developmental state di asia timur dan implementasinya di indonesia
DESCRIPTION
Untuk memahami dan menjelaskan faktor kesuksesan dan kegagalan developmental state, kita harus menempatkan isu ini ke dalam konteks globalisasi, sehingga akan muncul lebih banyak variabel lain yang muncul mempengaruhi atau bahkan menghambat developmental state itu sendiri. Berbagai pertanyaan seperti apakah demokrasi lebih lemah dibanding authoritarian dalam konteks kepemerintahan ekonomi? Mengapa developmental state yang sukses diterapkan di Asia Timur justru menemui kegagalan ketika diterapkan di Asia Tenggara? dan Dapatkah Indonesia menjadi makmur dengan kehidupan demokrasi dan reformasi ekonomi? semuanya akan dibahas dalam makalah ini.TRANSCRIPT
1
Developmental State di Asia Timur dan Implementasinya di Indonesia
Oleh: Eva Novi Karina, S.IP*
Menurut Chalmer Johnson (Chumming: 2000), developmental state adalah suatu paradigma
yang mempengaruhi arah dan kecepatan pembangunan ekonomi dengan secara langsung
mengintervensi proses pembangunan—yang berbanding terbalik dengan cara berpikir yang
mengandalkan kekuatan pasar—dalam mengalokasikan sumber daya ekonomi. Paradigma ini
membangun tujuan substantif sosial dan ekonomi yang memandu proses pembangunan dan
mobilisasi sosial. Karakteristik dari paradigma ini adalah negara yang kuat, peran dominan
pemerintah, rasionalitas teknokratik dalam pembuatan kebijakan ekonomi, birokrasi yang
otonom dan kompeten serta terlepas dari pengaruh kepentingan politik. Secara detil dalam
Johnson’s formulation (Pei-Shan Lee, 2002), bahwa yang dimaksud dengan developmental
state adalah salah satu dari di bawah ini :
1. memprioritaskan pertumbuhan ekonomi dan produksi (sebaliknya dari konsumsi dan
distribusi) sebagai tujuan fundamental dari kegiatan negara.
2. merekrut aparat birokrasi ekonomi yang bertalenta tinggi, kohesif dan disiplin dengan
basis merit.
3. mengkonsentrasikan talenta birokrasi ke dalam lembaga sentral (seperti MITI di
Jepang) yang bertanggung jawab atas tugas transformasi industrial.
4. melembagakan hubungan antar birokrasi dengan elit bisnis dalam rangka pertukaran
informasi dan mendorong kerjasama dalam keputusan-keputusan penting berdasarkan
pembuatan kebijakan yang efektif.
5. melindungi jaringan pengambil kebijakan dari tekanan kepentingan dan tuntutan
lainnya.
6. mengimplementasikan kebijakan pembangunan dengan kombinasi jaringan kerja
pemerintah dengan dunia industrial dan kontrol publik atas sumber daya, seperti
keuangan.
* penulis adalah mahasiswa pascasarjana Universitas Gadjah Mada (UGM) pada studi Global Trade Diplomacy tahun 2012/2013.
2
Inti dari paradigma ini adalah peranan dominan lembaga eksekutif. Yang dimaksud dengan
lembaga eksekutif disini adalah otoritas administratif dan kekuatan politik. Jadi paradigma ini
dimaksudkan untuk menegaskan peran pemerintah dalam 3 ekonomi pasar. Kinerja ekonomi
dibangun melalui penataan kelembagaan yang kuat yang dilakukan oleh pemerintah. Ini biasa
dikenal dengan proses pembangunan ekonomi terrencana. Pemerintah menyelenggarakan
ekonomi terencana ini melalui lembaga yang ditunjuk khusus yang bertanggung jawab atas
tugas mengarahkan pembangunan itu sendiri, dan menjalankan beragam alat kebijakan untuk
memastikan kegiatan bisnis tetap terpelihara dan terkelola dalam kerangka kepentingan
nasional. Hal ini dianggap sebagai prasyarat penting dalam mengelola proses pembangunan.
