dengan persetujuan bersama

37
perjanjian internasional adalah sebuah perjanjian yang dibuat di bawah hukum internasional oleh beberapa pihak yang berupa negara atau organisasi internasional . Sebuah perjanjian multilateral dibuat oleh beberapa pihak yang mengatur hak dan kewajiban masing-masing pihak. Perjanjian bilateral dibuat antara dua negara, bilateral perjanjian yang lebih dari dua negara. TAHAP-TAHAP DALAM PERJANJIAN INTERNASIONAL : - PERUNDINGAN. ( Negotitation ) - PENANDATANGANAN. ( Signature ) - PENGESAHAN. ( Ratification ) Perundingan adalah tahap pertama yang dilakukan sebelum diadakannya perjanjian. Perundingan bisa dilakukan oleh perwakilan diplomat yang memiliki surat kuasa penuh dari pemerintah, bisa juga kepala pemerintah langsung. Setelah diadakan perundingan, selanjutnya penandatanganan yang mana yang akan dijadikan perjanjian. Penandatanganan bisa dilakukan oleh duta besar, anggota legislatif maupun eksekutif. Selanjutnya pengesahan yang akan dilakukan oleh kepala pemerintahan dan anggota DPR dengan diadakannya rapat terlebih dahaulu. biasanya hal ini dilakukan untuk masalah yang sangat penting dan mencakup masalah orang banyak. HAL-HAL YANG MEMBATALKAN PERJANJIAN : - Terjadinya pelanggaran. - Adanya kecurangan - Ada pihak yang dirugikan. - Adanya ancaman dari sebelah pihak BERAKHIRNYA PERJANJIAN :

Upload: andhika15

Post on 05-Jul-2015

274 views

Category:

Documents


13 download

TRANSCRIPT

Page 1: DENGAN PERSETUJUAN BERSAMA

perjanjian internasional adalah sebuah perjanjian yang dibuat di bawah hukum internasional oleh beberapa pihak yang berupa negara atau organisasi internasional. Sebuah perjanjian multilateral dibuat oleh beberapa pihak yang mengatur hak dan kewajiban masing-masing pihak. Perjanjian bilateral dibuat antara dua negara, bilateral perjanjian yang lebih dari dua negara.

TAHAP-TAHAP DALAM PERJANJIAN INTERNASIONAL :

- PERUNDINGAN. ( Negotitation ) - PENANDATANGANAN. ( Signature ) - PENGESAHAN. ( Ratification )

Perundingan adalah tahap pertama yang dilakukan sebelum diadakannya perjanjian. Perundingan bisa dilakukan oleh perwakilan diplomat yang memiliki surat kuasa penuh dari pemerintah, bisa juga kepala pemerintah langsung. Setelah diadakan perundingan, selanjutnya penandatanganan yang mana yang akan dijadikan perjanjian. Penandatanganan bisa dilakukan oleh duta besar, anggota legislatif maupun eksekutif. Selanjutnya pengesahan yang akan dilakukan oleh kepala pemerintahan dan anggota DPR dengan diadakannya rapat terlebih dahaulu. biasanya hal ini dilakukan untuk masalah yang sangat penting dan mencakup masalah orang banyak.HAL-HAL YANG MEMBATALKAN PERJANJIAN :

- Terjadinya pelanggaran. - Adanya kecurangan - Ada pihak yang dirugikan. - Adanya ancaman dari sebelah pihak

BERAKHIRNYA PERJANJIAN :

- punahnya salah satu pihak. - Habisnya masa perjanjian. - Salah satu pihak ingin mengakhiri dan disetujui oleh pihak kedua. - Adanya ancaman dan dirugikan oleh sebelah pihak.

1.Penjajakan: Merupakan tahap a

Page 2: DENGAN PERSETUJUAN BERSAMA

wal yang dilakukan olehkedua pihak yang berunding mengenaikemungkinan dibuatnya suatu perjanjianinternasional.

2. Perundingan:

Merupakan tahap kedua untuk membahassubstansi dan masalah-masalah teknis yang akandisepakati dalam perjanjian internasional.Pa d a

tahap perundingan biasanya pihak-pihak yang terlibat

dalam perjanjian mempertimbangkan terlebih dahulu

materi-materi apa yang hendak dicantumkan dalam

perjanjian. Pada tahap ini pula materi yang akan

dicantumkan dalam perjanjian ditinjau dari berbagai

segi, baik politik, ekonomi maupun keamanan.

Tahap perundingan akan diakhiri dengan

penerimaan naskah (adoption of the text) dan

pengesahan bunyi naskah (authentication of the text).

Dalam praktek perjanjian internasional, peserta

biasanya menetapkan ketentuan mengenai jumlah

suara yang harus dipenuhi untuk memutuskan apakah

naskah perjanjian diterima atau tidak. Demikian pula

menyangkut pengesahan bunyi naskah yang diterima

akan dilakukan menurut cara yang disetujui semua

pihak. Bila konferensi tidak menentukan cara

pengesahan, maka pengesahan dapat dilakukan

dengan penandatanganan, penandatanganan

sementara, atau dengan pembubuhan paraf

(Kusumaatmadja, 1990 : 91).

3.Perumusan Naskah:

Merupakan tahap merumuskan rancangan suatu perjanjian internasional. Atau merupakan suatu tahap dimana rancangan suatu perjanjian internasional dirumuskan.

4.Penerimaan:

merupakan tahap menerima naskahperjanjian yang telah dirumuskan dan disepakatioleh para pihak. Dalam perundingan bilateral,kesepakatan atas naskah awal hasil perundingan

Page 3: DENGAN PERSETUJUAN BERSAMA

dapat disebut “Penerimaan” yang biasanyadilakukan dengan membubuhkan inisial atau parafpada naskah perjanjian internasional oleh ketuadelegasi masing-masing. Dalam perundinganmultilateral, proses penerimaan(acceptance/approval) biasanya merupakantindakan pengesahan suatu negara pihak atasperubahan perjanjian internasional.

5.Penandatanganan : merupakan tahap akhir

dalam perundingan bilateral untuk melegalisasisuatu naskah perjanjian internasional yang telahdisepakati oleh kedua pihak. Untuk perjanjianmultilateral, penandatanganan perjanjianinternasional bukan merupakan pengikatan dirisebagai negara pihak. Keterikatan terhadapperjanjian internasional dapat dilakukan melaluipengesahan(ratification/accession/acceptance/approval)

Penandatanganan suatu perjanjian internasional tidak

sekaligus dapat diartikansebagai pengikatan diri pada

perjanjian tersebut. Penandatanganan suatu

perjanjianinternasional yang memerlukan pengesahan, tidak

mengikat para pihak sebelumperjanjian tersebut disahkan.

Dengan menandatangani suatu naskah perjanjian,

suatu negara berarti sudah menyetujui untuk

mengikatkan diri pada suatu perjanjian. Selain melalui

penandatanganan, persetujuan untuk mengikat diri

pada perjanjian dapat pula dilakukan melalui ratifikasi,

pernyataan turut serta (acesion) atau menerima

(acceptance) suatu perjanjian.

6. Pengesahan Pernjanjian Internasional di Indonesia

Pembuatan dan pengesahan perjanjian internasionalantara Pemerintah Indonesia dengan pemerintahnegara-negara lain, organisasi internasional dan subjekhukum internasional lain adalah suatu perbuatan hukumyang sangat penting karena mengikat negara dengansubjek hukum internasional lainnya. Oleh sebab itu

Page 4: DENGAN PERSETUJUAN BERSAMA

pembuatan dan pengesahan suatu perjanjianinternasional dilakukan berdasarkan undang-undang.

Sebelum adanya Undang-Undang No. 24 tahun 2000tentang Perjanjian Internasional, kewenangan untukmembuat perjanjian internasional seperti tertuang dalamPasal 11 Undang Undang Dasar 1945, menyatakanbahwa Presiden mempunyai kewenangan untukmembuat perjanjian internasional dengan persetujuanDewan Perwakilan Rakyat. Pasal 11 UUD 1945 inimemerlukan suatu penjabaran lebih lanjut bagaimanasuatu perjanjian internasional dapat berlaku dan menjadihukum di Indonesia. Untuk itu melalui Surat Presiden No.2826/HK/1960 mencoba menjabarkan lebih lanjut Pasal11 UUD 1945 tersebut.

Pengaturan tentang perjanjian internasional selamaini yang dijabarkan dalam bentuk Surat Presiden No.2826/HK/1960, tertanggal 22 Agustus 1960, yangditujukan kepada Ketua Dewan Perwakilan Rakyat, dantelah menjadi pedoman dalam proses pengesahanperjanjian internasional selama bertahun-tahun.Pengesahan perjanjian internasional menurut SuratPresiden ini dapat dilakukan melalui undang-undangatau keputusan presiden, tergantung dari materi yangdiatur dalam perjanjian internasional. Tetapi dalam

prateknya pelaksanaan dari Surat Presiden ini banyakterjadi penyimpangan sehingga perlu untuk digantidengan Undang-Undang yang mengatur secara khususmengenai perjanjian internasional.

