dhani ekonomi

21
Nama: RIZKA AMALIA Kelas:XII IPS 1 Pelajaran: Ekonomi Yang Mempengaruhi Kurs Mata Uang Definisi Nilai Tukar Nilai tukar adalah harga suatu mata uang terhadap mata uang lainnya atau nilai dari suatu mata uang terhadap nilai mata uang lainnya (Salvatore 1997:9). Kenaikan nilai tukar mata uang dalam negeri disebut apresiasi atas mata uang asing. Penurunan nilai tukar uang dalam negeri disebut depresiasi atas mata uang asing. Faktor-Faktor yang mempengaruhi Nilai Tukar Ada beberapa faktor utama yang mempengaruhi tinggi rendahnya nilai tukar mata uang dalam negeri terhadap mata uang asing. Faktor-faktor tersebut adalah : a. Laju inflasi relatif Dalam pasar valuta asing , perdagangan internasional baik dalam bentuk barang atau jasa menjadi dasar yang utama dalam pasar valuta asing, sehingga perubahan harga dalam negeri yang relatif terhadap harga luar negeri dipandang sebagai faktor yang mempengaruhi pergerakan kurs valuta asing . Misalnya, jika Amerika sebagai mitra dagang Indonesia mengalami tingkat inflasi yang cukup tinggi maka harga barang Amerika juga menjadi lebih tinggi, sehingga otomatis permintaan terhadap barang dagangan relatif mengalami penurunan. b. Tingkat pendapatan relatif Faktor lain yang mempengaruhi permintaan dan penawaran dalam pasar mata uang asing adalah laju pertumbuhan riil terhadap harga-harga luar negeri. Laju pertumbuhan riil dalam negeri diperkirakan akan melemahkan kurs mata uang asing. Sedangkan pendapatan riil dalam negeri akan meningkatkan permintaan valuta asing relatif

Upload: dede-juanda

Post on 28-Dec-2015

43 views

Category:

Documents


4 download

TRANSCRIPT

Nama: RIZKA AMALIA

Kelas:XII IPS 1

Pelajaran: Ekonomi

Yang Mempengaruhi Kurs Mata Uang

Definisi Nilai TukarNilai tukar adalah harga suatu mata uang terhadap mata uang lainnya atau nilai dari suatu mata uang terhadap nilai mata uang lainnya (Salvatore 1997:9). Kenaikan nilai tukar mata uang dalam negeri disebut apresiasi atas mata uang asing. Penurunan nilai tukar uang dalam negeri disebut depresiasi atas mata uang asing.

Faktor-Faktor yang mempengaruhi Nilai TukarAda beberapa faktor utama yang mempengaruhi tinggi rendahnya nilai tukar mata uang dalam negeri terhadap mata uang asing. Faktor-faktor tersebut adalah :

a. Laju inflasi relatifDalam pasar valuta asing, perdagangan internasional baik dalam bentuk barang atau jasa menjadi dasar yang utama dalam pasar valuta asing, sehingga perubahan harga dalam negeri yang relatif terhadap harga luar negeri dipandang sebagai faktor yang mempengaruhi pergerakan kurs valuta asing. Misalnya, jika Amerika sebagai mitra dagang Indonesia mengalami tingkat inflasi yang cukup tinggi maka harga barang Amerikajuga menjadi lebih tinggi, sehingga otomatis permintaan terhadap barang dagangan relatif mengalami penurunan.

b. Tingkat pendapatan relatifFaktor lain yang mempengaruhi permintaan dan penawaran dalam pasar mata uang asing adalah laju pertumbuhan riil terhadap harga-harga luar negeri. Laju pertumbuhan riil dalam negeri diperkirakan akan melemahkan kurs mata uang asing. Sedangkan pendapatan riil dalam negeri akan meningkatkan permintaan valuta asing relatif dibandingkandengan supply yang tersedia.

c. Suku bunga relatifKenaikan suku bunga mengakibatkan aktifitas dalam negeri menjadi lebih menarik bagi para penanam modal dalam negeri maupun luar negeri. Terjadinya penanaman modal cenderung mengakibatkan naiknya nilai mata uang yang semuanya tergantung pada besarnya perbedaan tingkat suku bunga di dalam dan di luar negeri, maka perlu dilihat mana yang lebih murah, di dalam atau di luar negeri. Dengan demikian sumber dari perbedaan itu akan menyebabkan terjadinya kenaikan kurs mata uang asing terhadap mata uang dalam negeri.d. Kontrol pemerintahMenurut Madura (2003:114), bahwa kebijakan pemerintah bisa mempengaruhi

keseimbangan nilai tukar dalam berbagai hal termasuk :a. Usaha untuk menghindari hambatan nilai tukar valuta asing.b. Usaha untuk menghindari hambatan perdagangan luar negeri.c. Melakukan intervensi di pasar uang yaitu dengan menjual dan membeli mata uang. Alasan pemerintah untuk melakukan intervensi di pasar uang adalah :1. Untuk memperlancar perubahan dari nilai tukar uang domestik yang bersangkutan.2. Untuk membuat kondisi nilai tukar domestik di dalam batas-batas yang ditentukan.3. Tanggapan atas gangguan yang bersifat sementara.d. Berpengaruh terhadap variabel makro seperti inflasi, tingkat suku bunga dan tingkat pendapatan.