Namun demikian dalam menjalankan konsep developmental state, adalah penting untuk
memiliki birokrasi yang bertanggung jawab dan kompeten. Dalam hubungan ini Moon (2002)
menjelaskan bahwa organisasi harus terdiri atas individu-individu yang sangat mampu
(capable) yang direkrut melalui persaingan yang terbuka. Mereka ini memiliki kemampuan
analitik dan kompetensi teknis. Ini adalah sebuah keharusan, karena apabila tidak terpenuhi
maka paradigma ini tidak akan dapat membangun ekonomi dengan arah yang benar.
Beeson (2002) menjelaskan bahwa kunci untuk menjalankan development stateyang efektif
adalah kapasitas negara (state capacity), yaitu kemampuan untuk memformulasikan dan
mengimplementasikan kebijakan pembangunan. Selain birokrasi yang kompeten juga
diperlukan hubungan yang efektif dengan dunia usaha sebagai titik penting dalam inisiatif-
inisiatif pembangunan yang berhasil.
Untuk memahami dan menjelaskan faktor kesuksesan dan kegagalan developmental state, kita
harus menempatkan isu ini ke dalam konteks globalisasi, sehingga akan muncul lebih banyak
variabel lain yang muncul mempengaruhi atau bahkan menghambat developmental state itu
sendiri.
Tantangan Globalisasi
Paling tidak ada dua isu besar di seputar konsep developmental state, yaitu demokratisasi dan
masa depan developmental state itu sendiri. Suka atau tidak, demokrasi sebenarnya
melemahkan kekuasaan negara yang sebelumnya sangat besar. Demokrasi tidak hanya
meruntuhkan rejim kolot dari posisi kekuasaan dan dominasi politik yang telah berlangsung
lama. Transisi rejim penguasa dari authoritarian ke demokrasi juga telah mengurai “kerumitan”
3
selama ini di mana fondasi institusional developmental state terhambat dan dirusak oleh
permainan politik dan konstitusional.
Pertanyaan lebih jauh adalah apakah demokrasi lebih lemah dibanding authoritarian dalam
konteks kepemerintahan ekonomi? Karena fakta menunjukkan bahwa sejak angin
demokratisasi dihembuskan, terdapat penurunan kehidupan ekonomi yang signifikan.
Sehingga demokratisasi sebagai sebuah proses global dipandang relatif kontra produktif
dengan kemajuan kehidupan ekonomi.
Sementara menurut saya yang terjadi di Indonesia salah satunya adalah lembaga-lembaga
internasional terlalu turut campur dan menekan pihak Indonesia untuk mengimplementasikan
kebijakan ekonomi sesuai selera mereka. Variabel non-ekonomi seperti demokrasi, HAM dan
sebagainya dijadikan instrumen prasyarat sebelum mendapatkan bantuan finansial. Lembaga
internasional pada dasarnya telah mengambil alih fungsi negara (kedaulatan) dalam hal
penentuan kebijakan ekonomi.
Selanjutnya Beeson (2002) menjelaskan bahwa pembangunan ekonomi (economic
development), terlepas dari pertumbuhan ekonomi (economic growth) harus
mengkombinasikan elemen pertumbuhan berlanjut (self-sustaining growth), perubahan
struktural dalam pola produksi, pengembangan teknologi, modernisasi sosial, politik dan
institusional, dan yang terakhir adalah perbaikan kondisi manusia.
Menurut Mas’oed, adalah menarik bahwa sebenarnya ekonomi global atau masyarakat global
yang murni itu belum eksis. Pada saat proses globalisasi berjalan dan mengarah sangatlah
tergantung dari bagaimana kita menolak atau menerima proses tersebut.
Pada akhirnya semua negara akan terkena dampak proses-proses global, tetapi reformasi
ekonomi harus tetap berjalan, yang salah satunya bias terwujud apabila ada 6 siatuasi kondusif
dalam hubungan internasional. Ini tidak hanya membutuhkan kerjasama internasional, tetapi
juga itikad baik dan itikad politik dari pemimpin. Tentunya pembangunan ekonomi yang sukses
tergantung pula pada aksi developmental state dengan pemanfaatan kapasitas negara yang
efektif untuk mencapai tujuan pembangunan. Reformasi ekonomi harus meliputi kebijakan
ekonomi makro dan pembuat kebijakan itu sendiri. Dalam taraf tertentu negara tetap
melanjutkan peran pentingnya dalam melanjutkan pembangunan ekonomi nasional.
