dhini - konflik, april 2012

Upload: yuliandhini-satrio

Post on 20-Jul-2015

158 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

BAB I PENDAHULUAN Stres dan konflik adalah dua hal, yang sering terkait dengan perilaku individu di dalam kehidupan organisasi. Perilaku individu dalam konteks organisasi formal itu sendiri memberi pengaruh yang besar dalam banyak aspek kehidupan kita sehari-hari. Banyak hal dalam kehidupan kita termasuk bidang politik, ekonomi, sosial, tergantung pada upayaupaya manusia yang terkoordinasi.1 Banyak organisasi sendiri adalah sistem sosial yang kompleks, yang kadang-kadang memberi kinerja yang baik, dan kadang-kadang pula gagal secara menyedihkan. Stres dan konflik antar individu, kelompok, departemen, dan bagian di dalam organisasi itu bisa mempengaruhi kinerja organisasi. Oleh karena itu, mempelajari masalah stres dan konflik di dalam organisasi memang sangat penting. Jika kita memahami berbagai aspek dalam perilaku organisasi khususnya yang menyangkut masalah stres dan konflik, pemahaman itu diharapkan dapat berdampak positif. Tujuannya agar kita dapat menjalankan berbagai fungsi organisasi secara lebih efektif. Masalah stres dan konflik dapat dianalisis lewat pendekatan psikologi organisasi/industri dan berbagai teori tentang perilaku individu dalam organisasi. Individu-individu maupun kelompok-kelompok yang saling tergantung di dalam organisasi harus menciptakan hubungan kerja sedemikian rupa, agar organisasi dapat menunjukkan kinerja yang efektif. Ketergantungan dan hubungan kerja ini juga dapat menjadi sumber stres dan konflik jika tidak dikelola secara baik. Yang patut dicatat adalah perkembangan dan sudut pandang kontemporer dalam melihat stres dan konflik.1

Jex, Sterve M . 2002. Organizational Psychology: A Scientist-Practitioner Approach. New York: John Wiley & Sons, Inc. p.1.

1

Dahulu, para praktisi dalam bidang organisasi bekerja dengan asumsi bahwa stres dan konflik adalah sesuatu yang buruk, dan karena itu harus disingkirkan. Namun, kini disadari bahwa pandangan semacam itu tidaklah tepat. Stres dan konflik bukanlah baik atau buruk, tetapi itu mungkin tidak terhindarkan, dan oleh karena itu perlu diatasi dengan cara yang sebaik-baiknya.2 Tentu saja, terlalu banyak stres dan konflik memiliki dampak negatif karena menguras waktu dan sumberdaya organisasi, dan menghabiskan energi yang seharusnya bisa digunakan untuk kegiatan yang lebih konstruktif. Namun di sisi lain, terlalu sedikit stres dan konflik juga memiliki dampak negatif karena bisa membuat karyawan apatis, terlalu cepat berpuas diri, dan malas. Selain itu, terlalu sedikit stres dan konflik berujung pada minimnya perangsang untuk inovasi dan perubahan. Bla semua hal selalu berjalan mulus, orang-orang dalam organisasi mungkin terjebak dalam zona kenyamanan, dan tidak tergerak untuk membuat perubahan-perubahan yang dapat meningkatkan efektivitas dan kinerja organisasi. Namun, ada benarnya juga bahwa beberapa macam stres dan konflik tidak menghasilkan hal-hal yang positif sama sekali. Namun, situasi-situasi stres dan konflik dapat menjadi sesuatu yang menguntungkan bagi organisasi, bila digunakan sebagai instrumen perubahan dan inovasi. Bukti-bukti menunjukkan, stres dan konflik dapat meningkatkan kualitas pengambilan keputusan dalam berbagai organisasi. Karena itu, topik penting dalam menghadapi stres dan konflik sesungguhnya bukanlah tentang stres atau konflik itu sendiri, melainkan tentang bagaimana kita mengelolanya.3

2

Ivancevich, John M., Robert Konopaske, dan Michael T. Matteson. 2005. Perilaku dan Manajemen Organisasi. Jilid 2. Edisi Ketujuh. Jakarta: Penerbit Erlangga. P. 42-43. 3 Ibid.

2

BAB II MANAJEMEN STRES

A. Pengertian Stres Masalah stres kerja di dalam organisasi perusahaan menjadi gejala yang penting diamati sejak mulai timbulnya tuntutan untuk efisiensi di dalam pekerjaan. Akibat adanya stres kerja tersebut yaitu orang menjadi gugup, merasakan kecemasan yang kronis, peningkatan ketegangan pada emosi, proses berpikir, dan kondisi fisik individu. Selain itu, sebagai hasil dari adanya stres kerja, karyawan mengalami beberapa gejala stres yang dapat mengancam dan mengganggu pelaksanaan kerja mereka, seperti: mudah marah dan agresif, tidak dapat bersantai, emosi yang tidak stabil, sikap tidak mau bekerjasama, perasaan tidak mampu terlibat, dan kesulitan tidur. Menurut Lazarus and Folkman, dalam Colquitt (2011): Strees defined as a psychological response to demands that possess certain stakes and that tax or exced a persons capacity or resources.4 Dari pengertian di atas, stress dirumuskan sebagai respon psikologis terhadap tuntutan-tuntutan yang melampaui/melebihi kapasitas atau sumber daya seseorang. Menurut Robbins, Stress is a dynamic condition in which an individual is confronted with an opportunity, demand, or resource related to what the individual desires and for which the outcome is perceived to be both uncertain and important.5

4 5

Colquitt, Lepine,Wesson. 2011. Organizational Behavior , New York: McGraw-Hill, p.144 Robbins, Stephen P. and Timothy A. Judge. 2011. Organizational Behaviour- Fourteenth Edition. New Jersey: Pearson Education, p. 641

3

Didefinisikan bahwa stres merupakan suatu kondisi dinamis di mana sumber daya individu berhadapan dengan peluang, tuntutan, atau yang berhubungan dimana dengan hasilnya apa yang dianggap

didambakan individu tersebut

penting tetapi tidak dapat dipastikan. Dari kedua definisi di atas dapat diambil suatu pengertian bahwa stres merupakan suatu kondisi psikologi dari individu dalam yang terkait dari keinginan yang melebihi dari kapasitas individu tersebut. Menurut Mangkunegara, stres kerja adalah perasaan tertekan yang dialami karyawan dalam menghadapi pekerjaan. Stres kerja ini terlihat antara lain dari emosi yang tidak stabil, perasaan tidak tenang, suka menyendiri, sulit tidur, merokok berlebihan, tidak bisa rileks, lemas, gugup, tekanan darah meningkat, dan mengalami gangguan Secara dihadapkan umum orang pada tuntutan pencernaan.6 jika seseorang melampaui yang berpendapat, pekerjaan

kemampuan individu tersebut, maka dikatakan bahwa individu itu telah mengalami stres kerja. Seorang karyawan dapat dikatakan telah mengalami stres kerja bila urusan stres yang dialaminya melibatkan juga pihak organisasi di mana ia bekerja dan dapat mengakibatkan dampak negatif bagi dirinya dan lembaga di mana ia bekerja. Dari semua uraian di atas dapat disimpulkan bahwa terjadinya stres kerja adalah dikarenakan kepribadian adanya karyawan ketidakseimbangan antara karakteristik terjadi pada semua kondisi pekerjaan.

