diffusion is me

Upload: bosgenk

Post on 08-Jul-2015

399 views

Category:

Documents


1 download

TRANSCRIPT

DIFFUSIONISME TEORI-TEORI PENYEBARAN KEBUDAYAAN DALAM ANTROPOLOGII. PENDAHULUAN Teori diffusi kebudayaan atau penyebaran kebudayaan, dikenal dengan istilah Diffusionisme. Bertujuan untuk menjawab masalah pokok dalam Antropologi, yakni bagaimana persamaan dan perbedaan ratusan kebudayaan muncul atau terjadi dan bagaimana hal itu berlangsung di masa yang lalu. Teori diffusi kebudayaan salah satu teori aliran historis. Teori lain yang termasuk aliran ini adalah teori evolusi kebudayaan, teori Partikularisme Historis, dan teori-teori wilayah kebudayaan Teori Diffusi muncul atas kelemahan dalam teori sebelumnya, yakni teori Evolusi kebudayaan, satu kelemahan penting teori Evolusi yakni menekankan pada perkembangan dari dalam atau independent invention tiga varian yang berbeda, yang menganut pandangan berbeda mengenai manusia dan kebudayaan, serta dibeda-bedakan berdasarkan negara asal para penggagas teori yakni : teori Diffusi Jerman-Australia; teori Diffusi Inggris; teori Partikuarisme Historis; teori wilayah kebudayaan II. KULTURKREISME: ALIRAN DIFFUSI DARI JERMAN AUSTRIA Ide-ide pertama diffusi kebudayaan Jerman sampai pada Leo Frobenius akhir abad 19 (tahun 1898) menerbitkan bukunya Die Masken und Geheimbunde Afrikas (Topeng- topeng dan Persekutuan-persekutuan Rahasia di Afrikas). Frobenius mencoba menunjukkan persamaan antara topeng-topeng pada kebudayaan-kebudayaan di Afrika Barat dan Malenesia. Kesimpulannya bahwa pernah terjadi kontak-kontak antara

penduduk Asia Barat dengan kawasan Malenesia. 1. Aliran Kulturkreise (Lingkaran Kebudayaan) dari F. Graebner Pandangan yang kemukakan Fritz Gzaebner dan B. Ankermann awal abad 20 (tahun 1904), masalah yang dikemukakan Graebner adalah : apakah mengkin untuk mengetahui dan mengatakan bahwa dalam suatu daerah budaya (kulturkreise) tertentu ada lapisan-lapisan budaya (kulturschihten) yang seolah-olah disisipkan satu di atas yang lain? menurut Graebner kebudayaan dan mempelajarinya dengan teliti, yaitu gejala-gejala kebudayaan yang tidak mudah dialihkan. Langkah selanjutnya menentukan unsur-unsur atau gejala-gejala budaya dapat berkombinasi Graebner menggunakan konsep kulturkreise dan kulturschihte melakukan rekontruksi sejarah kebudayaan. Metode diuraikan lebih eksplisit dan sistematis bukunya Methode der Ethnologie Graebner menguraikan metode untuk membangun teorinya. Masalah pokok adalah apakah penemuan unsur budaya tertentu bisa berupa undur seperti busur dan panah penggada teknik berkelahitertentu, penemuan unsur terjadi berkali-kali perkembangannya harus diperhitungkan, berarti faktor independent invention berperan dalam proses perubahan kebudayaan. Graebner memberikan contoh penerapan metode etnologi budaya masyarakat di daerah Oseania Selatan dengan budaya suku-suku di Afrika. Unsur kebudayaan adalahSistem eksogam dua golongan dengan asal-usul matrilinealatau sistem eksogam matri-moiety dan secret societies. B. Ankermann mengenai budaya Afrika dan Melanesia menyetujui pendapat Frobenius, kesamaan-kesamaan budaya-budaya di dua kawasan memperluas unsur-unsur budaya yang dibandingkan antara lain : bentuk atap rumah, perisai terbuat dari tumbuhan yang dianyan, berasal dari budaya suku-suku Papua Nugini Ankermann

menduga unsur-unsur menyebar ke Afrika melalui Indonesia dan Madagaskar. Kesimpulan bahwa di Afrika terdapat lapisan-lapisan budaya susul-menyusul dan dikatakan lapisan budaya Oseania, lapisan budaya yang dikemukakan antara lain: a. Lapisan budaya Nigrito yang ada persamaanya dengan budaya Australia lama. b. Lapisan Budaya Afrika Barat yang mirip dengan lapisan budaya Papua Nugini, yang juga telah tercampur dengan unsur-unsur budaya baru. c. Lapisan budaya yang menjadi satu dengan budaya Papua Barat dan tercampur dengan unsur-unsur budaya baru, dan berasal dari Indonesia. d. Lapisan budaya di Sudan Barat, yang tidak diketahui asal-usulnya dan telah tercampur dengan unsur-unsur budaya dari India. e. Lapisan budaya Hamitis atau Semit lama (Sudan, Afrika Timur dan Afrika Selatan). f. Lapisan budaya Semit Baru (Arab). Graebner memandang kebudayaan di suatu kawasan sebagai berlapis-lapis. J. Van. Baal ahli antropologi dari Belanda menunjukkan beberapa kelemahan metode teori Graebner. Pertama pilihan yang tidak jelas kriterianya. Kedua, Graebner belum menjelaskan penemuan. Ketiga susunan unsur-unsur kebudayaan yang Graebner sedikit banyak tidak berubah dan terdapat suku bangsa satu dengan suku bangsa yang alain. Kebudayaan-kebudayaan Papua bisa merupakan hasil proses migrasi yang diduga terjadi di daerah Afrika Barat. Keempat Graebner belum menjelaskan mengapa kalau dia mengambil contoh suatu daerah sebagai titik tolak dia kemudian memaparkan suatu kulturschicht sementara daerah lain tidak melakukannya, timbul kesan terjadi persebaran dari daerah-daerah

kurang lengkap. Akibatnya tempat dengan unsur-unsur kebudayaan yang memiliki persamaan dihubungkan menurut kehendak hatinya saja Kelima teori graebner berdasarkan asumsi di masa lalu ada sejumlah orang kompleks kebudayaan tertentu berlayar dari Papua mengunjungi Indonesia, India dan Madagaskar dan mendarat di Afrika Barat budaya tidak berubah. 2. Aliran Kulturkreisa dari Pater Wilhelm Schmidt S. V. D Untuk memahami teori diffusi kebudayaan dari Schmidt, kita perlu mengetahui pendangannya tentang kebudayaan. Smhmidt membedakan kebudayaan-kebudayaan manusia di masa lampau menjadi dua katagori, yakni : kebudayaan purba dan kebudayaan primer. Kebudayaan purba lebih tua daripada kebudayaan primer, dan menjadi dasar terbentuknya kebudayaan primer tersebut. Kebudayaan purba, menurut dia, tetap hidup di kalangan suku-suku bangsa di daerah-daerah yang sangat terisolir, yang tidak dapat dimasuki. Ada tiga varian kebudayaan purba menurut Schmidt, yakni : kebudayaan sentral, kebudayaan Arktika, dan kebudayaan Australia Tenggara. Kebudayaan pruba sentral terdapat di daerah-daerah yang sangat terpencil, seperti rimba raya Afrika (pygmy), rimba raya Malaka (Semang, Sakai), rimba Filipina (Negrito) dan daerah Andalan. Kebudayaan purba Arktika, yang oleh Schmidt dikaitkan dengan Homo Pekinensis, terdapat misalnya di Asia Arktika dan Amerika Arktika (Eskimo). Masyarakat dengan kebudayaan purba Australia Tenggara terdapat di kawasan Australia Tenggara, dan telah mengalami perubahan karena kontak mereka dengan masyarakat berkebudayaan primer Kebudayaan primer berasal dari kebudayaan purba, dan oleh Schmidt dibedakan menjadi tiga macam berdasarkan atas usaha

ekonomi atau matapencarian mereka yang utama, yakni : pertanian, perburuan tingkat tinggi, dan peternak Berbagai kebudayaan purba dan kebudayaan primer menyebar ke seluruh dunia dan saling bersinggungan serta mempengaruhi satu sama lain, lewat berbagai macam sara, sehingga tidak lagi jelas polapola kebudayaan yang lama atau asli. Selanjutnya diatas terbentuk lagi lingkungan lingkungan budaya sekunder, baik yang bersifat eksogam. Dengan kata lain bersifat unilineal dan eksogam kemudian menghilang. Lingkungan budaya semacam ini kemudian menjadi dasar terbentuknya lingkungan budaya tertier. Konsep kulturkreise dari Schmidt menunjuk pada hasil abstraksi yang dikonstruksi sebagai kelompok murni unsur-unsru budaya yang secara logis digolongkan menajdi satu dan disusun secara deduktif. Sangat berbeda dengan pandangan Graebner. Dalam pandangan Graebner suatu wilayah kebudayaan (culture area) adalah suatu wilayah dimana terdapat sejumlah kebudayaan dengan corak kebudayaan atau ciri-ciri kebudayaan yang sama atau hampir sama, sedang menurut Schmidt suatu culture area adalah susunan unsurunsur budaya yang dewasa ini hanya tergolong menjadi satu dalam ruang dan tempat, dan kulturkreise dapat berada bersamaan di sejumlah daerah, dalam ketidaksempurnaan dan kesempurnaan, baik di masa lampau maupun masa kini. Beberapa kritik yang dapat dikemukakan terhadap pandangan Schimdt mengenai kebudayaan seperti di atas. Van Baal (1987) misalnya melontarkan tigas buah kritik, namun hanya dua yang boleh dikatakan relevan. Yang pertama adalah bahwa Schmidt tidak memperhatikan antarhubungan intern dari unsur-unsur kebudayaan yang membentuk kulturkreise. Kedua, Van Baal berpendapat bahwa kategori-kategori yang dikemukakan oleh Schmidt tidak murni. Ketiga, pendapat Schmidt bahwa suatu masyarakat mengenal

