diabetes mellitus

62
ASUHAN KEPERAWATAN INTENSIF PADA KLIEN DENGAN DIABETES MELLITUS OLEH: NI MADE RIA ANGGRAENI (0602105039) NI PUTU RIKA WARMINI (0602105060)

Upload: sutrisna-putra-car-bbc

Post on 16-Dec-2015

10 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

keperawatan

TRANSCRIPT

ASUHAN KEPERAWATAN INTENSIF

PADA KLIEN DENGAN DIABETES MELLITUS

OLEH:

NI MADE RIA ANGGRAENI(0602105039)

NI PUTU RIKA WARMINI(0602105060)

Program Studi Ilmu Keperawatan

Fakultas Kedokteran

Universitas Udayana

2009DIABETES MELLITUS

I. KONSEP DASAR PENYAKIT

1. Pengertian

Diabetes mellitus merupakan sekelompok kelainan heterogen yang ditandai oleh kenaikan kadar glukosa dalam darah atau hiperglikemia. (Brunner dan Suddarth, 2002).

Diabetes Melllitus adalah suatu kumpulan gejala yang timbul pada seseorang yang disebabkan oleh karena adanya peningkatan kadar gula (glukosa) darah akibat kekurangan insulin baik absolut maupun relatif (Arjatmo, 2002).

2. Anatomi FisiologiPankreas merupakan sekumpulan kelenjar yang panjangnya kira kira 15 cm, lebar 5 cm, mulai dari duodenum sampai ke limpa dan beratnya rata rata 60 90 gram. Terbentang pada vertebrata lumbalis 1 dan 2 di belakang lambung (Guyton & Hall, 2001).

Pankreas merupakan kelenjar endokrin terbesar yang terdapat di dalam tubuh baik hewan maupun manusia. Bagian depan ( kepala ) kelenjar pankreas terletak pada lekukan yang dibentuk oleh duodenum dan bagian pilorus dari lambung. Bagian badan yang merupakan bagian utama dari organ ini merentang ke arah limpa dengan bagian ekornya menyentuh atau terletak pada alat ini. Dari segi perkembangan embriologis, kelenjar pankreas terbentuk dari epitel yang berasal dari lapisan epitel yang membentuk usus.

Pankreas terdiri dari dua jaringan utama, yaitu :

(1). Asini sekresi getah pencernaan ke dalam duodenum.

(2). Pulau Langerhans yang tidak tidak mengeluarkan sekretnya keluar, tetapi menyekresi insulin dan glukagon langsung ke darah.

Pulau pulau Langerhans yang menjadi sistem endokrinologis dari pamkreas tersebar di seluruh pankreas dengan berat hanya 1 3 % dari berat total pankreas. Pulau langerhans berbentuk ovoid dengan besar masing-masing pulau berbeda. Besar pulau langerhans yang terkecil adalah 50 (, sedangkan yang terbesar 300 (, terbanyak adalah yang besarnya 100 225 (. Jumlah semua pulau langerhans di pankreas diperkirakan antara 1 2 juta.

Pulau langerhans manusia, mengandung tiga jenis sel utama, yaitu :

(1). Sel sel A ( alpha ), jumlahnya sekitar 20 40 % ; memproduksi glikagon yang manjadi faktor hiperglikemik, suatu hormon yang mempunyai anti insulin like activity .

(2). Sel sel B ( betha ), jumlahnya sekitar 60 80 % , membuat insulin.

(3). Sel sel D ( delta ), jumlahnya sekitar 5 15 %, membuat somatostatin.

Masing masing sel tersebut, dapat dibedakan berdasarkan struktur dan sifat pewarnaan. Di bawah mikroskop pulau-pulau langerhans ini nampak berwarna pucat dan banyak mengandung pembuluh darah kapiler. Pada penderita DM, sel beha sering ada tetapi berbeda dengan sel beta yang normal dimana sel beta tidak menunjukkan reaksi pewarnaan untuk insulin sehingga dianggap tidak berfungsi.

Insulin merupakan protein kecil dengan berat molekul 5808 untuk insulin manusia. Molekul insulin terdiri dari dua rantai polipeptida yang tidak sama, yaitu rantai A dan B. Kedua rantai ini dihubungkan oleh dua jembatan ( perangkai ), yang terdiri dari disulfida. Rantai A terdiri dari 21 asam amino dan rantai B terdiri dari 30 asam amino. Insulin dapat larut pada pH 4 7 dengan titik isoelektrik pada 5,3. Sebelum insulin dapat berfungsi, ia harus berikatan dengan protein reseptor yang besar di dalam membrana sel.

Insulin di sintesis sel beta pankreas dari proinsulin dan di simpan dalam butiran berselaput yang berasal dari kompleks Golgi. Pengaturan sekresi insulin dipengaruhi efek umpan balik kadar glukosa darah pada pankreas. Bila kadar glukosa darah meningkat diatas 100 mg/100ml darah, sekresi insulin meningkat cepat. Bila kadar glukosa normal atau rendah, produksi insulin akan menurun.