dengan karakteristik aspek-aspek pekerjaannya, dan hal ini dapat

6

A. A. Anwar Prabu Mangkunegara. 2004. Manajemen Sumber Daya Perusahaan. Bandung: Remaja Rosdakarya, p. 157

4

B. Mengapa Sejumlah Karyawan Lebih Stres dari Yang Lain Tuntutan-tuntutan yang menyebabkan orang mengalami stres dinamakan stressor. Sedangkan konsekuensi-konsekuensi negatif yang terjadi ketika tuntutan itu melampaui kapasitas atau sumberdaya seseorang dinamakan strains.7 Definisi stres ini menunjukkan bahwa stres sebenarnya tergantung pada hakikat tuntutan dan orang yang yang menghadapinya. Setiap orang berbeda-beda dalam hal bagaimana mereka mengevaluasi stressor dan bagaimana cara mereka menanganinya. Sebagai akibatnya, orang yang berbeda akan mengalami tingkatan stres yang berbeda, bahkan sekalipun mereka dihadapkan pda situasi yang persis sama. Untuk memahami perasaan stres, kita bisa menggunakan teori transaksional tentang stres. Teori ini menjelaskan bagaimana stresor dipersepsikan dan dinilai (primary appraisal), dan lalu bagaimana orang memberi respons terhadap persepsi dan penilaian itu (second appraisal).8 Untuk jelasnya, lihat Gambar 1 di bawah.

Gambar 1. Transactional Theory of Stress7 8

Colquitt, Lepine,Wesson. Op cit, p. 144. Lazarus, R.S., dan S. Folkman. 1984. Stress, Appraisal, and Coping. New York: Springer Publishing Company, Inc.

5

Stressors HindranceWork Role conflict Role ambiguity Role overload Daily hassles

Challenge Time pressure Work complexity Work Responsibility Stress Primary Appraisal Is this stressful? Family time demands Personal development Positive life event Secondary Appraisal How can I Cope?

Nonwork

Work family Confict Negatif life events Financial uncertaity

Sumber: Colquitt, Lepine,Wesson. 2011.Organizational Behavior , New York: McGraw-Hill, p.145

C. Tipe-tipe Stressor Ada dua macam tipe stressor, yaitu: 1) Hindrance Stressor (stressor penghambat), adalah tuntutantuntutan yang dipersepsikan menghambat atau mengganggu kemajuan ke arah pencapaian pribadi atau prestasi tertentu. Hindrance stressor cenderung memicu munculnya emosi negatif seperti kemarahan dan kecemasan. Misalnya, seorang karyawan yang stres menghadapi kerusakan mesin fotocopy yang sering macet, sementara urusan kemajuan karir karyawan di masa depan. 2) Challenge Stressor (stressor penantang), adalah tuntutantuntutan yang dipersepsikan pertumbuhan, positif, seorang sebagai dan peluang bagi pembelajaran, memicu pencapaian prestasi. dan ke 6 mesin fotocopy ini dalam jangka panjang dianggap tidak memberi manfaat bagi

Walaupun challenge stressor dapat melelahkan, mereka juga emosi-emosi Misalnya, seperti kebanggaan dipindah antusiasme. karyawan

departemen lain yang menuntutnya untuk belajar sesuatu yang baru. Meskipun ada stres yang dirasakan, namun belajar sesuatu yang baru ini bisa menambah ilmu dan bahkan bisa meningkatkan prestasi dalam jangka panjang. Kedua jenis stressor di atas dapat ditemui di tempat kerja atau pun di luar tempat kerja.9 1.1 Hindrance Stressor di Tempat Kerja 1) Role Conflict (konfik peran) Berbagai peran yang kita jalani di tempat kerja adalah sumber berbagai jenis hindrance stressor satu jenis hindrance yang terkait dengan kerja. Salah

stressor di tempat kerja adalah konflik peran (role conflict). Konflik peran mengacu ke harapan-harapan yang saling bertentangan, yang mungkin dituntut dari orang atau lingkungan luar terhadap diri kita. Misalnya, peran operator di call center. Mereka dituntut untuk mengontak orang sebanyak mungkin dalam periode waktu tertentu, yang artinya menghabiskan waktu sesedikit mungkin dengan tiap orang yang dikontak. Namun, mereka juga dituntut harus responsif terhadap setiap hal yang ditanyakan oleh orang yang dikontak, yang artinya mereka harus meluangkan waktu cukup lama. Ini dua harapan yang bertentangan dan sulit dipenuhi keduanya sekaligus. 2) Role Ambiguity (kemenduaan peran) Role ambiguity mengacu ke kurangnya informasi tentang apa yang harus dilakukan dalam menjalani sebuah peran. tidak bisa diprediksi, berkaitan dengan Serta sifat

9

Colquitt, Lepine,Wesson. Op cit, p. 145.

7

konsekuensi- konsekuensi tersebut.

dalam

menjalankan

peran

Misalnya, seorang karyawan diminta menjalankan sebuah proyek di mana mereka hanya diberi sedikit instruksi dan arahan tentang proyek itu. Dalam kasus ini, karyawan itu tidak tahu berapa dana yang harus dibelanjakan untuk proyek itu, berapa waktu yang dibutuhkan untuk menyelesaikannya, atau yang diinginkan atasan. 3) Role Overload (kelebihan beban). Role overload terjadi ketika jumlah peran-peran yang bersifat menuntut, yang dibebankan pada seseorang, sudah terlalu banyak sehingga orang itu tidak mampu menjalani sebagian atau seluruh peran itu secara efektif. Sumber stres semacam ini sudah berlangsung di berbagai perusahaan. 4) Daily Hassles (gangguan kecil harian). Daily hassles menghambat pencapaian hal-hal yang ingin kita tuntaskan. Contoh tuntutan kecil ini: komputer kantor yang sering rusak, pertengkaran yang sering terjadi dengan rekan kerja yang cerewet, dan lain-lain. Meskipun contoh tuntutan harian ini hanya hal-hal kecil, namun jika digabungkan bisa stres. 1.2. Challenge Stressor di Tempat Kerja 1) Time pressure (tekanan waktu). Tekanan waktu adalah perasaan kuat bahwa jumlah waktu yang anda miliki untuk menjalankan tugas atau kerja tertentu adalah tidak cukup. Tuntutan tekanan waktu cenderung dipandang sebagai sesuatu yang patut 8 memakan waktu dan menimbulkan seperti apa hasil proyek

diperjuangkan, karena jika berhasil memenuhi tekanan waktu itu bisa menimbulkan kepuasan. Misalnya, arsitek yang ditugaskan menyelesaikan pembangunan sebuah gedung dalam waktu terbatas. 2) Work Complexity (kompleksitas kerja). Work complexity mengacu ke tingkatan di mana persyaratan kerja dalam hal pengetahuan, keterampilan, dan kemampuan melebihi kapabilitas orang yang bertanggungjawab melaksanakan tugas itu. Misalnya, praktik pengembangan karyawan yang sering dilakukan perusahaan untuk melatih calon-calon eksekutif masa depan. Dalam banyak kasus, praktik ini melibatkan pemberian jabatan pada seseorang, di mana jabatan itu menuntut keterampilan dan pengetahuan tertentu dari orang tersebut, yang saat itu belum dimilikinya. 3) Work Responsibility (tanggung jawab kerja). Tanggung jawab kerja merujuk ke kewajiban yang dimiliki seseorang terhadap orang lain. Secara umum, tingkat tanggung jawab dalam pekerjaan lebih tinggi ketika cakupan, arti penting dalam pekerjaan itu lebih tinggi. Misalnya, tingkat tanun jawab pengontrol lalu-lintas udara, yang mungkin dianggap bertanggung jawab atas keselamatan puluhan ribu penumpang pesawat tiap hari, adalah sangat tinggi. 2.1. Hindrance Stressor di Luar Tempat Kerja 1) Konflik Kantor-Keluarga. Ada sejumlah tuntutan penimbul stres di luar tempat kerja, yang memiliki pengaruh terhadap pengelolaan perilaku dalam organisasi. Contohnya, adalah konflik kantorkeluarga. Yakni,suatu bentuk khusus dari konflik peran 9