sistem kekerabatan matrilineal atau patrilineal karena adanya kontak kebudayaan kurang dapat diterima. Pemilihan sistem ini sebenarnya lebih dikarenakan oleh logika yang menjadi pembawaan gagasan kekerabatan itu sendiri. III. ALIRAN PUSAT DIFFUSI KEBUDAYAAN Aliran pemikiran tentang diffusi kebudayaan yang muncul di luar aliran Austria Jerman adalah aliran yang beranggapan bahwa suatu permulaan peradaban pada dasarnya merupakan suatu hal yang ajaib, yang hanya dapat terjadi di suatu tempat saja di dunia. Secara implisit aliran ini beranggapan bahwa adajarak moral dan intelektual yang sangat jauh antara manusia di masa sekarang dengan manusia primitif di masa lalu. Kaum Diffusionis Inggris beranggapan bahwa manusia pada dasarnya unirventive, atau bukan mahluk yang banyak atau selalu membuat penemuan-penemuan. Sehingga kemungkinan bahwa akan ada berbagai macam persamaan atau kemiripan pada berbagai macam kebudayaan boleh ditetapkan ditolak. Aliran pemikiran inilah yang sebenarnya lebih tepat dikatakan menggunakan model batu yang dilempar ke kolam dalam teori diffusinya untuk menjelaskan berbagai persamaan dan perbedaan antar kebudayaan-kebudayaan di muka bumi. Pemikiran diffusi kebudayaan semacam ini umumnya muncul karena kekaguman yang kuat pada diri peneliti ke tengah-tengah ratusan kebudayaan lain yang masih sederhana. Kekaguman seperti ini tampak dalam dua pandangan diffusionistis, yang oleh Van Baal disebut Pan-Babylonisme dan Pan-Mesirisme. 1. Teori Pan Babylonisme Pandangan Pan Babylonisme dilontarkan oleh H. Winkler dalam sebuah tulisannya yang berjudul Himmels und Wethild der Babylonier als Grundlage der Weltshaung und Mythologie aller

Volker (Gambaran langit di dunia orang Babylon sebagai dasar pandangan dunia dan mitologi segala bangsa). Wincker rupanya sangat kagum pada pengetahuan tentang dunia dan benda-benda langit (kosmografi) dari orang Babylon dan Sumeria, sehingga dia berpendapat bahwa semua mitos adalah mitos astral, atau mitos mengenai benda-benda langit. Atas dasar pandangan semacam ini, maka Winckler berupaya meyakinkan bahwa semua mitos pada dasarnya adalah mitos astral, mitos mengenai benda-benda langit. Winkcler berpendapat bahwa persamaan berbagai mitos yang ada pada berbagai suku bangsa di dunia lebih banyak disebabkan persebaran mitos ini dari kalangan orang Babylon ke dalam masyarakatmasyarakat yang lain. 2. Teori Pan Mesirisme Teori Pan Mesirisme ini dijelaskan tidak banyak perbedaannya dalam hal isi dengan teori Pan Babylonisme. Children of the Sun. dalam buku ini Perry mengatakan bahwa di masa lalu, putra-putri Matahari, yakni bangsawan-bangsawan Mesir yang dianggap keturunan dewa Matahari, telah pergi ke Mesir ke segala penjuru dunia untuk mencari kekayaan berupa: emas, mutiara dan besi. Dimana saja mereka berada, bahkan sampai di benua Amerika, mereka membawa dan menyebarkan unsur-unsur budaya mereka seperti: cara bertani, cara membuat tembikar, mengasah batu dan mengerjakan logam, organisasi rangkap (mioety), pemujaan dewa Matahari dan dewa Ibu, eksogami dan kanibalisme. Aliran-aliran pemikiran tentang penyebaran kebudayaan yang berasal dari ilmuwan-ilmuwan Eropa Barat di atas memperlihatkan beberapa kesamaan, yang sekaligus juga merupakan kelemahannya. Pertama, masalah diffusi kebudayaan ditanggapi sebagai masalah sejarah kebudayaan, akan tetapi upaya untuk menjawab pertanyaanpertanyaan yang muncul di situ tidak dilakukan dengan menggunakan

metode peneltian sejarah. Kedua, studi perbandingan unsur-unsur kebudayaan tidak dilakukan sedikit demi sedikit, atasu setahap demi setahap secara sistematis, dimulai dari suku-suku bangsa yang tinggal saling berdekatan, dan baru kemudian meluas ke suku-suku bangsa lain yang lebih banyak bersifat improvisatoris, tetapi dimulai dengan cara yang lebih banyak bersifat improvisatoris, yang tidak jelas dasarnya, atau yang didasarkan pada asumsi-asumsi tertentu yang tidak pernah eksplisit. IV. FRANS BOAS DAN ALIRAN PARTIKULARISME HISTORIS Frans Boaz merupakan tokoh penting dalam sejarah perkembangan antropolofi di Amerika Serikat. Pengetahuan Boaz yang mendalam tentang kebudayaan-kebudayaan yang ditelitinya membuatnya tidak yakin pada kebenaran teori-teori besar baik teori Evolusi maupun teori Diffusi yang dikemukakan berbagai ahli di masa itu. Apalagi Boaz tahu bahwa data etnografi yang mereka gunakan umumnya juga tidak sangat baik, dan bukan merupakan data etnografi yang dihasilkan dari penelitian-penelitian lapangan yang intensif dan teliti. Pola-pola, ciri-ciri kebudayaan yang ada pada suatu masyarakat hanyal dapat dipahami dengan mengetahui sejarah kebudayaan masyarakat itu sendiri, meliputi kontak-kotaknya dengan masyarakat yang lain serta perubahan-perubahan yang terjadi dalam masyarakat. 1. Pengumpulan Fakta Fakta dalam arti informasi mengenai berbagai fenomena kebudayaan terus dipaparkan seobyektif mungkin atau tanpa prasangka. Menurut Boaz, seorang ahli antropologi yang akan melakukan penelitian lapangan sebaiknya tidak menyusun hipotesahipotesa terlebih dulu, langsung pergi ke lapangan dan kemudian memaparkan apa yang ditemuinya di lapangan seteliti mungkin.

2. Studi Perbandingan Wilayah Kebudayaan Dari sini diperoleh kemudian pengetahuan mengenai persamaan-persamaan dan perbedaan-perbedaan dari berbagai unsur kebudayaan yang ada pada sejumlah suku bangsa yang tinggal di suatu kawasan tertentu. Persamaan-persamaan yang ada pada berbagai unsur kebudayaan ini membawa Boaz pada pandangan tentang culture area atau wilayah kebudayaan, yakni suatu kawasan geografis yang di dalamnya terdapat beraneka ragam kebudayaan dengan persamaanpersamaan pokok pada beberapa unsur-unsurnya. Dapat merekonstruksi atau menelusuri sejarah kebudayaan yang ada di wilayah tersebut dengan lebih rinci, lebih seksama. Dengan cara ini dia sampai misalnya pada kesimpulan bahwa organisasi sosial atau kekerabatan orang Indian Kwakiutl pada mulanya bersifat partilineal, namun sistem ini kemudian diganti dengan sistem matrilineal, yang berasal dari suku Indian lain di sebelah utaranya. 3. Diffusi Kebudayaan Antrolopologi yang dirintis dan dikembangkan oleh Boaz dapat kita golongkan sebgai kajian antropologi pada sejarah kebudayaan, yang merupakan kisah tentang beralihnya, diterimanya, diambilnya, unsur-unsur kebudayaan tertentu oleh masyarakat dengan kebudayaan yang berbeda. Sejarah bersifat khusus, dan kajian sejarah umumnya tidak ditujukan untuk merumuskan hukum-hukum yang ada di balik berbagai proses sejarah masyarakat dan kebudayaan, yang kadangkadang menunjukkan persamaan-persamaan tertentu pula.

V.

KAJIAN SERIKAT

WILAYAH

KEBUDAYAAN

DI

AMERIKA

Sapir adalah murid yang berupaya untuk memperbaiki metodemetode penelitian dan analisis yang digunakan oleh gurunya, dan kemudian memaparkannya dengan lebih eksplisit, sebagaimana terlihat dalam salah satu eseinya, Time Perspective in Abroqinal Culture: A Study in Method. 1. Edward Sapir dan Metode Penelitian Diffusi Kebudayaan Agar hasil kajian yang diperoleh dapat meyakinkan dan dapat dikatakan bersifat ilmiah, maka diperlukan sebenarnya uraian mengenai prosedur atau tahap-tahap penelitian dan analisis yang jelas. Hal yang perlu dilakukan pertama kali adalah menelaah sumber-sumner sejarah yang digunakan. Sapir membedakan sumber ini menjadi dua macam: langsung dan tidak langsung. Sumber langsung adalah dokumen-dokumen (yaitu sumber tertulis lama), kesaksian masyarakat setempat (native testimony) atau riwayat suku yang sering bercampur dengan mitos, dan kesaksian atau keterangan yang diperoleh lewat studi arkeologi dan prasejarah (misalnya melalui berbagai penggalian). Sumber tidak langsung atau inferential evidence merupakan bahan yang akan dianalisis oleh antropologi fisik, atnologi dan linguistik. Untuk etnologi tiga hal yang dapat digunakan untuk melakukan studi perbandingan adalah: (a) rangkaian kompleksitas budaya; (b) asosiasi budaya; (c) penyebaran kebudayaan secara geografis. a. Metode Rangkaian Kompleksitas Budaya Dengan metode ini seorang ahli antropologi yang ingin merekonstruksi perkembangan, persebaran dan penyebaran unsurunsur kebudayaan akan menyusun unsur-unsur kebudayaan yang mirip satu dengan lain atas dasar urutan kompleksitas atau kerumitan item-item pembentuk unsur budaya tersebut. Misalnya saja, unsur budaya tiang totem seperti yang ada di kalangan orang

