4.1 Kutup (pole) dan Zero . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 14

2.4.2 Ekspansi Fraksional Dengan Kutup Berbeda . . . . . . 15

2.4.3 Ekspansi Fraksional Dengan Kutup Kembar . . . . . . . 17

2.5 Contoh Penggunaan Transformasi Laplace . . . . . . . . . . . . 19

3 Fungsi Alih 22

4 Diagram Blok 27

4.1 Diagram Blok Sistem Untai Tertutup . . . . . . . . . . . . . . . 27

4.2 Prosedur Menggambar Diagram Blok . . . . . . . . . . . . . . . 29

4.3 Penyederhanaan Diagram Blok . . . . . . . . . . . . . . . . . . 31

5 Analisis Respons Transien 36

5.1 Sistem Orde 1 . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 37

5.1.1 Respons sistem orde 1 terhadap fungsi undak satuan . . 37

5.1.2 Respons sistem orde 1 terhadap fungsi ramp satuan . . 38

5.1.3 Respons sistem orde 1 terhadap fungsi impuls satuan . 40

5.2 Sistem Orde 2 . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 40

5.2.1 Respons sistem orde 2 terhadap fungsi undak satuan . . 42

Page 5: Diktat Teknik Pengaturan

M. Dhandhang P. — Dasar-2 T. Pengaturan (Rev. Juli 2002) 4

5.2.2 Respons sistem orde dua terhadap fungsi impuls satuan 46

5.2.3 Respons sistem orde dua terhadap fungsi ramp satuan . 47

5.2.4 Spesifikasi respons transien . . . . . . . . . . . . . . . . 48

5.2.5 Spesifikasi respons transien dalam sistem orde dua . . . 50

5.3 Stabilitas, Kriteria Stabilitas Routh . . . . . . . . . . . . . . . 53

5.3.1 Analisis stabilitas dalam bidang kompleks . . . . . . . . 54

5.3.2 Kriteria stabilitas Routh . . . . . . . . . . . . . . . . . . 54

6 Analisis Tempat Kedudukan Akar 61

6.1 Tempat kedudukan akar . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 63

6.2 Cara menggambar tempat kedudukan akar . . . . . . . . . . . . 66

Page 6: Diktat Teknik Pengaturan

M. Dhandhang P. — Dasar-2 T. Pengaturan (Rev. Juli 2002) 5

Daftar Gambar

1 Sistem pengatur kecepatan gubernur . . . . . . . . . . . . . . . 8

2 Sistem pengendali kedudukan satelit . . . . . . . . . . . . . . . 23

3 Struktur sistem suspensi kendaraan bermotor . . . . . . . . . . 25

4 Contoh diagram blok . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 28

5 Contoh diagram blok untai tertutup . . . . . . . . . . . . . . . 29

6 Sistem peredam getaran roda sepeda motor . . . . . . . . . . . 31

7 Pembuatan diagram blok . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 32

8 Aturan penyederhanaan diagram blok . . . . . . . . . . . . . . 33

9 Contoh penyederhanaan diagram blok . . . . . . . . . . . . . . 34

10 Contoh diagram blok sistem orde 1 . . . . . . . . . . . . . . . . 37

11 Grafik respons transien sistem orde 1 terhadap masukan undak

satuan . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 39

12 Bentuk fisik dan diagram blok sistem servomekanika . . . . . . 40

13 Grafik respons transien sistem orde 2 terhadap masukan undak

satuan . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 44

14 Spesifikasi respons transien terhadap fungsi undak satuan . . . 49

15 Spesifikasi respons transien terhadap fungsi undak satuan sis-

tem orde 2 . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 51

16 Metode perhitungan β . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 52

17 Daerah stabil dan tak stabil pada koordinat kompleks . . . . . 55

18 Diagram blok suatu sistem untai tertutup . . . . . . . . . . . . 61

19 Tempat kedudukan zero dan kutup dari persamaan (85) . . . . 65

20 Langkah ke-1 dan ke-2 menggambar tempat kedudukan akar . . 68

21 Langkah ke-3 dan ke-4 menggambar tempat kedudukan akar . . 70

Page 7: Diktat Teknik Pengaturan

M. Dhandhang P. — Dasar-2 T. Pengaturan (Rev. Juli 2002) 6

22 Langkah 1—5 menggambar tempat kedudukan akar . . . . . . . 75

23 Gambar lengkap tempat kedudukan akar . . . . . . . . . . . . . 77

Daftar Tabel

1 Matrikulasi koefisien polinomial dalam kriteria Routh . . . . . 56

Page 8: Diktat Teknik Pengaturan

M. Dhandhang P. — Dasar-2 T. Pengaturan (Rev. Juli 2002) 7

1 Pendahuluan

Pengaturan suatu sistem mempunyai peranan penting dalam banyak bi-

dang, diantaranya bidang rekayasa, sosial, ekonomi bahkan pemerintahan yang

menyangkut berbagai aspek yang berkaitan secara canggih. Dalam bidang

rekayasa (engineering), sistem pengaturan otomatis mempunyai peran yang

sangat penting, misalnya dalam sistem pengendalian pesawat di luar angkasa,

sistem pembidik misil taktis, sistem pilot pesawat terbang otomatis, sistem

robotika. Contoh lain dapat pula berupa pengendalian tekanan, suhu dan

kelembaban dalam bidang rekayasa proses.

Karena pengetahuan tentang proses dan teknik pengaturan dapat memper-

baiki dan megoptimalkan kinerja dari suatu sistem, maka teknik pengaturan

harus difahami secara baik oleh seorang ahli yang menggeluti bidang ilmu dan

teknologi.

Sebelum mempelajari suatu ilmu, alangkah baiknya jika sebelumnya kita

mengetahui sejarahnya, agar kita dapat lebih memahami duduk persoalannya

mengapa ilmu tersebut dapat muncul kepermukaan dan dipakai oleh banyak

orang. Secara historis, orang pertama yang menerapkan sistem pengaturan

otomatis ialah James Watt. Pada abad delapan belas. Ilmuwan ini menerap-

kan sistem pengaturan gubernur sentrifugal pada mesin uapnya untuk men-

gatur kecepatan putaran mesin secara otomatis. Pada tahap berikutnya Mi-

norsky, Hazen dan Nyquist mengembangkan teori tentang teknik pengaturan

otomatis. Di tahun 1922 Minorsky yang bekerja dalam bidang pengendalian

pesawat berhasil menunjukkan bahwa stabilitas sistem dapat ditentukan dari

persamaan diferensial yang mewakili sistem tersebut. Nyquist pada tahun

1932 berhasil mengembangkan metode yang lebih sederhana dalam menen-

tukan stabilitas suatu sistem untai tertutup berdasarkan pada respons untai

Page 9: Diktat Teknik Pengaturan

M. Dhandhang P. — Dasar-2 T. Pengaturan (Rev. Juli 2002) 8

terbuka terhadap masukan berbentuk sinus (sinusoidal) yang tunak. Pada

tahun 1934, Hazen Memperkenalkan istilah servomekanika untuk sistem pe-

ngaturan posisi dan membahas tentang perancangan rilai servomekanika yang

mampu menutup dan membuka sesuai dengan perubahan masukan.

Gambar 1: Sistem pengatur kecepatan gubernur

Hingga tahun 1940, metode respons-frekuensi dipakai oleh para ilmuwan

untuk mendapatkan kinerja yang memuaskan dari disain sistem pengaturan

untai tertutup linear. Pada awal tahun 1950-an, Evan berhasil mengem-

bangkan metode tempat kedudukan akar (root locus). Baik metode respons-

frekuensi maupun tempat kedudukan akar, keduanya adalah merupakan me-

tode yang menjadi tulang punggung dari teori teknik pengaturan otomatis

klasik. Pada tahun 1950, masalah pengaturan bergeser dari perancangan

komponen sistem satu persatu menjadi perancangan keseluruhan sistem yang

optimal. Perkembangan teknik pengaturan menuntut penyelesaian dari suatu

sistem yang terdiri dari banyak masukan (input) dan luaran (output) dengan

Page 10: Diktat Teknik Pengaturan

M. Dhandhang P. — Dasar-2 T. Pengaturan (Rev. Juli 2002) 9

keterkaitan yang sangat canggih.

Dengan tersediannya mesin penghitung (komputer) pada tahun 60-an men-

jadikan teknik pengaturan otomatis modern semakin mampu untuk men-

gatasi masalah yang canggih. Dengan tersedianya komputer digital yang se-

makin murah, teknik pengaturan berkembang hingga melingkupi teknik pe-

ngaturan dari sistem pengaturan yang kompleks baik yang bersifat determinis-

tik maupun stokhasitik, dan mempunyai kemampuan belajar serta beradaptasi

secara mandiri. Bahkan dengan ketersediaan perangkat yang baik sekarang ini,

teori pengaturan dapat bergerak dengan meniru sistem non-teknis, misalnya

biologis, biomedis, ekonomi dan sosioekonomi.

Pada akhirnya penulis berharap agar diktat ini dapat dipergunakan seba-

gai pegangan dasar dalam mempelajari teknik pengaturan. Dalam diktat ini

hanya akan dibahas mengenai teori dari teknik pengaturan yang klasik yaitu

meliputi teori respons-frekuensi dan tempat kedudukan akar. Diktat ini hanya

memuat hal yang dasar dan dapat dipakai dengan mudah oleh mahasiswa S-1

yang telah mempelajari dasar matematika persamaan diferensial, transformasi

Laplace, operasi matrik dasar.

Page 11: Diktat Teknik Pengaturan

M. Dhandhang P. — Dasar-2 T. Pengaturan (Rev. Juli 2002) 10

2 Transformasi Laplace dan Kebalikannya

Dalam teknik pengaturan otomatis transformasi Laplace (Laplace trans-

form) merupakan suatu metode operasional yang utama. Dengan transformasi

Laplace kita dapat menyelesaikan persamaan diferensial linear dengan mudah

tanpa melalui metode penyelesaian persamaan diferensial yang kadang-kadang

menimbulkan pesoalan aljabar yang rumit, misalnya metode variasi parame-

ter, faktor integrasi dan lain sebagainya.

Transformasi Laplace dapat mentransformasi fungsi umum (misalnya fungsi

trigonometri, fungsi eksponensial dll.), operator diferensial, operator integral

ke dalam bentuk persamaan aljabar biasa dalam variabel kompleks s. Dengan

demikian persamaan diferensial dapat ditransformasikan dengan transformasi

Laplace menjadi persamaan aljabar biasa dalam variabel komplek s. Bila vari-

abel tak bebas pada persamaan ini diselesaikan (dengan cara mengelompokkan

variabel bebas di ruas kanan dan variabel tak bebas di ruas kiri), maka pe-

nyelesaian dari persamaan diferensial dapat diperoleh dengan cara mentrans-

formasi Laplace balik dari penyelesaian variabel tak bebas tersebut. Dalam

mentransformasi Laplace dan transformasi baliknya telah tersedia tabel yang

cukup seksama. Untuk ekspresi aljabar yang rumit, ekspresi tersebut dapat

disederhanankan dengan teknik ekspansi fraksional. Beberapa keuntungan

dari metode transformasi Laplace adalah:

1. Dengan tanpa menyelesaikan persamaan diferensial dari sistem yang dit-

injau (setelah dilakukan transformasi Laplace), secara grafis dapat di-

tentukan kinerja sistem yang bersangkutan.

2. Bila persamaan diferensial sistem telah dapat diselesaikan dengan me-

tode transformasi Laplace, secara bersamaan akan dapat diperoleh pe-

Page 12: Diktat Teknik Pengaturan

M. Dhandhang P. — Dasar-2 T. Pengaturan (Rev. Juli 2002) 11

nyelesaian baik komponen tunak (steady state) maupun transiennya (tran-

sient).

2.1 Variabel dan Fungsi Kompleks

Transformasi Laplace akan mengubah fungsi riil (dalam teknik penga-

turan biasanya fungsi waktu t) menjadi fungsi kompleks, s. Variabel kompleks

mempunyai dua komponen, yaitu komponen riil σ dan komponen imaginer ω.

Karena itu variabel kompleks s dapat ditulis sebagai

s = σ + jω. (1)

Fungsi kompleks,F (s), adalah fungsi dalam variabel kompleks s yang mem-

punyai komponen riil Fx dan komponen imaginer Fy. Fungsi kompleks F (s)

dapat ditulis dalam komponennya sebagai

F (s) = Fx + jFy, (2)

besar (magnitude) dari F (s) adalah |F (s)| =qF 2x + F

2y dan sudut dari F (s)

adalah θ = tan−1(Fy/Fx). F (s) mempunyai konjugate F (s) = Fx − jFy.Fungsi kompleks yang sering dijumpai dalam sistem pengaturan linear

adalah fungsi dalam variabel s yang tunggal dan unik (berbeda dari yang

lain) untuk satu nilai s tertentu.

2.2 Transformasi Laplace (Laplace Transform)

Secara matematis transformasi Laplace dapat didefinisikan sebagai beri-

kut:

L[f(t)] = F (s) =Z ∞0

f(t)e−st dt, (3)

Page 13: Diktat Teknik Pengaturan

M. Dhandhang P. — Dasar-2 T. Pengaturan (Rev. Juli 2002) 12

denganf(t) : Suatu fungsi waktu t yang riil, f(t) = 0 bila t < 0,s : Variabel kompleks,L : Operator transformasi Laplace,F (s) : Fungsi kompleks hasil transformasi dari f(t),

yang perlu diingat pada definisi di atas adalah transformasi Laplace dari f(t)

akan menghasilkan F (s). Dengan notasi matematis dapat ditulis: L[f(t)] =F (s)

2.3 Transformasi Laplace Balik (Invers Laplace Transform)

Transformasi Laplace Balik dapat didefinisikan sebagai berikut:

L−1[F (s)] = f(t) = 1

2πj

Z c+j∞

c−j∞F (s)est ds, (4)

denganF (s) : Suatu fungsi kompleks dalam s,t : Variabel waktu yang bersifat riil,L−1 : Operator transformasi Laplace balik,f(t) : Fungsi waktu hasil transformasi balik dari F (s).

Dalam transformasi Laplace balik, fungsi kompleks F (s) ditransformasi ba-

lik ke fungsi dengan variabel riil (biasanya waktu t), f(t). Dengan notasi

matematis dapat ditulis: L−1[F (s)] = f(t).Untuk mempermudah operasi transformasi Laplace dan transformasi La-

place balik, biasanya digunakan tabel berikut ini. Pada tabel ini hanya di-

tampilkan transformasi dasar saja untuk selebihnya dapat dilihat pada buku-

buku matematika acuan anda.

