diabetes mellitus
DESCRIPTION
https://www.scribd.com/upload-document?archive_doc=175246018&escape=false&metadata={%22context%22%3A%22archive%22%2C%22page%22%3A%22read%22%2C%22action%22%3A%22toolbar_download%22%2C%22logged_in%22%3Atrue%2C%22platform%22%3A%22web%22}TRANSCRIPT
Diabetes Mellitus.Diabetes mellitus adalah kelainan sistemik yang bersifat kronis, yang saat ini telah menjadi
beban secara global karena semakin banyaknya penderita diabetes yang ada di seluruh dunia,
serta semakin lama semakin banyak diantara para penderita diabetes tersebut yang mengalami
komplikasi, sehingga membuat penderita tersebut berkurang kualitas hidupnya serta menjadi
beban bagi keluarganya. Sedangkan komplikasi yang terjadi pada para penderita diabetes
tersebut sebenarnya dapat kita hindari, sebenarnya penderita diabetes dapat hidup dengan
lebih baik sampai akhir hidupnya bila kita dapat memberikan pengobatan yang baik serta
penderita tersebut patuh pada pola hidup yang kita sarankan untuk dia terapkan dalam
kehidupannya sehari-hari.
Sebelum kita membahas lebih jauh tentang diabetes itu sendiri ada baiknya kita membahas
mengapa seseorang itu dapat menderita diabetes. Sebelum kita dapat memahami mengenai
penyakit diabetes kita perlu memahami dulu bagaimana cara energy dibuat dalam tubuh kita.
Metabolisme energy.
Metabolisme glukosa, lemak dan protein.
Metabolisme glukosa.
Glukosa merupakan suatu gugus karbon yang terdiri dari enam molekul karbon; glukosa
merupakan bahan bakar yang sangat efesien bila glukosa tersebut dimetabolime bersama
dengan oksigen, akan terpecah menjadi karbon dioksida dan air. Meskipun banyak dari jaringan
dan system organ yang mampu menggunakan energy yang berasal dari bentuk yang lainnya,
seperti asam lemak dan ketone, otak dan system syaraf sangat bergantung pada glukosa
sebagai sumber energy yang diperlukan untuk memenuhi kebutuhan bahan bakarnya. Karena
otak tidak mampu untuk mensintesis ataupun menyimpan lebih dari beberapa menit glukosa,
oleh karenanya untuk mempertahankan fungsi otak yang normal memerlukan suplay glukosa
yang terus menerus dari system sirkulasi. Suatu keadaan hipoglikemia yang lama dan berat
dapat menyebabkan terjadinya kematian otak, bahkan pada suatu hipoglikemia yang sedang
dapat menyebabkan terjadinya gangguan fungsi dari otak yang cukup berarti.
Jaringan tubuh kita mengambil glukosa yang diperlukannya dari dalam darah. Kadar glukosa
dalam darah biasanya menunjukkan perbedaan antara jumlah glukosa yang dilepaskan kedalam
sirkulasi oleh liver dan jumlah glukosa yang diambil dari dalam darah oleh sel-sel tubuh kita.
Glukosa dicerna dari makanan yang kita makan sehari-hari dan diangkut dari saluran cerna,
melalui vena porta, ke liver sebelum masuk ke system peredaran darah kita. Liver memiliki
fungsi iuntuk mengatur keseimbangan dari glukosa melalui tiga macam proses:
1. Sintesa glikogen (glycogenesis).
2. Pemecahan glikogen (glycogenolysis).
3. Pembentukkan dari glukosa dari sumber non karbohidrat (gluconeogenesis).
Bila kadar gula darah dalam tubuh kita meningkat, maka gula yang ada dalam darah tersebut
akan diambil oleh hati dan diubah menjadi glikogen, yang merupakan bentuk glukosa yang
dapat disimpan dalam jangka waktu pendek. Bila kadar gula dalam darah menurun, simpanan
glikogen yang terdapat dalam liver tersebut akan dipecahkan menjadi glukosa dan dilepaskan
kembali kedalam aliran darah. Meskipun otot rangka kita dapat turut menyimpan glikogen,
akan tetapi karena otot rangka tidak memiliki enzim glukosa 6 phospatase yang membuat
glukosa dapat dipecah dalam bentuk yang lebih sederhana sehingga dapat melewati membrane
sel dan masuk kedalam sirkulasi darah, sehingga membatasi penggunaan dari glikogen pada sel-
sel otot. Selain dari untuk tempat penyimpanan dari glikogen, liver juga dapat mensintesa
glukosa dari sumber non karbohidrat seperti asam amino, asam laktat, dan bagian gliserol dari
trigliserid. Glukosa yang masuk dalam tubuh ini tersimpan dalam bentuk glikogen dan dapat
dilepaskan secara langsung kedalam sirkulasi darah.
Metabolisme lemak.
Lemak merupakan suatu cara penyimpanan bahan bakar tubuh kita yang paling efesien. Lemak
akan menghasilkan energy sebesar 9 kkal/gram, dibandingkan dengan energy yang tersimpan
dari karbohidrat hanya sebesar 4 kkal/gram dan protein. Sekitar 40% dari kalori yang
dibutuhkan oleh seorang di Amerika yang normal didapatkan dari lemak yang berasal dari
makanan, yang hampir sama dengan jumlah kalori yang didapatkan dari pembakaran
karbohidrat. Oleh karenanya, penggunaan lemak sebagai sumber energy dari tubuh kita sama
pentingnya dengan penggunaan karbohidrat sebagai sumber energy. Sebagai tambahan,
banyak karbohidrat yang dikonsumsi kita sehari-hari akan dirubah menjadi trigliserid untuk
disimpan pada jaringan lemak. Trigliserid mengandung tiga macam gugusan asam lemak yang
dihubungkan dengan molekul gliserol. Mobilisasi dari asam lemak yang akan digunakan sebagai
sumber energy di fasilitasi oleh enzim (lipase) yang akan memecah trigliserid menjadi molekul
gliserol dan tiga macam gugus asam lemak. Molekul dari gliserol akan dapat memasuki jalur
glikolitik sehingga dapat digunakan bersama dengan glukosa untuk menghasilkan energy, atau
gliserol itu dapat juga digunakan untuk membentuk glukosa. Asam lemak kemudian akan
diangkut ke jaringan dimana mereka akan digunakan sebagai sumber energy. Hampir semua
sel-sel yang ada dalam tubuh kita kecuali jaringan otak dan sel-sel darah merah, dapat
menggunakan asam lemak secara fleksibel dengan glukosa untuk menghasilkan energy.
Meskipun banyak dari sel-sel dalam tubuh kita yang dapat menggunakan asam lemak sebagai
sumber energy, asam lemak ini tidak dapat dirubah menjadi glukosa yang dapat digunakan
sebagai energy dari jaringan sel otak. Sebagian besar dari degradasi awal pada asam lemak akan
terjadi di liver, terutama sekali bila terdapat asam lemak yang dibakar dalam jumlah besar
untuk dijadikan energy. Liver hanya menggunakan sebagian kecil dari asam lemak itu sendiri
untuk memenuhi kebutuhan energinya; liver akan mengubah sebagian besar dari asam lemak
tersebut menjadi keton dan melepaskan benda keton tersebut ke dalam aliran darah. Pada
keadaan menunjukkan kepada kita terjadi pemecahan lemak yang hebat, seperti yang terjadi
pada penderita diabetes mellitus dan mereka yang melakukan puasa, sejumlah besar benda
keton akan dilepaskan ke dalam aliran darah. Karena benda keton ini merupakan suatu asam
organic, maka mereka akan menyebabkan terjadinya suatu ketoasidosis bila benda keton ini
terdapat dalam jumlah yang besar dalam darah kita.
Metabolisme protein.
Hampir ¾ dari berat tubuh terdiri dari protein. Protein sangat penting untuk pembentukkan
semua struktur dalam tubuh kita, termasuk gen, enzim, dan struktur yang mampu berkontraksi
pada otot, bahan dari tulang, dan hemoglobin pada sel darah merah.
Asam amino merupakan komponen yang membentuk protein. Sejumlah besar dari asam amino
dapat kita temukan dalam bentuk protein. Tidak seperti glukosa dan asam lemak, hanya ada
sedikit tempat yang mampu menyimpan kelebihan asam amino di dalam tubuh kita. Sebagian
besar dari asam amino yang ada terdapat dalam bentuk protein. Kelebihan dari asam amino
pada mereka setelah disintesis menjadi protein dirubah kedalam bentuk asam lemak, ketone,
atau glukosa dan kemudian disimpan atau digunakan sebagai bahan bakar untuk melakukan
metabolisme dalam tubuh kita. Karena asam lemak tidak dapat dirubah menjadi glukosa, tubuh
kita harus memecah protein dan menggunakan asam amino yang dihasilkan pada pemecahan
protein tersebut sebagai bahan utama untuk glukoneogenesis pada saat dimana metabolisme
tubuh kita memerlukan bahan makanan yang sangat banyak untuk memenuhi kebutuhan
metabolisme tersebut.