e. EkspektasiFaktor kelima yang mempengaruhi nilai tukar valuta asing adalah ekspektasi atau nilai tukar di masa depan. Sama seperti pasar keuangan yang lain, pasar valas bereaksi cepat terhadap setiap berita yang memiliki dampak ke depan. Dan sebagai contoh, berita mengenai bakal melonjaknya inflasi di AS mungkin bisa menyebabkan pedagang valas menjual Dollar, karena memperkirakan nilai Dollar akan menurun di masa depan. Reaksi langsung akan menekan nilai tukar Dollar dalam pasar.Kemudian menurut Madura (2003:111-123), untuk menentukan perubahan nilai tukar antar mata uang suatu negara dipengaruhi oleh beberapa faktor yang terjadi di negara yang bersangkutan yaitu selisih tingkat inflasi, selisih tingkat suku bunga, selisih tingkat pertumbuhan GDP, intervensi pemerintah di pasar valuta asing dan expectations(perkiraan pasar atas nilai mata uang yang akan datang).

Sistem-Sistem Nilai TukarSistem nilai tukar yang ditentukan oleh pemerintah, ada beberapa jenis, antara lain :a. Fixed exchange rate systemSistem nilai tukar yang ditahan secara tahap oleh pemerintah atau berfluktuasi di dalam batas yang sangat sempit. Jika nilai tukar berubah terlalu besar, maka pemerintah akan mengintervensi untuk memeliharanya dalam batas-batas yang dikehendaki.b. Freely floating exchange rate system.Sistem nilai tukar yang ditentukan oleh tekanan pasar tanpa intervensi dari pemerintah.c. Managed floating exchange rate system.Sistem nilai tukar yang terletak diantara fixed system dan freely floating, tetapi mempunyai kesamaan dengan fixed exchange system, yaitu pemerintah bisa melakukan intervensi untuk menjaga supaya nilai mata uang tidak berubah terlalu banyak dan tetap dalam arah tertentu. Sedangkan bedanya dengan free floating, managed float masih lebihfleksibel terhadap suatu mata uang. Lalu menurut Krugman dan Obstfeld (2000:485), managed floating exchange rate system adalah sebuah sistem dimana pemerintah mengatur perubahan nilai tukar tanpa bermaksud untuk membuat nilai

tukar dalam kondisi tetap.d. Pegged exchange rate systemSistem nilai tukar dimana nilai tukar mata uang domestik dipatok secara tetap terhadap mata uang asing.

Krisis Mata Uang Rupiah 2013: Penyebab dan DampaknyaSejak Juni 2013, nilai tukar Rupiah cenderung melemah. Hal yang sama juga dialami oleh mata uang beberapa negara emerging markets (negara berkembang yang sedang mengalami pertumbuhan ekonomi dengan cepat) lainnya. Selama Juni-Agustus 2013, nilai tukar Lira Turki jatuh sebesar 10 persen; nilai tukar Rupee India jatuh sebesar 20 persen; dan nilai tukar Rupiah serta Real Brazil jatuh sekitar 15 persen. Trend melemahnya nilai tukar mata uang beberapa negara emerging markets selama Juni-Agustus 2013 bisa dilihat dalam grafik di bawah ini:

Grafik 1Nilai Tukar Mata Uang Emerging Markets vs. Dollar AS

Januari-Agustus 2013Indeks, 15 Mei 2013 = 100

Sumber: Wells Fargo Securities Economics Group, LLC, Weekly Economic & Financial Commentary, 30 Agustus 2013, hlm. 4,

Kenapa Nilai Tukar Rupiah Melemah?

Nilai tukar sebuah mata uang ditentukan oleh relasi penawaran-permintaan (supply-demand) atas mata uang tersebut. Jika permintaan atas sebuah mata uang meningkat, sementara penawarannya tetap atau menurun, maka nilai tukar mata uang itu akan naik. Kalau penawaran sebuah mata uang meningkat, sementara permintaannya tetap atau menurun, maka nilai tukar mata uang itu akan melemah. Dengan demikian, Rupiah melemah karena penawaran atasnya tinggi, sementara permintaan atasnya rendah.

