dendeng qu

Upload: isabella-gunawan

Post on 07-Jul-2015

886 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

LAPORAN RESMI PRAKTIKUM TEKNOLOGI PENGOLAHAN HASIL HEWANI

PENGARUH PENGGUNAAN JENIS GULA YANG BERBEDA TERHADAP SIFAT ORGANOLEPTIK DENDENG SAPI

DISUSUN OLEH :

KELOMPOK : C - 3Esterlita Widjaja Handyanto Samuel Mike (6103003009) (6103003041) (6103003 )

Maria Regina Rosita Irawati (6103003140)

PROGRAM STUDI TEKNOLOGI PANGAN FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN UNIVERSITAS KATOLIK WIDYA MANDALA SURABAYA SURABAYA 2006

I. TUJUAN

Tujuan Instruksional Umum : Memahami tahapan proses dan faktor-faktor yang berpengaruh pada pembuatan dendeng serta pengendalian faktor tersebut dengan mutu produk yang dihasilkan. Tujuan Instruksional Khusus : Menjelaskan dan melakukan proses pembuatan dendeng sapi. Mengetahui manfaat bahan tambahan dalam proses pembuatan dendeng sapi. Mengukur parameter kualitas dendeng sapi yang dihasilkan.

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tinjauan Umum Dendeng Menurut SNI (01-2908-1992), dendeng manis merupakan produk makanan berbentuk lempengan yang terbuat dari irisan atau gilingan daging sapi segar berasal dari sapi sehat yang telah diberi bumbu, rasanya manis, dan dikeringkan. Mutu dendeng sapi manis digolongkan menjadi dua yaitu mutu I dan mutu II. Syarat mutu yang sama untuk kedua jenis mutu meliputi warna dan bau khas dendeng sapi dengan kadar air (b/b) maksimal 12%, kadar abu tidak larut dalam asam (b/b kering) maksimal 1%, benda asing (b/b kering) maksimal 1%, kapang dan serangga tidak tampak. Sedangkan syarat mutu yang berbeda yaitu kadar protein (b/b kering), mutu I 30% dan mutu II 25%. Cara pengujian meliputi pengujian secara organoleptik (warna, bau), kadar air, kadar protein, kadar abu tidak larut dalam asam, dan kadar benda asing. Ditinjau dari cara pembuatannya, dendeng dibagi menjadi dendeng giling dan dendeng sayat. Dendeng giling adalah daging yang dicetak dalam bentuk lembaran tipis setelah digiling dan ditambahkan bumbu-bumbu. Sedangkan dendeng sayat adalah daging yang disayat tipis-tipis setelah direndam dalam larutan bumbu-bumbu kemudian dikeringkan. Dendeng memiliki rasa manis karena kadar gulanya cukup tinggi, tekstur dendeng dari lembut sampai sangat liat, serta memiliki warna coklat yang disebabkan reaksi pencoklatan dan warna

gelap gula kelapa yang digunakan. Gula kelapa dan garam yang ditambahkan akan berperan sebagai humektan yang dapat menurunkan kadar air dan aktivitas air (Aw) produk, serta memberi rasa pada dendeng bersama dengan bumbu lainnya (Purnomo,1979). Menurut Astawan (2004), dendeng manis termasuk dalam makanan setengah lembab atau Intermediete Moisture Food (IMF), yaitu bahan pangan yang mempunyai kadar air tidak terlalu tinggi dan juga tidak terlalu rendah, yaitu antara 15-20%. Troller dan Christian (1978) menyatakan bahwa bahan pangan yang berkadar air tinggi akan lebih cepat rusak karena terjadi perubahan kimia, biologis, dan fisik yang disebabkan mikroba dan proses enzimatis. Oleh karena itu, kadar air suatu bahan pangan merupakan parameter mutlak untuk meramalkan terjadinya kerusakan itu. Sebagian air yang terkandung dalam bahan pangan berada dalam keadaan tidak bebas, melainkan terikat dalam berbagai bentuk ikatan oleh komponen-komponen penyusun. Menurut Purnomo (1996), dendeng manis mempunyai Aw 0,57-0,60, tidak memerlukan penyimpanan dingin, stabil dalam suhu kamar, dan perkembangbiakan mikroorganisme terhambat. Tampilan dendeng manis sangat khas yaitu berwarna coklat kemerahan, tipis dan alot, rasanya manis, serta flavornya yang penuh wangi bumbu.

