diabetes mellitus

43
Diabetes Mellitus. Diabetes mellitus adalah kelainan sistemik yang bersifat kronis, yang saat ini telah menjadi beban secara global karena semakin banyaknya penderita diabetes yang ada di seluruh dunia, serta semakin lama semakin banyak diantara para penderita diabetes tersebut yang mengalami komplikasi, sehingga membuat penderita tersebut berkurang kualitas hidupnya serta menjadi beban bagi keluarganya. Sedangkan komplikasi yang terjadi pada para penderita diabetes tersebut sebenarnya dapat kita hindari, sebenarnya penderita diabetes dapat hidup dengan lebih baik sampai akhir hidupnya bila kita dapat memberikan pengobatan yang baik serta penderita tersebut patuh pada pola hidup yang kita sarankan untuk dia terapkan dalam kehidupannya sehari-hari. Sebelum kita membahas lebih jauh tentang diabetes itu sendiri ada baiknya kita membahas mengapa seseorang itu dapat menderita diabetes. Sebelum kita dapat memahami mengenai penyakit diabetes kita perlu memahami dulu bagaimana cara energy dibuat dalam tubuh kita. Metabolisme energy. Metabolisme glukosa, lemak dan protein. Metabolisme glukosa.

Upload: nai-paniai

Post on 12-Jan-2016

8 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

https://www.scribd.com/upload-document?archive_doc=175246018&escape=false&metadata={%22context%22%3A%22archive%22%2C%22page%22%3A%22read%22%2C%22action%22%3A%22toolbar_download%22%2C%22logged_in%22%3Atrue%2C%22platform%22%3A%22web%22}

TRANSCRIPT

Page 1: Diabetes Mellitus

Diabetes Mellitus.Diabetes mellitus adalah kelainan sistemik yang bersifat kronis, yang saat ini telah menjadi

beban secara global karena semakin banyaknya penderita diabetes yang ada di seluruh dunia,

serta semakin lama semakin banyak diantara para penderita diabetes tersebut yang mengalami

komplikasi, sehingga membuat penderita tersebut berkurang kualitas hidupnya serta menjadi

beban bagi keluarganya. Sedangkan komplikasi yang terjadi pada para penderita diabetes

tersebut sebenarnya dapat kita hindari, sebenarnya penderita diabetes dapat hidup dengan

lebih baik sampai akhir hidupnya bila kita dapat memberikan pengobatan yang baik serta

penderita tersebut patuh pada pola hidup yang kita sarankan untuk dia terapkan dalam

kehidupannya sehari-hari.

Sebelum kita membahas lebih jauh tentang diabetes itu sendiri ada baiknya kita membahas

mengapa seseorang itu dapat menderita diabetes. Sebelum kita dapat memahami mengenai

penyakit diabetes kita perlu memahami dulu bagaimana cara energy dibuat dalam tubuh kita.

Metabolisme energy.

Metabolisme glukosa, lemak dan protein.

Metabolisme glukosa.

Glukosa merupakan suatu gugus karbon yang terdiri dari enam molekul karbon; glukosa

merupakan bahan bakar yang sangat efesien bila glukosa tersebut dimetabolime bersama

dengan oksigen, akan terpecah menjadi karbon dioksida dan air. Meskipun banyak dari jaringan

dan system organ yang mampu menggunakan energy yang berasal dari bentuk yang lainnya,

seperti asam lemak dan ketone, otak dan system syaraf sangat bergantung pada glukosa

sebagai sumber energy yang diperlukan untuk memenuhi kebutuhan bahan bakarnya. Karena

otak tidak mampu untuk mensintesis ataupun menyimpan lebih dari beberapa menit glukosa,

oleh karenanya untuk mempertahankan fungsi otak yang normal memerlukan suplay glukosa

yang terus menerus dari system sirkulasi. Suatu keadaan hipoglikemia yang lama dan berat

Page 2: Diabetes Mellitus

dapat menyebabkan terjadinya kematian otak, bahkan pada suatu hipoglikemia yang sedang

dapat menyebabkan terjadinya gangguan fungsi dari otak yang cukup berarti.

Jaringan tubuh kita mengambil glukosa yang diperlukannya dari dalam darah. Kadar glukosa

dalam darah biasanya menunjukkan perbedaan antara jumlah glukosa yang dilepaskan kedalam

sirkulasi oleh liver dan jumlah glukosa yang diambil dari dalam darah oleh sel-sel tubuh kita.

Glukosa dicerna dari makanan yang kita makan sehari-hari dan diangkut dari saluran cerna,

melalui vena porta, ke liver sebelum masuk ke system peredaran darah kita. Liver memiliki

fungsi iuntuk mengatur keseimbangan dari glukosa melalui tiga macam proses:

1. Sintesa glikogen (glycogenesis).

2. Pemecahan glikogen (glycogenolysis).

3. Pembentukkan dari glukosa dari sumber non karbohidrat (gluconeogenesis).

Bila kadar gula darah dalam tubuh kita meningkat, maka gula yang ada dalam darah tersebut

akan diambil oleh hati dan diubah menjadi glikogen, yang merupakan bentuk glukosa yang

dapat disimpan dalam jangka waktu pendek. Bila kadar gula dalam darah menurun, simpanan

glikogen yang terdapat dalam liver tersebut akan dipecahkan menjadi glukosa dan dilepaskan

kembali kedalam aliran darah. Meskipun otot rangka kita dapat turut menyimpan glikogen,

akan tetapi karena otot rangka tidak memiliki enzim glukosa 6 phospatase yang membuat

glukosa dapat dipecah dalam bentuk yang lebih sederhana sehingga dapat melewati membrane

sel dan masuk kedalam sirkulasi darah, sehingga membatasi penggunaan dari glikogen pada sel-

sel otot. Selain dari untuk tempat penyimpanan dari glikogen, liver juga dapat mensintesa

glukosa dari sumber non karbohidrat seperti asam amino, asam laktat, dan bagian gliserol dari

trigliserid. Glukosa yang masuk dalam tubuh ini tersimpan dalam bentuk glikogen dan dapat

dilepaskan secara langsung kedalam sirkulasi darah.

Metabolisme lemak.

Lemak merupakan suatu cara penyimpanan bahan bakar tubuh kita yang paling efesien. Lemak

akan menghasilkan energy sebesar 9 kkal/gram, dibandingkan dengan energy yang tersimpan

Page 3: Diabetes Mellitus

dari karbohidrat hanya sebesar 4 kkal/gram dan protein. Sekitar 40% dari kalori yang

dibutuhkan oleh seorang di Amerika yang normal didapatkan dari lemak yang berasal dari

makanan, yang hampir sama dengan jumlah kalori yang didapatkan dari pembakaran

karbohidrat. Oleh karenanya, penggunaan lemak sebagai sumber energy dari tubuh kita sama

pentingnya dengan penggunaan karbohidrat sebagai sumber energy. Sebagai tambahan,

banyak karbohidrat yang dikonsumsi kita sehari-hari akan dirubah menjadi trigliserid untuk

disimpan pada jaringan lemak. Trigliserid mengandung tiga macam gugusan asam lemak yang

dihubungkan dengan molekul gliserol. Mobilisasi dari asam lemak yang akan digunakan sebagai

sumber energy di fasilitasi oleh enzim (lipase) yang akan memecah trigliserid menjadi molekul

gliserol dan tiga macam gugus asam lemak. Molekul dari gliserol akan dapat memasuki jalur

glikolitik sehingga dapat digunakan bersama dengan glukosa untuk menghasilkan energy, atau

gliserol itu dapat juga digunakan untuk membentuk glukosa. Asam lemak kemudian akan

diangkut ke jaringan dimana mereka akan digunakan sebagai sumber energy. Hampir semua

sel-sel yang ada dalam tubuh kita kecuali jaringan otak dan sel-sel darah merah, dapat

menggunakan asam lemak secara fleksibel dengan glukosa untuk menghasilkan energy.

Meskipun banyak dari sel-sel dalam tubuh kita yang dapat menggunakan asam lemak sebagai

sumber energy, asam lemak ini tidak dapat dirubah menjadi glukosa yang dapat digunakan

sebagai energy dari jaringan sel otak. Sebagian besar dari degradasi awal pada asam lemak akan

terjadi di liver, terutama sekali bila terdapat asam lemak yang dibakar dalam jumlah besar

untuk dijadikan energy. Liver hanya menggunakan sebagian kecil dari asam lemak itu sendiri

untuk memenuhi kebutuhan energinya; liver akan mengubah sebagian besar dari asam lemak

tersebut menjadi keton dan melepaskan benda keton tersebut ke dalam aliran darah. Pada

keadaan menunjukkan kepada kita terjadi pemecahan lemak yang hebat, seperti yang terjadi

pada penderita diabetes mellitus dan mereka yang melakukan puasa, sejumlah besar benda

keton akan dilepaskan ke dalam aliran darah. Karena benda keton ini merupakan suatu asam

organic, maka mereka akan menyebabkan terjadinya suatu ketoasidosis bila benda keton ini

terdapat dalam jumlah yang besar dalam darah kita.

