diktat kebijakan fiskal - repository.unas.ac.id

100
DIKTAT KEBIJAKAN FISKAL Oleh : HERU DIAN SETIAWAN ADMINISTRASI PUBLIK - FISIP UNIVERSITAS NASIONAL

Upload: others

Post on 18-Oct-2021

15 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: DIKTAT KEBIJAKAN FISKAL - repository.unas.ac.id

DIKTAT KEBIJAKAN FISKAL

Oleh : HERU DIAN SETIAWAN

ADMINISTRASI PUBLIK - FISIP UNIVERSITAS NASIONAL

Page 2: DIKTAT KEBIJAKAN FISKAL - repository.unas.ac.id

8/4/2020

1

KEBIJAKAN FISKALKEBIJAKAN FISKAL((PertemuanPertemuan keke--1)1)

Oleh:Heru Dian Setiawan

Sistematika PenilaianSistematika Penilaian

Perilaku/Sikap = 15%Tugas 1 (sebelum UTS) = 12,5%Tugas 2 (sebelum UAS) = 12,5%

2

UTS = 30%UAS = 30%

Pada awal perkembangannya, perekonomian pada suatu negara dianggap akan selalu berada pada titik keseimbangan. Pemikiran yang digagas oleh Adam Smith (abad 18) ini beranggapan bahwa pemerintah dalam suatu negara tidak perlu mencampuri urusan perekonomian dari negara tersebut.

Keseimbangan pada perekonomian disebabkan adanya invisible hand dalam mengatur pembagian sumber daya, dan g p g yoleh karenanya peran pemerintah menjadi sangat dibatasi karena akan mengganggu proses ini.

Konsep invisible hand ini kemudian direpresentasikan sebagai mekanisme pasar melalui harga sebagai instrumen utamanya. Pemikiran ini juga dikenal dengan istilah Laissez-faire, dalam bahasa Prancis yang berarti biarkan sendiri (leave alone).

Konsep Laissez-faire bertahan hingga tahun 1930 dan akhirnya teorinya terbantahkan dengan adanya kejadian The Great Depression, yaitu ketidakstabilan ekonomi dimulai dari anjloknya harga saham hingga masalah pengangguran. Kejadian ini menjadi bukti bahwa keadaan ekonomi pada suatu negara tidak selamanya akan mencapai titik keseimbangan dengan sendirinya tanpa campur tangan pemerintah.

John Maynard Keynes melalui bukunya The General Theory of Employment, Interest and Money (936) mengatakan perlunya usulan pemulihan dengan memasukkan peranan pemerintah dalam perekonomian dalam rangka menstimulasi sisi permintaan. Keynes menyatakan pemerintah dapat memengaruhi produktivitas makroekonomi dengan meningkatkan atau menurunkan level pajak dan pengeluaran publik. Hal inilah yang menimbulkan adanya kebijakan fiskal.

PengertianPengertian KebijakanKebijakan FiskalFiskal Kebijakan fiskal adalah kebijakan ekonomi yang digunakan pemerintah untuk mengelola/mengarahkanperekonomian ke kondisi yang lebih baik atau diinginkandengan cara mengubah-ubah penerimaan danpengeluaran pemerintah. Kebijakan fiskal mempunyai tujuan yang sama persisdengan kebijakan moneter. Perbedaannya terletak padainstrumen kebijakannya. Jika dalam kebijakan moneterpemerintah mengendalikan jumlah uang beredar, makadalam kebijakan fiskal pemerintah mengendalikanpenerimaan dan pengeluarannya.

Kebijakan fiskal adalah bentuk tindakanpemerintah untuk mempengaruhi jalannyaperekonomian, dengan tujuan agar perekonomian tidak terlalu menyimpang darikeadaan yang diinginkan dengan alat (policy instrument variable) berupa pajak (T), transfer pemerintah (Tr), dan pengeluaran pemerintah (G) p ( ) p g p ( )sebagai levels of spending and taxation (Romer, 2001; Samuelson dan Nordhaus, 2005).

Kebijakan fiskal disebut juga kebijakan anggaran(budgetary policy) yang dilakukan melaluianggaran pendapatan dan belanja negara (APBN), (Muhammad, 2004).

HERU
Placed Image
Page 3: DIKTAT KEBIJAKAN FISKAL - repository.unas.ac.id

8/4/2020

2

Dalam konteks perencanaan pembangunan ekonomi, rancangan kebijakan fiskal tidak hanya diarahkan untuk pengembangan aspek ekonomi (seperti; pendapatan per kapita, pertumbuhan ekonomi, pengurangan pengangguran dan stabilisasi ekonomi) tetapi juga peningkatan aspek sosial seperti, pemerataan, pendidikan dan kesehatan.

FUNGSI KEBIJAKAN FISKAL FUNGSI KEBIJAKAN FISKAL

1) Fungsi Stabilisasi, 2) Fungsi Alokasi, dan 3) Fungsi Distribusi (Musgrave 1956) (Musgrave, 1956).

Fungsi StabilisasiPemerintah melakukan penyesuaian bidang perpajakan serta pengeluaran pemerintah. Adanya pengeluaran tersebut diharapkan keadaan perekonomian bisa berada pada tingkat harga yang stabil dan terserapnya g g y g p ytenaga kerja (full employment).

Fungsi AlokasiPemerintah mengalokasikan sumber daya ekonomi secara langsung dengan membeli barang-barang seperti pertahanan dan pendidikan, dan secara tidak langsung melalui berbagai pajak dan subsidi. g p j

Fungsi DistribusiPemerintah melakukan penyesuaian padapengeluarannya dengan tujuan untuk mendistribusikan barang-barang yangdiproduksi oleh masyarakat agar seluruh masyarakat dapat menikmati barang-barang y p g gkebutuhannya secara adil dan merata.

HERU
Placed Image
Page 4: DIKTAT KEBIJAKAN FISKAL - repository.unas.ac.id

8/4/2020

1

KEBIJAKAN FISKALKEBIJAKAN FISKAL((PertemuanPertemuan keke--33))

Oleh:Heru Dian Setiawan

Kebijakan fiskal atau anggaran memiliki tiga fungsiyaitu, (1) fungsi alokasi (allocation function), (2) fungsidistribusi (distribution function), dan (3) fungsi stabilisasi(stabilization function). ◦ Fungsi alokasi berkaitan dengan penyediaan barang sosial

(social goods), atau proses penggunaan sumberdayakeseluruhan yang dibagi di antara barang privat (private goods), dan barang sosial (social goods) serta kombinasibarang sosial yang dipilih. g y g p◦ Fungsi distribusi berkaitan dengan pembagian pendapatan

dan kekayaan yang lebih adil dan merata kepadamasyarakat. ◦ Sedangkan fungsi stabilisasi untuk mempertahankan tingkat

pekerjaan yang tinggi (high employment), stabilitas tingkatharga-harga, dan tingkat pertumbuhan ekonomi yang sesuai, serta berpengaruh pada neraca perdagangan danpembayaran, (Musgrave, 1991; Kementrian KeuanganRepublik Indonesia, 2010).

Instrumen kebijakan fiskal adalah variabel belanja pemerintah (G) atau pajak (T), bersama-sama dengan variabel konsumsi masyarakat (C), Investasi Swasta (I) dan net ekspor (X-M), merupakan komponen yang mempengaruhi output atau pendapatan nasional (Y). Dalam keseimbangan makro ekonomi dirumuskan: Y = C + I + G + (X-M)

Sementara itu Cullis dan Joness, (1992) mengatakanbahwa instrumen kebijakan fiskal yang dapatdilakukan oleh pemerintah terdiri atas instrumenbelanja pemerintah dan pajak. Kedua jenis instrumenini secara langsung berpengaruh kepada sektor riil, dalam hal ini mempengaruhi pengeluaran agregatyang berdampak pada permintaan agregat. Kebijakanbelanja pemerintah berpengaruh posisif terhadappermintaan agregat dan pendapatan nasional. Sementara kebijakan pajak berpengaruh negatifterhadap permintaan agregat dan pendapatannasional. Besarnya pengaruh kedua kebijakantersebut ditentukan oleh efek pengganda (multiplier effect), dimana besarannya tergantung pada besarankecenderungan untuk mengkonsumsi (marginal propensity to consume, MPC).

Permintaan agregat dapat dinaikkan dengancepat hanya melalui kebijakan fiskal (Romer, 2001, Dornbusch at al. 2008).Anggaran pemerintah (government budget) adalah bagian penting dalam model makroekonomi. Keynes mengatakan apabilaperekonomian berada di bawah full employment, maka permintaan agregat dapatp y p g g pditingkatkan dengan meningkatkan pengeluaranpemerintah (G) atau menurunkan pajak (T) (McCann, 2001). Dalam pandangan Keynes, pemerintah mempunyai peran penting untukmengatur permintaan agregat (AD), dalamrangka mempertahankan atau menjaga agar perekonomian mendekati tingkat kesempatankerja penuh (full employment level).

Hasil penelitian tentang kebijakandesentralisasi fiskal dilakukan olehFeltenstein dan Iwata (2005) di Cina, Pakasi(2005) di Sulawesi Utara, Haryanto danAstuty (2009) di Indonesia, Lin dan Liu (2000) di Cina, dan Akhmad at.al. (2012) diSulawesi Selatan, menyimpulkan bahwaSulawesi Selatan, menyimpulkan bahwadesentralisasi fiskal memiliki kontribusi yang signifikan terhadap pertumbuhan ekonomimelalui peningkatan efisiensi alokasi sumberdaya, akumulasi modal, dan sektor swastamerupakan kunci yang mendorongpertumbuhan ekonomi.

HERU
Placed Image
Page 5: DIKTAT KEBIJAKAN FISKAL - repository.unas.ac.id

8/4/2020

2

PajakDalam bagian ini kita akan memberikan perhatian yang cukup besar tentang konsep pajak. Tujuannya adalah untuk memperdalam pemahaman tentang kebijakan fiskal danpengaruhnya terhadap keseimbangan perekonomian. Sebab, berbeda dengan pengeluaran pemerintah (G) yang dapat diasumsikan otonomus, maka pajak tidaklah demikian; Besarnya pajak yang diterima pemerintah dipengaruhi oleh y p j y g p p gtingkat pendapatan, sebaliknya pajak dapat memengaruhi pola laku produksi dan atau konsumsi.Secara hukum, pajak dapat didefinisikan sebagai iuran wajib kepada pemerintah yang bersifat memaksa dan legal (berdasarkan undang-undang), sehingga pemerintah mempunyai kekuatan hukum (misalnya denda atau kurungan penjara) untuk menindak wajib pajak yang tidak memenuhi kewajibannya.

PajakWalaupun pajak sifatnya memaksa, pemerintah tidak mempunyai kewajiban untuk membalas jasa secara langsung kepada para pembayar pajak. Pajak dipungut untuk menjalankan roda pemerintahan.Secara ekonomi, pajak dapat didefinisikan sebagai pemindahan sumber daya yang ada di sektor rumah tangga dan perusahaan (dunia usaha) ke sektor pemerintah melalui mekanisme ( ) ppemungutan tanpa wajib memberi balas jasa langsung. Jika pungutan pemerintah sifatnya memberikan balas jasa langsung, maka pungutan tersebut disebut retribusi.Dari definisinya, pajak yang nilainya positif akan menyebabkan pendapatan riil makin rendah atau harga barang makin mahal. Tetapi jika nilainya negatif (subsidi), pajak akan meningkatkan pendapatan riil atau menyebabkan harga output atau Input menjadi lebih murah

HERU
Placed Image
Page 6: DIKTAT KEBIJAKAN FISKAL - repository.unas.ac.id

8/4/2020

1

KEBIJAKAN FISKALKEBIJAKAN FISKAL((PertemuanPertemuan keke--44))

Oleh:Heru Dian Setiawan

Efektivitas Kebijakan FiskalEfektivitas Kebijakan Fiskal Rasyid (1998), Simanjuntak (2002) mengatakan

desenstralisasi fskal di Indonesia mempunyai beberapa sasaran umum yaitu (1) untuk memenuhi aspirasi daerah menyangkut penguasaan atas sumber keuangan negara, (2) mendorong akuntabilitas dan transparansi

i h d h (3) i k k i i i pemerintah daerah, (3) meningkatkan partisipasi masyarakat dalam proses pembangunan daerah, (4) mengurangi ketimpangan antar daerah, (5) menjamin terselenggaranya pelayanan publik, dan (6) meningkatkan kesejahteraan masyarakat secara umum.

Desentralisasi fskal ditandai dengan meningkatnyaalokasi dana transfer dari pemerintah pusat kepemerintah daerah (dana perimbangan), berupa: (1)peningkatan persentase dana bagi hasil (DBH) untuk pemerintah daerah, (2) peningkatan dana alokasi umum (DAU) yang sebelumnya dikenal dengan subsidi daerah otonom dan instruksi gpresiden, dan (3) pelimpahan dana alokasi khusus (DAK).

Tantangan utama dalam pembangunan Indonesiadewasa ini, bukan lagi untuk memberikan danakepada daerah-daerah yang lebih miskin, tetapibagaimana memastikan agar daerah-daerah tersebut menggunakan dana yang disalurkan dengan sebaik-baiknya.

Kewenangan yang dimiliki oleh daerah dengandesentralisasi fskal, maka daerah dapat menanggapinya dengan dua hal yang berbeda yaitu: (1) lebih memusatkan perhatian pada usaha memperbesar penerimaan, melalui intensifkasi dan perluasan pungutan pajak, retribusi daerah, serta pemanfaatan sumberdaya yang belum optimal p y y g pmelalui bagi hasil, atau (2) lebih berorientasi pada peningkatan efektivitas sisi pengeluaran, melalui usaha menstimulasi dunia usaha, dengan pengembangan iklim usaha yang lebihbaik bagi daerahnya.

Tantangan untuk meningkatkan pendapatan asli daerah di satu sisi, akan berdampak pada peningkatan biaya produksi yang dapat menimbulkan ekonomi biaya tinggi (high cost economic), yang selanjutnya berdampak pada produksi, dan mengganggu iklim usaha. Dampak selanjutnya dapat menurunkan investasi swasta, pertumbuhan ekonomi, dan penyerapan tenaga kerja.Susiyati (2007) mengemukakan sebagian daerah berkeinginan y ( ) g g guntuk meningkatkan peran pendapatan asli daerahnya, sebagai refleksi otonomi fskal mereka. Namun karena kurangnya pemahaman akan prinsip-prinsip perpajakan yang baik, maka banyak upaya yang mereka lakukan justru mengganggu (distorsi) terhadap aktivitas perekonomian daerah tersebut, dan juga terhadap perekonomian kawasan secara keseluruhan. Berbagai pungutan-pungutan yang dilakukan daerah justrumengganggu iklim investasi dan dunia usaha di daerah.

HERU
Placed Image
Page 7: DIKTAT KEBIJAKAN FISKAL - repository.unas.ac.id

8/4/2020

2

Pertumbuhan rata-rata belanja pemerintah daerahdapat berpengaruh positif dan nyata terhadap pertumbuhan rata-rata produk domestik regional bruto pada suatu periode di suatu daerah. Hal tersebut menunjukkan bahwa kenaikan belanja pemerintah daerah dapat mendorong meningkatnya pertumbuhan PDRB di daerahnya. g y p y

Pertumbuhan rata-rata belanja pemerintah daerahdapat berpengaruh negatif namun tidak nyata terhadappenggangguran untuk pada periode tertenty Hal tersebut menunjukkan bahwa kenaikan belanja pemerintah daerah belum sepenuhnya dapat menurunkan angka penggangguran di suatu Daerah.

Suatu kota dapat memiliki tingkat pengangguran yang cukup tinggi meskipun memiliki pertumbuhan belanja pemerintah tinggi meskipun memiliki pertumbuhan belanja pemerintah yang cukup tinggi. Hal tersebut mengindikasikan bahwa ada kecenderungan bahwa para pencari kerja lebih memilih bertaruh mencari pekerjaan di kota-kota yang ada.

Pertumbuhan rata-rata belanja pemerintah dapat berpengaruh negatif namun tidak nyata terhadap rata-rataangka kemiskinan untuk suatu periode tertentu. Hal tersebut menunjukkan bahwa kenaikan belanja pemerintah daerah belum sepenuhnya dapat menurunkan angka kemiskinan kabupaten dan kota.

Pertumbuhan rata-rata produk domestik regionalbruto dapat berpengaruh negatif terhadap rata-rata angka bruto dapat berpengaruh negatif terhadap rata-rata angka kemiskinan untuk suatu periode tertentu di sebuah Daerah. Hal tersebut menunjukkan bahwa kenaikan PDRB belum sepenuhnya dapat menurunkan angka kemiskinan kabupaten dan kota.

Untuk mendorong pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi dan berkualitas, maka pemerintah daerah perlu melakukan identifkasi tentang sumber-sumber pertumbuhan ekonomi yang ada di daerahnya, dan selanjutnya menetapkan skala priotas untuk pengembangan pembangunan kedepan.

Untuk dapat mengurangi angka pengangguran yang ada di daerahnya, maka pemerintah daerah perlu membangun infrastruktur dan lebih menciptakan iklin usaha yang sehat, guna menarik para investor untuk menanamkan modal di daerahnya, dengan lebihmengutamakan investor yang padat karya.

Untuk dapat mengurangi angka kemiskinan di daerahnya, maka dibutuhkan keberpihan yang lebih dari pemerintah daerah. Keberpihakan yang dimaksud dapat berupa pembangunan infrastrukur pada daerah-daerah yang menjadi kantong kemiskinan dan melakukan program pembedayaan secara berkesinambungan.

HERU
Placed Image
Page 8: DIKTAT KEBIJAKAN FISKAL - repository.unas.ac.id

8/4/2020

1

KEBIJAKAN FISKALKEBIJAKAN FISKAL((PertemuanPertemuan keke--5)5)

Oleh:Heru Dian Setiawan

PAJAKPAJAK Aktivitas pemerintah memerlukan realokasi sumber-

sumber daya dari sektor swasta. Untuk itu, masyarakatharus dihimbau secara sukarela menyerahkan sebagianpendapatannya untuk kepentingan penyediaan barang-barang dan jasa-jasa publik. Pengumpulan pendapatan dari masyarakat dapat dikategorikan sebagai penerimaan pajak dan penerimaan non pajak.

Pajak adalah pungutan yang ditarik dari masyarakat tanpa Pajak adalah pungutan yang ditarik dari masyarakat tanpamengakibatkan timbulnya kewajiban bagi pemerintahterhadap pihak pembayar. Menurut sifatnya, pajak adalahwajib.

Kewajiban pajak menurut undang-undang dapat dipaksakan. Sedangkan terhadap pelanggar peraturan perpajakan dapatdikenai hukuman yang berlaku. Di Indonesia, sumberpenerimaan pajak adalah yang terbesar.

Penerimaan Pajak Disamping sebagai sumber penerimaan negara (fungsi

budget), pajak juga dapat difungsikan sebagai alatpengaturan dan pengawasan kegiatan-kegiatan yang dilaksanakan sektor swasta (fungsi regulator).

Pada fungsi budget, pajak dimaksudkan untuk mengumpulkan dana yang akan digunakan bagi pembiayaan kegiatan rutin operasional pemerintah mengatur negara mengatur negara.

Sedangkan pada fungsi regulator, kebijakan perpajakandimaksudkan untuk mencapai tingkat pertumbuhanekonomi yang diinginkan dengan cara mengatur polaproduksi dan konsumsi barang-barang ekonomi.

Dengan sistem perpajakan, pemerintah dapat mendorong investasi yang menghasilkan barang-barang produksitertentu atau sebaliknya. Mekanisme perpajakan jugadapat diterapkan untuk mendorong atau mengurangijumlah pendapatan yang dikonsumsikan.

Penerimaan Non Pajak Disamping pajak, pemerintah dapat

menggunakan sumbersumber non pajak yang mampu menggalang dana bagi keperluanpembiayaan pengeluaran publik.

Jenis-jenis penerimaan tersebut antara lain:1 Debt Finance1. Debt Finance2. Government Induced Inflation3. Donations4. User Charges5. Government Enterprise6. Lottery

1. Debt Finance adalah penggunaan dana pinjaman untuk membiayai

pengeluaran publik. Hal ini biasanya dilakukan untukmembiayai suatu proyek besar dan memakan waktulama seperti pembangunan rumah sakit, jalan tol dan sebagainya. Pinjaman merupakan penarikan danamasyarakat yang dilakukan oleh pemerintah denganjanji untuk membayar kembali pada masa mendatang. j j y p gDewasa ini, mekanisme pinjaman oleh pemerintah terhadap dana masyarakat dapat juga digunakanuntuk mengurangi jumlah uang beredar. Untukkeperluan pinjaman, pemerintah akan membayarkan sejumlah bunga selama pinjaman tersebut belumdilunasi. Di Indonesia, kebijakan utang olehpemerintah diaplikasikan dengan menerbitkan Surat Utang Negara (SUN).

2. Government Induced Inflation dilakukan dengan cara mencetak uang baru

untuk membiayai pengeluaran publik. Inti darikegiatan ini adalah mengakibatkan penambahanjumlah uang yang beredar di masyarakat.

Kebijakan yang serupa seperti kegiatan melepascadangan uang yang ditahan oleh bank sentralg g y gdapat juga dikategorikan sebagai Government Induced Inflation. Adanya tambahan jumlah uangberedar yang tidak diikuti tambahan jumlahproduksi, menurut kaidah ekonomi akanmenyebabkan kenaikan harga pasar barang danjasa.

HERU
Placed Image
Page 9: DIKTAT KEBIJAKAN FISKAL - repository.unas.ac.id

8/4/2020

2

3. Donations dadalah kontribusi sukarela kepada pemerintah

dari masyarakat atau oraganisasi-organisasi kemasyarakatan. Penggalangan dana tersebutbiasa dilakukan melalui himbauan-himbauanyang dapat menggugah kerelaan masyarakat. Misalnya penggalangan dana kemanusiaan untukkorban bencana alam, korban peperangan dansebagainya. Dana hibah (grant/sumbangan yang tidak perlu dikembalikan) negara lain dapat jugadianggap sebagai donations. Akan tetapi, karenasulitnya memprediksi, dana hibah tidak dapatdiharapkan sebagai alternatif penerimaanandalan.

4. User Charges atau retribusi dipungut apabila dimungkinkan

untuk dikenakan kepada masyarakat yang menggunakan jasa-jasa tertentu. Dengan katalain, adanya keterkaitan langsung antara jumlahnominal yang dibayar dengan balas jasa yangditerima, seperti tarif jalan tol, tarif pintu masuk tempat-tempat rekreasi, tarif parkir dansebagainya. Berkaitan dengan otonomi daerah, dewasa ini banyak sekali jenis-jenis retribusiyang diatur dengan Peraturan Daerah yang dimaksudkan untuk menopang Pendapatan AsliDaerah (PAD).

5. Government Enterprise adalah perusahaan yang dimiliki pemerintah yang

memproduksi dan menjual barang, jasa atau keduanyauntuk memperoleh laba. Sebagian laba yang dihasilkanperusahaan-perusahaan negara dapat dijadikan sebagai tambahan penerimaan pemerintah.

Pada kebanyakan negara maju, dewasa ini fungsiperusahaan negara terutama bukan untuk mencari labatetapi lebih pada pemicu pertumbuhan ekonomi. Untuk

d ikli i i i if hmendorong iklim investasi yang positif, perusahaan-perusahaan milik negara sebisa mungkin bersaing secarakompetitif dalam iklim pasar yang sehat. Jika dirasakanbahwa sektor swasta telah mampu mengembangkansektor ekonomi tertentu, pemerintah dapat mengurangiperannya sedemikian rupa dengan cara melepas sahamnyakepada publik. Pada akhirnya, perusahaan-perusahaan yang dimiliki negara lebih berkonsentrasi pada sektor-sektorekonomi yang belum mampu dibiayai swasta.

6. Lottery adalah kegiatan penggalangan dana yang bertujuan

untuk membiayai kegiatan tertentu dengan diiming-imingi hadiah bagi yang membeli surat undian. Secarateori, surat undian harus dijual secara murah sehinggatidak menimbulkan kerugian besar bagi masyarakatyang tidak menang. Atau masyarakat diharapkan lebihberniat untuk menyumbang kepada pemerintahdibanding berharap memenangkan hadiah dibanding berharap memenangkan hadiah.

Pada prakteknya, kebijakan ini sering disalahgunakanoleh sebagian masyarakat dengan kultur tertentuyang senang berangan angan dan ingin merubahstatus sosialnya secara cepat. Hal ini berakibatkurangnya tingkat produktivitas masyarakat padasektor-sektor ekonomi yang menghasilkan barangdan jasa.

Prinsip-Prinsip Pajak Pajak tidak hanya berfungsi sebagai penggalangan

dana masyarakat untuk membiayai pengeluaranpublik, tetapi juga dapat difungsikan sebagai regulator (pengatur). Untuk mengoptimalkan pelaksanaankedua fungsi tersebut, kebijakan perpajakan harus berlandaskan pada prinsip-prinsip yang relevan. T i Ad S ith t k l i i i Teori Adam Smith yang terkenal mengenai prinsip-prinsip pengenaan pajak mengacu pada empat halyaitu :1. Prinsip keadilan (equity)2. Prinsip kepastian (certainty)3. Prinsip kenyamanan (convenience)4. Prinsip ekonomi (economy)

1. Prinsip Keadilan menekankan bahwa beban pajak harus

disesuaikan dengan kemampuan relatif masyarakat.

Jumlah nominal pajak yang dibayarkan oleh golongan masyarakat yang berpenghasilanrendah harus lebih kecil dari golonganmasyarakat yang lebih tinggi. y y g gg

Pajak diharapkan dapat menjadi alat distribusipendapatan secara lebih fair dan mengurangikesenjangan pendapatan.

Apapun kebijakan yang diambil, prinsip keadilanyang memuaskan semua pihak tidak akanpernah tercapai.

HERU
Placed Image
Page 10: DIKTAT KEBIJAKAN FISKAL - repository.unas.ac.id

8/4/2020

3

2. Prinsip Kepastian dimaksudkan agar pada pelaksanaan

pemungutan pajak tidak terjadi distorsiberupa kesalahan yang disengaja(penyelewengan) atau yang tidak disengajaakibat kekurangpahaman.

Kebijakan perpajakan harus dibuat Kebijakan perpajakan harus dibuatsesederhana mungkin dan diformulasikan menggunakan kata-kata yang meminimalkan adanya penafsiran ganda. Hal ini juga perluditunjang dengan adanya kecukupan prosessosialisasi dengan memasukkan unsur-unsurkemajemukan masyarakat.

3. Prinsip Kenyamanan menggaris-bawahi pentingnya menciptakan

kondisi yang menyenangkan bagi wajib pajakagar dengan sukarela bersedia memenuhikewajiban-kewajibannya.

Dengan kata lain, sebisa mungkin dihindarkanadanya unsur unsur menekan atau kekerasan adanya unsur-unsur menekan atau kekerasan. Kenyamanan wajib pajak dapat diberikandengan bentuk layanan prima.

Prosedur pembayaran pajak atau menjadiwajib pajak harus dibuat semudah mungkin. Kepada mereka yang patuh diberikanpenghargaan yang setimpal.

4. Prinsip Ekonomi menegaskan pentingnya perbandingan antara

biaya dan hasil yang efisien. Upaya-upayapenarikan pajak harus disertai dengankegiatan yang meminimalkan biayapemungutan atau biaya-biaya lain yang dapatmengurangi penerimaan bersih negara mengurangi penerimaan bersih negara.

Biaya pemungutan juga tidak layakdibebankan kepada wajib pajak. Merekasedapat mungkin tidak dikenakan biaya-biayalain di luar kewajiban pajak murni. Sehinggatujuan penggunaan pajak untuk pembiayaan pengeluaran publik lebih mudah tercapai.

Siklus Arus Pajak Pengenaan pajak kepada masyarakat dan dunia

usaha secara umum dapat berbentuk pajak ataspendapatan dan pajak atas konsumsi.

Pajak atas pendapatan berarti adalah pengenaantarif pajak terhadap seluruh pos-pos penerimaan rumah tangga dan perusahaanp gg pdalam siklus perekonomian. Sebaliknya, pajakatas konsumsi berarti pengenaan tarif pajak atasseluruh pola pengeluaran rumah tangga serta perusahaan. Untuk itu perlu diidentifikasi pos-pos penerimaan dan pengeluaran dalam siklusperekonomian.

Pos yang pertama adalah pendapatan rumah tangga(1). Pendapatan rumah tangga adalah pendapatangolongan masyarakat yang diperoleh dari penghasilanupah atau gaji sebagai karyawan dan pendapatan jasamodal. Sedangkan golongan masyarakat lainnya yang memiliki usaha yang menghasilkan produkdikategorikan sebagai perusahaan.

Pendapatan rumah tangga ini kemudian akan mengalir dalam dua bentuk yaitu sebagian menjadi konsumsiy g jrumah tangga (2) sebagai biaya pemenuhan kehidupan sehari-hari masyarakat dan sisanya menjadi tabunganrumah tangga (3). Jumlah pendapatan rumah tanggayang dikonsumsi kemudian akan mengalir ke pasarbarang konsumsi, sedangkan seluruh tabunganmasyarakat diasumsikan mengalir menjadi bagian dari investasi (5) yang pada akhirnya mengalir ke pasarbarang modal.

Jumlah nominal konsumsi masyarakat akan sama dengan jumlah penerimaan kotor perusahaan dari pasar barang konsumsi (4) sedangkan jumlah investasi akan sama dengan jumlah penerimaan kotor dari pasar barang modal (6).

Adapun total penerimaan dari kedua pasar tersebut disebut penerimaan kotor perusahaan (7). Total penerimaan perusahaan tersebut selanjutnya sebagian akan digunakan sebagai pengeluaran perusahaan (8). Sebagian pengeluaran perusahaan akan disisihkan untuk biaya penyusutan (9), dan sebagian lagi dibayarkan perusahaan sebagai biaya gaji karyawan (11) sedangkan sisanya adalah keuntungan perusahaan (12). Termasuk dalam keuntungan perusahaan adalah pendapatan jasa modal yang dibayarkan kepada rumah tangga seperti bunga, deviden, dan sewa.

Sedangkan sisa keuntungan yang tidak dibagi (15) akan menjadi tabungan perusahaan (16). Jumlah biaya gaji yang dibayarkan perusahaan akan menjadi pendapatan gaji (13) bagi rumah tangga. Sedangkan tabungan perusahaan bersama-sama tabungan rumah tangga, diasumsikan akan menjadi investasi seluruhnya.

HERU
Placed Image
Page 11: DIKTAT KEBIJAKAN FISKAL - repository.unas.ac.id

8/4/2020

4

Tarif Pajak Titik-titik pembebanan dalam siklus pajak

adalah segala sesuatu yang dapat dikenakanpajak atau biasa disebut objek pajak. Sedangkan jumlah pajak yang dipungutdihitung dengan mempergunakan tarif pajak.

Jika dilihat dari sudut pandangan dasar Jika dilihat dari sudut pandangan dasar penentuan tarif pajak, secara umum terbagi atas tiga bentuk yaitu:1. Proportional (flat) tax rate2. Progressive tax rate3. Regressive tax rate

1. Proportional (flat) tax rate adalah pengenaan pajak dengan tarif dalam persentase tertentu dengan tidak melihat perubahan pendapatan individu. Dengan kata lain, berapapun jumlah kemampuan membayar seorang wajib pajak, jumlah y g j p j jpengenaan tarif pajaknya sama. Sebagai ilustrasi, jika pendapatan yang diterima oleh wajib pajak naik sebesar 100%, maka secara otomatis jumlah pajak yang terhutang menjadi naik sebesar 100%.

2. Progressive tax rate adalah pengenaan pajak dengan tarif meningkat seiring dengan peningkatan pendapatan individu. Dengan kata lain, jumlah pendapatan yang lebih besar yang diterima oleh wajib pajak, akan dikenakan tarif yangj p j y gbesar pula. Sebagai ilustrasi, jika kemampuan membayar seorang wajib pajak naik sebesar 100%, jumlah pajak yang terhutang menjadi naik melebihi 100%.

3. Regressive tax rate adalah pengenaan pajak dengan tarif menurun dengan makin meningkatnya pendapatan wajib pajak. Dengan kata lain, peningkatan jumlah kemampuan membayar seorang wajib pajak, semakin menurun tarif yang dikenakan. p j y gSebagai ilustrasi, jika seorang wajib pajak mendapat kenaikan pendapatan sebesar 100%, maka jumlah kenaikan pajaknya kurang dari 100%.

Istilah-istilah Dalam Perpajakan

Beberapa istilah yang perlu mendapat perhatian khusus antara lain:

1. Pajak Perseorangan dan Pajak in Rem

2. Pajak Langsung dan Pajak Tidak Langsung

Pajak perseorangan

adalah pajak yang dikenakan kepada orang per orang yang adalah pajak yang dikenakan kepada orang per orang yang memperoleh penghasilan dimana besarnya jumlah yang terhutang disesuaikan dengan kemampuan untuk membayar pajak. Pajak perseorangan dikenakan atas transaksi rumah tangga berupa pendapatan dan konsumsi. Untuk menentukan kemampuan seseorang dalam membayar pajak atas pendapatan (personal income tax), maka seluruh sumber pendapatan perseorangan harus digabung sebagai basis pembayar pajak. Sedangkan jika konsumsi juga akan dikenai pajak, maka pajak perseorangan diterapkan dalam bentuk pajak pengeluaran perseorangan (personal expenditure tax).

Pajak in Rem adalah pajak atas aktivitas atau obyek tertentu misalnya pembelian, penjualan, atau pemilikan harta kekayaan. Aktivitas atau objek yang dikenakan pajak tidak terkait dengan karakteristik pihak-pihak yang melakukan transaksi atau pemiliknya. Siapapun yang melakukan aktivitas-aktivitas tertentu atau memiliki objek-objek pajak tertentu, wajib membayar pajaknya. y p j y

Pajak in Rem dapat dikenakan atas rumah tangga atau badan usaha. Pajak atas transaksi jual beli yang dikenakan terhadap perusahaan akan dapat diperlakukan juga terhadap semua rumah tangga yang melakukan transaksi. Hal yang sama juga berlaku ketika mengenakan pajak terhadap harta kekayaan, yang berkaitan dengan nilai kekayaan dari perseorangan atau perusahaan.

HERU
Placed Image
Page 12: DIKTAT KEBIJAKAN FISKAL - repository.unas.ac.id

8/4/2020

5

Pajak langsung adalah pajak yang berdasarkan surat ketetapan dikenakan terhadap rumah tangga ataupunperseorangan dan dilakukan secara berkala. Beban pajak ini tidak dapat dipindahkan kepada orang lain. Pajak penghasilan dapat dikategorikan sebagai pajaklangsung.

Pajak tidak langsung adalah pajak yang tidak dipungutsecara berkala dan dapat beralih sampai denganp p gpenanggung akhir beban tersebut. Sifat pemungutanpajak ini cukup sederhana dan biasanya dikaitkandengan adanya kejadian tertentu. Maka hampir semuapajak in Rem. Pajak pertambahan nilai dan cukaimerupakan pajak tidak langsung. Pengertian dari pajakcukai adalah pajak tidak langsung yang diterapkan ataspenjualan barang-barang manufaktur tertentu.

Beberapa kebaikan dan kekurangan dari pajak tidaklangsung, menurut Suparmoko adalah sebagai berikut:

Kebaikan:1. Pajak tidak langsung cenderung lebih stabil digunakan

sebagai sarana penerimaan negara dibanding pajak langsung. Jumlah nilai yang diperoleh melalui pajaktidak langsung cenderung lebih mudah diprediksitidak langsung cenderung lebih mudah diprediksi.

2. Pengenaan pajak dapat mengikutsertakan seluruh lapisan masyarakat tanpa memandang besar kecilnyapenghasilan yang diperoleh. Tanpa pandang bulu, semua yang melakukan transaksi atau kejadian tertentu, diwajibkan melunasi pajak yang tertanggung.

