demam tifoid
TRANSCRIPT
Demam Tifoid
I. Epidemiologi
Di seluruh dunia, setiap tahun terdapat 13 juta orang menderita
demam tifoid dengan lebih dari 500 ribu orang mengalami keadaan kritis.
Insiden demam tifoid di amerika menurun tajam sejak awal tahun 1900 an.
Saat ini, kira-kira ada 400 kasus tifoid dilaporkan di amerika serikat,
terutama menyerang orang-orang yang telah bepergian ke tempat-tempat
endemis. Hal ini terjadi karena adanya perbaikan sanitasi di amerika
serikat. Amerika selatan, Mexico, Pakistan, Mesir merupakan daerah
endemis bagi demam tifoid1.
Di Indonesia demam tifoid jarang dijumpai secara epidemik, tetapi
lebih sering bersifat sporadik, terpencar-pencar disuatu daerah, dan jarang
menimbulkan lebih dari satu kasus pada orang-orang serumah. Sumber
penularannya biasanya tidak dapat ditemukan. Ada dua sumber penularan
S. typhi : pasien dengan demam tifoid dan yang lebih sering carrier.
Orang-orang tersebut mengekskresi 109 sampai 1011 kuman pergram
tinja2.
II. Etiologi
Demam Tifoid adalah suatu infeksi yang disebabkan oleh bakteri
Salmonella typhi. Etiologi demam tifoid dan demam paratifoid adalah S.
typhi, S. paratyphi A, S. paratyphi B dan S. paratyphi C.2 Demam tifoid
merupakan penyakit endemis di beberapa Negara berkembang, dimana
sanitasi lingkungan kurang dijaga dengan baik.3
Gambar. Bakteri Salmonella Typhi
Bakteri tifoid ditemukan di dalam tinja dan air kemih penderita.
Penyebaran bakteri ke dalam makanan atau minuman bisa terjadi akibat
pencucian tangan yang kurang bersih setelah buang air besar maupun
setelah berkemih, Lalat juga bisa menyebarkan bakteri secara langsung
dari tinja ke makanan.3
Bakteri Salmonella typhi masuk ke dalam saluran pencernaan dan bisa
masuk ke dalam peredaran darah. Hal ini akan diikuti oleh terjadinya
peradangan pada usus halus dan usus besar. Pada kasus yang berat, yang
bisa berakibat fatal, jaringan yang terkena bisa mengalami perdarahan dan
perforasi (perlubangan). Sekitar 3% penderita yang terinfeksi oleh
Salmonella typhi dan belum mendapatkan pengobatan, di dalam tinjanya
akan ditemukan bakteri ini selama lebih dari 1 tahun. Beberapa dari
pembawa bakteri ini tidak menunjukkan gejala-gejala dari demam tifoid.
Sembilan puluh persen kasus demam tifoid terjadi pada umur 3-19 tahun,
kejadian meningkat setelah umur 5 tahun. Pada minggu pertama sakit,
demam tifoid sangat sukar dibedakan dengan penyakit demam lainnya.
Untuk memastikan diagnosis diperlukan pemeriksaan biakan kuman untuk
konfirmasi3.
Demam tifoid merupakan penyakit akut yang sering disebabkan
bakter Salmonella typhii. Demam tifoid dapat disebabkan juga oleh
Salmonella paratyphii,akan tetapi gejalanya kurang berat dibandingkan
dengan infeksi kuman S. typhii. Bakteri ini terdapat di air atau makanan
dengan carier manusia dapat menyebar ke orang lain dalam satu wilayah1.
Bakteri yang menyebabkan demam tifoid terdapat pada air atau
makanan yang terkontaminasi melalui kontak langsung dengan orang yang
sudah terinkeksi tifoid. Pada negara berkembang, daerah endemis demam
tifoid, sebgagian kasus tifoid disebabkan oleh sanitasi yang uruk dan air
minum yang terkontaminasi. Sementara sebagian besar penderita di
Negara industri menderita tifoid setelah bepergian ke daaerah endemis.
Hal ini berarti S. typhii terdapat pada feces dan urine penderita. Seseorang
dapat terinfeksi jika mengkonsumsi makanan yang disentuh oleh tangan
penderita demam tifoid yang tidak mencuci tangan dengan bersih setelah
ke toilet. Seseorang juga dapat terinfeksi setelah minum air minum yang
sudah terkontaminasi bakteri S.tiphii1.
III. Patofisiologi
Salmonella typhi merupakan bakteri gram negatif, non-spora, yang
bergerak dengan flagela. Bakteri ini dapat bertahan lama di air, saluran
air, bahan makanan kering dan tahan dalam pembekuan. Jumlah bakteri
yang dapat menginfeksi adalah sekitar 105-109 organisme, dengan masa
inkubasi berkisar 4-14 hari. Genom sekuen 4,8 Mbp dari strain Vietnam
S.typhi sekarang tersedia. Genom ini berisi lima pulau patogenisitas
Salmonella yang dikenal (SPI 1-5), ditambah lima pulau genom yang
memiliki karakteristik pulau patogenisitas. Pulau patogenisitas adalah
daerah genom pengkodean untuk, antara lain, system sekresi tipe III, yang
memberikan molekul efektor dari sitoplasma bakteri, melewati dua
membran dan menyuntikkan mereka ke dalam sel inang, yang dimodulasi
oleh kemampuan makrofag untuk membunuh bakteri. Manusia merupakan
satu - satunya reservoir S. typhi. Meskipun bakteri ini dapat bertahan
dalam makanan dan air, dan penyebab epidemi yang besar adalah ketika
kotoran manusia mencemari air.4
Kadar infeksi S. enterica serotipe tiphy pada seseorang bervariasi
antara 1.000 sampai satu juta organisme. Jumlah organisme yang besar
harus ditelan dengan makanan atau minuman yang terkontaminasi. Bakteri
ini melewati barier asam lambung sampai mencapai usus kecil bagian atas
di mana mereka bertahan hidup pada media basa. Kemudian mereka
menempel pada batas mikrovili ileum, menyerang plaque Peyeri, folikel
getah bening, limfonodi mesenterika dan secara bertahap berkembang biak
dalam sel mononuklear tersensititasi untuk membebaskan endotoksin.