Page 14: Diktat Teknik Pengaturan

M. Dhandhang P. — Dasar-2 T. Pengaturan (Rev. Juli 2002) 13

No f(t) F (s)

1 Impuls satuan δ(t) 1

2 Undak satuan l(t) 1s

3 Ramp satuan 1s2

4 tn−1

(n−1)! (n = 1,2,3,...)1sn

5 tn (n=1,2,3,...)n!sn+1

6 e−at 1(s+a)

7 1(n−1)! t

n−1 e−at (n=1,2,3,...)1

(s+a)n

8 sinωt ωs2+ω2

9 cosωt ss2+ω2

Selain tabel transformasi Laplace di atas, terdapat pula sifat-sifat transfor-

masi Laplace yang berguna, beberapa diantaranya yang sering dipakai dalam

analisis teknik pengaturan otomatis adalah sebagai berikut:

1 L[Af(t)] = AF (s)

2 L[f1(t) + f2(t)] = F1(s) + F2(s)

3 L[f( ta)] = aF (as)

4 L[ ddtf(t)] = sF (s)− f(0)

5 L[ d2dt2f(t)] = s2F (s)− sf(0)− f(0)

6 L[R t0 f(t)dt] = F (s)

s

2.4 Metode Ekspansi Fraksional

Dalam persoalan analisis teknik pengaturan otomatis sering dijumpai hasil

transformasi Laplace yang dapat ditulis dalam bentuk fraksional sebagai:

F (s) =B(s)

A(s), (5)

Page 15: Diktat Teknik Pengaturan

M. Dhandhang P. — Dasar-2 T. Pengaturan (Rev. Juli 2002) 14

B(s) dan A(s) adalah berbentuk polinomial dalam variabel s, dan orde dari

B(s) lebih kecil dari pada A(s).

Bila timbul bentuk F (s) seperti persamaan (5) di atas, maka biasanya ben-

tuk tersebut dapat diekspansi atas beberapa suku dalam bentuk yang lebih

mudah untuk ditransformasi-balikkan. Ekspansi tersebut adalah sebagai be-

rikut,

F (s) = F1(s) + F2(s) + F3(s) + . . .+ Fn(s). (6)

Transformasi Laplace balik dari bentuk persamaan yang sudah terekspansi

tersebut adalah:

L−1[F (s)] = L−1[F1(s)] + L−1[F2(s)] + L−1[F3(s)] + . . .+ L−1[Fn(s)]

= f1(t) + f2(t) + f3(t) + . . .+ fn(t) (7)

2.4.1 Kutup (pole) dan Zero

Sebelum melanjutkan pembahasan mengenai metode ekspansi fraksional,

sebaiknya kita fahami lebih dahulu arti dari istilah kutup dan zero.

Dalam teknik pengaturan otomatis, akan sering dijumpai persoalan fungsi

kompleks dengan bentuk umum seperti dalam persamaan (5), berikut ini

adalah salah satu contoh bentuk persamaan (5).

F (s) =B(s)

A(s)=K(s+ z1)(s+ z2) . . . (s+ zm)

(s+ p1)(s+ p2) . . . (s+ pn)(m < n) (8)

Pada persamaan (8) di atas, F (s) berbentuk fraksional dengan pembilang

B(s) dan penyebut A(s) berupa polinomial. Pembilang B(s) berupa poli-

nomial dalam z. Akar dari persamaan B(s) = 0 adalah (s1 = −z1), (s2 =−z2),. . . (sm = −zm). Akar dari B(s) ini disebut zero. Jadi pada persamaan(8) terdapat m buah zero.

Page 16: Diktat Teknik Pengaturan

M. Dhandhang P. — Dasar-2 T. Pengaturan (Rev. Juli 2002) 15

Akar dari persamaan A(s) = 0 (pada penyebut), yaitu (s1 = −p1), (s2 =−p2), . . . (sn = −pn), disebut kutup (pole), dengan demikian pada persamaan(8) terdapat n buah kutub. Contoh dari bentuk fraksional yang sering di-

jumpai adalah sebagai berikut:

F (s) =s+ 4

s2 + 3s+ 2=

(s+ 4)

(s+ 1)(s+ 2)(9)

pada persamaan ini terdapat satu buah zero yaitu s = −4 dan dua buah kutupyaitu s = −1 dan s = −2.

Pada pembahasan berikutnya, akan banyak dijelaskan bahwa karakteristik

atau sifat suatu sistem pengaturan otomatis akan sangat dipengaruhi oleh

kondisi dan kedudukan dari kutup dan juga zero.

2.4.2 Ekspansi Fraksional Dengan Kutup Berbeda

Ekspansi fraksional dilakukan terhadap suatu fungsi kompleks F (s) den-

gan tujuan agar diperoleh bentuk yang lebih sederhana sehingga transformasi

Laplace balik dapat dilakukan dengan mudah.

Bila fungsi kompleks F (s) mempunyai kutup yang berbeda satu dan lain-

nya, maka untuk ekspansi fraksional dapat digunakan metode sebagai berikut.

Misalnya dalam persoalan teknik pengaturan ditemui fungsi kompleks F (s)

yang dapat ditulis sebagai:

F (s) =B(s)

A(s)=K(s+ z1)(s+ z2) . . . (s+ zm)

(s+ p1)(s+ p2) . . . (s+ pn)(m < n). (10)

Bentuk fraksional ini sulit untuk ditransformasi Laplace balik, karena hanya

terdiri dari satu suku dan komposisinya cukup kompleks. Agar transformasi

Laplace balik mudah dilakukan bentuk fraksional ini dapat diubah menjadi

beberapa suku yang sederhana:

F (s) =B(s)

A(s)=

a1s+ p1

+a2

s+ p2+ . . .

ans+ pn

. (11)

Page 17: Diktat Teknik Pengaturan

M. Dhandhang P. — Dasar-2 T. Pengaturan (Rev. Juli 2002) 16

Persamaan (11) jauh lebih sederhana dari bentuk aslinya dan mudah untuk

ditransformasi Laplace balikkan. Konstanta ak (k = 1, 2, . . . n) dapat dihitung

dengan persamaan berikut.

ak =

∙(s+ pk)

B(s)

A(s)

¸s=−pk

(k = 1, 2, . . . , n) (12)

Dari uraian ekspansi fraksional di atas, jelas terlihat bahwa informasi nilai

kutup-kutup (p1, p2, . . . pn) tetap terjaga, sedang nilai zero lebur dalam ak.

Pada pembahasan kemudian, akan diketahui bahwa nilai kutup dari fungsi

kompleks sebuah sistem pengaturan otomatis akan mempunyai arti penting

yang berkaitan dengan sifat dari sistem yang bersangkutan.

Berikut ini diberikan contoh pemakaian ekspansi fraksional, bila fungsi

kompleks F (s) mempunyai kutup yang berbeda.

Contoh : Gunakan metode ekspansi fraksional untuk menentukan transfor-

masi Laplace balik dari fungsi kompleks F (s) berikut ini:

F (s) =s+ 4

s2 + 3s+ 2=

(s+ 4)

(s+ 1)(s+ 2)

Ekspansi fraksional dari fungsi kompleks F (s) ini adalah

F (s) =(s+ 4)

(s+ 1)(s+ 2)=

a1s+ 1

+a2s+ 2

Berdasarkan persamaan (12) pada hal.16, a1 dan a2 dapat diperoleh sebagai

berikut

a1 =

∙(s+ 1)

s+ 4

(s+ 1)(s+ 2)

¸s=−1

=

∙s+ 4

s+ 2

¸s=−1

=−1 + 4−1 + 2 = 3

a2 =

∙(s+ 2)

s+ 4

(s+ 1)(s+ 2)

¸s=−2

=

∙s+ 4

s+ 1

¸s=−2

=−2 + 4−2 + 1 = −2

Page 18: Diktat Teknik Pengaturan

M. Dhandhang P. — Dasar-2 T. Pengaturan (Rev. Juli 2002) 17

Jadi

F (s) =3

s+ 1+−2s+ 2

=3

s+ 1− 2

s+ 2

L−1 [F (s)] = L−1∙3

s+ 1

¸− L−1

∙2

s+ 2

¸f(t) = 3e−t − 2e−2t

2.4.3 Ekspansi Fraksional Dengan Kutup Kembar

Dalam suatu fungsi kompleks F (s) = B(s)

A(s), dapat saja terjadi akar-akar

A(s) = 0 mempunyai nilai sama atau kembar. Dalam hal ini dapat saja kem-

bar dua, tiga, empat dst. Dengan kata lain fungsi F (s) dikatakan mempunyai

kutup kembar berganda. Pada kondisi yang demikian itu, metode ekspansi

fraksional yang telah dibahas di atas tidak dapat digunakan lagi. Bagaimana

cara melakukan ekspansi fraksional pada fungsi kompleks yang memiliki kutup

kembar, mari kita perhatikan penjelasan berikut ini.

Untuk lebih mudahnya, dalam menjelaskan ekspansi fraksional dengan

kutup kembar, digunakan pembahasan dengan contoh. Berikut ini terdapat

suatu fungsi kompleks F (s) yang dapat ditulis sebagai:

F (s) =s2 + 2s+ 3

(s+ 1)3, (13)

fungsi F (s) di atas mempunyai tiga buah kutup yang sama, yaitu s = −1.Fungsi F (s) pada persamaan (13) diekspansikan dalam tiga suku (sesuai

dengan jumlah kutupnya) sebagai

F (s) =B(s)

A(s)=

b3(s+ 1)3

+b2

(s+ 1)2+

b1(s+ 1)

(14)

Nilai dari b1, b2, b3 harus kita tentukan, caranya adalah sebagai berikut. Per-

tama, kalikan kedua ruas persamaan (14) dengan (s + 1)3 seperti langkah

Page 19: Diktat Teknik Pengaturan

M. Dhandhang P. — Dasar-2 T. Pengaturan (Rev. Juli 2002) 18

berikut.

(s+ 1)3B(s)

A(s)= (s+ 1)3

b3(s+ 1)3

+ (s+ 1)3b2

(s+ 1)2+ (s+ 1)3

b1(s+ 1)

(15)

atau

(s+ 1)3B(s)

A(s)= b3 + (s+ 1) b2 + (s+ 1)

2 b1 (16)

jika pada persamaan ini disubtitusikan langsung nilai s = −1 pada ruas kanan(ruas kiri disubtitusikan secara tak langsung), maka akan diperoleh∙

(s+ 1)3B(s)

A(s)

¸s=−1

= b3 (17)

dengan persamaan ini kita dapat menghitung nilai b3.

Berikutnya, bila ruas kanan persamaan (16) didiferensialkan terhadap s

secara langsung, dan ruas kirinya didiferensialkan secara tak langsung, akan

diperoleh

d

ds

∙(s+ 1)3

B(s)

A(s)

¸= b2 + (s+ 1) b1 (18)

Subtitusikan nilai s = −1 secara langsung pada ruas kanan dan secara taklangsung pada ruas kiri dari persamaan (18) akan diperoleh:

d

ds

∙(s+ 1)3

B(s)

A(s)

¸s=−1

= b2 (19)

Sekarang kita peroleh persamaan untuk menghitung nilai b2. Persamaan untuk

menghitung b1 dapat diperoleh dengan cara mendeferensialkan lagi persamaan

(18), hasilnya adalah

d2

ds2

∙(s+ 1)3

B(s)

A(s)

¸= 2 b1 ⇒

1

2 !

(d2

ds2

∙(s+ 1)3

B(s)

A(s)

¸s=−1

)= b1 (20)

Page 20: Diktat Teknik Pengaturan

M. Dhandhang P. — Dasar-2 T. Pengaturan (Rev. Juli 2002) 19

Langkah selanjutnya adalah menerapkan persamaan untuk menghitung

b1, b2, b3 yang telah kita peroleh dari persamaan (14), hasilnya adalah:

b3 =

∙(s+ 1)3

B(s)

A(s)

¸s=−1

= (s2 + 2s+ 3)s=−1 = 2

b2 =d

ds

∙(s+ 1)3

B(s)

A(s)

¸s=−1

=

∙d

ds

¡s2 + 2s+ 3

¢¸s=−1

= (2s+ 2)s=−1 = 0

b1 =1

2 !

(d2

ds2

∙(s+ 1)3

B(s)

A(s)

¸s=−1

)=1

2

½d2

ds2£s2 + 2s+ 3

¤s=−1

¾=1

2(2) = 1

Dengan lengkapnya nilai b1, b2, b3, persamaan (14) dapat ditulis menjadi:

F (s) =B(s)

A(s)=

2

(s+ 1)3+

0

(s+ 1)2+

1

(s+ 1)

Bila persamaan ini ditransformasi Laplace balikkan, akan diperoleh:

L−1 [F (s)] = L−1∙

2

(s+ 1)3

¸+ L−1

∙0

(s+ 1)2

¸+ L−1

∙1

(s+ 1)

¸f(t) = t2 e−t + 0 + e−t = (t2 + 1) e−t t ≥ 0

2.5 Contoh Penggunaan Transformasi Laplace

Pada bagian ini akan diberikan contoh penggunaan transformasi Laplace

dan kebalikannya untuk persoalan yang sering timbul dalam teknik pengaturan

otomatis.

Contoh : Karakteristika sebuah sistem pengaturan otomatis diwakili dengan

persamaan diferensial di bawah ini. Tentukan respons transien x(t) dari sistem

pengaturan otomatis ini.

x+ 3x+ 2x = 0 x(0) = 2, x(0) = 3

Page 21: Diktat Teknik Pengaturan

M. Dhandhang P. — Dasar-2 T. Pengaturan (Rev. Juli 2002) 20

pada persamaan di atas x = d2

dt2x(t), x = d

dtx(t).