Metabolisme protein.

Page 4: Diabetes Mellitus

Hampir ¾ dari berat tubuh terdiri dari protein. Protein sangat penting untuk pembentukkan

semua struktur dalam tubuh kita, termasuk gen, enzim, dan struktur yang mampu berkontraksi

pada otot, bahan dari tulang, dan hemoglobin pada sel darah merah.

Asam amino merupakan komponen yang membentuk protein. Sejumlah besar dari asam amino

dapat kita temukan dalam bentuk protein. Tidak seperti glukosa dan asam lemak, hanya ada

sedikit tempat yang mampu menyimpan kelebihan asam amino di dalam tubuh kita. Sebagian

besar dari asam amino yang ada terdapat dalam bentuk protein. Kelebihan dari asam amino

pada mereka setelah disintesis menjadi protein dirubah kedalam bentuk asam lemak, ketone,

atau glukosa dan kemudian disimpan atau digunakan sebagai bahan bakar untuk melakukan

metabolisme dalam tubuh kita. Karena asam lemak tidak dapat dirubah menjadi glukosa, tubuh

kita harus memecah protein dan menggunakan asam amino yang dihasilkan pada pemecahan

protein tersebut sebagai bahan utama untuk glukoneogenesis pada saat dimana metabolisme

tubuh kita memerlukan bahan makanan yang sangat banyak untuk memenuhi kebutuhan

metabolisme tersebut.

Pengendalian gula darah secara hormonal.

Pengendalian gula darah secara hormonal sangat bergantung pada fungsi endokrin yang

terdapat pada pancreas. Pancreas terdiri dari dua macam jaringan utama yaitu acini dan pulau-

pulau dari Langerhans. Acini berfungsi untuk mensekresikan suatu cairan pencernaan kedalam

duodenum, dan pulau-pulau Langerhans berfungsi untuk mensekresikan hormone yang

berfungsi untuk meregulasikan glukosa kedalam aliran darah. Setiap pulau-pulau Langerhans

terdiri dari sel-sel beta yang akan menghasilkan insulin, sel-sel alpha yang akan menghasilkan

glucagon, dan sel-sel delta yang menghasilkan somatostatin. Insulin berfungsi untuk

menurunkan konsentrasi dari glukosa pada darah dengan cara meningkatkan pergerakkan

glukosa dari dalam darah kedalam sel jaringan tubuh. Glucagon berfungsi untuk

mempertahankan glukosa darah dengan cara meningkatkan pelepasan dari glukosa dari liver

kedalam aliran darah. Somatostatin berfungsi untuk menghambat pelepasan insulin dan

glucagon. Selain dari itu somatostatin berfungsi juga untuk menurunkan aktifitas dari

gastrointestinal setelah kita mengkonsumsi makanan. Dengan penghambatan aktifitas dari

Page 5: Diabetes Mellitus

gastrointestinal setelah kita makan, maka somatostatin menyebabkan makanan yang kita

makan lebih lama diabsorbsi ke dalam darah, dan dengan menghambat produksi dari insulin

dan glucagon, maka akan memperpanjang kemampuan penggunaan nutrisi yang kita serap

pada sel-sel jaringan tubuh kita.2

Insulin.

Meskipun terdapat beberapa hormone yang kita ketahui dapat meningkatkan kadar glukosa

dalam daran, insulin adalah satu-satunya hormone yang diketahui memiliki efek secara

langsung pada penurunan kadar gula darah. Mekanisme kerja dari insulin terdiri dari 3 macam:

1. Meningkatkan uptake dari glukosa pada target sel dan menyediakan glukosa untuk

dapat disimpan sebagai glikogen.

Gambar 1. Struktur molekul proinsulin, dimana rangkaian ini akan menjadi insulin yang aktif dengan hilangnya peptide yang menghubungkan rantai (C-peptide).

Page 6: Diabetes Mellitus

2. Pencegah pemecahan dari lemak dan glikogen, serta menghambat terjadinya

glukoneogenesis.

3. Meningkatkan sintesis dari protein.

Insulin berfungsi untuk meningkatkan penyimpanan dari lemak dengan meningkatkan transport

dari glukosa kedalam sel lemak. Juga akan meningkatkan sintesis trigliserid dari glukosa dalam

sel lemak dan menghambat terjadinya pemecahan protein serta meningkatkan sintesis dari

protein dengan cara meningkatkan transport secara aktif dari asam amino kedalam sel. Insulin

juga memiliki kemampuan untuk menghambat terjadinya glukoneogenesis, atau membuat

glukosa dari sumber-sumber lainnya yang ada dalam tubuh, terutama dari asam amino. Bila

glukosa yang tersedia mencukupi kebutuhan tubuh, dan terdapat insulin yang mencukupi,

pemecahan protein yang terjadi adalah minimal karena tubuh kita akan menggunakan dahulu

glukosa yang ada dan juga asam lemak sebagai sumber bahan bakar tubuh. Pada anak-anak dan

remaja insulin diperlukan untuk pertumbuhan normal dan perkembangan tubuh dari anak-anak

dan remaja.

Sintesa insulin dan pelepasan insulin.

Insulin dibuat oleh sel-sel beta

yang terdapat di pulau-pulau

Langerhans. Bentuk aktif dari

hormone tersebut terdiri dari dua

buah rantai polipeptida – yaitu

rantai A dan rantai B. Insulin

dalam bentuk aktif dibentuk

dalam sel-sel beta dari molekul

yang berukuran besar yang kita

sebut dengan proinsulin. Untuk

mengubah proinsulin menjadi

insulin, enzim yang terdapat pada

sel beta akan memecah Gambar 2. Efek insulin terhadap metabolisme glukosa, lemak, dan protein

Page 7: Diabetes Mellitus

proinsulin pada tempat yang spesifik sehingga membentuk dua bahan yang berbeda; suatu

insulin aktif dan suatu bahan yang secara biologis tidak aktif yang menghubungkan rantai

peptide (C-peptide) yang menghubungkan rantai A dan rantai B sebelum mereka menjadi

terpisah. Insulin aktif dan rantai C-peptide yang inaktif disatukan dalam suatu kesatuan kedalam

suatu granule sekretorius dan dilepaskan secara simultan dari sel-sel beta. Rantai C-peptide

dapat kita ukur secara klinis, dan pengukuran tersebut dapat digunakan untuk menilai aktifitas

dari sel beta. Sebagai contoh, insulin yang disuntikkan dari luar pada mereka yang memiliki

diabetes tipe 2 hanya akan menghasilkan sedikit atau tanpa adanya rantai C-peptide, dimana

bila pada insulin endogen yang disekresikan oleh sel beta akan diikuti oleh sekresi rantai C-

peptide.

Pelepasan insulin dari sel-sel beta pada pancreas diatur oleh kadar gula darah, peningkatan

kadar dari insulin akan sejalan dengan terjadinya peningkatan dari kadar gula darah dan

penurunan kadar gula darah akan menurunkan kadar insulin pula. Sekresi dari insulin terjadi

secara osilatory atau secara bertahap. Setelah terjadi pemaparan terhadap glukosa, fase

pertama dari simpanan insulin yang telah terbentuk sebelumnya akan masuk kedalam system

sirkulasi, yang kemudian akan diikuti oleh fase kedua dari pelepasan insulin yang merupakan

insulin yang baru terbentuk oleh sel beta. Kadar insulin dalam serum akan segera meningkat

dalam beberapa menit setelah kita makan, yang akan mencapai puncaknya dalam 3 sampai 5

menit, dan kemudian akan turun kembali ke tingkat awal dalam waktu 2 sampai 3 jam.

Insulin yang disekresikan oleh sel-sel beta akan masuk kedala sirkulasi portal dan masuk secara

langsung kedalam liver, dimana hampir 50% dari insulin tersebut akan digunakan atau

dipecahkan. Insulin, biasanya akan cepat berikatan di jaringan perifer atau dirusakkan oleh liver

atau ginjal, insulin memiliki waktu paruh mencapai 15 menit setelah dilepaskan ke system

sirkulasi tubuh kita.

Insulin reseptor dan efek dari target sel.

Untuk dapat menimbulkan efek pada target jaringan, insulin harus berikatan pada jaringan

tersebut dan mengaktifasi reseptor pada membrane sel. Reseptor membran yang teraktifasi

tersebut akan menyebabkan terjadinya efek dari insulin.2 Reseptor insulin ini merupakan

Page 8: Diabetes Mellitus

kombinasi dari 4 buah subunit

– Subunit α yang berukuran

besar akan terdapat di luar

membrane sel dan terlibat

secara langsung pada

pengikatan dari molekul insulin

dan subunit β yang lebih kecil

terutama terdapat pada bagian

dalam dari membrane sel yang

mengandung enzim kinase

yang akan teraktifasi pada saat

terjadi pengikatan terhadap

insulin pada membrane sel.