Namun, apa yang menyebabkan penawaran atas Rupiah tinggi, sementara permintaan atasnya rendah? Setidaknya ada dua faktor. Pertama, keluarnya sejumlah besar investasi portofolio asing dari Indonesia. Keluarnya investasi portofolio asing ini menurunkan nilai tukar Rupiah, karena dalam proses ini, investor menukar Rupiah dengan mata uang negara lain untuk diinvestasikan di negara lain. Artinya, terjadi peningkatan penawaran atas Rupiah. Adapun indikasi dari keluarnya investasi portofolio asing ini bisa dilihat dari Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) yang cenderung menurun seiring dengan kecenderungan menurun dari Rupiah. Dalam grafik di bawah, kita bisa lihat bahwa IHSG mengalami kecenderungan menurun sejak Juni 2013:

Grafik 2IHSG April-Agustus 2013

Sumber: Bloomberg,

Kenapa investasi portofolio asing ini keluar dari Indonesia? Alasan yang sering disebut adalah karena rencana the Fed (bank sentral AS) untuk mengurangi Quantitative Easing (QE). Rencana ini dinyatakan oleh Ketua the Fed, Ben Bernanke, di depan Kongres AS pada 22 Mei 2013. Tidak lama setelah itu, mata uang di beberapa negara emerging markets pun anjlok (lihat Grafik 1). Yang dimaksud dengan QE di sini adalah program the Fed untuk mencetak uang dan membeli obligasi atau aset-aset finansial lainnya dari bank-bank di AS. Program ini dilakukan untuk menyuntik uang ke bank-bank di AS demi pemulihan diri pasca-krisis finansial 2008.

Rencana pengurangan QE memberikan pesan bahwa ekonomi AS menyehat. Karenanya, nilai tukar obligasi dan aset-aset finansial lain di AS akan naik. Inilah ekspektasi para investor portofolio yang mengeluarkan modalnya dari negara-negara emerging markets. Mereka melihat bahwa di depan, investasi portofolio di AS akan lebih menguntungkan daripada di negara-negara emerging markets. Dalam tiga bulan terakhir, yield obligasi jangka panjang pemerintah AS sendiri

telah naik. Sebagai contoh, yield obligasi 10-tahun pemerintah AS yang menjadi benchmark, naik sekitar 125 bps dalam tiga bulan terakhir. Faktor kedua yang menyebabkan penawaran tinggi dan permintaan rendah atas Rupiah adalah neraca nilai perdagangan Indonesia yang defisit. Artinya, ekspor lebih kecil daripada impor. Dalam Tabel 1 di bawah, kita bisa lihat, defisit neraca nilai perdagangan Indonesia selama Januari-Juli 2013 adalah -5,65 miliar Dollar AS. Sektor nonmigas sebenarnya mengalami surplus 1,99 miliar Dollar AS. Namun, surplus di sektor nonmigas tidak bisa mengimbangi defisit yang sangat besar di sektor migas, yakni sebesar -7,64 miliar Dollar AS.

Tabel 1

Neraca Nilai Perdagangan Indonesia, Januari-Juli 2013(Miliar US$)

Sumber: Badan Pusat Statistik, Berita Resmi Statistik, No. 58/09/Th. XVI, 2 September 2013, hlm. 14,

http://www.bps.go.id/brs_file/eksim_02sep13.pdf.

Dinamika ekspor-impor memang bisa berdampak pada nilai tukar mata uang. Ekspor meningkatkan permintaan atas mata uang negara eksportir, karena dalam ekspor, biasanya terjadi pertukaran mata uang negara tujuan dengan mata uang negara eksportir. Pertukaran ini terjadi karena si eksportir membutuhkan hasil akhir ekspor dalam bentuk mata uang negerinya agar bisa ia pakai dalam usahanya. Sebaliknya, impor meningkatkan penawaran atas mata uang negara importir, karena dalam impor, biasanya terjadi pertukaran mata uang negara importir dengan mata uang negara asal. Karena selama Januari-Juli 2013, impor Indonesia lebih besar daripada ekspornya, maka situasi ini telah melemahkan nilai tukar Rupiah.

Apa Dampak Melemahnya Rupiah?

Apa dampak pelemahan Rupiah? Ketika nilai tukar sebuah mata uang melemah, maka yang biasanya mencolok terkena dampaknya adalah harga komoditi impor, baik yang menjadi obyek konsumsi maupun alat produksi (bahan baku dan barang modal). Karena harga komoditi impor dipatok dengan mata uang negara asal, maka jika nilai mata uang negara tujuan jatuh, harga komoditi impor akan naik.

Misalnya, jika di Indonesia, nilai tukar Rupiah jatuh sebesar 10% dari 1 Dollar AS = 9.000 Rupiah menjadi 1 Dollar AS = 9.900 Rupiah, maka harga komoditi impor pun akan naik sebesar 10%. Komoditi yang harganya Rp1,5 juta akan naik Rp150 ribu menjadi Rp1,65 juta.

Dari data BPS, kita bisa lihat inflasi di bulan Juni adalah 1,03 persen, lalu meningkat menjadi 3,29 persen pada Juli. Sementara, pada bulan Agustus, inflasi turun menjadi 1,12 persen. Inflasi tahun kalender (Januari-Agustus) 2013 adalah 7,94 persen dan ini merupakan inflasi tahunan tertinggi sejak 2009. Untuk barang konsumsi, yang harganya akan naik bukan hanya barang-barang konsumsi impor, namun juga barang-barang konsumsi yang diproduksi di dalam negeri, tetapi (sebagian besar) alat-alat produksinya, terutama bahan bakunya, impor. Harga tahu tempe, misalnya, naik 20-25 persen, karena bahan bakunya berupa kedelai diimpor.