Transformasi Laplace dari komponen penyusun persamaan diferensial ter-

sebut adalah

L[x] = L[x(t)] = X(s)

L[x] = sX(s)− x(0) = sX(s)− 2

L[x] = s2X(s)− s x(0)− x(0) = s2X(s)− 2 s− 3

Bila hasil transformasi Laplace disubtitusikan ke dalam persamaan diferensial

sistem di atas, diperoleh:

[s2X(s)− 2 s− 3] + 3 [sX(s)− 2] + 2X(s) = 0

s2X(s)− 2 s− 3 + 3 sX(s)− 6 + 2X(s) = 0

s2X(s) + 3 sX(s) + 2X(s)− 2 s− 3− 6 = 0

s2X(s) + 3 sX(s) + 2X(s) = 2 s+ 3 + 6

(s2 + 3s+ 2)X(s) = 2 s+ 3 + 6

X(s) =2s+ 3 + 6

s2 + 3s+ 2=

2s+ 9

(s+ 1)(s+ 2)

Dengan menerapkan ekspansi fraksional, diperoleh

X(s) =2s+ 9

(s+ 1)(s+ 2)=

a1s+ 1

+a2s+ 2

pada persamaan ini a1 dan a2 dapat diperoleh dengan:

a1 =

∙(s+ 1)

2s+ 9

(s+ 1)(s+ 2)

¸s=−1

=

∙2s+ 9

s+ 2

¸s=−1

=−2 + 9−1 + 2 = 7

a2 =

∙(s+ 2)

2s+ 9

(s+ 1)(s+ 2)

¸s=−2

=

∙2s+ 9

s+ 1

¸s=−2

=−4 + 9−2 + 1 = −5

X(s) =7

s+ 1+−5s+ 2

=7

s+ 1− 5

s+ 2

Page 22: Diktat Teknik Pengaturan

M. Dhandhang P. — Dasar-2 T. Pengaturan (Rev. Juli 2002) 21

Respons transien x(t) dapat diperoleh dengan mentransformasi Laplace balik

X(s), x(t) = L−1[X(s)], yaitu:

x(t) = L−1[X(s)] = L−1∙7

s+ 1

¸− L−1

∙5

s+ 2

¸= 7L−1

∙1

s+ 1

¸− 5L−1

∙1

s+ 2

¸= 7 e−t − 5 e−2t

Page 23: Diktat Teknik Pengaturan

M. Dhandhang P. — Dasar-2 T. Pengaturan (Rev. Juli 2002) 22

3 Fungsi Alih

Di dalam teori pengaturan, istilah fungsi alih (transfer function) biasanya

digunakan untuk melukiskan sifat-sifat hubungan antara masukan dan luaran

suatu komponen sistem maupun sistem secara keseluruhan yang dapat diek-

spresikan sebagai persamaan diferensial linear dalam fungsi waktu.

Secara teoritis fungsi alih dari persamaan diferensial linear dalam fungsi

waktu didefinisikan sebagai perbandingan atau rasio hasil transformasi La-

place antara luaran (fungsi respons) dan masukan (fungsi pengendali) dibawah

asumsi bahwa semua kondisi awal nol. Dengan persamaan matematis definisi

fungsi alih G(s) dapat ditulis sebagai:

Fungsi alih = G(s) =L[Luaran]L[Masukan]

¯kondisi awal nol

(21)

Bila sebuah sistem diwakili dengan persamaan diferensial linear dalam

fungsi waktu sebagai berikut,

a0y(n) + a1y

(n−1) + . . .+ an−1y + any = b0x(m) + b1x

(m−1) + . . .+ bm−1x+ bmx,(22)

maka fungsi alihnya adalah:

Fungsi alih = G(s) =Y (s)

X(s)=b0s

m + b1sm−1 + . . .+ bm−1s+ bm

a0sn + a1sn−1 + . . .+ an−1s+ an(23)

Dengan menggunakan konsep fungsi alih, dinamika sistem yang berupa

persamaan diferensial (persamaan (22) ) dapat dinyatakan dalam bentuk per-

samaan aljabar biasa dalam variabel s. Pada fungsi alih di atas pangkat tert-

inggi dari variabel s pada penyebut adalah n, karena itu sistem pengaturan

yang diwakili oleh fungsi alih tersebut dikatakan sebagai sistem orde-n.

Untuk mendapatkan fungsi alih dari sebuah sistem dapat diikuti langkah-

langkah berikut ini:

Page 24: Diktat Teknik Pengaturan

M. Dhandhang P. — Dasar-2 T. Pengaturan (Rev. Juli 2002) 23

1. Tulislah persamaan diferensial yang mewakili sifat dinamika sistem

2. Lakukan transformasi Laplace pada persamaan diferensial yang dipero-

leh dengan asumsi semua kondisi awal nol

3. Perbandingkan antara luaran dan masukan

Contoh : Sebuah sistem pengendali kedudukan satelit di luar angkasa mem-

punyai cara pengaturan kedudukan dengan cara penyemprotan roket seperti

terlihat pada Gambar 2. Pada sistem pengendali satelit tersebut kemiringan

satelit θ diatur dengan nosel roket A dan B yang bekerja secara sinkron. Sem-

protan roket sebuah nosel A atau B masing-masing adalah F/2 dan menghasil

kan torsi T = F2`+ F

2` = F`. Perubahan torsi dengan waktu dinyatakan den-

gan T (t), dan momen inersia pada titik pusat massanya adalah J . Tentukan

fungsi alih dari sistem pengendali satelit ini.

Gambar 2: Sistem pengendali kedudukan satelit

Page 25: Diktat Teknik Pengaturan

M. Dhandhang P. — Dasar-2 T. Pengaturan (Rev. Juli 2002) 24

Tahap 1: Berdasarkan hukum Newton untuk gaya dapat diperoleh persamaan:

Jd2θ(t)

dt2= T (t).

Persamaan ini mewakili sistem pengendali satelit di atas.

Tahap 2: Transformasi Laplace dari persamaan sistem pengendali satelit ter-

sebut dengan asumsi semua kondisi awal pada saat t = 0 bernilai nol diperoleh

J L[d2θ(t)

dt2] = L[T (t)]

J³s2Θ(s)− s θ(0)− θ(0)

´= T (s),

karena semua kondisi awal nol, maka θ(0) = 0 dan θ(0) = 0. Dengan demikian

persamaan diatas berubah menjadi:

J s2Θ(s) = T (s),

pada sistem pengendali satelit di atas, torsi T yang timbul karena gaya dorong

nosel roket merupakan masukan, sedangkan hasil atau luarannya adalah

perubahan sudut θ. Dengan demikian diperoleh fungsi alih yang tidak lain

adalah perbandingan antara luaran dan masukan sebagai

Fungsi alih =[Luaran]

[Masukan]=Θ(s)

T (s)=

1

J s2

Contoh : Sebuah sistem suspensi kendaraan bermotor mempunyai struktur

seperti Gambar 3. Pada sistem ini bekerja gaya gravitasi terhadap massa m ke

arah vertikal (ke bawah). Gaya gravitasi Fgrv akan mendapat perlawanan dari

gaya pegas Fpgs dan gaya dari peredam kejut Fpkj . Besarnya masing-masing

gaya tersebut dapat didefinisikan sebagai berikut:

Fgrv = m.a = mxo, Fpgs = −k(xo − xi), Fpkj = −b(xo − xi)

Page 26: Diktat Teknik Pengaturan

M. Dhandhang P. — Dasar-2 T. Pengaturan (Rev. Juli 2002) 25

Gambar 3: Struktur sistem suspensi kendaraan bermotor

dengan xo =dxodtdan xo =

d2xodt2.

Komposisi kesetimbangan gaya yang bekerja pada suspensi diperoleh:

Fgrv = Fpgs + Fpkj ⇒ mxo = −k(xo − xi)− b(xo − xi)

Bila persamaan kesetimbangan gaya di atas ditranformasi Laplace dengan

menganggap semua kondisi awal sama dengan nol, akan diperoleh

ms2Xo(s) = −k(Xo(s)−Xi(s))−b(sXo(s)−sXi(s)) = (b s+k) (Xi(s)−Xo(s))

ms2Xo(s) = (b s+ k) (Xi(s)−Xo(s))

bila persamaan tersebut dibagi dengan Xi(s) pada kedua ruasnya (nilai per-

samaan tidak akan berubah), akan diperoleh

ms2Xo(s)

Xi(s)=(b s+ k)

Xi(s)(Xi(s)−Xo(s))

Page 27: Diktat Teknik Pengaturan

M. Dhandhang P. — Dasar-2 T. Pengaturan (Rev. Juli 2002) 26

ms2Xo(s)

Xi(s)= (b s+ k)

µ1− Xo(s)

Xi(s)

¶⇒ Xo(s)

Xi(s)=(b s+ k)

ms2

µ1− Xo(s)

Xi(s)

¶Xo(s)

Xi(s)=(b s+ k)

ms2− (b s+ k)

ms2Xo(s)

Xi(s)⇒ Xo(s)

Xi(s)+(b s+ k)

ms2Xo(s)

Xi(s)=(b s+ k)

ms2µ1 +

(b s+ k)

ms2

¶Xo(s)

Xi(s)=(b s+ k)

ms2⇒µms2

ms2+(b s+ k)

ms2

¶Xo(s)

Xi(s)=(b s+ k)

ms2µms2 + b s+ k

ms2

¶Xo(s)

Xi(s)=(b s+ k)

ms2⇒ Xo(s)

Xi(s)=

µms2

ms2 + b s+ k

¶(b s+ k)

ms2

Xo(s)

Xi(s)=

(b s+ k)

ms2 + b s+ k

Beberapa hal yang perlu dicatat tentang fungsi alih adalah:

• Fungsi alih adalah model matematis yang digunakan untuk mengkajipengaruh masukan terhadap luaran dari persamaan diferensial suatu

sistem.

• Fungsi alih adalah sifat unik yang dimiliki oleh sistem yang bersangku-

tan, tidak bergantung terhadap besarnya masukan ataupun fungsi pe-

ngendali.

• Di dalam fungsi alih telah terjalin satuan penting yang berkaitan denganmasukan dan luaran.

• Bila fungsi alih sistem telah diketahui, kita dapat mempelajari luaran

sistem terhadap berbagai jenis masukan.

• Bila fungsi alih sulit untuk diturunkan secara matematis (teoritis), fungsialih dapat diperoleh dengan cara eksperimen dengan cara memberi ma-

sukan tertentu (yang telah diketahui) pada sistem dan mencatat perilaku

luarannya.

Page 28: Diktat Teknik Pengaturan

M. Dhandhang P. — Dasar-2 T. Pengaturan (Rev. Juli 2002) 27

4 Diagram Blok

Sebuah sistem pengaturan bisa terdiri dari beberapa komponen. Untuk

menunjukkan fungsi dan kinerja dari setiap komponen dalam teknik penga-

turan digunakan diagram yang disebut diagram blok. Pada bagian ini akan

dibahas tentang bagaimana memperoleh diagram blok dari suatu sistem, dan

bagaimana teknik yang harus digunakan dalam penyederhanaan diagram blok

menjadi diagram yang mudah difahami dan dianalisis.

Diagram blok sebenarnya adalah suatu metode untuk merepresentasikan

fungsi dari setiap komponen sistem dan arah aliran sinyal yang mengalir an-

tara satu komponen ke komponen lain. Berbeda dengan metode matematis,

metode grafis ini mempunyai suatu keuntungan yaitu bahwa aliran sinyal da-

pat direpresentasikan dalam bentuk yang lebih realistis dan mudah difahami.

Dalam diagram blok terdapat komponen-komponen sebagai berikut:

• Blok, adalah suatu kesatuan yang mempunyai fungsi tertentu dan dis-imbolkan dengan kotak persegi panjang. Di dalam sebuah blok tertulis

suatu fungsi yang menunjukkan fungsi alih dari komponen yang diwakili

oleh blok tersebut. Lihat Gambar 4.

• Titik gabung, adalah suatu titik pertemuan antara beberapa aliran

sinyal dengan operasi penjumlahan atau pengurangan. Lihat Gambar 4.

• Titik cabang, adalah suatu titik tempat terjadinya percabangan aliransinyal. Lihat Gambar 4

4.1 Diagram Blok Sistem Untai Tertutup

Gambar 5 hal.29 adalah salah satu contoh dari diagram blok dengan un-

tai tertutup yang sering dijumpai. Pada contoh diagram blok tersebut sinyal

Page 29: Diktat Teknik Pengaturan

M. Dhandhang P. — Dasar-2 T. Pengaturan (Rev. Juli 2002) 28

Gambar 4: Contoh diagram blok

luaran C(s) dipisahkan pada titik cabang dan diumpan-balikkan ke masukkan

R(s) melalui suatu titik gabung pengurangan. Sebelum diumpan-balikkan

ke titik gabung terlebih dahulu dilalukan pada komponen dengan fungsi alih

H(s). Melalukan sinyal umpan-balik pada suatu komponen seperti ini adalah

suatu hal yang sering dijumpai, karena dimensi sinyal output dan sinyal in-

put biasanya berbeda. Dengan melalukan sinyal output pada H(s) diharapkan

sinyal output diubah dimensinya sehingga mempunyai dimensi yang sama den-

gan sinyal input yang akan digabungkan. Perlu dicatat bahwa penggabungan

dua satuan dengan dimensi yang berbeda secara fisik tidak dapat dilakukan,

misalnya penggabungan dua satuan seperti suhu dan tekanan. Pada gambar

tersebut luaran C(s) diperoleh dengan cara mengalikan fungsi alih komponen

G(s) dengan masukkan E(s). Sedangkan sinyal kesalahan aktuasi E(s) adalah

E(s) = R(s)−B(s), dan umpan baliknya B(s) = H(s)C(s).Dari Gambar 5 hal.29, dapat didefinisikan Fungsi alih untai terbuka,

Fungsi alih umpan maju dan Fungsi alih untai tertutup sebagai berikut:

Page 30: Diktat Teknik Pengaturan

M. Dhandhang P. — Dasar-2 T. Pengaturan (Rev. Juli 2002) 29

Gambar 5: Contoh diagram blok untai tertutup

B(s) = H(s)C(s); C(s) = G(s)E(s) ⇒ B(s) = H(s)G(s)E(s)(24)

Fungsi alih untai terbuka =B(s)

E(s)= G(s)H(s) (25)

Fungsi alih umpan maju =C(s)

E(s)= G(s) (26)

Fungsi alih untai tertutup dapat diturunkan sebagai berikut:

C(s) = G(s)E(s) dan E(s) = R(s)−B(s)

= R(s)−H(s)C(s)

C(s) = G(s) [R(s)−H(s)C(s)]

C(s) +G(s)H(s)C(s) = G(s)R(s)

C(s) [1 +G(s)H(s)] = G(s)R(s)

Fungsi alih untai tertutup =C(s)

R(s)=

G(s)

1 +G(s)H(s)(27)

4.2 Prosedur Menggambar Diagram Blok

Untuk menggambar diagram blok dari sebuah sistem, pertama kali yang

harus dilakukan adalah menurunkan persamaan diferensial yang mewakili di-

Page 31: Diktat Teknik Pengaturan

M. Dhandhang P. — Dasar-2 T. Pengaturan (Rev. Juli 2002) 30

namika proses yang terjadi pada setiap komponen dari sistem tersebut. Kemu-

dian persamaan tersebut ditransformasi Laplace dengan asumsi semua kondisi

awal nol. Selanjutnya masing-masing persamaan yang telah ditransformasi La-

place diekspresikan dengan satu blok. Pada akhir langkah, blok-blok tersebut

digabungkan menjadi satu kesatuan diagram blok yang mewakili sistem secara

kesatuan.