Setelah menyerang plaque Peyeri, mereka mulai perjalanan melalui
limfonodi lokal, saluran toraks dan mencapai darah (fase bakteremia
primer). Oleh sistem reticulo-endotel mereka dari diambil darah, di mana
mereka biak lebih lanjut. Akhirnya, bakteri ini menginvasi kembali darah
dan usus halus melalui kandung empedu, kemudian tulang sumsum,
jaringan hati, limfoid dan limpa (fase bakteremik sekunder). Hal ini
merupakan akhir periode inkubasi yang membutuhkan 7-14 hari dengan
awalklinis tahap penyakit. Titik kritis setelah invasi bakteri yang bervariasi
mungkin ditentukan oleh jumlah bakteri, virulensi, respon host, kondisi
umum, usia, susunan genetik dan kekebalan tubuh seseorang4.
S. Typhi tidak memerlukan host imunodefisiensi yang
menyebabkan infeksi sistemik, seperti yang ditunjukkan oleh
kemampuannya untuk menyebabkan demam tifoid pada manusia sehat
maupun manusia HIV kemungkinan bahwa S. Typhi memiliki sifat
virulensi unik yang memungkinkan untuk mengatasi hambatan fungsi
mukosa pada host imunokompeten5.
Sebuah studi baru-baru ini menunjukkan bahwa polimorfisme di
IFNG, IL-12B dan IFNGR1 tidak muncul untuk berkontribusi terhadap
peningkatan kerentanan terhadap demam tifoid . Sebuah penjelasan yang
mungkin untuk penelitian ini adalah bahwa S. Typhi mungkin memiliki
mekanisme virulensi yang memungkinkan untuk menghindari sumbu IL-
12/IFN-γ TLR-dependen. Sumbu IL-12/IFN-γ adalah sistem
immunoregulatory utama yang menjembatani kekebalan bawaan dan
adaptif dan disebabkan oleh rangsangan dari reseptor Tol-seperti (TLRs)
di makrofag dan sel dendritik. IL-12 dan IFN-γ yang penting bagi
pengendalian infeksi S. Typhimurium pada tikus dan penghindaran dari
sumbu IL-12/IFN-γ oleh S. Typhi bisa membantu menjelaskan
kecenderungan yang lebih besar untuk menghindari respon imun ditemui
dalam jaringan5.
Pada demam tifoid patologi usus ditandai oleh peradangan
interstisial dengan infiltrat mononuklear dominan, sedangkan neutrofil
sangat langka. Analisis ekspresi gen pada sel epitel usus menunjukkan S.
Typhi tidak memicu respons pro-inflamasi melalui stimulasi TLR5. Selain
itu, sementara S. Typhi tidak memicu transmigrasi neutrofil melintasi
monolayer terpolarisasi sel epitel kolon5.
Hipotesis bahwa S. Typhi dapat menghindari tanggapan host PRR-
dimediasi konsisten dengan dua pengamatan klinis tambahan. Pertama,
sitokin pyrogenic, seperti tumor necrosis factor (TNF)-α dan IL-1β, yang
meningkat pada sera penderita demam tifoid dibandingkan individu yang
sehat tetapi untuk tingkat yang lebih rendah dibandingkan pada sera
penderita dengan sepsis. Selain itu, konsentrasi yang lebih tinggi dari
bakteri dalam darah akan memprediksi prognosis yang lebih parah pada
pasien dengan sepsis gram-negatif tetapi tidak pada pasien demam tifoid.
Sebuah atenuasi tanggapan host PRR-dimediasi mungkin menjadi salah
satu alasan syok septik tampaknya tidak berkontribusi pada kematian
selama demam tipus. Meskipun polimorfisme di wilayah tumor necrosis
factor alpha promoter (TNFA-308) yang ditemukan terkait baik dengan
peningkatan kerentanan terhadap demam tifoid atau dengan beratnya,
polimorfisme dalam gen pro-inflamasi (TNFa,-238 IL1A , IL1B,
TNFRSF1A, CASP1 dan CRP) tampaknya tidak berkontribusi terhadap
peningkatan kerentanan terhadap demam tifoid. Temuan ini tampaknya
memberikan dukungan untuk pengamatan klinis bahwa syok septik tidak
terjadi pada pasien demam tifoid karena S. Typhi tidak memicu respons
pro-inflamasi yang kuat melalui sinyal PRR5.
Tidak ada korelasi positif antara frekuensi atau keparahan demam
tipus dan granulomatosa kronik. Induksi dari oksidatif meledak di fagosit
profesional tergantung pada sinyal TLR, sejak aktivasi oksidase NADPH
oleh MAP kinase tergantung pada MyD88 protein adaptor TLR. Selama
infeksi bakteri sistemik, leukosit umumnya menghasilkan intermediet
oksigen lebih reaktif, seperti ditunjukkan oleh meningkatnya kemampuan
untuk mengurangi tetrazoleum nitroblue (NBT). Tes darah NBT dapat
digunakan secara klinis untuk membedakan sepsis bakteri dari demam
lainnya (yaitu dari penyakit usus lokal, infeksi virus, infeksi plasmodium
atau demam tidak disebabkan oleh kuman penyakit)5.
Demam tifoid dikaitkan dengan tes darah NBT negatif palsu,
menunjukkan respon yang nyata mengurangi oksidatif dalam darah pasien
yang terinfeksi dengan S. Typhi. Hal ini menunjukkan bahwa satu TLR-
tergantung host respon dihindari oleh S. Typhi adalah generasi dari sebuah
ledakan oksidatif selama interaksi dengan fagosit5.