dimana tuntutan peran kerja menghambat pemenuhan tuntutan peran di keluarga (dan sebaliknya). Seorang karyawan yang stres akibat punya problem perkawinan di rumah, misalnya, mungkin melampiaskan problemnya di kantor dengan cara mudah marah-marah kepada sesama rekan kerja di kantor. 2) Peristiwa Kehidupan yang Negatif. Bentuk dan stressor lain adalah peristiwa-peristiwa tujuan-tujuan yang paling kehidupan (life events) yang menghasilkan emosi negatif menghambat Banyak upaya peristiwa pencapaian kehidupan kehidupan.

menimbulkan stres memang tidak terjadi di kantor, tetapi di luar kantor. Seperti, peristiwa yang terkait kehidupan keluarga (ditinggal mati istri/suami, perceraian, penyakit yang berat, anak terjerat narkoba, dan sebagainya). 3) Ketidakpastian Keuangan. Ini adalah jenis stressor yang terkait dengan kondisi-kondisi, yang menciptakan ketidakpastian dalam hal keuangan. Misalnya, hilangnya nafkah kehidupan, tabungan, atau kemampuan untuk membayar berbagai biaya kebutuhan hidup. Stressor jenis ini sangat relevan dalam kondisi resesi ekonomi. 2.2. Challenge Stressor di Luar Tempat Kerja 1) Tuntutan Waktu Keluarga. Stressor jenis ini terkait dengan komitmen waktu yang dialokasikan seseorang untuk berpartisipasi dalam serangkaian 10 aktivitas dan tanggung jawab keluarga. Termasuk

tuntutan untuk

waktu bersama keluarga yang digunakan melancong, menghadiri pesta, acara sosial, dan merencanakan

menyelenggarakan

melaksanakan renovasi rumah. 2) Perkembangan Pribadi. Aktivitas-aktivitas yang termasuk partisipasi dalam program pendidikan formal, kursus musik, pelatihan olahraga, pendidikan diri yang terkait hobi, partisipasi dalam pemerintahan lokal (RT/RW), atau kerja sukarelawan. 3) Peristiwa Kehidupan yang Positif. Peristiwa kehidupan yang menghasilkan emosi positif juga menimbulkan kehamilan, stres tertentu. Misalnya, pernikahan, kelahiran anak, lulus sekolah, dan sebagainya.

D. Cara Orang Menghadapi Stres Menurut teori transaksi tentang stres, setelah seseorang membuat dua hal: Apa yang sebaiknya saya lakukan? dan Apa yang dapat saya lakukan (untuk mengatasi situasi ini)? Pertanyaan-pertanyaan ini mengacu ke penilaian sekunder (secondary appraisal), yang berpusat tentang bagaimana seseorang mengatasi atau menghadapi (coping) berbagai stressor yang muncul di depannya. Coping mengacu ke perilaku dan pemikiran yang digunakan seseorang, untuk mengelola tuntutan-tuntutan situasi 11 penilaian tentang adanya tuntutan situasi yang menimbulkan stres, mrereka akan menanyai dirinya sendiri dengan

yang menimbulkan stres, serta emosi-emosi yang terkait dengan tuntutan-tuntutan stres tersebut. Coping bisa melibatkan berbagai jenis aktivitas yang berbeda, dan aktivitas-aktivitas ini dapat dikelompokkan ke dalam empat kategori luas, berdasarkan pada dua dimensi. Dimensi pertama berkaitan dengan metode coping (metode perilaku versus metode kognitif), sedangkan dimensi kedua mengacu ke fokus coping (fokus ke problem/pemecahan masalah versus fokus ke pengaturan emosi). Untuk jelasnya, lihat Tabel 1 di bawah: Tabel 1. Contoh Strategi Menghadapi StresProblem-focused Behavioral Methods Bekerja lebih keras (working harder) Mencari bantuan (seeking assistance) Memperoleh sumberdaya tambahan (acquiring additional resources) Membuat strategi (strategizing) Motivasi diri (selfmotivation) Mengubah prioritas (changing priorities)

Emotion-focused Terlibat dalam aktivitas alternatif (engaging in alternative activities) Mencari dukungan (seeking support) Menyalurkan kemarahan (venting anger) Menghindar, mengambil jarak, dan mengabaikan (avoiding, distancing, and ignoring) Mencari hal positif dari situasi yang negatif (looking for positive in the negative) Membuat penilaian

Cognitive Methods

ulang (reappraising) Sumber: Diadaptasi dari JC. Latack dan SJ. Havlovic, Coping with the Job Stress: A Conceptual Evaluation Framework for Coping Measures, Journal of Organizational Behavior 13 (1992), pp. 479-508.

Keterangan Tabel 1: 12

Metode Perilaku (Behavioral Methods) melibatkan seperangkat aktivitas fisik, yang digunakan untuk menghadapi situasi yang menimbulkan stres.

Metode Kognitif (Cognitive Methods) melibatkan pemikiranpemikiran, yang digunakan untuk menghadapi situasi yang menimbulkan stres.

Fokus-Problem

(Problem-focused)

mengacu

ke

berbagai

perilaku dan pemikiran, yang dimaksudkan untuk mengelola situasi/problem penyebab stres itu sendiri. Fokus-Emosi (Emotion-focused) mengacu ke berbagai perilaku dan pemikiran, di mana orang mengelola reaksi-reaksi emosional mereka sendiri terhadap tuntutan-tuntutan situasi yang menimbulkan stres. E. Pengertian Strain Strain merupakan penyimpangan atau deviasi dari keadaan normal manusia dalam menjalankan fungsinya, yang merupakan hasil dari tereksposnya orang tersebut secara berkepanjangan terhadap peristiwa-peristiwa yang menimbulkan stres.10 Jadi strain merupakan reaksi pada diri manusia akibat adanya stres. Dampakdampak ini bisa bersifat merusak secara perilaku, psikologis, dan fisik/kesehatan. Reaksi-reaksi stres secara fisik dan psikologis itu bisa begitu besarnya, sehingga berakibat buruk pada tubuh dan pikiran, dan menimbulkan gangguan seperti susah tidur, penyakit-penyakit yang terkait dengan aliran darah dan jantung, depresi, dan lainlain. Reaksi itu umumnya berbentuk sakit secara fisik, problem emosional, dan akhirnya merusak kinerja orang tersebut di kantor atau lembaga tempat ia bekerja.10

Greenberg, Jerald, dan Robert A. Baron. 2003. Behavior in Organizations. Eight Edition. New Jersey: Prentice Hall. P. 122.

