di perdesaan indonesia, 2006 2016 · mewakili lembaga-lembaga yang mendanai kegiatan dan pelaporan...

86
Dinamika Ketimpangan dan Penghidupan di Perdesaan Indonesia, 20062016 Nila Warda Elza Elmira Mayang Rizky Rachma Indah Nurbani Ridho Al Izzati Kertas Kerja SMERU

Upload: others

Post on 25-Jan-2020

6 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: di Perdesaan Indonesia, 2006 2016 · mewakili lembaga-lembaga yang mendanai kegiatan dan pelaporan The SMERU Research Institute. ... Desa yang ada di dalam/sekitar hutan menurut fungsi,

c

Dinamika Ketimpangan dan Penghidupan

di Perdesaan Indonesia, 2006–2016

Nila Warda

Elza Elmira

Mayang Rizky

Rachma Indah Nurbani

Ridho Al Izzati

Kertas Kerja SMERU

Page 2: di Perdesaan Indonesia, 2006 2016 · mewakili lembaga-lembaga yang mendanai kegiatan dan pelaporan The SMERU Research Institute. ... Desa yang ada di dalam/sekitar hutan menurut fungsi,

KERTAS KERJA SMERU

Dinamika Ketimpangan dan Penghidupan

di Perdesaan Indonesia, 2006–2016

Nila Warda

Elza Elmira

Mayang Rizky

Rachma Indah Nurbani

Ridho Al Izzati

Editor

Budhi Adrianto

The SMERU Research Institute

November 2019

Page 3: di Perdesaan Indonesia, 2006 2016 · mewakili lembaga-lembaga yang mendanai kegiatan dan pelaporan The SMERU Research Institute. ... Desa yang ada di dalam/sekitar hutan menurut fungsi,

Dinamika Ketimpangan dan Penghidupan di Perdesaan Indonesia, 2006-2016

Penulis: Nila Warda, Elza Elmira, Mayang Rizky, Rachma Indah Nurbani, dan Ridho Al Izzati Editor: Budhi Adrianto Foto Sampul: Dok. SMERU Data Katalog-dalam-Terbitan The SMERU Research Institute Warda, Nila

KERTAS KERJA SMERU: Dinamika Ketimpangan dan Penghidupan di Perdesaan Indonesia, 2006–2016./ Ditulis oleh Nila Warda; Elza Elmira; Mayang Rizky; Rachma Indah Nurbani; Ridho Al Izzati; Editor Budhi Adrianto. vii; 72p.; 30 cm. ISBN 978-602-7901-90-2 ISBN 978-602-7901-91-9 (PDF) 1. ketimpangan 2. Perdesaan 3. modal penghidupan I. Judul 362.582 –ddc’23

Diterbitkan Oleh: The SMERU Research Institute Jl. Cikini Raya No.10A Jakarta 10330 Indonesia Cetakan pertama, November 2019

Ciptaan disebarluaskan di bawah Lisensi Creative Commons Atribusi-NonKomersial 4.0 Internasional. Konten SMERU dapat disalin atau disebarluaskan untuk tujuan nonkomersial sejauh dilakukan dengan menyebutkan The SMERU Research Institute sebagai sumbernya. Jika tidak ada kesepakatan secara kelembagaan, format PDF publikasi SMERU tidak boleh diunggah dalam jaringan (daring) dan konten daring hanya bisa dipublikasikan melalui tautan ke situs web SMERU. Temuan, pandangan, dan interpretasi dalam laporan ini merupakan tanggung jawab penulis dan tidak berhubungan dengan atau mewakili lembaga-lembaga yang mendanai kegiatan dan pelaporan The SMERU Research Institute. Untuk mendapatkan informasi mengenai publikasi SMERU, hubungi kami melalui nomor telepon 62-21-31936336, nomor faks 62-21-31930850, atau alamat surel [email protected]; atau kunjungi situs web www.smeru.or.id.

Page 4: di Perdesaan Indonesia, 2006 2016 · mewakili lembaga-lembaga yang mendanai kegiatan dan pelaporan The SMERU Research Institute. ... Desa yang ada di dalam/sekitar hutan menurut fungsi,

i The SMERU Research Institute

UCAPAN TERIMA KASIH

Kertas kerja ini dapat diselesaikan berkat dukungan berbagai pihak. Untuk itu, kami menyampaikan penghargaan dan terima kasih kepada Yayasan TIFA yang telah memfasilitasi terselenggaranya penelitian ini. Kami juga mengucapkan terima kasih kepada Ir. Nono Rusono, M.Si., Kasubdit Bidang Pangan, Kementerian PPN/Bappenas; dan Muhammad Syukri, kandidat Ph.D. dari University of Western Australia, yang telah meninjau substansi hasil studi ini dan turut menyempurnakan kertas kerja ini. Ucapan terima kasih kami sampaikan pula kepada rekan-rekan dari pemerintah dan ornop yang telah hadir dalam kelompok diskusi terfokus studi ini dan memberikan masukan yang sangat berharga untuk perbaikan dan penajaman temuan studi.

Page 5: di Perdesaan Indonesia, 2006 2016 · mewakili lembaga-lembaga yang mendanai kegiatan dan pelaporan The SMERU Research Institute. ... Desa yang ada di dalam/sekitar hutan menurut fungsi,

ii The SMERU Research Institute

ABSTRAK

Dinamika Ketimpangan dan Penghidupan di Perdesaan Indonesia, 2006-2016 Nila Warda, Elza Elmira, Mayang Rizky, Rachma Indah Nurbani, dan Ridho Al Izzati

Topik ketimpangan kini menjadi isu hangat dalam perdebatan tentang pembangunan di Indonesia, terutama pembangunan di wilayah-wilayah perdesaan yang dalam satu dekade terakhir mengalami peningkatan ketimpangan. Studi ini bertujuan melihat berbagai faktor dalam kerangka modal penghidupan dan mengaitkannya dengan dinamika ketimpangan yang terjadi di wilayah perdesaan. Termasuk dalam modal penghidupan adalah modal sumber daya manusia, modal sumber daya alam, modal infrastruktur fisik, modal keuangan, dan modal sosial. Hasil analisis studi ini diharapkan memberi gambaran mengenai tantangan yang dihadapi dalam upaya pengurangan ketimpangan, terutama hal-hal yang menghalangi masyarakat kelompok termiskin untuk melakukan mobilitas sosial ke tingkat kesejahteraan yang lebih tinggi. Analisis dalam studi ini menggunakan pendekatan kuantitatif melalui teknik analisis deskriptif dengan menampilkan tabulasi silang antara indikator-indikator yang mewakili masing-masing modal penghidupan di satu sisi dan kelompok kesejahteraan di sisi lain. Sumber data utama yang digunakan adalah, antara lain, Survei Sosial-Ekonomi Nasional (Susenas), Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas), Survei Aspek Kehidupan Rumah Tangga Indonesia (Sakerti), Sensus Penduduk, Sensus Pertanian, Sensus Potensi Desa (Podes), dan data Peta Kemiskinan Indonesia. Beberapa hal yang diduga berkaitan dengan atau turut berkontribusi pada ketimpangan ekonomi perdesaan terlihat melalui studi ini, seperti rendahnya capaian pendidikan kelompok termiskin perdesaan, dominasi kelompok terkaya dalam penguasaan lahan pertanian, pembangunan infrastruktur fisik yang lebih tersebar di desa-desa maju, serta ancaman terhadap kohesi sosial yang bersumber dari keberagaman identitas dan diiringi sikap primordialisme sehingga berujung pada konflik sosial. Faktor-faktor ini selanjutnya akan disempurnakan pada kertas kerja kedua dan ketiga dengan menguji kekuatan kontribusi masing-masing faktor dan membandingkan besarannya dalam menjelaskan perubahan ketimpangan perdesaan. Berdasarkan temuan dari ketiga kertas kerja tersebut, implikasi kebijakan yang lebih konkret dapat diformulasikan. Kata kunci: ketimpangan, modal penghidupan, perdesaan

Page 6: di Perdesaan Indonesia, 2006 2016 · mewakili lembaga-lembaga yang mendanai kegiatan dan pelaporan The SMERU Research Institute. ... Desa yang ada di dalam/sekitar hutan menurut fungsi,

iii The SMERU Research Institute

DAFTAR ISI

UCAPAN TERIMA KASIH i

ABSTRAK ii

DAFTAR ISI iii

DAFTAR TABEL iv

DAFTAR GAMBAR iv

DAFTAR SINGKATAN DAN AKRONIM vii

I. PENDAHULUAN 1 1.1 Kondisi Umum Ketimpangan 1 1.2 Mengapa Penting Melihat Ketimpangan di Perdesaan di Indonesia? 3 1.3 Gambaran Studi 5

II. KETIMPANGAN DAN PERKEMBANGAN PENGHIDUPAN DI DESA 11 2.1 Wilayah Perdesaan di Indonesia Makin Sejahtera namun Makin Timpang 11 2.2 Struktur Ekonomi Desa yang Telah Berubah 14 2.3 Transisi Penghidupan Masyarakat Perdesaan 15

III. SUMBER DAYA MANUSIA PERDESAAN 20 3.1 Tantangan Demografi: Urbanisasi dan Rasio Beban Ketergantungan yang Tinggi 20 3.2 Pendidikan Masyarakat Perdesaan: Akses yang Lebih Baik dan Tantangan Capaian

Pendidikan Tinggi 22 3.3 Kualitas Kesehatan Masyarakat Perdesaan: Paritas dalam Keluhan Kesehatan dan

Akses Layanan Kesehatan Dasar, namun Disparitas dalam Capaian Gizi 26

IV. SUMBER DAYA ALAM PERDESAAN 31 4.1 Kesejahteraan dan Ketimpangan antardesa dengan Tipologi Wilayah yang Berbeda 32 4.2 Pemanfaatan Sumber Daya Alam Desa: Ketimpangan Akses Lahan Pertanian dan

Kebutuhan akan Pengelolaan Irigasi yang Baik 36

V. INFRASTRUKTUR FISIK DAN PENDUKUNG PEREKONOMIAN PERDESAAN 39 5.1 Jalan, Komunikasi, dan Listrik yang Membuka Kesempatan sekaligus Membawa Risiko

Ketimpangan 40 5.2 Diskrepansi Infrastruktur Pendukung Perekonomian Perdesaan 43

VI. MODAL SOSIAL MASYARAKAT DESA: PARTISIPASI, TOLERANSI, POLA RELASI 46 6.1 Partisipasi Sosial yang Tinggi, namun Kepercayaan Sosial yang Rendah 47 6.2 Hubungan Tidak Linier antara Keberagaman Identitas Sosial dan Ketimpangan

Ekonomi 52 6.3 Dukungan Sosial antara Masyarakat Perdesaan Tidak Lebih Tinggi daripada

Masyarakat Perkotaan 54 6.4 Hubungan Dua Arah antara Konflik Sosial dan Ketimpangan Ekonomi 56

VII. KESIMPULAN DAN STUDI LANJUTAN 58

DAFTAR ACUAN 61

Page 7: di Perdesaan Indonesia, 2006 2016 · mewakili lembaga-lembaga yang mendanai kegiatan dan pelaporan The SMERU Research Institute. ... Desa yang ada di dalam/sekitar hutan menurut fungsi,

iv The SMERU Research Institute

DAFTAR TABEL Tabel 1. Indikator Modal Penghidupan 8

Tabel 2. Komposisi Tenaga Kerja Menurut Sektor Pekerjaan di Wilayah Perdesaan Indonesia, 2006 dan 2016 14

Tabel 3. Rata-rata Usia Petani, 2006 dan 2015 15

Tabel 4. Prevalensi Masalah Gizi antarkelompok Wilayah dan Masyarakat Indonesia, 2013 28

Tabel 5. Tipologi Desa 33

Tabel 6. Penguasaan Lahan Nasional, 2013 36

Tabel 7. Penguasaan Lahan Pertanian di Setiap Wilayah, 2013 37

Tabel 8. Persentase dan Jumlah Desa dengan Jaringan Irigasi yang Mengalami Kerusakan berdasarkan Kondisi Topografi, 2011 dan 2014 39

Tabel 9. Jenis Konflik berdasarkan Wilayah 57

DAFTAR GAMBAR Gambar 1. Ketimpangan (indeks Gini) dan kemiskinan di Indonesia (perdesaan dan perkotaan)

periode 1999–2017 2

Gambar 2. Pertumbuhan pengeluaran menurut persentil di wilayah perdesaan Indonesia (harga konstan), 2006–2016 3

Gambar 3. Tingkat kemiskinan (P0), indeks kedalaman kemiskinan (P1), dan indeks keparahan kemiskinan (P2) menurut wilayah (perdesaan, perkotaan, dan perdesaan + perkotaan) 1999–2017 4

Gambar 4. Ketimpangan menurut wilayah, 1996–2017 5

Gambar 5. Ketimpangan (indeks Gini) dan kemiskinan perdesaan menurut provinsi, 2007 dan 2016 11

Gambar 6. Perubahan ketimpangan (indeks Palma), 2006 dan 2016 12

Gambar 7. Pertumbuhan pengeluaran menurut persentil di berbagai wilayah perdesaan Indonesia (harga konstan), 2006–2016 13

Gambar 8. Komposisi tenaga kerja menurut subsektor pertanian di wilayah perdesaan Indonesia, 2014 15

Gambar 9. Perpindahan lokasi tempat tinggal di antara para pekerja dan pertumbuhan pendapatannya (pendapatan riil) 16

Gambar 10. Perubahan sektor kerja di kalangan pekerja yang menetap di perdesaan dan pertumbuhan pendapatan riilnya 18

Gambar 11. Komposisi penduduk perdesaan dan perkotaan tahun 2006 dan 2016 21

Gambar 12. Piramida penduduk 21

Page 8: di Perdesaan Indonesia, 2006 2016 · mewakili lembaga-lembaga yang mendanai kegiatan dan pelaporan The SMERU Research Institute. ... Desa yang ada di dalam/sekitar hutan menurut fungsi,

v The SMERU Research Institute

Gambar 13. Rasio beban ketergantungan antarkelompok pendapatan di perdesaan, 2006–2016 22

Gambar 14. APK berdasarkan kelompok kesejahteraan, 2006 dan 2016 24

Gambar 15. APK dan APM berdasarkan kelompok kesejahteraan dan gender, 2006 dan 2016 25

Gambar 16. Tingkat pendidikan tertinggi di perkotaan dan perdesaan berdasarkan kuintil pengeluaran, 2006 dan 2016 (dalam persen) 26

Gambar 17. Perbandingan proporsi keluhan kesehatan penduduk usia produktif (15–65 tahun) di perkotaan dan perdesaan berdasarkan kuintil pengeluaran per kapita, 2006–2014 27

Gambar 18. Prevalensi masalah gizi antarkelompok kesejahteraan di perdesaan Indonesia, 2013 29

Gambar 19. Perbandingan proporsi kelahiran yang dibantu tenaga kesehatan di perdesaan, 2006–2016 30

Gambar 20. Perbandingan proporsi cakupan imunisasi lengkap anak usia 12–24 bulan di perdesaan, 2006–2016 30

Gambar 21. Perbandingan proporsi keluarga dengan jaminan kesehatan di perdesaan, 2006–2016 31

Gambar 22. Kuintil distribusi rata-rata pengeluaran per kapita penduduk desa dan kuintil Gini desa menurut topografi wilayah 2014 33

Gambar 23. Kuintil distribusi rata-rata pengeluaran per kapita penduduk desa dan kuintil Gini desa menurut lokasi desa terhadap laut, 2014 34

Gambar 24. Kuintil distribusi rata-rata pengeluaran per kapita penduduk desa dan kuintil Gini desa menurut lokasi desa terhadap hutan, 2014 35

Gambar 25. Desa yang ada di dalam/sekitar hutan menurut fungsi, 2011–2014 35

Gambar 26. Distribusi penguasaan lahan di antara rumah tangga sektor pertanian 38

Gambar 27. Persentase desa yang memiliki infrastruktur jalan dengan kondisi baik pada 2011 dan kelompok kesejahteraannya pada 2015 40

Gambar 28. Hubungan antara proporsi desa dengan kualitas sinyal seluler yang baik pada 2011 dan tingkat kesejahteraannya pada 2015 41

Gambar 29. Proporsi desa yang memiliki infrastruktur jalan dan komunikasi yang kondisinya baik (dalam persen) berdasarkan kuintil indeks Gini, 2014 42

Gambar 30. Akses listrik berdasarkan kelompok kesejahteraan di desa, 2006–2016 42

Gambar 31. Persentase desa tanpa aliran listrik, 2014 43

Gambar 32. Proporsi desa yang memiliki infrastruktur finansial berdasarkan kelompok pendapatan desa 2014 (dalam persen) 44

Gambar 33. Keberadaan kompleks pertokoan dan pasar berdasarkan kelompok pendapatan desa 2014 (dalam persen) 45

Gambar 34. Partisipasi pada setidaknya satu jenis kegiatan kemasyarakatan berdasarkan tingkat kesejahteraan dan gender, 2007 dan 2014 48

Gambar 35. Masyarakat yang menggunakan hak pilihnya berdasarkan tingkat kesejahteraan dan gender, 2007 dan 2014 49

Gambar 36. Preferensi dalam memilih pemimpin/wakil rakyat berdasarkan tingkat kesejahteraan dan gender, 2007 dan 2014 50

Page 9: di Perdesaan Indonesia, 2006 2016 · mewakili lembaga-lembaga yang mendanai kegiatan dan pelaporan The SMERU Research Institute. ... Desa yang ada di dalam/sekitar hutan menurut fungsi,

vi The SMERU Research Institute

Gambar 37. Sikap tidak percaya pada orang dengan agama/etnis berbeda berdasarkan tingkat kesejahteraan dan gender, 2007 dan 2014 51

Gambar 38. Garis penghubung sebaran titik-titik (fitted line) antara indeks keberagaman etnis dan indeks Gini 53

Gambar 39. Garis penghubung sebaran titik-titik (fitted line) antara indeks keberagaman agama dan indeks Gini 54

Gambar 40. Distribusi dan prevalensi dukungan informal masyarakat, 2014 55

Gambar 41. Insiden konflik per provinsi pada 2011 dan 2014 (persentase dari jumlah total konflik) 56

Gambar 42. Desa yang mengalami konflik berdasarkan kelompok ketimpangan desa (%) 58

Page 10: di Perdesaan Indonesia, 2006 2016 · mewakili lembaga-lembaga yang mendanai kegiatan dan pelaporan The SMERU Research Institute. ... Desa yang ada di dalam/sekitar hutan menurut fungsi,

vii The SMERU Research Institute

DAFTAR SINGKATAN DAN AKRONIM

ADB Asian Development Bank (Bank Pembangunan Asia)

APK angka partisipasi kasar

APM angka partisipasi murni

Balitbangkes Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan

BPJS Badan Penyelenggara Jaminan Sosial

BPR bank perkreditan rakyat

BPS Badan Pusat Statistik

ERF Index Ethnic and Religious Fractionalization Index (Indeks Keberagaman Etnis dan Agama)

ERF-e Ethnic and Religious Fractionalization–ethnicity (Keberagaman Etnis dan Agama–etnis)

ERF-r Ethnic and Religious Fractionalization–religion (Keberagaman Etnis dan Agama–agama)

FAO Food and Agriculture Organization (Organisasi Pangan Dunia)

KB Keluarga Berencana

KBBI Kamus Besar Bahasa Indonesia

LANDac Land Governance for Equitable and Sustainable Development

NTB Nusa Tenggara Barat

NTT Nusa Tenggara Timur

PBI-BPJS Kesehatan Penerima Bantuan Iuran Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan

PNPM Mandiri Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat Mandiri

Podes Pendataan Potensi Desa

Riskesdas Riset Kesehatan Dasar

SAE small area estimation

Sakerti

SD

Survei Aspek Kehidupan Rumah Tangga Indonesia

sekolah dasar

SMA sekolah menengah atas

SMP sekolah menengah pertama

Susenas Survei Sosial-Ekonomi Nasional

UNCTAD United Nations Conference on Trade and Development

UNDP United Nations Development Programme

UU Undang-Undang

Page 11: di Perdesaan Indonesia, 2006 2016 · mewakili lembaga-lembaga yang mendanai kegiatan dan pelaporan The SMERU Research Institute. ... Desa yang ada di dalam/sekitar hutan menurut fungsi,

1 The SMERU Research Institute

I. PENDAHULUAN Capaian ekonomi yang impresif diraih Indonesia dalam dua dekade terakhir, tetapi ketimpangan, terutama di perdesaan, masih menjadi pekerjaan besar yang harus diselesaikan. Tingkat kemiskinan yang tinggi, dominasi sektor pertanian berproduktivitas rendah, dan keterbatasan infrastruktur layanan dasar menjadi hambatan laten bagi wilayah ini untuk memperkecil jurang pertumbuhan pendapatan antara kelompok termiskin dan kelompok kesejahteraan di atasnya. Penurunan ketimpangan di perdesaan adalah sebuah urgensi, dan pemahaman mengenai ketimpangan di perdesaan menjadi hal yang penting untuk mendukung upaya pemberdayaan desa yang saat ini didorong secara masif oleh pemerintah dan mitra pembangunan. Kertas kerja ini disusun berdasarkan Studi Dinamika Ketimpangan di Perdesaan di Indonesia yang akan memberikan gambaran tentang dinamika ketimpangan dan penghidupan masyarakat di wilayah perdesaan Indonesia dalam satu dekade terakhir (2006–2016).

1.1 Kondisi Umum Ketimpangan Lepas dari krisis keuangan Asia 1997/1998, Indonesia mampu mempertahankan pertumbuhan ekonominya pada kisaran 5%–6% dan berhasil menurunkan tingkat kemiskinan hingga lebih dari separuhnya (World Bank, 2015). Peningkatan kesejahteraan agregat diraih dengan pendapatan per kapita yang naik sehingga menempatkan Indonesia ke dalam kelompok negara berpendapatan menengah-bawah (World Bank, 2014; Fantom dan Serajuddin, 2016). Namun, perlambatan laju penurunan kemiskinan yang dialami Indonesia beberapa tahun terakhir ini menimbulkan pertanyaan mengenai pemerataan manfaat pembangunan ekonomi yang telah diraih tersebut. Pada periode 1976–1996 sebelum terjadinya krisis keuangan Asia, penurunan kemiskinan Indonesia mencapai rata-rata tahunan 1,44 titik persen, tetapi berkurang hingga hanya 0,61 titik persen pada periode 2002–2010 (Suryahadi, Hadiwidjaja, dan Sumarto, 2012). Sepanjang 2011–2014, tingkat kemiskinan Indonesia tidak beranjak jauh dari kisaran 11%–12%. Bahkan, penurunan kemiskinan Indonesia pada periode 2012–2013 hanya sebesar 0,5 titik persen dan merupakan penurunan terkecil dalam satu dekade terakhir (World Bank, 2014). Sampai 2017, masih terdapat sekitar 28 juta atau 10,6% penduduk Indonesia yang perlu diangkat kesejahteraannya, sebagian besar di antaranya berada di perdesaan (BPS1, 2017c). Perlambatan laju penurunan kemiskinan terjadi bersamaan dengan stagnasi penurunan ketimpangan. Setelah krisis keuangan Asia 1997/1998, yakni pada kurun waktu 1999–2011, ketimpangan di Indonesia naik sebesar 32 titik persen, dengan peningkatan indeks Gini dari 0,311 menjadi 0,410. Sejak saat itu, ketimpangan memang cenderung tidak naik, tetapi terus mengalami stagnasi, dengan kisaran Gini yang tidak beranjak turun dari 0,4. Baru pada 2016 dan 2017, indeks Gini menurun sedikit ke angka 0,397 dan 0,393 (Gambar 1). Selain mengindikasikan ketimpangan yang tinggi di dalam sebuah negara (dalam hal ini, Indonesia), indeks Gini yang menyentuh kisaran 0,4 juga menjadikan Indonesia salah satu negara dengan ketimpangan tertinggi di antara negara-negara di kawasan Asia Tenggara dan di antara negara-negara kelompok pendapatan menengah- bawah (World Bank, 2016).

1Badan Pusat Statistik.

Page 12: di Perdesaan Indonesia, 2006 2016 · mewakili lembaga-lembaga yang mendanai kegiatan dan pelaporan The SMERU Research Institute. ... Desa yang ada di dalam/sekitar hutan menurut fungsi,

2 The SMERU Research Institute

Gambar 1. Ketimpangan (indeks Gini) dan kemiskinan di Indonesia (perdesaan dan perkotaan) periode 1999–2017 Sumber: BPS, 2017a; 2017b.

Ketimpangan di Indonesia dapat dijelaskan dengan pertumbuhan penghasilan yang tidak seimbang antara kelompok termiskin dan kelompok terkaya. Pertumbuhan pengeluaran rata-rata penduduk terkaya Indonesia secara umum lebih tinggi jika dibandingkan dengan kelompok penduduk miskin dan termiskin. Kecenderungan yang sama juga ditunjukkan oleh wilayah perdesaan. Kurva insiden pertumbuhan (growth incidence curve/GIC) yang memperlihatkan pertumbuhan pengeluaran menurut kelompok kesejahteraan perdesaan pada berbagai periode menjelaskan hal ini (Gambar 2). Dalam kurun waktu 2006–2016, pendapatan orang-orang terkaya di perdesaan yang jumlahnya di bawah 5% dari jumlah keseluruhan penduduk perdesaan tumbuh pada kisaran 7% hingga lebih dari 8%–jauh meninggalkan kelompok lainnya yang pertumbuhan pendapatan rata-ratanya hanya berkisar 6,5% per tahun. Sementara itu, 40% penduduk termiskin desa-desa di Indonesia mengalami pertumbuhan yang lebih kecil lagi, yakni antara 3,5% hingga 5,5%. Termasuk dalam kelompok 40% termiskin ini adalah orang-orang yang mengalami kemiskinan struktural, dengan pertumbuhan pendapatan kurang dari 4%.

23,43

19,14 18,41 18,2 17,42 16,66 15,9717,75

16,5815,42

14,15 13,33 12,49 11,96 11,36 11,25 11,22 10,86 10,64

0,3110,329

0,3430,357

0,376 0,3710,357

0,378

0,41 0,41 0,413 0,406 0,4080,397 0,393

0

0,05

0,1

0,15

0,2

0,25

0,3

0,35

0,4

0,45

0

5

10

15

20

25

30

35

40

45

19

99

20

02

20

05

20

06

20

07

20

08

20

09

20

10

20

11

20

12

20

13

20

14

20

15

20

16

20

17

Tingkat kemiskinan (dalam persen) Ketimpangan (indeks Gini)

Linear (tingkat kemiskinan, dalam persen) Linear (ketimpangan, indeks Gini)

Page 13: di Perdesaan Indonesia, 2006 2016 · mewakili lembaga-lembaga yang mendanai kegiatan dan pelaporan The SMERU Research Institute. ... Desa yang ada di dalam/sekitar hutan menurut fungsi,

3 The SMERU Research Institute

Gambar 2. Pertumbuhan pengeluaran menurut persentil di wilayah perdesaan Indonesia (harga konstan), 2006–2016 Sumber: Diolah dari Susenas 2006 dan 2016.

Perbedaan tingkat pertumbuhan pendapatan antarkelompok kesejahteraan tersebut bisa dijelaskan oleh, antara lain, penguasaan modal dan kualitas sumber daya manusia (SDM) yang berbeda antarkelompok kesejahteraan, terutama antara kelompok termiskin dan kelompok terkaya. Para pemilik modal yang merupakan kelompok terkaya adalah yang paling banyak menikmati keuntungan ekonomi yang diraih Indonesia, antara lain yang berasal dari commodity boom (Yusuf, Sumner, dan Rum, 2014; Ginting dan Aji, 2015; Tabor, 2015). Sementara kelompok terkaya merasakan peningkatan pendapatan paling besar, kelompok kesejahteraan di bawahnya terus menghadapi hambatan untuk meningkatkan pendapatan karena pekerjaan-pekerjaan tertentu mensyaratkan kemampuan penguasaan teknologi sehingga tenaga kerja berketerampilan rendah mengalami kesulitan untuk memasuki pasar tenaga kerja (Dabla-Norris et al., 2015). Hal ini merupakan tantangan karena sebagian besar tenaga kerja di perdesaan Indonesia masih berketerampilan rendah (unskilled workers) (Suryahadi, Chen, dan Tyers, 2001).

1.2 Mengapa Penting Melihat Ketimpangan di Perdesaan Indonesia?

Ketimpangan terbesar masih berada di perkotaan, tetapi tingkat kemiskinan (P0), indeks kedalaman kemiskinan (P1), dan indeks keparahan kemiskinan (P2) di perdesaan yang tinggi dan makin naik dalam beberapa tahun terakhir menunjukkan bahwa ketimpangan ekonomi di wilayah perdesaan merupakan hal yang harus diperhatikan (Gambar 3). Seperti halnya kecenderungan nasional, peningkatan indeks kedalaman dan keparahan kemiskinan tersebut juga terjadi bersamaan dengan ketimpangan di wilayah perdesaan yang naik jika dibandingkan dengan masa sebelum dan sesudah krisis keuangan Asia (Gambar 4).

3

4

5

6

7

8

9

10

1 4 7 10 13 16 19 22 25 28 31 34 37 40 43 46 49 52 55 58 61 64 67 70 73 76 79 82 85 88 91 94 97

Persentil pengeluaran per kapita

Pertumbuhan Pengeluaran Interval atas (95% CI)

Interval bawah (95% CI) Rata-rata pertumbuhan pengeluaran

Median pertumbuhan pengeluaran

Median pertumbuhan 6,011

Rata-rata pertumbuhan 6,514

Page 14: di Perdesaan Indonesia, 2006 2016 · mewakili lembaga-lembaga yang mendanai kegiatan dan pelaporan The SMERU Research Institute. ... Desa yang ada di dalam/sekitar hutan menurut fungsi,

4 The SMERU Research Institute

Gambar 3. Tingkat kemiskinan (P0), indeks kedalaman kemiskinan (P1), dan indeks keparahan kemiskinan (P2) menurut wilayah (perdesaan, perkotaan, dan perdesaan + perkotaan) 1999–2017

Sumber: BPS, 2017a.

19,41

14,60

9,76

14,46 13,5712,13 11,68

13,47 12,52 11,65 10,72 9,87 9,23 8,79 8,42 8,34 8,29 7,79 7,72

26,03

22,3824,84

21,10 20,23 20,11 19,9821,81

20,3718,93

17,35 16,56 15,72 15,10 14,28 14,17 14,21 14,11 13,93

23,43

19,14 18,41 18,20 17,42 16,66 15,9717,75

16,5815,42

14,15 13,33 12,49 11,96 11,36 11,25 11,22 10,86 10,64

19

99

20

00

20

01

20

02

20

03

20

04

20

05

20

06

20

07

20

08

20

09

20

10

20

11

20

12

20

13

20

14

20

15

20

16

20

17

Tingkat Kemiskinan Kota Tingkat Kemiskinan Desa

Tingkat Kemiskinan Kota dan Desa Linear (tingkat kemiskinan perkotaan)

Linear (tingkat kemiskinan perdesaan)

3,52

1,89 1,74

2,59 2,552,18 2,05

2,61

2,15 2,07 1,911,57 1,52 1,4 1,26 1,25 1,4

1,19 1,24

4,84 4,68 4,68

3,343,53 3,43 3,34

4,22

3,783,42

3,052,8 2,63

2,35 2,23 2,262,55

2,742,49

4,33

3,51 3,423,01 3,13

2,89 2,78

3,43

2,992,77

2,52,21 2,08

1,88 1,74 1,751,97 1,94 1,83

19

99

20

00

20

01

20

02

20

03

20

04

20

05

20

06

20

07

20

08

20

09

20

10

20

11

20

12

20

13

20

14

20

15

20

16

20

17

Indeks kedalaman kemiskinan perkotaan

Indeks kedalaman kemiskinan perdesaan

Indeks kedalaman kemiskinan perkotaan dan perdesaan

0,98

0,51 0,45

0,71 0,740,58 0,6

0,77

0,57 0,56 0,520,4 0,39 0,36 0,31 0,31 0,36

0,27 0,31

1,39 1,39 1,36

0,850,93 0,9 0,89

1,221,09

0,950,82

0,75 0,70,59 0,55 0,57

0,710,79

0,67

1,23

1,02 0,97

0,79 0,850,78 0,76

10,84

0,760,68

0,58 0,550,47 0,43 0,44

0,54 0,52 0,48

19

99

20

00

20

01

20

02

20

03

20

04

20

05

20

06

20

07

20

08

20

09

20

10

20

11

20

12

20

13

20

14

20

15

20

16

20

17

Indeks keparahan kemiskinan perkotaan

Indeks keparahan kemiskinan perdesaan

Indeks keparahan kemiskinan perkotaan dan perdesaan

Page 15: di Perdesaan Indonesia, 2006 2016 · mewakili lembaga-lembaga yang mendanai kegiatan dan pelaporan The SMERU Research Institute. ... Desa yang ada di dalam/sekitar hutan menurut fungsi,

5 The SMERU Research Institute

Gambar 4. Ketimpangan menurut wilayah, 1996–2017

Sumber: BPS, 2017c.

Penurunan ketimpangan menjadi upaya penting dalam mengatasi kemiskinan (UNCTAD, 2013; UNDP, 2015). Mengingat kenyataan bahwa kemiskinan di Indonesia identik dengan wilayah perdesaan, maka upaya penurunan ketimpangan di perdesaan akan memberikan kontribusi berharga bagi penurunan kemiskinan nasional. Saat ini pemerintah dan mitra pembangunan secara masif mendorong berbagai program pembangunan dan pemberdayaan di perdesaan. Salah satu yang terbesar adalah Kebijakan Dana Desa yang merupakan implementasi Undang-Undang (UU) No. 6 Tahun 2014 tentang Desa dan Peraturan Pemerintah No. 60 Tahun 2014 tentang Dana Desa. UU Desa mengamanatkan pembangunan desa sebagai upaya untuk meningkatkan kualitas hidup dan kesejahteraan masyarakat desa yang pada akhirnya dapat mengurangi kesenjangan pembangunan nasional. Perhatian pemerintah untuk menurunkan ketimpangan secara eksplisit tertuang dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional yang menargetkan ketimpangan (indeks Gini) turun menjadi 0,36 pada 2019 (UNDP, 2015). Namun, dari berbagai upaya pengurangan ketimpangan yang dicanangkan, belum banyak yang menyentuh ketimpangan di perdesaan. Ketimpangan di perdesaan masih luput dari banyak pembahasan mengenai dinamika ketimpangan. Perhatian terhadap kawasan perdesaan masih didominasi upaya untuk meningkatkan pertumbuhan yang diasumsikan akan mengurangi kemiskinan. Tidak banyak disadari bahwa hubungan antara pertumbuhan ekonomi, kemiskinan, dan ketimpangan tidak bersifat linier, dalam artian bahwa pertumbuhan ekonomi tidak akan secara otomatis mengurangi ketimpangan dan kemiskinan. Pertumbuhan ekonomi inklusiflah yang dapat mendukung pengurangan kemiskinan (Saad-Filho, 2010; de Haan & Thorat, 2013). Oleh karena itu, keberhasilan pengurangan kemiskinan membutuhkan pertumbuhan ekonomi yang didukung dengan kebijakan sosial yang baik yang bisa menjamin distribusi pendapatan yang lebih merata (Sumarto, Vothknecht, dan Wijaya, 2014).