3. Biaya-biaya yang ditimbulkan akibat adanyapenerapan pajak tidak langsung relatif lebih murahdibanding pajak langsung. Dikarenakan kesederhanaan landasan aturan yang dipakai, tidakdiperlukan banyak perangkat yang bertujuan untukmensosialisasikan aturan tersebut.

4. Teknik pemungutannya yang sederhana tidakmemerlukan kegiatan administrasi yang kompleks. Kesederhanaan aturan juga memungkinkanj g gdilakukannya penelusuran dan pengecekan jikaterjadi kesalahan dengan cepat tanpa perlumenggunakan formula audit yang kompleks.

5. Fungsi regulator yang dimiliki pemerintah dalam halkebijakan perpajakan, dapat dengan mudahditerapkan. Dengan mudahnya dipahami, pemerintahlebih mudah memperkirakan dampak dari setiapkebijakan perpajakan yang dikeluarkan.

Kekurangan:1. Kurangnya rasa berkeadilan antara golongan masyarakat

yang berpenghasilan tinggi dengan masyarakatberpenghasilan rendah. Hal ini dikarenakan keduagolongan tersebut dibebani tarif pajak yang sama untuksetiap transaski atau kejadian tertentu.

2. Karena dimungkinkannya terjadi penggeseran bebanpajak kepada golongan wajib pajak lainnya, penanggungakhir dari beban pajak tidak langsung belum tentu sesuaid t t l H l i i t t d i ti k tdengan target awal. Hal ini tergantung dari tingkatelastisitas kurva permintaan dan penawaran untukbarang-barang terkena pajak tidak langsung. Sebagaicontoh, apabila kurva permintaan suatu barang adalahelastis sempurna maka seluruh beban pajak tidaklangsung akan menjadi tanggungan produsen. Dengankata lain, dalam kondisi seperti itu beban pajak tidaklangsung tidak dapat dialihkan kepada konsumen.

Menurut studi yang pernah dilakukan, pajak yang diterima sebagianbesar negara-negara berkembang lebih banyak dari kategori pajaktidak langsung. Hal ini terutama diakibatkan sulitnya melakukanadministrasi yang baik dan teliti untuk menerapkan pajak langsung. Sedangkan untuk negara-negara maju, peranan kebijakan fiskal adalah sangat penting. Akibatnya, pajak langsung lebih banyakdigunakan dalam instrumen fiskal di negara-negara tersebut.

Seluruh aliran dana yang masuk kas negara akibat diterapkannyakebijakan perpajakan biasa disebut sebagai pajak positif. Sedangkanpembayaran transfer oleh pemerintah dapat dipandang sebagaipajak negatif. p j g

Pembayaran transfer atau grant oleh pemerintah dapat dianggapsebagai arus pajak dengan arah yang berlawanan. Misalnya adalahtunjangan sosial dan subsidi pajak terhadap beberapa jenis usahatertentu. Pada beberapa negara, tunjangan sosial dapat diterapkanuntuk memenuhi prinsip keadilan perpajakan. Sebagai contoh, program pensiun kepada semua pegawai akan menguntungkangolongan pendapatan yang rendah karena mereka memperoleh manfaat dari program ini melebihi jumlah kontribusi yang dibayarkan melalui pajak penghasilan yang progresif. Hal tersebutdisubsidi silang oleh golongan masyarakat yang berpenghasilanmenengah ke atas.

HERU
Placed Image
Page 13: DIKTAT KEBIJAKAN FISKAL - repository.unas.ac.id

8/4/2020

1

KEBIJAKAN FISKALKEBIJAKAN FISKAL((PertemuanPertemuan keke--6)6)

Oleh:Heru Dian Setiawan

DAMPAK PERPAJAKAN TERHADAP DAMPAK PERPAJAKAN TERHADAP PEREKONOMIANPEREKONOMIAN

Sistem perpajakan yang baik adalah sistem perpajakan yang memberikan pengaruh terbaik terhadap perekonomian negara. Jika tujuan tersebut adalah mengoptimalkan tingkat produksi kebijakan perpajakan yang tingkat produksi, kebijakan perpajakan yang dapat ditempuh dapat dengan mengenakan pajak tidak langsung. Sebaliknya jika tujuan yang ingin dicapai adalah pemerataan penghasilan, pajak langsung yang progresif lebih tepat untuk diterapkan.

Secara umum, struktur perekonomian nasional (tanpapajak) terdiri dari Pendapatan Nasional (Y), jumlahKonsumsi (C) dan Tabungan (S). Hubungan dari ketigaunsur tersebut adalah Pendapatan Nasional samadengan jumlah Konsumsi ditambah jumlah Tabungan (Y = C + S). Apabila seluruh Tabungan (S) digunakan sebagai Investasi (S = I), maka tidak akan pernahterjadi inflasi atau deflasi. Kadang-kadang yang munculd l h j l h T b (S) l bih b d i j l hadalah jumlah Tabungan (S) lebih besar dari jumlah

Investasi (I) atau dengan kata lain, tidak semuatabungan digunakan untuk investasi (S > I) maka akan terjadi kelesuan ekonomi, penurunan harga (deflasi), dan pengangguran. Yang sering terjadi justru jumlahTabungan lebih rendah dari jumlah Investasi (S < I). Kondisi ini menyebabkan kegairahan ekonomi dan kenaikan harga (inflasi).

Dampak Pajak Terhadap Komposisi ProduksiPajak dapat digunakan sebagai pendorong kepada pelakuekonomi untuk melakukan aktivitas tertentu dengan memberikan insentif-insentif. Berkaitan dengandimungkinkannya penerapan insentif pajak pada suatudaerah tertentu, menimbulkan adanya beberapa alternatifpilihan yang dapat diambil oleh para pelaku ekonomi.Dengan kata lain, pajak dapat menyebabkan pergeseranpenggunaan faktor-faktor produksi. Pergeseran yang dimaksud adalah dengan mengubah pola produksi sehinggadimaksud adalah dengan mengubah pola produksi sehinggamenghasilkan barang-barang yang lebih rendah biayaproduksinya akibat tarif pajak yang lebih kecil atau beralih produksi. Sebagai contoh, perusahaan dapat saja mengurangi produksi barang-barang yang merupakan objekpajak dan meningkatkan produksi barang-barang lain yang masih belum merupakan kategori barang kena pajak. Perusahaan lain dapat saja berpindah lokasi industri darisuatu tempat yang mengenakan pajak yang tinggi ke tempatyang memberikan insentif pajak.

Seberapa jauh pengaruh pajak terhadappenggunaan faktor-faktor produksi dipengaruhielastisitas permintaan terhadap barang-barang yang dihasilkan. Barang-barang yang tingkat permintaannya in-elastis sempurna tidak akan terpengaruh dengan adanya pengenaan pajak. Konsumen akan membayar seluruh beban pajakKonsumen akan membayar seluruh beban pajakyang ditambahkan pada harga barang. Sebaliknya, jika elastisitas permintaan barang adalahsempurna, perusahaan tidak dapat mengalihkanbeban pajaknya pada harga barang. Sehingga disarankan untuk barang-barang yang memilikielastisitas tinggi, dikenakan pajak yang ringan.

Dampak PajakTerhadap Usaha KerjaSebagian besar penerimaan negara dari pajak di Indonesia adalah pajak penghasilan yang dikenakan atas pendapatan para pegawai. Secarateoritis, pegawai-pegawai tersebut mempunyai dua pilihan yaitubekerja atau tidak bekerja (memanfaatkan waktu santai) akibat adanyapengenaan pajak penghasilan. Secara mudah dikatakan, pajakmempunyai pengaruh negatif terhadap kemauan usaha kerja. Pajak dapat menyebabkan orang menjadi kurang giat bekerja. Orang lebihmemilih untuk mempunyai lebih banyak waktu santai. Padakenyataannya, pengaruh pajak terhadap kemauan kerja individumemiliki sifat yang lebih kompleks. Bagi sebagian orang, pajak tidakmenimbulkan disinsentif untuk bekerja. Juga tidak setiap kenaikanj J g ppajak akan memberi dampak negatif pada Tabungan masyarakatataupun Investasi.Reaksi individu terhadap pengenaan pajak lebih banyak ditentukanoleh elastisitas penawaran usaha. Bagi golongan masyarakat yang berpenghasilan rendah, biasanya permintaannya terhadap penghasilanadalah tinggi. Sehingga elastisitas penawaran usahanya adalah tinggidimana dengan turunnya pendapatan, justru akan mendorong kemauan kerja yang lebih besar. Sedangkan bagi mereka yang kurangpeduli dengan gaya hidup mewah, permintaannya terhadap penghasilanrendah sehingga elastisitas penawaran usaha dalam hubungannyadengan penghasilan adalah rendah juga.

HERU
Placed Image
Page 14: DIKTAT KEBIJAKAN FISKAL - repository.unas.ac.id

8/4/2020

2

Dampak PajakTerhadap Distribusi PendapatanTujuan pembangunan suatu negara pada umumnya adalah peningkatanpendapatan per kapita nasional, penciptaan lapangan kerja, dan distribusipendapatan yang merata dan keseimbangan dalam neraca pembayaraninternasional. Secara teori, semakin tinggi pendapatan seseorang, semakintinggi pula persentase pendapatan yang ditabung. Dari kelompokkelompok kaya inilah diharapkan sejumlah dana tabungan yang dapatdigunakan untuk investasi. Dengan kata lain, masyarakat kelompok miskin tidak punya kemampuan tabungan dan investasi. Menurut pengertian ini, pendapatan nasional yang dikenai pajak akan banyak mempengaruhiturunnya jumlah tabungan masyarakat bukan pada porsi pendapatan yang dikonsumsi yang diasumsikan tetap. Tetapi pada kenyataannya, keadaan di negara negara berkembang termasuk Indonesia pola konsumsi masyarakatnegara-negara berkembang termasuk Indonesia, pola konsumsi masyarakatcenderung lebih tinggi dari pola konsumsi masyarakat di negara-negara maju. Sehingga sulit didapatkan dana tabungan masyarakat. Penarikan dana masyarakat secara sukarela dengan iming-iming bunga yang tinggi padaakhirnya juga ikut berpengaruh pada tingkat inflasi nasional.Berdasarkan kenyataan tersebut, kebijakan perpajakan di Indonesia lebihbanyak diterapkan untuk mengurangi kesenjangan pendapatan dimasyarakat. Hal ini dilakukan dengan menerapkan tarif pajak progresif dan minimum pendapatan yang dapat dikenakan pajak. Kelemahan dari tarifpajak progresif adalah menekan pada kelompok-kelompok kaya pemilikmodal sehingga mereka malas bekerja, menabung, dan melakukan investasi.

KriteriaTarif PajakPertumbuhan ekonomi hanya akan terjadi apabila lebihbanyak masyarakat yang bekerja, menabung sebagianpendapatannya serta menginvestasikan nilai tabungannya. Hal-hal tersebut menurut Daniel J Mitchell (2003) adalah perilaku-perilaku yang dapat meningkatkan kekayaan nasional. Masyarakat tidak begitu saja bekerjasecara produktif dengan diterapkannya anggaranp g p y ggpendapatan dan belanja berimbang. Mereka juga tidak begitu saja meningkatkan tabungan dan investasiapabila dikenakan tarif pajak rendah atau subsidiperpajakan lainnya. Untuk meningkatkan pendapatannasional sesuai dengan karakteristik masyarakatdisuatu negara, para pengambil keputusan bidang pajakharus mengkonsentrasikan pada hal-hal yang berakibatpositif terhadap prilaku bekerja, menabung danberinvestasi.

Mitchell (2003) memaparkan sembilan petunjuk kebijakan perpajakanyang berorientasi pada pertumbuhan ekonomi :

1. Penurunan tarif pajak tidak perlu diterapkan seragam untuk seluruh wajibpajak. Beberapa opsi tarif pajak yang dipungut dapat mendorong pertumbuhan ekonomi. Karena tarif pajak yang rendah dapat membuatmasyarakat yangproduktif semakin giat bekerja. Sedangkan sebagianmasyarakat lainnya cenderung kurang peduli dengan pungutan pajak. Sehingga penurunan tarif pajak tidak berpengaruh terhadap pertumbuhanekonomi nasional.

2. Fokus pada pertumbuhan ekonomi, bukan pada penurunan tarif. Beberapak bij k i tif j k t b idi d t b kib t h ikebijakan insentif pajak atau subsidi dapat berakibat hanya mengurangijumlah penerimaan negara tanpa menghasilkan peningkatan kegiatanekonomi secara signifikan. Beberapa negara telah membuktikan bahwaderegulasi perpajakan yang kecil pengaruhnya terhadap turunnya penerimaan negara justru dapat meningkatkan gairah investasi dunia usaha.

3. Kebijakan yang baik menghasilkan penerimaan negara lebih banyak. Jikakeadaan prilaku masyarakat wajib pajak adalah produktif, penurunan tarifpajak justru meningkatkan jumlah penerimaan negara. Agar pelaksanaan kegiatan pemerintah tidak terganggu, harus diperhitungkan cara-cara yang dapat mengkompensasikan turunnya penerimaan negara akibat pengenaantarif yang lebih rendah.

4. Jumlah potensi tambahan konsumsi masyarakat akibat adanyapenurunan tarif pajak kurang signifikan terhadap peningkatan kegiatan ekonomi dibandingkan dengan turunnya jumlah total penerimaan negara. Untuk itu perlu diupayakan suatu kebijakanpelengkap yang dapat mengoffset selisih penurunan penerimaan negara tersebut. Pada akhirnya penurunan tarif pajak tidakmerubah total pengeluaran, pendapatan nasional, dan pertumbuhanekonomi.

5. Pertumbuhan ekonomi tidak diakibatkan oleh peningkatan konsumsi. Justru sebaliknya, pertumbuhan ekonomi sebagai faktoryang mendorong jumlah total konsumsi akibat meningkatnyaj l h d b li k U k i b ik k bij k blik jumlah daya beli masyarakat. Untuk itu, sebaiknya kebijakan publik tidak mengedepankan motif yang berupaya meningkatkanpertumbuhan ekonomi dengan jalan mendorong konsumsi.

6. Kebijakan pajak yang bardampak positif pada jangka pendekbiasanya berdampak positif pula pada jangka panjang. Sebagaicontoh, insentif pajak investasi dalam jangka pendek akan menarikminat pemodal masuk ke dalam negeri. Secara jangka panjang, faktor produksi tersebut akan juga mendorong pertumbuhan ekonomi agregat menjadi lebih baik.

7. Efisiensi belanja negara penting dilakukan. Meskipun beberapa pos-pos belanja negara membantu meningkatkan pertumbuhan ekonomi seperti penyediaan keamanan dan penegakkan hukum, studi membuktikan bahwabanyak pengeluaran publik yang justru berefek negatif terhadappertumbuhan ekonomi. Efisiensi belanja negara dapat dilakukan denganmerampingkan struktur pemerintahan.

8. Pertumbuhan ekonomi dipengaruhi oleh investasi yang produktif. Dana investasi terutama diambil dari tabungan masyarakat. Invesatsi dantabungan, keduanya dipengaruhi oleh tingkat suku bunga. Sedangkan tarif pajak adalah salah satu faktor yang mempengaruhi suku bunga. Untuk ituperlu dikembangkan kebijakan pajak yang mendorong iklim investasi danmenabung.

9. Defisit belanja negara dapat berpengaruh pada turunnya tingkat sukubunga. Tetapi pengaruhnya kurang signifikan dibanding pengaruh faktor-faktor lain seperti pasar modal. Riset akademis yang dihasilkanmenunjukkan bahwa tidak ada korelasi positif antara anggaran surplus, berimbang, atau defisit dengan tingkat suku bunga.

Inti dari sembilan petunjuk diatas adalah segala upaya kebijakan pajakseharusnya difokuskan pada pertumbuhan ekonomi nasional denganmemberikan insentif pada aktivitas-aktivitas produktif nasional. Walaupundibeberapa negara penurunan tarif pajak justru dapat meningkatkan penerimaan negara dan pertumbuhan ekonomi, penurunan tarif bukanlah satu-satunya cara yang dapat diambil pemerintah.

Kriteria Struktur Pajak yang BaikKebijakan perpajakan akan memberi dampak yang signifikan jikadisusun secara komprehensif, dengan mempertimbangkan seluruhdampak yang dapat ditimbulkan pada level ekonomi makro. Sepertidikutip dari Musgrave, kriteria yang bisa menentukan baik tidaknyasebuah kebijakan perpajakan dapat dilihat sebagai berikut:1. Penerimaan/pendapatan harus ditentukan dengan tepat2. Distribusi beban pajak harus adil. Setiap orang harus dikenakanpajak sesuai dengan kemampuannya.3. Penanggung akhir beban pajak harus menjadi pokok perhatian.4. Peraturan perpajakan harus mendukung kebijakan perekonomiandan mendorong pasar yang efisien.5. Struktur pajak harus memudahkan penggunaan kebijakan fiskaluntuk mencapai stabilisasi dan pertumbuhan ekonomi.6. Sistem pajak harus menerapkan administrasi yang wajar danmudah dipahami oleh wajib pajak.7. Biaya administrasi dan biaya-biaya pembayaran pajak lainnyaharus dibuat serendah mungkin.

HERU
Placed Image
Page 15: DIKTAT KEBIJAKAN FISKAL - repository.unas.ac.id

8/4/2020

3

Penerimaan pajak harus dirumuskan secara tepat, sehingga bisamerefleksikan kemampuan membayar dari seluruh wajib pajak yang adasehingga tidak terlalu besar atau terlalu kecil. Jika jumlah yang ditetapkanterlalu besar, dikhawatirkan investor tidak akan mau menanamkanmodalnya di dalam negeri. Hal ini mengakibatkan multiplier efek yang diharapkan bisa mendorong pertumbuhan ekonomi menjadi tidaktercapai. Pada akhirnya, jumlah target penerimaan pajak tidak akan pernahtercapai. Sebaliknya jika terlalu kecil, dikhawatirkan jumlahnya tidak dapat membiayai kegiatan-kegiatan pemerintah yang bermanfaat untukmenciptakan value yang dapat merangsang perputaran gerak rodaeknomi.

Keadilan perpajakan pada intinya adalah, beban pajak harus terdistribusisedemikian rupa sehingga target pencapaian penerimaan pajak bisasedemikian rupa sehingga target pencapaian penerimaan pajak bisadiimbangi dengan mengurangi kesenjangan pendapatan golonganmasyarakat yang kaya dengan golongan masyarakat miskin. Kecilnya kesenjangan bisa mendorong stabilisasi yang kondusif bagi perbaikanekonomi nasional.

Adanya kemungkinan peralihan beban pajak kepada penanggung akhir, perlu dilakukan pengkajian mendalam dengan melakukan simulasi yang menyeluruh untuk dapat memperoleh gambaran dampak pembebananpenanggung akhir terhadap stabilisasi ekonomi. Perlu dibuat aturan-aturanteknis yang simple dan dapat menghindarkan terjadinya salah sasaran. Jikapajak diterapkan atas produk-produk tertentu, perlu dikaji seriusmengenai elastisitas permintaan dan penawarannya dalam ekonomi pasar.

Ekonomi yang terus tumbuh dan pasar yang efisien harus terus dijaga agar kemakmuran masyarakat tidak rusak akibat adanya penerapan kebijakan perpajakan. Kemungkinan pergeseran titik equilibrium kurva permintaandan penawaran harus terus diantisipasi dan terus diawasi denganmemasukkan unsur-unsur spesifik para pelaku ekonomi setempat.

Kebijakan perpajakan harus tetap mengindahkan konsep kestabilan ekonomi. Harus dapat ditentukan pada awal permusan kebijakan bahwaimplementasinya pada akhirnya akan meminimalkan gejolak ekonomi, misalnya dengan adanya kegiatan sosialisasi yang memadai. Ekonomi yang sering bergejolak biasanya tidak menguntungkan iklim investasi. Dengankata lain, investor-investor terutama para pemodal asing sangatmengharapkan adanya kepastian iklim berusaha.

Segala kebijakan harus mengacu pada kesederhanaan. Rumusan-rumusan yang dipakai harus menghindari kesalah pahaman massal yang menyebabkan kekacauan pada proses administrasi. Simulasi terhadapbakal munculnya kekeliruan yang tidak diharapkan harus disiapkan secaramatang. Simulasi tersebut bisa menggunakan beberapa skenario yang berbeda dan mengamati hasilnya.

Segala biaya yang tidak berkaitan langsung dengan beban pajaksesungguhnya harus diminimalkan. Hal ini untuk memberikan kepastianberusaha bagi para pemilik modal dalam rangka menghitung proyeksikeuntungan investasi. Dengan demikian risiko biaya tinggi yang tidakterduga akibat penyelewengan peraturan oleh oknum pelaku ekonomibisa dieliminasi.

HERU
Placed Image
Page 16: DIKTAT KEBIJAKAN FISKAL - repository.unas.ac.id

8/4/2020

1

KEBIJAKAN FISKALKEBIJAKAN FISKAL((PertemuanPertemuan keke--7)7)

Oleh:Heru Dian Setiawan

STRUKTUR BELANJA PUBLIKSTRUKTUR BELANJA PUBLIK

Pertumbuhan belanja publik sangat erat kaitannya dengan tuntutan kemajuan masyarakat dan dikehendakinya pertimbangan sosial yang diperankan oleh pemerintah dalam menjalankan kebijakannya. Dari studi empiris telah dibuktikan bahwa belanja publik menunjukkan angka yang cenderung mengalami kenaikan dari tahun ke tahun. Belanja publik juga cenderung mengalami kenaikan porsinya, apabila dibandingkan dengan total pendapatan nasional Kajian kajian dibandingkan dengan total pendapatan nasional. Kajian-kajian struktur belanja publik perlu mempertimbangkan kondisi objektif ini. Dalam memahami faktor penyebab pertumbuhan belanja publik, perlu dibedakan faktor antara belanja barang dan jasa, dan belanja transfer. Kedua faktor ini mempunyai karakteristik yang berbeda satu sama lain.

A. Faktor Belanja Barang dan JasaFaktor-faktor yang mempengaruhi belanja barang dan jasa diantaranyasebagai berikut:

◦ Pertumbuhan Pendapatan per KapitaProporsi antara barang pribadi dan barang publik selalu berubahsesuai dengan kenaikan pendapatan per kapita, dan porsi barangpublik selalu menunjukkan peningkatan. Implikasinya adalah bahwakebijakan anggaran yang efisien menghendaki adanya peningkatan rasio pembelian pemerintah terhadap pendapatan nasionalrasio pembelian pemerintah terhadap pendapatan nasional.

Biasanya, peningkatan per kapita seiring dengan perkembanganperekonomian yang berubah dari negara agraris (yang diasumsikanberpendapatan rendah) menjadi negara industri (yang diasumsikanberpendapatan tinggi). Permintaan barang publik akan semakinmeningkat dengan meningkatnya pendapatan per kapita. Ernest Engel seperti dikutip oleh Musgrave mengatakan bahwa semakin tinggi pendapatan maka semakin tinggi pengeluaran untuk barang-barang tertentu. Selama pendapatan rata-rata meningkat, maka polakonsumsi bagi perekonomian diharapkan akan meningkat pula.

Untuk barang publik, kecenderungan seperti diatas mempunyai dua kemungkinan. Barang publik yang merupakan kebutuhan dasar (bukan kemewahan)–seperti keamanan, pendidikan dasar dan sanitasi–mengalami kecenderungan menurun. Sedangkan kebutuhan lainnya, seperti pendidikan tinggi dan pelayanan kesehatan, akan mengalami kecenderungan yang semakin meningkat, bila pendapatan meningkat. Ditambah, barang-barang pelayanan umum yang merupakan barang mewah, seperti penyelidikan angkasa luar dan pangkalan perahu, terdapat kecenderungan yang meningkat.

Pengamatan bisa dilakukan juga pada belanja publik dalam penyediaan g j g p j p p ybarang modal. Pada tahap awal, pembangunan ekonomi menimbulkan kebutuhan khusus terhadap barang modal, seperti jalan, pelabuhan dan instalasi listrik. Barang modal tersebut mempunyai manfaat yang bersifat eksternal, dimana belanja modal diperlukan dalam jumlah yang besar yang memerlukan pengembalian jangka panjang, sehingga tidak mudah dilakukan oleh pihak swasta. Kebutuhan akan barang modal ini harus lebih besar pada awal pembangunan ekonomi, dan peran pemerintah akan semakin menurun dalam pengadaan barang modal, apabila sektor swasta telah terbuka kesempatannya menanamkan modal dalam pengembangan industri.

Pola pertumbuhan belanja publik untuk penyediaan barang modal kelihatannya terbalik, tetapi pengembangan industri akan menimbulkan akibat sampingan, seperti polusi dan kemacetan kota, yang pada gilirannya akan menyebabkan peningkatan investasi pemerintah. Akhirnya, investasi dalam sumber daya manusia dan biaya pendidikan akan mengalami peningkatan selama pendapatan meningkat seiring dengan laju pembangunan. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa tidak dapat diestimasikan secara tepat bahwa tidak dapat diestimasikan secara tepat kecenderungan yang akan terjadi pada belanja publik untuk barang konsumsi dan barang modal yang diakibatkan pertumbuhan pendapatan per kapita. Kadang kecenderungannya meningkat, dan kadang menurun.

◦ Perubahan TeknologiPerubahan teknologi mempunyai pengaruh penting dalam pertumbuhan porsi belanja publik. Jika teknologi berubah, maka proses produksi juga berubah. Perubahan teknologi dapat meningkatkan atau menurunkan kepentingan penyediaan barang publik yang mempunyai manfaat eskternal besar sehingga harus disediakan oleh pemerintah. Sebagai contoh, penemuan mesin pembakaran mengakibatkan berkembangnya industri mobil. Dengan meningkatnya industri mobil, permintaan jalan raya bergerak sangat cepat, sehingga belanja sektor publik meningkat dibandingkan masa kereta kuda dan mesin uap yang digunakan untuk kereta api. Contoh lain adalah perubahan teknologi persenjataan yang mengakibatkan meningkatnya pengeluaran militer. Perubahan teknologi juga mempercepat barang menjadi usang, sehingga biaya penggantian akan meningkat. Perubahan teknologi di masa datang yang menyebabkan membengkaknya anggaran pemerintah adalah bidang teknologi angkasa luar merupakan faktor penting dalam porsi pengeluaran negara, kecuali terbukti teknologi angkasa luar menjadi barang pribadi.

HERU
Placed Image
Page 17: DIKTAT KEBIJAKAN FISKAL - repository.unas.ac.id

8/4/2020

2

◦ Perubahan PopulasiPerubahan populasi terutama akan meningkatkan belanja pendidikan dan kesehatan, karena terjadi perubahan komposisi umur. Kebutuhan pendidikan juga akan mendorong peningkatan permintaan perumahan, dan penyediaan jaminan hari tua. Peningkatan populasi yang disertai dengan mobilitas populasi juga mendorong pertumbuhan kota baru yang tentunya menyebabkan kebutuhan peningkatan pelayanan umum, yang pada akhirnya menyebabkan pertumbuhan anggaran.

◦ Biaya Relatif◦ Biaya RelatifSelain perubahan-perubahan kuantitas seperti diuraikan diatas, tak kalah pentingnya adanya pengaruh perubahan biaya jasa publik terhadap pengeluaran publik. Hal ini terutama disebabkan oleh adanya inflasi harga faktor produksi yang dibeli pemerintah lebih cepat dibanding dengan rasio deflasi dalam pendapatan nasional. Menurut Musgrave, perbedaan respon terhadap inflasi bukanlah merupakan faktor utama. Dalam jangka panjang, sifat penyediaan barang dan jasa publik yang dapat mengubah komponen pendapatan nasional menjadi kurang apabila dibandingkan dengan perubahan teknologi.

Meskipun biaya jasa publik menjadi lebih mahal, bukan berarti porsi belanja publik dalam pendapatan nasional harus meningkat. Sebuah barang publik dapat disubstitusi dengan barang pribadi, karena sifatnya yang elastis, kecuali bila permintaan barang publik bersifat inelastis, maka bisa diestimasikan bahwa porsi belanja publik akan meningkat.

◦ UrbanisasiP b i i d t i b lk l h b i Proses urbanisasi dapat menimbulkan permasalahan bagi pemerintah. Sebagai contoh, kemacetan di perkotaan mengakibatkan meningkatnya kebutuhan akan infrastruktur dan pelayanan umum. Hal ini mendorong meningkatnya kebutuhan barang-barang yang perlu disediakan oleh pemerintah.

B. Faktor Pengeluaran dari Transfer Porsi PendapatanSejak tahun 1930-an, porsi belanja keperluan sosial dalam pendapatan nasional meningkat seiring dengan peningkatan pertumbuhan transfer. Contohnya adalah peningkatan asuransi hari tua. Program ini lebih merupakan alat untuk menyediakan jaminan hari tua dengan dasar pembiayaan swadaya. Sistem ini ditujukan untuk menyeimbangkan besarnya distribusi pendapatan melalui transfer dari anggaran pengeluaran ke program pembelian pemerintah yang ditujukan bagi penyediaan barang dan jasa untuk p y g j g p y g jkelompok berpenghasilan rendah.

Tindakan pendistribusian kembali pendapatan tersebut dapat dipengaruhi dari dua arah. Pertama, jika terdapat ketimpangan pendapatan oleh karena peningkatan pendapatan per kapita, penyesuaian atau perbaikan atas ketimpangan tersebut yang perlu dilakukan. Sehingga, perubahan hanya terjadi pada tingkat yang tidak signifikan atau distribusi pendapatan tetap stabil, dan hanya sedikit mengarah pada pemerataan.

Kedua, jika tujuan pendistribusian kembali pendapatan adalah untuk menyesuaikan pendapatan keluarga, peningkatan pendapatan rata-rata tidak mengubah kebutuhan untuk mendistribusikan kembali pendapatan. Kecuali, jika tujuannya untuk mencapai tingkat minimum pendapatan, kebutuhan untuk pendistibusikan kembali pendapatan akan menurun jika pendapatan rata-rata meningkat. Tingkat pendapatan minimum ditentukan dalam pengertian rata-rata, sehingga ruang lingkup pendistribusian kembali–yaitu transfer pendapatan sebagai suatu prosentase dari pendapatan nasional–akan tetap konstan Adanya perubahan ruang lingkup redistribusi pendapatan konstan. Adanya perubahan ruang lingkup redistribusi pendapatan dapat timbul akibat faktor-faktor demografi. Apabila terjadi penurunan pertumbuhan populasi dalam bentuk meningkatnya penduduk yang lanjut usia, diperlukan peningkatan penyediaan kebutuhan penduduk berusia lanjut. Namun demikian, perubahan tersebut diikuti dengan pergeseran rasio penduduk pensiun ke usia kerja, sehingga memerlukan peningkatan dalam rasio pengeluaran publik untuk penduduk usia lanjut terhadap pendapatan nasional. Penjelasan ini perlu dihubungkan dengan perubahan sosial dan politik, apakah ada tekanan politis untuk mendistribusikan pendapatan kembali atau tidak.

Efisiensi dan Keadilan dalam Belanja PublikPrinsip pareto optimum mengatakan bahwa proyek dikatakan efisien jika memberi manfaat paling tidak kepada satu orang dan tidak merugikan orang lain. Secara teoritis, tingkat efisien semacam itu dapat dicapai. Akan tetapi dalam kenyataannya, proyek semacam itu sangat sulit dicapai, sehingga diusulkan agar konsep efisiensi diperlunak. Misalkan suatu jalan akan dibangun dengan biaya $150,000 yang akan dibebankan dari general fund, sehingga A, B, dan C harus membiayai masingmasing senilai $50,000. Manfaat y g g $ ,yang akan diperoleh A dan B masing-masing $70,000 dan C adalah $40,000, sehingga manfaat agregat adalah $180,000. Karena nilai manfaat lebih besar dari biayanya, maka dikatakan bahwa proyek tersebut layak dibangun, meski pun C mengalami kerugian. Pada kasus ini, prinsip Pareto Optimum dilanggar. Namun demikian, dengan memperlunak konsep, efisiensi proyek tetap ada apabila orang-orang yang diuntungkan (A dan B) dapat menutupi kerugian pihak lain ( C) dan dipandang masih lebih baik dibandingkan dengan tidak ada proyek.

….. Efisiensi dan Keadilan dalam Belanja PublikBerdasarkan kriteria ini, jumlah agregat manfaat bersih senilai $30,000 dapat disahkan dan proyek dikatakan efisien. Tetapi dalam kenyataan, pihak C tidak menerima manfaat dan kerugiannya belum tentu akan diganti. Perlu diadakan persyaratan tambahan agar proyek tetap dikatakan efisien yaitu bahwa penggantian kerugian harus benar-benar dilaksanakan, dalam bentuk transfer dari A dan B kepada C. Efisiensi proyek tergantung pada bagaimana mendefinisikan efisiensi tersebut. Cara yang lebih tepat g y g padalah dengan mendistribusikan beban pajak sedemikian rupa sehingga tidak seorang pun mengalami kerugian bersih dan kondisi ini menghasilkan proyek yang efisien menurut prinsip Pareto optimum. Problem utamanya adalah bahwa preferensi seseorang tidak mudah untuk diungkapkan dan mungkin saja proyek tersebut tidak efisien.

HERU
Placed Image
Page 18: DIKTAT KEBIJAKAN FISKAL - repository.unas.ac.id

8/4/2020

3

Aspek KeadilanDalam meninjau aspek keadilan dalam belanja publik, pertimbangan mengenai distribusi dan fungsi obyektif dapat dipertimbangkan dalam menentukan kebijakan proyek. Pertimbangan distribusi dimulai dengan penentuan apakah apakah bobot distribusi dapat digunakan dalam menilai besarnya manfaat dan biaya. Yang pertama, dimisalkan ada dua buah proyek yang dipertimbangkan, dimana kedua proyek mempunyai biaya dan tingkat penggunaan yang sama, sementara dana terbatas untuk g p gg y g ,satu proyek, sehingga salah satu harus dikorbankan. Proyek I, dimisalkan, berupa penyediaan taman bermain di lingkungan masyarakat berpenghasilan tinggi dan Proyek II, dimisalkan, berupa penyediaan taman serupa untuk untuk kelompok masyarakat berpenghasilan rendah. Permasalahan timbul dalam menyusun peringkat manfaat kedua proyek tersebut.

Apabila nilai nominal proyek yang dijadikan dasar pertimbangan, masyarakat berpenghasilan tinggi akan menerapkan nilai yang lebih tinggi dibanding masyarakat berpenghasilan rendah, karena mereka mampu membayar lebih tinggi dan proyek I dianggap lebih layak. Tetapi, pertimbangan sosial dapat menyimpulkan sebaliknya. Setiap rupiah yang dibelanjakan oleh masyarakat miskin dapat dinilai lebih tinggi, sehingga proyek II akan dipandang lebih layak. Jika kondisi yang berlaku adalah distribusi optimal, penilaian proyek yang didasarkan pada permintaan konsumen juga akan optimal dipandang dari segi sosial. Akan tetapi, jika distribusi yang berlaku tidak optimal, evaluasi sosial yang tercermin dari kesejahteraan sosial akan menyimpang dari evaluasi swasta dan proyek II akan dipandang lebih layak. Hal ini menunjukkan kecocokan dengan konsep efisiensi yang lebih luas.

Kondisi yang sama juga muncul jika ada dua proyek yang menghasilkan jasa yang sama, tetapi dengan biaya yang berbeda. Dimisalkan akan dibangun sebuah kapal laut. Alternatif I akan memilih lokasi konstruksi di daerah yang upahnya tinggi, sementara alternatif II memilih lokasi yang tingkat upahnya rendah. Misalkan juga biaya modal, bahan baku dan transportasi di lokasi I lebih rendah, sehingga total biaya di lokasi I akan lebih rendah. Tanpa mempertimbangkan aspek distribusi, lokasi I dianggap lebih layak, karena nilai manfaat bersih lebih tinggi. Tetapi, bila bobot distribusi pendapatan diperhitungkan, proyek II akan lebih diutamakan, karena memberikan manfaat kepada mereka yang berpenghasilan rendah.

