diagnosis
DESCRIPTION
lllTRANSCRIPT
BAB II
PEMBAHASAN
A. Definisi1
Bronkitis adalah suatu penyakit yang ditandai adanya dilatasi
(ektasis) bronkus lokal yang bersifat patologis dan berjalan kronik. Perubahan
bronkus tersebut disebabkan oleh perubahan-perubahan dalam dinding
bronkus berupa destruksi elemen-elemen elastis dan otot - otot polos
bronkus. Bronkus yang terkena umumnya bronkus kecil (medium size),
sedangkan bronkus besar jarang terjadi. Hal ini dapat memblok aliran udara
ke paru - paru dan dapat merusaknya.
Berdasarkan waktu berlangsungnya penyakit, Bronkitis akut
berlangsung kurang dari 6 mingu dengan rata-rata 10-14 hari, sedangkan
Bronkitis kronis berlangsung lebih dari 6 minggu. Secara umum keluhan pada
Bronkitis kronis dan Bronkitis akut hampir sama. Hanya saja keluhan pada
Bronkitis kronis cenderung lebih berat dan lebih lama. Hal ini dikarenakan
pada Bronkitis kronis terjadi penebalan (hipertrofi) otot-otot polos dan
kelenjar serta berbagai perubahan pada saluran pernapasan.
Secara klinis, Bronkitis kronis merupakan penyakit saluran
pernapasan yang ditandai dengan batuk berdahak sedikitnya 3 bulan dalam
setahun selama 2 tahun berturut-turut.
B. Etiologi2
Bronchitis biasanya lebih sering disebabkan oleh virus seperti
rhinovirus, Respiratory Syncitial Virus (RSV), virus influenza, virus para
influenza, dan Coxsackie virus. Bronchitis adalah suatu peradangan pada
bronchus yang disebabkan oleh berbagai macam mikroorganisme baik virus,
bakteri, maupun parasit. Sedangkan pada bronchitis kronik dan batuk
berulang adalah sebagai berikut :
1. Spesifik
a. Asma
8
b. Infeksi kronik saluran napas bagian atas (misalnya
sinobronchitis).
c. Infeksi, misalnya bertambahnya kontak dengan virus, infeksi
mycoplasma, chlamydia, pertusis, tuberkulosis, fungi/jamur.
d. Penyakit paru yang telah ada misalnya bronchiectasis.
e. Sindrom aspirasi.
f. Penekanan pada saluran napas
g. Benda asing
h. Kelainan jantung bawaan
i. Kelainan sillia primer
j. Defisiensi imunologis
k. Kekurangan anfa-1-antitripsin
l. Fibrosis kistik
m. Psikis
2. Non spesifik
a. Asap rokok
b. Polusi udara
C. Patofisiologi
Asap mengiritasi jalan napas, mengakibatkan hipersekresi lender dan
inflamasi. Karena iritasi yang konstan ini, kelenjar-kelenjar yang mensekresi
lendir dan sel-sel globet meningkat jumlahnya, fungsi sillia menurun, dan
lebih banyak lendir yang dihasilkan dan akibatnya bronchioles menjadi
menyempit dan tersumbat. Alveoli yang berdekatan dengan bronchioles dapat
menjadi rusak dan membentuk fibrosis, mengakibatkan perubahan fungsi
makrofag alveolar, yang berperan penting dalam menghancurkan partikel
asing termasuk bakteri. Pasien kemudian menjadi lebih rentan terhadap
infeksi pernapasan. Penyempitan bronchial lebih lanjut terjadi sebagai akibat
perubahan fibrotic yang terjadi dalam jalan napas. Pada waktunya, mungkin
terjadi perubahan paru yang irreversible, kemungkinan mengakibatkan
emphysema dan bronchiectasis.3
9
D. Manifestasi Klinis
Batuk produktif, kronis pada bulan-bulan musim dingin adalah tanda
dini dari bronchitis kronis. Batuk mungkin dapat diperburuk oleh cuaca yang
dingin, lembab, dan iritan paru. Pasien biasanya mempunyai riwayat merokok
dan sering mengalami infeksi pernapasan.3
E. Diagnosis4
1. Anamnesis
Keluhan dan gejala-gejala klinis Bronkitis Kronis adalah sebagai berikut:
a. Batuk yang sangat produktif, purulen dan mudah memburuk dengan
inhalasi iritan, udara dingin atau infeksi
b. Produksi mucus dalam jumlah yang sangat banyak
c. Dyspnea, Sesak napas. Sesak bersifat progresif (makin berat) saat
beraktifitas. Dyspnea penyebab utama kecacatan dan kecemasan terkait
dengan luas mengi inspirasi atau ekspirasi. Pasien menggambarkan
Dada sesak sering sebagai rasa peningkatan upaya untuk bernapas
d. Riwayat merokok, paparan zat iritan di tempat kerja
e. Adakalanya terdengar suara mengi (ngik-ngik).