Aktifasi dari enzim kinase

tersebut akan menghasilkan terjadinya fosforilasi dari subunit β, yang pada akhirnya akan

menyebabkan terjadinya aktifasi dari beberapa macam enzim serta menginaktifasi beberapa

enzim yang lainnya, oleh karenanya efek yang diinginkan pada intraseluler karena insulin pada

metabolisme glukosa, lemak dan protein dapat terjadi.

Glucose transporter.

Gambar 3. Respon biphasic insulin terhadap stimulus glukosa yang terus menerus. Titik puncak yang pertama terjadi 3 sampai 5 menit; puncak ke 2 mulai dari 2 menit dan terus akan mengalami peningkatan secara perlahan sampai setidaknya selama 60 menit atau sampai stimulus hilang. (Dari: Ward W.K., Beard J.C., Halter J.B., Pfeifer M.A., Porte D.Jr. (1984). Pathology of insulin secretion in non-insulin-dependent diabetes mellitus. Diabetes Care 7, 491 – 502.)

Page 9: Diabetes Mellitus

Karena membrane sel merupakan suatu membrane yang impermeable terhadap glukosa, untuk

glukosa dapat menembus membrane sel diperlukan carrier khusus, yang disebut sebagai

glucose transporter, untuk mengangkut glukosa dari darah ke dalam sel. Dalam beberapa detik

setelah insulin berikatan dengan reseptor membrane sel, maka akan terjadi peningkatan

sebesar 80% dari membrane jaringan tubuh tersebut terhadap uptake glukosa yang terdapat

dalam darah yang disebabkan glucose transporter ini. Hal ini terutama terjadi pada otot rangka

dan jaringan lemak. Beberapa penelitian yang telah dilakukan untuk meneliti glucose

transporter ini mereka menamakan transporter ini dengan Glut-1, Glut-2, dan selanjutnya.3

Glut-4 merupakan suatu transporter glukosa yang bergantung terhadap insulin terutama pada

otot rangka dan jaringan lemak. Glucose transporter ini terdapat didalam membran sel dan juga

tidak dapat berfungsi sebagai glucose transporter sampai mendapatkan signal dari insulin yang

menyebabkan terjadinya pergerakkan dari posisi inaktifasinya pada membran sel, dimana

glucose transporter ini memfasilitasi masuknya glukosa ke dalam sel. Glut-2 merupakan

transporter utama dari glukosa ke dalam sel-sel beta dan sel-sel liver. Dimana Glut-2 ini

memiliki afinitas yang rendah terhadap glukosa dan bekerja sebagai transporter bila kadar

Gambar 4. Insulin reseptor, dimana insulin beriksatan dengan reseptor insulin, yang akan meningkatkan transport glukosa dan menyebabkan terjadinya autophosphorilasi dari subunit β dari reseptor, yang akan menyebabkan terjadinya aktifitas dari tyrosine kinase. Phosphorilasi tyrosine pada akhirnya akan mengaktifasi proses beruntun yang terjadi didalam sel pada protein yang memediasi efek insulin terhadap metabolisme pada glukosa, lemak, dan protein.

Page 10: Diabetes Mellitus

glukosa dalam plasma relatif tinggi, seperti pada saat setelah makan. Glut-1 terdapat pada

semua sel jaringan. Glut-1 tidak memerlukan rangsangan dari insulin dan merupakan

transporter glukosa yang penting pada system syaraf.

Glukagon.

Glucagon, merupakan suatu molekul polipeptida yang diproduksi oleh sel-sel alpha dari pulau

Langerhans, yang akan mempertahankan kadar gula darah antara saat makan dan saat kita

melakukan puasa. Seperti juga insulin, glucagon akan ada dalam aliran darah melalui vena porta

masuk ke dalam liver, dimana akan melakukan pekerjaan utamanya disana. Tidak seperti

insulin, glucagon menghasilkan terjadinya suatu peningkatan dari kadar gula darah. Efek yang

paling hebat dari glucagon adalah kemampuannya untuk memulai suatu glikogenolisis atau

pemecahan dari glikogen yang terdapat pada liver yang akan meningkatkan kadar gula darah,

biasanya dalam waktu beberapa menit. Karena glikogen yang tersimpan dalam liver ada dalam

jumlah yang terbatas, glukoneogenesis sangat penting untuk mempertahankan kadar gula

darah sepanjang waktu. Glucagon juga akan meningkatkan transport dari asam amino kedalam

liver dan menstimulasi koversi asam amino tersebut menjadi glukosa. Seperti juga yang terjadi

dengan insulin, sintesis dari glukagon dan sekresi dari glukagon tersebut diatur oleh kadar gula

darah. Terjadinya penurunan dari kadar konsentrasi gula darah sampai pada kadar hipoglikemia

akan menyebabkan terjadinya suatu peningkatan secara cepat dari sekresi glukagon, dan pada

saat terjadinya peningkatan kadar gula darah sampai dengan kadar hiperglikemia akan

menyebabkan terjadinya penurunan dari sekresi glukagon. Konsentrasi yang tinggi dari asam

amino, seperti yang terjadi pada saat kita mengkonsumsi makanan yang mengandung protein,

juga dapat menstimulasi sekresi dari glukagon. Dengan cara ini, peningkatan kadar glukagon

akan meningkatkan terjadinya konversi dari asam amino menjadi glukosa sebagai usaha tubuh

kita untuk mempertahankan kadar gula darah dalam tubuh. Kadar glukagon juga akan

meningkat pada saat kita melakukan olah raga yang berat, hal ini terjadi sebagai usaha tubuh

kita untuk mencegah terjadinya penurunan kadar gula darah.

Hormon lainnya yang mempengaruhi gula darah.

Page 11: Diabetes Mellitus

Hormone-hormon lainnya dapat mempengaruhi kadar gula darah termasuk disini adalah

katekolamin, growth hormone, dan glukokortikoid. Hormone-hormon ini kadangkala kita sebut

dengan hormone-hormon counter regulasi karena hormone-hormon tersebut menghalangi

fungsi penyimpanan yang dimiliki oleh insulin dalam usaha untuk mengatur kadar gula darah

pada saat berpuasa, berolah raga, dan keadaan lainnya yang membatasi asupan glukosa atau

dapat menghabiskan cadangan glukosa yang ada di dalam tubuh kita.

Katekolamin.

Hormone katekolamin (epinephrine dan norepinephrine) membantu untuk mempertahankan

kadar gula darah pada saat kita mengalami stress fisik. Epinephrine berfungsi untuk

menghambat pelepasan insulin dan meningkatkan terjadinya glikogenolisis dengan

menstimulasi konversi yang terjadi pada glikogen yang terdapat di otot dan liver menjadi

glukosa. Glikogen dari otot tidak dapat dilepaskan ke dalam aliran darah dalam bentuk

glikogen; akan tetapi, mobilisasi dari simpanan glikogen pada otot ini untuk digunakan untuk

mempertahankan kadar gula darah jaringan lain seperti otak dan system jaringan syaraf. Pada

saat kita melakukan olah raga atau mendapatkan stress pada fisik dalam bentuk yang lainnya,

epinephrine ini akan menghambat pelepasan dari insulin pada sel-sel beta sehingga akan

menurunkan perpindahan glukosa kedalam sel-sel otot. Hormone katekolamin juga akan

meningkatkan aktifitas dari lipase sehingga akan terjadi peningkatan dari mobilisasi asam

lemak, suatu proses yang bertujuan untuk mempertahankan kadar glukosa. Efek peningkatan

kadar glukosa darah dari epinephrine merupakan suatu mekanisme homeostatis yang penting

pada saat terjadi hipoglikemia pada para pasien diabetes yang diberikan pengobatan dengan

menggunakan insulin.

Growth hormone.

Growth hormone memiliki berbagai efek metabolisme. Growth hormone dapat meningkatkan

sintesis protein pada semua sel-sel dalam tubuh kita, memobilisasi asam lemak dari jaringan

lemak, dan memiliki efek antagonis terhadap insulin. Hormone pertumbuhan akan menurunkan

uptake dan penggunaan dari glukosa, sehingga akan meningkatkan kadar dari gula darah.

Peningkatan dari kadar gula darah ini akan menstimulasi kembali sekresi insulin pada sel-sel

Page 12: Diabetes Mellitus

beta pancreas. Sekresi hormone pertumbuhan ini normalnya akan dihambat oleh insulin dan

bila disekresikan akan meningkatkan kadar gula darah. Pada saat kita berpuasa, dimana pada

saat tersebut terjadi penurunan dari baik kadar gula darah maupun juga kadar insulin yang

terdapat dalam darah, hormone pertumbuhan ini akan meningkat kadarnya dalam darah. Olah

raga, seperti berlari dan bersepeda, dan berbagai macam stress pada tubuh, termasuk juga

pemberian anesthesia, demam, dan trauma akan meningkatkan kadar hormone pertumbuhan.