Dapat disimpulkan bahwa, jika distribusi pendapatan tidak optimal, penggunaan bobot distribusi dalam perhitungan biayamanfaat dapat digunakan sebagai alat pengoreksi aspek distribusi. Fungsi obyektif dapat digunakan sebagai alat untuk menghitung pembobotan dalam rangka memaksimalkan kesejahteraan sosial. Bobot ditentukan dari kejadian yang ditunjukkan oleh perilaku di masa lalu. Atau bobot dapat diperoleh dari analisis pajak penghasilan, berdasarkan asumsi bahwa dalam menerapkan tarip pajak, pemerintah bermaksud mendistribusikan beban pajak sedemikian rupa sehingga sesuai dengan prinsip pengorbanan yang sama.

Risiko Perubahan PerekonomianPerencanaan proyek berlangsung dalam ketidakpastian dan risiko ketidakpastian manfaat di masa akan datang akan mengurangi nilai sekarang dan harus diperhitungkan dalam perencanaan pengeluaran investasi pemerintah. Hasil yang berisiko dapat diestimasikan dengan cara pembobotan berbagai hasil berdasarkan angka probabilitasnya, dimana jumlah probabilitas adalah sama dengan satu. Penjumlahan hasil tertimbang ini kemudian akan digunakan dalam analisis nilai manfaat yang diharapkan.

Risiko perubahan perekonomian mempunyai implikasi perlunya pendiskontoan atas manfaat maupun biaya, karena adanya dimensi waktu. Evaluasi proyek jangka panjang perlu mempertimbangkan dinamika perkembangan perekonomian yang berkaitan dengan harga relatif dan pengaruh distorsi harga. Akibatnya, analisis manfaat biaya harus dibuat dalam berbagai alternatif saat dimulainya proyek. Pengaruh penundaan satu tahun akan menyebabkan perubahan nilai sekarang atas perhitungan neto manfaat dan biaya.

Klasifikasi Belanja PublikKlasifikasi belanja publik dapat dikategorikan berdasar berbagai macamkriteria. Salah satu kriteria yang sering digunakan untuk mengklasifikasikanbelanja pemerintah adalah seperti diuraikan dalam Government Finance Statistics Manual.

Klasifikasi belanja menurut fungsi pemerintah adalah sebagai berikut:1. Belanja jasa publik umum

Belanja-belanja yang termasuk dalam kategori ini antara lain adalah belanja operasi untuk organisasi eksekutif dan legislatif, belanja untuk jasa-jasa umum, belanja riset dasar, belanja transaksi hutang, dan belanja administrasi transfer antar unit pemerintah.

2. Belanja Pertahanan

Belanja-belanja dalam kategori ini antara lain adalah belanja pertahanan militer dan sipil, bantuan militer untuk asing, riset pertahanan dan sebagainya.

3. Belanja perlindungan umum

Belanja dalam kategori ini dibedakan dengan belanja pertahanan, dan dianataracontohnya adalah belanja jasa kepolisian, jasa pemadam kebakaran, jasapengadilan, jasa rumah tahanan dan penjara, dan juga riset untuk perlindunganpublik.

4. Belanja urusan ekonomi

Belanja yang termasuk dalam kategori ini diantaranya belanja urusan ketenagakerjaan, belanja komersial dan ekonomi, belanja kehutanan dan pertanian, belanja energi dan bahan bakar, pertambangan, transportasi, komunikasi dan belanja untuk perindustrian lainnya, termasuk risetnya.

5. Belanja perlindungan lingkungan

Belanja yang termasuk disini diantaranya adalah belanja pengelolaan limbah dan polusi, proteksi keragaman hewani maupun tata kota.p , p g p

6. Belanja perumahan dan public utilities

Belanja dalam kategori ini diantaranya adalah pengembangan perumahan dan pemukiman, sistem penyediaan air bersih, belanja penerangan jalan, dan pekerjaan-pekerjaan umum lainnya.

7. Belanja kesehatan

Belanja kesehatan meliputi perlengkapan dan peralatan kesehatan, jasa kepada pasien, jasa rumah sakit umum, dan risetnya.

HERU
Placed Image
Page 19: DIKTAT KEBIJAKAN FISKAL - repository.unas.ac.id

8/4/2020

4

8. Belanja rekreasi, budaya dan agama

Diantara belanja yang termasuk dalam kategori ini adalah belanja jasa olahraga dan rekreasi, belanja jasa kebudayaan, jasa penyiaran, jasa urusan keagamaan dan komunitas, dan lain-lain.

9. Belanja Pendidikan.

Pendidikan mencakup belanja pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan pendidikan tinggi, termasuk belanja pendukung pendidikan lainnya.

10 B l j li d i l10. Belanja perlindungan sosial.

Belanja-belanja yang termasuk dalam kategori ini diantaranya belanja perlindungan terhadap manusia lanjut usia (manula), belanja perlindungan anak dan keluarga, belanja untuk mengatasi pengangguran, dan belanja sosial lainnya.

HERU
Placed Image
Page 20: DIKTAT KEBIJAKAN FISKAL - repository.unas.ac.id

8/4/2020

1

KEBIJAKAN FISKALKEBIJAKAN FISKAL((PertemuanPertemuan keke--9)9)

Oleh:Heru Dian Setiawan

KEBIJAKAN BELANJA PUBLIK SEKTORKEBIJAKAN BELANJA PUBLIK SEKTOR--SEKTOR UMUMSEKTOR UMUM

A. Perlunya Analisis Sektor

Banyak pendapat tentang pengelompokan pengeluaran publik kepada sektor, akan tetapi sektor-sektor yang dibahas disini didasarkan pada klasifikasi Bank Dunia, dengan melihat pengalaman-pengalaman empiris di berbagai negara.

Tujuan analisis sektor menyangkut beberapa tujuan yaitu:

1. Membantu pertimbangan strategis dan kebijakan untuk seluruh perekonomian.

2. Memungkinkan penilaian strategis dan kebijakan pem bangunan sektor yang mendorong kontribusi sektor terhadap pembangunan ekonomi negara.

3. Menentukan prioritas investasi dalam rangka identifikasi proyek-proyek khusus lain dan studi pra investasi tambahan yang diperlukan.

4. Mengevaluasi kapasitas lembaga-lembaga tiap sektor dalam melaksanakan kebijakan-kebijakan publik.

Analisis sektor diperlukan untuk menjawab pertanyaan tentang pilihan, prioritas, dan hubungan antar sektor diantara proyek dan program yang dilaksanakan pemerintah. Perencanaan yang berhasil memerlukan penerjemahan tujuan dan kebijakan sektor kedalam kebutuhan sektor dan subsektor secara individual dan juga kedalam rincian yang lebih detail pada proyek-proyek tertentu. Dengan demikian, tujuan analisis sektor adalah untuk menjembatani kesenjangan antara kebijakan ekonomi makro tingkat nasional, program-program investasi dan kebijakan ekonomi mikro dari proyek individu.

B. Pertahanan Nasional

Di Amerika Serikat, selama tahun 80-an, belanja pertahanan nasional merupakan kontributor utama terhadap pertumbuhan anggaran, meskipun akhirnya dilampaui oleh pertumbuhan program sosial. Dalam dekade tersebut, belanja pertahanan menjadi faktor utama anggaran pemerintah dalam pembelian barang dan jasa dari swasta. Belanja pertahanan dibagi menjadi belanja personil, operasi dan pemeliharaan, pembelian barang dan jasa, penelitian dan pengembangan.

Masalah Utama Dalam Belanja Pertahanan

Masyarakat tidak dapat menyediakan sendiri keamanan bagi dirinya dan proteksi yang diberikan haruslah secara kolektif, sehingga contoh penyediaan jasa pertahanan menjadi contoh klasik yang dapat dibahas. Belanja pertahanan selain menghadapi masalah yang kompleks dalam perencanaan, juga melibatkan masalah-masalah kebijakan luar negeri, seperti kesediaan untuk menerima risiko konflik militer. Suatu kebijakan pertahanan dapat dipandang sebagai kebijakan subyektif. Alasannya, seseorang dapat saja memandang kebijakan tersebut defensif, tapi orang lain dapat berpandangan bahwa kebijakan tersebut ofensif. Keputusan

li ik i d l k l politik memegang peranan angat penting dalam menentukan pola kebijakan pertahanan ini, meski pun menjadi kebijakan yang sulit diperkirakan.

Masalah lainnya adalah menyangkut keseimbangan antara angkatan darat, laut, udara dan marinir, dan pemilihan sistem persenjataan tertentu. Yang paling penting, perencanaan pertahanan nasional harus menemukan keseimbangan antara senjata konvensional dan modern, ruang lingkup nasional, regional atau internasional. Terakhir, masalah kekuatan militer tidak hanya meningkatkan akibat pengrusakan, tetapi juga bisa mencegah konflik yang juga menimbulkan pengrusakan.

Efektifitas Biaya Modernisasi Kekuatan Strategis

Kebutuhan pertahanan nasional dan berbagai masalahnya memerlukan perancangan yang kesemuanya harus dipenuhi dengan seefisien mungkin. Perdebatan yang muncul di Amerika Serikat tentang sistem persenjataan adalah apakah harus memodernisasi kekuatan strategis ataukah harus membangun kekuatan strategis baru. Kelayakan proyek-proyek militer, mulai land-based missiles, submarine-based missiles, maupun Administrations Strategic Defensive Initiative (sering disebut perang bintang), sampai sekarang masih dipertentangkan oleh para ilmuwan, mengingat risikonya yang sangat tinggi. Dengan melihat anggaran pertahanan Amerika Serikat saat g gg g gg pini, sangat sulit memperkirakan apakah akan ada pembatasan persenjataan strategis dengan melakukan pemotongan anggaran, mengingat peran Amerika dalam perang melawan terorisme sangat besar bahkan menjadi sponsor bagi program internasional ini.

Dampak Terhadap Industri

Karena pertahanan merupakan kontributor utama dalam defisit anggaran pemerintah federal AS, dampaknya terhadap perekenomian negara layak dilakukan pembahasan. Dampak pertama terjadi pada besarnya pengeluaran untuk pengadaan struktur industri serta pertumbuhan produktivitas dalam bidang peralatan pertahanan. Terdapat pergeseran dari permintaan swasta untuk barang konsumsi dan perumahan kepada pembelian pemerintah untuk sektor pertahanan. Industri pertahanan mencakup sektor manufaktur, seperti aerospace, pabrik pembuatan kapal laut, dan pabrik persenjataan elektronik. Di lain pihak, sektor ini juga mendukung kesempatan kerja di sektor swasta.

Dampak Terhadap Pertumbuhan Produktivitas

Program riset dan pengembangan yang dilakukan untuk kepentingan pertahanan nasional berpengaruh besar terhadap perkembangan teknologi dan pertumbuhan produktivitas. Dari satu pihak, produktivitas yang ditimbulkan oleh sektor pertahanan akan dialihkan ke sektor swasta–seperti komputer– namun dilain pihak, terserapnya bakat ilmiah oleh industri pertahanan akan menyebabkan industri swasta tersebut kearah penurunan. Bukti empiris menunjukkan bahwa negara dengan prosentase belanja pertahanan terhadap pendapatan nasionalnya kecil, misalnya Jerman dan Jepang, ternyata mengalami pertumbuhan produktivitas yang lebih cepat dibanding dengan negara dengan prosentase belanja pertahanan yang lebih besar, seperti Amerika Serikat.

HERU
Placed Image
Page 21: DIKTAT KEBIJAKAN FISKAL - repository.unas.ac.id

8/4/2020

2

Jalan Raya

Keunikan sistem jalan raya sebagai barang publik menyangkut tiga hal yaitu:

1. Kerjasama yang rapi antara pemerintah federal, pemerintah negara bagian dan pemerintah lokal lainnya.

2. Jalan raya membutuhkan pembiayaan yang sangat besar.

3. Perkiraan pajak yang besar.

Kerjasama Antar Unit Pemerintah

Pengeluaran untuk jalan raya, di Amerika Serikat, paling banyak dilakukan g j y , , p g ypada tingkat negara bagian, termasuk jalan antar negara bagian. Sebagian yang lain dilakukan oleh pemerintah federal dengan mentransfer hampir seluruh penerimaannya melalui grant kepada tingkat pemerintah dibawahnya dan sebagian besar diterima oleh negara bagian. Sedangkan pemerintah lokal bertanggungjawab terhadap jalan raya di daerahnya.

Pembagian kerja dan pembiayaan ini menunjukkan perhatian yang besar dari pemerintah, baik federal, negara bagian, maupun pemerintah lokal lainnya.

Pembiayaan Melalui Pungutan Kepada Pemakai

Pembangunan jalan raya sebagian besar didanai oleh pemakai jalan. Untuk tingkat federal, penerimaan berasal dari pajak bahan bakar, yaitu penghasilan yang ditransfer dari Highway Trust Fund dalam bentuk grant antar pemerintahan. Pada tingkat negara bagian, penerimaan jalan raya diperoleh dari retribusi dan pajak kendaraan bermotor, yang selanjutnya dipakai untuk membangun jalan negara bagian dan sebagian lainnya ditransfer ke pemerintah lokal dalam bentuk grant. Sedangkan pada tingkat pemerintah lokal, jalan raya dibiayai dari general fund, yang salah satunya berasal dari pajak atas kekayaan yang dimiliki penduduk lokal serta dari pembebanan khusus lainnya. Penerimaan dari tarip tol tidak terlalu siginifikan dibanding dengan sumber pendanaan lainnya.

C. Pendidikan

Anggaran pendidikan, di USA, terutama dibiayai oleh pemerintah lokal dan negara bagian, meskipun pengendalian sistem pendidikan tetap berada di bawah pemerintah lokal. Dana negara bagian yang disalurkan kepada pemerintah lokal dalam bentuk bantuan dan subsidi, terutama untuk mendanai pendidikan tingkat tinggi. Pemerintah federal juga ikut membiayai pembangunan pendidikan, meskipun tidak terlalu besar, karena pendidikan pada dasarnya tetap merupakan jasa publik yang harus disediakan oleh pemerintah. Swasta ikut memberikan andil membiayai pendidikan juga, meskipun kontribusinya tidak sebesar pemerintah.

Masalah-Masalah Kebijakan Pendidikan

Permasalahan yang ada dalam kebijakan pendidikan menyangkut apa yang seharusnya diajarkan di sekolah negeri (kurikulum), bagaimana proses pengajaran berlangsung, siapa yang berhak memperoleh pendidikan, dan apakah sebaiknya pemerintah memberikan bantuan kepada lembaga pendidikan swasta juga.

Negara bagian pada umumnya mempunyai kebebasan yang cukup memadai dalam merancang struktur fiskal masing masing dan dalam mengendalikan pemerintah lokal yang secara langsung bertanggungjawab dalam penyediaan pendidikan Hal ini telah mendapat dukungan undang-dalam penyediaan pendidikan. Hal ini telah mendapat dukungan undang-undang di negara bagian dan telah pula diakui oleh Mahkamah Agung bahwa setiap warganegara berhak atas perlakukan yang sama dalam bidang pendidikan. Namun demikian, tidak ada keharusan menurut konstitusi bahwa pendidikan harus sebanding di seluruh negara bagian.

Pendidikan dasar dan menengah sebagian besar disediakan oleh pemerintah, melalui sekolah negeri. Pada tingkat ini, timbul perdebatan tentang perlunya monopoli pemerintah atas sekolah pada tingkatan itu. Hasil yang efisien akan dapat diperoleh jika terdapat persaingan yang sehat antara lembaga pendidikan negeri dan swasta. Penganjur pendidikan berpendapat bahwa pendidikan merupakan kepentingan umum sehingga harus disediakan oleh pemerintah, akan tetapi mereka juga setuju bahwa tidaklah berarti bahwa pendidikan harus disediakan oleh sekolah negeri. Konsumen pendidikan mengharapka pemberian pendidikan yang sama atau paling tidak ada standar minimumpendidikan yang sama atau paling tidak ada standar minimum.

Masalah pokok yang juga timbul adalah berkaitan dengan tingkat pendidikan. Persaingan yang dapat dilakukan oleh sekolah-sekolah swasta perlu didukung dengan kebijakan dalam menjamin persaingan yang sehat oleh pemerintah. Persoalan pendidikan bukanlah hanya persoalan fiskal saja, akan tetapi merupakan persoalan politik.

D. Fasilitas Rekreasi

Pembangunan fasilitas rekreasi memberi manfaat ganda yakni manfaat bagi pemakai, manfaat bagi masyarakat di sekitarnya dan manfaat lain–seperti keindahan alam. Fasilitas rekreasi merupakan barang publik yang bersifat barang akhir atau barang konsumsi, tidak seperti jalan raya yang bersifat barang antara. Problem utama dalam penyediaan fasilitas rekreasi adalah seberapa besar manfaat barang tersebut dapat dinikmati oleh publik. Pengukuran manfaat atas barang ini dapat dilakukan dengan berbagai cara.

Pengukuran cara pertama dengan menghitung pungutan kepada pemakai. g p g g g p g p pDengan cara ini, kelayakan proyek dihitung berdasarkan rencana tarip yang akan dibebankan kepada para pengguna yang kemudian dibandingkan dengan biaya proyek. Cara kedua adalah dengan melakukan penghitungan kesediaan membayar para pemakai untuk penyediaan fasilitas rekreasi. Dari penghitungan tersebut, kurva permintaan dapat disimulasikan sehingga dapat dijadikan dasar pengukuran manfaat.

Kemudian, ada cara ketiga dengan analogi fasilitas swasta yang menarik iuran dari para anggotanya sebagai dasar penghitungan manfaat. Cara lain adalah dengan penghitungan manfaat yang dapat dilakukan dengan menghitung biaya yang dikeluarkan oleh pemakai dalam melakukan rekreasi keluar rumah. Sebagai alternatif, dapat dilakukan pembobotan dalam menilai waktu para pemakai fasilitas ini dgn membandingkan efisiensi dari setiap alternatif penggunaan dana.

Selain berbagai manfaat diatas, perlu juga dipertimbangkan manfaat dalam bentuk lain dari suatu fasilitas rekreasi. Sebagai contoh, proyek sumber daya air dapat mempunyai manfaat ganda, selain untuk rekreasi juga dapat digunakan untuk konservasi sumber daya air. Contoh lain adalah sebuah bendungan dapat y g pdinilai manfaatnya sebagai pembangkit tenaga listrik, pengendalian banjir, irigasi, selain ditujukan untuk rekreasi.

Analisis pasar dapat digunakan dalam penilaian manfaat atas fasilitas rekreasi, meski pun bukan satu-satunya cara. Fasilitas rekreasi merupakan barang publik sehingga penilaian dan pembobotan sosial atas fasilitas rekreasi harus lebih diutamakan, bukan penilaian seperti yang dilakukan dalam pengadaan fasilitas swasta. Dan, hal ini dapat dianggap sebagai subsidi untuk jenis jasa swasta. Tujuan non finansial tertentu, misalnya keindahan alam dan margasatwa, harus dipertimbangkan, meskipun tidak dapat diukur dengan mudah melalui pengujian pasar.

HERU
Placed Image
Page 22: DIKTAT KEBIJAKAN FISKAL - repository.unas.ac.id

8/4/2020

1

KEBIJAKAN FISKALKEBIJAKAN FISKAL((PertemuanPertemuan keke--10)10)

Oleh:Heru Dian Setiawan

KEUANGAN PEMERINTAH PUSAT DAN DAERAHKEUANGAN PEMERINTAH PUSAT DAN DAERAH

Dalam konteks desentralisasi fiskal, apapun bentuk pemerintahan suatu negara, baik itu negara federal maupun negara kesatuan (unitary), akan selalu memunculkan pola hubungan fiskal antar pemerintahan (fiscal intergovernmental relationship). Dan sebagaimana dikemukakan oleh Norregaard (1995), terdapat perbedaan-perbedaan dalam interval luas dalam struktur kelembagaan dan hubungan keuangan pusat dan daerah, baik dalam negara-negara yang pada dasarnya berbentuk federal maupun negara g g y g p y p gyang berbentuk kesatuan.

Menurut Bird dan Vaillancourt (1998), terdapat dua model hubungan fiskal antar pemerintahan yang berlaku saat ini. Pertama, federalisme fiskal (fiscal federalism). Kedua, keuangan federal (federal finance). Konsep federalisme fiskal maksudnya adalah Pemerintahan Daerah Tingkat II (Kabupaten/Kota) merupakan kepanjangan tangan dari Pusat. Atau, di beberapa negara yang berbentuk federal, pemerintahan negara bagian (state) bukan merupakan pelaku otonom.

Perancis dan Inggris mencerminkan pola ini untuk kelompok negara-negara maju (Bennet, 1990), sementara Indonesia1, Maroko dan Tunisia adalah untuk negara berkembang, serta Cina dan Vietnam adalah contoh negara transisi (Bank Dunia, 1996a). Dalam model federalisme fiskal, konsentrasi kekuasaan di pusat demikian tinggi. Dalam perspektif ini, kerangka yang sesuai untuk desentralisasi adalah bersifat “top down” dan berpola dekonsentrasi atau maksimalnya berpola delegasi, dan kerangka analisis yang sesuai adalah agency theory. Implikasi dari hubungan fiskal model federalisme fiskal ini adalah berbagai bentuk transfer dari Pemerintah Pusat kepada Pemerintah Daerah (Dati I dan Dati II) dalam rangka untuk menggalakkan otonomi ( ) g ggregional dan untuk memperbaiki infrastruktur lokal, biasanya akan dibelanjakan oleh Pemerintah Daerah sesuai dengan pedoman dan sektor-sektor yang telah ditetapkan oleh Pemerintah Pusat.

Berbeda dengan model federalisme fiskal, model keuangan federal (federal finance) lebih cocok diterapkan untuk beberapa negara, terutama negara-negara yang memiliki keanekaragam dalam aspek geografis dan etnis (Bird, 1994b serta Bird dan Chen, 1996). Dalam model keuangan federal, batas-batas resmi, penyerahan fungsi, wewenang, serta pembiayaannya sudah secara umum ditetapkan melalui sebuah undang-undang.

Secara teoritis, negara yang berbentuk federal, pada umumnya menganut model keuangan federal. Contoh yang paling aktual adalah Amerika Serikat dan Kanada. Di Amerika Serikat, model hubungan fiskal yang terjadi adalah hubungan fiskal antara Pemerintah Federal (Pusat) dengan Pemerintah Negara Bagian/Propinsi (state) dan hubungan fiskal antara Pemerintah Negara Bagian/Propinsi (state) dengan Pemerintah Lokal (Kabupaten/Kota). Dimana, masing-masing pemerintahan memiliki kewenangan (otonomi) yang jelas terhadap wilayah, fungsi, serta pembiayaan sesuai dengan konstitusi federal.Bahkan, beberapa dewan sekolah (school board) di Amerika Serikat memiliki kekuasaan untuk mengenakan pajak (Davey, 1983).g p j ( y, )

Meski secara teoritis negara yang berbentuk federal akan menerapkan model keuangan federal, tetapi pada prakteknya tidak selalu demikian. Menurut Bank Dunia (1995b) negaranegara seperti Pakistan, Argentina, dan Afrika Selatan adalah negara-negara berbentuk federal, namun prakteknya sejauh ini masih sentralisasi fiskal dan federalisme fiskal. Pada negara yang berbentuk kesatuan (unitary), model keuangan federal juga berlaku.

Sesungguhnya, sejak diberlakukannya Undang-Undang Nomor 22/1999 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang Nomor 25/1999 tentang Perimbangan Keuangan Pemerintah Pusat dan Daerah, Indonesia secara tidak langsung telah menerapkan model keuangan federal. Ini terbukti, sebagaimana diatur oleh Undang-Undang Nomor 25/1999, Pemerintah Daerah memiliki kewenangan untuk menetapkan pajak serta melakukan pinjaman secara mandiri. Bahkan, dibandingkan dengan Amerika Serikat, derajat desentralisasi fiskal di Indonesia lebih tinggi.

A. Dimensi Ekonomi dari Desentralisasi Fiskal

Dimensi yang ekonomi baku dari suatu kebijakan keuangan publik adalah stabilitas makro ekonomi, keadilan (equity), dan efisiensi (Musgrave dan Musgrave, 1989). Menurut para ahli ekonomi, aspek efisiensi merupakan raison d’etre untuk desentralisasi fiskal. Karena preferensi setiap individu terhadap barang publik berbeda, maka dalam suatu sistem fiskal yang terdesentralisasi, setiap individu dapat memilih untuk tinggal disebuah komunitas atau masyarakat yang sesuai dengan preferensi mereka dalam rangka untuk memaksimalkan kesejahteraan sosial.

A i k i fi i i b l d i f k b h P i h Argumentasi ekonomi tentang efisiensi berasal dari fakta bahwa Pemerintah Daerah dapat memenuhi berbagai kepentingan dan pendapat dari para penduduk dan dapat mengalokasikan berbagai sumber daya (resources) secara lebih efisien dibandingkan Pemerintah Pusat. Namun demikian, aspek efisiensi tidaklah satu-satunya dimensi ekonomi untuk mengevaluasi desentralisasi fiskal. Disain fiskal antar pemerintahan juga memiliki implikasi penting atas] keadilan dan stabilitas makro ekonomi.

HERU
Placed Image
Page 23: DIKTAT KEBIJAKAN FISKAL - repository.unas.ac.id

8/4/2020

2

B. Efisiensi

Teori desentralisasi didasarkan pada asumsi bahwa Pemerintah Pusat hanya dapat menyediakan barang dan jasa secara lintas wilayah secara konsisten. Oleh karenanya, sesuai dengan argumen ini, terdapat keuntungan efisiensi potensial dari desentralisasi fiskal, yaitu:

1. Efisiensi Alokasi Sumber Daya (Efficient Allocation of Resources)

◦ Desentralisasi akan meningkatkan efisiensi karena Pemerintah Daerah memiliki informasi yang lebih baik mengenai kebutuhan penduduknya dibandingkan Pemerintah Pusat. Keputusan mengenai pengeluaran publik yang dibuat oleh Pemerintah daerah akan lebih responsif terhadap keinginan konstituennya dibandingkan dengan keputusan yang dibuat oleh Pemerintah Pusat.

2. Persaingan Antar Pemerintah Daerah (Competition Among Local Governments)

◦ Persaingan antar daerah dalam memberikan pelayanan kepada masyarakatnya akan mendorong pemerintah lokal untuk meningkatkan inovasinya. Suatu analogi argumen untuk menjelaskan hal ini dikemukakan oleh Tiebot (1956) yang kemudian dikenal sebagai “The Tiebout Model”.

Tiebout menekankan bahwa tingkat dan kombinasi pembiayaan barang publik bertaraf lokal dan pajak yang dibayar oleh masyarakat merupakan kepentingan politisi masyakarat lokal dengan Pemerintah Daerahnya. Masyarakat akan memilih untuk tinggal di lingkungan yang anggaran daerahnya memenuhi preferensi yang paling tinggi antara pelayanan publik dari Pemerintah Daerahnya dengan pajak yang dibayar oleh masyarakat. Ketika masyarakat tidak senang pada kebijakan pemerintah lokal dalam pembebanan pajak untuk pembiayaan barang publik bersifat lokal, maka hanya ada dua pilihan bagi warga masyarakat, yaitu meninggalkan wilayah tersebut atau tetap tinggal di wilayah tersebut dengan berusaha mengubah p gg y g gkebijakan pemerintah lokal melalui DPRD-nya (Hyman, 2002). Hipotesis tersebut memberikan petunjuk bahwa terdapat potensi untuk mencapai efisiensi ekonomi (maximizing social welfare) dalam penyediaan barang publik pada tingkat lokal.

C. Stabilitas Makro Ekonomi

Penilitian empiris tentang desentralisasi dan pengelolaan makro ekonomi (macroeconomic governance) memberikan sedikit dukungan bahwa desentralisasi inheren dengan destabilisasi. Studi terkini mengenai hubungan antara desentralisasi fiskal dengan pengelolaan makro ekonomi menemukan bahwa “sistem desentralisasi fiskal menawarkan perbaikan potensial yang lebih besar terhadap perbaikan pengelolaan makro ekonomi dibandingkan sistem fiskal yang tersentralisasi”. Faktanya, negara-negara federal yang terdesentralisasi secara tinggi seperti Swiss, Jerman, Austria, dan Amerika Serikat memiliki kinerja makro ekonomi yang sangat stabil dan tingkat inflasi yang rendah (Shah, 1997).

Namun demikian, khusus bagi negara-negara berkembang, stabilitas makro ekonomi bukanlah hal yang otomatis dapat terwujud dengan diterapkannya desentralisasi fiskal. Pengalaman internasional memperlihatkan bahwa jika suatu negara mendesentralisasikan tanggung jawab pengeluaran lebih besar dibandingkan dengan sumber-sumber yang tersedia, maka tingkat pelayanan akan menurun. Atau, Daerah akan menekan Pusat untuk mendapatkan tambahan kucuran dana yang lebih besar, atau pinjaman yang lebih besar, atau kedua-duanya. Salah satu contoh terjelas adalah kasus-kasus di negara Federasi Rusia (Wallich, 1994). Sebaliknya, jika lebih banyak penerimaan daripada pengeluaran yang didesentralisasikan, maka mobilisasi dana Daerah dapat menurun dan ketidakseimbangan makro ekonomi dapat kembali muncul (Yu, 1996).

D. Keadilan (Equity)

Apek keadilan dari sebuah kebijakan keuangan publik berkaitan dengan redistribusi pendapatan untuk mencapai keadilan sosial. Dalam definisi klasik, redistribusi biasanya berupa suatu transfer dana kepada rumah tangga berpendapatan rendah untuk mencapai keseimbangan dalam distribusi pendapatan.

Dalam konteks desentralisasi, isu redistribusi memiliki dua dimensi: keadilan horisontal (horizontal equity) dan keadilan lokal (within-locality equity). Keadilan horizontal merujuk pada tingkat kapasitas Pemerintah Daerah (subnational

) d l hi p l p blik T d p d f k governments) dalam memenuhi pelayanan publik. Terdapat dua faktor utama yang memberikan kontribusi munculnya ketidakadilan horisontal: (1) basis pajak (taxes bases) sangat berbeda secara signifikan antara daerah satu dengan daerah yang lain dan (2) karakteristik regional yang mengakibatkan perbedaan biaya penyediaan pelayanan. Untuk mengurangi ketidakadilan horisontal ini, maka perlu dirancang kebijakan untuk memberikan sumber daya (resources) yang lebih besar kepada Daerah yang lebih miskin. Bantuan pemerataan (equalization grant), adalah alat yang biasa digunakan untukmengoreksi ketidakadilan horisontal tersebut.

Namun demikian, penyediaan resources yang lebih banyak kepada daerah miskin hanyalah satu aspek dari problem keadilan. Kesuksesan dalam kebijakan redistribusi juga memerlukan perhatian yang khusus terhadap keadilan dalam wilayah lokal setempat (within-locality equity). Dalam merancang kebijakan redistribusi, Pemerintah Daerah memerlukan dukungan dari Pemerintah Pusat. Dengan kata lain, Pemerintah Daerah tidak dapat mengambil kebijakan redistribusi secara efektif. Mobilitas rumah tangga adalah hambatan riil Pemerintah Daerah untuk menggunakan kebijakan redistribusi. Jika Pemerintah Daerah mengeluarkan program redistribusi pendapatan secara agresif, ia akan menciptakan suatu insentif yang kuat bagi p p g , p y g gpenduduk berpendapatan rendah untuk datang dan akan mendorong penduduk berpenghasilan tinggi untuk pindah kemana saja. Sebab, dengan program redistribusi pendapatan, itu berarti pajak bagi penduduk kaya dan subsidi bagi penduduk miskin.

E. Syarat-Syarat Keberhasilan Desentralisasi Fiskal

Bird dan Vaillancourt (1998) mengisyaratkan ada dua prasyarat penting bagi kesuksesan desentralisasi, terlepas dari keseimbangan makro atau efisiensi mikro. Pertama, proses pengambilan keputusan didaerah harus demokratis, yaitu pengambilan keputusan tentang manfaat dan biayanya harus transparan dan pihak-pihak yang terkait harus memiliki kesempatan untuk mempengaruhi keptusan-keputusan tersebut. Kedua, biaya-biaya dari pengambilan keputusan tersebut sepenuhnya harus ditanggung oleh masyarakat. Untuk itu, seharusnya tidak perlu terjadi “ekspor pajak” dan tidak ada tambahan transfer dari level pemerintahan yang laintidak ada tambahan transfer dari level pemerintahan yang lain.

Sementara itu, Sidik (2002) menyebutkan bahwa keberhasilan pelaksanaan desentralisasi akan sangat tergantung pada desain, proses implementasi, dukungan politis baik pada tingkat pengambilan keputusan dimasing-masing tingkat pemerintahan, maupun masyarakat secara keseluruhan, kesiapan administrasi pemerintahan, pengembangan kelembagaan dan sumber daya manusia, mekanisme koordinasi untuk meningkatkan kinerja aparat birokrasi, perubahan sistem nilai dan perilaku birokrasi dalam memenuhi keinginan masyarakat khususnya dalam pelayanan sektor publik.

HERU
Placed Image
Page 24: DIKTAT KEBIJAKAN FISKAL - repository.unas.ac.id

8/4/2020

3

Di samping itu, Sidik (2002) juga berpendapat untuk mendukung pelaksanaan desentralisasi, maka Pemerintah Daerah harus didukung sumber-sumber keuangan yang memadai, baik yang berasal dari local revenue, pinjaman, maupun transfer dari pemerintah pusat. Pelaksanaan desentralisasi fiskal akan berjalan dengan baik dengan mempedomani hal-hal sebagai berikut: (1) adanya Pemerintah Pusat yang kapabel dalam melakukan pengawasan dan enforcement dan (2) terdapat keseimbangan antara akuntabilitas dan kewenangan dalam melakukan pungutan pajak dan retribusi Daerah.