Pengalaman Negara Asia Timur
4
Pengalaman Jepang—dan kebanyakan negara yang menirunya seperti Taiwan dan Korea
Selatan—adalah contoh yang dapat menjelaskan cara kerja paradigma developmental state.
Beeson (2002) menjelaskan bahwa inti dari developmental state Jepang adalah birokrasi yang
kompeten yang berkomitmen untuk mengimplementasikan proses pembangunan ekonomi
yang terrencana. Di negara-negara tersebut, kapasitas negara (state capacity) yang mapan atau
kemampuan untuk melaksanakan kebijakan industri yang beragam. Mereka juga mempunyai
birokrasi yang ekstensif dan relatif efisien, serta diisi oleh staf yang termasuk talenta-talenta
nasional yang terbaik. Lembaga birokrasi ini tidak hanya merekrut talenta terbaik, mereka juga
mampu memanfaatkan alat-alat kebijakan yang memberikan kepada mereka otoritas lebih
terhadap entitas bisnis.
Di Jepang, MITI dan Menteri Keuangan mempunyai kapasitas untuk mengendalikan tabungan
domestik (domestic savings) untuk menyediakan kredit murah bagi industri-industri tertentu.
Melalui cara ini, perencana Jepang mampu memandu proses industrialisasi sejak dini, dan juga
mendorong lebih banyak industri yang bernilai tinggi, sedangkan industri yang sudah tua
dipindahkan ke negara lain. Pola intervensi negara ini telah ditiru oleh banyak negara dengan
tingkat kesuksesan yang berbeda. Negara tetangga seperti Taiwan dan Korea meniru
pengalaman Jepang lebih dini dan dapat dikatakan sukses, sementara negara-negara Asia
Tenggara meniru belakangan dengan hasil yang berbede-beda.
Menurut Beeson (2002) adalah penting untuk diingat bahwa negara-negara Asia Tenggara,
dibandingkan dengan negara-negara Asia Timur, tidak hanya lemah dari segi sumber daya dan
kapasitas, akan tetapi juga mereka dihadapkan pada pelaksanaan pembangunan yang sangat
terlambat. Oleh karenanya efektivitas 7 implementasi developmental state pada sistem
internasional yang sekarang menjadi perlu dikaji lagi.
Developmental State di Asia Tenggara
Developmental state tidak terbantahkan merupakan instrumental penting dalam keajaiban
ekonomi Asia Timur. Oleh karenanya beberapa pemikir berpendapat bahwa model ini cocok
untuk ditiru oleh regional lain, seperti negara-negara Asia Tenggara. Sebelum membahas lebih
lanjut, perlu kita membuat perkecualian untuk Singapura, selain karena secara ekonomi sudah
sangat mapan, Singapura juga sudah dianggap sebagai negara maju.
Negara-negara Asia Tenggara mencoba mengikuti model ini dengan mengimplementasikan
ekonomi yang terrencana. Di awal perjalanannya kelihatan cukup menjanjikan, diindikasikan
5
dengan angka pertumbuhan ekonomi yang mengagumkan. Namun demikian ketika krisis
ekonomi melanda kawasan regional tahun 1997, tiba-tiba semuanya runtuh. Fondasi ekonomi
ternyata sangat lemah, dan negara dalam hal ini dianggap terlalu jauh memainkan perannya,
sehingga melemahkan yang lainnya. Pemimpin keasyikan oleh dunia kekuasaan dan otonomi
yang luas, ditambah dengan lemahnya mekanisme kontrol dari lembaga legislatif dan yudikatif.
Hal ini menyebabkan situasi menjadi rentan ketika ancaman datang dan merusaknya. Krisis ini
telah menyadarkan orang akan citra pertumbuhan ekonomi yang semu. Model kekuasaan yang
dikelola dengan budaya kroni-kapitalisme, termasuk budaya korupsi dan inefisiensi ternyata
tidak bisa selaras berjalan dengan dinamika globalisasi yang kompetitif.
