developmental state di asia timur dan implementasinya di indonesia

11
1 Developmental State di Asia Timur dan Implementasinya di Indonesia Oleh: Eva Novi Karina, S.IP * Menurut Chalmer Johnson (Chumming: 2000), developmental state adalah suatu paradigma yang mempengaruhi arah dan kecepatan pembangunan ekonomi dengan secara langsung mengintervensi proses pembangunanyang berbanding terbalik dengan cara berpikir yang mengandalkan kekuatan pasardalam mengalokasikan sumber daya ekonomi. Paradigma ini membangun tujuan substantif sosial dan ekonomi yang memandu proses pembangunan dan mobilisasi sosial. Karakteristik dari paradigma ini adalah negara yang kuat, peran dominan pemerintah, rasionalitas teknokratik dalam pembuatan kebijakan ekonomi, birokrasi yang otonom dan kompeten serta terlepas dari pengaruh kepentingan politik. Secara detil dalam Johnson’s formulation (Pei-Shan Lee, 2002), bahwa yang dimaksud dengan developmental state adalah salah satu dari di bawah ini : 1. memprioritaskan pertumbuhan ekonomi dan produksi (sebaliknya dari konsumsi dan distribusi) sebagai tujuan fundamental dari kegiatan negara. 2. merekrut aparat birokrasi ekonomi yang bertalenta tinggi, kohesif dan disiplin dengan basis merit. 3. mengkonsentrasikan talenta birokrasi ke dalam lembaga sentral (seperti MITI di Jepang) yang bertanggung jawab atas tugas transformasi industrial. 4. melembagakan hubungan antar birokrasi dengan elit bisnis dalam rangka pertukaran informasi dan mendorong kerjasama dalam keputusan-keputusan penting berdasarkan pembuatan kebijakan yang efektif. 5. melindungi jaringan pengambil kebijakan dari tekanan kepentingan dan tuntutan lainnya. 6. mengimplementasikan kebijakan pembangunan dengan kombinasi jaringan kerja pemerintah dengan dunia industrial dan kontrol publik atas sumber daya, seperti keuangan. * penulis adalah mahasiswa pascasarjana Universitas Gadjah Mada (UGM) pada studi Global Trade Diplomacy tahun 2012/2013.

Upload: eva-novi-karina

Post on 27-Nov-2015

75 views

Category:

Documents


2 download

DESCRIPTION

Untuk memahami dan menjelaskan faktor kesuksesan dan kegagalan developmental state, kita harus menempatkan isu ini ke dalam konteks globalisasi, sehingga akan muncul lebih banyak variabel lain yang muncul mempengaruhi atau bahkan menghambat developmental state itu sendiri. Berbagai pertanyaan seperti apakah demokrasi lebih lemah dibanding authoritarian dalam konteks kepemerintahan ekonomi? Mengapa developmental state yang sukses diterapkan di Asia Timur justru menemui kegagalan ketika diterapkan di Asia Tenggara? dan Dapatkah Indonesia menjadi makmur dengan kehidupan demokrasi dan reformasi ekonomi? semuanya akan dibahas dalam makalah ini.

TRANSCRIPT

Page 1: Developmental State Di Asia Timur Dan Implementasinya Di Indonesia

1

Developmental State di Asia Timur dan Implementasinya di Indonesia

Oleh: Eva Novi Karina, S.IP*

Menurut Chalmer Johnson (Chumming: 2000), developmental state adalah suatu paradigma

yang mempengaruhi arah dan kecepatan pembangunan ekonomi dengan secara langsung

mengintervensi proses pembangunan—yang berbanding terbalik dengan cara berpikir yang

mengandalkan kekuatan pasar—dalam mengalokasikan sumber daya ekonomi. Paradigma ini

membangun tujuan substantif sosial dan ekonomi yang memandu proses pembangunan dan

mobilisasi sosial. Karakteristik dari paradigma ini adalah negara yang kuat, peran dominan

pemerintah, rasionalitas teknokratik dalam pembuatan kebijakan ekonomi, birokrasi yang

otonom dan kompeten serta terlepas dari pengaruh kepentingan politik. Secara detil dalam

Johnson’s formulation (Pei-Shan Lee, 2002), bahwa yang dimaksud dengan developmental

state adalah salah satu dari di bawah ini :

1. memprioritaskan pertumbuhan ekonomi dan produksi (sebaliknya dari konsumsi dan

distribusi) sebagai tujuan fundamental dari kegiatan negara.

