demam tifoid

44
Demam Tifoid I. Epidemiologi Di seluruh dunia, setiap tahun terdapat 13 juta orang menderita demam tifoid dengan lebih dari 500 ribu orang mengalami keadaan kritis. Insiden demam tifoid di amerika menurun tajam sejak awal tahun 1900 an. Saat ini, kira-kira ada 400 kasus tifoid dilaporkan di amerika serikat, terutama menyerang orang-orang yang telah bepergian ke tempat-tempat endemis. Hal ini terjadi karena adanya perbaikan sanitasi di amerika serikat. Amerika selatan, Mexico, Pakistan, Mesir merupakan daerah endemis bagi demam tifoid 1 . Di Indonesia demam tifoid jarang dijumpai secara epidemik, tetapi lebih sering bersifat sporadik, terpencar-pencar disuatu daerah, dan jarang menimbulkan lebih dari satu kasus pada orang-orang serumah. Sumber penularannya biasanya tidak dapat ditemukan. Ada dua sumber penularan S. typhi : pasien dengan demam tifoid dan yang lebih sering carrier. Orang-orang tersebut mengekskresi 109 sampai 1011 kuman pergram tinja 2 .

Upload: siti-ngafiyah

Post on 30-Jul-2015

185 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: demam tifoid

Demam Tifoid

I. Epidemiologi

Di seluruh dunia, setiap tahun terdapat 13 juta orang menderita

demam tifoid dengan lebih dari 500 ribu orang mengalami keadaan kritis.

Insiden demam tifoid di amerika menurun tajam sejak awal tahun 1900 an.

Saat ini, kira-kira ada 400 kasus tifoid dilaporkan di amerika serikat,

terutama menyerang orang-orang yang telah bepergian ke tempat-tempat

endemis. Hal ini terjadi karena adanya perbaikan sanitasi di amerika

serikat. Amerika selatan, Mexico, Pakistan, Mesir merupakan daerah

endemis bagi demam tifoid1.

Di Indonesia demam tifoid jarang dijumpai secara epidemik, tetapi

lebih sering bersifat sporadik, terpencar-pencar disuatu daerah, dan jarang

menimbulkan lebih dari satu kasus pada orang-orang serumah. Sumber

penularannya biasanya tidak dapat ditemukan. Ada dua sumber penularan

S. typhi : pasien dengan demam tifoid dan yang lebih sering carrier.

Orang-orang tersebut mengekskresi 109 sampai 1011 kuman pergram

tinja2.

II. Etiologi

Demam Tifoid adalah suatu infeksi yang disebabkan oleh bakteri

Salmonella typhi. Etiologi demam tifoid dan demam paratifoid adalah S.

typhi, S. paratyphi A, S. paratyphi B dan S. paratyphi C.2 Demam tifoid

merupakan penyakit endemis di beberapa Negara berkembang, dimana

sanitasi lingkungan kurang dijaga dengan baik.3

Page 2: demam tifoid

Gambar. Bakteri Salmonella Typhi

Bakteri tifoid ditemukan di dalam tinja dan air kemih penderita.

Penyebaran bakteri ke dalam makanan atau minuman bisa terjadi akibat

pencucian tangan yang kurang bersih setelah buang air besar maupun

setelah berkemih, Lalat juga bisa menyebarkan bakteri secara langsung

dari tinja ke makanan.3

Bakteri Salmonella typhi masuk ke dalam saluran pencernaan dan bisa

masuk ke dalam peredaran darah. Hal ini akan diikuti oleh terjadinya

peradangan pada usus halus dan usus besar. Pada kasus yang berat, yang

bisa berakibat fatal, jaringan yang terkena bisa mengalami perdarahan dan

perforasi (perlubangan). Sekitar 3% penderita yang terinfeksi oleh

Salmonella typhi dan belum mendapatkan pengobatan, di dalam tinjanya

akan ditemukan bakteri ini selama lebih dari 1 tahun. Beberapa dari

pembawa bakteri ini tidak menunjukkan gejala-gejala dari demam tifoid.

Sembilan puluh persen kasus demam tifoid terjadi pada umur 3-19 tahun,

kejadian meningkat setelah umur 5 tahun. Pada minggu pertama sakit,

demam tifoid sangat sukar dibedakan dengan penyakit demam lainnya.

Untuk memastikan diagnosis diperlukan pemeriksaan biakan kuman untuk

konfirmasi3.

Page 3: demam tifoid

Demam tifoid merupakan penyakit akut yang sering disebabkan

bakter Salmonella typhii. Demam tifoid dapat disebabkan juga oleh

Salmonella paratyphii,akan tetapi gejalanya kurang berat dibandingkan

dengan infeksi kuman S. typhii. Bakteri ini terdapat di air atau makanan

dengan carier manusia dapat menyebar ke orang lain dalam satu wilayah1.

Bakteri yang menyebabkan demam tifoid terdapat pada air atau

makanan yang terkontaminasi melalui kontak langsung dengan orang yang

sudah terinkeksi tifoid. Pada negara berkembang, daerah endemis demam

tifoid, sebgagian kasus tifoid disebabkan oleh sanitasi yang uruk dan air

minum yang terkontaminasi. Sementara sebagian besar penderita di

Negara industri menderita tifoid setelah bepergian ke daaerah endemis.

Hal ini berarti S. typhii terdapat pada feces dan urine penderita. Seseorang

dapat terinfeksi jika mengkonsumsi makanan yang disentuh oleh tangan

penderita demam tifoid yang tidak mencuci tangan dengan bersih setelah

ke toilet. Seseorang juga dapat terinfeksi setelah minum air minum yang

sudah terkontaminasi bakteri S.tiphii1.