Hipersekresi dari hormone pertumbuhan secara kronis, seperti yang terjadi pada suatu kondisi

yang kita sebut dengan acromegaly, dapat menyebabkan terjadinya suatu glucose intolerance

dan menyebabkan terjadinya suatu diabetes mellitus. Pada anak-anak yang telah menderita

diabetes, biasanya dapat terjadi sedikit peningkatan dari kadar hormone pertumbuhan yang

terjadi pada saat pertumbuhan dapat menyebabkan terjadinya gangguan dari berbagai sisi dari

metabolisme yang berhubungan dengan regulasi yang buruk, meskipun kita telah memberikan

terapi insulin secara optimum.

Hormone glukokortikoid.

Hormone glukokortikoid, yang dibuat di cortex adrenal bersamaan dengan hormone

kortikosteroid lainnya, penting untuk kemapuan kita bertahan pada saat puasa dan kelaparan.

Hormone-hormon ini akan menstimulasi glukoneogenesis oleh liver, dan kadang kala juga akan

menghasilkan peningkatan 6 sampai 10 kali lipat produksi glukosa pada hepar. Hormone-

hormon glukokortikoid ini juga akan memiliki efek penurunan konsumsi glukosa pada jaringan

perifer. Pada orang-orang tertentu, terjadinya peningkatan secara lama dari kadar hormone

glukokortikoid dapat menyebabkan terjadinya suatu hiperglikemia dan menyebabkan orang

tersebut menderita diabetes mellitus. Pada mereka yang menderita diabetes mellitus, bahkan

peningkatan yang sangat sedikit sekali pada kortisol dapat mempersulit kita untuk

mengendalikan kadar gula darah.

Terdapat beberapa macam hormone steroid yang memiliki efek aktifitas glukokortikoid;

diantara hormone tersebut yang paling penting adalah kortisol, yang merupakan hormone yang

paling bertanggung jawab terhadap aktifitas glukokortikoid karena 95% dari efek glukokortikoid

disebabkan oleh hormone ini. Kadar kortisol ini akan meningkat pada saat kita mengalami

Page 13: Diabetes Mellitus

stress, seperti pada saat kita mengalami infeksi, nyeri, trauma, pembedahan, kerja keras yang

lama atau latihan fisik yang berat, dan juga ketegangan psikis yang tiba-tiba. Hipoglikemia

merupakan suatu stimulus yang poten terhadap sekresi dari kortisol.

Diabetes Mellitus.

Istilah diabetes diambil dari bahasa yunani yang berarti “melalui” dan mellitus diambil dari

bahasa latin yang berarti “madu” atau “manis”. Laporan tentang kelainan ini dapat kita lacak

sampai dengan 1 abad sebelum masehi, ketika Aretaeus dari Cappadocian diceritakan memiliki

kelainan yang disebut sebagai kelainan kronis yang ditandai dengan rasa haus yang hebat dan

minum terus menerus, kencing yang berasa manis seperti madu: “Dagingnya meleleh ke dalam

urine”. Baru pada saat penemuan insulin oleh Banting dan Best pada tahun 1922 yang

mengubah penyakit yang dulunya fatal menjadi suatu masalah kesehatan kronis yang dapat

ditanggulangi.4

Diabetes merupakan kelainan yang terjadi pada metabolisme karbohidrat, protein, dan lemak

yang dihasilkan oleh ketidak stabilan antara kesediaan insulin dan kebutuhan insulin. Kelainan

ini dapat kita lihat sebagai suatu kekurangan insulin yang absolute, gangguan pelepasan insulin

oleh sel-sel beta pada pancreas, kurangnya atau rusaknya insulin reseptor, atau produksi dari

insulin yang masih merupakan suatu insulin tidak aktif atau insulin produksi akan tetapi

mengalami kerusakkan sebelum insulin tersebut mampu melakukan tugasnya di jaringan

perifer. Seseorang dengan suatu diabetes yang tidak terkendali tidak dapat mengangkut

glukosa kedalam sel-sel lemak dan sel-sel otot; sebagai akibatnya, sel-sel tubuh tersebut akan

mengalami kekurangan gizi, dan pemecahan lemak dan protein yang terjadi akan meningkat.

Klasifikasi dan etiologi.

Meskipun diabetes mellitus sudah jelas merupakan kelainan dari kesediaan insulin yang ada

dalam tubuh kita, akan tetapi diabetes mellitus ini mungkin saja bukan satu-satunya penyakit

yang diderita oleh orang yang menderita diabetes mellitus. Suatu system pembagian dari

diabetes yang telah diperbaiki yang dibuat pada tahun 1997 oleh Expert Committee on the

Page 14: Diabetes Mellitus

Diagnosis and Classification of Diabetes Mellitus.5 Sistem yang telah diperbaiki secara intensif,

yang menggantikan system klasifikasi pada tahun 1979, bertujuan untuk menghindarkan suatu

system klasifikasi yang berfokus pada tipe pengobatan farmakologis yang digunakan pada

manajemen diabetes ke suatu klasifikasi yang berbasis pada etiologi dari diabetes mellitus itu

sendiri. System yang diperbaiki ini tetap menyebutkan tipe 1 dan tipe 2 dari diabetes, akan

tetapi juga menggunakan cara penomeran secara arab bukan secara romawi, dan

menghilangkan istilah yang digunakan sebagai “insulin dependent” dan “non insulin dependent”

diabetes mellitus. Diabetes tipe 1 adalah disebabkan karena pengrusakkan dari sel-sel beta

pancreas yang terutama terjadi pada proses gangguan autoimmune. Diabetes tipe 2 merupakan

tipe diabetes yang lebih sering dan disebabkan karena terjadinya resistensi insulin, termasuk

dalam klasifikasi ini adalah diabetes mellitus pada kehamilan (GDM Gestational Diabetes

Mellitus, diabetes yang muncul pada saat kehamilan) dan tipe diabetes lainnya yang spesifik,

banyak diantaranya yang muncul karena kondisi lainnya (misalnya pada Cushing’s syndrome,

pancreatitis, acromegaly).

System klasifikasi yang telah diperbaiki ini juga memasukkan suatu system untuk melakukan

diagnosis diabetes berdasarkan dari tingkatan intoleransi pada glukosa.5 Kriteria yang telah

diperbaiki ini juga tetap mempertahankan kategori yang dulunya disebut sebagai suatu

gangguan toleransi glukosa (Impaired Glucose Tolerance (IGT)) dan ditambahkan suatu kategori

baru yaitu gangguan gula darah puasa (Impaired Fasting Blood Glucose (IFG)). Kategorisasi dari

IFG dan IGT ini menunjukkan suatu tingkatan pada system metabolisme yang berada ditengah-

tengah antara normal homeostasis glukosa dan diabetes. Suatu kadar gula darah puasa yang

mencapai 110 mg/dL atau kurang atau suatu kadar yang lebih rendah dari 140 mg/dL setelah 2

jam pemberian test glukosa secara oral dapat kita anggap sebagai normal. IFG didefinisikan

sebagai suatu keadaan gula darah puasa mencapai 110 mg/dL atau lebih akan tetapi kurang

dari 126 mg/dL. IGT menunjukkan suatu pengukuran kadar gula darah yang tidak normal (≥ 140

mg/dL tetapi < 200 mg/dL) setelah 2 jam pemberian loading glukosa secara oral.5 Setiap tahun,

hampir 5% dari mereka yang menderita IFG dan IGT mengalami progresifitas menjadi diabetes.

IFG dan IGT berhubungan erat dengan peningkatan resiko terajadinya atherosclerotic yang

menyebabkan terjadinya penyakit jantung. Pembatasan kalori dan penurunan berat badan

Page 15: Diabetes Mellitus

merupakan suatu hal yang sangat penting pada mereka yang kelebihan berat badan yang

menderita IFG dan IGT.6

Diabetes Mellitus tipe 1.

Diabetes tipe 1 disebabkan oleh kerusakkan sel-sel beta dan kekurangan insulin. Dimana

merupakan penyakit yang disebabkan oleh kelainan imunitas (tipe 1A) dimana diderita oleh

90% dari kasus dan tipe yang idiopatik (tipe 1B) pada kurang dari 10% kasus. Diabetes tipe 1,

yang dulunya sering disebut dengan juvenile diabetes, lebih sering terjadi pada orang muda

akan tetapi dapat juga terjadi pada setiap golongan umur. Tingkat kerusakkan dari sel beta

sangat beragam, dapat sangat cepat pada beberapa pasien ataupun juga dapat sangat lambat

pada beberapa orang yang lainnya. Bentuk kerusakkan yang mengalami progresifitas secara

cepat sering dapat kita temukan pada anak-anak akan tetapi dapat pula kita temukan pada

orang dewasa. Bentuk progresifitas kerusakkan yang lambat biasanya terjadi pada orang

dewasa dan kadang kala kita sebut sebagai suatu latent autoimmune diabetes in adults. Di

Amerika Serikat dan Eropa, hampir 10% dari mereka yang menderita diabetes mellitus

menderita tipe 1 diabetes mellitus.