f. Terdapat faktor predisposisi pada masa bayi/anak, mis berat badan lahir
rendah (BBLR), infeksisaluran napas berulang, lingkungan asap rokok
dan polusi udara
2. Pemeriksaaan Fisik
Pada stadium awal, pasien belum ada keluhan. Pada stadium yang
lebih lanjut, didapatkan fase ekspirasi yang memanjang dan mengi.
Didapatkan juga tanda-tanda hiperinflasi seperti barrel chest dan
hipersonor pada perkusi. Pasien yang dengan obstruksi jalan nafas berat
akan menggunakan otot-otot pernafasan tambahan duduk dalam posisi
tripod. Didapatkan juga sianosis pada bibir dan kuku pasien.
a. Inspeksi
1) Pursed lips breathing.
2) Barrel chest
3) Penggunaan otot bantu pernafasan
10
4) Hipertrofi otot bantu pernafasan
5) JVP meningkat
6) Edema tungkai bawah
7) Penampilan blue bloater. Gambaran khas bronchitis kronis, gemuk,
sianosis, edema tungkai dan ronki basah di basal paru. Sianosis di
sentral dan perifer.
b. Palpasi
Fremitus melemah
c. Perkusi
Hipersonor
d. Auskultasi
1) Suara nafas vesikuler normal atau melemah
2) Ronki dan mengi saat nafas biasa atau eskpirasi paksa
3) Eskpirasi memanjang
4) Bunyi jantung terdengar jauh
3. Pemeriksaan Penunjang
a. Pemeriksaan laboratorium
1) Darah rutin : Hb, Ht dan leukosit boleh didapatkan meningkat.
2) Analisa gas darah : hipoksia dan hiperkapnia
b. Pemeriksaan faal paru
1) Spirometri : Ditemukan adanya penurunan kapasitas vital (VC) dan
volume ekspirasi kuat (FEV) serta peningkatan volume residual
(RV) dengan kapasitas paru total (TC) normal atau meningkat.
c. Radiologi
Rontgen thorax (PA/Lateral)
1) Corakan bronkovaskuler meningkat
2) Tram-track appearance : penebalan dinding bronkial
11
F. Diagnosis Banding5
Bronkitis
kronik
Onset pada usia dewasa
Gejala perlahan progresif
Riwayat merokok atau terpapar asap rokok atau zat
iritan lain
Asma Onset usia dini
Gejala bervariasi dari hari ke hari
Gejla pada waktu malam/dini hari lebih menonjol
Dapat ditemukan alergi/rhinitis/eczema
Riwayat asma dalam keluarga
Hambatan aliran udara biasnya reversibel
Gagal jantung
kongestif
Riwayat hipertensi
Ronki basah halus di basal paru
Gambaran foto toraks cardiomegali dan edema paru
Pemeriksaan faal paru restriksi bukan obstruksi
Bronkiektasis Sputum purulen dalam jumlah banyak
Sering berhubungan dengan infeksi bakteri
Ronki basah kasar dan jari tabuh
Gambaran foto toraks Nampak honeycomb appearance
dan penebalan dinding bronkus
TBC Onset di semua usia
Gambaran foto toraks infiltrate
Konfirmasi mikrobiologi (BTA)
Sindrom
obstruksi pasca
TB
Riwayat pengobatan anti TB adekuat
Gambaran foto toraks bekas TB : fibrotic dan kalsifikasi
minimal
Pemeriksaan faal paru menunjukkan obstruksi yang
tidak reversibel
Bronkiolitis Usia muda
12
obliterasi
Tidak merokok
Mungkin ada riwayat arthritis rematoid
CT paru ekspirasi terlihat gambaran hipodens
Diffuse
bronchiolitis
Sering pada perempuan tidak merokok
Seringkali berhubungan dengan sinusitis
Rontgen dan CT paru resolusi tinggi memperlihatkan
bayanagn diffuse nodul opak sentrilobular dan
hiperinflasi
G. Penatalaksanaan5,6
Penatalaksanaan umum pada bronkitis kronik bertujuan memperbaiki
kondisi tubuh penderita, mencegah perburukan penyakit, menghindari faktor
risiko dan mengenali sifat penyakit secara lebih baik. Termasuk dalam
penatalaksanaan umum ini adalah pendidikan buat penderita untuk mengenal
penyakitnya lebih baik, menghindari polusi, menghentikan kebiasaan
merokok, menghindari infeksi saluran napas, hidup dalam lingkungan yang
lebih sehat, makanan cukup gizi dan mencukupi kebutuhan cairan.
