dikerjakan oleh: bagian hukum dan kerjasama, sari hayu hutami
TRANSCRIPT
1
Dikerjakan oleh: Bagian Hukum dan Kerjasama, Sari Hayu Hutami :
Diperiksa oleh: Kasubbag Peraturan Perundang-undangan, :
Terlebih dahulu:
1. Kepala Bagian Hukum dan Kerjasama :
2. Direktur KTD :
3. Direktur LLAJ :
4. Direktur BSTP :
5. Direktur LLASDP :
6. Sesditjen Perhubungan Darat
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
Nomor....... Tahun......
TENTANG
KESELAMATAN LALU LINTAS DAN ANGKUTAN JALAN
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang : bahwa untuk melaksanaan ketentuan Pasal 205 dan Pasal 207 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan
Angkutan Jalan, perlu menetapkan Peraturan Pemerintah
tentang Keselamatan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan;
Mengingat : 1. Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945;
2. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas
dan Angkutan Jalan (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2009 Nomor 96 Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5025);
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : PERATURAN PEMERINTAH TENTANG KESELAMATAN LALU LINTAS DAN ANGKUTAN JALAN.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan:
1. Keselamatan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan adalah suatu
keadaan terhindarnya setiap orang dari risiko kecelakaan
selama berlalu lintas yang disebabkan oleh manusia, kendaraan, jalan, dan/atau lingkungan.
2
2. Lalu Lintas dan Angkutan Jalan adalah satu kesatuan sistem yang terdiri atas Lalu Lintas, Angkutan Jalan,
Jaringan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, Prasarana Lalu
Lintas dan Angkutan Jalan, Kendaraan, Pengemudi, Pengguna Jalan, serta pengelolaannya.
3. Lalu Lintas adalah gerak Kendaraan dan orang di Ruang
Lalu Lintas Jalan.
4. Jalan adalah seluruh bagian Jalan, termasuk bangunan pelengkap dan perlengkapannya yang diperuntukkan bagi
Lalu Lintas umum, yang berada pada permukaan tanah, di
atas permukaan tanah, di bawah permukaan tanah dan/atau air, serta di atas permukaan air, kecuali jalan rel
dan jalan kabel.
5. Rencana Umum Nasional Keselamatan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan adalah perencanaan keselamatan secara
menyeluruh, terarah, dan bertahap yang bertujuan
menciptakan keselamatan lalu lintas dan angkutan jalan.
6. Program Nasional Kegiatan Keselamatan Lalu Lintas dan
Angkutan Jalan adalah rencana aksi yang akan dijalankan
oleh masing-masing pemangku kepentingan sesuai dengan
tugas pokok, fungsi, dan wewenangnya sebagai pelaksanaan dari Rencana Umum Nasional Keselamatan Lalu lintas dan
Angkutan Jalan.
7. Manajemen Keselamatan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan adalah seluruh usaha pemangku kepentingan yang
terorganisir dan terintegrasi untuk mewujudkan
keselamatan lalu lintas dan angkutan jalan yang ditetapkan dalam Rencana Umum Nasional Keselamatan Lalu Lintas
dan Angkutan Jalan.
8. Sistem Manajemen Keselamatan Perusahaan Angkutan Umum adalah bagian dari manajemen perusahaan angkutan
umum berupa tata kelola keselamatan yang dilakukan oleh
perusahaan angkutan umum secara komprehensif dan
terkoordinasi dalam rangka mewujudkan keselamatan dan mengelola resiko kecelakaan.
9. Audit Bidang Keselamatan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan
adalah pemeriksaan formal terhadap obyek tertentu sesuai dengan tugas pokok dan fungsi masing-masing pembina lalu lintas dan angkutan jalan yang dilaksanakan oleh auditor independen yang ditunjuk oleh masing-masing Pembina lalu lintas dan angkutan jalan untuk menghasilkan rekomendasi terhadap obyek yang diaudit memenuhi persyaratan atau tidak memenuhi persyaratan untuk dioperasikan.
10. Inspeksi Bidang Keselamatan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan adalah pengamatan langsung obyek tertentu sesuai dengan tugas pokok dan fungsi masing-masing pembina lalu lintas dan angkutan jalan yang dilaksanakan oleh inspektor masing-masing untuk mengetahui keadaan dan kinerja obyek yang diinspeksi.
11. Pengamatan dan pemantauan adalah kegiatan mengamati dan mengikuti perkembangan keselamatan lalu lintas dan angkutan jalan melalui laporan yang disampaikan sesuai dengan tugas pokok, fungsi, dan wewenang masing-masing
3
pembina lalu lintas dan angkutan jalan.
12. Pemangku Kepentingan adalah pihak-pihak yang ikut berperan aktif di bidang keselamatan lalu lintas dan
angkutan jalan dan memberikan kontribusi dalam upaya
meningkatkan keselamatan melalui pemanfaatan sumber
daya yang berada dalam lingkungan masing-masing.
13. Pemerintah Pusat, selanjutnya disebut Pemerintah, adalah
Presiden Republik Indonesia yang memegang kekuasaan
pemerintahan negara Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945.
14. Pemerintah Daerah adalah gubernur, bupati/walikota, dan perangkat daerah sebagai unsur penyelenggara
Pemerintahan Daerah.
Pasal 2
Ruang lingkup Peraturan Pemerintah ini mengatur mengenai:
a. Rencana Umum Nasional Keselamatan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan;
b. Sistem Manajemen Keselamatan pada Perusahaan Angkutan
Umum;
c. Alat Pemberi Informasi Kecelakaan Lalu Lintas; dan
d. Pengawasan Keselamatan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.
BAB II
RENCANA UMUM NASIONAL KESELAMATAN
LALU LINTAS DAN ANGKUTAN JALAN
Bagian Kesatu Umum
Pasal 3
(1) Pemerintah bertanggung jawab atas terjaminnya
Keselamatan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.
(2) Untuk menjamin Keselamatan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan
Rencana Umum Nasional Keselamatan Lalu Lintas dan
Angkutan Jalan, meliputi:
a. manajemen Keselamatan Lalu Lintas dan Angkutan
Jalan;
b. penyusunan program nasional kegiatan Keselamatan
Lalu Lintas dan Angkutan Jalan;
c. penyediaan dan pemeliharaan fasilitas dan
perlengkapan Keselamatan Lalu Lintas dan Angkutan
Jalan; dan
d. pengkajian masalah Keselamatan Lalu Lintas dan
Angkutan Jalan.
4
(3) Rencana Umum Nasional Keselamatan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
merupakan suatu dokumen negara yang bertujuan untuk
memberikan arahan dan pedoman bagi Pemangku Kepentingan dalam menyusun rencana aksi dan
melaksanakannya agar penanganan Keselamatan Lalu
Lintas dan Angkutan Jalan dapat dilakukan secara
terkoordinir dan selaras.
(4) Rencana Umum Nasional Keselamatan Lalu Lintas dan
Angkutan Jalan sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
memuat:
a. visi dan misi Keselamatan Lalu Lintas dan Angkutan
Jalan;
b. tujuan Keselamatan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan yang berlaku nasional;
c. sasaran yang ingin dicapai dalam meningkatkan
Keselamatan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan yang berlaku nasional;
d. strategi dalam rangka mencapai tujuan dan sasaran
yang berlaku nasional; dan
e. kebijakan Keselamatan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan yang berlaku nasional.