III. Patofisiologi

Salmonella typhi merupakan bakteri gram negatif, non-spora, yang

bergerak dengan flagela. Bakteri ini dapat bertahan lama di air, saluran

air, bahan makanan kering dan tahan dalam pembekuan. Jumlah bakteri

yang dapat menginfeksi adalah sekitar 105-109 organisme, dengan masa

inkubasi berkisar 4-14 hari. Genom sekuen 4,8 Mbp dari strain Vietnam

S.typhi sekarang tersedia. Genom ini berisi lima pulau patogenisitas

Salmonella yang dikenal (SPI 1-5), ditambah lima pulau genom yang

memiliki karakteristik pulau patogenisitas. Pulau patogenisitas adalah

daerah genom pengkodean untuk, antara lain, system sekresi tipe III, yang

memberikan molekul efektor dari sitoplasma bakteri, melewati dua

membran dan menyuntikkan mereka ke dalam sel inang, yang dimodulasi

oleh kemampuan makrofag untuk membunuh bakteri. Manusia merupakan

Page 4: demam tifoid

satu - satunya reservoir S. typhi. Meskipun bakteri ini dapat bertahan

dalam makanan dan air, dan penyebab epidemi yang besar adalah ketika

kotoran manusia mencemari air.4

Kadar infeksi S. enterica serotipe tiphy pada seseorang bervariasi

antara 1.000 sampai satu juta organisme. Jumlah organisme yang besar

harus ditelan dengan makanan atau minuman yang terkontaminasi. Bakteri

ini melewati barier asam lambung sampai mencapai usus kecil bagian atas

di mana mereka bertahan hidup pada media basa. Kemudian mereka

menempel pada batas mikrovili ileum, menyerang plaque Peyeri, folikel

getah bening, limfonodi mesenterika dan secara bertahap berkembang biak

dalam sel mononuklear tersensititasi untuk membebaskan endotoksin.

Setelah menyerang plaque Peyeri, mereka mulai perjalanan melalui

limfonodi lokal, saluran toraks dan mencapai darah (fase bakteremia

primer). Oleh sistem reticulo-endotel mereka dari diambil darah, di mana

mereka biak lebih lanjut. Akhirnya, bakteri ini menginvasi kembali darah

dan usus halus melalui kandung empedu, kemudian tulang sumsum,

jaringan hati, limfoid dan limpa (fase bakteremik sekunder). Hal ini

merupakan akhir periode inkubasi yang membutuhkan 7-14 hari dengan

awalklinis tahap penyakit. Titik kritis setelah invasi bakteri yang bervariasi

mungkin ditentukan oleh jumlah bakteri, virulensi, respon host, kondisi

umum, usia, susunan genetik dan kekebalan tubuh seseorang4.

S. Typhi tidak memerlukan host imunodefisiensi yang

menyebabkan infeksi sistemik, seperti yang ditunjukkan oleh

kemampuannya untuk menyebabkan demam tifoid pada manusia sehat

maupun manusia HIV kemungkinan bahwa S. Typhi memiliki sifat

virulensi unik yang memungkinkan untuk mengatasi hambatan fungsi

mukosa pada host imunokompeten5.

Sebuah studi baru-baru ini menunjukkan bahwa polimorfisme di

IFNG, IL-12B dan IFNGR1 tidak muncul untuk berkontribusi terhadap

peningkatan kerentanan terhadap demam tifoid . Sebuah penjelasan yang

mungkin untuk penelitian ini adalah bahwa S. Typhi mungkin memiliki

Page 5: demam tifoid

mekanisme virulensi yang memungkinkan untuk menghindari sumbu IL-

12/IFN-γ TLR-dependen. Sumbu IL-12/IFN-γ adalah sistem

immunoregulatory utama yang menjembatani kekebalan bawaan dan

adaptif dan disebabkan oleh rangsangan dari reseptor Tol-seperti (TLRs)

di makrofag dan sel dendritik. IL-12 dan IFN-γ yang penting bagi

pengendalian infeksi S. Typhimurium pada tikus dan penghindaran dari

sumbu IL-12/IFN-γ oleh S. Typhi bisa membantu menjelaskan

kecenderungan yang lebih besar untuk menghindari respon imun ditemui

dalam jaringan5.

Pada demam tifoid patologi usus ditandai oleh peradangan

interstisial dengan infiltrat mononuklear dominan, sedangkan neutrofil

sangat langka. Analisis ekspresi gen pada sel epitel usus menunjukkan S.

Typhi tidak memicu respons pro-inflamasi melalui stimulasi TLR5. Selain

itu, sementara S. Typhi tidak memicu transmigrasi neutrofil melintasi

monolayer terpolarisasi sel epitel kolon5.

Hipotesis bahwa S. Typhi dapat menghindari tanggapan host PRR-

dimediasi konsisten dengan dua pengamatan klinis tambahan. Pertama,

sitokin pyrogenic, seperti tumor necrosis factor (TNF)-α dan IL-1β, yang

meningkat pada sera penderita demam tifoid dibandingkan individu yang

sehat tetapi untuk tingkat yang lebih rendah dibandingkan pada sera

penderita dengan sepsis. Selain itu, konsentrasi yang lebih tinggi dari

bakteri dalam darah akan memprediksi prognosis yang lebih parah pada

pasien dengan sepsis gram-negatif tetapi tidak pada pasien demam tifoid.

Sebuah atenuasi tanggapan host PRR-dimediasi mungkin menjadi salah

satu alasan syok septik tampaknya tidak berkontribusi pada kematian

selama demam tipus. Meskipun polimorfisme di wilayah tumor necrosis

factor alpha promoter (TNFA-308) yang ditemukan terkait baik dengan

peningkatan kerentanan terhadap demam tifoid atau dengan beratnya,

polimorfisme dalam gen pro-inflamasi (TNFa,-238 IL1A , IL1B,

TNFRSF1A, CASP1 dan CRP) tampaknya tidak berkontribusi terhadap

peningkatan kerentanan terhadap demam tifoid. Temuan ini tampaknya

Page 6: demam tifoid

memberikan dukungan untuk pengamatan klinis bahwa syok septik tidak

terjadi pada pasien demam tifoid karena S. Typhi tidak memicu respons

pro-inflamasi yang kuat melalui sinyal PRR5.

Tidak ada korelasi positif antara frekuensi atau keparahan demam

tipus dan granulomatosa kronik. Induksi dari oksidatif meledak di fagosit

profesional tergantung pada sinyal TLR, sejak aktivasi oksidase NADPH

oleh MAP kinase tergantung pada MyD88 protein adaptor TLR. Selama

infeksi bakteri sistemik, leukosit umumnya menghasilkan intermediet

oksigen lebih reaktif, seperti ditunjukkan oleh meningkatnya kemampuan

untuk mengurangi tetrazoleum nitroblue (NBT). Tes darah NBT dapat

digunakan secara klinis untuk membedakan sepsis bakteri dari demam

lainnya (yaitu dari penyakit usus lokal, infeksi virus, infeksi plasmodium

atau demam tidak disebabkan oleh kuman penyakit)5.