Indian pantai Barat Kanada. Namun demikian, prinsip dan metode ini tampaknya tidak dapat diterapkan begitu saja untuk unsur budaya berupa organisasi sosial, aktivitas sosial, atau institusi adat, sebab ada kasus-kasus pengambil-alihan suatu unsur kebudayaan berupa organisasi sosial atau pranata adat yang membuat unsur ini menjadi lebih sederhana daripada di tempat asalnya. b. Metode Assosiasi Budaya Seorang ahli antropologi yang menggunakan metode ini dalam studi perbandingannya akan menentukan urutan kemunculan atau urutan kehadiran unsur-unsur budaya yang dibandingkan dengan memperhatikan unsur-unsur lain yang terkait dengan unsur budaya tersebut. Prinsip kedua, materi yang digunakan secara tertentu, tampaknya lebih tua daripada penerapan secara khusus materi itu sendiri. Misalnya tahap penyiksaan diri yang ada dalam Tarian Matahari (Sun Dance), tentunya merupakan unsur yang lebih tua daripada Tarian Matahari itu sendiri. Prinsip ketiga, makin erat aosisasi suatu unsur budaya dengan kompleksitas unsur yang mengikatnya, makin tua unsur tersebut. Prinsip keempat, suatu unsur kebudayaan yang sulit menyesuaikan diri atau berintegrasi, atau menyatu, dengan keseluruhan kebudayaan menunjukkan bahwa unsur-unsur kebudayaan ini lebih belakang hadirnya. Prinsip kelima, suatu unsur kebudayaan yang sering berasosiasi atau muncul bersama dengan unsur-unsur kebudayaan yang lain tentunya lebih tua usianya dibanding dengan unsur budaya yang kurang sering muncul bersama unsur lain. Prinsip keenam, lebih rinci atau rumit suatu unsur kebudayaan, lebih tua umurnya dibandingan dengan unsur yang

sama tetapi kurang rinci atau rumit. Prinsip ketujuh, unsur-unsur kebudayaan yang tampak kabur, entah itu mitos, adat istiadat, atau unsur kepercayaan, yang tampak berada di luar konteks keseluruhan kebudayaan, merupakan sulvivals atau sisa-sisa budaya masa lampau yang masih dapat bertalian dalam masyarakat, dan kemudian terisolir, namun tidak punah. c. Metode Penyebaran Kebudayaan Secra Geografis Dengan menggunakan metode ini seroang ajli antropologi akan memperhatikan persebaran geografis berbagai unsur kebudayaan yang ditelitinya. Unsur-unsur kebudayaan ini akan menyebar ke segala arah, dan kompleks unsur budaya dalam pusat penyebaran tersebut adalah yang tertua, dalam arti unsur-unsur budaya di situ muncul lebih awal daripapda di tempat lain, dan pusat persebaran ini merupakan pusat dinamika dan perubahan kebudayaan. Makin tua unsur kebudayaan tersebut, makin lama dia memiliki waktu untuk menyebar sehingga daerah persebarannya kemudian juga dapat menjadi lebih luas. Berkenaan dengan peralihan unsur-unsur kebudayaan dari satu masyarakat ke masyarakat yang laini Sapir mengatakan bahwa suatu unsur kebudayaan akan sangat mudah dipindahkan bilamana secara konseptual unsur tersebut sudah dapat dipisahkan dari latar (setting) kebudayaan. Selanjutnya Sapir juga memberikan peringatan agar berhati-hati dalam menentukan usia relatif unsur-unsur kebudayaan yang diteliti serta hambatan-hambatan geografis yang mungkin terjadi, sebab faktor ini dapat mengurangi kecepatan penyebaran unsur-unsur kebudayaan yang diteliti. Akan tetapi menurut Sapir konsep ini kurang tepat jika digunakan untuk memandang kebudayaan, karena pengertian suatu lapisan budaya yang terdiri dari sejumlah besar unsur yang

secara tehnis terlepas satu dari yang lain, dan berpindah-pindah dari satu dunia ke dunia yang lain tanpa banyak kehilangan kandungan atau isinya, sulit untuk diterima dan berlawanan dengan semua pengalaman sejarah. Meskipun masih banyak kelemahan dalam berbagai studi mengenai penyebaran kebudayaan di kalangan ahli antropologi Amerika Serikat, namun kajian-kajian mereka tentang diffusi unsur-unsur kebudayaan ini dikemudian hari menjadi semakin penting artinya, karena menjadi landasan bagi perkembangan satu arah penelitian baru, yakni penelitian mengenai akultulasi. Sapir berupaya mengembangkan metode untuk meneliti diffusi kebudayaan yang lebih jelas langkah-langkah dan kriterianya, agar peneliti dapat mengetahui dengan lebih cepat unsur-unsur kebudayaan mana yang lebih dulu daripada yang lain, yang lebih tua daripada yang lain, sehingga selanjutnya dapat ditentukan pula unsur-unsur kebudayaan mana yang menyebar dari satu kebudayaan ke kebudayaan lain. 2. Alfred L. Kroeber dan Stimulus Diffusion Selain Edward Sapir, murid Boaz lainnya yang dikemudian hari juga masih berminat meneliti soal-soal persebaran kebudayaan adalah A. L. Kroeber. Kroeber melontarkan sebuah konsep baru mengenai penyebaran kebudayaan, yakni stimulus diffusion. Konsep baru ini dilontarkan setelah Kroeber melihat kenyataan bahwa tidak semua proses diffusi kebudayaan sama atau mirip satu dengan yang lain. Kroeber mencoba membahas sebuah fenomena diffusi yang disebutnya sebagai idea diffusion (diffusi ide) atau stimulus diffusion (diffusi stimulus), yakni suatu proses dimana ide kompleks atau sistem dapat diterima oleh kebudayaan lain akan tetapi kebudayaan penerima ini masih harus mengembangkan lagi isi untuk sistem atau komplek yang baru tersebut. Jadi di sini sistem atau pola kebudayaan yang

masuk tidak ditolak, akan tetapi timbul berbagai kesulitan berkenaan dengan transmisi atau pemindahan isi kongkrit dari sistem tersebut. Sebagai contoh Kroeber menyebutkan misalnya dikenalnya abjad di kalangan orang Indian, dan abjad ini diciptakan oleh Sequoiah. Sequoiah adalah seorang Indian yang belajar baca tulis dari orang kulit putih. Setelah mengenal huruf, rupanya bagi Sequoiah sistem alfabet Romawi yang dibawa orang kulit putih tidak begitu cocok untuk bahasanya. Oleh karena itu dia ciptakan sistem alfabet baru untuk bahasanya sendiri. Dengan konsepnya stimulus diffusion Kroeber berupaya menunjukkan bahwa penyebaran unsur-unsur kebudayaan sebenarnya berlangsung melalui cara yang cukup rumit. Namun, jika ditelaah lebih teliti lagi, dengan konsep stimulus diffusion tersebut Kroeber tampaknya juga ingin menyatukan dua hal yang selama ini tampaknya dianggap sebagai hal yang eksklusif atau terpisah sama sekali, yakni pandangan tentang independent invention dan diffusion, yang masing-masing menjadi dasar dari dua paradigma Antropologi yang ketika itu dipertentangkan, yaitu paradigma Evolusi Kebudayaan dan Diffusi kebudayaan. Dengan menggunakan konsep stimulus diffusion Kroeber mencoba menggabungkan dua pandangan yang berlawanan tersebut. Bahwa dalam kenyataan, tidak setiap unsur kebudayaan dapat dilihat secara hitam putih. Bahwa kalau unsur tersebut bukan hasil dari diffusi, tentunya unsur tersebut merupapkan hasil independent invention. Contoh, seperti misalnya sistem alfabet yang dikembangkan oleh seorang India Cherokee bernama Sequoya.

3. Kriteria

Penentu

Adanya

Penyebaran

Kebudayaan Masalah utama yang menjadi pokok perdebatan antara aliran

Evolusi dengan aliran Diffusi adalah masalah apakah sautu unsur kebudayaan yang ada dalam suatu masyarakat merupakan hasil invention ataukah merupakan hasil dari proses diffusi. Pertama adalah kriteria ruang. Apakah unsur-unsur budaya yang mirip yang tersebar pada kebudayaan-kebudayaan yang berdekatan tempatnya, sehingga informasi mudah disebarkan dari satu kebudayaan ke kebudayaan yang lain? Kriteria kedekatan geografis ini saja dapat menyesatkan, sebab komunikasi antar masyarakat yang berdekatan dapat saja terhalang oleh hambatan-hambatan alami seperti gunung, lembah, sungai, rawa, rasa permusuhan dan sebagainya. Kedua adalah kriteria waktu. Unsur-unsur kebudayaan yang mirip dengan mengacu pada penyebaran kebudayaan akan dapat diterima bilamana kebudayaan-kebudayaan tersebut tidak hanya berdekatan tempatnya, tetapi juga ada dalam kurun waktu yang sama. Komunikasi antar kebudayaan yang tidak mengenal tulisan tentunya akan sangat sulit terjadi, apalagi jika kebudayaan ini berasal dari masa yang berbeda, yang lain sudah punah sementara yang lain belum muncul. Ketiga adalah kriteria kompleksitas. Bahwa kemiripan antar kebudayaan terjadi karena diffusi akan diperkuat bilaman unsur-unsur kebudayaan yang mirip adalah begitu komplek sehingga kemungkinan bahwa unsur-unsur tersebut merupakan hasil penemuan sendiri sangat kecil, Keempat adalah kriteria kemiripan bentuk, makna dan fungsi. Bahwa persamaan antar unsur-unsur kebudayaan disebabkan oleh proses diffusi akan semakin kuat apabila usnur-unsur yang mirip tersebut jua memiliki kemiripan bentuk, makna dan fungsi dalam masing-masing kebudayaan. Berbagai hasil penelitian mengenai proses penyebaran kebudayaan, sehingga muncul kebutuhan untuk menggunakan konsepkonsep baru yang lebih tepat untuk pelukisan atau menandai

