demam tifoid

15
Demam tifoid, tifus atau typhoid adalah penyakit infeksi yang paling sering dicxemaskan bila saat seseor4ang menderita panas. memang setiap tifus selalu terjadi manifestasi demam tetapi tidak semua demam harus didiagnosis tifus, justru pneyebab paling sering demam adalah infeksi virus. Deteksi dan diagnosis tifus relatif tidak mudah karena pada awalnya manifestasi klinis penyakit ini tidak khas dan mirip berbagai penyakit lainnya. Apalagi pemeriksaan laboratorium yang sering dipakai saat ini tidak sensitif atau sering mengalami bias untuk mengenali tifus. Demam tifoid, atau typhoid adalah penyakit yang disebabkan oleh bakteri Salmonella enterica, khususnya turunannya yaitu Salmonella Typhi.Penyakit ini dapat ditemukan di seluruh dunia, dan disebarkan melalui makanan dan minuman yang telah tercemar oleh tinja. Demam tifoid, juga dikenal sebagai demam enterik, adalah penyakit multisistemik fatal terutama disebabkan oleh Salmonella typhi. Manifestasi protean demam tifoid membuat penyakit ini menjadi tantangan diagnostik benar. Presentasi klasik mencakup demam, malaise, sakit perut menyebar, dan sembelit. Tidak diobati, demam tifoid adalah penyakit melelahkan yang dapat berkembang menjadi delirium, obtundation, perdarahan usus, perforasi usus, dan kematian dalam waktu satu bulan onset. Korban dapat dibiarkan dengan komplikasi neuropsikiatri jangka panjang atau permanen. S typhi telah menjadi patogen utama manusia selama ribuan tahun, berkembang dalam kondisi sanitasi yang buruk, kelebihan populasi, dan kekacauan sosial. Hal itu mungkin karena bertanggung jawab atas Wabah Besar Athena pada akhir Perang Pelopennesian. Typhi Nama S berasal dari typhos Yunani kuno, sebuah asap halus atau awan yang diyakini menyebabkan penyakit dan kegilaan. Pada tahap lanjutan dari demam tifoid, tingkat pasien kesadaran benar- benar mendung. Meskipun antibiotik telah nyata mengurangi frekuensi demam tipus di negara maju, tetap endemik di negara berkembang masih saja terjadi Demam tifoid disebabkan oleh jenis salmonella tertentu yaitu s. Typhi, s. Paratyphi A, dan S. Paratyphi B dan kadang-kadang jenis salmonella yang lain. Demam yang disebabkan oleh s. Typhi cendrung untuk menjadi lebih berat daripada bentuk infeksi salmonella yng lain. Salmonella merupakan bakteri batang gram negatif yang bersifat motil, tidak membentuk spora, dan tidak berkapsul. Kebanyakkan strain meragikan glukosa, manosa dan manitol untuk menghasilkan asam dan gas, tetapi tidak meragikan laktosa dan sukrosa. Organisme salmonella tumbuh secara aerob dan mampu tumbuh secara anaerob fakultatif. Kebanyakan spesies resistent terhadap agen fisik namun dapat dibunuh dengan pemanasan sampai 54,4º C (130º F) selama 1 jam atau 60 º C (140 º F) selama 15 menit. Salmonella tetap dapat hidup pada suhu ruang dan suhu yang rendah selama beberapa hari dan dapat bertahan hidup selama berminggu-minggu dalam sampah, bahan makannan kering, agfen farmakeutika an bahan tinja. Salmonella memiliki antigen somatik O dan antigen flagella HH. Antigen O adlah komponen lipopolisakarida dinding sel yang stabil terhadap panas sedangkan antigen H adalah protein labil panas. Kuman ini dapat hidup lama di air yang kotor, makanan tercemar, dan alas tidur yang kotor. Siapa saja dan kapan saja dapat menderita penyakit ini. Termasuk bayi yang dilahirkan dari ibu yang terkena demam tifoid. Lingkungan yang tidak bersih, yang terkontaminasi dengan Salmonella typhi merupakan penyebab paling sering timbulnya penyakit tifus. Kebiasaan tidak

Upload: abdi31

Post on 16-Jan-2016

9 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

123456

TRANSCRIPT

Page 1: Demam tifoid

Demam tifoid, tifus atau typhoid adalah penyakit infeksi yang paling sering dicxemaskan

bila saat seseor4ang menderita panas. memang setiap tifus selalu terjadi manifestasi

demam tetapi tidak semua demam harus didiagnosis tifus, justru pneyebab paling sering

demam adalah infeksi virus. Deteksi dan diagnosis tifus relatif tidak mudah karena pada

awalnya manifestasi klinis penyakit ini tidak khas dan mirip berbagai penyakit lainnya.

Apalagi pemeriksaan laboratorium yang sering dipakai saat ini tidak sensitif atau sering

mengalami bias untuk mengenali tifus.

Demam tifoid, atau typhoid adalah penyakit yang disebabkan oleh bakteri Salmonella enterica,

khususnya turunannya yaitu Salmonella Typhi.Penyakit ini dapat ditemukan di seluruh dunia,

dan disebarkan melalui makanan dan minuman yang telah tercemar oleh tinja.

Demam tifoid, juga dikenal sebagai demam enterik, adalah penyakit multisistemik fatal terutama

disebabkan oleh Salmonella typhi. Manifestasi protean demam tifoid membuat penyakit ini

menjadi tantangan diagnostik benar. Presentasi klasik mencakup demam, malaise, sakit perut

menyebar, dan sembelit. Tidak diobati, demam tifoid adalah penyakit melelahkan yang dapat

berkembang menjadi delirium, obtundation, perdarahan usus, perforasi usus, dan kematian dalam

waktu satu bulan onset. Korban dapat dibiarkan dengan komplikasi neuropsikiatri jangka

panjang atau permanen.

S typhi telah menjadi patogen utama manusia selama ribuan tahun, berkembang dalam kondisi

sanitasi yang buruk, kelebihan populasi, dan kekacauan sosial. Hal itu mungkin karena

bertanggung jawab atas Wabah Besar Athena pada akhir Perang Pelopennesian. Typhi Nama S

berasal dari typhos Yunani kuno, sebuah asap halus atau awan yang diyakini menyebabkan

penyakit dan kegilaan. Pada tahap lanjutan dari demam tifoid, tingkat pasien kesadaran benar-

benar mendung. Meskipun antibiotik telah nyata mengurangi frekuensi demam tipus di negara

maju, tetap endemik di negara berkembang masih saja terjadi

Demam tifoid disebabkan oleh jenis salmonella tertentu yaitu s. Typhi, s. Paratyphi A, dan S.

Paratyphi B dan kadang-kadang jenis salmonella yang lain. Demam yang disebabkan oleh s.

Typhi cendrung untuk menjadi lebih berat daripada bentuk infeksi salmonella yng lain.

Salmonella merupakan bakteri batang gram negatif yang bersifat motil, tidak membentuk spora,

dan tidak berkapsul. Kebanyakkan strain meragikan glukosa, manosa dan manitol untuk

menghasilkan asam dan gas, tetapi tidak meragikan laktosa dan sukrosa. Organisme salmonella

tumbuh secara aerob dan mampu tumbuh secara anaerob fakultatif. Kebanyakan spesies resistent

terhadap agen fisik namun dapat dibunuh dengan pemanasan sampai 54,4º C (130º F) selama 1

jam atau 60 º C (140 º F) selama 15 menit. Salmonella tetap dapat hidup pada suhu ruang dan

suhu yang rendah selama beberapa hari dan dapat bertahan hidup selama berminggu-minggu

dalam sampah, bahan makannan kering, agfen farmakeutika an bahan tinja.