(5) Rencana Umum Nasional Keselamatan Lalu Lintas dan
Angkutan Jalan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berlaku selama 20 (dua puluh) tahun dan dilakukan
evaluasi secara berkala setiap 5 (lima) tahun.
(6) Rencana Umum Nasional Keselamatan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
dilakukan oleh masing-masing pemangku kepentingan yang
dikoordinasikan melalui Kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang
perencanaan pembangunan nasional.
(7) Rencana Umum Nasional Keselamatan Lalu Lintas dan
Angkutan Jalan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan dengan Peraturan Presiden.
Bagian Kedua
Manajemen Keselamatan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan
Pasal 4
(1) Untuk melaksanakan Rencana Umum Nasional Keselamatan
Lalu lintas dan Angkutan Jalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 diselenggarakan Manajemen Keselamatan
Lalu lintas dan Angkutan Jalan.
(2) Manajemen Keselamatan Lalu lintas dan angkutan Jalan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diselenggarakan untuk menghasilkan penurunan tingkat kecelakaan lalu lintas dan
fatalitas akibat kecelakaan sesuai dengan tujuan dan
sasaran yang ditetapkan dalam Rencana Umum Nasional Keselamatan Lalu lintas dan Angkutan Jalan.
5
(3) Penurunan tingkat kecelakaan lalu lintas dan fatalitas
akibat kecelakaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan oleh para Pemangku Kepentingan dengan
melakukan tindakan - tindakan secara sinergi untuk
mewujudkan kinerja Keselamatan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.
(4) Kinerja Keselamatan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diwujudkan melalui
program nasional keselamatan lalu lintas dan angkutan jalan.
Pasal 5
(1) Manajemen Keselamatan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 diselenggarakan di
tingkat Nasional, Provinsi, dan Kabupaten/Kota.
(2) Manajemen Keselamatan Lalu lintas dan Angkutan Jalan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan dengan
berpedoman pada Rencana Umum Nasional Keselamatan Jalan.
Bagian Ketiga Program Nasional
Kegiatan Keselamatan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan
Paragraf 1
Umum
Pasal 6
(1) Program nasional kegiatan Keselamatan Lalu Lintas dan
Angkutan Jalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2) huruf b merupakan rencana aksi dari Rencana Umum
Nasional Keselamatan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.
(2) Program nasional kegiatan Keselamatan Lalu Lintas dan
Angkutan Jalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disusun oleh Pemangku Kepentingan sesuai dengan tugas
pokok dan fungsinya.
(3) Program nasional kegiatan Keselamatan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling
sedikit memuat rencana aksi masing-masing Pemangku
Kepentingan.
(4) Penyusunan program nasional kegiatan Keselamatan Lalu
Lintas dan Angkutan Jalan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dikoordinasikan melalui Kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang
perencanaan pembangunan nasional.
6
Pasal 7
Program nasional kegiatan Keselamatan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 terdiri
atas 5 (lima) pilar keselamatan yang meliputi:
a. manajemen keselamatan jalan;
b. jalan yang berkeselamatan;
c. kendaraan yang berkeselamatan;
d. perilaku pengguna jalan yang berkeselamatan; dan
e. penanganan korban pra dan pasca kecelakaan.
Catatan:
Huruf e Sesuaikan dengan Inpres No 4
Pasal 7a
Untuk melaksanakan program nasional kegiatan Keselamatan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 7 masing-masing Pemangku Kepentingan wajib menyusun
rencana aksi yang sekurang-kurangnya memuat:
a. keluaran;
b. target penyelesaian;
c. sasaran;
d. koordinator;
e. penanggung jawab;
f. instansi terkait.
Paragraf 2
Program Manajemen Keselamatan Jalan
Pasal 8
(1) Program manajemen keselamatan jalan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 7 huruf a diwujudkan melalui:
a. penyelarasan dan koordinasi Keselamatan Lalu Lintas
dan Angkutan Jalan;
b. penyusunan dan pelaksanaan protokol kelalulintasan
kendaraan darurat;
c. riset Keselamatan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan;
d. surveilance injury dan sistem informasi terpadu;
e. dana Keselamatan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan;
f. kemitraan Keselamatan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan;
g. Sistem Manajemen Keselamatan pada perusahaan
angkutan umum; dan
h. penyempurnaan regulasi Keselamatan Lalu Lintas dan
Angkutan Jalan.
(2) Perwujudan program manajemen keselamatan jalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikoordinasikan oleh
kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan
di bidang perencanaan pembangunan nasional dengan para
7
pemangku kepentingan sesuai kewenangannya.
Pasal 9
(1) Penyelarasan dan koordinasi Keselamatan Lalu Lintas dan
Angkutan Jalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1) huruf a memuat rencana aksi paling kurang:
a. membentuk forum/lembaga koordinasi program
keselamatan;
b. menyediakan tata kerja dan tata kelola forum/lembaga
koordinasi;
c. membentuk kelompok kerja penanganan kecelakaan;
d. menetapkan prioritas dan menjamin efektifitas dan keberlanjutan program keselamatan.
(2) Penyusunan dan pelaksanaan protokol kelalulintasan kendaraan darurat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8
ayat (1) huruf b memuat rencana aksi paling kurang:
a. menyusun pedoman kelalulintasan kendaraan darurat;
b. menyelenggarakan simulasi dan sosialisasi protokol
operasi;
c. melaksanakan protokol kelalulintasan kendaraan darurat.
(3) Riset keselamatan lalu lintas dan angkutan jalan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1) huruf c
memuat rencana aksi paling kurang:
a. melembagakan tata kelola riset;
b. menyelenggarakan riset keselamatan lalu lintas dan
angkutan jalan;
c. peningkatan riset keselamatan lalu lintas dan angkutan
jalan.
(4) Surveilance injury dan sistem informasi terpadu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1) huruf d
memuat rencana aksi paling kurang:
a. mengumpulkan dan mengembangkan struktur data kecelakaan lalu lintas dan angkutan jalan;
b. mengkonsolidasikan data kecelakaan lalu lintas dan
angkutan jalan dari berbagai pihak;
c. mengembangkan sistem informasi data kecelakaan lalu lintas dan angkutan jalan;
d. mendiseminasikan laporan tahunan data dan anatomi
kecelakaan lalu lintas dan angkutan jalan;
e. memberikan kemudahan publik untuk mengakses data
kecelakaan lalu lintas dan angkutan jalan.
(5) Dana keselamatan lalu lintas dan angkutan jalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1) huruf e
memuat rencana aksi paling kurang paling kurang:
a. menyelenggarakan lembaga dana keselamatan lalu lintas
8
dan angkutan jalan;
b. menjamin ketersediaan dana keselamatan lalu lintas dan angkutan jalan;
catatan:
diperlukan tambahan penje
c. mencari sumber – sumber potensi pendanaan lain
untuk mendanai program – program di bidang
keselamatan lalu lintas dan angkutan jalan.
