d/e: h e

62

Upload: truongcong

Post on 10-Mar-2019

217 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

BADAN KEBIJAKAN FISKALKEMENTERIAN KEUANGAN RI

TINJAUANEKONOMI,KEUANGAN, & FISKALMenjaga Komitmen Reformasi untuk Pertumbuhan yang BerkelanjutanMenjaga Komitmen Reformasi untuk Pertumbuhan yang Berkelanjutan

EDISI III / AGUSTUS 2016

2 Edisi III / Agustus 2016 | Tinjauan Ekonomi, Keuangan, & Fiskal

Diterbitkan oleh: Badan Kebijakan Fiskal

Pengarah: Kepala Badan Kebijakan Fiskal

Penanggung Jawab: Kepala Pusat Kebijakan Ekonomi Makro

Editor: Yoopi A, Noeroso L. Wahyudi, Syaifullah, Nasruddin D, Wahyu U, Thomas N, Suharto H, Ferry I, Syahrir Ika, Hidayat Amir

Redaktur Pelaksana: Dalyono

Dewan Redaksi: Ahmad Ali Rif’an, Bhayu P, Taufan P, Immanuel B, Indra Budi, Abdul Aziz, Fathul Kamil, Yusuf Munandar, Dwi Anggi

Desain Grafis: Bramantiyo, Rizki Saputri, Johan Zulkarnain, Bagus Handoko

Foto Sampul: Masyitha Mutiara Ramadhan

Sekretariat: Puguh, Fajar, Innes Clara, Dhoni, Adi Triyono

Alamat Redaksi: Gedung R.M. Notohamiprodjo, Jalan Dr. Wahidin Raya Nomor 1 Jakarta 10710

www.fiskal.kemenkeu.go.id

Tinjauan Kebijakan Fiskal diterbitkan oleh Badan Kebijakan Fiskal, Kementerian

Keuangan, dengan periode publikasi dwi-bulanan dan memuat informasi

mengenai perkembangan kebijakan ekonomi, fiskal, dan keuangan terkini.

EDISI III / Agustus 2016

Foto Sampul : Petani di Karawang, Jawa Barat

Edisi III / Agustus 2016 | Tinjauan Ekonomi, Keuangan, & Fiskal 3

Tinjauan

EKONOMI, KEUANGAN, & FISKAL

Edisi III / Agustus 2016

4 Edisi III / Agustus 2016 | Tinjauan Ekonomi, Keuangan, & Fiskal

VISI

“Menjadi unit terpercaya dalam perumusan kebijakan fiskal dan sektor keuangan yang antisipatif dan responsif untuk mewujudkan masyarakat Indonesia sejahtera”

Edisi III / Agustus 2016 | Tinjauan Ekonomi, Keuangan, & Fiskal 5

KATA PENGANTAR

Pada semester pertama 2016, perekonomian global masih belum menunjukkan pemulihan

yang signifikan. Rilis data ekonomi berbagai negara menunjukkan pertumbuhan yang

melambat seperti yang dialami oleh AS, Zona Euro, dan Jepang. IMF juga kembali merevisi

proyeksi pertumbuhan ekonomi global, yakni dari 3,2 persen pada WEO April 2016 menjadi

3,1 persen pada WEO Juli 2016. Di tengah perkembangan ekonomi global yang masih kurang

kondusif tersebut, perekonomian Indonesia pada semester pertama 2016 mampu tumbuh

solid mencapai 5,04 persen. Namun demikian, pemerintah menyadari bahwa terobosan-

terobosan kebijakan masih perlu terus dilakukan untuk mendorong efektivitas reformasi

struktural.

Tinjauan Ekonomi, Keuangan, dan Fiskal Edisi III Tahun 2016 mengambil tajuk Menjaga

Komitmen Reformasi untuk Pertumbuhan yang Berkelanjutan untuk memotret komitmen

pemerintah terhadap reformasi struktural yang sedang dan terus akan berlangsung. Edisi ini

juga menjabarkan arah jangka pendek kebijakan fiskal pemerintah. Adapun pembahasan di

dalamnya mencakup kondisi ekonomi makro dan kinerja fiskal pada semester pertama tahun

2016.

Tinjauan Ekonomi, Keuangan, dan Fiskal merupakan terbitan dwi-bulanan yang menyajikan

data-data dan informasi terkini mengenai ekonomi makro dan kebijakan fiskal. Diharapkan,

materi yang terangkum dalam Tinjauan ini dapat menjadi referensi masyarakat luas dalam

memahami kondisi ekonomi dan kebijakan fiskal terkini. Tinjauan ini juga disusun sebagai

sarana untuk menginformasikan kebijakan fiskal yang telah dihasilkan kepada para pemangku

kepentingan, untuk selanjutnya, menjadikan para pemangku kepentingan tersebut sebagai

pihak yang memberikan quality control terhadap kebijakan yang disusun. Hal tersebut sejalan

dengan visi Badan Kebijakan Fiskal sebagai unit perumus kebijakan fiskal yang terpercaya,

antisipatif, dan responsif.

Ucapan terima kasih kami sampaikan kepada The World Bank-Jakarta dan Government

Partnership Fund-Australian Treasury yang telah mendukung kelancaran terbitnya Tinjauan

ini. Tinjauan Edisi III ini masih mempunyai banyak kekurangan. Untuk itu, kritik dan saran yang

membangun dari para pembaca sangat kami butuhkan untuk perbaikan ke depan.

Selamat membaca.

Agustus 2016

Suahasil Nazara

Kepala Badan Kebijakan Fiskal

6 Edisi III / Agustus 2016 | Tinjauan Ekonomi, Keuangan, & Fiskal

DAFTAR ISI

Kata Pengantar 5

Daftar Isi 6

Daftar Istilah 7

Ringkasan Eksekutif 8

Executive Summary 12

Bagian I: Tinjauan Perkembangan Ekonomi Makro 17

A. Kinerja Ekonomi Global Semester Pertama 2016 Masih Dibayangi Risiko 18

B. Pertumbuhan Ekonomi Indonesia Menguat di Semester Pertama 2016 23

C. Perkembangan Suku Bunga, Inflasi, Nilai Tukar dan Keseimbangan Eksternal 26

D. Stabilitas Perbankan Masih Terjaga 31

E. Kinerja Pasar Modal Indonesia Triwulan Kedua 2016 35

Bagian II: Analisis Kinerja APBN Semester Pertama 2016 39

Menjaga Komitmen Reformasi untuk Pertumbuhan yang Berkelanjutan 40

Lampiran Data Ekonomi Makro dan APBN 57

A. Data Perkembangan Indikator Ekonomi Makro s.d. Juni 2016 58

B. Data Penyerapan APBN s.d. Juni 2016 59

Edisi III / Agustus 2016 | Tinjauan Ekonomi, Keuangan, & Fiskal 7

DAFTAR ISTILAH APBN : Anggaran Pendapatan dan Belanja LPS : Lembaga Penjamin Simpanan

Negara MBR : Masyarakat Berpenghasilan

APBNP : Anggaran Pendapatan dan Belanja Rendah

Negara Perubahan mom : month on month

AS : Amerika Serikat NIM : Net Interest Margin

BBM : Bahan Bakar Minyak NPL : Non Performing Loan

BBRT : Bahan Bakar Rumah Tangga NPWP : Nomor Pokok Wajib Pajak

BKPM : Badan Koordinasi Penanaman

Modal

OECD : Organisation for Economic

Cooperation and Development

BLU LMAN : Badan Layanan Umum Lembaga OJK : Otoritas Jasa Keuangan

Manajemen Aset Negara PBI : Penerima Bantuan Iuran

BoJ : Bank of Japan PDB : Produk Domestik Bruto

BOPO : Beban Operasional terhadap PDN : Pendapatan Dalam Negeri

Pendapatan Operasional PKH : Program Keluarga Harapan

BPJS : Badan Pengelolaan Jaminan Sosial PLN : Perusahaan Listrik Negara

bps : basis points PMA : Penanaman Modal Asing

BPS : Badan Pusat Statistik PMDN : Penanaman Modal Dalam Negeri

Brexit : British Exit PMN : Penyertaan Modal Negara

CAR : Capital Adequacy Ratio PMTB : Pembentukan Modal Tetap Bruto

DAK : Dana Alokasi Khusus PPh : Pajak Penghasilan

DPK : Dana Pihak Ketiga PPN : Pajak Pertambahan Nilai

DPR : Dewan Perwakilan Rakyat PTKP : Penghasilan Tidak Kena Pajak

ECB : European Central Bank qtq : quarter to quarter

FDI : Foreign Direct Investment ROA : Return on Asset

FTA : Free Trade Agreement RUU : Rancangan Undang-Undang

ICP : Indonesian Crude Price SAL : Saldo Anggaran Lebih

IHSG : Indeks Harga Saham Gabungan SBN : Surat Berharga Negara

IMF : International Monetary Fund SDA : Sumber Daya Alam

Iptek : Ilmu Pengetahuan dan Teknologi SDM : Sumber Daya Manusia

K/L : Kementerian/Lembaga SILPA : Sisa Lebih Pembiayaan Anggaran

KEK : Kawasan Ekonomi Khusus SJSN : Sistem Jaminan Sosial Nasional

KI : Kredit Investasi TEPRA : Tim Evaluasi dan Pengawasan

KIP : Kartu Indonesia Pintar Realisasi Anggaran

KIS : Kartu Indonesia Sehat THR : Tunjangan Hari Raya

KK : Kredit Konsumsi TPID : Tim Pemantau Inflasi Daerah

KKKS : Kontraktor Kontrak Kerja Sama UU : Undang-Undang

KMK : Kredit Modal Kerja WEO : World Economic Outlook

KUMKM : Kredit Usaha Mikro, Kecil, dan yoy : year on year

Menengah ytd : year to date

KUR : Kredit Usaha Rakyat

8 Edisi III / Agustus 2016 | Tinjauan Ekonomi, Keuangan, & Fiskal

RINGKASAN EKSEKUTIF Pemulihan ekonomi dunia pada tahun 2016 diperkirakan masih belum signifikan. Dalam rilis

WEO Juli 2016, IMF kembali merevisi proyeksi pertumbuhan ekonomi global, yakni dari 3,2

persen menjadi 3,1 persen, tak berubah dari posisi pertumbuhan ekonomi global di tahun

2015. Beberapa risiko yang masih membebani pemulihan ekonomi dunia antara lain adalah

negara maju (AS) yang belum mencapai tingkat full employment, kebijakan rebalancing

ekonomi Tiongkok, kombinasi harga komoditas yang moderat, serta lemahnya permintaan

global yang menciptakan tekanan bagi negara pengekspor komoditas. Pada sisi lain,

divergensi kebijakan moneter negara maju, yakni antara normalisasi kebijakan moneter oleh

Federal Reserve AS serta kebijakan pelonggaran moneter oleh ECB dan BoJ, berpotensi

menciptakan ketidakpastian dan gejolak di pasar keuangan global. Ketidakpastian tersebut

juga ditambah dengan hasil referendum Brexit di mana rakyat Inggris memutuskan untuk

keluar dari Uni Eropa.

Di tengah ketidakpastian global yang juga menekan perdagangan internasional, ekonomi

Indonesia pada semester pertama dapat tumbuh solid mencapai 5,04 persen. Setelah pada

triwulan pertama ekonomi Indonesia tercatat tumbuh 4,91 persen, pertumbuhan ekonomi

Indonesia pada triwulan kedua dapat mencapai 5,18 persen, didukung dengan penguatan

pada sisi konsumsi dan stabilnya pertumbuhan investasi. Selain penguatan dari sisi konsumsi

dan investasi, konsumsi pemerintah juga mampu tumbuh secara signifikan didorong oleh

realisasi belanja negara yang secara konsisten meningkat. Adapun ekspor dan impor masih

tertekan oleh belum pulihnya kondisi ekonomi global dan rendahnya harga komoditas.