1.3 Gambaran Studi Hasil Studi Dinamika Ketimpangan di Perdesaan di Indonesia ditampilkan melalui kertas kerja ini. Secara khusus studi ini bertujuan melihat berbagai faktor dalam kerangka modal penghidupan dan mengaitkannya dengan dinamika ketimpangan pendapatan yang terjadi di wilayah perdesaan. Data dan informasi yang tersaji akan menjadi bekal bagi pemerintah dan mitra pembangunan untuk

0,362

0,326 0,3300,338

0,350

0,374 0,369 0,362

0,382

0,422 0,425 0,431 0,428 0,4280,410 0,407

0,274

0,244

0,290

0,2640,276

0,302 0,3040,288

0,315

0,3400,330

0,320 0,3190,334 0,327 0,320

0,356

0,3110,329

0,3430,357

0,376 0,3710,357

0,378

0,410 0,410 0,413 0,406 0,4080,397 0,393

0,2

0,3

0,4

0,5

19

96

19

99

20

02

20

05

20

06

20

07

20

08

20

09

20

10

20

11

20

12

20

13

20

14

20

15

20

16

20

17

Perkotaan Perdesaan Perkotaan dan perdesaan

Page 16: di Perdesaan Indonesia, 2006 2016 · mewakili lembaga-lembaga yang mendanai kegiatan dan pelaporan The SMERU Research Institute. ... Desa yang ada di dalam/sekitar hutan menurut fungsi,

6 The SMERU Research Institute

meningkatkan pemahaman mengenai faktor-faktor yang berkaitan dengan ketimpangan dan mendukung upaya mereka dalam menanggulanginya. Kertas kerja ini merupakan keluaran pertama dari rangkaian studi tentang ketimpangan perdesaan yang dilakukan The SMERU Research Institute dengan dukungan Yayasan TIFA. Untuk melengkapi informasi yang disajikan dalam kertas kerja ini, akan ada dua kertas kerja lainnya. Kertas kerja kedua dan ketiga merupakan hasil dari dua studi lanjutan yang melihat beberapa aspek secara lebih dalam, yaitu (i) Determinan Ketimpangan Perdesaan di Tingkat Desa, dan (ii) Kontribusi Faktor Perubahan Ketimpangan di Perdesaan.

1.3.1 Kerangka Konseptual

Ketimpangan adalah sebuah konsep yang menggambarkan kondisi yang tidak setara, terutama dalam hal status, hak, dan kesempatan (UN, 2015). Berbeda dengan kemiskinan yang diukur berdasarkan nilai batas yang ditetapkan, ketimpangan melihat perbedaan standar hidup antarorang/antarkelompok di dalam masyarakat (McKay, 2002). Ketimpangan bisa dilihat secara moneter dan nonmoneter. Ketimpangan moneter diukur dengan menggunakan data distribusi pendapatan/pengeluaran (Cowell, 2007; Dabla-Norris et al., 2015). Sementara itu, yang dilihat dalam ketimpangan nonmoneter adalah dimensi di luar pendapatan/pengeluaran, seperti pendidikan dan keterampilan, kesehatan, kesempatan, kepemilikan aset, dan bahkan capaian umur (Heshmati, 2004). Terdapat banyak cara untuk mengukur ketimpangan moneter, tetapi yang paling luas digunakan adalah indeks Gini–nilai indeks Gini 0 berarti sepenuhnya setara dan 1 berarti sepenuhnya tidak setara (World Bank, 2016). Indeks Gini merupakan indikator yang secara formal dipakai oleh Pemerintah Indonesia untuk melihat ketimpangan moneter. Selain indeks Gini, cara yang juga banyak digunakan untuk mengukur ketimpangan adalah indeks Palma dan indeks Theil. Ketimpangan yang akan dilihat dalam kertas kerja ini hanya ketimpangan moneter, sebagian besar dengan menggunakan prinsip perhitungan indeks Palma, dan sebagian lainnya dengan menggunakan indeks Gini (lihat bagian 1.3.2).

Perdesaan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) didefinisikan sebagai daerah (kawasan) desa. Perdesaan merupakan turunan dari kata dasar desa yang memiliki makna “(i) kesatuan wilayah yang dihuni oleh sejumlah keluarga yang mempunyai sistem pemerintahan sendiri (dikepalai oleh seorang kepala desa); (ii) kelompok rumah di luar kota yang merupakan kesatuan; (iii) udik atau dusun (dalam arti daerah pedalaman sebagai lawan kota); (iv) tanah; tempat; daerah.” Sementara itu, pedesaan dalam KBBI didefinisikan sebagai “daerah permukiman penduduk yang sangat dipengaruhi oleh kondisi tanah, iklim, dan air sebagai syarat penting bagi terwujudnya pola kehidupan agraris penduduk di tempat itu.” Pada UU Desa yang berlaku sekarang, definisi desa adalah “… kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan, kepentingan masyarakat setempat, berdasarkan prakarsa masyarakat, hak asal usul, dan/atau hak tradisional yang diakui dan dihormati dalam sistem pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).” Pada UU yang berlaku sebelumnya (UU No. 32 Tahun 2004), definisi desa adalah “… kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas-batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat, berdasarkan asal-usul dan adat istiadat setempat yang diakui dan dihormati dalam sistem pemerintahan NKRI.” Mengingat sebagian besar data yang digunakan dalam studi ini dikeluarkan oleh BPS, maka definisi desa dan identifikasi perdesaan mengikuti kriteria yang ditentukan oleh BPS. Menurut BPS, perdesaan adalah status suatu wilayah administrasi setingkat desa/kelurahan yang belum

Page 17: di Perdesaan Indonesia, 2006 2016 · mewakili lembaga-lembaga yang mendanai kegiatan dan pelaporan The SMERU Research Institute. ... Desa yang ada di dalam/sekitar hutan menurut fungsi,

7 The SMERU Research Institute

memenuhi kriteria klasifikasi wilayah perkotaan (dalam hal kepadatan penduduk, persentase rumah tangga pertanian, dan keberadaan/akses pada fasilitas perkotaan). Dalam definisi BPS, desa adalah wilayah administrasi terendah dalam hierarki pembagian wilayah administrasi Indonesia di bawah kecamatan.2 Berdasarkan kategori wilayah desa yang dipakai dalam survei Potensi Desa (Podes), status desa-desa di Indonesia terbagi ke dalam desa perkotaan dan desa perdesaan. Fokus penelitian ini adalah desa perdesaan. Hingga 2014, dari sekitar 76.000 desa di Indonesia, 80% di antaranya (sekitar 60.000 ribu desa) termasuk dalam kategori desa perdesaan, dan 20% sisanya (sekitar 15.000 desa) termasuk dalam kategori desa perkotaan. Kondisi penghidupan dalam studi ini ditangkap melalui kerangka modal penghidupan (pentagonal asset). Ketimpangan yang pada dasarnya adalah perbedaan tingkat pertumbuhan pendapatan antarkelompok kesejahteraan, sebagaimana ditunjukkan pada Gambar 2, merupakan produk dari perbedaan penguasaan modal penghidupan. Selain itu, modal penghidupan juga merupakan aspek kunci dari kerangka penghidupan berkelanjutan yang kepemilikan atau penguasaannya dapat menjadi bekal awal bagi masyarakat untuk menentukan jenis strategi penghidupan guna mencapai keluaran penghidupan yang diinginkan (DFID, 2001). Modal ini juga berfungsi sebagai sumber daya untuk mempertahankan penghidupan dan meningkatkan kesejahteraan (Moser dan Dani, 2008). Modal penghidupan masyarakat dikategorikan ke dalam lima kelompok: (i) SDM, (ii) sumber daya alam (SDA), (iii) modal infrastruktur (fisik), (iv) modal keuangan, dan (v) modal sosial-politik (Scoones, 1998; Morse, McNamara, dan Acholo, 2009). Kelima modal penghidupan tersebut dalam studi ini digunakan untuk mengetahui dinamika penghidupan yang terjadi di wilayah perdesaan dan bagaimana keterkaitannya dengan salah satu keluaran penghidupan, yakni ketimpangan. Dalam kerangka penghidupan berkelanjutan, interaksi kelima modal tersebut dengan struktur dan relasi sosial yang berlaku di masyarakat secara simultan menggambarkan kapasitas individu/masyarakat untuk menghasilkan keluaran kesejahteraan (Saragih, Lassa, dan Ramli, 2007; Alevizou, Alexiou, dan Zamenopoulos, 2016). Meskipun demikian, studi ini tidak menganalisis struktur dan relasi sosial yang berlaku di masyarakat; studi ini hanya menganalisis lima modal penghidupan yang merupakan aspek kunci dari kerangka kehidupan berkelanjutan. Dalam kerangka modal penghidupan, ketimpangan di wilayah perdesaan tidak hanya dinilai sebagai kondisi lebarnya kesenjangan antara penduduk termiskin dan penduduk terkaya di desa, tetapi juga keadaan tidak optimalnya aset penghidupan dalam menunjang penghidupan yang layak bagi seluruh lapisan masyarakat. Untuk itu, meskipun pengukuran keluaran berupa penurunan ketimpangan didasarkan pada tingkat kesejahteraan moneter, analisis tetap dilakukan melalui penilaian kondisi kelima aset penghidupan yang pada akhirnya menentukan kemampuan masyarakat untuk melakukan mobilitas sosial–hal ini pada gilirannya dapat mengurangi ketimpangan di wilayah perdesaan. Keterangan bagaimana modal penghidupan diukur dapat dilihat pada daftar indikator masing-masing modal yang tersedia di Tabel 1. SDM terdiri atas kondisi pendidikan dan kesehatan. SDA mencakup tipologi wilayah secara geografis dan pemanfaatan lahan sebagai aspek alam paling penting untuk penghidupan masyarakat perdesaan yang masih didominasi usaha pertanian. Modal infrastruktur fisik diwakili oleh ketersediaan infrastruktur dasar. Karena terbatasnya data sekunder yang tersedia, modal keuangan didekati dengan infrastruktur fisik pendukung perekonomian, termasuk infrastruktur keuangan dan infrastruktur untuk kegiatan perdagangan. Terakhir, modal sosial akan merangkum beberapa aspek yang turut mendorong atau mengancam kohesi sosial.

2Peraturan Kepala Badan Pusat Statistik No. 37 Tahun 2010 tentang Klasifikasi Perkotaan dan Perdesaan di Indonesia.

Page 18: di Perdesaan Indonesia, 2006 2016 · mewakili lembaga-lembaga yang mendanai kegiatan dan pelaporan The SMERU Research Institute. ... Desa yang ada di dalam/sekitar hutan menurut fungsi,

8 The SMERU Research Institute

Tabel 1. Indikator Modal Penghidupan

Jenis Sumber Daya/Modal Penghidupan

Indikator

SDM ● Rasio Ketergantungan

● APK/APM

● Tingkat pendidikan tertinggi

● Keluhan kesehatan

● Masalah gizi

● Kelahiran yang dibantu tenaga kesehatan

● Cakupan imunisasi lengkap

● Perlindungan Jaminan Kesehatan Masyarakat

SDA ● Tipologi wilayah berdasarkan topografi dan perbatasan dengan hutan dan laut

● Ketimpangan penguasaan lahan

Infrastruktur Fisik ● Kualitas jalan

● Sarana telekomunikasi

● Cakupan listrik

Infrastruktur Pendukung Perekonomian

● Ketersediaan lembaga keuangan di perdesaan

● Ketersediaan kompleks pertokoan dan pasar permanen

Modal Sosial ● Partisipasi masyarakat dalam kegiatan sosial dan pemilihan umum

● Primordialisme

● Keberagaman identitas (etnis dan agama)

● Konflik sosial

1.3.2 Metodologi Studi ini menggunakan pendekatan kuantitatif. Tujuannya adalah menangkap dinamika ketimpangan dan penghidupan di perdesaan dengan lebih terukur dan dapat diperbandingkan antarwaktu, antarlokasi, serta antaraspek modal penghidupan. Sebagai tahap awal dari rangkaian kertas kerja tentang dinamika ketimpangan perdesaan, kertas kerja ini berperan lebih sebagai ”dasbor” untuk menyajikan kondisi modal penghidupan dan bagaimana hal itu berkaitan dengan ketimpangan antarwaktu di perdesaan. Oleh karena itu, teknik analisis yang digunakan adalah analisis deskriptif dengan menampilkan tabulasi silang antara indikator-indikator yang mewakili masing-masing modal penghidupan di satu sisi dan kelompok kesejahteraan di sisi lain. Secara umum, analisis dilakukan di tingkat individu/rumah tangga, kecuali dalam hal SDA serta infrastruktur fisik dan keuangan. Pada kedua modal penghidupan tersebut, analisis dilakukan di tingkat desa. Hal ini berkaitan dengan terbatasnya ketersediaan data yang bisa menyajikan informasi tentang akses masyarakat terhadap–atau pemanfaatan masyarakat akan–dua jenis modal tersebut. Oleh karena itu, informasi yang disajikan mengenai kedua modal penghidupan tersebut lebih banyak mengungkapkan perihal ketersediaannya di tingkat desa. Sekalipun tidak bisa menunjukkan akses masyarakat, setidaknya variasi ketersediaannya dapat menggambarkan ada/tidaknya hambatan struktural bagi masyarakat dalam menjangkau kedua modal tersebut. Ketimpangan moneter dan kondisi modal penghidupan dibandingkan menurut level analisisnya. Pada analisis di level mikro (individu/rumah tangga), ketimpangan dapat diamati dari variasi kondisi modal penghidupan antarkelompok kesejahteraan. Secara spesifik, seluruh masyarakat perdesaan akan dikelompokkan menjadi lima tingkat menurut pengeluaran per kapitanya. Kondisi modal penghidupan yang dimiliki oleh kelompok 20% terkaya akan disandingkan dengan kondisi modal

Page 19: di Perdesaan Indonesia, 2006 2016 · mewakili lembaga-lembaga yang mendanai kegiatan dan pelaporan The SMERU Research Institute. ... Desa yang ada di dalam/sekitar hutan menurut fungsi,

9 The SMERU Research Institute

penghidupan kelompok 20% termiskin. Ketimpangan diidentifikasi ketika kondisi modal penghidupan di antara masyarakat perdesaan pada kelompok 20% terkaya jauh lebih baik daripada kondisi modal penghidupan pada kelompok 20% terbawah. Hal ini tentu merupakan cara pengukuran ketimpangan yang cukup kasar yang hanya bisa menggambarkan ketimpangan secara umum. Namun, melihat ketimpangan dengan membandingkan yang terkaya dan termiskin saja dan mengabaikan distribusi masyarakat di kelompok menengah merupakan prinsip dasar penghitungan indikator ketimpangan Atkinson (indeks Palma). Indikator ini–yang juga sering disebut sebagai Decile Dispersion Ratio–dihasilkan dengan cara membagi pengeluaran (pendapatan) masyarakat pada desil terkaya dengan pengeluaran (pendapatan) masyarakat pada desil termiskin (Haughton dan Khandker, 2009). Pada analisis di level desa, ketimpangan diamati dari pengelompokan kesejahteraan suatu desa dan juga pengelompokan ketimpangannya. Identik dengan pengelompokan kesejahteraan di level mikro, pada analisis ini desa perdesaan di seluruh Indonesia dikelompokkan dan dibandingkan menurut rata-rata pengeluaran per kapitanya. Namun, alih-alih menggambarkan ketimpangan antarmasyarakat di dalam desa, cara ini lebih menggambarkan ketimpangan antardesa perdesaan di Indonesia. Oleh karena itu, cara ini kemudian dilengkapi dengan pengelompokan tingkat ketimpangan desa sebagai upaya untuk melihat keterkaitan antara kondisi modal penghidupan desa dan tingkat ketimpangan di dalam desa tersebut. Perlu diperhatikan bahwa tingkat ketimpangan level desa dilihat melalui indeks Gini. Berikut adalah formula perhitungan indeks Gini.

𝐺𝑖𝑛𝑖 = 1 − 1

𝑁∑(𝑦𝑖 + 𝑦𝑖−1)

𝑁

𝑖=1

Pada rumus di atas, 𝑦𝑖 adalah proporsi pengeluaran kumulatif individu 𝑖 dalam suatu 𝑁 populasi, dalam hal ini populasi desa. Nilai indeks Gini berkisar dari 0 (merata sempurna) hingga 1 (timpang sempurna). Dengan kata lain, makin mendekati 1 indeks Gini sebuah desa, makin timpang kesejahteraan masyarakat di dalam desa tersebut. Berdasarkan nilai indeks Gini inilah desa perdesaan dikelompokkan menjadi lima kuintil.

1.3.3 Sumber Data Data yang digunakan pada analisis ini terdiri atas data survei (rumah tangga) dan sensus (penduduk/individu, rumah tangga dan usaha pertanian, dan desa). Di antara data survei yang digunakan adalah:

1) Survei Sosial-Ekonomi Nasional (Susenas)

2) Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas)

3) Survei Aspek Kehidupan Rumah Tangga Indonesia (Sakerti) Sementara itu, data sensus yang digunakan adalah:

1) Sensus Penduduk Nasional (SP)

2) Sensus Pertanian

3) Sensus Potensi Desa (Podes) Khusus untuk mendapatkan data koefisien Gini desa, analisis ini juga memanfaatkan data Peta Kemiskinan Indonesia yang disusun oleh The SMERU Research Institute. Data Peta Kemiskinan Indonesia adalah data yang menjadi sumber bagi Peta Kemiskinan SMERU dengan cakupan berupa indikator kemiskinan (tingkat kemiskinan, kedalaman kemiskinan, dan keparahan kemiskinan) serta indikator ketimpangan (indeks Gini) untuk setiap desa/kelurahan dan kecamatan. Indikator

Page 20: di Perdesaan Indonesia, 2006 2016 · mewakili lembaga-lembaga yang mendanai kegiatan dan pelaporan The SMERU Research Institute. ... Desa yang ada di dalam/sekitar hutan menurut fungsi,

10 The SMERU Research Institute

kemiskinan dan ketimpangan dalam data Peta Kemiskinan Indonesia merupakan hasil estimasi dengan menggunakan metode small area estimation (SAE) atau estimasi wilayah kecil. SAE yang digunakan untuk menghasilkan estimasi indikator kemiskinan dan ketimpangan dalam data Peta Kemiskinan Indonesia merupakan metode SAE yang dikembangkan oleh Elbers, Lanjouw, dan Lanjouw (2003) dengan memanfaatkan sumber data dari BPS, yakni Susenas dan SP. Susenas digunakan karena memiliki informasi terkait pengeluaran rumah tangga yang dijadikan variabel dasar untuk penghitungan kemiskinan dan ketimpangan, sementara SP digunakan karena cakupan observasinya yang menyeluruh (semua populasi). Sumber data selain Susenas dan SP yang digunakan untuk mendukung penghitungan indikator kemiskinan dan ketimpangan dalam data Peta Kemiskinan Indonesia adalah Podes. Podes dapat menghasilkan variabel agregat tingkat desa/kelurahan, selain variabel agregat tingkat desa/kelurahan yang diperoleh dari SP. Variabel agregat tingkat desa/kelurahan digunakan untuk mengurangi locational effect yang dapat berpengaruh terhadap galat baku hasil estimasi yang menggunakan metode SAE. Peta Kemiskinan Indonesia pertama kali dibuat oleh SMERU pada 2003 dengan memanfaatkan SP 2000, Susenas 1999, dan Podes 2000. Peta tersebut menyediakan data tingkat kemiskinan dan ketimpangan hingga tingkat desa di seluruh Indonesia. Seiring dirilisnya SP 2010, peta tersebut kemudian diperbarui pada 2012. Sebanyak 75.627 desa diestimasi tingkat kemiskinan dan ketimpangannya pada peta kemiskinan 2010. Pada 2015, peta kembali diperbarui untuk mengakomodasi perubahan yang terjadi sepanjang 2010–2015. Karena informasi ketimpangan di tingkat desa menggunakan data Peta Kemiskinan Indonesia, maka jumlah observasi data yang dianalisis mengikuti jumlah desa yang tersedia dalam data Peta Kemiskinan 2010 dan 2015. Dari jumlah 75.627 desa tersebut, 59.575 berada di perdesaan dan 15.692 berada di perkotaan, atau sekitar 78% bersifat perdesaan dan 21% bersifat perkotaan. Proporsi ini masih sebanding dengan proporsi desa-kota menurut BPS, yaitu 80% dan 60%. Deskripsi lebih jelas mengenai data lain yang digunakan dalam analisis utama studi ini disajikan dalam Lampiran 1 Tabel A1.

1.3.4 Keterbatasan Studi Studi Dinamika Ketimpangan dan Penghidupan di Perdesaan Indonesia merupakan salah satu upaya awal untuk menyediakan bukti ilmiah yang komprehensif tentang kondisi ketimpangan dan penghidupan di perdesaan Indonesia. Beberapa hal yang menjadi keterbatasan studi ini bersumber dari kurangnya data yang dapat mewakili tingkat desa dan kurangnya data terpilah gender. Dari analisis deskriptif yang disajikan, kertas kerja ini menyediakan gambaran tentang aspek modal penghidupan yang diduga berkaitan dengan ketimpangan moneter yang dihadapi masyarakat perdesaan. Namun, tidak dapat ditarik kesimpulan seberapa kuat asosiasi capaian atau distribusi modal penghidupan tersebut dalam menghasilkan atau mereduksi ketimpangan (moneter). Hal inilah yang akan dijawab dalam kertas kerja kedua yang secara khusus akan membahas faktor yang memengaruhi ketimpangan perdesaan di Indonesia.

Page 21: di Perdesaan Indonesia, 2006 2016 · mewakili lembaga-lembaga yang mendanai kegiatan dan pelaporan The SMERU Research Institute. ... Desa yang ada di dalam/sekitar hutan menurut fungsi,

11 The SMERU Research Institute

II. KETIMPANGAN DAN PERKEMBANGAN PENGHIDUPAN DI DESA

2.1 Wilayah Perdesaan di Indonesia Makin Sejahtera, tetapi Makin Timpang

Wilayah perdesaan di Indonesia makin sejahtera, tetapi makin timpang, dengan ketimpangan terbesar dialami oleh desa-desa di Indonesia Timur. Peningkatan kesejahteraan wilayah perdesaan ditunjukkan oleh penurunan kemiskinan di wilayah tersebut antara tahun 2007 dan 2016 di berbagai provinsi di Indonesia. Sementara itu, indikator ketimpangan perdesaan makin mendekati rata-rata ketimpangan nasional pada 2016. Wilayah perdesaan di Papua dan Papua Barat adalah yang paling miskin dan paling timpang di antara semua provinsi. Sementara itu, wilayah perdesaan di Bangka Belitung dan Bali adalah yang paling tidak miskin dan paling tidak timpang, baik pada 2007 maupun 2016 (Gambar 5).

Gambar 5. Ketimpangan (indeks Gini) dan kemiskinan perdesaan menurut provinsi, 2007 dan 2016 Sumber: Diolah dari Susenas 2007 dan 2016.

NAD

Sumut

SumbarRiau Jambi

SumselBengkulu

Lampung

Babel Kepri

Jabar

Jateng

DIYJatim

Banten

Bali

NTB

NTT

Kalbar

Kalteng

Kalsel

Kaltim

Sulut

Sulteng

Sulsel

SultraGorontalo SulbarMaluku

Malut

Papua Barat Papua

0

10

20

30

40

50

60

0 0,05 0,1 0,15 0,2 0,25 0,3 0,35 0,4 0,45

Tin

gkat

kem

iski

nan

(d

alam

per

sen

)

Indeks Gini

2007

NAD

Sumut Sumbar Riau Jambi

Sumsel

Bengkulu

Lampung

Babel Kepri

Jabar

Jateng

DIYJatim

Banten

Bali

NTBNTT

Kalbar

KaltengKalsel

Kaltim

Sulut

Sulteng

SulselSultra

Gorontalo

Sulbar

Maluku

Malut

Papua Barat

Papua

0

10

20

30

40

50

60

0 0,05 0,1 0,15 0,2 0,25 0,3 0,35 0,4 0,45

Tin

gkat

kem

iski

nan

(d

alam

per

sen

)

Indeks Gini

2016

Page 22: di Perdesaan Indonesia, 2006 2016 · mewakili lembaga-lembaga yang mendanai kegiatan dan pelaporan The SMERU Research Institute. ... Desa yang ada di dalam/sekitar hutan menurut fungsi,

12 The SMERU Research Institute

Kecenderungan yang sama diperlihatkan oleh perhitungan perubahan ketimpangan dengan menggunakan indeks Palma (2006–2016) yang menunjukkan bahwa desa-desa di Papua, Papua Barat, dan Gorontalo termasuk dalam kelompok desa dengan ketimpangan terburuk, baik pada 2006 maupun 2016. Sebaliknya, perkembangan yang baik ditunjukkan oleh Nusa Tenggara Timur (NTT) yang pada 2006 masuk ke dalam kelompok provinsi dengan ketimpangan desa tertinggi, tetapi pada 2016 masuk ke dalam kelompok dengan ketimpangan terendah (Gambar 6).

2006

Q1 Palma <1,29

Q2 Palma <1,42

Q3 Palma <1,56

Q4 Palma <1,76

Q5 Palma>1,98

2016

Q1 Palma <1,58

Sumatra Utara Bali Kalimantan Selatan

Banten

Kepulauan Bangka Belitung DI Yogyakarta

NTT

Q2 Palma <1,68 Bengkulu Jawa Tengah Jawa Timur

Jawa Barat Maluku Utara

Kalimantan Timur

Q3 Palma <1,91 Sumatra Selatan

Sumatra Barat Jambi Kepulauan Riau Sulawesi Tengah

Kalimantan Barat

Maluku

Q4 Palma <2,20 Lampung Aceh Riau NTB

Kalimantan Tengah Sulawesi Barat

Q5 Palma >2,63

Sulawesi Utara Sulawesi Tenggara

Sulawesi Selatan

Gorontalo Papua Barat Papua

Gambar 6. Perubahan ketimpangan (indeks Palma), 2006 dan 2016 Sumber: Diolah dari Susenas 2006 dan 2016.

Ketimpangan menjadi indikasi bahwa pembangunan ekonomi suatu daerah tidak dinikmati secara merata oleh berbagai kelompok kesejahteraan. Kurva insiden pertumbuhan menunjukkan kondisi ketimpangan perdesaan yang berbeda-beda di setiap wilayah Indonesia. Ketimpangan paling besar secara berurutan dialami oleh wilayah perdesaan di Sulawesi, Jawa, Papua dan Maluku, dan Sumatra. Di Sumatra, ketimpangan didorong oleh pendapatan kelompok terkaya yang tumbuh dengan sangat pesat. Di Papua dan Maluku, pendapatan kelompok miskin tumbuh dengan sangat lambat–bahkan, pertumbuhan pendapatan kelompok termiskin hanya mencapai 1%–2%. Sebaliknya, di Nusa Tenggara Barat (NTB) dan NTT, pendapatan kelompok termiskin tumbuh dengan sangat pesat, bahkan pertumbuhannya menjadi yang paling tinggi jika dibandingkan dengan wilayah-wilayah lain di Indonesia. Ketimpangan yang relatif landai diperlihatkan oleh desa-desa di Kalimantan. Kecenderungan lain yang juga terlihat adalah lonjakan pertumbuhan pendapatan kelompok menengah di desa-desa di Sulawesi (Gambar 7).

Page 23: di Perdesaan Indonesia, 2006 2016 · mewakili lembaga-lembaga yang mendanai kegiatan dan pelaporan The SMERU Research Institute. ... Desa yang ada di dalam/sekitar hutan menurut fungsi,

13 The SMERU Research Institute

Gambar 7. Pertumbuhan pengeluaran menurut persentil di berbagai wilayah perdesaan Indonesia (harga konstan), 2006–2016 Sumber: Diolah dari Susenas 2006–2016.

1

2

3

4

5

6

7

8

9

101 6

11

16

21

26

31

36

41

46

51

56

61

66

71

76

81

86

91

96

Sumatra

Pertumbuhan Interval atas (95% CI)

Interval bawah (95% CI)

1

2

3

4

5

6

7

8

9

10

1 6

11

16

21

26

31

36

41

46

51

56

61

66

71

76

81

86

91

96

Jawa

Pertumbuhan Interval atas (95% CI)

Interval bawah (95% CI)

1

2

3

4

5

6

7

8

9

10

1 6

11

16

21

26

31

36

41

46

51

56

61

66

71

76

81

86

91

96

Kalimantan

Pertumbuhan Interval atas (95% CI)

Interval bawah (95% CI)

1

2

3

4

5

6

7

8

9

10

1 6

11

16

21

26

31

36

41

46

51

56

61

66

71

76

81

86

91

96

Sulawesi

Pertumbuhan Interval atas (95% CI)

Interval bawah (95% CI)

1

2

3

4

5

6

7

8

9

10

1 6

11

16

21

26

31

36

41

46

51

56

61

66

71

76

81

86

91

96

NTB & NTT

Pertumbuhan Interval atas (95% CI)

Interval bawah (95% CI)

1

2

3

4

5

6

7

8

9

10

1 6

11

16

21

26

31

36

41

46

51

56

61

66

71

76

81

86

91

96

Papua & Maluku

Pertumbuhan Interval atas (95% CI)

Interval bawah (95% CI)

Page 24: di Perdesaan Indonesia, 2006 2016 · mewakili lembaga-lembaga yang mendanai kegiatan dan pelaporan The SMERU Research Institute. ... Desa yang ada di dalam/sekitar hutan menurut fungsi,

14 The SMERU Research Institute

2.2 Struktur Ekonomi Desa yang Telah Berubah Struktur perekonomian desa-desa di Indonesia berubah seiring berlangsungnya pembangunan dalam beberapa dekade terakhir. Data komposisi tenaga kerja menurut sektor di perdesaan menggambarkan hal ini. Kontribusi sektor pertanian yang merupakan sumber penghidupan utama masyarakat perdesaan makin mengecil bersamaan dengan meningkatnya kontribusi sektor jasa dan industri. Hingga 2016 sebagian besar tenaga kerja di desa masih diserap oleh sektor pertanian, dengan komposisi rata-rata mencapai 55%. Namun, persentase tenaga kerja di sektor jasa dan industri meningkat hingga masing-masing mencapai rata-rata 29% dan 16% pada 2016. Kontribusi sektor pertanian dalam penyerapan tenaga kerja yang lebih besar ditunjukkan oleh desa-desa di luar Jawa–dengan rata-rata serapan sebesar 63%, dibandingkan dengan desa-desa di Jawa yang rata-rata serapannya pada 2016 hanya sekitar 48% (Tabel 2).

Tabel 2. Komposisi Tenaga Kerja Menurut Sektor Pekerjaan di Wilayah Perdesaan

Indonesia, 2006 dan 2016 (dalam Persen)

Pertanian Industri Jasa

2006 2016

Naik atau

Turun 2006 2016 2006 2016

Jawa 50,82 47,52 -6,5 14,05 20,96 49,2 35,13 31,53 -10,2

Luar Jawa 71,39 62,62 -12,3 6,96 10,34 48,6 21,65 26,04 20,3

Sumatra 71,79 63,51 -11,5 6,3 9,87 56,7 21,91 26,62 21,5

Jawa 50,82 47,52 -6,5 14,05 20,96 49,2 35,13 31,53 -10,2

Kalimantan 70,45 60,32 -14,4 8,03 13,27 65,3 21,52 26,41 22,7

Sulawesi 67,63 58,69 -13,2 6,52 11,67 79,0 25,86 29,65 14,7

NTT, NTB, Papua Barat, Papua

74,88 71,23 -4,9 8,52 8,11 -4,8 16,6 20,66 24,5

Sumber: Diolah dari Susenas 2006 dan 2016.

Sebagian besar pekerja sektor pertanian bekerja di subsektor pertanian tanaman pangan, terutama sebagai petani padi, diikuti oleh petani perkebunan dan petani palawija. Jika dilihat per wilayah, sebagian besar petani di Pulau Jawa adalah petani padi, diikuti oleh petani palawija, petani hortikultura, dan petani tanaman perkebunan. Corak berbeda ditunjukkan oleh komposisi pekerjaan subsektor pertanian yang digeluti petani di luar Jawa–didominasi oleh petani perkebunan, kemudian diikuti oleh petani padi, petani palawija, pembudi daya ikan, dan petani hortikultura (Gambar 8).

Page 25: di Perdesaan Indonesia, 2006 2016 · mewakili lembaga-lembaga yang mendanai kegiatan dan pelaporan The SMERU Research Institute. ... Desa yang ada di dalam/sekitar hutan menurut fungsi,

15 The SMERU Research Institute

Gambar 8. Komposisi tenaga kerja menurut subsektor pertanian di wilayah perdesaan Indonesia, 2014 Sumber: Podes, 2014.

Transisi penghidupan perdesaan–dengan kontribusi sektor pertanian menurun seiring pembangunan ekonomi–bukan fenomena unik Indonesia, melainkan juga berlangsung di berbagai belahan dunia dan sudah dimulai sejak beberapa dekade lalu (Anderson, 1987; Martin dan Warr, 1990). Penyerapan tenaga kerja yang cukup besar masih ditemukan di sektor pertanian, tetapi jumlah tenaga kerja maupun kontribusinya terhadap pendapatan total terus mengalami penurunan. Fenomena ini bisa dijelaskan oleh, antara lain, penuaan tenaga kerja sektor pertanian (Tabel 3).

Tabel 3. Rata-rata Usia Petani, 2006 dan 2015

Laki-laki Perempuan

2006 2015 2006 2015

Nasional 41 43

41 44

Sumatra 38 40

39 42

Jawa 44 47

44 48

Kalimantan 38 40

37 41

Sulawesi 39 40

39 42

NTB, NTT, Maluku, dan Papua 38 39

36 38

Sumber: Diolah dari Susenas, 2006 dan 2015.

2.3 Transisi Penghidupan Masyarakat Perdesaan

2.3.1 Migrasi keluar desa dan harapan akan kesejahteraan yang lebih baik Migrasi dari desa ke kota sering kali menjadi strategi utama untuk keluar dari kemiskinan di desa. Orang yang bermigrasi antarprovinsi menikmati pekerjaan, pendapatan, dan kesejahteraan yang lebih baik–atau setidaknya sama–daripada orang yang tidak bermigrasi (Meng et al., 2010). Keluarga yang ditinggalkan juga ikut menikmati remitansi yang dikirim oleh anggota keluarga yang

45,58

72,97

34,0130,4

5,08

39,91

14,11 12,4815,7

4,516,84

3,693,370,81

4,450,82 0,84 0,810,63 0,31 0,880,51 0,66 0,45

Indonesia Jawa Luar Jawa

Persentase Desa dengan Pertanian sebagai Lapangan Pekerjaan Utama (%)

Tanaman padi Perkebunan Palawija Hortikultura Perikanan Perikanan tambak Kehutanan Peternakan Jasa pertanian

Page 26: di Perdesaan Indonesia, 2006 2016 · mewakili lembaga-lembaga yang mendanai kegiatan dan pelaporan The SMERU Research Institute. ... Desa yang ada di dalam/sekitar hutan menurut fungsi,

16 The SMERU Research Institute

bermigrasi (Démurger dan Wang, 2016). Melalui remitansi inilah migrasi desa-kota berdampak pada pembangunan perekonomian desa. Di tengah besarnya hambatan untuk mengakses modal finansial di desa, remitansi bisa menjadi sumber keuangan bagi keluarga yang ditinggalkan agar mereka dapat menjalankan usaha pertanian, melakukan mitigasi risiko, dan meningkatkan daya beli (World Bank, 2007). Dari pengamatan terhadap data individu longitudinal3 Indonesia, dapat diketahui mobilitas pekerja dari desa ke kota atau sebaliknya antarperiode, seperti terlihat pada Gambar 9. Sekalipun menempati proporsi tertinggi jika dibandingkan dengan tipe mobilitas lainnya (menetap di kota, migrasi desa-kota, dan migrasi kota-desa), persentase individu pekerja di desa yang memutuskan untuk menetap dan bekerja di desa antarwaktu makin menurun. Dari 7.887 individu pekerja yang diamati, proporsi yang menetap dan bekerja di desa menurun dari 52% pada 2000–2007 menjadi hanya 45% pada 2007–2014. Hal ini makin diperkuat oleh kecenderungan perpindahan individu pekerja dari desa ke kota yang lebih besar daripada perpindahan dari kota ke desa, baik dalam jangka menengah (antara 2000–2007 dan 2007–2014) maupun dalam jangka panjang (antara 2000–2014). Dalam jangka menengah, sekitar 9% individu pekerja di desa memutuskan untuk berpindah tempat tinggal ke kota. Persentase individu pekerja di desa yang memutuskan untuk pindah dari desa ke kota meningkat dalam jangka panjang menjadi sekitar 16%. Sebaliknya, individu pekerja di kota yang memutuskan untuk berpindah tempat tinggal ke desa jumlahnya sangat kecil, hanya berkisar 2%–3% dalam jangka menengah maupun panjang.