(6) Kemitraan keselamatan lalu lintas dan angkutan jalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1) huruf f
memuat rencana aksi paling kurang:
a. menyusun pedoman pengaturan kemitraan dengan dunia usaha dan masyarakat;
b. menyelenggarakan inisiatif kemitraan keselamatan lalu
lintas dan angkutan jalan.
(7) Sistem Manajemen Keselamatan pada perusahaan angkutan
umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1) huruf
g memuat rencana aksi paling kurang:
a. menyusun pedoman sistem manajemen keselamatan
pada perusahaan angkutan umum;
b. diseminasi dan sosialisasi pedoman sistem manajemen
keselamatan pada perusahaan angkutan umum;
c. pembinaan teknis dan bantuan teknis sistem manajemen
keselamatan pada perusahaan angkutan umum.
(8) Penyempurnaan regulasi Keselamatan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat
(1) huruf h memuat rencana aksi paling kurang:
a. mengkaji ulang dan menyempurnakan peraturan keselamatan lalu lintas dan angkutan jalan;
b. diseminasi dan sosialisasi peraturan keselamatan lalu
lintas dan angkutan jalan;
c. pembinaan dan pengawasan teknis terhadap
pelaksanaan peraturan keselamatan lalu lintas dan
angkutan jalan.
Paragraf 3
Program Jalan Yang Berkeselamatan
Pasal 10
(1) Program jalan yang berkeselamatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 huruf b diwujudkan melalui:
a. badan jalan yang berkeselamatan;
b. perencanaan dan pelaksanaan pekerjaan jalan yang
berkeselamatan;
c. penyelenggaraan manajemen dan rekayasa lalu lintas;
d. penerapan manajemen kecepatan;
e. peningkatan kelaikan fungsi jalan yang berkeselamatan;
9
dan
f. lingkungan jalan yang berkeselamatan.
(2) Perwujudan jalan yang berkeselamatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikoordinasikan oleh kementerian
yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang
jalan dengan para pemangku kepentingan sesuai
kewenangannya.
Pasal 11
(1) Badan jalan yang berkeselamatan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 10 ayat (1) huruf a memuat rencana aksi paling kurang:
a. menyediakan tata laksana perbaikan badan jalan terkait
kelaikan keselamatan;
b. melaksanakan penutupan lubang jalan;
c. melaksanakan perbaikan jalan yang tergenang air;
d. melaksanakan penanganan jalan licin;
e. melaksanakan perbaikan bahu jalan.
(2) Perencanaan dan pelaksanaan pekerjaan jalan yang
berkeselamatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat
(1) huruf b memuat rencana aksi paling kurang:
a. menyediakan tata laksana perencanaan jalan yang
berkeselamatan;
b. menyediakan tata laksana pelaksanaan pekerjaan jalan yang berkeselamatan;
c. melaksanakan perencanaan jalan yang berkeselamatan,
dari tahap perencanaan sampai dengan desain rinci;
d. melaksanakan pekerjaan jalan yang berkeselamatan;
e. melaksanakan inspeksi keselamatan jalan;
f. melaksanakan inventarisasi dan investigasi lokasi rawan
kecelakaan;
g. melaksanakan perbaikan lokasi rawan kecelakaan;
h. menyelenggarakan manajemen kecepatan;
i. menunjang tindak kedaruratan akibat kecelakaan lalu lintas dan bencana.
(3) Penyelenggaraan manajemen dan rekayasa lalu lintas
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (1) huruf c dilaksanakan sesuai ketentuan peraturan perundangan-
undangan.
(4) Penerapan manajemen kecepatan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 10 ayat (1) huruf d memuat rencana aksi paling kurang:
a. menyusun dan menetapkan prosedur penetapan batas
kecepatan;
10
b. menyusun dan menetapkan prosedur penanganan
pelanggaran kecepatan;
c. diseminasi dan sosialisasi prosedur penetapan batas
kecepatan;
d. menerapkan prosedur penetapan batas kecepatan dan prosedur penanganan pelanggaran kecepatan;
e. menyediakan teknologi penegakan hukum;
f. menetapkan sistem denda.
(5) Peningkatan kelaikan fungsi jalan yang berkeselamatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (1) huruf e
memuat rencana aksi paling kurang:
a. menyediakan ketentuan kelaikan fungsi jalan yang berkeselamatan;
b. menyediakan pedoman manajemen penyelenggaraan jalan
yang berkeselamatan;
c. menerapkan manajemen penyelenggaraan jalan yang
berkeselamatan.
(6) Lingkungan jalan yang berkeselamatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (1) huruf f memuat rencana
aksi paling kurang:
a. menyediakan tata laksana penertiban dan penataan
lingkungan jalan terkait keselamatan;
b. mengendalikan fungsi ruang tepi jalan;
c. mengendalikan kegiatan tepi jalan;
d. menyediakan fasilitas pejalan kaki.
Paragraf 4
Program Kendaraan Yang Berkeselamatan
Pasal 12
(1) Program kendaraan yang berkeselamatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 huruf c diwujudkan melalui:
a. penyelenggaraan dan perbaikan prosedur uji berkala dan
uji tipe;
b. pembatasan kecepatan kendaraan;
c. penanganan muatan lebih (overloading);
d. penyempurnaan persyaratan teknis dan laik jalan kendaraan;
e. standar keselamatan kendaraan angkutan umum;
f. penyempurnaan prosedur uji tipe bagi kendaraan bermotor yang diimpor dalam keadaan bukan baru dan
modifikasi;
g. pengembangan riset dan desain kendaraan bermotor;
h. kebijakan keselamatan penggunaan sepeda motor; dan
i. penerapan pendaftaran kendaraan bermotor secara
elektronik (e-registrasi).
11
(2) Perwujudan program kendaraan yang berkeselamatan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikoordinasikan oleh kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan
di bidang sarana dan prasarana lalu lintas dan angkutan
jalan dengan para pemangku kepentingan sesuai kewenangannya.
Pasal 13
(1) Penyelenggaraan dan perbaikan prosedur uji berkala dan uji
tipe sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (1) huruf a memuat rencana aksi paling kurang:
a. menyusun rencana pengembangan pengujian kendaraan
bermotor;
b. menyempurnakan prosedur dan manual uji berkala dan
uji tipe;
c. mengembangkan sistem pengujian berdasarkan teknologi
(techno-based);
d. melakukan akreditasi unit pengujian kendaraan
bermotor;
e. mengevaluasi sistem pengujian berkala dan uji tipe;
f. monitoring dan evaluasi penyelenggaraan dan perbaikan
prosedur uji berkala dan uji tipe.
(2) Pembatasan kecepatan kendaraan sebagaimana dimaksud dalam pasal 12 ayat (1) huruf b memuat rencana aksi paling
kurang:
a. menyusun pedoman penerapan teknologi pembatasan kecepatan kendaraan;
b. diseminasi dan sosialisasi pedoman penerapan teknologi
pembatasan kecepatan kendaraan
c. menerapkan teknologi untuk membatasi kecepatan kendaraan angkutan umum dan sepeda motor;
d. monitoring dan evaluasi pelaksanaan teknologi
pembatasan kecepatan kendaraan.