Saya belum mendapat data tentang proporsi alat-alat produksi impor dari total alat produksi di Indonesia. Namun, kita bisa mendapat gambaran kasar tentang hal ini dari perbandingan antara impor barang konsumsi, bahan baku/penolong dan barang modal di Indonesia. Kalau kita lihat Tabel 2, proporsi impor terbesar pada Januari-Juli 2013 adalah impor bahan baku/penolong, yakni 76,16% dari total impor. Kemudian urutan kedua ditempati oleh impor barang modal (mesin-mesin, dan sebagainya), sebesar 16,87% dari total impor. Di urutan terakhir baru kita dapati impor barang konsumsi dengan besaran 6,97% dari total impor. Dari data ini, kita bisa menduga bahwa penggunaan alat-alat produksi impor dalam industri Indonesia cukup tinggi.

Tabel 2Impor Indonesia Menurut Golongan Penggunaan Barang Januari-Juli 2013

Sumber: Badan Pusat Statistik, Berita Resmi Statistik, op. cit., hlm. 12.

Siapa saja yang akan terpukul oleh kenaikan harga komoditi impor ini? Pertama, konsumen, terutama konsumen kelas bawah, sejauh pendapatan mereka tidak bisa mengimbangi kenaikan harga barang. Kedua, pihak-pihak dalam rantai distribusi komoditi impor mulai dari importir sampai pengecer, karena mereka menghadapi pasar dalam negeri yang menyusut. Misalnya, belakangan ini, para importir bahan kebutuhan pokok di Batam sudah menghentikan aktivitas usahanya. Ketiga, para usahawan yang berorientasi pasar dalam negeri, namun alat-alat produksinya, terutama bahan bakunya, impor, seperti pengusaha tekstil, alas kaki, kemasan, dan sebagainya. Keempat, rakyat pekerja yang sudah terpukul dari sisi konsumsi akibat kenaikan harga barang, juga akan dijepit dari sisi upah oleh pengusaha yang terjepit oleh kenaikan harga alat-alat produksi impor, kenaikan nilai utang

luar negeri (dibahas di bawah), dan penyusutan pasar dalam negeri.

Namun, anjloknya Rupiah bukan hanya berdampak pada kenaikan harga komoditi impor saja. Dampak lainnya yang juga penting adalah kenaikan nominal Rupiah dari utang luar negeri, karena utang luar negeri dipatok dengan mata uang asing. Logikanya sama dengan dampak pelemahan Rupiah pada komoditi impor. Jika di Indonesia, nilai tukar Rupiah berbanding Dollar AS jatuh sebesar 30%, maka nominal Rupiah dari utang yang dipatok dalam Dollar AS akan naik sebesar 30%. Sampai dengan Maret 2013, total utang luar negeri Indonesia adalah 254,295 miliar Dollar AS, dengan utang pemerintah dan bank sentral sebesar 124,151 miliar Dollar AS serta utang swasta sebesar 130,144 miliar Dollar AS.

Apa dan siapa saja yang akan terpukul oleh kenaikan nominal Rupiah dari utang luar negeri Indonesia ini? Pertama, untuk utang swasta jelas (1) pengusaha yang berutang, dan (2) para pekerjanya yang akan ditekan oleh pengusaha yang berutang tersebut. Kedua, untuk utang pemerintah, yang akan terpukul adalah (1) anggaran negara atau APBN, dimana ketika anggaran terjepit, rezim neoliberal biasanya akan mengurangi atau mencabut subsidi untuk rakyat, sehingga (2) rakyat secara umum juga akan terkena dampaknya. Ketiga, pembayaran utang luar negeri cenderung akan meningkatkan penawaran atas Rupiah, karena uang Rupiah yang dimiliki pengutang harus ditukar dengan mata uang pembayaran utang. Akibatnya, nilai tukar Rupiah bisa semakin lemah.

Lalu, siapa yang diuntungkan oleh krisis Rupiah? Jika mata uang suatu negara melemah, maka yang diuntungkan adalah sektor ekspor yang bahan bakunya (sebagian besar) berasal dari dalam negeri. Misalnya, PT Energizer Indonesia yang memproduksi baterai Eveready yang sebagian besarnya diekspor, eksportir udang, dan eksportir kakao di Sulawesi Selatan. Namun, ini tidak berarti seluruh sektor ekspor Indonesia untung, karena banyak komoditi ekspor kita yang ditopang oleh bahan baku impor, sehingga keuntungan yang didapat dari kenaikan harga barang ekspor itu “dibatalkan” oleh harga bahan baku impornya yang mahal.

http://www.krisis-mata-uang-rupiah-2013-penyebab_18.htmlhttp://blogspot.com/2013/08-yang-mempengaruhi-kurs-mata-uang.html

Nama: Sri Ramadhani NstKelas: XII-IPS 1Pelajaran: Ekonomi

7 Mata Uang Paling Bermasalah di Dunia, Salah Satunya Rupiah

Liputan6.com, New York : Bagi sebagian akademisi, istilah 'troubled currency' bisa jadi merupakan istilah seni. Namun bagi orang yang tengah mengalami gangguan ekonomi, 'troubled currency' merupakan mata uang yang anjlok nilai tukarnya akibat terpaan tingkat inflasi yang tinggi.