Gambar 9. Perpindahan lokasi tempat tinggal di antara para pekerja dan pertumbuhan pendapatannya (pendapatan riil)

Sumber: Diolah dari Sakerti 2000, 2007, dan 2014.

Dikaitkan dengan pertumbuhan pendapatan riil4 antarperiode, perbaikan kesejahteraan lebih besar dirasakan oleh individu pekerja yang memilih untuk menetap di perkotaan, dibandingkan dengan individu pekerja yang memilih untuk menetap di perdesaan, dengan perbedaan yang tidak terlalu jauh, terutama dalam jangka menengah. Dalam jangka menengah 2000–2007, individu pekerja

3Longitudinal dalam konteks ini adalah orang yang sama yang disurvei dari waktu ke waktu sehingga diketahui dinamika penghidupannya.

4Pertumbuhan pendapatan riil yang dimaksud adalah selisih pendapatan antarperiode yang sudah dikoreksi dengan inflasi, dihitung dengan membagi nilai pendapatan tahun tersebut dengan indeks harga konsumen (IHK) tahun yang sama. IHK tersebut dihitung dengan menggunakan tahun dasar 2000.

51,9

45,4

44,5

36,4

43,6

36,7

8,9

9,3

16,3

2,9

1,6

2,6

2000–2007

2007–2014

2000–2014

Persentase Pekerja

Menetap di perdesaan Menetap di perkotaan

Migrasi desa-kota Migrasi kota-desa

35,8 34,5 36,2

37,5 35,540,5

25,6

19,1

25,8

56,8

41,3

48,5

2000–2007 2007–2014 2000–2014

Persentase Perubahan Pendapatan Riil

Menetap di perdesaan Menetap di perkotaan

Migrasi desa-kota Migrasi kota-desa

Gambar SEQ Gambar \* ARABIC 9 Perpindahan Lokasi Tempat Tinggal diantara Pekerja dan Pertumbuhan Pendapatannya (Riil)

Page 27: di Perdesaan Indonesia, 2006 2016 · mewakili lembaga-lembaga yang mendanai kegiatan dan pelaporan The SMERU Research Institute. ... Desa yang ada di dalam/sekitar hutan menurut fungsi,

17 The SMERU Research Institute

yang menetap di perkotaan dan kesejahteraannya membaik mencapai 38%, sementara situasinya untuk individu pekerja yang menetap di perdesaan adalah 36%. Perbedaan yang tidak terlalu jauh juga terlihat dalam jangka menengah 2007–2014, yaitu 35% untuk individu pekerja yang menetap di perkotaan dan 36% untuk individu pekerja yang menetap di perdesaan. Hal ini sekaligus menjelaskan bahwa secara umum juga terjadi sedikit penurunan persentase individu baik di perdesaan maupun perkotaan yang tingkat kesejahteraannya membaik. Perbedaan yang lebih signifikan ditunjukkan dalam jangka panjang–persentase individu pekerja yang menetap di perkotaan dan kesejahteraannya membaik mencapai 41%, sementara situasinya untuk individu pekerja yang menetap di perdesaan hanya 36% (Gambar 9). Sementara itu, di antara individu-individu pekerja yang melakukan migrasi, kesejahteraan yang lebih baik ditunjukkan oleh individu pekerja di kota yang memilih untuk pindah ke desa, dibandingkan dengan sebaliknya, dengan perbedaan yang sangat mencolok baik dalam jangka menengah maupun panjang. Sebagai gambaran, individu pekerja di kota yang memilih untuk pindah ke desa dan kesejahteraannya membaik dalam jangka menengah (periode 2000–2007 dan 2007–2014) mencapai masing-masing 57% dan 41%. Sementara itu, individu pekerja di desa yang memilih untuk pindah ke kota dan kesejahteraannya membaik dalam jangka menengah yang sama hanya mencapai masing-masing 26% dan 19%. Pola yang sama ditunjukkan oleh kecenderungan yang terjadi dalam jangka panjang 2000–2014 (Gambar 9). Pengaruh migrasi terhadap ketimpangan dan kemiskinan dijelaskan oleh, antara lain, remitansi. Sebagian ahli berpendapat bahwa migrasi dan remitansi bisa menurunkan kemiskinan dan ketimpangan (Bloom dan Khanna, 2007), dan sebaliknya. Di antara yang menentang kontribusi positif migrasi dan remitansi terhadap kemiskinan dan ketimpangan adalah Lipton (1980) melalui penelitiannya yang mempelajari kasus di perdesaan India dan menemukan bahwa migrasi merupakan hal mahal sehingga hanya orang-orang dari kelompok kesejahteraan atas yang bisa mengaksesnya. Studi kasus ini menyebutkan bahwa hal tersebut akan mendorong peningkatan ketimpangan di perdesaan. Seperti halnya Lipton, Möllers dan Meyer melihat adanya hambatan yang dihadapi orang-orang dari rumah tangga menengah ke bawah untuk mengakses kesempatan bermigrasi. Studi yang dilakukannya di perdesaan Kosovo bahkan memperlihatkan bahwa di antara mereka yang melakukan migrasi, orang-orang dari kelompok kesejahteraan atas adalah yang paling banyak menikmati hasilnya (Möllers dan Meyer, 2014). Hasil berbeda didapat oleh studi lain yang dilakukan dengan menggunakan set data yang meliputi 71 negara berkembang. Studi tersebut membuktikan bahwa migrasi dan remitansi berkontribusi signifikan terhadap penurunan tingkat kemiskinan, kedalaman kemiskinan, dan keparahan kemiskinan, tetapi dengan catatan bahwa migrasi yang dilakukan adalah migrasi internasional (Adams Jr. dan Page, 2005). Beberapa literatur mencoba mencari penjelasan mengenai hubungan antara remitansi dan ketimpangan serta kemiskinan dengan melihat kontribusi remitansi terhadap perubahan kesejahteraan rumah tangga. Ditemukan, antara lain, bahwa kontribusi remitansi terhadap kesejahteraan ditentukan oleh beberapa faktor seperti jumlah tanggungan yang menerima remitansi, jumlah remitansi, dan siapa anggota keluarga yang melakukan migrasi (Möllers dan Meyer, 2014). Hubungan antara migrasi desa-kota dan ketimpangan bisa dijelaskan baik dari sisi penawaran maupun sisi permintaan. Dengan tingkat ketimpangan perkotaan yang lebih tinggi dibandingkan perdesaan, urbanisasi akan mendorong peningkatan ketimpangan secara keseluruhan (Akita, Lukman, dan Yamada, 1999), lebih-lebih jika penduduk desa yang bermigrasi ke perkotaan adalah mereka yang produktif dari kelompok kesejahteraan bawah (Eastwood dan Lipton, 2000). Serupa dengan partisipasi pada pekerjaan nonpertanian, migrasi berfungsi sebagai strategi bertahan hidup (coping) dan/atau alternatif sumber penghasilan di tengah kondisi lapangan pekerjaan nonpertanian di desa yang umumnya terbatas–pada banyak kasus, orang-orang bermigrasi ke daerah yang lebih maju untuk melakukan berbagai pekerjaan nonpertanian.

Page 28: di Perdesaan Indonesia, 2006 2016 · mewakili lembaga-lembaga yang mendanai kegiatan dan pelaporan The SMERU Research Institute. ... Desa yang ada di dalam/sekitar hutan menurut fungsi,

18 The SMERU Research Institute

2.3.2 Pekerjaan nonpertanian menjadi pilihan bagi masyarakat yang menetap di perdesaan untuk memperoleh kesejahteraan yang lebih baik

Pada kalangan orang yang menetap di desa, bentuk strategi penghidupan lain yang dilakukan adalah menetap di sektor pertanian, tetapi meningkatkan produktivitasnya atau berpindah dari sektor pertanian ke sektor nonpertanian. Pekerjaan di sektor pertanian dan sektor nonpertanian di perdesaan saling terkait erat sehingga keduanya bersifat kontrasiklus.5 Peningkatan tenaga kerja di sektor nonpertanian juga dipengaruhi oleh menurunnya keterlibatan tenaga kerja di sektor pertanian, misalnya karena musim tani yang sudah selesai. Selain berkontribusi dalam menunjang pendapatan/pengeluaran, pekerjaan nonpertanian di perdesaan juga berfungsi sebagai alternatif bagi petani ketika menghadapi guncangan. Pekerjaan sektor nonpertanian di perdesaan biasanya berskala kecil, bersifat informal, dilakukan di rumah, dan kontribusinya terhadap perekonomian desa linier dengan serapan terhadap kelebihan penawaran tenaga kerja di luar masa panen (Carletto et al., 2007). Transformasi struktural ditandai dengan dua fakta umum, yaitu menurunnya kontribusi sektor pertanian dalam PDB dan dalam jumlah pekerja, juga makin melebarnya perbedaan di antara keduanya (World Bank, 2007). Dua hal ini sangat nyata terjadi di Indonesia selama dua dekade terakhir. Pada 1980, kontribusi sektor pertanian adalah 24% terhadap PDB dan 56,4% terhadap jumlah pekerja. Hingga 2014, kontribusinya menurun masing-masing menjadi 13,3% dan 34,3% (BPS, 2014 dalam Suryahadi, Marshan, dan Indrio, 2018). Dengan kata lain, rasio kontribusi pertanian dalam PDB terhadap kontribusi pertanian dalam jumlah pekerja menurun sangat tajam dalam periode tersebut. Hal ini mengindikasikan bahwa, meskipun terjadi pertumbuhan pesat di sektor nonpertanian, realokasi pekerja dari sektor pertanian ke sektor nonpertanian terjadi dengan sangat lambat. Diduga, hal ini menjelaskan stagnasi dalam penurunan kemiskinan dan ketimpangan di Indonesia dalam sepuluh tahun terakhir (Suryahadi, Marshan, dan Indrio, 2018). Di sisi lain, hal ini juga menunjukkan bahwa orang miskin masih terkonsentrasi di wilayah perdesaan dan sektor pertanian (World Bank, 2007).

Gambar 10. Perubahan sektor kerja di kalangan pekerja yang menetap di perdesaan dan pertumbuhan pendapatan riilnya Sumber: Diolah dari Sakerti, 2000, 2007, dan 2014.

5Peralihan pekerja dari sektor pertanian ke sektor nonpertanian akan meningkatkan produktivitas di sektor pertanian. Peningkatan produktivitas ini akan meningkatkan daya beli akan barang/jasa yang dihasilkan oleh pekerja di sektor nonpertanian dan meningkatkan produktivitas pekerja nonpertanian. Pada akhirnya, akan terjadi peningkatan kesejahteraan di kedua sektor.

47

35

33

11

28

29

31

29

28

11

09

11

00 20 40 60 80 100

2000–2007

2007–2014

2000–2014

Persentase Pekerja

Bertahan di sektor pertanian

Beralih ke sektor nonpertanian

Bertahan di sektor nonpertanian

Beralih ke sektor pertanian

09

164

25

-47

-13

46

11

-01-04

6236

03

-100

-50

0

50

100

150

200

Bertahan disektor

pertanian

Beralih kesektor

nonpertanian

Bertahan disektor

nonpertanian

Beralih kesektor

pertanian

Persentase Perubahan Pendapatan Riil

2000–2007 2007–2014 2000–2014

Page 29: di Perdesaan Indonesia, 2006 2016 · mewakili lembaga-lembaga yang mendanai kegiatan dan pelaporan The SMERU Research Institute. ... Desa yang ada di dalam/sekitar hutan menurut fungsi,

19 The SMERU Research Institute

Terjadi peningkatan cukup tajam proporsi pekerja yang meninggalkan sektor pertanian, sekalipun secara makro peralihannya terbilang lambat. Masih dominannya proporsi pekerja yang bertahan di sektor pertanian dalam periode pengamatan jangka panjang menunjukkan bahwa peluang kerja di sektor nonpertanian direspons dengan lambat. Hal ini dijelaskan pada Gambar 10 yang memperlihatkan transformasi struktur pekerjaan yang terjadi di desa dalam jangka menengah dan panjang. Pada periode 2000–2007, sebanyak 10,6% dari keseluruhan pekerja adalah mereka yang beralih ke sektor nonpertanian. Proporsi ini meningkat lebih dari 2 kali lipat menjadi 27,7% pada periode 7 tahun berikutnya (2007–2014). Namun, jika dilihat dalam jangka panjang, dari 2000 hingga 2014, persentase pekerja yang beralih ke sektor nonpertanian adalah 28,6%. Angka ini tidak terpaut jauh dari 32,6% yang merupakan proporsi pekerja yang bertahan di sektor pertanian. Terus menurunnya proporsi pekerja di sektor pertanian tak lepas dari makin berkurangnya minat terhadap pekerjaan di sektor pertanian. Turunnya minat untuk bekerja di sektor pertanian di perdesaan disebabkan oleh, antara lain, rendahnya keuntungan atas investasi di sektor ini. Panel sisi kanan pada Gambar 10 menunjukkan bahwa pekerja yang beralih ke sektor pertanian mengalami penurunan pendapatan dalam periode menengah 2000–2007 dan 2007–2014. Kenaikan pendapatan dialami dalam jangka panjang, tetapi dengan persentase yang sangat kecil, yakni 3% pada periode 2000–2014. Kecenderungan serupa dialami oleh pekerja yang bertahan di sektor pertanian. Meskipun terjadi kenaikan pendapatan sebesar 8,6% pada jangka menengah pertama 2000–2007, angka tersebut jauh lebih kecil jika dibandingkan dengan kenaikan pendapatan yang dialami oleh pekerja yang beralih ke sektor nonpertanian yang pendapatannya meningkat drastis sebesar 164,4 persen pada periode yang sama. Bisa jadi karena pengaruh negatif Krisis Keuangan Asia 2008, keuntungan atas investasi atau upah dari bekerja di sektor nonpertanian menjadi lebih rendah pada periode 2007–2014, yakni 45,9%, dan dalam jangka panjang 2000–2014 menjadi 61,7%. Keuntungan atas investasi sektor nonpertanian yang lebih tinggi menjadikan perpindahan dari sektor pertanian ke sektor nonpertanian di perdesaan sebagai strategi dengan kemungkinan keuntungan paling besar, bahkan lebih besar daripada migrasi desa ke kota seperti terlihat pada Gambar 9. Namun, perlu diperhatikan bahwa sangat mungkin terjadi self-selection bias yang menyebabkan perkiraan dampak positif transisi ke luar dari sektor pertanian lebih besar daripada yang sebenarnya terjadi. Masih diragukan apakah dampak positif transisi dari sektor pertanian ke sektor nonpertanian di perdesaan benar-benar terjadi karena strategi transisi yang dilakukan seseorang ataukah karena modal penghidupannya sebelum transisi dilakukan. Besar kemungkinan modal penghidupan orang-orang yang sanggup melakukan transisi sektoral ini lebih besar daripada modal penghidupan orang-orang yang bertahan di sektor pertanian, tetapi sebenarnya tertarik untuk berpindah sektor. Akses terhadap peluang pekerjaan/usaha di sektor nonpertanian yang menguntungkan berkaitan erat dengan kepemilikan yang lebih tinggi atas SDM, akses terhadap modal finansial, dan berbagai bentuk modal penghidupan lainnya (Barrett et al., 2017). Pengidentifikasian kausalitas antara transisi ke sektor pertanian dan kesejahteraan pun sejauh ini masih sulit dilakukan (World Bank, 2007). Implikasi pekerjaan nonpertanian terhadap kemiskinan dan ketimpangan ditentukan oleh akses orang miskin terhadap–dan potensi pendapatan yang bisa dihasilkan oleh–pekerjaan tersebut. Pada umumnya, orang-orang miskin menghadapi kendala SDM yang menghambat mereka untuk mengakses pekerjaan nonpertanian berkualitas. Pada akhirnya, sektor nonpertanian lebih banyak berfungsi sebagai mekanisme bertahan hidup (coping) daripada sumber penghasilan yang layak untuk keluar dari kemiskinan (Carletto et al., 2007). Sebagian ahli mendukung peran pekerjaan nonpertanian dalam mengurangi kemiskinan dan ketimpangan di perdesaan, dengan argumen bahwa partisipasi pada pekerjaan nonpertanian justru mendorong produktivitas sektor pertanian yang pada akhirnya berdampak pada penurunan kemiskinan dan ketimpangan. Sebuah studi kasus yang menggunakan data survei rumah tangga dari sebuah provinsi di Cina membuktikan bahwa

Page 30: di Perdesaan Indonesia, 2006 2016 · mewakili lembaga-lembaga yang mendanai kegiatan dan pelaporan The SMERU Research Institute. ... Desa yang ada di dalam/sekitar hutan menurut fungsi,

20 The SMERU Research Institute

orang-orang yang hanya menggeluti pekerjaan pertanian tanpa melakukan diversifikasi ke pekerjaan nonpertanian tidak memperlihatkan peningkatan produktivitas atas pekerjaan pertaniannya, dan sebaliknya (de Janvry, Sadoulet, dan Zhu, 2005). Sebuah studi lain dengan konteks Indonesia, meski tidak menjelaskan kausalitas, menemukan indikasi bahwa keterikatan pada pekerjaan/usaha nonpertanian merupakan langkah penting untuk keluar dari kemiskinan (McCulloch, Weisbrod, dan Timmer, 2007).

III. SDM PERDESAAN SDM merupakan faktor penting dalam pembangunan suatu wilayah, termasuk perdesaan (Chiritescu, Bălan, dan Bucur, 2015). Kualitas SDM suatu wilayah akan menjelaskan kekuatan dan daya tahan masyarakatnya dalam menghadapi guncangan dan perubahan yang memengaruhi keberlangsungan pembangunan (Krantz, 2001). Kaitan antara kualitas SDM dan ketimpangan ekonomi bisa dijelaskan dalam dua arah. Pertama, kualitas SDM yang timpang dipercaya menjadi hambatan bagi tercapainya pembangunan ekonomi yang merata. Kedua, daerah yang pendapatan masyarakatnya timpang memiliki risiko lebih besar untuk mengalami hambatan dalam investasi di bidang pembangunan manusia seperti pendidikan dan layanan kesehatan yang lebih baik (Kawachi et al., 1997). Bagian ini akan menjelaskan aspek-aspek SDM seperti rasio beban ketergantungan, akses dan capaian pendidikan, serta akses dan capaian kesehatan. Seperti kecenderungan ketimpangan ekonomi, ketimpangan kualitas SDM antara perdesaan dan perkotaan makin mengecil–didorong oleh makin baiknya akses dan capaian pendidikan, serta peningkatan status kesehatan dan akses terhadap layanan kesehatan di wilayah perdesaan. Sebaliknya, kesenjangan capaian pendidikan dan kesehatan yang cukup besar masih terjadi antarkelompok kesejahteraan dan antargender di wilayah perdesaan. Hal ini merupakan pekerjaan rumah yang cukup menantang untuk diselesaikan, mengingat bahwa berbagai tantangan perbaikan tersebut harus dijawab oleh perdesaan di tengah tingginya urbanisasi dan tingginya rasio beban ketergantungan pada rumah tangga dari kelompok kesejahteraan terbawah.

3.1 Tantangan Demografi: Urbanisasi dan Rasio Beban Ketergantungan yang Tinggi

Penduduk perdesaan sedianya adalah fitur dominan dalam struktur kependudukan Indonesia, setidaknya semenjak awal 80-an ketika arus urbanisasi mulai berlangsung cepat. Indonesia merupakan salah satu negara dengan kecepatan urbanisasi yang tinggi, bahkan melebihi negara-negara yang kini menjadi negara maju pada saat mereka melewati proses industrialisasi (Meng et al., 2010). Puncaknya adalah pada 2014 ketika penduduk Indonesia sudah lebih banyak yang bermukim di perkotaan daripada di perdesaan (Hugo, 2014). Penghitungan dengan menggunakan data Susenas menunjukkan bahwa perubahan demografi yang cukup signifikan terjadi dalam sepuluh tahun terakhir, dari 2006 hingga 2016. Dalam kurun waktu tersebut, jumlah penduduk Indonesia bertambah dari 221 juta menjadi 257 juta jiwa atau meningkat sebesar 16%. Peningkatan terbesar tampaknya terjadi di wilayah perkotaan karena dalam dekade yang sama, komposisi penduduk perdesaan berkurang cukup signifikan dari 56% menjadi hanya 49% dari keseluruhan penduduk Indonesia.

Page 31: di Perdesaan Indonesia, 2006 2016 · mewakili lembaga-lembaga yang mendanai kegiatan dan pelaporan The SMERU Research Institute. ... Desa yang ada di dalam/sekitar hutan menurut fungsi,

21 The SMERU Research Institute

Gambar 11. Komposisi penduduk perdesaan dan perkotaan tahun 2006 dan 2016

Sumber: Diolah dari Susenas 2006 dan 2016.

Perpindahan penduduk dari perdesaan ke perkotaan adalah faktor utama urbanisasi. Pemuda dan penduduk usia produktif adalah yang paling banyak melakukan migrasi ke wilayah perkotaan. Untuk kasus Indonesia, hal ini didorong oleh penghidupan di perdesaan yang dirasa makin kurang prospektif seiring makin sulitnya memiliki lahan dan sangat bergantungnya pekerjaan pertanian pada faktor musim. Di sisi lain, wilayah perkotaan menawarkan berbagai pekerjaan di sektor informal yang bisa didapat dengan cukup mudah, terlepas dari upah yang rendah (Hugo, 1982). Implikasinya dapat dilihat dari struktur penduduk perdesaan yang menua dan tingginya rasio beban ketergantungan di perdesaan.

Gambar 12. Piramida penduduk

Sumber: BPS, 2015.

Rasio beban ketergantungan menggambarkan beban potensial yang harus ditanggung kelompok usia produktif. Rasio beban ketergantungan dihitung dengan membagi jumlah penduduk usia nonproduktif (<15 tahun dan >65 tahun) dengan jumlah penduduk berusia produktif (15–65 tahun). Berdasarkan Survei Penduduk Antarsensus (Supas) 2015, jumlah penduduk kelompok usia produktif memang lebih banyak di perdesaan (Gambar 12). Meskipun demikian, peningkatan jumlah penduduk kelompok lanjut usia (lansia) dan anak-anak yang tidak diimbangi dengan peningkatan angkatan kerja berisiko memperlambat pertumbuhan ekonomi (Santacreu, 2016). Pada Gambar 13, dapat dilihat bahwa komposisi penduduk lansia dan anak-anak di perdesaan

56%44%

2006

Perdesaan Perkotaan

49%51%

2016

Perdesaan Perkotaan

7 2 3

0–4

5–9

10–14

15–19

20–24

25–29

30–34

35–39

40–44

45–49

50–54

55–59

60–64

65–69

70–74

75+

Usia

Perdesaan

% Perempuan % Laki-laki

7 2 3

0–4

5–9

10–14

15–19

20–24

25–29

30–34

35–39

40–44

45–49

50–54

55–59

60–64

65–69

70–74

75+

Usia

Perkotaan

% Perempuan % Laki-laki

Page 32: di Perdesaan Indonesia, 2006 2016 · mewakili lembaga-lembaga yang mendanai kegiatan dan pelaporan The SMERU Research Institute. ... Desa yang ada di dalam/sekitar hutan menurut fungsi,

22 The SMERU Research Institute

membuat rata-rata beban ketergantungan di wilayah ini menjadi lebih tinggi jika dibandingkan dengan perkotaan. Selain itu, di antara anggota kelompok kesejahteraan terendah di perdesaan, rasio beban ketergantungan secara konsisten ditemukan sangat tinggi dari tahun ke tahun. Hal ini mengkhawatirkan karena, walaupun lansia dapat tetap berdaya secara ekonomi dan memiliki peran pengasuhan, tanpa diikuti skenario kerja bagi lansia dan jaminan hari tua, kehadiran mereka akan menjadi beban tersendiri bagi penduduk usia kerja di dalam rumah tangga, terutama rumah tangga miskin (Ingham, Chirijevskis, dan Carmichael, 2009).

Gambar 13. Rasio beban ketergantungan antarkelompok pendapatan di perdesaan, 2006–2016 Sumber: Diolah dari Susenas 2006–2016.

3.2 Pendidikan Masyarakat Perdesaan: Akses yang Lebih Baik dan Tantangan Capaian Pendidikan Tinggi

Pendidikan merupakan aspek SDM yang memiliki pengaruh besar terhadap penurunan ketimpangan. Dengan pendidikan yang tinggi, seseorang mampu berpindah dari status ekonomi rendah ke status yang lebih tinggi dan keluar dari kemiskinan (Nakamura dan Murayama, 2011). Dalam studi di 50 negara, investasi pada sektor pendidikan dapat menurunkan ketimpangan dalam suatu negara yang digambarkan dengan penurunan indeks Gini (Sylwester, 2000). Di sisi lain, ketimpangan dalam pendidikan berkorelasi dengan ketimpangan dalam pasar kerja dan ketimpangan pendapatan. Hal ini dijelaskan dengan imbal hasil yang akan makin tinggi seiring meningkatnya pendidikan (Machin, 2009). Perbedaan tingkat pendidikan akan memengaruhi tingkat kemampuan kerja, pengetahuan, dan informasi yang memengaruhi produktivitas kerja seseorang, dan pada akhirnya juga memengaruhi pendapatan (Castelló dan Doménech, 2002). Berbagai studi membahas hubungan antara ketimpangan dan pendidikan dengan penekanan pada peningkatan partisipasi masyarakat dalam pendidikan tinggi (Sylwester, 2000; Bergh dan Fink, 2009; Annabi, Harvey, dan Lan, 2011; Yang dan Qiu, 2016). Akan tetapi, di wilayah perkotaan dan perdesaan Indonesia, ketimpangan akses pendidikan telah terjadi sejak pendidikan dasar. Perbedaan kualitas SDM ini dapat menjelaskan adanya ketimpangan ekonomi antara wilayah perdesaan dan perkotaan (Nakamura dan Murayama, 2011; Yang dan Qiu, 2016).

88,68

96,08 96,99 95,8793,44

88,91 90,63 91,9488,58 87,26 85,74

50,3454,11 56,38

52,33 52,43 51,07 52,30 52,31 50,27 49,24 48,52

68,1573,50 73,66 71,66 71,56

68,45 70,22 70,3868,16 66,19 65,62

59,1961,99 62,36 61,30 61,12

63,1461,26 61,45 60,16 59,06 58,92

0

10

20

30

40

50

60

70

80

90

100

2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016

Ras

io k

eter

gan

tun

gan

(d

alam

per

sen

)

Kuintil 1 Perdesaan Kuintil 5 Perdesaan Perdesaan PerkotaanKuintil 1 perdesaan Kuintil 5 perdesaan

Page 33: di Perdesaan Indonesia, 2006 2016 · mewakili lembaga-lembaga yang mendanai kegiatan dan pelaporan The SMERU Research Institute. ... Desa yang ada di dalam/sekitar hutan menurut fungsi,

23 The SMERU Research Institute

Di level keluarga, akses terhadap pendidikan sendirilah yang menjadi penjelas peningkatan ekonomi (Pieters, 2011). Perbedaan kemampuan orang tua dan kondisi sosial-ekonomi yang dialami oleh seseorang sepanjang hidupnya dapat memengaruhi akses terhadap pendidikan yang layak (Machin, 2009). Investasi yang relatif lebih kecil oleh orang tua yang miskin menyebabkan perbedaan keluaran kualitas pendidikan masa depan, walaupun anak memiliki kemampuan yang sama (Yang dan Qiu, 2016). Lebih lanjut, dengan tingginya akses pendidikan penduduk pada kelompok kesejahteraan teratas, dibandingkan dengan kelompok kesejahteraan terbawah, biaya pendidikan tinggi diprediksi akan makin tinggi dan menyebabkan orang miskin makin sulit mengakses pendidikan tinggi serta memperburuk ketimpangan (Nakajima dan Nakamura, 2009). Dengan demikian, perbaikan akses terhadap pendidikan menengah ke atas di area perdesaan, terutama bagi mereka yang berasal dari keluarga termiskin, menjadi faktor penting untuk mengatasi masalah ketimpangan, dengan catatan bahwa perbaikan akses terhadap pendidikan dikawal oleh sistem tata kelola pemerintahan yang baik (Baldacci et al., 2008; Annabi, Harvey, dan Lan, 2011).

3.2.1 Ketimpangan Pendidikan antarkelompok Kesejahteraan di Tengah Makin Membaiknya Akses Pendidikan di Perdesaan

Sekalipun rata-rata lama sekolah di perkotaan lebih tinggi daripada rata-rata lama sekolah di perdesaan, keduanya mengalami peningkatan selama sepuluh tahun terakhir (2006–2016), dengan pertumbuhan tercepat dialami penduduk perdesaan. Pada 2006, rata-rata lama sekolah di perkotaan 1,3 kali rata-rata lama sekolah di perdesan, sedangkan pada 2016 perbandingan tersebut menyempit menjadi 1,24 kali; rata-rata lama pendidikan di perdesaan telah mencapai 7,20 tahun, sementara di perkotaan mencapai 8,95 tahun. Hal ini mengindikasikan bahwa sektor pendidikan di perdesaan sedang mengejar ketertinggalannya dari perkotaan, sebagaimana disampaikan oleh Akita (2017) bahwa dalam 14 tahun, rata-rata lama pendidikan di perdesaan Indonesia meningkat dari 5,1 tahun pada 1997 menjadi 6,3 tahun pada 2011. Perbaikan akses pendidikan di perdesaan dan kesenjangan yang makin kecil jika dibandingkan dengan kondisi perkotaan secara konsisten ditunjukkan oleh data angka partisipasi kasar (APK) dan angka partisipasi murni (APM) yang makin membaik. Berdasarkan data APK dan APM, akses terhadap semua tingkat pendidikan di Indonesia secara umum meningkat dalam satu dekade terakhir.6 Secara umum di Indonesia, tingkat pendidikan yang APK-nya mencapai 100% adalah sekolah dasar (SD), diikuti oleh sekolah menengah pertama (SMP) yang mencapai 80% partisipasi masyarakat usia sekolah. Hal ini menunjukkan akses penduduk usia 7–15 tahun ke pendidikan dasar yang lebih baik jika dibandingkan dengan akses ke tingkat pendidikan lainnya. Di perdesaan, perbaikan APK dan APM terutama terlihat pada jenjang pendidikan SD yang ditunjukkan oleh APK dan APM yang nilainya sedikit lebih baik daripada APK dan APM untuk jenjang yang sama di perkotaan. Untuk tingkat SMP dan sekolah menengah atas (SMA), APK dan APM perdesaan mengalami kenaikan yang cukup tinggi, tetapi tetap saja secara absolut capaiannya masih jauh di bawah perkotaan. Ketika disparitas pendidikan di perdesaan dan perkotaan makin mengecil, ketimpangan justru terlihat di dalam perdesaan, yaitu bahwa penduduk dengan pengeluaran terendah memiliki lama pendidikan yang lebih rendah jika dibandingkan dengan penduduk dengan pengeluaran tertinggi.

6 APK menunjukkan penduduk usia sekolah (7–24 tahun) yang bersekolah sesuai dengan tingkat pendidikannya, sedangkan APM menunjukkan penduduk yang bersekolah pada usia tertentu yang sesuai dengan jenjang pendidikannya. APK digunakan untuk mengetahui akses terhadap pembangunan program pendidikan, sementara APM lebih spesifik lagi mengukur kesesuaian usia pendidikan dengan tingkat pendidikan. Selisih antara APK dan APM menunjukkan jumlah penduduk yang menduduki tingkat pendidikan yang tidak sesuai dengan usianya.

Page 34: di Perdesaan Indonesia, 2006 2016 · mewakili lembaga-lembaga yang mendanai kegiatan dan pelaporan The SMERU Research Institute. ... Desa yang ada di dalam/sekitar hutan menurut fungsi,

24 The SMERU Research Institute

Pada 2006, lama pendidikan penduduk kuintil terbawah dan teratas adalah 5,95 dan 8,17, sedangkan pada 2016 perbedaan antara dua kuintil tersebut membesar menjadi 6,35 dan 8,88. Perbedaan lama pendidikan yang meningkat dari tahun 2006 ke 2016 menjelaskan terus berlangsungnya ketimpangan akses pendidikan penduduk di kuintil terbawah di perdesaan. Di antara kelompok kesejahteraan di perdesaan, kenaikan tertinggi memang dialami oleh kelompok penduduk termiskin, tetapi secara absolut capaiannya masih di bawah kelompok penduduk terkaya. Terdapat ketimpangan capaian pendidikan yang cukup tinggi antarkelompok kesejahteraan di dalam wilayah perdesaan, tak hanya pada jenjang pendidikan tinggi (SMA dan perguruan tinggi), tetapi juga pada jenjang pendidikan menengah (SMP). Hal ini sekaligus mengindikasikan bahwa perbaikan capaian pendidikan tingkat SMP, SMA, dan perguruan tinggi paling banyak dialami oleh kelompok kesejahteraan tertinggi di perdesaan.

Gambar 14. APK berdasarkan kelompok kesejahteraan, 2006 dan 2016

Sumber: Diolah dari Susenas 2006 dan 2016.