Secara sektoral, konstruksi mengalami pertumbuhan yang signifikan karena adanya kenaikan

belanja pemerintah. Hal ini sekaligus mengonfirmasi pesatnya pembangunan infrastruktur

pada paruh pertama tahun 2016. Sektor lain yang memberikan kontribusi positif adalah

industri pengolahan. Pertumbuhan sektor ini antara lain sebagai dampak positif dari beberapa

kebijakan insentif fiskal yang telah diterapkan pemerintah. Pada sisi lain, sektor

pertambangan masih menunjukkan pelemahan karena belum pulihnya harga komoditas dan

turunnya permintaan global.

Mayoritas pertumbuhan ekonomi Indonesia pada semester pertama 2016 didukung dari

pertumbuhan ekonomi di Pulau Jawa yang lebih banyak mengandalkan sektor industri

pengolahan. Pada sisi lain, wilayah yang memiliki ketergantungan dari perdagangan hasil

kekayaan alam, seperti Papua, Maluku, dan Kalimantan masih menunjukkan perlambatan

karena harga komoditas global yang rendah. Sementara wilayah yang bergantung pada sektor

jasa, seperti Bali dan Nusa Tenggara mengalami pertumbuhan yang positif.

Sementara itu, kinerja indikator ekonomi makro lainnya selama semester pertama 2016

terpantau relatif kuat dan terkendali. Inflasi hingga akhir Juni 2016 terkendali pada tingkat 1,06

persen (ytd) atau 3,45 persen (yoy), didukung oleh perbaikan pada sisi penawaran dan

koordinasi yang baik antara pemerintah, Bank Indonesia, dan TPID dalam menjaga stabilitas

harga. Neraca perdagangan menunjukkan perbaikan dengan defisit ekspor maupun impor

Edisi III / Agustus 2016 | Tinjauan Ekonomi, Keuangan, & Fiskal 9

yang semakin mengecil. Neraca pembayaran juga tercatat membaik dan membukukan

surplus sebesar 2,33 miliar dolar AS yang didukung oleh arus modal finansial. Perbaikan

neraca pembayaran tersebut juga berdampak pada cadangan devisa yang menunjukkan tren

positif. Indikator lainnya, yakni nilai tukar rupiah pada semester pertama mencatat apresiasi

sebesar 2,89 persen dibandingkan semester kedua 2015 menuju rata-rata Rp13.420 per dolar

AS. Di sisi moneter, Bank Indonesia kembali menurunkan suku bunga acuannya sebesar 25

bps menjadi 6,5 persen pada Juni 2016.

Kondisi fundamental makroekonomi yang sehat masih dibayangi oleh potensi perlambatan

pertumbuhan ekonomi global, sehingga mendorong pemerintah, dengan persetujuan DPR,

melakukan perubahan pada APBN 2016. Hal ini bertujuan untuk menciptakan APBN yang lebih

realistis, kredibel dan berkelanjutan dalam merespon dinamika perekonomian global dan

domestik. Perubahan pada APBNP 2016 tersebut meliputi asumsi makro serta postur

anggaran, dengan berbagai penyesuaian yang lebih realistis serta menambahkan dukungan

kebijakan yang lebih komprehensif. Untuk asumsi makro, pertumbuhan ekonomi disepakati

5,2 persen dengan mempertimbangkan kondisi perekonomian global yang masih belum

optimal. Inflasi, disepakati sebesar 4,0 persen karena ketersediaan pasokan bahan kebutuhan

yang lebih stabil, serta jalur distribusi yang lebih baik seiring dengan terselesaikannya proyek-

proyek infrastruktur. Nilai tukar rupiah terhadap dolar AS disepakati sebesar Rp13.500 per

dolar AS. Hal ini dipengaruhi oleh perbaikan ekonomi AS yang diperkirakan akan berjalan

secara gradual, quantitative easing yang masih berlangsung di Jepang dan Kawasan Eropa,

serta rebalancing ekonomi Tiongkok sehingga arus modal ke Indonesia diperkirakan masih

akan tinggi. Dari sisi domestik, stabilitas rupiah didukung oleh persepsi positif terhadap

prospek ekonomi domestik, seiring dengan terus digulirkannya reformasi struktural. Harga

rata-rata minyak mentah Indonesia disepakati sebesar 40,0 dolar AS per barel, atau lebih

rendah dibandingkan dengan yang disepakati dalam APBN 2016. Penurunan asumsi ICP

tersebut dipengaruhi oleh tingkat permintaan yang masih rendah di tengah pasokan minyak

global yang masih melimpah.

Dalam APBNP 2016, postur pendapatan negara dan hibah ditargetkan sebesar Rp1.786,2

triliun, turun dari target APBN 2016 yang sebesar Rp1.822,5 triliun. Penurunan tersebut

terutama bersumber dari menurunnya PNBP sebesar Rp28,8 triliun. Hal ini terjadi karena

masih lemahnya harga minyak mentah dan beberapa harga komoditas global lainnya.

Sementara itu, target penerimaan perpajakan sendiri disepakati sebesar 12,86 persen dari

PDB, turun dari target sebelumnya yang sebesar 13,11 persen dari PDB di tengah penurunan

asumsi pertumbuhan ekonomi dalam APBNP 2016. Salah satu bagian utama dalam APBNP

2016 adalah penerapan kebijakan Amnesti Pajak dalam rangka optimalisasi pendapatan serta

perluasan basis pajak. Kebijakan ini tidak hanya bertujuan untuk meningkatkan pendapatan

negara saja, akan tetapi juga untuk mendorong pertumbuhan ekonomi yang lebih

berkelanjutan melalui deklarasi dan repatriasi aset. Pada tanggal 28 Juni 2016, Pemerintah

dan DPR telah mengesahkan UU Pengampunan Pajak (Amnesti Pajak) yang menandai

dimulainya era baru reformasi perpajakan.

Di sisi belanja, belanja negara dianggarkan sebesar Rp2.082,9 triliun, turun dari sebelumnya

yang sebesar Rp2.095,7 triliun. Belanja pemerintah pusat mengalami penurunan sebesar

10 Edisi III / Agustus 2016 | Tinjauan Ekonomi, Keuangan, & Fiskal

Rp15,9 triliun sementara Transfer ke Daerah dan Dana Desa naik sebesar Rp3,1 triliun. Hal ini

menunjukkan komitmen pemerintah dalam menerapkan kebijakan desentralisasi fiskal dan

mendorong peran pemerintah daerah dalam mendukung pembangunan nasional. Pada sisi

lain, Pemerintah telah berhasil melanjutkan penataan subsidi energi yang lebih baik. Dalam

APBNP 2016, fixed subsidy untuk solar ditetapkan Rp500 per liter, atau lebih rendah

dibandingkan sebelumnya yang mencapai Rp1.000 per liter. Hal ini menegaskan komitmen

pemerintah untuk terus berupaya melakukan penataan ulang mekanisme pemberian subsidi

agar lebih tepat sasaran.

Sementara itu, target defisit dalam APBNP 2016 disepakati sebesar Rp296,7 triliun, atau 2,35

persen dari PDB. Meskipun terdapat pelebaran, pemerintah berkomitmen untuk menjaga

defisit anggaran dalam batas aman (di bawah 3 persen) agar kesehatan dan kesinambungan

fiskal tetap terjaga. Di sisi lain, pemerintah berupaya untuk menutup defisit anggaran melalui

bauran instrumen pembiayaan yang sehat dan terukur, serta memanfaatkan sumber-sumber

yang lebih berkesinambungan baik dari pendanaan bilateral maupun multilateral.

Adapun realisasi penerimaan APBN 2016 hingga semester pertama tercatat melambat

dibanding periode yang sama tahun lalu. Pendapatan negara hingga 30 Juni 2016 tercatat

sebesar Rp518,4 triliun atau lebih rendah dari periode yang sama tahun 2015 sebesar Rp536,1

triliun, turun 3,3 persen (yoy). Beberapa hal yang disinyalir mempengaruhi perlambatan

pendapatan yaitu penurunan harga komoditas, khususnya minyak bumi dan rendahnya

aktivitas ekspor impor akibat perlambatan ekonomi global. Secara keseluruhan, realisasi

penerimaan perpajakan pada 30 Juni 2016 mencapai Rp458,2 triliun atau relatif sama dengan

periode akhir Juni tahun 2015, yaitu Rp458,5 triliun. Untuk mencapai target penerimaan

perpajakan tersebut, pemerintah menerapkan berbagai kebijakan yang saling terintegrasi,

antara lain mempertahankan daya beli dan mendorong konsumsi masyarakat, mendorong

pertumbuhan investasi, mengoptimalkan kebijakan Amnesti Pajak, penggalian potensi sektor

unggulan memanfaatkan program geo-tagging, implementasi e-tax invoice, dan

ekstensifikasi, khususnya Wajib Pajak Orang Pribadi yang belum memiliki NPWP.

Pada sisi lain, upaya perbaikan realisasi belanja negara menunjukan kinerja yang lebih baik

dibandingkan tahun sebelumnya. Hingga 30 Juni 2016, belanja pemerintah pusat yang telah

dicairkan sebesar Rp481,3 triliun atau 36,8 persen dari target. Realisasi belanja pemerintah

tersebut lebih besar dibandingkan pencapaian pada periode yang sama tahun lalu, yakni 31,6

persen. Peningkatan ini seiring dengan terjadinya perbaikan pola belanja yang lebih baik.

Beberapa kebijakan yang berkontribusi pada peningkatan dan perbaikan pola belanja

pemerintah antara lain proses lelang lebih awal dan pre funding, serta pemberian reward and

punishment kepada pemerintah daerah terkait dengan pengelolaan kas. Pemerintah

berkomitmen untuk mempertahankan dan meningkatkan profil realisasi belanja tersebut,

sehingga akan memberikan kontribusi yang positif terutama bagi pertumbuhan ekonomi dan

pelayanan pada masyarakat.

Pada semester pertama 2016, defisit anggaran mencapai 1,83 persen, lebih tinggi dibandingkan

periode sebelumnya sebesar 0,73 persen. Kenaikan ini seiring dengan kebijakan pemerintah

dalam mendorong pembangunan infrastruktur dan program-program produktif lainnya.

Edisi III / Agustus 2016 | Tinjauan Ekonomi, Keuangan, & Fiskal 11

Pemerintah akan tetap berupaya agar kesehatan fiskal tetap terjaga sementara program-

program prioritas juga tetap berjalan dengan baik.

Secara keseluruhan, fundamental makroekonomi Indonesia bisa dikatakan masih sangat baik

meskipun dibayangi berbagai risiko global dan domestik. Adanya potensi risiko tersebut juga

semakin menguatkan perlunya kebutuhan untuk terus membangun pondasi ekonomi yang

lebih solid serta mengembangkan kebijakan-kebijakan yang ‘tidak biasa’. Bagi Indonesia, salah

satu strategi untuk menguatkan ketahanan ekonomi adalah melalui penguatan konsumsi,

serta investasi sebagai sumber pertumbuhan ekonomi yang lebih berkelanjutan, lebih

memberikan nilai tambah, serta mampu mewujudkan perekonomian yang lebih berkualitas

dan merata. Dengan kondisi perekonomian yang penuh dinamika, pengelolaan fiskal

menghadapi tantangan yang cukup berat. Sehingga perlu upaya untuk memitigasi risiko dalam

rangka mengamankan pelaksanaan APBNP 2016 melalui pengendalian defisit dalam batas

yang aman. Upaya tersebut ditempuh melalui optimalisasi pendapatan negara yang selaras

dengan kapasitas perekonomian agar lebih realistis dan kredibel, serta memperkuat kualitas

belanja negara dengan menjaga belanja produktif dan secara simultan melakukan efisiensi

belanja kurang produktif. Upaya berikutnya adalah menjaga keberlanjutan pembiayaan

dengan tetap mengendalikan risiko dalam batas manageable. Pada sisi lain, implementasi

Amnesti Pajak yang merupakan program terobosan untuk menstimulasi pertumbuhan

ekonomi, memperluas basis pajak, serta meningkatkan penerimaan pajak, perlu didukung

pelaksanaannya. Amnesti Pajak diharapkan dapat menjadi awal dari babak baru reformasi

perpajakan, yakni untuk meningkatkan kepatuhan dan menuju sistem perpajakan yang lebih

baik.