2.2 Bahan Baku dan Bahan Pembantu Pembuatan Dendeng Manis Menurut Fachruddin (1997), pembuatan dendeng manis memerlukan bahan baku dan bahan pembantu atau bahan tambahan. Berikut ini akan diuraikan bahan baku dan bahan tambahan (bahan pembantu) yang digunakan untuk membuat dendeng manis. 2.2.1 Bahan Baku Pembuatan Dendeng Manis Bahan baku yang digunakan yaitu daging yang masih segar. Daging yang masih segar berwarna merah cerah, tidak berbau busuk, dan bila ditekan terasa kenyal (Fachruddin, 1997). Daging yang biasa dijumpai pada pembuatan dendeng manis adalah daging sapi. Menurut SNI (01-3947-1995), daging sapi adalah urat

daging yang melekat pada kerangka, kecuali urat daging dari bagian bibir, hidung dan telinga yang berasal dari sapi yang sehat waktu dipotong. 2.2.2 Bahan Tambahan Pembuatan Dendeng Manis Bahan tambahan yang digunakan berupa garam, gula, rempah-rempah. Berikut adalah bahan tambahan/pembantu yang digunakan pada pembuatan dendeng manis beserta fungsinya. Gula Gula yang umum digunakan dalam pembuatan dendeng adalah gula kelapa. Gula kelapa ini terbuat dari nira bunga kelapa atau pohon palma. Menurut Purnomo (1996), gula kelapa di Indonesia mengandung sukrosa 70,52 3,91 sampai 78,98 4,52 %, glukosa antara 3,00 0,33 sampai 8,96 0,69 % dan fruktosa antara 2,92 0,4 sampai 9,00 0,75%. Penggunaan gula dengan konsentrasi lebih dari 70% dapat mencegah kerusakan bahan pangan. Jika pada bahan pangan diberi gula 40% maka banyak air bebas menjadi tidak bebas lagi karena gula mampu mengikat air dan kehidupan bakteri serta Aw bahan menjadi turun (Winarno dan Laksmi, 1983). Penggunaan gula dalam pembuatan dendeng berfungsi untuk mengurangi rasa asin yang berlebihan akibat penambahan garam. Disamping itu, gula juga dapat memperbaiki aroma, tekstur, dan menghalangi pertumbuhan mikroba serta mengakibatkan dendeng berwarna gelap akibat reaksi Maillard (Rahayu, 1986). Garam Garam yang digunakan untuk pembuatan dendeng adalah garam dapur. Garam dapur dengan komponen yang dominan NaCl, disamping pemberi rasa asin juga berfungsi sebagi pelarut protein dan meningkatkan daya ikat protein otot. Garam juga dapat menurunkan Aw bahan pangan sehingga menghambat pertumbuhan mikroba pembusuk (Winarno dan Laksmi, 1983). Penggunaan garam bersama sukrosa dapat memperbaiki flavor dari produk. Garam dapat menutupi rasa manis dan pahit. Sukrosa dan garam diketahui sebagai humektan yang aman dan dapat mengurangi Aw pada bahan pangan setengah basah (Purnomo,1979). Mekanisme garam sebagai pengawet adalah sebagai berikut: garam yang terionisasi, setiap ionnya akan menarik molekul-molekul air di sekitarnya. Proses

ini disebut hidrasi ion dan semakin besar kadar garam makin banyak molekulmolekul air yang tertarik. Selama proses penggaraman akan terjadi proses osmose, yaitu air dalam jaringan bahan akan tertarik oleh garam yang berada di luar jaringan bahan, sedangkan ion Na+ dan Cl- masuk ke dalam jaringan bahan (Purnomo, 1996). Bumbu-bumbu (rempah-rempah) Menurut Purnomo (1996), rempah-rempah atau bumbu yang dipakai dalam pembuatan dendeng adalah ketumbar, lengkuas, bawang putih. Peranan bumbu adalah pembentukan citarasa khas pada produk dendeng. Pada umumnya bumbu bersifat aromatik dan mengandung minyak atsiri esensial. a. Ketumbar Ketumbar merupakan buah Umbilliferous dari tanaman Coriandrum sativum Linn, berwarna coklat kekuningan, berbentuk bulat dengan garis tengah kurang lebih 3/16 inchi, bagian tepi bergelombang lurus dan mudah pecah. Ketumbar mengandung 0,1-0,5% minyak volatil yang mudah menguap dengan 1-linalool (coriandrol) sebagai komponen utama. Ketumbar digunakan untuk menghambat ketengikan pada lemak atau minyak karena ketumbar mempunyai aktivitas lipolitik yang kuat dan bersifat antioksidan. Ketumbar merupakan salah satu rempah yang banyak digunakan dalam pembuatan dendeng manis dalam bentuk biji maupun dalam bentuk setelah digiling halus (Purnomo, 1997). Ketumbar dapat menimbulkan bau sedap dan rasa pedas yang gurih, sehingga bau tidak sedap pada dendeng dapat dihilangkan (Astawan, 2004). b. Lengkuas Lengkuas merupakan rimpang kering dari tanaman Alpina galangai. Rimpang ini mengandung minyak yang disebut alpine oil. Lengkuas berwarna kuning dan mengandung 0,5-1,0% minyak atsiri esensial dengan aroma seperti jahe. Minyak atsiri esensial ini mengandung -pinene, sineol, dan metilsinamat. Lengkuas ini digunakan sebagai pemberi citarasa dan secara alami memberikan daya awet pada produk dendeng (Purnomo, 1997). c. Bawang putih