Salmonella memiliki antigen somatik O dan antigen flagella HH. Antigen O adlah komponen

lipopolisakarida dinding sel yang stabil terhadap panas sedangkan antigen H adalah protein labil

panas. Kuman ini dapat hidup lama di air yang kotor, makanan tercemar, dan alas tidur yang

kotor. Siapa saja dan kapan saja dapat menderita penyakit ini. Termasuk bayi yang dilahirkan

dari ibu yang terkena demam tifoid. Lingkungan yang tidak bersih, yang terkontaminasi dengan

Salmonella typhi merupakan penyebab paling sering timbulnya penyakit tifus. Kebiasaan tidak

Page 2: Demam tifoid

sehat seperti jajan sembarangan, tidak mencuci tangan menjadi penyebab terbanyak penyakit ini.

Penyakit tifus cukup menular lewat air seni atau tinja penderita. Penularan juga dapat dilakukan

binatang seperti lalat dan kecoa yang mengangkut bakteri ini dari tempat-tempat kotor.

Patogenesis

Masa inkubasi penyakit ini rata-rata 7 sampai 14 hari. Manifestasi klinik pada anak umumnya

bervariasi. Demam adalah gejala yang paling utama di antara semua gejala klinisnya. Pada

minggu pertama, tidak ada gejala khas dari penyakit ini. Bahkan, gejalanya menyerupai penyakit

infeksi akut lainnya. Gejala yang muncul antara lain demam, sering bengong atau tidur melulu,

sakit kepala, mual, muntah, nafsu makan menurun, sakit perut, diare atau justru sembelit (sulit

buang air besar) selama beberapa hari. Peningkatan suhu bertambah setiap hari. Setelah minggu

kedua, gejala bertambah jelas. Demam yang dialami semakin tinggi, lidah kotor, bibir kering,

kembung, penderita terlihat acuh tidak acuh, dan lain-lain.

S. typhi masuk ketubuh manusia melalui makanan dan air yang tercemar. Sebagian kuman

dimusnahkan oleh asam lambung dan sebagian lagi masuk ke usus halus. Setelah mencapai

usus, Salmonella typhosa menembus ileum ditangkap oleh sel mononuklear, disusul bakteriemi I.

Setelah berkembang biak di RES, terjadilah bakteriemi II. Interaksi Salmonella dengan makrofag

memunculkan mediator-mediator. Lokal (patch of payer) terjadi hiperplasi, nekrosis dan ulkus.

Sistemik timbul gejala panas, instabilitas vaskuler, inisiasi sistem beku darah, depresi sumsum

tulang dll. Imunulogi. Humoral lokal, di usus diproduksi IgA sekretorik yang berfungsi

mencegah melekatnya salmonella pada mukosa usus. Humoral sistemik, diproduksi IgM dan IgG

untuk memudahkan fagositosis Salmonella oleh makrofag. Seluler berfungsi untuk membunuh

Salmonalla intraseluler

Banyak orang yang tidak terlihat sakit tapi berpotensi menyebarkan penyakit tifus. Inilah yang

disebut dengan pembawa penyakit tifus. Meski sudah dinyatakan sembuh, bukan tidak mungkin

mantan penderita masih menyimpan bakteri tifus dalam tubuhnya. Bakteri bisa bertahan

berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun. Sebagian bakteri penyebab tifus ada yang bersembunyi

di kantong empedu. Bisa saja bakteri ini keluar dan bercampur dengan tinja. Bakteri ini dapat

menyebar lewat air seni atau tinja penderita.

Epidemiologi

Sejak 1900, sanitasi yang baik dan pengobatan antibiotik yang sukses telah terus menurun

kejadian demam tifoid di Amerika Serikat. Pada tahun 1920, 35.994 kasus demam tifoid yang

dilaporkan. Pada tahun 2006, ada 314. Antara tahun 1999 dan 2006, 79% kasus demam tifoid

terjadi pada pasien yang telah di luar negeri dalam 30 hari sebelumnya. Dua pertiga dari orang-

orang ini baru saja berangkat dari anak benua India. The 3 wabah dikenal demam tifoid di

Amerika Serikat yang ditelusuri ke makanan impor atau untuk penangan makanan dari daerah

endemik. Hebatnya, hanya 17% kasus yang diperoleh di dalam negeri yang dilacak ke carrier .

Demam tifoid terjadi di seluruh dunia, terutama di negara-negara berkembang yang kondisi

sanitasi buruk. Demam tifoid adalah endemik di Asia, Afrika, Amerika Latin, Karibia, dan

Oceania, tetapi 80% kasus berasal dari Bangladesh, Cina, India, Indonesia, Laos, Nepal,

Page 3: Demam tifoid

Pakistan, atau Vietnam. Di negara-negara tersebut, tipus demam paling sering terjadi pada

daerah tertinggal. Demam tifoid menginfeksi sekitar 21,6 juta orang atau angka kejadian 3,6 per

1.000 penduduk dan membunuh 200.000 orang setiap tahun.

Di Amerika Serikat, sebagian besar kasus demam tifoid terjadi pada wisatawan internasional.

Insiden tahunan rata-rata demam tifoid per juta wisatawan dari 1999-2006 oleh daerah atau

wilayah keberangkatan adalah sebagai berikut: Kanada – 0, Belahan Barat di luar Kanada /

Amerika Serikat – 1,3, Afrika – 7,6, Asia – 10,5, India – 89 (122 tahun 2006) atau Jumlah (untuk

semua negara kecuali Kanada / Amerika Serikat) – 2,2

Dengan terapi antibiotik yang cepat dan tepat, demam tifoid adalah penyakit yang biasanya

jangka pendek demam membutuhkan rata-rata 6 hari rawat inap. Diobati, ia memiliki beberapa

gejala sisa jangka panjang dan risiko 0,2% dari kematian [17] demam tifoid yang tidak diobati

adalah penyakit yang mengancam jiwa durasi beberapa minggu „dengan morbiditas jangka

panjang sering melibatkan sistem saraf pusat.. Angka kematian di Amerika Serikat pada era pra-

antibiotik adalah 9% -13%. Demam tifoid tidak memiliki predileksi rasial. Lima puluh empat

persen kasus demam tifoid di Amerika Serikat dilaporkan antara 1999 dan 2006 pria yang sering

mengalami. Kasus tipus yang paling banyak melibatkan anak usia sekolah dan dewasa muda.

Namun, kejadian benar di antara anak yang sangat muda dan bayi dianggap lebih tinggi.

Presentasi dalam kelompok usia mungkin atipikal, mulai dari penyakit demam ringan sampai

kejang parah, dan infeksi S typhi mungkin tidak dikenali. Ini dapat menjelaskan laporan yang

saling bertentangan dalam literatur bahwa kelompok ini memiliki baik tingkat yang sangat tinggi

atau sangat rendah morbiditas dan mortalitas

Manifestasi klinis

Keluhan dan gejala Demam Tifoid tidak khas, dan bervariasi dari gejala seperti flu ringan sampai

tampilan sakit berat dan fatal yang mengenai banyak sistem organ. Secara klinis gambaran

penyakit Demam Tifoid berupa demam berkepanjangan, gangguan fungsi usus, dan keluhan

susunan saraf pusat.