Pengendalian gula darah secara hormonal.
Pengendalian gula darah secara hormonal sangat bergantung pada fungsi endokrin yang
terdapat pada pancreas. Pancreas terdiri dari dua macam jaringan utama yaitu acini dan pulau-
pulau dari Langerhans. Acini berfungsi untuk mensekresikan suatu cairan pencernaan kedalam
duodenum, dan pulau-pulau Langerhans berfungsi untuk mensekresikan hormone yang
berfungsi untuk meregulasikan glukosa kedalam aliran darah. Setiap pulau-pulau Langerhans
terdiri dari sel-sel beta yang akan menghasilkan insulin, sel-sel alpha yang akan menghasilkan
glucagon, dan sel-sel delta yang menghasilkan somatostatin. Insulin berfungsi untuk
menurunkan konsentrasi dari glukosa pada darah dengan cara meningkatkan pergerakkan
glukosa dari dalam darah kedalam sel jaringan tubuh. Glucagon berfungsi untuk
mempertahankan glukosa darah dengan cara meningkatkan pelepasan dari glukosa dari liver
kedalam aliran darah. Somatostatin berfungsi untuk menghambat pelepasan insulin dan
glucagon. Selain dari itu somatostatin berfungsi juga untuk menurunkan aktifitas dari
gastrointestinal setelah kita mengkonsumsi makanan. Dengan penghambatan aktifitas dari
gastrointestinal setelah kita makan, maka somatostatin menyebabkan makanan yang kita
makan lebih lama diabsorbsi ke dalam darah, dan dengan menghambat produksi dari insulin
dan glucagon, maka akan memperpanjang kemampuan penggunaan nutrisi yang kita serap
pada sel-sel jaringan tubuh kita.2
Insulin.
Meskipun terdapat beberapa hormone yang kita ketahui dapat meningkatkan kadar glukosa
dalam daran, insulin adalah satu-satunya hormone yang diketahui memiliki efek secara
langsung pada penurunan kadar gula darah. Mekanisme kerja dari insulin terdiri dari 3 macam:
1. Meningkatkan uptake dari glukosa pada target sel dan menyediakan glukosa untuk
dapat disimpan sebagai glikogen.
Gambar 1. Struktur molekul proinsulin, dimana rangkaian ini akan menjadi insulin yang aktif dengan hilangnya peptide yang menghubungkan rantai (C-peptide).
2. Pencegah pemecahan dari lemak dan glikogen, serta menghambat terjadinya
glukoneogenesis.
3. Meningkatkan sintesis dari protein.
Insulin berfungsi untuk meningkatkan penyimpanan dari lemak dengan meningkatkan transport
dari glukosa kedalam sel lemak. Juga akan meningkatkan sintesis trigliserid dari glukosa dalam
sel lemak dan menghambat terjadinya pemecahan protein serta meningkatkan sintesis dari
protein dengan cara meningkatkan transport secara aktif dari asam amino kedalam sel. Insulin
juga memiliki kemampuan untuk menghambat terjadinya glukoneogenesis, atau membuat
glukosa dari sumber-sumber lainnya yang ada dalam tubuh, terutama dari asam amino. Bila
glukosa yang tersedia mencukupi kebutuhan tubuh, dan terdapat insulin yang mencukupi,
pemecahan protein yang terjadi adalah minimal karena tubuh kita akan menggunakan dahulu
glukosa yang ada dan juga asam lemak sebagai sumber bahan bakar tubuh. Pada anak-anak dan
remaja insulin diperlukan untuk pertumbuhan normal dan perkembangan tubuh dari anak-anak
dan remaja.
Sintesa insulin dan pelepasan insulin.
Insulin dibuat oleh sel-sel beta
yang terdapat di pulau-pulau
Langerhans. Bentuk aktif dari
hormone tersebut terdiri dari dua
buah rantai polipeptida – yaitu
rantai A dan rantai B. Insulin
dalam bentuk aktif dibentuk
dalam sel-sel beta dari molekul
yang berukuran besar yang kita
sebut dengan proinsulin. Untuk
mengubah proinsulin menjadi
insulin, enzim yang terdapat pada
sel beta akan memecah Gambar 2. Efek insulin terhadap metabolisme glukosa, lemak, dan protein
proinsulin pada tempat yang spesifik sehingga membentuk dua bahan yang berbeda; suatu
insulin aktif dan suatu bahan yang secara biologis tidak aktif yang menghubungkan rantai
peptide (C-peptide) yang menghubungkan rantai A dan rantai B sebelum mereka menjadi
terpisah. Insulin aktif dan rantai C-peptide yang inaktif disatukan dalam suatu kesatuan kedalam
suatu granule sekretorius dan dilepaskan secara simultan dari sel-sel beta. Rantai C-peptide
dapat kita ukur secara klinis, dan pengukuran tersebut dapat digunakan untuk menilai aktifitas
dari sel beta. Sebagai contoh, insulin yang disuntikkan dari luar pada mereka yang memiliki
diabetes tipe 2 hanya akan menghasilkan sedikit atau tanpa adanya rantai C-peptide, dimana
bila pada insulin endogen yang disekresikan oleh sel beta akan diikuti oleh sekresi rantai C-
peptide.
Pelepasan insulin dari sel-sel beta pada pancreas diatur oleh kadar gula darah, peningkatan
kadar dari insulin akan sejalan dengan terjadinya peningkatan dari kadar gula darah dan
penurunan kadar gula darah akan menurunkan kadar insulin pula. Sekresi dari insulin terjadi
secara osilatory atau secara bertahap. Setelah terjadi pemaparan terhadap glukosa, fase
pertama dari simpanan insulin yang telah terbentuk sebelumnya akan masuk kedalam system
sirkulasi, yang kemudian akan diikuti oleh fase kedua dari pelepasan insulin yang merupakan
insulin yang baru terbentuk oleh sel beta. Kadar insulin dalam serum akan segera meningkat
dalam beberapa menit setelah kita makan, yang akan mencapai puncaknya dalam 3 sampai 5
menit, dan kemudian akan turun kembali ke tingkat awal dalam waktu 2 sampai 3 jam.
Insulin yang disekresikan oleh sel-sel beta akan masuk kedala sirkulasi portal dan masuk secara
langsung kedalam liver, dimana hampir 50% dari insulin tersebut akan digunakan atau
dipecahkan. Insulin, biasanya akan cepat berikatan di jaringan perifer atau dirusakkan oleh liver
atau ginjal, insulin memiliki waktu paruh mencapai 15 menit setelah dilepaskan ke system
sirkulasi tubuh kita.
Insulin reseptor dan efek dari target sel.
Untuk dapat menimbulkan efek pada target jaringan, insulin harus berikatan pada jaringan
tersebut dan mengaktifasi reseptor pada membrane sel. Reseptor membran yang teraktifasi
tersebut akan menyebabkan terjadinya efek dari insulin.2 Reseptor insulin ini merupakan
kombinasi dari 4 buah subunit
– Subunit α yang berukuran
besar akan terdapat di luar
membrane sel dan terlibat
secara langsung pada
pengikatan dari molekul insulin
dan subunit β yang lebih kecil
terutama terdapat pada bagian
dalam dari membrane sel yang
mengandung enzim kinase
yang akan teraktifasi pada saat
terjadi pengikatan terhadap
insulin pada membrane sel.
Aktifasi dari enzim kinase
tersebut akan menghasilkan terjadinya fosforilasi dari subunit β, yang pada akhirnya akan
menyebabkan terjadinya aktifasi dari beberapa macam enzim serta menginaktifasi beberapa
enzim yang lainnya, oleh karenanya efek yang diinginkan pada intraseluler karena insulin pada
metabolisme glukosa, lemak dan protein dapat terjadi.
Glucose transporter.
Gambar 3. Respon biphasic insulin terhadap stimulus glukosa yang terus menerus. Titik puncak yang pertama terjadi 3 sampai 5 menit; puncak ke 2 mulai dari 2 menit dan terus akan mengalami peningkatan secara perlahan sampai setidaknya selama 60 menit atau sampai stimulus hilang. (Dari: Ward W.K., Beard J.C., Halter J.B., Pfeifer M.A., Porte D.Jr. (1984). Pathology of insulin secretion in non-insulin-dependent diabetes mellitus. Diabetes Care 7, 491 – 502.)