Bawang putih adalah umbi dari Allium sativum L. yang terdiri dari sejumlah lapisan kecil, keras, berwarna putih atau merah muda yang membentuk suatu umbi yang dikenal sebagai siung (Purnomo, 1997). Umbi bawang putih berlapislapis, maka bawang putih termasuk jenis tanaman umbi lapis. Sebuah umbi bawang putih terdiri atas 8-20 siung (anak bawang). Antara siung yang satu dengan siung yang lain dipisahkan oleh kulit dan liat, sehingga membentuk satu kesatuan yang rapat. Bawang putih mengandung sejenis minyak atsiri (methylallyl-disulfida) yang berbau menyengat (Santoso, 1989). Umbi bawang putih digunakan sebagai senyawa antioksidan karena memiliki senyawa khasiat seperti allicin yang mampu menghambat pertumbuhan mikroorganisme (Purnomo, 1997). Bawang putih juga dapat menimbulkan rangsangan tajam dan memacu selera makan. Bahan pengawet alami Asam berfungsi sebagai bahan pengawet alami. Asam dikenal sebagai buah dari tanaman Tamaricus indica, hidup di daerah tropis, buah relatif kecil dan berbentuk polongan dan bersegmen, setiap segmen berisi sebuah biji berwarna hitam yang keras dikelilingi oleh daging buah yang berwarna coklat. Buah asam mengandung 1,4-3,3% protein, 0,71-0,81% lemak, 1,8-3,2% selulosa, 8,4-12,4% asam tartarat dan 21,4-30,8% gula. Asam dapat menurunkan pH makanan sehingga menghambat pertumbuhan bakteri pembusuk. Di samping sebagai bahan pengawet, asam juga digunakan untuk menambah rasa dan mengurangi rasa manis, dan memperbaiki tekstur (Winarno dkk, 1984). 2.3 Pencoklatan Non Enzimatis Reaksi pencoklatan non enzimatis dapat didefinisikan sebagai urutan peristiwa yang dimulai dengan reaksi gugus amino pada asam amino, peptida, atau protein dengan gugus hidroksil pada gula, urutan terakhir adalah pembentukan polimer nitrogen berwarna coklat atau melanoidin (deMan, 1997). Pada umumnya kecepatan pencoklatan seiring dengan peningkatan suhu dan pH selama proses atau penyimpanan makanan. Selain itu, peningkatan kecepatannya juga seiring dengan peningkatan kadar air atau Aw yang maksimum pada Aw 0,6-0,8 dan akan