2. merekrut aparat birokrasi ekonomi yang bertalenta tinggi, kohesif dan disiplin dengan

basis merit.

3. mengkonsentrasikan talenta birokrasi ke dalam lembaga sentral (seperti MITI di

Jepang) yang bertanggung jawab atas tugas transformasi industrial.

4. melembagakan hubungan antar birokrasi dengan elit bisnis dalam rangka pertukaran

informasi dan mendorong kerjasama dalam keputusan-keputusan penting berdasarkan

pembuatan kebijakan yang efektif.

5. melindungi jaringan pengambil kebijakan dari tekanan kepentingan dan tuntutan

lainnya.

6. mengimplementasikan kebijakan pembangunan dengan kombinasi jaringan kerja

pemerintah dengan dunia industrial dan kontrol publik atas sumber daya, seperti

keuangan.

* penulis adalah mahasiswa pascasarjana Universitas Gadjah Mada (UGM) pada studi Global Trade Diplomacy tahun 2012/2013.

Page 2: Developmental State Di Asia Timur Dan Implementasinya Di Indonesia

2

Inti dari paradigma ini adalah peranan dominan lembaga eksekutif. Yang dimaksud dengan

lembaga eksekutif disini adalah otoritas administratif dan kekuatan politik. Jadi paradigma ini

dimaksudkan untuk menegaskan peran pemerintah dalam 3 ekonomi pasar. Kinerja ekonomi

dibangun melalui penataan kelembagaan yang kuat yang dilakukan oleh pemerintah. Ini biasa

dikenal dengan proses pembangunan ekonomi terrencana. Pemerintah menyelenggarakan

ekonomi terencana ini melalui lembaga yang ditunjuk khusus yang bertanggung jawab atas

tugas mengarahkan pembangunan itu sendiri, dan menjalankan beragam alat kebijakan untuk

memastikan kegiatan bisnis tetap terpelihara dan terkelola dalam kerangka kepentingan

nasional. Hal ini dianggap sebagai prasyarat penting dalam mengelola proses pembangunan.

Namun demikian dalam menjalankan konsep developmental state, adalah penting untuk

memiliki birokrasi yang bertanggung jawab dan kompeten. Dalam hubungan ini Moon (2002)

menjelaskan bahwa organisasi harus terdiri atas individu-individu yang sangat mampu

(capable) yang direkrut melalui persaingan yang terbuka. Mereka ini memiliki kemampuan

analitik dan kompetensi teknis. Ini adalah sebuah keharusan, karena apabila tidak terpenuhi

maka paradigma ini tidak akan dapat membangun ekonomi dengan arah yang benar.

Beeson (2002) menjelaskan bahwa kunci untuk menjalankan development stateyang efektif

adalah kapasitas negara (state capacity), yaitu kemampuan untuk memformulasikan dan

mengimplementasikan kebijakan pembangunan. Selain birokrasi yang kompeten juga

diperlukan hubungan yang efektif dengan dunia usaha sebagai titik penting dalam inisiatif-

inisiatif pembangunan yang berhasil.

Untuk memahami dan menjelaskan faktor kesuksesan dan kegagalan developmental state, kita

harus menempatkan isu ini ke dalam konteks globalisasi, sehingga akan muncul lebih banyak

variabel lain yang muncul mempengaruhi atau bahkan menghambat developmental state itu

sendiri.