13

Pada dasarnya, tubuh manusia memiliki seperangkat respons, yang memungkinkannya untuk beradaptasi dan berfungsi secara baik, dalam menghadapi tuntutan-tuntutan stres. Namun, jika tuntutan-tuntutan stres itu tidak berkurang, atau tuntutantuntutan stres itu terjadi terlalu sering, maka respons adaptif dari tubuh manusia justru menjadi bersifat negatif. Misalnya, jika menghadapi stres, tubuh bisa mengeluarkan bahan kimia yang meningkatkan detak jantung dan tekanan darah.11 Untuk penjabaran lebih jauh tentang contoh-contoh strains atau reaksi-reaksi stres pada diri manusia, lihat Gambar 2 di bawah ini: Gambar 2. Examples of Strains

Physiological StrainsIllnes, high blood pressure,coronary artery disease,headaches, black pain, stomachaches

Psychological Strains

Stress

Depression, anxiety,irritability,forgetfuln ess,inability to think clearly,reduced confidence, bournout

Behavioral Strains Alcohol and drug use,teeth grinding,compulsive behaviors, overeating

11

Colquitt, LePine, Wesson. Op cit, p. 153.

14

Sumber : M.E. Burke, 2005 Benefits Survey Report, Society of Human Resource Management.

F. Pola Perilaku Tipe A dan Tipe B Setiap orang berbeda-beda dalam hal bagaimana mereka bereaksi menghadapi tuntutan stres. Dalam hal ini kita kenal pola perilaku orang Tipe A dan Tipe B. Tipe A adalah orang yang memiliki kesadaran waktu yang tinggi, cenderung tidak sabaran, agresif dalam mencapai sasaran/tujuan, kompetitif, pengontrol, dan bahkan bermusuhan.12 Seseorang dengan pola perilaku Tipe A menunjukkan karakteristik sebagai berikut: Secara kronik berusaha untuk menyelesaikan sebanyak mungkin hal dalam periode waktu yang sangat singkat. Agresif, ambisius, kompetitif, dan penuh energi. Berbicara dengan meledak-ledak, mendorong orang lain untuk menyelesaikan apa yang mereka katakan. Tidak sabar, tidak suka menunggu, dan menganggap menunggu sebagai membuang waktu yang berharga. Sibuk dengan tenggat waktu dan berorientasi pada pekerjaan. Selalu berjuang dengan orang, hal, dan peristiwa. Sedangkan pola perilaku orang Tipe B berbeda dari Tipe A. Orang Tipe B mungkin memiliki dorongan yang kuat, ingin mencapai berbagai hal, dan bekerja keras, namun dia memiliki gaya yang penuh percaya diri, yang memungkinkan dia bekerja dengan kecepatan yang tetap dan tidak bertanding melawan

12

Colquitt, LePine, Wesson. Op cit, p. 155.

15

waktu. Orang Tipe A sering diumpamakan seperti kuda pacu, sedangkan orang Tipe B diumpamakan seperti kura-kura.13 Pola perilaku Tipe A menjadi penting karena ia dapat mempengaruhi stressor, stres, dan strain. Pertama, pola perilaku Tipe A mungkin memiliki pengaruh langsung terhadap tingkatan stressor yang dihadapi seseorang. Hal ini karena orang Tipe A memiliki hasrat yang sangat kuat untuk berprestasi dan mencapai tujuan. Kedua, pola perilaku Tipe A menjadi penting, karena ia mempengaruhi proses stres itu sendiri. Hal ini mudah dipahami, karena orang yang memiliki semangat berkompetisi sangat tinggi membuat dirinya sangat sensitif terhadap berbagai tuntutan, yang secara potensial bisa mempengaruhi kemajuan ke arah pencapaian tujuan. Ketiga, dan mungkin ini yang paling penting, pola perilaku Tipe A secara langsung terkait dengan penyakit jantung koroner, serta ketegangan fisik, psikologis, dan perilaku lainnya. Faktor individual lain yang mempengaruhi cara orang mengelola stres adalah tingkatan dukungan sosial yang mereka terima. Dukungan sosial mengacu ke pertolongan yang diterima orang ketika mereka berhadapan dengan tuntutan stres. Dukungan emosional itu sendiri bisa dibagi jadi dua macam: a) Dukungan Instrumental. Yakni, pertolongan yang diterima orang, yang bisa digunakan untuk mengatasi tuntutan stres secara langsung. Misalnya, ketika seorang karyawan stres karena mendapat beban kerja yang terlalu banyak, rekan kerjanya bisa membantu dengan mengambil alih sebagian beban kerja itu.13

Ivancevich, John M., Robert Konopaske, dan Michaerl T. Matteson, op cit, p. 310.

16

b) Dukungan Emosional. Yakni, bentuk bantuan yang diterima orang tidaklah bersifat langsung, namun lebih ditujukan pada upaya mengurangi tekanan emosional, yang terkait dengan tuntutan-tuntutan yang menimbulkan stres. Misalnya, seorang atasan bisa membantu seorang karyawan yang stres akibat beban kerja yang berat, dengan cara menunjukkan perhatian, pengertian, dan rasa simpati pada si karyawan.14

G. Aplikasi Manajemen Stres Terdapat hubungan antara stres dan biaya perawatan kesehatan di perusahaan, yang berarti bahwa organisasi bisa memperoleh manfaat dengan baik. Sebagai contoh, banyak perusahaan layanan perawatan kesehatan, di Amerika memberikan dimaksudkan untuk yang penghematan yang besar, jika permasalahan stres ini bisa dikelola secara efektif dan diatasi

membantu karyawan menghadapi tuntutan-tuntutan stres dan mengurangi ketegangan yang terkait dengan tuntutan tersebut. Langkah pertama dalam pengelolaan stres adalah dengan menilai tingkatan dan sumber-sumber stres di tempat kerja. Ada banyak cara untuk menyelesaikan evaluasi ini, yang dinamakan audit stres. Manajer bisa memulai audit stres ini dengan bertanya pada diri sendiri tentang hakikat pekerjaan-pekerjaan di organisasinya, untuk memperkirakan apakah tingkatan stres yang tinggi bisa menjadi problem. Kategorinya: a) Kategori pertama pertanyaan-pertanyaan itu mungkin melibatkan tingkatan, seberapa jauh organisasi akan mengalami perubahan-perubahan yang kemungkinan akan menimbulkan14

rasa

ketidakpastian

atau

keresahan

di 17

Colquitt, LePine, Wesson. Op cit, p. 157.

kalangan karyawan. Misalnya, rencana merger antara dua perusahaan mungkin membuat sebagian karyawan cemas tentang keamanan jabatan dan perjalanan karirnya. b) Kategori kedua dari pertanyaan-pertanyaan itu mungkin berpusat pada pekerjaan itu sendiri. Pertanyaan ini biasanya berfokus pada tingkatan dan jenis-jenis stressor yang dialami para karyawan. c) Sedangkan kategori ketiga dari pertanyaan-pertanyaan ini dapat melibatkan kualitas hubungan, bukan saja antara sesama karyawan, tetapi juga antara karyawan dan organisasi. Di sini, pertanyaan apakah penting politik yang perlu dipertimbangkan adalah organisasi

memainkan peran yang besar dalam pembuatan keputusankeputusan administratif. Sesudah audit stres mengungkapkan bahwa stres menjadi persoalan, langkah berikutnya alternatif adalah untuk mempertimbangkan langkah-langkah

mengatasinya. Salah satu langkah umum itu melibatkan pengelolaan stressor, yang mungkin dituntaskan lewat dua cara: 1. 2. Organisasi dapat mencoba melenyapkan atau secara signifikan mengurangi tuntutan-tuntutan stres. Organisasi tuntutan stres. menyediakan sumberdaya yang dibutuhkan karyawan untuk menghadapi tuntutan-

18

Gambar 3 : Target Program Manajemen Stres OrganisasiProgram Pencegahan dan Manajemen Stres Organisasi Ditargetkan pada

1Stressor Pekerja dan Non Pekerja 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. Beban kerja Kondisi kerja Konflik peran Pengembangan karier Politik Hubunga interpersonal Perilaku agresif Konflik antara pekerjaan dan non pekerjaan

2

3Hasil Stres Psikologis Emosional perilaku

Persepsi/Pengalaman Karyawan mengenai Stres

Sumber: John M. Ivancevich, Michael T. Matteson, Sara M. Freedman, dan James S. Phillips, Worksite Stress Management Interventions, American Psychologist, 1990, p. 253.