Hal ini kemudian yang menjadi alasan perlunyaperjanjian internasional diatur dalam Undang-UndangNo. 24 Tahun 2000. Dalam Undang Undang No. 24 Tahun2000, adapun isi yang diatur dalam undang-undangtersebut adalah:

Ketentuan Umum •

Pembuatan Perjanjian Internasional •

Pengesahan Perjanjian Internasional •

Pemberlakuan Perjanjian Internasional •

Penyimpanan Perjanjian Internasional •

Pengakhiran Perjanjian Internasional •

Page 5: DENGAN PERSETUJUAN BERSAMA

Ketentuan Peralihan •

Ketentuan Penutup Dalam pengesahan perjanjian internasional terbagi dalam empat kategori, yaitu: 1.Ratifikasi (ratification), yaitu apabila negara yang

akan mengesahkan suatu perjanjian internasionalturut menandatangani naskah perjanjianinternasional;

2.Aksesi (accesion), yaitu apabila negara yang akan mengesahkan suatu perjanjian internasional tidak turut menandatangani naskah perjanjian; 3.Penerimaan (acceptance) atau penyetujuan

(approval) yaitu pernyataan menerima ataumenyetujui dari negara-negara pihak pada suatuperjanjian internasional atas perubahan perjanjianinternasional tersebut;

4.Selain itu juga ada perjanjian-perjanjian internasional yang sifatnyaself-executing (langsung berlaku pada saat penandatanganan).

Dalam suatu pengesahan perjanjian internasionalpenandatanganan suatu perjanjian tidak serta mertadapat diartikan sebagai pengikatan para pihak terhadapperjanjian tersebut. Penandatanganan suatu perjanjianinternasional memerlukan pengesahan untuk dapat

mengikat. Perjanjian internasional tidak akan mengikat para pihak sebelum perjanjian tersebut disahkan.

Seseorang yang mewakili pemerintah dengantujuan menerima atau menandatangani naskah suatuperjanjian atau mengikatkan negara terhadap perjanjianinternasional, memerlukan Surat Kuasa (Full Powers).Pejabat yang tidak memerlukan surat kuasa adalahPresiden dan Menteri.

Tetapi penandatanganan suatu perjanjianinternasional yang menyangkut kerjasama teknissebagai pelaksanaan dari perjanjian yang sudah berlakudan materinya berada dalam lingkup kewenangan suatulembaga negara atau lembaga pemerintah, baikdepartemen maupun non-departemen, dilakukan tanpamemerlukan surat kuasa.

Page 6: DENGAN PERSETUJUAN BERSAMA

Pengesahan perjanjian internasional olehpemerintah dilakukan sepanjang dipersyaratkan olehperjanjian interansional tersebut. Pengesahan suatuperjanjian internasional dilakukan berdasarkan ketetapanyang disepakati oleh para pihak. Perjanjian internasionalyang memerlukan pengesahan mulai berlaku setelahterpenuhinya prosedur pengesahan yang diatur dalamundang-undang.

Pengesahan perjanjian internasional dilakukandengan undang-undang atau keputusan Presiden.Pengesahan dengan undang-undang memerlukanpersetujuan DPR. Pengesahan dengan keputusanPresiden hanya perlu pemberitahuan ke DPR.Pengesahan perjanjian internasional dilakukan melaluiundang-undang apabila berkenaan dengan:

masalah politik, perdamaian, pertahanan, dan keamanan negara; •

perubahan wilayah atau penetapan batas wilayah negara; •

kedaulatan atau hak berdaulat negara; •

hak asasi manusia dan lingkungan hidup; •

pembentukan kaidah hukum baru; •

pinjaman dan/atau hibah luar negeri.

Di dalam mekanisme fungsi dan wewenang, DPRdapat meminta pertanggung jawaban atau keterangandari pemerintah mengenai perjanjian internasional yangtelah dibuat. Apabila dipandang merugikan kepentingannasional, perjanjian internasional tersebut dapatdibatalkan atas permintaan DPR, sesuai denganketentuan yang ada dalam undang-undang No. 24 tahun2000.

Indonesia sebagai negara yang menganut pahamdualisme, hal ini terlihat dalam Pasal 9 ayat 2 UU No. 24tahun 2000, dinyatakan bahwa:

”Pengesahan perjanjian internasional sebagaimana dimaksud dalam ayat(1) dilakukan dengan undang- undang atau keputusan presiden.”

Dengan demikian pemberlakuan perjanjianinternasional ke dalam hukum nasional indonesia tidakserta merta. Hal ini juga memperlihatkan bahwaIndonesia memandang hukum nasional dan hukum

Page 7: DENGAN PERSETUJUAN BERSAMA

internasional sebagai dua sistem hukum yang berbedadan terpisah satu dengan yang lainnya.

Perjanjian internasional harus ditransformasikanmenjadi hukum nasional dalam bentuk peraturanperundang-undangan. Perjanjian internasional sesuaidengan UU No. 24 tahun 2000, diratifikasi melaluiundang-undang dan keputusan presiden. Undang-undang ratifikasi tersebut tidak serta merta menjadiperjanjian internasional menjadi hukum nasionalIndonesia, undang-undang ratifikasi hanya menjadikanIndonesia sebagai negara terikat terhadap perjanjianinternasional tersebut. Untuk perjanjian internasionaltersebut berlaku perlu dibuat undang-undang yang lebihspesifik mengenai perjanjanjian internasional yangdiratifikasi, contoh Indonesia meratifikasi International

Covenant on Civil and Political Rights melalui undang-

undang, maka selanjutnya Indonesia harus membuatundang-undang yang menjamin hak-hak yang ada dicovenant tersebut dalam undang-undang yang lebihspesifik.Perjanjian internasional yang tidak mensyaratkanpengesahan dalam pemberlakuannya, biasanya memuatmateri yang bersifat teknis atau suatu pelaksana teknisterhadap perjanjian induk. Perjanjian internasionalseperti ini dapat lansung berlaku setelahpenandatanganan atau pertukaran dokumen

perjanjian/nota diplomatik, atau melalui cara lain yangdisepakati dalam perjanjian oleh para pihak.Perjanjian yang termasuk dalam kategori ini diantaranyaadalah perjanjian yang materinya mengatur secarateknis kerjasama bidang pendidikan, sosial, budaya,pariwisata, penerangan kesehatan, pertanian, kehutanandan kerjasam antar propinsi atau kota. Perjanjianinternasional mulai berlaku dan mengikat para pihaksetelah memenuhi ketentuan yang ditetapkan dalamperjanjian tersebut.

7. Tukar – menukar naskah ratifikasi

Ratifikasi adalah pengesahan naskah perjanjian

internasional yang diberikan oleh badan yang berwenang di

suatu negara. Dengan demikian, meskipun delegasi negara

Page 8: DENGAN PERSETUJUAN BERSAMA

yang bersangkutan sudah menandatangani naskah perjanjian,

namun negara yang diwakilinya tidak secara otomatis terikat

pada perjanjian. Negara tersebut baru terikat pada materi

perjanjian setelah naskah perjanjian tersebut diratifikasi.

Badan mana yang berwenang meratifikasi perjanjian

internasional menjadi persoalan intern negara yang

bersangkutan. Untuk Indonesia misalnya wewenang itu

dipegang oleh Presiden dengan persetujuan Dewan

Perwakilan Rakyat. Hal ini merujuk pada pasal 11 Undang-

Undang Dasar 1945 yang menyatakan: "Presiden dengan

persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat membuat perjanjian

dengan negara-negara lain".

8 . Pemberlakuan Perjanjian Internasional

Mulai berlakunya dan mengikatnya perjanjianinternasional antara Pemerintah Indonesia denganpemerintah negara lain, organisasi internasional atausubjek hukum internasional lain serta perubahan atasketentuan perjanjian yang telah disepakati diatur didalam Bab tentang Pemberlakuan PerjanjianInternasional ini.

9 . Penyi mpanan Perjanjian Internasional

. Penyimpanan Perjanjian Internasional inimengatur tentang kewenangan Menteri Luar Negerisebagai pejabat yang bertugas dan memelihara naskahasli perjanjian internasional yang dibuat Pemerintah

Indonesia serta tugas Menteri Luar Negeri untukmemberitahukan dan menyampaikan salinan naskahresmi suatu perjanjian internasional yang telah dibuatoleh Pemerintah Indonesia kepada sekretariat organisasi

Page 9: DENGAN PERSETUJUAN BERSAMA

internasional dimana Pemerintah Indonesia menjadianggota.

penyimpanan perjanjian internasional dalam pasdal 17 : Pasal 17

(1) Menteri bertanggung jawab menyimpan danmemelihara naskah asli perjanjian internasional yangdibuat oleh Pemerintah Republik Indonesia sertamenyusun daftar naskah resmi dan menerbitkannyadalam himpunan perjanjian internasional.