Selain kadar glukosa darah, faktor lain seperti asam amino, asam lemak, dan hormon gastrointestina merangsang sekresi insulin dalam derajat berbeda-beda. Fungsi metabolisme utama insulin untuk meningkatkan kecepatan transport glukosa melalui membran sel ke jaringan terutama sel sel otot, fibroblas dan sel lemak.

3. Epidemiologi

Diabetes terutama prevalen di antara kaum lanjut usia. Di antara individu yang berusia lebih dari 65 tahun, 8,6% menderita diabetes tipe II. Angka ini mencakup 15% populasi pada panti lansia. Di amerika serikat, orang Hispanik, Negro, dan sebagian penduduk asli Amerika memiliki angka insiden diabetes yang lebih tinggi daripada penduduk kulit putih. Sebagian penduduk asli amerika, seperti suku Pima, mempunyai angka diabetes dewasa sebesar 20% hingga 50%. Angka rawat inap bagi penderita diabetes adalah 2,4 kali lebih besar pada orang dewasa dan 5,3 kali lebih besar pada anak-anak bila di bandingkan dengan populasi umum. Separuh dari keseluruhan penderita diabetes yanmg berusia lebih dari 65 tahun dirawat di rumah sakit setiap tahunnya. Komplikasi yang serius dan dapat membawa kematian sering turut menyebabkan peningkatan angka rawat inap bagi penderita diabetes (Brunner dan Suddarth, 2002).

4. Etiologi

1. Diabetes tipe I:

a. Faktor genetik

Penderita diabetes tidak mewarisi diabetes tipe I itu sendiri; tetapi mewarisi suatu predisposisi atau kecenderungan genetik ke arah terjadinya DM tipe I. Kecenderungan genetik ini ditemukan pada individu yang memiliki tipe antigen HLA.

b. Faktor-faktor imunologi

Adanya respons otoimun yang merupakan respons abnormal dimana antibodi terarah pada jaringan normal tubuh dengan cara bereaksi terhadap jaringan tersebut yang dianggapnya seolah-olah sebagai jaringan asing. Yaitu otoantibodi terhadap sel-sel pulau Langerhans dan insulin endogen.

c. Faktor lingkungan

Virus atau toksin tertentu dapat memicu proses otoimun yang menimbulkan destruksi selbeta.

2. Diabetes Tipe II

Mekanisme yang tepat yang menyebabkan resistensi insulin dan gangguan sekresi insulin pada diabetes tipe II masih belum diketahui. Faktor genetik memegang peranan dalam proses terjadinya resistensi insulin.

Faktor-faktor resiko :

a. Usia (resistensi insulin cenderung meningkat pada usia di atas 65 th)

b. Obesitas

c. Riwayat keluarga

5. PatofisiologiSebagian besar gambaran patologik dari DM dapat dihubungkan dengan salah satu efek utama akibat kurangnya insulin berikut:

1. Berkurangnya pemakaian glukosa oleh sel sel tubuh yang mengakibatkan naiknya konsentrasi glukosa darah setinggi 300 1200 mg/dl.

2. Peningkatan mobilisasi lemak dari daerah penyimpanan lemak yang menyebabkan terjadinya metabolisme lemak yang abnormal disertai dengan endapan kolestrol pada dinding pembuluh darah.

3. Berkurangnya protein dalam jaringan tubuh.

Pasien pasien yang mengalami defisiensi insulin tidak dapat mempertahankan kadar glukosa plasma puasa yang normal atau toleransi sesudah makan. Pada hiperglikemia yng parah yang melebihi ambang ginjal normal (konsentrasi glukosa darah sebesar 160 180 mg/100 ml ), akan timbul glikosuria karena tubulus tubulus renalis tidak dapat menyerap kembali semua glukosa. Glukosuria ini akan mengakibatkan diuresis osmotik yang menyebabkan poliuri disertai kehilangan sodium, klorida, potasium, dan pospat. Adanya poliuri menyebabkan dehidrasi dan timbul polidipsi. Akibat glukosa yang keluar bersama urine maka pasien akan mengalami keseimbangan protein negatif dan berat badan menurun serta cenderung terjadi polifagi. Akibat yang lain adalah astenia atau kekurangan energi sehingga pasien menjadi cepat telah dan mengantuk yang disebabkan oleh berkurangnya atau hilangnya protein tubuh dan juga berkurangnya penggunaan karbohidrat untuk energi.

Hiperglikemia yang lama akan menyebabkan arterosklerosis, penebalan membran basalis dan perubahan pada saraf perifer. Ini akan memudahkan terjadinya gangren (Sylvia, 2006).6. Klasifikasi

1. IDDM ( Insulin Dependent Diabetes Millitus ) atau diabetes tipe 1Sangat tergantung pada insulin. Disebabkan oleh kerusakan sel beta pankreas sehingga tubuh tidak dapat memproduksi insulin alami untuk mengontrol kadar glukosa darah.

2. NIDDM ( Non-Insulin Dependent Diabetes Millitus ) atau diabetes tipe 2Tidak tergantung insulin. Disebabkan oleh gangguan metabolisme dan penurunan fungsi hormon insulin dalam mengontrol kadar glukosa darah dan hal ini bisa terjadi karena faktor genetik dan juga dipicu oleh pola hidup yang tidak sehat.