Keterangan: Gambar 3 menyajikan bagaimana program manajemen stres organisasi dapat ditargetkan. Program itu mungkin dirancang untuk: 1. Mengidentifikasi dan memodifikasi stressor kerja 2. 3. Mendidik karyawan dalam memodifikasi dan memahami stres serta dampaknya, dan Menyediakan dukungan bagi karyawan untuk menghadapi dampak negatif dari stres. Di lingkungan kerja yang berubah cepat, penentuan target ini sulit dicapai. Tetapi tenaga kerja yang terlatih, berpendidikan, dan berpengetahuan dapat membuat modifikasi dengan bantuan 19

manajemen

mengenai

bagaimana

pekerjaan

dilakukan.

Beberapa program perbaikan yang ditargetkan mencakup: 1. Program pelatihan untuk mengelola dan mengatasi stres. 2. Merancang ulang pekerjaan untuk meminimalkan stressor. 3. Mengubah gaya manajemen. 4. Jam kerja yang lebih fleksibel, dengan memperhatikan kebutuhan keluarga/anak. 5. Komunikasi dan praktik team-building yang lebih baik. 6. Umpan balik yang lebih baik atas kinerja karyawan dan ekspektasi manajemen. H. Program Pencegahan dan Manajemen Stres Organisasi Beberapa organisasi telah mengembankan program manajemen pencegahan stres yang sangat spesifik, dua tipe program yang spesifik selama dua dekade terakhir adalah : 1. Program Bantuan Karyawan (Employee Assistance Programs, EAPs) Program bantuan karyawan berbagai masalah yang yang berhubungan dengan dirancang untuk menangani terkait dengan stres, baik pekerjaan maupun tidak. terlarang; masalah

Termasuk di antaranya: kesulitan emosional dan perilaku; penyalahgunaan obat Program perkawinan dan keluarga; dan masalah pribadi lainnya. bantuan karyawan cenderung didasarkan pada dalam melakukan pendekatan medis tradisional a.

pengobatan. Elemen program umum meliputi: Diagnosis. Karyawan yang bermasalah meminta bantuan; staf program bantuan karyawan berusaha mendiagnosis masalah. b. Pengobatan. disediakan. 20 Konseling atau terapi pendukung

c.

Penyaringan. Pemeriksaan periodik karyawan yang memiliki pekerjaan yang penuh tekanan disediakan untuk mendeteksi indikasi awal masalah.

d.

Pencegahan. Pendidikan dan persuasi digunakan untuk meyakinkan karyawan yang memiliki risiko tinggi, bahwa sesuatu harus dilakukan untuk membantu mereka mengatasi stres secara efektif.

2. Program Kesehatan Program kesehatan, sering kali disebut program promosi kesehatan yang berfokus pada kesehatan fisik dan mental keseluruhan karyawan. Program ini mungkin memasukan beragam aktivitas yang dirancang untuk mengidentifikasikan dan membantu dalam mencegah atau memperbaiki masalah kesehatan spesifik, bahaya kesehatan, atau kebiasaan kesehatan yang negatif. I. Pendekatan Individual terhadap Pencegahan dan Manajemen Stres Setiap organisasi tidak harus bergantung pada program organisasi formal untuk membantu pencegahan manajemen stres. Terdapat banyak pendekatan individual untuk menghadapi stressor dan stres. Ada beberapa cara berkenaan dengan pendekatan individual dalam hasil manajemen stres yaitu : 1. Teknik kognitif Teknik kognitif dari manajemen stres berfokus pada mengubah label atau kognisi sehingga orang tesebut menilai situasi secara berbeda. 2. Pelatihan relaksasi

21

Tujuan pendekatan ini adalah untuk menurunkan tingkat rangsangan seseoranng dan membawa suatu keadaan yang lebih tenang, baik secara psikologis maupun fisiologis. 3. Meditasi Dalam meditasi ternyata merupakan hal yang efektif dalam mengelola stres 4. Biofeedback Setiap individu diajarkan untuk mengendalikan berbagai proses internal tubuh. Peran potensial dari biofeedback sebagai teknik manajemen stres individu dapat dilihat dari fungsi tubuh yang dapat, hingga tingkatan tertentu, dikendalikan secara sukarela atau sadar.15

15

Ivancevich, John M., Robert Konopaske, dan Michaerl T. Matteson, op cit, p. 318

22

BAB III MANAJEMEN KONFLIK

A. Pengertian Konflik Konflik adalah ketidaksepakatan antara dua atau lebih pihak diantara, individu, kelompok, departemen, organisasi, negara yang memandang bahwa mereka memiliki keprihatinan atau kepentingan yang tidak selaras satu sama lain. Konflik terjadi ketika tujuan masyarakat tidak sejalan. Berbagai perbedaan dari konflik biasanya diselesaikan tanpa kekerasan, dan sering menghasilkan situasi yang lebih baik bagi sebagian besar atau semua pihak yan terlibat. Menurut Fisher konflik merupakan Hubungan antara dua pihak atau lebih (individu atau kelompok) yang memiliki, atau yang merasa memiliki, sasaran sasaran yang tidak sejalan.16 Menurut Cook, Conflict is a disagreement between two or more parties who perceive that they have incompatible concerns.17 Artinya konflik adalah ketidak kesepakatan antara dua atau lebih pihak yang memandang mereka memiliki kepedulian yang tidak cocok satu sama lain. Sedangkan menurut Aamodt: Conflict is the psychological and behavioral reaction to a perception that another person is either keeping you from reaching a goal, taking away your right to behave in a particular way, or violating the expectancies of a relationship.1816

Simo Fisher, Jawed Ludin, Steve Williams. 2000. Mengelola Konflik: Keterampilan dan Strategi untuk Bertindak, Jakarta: The British Council, p.4 17 Curtis W Cook,Phillip L. Hunsaker. 2010. Management and Organizational Behavior. Boston: McGraw-Hill Irwin, p.374 18 Michael G. Aamodt. 2007. Industrial/Organizational Psychology, Belmont:Thomson Wadsworth, p.458