Hal ini menunjukkan bahwa S. Typhi harus memiliki diperoleh
faktor tambahan yang memodulasi respon host selama infeksi. Misalnya,
pengurangan tanggapan TLR-dimediasi oleh S. Typhi bisa membantu
menjelaskan kelangkaan infiltrat neutrofil dalam usus, tingkat yang relatif
rendah TNF-α selama bakteremia, dan penghambatan suatu meledak
oksidatif dalam fagosit. Pengurangan TLR signaling dapat mengganggu
induksi sumbu IL-12/IFN-γ, yang mungkin menjadi salah satu mekanisme
S. Typhi menghindarkan kekebalan adaptif dan tetap dalam host5.
Salah satu faktor penentu virulensi yang memungkinkan S. Typhi
untuk memodulasi respon host selama infeksi adalah lokus viaB yang
dikodekan pada pulau Salmonella Patogenisitas 7 (SPI7), yang merupakan
daerah terbesar genomik hadir di S. Typhi. Kehadiran lokus viaB
memungkinkan S. Typhi untuk mengurangi produksi IL-8 pada sel epitel
usus, TNF-α di makrofag dan rekrutmen neutrofil ke mukosa usus in vivo.
Lokus DNA ini mengandung gen yang terlibat dalam regulasi (tviA),
biosintesis (tviBCDE) dan ekspor (vexABCDE) dari S. Typhi 's Virulensi
(Vi) kapsul. Analisis terbaru tentang lokus viaB telah mulai menjelaskan
tentang mekanisme yang S. Typhi menghindarkan aspek dari sistem
kekebalan bawaan5.
IL-8 produksi pada sel epitel usus dapat disebabkan oleh bakteri
flagellin, yang merangsang TLR5, reseptor pengakuan patogen dinyatakan
basolaterally pada monolayers terpolarisasi. Regulator ini TviA, yang
merupakan penggerak dari gen biosintesis operon viaB, adalah represor
gen di luar lokus viaB, termasuk-T3SS 1 dan regulon flagella. Dalam studi
vitro menunjukkan bahwa dalam kondisi osmolaritas tinggi, ekspresi
TviA, dan karenanya dari kapsul Vi, yang ditekan, sedangkan-T3SS 1 dan
flagela muncul. Dalam kondisi dari osmolaritas rendah, TviA
diekspresikan, sehingga dalam ekspresi dari kapsul Vi dan represi dari-
T3SS 1 serta regulon flagella. Karena lingkungan osmolaritas tinggi
meniru lumen usus, dan lingkungan osmolaritas rendah meniru konsentrasi
garam dalam darah atau jaringan, sebuah penjelasan yang masuk akal
adalah bahwa S. Typhi mengungkapkan flagela dan T3SS-1 di dalam
lumen usus, untuk mencapai kolonisasi maksimal. Namun, setelah dalam
lamina propria, S. Typhi mengaktifkan ekspresi dari lokus viaB (termasuk
regulator TviA) dan down-mengatur ekspresi flagela untuk menghindari
pengakuan TLR. TviA merepresi ekspresi dan sekresi FliC, ligan untuk
TLR5, yang menghasilkan penurunan sekresi IL-8 oleh sel epitel usus.
Dengan demikian, represi TviA-dimediasi flagellin menjelaskan
kecenderungan rendahnya S. Typhi untuk memperoleh IL-8 ekspresi pada
sel epitel usus5.
IV. Manifestasi Klinis
Permulaan bakteremia ditandai dengan demam dan malaise. Tiga
tahap klasik penyakit yaitu prodormal, toksik, penurunan suhu badan
sampai yg normal merupakan tahap yang lebih pendek pada anak – anak.
Pasien biasanya hadir ke rumah sakit menjelang akhir minggu pertama
dengan gejala demam, influenza seperti gejala dengan menggigil, nyeri
kepala, malaise, anoreksia, mual, abdominal discomfort, batuk kering dan
myalgia dengan sedikit tanda – tanda fisik. Awalnya demam derajat
rendah tetapi meningkat secara progresif dan pada minggu kedua demam
sering tinggi (390-400C) dan bertahan4.
Seiring dengan gejala demam gastrointestinal seperti muntah, sakit
perut, gerakan melemah merupakan hal yang sering terjadi pada anak-anak
dengan demam tifoid. Kejang dapat terjadi pada anak di bawah lima tahun.
Pasien mungkin dapat mucul tanda – tanda dari pneumonia atau
meningitis4.
Beberapa rose spot muncul kurang dari 50% kasus dan beberapa
dilaporkan dalam 5-30,% kasus. Rose spot biasanya muncul pada perut
dan dada dan jarang di punggung, lengan dan kaki. Lidah kotor, nyeri
perut dan hepatosplenomegali adalah sering muncul. Hepatosplenomegali
merupakan tanda fisik yang paling umum yang diamati pada anak dengan
demam tifoid yang kemudian diikuti oleh nyeri perut. Studi lain demam
tifoid pada anak-anak menunjukkan hepatomegali pada 85,3% dan
splenomegali di 27,5% kasus. Dalam beberapa studi di Bangladesh
menunjukkan bahwa hati teraba 58% kasus dan limpa teraba pada 33%
kasus dan hepatosplenomegali ditemukan pada 44,1% kasus. Perut
distensi, lidah kotor merupakan temuan umum pada studi di Bangladesh4.
V. Diagnosis
Tidak adanya tanda atau gejala yang khusus membuat diagnosis
klinis demam tifoid sulit ditegakkan. Di daerah-daerah endemik, demam
tanpa sebab yang jelas dan berlangsung lebih dari satu minggu harus
dipertimbangkan sebagai demam tifoid sampai terbukti sebaliknya6.
Bahkan dalam kondisi terbaik, organisme tidak dapat diisolasi dari
darah, terutama setelah pengobatan antimikroba dimulai. Metode
sederhana untuk diagnosis demam tifoid akan sangat bermanfaat, terutama
di negara-negara berkembang di mana penyakit ini endemik. Tes serologi
terhadap antibodi telah diusulkan sebagai pemeriksaan alternatif yang
cepat dan mudah untuk diagnosis demam tifoid7.
Dalam suatu studi parameter klinis disebutkan adanya suatu
penanda yang berguna untuk diagnosis demam tifoid pada anak, dimana
ditemukan demam yang berkepanjangan dan adanya hepatosplenomegali
serta lympho-adenopati. Tatli et al. juga melaporkan gejala umum yang
sama, yaitu demam tinggi dengan sakit kepala, mialgia dan anoreksia.