Tantangan Globalisasi

Paling tidak ada dua isu besar di seputar konsep developmental state, yaitu demokratisasi dan

masa depan developmental state itu sendiri. Suka atau tidak, demokrasi sebenarnya

melemahkan kekuasaan negara yang sebelumnya sangat besar. Demokrasi tidak hanya

meruntuhkan rejim kolot dari posisi kekuasaan dan dominasi politik yang telah berlangsung

lama. Transisi rejim penguasa dari authoritarian ke demokrasi juga telah mengurai “kerumitan”

Page 3: Developmental State Di Asia Timur Dan Implementasinya Di Indonesia

3

selama ini di mana fondasi institusional developmental state terhambat dan dirusak oleh

permainan politik dan konstitusional.

Pertanyaan lebih jauh adalah apakah demokrasi lebih lemah dibanding authoritarian dalam

konteks kepemerintahan ekonomi? Karena fakta menunjukkan bahwa sejak angin

demokratisasi dihembuskan, terdapat penurunan kehidupan ekonomi yang signifikan.

Sehingga demokratisasi sebagai sebuah proses global dipandang relatif kontra produktif

dengan kemajuan kehidupan ekonomi.

Sementara menurut saya yang terjadi di Indonesia salah satunya adalah lembaga-lembaga

internasional terlalu turut campur dan menekan pihak Indonesia untuk mengimplementasikan

kebijakan ekonomi sesuai selera mereka. Variabel non-ekonomi seperti demokrasi, HAM dan

sebagainya dijadikan instrumen prasyarat sebelum mendapatkan bantuan finansial. Lembaga

internasional pada dasarnya telah mengambil alih fungsi negara (kedaulatan) dalam hal

penentuan kebijakan ekonomi.

Selanjutnya Beeson (2002) menjelaskan bahwa pembangunan ekonomi (economic

development), terlepas dari pertumbuhan ekonomi (economic growth) harus

mengkombinasikan elemen pertumbuhan berlanjut (self-sustaining growth), perubahan

struktural dalam pola produksi, pengembangan teknologi, modernisasi sosial, politik dan

institusional, dan yang terakhir adalah perbaikan kondisi manusia.

Menurut Mas’oed, adalah menarik bahwa sebenarnya ekonomi global atau masyarakat global

yang murni itu belum eksis. Pada saat proses globalisasi berjalan dan mengarah sangatlah

tergantung dari bagaimana kita menolak atau menerima proses tersebut.

Pada akhirnya semua negara akan terkena dampak proses-proses global, tetapi reformasi

ekonomi harus tetap berjalan, yang salah satunya bias terwujud apabila ada 6 siatuasi kondusif

dalam hubungan internasional. Ini tidak hanya membutuhkan kerjasama internasional, tetapi

juga itikad baik dan itikad politik dari pemimpin. Tentunya pembangunan ekonomi yang sukses

tergantung pula pada aksi developmental state dengan pemanfaatan kapasitas negara yang

efektif untuk mencapai tujuan pembangunan. Reformasi ekonomi harus meliputi kebijakan

ekonomi makro dan pembuat kebijakan itu sendiri. Dalam taraf tertentu negara tetap

melanjutkan peran pentingnya dalam melanjutkan pembangunan ekonomi nasional.

Pengalaman Negara Asia Timur

Page 4: Developmental State Di Asia Timur Dan Implementasinya Di Indonesia

4

Pengalaman Jepang—dan kebanyakan negara yang menirunya seperti Taiwan dan Korea

Selatan—adalah contoh yang dapat menjelaskan cara kerja paradigma developmental state.

Beeson (2002) menjelaskan bahwa inti dari developmental state Jepang adalah birokrasi yang

kompeten yang berkomitmen untuk mengimplementasikan proses pembangunan ekonomi

yang terrencana. Di negara-negara tersebut, kapasitas negara (state capacity) yang mapan atau

kemampuan untuk melaksanakan kebijakan industri yang beragam. Mereka juga mempunyai

birokrasi yang ekstensif dan relatif efisien, serta diisi oleh staf yang termasuk talenta-talenta

nasional yang terbaik. Lembaga birokrasi ini tidak hanya merekrut talenta terbaik, mereka juga

mampu memanfaatkan alat-alat kebijakan yang memberikan kepada mereka otoritas lebih

terhadap entitas bisnis.

