deviasi septum hidung
TRANSCRIPT
Pendahuluan
Hidung tersumbat merupakan permasalahan tersering pada pasien otorhinolaryngological.
Sumbatan hidung ini adalah salah satu gejala khas dari pasien deviasi septum hidung (DSH).
Deviasi septum hidung (DSH) merupakan kondisi dimana nasal septum (septum hidung)
secara signifikan tidak terletah ditengah-tengah, bengkok, dan mengecilkan saluran nafas.
Bentuk septum yang menghalangi saluran nafas tersebutlah yang menjadi penyebab keluhan
hidung tersumbat pada pasien DSH.
Pasien DSH sering mengalami sinusitis dan epistaksis yang berulang akibat kondisi
sumbatan hidung tersebut. kondisi ini dapat terjadi karena sumbatan hidung menyebabkan
mucocilliary system terganggu sehingga risiko sekret mucus tertumpuk dalam sinus
meningkat. DSH juga dapat menyebabkan pasien mengalami henti nafas ketika tidur (sleep
apnea). Prevalensi kejadian DSH di dunia cukup tinggi. Penelitian yang dilakukan oleh Gray
terhadap 2380 anak, mendapatkan 59% mengalami DSH sementara pada orang dewasa
hingga 79%. Tingginya prevalensi dan buruknya keluhan yang ditimbulkan DSH, membuat
penyakit ini penting untuk dibahas lebih detail.
Penatalaksanaan pasien DSH dapat berupa pengobatan yang dapat meringankan
keluhan dan tindakan operasi yang secara langsung membenahi posisi septum hidung. Obat-
obatan seperti dekongestan dan anti-histamin hanya dapat mengurangi keluhan pasien
sementara oleh karena, obat ini tidak dapat memperbaiki keadaan septum yang abnormal.
Tindakan operasi untuk membenahi septum hidung (septoplasty) dapat menghilangkan
keluhan pasien DSH secara permanen, tetapi tindakan operasi ini berisiko menimbulkan
beberapa komplikasi pada hidung pasien.
Oleh karena itu, dalam kesempatan ini penulis menelusuri lebih lanjut literatur yang
membahas mengenai DSH yang berkaitan dengan etiologi, patofisiologi, faktor risiko,
manifestasi klinis, diagnosis, penatalaksanaan, pencegahan, komplikasi dan prognosis.
diharapkan dengan terselesaiknaya essay ini, pemahaman para calon dokter terhadap DSH
dapat meningkat.
1
Anatomi Normal dan Definisi Deviasi Septum Hidung
Nasal Septum (septum hidung) adalah pembagi nasal cavity secara vertikal menjadi dua
bagian. Nasal septum tersusun atas cartilage dan segmen tulang. Bagian septum cartilage
merupakan lempengan pipih yang berbentuk segi empat ireguler dan berartikulasi dengan:
a. premaxilla inferiorly;
b. vomer posteroinferiorly;
c. perpendicular plate of the ethmoid bone posterosuperiorly (Metta & Ralph 2005;
Hansen, 2010).
Gambar 1. Anatomi nasal septum (septum hidung)
Deviasi septum hidung (DSH) merupakan kondisi dimana septum hidung secara signifikan
tidak terletah ditengah-tengah, bengkok, dan mengecilkan saluran nafas. Kebanyakan orang
memiliki septum yang memang tidak terletak ditengah-tengah, namun ketidak seimbangan ini
sangat kecil, dan hanya mengganggu sedikit dari jalur pernafasan. Oleh sebab itu hanya 80%
orang yang menyadari mengalami ketidak sejajaran septum nasi (Baumman 2007; Johnson,
2012; Rehman et all, 2012).
2
Epidemiologi, Etiologi dan Faktor Risiko
DSH dapat disebabkan oleh tiga hal yakni akibat kelainan kongenital/herediter, akibat trauma
dan akibat penuaan. DSH yang disebabkan kelainan kongenital/herediter diperkirakan terjadi
akibat abnormalitas proses kelahiran atau murni terdapat kelainan genetik pembentuk hidung.
DSH yang disebabkan trauma dapat terjadi akibat kegagalan remodeling cedera cartilage dan
tulang hidung membentuk septum secara simetris. Sementara DSH pada penuaan terjadi
akibat semakin buruknya kemampuan regenerasi cartilage hidung. (Johnson,2013; Rehman et
all, 2012; Spiegel & Numa, 2008).