mekanisme-mekanisme

persebaran

kebudayaan

yang

pada

kenyataannya memang berbeda satu dengan yang lain. VI. KRITIK TERHADAP TEORI PENYEBARAN KEBUDAYAAN Konsep diffusi, menjadi terasa terlalu sederhana, mengingat banyak sekali hal-hal yang terkandung dalam konsep tersebut. Setelah penelitian lapangan dilakukan oleh para ahli antropologi, terlihat kemudian berbagai peristiwa kebudayaan yang biasa disebut diffusi sebenarnya merupakan sebuah peristiwa yang kompleks. Dari sini kita melihat kemudian beberapa kelemahan yang terkandung dalam teori-teori diffusi sebelumnya. Pertama, teori-teori tersebut merupakan hasil rekonstruksi yang dilakukan atas dasar kesamaan-kesamaan yang tampak pada unsur-unsur kebudayaan tertentu, yang belum tentu menggambarkan keadaan atau peristiwa yang sebenarnya di masa lampau. Hal semacam ini, saya kira, merupakan akibat dari sifat data etnografi yang tersedia ketika itu. Data etnografi yang tersedia umumnya memang tidak bersifat historis, tetapi merupakan potret sesaat unsur-unsur kebudayaan tertentu. Oleh karena itu usaha untuk merekonstruksi proses-proses diffusi kebudayaan tetap merupakan upaya-upaya yang cukup spekulatif, karena tidak didasarkan pada data sejarah kebudayaan. Kedua, karena berbagai teori tersebut dibangun atas dasar deskripsi-deskripsi unsur-unsur kebudayaan, dan deskripsi ini umumnya tidak menggambarkan proses menyebarnya unsur kebudayaan tersebut dengan faktor pembawanya, maka dengan sendirinya teori-teori diffusi lama tersebut tidak mampu memperlihatkan cara-cara penyebaran unsurunsur kebudayaan dari suatu masyarakat dan cara-cara penerimaan masyarakat yang lain atas unsur-unsur kebudayaan baru yang menyebar tersebut. Ketiga, berbagai teori diffusi kebudayaan yang dikemukakan selalu memperlihatkan diffusi yang telah terjadi atau penerimaan yang telah

dilakukan oleh suatu masyarakat atas unsur-unsur kebudayaan yang baru. Masuknya unsur-unsur kebudayaan yang baru dalam kebudayaan yang lain tidak berlangsung begitu saja atau tidak selalu berjalan dengan mulus, tetapi melalui berbagai macam cara. Keempat, oleh karena merupakan hasil-hasil rekonstruksi sejarah yang didasarkan atas data yang tidak selalu mengandung keterangan sejarah, atau data yang tidak selalu berisi informasi yang rinci dan mendalam mengenai terjadinya berbagai macam peristiwa yang berhubungan dengan menyebarnya unsur-unsur kebudayaan. Kelima, teori-teori diffusi memusatkan perhatian pada diffusi kebudayaan yang terjadi antar kebudayaan/masyarakat, bukan yang terjadi di dalam kebudayaan atau masyarakat. Beberapa kelemahan di atas barumulai dapat teratasi ketika tradisi penelitian lapangan semakin berkembang dalam antropologi, dan semakin banyak ahli-ahli antropologi yang dapat melihat atau meneliti secara langsung proses-proses perubahan kebudayaan dan sebab-sebabnya. Bagaimanapun juga perdagangan, penyebaran agama, perpindahan penduduk/migrasi dan kolonialisasi telah menghasilkan fenomena perubahan kebudayaan. Ketika semakin banyak ahli antropologi yang melakukan penelitian lapangan serta melihat secara langsung perubahan-perubahan antara masyrakat satu dengan yang lain, yang di kalangan ahli antropologi Inggris lebih dikenal dengan istilah culture contact, kontak-kontak kebudayaan, dan data mengenai proses perubahan semacam ini semakin meningkat jumlahnya, muncul kesadaran baru di kalangan ahli antropologi mengenai proses penyebaran kebudayaan. VII. DARI DIFFUSI KE AKULTURASI Proses penyebaran unsur-unsur kebudayaan dari suatu masyarakat ke masyarakat yang lain melibatkan antara lain proses seleksi, penerimaan, dan penolakan. Salah satu diantaranya yang kemudian menjadi topik

kajian populer di kalangan ahli antropologi Amerika Serikat adlah akulturasi. Kesadaran bahwa proses akulturasi merupakan bagian dari proses diffusi. Berubahnya orientasi penelitian dari masalah-masalah diffusi kebudayaan ke masalah-masalah akulturasi tidak membuat studi diffusi tersebut lantas hilang sama sekali. Sebaliknya, karena peristiwa akulutrasi kebudayaan merupakan peristiwa yang muncul karena adanya atau terjadinya penyebaran kebudayaan. Salah satu upaya untuk menyatukan tersebut adalah dengan cara memasukkan diffusi sebagai salah satu dari tahap yang ada dalam proses akulturasi. Proses akulturasi pertama-tama yang terjadi adalah transmisi, peralihan, perpindahan atau penyampaian ide-ide atau unsur-unsur kebudayaan, dan ini disebut diffusion. Tahap kedua adalah evaluation atau penilaian. Di sini terjadi proses seleksi, yang kemudian akan menentukan apakah unsur-unsur kebudayaan yang baru ini dapat diterima atau ditolak. Apabila unsur kebudayaan yang baru ini dapat diterima, tahap berikutnya yang terjadi adalah integration. Unsur kebudayaan yang baru ini kemudian disatukan dengan sistem budaya yang ada. Tahap inilah yang biasanya dikatakan sebagai tahap akulturasi pada umumnya. Untuk mengatasi kelemahan tersebut, para ahli antropologi kemudian menyusun kerangka yang lain lagi, yang berisi tahap-tahap sebagai berikut: 1. Incorporation (Penyatuan) Dalam tahap ini unsur-unsur budaya yang masuk disatukan dengan sistem budaya penerima secara mulus, tanpa mengalami banyak hambatan. 2. Replacement (Penggantian) Proses ini sedikit banyak merupakan kebalikan dari proses yang pertama. Penyatuan juga berarti modifikasi yang cukup besar atau banyak dari unsur-unsur budaya yang baru masuk.

3. Syncretism or Fusion Sinkretisme atau fusi atau peleburan pada dasarnya merupakan proses yang hampir sama dengan proses inkorporasi.

4. Comparmentalization atau Isolatioin Komparmentalisasi atau isolasi, pemisahan, adalah sautu bentuk non integritas. Berbagai proses yang diidentifikasi oleh para ahli antropoli di atas tidak berlangsung secara terpisah satu dengan lain, dan tidak selalu berlaku untuk setiap umur kebudayaan, sehingga ada saja unsur-unsur budaya baru yang diitengrasikan, ada yang digunakan untuk mengganti unsur-unsur budaya lama, ada pula yang menyatu membentuk pola-pola unsur budaya baru, dan ada pula yang tetap ditolak. Proses akulturasi bukanlah proses yang berlangsung hanya satu arah. Tidak ada satu kebudayaan pun yang hanya dapat menjadi penerima atau pemberi saja. VIII. PENYEBARAN KEBUDAYAAN PENJAMIN ANALISIS Proses diffusi dibedakan antara diffusi yang berlangsung dari satu masyarakat ke masyarakat lain yang terpisah secara fisik dan budaya, namun tinggal berdekatan, misalnya diffusi yang dapat berlangsung dari kebudayaan Jawa ke kebudayaan Sunda, Madura dan Bali. Diffusi ini disebut sebagai diffusi intercultural atau intersociatal, untuk membedakannya dengan diffusi yang berlangsung di dalam kebudayaan itu sendiri, disebut sebagai diffusi inctracultural atau intrasocietal. Diffusi ini terjadi dalam suatu masyarakat, dari satu golongan ke golongan yang lain dalam masyarakat yang sama, dari satu kelompok ke kelompok yang lain, dari satu komunitas ke komunitas yang lain atau dari satu lapisan

sosial ke lapisan yang sosial yang lain. Proses penerimaan usnur-unsur kebudayaan ini berlangsung pada tingkat individual dan diterima tidaknya unsur-unsur budaya baru tersebut hanya dapat diketahui dari pola-pola perilaku yang diwujudkan dalam kehidupan sehari-hari. Dari pola-pola penerimaan ini terlihat bahwa ada reaksi yang berbeda-beda antar individu. Ada individu yang dengan cepat menerima unsur-unsur budaya baru, ada yang bersikap menunggu, ada yang acuh tak acuh, ada yang biasa-biasa saja, adapula yang menolak metnah-mentah unsur budaya baru tersebut. Sebaliknya, individu yang semula tampak sangat mudah menerima unsur-unsur budaya baru, ternyata akan memperlihatkan reaksi sebaliknya ketika berhadapan dengan unsurunsur baru yang lain lagi. Tidak terlihat adanya pola-pola perilaku atau reaksi yang cukup konsisten di kalangan individu-individu berkenaan dengan masuknya unsur-unsur budaya baru dalam masyarakat mereka. Perbendaan reaksi di kalangan warga masyarakat penerima unsurunsur budaya baru ini menyadarkan para ahli antropologi bahwa kecepatan masing-masing unsur budaya menyebar dalam keseluruhan sistem budaya penerima tidaklah sama. Ada unsur-unsur yang begitu mudah dan cepat disatukan dalam kerangka sistem yang begitu mudah dan cepat disatukan dalam kerangka sistem budaya lama, ada yang agak lambat, ada yang sangat lambat, dan ada pula yang tidak diterima sama sekali. Keberlangsungan penyebaran unsur-unsur kebudayaan ini tidak harus selalu melalui kontak fisik secara langsung antara masyarakat satu dengan masyarakat yang lain. Berkembangnya peralatan transportasi dan komunikasi dewasa ini telah memungkinkan terjadinya proses penyebaran unsur-unsur kebudayaan melalui kontak-kontak yang tidak langsung. Penyebaran tidak langsung bisa dalam arti bahwa unsur-unsur budaya baru datang melalui kelompok atau masyarakat yang lain terlebih dahulu yang bukan merupakan kelompok pemiliki asli unsur kebudayaan yang menyebar atau melalui sarana telekomunikasi, yang memungkinkan terjadinya penyebaran tanpa harus melalui kontak fisik secara langsung.