Di Jepang, MITI dan Menteri Keuangan mempunyai kapasitas untuk mengendalikan tabungan

domestik (domestic savings) untuk menyediakan kredit murah bagi industri-industri tertentu.

Melalui cara ini, perencana Jepang mampu memandu proses industrialisasi sejak dini, dan juga

mendorong lebih banyak industri yang bernilai tinggi, sedangkan industri yang sudah tua

dipindahkan ke negara lain. Pola intervensi negara ini telah ditiru oleh banyak negara dengan

tingkat kesuksesan yang berbeda. Negara tetangga seperti Taiwan dan Korea meniru

pengalaman Jepang lebih dini dan dapat dikatakan sukses, sementara negara-negara Asia

Tenggara meniru belakangan dengan hasil yang berbede-beda.

Menurut Beeson (2002) adalah penting untuk diingat bahwa negara-negara Asia Tenggara,

dibandingkan dengan negara-negara Asia Timur, tidak hanya lemah dari segi sumber daya dan

kapasitas, akan tetapi juga mereka dihadapkan pada pelaksanaan pembangunan yang sangat

terlambat. Oleh karenanya efektivitas 7 implementasi developmental state pada sistem

internasional yang sekarang menjadi perlu dikaji lagi.

Developmental State di Asia Tenggara

Developmental state tidak terbantahkan merupakan instrumental penting dalam keajaiban

ekonomi Asia Timur. Oleh karenanya beberapa pemikir berpendapat bahwa model ini cocok

untuk ditiru oleh regional lain, seperti negara-negara Asia Tenggara. Sebelum membahas lebih

lanjut, perlu kita membuat perkecualian untuk Singapura, selain karena secara ekonomi sudah

sangat mapan, Singapura juga sudah dianggap sebagai negara maju.

Negara-negara Asia Tenggara mencoba mengikuti model ini dengan mengimplementasikan

ekonomi yang terrencana. Di awal perjalanannya kelihatan cukup menjanjikan, diindikasikan

Page 5: Developmental State Di Asia Timur Dan Implementasinya Di Indonesia

5

dengan angka pertumbuhan ekonomi yang mengagumkan. Namun demikian ketika krisis

ekonomi melanda kawasan regional tahun 1997, tiba-tiba semuanya runtuh. Fondasi ekonomi

ternyata sangat lemah, dan negara dalam hal ini dianggap terlalu jauh memainkan perannya,

sehingga melemahkan yang lainnya. Pemimpin keasyikan oleh dunia kekuasaan dan otonomi

yang luas, ditambah dengan lemahnya mekanisme kontrol dari lembaga legislatif dan yudikatif.

Hal ini menyebabkan situasi menjadi rentan ketika ancaman datang dan merusaknya. Krisis ini

telah menyadarkan orang akan citra pertumbuhan ekonomi yang semu. Model kekuasaan yang

dikelola dengan budaya kroni-kapitalisme, termasuk budaya korupsi dan inefisiensi ternyata

tidak bisa selaras berjalan dengan dinamika globalisasi yang kompetitif.

Jika kita menelaah seberapa jauh developmental state diimplementasikan di Indonesia (pada

masa rejim Orde Baru), berdasarkan Johnson’s formulation, kita menemukan bahwa beberapa

poin dalam formulasi ini sebenarnya terpenuhi, seperti misalnya prioritas akan pertumbuhan

ekonomi dan produksi yang tinggi (yang berbeda dengan konsumsi dan distribusi) sebagai

tujuan mendasar dari kegiatan negara, serta melembagakan hubungan antara birokrasi dengan

elit bisnis dalam rangka pertukaran informasi dan mendorong kerjasama dalam keputusan-

keputusan penting.