Demam tifoid dikaitkan dengan tes darah NBT negatif palsu,

menunjukkan respon yang nyata mengurangi oksidatif dalam darah pasien

yang terinfeksi dengan S. Typhi. Hal ini menunjukkan bahwa satu TLR-

tergantung host respon dihindari oleh S. Typhi adalah generasi dari sebuah

ledakan oksidatif selama interaksi dengan fagosit5.

Hal ini menunjukkan bahwa S. Typhi harus memiliki diperoleh

faktor tambahan yang memodulasi respon host selama infeksi. Misalnya,

pengurangan tanggapan TLR-dimediasi oleh S. Typhi bisa membantu

menjelaskan kelangkaan infiltrat neutrofil dalam usus, tingkat yang relatif

rendah TNF-α selama bakteremia, dan penghambatan suatu meledak

oksidatif dalam fagosit. Pengurangan TLR signaling dapat mengganggu

induksi sumbu IL-12/IFN-γ, yang mungkin menjadi salah satu mekanisme

S. Typhi menghindarkan kekebalan adaptif dan tetap dalam host5.

Salah satu faktor penentu virulensi yang memungkinkan S. Typhi

untuk memodulasi respon host selama infeksi adalah lokus viaB yang

dikodekan pada pulau Salmonella Patogenisitas 7 (SPI7), yang merupakan

daerah terbesar genomik hadir di S. Typhi. Kehadiran lokus viaB

memungkinkan S. Typhi untuk mengurangi produksi IL-8 pada sel epitel

Page 7: demam tifoid

usus, TNF-α di makrofag dan rekrutmen neutrofil ke mukosa usus in vivo.

Lokus DNA ini mengandung gen yang terlibat dalam regulasi (tviA),

biosintesis (tviBCDE) dan ekspor (vexABCDE) dari S. Typhi 's Virulensi

(Vi) kapsul. Analisis terbaru tentang lokus viaB telah mulai menjelaskan

tentang mekanisme yang S. Typhi menghindarkan aspek dari sistem

kekebalan bawaan5.

IL-8 produksi pada sel epitel usus dapat disebabkan oleh bakteri

flagellin, yang merangsang TLR5, reseptor pengakuan patogen dinyatakan

basolaterally pada monolayers terpolarisasi. Regulator ini TviA, yang

merupakan penggerak dari gen biosintesis operon viaB, adalah represor

gen di luar lokus viaB, termasuk-T3SS 1 dan regulon flagella. Dalam studi

vitro menunjukkan bahwa dalam kondisi osmolaritas tinggi, ekspresi

TviA, dan karenanya dari kapsul Vi, yang ditekan, sedangkan-T3SS 1 dan

flagela muncul. Dalam kondisi dari osmolaritas rendah, TviA

diekspresikan, sehingga dalam ekspresi dari kapsul Vi dan represi dari-

T3SS 1 serta regulon flagella. Karena lingkungan osmolaritas tinggi

meniru lumen usus, dan lingkungan osmolaritas rendah meniru konsentrasi

garam dalam darah atau jaringan, sebuah penjelasan yang masuk akal

adalah bahwa S. Typhi mengungkapkan flagela dan T3SS-1 di dalam

lumen usus, untuk mencapai kolonisasi maksimal. Namun, setelah dalam

lamina propria, S. Typhi mengaktifkan ekspresi dari lokus viaB (termasuk

regulator TviA) dan down-mengatur ekspresi flagela untuk menghindari

pengakuan TLR. TviA merepresi ekspresi dan sekresi FliC, ligan untuk

TLR5, yang menghasilkan penurunan sekresi IL-8 oleh sel epitel usus.

Dengan demikian, represi TviA-dimediasi flagellin menjelaskan

kecenderungan rendahnya S. Typhi untuk memperoleh IL-8 ekspresi pada

sel epitel usus5.

Page 8: demam tifoid

IV. Manifestasi Klinis

Permulaan bakteremia ditandai dengan demam dan malaise. Tiga

tahap klasik penyakit yaitu prodormal, toksik, penurunan suhu badan

sampai yg normal merupakan tahap yang lebih pendek pada anak – anak.

Pasien biasanya hadir ke rumah sakit menjelang akhir minggu pertama

dengan gejala demam, influenza seperti gejala dengan menggigil, nyeri

kepala, malaise, anoreksia, mual, abdominal discomfort, batuk kering dan

myalgia dengan sedikit tanda – tanda fisik. Awalnya demam derajat

rendah tetapi meningkat secara progresif dan pada minggu kedua demam

sering tinggi (390-400C) dan bertahan4.

Seiring dengan gejala demam gastrointestinal seperti muntah, sakit

perut, gerakan melemah merupakan hal yang sering terjadi pada anak-anak

dengan demam tifoid. Kejang dapat terjadi pada anak di bawah lima tahun.

Pasien mungkin dapat mucul tanda – tanda dari pneumonia atau

meningitis4.

Beberapa rose spot muncul kurang dari 50% kasus dan beberapa

dilaporkan dalam 5-30,% kasus. Rose spot biasanya muncul pada perut

dan dada dan jarang di punggung, lengan dan kaki. Lidah kotor, nyeri

perut dan hepatosplenomegali adalah sering muncul. Hepatosplenomegali

merupakan tanda fisik yang paling umum yang diamati pada anak dengan

demam tifoid yang kemudian diikuti oleh nyeri perut. Studi lain demam

tifoid pada anak-anak menunjukkan hepatomegali pada 85,3% dan

splenomegali di 27,5% kasus. Dalam beberapa studi di Bangladesh

menunjukkan bahwa hati teraba 58% kasus dan limpa teraba pada 33%

kasus dan hepatosplenomegali ditemukan pada 44,1% kasus. Perut

distensi, lidah kotor merupakan temuan umum pada studi di Bangladesh4.

V. Diagnosis

Tidak adanya tanda atau gejala yang khusus membuat diagnosis

klinis demam tifoid sulit ditegakkan. Di daerah-daerah endemik, demam

Page 9: demam tifoid

tanpa sebab yang jelas dan berlangsung lebih dari satu minggu harus

dipertimbangkan sebagai demam tifoid sampai terbukti sebaliknya6.

Bahkan dalam kondisi terbaik, organisme tidak dapat diisolasi dari

darah, terutama setelah pengobatan antimikroba dimulai. Metode

sederhana untuk diagnosis demam tifoid akan sangat bermanfaat, terutama

di negara-negara berkembang di mana penyakit ini endemik. Tes serologi

terhadap antibodi telah diusulkan sebagai pemeriksaan alternatif yang

cepat dan mudah untuk diagnosis demam tifoid7.