23

Artinya konflik adalah reaksi psikologis dan perilaku terhadap persepsi bahwa orang lain mencegah atau menghalangi dari mencapai, merebut hak anda untuk berperilaku dalam cara tertentu, atau melanggar harapan dari suatu hubungan. Dari ketiga pengertian mengenai konflik dapat asumsikan bahwa konflik muncul ketika suatu tindakan oleh satu pihak dipandang sebagai mencegah atau mencampuri tujuan, kebutuhan, atau tindakan pihak lain. Konflik dapat muncul akibat berbagai pengalaman organisasi, seperti tujuan-tujuan yang tidak selaras, perbedaan dalam menafsirkan fakta, perasaan negatif, perbedaan nilai dan filosofi, atau perselisihan tentang sumber-sumber yang harus dibagi. Seperti dirumuskan di atas, konflik tampaknya bersifat cukup negatif. Namun, pemecahan dalam beberapa kasus, ia dapat dan merangsang masalah secara kreatif

mengembangkan situasi bagi semua pihak yang terlibat. B. Konflik Fungsional versus Konflik Disfungsional a) Konflik Disfungsional. Pandangan tradisional terhadap konflik mengasumsikan bahwa konflik itu tidak diinginkan dan menjurus pada hasil yang negatif, seperti agresi, kekerasan, dan permusuhan. Cara pandang ini berimplikasi bahwa para manajer harus menentukan penyebab konflik dan melenyapkannya, dan memastikan bahwa konflikkonflik di masa mendatang dapat dicegah. b) Konflik Fungsional. Konflik dapat dipandang secara fungsional karena potensinya untuk merangsang resolusi kreatif terhadap permasalahan, serta langkah-langkah koreksi, dan mencegah orang dan organidasi agar tidak terjerumus pada rasa puas diri. Jika individu tidak menyukai 24

konflik, itu mungkin dianggap tidak jadi persoalan, sejauh konflik itu bermanfaat dan meningkatkan kinerja kelompok atau organisasi secara keseluruhan. Maka konflik itu dinamakan bersifat fungsional. Hasil dari sebuah konflik adalah kriteria untuk menentukan, apakah konflik itu bersifat fungsional atau disfungsional. Yakni, apakah konflik itu memberi hasil positif atau negatif bagi kelompok pengambil keputusan (misalnya, departemen, organisasi, pemilik saham). Mungkin sikap yang paling tepat terhadap konflik adalah bahwa konflik itu tidak terhindarkan, dan memiliki potensi untuk bersifat disfungsional. Namun, jika dikelola secara konstruktif, konflik juga dapat bersifat fungsional dan meningkatkan kinerja. C. Tipe-tipe Konflik 1. Konflik antar pribadi Konflik antar pribadi terjadi antar dua individu. Di tempat kerja konflik antar pribadi terjadi dua rekan kerja antara atasan dan bawahan, antara karyawan dan nasabah atau antara karyawan dan vendor. 2. Konflik antara individu dan kelompok Konflik antara individu dan kelompok terjadi ketika kebutuhan individu berbeda dengan kebutuhan, tujuan dan norma kelompok. Misalnya seorang dosen lebih tertarik mengajar meneliti. 3. Konflik antara kelompok dan kelompok Konflik ini terjadi antara dua atau lebih kelompok, contoh baik konflik antar kelompok terjadi antara dua cabang dari bank yang sama yang berlokasi dikota yang sama. 25 sedangkan universitas meminta dia untuk

D. Tahapan-tahapan Konflik Konflik tidak akan muncul, sampai suatu pihak memandang bahwa pihak lain mungkin akan mempengaruhi suatu hal yang menjadi keprihatinan pihak pertamasecara negatif. Meski demikian, perkembangan kondisi-kondisi yang mendahuluinya (sumber-sumber konflik) menandai awal dari suatu proses. Sesudah itu, konflik biasanya berlangsung melalui lima tahapan, sebagaimana dipaparkan berikut ini: Tahap 1: Konflik Laten Ketika dua atau lebih pihak saling membutuhkan satu sama lain untuk mencapai tujuan yang diinginkan, ada potensi munculnya konflik. Kondisi-kondisi yang mendahului konflik, seperti saling-ketergantungan, ketidakjelasan menciptakan konflik. ketika ada perubahan. tujuan-tujuan yang tidak berbeda, secara dan pertanggungjawaban, otomatis

Namun, ketika kondisi itu hadir, ia Konflik mungkin disebabkan oleh

memungkinkan munculnya konflik. Konflik laten sering pecah pemotongan anggaran, perubahan arah organisasi, perubahan tujuan pribadi, penugasan proyek baru ke pihak yang sudah kelebihan beban kerja, atau hal yang didambakan (misalnya, kenaikan gaji) tidak kunjung terwujud. Tahap 2: Konflik yang Dipersepsikan Ini adalah tahapan dimana anggota organisasi menjadi sadar tentang adanya konflik. Ketidakselarasan kebutuhan disadari dan ketegangan dimulai, manakala berbagai pihak mulai khawatir tentang apa yang akan terjadi. Meskipun demikian, pada titik ini belum ada satu pihak pun yang merasa bahwa hal-hal yang menjadi keprihatinan mereka betul-betul sedang terancam . 26

Tahap 3: Konflik yang Dirasakan Sekarang semua pihak menjadi terlibat secara emosional dan mulai memfokuskan pada perbedaan-perbedaan opini dan kepentingan-kepentingan yang bertentangan. Ketegangan internal dan frustrasi mulai mengkristal di sekitar isu-isu yang terumuskan secara spesifik, dan orang mulai membangun komitmen emosional terhadap posisi mereka. Emosi apa yang dirasakan menjadi penting, karena emosi negatif akan menghasilkan rasa kepercayaan yang rendah dan persepsi negatif terhadap posisi pihak lain, yang dapat memunculkan taktik-taktik menang-kalah yang destruktif. Di sisi lain, lebih banyak perasaan positif, dapat memberi kontribusi pada pandangan yang lebih berimbang atas situasi, serta upaya-upaya yang lebih kolaboratif. Dalam kasus yang mana pun, hasilnya adalah perumusan tentang apa persisnya yang menjadi sumber konflik tersebut, yang akan menentukan alternatifalternatif yang tersedia bagi penyelesaiannya kemudian. Tahap 4: Konflik yang Terwujud Peragaan nyata dari suatu konflik terjadi ketika pihak-pihak yang bertentangan merencanakan dan melanjutkannya dengan tindakan-tindakan, untuk mencapai tujuan mereka sendiri dan memfrustrasikan pihak lain. Tindakan-tindakan itu bisa beragam derajatnya, mulai dari sekadar sampai ketidaksetujuan ke serangan kecil, verbal, mempertanyakan, menantang,

ancaman, ultimatum, serangan fisik, dan bahkan usaha-usaha untuk menghancurkan pihak lain.