HERU
Placed Image
Page 25: DIKTAT KEBIJAKAN FISKAL - repository.unas.ac.id

1

1998 199

1996 1995 Negara Kesatuan

TRANSFER PUSAT KE DAERAH: TEORI DAN PRAKTEK

A. Pendahuluan Dalam konteks desentralisasi fiskal, transfer dana dari Pemerintah Pusat kepada Pemerintah Daerah merupakan hal yang tidak dapat dihindari. Desentralisasi memang merupakan pelimpahan wewenang dari Pemerintah Pusat kepada Pemerintah Daerah. Sejalan dengan desentralisasi tersebut, aspek pembiayaannya juga ikut terdesentralisasi. Implikasinya, Daerah dituntut untuk dapat membiayai sendiri biaya pembangunannya. Namun, ternyata banyak daerah di berbagai negara ini local government revenue) tidak cukup untuk membiayai seluruh pengeluaran Daerah (lihat Tabel). Dari Tabel terlihat bahwa, tidak ada satupun Pemerintah Daerah di berbagai negara yang disurvei memiliki pendapatan yang dapat membiayai seluruh pengeluarannya. Tabel 1: Prosentase Pendapatan atas Pengeluaran Daerah

Albania 5.64% 6.85% 3.69% 4.05% Azerbaijan 73.97% 68.65% 66.78% 58.30% Belarusia 73.18% 70.63% 77.73% 81.69% Bulgaria 57.27% 66.19% 65.35% 61.08% Kroasia 98.11% 93.62% 93.83% 89.18% Republik Cekoslowakia 72.26% 60.28% 72.74% 75.80% Denmark 57.10% 57.50% 58.55% 59.25% Estonia 65.95% 66.97% 73.10% 72.04% Irlandia 87.26% 84.64% 84.29% 85.31% Kazakhstan N/A N/A 78.76% 71.68% Latvia 75.53% 77.93% 73.82% 72.08% Lithuania 73.82% 72.22% 71.71% 80.65% Mauritius 39.51% 39.91% 40.68% 42.52% Moldova 72.74% 60.50% 58.66% 62.49% Mongolia 58.46% 56.92% 60.10% 57.32% Norwegia 60.96% 62.10% 61.30% 59.71% Polandia 71.52% 66.49% 66.21% 64.83% Republik Slovakia N/A 89.65% 79.75% 73.69% Slovenia 77.31% 82.83% 81.88% 80.60% Inggris 27.47% 27.31% 27.91% 29.33% Australia 85.73% 83.28% 81.92% 81.80% Austria 82.74% 85.31% 87.28% 83.89% Bolivia 85.64% 85.93% 85.85% 85.76%

Page 26: DIKTAT KEBIJAKAN FISKAL - repository.unas.ac.id

2

México 97.37% 97.72% 99.98% N/A Switzerland 81.35% 81.91% 81.96% 82.02% United States 62.43% 63.51% 64.32% 64.51% * Pemerintah Daerah di negara-negara federal adalah kelompok Pemerintah Daerah yang terendah tingkat pendapatannya. Catatan: Pendapatan Pemerintah Daerah tidak termasuk transfer antar pemerintahan (intergovernmental transfers) Sumber: International Monetary Fund. 1998. Government Finance Statistics Year Book 1998, Country Tables. Implikasi dari kondisi tersebut, transfer dana dari Pusat (intergovernmental transfer) merupakan sumber penerimaan yang amat dominan bagi Pemerintah Daerah di banyak negara, terutama negara berkembang. Tidak terkecuali Indonesia. Sumber ini membiayai sekitar 85% dari pengeluaran pemerintah daerah di Afrika Selata, antara 67% sampai 95% pengeluaran negara bagian di Nigeria, 70% sampai 90% pengeluaran negara bagian yang miskin di Meksiko, 72% pengeluaran popinsi dan 86% pengeluaran Kabupaten/Kota pada dekade 1990-an di Indonesia (Simanjuntak, 2002). B. Tujuan Transfer Pada dasarnya, transfer Pusat ke Daerah dapat dibedakan atas bagi hasil pendapatan (revenue sharing) dan bantuan (grants). Adapun tujuan dari transfer ini bermacam-macam yaitu pemerataan vertikal (vertical equalization), pemerataan horisontal (horizontal equalization), mengatasi persoalan efek pelayanan publik (correcting spatial externalities), mengarahkan prioritas (redirecting priorities), melakukan eksperimen dengan ide-ide baru (experimenting with new ideas), stabilisasi, dan kewajiban untuk menjaga tercapainya standar pelayanan minimum di setiap daerah. Vertical Equalization Transfer Di banyak negara, Pemerintah Pusat menguasai sebagian besar sumber-sumber penerimaan (pajak) utama negara yang bersangkutan. Sementara itu, Pemerintah Daerah hanya menguasai sebagian kecil sumber-sumber penerimaan negara, atau hanya berwenang untuk memungut pajak-pajak yang basis pajaknya bersifat lokal dan mobilitas yang rendah dengan karakteristik besaran penerimaannya relatif kurang signifikan. Kondisi ini akhirnya menimbulkan ketimpangan vertikal (vertical imbalance) antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah. Pada era tahun 1960-an, Pemerintah Federal Amerika Serikat sangat memonopoli sumber-sumber penerimaan. Kondisi ini akhirnya bisa menimbulkan ketimpangan antara Pemerintah Federal, Pemerintah Negara Bagian (State), dan Pemerintahan Lokal. Kemudian, pada pertengahan era 1960-an hingga pertengahan 1980-an lahirlah kebijakan bagi hasil penerimaan umum (General Revenue Sharing/GRS). GRS untuk tingkat negara bagian diberlakukan secara tuntas pada tahun 1982 dan untuk tingkat lokal diberlakukan pada secara tuntas pada tahun 1986.

Page 27: DIKTAT KEBIJAKAN FISKAL - repository.unas.ac.id

3

Dengan demikian, tujuan dari vertical equalization transfer ini adalah untuk mengkoreksi kesenjangan pendapatan yang diperoleh setiap level pemerintahan.

Horizontal Equalization Transfer Keseimbangan antara kebutuhan pendapatan (revenue needs) dan kemampuan untuk menghasilkan pendapatan juga memiliki dimensi horisontal. Artinya, dengan tarif pajak yang sama seharusnya juga menghasilkan penerimaan yang sama di antara daerah. Pengalaman empirik di berbagai negara menunjukkan ternyata kemampuan Daerah untuk menghasilkan pendapatan sangat bervariasi, tergantung kondisi daerah bersangkutan yang memiliki kekayaan sumber daya alam atau tidak, ataupun daerah dengan intensitas kegiatan ekonomi yang tinggi atau rendah. Kondisi ini berimplikasi kepada besarnya basis pajak atau kapasitas fiskal (fiscal capacity) di daerah-daerah bersangkutan. Di sisi lain, daerah-daerah juga memiliki kebutuhan belanja yang sangat bervariasi. Terdapat daerah-daerah dengan penduduk miskin, penduduk lanjut usia, dan anak-anak serta remaja yang tinggi proporsinya. Ada pula daerah-daerah yang berbentuk kepulauan luas, dimana sarana-prasarana transportasi dan infrastruktur lainnya masih belum memadai. Sementara di lain pihak, ada daerah- daerah dengan jumlah penduduk yang tidak terlalu besar, namun memiliki sarana dan prasasarana yang telah lengkap. Ini mencerminkan tinggi rendahnya kebutuhan fiskal (fiscal need) dari daerah-daerah yang bersangkutan. Membandingkan kebutuhan fiskal dengan kapasitas fiskal tersebut di atas, maka dapat dihitung kesenjangan atau celah fiskal (fiscal gap) dari masing-masing daerah yang seyogyanya ditutup oleh transfer dari Pemerintah Pusat. Dengan kata lain tujuan dari horizontal equalization transfer adalah untuk menutup celah fiskal yang dimiliki oleh setiap daerah.

KOTAK 1: PRAKTEK VERTICAL EQUALIZATION DI INDONESIA

Penerapan vertical equalization di Indonesia berlaku sejak dikeluarkannya Undang-undang Nomor 25/1999 tentang Perimbangan Keuangan Pemerintah Pusat dan Daerah. Latar belakang diberlakukannya formula vertical equalization ini didasari oleh suatu kondisi selama Orde Baru, dimana Pemerintah Pusat begitu dominan dalam menguasai sumber-sumber penerimaan negara yang berujung pada timbulnya ketimpangan fiskal secara vertikal antara Pemerintah Pusat dengan Daerah. Daerah-daerah yang kaya akan sumber daya alam, seperti Aceh dan Irian Jaya, terpaksa harus menjadi daerah miskin karena hasil dari sumber-sumber kekayaan alam mereka diangkut ke Pusat.

Kondisi ini kemudian berubah dengan keluarnya Undang-undang Nomor 25/1999. Menurut Undang-undang No. 25/1999 ini, daerah penghasil penerimaan (baik itu pajak maupun sumber daya alam) mendapat porsi yang besar dalam bagi hasil penerimaan umum (general revenue sharing) yang lebih besar dibandingkan sebelum diberlakukannya Undang-undang No. 25/1999 (lihat Tabel 2.2. Dengan bagi hasil yang lebih besar ini, taxing power yang diterima Daerah menjadi lebih besar dan ketimpangan vertikal dapat dikurangi

Page 28: DIKTAT KEBIJAKAN FISKAL - repository.unas.ac.id

4

KOTAK 1: PRAKTEK HORIZONTAL EQUALIZATION DI INDONESIA Dana Alokasi Umum (DAU) merupakan contoh yang paling tepat sebagai bentuk horizontal equalizataion di Indonesia. Secara faktual, peran DAU dapat dijadikan counter atas pembagian dana bagian daerah yang didasarkan atas dasar penghasil daerah (by origin atau vertical equalization) yang cenderung menimbulkan ketimpangan antardaerah, karena daerah yang mempunyai potensi pajak dan SDA yang terbatas pada daerah-daerah tertentu. Sebagai horizontal equalization, DAU dirancang dengan sebuah formula yang digunakan untuk menghitung potensi penerimaan daerah atau kapasitas fiskal (fiscal capacity) dan kebutuhan fiskal daerah (fiscal needs). Sehingga, melalui suatu formula ini, maka dapat dihitung celah fiskal (fiscal gap) yang akan ditutup dengan transfer DAU dari Pusat. Rumus Umum DAU 2001 adalah sebagai berikut: 1. DAU akan dialokasikan kepada Daerah dengan menggunakan bobot daerah. Bobot daerah

harus dirumuskan dengan menggunakan suatu formula yang didasarkan atas pertimbangan kebutuhan dan potensi potensi penerimaan.

2. Besarnya DAU setelah formula paling tidak sama dengan besarnya bantuan Subsidi Daerah Otonom (SDO) dan Inpres tahun 2000. Oleh karenanya, dalam alokasi DAU 2001 terdapat faktor penyeimbang dan faktor lumsum. Faktor Penyeimbang adalah suatu mekanisme untuk mencegah penurunan kapasitas Pemerintah Daerah dalam membiayai kewajiban-kewajiban mereka. Faktor penyeimbang juga diarahkan untuk mengatasi permasalahan pendanaan akibat terjadinya transfer pegawai dari Pemerintah Pusat ke Pemerintah Daerah yang tentunya membawa konsekuensi pada gaji dan biaya-biaya terkait lainnya. Faktor lumpsum intinya adalah suatu mekanisme untuk membagi habis total DAU yang sudah dianggarkan dalam APBN 925% dari penerimaan bersih domestik). Dalam prakteknya, terjadi selisih hitung antara total DAU yang dianggarkan dengan total faktor penyeimbang dan faktor formula.

3. Faktor formula. Formula DAU terdiri dari dua, yaitu potensi penerimaan dan kebutuhan fiskal. Variabel-variabel yang digunakan untuk menentukan potensi penerimaan adalah (a) PDRB sektor sumber daya alam (primer); (b) PDRB sektor industri dan jasa lainnya (non-primer); dan besarnya angkatan kreja (SDM). Variabel-variabel yang digunakan untuk menentukan kebutuhan daerah adalah (a) jumlah penduduk; (b) luas wilayah; (c) indeks harga bangunan; dan (d) jumlah penduduk miskin.

4. Penentuan Bobot dan Alokasi Daerah. (Sumber: Brodjonegoro dan Pakpahan (2002) Correcting Spatial Externalities Beberapa jenis pelayanan publik di satu wilayah memiliki “efek menyebar” (atau eksternalities) ke wilayah-wilayah lainnya. Misalnya, pendidikan tinggi (universitas), pemadam kebakaran, jalan raya penghubung antar-daerah, sistem pengendali polusi (udara dan air), dan rumah sakit daerah, tidak bisa dibatasi manfaatnya hanya untuk masyarakat tertentu saja. Namun, tanpa adanya “imbalan” (dalam bentuk pendapatan) yang berarti dari proyek-proyek

Page 29: DIKTAT KEBIJAKAN FISKAL - repository.unas.ac.id

5

serupa di atas, biasanya Pemerintah Daerah enggan untuk berinvestasi di sini. Oleh karena itu, Pemerintah Pusat perlu memberikan semacam insentif ataupun menyerahkan sumber-sumber keuangan agar pelayanan- pelayanan publik demikian dapat dipenuhi oleh daerah. Jika permintaan dari penduduk (resident demands) setempat yang diperhitungkan, maka jumlah permintaannya akan sangat rendah, yaitu sebesar DA dan harganya (biayanya) pun relatif murah (PA) sehingga Daerah setempat dipastikan dapat mengadakannya. Namun, untuk permintaan atas barang publik tertentu (misalnya, perguruan tinggi), peminatnya juga berasal dari luar daerah (nonresident demands), yaitu sebesar DB dengan harga (biaya) sebesar PB. Sehingga, total permintaan atas barang publik tersebut adalah DT dengan harga (biaya) sebesar P1, yang bagi Daerah bersangkutan akan sangat sulit untuk dapat mengadakannya, karena biayanya terlalu mahal. Agar penyediaan barang publik tersebut tetap dilakukan oleh Daerah bersangkutan, maka Pemerintah Pusat memberikan transfer (subsidi), yaitu sebesar perbedaan antara PB dan P1. Dengan adanya subsidi ini, maka Daerah bersangkutan dapat menyediakan barang publik tersebut, karena biayanya berada dalam jangkauan anggaran Daerah. Redirecting Priorities Setiap level pemerintahan memiliki prioritas masing-masing di dalam penyediaan pelayanan publik kepada masyarakatnya. Dan seringkali prioritas yang dikembangkan oleh setiap level pemerintahan tersebut, akhirnya bertentangan dengan prioritas yang sedang dibangun oleh level pemerintahan lainya.

Misalnya, Pemerintah Pusat berkeinginan mengedepankan pembangunan di sektor pendidikan secara murah dan terjangkau. Ini terkait dengan pemenuhan harapan para konstituen pemilih ketika pemilihan umum berlangsung. Namun ternyata, keinginan tersebut ternyata tidak sinkron dengan pola kebijakan Daerah. Pemerintah Daerah ternyata menginginkan pembangunan di sektor kesehatan lebih mendapat prioritas karena pertimbangan kondisi masyarakat setempat. Agar keinginan Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah dapat berjalan secara paralel, seyogyanya Pemerintah Pusat memberikan transfer atau insentif kepada Daerah. Transfer Pemerintah Pusat kepada Daerah semacam ini akan membantu mengarahkan kembali prioritas daerah dan pusat sesuai dengan keinginan yang diharapkan oleh masing-masing level pemerintahan. Experimenting with New Ideas Bantuan (grants) seperti ini berawal dari adanya keinginan Pemerintah Pusat untuk mengujicobakan suatu program baru di suatu Daerah sebelum program tersebut diberlakukan terhadap seluruh Daerah. Alasan perlunya bantuan dari Pusat kepada Daerah sehubungan dengan uji coba program baru tersebut, karena Daerah yang menjadi tempat uji coba tidak mau menanggung kerugian dan risiko manakala terjadi dampak negatif terhadap program baru tersebut. Dengan demikian, sesungguhnya bantuan untuk tujuan uji coba program baru ini tidak lebih dari sebuah kompensasi atas kesediaan Daerah menjadi ajang uji coba suatu program baru dari Pusat.

Page 30: DIKTAT KEBIJAKAN FISKAL - repository.unas.ac.id

6

Stabilisasi Transfer dana dapat ditingkatkann oleh Pemerintah ketika aktivitas perekonomian

sedang lesu. Di saat lain, bisa saja dana transfer ke daerah dikurangi manakala perekonomian sedang booming. Transfer untuk dana-dana pembangunan (capital grants) adalah merupakan instrumen yang cocok untuk tujuan ini. Namun kecermatan dalam mengkalkulasi amat diperlukan agar tindakan menaikkan/menurunkan dana transfer itu berakibat merusak atau bertentangan dengan tujuan stabilisasi. Memenuhi Standar Pelayanan Minimum Daerah-daerah dengan sumber daya yang sedikit memerlukan subsidi agar dapat mencapai standar pelayanan minimum. Jika dikaitkan dengan postulat Musgrave (1983) yang menyatakan bahwa peran redistributif dari sektor publik akan dijalankan oleh Pemeirntah Pusat, maka penerapan standar pelayanan minimum di setiap daerah pun akan lebih bisa dijamin pelaksanaannya oleh Pemerintah Pusat. C. Kriteria Desain Transfer Pusat ke Daerah

Dari berbagai tujuan yang hendak dicapai dalam rangka transfer antar tingkat pemerintahan, dapat kiranya sebagai acuan untuk mendesain sistem atau model transfer bagaimana yang akan diterapkan. Berikut adalah beberapa kriteria umum yang biasa digunakan di banyak negara di dunia. 1) Otonomi

Prinsip ini merupakan dasar desentralisasi fiskal di dunia, apakah negara tersebut berbentuk federal maupun negara kesatuan. Prinsip ini menekankan agar Pemerintah Daerah memiliki independensi dan fleksibilitas dalam menentukan prioritas-prioritas mereka. Tidak boleh ada pembatasan yang sedemikian ketat sehingga sebagian besar keputusan di Daerah harus mengikuti atau mengacu kepada ketentuan Pusat. Pajak- pajak dimana Daerah bisa ikut memungut di atas tingkat yang ditetapkan Pusat (piggyback), bagi hasil (revenue sharing) berdasarkan formula, ataupun transfer yang bersifat umum (block grant) adalah sumber-sumber penerimaan daerah yang konsisten dengan tujuan tersebut.

2) Penerimaan yang memadai (revenue adequacy) Pemerintah daerah semestinya memiliki pendapatan (termasuk transfer) yang cukup untuk

menjalankan segala kewajiban atau fungsi yang diembannya. 3) Keadilan (equity) Besarnya dana transfer dari Pusat ke daerah seyogyanya berhubungan positif dengan

kebutuhan fiskal daerah dan, sebaliknya, berkebalikan dengan besarnya kapasitas fiskal daerah yang bersangkutan.

4) Transparan dan stabil Formula transfer mesti diumumkan sehingga dapat diakses masyarakat. Hal yang lebih penting lagi adalah bahwa setiap daerah dapat memperkirakan berapa penerimaan totalnya (termasuk transfer), sehingga memudahkan penyusunan anggaran. Formula tersebut seyogyanya dipakai untuk jangka menengah (misalnya 3-5 tahun), agar perencanaan jangka menengah dan panjang dapat dilakukan oleh Daerah.

Page 31: DIKTAT KEBIJAKAN FISKAL - repository.unas.ac.id

7

5) Sederhana (simplicity) Alokasi dana kepada Pemeirntah Daerah semestinya didasarkan pada faktor-faktor obyektif

dimana unit-unit individual tidak memiliki kontrol atau dapat mempengaruhinya. Di samping itu juga formula yang dipakai seyogyanya relatif mudah untuk dipahami.

6) Insentif Desain dari transfer ini harus sedemikian sehingga memberikan semacam insentif bagi

daerah dengan manajemen fiskal yang baik, baik sebaliknya menangkal praktik-praktik yang tidak efisien. Dengan demikian, tidak perlu ada transfer khusus/spesifik untuk membiayai defisit anggaran Pemerintah Daerah, atau ada semacam kontrol terhadap belanja daerah.

D. Jenis-Jenis Transfer Pengalaman empiris dari berbagai negara menunjukkan bahwa pemberian transfer oleh Pemerintah Pusat kepada Daerah dapat disertai dengan syarat-syarat tertentu atau tidak bersyarat sama sekali. Dengan demikian, pada dasarnya jenis- jenis transfer dapat dikelompokkan menjadi dua kategori besar, yaitu (1) transfer tanpa syarat (unconditional grant, general purpose grant, block grant dan (2) transfer dengan syarat (conditional grant, categorial grant, spesific purpose grant). Transfer Tanpa Syarat Pada umumnya transfer jenis ini ditujukan untuk menjamin adanya pemerataan dalam kemampuan fiskal antar daerah, sehingga setiap Daerah dapat melaksanakan urusan rumah tangganya sendiri pada tingkat yang layak. Tujuan dari transfer ini adalah untuk mengurangi ketimpangan fiskal yang bersifat horisontal (horizontal equalization).

Ciri utama dari transfer ini adalah Daerah memiliki keleluasaan (diskresi) penuh dalam memanfaatkan dana transfer ini sesuai dengan pertimbangan- pertimbangannya sendiri atau sesuai dengan aturan apa yang menjadi prioritas daerahnya.

Transfer tanpa syarat biasanya dibagikan berdasarkan suatu formula tertentu. Namun, formula apa yang tepat untuk menjamin meratanya kemampuan fiskal (fiscal capacity) Daerah dalam menjalankan pelayanan publik minimum, amat tergantung kepada kondisi atau keadaan di masing-masing negara. KOTAK 26.3: PRAKTEK TRANSFER TANPA SYARAT DI INDONESIA Dana Alokasi Umum (DAU) merupakan bentuk yang masuk dalam kategori transfer tanpa syarat (unconditional grant) untuk kasus di Indonesia. DAU adalah dana yang berasal dari APBN, yang dialokasikan dengan tujuan pemerataan kemampuan keuangan antar-Daerah untuk membiayai kebutuhan pengeluarannya dalam rangka pelaksanaan Desentralisasi. Menurut UU No. 25/1999 ketentuan mengenai aturan alokasi DAU adalah sebagai berikut: 1) DAU ditetapkan sekurang-kurangnya 25% (dua puluh lima persen) dari Penerimaan Dalam

Negeri yang ditetapkan dalam APBN. 2) DAU untuk Daerah Propinsi dan untuk Daerah Kabupaten/Kota ditetapkan masing-masing

10% (sepuluh persen) dan 90% (sembilan puluh persen) dari total DAU nasional.

Page 32: DIKTAT KEBIJAKAN FISKAL - repository.unas.ac.id

8

3) Dalam hal terjadi perubahan kewenangan di antara Daerah Propinsi dan Daerah Kabupaten/Kota, persentase Dana Alokasi Umum untuk Daerah Propinsi dan Daerah Kabupaten/Kota disesuaikan dengan perubahan tersebut.

4) DAU untuk suatu Daerah Propinsi tertentu ditetapkan berdasarkan perkalian jumlah DAU untuk seluruh Daerah Propinsi yang ditetapkan dalam APBN, dengan porsi Daerah Propinsi yang bersangkutan.

5) Porsi Daerah Propinsi merupakan proporsi bobot Daerah Propinsi yang bersangkutan terhadap jumlah bobot semua Daerah Propinsi di seluruh Indonesia.

6) DAU untuk suatu Daerah Kabupaten/Kota tertentu ditetapkan berdasarkan perkalian jumlah DAU untuk seluruh Daerah Kabupaten/Kota yang ditetapkan dalam APBN dengan porsi Daerah Kabupaten/Kota yang bersangkutan.

7) Porsi Daerah Kabupaten/Kota merupakan proporsi bobot Daerah Kabupaten/Kota yang bersangkutan terhadap jumlah bobot semua Daerah Kabupaten/Kota di seluruh Indonesia.

8) Bobot Daerah ditetapkan berdasarkan: • kebutuhan wilayah otonomi Daerah; • potensi ekonomi Daerah.

9) Penghitungan DAU berdasarkan rumus di atas dilakukan oleh Sekretariat Bidang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah.

Transfer Dengan Syarat (Conditional Transfer) Transfer ini biasanya digunakan untuk keperluan yang dianggap penting oleh Pemerintah Pusat namun kurang dianggap penting oleh Daerah. Contohnya adalah proyek-proyek yang menimbulkan efek eksternalitas positif bagi daerah- daerah lain ataupun proyek-proyek dari Pemerintah Pusat yang sifatnya ujicoba atas suatu program atau ide baru (experimenting with new ideas). Transfer ini dapat dikelompokkan ke dalam dua jenis, yaitu: Transfer pengimbang (matching grants) Transfer pengimbang adalah transfer yang diberikan oleh Pusat kepada Daerah untuk menutup sebagian atau seluruh kekurangan pembiayaan satu jenis urusan tertentu. Jadi, di sini Pemerintah Daerah telah mengalokasikan sejumlah dana dari pendapatan daerahnya untuk penyelenggaraan urusan tersebut. Hanya saja, dana Daerah belum cukup untuk menjamin penyelenggaraan urusan tersebut dengan baik. Transfer dari Pemerintah Pusat dalam hal ini berfungsi untuk membantu mengatasi kekurangan dana tersebut. Transfer pengimbang ini juga dapat dibedakan menjadi 2 (dua) jenis: 1) Transfer pengimbang tidak terbatas (open-ended matching grants)

Transfer ini diperuntukkan apabila transfer tersebut dapat dan memang ditujukan untuk menutup seluruh kekurangan dana yang terjadi. Misalnya, sebuah proyek pembangunan universitas membutuhkan dana sekitar Rp100 miliar. Sementara itu, Daerah hanya mampu menyediakan dana sebesar 10% dari total kebutuhan dana atau sebesar Rp10 miliar. Maka, kekurangan tersebut, yaitu sebesar Rp90 miliar ditanggung sepenuhnya oleh Pusat.

Efek negatif dari open-ended matching grants adalah grant yang diberikan oleh Pemerintah Pusat justru akan menyebabkan ketidakmerataan antardaerah, karena sifat grant

Page 33: DIKTAT KEBIJAKAN FISKAL - repository.unas.ac.id

9

ini yang tidak terbatas. Akibatnya, daerah yang kaya akan mampu membuat proyek yang kaya pula dan menjadi semakin kaya, sementara Daerah yang miskin akan tetap miskin karena mereka tidak dapat membuat proyek kaya, yang pembiayaannya bisa sebagian besar dari Pemerintah Pusat. 2) Transfer pengimbang terbatas (closed-ended matching grants)

Pada transfer ini terdapat batasan jumlah dana maksimum yang dapat digunakan. Hal ini sangat disukai oleh pemberi bantuan (Pemerintah Pusat), karena walaupun dana yang diberikan sesuai dengan besar proyek, namun setelah besarnya biaya proyek melampaui jumlah tertentu, pemberi bantuan dapat mencukupkan bantuannya.

Misalnya, sebuah proyek pembangunan universitas awalnya membutuhkan dana sekitar Rp100 miliar. Sementara itu, Daerah hanya mampu menyediakan dana sebesar 10% dari total kebutuhan dana atau sebesar Rp10 miliar. Maka, kekurangan tersebut, yaitu sebesar Rp90 miliar ditanggung sepenuhnya oleh Pusat. Namun, dalam perjalanannya, estimasi biaya ternyata membengkak menjadi Rp110 miliar atau mengalami kekurangan Rp10 miliar lagi. Karena Pemerintah Pusat tidak lagi mau mengucurkan dananya, dengan sendirinya proyek tersebut harus disesuaikan dengan jumlah anggaran semula, yaitu Rp100 miliar. Transfer bukan pengimbang (non-matching grants)

Transfer bukan pengimbang adalah transfer yang diberikan oleh Pusat kepada Daerah untuk menambah dana penyelenggaraan suatu jenis urusan tertentu tanpa mempertimbangkan bahwa Pemerintah Daerah sendiri telah/akan mengalokasikan dananya dengan jumlah besar atau kecil. Jenis transfer ini dapat dipakai oleh Pemerintah Pusat untuk menjadi sarana menginternalisasikan limpahan manfaat, (eksternalitas) terutama kepada Daerah yang menghasilkan limpahan manfaat tersebut.

Jadi, kendati Pemerintah Daerah yang bersangkutan telah mengalokasikan pendapatan daerahnya (local revenue) untuk pembiayaan penyelenggaraan urusan itu, namun karena pelaksanaannya menghasilkan limpahan manfaat besar kepada daerah-daerah lain, transfer diberikan oleh Pusat untuk mendorong Daerah agar tetap bersemangat dan mau mengalokasikan pendapatan daerahnya untuk pelaksanaan fungsi tersebut.

Page 34: DIKTAT KEBIJAKAN FISKAL - repository.unas.ac.id

PERPAJAKAN DAERAH

A. Pendahuluan

Pemerintah Daerah dapat memperoleh pendapatan dari dari perpajakan dengan tiga cara. Pertama, sebagaimana telah dibahas sebelumnya, ialah melalui pembagian hasil pajak-pajak (revenue sharing) yang dikenakan dan dipungut oleh Pemerintah Pusat. Dalam konteks Indonesia, menurut UU Nomor 33 tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah dan Pemerintahan Daerah, pajak Pemerintah Pusat yang dibagikan antar lain adalah Pajak Penghasilan (PPh), Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), dan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB).

Kedua, Pemerintah Daerah dapat memungut tambahan pajak (opsen, surchage di atas suatu pajak yang dipungut dan dikumpulkan oleh Pemerintah Pusat. Menurut pengertian ini, para Wajib Pajak di wilayah (daerah) mereka, pada umumnya membayar pungutan tambahan beserta pajak-pajaknya kepada Pemerintah Pusat. Kemudian, Pemerintah Pusat membayarkan pendapatan opsen tersebut kepada Pemerintah Daerah. Praktek seperti ini diterapkan di Swedia, Amerika Serikat, dan India. Pemerintah Daerah Swedia, misalnya, memungut opsen atas pajak penghasilan nasional. Di Amerika Serikat, Pemerintah Daerah mengenakan opsen atas pajak penjualan di tingkat negara bagian (state). Sedangkan, beberapa panchayats (Pemerintah Kabupaten) di India menikmati opsen atas pajak tanah.

Untuk lebih jelas memahami opsen, Davey (1983) mendefinisikan bahwa opsen adalah semacam pungutan pajak (precept) yang dipungut oleh propinsi (county) atau dewan desa (parish council) di Inggris di atas rate (pajak atas harta tetap, semacam PBB) dewan kabupaten (district council), sedangkan di daerah- daerah nonmetropolitan, precept Pemerintah Propinsi merupakan proporsi yang tinggi dari seluruh pungutan pungutan wajib wajib pajak. Opsen tersebut mungkin dipungut sebagai prosentase tambahan atas pendapatan kena pajak (PKP), dalam hal pajak penghasilan atau alternatifnya, sebagai suatu prosentase tambahan atas pajak yang sebenarnya dibayarkan kepada Pemerintah Pusat atau negara bagian.

Ketiga, adalah pungutan-pungutan yang dikumpulkan dan ditahan oleh Pemerintah Daerah sendiri. Adapun variabel yang utama adalah dasar hukumnya (kewenangannya). Suatu jenis pajak yang dipungut oleh Pemerintah Daerah mungkin ditetapkan berdasarkan ketentuan perundangan Pemerintah Pusat. Dalam konteks di Indonesia, pajak daerah jenis ini diatur dalam UU No. 34 Tahun 2000 tentang perubahan atas UU No.18 Tahun 1997 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah.

Bagian ini hanya akan mendiskusikan mengenai pajak yang diperoleh oleh Pemerintah Daerah sendiri. Alasan pembatasan ini, adalah (i) tax revenue sharing telah dibahas pada bagian sebelumnya, dan (ii) pembahasan mengenai opsen, kurang relevan

Page 35: DIKTAT KEBIJAKAN FISKAL - repository.unas.ac.id

dengan sistem perpajakan di Indonesia, karena Indonesia tidak menerapkan sistem opsen.

B. Prinsip dan Kriteria Perpajakan Daerah

Menurut Davey (1983) terdapat empat kriteria mengenai pajak Daerah. Keempat kriteria tersebut adalah kecukupan dan elastisitas, pemerataan, kemampuan administratif, dan dapat diterma secara politik.

Kriteria pertama, kecukupan dan elastisitas. Kecukupan maksudnya bahwa sumber pendadapat tersebut harus menghasilkan pendapatan yang besar dalam kaitannya dengan seluruh atau sebagian biaya pelayanan yang akan dikeluarkan. Seringkali dijumpai Pemerintah Daerah mempunyai banyak jenis pajak, tetapi pendapatan yang dihasilkan tidak mampu melebihi biaya yang dikeluarkan untuk memungutnya. Sedangkan elastis maksudnya adalah kemampuan untuk menghasilkan tambahan pendapatan agar dapat menutup tuntutan yang sama atas kenaikan pengeluaran Pemerintah Daerah, dan dasar pengenaan pajaknya berkembang secara otomatis, misalnya, apabila harga-harga meningkat, penduduk di suatu daerah meningkat, dan pendapatan individu meningkat, maka dengan sendirinya pajak juga harus meningkat. Dalam hubungan ini, elastisitas mempunyai dua dimensi. Pertama, pertumbuhan potensi dari dasar pengenaan pajak itu sendiri. Kedua, kemudahan untuk memungut pertumbuhan pajak tersebut. Elastisitas merupakan kualitas suatu sumber pajak yang penting. Elastisitas juga dengan mudah dapat diukur dengan membandingkan hasil penerimaan selama beberapa tahun dengan perubahan dalam indeks harga, penduduk, atau PDRB.

Kriteria kedua, adalah keadilan. Prinsip keadilan ini adalah bahwa beban pengeluaran Pemerintah haruslah dipikul oleh semua golongan dalam masyarakat sesuai dengan kekayaan dan kesanggupan masing-masing golongan. Keadilan memiliki tiga dimensi. Pertama, pemerataan secara vertikal, yaitu dalam hubungan pembebanan pajak atas tingkat pendapatan yang berbeda-beda. Dalam konteks ini, pajak dapat dikatakan baik kalau pajak tersebut bersifat progresif, yakni prosentase pendapatan seseorang yang dibayarkan untuk pajak bertambah sesuai dengan tingkat pendapatannya. Sedangkan, pajak dikatakan tidak baik, jika pajak tersebut bersifat regresif, yakni persentase pendapatan yang dibayarkan untuk pajak berkurang dengan adanya kenaikan pendapatan.

Kedua, pemerataan secara horisontal, yaitu dalam konteks hubungan pembebanan pajak berdasarkan sumber pendapatan. Maksudnya adalah seseorang yang memiliki jumlah pendapatan yang sama, seharusnya dikenakan pajak dalam jumlah yang sama. Petani yang memiliki pendapatan Rp100 juta per tahun, maka pajaknya harus sama dengan pegawai kantor (swasta atau negeri) yang memiliki gaji sebesar Rp100 juta per

Page 36: DIKTAT KEBIJAKAN FISKAL - repository.unas.ac.id

tahun. Dengan konsep keadilan horisontal seperti ini, maka diharapkan tidak ada penduduk yang yang kebal pajak.

Kriteria ketiga, adalah keadilan geografis. Pembebanan pajak harus adil antarpenduduk di berbagai daerah. Seseorang seharusnya tidak dibebani pajak lebih berat hanya karena mereka tinggal di suatu daerah tertentu.

Kriteria keempat adalah kemampuan adimistratif. Untuk menilai suatu pajak agar dapat memenuhi tuntutan keadilan dan pemerataan, maka dibutuhkan suatu administrasi yang baik dan fleksibel. Dimana, administrasi pemungutan pajak harus sederhana, mudah dihitung, pelayanan memuaskan bagi si wajib pajak.

Kriteria kelima, adalah adanya kesepakatan politik. Tidak ada pajak yang populer. Semua orang pada dasarnya ingin menolak membayar pajak, kalau diperbolehkan. Bahkan, dalam beberapa jenis pajak, lebih tidak populer dibandingkan jenis pajak yang lain. Dalam kondisi seperti ini, kemauan politik diperlukan dalam mengenakan pajak, menetapkan struktur tarif, memutuskan siapa yang harus membayar dan bagaimana pajak tersebut ditetapkan, memungut pajak secara fisik, dan memaksakan sanksi terhadap para pelanggar. Dengan adanya kemauan politik seperti ini, maka diharapkan pajak pun dapat secara politis diterima oleh masyarakat, sehingga timbul motivasi dan kesadaran pribadi untuk membayar pajak.

Sidik (2002) menambahkan bahwa selain keempat kriteria yang ditetapkan Davey (1983) di atas, pajak daerah juga harus memenuhi kriteria non-distorsi terhadap perekonomian. Artinya, implikasi pajak atau pungutan yang hanya menimbulkan pengaruh minimal terhadap perekonomian. Pada dasarnya setiap pajak atau pungutan akan menimbulkan suatu beban baik bagi konsumen maupun produsen. Namun demikian, jangan sampai suatu pajak atau pungutan menimbulkan beban tambahan (extra burden) yang berlebihan, sehingga akan merugikan masyarakat secara menyeluruh (dead-weight loss). Dalam konteks Indonesia, kriteria non-distorsi terhadap perekonomian merupakan alasan keluarnya UU No. 34 Tahun 2000 tentang perubahan atas UU No.18 Tahun 1997 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah. Dengan adanya UU No. 34 Tahun 2000 ini diharapkan pajak daerah tidak menimbulkan beban tambahan bagi masyarakat.

C. Ciri-ciri Tertentu Suatu Pajak Daerah

Untuk mempertahankan prinsip-prinsip pajak daerah tersebut di atas, maka perpajakan daerah harus memiliki ciri-ciri tertentu. Adapun ciri-ciri dimaksud, khususnya yang terjadi di banyak negara sedang berkembang, adalah sebagai berikut:

• pajak daerah secara ekonomis dapat dipungut, berarti perbandingan antara penerimaan pajak harus lebih besar dibandingkan ongkos pemungutannya.

Page 37: DIKTAT KEBIJAKAN FISKAL - repository.unas.ac.id

• relatif stabil, artinya penerimaan pajaknya tidak berfluktuasi terlalu besar, kadang-kadang meningkat secara drastis dan adakalanya menurun secara tajam.

• tax base-nya harus merupakan perpaduan antara prinsip keuntungan (benefit) dan kemampuan untuk membayar (ability to pay).