(2) Salinan naskah resmi setiap perjanjian internasionaldisampaikan kepada lembaga negara dan lembagapemerintah, baik departemen maupun non departemenpemrakarsa.

(3) Menteri memberitahukan dan menyampaikan salinannaskah resmi suatu perjanjian internasional yang telahdibuat oleh Pemerintah Republik Indonesia kepadasekretariat organisasi internasional yang di dalamnyaPemerintah republik Indonesia menjadi anggota.

(4) Menteri memberitahukan dan menyampaikan salinanpiagam pengesahan perjanjian internasional kepadainstansi-instansi terkait.

(5) Dalam hal Pemerintah Republik Indonesia ditunjuksebagai penyimpan piagam pengesahan perjanjianinternasional, Menteri menerima dan menjadi penyimpanpiagam pengesahan perjanjian internasional yangdisampaikan negara-negara pihak.

10. pendaftaran dan pengumuman perjanjian internasional

Naskah yang telah jadi sebelum diumumkan, harus

didaftarkan terlebih dahulu kepada PBB. Setelah

pendaftaran tersebut selesai, barulah naskah perjanjian

yang dibuat itu diumumkan keseluruh Indonesia.

Page 10: DENGAN PERSETUJUAN BERSAMA

11. Syarat sahnya Perjanjian

Tahapan pembuatan perjanjian meliputi :

a. perundingan dimana negara mengirimkan utusannya ke suatu

konferensi bilateral

maupun multilateral;

b. penerimaan naskah perjanjian (adoption of the text) adalah

penerimaan isi naskah

perjanjian oleh peserta konferensi yang ditentukan dengan

persetujuan dari semua

peserta melalui pemungutan suara;

c. kesaksian naskah perjanjian (authentication of the text),

merupakan suatu tindakan

formal yang menyatakan bahwa naskah perjanjian tersebut telah

diterima konferensi.

Pasal 10 Konvensi Wina, dilakukan menurut prosedur yang

terdapat dalam naskah

perjanjian atau sesuai dengan yang telah diputuskan oleh

utusan-utusan dalam

konferensi. Kalau tidak ditentukan maka pengesahan dapat

dilakukan dengan

membubuhi tanda tangan atau paraf di bawah naskah perjanjian.

d. persetujuan mengikatkan diri (consent to the bound),

diberikan dalam bermacam cara

tergantung pada permufakatan para pihak pada waktu

mengadakan perjanjian,

dimana cara untuk menyatakan persetujuan adalah sebagai

berikut :

a) penandatanganan, Pasal 12 Konvensi Wina menyatakan : - persetujuan negara untuk diikat suatu perjanjian dapat

dinyatakan dalam bentuk

tandatangan wakil negara tersebut;

- bila perjanjian itu sendiri yang menyatakannya;

- bila terbukti bahwa negara-negara yang ikut berunding

menyetujui demikian; - bila full powers wakil-wakil negara menyebutkan demikian atau dinyatakan dengan jelas pada waktu perundingan.

Page 11: DENGAN PERSETUJUAN BERSAMA

b) pengesahan, melalui ratifikasi dimana perjanjian

tersebut disahkan oleh badan yang berwenang di

negara anggota.

Agar suatu Perjanjian dapat menjadi sah dan mengikat para

pihak, perjanjian harus

memenuhi syarat-syarat sebagaimana ditetapkan dalam Pasal

1320 BW yaitu :

1. sepakat mereka yang mengikatkan dirinya; Kata “sepakat” tidak boleh disebabkan adanya kekhilafan mengenai hakekat barang yang menjadi pokok persetujuan atau kekhilafan mengenai diri pihak lawannya dalam

persetujuan yang dibuat terutama mengingat dirinya orang tersebut; adanya paksaan dimana seseorang melakukan perbuatan karena takut ancaman (Pasal 1324 BW); adanya penipuan yang tidak hanya mengenai kebohongan tetapi juga adanya tipu muslihat (Pasal 1328 BW). Terhadap perjanjian yang dibuat atas dasar “sepakat” berdasarkan alasan-alasan tersebut, dapat diajukan pembatalan. 2. cakap untuk membuat perikatan; Pasal 1330 BW menentukan yang tidak cakap untuk

membuat perikatan :

a. Orang-orang yang belum dewasa

b. Mereka yang ditaruh dibawah pengampuan

c. Orang-orang perempuan, dalam hal-hal yang ditetapkan

oleh undang-undang, dan pada umumnya semua orang kepada siapa undang- undang telah melarang membuat perjanjian-perjanjian tertentu. Namun berdasarkan fatwa Mahkamah Agung, melalui Surat Edaran Mahkamah Agung No.3/1963 tanggal 5 September 1963, orang-orang perempuan tidak lagi digolongkan sebagai yang tidak cakap. Mereka berwenang melakukan perbuatan hukum tanpa bantuan atau izin suaminya. 3. suatu hal tertentu; Perjanjian harus menentukan jenis objek yang diperjanjikan. Jika tidak, maka perjanjian itu batal demi hukum. Pasal 1332 BW menentukan hanya barang-barang yang dapat diperdagangkan yang dapat menjadi obyek perjanjian, dan berdasarkan Pasal 1334 BW barang-barang yang baru akan ada di kemudian hari dapat menjadi obyek perjanjian kecuali jika dilarang oleh undang-undang secara tegas. 4. suatu sebab atau causa yang halal.

Page 12: DENGAN PERSETUJUAN BERSAMA

Sahnya causa dari suatu persetujuan ditentukan pada saat perjanjian dibuat. Perjanjian tanpa causa yang halal adalah batal demi

hukum, kecuali ditentukan lain

oleh undang-undang. Syarat pertama dan kedua

menyangkut subyek, sedangkan syarat ketiga dan

keempat mengenai obyek. Terdapatnya cacat kehendak

(keliru, paksaan, penipuan) atau tidak cakap untuk

membuat perikatan, mengenai subyek mengakibatkan

perjanjian dapat dibatalkan. Sementara apabila syarat

ketiga dan keempat mengenai obyek tidak terpenuhi,

maka perjanjian batal demi hukum

Ratifikasi Indonesia Terhadap Perjanjian Internasional Bidang Lingkungan Laut

 NO  NAMA             PERJANJIAN INTERNASIONAL

  RATIFIKASI  MASALAH YANG DIATUR

1. Convention on the Continental Shelf 1958, Convention on Fishing and Conservation of the Living Resources of the High Seas 1958, Convention on the High Seas 1958

Undang-undang   No. 19 /19616 September 1961

Pengaturan Landas Kontinen, Perikanan dan Konservasi Sumberdaya Alam di Laut Lepas dan Konvensi Laut Lepas

2. Convention on the International Regulation  for Preventing  Collision at Sea 1960

KEPPRES No. 107/1968D I C A B U T

Pengaturan mengenai pencegahan kecelaka-an/tubrukan kapal di laut.

3. International Convention on Load Lines 1966

KEPPRES No. 47/19762 November 1976

Pengaturan Mengenai Jalur Pelayaran

4 International Convention on Civil Liability for Oil Pollution Damage 1969

KEPPRES No. 18/19781 Juli 1978

Tanggungjawab Perdata Terhadap Pencemaran Di Laut

5. International Convention on the Esta-bilishement of an International Fund for Compensation for Oil Pollution Damage 1971

KEPPRES No. 19/19781 Juli 1978D I C A B U TKEPPRES No. 41/1998

Pengaturan Mengenai Pembentukan Dana In-ternasional untuk Ganti Rugi Pencemaran Mi-nyak di Laut

6 Convetion on the International Regulation for Preventing Collisions at Sea 1972

KEPPRES No. 50/197911 Oktober 1979

Penyempurnaan Conven-tion 1960 tentang pencegahan tubrukan kapal di laut

Page 13: DENGAN PERSETUJUAN BERSAMA

7. International Convention for Safe Containers 1972

KEPPRES No. 33/198917 Juli 1989

Pengaturan Mengenai Keselamatan dan Serti-fikasi Peti Kemas

8. International Convention for the Prevention of Pollution by Ships 1973, Protocol Relating to the Convention for the Prevention of Pollution from Ship 1978.

KEPPRES No. 46/19869 September 1986

Pengaturan Mengenai Pencegahan Pencemar-an Yang Berasal Dari Kapal-kapal.

9. International Convention for the Safety of Life at Sea 1974

KEPPRES No. 65/19809 Desember 1980

Pengaturan Mengenai Keselamatan di Laut

10. Protocol of 1978 Relating to the International Convention for the Safety of Life at Sea 1974 

KEPPRES No. 21/198829 Juni 1988

Protokol Mengenai Ke-selamatan di Laut.