Karena membrane sel merupakan suatu membrane yang impermeable terhadap glukosa, untuk
glukosa dapat menembus membrane sel diperlukan carrier khusus, yang disebut sebagai
glucose transporter, untuk mengangkut glukosa dari darah ke dalam sel. Dalam beberapa detik
setelah insulin berikatan dengan reseptor membrane sel, maka akan terjadi peningkatan
sebesar 80% dari membrane jaringan tubuh tersebut terhadap uptake glukosa yang terdapat
dalam darah yang disebabkan glucose transporter ini. Hal ini terutama terjadi pada otot rangka
dan jaringan lemak. Beberapa penelitian yang telah dilakukan untuk meneliti glucose
transporter ini mereka menamakan transporter ini dengan Glut-1, Glut-2, dan selanjutnya.3
Glut-4 merupakan suatu transporter glukosa yang bergantung terhadap insulin terutama pada
otot rangka dan jaringan lemak. Glucose transporter ini terdapat didalam membran sel dan juga
tidak dapat berfungsi sebagai glucose transporter sampai mendapatkan signal dari insulin yang
menyebabkan terjadinya pergerakkan dari posisi inaktifasinya pada membran sel, dimana
glucose transporter ini memfasilitasi masuknya glukosa ke dalam sel. Glut-2 merupakan
transporter utama dari glukosa ke dalam sel-sel beta dan sel-sel liver. Dimana Glut-2 ini
memiliki afinitas yang rendah terhadap glukosa dan bekerja sebagai transporter bila kadar
Gambar 4. Insulin reseptor, dimana insulin beriksatan dengan reseptor insulin, yang akan meningkatkan transport glukosa dan menyebabkan terjadinya autophosphorilasi dari subunit β dari reseptor, yang akan menyebabkan terjadinya aktifitas dari tyrosine kinase. Phosphorilasi tyrosine pada akhirnya akan mengaktifasi proses beruntun yang terjadi didalam sel pada protein yang memediasi efek insulin terhadap metabolisme pada glukosa, lemak, dan protein.
glukosa dalam plasma relatif tinggi, seperti pada saat setelah makan. Glut-1 terdapat pada
semua sel jaringan. Glut-1 tidak memerlukan rangsangan dari insulin dan merupakan
transporter glukosa yang penting pada system syaraf.
Glukagon.
Glucagon, merupakan suatu molekul polipeptida yang diproduksi oleh sel-sel alpha dari pulau
Langerhans, yang akan mempertahankan kadar gula darah antara saat makan dan saat kita
melakukan puasa. Seperti juga insulin, glucagon akan ada dalam aliran darah melalui vena porta
masuk ke dalam liver, dimana akan melakukan pekerjaan utamanya disana. Tidak seperti
insulin, glucagon menghasilkan terjadinya suatu peningkatan dari kadar gula darah. Efek yang
paling hebat dari glucagon adalah kemampuannya untuk memulai suatu glikogenolisis atau
pemecahan dari glikogen yang terdapat pada liver yang akan meningkatkan kadar gula darah,
biasanya dalam waktu beberapa menit. Karena glikogen yang tersimpan dalam liver ada dalam
jumlah yang terbatas, glukoneogenesis sangat penting untuk mempertahankan kadar gula
darah sepanjang waktu. Glucagon juga akan meningkatkan transport dari asam amino kedalam
liver dan menstimulasi koversi asam amino tersebut menjadi glukosa. Seperti juga yang terjadi
dengan insulin, sintesis dari glukagon dan sekresi dari glukagon tersebut diatur oleh kadar gula
darah. Terjadinya penurunan dari kadar konsentrasi gula darah sampai pada kadar hipoglikemia
akan menyebabkan terjadinya suatu peningkatan secara cepat dari sekresi glukagon, dan pada
saat terjadinya peningkatan kadar gula darah sampai dengan kadar hiperglikemia akan
menyebabkan terjadinya penurunan dari sekresi glukagon. Konsentrasi yang tinggi dari asam
amino, seperti yang terjadi pada saat kita mengkonsumsi makanan yang mengandung protein,
juga dapat menstimulasi sekresi dari glukagon. Dengan cara ini, peningkatan kadar glukagon
akan meningkatkan terjadinya konversi dari asam amino menjadi glukosa sebagai usaha tubuh
kita untuk mempertahankan kadar gula darah dalam tubuh. Kadar glukagon juga akan
meningkat pada saat kita melakukan olah raga yang berat, hal ini terjadi sebagai usaha tubuh
kita untuk mencegah terjadinya penurunan kadar gula darah.
Hormon lainnya yang mempengaruhi gula darah.
Hormone-hormon lainnya dapat mempengaruhi kadar gula darah termasuk disini adalah
katekolamin, growth hormone, dan glukokortikoid. Hormone-hormon ini kadangkala kita sebut
dengan hormone-hormon counter regulasi karena hormone-hormon tersebut menghalangi
fungsi penyimpanan yang dimiliki oleh insulin dalam usaha untuk mengatur kadar gula darah
pada saat berpuasa, berolah raga, dan keadaan lainnya yang membatasi asupan glukosa atau
dapat menghabiskan cadangan glukosa yang ada di dalam tubuh kita.
Katekolamin.
Hormone katekolamin (epinephrine dan norepinephrine) membantu untuk mempertahankan
kadar gula darah pada saat kita mengalami stress fisik. Epinephrine berfungsi untuk
menghambat pelepasan insulin dan meningkatkan terjadinya glikogenolisis dengan
menstimulasi konversi yang terjadi pada glikogen yang terdapat di otot dan liver menjadi
glukosa. Glikogen dari otot tidak dapat dilepaskan ke dalam aliran darah dalam bentuk
glikogen; akan tetapi, mobilisasi dari simpanan glikogen pada otot ini untuk digunakan untuk
mempertahankan kadar gula darah jaringan lain seperti otak dan system jaringan syaraf. Pada
saat kita melakukan olah raga atau mendapatkan stress pada fisik dalam bentuk yang lainnya,
epinephrine ini akan menghambat pelepasan dari insulin pada sel-sel beta sehingga akan
menurunkan perpindahan glukosa kedalam sel-sel otot. Hormone katekolamin juga akan
meningkatkan aktifitas dari lipase sehingga akan terjadi peningkatan dari mobilisasi asam
lemak, suatu proses yang bertujuan untuk mempertahankan kadar glukosa. Efek peningkatan
kadar glukosa darah dari epinephrine merupakan suatu mekanisme homeostatis yang penting
pada saat terjadi hipoglikemia pada para pasien diabetes yang diberikan pengobatan dengan
menggunakan insulin.
Growth hormone.
Growth hormone memiliki berbagai efek metabolisme. Growth hormone dapat meningkatkan
sintesis protein pada semua sel-sel dalam tubuh kita, memobilisasi asam lemak dari jaringan
lemak, dan memiliki efek antagonis terhadap insulin. Hormone pertumbuhan akan menurunkan
uptake dan penggunaan dari glukosa, sehingga akan meningkatkan kadar dari gula darah.
Peningkatan dari kadar gula darah ini akan menstimulasi kembali sekresi insulin pada sel-sel
beta pancreas. Sekresi hormone pertumbuhan ini normalnya akan dihambat oleh insulin dan
bila disekresikan akan meningkatkan kadar gula darah. Pada saat kita berpuasa, dimana pada
saat tersebut terjadi penurunan dari baik kadar gula darah maupun juga kadar insulin yang
terdapat dalam darah, hormone pertumbuhan ini akan meningkat kadarnya dalam darah. Olah
raga, seperti berlari dan bersepeda, dan berbagai macam stress pada tubuh, termasuk juga
pemberian anesthesia, demam, dan trauma akan meningkatkan kadar hormone pertumbuhan.
Hipersekresi dari hormone pertumbuhan secara kronis, seperti yang terjadi pada suatu kondisi
yang kita sebut dengan acromegaly, dapat menyebabkan terjadinya suatu glucose intolerance
dan menyebabkan terjadinya suatu diabetes mellitus. Pada anak-anak yang telah menderita
diabetes, biasanya dapat terjadi sedikit peningkatan dari kadar hormone pertumbuhan yang
terjadi pada saat pertumbuhan dapat menyebabkan terjadinya gangguan dari berbagai sisi dari
metabolisme yang berhubungan dengan regulasi yang buruk, meskipun kita telah memberikan
terapi insulin secara optimum.
Hormone glukokortikoid.
Hormone glukokortikoid, yang dibuat di cortex adrenal bersamaan dengan hormone
kortikosteroid lainnya, penting untuk kemapuan kita bertahan pada saat puasa dan kelaparan.