Secara garis besar langkah-langkah tersebut dapat ditulis sbb:

1. Tulis persamaan diferensial dinamika proses setiap komponen sistem

2. Transformasi Laplace-kan setiap persamaan diferensial dengan mengam-

bil asumsi bahwa kondisi awal (pada t = 0) bernilai nol

3. Ekspresikan setiap persamaan dengan diagram blok secara terpisah

4. Gabungkan seluruh blok diagram komponen menjadi satu kesatuan

Berikut ini akan dikemukakan salah satu contoh menggambar diagram

blok. Gambar 6 hal.31 adalah bentuk model dari peredam getaran pada se-

buah roda dari sepeda motor. Persamaan yang mendiskripsikan bekerjanya

gaya-gaya pada komponen pegas, peredam kejut dan massa m adalah sebagai

berikut:

mx0 = F

F = −b(x0 − xi)− k(x0 − xi).

Transformasi Laplace, dari kedua persamaan di atas dengan asumsi kondisi

Page 32: Diktat Teknik Pengaturan

M. Dhandhang P. — Dasar-2 T. Pengaturan (Rev. Juli 2002) 31

Gambar 6: Sistem peredam getaran roda sepeda motor

awal nol adalah:

ms2X0(s) = F (s) (28)

F (s) = −b [sX0(s)− sXi(s)]− k [X0(s)−Xi(s)]

= (b s+ k) [Xi(s)−X0(s)] (29)

Diagram blok dari persamaan (28) dan (29) dapat dilihat pada Gambar 7(a).

Gambar 7(b) adalah diagram blok hasil penggabungan dari diagram blok kom-

penen pada Gambar 7(a)

4.3 Penyederhanaan Diagram Blok

Bila sistem pengaturan yang kita amati cukup kompleks dan rumit, maka

diagram blok yang dihasilkan dengan cara yang telah dijelaskan, menjadi kom-

pleks juga. Karena itu perlu adanya penyederhanaan diagram blok dengan

diagram yang lebih sederhana dan mudah untuk difahami.

Page 33: Diktat Teknik Pengaturan

M. Dhandhang P. — Dasar-2 T. Pengaturan (Rev. Juli 2002) 32

Gambar 7: Pembuatan diagram blok

Penyederhanaan yang dimaksud adalah, misalnya ada dua blok yang ter-

pasang secara seri, maka kedua blok ini dapat disederhanakan menjadi satu

blok. Beberapa hal yang harus diperhatikan dan diingat dalam menyeder-

hanankan diagram blok adalah:

• Fungsi alih maju dari hasil penyederhanaan komponen harus tetap sama

• Fungsi alih melingkari untai yang ada harus tetap sama

Dalam penyederhanaan diagram blok, terdapat beberapa aturan yang da-

pat dipakai sebagai pedoman penyederhaan. Aturan tersebut dapat dilihat

pada Tabel yang ditunjukkan dalam Gambar 8.

Page 34: Diktat Teknik Pengaturan

M. Dhandhang P. — Dasar-2 T. Pengaturan (Rev. Juli 2002) 33

Gambar 8: Aturan penyederhanaan diagram blok

Page 35: Diktat Teknik Pengaturan

M. Dhandhang P. — Dasar-2 T. Pengaturan (Rev. Juli 2002) 34

Gambar 9: Contoh penyederhanaan diagram blok

Page 36: Diktat Teknik Pengaturan

M. Dhandhang P. — Dasar-2 T. Pengaturan (Rev. Juli 2002) 35

Sebagai contoh, Gambar 9 pada hal.34 menggambarkan bagaimana penye-

derhanaan tersebut dapat dilakukan. Pada gambar (a), terlihat diagram blok

yang sangat kompleks. Setelah dilakukan penyederhanaan, pada hasil akhir

(gambar (e)) terlihat bahwa diagram blok hanya terdiri dari satu blok saja,

yang merupakan fungsi alih dari seluruh sistem (pada awalnya diwakili oleh

diagram blok yang rumit). Jadi jelas bahwa tujuan akhir dari penyederhanaan

ini adalah mendapatkan fungsi alih dari keseluruhan sistem.

Proses penyederhanaan diagram blok pada Gambar 9 hal.34 secara ringkas

dapat dijelaskan sebagai berikut:

1. Gambar (a) menunjukkan gambar asli dari sistem yang rumit

2. Dengan menggunakan aturan nomor 6 pada Gambar 8 yang dikenakan

pada H2, dari gambar (a) dapat diubah menjadi (b)

3. Dengan menggunakan aturan nomor 13 pada Gambar 8 yang dikenakan

pada G1, G2, dan H1 diperoleh gambar (c). Dengan aturan yang sama

yang dikenakan pada H2

G1, G1G2

1−G1G2H1dan G3 diperoleh gambar (d). Se-

lanjutnya aturan yang sama menghasilkan gambar (e)

Page 37: Diktat Teknik Pengaturan

M. Dhandhang P. — Dasar-2 T. Pengaturan (Rev. Juli 2002) 36

5 Analisis Respons Transien

Dalam perancangan sebuah sistem, setelah dilakukan perancangan bentuk

fisik dan model matematisnya dibuat maka dengan berbagai metode analisis,

kinerja sistem dapat diselidiki.

Setelah perancangan sistem selesai, diperlukan suatu analisis mengenai

kinerja sistem terhadap berbagai masukan. Tetapi pada kenyataannya di la-

pangan, bagaimana bentuk masukan yang nyata tidak diketahui secara pasti.

Karena itu untuk menguji respons transien (kinerja) sistem digunakan ma-

sukkan berupa fungsi-fungsi sederhana yang dapat mewakili kondisi umum

masukan yang nyata. Dengan cara ini dapat dilakukan evaluasi terhadap sis-

tem yang telah dirancang dan selanjutnya perbaikan dapat dilakukan dengan

lebih seksama berdasarkan pertimbangan dari hasil pengujian respons transien

sistem.

Fungsi sederhana yang sering digunakan untuk menguji respons transien

diantaranya adalah fungsi undak, fungsi ramp, fungsi percepatan, fungsi

impuls dan fungsi sinus dlsb. Karena fungsi-fungsi tersebut sangat seder-

hana, maka analisis respons transien dapat dilakukan dengan mudah dan re-

latif cepat. Transformasi Laplace dari fungsi uji yang sangat sering digunakan

adalah sebagai berikut:

Nama fungsi Transformasi Laplace

Fungsi impuls satuan 1

Fungsi undak satuan 1s

Fungsi ramp satuan 1s2

Page 38: Diktat Teknik Pengaturan

M. Dhandhang P. — Dasar-2 T. Pengaturan (Rev. Juli 2002) 37

5.1 Sistem Orde 1

Contoh fisik dari sistem orde satu misalnya adalah rangkaian RC, sistem

termal dlsb. Sebagai ilustrasi untuk sistem orde satu dapat dilihat diagram

blok pada Gambar 10 berikut ini.

Gambar 10: Contoh diagram blok sistem orde 1

Fungsi alih dari Gambar 10 dapat diperoleh dari gambar (b) sebagai beri-

kut:

C(s)

R(s)=

1

Ts+ 1(30)

Pada persamaan (30) terlihat bahwa pangkat tertinggi dari s pada penyebut

adalah satu, karena itu sistem di atas disebut sistem orde satu. Dalam pem-

bahasan berikut ini, akan dibahas mengenai pengujian sistem orde 1 di atas

dengan berbagai fungsi masukan agar diperoleh respons transien atau kinerja

dari sistem.

5.1.1 Respons sistem orde 1 terhadap fungsi undak satuan

Dari tabel transformasi Laplace diperoleh bahwa transformasi Laplace

fungsi undak satuan adalah 1s. Dengan demikian bila sistem orde satu di atas

diberi masukan fungsi undak satuan, maka R(s) = 1s, dan persamaan (30)

Page 39: Diktat Teknik Pengaturan

M. Dhandhang P. — Dasar-2 T. Pengaturan (Rev. Juli 2002) 38

dapat ditulis sebagai:

C(s) =1

Ts+ 1R(s) =

1

Ts+ 1

1

s(31)

Dengan menggunakan ekspansi fraksional, seperti pada persamaan (11) hal.15,

diperoleh

C(s) =1

s− T

Ts+ 1. (32)

Respons transien sistem orde 1 terhadap masukan fungsi undak satuan dapat

ditentukan dengan mentransformasi Laplace balik persamaan (32), yaitu:

L−1[C(s)] = L−1[1s− T

T s+ 1]

= L−1[1s]− L−1[ T

T s+ 1]

c(t) = 1− e−t/T (t ≥ 0). (33)

Persamaan ini menunjukkan respons transien sistem orde 1 bila diberi ma-

sukkan fungsi undak satuan. Keluaran pada kondisi awal dapat diperoleh den-

gan memasukkan nilai t = 0, yaitu c(t) = 0 (e0 = 1), dan keluaran pada kondisi

mendekati jenuh dapat diperoleh dengan memasukkan nilai t =∞. Pada saatt = T , c(T ) = 0.632. Dari fungsi respons ini dapat dilihat bahwa konstanta

waktu T mempunyai peran terhadap kesigapan respons terhadap masukkan.

Semakin kecil nilai T , respons sistem menjadi semakin cepat. Grafik fungsi

c(t) pada persamaan (33) dapat dilihat pada Gambar 11 di halaman 39

5.1.2 Respons sistem orde 1 terhadap fungsi ramp satuan

Transformasi Laplace dari fungsi ramp satuan adalah 1s2, dengan memberi

masukkan R(s) = 1s2persamaan (30) dapat ditulis sebagai:

C(s) =1

Ts+ 1R(s) =

1

Ts+ 1

1

s2. (34)

Page 40: Diktat Teknik Pengaturan

M. Dhandhang P. — Dasar-2 T. Pengaturan (Rev. Juli 2002) 39

Gambar 11: Grafik respons transien sistem orde 1 terhadap masukan undaksatuan

Penerapan metode ekspansi fraksional (persamaan (11) hal.15) pada persamaan

(34) menghasilkan

C(s) =1

s2− Ts+

T 2

Ts+ 1. (35)

Transformasi Laplace balik dari persamaan ini akan menghasilkan respon tran-

sien sebagai berikut.

L−1[C(s)] = L−1[ 1s2− Ts+

T 2

T s+ 1]

L−1[C(s)] = L−1[ 1s2]− L−1[T

s] + L−1[ T 2

T s+ 1]

c(t) = t− T + T e−t/T (t ≥ 0). (36)

Sifat-sifat dari respons transien ini dapat diselidiki dengan menggambar grafik

dari fungsi c(t).

Page 41: Diktat Teknik Pengaturan

M. Dhandhang P. — Dasar-2 T. Pengaturan (Rev. Juli 2002) 40

5.1.3 Respons sistem orde 1 terhadap fungsi impuls satuan

Masukan untuk fungsi impuls satuan adalah R(s) = 1, maka persamaan

(30) dapat ditulis sebagai:

C(s) =1

Ts+ 1R(s) =

1

Ts+ 11. (37)

Respons transien yang diperoleh dari persamaan (37)adalah

c(t) =1

Te−t/T (t ≥ 0). (38)

5.2 Sistem Orde 2

Salah satu contoh fisik dari sistem orde dua adalah sistem servomekanik

seperti terlihat pada Gambar 12. Gambar (a) menunjukkan skema fisik rangka-

ian servomekanik, gambar (b) adalah digram bloknya. Digram blok dari sistem

servomekanik yang telah disederhanakan diperlihatkan pada gambar (c).

Gambar 12: Bentuk fisik dan diagram blok sistem servomekanika

Page 42: Diktat Teknik Pengaturan

M. Dhandhang P. — Dasar-2 T. Pengaturan (Rev. Juli 2002) 41

Dari diagram blok Gambar 12(c) diperoleh fungsi alih sistem sebagai be-

rikut

C(s)

R(s)=

K

s(J s+B) +K=

K

J s2 +B s+K(39)

denganK = (K0K1K2)/(nRa) : KonstantaJ = J0/n

2 : Momen inersia pd poros luaranB = [b0 + (K2K3/Ra)]/n

2 : Koefisien friksi viskositas pd poros luaran

Penyebut persamaan (39) menunjukkan bahwa pangkat tertinggi dari vari-

abel s adalah 2 (dua), dengan demikian jelas sistem tersebut adalah sistem

orde dua.

Kutup (lihat kembali penjelasan tentang kutup di halaman 14 ) dari fungsi

alih untai tertutup persamaan (39) dapat berupa bilangan kompleks atau riil.

Kutup persamaan tersebut akan berupa bilangan imaginer bila B2−4JK < 0,

dan bilangan riil bila B2 − 4JK ≥ 0.Dengan rumus ABC, penyebut dari persamaan (39) dapat difaktorisasi,

sehingga persamaan (39) dapat ditulis sebagai

C(s)

R(s)=

K/J

s2 +B/Js+K/J

=K/J∙

s+ B/J

2+q(B/J

2)2 −K/J

¸ ∙s+ B/J

2−q(B/J

2)2 −K/J

¸(40)

Dalam sistem orde dua sering dipakai parameter-parameter yang berhu-

bungan dengan konstanta B, J , dan K. Parameter yang akan didefinisikan

berikut ini tidak dipakai pada sistem orde satu. Berikut ini adalah definisi

dari parameter atenuasi (σ), frekuensi alam tak-teredam (ωn) dan rasio

redaman (ζ).

K

J= ω2n,

B

J= 2 ζ ωn = 2σ (41)

Page 43: Diktat Teknik Pengaturan

M. Dhandhang P. — Dasar-2 T. Pengaturan (Rev. Juli 2002) 42

Rasio redaman ζ itu sendiri adalah perbandingan antara redaman nyata (B)

dan redaman kritis (Bc = 2√JK), yaitu

ζ =B

Bc=

B

2√JK

(42)

Dengan mensubtitusikan parameter yang telah didefinisikan pada per-

samaan (41) dan (42), fungsi alih sistem orde dua, persamaan (39) hal.41,

dapat diubah menjadi:

C(s)

R(s)=

ω2ns2 + 2ζωn s+ ω2n

(43)

Kini fungsi alih sistem orde dua dapat dinyatakan dengan dua paramter, yaitu

ωn dan ζ. Bila 0 < ζ < 1 kutup-kutup akan berada pada daerah tidak

stabil (pada penjelasan berikutnya akan dibahas bahwa daerah tidak stabil

adalah daerah yang berada disebelah kanan dalam bidang kompleks) dan sis-

tem dalam kondisi teredam-kurang sehingga sistem akan berosilasi terus

menerus. Untuk ζ = 1 dan ζ > 1, sistem akan berada dalam kondisi teredam

dan teredam-lebih. Pada kondisi ini sistem tidak berosilasi. Bila ζ = 0,

respons transien dari sistem akan tidak berkesudahan (terus menerus ada dan

tak berhenti, lihat Gambar 13 hal.44).