11. International Convention on Standards of Training, Certification & Watch Keeping for Seafarers, 1978

KEPPRES No. 60/19864 Desember 1986

Pengaturan Mengenai Standard Pelatihan, Sertifikasi dan Penga-matan Bagi Pelaut

12 International Convention on Standards of Training, Certification & Watch Keeping for Seafarers, 1978

KEPPRES No. 60/19864 Desember 1986

Pengaturan Mengenai Standard Pelatihan, Sertifikasi dan Penga-matan Bagi Pelaut

13. United Nations Convention on Law Of The Sea (UNCLOS) 1982

Undang-undang   No. 17/198531 Desember 1985

Pengaturan Mengenai Masalah Kelautan

14 Agreement on the Organization for Indian Ocean Marine Affairs Cooperation (IOMAC) 1990

KEPPRES No. 86/199316 September 1993

Pengaturan mengenai kerjasama kelautan di Samudera Hindia

SUMBER : Pramudianto, A. 1993. Ratifikasi Perjanjian Internasional Bidang Lingkungan Hidup (Belum diterbitkan)  

A. Makna Perjanjian InternasionalPerjanjian internasional adalah perjanjian diadakan oleh subjek-subjek hukum internasional dan bertujuan untuk melahirkan akibat-akibat hukum tertentu. Contoh perjanjian internasional adalah perjanjian yang dibuat oleh negara dengan negara lain, negara dengan organisasi internasional, organisasi internasional dengan organisasi internasional lain, serta Tahta Suci dengan negara.

Pengertian perjanjian internasional, diantaranya adalah sebagai berikut :1. Konvensi Wina 1969, perjanjian internasional adalah perjanjian yang diadakan oleh dua negara atau lebih yang bertujuan untu mengadakan akibat-akibat hukum tertentu.2. Konvensi Wina 1986, Perjanjian internasional sebagai persetujuan internasional yang

Page 14: DENGAN PERSETUJUAN BERSAMA

diatur menurut hukum internasional dan ditanda tangani dalam bentuk tertulis antara satu negara atau lebih dan antara satu atau lebih organisasi internasional, antarorganisasi internasional.3. UU No 37 Tahun 1999 tentang Hubungan Luar Negeri, perjanjian internasional adalah perjanjian dalam bentuk dan sebutan apapun yang diatur oleh hukum internasional dan dibuat secara tertulis oleh pemerintah RI dengan satu atau lebih negara, organisasi internasional atau subjek hukum internasional lainnya, serta menimbulkan hak dan kewajiban pada pemerintah RI yang bersifat hukum publik.4. UU No. 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional, perjanjian internasional adalah perjanjian dalam bentukdan nama tertentu yang diatur dalam hukum internasional yang dibuat secara tertulis serta menimbulkan hak dan kewajiban di bidang hukum publik.5. Oppenheimer-LauterpactPerjanjian internasional adalah suatu persetujuan antarnegara yang menimbulkan hak dan kewajiban diantara pihak-pihak yang mengadakan.6. Dr. B. SchwarzenbergerPerjanjian internasional adalah persetujuan antara subjek hukum internasional yang menimbulkan kewajiban-kewajiban yang mengikat dalam hukum internasional, dapat berbentuk bilateral maupun multilateral. Adapun subjek hukum yang dimaksud adalah lembaga-lembaga internasional dan negara-negara.7. Prof. Dr. Muchtar Kusumaatmaja, S.H. LLMPerjanjian internasional adalah perjanjian yang diadakan antarbangsa yang bertujuan untuk menciptakan akibat-akibat tertentu.

Kerjasama internasional secara hukum diwujudkan dalam bentuk perjanjian internasional, yaitu negara-negara dalam melaksanakan hubungan atau kerjasamanya membuat perjanjian internasional. Berdasarkan beberapa pengertian tersebut, disimpulkan bahwa perjanjian internasional adalah perjanjian yang dilakukan oleh subjek-subjek hukum internasional dan mempunyai tujuan untuk melahirkan akibat-akibat hukum tertentu.

Perjanjian antarbangsa atau yang sering disebut sebagai perjanjian internasional merupakan persetujuan internasional yang diatur oleh hubungan internasional serta ditandatangani dalam bentuk tertulis. Contoh perjanjian internasional diantaranya adalah antarnegara atau lebih, antarorganisasi internasional atau lebih, dan antarorganisasi internasional.

Perjanjian internasional pada hakekatnya merupakan suatu tujuan atau agreement. Bentuk perjanjian internasional yang dilakuka antarbangsa maupun antarorganisasi internasional ini tidak harus berbentuk tertulis. Dalam perjanjian internasional ini ada hukum yang mengatur perjanjian tersebut. Dalam perjanjian internasional terdapat istilah subjek dan obyek. Yang dimaksud subjek perjanjian internasional adalah semua subjek hukum internasional, terutama negara dan organisasi internasional. Sedangkan yang dimaksud dengan obyek hukum internasional adalah semua kepentingan yang menyangkut kehidupan masyarakat internasional, terutama kepentingan ekonomi, sosial, politik, dan budaya.

B. Macam-Macam Perjanjian InternasionalPerjanjian internasional sebagai sumber formal hukum internasional dapat diklasifikasikan sebagai berikut.1. Berdasarkan Isinyaa) Segi politis, seperti pakta pertahanan dan pakta perdamaian.b) Segi ekonomi, seperti bantuan ekonomi dan bantuan keuangan.c) Segu hukum

Page 15: DENGAN PERSETUJUAN BERSAMA

d) Segi batas wilayahe) Segi kesehatan.Contoh :- NATO, ANZUS, dan SEATO- CGI, IMF, dan IBRD

2.Berdasarkan Proses/Tahapan Pembuatannyaa)Perjanjian bersifat penting yang dibuat melalui proses perundingan, penandatanganan, dan ratifikasi.b)Perjanjian bersifat sederhana yang dibuat melalui dua tahap, yaitu perundingan dan penandatanganan.Contoh :- Status kewarganegaraan Indonesia-RRC, ekstradisi.- Laut teritorial, batas alam daratan.- Masalah karantina, penanggulangan wabah penyakit AIDS.

3. Berdasarkan Subjeknyaa)Perjanjian antarnegara yang dilakukan oleh banyak negara yang merupakan subjek hukum internasional.b)Perjanjian internasional antara negara dan subjek hukum internasional lainnya.c)Perjanjian antarsesama subjek hukum internasional selain negara, yaitu organisasi internasional organisasi internasional lainnya.Contoh :- Perjanjian antar organisasi internasional Tahta suci (Vatikan) dengan organisasi MEE.- Kerjasama ASEAN dan MEE.

4. Berdasarkan Pihak-pihak yang Terlibat.a). Perjanjian bilateral, adalah perjanjian yang diadakan oleh dua pihak. Bersifat khusus (treaty contact) karena hanya mengatur hal-hal yang menyangkut kepentingan kedua negara saja. Perjanjian ini bersifat tertutup, yaitu menutup kemungkinan bagi pihak lain untuk turut dalam perjanjian tersebut.b). Perjanjian Multilateral, adalah perjanjian yang diadakan oleh banyak pihak, tidak hanya mengatur kepentingan pihak yang terlibat dalam perjanjian, tetapi juga mengatur hal-hal yang menyangkut kepentingan umum dan bersifat terbuka yaitu memberi kesempatan bagi negara lain untuk turut serta dalam perjanjian tersebut, sehingga perjanjian ini sering disebut law making treaties.Contoh :Perjanjian antara Indonesia dengan Filipina tentang pemberantasan dan penyelundupan dan bajak laut, perjanjian Indonesia dengan RRC pada tahun 1955 tentang dwi kewarganegaraan, perjanjian ekstradisi antara Indonesia dan Singapura yang ditandatangani pada tanggal 27 April 2007 di Tampaksiring, Bali.Konvensi hukum laut tahun 1958 (tentang Laut teritorial, Zona Bersebelahan, Zona Ekonomi Esklusif, dan Landas Benua), konvensi Wina tahun 1961 (tentang hubungan diplomatik) dan konvensi Jenewa tahun 1949 (tentang perlindungan korban perang).Konvensi hukum laut (tahun 1958), Konvensi Wina (tahun 1961) tentang hubungan diplomatik, konvensi Jenewa (tahun 1949) tentang Perlindungan Korban Perang.

5. Berdasarkan Fungsinyaa). Law Making Treaties / perjanjian yang membentuk hukum, adalah suatu perjanjian yang meletakkan ketentuan-ketentuan atau kaidah-kaidah hukum bagi masyarakat internasional

Page 16: DENGAN PERSETUJUAN BERSAMA

secara keseluruhan (bersifat multilateral).b). Treaty contract / perjanjian yang bersifat khusus, adalah perjanjian yang menimbulkan hak dan kewajiban, yang hanya mengikat bagi negara-negara yang mengadakan perjanjian saja (perjanjian bilateral).Contoh :Perjanjian Indonesia dan RRC tentang dwikewarganegaraan, akibat-akibat yang timbul dalam perjanjian tersebut hanya mengikat dua negara saja yaitu Indonesia dan RRC.