*PT = perguruan tinggi

3.2.2 Akses Perempuan terhadap Pendidikan yang Lebih Baik

Jika diperhatikan lebih mendalam masing-masing kelompok kesejahteraan, terlihat adanya perbaikan akses perempuan perdesaan terhadap pendidikan. Pada kelompok kesejahteraan termiskin di perdesaan, perempuan ternyata menunjukkan capaian pendidikan–APK dan APM–yang lebih baik daripada laki-laki, terutama untuk jenjang pendidikan menengah dan atas (SMP, SMA, dan perguruan tinggi). Pada kelompok kesejahteraan terkaya di perdesaan, perempuan lebih unggul partisipasinya hanya pada jenjang perguruan tinggi (Gambar 15). Peningkatan akses perempuan terhadap pendidikan di perdesaan sejalan dengan kecenderungan nasional. Hal ini ditunjukkan oleh rasio partisipasi sekolah anak perempuan dan anak laki-laki yang secara umum makin mendekati paritas, terutama pada tingkat SMP dan SMA. Ada banyak hal yang bisa menjelaskan hal ini. Salah satunya adalah partisipasi perempuan di pasar kerja yang makin meningkat seiring peningkatan upah bagi perempuan berpendidikan. Penjelas lainnya adalah pertumbuhan sektor jasa yang sudah melebihi sektor industri semenjak Indonesia pulih dari krisis keuangan Asia, dengan banyaknya kebutuhan sektor ini akan tenaga kerja lulusan pendidikan kejuruan yang jurusannya banyak dipilih oleh perempuan (Evans dan Nambiar, 2013). Meskipun demikian, perbaikan akses pendidikan bervariasi antardaerah; akses perempuan yang lebih baik

0

20

40

60

80

100

120

perkotaan perdesaan Kuintil 1perdesaan

Kuintil 5perdesaan

perkotaan perdesaan Kuintil 1perdesaan

Kuintil 5perdesaan

2006 2016

APK SD APK SMP APK SMA APK PT

Page 35: di Perdesaan Indonesia, 2006 2016 · mewakili lembaga-lembaga yang mendanai kegiatan dan pelaporan The SMERU Research Institute. ... Desa yang ada di dalam/sekitar hutan menurut fungsi,

25 The SMERU Research Institute

lebih banyak ditunjukkan oleh daerah-daerah di Jawa dan Bali. Surbakti dan Devasahayam (2015) menggarisbawahi tiga tantangan utama yang masih dihadapi Indonesia dalam meningkatkan akses perempuan terhadap pendidikan, yakni (i) pernikahan dini, (ii) ketersediaan sarana pendidikan tinggi hingga ke wilayah pelosok, dan (iii) ketersediaan lapangan pekerjaan. Terkait hal ini, tantangan terbesar tentu dihadapi wilayah perdesaan. Selain akses infrastruktur dan pembangunan ekonomi yang lebih terbatas dibandingkan dengan perkotaan, daerah perdesaan juga menghadapi angka pernikahan dini yang tinggi. Pada 2013 tingkat pernikahan dini perempuan hingga usia 18 tahun mencapai lebih dari 40%.

Gambar 15. APK dan APM berdasarkan kelompok kesejahteraan dan gender, 2006 dan 2016

Sumber: Susenas 2006 dan 2016

3.2.3 Capaian Pendidikan Penduduk Miskin di Perdesaan yang Masih Tergolong

Rendah Kendati Terjadi Peningkatan Akses Pendidikan Ada hubungan nyata antara tingkat pendidikan seseorang dan pekerjaan serta tingkat kesejahteraan yang diraihnya. Makin tinggi tingkat pendidikan seseorang, makin baik kualitas pekerjaan dan makin tinggi tingkat kesejahteraan yang diraihnya. Capaian pendidikan penduduk perdesaan yang masih rendah ditunjukkan oleh fakta bahwa lebih dari 60% penduduknya tidak memiliki ijazah dan hanya lulus SD. Perkembangan yang cukup baik terjadi dalam kurun waktu sepuluh tahun dari 2006 hingga 2016 ketika terjadi penurunan komposisi penduduk perdesaan tanpa ijazah yang diiringi kenaikan komposisi penduduk perdesaan yang memiliki ijazah SD dan SMA. Jika dilihat lebih jauh, di antara kelompok-kelompok kesejahteraan di perdesaan, sebagian besar orang tanpa ijazah dan/atau hanya berijazah SD merupakan penduduk termiskin. Pada 2016, 24% penduduk termiskin di perdesaan tidak memiliki ijazah dan 52% hanya mengantongi ijazah SD. Hanya 11% dan 12% penduduk yang masing-masing memiliki ijazah SMP dan SMA. Angka yang jauh lebih kecil ditemui pada lulusan perguruan tinggi yang hanya mencapai 1,32%. Capaian pendidikan kelompok termiskin di perdesaan berbeda jauh dari capaian kelompok terkaya yang hanya 13% di antaranya tidak memiliki ijazah, 38% memiliki ijazah SD, masing-masing 10% dan 25% memiliki ijazah SMP dan SMA, dan 13% sudah memiliki ijazah perguruan tinggi (Gambar 16).

100 80 60 40 20 0

APM PT APM SMA APM SMP APM SD

0 20 40 60 80 100 120

laki-laki

perempuan

laki-laki

perempuan

20

062

016

APK PT APK SMA APK SMP APK SD

Page 36: di Perdesaan Indonesia, 2006 2016 · mewakili lembaga-lembaga yang mendanai kegiatan dan pelaporan The SMERU Research Institute. ... Desa yang ada di dalam/sekitar hutan menurut fungsi,

26 The SMERU Research Institute

Gambar 16. Tingkat pendidikan tertinggi di perkotaan dan perdesaan berdasarkan kuintil pengeluaran, 2006 dan 2016 (dalam persen) Sumber: Susenas 2006 dan 2016.

3.3 Kualitas Kesehatan Masyarakat Perdesaan: Paritas dalam Keluhan Kesehatan dan Akses terhadap Layanan Kesehatan Dasar, tetapi Disparitas dalam Capaian Gizi

Berdasarkan berbagai studi, ditemukan bahwa hubungan antara kualitas kesehatan dan ketimpangan ekonomi dapat bersifat dua arah. Kualitas kesehatan seseorang dapat menjadi determinan posisi sosial seseorang melalui perbedaan pendapatan, produktivitas, dan capaian pendidikan. Sebaliknya, adanya ketimpangan ekonomi baik secara absolut maupun relatif didapati berdampak terhadap kondisi kesehatan masyarakat yang diukur melalui angka kematian, angka kesuburan, keluhan sakit, dan lain-lain (Leigh, Jencks, Smeeding, 2009). Aspek lain yang juga perlu diperhatikan adalah bahwa hubungan antara ketimpangan ekonomi dan kualitas kesehatan masyarakat ternyata bergantung pada kohesi sosial yang digambarkan memburuk dengan adanya ketimpangan (Wilkinson, 2002). Makin timpang suatu masyarakat secara ekonomi, makin lemah pula kohesi sosial di dalam masyarakat tersebut sehingga muncul stigmatisasi, ketimpangan akses terhadap pelayanan kesehatan, dan mispersepsi masyarakat terhadap kesehatan mereka sendiri (Garthwaite dan Bambra, 2017). Semua hal itu dapat memperburuk derajat kesehatan masyarakat miskin yang mengakibatkan ketimpangan kualitas kesehatan antara masyarakat kuintil pendapatan teratas dan terbawah (Garthwaite dan Bambra, 2017; Vincens, Emmelin, dan Stafström, 2018). Grafik-grafik berikut adalah hasil penghitungan terhadap beberapa proksi kualitas kesehatan masyarakat.

3.3.1 Kelompok Termiskin Perdesaan Lebih Sering Mengeluhkan Kondisi Kesehatan, Dibandingkan dengan Kelompok Terkaya, tetapi dengan Selisih yang Makin Kecil Seiring Waktu

Secara umum masyarakat perdesaan lebih sering mengeluhkan menderita penyakit seperti batuk, pilek, demam, diare, dan lain-lain, dibandingkan dengan penduduk perkotaan. Proporsi masyarakat yang mengeluhkan gangguan kesehatan menurun sebanyak 13,7% di perdesaan dan 14,8% di

10,95

24,29

29,37

19,64

8,22

18,17

24,09

12,98

25,35

44,53

51,05

35,23

30,16

46,16

51,63

38,18

17,87

15,95

12,92

17,2

11,28

11,49

10,66

10,24

33,71

12,45

6,23

20,37

35,36

18,82

12,29

25,26

12,12

2,78

0,43

7,55

14,98

5,36

1,32

13,33

Perkotaan

Perdesaan

Kuintil 1 perdesaan

Kuintil 5 perdesaan

Perkotaan

Perdesaan

Kuintil 1 perdesaan

Kuintil 5 perdesaan2

00

62

01

6

Tidak punya ijazah SD SMP SMA S-1/S-2/S-3

Page 37: di Perdesaan Indonesia, 2006 2016 · mewakili lembaga-lembaga yang mendanai kegiatan dan pelaporan The SMERU Research Institute. ... Desa yang ada di dalam/sekitar hutan menurut fungsi,

27 The SMERU Research Institute

perkotaan dalam 10 tahun terakhir. Hal ini dapat menunjukkan perbaikan kualitas dan pengetahuan kesehatan masyarakat secara menyeluruh. Tidak ditemukan perbedaan besar dalam hal kualitas kesehatan masyarakat antara kuintil pendapatan teratas dan terbawah berdasarkan laporan keluhan kesehatan. Meskipun demikian, khusus pada daerah perdesaan, persentase masyarakat perdesaan yang mengeluhkan gangguan kesehatan pada kelompok pendapatan 20% terbawah sedikit lebih tinggi daripada kelompok masyarakat dengan pendapatan 20% teratas (Gambar 17).

Gambar 17. Perbandingan proporsi keluhan kesehatan penduduk usia produktif (15–65 tahun) di perkotaan dan perdesaan berdasarkan kuintil pengeluaran per kapita, 2006–2014 Sumber: Diolah dari Susenas,2006–2014.

3.3.2 Tantangan Pemerataan Capaian Gizi Masyarakat Perdesaan dan

Perbaikan Akses Kesehatan Dasar Ada banyak perdebatan mengenai hubungan antara derajat kesehatan yang diukur melalui capaian gizi dan ketimpangan ekonomi. Alur yang sering dilihat adalah bagaimana kualitas gizi dan masalah kesehatan seseorang memengaruhi produktivitas kerja yang pada akhirnya berdampak pada kemampuan untuk memperoleh pendapatan (O’Donnell, Van Doorslaer, dan Van Ourti, 2013). Angka anak balita pendek menjadi salah satu proksi penting yang paling banyak dipakai, selain angka kematian, untuk melihat kualitas kesehatan masyarakat secara keseluruhan, tetapi sebagian besar ditemukan berkorelasi lemah dengan ketimpangan (Leigh, Jencks, Smeeding, 2009). Penelitian lain menemukan hubungan kuat antara nutrisi dan produktivitas. Hal ini mendorong perlunya intervensi nutrisi sejak usia dini, bahkan sejak masa kehamilan dan masa remaja perempuan, dengan tujuan mengurangi risiko kesehatan dan mendukung produktivitas kerja pada masa depan (Martorell et al., 2009). Selain itu, beberapa studi juga melihat asosiasi antara intervensi gizi pada usia dini dan penghasilan yang lebih tinggi pada kelompok laki-laki (Hoddinott et al., 2008). Ketimpangan capaian gizi di Indonesia terlihat jelas tak hanya antarkelompok kesejahteraan, tetapi juga antara wilayah perkotaan dan perdesaan, di antara berbagai wilayah kepulauan, dan juga antara laki-laki dan perempuan. Secara umum, untuk indikator kekurangan gizi (anak balita pendek, sangat pendek, kurus, dan sangat kurus), makin rendah tingkat kesejahteraan, makin tinggi

60,93 59,35 55,11 56,15 56,03 51,63 49,24 46,91 46,40

59,58 53,26 51,16 54,08 51,77 49,70 47,26 45,55 45,19

59,9055,98

53,52 55,33 53,9250,56 48,48 46,68 46,23

56,26

47,5144,26

47,78 46,8243,73 44,02

41,59 41,46

0

10

20

30

40

50

60

70

80

90

100

2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014

Per

sen

tase

pen

du

du

k

Kuintil 1 perdesaan Kuintil 5 perdesaan Perdesaan Perkotaan

Page 38: di Perdesaan Indonesia, 2006 2016 · mewakili lembaga-lembaga yang mendanai kegiatan dan pelaporan The SMERU Research Institute. ... Desa yang ada di dalam/sekitar hutan menurut fungsi,

28 The SMERU Research Institute

prevalensinya, tetapi sebaliknya untuk angka kelebihan gizi (anak balita gemuk). Prevalensi kurang gizi di wilayah perdesaan jauh lebih besar daripada prevalensi di wilayah perkotaan, tetapi juga sebaliknya untuk kelebihan gizi. Di antara wilayah kepulauan, prevalensi kekurangan gizi paling tinggi terjadi di belahan Indonesia Timur, yakni NTT-NTB, disusul oleh Maluku-Papua, Sulawesi, Kalimantan, Sumatra, baru kemudian Jawa-Bali (Tabel 4). Sementara itu, berdasarkan jenis kelamin, prevalensi kekurangan dan kelebihan gizi lebih besar ditunjukkan oleh kelompok laki-laki daripada perempuan. Pola ini pun ditemukan pada studi-studi lain di negara berkembang. Penyebab-penyebab yang disebutkan meningkatkan faktor risiko pada anak laki-laki adalah kerentanan bayi laki-laki secara biologis dan faktor kultural (Wamani et al., 2007). Temuan ini sedikit bertolak belakang dengan temuan di negara lain yang mendapati bahwa status kesehatan anak perempuan cenderung lebih buruk di rumah tangga miskin karena adanya favoritisme terhadap anak laki-laki (Dey dan Chaudhuri, 2008; Najnin, Bennett, dan Luby, 2011).

Tabel 4. Prevalensi Masalah Gizi antarkelompok Wilayah dan

Masyarakat Indonesia, 2013 (dalam Persen)

Pendek Sangat Pendek Kurus

Sangat Kurus Gemuk

Kuintil 1 48,4 25,2 14,1 6,9 10,3

Kuintil 2 42,5 20,2 13,0 5,5 11,3

Kuintil 3 38,5 17,9 11,7 5,2 11,6

Kuintil 4 32,3 15,1 11,9 5,1 11,4

Kuintil 5 29,0 14,4 10,6 4,2 13,9

Perdesaan 42,1 20,9 12,8 6,0 11,7

Perkotaan 32,5 15,2 11,4 4,6 11,8

Indonesia 37,2 ,18,0 12,1 5,3 11,8

Sumatra 42,6 48,3 25,6 15,9 7,8

Jawa & Bali 39,9 44,2 24,5 14,4 7,0

NTT & NTB 50,3 41,9 22,5 12,6 5,7

Kalimantan 42,8 39,0 21,2 14,4 7,3

Sulawesi 43,6 36,5 20,7 13,7 5,7

Maluku & Papua 44,3 46,1 23,6 12,8 6,7

Laki-laki 38,1 18,8 12,8 5,7 12,1

Perempuan 36,3 17,1 11,4 4,9 11,5

Sumber: Diolah dari Riskesdas, 2013.

Jika diperhatikan lebih mendalam, ketimpangan capaian gizi antarkelompok kesejahteraan di dalam wilayah perdesaan terlihat mencolok di berbagai daerah di Indonesia. Secara umum, untuk berbagai indikator kurang gizi, kelompok termiskin adalah yang paling besar dalam hal prevalensi anak pendek, sangat pendek, kurus, dan sangat kurus. Angka gizi kronis (anak pendek dan sangat pendek) menjadi ukuran keparahan masalah gizi, dan di antara berbagai kelompok di wilayah-wilayah berbeda, anak-anak di bawah usia lima tahun (balita) dari kelompok termiskin di perdesaan NTT adalah yang paling besar dalam hal prevalensi anak pendek (56,4%). Sementara itu, untuk indikator kelebihan gizi (anak gemuk), anak-anak balita dari kelompok terkaya di perdesaan di Sumatra dan Kalimantan adalah yang paling banyak mengalami kegemukan dengan prevalensi masing-masing sebesar 17% dan 16% (Gambar 18).

Page 39: di Perdesaan Indonesia, 2006 2016 · mewakili lembaga-lembaga yang mendanai kegiatan dan pelaporan The SMERU Research Institute. ... Desa yang ada di dalam/sekitar hutan menurut fungsi,

29 The SMERU Research Institute

Gambar 18. Prevalensi masalah gizi antarkelompok kesejahteraan di perdesaan Indonesia, 2013

Sumber: Diolah dari Riskesdas, 2013.

Selain pengukuran ketimpangan kesehatan masyarakat, observasi terhadap ketimpangan dalam akses masyarakat terhadap layanan kesehatan juga telah dilakukan. Layanan kesehatan dasar yang seharusnya bisa diakses semua lapisan masyarakat (universal coverage) adalah pemeriksaan kehamilan dan persalinan di faskes, Program Keluarga Berencana (KB), dan imunisasi dasar. Pemeriksaan kehamilan seharusnya dilakukan di fasilitas kesehatan terdekat dengan frekuensi minimal empat kali selama kehamilan, sedangkan persalinan seharusnya ditolong oleh tenaga kesehatan dan dilakukan di fasilitas kesehatan. Imunisasi dasar yang lengkap seharusnya mencakup 1 kali imunisasi BCG7, 3 kali imunisasi DPT8, 3 kali imunisasi polio, 3 kali imunisasi hepatitis B, dan 1 kali imunisasi campak pada anak usia 12–24 bulan (Balitbangkes Kemenkes, 2013). Secara umum terlihat perbaikan nyata dalam hal akses terhadap tenaga kesehatan di wilayah perdesaan. Perbedaan persentase akses di kuintil teratas dan terbawah pun makin lama makin kecil (Gambar 19) kendati ibu-ibu di perdesaan pada kuintil terbawah masih sedikit tertinggal dari kuintil teratas dan target nasional, yakni 90% (Infodatin, 2014). Menyempitnya kesenjangan akses antara kuintil paling atas dan kuintil paling bawah dapat didorong oleh banyaknya program yang bertujuan

7bacillus Calmette-Guērin.

8difteri, pertusis, tetanus (diphteria, pertussis, tetanus).

48

%

46

%

56

%

50

%

47

%

47

%

26

%

24

% 29%

26

%

22

% 29

%36%

31

%

32

%

34

%

36

%

25

%

21

%

12

%

23

%

17

%

16

%

07

%

Sum

atra

Jaw

a &

Bal

i

NTT

& N

TB

Kal

iman

tan

Sula

wes

i

Mal

uku

& P

apu

a

Sum

atra

Jaw

a &

Bal

i

NTT

& N

TB

Kal

iman

tan

Sula

wes

i

Mal

uku

& P

apu

a

Pendek Sangat pendek

Prevalensi Balita Pendek dan Sangat Pendek

Kuintil 1 Kuintil 5

16%

13%

15% 18

%

11% 17

%

08%

07%

07%

09%

05% 09

% 14%

10%

08%

07%

08% 12

%

14%

10%

24

%

13%

08%

09%

06%

04% 09

%

06%

05%

01%

17

%

12%

10% 16

%

07% 10

%

Sum

atra

Jaw

a &

Bal

i

NTT

& N

TB

Kal

iman

tan

Sula

wes

i

Mal

uku

& P

apu

a

Sum

atra

Jaw

a &

Bal

i

NTT

& N

TB

Kal

iman

tan

Sula

wes

i

Mal

uku

& P

apu

a

Sum

atra

Jaw

a &

Bal

i

NTT

& N

TB

Kal

iman

tan

Sula

wes

i

Mal

uku

& P

apu

a

Kurus Sangat kurus Gemuk

Prevalensi Balita Kurus, Sangat Kurus, dan Gemuk

Kuintil 1 Kuintil 5

Page 40: di Perdesaan Indonesia, 2006 2016 · mewakili lembaga-lembaga yang mendanai kegiatan dan pelaporan The SMERU Research Institute. ... Desa yang ada di dalam/sekitar hutan menurut fungsi,

30 The SMERU Research Institute

menurunkan angka kematian ibu, seperti peningkatan akses ibu untuk pemeriksaan, persalinan, dan perawatan nifas di fasilitas kesehatan, dan akses perempuan terhadap Program KB (Balitbangkes Kemenkes, 2013).

Gambar 19. Perbandingan proporsi kelahiran yang dibantu tenaga kesehatan di perdesaan, 2006–2016 Sumber: Diolah dari Susenas, 2006–2016

Dibandingkan dengan angka cakupan imunisasi lengkap nasional pada 2013, wilayah perdesaan dan perkotaan hingga tahun 2014 memiliki angka cakupan yang sama, yakni sekitar 60% (Balitbangkes Kemenkes, 2013). Akan tetapi, sejak 2015, cakupan imunisasi secara keseluruhan menurun hingga lebih dari 20%. Prevalensi penduduk perdesaan kuintil teratas yang mengalami imunisasi lengkap lebih tinggi sekitar 5% daripada penduduk pada kuintil pengeluaran terbawah (Gambar 20). Akses terhadap layanan imunisasi dasar lengkap lebih besar dipengaruhi oleh pengetahuan ibu dan dukungan keluarga serta masyarakat sekitar daripada status ekonomi (Isnayni, 2017).

Gambar 20. Perbandingan proporsi cakupan imunisasi lengkap anak usia 12–24 bulan di perdesaan, 2006–2016 Sumber: Diolah dari Susenas, 2006-2016.

47,37 44,74 48,64 52,27 57,31 59,5965,32 68,98 72,62

79,32 81,2175,86 78,73 78,52 82,15 82,93 83,95 84,92 87,59 89,0795,11 95,34

60,95 60,55 62,9166,02

69,71 71,9575,22

78,11 80,6386,26 88,2887,20 88,70 88,16 89,96 90,07 90,88 91,78 92,78 93,75 96,78 96,68

0

10

20

30

40

50

60

70

80

90

100

2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016

Per

sen

tase

ibu

yan

g m

elah

irka

n

Kuintil 1 perdesaan Kuintil 5 perdesaan Perdesaan Perkotaan

30,2841,32 42,95

50,51 49,94 49,6456,24 60,21 64,28

43,05 48,03

32,63 50,40 51,84 60,18 60,74 57,51 62,36 67,20 67,79 46,96 53,35

30,70

44,76 47,2853,90 55,20 52,61

57,8662,29 64,52

43,85

51,2837,36

48,8454,81

61,1257,99

54,70 54,4260,74

64,48

46,49

54,30

0

10

20

30

40

50

60

70

80

90

100

2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016

Per

sen

tase

bal

ita

usi

a 1

2

24

bu

lan

Kuintil 1 perdesaan Kuintil 5 perdesaan Perdesaan Perkotaan

Page 41: di Perdesaan Indonesia, 2006 2016 · mewakili lembaga-lembaga yang mendanai kegiatan dan pelaporan The SMERU Research Institute. ... Desa yang ada di dalam/sekitar hutan menurut fungsi,

31 The SMERU Research Institute

Hingga tahun 2016, masyarakat termiskin di perdesaan mengalami peningkatan akses terhadap program bantuan kesehatan nasional. Terutama sejak diberlakukannya BPJS (Badan Penyelenggara Jaminan Sosial) pada awal 2014, perbedaan proporsi masyarakat di perdesaan dan perkotaan yang memiliki jaminan sosial makin kecil; hal ini menunjukkan perbaikan akses terhadap program bantuan kesehatan. Asuransi Kesehatan untuk Masyarakat Miskin (Askeskin) yang dibentuk pada 2005 dan Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas) yang dibentuk pada 2008 dianggap tidak mampu menyediakan cakupan perlindungan yang sesuai bagi orang miskin sehingga dibentuk jaminan kesehatan yang sifatnya universal (Joedadibrata, 2012). Pada Gambar 21 terlihat adanya peningkatan akses penduduk perkotaan dan perdesaan terhadap jaminan kesehatan universal masing-masing sebesar 2% dan 5%. Penduduk pada kuintil pengeluaran terbawah mendapatkan cakupan PBI-BPJS Kesehatan 9 terbesar jika dibandingkan dengan penduduk pada kuintil pengeluaran lainnya. Namun, jika dilihat jumlah penduduk terkaya di perdesaan yang jaminan sosialnya juga meningkat dalam satu dekade terakhir, tampak adanya ketidaktepatan penargetan PBI-BPJS Kesehatan. Selain itu, jika dibandingkan dengan tahun 2006, perubahan peningkatan PBI-BPJS Kesehatan pada kuintil pertama tidak secepat yang terjadi pada kelompok pendapatan teratas. Hal ini menunjukkan masih kurang maksimalnya pencapaian target BPJS untuk masyarakat miskin di perdesaan.

Gambar 21. Perbandingan proporsi keluarga dengan jaminan kesehatan di perdesaan, 2006–2016

Sumber: Diolah dari Susenas, 2006 dan 2016.

IV. SDA PERDESAAN SDA merupakan modal penghidupan yang secara alami tersedia. SDA hadir dalam berbagai bentuk, mulai dari sumber daya tak terlihat yang manfaatnya dirasakan oleh semua orang, seperti udara, hingga sumber daya yang langsung dimanfaatkan untuk kepentingan produksi, seperti kayu dan

9Penerima Bantuan Iuran Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan.

14,55

21,67

31,27

11,39

40 30 20 10 0 10 20 30 40

Perkotaan

Perdesaan

Kuintil 1 perdesaan

Kuintil 5 perdesaan

Persentase penerima BPJS PBI

2006 2016

9,54

19,26

29,33

9,77

Page 42: di Perdesaan Indonesia, 2006 2016 · mewakili lembaga-lembaga yang mendanai kegiatan dan pelaporan The SMERU Research Institute. ... Desa yang ada di dalam/sekitar hutan menurut fungsi,

32 The SMERU Research Institute

tanah (DFID, 2001). Di Indonesia, dengan komposisi tenaga kerja yang masih didominasi sektor pertanian, sebagian besar lahan digunakan untuk kegiatan pertanian. Karena itu, akses terhadap lahan yang dapat ditanami menjadi SDA terpenting bagi masyarakat desa di sebagian besar wilayah Indonesia untuk mendukung penghidupannya (Baumann, 2002). Kerentanan biasanya muncul ketika terjadi ketimpangan dalam penguasaan SDA. Hukum alam yang berlaku adalah orang dengan modal lebih kuat akan memiliki akses yang lebih besar terhadap penguasaan lahan, dan sebaliknya bagi orang-orang dengan modal terbatas. Pada umumnya modal untuk usaha pertanian tidaklah kecil, terutama karena pertanian memerlukan lahan dan karena adanya faktor risiko seperti cuaca ekstrem dan gangguan hama. Ketika orang miskin mendapatkan akses modal yang terbatas, modal tersebut akan cenderung digunakan untuk mengembangkan mata pencaharian di luar pertanian (Maldonado dan González-Vega, 2004). Bagian ini akan membahas kondisi aset SDA desa dan membandingkannya dengan kondisi ketimpangan di perdesaan. Potensi dan pemanfaatan SDA merupakan fokus utama yang akan dibahas, mengingat bahwa akses terhadap SDA yang lebih merata akan mendukung penurunan ketimpangan pendapatan. Tampak jelas bahwa ada variasi tingkat kesejahteraan di antara topografi-topografi berbeda. Desa-desa dengan tingkat kesejahteraan relatif lebih baik umumnya berada di dataran rendah, di kawasan pesisir, atau kawasan yang tidak berbatasan dengan hutan. Namun, pada wilayah-wilayah seperti ini, ketimpangannya cukup tinggi pula. Di sisi lain, daerah yang berlokasi di sekitar kawasan hutan masuk ke dalam kelompok kesejahteraan rendah sekaligus ke dalam kelompok ketimpangan rendah. Dalam hal pemanfaatan lahan, terjadi ketimpangan yang sangat nyata. Setengah dari keseluruhan lahan di Indonesia dikuasai oleh segelintir rumah tangga pertanian, menyisakan sebagian besar rumah tangga pertanian lainnya yang rata-rata hanya mengelola kurang dari setengah hektare lahan pertanian.

4.1 Kesejahteraan dan Ketimpangan antardesa dengan Tipologi Wilayah Berbeda

Pengelompokan desa berdasarkan tipologi wilayahnya memperlihatkan kecenderungan kesejahteraan dan ketimpangan yang berbeda di antara desa-desa dengan kondisi kontur wilayah, lokasi relatif terhadap laut, dan lokasi relatif terhadap hutan yang berbeda. Keterkaitan antara tipologi wilayah dan kondisi ekonomi masyarakat dijelaskan berdasarkan, antara lain, dimensi ekologi dan dimensi sosial. Hal ini termasuk potensi SDA yang dapat dimanfaatkan sebagai faktor produksi dan aspek budaya masyarakat yang tergambar dari pola migrasi, kebiasaan masyarakat di masing-masing wilayah dalam mengelola SDA, serta dukungan infrastruktur yang memudahkan masyarakat dalam memanfaatkan berbagai pelayanan dasar seperti kesehatan dan pendidikan yang dapat meningkatkan modal sosial mereka. Selanjutnya, berbagai faktor ini akan memengaruhi interaksi ekonomi melalui biaya produksi, pasar barang, dan pasar tenaga kerja yang menjelaskan struktur perekonomian suatu masyarakat di tiap lokasi (Hoover, 1948; Ives, 2001). Dilihat dari topografi, lokasinya terhadap laut, dan lokasinya terhadap hutan, sebagian besar dari 60.000 desa berstatus perdesaan di Indonesia adalah desa-desa di dataran rendah, bukan kawasan pesisir, dan berlokasi di luar hutan (Tabel 3). Keragaman kondisi geografis desa menunjukkan besarnya potensi SDA Indonesia yang ditopang oleh karakteristik masing-masing desa. Potensi SDA inilah yang kemudian perlu dilihat apakah memiliki peranan terhadap ketimpangan yang terjadi di wilayah perdesaan. Tipologi desa ini akan diamati sebarannya berdasarkan kelompok tingkat kesejahteraan dan kelompok tingkat ketimpangannya.

Page 43: di Perdesaan Indonesia, 2006 2016 · mewakili lembaga-lembaga yang mendanai kegiatan dan pelaporan The SMERU Research Institute. ... Desa yang ada di dalam/sekitar hutan menurut fungsi,

33 The SMERU Research Institute

Tabel 5. Tipologi Desa

Tipologi Keterangan Perdesaan Perkotaan

Topografi (%) Dataran rendah 73,29 92,95

Dataran tinggi 26,71 7,05

Lokasi terhadap laut (%) Bukan pesisir 84,03 88,44

Pesisir 15,97 11,56

Lokasi terhadap hutan (%) Di luar hutan 70,53 94,37

Di dalam/sekitar hutan 29,47 5,63

Jumlah desa 59.575 15.692

Sumber: Diolah dari Podes 2014.

Desa-desa di dataran rendah cenderung memiliki tingkat kesejahteraan yang lebih baik, tetapi kesenjangan ekonominya relatif lebih tinggi daripada desa-desa di dataran tinggi. Gambar 22 memperlihatkan bahwa berdasarkan rata-rata konsumsi per kapita masyarakatnya, hampir separuh dari desa-desa di dataran rendah (45,34%) tergolong desa-desa kaya dan terkaya. Sebaliknya, lebih dari seperempat desa di dataran tinggi (31,51%) termasuk dalam kelompok desa termiskin, dan hampir seperempat lainnya (23,25%) adalah desa miskin. Karakteristik dataran tinggi di Indonesia memberikan tantangan tersendiri bagi pembangunan ekonomi. Wilayah dataran tinggi umumnya terpapar hambatan pembangunan fisik seperti jarak yang jauh dari pusat perekonomian, pegunungan yang curam, kondisi tanah yang rapuh, dan curah hujan musiman yang tinggi. Hambatan lain berkaitan dengan kepadatan penduduk yang relatif rendah, isolasi, dan migrasi yang tinggi di beberapa wilayah (Hoover, 1948; Ives, 2001). Di sisi lain, seiring tingkat kesejahteraan yang diraihnya, desa-desa di dataran rendah menghadapi ketimpangan ekonomi yang relatif lebih tinggi daripada desa-desa di dataran tinggi (Gambar 22). Jika dibagi menjadi lima kelompok ketimpangan, desa-desa yang berlokasi di dataran rendah tersebar merata pada kelompok ketimpangan menengah-tinggi. Hanya sebagian kecil (16,06%) desa berkontur dataran rendah yang berada di kelompok 20% ketimpangan terendah. Sementara itu, lebih dari 30% desa berkontur dataran tinggi tergolong kelompok desa dengan tingkat ketimpangan paling rendah.

Gambar 22. Kuintil distribusi rata-rata pengeluaran per kapita penduduk desa dan kuintil Gini desa menurut topografi wilayah 2014 Sumber: Diolah dari Podes 2014 dan Peta Kemiskinan 2015.

6,74 30,0446,21 17,38

93,26

69,9653,79

82,62

100

80

60

40

20

0

20

40

60

Perkotaan Perdesaan Kuintil 1Perdesan

Kuintil 5Perdesaan

Kuintil Distribusi Rata-rata Pengeluaran per Kapita

Dataran tinggi Dataran rendah

perdesaan

6,74 30,0445,70

28,72

93,26

69,9654,30

71,28

100

80

60

40

20

0

20

40

60

Perkotaan Perdesaan 20%perdesaan

palingmerata

20%perdesaan

palingtimpang

Per

sen

tase

ju

mla

h d

esa

Kuintil Distribusi Indeks Gini Desa

Dataran tinggi Dataran rendah

perdesaan

Page 44: di Perdesaan Indonesia, 2006 2016 · mewakili lembaga-lembaga yang mendanai kegiatan dan pelaporan The SMERU Research Institute. ... Desa yang ada di dalam/sekitar hutan menurut fungsi,

34 The SMERU Research Institute

Jika dilihat berdasarkan lokasinya terhadap laut, terdapat cukup banyak desa di kawasan pesisir yang masuk ke dalam kelompok desa paling kaya sekaligus paling timpang. Gambar 23 memperlihatkan bahwa 26% desa yang berlokasi di kawasan pesisir berada di kelompok kesejahteraan tertinggi. Desa-desa pesisir lainnya tersebar relatif merata ke dalam kelompok desa dengan tingkat kesejahteraan terendah, menengah, dan tinggi, dengan persentase sebaran berkisar 17%–19%. Salah satu hal yang dapat menjelaskan cukup tingginya jumlah desa pesisir yang termasuk dalam kelompok kesejahteraan tertinggi adalah bahwa desa-desa tersebut mungkin masuk ke dalam wilayah ibu kota atau pusat pertumbuhan yang umumnya berada di pesisir pantai dan cenderung mengalami percepatan pembangunan sosial-ekonomi jika dibandingkan dengan desa-desa di wilayah terpencil atau wilayah nonpesisir (Chongvilaivan dan Kim, 2016). Sementara itu, dilihat dari ketimpangan ekonomi yang dihadapi, desa-desa di wilayah pesisir lebih banyak yang termasuk dalam kelompok desa dengan ketimpangan tinggi daripada kelompok desa dengan ketimpangan rendah.

Gambar 23. Kuintil distribusi rata-rata pengeluaran per kapita penduduk desa dan kuintil Gini desa menurut lokasi desa terhadap laut, 2014 Sumber: Diolah dari Podes 2014 dan Peta Kemiskinan 2015.

Dilihat dari lokasi relatif terhadap hutan, sekitar 30% desa yang berlokasi di dalam atau di sekitar hutan masuk ke dalam kelompok desa dengan tingkat kesejahteraan terendah sekaligus tingkat ketimpangan terendah. Di luar kelompok dominan tersebut, desa-desa lain yang berlokasi di dalam atau di sekitar hutan tersebar secara relatif merata di antara kelompok-kelompok desa dengan tingkat kesejahteraan dan ketimpangan rendah, menengah, tinggi, hingga tertinggi. Kondisi sebaliknya dihadapi desa-desa yang berlokasi jauh dari hutan; hanya sebagian kecil dari desa-desa tersebut yang termasuk dalam kelompok desa dengan tingkat kesejahteraan dan ketimpangan terendah. Di antara sebagian kecil desa-desa tersebut, tingkat kesejahteraan dan ketimpangan yang terpaut jauh hanya terjadi pada kelompok dengan tingkat kesejahteraan terendah, yaitu yang rata-ratanya masing-masing hanya sebesar 16%. Hal ini mirip dengan kecenderungan yang dialami desa-desa yang berlokasi di dalam atau di sekitar hutan. Sementara itu, sebagian besar desa yang berlokasi jauh dari hutan tersebar merata di antara kelompok-kelompok desa dengan tingkat kesejahteraan rendah, menengah, tinggi, hingga tertinggi dengan rata-rata distribusi masing-masing kelompok mencapai 20%–22% (Gambar 24). Ketimpangan ekonomi yang rendah di antara desa-desa yang berlokasi di dalam/sekitar hutan dijelaskan oleh, antara lain, akses rumah tangga miskin terhadap sumber daya hutan yang bisa diperoleh secara gratis. Penghitungan pendapatan yang memasukkan pendapatan yang bersumber dari pemanfaatan hutan akan menghasilkan indeks ketimpangan yang lebih rendah dan sebaliknya jika pendapatan dari hutan tidak termasuk dalam penghitungan (Cavendish, 2003; Fisher, 2004).