Dalam suatu studi parameter klinis disebutkan adanya suatu

penanda yang berguna untuk diagnosis demam tifoid pada anak, dimana

ditemukan demam yang berkepanjangan dan adanya hepatosplenomegali

serta lympho-adenopati. Tatli et al. juga melaporkan gejala umum yang

sama, yaitu demam tinggi dengan sakit kepala, mialgia dan anoreksia.

Studi lain melaporkan bahwa 75% dari pasien mengalami hepatomegali

dan 54% dari pasien mengalami splenomegali. Gejala gastrointestinal,

seperti nyeri perut, diare, mual dan muntah, adalah manifestasi umum

kedua pada demam tifoid. Eosinopenia juga menjadi penanda umum dan

berguna untuk diagnosis demam tifoid pada anak dengan demam yang

berkepanjangan dan hepatosplenomegali7.

Ada beberapa penyebab dari demam berkepanjangan di daerah

endemik tifoid, sehingga diagnosis klinis demam tifoid sulit ditegakkan

dan tes laboratorium perlu dilakukan. Isolasi S. Typhi dari sumsum darah

atau tulang merupakan pemeriksaan penunjang diagnostik demam tifoid.

Kultur tinja juga penting untuk mengetahui penyebaran S. Typhi dan juga

dapat membantu diagnosis. Serologi juga diperlukan namun memiliki

sensitivitas dan spesifisitas yang rendah8.

Berbagai pemeriksaan yang dapat dilakukan untuk membantu

diagnosis demam tifoid meliputi8:

Page 10: demam tifoid

1. Pemeriksaan hitung jenis darah.

Menunjukkan leukopenia dan neutropenia pada 50% pasien8.

2. Kultur darah .

Kultur darah merupakan metode diagnostik standar.

Menunjukkan hasil positif pada 60-80% pasien. Sensitivitas kultur

darah lebih tinggi pada minggu pertama sakit, berkurang dengan

penggunaan antibiotik, dan meningkat dengan banyaknya volume

darah kultur serta rasio darah dan kaldu8.

Kultur organisme penyebab tetap menjadi prosedur diagnostik

yang paling efektif dalam mendiagnosis dugaan demam tifoid.

Penelitian menunjukkan bahwa 10% suspensi empedu sapi adalah

media terbaik untuk kultur darah. Media ini tidak hanya memiliki

keuntungan dengan menghambat pertumbuhan kontaminan kulit,

tetapi juga menghambat pertumbuhan bakteri paling patogen dari

aliran darah lain sehingga tidak dapat digunakan sebagai tes

diagnostik rutin untuk bakteremia9.

Di banyak laboratorium diagnostik, media kultur darah, atau

sering disebut botol untuk media kultur darah, mungkin tidak

tersedia. Pemeriksaan langsung dari buffy coat telah digunakan

untuk deteksi bakteri dalam darah tetapi dilaporkan memiliki nilai

yang kecil karena kesalahan tergantung operator. Kultur langsung

dan sentrifugasi darah, bagaimanapun, telah sangat sukses. Kultur

langsung dengan buffy coat, yang sebelumnya terbukti

mengandung hampir semua S. Typhi yang ditemukan dalam darah,

karena itu harus dipikirkan kemungkinan isolasi S. Typhi tanpa

perlu menggunakan media kultur darah atau botol9.

3. Kultur sumsum tulang

Page 11: demam tifoid

Kultur sumsum tulang merupakan metode yang paling sensitif

dalam mengisolasi S.typhi. Menunjukkan hasil positif pada 80-85%

pasien bahkan pada pasien yang telah mendapat terapi antibiotik

dalam beberapa hari8.

Isolasi S. Typhi dari aspirasi sumsum tulang, merupakan suatu

prosedur yang sangat invasif, tetapi dianggap sebagai metode

standar emas untuk diagnosis demam tifoid dan dilaporkan lebih

sensitif dibandingkan kultur darah oleh sebagian besar, tetapi tidak

semua , peneliti. Para peneliti telah menghitung jumlah bakteri

dalam darah dan sumsum tulang dan menemukan bahwa pada

isolasi S. Typhi dari sumsum tulang ditemukan jumlah bakteri yang

lebih besar, dimana sepuluh kali lipat lebih banyak per volume

sumsum tulang daripada per volume darah. Namun, jika cukup

dengan kultur darah memungkinkan peningkatan sensitivitas kultur

darah daripada kultur sumsum tulang, maka aspirasi sumsum

tulang dapat dihindari9.

4. Kultur feses

Kultur feses positif hanya ditemukan pada 30% pasien.

Sensitifitas tergantung pada jumlah kultur tinja dan hasil positif

akan meningkat bersamaan dengan durasi penyakit8.

Pada kultur tinja, media pengayaan yang mengandung Selenite

telah terbukti lebih efektif daripada media pengayaan lainnya.

Selenite dengan manitol (M Selenite) telah direkomendasikan

tetapi belum ada perbedaan yang signifikan dengan Selenite yang

mengandung kaldu. Media Selenite F merupakan standar emas

untuk isolasi Salmonella dari tinja, untuk perbandingan Selenite F

dan Selenite dengan manitol perlu dilakukan pertimbangan lebih

lanjut sebelum digunakan9.

5. Uji Widal

Page 12: demam tifoid

Peran uji Widal masih kontroversial. Karena sensitivitas,

spesifisitas, dan nilai-nilai prediktif dari tes ini bervariasi antar

wilayah geografis. Tes ini mendeteksi adanya antibodi aglutinin

terhadap antigen O dan H dari S.typhi. Didapatkan kenaikan empat

kali lipat dari titer serum tetapi kegunaan klinis diragukan. Pasien

demam tifoid bisa saja tidak menunjukkan respon antibodi atau

tidak ditemukan kenaikan titer antibodi. Meskipun demikian,

beberapa pusat penelitian menemukan bahwa uji Widal sangat

membantu bila digunakan dengan cara menentukan cutoff points

secara lokal6. Namun dalam berbagai persentase kasus demam

tifoid ditemukan bahwa tes Widal tidak mendeteksi antibodi

bahkan dalam kasus-kasus yang dikonfirmasi dengan kultur

darah10.