12 Edisi III / Agustus 2016 | Tinjauan Ekonomi, Keuangan, & Fiskal

EXECUTIVE SUMMARY

Global economic recovery will continue to be slow in 2016. In the WEO July edition, the IMF

once again revised down global economic growth projections, from 3.2 percent to 3.1

percent. Risks associated with the world economic recovery include advanced countries (like

the US) not yet achieving full employment, China’s economic rebalancing, low commodity

prices, and weak global demand that weigh on commodity exporters. The divergence of

monetary policy stances in advanced economies, that is between monetary normalization by

the US Federal Reserve and the loose monetary policy of the ECB and BoJ, has seen ongoing

uncertainty and volatility in global financial markets. This uncertainty was added to when the

UK referendum resulted in a vote for the UK to leave the European Union (Brexit).

In the midst of global uncertainties and weaker international trade activity, the Indonesian

economy has still achieved economic growth above 5,04 percent in the first half of 2016.

Indonesia has recorded 5,18 persen economic growth in the second quarter 2016, following

4,9 percent growth in the previous quarter. The keydrivers of this achievement was robust

household consumption and stable investment. Government consumption significantly grew

as a result of consistently improving government spending throughout the year. Whilst export

and import have remained weak as the global economy has not yet fully recovered and

commodity prices still low.

The construction sector experienced significant growth through the first half of 2016 driven

by government spending increases and infrastructure development acceleration. The

manufacturing sector also contributed positively to economic growth, partly as a result of

sectorally targeted fiscal incentives provided by government. Conversely, the mining sector

remained weak due to subdued commodity prices and declining global demand.

Indonesia’s economy is still largely supported by Java’s growth as it is the base for Indonesia’s

manufacturing sector. Those regions that are reliant on natural resources, such as Papua,

Maluku, and Kalimantan, recorded slower growth. Regions more dependent on the services

sector, such as Bali and Nusa Tenggara, have grown positively.

Other macroeconomic indicators have been relatively stable through the first half of 2016,

highlighting Indonesia’s macroeconomic credibility. Inflation has been benign at the level of

1.06 percent (ytd) or 3.45 percent (yoy) as at the end of June 2016, supported by supply side

improvements, as well as effective coordination between government, Bank Indonesia, and

TPID. The trade balance has shown Indonesia’s improvement with a narrowing of export and

import deficits. Balance of payment has also been improving with a US$2.33 billion surplus

recorded, backed by strong financial and capital flows. The improvements in the balance of

payment has led to a rising foreign reserves. Furthermore, the rupiah has appreciated in the

first half of 2016 to reach Rp13,420 per US dollar. On the monetary side, in June 2016, Bank

Indonesia has lowered again its interest rate by 25 bps to the level of 6.5 percent.

Edisi III / Agustus 2016 | Tinjauan Ekonomi, Keuangan, & Fiskal 13

Parliament has passed the 2016 revised budget against this challenging global background. The

revision aims to create a more realistic, credible and sustainable budget to respond to global

and domestic challenges. The economic growth agreed in the new macro assumption is 5.2

percent, slightly lower than the initial budget of 5.3 percent. Inflation agreed is 4.0 percent,

lower by 0.7 percentage point than inital budget, along with more stable price management

as well as improving supply side. The exchange rate approved is Rp13,500 per US dollar, from

Rp13,900 per US dollar agreed in the initial budget. On the basis of a more gradual US

economic recovery, quantitaive easing in Japan and Europe, and China’s economic

rebalancing that will encourage capital inflows to Indonesia. Domestically, the stability of the

rupiah wil be supported by positive perceptions of Indonesia economic prospects along with

implementation of the governments structural reform agenda. The ICP now set at US$40.0

per barrel, lower than the initial budget assumption by US$10.0. The lower oil price reflects

globally ongoing excess oil supply.

The target for state revenue and grants in the revised budget is Rp1,786.2 trillion, below the

initial target of Rp1,822.5 trillion. The decline is mainly caused by non tax revenue receipt

forecasts decreasing by Rp28.8 trillion. Furthermore, the tax revenue target agreed is 12.86

percent of GDP, a decline from the initial number of 13.11 percent of GDP, as a result of lower

economic growth assumptions. One of the key features of the 2016 Revised Budget is the

implementation of the Tax Amnesty program which aims to optimize revenue and broaden

the tax base. This policy does not solely intend to increase revenue, but also to boost

sustainable economic growth through asset declaration and repatriation.

On spending, the state expenditure allocation is Rp2,082.9 trillion, lower than the initial

allocation of Rp2,095.7 trillion. Central government spending declines by Rp15,909.6 billion

while Transfer to Regions and Village Fund rises by Rp3,133.7 billion. This marks the

government’s ongoing commitment to implementing fiscal decentralization through

encouraging the local government’s role in national development. Government has continued

its improvement in managing subsidy by reducing fixed subsidy for diesel from Rp1,000 to

Rp500 per litre. This shows the government’s commitment to achieving better targeting of its

subsidy systems.

As a result of these changes in revenue and expenditure, the revised deficit in the revised

budget is Rp296.7 trillion, or 2.35 percent of GDP. Despite being higher than the intial budget,

the government is commited to keeping the fiscal deficit under 3 percent to maintain fiscal

sustainability. Furthermore, the government will make sure to cover the deficit through a

sustainable financing mix of bilateral and multilateral financing services.

Revenue realization in the first half of 2016 has declined compared to the same period last year.

The revenue collection this year (Rp518.4 trillion) was lower than last year by 3.3 percent

(yoy). Factors affecting the revenue slowdown are low commodity prices, especially for oil,

and ongoing weakness trade activity. The taxation revenue until 30 June 2016 reached

Rp458.2 trillion or relatively similar to the same period in 2015 of Rp458.5 trillion. To achieve

the target, government is going to accelerate the implementation integrated policies among

other to maintain purchasing power and consumption, to boost investment growth, to

14 Edisi III / Agustus 2016 | Tinjauan Ekonomi, Keuangan, & Fiskal

optimize tax amnesty, as well as to optimally utilize several program such as geo-tagging, e-

tax invoice, and extensification.

Spending performance in the first half of 2016 was better than previous year. The central

government spending disbursed until 30 June 2016 was Rp481.3 trillion (36.8 percent of the

2016 target). This was higher than previous year’s disbursement of central government

spending (31.6 percent of 2015 target). This improvement can be attributed to policies

supporting spending acceleration such as early procurement, pre-funding, and incentivizing

of regional government’s cash management

In the first half of 2016, the budget deficit reached 1.83 percent of GDP, higher than a year ago

of 0.73 percent. This increase is in line with government policy in pushing forward

infrastructure development and other productive programs. The government will ensure it

maintains Indonesia’s fiscal health while delivering priority programs.

Overall, Indonesia’s macroeconomic fundamentals remain strong with downside global and

domestic risks apparent. These risks have encouraged the necessity of more solid economic

foundation also the need of out of the box policies. The government has shown its

commitment to encouraging growth, optimizing revenue, improving the quality of spending

and ensuring fiscal sustainability

Edisi III / Agustus 2016 | Tinjauan Ekonomi, Keuangan, & Fiskal 15

Halaman ini sengaja dikosongkan

16 Edisi III / Agustus 2016 | Tinjauan Ekonomi, Keuangan, & Fiskal

Edisi III / Agustus 2016 | Tinjauan Ekonomi, Keuangan, & Fiskal 17

BAGIAN I TINJAUAN

PERKEMBANGAN

EKONOMI MAKRO Pemulihan perekonomian global masih diwarnai dengan

ketidakpastian sehingga membuat proyeksi pertumbuhan

ekonomi global untuk tahun 2016 berada di bawah tingkat

ekspektasi sebelumnya. Sementara itu, perekonomian

domestik hingga semester pertama 2016 mencatatkan

sinyalemen perbaikan dengan pertumbuhan ekonomi yang

mampu tumbuh 5,04 persen (yoy). Sementara Inflasi pada

akhir Juni 2016 tercatat sebesar 3,45 persen (yoy), dan

diperkirakan akan terus terkendali dan sejalan dengan

sasaran dan target.

18 Edisi III / Agustus 2016 | Tinjauan Ekonomi, Keuangan, & Fiskal

A. Kinerja Ekonomi Global Semester Pertama 2016

Masih Dibayangi Risiko

Pemulihan ekonomi dunia pada tahun 2016 diperkirakan masih belum signifikan. Dalam rilis

WEO Juli 2016, IMF kembali merevisi proyeksi pertumbuhan ekonomi global, yakni dari 3,2

persen menjadi 3,1 persen, tak berubah dari posisi pertumbuhan ekonomi global di tahun

2015. Sementara itu ekonomi negara maju diperkirakan akan tumbuh 1,8 persen, lebih

rendah dari rilis WEO April 2016 yang sebesar 1,9 persen, dan negara berkembang tumbuh

4,1 persen, tidak bergerak dari proyeksi WEO April 2016.

Grafik 1. Proyeksi Pertumbuhan Ekonomi Dunia (dalam persen, yoy)

Sumber: WEO-IMF, Januari 2014-Juli 2016

Penurunan proyeksi pertumbuhan ekonomi global, terutama di negara maju, didorong oleh

meningkatnya beberapa risiko ekonomi dan keuangan global. Beberapa risiko tersebut antara

lain adalah negara maju yang belum mencapai tingkat pertumbuhan yang sustainable,

kebijakan rebalancing ekonomi Tiongkok, kombinasi harga komoditas yang moderat, serta

lemahnya permintaan global yang menciptakan tekanan bagi negara pengekspor komoditas.

Pada sisi lain, divergensi kebijakan moneter negara maju, yakni normalisasi kebijakan moneter

oleh Federal Reserve AS serta kebijakan pelonggaran moneter oleh ECB dan BoJ berpotensi

menciptakan ketidakpastian dan gejolak di pasar keuangan global. Ketidakpastian tersebut

juga ditambah dengan hasil referendum Brexit di mana negara Inggris memutuskan untuk

keluar dari Uni Eropa.

Secara lebih rinci, proyeksi pertumbuhan ekonomi di beberapa negara maju (AS, Inggris,

Jepang) mengalami revisi dari proyeksi April 2016, sementara proyeksi pertumbuhan di negara

berkembang utama (Tiongkok, India, ASEAN) lebih bervariasi. Pertumbuhan ekonomi AS tahun

2016 diprediksi sebesar 2,2 persen, sementara Zona Euro diprediksi sebesar 1,6 persen, dan

Jepang diprediksi sebesar 0,3 persen. Untuk negara berkembang utama, pada tahun 2016

ekonomi Tiongkok diperkirakan akan tumbuh sebesar 6,6 persen, ekonomi India diperkirakan

tumbuh 7,4 persen, dan ekonomi ASEAN diperkirakan tumbuh 4,8 persen.