Studi lain melaporkan bahwa 75% dari pasien mengalami hepatomegali
dan 54% dari pasien mengalami splenomegali. Gejala gastrointestinal,
seperti nyeri perut, diare, mual dan muntah, adalah manifestasi umum
kedua pada demam tifoid. Eosinopenia juga menjadi penanda umum dan
berguna untuk diagnosis demam tifoid pada anak dengan demam yang
berkepanjangan dan hepatosplenomegali7.
Ada beberapa penyebab dari demam berkepanjangan di daerah
endemik tifoid, sehingga diagnosis klinis demam tifoid sulit ditegakkan
dan tes laboratorium perlu dilakukan. Isolasi S. Typhi dari sumsum darah
atau tulang merupakan pemeriksaan penunjang diagnostik demam tifoid.
Kultur tinja juga penting untuk mengetahui penyebaran S. Typhi dan juga
dapat membantu diagnosis. Serologi juga diperlukan namun memiliki
sensitivitas dan spesifisitas yang rendah8.
Berbagai pemeriksaan yang dapat dilakukan untuk membantu
diagnosis demam tifoid meliputi8:
1. Pemeriksaan hitung jenis darah.
Menunjukkan leukopenia dan neutropenia pada 50% pasien8.
2. Kultur darah .
Kultur darah merupakan metode diagnostik standar.
Menunjukkan hasil positif pada 60-80% pasien. Sensitivitas kultur
darah lebih tinggi pada minggu pertama sakit, berkurang dengan
penggunaan antibiotik, dan meningkat dengan banyaknya volume
darah kultur serta rasio darah dan kaldu8.
Kultur organisme penyebab tetap menjadi prosedur diagnostik
yang paling efektif dalam mendiagnosis dugaan demam tifoid.
Penelitian menunjukkan bahwa 10% suspensi empedu sapi adalah
media terbaik untuk kultur darah. Media ini tidak hanya memiliki
keuntungan dengan menghambat pertumbuhan kontaminan kulit,
tetapi juga menghambat pertumbuhan bakteri paling patogen dari
aliran darah lain sehingga tidak dapat digunakan sebagai tes
diagnostik rutin untuk bakteremia9.
Di banyak laboratorium diagnostik, media kultur darah, atau
sering disebut botol untuk media kultur darah, mungkin tidak
tersedia. Pemeriksaan langsung dari buffy coat telah digunakan
untuk deteksi bakteri dalam darah tetapi dilaporkan memiliki nilai
yang kecil karena kesalahan tergantung operator. Kultur langsung
dan sentrifugasi darah, bagaimanapun, telah sangat sukses. Kultur
langsung dengan buffy coat, yang sebelumnya terbukti
mengandung hampir semua S. Typhi yang ditemukan dalam darah,
karena itu harus dipikirkan kemungkinan isolasi S. Typhi tanpa
perlu menggunakan media kultur darah atau botol9.
3. Kultur sumsum tulang
Kultur sumsum tulang merupakan metode yang paling sensitif
dalam mengisolasi S.typhi. Menunjukkan hasil positif pada 80-85%
pasien bahkan pada pasien yang telah mendapat terapi antibiotik
dalam beberapa hari8.
Isolasi S. Typhi dari aspirasi sumsum tulang, merupakan suatu
prosedur yang sangat invasif, tetapi dianggap sebagai metode
standar emas untuk diagnosis demam tifoid dan dilaporkan lebih
sensitif dibandingkan kultur darah oleh sebagian besar, tetapi tidak
semua , peneliti. Para peneliti telah menghitung jumlah bakteri
dalam darah dan sumsum tulang dan menemukan bahwa pada
isolasi S. Typhi dari sumsum tulang ditemukan jumlah bakteri yang
lebih besar, dimana sepuluh kali lipat lebih banyak per volume
sumsum tulang daripada per volume darah. Namun, jika cukup
dengan kultur darah memungkinkan peningkatan sensitivitas kultur
darah daripada kultur sumsum tulang, maka aspirasi sumsum
tulang dapat dihindari9.
4. Kultur feses
Kultur feses positif hanya ditemukan pada 30% pasien.
Sensitifitas tergantung pada jumlah kultur tinja dan hasil positif
akan meningkat bersamaan dengan durasi penyakit8.
Pada kultur tinja, media pengayaan yang mengandung Selenite
telah terbukti lebih efektif daripada media pengayaan lainnya.
Selenite dengan manitol (M Selenite) telah direkomendasikan
tetapi belum ada perbedaan yang signifikan dengan Selenite yang
mengandung kaldu. Media Selenite F merupakan standar emas
untuk isolasi Salmonella dari tinja, untuk perbandingan Selenite F
dan Selenite dengan manitol perlu dilakukan pertimbangan lebih
lanjut sebelum digunakan9.
5. Uji Widal
Peran uji Widal masih kontroversial. Karena sensitivitas,
spesifisitas, dan nilai-nilai prediktif dari tes ini bervariasi antar
wilayah geografis. Tes ini mendeteksi adanya antibodi aglutinin
terhadap antigen O dan H dari S.typhi. Didapatkan kenaikan empat
kali lipat dari titer serum tetapi kegunaan klinis diragukan. Pasien
demam tifoid bisa saja tidak menunjukkan respon antibodi atau
tidak ditemukan kenaikan titer antibodi. Meskipun demikian,
beberapa pusat penelitian menemukan bahwa uji Widal sangat
membantu bila digunakan dengan cara menentukan cutoff points
secara lokal6. Namun dalam berbagai persentase kasus demam
tifoid ditemukan bahwa tes Widal tidak mendeteksi antibodi
bahkan dalam kasus-kasus yang dikonfirmasi dengan kultur
darah10.
A Vi aglutinasi telah digunakan untuk mendeteksi S.typhi
pembawa/carier. Ia memiliki sensitivitas 70-80%, dengan
spesifisitas sebesar 80-95%8. Tes serologis sedang dikembangkan
tetapi belum didapatkan data yang cukup baik untuk memastikan
tes ini diadopsi secara luas6.
