di tii
DESCRIPTION
darul islamTRANSCRIPT
Proklamasi dan Pemberontakan DI/TII di Jawa Barat
( Darul Islam/Tentara Islam Indonesia )
M Ramdan Nur
Citra Pramita
Yeni Rahmawati
Jhon Peter
Eka Sari Handayani
PENDIDIKAN SEJARAH REGULER 2010
JURUSAN SEJARAH
FAKULTAS ILMU SOSIAL
UNIVERSITAS NEGERI JAKARTA
2012
PENDAHULUAN
Negara Islam Indonesia (disingkat NII; juga dikenal dengan nama Darul Islam atau
DI) yang artinya adalah "Rumah Islam" adalah gerakan politik yang diproklamasikan pada
tanggal 7 Agustus 1949 di desa Cisampah, Kecamatan Ciawiligar, Kawadenan Cisayong di
Kabupaten Tasikmalaya ( Jawa Barat ).Sekarmadji Maridjan Kartosuwirjo memproklamirkan
berdirinya Negara Islam Indonesia.Gerakannya di namakan Darul Islam (DI) sedang
tentaranya dinamakan Tentara Islam Indonesia ( TII ). Gerakan ini dibentuk pada saat Jawa
Barat di tinggal oleh Pasukan Siliwangi yang berhijrah ke Yogyakarta dan Jawa Tengah
dalam Rangka melaksanakan ketentuan dalam Perundingan Renville.
Gerakan ini bertujuan menjadikan Republik Indonesia yang saat itu baru saja
diproklamasikan kemerdekaannya dan ada pada masa perang dengan tentara Kerajaan
Belanda sebagai negara teokrasi dengan agama Islam sebagai dasar negara. Dalam
proklamasinya bahwa "Hukum yang berlaku dalam Negara Islam Indonesia adalah Hukum
Islam", lebih jelas lagi dalam undang-undangnya dinyatakan bahwa "Negara berdasarkan
Islam" dan "Hukum yang tertinggi adalah Al Quran dan Hadits". Proklamasi Negara Islam
Indonesia dengan tegas menyatakan kewajiban negara untuk membuat undang-undang yang
berlandaskan syari'at Islam, dan penolakan yang keras terhadap ideologi selain Alqur'an dan
Hadits Shahih, yang mereka sebut dengan "hukum kafir".
Ketika pasukan Siliwangi berhijrah, gerombolan DI/TII ini dapat leluasa
melakukan gerakannya dengan membakar Rumah – Rumah Rakyat, Membongkar Rel Kereta
Api, menyiksa dan merampok harta benda penduduk. Akan tetapi setelah pasukan Siliwangi
mengadakan Long March kembali ke Jawa Barat, gerombolan DI/TII ini harus berhadapan
dengan pasukan Siliwangi.
Usaha Untuk menumpas pemberontakan DI/TII ini memerlukan waktu yang lama
disebabkan oleh beberapa faktor, yakni :
- Medannya berupa daerah pegunungan – pegunungan sehingga sangat mendukung pasukan
DI/TII untuk bergerilya,
- Pasukan Kartosuwirjo dapat bergerak dengan leluasa di Kalangan Rakyat,
- Pasukan DI/TII mendapat bantuan dari beberapa orang Belanda, antara lain pemilik – pemilik
perkebunan dan para pendukung negara Pasundan,
- Suasana Politik yang tidak stabil dan sikap beberapa kalangan partai politik telah mempersulit
usaha – usaha pemulihan keamanan.
Selanjutnya dalam menghadapi aksi DI/TII pemerintah mengerahkan pasukan TNI untuk
menumpas gerombolanini. Pada tahun 1960 pasukan Siliwangi bersama rakyat melakukan
operasi “ Pagar Betis “ dan operasi “ Bratayudha “ Pada tanggal 4 Juni 1962 Sekarmadji
Maridjan Kartosuwirjo beserta para pengawalnya dapat ditangkap oleh pasukan Siliwangi
dalam operasi “ Bratayudha “ di Gunung Geber, daerah Majalaya, Jawa Barat. Kemudian
Sekarmadji Maridjan Kartosuwirjo oleh Mahkamah Angkatan Darat dijatuhi hukuman mati
sehingga pemberontakan DI/TII di Jawa Barat dapa di padamkan.