1. Panas lebih dari 7 hari, biasanya mulai dengan sumer yang makin hari makin meninggi,

sehingga pada minggu ke 2 panas tinggi terus menerus terutama pada malam hari.

2. Gejala gstrointestinal dapat berupa obstipasi, diare, mual, muntah, dan kembung,

hepatomegali, splenomegali dan lidah kotor tepi hiperemi.

3. Gejalah saraf sentral berupa delirium, apatis, somnolen, sopor, bahkan sampai koma.

Berbagai tanda dan gejala yang bisa timbul :

demam tinggi dari 39° sampai 40 °C (103° sampai 104 °F) yang meningkat secara

perlahan

tubuh menggigil

denyut jantung lemah (bradycardia)

badan lemah (“weakness”)

sakit kepala

nyeri otot myalgia

kehilangan nafsu makan

Page 4: Demam tifoid

konstipasi

sakit perut

pada kasus tertentu muncul penyebaran vlek merah muda (“rose spots”)

Diagnosis Banding

Abdominal Abscess

Amebic Hepatic Abscesses

Appendicitis

Brucellosis

Dengue Fever

Influenza

Leishmaniasis

Malaria

Rickettsial diseases

Toxoplasmosis

Tuberculosis

Tularemia

Influenza

Malaria

Bronchitis

Sepsis

Broncho Pneumonia

I.S.K (Infeksi Saluran kencing)

Gastroenteritis (infeksi Saluran Cerna: muntah atau diare)

Keganasan : – Leukemia

Tuberculosa – Lymphoma

Diagnosis

Penegakan diagnosis demam tifoid didasarkan pada manifestasi klinis yang diperkuat

oleh pemeriksaan laboratorium penunjang. Sampai saat ini masih dilakukan berbagai

penelitian yang menggunakan berbagai metode diagnostik untuk mendapatkan metode

terbaik dalam usaha penatalaksanaan penderita demam tifoid secara menyeluruh

Berbagai metode diagnostik masih terus dikembangkan untuk mencari cara yang cepat,

mudah dilakukan dan murah biayanya dengan sensitivitas dan spesifisitas yang tinggi.

Hal ini penting untuk membantu usaha penatalaksanaan penderita secara menyeluruh

yang juga meliputi penegakan diagnosis sedini mungkin dimana pemberian terapi yang

sesuai secara dini akan dapat menurunkan ketidaknyamanan penderita, insidensi

terjadinya komplikasi yang berat dan kematian serta memungkinkan usaha kontrol

penyebaran penyakit melalui identifikasi karier.

Pemeriksaan laboratorium untuk membantu menegakkan diagnosis demam tifoid dibagi

dalam empat kelompok, yaitu : pemeriksaan darah tepi; pemeriksaan bakteriologis

dengan isolasi dan biakan kuman; uji serologis; dan pemeriksaan kuman secara

molekuler.

Page 5: Demam tifoid

Identifikasi kuman melalui isolasi atau biakan Diagnosis pasti demam tifoid dapat ditegakkan

bila ditemukan bakteri S. typhi dalam biakan dari darah, urine, feses, sumsum tulang, cairan

duodenum atau dari rose spots. Berkaitan dengan patogenesis penyakit, maka bakteri akan lebih

mudah ditemukan dalam darah dan sumsum tulang pada awal penyakit, sedangkan pada stadium

berikutnya di dalam urine dan feses. Hasil biakan yang positif memastikan demam tifoid akan

tetapi hasil negatif tidak menyingkirkan demam tifoid, karena hasilnya tergantung pada beberapa

faktor. Faktor-faktor yang mempengaruhi hasil biakan meliputi jumlah darah yang diambil;

perbandingan volume darah dari media empedu; dan waktu pengambilan darah.

Identifikasi kuman melalui uji serologis

Uji serologis digunakan untuk membantu menegakkan diagnosis demam tifoid dengan

mendeteksi antibodi spesifik terhadap komponen antigen S. typhi maupun mendeteksi

antigen itu sendiri. Volume darah yang diperlukan untuk uji serologis ini adalah 1-3 mL

yang diinokulasikan ke dalam tabung tanpa antikoagulan.4 Beberapa uji serologis yang

dapat digunakan pada demam tifoid ini meliputi : uji Widal; tes TUBEX®; metode

enzyme immunoassay (EIA), metode enzyme-linked immunosorbent assay (ELISA),dan

pemeriksaan dipstik.

Metode pemeriksaan serologis imunologis ini dikatakan mempunyai nilai penting dalam

proses diagnostik demam tifoid. Akan tetapi masih didapatkan adanya variasi yang luas

dalam sensitivitas dan spesifisitas pada deteksi antigen spesifik S. typhi oleh karena

tergantung pada jenis antigen, jenis spesimen yang diperiksa, teknik yang dipakai untuk

melacak antigen tersebut, jenis antibodi yang digunakan dalam uji (poliklonal atau

monoklonal) dan waktu pengambilan spesimen (stadium dini atau lanjut dalam perjalanan

penyakit).

Uji Widal merupakan suatu metode serologi baku dan rutin digunakan sejak tahun 1896.

Prinsip uji Widal adalah memeriksa reaksi antara antibodi aglutinin dalam serum

penderita yang telah mengalami pengenceran berbeda-beda terhadap antigen somatik (O)

dan flagela (H) yang ditambahkan dalam jumlah yang sama sehingga terjadi aglutinasi.

Pengenceran tertinggi yang masih menimbulkan aglutinasi menunjukkan titer antibodi

dalam serum.

Teknik aglutinasi ini dapat dilakukan dengan menggunakan uji hapusan (slide test) atau

uji tabung (tube test). Uji hapusan dapat dilakukan secara cepat dan digunakan dalam

prosedur penapisan sedangkan uji tabung membutuhkan teknik yang lebih rumit tetapi

dapat digunakan untuk konfirmasi hasil dari uji hapusan. Tes TUBEX® merupakan tes

aglutinasi kompetitif semi kuantitatif yang sederhana dan cepat (kurang lebih 2 menit)

dengan menggunakan partikel yang berwarna untuk meningkatkan sensitivitas.

Spesifisitas ditingkatkan dengan menggunakan antigen O9 yang benar-benar spesifik

yang hanya ditemukan pada Salmonella serogrup D. Tes ini sangat akurat dalam

diagnosis infeksi akut karena hanya mendeteksi adanya antibodi IgM dan tidak

mendeteksi antibodi IgG dalam waktu beberapa menit.

Walaupun belum banyak penelitian yang menggunakan tes TUBEX® ini, beberapa

penelitian pendahuluan menyimpulkan bahwa tes ini mempunyai sensitivitas dan

spesifisitas yang lebih baik daripada uji Widal.

