demam tifoid new.docx
TRANSCRIPT
I. PENDAHULUAN
Salah satu penyakit infeksi sistemik akut yang banyak dijumpai di berbagai
belahan dunia hingga saat ini adalah demam tifoid yang disebabkan oleh bakteri gram
negatif Salmonella typhi. Di Indonesia, demam tifoid lebih dikenal oleh masyarakat
dengan istilah “penyakit tifus”.
Dalam empat dekade terakhir, demam tifoid telah menjadi masalah kesehatan
global bagi masyarakat dunia. Diperkirakan angka kejadian penyakit ini mencapai 13-
17 juta kasus di seluruh dunia dengan angka kematian mencapai 600.000 jiwa per
tahun. Daerah endemik demam tifoid tersebar di berbagai benua, mulai dari Asia,
Afrika, Amerika Selatan, Karibia, hingga Oceania. Sebagain besar kasus (80%)
ditemukan di negara-negara berkembang, seperti Bangladesh, Laos, Nepal, Pakistan,
India, Vietnam, dan termasuk Indonesia. Indonesia merupakan salah satu wilayah
endemis demam tifoid dengan mayoritas angka kejadian terjadi pada kelompok umur
3-19 tahun (91% kasus).1,3,4
Munculnya daerah endemik demam tifoid dipengaruhi oleh berbagai faktor,
antara lain laju pertumbuhan penduduk yang tinggi, peningkatan urbanisasi,
rendahnya kualitas pelayanan kesehatan, kurangnya suplai air, buruknya sanitasi, dan
tingkat resistensi antibiotik yang sensitif untuk bakteri Salmonella typhi, seperti
kloramfenikol, ampisilin, trimetoprim, dan ciprofloxcacin.1
Penularan Salmonella typhi terutama terjadi melalui makanan atau minuman
yang terkontaminasi. Selain itu, transmisi Salmonella typhi juga dapat terjadi secara
transplasental dari ibu hamil ke bayinya.4
II. DEFENISI
Demam Typhoid adalah suatu penyakit infeksi sistemik bersifat akut yang
disebabkan oleh Salmonella Typhi. Penyakit ini ditandai oleh panas berkepanjangan,
ditopang dengan bakteremia tanpa keterlibatan struktur endotelial atau endokardial
dan invasi bakteri sekaligus multiplikasi ke dalam sel fagosit mononuklear dari hati,
limpa, kelenjar limfe usus dan peyer’s patch. ( Sumarmo S.dkk 2008 ) Penyebab
utama dari penyakit ini adalah mikroorganisme Salmonella Typhosa dan Salmonella
Typhi, A, B, dan C. Mikroorganisme ini banyak terdapat di kotoran, tinja manusia
dan makanan atau minuman yang terkena mikroorganisme yang di bawa oleh lalat.
Sebenarnya sumber utama dari penyakit ini adalah lingkungan yang kotor dan tidak
sehat. Tidak seperti virus yang dapat beterbangan di udara, mikroorganisme ini hidup
di sanitasi yang buruk seperti lingkungan kumuh, makanan dan minuman yang tidak
higenis Manifestas Klinik. ( Ngastiyah, 2005 ) Gejala demam typhoid sering kali
muncul setelah 1 sampai 3 mingguterpapar mulai dari tingkat sedang hingga parah.
Gejala klasik yang muncul mulai dari demam tinggi, malas, sakit kepala, konstipasi
atau diare, Rose-Spot pada dada dan Hepatosplenomegali ( WHO, 2010 ). Rose spot
adalah suatu ruam makulopapular yang berwarna merah dengan ukuran 1 sampai 5
mm, sering kali di jumpai pada daerah abdomen, thoraks, ekstremitas dan punggung
pada orang kulit putih, tetapi tidak pernah di laporkan di temukan pada anak
Indonesia. Ruam ini muncul pada hari ke 7 sampai 10 dan bertahan selama 2 sampai
3 hari. ( Soedarmo et al. 2010 ) Periode inkubasi demam typhoid pada anak antara 5
sampai 40 hari dengan rata-rata 10 sampai 14 hari. Gejala klinis ringan tidak
memerlukan perawatan, sedangkan gejala klinis berat harus di rawat. Anak
mengalami demam tinggi pada sore hingga malam hari dan turun pada pagi hari.