6. M odifikasi Uji Widal .
Prinsip dari tes ini adalah bahwa kenaikan antibodi terhadap
antigen O sebagian besar didominasi oleh IgM. Hal ini dikarenakan
adanya infeksi yang baru terjadi dan inaktivasi oleh 2 -
mercaptoethanol. Di sisi lain, respon terhadap antigen H adalah
campuran antara IgM dan IgG, dimana IgM diinaktivasi sehingga
menimbulkan penurunan titer IgM. Dengan menonaktifkan
antibodi IgM dalam uji Widal yang dimodifikasi, aglutinasi hanya
membawa IgG khusus, sedangkan pada tes konvensional
didapatkan IgG dan IgM spesifik. Perbedaan titer menunjukkan
antibodi IgM khusus, yang menandakan adanya infeksi baru8.
7. DNA probe dan polymerase chain reaction (PCR).
DNA probe dan PCR telah dikembangkan untuk mendeteksi
S.typhi langsung dalam darah8. Metode ini belum banyak
digunakan di daerah-daerah di mana demam tifoid sering terjadi6.
VI. Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan darah tepi
Walaupun pada pemeriksaan darah perifer lengkap sering
ditemukan leukopenia, dapat pula terjadi kadar leukosit normal atau
leukositosis. Leukositosis dapat terjadi walaupun tanpa disertai infeksi
sekunder. Selain itu dapat pula ditemukan anemia ringan dan
trombositopenia. Pada pemeriksaan hitung jenis leukosit dapat terjadi
aneosinofilia maupun limfopenia. Laju endap darah pada demam tifoid
dapat meningkat. SGOT dan SGPT seringkali meningkat, tetapi akan
kembali menjadi normal setelah sembuh. Kenaikan SGOT dan SGPT
tidak memerlukan penanganan khusus.2
2. Uji Widal
Uji Widal dilakukan untuk deteksi antibodi terhadap kuman S. tyhi.
Pada uji Widal terjadi suatu reaksi aglutinasi antara antigen kuman S.
typhi dengan antibodi yang disebut aglutinin. Antigen yang digunakan
pada uji Widal adalah suspensi Salmonella yang sudah dimatikan dan
diolah di laboratorium. Maksud uji Widal adalah untuk menentukan
adanya aglutinin dalam serum penderita tersangka demam tifoid yaitu:
a). Aglutinin 0 (dari tubuh kuman), b). Aglutinin H (flagela kuman),
dan c). Aglutinin Vi (simpai kuman). Dari ketiga aglutinin tersebut
hanya aglutinin 0 dan H yang digunakan untuk diagnosis demam tifoid.
Semakin tinggi titernya semakin besar kemungkinan terinteksi kuman
ini11.
Pembentukan aglutinin mulai terjadi pada akhir minggu pertama
demam, kemudian meningkat secara cepat dan mencapai puncak pada
minggu ke-empat, dan tetap tinggi selama beberapa minggu. Pada fase
akut mula-mula timbul aglutinin 0, kemudian diikuti dengan aglutinin
H. Pada orang yang telah sembuh aglutinin 0 masih tetap dijumpai
setelah 4-6 bulan, sedangkan aglutinin H menetap Iebih lama antara 9-
12 bulan. Oleh karena itu uji Widal bukan untuk menentukan
kesembuhan penyakit12.
Ada beberapa faktor yang mempengaruhi uji Widal yaitu: 1).
Pengobatan dini dengan antibiotik, 2). Gangguan pembentukan
antibodi, dan pemberian kortikosteroid, 3). Waktu pengambilan darah,
4). Daerah endemik atau non-endemik, 5). Riwayat vaksinasi , 6).
Reaksi anamnestik, yaitu peningkatan titer aglutinin pada infeksi bukan
demam tifoid akibat infeksi demam tifoid masa lalu atau vaksinasi, 7).
Faktor teknik pemeriksaan antar laboratorium, akibat aglutinasi silang,
dan strain Salmonella yang digunakan untuk suspensi antigen.2
3. ELISA
Diagnosis demam tifus bergantung pada isolasi Salmonella
enterica subsp. enterica serotype Typhi dari sampel klinis atau dari
deteksi dari naiknya serum antibodi untuk menyerang serotipe typhi,
yakni antigen O (LPS/ lipopolisakarida) atau H (flagellum) (tes Widal).
Pada penelitian yang dilakukan di Vietnam sekitar tahun 1998, dimana
saat itu Tifus menjadi suatu endemi, diketahui bahwa respon antibode
terhadap adanya kedua antigen tersebut sangat bervariasi pada tiap
individu yang terinfeksi. Dan lagi terjadi peningkatan titer antibodi
pada sebagian nesar serum sampel dari individu yang sehat dari
komunitas tersebut. Inilah peran penting dari In-house enzyme-linked
immunosorbent assays (ELISA) untuk mendeteksi kelas-kelas spesifik
dari anti-LPS dan antiflagellum antibodi dan dibandingkan dengan tes
dasar lain untuk mendiagnosis demam tifus (Widal TO dan TH, anti-
serotype Typhi immunoglobulin M [IgM] dipstick, dan IDeaL
TUBEX)13.
4. Kultur Darah
Hasil biakan darah memiliki sensitivitas 73%-97%.(Brush,2010)
Hasil biakan darah yang positif memastikan demam tifoid, akan tetapi
basil negatif tidak menyingkirkan demam tifoid, karena mungkin
disebabkan beberapa hal sebagai berikut : 2
1). Telah mendapat terapi antibiotik. Bila pasien sebelum dilakukan
kultur darah telah mendapat antibiotik, pertumbuhan kuman dalam
media biakan terhambat dan basil mungkin negatif;
2). Volume darah yang kurang (diperlukan kurang lebih 5 cc darah).
Bila darah yang dibiak terlalu sedikit basil biakan bisa negatif. Darah
yang diambil sebaiknya secara bedside langsung dimasukkan ke dalam
media cair empedu (oxgall) untuk pertumbuhan kuman
3). Riwayat vaksinasi. Vaksmasi di masa lampau menimbulkan antibodi
dalam darah pasien. Antibodi (aglutinin) ini dapat menekan bakteremia
hingga biakan darah dapat negatif;
4). Saat pengambilan darah setelah minggu pertama, pada saat aglutinin
semakin meningkat.