Metode Enzyme Immunoassay Dot didasarkan pada metode untuk melacak antibodi

spesifik IgM dan IgG terhadap antigen OMP 50 kD S. typhi. Deteksi terhadap IgM

Page 6: Demam tifoid

menunjukkan fase awal infeksi pada demam tifoid akut sedangkan deteksi terhadap IgM

dan IgG menunjukkan demam tifoid pada fase pertengahan infeksi. Pada daerah endemis

dimana didapatkan tingkat transmisi demam tifoid yang tinggi akan terjadi peningkatan

deteksi IgG spesifik akan tetapi tidak dapat membedakan antara kasus akut, konvalesen

dan reinfeksi. Pada metode Typhidot-M® yang merupakan modifikasi dari metode

Typhidot® telah dilakukan inaktivasi dari IgG total sehingga menghilangkan pengikatan

kompetitif dan memungkinkan pengikatan antigen terhadap Ig M spesifik.4

Uji dot EIA tidak mengadakan reaksi silang dengan salmonellosis non-tifoid bila

dibandingkan dengan Widal. Dengan demikian bila dibandingkan dengan uji Widal,

sensitivitas uji dot EIA lebih tinggi oleh karena kultur positif yang bermakna tidak selalu

diikuti dengan uji Widal positif.2,8 Dikatakan bahwa Typhidot-M® ini dapat

menggantikan uji Widal bila digunakan bersama dengan kultur untuk mendapatkan

diagnosis demam tifoid akut yang cepat dan akurat.

Beberapa keuntungan metode ini adalah memberikan sensitivitas dan spesifisitas yang

tinggi dengan kecil kemungkinan untuk terjadinya reaksi silang dengan penyakit demam

lain, murah (karena menggunakan antigen dan membran nitroselulosa sedikit), tidak

menggunakan alat yang khusus sehingga dapat digunakan secara luas di tempat yang

hanya mempunyai fasilitas kesehatan sederhana dan belum tersedia sarana biakan kuman.

Keuntungan lain adalah bahwa antigen pada membran lempengan nitroselulosa yang

belum ditandai dan diblok dapat tetap stabil selama 6 bulan bila disimpan pada suhu 4°C

dan bila hasil didapatkan dalam waktu 3 jam setelah penerimaan serum pasien.

Uji Enzyme-Linked Immunosorbent Assay (ELISA) dipakai untuk melacak antibodi IgG,

IgM dan IgA terhadap antigen LPS O9, antibodi IgG terhadap antigen flagella d (Hd) dan

antibodi terhadap antigen Vi S. typhi. Uji ELISA yang sering dipakai untuk mendeteksi

adanya antigen S. typhi dalam spesimen klinis adalah double antibody sandwich ELISA.

Pemeriksaan terhadap antigen Vi urine ini masih memerlukan penelitian lebih lanjut akan

tetapi tampaknya cukup menjanjikan, terutama bila dilakukan pada minggu pertama

sesudah panas timbul, namun juga perlu diperhitungkan adanya nilai positif juga pada

kasus dengan Brucellosis.

Uji serologis dengan pemeriksaan dipstik dikembangkan di Belanda dimana dapat

mendeteksi antibodi IgM spesifik terhadap antigen LPS S. typhi dengan menggunakan

membran nitroselulosa yang mengandung antigen S. typhi sebagai pita pendeteksi dan

antibodi IgM anti-human immobilized sebagai reagen kontrol. Pemeriksaan ini

menggunakan komponen yang sudah distabilkan, tidak memerlukan alat yang spesifik

dan dapat digunakan di tempat yang tidak mempunyai fasilitas laboratorium yang

lengkap. Uji ini terbukti mudah dilakukan, hasilnya cepat dan dapat diandalkan dan

mungkin lebih besar manfaatnya pada penderita yang menunjukkan gambaran klinis

tifoid dengan hasil kultur negatif atau di tempat dimana penggunaan antibiotika tinggi

dan tidak tersedia perangkat pemeriksaan kultur secara luas.

Metode lain untuk identifikasi bakteri S. typhi yang akurat adalah mendeteksi DNA

(asam nukleat) gen flagellin bakteri S. typhi dalam darah dengan teknik hibridisasi asam

nukleat atau amplifikasi DNA dengan cara polymerase chain reaction (PCR) melalui

identifikasi antigen Vi yang spesifik untuk S. typhi.

Kendala yang sering dihadapi pada penggunaan metode PCR ini meliputi risiko

kontaminasi yang menyebabkan hasil positif palsu yang terjadi bila prosedur teknis tidak

dilakukan secara cermat, adanya bahan-bahan dalam spesimen yang bisa menghambat

Page 7: Demam tifoid

proses PCR (hemoglobin dan heparin dalam spesimen darah serta bilirubin dan garam

empedu dalam spesimen feses), biaya yang cukup tinggi dan teknis yang relatif rumit.

Usaha untuk melacak DNA dari spesimen klinis masih belum memberikan hasil yang

memuaskan sehingga saat ini penggunaannya masih terbatas dalam laboratorium

penelitian.

Tes Widal yang tidak akurat sumber kesalahan diagnosis

Di Indonesia pemeriksaan widal sebagai pemeriksaan penunjang untuk menegakkan

diagnosis tifus paling sering digunakan. Meskipun ternyata pemeriksaan ini sering

menimbulkan kerancuan dan mengakibatkan kesalahan diagnosis. Dalam penelitian

penulis didapatkan infeksi virus yang sering menjadi penyebab demam pada anak dan

orang dewasa ternyata juga terjadi peningkatan hasil widal yang tinggi pada minggu

pertama.

Interpretasi dari uji Widal ini harus memperhatikan beberapa faktor antara lain

sensitivitas, spesifisitas, stadium penyakit; faktor penderita seperti status imunitas dan

status gizi yang dapat mempengaruhi pembentukan antibodi; gambaran imunologis dari

masyarakat setempat (daerah endemis atau non-endemis); faktor antigen; teknik serta

reagen yang digunakan.9,13

Kelemahan uji Widal yaitu rendahnya sensitivitas dan spesifisitas serta sulitnya

melakukan interpretasi hasil membatasi penggunaannya dalam penatalaksanaan penderita

demam tifoid akan tetapi hasil uji Widal yang positif akan memperkuat dugaan pada

tersangka penderita demam tifoid (penanda infeksi). Saat ini walaupun telah digunakan

secara luas di seluruh dunia, manfaatnya masih diperdebatkan dan sulit dijadikan

pegangan karena belum ada kesepakatan akan nilai standar aglutinasi (cut-off point).

Untuk mencari standar titer uji Widal seharusnya ditentukan titer dasar (baseline titer)

pada anak sehat di populasi dimana pada daerah endemis seperti Indonesia akan

didapatkan peningkatan titer antibodi O dan H pada anak-anak sehat.

Dalam penelitian kecil yang dilakukan terhadap 29 anak didapatkan hasil widal yang

tinggi pada hari ke tiga hingga ke lima antara 1/320 hingga 1/1280. Setelah dilakukan

follow up dalam waktu demam pada minggu ke dua hasil widal tersebut menurun bahkan

sebagian kasus menjadi negatif. Padahal seharusnya pada penderita tifus nilai widal

tersebut seharusnya semakin meningkat pada minggu ke dua. Dalam follow up pada

minggu ke dua ternyata hasil nilai widal menghilang atau jauh menurun. Padahal

seharusnya akan pada penderita tifus seharusnya malahan semakin meningkat.

Karakteristik penderita adalah usia 8 bulan hingga 5 tahun, dengan rata-rata usia 2,6

tahun. Jenis kelamin laki-laki 41% dan perempuan 59%. Semua penderita menunjukkan

hasil kultur darah gall degatif dan semua penderita tidak diberikan antibiotika dan

mengalami self limiting disease atau penyembuhan sendiri. Hal ini menunjukkan bahwa

penyebab infeksi pada kasus tersebut adalah infeksi virus.