Diabetes tipe 1 merupakan suatu kelainan yang bersifat katabolis dimana insulin yang beredar

dalam darah hampir sama sekali tidak ada, kadar glukagon akan meningkat, dan sel-sel beta

pancreas gagal untuk merespon terhadap semua stimuli yang merangsang produksi insulin.

Salah satu fungsi dari insulin adalah penghambatan dari lipolisis (pemecahan lemak) dan

pelepasan dari asam lemak (FFA (free fatty acid)) dari sel-sel lemak. Pada keadaan dimana tidak

terdapatnya insulin, maka akan muncul keadaan yang kita sebut dengan ketosis yang

disebabkan oleh pelepasan asam lemak dari sel-sel lemak tubuh dan dirubah menjadi ketoacid

di dalam liver. Karena hilangnya fungsi dari sel beta dan terjadinya kekurangan insulin yang

benar-benar lengkap, mereka yang menderita diabetes tipe 1A memerlukan pemberian insulin

dari luar untuk membalikkan kembali keadaan katabolic yang terjadi, untuk mengendalikan

kadar gula darah dan mencegah terjadinya ketosis.

Page 16: Diabetes Mellitus

Diabetes tipe 1 diduga disebabkan karena suatu predisposisi genetic (dalam hal ini gen

diabetogenik), suatu kejadian tertentu yang mentriger diabetes tersebut secara hipotesis yang

melibatkan factor lingkungan sehingga menyebabkan terjadinya suatu respon immune dan

produksi dari autoantibody yang akan menghancurkan sel-sel beta. Autoantibody ini dapat

bertahan didalam badan selama beberapa tahun sebelum terjadinya suatu onset hiperglikemia.

Suatu leukosit pada manusia yang mewariskan antigen (HLA (Human Leucocyte Antigen))

berhubungan sangat erat dengan perkembangan diabetes tipe 1. Hampir sekitar 95% dari

mereka yang menderita diabetes memiliki salah satu dari HLA-DR3 atau HLA-DR4. Kenyataan

bahwa diabetes tipe 1 disebabkan oleh hasil interaksi antara genetic dan factor lingkungan

telah menyebabkan ditelitinya metode untuk mencegah dan pengendalian seawal mungkin dari

penyakit diabetes ini. Metode ini termasuk diantaranya adala identifikasi secara genetic mereka

yang rentan terhadap diabetes dan intervensi seawal mungkin pada mereka yang baru saja di

diagnosis diabetes tipe 1. Setelah diagnosis diabetes tipe 1 kita tegakkan, sering terjadi proses

regenerasi dari sel beta dalam beberapa saat setelah diagnosis kita tegakkan, pada saat ini

gejala dari diabetes akan menghilang dan suntikkan insulin mungkin tidak kita perlukan lagi.

Kejadian ini kita sebut dengan honeymoon period. Intervensi secara immunologis dirancang

untuk menghentikan pengrusakkan dari sel-sel beta sebelum orang yang menderita gangguan

immunitas ini menjadi diabetes tipe 1 masih diteliti terus menerus saat ini pada Diabetes

Prevention Trial, yang terus mencoba untuk menemukan cara mencegah kegagalan sel-sel beta

secara lengkap dan irreversible.

Page 17: Diabetes Mellitus

Diabetes mellitus tipe 2.

Diabetes mellitus tipe 2 didefinisikan sebagai suatu kondisi dimana terjadi hiperglikemia pada

gula darah puasa yang terjadi meskipun didalam darah sudah terdapat insulin. Sebagai

perbandingan dengan diabetes tipe 1, diabetes tipe 2 tidak berhubungan dengan marker HLA

atau autoantibody. Sebagian besar mereka yang menderita diabetes tipe 2 adalah mereka yang

memiliki kelebihan berat badan dan biasanya berusia lanjut. Kelainan metabolisme yang

menghasilkan suatu keadaan hiperglikemia pada mereka yang menderita diabetes tipe 2 dapat

disebabkan oleh hal-hal dibawah ini:

Gangguan dari sekresi insulin.

Resistensi perifer terhadap insulin yang diproduksi.

Terjadinya peningkatan produksi glukosa pada hepar.

Resistensi insulin pada

awalnya akan menstimulasi

sekresi insulin pada sel-sel

beta pada pancreas sehingga

produksi yang dihasilkan oleh

sel-sel beta tersebut dapat

memenuhi peningkatan dari

kebutuhan hormone insulin

untuk dapat

mempertahankan keadaan

normoglikemia pada darah.

Pada suatu waktu, respon

sekresi hormone insulin pada

sel-sel beta pancreas akan

menurun karena terjadi keletihan pada sel-sel beta pancreas tersebut setelah secara terus

menerus didorong untuk memproduksi insulin dalam jumlah yang besar. Hal ini akan

Page 18: Diabetes Mellitus

menyebabkan terjadinya peningkatan kadar gula darah pada postprandial (setelah makan).

Pada perjalanan dari penyakit, seseorang dengan diabetes tipe 2 tidak menghasilkan insulin

dengan jumlah yang mencukupi karena terjadi kegagalan dari sel-sel beta pada pancreas.

Karena pada mereka yang menderita diabetes tipe 2 tidak mengalami kekurangan insulin yang

absolute, mereka tidak terlalu rentan untuk mengalai ketoasidosis dibandingkan mereka yang

menderita diabetes tipe 1. Juga didapatkan bukti bahwa resistensi insulin yang terjadi tidak

hanya menyebabkan terjadinya hiperglikemia pada mereka yang menderita diabetes tipe 2,

tetapi juga memegang peranan dalam kelainan metabolisme lainnya yang mereka alami. Dalam

hal ini termasuk tingginya kadar dari trigliserid dalam plasma, rendahnya kadar high density

lipoprotein, hipertensi, dan terjadinya fibrolisis yang abnormal, dan penyakit jantung koroner.

Gabungan kelainan ini sering disebut dengan sindroma resistensi insulin, sindroma X, atau juga

metabolic syndrome.7

Hampir 80% dari mereka yang menderita diabetes tipe 2 mengalami overweight.8 Terdapatnya

obesitas dan tipe dari obesitas yang terjadi penting untuk menjadi pertimbangan kita terhadap

terjadinya diabetes tipe 2. Telah kita ketahui bahwa mereka yang memiliki obesitas pada bagian

tubuh atas memiliki resiko yang lebih besar untuk menderita diabetes tipe 2 dibandingkan

dengan mereka yang memiliki obesitas pada bagian bawah tubuh. Mereka yang mengalami

obesitas akan mengalami peningkatan resistensi terhadap aktifitas insulin dan mengalami

gangguan terhadap supresi produksi glukosa pada liver, sehingga kesemuanya akan

menghasilkan terjadinya hiperglikemia dan hiperinsulinemia. Peningkatan terhadap resistensi

insulin terutama disebabkan terjadinya peningkatan dari lemak visceral (intraabdominal) yang

dapat kita deteksi dengan menggunakan CT scan.9 Sebagai tambahan terhadap terjadinya

resistensi insulin, pelepasan insulin dari sel-sel beta dari pancreas yang terjadi sebagai akibat

respon terhadap glukosa akan terganggu. Dengan sejalan dengan waktu, resistensi insulin akan

semakin berkurang dengan terjadinya penurunan dari berat badan, sehingga dengan demikian

pada banyak penderita diabetes tipe 2, penyakit yang terjadi dapat kita tangani dengan cara

menurunkan berat badan dan berolah raga.

Tipe diabetes yang lainnya.

Page 19: Diabetes Mellitus

Tipe diabetes lainnya, yang dulu dikenal dengan sebutan diabetes sekunder, didefinisikan

sebagai suatu diabetes yang berhubungan dengan kondisi dan sindroma yang lainnya. Diabetes

seperti ini dapat terjadi pada penyakit pancreas atau setelah terjadinya pengangkatan jaringan

pancreas dan penyakit endokrin yang lainnya, seperti pada acromegaly atau Cushing’s

syndrome. Kelainan endokrin yang menyebabkan diabetes ini adalah kelainan yang

menyebabkan terjadinya hiperglikemia dengan meningkatkan produksi glukosa atau dengan

menurunkan penggunaan glukosa pada jaringan sel di perifer. Beberapa tipe diabetes tertentu

berhubungan dengan defek yang bersifat monozygotic pada fungsi dari sel-sel beta. Tipe

diabetes yang seperti ini, yang menyerupai diabetes tipe 2 akan tetapi terjadi pada usia yang

jauh lebih muda (biasanya sebelum berusia 25 tahun), dimana yang dulunya disebut dengan

maturity onset diabetes of the young (MODY).10

Pengaruh lingkungan yang berhubungan dengan gangguan fungsi dari sel-sel beta termasuk

virus (misalnya, mumps, rubella congenital, coxsackie virus) dan racun kimia. Diantara kimia

yang bersifat racun adalah nitrosamine, yang kadangkala dapat ditemukan pada daging asap

atau daging yang diawetkan. Nitrosamine berhubungan dengan streptozocin, yang digunakan

untuk menginduksi terjadinya diabetes pada hewan percobaan, dan racun tikus, yang dapat

juga menyebabkan terjadinya diabetes bila dikonsumsi oleh manusia.