Penatalaksanaan khusus dilakukan untuk mengatasi gejala dan
komplikasi. Tindakan ini berupa pemberian obat-obatan, terapi respirasi dan
rehabilitasi.
Tujuan utama terapi harus menargetkan perbaikan gejala, seperti :
Mengurangi kelebihan lendir
Penurunan hipersekresi lendir dengan mengendalikan peradangan ;
Memfasilitasi penghapusan lendir
Modifikasi batuk
Tujuan ini dapat dicapai oleh sejumlah farmakologis dan sarana
nonfarmakologis.
Usaha-usaha yang dapat dilakukan untuk memperlambat perjalanan
penyakit adalah:
13
Menghentikan kebiasaan merokok.
Menghindari polusi udara dan kerja di tempat yang mempunyai
risiko terjadinya iritasi saluran napas.
Menghindari infeksi dan mengobati infeksi sedini mungkin agar
tidak terjadi eksaserbasi akut.
Menegakkan diagnosis secara dini agar kelainan paru yang masih
reversibel dapat dideteksi sehingga usaha-usaha untuk menghindari
penyakit berlanjut menjadi kelainan yang ireversibel dapat
dilakukan.
1. Non-Medikamentosa
a. Menghindari Rokok
Berhenti merokok dapat meningkatkan batuk pada banyak
pasien dengan bronkitis kronik dengan meningkatkan fungsi
mukosiliar dan sel goblet dengan menurunkan hiperplasia. Berhenti
merokok juga telah terbukti mengurangi cedera saluran napas dan
menurunkan kadar lendir di dikelupas sel tracheobronchial dahak
dibandingkan dengan mereka yang terus merokok. Sebuah studi
lanjutan longitudinal besar ditemukan bahwa tingkat kejadian CB
jauh lebih tinggi di saat perokok dibandingkan dengan mantan
perokok.
Merokok merupakan penyebab utama PPOK dan berhenti
merokok merupakan terapi yang sejauh ini dapat mengurangi
progeresiviti penyakit. Proses inflamasi di jaringan masih terus
berlangsung walaupun sudah berhenti merokok. Kecanduan nikotin
merupakan masalah utama yang menjadi target terapi. Terapi
pengganti nikotin hanya menunjukkan keberhasilan 5-15%. Saat ini
sedang dikembangkan vaksin yang mampu menetralisir nikotin
dalam darah. Jorenby dkk. menemukan Bupropion yang merupakan
suatu anti depresan cukup berhasil bila digunakan sebagai terapi
berhenti merokok. Pemberian bupropion selama 6-9 minggu
memberikan keberhasilan berhenti merokok sebesar 18%
14
dibandingkan dengan nikotin skin patch 9% dan plasebo 6%. Obat
ini ditoleransi dengan baik dan hanya menimbulkan efek samping
berupa serangan epilepsi sekitar 0,1% pada penderita.
b. Rehabilitasi
Rehabilitasi meliputi tindakan fisioterapi, rehabilitasi psikis
dan rehabilitasi pekerjaan. Fisioterapi dilakukan untuk mobilisasi
dahak, latihan bernapas menggunakan otot-otot dinding perut
sehingga didapatkan kerja napas yang efektif. Latihan relaksasi
berguna untuk menghilangkan rasa takut dan cemas dan mengurangi
kerja otot yang tidak perlu. Rehabilitasi psikis perlu untuk
menghilangkan rasa cemas dan takut. 4
2. Medikamentosa
a. Mukolitik dan ekpetorat
Guaifenesin bekerja dengan peningkatan vagally dimediasi
dalam jalan napas. Meskipun telah ditunjukkan penggunaan jangka
panjang umum guaifenesin belum terbukti bermanfaat dalam COPD
atau bronkitis kronik.