(3) Penanganan muatan lebih (overloading) sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 12 ayat (1) huruf c memuat rencana
aksi paling kurang:
a. menyusun kebijakan penanganan muatan lebih;
b. pengkajian dan penerapan teknologi pada kendaraan
untuk membatasi muatan lebih (self-explaining & self-enforcement vehicle);
c. pengkajian dan penerapan teknologi untuk pengawasan
muatan lebih;
d. menerapkan Intelligent Transportation System di bidang angkutan barang;
e. monitoring dan evaluasi penanganan muatan lebih
(overloading).
(4) Penyempurnaan persyaratan teknis dan laik jalan kendaraan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (1)
12
huruf d memuat rencana aksi paling kurang:
a. menyempurnakan ketentuan persyaratan teknis dan laik jalan mengikuti perkembangan teknologi kendaraan
bermotor;
b. diseminasi dan sosialisasi penyempurnaan persyaratan teknis dan laik jalan kendaraan;
c. mengembangkan prosedur laik jalan sesuai harmonisasi
regulasi internasional;
d. monitoring dan evaluasi penyempurnaan persyaratan teknis dan laik jalan kendaraan.
(5) Standar keselamatan kendaraan angkutan umum
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (1) huruf e memuat rencana aksi paling kurang:
a. menetapkan standar keselamatan kendaraan angkutan
umum;
b. diseminasi dan sosialisasi standar pelayanan minimal
kendaraan angkutan umum bidang keselamatan
c. menerapkan standar keselamatan kendaraan angkutan umum;
d. monitoring dan evaluasi penerapan standar keselamatan
kendaraan angkutan umum.
(6) Penyempurnaan prosedur uji tipe bagi kendaraan bermotor yang diimpor dalam keadaan bukan baru dan modifikasi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (1) huruf f
memuat rencana aksi paling kurang:
a. menyusun prosedur dan manual tentang kendaraan
impor dalam keadaan bukan baru dan modifikasi;
b. diseminasi dan sosialisasi prosedur uji tipe bagi kendaraan bermotor yang diimpor dalam keadaan bukan
baru dan modifikasi;
c. menerapkan prosedur dan manual tentang kendaraan impor dalam keadaan bukan baru dan modifikasi;
d. monitoring dan evaluasi prosedur uji tipe bagi kendaraan
bermotor yang diimpor dalam keadaan bukan baru dan
modifikasi.
(7) Pengembangan riset dan desain kendaraan bermotor yang
berkeselamatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat
(1) huruf g memuat rencana aksi paling kurang:
a. menyusun prosedur dan manual tentang riset dan
desain kendaraan bermotor yang berkeselamatan;
b. menerapkan prosedur dan manual tentang riset dan desain kendaraan bermotor yang berkeselamatan;
c. mendorong dan memajukan riset dan desain kendaraan
bermotor yang berkeselamatan melalui berbagai kegiatan;
d. monitoring dan evaluasi riset dan desain kendaraan
bermotor yang berkeselamatan.
(8) Kebijakan keselamatan penggunaan sepeda motor
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (1) huruf h
13
memuat rencana aksi paling kurang:
a. menyusun kebijakan keselamatan penggunaan sepeda motor;
b. diseminasi dan sosialisasi kebijakan keselamatan
penggunaan sepeda motor.
c. menerapkan kebijakan keselamatan penggunaan sepeda
motor;
d. monitoring dan evaluasi kebijakan keselamatan
penggunaan sepeda motor.
(9) penerapan pendaftaran kendaraan bermotor secara
elektronik (e-registrasi) sebagai mana dimaksud dalam Pasal
12 ayat (1) huruf i memuat rencana aksi paling kurang:
………
Paragraf 5 Program Perilaku Pengguna Jalan Yang Berkeselamatan
Pasal 14
(1) Program perilaku pengguna jalan yang berkeselamatan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 huruf d diwujudkan
melalui:
a. kepatuhan pengoperasian kendaraan;
b. pemeriksaan kondisi pengemudi;
c. peningkatan sarana dan prasarana sistem uji surat izin
mengemudi;
d. penyempurnaan prosedur uji surat izin mengemudi;
e. pembinaan teknis pendidikan dan pelatihan pengemudi;
f. pendidikan dan pelatihan pengemudi kendaraan bermotor umum;
g. penanganan terhadap faktor risiko utama (penggunaan
helm, penggunaan sabuk keselamatan, pelanggaran batas kecepatan, mengemudi dibawah pengaruh alkohol
dan NAPZA, perlindungan terhadap pengguna jalan
rentan, penggunaan telepon seluler ketika berkendara);
h. perlindungan terhadap pengguna jalan rentan;
i. penggunaan elektronik penegakan hukum;
j. pendidikan formal dan nonformal keselamatan jalan; dan
k. kampanye keselamatan.
(2) Perwujudan perilaku pengguna jalan yang berkeselamatan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikoordinasikan oleh
Kepolisian Negara Republik Indonesia dengan para pemangku kepentingan sesuai kewenangannya.
Pasal 15
(1) Kepatuhan pengoperasian kendaraan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 14 ayat (1) huruf a memuat rencana aksi paling kurang:
14
a. melaksanakan pemeriksaan pengoperasian kendaraan
bermotor;
b. melaksanakan pemeriksaan pemasangan perlengkapan
keselamatan;
c. monitoring dan evaluasi kepatuhan pengoperasian kendaraan.
(2) Pemeriksaan kondisi pengemudi sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 14 ayat (1) huruf b memuat rencana aksi paling
kurang:
a. menetapkan standar kesehatan pengemudi;
b. menyelenggarakan pemeriksaan standar kesehatan
pengemudi saat mendapatkan surat izin mengemudi;
c. menyelenggarakan pemeriksaan kesehatan pengemudi
secara berkala;
d. menyelenggarakan patroli perilaku yang membahayakan keselamatan;
e. mengatur pembatasan hak mengemudi yang terkait
faktor kondisi pengemudi;
f. menyelenggarakan pemeriksaan kesehatan pengemudi di
fasilitas kesehatan terminal dan/atau unit pelaksana
penimbangan kendaraan bermotor.
(3) Peningkatan sarana dan prasarana sistem uji surat izin mengemudi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (1)
huruf c memuat rencana aksi paling kurang:
a. meningkatkan kualitas materi uji surat izin mengemudi;
b. meningkatkan kualitas dan kuantitas instruktur penguji
surat izin mengemudi;
c. menyediakan fasilitas pendidikan pengemudi;
d. menerapkan surat izin mengemudi elektronik.
(4) Penyempurnaan prosedur uji surat izin mengemudi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (1) huruf d memuat rencana aksi paling kurang:
a. menetapkan penjejangan surat izin mengemudi;
b. menerapkan Demerit Point System.
(5) Pembinaan teknis pendidikan dan pelatihan pengemudi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (1) huruf e
memuat rencana aksi paling kurang:
a. menyelenggarakan akreditasi sekolah mengemudi;
b. menetapkan standar pembinaan teknis sekolah
mengemudi;
c. menyelenggarakan pelatihan sumber daya manusia sekolah mengemudi;
d. menjamin terselenggaranya sekolah mengemudi.