5.2.1 Respons sistem orde 2 terhadap fungsi undak satuan

Sekarang kita akan menentukan respon transien dari sistem orde dua

terhadap masukan fungsi undak satuan (R(s) = 1s) dengan bentuk matematis

yang mewakilinya adalah fungsi alih persamaan (43). Tidak seperti sistem

orde satu, pada sistem orde dua ini kita mempunyai tiga kemungkinan kondisi

yaitu teredam-kurang 0 < ζ < 1, teredam kritis ζ = 1 dan teredam-lebih

ζ > 1. Karena itu dalam menerapkan masukan fungsi undak satuan, ketiga

kondisi tersebut harus diperhitungkan juga.

Page 44: Diktat Teknik Pengaturan

M. Dhandhang P. — Dasar-2 T. Pengaturan (Rev. Juli 2002) 43

Teredam kurang (0 < ζ < 1):

Fungsi alih sistem pengaturan orde dua dapat ditulis kembali sebagai be-

rikut.

C(s)

R(s)=

ω2ns2 + 2ζωn s+ ω2n

=ω2n

(s+ ζωn + jωd)(s+ ζωn − jωd), (44)

ωd = ωn√1− ζ2 adalah frekuensi alam teredam. Dengan memasukkan

fungsi undak satuan, R(s) = 1s, persamaan (44) menjadi:

C(s) =ω2n

s2 + 2ζωn s+ ω2n

1

s

=1

s− s+ 2ζωns2 + 2ζωn s+ ω2n

=1

s− s+ ζωn(s+ ζωn)2 + ω2d

− ζωn(s+ ζωn)2 + ω2d

(45)

Transformasi Laplace balik dari persamaan ini adalah:

L−1[C(s)] = L−1[1s]− L−1[ s+ ζωn

(s+ ζωn)2 + ω2d]− L−1[ ζωn

(s+ ζωn)2 + ω2d]

c(t) = 1− e−ζωn t cosωdt− e−ζωn tζωnωd

sinωdt

= 1− e−ζωn tµcosωdt+

ζωnωn√1− ζ2 sinωdt

¶= 1− e−ζωn t

µcosωdt+

ζ√1− ζ2 sinωdt

¶= 1− e−ζωnt√

1− ζ2 sinÃωd t+ tan

−1√1− ζ2ζ

!(t ≥ 0) (46)

Persamaan (46) adalah respons transien sistem orde dua terhadap masukan

undak satuan. Dari persamaan ini diketahui bahwa frekuensi dari transien

osilasi adalah frekuensi alam teredam ωd yang bervariasi dengan ζ. Ilustrasi

yang menggambarkan respons transien sistem orde dua dengan berbagai nilai

ζ dapat dilihat pada Gambar 13

Page 45: Diktat Teknik Pengaturan

M. Dhandhang P. — Dasar-2 T. Pengaturan (Rev. Juli 2002) 44

Gambar 13: Grafik respons transien sistem orde 2 terhadap masukan undaksatuan

Sinyal kesalahan (error) untuk sistem ini dapat diperoleh dari selisih antara

masukan dan luaran, yaitu:

Kesalahan = Masukan− Luaran

e(t) = r(t)− c(t)

= e−ζωn tµcosωdt+

ζ√1− ζ2 sinωdt

¶(t ≥ 0) (47)

Bila persamaan ini digambar akan diperoleh grafik kesalahan yang berbentuk

osilasi sinus teredam. Pada kondisi tunak dengan t =∞ diperoleh e(∞) = 0,dengan demikian pada kondisi tunak tidak ada kesalahan antara masukan dan

Page 46: Diktat Teknik Pengaturan

M. Dhandhang P. — Dasar-2 T. Pengaturan (Rev. Juli 2002) 45

luaran atau dengan kata lain pada kondisi tunak luaran akan sesuai dengan

masukan. Hal ini berlaku untuk 0 < ζ < 1, bila ζ = 0 maka akan diperoleh

e(t) = cosωdt. Berarti sistem akan mempunyai kesalahan terus menerus dan

berosilasi dengan modus sinusuidal, dari respons transien juga membuktikan

hal ini, yaitu c(t) = 1− cosωnt

Teredam kritis (ζ = 1):

Pada kasus ini dua kutup dari fungsi alih (C(s)/R(s)) mempunyai nilai

yang hampir sama, karena itu dapat dilakukan pendekatan teredam kritis.

Fungsi alih sistem orde dua pada kondisi teredam kritis dapat ditulis sbb:

C(s)

R(s)=

ω2ns2 + 2ζωn s+ ω2n

=ω2n

s2 + 2ωn s+ ω2n=

ω2n(s+ ωn)2

, (48)

bila pada masukan diberikan fungsi undak satuan (R(s) = 1s), akan diperoleh:

C(s) =ω2n

(s+ ωn)2 s(49)

Transformasi Laplace balik dari persamaan ini adalah

L−1[C(s)] = L−1∙

ω2n(s+ ωn)2 s

¸c(t) = 1− e−ωn t(1 + ωn t) (50)

Pada persamaan ini tidak muncul faktor sinusuidal, yang ada hanya modus

eksponensial, jadi tidak akan ada osilasi. Grafik dari respons transien untuk

sistem ini dapat dilihat pada Gambar 13 hal.44 dengan ζ = 1

Teredam lebih (ζ > 1):

Dalam kasus ini dua kutup dari fungsi alih (C(s)/R(s)) mempunyai nilai

negatip riil yang berbeda. Fungsi alih sistem orde dua pada kondisi teredam

lebih dapat ditulis sbb:

Page 47: Diktat Teknik Pengaturan

M. Dhandhang P. — Dasar-2 T. Pengaturan (Rev. Juli 2002) 46

C(s)

R(s)=

ω2ns2 + 2ζωn s+ ω2n

=ω2n

(s+ ζωn + ωnpζ2 − 1)(s+ ζωn − ωn

pζ2 − 1)

(51)

bila pada masukan diberikan fungsi undak satuan (R(s) = 1s), akan diperoleh:

C(s) =ω2n

(s+ ζωn + ωn√ζ2 − 1)(s+ ζωn − ωn

√ζ2 − 1)

1

s(52)

Transformasi Laplace balik dari persamaan ini akan diperoleh:

c(t) =1 +1

2√ζ2 − 1(ζ +√ζ2 − 1)e

−(ζ+√ζ2−1)ωn t

− 1

2√ζ2 − 1(ζ −√ζ2 − 1)e

−(ζ−√ζ2−1)ωn t

=1 +ωn

2√ζ2 − 1

⎛⎝ e−(ζ+√ζ2−1)ωnt

(ζ +√ζ2 − 1)ωn

− e−(ζ−√ζ2−1)ωnt

(ζ −√ζ2 − 1)ωn

⎞⎠ (t ≥ 0)(53)

Pada persamaan ini tidak muncul modus sinusuidal, modus yang dominan

adalah eksponensial, karena itu pada Gambar 13 hal.44 untuk ζ > 1 tidak

terlihat adanya osilasi. Semakin besar nilai ζ dari satu, akan menghasilkan

peluruhan eksponensial yang lebih cepat.

5.2.2 Respons sistem orde dua terhadap fungsi impuls satuan

Transformasi Laplace dari fungsi impuls satuan adalah 1, jadi R(s) = 1.

Fungsi alih sistem orde 2 setelah menerima masukan berbentuk fungsi impuls

satuan dapat ditulis sebagai berikut:

C(s) =ω2n

s2 + 2ζωn s+ ω2nR(s) =

ω2ns2 + 2ζωn s+ ω2n

(54)

Transformasi Laplace balik dari persamaan (54) akan menghasilkan res-

pons transien sebagai berikut:

0 ≤ ζ < 1

c(t) =ωn√1− ζ2 e

−ζωn t sin ωnp1− ζ2 t (55)

Page 48: Diktat Teknik Pengaturan

M. Dhandhang P. — Dasar-2 T. Pengaturan (Rev. Juli 2002) 47

ζ = 1

c(t) = ω2n t e−ωn t (56)

ζ > 1

c(t) =ωn

2√ζ2 − 1 e

−(ζ+√ζ2−1) ωn t−

ωn2√ζ2 − 1 e

−(ζ−√ζ2−1) ωn t (57)

5.2.3 Respons sistem orde dua terhadap fungsi ramp satuan

Respons transien sistem orde dua terhadap fungsi ramp dapat diperoleh

dengan metode langsung. Pada pembahasan ini akan dipelajari kesalahan

tunak dari sistem orde dua yang diberi masukan fungsi ramp. Persamaan

kesalahan tunak dapat ditulis sebagai berikut:

E(s) =J s2 +B s

J s2 +B s+KR(s) (58)

Tanpa menggunakan transformasi Laplace, dapat diperoleh e(t) sebagai beri-

kut:

e(t) = lims→0sE(s)

= lims→0s

J s2 +B s

J s2 +B s+K

1

s2

=B

K=2 ζ

ωn(59)

dengan ζ = B

2√KJ, ωn =

qKJ.

Hingga di sini telah dibahas mengenai respons transien dari suatu sistem

orde dua terhadap masukan yang berupa fungsi undak satuan, impuls sat-

uan dan ramp satuan. Dari jenis respons transien ini, respons terhadap ma-

sukan fungsi undak satuan mempunyai arti penting, yaitu dengan mengetahui

respons transien terhadap fungsi undak satuan, secara matematis, respons

Page 49: Diktat Teknik Pengaturan

M. Dhandhang P. — Dasar-2 T. Pengaturan (Rev. Juli 2002) 48

terhadap sembarang masukan dapat diketahui. Karena itu respons terhadap

fungsi undak satuan sering dijadikan acuan dalam mengevaluasi disain sistem

pengaturan dalam dunia industri.

5.2.4 Spesifikasi respons transien

Untuk kepraktisan di lapangan, banyak kasus menunjukkan bahwa sifat

kinerja sistem pengaturan yang ditinjau dispesifikasikan dengan istilah-istilah

yang mewakili suatu kuantitas dalam domain waktu (sebagai fungsi waktu

atau yang berkaitan dengan waktu).

Pada kenyataannya, kebanyakan sistem pengaturan memperlihatkan sifat

kinerja sebagai sistem osilasi teredam sebelum mencapai kondisi tunak (lihat

Gambar 14 hal.49). Berkaitan dengan sifat ini (osilasi teredam), berikut ini

akan dijelaskan beberapa definisi parameter karakteristika respons transien

terhadap masukan fungsi undak satuan.

Definisi dari parameter yang sering dipakai pada sistem osilasi teredam

dapat dijelaskan sebagai berikut. (Lihat Gambar 14 hal.49).

1. Waktu tunda (delay time), td : Waktu yang diperlukan oleh respons

(fungsi respons) untuk mencapai setengah dari nilai akhir osilasi atau

kondisi tunak (lihat td pada Gambar 14).

2. Waktu naik (rise time), tr : Waktu yang diperlukan oleh respons

(fungsi respons) untuk naik 10% — 90%, 5% — 95%, atau 0% — 100%

dari nilai akhirnya. Untuk sistem orde 2 teredam-kurang waktu naik

yang dipakai mempunyai pengertian yaitu waktu untuk naik dari 0% —

100%. Untuk sistem teredam-lebih dipakai definisi waktu untuk naik

dari 10% — 90%

Page 50: Diktat Teknik Pengaturan

M. Dhandhang P. — Dasar-2 T. Pengaturan (Rev. Juli 2002) 49

Gambar 14: Spesifikasi respons transien terhadap fungsi undak satuan

3. Waktu puncak (peak time), tp : Waktu yang diperlukan oleh respons

(fungsi respons) untuk mencapai puncak pertama dari overshoot.

4. Overshoot maksimum (maximum overshoot),Mp : Nilai puncak mak-

simum kurva respons yang diukur dari nilai satu. Bila nilai tunak dari

respons tidak sama dengan satu, maka untuk parameter ini biasanya

digunakan persen overshoot maksimum yang didefinisikan sebagai

Persen overshoot maksimum =c(tp)− c(∞)

c(∞) × 100%. (60)

Nilai ini menunjukkan stabilitas relatif dari sistem. Untuk jelasnya lihat

Page 51: Diktat Teknik Pengaturan

M. Dhandhang P. — Dasar-2 T. Pengaturan (Rev. Juli 2002) 50

Mp pada Gambar 14.

5. Waktu settling (settling time), ts : Waktu yang diperlukan oleh kurva

respons untuk mencapai dan terus berada pada rentang suatu nilai pre-

sentasi absolut yang telah ditentukan (biasanya 2% = 0.02 atau 5% =

0.05) di sekitar nilai akhir atau nilai tunaknya.

5.2.5 Spesifikasi respons transien dalam sistem orde dua

Di atas telah dijelaskan mengenai spesifikasi respons transien dari suatu

sistem osilasi teredam. Sistem dengan karakter osilasi teredam yang telah kita

pelajari adalah sistem orde dua, dengan respons transiennya ditunjukkan oleh

persamaan (46) hal.43.

Pada bagian ini akan diuraikan tentang contoh untuk mendapatkan waktu

naik, waktu puncak, overshoot maksimum, waktu settling dari sistem orde

yang respons transiennya ditunjukkan dalam persamaan (46) hal.43. Untuk

mempermudah penjelasan pada bagian ini dicantumkan kembali Gambar 15

hal.51 yang memuat titik-titik dari spesifikasi respons transien.

Waktu naik, tr : Waktu naik dapat diperoleh dengan cara c(tr) = 1, dengan

cara ini persamaan (46) hal.43 dapat ditulis kembali sebagai

c(tr) = 1− e−ζωn trµcosωdtr +

ζ√1− ζ2 sinωdtr

¶= 1 (61)

atau

e−ζωn trµcosωdtr +

ζ√1− ζ2 sinωdtr

¶= 0 (62)

pada persamaan ini jelas pasti bahwa e−ζωn tr 6= 0, karena itu sebagai kon-

sekuensinya adalah µcosωdtr +

ζ√1− ζ2 sinωdtr

¶= 0 (63)

Page 52: Diktat Teknik Pengaturan

M. Dhandhang P. — Dasar-2 T. Pengaturan (Rev. Juli 2002) 51

Gambar 15: Spesifikasi respons transien terhadap fungsi undak satuan sistemorde 2

atau

ζ√1− ζ2 sinωdtr = − cosωdtr

tanωdtr = −ζ√1− ζ2

= −ωdσ

Jadi tr =1

ωdtan−1

µωd−σ

¶=π − βωd

(64)

β adalah suatu konstanta yang dapat ditentukan dengan Gambar 16 hal.52

berikut ini, yaitu β = tan−1Ãωn√1− ζ2σ

!= tan−1

µωdσ

¶.

