demam tifoid

7
1.1.1. Demam Tifoid 1.1.1.1. Patogenesis Masuknya kuman Salmonella typhi (S.typhi) dan Salmonella para typhi (S. paratyphi) ke dalam tubuh manusia terjadi melalui makanan yang terkontaminasi kuman. Sebagian kuman dimusnahkan dalam lambung, sebagian lolos masuk ke dalam usus dan selanjutnya berkembang biak. Bila respon imunitas humoral mukosa (IgA) usus kurang baik maka kuman akan menembus sel-sel epitel (terutama sel- M) dan selanjutnya ke lamina propia. Di lamina propia kuman berkembang biak dan di fagosit oleh sel-sel fagosit terutama makrofag. Kuman dapat hidup dan berkembang biak di dalam makrofag dan selanjutnya di bawa ke plak Peyeri ileum distal dan kemudian ke kelenjar getah bening mesenterika. Selanjutnya melalui duktus torasikus kuman yang terdapat di dalam makrofag ini masuk ke dalam sirkulasi darah (mengakibatkan bakteremia pertama yang asimtomatik) dan menyebar ke seluruh organ retikuloendotelial tubuh terutama hati dan limfa. Di organ-organ ini kuman meninggalkan sel- sel fagosit dan kemudian berkembang biak di luar sel atau ruang sinusoid dan selanjutnya masuk ke dalam sirkulasi darah lagi mengakibatkan bakterimia yang kedua kalinya dengan disertai tanda-tanda dan gejala penyakit infeksi sistemik. Di dalam hati, kuman masuk ke dalam kandung empedu, berkembang biak, dan bersama cairan empedu di eksresikan secara intermiten ke dalam lumen usus. Sebagian kuman dikeluarkan melalui feses dan sebagian masuk lagi ke dalam sirkulasi setelah menembus usus. Proses yang sama terulang kembali, berhubung makrofag telah teraktivasi dan hiperaktif maka saat fagositosis kuman Salmonella terjadi pelepasan beberapa mediator inflamasi yang selanjutnya akan menimbulkan gejala reaksi inflamasi sistemik seperti demam, malaise, mialgia, sakit kepala, sakit perut, instabilitas vaskular, gangguan mental, dan koagulasi. Di dalam plak Peyeri makrofag hiperaktif menimbulkan reaksi hyperplasia jaringan (S. typhi intra

Upload: yolanda

Post on 17-Dec-2015

6 views

Category:

Documents


1 download

DESCRIPTION

Demam Tifoid

TRANSCRIPT

1.1.1. Demam Tifoid1.1.1.1. PatogenesisMasuknya kuman Salmonella typhi (S.typhi) dan Salmonella para typhi (S. paratyphi) ke dalam tubuh manusia terjadi melalui makanan yang terkontaminasi kuman. Sebagian kuman dimusnahkan dalam lambung, sebagian lolos masuk ke dalam usus dan selanjutnya berkembang biak. Bila respon imunitas humoral mukosa (IgA) usus kurang baik maka kuman akan menembus sel-sel epitel (terutama sel-M) dan selanjutnya ke lamina propia. Di lamina propia kuman berkembang biak dan di fagosit oleh sel-sel fagosit terutama makrofag. Kuman dapat hidup dan berkembang biak di dalam makrofag dan selanjutnya di bawa ke plak Peyeri ileum distal dan kemudian ke kelenjar getah bening mesenterika. Selanjutnya melalui duktus torasikus kuman yang terdapat di dalam makrofag ini masuk ke dalam sirkulasi darah (mengakibatkan bakteremia pertama yang asimtomatik) dan menyebar ke seluruh organ retikuloendotelial tubuh terutama hati dan limfa. Di organ-organ ini kuman meninggalkan sel-sel fagosit dan kemudian berkembang biak di luar sel atau ruang sinusoid dan selanjutnya masuk ke dalam sirkulasi darah lagi mengakibatkan bakterimia yang kedua kalinya dengan disertai tanda-tanda dan gejala penyakit infeksi sistemik.Di dalam hati, kuman masuk ke dalam kandung empedu, berkembang biak, dan bersama cairan empedu di eksresikan secara intermiten ke dalam lumen usus. Sebagian kuman dikeluarkan melalui feses dan sebagian masuk lagi ke dalam sirkulasi setelah menembus usus. Proses yang sama terulang kembali, berhubung makrofag telah teraktivasi dan hiperaktif maka saat fagositosis kuman Salmonella terjadi pelepasan beberapa mediator inflamasi yang selanjutnya akan menimbulkan gejala reaksi inflamasi sistemik seperti demam, malaise, mialgia, sakit kepala, sakit perut, instabilitas vaskular, gangguan mental, dan koagulasi.Di dalam plak Peyeri makrofag hiperaktif menimbulkan reaksi hyperplasia jaringan (S. typhi intra makrofag menginduksi reaksi hipersensitivitas tipe lambat, hyperplasia jaringan dan nekrosis organ). Perdarah saluran cerna dapat terjadi akibat erosi pembuluh darah sekitar plague Peyeri yang sedang mengalami nekrosis dan hyperplasia akibat akumulasi sel-sel mononuklear di dinding usus. Proses patologis jaringan limfoid ini dapat berkembang hingga ke lapisan otot, serosa usus, dan dapat mengakibatkan perforasi.Endotoksin dapat menempel di reseptor sel endotel kapiler dengan akibat timbulnya komplikasi seperti gangguan neuropsikiatrik, kardiovaskular, pernapasan, dan gangguan organ.

1.1.1.2. Manifestasi KlinisMasa tunas demam tifoid berlangsung antara 10-14 hari. Gejala-gejala klinis yang timbul sangat bervariasi dari ringan sampai dengan berat, dari asimtimatik hingga gambaran penyakit yang khas diserati komplikasi hingga kematian.Pada minggu pertama gejala klinis penyakit ini ditemukan keluhan dan gejala serupa dengan penyakit infeksi akut pada umunya yaitu demam, nyeri kepala, pusing, nyeri otot, anoreksia, mual, muntah, obstipasi atau diare, perasaan tidak enak diperut, batuk dan epistaksis. Pada pemeriksaan fisik hanya didapatkan suhu badan meningkat. Sifat demam adalah meningkat perlahan-lahan dan terutama pada sore hingga malam hari. Dalam minggu kedua, gejala-gejala menjadi lebih jelas berupa demam, bradikardi relative (peningkatan suhu 1C tidak di ikuti peningkatan denyut nadi 8 kali per menit), lidah yang berselaput (kotor ditengah, tepi, dan ujung merah serta tremor), hepatomegali, splenomegali, meteroismus, gangguan mental berupa somnolen, stupor, koma, delirium, atau psikosis. Roseolae jarang ditemukan pada orang Indonesia.