Kelompok kami memilih topik ini karena relevansi Darul Islam untuk masa kini. Banyak
yang bisa kita pelajari dari sejarah Darul Islam yang ada relevansinya untuk Indonesia
sekarang ini. Ada pelajaran juga tentang akibat buruk saat ketidakpuasan di daerah diabaikan
oleh pusat, bahanya memanfaatkan kelompok Islam garis keras untuk kepentingan politik,
PEMBAHSAN
LATAR BELAKANG PENDIRIAN NKA NII
Lahirnya NII banyak dituding oleh banyak pihak karena sakit hati, dan bersifat
spontanitas, lahir pada saat terjadi vacuum of power di Republik. Sejak 1926 telah berkumpul
para ulama di Arab dari berbagai belahan dunia, termasuk H.O.S Coktoaminoto guna
membahas rekonstruksi khillafah Islam yang runtuh pada 1924. Sayangnya hasil syuro para
ulama tidak berkelanjutan. Tidak membuahkan hasil.
SM. Kartosuwiryo yang merupakan orang kepercayaan Cokroaminto menindaklanjuti
usaha rekonstruksi khilafah Islam dengan menyusun brosur sikap hijrah berdasarkan
keputusan kongres PSII 1936. Kemudian pada 24 April 1940, beliau bersama para ulama
mendirikan institut shuffah di Malangbong. Suatu laboratorium pendidikan tempat mendidik
kader-kader mujahid, seperti di zaman Nabi SAW , institut shuffah yang didirikan telah
melahirkan pembela-pembela Islam dengan ilmu Islam yang sempurna dan keimanan yang
teguh.Alumnus shuffah kenmudian menjadi cikal-bakal lasykar Hizbullah-Sabilillah. Lasykar
Hizbullah-Sabilillah tidak diizinkan ikut ‘hjrah’ ke Yogyakarta mengikuti langkah yang
diambil tentara RI, sebagai akibat dari kekonyolan tokoh-tokoh politiknya. Lasyakar yang
tinggallah yang menjadi cikal-bakal TII.
Kedua tokoh pejuang Islam Jawa Barat bertemu dengan hati kuciwa awal 1948.
Raden Oni Syahroni adalah Panglima Laskar Sabililah,sedangkan Sekarmadji Maridjan
Kartosoewirjo dikebal sebagai pendiri dan pemimpin institut Suffah.Mereka membicarakan
isi Perjanjian Renvile, 17 Januari 1948, yang mengharuskan tentara dan laskar bersenjata
mundur kebelakang garis Van Mook. Kantong-kantong wilayah berisi pasukan bersenjata di
dalam garis itu harus dikosongkan. Ketika itu santer terdengar Divisi Siliwangi yang menjadi
kebanggaan rakyat Jawa Barat akan hijrah ke Yogyakarta. Mereka sepakat menggelar
konfrensi pemimpin Umat Islam se-Jawa Barat , yang digelar di Desa Pamedusan, Cisayong,
Tasikmalaya, pada Februari 1948. Konfrensi ini dihadiri oleh 160 perwakilan organisasi
Islam. Salah satu keputusan konfrensi itu adalah semua organisasi Islam termasuk Masyumi
melebur menjadi Majelis Islam Pusat, dan menunjuk Kartosuwirjo sebagai imam. Pada
Konfrensi itu pula tercetus ide pembentukan Negara Islam Indonesia. Namun konfrensi ini
belum mengambil keputusan tentang negara Islam. Peserta hanya menyepakati perlunya
gerakan perlawanan sementara, berupa pembentukan Tentara Islam Indonesia. Pasukan ini
bermarkas di lereng Gunung Cupu, didaerah Gunung Mandaladatar, Jawa Barat.