4 Alasan Pelemahan Rupiah Membuat Pengusaha Kelimpungan

Seperti dilansir dari Business Insider, Senin (29/7/2013), nilai mata uang rendah membuat kepercayaan diri penggunanya menghilang. Saat daya belinya berkurang, seringkali para pengguna mata uang tersebut mencoba menekannya guna mendapatkan nilai tukar asing yang stabil. Saat permintaan mata uang menguap, maka nilai tukarnya terhadap asing pun melemah dan harga kebutuhan sehari-hari melonjak.

Seiring berkembangnya proses ini, ekspektasi kemampuan mata uang untuk mempertahankan daya belinya memburuk dan terjebak pada pergerakan ekonomi yang salah. Pada kondisi ekstrem, pergerakan ekonomi tersebut bisa berarti hiperinflasi dimana nilai inflasi berada di atas 50% per bulan. Kasus ini memang jarang terjadi, tapi hingga saat ini sedikitnya terdapat 56 kasus hiperinflasi.

Mata uang yang pernah bermasalah dalam sejarah - Rupiah Indonesia

Krisis keuangan Asia pada akhir 1990-an melahirkan banyak mata uang bermasalah. Rupiah Indonesia merupakan salah satu uang yang masuk ke dalam lingkaran tersebut. Pada 14 Agustus 1997, setelah mata uang baht dari Thailand mengalami kehancuran, nilai rupiah turun drastis. Hal tersebut membuat Indonesia bergantung pada dana pinjaman Internasional Monetary Fund (IMF).

Berbeda dengan prediksi IMF, nilai rupiah tidak membaik. Nilainya justru melemah parah dari 2.700 per dolar Amerika Serikat (AS) menjadi 16.000 pada waktu itu. Indonesia pun terjebak dalam pusaran krisis Asia saat itu.

Pada akhir Januari 1998, Presiden Soeharto menyadari bantuan IMF yang tak berguna dan menggunakan rencana kedua. Dalam agenda perubahan penanganan krisis tersebut, rupiah menguat 28% terahadap dolar AS.

Kasus yang terjadi di Indonesia terhitung unik, rupiah diperdagangkan bebas di pasar bursa asing dengan tingkat nilai tukar yang menguat. Terlebih maasalah nilai tukar mata uang yang muncul di bawah sistem moneter yang membatasi konvertibilitas mata uangnya.

Lingkungan ekonomi ini memberikan peluang bagi pasar gelap untuk menukar mata uang asing, dimana mata uang dalam negeri yang diperdagangkan bebas akan menentukan nilai tukarnya.

Ditambah lagi, pemerintah Soeharto yang terus mempublikasikan data ekonomi setelah rupiah mengalami pelemahan akibat inflasi. Di kebanyakan negara dengan mata uang yang melemah, kasus serupa tak terjadi. Memang benar, sejumlah rezim di berbagai negara yang menderita inflasi terkenal menyembunyikan fakta terkait inflasi yang dialaminya. Seringkali pemerintah membuat data inflasi sendiri guna menyembunyikan masalah ekonomi yang dialaminya.

Nilai tukar mata uang merupakan salah satu solusi masalah ini, Jika tersedia data nilai tukar mata uang di pasar bebas, maka nilai inflasi dapat diprediksi. Prinsip paritas daya beli (the principle of purchasing power parity/PPP) berubah tergantung nilai tukar mata uang dan perubahan harga. Maka untuk menghitung nilai inflasi di negara-negara yang mengalami pelemahan nilai mata uang memnutuhkan teori ekonomi selama puluhan tahun yang telah teruji.

Indonesia merupakan salah satu mata uang yang melemah akibat inflasi dan telah menjadi bagian dari sejarah. Sementara itu, masih ada enam negara yang saat ini tengah mengalami kehancuran nilai mata uangnya.

Berikut keenam negara dengan mata uang yang tak tahan akan peningkatan angka inflasi tersebut:

1. Iran

Gagasan untuk menjalankan Troubled Currencies Project muncul di tengah krisis inflasi Iran pada 2012. Pelemahan nilai tukar rial, Iran, merupakan akibat dari

beratnya sanksi pihak barat (Western)pada 2010. Nilai tukar resmi rial terhadap dolar saat itu berbeda sangat tipis dengan nilai tukar di pasar gelap. Sejak menerima dampak dari sanksi tersebut, perbedaan nilai tukarnya terlihat menguat.