11,40 15,55 14,95 20,32

88,60 84,45 85,05 79,68

100

50

0

50

Perkotaan Perdesaan Kuintil 1Perdesan

Kuintil 5Perdesaan

Per

sen

tase

jum

lah

des

a

Kuintil Distribusi Rata-rata Pengeluaran per Kapita

Pesisir Bukan pesisir

11,40 15,55 8,26 26,08

88,60 84,4591,74

73,92

100

50

0

50

Perkotaan Perdesaan 20%Perdesaan

palingmerata

20%Perdesaan

palingtimpang

Per

sen

tase

jum

lah

des

a

Kuintil Distribusi Indeks Gini Desa

Pesisir Bukan pesisir

perdesaan perdesaan

Page 45: di Perdesaan Indonesia, 2006 2016 · mewakili lembaga-lembaga yang mendanai kegiatan dan pelaporan The SMERU Research Institute. ... Desa yang ada di dalam/sekitar hutan menurut fungsi,

35 The SMERU Research Institute

Gambar 24. Kuintil distribusi rata-rata pengeluaran per kapita penduduk desa dan kuintil Gini desa menurut lokasi desa terhadap hutan, 2014 Sumber: Diolah dari Podes 2014 dan Peta Kemiskinan 2015.

Menurut data Podes 2011, dari 75.267 desa yang diobservasi dalam studi ini, sebanyak 17.136 desa (22,8%) berada di dalam atau di sekitar hutan. Sementara itu, menurut data Podes 2014, jumlahnya mengalami peningkatan menjadi 18.439 desa atau sekitar 24,5% dari seluruh desa yang diobservasi. Gambar 25 menunjukkan terjadinya pertambahan desa observasi yang berada di dalam/sekitar hutan. Deforestasi saat ini masih merupakan topik yang sering diperdebatkan. Perdebatan umumnya terjadi akibat perbedaan definisi dan penghitungan dalam mengukur deforestasi. Namun, jika dilihat lebih dalam, persentase desa observasi yang berlokasi di dalam/sekitar hutan dan berfungsi sebagai hutan lindung mengalami penurunan dari 49,1% pada 2011 menjadi 43,4% pada 2014, sementara persentase desa yang berada di dalam/sekitar hutan produksi meningkat dari 50,86% pada 2011 menjadi 56,6% pada 2014 (Gambar 25).

Gambar 25. Desa yang ada di dalam/sekitar hutan menurut fungsi, 2011–2014

Sumber: Diolah dari Podes 2011 dan 2014.

5,01 27,1040,07

23,71

94,99

72,9059,93

76,29

100

50

0

50

Perkotaan Perdesaan Kuintil 1perdesan

Kuintil 5perdesaan

Per

sen

tase

ju

mla

h d

esa

Kuintil Distribusi Rata-rata Pengeluaran per Kapita

Di dalam/sekitar hutan Di luar hutan

5,01 27,10 38,75 21,08

94,99

72,9061,25

78,92

100

80

60

40

20

0

20

40

60

Perkotaan Perdesaan 20%perdesaan

palingmerata

20%perdesaan

palingtimpang

Per

sen

tase

ju

mla

h d

esa

Kuintil Distribusi Indeks Gini Desa

Di dalam/sekitar hutan Di luar hutan

49,1443,39

50,8656,61

0

10

20

30

40

50

60

2011 2014Per

sen

tase

des

a d

i dal

am/s

ekit

ar

hu

tan

Lindung/konservasi Produksi

perdesaan

Page 46: di Perdesaan Indonesia, 2006 2016 · mewakili lembaga-lembaga yang mendanai kegiatan dan pelaporan The SMERU Research Institute. ... Desa yang ada di dalam/sekitar hutan menurut fungsi,

36 The SMERU Research Institute

4.2 Pemanfaatan SDA Desa: Ketimpangan Akses Lahan Pertanian dan Kebutuhan akan Pengelolaan Irigasi yang Baik

SDA merupakan modal penghidupan yang penting bagi masyarakat desa. Akses terhadap SDA menentukan kemampuan masyarakat desa dalam memperoleh sumber makanan, bekerja dan mengakumulasi modal penghidupan lainnya, dan juga berfungsi sebagai pengaman terhadap guncangan, baik yang berupa bencana alam maupun yang berasal dari ketidaksempurnaan pasar (Cotula, 2006). Di antara berbagai SDA, tanah dan air menjadi perhatian utama karena lahan dan air adalah faktor produksi utama pertanian yang merupakan sektor dominan di perdesaan. Seiring bertambahnya jumlah penduduk dunia, permintaan akan keduanya meningkat. Di banyak tempat di seluruh dunia, lahan dan air kerap menjadi objek perebutan penguasaan. Tak berhenti di situ, persoalan menjadi makin kompleks dengan kenyataan bahwa aktivitas ekonomi manusia dan perubahan iklim membuat daya dukung lahan makin berkurang dan sumber daya air makin menipis. Terkait hal tersebut, perbaikan manajemen akses dan pemanfaatan lahan dan sumber air menjadi hal penting untuk segera dilakukan (FAO, 2011).

4.2.1 Akses Lahan yang Timpang Akses terhadap penguasaan lahan menjadi faktor penting yang menentukan kemampuan rumah tangga pertanian dalam menjalankan penghidupannya dan meningkatkan kesejahteraannya (Dorosh et al., 1998; dan Minten et al., 2000 dalam Randrianarisoa dan Minten, 2001). Tabel 6 menunjukkan ketimpangan penguasaan lahan pertanian di Indonesia. Ketimpangan akses terhadap lahan di Indonesia terlihat dari penguasaan sebagian besar lahan dengan keluasan besar (di atas dua hektare) oleh sekelompok kecil rumah tangga pertanian. Tabel tersebut juga memperlihatkan bahwa secara nasional, 52% lahan dikuasai hanya oleh 11,47% rumah tangga pertanian, sedangkan di perdesaan, 52% lahan dikuasai oleh 13% rumah tangga pertanian.

Tabel 6. Penguasaan Lahan Nasional, 2013

Kategori lahan

Total <0,5 ha 0,5–1 ha 1–2 ha >2 ha

Nasional

Rumah tangga pertanian 56,24 17,39 14,17 12,2 100

Penguasaan lahan 12,42 13,27 20,72 53,59 100

Perkotaan

Rumah tangga pertanian 74,27 12,81 7,44 5,48 100

Penguasaan lahan 22,03 15,47 16,91 45,59 100

Perdesaan

Rumah tangga pertanian 52,6 18,32 15,53 13,55 100

Penguasaan lahan 11,31 13,01 21,16 54,52 100

Sumber: Diolah dari Sensus Pertanian 2013.

Dilihat dari sebarannya berdasarkan pulau besar di Indonesia, ketimpangan penguasaan lahan paling tinggi terjadi di Sulawesi, Sumatra, NTB dan NTT, serta Papua dan Maluku. Sementara itu, di Kalimantan, penguasaan lahan di antara rumah tangga pertanian terlihat cukup merata, baik di wilayah perdesaan maupun perkotaan (Tabel 7). Jawa merupakan kasus khusus karena sebagian

Page 47: di Perdesaan Indonesia, 2006 2016 · mewakili lembaga-lembaga yang mendanai kegiatan dan pelaporan The SMERU Research Institute. ... Desa yang ada di dalam/sekitar hutan menurut fungsi,

37 The SMERU Research Institute

besar penguasaan lahan di wilayah ini justru berupa lahan dengan keluasan sempit. Sebanyak 75% rumah tangga pertanian di Jawa menguasai lahan pertanian sempit. Hal ini wajar karena lahan di Jawa relatif terbatas, sementara penduduknya sangat padat.

Tabel 7. Penguasaan Lahan Pertanian di Setiap Wilayah, 2013

<0,5 ha

0,5–1 ha

1–2 ha >2 ha <0,5 ha

0,5–1 ha

1–2 ha

>2 ha

Sumatra Jawa

TOTAL Rumah tangga pertanian

30,27 18,92 25,26 25,53 76,21 15,94 5,90 1,94

Penguasaan lahan 4,33 8,55 21,60 65,50 36,83 26,64 18,88 17,63

PERKOTAAN Rumah tangga pertanian

51,19 15,51 16,41 16,88 81,53 12,07 4,52 1,87

Penguasaan lahan 7,21 8,74 17,28 66,77 38,68 23,02 16,44 21,85

PERDESAAN Rumah tangga pertanian

27,72 19,34 26,34 26,59 74,63 17,09 6,31 1,96

Penguasaan lahan 4,07 8,53 22,01 65,39 36,38 27,55 19,49 16,58

Kalimantan Sulawesi

TOTAL Rumah tangga pertanian

47,88 23,83 19,06 9,21 25,32 16,13 23,58 34,95

Penguasaan lahan 12,18 20,15 31,26 36,39 2,42 5,22 14,39 77,94

PERKOTAAN Rumah tangga pertanian

79,00 12,17 6,07 2,74 43,71 13,42 17,54 25,31

Penguasaan lahan 32,13 21,29 20,38 26,20 3,03 4,50 10,98 81,49

PERDESAAN Rumah tangga pertanian

44,25 25,18 20,58 9,97 22,83 16,51 24,40 36,26

Penguasaan lahan 11,17 20,10 31,81 36,91 2,35 5,32 14,83 77,50

NTB & NTT Papua & Maluku

TOTAL Rumah tangga pertanian

31,73 20,54 25,41 22,30 57,60 16,31 14,30 11,78

Penguasaan lahan 4,52 10,27 24,88 60,32 10,25 13,89 23,67 52,17

PERKOTAAN Rumah tangga pertanian

51,95 17,53 17,44 13,05 74,44 10,70 9,21 5,63

Penguasaan lahan 7,52 12,10 23,16 57,22 17,48 15,30 24,85 42,35

PERDESAAN Rumah tangga pertanian

29,89 20,82 26,13 23,14 56,39 16,71 14,67 12,22

Penguasaan lahan 4,34 10,16 24,99 60,51 9,97 13,84 23,63 52,57

Sumber: Diolah dari Sensus Pertanian 2013.

Ketersediaan lahan yang makin sempit mendorong kenaikan harga lahan di pasaran. Pada akhirnya, hanya orang-orang yang lebih mampu secara ekonomi yang bisa memperolehnya, dan orang-orang miskin hanya bisa menguasai lahan yang lebih sempit atau sama sekali tidak memiliki lahan (Randrianarisoa dan Minten, 2001). Penguasaan lahan di Indonesia jauh lebih timpang daripada tingkat konsumsi. Indeks Gini untuk konsumsi pada 2013 adalah 0,3; angka ini jauh lebih rendah

Page 48: di Perdesaan Indonesia, 2006 2016 · mewakili lembaga-lembaga yang mendanai kegiatan dan pelaporan The SMERU Research Institute. ... Desa yang ada di dalam/sekitar hutan menurut fungsi,

38 The SMERU Research Institute

daripada indeks Gini penguasaan lahan yang mencapai 0,63 (Gambar 26). De Janvry dan Sadoulet (1993) berpendapat bahwa dalam kasus negara berkembang, ketimpangan dalam penguasaan lahan akan menguntungkan pemilik lahan dalam hal dampak peningkatan pertumbuhan sektor pertanian. Argumen tersebut diperkuat oleh temuan Adams Jr. (2002) dengan kasus ketimpangan lahan di wilayah perdesaan Mesir.

Gambar 26. Distribusi penguasaan lahan di antara rumah tangga sektor pertanian Sumber: Diolah dari Sensus Pertanian 2013 dan Susenas 2013.

4.2.2 Kebutuhan akan Manajemen Air yang Lebih Baik Dalam hal sumber daya air, manajemen penggunaan sumber daya air untuk aktivitas produksi perlu segera diperbaiki karena tingginya kerusakan jaringan irigasi. Kerusakan jaringan irigasi meningkat cukup drastis hanya dalam tiga tahun, dari semula hanya terjadi di 250 desa pada 2011 menjadi 1.378 desa pada 2014. Di antara desa-desa yang mengalami kerusakan jaringan irigasi, 80% merupakan desa berkontur dataran rendah. Kerusakan jaringan irigasi merupakan indikasi buruknya manajemen penggunaan air untuk pertanian (Tabel 8). Namun, hal lain yang perlu diketahui adalah bahwa di banyak tempat di Indonesia, kerusakan irigasi juga berkaitan dengan kegiatan alih fungsi lahan. Tingginya kerusakan jaringan irigasi di desa-desa dataran rendah sejalan dengan perkembangan pembangunan dan kecenderungan alih fungsi lahan pertanian yang memang lebih banyak terjadi di wilayah dataran rendah. Hal ini menjadi fenomena yang sulit dihindari seiring perubahan struktur ekonomi dan kependudukan, terutama di daerah-daerah di Pulau Jawa dan daerah-daerah di sekitar kota besar dengan tingginya tuntutan untuk memenuhi kebutuhan akan lahan permukiman dan kawasan industri (LANDac, 2016). Sementara itu, berbagai peraturan yang ada (UU No. 11 Tahun 1974 tentang Pengairan, Peraturan Pemerintah No. 121 Tahun 2015 tentang Pengusahaan Sumber Daya Air, dan UU No. 41 Tahun 2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan) secara tegas mengharuskan semua komponen masyarakat untuk menjaga dan mengatur sumber daya air dan penggunaan lahan untuk menjaga kelestarian fungsinya.

0, 0, 0, 0,

0,

0,

0,

0,

0,

0,

0,

0,

Page 49: di Perdesaan Indonesia, 2006 2016 · mewakili lembaga-lembaga yang mendanai kegiatan dan pelaporan The SMERU Research Institute. ... Desa yang ada di dalam/sekitar hutan menurut fungsi,

39 The SMERU Research Institute

Tabel 8. Persentase dan Jumlah Desa dengan Jaringan Irigasi yang Mengalami Kerusakan Berdasarkan Kondisi Topografi, 2011 dan 2014

Topografi Sungai Saluran Irigasi Danau/Waduk/Situ/

Bendungan

2011:

Dataran rendah 74,07% 81,20% 71,08%

Dataran tinggi 25,93% 18,80% 28,92%

Jumlah desa yang sungai, irigasi, atau waduknya tidak/belum dimanfaatkan untuk pengairan lahan pertanian

27.123 250 2.068

2014:

Dataran rendah 78,36% 84,23% 76,56%

Dataran tinggi 21,64% 15,77% 23,44%

Jumlah desa yang sungai, irigasi, atau waduknya tidak/belum dimanfaatkan untuk pengairan lahan pertanian

30.082 1.756 2.717

Sumber: Diolah dari Podes 2011 dan 2014.

V. INFRASTRUKTUR FISIK DAN PENDUKUNG PEREKONOMIAN PERDESAAN

Infrastruktur memiliki peran sangat krusial dalam pembangunan perdesaan. Ia bisa mendukung aktivitas perekonomian desa, baik di sektor pertanian maupun nonpertanian. Selain itu, infrastruktur menjamin akses terhadap layanan dasar sehingga dapat meningkatkan kualitas hidup masyarakat. Pembangunan infrastruktur perdesaan selalu menjadi hal yang menantang untuk dilakukan, mengingat bahwa Indonesia memiliki cakupan wilayah yang luas dan berbentuk kepulauan. Di samping itu, setiap wilayah memiliki kondisi dan potensi alam yang unik dan beragam. Kondisi wilayah seperti itu menuntut pembangunan infrastruktur yang bisa meningkatkan keterhubungan antarwilayah di Indonesia. Teorinya adalah bahwa pembangunan infrastruktur akan mendorong pertumbuhan ekonomi dan pada akhirnya akan meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Pada saat yang sama, pembangunan infrastruktur diharapkan mampu mengurangi kemiskinan. Namun, hal tersebut tidak berarti bahwa ketimpangan, baik antarwilayah maupun di dalam suatu wilayah, akan berkurang dengan sendirinya. Dalam beberapa kasus, pembangunan infrastruktur malah berdampak pada peningkatan ketimpangan pendapatan (Bajar dan Rajeev, 2016). Dampak pembangunan infrastruktur terhadap pengurangan ketimpangan bergantung pada jenis infrastruktur dan tingkat perkembangan ekonomi suatu daerah (Bajar dan Rajeev, 2016; United Nations, 2015). Oleh karena itu, pembangunan infrastruktur yang inklusif mutlak diperlukan. Dalam hal pembangunan infrastruktur dasar, ketimpangan perdesaan-perkotaan atau ketimpangan antarwilayah perdesaan itu sendiri masih sangat nyata. Pada saat hampir seluruh wilayah perkotaan memiliki jalan terluas berupa aspal dan juga jaringan telekomunikasi yang baik, hingga 2011 masih ada separuh wilayah perdesaan yang permukaan jalan terluasnya tidak beraspal dan juga tidak memiliki sinyal seluler yang memadai. Desa dengan kualitas sinyal seluler baik umumnya

Page 50: di Perdesaan Indonesia, 2006 2016 · mewakili lembaga-lembaga yang mendanai kegiatan dan pelaporan The SMERU Research Institute. ... Desa yang ada di dalam/sekitar hutan menurut fungsi,

40 The SMERU Research Institute

berada di kelompok perdesaan dengan rata-rata pengeluaran 20% tertinggi secara nasional. Oleh karena itu, wilayah perdesaan dengan jaringan telekomunikasi baik cenderung memiliki jumlah penduduk miskin yang lebih sedikit. Di sisi lain, akses listrik masyarakat perdesaan sudah hampir menyamai masyarakat perkotaan, sekalipun dalam aspek disparitas antarwilayah dan antarkelompok kesejahteraan belum tampak perbaikan berarti. Hal ini mengindikasikan bahwa pembangunan infrastuktur fisik yang membuka peluang ekonomi masih lebih banyak dinikmati oleh masyarakat di dalam kelompok kesejahteraan teratas. Keberadaan infrastruktur pendukung perekonomian seperti pasar dan kompleks pertokoan masih bias wilayah maju–kelompok desa terkaya. Keberadaan lembaga keuangan perbankan (bank komersial dan bank perkreditan rakyat/BPR) masih terbatas, tetapi keberadaan koperasi di wilayah perdesaan sudah lebih baik kendati juga masih bias wilayah maju.

5.1 Jalan, Komunikasi, dan Listrik yang Membuka Kesempatan sekaligus Membawa Risiko Ketimpangan

Arti penting kehadiran infrastruktur jalan dan komunikasi di perdesaan adalah terbukanya akses terhadap kesempatan perekonomian yang lebih luas. Data yang dihasilkan dari Podes dan Peta Kemiskinan berikut menunjukkan bahwa desa-desa dengan kondisi jalan yang lebih baik pada 2011 memiliki tingkat kesejahteraan yang relatif lebih baik pada 2015 (Gambar 27). Sejalan dengan studi-studi sebelumnya, keberadaan infrastruktur jalan yang baik berdampak positif pada pendapatan masyarakat di Nepal (Charlery, Qaim, dan Smith-Hall, 2016). Proyek pembangunan jalan desa juga berdampak pada penurunan tingkat kemiskinan di Bangladesh (Khandker, Bakht, dan Koolwal, 2006) dan Kamboja (Runsinarith, 2008). Dampak dari adanya jalan desa terhadap pengurangan kemiskinan terjadi melalui kenaikan tingkat produksi pertanian dan upah, terjadinya penurunan biaya input dan transportasi, serta harga produk yang lebih bersaing. Selanjutnya, pada Gambar 27 juga jelas terlihat bahwa desa-desa di wilayah perkotaan memiliki infrastruktur yang lebih baik dengan rata-rata 95% memiliki jalan beraspal dan sinyal seluler yang baik. Pada saat yang sama, secara rata-rata baru sekitar 60% desa di wilayah perdesaan yang memiliki jalan beraspal dan sinyal seluler yang baik.

Gambar 27. Persentase desa yang memiliki infrastruktur jalan dengan kondisi baik pada 2011 dan kelompok kesejahteraannya pada 2015

Sumber: Diolah dari Podes 2011 dan Peta Kemiskinan 2015.

94,72

57,9445,26

61,67

96,83

83,5474,57

84,48

97,00

63,22

46,44

72,26

0

20

40

60

80

100

Perkotaan Perdesaan Kuintil 1perdesaan

Kuintil 5perdesaan

Per

sen

tase

jum

lah

des

a

Mayoritas jalan desaberaspal

Mayoritas jalan desadapat dilalui kendaraanberoda empat

Sinyal seluler bagus

Page 51: di Perdesaan Indonesia, 2006 2016 · mewakili lembaga-lembaga yang mendanai kegiatan dan pelaporan The SMERU Research Institute. ... Desa yang ada di dalam/sekitar hutan menurut fungsi,

41 The SMERU Research Institute

Pola yang sama ditunjukkan oleh korelasi antara kualitas sinyal seluler pada 2011 dan kondisi kesejahteraan desa pada 2015 dalam grafik berikut. Desa-desa dengan kualitas sinyal seluler yang baik umumnya berada di kelompok kesejahteraan teratas. Gambar 28 juga menunjukkan korelasi negatif antara keberadaan sinyal seluler yang baik dan tingkat kemiskinan. Artinya, besar kemungkinan bahwa desa-desa dengan sinyal seluler yang lebih baik memiliki tingkat kemiskinan yang lebih rendah.

Gambar 28. Hubungan antara proporsi desa dengan kualitas sinyal seluler yang baik pada 2011 dan tingkat kesejahteraannya pada 2015 Sumber: Diolah dari Podes 2011 dan Susenas 2015.

Ketika dicermati kondisi ketimpangan pada 2014, desa dengan jalan beraspal berkualitas baik justru memiliki ketimpangan pendapatan yang relatif lebih tinggi. Hal yang sama juga berlaku untuk desa yang jalannya dapat dilalui roda empat sepanjang tahun (Gambar 29). Hal ini mengindikasikan bahwa kualitas jalan yang makin baik justru membawa risiko terjadinya ketimpangan pendapatan yang lebih besar. Hal yang sama juga terjadi untuk kualitas sinyal seluler yang merupakan indikator akses terhadap komunikasi. Desa-desa dengan kualitas sinyal seluler yang lebih baik pada 2011 memiliki tingkat ketimpangan yang relatif lebih tinggi pada 2015. Salah satu permasalahan infrastruktur di Indonesia adalah adanya alokasi sumber daya yang tidak merefleksikan kebutuhan (ADB, 2016). Hal ini memiliki konsekuensi pada kecenderungan peningkatan ketimpangan dalam hal akses terhadap infrastruktur.

0

5

10

15

20

25

30

35

40

0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100

Tin

gkat

kem

iski

nan

wila

yah

per

des

aan

an

tarp

rovi

nsi

Proporsi desa dengan sinyal seluler baik (%)

Page 52: di Perdesaan Indonesia, 2006 2016 · mewakili lembaga-lembaga yang mendanai kegiatan dan pelaporan The SMERU Research Institute. ... Desa yang ada di dalam/sekitar hutan menurut fungsi,

42 The SMERU Research Institute

Gambar 29. Proporsi desa yang memiliki infrastruktur jalan dan komunikasi yang kondisinya baik (dalam persen) berdasarkan kuintil indeks Gini, 2014 Sumber: Diolah dari Podes 2011 dan Peta Kemiskinan 2015.

Data yang lebih baik diperoleh untuk akses terhadap infrastruktur listrik yang bisa dilihat hingga tingkat rumah tangga. Secara umum, akses rumah tangga di perdesaan terhadap listrik terus mengalami peningkatan dan makin mendekati kondisi yang dialami rumah tangga di perkotaan, tetapi capaiannya masih berada di bawah rumah tangga perkotaan. Di dalam perdesaan sendiri, akses listrik yang lebih baik dirasakan oleh rumah tangga dengan tingkat kesejahteraan yang lebih baik, dan sebaliknya (Gambar 30).

Gambar 30. Akses listrik berdasarkan kelompok kesejahteraan di desa, 2006–2016 Sumber: Diolah dari Susenas 2006-2016.

Selain itu, sebaran desa tanpa aliran listrik antarwilayah di Indonesia juga memperlihatkan akses listrik yang timpang antara desa-desa di Pulau Jawa dan desa-desa di luar Jawa. Desa-desa di Jawa relatif tidak memiliki masalah dalam akses terhadap aliran listrik dari perusahaan listrik negara

60,9

46,1

57,9

94,7

90,1

71,0

83,5

96,8

67,2

50,5

63,2

97,0

Kuintil 5 perdesaan

Kuintil 1 perdesaan

Perdesaan

Perkotaan

Jalan desa beraspal Dapat dilalui Sinyal seluler baguskendaraan roda 4

73,78 74,30 77,64 78,65 81,89 83,05 85,54 87,28 89,34 90,52 90,68

85,15 87,11 88,10 89,41 90,17 91,26 93,29 94,04 95,34 95,95 97,17

0

10

20

30

40

50

60

70

80

90

100

2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016

Per

sen

tase

ru

mah

tan

gga

Kuintil 1 perdesaan Kuintil 5 perdesaan Perdesaan Perkotaan

Page 53: di Perdesaan Indonesia, 2006 2016 · mewakili lembaga-lembaga yang mendanai kegiatan dan pelaporan The SMERU Research Institute. ... Desa yang ada di dalam/sekitar hutan menurut fungsi,

43 The SMERU Research Institute

(PLN); lain halnya dengan desa-desa di luar Jawa. Di antara semua wilayah, Papua dan Papua Barat adalah yang terburuk aksesnya, dengan sekitar 70 desa di wilayah ini tidak terjangkau aliran listrik dari PLN dan 24% desa sama sekali tidak terjangkau aliran listrik (Gambar 31).

Gambar 31. Persentase desa tanpa aliran listrik, 2014 Sumber: Diolah dari Podes 2014.

Hasil penghitungan yang disampaikan di atas sekali lagi memberi gambaran bahwa infrastruktur memang membawa kesempatan yang lebih luas bagi masyarakat perdesaan, tetapi keberadaan infrastruktur belum tentu berdampak pada pengurangan ketimpangan. Banyak penelitian yang membuktikan dampak positif infrastruktur terhadap pertumbuhan. Sebagian ahli juga meyakini bahwa pembangunan infrastruktur akan membawa pengaruh signifikan terhadap negara atau daerah-daerah berpendapatan rendah sehingga memungkinkan mereka menyusul daerah yang lebih maju (Raychaudhuri dan De, 2014). Studi yang dilakukan Calderón dan Servén (2004) memperlihatkan kontribusi signifikan infrastruktur telekomunikasi, transportasi, dan listrik terhadap pertumbuhan ekonomi negara-negara Amerika Latin. Namun, terdapat beberapa prasyarat agar pembangunan infrastruktur bisa benar-benar dirasakan secara merata oleh semua orang sehingga fungsinya tidak sebatas mendorong pertumbuhan, melainkan juga berkontribusi dalam pengurangan ketimpangan. Pemanfaatan infrastruktur untuk mendukung upaya peningkatan kualitas SDM menjadi hal yang penting untuk dilakukan agar akses yang lebih terbuka terhadap pasar dan daerah lain bisa dirasakan manfaatnya secara merata. Kualitas SDM yang rendah di kalangan kelompok miskin–ditunjukkan oleh, antara lain, capaian pendidikan dan keterampilan kerja–tentu akan mengurangi kesempatan mereka untuk turut menikmati pertumbuhan (Datt dan Ravallion, 2002). Hal lainnya adalah biaya yang dikeluarkan untuk dapat mengakses infrastruktur. Sebagai contoh, ditemukan bahwa akses terhadap listrik lebih banyak dinikmati kelompok terkaya di desa (Cook, 2011).

5.2 Diskrepansi Infrastruktur Pendukung Perekonomian Perdesaan

Terkait infrastruktur yang dapat mendukung perekonomian perdesaan, beberapa aspek menjadi perhatian utama, yakni ketersediaan lembaga keuangan di desa serta keberadaan pertokoan dan pasar. Meskipun keberadaan lembaga keuangan belum tentu menjamin akses layanan keuangan

0 10 20 30 40 50 60 70

Sumatra

Jawa & Bali

Kalimantan

Sulawesi

NTB & NTT

Papua & Maluku

Tanpa listrik PLN Tanpa listrik PLN dan listrik non-PLN

Page 54: di Perdesaan Indonesia, 2006 2016 · mewakili lembaga-lembaga yang mendanai kegiatan dan pelaporan The SMERU Research Institute. ... Desa yang ada di dalam/sekitar hutan menurut fungsi,

44 The SMERU Research Institute

untuk semua masyarakat, ketersediaan lembaga keuangan menjadi modal dasar bagi masyarakat dengan adanya pilihan-pilihan dalam pembiayaan modal usahanya, misalnya kredit keuangan mikro. Akses terhadap layanan keuangan yang lebih baik akan mendukung pertumbuhan sehingga akan berdampak pada pengurangan kemiskinan dan penurunan ketimpangan. Salah satu cara untuk memperbaiki akses tersebut adalah menyediakan lembaga keuangan di perdesaan. Dampak akses terhadap layanan keuangan pada pengurangan kemiskinan dan ketimpangan lebih terlihat pada intervensi layanan kredit mikro. Studi Heriyaldi dan Yusuf (2013) yang menggunakan data longitudinal membuktikan bahwa kehadiran lembaga keuangan mikro di wilayah perdesaan berdampak positif pada peningkatan konsumsi masyarakat desa. Hal ini menguatkan argumen bahwa kehadiran lembaga keuangan di wilayah perdesaan mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakatnya. Meskipun demikian, keberadaan lembaga keuangan di perdesaan masih belum diikuti pemahaman (financial literacy) mengenai layanan keuangan yang baik, terutama pada masyarakat miskin (Djankov et al., 2008). Hilangnya titik temu antara keberadaan dan pengetahuan mengenai cara mengakses lembaga keuangan merupakan kesenjangan yang dapat menjadi sumber permasalahan pemerataan pertumbuhan ekonomi. Tidak meratanya akses terhadap lembaga keuangan ditunjukkan oleh sebaran keberadaan lembaga keuangan yang bervariasi di antara desa-desa dengan tingkat kesejahteraan berbeda. Di antara bank komersial, bank perkreditan rakyat (BPR), dan koperasi, penetrasi bank komersial baik di desa-desa di wilayah perdesaan maupun kelurahan-kelurahan di perkotaan adalah yang paling rendah. Sementara itu, koperasi adalah yang paling tinggi penetrasinya; prevalensi koperasi untuk berada di desa-desa termiskin juga merupakan yang tertinggi di antara ketiga jenis lembaga keuangan ini. Proporsi desa termiskin yang memiliki koperasi adalah 21,3%, sedangkan yang memiliki bank komersial dan BPR sama-sama 0,8% (Gambar 32). Hal ini menunjukkan bahwa masyarakat yang hidup di desa-desa termiskin memiliki keterbatasan dalam mengakses layanan keuangan. Meskipun demikian, di antara berbagai jenis lembaga keuangan yang tersedia di desa, koperasi memiliki jangkauan yang lebih baik kendati masih bias desa maju.

Gambar 32. Proporsi desa yang memiliki infrastruktur finansial berdasarkan kelompok pendapatan desa 2014 (dalam persen) Sumber: Diolah dari Podes 2011 dan Peta Kemiskinan 2015.

5,5

0,8

2,9

34,1

2,8

0,8

2,3

20,1

39,4

21,3

31,3

64,6

Kuintil 5 perdesaan

Kuintil 1 perdesaan

Perdesaan

Perkotaan

Bank komersial BPR Koperasi

Page 55: di Perdesaan Indonesia, 2006 2016 · mewakili lembaga-lembaga yang mendanai kegiatan dan pelaporan The SMERU Research Institute. ... Desa yang ada di dalam/sekitar hutan menurut fungsi,

45 The SMERU Research Institute

Diskrepansi yang besar juga ditemui dalam hal akses terhadap pasar dan pertokoan. Gambar 33 menunjukkan bahwa hampir separuh dari seluruh desa di perkotaan Indonesia memiliki kompleks pertokoan dan sepertiganya memiliki pasar dengan bangunan permanen. Sementara itu, di perdesaan, kompleks pertokoan dan pasar hanya tersedia di masing-masing kurang dari 7% dan sekitar 15% wilayah perdesaan. Jika dibuat perbandingan antarkelompok kesejahteraan, tidak lebih dari 3% desa di wilayah perdesaan termiskin memiliki akses terhadap kompleks pertokoan, sementara 12% desa di wilayah perdesaan terkaya memiliki kompleks pertokoan. Sebaran pasar di wilayah perdesaan masih lebih merata daripada sebaran pertokoan. Sebanyak 13% desa di kelompok 20% desa termiskin memiliki akses terhadap pasar dengan bangunan permanen. Sementara itu, pada kelompok 20% desa terkaya, lebih dari 20%-nya sudah memiliki pasar dengan bangunan permanen. Dalam kajian ekonomi geografi, terutama yang berkaitan dengan penghidupan di perkotaan maupun perdesaan, pasar (ataupun pertokoan) merupakan salah satu komponen penting, mengingat bahwa keberadaannya dapat menjadi kekuatan utama di balik penciptaan ekonomi dan penghidupan. Pasar bertindak sebagai ”tempat sentral” dan memiliki fungsi distribusi untuk menyediakan barang dan jasa bagi populasi di sekitarnya (FAO, 1995). Secara umum di wilayah perdesaan, pasar dapat pula berperan sebagai mekanisme utama untuk perakitan produk lokal yang hasilnya didistribusikan kembali sebagai sumber produksi di perkotaan. Diskrepansi dalam akses terhadap pasar yang terjadi antara wilayah perkotaan dan perdesaan maupun antara perdesaaan terkaya dan termiskin berkaitan erat dengan diskrepansi yang terjadi pada aspek infrastruktur fisik secara umum. Miyazaki dan Shimamura (2014) mengidentifikasi bagaimana pasar, dalam hal ini pasar pangan, berperan sebagai penghubung dalam proses pembangunan ekonomi di wilayah perdesaan di tujuh provinsi Indonesia pada 2007 dan 2010. Perdesaan miskin cenderung rendah perkembangan pasarnya. Di sisi lain, perdesaan miskin juga terbebani oleh buruknya kondisi infrastruktur seperti jalan yang dapat mencegah integrasi pasar di sekitarnya. Dengan kondisi integrasi pasar yang relatif rendah, pilihan infrastruktur seperti irigasi berperan lebih penting–dibandingkan dengan jalan beraspal–dalam menjaga pasokan pangan masyarakat lokal, terutama ketika terjadi guncangan kenaikan harga pangan.

Gambar 33. Keberadaan kompleks pertokoan dan pasar berdasarkan kelompok pendapatan desa 2014 (dalam persen)

Sumber: Diolah dari Podes 2011 dan Peta Kemiskinan 2015.