Beberapa hari setelah konfrensi ada pertemuan lain untuk mewujudkan bentuk
kongret TII. Akhirnya, para pejuang Islam itu tidak hanya membentuk TII, tetapi sejumlah
korps khusus, seperti Barisan Rakyat Islam, Pahlawan Darul Islam, dan Pasukan Gestapu.
Untuk mematangkan rencana pendirian NII, Karto melakukan serangkaian pertemuan dan
konfrensi lanjutan. Dua bulan setelah konfrensi pertama, mereka menggelar Konfrensi
Cipeundeuy, Bantarujeg, Cirebon. Konfrensi itu meminta pemerintah Indonesia membatalkan
sejumlah perundingan dengan Belanda. Jika tidak berhasil, pemerintah RI diminta
membubarkan diri atau membentuk pemerintah baru.Konfrensi juga memutuskan
mengadakan persiapan negara Islam untuk menandingi negara Pasundan bentukan Belanda.
Persiapan itu meliputi pembuatan aturan-aturan ala Islam. Setelah Cipeundeuy, konfrensi lain
digelar di Cijoho, Kuningan, yang membahas amendalam tentang bentuk-bentuk
ketatanegaraan.
Ditengah persiapapan pembentukan NII, Yogyakarta diserang Belanda. Momen inilah
diguuakan Kartosuwirjo untuk propaganda tamatnya riwayat republik yang diproklamasikan
pada 17 Agustus 1945. Maka pada 21 Desember, 1948, Kartosoewirjo mengumumkan
komando perang suci, perang total melawan penjajah. Akhirnya melalui Maklumat Nomor 6,
Kartosoewirjo megumumkan kejatuhan Negara RI dan lahirna Negara Islam Indonesia. Dia
menganggap Jawa Barat sebagai daerah de facto NII,
Negara Islam Indonesia berbentuk djumhuriah, yakni republik Islam yang dipimpin oleh
seorang Imam. Tapi kenyataannya, struktur negara semacam ini bersifat teokrasi dan
Sekarrmadji Maridjan Kartosoewirjo menjadi pemimpin tunggal. Karto menggagas semdiri
sistem pemerintahannya. Ia mengatur administrasi pemerintah, negara, dan militer.
PEMBERONTAKAN DI/TII DI JAWA BARAT
Penandatanganan Perjanjian Renville pada tanggal 17 Januari 1948 sebagai salah satu
upaya untuk mengakhiri pertikaian Indonesia Belanda, ternyata telah menimbulkan dampak
baru terhadap fase perjuangan bangsa Indonesia dalam mempertahankan proklamasi
kemerdekaan yang dikumandangkan oleh Soekarno Hatta. Penandatangan perjanjian tersebut
tidak saja mempunyai akibat di bidang politik, melainkan juga berpengaruh di bidang militer
Negara RI, sebagai konsekwensi logis dari hasil kristalisasi nilai-nilai pertemuan antara
pihak-pihak yang mengadakan perundingan.
Kondisi ini dijelaskan bahwa di dalam bidang politik pemerintahan RI dapat kita lihat
dengan jelas. Daerah RI sesuai dengan keputusan Linggajati hanya meliputi pulau Jawa,
Sumatra dan Madura semakin dipersempit, lebih-lebih lagi beberapa kota besar dari ketiga
pulau tersebut di atas diduduki Belanda.
Sedangkan dalam bidang militer, pasukan-pasukan RI harus mundur dari kantong-
kantong perjuangan menuju wilayah yang masih dikuasai republic. Hal ini senada dengan
pernyataan Kahin (1995) bahwa pasukan-pasukan terbaik republik harus meninggalkan
banyak kantong gerilya yang mereka duduki di balik garis Van Mook1 dan pindah ke wlayah
yang masih dikuasi oleh republic.2
Menurut perjanjian Renville, daerah Jawa Barat dala hal ini adalah daerah yang
terletak di luar wilayah RI. Hijrahnya pasukan Siliwangi dari wilayah Jawa Barat yang
dikuasai Belanda menuju wilayah Jawa Tengah yang dikuasai RI, telah menimbulkan adanya
suatu kekosongan pemerintahan RI di Jawa Barat. Kondisi inilah yang kemudian dijadikan
sebuah kesempatan oleh apa yang dinamakan Gerakan DI/TII untuk mendirikan Negara
Islam Indonesia.