Jika kita menelaah seberapa jauh developmental state diimplementasikan di Indonesia (pada
masa rejim Orde Baru), berdasarkan Johnson’s formulation, kita menemukan bahwa beberapa
poin dalam formulasi ini sebenarnya terpenuhi, seperti misalnya prioritas akan pertumbuhan
ekonomi dan produksi yang tinggi (yang berbeda dengan konsumsi dan distribusi) sebagai
tujuan mendasar dari kegiatan negara, serta melembagakan hubungan antara birokrasi dengan
elit bisnis dalam rangka pertukaran informasi dan mendorong kerjasama dalam keputusan-
keputusan penting.
Sayangnya sistem rekrutmen yang lemah (penuh kolusi dan korup) telah menghambat
perekrutan dan pembentukan birokrasi ekonomi yang bertalenta, kohesif dan disiplin dengan
basis merit system. Alhasil tidak ada perlindungan terhadap jaringan kebijakan dari tekanan
kepentingan dan tuntutan kompromi yang terus berkembang.
Dalam hal globalisasi ekonomi, terdapat beberapa masalah dengan disiplin fiskal, baik dalam
level pembuatan kebijakan maupun di tataran implementasi. Dan ini merupakan proses yang
masih terus berlanjut dalam mengarahkan pengeluaran negara ke bidang yang menawarkan
pengembalian ekonomi yang tinggi dan distribusi pendapatan yang lebih baik. Sementara
reformasi pajak telah memperlihatkan sesuatu yang positif. Liberalisasi sendiri merupakan
sesuatu yang tidak bisa dihindari, pertanyaannya apakah kita sudah siap dengan segala
konsekuensi yang akan muncul.
Privatisasi sebagai salah satu poin dari Washington Consensus dan ciri globalisasi ekonomi
juga sudah dilaksanakan. Sayangnya privatisasi di Indonesia dilakukan ditengah-tengah
konflik kepentingan di tingkat elit, bukan dilakukan secara professional. Sudah banyak kajian
tentang privatisasi di Indonesia yang pada intinya berkesimpulan bahwa proses ini masih
menyisakan banyak masalah.
6
Sebenarnya pada pertengahan 1980-an, kebijakan pembangunan di Indonesia dikenal dengan
penyesuaian struktural (structural adjustment) sebagai respon pada periode ekonomi yang sulit
(Mas’oed, 1994: 2). Ada empat jenis structural adjustment, yaitu:
1. stabilisasi jangka pendek dalam hal kebijakan fiskal, moneter dan nilai tukar.
2. kebijakan struktural untuk meningkatkan output melalui peningkatan efisiensi dan
alokasi sumber daya seperti mengurangi distorsi pasar yang dsebabkan oleh
pengendalian harga, pajak, subsidi dan beberapa hambatan perdagangan, tariff dan non-
tarif.
3. mengimplementasikan kebijakan kapasistas produksi ekonomis melalui peningkatan
tabungan publik (public savings) dan investasi.
4. mengimplementasikan kebijakan untuk menciptakan lingkungan legal dan institusional
untuk mendukung mekanisme pasar.
Dalam hal ini menurut saya, dua kesalahan mendasar yang dibuat oleh negara-negara Asia
Tenggara adalah birokrasi yang tidak berkualitas dan ketidakmampuan untuk memformulasi
dan mengimplementasi kebijakan pembangunan. Kapasitas negara tidak dapat dicapai pada
level yang optimal, yang membawa dampak pada ketidakmampuan dalam menjalankan
developmental state. Sebagai contoh Indonesia, di mana sejak awal birokrasi dibangun lebih
didasarkan kepada untuk mendukung kepentingan politik daripada profesionalisme pelayanan
publik. Sehingga yang terjadi kemudian adalah birokrasi mempunyai kelemahan dalam
mendukung pembangunan dan justru menjadi beban pembangunan itu sendiri. Selain itu, sejak
Indonesia membuka ekonominya, ternyata tidak diikuti oleh ukuran-ukuran preventif serta
kebijakan preventif untuk mengatasi berbagai masalah. Oleh karenanya beberapa pakar
percaya bahwa kegagalan ini lebih disebabkan oleh pengambil dan pembuat kebijakan, apalagi
proses penyusunan kebijakan yang tidak transparan (pada saat itu).