turun lagi setelah itu. Peningkatan ini sebagai akibat terjadinya lapisan ganda molekul air diantara molekul protein sehingga gugus polar akan menjadi jenuh oleh air yang terserap. Selanjutnya keadaan ini menyebabkan mobilitas molekul lebih besar dan kemungkinan terjadi pengaturan kembali intramolekuler, dimana intramolekuler ini yang menyebabkan peningkatan reaksi pencoklatan non enzimatis (Warmbier et al, 1976). Menurut Purnomo (1996), terjadinya pencoklatan non enzimatis pada sampel daging (dendeng) dengan penambahan gula kelapa sebagai salah satu humektan tersebut antara lain disebabkan adanya penambahan gula kelapa sebanyak 30,8% dari berat daging, yang mengandung sekitar 73% sukrosa dan sukrosa mengalami hidrolisa menjadi gula-gula pereduksi yang bersama-sama komponen bumbubumbu (gula dan protein) dan glukosa serta glukosa-6-fosfat yang telah ada dalam daging menghasilkan cukup banyak pigmen melanoidin. Buckle dan Purnomo (1986), menyatakan bahwa sampel daging dengan penambahan gula kelapa memilki nilai NEB (Non Enzymatic Browning) tinggi bila dibandingkan sampel tanpa penambahan gula kelapa dan rempah-rempah. Ini dimungkinkan karena pada gula kelapa mengandung sukrosa sebagai komponen utama. Jumlah rempah-rempah yang ditambahkan pada daging memiliki efek NEB yang sama dengan gula kelapa yang ditunjukkan dengan tingginya nilai NEB pada sampel daging dengan rempah-rempah dibandingkan dengan sampel tanpa rempah-rempah dan gula kelapa. Rempah-rempah mendukung kerja daripada gula kelapa membentuk pigmen melanoidin. Ketumbar termasuk salah satu rempah-rempah yang digunakan dalam proses pembuatan dendeng yang mampu mendukung kerja gula kelapa dalam reaksi NEB. Sebaliknya, aktivitas antioksidan dan lipolitik pada rempah-rempah juga berpengaruh memperlabat aktivitas NEB. Hal ini ditunjukkan oleh rendahnya nilai NEB pada sampel dengan penambahan gula kelapa dan rempah-rempah dibandingkan sampel dengan penambahan gula kelapa saja setelah penyimpan 4 minggu. Reaksi pencoklatan non enzimatik khususnya reaksi maillard ditemukan sebagai salah satu penyebab turunnya asam amino. Hilangnya asam amino yang tersedia dalam makanan sangat merugikan, sama halnya dengan pembentukan racun oleh reaksi NEB.

Perbedaan perilaku antara asam amino disebabkan karena perbedaan kelarutan tiap-tiap asam amino.

III. ALAT DAN BAHAN Alat: Timbangan digital (Mettler) Meat Processor Pisau Nampan plastik Tampah Piring plastik Cabinet dryer Pisau stainless steel Sendok Plastik Telenan Deep fryer Baskom Cobek

Bahan: Daging sapi (lulur dalam) Gula jawa Gula pasir Garam Bawang putih Asam jawa Lengkuas Ketumbar STPP

IV. SKEMA KERJA Daging sapi (lulur dalam)

Penggilingan (dengan meat chopper 30)

Pencampuran dg gula pasir + bumbu

Pencampuran dg gula merah + bumbu

Didiamkan jam

Didiamkan jam

@ pembentukan lembaran dg tebal 3 mm

Disusun dalam tampah

Pengeringan dalam oven (5060C, selama 15-20 jam)

Dendeng mentah

Pencelupan dalam air Deep Frying ( 170oC, selama 45 detik)

Dendeng Sapi Giling Uji organoleptik: warna, rasa,tekstur, aroma

Kebutuhan: Daging sapi untuk 2 perlakuan @250g = 500g Bumbu untuk tiap perlakuan: Garam (3%) = 7,5g Bawang putih (1%) = 2,5g Asam jawa (1%) = 2,5g Lengkuas (1%) = 2,5g Ketumbar (1,5%) = 3,75g STPP (0,4%) = 1g Gula pasir (40%) = 100g Gula merah (40%) = 100g Ulasan cara kerja: Daging sapi yang digunakan adalah bagian lulur dalam karena tekstur daging pada bagian tersebut lebih lunak dan tidak banyak mengandung lemak. Daging ditimbang menggunakan timbangan digital merk Mettler sebanyak 250g untuk satu perlakuan kemudian digiling bersama sedikit es batu dengan Meat Chopper selama sekitar 30 detik. Penambahan es batu bertujuan untuk menurunkan suhu saat penggilingan karena selama tahap tersebut akan terjadi peningkatan suhu yang akan mempengaruhi protein daging (denaturasi protein). Setelah diperoleh daging giling, dilakukan pencampuran bumbu-bumbu. Bumbu-bumbu tersebut antara lain: bawang putih, gula, garam, asam jawa, lengkuas, ketumbar, dan STPP. Penambahan bumbu tersebut bertujuan untuk menciptakan flavor pada dendeng sapi giling dan sebagai pemberi senyawa antimikroba. Setelah proses pencampuran, adonan daging giling tadi didiamkan selama 30 menit agar bumbu dapat meresap dengan rata keseluruh bagian daging. Proses selanjutnya adalah pembentukan lembaran dengan ukuran tebal sekitar 3mm. Dilakukan dengan mencetak daging giling pada cetakan karton yang diberi alas dan ditutup dengan plastik kemudian digilas dengan penggilas kayu agar rata, membuka plastik penutup lalu dibentuk (dirapikan) sesuai cetakan yang digunakan. Setelah daging diperoleh dalam bentuk lembaran, lembaran tersebut disusun dalam tampah yang telah dibersihkan untuk mempermudah proses pengeringan. Kemudian lembaran-lembaran daging yang telah tersusun dalam tampah tersebut dimasukkan ke dalam cabinet dryer yang telah disiapkan pada suhu 50-60C untuk proses pengeringan. Daging dikeringkan