Sayangnya sistem rekrutmen yang lemah (penuh kolusi dan korup) telah menghambat

perekrutan dan pembentukan birokrasi ekonomi yang bertalenta, kohesif dan disiplin dengan

basis merit system. Alhasil tidak ada perlindungan terhadap jaringan kebijakan dari tekanan

kepentingan dan tuntutan kompromi yang terus berkembang.

Dalam hal globalisasi ekonomi, terdapat beberapa masalah dengan disiplin fiskal, baik dalam

level pembuatan kebijakan maupun di tataran implementasi. Dan ini merupakan proses yang

masih terus berlanjut dalam mengarahkan pengeluaran negara ke bidang yang menawarkan

pengembalian ekonomi yang tinggi dan distribusi pendapatan yang lebih baik. Sementara

reformasi pajak telah memperlihatkan sesuatu yang positif. Liberalisasi sendiri merupakan

sesuatu yang tidak bisa dihindari, pertanyaannya apakah kita sudah siap dengan segala

konsekuensi yang akan muncul.

Privatisasi sebagai salah satu poin dari Washington Consensus dan ciri globalisasi ekonomi

juga sudah dilaksanakan. Sayangnya privatisasi di Indonesia dilakukan ditengah-tengah

konflik kepentingan di tingkat elit, bukan dilakukan secara professional. Sudah banyak kajian

tentang privatisasi di Indonesia yang pada intinya berkesimpulan bahwa proses ini masih

menyisakan banyak masalah.

Page 6: Developmental State Di Asia Timur Dan Implementasinya Di Indonesia

6

Sebenarnya pada pertengahan 1980-an, kebijakan pembangunan di Indonesia dikenal dengan

penyesuaian struktural (structural adjustment) sebagai respon pada periode ekonomi yang sulit

(Mas’oed, 1994: 2). Ada empat jenis structural adjustment, yaitu:

1. stabilisasi jangka pendek dalam hal kebijakan fiskal, moneter dan nilai tukar.

2. kebijakan struktural untuk meningkatkan output melalui peningkatan efisiensi dan

alokasi sumber daya seperti mengurangi distorsi pasar yang dsebabkan oleh

pengendalian harga, pajak, subsidi dan beberapa hambatan perdagangan, tariff dan non-

tarif.

3. mengimplementasikan kebijakan kapasistas produksi ekonomis melalui peningkatan

tabungan publik (public savings) dan investasi.

4. mengimplementasikan kebijakan untuk menciptakan lingkungan legal dan institusional

untuk mendukung mekanisme pasar.

Dalam hal ini menurut saya, dua kesalahan mendasar yang dibuat oleh negara-negara Asia

Tenggara adalah birokrasi yang tidak berkualitas dan ketidakmampuan untuk memformulasi

dan mengimplementasi kebijakan pembangunan. Kapasitas negara tidak dapat dicapai pada

level yang optimal, yang membawa dampak pada ketidakmampuan dalam menjalankan

developmental state. Sebagai contoh Indonesia, di mana sejak awal birokrasi dibangun lebih

didasarkan kepada untuk mendukung kepentingan politik daripada profesionalisme pelayanan

publik. Sehingga yang terjadi kemudian adalah birokrasi mempunyai kelemahan dalam

mendukung pembangunan dan justru menjadi beban pembangunan itu sendiri. Selain itu, sejak

Indonesia membuka ekonominya, ternyata tidak diikuti oleh ukuran-ukuran preventif serta

kebijakan preventif untuk mengatasi berbagai masalah. Oleh karenanya beberapa pakar

percaya bahwa kegagalan ini lebih disebabkan oleh pengambil dan pembuat kebijakan, apalagi

proses penyusunan kebijakan yang tidak transparan (pada saat itu).