Banyak penderita demam typhoid yang di akibatkan kurang masukan cairan dan
makanan. ( Soedarmo et al. 2010 ) Penderita typhoid perlu di rawat di rumah sakit
untuk isolasi agar penyakit ini tidak menular ke orang lain. Penderita harus istirahat
total minimal 7 hari bebas panas. Istirahat total ini untuk mencegah terjadinya
komplikasi di usus. Makanan yang di konsumsi adalah makanan lunak dan tidak
banyak berserat. Sayuran dengan serat kasar seperti daun singkong harus di hindari,
jadi harus benar-benar di jaga makanannya untuk memberi kesempatan kepada usus
menjalani upaya penyembuhan. (Soedarto, 2007 )
III. EPIDEMIOLOGI
Demam typhoid masih merupakan masalah kesehatan sedang bergembang.
Besarnya angka kasus demam typhoid di dunia ini sangat sukar di tentukan sebabab
penyakit ini di kenal mempunyai gejala dengan spektrum klinisnya sangat luas. Di
perkirakan angka kejadian dari 150/100.000/tahuan di Amerika Selatan dan
900/100.000/tahun di Asia. Umur di Indonesia ( daerah endemis ) di laporkan antara
3 smpai 19 tahun mencapai 91% kasus. Angka yang kurang lebih sama juga di
laporkan dari Amerika Selatan. Salmonella Typhi dapat hidup dalam tubuh manusia
( manusia sebagai natural reservoir). Manusia yang terinfeksi Salmonella Typhi dapat
mengeksresikanya melalui sekret saluran nafas, urin dan tinja dalam jangka waktu
yang sangat bervariasi. Salmonella Typhi yang berada di luar tubuh manusia dapat
hidup untuk beberapa minggu apabila berada di dalam air, es, debu atau kotoran yang
kering maupun pada pakian. Akan tetapi Salmonella Typhi hanya dapat hidup kurang
dari 1 minggu pada raw sewage, dan mudah di matikan dengan klorinasi dan
pasteurisasi (temperatur 630C ). Terjadinya penularan Salmonella Typhi sebagian
besar melalui minuman atau makanan yang tercemar oleh mikroorganisme yang
berasal dari penderita atau pembawa mikroorganisme biasanya keluar bersamasama
dengan tinja ( melalui rute oral fekal, jalur oro, fenal ). Dapat juga terjadi transmisi
transplasental dari seorang ibu hamil yang berada dalam bakteremia ke pada bayinya,
pernah di laporkan pula transmisi oro fekal dari seorang ibu pembawa mikrooranisme
pada saat proses kelahirannya kepada bayinya dan sumber mikroorganisme berasal
dari labolatorium peneliti. ( Sumarmo S.dkk 2008 )
IV. ETIOLOGI
Salmonella typhi sama dengan Salmonella lain adalah bakteri Gram negatif
mempunyai flagela tidak berkapsul dan tidak membentuk spora fakultatif anaerob.
Mempunyai anti gensomatik ( O ) yang terdiri dari oligosakarida, flagelar antigen
( H ) yang terdiri dari protein dan envelope antigen ( K ) yang tediri dari polisakarida.