1. 2. 2.1. 2.2. 2.2.1. 2.2.2. Leptospirosis2.2.2.1. PenularanManusisa dapat terinfeksi melalui kontak dengan air, atau tanah, lumpur yang telah terkontmainasi oleh urin binatang yang telah terinfeksi laptospira. Infeksi tersebut jika terjadi luka atau erosi pada kulit ataupum selaput lendir. Air tergenang atau mengalir lambat yang terkontaminasi urin binatang infeksius memainkan peranan dalam penularan penyakit ini bahan air yang deras pun dapat berperan. Kadang-kadang penyakit ini terjadi akibat gigitan binatang yang sebelumnya terinfeksi laptospira atau kontak dengan kultur laptospira di laboraorium. Ekspos yang lama pada genangan air yang terkontaminasi terdapat kulit yang utuh juga dapat menularkan laptospira. Orang-orang yang mempunyai resiko tinggi mendapatkan penyakit ini adalah pekerja disawah, pertanian, perkebunan, peternakan , pekerja tambang, pekerja dirumah potong hewan, atau orang-orang yang mengadakan perkemahan di hutan dokter hewan.2.2.2.2. PatogenesisLaptopsira masuk kedalam tubuh melalui kulit atau selaput lendir memasuki aliran darah dan berkembang, lalu menyebar secara luas ke jaringan tubuh. Kemudian terjadi respon imunologis baik secara seluler maupun humoral sehingga infeksi ini dapat ditekan dan terbentuk antibodi spesifik. Walaupun demikian beberapa organisme ini masih bertahan pada daerah yang terisolasi secara imunologi seperti didalam ginjal dimana sebagian mikroorganisme akan mencapai tubulus konvolunter, bertahan disana dan dilepaskan melalui urin. Laprospira dapat dijumpai dalam air kemih sekitar delapan hari sampai beberapa minggu setelah infeksi dan sampai berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun kemudian. Laptospira dapat diilangkan dengan fagositosis dan mekanisme humoral. Kuman ini dengan cepat lenyap dari darah setelah terbentuknya agglutinin. Setelah fase laptospiremia 4-7 hari, mikroorganisme hanya dapat ditemukan dalam jaringan ginjal dan okuler. Laptospiruria berlangsung satu sampai 4 minggu.Tiga mekanisme yang terlibat dalam patogenesa laptopsirosis: invasi bakteri langsung, faktor inflamasi nonspesifik, dan reaksi imunologis.2.2.2.3. Manifestasi KlinisInfeksi leptospirosis mempunyai manifestasi yang sangat bervariasi dan kadang asimtomatis, sehingga sering terjadi misdiagnosis. Hampir 15-40% penderita terpapar infeksi tidak bergejala tetapi serologis positif. Masa inkubasi 7-12 hari dengan rentang 2-20 hari. Sekitar 90% penderita ikterus ringan, 5-10% ikterus berat yang sering dikenal sebagai penyakit Weil. Perjalanan penyakit leptospira terdiri dari 2 fase, yaitu fase septisemia dan fase imun. Pada periode peralihan fase selama 1-3 hari kondisi penderita membaik. a. Fase awal dikenal sebagai fase septisemik atau fase leptospiremik karena bakteri dapat diisolasi dari darah, cairan serebrospinal dan sebagian besar jaringan tubuh. Fase awal sekitar 4-7 hari, ditandai gejala nonspesifik seperti flu dengan beberapa variasinya. Manifestasi klinisnya demam, menggigil, lemah dan nyeri terutama tulang rusuk, punggung dan perut. Gejala lain adalah sakit tenggorokan, batuk, nyeri dada, muntah darah, ruam, nyeri kepala frontal, fotofobia, gangguan mental, dan meningitis. Pemeriksaan fisik sering mendapatkan demam sekitar 40oC disertai takikardi. Subconjunctival suffusion, injeksi faring, splenomegali, hepatomegali, ikterus ringan, mild jaundice, kelemahan otot, limfadenopati dan manifestasi kulit berbentuk makular, makulopapular, eritematus, urticari, atau rash juga didapatkan pada fase awal penyakit. b. Fase kedua sering disebut fase imun atau leptospirurik karena sirkulasi antibodi dapat dideteksi dengan isolasi kuman dari urin; mungkin tidak dapat didapatkan lagi dari darah atau cairan serebrospinalis. Fase ini terjadi pada 0-30 hari akibat respon pertahanan tubuh terhadap infeksi. Gejala tergantung organ tubuh yang terganggu seperti selaput otak, hati, mata atau