5. Kultur feces
Kultur feces memiliki sensitivitas kurang dari 50% dan kultur urine
juga kurang sensitive. Salmonella typhii juga dapat diisolasi dari LCS,
cairan peritoneal, limfonodus mesentericus, reseksi
usus,faring,tonsil,abses,dll13.
VII. Terapi
1. Perawatan medis
Jika seorang pasien menunjukkan gejala menyerupai demam tifoid
yang tidak dapat dijelaskan penyebabnya dalam waktu 60 hari setelah
kembali dari daerah endemik demam tifoid (demam enterik) atau
setelah mengkonsumsi makanan yang dipersiapkan oleh seseorang yang
terinfeksi demam tifoid, maka penggunaan antibiotika empirik
spektrum luas harus segera dimulai. Pengobatan tidak boleh ditunda
untuk uji konfirmatori sejak ditemukan bahwa pengobatan yang tepat
secara drastis mengurangi risiko komplikasi dan kematian. Terapi
antibiotik harus dipersempit sekali lagi dari informasi yang tersedia14.
Pasien dengan penyakit tanpa komplikasi dapat diobati secara
rawat jalan. Mereka harus disarankan untuk menerapkan teknik
mencuci tangan yang ketat dan menghindari menyiapkan makanan
untuk orang lain selama sakit. Pasien harus ditempatkan dalam ruang
isolasi selama fase akut infeksi. Tinja dan urin harus dibuang secara
aman14.
Pada tahun 1948 kloramfenikol menjadi standar antibiotik untuk
pengobatan demam tifoid. Dalam beberapa tahun terakhir, munculnya
resistensi terhadap kloramfenikol dan agen-agen antimikroba lain telah
mengalami kemunduran besar8.
Pada 1990-an, S.typhi mengembangkan resistansi secara
bersamaan untuk semua obat yang terdapat pada pengobatan lini
pertama. Sekarang fluoroquinolones adalah obat yang paling efektif
untuk pengobatan demam tifoid. Panas berkurang dalam waktu rata-rata
kurang dari 4 hari, dan angka kesembuhan melebihi 96%. Kurang dari
2% dari pasien yang dirawat telah mengalami penyakit persisten atau
relaps. Fluoroquinolones harus digunakan pada dosis semaksimal
mungkin dalam waktu minimal 10-14 hari. Ofloksasin telah terbukti
efektif dalam kasus-kasus resisten kloramfenikol yang dibuktikan
dengan pemeriksaan kultur sumsum tulang8.
Fluoroquinolones telah digunakan pada anak-anak. Ada bukti
penggunaan jangka panjang fluoroquinolones pada anak dengan cystic
fibrosis dan penggunaan jangka pendek fluoroquinolones untuk
pengobatan demam tifoid. Belum ada bukti adanya tendon pecah, efek
toksik pada tulang atau sendi, atau dalam pemeriksaan jangka panjang,
gangguan pertumbuhan tidak bisa benar-benar dikesampingkan8.
Sefalosporin generasi ketiga (Ceftriaxone, cefixime, cefotaxime,
dan cefoperazone) dan macrolides seperti azitromisin juga efektif untuk
pengobatan tifus. Dengan penggunaan seftriakson dan sefiksim,
penurunan demam terjadi dalam waktu rata-rata satu minggu dan
tingkat kegagalan pengobatan adalah 5-10%. Tingkat kekambuhan
adalah 3-6%8.
Tingkat penyembuhan 95% dicapai dalam 5-7 hari dengan
pengobatan azitromisin. Demam menghilang dalam 4-6 hari dan tingkat
kekambuhan dan kesembuhan adalah <3%. Aztreonam13 dan
imipenem merupakan obat potensial lini ketiga. Untuk demam tifoid
yang berat, fluoroquinolones parenteral adalah pengobatan pilihan8.
Kloramfenikol, amoksisilin, dan trimethoprimsulfamethoxazole
tetap digunakan untuk pengobatan demam tifoid di daerah-daerah di
dunia di mana bakteri penyebab demam tifoid masih sepenuhnya rentan
terhadap obat-obatan ini dan di mana fluoroquinolones tidak tersedia
atau tidak terjangkau. Obat-obat ini dapat menghilangkan gejala,
dengan penurunan suhu badan sampai yg normal biasanya terjadi dalam
waktu 5-7 hari;Namun, mungkin diperlukan pengobatan sampai 2-3
minggu. Meskipun, angka kesembuhan adalah 95%, tingkat relaps
adalah 1-7%8.
2. Perawatan bedah
Pembedahan biasanya ditunjukkan dalam kasus-kasus perforasi usus.
Kebanyakan ahli bedah lebih suka penutupan perforasi sederhana dengan
drainase peritoneum. Reseksi usus kecil diindikasikan untuk pasien
dengan perforasi ganda8.
Jika perawatan antibiotik gagal untuk membasmi hepatobiliary,
kandung empedu harus direseksi. Kolesistektomi tidak selalu berhasil
dalam pemberantasan carrier karena infeksi hati yang persisten8.
3. Konsultasi
Penyakit ini seharusnya dikonsultasikan kepada spesialis penyakit
infeksi. Konsultasi dengan dokter bedah diindikasikan pada dugaan
perforasi gastrointestinal, perdarahan gastrointestinal yang serius,
kolesistitis, atau komplikasi ekstraintestinal (arteritis, endokarditis, abses
organ)8.
4. Diet
Cairan dan elektrolit harus dimonitor dan diganti dengan rutin. Nutrisi
oral dengan diet lunak akan dicerna lebih baik tanpa adanya distensi
perut atau ileus8.
5. Aktivitas
Tidak ada batasan khusus untuk aktivitas yang dilakukan pada pasien
dengan demam tifoid. Seperti kebanyakan penyakit sistemik, istirahat
sangat membantu. Pasien harus diedukasi untuk tinggal di rumah dan
tidak bekerja sampai pemulihan8.