Mempunyai makromolekuler lipopolisakarida kompleks yang membentuk lapisan
luar dari diding sel yang di namakan endotoksin. Salmonella Typhi juga dapat
memperoleh plasmid faktor R yang berkaitan dengan resistensi terhadap multiple
antibiotik. ( Sumarmo S.dkk 2008 )
V. MANIFESTASI KLINIK
Masa inkubasi Salmonella typhi antara 3-21 hari, tergantung dari status
kesehatan dan kekebalan tubuh penderita. Pada fase awal penyakit, penderita demam
tifoid selalu menderita demam dan banyak yang melaporkan bahwa demam terasa
lebih tinggi saat sore atau malam hari dibandingkan pagi harinya. Ada juga yang
menyebut karakteristik demam pada penyakit ini dengan istilah ”step ladder
temperature chart”, yang ditandai dengan demam yang naik bertahap tiap hari,
mencapai titik tertinggi pada akhir minggu pertama kemudian bertahan tinggi, dan
selanjutnya akan turun perlahan pada minggu keempat bila tidak terdapat fokus
infeksi.1,4
Gejala lain yang dapat menyertai demam tifoid adalah malaise, pusing, batuk,
nyeri tenggorokan, nyeri perut, konstipasi, diare, myalgia, hingga delirium dan
penurunan kesadaran. Pada pemeriksaan fisik, dapat ditemukan adanya lidah kotor
(tampak putih di bagian tengah dan kemerahan di tepi dan ujung), hepatomegali,
splenomegali, distensi abdominal, tenderness, bradikardia relatif, hingga ruam
makulopapular berwarna merah muda, berdiameter 2-3 mm yang disebut dengan rose
spot.2,4
VI. PENEGAKAN DIAGNOSTIK
Pada pemeriksaan darah tepi dapat ditemukan adanya penurunan kadar
hemoglobin, trombositopenia, kenaikan LED, aneosinofilia, limfopenia, leukopenia,
leukosit normal, hingga leukositosis.5 2
Gold standard untuk menegakkan diagnosis demam tifoid adalah pemeriksaan
kultur darah (biakan empedu) untuk Salmonella typhi. Pemeriksaan kultur darah
biasanya akan memberikan hasil positif pada minggu pertama penyakit. Hal ini
bahkan dapat ditemukan pada 80% pasien yang tidak diobati antibiotik. Pemeriksaan
lain untuk demam tifoid adalah uji serologi Widal dan deteksi antibodi IgM
Salmonella typhi dalam serum. 1,2,4
Uji serologi widal mendeteksi adanya antibodi aglutinasi terhadap antigen O
yang berasal dari somatik dan antigen H yang berasal dari flagella Salmonella typhi.
Diagnosis demam tifoid dapat ditegakkan apabila ditemukan titer O aglutinin sekali
periksa mencapai ≥ 1/200 atau terdapat kenaikan 4 kali pada titer sepasang. Apabila
hasil tes widal menunjukkan hasil negatif, maka hal tersebut tidak menyingkirkan
kemungkinan diagnosis demam tifoid.4,5
- IVFD NaCl 0,9% 28 tpm
- Ceftriaxon 2 gr /24 jam/i
- PCT 500 mg 3x1
- Dulcolax oral 1 kali
VII. PATOFISIOLOGI
Penularan Salmonella thypii dapat ditularkan melalui berbagai cara, yang
dikenal dengan 5F yaitu Food (makanan), Fingers (jari tangan/kuku), Fomitus
(muntah), Fly (lalat), dan melalui Feses. Feses dan muntah pada penderita typhoid
dapat menularkan kuman Salmonella thypii kepada orang lain. Kuman tersebut dapat
ditularkan melalui perantara lalat, dimana lalat akan hinggap dimakanan yang akan
dikonsumsi oleh orang yang sehat. Apabila orang tersebut kurang memperhatikan
kebersihan dirinya seperti mencuci tangan dan makanan yang tercemar kuman
Salmonella thypii masuk ke tubuh orang yang sehat melalui mulut.
Salmonella thyposa masuk melaui saluran pencernaan kemudian masuk ke
lambung. Basil akan masuk ke dalam lambung, sebagian kuman akan dimusnahkan
oleh asam lambung dan sebagian lagi masuk ke usus halus bagian distal dan
mencapai jaringan limpoid. Di dalam jaringan limfoid ini kuman berkembang biak,
lalu masuk ke aliran darah dan mencapai sel-sel retikuloendotelial. Sel-sel
retikuloendotelial ini kemudian melepaskan kuman ke dalam sirkulasi darah dan
menimbulkan bakterimia, kuman selanjutnya masuk limpa, usus halus dan kandung
empedu ke organ terutama hati dan limpa serta berkembangbiak sehingga organ-
organ tersebut membesar (Ngastiyah 2005).
Semula klien merasa demam akibat endotoksin, sedangkan gejala pada
saluran pencernaan di sebabkan oleh kelainan pada usus halus. Pada minggu pertama
sakit, terjadi hyperplasia plaks payers. Ini terjadi pada kelenjar limfoid usus halus.
Minggu kedua terjadi nekrosis dan pada minggu ketiga terjadi ulserasi plak pyeri
(Suriadi 2006).