A Vi aglutinasi telah digunakan untuk mendeteksi S.typhi

pembawa/carier. Ia memiliki sensitivitas 70-80%, dengan

spesifisitas sebesar 80-95%8. Tes serologis sedang dikembangkan

tetapi belum didapatkan data yang cukup baik untuk memastikan

tes ini diadopsi secara luas6.

6. M odifikasi Uji Widal .

Prinsip dari tes ini adalah bahwa kenaikan antibodi terhadap

antigen O sebagian besar didominasi oleh IgM. Hal ini dikarenakan

adanya infeksi yang baru terjadi dan inaktivasi oleh 2 -

mercaptoethanol. Di sisi lain, respon terhadap antigen H adalah

campuran antara IgM dan IgG, dimana IgM diinaktivasi sehingga

menimbulkan penurunan titer IgM. Dengan menonaktifkan

antibodi IgM dalam uji Widal yang dimodifikasi, aglutinasi hanya

membawa IgG khusus, sedangkan pada tes konvensional

didapatkan IgG dan IgM spesifik. Perbedaan titer menunjukkan

antibodi IgM khusus, yang menandakan adanya infeksi baru8.

Page 13: demam tifoid

7. DNA probe dan polymerase chain reaction (PCR).

DNA probe dan PCR telah dikembangkan untuk mendeteksi

S.typhi langsung dalam darah8. Metode ini belum banyak

digunakan di daerah-daerah di mana demam tifoid sering terjadi6.

VI. Pemeriksaan Penunjang

1. Pemeriksaan darah tepi

Walaupun pada pemeriksaan darah perifer lengkap sering

ditemukan leukopenia, dapat pula terjadi kadar leukosit normal atau

leukositosis. Leukositosis dapat terjadi walaupun tanpa disertai infeksi

sekunder. Selain itu dapat pula ditemukan anemia ringan dan

trombositopenia. Pada pemeriksaan hitung jenis leukosit dapat terjadi

aneosinofilia maupun limfopenia. Laju endap darah pada demam tifoid

dapat meningkat. SGOT dan SGPT seringkali meningkat, tetapi akan

kembali menjadi normal setelah sembuh. Kenaikan SGOT dan SGPT

tidak memerlukan penanganan khusus.2

2. Uji Widal

Uji Widal dilakukan untuk deteksi antibodi terhadap kuman S. tyhi.

Pada uji Widal terjadi suatu reaksi aglutinasi antara antigen kuman S.

typhi dengan antibodi yang disebut aglutinin. Antigen yang digunakan

pada uji Widal adalah suspensi Salmonella yang sudah dimatikan dan

diolah di laboratorium. Maksud uji Widal adalah untuk menentukan

adanya aglutinin dalam serum penderita tersangka demam tifoid yaitu:

a). Aglutinin 0 (dari tubuh kuman), b). Aglutinin H (flagela kuman),

dan c). Aglutinin Vi (simpai kuman). Dari ketiga aglutinin tersebut

hanya aglutinin 0 dan H yang digunakan untuk diagnosis demam tifoid.

Semakin tinggi titernya semakin besar kemungkinan terinteksi kuman

ini11.

Page 14: demam tifoid

Pembentukan aglutinin mulai terjadi pada akhir minggu pertama

demam, kemudian meningkat secara cepat dan mencapai puncak pada

minggu ke-empat, dan tetap tinggi selama beberapa minggu. Pada fase

akut mula-mula timbul aglutinin 0, kemudian diikuti dengan aglutinin

H. Pada orang yang telah sembuh aglutinin 0 masih tetap dijumpai

setelah 4-6 bulan, sedangkan aglutinin H menetap Iebih lama antara 9-

12 bulan. Oleh karena itu uji Widal bukan untuk menentukan

kesembuhan penyakit12.

Ada beberapa faktor yang mempengaruhi uji Widal yaitu: 1).

Pengobatan dini dengan antibiotik, 2). Gangguan pembentukan

antibodi, dan pemberian kortikosteroid, 3). Waktu pengambilan darah,

4). Daerah endemik atau non-endemik, 5). Riwayat vaksinasi , 6).

Reaksi anamnestik, yaitu peningkatan titer aglutinin pada infeksi bukan

demam tifoid akibat infeksi demam tifoid masa lalu atau vaksinasi, 7).

Faktor teknik pemeriksaan antar laboratorium, akibat aglutinasi silang,

dan strain Salmonella yang digunakan untuk suspensi antigen.2

3. ELISA

Diagnosis demam tifus bergantung pada isolasi Salmonella

enterica subsp. enterica serotype Typhi dari sampel klinis atau dari

deteksi dari naiknya serum antibodi untuk menyerang serotipe typhi,

yakni antigen O (LPS/ lipopolisakarida) atau H (flagellum) (tes Widal).

Pada penelitian yang dilakukan di Vietnam sekitar tahun 1998, dimana

saat itu Tifus menjadi suatu endemi, diketahui bahwa respon antibode

terhadap adanya kedua antigen tersebut sangat bervariasi pada tiap

individu yang terinfeksi. Dan lagi terjadi peningkatan titer antibodi

pada sebagian nesar serum sampel dari individu yang sehat dari

komunitas tersebut. Inilah peran penting dari In-house enzyme-linked

immunosorbent assays (ELISA) untuk mendeteksi kelas-kelas spesifik

dari anti-LPS dan antiflagellum antibodi dan dibandingkan dengan tes

Page 15: demam tifoid

dasar lain untuk mendiagnosis demam tifus (Widal TO dan TH, anti-

serotype Typhi immunoglobulin M [IgM] dipstick, dan IDeaL

TUBEX)13.

4. Kultur Darah

Hasil biakan darah memiliki sensitivitas 73%-97%.(Brush,2010)

Hasil biakan darah yang positif memastikan demam tifoid, akan tetapi

basil negatif tidak menyingkirkan demam tifoid, karena mungkin

disebabkan beberapa hal sebagai berikut : 2

1). Telah mendapat terapi antibiotik. Bila pasien sebelum dilakukan

kultur darah telah mendapat antibiotik, pertumbuhan kuman dalam

media biakan terhambat dan basil mungkin negatif;

2). Volume darah yang kurang (diperlukan kurang lebih 5 cc darah).

Bila darah yang dibiak terlalu sedikit basil biakan bisa negatif. Darah

yang diambil sebaiknya secara bedside langsung dimasukkan ke dalam

media cair empedu (oxgall) untuk pertumbuhan kuman

3). Riwayat vaksinasi. Vaksmasi di masa lampau menimbulkan antibodi

dalam darah pasien. Antibodi (aglutinin) ini dapat menekan bakteremia

hingga biakan darah dapat negatif;

4). Saat pengambilan darah setelah minggu pertama, pada saat aglutinin

semakin meningkat.