Waktu puncak, tp : Parameter ini dapat diperoleh dengan mendiferensialkan

Page 53: Diktat Teknik Pengaturan

M. Dhandhang P. — Dasar-2 T. Pengaturan (Rev. Juli 2002) 52

Gambar 16: Metode perhitungan β

fungsi respons transien c(t) terhadap waktu, t dan kemudian nilai tersebut di

nolkan ( ddtc(t) = 0).

d

dtc(t)

¯t=tp

= (sinωdtp)ωn√1− ζ2 e

−ζωd tp = 0 (65)

Pada persamaan ini ωn/√1− ζ2 6= 0 dan e−ζωd tp 6= 0, karena itu

sinωdtp = 0

ωd tp = 0,π, 2π, 3π . . . (66)

Karena waktu puncak hanya berkaitan dengan puncak overshoot yang pertama

maka

ωd tp = π

tp =π

ωd(67)

Overshoot maksimum, Mp : Nilai maksimum terjadi pada waktu puncak, tp,

Page 54: Diktat Teknik Pengaturan

M. Dhandhang P. — Dasar-2 T. Pengaturan (Rev. Juli 2002) 53

atau dengan kata lain t = tp = π/ωd. Dengan demikian dapat ditulis

Mp = c(tp)− 1

= −e−ζωn(π/ωd)µcosπ +

ζ√1− ζ2 sinπ

¶= e−(σ/ωd)π = e−(ζ/

√1−ζ2)π (68)

Persen overshoot maksimum adalah e−(σ/ωd)π × 100%.Waktu settling, ts : Nilai dari waktu settling dapat ditentukan sesuai dengan

aturan toleransi yang digunakan (2% atau 5%), Masing-masing dapat dihitung

dengan persamaan sebagai berikut:

ts =4

ζωn=4

σuntuk aturan toleransi 2% (69)

ts =3

ζωn=3

σuntuk aturan toleransi 5% (70)

5.3 Stabilitas, Kriteria Stabilitas Routh

Dari bagian terdahulu, telah dibahas bahwa untuk suatu sistem yang telah

dirancang perlu diselidiki stabilitasnya, dengan melihat respons transiennya.

Karena, seperti terlihat pada Gambar 13 hal.44, untuk nilai ζ = 0 respons

transien sistem orde dua menunjukkan gejala tidak stabil. Dalam merancang

suatu sistem pengaturan, sistem yang tidak stabil selalu dihindari, dan harus

dicarikan upaya untuk menstabilkan sistem.

Selain dengan cara menyelidiki respons transien dari suatu sistem, sta-

bilitas sistem dapat pula diketahui dengan metode Routh. Dengan metode

ini, tanpa harus mencari serpons transien sistem, dengan hanya melihat ke-

dudukan/posisi kutup dalam koordinat kompleks dapat ditentukan apakah

sistem akan stabil atau tidak.

Page 55: Diktat Teknik Pengaturan

M. Dhandhang P. — Dasar-2 T. Pengaturan (Rev. Juli 2002) 54

5.3.1 Analisis stabilitas dalam bidang kompleks

Stabilitas suatu sistem untai tertutup (closed-loop) linear dapat diten-

tukan dari kedudukan atau lokasi kutup-kutupnya dalam koordinat kompleks.

Apabila suatu sistem mempunyai kutub yang berada pada lokasi di sebelah

kanan dari σ = 0 (sebelah kanan setengah koordinat kompleks), maka sistem

tersebut akan menjadi tak-stabil. Untuk lebih jelas lihat Gambar 17 hal.55.

Jika sistem mempunyai satu kutup atau lebih yang berada di sisi sebelah

kanan, maka dengan berjalannya waktu kutup-kutup tersebut menjadi mode

yang dominan, sehingga respons sistem akan berosilasi dan secara monoton

amplitudo osilasi meningkat sehingga sistem menjadi sangat tidak stabil, dan

kalau sistem dibiarkan beroperasi terus, pada suatu saat akan terdapat kom-

ponen sistem yang rusak. Sebaliknya apabila semua kutup dari suatu sistem

berada di sisi sebelah kiri, garis σ = 0, maka mode yang dominan akan menye-

babkan amplitudo osilasi menurun secara monoton, hingga suatu saat respon

sistem akan konvergen di suatu nilai tertentu. Sistem semacam ini akan stabil.

Stabilitas sistem dengan kutup berada disebelah kiri tidak dijamin penuh

bila letak kutup sangat dekat dengan sumbu jω. Karena itu perlu adanya jarak

tertentu dari sumbu jω yang dapat menjamin keamanan stabilitas sistem.

5.3.2 Kriteria stabilitas Routh

Kriteria stabilitas Routh adalah suatu metode untuk menentukan lokasi

kutup (di sebelah kiri atau kanan garis σ = 0) tanpa harus melakukan fak-

torisasi polinomial penyebut dari fungsi alih sistem.

Fungsi alih suatu sistem dapat berbentuk sebagai berikut:

C(s)

R(s)=B(s)

A(s)=b0s

m + b1sm−1 + . . .+ bm−1s+ bm

a0sn + a1sn−1 + . . .+ an−1s+ an(m ≤ n) (71)

Page 56: Diktat Teknik Pengaturan

M. Dhandhang P. — Dasar-2 T. Pengaturan (Rev. Juli 2002) 55

Gambar 17: Daerah stabil dan tak stabil pada koordinat kompleks

Bila n mempunyai nilai lebih dari dua, maka untuk mendapatkan kutup-kutup

dari sistem diperlukan waktu yang lama dan berbelit-belit karena harus me-

lakukan faktorisasi. Untuk mengatasi kesulitan ini, dapat digunakan metode

Routh. Dengan kriteria stabilitas Routh, polinomial penyebut A(s) tidak

perlu difaktorisasi, dan kriteria stabilitas Routh dapat menentukan apakah

ada kutup yang berada disebelah kanan dari sistem koordinat kompleks atau

tidak. Bagaimana kriteria Routh dapat menentukan stabilitas sistem, berikut

ini dikemukakan prosedur dari Kriteria stabilitas Routh

1. Tuliskan polinomial penyebut dari fungsi alih, A(s), seperti bentuk be-

rikut ini.

a0sn + a1s

n−1 + . . .+ an−1s+ an = 0 (72)

dengan semua koefisien (a0 . . . an) semuanya riil dan asumsi bahwa tidak

Page 57: Diktat Teknik Pengaturan

M. Dhandhang P. — Dasar-2 T. Pengaturan (Rev. Juli 2002) 56

ada akar (kutub) bernilai nol (an 6= 0). Persamaan ini sering disebut

sebagai Persamaan karakteristik.

2. Bila pada koefisien polinomial A(s) terdapat nilai nol atau negatip

diantara satu atau lebih koefisien yang bernilai positip, maka terdapat

akar dari polinomial tersebut yang imaginer dan mempunyai komponen

rill positip (komponen riil positip selalu terletak di sebelah kanan garis

σ = 0). Dengan demikian sistem akan mempunyai kutup yang terletak

pada daerah tidak stabil pada Gambar 17 hal.55. Karena itu, untuk

kasus seperti ini sistem pasti tak-stabil.

3. Apabila semua koefisien polinomial mempunyai nilai positip, maka untuk

menentukan stabilitas, koefisien-koefisien tersebut disusun dalam ben-

tuk matriks dengan aturan sebagai berikut: koefiesen b1 . . . bn, c1 . . . cn,

Tabel 1: Matrikulasi koefisien polinomial dalam kriteria Routh

sn : a0 a2 a4 a6 . . .sn−1 : a1 a3 a5 a7 . . .sn−2 : b1 b2 b3 b4 . . .sn−3 : c1 c2 c3 c4 . . .sn−4 : d1 d2 d3 d4 . . ....

......

s2 : e1 e2s1 : f1s0 : an

d1 . . . dn dan seterusnya pada Tabel 1 dapat dihitung dengan cara sebagai

Page 58: Diktat Teknik Pengaturan

M. Dhandhang P. — Dasar-2 T. Pengaturan (Rev. Juli 2002) 57

berikut:

b1 =a1a2 − a0a3

a1; b2 =

a1a4 − a0a5a1

; b3 =a1a6 − a0a7

a1. . .

(73)

c1 =b1a3 − a1b2

b1; c2 =

b1a5 − a1b3b1

; c3 =b1a7 − a1b4

b1. . .

(74)

d1 =c1b2 − b1c2

c1; d2 =

c1b3 − b1c3c1

. . . (75)

......

menurut kriteria Routh, Jumlah akar dari persamaan (72) hal.55 (atau

jumlah kutup dari persamaan (71) hal.54 ) yang berada pada daerah

positip (sisi sebelah kanan) atau dearah tak-stabil sama jumlahnya den-

gan banyaknya perubahan tanda yang terjadi pada koefisien-koefisien

kolom pertama pada matrikulasi Tabel 1 (a0, a1, b1, c1, d1, . . . g1). Perlu

diketahui, bahwa dalam hal ini, cukup tanda dari koefisien kolom per-

tama saja yang perlu diketahui. Nilai absolutnya tidak mutlak untuk

dihitung. Dengan demikian dapat difahami bahwa untuk menyelidiki

stabilitas suatu sistem dengan kriteria Routh tidak memerlukan penye-

lesaian fungsi alih secara lengkap, tetapi cukup dengan menyusun ma-

trikulasi Routh dan menghitung perubahan tanda pada koefisien dalam

kolom pertama. Dari prosedur 2 dan 3 dalam kriteria Routh, dapat dis-

impulkan bahwa suatu sistem akan stabil bila dan hanya bila : Semua

koefisien pada persamaan (72) hal.55 mempunyai nilai positip

dan bila koefisien tersebut disusun dalam bentuk matrikulasi

Tabel 1 hal.56 tidak terjadi perubahan tanda pada koefisien

dalam kolom pertamanya.

Contoh : Untuk mempermudah pemahaman, diberikan contoh berikut

Page 59: Diktat Teknik Pengaturan

M. Dhandhang P. — Dasar-2 T. Pengaturan (Rev. Juli 2002) 58

ini.

s4 + 2s3 + 3s2 + 4s+ 5 = 0,

matrikulasi dari persamaan ini adalah :

s4 : 1 3 5

s3 : 2 4 0

s2 : 2·3−1·42

= 1 2·5−1·02

= 5

s1 : 1·4−2·51

s0 : 5

pada matrikulasi di atas, baris s4 dan s3 dapat diperoleh dari koefisien

polinomial secara langsung. Jika terdapat baris yang kehabisan koefisien

dapat digantikan secara langsung dengan nol, pada contoh ini angka nol

pada baris s3 di bawah angka 5 diperoleh dengan cara itu. Baris s2

dan s1 diperoleh dengan menggunakan persamaan (73) dan (74). Koe-

fisien pada baris s0 diperoleh langsung dari koefisien polinomial. Hasil

perhitungan dari matrikulasi di atas dapat ditulis sebagai berikut:

s4 : 1 3 5s3 : 2 4 0s2 : 1 5s1 : −6s0 : 5

Pada hasil akhir ini, koefisien pada kolom pertama adalah (1, 2, 1,−6, 5).Tanda dari koefisien ini secara berurutan adalah (+,+,+,−,+). Jaditerdapat dua kali perubahan tanda, yaitu pertama dari positip ke negatip

dan yang kedua dari negatip ke positip. Dengan demikian sistem yang

dianalisis ini mempunyai dua buah kutup yang berada di sisi kanan

Page 60: Diktat Teknik Pengaturan

M. Dhandhang P. — Dasar-2 T. Pengaturan (Rev. Juli 2002) 59

(daerah tak-stabil) dari bidang kompleks, karena terdapat dua kali pe-

rubahan tanda pada kolom pertama matrikulasi kriteria Routh. Untuk

memperjelas cara menghitung perubahan tanda dapat dikaji contoh be-

rikut ini

+ + + - - - :1× perubahan ⇒ 1 kutup di sisi kanan+ + - + + + :2× perubahan ⇒ 2 kutup di sisi kanan+ + - - + + :2× perubahan ⇒ 2 kutup di sisi kanan+ + - + + - :3× perubahan ⇒ 3 kutup di sisi kanan+ + - + - + :4× perubahan ⇒ 4 kutup di sisi kanan- + - + - + :5× perubahan ⇒ 5 kutup di sisi kanan

Contoh : Berikut ini adalah contoh penggunaan kriteria Routh untuk

menentukan rentang stabilitas sistem, dalam kasus stabilitas bersyarat.

Tentukan batas nilai K dari sistem dengan fungsi alih berikut ini agar

sistem tetap stabil.

C(s)

R(s)=

K

s(s2 + s+ 1)(s+ 2) +K

persamaan karakteristik dari fungsi alih ini adalah

s(s2 + s+ 1)(s+ 2) +K = 0

s4 + 3s3 + 3s2 + 2s+K = 0

matrikulasi koefisien Routh untuk persamaan ini adalah

s4 : 1 3 K

s3 : 3 2 0

s2 : 73

K

s1 : 2− 97K

s0 : K

Page 61: Diktat Teknik Pengaturan

M. Dhandhang P. — Dasar-2 T. Pengaturan (Rev. Juli 2002) 60

koefisien pada kolom pertama adalah (1, 3, 73, (2− 9

7K),K). Tanda dari

koefisien tersebut adalah (+,+,+, ?, ?). ? menunjukkan bahwa tanda

untuk koefisien yang bersangkutan bergantung nilai K. Karena itu agar

tidak terjadi perubahan tanda pada kolom pertama K harus memenuhi

syarat berikut:

pada baris s1 : 2− 97K > 0 → 2 >

9

7K → 2× 7

9> K → 14

9> K

pada baris s0 : K > 0

dua syarat ini harus dipenuhi secara bersamaan. Bila keduanya diga-

bungkan akan diperoleh

14

9> K > 0 atau 0 < K <

14

9.

Syarat di atas menunjukkan rentang nilaiK yang membuat sistem masih

tetap stabil, karena syarat tersebut menjamin tidak akan terjadi peruba-

han tanda pada kolom pertama matrikulasi koefisien Routh. Di luar

rentang ini sistem akan mempunyai kutup di sebelah kanan (daerah tak-

stabil) dan sistem berosilasi dan kemudian menjadi tak-stabil. Pada ni-

lai K = 149, (secara matematis) sistem akan berosilasi dengan amplitodo

yang tetap karena kolom pertama baris s1 mempunyai nilai nol (bukan

positip dan bukan pula negatip).

Page 62: Diktat Teknik Pengaturan

M. Dhandhang P. — Dasar-2 T. Pengaturan (Rev. Juli 2002) 61

6 Analisis Tempat Kedudukan Akar

Pada bagian ini akan dijelaskan tentang suatu metode yang dikembangkan

oleh W. R. Evans yang dapat membantu untuk menganalisis sistem dalam

perancangannya. Metode tersebut dinamakan Analisis tempat kedudukan

akar (Root-Locus Analysis). Teknik analisis tempat kedudukan akar ini memu-

ngkinkan kita untuk menghitung respons domain-waktu dengan lebih akurat

dan dapat menghasilkan informasi tentang respons frekuensi secara langsung.