Iran sempat mengalami penurunan permintaan mata uang terparah di awal September 2012 dan yang kedua terjadi di pertengahan Oktober, saat nilai inflasinya mencapai level hiperinflasi (lebih besar 50% per bulan).Dengan runtuhnya nilai rial, terjadi juga peningkatan di pasar gelap.

Namun sejak itu, rial mulai stabil, meski nilai inflasinya masih meingkat. Nilai inflasi tahunan Iran berada di level 74,2%.

2. Korea Utara

Selama bertahun-tahun nilai tukar won terhadap dolar tak banyak berubah. Hal tersebut menunjukkan kontrak devisa dan sejumlah peraturan terkait serta sanksi-sanksi keras terlah membuat nilai won melemah. Hal ini merupakan hal yang sehat bagi pasar gelap.

Disfungsi moneter Korea Utara didampingi masalah inflasi parah. Pada 2009, pemerintahnya mencoba mengatasi masalah tersebut dengan menerapkan program reformasi mata uang seperti program redemonasi yang akan memangkas dua digit pada nominal won saat ini.

Korea Utara diberikan setidaknya kurang dari dua minggu untuk menukar seluruh mata uangnya ke dalam pecahan baru.Maka pemerintah membatasi kuantitas jumlah won lama yang bisa ditukar dengan yang baru. Bagi para penduduk Korea Utara yang menyimpan terlalu banyak mata uang, program redenominasi merupakan program pemungutan pajak kekayaan secara efektif.

Kenyataannya, agak mengejutkan saat reformasi mata uang menyebarkan kepanikan di kalangan primitif Korea Utara, serta pasar-pasar barang dan jasa. Dengan reformasi mata uang, permintaan mata uang asing dapat diakselerasi sesuai dengan kebutuhan di pasar yang traansaksinya dilakukan dengan uang tunai. Akibatnya, nilai won anjlok akibat pasar perdagangan gelap mata uang.

Jadi apa yang terjadi pada tingkatan harga di Korea Utara secara keseluruhan pasca reformasi? Data nilai tukar mata uang pasar gelam memungkinkan munculnya prediksi nilai inflasi yang tepat.Seperti kepanikan pada 2009 memicu lonjakan inflasi di Korea Utara.

3. Argentina

Argentina sekali lagi bergulat dengan musuh lamanya, inflasi. Saat ini tampaknya sejarah inflasi di negara tersebut akan muncul kembali mengingat Argentina tengah goyah akibat krisis mata uang berbeda. Kendali modal dan neraca transaski yang tak seimbang ditambah sejumlah kebijakan anti bisnis berakibat pada penekanan mata uang Argentina, peso.

Belakangan ini, dalam pasar perdagangan gelap nilai tukar peso terhadap dolar tercatat sebesar 8,2, nilainya 34% lebih rendah dibanding nilai tukar resmi. Jumlah ini mengakibatkan nilai inflasi tahunan sebesar 24,8%.

Untuk saat ini, dampak dari meningkatnya nilai inflasi secara resmi disembunyikan oleh rezim price control (pengendalian harga) secara besar-besaran di Argentina. Pengendalian harga merupakan ketentuan pemerintah mengenai penetapan harga tertinggi suatu barang atau jasa untuk mencegah kenaikan harga barang atau jasa tersebut.

Namun langkah tersebut tak bisa bertahan dalam waktu lama. Pengendalian harga dalam jangka pendek ini hanya akan mendistorsi realitas ekonomi yang menyebabkan kelangkaan mata uang.

4. Venezuela

Venezuela juga bergantung pada pengendalian gina menekan masalah inflasinya, hasilnya pun sama menyedihkannya. Meski berperan sebagai negara kaya minyak, program belanja sosial di masa Chavez secara besar-besaran terus mengganggu keseimbangan ekonomi pemerintah, termasuk juga pendapatan dalam bentuk dolar terdenominasi di perusahaan minyak negara, PDVSA. Untuk mengisi kekosongan ini, bank sentral Venezuela telah menjalankan peningkatan nilai mata uang, mengurangi nominal mata uangnya, bolivar.

Langkah ini menyebabkan lonjakan inflasi, di negara yang sudah tak kaget lagi dengan tingkat inflasi tinggi. Nilai tukar bolivar terhadap dolar di pasar perdagangan mata uang gelap bernilai 34,42, membuat selisish 80,6% dengan nilai tukar resminya. Hal ini membuat tingkat inflasi tahunannya sebesar 249,3%.

5. Mesir

Di bawah pemerintah President Mursi dan sistem syariah, kondisi ekonomi di Mesir terus memburuk. Pengendalian modal dan harga telah menyebabkan kelangkaan dan penurunan nilai mata uang Mesir, pound. Akibanya para penduduk Mesir menyaksiskan inflasi mengacaukan standar biaya hidupnya. Pengendalian tersebut menyebabkan kelangkaan mata uang asing dan banyak barang lain seperti bensin. Dalam menghadapi kebijakan syariah yang keliru, statistik harga dan inflasi resmi semakin jauh dari realias. Selain itu pasar gelap menjadi sumber dukungan materi yang tak bisa disediakan pemerintah.