Yang menarik dalam kasus tersebut 10 penderita (34%) sebelumnya mengalami diagnosis

penyakit tifus sebanyak 2-4 kali dalam setahun. Sebagian besar penderita atau sekitar

89% pada kelompok ini adalah kelompok anak yang sering mengalami infeksi berulang

saluran napas. Dan sebagian besar lainnya atau sekitar 86% adalah penderita alergi.

Penelitian lain yang dilakukan penulis pada 44 kasus penderita demam beradarah,

didapatkan 12 (27%) anak didapatkan hasil widal O berkisar antara 240-360 dan 15

Page 8: Demam tifoid

(34%) anak didapatkan hasil widal O 1/120. Semua penderita tersebut menunjukkan hasil

kultar darah gall negatif dan tidak diberikan terapi antibiotika membaik.

Dalam penelitian tersebut menunjukkan bahwa pada infeksi virus pada penderita tertentu

terutama penderita alergi dapat meningkatkan nilai Widal. Banyak penderita alergi pada

anak yang mengalami peningkatan hasil widal dalam saat mengalami infeksi virus

tampak menarik untuk dilakukan penelitian lebih jauh. Diduga mekanisme hipersensitif

atau proses auto imun yang sering terganggu pada penderita alergi dapat ikut

meningkatkan hasil widal. Dengan adanya penemuan awal tersebut tampaknya sangat

berlawanan dengan pendapat yang banyak dianut sekarang bahwa peningkatan hasil

widal terjadi karena Indonesia merupakan daerah endemis tifus. Fenomena ini perlu

dilakukan penelitian lebih jauh khusus dalam hal biomolekuler dan imunopatofisiologi.

Banyak akibat atau konsekuensi nyang ditimbulkan bila terjadi ”overdiagnosis tifus”.

Pertama penderita harus mengkonsumsi antibiotika jangka panjang padahal infeksi yang

terjadi adalah infeksi virus. Konsekuensi lain yang diterima adalah penderita seringkali

harus dilakukan rawat inap di rumah sakit. Hal lain yang terjadi seringkali penderita

seperti ini mengalami diagnosis tifus berulang kali. Semua kondisi tersebut diatas

akhirnya berakibat peningkatan biaya berobat yang sangat besar padahal seharusnya tidak

terjadi. Belum lagi akbat efek samping pemberian obat antibiotika jangka panjang yang

seharusnya tidak diberikan.

Penanganan

Pasien tanpa komplikasi dapat diobati secara rawat jalan. Mereka harus disarankan untuk

menggunakan teknik mencuci tangan yang ketat dan untuk menghindari menyiapkan

makanan untuk orang lain selama sakit. Rawat pasien harus ditempatkan di isolasi kontak

selama fase akut infeksi. Tinja dan urine harus dibuang secara aman.

Pengobatan penderita Demam Tifoid di Rumah Sakit terdiri dari pengobatan suportif

melipu+ti istirahat dan diet, medikamentosa, terapi penyulit (tergantung penyulit yang

terjadi). Istirahat bertujuan untuk mencegah komplikasi dan mempercepat penyembuhan.

Pasien harus tirah baring absolut sampai minimal 7 hari bebas demam atau kurag lebih

selama 14 hari. Mobilisasi dilakukan bertahap, sesuai dengan pulihnya kekuatan pasien.

Diet dan terapi penunjuang dilakukan dengan pertama, pasien diberikan bubur saring,

kemudian bubur kasar dan akhirnya nasi sesuai dengan tingkat kesembuhan pasien.

Namun beberapa penelitian menunjukkan bahwa pemberian makanan tingkat dini yaitu

nasi dengan lauk pauk rendah selulosa (pantang sayuran dengan serat kasar) dapat

diberikan dengan aman. Juga perlu diberikan vitamin dan mineral untuk mendukung

keadaan umum pasien.

Pada penderita penyakit tifus yang berat, disarankan menjalani perawatan di rumah sakit.

Antibiotika umum digunakan untuk mengatasi penyakit tifus. Waktu penyembuhan bisa

makan waktu 2 minggu hingga satu bulan.

Tifus dapat berakibat fatal. Antibiotika, seperti ampicillin, kloramfenikol, trimethoprim-

sulfamethoxazole, dan ciproloxacin sering digunakan untuk merawat demam tipoid di

negara-negara barat. Obat-obat pilihan pertama adalah kloramfenikol,

ampisilin/amoksisilin dan kotrimoksasol. Obat pilihan kedua adalah sefalosporin generasi

III. Obat-obat pilihan ketiga adalah meropenem, azithromisin dan fluorokuinolon.

Kloramfenikol diberikan dengan dosis 50 mg/kg BB/hari, terbagi dalam 3-4 kali

Page 9: Demam tifoid

pemberian, oral atau intravena, selama 14 hari. Bilamana terdapat indikasi kontra

pemberian kloramfenikol , diber ampisilin dengan dosis 200 mg/kgBB/hari, terbagi

dalam 3-4 kali. Pemberian, intravena saat belum dapat minum obat, selama 21 hari, atau

amoksisilin dengan dosis 100 mg/kgBB/hari, terbagi dalam 3-4 kali. Pemberian,

oral/intravena selama 21 hari kotrimoksasol dengan dosis (tmp) 8 mg/kbBB/hari terbagi

dalam 2-3 kali pemberian, oral, selama 14 hari.

Pada kasus berat, dapat diberi seftriakson dengan dosis 50 mg/kg BB/kali dan diberikan 2

kali sehari atau 80 mg/kg BB/hari, sekali sehari, intravena, selama 5-7 hari. Pada kasus

yang diduga mengalami MDR, maka pilihan antibiotika adalah meropenem, azithromisin

dan fluoroquinolon.

Bila tak terawat, demam tifoid dapat berlangsung selama tiga minggu sampai sebulan.

Kematian terjadi antara 10% dan 30% dari kasus yang tidak terawat. Vaksin untuk

demam tifoid tersedia dan dianjurkan untuk orang yang melakukan perjalanan ke wilayah

penyakit ini biasanya berjangkit (terutama di Asia, Afrika, dan Amerika Latin).

Pengobatan penyulit tergantung macamnya. Untuk kasus berat dan dengan manifestasi

nerologik menonjol, diberi Deksametason dosis tinggi dengan dosis awal 3 mg/kg BB,

intravena perlahan (selama 30 menit). Kemudian disusul pemberian dengan dosis 1

mg/kg BB dengan tenggang waktu 6 jam sampai 7 kali pemberian. Tatalaksana bedah

dilakukan pada kasus-kasus dengan penyulit perforasi usus

Pembedahan biasanya dilakukan dalam kasus perforasi usus. Kebanyakan ahli bedah

lebih suka sederhana penutupan perforasi dengan drainase peritoneum. Kecil usus reseksi

diindikasikan untuk pasien dengan perforasi ganda.

Jika pengobatan antibiotik gagal untuk membasmi kereta hepatobiliary, kandung empedu

harus direseksi. Kolesistektomi tidak selalu berhasil dalam memberantas carrier karena

infeksi hati yang terus ada.

Para peneliti dalam laporan Kamerun bahwa senyawa yang berasal dari biji Turraeanthus

africanus, sebuah obat tradisional Afrika untuk demam tifoid, aktif terhadap S typhi

secara in vitro. Tim meneliti sedang mengembangkan untuk menciptakan tambahan

untuk efektifitas antimikroba.