3. Gestational Diabetes

Disebabkan oleh gangguan hormonal pada wanita hamil.

Diabetes melitus ( gestational diabetes mellitus, GDM) juga melibatkan suatu kombinasi dari kemampuan reaksi dan pengeluaran hormon insulin yang tidak cukup, sama dengan jenis-jenis kencing manis lain. Hal ini dikembangkan selama kehamilan dan dapat meningkatkan atau menghilang setelah persalinan. Walaupun demikian, tidak menutup kemungkinan diabetes gestational dapat mengganggu kesehatan dari janin atau ibu, dan sekitar 20%50% dari wanita-wanita dengan Diabetes Melitus gestational sewaktu-waktu dapat menjadi penderita.4. Diabetes melitus yang berhubungan dengan keadaan atau sindrom lain.Perbedaan diabetes tipe 1 dengan tipe 2.Diabetes Mellitus tipe 1Diabetes Mellitus tipe 2

Penderita menghasilkan sedikit insulin atau sama sekali tidak menghasilkan insulinPankreas tetap menghasilkan insulin, kadang kadarnya lebih tinggi dari normal. Tetapi tubuh membentuk kekebalan terhadap efeknya, sehingga terjadi kekurangan insulin relatif

Umumnya terjadi sebelum usia 30 tahun, yaitu anak-anak dan remaja.Bisa terjadi pada anak-anak dan dewasa, tetapi biasanya terjadi setelah usia 30 tahun

Para ilmuwan percaya bahwa faktor lingkungan (berupa infeksi virus atau faktor gizi pada masa kanak-kanak atau dewasa awal) menyebabkan sistem kekebalan menghancurkan sel penghasil insulin di pankreas. Untuk terjadinya hal ini diperlukan kecenderungan genetik.Faktor resiko untuk diabetes tipe 2 adalah obesitas dimana sekitar 80-90% penderita mengalami obesitas.

90% sel penghasil insulin (sel beta) mengalami kerusakan permanen. Terjadi kekurangan insulin yang berat dan penderita harus mendapatkan suntikan insulin secara teraturDiabetes Mellitus tipe 2 juga cenderung diturunkan secara genetik dalam keluarga

Table 1. Perbedaan diabetes tipe 1 dengan tipe 2.Sumber: Brunner & Suddarth, 20027. Gejala Klinis

Gejala dari penderita Diabetes mellitus yaitu 3P :

Poliuria

: Peningkatan dalam berkemih

Polidipsia: Peningkatan rasa haus

Poliphagia: Peningkatan selera makan

Gejala lainnya adalah pandangan kabur, pusing, mual dan berkurangnya ketahanan selama melakukan olah raga. Penderita diabetes yang kurang terkontrol lebih peka terhadap infeksi.

Karena kekurangan insulin yang berat, maka sebelum menjalani pengobatan penderita diabetes tipe I hampir selalu mengalami penurunan berat badan. Sebagian besar penderita diabetes tipe II tidak mengalami penurunan berat badan.

Gejala klinis pada pasien diabetes berdasarkan klasifikasi (Brunner dan Suddarth, 2002):

a. Diabetes tipe I atau IDDM

Awitan terjadi pada segala usia, tetapi biasanya usia muda ( 20 x/menitc. Ekstremitas

Inspeksi: kulit kering. Palpasi: turgor kulit tidak elastis (kembali > 2 detik), tonus otot menurun.9. Pemeriksaan diagnostik/ penunjang

Pemeriksaan diagnosis

Glukosa darah: meningkat 200-100 mg/dL, atau lebih.

Aseton plasma (keton): positif secara mencolok.

Asam lemak bebas: kadar lipid dan kolesterol meningkat.

Osmolaritas serum: meningkat tetapi biasanya kurang dari 330mOsm/l.

Elektrolit:

Natrium: mungkin normal, meningkat atau menurun.

Kalium: normal atau peningkatan semu (perpindahan seluler), selanjutnya akan menurun.

Fosfor: lebih sering menurun.

Hemoglobin glikosilat: kadarnya meningkat 2-4 kali lipat dari normal yang mencerminkan kontrol DM yang kurang selama 4 bulan terakhir (lama hidup SDM) dan karenanya sangat bermanfaat dalam membedakan DKA dengan kontrol tidak adekuat versus DKA yang berhubungan dengan insiden.

Figure1.Examples of four modern-day insulin pumps. Upper left is the Medtronic MiniMed Paradigm 515 pump; upper center is the Animas IR 1250 insulin pump; upper right is the Smiths Medical Deltec Cozmo insulin pump; bottom center is the Insulet patch pump the insulin delivery piece (right) is disposable and operated by the controller (left). Sumber: http://www.endotext.org/diabetes/diabetes20/ch01s03.html Pemeriksaan mikroalbumin

Mendeteksi komplikasi pada ginjal dan kardiovaskular

Nefropati Diabetik

Salah satu komplikasi yang ditimbulkan oleh penyakit diabetes adalah terjadinya nefropati diabetic, yang dapat menyebabkan gagal ginjal terminal sehingga penderita perlu menjalani cuci darah atau hemodialisis.