(6) Pendidikan dan pelatihan pengemudi kendaraan bermotor umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (1) huruf
f memuat rencana aksi paling kurang:
a. penyusunan pedoman pendidikan dan pelatihan
15
pengemudi kendaraan bermotor umum;
b. diseminasi dan sosialisasi pendidikan dan pelatihan pengemudi kendaraan bermotor umum;
c. pelaksanaan pendidikan dan pelatihan pengemudi
kendaraan bermotor umum;
d. monitoring dan evaluasi pendidikan dan pelatihan
pengemudi kendaraan bermotor umum;
e. akreditasi pendidikan dan pelatihan pengemudi
kendaraan bermotor umum.
(7) Penanganan terhadap faktor risiko utama sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 14 ayat (1) huruf g memuat rencana
aksi paling kurang:
a. menegakkan hukum bagi pelanggar penggunaan helm
bagi pengguna sepeda motor;
b. menegakkan hukum bagi pelanggar penggunaan sabuk keselamatan;
c. menegakkan hukum bagi pelanggar batas kecepatan;
d. menegakkan hukum bagi pelanggar yang mengemudi dalam keadaan mabuk;
e. menegakkan hukum bagi pelanggar penggunaan alat
keselamatan yang diperuntukkan bagi pengguna jalan
rentan;
f. menegakkan hukum bagi pelanggar penggunaan telepon
seluler ketika berkendara.
(8) Perlindungan terhadap pengguna jalan rentan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (1) huruf h memuat rencana
aksi paling kurang:
.............
(9) Penggunaan elektronik penegakan hukum sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 14 ayat (1) huruf i memuat rencana
aksi paling kurang:
a. menyusun prosedur dan manual tentang penggunaan
elektronik penegakan hukum;
b. menerapkan prosedur dan manual tentang penggunaan
elektronik penegakan hukum.
(10) Pendidikan formal dan nonformal keselamatan jalan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (1) huruf j
memuat rencana aksi paling kurang:
a. menyusun prosedur pendidikan formal dan nonformal
keselamatan jalan;
b. menyusun Kurikulum pendidikan formal dan nonformal keselamatan jalan;
c. diseminasi dan sosialisasi pendidikan formal dan
nonformal keselamatan.
(11) Kampanye keselamatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
14 ayat (1) huruf k memuat rencana aksi paling kurang:
a. menyusun pedoman manajemen kampanye keselamatan;
b. melakukan diseminasi dan sosialisasi pedoman
16
manajemen kampanye keselamatan;
c. mendorong keterlibatan masyarakat dalam pelaksanaan kampanye keselamatan;
d. melaksanakan kampanye keselamatan secara nasional;
e. melakukan monitoring dan evaluasi pelaksanaan program nasional kampanye keselamatan.
Catatan: ayat (8) akan diisi oleh Kepolisian Negara Republik
Indonesia.
Paragraf 6
Program Penanganan Korban Pasca Kecelakaan
Pasal 16
(1) Program penanganan korban pasca kecelakaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 huruf e diwujudkan melalui:
a. sistem layanan gawat darurat terpadu;
b. sistem komunikasi gawat darurat one access code (nomor
darurat);
c. penjaminan korban kecelakaan yang dirawat di rumah
sakit rujukan;
d. asuransi pihak ketiga;
e. pengalokasian sebagian premi asuransi untuk dana
keselamatan jalan;
f. program rehabilitasi pasca kecelakaan; dan
g. riset penanganan korban kecelakaan.
(2) Perwujudan program penanganan korban pasca kecelakaan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikoordinasikan oleh kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan
di bidang kesehatan dengan para pemangku kepentingan
sesuai kewenangannya.
Pasal 17
(1) Sistem layanan gawat darurat terpadu sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 16 ayat (1) huruf a memuat rencana
aksi paling kurang:
a. menyediakan pos gawat darurat terpadu;
b. menyediakan tenaga medis yang kompeten.
(2) Sistem komunikasi gawat darurat one access code (nomor
darurat) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (1) huruf b memuat rencana aksi paling kurang:
a. menyusun prosedur sistem komunikasi gawat darurat
one access code (nomor darurat);
b. diseminasi dan sosialisasi sistem komunikasi gawat
darurat one access code (nomor darurat);
c. menerapkan prosedur sistem komunikasi gawat darurat
one access code (nomor darurat).
17
(3) Penjaminan korban kecelakaan yang dirawat di rumah sakit
rujukan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (1) huruf c memuat rencana aksi paling kurang:
a. ...;
b. ...
(4) Asuransi pihak ketiga sebagaimana dimaksud dalam Pasal
16 ayat (1) huruf d memuat rencana aksi paling kurang
a. ........;
b. .....
(5) Pengalokasian sebagian premi asuransi untuk dana
keselamatan jalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (1) huruf e memuat rencana aksi paling kurang
a. .....;
b. ......
(6) Program rehabilitasi pasca kecelakaan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 16 ayat (1) huruf f memuat rencana
aksi paling kurang:
a. .....;
b. ......
(7) Riset penanganan korban kecelakaan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 16 ayat (1) huruf g memuat rencana aksi paling kurang:
a. .....;
b. ......
Catatan: ayat (3) sampai dengan ayat (7) akan diisi oleh
Kementerian Kesehatan.
Paragraf 7
Perwujudan program nasional kegiatan Keselamatan Lalu
Lintas dan Angkutan Jalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 dikoordinasikan melalui kementerian yang
menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang
perencanaan pembangunan nasional.
Bagian Keempat
Penyediaan dan Pemeliharaan Fasilitas dan Perlengkapan
Keselamatan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan
Pasal 18
Penyediaan dan pemeliharaan fasilitas dan perlengkapan Keselamatan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2) huruf c terdiri atas:
a. bangunan fisik prasarana lalu lintas dan angkutan jalan yang disediakan dengan tujuan melindungi pengguna jalan;
b. perlengkapan alat perlindungan yang melekat pada
pengemudi dan/atau penumpang dan pejalan kaki maupun
18
yang terdapat dan/atau melekat pada kendaraan bermotor.
Pasal 19
(1) Bangunan fisik prasarana lalu lintas dan angkutan jalan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 huruf a paling kurang:
a. fasilitas keselamatan prasarana Lalu Lintas dan
Angkutan Jalan;
b. lajur pengereman (escape ramp);
c. lajur pendakian (climbing lane);
d. alat pemantau kemacetan (sirkuit televisi terbatas /cctv);
e. pagar pengaman;
f. zona keselamatan; dan
g. rute aman selamat sekolah.
(2) Bangunan fisik prasarana lalu lintas dan angkutan jalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan oleh
Pemerintah dan Pemerintah Daerah.
Pasal 20
(1) Perlengkapan alat perlindungan yang melekat pada
pengemudi dan/atau penumpang dan pejalan kaki maupun
yang terdapat dan/atau melekat pada kendaraan bermotor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 huruf b paling
kurang:
a. reflektor keterlihatan (conspicuity);
b. perlengkapan keselamatan kendaraan bermotor dan
kendaraan tidak bermotor (safety gear);
c. perlengkapan tanggap darurat pada angkutan umum;
d. alat pemantau kecepatan dan perilaku pengemudi;
e. pelindung pengemudi dan penumpang.