Rekomendasi Antibiotik sesuai negara dan severitasnya

Negara Severitas First-Line

Antibiotik

Second-Line

Antibiotik

South Asia, East Asia Uncomplicated Cefixime PO Azithromycin PO

Complicated Ceftriaxone IV or

Cefotaxime IV

Aztreonam IV or

Imipenem IV

Eastern Europe, Middle East, sub-

Saharan Africa, South America

Uncomplicated Ciprofloxacin PO

or Ofloxacin PO

Cefixime PO or

Amoxicillin PO or

TMP-SMZ PO

or Azithromycin PO

Complicated Ciprofloxacin IV

or Ofloxacin IV

Ceftriaxone IV or

Cefotaxime IV or

Ampicillin IV

or

Page 10: Demam tifoid

TMP-SMZ IV

Unknown geographic origin or

Southeast Asia

Uncomplicated Cefixime PO plus

Ciprofloxacin PO

or Ofloxacin PO

Azithromycin PO*

Complicated Ceftriaxone IV or

Cefotaxime IV,

plus Ciprofloxacin IV

or Ofloxacin IV

Aztreonam IV or

Imipenem IV, plus

Ciprofloxacin IV

or Ofloxacin IV

Kombinasi dari azitromisin dan fluoroquinolones tidak dianjurkan karena dapat

menyebabkan perpanjangan QT dan relatif kontraindikasi.

Kloramfenikol (Chloromycetin) Mengikat 50S ribosomal subunit-bakteri dan

menghambat pertumbuhan bakteri dengan menghambat sintesis protein. Efektif terhadap

bakteri gram negatif dan gram positif. Sejak diperkenalkan pada 1948, telah terbukti

sangat efektif untuk seluruh dunia demam enterik. Untuk strain sensitif, masih paling

banyak digunakan antibiotik untuk mengobati demam tifoid. Pada tahun 1960, S typh i

strain dengan plasmid-mediated resistensi terhadap kloramfenikol mulai muncul dan

kemudian menjadi tersebar luas di negara-negara endemik di Amerika dan Asia

Tenggara, menyoroti kebutuhan untuk agen alternatif.

Menghasilkan peningkatan yang cepat dalam kondisi umum pasien, diikuti oleh

penurunan suhu badan sampai yg normal dalam 3-5 d. Mengurangi preantibiotic era

fatalitas kasus tarif dari 10% -15% menjadi -4% 1%. Cures sekitar 90% pasien.

Diperintah PO kecuali pasien adalah diare atau mengalami mual, dalam kasus tersebut,

IV rute harus digunakan pada awalnya. IM rute harus dihindari karena dapat

menyebabkan darah tidak memuaskan, menunda penurunan suhu badan sampai yg

normal.

Amoksisilin (Trimox, Amoxil, Biomox) Mengganggu sintesis dinding sel mucopeptides

selama multiplikasi aktif, sehingga aktivitas bakterisidal terhadap bakteri rentan.

Setidaknya seefektif kloramfenikol dalam percepatan penurunan suhu badan sampai yg

normal dan tingkat kambuh. Kereta pemulihan lebih jarang terjadi dibandingkan dengan

agen lain ketika organisme sepenuhnya rentan. Biasanya diberikan PO dengan dosis

harian 75-100 mg / kg tid selama 14 d.

Trimetoprim dan sulfametoksazol (Bactrim DS, Septra) Menghambat pertumbuhan

bakteri dengan menghambat sintesis asam dihydrofolic. Aktivitas antibakteri TMP-SMZ

termasuk patogen saluran kemih biasa, kecuali Pseudomonas aeruginosa. Sama

efektifnya dengan kloramfenikol dalam penurunan suhu badan sampai yg normal dan

tingkat kambuh. Trimetoprim sendiri telah efektif dalam kelompok kecil pasien.

Ciprofloxacin (Cipro) Fluorokuinolon dengan aktivitas terhadap pseudomonad,

streptokokus, MRSA, Staphylococcus epidermidis, dan sebagian gram negatif organisme

namun tidak ada aktivitas terhadap anaerob. Menghambat sintesis DNA bakteri dan,

akibatnya, pertumbuhan. Teruskan pengobatan untuk minimal 2 d (7-14 d khas) setelah

tanda dan gejala hilang. Terbukti sangat efektif untuk tifoid dan demam paratifoid.

Penurunan suhu badan sampai yg normal terjadi pada 3-5 d, dan kereta sembuh dan

Page 11: Demam tifoid

kambuh jarang terjadi. Kuinolon lain (misalnya, ofloksasin, norfloksasin, pefloxacin)

biasanya efektif. Jika muntah atau diare hadir, harus diberikan IV. Fluoroquinolones

sangat efektif terhadap strain multiresisten dan memiliki aktivitas antibakteri intraseluler.

Tidak direkomendasikan untuk digunakan pada anak-anak dan wanita hamil karena

potensi diamati untuk menyebabkan kerusakan tulang rawan pada hewan berkembang.

Namun, arthropathy belum dilaporkan pada anak-anak setelah penggunaan asam

nalidiksat (sebuah kuinolon sebelumnya dikenal untuk menghasilkan kerusakan sendi

yang sama pada hewan muda) atau pada anak dengan fibrosis kistik, meskipun dosis

tinggi pengobatan.

Sefotaksim (Claforan) Penangkapan dinding sel bakteri sintesis, yang menghambat

pertumbuhan bakteri. Generasi ketiga sefalosporin dengan spektrum gram negatif. Lebih

rendah efikasi terhadap organisme gram positif. Sangat baik dalam kegiatan vitro

terhadap S typhi dan salmonella lain dan memiliki khasiat yang dapat diterima pada

demam tifoid. Hanya IV formulasi yang tersedia. Baru-baru munculnya negeri diperoleh

ceftriaxone tahan infeksi Salmonella telah dijelaskan.

Azitromisin (Zithromax) Dapat diberikan pada infeksi mikroba ringan sampai sedang.

DPemberian PO 10 mg / kg / hari (tidak melebihi 500 mg), tampaknya efektif untuk

mengobati demam tipus tanpa komplikasi pada anak 4-17 tahun . Konfirmasi hasil ini

bisa memberikan alternatif bagi pengobatan demam tifoid pada anak di negara

berkembang, di mana sumber daya medis yang langka.

Ceftriaxone (Rocephin) Generasi ketiga sefalosporin dengan spektrum luas gram negatif

aktivitas terhadap organisme gram positif; Bagus aktivitas in vitro terhadap S typhi dan

salmonella lainnya.

Cefoperazone (Cefobid) Dihentikan di Amerika Serikat. Generasi ketiga sefalosporin

dengan spektrum gram negatif. Lebih rendah efikasi terhadap organisme gram positif.

Ofloksasin (Floxin) Suatu asam turunan piridin karboksilat dengan spektrum luas efek

bakterisidal.

Levofloksasin (Levaquin) Untuk infeksi pseudomonas dan infeksi karena resistan

terhadap organisme gram negatif.