Untuk memahami apa yang harus dilakukan oleh pemerintah dalam menghadapi situasi seperti
ini, kita harus memahami terlebih dahulu peran pemerintah dalam pasar. Dalam hal ini peran
pemerintah didefinisikan sebagai kebijakan apa yang pemerintah ambil terhadap pasar atau
bisnis. William G. Shepherd (1979: 3), misalnya, percaya bahwa kebijakan publik atas bisnis
terdiri atas 3 jenis yaitu: antitrust (nama generik untuk hukum, lembaga dan aksi yang
mendorong kompetisi), peraturan, dan perusahaan publik. Setting kebijakan sendiri
mempunyai dua elemen dasar:
7
1. proses politik
2. proses ekonomi
Kedua jenis proses ini saling mempengaruhi. Lebih lanjut Shepherd menjelaskan bahwa bisnis
yang dipengaruhi oleh kebijakan publik bervariasi dalam hal: adanya konflik kepentingan;
industri-industri berbeda dalam hal usia dan gaya; perusahaan termasuk di dalamnya adalah
perusahaan dan bank-bank swasta konvensional; perusahaan swasta sering mempunyai
dampak public yang kuat; perusahaan tidak seharusnya diharapkan mempunyai tanggung
jawab social; dan bisnis sendiri sifatnya fleksibel dan inventif
Dalam beberapa kasus, banyak pakar yang berpendapat bahwa kebijakan publik terhadap pasar
yang terlalu dipaksakan oleh pemerintah, justru merusak pasar itu sendiri. Pasar harus
dibebaskan dalam menentukan harga. Namun intervensi pemerintah tetap diperlukan ketika
harga di pasar tidak terkontrol sehingga menciptakan kesenjangan di antara mereka. Menelaah
posisi peranan pemerintah dalam pasar kelihatannya sangat mudah, namun dalam
kenyataannya peran ini sedikit banyak telah “mengganggu” pasar itu sendiri. Alih-alih
mengelola stabilitas ekonomi makro, menyediakan infrastruktur fisik dan mensuplai barang
publik dan jasa publik, pemerintah justru cenderung menjadi pemain utama di pasar. Situasi
ini dikenal dengan istilah kegagalan pemerintah
(government failure), ketika pasar tidak lagi bekerja sesuai mekanismenya akibat terlalu
banyak intervensi.
Namun beberapa pendapat menarik mengatakan bahwa krisis ekonomi 1997 adalah justru
bukan dikarenakan government failure, tetapi lebih dikarenakan instabilitas keuangan regional
sebagai hasil dari spekulasi nilai tukar, efek domino dan perilaku panik (Moon, 2002: 102).
Justru kesalahan terletak pada globalisasi yang salah arah dan pelemahan kekuasaan negara
dalam menegakkan kebijakan industri, perbankan dan keuangan yang sistemik. Pendapat lain
dari Euiyoung (2002: 131) juga menegaskan bahwa krisis ini bukanlah krisis model
developmental state, tetapi lebih disebabkan oleh penyimpangan dari model itu sendiri.
Selanjutnya adalah usaha untuk memahami akar masalah dengan meredefinisi kembali peran
pemerintah di pasar. Robert Wade menjelaskan bahwa peran pemerintah yang sewajarnya—
dalam pandangan neo-klasikal—bahwa fungsi ekonomi pemerintah adalah
1. mengelola stabilitas ekonomi makro,
2. menyediakan infrastruktur fisik, seperti pelabuhan, jalan kereta, saluran irigasi dan
saluran pembuangan,
8
3. mensupplai barang publik (public good) termasuk pertahanan dan keamanan nasional,
pendidikan, informasi pasar, sistem hukum dan perlindungan lingkungan
4. kontribusi pada pembangunan institusi untuk memperbaiki pasar lapangan kerja,
keuangan dan teknologi,dan lain-lain,
5. menyeimbangkan atau mengurangi distorsi harga yang muncul dalam kasus-kasus
kegagalan pasar (market failure),
6. meredistribusi pendapatan ke masyarakat miskin dalam ukuran yang cukup bagi
mereka untuk memenuhi kebutuhan dasarnya.