Nefropati diabetic ditandai dengan kerusakan glomerolus ginjal yang berfungsi sebagai alat penyaring.

Gangguan pada glomerulus ginjal dapat menyebabkan lolosnya protein albumin ke dalam urine.

Adanya albumin dalam urin (=albuminoria) merupakan indikasi terjadinya nefropati diabetic.

Manfaat pemeriksaan Mikroalbumin (MAU)

Diagnosis dini nefropati diabetic

Memperkirakan morbiditas penyakit kardiovaskular dan mortalitas pada pasien DM

Jadwal pemeriksaan Mikroalbumin

Untuk DM Tipe 1, diperiksa pada masa pubertas atau setelah 5 tahun didiagnosis DM

Untuk DM tipe 2

Untuk pemeriksaan awal setelah diagnosis ditegakkan

Secara periodic setahun sekali atau sesuai petunjuk dokter

Pemeriksaan HbA1C atau pemeriksaan A1C

Dapat Memperkirakan Risiko Komplikasi Akibat DM

HbA1c atau A1C

Merupakan senyawa yang terbentuk dari ikatan antara glukosa dengan hemoglobin (glycohemoglobin)

Jumlah A1C yang terbentuk, tergantung pada kadar glukosa darah

Ikatan A1c stabil dan dapat bertahan hingga 2-3 bulan (sesuai dengan sel darah merah)

Kadar A1C mencerminkan kadarglukosa darah rata-rata dalam jangka waktu 2-3 bulan sebelum pemriksaanManfaat pemeriksaan A1C

Menilai kualitas pengendalian DM

Menilai efek terapi atau perubahan terapi setelah 8-12 minggu dijalankan

Tujuan Pemeriksaan A1C

Mencegah terjadinya komplikasi (kronik) diabetes karena :

A1C dapat memperkirakan risiko berkembangnya komplikasi diabetes

Komplikasi diabetes dapat muncul jika kadar glukosa darah terus menerus tinggi dalam jangka panjang

Kadar glukosa darah rata-rata dalam jangka panjang (2-3 bulan) dapat diperkirakan dengan pemeriksaan A1C

Jadwal pemeriksaan A1C

Untuk evaluasi awal setelah diagnosis DM dipastikan

Secara periodic (sebagai bagian dari pengelolaan DM) yaitu :

Setiap 3 bulan (terutama bila sasaran pengobatan belum tercapai)

Minimal 2 kali dalam setahun.Table 1. Summary of American Diabetes Association Recommendations for Adults with DiabetesGlycemic control

1. A1C 2 detik TD < 100/60 mmHg

Nadi < 60 x/menit, teraba lemah

pH < 7,35, HCO3 < 22 mEq/L napas bau keton

terdapat luka pada ekstremitas.

Kadar glukosa > 200 mg/dL

Mukosa bibir kering

Turgor kulit menurun (kembali 20 x/menit, menggunakan otot bantu pernafasan, pernafasan cuping hidung.

2. PK hipoglikemia

3. PK diabetes ketoasidosis4. PK syok hipovolemi5. Risiko tinggi infeksi berhubungan dengan penurunan fungsi leukosit.6. Risiko cedera berhubungan dengan penurunan sensasi taktil, penurunan fungsi penglihatan.7. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan peningkatan glukoneogenesis, penurunan pH ditandai dengan kelemahan, tonus otot buruk, anoreksia, dan mual muntah.

8. Kelelahan berhubungan dengan penurunan produksi energy metabolik

ditandai dengan penurunan kinerja rentang gerak pasien terbatas, pasien hanya berbaring di tempat tidur, nadi > 80 x/menit, RR > 20 x/menit.

3. Intervensi keperawatan

No Dx.Tujuan dan kriteria hasilIntervensiRasional

1.Setelah diberikan tindakan keperawatan selama x24 jam, diharapkan pola nafas kembali efektif.

Kriteria hasil:

RR 16-20 x/menit

Tidak menggunakan otot bantu pernafasan

Tidak ada pernafasan cuping hidung.Mandiri:1. Awasi kecepatan/kedalaman pernafasan. Selidiki adanya pucat/sianosis, peningkatan gelisah atau bingung. 2. Tinggikan kepala tempat tidur 30 derajat.

3. Beri bantalan pada pagar tempat tidur dan ajarkan pasien menggunakannya untuk istirahat tangan.4. Gunakan bantal kecil di bawah kepala bila diindikasikan.5. Hindari penggunaan pengikat abdomen Kolaborasi:1. Berikan O2 tambahan

2. Bantu penggunaan penggunaan alat pernapasan, mis: spirometer intensif, tiupan botol.

3. Awasi/ gambarkan seri AGD / nadi oksimetri bila diindikasikan.Mandiri:1. Kecepatan biasanya meningkat. Dispnea dan terjadi peningkatan kerja napas. Kedalaman pernafasan bervariasi tergantung derajat gagal nafas.2. Mendorong pengembangan diafragma/ ekspansi paru optimal dan meminimalkan tekanan isi abdomen dan rongga torak.3. Penggunaan pagar tempat tidur memungkinkan istirahat tangan untuk ekspansi dada lebih besar. 4. Menggunakan bantal banyak dan besar menghambat jalan napas.