3,4

3,1 3,1

3,4

3

3,2

3,4

3,6

3,8

4

4,2

Jan

-14

Feb

-14

Mar

-14

Ap

r-1

4

Mei

-14

Jun

-14

Jul-

14

Agu

-14

Sep

-14

Okt

-14

No

v-1

4

Des

-14

Jan

-15

Feb

-15

Mar

-15

Ap

r-1

5

Mei

-15

Jun

-15

Jul-

15

Agu

-15

Sep

-15

Okt

-15

No

v-1

5

Des

-15

Jan

-16

Feb

-16

Mar

-16

Ap

r-1

6

Mei

-16

Jun

-16

Jul-

16

2014

20152016

2017

Edisi III / Agustus 2016 | Tinjauan Ekonomi, Keuangan, & Fiskal 19

Kinerja pertumbuhan ekonomi AS yang masih berada di bawah ekspektasi membuat IMF

mengoreksi pertumbuhan ekonomi tahun 2016 menjadi 2,2 persen, turun 0,2 persen dari

proyeksi di WEO April. Pada triwulan kedua, ekonomi AS tumbuh sebesar 1,2 persen (yoy),

melambat dibandingkan pertumbuhan pada triwulan pertama sebesar 1,6 persen (yoy). Salah

satu penyebab rendahnya pertumbuhan ekonomi AS pada triwulan kedua adalah masih

melambatnya pengeluaran bisnis terhadap investasi, khususnya di sektor perumahan. Meski

demikian, belanja konsumen AS tercatat mengalami penguatan. Sementara itu, dampak dari

Brexit diproyeksikan tidak begitu signifikan bagi perekonomian AS. Di sisi kebijakan, rencana

normalisasi kebijakan moneter diperkirakan akan berlangsung secara gradual sehingga

diharapkan dapat mengimbangi fenomena penguatan dolar.

Ekonomi di Zona Eropa pada tahun 2016 diprediksi tumbuh hingga 1,6 persen, lebih tinggi

dibandingkan proyeksi pada WEO April yang sebesar 1,5 persen. Hal tersebut didukung oleh

membaiknya data-data ekonomi di Zona Euro pada awal 2016 sebelum adanya referendum

Brexit. Meski melambat dari realisasi pertumbuhan ekonomi triwulan pertama yang sebesar

1,7 persen (yoy), realisasi pertumbuhan ekonomi triwulan kedua Zona Euro yang tercatat

sebesar 1,6 persen (yoy) dinilai masih sejalan dengan proyeksi IMF. Penyebab perlambatan di

triwulan kedua tersebut diprediksi karena faktor temporer seperti konsumsi rumah tangga

yang kembali normal setelah mengalami kenaikan pada triwulan sebelumnya. Konsumsi

disokong oleh perayaan Paskah dan musim dingin. Beberapa kondisi yang mendukung

pertumbuhan ekonomi di Zona Euro hingga saat ini antara lain adalah menurunnya tingkat

pengangguran ke angka terendah sejak Juli 2011 serta ekspansi kebijakan moneter yang

masih terus dilakukan oleh otoritas kawasan tersebut. Namun demikian, Zona Euro harus

mewaspadai kondisi ekonominya pada tahun 2017 seiring dengan efek jangka panjang

referendum Brexit yang diperkirakan akan mulai terefleksi pada pertumbuhan ekonomi tahun

2017. Untuk tahun 2017, IMF merevisi pertumbuhan ekonomi Zona Euro dari 1,6 persen (yoy)

pada WEO April menjadi 1,4 persen pada WEO Juli. Secara jangka pendek, dampak

referendum Brexit telah tercermin dari peningkatan ketidakpastian yang melemahkan

keyakinan konsumen dan pebisnis.

Grafik 2. Pertumbuhan Ekonomi Berbagai Negara

(dalam persen)

Sumber: Bloomberg

-2

0

2

4

6

8

AS Zona Euro Inggris Jepang Tiongkok

2015 Q1 2015 Q2 2015 Q3 2015 Q4 2016 Q1 2016 Q2

20 Edisi III / Agustus 2016 | Tinjauan Ekonomi, Keuangan, & Fiskal

Di antara negara-negara maju di Zona Euro, proyeksi pertumbuhan ekonomi Inggris mengalami

koreksi yang paling dalam. Meski pada awal 2016 realisasi pertumbuhan ekonomi Inggris

tampak lebih kuat, yakni 2,0 persen (yoy) pada triwulan pertama dan 2,2 persen pada triwulan

kedua, tetapi peningkatan ketidakpastian yang terjadi pasca referendum Brexit diperkirakan

akan melemahkan permintaan domestik di Inggris secara signifikan. Depresiasi poundsterling

yang cukup dalam pasca Brexit diperkirakan akan memicu kenaikan inflasi. Selain itu,

terganggunya aktivitas investasi juga dapat memberikan tekanan pada biaya produksi yang

akhirnya berdampak pada daya beli masyarakat. Ekonomi Inggris pada tahun 2016 dan 2017

diproyeksikan akan tumbuh masing-masing sebesar 1,7 persen dan 1,3 persen, turun dari

proyeksi April 2016 yang sebesar 1,9 persen dan 2,2 persen. Pelemahan ekonomi yang lebih

dalam dimungkinkan bisa terjadi sebagai dampak dari hasil referendum Brexit.

Ekonomi Jepang pada triwulan kedua mengalami pelemahan dari periode yang sama pada

tahun sebelumnya dan dari ekspektasi para pelaku pasar keuangan, yakni hanya tumbuh 0,2

persen (annualized rate). Apresiasi yen dalam beberapa bulan belakangan, yang antara lain

dipicu oleh isu Brexit, diperkirakan akan mempengaruhi competitiveness ekspor Jepang

sehingga dapat membebani pertumbuhan ekonomi di 2016. Untuk mendorong

perekonomian, pemerintah meluncurkan paket stimulus pada sektor fiskal dan melakukan

pembelian aset-aset yang bermasalah. Pertumbuhan ekonomi Jepang pada 2016 diperkirakan

sebesar 0,3 persen, turun dibandingkan proyeksi pada WEO April yang sebesar 0,5 persen.

Sementara itu, perekonomian Tiongkok tumbuh 6,7 persen (yoy) pada triwulan pertama dan

kedua tahun 2016, dengan prospek perekonomian jangka pendek yang diprediksi membaik

seiring dengan dukungan kebijakan pemerintah. Kebijakan tersebut di antaranya penurunan

suku bunga pinjaman sebanyak lima kali pada tahun 2015, penerapan ekspansi kebijakan

fiskal, peningkatan belanja infrastruktur, serta percepatan pertumbuhan kredit. Dampak

langsung dari referendum Brexit diperkirakan akan terbatas, mengingat hubungan

perdagangan dan pasar keuangan antara Tiongkok dan Inggris yang tidak begitu signifikan.

Selain itu, otoritas Tiongkok juga siap dalam merespons pengaruh Brexit dan tetap memacu

pertumbuhan ekonomi. Ekonomi Tiongkok pada tahun 2016 diproyeksi tumbuh sebesar 6,6

persen, naik 0,1 persen dari proyeksi April 2016.

Edisi III / Agustus 2016 | Tinjauan Ekonomi, Keuangan, & Fiskal 21

Boks 1:

Brexit dan Potensi Dampaknya Bagi Indonesia

Tanggal 23 Juni 2016 menjadi hari yang bersejarah bagi Inggris terkait keanggotaannya di Uni

Eropa. Setelah dilakukan referendum yang digelar di 382 wilayah dan diikuti oleh 33 juta

warga Inggris atau 72,2 persen dari permilih terdaftar, hasil perhitungan akhir menunjukkan

bahwa kubu exit atau keluar dari Uni Eropa (Brexit) unggul dengan persentase 51,9 persen

dibandingkan kubu remain atau tetap di dalam Uni Eropa (Bremains) sebesar 48,1 persen.

Sebenarnya, referendum serupa pernah digelar pada tahun 1975, dua tahun setelah Inggris

bergabung dengan Uni Eropa, namun hasilnya memutuskan Inggris tetap di Uni Eropa.

Desakan referendum muncul ketika banyak pihak menilai bahwa keanggotaan Inggris di Uni

Eropa tidak banyak memberikan manfaat, bahkan Uni Eropa dianggap membebani Inggris.

Iuran keanggotaan Inggris di Uni Eropa sejumlah 350 juta poundsterling per tahun dinilai

tidak banyak memberikan keuntungan balik kepada Inggris. Uni Eropa juga dianggap

semakin mengontrol kehidupan sehari-hari rakyat Inggris. Selain itu, penerapan salah satu

prinsip Uni Eropa tentang Free Movement telah membuat Inggris kebanjiran imigran yang

berpotensi menimbulkan permasalahan sosial yang baru.

Brexit diperkirakan akan memberikan tekanan kepada Uni Eropa mengingat Inggris

merupakan salah satu negara dengan perekonomian terbesar setelah Jerman di Uni Eropa.

Dilihat dari kontribusi PDB, berdasarkan data CEIC dan Eurostat, pada tahun 2015 Inggris

menyumbang 17,6 persen dari total PDB nominal Uni Eropa. Dari sisi perdagangan, porsi

ekspor Inggris ke Uni Eropa pada tahun 2015 sebesar 47 persen dan porsi impornya sebesar

54,3 persen. Namun, pada sisi lain, banyak pihak juga menilai Inggris akan rugi jika keluar

dari Uni Eropa. Setidaknya, Inggris diprediksi akan kehilangan pendapatan hingga 145 miliar

dolar AS (setara Rp1.906 triliun) dan 1 juta pekerjaan pada tahun 2020 nanti.

Dampak ekonomi dan politik atas keluarnya Inggris dari Uni Eropa, diperkirakan juga akan

dirasakan oleh 27 anggota Uni Eropa lainnya. Dengan keluarnya Inggris dari Uni Eropa, kerja

sama perdagangan semua negara yang melibatkan Inggris harus ditinjau ulang karena

sebelumnya, setiap perjanjian kerja sama perdagangan yang dibuat dengan negara Uni

Eropa tidak dilakukan secara bilateral, namun melalui Uni Eropa. Jika Inggris keluar dari Uni

Eropa, berarti semua perjanjian yang melibatkan Inggris menjadi tidak berlaku. Dampak

lanjutan dari Brexit adalah munculnya harapan kepada negara-negara yang euroskeptics di

seluruh Eropa. Sekretaris Jenderal OECD, Angel Gurria, memperingatkan ada risiko negara

Uni Eropa lainnya akan mengikuti jejak Inggris dan menggagas referendum untuk

meninggalkan Eropa. Hal ini mulai terlihat ketika partai nasionalis di Prancis menyerukan

digelarnya referendum yang sama (Frexit). Belanda, Denmark, Republik Ceko dan Polandia

juga berpotensi membuat referendum terkait keanggotaan mereka di Uni Eropa. Jika hal ini

terjadi, maka eksistensi Uni Eropa dalam jangka panjang bisa terancam.

Brexit diperkirakan akan mendorong kondisi ekonomi global semakin tidak menentu. Sesaat

setelah kubu exit dinyatakan unggul dalam penghitungan, mata uang Inggris mengalami

penurunan hingga 11 persen terhadap dolar AS dan berada di level terendah sejak tahun

1985. Indeks bursa Inggris juga mengalami pelemahan hingga 10 persen. Pasar saham global

terkoreksi negatif termasuk Indonesia. Aliran modal cukup besar masuk ke aset-aset safe

havens antara lain ke komoditas emas dan mata uang yen. Menyusul kejadian tersebut, IMF

dalam WEO edisi Juli 2016, menurunkan angka prediksi pertumbuhan ekonomi global

sebesar 0,1 persen menjadi sebesar 3,1 persen. IMF menilai, Brexit akan mempengaruhi

volatilitas perekonomian global.

22 Edisi III / Agustus 2016 | Tinjauan Ekonomi, Keuangan, & Fiskal

Dampak Brexit bagi Indonesia diperkirakan tidak terlalu besar, tapi tetap perlu diwaspadai.