5. Kultur feces

Kultur feces memiliki sensitivitas kurang dari 50% dan kultur urine

juga kurang sensitive. Salmonella typhii juga dapat diisolasi dari LCS,

cairan peritoneal, limfonodus mesentericus, reseksi

usus,faring,tonsil,abses,dll13.

Page 16: demam tifoid

VII. Terapi

1. Perawatan medis

Jika seorang pasien menunjukkan gejala menyerupai demam tifoid

yang tidak dapat dijelaskan penyebabnya dalam waktu 60 hari setelah

kembali dari daerah endemik demam tifoid (demam enterik) atau

setelah mengkonsumsi makanan yang dipersiapkan oleh seseorang yang

terinfeksi demam tifoid, maka penggunaan antibiotika empirik

spektrum luas harus segera dimulai. Pengobatan tidak boleh ditunda

untuk uji konfirmatori sejak ditemukan bahwa pengobatan yang tepat

secara drastis mengurangi risiko komplikasi dan kematian. Terapi

antibiotik harus dipersempit sekali lagi dari informasi yang tersedia14.

Pasien dengan penyakit tanpa komplikasi dapat diobati secara

rawat jalan. Mereka harus disarankan untuk menerapkan teknik

mencuci tangan yang ketat dan menghindari menyiapkan makanan

untuk orang lain selama sakit. Pasien harus ditempatkan dalam ruang

isolasi selama fase akut infeksi. Tinja dan urin harus dibuang secara

aman14.

Pada tahun 1948 kloramfenikol menjadi standar antibiotik untuk

pengobatan demam tifoid. Dalam beberapa tahun terakhir, munculnya

resistensi terhadap kloramfenikol dan agen-agen antimikroba lain telah

mengalami kemunduran besar8.

Pada 1990-an, S.typhi mengembangkan resistansi secara

bersamaan untuk semua obat yang terdapat pada pengobatan lini

pertama. Sekarang fluoroquinolones adalah obat yang paling efektif

untuk pengobatan demam tifoid. Panas berkurang dalam waktu rata-rata

kurang dari 4 hari, dan angka kesembuhan melebihi 96%. Kurang dari

2% dari pasien yang dirawat telah mengalami penyakit persisten atau

relaps. Fluoroquinolones harus digunakan pada dosis semaksimal

mungkin dalam waktu minimal 10-14 hari. Ofloksasin telah terbukti

efektif dalam kasus-kasus resisten kloramfenikol yang dibuktikan

dengan pemeriksaan kultur sumsum tulang8.

Page 17: demam tifoid

Fluoroquinolones telah digunakan pada anak-anak. Ada bukti

penggunaan jangka panjang fluoroquinolones pada anak dengan cystic

fibrosis dan penggunaan jangka pendek fluoroquinolones untuk

pengobatan demam tifoid. Belum ada bukti adanya tendon pecah, efek

toksik pada tulang atau sendi, atau dalam pemeriksaan jangka panjang,

gangguan pertumbuhan tidak bisa benar-benar dikesampingkan8.

Sefalosporin generasi ketiga (Ceftriaxone, cefixime, cefotaxime,

dan cefoperazone) dan macrolides seperti azitromisin juga efektif untuk

pengobatan tifus. Dengan penggunaan seftriakson dan sefiksim,

penurunan demam terjadi dalam waktu rata-rata satu minggu dan

tingkat kegagalan pengobatan adalah 5-10%. Tingkat kekambuhan

adalah 3-6%8.

Tingkat penyembuhan 95% dicapai dalam 5-7 hari dengan

pengobatan azitromisin. Demam menghilang dalam 4-6 hari dan tingkat

kekambuhan dan kesembuhan adalah <3%. Aztreonam13 dan

imipenem merupakan obat potensial lini ketiga. Untuk demam tifoid

yang berat, fluoroquinolones parenteral adalah pengobatan pilihan8.

Kloramfenikol, amoksisilin, dan trimethoprimsulfamethoxazole

tetap digunakan untuk pengobatan demam tifoid di daerah-daerah di

dunia di mana bakteri penyebab demam tifoid masih sepenuhnya rentan

terhadap obat-obatan ini dan di mana fluoroquinolones tidak tersedia

atau tidak terjangkau. Obat-obat ini dapat menghilangkan gejala,

dengan penurunan suhu badan sampai yg normal biasanya terjadi dalam

waktu 5-7 hari;Namun, mungkin diperlukan pengobatan sampai 2-3

minggu. Meskipun, angka kesembuhan adalah 95%, tingkat relaps

adalah 1-7%8.

Page 18: demam tifoid

2. Perawatan bedah

Pembedahan biasanya ditunjukkan dalam kasus-kasus perforasi usus.

Kebanyakan ahli bedah lebih suka penutupan perforasi sederhana dengan

drainase peritoneum. Reseksi usus kecil diindikasikan untuk pasien

dengan perforasi ganda8.

Jika perawatan antibiotik gagal untuk membasmi hepatobiliary,

kandung empedu harus direseksi. Kolesistektomi tidak selalu berhasil

dalam pemberantasan carrier karena infeksi hati yang persisten8.

Page 19: demam tifoid

3. Konsultasi

Penyakit ini seharusnya dikonsultasikan kepada spesialis penyakit

infeksi. Konsultasi dengan dokter bedah diindikasikan pada dugaan

perforasi gastrointestinal, perdarahan gastrointestinal yang serius,

kolesistitis, atau komplikasi ekstraintestinal (arteritis, endokarditis, abses

organ)8.

4. Diet

Cairan dan elektrolit harus dimonitor dan diganti dengan rutin. Nutrisi

oral dengan diet lunak akan dicerna lebih baik tanpa adanya distensi

perut atau ileus8.

5. Aktivitas

Tidak ada batasan khusus untuk aktivitas yang dilakukan pada pasien

dengan demam tifoid. Seperti kebanyakan penyakit sistemik, istirahat

sangat membantu. Pasien harus diedukasi untuk tinggal di rumah dan

tidak bekerja sampai pemulihan8.