VIII. Diferensial Diagnosis
Tifoid harus dibedakan dari penyakit demam akut dan subakut yang
endemik lainnya. Penyakit-penyakit yang harus dipertimbangkan sebagai
diagnosis banding demam tifoid antara lain sebagai berikut :6
1. malaria,
2. abses dalam,
3. tuberkulosis,
4. abses hati amebic,
5. ensefalitis,
6. influenza,
7. demam berdarah,
8. leptospirosis,
9. infeksi mononucleosis,
10. endokarditis,
11. brucellosis,
12. tipus,
13. visceral leishmaniasis,
14. toksoplasmosis,
15. penyakit lymphoproliferative, dan
16. penyakit jaringan ikat6
Berdasarkan etiologinya, penyakit-penyakit tersebut dapat
diklasifikasikan sebagai berikut :8
1. Infeksi virus : infectious mononucleosis, ensefalitis, influenza, demam
berdarah.
2. Infeksi bakteri : Leptospirosis, endokarditis, brucellosis, TBC, ISK.
3. Lain-lain : penyakit jaringan ikat, malaria, abses dalam8.
Untuk pasien di negara-negara di mana tifoid tidak endemik, riwayat
bepergian ke daerah endemik sangat penting ditanyakan. Algoritma klinis
telah dikembangkan tetapi belum divalidasi secara umum6.
IX. Komplikasi
Komplikasi ttifoid fever terjadi pada 10-15 % pada pasien dan lebih
sering terjadi pada pasien yang telah demam lebih dari dua minggu.15
Komplikasi yang penting pada demam tifoid
Abdominal Kardiovaskuler Neuro-psychiatric
Gastrointestinal
Haemorrhage
Gastrointestinal
perforation
Hepatitis
Cholecystitis
Asymptomatic ECG
change
Myocarditis
Shock
Encephalopathy
Delirium
Psychotic states
Meningitis
Pernafasan Hematologi Lain-lain
Bronchitis
Pneumonia
(Salmonella, Staph.
aureus)
Anemia
DIC
Focal Abses
Pharingitis
Abortus
Relaps
Chronic carrier
Komplikasi tersering adalah perdarahan gastrointestinal, terjadi hingga
10 % pada penderita, akibat erosi dari plaks payeri yang nekrotik pada
pembuluh darah enterik. Re-infeksi juga dapat terjadi, dan dapat dibedakan
dengan relapse melalui tipe molekulernya. 16
Penderita Karier
Karier temporer- ekskresi S.typhi pada feces selama tiga bulan. Hal ini
tampak pada 10% pasien konvalesen. Relapse terjadi pada 5-10% pasien
biasanya 2-3 minggu setelah demam mengalami resolusi dan pada isolasi
organisme memiliki bentuk sensivitas yang sama seperti semula17.
Kronik karier
Ekskresi bakteri lebih dari satu tahun. 1-4% pasien menunjukan kronik
karier. Faktor predisposisi menjadi kronik karier adalah jenis kelamin
perempuan, pada kelompok usia dewasa, dan cholelithiasis. Pasien dengan
traktus urinarius yang abnormal, seperti schistosomiasis, mungkin
memgeluarkan bakteri pada urinya dalam waktu yang lama17.
Dewasa dan anak-anak dengan tifoid yang berat yang ditandai dengan
delirium, obtundation, stupor,koma,atau shock memiliki keuntungan dengan
penggunaan deksametason pada terapi. Dosis awal deksametason adalah
3mg/kg pelan IV diikuti dengan 1 mg/kg setiap enam jam penambahan
dosis mengurangi mortalitas yang signifikan18.
Pasien dengan perforasi gastrointestinal memerlukan resusitasi dengan
air, darah, dan oksigen yang sesuai, diikuti terapi dari bedah. Macam-
macam operasi dengan reseksi adalah : reseksi usus dan anastomosis
primer, atau primary wedge resection, debridemen ulkus, dan penutupan.
Mortalitas setelsah bedah bervariasi antara 10-32%19.
Relapse harus diterapi sama seperti sebagaimana awal infeksi tifoid.
Mayoritas karier intestinal dapat diterapi dengan antibiotik yang lebih
lama20.
Carier tanpa
batu empedu
Terapi Dosis harian
(mg/Kg)
Lama
Ampicillin atau
Amoxicillin +
Probenecid
100
30
3 bulan
Trimethoprim-
Sulfamethoxazole
2 tab dua kali 3 bulan
Ciprofloksacin 750 mg dua
kali
28 hari
Carier dengan
batu empedu
Antibiotics +
Cholecystectomy
Laporan dua kasus oleh Ferdinando dan Salvatore di Italia terdapat
pankreatitis akibat komplikasi sekunder tifoid, demam tifoid selama enzime
amilase diperiksa, dan harus dipikirkan akan non-alkoholik dan non-litiasis
pankreas21.
X. Prognosis
Terapi antibiotik yang tepat adalah hal yang sangat penting dalam
menyembuhkan pasien demam tifoid dengan komplikasi minimal.
Pemilihan obat dan durasi terapi tergantung pada beberapa faktor misal
berat ringan dari penyakit, kondisi pasien, dan resistensi obat, begitu juga
pengalaman dokter dan sarana yang mendukung22.
XI. Pencegahan
Penularan demam tifoid melalui makanan dan air yang terkontaminasi
bakteri. Untuk menurunkan insidensi demam tifoid, harus diidentifikasi
kuman penyebab, meningkatkan kesehatan umum,personal dan
memperbaiki hygine serta pendidikan kesehatan terhadap masyarakat23.
Hal yang dapat dilakukan dalam meningkatkan kesehatan umum adalah 24:
- Sanitasi lingkungan
- Penyediaan sumber air yang bersih
- Meningkatkan pengamanan bahan pangan agar terhindar dari
kontaminasi bakteri.
Vaksinasi
Rekomendasi WHO untuk vaksin tifoid dianjurkan untuk daerah
dengan insidensi tinggi, resissten terhadap antibiotik yang ada. Insidensi
tertinggi terdapat pada kelompok pra sekolah Setiap negara demikian
dianjurkan melakukan vaksinasi untuk menekan dan mengontrol
endemisitas25.
Ada tiga tipe vaksin tifoid saat ini yang bisa dipakai : 25
1. Heat-killed, phenol extracted typhoid vaccine. Diberikan dosis 0,5 ml
injeksi subcutan, dua dosis 2-4 minggu terpisah dan booster
diperlukan setiap tiga ahun.