Kisah gagalnya ekonomi Mesir merupakan mata uang yang bermasalah dan masalah inflasi yang terjadi bersamaan. Pada 1 Juli 2013 (sebelum Mursi lengser), tingkat inflasi tahunan di Mesir sebesar 27,1%. Jumlah tersebut tiga kali lebih tinggi dibanding tingkat inflasi tahunan yang dilaporkan pemerintah sebelumnya.

6. Suriah

Perang sipil dan sanski ekonomi telah menghancurkan perekonomian negara. Dala upayanya mengalahkan sanksi-sanksi barat dan menyelamatkan mata uangnya, rezim Assad, dengan bantuan Iran, Rusia, dan China, mulai menjalankan seluruh bisnisnya menggunakan, rial, ruble dan renminbi. Keputusan ini melengkapi pernjanjian sebelumnya antara Suriah dan sekutunya yang berusaha menjaga ekonomi Suriah khususnya dalam kebutuhan hidup sehari-hari. Langkah ini juga mencakup pengiriman uang sejumlah US$ 500 juta per bulan dalam bentuk minyak dan arus kredit tak terbatas dengan Tehran untuk impor produk minyak dan makanan.

Menurut Perdana Menteri Suriah, Kadri Jamil mengungkapkan, dukungan pasokan kebutuhan sehari-hari tersebut penting karena ekonomi negara tersebut tengah hancur. Kekacauan ekonomi tersebut akibat upaya AS dan Inggris untuk menenggelamkan pound Suriah.

Dalam keputusasaan, upaya yang keliru untuk menyelamatkan mata uangnya yang terkena imbas inflasi, rezim Assad mengenakan penalti keras untuk perdagangan mata uang di pasar gelap. Strategi ini terbukti gagal dan dimanfaatkan oleh Iran pada Oktober 2012.

Dengan kondisi ekonomi seperti itu, nilai inflasinya diprediksi mencapai 29,1%. Saat ini Suriah tengah mengalami tingkat inflasi sebesar 68% per bulan. Artinya negara ini telah melebihi standar (nilai inflasi 50% per bulan) dan mengalami hyper inflasi. Hingga saat ini tak ada kepastian nilai mata uang Suriah bisa kembali membaik.

http://www.ekonomi.co.id

Kurs Mata Uang AsingOPINI | 13 April 2010 | 03:34 Dibaca: 4060   Komentar: 18   2

Penguatan rupiah terhadap dolar AS akhir-akhir ini lebih dipengaruhi oleh faktor  pasokan dolar yang naik akibat banyaknya spekulan asing yang masuk membawa dolar.

Kurs mata uang asing merupakan nilai tukar dari matauang lokal, misalnya Rupiah, terhadap mata uang asing, misalnya Dolar Amerika.

Nilai tukar antara dua matauang biasanya ditentukan oleh: (1) kekuatan dan potensi ekonomi dua negara pemilik matauang tersebut, (2) jumlah uang, baik yang beredar aktif maupun yang pasif dari masing-masing mata uang tersebut. Faktor yang pertama tersebut merupakan konsep yang sangat subyektif dan samar dan karena itu angka tepat dari hal tersebut sulit diketahui dengan pasti, dan tidak dapat ditentukan atau diukur dengan pasti melainkan hanya merupakan kira-kira saja; ia lebih merupakan hasil plebisit dari para pelaku pasar matauang.

Jika suatu matauang dinilai sudah tidak menggambarkan kenyataan nilai yang sebenarnya maka para pelaku pasar matauang akan mengubah asumsi mengenai kedua hal tersebut, akibatnya kurs matauang akan berubah. Misalnya jika para pelaku pasar menduga bahwa kekuatan ekonomi Indonesia selama ini telah dinilai 4 kali lipat terlalu tinggi, sehingga kurs mata uang Indonesia juga 4 kali lipat daripada yang seharusnya, maka mereka akan segera ‘mengoreksinya’. Inilah yang sesungguhnya terjadi pada waktu krisis moneter pada tahun 1998. Pada waktu itu para spekulan, yang kemudian diikuti beramai-ramai oleh masyarakat segera menjual rupiah dan membeli dolar; karena mereka menilai kurs atau harga dolar terhadap rupiah terlalu rendah daripada yang seharusnya. Akibatnya kurs dolar terhadap rupiah meloncat dari Rp. 2.200 per 1 dolar menjadi Rp.15.000 per dolar, sampai akhirnya mencapai titik yang agak stabil di sekitar Rp.10.000 per dolar, sampai sekarang. Demikanlah nilai kurs rupiah terhadap dolar dikoreksi atau direvaluasi oleh pasar sampai hanya tinggal seperempatnya ; yang mencerminkan juga direvaluasinya perkiraan kekuatan ekonomi Indonesia yang tercermin dari nilai uang pasifnya; karena uang pasif mencerminkan tingkat kredit, dan tingkat kredit mencerminkan tingkat pengerahan sumberdaya ekonomi masyarakat untuk ditransformasikan menjadi faktor-faktor produksi, yaitu menjadi mesin ekonomi.