ginjal. Gejala nonspesifik seperti demam dan nyeri otot mungkin lebih ringan dibandingkan fase awal selama 3 hari sampai beberapa minggu. Sekitar 77% penderita mengalami nyeri kepala terus menerus yang tidak responsif dengan analgesik. Gejala ini sering dikaitkan dengan gejala awal meningitis selain delirium. Pada fase yang lebih berat didapatkan gangguan mental berkepanjangan termasuk depresi, kecemasan, psikosis dan demensia. Manifestasi klinis sesuai organ yang terganggu. Gejala umum berupa adenopati, rash, demam, perdarahan, tanda hipovolemia atau syok kardiogenik. Pada pemeriksaan fungsi hati didapatkan ikterus, hepatomegali, tanda koagulopati. Gangguan paru berupa batuk, batuk darah, dispneu, dan distres pernapasan. Manifestasi neurologi berupa palsi saraf kranial, penurunan kesadaran, delirium atau gangguan mental berkepanjangan seperti depresi, kecemasan, iritabel, psikosis, dan dementia. Pada mata terdapat perdarahan subkonjuntiva, uveitis, tanda iridosiklitis atau korioretinitis. Gangguan hematologi berupa peradarahan, petekie, purpura, ekimosis dan splenomegali. Kelainan jantung ditandai gagal jantung atau perikarditis. Meningitis aseptik adalah manifestasi klinis paling penting pada fase anikterik imun. Gejala meningeal terjadi pada 50% penderita. Kelumpuhan saraf kranial, ensefalitis, dan perubahan kesadaran jarang didapatkan. Meningitis bisa terjadi pada beberapa hari awal, biasanya pada minggu pertama dan kedua. Kematian jarang pada kasus anikterik. Leptospirosis dapat diisolasi dari darah selama 24-48 jam setelah timbul ikterus. Nyeri perut dengan diare dan konstipasi pada sekitar 30%, hepatosplenomegali, mual, muntah dan anoreksia. Uveitis pada 2-10% kasus dapat terjadi pada awal atau akhir penyakit, bahkan dilaporkan dapat sangat lambat sekitar 1 tahun setelah gejala awal. Iridosiklitis and korioretinitis adalah komplikasi lambat yang akan menetap selama setahun. Gejala pertama timbul 3 minggu hingga 1 bulan setelah paparan. Perdarahan subkonjuntiva terjadi pada 92% penderita. Gejala renal seperti azotemia, pyuria, hematuria, proteinuria dan oliguria tampak pada 50% penderita. Kuman leptospira juga dapat mengenai ginjal. Manifestasi paru terjadi pada 20-70% penderita. Adenopati, rash, and nyeri otot juga dapat timbul. Sindrom klinis tidak khas untuk serotipe tertentu; tetapi beberapa manifestasi lebih sering tampak pada serotipe tertentu. Misalnya ikterus pada 83% penderita infeksi L icterohaemorrhagiae dan 30% pada L pomona. Rash eritematous pretibial sering pada infeksi L autumnalis. Gangguan gastrointestinal pada infeksi L grippotyphosa. Meningitis aseptik sering pada infeksi L pomona atau L canicola. Sindrom Weil adalah bentuk leptospirosis berat ditandai ikterus, disfungsi ginjal, nekrosis hati, disfungsi paru, dan diathesis perdarahan. Kondisi ini terjadi pada akhir fase awal dan meningkat pada fase kedua, tetapi bisa memburu setiap waktu. Kriteria penyakit Weil tidak dapat didefinisikan dengan baik. Manifestasi paru meliputi batuk, dispneu, nyeri dada, sputum darah, batuk darah, dan gagal napas. Disfungsi ginjal dikaitkan dengan timbulnya ikterus 4-9 hari setelah gejala awal. Penderita dengan ikterus berat lebih mudah terkena gagal ginjal, perdarahan dan kolaps kardiovaskular. Hepatomegali juga didapatkan. Oliguri atau anuri karena nekrosis tubular akut sering terjadi pada minggu kedua. Dapat terjadi gagal multi-organ, rhabdomyolysis, sindrom gagal napas, hemolisis, splenomegali, gagal jantung kongestif, miokarditis, dan perikarditis. Kasus berat dengan gangguan hepatorenal dan ikterus mengakibatkan mortalitas 20-40%. Mortalitas juga akan meningkat pada lanjut usia. Dapat ditemukan makular atau rash makulopapular, nyeri perut mirip apendisitis akut, pembesaran kelenjar limfoid mirip infeksi mononucleosis. Leptospirosis dicurigai pada penderita flulike disease dengan meningitis aseptik atau mialgia berat.