b. Methylxanthines and Short-Acting b-Adrenergic Receptor Agonists
(SABA)
Keduanya meningkatkan mucus clearance oleh beberapa
mekanisme :
Meningkatkan napas diameter luminal
Meningkatkan frekuensi beat silia melalui peningkatan
intraseluler adenosin siklik monofosfat tingkat
Meningkatkan lendir hidrasi dengan merangsang sekresi
saluran napas Cl- melalui aktivasi fibrosis kistik
transmembran regulator
Ini menurunkan viskositas mukus, memungkinkan untuk
transportasi lebih mudah dengan silia pernafasan. Pada percobaan
dalam model hewan, jangka pendek b-agonis dikaitkan dengan up
regulation clearance mukosiliar. Demikian pula , methylxanthines
15
meningkatkan mukosiliar tidak hanya melalui properti
bronchodilatory mereka tetapi juga dengan merangsang frekuensi
silia beat, menambah saluran napas, transport ion epitel untuk
meningkatkan lendir hidrasi dan mempromosikan sekresi lendir di
saluran udara lebih rendah. Studi klinis theophylline di CB telah
menunjukkan fungsi paru-paru meningkat tapi tidak ada perubahan
konsisten dalam batuk dan produksi sputum.
c. Long-Acting b-Adrenergic Receptor Agonists
Efek dari long-acting - b adrenergik agonis reseptor
(LABAs) pada fungsi mukosiliar telah dikaitkan dengan manfaatnya
efek pada fungsi paru-paru. LABAs juga mengurangi hiperinflasi
dan meningkatkan arus puncak ekspirasi, yang penting komponen
batuk. Bukti in vitro menunjukkan salmeterol yang dapat
merangsang ciliary beat frekuensi. Demikian pula, formoterol secara
signifikan meningkatkan bersihan mukosiliar dibandingkan dengan
plasebo pada pasien dengan bronchitis.
d. Anticholinergics
Antikolinergik yang bekerja pada reseptor muscarinic
dipercaya dapat membantu mukus clearance oleh peningkatan
diameter luminal dan dengan menurunkan permukaan dan
submukosa kelenjar sekresi musin. Mereka juga dipercaya untuk
memfasilitasi lendir batuk –induced clearance. Namun,
antikolinergik mungkin bisa mengeringkan saluran nafas dengan
depleting lendir permukaan saluran napas, sehingga membuat
pengeluaran dahak lebih sulit. In vivo , literatur tidak mendukung
penggunaan antikolinergik untuk pengobatan CB. Bromide
Ipratropium telah ditunjukkan untuk mengurangi kuantitas dan
tingkat keparahan batuk di bronchitics kronis namun tidak efektif
dalam meningkatkan pembersihan mukosiliar pada PPOK . Di
sebuah studi dari 470 pasien dengan FEV1 39 % diprediksi ,
tiotropium meningkatkan fungsi paru-paru, tetapi tidak
16
mempengaruhi gejala batuk. Dalam studi lain dari 39 pasien dengan
COPD , tiotropium berkurang jumlah batuk , tapi mukosiliar tidak
diperbaiki.5
e. Glucocorticoids
Ada bukti in vitro bahwa glukokortikoid mengurangi
peradangan dan produksi lendir. Dalam asma ,kortikosteroid inhalasi
menurunkan hiperplasia sel goblet. Deksametason juga telah terbukti
menurunkan epitel ekspresi gen musin gen MUC5AC di sel epitel
bronkial manusia. Mereka juga dapat mempercepat pembersihan
mukosiliar. Kortikosteroid inhalasi dapat mengurangi frekuensi
eksaserbasi dan meningkatkan kualitas -hidup skor pada PPOK.