Selanjutnya nilai tukar antar mata uang akan selalu berubah-ubah dipengaruhi oleh: (1) tingkat inflasi di kedua negara, (2) tingkat resiko masing-masing negara, (3) tingkat sukubunga simpanan di kedua negara, (4) preferensi terhadap mata uang tertentu, dan yang paling menentukan adalah (5) tingkat pasokan dan permintaan mata uang asing tersebut di negara setempat. Jika mesin produksi suatu negara mempunyai kapasitas cukup besar dan berjalan dengan baik maka penurunan nilai tukar yang terjadi akibat faktor ke-5 hanya merupakan gejolak sementara yang dapat diredam dengan mudah.

Misalnya jika permintaan akan mata uang dolar di Indonesia naik maka kurs atau harga dolar akan naik tehadap rupiah. Hal ini menyebabkan harga beli barang di Indonesia menjadi lebih murah bagi para pemegang dolar. Dan para eksportir di Indonesia yang menjual produknya dalam dolar mendapatkan rupiah yang lebih banyak. Dengan demikian ini mendorong orang di luar negeri untuk mengimpor dari Indonesia dan sekaligus merangsang para pengusaha di dalam negeri untuk mengekspor barang. Hal ini menyebabkan dolar mengalir masuk. Dan ketika pasokan dolar naik maka kurs dolar terhadap rupiah kembali turun. Demikianlah terdapat mekanisme otomatis yang akan mengadakan penyesuaian kembali untuk menstabilkan kurs dolar terhadap rupiah.

Tingkat resiko negara (country risk) adalah tingkat resiko yang disebabkan oleh adanya faktor ketidakpastian mengenai keadaan politik, keamanan dan ekonomi di suatu negara.yang dapat menyebabkan tergerusnya nilai tukar mata uang lokalnya. Negara-negara yang dinilai mudah bergejolak mempunyai tingkat resiko negara yang tinggi pula. Semakin stabil keadaan suatu negara semakin stabil pula nilai tukar matauangnya. Makin stabil nilai tukar (inflasi dan kurs) maka makin baik matauang tersebut sebagai alat penyimpan kekayaan, dan hal ini merupakan suatu nilai lebih.

Tingkat sukubunga (simpanan) disuatu negara merupakan peredam terhadap tingkat inflasinya. Jika tingkat sukubunga simpanan lebih rendah daripada inflasi maka dengan berlalunya waktu nilai riil matauang tersebut akan tergerus oleh inflasi. Akibatnya nilai tukarnya terhadap matauang lain juga melemah, kecuali jika matauang lain itu nilainya tergerus inflasi juga dalam tingkat yang sama atau lebih tinggi. Jika inflasi di Indonesia 7% sedang sukubunga simpanan adalah 6% sehingga nilai riil simpanan dalam rupiah berkurang 1%; sedang di Amerika Serikat inflasi 3% dan sukubunga simpanan 4% sehingga nilai riil simpanan dalam dolar Amerika naik 1%; maka kurs dolar Amerika akan menguat sebesar 2% terhadap rupiah. Jika country risk Indonesia bertambah menjadi lebih besar 1% dibandingkan dengan Amerika maka penguatan Dolar Amerika pun bertambah menjadi 3%.

Jika tingkat sukubunga simpanan riil dikurangi dengan country risk di Indonesia lebih kecil daripada di Amerika Serikat maka para penabung akan terdorong untuk menukarkan rupiahnya dengan dolar (akibatnya permintaan akan dolar naik, kemudian kurs rupiah akan melemah terhadap dolar) dan menyimpan dananya di AS. Sehingga selama tidak ada keseimbangan maka kurs dolar terhadap rupiah akan naik secara terus menerus, dan dana dari Indonesia mengalir keluar. Jadi agar tidak terjadi pelarian dana dan pelemahan kurs rupiah terus menerus tersebut maka sukubunga simpanan di Indonesia harus dinaikkan sebesar 3% sehingga menjadi 9% agar terdapat keseimbangan.

Dari gambaran mekanisme penyesuaian kurs tersebut dapat dimaklumi bahwa ketika bank sentral Amerika Serikat (Federal Reserve) menaikkan sukubunganya maka semua negara akan bereaksi pula dengan menaikkan pula sukubunganya. Kalau tidak maka uang dan devisa dari negara-negara tersebut akan tersedot keluar, ke Amerika Serikat, dan kurs mata uang mereka terhadap Dolar Amerika akan anjlok. Seperti air mengalir ke tempat yang lebih rendah, demikianlah dana global akan mengalir ke tempat yang lebih memberikan keuntungan.

Penguatan rupiah terhadap dolar AS akhir-akhir ini lebih dipengaruhi oleh faktor ke-5 yaitu pasokan dolar yang naik akibat banyaknya spekulan asing yang masuk membawa dolar.

http://ekonomi.kompasiana.com/bisnis/2010/04/13/kurs-mata-uang-asing-96172.html