hingga mencapai kadar air 15-30%. Digunakan alat pengering agar suplai panas konstan sehingga daging cepat kering dan untuk mengurangi kontaminasi mikroba udara dan debu. Menurut Winarno, Fardiaz dan Fardiaz (1984), pengeringan berlangsung dengan baik jika pemanasan terjadi pada setiap tempat dari bahan tersebut dan uap air yang menguap berasal dari seluruh permukaan bahan. Faktor yang berpengaruh pada pengeringan adalah luas permukaan bahan, potongan daging, suhu, aliran udara, dan waktu pengeringan. Potongan daging yang tebal dan suhu pengeringan yang terlalu tinggi akan menyebabkan terjadinya fase hardening, yaitu suatu kondisi ketika bagian luar daging sudah kering tetapi bagian dalamnya belum kering sehingga memungkinkan mikroba untuk masuk, tumbuh, dan berkembang biak, akibatnya daya awet dendeng menjadi berkurang. Lalu didapat dendeng sapi giling mentah yang kemudian digoreng dengan cara deep frying pada suhu 170C selama 45 detik lalu ditiriskan dan diangkat. Kemudian dilakukan uji terhadap warna, tekstur, rasa, dan aroma dendeng.

Hasil Pengamatan Hasil OrganoleptikPanelis 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 Total Rata-rata Aroma 548 792 5 4 5 4 4 3 5 4 5 5 4 4 3 3 3 4 2 4 4 4 2 3 4 3 5 5 4 4 3 4 3 2 4 4 4 5 3 4 3 4 75 77 3.8 3.9 Warna 548 792 5 4 5 3 3 3 5 4 4 4 5 5 3 4 3 3 3 3 4 3 3 2 4 4 4 4 4 4 3 4 4 3 4 4 5 5 2 3 5 5 78 74 3.9 3.7 Tekstur 548 792 4 4 4 3 5 3 4 4 5 4 4 5 4 4 3 4 4 4 4 3 4 2 3 5 4 2 4 3 5 4 4 5 4 3 4 5 2 4 4 5 79 76 4 3.8 Rasa 548 792 5 4 5 4 5 4 5 5 5 5 4 5 3 4 4 3 4 3 4 3 4 3 5 5 4 2 5 5 4 5 5 4 5 5 5 5 3 2 4 5 88 81 4.4 4.1

Keterangan : Anava 1. Aroma

548 = Gula Pasir

792 = Gula Jawa

Ho = Tidak ada perbedaan tingkat kesukaan panelis terhadap aroma dendeng yang dihasilkan akibat perbedaan jenis gula yang digunakan. Hi = Ada perbedaan tingkat kesukaan panelis terhadap aroma dendeng yang dihasilkan akibat perbedaan jenis gula yang digunakan. Tabel Anava Between Groups Within Groups Total Sum of Squares 0,100 28,300 28,400 df 1 38 39 Mean Square 0,100 0,745 F 0,134 Sig. 0,716

FhitungFtabel Ada beda nyata tingkat kesukaan panelis terhadap warna dendeng yang dihasilkan akibat perbedaan jenis gula yang digunakan. Uji LSD : LSD 0,05 = t 0,05, db = 2,048 = 0,5560 Notasi : Kode Perlakuan Rata-rata Notasi 792 Gula Jawa 3,7 a 548 Gula Pasir 3,9 b Kesimpulan : Tingkat kesukaan panelis terhadap warna dendeng berbeda nyata akibat adanya perbedaan jenis gula yang digunakan. 3. Tekstur Ho = Tidak ada perbedaan tingkat kesukaan panelis terhadap tekstur dendeng yang dihasilkan akibat perbedaan jenis gula yang digunakan. Hi = Ada perbedaan tingkat kesukaan panelis terhadap tekstur dendeng yang dihasilkan akibat perbedaan jenis gula yang digunakan.2K TG / n

2x 0,7 7 / 2 3 0

Tabel Anava Between Groups Within Groups Total Sum of Squares 0,225 26,150 26,375 df 1 38 39 Mean Square 0,225 0,688 F 0,327 Sig. 0,571

FhitungFtabel Ada beda nyata tingkat kesukaan panelis terhadap rasa dendeng yang dihasilkan akibat perbedaan jenis gula yang digunakan. Uji LSD : LSD 0,05 = t 0,05, db = 2,048 = 0,5731 Notasi : Kode 792 548 Perlakuan Gula Jawa Gula Pasir Rata-rata Notasi 4,1 a 4,4 b2K TG / n

2x 0,7 3 / 2 8 0

Kesimpulan : Tingkat kesukaan panelis terhadap rasa dendeng berbeda nyata akibat adanya perbedaan jenis gula yang digunakan.