11,88

2,84

6,58

48,29

20,29

12,84

15,12

32,47

Kuintil 5 perdesaan

Kuintil 1 perdesaan

Perdesaan

Perkotaan

Kompleks pertokoan Pasar dengan bangunan permanen

Page 56: di Perdesaan Indonesia, 2006 2016 · mewakili lembaga-lembaga yang mendanai kegiatan dan pelaporan The SMERU Research Institute. ... Desa yang ada di dalam/sekitar hutan menurut fungsi,

46 The SMERU Research Institute

VI. MODAL SOSIAL MASYARAKAT DESA: PARTISIPASI, TOLERANSI, DAN POLA RELASI

Pertemanan, jaringan sosial, keikutsertaan dalam suatu kelompok masyarakat, ataupun bentuk relasi sosial lain yang terjalin berdasarkan rasa saling percaya merupakan modal sosial yang dapat menentukan kemajuan suatu masyarakat (Woolcock dalam Easterly, Ritzen, dan Woolcock, 2006; Green, Preston, dan Sabates, 2003). Hal ini mengingat bahwa norma, kepercayaan, dan jaringan merupakan faktor-faktor produktif yang menjadikan proses koordinasi, komunikasi, dan transaksi antarindividu lebih efisien (Muntaner, 2004); demikian pula halnya dengan permasalahan asimetri informasi dan ketidakpastian yang bisa dihindari. Secara spesifik, kepercayaan antarindividu ini dapat mengurangi biaya transaksi dan biaya terkait proses hukum (transaction cost dan legal cost) dalam investasi ataupun transaksi jual beli (Dearmon dan Gier, 2009) dan meningkatkan produktivitas SDM (Bjørnskov dan Méon, 2015) sehingga pada akhirnya dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi (Cui, 2017). Adanya variasi temuan terkait hubungan modal sosial dan pertumbuhan ekonomi antara negara maju dan negara berkembang mengindikasikan bahwa dampak modal sosial bergantung pada wilayah serta tingkat dan distribusi pendapatan (Knack dan Keefer, 1997; Putnam, 2000). Razmi dan Ghaffary (2015) menunjukkan bahwa pada masyarakat dengan distribusi pendapatan yang lebih timpang, tingkat modal sosial didapati lebih rendah. Namun, perbedaan tingkat pendapatan, karakteristik masyarakat, dan keragaman sosial-budaya bisa mengecilkan kekuatan hubungan antara ketimpangan pendapatan dan modal sosial tersebut (Ioakimidis dan Heijke, 2016). Bagian ini akan membahas kondisi modal sosial masyarakat perdesaan dan keterkaitannya dengan ketimpangan ekonomi. Merujuk pada beberapa studi lain (Easterly, Ritzen, dan Woolcock, 2006; Ahlerup, Olsson, dan Yanagizawa, 2009), indikator yang biasa digunakan untuk mengukur modal sosial adalah partisipasi masyarakat dalam organisasi, tingkat kepercayaan antarindividu, keragaman etnis dan agama, masalah sosial, dan dukungan informal. Keterlibatan masyarakat perdesaan dalam kegiatan kemasyarakatan lebih tinggi daripada keterlibatan masyarakat di perkotaan, tetapi disparitas gender masih nyata terlihat di wilayah perdesaan. Hal ini berbeda dengan partisipasi dalam pemilihan umum yang hampir tidak menunjukkan variasi antargender–bahkan terjadi lonjakan cukup tinggi pada partisipasi perempuan dalam pemilihan umum dari 2007 ke 2014 di kalangan termiskin, baik di perkotaan maupun perdesan. Sekalipun aksi kolektif di perdesaan cukup tinggi, dukungan sosial antarwarga di perdesaan ternyata tidak lebih tinggi daripada dukungan sosial antarwarga di perkotaan. Di sisi lain, tingkat primordialisme masyarakat secara umum sangat tinggi sehingga kesamaan agama dan etnis masih menjadi keriteria utama dalam memilih pemimpin/perwakilan, juga dalam bersosialisasi di tengah masyarakat. Mengonfirmasi temuan Dincer and Hotard (2011), keberagaman agama di dalam suatu wilayah berhubungan tidak linier dengan ketimpangan ekonomi. Makin beragam agama yang dianut masyarakat di suatu wilayah, makin timpang pendapatannya; hingga di satu titik tertentu, keberagaman agama tersebut justru berasosiasi dengan tingkat ketimpangan ekonomi yang lebih rendah. Terakhir, prevalensi konflik antarmasyarakat di perdesaan sedikit lebih tinggi daripada prevalensi di perkotaan, terlebih di luar Jawa. Selain itu, tampak adanya asosiasi positif antara ketimpangan ekonomi dan konflik sosial, sebagaimana studi sebelumnya mengonfirmasi kemungkinan hubungan dua arah di antara keduanya.

Page 57: di Perdesaan Indonesia, 2006 2016 · mewakili lembaga-lembaga yang mendanai kegiatan dan pelaporan The SMERU Research Institute. ... Desa yang ada di dalam/sekitar hutan menurut fungsi,

47 The SMERU Research Institute

6.1 Partisipasi Sosial Tinggi, tetapi Kepercayaan Sosial Rendah

Sudah dikemukakan bahwa partisipasi dalam kegiatan sosial merupakan bentuk jejaring sosial yang dapat menjadi sebuah modal sosial sehingga akses terhadap dukungan sosial atau sumber daya lain yang tersedia menjadi lebih terbuka. Gambar 34 menunjukkan persentase orang di tiap kategori yang berpartisipasi dalam kegiatan atau organisasi kemasyarakatan, seperti arisan, kerja bakti, karang taruna, sistem keamanan lingkungan (siskamling), rapat desa, dan kegiatan PNPM Mandiri pada 2007 dan 2014. Secara keseluruhan, terjadi peningkatan proporsi masyarakat yang mengikuti kegiatan kemasyarakatan dari 2007 hingga 2014, dengan proporsi laki-laki yang ikut terlibat dalam kegiatan/organisasi sosial lebih besar daripada perempuan. Sekitar 75% laki-laki ikut berperan dalam kegiatan sosial pada 2007, dan angka ini meningkat menjadi sekitar 82% pada 2014. Sementara itu, hanya sekitar 60% perempuan pada 2007 yang ikut serta dalam kegiatan-kegiatan sosial. Sekalipun meningkat menjadi sekitar 71% pada 2014, keterlibatan perempuan dalam aktivitas sosial masih jauh di bawah laki-laki. Norris dan Inglehart (2003) menjelaskan bahwa perempuan hanya sedikit berpartisipasi dalam kegiatan kemasyarakatan karena mereka tidak bisa, tidak ingin, atau tidak pernah diminta hadir dalam kegiatan-kegiatan tersebut. Beberapa jenis kelompok atau organisasi kemasyarakatan memang tersegregasi berdasarkan jenis kelamin, seperti posyandu yang umumnya dikelola perempuan, kerja bakti yang cenderung melibatkan laki-laki, atau kegiatan pos keamanan lingkungan (poskamling) yang hanya dilakukan laki-laki. Selain itu, pemahaman konvensional mengenai pembagian peran tradisional antara laki-laki dan perempuan bisa juga berkontribusi pada rendahnya partisipasi perempuan dalam kegiatan kemasyarakatan, dibandingkan dengan laki-laki (Healy, Haynes, dan Hampshire, 2007). Dibandingkan dengan masyarakat di perkotaan, keterlibatan warga dalam kegiatan masyarakat di perdesaan secara umum lebih tinggi. Penyebabnya adalah kedekatan antarindividu dan ”rasa memiliki” (sense of belonging) pada masyarakat perdesaan yang lebih besar daripada masyarakat di perkotaan. Selain itu, hal ini juga berkaitan dengan perbedaan struktur ekonomi di perdesaan yang lebih komunal daripada struktur ekonomi di perkotaan (Bosworth, 2014). Dengan asumsi bahwa masyarakat urban sudah lebih berkembang secara ekonomi dan terbuka terhadap nilai-nilai modern, dikotomi tradisional mengenai peran perempuan dan laki-laki mulai memudar (Spain, 2014; Lilius, 2016) sehingga dapat diamati mengecilnya disparitas keterlibatan sosial antara laki-laki dan perempuan di wilayah perkotaan jika dibandingkan dengan perdesaan, terlebih pada 2014. Pada 2007, proporsi laki-laki yang mengikuti kegiatan kemasyarakatan di wilayah perkotaan hampir 25% lebih banyak daripada proporsi perempuan. Sementara itu, pada 2014, ketika proporsi laki-laki meningkat 8 titik persen, proporsi perempuan yang terlibat dalam kegiatan sosial meningkat 14 titik persen. Dengan demikian, di antara keduanya hanya terpaut 7% saja pada 2014. Hal ini kontras dengan situasi di wilayah perdesaan–disparitas di antara keduanya justru melebar dalam kurun waktu 7 tahun, dari 14% pada 2007 menjadi 26% pada 2014.

Page 58: di Perdesaan Indonesia, 2006 2016 · mewakili lembaga-lembaga yang mendanai kegiatan dan pelaporan The SMERU Research Institute. ... Desa yang ada di dalam/sekitar hutan menurut fungsi,

48 The SMERU Research Institute

Gambar 34. Partisipasi pada setidaknya satu jenis kegiatan kemasyarakatan berdasarkan tingkat kesejahteraan dan gender, 2007 dan 2014 Sumber: Diolah dari Sakerti 2007 dan 2014.

Keterangan: Persentase di masing-masing kategori.

Terkait tingkat kesejahteraan relatif, menarik untuk dicermati bahwa terdapat perbedaan pola keterlibatan sosial antara laki-laki dan perempuan. Di antara laki-laki tidak tampak perbedaan signifikan dalam hal keterlibatan sosial antara orang-orang di kelompok terkaya dan orang-orang di kelompok termiskin. Pada 2007, sebanyak 76% laki-laki di kuintil 1 mengaku berpartisipasi dalam kegiatan kemasyarakatan di perdesaan, sedangkan di kuintil 5 terdapat 78% laki-laki. Begitu pun pada 2014, hanya terdapat perbedaan tipis, yaitu 85% di kuintil 1 dan 84% di kuintil 5. Hal berbeda ditemukan di antara sampel perempuan di perdesaan, terutama pada 2007. Pada tahun ini, perempuan di kelompok teratas 13 titik persen lebih tinggi tingkat partisipasinya daripada perempuan di kelompok terbawah dalam kegiatan kemasyarakatan. Namun, perbedaan di antara keduanya jauh mengecil pada 2014 menjadi 2% saja (Gambar 34). Keterlibatan dalam aktivitas publik berkaitan dengan kondisi kesejahteraan karena untuk membangun dan menjaga relasi sosial tersebut, ada biaya-biaya sosial yang harus dipenuhi (Cleaver, 2005; Story dan Carpiano, 2017). Fakta bahwa hubungan di antara kedua hal tersebut lebih nyata terlihat di antara perempuan daripada laki-laki menyiratkan bahwa biaya jejaring sosial yang harus dipenuhi perempuan lebih besar. Ketimpangan dalam hal akses terhadap kegiatan sosial antara perempuan miskin dan perempuan kaya menunjukkan ketidakmampuan perempuan miskin dalam mengatasi hal-hal terkait kendala biaya dan fisik (Kozel dan Parker, 2000; Story dan Carpiano, 2017). Lebih daripada itu, ketimpangan akses ini menggambarkan hambatan yang mereka hadapi dalam menjangkau bentuk-bentuk modal penghidupan lain, yaitu modal keuangan, modal manusia, modal alam, dan modal fisik. Modal sosial menjadi sumber daya paling penting bagi orang miskin karena kepemilikan terhadap keempat

70

78

78

84

76

85

78

84

57

71

54

58

53

77

66

79

100 80 60 40 20 0 20 40 60 80 100

2007

2014

2007

2014

2007

2014

2007

2014

Pe

rko

taan

Pe

rdes

aan

Ku

inti

l 1p

erd

esaa

nK

uin

til 5

per

des

aan

Persentase individu

Perempuan Laki-laki

Page 59: di Perdesaan Indonesia, 2006 2016 · mewakili lembaga-lembaga yang mendanai kegiatan dan pelaporan The SMERU Research Institute. ... Desa yang ada di dalam/sekitar hutan menurut fungsi,

49 The SMERU Research Institute

modal lain sangat terbatas (Warren, Thompson, dan Saegert, 2001). Hal ini penting, mengingat bahwa melalui ruang-ruang publik tersebut, masyarakat miskin dan rentan seharusnya dapat memanfaatkan relasi dan koneksi untuk memperoleh informasi guna memperbaiki strategi penghidupan mereka, membuka kesempatan untuk menyuarakan perspektif mereka, dan juga sebagai substitusi modal lain untuk menghadapi guncangan dan kerentanan (Cleaver, 2005; Story dan Carpiano, 2017). Sebagai contoh, melalui perkumpulan arisan masyarakat miskin dapat memperoleh sejumlah uang yang bisa dimanfaatkan untuk memulai usaha baru, atau melalui acara-acara pertemuan di desa masyarakat dapat memperoleh informasi lowongan pekerjaan ataupun pelatihan gratis. Selain partisipasi dalam aksi kolektif, partisipasi masyarakat dalam pemilihan umum–untuk memilih presiden/wakil presiden, kepala daerah, ataupun anggota legislatif–juga cukup tinggi, yaitu sekitar 80% untuk laki-laki dan 60% untuk perempuan. Keikutsertaan laki-laki dalam pemilu relatif stabil selama tujuh tahun (2007–2014). Sementara itu, di antara perempuan, terjadi lonjakan cukup besar terutama di wilayah perkotaan (meningkat 14 titik persen) dan di perdesaan pada perempuan kelompok miskin (meningkat 20 titik persen) (Gambar 35).

Gambar 35. Masyarakat yang menggunakan hak pilihnya berdasarkan tingkat kesejahteraan dan gender, 2007 dan 2014 Sumber: Diolah dari Sakerti 2007 dan 2014.

Keterangan: Persentase di masing-masing kategori.

Bibler, Mohan, dan Ryan (2014) menjelaskan bahwa salah satu rintangan bagi perempuan untuk berpartisipasi dalam pemilihan umum adalah masih banyaknya perempuan yang tidak memiliki dokumen kependudukan resmi seperti buku nikah, kartu keluarga, atau kartu tanda penduduk sebagai prasyarat untuk menjadi pemilih sah. Selain itu, kesibukan perempuan dalam menjalankan peran pengasuhan di area domestik menghalangi mereka untuk mendapatkan waktu luang agar bisa pergi ke tempat pemungutan suara.

84

81

89

87

89

86

87

88

57

71

54

58

53

77

66

79

100 80 60 40 20 0 20 40 60 80 100

2007

2014

2007

2014

2007

2014

2007

2014

Pe

rko

taan

Pe

rdes

aan

Ku

inti

l 1p

erd

esaa

nK

uin

til 5

per

des

aan

Persentase individu

Perempuan Laki-laki

Page 60: di Perdesaan Indonesia, 2006 2016 · mewakili lembaga-lembaga yang mendanai kegiatan dan pelaporan The SMERU Research Institute. ... Desa yang ada di dalam/sekitar hutan menurut fungsi,

50 The SMERU Research Institute

Lebih jauh tentang preferensi dalam pemilihan umum, lebih dari 70% masyarakat memilih pemimpin/wakil rakyat berdasarkan kesamaan agama, dan sekitar 50% memilih berdasarkan kesamaan etnis. Dalam kurun waktu tujuh tahun, 2007 hingga 2014, terjadi sedikit penurunan tren prevalensi masyarakat yang menjadikan agama sebagai kriteria utama pemilihan pemimpin/wakil rakyat, sebaliknya sedikit kenaikan tampak pada kriteria kesamaan etnis. Berdasarkan gender, tampak lebih banyak proporsi perempuan yang menunjukkan primordialisme dalam menggunakan hak politiknya. Hal ini konsisten pada hampir semua kategori lokasi atau tingkat kesejahteraan, kecuali di perdesaan dalam hal preferensi agama. Pada kategori ini, porsi perempuan 7 titik persen lebih rendah daripada laki-laki pada 2007 dan 10 titik persen lebih rendah pada 2014. Dibandingkan dengan perkotaan, di perdesaan terdapat lebih banyak warga baik laki-laki maupun perempuan–terlebih pada kelompok paling miskin–yang mengaku cenderung memilih pemimpin berdasarkan kesamaan agama ataupun etnis (Gambar 36). Dengan cukup tingginya hasrat primordialisme masyarakat seperti ini, tak mengherankan bahwa banyak kandidat pemimpin masih menggunakan agama dan etnis sebagai modal untuk menarik suara masyarakat. Aspinall, Dettman, dan Warburton (2011) menemukan fenomena ini pada studi kasus pemilihan walikota Medan, Sumatra Utara. Mereka menjelaskan bahwa pada putaran terakhir, dengan situasi bahwa dua kandidat walikota memiliki agama dan suku/ras berbeda, dalam hal ini Islam dan Buddha, tim sukses menggunakan sentimen agama untuk memenangkan calon mereka. Strategi kampanye ini terbukti efektif dan kandidat muslim menang dengan margin cukup besar. Hal identik juga terjadi di Jakarta pada 2012 ketika elemen agama digunakan sebagai alat untuk menolak kandidat yang nonmuslim dan beretnis Tionghoa (Putra, 2016). Kemudian, hal yang sama berulang pada 2017 (Kato, 2017; Sulistiyanto, 2018). Pepinski, Liddle, dan Mujani (2012) membuktikan bahwa beragama Islam–sebagai agama mayoritas di Indonesia–benar dapat memberikan keuntungan secara politis, walaupun hal ini tetap dibatasi oleh pengetahuan pemilih akan kebijakan ekonomi yang diusung kandidat.

Gambar 36. Preferensi dalam memilih pemimpin/wakil rakyat berdasarkan tingkat kesejahteraan dan gender, 2007 dan 2014 Sumber: Diolah dari Sakerti 2007 dan 2014.

Keterangan: Persentase di masing-masing kategori.

41

44

57

59

60

62

54

54

45

51

63

67

68

72

57

65

100 50 0 50 100

2007

2014

2007

2014

2007

2014

2007

2014

Per

kota

anP

erd

esaa

nK

uin

til 1

per

des

aan

Ku

inti

l 5p

erd

esaa

n

Persentase individu

Berdasarkan Kesamaan Etnis

Perempuan Laki-laki

71

63

80

69

82

70

76

67

76

73

73

59

87

80

80

78

100 50 0 50 100

2007

2014

2007

2014

2007

2014

2007

2014

Per

kota

anP

erd

esaa

nK

uin

til 1

per

des

aan

Ku

inti

l 5p

erd

esaa

n

Persentase individu

Berdasarkan Kesamaan Agama

Perempuan Laki-laki

Page 61: di Perdesaan Indonesia, 2006 2016 · mewakili lembaga-lembaga yang mendanai kegiatan dan pelaporan The SMERU Research Institute. ... Desa yang ada di dalam/sekitar hutan menurut fungsi,

51 The SMERU Research Institute

Besarnya porsi masyarakat yang menjadikan kesamaan etnis, terutama agama, sebagai kriteria utama pemilihan pemimpin/wakil rakyat bisa jadi merupakan bentuk penolakan sosial terhadap kelompok agama/etnis tertentu yang dapat mengancam kohesi sosial. Putra dan Wagner (2017) menekankan besarnya peran identitas agama yang diikuti prasangka negatif terhadap kelompok agama lain dalam menciptakan–bahkan memperburuk–konflik antarkelompok di Indonesia. Meskipun demikian, identitas suatu kelompok atau prasangka dan stereotip terhadap kelompok tertentu merupakan suatu hal yang dinamis, tergantung pada kepentingan politis kelompok-kelompok yang terlibat (Wagner, Holtz, dan Kashima, 2009). Gambar 37 memberikan gambaran tentang prasangka yang ditujukan dan stereotip yang disematkan pada kelompok lain dalam wujud ketidakpercayaan dan penolakan terhadap kehadiran kelompok lain tersebut di dalam kehidupan suatu kelompok tertentu. Ditemukan bahwa secara umum, hampir 95% masyarakat tidak percaya dengan orang yang terlahir dengan etnis berbeda atau memeluk agama berbeda, baik secara informal dalam bertetangga maupun dalam hal-hal lebih formal seperti hubungan sewa. Ketidakpercayaan ini juga termanifestasi dalam upaya penolakan ketika rumah ibadat umat agama lain dibangun di daerah sekitar tempat tinggal mereka. Menarik untuk diamati bahwa tidak tampak perbedaan signifikan dalam prevalensi eksklusivisme antargender, antarlokasi, ataupun antartingkat kesejahteraan. Demikian pula, tidak tampak perubahan tren dan pola antarwaktu dari 2007 ke 2014.

Gambar 37. Sikap tidak percaya pada orang dengan agama/etnis berbeda berdasarkan tingkat kesejahteraan dan gender, 2007 dan 2014

Sumber: Diolah dari Sakerti 2007 dan 2014.

Keterangan: Persentase di masing-masing kategori. Variabel diturunkan dari beberapa indikator, di antaranya adalah: ketidakpercayaan terhadap umat agama/etnis lain atau keberatan bertetangga dengan umat agama/etnis lain atau keberatan menyewakan tanah/rumah terhadap umat agama/etnis lain atau keberatan dengan dibangunnya tempat peribadatan agama lain di lingkungan tempat tinggal.

94

89

96

95

96

97

95

94

95

91

97

97

98

98

97

96

150 100 50 0 50 100 150

2007

2014

2007

2014

2007

2014

2007

2014

Pe

rko

taan

Pe

rdes

aan

Ku

inti

l 1p

erd

esaa

nK

uin

til 5

per

des

aan

Persentase individu

Perempuan Laki-laki

Page 62: di Perdesaan Indonesia, 2006 2016 · mewakili lembaga-lembaga yang mendanai kegiatan dan pelaporan The SMERU Research Institute. ... Desa yang ada di dalam/sekitar hutan menurut fungsi,

52 The SMERU Research Institute

Dalam kaitan dengan tingkat kesejahteraan, kemungkinan untuk bersikap intoleran terhadap orang dengan agama/etnis berbeda memang tampak lebih besar di antara masyarakat desa yang berada di kelompok 20% termiskin. Namun, perbedaannya dengan masyarakat di kelompok kesejahteraan teratas sangat tipis. Temuan ini tidak sesuai dengan hasil beberapa studi lain yang mengonfirmasi keterkaitan antara toleransi terhadap kelompok lain dan tingkat kesejahteraan. Milligan (2012) melakukan analisis antarnegara dan antarindividu dalam suatu negara tentang hubungan antara toleransi terhadap etnis/agama lain dan tingkat kesejahteraan. Hasilnya adalah bahwa sikap toleransi ditemukan berasosiasi positif dengan tingkat kesejahteraan suatu negara, dan hubungan tersebut lebih kuat di antara orang-orang berpenghasilan lebih tinggi. Eksklusivisme merupakan bibit sikap radikalisme dalam beragama (Jonkers, 2017). Terkait hal ini, terdapat variasi temuan studi mengenai asosiasi tingkat kesejahteraan dengan sikap radikalisme. Beberapa pihak meyakini bahwa kemiskinan meningkatkan risiko seseorang untuk menjadi radikal (Mousseau, 2011). Di sisi lain, beberapa studi di negara-negara Islam menemukan bahwa hubungan tersebut tidak tampak (Chiozza, 2010 dalam Rink dan Sharma, 2018). Tidak sedikit juga yang bahkan menunjukkan hal sebaliknya, yaitu bahwa masyarakat kelas menengahlah yang lebih banyak mendukung aksi terorisme berbasis agama (Blair et al., 2013) atau bahwa masyarakat dalam kelompok paling miskin memiliki kemungkinan paling kecil untuk mendukung aksi terorisme, dibandingkan dengan kelompok-kelompok yang lebih sejahtera (Fair dan Shepherd, 2006). Dengan kata lain, terdapat hal-hal yang lebih terkait dengan sikap primordialisme atau eksklusivisme di luar tingkat kesejahteraan.

6.2 Hubungan Tidak Linier antara Keberagaman Identitas Sosial dan Ketimpangan Ekonomi

Putnam (1995) mendefinisikan modal sosial sebagai suatu aspek kehidupan bermasyarakat, yaitu jaringan, norma, dan kepercayaan, yang memungkinkan anggota suatu masyarakat melakukan aksi kolektif untuk mencapai tujuan bersama. Seberapa efektif langkah masyarakat untuk mencapai tujuan bersama tersebut ditentukan oleh tingkat kohesi sosial atau sejauh mana masyarakat terintegrasi dan bersatu. Dalam hal ini, keberagaman di dalam masyarakat–baik secara kesukuan, agama, ataupun ras–bisa dipandang dari dua sudut berbeda. Menurut teori kontak, keberagaman mampu mengikis perbedaan di dalam kelompok ataupun antarkelompok masyarakat dan mendorong semangat solidaritas antarkelompok–atau sering disebut sebagai bridging social capital–sehingga mengurangi etnosentrisme. Di sisi lain, dalam teori konflik diyakini bahwa keberagaman akan mempertajam perbedaan antarkelompok. Oleh karena itu, keberagaman dianggap akan menguatkan solidaritas di dalam kelompok itu sendiri–atau bonding social capital–sehingga justru akan meningkatkan etnosentrisme (Putnam, 2007). Etnosentrisme inilah yang membahayakan kohesi sosial dan dikhawatirkan akan mengancam tercapainya tujuan bersama. Oleh karena itu, keberagaman sosial sering dikaitkan dengan capaian politik atau ekonomi, seperti pertumbuhan ekonomi atau pemenuhan kebutuhan publik, dan umumnya ditemukan bahwa keberagaman sosial bedampak negatif terhadap capaian-capaian tersebut (Alesina dan Ferrara, 2005; Easterly, Ritzen, dan Woolcock, 2006). Namun, bagaimana hal itu berdampak pada distribusi pendapatan masih menuai banyak perdebatan. Dincer dan Hotard (2011) menjelaskan bahwa keberagaman identitas sosial (etnis dan agama) dan ketimpangan ekonomi tidak berasosiasi dalam hubungan yang linier. Sebaliknya, Dincer dan Hotard membuktikan adanya hubungan U-terbalik (kuadratik) antara keberagaman etnis (ERFe) dan keberagaman agama (ERFr) di satu sisi dan ketimpangan pendapatan di 58 negara di Afrika, Asia, dan Amerika latin di sisi lain. Artinya, makin beragam etnis dan agama dalam suatu wilayah, makin timpang kesejahteraan masyarakatnya, tetapi pada titik tertentu keberagaman tersebut justru

Page 63: di Perdesaan Indonesia, 2006 2016 · mewakili lembaga-lembaga yang mendanai kegiatan dan pelaporan The SMERU Research Institute. ... Desa yang ada di dalam/sekitar hutan menurut fungsi,

53 The SMERU Research Institute

identik dengan ketimpangan yang lebih rendah. Lebih jauh, ditemukan bahwa ketimpangan pendapatan tersebut akan sampai pada titik maksimum ketika ERFe maupun ERFr mencapai angka masing-masing 0,44 dan 0,34. Ethnic and Religious Fractionalization (ERF) Index mengindikasikan keberagaman etnis dan agama di suatu wilayah yang diwujudkan dalam angka 0 sampai 1. Makin mendekati angka 1, makin beragam etnis dan agama di suatu wilayah. Gambar 38 di bawah ini menggambarkan garis melengkung penghubung sebaran titik-titik (quadratic fitted line) yang menunjukkan prediksi korelasi antara ERFe dan indeks Gini berdasarkan sebaran data di tingkat kabupaten di Indonesia pada masing-masing 2000 dan 2010. Sama halnya dengan temuan Dincer dan Hotard (2011), hampir tidak teridentifikasi adanya pola kuadratik dalam hubungan antara keberagaman etnis dan ketimpangan pendapatan antarkabupaten di Indonesia pada kedua tahun. Sebaliknya, prediksi indeks Gini tampak tetap sekalipun nilai ERF makin besar. Adanya kesamaan identitas yang cukup kuat untuk menyatukan berbagai etnis tersebut dapat menjadi penjelas terpisahnya keberagaman etnis dan ketimpangan moneter karena, dengan demikian, perbedaan belum tentu mengakibatkan perselisihan yang berpengaruh buruk terhadap perekonomian (Dincer dan Hotard, 2011).

Gambar 38. Garis penghubung sebaran titik-titik (fitted line) antara indeks keberagaman etnis dan indeks Gini Sumber: Diolah dari Sensus 2000 dan 2010.

Pola kuadratik U-terbalik, sekalipun tidak sempurna, didapati pada korelasi antara ERF-r dan indeks Gini sebagaimana tampak pada Gambar 39 di bawah ini. Makin beragam agama yang dipeluk oleh masyarakat di suatu kabupaten, makin timpang distribusi pendapatan di wilayah tersebut. Hingga pada satu titik maksimum tertentu, keberagaman tersebut justru diasosikan dengan penurunan ketimpangan pendapatan. Pada 2000, titik balik tersebut adalah ketika ERF-r indeks mencapai angka 0,384, dan pada 2010 ketika indeks ini mencapai 0,354. Artinya, kabupaten-kabupaten dengan ERF-r lebih dari 0,384 (0,354) cenderung memiliki tingkat ketimpangan pendapatan yang lebih rendah. Hubungan U-terbalik antara keberagaman dan ketimpangan mengindikasikan bahwa keberagaman tidak selalu berdampak buruk pada capaian ekonomi; hal ini ditunjukkan oleh, antara lain, ketimpangan pendapatan. Argumen yang sering mengemuka adalah bahwa dari keberagaman akan lahir inovasi yang berujung pada peningkatan produktivitas SDM (Ottaviano dan Prarolo, 2009), walaupun hal ini tidak langsung menjelaskan lebih rendahnya ketimpangan pendapatan pada daerah dengan keberagaman sangat tinggi. Jika ketimpangan pendapatan menjadi indikasi konflik antarkelas, maka penjelasan yang mungkin relevan adalah polarisasi kelompok, yaitu bahwa dampak buruk keberagaman akan lebih besar ketika hanya terdapat dua kelompok yang berbeda

Tahun 2000 Tahun 2010

Nilai Gini tahun 2000 ------- Fitted values

Nilai Gini tahun 2010 ------- Fitted values

0 0,2 0,4 0,6 0,8 ERFe 2000

0 0,2 0,4 0,6 0,8 ERFe 2010

0,2

0,2

5

0,3

0

,35

0

,4

0,2

0,

3

0

,4

0,5

0

,6

Page 64: di Perdesaan Indonesia, 2006 2016 · mewakili lembaga-lembaga yang mendanai kegiatan dan pelaporan The SMERU Research Institute. ... Desa yang ada di dalam/sekitar hutan menurut fungsi,

54 The SMERU Research Institute

(Montalvo dan Reynal-Querol, 2014). Argumen ini berakar pada argumen Horowitz (1985) bahwa konflik sosial lebih jarang terjadi pada masyarakat yang sangat homogen atau sangat heterogen–dalam masyarakat seperti ini, aktivitas perburuan rente (rent seeking) menjadi tidak menguntungkan dan benturan antarkelas lebih bisa dihindari (Montalvo dan Reynal-Querol, 2005).

Gambar 39. Garis penghubung sebaran titik-titik (fitted line) antara indeks keberagaman agama dan indeks Gini Sumber: Diolah dari Sensus 2000 dan 2010.

6.3 Dukungan Sosial di antara Masyarakat Perdesaan yang Tidak Lebih Tinggi Jika Dibandingkan dengan Masyarakat Perkotaan

Dukungan sosial merupakan bagian dari modal sosial karena melalui jaringan sosial ini, masyarakat dapat saling membantu mengatasi masalah sehari-hari (Dominguez dan Watkins, 2003; Kawachi, Subramanian, dan Kim 2008). Dengan anggapan bahwa hubungan kekerabatan dan interaksi sosial di perdesaan lebih kuat daripada hubungan yang sama di perkotaan seperti terlihat pada Gambar 34, dukungan sosial di desa pun diduga lebih kuat daripada dukungan sosial di kota. Namun, dugaan itu tidak terbukti, seperti terlihat pada Gambar 40. Hampir tidak ada perbedaan prevalensi seseorang untuk mendapatkan bantuan informal dari anggota keluarga lain antara mereka yang tinggal di perdesaan dan mereka yang tinggal di perkotaan, yaitu sama-sama dalam kisaran 14%. Masyarakat di perkotaan bahkan memiliki peluang 2,6% lebih besar untuk mendapatkan bantuan dari tetangga/teman, dibandingkan dengan masyarakat di perdesaan. Beberapa studi berusaha mengidentifikasi dampak dukungan sosial di perkotaan dan menemukan adanya dampak signifikan dari dukungan sosial tersebut, misalnya terhadap pengurangan kerawanan pangan (King, 2017) ataupun terhadap kesehatan mental (Chadwick dan Collins, 2015). Meskipun demikian, Chadwick dan Collins (2015) menggarisbawahi bahwa ukuran kota berbanding terbalik dengan ketersedian dukungan sosialnya. Dengan kata lain, makin besar suatu kota, makin kecil dukungan sosial yang tersedia. Di sisi lain, Kim et al. (2004) mengungkapkan bahwa pada desa-desa di Korea Selatan, dukungan sosial yang digunakan dalam studi tersebut adalah hidup sendiri, jarang bertemu (kurang dari sebulan sekali) dengan tetangga, teman, ataupun saudara, dan tidak memiliki teman atau tetangga dekat. Artinya, gelombang migrasi desa-kota bisa menjadi salah satu faktor yang mengendurkan ikatan sosial di antara masyarakat desa sehingga ketersediaan dukungan sosialnya pun berkurang.

Tahun 2000 Tahun 2010

Nilai Gini tahun 2000 ------- Fitted values

Nilai Gini tahun 2010 ------- Fitted values

0 0,2 0,4 0,6 0,8 ERFe 2000

0 0,2 0,4 0,6 ERFe 2010

0,2

0,2

5

0,3

0

,35

0

,4

0,2

0,

3

0

,4

0,5

0

,6

Page 65: di Perdesaan Indonesia, 2006 2016 · mewakili lembaga-lembaga yang mendanai kegiatan dan pelaporan The SMERU Research Institute. ... Desa yang ada di dalam/sekitar hutan menurut fungsi,

55 The SMERU Research Institute

Perbedaan lain yang terlihat antara masyarakat perdesaan dan masyarakat perkotaan adalah pada bentuk bantuan yang diberikan. Masyarakat perdesaan lebih cenderung mendapatkan bantuan dalam bentuk barang/makanan daripada uang atau pinjaman, baik di antara masyarakat kelompok terkaya maupun kelompok termiskin. Di perkotaan, sekalipun dukungan dalam bentuk makanan/barang tetap lebih tinggi daripada uang, proporsinya masih lebih kecil daripada dukungan di perdesaan, yaitu 50,8% berbanding 54,9% untuk bantuan dari anggota keluarga dan 59,1% berbanding 66% untuk bantuan dari teman/tetangga. Dengan adanya kemudahan transaksi finansial berbasis teknologi yang mungkin lebih banyak dinikmati masyarakat urban, hal itu bisa menjadi indikasi bahwa keakraban sosial masyarakat perkotaan tidak terjalin secara langsung seperti halnya di desa; di desa, perbuatan saling memberi dalam bentuk barang/makanan lebih mungkin terjadi.

Gambar 40. Distribusi dan prevalensi dukungan informal masyarakat, 2014

Sumber: Diolah dari Sakerti 2014.