Masuk di penjelasan:
Sabuk keselamatan di tempat duduk pengemudi dan penumpang
Pelindung anak (child restraint)
(2) Perlengkapan alat perlindungan yang melekat pada
pengemudi dan/atau penumpang maupun yang terdapat dan/atau melekat pada kendaraan bermotor sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan oleh pemilik
kendaraan.
Pasal 21
Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib melakukan
pengawasan terhadap pemenuhan fasilitas dan perlengkapan
keselamatan lalu lintas dan angkutan jalan.
19
Bagian Kelima
Pengkajian Masalah Keselamatan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan
Pasal 22
(1) Pengkajian masalah Keselamatan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2) huruf d
dilakukan untuk memberi masukan bagi penentuan
kebijakan program nasional kegiatan Keselamatan Lalu
Lintas dan Angkutan Jalan.
(2) Dalam rangka melaksanakan pengkajian masalah
keselamatan sebagaimana yang dimaksud pada ayat (1)
Pemerintah wajib membentuk lembaga penelitian di bidang keselamatan lalu lintas dan angkutan jalan.
BAB III
SISTEM MANAJEMEN KESELAMATAN
PADA PERUSAHAAN ANGKUTAN UMUM
Pasal 23
(1) Perusahaan Angkutan Umum wajib membuat, melaksanakan, dan menyempurnakan sistem manajemen
keselamatan dengan berpedoman pada rencana umum
nasional Keselamatan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.
(2) Dalam rangka membuat, melaksanakan, dan
menyempurnakan Sistem Manajemen Keselamatan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) setiap Perusahaan Angkutan Umum wajib memiliki ahli di bidang Sistem
Manajemen Keselamatan Angkutan Umum.
Pasal 24
(1) Kewajiban membuat sistem manajemen keselamatan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (1) merupakan kegiatan yang harus dilakukan oleh setiap perusahaan
angkutan umum yang belum memiliki Sistem Manajemen
Keselamatan Angkutan Umum.
(2) Kewajiban melaksanakan sistem manajemen keselamatan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (1) merupakan
kewajiban seluruh perusahaan angkutan umum untuk menyelenggarakan Sistem Manajemen Keselamatan
Angkutan Umum yang telah dibuat.
(3) Kewajiban menyempurnakan sistem manajemen keselamatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (1)
merupakan kegiatan perusahaan angkutan umum untuk
memperbaiki dan meningkatkan Sistem Manajemen Keselamatan Angkutan Umum yang telah ada pada
perusahaan angkutan umum.
Pasal 25
Sistem Manajemen Keselamatan pada perusahaan angkutan
20
umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 meliputi:
a. komitmen dan kebijakan;
b. manajemen dan pengorganisasian;
c. manajemen bahaya dan resiko;
d. fasilitas pemeliharan dan perbaikan kendaraan;
e. dokumentasi dan Data;
f. kompetensi dan Pelatihan;
g. tanggap darurat;
h. penelitian dan pelaporan kecelakaan internal;
i. pengukuran kinerja;
j. evaluasi.
Pasal 26
Komitmen dan kebijakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
25 huruf a berupa visi, misi, kebijakan, dan sasaran perusahaan yang ingin dicapai untuk meningkatkan kinerja
keselamatan pengusahaan angkutan umum dengan tetap
dengan tetap berpedoman pada perundangan yang berlaku.
Pasal 27
Manajemen dan pengorganisasian sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 25 huruf b berupa satuan organisasi yang mengelola manajemen keselamatan pada perusahaan angkutan
umum yang memuat tugas pokok dan fungsi serta tata kerja
yang bertanggungjawab terhadap aspek keselamatan dalam pengoperasian kendaraan angkutan umum.
Pasal 28
Manajemen bahaya dan risiko sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 25 huruf c berupa program untuk mengendalikan bahaya
dan risiko yang timbul dari operasi perusahaan mulai dari perencanaan, pengangkutan dan pemeliharaan yang mencakup
identifikasi bahaya, serta penilaian dan pengendalian risiko
yang terdapat dalam kegiatan operasi pengangkutan.
Pasal 29
Fasilitas pemeliharan dan perbaikan kendaraan dalam Pasal 25
huruf d berupa tersedianya fasilitas penyimpanan suku cadang serta pemeliharaan dan perbaikan kendaraan yang digunakan
untuk mendukung kegiatan perusahaan.
Pasal 30
Dokumentasi dan data sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25
huruf e merupakan tersedianya dokumentasi dan data terkait dengan penyelanggaraan kegiatan operasional perusahaan
dalam mendukung pencapaian keselamatan.
21
Pasal 31
Kompetensi dan Pelatihan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
25 huruf f berupa sertifikat kompetensi kerja yang diterbitkan
Badan Nasional Sertifikasi Profesi atau lembaga yang ditunjuk untuk setiap orang sesuai dengan jenis pekerjaan, terutama
pengemudi sesuai dengan persyaratan dan adanya program
pembinaan dan pelatihan bagi tenaga kerja secara berkala
sesuai dengan kebutuhan khususnya yang mengandung risiko tinggi.
Pasal 32
Tanggap darurat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 huruf
g berupa prosedur atau pedoman untuk menghadapi setiap keadaan darurat yang meliputi :
a. pengembangan, penetapan, dan penerapan manajemen
tanggap darurat;
b. identifikasi semua potensi keadaan darurat yang mungkin
timbul dalam kegiatan operasi;
c. sistem manajemen krisis dan tanggap darurat.
Pasal 33
Penelitian dan Pelaporan Kecelakaan internal sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 25 huruf h berupa identifikasi faktor penyebab kecelakaan dalam rangka mencegah terjadinya
kejadian serupa di masa yang akan datang.
Pasal 34
(1) Pengukuran Kinerja sebagaimana sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 25 huruf i merupakan kegiatan berkala untuk mengetahui kemajuan dan kinerja keselamatan sehinggga
dapat dilakukan tindakan perbaikan.
(2) Perusahaan harus mengembangkan, menetapkan dan
melaksanakan prosedur pemantauan dan pengukuran kinerja keselamatan secara berkala dan
mendokumentasikan hasilnya.
Pasal 35
Evaluasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 huruf j
merupakan kegiatan tinjau ulang yang dilakukan secara berkala untuk mengetahui kelemahan dan kelebihan pelaksanaan
keselamatan dalam perusahaan.
Pasal 36
(1) Pemerintah wajib melaksanakan pembinaan terhadap
pelaksanaan Sistem Manajemen Keselamatan yang dilaksanakan oleh perusahaan angkutan umum.
22
(2) Kewajiban Pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
meliputi:
a. penyiapan pedoman Sistem Manajemen Keselamatan
pada perusahaan angkutan umum;
b. pelaksanaan penilaian (assesmen) Sistem Manajemen Keselamatan pada perusahaan angkutan umum;
c. Sertifikasi Tenaga Asessor dan ahli di bidang Sistem
Manajemen Keselamatan pada Perusahaan Angkutan
Umum;
d. pemberian bimbingan teknis, bantuan teknis dan
pengawasan terhadap pelaksanaan Sistem Manajemen
Keselamatan pada perusahaan angkutan umum;
(3) Dalam melaksanakan penilaian (assesmen) terhadap
penyelenggaraan Sistem Manajemen Keselamatan
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b dilakukan oleh assessor yang berkompeten.