Pembahasan

Aroma Berdasarkan uji kesukaan, panelis memberikan penilaian yang sama terhadap aroma kedua dendeng sapi giling yang diberi perlakuan penambahan gula pasir 40% dan gula jawa 40% dengan memberikan nilai rata-rata 3,8 dan 3,9. Hal ini disebabkan oleh tidak adanya penambahan bumbu-bumbu yang lain dan jumlah serta jenis bumbu yang digunakan sama (asam jawa, garam, lengkuas, ketumbar, bawang putih). Aroma yang dapat diterima atau dimaksud oleh panelis adalah aroma khas dendeng. Jadi, perlakuan kedua jenis gula yang berbeda masih dapat menghasilkan aroma khas dendeng yang sama. Warna Warna dendeng sapi giling yang umumnya berwarna coklat didapatkan dari reaksi maillard (pencoklatan non enzimatis). Reaksi pencoklatan non enzimatis dapat didefinisikan sebagai urutan peristiwa yang dimulai dengan reaksi gugus amino pada asam amino, peptida, atau protein dengan gugus hidroksil pada gula, urutan terakhir adalah pembentukan polimer nitrogen berwarna coklat atau melanoidin. Pada umumnya kecepatan pencoklatan seiring dengan peningkatan suhu dan pH selama proses. Selain itu, peningkatan kecepatannya juga seiring dengan peningkatan kadar air atau Aw yang maksimum pada Aw 0,6-0,8 dan akan turun lagi setelah itu. Peningkatan ini sebagai akibat terjadinya lapisan ganda molekul air diantara molekul protein sehingga gugus polar akan menjadi jenuh oleh air yang terserap. Selanjutnya keadaan ini menyebabkan mobilitas molekul lebih besar dan kemungkinan terjadi pengaturan kembali intramolekuler dan intramolekuler ini yang menyebabkan peningltan reaksi pencoklatan non enzimatis. Terjadinya pencoklatan non enzimatis pada sampel daging dengan penambahan gula kelapa atau gula pasir sebagai salah satu humektan pada dendeng sapi giling tersebut antara lain disebabkan adanya kandungan sukrosa sekitar 73% dan sukrosa mengalami hidrolisa menjadi gula-gula pereduksi yang bersama-sama komponen bumbu-bumbu (gula dan protein) dan glukosa serta glukosa-6-fosfat yang telah ada dalam daging menghasilkan cukup banyak pigmen melanoidin. Sampel daging dengan penambahan gula kelapa memilki nilai NEB (Non Enzymatic Browning) tinggi bila dibandingkan sampel dengan penambahan gula pasir. Ini dimungkinkan karena pada gula kelapa mengandung sukrosa sebagai komponen utama.

Rempah-rempah yang ditambahkan pada daging juga mampu menghasilkan efek NEB yang tinggi. Rempah-rempah mendukung kerja daripada gula kelapa mauoun gula pasir membentuk pigmen melanoidin. Ketumbar termasuk salah satu rempah-rempah yang digunakan dalam proses pembuatan dendeng yang mampu mendukung kerja gula kelapa dalam reaksi NEB. Reaksi pencoklatan non enzimatis khususnya reaksi maillard ditemukan sebagai salah satu penyebab turunnya asam amino. Berdasarkan uji kesukaan, panelis memberikan nilai rata-rata 3,7 untuk perlakuan penambahan gula jawa 40% dan 3,9 untuk perlakuan penambahan gula pasir 40%. Panelis lebih menyukai warna dendeng sapi giling yang diberi perlakuan penambahan gula pasir 40%. Hal ini disebabkan karena warna dendeng sapi giling yang diberi perlakuan penambahan gula pasir 40% warna daging dendeng menurut panelis tidak terlalu gelap (coklat kemerahan), sedangkan dendeng giling sapi yang diberi perlakuan penambahan gula jawa 40% warna daging dendeng menurut panelis lebih gelap (coklat gelap). Gula pasir tidak membuat warna dendeng sapi giling yang dihasilkan lebih gelap, sedangkan gula jawa memberikan warna coklat gelap. Hal ini karena warna asli gula jawa sudah berwarna coklat (dapat menyumbang warna coklat), namun warna asli gula pasir berwarna putih (tidak dapat menyumbang warna coklat). Selama pengeringan dalam cabinet dryer pembentukan warna juga terus terjadi. Pembentukan warna coklat terjadi karena adanya reaksi Maillard antara gugus amina protein dengan gula reduksi dengan bantuan panas. Berdasarkan uji LSD, perlakuan kedua jenis gula yang berbeda tersebut menunjukkan adanya beda nyata. Hal ini disebabkan karena penambahan gula jawa 40% dapat memberikan warna lebih gelap (kecoklatan) dimana gula jawa membantu menyumbang warna coklat gelap pada dendeng sapi giling yang dihasilkan, sedangkan penambahan gula pasir 40% memberikan warna yang lebih cenderung coklat kemerahan dimana gula pasir tidak dapat menyumbang warna coklat .