Beberapa macam diuretic – seperti thiazide dan diuretic loop – dapat meningkatkan kadar gula

darah. Diuretic ini akan meningkatkan kehilangan dari potassium, yang diduga dapat

mempengaruhi pelepasan dari insulin. Obat-obatan lainnya yang juga diketahui dapat

menyebabkan hiperglikemia adalah diazoxide, glucocorticoid, levodopa, kontrasepsi oral,

simpatomimetik, phenothiazine, phenytoin, dan nutrisi parenteral penuh (seperti pada

hyperalimentation). Peningkatan kadar gula darah yang berhubungan dengan peningkatan

kadar gula darah biasanya dapat kembali menjadi normal setelah kita menghentikan pemberian

dari obat tersebut.

Diabetes pada kehamilan.

Page 20: Diabetes Mellitus

Diabetes pada kehamilan menunjukkan suatu keadaan intoleransi terhadap glukosa yang

ditemukan pertama kali pada saat kehamilan. Diabetes pada kehamilan ini dapat terjadi pada

berbagai tingkatan di 2% sampai 5% dari seluruh kehamilan.11 Diabetes pada kehamilan ini

paling sering mempengaruhi para wanita yang pada keluarganya memiliki riwayat keluarga

diabetes; dengan tanda utama glukosuria; dengan terdapatnya riwayat keluarga terjadinya

stillbirth atau aborsi spontan, kelainan dari janin pada kehamilan sebelumnya, atau mereka

yang memiliki bayi yang berberat badan besar atau bayi yang terlalu berat bila dibandingkan

dengan usia kehamilannya; dan mereka yang mengalami kegemukkan, dengan umur kehamilan

yang terjadi pada usia lanjut, atau memiliki riwayat persalinan dengan jumlah anak lebih dari

lima orang.

Diagnosis dan penanganan medis yang hati-hati sangat penting karena para wanita yang

mengalami diabetes pada kehamilan memiliki resiko yang tinggi untuk mengalami kompiikasi

dari kehamilan yang terjadi, mortalitas yang tinggi, dan kemungkinan kelainan janin.12 Kelainan

dari janin termasuk disini adalah macrosmia (ukuran tubuh yang besar), hipoglikemia,

hipokalsemia, polisitemia, dan hiperbilirubinemia.

Petunjuk pelaksanaan praktek klinis yang dikeluarkan oleh The American Diabetes Association

menyarankan untuk para wanita hamil yang sebelumnya tidak diketahui memiliki intoleransi

terhadap glukosa sebelum minggu ke 24 dari kehamilannya sebaiknya kita melakukan screening

terhadap test glukosa toleran pada saat kehamilan mencapai minggu ke 24 dan minggu ke 28.11

Akan tetapi, para wanita yang lebih muda dari 25 tahun, dengan berat badan normal sebelum

terjadi kehamilan, tidak memiliki riwayat keluarga diabetes atau riwayat keluarga secara

obstetric yang buruk, dan bukan merupakan bagian dari etnik/ras yang beresiko tinggi untuk

terkena diabetes (Hispanic, Indian, Asia, Afroamerika) kita dapat tidak melakukan screening

terhadap mereka.

Pengelolaan terhadap diabetes dalam kehamilan termasuk disini adalah observasi terhadap ibu

dan janin karena meskipun hanya mengalami sedikit hiperglikemia telah dapat mengakibatkan

terjadinya kelainan atau kerusakkan terhadap janin. Kadar gula darah ibu pada saat puasa dan

posprandial harus kita periksa secara berkala. Pemeriksaan terhadap janin tergantung dari

Page 21: Diabetes Mellitus

tingkat resiko yang dialami oleh janin. Frekuensi pengukuran terhadap pertumbuhan janin dan

penentuan terjadinya distress terhadap janin tergantung pada tersedianya teknologi yang ada

dan juga tergantung dari usia kehamilan si ibu. Semua wanita dengan diabetes pada kehamilan

membutuhkan dukungan secara nutrisi karena nutrisi merupakan titik utama dari terapi

diabetes yang dapat kita berikan. Rencana pemberian nutrisi yang diberikan harus dapat

memberikan nutrisi yang cukup untuk kesehatan baik ibu maupun janin, serta mampu

menghasilkan normoglikemia dan pertambahan berat badan yang baik, dan mencegah

terjadinya ketosis.12 Bila pengendalian secara diet saja tidak dapat mencapai kadar gula darah

puasa tidak boleh lebih dari 105 mg/dL atau gula darah 2 jam postprandial tidak boleh lebih dari

120 mg/dL, Third International Workshop yang membahas mengenai diabetes pada kehamilan

merekomendasikan pemberian terapi dengan menggunakan insulin manusia. Karena

pemberian obat antidiabetis oral dapat menyebabkan terjadinya teratogenic dan tidak

disarankan untuk diberikan pada kehamilan. Pengendalian kadar gula darah yang dilakukan

sendiri oleh pasien sangat penting.

Para wanita yang menderita diabetes pada kehamilan memiliki resiko yang meningkat untuk

menderita diabetes 5 sampai dengan 10 tahun setelah persalinan. Pada para wanita yang

menderita diabetes mellitus pada kehamilan harus kita lakukan follow up setelah terjadinya

persalinan untuk mendeteksi ada tidaknya diabetes dan segera memberikan perawatan bila

didapatkan diabetes seawal mungkin. Para wanita ini harus kita lakukan evaluasi ulang pada

saat mereka melakukan pemeriksaan postpartum mereka yang pertama dengan melakukan

pengujian toleransi terhadap 2 jam setelah pemberian glukosa yang diberikan secara oral

dengan pemberian 75 gram loading glukosa.

Manifestasi dari diabetes.

Diabetes memiliki manifestasi penyakit yang cepat dan tidak nyata. Pada diabetes tipe 1, tanda

dan gejala sering muncul dengan tiba-tiba. Diabetes tipe 2 biasanya gejala dan tanda yang

dapat kita dapatkan akan muncul dengan lebih perlahan. Terdeteksinya suatu diabetes oleh kita

biasanya pada saat kita melakukan pemeriksaan rutin atau pada saat pasien meminta bantuan

kepada kita karena suatu alasan yang lainnya.

Page 22: Diabetes Mellitus

Gejala dan tanda yang paling sering kita temukan pada diabetes disebut sebagai 3 poly –

polyuria (pasien mengeluhkan banyak kencing), polydipsia (pasien mengeluhkan adanya rasa

haus yang hebat), dan polyphagia (pasien mengeluhkan selalu lapar). Ketiga gejala ini sangat

erat dengan hiperglikemia dan glukosuria yang terjadi pada diabetes. Glukosa merupakan suatu

molekul yang berukuran kecil, dan mampu melakukan osmosis secara aktif. Bila kadar gula

darah kita meningkat cukup tinggi, jumlah glukosa yang difiltrasi oleh glomerulus pada ginjal

akan melebihi jumlah yang dapat direabsorbsi oleh tubulus ginjal. Hal ini akan menyebabkan

terjadinya glukosuria yang akan diikuti dengan terjadinya kehilangan cairan dalam jumlah besar

kedalam urin. Rasa haus yang dirasakan karena terjadi dehidrasi intraseluler yang terjadi saat

kadar gula darah kita meningkat dan cairan yang ada didalam sel akan tertarik keluar dari dalam

tubuh sel tersebut, termasuk juga yang terkena efek ini adalah pusat rasa haus kita yang

terdapat di hipotalamus. Dehidrasi yang terjadi ini juga menyebabkan terjadinya kekeringan di

rongga mulut. Gejala awal ini sering sekali kita lewatkan pada mereka yang menderita diabetes

tipe 2, terutama pada mereka yang mengalami peningkatan kadar gula darah secara bertahap.

Polyphagia biasanya tidak kita dapatkan pada mereka yang menderita diabetes tipe 2. Pada

diabetes tipe 1, mungkin hal ini disebabkan oleh terjadinya kelaparan pada tingkat seluler dan

habisnya simpanan karbohidrat, lemak dan protein yang terdapat didalam sel.

Penurunan berat badan sering terjadi pada mereka yang menderita diabetes tipe 1 meskipun

nafsu makan mereka normal atau meningkat. Penyebab terjadinya penurunan berat badan

akan menjadi dua kali lipat pada mereka yang mengalami diabetes. Pertama, penurunan dari

cairan tubuh sebagai akibat terjadinya diuresis osmotic. Pada penderita diabetes dapat terjadi

muntah yang mana dapat memperberat kehilangan cairan hal ini terutama terjadi pada

ketoacidosis. Kedua, terjadinya kehilangan massa pada sel-sel jaringan tubuh karena terjadi

kekurangan insulin dimana tubuh kita terpaksa menggunakan cadangan lemak dan protein

dalam sel sebagai sumber dari energy yang dibutuhkan oleh tubuh kita untuk melakukan

aktifitas sehari-hari. Dalam bentuk penurunan berat badan yang terjadi, terdapat perbedaan

yang dapat kita bedakan secara jelas antara diabetes tipe 1 dengan diabetes tipe 2. Penurunan

berat badan merupakan fenomena yang sering kita temukan pada mereka yang menderita

Page 23: Diabetes Mellitus

diabetes tipe 1 yang tidak terkendali, dimana banyak dari pada mereka yang menderita

diabetes tipe 2 mengalami masalah dengan obesitas.