Gambar 18: Diagram blok suatu sistem untai tertutup

Untuk memahami fungsi dan kegunaan metode analisis tempat kedudukan

akar, sebaiknya dimulai dengan suatu sistem untai tertutup tipikal yang di-

gambarkan dengan diagram blok seperti yang terlihat pada Gambar 18 hal.61.

Fungsi alih untai tertutup dari gambar tersebut adalah:

C(s)

R(s)=

G1(s)

1 +G1(s)H(s)(76)

Fungsi alih untai terbuka G1(s)H(s) (lihat persamaan (25) hal.29) dapat dit-

ulis sebagai

G1(s)H(s) = KG(s) = KB(s)

A(s)=K(b0s

m + b1sm−1 + . . .+ bm−1s+ bm)

a0sn + a1sn−1 + . . .+ an−1s+ an (77)

K adalah faktor perolehan (gain factor) untai terbuka. Dengan berdasarkan

Page 63: Diktat Teknik Pengaturan

M. Dhandhang P. — Dasar-2 T. Pengaturan (Rev. Juli 2002) 62

pada persamaan ini fungsi alih untai tertutup di atas dapat ditulis kembali

sebagai

C(s)

R(s)=

G1(s)

1 +G1(s)H(s)=

G1(s)

1 +KG(s)=

G1(s)

1 +K B(s)A(s)

=G1(s)A(s)

A(s) +KB(s)(78)

dan persamaan karakteristik untuk fungsi alih untai tertutup ini dapat ditulis

dalam berbagai bentuk (semua persamaan ini mempunyai nilai dan arti yang

sama) sebagai berikut

1 +KG(s) = 0 (79)

1 +KB(s)

A(s)= 0 (80)

A(s) +KB(s) = 0 (81)

G(s) = − 1K

(82)

Dari persamaan karakteristik ini jelas bahwa nilai kutup-kutup dari fungsi

alih sistem untai tertutup di atas (persamaan (76) ) tergantung pada nilai K.

Seperti telah diuraikan dalam contoh penggunaan kriteria Routh pada bagian

sebelumnya yaitu dalam kasus stabilitas bersyarat, bahwa terdapat rentang

nilai K tertentu yang akan menjadikan sistem dalam kondisi tetap stabil.

Kasus tersebut menunjukkan bahwa nilai K akan mempengaruhi stabilitas.

Hal yang sama terjadi pula pada sistem Gambar 18 hal.61.

Karena akar-akar persamaan karakteristik ( persamaan (79) ∼ (82) ) akanberubah dengan bervariasinya nilai K, maka Evans menyarankan kepada per-

ancang sistem agar menggambar tempat-tempat kedudukan akar yang mung-

kin pada saat K bervariasi dari 0 hingga ∞. Dengan cara ini diharapkanperancang secara grafis akan dapat menentukan rentang harga K yang tepat

agar sistem tetap berfungsi dengan baik tanpa resiko adanya ketidakstabilan

yang timbul kemudian dalam unjuk kerjanya karena berubahnya nilai K.

Page 64: Diktat Teknik Pengaturan

M. Dhandhang P. — Dasar-2 T. Pengaturan (Rev. Juli 2002) 63

Dalam analisis tempat kedudukan akar, kita tidak perlu melakukan fak-

torisasi terhadap persamaan karakteristik dari fungsi alih untai tertutup (1 +

KG(s) = 0) untuk dapat menyelesaikan persoalan stabilitas. Yang diperlukan

dalam analisis tempat kedudukan akar adalah kutup atau zero dari G(s) = B(s)

A(s)

saja, bukan kutup dan zero dari fungsi alih untai tertutup C(s)

R(s)= G1

[1+KG(s)],

karena sebenarnya kutup dan zero dari G(s) semuanya adalah kutup-kutup

dari C(s)

R(s)yang tempat kedudukannya di dalam koordinat kompleks mempun-

yai arti dalam hal stabilitas sistem untai tertutup secara keseluruhan.

6.1 Tempat kedudukan akar

Sebelum memulai pembahasan lebih lanjut, sebaiknya kita simak dan

fahami dahulu dua definisi yang sangat mendasar sehubungan dengan teknik

analisis tempat kedudukan akar.

• Tempat Kedudukan Akar: adalah tempat kedudukan dari semua

nilai s yang dapat memenuhi persamaan karakteristik 1 + KG(s) = 0

dengan parameter riil K berubah dari 0→∞. Karena 1 + KG(s) =0 adalah penyebut dari fungsi alih untai tertutup suatu sistem yang

ditinjau, maka akar-akar pada tempat kedudukan tersebut merupakan

kutup sistem untai tertutup.

Bila persamaan karakteristik 1 + KG(s) = 0 diubah menjadi G(s) = − 1K,

untukK bernilai riil postip maka pasti G(s) akan bernilai riil negatip. Dengan

kata lain, bila G(s) dinyatakan dalam bentuk polar yaitu dengan ekspresi

Besar dan Sudut, maka agar 1+KG(s) = 0 terpenuhi, maka K dalam bentuk

polar haruslah mempunyai sudut fase yang berlawanan (kedua sudut fase akan

membentuk sudut 180◦). Dari kenyataan ini dapat didefinisikan:

Page 65: Diktat Teknik Pengaturan

M. Dhandhang P. — Dasar-2 T. Pengaturan (Rev. Juli 2002) 64

• Tempat Kedudukan Akar dari G(s): adalah tempat kedudukan titik-titik dalam bidang kompleks yang mempunyai sudut fase dari G(s) sebe-

sar 180◦ (∠G = 180◦). Karena penambahan suatu sudut fase dengan

kelipatan 360◦ tidak akan mengubah sudut itu sendiri, maka dapat di-

definisikan:

∠G = ±180◦ = ±180◦ ± (n× 360◦)

∠G = ±180◦ ± n360◦ (83)

Untuk memperjelas pemahaman terhadap persamaan (83), berikut ini

akan diberikan contoh yang cukup memadai. Misalnya terdapat fungsi

alih untai tertutup dari suatu sistem sebagai berikut.

C(s)

R(s)=

G1(s)

1 +KG(s)(84)

dengan G(s) adalah:

G(s) =s+ 1

s [((s+ 2)2 + 4) (s+ 5)](85)

Persamaan (85) mempunyai satu zero yaitu {−1}, dan 4 kutup yaitu{0,−2+ j2,−2− j2,−5}. Tempat kedudukan zero dan kutup-kutup ter-sebut dapat dilihat pada Gambar 19 hal.65. Pada Gambar 19, tempat ke-

dudukan zero diberi tanda ¯ dan tempat kedudukan kutup diberi tanda×. Pada gambar tersebut jelas semua kutup dan zero pasti memenuhipersamaan karakteristik, karena kutup dan zero tersebut diperoleh den-

gan cara menyelesaikan persamaan G(s) = 0. Yang menjadi masalah

kita adalah mencari letak titik-titik, selain kutup dan zero yang telah

digambarkan, yang merupakan tempat kedudukan kutup (tempat ke-

dudukan akar) bila terdapat perubahan nilai K yang menyebabkan ke-

dudukan kutup aslinya berubah. Untuk maksud itu, marilah kita selidiki

Page 66: Diktat Teknik Pengaturan

M. Dhandhang P. — Dasar-2 T. Pengaturan (Rev. Juli 2002) 65

Gambar 19: Tempat kedudukan zero dan kutup dari persamaan (85)

apakah titik s0 = −1+j2 merupakan tempat kedudukan akar (dapat be-rarti tempat kedudukan kutup) dari persamaan karakteristik atau tidak.

Bila himpunan tempat kedudukan akar (kutup dan zero) dari G(s) dapat

kita ketahui semuanya, maka masalah stabilitas sistem (apakah kutup

fungsi alih untai tertutup berada pada daerah stabil atau tak-stabil) da-

pat diselidiki, terutama bila terdapat parameter K yang berubah dari

0→∞. Untuk menyelidiki apakah titik s0 merupakan tempat kedudukanakar atau tidak, pertama perlu dilakukan pengecekan sudut fasa, yaitu

Page 67: Diktat Teknik Pengaturan

M. Dhandhang P. — Dasar-2 T. Pengaturan (Rev. Juli 2002) 66

dengan menarik garis dari s0 ke semua akar (zero dan kutup) seperti ter-

lihat pada Gambar 19. Kemudian dari setiap akar dihitung sudutnya,

yaitu sudut antara garis horisontal yang melalui akar dan garis yang

menghubungkan akar tersebut dengan titik s0. Dari perhitungan sudut

ini diperoleh:

zero z1 = −1 ψ1 = 90◦

kutup p1 = 0 φ1 = 116.6◦

kutup p2 = −2 + j2 φ2 = 0◦

kutup p3 = −2− j2 φ3 = 76◦

kutup p4 = −5 φ4 = 26.6◦

Sudut fase dari G(s) dapat diperoleh dengan persamaan berikut.

∠G = (jumlah sudut fase semua zero)− (jumlah sudut fase semua kutup) (86)

Jadi untuk titik s0 = −1 + j2, sudut fase G(s):

∠G = 90◦ − (116.6◦ + 0◦ + 76◦ + 26.6◦) = −129.2◦

Karena ∠G tidak sama dengan ±180◦, maka titik s0 bukan tempat ke-dudukan akar. Dari contoh ini, dapat disimpulkan bahwa adalah tidak

mudah untuk mencari-cari himpunan titik tempat kedudukan akar den-

gan metode coba-coba seperti yang telah kita lakukan pada contoh di

atas. Karena itu, pada bagian berikutnya akan dibahas mengenai cara

menggambar tempat kedudukan akar.

6.2 Cara menggambar tempat kedudukan akar

Pada penjelasan di atas telah dikemukakan pengertian dan sifat dari tem-

pat kedudukan akar. Pada bagian ini akan dikemukakan langkah-langkah un-

tuk menggambarkan tempat kedudukan akar pada koordinat kompleks untuk

menyelidiki stabilitas sistem sehubungan terdapatnya perubahan parameterK

Page 68: Diktat Teknik Pengaturan

M. Dhandhang P. — Dasar-2 T. Pengaturan (Rev. Juli 2002) 67

(gain factor atau faktor perolehan). Untuk mendemonstrasikan bagaimana

langkah-langkah menggambar diagram tempat kedudukan akar digunakan con-

toh fungsi alih untai tertutup dengan persamaan karakteristiknya adalah

1 +KG(s) = 0 (87)

dengan G(s)-nya adalah sebagai berikut

G(s) =1

s [(s+ 4)2 + 16]=

1

s(s2 + 8s+ 32)(88)

kutup dari G(s) (G(s) tidak mempunyai zero) dapat diperoleh dengan per-

samaan berikut

s(s2 + 8s+ 32) = 0

s [s− (−4 + j4)] [s− (−4− j4)] = 0

Langkah-langkah menggambar diagram tempat kedudukan akar adalah se-

bagai berikut:

1. Gambarkan koordinat kompleks dengan skala yang memadai dan jelas,

kemudian berikan tanda ¯ untuk zero dan × untuk kutup. Pada contoh

persamaan (88), dari persamaan karakteristiknya diperoleh 3 buah kutup

{0, (−4 + j4), (−4− j4)}. Bila kutup-kutup tersebut digambarkan akandiperoleh gambar seperti terlihat pada Gambar 20 sebelah kiri.

2. Tentukan bagian/segmen garis sumbu Re(s) yang merupakan tempat ke-

dudukan akar. Pada Gambar 20 sebelah kiri, terlihat bahwa dengan

adanya satu kutup pada sumbu Re(s), sumbu tersebut terbagi atas

dua bagian/segmen yaitu sebelah kiri kutup dan sebelah kanan kutup.

Bila kita letakkan titi uji s0 di sebelah kanan kutup, seperti terlihat

Page 69: Diktat Teknik Pengaturan

M. Dhandhang P. — Dasar-2 T. Pengaturan (Rev. Juli 2002) 68

Gambar 20: Langkah ke-1 dan ke-2 menggambar tempat kedudukan akar

pada Gambar 20 sebelah kanan, maka dapat ditentukan sudut fase dari

masing-masing kutup yaitu φ1, φ2 dan φ3. Seperti persamaan (86), ∠G

dapat dihitung sebagai berikut

∠G = ∠zero− (∠φ1 + ∠φ2 + ∠φ3)

= 0− (∠φ1 + ∠φ2 + ∠φ3) (89)

dari Gambar 20 hal.68 sebelah kanan, terlihat bahwa besar sudut φ1 dan

φ2 sama, tetapi mempunyai arah (tanda) yang berbeda, karena itu dalam

persamaan (89) φ1 dan φ2 akan saling menghilangkan (φ1 + φ2 = 0).

Dengan demikian nilai ∠G hanya tergantung pada nilai dari ∠φ3. Keny-

ataanya ∠φ3 = 0◦ (6= ±180◦), karena itu s0 bukan tempat kedudukanakar, demikian pula untuk semua titik-titik disebelah kanan kutup 0

akan menghasilkan ∠φ3 = 0◦, karena itu dapat disimpulkan bahwa seg-

men garis disebelah kanan kutup 0 pada sumbu Re bukan tempat ke-

Page 70: Diktat Teknik Pengaturan

M. Dhandhang P. — Dasar-2 T. Pengaturan (Rev. Juli 2002) 69

dudukan akar. Lain halnya bila kita letakkan titik uji s0 disebelah kiri

kutup 0. Hal ini akan menghasilkan ∠φ3 = −180◦. Dengan demikiansegmen garis di sebelah kiri kutup 0 adalah tempat kedudukan akar pada

sumbu riil dan pada Gambar 20 hal.68 sebelah kanan tempat kedudukan

akar tersebut digambarkan dengan garis tebal

3. Gambarkan garis-garis asimptot. Garis asimptot adalah garis yang ke-

luar dari suatu titik (sebut saja dengan nama titik α) ke arah radial

dengan sudut fase φ`. Seperti dijelakan pada bagian-bagian sebelumnya

(persamaan (8) hal.14 dan persamaan (23) hal.22), pada umumnya G(s)

dapat dinyatakan sebagai

G(s) =B(s)

A(s)=b0s

m + b1sm−1 + . . .+ bm−1s+ bm

a0sn + a1sn−1 + . . .+ an−1s+ an(90)

=K(s+ z1)(s+ z2) . . . (s+ zm)

(s+ p1)(s+ p2) . . . (s+ pn)(m < n) (91)

Pada persamaanG(s) ini akan terdapat (n−m) buah garis asimptot yangkeluar (secara radial) dari suatu titik α. Garis-garis asimptot tersebut

akan mempunyai sudut fasa di titik α sebagai berikut

φ` =180◦ + `360◦

n−m ` = 0, 1, 2, . . . , (n−m− 1). (92)

Pada contoh persamaan (88) hal.67 yang dipakai untuk menjelaskan cara

menggambar tempat kedudukan akar diperoleh n−m = 3− 0 = 3, dansudut-sudut fase asimptotnya

φ0 =180 + 0× 360

3− 0 =180

3= 60◦,

φ1 =180 + 1× 360

3− 0 =180 + 360

3= 180◦,

φ2 =180 + 2× 360

3− 0 =180 + 720

3= 300◦.