Faktor risiko dari DSH dapat dianalisa dari ketiga sebab DSH. Risiko DSH yang
terjadi sejak lahir akan meningkat pada ibu primipara (ibu yang melahirkan bayi hidup
pertama kali), bayi berat badan lebih dari normal yang lahir melalui jalur vagina, dan posisi
bayi sungsang. Sementara risiko DSH akibat trauma akan meningkat bila seseorang tidak
menggunakan sabuk pengaman dalam mengendarai kendaraan bermotor dan mengikuti jenis
olahraga yang banyak kontak tubuh antar pemain (contact sport) (Johnson, 2012, Spiegel &
Numa, 2008).
Prevalensi kejadian DSH di dunia cukup tinggi. Penelitian yang dilakukan oleh Gray
terhadap 2380 anak, mendapatkan 27% mengalami DSH bilateral dan 31% mengalami
unilateral. Van der Veken mendapatkan prevalensi DSH pada anak-anak mengalami
peningkatan dari 16% menjadi 75% seiring dengan meningkatnya usia anak dari 13 ke 14
tahun. Sementara prevalensi kasus DSH pada orang dewasa ditemukan rerata kasus hingga
79%. Penelitian radiologis lain dalam populasi kontrol mendapatkan rerata kasus DSH lebih
rendah, yakni 19,5% dan 24% (Rehman et all, 2012).
Tipe Deviasi Septum Hidung dan Patofisiologinya Masing-masing
Walaupun pasien DSH umumnya tidak memiliki riwayat trauma ketika lahir, namun posisi
abnormal fetus dalam kandungan (seperti posisi sungsang) dapat memberikan kompresi
persisten terhadap hidung dan rahang bagian atas. Keadaan ini menyebabkan pergeseran dari
septum dapat terjadi. Pergeseran atau dislokasi ini lebih sering terjadi pada primipara (ibu
yang melahirkan bayi hidup pertama kali). Dislokasi yang terjadi menyebabkan pembentukan
hidung tak simetris. Pada DSH yang melibatkan semua komponen septum disebabkan oleh
3
kompresi pada maxilla sesuai dengan teori birth molding sedangkan, deformitas pada anterior
cartilago dari quadrilateral septal cartilage disebabkan oleh trauma secara langsung.
Pertumbuhan yang berbeda pada septum nasi dan palatum menyebabkan septum mengalami
tekanan (Baumman 2007; Rehman et all, 2012).
Berdasarkan morfologi patologis yang terjadi, DSH dapat diklasifikasikan menjadi 6
kelompok (tabel 1). Trauma dapat mengakibatkan cedera pada bagian hidung lateral atau
frontal. Cedera pada lempeng nasal septum ini dapat membentuk tulang hidung yang pipih
dan miring, segmentasi overriding, robekan pada lapisan mukosa dan fraktur pada nasal
spine. Septum nasi yang tidak simetris terjadi akibat kegagalan remodeling cartilage dan
tulang hidung setelah mengalami cedera (Baumman 2007).
Tabel 1. Klasifikasi deviasi septum nasi dan keadaan patologis yang menyertai
4
Gamabar 2. Morfologi dari 6 tipe DSH
Manifestasi Klinis
Gejala dari DSH yang paling umum adalah kongesti pada cavum nasi. Kongesti yang terjadi
lebih dominan di satu sisi dan disertai dengan kesulitan bernafas. Manifestasi lain dari DSH
adalah terjadinya infeksi sinus yang berulang, epistaxis, nyeri pada wajah, sakit kepala,
postnasal drip, nafas yang berat dan mendengkur ketika tidur. DSH juga dapat menyebabkan
pasien mengalami henti nafas ketika tidur (sleep apnea) (Spiegel & Numa, 2008; webMD,
2012).
Diagnosis dan Diagnosis Banding
Dalam anamnesis umumnya pasien DSH mengeluh mengalami hidung tersumbat, gatal,
bersin, dan sering mengalami aqueous rhinorrhea. Untuk memeriksa hidung diperlukan
spektulum hidung dengan sebelumnya diberikan agen vasokonstriktif. Hal-hal yang perlu
diamati adalah ditemukanya pergeseran dari septum hidung, hipertrofi dari concha hidung,
hyperemia, paleness, cyanosis dari mukosa hidung atau degenerasi concha, untuk
menyingkirkan dugaan terjadinya infeksi. Untuk lebih memastikan diagnosa DSH diperlukan
pemeriksaan endoskopi hidung dan CT-Scan (Baumman 2007; Johnson, 2012; Rehman et all,
2012).
