di suatu hujan

2
Di luar hujan, kekasih. Bukannya tak suka. Tapi ini membuatku kembali berkata. Aku cinta. Padahal aku ingin lupa. Lupa akan tawa dan canda yang tak biasa yang hanya dimengerti oleh kita saja. Lupa akan senyummu yang tergambar jikala mata ini terpejam. Lupa akan keluh manjamu akan jalanan macet yang kita lalui ketika hujan tetiba datang tak diundang. Lupa akan lupa mengatakan “aku cinta padamu”. Aku kembali ingat, kekasih. Kembali ingat akan keluhmu kepada mantan kekasihmu yang posesif namun ternyata selingkuh tanpa kau tahu. Kembali ingat akan candamu yang sebenarnya tak lucu. Kembali ingat akan janji bertemu di suatu waktu ketika kau jenuh dengan keseharian. Kembali ingat akan perjodohanmu dengan paman jauhmu namun tak jadi lantaran tak disetujui pamanmu yang lain. Kembali ingat ketika mendengar kabar itu aku loncat jingkrak-jingkrak. Kembali ingat akan mantan kekasihmu dulu (sebelum kau diselingkuhi) yang kau putuskan dengan alasan membosankan. Dan aku merasa tidak demikian. Aku mungkin takkan ingat rasanya jatuh cinta, kekasih. Takkan ingat jika tak ada engkau yang hadir mengisi rasa jenuhku. Jenuhku yang meninju ceriaku yang mematikan hariku. Takkan ingat jika tak ada engkau yang membuatku percaya, bahagia bukanlah hanya di dongeng cinderela semata. Takkan ingat jika putri salju itu nyata, cinderela itu nyata, dewi khayangan itu nyata dan ada di sekitar kita. Dan itu engkau. Kau adalah wujud nyata pesona tokoh utama setiap cerita bahagia. Kau terlalu sempurna untukku berkata “aku cinta”.

Upload: diano-ramadhan-fauzan

Post on 13-Nov-2015

219 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Di luar hujan, kekasih. Bukannya tak suka. Tapi ini membuatku kembali berkata. Aku cinta. Padahal aku ingin lupa. Lupa akan tawa dan canda yang tak biasa yang hanya dimengerti oleh kita saja. Lupa akan senyummu yang tergambar jikala mata ini terpejam. Lupa akan keluh manjamu akan jalanan macet yang kita lalui ketika hujan tetiba datang tak diundang. Lupa akan lupa mengatakan aku cinta padamu. Aku kembali ingat, kekasih. Kembali ingat akan keluhmu kepada mantan kekasihmu yang posesif namun ternyata selingkuh tanpa kau tahu. Kembali ingat akan candamu yang sebenarnya tak lucu. Kembali ingat akan janji bertemu di suatu waktu ketika kau jenuh dengan keseharian. Kembali ingat akan perjodohanmu dengan paman jauhmu namun tak jadi lantaran tak disetujui pamanmu yang lain. Kembali ingat ketika mendengar kabar itu aku loncat jingkrak-jingkrak. Kembali ingat akan mantan kekasihmu dulu (sebelum kau diselingkuhi) yang kau putuskan dengan alasan membosankan. Dan aku merasa tidak demikian.Aku mungkin takkan ingat rasanya jatuh cinta, kekasih. Takkan ingat jika tak ada engkau yang hadir mengisi rasa jenuhku. Jenuhku yang meninju ceriaku yang mematikan hariku. Takkan ingat jika tak ada engkau yang membuatku percaya, bahagia bukanlah hanya di dongeng cinderela semata. Takkan ingat jika putri salju itu nyata, cinderela itu nyata, dewi khayangan itu nyata dan ada di sekitar kita. Dan itu engkau. Kau adalah wujud nyata pesona tokoh utama setiap cerita bahagia. Kau terlalu sempurna untukku berkata aku cinta.Aku menjadi teringat terakhir kali jatuh cinta dan akhirnya sengsara. Cinta punuk kepada rembulan. Cinta daun kepada cahaya matahari. Yang kesemuanya akan sirna tatkala bertemu kata realistis. Waktu itu orang tertawa ketika aku bilang mencintai Dia, kekasih. Bodoh. Gila. Ngarep. Sekarepmu! Aku bilang. Padahal aku tidak bercanda. Tapi semua tertawa. Realistis. Aku benci kata itu. Aku benci penggunaan kata itu secara linier. Yang sebenarnya tak pantas dalam urusan hati, urusan cinta. Tapi apa? Kesalahan yang diulang-ulang dan dipercayai orang banyak toh lama kelamaan akan menjadi kebenaran jua. Dan kau mengingatkanku akan kisah itu.Dan apakah kau tahu? Pengalaman tadi membekas, seakan terekam dan ter-rewind ketika sekali lagi aku cinta. Padamu. Aku. Tidak. Realistis. Terserah....Di luar hujan, kekasih. Membawa hadirmu dalam ingatanku. Membawaku ke khayalan akan masa depan. Sepuluh tahun kedepan. Ketika kita tak lagi muda untuk sebuah pesta. Ketika kita tak lagi muda untuk menghabiskan waktu seharian untuk tertawa bersama. Ketika malam hari kau merengek ingin sate dikala perutmu bunting. Ketika keperluan sekolah anak-anak kita nanti lebih penting ketimbang membeli anting. Ketika reuni SMA kita yang pertama. Ah, hujan ini membawa angan, kekasih. Padahal aku ingin lupa. Aku ingin realistis. Aku ingin waras seperti mereka. Tapi sepertinya kali ini aku memilih gila. Bandarlampung Apr 8 2014. 00.45