Hormone-hormon ini akan menstimulasi glukoneogenesis oleh liver, dan kadang kala juga akan
menghasilkan peningkatan 6 sampai 10 kali lipat produksi glukosa pada hepar. Hormone-
hormon glukokortikoid ini juga akan memiliki efek penurunan konsumsi glukosa pada jaringan
perifer. Pada orang-orang tertentu, terjadinya peningkatan secara lama dari kadar hormone
glukokortikoid dapat menyebabkan terjadinya suatu hiperglikemia dan menyebabkan orang
tersebut menderita diabetes mellitus. Pada mereka yang menderita diabetes mellitus, bahkan
peningkatan yang sangat sedikit sekali pada kortisol dapat mempersulit kita untuk
mengendalikan kadar gula darah.
Terdapat beberapa macam hormone steroid yang memiliki efek aktifitas glukokortikoid;
diantara hormone tersebut yang paling penting adalah kortisol, yang merupakan hormone yang
paling bertanggung jawab terhadap aktifitas glukokortikoid karena 95% dari efek glukokortikoid
disebabkan oleh hormone ini. Kadar kortisol ini akan meningkat pada saat kita mengalami
stress, seperti pada saat kita mengalami infeksi, nyeri, trauma, pembedahan, kerja keras yang
lama atau latihan fisik yang berat, dan juga ketegangan psikis yang tiba-tiba. Hipoglikemia
merupakan suatu stimulus yang poten terhadap sekresi dari kortisol.
Diabetes Mellitus.
Istilah diabetes diambil dari bahasa yunani yang berarti “melalui” dan mellitus diambil dari
bahasa latin yang berarti “madu” atau “manis”. Laporan tentang kelainan ini dapat kita lacak
sampai dengan 1 abad sebelum masehi, ketika Aretaeus dari Cappadocian diceritakan memiliki
kelainan yang disebut sebagai kelainan kronis yang ditandai dengan rasa haus yang hebat dan
minum terus menerus, kencing yang berasa manis seperti madu: “Dagingnya meleleh ke dalam
urine”. Baru pada saat penemuan insulin oleh Banting dan Best pada tahun 1922 yang
mengubah penyakit yang dulunya fatal menjadi suatu masalah kesehatan kronis yang dapat
ditanggulangi.4
Diabetes merupakan kelainan yang terjadi pada metabolisme karbohidrat, protein, dan lemak
yang dihasilkan oleh ketidak stabilan antara kesediaan insulin dan kebutuhan insulin. Kelainan
ini dapat kita lihat sebagai suatu kekurangan insulin yang absolute, gangguan pelepasan insulin
oleh sel-sel beta pada pancreas, kurangnya atau rusaknya insulin reseptor, atau produksi dari
insulin yang masih merupakan suatu insulin tidak aktif atau insulin produksi akan tetapi
mengalami kerusakkan sebelum insulin tersebut mampu melakukan tugasnya di jaringan
perifer. Seseorang dengan suatu diabetes yang tidak terkendali tidak dapat mengangkut
glukosa kedalam sel-sel lemak dan sel-sel otot; sebagai akibatnya, sel-sel tubuh tersebut akan
mengalami kekurangan gizi, dan pemecahan lemak dan protein yang terjadi akan meningkat.
Klasifikasi dan etiologi.
Meskipun diabetes mellitus sudah jelas merupakan kelainan dari kesediaan insulin yang ada
dalam tubuh kita, akan tetapi diabetes mellitus ini mungkin saja bukan satu-satunya penyakit
yang diderita oleh orang yang menderita diabetes mellitus. Suatu system pembagian dari
diabetes yang telah diperbaiki yang dibuat pada tahun 1997 oleh Expert Committee on the
Diagnosis and Classification of Diabetes Mellitus.5 Sistem yang telah diperbaiki secara intensif,
yang menggantikan system klasifikasi pada tahun 1979, bertujuan untuk menghindarkan suatu
system klasifikasi yang berfokus pada tipe pengobatan farmakologis yang digunakan pada
manajemen diabetes ke suatu klasifikasi yang berbasis pada etiologi dari diabetes mellitus itu
sendiri. System yang diperbaiki ini tetap menyebutkan tipe 1 dan tipe 2 dari diabetes, akan
tetapi juga menggunakan cara penomeran secara arab bukan secara romawi, dan
menghilangkan istilah yang digunakan sebagai “insulin dependent” dan “non insulin dependent”
diabetes mellitus. Diabetes tipe 1 adalah disebabkan karena pengrusakkan dari sel-sel beta
pancreas yang terutama terjadi pada proses gangguan autoimmune. Diabetes tipe 2 merupakan
tipe diabetes yang lebih sering dan disebabkan karena terjadinya resistensi insulin, termasuk
dalam klasifikasi ini adalah diabetes mellitus pada kehamilan (GDM Gestational Diabetes
Mellitus, diabetes yang muncul pada saat kehamilan) dan tipe diabetes lainnya yang spesifik,
banyak diantaranya yang muncul karena kondisi lainnya (misalnya pada Cushing’s syndrome,
pancreatitis, acromegaly).
System klasifikasi yang telah diperbaiki ini juga memasukkan suatu system untuk melakukan
diagnosis diabetes berdasarkan dari tingkatan intoleransi pada glukosa.5 Kriteria yang telah
diperbaiki ini juga tetap mempertahankan kategori yang dulunya disebut sebagai suatu
gangguan toleransi glukosa (Impaired Glucose Tolerance (IGT)) dan ditambahkan suatu kategori
baru yaitu gangguan gula darah puasa (Impaired Fasting Blood Glucose (IFG)). Kategorisasi dari
IFG dan IGT ini menunjukkan suatu tingkatan pada system metabolisme yang berada ditengah-
tengah antara normal homeostasis glukosa dan diabetes. Suatu kadar gula darah puasa yang
mencapai 110 mg/dL atau kurang atau suatu kadar yang lebih rendah dari 140 mg/dL setelah 2
jam pemberian test glukosa secara oral dapat kita anggap sebagai normal. IFG didefinisikan
sebagai suatu keadaan gula darah puasa mencapai 110 mg/dL atau lebih akan tetapi kurang
dari 126 mg/dL. IGT menunjukkan suatu pengukuran kadar gula darah yang tidak normal (≥ 140
mg/dL tetapi < 200 mg/dL) setelah 2 jam pemberian loading glukosa secara oral.5 Setiap tahun,
hampir 5% dari mereka yang menderita IFG dan IGT mengalami progresifitas menjadi diabetes.
IFG dan IGT berhubungan erat dengan peningkatan resiko terajadinya atherosclerotic yang
menyebabkan terjadinya penyakit jantung. Pembatasan kalori dan penurunan berat badan
merupakan suatu hal yang sangat penting pada mereka yang kelebihan berat badan yang
menderita IFG dan IGT.6
Diabetes Mellitus tipe 1.
Diabetes tipe 1 disebabkan oleh kerusakkan sel-sel beta dan kekurangan insulin. Dimana
merupakan penyakit yang disebabkan oleh kelainan imunitas (tipe 1A) dimana diderita oleh
90% dari kasus dan tipe yang idiopatik (tipe 1B) pada kurang dari 10% kasus. Diabetes tipe 1,
yang dulunya sering disebut dengan juvenile diabetes, lebih sering terjadi pada orang muda
akan tetapi dapat juga terjadi pada setiap golongan umur. Tingkat kerusakkan dari sel beta
sangat beragam, dapat sangat cepat pada beberapa pasien ataupun juga dapat sangat lambat
pada beberapa orang yang lainnya. Bentuk kerusakkan yang mengalami progresifitas secara
cepat sering dapat kita temukan pada anak-anak akan tetapi dapat pula kita temukan pada
orang dewasa. Bentuk progresifitas kerusakkan yang lambat biasanya terjadi pada orang
dewasa dan kadang kala kita sebut sebagai suatu latent autoimmune diabetes in adults. Di
Amerika Serikat dan Eropa, hampir 10% dari mereka yang menderita diabetes mellitus
menderita tipe 1 diabetes mellitus.
Diabetes tipe 1 merupakan suatu kelainan yang bersifat katabolis dimana insulin yang beredar
dalam darah hampir sama sekali tidak ada, kadar glukagon akan meningkat, dan sel-sel beta
pancreas gagal untuk merespon terhadap semua stimuli yang merangsang produksi insulin.
Salah satu fungsi dari insulin adalah penghambatan dari lipolisis (pemecahan lemak) dan
pelepasan dari asam lemak (FFA (free fatty acid)) dari sel-sel lemak. Pada keadaan dimana tidak
terdapatnya insulin, maka akan muncul keadaan yang kita sebut dengan ketosis yang
disebabkan oleh pelepasan asam lemak dari sel-sel lemak tubuh dan dirubah menjadi ketoacid
di dalam liver. Karena hilangnya fungsi dari sel beta dan terjadinya kekurangan insulin yang
benar-benar lengkap, mereka yang menderita diabetes tipe 1A memerlukan pemberian insulin
dari luar untuk membalikkan kembali keadaan katabolic yang terjadi, untuk mengendalikan
kadar gula darah dan mencegah terjadinya ketosis.