Tanda dan gejala lainnya dari terjadinya hiperglikemia termasuk diantaranya adalah seringnya

terjadi gangguan pandangan, rasa letih atau malas, paresthesia, dan infeksi kulit. Pada mereka

yang menderita diabetes tipe 2, hal ini biasanya merupakan gejala yang membuat mereka

datang berobat ke kita. Gangguan penglihatan akan terjadi pada saat retina dan lensa dari mata

terkena efek dari hiperosmolaritas yang terjadi karena peningkatan dari kadar gula darah.

Penurunan dari volume plasma darah akan menghasilkan rasa lemah dan cepat letih.

Paresthesia menunjukkan terjadinya suatu gangguan temporer dari system syaraf perifer.

Infeksi kulit yang kronis sering juga kita dapatkan pada mereka yang menderita diabetes tipe 2.

Hiperglikemia dan glukosuria akan menyebabkan peningkatan dari pertumbuhan jamur,

pruritus dan vulvovaginitis yang disebabkan oleh infeksi candida sering menjadi keluhan pada

para wanita yang menderita diabetes.

Cara untuk menegakkan diagnosis.

Cara untuk menegakkan diagnosis diabetes pada seorang dewasa yang tidak sedang hamil

adalah berdasarkan pada kadar gula darah puasa, dan pengecekkan secara acak, atau hasil dari

test pemberian glukosa. Pemeriksaan untuk diabetes sebaiknya kita pertimbangkan untuk

dilakukan pada mereka yang memiliki usia diatas 45 tahun. Pemeriksaan sebaiknya dilakukan

pada usia yang jauh lebih muda bila orang tersebut mengalami obesitas, memiliki saudara yang

berhubungan dengan dengan pasien yang menderita diabetes, merupakan mereka yang

termasuk memiliki resiko tinggi, para wanita yang melahirkan bayi dengan berat badan bayi

yang mereka lahirkan diatas dari 4 kg atau mereka yang telah didiagnosis memiliki suatu

diabetes pada kehamilan, memiliki hipertensi atau hiperlipidemia, atau masuk dalam criteria

untuk impaired glucose tolerance atau impaired fasting glucose pada pemeriksaan

sebelumnya.13

Pemeriksaan darah.

Page 24: Diabetes Mellitus

Pengukuran kadar gula darah dapat digunakan baik untuk diagnosis maupun untuk

penatalaksanaan diabetes. Pemeriksaan diagnostic termasuk disini pemeriksaan gula darah

puasa, pemeriksaan kadar gula darah secara acak, test toleransi gula, dan hemoglobin yang

telah mengalami glikosilasi. Pengambilan bahan pemeriksaan glukosa untuk laboratorium

melalui pembuluh darah kapiler atau “finger stick”, digunakan untuk melakukan manajemen

pada mereka yang didiagnosis diabetes.

Pemeriksaan glukosa darah puasa selama ini lebih disenangi sebagai test pemeriksaan

diagnostic karena mudah untuk mendapatkannya, lebih nyaman dan lebih dapat dilakukan

dengan mudah oleh pasien, serta biayanya juga lebih mudah.5 Kadar glukosa darah diukur

setelah kita makan terakhir 8 sampai 12 jam sebelumnya. Bila kadar gula darah puasa yang kita

dapatkan pada pemeriksaan lebih dari 126 mg/dL pada dua kali pengambilan sample, maka kita

dapat menegakkan diagnosis diabetes pada pasien tersebut. Pemeriksaan kadar gula darah

puasa secara acak adalah pemeriksaan darah yang dilakukan tanpa memandang apakah dia

baru makan atau waktu dilakukannya pemeriksaan baik pagi, siang, atau sore. Hasil

pemeriksaan kadar gula darah yang dilakukan secara acak yang meningkat secara nyata (> 200

mg/dL) ditambah dengan ditemukannya gejala klasik dari diabetes seperti polydipsia,

polyphagia, polyuria, dan gangguan penglihatan yang menjadi kurang jelas maka kita dapat

menegakkan diagnosis diabetes mellitus tanpa memandang umur dari saat pasien tersebut di

diagnose.

Pemeriksaan toleransi glukosa peroral merupakan suatu pemeriksaan untuk screening yang

penting untuk menegakkan diabetes. Pemeriksaan ini akan mengukur kemampuan tubuh kita

untuk menyimpan glukosa dengan cara mengambil glukosa yang masuk kedalam aliran darah

untuk disimpan dalam jaringan. Pada mereka yang memiliki toleransi glukosa yang normal,

kadar glukosa dalam darah akan kembali normal dalam waktu 2 sampai 3 jam setelah

diberikannya loading glukosa secara peroral, dimana kita dapat mengasumsikan bahwa kadar

insulin yang terdapat dalam tubuh adalah mencukupi sehingga memungkinkan glukosa untuk

dapat diambil oleh jaringan tubuh. Karena pada mereka yang menderita diabetes terjadi

gangguan terhadap kemampuan tubuh untuk merespon terjadinya peningkatan kadar gula

Page 25: Diabetes Mellitus

darah dengan cara mensekresikan insulin yang mencukupi sehingga glukosa yang ada dapat

diambil oleh jaringan tubuh, kadar gula darah akan meningkat diatas dari yang kita dapatkan

pada orang normal dan glukosa tersebut akan tetap berada dalam aliran darah untuk periode

waktu yang lebih lama.

Hemoglobin yang mengalami glukosidasi akan dapat kita tentukan dengan melakukan

pengukuran terhadap HbA1c (hemoglobin yang berikatan dengan glukosa) dalam darah. Ketika

hemoglobin dilepaskan dari sumsum tulang, hemoglobin tersebut tidak mengandung glukosa.

Dalam waktu hidupnya yang mencapai 120 hari dalam sel darah merah, hemoglobin biasanya

akan mengalami pemaparan dengan glukosa sehingga membentuk suatu ikatan

glycohemoglobin A1a dan A1b (2% sampai 4%) dan A1c (4% sampai 6%). Karena masuknya glukosa

kedalam sel darah merah tidak bergantung pada keberadaan insulin, maka tingkat berikatannya

glukosa dengan molekul hemoglobin bergantung pada kadar gula di dalam darah. Glukosidasi

ini merupakan suatu yang bersifat irreversible, dan kadar dari HbA1c yang terdapat dalam darah

menunjukkan suatu nilai index dari kadar gula darah selama 2 sampai 3 bulan kebelakang.

America Diabetes Asociation (ADA) memberikan suatu rekomendasi yang menyatakan

perbaikan dari HbA1c tidak boleh lebih besar dari 8%. Akan tetapi, penelitian yang dilakukan

oleh United Kingdom Prospective Diabetes Study (UKPDS), target pegobatan yang diberikan

diperbaiki dimana penurunan dari kadar HbA1c kurang dari 7.0%, atau bahkan bila dapat

mencapai kadar glikemia yang normal yaitu kurang dari 6.0%.14

Kemajuan teknologi yang ada saat ini menyediakan alat-alat bagi kita untuk melakukan monitor

terhadap kadar gula darah dengan menggunakan tetes darah kapiler. Prosedur pemeriksaan ini

memberikan para dokter alat yang dapat digunakan untuk memonitor kadar gula darah dengan

cepat dan ekonomis dan memberikan jalan untuk mereka yang menderita diabetes untuk dapat

mempertahankan kadar gula darah mereka untuk dapat mendekati kadar gula darah normal

dengan menggunakan alat pengukur kadar gula darah yang dapat dilakukan sendiri di rumah.

Pemeriksaan laboratorium yang menggunakan plasma darah untuk mengukur kadar gula darah

akan memberikan hasil 10% sampai 15% lebih tinggi dari metode “finger stick”, yang

menggunakan seluruh matriks darah. Banyak alat pemeriksaan gula darah telah di

Page 26: Diabetes Mellitus

rekomendasikan untuk dapat digunakan di rumah dan beberapa test strip yang ada saat ini

dapat dikalibrasi dengan pembacaan kadar glukosa darah yang diukur dari plasma. Sangat

penting untuk mereka yang menderita diabetes untuk mengetahui apakah alat yang mereka

gunakan menggunakan seluruh material dari darah atau plasma.

Pemeriksaan urine.