5. Dapat membatasi ekspansi paru.

Kolaborasi:

1. Memaksimalkan sediaan O2 untuk pertukaran dan penurunan kerja napas.

2. Meningkatkan ekspansi paru.

3. Menunjukkan ventilasi / oksigenasi dan status asam-basa. Digunakan sebagai dasar evaluasi yang perlu untuk/ keefektifan terapi pernapasan.

2. Setelah diberikan tindakan keperawatan selama x24 jam, diharapkan tidak terjadi komplikasi hipoglikemia.

Kriteria hasil: Kesadaran komposmentis

Glukosa darah 110-200 mg/dL

Nadi 60-80 x/menit

TD 100/60 mmHg hingga 120/80 mmHg

Akral hangatKolaborasi:

1. Jika pasien dapat menelan berikan dalam bentuk minuman yang mengandung glukosa atau sukrosa.2. Jika pasien terlalu lemah, stupor atau tidak kooperatif untuk minum, diberikan bolus intravena 50w dalam beberapa menit. Jika cara pemberian ini atau dosisnya tidak tersedia, maka pemberian mukosa 1mg melalui subkutan atau intramuscular.3. Beri glukosa kurang lebih 15 mg (3 sendok makan).4. Beri zat tepung seperti pada crackers atau biscuit.Kolaborasi:1. Pemberian glukosa atau sukrosa dalam bentuk minuman akan masuk ke dalam lambung dan ke dalam usus yang akan menyerapnya lebih cepat.2. Dapat memulihkan gejala-gejala dengan menginduksi pemecahan cepat dan pelepasan glukosa ke dalam aliran darah dari simpanan glikogen hepatik.3. Jumlah yang dibutuhkan untuk memulihkan reaksi insulin akut tidaklah banyak. Gula darah dapat meningkat dari 20-120 mg/dL dengan pemberian kurang dari 15gr (3 sendok makan glukosa untuk ukuran rata-rata orang dewasa).

4. Zat tepung dapat dipecah menjadi glukosa di dalam lambung dan diserap dengan cepat sehingga akhirnya dapat meningkatkan gula darah secepat pemberian glukosa atau sukrosa bebas.

3.Setelah diberikan tindakan keperawatan selama x24 jam, diharapkan tidak terjadi komplikasi diabetes ketoasidosis. Kriteria hasil:

Nadi 60-80 x/menit, teraba kuat

TD 100-120/60-80 mmHg

Kadar glukosa darah 110-200 mg/dL

Kolaborasi:1. Beri cairan infus normal saline 0,9%.2. Beri larutan hipotonik seperti normal saline 0,45 %.3. Beri plasma ekspander seperti albumin dan konsentrat plasma.4. Beri insulin melalui intravena.

5. Pemeriksaan laboratorium kadar gula darah.6. Penggantian kalium dan fosfat.

7. Penggantian bikarbonatKolaborasi:1. Memulihkan penipisan volume ekstraseluler secepat mungkin.

2. Dapat diberikan dengan kecepatan 150-250 ml/jam setelah volume intravaskuler pulih. Atau bila kadar natrium serum lebih tinggi dari 155mg/dL.

3. Tindakan ini mungkin perlu jika tekanan darah dan tanda-tanda klinis kolaps vaskuler tidak berespon terhadap pemberian normal salin saja.

4. Insulin dengan cepat menghentikan suplai asam-asam lemak bebas yang berasal dari jaringan adiposa, dengan demikian membatasi pembentukan keton dari sumbernya, selain itu insulin secara langsung menghambat glukoneogenesis hepatik, mencegah tambahan glukosa lebih jauh yang sebelumnya sudah sangat berlebihan dalam cairan ekstraseluler.

5. Nilai gula darah yang sangat tinggi ditemukan pada pasien diabetes ketoasidosis. Pemeriksaan gula darah diupayakan untuk memilih cara terapi yang akan digunakan untuk mengurangi gula darah secepat yang memungkinkan.

6. Semua pasien dengan ketoasidosis diabetes mengalami defisiensi pada simpanan kalium tubuh total sampai batas tertentu. Kadar fosfat umumnya menurun selama terapi, mencetuskan setiap sel darah merah untuk mengikat oksigen lebih ketat.7. Pada ketoasidosis diabetik, anion bikarbonat diserap lebih banyak dari tubulus renalis untuk menggantikan anion yang hilang.

4.Setelah diberikan tindakan keperawatan selama x24 jam, diharapkan tidak terjadi komplikasi syok hipovolemi.

Kriteria hasil:

Akral hangat

TD: 100/60 mmHg- 120/80 mmHg

Nadi 60-80 x/menit, teraba kuat

Membran mukosa lembab

Turgor kulit elastis. CRT < 2 detik

Kolaborasi:

1. Berikan terapi cairan sesuai indikasi:

Normal salin atau setengah normal saline dengan atau tanpa dekstrosa

Albumin, plasma, atau dekstran.