Peran-peran inilah yang sebenarnya ditujukan untuk mencegah kegagalan pasar yang timbul.
Akan tetapi banyak negara berkembang salah dalam mengimplementasikannya. Yang terjadi
adalah bahwa dominasi pemerintah terlalu kuat dan mempengaruhi mekanisme pasar.
Indonesia telah memulai membuka pasarnya, namun permasalahan timbul yang disebabkan
oleh perilaku birokasi yang tidak profesional, dan tidak konsisten serta lemah dalam
penegakkan hukum. Birokrasi yang tidak efisien ini juga pada akhirnya menciptakan ekonomi
yang tidak efisien. Stabilitas makro ekonomi mungkin tercapai, namun kesenjangan antara
pemain besar dan kecil masih lebar. Kecenderungan yang terjadi bahwa pemerintah lebih
memfasilitasi pemain besar daripada yang kecil, yang telah menciptakan ketidak seimbangan
sosial ekonomi.
Adelman (1999: 6) menjelaskan bahwa pemerintah telah menggunakan banyak variasi
instrumen langsung ataupun tidak langsung untuk mendorong industrialisasi, subsidi, tarif,
kredit dan keuangan langsung, insentif, kebijakan moneter, perijinan, pajak, pengaturan
investasi dan arus modal asing.
Dimulai dari industrialisasi di Inggris sampai negara-negara OECD, pemerintah berbagai
negara memperluas ukuran pasar domestik dengan menyatukan negara-negara mereka secara
politik dengan berinvestasi dalam bidang transportasi, menghapus bea dan tarif yang tidak
perlu. Pemerintah dalam hal ini juga meningkatkan supply tenaga kerja dengan mengurangi
hambatan-hambatan prosedural dan hukum terhadap mobilitas tenaga kerja antar daerah dan
sektor. Pemerintah juga meningkatkan supply keuangan dengan mendorong pendirian bank
pembangunan dan lembaga-lembaga keuangan lainnya yang dapat mentransfer uang ke
industri secara lebih lancar. Termasuk dalm hal ini adalah pembangunan infrastruktur jalan,
listrik dan energi yang memadai.
9
Sementara menurut saya untuk kasus Indonesia, ada dua hal yang perlu dicermati, yaitu
masalah kebijakan dan perilaku pemimpin. Kebijakan yang dimaksud juga menyangkut
masalah perbaikan birokrasi. Birokrasi yang efisien akan mengurangi ekonomi biaya tinggi
dan mendapatkan kepercayaan dari investor. Kebijakan ini disusun dalam aspek hukum seperti
dokumentasi, kekuatan dan lembaga-lembaga publik. Namun esensinya adalah kebijakan di
bidang—terutama—ekonomi. dan diaplikasikan oleh orang-orang, yang bekerja di bawah
tekanan dari grup-grup kepentingan (Shepherd, 1979: 58). Itulah sebabnya mengapa perilaku
juga harus diperbaiki untuk mendukung semua ini.
Perubahan perilaku dapat dimulai dengan penegakkan hukum yang kredibel. Dalam konteks
membangun civil society, pemerintah, sektor swasta dan masyarakat harus bekerja bersama-
sama. Caranya pemerintah memulai dengan itikad baik dan itikad politik untuk berubah,
sementara sektor swasta menciptakan pasar yang kondusif dan lebih independen, sementara
masyarakat mendukungnya melalui kepercayaan. Model ini tidak dimaksudkan untuk
menyederhanakan situasi yang sebenarnya, namun karena peran pemerintah yang harus
kembali diredefinisi, maka perbaikan seluruh sektor harus dimulai.