Kortikosteroid Deksametason dapat mengurangi kemungkinan kematian pada kasus

demam tifoid berat rumit oleh delirium, obtundation, stupor, koma, atau syok jika bakteri

meningitis telah definitif dikesampingkan oleh penelitian cairan cerebrospinal. Untuk saat

ini, percobaan yang paling sistematis ini telah menjadi studi terkontrol secara acak pada

pasien berusia 3-56 tahun dengan demam tifoid berat yang menerima terapi

kloramfenikol. Penelitian ini membandingkan hasil pada 18 pasien diberikan plasebo

dengan hasil pada 20 pasien diberikan deksametason 3 mg / kg IV selama 30 menit

diikuti dengan deksametason 1 mg / kg setiap 6 jam selama 8 dosis. Tingkat kematian

pada kelompok deksametason adalah 10% dibandingkan 55,6% pada kelompok plasebo

(P = .003) [52].

Meskipun demikian, hal ini masih diperdebatkan. Sebuah pernyataan 2003, WHO

mendukung penggunaan steroid seperti dijelaskan di atas, tapi review oleh penulis

terkemuka dalam New England Journal of Medicine (2002) [6] dan British Medical

Journal (2006) tidak mengacu pada steroid sama sekali. Sebuah uji coba 1991

dibandingkan pasien yang diobati dengan 12 dosis deksametason 400 mg atau 100 mg

sampai kohort retrospektif di antaranya steroid tidak diberikan. Percobaan ini tidak

menemukan perbedaan hasil antara kelompok-kelompok. [54]

Page 12: Demam tifoid

Data adalah jarang, tetapi penulis artikel ini setuju dengan WHO deksametason yang

harus digunakan dalam kasus-kasus demam tifoid berat.

Deksametason (Decadron) Pemberian dosis tinggi deksametason mengurangi

mortalitas pada pasien dengan demam tifoid berat tanpa meningkatnya insiden

komplikasi, menyatakan pembawa, atau kambuh antara korban.

Komplikasi :

Komplikasi demam tifoid dapat dibagi di dalam :

1. Komplikasi intestinal

o Perdarahan usus

o Perforasi usus

o Ileus paralitik

2. Komplikasi ekstraintetstinal

o Komplikasi kardiovaskular: kegagalan sirkulasi perifer (renjatan/sepsis),

miokarditis, trombosis dan tromboflebitis.

o Komplikasi darah: anemia hemolitik, trombositopenia dan atau koagulasi

intravaskular diseminata dan sindrom uremia hemoltilik.

o Komplikasi paru: penuomonia, empiema dan peluritis.

o Komplikasi hepar dan kandung kemih: hepatitis dan kolelitiasis.

o Komplikasi ginjal: glomerulonefritis, pielonefritis dan perinefritis.

o Komplikasi tulang: osteomielitis, periostitis, spondilitis dan artritis.

o Komplikasi neuropsikiatrik: delirium, mengingismus, meningitis, polineuritis

perifer, sindrim Guillain-Barre, psikosis dan sindrom katatonia.

Pada anak-anaka dengan demam paratifoid, komplikasi lebih jarang terjadi. Komplikasi lebih

sering terjadi pada keadaan toksemia berat dan kelemahan umum, bila perawatan pasien kurang

sempurna.

Pencegahan

Pencegahan demam tifoid diupayakan melalui berbagai cara: umum dan

khusus/imunisasi. Termasuk cara umum antara lain adalah peningkatan higiene dan

sanitasi karena perbaikan higiene dan sanitasi saja dapat menurunkan insidensi demam

tifoid. (Penyediaan air bersih, pembuangan dan pengelolaan sampah). Menjaga

kebersihan pribadi dan menjaga apa yang masuk mulut (diminum atau dimakan) tidak

tercemar Salmonella typhi. Pemutusan rantai transmisi juga penting yaitu pengawasan

terhadap penjual (keliling) minuman/makanan. (Darmowandowo, 2006)

Vaksinasi tifoid sangat dianjurkan untuk mencegah penyakit. Apalagi jika si kecil

terkenal doyan jajan. Juga, anak balita yang sudah pandai �nenangga�, atau yang

belum bisa cebok dengan benar. Vaksinasi harus diperkuat setiap 3 tahun. Ini karena

setelah kurun waktu itu, kekebalan terhadap penyakit tifus akan berkurang. Umumnya,

seusai divaksinasi, tubuh akan kebal, atau kalupun terkena maka penyakit yang

menyerang tidak sampai membahayakan anak

Page 13: Demam tifoid

Ada dua vaksin untuk mencegah demam tifoid. Yang pertama adalah vaksin yang

diinaktivasi (kuman yang mati) yang diberikan secara injeksi. Yang kedua adalah vaksin

yang dilemahkan (attenuated) yang diberikan secara oral. Pemberian vaksin tifoid secara

rutin tidak direkomendasikan, vaksin tifoid hanta direkomendasikan untuk pelancong

yang berkunjung ke tempat-tempat yang demam tifoid sering terjadi, orang yang kontak

dengan penderita karier tifoid dan pekerja laboratorium.

Vaksin tifoid yang diinaktivasi (per injeksi) tidak boleh diberikan kepada anak-anak

kurang dari dua tahun. Satu dosis sudah menyediakan proteksi, oleh karena itu haruslah

diberikan sekurang-kurangnya 2 minggu sebelum bepergian supaya memberikan waktu

kepada vaksin untuk bekerja. Dosis ulangan diperlukan setiap dua tahun untuk orang-

orang yang memiliki resiko terjangkit.

Vaksin tifoid yang dilemahkan (per oral) tidak boleh diberikan kepada anak-anak kurang

dari 6 tahun. Empat dosis yang diberikan dua hari secara terpisah diperlukan untuk

proteksi. Dosis terakhir harus diberikan sekurang-kurangnya satu minggu sebelum

bepergian supaya memberikan waktu kepada vaksin untuk bekerja. Dosis ulangan

diperlukan setiap 5 tahun untuk orang-orang yang masih memiliki resiko terjangkit.

Ada beberapa orang yang tidak boleh mendapatkan vaksin tifoid atau harus menunggu.

Yang tidak boleh mendapatkan vaksin tifoid diinaktivasi (per injeksi) adalah orang yang

memiliki reaksi yang berbahaya saat diberi dosis vaksin sebelumnya, maka ia tidak boleh

mendapatkan vaksin dengan dosis lainnya. Orang yang tidak boleh mendapatkan vaksin

tifoid yang dilemahkan (per oral) adalah : orang yang mengalami reaksi berbahaya saat

diberi vaksin sebelumnya maka tidak boleh mendapatkan dosis lainnya, orang yang

memiliki sistem imunitas yang lemah maka tidak boleh mendapatkan vaksin ini, mereka

hanya boleh mendapatkan vaksin tifoid yang diinaktifasi, diantara mereka adalah

penderita HIV/AIDS atau penyakit lain yang menyerang sistem imunitas, orang yang

sedang mengalami pengobatan dengan obat-obatan yang mempengaruhi sistem imunitas

tubuh semisal steroid selama 2 minggu atau lebih, penderita kanker dan orang yang

mendapatkan perawatan kanker dengan sinar X atau obat-obatan. Vaksin tifoid oral tidak

boleh diberikan dalam waktu 24 jam bersamaan dengan pemberian antibiotik.