Pasal 37
Ketentuan lebih lanjut mengenai penyiapan pedoman Sistem
Manajemen Keselamatan, Sertifikasi Tenaga Asessor, dan ahli di
bidang Sistem Manajemen Keselamatan pada Perusahaan Angkutan Umum diatur oleh Menteri yang menyelenggarakan
urusan pemerintahan di bidang sarana dan prasarana lalu
lintas dan angkutan jalan.
BAB IV ALAT PEMBERI INFORMASI KECELAKAAN LALU LINTAS
Pasal 38
(1) Kendaraan Bermotor Umum harus dilengkapi dengan alat
pemberi informasi terjadinya Kecelakaan Lalu Lintas ke
Pusat Kendali Sistem Keselamatan Lalu Lintas dan
Angkutan Jalan.
(2) Alat Pemberi Informasi Kecelakaan Lalu Lintas sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) merupakan perangkat elektronik
yang berisi informasi dan komunikasi dengan menggunakan isyarat, gelombang radio, dan/atau gelombang satelit untuk
memberikan informasi dan komunikasi terjadinya
kecelakaan lalu lintas.
(3) Alat Pemberi Informasi Kecelakaan Lalu Lintas sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) paling kurang alat petunjuk posisi
geografis (global positioning system) dan tachograph.
Pasal 39
Alat Pemberi Informasi Kecelakaan Lalu Lintas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 harus memenuhi persyaratan
meliputi:
a. gelombang harus dapat diterima tanpa terputus-putus
23
dalam segala cuaca;
b. secara otomatis dapat mengirimkan sinyal ke pusat kendali;
c. dapat menyimpan data yang sewaktu – waktu dapat
digunakan sebagai bahan analisa;
d. dapat tetap berfungsi dalam kondisi terendam air, terbakar;
e. didukung oleh jaringan penyelenggara telekomunikasi
provider.
BAB V
PENGAWASAN KESELAMATAN LALU LINTAS DAN ANGKUTAN JALAN
Bagian Kesatu Umum
Pasal 40
(1) Pengawasan terhadap pelaksanaan program Keselamatan
Lalu Lintas dan Angkutan Jalan meliputi:
a. Audit Bidang Keselamatan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan;
b. Inspeksi Bidang Keselamatan Lalu Lintas dan Angkutan
Jalan; dan
c. Pengamatan dan Pemantauan Bidang Keselamatan Lalu
Lintas dan Angkutan Jalan.
(2) Pengawasan terhadap pelaksanaan program Keselamatan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dilaksanakan oleh masing-masing instansi
pembina lalu lintas dan angkutan jalan.
Pasal 41
(1) Hasil pelaksanaan Audit bidang keselamatan lalu lintas dan
angkutan jalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 ayat (1) huruf a berupa rekomendasi dalam rangka peningkatan
keselamatan lalu lintas dan angkutan jalan.
(2) Hasil pelaksanaan Inspeksi bidang keselamatan lalu lintas dan angkutan jalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40
ayat (1) huruf b berupa laporan keadaan dan kinerja obyek
yang diinspeksi dalam rangka peningkatan keselamatan lalu lintas dan angkutan jalan.
(3) Hasil pelaksanaan Pengamatan dan Pemantauan Bidang
Keselamatan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 40 ayat (1) huruf c berupa laporan perkembangan situasi dan kondisi keselamatan lalu lintas
dan angkutan jalan.
24
Bagian Kedua Audit Bidang Keselamatan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan
Paragraf 1 Umum
Pasal 42
Audit Bidang Keselamatan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 ayat (1) huruf a
dilaksanakan di :
a. bidang jalan;
b. bidang sarana dan prasarana lalu lintas dan angkutan jalan;
dan
c. bidang Registrasi dan Identifikasi Kendaraan Bermotor dan Pengemudi kendaraan bermotor.
Paragraf 2 Audit di Bidang Jalan
Pasal 43
(1) Audit di bidang jalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 huruf a dilakukan terhadap:
a. jalan baru dan/atau jalan yang ditingkatkan;
b. jalan yang sudah beroperasi.
(2) Audit terhadap jalan baru dan/atau jalan yang ditingkatkan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dilaksanakan
melalui tahapan sebagai berikut :
a. tahap perencanaan;
b. tahap desain awal;
c. tahap desain rinci;
d. tahap konstruksi;
e. tahap sebelum operasi.
(3) Audit terhadap jalan yang sudah beroperasi sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf b dilaksanakan sesuai kebutuhan.
(Sesuai kebutuhan dijelaskan dalam penjelasan)
Pasal 43a
(1) Audit bidang jalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 huruf a dilakukan oleh auditor independen yang ditentukan
oleh Pembina jalan.
(2) Pembina jalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri dari:
a. Menteri yang bertanggung jawab di bidang jalan, untuk
jalan nasional;
b. Gubernur, untuk jalan provinsi;
25
c. Bupati/Walikota, untuk jalan kabupaten/kota
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pelaksanaan audit bidang jalan dan persyaratan auditor independen
diatur lebih lanjut dengan peraturan menteri yang
bertanggung jawab di bidang jalan.
Paragraf 3
Audit di Bidang Sarana dan Prasarana Lalu Lintas dan Angkutan Jalan
Pasal 44
(1) Audit bidang sarana dan prasarana lalu lintas dan angkutan
jalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 huruf b
meliputi audit terhadap:
a. perlengkapan jalan dan fasilitas pendukung untuk jalan
baru dan/atau jalan yang ditingkatkan;
b. terminal;
c. unit pengujian kendaraan bermotor;
d. unit pelaksana penimbangan kendaraan bermotor; dan
e. Perusahaan Angkutan Umum.
(2) Audit terhadap perlengkapan jalan dan fasilitas pendukung
untuk jalan baru dan/atau jalan yang ditingkatkan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dilaksanakan
oleh :
a. Menteri yang bertanggung jawab di bidang sarana dan
prasarana lalu lintas dan angkutan jalan, untuk
perlengkapan jalan dan fasilitas pendukung yang berada di jalan nasional;
b. Gubernur, untuk perlengkapan jalan dan fasilitas
pendukung yang berada di jalan provinsi;
c. Bupati/Walikota, untuk perlengkapan jalan dan fasilitas
pendukung yang berada di jalan Kabupaten/Kota.
(3) Audit terhadap terminal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dilaksanakan oleh :
a. Menteri yang bertanggung jawab di bidang sarana dan
prasarana lalu lintas dan angkutan jalan, untuk terminal
tipe A;
b. Gubernur, untuk terminal tipe B;
c. Bupati/Walikota, untuk terminal tipe C.
(4) Audit terhadap unit pengujian kendaraan bermotor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c dilaksanakan
oleh Menteri yang bertanggung jawab di bidang sarana dan
prasarana lalu lintas dan angkutan jalan.
(5) Audit terhadap unit pelaksana penimbangan kendaraan
bermotor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d
dilaksanakan oleh Menteri yang bertanggung jawab di bidang sarana dan prasarana lalu lintas dan angkutan jalan.
(6) Audit terhadap perusahaan angkutan umum sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf e dilaksanakan oleh pejabat atau instansi yang menerbitkan izin.