Sehubungan dengan hal ini, Anne Marie The (1964) menyatakan bahwa masa vacuum
(kekosongan) pemerintah RI di Jawa Barat tidak disia-siakan oleh Kartosuwirjo untuk
menjadikan idenya suatu kenyataan. Sedangkan Kahin menyatakan bahwa akhirnya di Jawa
Barat, di daerah yang terletak di luar wilayah menurut ketentuan Perjanjian Renville ada
suatu organisasi politik yang baru terbentuk tapi kuat dan juga mencita-citakan kemerekaan
republic. Organisasi tersebut tidak mengakui Perjanjian Renville dan tidak mau berperang
melawan Belanda, dikenal dengan nama Darul Islam.
1 Garis Van Mook diumumkan secara sepihak oleh Belanda pada 29 Agustus 1947 sebagai batas posisi mereka saat genjatan senjata.2 Kahin, George MCTurman.1995. Nasionalisme dan revolusi di Indonesia. Hlm, 274
Darul Islam (dalam bahasa Arab dar al-Islam), secara harfiah berarti “rumah” atau
“keluarga” islam, yaitu “dunia atau wilayah Islam”. Yang dimaksud dengan ungkapan
tersebut adalah bagian dari wilayah Islam yang di dalamnya keyakinan dan pelaksanaan
syariat Islam serta peraturannya diwajibakan. Lawannya adalah Darul Harb, yakni “wilayah
perang, dunia kafir”, yang berangsur-angsur akan dimasukkan ke dalam dar al Islam.
Gerakan DI/TII yang dipimpin oleh SM Kartosuwirjo ini memang merupakan suatu
gerakan yang menggunakan motif-motif ideology agama sebagai dasar penggeraknya, yaitu
mendirikan Negara Islam Indonesia. Adapun daerah atau tempat Gerakan DI/TII yang
pertama dimulai di daerah pegunungan di Jawa Barat, yang membentang sekitar Bandung
dan meluas sampai ke sebelah timur perbatasan Jawa Tengah, yang kemudian menyebar ke
bagian-bagian lain di Indonesia.
Perbedaan-perbedaan ideologis mengenai dasar Negara sebenarnya telah ada sebelum
proklamasi Negara Islam Indonesia itu sendiri. Namun adanya musuh bersama, dalam hal ini
Belanda, mendorong para pemimpin bangsa Indonesia untuk mengesampingkan perbedaan-
perbedaan ideologis tersebut. Van Dijk (1995) menyatakan bahwa melucuti kesatuan-
kesatuan Jepang yang mundur, menentang campur tangan Inggris dan menentang kembalinya
Belanda meminta perhatian setiap orang sepenuhnya dan untuk sementara menggeser
perbedaan-perbedaan ideologis ke latar belakang.
Kristalisasi dari gerakan ini semakin nyata setelah ditanda tanganinya Perjanjian
Renville. Adapun upaya-upaya yang dilakukan SM. Kartosuwirjo untuk membentuk Negara
Islam, pertama-tama adalah dengan mengadakan Konferensi di Cisayong Tasikmalaya
Selatan tanggal 10-11 Februari 1948. Keputusan yang diambil adalah merubah system
ideology Islam dari bentuk kepartaian menjadi bentuk kenegaraan, yaitu menjadikan Islam
sebagai ideology Negara. Konferensi kedua diadakan di Cijoho tanggal 1 Mei 1948, dimana
hasil yang dicapai adalah apa yang disebut Ketatanegaraan Islam, yaitu dibentuknya suatu
Dewan Imamah yang dipimpin langsung oleh SM. Kartosuwirjo. Selain itu disusun semacam
UUD yang disebut Kanun Azazi, yang menyatakan pembentukan Negara Islam Indonesia
dengan hokum tertinggi Al-Quran dan Hadist (PInardi 1964).