Diabetes tipe 1 diduga disebabkan karena suatu predisposisi genetic (dalam hal ini gen
diabetogenik), suatu kejadian tertentu yang mentriger diabetes tersebut secara hipotesis yang
melibatkan factor lingkungan sehingga menyebabkan terjadinya suatu respon immune dan
produksi dari autoantibody yang akan menghancurkan sel-sel beta. Autoantibody ini dapat
bertahan didalam badan selama beberapa tahun sebelum terjadinya suatu onset hiperglikemia.
Suatu leukosit pada manusia yang mewariskan antigen (HLA (Human Leucocyte Antigen))
berhubungan sangat erat dengan perkembangan diabetes tipe 1. Hampir sekitar 95% dari
mereka yang menderita diabetes memiliki salah satu dari HLA-DR3 atau HLA-DR4. Kenyataan
bahwa diabetes tipe 1 disebabkan oleh hasil interaksi antara genetic dan factor lingkungan
telah menyebabkan ditelitinya metode untuk mencegah dan pengendalian seawal mungkin dari
penyakit diabetes ini. Metode ini termasuk diantaranya adala identifikasi secara genetic mereka
yang rentan terhadap diabetes dan intervensi seawal mungkin pada mereka yang baru saja di
diagnosis diabetes tipe 1. Setelah diagnosis diabetes tipe 1 kita tegakkan, sering terjadi proses
regenerasi dari sel beta dalam beberapa saat setelah diagnosis kita tegakkan, pada saat ini
gejala dari diabetes akan menghilang dan suntikkan insulin mungkin tidak kita perlukan lagi.
Kejadian ini kita sebut dengan honeymoon period. Intervensi secara immunologis dirancang
untuk menghentikan pengrusakkan dari sel-sel beta sebelum orang yang menderita gangguan
immunitas ini menjadi diabetes tipe 1 masih diteliti terus menerus saat ini pada Diabetes
Prevention Trial, yang terus mencoba untuk menemukan cara mencegah kegagalan sel-sel beta
secara lengkap dan irreversible.
Diabetes mellitus tipe 2.
Diabetes mellitus tipe 2 didefinisikan sebagai suatu kondisi dimana terjadi hiperglikemia pada
gula darah puasa yang terjadi meskipun didalam darah sudah terdapat insulin. Sebagai
perbandingan dengan diabetes tipe 1, diabetes tipe 2 tidak berhubungan dengan marker HLA
atau autoantibody. Sebagian besar mereka yang menderita diabetes tipe 2 adalah mereka yang
memiliki kelebihan berat badan dan biasanya berusia lanjut. Kelainan metabolisme yang
menghasilkan suatu keadaan hiperglikemia pada mereka yang menderita diabetes tipe 2 dapat
disebabkan oleh hal-hal dibawah ini:
Gangguan dari sekresi insulin.
Resistensi perifer terhadap insulin yang diproduksi.
Terjadinya peningkatan produksi glukosa pada hepar.
Resistensi insulin pada
awalnya akan menstimulasi
sekresi insulin pada sel-sel
beta pada pancreas sehingga
produksi yang dihasilkan oleh
sel-sel beta tersebut dapat
memenuhi peningkatan dari
kebutuhan hormone insulin
untuk dapat
mempertahankan keadaan
normoglikemia pada darah.
Pada suatu waktu, respon
sekresi hormone insulin pada
sel-sel beta pancreas akan
menurun karena terjadi keletihan pada sel-sel beta pancreas tersebut setelah secara terus
menerus didorong untuk memproduksi insulin dalam jumlah yang besar. Hal ini akan
menyebabkan terjadinya peningkatan kadar gula darah pada postprandial (setelah makan).
Pada perjalanan dari penyakit, seseorang dengan diabetes tipe 2 tidak menghasilkan insulin
dengan jumlah yang mencukupi karena terjadi kegagalan dari sel-sel beta pada pancreas.
Karena pada mereka yang menderita diabetes tipe 2 tidak mengalami kekurangan insulin yang
absolute, mereka tidak terlalu rentan untuk mengalai ketoasidosis dibandingkan mereka yang
menderita diabetes tipe 1. Juga didapatkan bukti bahwa resistensi insulin yang terjadi tidak
hanya menyebabkan terjadinya hiperglikemia pada mereka yang menderita diabetes tipe 2,
tetapi juga memegang peranan dalam kelainan metabolisme lainnya yang mereka alami. Dalam
hal ini termasuk tingginya kadar dari trigliserid dalam plasma, rendahnya kadar high density
lipoprotein, hipertensi, dan terjadinya fibrolisis yang abnormal, dan penyakit jantung koroner.
Gabungan kelainan ini sering disebut dengan sindroma resistensi insulin, sindroma X, atau juga
metabolic syndrome.7
Hampir 80% dari mereka yang menderita diabetes tipe 2 mengalami overweight.8 Terdapatnya
obesitas dan tipe dari obesitas yang terjadi penting untuk menjadi pertimbangan kita terhadap
terjadinya diabetes tipe 2. Telah kita ketahui bahwa mereka yang memiliki obesitas pada bagian
tubuh atas memiliki resiko yang lebih besar untuk menderita diabetes tipe 2 dibandingkan
dengan mereka yang memiliki obesitas pada bagian bawah tubuh. Mereka yang mengalami
obesitas akan mengalami peningkatan resistensi terhadap aktifitas insulin dan mengalami
gangguan terhadap supresi produksi glukosa pada liver, sehingga kesemuanya akan
menghasilkan terjadinya hiperglikemia dan hiperinsulinemia. Peningkatan terhadap resistensi
insulin terutama disebabkan terjadinya peningkatan dari lemak visceral (intraabdominal) yang
dapat kita deteksi dengan menggunakan CT scan.9 Sebagai tambahan terhadap terjadinya
resistensi insulin, pelepasan insulin dari sel-sel beta dari pancreas yang terjadi sebagai akibat
respon terhadap glukosa akan terganggu. Dengan sejalan dengan waktu, resistensi insulin akan
semakin berkurang dengan terjadinya penurunan dari berat badan, sehingga dengan demikian
pada banyak penderita diabetes tipe 2, penyakit yang terjadi dapat kita tangani dengan cara
menurunkan berat badan dan berolah raga.
Tipe diabetes yang lainnya.
Tipe diabetes lainnya, yang dulu dikenal dengan sebutan diabetes sekunder, didefinisikan
sebagai suatu diabetes yang berhubungan dengan kondisi dan sindroma yang lainnya. Diabetes
seperti ini dapat terjadi pada penyakit pancreas atau setelah terjadinya pengangkatan jaringan
pancreas dan penyakit endokrin yang lainnya, seperti pada acromegaly atau Cushing’s
syndrome. Kelainan endokrin yang menyebabkan diabetes ini adalah kelainan yang
menyebabkan terjadinya hiperglikemia dengan meningkatkan produksi glukosa atau dengan
menurunkan penggunaan glukosa pada jaringan sel di perifer. Beberapa tipe diabetes tertentu
berhubungan dengan defek yang bersifat monozygotic pada fungsi dari sel-sel beta. Tipe
diabetes yang seperti ini, yang menyerupai diabetes tipe 2 akan tetapi terjadi pada usia yang
jauh lebih muda (biasanya sebelum berusia 25 tahun), dimana yang dulunya disebut dengan
maturity onset diabetes of the young (MODY).10
Pengaruh lingkungan yang berhubungan dengan gangguan fungsi dari sel-sel beta termasuk
virus (misalnya, mumps, rubella congenital, coxsackie virus) dan racun kimia. Diantara kimia
yang bersifat racun adalah nitrosamine, yang kadangkala dapat ditemukan pada daging asap
atau daging yang diawetkan. Nitrosamine berhubungan dengan streptozocin, yang digunakan
untuk menginduksi terjadinya diabetes pada hewan percobaan, dan racun tikus, yang dapat
juga menyebabkan terjadinya diabetes bila dikonsumsi oleh manusia.
Beberapa macam diuretic – seperti thiazide dan diuretic loop – dapat meningkatkan kadar gula
darah. Diuretic ini akan meningkatkan kehilangan dari potassium, yang diduga dapat
mempengaruhi pelepasan dari insulin. Obat-obatan lainnya yang juga diketahui dapat
menyebabkan hiperglikemia adalah diazoxide, glucocorticoid, levodopa, kontrasepsi oral,
simpatomimetik, phenothiazine, phenytoin, dan nutrisi parenteral penuh (seperti pada
hyperalimentation). Peningkatan kadar gula darah yang berhubungan dengan peningkatan
kadar gula darah biasanya dapat kembali menjadi normal setelah kita menghentikan pemberian
dari obat tersebut.