2. Live oral vaccine (Ty21A). Strain ini menimbulkan respon imun
protektif. Vaksin diberikan satu kapsul pada hari 1, 3, 5, dan 7
diberikan cocok untuk dewasa dan anak lebih dari 6 tahun. Booster
diperlukan setiap 5 tahun. Pada beberapa penelitian vaksin ini
memeberikan proteksi sebesar 65-95 %.
3. Purified Vi Polysaccharide vaccine, diberikan secara intra muscular
pada anak lebih dari 2 tahun. Proteksi ini sebesar 64-72% selama dua
minggu pemberian dan bertahan selama 2 tahun.
IDAI telah memasukan vaksin tifoid polisakarida pada program
imunisasi 2010, diberikan pada anak usia lebih dari dua tahun, dua kali
dengan interval 6-12 bulan25.
Daftar Pustaka
1. Balentine, Jerry. 2011. Typhoid Fever. Typhoid Fever Causes, Symptoms,
Treatment and Vaccine.
http://www.medicinenet.com/typhoid_fever/article.htm
2. Aulia D, Widiyanto T. Demam Tifoid. Exomed Indonesia. 2010
http://www.medical-journal.co.cc/2010/03/demam-tifoid_04.html
3. Badrijah M. Tifus Abdominalis. 2010.
http://adulgopar.files.wordpress.com/2009/12/demam-tifoid.pdf
4. Manuela R, R Paul W, Sebastian EW, Andreas JB. 2008.Clinical
Pathogenesis of Typhoid Fever. J Infect Developing Countries. 2008 ; (4) :
260-266
5. Rahman A, et al. 2010. Typhoid Fever in Children-An Update (Review
Articles). J Dhaka Med Coll. 2010; 19(2) : 135-143
6. Christopher M, et al. 2002. Typhoid Fever. N Engl J Med 2002; 347:1770-
1782
7. Maripaandi A, Ali AA. 2010. Case-Report. Typhoid Fever with Severe
Abdominal Pain : Diagnosis and Clinical Findings using Abdomen
Ulsanogram, Hematology-Cell Analysis and the Widal Test. J Infect Dev
Countries. 2010; 4 (9) : 593-596
8. Agarwal, PK, Atul G, RK Gupta, 2004. Lecture Note Tyfoid Fever. JIAM
2004; 5 (1) : 60-4
9. John W, et al. 2008. Specimens and Culture Media for the Laboratory
Diagnosis of Typhoid Fever. J Infect Developing Countries. 2008; 2(6): 469-
474
10. Salih H, et al. 2008. Evaluation of False Negativity of the Widal Test Among
Culture Proven Typhoid Fever Cases. . J Infect Developing Countries. 2008;
2(6): 475-478
11. Rao S. Widal Test. 2010. Department of Microbiology.
http://www.microrao.com/micronotes/widal.pdf
12. Tupasi TE, Roxanne La, Mendoza MT. 2010. Clinical Aplication of the
Widal Test. Workshop Chair Person and Senior Scientist, Tropical disease
Foundation,Inc.
http://www.psmid.org.ph/vol20/vol20num1topic5.pdf
13. Brush, Jl. Typhoid Fever: Deferential Diagnoses and work Up. 2010.
http://emedicine.medscape.com/article/231135-diagnosis
14. Levine, Morgan M. 2009. Typoid Vaccines Ready for Implementation. N
Engl J Med; 2009. 361 : 403-405
http: //emedicine.medscape.com/article/231135
15. Getenet B, et al. 2008. Typhoid Fever in Ethiopia. J Infect Developing
Countries. 2008; 2(6): 431-437
16. Duncan Steele. 2008. The Importance of Generating Evidance on Typhoid
Fever for Implementing Vacciation Strategies. J Infect Developing Countries.
2008 ; (4) : 250-252
17. Ferdinando R, Salvatore NB. 2007. Typhoid Fever and Acut Pancreatities :
Two Cases (Abstract). Le Infezioni in Medicina, n.1, 63-65. 2007
18. Anil P, et al. 2008. A Patient With Paratyphoid A Fever : An Emerging
Problem in Asia and Not Always a Benign Disease. Journal of Travel
Medicine, vol. 15. Issue 5: 364-365. 2008
19. Mohammad H, Ratnawati. 2008. Enteric Fever in Endemi Areas of
Indonesia : an Increasing Problem of Resistance. J Infect Developing
Countries. 2008; 2(4): 279-282
20. Hellena M, BS Smith. 2008. SPI-7: Sallmonella’s Vi-Encoding Pathogenicity
Island. . J Infect Developing Countries. 2008; 2(4): 267-271
21. Deborah H, et al. 2008. Antibodies to the Vi Capsule of Salmonella Typhi in
Serum of Typhoid Patients and Healty Control Subjects From a Typhoid
Endemic Region. . J Infect Developing Countries. 2008; 2(4): 308-312
22. Tikki Pang. 2008. Typhoid Fever Research in Developing Countries
(Editorial). J Infect Developing Countries. 2008; 2(6): 411
23. Jhon LB, Thomas G, Roberto C. 2010. Typoid Fever (up date)
24. Daigle, France. 2008. Typhi Genes Expressed During Infection or Involved in
Pathogenesis. J Infect Developing Countries. 2008; 2(6): 431-437
25. Moehario, Lucky H. 2009. The Molecular Epidemiology of Salmonella Typhi
Accros Indonesia Reveals Bacterial Migration. J Infect Dev Ctries.2009; 3(8):
579-584
26. Agarwal, PK, Atul G, RK Gupta, 2004. Lecture Note Tyfoid Fever. JIAM
2004; 5 (1) : 60-4
Jurnal Infeksi
DEMAM TIFOID
Oleh :
Isa Akbar B G0004123/ A25-2011
Siti Ngafiyah G0004200/ A7-20011
Alva Sinung A G0005047/ B16-2011
Pratiwi Wulandari G0005154/ B13-2011
Radhiana Purisanti G0005163/ A8-2011
KEPANITERAAN KLINIK
LAB / SMF ILMU KESEHATAN ANAK
FAK. KEDOKTERAN UNS / RSUD DR. MOEWARDI
SURAKARTA
2011