Untuk memahami apa yang harus dilakukan oleh pemerintah dalam menghadapi situasi seperti

ini, kita harus memahami terlebih dahulu peran pemerintah dalam pasar. Dalam hal ini peran

pemerintah didefinisikan sebagai kebijakan apa yang pemerintah ambil terhadap pasar atau

bisnis. William G. Shepherd (1979: 3), misalnya, percaya bahwa kebijakan publik atas bisnis

terdiri atas 3 jenis yaitu: antitrust (nama generik untuk hukum, lembaga dan aksi yang

mendorong kompetisi), peraturan, dan perusahaan publik. Setting kebijakan sendiri

mempunyai dua elemen dasar:

Page 7: Developmental State Di Asia Timur Dan Implementasinya Di Indonesia

7

1. proses politik

2. proses ekonomi

Kedua jenis proses ini saling mempengaruhi. Lebih lanjut Shepherd menjelaskan bahwa bisnis

yang dipengaruhi oleh kebijakan publik bervariasi dalam hal: adanya konflik kepentingan;

industri-industri berbeda dalam hal usia dan gaya; perusahaan termasuk di dalamnya adalah

perusahaan dan bank-bank swasta konvensional; perusahaan swasta sering mempunyai

dampak public yang kuat; perusahaan tidak seharusnya diharapkan mempunyai tanggung

jawab social; dan bisnis sendiri sifatnya fleksibel dan inventif

Dalam beberapa kasus, banyak pakar yang berpendapat bahwa kebijakan publik terhadap pasar

yang terlalu dipaksakan oleh pemerintah, justru merusak pasar itu sendiri. Pasar harus

dibebaskan dalam menentukan harga. Namun intervensi pemerintah tetap diperlukan ketika

harga di pasar tidak terkontrol sehingga menciptakan kesenjangan di antara mereka. Menelaah

posisi peranan pemerintah dalam pasar kelihatannya sangat mudah, namun dalam

kenyataannya peran ini sedikit banyak telah “mengganggu” pasar itu sendiri. Alih-alih

mengelola stabilitas ekonomi makro, menyediakan infrastruktur fisik dan mensuplai barang

publik dan jasa publik, pemerintah justru cenderung menjadi pemain utama di pasar. Situasi

ini dikenal dengan istilah kegagalan pemerintah

(government failure), ketika pasar tidak lagi bekerja sesuai mekanismenya akibat terlalu

banyak intervensi.

Namun beberapa pendapat menarik mengatakan bahwa krisis ekonomi 1997 adalah justru

bukan dikarenakan government failure, tetapi lebih dikarenakan instabilitas keuangan regional

sebagai hasil dari spekulasi nilai tukar, efek domino dan perilaku panik (Moon, 2002: 102).

Justru kesalahan terletak pada globalisasi yang salah arah dan pelemahan kekuasaan negara

dalam menegakkan kebijakan industri, perbankan dan keuangan yang sistemik. Pendapat lain

dari Euiyoung (2002: 131) juga menegaskan bahwa krisis ini bukanlah krisis model

developmental state, tetapi lebih disebabkan oleh penyimpangan dari model itu sendiri.

Selanjutnya adalah usaha untuk memahami akar masalah dengan meredefinisi kembali peran

pemerintah di pasar. Robert Wade menjelaskan bahwa peran pemerintah yang sewajarnya—

dalam pandangan neo-klasikal—bahwa fungsi ekonomi pemerintah adalah

1. mengelola stabilitas ekonomi makro,

2. menyediakan infrastruktur fisik, seperti pelabuhan, jalan kereta, saluran irigasi dan

saluran pembuangan,

Page 8: Developmental State Di Asia Timur Dan Implementasinya Di Indonesia

8

3. mensupplai barang publik (public good) termasuk pertahanan dan keamanan nasional,

pendidikan, informasi pasar, sistem hukum dan perlindungan lingkungan

4. kontribusi pada pembangunan institusi untuk memperbaiki pasar lapangan kerja,

keuangan dan teknologi,dan lain-lain,

5. menyeimbangkan atau mengurangi distorsi harga yang muncul dalam kasus-kasus

kegagalan pasar (market failure),

6. meredistribusi pendapatan ke masyarakat miskin dalam ukuran yang cukup bagi

mereka untuk memenuhi kebutuhan dasarnya.