VIII. Diferensial Diagnosis

Tifoid harus dibedakan dari penyakit demam akut dan subakut yang

endemik lainnya. Penyakit-penyakit yang harus dipertimbangkan sebagai

diagnosis banding demam tifoid antara lain sebagai berikut :6

1. malaria,

2. abses dalam,

3. tuberkulosis,

4. abses hati amebic,

5. ensefalitis,

6. influenza,

7. demam berdarah,

8. leptospirosis,

9. infeksi mononucleosis,

10. endokarditis,

Page 20: demam tifoid

11. brucellosis,

12. tipus,

13. visceral leishmaniasis,

14. toksoplasmosis,

15. penyakit lymphoproliferative, dan

16. penyakit jaringan ikat6

Berdasarkan etiologinya, penyakit-penyakit tersebut dapat

diklasifikasikan sebagai berikut :8

1. Infeksi virus : infectious mononucleosis, ensefalitis, influenza, demam

berdarah.

2. Infeksi bakteri : Leptospirosis, endokarditis, brucellosis, TBC, ISK.

3. Lain-lain : penyakit jaringan ikat, malaria, abses dalam8.

Untuk pasien di negara-negara di mana tifoid tidak endemik, riwayat

bepergian ke daerah endemik sangat penting ditanyakan. Algoritma klinis

telah dikembangkan tetapi belum divalidasi secara umum6.

IX. Komplikasi

Komplikasi ttifoid fever terjadi pada 10-15 % pada pasien dan lebih

sering terjadi pada pasien yang telah demam lebih dari dua minggu.15

Komplikasi yang penting pada demam tifoid

Abdominal Kardiovaskuler Neuro-psychiatric

Gastrointestinal

Haemorrhage

Gastrointestinal

perforation

Hepatitis

Cholecystitis

Asymptomatic ECG

change

Myocarditis

Shock

Encephalopathy

Delirium

Psychotic states

Meningitis

Page 21: demam tifoid

Pernafasan Hematologi Lain-lain

Bronchitis

Pneumonia

(Salmonella, Staph.

aureus)

Anemia

DIC

Focal Abses

Pharingitis

Abortus

Relaps

Chronic carrier

Komplikasi tersering adalah perdarahan gastrointestinal, terjadi hingga

10 % pada penderita, akibat erosi dari plaks payeri yang nekrotik pada

pembuluh darah enterik. Re-infeksi juga dapat terjadi, dan dapat dibedakan

dengan relapse melalui tipe molekulernya. 16

Penderita Karier

Karier temporer- ekskresi S.typhi pada feces selama tiga bulan. Hal ini

tampak pada 10% pasien konvalesen. Relapse terjadi pada 5-10% pasien

biasanya 2-3 minggu setelah demam mengalami resolusi dan pada isolasi

organisme memiliki bentuk sensivitas yang sama seperti semula17.

Kronik karier

Ekskresi bakteri lebih dari satu tahun. 1-4% pasien menunjukan kronik

karier. Faktor predisposisi menjadi kronik karier adalah jenis kelamin

perempuan, pada kelompok usia dewasa, dan cholelithiasis. Pasien dengan

traktus urinarius yang abnormal, seperti schistosomiasis, mungkin

memgeluarkan bakteri pada urinya dalam waktu yang lama17.

Page 22: demam tifoid

Dewasa dan anak-anak dengan tifoid yang berat yang ditandai dengan

delirium, obtundation, stupor,koma,atau shock memiliki keuntungan dengan

penggunaan deksametason pada terapi. Dosis awal deksametason adalah

3mg/kg pelan IV diikuti dengan 1 mg/kg setiap enam jam penambahan

dosis mengurangi mortalitas yang signifikan18.

Pasien dengan perforasi gastrointestinal memerlukan resusitasi dengan

air, darah, dan oksigen yang sesuai, diikuti terapi dari bedah. Macam-

macam operasi dengan reseksi adalah : reseksi usus dan anastomosis

primer, atau primary wedge resection, debridemen ulkus, dan penutupan.

Mortalitas setelsah bedah bervariasi antara 10-32%19.

Relapse harus diterapi sama seperti sebagaimana awal infeksi tifoid.

Mayoritas karier intestinal dapat diterapi dengan antibiotik yang lebih

lama20.

Carier tanpa

batu empedu

Terapi Dosis harian

(mg/Kg)

Lama

Ampicillin atau

Amoxicillin +

Probenecid

100

30

3 bulan

Trimethoprim-

Sulfamethoxazole

2 tab dua kali 3 bulan

Ciprofloksacin 750 mg dua

kali

28 hari

Carier dengan

batu empedu

Antibiotics +

Cholecystectomy

Laporan dua kasus oleh Ferdinando dan Salvatore di Italia terdapat

pankreatitis akibat komplikasi sekunder tifoid, demam tifoid selama enzime

amilase diperiksa, dan harus dipikirkan akan non-alkoholik dan non-litiasis

pankreas21.

Page 23: demam tifoid

X. Prognosis

Terapi antibiotik yang tepat adalah hal yang sangat penting dalam

menyembuhkan pasien demam tifoid dengan komplikasi minimal.

Pemilihan obat dan durasi terapi tergantung pada beberapa faktor misal

berat ringan dari penyakit, kondisi pasien, dan resistensi obat, begitu juga

pengalaman dokter dan sarana yang mendukung22.

XI. Pencegahan

Penularan demam tifoid melalui makanan dan air yang terkontaminasi

bakteri. Untuk menurunkan insidensi demam tifoid, harus diidentifikasi

kuman penyebab, meningkatkan kesehatan umum,personal dan

memperbaiki hygine serta pendidikan kesehatan terhadap masyarakat23.

Hal yang dapat dilakukan dalam meningkatkan kesehatan umum adalah 24:

- Sanitasi lingkungan

- Penyediaan sumber air yang bersih

- Meningkatkan pengamanan bahan pangan agar terhindar dari

kontaminasi bakteri.

Vaksinasi

Rekomendasi WHO untuk vaksin tifoid dianjurkan untuk daerah

dengan insidensi tinggi, resissten terhadap antibiotik yang ada. Insidensi

tertinggi terdapat pada kelompok pra sekolah Setiap negara demikian

dianjurkan melakukan vaksinasi untuk menekan dan mengontrol

endemisitas25.

Ada tiga tipe vaksin tifoid saat ini yang bisa dipakai : 25

1. Heat-killed, phenol extracted typhoid vaccine. Diberikan dosis 0,5 ml

injeksi subcutan, dua dosis 2-4 minggu terpisah dan booster

diperlukan setiap tiga ahun.