Kini kebudayaan seringkali didefinisikan sebagai perangkat simbol yang digunakan. Oleh manusia untuk berinteraksi dengan lingkungannya, yang diperolehnya lewat kehidupannya sebagai warga suatu masyarakat atau kebudayaan. Perangkat simbol ini dibedakan menjadi perangkat yang berupa perilaku; serta perangkat yang berupa peralatan. Perbedaan sifat perangkat simbol ini tentunya sangat menentukan tingkat kecepatan dalam penyebarannya, tingkat kecepatan dalam penerimaannya, serta prosesproses yang dialaminya dalam penyebaran tersebut. Ketika kebudayaan didefinisikan sebagai perangkat simbol-simbol, maka setiap unsur kebudayaan pada dasarnya selalu dimaknai. Implikasi pandanan semacam ini terhadap kajian diffusi kebudayaan ternyata cukup besar. Studi penyebaran unsur-unsur kebudayaan kini tidak lagi cukup dengan menampilkan persamaan-persamaan ciri-ciri fisik unsur-unsur kebudayaan yang dianggap telah menyebar, tetapi juga perlu menakup pemaknaan atas unsur-unsur tersebut. Kesadaran akan begitu bervariasnya reaksi yang diberikan oleh masing-masing segmen dalam suatu masyarakat atau kebudayaan terhadap unsur-unsur budaya baru yang masuk membuat para ahli antropologi lebih bersikap hati-hati ketika merumuskan generalisasi atas penerimaanpenerimaan unsur-unsur baru. Sulit rasanya kini untuk dapat mengatakan bahwa unsur-unsur budaya baru telah diterima atau telah ditolak oleh suatu masyarakat, karena seringkali terjadi perbedaan antar segmen dalam masayrakat dalam memberikan respon terhadap unsur-unsur budaya baru yang masuk.

IX.

METODE PENELITIAN PENYEBRAN KEBUDAYAAN Pada masa lalu, studi mengenai proses penyebaran unsur-unsur kebudayaan dilakukan dengan menggunakan studi perbandingan. Perbandingan dilakukan atas unsur-unsur kebudayaan yang dianggap

memiliki ciri-ciri yang kurang lebih sama. Makin banyak ciri-ciri yang menunjukkan persamaan, makin kuat dasar untuk menarik keseimpulan bahwa dulu memang telah tejradi penyebaran unsur-unsur dari satu kebudayaan ke kebudayaan yang lain, dan telah terjadi kontak antara pendukung kebudayaan-kebudayaan yang memiliki kemiripan-kemiripan tersebut. Studi ini berlangsung di belakang meja, tidak didukung penelitian-penelitian lapangan yang sangat seksama. Ketika jumlah ahli antropologi semakin meningkat dan dana untuk melakukan penelitian lapangan semakin banyak, dengan sendirinya penelitian tentang proses-proses penyebaran unsur-unsur kebudayaan ini secara langsung di lapangan semakin mungkin dilaksanakan. Inilah yang terjadi pada pertengahan abad 20 di Amerika Serikat dan Eropa Barat. Seiring dengan itu, metode-metode untuk melakukan penelitian tentang proses dan mekanisme penyebaran kebudayaan juga semakin dikembangkan untuk memungkinkan diperolehnya informasi tentang penyebaran kebudayaan yang lebih akurat di masa-masa mendatang. Studi tentang proses penyebaran kebudayaan pada dasarnya adalah studi tentang sejarah kebudayaan dari berbagai macam masyarakat yang telah mengalami kontak-kontak di masa lalu. Ada beberapa metode studi diffusi kebudayaan yang biasa digunakan yakni: 1. Metode rekonstruksi historis (historical reconstruction). 2. Metode kajian kembali (restudy technique). 3. Pemantauan yang terus menerus (continouse monitoring) dari proses yang terjadi pada kebudayaan penerima serta berbagai insan budaya baru yang datang kepadanya.

1. Historical Reconstruction Metode rekonstruksi sejarah merupakan metode awal dari kajian tentang penyebaran kebudayaan dalam antropologi budaya. Dengan mengkonstruksi sejarah satu atau beberapa kebudayaan

seorang ahli antropologi sekaligus juga memperoleh pemahaman tentnag dari mana unsur-unsur dalam kebudayaan yang dikajinya berasal dan bagaimana unsur-unsur tersebut mengalami proses integritasi dalam kebudayaan penerima. 2. Restudy Technique Teknik melakukan penelitian kembali atas masyarakat yang sama namun dalam kurun waktu yang berbeda untuk mengetahui berbagai perubahan yang mungkin telah terjadi dalam masyarakat yang bersangkutan setelah sekian lama ditinggalkan oleh penelitinya memang telah banyak dilakukan oleh para ahli antropologi. Metode ini memang sangat cocok ketika digunakan untuk meneliti masyarakat atau kebudayaan yang memang telah mengalami perubahan-perubahan yang cukup penting di dalamnya. 3. Continous Monitoring Metode pemantauan terus menerus ini juga dapat digunakan untuk mengetahui proses penyebaran kebudayaan yang akan menyebabkan terjadinya perubahan-perubahan dalam masyarakat. Metode ini diterapkan pada satu atau beberapa kebudayaan sekaligus, dan dikerjakan selama jangka waktu beberapa tahun. Metode ini jelas akan menghasilkan data etnografi tentang proses diffusi yang lebih baik daripada yang dihasilkan oleh metodemetode sebelumnya, karena dengan pemantauan terus-menerus ini akan dapat dengan cepat diketahui peristiwa-peristiwa penting apa yang sedang terjadi, dan segera dapat diteliti dengan seksama proses terjadinya. Kendalanya hanyalah bahwa peneliti harus lebih sering berada di lapangan, dan mungkin ini harus dilakukan selama bertahun-tahun terus menerus dalam jangka waktu yang agak lama, sebab perubahan sosial budaya biasanya tidak akan segera terlihat wujudnya kecuali

setelah prosesnya berlangsung selama paling tidak 10 tahun. X. GOBALISASI TEORI DIFFUSI KEBUDAYAAN DENGAN KEMASAN BARU Globalisasi yang dapat diartikan sebagai proses mendunianya unsur-unsur kebudayaan tertentu, atau proses masuknya suatu masayrakat tertentu dalam jaringan keterhubungan, komunikasi, dengan masyarakat dan kebudayaan lain di berbagai tempat di dunia menjadi salah satu fenomena yang menarik perhatian banyak ilmuwan sosial budaya karena kecepatan berlangsungnya proses tersebut serta sarana-sarana yang mendukung terjadinya proses tersebut. Salah satu gejala yang banyak disebut-sebut sebagai contoh dari proses globalisasi adalah makin mendunianya jenis makanan fasf food yang berawal dari dunia Barat, seperti misalnya hamburger, pizza, serta mendunianya restoran-restoran fast food, seperti McDonald atau Kentucky Fried Chinken. Jika kita perhatikan dengan lebih seksama berbagai kajian tentang globalisasi, salah satu hal yang agak mirip dengan kajiankajian tentang diffusi dan alkulturasi di masa lalu adalah perhatian yang masih besar pada reaksi yang diberikan oleh masyarakt dan kebudayaan penerima atas unsur-unsur budaya baru yang datang mask dalam masyarakat tersebut. XI. PENUTUP Walaupun ada berbagai teori mengenai diffusi kebudayaan, namun secara umum kita dapat melihat persamaan-persamaan antara teori satu dengan yang lain terutama pada unsur-unsur pemikiran yang mendasari teori-teori tersebut. Unsur pertama berkenaan dengan asumsi-asumsi aliran Diffusi ini. Tampak jelas di sini bahwa para pemikir diffusi kebudayaan beranggapan bahwa unsur-unsur kebudayaan dapat menyabar dari satu tempat ke tempat yang lain sejalan dengan persebaran pendukung unsur-

unsur kebudayaan tersebut. Asumsi kedua adalah apabila dalam perjalanannya pemilik kebudayaan tersebut bertemu dengan pendukungpendukung kebudayaan yang lain, dan terjadi kontak atau komunikasi dengan mereka, maka di sini, dapat terjadi proses pengalihan, peminjaman, unsur-unsur kebudayaan tertentu, oleh pendukung kebudayaan yang satu dari pendukung kebudayaan lain. Mengenai metodenya, sebagaimana terlihat jelas dari apa yang dikerjakan oleh para pemikir diffusi, metode utama mereka adalah metode perbandingan, dan untuk dapat menentukan apakah pernah terjadi kontakkontak kebudayaan antara masyarakat satu dengan yang lain di masa lalu, maka unsur-unsur kebudayaan mereka yang dibandingkan harus diuji dengan menggunakan kriteria bentuk (kualitas) dan kualitas. Dalam hal ini patokan pertama yang dapat digunakan adalah keamanan, kesejajaran atau kemiripan ini dianggap ada jika ditemukan gejala kebudayaan yang identik atau mirip, di bagian dunia yang berbeda. Di sini dapat digunakan kriteri bentuk dan kualitas untuk membuktikan bahwa ada kesamaan dan kemudian proses diffusi. Jika hasil penelitian memang membuktikan bahwa ada kesamaan-kesamaan bentuk dan kualitas tersebut, maka hal ini harus dipandang sebagai bukti dari penyebaran kebudayaan. Memang dalam hal ini metode penelitian masih belum ada yang memadahi, sehingga perlu dikembangkan lagi metode penelitian yang lebih ketat, untuk melakukan penelitian tentang diffusi ( Koppers, 1955: 171. Semakin banyaknya penelitian lapangan yang dilakukan oleh para ahli antropologi kini telah membuat metode-metode penelitian tentang penyebaran kebudayaan juga semakin berkembang dan lebih baik. Beberapa metode yang kemudian dikembangkan oleh para ahli antropologi untuk meneliti proses penyebaran kebudayaan adalah : metode rekontruksi sejarah; metode penelitian kembali, serta metode pemantauan terusmenerus. Kini, kajian tentang penyebaran kebudayaan tampaknya dapat

menemukan relevansinya kembali, ketika perhatian para ilmuan sosialbudaya banyak diarahkan pada fenomena globalisasi tidak akan banyak bersentuhan dengan persoalan-persoalan yang dipelajari dalam studi tentang diffusi kebudyaan. Apakah fenomena globalisasi akan dapat dijelaskan dengan menggunakan perangkat konseptual yang ada dalam kajian tentang diffusi kebudayaan, hal itu masih belum begitu jelas sekarang.