Transmisi dampak tersebut dapat terjadi melalui jalur pasar keuangan, perdagangan, dan

investasi. Pada pasar keuangan, indeks saham diperkirakan akan mengalami penyesuaian

hingga nantinya kembali ke nilai yang dianggap wajar. Brexit akan lebih banyak

berpengaruh di kawasan Eropa yang berhubungan secara langsung dengan Inggris.

Besarnya pengaruh ke Uni Eropa tersebutlah yang nantinya menimbulkan second round

effect. Namun demikian, potensi pengaruhnya di pasar modal dan pasar uang tersebut

akan bersifat jangka pendek sebab gejolak tersebut lebih digerakkan oleh faktor

sentimen daripada faktor fundamental.

Dari transmisi perdagangan, Brexit kemungkinan tidak akan berpengaruh signifikan

terhadap PDB Indonesia. Neraca perdagangan Indonesia terhadap Inggris selalu surplus,

artinya nilai ekspor Indonesia ke Inggris lebih besar dibandingkan impor Indonesia dari

Inggris. Sampai dengan bulan Mei 2016, neraca perdagangan Indonesia-Inggris masih

mengalami surplus sebesar 159,74 juta dolar AS, dengan nilai ekspor Indonesia ke Inggris

tercatat 364,63 juta dolar AS dan impor sebesar 204,89 juta dolar AS. Saat ini Inggris

berada di urutan keempat bagi Indonesia dalam hal besaran nilai perdagangan dengan

Uni Eropa.

Dari sisi investasi, berdasarkan data BKPM, nilai investasi Inggris di Indonesia sepanjang

triwulan pertama 2016 mencapai 54,87 juta dolar AS dengan penyerapan tenaga kerja

mencapai 6.927 tenaga kerja. Inggris merupakan negara kesepuluh terbesar dalam

jumlah investasi di Indonesia. Nilai investasi Inggris masih di bawah Singapura, Malaysia,

Jepang, dan Belanda. Namun, dibandingkan negara-negara Uni Eropa, investasi Inggris

merupakan kedua terbesar setelah Belanda. Kendati demikian, dilihat dari nilainya,

investasi Inggris juga tidak berpengaruh signifikan terhadap PDB Indonesia.

Pada sisi lain, keluarnya Inggris dari Uni Eropa akan memberikan peluang ekonomi kepada

Indonesia. Brexit berpotensi menimbulkan arus modal keluar dari Inggris dan Uni Eropa,

yang mana dapat memberikan kesempatan positif bagi pasar uang dan FDI di Indonesia.

Selain itu, dengan direstrukturisasinya seluruh perjanjian perdagangan Uni Eropa yang

melibatkan Inggris maka Indonesia dapat mengambil peluang dengan membentuk

bilateral FTA yang lebih menguntungkan dengan Inggris.

Edisi III / Agustus 2016 | Tinjauan Ekonomi, Keuangan, & Fiskal 23

B. Pertumbuhan Ekonomi Indonesia Menguat

di Semester Pertama 2016

Laju pertumbuhan ekonomi Indonesia pada semester pertama 2016 mencapai 5,0 persen,

meningkat dibandingkan dengan periode yang sama tahun sebelumnya yakni sebesar 4,7

persen (tabel 1). Peningkatan pertumbuhan ekonomi pada semester pertama 2016 ditopang

oleh stabilnya pertumbuhan konsumsi rumah tangga dan meningkatkanya konsumsi

pemerintah. Konsumsi rumah tangga tumbuh stabil di tingkat 5,0 persen, didukung dengan

adanya peningkatan aktivitas konsumsi di bulan Ramadan dan hari raya Idul Fitri yang

berlangsung pada semester pertama tahun 2016. Pada saat yang sama, tingkat inflasi dapat

terkendali pada level yang relatif rendah, sehingga turut menjaga daya beli masyarakat.

Sementara itu, pertumbuhan konsumsi pemerintah tumbuh pesat sebesar 4,8 persen

dibandingkan dengan pertumbuhan semester pertama 2015 yang hanya tumbuh sebesar 2,7

persen. Penguatan kinerja konsumsi pemerintah didukung oleh realisasi belanja pemerintah

yang secara konsisten lebih baik dari tahun lalu, termasuk untuk pembangunan infrastruktur.

Komponen PMTB menunjukkan pertumbuhan yang relatif kuat yaitu sebesar 5,3 persen.

Penguatan kinerja PMTB ditopang oleh realisasi proyek infrastruktur yang terus berlangsung,

tercermin dari indikator pertumbuhan kumulatif konsumsi semen dalam negeri pada

semester pertama 2016 yang meningkat dibandingkan dengan pertumbuhan di semester

pertama tahun 2015. Selain itu, kebijakan penurunan suku bunga acuan oleh Bank Indonesia

turut mendukung kinerja investasi melalui penyaluran KMK dan KI yang juga tumbuh positif.

Upaya pemerintah dalam memperbaiki iklim investasi maupun iklim usaha meliputi

penyederhanaan proses perizinan juga memberikan dampak positif bagi kinerja realisasi

investasi langsung, tercermin dari indikator PMDN maupun PMA yang terus menunjukan tren

peningkatan. Peningkatan kinerja realisasi investasi langsung di tahun 2016 juga disertai

dengan kenaikan sebaran investasi di luar Jawa menjadi 45,9 persen dari sebelumnya 44,7

persen (triwulan kedua 2015), yang mengindikasikan pemerataan pembangunan.

Berdasarkan asalnya, negara-negara Asia menduduki posisi lima besar investasi asing yang

masuk ke Indonesia. Menurut besaran persentase dari total PMA, lima negara tersebut adalah

Tabel 1. Pertumbuhan PDB semester pertama 2016 meningkat secara signifikan dibandingkan dengan semester pertama 2015

(persen, yoy)

Komponen Pengeluaran 2015 2016

Q1 Q2 S1 Q3 Q4 S2 Y Q1 Q2 S1

Konsumsi RT dan LNPRT 4,7 4,7 4,7 5,0 5,0 5,0 4,8 5,0 5,1 5,0

Konsumsi Pemerintah 2,9 2,6 2,7 7,1 7,3 7,2 5,4 2,9 6,3 4,8

PMTB 4,6 3,9 4,2 4,8 6,9 5,9 5,1 5,6 5,1 5,3

Ekspor -0,6 0,0 -0,3 -0,6 -6,4 3,6 -1,9 -3,9 -2,7 -3,1

Impor -2,2 -7,0 -0,6 -5,9 -8,1 7,0 -5,8 -4,2 -3,0 -4,0

PDB 4,7 4,7 4,7 4,7 5,0 4,9 4,8 4,9 5,2 5,0

Sumber: BPS

24 Edisi III / Agustus 2016 | Tinjauan Ekonomi, Keuangan, & Fiskal

Singapura (28 persen); Jepang (18 persen); Hong Kong (8 persen); Tiongkok (8 persen) dan

Malaysia (6 persen).

Dari sisi perdagangan internasional, kinerja pertumbuhan ekspor dan impor menunjukkan

perbaikan meskipun masih mengalami kontraksi masing-masing sebesar -3,1 dan -4,0 persen.

Fase kontraksi diakibatkan oleh masih rendahnya harga-harga komoditas serta tingkat

permintaan yang juga masih belum pulih. Kinerja perekonomian negara-negara mitra dagang

Indonesia juga belum cukup menggembirakan, seperti Tiongkok yang masih mengalami

stagnasi serta AS yang mengalami pelemahan pertumbuhan.

Dari sisi lapangan usaha, pada semester pertama 2016 seluruh sektor tumbuh positif kecuali

Pertambangan dan Penggalian (tabel 2). Sektor Industri Pengolahan yang memiliki kontribusi

terbesar kepada pertumbuhan menunjukkan penguatan kinerja dengan pertumbuhan

mencapai 4,7 persen. Penguatan kinerja pertumbuhan sektor tersebut didukung oleh realisasi

investasi terutama PMA pada sektor industri, dan ditunjukan oleh perbaikan indeks produksi

baik pada industri besar, sedang maupun menengah dan kecil. Implementasi paket-paket

kebijakan ekonomi I - XII yang memberikan banyak insentif pada sektor industri seperti

keringanan pajak PPh 21 untuk industri dengan tenaga kerja paling sedikit 5000 orang,

kelonggaran PPn tidak dipungut untuk beberapa industri, penurunan tarif listrik untuk

industri, juga turut serta memberikan dampak positif bagi pertumbuhan sektor ini.

Sektor-sektor jasa secara umum menunjukkan peningkatan pertumbuhan dibanding periode

yang sama tahun sebelumnya. Peningkatan kinerja PMTB dan akselerasi pembangunan

proyek infrastruktur menjadi katalis positif bagi kinerja pada sektor-sektor yang terkait,

seperti sektor Jasa Keuangan dan Asuransi serta sektor Konstruksi. Sektor Jasa Keuangan dan

Asuransi mampu mencatat tingkat pertumbuhan tertinggi yakni sebesar 11,4 persen, sebagai

dampak tingginya kebutuhan pembiayaan yang diiringi dengan turunnya suku bunga acuan

kredit. Sektor Konstruksi juga tumbuh sebesar 7,0 persen, meningkat dibandingkan dengan

capaian semester pertama 2015 sebesar 5,7 persen. Di samping itu, faktor tingginya aktivitas

dan konsumsi masyarakat pada bulan Ramadan dan hari raya Idul Fitri juga menjadi

pendorong kinerja sektor-sektor jasa lainnya, seperti sektor Transportasi dan Pergudangan

(tumbuh 7,4 persen), serta sektor Perdagangan Besar dan Eceran (tumbuh 4,1 persen).

Sementara itu, kinerja sektor primer sepanjang semester pertama 2016 menunjukkan

perbaikan, meskipun secara umum masih melambat. Kinerja sektor Pertanian, Kehutanan,

dan Perikanan tumbuh sebesar 2,5 persen, melambat jika dibandingkan capaian kinerja

periode yang sama tahun sebelumnya. Perlambatan ini terutama sebagai dampak dari

fenomena el nino di akhir tahun 2015 yang mengakibatkan bencana kekeringan di berbagai

wilayah pertanian dan berdampak pada terganggunya aktivitas produksi pertanian, khususnya

untuk tanaman pangan, hortikultura, dan perkebunan. Di sisi lain, kinerja sektor

Pertambangan dan Penggalian masih mencatat kontraksi meskipun pada tingkat yang lebih

rendah, yakni sebesar -1,0 persen. Kontraksi pertumbuhan pada sektor ini terutama

disebabkan oleh masih rendahnya tingkat permintaan dan harga komoditas global yang

Edisi III / Agustus 2016 | Tinjauan Ekonomi, Keuangan, & Fiskal 25

mendorong penurunan produksi terutama pada pertambangan batu bara dan pertambangan

bijih logam.