VIII. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK
Menurut Suryadi (2006) pemeriksaan pada klien dengan typhoid adalah
pemeriksaan laboratorium, yang terdiri dari:
1. Pemeriksaan leukosit
Di dalam beberapa literatur dinyatakan bahwa demam typhoid terdapat
leukopenia dan limposistosis relatif tetapi kenyataannya leukopenia tidaklah
sering dijumpai. Pada kebanyakan kasus demam typhoid, jumlah leukosit
pada sediaan darah tepi berada pada batas-batas normal bahkan kadang-
kadang terdapat leukosit walaupun tidak ada komplikasi atau infeksi
sekunder. Oleh karena itu pemeriksaan jumlah leukosit tidak berguna untuk
diagnosa demam typhoid.
2. Pemeriksaan SGOT DAN SGPT
SGOT dan SGPT pada demam typhoid seringkali meningkat tetapi dapat
kembali normal setelah sembuhnya typhoid.
3. Biakan darah
Bila biakan darah positif hal itu menandakan demam typhoid, tetapi bila
biakan darah negatif tidak menutup kemungkinan akan terjadi demam typhoid.
Hal ini dikarenakan hasil biakan darah tergantung dari beberapa faktor:
a. Teknik pemeriksaan Laboratorium
Hasil pemeriksaan satu laboratorium berbeda dengan laboratorium
yang lain, hal ini disebabkan oleh perbedaan teknik dan media biakan yang
digunakan. Waktu pengambilan darah yang baik adalah pada saat demam
tinggi yaitu pada saat bakteremia berlangsung.
b. Saat pemeriksaan selama perjalanan penyakit
Biakan darah terhadap Salmonella thypii terutama positif pada
minggu pertama dan berkurang pada minggu-minggu berikutnya. Pada
waktu kambuh biakan darah dapat positif kembali.
c. Vaksinasi di masa lampau
Vaksinasi terhadap demam typhoid di masa lampau dapat
menimbulkan antibodi dalam darah klien, antibodi ini dapat menekan
bakteremia sehingga biakan darah negatif.
d. Pengobatan dengan obat anti mikroba.
Bila klien sebelum pembiakan darah sudah mendapatkan obat anti
mikroba pertumbuhan kuman dalam media biakan terhambat dan hasil
biakan mungkin negatif.
4. Uji Widal
Uji widal adalah suatu reaksi aglutinasi antara antigen dan antibodi
(aglutinin). Aglutinin yang spesifik terhadap Salmonella thypii terdapat dalam
serum klien dengan typhoid juga terdapat pada orang yang pernah
divaksinasikan. Antigen yang digunakan pada uji widal adalah suspensi
Salmonella yang sudah dimatikan dan diolah di laboratorium. Tujuan dari uji
widal ini adalah untuk menentukan adanya aglutinin dalam serum klien yang
disangka menderita typhoid. Akibat infeksi oleh Salmonella thypii, klien
membuat antibodi atau aglutinin yaitu :
a. Aglutinin O, yang dibuat karena rangsangan antigen O (berasal dari tubuh
kuman).
b. Aglutinin H, yang dibuat karena rangsangan antigen H (berasal dari flagel
kuman).
c. Aglutinin Vi, yang dibuat karena rangsangan antigen Vi (berasal dari
simpai kuman)
Dari ketiga aglutinin tersebut hanya aglutinin O dan H yang ditentukan
titernya untuk diagnosa, makin tinggi titernya makin besar klien menderita
typhoid.
5. Pemeriksaan Tubex
Pemeriksaan yang dapat dijadikan alternatif untuk mendeteksi penyakit
demam tifoid lebih dini adalah mendeteksi antigen spesifik dari kuman
Salmonella (lipopolisakarida O9) melalui pemeriksaan IgM Anti Salmonella
(Tubex TF). Pemeriksaan ini lebih spesifik, lebih sensitif, dan lebih praktis
untuk deteksi dini infeksi akibat kuman Salmonella thypii. Keunggulan
pemeriksaan Tubox TF antara lain bisa mendeteksi secara dini infeksi akut
akibat Salmonella thypii, karena antibody IgM muncul pada hari ke 3
terjadinya demam. Berbagai penelitian menunjukkan bahwa pemeriksaan ini
mempunyai sensitivitas yang tinggi terhadap kuman Salmonella (lebih dari
95%). Keunggulan lain hanya dibutuhkan sampel darah sedikit, dan hasil dapat
diperoleh lebih cepat, Anon1 (2010).