Perjanjian internasional menjadi hukum terpenting bagi hukum internasional positif, karena lebih menjamin kepastian hukum. Di dalam perjanjian internasional diatur juga hal-hal yang menyangkut hak dan kewajiban antara subjek-subjek hukum internasional (antarnegara). Kedudukan perjanjian internasional dianggap sangat penting karena ada beberapa alasan, diantaranya sebagai berikut :1. Perjanjian internasional lebih menjamin kepastian hukum, sebab perjanjian internasional diadakan secara tertulis.2. Perjanjian internasional mengatur masalah-masalah kepentingan bersama diantara para subjek hukum internasional.

C. Istilah Istilah Perjanjian InternasionalDalam kehidupan berbangsa dan bernegara, perjanjian internasional merupakan hukum terpenting bagi hukum internasional positif. Hal ini disebabkan karena lebih menjamin kepastian hukum. Kedudukan perjanjian internasional juga dianggap sangat penting karena selain perjanjian internasional lebih menjamin kepastian hukum, perjanjian internasional diadakan secara tertulis, dan juga karena perjanjian internasional mengatur masalah-masalah kepentingan bersama diantara para subjek hukum internasional dalam perjanjian internasional dikenal beberapa istilah. Istilah-istilah tersebut diantaranya adalah sebagai berikut.1. Traktat (treaty), adalah perjanjian yang paling formal yang merupakan persetujuan dari dua negara atau lebih. Perjanjian ini menitikberatkan pada bidang politik dan bidang ekonomi.2. Konvensi (convention), adalah persetujuan formal yang bersifat multilateral, dan tidak berkaitan dengan kebijaksanaan tingkat tinggi (high policy).3. Deklarasi (declaration),adalah perjanjian internasional yang berbentuk traktat, dan dokumen tidak resmi.4. Convenant, adalah anggaran dasar Liga Bangsa-Bangsa (LBB).5. Charter, adalah suatu istilah yang dipakai dalam perjanjian internasional untuk pendirian badan yang melakukan fungsi administratif.6. Pakta (pact), adalah suatu istilah yang menunjukkan suatu persetujuan yang lebih khusus (Pakta Warsawa).7. Protokol (protocol), adalah suatu dokumen pelengkap instrumen perjanjian internasional, yang mengatur masalah-masalah tambahan seperti penafsiran klausul-klausul tertentu.8. Persetujuan (Agreement), adalah perjanjian yang bersifat teknis dan administratif. Sifat agreement tidak seresmi traktat atau konvensi, sehingga diratifikasi.9. Perikatan (arrangement) adalah suatu istilah yang dipakai untuk masalah transaksi-transaksi yang bersifat sementara. Sifat perikatan tidak seresmi traktat dan konvensi.10. Modus vivendi, adalah sebuah dokumen yang digunakan untuk mencatat persetujuan internasional yang bersifat sementara, sampai berhasil diwujudkan perjumpaan yang lebih permanen, terinci, dan sistematis serta tidak memerlukan ratifikasi.11. Proses verbal, adalah suatu catatan-catatan atau ringkasan-ringkasan atau kesimpulan-kesimpulan konferensi diplomatik atau catatan-catatan pemufakatan yang tidak diratifikasi.12. Ketentuan penutup (final Act), adalah suatu ringkasan hasil konvensi yang menyebutkan negara peserta, nama utusan yang turut diundang, serta masalah yang disetujui konvensi.

Page 17: DENGAN PERSETUJUAN BERSAMA

13. Ketentuan umum (general act), adalah traktat yang bisa bersifat resmi maupun tidak resmi.

D. Tahap-Tahap Perjanjian InternasionalPerjanjian internasional biasanya dituangkan dalam bentuk struktur perjanjian internasional yang lengkap dan dibuat melalui tiga tahap, yaitu tahap perundingan, tahap penandatanganan, dan tahap ratifikasi.1. Perundingan (Negotiation)Tahapan ini merupakan suatu penjajakan atau pembicaraan pendahuluan oleh masing-masing pihak yang berkepentingan. Dalam perundingan internasional ini negara dapat diwakili oleh pejabat negara dengan membawa surat kuasa penuh (full powers/credentials), kecuali apabila dari semula peserta perundingan sudah menentukan bahwa full power tidak diperlukan. Pejabat negara yang dapat mewakili negaranya dalam suatu perundingan tanpa membawa full power adalah kepala negara, kepala pemerintahan (perdana menteri), menteri luar negeri, dan duta besar. Keempat pejabat tersebut dianggap sudah sah mewakili negaranya karena jabatan yang disandangnya.Perundingan dalam rangka perjanjian internasional yang hanya melibatkan dua pihak (bilateral) disebut pembicaraan (talk), perundingan yang dilakukan dalam rangka perjanjian multilateral disebut konferensi diplomati (diplomatik conference). Selain secara resmi terdapat juga perundingan yang tidak resmi, perundingan ini disebut corridor talk.Hukum internasional dalam tahap perundingan atau negosiasi, memberi peluang kepada seseorang tanpa full powers untuk dapat mewakili negaranya dalam suatu perundingan internasional. Seseorang tanpa full powers yang ikut dalam perundingan internasional ini akan dianggap sah, apabila tindakan orang tersebut disahkan oleh pihak yang berwenang pada negara yang bersangkutan. Pihak yang berwenang tersebut adalah kepala negara dan/atau kepala pemerintahan (presiden, raja/perdana menteri). Apabila tidak ada pengesahan, maka tindakan orang tersebut tidak sah dan dianggap tidak pernah ada.

2. Tahap Penandatanganan (Signature)Tahap penandatanganan merupakan proses lebih lanjut dari tahap perundingan. Tahap ini diakhiri dengan penerimaan naskah (adoption of the text) dan pengesahan bunyi naskah (authentication of the text). Penerimaan naskah (adoption of the text) yaitu tindakan perwakilan negara dalam perundingan internasional untuk menerima isi dari perjanjian nasional. Dalam perjanjian bilateral, kedua perwakilan negara harus menyetujui penerimaan naskah perjanjian. Sedangkan dalam perjanjian multilateral, bila diatur secara khusus dalam isi perjanjian, maka berlaku ketentuan menurut konferensi Vienna tahun 1968 mengenai hukum internasional. Penerimaan naskah ini dapat dilakukan apabila disetujui sekurang-kurangnya dua pertiga peserta konferensi.Pengesahan bunyi naskah (authentication of the text) dilakukan oleh para perwakilan negara yang turut serta dalam perjanjian tersebut. Dalam perjanjian bilateral maupun multilateral pengesahan naskah dapat dilakukan para perwakilan negara dengan cara melakukan penandatanganan ad referendum (sementara) atau dengan pembubuhan paraf (initial). Pengesahan bunyi naskah adalah tindakan formal untuk menerima bunyi naskah perjanjian.Penandatanganan dilakukan oleh menteri luar negeri (menlu) atau kepala pemerintahan. Dengan menandatangani suatu naskah perjanjian, suatu negara berarti sudah menyetujui untuk mengikatkan diri pada suatu perjanjian. Selain melalui penandatanganan, persetujuan untuk mengikat diri pada suatu perjanjian dapat dilakukan melalui ratifikasi, pernyataan turut serta (acesion) atau menerima (acceptance) suatu perjanjian.

Page 18: DENGAN PERSETUJUAN BERSAMA

3. Tahap Ratifikasi (Ratification)Pengesahan atau ratifikasi adalah persetujuan terhadap rencana perjanjian internasional agar menjadi suatu perjanjian yang berlaku bagi masing-masing negara tersebut. Pengesahan perjanjian internasional oleh pemerintah dilakukan sepanjang dipersyaratkan oleh perjanjian internasional tersebut. Pengesahan suatu perjanjian internasional dilakukan berdasarkan ketetapan yang telah disepakati oleh para pihak.Setelah penandatanganan naskah perjanjian internasional dilakukan oleh para wakil negara peserta perundingan, maka selanjutnya naskah perjanjian tersebut dibawa pulang ke negaranya masing-masing untuk dipelajari dengan seksama untuk menjawab pertanyaan, yaitu apakah isi perjanjian internasional tersebut sudah sesuai dengan kepentingan nasional atau belum dan apakah utusan yang telah diberi kuasa penuh melampaui batas wewenangnya atau tidak. Apabila memang ternyata isi dalam perjanjian tersebut sudah sesuai, maka negara yang bersangkutan tersebut akan meratifikasi untuk menguatkan atau mengesahkan perjanjian yang ditandatangani oleh wakil-wakil yang berkuasa tersebut.Ratifikasi bertujuan memberi kesempatan kepada negara peserta perjanjian internasional untuk mengadakan peninjauan dan pengkajian secara seksama apakah negaranya dapat diikat suatu perjanjian internasional atau tidak. Ratifikasi perjanjian internasional dibedakan menjadi tiga. Hal ini untuk mengetahui siapakah yang berwenang meratifikasi suatu naskah perjanjian internasional di negara tersebut. Ketiga sistem ratifikasi tersebut adalah sebagai berikut :a). Sistem ratifikasi oleh badan eksekutif, yaitu bahwa suatu perjanjian internasional baru mengikat apabila telah diratifikasi oleh kepala negara atau kepala pemerintahan. Misalnya saja pada pemerintahan otoriter seperti NAZI.b). Sistem ratifikasi oleh badan legislatif, yaitu bahwa suatu perjanjian baru mengikat apabila telah diratifikasi oleh badan legislatif. Misalnya adalah Honduras, Turki, dan Elsalvador.c). Sistem ratifikasi campuran (badan eksekutif dan legislatif), yaitu bahwa suatu perjanjian internasional baru mengikat apabila badan eksekutif dan legislatif sama-sama menentukan proses ratifikasi. Misalnya Amerika Serikat, Perancis, dan Indonesia.