Tabel 2. Sektor dengan nilai tambah yang lebih tinggi tumbuh lebih baik dibandingkan dengan sektor lainnya

(persen, yoy)

Lapangan Usaha 2015 2016

Q1 Q2 S1 Q3 Q4 S2 Y Q1 Q2 S1

Pertanian, Kehutanan, dan Perikanan 4,0 6,9 5,5 3,3 1,6 2,6 4,0 1,8 3,2 2,5

Pertambangan dan Penggalian -1,3 -5,2 -3,3 -5,7 -7,9 -6,8 -5,1 -1,3 -0,7 -1,0

Industri Pengolahan 4,0 4,1 4,1 4,5 4,4 4,4 4,2 4,6 4,7 4,7

Konstruksi 6,0 5,4 5,7 6,8 8,2 7,5 6,6 7,9 6,2 7,0

Perdagangan Besar dan Eceran; Reparasi Mobil dan Sepeda Motor

4,1 1,7 2,9 1,4 2,8 2,1 2,5 4,0 4,1 4, 1

Transportasi & Pergudangan 5,8 5,9 5,9 7,3 7,7 7,5 6,7 7,9 6,8 7,4

Informasi dan Komunikasi 10,1 9,7 9,9 10,7 9,7 10,2 10,1 8,3 8,5 8,4

Jasa Keuangan dan Asuransi 8,6 2,6 5,5 10,4 12,5 11,4 8,5 9,3 13,5 11,4

Jasa-jasa lainnya 5,1 6,5 5,8 5,0 5,9 5,5 5,6 6,1 5,6 5,9

PDB 4,7 4,7 4,7 4,7 5,0 4,9 4,8 4,9 5,2 5,0

Sumber: BPS

Peningkatan kinerja ekonomi secara nasional diikuti oleh kenaikan pertumbuhan ekonomi di

berbagai kawasan. Pada semester pertama 2016, sebagian besar kawasan tumbuh lebih tinggi

dibandingkan semester pertama 2015. Pertumbuhan tertinggi dicapai oleh kawasan Sulawesi

sebesar 8,0 persen, disusul oleh Bali-Nusa Tenggara sebesar 7,2 persen. Sementara itu,

kawasan Papua-Maluku mengalami kontraksi sebesar -0,2 persen sejalan dengan kontraksi di

sektor pertambangan.

Pada semester pertama 2016, kontribusi Pulau Jawa terhadap PDB Nasional masih

mendominasi yakni hampir mencapai 60 persen. Porsi Pulau Jawa dan Sumatera yang besar

mengindikasikan bahwa perekonomian nasional masih bergantung pada kawasan barat

Indonesia. Dengan demikian, meskipun perekonomian di kawasan timur Indonesia tumbuh

relatif lebih tinggi, namun dampaknya kurang signifikan terhadap perekonomian nasional.

Untuk itu, perlu adanya kebijakan untuk mendorong perkembangan sektor Industri

Pengolahan khususnya di daerah-daerah timur yang berbasis komoditas guna meningkatkan

nilai tambah dan mendorong perekonomian yang lebih berkelanjutan dalam jangka panjang.

Dalam hal ini, konsep pengembangan KEK yang dilakukan oleh pemerintah dan meliputi

beberapa wilayah di bagian timur Indonesia, menjadi sangat relevan.

26 Edisi III / Agustus 2016 | Tinjauan Ekonomi, Keuangan, & Fiskal

C. Perkembangan Suku Bunga, Inflasi, Nilai Tukar

dan Keseimbangan Eksternal

Inflasi

Inflasi pada akhir triwulan kedua tahun 2016 tercatat sebesar 3,45 persen (yoy), masih sejalan

dengan sasaran inflasi sebesar 4±1 persen. Perkembangan Inflasi tahunan pada akhir triwulan

kedua ini relatif rendah dibandingkan periode yang sama dalam satu dekade terakhir.

Pelemahan harga minyak dunia merupakan pemicu utama penurunan tingkat inflasi karena

kebijakan reformasi subsidi energi menyebabkan penurunan langsung harga komoditas

energi domestik (grafik 4).

Grafik 3. Komponen Pembentuk Inflasi hingga Juni 2016

(dalam persen, ytd)

Sumber: Badan Pusat Statistik

Bensin kembali menjadi komoditas yang memberikan kontribusi deflasi terbesar pada triwulan

kedua 2016. Pelemahan harga minyak mentah masih menjadi pemicu utama penurunan harga

komoditas energi, antara lain BBM, BBRT, dan tarif listrik. Sementara itu, dampak tidak

langsungnya terasa melalui penurunan tarif angkutan yang diamanatkan pemerintah melalui

Surat Edaran Menteri Perhubungan Nomor 15 Tahun 2016 dan Peraturan Menteri

Perhubungan Nomor 38 Tahun 2016. Namun demikian, penurunan harga komoditas energi

diperkirakan akan segara berhenti seiring dengan mulai pulihnya harga minyak mentah sejak

bulan Februari 2016. Mempertimbangkan hal-hal tersebut, kontribusi deflasi komponen

Harga Diatur Pemerintah menjadi sebesar 0,46 persen.

Inflasi komponen Harga Bergejolak memberikan sumbangan inflasi kumulatif sebesar 0,63

persen. Angka ini lebih besar dari rata-rata historis selama lima tahun terakhir yang hanya

mencapai 0,44 persen. Dengan kata lain, terdapat risiko peningkatan harga bahan makanan

pokok yang lebih tinggi dibandingkan tahun sebelumnya. Harga bahan makanan sempat

mengalami penurunan pada awal triwulan kedua 2016 karena terjadinya puncak musim

panen padi yang mendorong penurunan harga pangan komplementer. Namun demikian,

pada akhir triwulan kedua 2016, harga pangan kembali menguat karena peningkatan

permintaan masyarakat menjelang Hari Besar Keagamaan Nasional (Ramadan dan Idul Fitri).

0,17 0,35 0,47 0,57 0,70

0,89

-0,11 -0,26 -0,33 -0,66 -0,61 -0,46

0,450,33

0,47 0,250,31

0,630,510,42

0,62 0,16 0,401,06

-1,0

-0,5

0,0

0,5

1,0

1,5

2,0

Jan-16 Feb-16 Mar-16 Apr-16 Mei-16 Jun-16

Inti Harga diatur Pemerintah Harga Bergejolak Umum

Edisi III / Agustus 2016 | Tinjauan Ekonomi, Keuangan, & Fiskal 27

Sementara itu, akumulasi kontribusi komponen Inti yang terus membesar menunjukkan

peningkatan permintaan masyarakat meskipun tidak sebesar periode yang sama dalam dua

tahun terakhir. Pada triwulan kedua 2016, kontribusi terbesar komponen dimaksud terjadi

pada bulan Juni. Hal ini disebabkan oleh terjadinya peningkatan konsumsi terhadap komoditas

makanan jadi pada saat bulan Ramadan, di samping persiapan masyarakat dalam rangka

menyambut hari raya Idul Fitri. Secara total, komponen Inti telah menyumbang inflasi sebesar

0,89 persen sejak awal tahun 2016.

Inflasi tahun kalender sampai dengan bulan Juni telah mencapai 1,06 persen, lebih rendah

dari rata-rata historis lima tahun dalam periode yang sama. Capaian tersebut mengindikasikan

hasil positif atas upaya pemerintah dalam menjaga stabilitas harga agregat. Berdasarkan

perkembangan terbaru dari pergerakan komponen inflasi, untuk menghadapi penguatan

harga pada semester kedua, dalam jangka pendek, pemerintah dapat melakukan upaya untuk

mengendalikan harga beras dan komoditas bahan pokok lainnya.

Nilai Tukar dan Uang Beredar

Penguatan rupiah pada triwulan kedua 2016 di tengah meningkatnya risiko di pasar keuangan

global, membantu memberikan ruang pelonggaran kebijakan moneter. Secara umum,

penguatan Rupiah yang terjadi pada triwulan pertama terus berlanjut meskipun sempat

mengalami pelemahan pada bulan Mei dan Juni 2016. Pelemahan ini seiring dengan

meningkatnya risiko pasar keuangan global yang dipicu oleh pernyataan Federal Reserve

terkait rencana kenaikan suku bunga acuan AS di bulan Juni 2016. Akan tetapi, dengan

ditundanya kenaikan suku bunga acuan AS tersebut, aliran modal kembali masuk sehingga

berkontribusi terhadap apresiasi rupiah. Stabilitas dan apresiasi nilai tukar rupiah

menciptakan ruang bagi kebijakan moneter, sehingga menjadi salah satu faktor yang

mendorong Bank Indonesia menurunkan kembali suku bunga acuan ke level 6,5 persen pada

bulan Juni 2016. Kinerja rupiah juga sempat mengalami pelemahan akibat sentimen dari hasil

referendum di Inggris (Brexit) yang terjadi di akhir bulan Juni 2016. Hasil referendum tersebut

memicu penguatan harga aset safe havens termasuk dolar AS, sehingga sempat menekan

mata uang lain ternasuk rupiah. Sampai dengan akhir Juni 2016, rupiah mengalami apresiasi

4,46 persen (ytd) ke angka Rp13.180 per dolar AS dan rata-rata triwulan kedua 2016 di level

Rp13.317 per dolar AS atau menguat 1,55 persen (qtq).

Terjaganya kondisi perekonomian serta persepsi positif investor terhadap prospek

perekonomian Indonesia ikut berkontribusi positif terhadap rupiah. Dengan pertumbuhan

ekonomi di semester pertama yang relatif stabil, dan didukung oleh membaiknya kinerja

defisit transaksi berjalan serta rendahnya laju inflasi, persepsi investor terhadap

perekonomian Indonesia terjaga dengan baik. Hal ini salah satunya tercermin dari masih

besarnya minat investor asing baik terhadap pasar SBN maupun pasar saham domestik.

Kondisi ini akan berkontribusi terhadap kestabilan dan pergerakan positif rupiah. Sementara

itu, disetujuinya RUU tentang Pengampunan Pajak (Amnesti Pajak) pada tanggal 28 Juni 2016

juga diharapkan dapat mendorong masuknya aliran modal dan dapat menambah pasokan

28 Edisi III / Agustus 2016 | Tinjauan Ekonomi, Keuangan, & Fiskal

valas dalam negeri guna stabilisasi rupiah ke depan. Pada sisi lain, berbagai kebijakan yang

diambil oleh Pemerintah maupun Bank Indonesia, diharapkan dapat mendorong stabilnya

kinerja nilai tukar rupiah ke depan.

Grafik 4. Pergerakan Rupiah mengalami kecenderungan terapresiasi hingga triwulan pertama 2016

(dalam 1 dolar AS)

Sumber: Bloomberg, diolah

s

Kendati demikian, masih terdapat beberapa faktor risiko yang perlu diwaspadai, baik dari

eksternal maupun domestik. Sentimen pasar terhadap arah kebijakan Federal Reserve

diperkirakan tetap menjadi faktor penting yang mempengaruhi dinamika rupiah. Selain itu,

faktor eksternal lain seperti langkah kebijakan yang akan diambil oleh ECB setelah adanya

Brexit, keberlanjutan dari kebijakan ekspansif Jepang melalui kebijakan suku bunga negatif

serta moderasi perekonomian Tiongkok juga diperkirakan masih menjadi risiko bagi

perkembangan rupiah. Dari sisi domestik, perlu dicermati upaya-upaya dalam memperbaiki

kinerja transaksi berjalan serta kecepatan penurunan suku bunga Bank Indonesia agar dapat

turut menjaga kestabilan nilai tukar rupiah.

Di samping itu, perlu diwaspadai pula dampak kecepatan penurunan tingkat suku bunga

terhadap minat masyarakat domestik akan produk dan layanan jasa keuangan secara umum.

Hal ini tercermin dalam penurunan pertumbuhan uang beredar luas (M2). Pada bulan April,

pertumbuhan M2 menurun dari 7,2 persen (yoy) di bulan Februari menuju 7,13 persen (yoy).

Perlambatan pertumbuhan M2 ini disumbang oleh kepemilikan sekuritas di luar saham yang

justru tumbuh negatif. Penurunan pertumbuhan aktiva dalam negeri bersih (net domestic

asset) serta tagihan bersih kepada Pemerintah Pusat menjadi salah satu faktor yang

menyebabkan penurunan pertumbuhan M2. Penurunan kedua indikator ini menggambarkan

adanya penurunan tingkat kepemilikan produk atau penggunaan keuangan secara umum,

termasuk obligasi, oleh masyarakat di dalam negeri. Hal ini disinyalir terjadi karena adanya

kebijakan penurunan suku bunga DPK yang mulai berlaku di bulan Maret 2016. Pertumbuhan

tahunan M2 menurun dari 11,6 persen (yoy) menuju -8,34 persen (yoy).