Dalam konteks Indonesia, terutama kaitannya dengan pelaksanaan otonomi daerah, maka pemberian kewenangan untuk mengadakan pemungutan pajak selain mempertimbangkan kriteria-kriteria perpajakan yang berlaku secara umum, seyogyanya, juga harus mempertimbangkan ketepatan suatu pajak sebagai pajak daerah. Pajak daerah yang baik merupakan pajak yang akan mendukung pemberian kewenangan kepada daerah dalam rangka pembiayaan desentralisasi.

Untuk itu, Pemerintah Daerah dalam melakukan pungutan pajak harus tetap “menempatkan” sesuai dengan fungsinya. Adapun fungsi pajak dapat dikelompokkan menjadi 2 (dua), yaitu: fungsi budgeter dan fungsi regulator. Fungsi budgeter yaitu bila pajak sebagai alat untuk mengisi kas negara (daerah) yang digunakan untuk membiayai kegiatan pemerintahan dan pembangunan. Sementara, fungsi regulator yaitu bila pajak dipergunakan sebagai alat mengatur untuk mencapai tujuan, misalnya: pajak minuman keras dimaksudkan agar rakyat menghindari atau mengurangi konsumsi minuman keras, pajak ekspor dimaksudkan untuk mengekang pertumbuhan ekspor komoditi tertentu dalam rangka menghindari kelangkaan produk tersebut di dalam negeri.

Menurut Teresa Ter-Minassian (1997), beberapa kriteria dan pertimbangan yang diperlukan dalam pemberian kewenangan perpajakan kepada tingkat Pemerintahan Pusat, Propinsi dan Kabupaten/Kota, yaitu:

1) Pajak yang dimaksudkan untuk tujuan stabilisasi ekonomi dan cocok untuk tujuan distribusi pendapatan seharusnya tetap menjadi tanggung jawab Pemerintah Pusat.

2) Basis pajak yang diserahkan kepada daerah seharusnya tidak terlalu “mobile”. Pajak daerah yang sangat “mobile” akan mendorong pembayar pajak merelokasi usahanya dari daerah yang beban pajaknya tinggi ke daerah yang beban pajaknya rendah. Sebaliknya, basis pajak yang tidak terlalu “mobile” akan mempermudah daerah untuk menetapkan tarip pajak yang berbeda sebagai cerminan dari kemampuan masyarakat. Untuk alasan ini pajak komsumsi di banyak negara yang diserahkan kepada daerah hanya karena pertimbangan wilayah daerah yang cukup luas (seperti propinsi di Canada). Dengan demikian, basis pajak yang “mobile” merupakan persyaratan utama untuk mempertahankan di tingkat pemerintah yang lebih tinggi (Pusat/Propinsi).

3) Basis pajak yang distribusinya sangat timpang antar daerah, seharusnya diserahkan kepada Pemerintah Pusat.

4) Pajak daerah seharusnya “visible”, dalam arti bahwa pajak seharusnya jelas bagi pembayar pajak daerah, objek dan subjek pajak dan besarnya pajak terutang dapat

Page 38: DIKTAT KEBIJAKAN FISKAL - repository.unas.ac.id

dengan mudah dihitung sehingga dapat mendorong akuntabilitas daerah. 5) Pajak daerah seharusnya tidak dapat dibebankan kepada penduduk daerah lain,

karena akan memperlemah hubungan antar pembayar pajak dengan pelayanan yang diterima (pajak adalah fungsi dari pelayanan).

6) Pajak daerah seharusnya dapat menjadi sumber penerimaan yang memadai untuk menghindari ketimpangan fiskal vertikal yang besar. Hasil penerimaan, idealnya, harus elastis sepanjang waktu dan seharusnya tidak terlalu berfluktuasi.

7) Pajak yang diserahkan kepada daerah seharusnya relatif mudah diadministrasikan atau dengan kata lain perlu pertimbangan efisiensi secara ekonomi berkaitan dengan kebutuhan data, seperti identifikasi jumlah pembayar pajak, penegakkan hukum (law-enforcement) dan komputerisasi.

8) Pajak dan retribusi berdasarkan prinsip manfaat dapat digunakan secukupnya pada semua tingkat pemerintahan, namun penyerahan kewenangan pemungutannya kepada daerah akan tepat sepanjang manfaatnya dapat dilokalisir bagi pembayar pajak lokal.

Model Leviathan

Penggalian sumber-sumber keuangan daerah khususnya yang berasal dari pajak daerah pada dasarnya perlu memperhatikan 2 (dua) hal, yaitu : (i) dasar pengenaan pajak dan (ii) tarif pajak. Pemerintah Daerah cenderung untuk menggunakan tarif yang tinggi agar diperoleh total penerimaan pajak daerah yang maksimal. Pengenaan tarif pajak yang lebih tinggi, secara teoritis tidak selalu menghasilkan total penerimaan maksimum. Hal ini tergantung pada respons wajib pajak, permintaan dan penawaran barang yang dikenakan tarif pajak lebih tinggi. Formulasi model ini dikenal sebagai Model Leviathan.

Dengan asumsi bahwa biaya administrasi perpajakan dianggap tidak signifikan dan ceteris-paribus level pelayanan publik yang dibiayai dari penerimaan pajak, dan hanya kegiatan ekonomi saja yang dipengaruhi oleh besaran pajak, maka Gambar 27-1 di bawah ini menunjukkan hubungan antara tarif pajak proporsional atas basis pajak tertentu. Bentuk kurva (“Laffer”) yang berbentuk parabola menghadap sumbu Y (tarif pajak), menghasilkan Total Penerimaan Pajak Maksimum yang ditentukan oleh kemampuan wajib pajak untuk menghindari beban pajak baik legal maupun illegal dengan mengubah “economic behavior” dari wajib pajak. Gambar 27-1 ini juga mengasumsikan bahwa penyesuaian wajib pajak terhadap pengenaan tarif pajak tertentu adalah independent terhadap jenis pajak dan tarif pajak lainnya. Model Leviathan akan mencapai total penerimaan pajak maksimum (T*) pada tarif t*. Pada tarif t*, menunjukkan bukanlah tarif tertinggi, tetapi dapat dicapai total penerimaan pajak maksimum. Pada kondisi ini dikenal sebagai Revenue Maximizing Tax Rate. Model Leviathan ini memberikan pelajaran kepada kita bahwa peningkatan penerimaan pajak

Page 39: DIKTAT KEBIJAKAN FISKAL - repository.unas.ac.id

daerah tidak harus dicapai dengan mengenakan tarif pajak yang terlalu tinggi, tetapi dengan pengenaan tarif pajak yang lebih rendah dikombinasikan dengan struktur pajak yang meminimalkan penghindaran pajak dan respon harga dan kuantitas barang terhadap pengenaan pajak sedemikian rupa, maka akan dicapai Total Penerimaan Maksimum. Model Leviathan ini dapat dikembangkan untuk menganalisis hubungan lebih lanjut antara tarif dan dasar pengenaan pajak untuk mencapai Total Penerimaan Pajak Maksimal.

Gambar 27-1: Model Leviathan

t*

T*

D. Ketentuan Mengenai Pungutan Pajak Daerah dan Retribusi Daerah

Pengaturan kewenangan pengenaan pemungutan Pajak Daerah dan Retribusi Daerah di Indonesia telah diatur sejak lama, terutama sejak tahun 1997 dengan dikeluarkannya UU No.18 Tahun 1997 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah. Namun, dalam perkembangannya, UU No.18 Tahun 1997 dianggap kurang memberikan peluang kepada daerah untuk mengadakan pungutan baru. Walaupun dalam UU tersebut sebenarnya memberikan kewenangan kepada daerah, namun harus ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah (PP). Sehingga pada waktu UU No. 18 Tahun 1997 berlaku belum ada satupun daerah yang mengusulkan pungutan baru karena dianggap hal tersebut sulit dilakukan. Selain itu, pengaturan agar Peraturan Daerah (Perda) tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah harus mendapat pengesahan dari Pusat juga

Tarif Pajak Daerah

Kurva Laffer

Total Penerimaan Pajak Daerah

Page 40: DIKTAT KEBIJAKAN FISKAL - repository.unas.ac.id

dianggap telah mengurangi otonomi daerahDengan diubahnya UU No.18 Tahun 1997 menjadi UU No.34 Tahun 2000, diharapkan pajak daerah dan retribusi daerah akan menjadi salah satu PAD yang penting guna membiayai penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan daerah.

Dalam UU No.34 Tahun 2000 dan PP pendukungnya, yaitu PP No.65 Tahun 2001 tentang Pajak Daerah dan PP No.66 Tahun 2001 tentang Retribusi Daerah menjelaskan perbedaan antara jenis pajak daerah yang dipungut oleh Propinsi dan jenis pajak yang dipungut oleh Kabupaten/Kota.

Jenis-Jenis Pajak Daerah Propinsi

Pajak Propinsi ditetapkan sebanyak 4 (empat) jenis pajak, yaitu : (i) Pajak Kendaraan Bermotor dan Kendaraan di Atas Air (PKB & KAA); (ii) Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor dan Kendaraan di Atas Air (BBNKB & KAA); (iii) Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor (PBBKB); (iv) Pajak Pengambilan dan Pemanfaatan Air Bawah Tanah dan Air Permukaan (P3ABT & AP). Jenis Pajak Propinsi bersifat limitatif yang berarti Propinsi tidak dapat memungut pajak lain selain yang telah ditetapkan, dan hanya dapat menambah jenis retribusi lainnya sesuai dengan kriteria yang ditetapkan dalam UU.

Adanya pembatasan jenis pajak yang dapat dipungut oleh Propinsi terkait dengan kewenangan Propinsi sebagai daerah otonom yang terbatas yang hanya meliputi kewenangan dalam bidang pemerintahan yang bersifat lintas daerah Kabupaten/Kota dan kewenangan yang tidak atau belum dapat dilaksanakan daerah Kabupaten/Kota, serta kewenangan bidang pemerintahan tertentu. Namun demikian, dalam pelaksanaannya Propinsi dapat tidak memungut jenis pajak yang telah ditetapkan tersebut jika dipandang hasilnya kurang memadai. Berkaitan dengan besarnya tarif, berlaku definitif untuk Pajak Propinsi yang ditetapkan secara seragam di seluruh Indonesia dan diatur dalam PP No.65 Tahun 2001.

Jenis-Jenis Pajak Daerah Kabupaten

Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota diberi kewenangan untuk memungut 7 (tujuh) jenis pajak (Pasal 2 ayat 2), yaitu : (i) Pajak Hotel; (ii) Pajak Restoran; (iii) Pajak Hiburan; (iv) Pajak Reklame; (v) Pajak Penerangan Jalan; (vi) Pajak Pengambilan Bahan Galian Golongan C; (vii) Pajak Parkir.

Jenis pajak Kabupaten/Kota tidak bersifat limitatif, artinya Kabupaten/Kota diberi peluang untuk menggali potensi sumber-sumber keuangannya selain yang ditetapkan secara eksplisit dalam UU No. 34 Tahun 2000, dengan menetapkan sendiri jenis pajak yang bersifat spesifik dengan memperhatikan kriteria yang ditetapkan dalam UU

Page 41: DIKTAT KEBIJAKAN FISKAL - repository.unas.ac.id

tersebut. Kriteria dimaksud (Pasal 2 ayat 4) adalah :

a. Bersifat pajak dan bukan retribusi; b. Objek pajak terletak atau terdapat di wilayah Daerah Kabupaten/Kota yang

bersangkutan dan mempunyai mobilitas yang cukup rendah serta hanya melayani masyarakat di wilayah Daerah Kabupaten/Kota yang bersangkutan;

c. Objek dan dasar pengenaan pajak tidak bertentangan dengan kepentingan umum; d. Objek pajak bukan merupakan objek pajak Propinsi dan/atau objek pajak Pusat; e. Potensinya memadai; f. Tidak memberikan dampak ekonomi yang negatif; g. Memperhatikan aspek keadilan dan kemampuan masyarakat; dan h. Menjaga kelestarian lingkungan.

E. Ketentuan Mengenai Bagi Hasil Pajak Propinsi dan Peruntukkannya

Hasil penerimaan pajak Propinsi sebagian diperuntukkan bagi Daerah Kabupaten/Kota di wilayah Propinsi yang bersangkutan dengan ketentuan sebagai berikut:

a. Hasil penerimaan Pajak Kendaraan Bermotor dan Kendaraan di Atas Air dan Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor dan Kendaraan di Atas Air diserahkan kepada Daerah Kabupaten/Kota paling sedikit 30% (tiga puluh persen);

b. Hasil penerimaan Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor diserahkan kepada Daerah Kabupaten/Kota paling sedikit 70% (tujuh puluh persen);

c. Hasil penerimaan Pajak Pengambilan dan Pemanfaatan Air Bawah Tanah dan Air Permukaan diserahkan kepada Daerah Kabupaten/Kota paling sedikit 70% (tujuh puluh persen).

Hasil penerimaan pajak Kabupaten diperuntukkan paling sedikit 10% (sepuluh persen) bagi Desa di wilayah Daerah Kabupaten yang bersangkutan.

Bagian Daerah Kabupaten/Kota ditetapkan lebih lanjut dengan Peraturan Daerah Propinsi dengan memperhatikan aspek pemerataan dan potensi antar Daerah Kabupaten/Kota.

Bagian Desa ditetapkan dengan Peraturan Daerah Kabupaten dengan memperhatikan aspek pemerataan dan potensi antar Desa. Penggunaan bagian Daerah Kabupaten/Kota ditetapkan sepenuhnya oleh Daerah Kabupaten/Kota. Dalam hal hasil penerimaan pajak Kabupaten/Kota dalam suatu Propinsi terkonsentrasi pada sejumlah kecil Daerah Kabupaten/Kota, Gubernur berwenang merealokasikan hasil penerimaan pajak tersebut kepada Daerah Kabupaten/Kota dalam Propinsi yang bersangkutan. Dalam hal objek pajak Kabupaten/Kota dalam satu Propinsi yang bersifat lintas Daerah Kabupaten/Kota, Gubernur berwenang untuk merealokasikan hasil

Page 42: DIKTAT KEBIJAKAN FISKAL - repository.unas.ac.id

penerimaan pajak tersebut kepada Daerah Kabupaten/Kota yang terkait. Sedangkan ketentuan mengenai realokasi dilakukan oleh Gubernur atas dasar kesepakatan yang dicapai antar Daerah Kabupaten/Kota yang terkait dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota yang bersangkutan.

F. Tarif Pajak Propinsi dan Kabupaten/Kota

Besarnya tarif yang berlaku definitif untuk Pajak Propinsi dan Kabupaten/Kota ditetapkan dengan Peraturan Daerah, namun tidak boleh lebih tinggi dari tarif maksimum yang telah ditentukan dalam UU tersebut. Dengan adanya pemisahan jenis pajak yang dipungut oleh Propinsi dan yang dipungut oleh Kabupaten/Kota diharapkan tidak adanya pengenaan pajak berganda. Disebutkan dalam UU No. 34/2000 Pasal 3 ayat (1), tarif jenis pajak ditetapkan paling tinggi sebesar:

a. Pajak Kendaraan Bermotor dan Kendaraan di Atas Air 5% (lima persen); b. Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor dan Kendaraan di Atas Air 10% (sepuluh

persen); c. Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor 5% (lima persen); d. Pajak Pengambilan dan Pemanfaatan Air Bawah Tanah dan Air Permukaan 20%

(dua puluh persen); e. Pajak Hotel 10% (sepuluh persen); f. Pajak Restoran 10% (sepuluh persen); g. Pajak Hiburan 35% (tiga puluh lima persen); h. Pajak Reklame 25 % (dua puluh lima persen); i. Pajak Penerangan Jalan 10% (sepuluh persen); j. Pajak Pengambilan Bahan Galian Golongan C 20% (dua puluh persen); k. Pajak Parkir 20% (dua puluh persen).

G. Peranan Pajak Daerah & Retribusi Daerah Dalam Mendukung Pembiayaan Daerah

Pajak daerah dan retribusi daerah merupakan salah satu bentuk peran serta masyarakat dalam penyelenggaraan otonomi daerah. Pajak daerah dan retribusi daerah merupakan sumber pendapatan daerah yang penting untuk membiayai penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan daerah. Permasalahan yang dihadapi oleh Daerah pada umumnya dalam kaitan penggalian sumber-sumber pajak daerah dan retribusi daerah, yang merupakan salah satu komponen dari PAD, adalah belum memberikan kontribusi yang signifikan terhadap penerimaan daerah secara keseluruhan.

Page 43: DIKTAT KEBIJAKAN FISKAL - repository.unas.ac.id

Untuk mengantisipasi desentralisasi dan proses otonomi daerah, tampaknya pungutan pajak dan retribusi daerah masih belum dapat diandalkan oleh daerah sebagai sumber pembiayaan desentralisasi. Keadaan inidiperlihatkan dalam suatu studi yang dilakukan oleh LPEM-UI bekerjasama dengan Clean Urban Project, RTI bahwa banyak permasalahan yang terjadi di daerah berkaitan dengan penggalian dan peningkatan PAD, terutama hal ini disebabkan oleh:

• Relatif rendahnya basis pajak dan retribusi daerah. Berdasarkan UU No.34 Tahun 2000 daerah Kabupaten/Kota dimungkinkan untuk menetapkan jenis pajak dan retribusi baru. Namun, melihat kriteria pengadaan pajak baru sangat ketat, khususnya kriteria pajak daerah tidak boleh tumpang tindih dengan Pajak Pusat dan Pajak Propinsi, diperkirakan daerah memiliki basis pungutan yang relatif rendah dan terbatas, serta sifatnya bervariasi antar daerah. Rendahnya basis pajak ini bagi sementara daerah berarti memperkecil kemampuan manuver keuangan daerah dalam menghadapi krisis ekonomi.

• Perannya yang tergolong kecil dalam total penerimaan daerah. Sebagian besar penerimaan daerah masih berasal dari bantuan Pusat. Dari segi upaya pemungutan pajak, banyaknya bantuan dan subsidi ini mengurangi “usaha” daerah dalam pemungutan PAD-nya, dan lebih mengandalkan kemampuan “negosiasi” daerah terhadap Pusat untuk memperoleh tambahan bantuan.

• Kemampuan administrasi pemungutan di daerah yang masih rendah. Hal ini mengakibatkan bahwa pemungutan pajak cenderung dibebani olehbiaya pungut yang besar. PAD masih tergolong memiliki tingkat buoyancy yang mengakibatkan biaya penyediaan pelayanan kepada masyarakat sangat bervariasi.

• Kemampuan perencanaan dan pengawasan keuangan yang lemah. Hal ini mengakibatkan kebocoran-kebocoran yang sangat berarti bagi daerah. Selama ini, peranan PAD dalam membiayai kebutuhan pengeluaran daerah sangat kecil dan bervariasi antar daerah yaitu kurang dari 10% hingga 50%. Sebagian besar daerah Propinsi hanya dapat membiayai kebutuhan pengeluarannya kurang dari 10%10. Variasi dalam penerimaan ini diperparah lagi dengan sistem bagi hasil (bagi hasil didasarkan pada daerah penghasil sehingga hanya menguntungkan daerah tertentu). Demikian pula, distribusi pajak antar daerah juga sangat timpang karena basis pajak antar daerah sangat bervariasi (ratio PAD tertinggi dengan terendah mencapai 600). Peranan pajak dan retribusi daerah dalam pembiayaan yang sangat rendah dan bervariasi juga terjadi karena adanya perbedaan yang sangat besar dalam jumlah penduduk, keadaan geografis (berdampak pada biaya yang relatif mahal), dan kemampuan masyarakat, sehingga

Page 44: DIKTAT KEBIJAKAN FISKAL - repository.unas.ac.id

Tidak signifikannya peran PAD dalam anggaran daerah tidak lepas dari ‘sistem tax assignment’ di Indonesia yang masih memberikan kewenangan penuh kepada Pemerintah Pusat untuk mengumpulkan pajak-pajak potensial (yang tentunya dilakukan berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tertentu), seperti: pajak penghasilan, pajak pertambahan nilai dan bea masuk. Kenyataan selama ini menunjukkan bahwa distribusi kewenangan perpajakan antara daerah dan pusat sangat timpang, yaitu jumlah penerimaan pajak yang dipungut oleh daerah hanya sebesar 3,39% dari total penerimaan pajak (Pajak Pusat dan Pajak Daerah). Ketimpangan dalam penguasaaan sumbersumber penerimaan pajak tersebut memberikan petunjuk bahwa perimbangan keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah di Indonesia dari sisi revenue assignment masih terlalu ”sentralistis”.

Page 45: DIKTAT KEBIJAKAN FISKAL - repository.unas.ac.id

PINJAMAN DAERAH

A. Pendahuluan

Pinjaman merupakan alternatif lain yang bisa dipilih untuk membiayai pembangunan daerah. Sumber pinjaman dapat berasal dari berbagai pihak, baik dari dalam negeri maupun luar negeri. Banyaknya pihak yang dapat dijadikan sumber pinjaman membuat pembiayaan pembangunan dengan pinjaman mampu mengumpulkan dana yang cukup besar. Pinjaman dalam negeri dapat berasal dari; Pemerintah Pusat, lembaga keuangan bank, lembaga keuangan bukan bank, masyarakat, dan sumber lainnya seperti pinjaman dari daerah lain. Pinjaman yang berasal dari masyarakat penghimpunan dana dapat melalui penerbitan Obligasi Daerah. Walaupun kemungkinan nilai pinjaman yang mampu dikumpulkan cukup besar karena banyaknya sumber yang bisa digunakan, namun perlu diperhatikan adanya batas meminjam yang disesuaikan dengan kemampuan tiap-tiap daerah. Risiko yang terkandung dalam melakukan pinjaman, terutama risiko dalam pembayaran bunga maupun pokok, harus menjadi pertimbangan dalam melakukan pinjaman. Pinjaman juga dapat dibedakan berdasarkan jangka waktu; jangka pendek dan jangka panjang. Pemilihan jangka waktu akan sangat tergantung pada jenis proyek yang akan dibiayai.

Pada bagian ini akan dibahas mengenai tujuan dan batas-batas pinjaman, metode dan sumber-sumber pinjaman, persyaratan-persyaratan pinjaman, dan kemampuan meminjam (ability to borrowing). Dan agar pembahasan ini lebih riil di lapangan, dalam subbagian selanjutnya akan disajikan praktek pinjaman daerah di Indonesia.

B. Tujuan dan Batas-Batas Pinjaman

Pemerintah Daerah dapat membiayai sebagian pengeluarannya dengan melakukan pinjaman. Dalam konstitusi di berbagai negara, masalah kewenangan daerah untuk meminjam ini telah diatur. Pada dasarnya kewenangan daerah melakukan pinjaman adalah seperti yang dituliskan oleh Davey (1983), bahwa berbagai pinjaman dilakukan dengan tujuan:

1) untuk menutup kebutuhan dana (cash) jangka pendek; 2) untuk membiayai kekurangan dana anggaran tahunan berupa biaya rutin dan beban hutang; 3) untuk membeli pabrik dan peralatan dengan unsur jangka menengah; 4) untuk membiayai investasi yang diharapkan dapat menghasilkan penerimaan bagi daerah; 5) untuk membiayai pembangunan modal jangka panjang (prasarana atau penyediaan

pelayanan umum).

Pinjaman dengan maksud untuk menutup kebutuhan dana jangka pendek adalah sangat umum dilakukan, biasanya sebagai suatu keharusan karena pola pengumupulan penerimaan daerah yang tidak seimbang. Bentuk pinjaman yang umum berupa bank overdraft, akan tetapi Pemerintah Daerah seringkali mencari pinjaman langsung dari deposito jangka pendek dari masyarakat berupa short-term bills, dengan jangka waktu sampai tiga bulan.

Page 46: DIKTAT KEBIJAKAN FISKAL - repository.unas.ac.id

Kekurangan dana dari anggaran tahunan adalah hal yang umum terjadi untuk Pemerintah Pusat. Tetapi jarang diperkenankan bagi Pemerintah Daerah. Pada tahun 1975, Pemerintah Daerah di Italia meminjam 61% dari penerimaan kotor mereka untuk membiayai pengeluaran modal, membayar hutang dan membiayai sebagaian besar dari biaya-biaya rutin (operating cost). Pemerintahan New York juga pernah melakukan pinjaman untuk membayar gaji pegawai dan uang pensiunan dan membayar hutang yang telah jatuh tempo.

Pembelian sebuah pabrik dan peralatan lainnya juga dapat dibiayai dengan pinjaman. Suatu cara penyelesaian yang umum untuk membeli peralatan dengan pinjaman adalah dengan membeda-bedakan perkiraan umur masing- masing peralatan. Pilihan lain adalah dengan cara pinjam sewa (leasing). Cara leasing ini semakin dikenal untuk menghindari pembelian peralatan yang cepat menjadi usang sebagai akibat perubahan teknologi.

Praktek dan konsep yang secara luas dapat diterima adalah dana pinjaman untuk membiayai kegiatan investasi yang dapat “membiayai sendiri”. Maksudnya adalah, proyek yang dibiayai tersebut dapat menghasilkan penerimaan (revenue) yang dapat digunakan untuk membayar kembali dana pinjaman. Praktek-praktek seperti ini antara lain sering diterapkan di negara-negara maju. Sebagai contoh, pembangunan British New Town Corporation dibiayai oleh Pemeirntah Pusat Inggris. Pengembalian pinjaman tersebut dari hasil penjualan rumah-rumah dan toko-toko yang dibangun oleh British. Pemerintah negara bagian di Amerika Serikat juga mengadakan pinjaman melalui industrial aid bonds untuk menyediakan dana investasi perusahaan manufaktur perorangan. Manfaat dari pinjaman seperti ini adalah, selain mendapatkan sumber penerimaan bagi daerah, Pemerintah Daerah juga mampu menyediakan pelayanan publik secara lebih baik.

Sementara itu, penggunaan dana pinjaman untuk membiayai pembangunan prasarana dan penyediaan pelayanan umum, biasanya diarahkan untuk membiayai prasarana publik yang reraltif cenderung lebih mengedepankan manfaat sosial dan ekonomi bagi masyarakat dibandingkan dengan revenue yang dihasilkan. Oleh karenanya, sumber pinjaman untuk pembiayaan jenis ini biasanya berasal dari negara-negara donor dengan tingkat bunga yang relatif lebih rendah dibandingkan dengan bunga komersial.

Dari pembahasan ini prinsip dasar yang harus dipegang ketika Pemerintah Daerah melakukan pinjaman adalah bahwa penggunaan dana pinjaman harus sesuai dengan karakteristik dari pinjaman itu sendiri. Pinjaman yang bersifat jangka pendek, tidak boleh digunakan untuk membiayai kegiatan atau investasi jangka panjang, karena akan menimbulkan mismatch (ketidaktepatan) antara pembayaran pinjaman yang jatuh tempo dengan waktu penerimaan penghasilan. Dengan kata lain, sesungguhnya batasan-batasan atau teknik-teknik pembiayaan yang berlaku dalam dunia korporasi juga berlaku bagi Pemerintah Daerah.

C. Metode dan Sumber-Sumber Pinjaman

Terdapat beberapa sumber pinjaman dan metode pinjaman yang dapat dilakukan oleh Pemerintah Daerah, yaitu:

Page 47: DIKTAT KEBIJAKAN FISKAL - repository.unas.ac.id

1. Pinjaman yang bersumber dari pemerintah yang lebih atas (umumnya dari Pemerintah Pusat).

2. Pinjaman yang bersumber dari badan-badan internasional, seperti Bank Dunia (World Bank), Bank Pembangunan Asia (Asian Development Bank/ADB), Bank Pembangunan Islam (Islamic Development Bank/IDB), Bank Pembangunan Amerika Latin (untuk negara-negara di kawasan Amerika Latin), Bank Asia Afrika dan bantuan bilateral, yang biasanya pinjaman ini diberikan kepada Pemerintah Pusat negara yang bersangkutan melalui mekanisme pinjaman two step loan atau subsidary loan aggreement.

3. Pinjaman yang berasal dari bank sentral di negara masing-masing. 4. Obligasi Jangka Panjang (bond) 5. Pinjaman jangka pendek yang diberikan oleh bank-bank komersial. 6. Pinjaman hipotek atas asset tetap. 7. Pinjaman internal yang berasal dari dana cadangan, misalnya dana pensiun. 8. Dana untuk sewa beli peralatan (leasing). 9. Dana kontraktor untuk pembangunan proyek-proyek.

Di antara sistem pinjaman tersebut di atas, ada tiga cara yang paling sering digunakan oleh Pemerintah Daerah di berbagai negara. Pertama, adalah Pemerintah Pusat memberikan pinjaman kepada Pemerintah Daerah. Praktek ini diterapkan oleh India, dimana 71,6% pinjaman daerah berasal dari Pemerintah Pusat pada tahun 1979. Bahkan, di Indonesia, hampir 100% pinjaman jangka panjang Pemerintah Daerah berasal dari Pemerintah Pusat, karena ada larangan dari Pemerintah Pusat bagi Pemerintah Daerah untuk meminjam di luar skema Pemerintah Pusat. Pembahasan lebih lanjut untuk kasus di Indonesia ini akan di bahas secara khusus di subbagian berikutnya. Kedua, sumber dana yang berasal dari pasar keuangan. Misalnya, dengan mengeluarkan obligasi (bonds) di pasar modal. Ketiga, melalui bank-bank komersial, khusus untuk pinjaman jangka pendek untuk memenuhi cash flow Pemerintah Daerah.

D. Persyaratan-Persyaratan Pinjaman

Beberapa persyaratan yang harus dipenuhi dalam ketentuan pinjaman adalah (i) jangka waktu pinjaman; (ii) cara pembayaran kembali; (iii) tingkat bunga; (iv) keamanan pinjaman; dan (v) persetujuan dan penyidikan.

Jangka waktu pinjaman sangat tergantung dengan tujuan penggunaan pinjaman. Jangka waktu pinjaman Pemerintah Daerah bisa saja berkisar antara 24 jam (overnight) hingga 40 tahun. Untuk tujuan capital investment, maka Pemerintah Daerah harus mendapatkan pinjaman dengan jangka waktu yang setidaknya sama dengan umur proyek. Sebagai pilihan yang dapat dilakukan adalah dimana jangka waktu pinjaman dapat diturunkan sesuai penerimaan dari pajak dan retribusi untuk mengimbangi beban pinjaman tersebut.

Yang terpenting adalah bahwa jangka waktu pinjaman bergantung pada sikap pasar serta suku bunga yang berlaku. Biasanya, pinjaman yang bersumber dari Pemerintah Pusat atau lembaga keuanga internasional sering mencari turnover dana yang dipinjamkan secepat

Page 48: DIKTAT KEBIJAKAN FISKAL - repository.unas.ac.id

mungkin, misalnya pinjaman untuk masa 10 tahun, dengan maksud agar dapat meningkatkan kemampuan finansial Pemerintah Daerah.

Persyaratan cara pembayaran kembali akan tergantung pada metode pembayaran yang dilakukan. Jika menggunakan metode anuitas berarti membayar beberapa kali angsuran dalam jumlah yang sama besarnya setiap kali pembayaran hingga masa pembayaran selesai. Komponen dalam setiap kali pembayaran tersebut adalah pokok pinjaman dan bunga pinjaman.

Metode pembayaran yang lain adalah menggunakan metode sinking fund, dimana angsuran pinjaman dibayar secara tetap, sehingga hutang pokok yang dibayarkan adalah kumulatif selama masa pinjaman. Akan tetapi, pengalaman menunjukkan bahwa bila cara sinking fund dtelah diterapkan dan untuk memenuhi kewajibannya disanggupi dengan baik, namun dalam prakteknya metode ini sering lebih merupakan usaha penyelematan terhadap utang kepada pihak luar (external debt).

Persyaratan tingkat bunga pinjaman yang bersumber dari pasar keuangan pasti didasarkan pada bunga pasar. Pada umumnya, semakin lama suatu pinjaman, tingkat bunga pun akan semakin tinggi. Sementara itu, pinjaman dari lembaga-lembaga internasional oleh suatu Pemerintah biasanya memberlakukan bunga yang lebih rendah dibandingkan dengan bunga pasar. Namun, pinjaman dari lembaga-lembaga internasional tersebut juga memberlakukan fee, berupa management fee dan commitment fee yang besarnya sangat tergantung dari negosiasi antara kedua belah pihak. Di Indonesia, misalnya, management fee dan commitment fee sekitar 0,25% dari pinjaman yang belum ditarik.

Persyaratan keamanan pinjaman muncul karena pihak pemberi pinjaman biasanya menghendaki suatu keadaan aman terhadap kegagalan pembayaran kembali. Makanya, dalam berbagai klausul pinjaman oleh Pemerintah Daerah, tidak jarang pemberi pinjaman meminta adanya jaminan dari Pemerintah Pusat atau dijamin dengan aset tertentu.

Persyaratan persetujuan muncul karena suatu pinjaman yang dilakukan oleh Pemerintah Daerah, biasanya tidak dapat dilakukan sebelum ada persetujuan dari lembaga yang berwenang, misalnya lembaga perwakilan daerah. Dalam konteks di Indonesia, pinjaman yang dilakukan oleh Pemerintah Daerah baru dapat dijalankan jika DPRD setempat memberikan persetujuan.

E. Penggunaan Pinjaman Dalam Pembiayaan

Kebutuhan akan pinjaman daerah muncul akibat kecenderungan yang terjadi dimana peningkatan peran Pemerintah Daerah dalam pengelolaan dan pembiayaan pembangunan proyek-proyek investasi daerah, misalnya proyek- proyek infrastruktur, semakin besar. Hal ini dilandasi dengan perkembangan tingkat urbanisasi yang lebih tinggi daripada kemampuan daerah menyediakan berbagai infrastruktur dan fasilitas pelayanan publik. Kewenangan yang lebih besar kepada Daerah untuk menentukan prioritas investasi daerah dan pelaksanaan proyek-proyek pembangunan daerah. Keterbatasan keuangan Pemerintah Pusat yang berimplikasi pada dana perimbangan pusat dan daerah. Keterbatasan Pemerintah Daerah dalam memobilisasi sumber-sumber penerimaan daerah yang berasal dari daerahnya sendiri

Page 49: DIKTAT KEBIJAKAN FISKAL - repository.unas.ac.id

menjadi alasan penggunaan pinjaman dalam pembiayaan suatu daerah.

Dari sisi teori fiskal, pendapat yang mendukung pinjaman daerah mengacu pada prinsip keadilan antar generasi (intergenerational equity considerations). Proyek-proyek yang bersifat jangka panjang dengan manfaat ekonomi dan sosial selayaknya didanai oleh pembiayaan jangka panjang. Masyarakat yang menerima manfaat proyek di masa mendatang secara prinsip harus ikut menanggung beban biaya pengadaan proyek tersebut, sedangkan pinjaman daerah yang berasal dari sumber non-pemerintah (private debt sources) akan meningkatkan efisiensi penggunaannya, karena Pemerintah Daerah harus memperhitungkan secara tepat nilai opportunity cost of capital yang sesungguhnya dan memprioritaskan proyek-proyek yang akan dilaksanakannya sesuai dengan tingkat manfaat sosial dan ekonomi (Alisjahbana, 2001).

Prasyarat utama bagi diperbolehkannya daerah meminjam adalah dengan menerapkan “the golden rule guidelines” bagi pinjaman daerah (Magrassi, 2000):

“ local government should only use sub-national debt to finance capital projects that are anticipated to produce financial rate of returns that, vis-a-vis the project socioeconomic benefits, justify the debt service paid to lenders”.

Untuk menghindari risiko yang dapat terjadi atas penggunaan pinjaman daerah dalam pembiayaan hendaknya memperhatikan kaidah yang berlaku dalam memperkirakan kapasitas meminjam Pemerintah Daerah. Dua ukuran yang sering digunakan untuk itu adalah Debt Service Ratio (DSR) dan Debt Coverage Ratio (DCR). DSR merupakan ambang batas kemampuan pelunasan daerah yang pada prinsipnya digunakan Pemerintah Daerah untuk mengendalikan jumlah pinjaman yang relatif aman. Sedangkan DCR pada prinsipnya merupakan angka perbandingan antara perkiraan kemampuan daerah yang dapat disisihkan (tabungan neto) dengan total rencana pembayaran pinjaman setiap tahunnya. Istilah disisihkan dimaksudkan untuk mempertegas adanya rencana untuk membiayai proyek melalui dana pinjaman daerah, dan terutama tersedianya dana untuk pengembalian pinjaman secara aman.