Tekstur

Pengaruh kondisi kelembaban pada produk setengah kering ditunjukkan berdasarkan kandungan Aw dan kadar air yang keduanya memiliki pengaruh terhadap tekstur dari produk yang dihasilkan. Pada umumnya peningkatan Aw pada makanan setengah lembab dari 0,2-0,6 akan meningkatkan kekerasan dan kekompakan. Pada daging peningkatan kekerasan disebabkan karena reaksi kimia. Reaksi ini terjadi lebih cepat pada kelembaban tinggi jika dibandingkan kadar air rendah. Pada umumnya, untuk memperoleh tekstur yang dikehendaki tentunya kadar air produk menjdai cukup tinggi, yang berarti juga nilai Aw nya cukup tinggi. Berdasarkan uji kesukaan, panelis memberikan nilai rata-rata 3,8 untuk tekstur dendeng sapi giling yang diberi perlakuan penambahan gula jawa 40% dan 4,0 untuk tekstur dendeng sapi giling yang diberi perlakuan penambahan gula pasir 40%. Panelis memberikan penilaian yang sama terhadap tekstur yang dihasilkan dari dua perlakuan tersebut. Hal ini disebabkan karena konsentrasi kedua jenis gula yang ditambahkan sama, sehingga tekstur dendeng sapi giling yang dihasilkan tidak ada yang lebih keras. Kedua jenis gula digunakan untuk melunakkan dendeng sapi gilung yang dihasilkan dengan mengurangi penguapan. Rasa Berdasarkan uji kesukaan, panelis memberikan nilai 4,1 untuk rasa dendeng sapi giling yang diberi perlakuan penambahan gula jawa 40% dan 4,4 untuk rasa dendeng sapi giling yang diberi perlakuan penambahan gula pasir 40%. Panelis lebih menyukai dendeng sapi giling yang diberi perlakuan penambahan gula pasir 40% daripada penambahan gula jawa 40%. Hal ini disebabkan karena panelis lebih menyukai rasa dendeng sapi giling yang rasanya manis daripada asin. Berdasarkan hasil uji pembedaan dengan LSD, menunjukkan bahwa kedua perlakuan memberikan perbedaan nyata pada rasa dendeng sapi giling yang dihasilkan. Hal ini disebabkan karena penambahan gula pasir 40% memberikan rasa dominan yang manis, namun penambahan gula jawa 40% memberikan rasa dominan yang asin. Hal ini disebabkan karena gula pasir terbuat dari tebu yang mengandung komponen pemais alami (sukrosa, fruktosa) dan tidak ditambah dengan bahan tambahan lain. Ekstraksi cairan manis dalam tebu dilakukan dengan memerah cairan manis yang ada di dalam batang tebu melalui proses penggilingan yang kemudian dikristalisasi. Sedangkan gula