Penutup
Dapatkah Indonesia menjadi makmur dengan kehidupan demokrasi dan reformasi ekonomi?
Seperti yang diungkapkan oleh Cassing (2002), bahwa walaupun masih ada alasan yang cukup
untuk bersikap optimis, ada juga beberapa hal yang perlu dicermati. Fondasi ekonomi,
misalnya, yang dibangun atas dasar kebijakan yang salah akan menuntun pada arah
pembangunan yang tidak diharapkan (misleading). Faktor lain adalah kewibawaan hukum, di
mana hukum harus mampu menunjukkan supremasinya dan tidak ada keberpihakan pada
siapapun. Hanya dengan hukum dan pranatanya yang berwibawa, maka Indonesia akan
membangun kembali kepercayaan para investor dan stakeholders lainnya, serta menariknya
kembali untuk berpartisiasi dalam pembangunan ke depan.
Untuk mencapai sebuah kapasitas negara (state capacity) yang mumpuni haruslah dimulai dari
sebuah birokrasi yang bersih. Dengan demikian, lingkaran hubungan antara pemerintah, sektor
bisnis dapat dibangun dalam konteks kepemerintahan yang baik. Dengan kata lain, perlu
penataan karakteristik lembaga, yaitu negara yang kuat, peran dominan pemerintah,
rasionalitas teknokratik dalam pembuatan kebijakan ekonomi, birokrasi yang otonom dan
kompeten serta terlepas dari pengaruh kepentingan politik.
10
Selain itu kerjasama internasional memegang peranan penting dalam menyesuaikan sumber
daya lokal dan mengurangi konflik antar negara. Kerjasama ini menghubungkan demand-
supply antara negara-negara berkembang dengan negara-negara maju. Tidak seperti yang
terjadi di masa lalu, di mana kerjasama internasional lebih didominasi oleh kepentingan politik
belaka, kerjasama internasional sekarang adalah kerjasama yang didasarkan pada perasaan
sederajat dan seimbang.
Daftar Pustaka
Adelman, Irma. (1999). The End of The Developmental State? A General Equilibrium
Investigation on the Sources of the Asian Crisis within a Multi-Region, Inter-
emporal CGE Model. Working Paper for presentation at the Second Annual
Conference on Global Economic Analysis, Denmark, June 20-22, 1999.
Beeson, Mark. (2002). The rise and fall of the developmental state: The vicissitudes
and implications of East Asian interventionism.Cassing, James. (2002). Indonesia in
Transition: Will Economic Prosperity Accompany Democracy. Journal.
Volume IX. Issue1
Chung-in Moon and Sang-young Rhyu. (2002). Dismantling the Developmental States.
Escobar, Arturo. (1995). Encountering Development: The Making and Unmaking of The Third
World. Princenton University Press. New Jersey.
Lee, Pei-Shan. (2002). Democratization and the Demise of the Developmental State. Paper
prepared for presentation at the Conference on Challenges to Taiwan’s
Democracy in the Post-Hegemonic Era, co-sponsored by Hoover Institution,
Stanford University and Institute for National Policy Research, June 7-8, 2002,
Taipei.
Mas’oed, Mohtar. (1994). Politik, Birokrasi dan Pembangunan (Bab 3. Dirigiste atau Laissez-
Faire?: Kebijakan Ekonomi dan Reformasi Administrasi). Pustaka Pelajar.
Yogyakarta.
Ohmae, Kenichi. (1995). The End of the Nation-State: the Rise of Regional Economies. Free
Press.
11
Ricupero, Rubens. (2002). How Can the Impoverishment of the Poorest Countries Be Stopped.
United Nations University. Tokyo.
Shepherd, William G. (1979). Public Policies toward Business. Richard D. Irwin, Inc.
Georgetown.
Wade, Robert, “Japan, the World Bank, and the Art of Paradigm Maintenance: The East Asian
Miracle in Political Perspective”
Woo-Cumings, Meredith, “Introduction: Chalmers Johnson and the Politics of Nationalism
and Development”
Yamada, Atsushi (2002). Going Local in Global Age: Glocalization and Techno-Nationalism.
Hitotsubashi University.