2. Pantau pemeriksaan laboratorium, seperti:

Hematokrit (Ht)

BUN / kreatinin

Osmolalitas darah

Natrium

Kalium

3. Berikan kalium atau elektrolit yang lain melalui IV dan / melalui oral sesuai indikasi.

4. Berikan bikarbonat jika pH < 7,0

Kolaborasi:

Tipe dan jumlah dari cairan tergantung pada derajat kekuirangan cairan dan respon pasien secara individual.

Plasma ekspander (pengganti) kadang dibutuhkan jika kekurangan tersebut mengancam kehidupan atau tekanan darah sudah tidak dapat kembali normal dengan usaha-usaha rehidrasi yang telah dilakukan.

Mengkaji tingkat hidrasi dan sering kali meningkat akibat hemokonsentrasi yang terjadi setelah diuresis osmotik.

Peningkatan nilai BUN dapat mencerminkan kerusakan sel karena dehidrasi atau tanda awitan kegagalan ginjal. Meningkat sehubungan dengan adanya hiperglikemia dan dehidrasi.

Mungkin menurun yang dapat mencerminkan perpindahan cairan dari intrasel (dieresis osmotik). Kadar natrium yang tinggi mencerminkan kehilangan cairan / dehidrasi berat atau reabsorpsi natrium dalam berespon terhadap sekresi aldosteron.

Awalnya terjadi hiperkalemia dalam berespon pada asidosis, namun selanjutnya kalium ini akan hilang melalui urine, kadar kalium absolute dalam tubuh berkurang. Bila insulin diganti dan asidosis teratasi, kekurangan kalium serum justru akan terlihat.

1. Kalium harus ditambahkan pada IV (segera aliran urine adekuat) untuk mencegah hipokalemia. Catatan: kalium fosfat dapat diberikan jika cairan IV mengandung natrium klorida untuk mencegah kelebihan beban klorida.

2. Diberikan dengan hati-hati untuk membantu memperbaiki asidosis pada adanya hipotensi atau syok.

5.Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama x24jam diharapkan infeksi tidak terjadi. Dengan kriteria hasil: Kadar leukosit 5000-10000 l TD 100-120/60-80 mmHg

Suhu 36,5-37,20 C

Mandiri:1. Observasi tanda-tanda infeksi dan peradangan, seperti demam, kemerahan, adanya pus pada luka, sputum purulen, urine warna keruh atau berkabut.2. Tingkatkan upaya pencegahan dengan melakukan cuci tangan yang baik pada semua orang yang berhubungan dengan pasien termasuk pasiennya sendiri.

3. Pertahankan teknik aseptik pada prosedur invasif.

4. Berikan perawatan kulit dengan teratur dan sungguh-sungguh, masase daerah tulang yang tertekan, jaga kulit tetap kering, linen kering dan tetap kencang (tidak berkerut).

5. Auskultasi bunyi nafas.

6. Lakukan perubahan posisi dan anjurkan pasien untuk batuk efektif/nafas dalam jika pasien sadar dan kooperatif. Lakukan penghisapan lender pada jalan nafas dengan menggunakan teknik steril sesuai keperluan.

7. Bantu oral hygiene pasien.Kolaborasi:

8. Lakukan pemeriksaan kultur dan sensitivitas sesuai dengan indikasi.9. Berikan obat antibiotik yang sesuai.Mandiri:1. Pasien mungkin masuk dengan infeksi yang biasanya telah mencetuskan keadaan ketoasidosis atau dapat mengalami infeksi nasokomial.2. Mencegah timbulnya infeksi silang (infeksi nasokomial)

3. Kadar glukosa yang tinggi dalam darah akan menjadi media terbaik bagi pertumbuhan kuman.

4. Sirkulasi perifer bias terganggu yang menempatkan pasien pada peningkatan risiko terjadinya iritasi akut/infeksi.

5. Ronchi mengindikasikan adanya akumulasi sekret yang mungkin berhubungan dengan pneumonia/bronchitis. Edema paru mungkin sebagai akibat dari pemberian cairan yang terlalu cepat/berlebihan.

6. Membantu dalam memventilasikan semua daerah paru yang memobilisasi secret. Mencegah agar secret tidak statis dengan terjadinya peningkatan risiko infeksi.7. Menurunkan terjadinya risiko penyakit mulut/gusi.

Kolaborasi:

8. Mengidentifikasi organism sehingga dapat memilih / memberikan terapi antibiotik yang terbaik.

9. Penanganan awal dapat mencegah timbulnya sepsis.

6.Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama x24jam diharapkan pasien tidak mengalami cedera. Kriteria hasil: Mempertahankan tingkat mental biasanya.

Mengenali dan mengkompensasi adanya kerusakan sensori.Mandiri:1. Pantau tanda-tanda vital dan status mental.

2. Lindungi pasien dari cedera (gunakan pengikat) ketika tingkat kesadaran pasien terganggu. Berikan bantalan lunak pada pagar tempat tidur dan berikan jalan nafas buatan yang lunak jika pasien kemungkinan mengalami kejang.3. Evaluasi lapang pandang penglihatan sesuai indikasi.

4. Selidiki adanya keluhan paraestesia, nyeri atau keluhan sensori pada paha/kaki.Lihat adanya ulkus, daerah kemerahan, tempat-tempat tertekan, kehilangan denyut nadi perifer.