Peran-peran inilah yang sebenarnya ditujukan untuk mencegah kegagalan pasar yang timbul.

Akan tetapi banyak negara berkembang salah dalam mengimplementasikannya. Yang terjadi

adalah bahwa dominasi pemerintah terlalu kuat dan mempengaruhi mekanisme pasar.

Indonesia telah memulai membuka pasarnya, namun permasalahan timbul yang disebabkan

oleh perilaku birokasi yang tidak profesional, dan tidak konsisten serta lemah dalam

penegakkan hukum. Birokrasi yang tidak efisien ini juga pada akhirnya menciptakan ekonomi

yang tidak efisien. Stabilitas makro ekonomi mungkin tercapai, namun kesenjangan antara

pemain besar dan kecil masih lebar. Kecenderungan yang terjadi bahwa pemerintah lebih

memfasilitasi pemain besar daripada yang kecil, yang telah menciptakan ketidak seimbangan

sosial ekonomi.

Adelman (1999: 6) menjelaskan bahwa pemerintah telah menggunakan banyak variasi

instrumen langsung ataupun tidak langsung untuk mendorong industrialisasi, subsidi, tarif,

kredit dan keuangan langsung, insentif, kebijakan moneter, perijinan, pajak, pengaturan

investasi dan arus modal asing.

Dimulai dari industrialisasi di Inggris sampai negara-negara OECD, pemerintah berbagai

negara memperluas ukuran pasar domestik dengan menyatukan negara-negara mereka secara

politik dengan berinvestasi dalam bidang transportasi, menghapus bea dan tarif yang tidak

perlu. Pemerintah dalam hal ini juga meningkatkan supply tenaga kerja dengan mengurangi

hambatan-hambatan prosedural dan hukum terhadap mobilitas tenaga kerja antar daerah dan

sektor. Pemerintah juga meningkatkan supply keuangan dengan mendorong pendirian bank

pembangunan dan lembaga-lembaga keuangan lainnya yang dapat mentransfer uang ke

industri secara lebih lancar. Termasuk dalm hal ini adalah pembangunan infrastruktur jalan,

listrik dan energi yang memadai.

Page 9: Developmental State Di Asia Timur Dan Implementasinya Di Indonesia

9

Sementara menurut saya untuk kasus Indonesia, ada dua hal yang perlu dicermati, yaitu

masalah kebijakan dan perilaku pemimpin. Kebijakan yang dimaksud juga menyangkut

masalah perbaikan birokrasi. Birokrasi yang efisien akan mengurangi ekonomi biaya tinggi

dan mendapatkan kepercayaan dari investor. Kebijakan ini disusun dalam aspek hukum seperti

dokumentasi, kekuatan dan lembaga-lembaga publik. Namun esensinya adalah kebijakan di

bidang—terutama—ekonomi. dan diaplikasikan oleh orang-orang, yang bekerja di bawah

tekanan dari grup-grup kepentingan (Shepherd, 1979: 58). Itulah sebabnya mengapa perilaku

juga harus diperbaiki untuk mendukung semua ini.

Perubahan perilaku dapat dimulai dengan penegakkan hukum yang kredibel. Dalam konteks

membangun civil society, pemerintah, sektor swasta dan masyarakat harus bekerja bersama-

sama. Caranya pemerintah memulai dengan itikad baik dan itikad politik untuk berubah,

sementara sektor swasta menciptakan pasar yang kondusif dan lebih independen, sementara

masyarakat mendukungnya melalui kepercayaan. Model ini tidak dimaksudkan untuk

menyederhanakan situasi yang sebenarnya, namun karena peran pemerintah yang harus

kembali diredefinisi, maka perbaikan seluruh sektor harus dimulai.

Penutup

Dapatkah Indonesia menjadi makmur dengan kehidupan demokrasi dan reformasi ekonomi?