TEORI-TEORI EVOLUSI KEBUDAYAANA. Proses Evolusi Sosial Secara Universal Menurut konsepsi tentang proses evolusi sosial universal, semua hal tersebut harus dipandang dalam rangka masyarakat manusia yang telah berkembang dengan lambat (berevolusi), dari tingkat-tingkat yang rendah dan sederhana, ke tingkat-tingkat yang rendah dan sederhana, ke tingkat-tingkat yang makin lama makin tinggi dan komplex. Proses evolusi seperti itu akan dialami oleh semua masyarakat manusia di muka bumi, walaupun dengan kecepatan yang berbeda-beda. Itulah sebabnya pada masa kini masih ada juga kelompok-kelompok manusia yang hidup dalam masyarakat yang bentuknya belum banyak berubah dari sejak zaman makluk manusia baru timbul di muka bumi; artinya mereka baru berada pada tingkat-tingkat permulaan dari proses evolusi sosial mereka. Bangsa-bangsa lain berada pada tingkat-tingkat pertengahan dari proses itu, sedangkan ada pula bangsa-bangsa yang telah mencapai tingkat evolusi sosial yang tertinggi, yaitu bangsa-bangsa di Eropa Barat. B. Konsep Evolusi Sosial Universal H. Spencer H. Spencer (1820-1903) bersama dengan ahli filsafat Perancis A. Comte, termasuk aliran cara berfikir positiveisme, yaitu aliran dalam ilmu filsafat Agak yang berbeda bertujuan dengan menerapkan A. Comte, metodologi dalam eksak yang telah dikembangkan dalam ilmu fisika dan alam, dalam studi masyarakat manusia. studi-studinya Spencer mempergunakan bahan etnografi dan etnografika secara sangat luas dan sangat sistematis. Semua karya Spencer berdasarkan konsepsi bahwa seluruh alam itu, baik yang berwujud nonorganis, organis, maupun superorganis,2 berevolusi karena didorong oleh kekuatan mutlak yang disebutnya evolusi universal (Spencer 1876: I, 434). Gambaran menyeluruh tentang evolusi universal dari umat manusia

yang termaktub dalam buku tersebut terakhir, menunjukkan bahwa dalam garis besarnya Spencer melihat perkembangan masyarakat dan kebudayaan dari tiap bangsa di dunia itu telah atau akan melalui tingkat-tingkat evolusi yang sama. Namun ia tak mengabaikan fakta bahwa secara khusus tiap bagian masyarakat atau sub-sub-kebudayaan bisa mengalami proses evolusi yang melalui tingkat-tingkat yang berbeda. Suatu contoh adalah misalnya teori Spencer mengenai asalmula religi. Pangkal pendirian mengenai hal itu adalah bahwa pada semua bangsa di dunia religi itu mulai karena menusia sadar dan takut akan maut. Contoh lain mengenai anggapan Spencer tentang perbedaan antara proses evolusi universal yang seragam dan proses evolusi khusus yang berbeda-beda, tampak dalam teorinya tentang evolusi hukum dalam masyarakat. Dalam hubungan itu Spencer berpendirian bahwa hukum dalam masyarakat manusia pada mulanya adalah hukum keramat, karena merupakan aturan-aturan hidup dan bergaul, yang berasal dari para nenek moyang. Kalau masyarakat manusia menjadi lebih baik komplex, maka hukum keramat yang bersifat statis tadi berkurang kekuatannya, karena tidak cocok lagi dengan keadaan; maka tumbuhlah hukum yang sekuler, yang mula-mula masih berdasarkan azas butuh-membutuhkan secara timbal-balik antara warga masyarakat, tetapi dengan makin besarnya jumlah warga masyarakat, makin diperlukan juga suatu kekuasaan otoriter untuk menjaga agar aturan-aturan sekuler itu ditaati warga masyarakat. Pada tingkat evolusi sosial selanjutnya timbul masyarakat beragama, maka masyarakat telah menjadi sedemikian besarnya hingga kekuasaan otoriter raja pun tidak lagi cukup. Pada tingkat evolusi sosial selanjutnya timbul masyarakat industri, di mana manusia menjadi bersifat lebih individualis, dan dimana kekuasaan raja dan keyakinan terhadap raja keramat berkurang. Maka timbul lagi suatu sistem hukum yang baru, yang kembali berdasarkan azas saling butuh-membutuhkan antara warga masyarakat secara timbal-balik. Dalam masalah tersebut terakhir Spencer sempat mengajukan juga

pandangannya mengenai proses evolusi pada umumnya. Ini adalah pandangan Spencer menganai Survival of the fittest, yaitu daya tahan dari jenis atau individu yang mempunyai ciri-ciri yang paling cocok dengan lingkungannya. C. Teori Revolus Keluarga JJ. Bachoen H. Maine, ahli hukum Inggris yang terkenal, dan J.J. Bachofen, ahli hukum Jerman. Ahli yang tersebut terkahir juga menjadi terkenal dalam ilmu antropologi, karena telah mengembangkan teori tentang evolusi bentuk keluarga. Dalam zaman yang telah jauh lampau dalam masyarakat manusia ada keadaan promiskuitas, dimana manusia hidup serupa sekawan binatang berkelompok, dan laki-laki serta wanita berhubungan dengan bebas dan melahirkan keturunannya tanpa ikatan. Kelompok keluarga inti sebagai inti masyarakat belum ada pada waktu itu. Keadaan ini dianggap merupakan tingkat pertama dalam proses perkembangan masyarakat manusia. Perkawinan antara ibu dan anak laki-laki dihindari, dan dengan demikian timbul adat exogami. Kelompok-kelompok keluarga ibu tadi itu menjadi luas karena garis keturunan untuk selanjutnya diperhitungkan melalui garis ibu, maka timbul suatu keadaan masyarakat yang oleh para sarjana waktu itu disebut matriarchate. Ini adalah tingkat kedua dalam proses perkembangan masyarakat manusia. Kejadian ini menyebabkan timbulnya secara lambat-laun kelompokkelompok keluarga dengan ayah sebagai kepala; dan dengan meluasnya kelompok-kelompok serupa timbullah keadaan patriarchate. Adalah tingkat ketiga dalam proses perkembangan masyarakat manusia. Tingkat terkahir terjadi waktu perkawinan di luar kelompok, yaitu exogami, berubah menjadi endogami karena berbagai sebab. Endogami atau perkawinan di dalam batasbatas kelompok menyebabkan bahwa anak-anak sekarang senantiasa berhubungan langsung dengan anggota keluarga ayah maupun ibu. Dengan demikian patriarchate lambat laun hilang, dan berubah menjadi suatu susunan

kekerabatan yang oleh Bachofen disebut susunan parental. Dengan uaraian dari tingkat-tingkat evolusi masyarakat menurut Bachofen, kita mendapatkan suatu contoh bagaimana para penganut aliran Evolusionisme itu biasanya berpikir. Teori Bachofen itu sampai akhir abad ke19 memang mendapat pengaruh yang luas dalam kalangan ilmu-ilmu sosial di Eropa sejumlah ahli antropologi masa itu. D. Teori Evolusi Kebudayaan di Indonesia Animisme adalah kepercayaan kepada jenis-jenis binatang keramat, karena jenis-jenis itu menjadi tempat reinkarnasi roh nenek moyang, telah banyak mempengaruhi anggapan Taylor tentang totemisme. E. Teori Evolusi Kebudayaan L.H. Morgan Cara untuk mengupas semua sistem kekerabatan dari semua suku bangsa di dunia. Cara itu didasarkan pada gejala kesejajaran yang seringkali ada di antara sistem istilah kekerabatan (system of kinship terminology) dan sistem kekerabatan (kinship system). Dengan kesadaran baru tadi Morgan menyusun suatu angket yang mengandung daftar pertanyaan mengenai istilah-istilah kekerabatan. Suratsurat angket serupa itu diedarkan kepada berbagai suku-suku Indian di Amerika Serikat. Kedelapan tingkat evolusi sebagai berikut: 1. Zaman Liar Tua, yaitu zaman sejak adanya manusia sampai ia menemukan api; dalam zaman ini manusia hidup dari meramu, mencari akar-akar dan tumbuh-tumbuhan liar. 2. Zaman Liar Madya, yaitu zaman sejak manusia menemukan api, sampai ia menemukan senjata busur-panah; dalam zaman ini manusia mulai merubah mata

pencaharian hidupnya dari meramu menjadi pencari ikan di sungai-sungai atau menjadi pemburu. 3. Zaman Liar Muda, yaitu zaman sejak manusia menemukan senjat busur-panah, sampai ia mendapatkan kepandaian membuat barang-barang tembikar; dalam zaman ini mata pencaharian hidupnya masih berburu. 4. Zaman Barbar Tua, yaitu zaman sejak manusia menemukan kepandaian membuat tembikar sampai ia mulai beternak atau bercoco tanam. 5. Zaman Barbar Madya, yaitu zaman sejak manusia beternak atau bercocok tanam sampai ia menemukan kepandaian membuat benda-benda dari logam. 6. Zaman Barbar Muda, yaitu zaman sejak manusia menemukan kepandaian membuat benda-benda dari logam, sampai ia mengenal tulisan. 7. Zaman Peradaban Purba. 8. Zaman Peradaban Masa Kini. F. Teori Evolusi Religi E.B. Tylor Suatu penelitian dilakukan sendiri dengan mengambil sebagai pokok, unsur-unsur kebudayaan seperti sistem religi, kepercayaan, kesusasteraan, adat-istiadat, upacara dan kesenian. Penelitian itu menghasilan karyanya yang terpenting, yaitu dua jilid Primitive Culture; Researches into the Development of Mythology, Philosophy, Religion, Language, Art and Custom (1874). Dalam buku itu ia juga mengajukan teorinya tentang asal-mula religi, yang

berbunyi sebagai berikut: Asal mula religi adalah kesadaran manusia akan adanya jiwa. Kesadaran akan faham jiwa itu disebabkan karena du hal, yaitu: 1. Perbedaan yang tampak pada manusia antara hal-hal yang hidup yang saat dan mati. hal-hal Satu

organisma pada satu bergerak-gerak, kemudian artinya hidup, tetapi tak lama organisma itu juga tak bergerak lagi, artinya mati. Maka manusia mulai yang sadar akan adanya suatu kekuatan menyebabkan mimpi. mimpinya melihat di tempatia gerak itu, yaitu jiwa. 2. Peristiwa Dalam manusia dirinya tempat manusia membedakan tubuh tidur, bagian