Indonesia menganut sistem ratifikasi campuran, yaitu ada peran lembaga eksekutif dan legislatif dalam meratifikasi perjanjian internasional. Dalam UU RI No. 24 Tahun 2000 tentang perjanjian internasional, ratifikasi atau pengesahan perjanjian internasional dilakukan dengan undang-undang atau keputusan Presiden. Di Indonesia ratifikasi dengan undang-undang harus terdapat persetujuan Presiden dan DPR secara bersama-sama terhadap perjanjian internasional. Ratifikasi dengan keputusan Presiden hanya mengisyaratkan adanya persetujuan Presiden terhadap perjanjian tersebut. Dasar hukum sistem ratifikasi di Indonesia, terdapat dalam undang-undang Dasar 1945 yaitu pasal 11 ayat (1), (2), dan (3) UUD 1945.Perjanjian internasional yang dapat diratifikasi dengan keputusan Presiden, diantaranya yaitu perjanjian induk yang berkaitan dengan kerjasama di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi, ekonomi dan teknik perdagangan, kebudayaan, pelayaran niaga, serta penghindaran pajak berganda dan kerjasama perlindungan penanaman modal.

Ratifikasi melalui undang-undang dapat dilakukan terhadap perjanjian internasional yang menyangkut materi-materi di bawah ini,a)Politik, perdamaian, pertahanan, dan keamanan negara.b)Perubahan wilayah atau penetapan batas wilayah negara RI.c)Kedaulatan atau hak berdaulat negara.d)Hak asasi manusia dan lingkungan hidup.e)Pembentukan kaidah hukum baru.f)Pinjaman dan/atau hibah luar negeri.

Page 19: DENGAN PERSETUJUAN BERSAMA

UNDANG-UNDANG PERJANJIAN INTERNASIONAL BAB III

PENGESAHAN PERJANJIAN INTERNASIONAL

Pasal 9

(1) Pengesahan perjanjian internasional oleh Pemerintah Republik Indonesia dilakukan sepanjang dipersyaratkan oleh perjanjian internasional tersebut.

(2) Pengesahan perjanjian internasional sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dengan undang-undang atau keputusan presiden.

Pasal 10

Pengesahan perjanjian internasional dilakukan dengan undang-undang apabila berkenaan dengan :

a. masalah politik, perdamaian, pertambahan, dan keamanan negara;

b. perubahan wilayah atau penetapan batas wilayah negara Republik Indonesia;

c. kedaulatan atau hak berdaulat negara;

d. hak asasi manusia dan lingkungan hidup;

e. pembentukan kaidah hukum baru;

f. pinjaman dan/atau hibah luar negeri.

Pasal 11

(1) Pengesahan perjanjian internasional yang materinya tidak termasuk materi sebagaimana dimaksud Pasal 10, dilakukan dengan keputusan presiden.

(2) Pemerintah Republik Indonesia menyampaikan salinan setiap keputusan presiden yang mengesahkan suatu perjanjian internasional kepada Dewan Perwakilan Rakyat untuk dievaluasi.

Pasal 12

(1) Dalam mengesahkan suatu perjanjian internasional, lembaga pemrakarsa yang terdiri dari lembaga negara dan lembaga pemerintah, baik departemen maupun non departemen, menyiapkan salinan naskah perjanjian, terjemahan, rancangan undang-undang, atau rancangan keputusan presiden tentang pengesahan perjanjian internasional dimaksud serta dokumen-dokumen lain yang diperlukan.

(2) Lembaga pemrakarsa, yang terdiri atas lembaga negara dan

Page 20: DENGAN PERSETUJUAN BERSAMA

lembaga pemerintah, baik departemen maupun non departemen, mengkoordinasikan pembahasan rancangan dan/atau materi permasalahan dimaksud dalam ayat (1) yang pelaksanaannya dilakukan bersama dengan pihak-pihak terkait.

(3) Prosedur pengajuan pengesahan perjanjian internasional dilakukan melalui Menteri untuk disampaikan kepada Presiden.

Pasal 13

Setiap Undang-undang atau keputusan presiden tentang pengesahan perjanjian internasional ditempatkan dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.

Pasal 14

Menteri menandatangani piagam pengesahan untuk mengikatkan Pemerintah Republik Indonesia pada suatu perjanjian internasional untuk dipertukarkan dengan negara pihak atau disimpan oleh negara atau lembaga penyimpan pada organisasi internasional.

PROSES PENGESAHAN PERJANJIAN INTERNASIONALMENJADI UNDANG-UNDANG DI INDONESIA

I. Latar Belakang

Hubungan antara hukum nasional dan hukum internasional dalam sistem tata hukum merupakan hal yang sangat menarik baik dilihat dari sisi teori hukum atau ilmu hukum maupun dari sisi praktis. Kedudukan hukum internasional dalam tata hukum secara umum didasarkan atas anggapan bahwa hukum internasional sebagai suatu jenis atau bidang hukum merupakan bagian dari hukum pada umumnya. Anggapan ini didasarkan pada kenyataan bahwa hukum internasional sebagai suatu perangkat ketentuan dan asas yang efektif yang benar-benar hidup dalam kenyataan sehingga mempunyai hubungan yang efektif dengan ketentuan dan asas pada bidang hukum lainnya. Bidang hukum lainnya yang paling penting adalah bidang hukum nasional.

Hal ini dapat dilihat dari interaksi masyarakat internasional dimana peran negara sangat penting dan mendominasi hubungan internasional. Karena peran dari hukum nasional negara-negara dalam memberikan pengaruh dalam kancah hubungan internasional mengangkat pentingnya isu bagaimana hubungan antara hukum internasional dan hukum nasional dari sudut pandang praktis.

Dalam memahami berlakunya hukum internasional terdapat dua teori, yaitu teori voluntarisme,[1] yang mendasarkan berlakunya hukum internasional pada kemauan negara, dan teori objektivis[2] yang menganggap berlakunya hukum internasional lepas dari kemauan

Page 21: DENGAN PERSETUJUAN BERSAMA

negara.[3]Perbedaan pandangan atas dua teori ini membawa akibat yang berbeda dalam memahami hubungan antara hukum internasional dan hukum nasional. Pandangan teori voluntarisme memandang hukum nasional dan hukum internasional sebagai dua perangkat hukum yang berbeda, saling berdampingan dan terpisah. Berbeda dengan pandangan teori objektivis yang menganggap hukum nasional dan hukum internasional sebagai dua perangkat hukum dalam satu kesatuan perangkat hukum.

II. Teori Keberlakuan Hukum Internasional

A. Aliran Dualisme

Aliran dualisme bersumber pada teori bahwa daya ikat hukum internasional bersumber pada kemauan negara, hukum internasional dan hukum nasional merupakan dua sistem atau perangkat hukum yang terpisah.[4]

Ada beberapa alasan yang dikemukakan oleh aliran dualisme untuk menjelaskan hal ini:

1. Sumber hukum, paham ini beranggapan bahwa hukum nasional dan hukum internasional mempunyai sumber hukum yang berbeda, hukum nasional bersumber pada kemauan negara, sedangkan hukum internasional bersumber pada kemauan bersama dari negara-negara sebagai masyarakat hukum internasional;

2. Subjek hukum internasional, subjek hukum nasional adalah orang baik dalam hukum perdata atau hukum publik, sedangkan pada hukum internasional adalah negara;

3. Struktur hukum, lembaga yang diperlukan untuk melaksanakan hukum pada realitasnya ada mahkamah dan organ eksekutif yang hanya terdapat dalam hukum nasional. Hal yang sama tidak terdapat dalam hukum internasional.

4. Kenyataan, pada dasarnya keabsahan dan daya laku hukum nasional tidak dipengaruhi oleh kenyataan seperti hukum nasional bertentangan dengan hukum internasional. Dengan demikian hukum nasional tetap berlaku secara efektif walaupun bertentangan dengan hukum internasional.[5]

Maka sebagai akibat dari teori dualisme ini adalah kaidah-kaidah dari perangkat hukum yang satu tidak mungkin bersumber atau berdasar pada perangkat hukum yang lain. Dengan demikian dalam teori dualisme tidak ada hirarki antara hukum nasional dan hukum internasional karena dua perangkat hukum ini tidak saja berbeda dan tidak bergantung satu dengan yang lain tetapi juga terlepas antara satu dengan yang lainnya.