Diabetes pada kehamilan.
Diabetes pada kehamilan menunjukkan suatu keadaan intoleransi terhadap glukosa yang
ditemukan pertama kali pada saat kehamilan. Diabetes pada kehamilan ini dapat terjadi pada
berbagai tingkatan di 2% sampai 5% dari seluruh kehamilan.11 Diabetes pada kehamilan ini
paling sering mempengaruhi para wanita yang pada keluarganya memiliki riwayat keluarga
diabetes; dengan tanda utama glukosuria; dengan terdapatnya riwayat keluarga terjadinya
stillbirth atau aborsi spontan, kelainan dari janin pada kehamilan sebelumnya, atau mereka
yang memiliki bayi yang berberat badan besar atau bayi yang terlalu berat bila dibandingkan
dengan usia kehamilannya; dan mereka yang mengalami kegemukkan, dengan umur kehamilan
yang terjadi pada usia lanjut, atau memiliki riwayat persalinan dengan jumlah anak lebih dari
lima orang.
Diagnosis dan penanganan medis yang hati-hati sangat penting karena para wanita yang
mengalami diabetes pada kehamilan memiliki resiko yang tinggi untuk mengalami kompiikasi
dari kehamilan yang terjadi, mortalitas yang tinggi, dan kemungkinan kelainan janin.12 Kelainan
dari janin termasuk disini adalah macrosmia (ukuran tubuh yang besar), hipoglikemia,
hipokalsemia, polisitemia, dan hiperbilirubinemia.
Petunjuk pelaksanaan praktek klinis yang dikeluarkan oleh The American Diabetes Association
menyarankan untuk para wanita hamil yang sebelumnya tidak diketahui memiliki intoleransi
terhadap glukosa sebelum minggu ke 24 dari kehamilannya sebaiknya kita melakukan screening
terhadap test glukosa toleran pada saat kehamilan mencapai minggu ke 24 dan minggu ke 28.11
Akan tetapi, para wanita yang lebih muda dari 25 tahun, dengan berat badan normal sebelum
terjadi kehamilan, tidak memiliki riwayat keluarga diabetes atau riwayat keluarga secara
obstetric yang buruk, dan bukan merupakan bagian dari etnik/ras yang beresiko tinggi untuk
terkena diabetes (Hispanic, Indian, Asia, Afroamerika) kita dapat tidak melakukan screening
terhadap mereka.
Pengelolaan terhadap diabetes dalam kehamilan termasuk disini adalah observasi terhadap ibu
dan janin karena meskipun hanya mengalami sedikit hiperglikemia telah dapat mengakibatkan
terjadinya kelainan atau kerusakkan terhadap janin. Kadar gula darah ibu pada saat puasa dan
posprandial harus kita periksa secara berkala. Pemeriksaan terhadap janin tergantung dari
tingkat resiko yang dialami oleh janin. Frekuensi pengukuran terhadap pertumbuhan janin dan
penentuan terjadinya distress terhadap janin tergantung pada tersedianya teknologi yang ada
dan juga tergantung dari usia kehamilan si ibu. Semua wanita dengan diabetes pada kehamilan
membutuhkan dukungan secara nutrisi karena nutrisi merupakan titik utama dari terapi
diabetes yang dapat kita berikan. Rencana pemberian nutrisi yang diberikan harus dapat
memberikan nutrisi yang cukup untuk kesehatan baik ibu maupun janin, serta mampu
menghasilkan normoglikemia dan pertambahan berat badan yang baik, dan mencegah
terjadinya ketosis.12 Bila pengendalian secara diet saja tidak dapat mencapai kadar gula darah
puasa tidak boleh lebih dari 105 mg/dL atau gula darah 2 jam postprandial tidak boleh lebih dari
120 mg/dL, Third International Workshop yang membahas mengenai diabetes pada kehamilan
merekomendasikan pemberian terapi dengan menggunakan insulin manusia. Karena
pemberian obat antidiabetis oral dapat menyebabkan terjadinya teratogenic dan tidak
disarankan untuk diberikan pada kehamilan. Pengendalian kadar gula darah yang dilakukan
sendiri oleh pasien sangat penting.
Para wanita yang menderita diabetes pada kehamilan memiliki resiko yang meningkat untuk
menderita diabetes 5 sampai dengan 10 tahun setelah persalinan. Pada para wanita yang
menderita diabetes mellitus pada kehamilan harus kita lakukan follow up setelah terjadinya
persalinan untuk mendeteksi ada tidaknya diabetes dan segera memberikan perawatan bila
didapatkan diabetes seawal mungkin. Para wanita ini harus kita lakukan evaluasi ulang pada
saat mereka melakukan pemeriksaan postpartum mereka yang pertama dengan melakukan
pengujian toleransi terhadap 2 jam setelah pemberian glukosa yang diberikan secara oral
dengan pemberian 75 gram loading glukosa.
Manifestasi dari diabetes.
Diabetes memiliki manifestasi penyakit yang cepat dan tidak nyata. Pada diabetes tipe 1, tanda
dan gejala sering muncul dengan tiba-tiba. Diabetes tipe 2 biasanya gejala dan tanda yang
dapat kita dapatkan akan muncul dengan lebih perlahan. Terdeteksinya suatu diabetes oleh kita
biasanya pada saat kita melakukan pemeriksaan rutin atau pada saat pasien meminta bantuan
kepada kita karena suatu alasan yang lainnya.
Gejala dan tanda yang paling sering kita temukan pada diabetes disebut sebagai 3 poly –
polyuria (pasien mengeluhkan banyak kencing), polydipsia (pasien mengeluhkan adanya rasa
haus yang hebat), dan polyphagia (pasien mengeluhkan selalu lapar). Ketiga gejala ini sangat
erat dengan hiperglikemia dan glukosuria yang terjadi pada diabetes. Glukosa merupakan suatu
molekul yang berukuran kecil, dan mampu melakukan osmosis secara aktif. Bila kadar gula
darah kita meningkat cukup tinggi, jumlah glukosa yang difiltrasi oleh glomerulus pada ginjal
akan melebihi jumlah yang dapat direabsorbsi oleh tubulus ginjal. Hal ini akan menyebabkan
terjadinya glukosuria yang akan diikuti dengan terjadinya kehilangan cairan dalam jumlah besar
kedalam urin. Rasa haus yang dirasakan karena terjadi dehidrasi intraseluler yang terjadi saat
kadar gula darah kita meningkat dan cairan yang ada didalam sel akan tertarik keluar dari dalam
tubuh sel tersebut, termasuk juga yang terkena efek ini adalah pusat rasa haus kita yang
terdapat di hipotalamus. Dehidrasi yang terjadi ini juga menyebabkan terjadinya kekeringan di
rongga mulut. Gejala awal ini sering sekali kita lewatkan pada mereka yang menderita diabetes
tipe 2, terutama pada mereka yang mengalami peningkatan kadar gula darah secara bertahap.
Polyphagia biasanya tidak kita dapatkan pada mereka yang menderita diabetes tipe 2. Pada
diabetes tipe 1, mungkin hal ini disebabkan oleh terjadinya kelaparan pada tingkat seluler dan
habisnya simpanan karbohidrat, lemak dan protein yang terdapat didalam sel.
Penurunan berat badan sering terjadi pada mereka yang menderita diabetes tipe 1 meskipun
nafsu makan mereka normal atau meningkat. Penyebab terjadinya penurunan berat badan
akan menjadi dua kali lipat pada mereka yang mengalami diabetes. Pertama, penurunan dari
cairan tubuh sebagai akibat terjadinya diuresis osmotic. Pada penderita diabetes dapat terjadi
muntah yang mana dapat memperberat kehilangan cairan hal ini terutama terjadi pada
ketoacidosis. Kedua, terjadinya kehilangan massa pada sel-sel jaringan tubuh karena terjadi
kekurangan insulin dimana tubuh kita terpaksa menggunakan cadangan lemak dan protein
dalam sel sebagai sumber dari energy yang dibutuhkan oleh tubuh kita untuk melakukan
aktifitas sehari-hari. Dalam bentuk penurunan berat badan yang terjadi, terdapat perbedaan
yang dapat kita bedakan secara jelas antara diabetes tipe 1 dengan diabetes tipe 2. Penurunan
berat badan merupakan fenomena yang sering kita temukan pada mereka yang menderita
diabetes tipe 1 yang tidak terkendali, dimana banyak dari pada mereka yang menderita
diabetes tipe 2 mengalami masalah dengan obesitas.