13.855 13.889

13.516

13.193 13.180

13.420 13.355

13000

13200

13400

13600

13800

14000

14200

01-Des-15 01-Jan-16 01-Feb-16 01-Mar-16 01-Apr-16 01-Mei-16 01-Jun-16

Harian Rata - rata bulanan

Edisi III / Agustus 2016 | Tinjauan Ekonomi, Keuangan, & Fiskal 29

Peningkatan pertumbuhan uang beredar sempit (M1) di tengah melambatnya pertumbuhan

M2 menunjukkan terjadinya peningkatan permintaan terhadap aset-aset yang sangat likuid.

Di tengah perlambatan pertumbuhan M2, komponen M1 justru meningkat dari 11,6 persen

(yoy) menjadi 13,54 persen (yoy). Peningkatan pertumbuhan M2 diiringi penurunan

pertumbuhan simpanan berjangka dan tabungan, baik rupiah maupun valas serta giro valas

(uang kuasi) menunjukkan peningkatan preferensi masyarakat terhadap uang kartal. Hal ini

diperkirakan dipengaruhi oleh penurunan insentif untuk menggunakan jasa keuangan itu

sendiri, seiring suku bunga DPK yang menurun sehingga masyarakat cenderung mengalihkan

asetnya ke instrumen yang lebih likuid. Potensi penurunan suku bunga ke depan yang di

antaranya bersumber dari potensi arus modal masuk melalui skema Amnesti Pajak, perlu

dicermati terutama terkait dampaknya terhadap perkembangan uang beredar.

Neraca Perdagangan Indonesia

Grafik 5. Neraca Perdagangan Indonesia

(dalam juta dolar AS)

Sumber: Bank Indonesia, diolah

Neraca perdagangan triwulan kedua 2016

mengalami surplus 1,9 miliar dolar AS,

lebih tinggi 277 juta dolar AS dibandingkan

triwulan sebelumnya. Namun, capaian

tersebut melemah jika dibandingkan

periode yang sama tahun 2015, baik

secara tahunan (-10,2 persen) maupun

dilihat dari akumulasinya (-19,7 persen).

Dalam kurun waktu dua tahun terakhir,

kinerja neraca perdagangan menunjukkan

kecenderungan perbaikan, yang ditopang

oleh mengecilnya defisit neraca migas

sebagai dampak tidak langsung dari

melemahnya harga minyak mentah global

serta beroperasinya kilang minyak baru.

Pada sisi lain, penurunan impor nonmigas, terutama pada komponen bahan baku dan barang

modal telah menyebabkan perlambatan pertumbuhan ekspor nonmigas hingga akhir triwulan

kedua tahun 2016. Kondisi tersebut semakin tertekan karena belum pulihnya permintaan

dunia. Melemahnya pertumbuhan ekonomi Tiongkok juga turut andil dalam pelemahan

ekspor Indonesia, karena porsi ekspor Indonesia ke Tiongkok cukup besar yaitu sekitar 10,0

persen dari total ekspor Indonesia. Tiongkok menempati posisi tiga besar negara tujuan ekspor

utama. Meskipun demikian, dampak dari pelemahan ekonomi Tiongkok dapat diimbangi,

antara lain dengan membaiknya kinerja ekspor Indonesia ke AS dan Swiss. Ekspor ke AS

tumbuh sebesar 0,6 persen sedangkan ekspor ke Swiss tumbuh di atas 100,0 persen dibanding

dengan kumulatif tahun sebelumnya.

Secara kumulatif, Neraca Perdagangan Indonesia periode Januari-Juni 2016 mencatat surplus

sebesar 3,6 miliar dolar AS, yang ditopang oleh surplus neraca non migas sebesar 5,7 miliar

dolar AS dan mengecilnya defisit neraca migas hingga 2,1 miliar dolar AS.

1399

-498

14

1136

508662

371

900

-1000

-500

0

500

1000

1500

Jan-16 Feb-16 Mar-16 Apr-16 May-16 Jun-16

Non Migas Migas Neraca Perdagangan

30 Edisi III / Agustus 2016 | Tinjauan Ekonomi, Keuangan, & Fiskal

Neraca Pembayaran Indonesia

Grafik 6. Neraca Pembayaran Indonesia

(dalam juta dolar AS)

Sumber: Bank Indonesia, diolah

Neraca Pembayaran Indonesia triwulan

kedua 2016 surplus 2,2 miliar dolar AS yang

ditopang oleh menurunnya defisit transaksi

berjalan dan meningkatnya surplus

transaksi modal dan finansial. Kinerja

Neraca Pembayaran triwulan ini membaik

setelah pada triwulan sebelumnya

mengalami defisit sebesar 0,3 miliar dolar

AS.

Penurunan defisit transaksi berjalan

didorong oleh kenaikan surplus neraca

perdagangan nonmigas.

Defisit transaksi berjalan menurun dari 4,8 miliar dolar AS (2,2 persen dari PDB) pada triwulan

pertama 2016 menjadi 4,7 miliar dolar AS (2,0 persen dari PDB) pada triwulan kedua 2016.

Faktor perbaikan harga komoditas utama nonmigas kecuali alat listrik, menjadi penopang

surplus neraca nonmigas. Di sisi lain terdapat penurunan volume ekspor atas komoditas

minyak nabati, batu bara, dan barang dari logam tidak mulia. Sementara itu, peningkatan

impor nonmigas terutama didukung oleh kenaikan impor bahan baku untuk proses industri

manufaktur dalam negeri. Adapun, defisit neraca perdagangan migas melebar seiring dengan

meningkatnya harga minyak dunia. Selain itu, sesuai pola musiman triwulan kedua 2016,

surplus neraca jasa perjalanan mengalami penurunan yang menyebabkan pelebaran defisit

neraca jasa.

Transaksi modal dan finansial pada triwulan kedua 2016 mengalami surplus mencapai 7,4 miliar

dolar AS, lebih besar dibandingkan dengan surplus triwulan sebelumnya yang sebesar 4,6 miliar

dolar AS. Surplus tersebut ditopang oleh aliran masuk modal investasi portofolio yang

didukung oleh persepsi positif investor terhadap prospek perekonomian domestik dan

meredanya ketidakpastian di pasar keuangan global. Adapun aliran masuk modal dalam

transaksi modal dan finansial bersumber dari penerbitan sukuk global pemerintah dan net beli

asing pada instrumen portofolio berdenominasi rupiah, baik SUN maupun saham.

Posisi cadangan devisa Indonesia akhir Juni 2016 yang sebesar 109,8 miliar dolar AS, lebih tinggi

dibandingkan dengan posisi akhir Mei 2016 yang sebesar 103,6 miliar dolar AS. Jumlah

cadangan devisa tersebut cukup untuk membiayai kebutuhan pembayaran impor dan utang

luar negeri pemerintah selama 8,1 bulan dan berada di atas standar kecukupan internasional.

Peningkatan cadangan devisa tersebut dipengaruhi penerimaan cadangan devisa yang

terutama berasal dari penerimaan pajak dan devisa migas Pemerintah serta hasil lelang SBBI

valas.

(4.700)

7.400

2.200

109.800

80.000

90.000

100.000

110.000

120.000

(15.000)

(10.000)

(5.000)

-

5.000

10.000

15.000

20.000

Q1 Q2 Q3 Q4 Q1 Q2 Q3 Q4 Q1 Q2 Q3 Q4 Q1 Q2

2013 2014 2015 2016

Current Account Cap. & Fin. AccountOverall Balance Foreign Res. (RHS)

Edisi III / Agustus 2016 | Tinjauan Ekonomi, Keuangan, & Fiskal 31

D. Stabilitas Perbankan Masih Terjaga

Stabilitas industri perbankan pada Mei 2016 masih cukup terjaga. Hal ini didukung oleh

ketahanan sistem perbankan yang relatif baik dan terjaganya kinerja pasar keuangan

sepanjang tahun 2016. Risiko kredit dan risiko likuiditas mengalami sedikit peningkatan tapi

masih dalam kisaran yang aman. Rasio kecukupan modal melanjutkan tren penguatan di mana

pada bulan Mei berada pada level 22,4 persen, jauh di atas ketentuan minimum 8 persen.

Dari sisi profitabilitas, indikasi pelemahan kinerja perbankan masih berlanjut sebagaimana

ditunjukkan rasio ROA yang menurun dan rasio BOPO yang meningkat.

Grafik 7. Pertumbuhan DPK dan Kredit

(dalam persen)

Sumber: Statistik Perbankan Indonesia, Otoritas Jasa Keuangan, 2016

Kegiatan industri perbankan juga mengalami perbaikan di bulan Mei setelah sebelumnya

melambat (grafik 6). Perlambatan kegiatan industri perbankan yang terjadi sebelumnya

tersebut, yang dilihat dari trend indikator DPK dan kredit, antara lain disebabkan oleh

melambatnya permintaan domestik. Berbagai kebijakan yang diambil oleh Pemerintah dan

otoritas terkait mulai membuahkan hasil terlihat dari perbaikan pertumbuhan deposit dan

kredit pada bulan Mei yang lebih baik dibanding bulan April, baik secara bulanan maupun

tahunan. Pada Mei 2016, DPK berada pada level Rp4.508 triliun, tumbuh 6,5 persen (yoy).

Pertumbuhan ini lebih tinggi dibanding bulan April 2016 yang sebesar 6,8 persen (yoy) tetapi

lebih rendah dibanding pertumbuhan pada bulan Januari dan Februari tahun ini. Kelompok

Tabungan memiliki pertumbuhan paling tinggi sebesar 18,9 persen. Deposito Berjangka masih

menjadi kelompok dengan porsi terbesar pada DPK yakni 46,6 persen.

0

2

4

6

8

10

12

14

16

18

Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Ags Sep Okt Nov Des Jan Feb Mar Apr Mei

2015 2016

Kredit DPK

32 Edisi III / Agustus 2016 | Tinjauan Ekonomi, Keuangan, & Fiskal

Sementara itu, berdasarkan sektor penerima kredit, pada bulan Mei 2016, Sektor Perdagangan

Besar dan Eceran dan sektor Industri Pengolahan masih menjadi sektor dengan proporsi alokasi

kredit terbesar. Sektor Pertanian, Perburuan, dan Kehutanan (Pertanian) serta sektor Jasa

Kesehatan dan Kegiatan Sosial (Jasa Kesehatan) mengalami penumbuhan cukup signifikan.

Harga komoditas yang masih rendah memberikan pukulan cukup besar terhadap kredit di

Sektor Pertambangan dan Penggalian. Pada bulan Mei 2016, sektor tersebut masih mengalami

kontraksi dan memiliki NPL tertinggi (grafik 7).