IX. PENATALKSANAAN
Terapi pada demam tifoid adalah untuk mencapai keadaan bebas demam dan
gejala, mencegah komplikasi, dan menghindari kematian. Yang juga tidak kalah
penting adalah eradikasi total bakeri untuk mencegah kekambuhandan keadaan
carrier. Pemilihan antibiotik tergantung pada pola sensitivitas isolat Salmonella typhi
setempat. Munculnya galur Salmonella typhi yang resisten terhadap banyak antibiotik
(kelompok MDR) dapat mengurangi pilihan antibiotik yang akan diberikan. Terdapat
2 kategori resistensi antibiotik yaitu resisten terhadap antibiotik kelompok
chloramphenicol, ampicillin, dan trimethoprim sulfamethoxazole (kelompok MDR)
dan resisten terhadap antibiotik fluoroquinolone. Nalidixic acid resistant Salmonella
typhi (NARST) merupakan petanda berkurangnya sensitivitas terhadap
fluoroquinolone. Terapi antibiotik yang diberikan untuk demam tifoid tanpa
komplikasi berdasarkan WHO tahun 2003 dapat dilihat pada tabel.3
Antibiotik golongan fluoroquinolone (ciprofloxacin, ofl oxacin, dan pefl
oxacin) merupakan terapi yang efektif untuk demam tifoid yang disebabkan isolat
tidak resisten terhadap fluoroquinolone dengan angka kesembuhan klinis sebesar
98%, waktu penurunan demam 4 hari, dan angka kekambuhan dan fecal carrier
kurang dari 2%.3
Fluoroquinolone memiliki penetrasi ke jaringan yang sangat baik, dapat
membunuh S. typhi intraseluler di dalam monosit/makrofag, serta mencapai kadar
yang tinggi dalam kandung empedu dibandingkan antibiotik lain. Berbagai studi telah
dilakukan untuk menilai efektivitas fluoroquinolone dan salah satu fluoroquinolone
yang saat ini telah diteliti dan memiliki efektivitas yang baik adalah levofloxacin.
Studi komparatif, acak, dan tersamar tunggal telah dilakukan untuk levofl oxacin
terhadap obat standar ciprofloxacin untuk terapi demam tifoid tanpa komplikasi.
Levofloxacin diberikan dengan dosis 500 mg, 1 kali sehari dan ciprofloxacin
diberikan dengan dosis 500 mg, 2 kali sehari masing-masing selama 7 hari.
Kesimpulan dari studi ini adalah bahwa pada saat ini levofloxacin lebih bermanfaat
dibandingkan ciprofloxacin dalam hal waktu penurunan demam, hasil mikrobiologi
dan secara bermakna memiliki efek samping yang lebih sedikit dibandingkan
ciprofloxacin.3
Di Amerika Serikat, pemberian regimen ciprofloxcacin atau ceftriaxone
menjadi first line bagi infeksi Salmonella typhi yang resisten terhadap kloramfenikol,
ampisilin, trimethoprim-sulfamethoxazole, streptomycin, sulfonamides, atau
tetrasiklin.1
Tabel 1: Antibiotik yang diberikan pada demam tifoid tanpa komplikasi menurut
WHO 2003
Terapi Optimal Terapi Alternatif
Sensitivita
sAntibiotik
Dosis
mg/kgHari Antibiotik
Dosis
mg/kgHari
Fully
Sensitive
Fluoroquinolone
(ofloxacin atau
ciprofloxacin)
15 5-7
Chloramphenicol
Amoxicillin
TMP-SMX
50 – 75
75 –
100
8 - 40
14-
21
14
14
Multidrug
Resisten
Fluoroquinolone
Atau
15
15 – 20
5-7
7-14
Azithromycin
Cefixime
7
7-14
Cefixime
Quinolone
Resisten
Azithromycin
atau Ceftriaxone
8 – 10
75
7
10-
14
Cefixime 7-14
Tabel 2: Antibiotik yang diberikan pada demam tifoid berat menurut WHO 2003
Terapi Optimal Terapi Alternatif
Sensitivita
sAntibiotik
Dosis
mg/kgHari Antibiotik mg/kg Hari
Fully
Sensitive
Fluoroquinolone
(ofloxacin)15
10-
14
Chloramphenicol
Amoxicillin
TMP-SMX
100
100
8 - 40
14-
21
14
14
Multidrug
ResistenFluoroquinolone 15
10-
14
Ceftriaxone
Cefotaxime
60
80
10-
14
Quinolone
Resisten
Ceftriaxone 60 10-
14
Fluoroquinolone 20 7-14