tempat lain (bukan di dimana sedang tidur). Maka mulai antara jasmaninya dan lain suatu dari

yang ada di tempat

dirinya yang pergi ke tempat-tempat Bagian lain yang disebut jiwa. Sifat abstrak dari jiwa itu menimbulkan keyakinan pada manusia bahwa jiwa dapat hidup langsung, lepas dari tubuh jamaninya. Waktu hidup, jiwa itu masih tersangkut kepada tubuh jasmani, dan hanya dapat meninggalkan tubuh waktu manusia tidur atau pingsan. Tetapi Tylor berpendiran bahwa walaupun sedang melayang, hubungan jiwa dengan jasmani pada saat tidur atau pingsan tetap ada. Hanya apabila manusia mati, jiwanya melayang terlepas, dan terputuslah hubungan tubuh jasmani untuk selama-lamanya. Jiwa yang telah merdekat terlepas dari jasmaninya itu dapat berbuat sekehendaknya. Alam semesta penuh dengan jiwa-jiwa merdekat itu, oleh Tylor tidak disebut soul, atua jiwa, lagi, tetapi disebut spirit (makhluk halus atau roh). Dengan demikian pikiran manusia telah menstransformasikan kesadarannya akan adanya jiwa menjadi keyakinan kepada mahluk-mahluk halus. Pada tingkat tertua dalam evolusi religinya, manusia percaya. Mahlukmahluk halus yang tinggal dekat tempat tinggal manusia itu, yang bertubuh halu sehingga tidak dapat tertangkap oleh pancaindera manusia, berbuat halhal yang tak dapat diperbuat manusia, menjadi obyek penghormatan dan penyebahannya. Religi serupa itulah yang oleh Tylor disebut anisme. Tylor melanjutkan teorinya tentang asal-mula religi dengan suatu uraian tentang evolusi religi, yang berdasarkan cara berpikir uraian tentang evolusi religi, yang berdasarkan cara berpikir evolusionisme. Katanya, animisme yang pada dasarnya merupakan keyakinan kepada roh-roh yang mendiami alam semesta sekeliling tempat tinggal manusia, merupakan bentuk religi yang tertua. Pada tingkat kedua dalam evolusi religi, manusia yakin bahwa gerak alam yang hidup itu juga disebabkan adanya jiwa di belakang peristiwa-peristiwa dan gejala-gejala alam itu. Jiwa alam itu kemudian dipersonifikasikan dan dianggap seperti lain. itulah

mahluk-mahluk yang memiliki suatu kepribadian dengan kemauan dan pikiran, yang disebut dewa-dewa alam. Pada tingkat ketiga dalam evolusi religi, bersama dengan timbulnya susunan kenegaraan dalam masyarakat manusia, timbul pula keyakinan bahwa dewa-dewa alam itu juga hidup dalam suatu susunan kenegaraan, serupa dalam dunia mahluk manusia. Akibat dari keyakinan itu adalah berkembangnya keyakinan kepada satu Tuhan dan timbulnya religi-religi yang bersifat monotheisme sebagai tingkat yang terakhir dalam evolusi religi manusia. Penelitian Tylor mengenai tingkat-tingkat evolusi kebudayaan manusia tlah menimbulkan adanya konsep survivals. Dengan demikian tiap tingkat mempunyai kebudayaan teladan masing-masing. Walaupun demikian, tidak ada satu pun yang seratus proses cocok atau memenuhi syarat-syarat dari contoh-contoh kebudayaan yang dikonstruksikan secara teoritis oleh para ahli evolusionisme. Dalam kenyataan, pada semua kebudayaan itu ada beberapa unsur yang tidak terdapat dalam kebudayaan teladan, sehingga secara teori tidak dapat dimasukkan ke dalam salah satu tingkat evolusi tertentu. Tylor memecahkan persoalan itu dengan suatu pendirian bahwa unsur-unsur itu adalah unsur-unsur sisa-sisa dari kebudayaan-kebudayaan yang berasal dari suatu tingkat evolusi sebelumnya. Unsur-unsur itu merupakan survivals. Dengan demikian, faham survivals itu menjadi alat yang penting sekali bagi para penganut evolusionisme dalam menganalisa kebudayaan-kebudayaan dan dalam menentukan tingkat-tingkat evolusi dari tiap kebudayaan itu. Diantara beratus-ratus karangan Tylor, sebuah menjadi pangkal dari suatu metode penelitian baru, yang kurang lebih empat puluh tahun kemudian berkembang dalam ilm antropologi, yaitu karanganya On a Method of Investigating the Development on institutions; Applied to the Laws of marriage and Descent (1889). Dalam karangan itu ia antara lain mencoba menunjukkan dengan bukti angka-angka statistika bagaimana tingkat matriarchate berevolusi ke tingkat patriarchate. Demikian juga ia memperhitungkan hubungan-hubungan korelasi lain yang disebutnya adhesions. Antara unsur kebudayaan yang bersangkutan

dengan sistem kekerabatan dengan menggunakan metode-metode statistik. G. Teori J.G. Fraxer Mengenai Ilmu Gaib dan Religi J.G. Frazer (1854 1941) adalah ahli folklor Inggris yang juga sangat banya mempergunakan bahan etnografi dalam karya-karyanya, dan yang karena itu dapat kita anggap juga sebagai salah seorang tokoh pendekar ilmu antropologi. Ia juga dapat dimasukkan ke dalam golongan para ahli penganut teori evolusi kebudayaan. Diantara karangan-karangannya mengenai folklor yang mengandung uraian tentang asal-mula dan evolusi ilmu gaib dan religi, yaitu Totemism and Exogamy (1910). Teori Frazer dapat diringkas sebagai berikut: Manusia memecahkan soal-soal hidupnya dengan akal dan sistem pengetahuannya, tetapi akal dan sistem pengetahuan itua ada batasnya. Makin terbelakang kebudayaan manusia, makin sempit lingkaran batas akalnya. Soal-soal hidup yang tak dapat dipecahkan dengan akal dipecahkannya dengan magic, ilmu gaib. Menurut Frazer, magic adalah semua tindakan manusia untuk mencapai suatu maksud melalui kekuatan-kekuatan yang ada di dalam alam, serta melalui kekuatan-kekuatan yang ada di dalam alam, serta seluruh komplex anggapan yang ada di belakangnya. Menurut Frazer, memang ada suatu perbedaan besar antara ilmu gaib dan religi. Ilmu gaib adalah segala sistem tingkah laku dan sikap manusia untuk mencapai suatu maksud dengan menguasai dan mempergunakan kekuatan-kekuatan dan kaidah-kaidah gaib yang ada di dalam alam. Sebaliknya, religi adalah segala sistem tingkah laku manusia untuk mencapai suatu maksud dengan cara menyadarkan diri kepada kemauan dan kekuasaan mahluk-mahluk halus seperti roh-roh, dewa-dewa, dan sebagainya yang menempati alam. H. Menghilangnya Teori-teori Evolusi Kebudayaan Pada akhir abad ke-19 mulai timbul kecaman-kecaman terhadap cara

berpikir dan cara bekerja para sarjana penganut evolusi kebudayaan. Kecaman mulai menyerang detail dan unsur-unsur tertentu dalam berbagai karangan dari para penganut teori-teori tersebut, kemudian meningkat menjadi seranganserangan terhadap konsepsi dasar dari teori-teori tentnag evolusi kebudayaan manusia. Pengumpulan bahan keterangan baru, terutama sebagai hasil penggalian-penggalian prehistori, bertambah banyak berkat aktivitas-aktivitas penelitian para ahli antropologi sendiri. Dengan demikian mulai tampak bahwa tingkat-tingkat evolusi dari para penganut teori-teori evolusi kebudayaan itu hanya merupakan konstruksi-konstruksi pikiran saja, yang tidak sesuai dengan kenyataan dan yang lama-kelamaan tak dapat dipertahankan lagi. Pada permulaan abad ke-20 hampir tidak ada lagi karya antropologi berdasarkan konsep-konsep itu di Uni Soviet. Dalam tahun 1940an muncul beberapa ahli antropologi Inggris dan Amerika yang menghidupkan lagi konsep-konsep mengenai evolusi kebudayaan, tetapi yang tidak bersifat seragam bagi semua bangsa di dunia.

RINGKASANMeskipun kebudayaan kelihatannya sangat stabil, tetapi, sedikit atau banyak, perubahan merupakan karakteristik semua kebudayaan. Salah satu kemungkinan sebabnya ialah perubahan lingkungan menuntut suatu perubahan adaptif dalam kebudayaan. Sebab lain ialah adanya variasi individual dalam cara orang memahami karakteristik kebudayaannya sendiri. Ini dapat mengubah cara suatu masyarakat menafsirkan norma-nonna dan nilai-nilai kebudayaannya. Akhirnya, kebudayaan dapat berubah sebagai akibat adanya kontak dengan kelompok-kelompok lain, yang membawa masuk gagasan dan cara-cara baru, yang akhirnya mengubah nilai-nilai dan perilakunya yang tradisional. Tingkat dan arah perubahan kebudayaan tergantung pada beberapa faktor, antara lain adalah sampai berapa jauh suatu kebudayaan mendorong dan merestui fleksibelitas: kebutuhan khusus kebudayaan pada suatu waktu tertentu; dan tingkat kecocokan anasir baru itu dengan pola kebudayaan yang ada. Sejumlah individu dalam kebudayaan mungkin merasa sukar menerima perubahan, meskipun kelihatannya menguntungkan. Mekanisme yang terlibat dalam perubahan kebudayaan adalah penemuan baru (invention), difusi, hilangnya unsur kebudayaan, dan akulturasi. Perubahan kebudayaan melalui penemuan baru berasal dari seseorang di dalam kebudayaan, yang menemukan sesuatu cara, alat, atau prinsip baru. Orang-orang lain menerima penemuan baru itu dan menjadi milik bersama. Penemuan primer ialah penemuan prinsip baru secara tidak disengaja, misalnya, penemuan bahwa pembakaran tanah liat membuat bahan tersebut keras selama-lamanya. Penemuan sekunder ialah perbaikan dengan menerapkan prinsip-prinsip yang sudah diketahui, misalnya, memberi bentuk pada tanah liat yang hendak dibakar dengan mengggunakan teknik yang dikuasai menjadi objek-objek dikenal. Penemuan primer dapat mendorong pertumbuhan kebudayaan yang cepat dan merangsang penemuanpenemuan lain. Kemungkinan diterimanya penemuan baru tergantung pada apakah penemuan itu lebih baik atau tidak daripada metode atau objek yang digantinya. Penerimaannya juga ada hubungannya dengan wibawa si penemu dan