26
Pasal 45
(1) Audit di bidang Registrasi dan Identifikasi Kendaraan
Bermotor dan Pengemudi kendaraan bermotor sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 42 huruf c dilakukan terhadap Satuan Penyelenggara Administrasi Surat Izin Mengemudi
(SATPAS).
(2) Audit di bidang Registrasi dan Identifikasi Kendaraan Bermotor dan Pengemudi sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dilakukan oleh Kepala Kepolisian Negara Republik
Indonesia.
Pasal 46
(1) Audit bidang Keselamatan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 dilaksanakan oleh
auditor independen yang ditentukan oleh pembina Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.
(2) Auditor independen sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
merupakan auditor yang tidak terlibat langsung dengan kegiatan yang diaudit serta memiliki kompetensi.
Pasal 47
(1) Pelaksanaan audit bidang Keselamatan Lalu Lintas dan
Angkutan Jalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46
dapat dibentuk Tim audit.
(2) Tim audit sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas
unsur-unsur pembina lalu lintas dan angkutan jalan.
Pasal 48
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara Audit bidang
Keselamatan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan serta standar
kompetensi auditor independen diatur oleh masing - masing pembina Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.
Bagian Ketiga Inspeksi Bidang Keselamatan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan
Paragraf 1 Umum
Pasal 49
Inspeksi Bidang Keselamatan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 ayat (1) huruf b
dilaksanakan di :
a. bidang jalan;
b. bidang sarana dan prasarana lalu lintas dan angkutan jalan;
dan
c. bidang Registrasi dan Identifikasi Kendaraan Bermotor dan
27
Pengemudi kendaraan bermotor.
Paragraf 2
Inspeksi Bidang Jalan
Pasal 50
(1) Inspeksi Bidang Keselamatan Lalu Lintas dan Angkutan
Jalan yang dilaksanakan di bidang jalan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 49 huruf a dilakukan terhadap jalan yang sudah beroperasi.
(2) Inspeksi Bidang Keselamatan Lalu Lintas dan Angkutan
Jalan yang dilaksanakan di bidang jalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan tanggung jawab
Pembina yang bertanggung jawab di bidang jalan.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pelaksanaan inspeksi bidang jalan diatur lebih lanjut dengan peraturan
menteri yang bertanggung jawab di bidang jalan.
Pasal 51
(1) Inspeksi bidang sarana dan prasarana lalu lintas dan
angkutan jalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49
huruf b meliputi inspeksi terhadap:
a. perlengkapan jalan dan fasilitas pendukung untuk jalan
yang sudah dioperasikan;
b. terminal;
c. unit pengujian kendaraan bermotor;
d. unit pelaksana penimbangan kendaraan bermotor; dan
e. Perusahaan Angkutan Umum.
(2) Inspeksi terhadap perlengkapan jalan dan fasilitas
pendukung untuk jalan yang sudah dioperasikan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dilaksanakan oleh :
a. Menteri yang bertanggung jawab di bidang sarana dan
prasarana lalu lintas dan angkutan jalan, untuk
perlengkapan jalan dan fasilitas pendukung yang berada di jalan nasional;
b. Gubernur, untuk perlengkapan jalan dan fasilitas
pendukung yang berada di jalan provinsi;
c. Bupati/Walikota, untuk perlengkapan jalan dan fasilitas
pendukung yang berada di jalan Kabupaten/Kota.
(3) Inspeksi terhadap terminal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dilaksanakan oleh :
a. Menteri yang bertanggung jawab di bidang sarana dan
prasarana lalu lintas dan angkutan jalan, untuk terminal tipe A;
b. Gubernur, untuk terminal tipe B
c. Bupati/Walikota, untuk terminal tipe C.
(4) Inspeksi terhadap Unit Pengujian Kendaraan Bermotor
28
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c dilaksanakan
oleh Menteri yang bertanggung jawab dalam bidang sarana dan prasarana lalu lintas dan angkutan jalan.
(5) Inspeksi terhadap unit pelaksana penimbangan kendaraan
bermotor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d dilaksanakan oleh Menteri yang bertanggung jawab
dibidang sarana dan prasarana lalu lintas dan angkutan
jalan.
(6) Inspeksi terhadap perusahaan angkutan umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf e dilaksanakan
oleh pejabat atau instansi yang menerbitkan izin.
Pasal 52
(1) Inspeksi di bidang bidang Registrasi dan Identifikasi
Kendaraan Bermotor dan Pengemudi kendaraan
bermotor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 53 huruf c dilakukan terhadap Satuan Penyelenggara Adminitrasi
Surat Izin Mengemudi (SATPAS).
(2) Inspeksi bidang Registrasi dan Identifikasi Kendaraan
Bermotor dan Pengemudi kendaraan bermotor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh
Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia.
Pasal 53
(1) Inspeksi bidang Keselamatan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49 dilaksanakan
oleh inspektur bidang keselamatan lalu lintas dan angkutan
jalan.
(2) Inspektur bidang keselamatan lalu lintas dan angkutan
jalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan
aparatur sipil negara yang memiliki kompetensi.
Pasal 54
(1) Pelaksanaan inspeksi bidang Keselamatan Lalu Lintas dan
Angkutan Jalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 53 dapat dibentuk tim inspeksi.
(2) Tim inspeksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri
atas unsur-unsur pembina lalu lintas dan angkutan jalan.
Pasal 55
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara Inspeksi bidang
Keselamatan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan serta standar
kompetensi inspektur diatur oleh masing-masing pembina Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.
Bagian Keempat
29
Pengamatan dan Pemantauan Bidang Keselamatan Lalu Lintas dan Angkutan
Jalan
Pasal 56
(1) Pengamatan dan Pemantauan di bidang keselamatan lalu
lintas dan angkutan jalan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 49 ayat (1) huruf c dilaksanakan secara berkelanjutan
meliputi:
a. bidang jalan;
b. bidang sarana dan prasarana lalu lintas dan angkutan
jalan; dan
c. bidang registrasi dan identifikasi kendaraan bermotor
dan pengemudi kendaraan bermotor.
(2) Pengamatan dan pemantauan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi kegiatan :
a. melakukan kegiatan pencatatan kondisi faktual dan
permasalahan masing-masing bidang;
b. melakukan evaluasi dan penilaian terhadap
perkembangan keselamatan lalu lintas dan angkutan
jalan sesuai dengan bidangnya masing-masing; dan
c. melaporkan secara berkala perkembangan keselamatan lalu lintas dan angkutan jalan sesuai dengan bidangnya
masing-masing.
(3) Pengamatan dan pemantauan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh masing-masing pembina Lalu Lintas
dan Angkutan Jalan sesuai dengan tugas pokok, fungsi dan
wewenangnya masing-masing.
Pasal 57
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara Pengamatan dan Pemantauan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56 diatur oleh
masing-masing pembina Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.
BAB VI
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 58
Perusahaan Angkutan Umum wajib menyelenggarakan Sistem Manajemen Keselamatan Angkutan Umum dalam waktu 2 (dua)
tahun sejak Peraturan Pemerintah ini ditetapkan.
BAB VII
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 59
Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku pada tanggal
diundangkan.
30
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan
pengundangan Peraturan Pemerintah ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
JOKO WIDODO
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
YASONNA H LAOLY
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2015 NOMOR……..