Terdapat beberapa diagnosis banding dari DSH, yaitu:
a) Polyp hidung: pertumbuhan berlebih dari mukosa hidung yang terdorong ke arah
lumen cavum nasi. Polyp juga meyebabkan hidung pasien tersumbat. Perbedaan polyp
dan DSH dapat ditemukan melalui pemeriksaan CT-Scan atau biopsy (Lalwani,
2008).
b) Septal hematoma: merupakan perdarahan yang sering terjadi secara bilateral diantara
subperichondrial plane of the septum. Apabila perdarahan ini dibiarkan, fibrosis dari
septal cartilage akan terjadi, sehingga akan terdapat deformitas saddle nose. Tanda
khas hematoma ditemukanya edema septal yang parah dan rasa halus yang terlokalisir
(Lalwani, 2008).
c) Hypertrophied turbinate’s : merupakan pembesaran concha yang memberikan gejala
hidung tersumbat, mirip dengan gejala DSH (Willat, 2009).
5
Penatalaksanaan
Pengobatan pada pasien DSH hanya diberikan bila ketidakseimbangan pembagian septum
nasi sangat berat. Keluhan pada pasien DSH dapat diredakan dengan menggunakan
decongestant dengan mekanisme mengurangi kongesti pada hidung. Kongesti hidung yang
berkurang dapat melancarkan aliran udara dalam cavum nasi. Antihistamin juga dapat
digunakan untuk mencegah timbulnya keluhan alergi seperti rhinorrhea. Obat lain yang dapat
mengurangi keluhan pasien DSH adalah nasal steroid sprays yang bekerja dengan
mekanisme meredakan inflamasi serta menghambat rhinorrhea. Secara keseluruhan, obat-
obatan hanya dapat melegakan keluhan pasien DSH sementara tetapi tidak dapat
memperbaiki deviasi septum (webMD, 2012).
DSH dapat ditangani dengan tindakan operasi pada septum yang abnormal
(septoplasty) hingga perbaikan hidung (rhinoplasty). Indikasi operasi dilaksanakan bila
terjadi sumbatan jalan nafas yang signifikan, sinusitis kronis dan epistaksis yang terjadi terus-
menerus. Dalam septoplasty, nasal septum pasien akan direposisikan ulang sehingga benar-
benar terletak di tengah-tengah hidung. Tindakan ini memerlukan pemotongan dan
mengambil sedikit bagian septum sebelum disusun kembali dalam posisi yang sesuai.
Banyaknya modifikasi yang dilakukan dokter bedah bergantung pada tingkat keparahan
DSH. Septoplasty dapat menghilangkan keluhan pasien DSH yang berkaitan dengan
penyimpangan posisi septum, seperti epistaxis, hidung tersumbat. Meskipun kedua keluhan
tersebut dapat diobati dengan septoplasty, namun keluhan penyerta lain seperti sinus dan
alergi tidak dapat diobati dengan teknik ini. Rhinoplasty dilaksanakan bersamaan dengan
septoplasty. Rhinoplasty memiliki tujuan yang berbeda dengan septoplasty yaitu, membentuk
ulang hidung pasien (Matthias, 2007; webMD, 2012).
Prognosis dan Komplikasi
DSH yang tidak tertangani dapat menyebabkan sinusitis, epistaksis dan rhinitis yang
berulang. Sebaliknya, bila DSH ditangani melalui prosedur septoplasty dan rhinoplasty
terbukti membuat lebih dari 90% pasien dapat kembali bernafas dengan normal. Literatur lain
menyatakan kesalahan prosedur dan indikasi yang kurang tepat justru mengakibatkan
beberapa komplikasi yang membahayakan setelah tindakan septoplasty dilakukan.
Komplikasi ini antara lain: infeksi, hematoma, abses, Intranasal adhesions (synechia),
perforasi septum, gangguan penciuman, dan perubahan bentuk luar hidung (Matthias, 2007;
Hansen, 2010).
6
Pencegahan dan KIE
Pencegahan DSH dapat dilakukan dengan menghindari faktor risiko trauma hidung. Salah
satu cara untuk menghindarinya adalah dengan menggunakan sabuk pengaman ketika
mengendarai kendaraan bermotor. Pada atlet yang mengikuti olahraga yang memungkinkan
terjadinya banyak kontak tubuh antar pemain (seperti rugby, hookey, dan lainya) disarankan
untuk menggunakan pelindung kepala (helm). Pasien yang telah mengalami DSH perlu
diberikan edukasi mengenai allergen dan cara menghindarinya, agar tidak terjadi rhinitis
yang berulang (Rehman et al, 2012).
7
Kesimpulan
Deviasi septum hidung (DSH) merupakan kondisi dimana septum hidung secara signifikan
tidak terletah ditengah-tengah, bengkok, dan mengecilkan saluran nafas. Keadaan ini
disebabkan oleh tiga hal yakni akibat kelainan kongenital/herediter, akibat trauma dan akibat
penuaan. Risiko kejadian DSH akan meningkat bila salah satu atau ketiga hal tersebut terjadi.