kelompok-kelompok yang meniru. Difusi adalah penerimaan unsur-unsur kebudayaan dari masyarakat yang satu oleh masyarakat yang lain. Pada umumnya, ada bidang-bidang tertentu, seperti teknologi, yang jauh lebih mudah untuk ditiru daripada yang lain, seperti organisasi sosial. Hilangnya unsur kebudayaan berarti dibuangnya unsur atau praktek kebudayaan tanpa ada gantinya. Para ahli antropologi memberi perhatian besar pada akulturasi. Akulturasi berasal dari hubungan langsung yang intensif di antara kelompokkelompok dengan kebudayaan yang saling berbeda, dan yang menyebabkan perubahan-perubahan besar dalam pola kebudayaan salah satu atau dua masyarakat yang bersangkutan. Administrasi kolonial yang dituntun oleh suatu pengertian tentang kebudayaan pribumi dapat menghindari timbulnya kerusakan yang serius dari kebudayaan pribumi. Akan tetapi, dalam banyak hal, kolonialisme telah menimbulkan kerusakan kebudayaan ("Culture crash"): kematian besar-besaran, kesengsaraan, dan komunitas yang berantakan. Peruangan melawan kekuasaan yang dipaksakan dari luar dapat berupa pemberontakan, yang tujuannya sekedar untuk mendongkel orang yang sedang menduduk jabatan atau dapat berupa revolusi, yang tujuannya tidak hanya untuk mengganti orang yang menduduki jabatan tetapi juga untuk mengubah sifat jabatan itu sendiri, dan untuk mengubah sistem kepercayaan maupun struktur sosialnya. Kalau sistem nilai berbeda terlalu banyak dengan realitas di dalam kebudayaan, dapat timbul suatu situasi krisis dalam kebudayaan, sehingga mungkin timbul gerakan-gerakan kebangkitan. Dalam gerakan kebangkitan yang transisional, kebudayaan berusaha mempercepat proses akulturasi agar mendapat keuntungan lebih banyak dari kebudayaan yang dominan seperti yang diharapkan. Gerakan milenarisme berusaha mengangkat suatu kelompok pada dengan ideologi subkulturalnya. Gerakan nativistis atau gerakan kebangkitan bertujuan menyusun kembali suatu cara hidup yang sudah rusak, tetapi belum dilupakan. Gerakan revolusi berusaha mengubah suatu kebudayaan dari dalam. Modernisasi mengacu pada suatu proscs perubahan kultural dan sosio ekonomis yang bersifat global, di mana masyarakat-masyarakat yang sedang

berkembang berusaha memperoleh karakteristik-karakteristik dari masyarakat industri yang maju. Proses tersebut terdiri atas empat subproses. Menurut urutan munculnya, sub-subproses tersebut adalah perkembangan teknologi, perkembangan pertanian, industrialisasi, dan urbanisasi. Perubahan-prrubahan lain mengikuti di bidang organisasi politik, pendidikan, kaagamaan, dan organisasi sosial. Dua hal lain yang juga menyertai modernisasi ialah diferensiasi struktural dan kekuatan-kekuatan integrasi sosial yang baru. Sebuah contoh modernisasi terdapat pada orang Indian Pueblo, yang tetap mempertahankan keluarga luas dan bahasa-bahasa mereka, tetapi mengikuti ekonomi Amerika Serikat dan menggunakan barang-barang konsumsi yang diproduksinya. Sebaliknya, orang Lapp Skolt di Finlandia tidak dapat membendung banyak aspek modernisasi. Dengan kedatangan mobil salju, ekonomi tradisional mereka tetapi yang didasarkan atas penggembalaan rusa kutub, hampir hancur sama sekali, dan tidak ada sesuatu yang menggantikannya.

RINGKASANMeskipun umat manusia berubah secara biologis, kebudayaan tetap merupakan sarana yang utama bagi umat manusia untuk mencoba memecahhkan berbagai masalah kehidupannya. Beberapa ahli antropologi prihatin atas adanya tendensi bahwa masalah akan melampaui kemampuan kebudayaan untuk menemukan pemecahan. Ada yang berpendapat bahwa perkembangan komunikasi, transportasi, dan perdagangan dunia yang cepat akan mengikat orang menjadi satu sehingga akan lahir sebuah kebudayaan dunia yang tunggal. Ada orang yang merasa bahwa superkultur yang homogen seperti itu akan mengurangi kemungkinan terjadinya pertentangan yang lazim pada masa lampau. Sejumlah ahli antropologi bersikap skeptis terhadap argumen seperti itu, mengingat adanya tendensi belangan ini dari berbagai kelompok etnis untuk menegakkan identitasnya sendiri yang khas, dan mengingat kuatnya bertahan cara berfikir transional tentnag dirinya sendiri dan tentang orang-orang lain, sekalipun menghadapi sejuta persoalan besar aspek-aspek kebudayaan yang lain. Para ahli antropologi juga memperhatikan adanya tendensi untuk menganggap masyarakat tradisional itu sebagai usang, kalau kelihatan merintangi pembangunan". Kemungkinan yang lain ialah bahwa umat manusia akan bergerak ke arah plubarisme kebudayaan, di mana terdapat lebih dari satu kebudayaan dalam satu masyarakat. Dalam bentuknya yang ideal, pluralisme kebudayaan bertentangan dengan fanatisme, purbasangka, dan rasisme. Bebcrapa ahli antropologi berpendapat bahwa pluralisme merupakan satu-satunya sarana yang dapat diusahakan untuk menciptakan keseimbangan dan perdamian dunia. Masalah yang dihadapi oleh pluraltsme adalah etnosentrisme. Ini sering kali menyebabkan kekacauan politik yang disertai kekerasan dan pertumpahan darah. Karena bentuk-bentuk kebudayaan yang akan datang akan ditentukan oleh keputusan-keputusan umat manusia yang masih harus dilakukan, tidak mungkin diamalkan dengan tepat. Berhubung dengan itu, sejumlah ahli antrupologi tidak berusaha meramalkan masa depan, tetapi mereka berusaha memahami lebih baik situasi dunia yang nyata. Gambaran yang munculadalah apartheid dunia, yang

sangat mirip dengan sistem apartheid di Afrika Selatan. Salah satu konsekuensi sistem apartheid adalah banyaknya kekerasan struktral yang ditimbulkan oleh situasi, kelembagaan, struktur politik, sosial, dan ekonomi. Kekerasan seperti itu yang meliputi terlalu banyaknya penduduk yang kekurangan pangan, oleh para ahli antropologi ingin dipahami dan dibantu untuk menguranginya. Tantangan langsung yang berlaku di seluruh dunia adalah menyediakan sumber pangan guna mengimbangi pertumbuhan penduduk. Meskipun tindakan seperti membuka lahan pertanian lebih banyak dapat membawa hasil sementara, perlu adanya pemecahan jangka panjang. Ini sangat tergantung pada pengembangan sumber-sumber energi baru, karena persediaan bahan bakar fosil dunia berkurang, dan penggunaan kotoran hewan dan bukan pupuk buatan. Masalah lain yang berhubungan dengan usaha memberi makan kepada penduduk dunia yang meledak berkaitan dengan preferensi akan makananmakanan tertentu yang berakar dalam kebudayaan. Kebiasaan makan suatu bangsa sering mengecualikan pangan yang persediaannya berlimpah-limpah atau bergizi, dan menuntut yang lebih langka atau yang mutunya lebih rendah. Tabu yang berasal dari totemisme atau agama juga brrpcngaruh atas pangan yang dimakan oleh rakyat. Para ahli antropologi hari esok mungkin akan diminta untuk membantu mengubah selera dan kebiasaan budaya mewarnai pangan agar mereka dapat mempertahankan hidup mereka. Polusi telah menjadi ancaman langsung bagi umat manusia. Bangsabangsa Barat hanya melindungi lingkungan mereka apabila membaca keuntungan lansung. Mereka tidak mempunyai rasa tanggung jawab jangka panjang terhadap bumi atau sumber-sumber dayanya. Bangsa-bangsa Barat dapat banyak belajar dari bangsa-bangsa non-Barat yang menganggap dirinya sebagai bagian integral bumi. Mengatasi masalah-masalah kekerasan struktural yang dihadapi oleh spesies manusia dewasa ini, barangkali hanya mungkin dilaksanakan kalau kita dapat menurunkan angka kelahiran. Dewasa ini tersedia berbagai metode keluarga berencana yang efektif. Apakah metode tersebut digunakan secara cukup luas atau tidak tergantung pada mudah-tidaknya metode itu dapat diperoleh dan diterima

oleh masyarakat. Banyak bangsa di dunia berpegang pada adat kebiasaan dan kepercayaan yang menyebabkan mereka menolak gagasan keluarga berencana. Pemecahan sejumlah masalah masyarakat dunia juga tergantung pada berkurangnya kesenjangan antara tingkat hidup negara-negara miskin dan negaranegara maju. Ini akan menuntut perubahan-perubahan nilai yang drastis dalam masyarakat-masyarakat Barat yang berorientasi pada materi dan kepada konsumen. Semua orang perlu melihat dirinya sendiri sebagai bagian alam dan tidak di atasnya. Yang juga perlu adalah suatu tanggung jawab sosial yang mengakui bahwa tidak ada suatu bangsa yang berhak untuk memonopoli segala sumber daya yang penting, dan suatu kesadaran mengenai pentingnya ikatan saling membantu antar manusia. Jika kita perhatikan lebih seksama berbagai kajian tentang globalisasi, salah satu hal yang agak mirip dengan kajian-kajian tentang diffusi dan akulturasu di masa lau adalah perhatian yang masih besar pada reaksi yang siberikan oleh masyarakat dan kebudayaan penerima atau unsur-unsur budaya baru yang datang masuk dalam masyarakat tersebut.