5. Berikan tempat tidur yang lembut. Pelihara kehangatan kaki/tangan, hindari terpajan terhadap air panas atau dingin atau penggunaan bantalan / pemanas.

Kolaborasi:

1. Pantau nilai laboratorium, seperti glukosa darah, osmolaritas darah, Hb/Ht, ureum kreatinin.2. Bantu dengan memblok saraf setempat, mempertahankan unit TENS.Mandiri:1. Sebagai dasar untuk membandingkan temuan abnormal, seperti suhu yang meeningkat dapat mempengaruhi fungsi mental.

2. Pasien mengalami disorientasi merupakan awal kemungkinan cedera, terutama malam hari dan perlu pencegahan sesuai indikasi. Munculnya kejang perlu diantisipasi untuk mencegah trauma fisik, aspirasi dsb.3. Edema/lepasnya retina, hemoragis, katarak, atau paralisis otot ekstraokuler sementara mengganggu penglihatan yang memerlukan terapi korektif dan / perawatan penyokong.

4. Neuropati perifer dapat mengakibatkan rasa tidak nyaman yang berat, kehilangan sensasi sentuhan / distorsi yang mempunyai risiko tinggi terhadap kerusakan kulit dan gangguan keseimbangan. Catatan: mononeuropati mempengaruhi saraf tunggal (paling sering pada daerah femoralis dan otak) yang menyebabkan nyeri tiba-tiba dan kehilangan fungsi motorik/sensorik sepanjang jaras saraf yang terkena tersebut.

5. Meningkatkan rasa nyaman dan menurunkan kemungkinan kerusakan kulit karena panas. Catatan: munculnya dingin yang tiba-tiba pada tangan/kaki dapat mencerminkan adanya hipoglikemia, yang perlu untuk melakukan pemeriksaan terhadap kadar gula darah.Kolaborasi:

1. Ketidakseimbangan nilai laboratorium ini dapat menurunkan fungsi mental. Catatan: jika cairan diganti dengan cepat, kelebihan cairan dapat masuk ke sel otak dan menyebabkan gangguan pada tingkat kesadaran (intoksikasi air).

2. Dapat memberikan rasa nyaman yang berhubungan dengan neuropati.

7.Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama x24jam diharapkan pemenuhan kebutuhan nutrisi pasien adekua. Dengan kriteria hasil: Pasien dapat menghabiskan 1 porsi makanan.

BB tidak mengalami penurunan.

pH 7,35-7,45

tonus otot baikMandiri:1. Timbang berat badan setiap hari atau sesuai dengan indikasi.2. Auskultasi bising usus, catat adanya nyeri abdomen/perut kembung, mual, muntahan makanan yang belum sempat dicerna.

3. Beri makanan cair yang mengandung zat makanan (nutrien) dan elektrolit dengan segera jika pasien sudah dapat mentoleransinya melalui pemberian cairan melalui oral.

4. Observasi tanda-tanda hipoglikemia, sepert perubahan tingkat kesadaran, kulit lembab/dingin, nadi cepat, lapar, cemas, sakit kepala, pusing, sempoyongan.

Kolaborasi:

1. Lakukan pemeriksaan gula darah dengan menggunakan finger stick2. Pantau pemeriksaan, laboratorium seperti glukosa darah, aseton, pH, HCO3.3. Beri terapi insulin secara teratur dengan metode IV secara intermitten atau secara kontinu.

4. Beri larutan glukosa, misalnya dekstrosa dan setengah salin normal.

5. Berikan diet kira-kira 60% karbohidrat, 20% protein, 20% lemak.

6. Berikan obat metaklopramid (reglan); tetrasiklin.Mandiri:1. Mengkaji pemasukan makanan yang adekuat.

2. Hiperglikemia dan gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit dapat menurunkan motilitas/fungsi lambung (distensi/ileus paralitik) yang akan mempengaruhi pilihan intervensi.

3. Pemberian makanan melalui oral lebih baik jika pasien sadar dan fungsi gastrointestinal baik.

4. Karena metabolisme karbohidrat mulai terjadi (gula darah akan berkurang) dan sementara tetap diberikan insulin maka hipoglikemi dapat terjadi. Jika pasien dalam keadaan koma, hipoglikemi mungkin terjadi tanpa memperlihatkan perubahan tingkat kesadaran. Ini secara potensial dapat mengancam kehidupan sehingga harus dikaji dan ditangani secara cepat melalui tindakan protocol yang direncanakan.Kolaborasi:

1. Analisa di tempat tidur terhadap gula darah lebih akurat (menunjukkan keadaan saat dilakukan pemeriksaan).

2. Gula darah akan menurun perlahan dengan penggantian cairan dan terapi insulin terkontrol.

3. Insulin reguler memiliki awitan cepat dan karenanya dengan cepat pula dapat membantu memindahkan glukosa ke dalam sel.