Cefotaxime 80
Pemberian steroid diindikasikan pada kasus toksik tifoid (disertai gangguan
kesadaran dengan atau tanpa kelainan neurologis dan hasil pemeriksaan CSF dalam
batas normal) atau pasien yang mengalami renjatan septik. Regimen yang dapat
diberikan adalah deksamethasone dengan dosis 3x5 mg. Sedangkan pada pasien anak
dapat digunakan deksametashone IV dengan dosis 3 mg/kg dalam 30 menit sebagai
dosis awal yang dilanjutkan dengan 1 mg/kg tiap 6 jam hingga 48 jam. Pengobatan
lainnya bersifat simtomatik.4,5
Pengobatan penderita Demam Tifoid di Rumah Sakit terdiri dari pengobatan
suportif meliputi istirahat dan diet, medikamentosa, terapi penyulit (tergantung
penyulit yang terjadi). Istirahat bertujuan untuk mencegah komplikasi dan
mempercepat penyembuhan. Pasien harus tirah baring absolut sampai minimal 7 hari
bebas demam atau kurag lebih selama 14 hari. Mobilisasi dilakukan bertahap, sesuai
dengan pulihnya kekuatan pasien. (Mansjoer, 2001)
Diet dan terapi penunjuang dilakukan dengan pertama, pasien diberikan bubur
saring, kemudian bubur kasar dan akhirnya nasi sesuai dengan tingkat kesembuhan
pasien. Namun beberapa penelitian menunjukkan bahwa pemberian makanan tingkat
dini yaitu nasi dengan lauk pauk rendah selulosa (pantang sayuran dengan serat
kasar) dapat diberikan dengan aman. Juga perlu diberikan vitamin dan mineral untuk
mendukung keadaan umum pasien.(Mansjoer, 2001)
Pada kasus perforasi intestinal dan renjatan septik diperlukan perawatan
intensif dengan nutrisi parenteral total. Spektrum antibiotik maupun kombinasi
beberapa obat yang bekerja secara sinergis dapat dipertimbangkan. Kortikosteroid
perlu diberikan pada renjatan septik. (Mansjoer, 2001)
Diet Penyakit Demam Tifoid
Penderita penyakit demam Tifoid selama menjalani perawatan haruslah mengikuti
petunjuk diet yang dianjurkan oleh dokter untuk di konsumsi, antara lain :
1. Makanan yang cukup cairan, kalori, vitamin & protein.
2. Tidak mengandung banyak serat.
3. Tidak merangsang dan tidak menimbulkan banyak gas.
4. Makanan lunak diberikan selama istirahat.
X. KOMPLIKASI
Komplikasi demam tifoid dapat dibagi di dalam :
1. Komplikasi intestinal
1. Perdarahan usus
2. Perforasi usus
3. Ileus paralitik
2. Komplikasi ekstraintetstinal
1. Komplikasi kardiovaskular: kegagalan sirkulasi perifer
(renjatan/sepsis), miokarditis, trombosis dan tromboflebitis.
2. Komplikasi darah: anemia hemolitik, trombositopenia dan atau
koagulasi intravaskular diseminata dan sindrom uremia hemoltilik.
3. Komplikasi paru: penuomonia, empiema dan peluritis.
4. Komplikasi hepar dan kandung kemih: hepatitis dan kolelitiasis.
5. Komplikasi ginjal: glomerulonefritis, pielonefritis dan perinefritis.
6. Komplikasi tulang: osteomielitis, periostitis, spondilitis dan artritis.
7. Komplikasi neuropsikiatrik: delirium, mengingismus, meningitis,
polineuritis perifer, sindrim Guillain-Barre, psikosis dan sindrom
katatonia.
Pada anak-anak dengan demam paratifoid, komplikasi lebih jarang terjadi.
Komplikasi lebih sering terjadi pada keadaan toksemia berat dan kelemahan umum,
bila perawatan pasien kurang sempurna. (Mansjoer, 2001)
XI. PENCEGAHAN
Pencegahan demam tifoid diupayakan melalui berbagai cara: umum dan
khusus/imunisasi. Termasuk cara umum antara lain adalah peningkatan higiene dan
sanitasi karena perbaikan higiene dan sanitasi saja dapat menurunkan insidensi
demam tifoid. (Penyediaan air bersih, pembuangan dan pengelolaan sampah).