Akibat lain adalah tidak mungkin adanya pertentangan antara kedua perangkat hukum tersebut, yang mungkin adalah renvoi.[6] Karena itu dalam menerapkan hukum internasional dalam hukum nasional memerlukan transformasi menjadi hukum nasional.

Page 22: DENGAN PERSETUJUAN BERSAMA

B. Aliran Monisme

Teori monisme didasarkan pada pemikiran bahwa satu kesatuan dari seluruh hukum yang mengatur hidup manusia.[7] Dengan demikian hukum nasional dan hukum internasional merupakan dua bagian dalam satu kesatuan yang lebih besar yaitu hukum yang mengatur kehidupan manusia. Hal ini berakibat dua perangkat hukum ini mempunyai hubungan yang hirarkis. Mengenai hirarki dalam teori monisme ini melahirkan dua pendapat yang berbeda dalam menentukan hukum mana yang lebih utama antara hukum nasional dan hukum internasional.

Ada pihak yang menganggap hukum nasional lebih utama dari hukum internasional. Paham ini dalam teori monisme disebut sebagai paham monisme dengan primat hukum nasional. Paham lain beranggapan hukum internasional lebih tinggi dari hukum nasional. Paham ini disebut dengan paham monisme dengan primat hukum internasional. Hal ini dimungkinkan dalam teori monisme.

Monisme dengan primat hukum nasional, hukum internasional merupakan kepanjangan tangan atau lanjutan dari hukum nasional atau dapat dikatakan bahwa hukum internasional hanya sebagai hukum nasional untuk urusan luar negeri.[8] Paham ini melihat bahwa kesatuan hukum nasional dan hukum internasional pada hakikatnya adalah hukum internasional bersumber dari hukum nasional. Alasan yang kemukakan adalah sebagai berikut:

1. tidak adanya suatu organisasi di atas negara-negara yang mengatur kehidupan negara-negara;

2. dasar hukum internasional dapat mengatur hubungan antar negara terletak pada wewenang negara untuk mengadakan perjanjian internasional yang berasal dari kewenangan yang diberikan oleh konstitusi masing-masing negara.[9]

Monisme dengan primat hukum internasional, paham ini beranggapan bahwa hukum nasional bersumber dari hukum internasional.[10] Menurut paham ini hukum nasional tunduk pada hukum internasional yang pada hakikatnya berkekuatan mengikat berdasarkan pada pendelegasian wewenang dari hukum internasional.

Pada kenyataannya kedua teori ini dipakai oleh negara-negara dalam menentukan keberlakuan dari hukum internasional di negara-negara. Indonesia sendiri menganut teori dualisme dalam menerapkan hukum internasional dalam hukum nasionalnya.

III. Perjanjian Internasional sebagai Sumber Hukum InternasionalDalam hukum internasional terdapat beberapa sumber hukum internasional. Menurut sumber tertulis yang ada terdapat dua konvensi yang menjadi rujukan apa saja yang menjadi sumber hukum internasional. Pada Konvensi Den Haag XII, Pasal 7, tertanggal 18 Oktober 1907, yang mendirikan Mahkamah Internasional Perampasan Kapal di Laut (International Prize Court) dan dalam Piagam Mahkamah Internasional Permanen, Pasal 38 tertanggal 16 Desember 1920, yang pada saat ini tercantum dalam Pasal 38 Piagam Mahkamah Internasional tertanggal 26 Juni 1945.[11]

Page 23: DENGAN PERSETUJUAN BERSAMA

Sesuai dengan dua dokumen tertulis tersebut yang berisi penunjukan pada sumber hukum formal, hanya dua dokumen yang penting untuk dibahas, yaitu Piagam Mahkamah Internasional Permanen dan Piagam Mahkamah Internasional. Ini disebabkan karena Mahkamah Internasional mengenai Perampasan Kapal tidak pernah terbentuk, karena tidak tercapainya minimum ratifikasi. Dengan demikian Pasal 38 Mahkamah Internasional Permanen dan Pasal 38 ayat 1 Mahkamah Internasional, dengan demikian hukum positif yang berlaku bagi Mahkamah Internasional dalam mengadili perkara yang diajukan dihadapannya adalah:

1. Perjanjian Internasional;

2. Kebiasaan Internasional;

3. Prinsip Hukum Umum;

4. Keputusan Pengadilan dan ajaran para sarjana yang terkemuka dari berbagai negara sebagai sumber tambahan untuk menetapkan hukum.[12]

Perjanjian internasional yang dimaksud adalah perjanjian yang dibuat atau dibentuk oleh dan diantara anggota masyarakat internasional sebagai subjek hukum internasional dan bertujuan untuk mengakibatkan hukum tertentu.[13]

Dewasa ini dalam hukum internasional kecendrungan untuk mengatur hukum internasional dalam bentuk perjanjian intenasional baik antar negara ataupun antar negara dan organisasi internasioanal serta negara dan subjek internasional lainnya telah berkembang dengan sangat pesat, ini disebabkan oleh perkembangan yang pesat dari masyarakat internasional, termasuk organisasi internasional dan negara-negara.

Perjanjian internasional yang dibuat antara negara diatur dalam Vienna Convention on the Law of Treaties (Konvensi Wina) 1969. Konvensi ini berlaku (entry into force) pada 27 Januari 1980. Dalam Konvensi ini diatur mengenai bagaimana prosedur perjanjian internasional sejak tahap negosiasi hingga diratifikasi menjadi hukum nasional.[14]

Banyak istilah yang digunakan untuk perjanjian internasional diantaranya adalah traktat (treaty), pakta (pact), konvensi (convention), piagam (statute), charter, deklarasi, protokol, arrangement, accord, modus vivendi, covenant, dan lain-lain. Semua ini apapun namanya mempunyai arti yang tidak berbeda dengan perjanjian internasional.[15]

Dalam praktik beberapa negara perjanjian internasional dapat dibedakan menjadi dua golongan. Golongan pertama adalah perjanjian yang dibentuk melalui tiga tahap pembentukan yakni perundingan, penandatanganan dan ratifikasi.[16] Golongan yang kedua adalah perjanjian yang dibentuk melalui dua tahap, yaitu perundingan dan penandatanganan.[17] Untuk golongan pertama biasanya dilakukan untuk perjanjian yang dianggap sangat

Page 24: DENGAN PERSETUJUAN BERSAMA

penting sehingga memerlukan persetujuan dari dari badan yang memiliki hak untuk mengadakan perjanjian (treaty making power). Hal ini biasanya berdasarkan alasan adanya pembentukan hukum baru atau menyangkut masalah keuangan negara. Sedangkan golongan kedua lebih sederhana, perjanjian ini tidak dianggap begitu penting dan memerlukan penyelesaian yang cepat.

Selanjutnya apa yang menjadi ukuran suatu perjanjian mana yang termasuk golongan yang penting, sehingga memerlukan ratifikasi dari Dewan Perwakilan Rakyat dan perjanjian mana yang tidak di Indonesia.

Proses pembentukan Perjanjian Internasional, menempuh berbagai tahapan dalam pembentukan perjanjian internasional, sebagai berikut:

1. Penjajakan: merupakan tahap awal yang dilakukan oleh kedua pihak yang berunding mengenai kemungkinan dibuatnya suatu perjanjian internasional.

2. Perundingan: merupakan tahap kedua untuk membahas substansi dan masalah-masalah teknis yang akan disepakati dalam perjanjian internasional.

3. Perumusan Naskah: merupakan tahap merumuskan rancangan suatu perjanjian internasional.

4. Penerimaan: merupakan tahap menerima naskah perjanjian yang telah dirumuskan dan disepakati oleh para pihak. Dalam perundingan bilateral, kesepakatan atas naskah awal hasil perundingan dapat disebut "Penerimaan" yang biasanya dilakukan dengan membubuhkan inisial atau paraf pada naskah perjanjian internasional oleh ketua delegasi masing-masing. Dalam perundingan multilateral, proses penerimaan (acceptance/approval) biasanya merupakan tindakan pengesahan suatu negara pihak atas perubahan perjanjian internasional.

5. Penandatanganan : merupakan tahap akhir dalam perundingan bilateral untuk melegalisasi suatu naskah perjanjian internasional yang telah disepakati oleh kedua pihak. Untuk perjanjian multilateral, penandatanganan perjanjian internasional bukan merupakan pengikatan diri sebagai negara pihak. Keterikatan terhadap perjanjian internasional dapat dilakukan melalui pengesahan (ratification/accession/acceptance/approval).

IV. Pengesahan Pernjanjian Internasional di Indonesia

Pembuatan dan pengesahan perjanjian internasional antara Pemerintah Indonesia dengan pemerintah negara-negara lain, organisasi internasional dan subjek hukum internasional lain adalah suatu perbuatan hukum yang sangat penting karena mengikat negara dengan subjek

Page 25: DENGAN PERSETUJUAN BERSAMA

hukum internasional lainnya. Oleh sebab itu pembuatan dan pengesahan suatu perjanjian internasional dilakukan berdasarkan undang-undang.