Tanda dan gejala lainnya dari terjadinya hiperglikemia termasuk diantaranya adalah seringnya
terjadi gangguan pandangan, rasa letih atau malas, paresthesia, dan infeksi kulit. Pada mereka
yang menderita diabetes tipe 2, hal ini biasanya merupakan gejala yang membuat mereka
datang berobat ke kita. Gangguan penglihatan akan terjadi pada saat retina dan lensa dari mata
terkena efek dari hiperosmolaritas yang terjadi karena peningkatan dari kadar gula darah.
Penurunan dari volume plasma darah akan menghasilkan rasa lemah dan cepat letih.
Paresthesia menunjukkan terjadinya suatu gangguan temporer dari system syaraf perifer.
Infeksi kulit yang kronis sering juga kita dapatkan pada mereka yang menderita diabetes tipe 2.
Hiperglikemia dan glukosuria akan menyebabkan peningkatan dari pertumbuhan jamur,
pruritus dan vulvovaginitis yang disebabkan oleh infeksi candida sering menjadi keluhan pada
para wanita yang menderita diabetes.
Cara untuk menegakkan diagnosis.
Cara untuk menegakkan diagnosis diabetes pada seorang dewasa yang tidak sedang hamil
adalah berdasarkan pada kadar gula darah puasa, dan pengecekkan secara acak, atau hasil dari
test pemberian glukosa. Pemeriksaan untuk diabetes sebaiknya kita pertimbangkan untuk
dilakukan pada mereka yang memiliki usia diatas 45 tahun. Pemeriksaan sebaiknya dilakukan
pada usia yang jauh lebih muda bila orang tersebut mengalami obesitas, memiliki saudara yang
berhubungan dengan dengan pasien yang menderita diabetes, merupakan mereka yang
termasuk memiliki resiko tinggi, para wanita yang melahirkan bayi dengan berat badan bayi
yang mereka lahirkan diatas dari 4 kg atau mereka yang telah didiagnosis memiliki suatu
diabetes pada kehamilan, memiliki hipertensi atau hiperlipidemia, atau masuk dalam criteria
untuk impaired glucose tolerance atau impaired fasting glucose pada pemeriksaan
sebelumnya.13
Pemeriksaan darah.
Pengukuran kadar gula darah dapat digunakan baik untuk diagnosis maupun untuk
penatalaksanaan diabetes. Pemeriksaan diagnostic termasuk disini pemeriksaan gula darah
puasa, pemeriksaan kadar gula darah secara acak, test toleransi gula, dan hemoglobin yang
telah mengalami glikosilasi. Pengambilan bahan pemeriksaan glukosa untuk laboratorium
melalui pembuluh darah kapiler atau “finger stick”, digunakan untuk melakukan manajemen
pada mereka yang didiagnosis diabetes.
Pemeriksaan glukosa darah puasa selama ini lebih disenangi sebagai test pemeriksaan
diagnostic karena mudah untuk mendapatkannya, lebih nyaman dan lebih dapat dilakukan
dengan mudah oleh pasien, serta biayanya juga lebih mudah.5 Kadar glukosa darah diukur
setelah kita makan terakhir 8 sampai 12 jam sebelumnya. Bila kadar gula darah puasa yang kita
dapatkan pada pemeriksaan lebih dari 126 mg/dL pada dua kali pengambilan sample, maka kita
dapat menegakkan diagnosis diabetes pada pasien tersebut. Pemeriksaan kadar gula darah
puasa secara acak adalah pemeriksaan darah yang dilakukan tanpa memandang apakah dia
baru makan atau waktu dilakukannya pemeriksaan baik pagi, siang, atau sore. Hasil
pemeriksaan kadar gula darah yang dilakukan secara acak yang meningkat secara nyata (> 200
mg/dL) ditambah dengan ditemukannya gejala klasik dari diabetes seperti polydipsia,
polyphagia, polyuria, dan gangguan penglihatan yang menjadi kurang jelas maka kita dapat
menegakkan diagnosis diabetes mellitus tanpa memandang umur dari saat pasien tersebut di
diagnose.
Pemeriksaan toleransi glukosa peroral merupakan suatu pemeriksaan untuk screening yang
penting untuk menegakkan diabetes. Pemeriksaan ini akan mengukur kemampuan tubuh kita
untuk menyimpan glukosa dengan cara mengambil glukosa yang masuk kedalam aliran darah
untuk disimpan dalam jaringan. Pada mereka yang memiliki toleransi glukosa yang normal,
kadar glukosa dalam darah akan kembali normal dalam waktu 2 sampai 3 jam setelah
diberikannya loading glukosa secara peroral, dimana kita dapat mengasumsikan bahwa kadar
insulin yang terdapat dalam tubuh adalah mencukupi sehingga memungkinkan glukosa untuk
dapat diambil oleh jaringan tubuh. Karena pada mereka yang menderita diabetes terjadi
gangguan terhadap kemampuan tubuh untuk merespon terjadinya peningkatan kadar gula
darah dengan cara mensekresikan insulin yang mencukupi sehingga glukosa yang ada dapat
diambil oleh jaringan tubuh, kadar gula darah akan meningkat diatas dari yang kita dapatkan
pada orang normal dan glukosa tersebut akan tetap berada dalam aliran darah untuk periode
waktu yang lebih lama.
Hemoglobin yang mengalami glukosidasi akan dapat kita tentukan dengan melakukan
pengukuran terhadap HbA1c (hemoglobin yang berikatan dengan glukosa) dalam darah. Ketika
hemoglobin dilepaskan dari sumsum tulang, hemoglobin tersebut tidak mengandung glukosa.
Dalam waktu hidupnya yang mencapai 120 hari dalam sel darah merah, hemoglobin biasanya
akan mengalami pemaparan dengan glukosa sehingga membentuk suatu ikatan
glycohemoglobin A1a dan A1b (2% sampai 4%) dan A1c (4% sampai 6%). Karena masuknya glukosa
kedalam sel darah merah tidak bergantung pada keberadaan insulin, maka tingkat berikatannya
glukosa dengan molekul hemoglobin bergantung pada kadar gula di dalam darah. Glukosidasi
ini merupakan suatu yang bersifat irreversible, dan kadar dari HbA1c yang terdapat dalam darah
menunjukkan suatu nilai index dari kadar gula darah selama 2 sampai 3 bulan kebelakang.
America Diabetes Asociation (ADA) memberikan suatu rekomendasi yang menyatakan
perbaikan dari HbA1c tidak boleh lebih besar dari 8%. Akan tetapi, penelitian yang dilakukan
oleh United Kingdom Prospective Diabetes Study (UKPDS), target pegobatan yang diberikan
diperbaiki dimana penurunan dari kadar HbA1c kurang dari 7.0%, atau bahkan bila dapat
mencapai kadar glikemia yang normal yaitu kurang dari 6.0%.14
Kemajuan teknologi yang ada saat ini menyediakan alat-alat bagi kita untuk melakukan monitor
terhadap kadar gula darah dengan menggunakan tetes darah kapiler. Prosedur pemeriksaan ini
memberikan para dokter alat yang dapat digunakan untuk memonitor kadar gula darah dengan
cepat dan ekonomis dan memberikan jalan untuk mereka yang menderita diabetes untuk dapat
mempertahankan kadar gula darah mereka untuk dapat mendekati kadar gula darah normal
dengan menggunakan alat pengukur kadar gula darah yang dapat dilakukan sendiri di rumah.
Pemeriksaan laboratorium yang menggunakan plasma darah untuk mengukur kadar gula darah
akan memberikan hasil 10% sampai 15% lebih tinggi dari metode “finger stick”, yang
menggunakan seluruh matriks darah. Banyak alat pemeriksaan gula darah telah di
rekomendasikan untuk dapat digunakan di rumah dan beberapa test strip yang ada saat ini
dapat dikalibrasi dengan pembacaan kadar glukosa darah yang diukur dari plasma. Sangat
penting untuk mereka yang menderita diabetes untuk mengetahui apakah alat yang mereka
gunakan menggunakan seluruh material dari darah atau plasma.
Pemeriksaan urine.