Adanya Aksi Polisional Belanda yang melancarkan Agresi Militer II tanggal 18
Desember 1948, tampaknya semakin mempercepat kearah pembentukan Negara Islam
Indonesia, dimana Agresi MIliter Belanda II tersebut telah berhasil merebut ibukota RI
Yogyakarta dan menawan Presiden, Wapres beserta sejumlah Menteri. Momentum inilah
yang kemudian dianggap sebagai kehancuran RI, dan kesempatan tersebut digunakan untuk
membentuk Negara Islam Indonesia yang diproklamirkan tanggal 7 Agustus 1949. Peristiwa
tersebut merupakan titik kulminasi subversi dalam negeri pada masa itu.
Satu hal yang menarik dari gerakan ini dibandingkan dengan gerakan separatisme
lainnya, adalah perkembangannya yang cukup lama di atas wilayah yang cukup luas.
Keuletan ini tidak terlepas dari factor-faktor yang mempengaruhi munculnya gerakan DI/TII,
yang kemudian mendorong sebagian rakyat untuk ikut mendukung gerakan itu, yang
akhirnya memberi kekuatan dan keuletan pada Gerakan DI/TII selama hampir 13 tahun.
Namun dalam perkembangan selanjutnya, gerakan in ternyata hanya menimbulkan
penderitaan dan penindasan terhadap rakyat. Kewajiban-kewajiban yang dibebankan kepada
rakyat seringkali menjadi sumber penderitaan dari kekejian yang semena-mena. Kahin (1995)
dalam hal ini menyatakan bahwa kerja sama perani dengan Darul Islam makin lama makin
disebabkan oleh terror yang dilakukan Darul Islam dan petani tidak mendukung organisasi
tersebut karena nasonalisme dan agama. Namun rakyat kota relative lebh reada. Lebih buruk
keadaannya di pedalaman, tempat desa-desa diserbu, dalam beberapa daerah sangat sering
barang-barang dan hasil panen dirampas, dan rumah, jembatan, mesjid dan lumbung padi
dibakar atau dimusnahkan.
Tidak sedikit penderitaan yang ditanggung rakyat Jawa Barat khususnya, karena
gerakan ini melakukan terror terhadap mereka. Untuk kepentingan gerakannya mereka
merampok rakyat yang tinggal dipelosok-pelosok terpencil di lereng gunung, sehingga
menurut sulit membedakan gerakan DI dari tindak perampokan, pemerasan, dan terorisme
dalam ukuran luas.3
Kondisi yang demikian mau tidak mau menjadi suatu masalah yang seriusdalam
kehidupan bangsa Indonesia. Kekacauan-kekacauan politik yang terjadi pada masa itu,
ternyata telah menimbulkan dampak yang luas dalam sendi-sendi kehidupan masyarakat yang
lain seperti social, budaya, dan ekonomi (Ismaun 1997).
Gerakan DI/TII akhirnya tetap menjadi sebuah pemberontakan daerah, sampai
akhirnya SM. Kartosuwirjo tertangkap tanggal 4 Juni 1962 dalam sebuah operasi yang
bernama Pagar Betis. Dengan penangkapan dan pelaksanaan hukuman mati terhadap SM.
Kartosuwirjo, maka berakhirlah pemberontakan yang terorganisir di Jawa Barat selama lebih
dari 10 tahun. Namun hal itu tidak cukup membuat peristiwa tersebut mudah dilupakan,
katena walau bagaimanapun gerakan ini tidak saja menimbulkan kesengsaraan bagi
masyarakat biasa, melainkan juga sebuah tragedy dalam perjalanan sejarah bangsa Indonesia
menegakkan kehidupan berbangsa dan bernegara 3 Ricklef, M.c. 2010. Sejarah Indonesia Modern 1200-2008. Serambi Ilmu Semesta. Hlm, 478