Prevalensi kejadian DSH di dunia cukup tinggi. Diperkirakan 58% anak-anak dan
79% orang dewasa mengalami DSH. Khusus untuk prevalensi DSH pada anak-anak
mengalami peningkatan dari 16% menjadi 75% seiring dengan meningkatnya usia anak dari
13 ke 14 tahun. Meskipun prevalensi DSH cukup tinggi, namun hanya sedikit pasien DSH
mengalami gangguan hidung yang signifikan.
DSH dimulai dengan cedera pada lempeng nasal septum sehingga terjadi segmentasi
overriding, robekan pada lapisan mukosa dan fraktur pada nasal spine. Septum nasi yang
tidak simetris akan terbentuk akibat kegagalan remodeling cartilage dan tulang hidung
setelah mengalami cedera tersebut. Keadaan yang dapat menimbulkan cedera pada lempeng
nasal septum seperti posisi bayi abnormal, atau trauma langsung terhadap hidung.
Gejala dari DSH yang paling umum adalah kongesti pada cavum nasi. Kongesti yang
terjadi lebih dominan di satu sisi dan disertai dengan kesulitan bernafas. Gejala ini mirip
dengan gejala penyakit hidung lainya seperti polyp hidung, septal hematoma, dan
hypertrophied turbinate’s. Pemeriksaan fisik yang lebih cermat yang dibantu dengan CT-
Scan dapat membedakan DSH dengan penyakit hidung lain, sekaligus memastikan diagnosa
DSH.
Penatalaksanaan pasien DSH dapat berupa pengobatan yang dapat meringankan
keluhan dan tindakan operasi yang secara langsung membenahi posisi septum hidung. Obat-
obatan seperti dekongestan dan anti-histamin dapat meringankan keluhan penderita DSH
sementara. Penghilangan keluhan seara permanen hanya dapat dilakukan dengan tindakan
operasi untuk membenahi septum hidung (septoplasty) dan rhinoplasty. Prosedur septoplasty
dan rhinoplasty terbukti membuat lebih dari 90% pasien dapat kembali bernafas dengan
8
normal. Komplikasi dari tindakan ini dapat dihindari dengan melaksanakan tindakan sesuai
prosedur dan indikasi yang tepat.
Pencegahan DSH dapat dilakukan dengan menghindari faktor risiko trauma hidung
seperti dengan menggunakan sabuk pengaman ketika mengendarai kendaraan bermotor dan
menggunakan pelindung kepala (helm). Pasien yang telah mengalami DSH perlu diberikan
edukasi untuk menghindari allergen agar tidak terjadi rhinitis yang berulang.
9
Daftar Pustaka
Baumann, Ingo. (2010), “Quality of life before and after septoplasty and rhinoplasty”, GMS
Current Topics in Otorhinolaryngology - Head and Neck Surgery 2010, Vol. 9
_____________ and Baumann, Helmut. (2007), “A new classification of septal deviations”,
Journal Rhinology, Vol.45, pp.220-223
“Deviated septum”, (2011, July 16 – last uptade), (Mayoo Clinic), Available:
http://www.mayoclinic.com/health/deviated-septum/DS00977 (Accesed: 2013, June
20).
Hansen, Jhon T. (2010), Head and Neck, in : Netter’s Clinical Anatomy, Saunders,
Philadelphia, pp. 396,463
Johnson, Kimball (2012, August 13 – last update), “Deviated septum”, (WebMD), Available:
http://www.webmd.com/allergies/deviated-septum (Accesed: 2013, June 20).
Mehta, Dinesh & Ralph Jr., Walter M. (2005), Surgical Anatomy of the Nose and Paranasal
Sinuses, in: Water, Thomas R.Van De & Staecker, Hinrich. (eds) Otolaryngology:
Basic Science and Clinical Review, Thieme, New York, pp. 459-460
Matthias, Christoph. (2007), “Surgery of the nasal septum and turbinates”, GMS Current
Topics in Otorhinolaryngology - Head and Neck Surgery 2007, Vol. 6
Rehman A, Hamid S, Ahmad M, Rashid, AF. (2012), “A Prospective Study of Nasal Septal
Deformities in Kashmiri Population Attending a Tertiary Care Hospital”,
International Journal of Otolaryngology and Head & Neck Surgery, Vol.1, pp.77-84
Spiegel, Jeffrey H. & Numa, William (2008), Nasal Trauma, in: Lalwani, Anil K. (ed)
Current Diagnosis & Treatment In Otolaryngology—Head & Neck Surgery, The
McGraw-Hill Companies, United States of America, pp. 248-255
10
Willatt, David. (2009), “The evidence for reducing inferior turbinates”, Journal Rhinology,
Vol.47, pp. 227-236
11