F. Praktek Pinjaman Daerah di Indonesia

Ketentuan Dasar Pinjaman Daerah di Indonesia

Daerah dapat melakukan pinjaman yang bersumber dari; (a) sumber dalam negeri (b) sumber luar negeri. Pinjaman daerah yang berasal dari luar negeri harus melalui Pemerintah Pusat, perlunya persetujuan Pemerintah Pusat harus ada evaluasi yang menyeluruh tentang aspek-aspek dapat tidaknya usulan pinjaman untuk diproses lebih lanjut. Sedangkan untuk pinjaman dari dalam negeri dapat secara langsung dilakukan bila disetujui oleh DPRD dengan prinsip pinjaman tersebut harus secara langsung dikaitkan dengan kemampuan daerah untuk membayar pinjamannya. "Daerah dapat melakukan pinjaman dari sumber dalam negeri untuk membiayai sebagian anggarannya". Pinjaman dari dalam negeri dapat bersumber dari (PP 107/2000 pasal 2 ayat 2);

Pemerintahan Pusat Lembaga Keuangan Bank

Page 50: DIKTAT KEBIJAKAN FISKAL - repository.unas.ac.id

Lembaga Keuangan Bukan Bank Masyarakat Sumber Lainnya

Pinjaman daerah menurut PP No 107 Tahun 2000 adalah: semua transaksi yang

mengakibatkan daerah menerima dari pihak lain sejumlah uang atau manfaat bernilai uang, sehingga daerah tersebut dibebani kewajiban untuk membayar kembali. Dalam hal ini, tidak termasuk kredit jangka pendek yang lazim terjadi dalam perdagangan.

Pinjaman pada dasarnya dapat digunakan untuk pembiayaan defisit aliran kas jangka pendek; pembiayaan defisit anggaran rutin tahunan; pembelian peralatan dan kendaraan yang memiliki umur ekonomis jangka menengah; pembiayaan investasi yang diharapkan dapat secara langsung menghasilkan pendapatan, dan pembiayaan investasi jangka panjang yang tidak menghasilkan pendapatan secara langsung. Walaupun demikian, pinjaman harus didefinisikan sebagai sumber dana pelengkap untuk mempercepat proses pembangunan daerah. Pinjaman harus secara langsung dikaitkan dengan kemampuan mengangsur serta cara mengalokasikan pada pembangunan dan atau penyediaan layanan publik yang produktif. Pinjaman daerah sebaiknya bersifat jangka panjang guna membiayai pembangunan prasarana yang merupakan aset daerah dan dapat menghasilkan penerimaan untuk pembayaran kembali pinjaman serta memberikan manfaat bagi pelayanan masyarakat (Wiratmo, 2001). Berdasarkan penggunaan dan melihat jangka waktunya maka;

a. Pinjaman jangka pendek dapat digunakan untuk membantu kelancaran arus kas dan dana awal bagi investasi jangka panjang

b. Pinjaman jangka panjang dapat digunakan untuk membiayai pembangunan prasarana yang dapat menghasilkan penerimaan untuk pembayaran kembali, serta memberikan manfaat bagi pelayanan masyarakat.

Page 51: DIKTAT KEBIJAKAN FISKAL - repository.unas.ac.id

KEBIJAKAN BELANJA PUBLIK SEKTOR-SEKTOR UMUM

Dalam bab ini akan dibahas lebih rinci berbagai jenis belanja serta masalah-masalah yang ditimbulkannya. Pembahasan akan dimulai dari jenis belanja pertahanan nasional, pembangunan jalan raya, belanja pendidikan dan perlindungan lingkungan berupa pembangunan taman rekreasi.

A. Perlunya Analisis Sektor Banyak pendapat tentang pengelompokan pengeluaran

publik kepada sektor, akan tetapi sektor-sektor yang dibahas disini didasarkan pada klasifikasi Bank Dunia, dengan melihat pengalaman-pengalaman empiris di berbagai negara. Sehingga, pendekatan pengelompokan sektor diasumsikan mengacu pada laporan-laporan Bank Dunia, untuk lebih fokus pada pembahasan materi.

Tujuan analisis sektor menyangkut beberapa tujuan yaitu:

1) Membantu pertimbangan strategis dan kebijakan untuk seluruh perekonomian.

2) Memungkinkan penilaian strategis dan kebijakan pembangunan sektor yang mendorong kontribusi sektor terhadap pembangunan ekonomi negara.

3) Menentukan prioritas investasi dalam rangka identifikasi proyek- proyek khusus lain dan studi pra investasi tambahan yang diperlukan.

4) Mengevaluasi kapasitas lembaga-lembaga tiap sektor dalam melaksanakan kebijakan-kebijakan publik.

Analisis sektor diperlukan untuk menjawab pertanyaan

tentang pilihan, prioritas, dan hubungan antar sektor diantara proyek dan program yang dilaksanakan pemerintah. Perencanaan yang berhasil memerlukan penerjemahan tujuan dan kebijakan sektor kedalam kebutuhan sektor dan subsektor secara individual dan juga kedalam rincian yang lebih detail pada proyek-proyek tertentu. Dengan demikian, tujuan analisis sektor adalah untuk menjembatani kesenjangan antara kebijakan ekonomi makro tingkat nasional, program-program investasi dan kebijakan ekonomi mikro dari proyek individu.

Page 52: DIKTAT KEBIJAKAN FISKAL - repository.unas.ac.id

B. Pertahanan Nasional Di Amerika Serikat, selama tahun 80-an, belanja

pertahanan nasional merupakan kontributor utama terhadap pertumbuhan anggaran, meskipun akhirnya dilampaui oleh pertumbuhan program sosial. Dalam dekade tersebut, belanja pertahanan menjadi faktor utama anggaran pemerintah dalam pembelian barang dan jasa dari swasta. Belanja pertahanan dibagi menjadi belanja personil, operasi dan pemeliharaan, pembelian barang dan jasa, penelitian dan pengembangan.

Masalah Utama Dalam Belanja Pertahanan

Masyarakat tidak dapat menyediakan sendiri keamanan bagi dirinya dan proteksi yang diberikan haruslah secara kolektif, sehingga contoh penyediaan jasa pertahanan menjadi contoh klasik yang dapat dibahas. Belanja pertahanan selain menghadapi masalah yang kompleks dalam perencanaan, juga melibatkan masalah-masalah kebijakan luar negeri, seperti kesediaan untuk menerima risiko konflik militer. Suatu kebijakan pertahanan dapat dipandang sebagai kebijakan subyektif. Alasannya, seseorang dapat saja memandang kebijakan tersebut defensif, tapi orang lain dapat berpandangan bahwa kebijakan tersebut ofensif. Keputusan politik memegang peranan angat penting dalam menentukan pola kebijakan pertahanan ini, meski pun menjadi kebijakan yang sulit diperkirakan.

Masalah lainnya adalah menyangkut keseimbangan antara angkatan darat, laut, udara dan marinir, dan pemilihan sistem persenjataan tertentu. Yang paling penting, perencanaan pertahanan nasional harus menemukan keseimbangan antara senjata konvensional dan modern, ruang lingkup nasional, regional atau internasional. Terakhir, masalah kekuatan militer tidak hanya meningkatkan akibat pengrusakan, tetapi juga bisa mencegah konflik yang juga menimbulkan pengrusakan.

Efektifitas Biaya Modernisasi Kekuatan Strategis

Kebutuhan pertahanan nasional dan berbagai masalahnya memerlukan perancangan yang kesemuanya harus dipenuhi dengan seefisien mungkin. Perdebatan yang muncul di Amerika Serikat tentang sistem persenjataan adalah apakah harus

Page 53: DIKTAT KEBIJAKAN FISKAL - repository.unas.ac.id

memodernisasi kekuatan strategis ataukah harus membangun kekuatan strategis baru. Kelayakan proyek-proyek militer, mulai land-based missiles, submarine-based missiles, maupun Administrations Strategic Defensive Initiative (sering disebut perang bintang), sampai sekarang masih dipertentangkan oleh para ilmuwan, mengingat risikonya yang sangat tinggi. Dengan melihat anggaran pertahanan Amerika Serikat saat ini, sangat sulit memperkirakan apakah akan ada pembatasan persenjataan strategis dengan melakukan pemotongan anggaran, mengingat peran Amerika dalam perang melawan terorisme sangat besar bahkan menjadi sponsor bagi program internasional ini.

Dampak Terhadap Industri

Karena pertahanan merupakan kontributor utama dalam defisit anggaran pemerintah federal AS, dampaknya terhadap perkenomian negara layak dilakukan pembahasan. Dampak pertama terjadi pada besarnya pengeluaran untuk pengadaan struktur industri serta pertumbuhan produktivitas dalam bidang peralatan pertahanan. Terdapat pergeseran dari permintaan swasta untuk barang konsumsi dan perumahan kepada pembelian pemerintah untuk sektor pertahanan. Industri pertahanan mencakup sektor manufaktur, seperti aerospace, pabrik pembuatan kapal laut, dan pabrik persenjataan elektronik. Di lain pihak, sektor ini secara nyata juga mendukung kesempatan kerja di sektor swasta.

Dampak Terhadap Pertumbuhan Produktivitas

Program riset dan pengembangan yang dilakukan untuk kepentingan pertahanan nasional berpengaruh besar terhadap perkembangan teknologi dan pertumbuhan produktivitas. Dari satu pihak, produktivitas yang ditimbulkan oleh sektor pertahanan akan dialihkan ke sektor swasta - seperti komputer - namun di lain pihak, terserapnya bakat ilmiah oleh industri pertahanan akan menyebabkan industri swasta tersebut ke arah penurunan. Bukti empiris menunjukkan bahwa negara dengan prosentase belanja pertahanan terhadap pendapatan nasionalnya kecil, misalnya Jerman dan Jepang, ternyata mengalami pertumbuhan produktivitas yang lebih cepat dibanding dengan negara dengan prosentase belanja pertahanan yang lebih besar, seperti Amerika Serikat. Pertumbuhan produktivitas jangka

Page 54: DIKTAT KEBIJAKAN FISKAL - repository.unas.ac.id

panjang akan tergantung pada peningkatan jumlah orang berbakat ilmiah dan kontribusi anggaran dalam peningkatan aktivitas ilmiah tersebut.

Jalan Raya Keunikan sistem jalan raya sebagai barang publik

menyangkut tiga hal yaitu:

1) Kerjasama yang rapi antara pemerintah federal, pemerintah negara bagian dan pemerintah lokal lainnya.

2) Jalan raya membutuhkan pembiayaan yang sangat besar. 3) Perkiraan pajak yang besar.

Kerjasama Antar Unit Pemerintah

Pengeluaran untuk jalan raya, di Amerika Serikat, paling banyak dilakukan pada tingkat negara bagian, termasuk jalan antar negara bagian. Sebagian yang lain dilakukan oleh pemerintah federal dengan mentransfer hampir seluruh penerimaannya melalui grant kepada tingkat pemerintah dibawahnya dan sebagian besar diterima oleh negara bagian. Sedangkan pemerintah lokal bertanggungjawab terhadap jalan raya di daerahnya. Pembagian kerja dan pembiayaan ini menunjukkan perhatian yang besar dari pemerintah, baik federal, negara bagian, maupun pemerintah lokal lainnya.

Pembiayaan Melalui Pungutan Kepada Pemakai

Pembangunan jalan raya sebagian besar didanai oleh pemakai jalan. Untuk tingkat federal, penerimaan berasal dari pajak bahan bakar, yaitu penghasilan yang ditransfer dari Highway Trust Fund dalam bentuk grant antar pemerintahan. Pada tingkat negara bagian, penerimaan jalan raya diperoleh dari retribusi dan pajak kendaraan bermotor, yang selanjutnya dipakai untuk membangun jalan negara bagian dan sebagian lainnya ditransfer ke pemerintah lokal dalam bentuk grant. Sedangkan pada tingkat pemerintah lokal, jalan raya dibiayai dari general fund, yang salah satunya berasal dari pajak atas kekayaan yang dimiliki penduduk lokal serta dari pembebanan khusus lainnya. Penerimaan dari tarip tol tidak terlalu siginifikan dibanding dengan sumber pendanaan lainnya.

Page 55: DIKTAT KEBIJAKAN FISKAL - repository.unas.ac.id

C. Pendidikan Anggaran pendidikan, di Amerika Serikat, terutama

dibiayai oleh pemerintah lokal dan negara bagian, meskipun pengendalian sistem pendidikan tetap berada di bawah pemerintah lokal. Dana negara bagian yang disalurkan kepada pemerintah lokal dalam bentuk bantuan dan subsidi, terutama untuk mendanai pendidikan tingkat tinggi. Pemerintah federal juga ikut membiayai pembangunan pendidikan, meskipun tidak terlalu besar, karena pendidikan pada dasarnya tetap merupakan jasa publik yang harus disediakan oleh pemerintah. Swasta ikut memberikan andil membiayai pendidikan juga, meskipun kontribusinya tidak sebesar pemerintah.

Masalah-Masalah Kebijakan Pendidikan

Permasalahan yang ada dalam kebijakan pendidikan menyangkut apa yang seharusnya diajarkan di sekolah negeri (kurikulum), bagaimana proses pengajaran berlangsung, siapa yang berhak memperoleh pendidikan, dan apakah sebaiknya pemerintah memberikan bantuan kepada lembaga pendidikan swasta juga.

Negara bagian pada umumnya mempunyai kebebasan yang cukup memadai dalam merancang struktur fiskal masing-masing dan dalam mengendalikan pemerintah lokal yang secara langsung bertanggungjawab dalam penyediaan pendidikan. Hal ini telah mendapat dukungan undang-undang di negara bagian dan telah pula diakui oleh Mahkamah Agung bahwa setiap warganegara berhak atas perlakukan yang sama dalam bidang pendidikan. Namun demikian, tidak ada keharusan menurut konstitusi bahwa pendidikan harus sebanding di seluruh negara bagian.

Pendidikan dasar dan menengah sebagian besar disediakan oleh pemerintah, melalui sekolah negeri. Pada tingkat ini, timbul perdebatan tentang perlunya monopoli pemerintah atas sekolah pada tingkatan itu. Hasil yang efisien akan dapat diperoleh jika terdapat persaingan yang sehat antara lembaga pendidikan negeri dan swasta. Penganjur pendidikan berpendapat bahwa pendidikan merupakan kepentingan umum sehingga harus disediakan oleh pemerintah, akan tetapi mereka juga setuju bahwa tidaklah berarti bahwa pendidikan harus

Page 56: DIKTAT KEBIJAKAN FISKAL - repository.unas.ac.id

disediakan oleh sekolah negeri. Konsumen pendidikan mengharapkan pemberian pendidikan yang sama atau paling tidak ada standar minimum.

Masalah pokok yang juga timbul adalah berkaitan dengan tingkat pendidikan. Persaingan yang dapat dilakukan oleh sekolah-sekolah swasta perlu didukung dengan kebijakan dalam menjamin persaingan yang sehat oleh pemerintah. Persoalan pendidikan bukanlah hanya persoalan fiskal saja, akan tetapi merupakan persoalan politik.

D. Fasilitas Rekreasi

Pembangunan fasilitas rekreasi memberi manfaat ganda yakni manfaat bagi pemakai, manfaat bagi masyarakat di sekitarnya dan manfaat lain - seperti keindahan alam. Fasilitas rekreasi merupakan barang publik yang bersifat barang akhir atau barang konsumsi, tidak seperti jalan raya yang bersifat barang antara. Problem utama dalam penyediaan fasilitas rekreasi adalah seberapa besar manfaat barang tersebut dapat dinikmati oleh publik. Pengukuran manfaat atas barang ini dapat dilakukan dengan berbagai cara.

Pengukuran cara pertama dengan menghitung pungutan kepada pemakai. Dengan cara ini, kelayakan proyek dihitung berdasarkan rencana tarip yang akan dibebankan kepada para pengguna yang kemudian dibandingkan dengan biaya proyek. Cara kedua adalah dengan melakukan penghitungan kesediaan membayar para pemakai untuk penyediaan fasilitas rekreasi. Dari penghitungan tersebut, kurva permintaan dapat disimulasikan sehingga dapat dijadikan dasar pengukuran manfaat.

Kemudian, ada cara ketiga dengan analogi fasilitas swasta yang menarik iuran dari para anggotanya sebagai dasar penghitungan manfaat. Cara lain adalah dengan penghitungan manfaat yang dapat dilakukan dengan menghitung biaya yang dikeluarkan oleh pemakai dalam melakukan rekreasi keluar rumah. Sebagai alternatif, dapat dilakukan pembobotan dalam menilai waktu para pemakai fasilitas ini dengan membandingkan efisiensi dari setiap alternatif penggunaan dana.

Page 57: DIKTAT KEBIJAKAN FISKAL - repository.unas.ac.id

Selain berbagai manfaat diatas, perlu juga dipertimbangkan manfaat dalam bentuk lain dari suatu fasilitas rekreasi. Sebagi contoh, proyek sumber daya air dapat mempunyai manfaat ganda, selain untuk rekreasi juga dapat digunakan untuk konservasi sumber daya air. Contoh lain adalah sebuah bendungan dapat dinilai manfaatnya sebagai pembangkit tenaga listrik, pengendalian banjir, irigasi, selain ditujukan untuk rekreasi.

Analisis pasar dapat digunakan dalam penilaian manfaat atas fasilitas rekreasi, meski pun bukan satu-satunya cara. Fasilitas rekreasi merupakan barang publik sehingga penilaian dan pembobotan sosial atas fasilitas rekreasi harus lebih diutamakan, bukan penilaian seperti yang dilakukan dalam pengadaan fasilitas swasta. Dan, hal ini dapat dianggap sebagai subsidi untuk jenis jasa swasta. Tujuan non finansial tertentu, misalnya keindahan alam dan margasatwa, harus dipertimbangkan, meskipun tidak dapat diukur dengan mudah melalui pengujian pasar.

KEBIJAKAN BELANJA PUBLIK DALAM TUNJANGAN SOSIAL

Terdapat berbagai macam bentuk tunjangan sosial yang dikelola pemerintah. Contoh yang diuraikan dalam bab ini merupakan contoh-contoh tunjangan sosial utama yang umumnya terdapat di negara-negara maju. Sampai seberapa jauh mana tingkat tunjangan diberikan tergantung pada kemampuan finansial masing-masing negara.

A. Tunjangan kepada Penghasilan Rendah

Di Amerika Serikat, terdapat sejumlah program tunjangan yang ditujukan untuk masyarakat berpenghasilan rendah. Komponen-komponen utama program tersebut antara lain sebagai berikut:

Page 58: DIKTAT KEBIJAKAN FISKAL - repository.unas.ac.id

Medicaid

Program ini ditujukan bagi semua orang yang memenuhi kriteria AFDC (Aid to Fammilies with Dependent Children) yang sering disebut sebagai program kesejahteraan. Kriteria-kriteria tersebut antara lain adalah orang yang mempunyai pendapatan terbatas menurut kriteria SSA (Supplementary Security Income), serta semua orang yang berumur diatas 65 tahun. Bantuan diberikan dalam bentuk Medicare yaitu asuransi kesehatan yang preminya dibayar oleh pemerintah suatu negara. Program ini biasanya dirancang dan dikelola oleh negara bagian dengan berpedoman pada standar ketentuan yang ditetapkan oleh pemerintah federal.

Jaminan Penghasilan Tambahan

Tunjangan ini diberikan dalam bentuk pembayaran tunai kepada orang-orang yang penghasilannya atau aset seseorang kurang dari jumlah minimum yang ditetapkan. Program ini dikelola oleh pemerintah federal. Kupon Makanan

Rumah tangga (tidak terbatas umur) berhak memperoleh kupon makanan jika mempunyai aktiva atau berpenghasilan kotor yang kurang dari nilai yang ditetapkan oleh pemerintah federal. Meskipun demikian, program ini diberikan melalui pemerintah lokal.

Perumahan Murah

Program ini merupakan program pemerintah federal dimana subsidi perumahan diberikan dalam bentuk hipotik berbunga rendah bagi petani berpenghasilan rendah.

Tunjangan Kesejahteraan

Program AFDC menetapkan bahwa pemerintah federal memberikan bantuan kepada setiap negara bagian – baik uang tunai maupun dalam bentuk lain – yang kemudian dipakai untuk menunjang keluarga yang mempunyai anak dibawah 18 tahun yang belum mandiri. Standar yang digunakan dapat berbeda antara satu negara bagian dengan negara bagian lain.

Page 59: DIKTAT KEBIJAKAN FISKAL - repository.unas.ac.id

Program kesejahteraan ini paling banyak menimbulkan perdebatan. Program ini dipandang sebagai program yang merendahkan martabat karena persyaratannya dibatasi pada keluarga yang tidak mempunyai kepala keluarga pria. Tunjangan yang diberikan dinilai tidak memadai untuk standar kehidupan minimum yang layak. Selain itu, program ini dipandang tidak mendorong orang untuk bekerja lebih giat, karena tunjangan akan menurun jika pendapatan meningkat – sering disebut tarif pajak marjinal. Titik permasalahan telah berubah dari memberikan keringanan dalam ekonomi kepada kesejahteraan anak dalam keluarga yang berorang tua tunggal. Untuk mengatasi kritik ini, pola tunjangan alternatif mulai dipertimbangkan.

Cara paling efektif dalam menunjang keluarga berpenghasilan rendah adalah dengan membagikan dana melalui pemenuhan kekurangan pendapatan mulai pendapatan tingkat bawah. Dengan demikian alternatif ini akan menjamin tingkat minimum yang cukup sesuai ketersediaan dana sosial pemerintah. Namun demikian, kebijakan pemberian tunjangan alternatif ini dapat mengurangi jumlah bantuan yang dapat diberikan kepada golongan yang paling membutuhkan.

Pola alternatif lain adalah bentuk pajak penghasilan negatif. Bantuan diberikan kepada orang-orang dengan pendapatan rendah atau yang tidak berpendapatan. Jika pendapatan kotor meningkat, maka pajak negatif akan menurun sampai pada titik mencapai nol dan sesudah itu terjadi pajak positif yang terhutang. Prinsip ini merupakan perluasan prinsip perpajakan progresif yang telah diterima umum dan berbagai cara untuk menggabungkan prinsip pajak negatif ke dalam struktur pajak positif telah dipertimbangkan.

B. Asuransi Sosial

Komponen-komponen utama dari asuransi sosial ini di Amerika Serikat meliputi sistem asuransi sosial OASI (Old Age and Survivors Insurance), HI (Health Insurance), dan DI (Disability Insurance).

Page 60: DIKTAT KEBIJAKAN FISKAL - repository.unas.ac.id

Asuransi Pensiun dan Cacat

Peraturan OASI menetapkan bahwa program ini mencakup semua pekerja berusia dibawah 65 tahun dan bekerja di bidang komersial serta industri - kecuali jalan kereta api dan karyawan pemerintahan yang mempunyai skema lain - berhak mendapatkan asuransi pensiun dan cacat yang preminya bersumber dari penerimaan pajak penghasilan upah dan gaji (payroll tax). Prinsipnya adalah menggabungkan kontribusi pemberi kerja dan karyawan.

Asuransi Kesehatan

Setiap individu berhak atas jaminan sosial pensiun dan juga berhak atas Medicare pada usia 65 tahun. Tunjangan ini untuk memberikan perlindungan dasar terhadap biaya jasa rumah sakit, biaya rawat jalan, dan jasa perawatan kesehatan rumah. Perdebatan sekitar asuransi kesehatan ini menyangkut apakah asuransi hanya mencakup orang yang berusia lanjut atau harus diperluas kepada seluruh penduduk, dan kalau diperluas bagaimana bentuknya. Perdebatan muncul karena menyangkut pembiayaan yang sangat besar, pengaruhnya terhadap jasa medis yang diberikan, kebebasan memilih dokter, dan peranan asuransi swasta.

Asuransi Pengangguran

Program ini dibiayai dari pajak upah dan gaji federal dan pajak tambahan dari negara bagian yang dibayarkan oleh pemberi kerja. Semua kontribusi dari pemerintah federal dan negara bagian dibayarkan kepada dan dikelola oleh Federal Unemployment Trust Fund.

Sistem Tunjangan Sosial Terkini Seiring dengan perkembangan pemikiran aspek

keadilan, sistem tunjangan sosial juga mengalami perubahan. Sistem tunjangan dalam bentuk tunai dipandang oleh para ekonom dapat menimbulkan efek yang negatif bagi golongan penghasilan rendah dalam hal produktivitasnya, sehingga golongan penghasilan tinggi mempunyai preferensi memberikan kontribusinya dalam bentuk non tunuai. Salah satu perubahan

Page 61: DIKTAT KEBIJAKAN FISKAL - repository.unas.ac.id

yang substansial dari sistem kesejahteraan di Amerika Serikat berubah sejak diundangkannya Undang Undang Rekonsiliasi Kesempatan Kerja dan Tanggungjawab Personal tahun 1996. Aturan tersebut menciptakan program kesejahteraan yang disebut Temporary Aid for Needy Families (disingkat TANF) yang pada intinya mengatur hal-hal dibawah ini.

1. Menurut aturan AFDC, setiap orang yang mempunyai pendapatan dibawah batasan tertentu dan memenuhi persyaratan tertentu diberikan bantuan manfaat tunai secara mutlak tanpa pandang bulu. TANF mengubah aturan bantuan tunai tersebut kecuali dalam hal bahwa bantuan secara tunai tersedia hanya temporer – tidak setiap saat - berdasarkan ada tidaknya prgram tunjangan tunai tersebut.

2. Secara umum, TANF mengatur bahwa individu tidak dijinkan menerima bantuan tunai untuk masa lebih dari lima tahun.

3. Setiap orang dewasa yang normal (tidak cacat) yang telah menerima pembayaran bantuan tunai selama dua tahun diharuskan mengambil bagian dalam suatu kegiatan yang ditujukan untuk membuat individu tersebut dapat menghidupi dirinya sendiri.

4. Setiap negara bagian diberikan grant dari pemerintah federal untuk mendanai program kesejahteraan dimana jumlahnya adalah tetap, kemudian negara bagian tersebut melaksanakan prgram kesejahteraannya sepanjang tepat sasaran dalam batasan grant tersebut. Dengan demikian, struktur pemberian bantuan kesejahteraan negara bagian dikendalikan oleh pemerintah federal. Suatu negara bagian dapat menggunakan grant tersebut untuk membayar bantuan secara tunai, melaksanakan program pelatihan kerja, melaksanakan program pembatasan kehamilan, atau program lainnya yang sejenis.

Page 62: DIKTAT KEBIJAKAN FISKAL - repository.unas.ac.id

KOORDINASI PAJAK INTERNATIONAL

A. Pendahuluan Transaksi internasional bukan merupakan hal yang baru.

Transaksi tersebut sudah dilakukan sejak jauh sebelum abad Masehi. Ekonom klasik menaruh perhatian terhadap perdagangan internasional. Adam Smith atau David Ricardo berpendapat bahwa negara akan lebih baik apabila melakukan spesialisasi produksi barang berdasarkan keuntungan komparatifnya, mengekspor barang tersebut dan mengimpor barang dari negara lain yang bisa memproduksi barang lain dengan lebih efisien. Sebagai contoh, negara dengan tenaga kerja murah akan lebih baik memproduksi barang bercirikan padat karya, seperti tekstil dan sepatu. Negara dengan kemampuan teknologi tinggi sebaiknya memproduksi barang seperti computer atau perangkat lunak. Kemudian kedua negara tersebut akan melakukan pertukaran: negara yang satu mengeksport tekstil dan mengimpor computer, sedangkan yang lainnya mengekspor computer dan mengimpor tekstil. Dengan cara semacam itu kemakmuran dunia akan semakin meningkat. Teori tersebut kemudian dikenal sebagai doktrin keunggulan komparatif. Asumsi dalam teori tersebut adalah bahwa faktor produksi seperti tenaga kerja, modal, tanah dan mesin tidak mudah berpindah (tidak mobil), sedangkan barang yang dihasilkan bisa dipindahkan dengan mudah. Juga teori tersebut mengasumsikan pertukaran barang komoditi, bukannya barang yang terdiferensiasi. Daya saing suatu negara sudah ditentukan (given), tergantung sumberdaya yang dipunyai. Faktor lain seperti ketidakpastian, skala ekonomi, teknologi tidak dipertimbangkan dalam teori tersebut.

Perusahaan multinasional tumbuh dengan menyalahi doktrin keunggulan komparatif. Jika ekonomi klasik mengasumsikan bahwa faktor produksi tidak mudah berpindah, perusahaan multinasional dibangun dengan asumsi bahwa faktor produksi sangat mobil. Perusahaan multinasional bisa

Page 63: DIKTAT KEBIJAKAN FISKAL - repository.unas.ac.id

memproduksi barang di Indonesia (karena tenaga kerja murah), kemudian memperoleh modal dari pasar keuangan eropa, produk didesain di prancis, kemudian barang jadi dijual ke Amerika Serikat, sedangkan pusat perusahaan tersebut di Jepang. Faktor produksi tidak dibatasi oleh batas-batas negara, tetapi sudah melintas batas-batas negara. Koordinasi dan alokasi sumberdaya menjadi kunci pengelolaan perusahaan multinasional. Perusahaan multinasional berusaha mengoptimalkan sumberdaya yang ada di dunia ini tidak terbatas pada batas-batas negara.

Gambaran mengenai perusahaan multinasional tersebut diatas menunjukkan fakta bahwa semakin hari akan semakin meningkat saling ketergantungan perekonomian dunia dan kondisi ini akan semakin mempengaruhi aspek internasional dalam hal keuangan publik. Penyatuan perekonomian Eropa ke dalam pasar bersama, makin meningkatnya peranan perusahaan multinasional, pembiayaan badan kerjasama internasional seperti Perserikatan Bangsa Bangsa dan NATO, dan ketimpangan distribusi pendapatan internasional akan mengarah kepada perlunya koordinasi fiskal internasional.

Setiap negara tentunya akan mengatur bagaimana negara tersebut akan menarik pajak terhadap pendapatan warga negaranya yang diperolehnya dari luar negeri dan pendapatan warga negara asing yang berasal dari dalam negeri. Sejalan dengan kondisi tersebut suatu negara tentunya juga harus mengatur bagaimana pajak produk dan pajak penjualan dari negara bersangkutan akan diterapkan pada sistem ekspor impornya. Keputusan ini tentunya akan diambil secara bersama- sama dengan negara lain, dan perjanjian pajak internasional merupakan suatu media yang dapat mengkoordinasikan masalah-masalah tersebut. Dalam hal penerapan koordinasi pajak internasional, terdapat beberapa asas yang perlu diperhatikan yang diantaranya adalah:

1) Keadilan antar perorangan 2) Keadilan antar negara 3) Efisiensi

Page 64: DIKTAT KEBIJAKAN FISKAL - repository.unas.ac.id

Keadilan Antar Perorangan Dalam prakteknya, jika seseorang menerima pendapatan

yang berasal dari berbagai negara, dia akan dikenakan pajak lebih dari satu kali. Misalnya adalah Mr. A, seorang warga negara Amerika Serikat, yang dalam masa tertentu bekerja di Indonesia, akan membayar pajak sesuai dengan ketentuan Indonesia atas penghasilan yang diperolehnya di Indonesia. Dalam kasus lain, Mr. A juga melakukan investasi di Indonesia dan menerima deviden yang dikenakan pajak oleh Indonesia. Karena dia juga menerima pendapatan sebagai warga negara Amerika Serikat, tentunya Mr. A juga akan dikenakan pajak oleh pemerintah Amerika Serikat.

Dalam kasus ini yang menjadi pertanyaan adalah, apakah keadilan horizontal (keadilan antar perorangan) yang mengharuskan bahwa pajak total yang dibayarnya (baik didalam maupun luar negeri) akan sama dengan pajak yang di bayar oleh Mr. B, yang menerima pendapatan total yang sama tetapi seluruhnya berasal dari Amerika Serikat? Atau sudah cukupkah kiranya jika Amerika Serikat menganggap pajak yang di bayar ke negara lain sebagai pengurangan pendapatan dan menyamakan beban pajak sesuai dengan pengenaan pajak di Amerika Serikat saja? Dalam kasus Mr. A, keadilan diinterpretasikan dalam artian internasional, sedangkan dalam kasus Mr. B keadilan diinterpretasikan dalam artian nasional.

Keadilan Antar Negara

Masalah keadilan yang lebih pelik akan kita temui dalam menentukan pembagian penerimaan pajak diantara ditjen pajak atau departemen keuangan di berbagai negara. Meskipun dengan cara yang berbeda, masalah ini akan timbul baik dalam hal pajak penghasilan maupun pajak produk.

Sehubungan dengan pajak penghasilan, secara umum disetujui bahwa negara dimana pendapatan itu dihasilkan (juga di sebut sebagai negara sumber) berhak menarik pajak atas pendapatan tersebut, tetapi berapa tarif yang akan di kenakan

Page 65: DIKTAT KEBIJAKAN FISKAL - repository.unas.ac.id

masih menjadi persoalan. Konsekuensi dari kondisi tersebut di atas adalah bahwa pajak Indonesia yang di kenakan terhadap penghasilan atas modal Amerika Serikat yang ditanamkan di Indonesia tentunya akan mengurangi pengembalian (return) bagi Amerika Serikat. Berbeda halnya dengan pajak tambahan yang mungkin di kenakan oleh Amerika Serikat, sehingga tidak akan merugikan bagi Amerika Serikat tetapi hanya merupakan transfer dari warga negara Amerika Serikat ke Departemen Keuangan Amerika Serikat. Oleh karena itu, kerugian yang di derita Amerika Serikat hanya akan tergantung pada tarif pajak atas modal Amerika Serikat yang di kenakan di Indonesia.

Salah satu pandangan mengenai keadilan antar negara adalah bahwa negara sumber harus diperbolehkan menarik pajak atas pendapatan yang di peroleh investor asing dengan tarif sebesar yang di kenakan negara lain atas pendapatan warganya di negara tersebut. Kondisi ini bisa disebut sebagai prinsip berbalasan.

Dalam hal pajak produk, masalah keadilan berkaitan dengan kemungkinan untuk membebani warga asing melalui perubahan harga. Jika negara A mengenakan pajak atas ekspor, tentunya biaya ekspor akan naik. Jika negara tersebut mendominasi pasar ekspor, harga ekspor akan naik dan konsumen di luar negeri akan membayar lebih mahal. Jadi, sebagian dari beban pajak akan digeser keluar negeri. Sejalan dengan itu, jika Impor dikenakan pajak, pemasok luar negeri harus menjual produknya dengan harga yang lebih rendah. Hal ini juga menunjukkan bahwa sebagian beban pajak akan di geser keluar negeri. Jika kita menerima kriteria bahwa suatu negara harus membayar pajaknya sendiri, maka penggeseran beban semacam itu bisa dianggap sebagai hambatan bagi keadilan antar negara.

Efisiensi Perbedaan tarif pajak tentunya akan mempengaruhi lokasi dari kegiatan perekonomian dan cenderung menghambat penggunaan sumber daya yang paling efisien. Jika Mr.C,

Page 66: DIKTAT KEBIJAKAN FISKAL - repository.unas.ac.id

seorang investor merasakan bahwa pajaknya akan lebih rendah apabila dia menanamkan modal di Vietnam dari pada di Indonesia, maka Mr C akan menanamkan lebih banyak modalnya di Vietnam. Dengan demikian, permasalahannya adalah bagaimana mengelola pengenaan pajak atas pendapatan dan investasi internasional sehingga tidak mengganggu efisiensi alokasi modal secara global. Kondisi ini akan mengakibatkan bahwa lokasi produksi tidak lagi di tentukan oleh keunggulan komparatif (atau biaya sumber daya relatif), yang merupakan persyaratan bagi perdagangan yang efisien, tetapi di modifikasi oleh perbedaan biaya pajak.