jawa dibuat dari nira kelapa yang ditampung dari irisan bunga kelapa mengandung sukrosa, lalu ditambahkan garam agar awet dan dipadatkan dalam bentuk elips. Gula jawa menyumbang rasa asin, sehingga dengan penambahan kedua jenis gula pada konsentrasi yang sama maka dendeng sapi giling yang diberi penambahan gula jawa 40% terasa lebih asin. Kadar Air Kadar air menyatakan banyaknya air yang terdapat pada dendeng sapi giling akhir yang dihasilkan. Dendeng termasuk dalam produk pangan golongan semi basah atau disebut juga IMF (Intermediate Moisture Food) yang memiliki kadar air antara 15 hingga 20% (Purnomo, 1996). Hasil pengujian terhadap sampel dendeng dengan 2 macam perlakuan menunjukkan bahwa kadar air dendeng sapi giling hasil praktikum masuk dalam range yang ada pada pustaka, dimana kedua perlakuan tersebut memiliki kadar air 16,79%. Pengurangan kadar air ini diharapkan perkembangbiakan mikroorganisme dan enzim yang dapat menyebabkan pembusukan dapat dihambat. Kadar air ini berhubungan dengan Aw bahan (dendeng sapi giling), dimana Awnya sekitar 0,2-0,6 (Purnomo, 1996). Penambahan kedua jenis gula dan garam dapat menurunkan kadar air produk dengan aman dan efektif dalam pengolahan daging menjadi produk setengah lembab. Sukrosa sebagai komponen utama gula pasir dan gula kelapa memainkan peranan penting dalam menurunkan Aw dendeng sapi giling. Susut Berat Pada awalnya, berat daging yang digunakan adalah 250 gram. Namun setelah dikeringkan, berat daging menjadi berkurang (berat lebih ringan daripada berat awal) yaitu 215 gram. Hal ini disebabkan karena penggilingan menyebabkan hilangnya sebagian air dalam daging pada tahap awal pengolahan yaitu sebelum pengeringan. Setelah dikeringkan, secara otomatis kedua perlakuan tersebut menghasilkan dendeng dengan berat yang lebih rendah daripada berat awal. Pengeringan dapat membuat kehilangan berat daging paling besar karena air bebas dan air terikat lemah yang berada di permukaan dan dalam daging dapat menguap, namun air yang terikat kuat di dalam jaringan otot daging tidak dapat keluar dengan bebas.

Kesimpulan

1. Berdasarkan uji kesukaan dan LSD, perlakuan penambahan gula pasir dan gula jawa dalam pembuatan dendeng sapi giling dapat mempengaruhi warna dan rasa. 2. Berdasarkan uji kesukaan dan LSD, perlakuan penambahan gula pasir dan gula jawa dalam pembuatan dendeng sapi giling tidak mempengaruhi aroma dan tekstur. 3. Kadar air dendeng sapi manis adalah 16,79%. 4. Pada pembuatan dendeng sapi giling terjadi perubahan warna, daging mengalami susut berat, kadar air dan Aw berkurang (turun).

DAFTAR PUSTAKAAstawan, M., Prof., Ir. 2004. Dapatkan Protein Dari Dendeng. Available at http://www.gizi.net/cgi-bin/berita/fullnews.cgi?newsid1083217242,86128. (last update: 28/03/06 10.30) Buckle, K.A dan Purnomo, H. 1986. Measurement of Intermediate Enzymic Browning of Dehydrated and Intermediate Moisture Meat. J. food Sci, 37: 165-172 deMan, J.M. 1997. Kimia makanan. Bandung: penerbit ITB. Fachruddin, L., Ir. 1997. Membuat Aneka Dendeng. Yogyakarta: Penerbit Kanisius Purnomo, H. 1979. Investigation of Dendeng a Traditional Dehydrated Meat of Indonesia. Sydney: M.App. Sc. Thesis. University of New South Wales Purnomo, H. 1996. Dasar-Dasar Pengolahan dan Pengawetan Daging. Jakarta: PT. Gramedia Widiasarana Indonesia Purnomo, H. 1997. Studi Tentang Stabilitas Protein Daging Kering dan Dendeng Selama Penyimpanan. Malang: Universitas Brawijaya Press Rahayu, B. 1986. Pembuatan Dendeng Ayam. Jakarta: No. 03 tahun ke XVI Santoso, H. B. 1989. Bawang Putih. Yogyakarta: Penerbit Kanisius SNI no. 01-2908. 1992. SNI Untuk Daging dan Produk Olahannya dalam http://www.bsn.or.id/Publikasi/INFOSTD/No_01_03/fulltext.pdf SNI no. 01-3947. 1995. SNI Untuk Daging dan Produk Olahannya dalam http://www.bsn.or.id/Publikasi/INFOSTD/No_01_03/fulltext.pdf Troller, J.A dan Christian, J.H.B. 1978. Water Activity and Food. London: Academic Press Warmbier, H.C., Schnickels, R.A and Labuza, T.P. 1976. Nonenzymatic Browning Kinetic in an Intermediate Moisture Model System Effect of Glucose to Lysine Ratio. J. Food Sci, 41: 981-983 Winarno, F.G dan Laksmi, B.S.J. 1983. Kerusakan Bahan Pangan dan Cara Pencegahannya. Jakarta: Ghalia Indonesia Winarno, F.G., Fardiaz, D., dan Fardiaz,G. 1984. Pengantar Teknologi Pangan. Jakarta: PT Gramedia