Seperti yang diungkapkan oleh Cassing (2002), bahwa walaupun masih ada alasan yang cukup

untuk bersikap optimis, ada juga beberapa hal yang perlu dicermati. Fondasi ekonomi,

misalnya, yang dibangun atas dasar kebijakan yang salah akan menuntun pada arah

pembangunan yang tidak diharapkan (misleading). Faktor lain adalah kewibawaan hukum, di

mana hukum harus mampu menunjukkan supremasinya dan tidak ada keberpihakan pada

siapapun. Hanya dengan hukum dan pranatanya yang berwibawa, maka Indonesia akan

membangun kembali kepercayaan para investor dan stakeholders lainnya, serta menariknya

kembali untuk berpartisiasi dalam pembangunan ke depan.

Untuk mencapai sebuah kapasitas negara (state capacity) yang mumpuni haruslah dimulai dari

sebuah birokrasi yang bersih. Dengan demikian, lingkaran hubungan antara pemerintah, sektor

bisnis dapat dibangun dalam konteks kepemerintahan yang baik. Dengan kata lain, perlu

penataan karakteristik lembaga, yaitu negara yang kuat, peran dominan pemerintah,

rasionalitas teknokratik dalam pembuatan kebijakan ekonomi, birokrasi yang otonom dan

kompeten serta terlepas dari pengaruh kepentingan politik.

Page 10: Developmental State Di Asia Timur Dan Implementasinya Di Indonesia

10

Selain itu kerjasama internasional memegang peranan penting dalam menyesuaikan sumber

daya lokal dan mengurangi konflik antar negara. Kerjasama ini menghubungkan demand-

supply antara negara-negara berkembang dengan negara-negara maju. Tidak seperti yang

terjadi di masa lalu, di mana kerjasama internasional lebih didominasi oleh kepentingan politik

belaka, kerjasama internasional sekarang adalah kerjasama yang didasarkan pada perasaan

sederajat dan seimbang.

Daftar Pustaka

Adelman, Irma. (1999). The End of The Developmental State? A General Equilibrium

Investigation on the Sources of the Asian Crisis within a Multi-Region, Inter-

emporal CGE Model. Working Paper for presentation at the Second Annual

Conference on Global Economic Analysis, Denmark, June 20-22, 1999.

Beeson, Mark. (2002). The rise and fall of the developmental state: The vicissitudes

and implications of East Asian interventionism.Cassing, James. (2002). Indonesia in

Transition: Will Economic Prosperity Accompany Democracy. Journal.

Volume IX. Issue1

Chung-in Moon and Sang-young Rhyu. (2002). Dismantling the Developmental States.

Escobar, Arturo. (1995). Encountering Development: The Making and Unmaking of The Third

World. Princenton University Press. New Jersey.

Lee, Pei-Shan. (2002). Democratization and the Demise of the Developmental State. Paper

prepared for presentation at the Conference on Challenges to Taiwan’s

Democracy in the Post-Hegemonic Era, co-sponsored by Hoover Institution,

Stanford University and Institute for National Policy Research, June 7-8, 2002,

Taipei.

Mas’oed, Mohtar. (1994). Politik, Birokrasi dan Pembangunan (Bab 3. Dirigiste atau Laissez-

Faire?: Kebijakan Ekonomi dan Reformasi Administrasi). Pustaka Pelajar.

Yogyakarta.

Ohmae, Kenichi. (1995). The End of the Nation-State: the Rise of Regional Economies. Free

Press.

Page 11: Developmental State Di Asia Timur Dan Implementasinya Di Indonesia

11

Ricupero, Rubens. (2002). How Can the Impoverishment of the Poorest Countries Be Stopped.

United Nations University. Tokyo.

Shepherd, William G. (1979). Public Policies toward Business. Richard D. Irwin, Inc.

Georgetown.

Wade, Robert, “Japan, the World Bank, and the Art of Paradigm Maintenance: The East Asian

Miracle in Political Perspective”

Woo-Cumings, Meredith, “Introduction: Chalmers Johnson and the Politics of Nationalism

and Development”

Yamada, Atsushi (2002). Going Local in Global Age: Glocalization and Techno-Nationalism.

Hitotsubashi University.