B. Prinsip Prinsip Pajak Internasional Berbagai struktur sistem pajak nasional mempunyai

dampak yang sangat penting terhadap arah dan aliran baik barang maupun modal secara internasional dan konsekuensinya, akan tercipta efisiensi alokasi sumber daya di seluruh dunia dalam integrasi perekonomi dunia. Walaupun kemungkinan tidak ada satu negarapun yang secara ketat menerapkan prinsip prinsip pajak internasional. Pada dasarnya terdapat dua pendekatan dalam pajak internasional yang lazim dipergunakan yakni pajak langsung dan pajak tidak langsung.

Pajak Langsung /Capital Income (Direct) Taxation Dua prinsip dalam pajak penghasilan internasional adalah prinsip pajak berdasarkan asas domisili dan prinsip pajak berdasarkan asas sumber pendapatan. Prinsip pajak berdasarkan asas domisili menyatakan bahwa penduduk akan dikenakan pajak di negara di mana ia berdomisili tanpa memperhatikan darimana sumber penghasilan yang diperolehnya baik pendapatan yang diperolehnya di dalam negeri maupun di luar negeri. Bagi yang bukan merupakan penduduk tidak akan ditarik pajak terhadap pendapatan yang diperolehnya di negara tersebut. Yang berkaitan erat dengan asas domisili ini adalah penentuan domisili bagi subjek pajak. Artinya, seseorang

Page 67: DIKTAT KEBIJAKAN FISKAL - repository.unas.ac.id

subjek pajak akan dianggap sebagai penduduk dalam negeri (resident taxpayer) apabila memenuhi syarat-syarat tertentu. Syarat- syarat in tergantung pada undang-undang masing-masing negara. Di samping itu, setiap negara mempunyai definisi penduduk sendiri-sendiri, yang berbeda dari negara lain, tergantung dari falsafah yang dianutnya.

Prinsip pajak berdasarkan asas dari sumber pendapatan menyatakan bahwa seluruh pendapatan yang diperoleh di suatu negara akan dikenakan pajak, tanpa memperhatikan tempat domisili penerima pendapatan tersebut, baik itu warga negara ataupun bukan warga negara. Jadi, penduduk suatu negara tidak akan dikenakan pajak terhadap pendapatan yang diperolehnya di luar negeri dan warga negara asing akan dikenakan pajak sama dengan pendapatan penduduk yang diterima di negara tersebut. Penentuan sumber penghasilan tergantung dari dua hal yang pokok, yaitu (a) jenis penghasilan itu sendiri dan (b) penentuan sumber penghasilan berdasarkan undang-undang pajak dari suatu negara. Pada umumnya, untuk menentukan letak sumber penghasilan, jenis-jenis penghasilan dibagi menjadi dua, yaitu:

• Penghasilan dari usaha (active income) • Penghasilan dari modal (passive income), misalnya

dividen, bunga, royalty dan penghasilan dari harta.

Pajak Komoditi (Pajak Tidak Langsung) Dengan menganalogikan pada pajak domisili dan pajak

sumber pendapatan pada pajak langsung, terdapat dua prinsip pajak tidak langsung yang berlawanan satu sama lain (khususnya untuk pajak pertambahan nilai) yakni prinsip pajak tujuan dan prinsip pajak sumber. Menurut prinsip pajak tujuan, barang atau jasa yang dibeli oleh penduduk dikenakan pajak, baik barang atau jasa tersebut dibuat di dalam negeri ataupun barang import. Jadi barang barang impor akan dikenakan pajak sedangkan barang barang ekspor dibebaskan dari pajak.

Page 68: DIKTAT KEBIJAKAN FISKAL - repository.unas.ac.id

Menurut prinsip pajak sumber, segala barang maupun jasa yang bertujuan untuk konsumsi akhir pada suatu negara akan dikenakan pajak, tanpa memperhatikan sumber ataupun asal produksi.

C. Koordinasi Atas Pajak penghasilan dan Pajak Laba Pengenaan Pajak atas Pendapatan yang Diperoleh Setiap negara berhak untuk menarik pajak atas pendapatan warganya entah di manapun pendapatan itu di peroleh. Secara umum prinsipnya adalah memperbolehkan pengenaan pajak atas pendapatan di negara sumber sedangkan negara asal warga bersangkutan akan memberikan kredit pajak. Kondisi ini selaras dengan konsep keadilan antar negara yang menyatakan bahwa negara sumber pendapatan tidak boleh melakukan diskriminasi, tetapi bisa menerapkan tarifnya sendiri terhadap penghasilan orang asing. Demikian juga dengan pemberian kredit pajak oleh negara asal warga bersangkutan, meskipun menyebabkan menurunnya penerimaan negara bersangkutan, kondisi ini selaras dengan pandangan internasional mengenai keadilan antar perorangan. Berkaitan dengan pengertian tersebut berikut illustrasi yang mungkin terjadi jika seseorang warga negara Amerika Serikat bekerja di Inggris.

Nn. D yang bekerja selama enam bulan di Inggris dan kemudian kembali ke Amerika Serikat, akan membayar pajak Inggris Raya atas pendapatan yang diperolehnya di Inggris. Guna menentukan pajak yang akan di bayarnya di Amerika Serikat, pendapatan di Inggris juga akan diperhitungkan, tetapi pajak yang telah dibayar di Inggris akan dikreditkan terhadap kewajiban pajaknya di Amerika Serikat, karena hal itu merupakan pajak seharusnya akan dibayarnya seandainya pendapatan tersebut diperoleh di Amerika Serikat. Paling tidak itulah prosedurnya seandainya pajak yang dikenakan Inggris tidak melebihi pajak yang akan dikenakan Amerika Serikat atas pendapatan yang diperoleh di Inggris tersebut.

Page 69: DIKTAT KEBIJAKAN FISKAL - repository.unas.ac.id

Pengenaan Pajak Tehadap Pendapatan Atas Modal Pada umumnya terdapat beberapa ketentuan dalam

memperlakukan pendapatan investasi asing;

1) Investor perorangan yang menerima pendapatan investasi dari luar negeri akan membayar pajak penghasilan perorangan atas pendapatan tersebut. Pemerintah di negara sumber pendapatan lazimnya akan mengenakan withholding tax, misalnya sebesar 15 persen, yang selanjutnya akan dikreditkan terhadap pajak yang akan dibayarkan di negara asal investor.

2) Perusahaan yang mengoperasikan kantor cabang di luar negeri akan dikenakan pajak atas laba kantor cabang sesuai dengan peraturan pajak perseroan negara bersangkutan. Untuk pengenan pajak di negara asal, laba perusahan induk dan kantor cabang akan dianggap sebagai satu unit.

3) Perusahaan anak yang didirikan di luar negeri (foreign incomporated subsidiary), secara hukum merupakan satuan perusahaan terpisah. Labanya akan dikenakan pajak laba perseroan negara asing dan pajak untuk negara asal akan ditangguhkan sampai laba perusahaan anak tersebut dikirimkan ke perusahan induk sebagai deviden.

Penangguhan Pajak Ketentuan mengenai penangguhan pajak didasarkan

pada asumsi bahwa perusahaan anak diluar negeri benar-benar merupakan satuan usaha yang tepisah. Jadi, kelihatannya hal ini akan bertentangan dengan ketentuan mengenai pengkreditan yang mengganggap pajak perusahaan anak pada kenyataannya merupakan pajak perusahaan induk. Penangguhan pajak hampir tidak menimbulkan perbedaan apa pun bagi perusahaan induk jika pajak luar negeri tidak lebih kecil dari pajak yang akan dikenakan di dalam negeri. Jika kondisi ini terjadi (biasanya pada negara–negara yang sedang berkembang, dimana mungkin tarif pajak sangat rendah), perusahaan anak akan lebih condong untuk menginvestasikannya kembali labanya dinegara yang

Page 70: DIKTAT KEBIJAKAN FISKAL - repository.unas.ac.id

menerapkan tarif pajak yang rendah (yang disebut sebagai surga pajak). Pembagian Laba sebagai Dasar Pengenaan Pajak Dalam Lingkup Internasional

Pada bagian terdahulu telah dijelaskan bahwa suatu negara berhak mengenakan pajak dari laba yang timbul di wilayah bersangkutan. Jika dikaitkan dengan perusahaan multinasional, implementasi dari aturan ini, akan menyebabkan perlunya ditentukan berapa besar laba yang timbul pada setiap negara. Hal ini merupakan persoalan yang rumit.

Sebuah perusahaan Amerika Serikat mengoperasikan sebuah perusahaan anak di Kanada. Sesuai dengan konsep keadilan antar negara, Kanada berhak menarik pajak perusahaan anak tersebut. Tetapi dengan cara apakah laba ini benar-benar bisa dipisahkan dari laba perusahaan induknya di Amerika Serikat? Jika terjadi transaksi jual beli yang terjadi antara perusahan induk dan perusahaan anak, maka laba bisa di geser dari satu negara ke negara lain guna memanipulasi pajak agar diperoleh pajak yang terendah. Kesulitan akan berlipat ganda apabila serangkaian perusahaan anak beroperasi di berbagai negara.

Untuk mengantisipasi kondisi ini, telah diupayakan berbagai aturan untuk menghambat penggeseran laba, misalnya: persyaratan agar harga ditentukan berdasarkan transaksi yang wajar dengan pihak ketiga atau transaksi tanpa hubungan istimewa (arm’s-length-basis). Karena kesulitan-kesulitan yang di hadapi dalam menghitung laba yang terpisah bagi satuan satuan usaha yang terkait, maka pernah disarankan suatu cara yang berbeda sama sekali. Laba sebagai dasar pengenaan pajak (profits base) dari perusahaan multinasional dapat dialokasikan di antara negara negara tidak berdasarkan lokasi dari perusahaan anak tetapi berdasarkan negara asal laba yang diperoleh oleh group usaha tersebut secara keseluruhan. Negara asal tersebut bisa diperkirakan dengan suatu rumus yang memperhitungkan lokasi nilai tambah dan penjualan.

Page 71: DIKTAT KEBIJAKAN FISKAL - repository.unas.ac.id

Meskipun cukup menarik, namun pelaksanaan pendekatan ini memerlukan pengaturan pajak internasional dan karena itu masih merupakan alternatif yang tak terjangkau.

D. Koordinasi Pajak Produk Aspek Efisiensi

Jika pajak penghasilan mempengaruhi aliran atau perpindahan modal, maka pajak produk mengarahkan perhatian kita pada pengaruhnya terhadap aliran produk. Hal ini akan semakin terasa jika kurs valuta asing bersifat fleksibel. Perdagangan internasional yang berlangsung secara bebas didasarkan pada argumen dasar bahwa semua negara yang berdagang akan mendapat manfaat jika masing-masing berspesalisasi pada produk di mana ia memiliki keunggulan komparatif. Anggaplah negara A mempunyai keunggulan komparatif dalam menghasilkan produk X sementara negara B mengimpor X dan mengekspor Y. Akan tetapi, karena biaya produksi semakin meningkat untuk jumlah yang makin besar, negara A akan tetap memproduksi sebagian dari Y dan negara B memproduksi sebagian dari X yang dibutuhkannya. Baik A maupun B akan lebih makmur daripada jika tidak ada perdagangan. Dengan mengekspor X dan mengimpor Y, negara A akan memperoleh pendapatan riil yang lebih tinggi daripada jika ia memproduksi semua Y yang dibutuhkannya, dan hal sebaliknya berlaku untuk B. Dalam menentukan apakah berbagai pajak yang ada berpengaruh atau tidak terhadap lokasi produksi, pertanyaan kini adalah apakah pajak bersangkutan mempengaruhi harga relatif antara barang produksi dalam negeri dan barang impor. Jika pajak mempengaruhi harga, konsumen akan mensubstitusikan kedua jenis barang itu satu sama lain dan lokasi produksi akan berbeda dari lokasi produksi untuk pajak yang netral.

Page 72: DIKTAT KEBIJAKAN FISKAL - repository.unas.ac.id

Pajak Konsumsi Pajak konsumsi atau pajak tujuan produk (destination

taxes) tidak mempengaruhi lokasi kecuali jika terdapat diskriminasi antara barang produksi dalam negeri dan barang impor, yaitu jika pajak tersebut dalam bentuk bea masuk dan cukai. Misalkan negara A mengenakan pajak terhadap konsumsi atas semua X dan Y, yang diproduksi di dalam negeri maupun yang diimpor. Ini tidak akan mempengaruhi perdagangan karena harga relatif antara produksi dalam negeri dan impor tidak berubah. Jika pajak itu hanya dikenakan terhadap Y, baik produksi domestik maupun impor, akibatnya konsumen akan menambah konsumsi X dan mengurangi konsumsi Y. Penyesuaian ini bisa mempengaruhi tingkat perdagangan, tetapi lokasi untuk kedua produk itu (pada tingkat produksi yang baru) masih akan tetap sejalan dengan keunggulan komparatif.

Situasinya akan sangat jauh berbeda jika negara A mengenakan pajak hanya terhadap Y impor, yaitu terhadap Y dikenakan bea masuk. Pajak ini akan menyebabkan perbedaan harga relatif antara produk domestik dan impor, sehingga Y produksi dalam negeri akan mensubstitusi Y impor. Dengan menurunnya impor, mata uang A terhadap mata uang B akan naik. Jadi, ekspor X dari A juga akan menurun sampai tercapai suatu titik ekuilibrium pada tingkat perdagangan yang lebih rendah dan dengan pemberian produksi X dan Y yang kurang efisien di antara negara A dan B. Pajak atau bea semacam itu akan melemahkan perdagangan yang efisien, dan dewasa ini telah banyak cara diupayakan untuk mengurangi perdagangan yang bersifat proteksionis.

Pajak Produksi Dalam mempermasalahkan pajak produksi atau pajak

asal produk (origin taxes), kita bisa melihat bahwa distorsi atau penyimpangan bisa saja terjadi meskipun tidak ada upaya untuk mendiskriminasikan produk luar negeri. Pertama-tama anggaplah bahwa harga negara B mengenakan pajak produksi

Page 73: DIKTAT KEBIJAKAN FISKAL - repository.unas.ac.id

umum misalnya cukai sebesar 10 persen terhadap barang X dan barang Y. Akibatnya, harga barang di negara B akan naik sejalan dengan pajak tersebut. Karena merasa bahwa harga produk dalam negeri telah naik jika dibandingkan dengan harga produk impor, konsumen negara B akan memperbesar impor. Konsumen negara A akan merasakan hal sebaliknya. Eksportir B akan menambahkan pajak tersebut ke biaya (harga) produknya sehingga harga barang impor bagi konsumen A menjadi lebih tinggi sehingga impor akan dikurangi. Jika kurs valuta asing bersifat fleksibel, kenaikan permintaan atas mata uang A dan penurunan permintaan atas mata uang B akan menyebabkan naiknya nilai mata uang A terhadap B. Ini akan menghambat keinginan konsumen B untuk menambah impor dan keinginan konsumen A untuk mengurangi impor. Perbandingan harga antara ekspor dan impor tidak akan berubah dan nilai riil perdagangan tidak terpengaruh.

Situasinya akan berbeda jika pajak produksi negara B dikenakan hanya pada satu jenis produk saja, misalnya atas produk Y yang diekspornya. Sekali lagi konsumen A akan merasakan naiknya biaya (harga) Y dan akan mensubstitusinya dengan Y produksi dalam negeri. Dengan menurunnya impor A atas barang Y, nilai mata uang A terhadap B akan naik. Biaya impor bagi konsumen B menjadi naik dan karena itu impor dikurangi. Titik ekuilibrium yang baru akan dicapai pada tingkat perdagangan yang lebih rendah dengan disertai perubahan distribusi lokasi produksi. Sekarang negara A memproduksi lebih banyak barang Y dan negara B memproduksi lebih banyak barang X dari pada sebelumnya. Karena itu, pengenaan pajak produk hanya kepada barang Y saja di negara B menimbulkan efek distorsi yang mirip dengan efek distorsi yang timbul akibat dikenakannya bea masuk atas barang Y di negara A.

Distorsi ini bisa dihindarkan seandainya barang B memberikan penghapusan pajak atas barang Y yang di ekspornya. Tindakan B akan membatalkan kenaikan harga barang impor Y di negara A sehingga tidak perlu

Page 74: DIKTAT KEBIJAKAN FISKAL - repository.unas.ac.id

mensubtitusinya dengan memproduksi Y di dalam negeri. Dengan dihapusnya pajak atas barang Y oleh negara B, maka pajak atas barang Y telah berubah dari pajak produksi menjadi pajak konsumsi. Artinya hal itu sejajar dengan pajak penjualan eceran atas produk Y di negara B yang seperti telah kita lihat, tidak mendistorsikan lokasi produksi sejauh dikenakan terhadap produk impor dan produk dalam negeri.

Ceritanya juga akan sama jika B memajaki X. Konsumen B dalam hal ini akan melakukan subtitusi dengan X impor, dan penyesuain selanjutnya akan terjadi. Pada akhirnya, tingkat perdagangan riil akan naik, tetapi lagi-lagi lokasi produksi akan mengalami distorsi. Makin banyak X diproduksi di A dan makin banyak Y diproduksi di B dari pada sebelumnya. Distorsi dalam hal ini bisa dihindarkan jika B mengenakan bea masuk atas X untuk mengkompensasi pajak produksi X. Disini juga pajak berubah menjadi pajak konsumsi (yaitu pajak atas semua X yang di konsumsi di B) tanpa adanya distorsi atas lokasi produksi.

E. Koordinasi Pengeluaran Diantara sejumlah negara, sebagaimana halnya dengan

pemerintah daerah, terdapat kepentingan bersama yang mendorong mereka untuk bekerja sama dalam proyek patungan. Ini bisa saja menyangkut pembangunan jalan di perbatasan dua negara, usaha pertahanan bersama seperti NATO, usaha bersama dalam memerangi penyakit, jaringan narkotik, dan pasar bersama. Semua ini menyebabkan perlunya pembagian beban biaya yang harus dipikul. Jika jumlah anggota kelompok atau pesertanya kecil, pembagian beban biaya bisa dirundingkan dengan membandingkan manfaat yang akan diperoleh setiap pihak. Khusus mengenai pertahanan, kerja sama akan lebih menguntungkan sekutu yang kecil karena peningkatan pertahanan yang kecil sekalipun oleh sekutu yang besar akan merupakan tambahan perlindungan yang sangat besar bagi sekutu tersebut. Jika anggotanya sangat banyak,

Page 75: DIKTAT KEBIJAKAN FISKAL - repository.unas.ac.id

maka masalahnya akan mirip dengan masalah penentuan anggaran antar perorangan. Jika tarif perkiraan (assesment rate) yang proposional digunakan, setiap negara mungkin akan diharuskan untuk membayar dalam presentase GNP atau presentase pendapatan nasional yang sama. Jika perhitungan progresif digunakan, akan timbul pertanyaan apakah kelompok tarif tersebut hanya dikaitkan dengan pendapatan perkapita dari penduduk di berbagai negara (dimana penduduk dianggap sebagai patokan dasar).

Kedua macam pertimbangan di atas diperhitungkan dalam menentukan kontribusi bagi anggaran Perserikatan Bangsa-Bangsa. Pembagian beban biaya ditentukan melalui pemungutan suara setiap tahun dan direvisi berkali-kali. Prosedurnya pada dasarnya adalah: biaya total dibagi di antara negara anggota sesuai perbandingan kontribusi dasar atau GNP. Ini akan menimbulkan pajak proporsional dalam kaitannya dengan GNP, terlepas dari pendapatan per kapita. Selanjutnya prinsip ini dimatangkan lagi dengan menambah sejumlah ketentuan seperti pembebasan beban bagi negara miskin, ketentuan kontribusi minimum, dan pembatasan jumlah yang harus dikontribusikan oleh suatu negara, dengan bagian tertinggi (sekarang 25 persen) disumbangkan oleh Amerika Serikat.

Organisasi-organisasi lain menerapkan pola yang berbeda. Kontribusi bagi Dana Moneter Internasional (IMF) tidak ditentukan berdasarkan manfaat yang diperoleh, melainkan dengan hak penarikan (drawing rights) yang ditetapkan sesuai dengan kemungkinan diperlukan kredit-kredit IMF. Prosedur yang kira-kira sama diikuti dalam pemesanan modal saham Internasional Bank for Reconstruction and Development (IBRD). Harus dicatat bahwa semua kontribusi ini relatif kecil jumlahnya sehingga pengecualian atau penyimpanan bagi negara tertentu tidak begitu berpengaruh. Kontribusi untuk NATO, yang melibatkan jumlah yang besar, tidak ditentukan dengan suatu dasar perumusan yang tetapkan tetapi pada hakikatnya tergantung pada

Page 76: DIKTAT KEBIJAKAN FISKAL - repository.unas.ac.id

negosiasi. Amerika Serikat merupakan penanggung terbesar atas biaya NATO, dengan kontribusi yang mungkin melebihi bagian yang seharusnya ditanggungnya seandainya hal itu ditentukan berdasarkan presentase GNP.

F. Koordinasi Kebijakan Stabilisasi Dengan makin meningkatnya saling ketergantungan

dunia, maka nasib suatu negara ditentukan juga oleh apa yang terjadi di negara lain. Suatu negara tidak mungkin lagi bertindak sendiri untuk mengendalikan persoalan yang dihadapinya. Kerja sama internasional diperlukan dalam bidang kebijaksanaan stabilisasi. Hal ini khususnya berlaku untuk negara negara dengan perekonomian yang terkait erat seperti pasar bersama, tetapi juga berlaku bagi negara dengan perdagangan luar negeri yang terkecil seperti Amerika Serikat. Koordinasi khususnya diperlukan karena saling ketergantungan tidak hanya menyangkut perdagangnan tetapi juga aliran atau perpindahan modal.

Pengaruh terhadap Perdagangan Dengan asumsi bahwa keadaan kurs valuta asing yang bersifat tetap, menurunnya pendapatan dan kesempatan kerja dinegara A, akan menyebabkan impornya akan menurun sehingga menyebarkan kelesuan perekonomian atau malaise tersebut ke negara B yang menghadapi penurunan ekspor. Jika A mengambil kebijakan ekspansionir, pendapatannya naik dan begitu juga halnya dengan impornya. Kebocoran yang ditimbulkan impor akan memperkecil faktor pengganda (multiplier) dan karena itu kebijakan A menjadi kurang efektif, dan hal itu juga turut memulihkan keaadan negara B karena ekspornya jadi meningkat. Karena itu, kebijakan suatu negara akan berpengaruh terhadap negara lain sehingga diperlukan kordinasi kebijakan untuk menampung kebutuhan kedua negara. Pengaruh kebijakan ekspansioner dari negara A terhadap perdagangan akan diperlemah jika kurs valuta asing

Page 77: DIKTAT KEBIJAKAN FISKAL - repository.unas.ac.id

bersifat fleksible. Dengan naiknya impor A, nilai mata uangnya akan turun. Karena itu, biaya impornya menjadi tinggi sehingga membatasi atau memperkecil devisit perdagangan negara A dan ekspor negara B. Dengan demikian kurs valuta asing yang fleksibel cenderung mengurangi saling ketergantungan.

Hal yang sama berlaku juga untuk keadaan inflasi, dengan kurs yang tetap, kebijakan inflasioner negara akan memperlemah (mendefisitkan) neraca perdagangannya dan menimbulkan besarnya permintaan ke negara B. Dengan kurs yang fleksibel, pengalihan permintaan ke Negara B ini tidak akan terjadi karena adanya penurunan nilai mata uang A. Sekali lagi, kurs yang fleksibel akan mengurangi gejolak perdagangan. Akan tetapi gambaran ini telalu disederhanakan. Penyesuaian kurs tidak berlangsung dalam sekejap dan perubahan kurs secara diskresioner dapat menjadi faktor pengganggu pengendalian atas kurs itu sendiri merupakan alat kebijakan yang memerlukan kerja sama lebih lanjut.

Aliran Modal Pengaruh kebijakan yang ekspansioner atau restriktif

terhadap perdagangan bisa dikatakan sama, entah itu kebijakan fiskal atau moneter. Akan tetapi, bauran kebijakan stabilisasi akan menjadi masalah besar jika dikaitkan dengan aliran modal. Aliran modal dipengaruhi oleh tingkat pengembalian yang dihasilkan di berbagai negara. Perpaduan kebijakan fiskal yang longgar dengan kebijakan moneter yang ketat akan menghasilkan suku bunga yang tinggi sehingga mengundang masuknya modal asing, dan begitu juga sebaliknya.

Peranan aliran modal menjadi penting jika kita mempertimbangkan pengaruh kebijakan stabilitasi terhadap pertumbuhan ekonomi. Banyak hal tergantung pada bagaimana bentuk dari surplus impor yang ditimbulkan tersebut. Jika surplus impor tersebut berupa investasi riil, maka akan terjadi peningkatan modal di negara bersangkutan yang akan tercermin pada kenaikan produktivitas tenaga kerjanya. Pendapatan modal di masa mendatang akan dikirimkan keluar negeri,

Page 78: DIKTAT KEBIJAKAN FISKAL - repository.unas.ac.id

sehingga keuntungan bagi negara tempat penanaman modal tersebut adalah berupa kenaikan produtivitas tenaga kerja dan produktivitas faktor-faktor domestik lainnya.

G. Pemahaman atas Tax Treaty (Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda)

Tax Treaty atau perjanjian pajak berganda adalah merupakan suatu perjanjian perpajakan antara dua negara yang dibuat dalam rangka mengantisipasi pemajakan ganda dan berbagai usaha penghindaran pajak. Perjanjian ini akan digunakan oleh penduduk dua negara untuk menentukan aspek perpajakan yang timbul dari suatu transaksi diantara mereka. Penentuan aspek perpajakan tersebut dilakukan berdasarkan klausul-klausul yang terdapat dalam tax treaty yang bersangkutan sesuai dengan transaksi yang dihadapi.

Setiap tax treaty mempunyai prinsip prinsip dasar yang kurang lebih sama, sebagai bagian dari konvensi internasional di mana setiap negara yang terlibat dalam suatu tax treaty menyusun perjanjiannya masing masing berdasarkan model-model perjanjian yang diakui secara internasional. Pada dasarnya terdapat dua model treaty yang sering dijadikan acuan dalam menyusun suatu treaty yaitu model OECD dan Model PBB.

Sebagai suatu perjanjian, sebuah treaty adalah merupakan suatu kontrak yang mengikat suatu negara dengan negara lain dalam hal perlakuan perpajakan. Oleh karena itu, didalamnya selalu berisi klausul-klausul, pasal-pasal dan ayat- ayat yang berkaitan dengan suatu aspek transaksi dan pihak tertentu. Pasal-pasal ataupu ayat-ayat yang terdapat dalam sebuah tax treaty pada dasarnya dapat dikelompokkan menjadi empat bagian besar yaitu bagian yang mengungkapkan cakupan tax treaty, bagian yang mengatur minimalisasi pengenaan pajak berganda, bagian tentang pencegahan penghindaran pajak dan bagian yang mencakup hal- hal lainnya.

Page 79: DIKTAT KEBIJAKAN FISKAL - repository.unas.ac.id

H. Cakupan Tax Treaty Personal Scope

Tax treaty adalah persetujuan yang ditandatangani oleh dua negara, sehingga subyek pajak yang menjadi sasaran adalah mereka yang menjadi penduduk dari kedua negara tersebut (Rachmanto Surachmat, 2001). Dengan kata lain, ketentuan personal scope mengatur tentang kepada siapa sajakah ketentuan-ketentuan dalam suatu treaty yang bersangkutan bisa diterapkan. Dalam pasal dan ayat ini akan diatur ketentuan tentang siapa saja yang merupakan orang pribadi, badan usaha dan entitas lainnya yang berdasarkan treaty tersebut dianggap sebagai penduduk dari salah satu negara yang terikat perjanjian, termasuk di dalamnya orang pribadi, badan atau entitas lainnya yang dianggap sebagai penduduk dengan status kependudukan ganda (double residence). Biasanya disini definisi mengenai penduduk maupun perihal kependudukan ganda tidak diartikan lebih lanjut. Kedua hal tersebut akan diatur dalam klausul lain yaitu dalam klausul tentang general definitions dan tentang residence. Oleh karena itu, pengertian personal scope akan berkaitan dengan pengertian-pengertian dalam kedua klausul tersebut.

Tax Covered Klausul ini mengatur tentang jenis-jenis pajak yang perlakuannya menggunakan ketentuan tax treaty yang bersangkutan. Jenis pajak yang diatur disini akan mengikuti ketentuan sesuai dengan tax treaty dan mengabaikan ketentuan internal yang berlaku di masing-masing negara. Dalam beberapa hal, ketentuan suatu tax treaty memiliki suatu kekuatan yang berada di atas sistem perundang undangan yang berlaku secara internal di dalam suatu negara. Aturan dalam tax treaty hanya diberlakukan untuk jenis pajak langsung seperti Pajak Penghasilan (PPh). Atas pajak tidak langsung seperti Pajak Pertambahan Nilai atau pajak yang dipungut oleh pemerintah daerah tidak diatur dalam tax treaty. Dalam

Page 80: DIKTAT KEBIJAKAN FISKAL - repository.unas.ac.id

ketentuan umumnya (general definitions), diatur tentang definisi istilah-istilah umum yang berkaitan dengan definisi persons (orang atau badan), national (negara atau kewarganegaraan), international traffic (lalu lintas internasional), enterprise (badan usaha) dan lain lain.

Residence Dalam kriteria ini akan diatur tentang dua hal yakni definisi penduduk (berkaitan dengan personal scope) serta tie breaker rule, yaitu tentang ketentuan yang menentukan tidak berlakunya status residence atas suatu pihak dengan karakteristik tertentu. Definisi penduduk adalah setiap orang pribadi atau badan yang berdasarkan ketentuan internal suatu negara – seperti keberadaan, domisili, tempat kedudukan manajemen atau sebab-sebab lain yang mempunyai karakteristik yang sama – dapat dikenai pajak di negara tersebut. Dengan kata lain, penduduk adalah Subjek Pajak dalam negeri suatu negara yang dikenai pajak sesuai dengan ketentuan perundang-undangan lokal yang berlaku dinegara tersebut. Undang-undang nasional dari banyak negara umumnya mengenakan pajak berdasarkan hubungannya dengan negara yang bersangkutan (Rachmanto Surachmat, 2001). Artinya, pengenaan pajak tidak hanya mendasarkan pada alasan tempat tinggal, tetapi juga karena keberadaan secara teratur di negara tersebut. Dalam klausul ini juga menegaskan bahwa orang pibadi atau badan tidak dapat langsung dianggap sebagai penduduk suatu negara hanya karena mendapatkan penghasilan yang bersumber dari negara tersebut. Dalam prakteknya, orang pribadi atau badan dapat dianggap sebagai penduduk dari dua negara berdasarkan asas world wide income yang dianut. Hal ini bisa terjadi karena setiap negara pada dasarnya berhak mengatur definisi penduduk sesuai dengan versinya masing-masing.

Menyadari efek-efek negative tersebut, article residence selanjutnya mengatur langkah yang dapat digunakan untuk menghilangkan status kependudukan ganda yang sering disebut

Page 81: DIKTAT KEBIJAKAN FISKAL - repository.unas.ac.id

dengan tie breaker rule. Tie breaker rule dibedakan menjadi dua yaitu yang diterapkan untuk orang pribadi dan yang diterapkan untuk selain orang pribadi. Tie breaker rule untuk orang pribadi terdiri dari penentuan permanent home (tempat tinggal tetap), center of economic and social interests (pusat kepentingan ekonomi dan social), habitual abode (tempat kebiasaan untuk tinggal), national (kewarganegaraan) serta mutual agreement (perjanjian antar otoritas perpajakan). Langkah-langah tersebut secara berurutan bersifat prioritas, artinya apabila dengan menggunakan ketentuan pertama masalah kependudukan ganda telah bisa dipecahkan, maka langkah kedua dan seterusnya tidak perlu digunakan lagi. Sementara itu tie breaker rule untuk pihak selain orang pribadi hanya ada satu ketentuan yaitu tempat dimana manajemennya efektif berada.

Permanent Establishment Klausul ini mengatur tentang seberapa jauh jangkauan suatu negara dalam mengenakan pajak atas penghasilan yang bersumber dari negara tersebut. Pada jaman sekarang, suatu usaha tidak hanya dilakukan di negara sendiri. Di negara lainpun suatu pihak melakukan usaha. Apabila usaha di negara lain itu ternyata berhasil, adalah hal yang logis jika otoritas pajak di negara tersebut ingin mengenakan pajak atas penghasilan yang diterima. Namun berkaitan dengan keinginan tersebut, tentunya harus ada batasan-batasan ataupun aturan yang jelas hingga bisnis yang dilakukan yang sekaligus merupakan investasi di negara tersebut tetap saja berjalan dengan baik. Cerminan dari batas atau aturan tersebut adalah ketentuan tentang permanent establishment atau bentuk usaha tetap (BUT). Contoh contoh dari BUT dapat dikatagorikan menjadi empat macam yaitu:

• BUT Fasilitas Fisik. BUT tipe ini merupakan tipe yang paling mudah diketahui keberadaannya. BUT timbul karena adanya fasilitas fisik seperti gedung, kantor perwakilan, pabrik, bengkel dan lain lain.

Page 82: DIKTAT KEBIJAKAN FISKAL - repository.unas.ac.id

• BUT Aktivitas

. Timbulnya BUT tipe ini ditandai dengan adanya aktivitas yang melebihi batas waktu tertentu (time test) yang dilakukan di negara lain. Aktivitas tersebut bisa berupa pelaksanaan berbagai macam jasa (seperti jasa konstruksi dan jasa jasa lainnnya). Lamanya time test yang digunakan dapat berbeda beda antara satu tax treaty dengan tax treaty yang lain. Time test ini disesuaikan dengan kesepakatan dari kedua negara. BUT Asuransi

. Timbulnya BUT Asuransi ditandai dengan keadaan dimana suatu perusahaan asuransi menerima premi atau menanggung risiko di negara lain. BUT Keagenan

. BUT tipe keagenan timbul jika terdapat agen di negara lain yang memiliki wewenang untuk menentukan kontrak atau mengurus barang-barang dagang di negara lain.

Dalam klausul ini juga ditentukan kondisi-kondisi dimana BUT dianggap tidak muncul seperti dalam hal suatu tempat yang hanya berfungsi untuk memajang barang-barang dagangan, tempat yang hanya dipergunakan untuk pembelian barang dagangan atau mengumpulkan informasi dan sebagainya.

Entry Into Force Klausul ini menjelaskan tentang saat berlakunya sebuah

tax treaty. Saat berlakunya tax treaty sangat bergantung dari selesainya tahap-tahap pembentukannya. Pembentukan sebuah tax treaty yang dimulai dengan penandatanganan oleh kedua otoritas yang berwenang dan dilanjutkan dengan ratifikasi di kedua negara. Setelah kedua negara selesai meratifikasi, selanjutnya dilakukan pertukaran dokumen-dokumen ratifikasi. Setelah pertukaran dokumen ratifikasi ini selesai dilakukan maka tax treaty pun dapat diberlakukan.

Page 83: DIKTAT KEBIJAKAN FISKAL - repository.unas.ac.id

Termination Klausul ini menjelaskan tentang saat berakhirnya sebuah

tax treaty. Tax treaty dapat berakhir setelah periode tertentu yang telah disepakati oleh kedua negara. Salah satu negara dapat mengakhiri sebuah tax treaty dengan cara mengadakan pemberitahuan terlebih dahulu yang harus dilakukan dalam jangka waktu tertentu sesuai dengan yang telah disepakati.

Minimalisasi Pemajakan Berganda Income from Immovable Property Klausul ini mengatur tentang pemajakan atas penghasilan yang berasal dari harta tak bergerak termasuk penghasilan yang bersumber dari pertanian atau sektor perhutanan. Didalamnya diatur bahwa negara tempat harta tak bergerak tersebut terletak juga dapat mengenakan pajak atas penghasilan dari harta tersebut.