Pemeriksaan glukosa pada urine hanya akan menunjukkan kadar glukosa darah pada urine dan

dipengaruhi oleh faktor-faktor seperti ambang batas ginjal terhadap glukosa, asupan cairan,

dan konsentrasi dari urine itu sendiri, metode pemeriksaan test urine, dan obat-obatan yang

dipergunakan. Oleh karena hal-hal tersebut, maka ADA merekomendasikan bahwa semua

pasien yang mempergunakan insulin harus melakukan monitoring terhadap diri mereka sendiri

dengan menggunakan pemeriksaan melalui darah, bukan melalui urine.13 Tidak seperti

pemeriksaan glukosa, penentuan kadar keton dalam urine tetap merupakan hal yang penting

sebagai bagian dari pengawasan pengelolaan diabetes, terutama pada mereka yang menderita

diabetes tipe 1 yang memiliki resiko untuk mengalami ketoasidosis dan pada wanita hamil yang

menderita diabetes untuk selalu memeriksa kecukupan asupan nutrisi dan pengendalian

glukosa mereka.

Page 27: Diabetes Mellitus

Referensi :

1. American Diabetes Association. (2000). Diabetes facts and figures. [On-line]. Available: http://www.diabetes.org/.

2. Guyton A., Hall J.E. (2000). Textbook of medical physiology (10th ed., pp. 884–898). Philadelphia: W.B. Saunders.

3. Shepard P.R., Kahn B. (1999). Glucose transporters and insulin action. New England Journal of Medicine 341, 248–256.

4. Goldfine I.R., Youngren J.F. (1998). Contributions of the American Journal of Physiology to the discovery of insulin. American Journal of Physiology 274, E207–E209.

5. Expert Committee on the Diagnosis and Classification of Diabetes Mellitus. (1997). Report of the Expert Committee on the Diagnosis and Classification of Diabetes Mellitus. Diabetes Care 20, 1183–1199.

6. Atkinson M.A., Eisenbarth G.S. (2001). Type 1 diabetes: New perspectives on disease pathogenesis and treatment. The Lancet 358, 221–229.

7. Davidson M.B. (1995). Clinical implications of insulin resistance syndromes. American Journal of Medicine 99, 420–426.

8. Boder G. (2001). Free fatty acids—the link between obesity and insulin resistance. Endocrine Practice 7, 44–51.

9. Guven S., El-Bershawi A., Sonnenberg G.E., et al. (1999). Persistent elevation in plasma leptin level in ex-obese with normal body mass index: Relation to body composition and insulin sensitivity. Diabetes 48, 347–352.

10. Winter W.E., Kamura M., House D.W. (1999). Monogenic diabetes mellitus in youth: The MODY syndrome. Metabolic Clinics of North America 28, 765–785.

11. American Diabetes Association. (2000). Gestational diabetes mellitus. Diabetes Care 23 (Suppl. 1), S77–S79.

12. Kjos S.L., Buckanan T.A. (1999). Gestational diabetes mellitus. New England Journal of Medicine 341, 1749–1756.

13. American Diabetes Association. (2000). Report of the Expert Committee on the Diagnosis and Classification of Diabetes Mellitus. Diabetes Care 23 (Suppl. 1), S14.

14. UKPDS Group. (1998). Intensive blood-glucose control with sulfonylureas or insulin compared with conventional treatment and risk of complications in patients with type 2 diabetes (UKPDS 33). Lancet 352, 837–853.

15. Shichiri M., Kishikquq H., Ohkubo Y., et al. (2000). Long-term results of Kumamoto Study on optimal diabetes control in type 2 diabetes patients. Diabetes Care 23 (Suppl. 2), B21–B29.

16. American Diabetes Association. (2000). Nutrition recommendations and principles for people with diabetes mellitus (Position Statement). Diabetes Care 23 (Suppl. 1), S43–S46.

17. Markovic T.P., Jenkins A.B., Campbell L.U., et al. (1998). The determinants of glycemic responses to diet restriction and weight loss and obesity in NIDDM. Diabetes Care 21, 687–694.

18. American Diabetes Association. (2000). Diabetes mellitus and exercise. Diabetes Care 23 (Suppl. 1), S50–S54.

19. Lebovitz H.E. (1999). Insulin secretogogues: Old and new. Diabetes Reviews 7, 139–153.

Page 28: Diabetes Mellitus

20. Vaaler S. (2000). Optimal glycemic control in type 2 diabetes patients. Diabetes Care 23 (Suppl. 2), B30.

21. Schoonjans J., Auwerx J. (2000). Thiazolidinediones: An update. Lancet 355, 1008–1010.

22. Shapiro J., Lakey J., Ryan E., et al. (2000). Islet transplantation with type 1 diabetes mellitus using glucocorticoid-free immunosuppressive regimen. New England Journal of Medicine 343, 230–238.

23. Herbel G., Boyle P.J. (2000). Hypoglycemia. Endocrinology and Metabolic Clinics of North America 29, 725–740.

24. Bolli G.B., Fanelli C.G. (1995). Unawareness of hypoglycemia. New England Journal of Medicine 333, 1771–1772.

25. Kitabachi A.E., Umpierrez G.E., Murphy M.B., et al. (2001). Management of hyperglycemic crisis in patients with diabetes. Diabetes Care 24, 131–153.

26. Delaney M.F., Zisman A., Kettyle W.M. (2000). Diabetic ketoacidosis and hyperglycemic hyperosmolar nonketotic syndrome. Endocrinology and Metabolic Clinics of North America 29, 725–740.

27. Somogyi M. (1957). Exacerbation of diabetes in excess insulin action. American Journal of Medicine 26, 169–191.

28. Bolli G.B., Gotterman I.S., Campbell P.J. (1984). Glucose counterregulation and waning of insulin in the Somogyi phenomenon (posthypoglycemic hyperglycemia). New England Journal of Medicine 311, 1214–1219.

29. Bolli G.B., Gerich J.E. (1984). The dawn phenomenon: A common occurrence in both non-insulin and insulin dependent diabetes mellitus. New England Journal of Medicine 310, 746–750.

30. Klein R., Klein B.E.K., Moss S.E. (1996). Relation of glycemic control to diabetic microvascular complications in diabetes mellitus. Annals of Internal Medicine 124, 90–96.

31. Estacio R.O., Jeffero B.W., Gifford N., et al. (2000). Effect of blood pressure control on diabetic neovascular complications in patients with hypertension and type 2 diabetes. Diabetes Care 23 (Suppl. 2), B54–B64.

32. The Diabetes Control and Complications Trial Research Group. (1993). The effect of intensified treatment of diabetes on the development and progression of long-term complications in insulin-dependent diabetes mellitus. New England Journal of Medicine 329, 955–977.

33. Stratton I.M., Adler A.I., Neil H.A., et al. (2000). Association of glycaemia with macrovascular and microvascular complications in type 2 diabetes (UKPDS 35) Group: Prospective observational study. British Medical Journal 321, 405–412.

34. Said G. (1996). Diabetic neuropathy: An update. Neurology 243, 431–440.35. Vinik A.I., Milicevik Z. (1996). Recent advances in the diagnosis and treatment of

diabetic neuropathy. Endocrinologist 6, 443–461.36. Dejaard A. (1998). Pathophysiology and treatment of diabetic neuropathy. Diabetic

Medicine 15, 97.37. Vinik A.I. (1999). Diabetic neuropathy: Pathogenesis and therapy. American Journal of

Medicine 107 (Suppl. 2B), 17S–26S.38. Spoilett G.R. (1999). Assessment and management of erectile dysfunction in men with

diabetes. Diabetes Educator 25 (1), 65–73.

Page 29: Diabetes Mellitus

39. Lipshultz L.I. (1999). Treatment of erectile dysfunction in men. Journal of the American Medical Association 281, 465–466.

40. American Diabetes Association. (2000). Diabetic nephropathy. Diabetes Care 23 (Suppl. 1), S69–S72.

41. Ritz E., Orth S.R. (1999). Nephropathy in patients with type 2 diabetes mellitus. New England Journal of Medicine 341, 1127–1133.

42. Krolewski A.S., Laffel L.M.B., Krolewski M., et al. (1995). Glycosylated hemoglobin and the risk of microalbuminemia in patients with insulin-dependent diabetes mellitus. New England Journal of Medicine 332, 1251–1255.

43. American Diabetes Association. (2000). Diabetic retinopathy. Diabetes Care 23 (Suppl. 1), S73–S76.

44. Aiello L.P., Gardner T.W., King G.L., et al. (1998). Diabetic retinopathy (Technical Review). Diabetes Care 21, 143–156.

45. Chen Y.-D.I., Reaven G.M. (1997). Insulin resistance and atherosclerosis. Diabetes Reviews 5, 331–342.

46. American Diabetes Association. (2000). Preventative foot care in people with diabetes. Diabetes Care 23 (Suppl. 1), S55–S56.

47. Levin M.E. (1995). Preventing amputations in patients with diabetes. Diabetes Care 18, 1384–1394.

48. Joshi N., Caputo G.M., Weitekamp M.R., et al. (1999). Infections in patients with diabetes mellitus. New England Journal of Medicine 341, 1906–1912.

49. A simple screen for diabetic foot neuropathy. (2000). Emergency Medicine 4, 23–25.

Page 30: Diabetes Mellitus