Pemeriksaan glukosa pada urine hanya akan menunjukkan kadar glukosa darah pada urine dan
dipengaruhi oleh faktor-faktor seperti ambang batas ginjal terhadap glukosa, asupan cairan,
dan konsentrasi dari urine itu sendiri, metode pemeriksaan test urine, dan obat-obatan yang
dipergunakan. Oleh karena hal-hal tersebut, maka ADA merekomendasikan bahwa semua
pasien yang mempergunakan insulin harus melakukan monitoring terhadap diri mereka sendiri
dengan menggunakan pemeriksaan melalui darah, bukan melalui urine.13 Tidak seperti
pemeriksaan glukosa, penentuan kadar keton dalam urine tetap merupakan hal yang penting
sebagai bagian dari pengawasan pengelolaan diabetes, terutama pada mereka yang menderita
diabetes tipe 1 yang memiliki resiko untuk mengalami ketoasidosis dan pada wanita hamil yang
menderita diabetes untuk selalu memeriksa kecukupan asupan nutrisi dan pengendalian
glukosa mereka.
Referensi :
1. American Diabetes Association. (2000). Diabetes facts and figures. [On-line]. Available: http://www.diabetes.org/.
2. Guyton A., Hall J.E. (2000). Textbook of medical physiology (10th ed., pp. 884–898). Philadelphia: W.B. Saunders.
3. Shepard P.R., Kahn B. (1999). Glucose transporters and insulin action. New England Journal of Medicine 341, 248–256.
4. Goldfine I.R., Youngren J.F. (1998). Contributions of the American Journal of Physiology to the discovery of insulin. American Journal of Physiology 274, E207–E209.
5. Expert Committee on the Diagnosis and Classification of Diabetes Mellitus. (1997). Report of the Expert Committee on the Diagnosis and Classification of Diabetes Mellitus. Diabetes Care 20, 1183–1199.
6. Atkinson M.A., Eisenbarth G.S. (2001). Type 1 diabetes: New perspectives on disease pathogenesis and treatment. The Lancet 358, 221–229.
7. Davidson M.B. (1995). Clinical implications of insulin resistance syndromes. American Journal of Medicine 99, 420–426.
8. Boder G. (2001). Free fatty acids—the link between obesity and insulin resistance. Endocrine Practice 7, 44–51.
9. Guven S., El-Bershawi A., Sonnenberg G.E., et al. (1999). Persistent elevation in plasma leptin level in ex-obese with normal body mass index: Relation to body composition and insulin sensitivity. Diabetes 48, 347–352.
10. Winter W.E., Kamura M., House D.W. (1999). Monogenic diabetes mellitus in youth: The MODY syndrome. Metabolic Clinics of North America 28, 765–785.
11. American Diabetes Association. (2000). Gestational diabetes mellitus. Diabetes Care 23 (Suppl. 1), S77–S79.
12. Kjos S.L., Buckanan T.A. (1999). Gestational diabetes mellitus. New England Journal of Medicine 341, 1749–1756.
13. American Diabetes Association. (2000). Report of the Expert Committee on the Diagnosis and Classification of Diabetes Mellitus. Diabetes Care 23 (Suppl. 1), S14.
14. UKPDS Group. (1998). Intensive blood-glucose control with sulfonylureas or insulin compared with conventional treatment and risk of complications in patients with type 2 diabetes (UKPDS 33). Lancet 352, 837–853.
15. Shichiri M., Kishikquq H., Ohkubo Y., et al. (2000). Long-term results of Kumamoto Study on optimal diabetes control in type 2 diabetes patients. Diabetes Care 23 (Suppl. 2), B21–B29.
16. American Diabetes Association. (2000). Nutrition recommendations and principles for people with diabetes mellitus (Position Statement). Diabetes Care 23 (Suppl. 1), S43–S46.
17. Markovic T.P., Jenkins A.B., Campbell L.U., et al. (1998). The determinants of glycemic responses to diet restriction and weight loss and obesity in NIDDM. Diabetes Care 21, 687–694.
18. American Diabetes Association. (2000). Diabetes mellitus and exercise. Diabetes Care 23 (Suppl. 1), S50–S54.
19. Lebovitz H.E. (1999). Insulin secretogogues: Old and new. Diabetes Reviews 7, 139–153.
20. Vaaler S. (2000). Optimal glycemic control in type 2 diabetes patients. Diabetes Care 23 (Suppl. 2), B30.
21. Schoonjans J., Auwerx J. (2000). Thiazolidinediones: An update. Lancet 355, 1008–1010.
22. Shapiro J., Lakey J., Ryan E., et al. (2000). Islet transplantation with type 1 diabetes mellitus using glucocorticoid-free immunosuppressive regimen. New England Journal of Medicine 343, 230–238.
23. Herbel G., Boyle P.J. (2000). Hypoglycemia. Endocrinology and Metabolic Clinics of North America 29, 725–740.
24. Bolli G.B., Fanelli C.G. (1995). Unawareness of hypoglycemia. New England Journal of Medicine 333, 1771–1772.
25. Kitabachi A.E., Umpierrez G.E., Murphy M.B., et al. (2001). Management of hyperglycemic crisis in patients with diabetes. Diabetes Care 24, 131–153.
26. Delaney M.F., Zisman A., Kettyle W.M. (2000). Diabetic ketoacidosis and hyperglycemic hyperosmolar nonketotic syndrome. Endocrinology and Metabolic Clinics of North America 29, 725–740.
27. Somogyi M. (1957). Exacerbation of diabetes in excess insulin action. American Journal of Medicine 26, 169–191.
28. Bolli G.B., Gotterman I.S., Campbell P.J. (1984). Glucose counterregulation and waning of insulin in the Somogyi phenomenon (posthypoglycemic hyperglycemia). New England Journal of Medicine 311, 1214–1219.
29. Bolli G.B., Gerich J.E. (1984). The dawn phenomenon: A common occurrence in both non-insulin and insulin dependent diabetes mellitus. New England Journal of Medicine 310, 746–750.
30. Klein R., Klein B.E.K., Moss S.E. (1996). Relation of glycemic control to diabetic microvascular complications in diabetes mellitus. Annals of Internal Medicine 124, 90–96.
31. Estacio R.O., Jeffero B.W., Gifford N., et al. (2000). Effect of blood pressure control on diabetic neovascular complications in patients with hypertension and type 2 diabetes. Diabetes Care 23 (Suppl. 2), B54–B64.
32. The Diabetes Control and Complications Trial Research Group. (1993). The effect of intensified treatment of diabetes on the development and progression of long-term complications in insulin-dependent diabetes mellitus. New England Journal of Medicine 329, 955–977.
33. Stratton I.M., Adler A.I., Neil H.A., et al. (2000). Association of glycaemia with macrovascular and microvascular complications in type 2 diabetes (UKPDS 35) Group: Prospective observational study. British Medical Journal 321, 405–412.
34. Said G. (1996). Diabetic neuropathy: An update. Neurology 243, 431–440.35. Vinik A.I., Milicevik Z. (1996). Recent advances in the diagnosis and treatment of
diabetic neuropathy. Endocrinologist 6, 443–461.36. Dejaard A. (1998). Pathophysiology and treatment of diabetic neuropathy. Diabetic
Medicine 15, 97.37. Vinik A.I. (1999). Diabetic neuropathy: Pathogenesis and therapy. American Journal of
Medicine 107 (Suppl. 2B), 17S–26S.38. Spoilett G.R. (1999). Assessment and management of erectile dysfunction in men with
diabetes. Diabetes Educator 25 (1), 65–73.
39. Lipshultz L.I. (1999). Treatment of erectile dysfunction in men. Journal of the American Medical Association 281, 465–466.
40. American Diabetes Association. (2000). Diabetic nephropathy. Diabetes Care 23 (Suppl. 1), S69–S72.
41. Ritz E., Orth S.R. (1999). Nephropathy in patients with type 2 diabetes mellitus. New England Journal of Medicine 341, 1127–1133.
42. Krolewski A.S., Laffel L.M.B., Krolewski M., et al. (1995). Glycosylated hemoglobin and the risk of microalbuminemia in patients with insulin-dependent diabetes mellitus. New England Journal of Medicine 332, 1251–1255.
43. American Diabetes Association. (2000). Diabetic retinopathy. Diabetes Care 23 (Suppl. 1), S73–S76.
44. Aiello L.P., Gardner T.W., King G.L., et al. (1998). Diabetic retinopathy (Technical Review). Diabetes Care 21, 143–156.
45. Chen Y.-D.I., Reaven G.M. (1997). Insulin resistance and atherosclerosis. Diabetes Reviews 5, 331–342.
46. American Diabetes Association. (2000). Preventative foot care in people with diabetes. Diabetes Care 23 (Suppl. 1), S55–S56.
47. Levin M.E. (1995). Preventing amputations in patients with diabetes. Diabetes Care 18, 1384–1394.
48. Joshi N., Caputo G.M., Weitekamp M.R., et al. (1999). Infections in patients with diabetes mellitus. New England Journal of Medicine 341, 1906–1912.
49. A simple screen for diabetic foot neuropathy. (2000). Emergency Medicine 4, 23–25.