Menjaga kebersihan pribadi dan menjaga apa yang masuk mulut (diminum atau
dimakan) tidak tercemar Salmonella typhi. Pemutusan rantai transmisi juga penting
yaitu pengawasan terhadap penjual (keliling) minuman/makanan. (Darmowandowo,
2006)
Ada dua vaksin untuk mencegah demam tifoid. Yang pertama adalah vaksin
yang diinaktivasi (kuman yang mati) yang diberikan secara injeksi. Yang kedua
adalah vaksin yang dilemahkan (attenuated) yang diberikan secara oral. Pemberian
vaksin tifoid secara rutin tidak direkomendasikan, vaksin tifoid hanta
direkomendasikan untuk pelancong yang berkunjung ke tempat-tempat yang demam
tifoid sering terjadi, orang yang kontak dengan penderita karier tifoid dan pekerja
laboratorium. (Department of Health and human service, 2004)
Vaksin tifoid yang diinaktivasi (per injeksi) tidak boleh diberikan kepada
anak-anak kurang dari dua tahun. Satu dosis sudah menyediakan proteksi, oleh karena
itu haruslah diberikan sekurang-kurangnya 2 minggu sebelum bepergian supaya
memberikan waktu kepada vaksin untuk bekerja. Dosis ulangan diperlukan setiap dua
tahun untuk orang-orang yang memiliki resiko terjangkit. (Department of Health and
human service, 2004)
Vaksin tifoid yang dilemahkan (per oral) tidak boleh diberikan kepada anak-
anak kurang dari 6 tahun. Empat dosis yang diberikan dua hari secara terpisah
diperlukan untuk proteksi. Dosis terakhir harus diberikan sekurang-kurangnya satu
minggu sebelum bepergian supaya memberikan waktu kepada vaksin untuk bekerja.
Dosis ulangan diperlukan setiap 5 tahun untuk orang-orang yang masih memiliki
resiko terjangkit. (Department of Health and human service, 2004)
Ada beberapa orang yang tidak boleh mendapatkan vaksin tifoid atau harus
menunggu. Yang tidak boleh mendapatkan vaksin tifoid diinaktivasi (per injeksi)
adalah orang yang memiliki reaksi yang berbahaya saat diberi dosis vaksin
sebelumnya, maka ia tidak boleh mendapatkan vaksin dengan dosis lainnya. Orang
yang tidak boleh mendapatkan vaksin tifoid yang dilemahkan (per oral) adalah :
orang yang mengalami reaksi berbahaya saat diberi vaksin sebelumnya maka tidak
boleh mendapatkan dosis lainnya, orang yang memiliki sistem imunitas yang lemah
maka tidak boleh mendapatkan vaksin ini, mereka hanya boleh mendapatkan vaksin
tifoid yang diinaktifasi, diantara mereka adalah penderita HIV/AIDS atau penyakit
lain yang menyerang sistem imunitas, orang yang sedang mengalami pengobatan
dengan obat-obatan yang mempengaruhi sistem imunitas tubuh semisal steroid
selama 2 minggu atau lebih, penderita kanker dan orang yang mendapatkan
perawatan kanker dengan sinar X atau obat-obatan. Vaksin tifoid oral tidak boleh
diberikan dalam waktu 24 jam bersamaan dengan pemberian antibiotik. (Department
of Health and human service, 2004)
Suatu vaksin, sebagaimana obat-obatan lainnya, bisa menyebabkan problem
serius seperti reaksi alergi yang parah. Resiko suatu vaksin yang menyebabkan
bahaya serius atau kematian sangatlah jarang terjadi. Problem serius dari kedua jenis
vaksin tifoid sangatlah jarang. Pada vaksin tifoid yang diinaktivasi, reaksi ringan
yang dapat terjadi adalah : demam (sekitar 1 orang per 100), sakit kepada (sekitar 3
orang per 100) kemerahan atau pembengkakan pada lokasi injeksi (sekitar 7 orang
per 100). Pada vaksin tifoid yang dilemahkan, reaksi ringan yang dapat terjadi adalah
demam atau sakit kepada (5 orang per 100), perut tidak enak, mual, muntah-muntah
atau ruam-ruam (jarang terjadi). (Department of Health and human service, 2004