27

Tahap 5: Hasil Konflik Interaksi dari pihak-pihak yang berkonflik dalam tahapan 4, menghasilkan sesuatu yang bersifat fungsional ataupun disfungsional bagi salah satu atau kedua belah pihak. Ketika konfik sudah berlangsung melalui tahapan-tahapan itu, penyelesaian fungsional menjadi makin sulit. Pihak-pihak yang terlibat jadi makin terkunci dalam posisi-posisi mereka dan semakin yakin bahwa konflik ini adalah situasi menang-kalah. Biasanya, menjadi lebih mudah untuk mencapai kolaborasi positif dan hasil menangmenang, ketika konflik itu dikenali sejak dini sebelum frustrasi dan sentimen-sentimen negatif terbentuk. E. Sumber-sumber Konflik Sebelum munculnya konflik, ada kondisi-kondisi yang mendahuluinya. Kondisi itu mungkin terlihat jelas dari luar, atau mungkin bersifat laten dan tersembunyi di bawah permukaan. Maka perlu diketahui kondisi-kondisi yang melandasi munculnya konflik. Ada sebab-sebab utama dari konflik. Salah satu penyebabnya adalah ketidakselarasan tujuan. Situasi ideal terjadi ketika dua pihak memandang tujuantujuan mereka bersifat saling mendukung, serta memandang perilaku pihak lain sebagai berkontribusi terhadap pencapaian kedua perangkat tujuan tersebut. Dalam kasus semacam itu, derajat kerjasama yang tinggi tampaknya dapat terjadi. Departemen riset desain dan departemen pemasaran, misalnya, mungkin akan menikmati hubungan kooperatif karena jalur baru yang dikembangkan yang oleh pihak pihak pertama kedua, akan untuk memberikan produk dibutuhkan

memenuhi sasaran penjualan yang meningkat. Meski demikian, beberapa hal tetap dapat menjadi rintangan. 28

Sumber konflik sebenarnya sangat banyak, dan sulit dipaparkan satu-persatu dalam makalah singkat ini. Sekadar sebagai contoh, beberapa sumber konflik antara lain: 1. Tujuan-tujuan yang Sama-sama Eksklusif. Ketika pencapaian tujuan oleh satu pihak dipandang sebagai ancaman terhadap pihak lain, konflik yang dihasilkannya tampaknya akan menuju ke sering kompetisi

menang-kalah. Contoh klasik kasus ini adalah konflik tujuan terjadi antara departemen sales, yang ingin versus departemen meningkatkan volume dan pasar,

kredit yang ingin membatasi penjualan pelanggan yang memiliki kemampuan untuk membayar. 2. Sumber-sumber yang Tidak Cukup untuk Dibagi. Sebagian besar organisasi beroperasi dalam jumlah uang, personil dan perlengkapan yang ditentukan ada batasnya. Ketika berbagai pihak bersaing untuk memperoleh bagian mereka dalam organisasi, konflik sering muncul. Jika salah satu pihak meraup lebih banyak kekuasaan, status lebih tinggi, penugasan kerja yang lebih baik, atau sumber material yang lebih banyak, pihak-pihak lainnya akan mendapat sedikit. Konflik disfungsional terjadi dari kompetisi menang-kalah, yang semakin diperketat oleh sumber yang terbatas. 3. Orientasi Waktu yang Berbeda. Sumber potensial konflik lainnya adalah perbedaan rentang waktu yang dibutuhkan oleh pihak-pihak untuk mencapai tujuan mereka. Beberapa pihak memiliki orientasi waktu yang relatif pendek. Awak produksi, misalnya, mungkin membutuhkan umpan balik dalam hitungan jam 29

tentang hasil produknya. mingguan. depan, ketika

Sedangkan departemen produk

departemen riset dan

pemasaran sering berfokus pada volume penjualan Sementara merencanakan keuangan mungkin harus melihat beberapa tahun ke baru atau

memperkirakan tingkatan suku bunga bank dan tren ekonomi lainnya. F. Manajemen Konflik Antarkelompok Para manajer harus mempersiapkan cara-cara mengelola konflik karena konflik antarkelompok adalah rutinitas sehari-hari mereka. Ada beberapa pendekatan dalam pengelolaan konflik. Salah satu cara menyelesaikan konflik adalah melihat sejauh mana kelompok yang terlibat memiliki fokus internal dan eksternal terhadap strategi resolusi yang digunakan. Fokus internal menunjukkan sejauh mana kelompok berupaya mengutamakan kepentingan-kepentingannya sendiri dalam sebuah konflik. Fokus eksternal menunjukkan sejauh mana sebuah kelompok berusaha menyelesaikan apa yang menjadi kepedulian atau kepentingan kelompok lain dalam konflik tersebut., Maka fokus internal dan eksternal bukanlah dua titik ekstrem yang saling berseberangan dalam satu kontinum yang sama. Sebaliknya, dua fokus itu dilihat sebagai dua dimensi yang berbeda.

30

Gambar 4. Matriks Penyelesaian Konflik

Tinggi

Mengakomodasi atau Memperlancar

Menyelesaikan masalah atau bekolaborasi

Membiarkan kelompok lain Bekerjasama untuk Memenagkan konflik menyelesaikan masalah-mas Berkompromi yang masalah Persepsi/Pengalaman Karyawan mengenai Stres Berkompromi adaMencari solusi yang dapat Mencari solusi yang diterima untuk dapat diterima untuk setiap orang setiap orang dengan dengan nyaman nyaman

Fokus Eksternal Renda

Menghindar Mengabaikan atau meghindari kelompok lain

Mendominasi Berupaya untuk medominasi dan mengontrol

Rendah Fokus Internal

Tinggi

Sumber: John M. Ivancevich, Robert Konopaske, Michael T. Matteson, 2005. Perilaku dan Manajemen Organisasi, Jakarta: Erlangga, p.52

Keterangan Gambar: Dari matrik di atas dapat dikatakan bahwa salah satu cara penyelesaian konflik adalah melihat sejauh mana kelompok yang terlibat memilih fokus internal dan eksternal terhadap strategi resolusi yang digunakan. Fokus internal menunjukkan sejauh mana kelompok berupaya mengutamakan kepentingankepentingan sendiri dalam sebuh konflik. Sedangkan fokus eksternal menunjukkan sejauh mana sebuah kelompok berupaya menyelesaikan apa yang menjadi kepedulian atau kepentingan kelompok lain dalam konflik tersebut. Berdasarkan sudut pandang ini, focus internal dan eksternal bukanlah dua titik ekstrem yang saling berseberangan dalam satu kontinum yang sama, tetapi kedua fokus tersebut dilihat sebagai dua dimensi yang berbeda. 31

Derajat menyelesaikan

yang konflik

bervariasi antar

antara kelompok.

kedua

dimensi

ini

memunculkan lima pendekatan yang berbeda, dalam upaya Tergantung pada karakteristik dasar dan situasi konflik yang ada, tiap pendekatan ini bisa efektif dalam mengelola penyelesaian konflik. Lima pendekatan itu adalah: 1) Mendominasi. Satu kelompok berusaha menyelesaikan konflik, dengan memberi fokus maksimal pada pemenuhan halhal yang menjadi kepedulian kelompok tersebut, dan pada saat yang sama memberikan fokus minimal pada kepedulian kelompok lain. Pendekatan dominasi cenderung berorientasi kekuasaan. Artinya, untuk dapat berhasil, suatu kelompok harus memiliki kekuasaan yang cukup untuk mengontrol atau memaksa kelompok yang lain. 2) Mengakomodasi. Dalam banyak hal, pendekatan akomodasi adalah berlawanan dengan dominasi. Dalam pendekatan akomodasi, salah satu pihak meminimalkan upaya untuk mengutamakan kepentingan kelompoknya, dan pada saat yang sama memberikan penekanan makimal pada kepentingan kelompok lainnya. Walaupun akomodasi terlihat seperti menyerah, ada sejumlah situasi di mana pendekatan ini bisa sangat menguntungkan b ila digunakan oleh kelompok yang bersengketa. Isu yang menjadi sumber konflik terkadang beda derajat kepenmtingann ya bhgi kelompok-kelompok yang bertikai. Jika isu ini sangat penting bagi kelompok A tetapi kurang begitu penting bagi kelompok B, maka kelompok B dapat menuruti kemauan kelompok A melalui akomodasi. Tindakan ini tidak merugikan kelompok B, bahkan bisa dilihat sebagai wujud itikad baik, dan membantu mempertahankan hubungan yang kooperatif antara kedua kelompok. 32