Selain itu, jenis bantuan tampak jelas terkait dengan sumber bantuannya, yaitu bahwa bantuan uang/pinjaman lebih cenderung berasal dari keluarga/kerabat, sedangkan barang dan makanan berasal dari tetangga/teman. Banyak temuan studi dari negara lain (Morton et al., 2005; Garasky, Morton, dan Greder, 2006; Interlenghi dan Salles-Costa, 2015) yang menunjukkan peranan dukungan sosial dalam bentuk instrumental (mengikuti pengelompokan dukungan sosial oleh Harpham, 2008) untuk mengurangi risiko kerawanan pangan (King, 2017). Dalam hal ini, si tetangga mengetahui siapa orang di sekitarnya yang lebih membutuhkan makanan, kemudian dia tergerak untuk berbagi. Ketepatan target bantuan tersebut menjadikan dukungan informal masyarakat ini efektif untuk mengatasi kerawanan pangan. Mekanisme tersebut juga dimanfaatkan pemerintah untuk memonitor ketepatan sasaran bantuan formal pemerintah dalam hal pangan, seperti Rastra.

54,9

36,8

50,8

29,6

52,3

28,3

48,0

30,3

41,2

59,1

45,4

66,0

44,6

67,0

48,0

65,8

14,4

11,8

14,1

9,2

14,5

9,1

13,0

9,7

0,0

2,0

4,0

6,0

8,0

10,0

12,0

14,0

16,0

0%

10%

20%

30%

40%

50%

60%

70%

80%

90%

100%

Anggotakeluarga lain

Tetangga atauteman

Anggotakeluarga lain

Tetangga atauteman

Anggotakeluarga lain

Tetangga atauteman

Anggotakeluarga lain

Tetangga atauteman

Perkotaan Perdesaan Kuintil 1 perdesaan Kuintil 5 perdesaan

Pre

vale

nsi

aks

es t

erh

adap

ban

tuan

(d

alam

per

sen

)

Dis

trib

usi

ben

tuk

ban

tuan

(d

alam

per

sen

)

Uang atau pinjaman Uang sekolah Biaya layanan kesehatan

Makanan atau barang lain Lainnya Prevalensi

Page 66: di Perdesaan Indonesia, 2006 2016 · mewakili lembaga-lembaga yang mendanai kegiatan dan pelaporan The SMERU Research Institute. ... Desa yang ada di dalam/sekitar hutan menurut fungsi,

56 The SMERU Research Institute

6.4 Hubungan Dua Arah antara Konflik Sosial dan Ketimpangan Ekonomi

Blattman dan Miguel (2010) menyimpulkan bahwa konflik yang disertai kekerasan berpengaruh terhadap keluaran ekonomi melalui perusakan modal SDM dan modal fisik, pergeseran belanja pemerintah dan investasi swasta, serta gangguan pada kehidupan ekonomi dan relasi sosial. Salah satu studi antarnegara yang mencoba menghubungkan konflik dengan pertumbuhan ekonomi adalah Collier (1999) yang menemukan hubungan negatif antara durasi perang sipil dan pertumbuhan ekonomi. Sementara itu, Imai dan Weinstein (2000) memperkuat kesimpulan studi Collier dan menemukan satu faktor pendukung penting lainnya, yaitu luas atau tidaknya daerah konflik. Perang sipil yang berlangsung di seluruh wilayah memberikan dampak yang jauh lebih besar jika dibandingkan dengan perang sipil yang berlangsung di satu wilayah saja. Abadie dan Gardeazabal (2003) menemukan dampak negatif dari kelompok separatis bersenjata ETA (Euskadi Ta Askatasuna) pada pertumbuhan ekonomi di Basque. Sementara itu, Lopez dan Wodon (2005) melihat dampak pembunuhan massal (genosida) di Rwanda terhadap PDB per kapita dan menemukan bahwa periode genosida diikuti dengan turunnya PDB per kapita, tetapi tidak untuk jangka waktu panjang. Di Indonesia, intensitas konflik yang disertai kekerasan terlihat makin tinggi di beberapa provinsi setelah Orde Baru, walaupun setelah 2002 terjadi penurunan tren. Tadjoeddin dan Murshed (2007) mengelompokkan konflik yang disertai kekerasan yang terjadi di Indonesia menjadi dua: episodik dan rutin. Konflik episodik adalah konflik etnis dan separatis yang secara tipikal berasosiasi dengan jumlah kejadian yang rendah, tetapi dampak korban jiwanya besar, sedangkan konflik rutin memiliki karakteristik sebaliknya. Gambar 41 menunjukkan kondisi mutakhir konflik sosial yang terjadi di provinsi-provinsi di Indonesia. Beberapa provinsi yang mengalami insiden tinggi selama 2011 dan 2014 adalah Kep. Bangka Belitung, NTB, NTT, Sulawesi Utara, Sulawesi Tengah, Maluku, Maluku Utara, serta Papua dan Papua Barat.

Gambar 41. Insiden konflik per provinsi pada 2011 dan 2014 (persentase dari jumlah total konflik)

Sumber: Diolah dari Podes 2011 dan 2014.

0

2

4

6

8

10

12

14

16

Ace

h

Sum

atra

Uta

ra

Sum

atra

Bar

at

Ria

u

Jam

bi

Sum

atra

Sel

atan

Ben

gku

lu

Lam

pu

ng

Kep

. Ban

gka

Bel

itu

ng

Kep

. Ria

u

Jaw

a B

arat

Jaw

a Te

nga

h

DI Y

ogy

akar

ta

Jaw

a Ti

mu

r

Ban

ten

Bal

i

NTB

NTT

Kal

iman

tan

Bar

at

Kal

iman

tan

Ten

gah

Kal

iman

tan

Se

lata

n

Kal

iman

tan

Tim

ur

Sula

wes

i Uta

ra

Sula

wes

i Ten

gah

Sula

wes

i Sel

atan

Sula

wes

i Ten

ggar

a

Go

ron

talo

Sula

wes

i Bar

at

Mal

uku

Mal

uku

Uta

ra

Pap

ua

Bar

at

Pap

ua

2011 2014

Gambar SEQ Gambar \* ARABIC 40 Insiden konflik per Provinsi 2011 dan 2014 (Persentase dari total Konflik)

Page 67: di Perdesaan Indonesia, 2006 2016 · mewakili lembaga-lembaga yang mendanai kegiatan dan pelaporan The SMERU Research Institute. ... Desa yang ada di dalam/sekitar hutan menurut fungsi,

57 The SMERU Research Institute

Tabel 9 menunjukkan jenis-jenis konflik yang terjadi di wilayah Indonesia selama satu tahun dari pertengahan 2013 hingga 2014. Pola konflik yang sama terjadi baik di seluruh wilayah secara nasional, perkotaan, maupun perdesaan. Namun, ada sedikit perbedaan antara wilayah Jawa dan wilayah luar Jawa, yaitu bahwa wilayah luar Jawa memiliki insiden konflik antarkelompok masyarakat yang lebih tinggi daripada insiden konflik di wilayah Jawa. Hal ini berbeda dengan studi Barron, Kaiser, dan Pradhan (2009) yang melihat aspek konflik yang sama, tetapi menemukan bahwa wilayah Jawa mengalami insiden yang lebih tinggi daripada wilayah luar Jawa. Perbedaan ini terjadi karena data yang digunakan Barron, Kaiser, dan Pradhan (2009) adalah data Podes 2003, sedangkan studi ini menggunakan data mutakhir, yaitu data tahun 2014. Hal ini pula yang menggambarkan bahwa pola konflik di Indonesia sudah mulai berubah dari semula berbentuk konflik episodik (sebelum 2005) menjadi konflik rutin (setelah 2005 hingga sekarang) (Tadjoeddin et al., 2016).

Tabel 9. Jenis Konflik Berdasarkan Wilayah

Jenis Konflik Persentase Konflik

2014 Nasional Perkotaan Perdesaan Jawa Luar Jawa

Antarkelompok masyarakat 41,97 41,74 42,07 38,85 43,23

Antardesa/kelurahan 34,88 27,33 38,31 32,76 35,74

Kelompok masyarakat dengan aparat keamanan

3,18 2,22 3,61 1,38 3,91

Kelompok masyarakat dengan aparat pemerintah

2,75 1,38 3,37 1,26 3,35

Pelajar/mahasiswa 10,43 20,13 6,02 19,89 6,61

Antarsuku 1,76 1,69 1,78 0,46 2,28

Lainnya 5,03 5,51 4,82 5,40 4,89

Jumlah 3.019 944 2.075 870 2.149

Sumber: Diolah dari Podes 2014.

Terdapat hubungan dua arah antara kemiskinan dan konflik. Konflik dapat menyebabkan kemiskinan (Elbadawi dan Sambanis, 2002) karena konflik berpotensi mengurangi jumlah modal (modal fisik dan manusia) serta investasi pada masa depan. Berkurangnya kedua hal ini pada akhirnya akan berpeluang menyebabkan merosotnya kondisi sosial-ekonomi pada masa depan dan memperbesar peluang untuk jatuh ke dalam kemiskinan. Di sisi lain, kemiskinan juga berpotensi memperbesar peluang terjadinya konflik. Biaya untuk kesempatan yang hilang akibat konflik relatif kecil di negara yang miskin dan rendah tingkat pertumbuhannya (Elbadawi dan Sambanis, 2002). Sementara itu, pemimpin dari negara dengan tingkat perekonomian rendah cenderung menimbulkan konflik agar terpilih kembali untuk masa jabatan berikutnya (Hess dan Orphanides, 1995). Collier et al. (2003) dan Braithwaite et al. (2011) juga menyebutkan bahwa negara dengan tingkat perekonomian rendah berpeluang untuk terjebak dalam siklus kemiskinan dan konflik.

Page 68: di Perdesaan Indonesia, 2006 2016 · mewakili lembaga-lembaga yang mendanai kegiatan dan pelaporan The SMERU Research Institute. ... Desa yang ada di dalam/sekitar hutan menurut fungsi,

58 The SMERU Research Institute

Gambar 42. Desa yang mengalami konflik berdasarkan kelompok ketimpangan desa (%) Sumber: Diolah dari Podes 2011 dan Peta Kemiskinan 2015.

Berdasarkan data Podes 2011 dan Peta Kemiskinan 2015, terlihat bahwa desa-desa yang berada di kelompok ketimpangan tinggi cenderung mengalami konflik (Gambar 42). Hal ini menguatkan studi sebelumnya yang mencoba melihat konflik dan ketimpangan dari dua arah. Studi Tadjoeddin et al. (2016) mengonfirmasi bahwa ketimpangan yang terjadi di Indonesia memicu terjadinya konflik, sementara Elbadawi (1999) melihat bahwa konflik berpotensi memicu peningkatan kemiskinan, mengingat bahwa konflik mengurangi jumlah modal fisik dan manusia akibat kerugian yang ditimbulkannya.

VII. KESIMPULAN DAN STUDI LANJUTAN Studi ini menemukan bahwa perdesaan Indonesia sebenarnya makin sejahtera dalam satu dekade terakhir. Namun, peningkatan kesejahteraan itu tidak diiringi distribusi kesejahteraan yang merata. Ketimpangan yang ditunjukkan oleh perbedaan tingkat pertumbuhan pendapatan antarkelompok kesejahteraan dapat dijelaskan dengan, antara lain, penguasaan modal yang lebih didominasi kelompok terkaya sehingga merekalah yang lebih banyak menikmati keuntungan dari kemajuan ekonomi dan pembangunan perdesaan di Indonesia. Salah satu sumber pertumbuhan ekonomi perdesaan adalah adanya transformasi struktural yang ditandai dengan peningkatan proporsi masyarakat desa yang beralih dari sektor pertanian ke sektor nonpertanian. Meskipun demikian, peralihan sektor ini diduga hanya bisa diakses oleh masyarakat yang memiliki kapasitas modal penghidupan yang lengkap dan kuat sehingga keuntungannya pun terkonsentrasi pada masyarakat kelompok terkaya tersebut. Analisis tabulasi silang antara indikator modal penghidupan dan kelompok kesejahteraan (20% terkaya dan 20% termiskin) di perdesaan mengungkap ketimpangan dalam penguasaan di semua jenis modal penghidupan pada beberapa indikator. Disparitas gender sangat nyata hampir di semua indikator modal sosial, kecuali penggunaan hak politik. Di sisi lain, perempuan perdesaan mampu mengejar ketertinggalan dalam hal akses terhadap pendidikan, bahkan di antara kelompok paling miskin. Sementara itu, ketimpangan antarkawasan paling nyata terjadi dalam aspek ketersediaan infrastruktur fisik dasar dan infrastruktur pendukung perekonomian.

2,6

2,8

3,0

3,4

5,1

Desa dengan ketimpangan rendah

Ketimpangan rendah kedua

Moderat

Ketimpangan tinggi kedua

Desa dengan ketimpangan tinggi

Page 69: di Perdesaan Indonesia, 2006 2016 · mewakili lembaga-lembaga yang mendanai kegiatan dan pelaporan The SMERU Research Institute. ... Desa yang ada di dalam/sekitar hutan menurut fungsi,

59 The SMERU Research Institute

Dalam satu dekade periode studi ini (2006–2016), beberapa kemajuan sudah dicapai oleh perdesaan. Dalam hal kapasitas SDM, terjadi perbaikan akses pendidikan di perdesaan, bahkan dengan percepatan yang jauh lebih tinggi daripada perkotaan. Disparitas akses antarkelompok kesejahteraan makin mengecil dalam hal layanan dasar kehamilan dan persalinan. Begitu pun dalam layanan imunisasi dasar, tidak ditemukan adanya perbedaan antara desa dan kota. Sementara itu, penyediaan infrastruktur dasar dan akses rumah tangga terhadap listrik di perdesaan terus mengalami peningkatan dan makin mendekati kondisi rumah tangga perkotaan. Di sisi lain, masih terdapat banyak tantangan yang harus diatasi oleh desa-desa di wilayah perdesaan, terutama hal-hal yang berkaitan dengan SDA. Ketimpangan tajam terjadi dalam penguasaan lahan. Separuh dari seluruh lahan di perdesaan Indonesia dikuasai oleh segelintir rumah tangga pertanian; sebagian besar rumah tangga pertanian hanya mengelola rata-rata kurang dari setengah hektare lahan pertanian. Ketimpangan penguasaan lahan ini bahkan lebih buruk daripada ketimpangan pendapatan sebagaimana tecermin pada indeks Gini lahan yang bernilai 0,63 pada 2013, sementara indeks Gini konsumsi bernilai 0,3. Selain itu, mengingat bahwa akses dan corak penghidupan berkaitan erat dengan tipologi geografis suatu wilayah, kedua hal tersebut turut berkontribusi dalam menghasilkan disparitas kesejahteraan antardesa. Sekalipun sudah terjadi perbaikan capaian pendidikan di perdesaan dalam satu dekade terakhir, ketimpangan akses pendidikan masih terjadi antarkelompok kesejahteraan; masyarakat desa pada kelompok kesejahteraan atas lebih banyak menikmati kesempatan untuk menempuh pendidikan tinggi. Oleh karena itu, hingga tahun 2016 mayoritas masyarakat termiskin desa masih tidak memiliki ijazah atau hanya memiliki ijazah SD, sedangkan yang berhasil menyelesaikan pendidikan 12 tahun tidak lebih dari 13%. Dalam hal capaian gizi, ketimpangan tidak hanya nyata antarkelompok kesejahteraan, tetapi juga antara perdesaan dan perkotaan serta antardaerah. Di antara tantangan dalam penyediaan infrastruktur fisik adalah masih ditemukannya ketidakmerataan dalam sebaran lembaga keuangan ataupun pasar dan pertokoan. Kebanyakan bank komersial masih berlokasi di wilayah perdesaan dengan tingkat kesejahteraan tinggi. Sekalipun proporsi desa yang memiliki koperasi masih lebih tinggi daripada desa yang memiliki bank komersial, keberadaan koperasi sebagai lembaga keuangan mikro di wilayah perdesaan termiskin masih terbatas; begitu pun ketersediaan pasar dan pertokoan yang sebagian besar masih berada di wilayah perkotaan atau perdesaan maju. Selain itu, di tengah lonjakan jumlah rumah tangga pengguna listrik, ketimpangan dalam hal akses terhadap listrik masih terjadi, baik antarkawasan atau antarkelompok kesejahteraan di dalam perdesaan itu sendiri. Tantangan tidak kalah berat juga bersumber dari penguasaan modal sosial dalam masyarakat perdesaan. Ada kemungkinan bahwa dikotomi tradisional dalam peran gender menghalangi peran aktif perempuan dalam kegiatan kemasyarakatan. Selain itu, ancaman terhadap kohesi sosial muncul dari sikap primordialisme masyarakat, dengan kesamaan agama dan etnis yang masih menjadi kriteria utama dalam memilih pemimpin/wakil rakyat dan juga dalam bersosialisasi dengan sesama warga masyarakat. Sikap primordialisme ini akan sangat berbahaya di tengah keberagaman identitas masyarakat. Dalam hal ini, ditemukan adanya hubungan U-terbalik antara keberagaman agama dan ketimpangan ekonomi. Artinya, makin beragam agama yang dianut masyarakat di suatu wilayah, makin timpang pula pendapatannya–hingga pada satu titik tertentu, keberagaman agama tersebut justru berasosiasi dengan tingkat ketimpangan ekonomi yang lebih rendah. Pada akhirnya, hal yang harus diwaspadai adalah konflik sosial. Pada periode pelaksanaan studi ini, ditemukan bahwa prevalensi konflik antarkelompok masyarakat di perdesaan sedikit lebih tinggi daripada prevalensi di perkotaan, lebih-lebih di luar Jawa. Selain itu, tampak bahwa ada asosiasi positif antara ketimpangan ekonomi dan konflik sosial yang bisa jadi merupakan hubungan dua arah sebagaimana dikonfirmasi oleh studi sebelumnya.

Page 70: di Perdesaan Indonesia, 2006 2016 · mewakili lembaga-lembaga yang mendanai kegiatan dan pelaporan The SMERU Research Institute. ... Desa yang ada di dalam/sekitar hutan menurut fungsi,

60 The SMERU Research Institute

Sebagai penutup, pembangunan perdesaan yang inklusif mutlak diperlukan untuk memastikan bahwa masyarakat miskin dan rentan turut menikmati peluang perbaikan penghidupan dan turut merayakan peningkatan pertumbuhan perdesaan. Studi ini menemukan faktor-faktor yang mungkin menghalangi masyarakat kelompok termiskin untuk melakukan mobilitas sosial ke tingkat kesejahteraan yang lebih tinggi sehingga menghambat proses pengurangan ketimpangan perdesaan. Temuan ini selanjutnya akan disempurnakan oleh kertas kerja kedua yang akan menguji kekuatan kontribusi masing-masing faktor tersebut dan membandingkan besarannya dalam menjelaskan perubahan ketimpangan perdesaan. Berdasarkan temuan pada kertas kerja kedua tersebut, diharapkan bahwa implikasi kebijakan yang lebih konkret dapat diformulasikan.

Page 71: di Perdesaan Indonesia, 2006 2016 · mewakili lembaga-lembaga yang mendanai kegiatan dan pelaporan The SMERU Research Institute. ... Desa yang ada di dalam/sekitar hutan menurut fungsi,

61 The SMERU Research Institute

DAFTAR ACUAN Abadie, Alberto dan Javier Gardeazabal (2003) ‘The Economic Costs of Conflict: A Case Study of the

Basque Country.’ American Economic Review 93 (1): 113–132. ADB (2016) ‘Indonesia: Country Water Assessment.’ Laporan. Mandaluyong City, Philippines: Asian

Development Bank. Adams Jr., Richard H. (2002) ‘Nonfarm Income, Inequality, and Land in Rural Egypt.’ Economic

Development and Cultural Change 50 (2): 339–363. Adams Jr., Richard H. dan John Page (2005) ‘Do International Migration and Remittances Reduce

Poverty in Developing Countries?’ World Development 33 (10): 1645–1669. Ahlerup, Pelle, Ola Olsson, dan David Yanagizawa (2009) ‘Social Capital vs Institutions in the Growth

Process.’ European Journal of Political Economy 25 (1): 1–14. Akita, Takahiro (2017) ‘Educational Expansion and the Role of Education in Expenditure Inequality

in Indonesia Since the 1997 Financial Crisis.’ Social Indicators Research 130 (3): 1165–1186. Akita, Takahiro, Rizal Affandi Lukman, dan Yukino Yamada (1999) ‘Inequality in the Distribution of

Household Expenditures in Indonesia: A Theil Decomposition Analysis.’ The Developing Economies 37 (2): 197–221.

Alesina, Alberto dan Eliana La Ferrara (2005) ‘Ethnic Diversity and Economic Performance.’ Journal

of Economic Literature 43 (3): 762–800. Alevizou, Giota, Katerina Alexiou, dan Theo Zamenopoulos (2016) ‘Making Sense of Assets:

Community Assets Mapping and Related Approaches.’ Kertas kerja. London: The Open University and The AHRC.

Anderson, Kym (1987) ‘On Why Agriculture Declines with Economic Growth.’ Agricultural

Economics 1 (3): 195–207. Annabi, Nabil, Simon Harvey, dan Yu Lan (2011) ‘Public Expenditures on Education, Human Capital,

and Growth in Canada: An OLG Model Analysis.’ Journal of Policy Modeling 33 (6): 852–865. Aspinall, Edward, Sebastian Dettman, dan Eve Warburton (2011) ‘When Religion Trumps Ethnicity:

A Regional Election Case Study from Indonesia.’ South East Asia Research 19 (1): 27–58. Bajar, Sumedha dan Meenakshi Rajeev (2016) ‘The Impact of Infrastructure Provisioning on

Inequality in India: Does the Level of Development Matter?’ Journal of Comparative Asian Development 15 (1): 122–155.

Baldacci, Emanuele, Benedict Clements, Sanjeev Gupta, dan Qiang Cui (2008) ‘Social Spending,

Human Capital, and Growth in Developing Countries.’ World Development 36 (8): 1317–1341.

Balitbangkes Kemenkes (2013) ‘Hasil RISKESDAS 2013.’ Laporan. Jakarta: Badan Penelitian dan

Pengembangan Kesehatan, Kementerian Kesehatan Republik Indonesia.

Page 72: di Perdesaan Indonesia, 2006 2016 · mewakili lembaga-lembaga yang mendanai kegiatan dan pelaporan The SMERU Research Institute. ... Desa yang ada di dalam/sekitar hutan menurut fungsi,

62 The SMERU Research Institute

Barrett, Christopher B., Luc Christiaensen, Megan Sheahan, dan Abebe Shimeles (2017) ‘On the

Structural Transformation of Rural Africa.’ Journal of African Economies 26 (suppl_1): i11–i35.

Barron, Patrick, Kai Kaiser, dan Menno Pradhan (2009) ‘Understanding Variations in Local Conflict:

Evidence and Implications from Indonesia.’ World Development 37 (3): 698–713. Baumann, Pari (2002) ’Improving Access to Natural Resources for the Rural Poor: A Critical Analysis

of Central Concepts and Emerging Trends from A Sustainable Livelihoods Perspective.’ LSP Working Paper No. 1. Rome: Food and Agricultural Organization [dalam jaringan] <http://www.fao.org/3/a-ad683e.pdf> [8 Juni 2018].

Bergh, Andreas dan Günther Fink (2009) ‘Higher Education, Elite Institutions, and Inequality.’

European Economic Review 53 (3): 376–384. Bibler, Sarah, Vasu Mohan, dan Katie Ryan (2014) Keseteraan Gender dan Penyelenggaraan Pemilu:

Panduan Praktek Terbaik. Washington, DC: International Foundation for Electoral Systems. Bjørnskov, Christian dan Pierre-Guillaume Méon (2015) ‘The Productivity of Trust.’ World

Development 70: 317–331. Blair, Graeme, C. Christine Fair, Neil Malhotra, dan Jacob N. Shapiro (2013) ‘Poverty and Support

for Militant Politics: Evidence from Pakistan.’ American Journal of Political Science 57 (1): 30–48.

Blattman, Christopher dan Edward Miguel (2010) ‘Civil War.’ Journal of Economic Literature 48 (1):

3–57. Bloom, David E. dan Tarun Khanna (2007) ‘Urban Revolution: Rapid urbanization may prove a

blessing, provided the world takes notice and plans accordingly.’ Finance and Development September: 9–14.

Bosworth, Gary (2014) ‘Social Capital and Rural Development in the Knowledge Society.’ Social

Policy and Administration 48 (7): 928–929. BPS (2017a) [dalam jaringan] <https://www.bps.go.id/statictable/2009/07/02/1489/jumlah-dan-

persentase-penduduk-miskin-garis-kemiskinan-indeks-kedalaman-kemiskinan-p1-dan-indeks-keparahan-kemiskinan-p2-menurut-provinsi-2007-2009-maret-2010-2011-2012-maret-dan-september-.html> [8 Juni 2018].

———. (2017b) Gini Ratio Provinsi 2002–2017 [dalam jaringan] <https://www.bps.go.id/

dynamictable/2017/04/26/1116/gini-ratio-provinsi-2002-2017.html> [8 Juni 2018]. ———. (2017c) Penghitungan dan Analisis Kemiskinan Makro Indonesia 2017. Jakarta: BPS. ———. (2016) Indonesia - Survei Sosial-Ekonomi Nasional 2016 Maret (KOR). Jakarta: BPS. ———. (2013) Indonesia - Sensus Pertanian 2013. Jakarta: BPS. ———. (2011) Indonesia - Pendataan Potensi Desa 2011. Jakarta: BPS.

Page 73: di Perdesaan Indonesia, 2006 2016 · mewakili lembaga-lembaga yang mendanai kegiatan dan pelaporan The SMERU Research Institute. ... Desa yang ada di dalam/sekitar hutan menurut fungsi,

63 The SMERU Research Institute

———. (2010) Indonesia - Sensus Penduduk 2010. Jakarta: BPS. Braithwaite, John, Valerie Braithwaite, Michael Cookson, dan Leah Dunn (2010) Anomie and

Violence: Non-truth and Reconciliation in Indonesian Peacebuilding. Canberra: ANU E Press – The Australian National University [dalam jaringan] <https://press-files.anu.edu.au/ downloads/press/p19121/pdf/book.pdf> [8 Juni 2018].

Calderón, César dan Luis Servén (2004) ‘The Effects of Infrastructure Development on Growth and

Income Distribution.’ Policy Research Working Paper No. WPS 3400. Washington, DC: World Bank.

Carletto, Gero, Katia Covarrubias, Benjamin Davis, Marika Krausova, Kostas Stamoulis, Paul Winters,

dan Alberto Zezza (2007) ‘Rural Income Generating Activities in Developing Countries: Re-assessing the Evidence.’ Journal of Agricultural and Development Economics 4 (1): 146–193.

Castelló, Amparo dan Rafael Doménech (2002) ‘Human Capital Inequality and Economic Growth:

Some New Evidence.’ The Economic Journal 112 (478): 187–200. Cavendish, Will (2003) ‘How Do Forests Support, Insure, and Improve the Livelihoods of the Rural

Poor: A Research Note.’ Bogor: Central for International Forestry Research [dalam jaringan] <http://citeseerx.ist.psu.edu/viewdoc/download;jsessionid=A481DC1C4D6C9FEDF6122BDEA6E779FD?doi=10.1.1.205.9472&rep=rep1&type=pdf> [8 Juni 2018].

Chadwick, Kathryn A. dan Patricia A. Collins (2015) ‘Examining the Relationship between Social

Support Availability, Urban Center Size, and Self-perceived Mental Health of Recent Immigrants to Canada: A Mixed-Methods Analysis.’ Social Science & Medicine 128: 220–230.

Charlery, Lindy C., Matin Qaim, dan Carsten Smith-Hall (2016) ‘Impact of Infrastructure on Rural

Household Income and Inequality in Nepal.’ Journal of Development Effectiveness 8 (2): 266–286.

Chirițescu, Vergina, Mariana Bălan, dan Ciprian Silviu Bucur (2015) ‘The Quality of Human Resources

– A Determinant of Sustainable Rural Development in Romania.’ Romanian Journal of Economics 40 (49): 267–280.

Chongvilaivan, Aekapol dan Jungsuk Kim (2016) ‘Individual Income Inequality and Its Drivers in

Indonesia: A Theil Decomposition Reassessment.’ Social Indicators Research 126 (1): 79–98.

Cleaver, Frances (2005) ‘The Inequality of Social Capital and the Reproduction of Chronic Poverty.’

World Development 33 (6): 893–906. Collier, Paul (1999) ‘On the Economic Consequences of Civil War.’ Oxford Economic Papers 51 (1):

168–183. Collier, Paul, Lani Elliot, Havard Hegre, Anke Hoeffler, Marta Reynal-Querol, dan Nicholas Sambanis

(2003) ‘Breaking the Conflict Trap: Civil War and Development Policy.’ Laporan penelitian. Washington, DC: World Bank dan Oxford University Press.

Cook, Paul (2011) ‘Infrastructure, Rural Electrification, and Development’. Energy for Sustainable

Development 15 (3): 304–313.

Page 74: di Perdesaan Indonesia, 2006 2016 · mewakili lembaga-lembaga yang mendanai kegiatan dan pelaporan The SMERU Research Institute. ... Desa yang ada di dalam/sekitar hutan menurut fungsi,

64 The SMERU Research Institute

Cotula, Lorenzo (ed.) (2006) ‘Land and Water Rights in the Sahel: Tenure Challenges of Improving

Access to Water for Agriculture.’ Issue Paper No. 139. London: International Institute for Environment and Development.

Cowell, Frank A. (2007) ‘Income Distribution and Inequality.’ Kertas kerja. London: Suntory and

Totoya International Centres for Economics and Related Disciplines – London School of Economics.

Cui, Wei (2017) ‘Social Trust, Institution, and Economic Growth: Evidence from China.’ Emerging

Markets Finance and Trade 53 (6): 1243–1261. Dabla-Norris, Era, Kalpana Kochhar, Nujin Suphaphiphat, Frantisek Ricka, dan Evridiki Tsounta

(2015) ‘Causes and Consequences of Income Inequality: A Global Perspective.’ IMF Staff Discussion Note No. SDN/15/13. International Monetary Fund [dalam jaringan] <http://dx.doi.org/10.5089/9781513555188.006>.

Datt, Gaurav dan Martin Ravallion (2002) ‘Is India’s Economic Growth Leaving the Poor Behind?’

Journal of Economic Perspectives 16 (3): 89–108. Dearmon, Jacob dan Kevin Grier (2009) ‘Trust and Development.’ Journal of Economic Behavior &

Organization 71 (2): 210–220. de Haan, Arjan dan Sukhadeo Thorat (2013) ‘Inclusive Growth: More than Safety Nets.’ SIG Working

Paper No. 2013/1. Ottawa: International Development Research Centre. de Janvry, Alain dan Elisabeth Sadoulet (1993) ‘Rural Development in Latin America: Relinking

Poverty Reduction to Growth.’ Dalam Including the Poor. Prosiding dari simposium yang diselenggarakan oleh Bank Dunia dan International Food Policy Research Institute. Michael Lipton dan Jacques van der Gaag (eds.) Washington, DC: World Bank: 249–277.

de Janvry, Alain, Elisabeth Sadoulet, dan Nong Zhu (2005) ‘The Role of Non-Farm Incomes in

Reducing Rural Poverty and Inequality in China.’ CUDARE Working Papers. Berkeley University of California [dalam jaringan] <https://escholarship.org/uc/item/7ts2z766> [8 Juni 2018].

Démurger, Sylvie dan Xiaoqian Wang (2016) ‘Remittances and Expenditure Patterns of the Left

Behinds in Rural China.’ China Economic Review 37: 177–190. Dey, I dan R N Chaudhuri (2008) ‘Gender Inequality in Nutritional Status among Under Five Children

in a Village in Hooghly District, West Bengal.’ Indian Journal of Public Health 52 (4): 218–220.

DFID (2001) Sustainable Livelihoods Guidance Sheets. London: Department for International

Development [dalam jaringan] <http://www.livelihoodscentre.org/documents/20720/ 100145/Sustainable+livelihoods+guidance+sheets/8f35b59f-8207-43fc-8b99-df75d3000e86> [8 Juni 2018].

Dincer, Oguzhan C. dan Michael J. Hotard (2011) ‘Ethnic and Religious Diversity and Income

Inequality.’ Eastern Economic Journal 37 (3): 417–430.

Page 75: di Perdesaan Indonesia, 2006 2016 · mewakili lembaga-lembaga yang mendanai kegiatan dan pelaporan The SMERU Research Institute. ... Desa yang ada di dalam/sekitar hutan menurut fungsi,

65 The SMERU Research Institute

Djankov, Simeon, Pedro Miranda, Enrique Seira, dan Siddharth Sharma (2008) ‘Who Are the Unbanked?’ World Bank Policy Research Working Paper No. WPS 4647. Washington, DC: World Bank [dalam jaringan] <https://papers.ssrn.com/sol3/papers.cfm?abstract_id =1147873> [8 Juni 2018].

Dominguez, Silvia dan Celeste Watkins (2003) ‘Creating Networks for Survival and Mobility: Social

Capital among African-American and Latin-American Low-Income Mothers.’ Social Problems 50 (1): 111–135.

Easterly, William, Josef Ritzen, dan Michael Woolcock (2006) ‘Social Cohesion, Institutions, and

Growth.’ Economics and Politics 18 (2): 103–120. Eastwood, Robert dan Michael Lipton (2000) ‘Rural-Urban Dimensions of Inequality Change.’

Working Papers No. 200. Helsinki: UNU World Institute for Development Economics Research [dalam jaringan] <https://www.wider.unu.edu/sites/default/files/wp200.pdf> [8 Juni 2018].

Elbadawi, Ibrahim A. (1999) ‘Civil Wars and Poverty: the Role of External Interventions, Political

Rights, and Economic Growth.’ Makalah dipresentasikan pada konferensi peluncuran Development Economic Research Group (DECRG) World Bank bertajuk “Civil Conflicts, Crime, and Violence”, World Bank, Washington, DC, 22–23 Februari, tidak dipublikasikan.

Elbadawi, Ibrahim A. dan Nicholas Sambanis (2002) ‘How Much War Will We See? Explaining the

Prevalence of Civil War.’ The Journal of Conflict Resolution 46 (3): 307–334. Elbers, Chris, Jean O. Lanjouw, dan Peter Lanjouw (2003) ‘Micro-Level Estimation of Poverty and

Inequality.’ Econometrica 71 (1): 355–364. Evans, Alison dan Divya Nambiar (2013) ‘Collective Action and Women's Agency: A Background

Paper.’ Women’s Voice, Agency & Participation Research Series 2013 No. 4. Washington, DC: World Bank [dalam jaringan] <https://www.worldbank.org/content/dam/Worldbank /document/Gender/Evans%20and%20Nambiar%202013.%20Collective%20action%20and%20women%27s%20agency.%20Dec%2017.pdf> [8 Juni 2018].

Fair, C. Christine dan Bryan Shepherd (2006) ‘Who Supports Terrorism? Evidence from Fourteen

Muslim Countries.’ Studies in Conflict & Terrorism 29 (1): 51–74. Fantom, Neil James dan Umar Serajuddin (2016) ‘The World Bank’s Classification of Countries by

Income.’ Policy Research Working Paper No. WPS 7528. Washington, DC: World Bank Group [dalam jaringan] <http://documents.worldbank.org/curated/en/408581467988942234/ The-World-Banks-classification-of-countries-by-income> [8 Juni 2018].