Suatu vaksin, sebagaimana obat-obatan lainnya, bisa menyebabkan problem serius seperti

reaksi alergi yang parah. Resiko suatu vaksin yang menyebabkan bahaya serius atau

kematian sangatlah jarang terjadi. Problem serius dari kedua jenis vaksin tifoid sangatlah

jarang. Pada vaksin tifoid yang diinaktivasi, reaksi ringan yang dapat terjadi adalah :

demam (sekitar 1 orang per 100), sakit kepada (sekitar 3 orang per 100) kemerahan atau

pembengkakan pada lokasi injeksi (sekitar 7 orang per 100). Pada vaksin tifoid yang

dilemahkan, reaksi ringan yang dapat terjadi adalah demam atau sakit kepada (5 orang

per 100), perut tidak enak, mual, muntah-muntah atau ruam-ruam (jarang terjadi).

Daftar pustaka

Diagnosis of typhoid fever. In : Background document : The diagnosis, treatment and

prevention of typhoid fever. World Health Organization, 2003;7-18.

Parry CM. Typhoid fever. N Engl J Med 2002;347(22):1770-82.

Pang T. Typhoid Fever : A Continuing Problem. Dalam : Pang T, Koh CL, Puthucheary

SD, Eds. Typhoid Fever : Strategies for the 90‟s. Singapore : World Scientific, 1992:1-2.

Page 14: Demam tifoid

Hoffman SL. Typhoid Fever. In : Strickland GT, Ed. Hunter‟s Textbook of Pediatrics,

edition7. Philadelphia : WB Saunders, 1991:344-58.

Kalra SP, Naithani N, Mehta SR, Swamy AJ. Current trends in the management of

typhoid fever. MJAFI 2003;59:130-5. Lim PL, Tam FCH, Cheong YM, Jegathesan M.

One-step 2-minute test to detect typhoid-specific antibodies based on particle separation

in tubes. J Clin Microbiol 1998;36(8):2271-8.

Parry CM, Hien TT, Dougan G, et al. Typhoid fever. N Engl J Med. Nov 28

2002;347(22):1770-82.

Ramsden AE, Mota LJ, Münter S, Shorte SL, Holden DW. The SPI-2 type III secretion

system restricts motility of Salmonella-containing vacuoles. Cell Microbiol. Oct

2007;9(10):2517-29.

Gotuzzo E, Frisancho O, Sanchez J, Liendo G, Carrillo C, Black RE, et al. Association

between the acquired immunodeficiency syndrome and infection with Salmonella typhi

or Salmonella paratyphi in an endemic typhoid area. Arch Intern Med. Feb

1991;151(2):381-2.

Manfredi R, Chiodo F. Salmonella typhi disease in HIV-infected patients: case reports

and literature review. Infez Med. 1999;7(1):49-53.

Gordon MA, Graham SM, Walsh AL, Wilson L, Phiri A, Molyneux E, et al. Epidemics

of invasive Salmonella enterica serovar enteritidis and S. enterica Serovar typhimurium

infection associated with multidrug resistance among adults and children in Malawi. Clin

Infect Dis. Apr 1 2008;46(7):963-9.

Monack DM, Mueller A, Falkow S. Persistent bacterial infections: the interface of the

pathogen and the host immune system. Nat Rev Microbiol. Sep 2004;2(9):747-65.

Ali S, Vollaard AM, Widjaja S, Surjadi C, van de Vosse E, van Dissel JT.

PARK2/PACRG polymorphisms and susceptibility to typhoid and paratyphoid fever.

Clin Exp Immunol. Jun 2006;144(3):425-31.

van de Vosse E, Ali S, de Visser AW, Surjadi C, Widjaja S, Vollaard AM, et al.

Susceptibility to typhoid fever is associated with a polymorphism in the cystic fibrosis

transmembrane conductance regulator (CFTR). Hum Genet. Oct 2005;118(1):138-40.

Poolman EM, Galvani AP. Evaluating candidate agents of selective pressure for cystic

fibrosis. J R Soc Interface. Feb 22 2007;4(12):91-8.

Ram PK, Naheed A, Brooks WA, Hossain MA, Mintz ED, Breiman RF. Risk factors for

typhoid fever in a slum in Dhaka, Bangladesh. Epidemiol Infect. Apr 2007;135(3):458-

65.

Dutta TK, Beeresha, Ghotekar LH. Atypical manifestations of typhoid fever. J Postgrad

Med. Oct-Dec 2001;47(4):248-51.

Lynch MF, Blanton EM, Bulens S, Polyak C, Vojdani J, Stevenson J. Typhoid fever in

the United States, 1999-2006. JAMA. Aug 26 2009;302(8):859-65.

Chau TT, Campbell JI, Galindo CM, Van Minh Hoang N, Diep TS, Nga TT, et al.

Antimicrobial drug resistance of Salmonella enterica serovar typhi in asia and molecular

mechanism of reduced susceptibility to the fluoroquinolones. Antimicrob Agents

Chemother. Dec 2007;51(12):4315-23.

Crump JA, Luby SP, Mintz ED. The global burden of typhoid fever. Bull World Health

Organ. May 2004;82(5):346-53.

Page 15: Demam tifoid

Crump JA, Ram PK, Gupta SK, Miller MA, Mintz ED. Part I. Analysis of data gaps

pertaining to Salmonella enterica serotype Typhi infections in low and medium human

development index countries, 1984-2005. Epidemiol Infect. Apr 2008;136(4):436-48.

Mulligan TO. Typhoid fever in young children. Br Med J. Dec 11 1971;4(5788):665-7.

Rahaman MM, Jamiul AK. Rose spots in shigellosis caused by Shigella dysenteriae type

1 infection. Br Med J. Oct 29 1977;2(6095):1123-4

Cunha BA. Malaria or typhoid fever: a diagnostic dilemma?. Am J Med. Dec

2005;118(12):1442-3; author reply 1443-4.

Woodward TE, Smadel JE. Management of typhoid fever and its complications. Ann

Intern Med. Jan 1964;60:144-57.

Hermans P, Gerard M, van Laethem Y, et al. Pancreatic disturbances and typhoid fever.

Scand J Infect Dis. 1991;23(2):201-5.

Butler T, Islam A, Kabir I, et al. Patterns of morbidity and mortality in typhoid fever

dependent on age and gender: review of 552 hospitalized patients with diarrhea. Rev

Infect Dis. Jan-Feb 1991;13(1):85-90.

Butler T, Knight J, Nath SK, et al. Typhoid fever complicated by intestinal perforation: a

persisting fatal disease requiring surgical management. Rev Infect Dis. Mar-Apr

1985;7(2):244-56.

Crum NF. Current trends in typhoid Fever. Curr Gastroenterol Rep. Aug 2003;5(4):279-

86.

Huang DB, DuPont HL. Problem pathogens: extra-intestinal complications of Salmonella

enterica serotype Typhi infection. Lancet Infect Dis. Jun 2005;5(6):341-8.

Hatta M, Goris MG. Simple dipstick assay for the detection of Salmonella typhi-specific

IgM antibodies and the evolution of the immune response in patients with typhoid fever.

Am J Trop Med Hyg 2002;66(4):416-21.

Pang T. Molecular biology as a diagnostic tool in Salmonellosis. Dalam : Sarasombath S,

Senawong S, Eds. Second Asia-Pacific symposium on typhoid fever and other

Salmonellosis. Thailand : SEAMEO Regional Tropical Medicine and Public Health

Network, 1995:213-6.

Massi MN, Shirakawa T, Gotoh A, Bishnu A, Hatta M, Kawabata M. Rapid diagnosis of

typhoid fever by PCR assay using one pair of primers from flagellin gene of Salmonella

typhi. J Infect Chemother 2003;9(3):233-7