3) Menyelesaikan masalah. Pendekatan ini secara teoretis dipandang sebagai pendekatan terbaik atau ideal dalam penyelesaian konflik. Meski demikian, pendekatan ini sulit diimplementasikan secara efektif. Pendekatan ini berusaha menyelesaikan konflik dengan memberi penekanan maksimal pada kepentingan kedua kelompok yang berkonflik. Kedua kelompok harus bersedia bekerjasama (berkolaborasi) untuk mencari penyelesaian terbaik, yang dapat memuaskan kebutuhan kedua kelompok bersangkutan. 4) Menghindar. Seringkali beberapa cara dapat dilakukan untuk menghindari konflik. Meski cara penghindaran konflik ini tidak memberi keuntungan pada jangka panjang, pendekatan ini dapat menjadi strategi yang efektif dan tepat dalam beberapa situasi konflik. Terutama, saat menghindari masalah dimaksudkan sebagai alternatif sementara. Menghindari konflik juga dapat memberi waktu ekstra untuk mencari informasi yang tepat, bagi terciptanya solusi jangka panjang. 5) Berkompromi. Pendekatan kompromi adalah metode tradisional dan upaya mencari jalan tengah dalam penyelesaian konflik antarkelompok. Dengan melakukan kompromi, tidak ada perbedaan pihak yang menang atau kalah, dan kesepakatan yang dicapai umumnya bukan kesepakatan yang ideal bagi kedua kelompok. Kompromi dapat menjadi sangat efektif jika tujuan yang dicari (misalnya, uang) dapat dibagi dengan cukup adil. Kompromi dapat menjadi sangat berguna jika kedua kelompok yang bersengketa memiliki kekuasaan yang relatif seimbang dan memiliki komitmen kuat untuk mencapai tujuan yang sama-sama eksklusif.19

19

Ivancevich, John M., Robert Konopaske, dan Michaerl T. Matteson, op cit, p. 51-56.

33

Kelima pendekatan ini memiliki kelebihan dan kekurangannya masing-masing, dapat efektif dan tidak efektif tergantung situasinya, Perlu diingat bahwa pandangan-pandangan pada tiap-tiap mengenai konflik dan pendekatan yang digunakan untuk menyelesaikan konflik akan bervariasi kebudayaan dunia.

34

BAB IV KESIMPULAN Gambar: yang lain?Type A Behavior Pattern

Mengapa beberapa karyawan lebih stres di bandingkan

(Pola perilaku)StressorsHindrance Work ChallengePhysiologi cal strains

Stre ssssNonwork

Psycholog ical strains

Behavior al strains

Social Support

Sumber: Colquitt, Lepine,Wesson. 2011.Organizational Behavior , New York: McGraw-Hill, p.158.

Dari gambar di atas dapat diketahui bahwa banyak penyebab stress yang dialami oleh karyawan termasuk stressor yang bersifat menghambat ataupun menantang, yang berasal dari lingkungan kerja maupun di luar lingkungan kerja. Bagaimana pun juga, itu tergantung pada bagaimana stressor tersebut dinilai dan dihadapi, yang menentukan apakah ketegangan fisiologis, psikologis dan perilaku dialami. Akhirnya, jawaban pertanyaan bergantung pada apakah karyawan itu orang tipe A atau tipe B, dan apakah karyawan itu memiliki dukungan sosial yang tinggi atau rendah. Dengan 35

memahami semua faktor itu, stress.

bisa membantu menjelaskan

mengapa beberapa orang dapat menanggung situasi situasi Dari berbagai uraian di bab-bab sebelumnya, dapat disimpulkan bahwa: Stres merupakan respons adaptif terhadap berbagai tindakan, situasi, atau peristiwa yang menimbulkan tuntutan tertentu terhadap individu (stressor). Respons adaptif itu sendiai dimoderasi oleh perbedaan individu. Stres terutama dirasakan oleh orang dengan pola perilaku Tipe A. Stres dapat memiliki konsekuensi psikologis, fisiologis, dan perilaku. Dukungan sosial (social support) juga berperan memoderasi stres. Walaupun beberapa konsekuensi stres merupakan hal yang positif, banyak di antaranya bersifat disfungsional, seperti menurunnya kinerja karyawan di kantor, depresi, ketergantungan obat, sulit tidur, dan lain-lain. Sedangkan mengenai konflik, pandangan kontemporer mengenai konflik menyatakan bahwa konflik pada dasarnya tidaklah bersifat baik atau buruk, tetapi dapat menjadi baik atau buruk tergantung bagaimana konflik tersebut dikelola. Konflik fungsional adalah konfrontasi antarkelompok yang meningkatkan dan menguntungkan kinerja organisasi. Sedangkan konflik disfungsional adalah konfrontasi antarkelompok yang membahayakan organisasi atau menghambat proses pencapaian tujuan organisasi.Tingkatan konflik dapat terkait dengan keseluruhan kinerja organisasi. Terlalu banyak konflik dapat bersifat mengganggu, mengacaukan, dan merusak hubungan antar-individu. Sedangkan terlalu sedikit konflik juga dapat melemahkan kinerja, mengecilkan peluang bagi inovasi dan perubahan. 36

Salah satu cara untuk melihat penyelesaian konflik adalah dari perspektif manajemen konflik. Perspektif ini menawarkan sebuah matriks lima pendekatan yang berbeda terhadap konfik antar-kelompok dan upaya penyelesaiannya, yaitu: mendominasi, mengakomodasi, berkompromi. menyelesaikan masalah, menghindar, dan

37

Daftar Pustaka A.A. Anwar Prabu Mangkunegara. 2004. Manajemen Sumber Daya Perusahaan. Bandung: Remaja Rosdakarya. Colquitt, Jason A., Jeffery A. Lepine, Michaerl J. Wesson. 2011. Organizational Behavior , New York: McGraw-Hill. Curtis W Cook,Phillip L. Hunsaker. 2010. Management Organizational Behavior. Boston: McGraw-Hill Irwin. Greenberg, Jerald, dan Robert A. Baron. 2003. Behavior Organizations. Eight Edition. New Jersey: Prentice Hall. and in

Ivancevich, John M., Robert Konopaske, dan Michael T. Matteson. 2005. Perilaku dan Manajemen Organisasi. Jilid 1 dan 2. Edisi Ketujuh. Jakarta: Penerbit Erlangga. JC. Latack dan SJ. Havlovic, Coping with the Job Stress: A Conceptual Evaluation Framework for Coping Measures, Journal of Organizational Behavior 13 (1992), pp. 479-508. Jex, Sterve M . 2002. Organizational Psychology: A Scientist-Practitioner Approach. New York: John Wiley & Sons, Inc. Lazarus, R.S., dan S. Folkman. 1984. Stress, Appraisal, and Coping. New York: Springer Publishing Company, Inc. Michael G. Aamodt. 2007. Belmont:Thomson Wadsworth. Industrial/Organizational Psychology,

Robbins, Stephen P. and Timothy A. Judge. 2011. Organizational Behaviour- Fourteenth Edition. New Jersey: Pearson Education. Simo Fisher, Jawed Ludin, Steve Williams. 2000. Mengelola Konflik: Keterampilan dan Strategi untuk Bertindak, Jakarta: The British Council.

38