Page 71: Diktat Teknik Pengaturan

M. Dhandhang P. — Dasar-2 T. Pengaturan (Rev. Juli 2002) 70

Walaupun demikian kita belum dapat menggambar garis-garis asimptot-

nya kalau posisi titik α belum diketahui. Posisi titik α dapat ditentukan

dengan persamaan berikut

α =

Ppi −

Pzi

n−m , (93)

dengan pi dan zi, masing-masing adalah kutup dan zero ke-i. Dengan

persamaan (93) untuk contoh soal yang kita bahas, dapat diperoleh nilai

α sebagai berikut

α ={(−4 + j4) + (−4− j4) + 0}− {0}

3− 0 =−4− 43

=−83= −2.67

Bila garis-garis asimptot kita gambar, maka dari titik −2.67 dapat di-

Gambar 21: Langkah ke-3 dan ke-4 menggambar tempat kedudukan akar

tarik 3 buah garis ke arah menjauhi titik −2.67 dan masing-masing garismembentuk sudut 60◦, 180◦, 300◦ dengan garis horisontal yang melalui

titik −2.67. Garis kedua dengan sudut 180◦ akan sejajar dengan sumbu

Page 72: Diktat Teknik Pengaturan

M. Dhandhang P. — Dasar-2 T. Pengaturan (Rev. Juli 2002) 71

Re negatip. Dua garis asimptot yang lain akan memotong sumbu Im

pada titik +j4.62 dan −j4.62. Garis-garis asimptot tersebut dapat dili-hat pada Gambar 21 hal.70 sebelah kiri.

4. Hitung sudut pergi dan sudut datang. Garis yang menggambarkan him-

punan titik-titik akar (tempat kedudukan akar), sehubungan dengan pe-

rubahan nilaiK dari 0 ke∞, akan bergerak dan berangkat dari titik-titikkutup G(s) (ditandai dengan ×) menuju titik zero (ditandai dengan ¯)atau keluar menuju ∞ dengan menyusuri garis asimptot tanpa mem-

otong garis tersebut (mengikuti garis secara asimptotis). Untuk dapat

menggambar garis tempat kedudukan akar, diperlukan pengetahuan ten-

tang sudut pergi (meninggalkan kutup) dan sudut datang (menuju zero

atau titik∞). Berikut ini akan dijelaskan cara untuk menghitung sudut-sudut tersebut. Pertama kita akan menghitung sudut pergi pada φ2,

Untuk menghitung sudut pergi pada kutup ini dapat dilakukan dengan

meletakkan suatu titik uji s0 yang dekat dengan titik kutupnya sehingga

bila titik uji ini digerakkan memutari titik kutup, maka sudut yang lain-

nya (φ1 dan φ3) dapat dianggap tidak berubah (lihat Gambar 21 sebelah

kanan pada hal.70). Dengan perhitungan geometri yang tidak sulit da-

pat diperoleh:

φ1 = 90◦ dan φ3 = 135

Dengan kaidah, persamaan (83) hal.64dapat dihitung φ2 sebagai berikut

0− (90◦ − φ2 − 135◦) = 180◦ ± n360◦

dengan mengambil nilai n = 1, maka sudut pergi (berangkat) pada kutup

Page 73: Diktat Teknik Pengaturan

M. Dhandhang P. — Dasar-2 T. Pengaturan (Rev. Juli 2002) 72

−4 + j4 adalah

−φ2 = 90◦ + 135◦ + 180◦ − 360◦

φ2 = −45◦

Karena φ1 adalah konjugate simetris dari φ2, maka sudut pergi pada

kutup −4− j4 adalahφ1 = +45

dengan mudah dapat ditentukan. Sudut pergi untuk φ3 adalah

φ3 = 180◦

karena garis asimptot berada disebelah kiri titik kutup ini, jadi untuk

mengikuti garis ini menunuju∞ hanya terdapat satu kemungkinan sudut

pergi yaitu 180◦. Pada contoh ini tidak terdapat zero sehingga tidak

ada demonstrasi contoh menghitung sudut datang ke zero. Tetapi cara

yang sama untuk mendapatkan sudut pergi dapat juga digunakan untuk

menghitung sudut datang ke titik zero.

5. Hitung titik potong tempat kedudukan akar dengan sumbu imaginer, Im.

Telah dijelaskan di depan bahwa, bila terdapat satu atau lebih akar per-

samaan karakteristik dari suatu sistem (kutup) yang berada disebelah

kanan sumbu Im, maka sistem tersebut pasti tak-stabil. Telah pula

diberikan contoh bagaimana menghitung batas-batas stabilitas karena

adanya perubahan parameter K dengan menggunakan kriteria stabili-

tas Routh dalam kasus stablitas bersyarat. Pengetahuan-pengetahuan

ini dapat digunakan untuk menghitung titik potong tempat kedudukan

akar terhadap sumbu Im, mengingat pada titik potong ini terdapat in-

formasi batas-batas kesetabilan sistem. Untuk menghitung titik potong

Page 74: Diktat Teknik Pengaturan

M. Dhandhang P. — Dasar-2 T. Pengaturan (Rev. Juli 2002) 73

tempat kedudukan akar dengan sumbu Im, pertama kita anggap ter-

dapat parameter K sedemikian rupa sehingga dengan tidak mengubah

penyelesaian, persamaan karakeristik dari contoh soal yang kita gunakan

dapat ditulis sebagai berikut: (lihat persamaan (87) hal.67)

1 +K

s[(s+ 4)2 + 16]= 0 (94)

atau dapat pula ditulis dalam bentuk sebagai berikut

s3 + 8 s2 + 32 s+K = 0 (95)

matrikulasi koefisien Routh untuk persamaan di atas adalah:

s3 : 1 32

s2 : 8 K

s1 : 256−K8

s0 : K

dari matrikulasi di atas diperoleh syarat agar sistem tetap stabil sebagai

berikut

0 < K < 256

BilaK > 256, maka akan terdapat perubahan tanda dua kali pada kolom

pertama matrikulasi, berarti akan terdapat dua kutup di sebelah kanan

(daerah tak-stabil) dalam koordinat kompleks. JikaK < 256 semua akar

akan berada di sebelah kiri (daerah stabil) dalam koordinat kompleks.

Jadi dapat disimpulkan bahwa titik potong tempat kedudukan akar dan

sumbu imaginer terjadi pada saat K = 256. Dengan mensubtitusikan

nilaiK ke dalam persamaan karakteristiknya (persamaan (95)) diperoleh

s3 + 8 s2 + 32 s+ 256 = 0 (96)

Page 75: Diktat Teknik Pengaturan

M. Dhandhang P. — Dasar-2 T. Pengaturan (Rev. Juli 2002) 74

Perlu diketahui bahwa pada persamaan ini, penyelesaian s pada K =

256 harus teletak pada sumbu Im, karena itu komponen riil-nya nol.

Atau dengan kata lain s = jω0 dengan ω0 adalah titik potong tersebut.

Persamaan di atas dapat ditulis lagi menjadi

(jω0)3 + 8 (jω0)

2 + 32 (jω0) + 256 = 0 (97)

Bila persamaan ini benar, maka bagian riil dan imaginer harus sama

dengan nol, dengan demikian diperoleh

8 (jω0)2 + 256 = −8ω20 + 256 = 0 (Riil)

(jω0)3 + 32 (jω0) = j(−ω30 + 32ω0) = 0 (Imaginer)

atau dapat ditulis menjadi bentuk:

−8ω20 + 256 = 0

−ω30 + 32ω0 = 0

)⇒ −ω20 + 32 = 0 ⇒ ω0 = ±

√32

dari persamaan ini akan diperoleh titik potong tempat kedudukan akar

dengan sumbu imaginer, yaitu ω0 = ±√32 = ±5.66. Segala informasi

yang telah kita peroleh; 3 titik kutup, titik α, 3 garis asimptot, sudut

pergi dari 3 kutup, titik potong tempat kedudukan akar dengan sumbu

imaginer, digambar dalam Gambar 22 hal.75.

6. Menentukan lokasi dari akar-akar bertumpuk, terutama yang terletak

pada sumbu riil (untuk menghitung sudut pisah dan/atau sudut gabung),

dan menghitung sudut pergi dan datang pada akar tersebut. Bila per-

samaan karakteristik mempunyai orde tinggi (lebih dari satu), maka

sangat mungkin akan mempunyai akar ganda yang bertumpuk. Bila

akar ganda yang saling tumpang tindih ini berada di sumbu riil, maka

Page 76: Diktat Teknik Pengaturan

M. Dhandhang P. — Dasar-2 T. Pengaturan (Rev. Juli 2002) 75

Gambar 22: Langkah 1—5 menggambar tempat kedudukan akar

pada titik pertemuan antara akar-akar tersebut akan terdapat pertemuan

(breakin) tempat kedudukan akar dan perpisahan (breakway). Pada titik

pertemuan dan perpisahan ini faktor perolehan K akan mempunyai nilai

maksimumnya, karena itu bila titik pertemuan ini dinamakan s0, maka

berlaku persamaan berikut ini.∙d

dsK

¸s=s0

= 0 (98)

∙d

ds

µ− 1

G(s)

¶¸s=s0

=

⎡⎣ dds

⎛⎝− 1B(s)

A(s)

⎞⎠⎤⎦s=s0

=

∙d

ds

µ−A(s)B(s)

¶¸s=s0

= 0(99)

d

ds

µ−A(s)B(s)

¶= − 1

[B(s)]2

µB(s)

dA(s)

ds−A(s)dB(s)

ds

¶= 0 (100)

Penerapan kaidah ini untuk contoh persoalan kita ( persamaan (88)

Page 77: Diktat Teknik Pengaturan

M. Dhandhang P. — Dasar-2 T. Pengaturan (Rev. Juli 2002) 76

hal.67) adalah:

B(s) = 1, → d

dsB(s) = 0

A(s) = s3 + 8s2 + 32s, → d

dsB(s) = 3s2 + 16s+ 32

(101)

subtitusikan hasil ini ke persamaan (100) diperoleh

3s2 + 16s+ 32 = 0 (102)

s0 = −2.67± j1.89

Dari Gambar 22 hal.75 terlihat bahwa titik uji s0 tidak terletak pada

tempat kedudukan akar. Terlihat bahwa kaidah yang kita gunakan hanya

mampu menunjukkan titik tempat akar ganda yang terletak pada tem-

pat kedudukan akar. Kaidah ini sangat penting dan berguna tetapi

tidak cukup untuk menghitung sudut perpisahan dan pertemuan. Un-

tuk menghitung kedua sudut ini dapat digunakan kaidah sudut-sudut

yang memenuhi kaidah tempat kedudukan akar pada langkah ke-4.

7. Menggambar seluruh tempat kedudukan akar dengan data yang telah di-

peroleh. Dari langkah 1—6 telah kita peroleh data yang cukup untuk

menggambar tempat kedudukan akar secara lengkap dan gambar terse-

but dituangkan dalam Gambar 23 hal.77. Pada gambar tersebut terli-

hat bahwa himpunan titik-titik akar dari persamaan karakeristik bila K

bergerak dari 0→∞ (tempat kedudukan akar) digambar dengan garis

tebal. Garis tersebut bergerak dari kutup menuju∞ dengan arah meny-

inggung garis asimptot. Karena pada contoh ini tidak ada zero, maka

tidak ada garis tempat kedudukan akar yang menuju zero.

Dari uraian tentang cara menggambar tempat kedudukan akar,dapat dis-

impulkan secara ringkas sebagai berikut:

Page 78: Diktat Teknik Pengaturan

M. Dhandhang P. — Dasar-2 T. Pengaturan (Rev. Juli 2002) 77

Gambar 23: Gambar lengkap tempat kedudukan akar

1. Tentukan kutup dan zero dari persamaan karakteristik suatu fungsi alih

sistem yang dianalisis (1 +KG(s) = 0)

KG(s) =K(b0s

m + b1sm−1 + . . .+ bm−1s+ bm)

a0sn + a1sn−1 + . . .+ an−1s+ an,

kemudian gambar titik tersebut dengan × dan ¯, masing-masing untukkutup dan zero.

2. Tentukan bagian dari sumbu riil yang merupakan bagian dari tempat

kedudukan akar.

3. Gambar (n−m) buah garis asimptot yang berpusat di titik α dan mem-

Page 79: Diktat Teknik Pengaturan

M. Dhandhang P. — Dasar-2 T. Pengaturan (Rev. Juli 2002) 78

bentuk sudut fase φ`, sebagai berikut:

α =

Pi pi −

Pi zi

n−mφ` =

180◦ + n360◦

n−m ` =, 0, 1, 2, . . . , (n−m− 1).

4. Hitung sudut pergi dari kutup dan sudut datang ke zero.

5. Tentukan titik potong tempat kedudukan akar dengan sumbu imaginer

untuk nilai K yang positip.

6. Persamaan akan mempunyai akar ganda yang bertumpuk pada tempat

kedudukan akar yaitu bila

bdA(s)

ds− adB(s)

ds= 0

Hitung sudut pergi dan sudut datang untuk akar-akar tersebut. Jika

s0 berada pada sumbu riil, maka akan terdapat sudut pisah dan sudut

gabung pada akar ganda tersebut.

7. Gambar tempat kedudukan akar secara lengkap dari data yang diperoleh

pada langkah-langkah sebelumnya.

Page 80: Diktat Teknik Pengaturan

M. Dhandhang P. — Dasar-2 T. Pengaturan (Rev. Juli 2002) 79

Daftar Pustaka

[1] Ogata K., ”Modern Control Engineering,” 2nd ed. Prentice Hall, New

Jersey (1990).

[2] Franklin, G.F., Powell, J.D.,Emami-Naeni, A., ”Feedback Control of Dy-

namic Systems,” Addison-Wesley, Massachusetts (1986).

[3] DiStefano III,J.J, Stubberud,A.R., Williams,I.J., ”Feedback and Control

Systemss,” Schaum’s Outline Series, McGraw-Hill International, Singapore

(1983).