f. Phosphodiesterase-4 Inhibitors
Phosphodiesterase - 4 ( PDE - 4 ) penghambatan
menurunkan peradangan dan membuat relaksasi otot polos saluran
napas dengan mencegah hidrolisis adenosin monofosfat siklik untuk
tidak aktif. Cilomilast dan roflumilast adalah second generation
sangat spesifik PDE - 4 inhibitor . Sebuah metaanalisis dari 23 acak
uji coba roflumilast atau cilomilast dibandingkan dengan placebo
menemukan bahwa pengobatan dengan inhibitor PDE - 4 hanya
sedikit meningkat FEV1 ( 45.59 ml , 95 % CI , 39,1-52,03 ) tetapi
mengurangi kemungkinan eksaserbasi ( OR , 0,78 , 95 % CI,0,72-
0,85). Roflumilast signifikan meningkatkan prebronchodilator FEV1
dan penurunan tingkat sedang sampai parah eksaserbasi dalam uji
coba secara acak pasien dengan COP . Dibandingkan dengan plasebo
, roflumilast menurun eksaserbasi sebesar 17 % ( 95 % CI , 8-25 % )
( 109 ) . Dalam dua uji coba 24 - minggu, 933 pasien dengan PPOK
sedang sampai berat secara acak ditugaskan untuk roflumilast
ditambah salmeterol atau salmeterol saja , dan 743 pasien secara
acak ditugaskan untuk roflumilast ditambah tiotropium atau
tiotropium saja. Jadi, pada bronkitis kronik PDE - 4 inhibitor
17
mungkin memainkan peran preventif dalam mencegah
perkembangan eksaserbasi pada pasien dengan CB dan COPD .
g. Antioksidan
Oksidan yaitu zat yang terdapat pada asap rokok dan udara
yang terpolusi mempunyai andil untuk terjadinya bronkitis kronik.
Anti oksidan melindungi dan mempertahankan paru dari
radikal-radikal anion superoksid, hidrogen peroksid, radikal
hidroksil dan anion hipohalida yang diproduksi oleh sel radang. Anti
oksidan dapat mengubah oksidan menjadi molekul yang tidak
berbahaya terhadap jaringan paru dan menekan efek radikal bebas
dari asap rokok. N-asetilsistein merupakan suatu antioksidan, yaitu
sumber glutation.
Pemberian N-asetilsistein pada perokok dapat mencegah
kerusakan parenkim paru oleh efek oksidan yang terdapat dalam
asap rokok. Di samping sebagai anti oksidan, obat ini bersifat
mukolitik yaitu mengencerkan sekret bronkus sehingga mudah
dikeluarkan. Pemberian N-asetilsistein selama enam bulan pada
penderita bronkitis kronik memberikan perbaikan dalam hal jumlah
sputum, purulensi sputum, banyaknya eksaserbasi dan lamanya hari
sakit secara bermakna.
h. Antibiotik
Terapi Antibiotik umumnya tidak diindikasikan untuk pasien
bronkitis kronik. Terapi macrolide telah Terbukti memiliki sifat anti
– inflamasi Dan mungkin memiliki Peran Dalam pengobatan
bronkitis kronik. Mereka telah Terbukti dapat menghambat sitokin
proinflamasi , menurunkan neutrofil Pecah , menghambat Migrasi
Dan peningkatan apoptosis, eosinophilic menurunkan peradangan,
meningkatkan Transportasi mukosiliar, mengurangi sel goblet
sekresi. Dan penurunan bronkokonstriksi.5
Daftar Pustaka
18
1. GOLD (Global Initiative for Chronic Obstructive Lung Disease), 2007.
Executive summary global strategy for the diagnosis, management, and
prevention of chronic obstructive pulmonary disease update 2007.
2. Muttaqin, Arif, 2008, Buku Ajar Asuhan Keperawatan Klien dengan
Gangguan Sistem Persarafan, Jakarta: Salemba Medika
3. Smeltzer, Suzanne C & Bare, Brenda G, 2002, Buku Ajar Keperawatan
Medikal Bedah Brunner & Suddarth, (Edisi 8), (Volume 3), Jakarta: Penerbit
Buku Kedokteran EGC
4. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI), 2003. Penyakit Paru Obstruktif
Kronik (PPOK): Pedoman Diagnosis & Penatalaksanaan di Indonesia.
Perhimpunan Dokter Paru Indonesia.
5. GOLD. 2013. Global Strategy For The Diagnosis, Management, And
Prevention Of Chronic Obstructive Pulmonary Disease. Global Initiative for
Cronic Obstruktive Lung Disease. (GOLD).
6. Leelarungrayub D. Chest Mobilization Techniques For Improving Ventilation
on Gas Exchange in Cronic Lung Disease, Cronic Obstructive Pulmonary
Disease, Departement of Physical Therapy, Faculty of Associated Medical
Sciences, Chiang Mai University. Thailand. 2012.
19