FAO (2011) ‘The State of the World’s Land and Water Resources for Food and Agriculture: Managing

Systems at Risk.’ Laporan. Rome: Food and Agriculture Organization of the United Nations [dalam jaringan] <http://www.fao.org/3/i1688e/i1688e00.pdf> [8 Juni 2018].

———. (1995) Retail Markets Planning Guide. FAO Agricultural Services Bulletin 121. Food and

Agricultural Organization of the United Nations. Fisher, Monica (2004) ‘Household Welfare and Forest Dependence in Southern Malawi.’

Environment and Development Economics 9 (2): 135–154.

Page 76: di Perdesaan Indonesia, 2006 2016 · mewakili lembaga-lembaga yang mendanai kegiatan dan pelaporan The SMERU Research Institute. ... Desa yang ada di dalam/sekitar hutan menurut fungsi,

66 The SMERU Research Institute

Garasky, Steven, Lois Wright Morton, dan Kimberly A. Greder (2006) ‘The Effects of the Local Food Environment and Social Support on Rural Food Insecurity.’ Journal of Hunger and Environmental Nutrition 1 (1): 83–103.

Garthwaite, Kayleigh dan Clare Bambra (2017) ‘How the Other Half Live: Lay Perspectives on Health

Inequalities in an Age of Austerity.’ Social Science & Medicine 187: 268–275. Ginting, Edimon dan Priasto Aji (2015) ‘Summary of Indonesia’s Economic Analysis.’ ADB Papers on

Indonesia No. 02. Mandaluyong City, Metro Manila: Asian Development Bank. Green, Andy, John Preston, dan Ricardo Sabates (2003) ’Education, Equality and Social Cohesion: A

Distributional Approach.’ Compare 33 (4): 453–470. Harpham, Trudy (2008) ‘The Measurement of Community Social Capital through Surveys.’ Social

Capital and Health: 51–62. Haughton, Jonathan dan Shahidur R. Khandker (2009) Handbook on Poverty and Inequality.

Washington, DC: World Bank. Healy, Karen, Michele Haynes, dan Anne Hampshire (2007) ‘Gender, Social Capital, and Location:

Understanding the Interactions.’ International Journal of Social Welfare 16 (2): 110–118. Heriyaldi, Heriyaldi dan Arief Yusuf (2013) ‘Does Micro Finance Institution Improve Welfare? A

Double Difference Analysis of Indonesian Community-level Data.’ Working Papers in Economics and Development Studies (WoPEDS) No. 201307. Bandung: Department of Economics, Padjadjaran University.

Heshmati, Almas (2004) ‘Inequalities and Their Measurement.’ IZA Discussion Paper No. 1219.

Bonn: The Institute for the Study of Labor (IZA) [dalam jaringan] <https://papers.ssrn.com/ sol3/papers.cfm?abstract_id=571662> [8 Juni 2018].

Hess, Gregory D. dan Athanasios Orphanides (1995) ‘War Politics: An Economic, Rational-Voter

Framework.’ The American Economic Review 85 (4): 828–846. Hoddinott, John F. F., John A. Maluccio, Jere R. Berhrman, Rafael Flores, dan Reynaldo Martorell

(2008) ‘Effect of a Nutrition Intervention during Early Childhood on Economic Productivity in Guatemalan Adults.’ The Lancet 371 (9610): 411–416.

Hoover, Edgar M. (1948) The Location of Economic Activity. New York – Toronto – London: McGraw-

Hill Book Company, Inc. Horowitz, Donald L. (1985) Ethnic Groups in Conflict. Berkeley: University of California Press. Hugo, Graeme J. (2014) ‘World Migration Report 2015: Urban Migration Trends, Challenges,

Responses, and Policy in the Asia-Pacific.’ Background paper. International Organization for Migration [dalam jaringan] <https://www.iom.int/sites/default/files/WMR-2015-Background-Paper-GHugo.pdf> [8 Juni 2018].

———. (1982) ‘Circular Migration in Indonesia.’ Population and Development Review 8 (1): 59–83.

Page 77: di Perdesaan Indonesia, 2006 2016 · mewakili lembaga-lembaga yang mendanai kegiatan dan pelaporan The SMERU Research Institute. ... Desa yang ada di dalam/sekitar hutan menurut fungsi,

67 The SMERU Research Institute

Imai, Kosuke dan Jeremy Weinstein (2000) ‘Measuring the economic impact of civil war.’ CID Working Paper N0. 51. Center for International Development – Harvard University [dalam jaringan] <http://www.cid.harvard.edu/cidwp/051.pdf> [8 Juni 2018].

Infodatin (2014) ’Situasi Kesehatan Ibu.’ Jakarta: Pusat Data dan Informasi Kementerian Kesehatan

RI [dalam jaringan] <http://www.depkes.go.id/resources/download/pusdatin/infodatin/ infodatin-ibu.pdf> [8 Juni 2018].

Ingham, Barbara, Andrejs Chirijevskis, dan Fiona Carmichael (2009) ‘Implications of An Increasing

Old-age Dependency Ratio: The UK and Latvian Experiences Compared.’ Pensions: An International Journal 14 (4): 221–230.

Interlenghi, Gabriela dos Santos dan Rosana Salles-Costa (2015) ‘Inverse Association between Social

Support and Household Food Insecurity in a Metropolitan Area of Rio de Janeiro, Brazil.’ Public Health Nutrition 18 (16): 2925–2933.

Ioakimidis, Marilou dan Hans Heijke (2016) ‘Income Inequality and Social Capital, Are They

Negatively Related? European Cross-Country Analyses 2006–2012.’ The Journal of Developing Areas 50 (1): 215–235.

Isnayni, Efi (2017) ’Relationship Mothers’ Knowledge, Family’s Income, Family Role and Basic

Immunization Status.’ Jurnal Berkala Epidemiologi 4 (3): 360–370. Ives, Jack D. (2001) ‘Highland-Lowland Interactive Systems.’ Draf dokumen untuk FAO-FORC/IYM

2002. Ottawa: Food and Agriculture Organization of the United Nations [dalam jaringan] <http://www.fao.org/forestry/12408-0c3cc6fd0b741cebf40769c2130c27f99.pdf> [8 Juni 2018].

Joedadibrata, Dinnia (2012) A Study of the Shift towards Universal Social Policy in Indonesia. Tesis

magister, Institute of Social Studies [dalam jaringan] <http://hdl.handle.net/2105/13046> [8 Juni 2018].

Jonkers, Peter (2017) ‘Religion as a Source of Evil.’ International Journal of Philosophy and Theology

78 (4–5): 419–431. Kato, Hisanori (2017) ‘The Challenge to Religious Tolerance: Fundamentalists' Resistance to a Non-

Muslim Leader in Indonesia.’ Comparative Civilizations Review 77 (77): 77–89. Kawachi, Ichiro, Bruce P. Kennedy, Kimberly Lochner, dan Deborah Prothrow-Stith (1997) ‘Social

Capital, Income Inequality, and Mortality. American Journal of Public Health 87 (9): 1491–1498.

Kawachi, Ichiro, S.V. Subramanian, dan Daniel Kim (2008) ‘Social Capital and Health: A Decade of

Progress and Beyond’ dalam Social Capital and Health. Ichiro Kawachi, S.V. Subramanian, dan Daniel Kim (eds.) New York: Springer: 1–26.

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia (2013) Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2013. Jakarta:

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia.

Page 78: di Perdesaan Indonesia, 2006 2016 · mewakili lembaga-lembaga yang mendanai kegiatan dan pelaporan The SMERU Research Institute. ... Desa yang ada di dalam/sekitar hutan menurut fungsi,

68 The SMERU Research Institute

Khandker, Shahidur R., Zaid Bakht, Gayatri B. Koolwal (2006) ‘The Poverty Impact of Rural Roads: Evidence from Bangladesh.’ World Bank Policy Research Working Paper No. WPS 3875. Washington, DC: World Bank [dalam jaringan] <http://documents. worldbank.org/curated/ en/568171468003911910/The-poverty-impact-of-rural-roads-evidence-from-Bangladesh> [8 Juni 2018].

Kim, Jae-Min, Robert Stewart, Il-Seon Shin, Jin-Sang Yoon, dan Hyung-Yung Lee (2004) ‘Lifetime

Urban/Rural Residence, Social Support, and Late-Life Depression in Korea.’ International Journal of Geriatric Psychiatry 19 (9): 843–851.

King, Christian (2017) ‘Informal Assistance to Urban Families and the Risk of Household Food

Insecurity.’ Social Science & Medicine 189: 105–113. Knack, Stephen dan Philip Keefer (1997) ‘Does Social Capital Have an Economic Payoff? A Cross-

Country Investigation.’ The Quarterly Journal of Economics 112 (4): 1251–1288. Kozel, Valerie dan Barbara Parker (2000) ‘Integrated Approaches to Poverty Assessment in India’

dalam Directions in Development – Integrating Quantitative and Qualitative Research in Development Projects. Michael Bamberger (ed.) Washington, DC: World Bank.

Krantz, Lasse (2001) ‘The Sustainable Livelihood Approach to Poverty Reduction.’ Makalah.

Stockholm: Swedish International Development Cooperation Agency [dalam jaringan] <https://www.sida.se/contentassets/bd474c210163447c9a7963d77c64148a/the-sustainable-livelihood-approach-to-poverty-reduction_2656.pdf> [8 Juni 2018].

LANDac (2016) ‘Food Security and Land Governance Factsheet: Indonesia.’ Lembaran fakta.

Utrecht: Land Governance for Equitable and Sustainable Development <http://www.land governance.org/assets/20160627-Factsheet-Indonesia.pdf> [8 Juni 2018].

Leigh, Andrew, Christopher Jencks, dan Timothy M. Smeeding (2009) ’Health and Economic

Inequalities.’ Dalam The Oxford Handbook of Economic Inequality. Wiemer Salverda, Brian Nolan, dan Timothy M. Smeeding (eds.) Oxford: Oxford University Press:

Lilius, Johanna (2016) ‘Domesticfication of Urban Space? Mothering and Fathering while on Family

Leave in the Inner City of Helsinki.’ Gender, Place & Culture 23 (12): 1763–1773. Lipton, Michael (1980) ‘Migration from Rural Areas of Poor Countries: The Impact on Rural

Productivity and Income Distribution.’ World Development 8 (1): 1–24. Lopez, Humberto dan Quentin Wodon (2005) ‘The Economic Impact of Armed Conflict in Rwanda.’

Journal of African Economies 14 (4): 586–602. Machin, Stephen (2009) ’Inequality and Education.’ Dalam The Oxford Handbook of Economic

Inequality. Wiemer Salverda, Brian Nolan, dan Timothy M. Smeeding (eds.) Oxford: Oxford University Press:

Page 79: di Perdesaan Indonesia, 2006 2016 · mewakili lembaga-lembaga yang mendanai kegiatan dan pelaporan The SMERU Research Institute. ... Desa yang ada di dalam/sekitar hutan menurut fungsi,

69 The SMERU Research Institute

Maldonado, Jorge H. dan Claudio González-Vega (2004) ‘Linking Poverty, Natural Resources, and Financial Markets: a Model of Land Use by Rural Households in El Salvador.’ Makalah yang disiapkan untuk presentasi pada acara Annual Meeting of the American Agricultural Economics Association, Denver, Colorado, 31 Juli–3 Agustus 2004. Columbus: Dept. of Agricultural, Environmental, and Developmental Economics – Ohio State University [dalam jaringan] <https://tind-customer-agecon.s3.amazonaws.com/88c594ab-977e-4d46-bfba-68059d528d35?response-content-disposition=inline%3B%20filename%2A%3DUTF-8%27%27sp04ma12.pdf&response-content-type=application%2Fpdf&AWSAccessKeyId= AKIAXL7W7Q3XHXDVDQYS&Expires=1563964292&Signature=27N4VLOtqQGe4Bi6x9XuXNzgicQ%3D> [8 Juni 2018].

Martin, Will dan Peter G. Warr (1990) ‘The Declining Economic Importance of Agriculture.’ Makalah

yang mendapat invitasi untuk dipresentasikan dalam acara 34th Annual Conference of the Australian Agricultural Economics Society, Brisbane, 12–15 Februari 1990. Canberra: Australian National University [dalam jaringan] <https://tind-customer-agecon.s3. amazonaws.com/95dc0c3c-cb78-4278-9d70-f43817b9d4f8?response-content-disposition =inline%3B%20filename%2A%3DUTF-8%27%271990-07-08-11.pdf&response-content-type=application%2Fpdf&AWSAccessKeyId=AKIAXL7W7Q3XHXDVDQYS&Expires=1563969129&Signature=pzGHvtdSF67MYUe5eYRvctOGXrc%3D> [8 Juni 2018].

Martorell, Reynaldo, Paul Melgar, John A. Maluccio, Aryeh D. Stein, dan Juan A. Rivera (2009) ’The

Nutrition Intervention Improved Adult Human Capital and Economic Productivity.’ The Journal of Nutrition 140 (2): 411–414.

McCulloch, Neil, Julian Weisbrod, dan C. Peter Timmer (2007) ‘Pathways Out of Poverty during an

Economic Crisis: An Empirical Assessment of Rural Indonesia.’ Policy Research Working Paper No. WPS 4173. Washington, DC: World Bank [dalam jaringan] <http://documents. worldbank.org/curated/en/209431468051556022/Pathways-out-of-poverty-during-an-economic-crisis-an-empirical-assessment-of-rural-Indonesia> [8 Juni 2018].

McKay, Andrew (2002) ‘Defining and Measuring Inequality.’ Briefing Paper No. 1. London: UK

Department for International Development (DFID) dan Economists’ Resource Centre (ERC) [dalam jaringan] <https://www.odi.org/sites/odi.org.uk/files/odi-assets/publications-opinion-files/3804.pdf> [8 Juni 2018].

Meng, Xin, Chris Manning, Li Shi, dan Tadjuddin Noer Effendi (eds.) (2010) The Great Migration:

Rural-Urban Migration in China and Indonesia. Cheltenham: Edward Elgar. Milligan, Scott (2012) ‘Economic Inequality, Poverty, and Tolerance: Evidence from 22 Countries.’

Comparative Sociology 11 (4): 594–619. Miyazaki, Suguru dan Yasuharu Shimamura (2014) ‘Risk, Infrastructure, and Rural Market

Integration: Implications of Infrastructure Provision for Food Markets and Household Consumption in Rural Indonesia.’ JICA-RI Working Paper No. 81. Tokyo: JICA Research Institute [dalam jaringan] <http://hdl.handle.net/10685/143> [8 Juni 2018].

Möllers, Judith dan Wiebke Meyer (2014) ‘The Effects of Migration on Poverty and Inequality in

Rural Kosovo.’ IZA Journal of Labor & Development 3 (16): 1–18. Montalvo, Jose G. dan Marta Reynal-Querol (2014) ‘Cultural Diversity, Conflict, and Economic

Development.’ Handbook of the Economics of Art and Culture 2: 485–506.

Page 80: di Perdesaan Indonesia, 2006 2016 · mewakili lembaga-lembaga yang mendanai kegiatan dan pelaporan The SMERU Research Institute. ... Desa yang ada di dalam/sekitar hutan menurut fungsi,

70 The SMERU Research Institute

———. (2005) ‘Ethnic Diversity and Economic Development.’ Journal of Development Economics 76 (2): 293–323.

Morse, Stephen, Nora McNamara, dan Moses Acholo (2009) ‘Sustainable Livelihood Approach: A

Critical Analysis of Theory and Practice.’ Geographical Paper No. 189. The University of Reading [dalam jaringan] <https://www.reading.ac.uk/web/files/ geographyand environmentalscience/GP189.pdf> [8 Juni 2018].

Morton, Lois Wright, Ella Annette Bitto, Mary Jane Oakland, dan Mary Sand (2005) “Solving the

Problems of Iowa Food Deserts: Food Insecurity and Civic Structure.” Rural Sociology 70 (1): 94–112.

Moser, Caroline dan Anis A. Dani (eds.) (2008) Assets, Livelihoods, and Social Policy. Washington,

DC: World Bank. Mousseau, Michael (2011) ‘Urban Poverty and Support for Islamist Terror: Survey Results of

Muslims in Fourteen Countries.’ Journal of Peace Research 48 (1): 35–47. Muntaner, Carles (2004) ‘Commentary: Social Capital, Social Class, and the Slow Progress of

Psychosocial Epidemiology.’ International Journal of Epidemiology 33 (4): 674–680. Najnin, Nusrat, Catherine M. Bennett, dan Stephen P. Luby (2011) ‘Inequalities in Care-seeking for

Febrile Illness of Under-five Children in Urban Dhaka, Bangladesh.’ Journal of Health, Population, and Nutrition 29 (5): 523–531.

Nakajima, Tetsuya dan Hideki Nakamura (2009) ‘The Price of Education and Inequality.’ Economics

Letters 105 (2): 183–185. Nakamura, Tamotsu dan Yu Murayama (2011) ’Education Cost, Intergenerational Mobility, and

Income Inequality.’ Economics Letters 112 (3): 266–269. Nolan, Brian, Salverda Wiemer, dan Timothy M. Smeeding (eds.) (2011) The Oxford Handbook of

Economic Inequality [dalam jaringan] <http://dx.doi.org/10.1093/oxfordhb/ 9780199 606061.001.0001>.

Norris, Pippa dan Ronald Inglehart (2003) ‘Gendering Social Capital: Bowling in Women’s Leagues?’

Makalah untuk Conference on Gender and Social Capital, St. John’s College, University of Manitoba, 2–3 Mei 2003. Cambridge: John F. Kennedy School of Government – Harvard University [dalam jaringan] <https://sites.hks.harvard.edu/fs/pnorris/Acrobat/Gendering %20Social%20Capital> [8 Juni 2018].

Ottaviano, Gianmarco I.P. dan Giovanni Prarolo (2009) ‘Cultural Identity and Knowledge Creation

in Cosmopolitan Cities.’ Journal of Regional Science 49 (4): 647–662. O’Donnell, Owen, Eddy Van Doorslaer, dan Tom Van Ourti (2015) ‘Health and Inequality.’ Dalam

Handbook of Income Distribution. Anthony B. Atkinson dan François Bourguignon (eds.) Amsterdam: Elsevier: 1419–1533.

Pepinsky, Thomas B., R. William Liddle, dan Saiful Mujani (2012) ‘Testing Islam's Political Advantage:

Evidence from Indonesia.’ American Journal of Political Science 56 (3): 584–600.

Page 81: di Perdesaan Indonesia, 2006 2016 · mewakili lembaga-lembaga yang mendanai kegiatan dan pelaporan The SMERU Research Institute. ... Desa yang ada di dalam/sekitar hutan menurut fungsi,

71 The SMERU Research Institute

Pieters, Janneke (2011) ’Education and Household Inequality Change: A Decomposition Analysis for India.’ Journal of Development Studies 47 (12): 1909–1924.

Putnam, Robert D. (2007) ‘E Pluribus Unum: Diversity and Community in the Twenty‐first Century –

The 2006 Johan Skytte Prize Lecture.’ Scandinavian Political Studies 30 (2): 137–174. ———. (2000) Bowling Alone: The Collapse and Revival of American Community. New York: Simon

and Schuster Paperbacks. ———. (1995) ‘Tuning In, Tuning Out: The Strange Disappearance of Social Capital in America.’ PS:

Political Science and Politics 28 (4): 664–683. Putra, Idhamsyah Eka (2016) ‘Representations and Discourse about Religion and Chinese

Descendants in 2012 Jakarta's Election.’ The Qualitative Report 21 (10): 1799–1816. Putra, Idhamsyah Eka dan Wolfgang Wagner (2017) ‘Prejudice in Interreligious Context: The Role

of Metaprejudice and Majority–Minority Status.’ Journal of Community & Applied Social Psychology 27 (3): 226–239.

Randrianarisoa, Jean Claude dan Bart Minten (2001) ‘Agricultural Production, Agricultural Land, and

Rural Poverty in Madagascar.’ Cornell Food and Nutrition Policy Program Working Paper No. 112. New York: Cornell University [dalam jaringan] <https://dx.doi.org/10.2139/ ssrn.439101>.

Raychaudhuri, Ajitava dan Prabir De (2014) ‘Economic Corridors, Trade Costs, and Regional

Production Networks in South Asia.’ Dalam Developing Economic Corridors in South Asia. Prabir De dan Kavita Iyengar (eds.) Mandaluyong City, Philippines: Asian Development Bank: 63–76.

Razmi, Mohammad Javad dan Zahra Ghaffary (2015) ‘Investigating the Interactions between

Income Inequality and Social Capital: Using Panel Data Pattern.’ International Journal of Economics and Research 6 (1): 9–19.

Rink, Anselm dan Kunaal Sharma (2018) ‘The Determinants of Religious Radicalization: Evidence

from Kenya.’ Journal of Conflict Resolution 62 (6): 1229–1261. Runsinarith, Phim (2008) ‘Infrastructure Development and Poverty Reduction: Evidence from

Cambodia's Border Provinces.’ Nagoya: Graduate School of International Studies, Nagoya University.

Saad-Filho, Alfredo (2010) ‘Growth, Poverty, and Inequality: From Washington Consensus to

Inclusive Growth.’ DESA Working Paper No. ST/ESA/2010/DWP/100. New York: United Nations Department of Economic and Social Affairs [dalam jaringan] <https://www.un.org/ esa/desa/papers/2010/wp100_2010.pdf> [8 Juni 2018].

Santacreu, Ana Maria (2016) ‘Long-run Economic Effects of Changes in the Age Dependency Ratio.’

Economic Synopses (17) 2 September: 1–2. Federal Reserve Bank of St. Louis [dalam jaringan] <https://doi.org/10.20955/es.2016.17>.

Saragih, Sebastian, Jonatan Lassa, dan Afan Ramli (2007) Kerangka Penghidupan Berkelanjutan.

HIVOS–Circle Indonesia [dalam jaringan] <https://www.zef.de/uploads/tx_zefportal/ Publications/2390_SL-Chapter1.pdf>.

Page 82: di Perdesaan Indonesia, 2006 2016 · mewakili lembaga-lembaga yang mendanai kegiatan dan pelaporan The SMERU Research Institute. ... Desa yang ada di dalam/sekitar hutan menurut fungsi,

72 The SMERU Research Institute

Scoones, Ian (1998) ‘Sustainable Rural Livelihoods: A Framework for Analysis.’ IDS Working Paper No. 72. Brighton, UK: Institute of Development Studies [dalam jaringan] <https://energypedia.info/images/a/a5/Scoones_1998_Sustainable_Rural_Livelihoods.pdf> [8 Juni 2018].

Spain, Daphne (2014) ‘Gender and Urban Space.’ Annual Review of Sociology 40: 581–598. Story, William T. dan Richard M. Carpiano (2017) ‘Household Social Capital and Socioeconomic

Inequalities in Child Undernutrition in Rural India.’ Social Science & Medicine 181: 112–121. Sulistiyanto, Priyambudi (2018) ‘Indonesia in 2017: Jokowi's Supremacy and His Next Political

Battles’ dalam Southeast Asian Affairs 2018. Malcolm Cook dan Daljit Singh (eds.) Singapore: ISEAS Publishing – Yusof Ishak Institute: 153–166 [dalam jaringan] <https://bookshop.iseas.edu.sg/account/downloads/get/19872> [1 Juli 2019].

Sumarto, Sudarno, Marc Vothknecht, dan Laura Wijaya (2014) ‘Explaining the Regional

Heterogeneity of Poverty: Evidence from Decentralized Indonesia.’ Kertas kerja. Jakarta: The SMERU Research Institute.

Surbakti, Soedarti dan Theresa Devasahayam (2015) ‘Women and Girls in Indonesia: Progress and

Challenges.’ UNFPA Indonesia Monograph Series No. 5. Jakarta: United Nations Population Fund (UNFPA) Indonesia [dalam jaringan] <https://indonesia.unfpa.org/ sites/default/files/ pub-pdf/Women%20and%20Girls%20in%20Indonesia.pdf> [8 Juni 2018].

Suryahadi, Asep, Gracia Hadiwidjaja, dan Sudarno Sumarto (2012) ‘Economic Growth and Poverty

Reduction in Indonesia Before and After the Asian Financial Crisis.’ Bulletin of Indonesian Economic Studies 48 (2): 209–227.

Suryahadi, Asep, Joseph Marshan, dan Veto Tyas Indrio (2018) ‘Structural Transformation and the

Release of Labor from Agriculture’ dalam Indonesia: Enhancing Productivity through Quality Jobs. Edimon Ginting, Christopher Manning, dan Kiyoshi Taniguchi (eds.) Mandaluyong City, Philippines: Asian Development Bank: 100–129.

Suryahadi, Asep, Paul Chen, dan Rod Tyers (2001) ‘Openness, Technological Change, and Labor

Demand in Pre-Crisis Indonesia.’ Asian Economic Journal 15 (3): 239–274. Sylwester, Kevin (2000) ‘Income Inequality, Education Expenditures, and Growth.’ Journal of

Development Economics 63 (2): 379–398. Tabor, Steven R. (2015) ‘Constraints to Indonesia’s Economic Growth. ADB Papers on Indonesia No.

10. Mandaluyong City, Philippines: Asian Development Bank [dalam jaringan] <https://www.adb.org/publications/constraints-indonesias-economic-growth> [8 Juni 2018].

Tadjoeddin, Mohammad Zulfan, Athia Yumna, Sarah E. Gultom, M. Fajar Rakhmadi, M. Firman

Hidayat, dan Asep Suryahadi (2016) ‘Inequality and Stability in Democratic and Decentralized Indonesia.’ Kertas kerja. Jakarta: The SMERU Research Institute.

Tadjoeddin, Mohammad Zulfan dan Syed Mansoob Murshed (2007) ‘Socio-economic Determinants

of Everyday Violence in Indonesia: An Empirical Investigation of Javanese Districts, 1994–2003.’ Journal of Peace Research 44 (6): 689–709.

Page 83: di Perdesaan Indonesia, 2006 2016 · mewakili lembaga-lembaga yang mendanai kegiatan dan pelaporan The SMERU Research Institute. ... Desa yang ada di dalam/sekitar hutan menurut fungsi,

73 The SMERU Research Institute

The SMERU Research Institute (2015) Peta Kemiskinan dan Penghidupan Indonesia 2015. 1: 33.333.333. Jakarta: The SMERU Research Institute.

———. (2010) Peta Kemiskinan dan Penghidupan Indonesia 2010. 1:33.333.333. Jakarta: The

SMERU Research Institute. UNCTAD (2013) ‘Growth and Poverty Eradication: Why Addressing Inequality Matters.’ Post-2015

Policy Brief No. 02. United Nations Conference on Trade and Development [dalam jaringan] <https://unctad.org/en/PublicationsLibrary/presspb2013d4_en.pdf> [8 Juni 2018].

UNDP (2015) ‘Converging Development Agendas: Nawa Cita, RPJMN, and SDGs.’ Makalah. Jakarta:

United Nations Development Programme Indonesia Country Office [dalam jaringan] <http://www.id.undp.org/content/indonesia/en/home/library/sustainable-development-goals/converging-development-agendas-nawa-cita-rpjmn-and-sdgs.html> [8 Juni 2018].

United Nations (2015) ‘Concepts of Inequality.’ Development Issues No. 1. Development Strategy

and Policy Analysis Unit in the Development Policy and Analysis Division of UN/DESA – United Nations [dalam jaringan] <https://www.un.org/en/development/desa/policy/wess/ wess_dev_issues/dsp_policy_01.pdf> [8 Juni 2018].

Vincens, Natalia, Maria Emmelin, dan Martin Stafström (2018) ‘Social Capital, Income Inequality

and the Social Gradient in Self-rated Health in Latin America: A Fixed Effects Analysis.’ Social Science & Medicine 196: 115–122.

Wagner, Wolfgang, Peter Holtz, dan Yoshihisa Kashima (2009) ‘Construction and Deconstruction of

Essence in Representing Social Groups: Identity Projects, Stereotyping, and Racism.’ Journal for the Theory of Social Behaviour 39 (3): 363–383.

Wamani, Henry, Anne Nordrehaug Åstrøm, Stefan Peterson, James K Tumwine, dan Thorkild

Tylleskär (2007) ‘Boys Are More Stunted than Girls in Sub-Saharan Africa: a Meta-Analysis of 16 Demographic and Health Surveys.’ BMC Pediatrics 7 (1): 1–10.

Warren, Mark R., J. Phillip Thompson, dan Susan Saegert (2001) ‘The Role of Social Capital in

Combating Poverty’ dalam Social Capital and Poor Communities. Susan Saegert, J. Phillip Thompson, dan Mark R. Warren (eds.) New York: Russell Sage Foundation: 1–28 [dalam jaringan] <https://www.researchgate.net/publication/247988343_The_Role_of_Social_ Capital_in_Combating_Poverty> [8 Juni 2018].

Wilkinson, Richard G. (2002) Unhealthy Societies: The Afflictions of Inequality. London: Routledge

[dalam jaringan] <https://doi.org/10.4324/9780203421680>. World Bank (2016) ‘Poverty and Shared Prosperity 2016: Taking on Inequality.’ Laporan.

Washington, DC: World Bank Group [dalam jaringan] <https://www.worldbank.org/en/ publication/poverty-and-shared-prosperity-2016> [8 Juni 2018].

———. (2015) ‘Indonesia – Country Partnership Framework for the period FY16–FY20.’ Laporan.

Washington, DC: World Bank Group [dalam jaringan] <http://documents.worldbank.org/ curated/en/195141467986374707/Indonesia-Country-partnership-framework-for-the-period-FY16-20> [8 Juni 2018].

Page 84: di Perdesaan Indonesia, 2006 2016 · mewakili lembaga-lembaga yang mendanai kegiatan dan pelaporan The SMERU Research Institute. ... Desa yang ada di dalam/sekitar hutan menurut fungsi,

74 The SMERU Research Institute

———. (2014) ‘Development Policy Review 2014 – Indonesia: Avoiding The Trap.’ Jakarta: World Bank Office Jakarta [dalam jaringan] <https://www.worldbank.org/content/dam/ Worldbank/document/EAP/Indonesia/Indonesia-development-policy-review-2014-english.pdf> [8 Juni 2018].

———. (2007) ‘Finance for All? Policies and Pitfalls in Expanding Access.’ Makalah riset kebijakan.

Washington, DC: World Bank Group [dalam jaringan] <https://siteresources.worldbank. org/INTRES/Resources/469232-1321568702932/Final-brief-2-english.pdf> [8 Juni 2018].

Yang, Juan dan Muyuan Qiu (2016) ‘The Impact of Education on Income Inequality and

Intergenerational Mobility.’ China Economic Review 37: 110–125. Yusuf, Arief Anshory, Andy Sumner, dan Irlan Adiyatma Rum (2014) ‘Twenty Years of Expenditure

Inequality in Indonesia, 1993–2013.’ Bulletin of Indonesian Economic Studies 50 (2): 243–254.

Peraturan Perundang-undangan Peraturan Kepala Badan Pusat Statistik No. 37 Tahun 2010 tentang Klasifikasi Perkotaan dan

Perdesaan di Indonesia. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 121 Tahun 2015 tentang Pengusahaan Sumber Daya

Air. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 60 Tahun 2014 tentang Dana Desa yang Bersumber

dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara. Undang-Undang Republik Indonesia No. 6 Tahun 2014 tentang Desa. Undang-Undang Republik Indonesia No. 41 Tahun 2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian

Pangan Berkelanjutan. Undang-Undang Republik Indonesia No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Undang-Undang Republik Indonesia No. 11 Tahun 1974 tentang Pengairan.

Page 85: di Perdesaan Indonesia, 2006 2016 · mewakili lembaga-lembaga yang mendanai kegiatan dan pelaporan The SMERU Research Institute. ... Desa yang ada di dalam/sekitar hutan menurut fungsi,

75 The SMERU Research Institute

LAMPIRAN

Tabel A1. Deskripsi Umum Sumber-sumber Data

Sumber Data Jumlah Sampel Tahun Tersedia Tingkat

Keterwakilan Terendah

Unit Analisis Topik

Pemakaian dalam

Penelitian Ini (Topik &

Tahun)

Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas)

Pada 2016 mencakup 300.000 rumah tangga yang tersebar di seluruh Indonesia

1963–2017 Kabupaten/ko-ta

Rumah tangga Demografi, pendidikan, pekerjaan, penghasilan, kesehatan, tempat tinggal, perlindungan sosial, dan kepemilikan aset.

Topik-topik khusus (modul kekhususan).

2006–2016

Sensus Penduduk (SP) Seluruh penduduk yang tinggal di dalam wilayah hukum Indonesia

1961, 1971, 1980, 1990, 2000, dan 2010 (tiap 10 tahun)

Desa Individu/

penduduk

Data dasar kependudukan, struktur anggota rumah tangga, pendidikan, budaya, disabilitas, fertilitas, mortalitas, migrasi, ketenagakerjaan, dan fasilitas perumahan

2000 dan 2010

Sensus Pertanian (ST) Seluruh usaha pertanian, baik pada rumah tangga biasa, perusahaan berbadan hukum, ataupun yang selain rumah tangga biasa dan perusahaan berbadan hukum.

Pada 2013 mencakup sekitar 26,1 juta rumah tangga pertanian, 4.165 perusahaan, dan 5.922 unit usaha pertanian lainnya.

1963, 1973, 1983, 1993, 2003, dan 2013 (tiap 10 tahun)

Desa Rumah tangga pertanian

Keterangan rumah tangga usaha pertanian, penguasaan/pengusahaan/kegiatan tanaman pangan (padi dan palawija), pengusahaan tanaman hortikultura, pengusahaan tanaman perkebunan, penguasaan/pengusahaan ternak, pengusahaan kegiatan perikanan, pengusahaan tanaman kehutanan dan kegiatan kehutanan lainnya, dan keterangan penguasaan lahan rumah tangga.

2013

Pendataan Potensi Desa (Podes)

Seluruh desa di Indonesia. Pada 2014 mencakup 73.709 desa.

1980–2014 (3 kali dalam 10 tahun)

Kabupaten/Ko-ta

Desa Infrastruktur, populasi dan kesehatan reproduksi, lingkungan, dan pendidikan.

2011 dan 2014

Survei Aspek Kehidupan Rumah Tangga Indonesia (Sakerti)

Mencakup 30.000 individu di 13 provinsi di Indonesia.

1993, 1997, 2000, 2007, dan 2014

Nasional Individu, rumah tangga, desa/ kelurahan

2000, 2007, dan 2014

Peta Kemiskinan dan Penghidupan Indonesia/ Poverty and Livelihood Map of Indonesia

Mencakup 77.012 desa/kelurahan di seluruh Indonesia.

2005 dan 2010 Desa/ kelurahan

Desa/kelurahan, kecamatan, kabupaten

2015

Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas)

Mencakup 290.000 rumah tangga. 2013 Provinsi Individu, rumah tangga

Status nutrisi individu usia <60 bulan. 2013

Sumber: BPS, 2010; 2011; 2013; 2016; Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2013; dan The SMERU Research Institute, 2010; 2015.

Page 86: di Perdesaan Indonesia, 2006 2016 · mewakili lembaga-lembaga yang mendanai kegiatan dan pelaporan The SMERU Research Institute. ... Desa yang ada di dalam/sekitar hutan menurut fungsi,

Telepon : +62 21 3193 6336

Faksimili : +62 21 3193 0850

Surel : [email protected]

Situs web : www.smeru.or.id

Facebook : @SMERUInstitute

Twitter : @SMERUInstitute

YouTube : The SMERU Research Institute