4. Larutan glukosa ditambahkan insulin dan cairan membawa gula darah kira-kira 250 mg/dL.

5. Kompleks karbohidrat (seperti jagung, wortel, brokoli, buncis, gandum, dll) menurunkan kadar glukosa/kebutuhan insulin, menurunkan kadar kolestrol darah dan meningkatkan rasa kenyang

6. Dapat mengatasi gejala yang berhubungan dengan neuropati otonom yang mempengaruhi saluran cerna, yang selnjutnya meningkatkan pemasukan melalui oral dan absorpsi zat makanan (nutrien).

8.Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama x24jam diharapkan pasien dapat berpartisipasi dalam melakukan aktivitas yang diinginkan. Criteria hasil: Pasien mengungkapkan peningkatan tingkat energy

Menunjukkan perbaikan kemampuan untuk berpartisipasi dalam aktivitas

Aktivitas yang dilakukan pasien meningkat. Nadi 60-80 x/menit

RR > 20 x/menitMandiri:1. Diskusikan dengan pasien kebutuhan akan aktivitas. Buat jadwal perencanaan dengan pasien dan identifikasi aktivitas yang menimbulkan kelelahan.

2. Berikan aktivitas alternative dengan periode istirahat yang cukup / tanpa diganggu.

3. Pantau nadi, frekuensi pernafasan dan tekanan darah sebelum/ sesudah melakukan aktivitas.

4. Diskusikan cara menghemat kalori selama mandi, berpindah tempat dan sebagainya.

5. Tingkatkan partisipasi pasien dalam melakukan aktivitas sehari-hari sesuai dengan yang dapat ditoleransi.Mandiri:1. Pendidikan dapat memberikan motivasi untuk meningkatkan tingkat aktivitas meskipun pasien mungkin sangat lemah.2. Mencegah kelelahan yang berlebihan.

3. Mengidentifikasikan tingkat aktivitas yang dapat ditoleransi secara fisiologis.

4. Pasien akan dapat melakukan lebih banyak kegiatan dengan penurunan kebutuhan akan energy pada setiap kegiatan.

5. Meningkatkan kepercayaan diri / harga diri yang positif sesuai tingkat aktifitas yang dapat ditoleransi pasien.

4.Evaluasi

1. Dx 1: pola nafas kembali efektif, dengan RR 16- 20 x/menit, tidak menggunakan otot bantu pernafasan, tidak ada pernafasan cuping hidung.2. Dx 2: tidak terjadi komplikasi hipoglikemia, yaitu kesadaran komposmentis, glukosa darah 110-200 mg/dL, nadi 60-80 x/menit, TD 100/60 mmHg hingga 120/80 mmHg, akral hangat.3. Dx 3: tidak terjadi komplikasi diabetes ketoasidosis, yaitu nadi 60-80 x/menit, teraba kuat, TD 100-120/60-80 mmHg, kadar glukosa darah 110-200 mg/dL

4. Dx 4: tidak terjadi komplikasi syok hipovolemia, yaitu akral hangat, TD: 100/60 mmHg- 120/80 mmHg, nadi 60-80 x/menit dan teraba kuat, membran mukosa lembab, turgor kulit elastic, CRT < 2 detik5. Dx 5: infeksi tidak terjadi dengan Kadar leukosit 5000-10000 l, TD 100-120/60-80 mmHg, Suhu 36,5-37,20 C6. Dx 6: pasien terbebas dari cedera, yaitu dengan mempertahankan tingkat mental biasanya, mengenali dan mengkompensasi adanya kerusakan sensori.7. Dx 7: pemenuhan kebutuhan nutrisi pasien adekuat, yaitu pasien dapat menghabiskan 1 porsi makanan, BB tidak mengalami penurunan, pH 7,35-7,45, tonus otot baik.8. Dx 8: pasien dapat berpartisipasi dalam melakukan aktivitas yang diinginkan, yaitu pasien mengungkapkan peningkatan tingkat energi, menunjukkan perbaikan kemampuan untuk berpartisipasi dalam aktivitas, aktivitas yang dilakukan pasien meningkat, nadi 60-80 x/menit, RR > 20 x/menit. DAFTAR PUSTAKA

Brunner & Suddarth. 2002. Keperawatan Medikal Bedah. Volume 2. Jakarta: EGC.Carpenito, Lynda Juall. 2004. Buku Saku Diagnosis Keperawatan. Jakarta: EGC.Doenges, Marylin E. 1999. Rencana Asuhan Keperawatan. Jakarta: EGC.Guyton & Hall. 2001. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Edisi 9. Jakarta: EGC.Hudak & Gallo. 2002. Keperawatan Kritis. Volume II. Jakarta: EGC.Mansjoer, Arif. 2001. Kapita Selekta Kedokteran. Edisi Ketiga. Jakarta : Media Aesculapius.Price, Sylvia, Wilson.2006. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. Jakarta : EGC.Available at: http://www.endotext.org/diabetes/diabetes20/ch01s03.html. Diakses tanggal 10 September 2009.

Available at: http://www.labormedpharma.ro/eng/searchmeds.php?key=g.

Diakses tanggal 23 September 2009.Available at: http://blog.seniors-site.com/insulin-death. Diakses tanggal 23 September 2009.Available at: http://www.tgnyc.org/2005/NYC051907//Invention%203(final).htm. Diakses tanggal 10 September 2009.