Business Profits

Klausul ini merupakan perluasan dari klausul permanent establishment yang mangatur tentang pengenaan pajak atas laba usaha milik penduduk suatu negara yang bersumber dari negara treaty partner (negara pasangan dalam tax treaty). Penentuan dapat atau tidaknya negara treaty partner mengenakan pajak, sangat tergantung pada ada atau tidaknya BUT di suatu negara. Laba usaha milik penduduk suatu negara pada dasarnya hanya dapat dikenakan pajak di negara tersebut. Namun apabila penduduk suatu negara mendapatkan penghasilan di negara treaty partner melalui BUT-nya, maka negara treaty partner tersebut berhak mengenakan pajak atas penghasilan yang diterima melalui BUT itu. Bila kegiatan usaha yang dilakukan penduduk negara domisili di negara sumber tidak melalui BUT, maka laba usaha dari kegiatan itu hanya dikenai pajak di negara domisili (Rachmanto Surachmat, 2001)

Page 84: DIKTAT KEBIJAKAN FISKAL - repository.unas.ac.id

Shipping, Inland Waterways Transport and Air Transport Klausul ini menjelaskan tentang pemajakan atas

penghasilan yang diterima oleh perusahaan pelayaran (termasuk pengangkutan di sungai dan danau) dan perusahaan penerbangan yang beroperasi di jalur internasional. Perusahaan yang bergerak di bidang ini bisa memperoleh penghasilan dari beberapa negara. Jika setiap negara mengenakan pajak atas laba yang diterimanya maka perusahaan pelayaran dan penerbangan tersebut tentunya akan menanggung beban pajak yang terlalu besar. Dalam menghadapi permasalahan ini pada umumnya diatur dua alternatif pengenaan pajak. Alternatif pertama, memberikan hak pemajakan kepada negara tempat di mana manajemen efektif berada. Alternatif kedua, sama dengan alternatif pertama dengan pengecualian untuk penghasilan dari pengoperasian kapal laut yang hak pemajakannya diberikan kepada kedua negara sekaligus.

Dividends

Dividen merupakan penghasilan yang diterima oleh pemegang saham dari suatu perusahaan. Tak sedikit negara yang mengenakan pajak atas penghasilan berupa dividen ini. Indonesia pun mengenakan pajak atas dividen baik yang diterima oleh wajib pajak dalam negeri maupun wajib pajak luar negeri. Klausul dividen, sebagaimana namanya, memang merupakan aturan mengenai pengenaan pajak atas penghasilan yang berupa dividen. Dalam klausul ini dinyatakan bahwa negara tempat dividen berasal juga berhak mengenakan pajak atas dividen tersebut. Dalam artikel ini juga menyatakan tentang tarif pajak maksimal yang dapat dikenakan di negara asal dividen tersebut yang dibedakan menjadi dua yaitu tarif untuk dividen portofolio (saham dengan kepentingan semata mata investasi) dan untuk dividen dari penyertaan langsung ( saham dengan kepentingan control)

Interets

Klausul ini mengatur tentang pemajakan atas

Page 85: DIKTAT KEBIJAKAN FISKAL - repository.unas.ac.id

penghasilan bunga yang diterima dari negara treaty partner. Selain memberikan definisi tentang bunga, klausul ini juga mengatur bahwa negara tempat bunga berasal (treaty partner) juga dapat mengenakan pajak atas bunga tersebut. Tak berbeda dengan artikel dividen, artikel bunga pun mengatur tentang tarif maksimal pemotongan pajak untuk negara tempat dividen berasal.

Royalties

Klausul ini mengatur tentang pemajakan atas penghasilan royalti yang diterima dari negara treaty partner. Tak berbeda dengan artikel dividend dan bunga, artikel royalti ini juga memberikan definisi royalti disamping mengatur bahwa negara tempat di mana royalti berasal dapat mengenakan pajak sesuai dengan tarif maksimal yang disepakati. Capital Gains

Klausul ini mengatur tentang penghasilan berupa keuntungan pemindahtanganan harta. Ketentuan dalam tax treaty pada umumnya mengatur bahwa negara tempat harta tersebut terletak sebelum dipindahkan juga berhak untuk mengenakan pajak. Termasuk dalam pengertian harta dalam artikel ini adalah harta berupa perumahan dalam suatu kawasan real estate. Dalam bukunya, Rachmanto Surachmat (2001) memaparkan bahwa hak mengenakan pajak atas keuntungan karena pemindahtanganan harta yang digunakan untuk berusaha harus diberikan kepada negara yang sama, yaitu negara yang berhak mengenakan pajak atas business profit (negara tempat perusahaan berdomisili), tanpa membedakan apakah keuntungan itu diperlakukan sebagai gain dari usaha. Karena itu, persetujuan penghindaran pajak berganda tidak memerlukan aturan khusus yang membedakan capital gain dari business profit. Hal ini diserahkan kepada undang undang pajak domestik masing-masing negara.

Page 86: DIKTAT KEBIJAKAN FISKAL - repository.unas.ac.id

Independent Personal Services Klausul ini mengatur tentang pemajakan atas

penghasilan yang diterima orang pribadi yang bersumber dari negara treaty partner sebagai imbalan dari jasa-jasa professional yang diberikannya di negara tersebut. Aturan ini pada dasarnya sejalan dengan aturan permanent establishment dan business profits namun secara khusus ditujukan untuk orang pribadi yang memberikan jasa-jasa profesional (seperti dokter, pengacara) untuk dan atas namanya sendiri di negara treaty partner. Negara treaty partner tempat jasa tersebut dilakukan dapat mengenakan pajak sepanjang orang pribadi tersebut memiliki tempat tetap (fixed base) disana atau berada di negara treaty partner melebihi batas waktu yang disepakati bersama.

Dependent Personal Services

Klausul ini mengatur tentang pemajakan atas penghasilan yang diterima oleh orang pribadi sehubungan dengan pemberian jasa yang dilakukannya di negara lain dalam suatu hubungan kerja. Berbeda dari pemberian jasa oleh independent personal yang dilakukan untuk dan atas namanya sendiri, jasa yang diberikan oleh orang pribadi yang dimaksud di sini merupakan jasa yang dilakukan untuk dan atas nama pihak lain yang memiliki hubungan kerja dengannya. Di sini diatur bahwa negara tempat orang pribadi tersebut bekerja dapat mengenakan pajak atas penghasilan yang diterimanya. Namun untuk menganakan pajak tersebut, ada beberapa syarat kumulatif yang terlebih dahulu harus dipenuhi yaitu:

• Orang pribadi yang bersangkutan berada di negara lain melebihi time test yang telah disepakati;

• Penghasilan yang diterima oleh orang pribadi tersebut dibayarkan oleh pemberi kerja;

• Penghasilan tersebut tidak dibebankan kepada BUT.

Page 87: DIKTAT KEBIJAKAN FISKAL - repository.unas.ac.id

Director’s Fees Klausul ini mengatur tentang pemajakan atas

penghasilan yang diterima oleh direktur yang bekerja pada perusahaan yang berada di negara lain (merupakan penduduk di negara tersebut). Dalam klausul ini dinyatakan bahwa penghasilan yang diterima oleh direktur dalam kapasitasnya yang murni sebagai seorang direktur dapat dikenai pajak di negara domisili perusahaanya tanpa memandang jangka waktu keberadannya di sana. Bila diperhatikan, prinsip ini berbeda dengan prinsip pemajakan atas penghasilan orang pribadi yang lain sebagaimana diatur dalam klausul dependent dan independent personal services yang menggunakan syarat jangka waktu keberadaan sebagai alat menentukan aspek pemajakan. Menurut Rachmanto Surachmat (2001), hal ini untuk menyederhanakan pengenaan pajaknya, sebab seringkali penentuan di mana kegiatan pekerjaan dilakukan – dalam kedudukannya sebagai anggota dewan direksi – adalah sulit. Fungsi sebagai direktur bisa saja dilakukan di negara dimana ia berdomisili, karena itu yang diberikan hak pemajakan adalah negara di mana pihak yang membayarkan gaji berkedudukan. Namun demikian, apabila pekerjaan yang dilakukan tidak lagi murni sebagai seorang direktur maka pemajakan atas penghasilan tersebut tidak lagi mengikuti ketentuan dalam klausul ini. Penentuan aspek pemajakannya disesuaikan dengan jenis kegiatan (pekerjaan) yang dilakukan oleh direktur tersebut. Jika direktur tersebut melakukan tugas tugas manajerial misalnya, maka aspek pemajakannya mengacu pada klausul dependent personal services. Namun apabila direktur tersebut bekerja sebagai konsultan pada perusahaan, maka aspek pemajakannya dalam hal ini akan mengacu pada klausul independent personal services.

Artists and Sportsmen Klausul ini mengatur tentang pemajakan atas penghasilan yang diterima oleh artis (entertainer) dan olahragawan (sportsmen) dari negara lain. Prinsip pemajakan yang diatur dalam artikel

Page 88: DIKTAT KEBIJAKAN FISKAL - repository.unas.ac.id

ini adalah negara tempat penghasilan tersebut bersumber dapat mengenakan pajak atas penghasilan yang diterima oleh artis ataupun atlit. Prinsip ini juga berlaku meskipun penghasilan tersebut tidak langsung dibayarkan kepada sang artis/atlit (dibayarkan kepada pihak lain, contohnya agen). Termasuk dalam pengertian entertainer dalam artikel ini antara lain yaitu artis televisi, artis radio atau musisi. Sedangkan termasuk dalam olahragawan antara lain adalah pemain sepakbola, pemain golf, pemain tennis, pemain catur atau pemain bridge.

Pensions

Klausul ini mengatur tentang penghasilan yang diterima oleh pensiunan swasta. Pada umumnya, penghasilan berupa pensiun dikenai pajak di negara tempat di mana pekerjaan itu dahulunya dilakukan. Namun sebagian besar tax treaty mengatur bahwa penghasilan tersebut dikenai pajak di negara di mana yang bersangkutan menjadi penduduk pada saat pensiun

Government Services

Klausul ini mengatur tentang perlakuan perpajakan atas penghasilan yang diterima oleh para pegawai negeri. Pada prinsipnya, hak pemajakan atas penghasilan yang diterima oleh para pegawai negeri diberikan kepada negara di mana ia bekerja. Hal yang sama juga berlaku atas penghasilan yang diterima oleh pensiunan pegawai negeri. Namun demikian, apabila pegawai negeri atau pensiunan tersebut merupakan warga negara dari salah satu negara dan sudah sejak awal menjadi penduduk di negara tersebut maka penghasilan yang diterimanya hanya dikenakan pajak di sana.

Pencegahan Penghindaran Pajak Associated Enterprises Klausul ini mengatur tentang perlakuan perpajakan atas pihak-

Page 89: DIKTAT KEBIJAKAN FISKAL - repository.unas.ac.id

pihak yang memiliki hubungan istimewa. Apabila terjadi transaksi antara pihak-pihak di kedua negara yang memiliki hubungan istimewa, akan ada kecenderungan di mana harga transaksi yang disepakati bukan merupakan harga yang wajar. Harga yang wajar adalah harga yang terjadi antara dua pihak yang tidak mempunyai hubungan istimewa. Salah satu efek dari adanya harga yang tidak wajar itu adalah terjadinya pergeseran laba dari suatu negara kepada negara yang lainnya. Hal ini dipandang sebagai suatu usaha untuk menghindari pajak dari suatu negara. Dalam kondisi demikian, kepada negara yang bersangkutan diberikan hak untuk mengadakan penyesuaian penyesuaian sehubungan dengan pergeseran laba tersebut.

Exchange of Information Klausul ini mengatur tentang pertukaran informasi antar otoritas pajak di kedua negara yang terkait dalam suatu tax treaty. Dengan adanya pertukaran informasi, dapat dikatakan bahwa klausul ini merupakan salah satu senjata dalam menanggulangi praktek-praktek penyelundupan atau penggelapan pajak. Pertukaran informasi dapat dibedakan menjadi dua macam yaitu pertukaran informasi secara rutin dan pertukaran informasi berdasarkan permintaan.

Ketentuan Lain Lain Non Discrimination Klausul ini mengatur tentang persamaan perlakuan perpajakan yang diberikan oleh suatu negara kepada warga negara dan kepada bukan warga negara. Secara khusus Rachmato Surachmat (2001) dalam bukunya menyatakan bahwa klausul ini adalah aturan dalam hukum internasional yang memberikan perlindungan dari diskriminasi. Suatu negara yang terikat tax treaty memiliki kewajiban untuk memberikan perlakuan perpajakan yang sama untuk warga negaranya. Perlakuakn perpajakan yang sama ini mengandung arti bahwa dalam suatu kondisi yang sama, pihak yang bukan warga negara dari suatu negara tidak boleh menanggung kewajiban pajak yang lebih

Page 90: DIKTAT KEBIJAKAN FISKAL - repository.unas.ac.id

berat daripada yang ditanggung oleh warga negara dari negara tersebut. Perlakuan yang sama juga harus diberikan kepada mereka yang bukan merupakan warga negara dari kedua negara yang terikat perjanjian.

Mutual Agreement Procedure Klausul ini mengatur tentang prosedur yang digunakan oleh kedua negara untuk berkomunikasi dalam menyelesaikan berbagai perbedaan pandangan antara pembayar pajak dengan otoritas pajak mengenai perpajakan tertentu. Klausul ini dapat dipandang sebagai semacam sarana bagi para pembayar pajak untuk “curhat” tentang suatu perlakuan perpajakan yang tidak disetujuinya. Melalui ketentuan dalam klausul ini, otoritas perpajakanpun memiliki sarana untuk memecahkan kesulitan yang timbul sebagai akibat dari perbedaan interpretasi atas suatu ketentuan dalam sebuah tax treaty. Namun demikian perlu diingat bahwa mutual agreement procedure tidak mencakup seluruh klausul yang terdapat dalam sebuah tax treaty. Klausul-klausul yang dapat menikmati ketentuan dalam mutual agreement procedure antara lain adalah business profits, related persons dan royalty.

Member of Diplomatic Missions and Consular Posts

Klausul ini mengatur tentang perlakuan perpajakan yang diberikan kepada anggota dari suatu misi diplomatik dan konsulat. Menurut Rachmato Surachmat (2001), maksud dari kalusul ini adalah untuk menjamin bahwa para diplomat, berdasarkan tax treaty, tidak memperoleh perlakuan yang kurang menguntungkan dibandingkan dengan perlakuan yang diberikan berdasarkan hukum internasional. Dalam kesepakatan internasional, setiap penghasilan yang diterima oleh anggota suatu korps diplomatik atau konsulat, ditetapkan hanya dikenai pajak di negara di mana mereka berasal. Ketentuan dalam klausul ini pun mengatur hal yang sama. Jadi, meskipun anggota korps diplomatik atau konsulat mendapatkan penghasilan yang bersumber dari negara di mana mereka bertugas, negara tersebut tidak dapat mengenakan pajak

Page 91: DIKTAT KEBIJAKAN FISKAL - repository.unas.ac.id

atasnya.

Tax Treaty Mengalahkan UU PPh Bisa disimpulkan bahwa tax treaty muncul karena dua sebab yang mendasar. Pertama, keinginan untuk menghindari pemajakan berganda yang bisa menimbulkan distorsi ekonomi, yang berakibat buruk bagi investasi. Kedua, tax treaty juga dimaksudkan untuk mencegah usaha-usaha penghindaran pajak yang dapat berpengaruh terhadap penerimaan pajak suatu negara. Mengingat sifat perjanjiannya yang bilateral, antara dua negara, tax treaty mengalahkan UU PPh yang berlaku di masing masing negara treaty partner. Setiap tax treaty antara suatu negara dan negara lainnya adalah suatu perjanjian yang bersifat spesifik hanya mengikat negara-negara yang terlibat dalam perjanjian tersebut. Namun demikian, secara umum setiap tax treaty mengikuti prinsip prinsip dasar dari model model tax treaty yang ada seperti model OECD atau model PBB, yang dijadikan sebagai acuan pada saat pembuatannya. Memahami prinsip prinsip dasar tersebut akan memudahkan setiap pihak dalam memahami berbagai tax treaty yang ada, antara berbagai negara pada umumnya dan antara Indonesia dengan negara negara lain pada khususnya. Yang perlu diperhatikan adalah, dalam tax treaty pada umumnya sudah disepakati bahwa setiap negara treaty partner berhak menentukan prosedur dan tata cara untuk membuktikan bahwa suatu pihak benar-benar berdomisili atau berkedudukan dan berstatus sebagai pembayar pajak di negara treaty partner. Bukti dimaksud seringkali disebut Surat Keterangan Domisili (SKD) atau Certificate of Residence Taxpayer (CRT) yang diterbitkan oleh competent authority atau pejabat yang berwenang yang ditunjuk oleh suatu negara treaty partner. Surat keterangan yang diterbitkan oleh Kantor Pelayanan Pajak (KPP) atau instansi sejenis di negara treaty Partner juga bisa dipersamakan dengan SKD/CRT. Dengan memiliki SKD/CRT, maka suatu pihak berhak untuk menerapkan suatu ketentuan tax treaty dengan negara dimana yang bersangkutan berkedudukan atau berdomisili. Jika tidak memiliki SKD/CRT, maka

Page 92: DIKTAT KEBIJAKAN FISKAL - repository.unas.ac.id

pengenaan pajaknya kembali pada Undang-Undang yang berlaku di negara masing masing. Sebagai contoh, jika Wajib Pajak luar negeri yang berkedudukan di Inggris, maka Wajib Pajak luar negeri tersebut hanya dapat menerapkan ketentuan tax treaty Indonesia – Inggris apabila memiliki SKD/CRT dari competent authority yang ditunjuk negara Inggris. Jika tidak, maka penghasilan Wajib Pajak Luar Negeri yang bersumber dari Indonesia langsung dikenakan PPh Pasal 26 dengan tarif 26% dari penghasilan bruto.

DAFTAR PUSTAKA

Alisjahbana, Armida S. 2001. “Tinjauan Permasalahan serta Prakondisi yang Diperlukan Bagi Pengembangan Penggunaan Pinjaman Daerah di Indonesia”. Makalah pada sidang ISEI, Batam, Indonesia, 14 April.

Aronson, J. Richard. 1985. Public Finance, McGraw Hill, Inc.

Arsjad, Nurjaman, dkk. 1992. Keuangan Negara. Intermedia, Jakarta.

Bennet, Robert J., editor. 1990. Decentralisation, Local Governments and Markets.

Oxford: Clarendon Press.

Bird, Richard M dan Chen, Duanjie. 1996. “Federal Finance and Fiscal Federalism: The Two Worlds of Canadian Public Finance”. Discussion Paper No. 6, International Centre for Tax Studies. University of Toronto (July).

Bird, Richard M. 1994b. “A Comparative Perspective on Federal Finance” dalam

K.G. Banting, D.M. Brown, dan T.J. Courchence, editor. The Future of Fiscal Federalism. Kingston, Ont.: Queen’s University School of Public Policy.

Bird, Richard M. dan Francois Vaillancourt. 1998. Fiscal

Page 93: DIKTAT KEBIJAKAN FISKAL - repository.unas.ac.id

Decentralization in Developing Countries. United Kingdom: Cambridge University Press.

Brennan, Geoffrey dan Buchanan, James. 1981. “Tax Limits and The Logic of Constitutional Restriction, dalam “Democratic Choice and Taxation: A Theoritical and Empirical Analysis”, Hettich,Walter dan Winer, Stanley, L. Cambridge University Press.

Brodjonegoro, Bambang dan Arlen T. Pakpahan. 2002. ”Evaluasi atas Alokasi DAU 2001 dan Permasalahannya” dalam Machfud Sidik, dkk. 2002. Dana Alokasi Umum. Jakarta: Penerbit Buku Kompas.

Cnossen, Sijbren & Hans-Werner Sinn. 2003. Public Finance and Public Policy in the New Century, MIT Press, Cambridge, London.

Davey, K.J. 1983. Financing Regional Government: International Practices and Their Relevance to the Third World. University of Birmingham: Institute of Local Government Studies.

Digdowiseiso, Kumba. Kebijakan Fiskal, 2020.

Feldstein, Martin, (1984), Debt and Taxes in The Theory of Public Finance, NBER, Massachusetts Avenue Cambridge, MA, USA.

Fullerton, Don dan Metcalf, Gilbert. 2002. Tax Incidence- Working Paper 8829.

National Bereau of Economics Reserach. Cambridge (Maret). Gunadi, (1999), Pajak Internasional, Lembaga Penerbit FE UI, Jakarta

Hanafi, M, Mamduh, (2003), Manajemen Keuangan Internasional, BPFE, Jogyakarta

Hyman, David N. 2002. Public Finance, A Contemporary Application of Theory to Policy. Edisi Ketujuh. United States: South-Western, Thompson Learning.

Page 94: DIKTAT KEBIJAKAN FISKAL - repository.unas.ac.id

Kadjatmiko. 2004. “Transfer Antar Tingkat Pemerintahan (Intergovernmental Transfer)” dalam Machfud Sidik, dkk. 2004. Bunga Rampai Desentralisasi Fiskal. Jakarta: Direktoral Jenderal Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah, Departemen Keuangan RI.

Laporan Akhir Pengembangan Obligasi Daerah di Indonesia. 2002. Studi yang dilakukan oleh Sustainable Indonesian Growth Alliance (SIAGA) Project A Banking Industry Reform, yang merupakan kerjasama Fakultas Ekonomi Universitas Gadjah Mada, Jogjakarta dengan United States Agency for International Development (USAID).

LPEM Universitas Indonesia bekerjasama dengan Clean Urban Project, RTI (1999), “Laporan Studi Dampak Krisis Ekonomi Terhadap Keuangan Daerah di Indonesia”, Jakarta.

Magrassi, Marco. 2000. “Subnational Investment Needs and Financial Market Response”. Inter-American Development Bank.

Mitchell, Daniel J. 2003. Nine Simple Guidelines for Pro-Growth Tax Policy. Capitalism Magazine. (15 April).

Musgrave, Richard A dan Peggy B. Musgrave. 1989. Public Finance in Theory and Practice. International Edition. United States: McGraw-Hill, Inc.

Norregaard, John. 1995. “Intergovernmental Fiscal Relations” dalam P. Shome, editor. Tax Policy Handbook. Washington, DC: International Monetary Fund.

Pakpahan, Arlen T. 2004. “Pinjaman Daerah Sebagai Alternatif Pembiayaan Daerah” dalam Machfud Sidik, dkk. 2004. Bunga Rampai Desentralisasi Fiskal. Jakarta: Direktoral Jenderal Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah, Departemen Keuangan RI.

Razin, Assaaf., Sadka Efraim, (1991), International Fiscal Policy Coordination and Competition: An Exposition, NBER, Massachusetts Avenue Cambridge, MA, USA.

Page 95: DIKTAT KEBIJAKAN FISKAL - repository.unas.ac.id

Republik Indonesia, “Undang-undang No.22 Tahun 1999 Tentang Pemerintah Daerah”.

Republik Indonesia, “Undang-undang No.25 Tahun 1999 Tentang Perimbangan Keuangan Antara Pusar dan Daerah”.

Republik Indonesia, “Undang-undang No.34 Tahun 2000 Tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah”.

Rosen, Harvey S. 2002. Public Finance (Sixth Edition), McGraw Hill, New York. Sidik, Machfud, dkk. 2002. Dana Alokasi Umum. Jakarta: Penerbit Buku Kompas. Sidik, Machfud. 2002. ”Implementasi UU Nomor 25 Tahun 1999 Tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat Dan Daerah (Kebijakan Pemerintah Dalam Perimbangan Keuangan)”. Makalah yang disampaikan Seminar Nasional Rencana Revisi Undang-Undang Otonomi Daerah Kerja sama Forum Rektor

- Fraksi Utusan Daerah MPR-RI. Jakarta, 4 April.

Sidik, Machfud. 2002. “Optimalisasi Pajak Daerah Dan Retribusi Daerah Dalam Rangka Meningkatkan Kemampuan Keuangan Daerah”. Makalah yang disampaikan dalam Acara Orasi Ilmiah dengan Thema “Strategi Meningkatkan Kemampuan Keuangan daerah Melalui Penggalian Potensi Daerah Dalam Rangka Otonomi Daerah” Acara Wisuda XXI STIA LAN Bandung Tahun Akademik 2001/2002. Bandung. 10 April.

Sidik, Machfud, dkk. 2004. Bunga Rampai Desentralisasi Fiskal. Jakarta: Direktoral Jenderal Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah, Departemen Keuangan RI.

Simandjuntak, Robert A. 2002. ”Transfer Pusat ke Daerah: Konsep dan Praktik di Beberapa Negara” Machfud Sidik, dkk. 2002. Dana Alokasi Umum. Jakarta: Penerbit Buku Kompas.

Subiyantoro, Heru dan Singgih Riphat, editor. 2003.

Page 96: DIKTAT KEBIJAKAN FISKAL - repository.unas.ac.id

“Kebijakan Fiskal: Pemikiran, Konsep, dan Implementasi”. Jakarta: Penerbit Buku Kompas.

Suparmoko, M, Drs., M.A., Ph.D. 1996. Keuangan Negara: Dalam Teori dan Praktek

(Edisi 4), BPFE, Yogyakarta.

Surahmat, Rachmanto,(2001), Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda; Sebuah Pengantar, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.

Ulbrich, Holley. 2003. Public Finance in Theory and Practice. United States: South- Western, Thompson Learning.

Ter-Minassian,Teresa. 1997. “Fiscal Federalism in Theory and Practice”, International Monetary Fund, Washington, DC.

The International Budget Project. 2001, A Guide to Budget Work for NGOs, The Center on Budget and Policy Priorities, Washington DC (Desember).

Wiratmo, Masykur. 2001. “Perencanaan Pembiayaan Daerah”. Makalah pada Worskhop Manajemen Strategik Penerimaan Daerah dan Keuangan Daerah, Malang, Indonesia, 26-27 September.

World Bank. 1996a. “Vietnam: Fiscal Decentralization and the Delivery of Rural Services”. Report No. 15745-VN. Washington, DC (Oktober).

Zakaria, Jaja, (2001), Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda serta penerapannya di Indonesia, Fiska Sarana, Jakarta.

---------, Tax Review, Volume I/No. 5/2004.

Page 97: DIKTAT KEBIJAKAN FISKAL - repository.unas.ac.id

LATIHAN SOAL-SOAL

PRINSIP KEADILAN PERPAJAKAN Pada kenyataannya, sulit sekali didapat suatu formula kebijakan perpajakan yang

memenuhi seluruh aspek keadilan. Tidak ada suatu kebijakan yang bisa memuaskan seluruh pelaku ekonomi. Suatu kebijakan dianggap adil jika dilihat dari satu sisi, tetapi kurang adil dari sisi yang lain. Suatu sistem pajak dikatakan adil apabila kontribusi yang diberikan oleh setiap wajib pajak sesuai dengan manfaat yang diperoleh dari jasa-jasa pemerintah.

Di sisi lain, perekonomian memerlukan suatu jumlah penerimaan tertentu dan setiap wajib pajak diminta untuk membayar sesuai dengan kemampuannya. Pendekatan ini menyebabkan sisi pengeluaran publik menjadi tidak jelas. Agar prinsip kemampuan membayar dapat diterapkan, harus diketahui dulu bagaimana mengukur kemampuan tersebut. Pendekatan kemampuan membayar lebih baik dalam hal mengatasi masalah redistribusi, tetapi mengabaikan masalah-masalah yang berkaitan dengan penyediaan jasa-jasa publik. Ukuran kemampuan membayar mencerminkan kesejahteraan menyeluruh yang dapat diperoleh seseorang termasuk diantaranya adalah pendapatan, pola konsumsi, dan kekayaan.

Berdasar uraian tersebut di atas, terdapat setidaknya ada 2 (dua) prinsip keadilan perpajakan, yaitu: (1) Prinsip Manfaat; (2) Prinsip Kemampuan Membayar. Tugas saudara adalah menjelaskan pemahaman lebih detail tentang kedua prinsip tersebut disertai dengan contohnya.

Page 98: DIKTAT KEBIJAKAN FISKAL - repository.unas.ac.id

LATIHAN SOAL-SOAL

1) Jelaskan pemikiran Adam Smith terkait konsep Invisible Hand ? 2) Apa yang menyebabkan timbulnya Kebijakan Fiskal ? 3) Jelaskan perbedaan definisi Kebijakan Fiskal dan Kebijakan Moneter ? 4) Sebutkan fungsi Kebijakan Fiskal ? 5) Seberapa jauh peran pemerintah dalam kehidupan sehari-hari6)

? Seberapa ‘perlu’ keberadaan pemerintah

7) Jelaskan pengertian Pajak menurut pendapat para ahli ? dibanding dengan aktor lainnya (swasta)?

8) Besarnya pajak yang diterima pemerintah dipengaruhi oleh tingkat pendapatan, sebaliknya pajak dapat memengaruhi pola laku produksi dan atau konsumsi. Jelaskan pernyataan ini !

9) Sebutkan sasaran umum desentralisasi fiskal ? dan sebutkan pula bagaimana implementasinya ?

10) Tantangan utama dalam pembangunan Indonesia dewasa ini, bukan lagi untuk memberikan dana kepada daerah-daerah yang lebih miskin, tetapi bagaimana memastikan agar daerah daerah tersebut menggunakan dana yang disalurkan dengan sebaik-baiknya. Jelaskan pernyataan ini ?

11) Sebutkan dan jelaskan upaya-upaya: (1) untuk mendorong pertumbuhan ekonomi; (2) untuk dapat mengurangi angka pengangguran; (3) untuk dapat mengurangi angka kemiskinan di daerahnya ?

12) Pengumpulan pendapatan dari masyarakat dapat dikategorikan sebagai penerimaan pajak dan penerimaan non pajak. Jelaskan pernyataan ini !

13) Dewasa ini, mekanisme pinjaman oleh pemerintah terhadap dana masyarakat dapat juga digunakan untuk mengurangi jumlah uang beredar. Jelaskan pernyataan ini !

14) Pajak tidak hanya berfungsi sebagai penggalangan dana masyarakat untuk membiayai pengeluaran publik, tetapi juga dapat difungsikan sebagai regulator (pengatur). Untuk mengoptimalkan pelaksanaan kedua fungsi tersebut, kebijakan perpajakan harus berlandaskan pada prinsip-prinsip yang relevan. Sebutkan dan jelaskan ?

15) Apakah pajak dapat menyebabkan pergeseran penggunaan faktor-faktor produksi ? Jelaskan !

16) Apakah pajak mempunyai pengaruh negatif terhadap kemauan usaha kerja ? jelaskan ! 17) Mengapa kebijakan perpajakan di Indonesia lebih banyak diterapkan untuk mengurangi

kesenjangan pendapatan di masyarakat ? 18) Jelaskan pendapat saudara terhadap pemaparan Mitchell (2003) tentang sembilan

petunjuk kebijakan perpajakan yang berorientasi pada pertumbuhan ekonomi ? 19) Proporsi antara barang pribadi dan barang publik selalu berubah sesuai dengan kenaikan

pendapatan per kapita, dan porsi barang publik selalu menunjukkan peningkatan. Mengapa demikian ? Jelaskan !

20) Sejak tahun 1930-an, porsi belanja keperluan sosial dalam pendapatan nasional meningkat seiring dengan peningkatan pertumbuhan transfer. Contohnya adalah peningkatan asuransi hari tua. Mengapa demikian ? Jelaskan !

21) Dalam meninjau aspek keadilan dalam belanja publik, pertimbangan mengenai distribusi dan fungsi obyektif dapat dipertimbangkan dalam menentukan kebijakan proyek. Mengapa demikian ? Jelaskan !

22) Analisis sektor menyangkut beberapa tujuan dan manfaat. Sebutkan dan jelaskan !

Page 99: DIKTAT KEBIJAKAN FISKAL - repository.unas.ac.id

23) Bidang pertahanan dapat menjadi kontributor utama dalam defisit anggaran pemerintah. Mengapa demikian, jelaskan dan berikan contohnya !

24) Pembangunan jalan raya di suatu Daerah membutuhkan pembiayaan yang sangat besar, namun juga menghasilkan perkiraan pajak yang besar. Bagaimana pendapat saudara tentang pernyataan ini. Jelaskan dan berikan contohnya !

25) Dalam konteks desentralisasi fiskal, apapun bentuk pemerintahan suatu negara, baik itu

negara federal maupun negara kesatuan (unitary), akan selalu memunculkan pola hubungan fiskal antar pemerintahan (fiscal intergovernmental relationship). Mengapa demikian, jelaskan !!

26) Aspek efisiensi merupakan raison d’etre untuk desentralisasi fiskal. Mengapa demikian, jelaskan !!

27) Terdapat keuntungan efisiensi potensial dari desentralisasi fiskal. Sebutkan dan jelaskan ? 28) Pertanyaan ke-3 dari 3 pertanyaan: 29) Sebutkan syarat-Syarat keberhasilan Desentralisasi Fiskal ? 30) Dalam konteks desentralisasi fiskal, transfer dana dari Pemerintah Pusat kepada

Pemerintah Daerah merupakan hal yang tidak dapat dihindari. Mengapa demikian, jelaskan !!

31) Pertanyaan ke-2 dari 3 pertanyaan: 32) Tujuan dari transfer dana dari Pemerintah Pusat kepada Pemerintah Daerah bermacam-

macam, antara lain mengatasi persoalan efek pelayanan publik (correcting spatial externalities). Jelaskan pernyataan ini ?

33) Pertanyaan ke-3 dari 3 pertanyaan: 34) Dari berbagai tujuan yang hendak dicapai dalam rangka transfer antar tingkat

pemerintahan, dapat kiranya sebagai acuan untuk mendesain sistem atau model transfer bagaimana yang akan diterapkan. Sebutkan dan jelaskan beberapa kriteria umum yang biasa digunakan di banyak negara di dunia ?

35) Fungsi pajak daerah dapat dibedakan menjadi 2 (dua) fungsi utama, yaitu fungsi budgetory dan fungsi regulatory. Jelaskan !!

36) Suatu pajak daerah harus memenuhi beberapa prinsip umum, sehingga pemungutannya dapat dilaksanakan secara efisien dan efektif. Sebutkan dan jelaskan !!

37) Terdapat beberapa permasalahan ketika merancang sistem pajak yang adil, khususnya di negara berkembang. Sebutkan dan jelaskan !!

38) Pinjaman merupakan alternatif lain yang bisa dipilih untuk membiayai pembangunan daerah. Mengapa demikian, jelaskan ?

39) Terdapat beberapa sumber pinjaman dan metode pinjaman yang dapat dilakukan oleh Pemerintah Daerah. Sebutkan dan jelaskan ?

40) Sebutkan dan jelaskan isu-isu yang terkait dengan Pinjaman Daerah di Indonesia ? 41) Ada keunikan sistem jalan raya sebagai barang publik. Jelaskan ? 42) Seiring dengan perkembangan pemikiran aspek keadilan, sistem tunjangan sosial juga

mengalami perubahan. Sistem tunjangan dalam bentuk tunai dipandang oleh para ekonom dapat menimbulkan efek yang negatif bagi golongan penghasilan rendah dalam hal produktivitasnya, sehingga golongan penghasilan tinggi mempunyai preferensi memberikan kontribusinya dalam bentuk non tunai. Bagaimana pendapat saudara, jelaskan ?

Page 100: DIKTAT KEBIJAKAN FISKAL - repository.unas.ac.id

43) Pembangunan fasilitas rekreasi memberi manfaat ganda yakni manfaat bagi pemakai, manfaat bagi masyarakat di sekitarnya dan manfaat lain - seperti keindahan alam. Fasilitas rekreasi merupakan barang publik yang bersifat barang akhir atau barang konsumsi, tidak seperti jalan raya yang bersifat barang antara. Problem utama dalam penyediaan fasilitas rekreasi adalah seberapa besar manfaat barang tersebut dapat dinikmati oleh publik. Pengukuran manfaat atas barang ini dapat dilakukan dengan berbagai cara. Sebutkan dan jelaskan ?

44) Dalam hal penerapan koordinasi pajak internasional, terdapat beberapa asas yang perlu diperhatikan. Sebutkan dan jelaskan ?

45) Apa yang dimaksud dengan Tax Treaty ? dan jelaskan pula cakupannya ? 46) Pada umumnya terdapat beberapa ketentuan dalam memperlakukan pendapatan investasi

asing. Sebutkan dan jelaskan ?