Sebelum adanya Undang-Undang No. 24 tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional, kewenangan untuk membuat perjanjian internasional seperti tertuang dalam Pasal 11 Undang Undang Dasar 1945, menyatakan bahwa Presiden mempunyai kewenangan untuk membuat perjanjian internasional dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat. Pasal 11 UUD 1945 ini memerlukan suatu penjabaran lebih lanjut bagaimana suatu perjanjian internasional dapat berlaku dan menjadi hukum di Indonesia. Untuk itu melalui Surat Presiden No. 2826/HK/1960 mencoba menjabarkan lebih lanjut Pasal 11 UUD 1945 tersebut.[18]

Pengaturan tentang perjanjian internasional selama ini yang dijabarkan dalam bentuk Surat Presiden No. 2826/HK/1960, tertanggal 22 Agustus 1960, yang ditujukan kepada Ketua Dewan Perwakilan Rakyat, dan telah menjadi pedoman dalam proses pengesahan perjanjian internasional selama bertahun-tahun.[19] Pengesahan perjanjian internasional menurut Surat Presiden ini dapat dilakukan melalui undang-undang atau keputusan presiden, tergantung dari materi yang diatur dalam perjanjian internasional. Tetapi dalam prateknya pelaksanaan dari Surat Presiden ini banyak terjadi penyimpangan sehingga perlu untuk diganti dengan Undang-Undang yang mengatur secara khusus mengenai perjanjian internasional.

Hal ini kemudian yang menjadi alasan perlunya perjanjian internasional diatur dalam Undang-Undang No. 24 Tahun 2000. Dalam Undang Undang No. 24 Tahun 2000, adapun isi yang diatur dalam undang-undang tersebut adalah:

Ketentuan Umum

Pembuatan Perjanjian Internasional

Pengesahan Perjanjian Internasional

Pemberlakuan Perjanjian Internasional

Penyimpanan Perjanjian Internasional

Pengakhiran Perjanjian Internasional

Ketentuan Peralihan

Page 26: DENGAN PERSETUJUAN BERSAMA

Ketentuan Penutup[20]

Dalam pengesahan perjanjian internasional terbagi dalam empat kategori, yaitu:

1. Ratifikasi (ratification), yaitu apabila negara yang akan mengesahkan suatu perjanjian internasional turut menandatangani naskah perjanjian internasional;

2. Aksesi (accesion), yaitu apabila negara yang akan mengesahkan suatu perjanjian internasional tidak turut menandatangani naskah perjanjian;

3. Penerimaan (acceptance) atau penyetujuan (approval) yaitu pernyataan menerima atau menyetujui dari negara-negara pihak pada suatu perjanjian internasional atas perubahan perjanjian internasional tersebut;

4. Selain itu juga ada perjanjian-perjanjian internasional yang sifatnya self-executing (langsung berlaku pada saat penandatanganan).

Dalam suatu pengesahan perjanjian internasional penandatanganan suatu perjanjian tidak serta merta dapat diartikan sebagai pengikatan para pihak terhadap perjanjian tersebut. Penandatanganan suatu perjanjian internasional memerlukan pengesahan untuk dapat mengikat. Perjanjian internasional tidak akan mengikat para pihak sebelum perjanjian tersebut disahkan.

Seseorang yang mewakili pemerintah dengan tujuan menerima atau menandatangani naskah suatu perjanjian atau mengikatkan negara terhadap perjanjian internasional, memerlukan Surat Kuasa (Full Powers).[21] Pejabat yang tidak memerlukan surat kuasa adalah Presiden dan Menteri.

Tetapi penandatanganan suatu perjanjian internasional yang menyangkut kerjasama teknis sebagai pelaksanaan dari perjanjian yang sudah berlaku dan materinya berada dalam lingkup kewenangan suatu lembaga negara atau lembaga pemerintah, baik departemen maupun non-departemen, dilakukan tanpa memerlukan surat kuasa.

Pengesahan perjanjian internasional oleh pemerintah dilakukan sepanjang dipersyaratkan oleh perjanjian interansional tersebut. Pengesahan suatu perjanjian internasional dilakukan berdasarkan ketetapan yang disepakati oleh para pihak. Perjanjian internasional yang memerlukan pengesahan mulai berlaku setelah terpenuhinya prosedur pengesahan yang diatur dalam undang-undang.[22]

Pengesahan perjanjian internasional dilakukan dengan undang-undang atau keputusan Presiden.[23] Pengesahan dengan undang-undang memerlukan persetujuan DPR.[24] Pengesahan dengan keputusan Presiden hanya perlu pemberitahuan ke DPR.[25]

Page 27: DENGAN PERSETUJUAN BERSAMA

Pengesahan perjanjian internasional dilakukan melalui undang-undang apabila berkenaan dengan:

masalah politik, perdamaian, pertahanan, dan keamanan negara;

perubahan wilayah atau penetapan batas wilayah negara;

kedaulatan atau hak berdaulat negara;

hak asasi manusia dan lingkungan hidup;

pembentukan kaidah hukum baru;

pinjaman dan/atau hibah luar negeri.[26]

Di dalam mekanisme fungsi dan wewenang, DPR dapat meminta pertanggung jawaban atau keterangan dari pemerintah mengenai perjanjian internasional yang telah dibuat. Apabila dipandang merugikan kepentingan nasional, perjanjian internasional tersebut dapat dibatalkan atas permintaan DPR, sesuai dengan ketentuan yang ada dalam undang-undang No. 24 tahun 2000.

Indonesia sebagai negara yang menganut paham dualisme, hal ini terlihat dalam Pasal 9 ayat 2 UU No. 24 tahun 2000, dinyatakan bahwa:

”Pengesahan perjanjian internasional sebagaimana dimaksud dalam ayat(1) dilakukan dengan undang-undang atau keputusan presiden.”

Dengan demikian pemberlakuan perjanjian internasional ke dalam hukum nasional indonesia tidak serta merta. Hal ini juga memperlihatkan bahwa Indonesia memandang hukum nasional dan hukum internasional sebagai dua sistem hukum yang berbeda dan terpisah satu dengan yang lainnya.

Perjanjian internasional harus ditransformasikan menjadi hukum nasional dalam bentuk peraturan perundang-undangan. Perjanjian internasional sesuai dengan UU No. 24 tahun 2000, diratifikasi melalui undang-undang dan keputusan presiden. Undang-undang ratifikasi tersebut tidak serta merta menjadi perjanjian internasional menjadi hukum nasional Indonesia, undang-undang ratifikasi hanya menjadikan Indonesia sebagai negara terikat terhadap perjanjian internasional tersebut. Untuk perjanjian internasional tersebut berlaku perlu dibuat undang-undang yang lebih spesifik mengenai perjanjanjian internasional yang diratifikasi, contoh Indonesia meratifikasi International Covenant on Civil and Political

Page 28: DENGAN PERSETUJUAN BERSAMA

Rights melalui undang-undang, maka selanjutnya Indonesia harus membuat undang-undang yang menjamin hak-hak yang ada di covenant tersebut dalam undang-undang yang lebih spesifik.

Perjanjian internasional yang tidak mensyaratkan pengesahan dalam pemberlakuannya, biasanya memuat materi yang bersifat teknis atau suatu pelaksana teknis terhadap perjanjian induk. Perjanjian internasional seperti ini dapat lansung berlaku setelah penandatanganan atau pertukaran dokumen perjanjian/nota diplomatik, atau melalui cara lain yang disepakati dalam perjanjian oleh para pihak.

Perjanjian yang termasuk dalam kategori ini diantaranya adalah perjanjian yang materinya mengatur secara teknis kerjasama bidang pendidikan, sosial, budaya, pariwisata, penerangan kesehatan, pertanian, kehutanan dan kerjasam antar propinsi atau kota. Perjanjian internasional mulai berlaku dan mengikat para pihak setelah memenuhi ketentuan yang ditetapkan dalam perjanjian tersebut.

***Catatan: Tulisan ini merupakan resume dari salah satu hasil penelitian yang dibuat penulis bersama tim lainnya dalam "Pengujian Undang-undang yang Mensahkan Perjanjian Internasional".Endnotes:

[1] Teori-teori yang mendasarkan berlakunya hukum internasional itu pasa kehendak negara ini merupakan pencerminan dari teori kedaulatan dan aliran positivisme yang menguasai pemikiran ilmu hukum di Eropa pada abad ke 19.

[2] Teori ini menghendaki adanya suatu norma hukum yang merupakan dasar terakhir kekuatan mengikat hukum internasional. Akhir dari puncak kaidah hukum terdapat kaidah dasar (Grundnorm) yang tidak dapat lagi dikembalikan pada suatu kaidah yang lebih tinggi. Kelsen dianggap sebagai bapak dari mazhab Wina, yang mempengaruhi teori Objektivis ini.