Page 24: demam tifoid

2. Live oral vaccine (Ty21A). Strain ini menimbulkan respon imun

protektif. Vaksin diberikan satu kapsul pada hari 1, 3, 5, dan 7

diberikan cocok untuk dewasa dan anak lebih dari 6 tahun. Booster

diperlukan setiap 5 tahun. Pada beberapa penelitian vaksin ini

memeberikan proteksi sebesar 65-95 %.

3. Purified Vi Polysaccharide vaccine, diberikan secara intra muscular

pada anak lebih dari 2 tahun. Proteksi ini sebesar 64-72% selama dua

minggu pemberian dan bertahan selama 2 tahun.

IDAI telah memasukan vaksin tifoid polisakarida pada program

imunisasi 2010, diberikan pada anak usia lebih dari dua tahun, dua kali

dengan interval 6-12 bulan25.

Daftar Pustaka

1. Balentine, Jerry. 2011. Typhoid Fever. Typhoid Fever Causes, Symptoms,

Treatment and Vaccine.

http://www.medicinenet.com/typhoid_fever/article.htm

2. Aulia D, Widiyanto T. Demam Tifoid. Exomed Indonesia. 2010

http://www.medical-journal.co.cc/2010/03/demam-tifoid_04.html

Page 25: demam tifoid

3. Badrijah M. Tifus Abdominalis. 2010.

http://adulgopar.files.wordpress.com/2009/12/demam-tifoid.pdf

4. Manuela R, R Paul W, Sebastian EW, Andreas JB. 2008.Clinical

Pathogenesis of Typhoid Fever. J Infect Developing Countries. 2008 ; (4) :

260-266

5. Rahman A, et al. 2010. Typhoid Fever in Children-An Update (Review

Articles). J Dhaka Med Coll. 2010; 19(2) : 135-143

6. Christopher M, et al. 2002. Typhoid Fever. N Engl J Med 2002; 347:1770-

1782

7. Maripaandi A, Ali AA. 2010. Case-Report. Typhoid Fever with Severe

Abdominal Pain : Diagnosis and Clinical Findings using Abdomen

Ulsanogram, Hematology-Cell Analysis and the Widal Test. J Infect Dev

Countries. 2010; 4 (9) : 593-596

8. Agarwal, PK, Atul G, RK Gupta, 2004. Lecture Note Tyfoid Fever. JIAM

2004; 5 (1) : 60-4

9. John W, et al. 2008. Specimens and Culture Media for the Laboratory

Diagnosis of Typhoid Fever. J Infect Developing Countries. 2008; 2(6): 469-

474

10. Salih H, et al. 2008. Evaluation of False Negativity of the Widal Test Among

Culture Proven Typhoid Fever Cases. . J Infect Developing Countries. 2008;

2(6): 475-478

11. Rao S. Widal Test. 2010. Department of Microbiology.

http://www.microrao.com/micronotes/widal.pdf

Page 26: demam tifoid

12. Tupasi TE, Roxanne La, Mendoza MT. 2010. Clinical Aplication of the

Widal Test. Workshop Chair Person and Senior Scientist, Tropical disease

Foundation,Inc.

http://www.psmid.org.ph/vol20/vol20num1topic5.pdf

13. Brush, Jl. Typhoid Fever: Deferential Diagnoses and work Up. 2010.

http://emedicine.medscape.com/article/231135-diagnosis

14. Levine, Morgan M. 2009. Typoid Vaccines Ready for Implementation. N

Engl J Med; 2009. 361 : 403-405

http: //emedicine.medscape.com/article/231135

15. Getenet B, et al. 2008. Typhoid Fever in Ethiopia. J Infect Developing

Countries. 2008; 2(6): 431-437

16. Duncan Steele. 2008. The Importance of Generating Evidance on Typhoid

Fever for Implementing Vacciation Strategies. J Infect Developing Countries.

2008 ; (4) : 250-252

17. Ferdinando R, Salvatore NB. 2007. Typhoid Fever and Acut Pancreatities :

Two Cases (Abstract). Le Infezioni in Medicina, n.1, 63-65. 2007

18. Anil P, et al. 2008. A Patient With Paratyphoid A Fever : An Emerging

Problem in Asia and Not Always a Benign Disease. Journal of Travel

Medicine, vol. 15. Issue 5: 364-365. 2008

19. Mohammad H, Ratnawati. 2008. Enteric Fever in Endemi Areas of

Indonesia : an Increasing Problem of Resistance. J Infect Developing

Countries. 2008; 2(4): 279-282

Page 27: demam tifoid

20. Hellena M, BS Smith. 2008. SPI-7: Sallmonella’s Vi-Encoding Pathogenicity

Island. . J Infect Developing Countries. 2008; 2(4): 267-271

21. Deborah H, et al. 2008. Antibodies to the Vi Capsule of Salmonella Typhi in

Serum of Typhoid Patients and Healty Control Subjects From a Typhoid

Endemic Region. . J Infect Developing Countries. 2008; 2(4): 308-312

22. Tikki Pang. 2008. Typhoid Fever Research in Developing Countries

(Editorial). J Infect Developing Countries. 2008; 2(6): 411

23. Jhon LB, Thomas G, Roberto C. 2010. Typoid Fever (up date)

24. Daigle, France. 2008. Typhi Genes Expressed During Infection or Involved in

Pathogenesis. J Infect Developing Countries. 2008; 2(6): 431-437

25. Moehario, Lucky H. 2009. The Molecular Epidemiology of Salmonella Typhi

Accros Indonesia Reveals Bacterial Migration. J Infect Dev Ctries.2009; 3(8):

579-584

26. Agarwal, PK, Atul G, RK Gupta, 2004. Lecture Note Tyfoid Fever. JIAM

2004; 5 (1) : 60-4

Page 28: demam tifoid

Jurnal Infeksi

DEMAM TIFOID

Oleh :

Isa Akbar B G0004123/ A25-2011

Siti Ngafiyah G0004200/ A7-20011

Alva Sinung A G0005047/ B16-2011

Pratiwi Wulandari G0005154/ B13-2011

Radhiana Purisanti G0005163/ A8-2011

KEPANITERAAN KLINIK

LAB / SMF ILMU KESEHATAN ANAK

FAK. KEDOKTERAN UNS / RSUD DR. MOEWARDI

SURAKARTA

2011

Page 29: demam tifoid