Tabel 3. Indikator Umum Perbankan

Indikator Umum Satuan 2015 2016

Des Jan Feb Mar Apr Mei

Aset (T Rp) 6,133 6,096 6,119 6,168 6,181 6,243

Dana Pihak Ketiga (T Rp) 4,413 4,385 4,438 4,469 4,478 4,508

Kredit Pihak Ketiga (T Rp) 4,058 3,983 3,968 4,000 4,007 4,070

Loan to Deposit Ratio (%) 92.1 91 89.5 89.6 89.5 90.3

Non-performing Loans (%) 2.5 2.7 2.9 2.8 2.9 3.1

Rasio Kecukupan Modal (%) 21.4 21.7 21.9 22.0 22.0 22.4

BOPO (%) 81.5 84.9 84.2 83.0 82.3 82.4

Net Interest Margin (%) 5.4 5.6 5.5 5.6 5.6 5.6

Return on Asset (%) 2.3 2.5 2.3 2.4 2.4 2.3

Sumber: Statistik Perbankan Indonesia, Otoritas Jasa Keuangan, 2016

Grafik 8. Kredit berdasarkan Lapangan Usaha

(dalam persen, besar bubble: porsi kredit)

Sumber: Statistik Perbankan Indonesia, Otoritas Jasa Keuangan, 2016

Pertanian 6,43

Pertambangan2,92

Perdagangan19,57

Jasa Kemasyarakatan

1,35

Jasa kesehatan0,4

Konstruksi 4,44

Industri Pengolahan 18,18 Transportasi

4,33

-20,0

-15,0

-10,0

-5,0

0,0

5,0

10,0

15,0

20,0

25,0

30,0

0,0 1,0 2,0 3,0 4,0 5,0 6,0 7,0

Per

tum

bu

han

Kre

dit

(yo

y)

Non Performing Loan (NPL)

Pertanian Pertambangan Perdagangan Jasa Kemasyarakatan

Jasa kesehatan Konstruksi Industri Pengolahan Transportasi

Edisi III / Agustus 2016 | Tinjauan Ekonomi, Keuangan, & Fiskal 33

Boks 2:

Menuju Suku Bunga Single Digit

Suku bunga acuan Bank Indonesia kembali dipangkas sebesar 25 bps menjadi 6,5 persen pada

tanggal 16 Juni 2016 untuk mendorong pertumbuhan kredit dan menopang perekonomian secara

umum. Pemangkasan suku bunga acuan tersebut diharapkan dapat menurunkan suku bunga

kredit sehingga mendorong ekspansi kredit di tengah masih lambatnya perekonomian global. Per

April 2016, rata-rata suku bunga kredit sudah mulai menunjukkan penurunan, seiring dengan

tingkat inflasi yang rendah serta nilai tukar rupiah terhadap dolar AS yang semakin stabil. Suku

bunga kredit menurun ke tingkat 13,39 persen dibandingkan bulan Februari sebesar 13,56

persen. Namun dengan kredit yang masih tumbuh melambat, yakni dari sebesar 8,05 persen

(yoy) pada Februari 2016 menjadi 7,74 persen (yoy) pada April 2016, suku bunga kredit

diharapkan masih dapat diturunkan. Kondisi global maupun domestik saat ini, termasuk potensi

aliran dana masuk dari Amnesti Pajak, cukup mendukung untuk penurunan suku bunga kredit ke

depan.

Berbagai upaya perlu untuk terus dilakukan guna menjaga momentum pertumbuhan tahun 2016

yang diperkirakan akan membaik. Pemerintah dan lembaga otoritas keuangan (Bank Indonesia,

OJK, dan LPS) sangat intensif berkoordinasi dalam upaya mencari terobosan kebijakan untuk

mendukung hal tersebut, salah satunya melalui peningkatan penyaluran kredit perbankan.

Kebijakan ini perlu didukung dengan upaya penurunan suku bunga kredit. Sepanjang tahun 2015,

suku bunga kredit dalam negeri secara rata-rata berada pada kisaran 13,0 persen untuk Bank

Buku IV dan 14,0 persen untuk Bank Buku III. Besaran suku bunga tersebut lebih tinggi di banding

negara peers. Atas hal ini, Pemerintah dan lembaga otoritas keuangan berpandangan perlunya

penurunan suku bunga kredit perbankan menjadi di bawah sepuluh persen (single digit) karena

dinilai masih terdapat ruang yang memungkinkan untuk melakukan hal tersebut.

Menyikapi hal tersebut, dengan mempertimbangkan kondisi perekonomian global dan domestik,

Bank Indonesia telah menurunkan suku bunga acuannya menjadi 6,5 persen, atau secara total

turun sebanyak 100 bps sejak Desember 2015. Penurunan tersebut diharapkan akan

menurunkan suku bunga deposito perbankan dan pada akhirnya akan menurunkan suku bunga

kredit. Kebijakan besar lain yang dikeluarkan Bank Indonesia, yang secara tidak langsung dapat

membantu mencapai pengurangan suku bunga kredit, adalah dengan mengubah suku bunga

acuan menjadi BI 7 day repo rate mulai bulan Agustus 2016. Suku bunga acuan baru ini

diharapkan dapat membuat transmisi kebijakan moneter berjalan lebih efektif. Selain dua

kebijakan di atas, BI juga menurunkan Giro Wajib Minimum dan Loan-to-Value untuk

meningkatkan penyaluran kredit.

Dengan tujuan yang sama, pada pertengahan bulan Februari 2016, OJK memberi pernyataan

akan memberikan insentif bagi perbankan yang mampu menurunkan margin bunga bersih (NIM)

dan menurunkan rasio BOPO dalam kisaran tertentu. Insentif tersebut berupa kemudahan dalam

membuka kantor cabang dan produk baru. Dengan menurunnya NIM dan BOPO, suku bunga

kredit diharapkan juga dapat menurun. Sementara dari sisi pemerintah, Menteri Keuangan telah

menerbitkan PMK Nomor 77 tahun 2016 yang menetapkan bahwa sejak tanggal 3 Mei 2016

bunga deposito dana Pemerintah di perbankan tidak boleh melebihi suku bunga Bank Indonesia.

Pada sisi lain, LPS juga menurunkan LPS rate pada 13 Mei 2016 untuk memuluskan jalan menuju

single digit. Meski secara filosofi bukan merupakan policy rate, mengingat motivasi

penetapannya lebih bersifat retrospektif, LPS rate tetap berada dalam jalur transmisi kebijakan

moneter. Penurunan LPS rate akan membantu penurunan suku bunga deposito perbankan dan

akan semakin lebih cepat lagi ketika suku bunga acuan BI yang baru mulai berlaku.

34 Edisi III / Agustus 2016 | Tinjauan Ekonomi, Keuangan, & Fiskal

Grafik 9. Suku Bunga Deposito

(dalam persen)

Sumber: CEIC

Pada sisi lain, LPS juga menurunkan LPS rate pada 13 Mei 2016 untuk memuluskan jalan menuju

single digit. Meski secara filosofi bukan merupakan policy rate, mengingat motivasi

penetapannya lebih bersifat retrospektif, LPS rate tetap berada dalam jalur transmisi kebijakan

moneter. Penurunan LPS rate akan membantu penurunan suku bunga deposito perbankan dan

akan semakin lebih cepat lagi ketika suku bunga acuan Bank Indonesia yang baru mulai berlaku.

Tabel 4. Penurunan Suku Bunga Kredit

(dalam bps)

Bank Korporasi Retail Konsumsi: KPR Konsumsi: Non-KPR

Min Maks Rata-Rata

Min Maks Rata-Rata

Min Maks Rata-Rata

Min Maks Rata-Rata

Buku III* -31 199 69.9 -26 262 91.9 -10 221 76.8 -39 350 89.3

Buku IV 25 50 31.25 25 205 120 0 50 18.75 0 94 23.5

*Sepuluh Bank (BJB, Bukopin, CIMB Niaga, Danamon, OCBC NISP, Panin, Bank DKI, BTN, Bank Sumut, dan Bank Jatim)

Sumber: CEIC, diolah

Kebijakan-kebijakan tersebut dinilai cukup efektif, dilihat dari pergerakan suku bunga deposito

dan suku bunga pinjaman pada saat ini. Suku bunga deposito sejak Januari 2016 sampai dengan

Mei 2016 turun dengan kisaran sebesar 53 bps untuk tenor 12 bulan sampai dengan 72 bps untuk

tenor 1 bulan (grafik 9). Demikian juga halnya dengan suku bunga kredit untuk horizon waktu

yang sama. Suku bunga kredit pada Bank Buku IV secara umum mengalami penurunan.

Penurunan paling tajam terjadi pada suku bunga kredit retail yang secara rerata sederhana,

bukan tertimbang, turun 92 bps dan 120 bps masing-masing untuk Bank Buku III dan Buku IV

(tabel 4). Dampak awal juga sudah dapat terlihat pada pertumbuhan kredit. Setelah mencatatkan

pertumbuhan bulanan (mom) yang negatif pada bulan Januari dan Februari, pertumbuhan

bulanan pada bulan-bulan berikutnya mulai positif. Pertumbuhan kredit pada bulan Mei 2016

sebesar 1,6 persen (mom) bahkan tercatat lebih besar dari pertumbuhan bulan yang sama pada

tahun 2014 dan 2015 yang sebesar 1,2 persen.

6,50

7,00

7,50

8,00

8,50

1 Bulan 3 Bulan 6 Bulan 12 Bulan

Jan-16 Feb-16 Mar-16 Apr-16 May-16

Edisi III / Agustus 2016 | Tinjauan Ekonomi, Keuangan, & Fiskal 35

E. Kinerja Pasar Modal Indonesia Triwulan Kedua 2016

Posisi IHSG hingga akhir Juni 2016 mencatatkan kinerja yang positif. IHSG menguat sebesar 9,22 persen (ytd), melanjutkan tren penguatan pada bulan sebelumnya yang meningkat 4,44 persen (ytd). Di tengah tren penguatan tersebut, pergerakan harian IHSG mengalami volatilitas, mengikuti perkembangan rencana referendum Brexit yang berakhir dengan keputusan Inggris untuk keluar dari keanggotaan Uni Eropa. Dari dalam negeri, perkembangan pembahasan UU tentang Amnesti Pajak antara pemerintah dengan DPR yang akhirnya disepakati oleh DPR untuk disahkan menjadi UU, serta penurunan tingkat suku bunga acuan Bank Indonesia menjadi 6,5 persen, juga mempengaruhi volatilitas pergerakan harga saham domestik.

Grafik 10. Kinerja IHSG Dibandingkan Indeks Global

(dalam persen)

Sumber: Bloomberg

Setelah sempat mengalami tekanan di awal

bulan, IHSG kembali mengalami tren positif

menjelang akhir Juni. Pada pekan pertama

bulan Juni 2016, IHSG sempat melanjutkan

rebound yang terjadi sejak pertengahan

Mei hingga mendekati level 5.000. Namun,

alotnya pembahasan UU Amnesti Pajak

dan pelaksanaan referendum Brexit,

kembali memberikan tekanan kepada

IHSG. Pada tanggal 24 Juni 2016, IHSG

bersama dengan sebagian indeks global

mengalami tekanan cukup dalam seiring

hasil referendum Brexit yang menyatakan

bahwa kubu exit unggul dalam

penghitungan suara.

Jika dilihat dari sisi investor, investor domestik mengalami tekanan aksi jual pada saat

mengetahui hasil referendum Brexit. Namun demikian, investor non residen hanya

membukukan penjualan neto sebesar Rp82 miliar di tengah pelemahan IHSG yang mencapai

0,82 persen. Tekanan tersebut hanya berlangsung dalam satu hari perdagangan saja,

selanjutnya IHSG mengalami tren positif yang cukup signifikan dan bahkan mencatatkan posisi

tertinggi di sepanjang tahun 2016. Posisi IHSG berada di tingkat 5.016,65 pada akhir Juni 2016.

Kondisi tersebut didukung oleh kebijakan otoritas moneter di dunia yang merencanakan

untuk memberikan stimulus guna mengantisipasi dampak Brexit.

-17,6

-9,5

-5,0

-3,2

-0,2

2,6

-3,9

2,1

1,1

4,4

10,6

-17,2

-18,2

-5,1

-1,5

4,2

2,7

-2,3

2,9

0,5

9,2

12,2

Shenzen Comp

Nikkei

Hangseng

STI

FTSE 100

S&P 500

KLCI

DJIA

KOSPI

IHSG

SET

Juni (%, ytd) Mei (%, ytd)

36 Edisi III / Agustus 2016 | Tinjauan Ekonomi, Keuangan, & Fiskal

Grafik 11. Perkembangan IHSG s.d. Juni 2016

Sumber: Bloomberg, diolah

Tanpa mengesampingkan tren positif yang

dialami indeks global pasca meredanya

tekanan atas keputusan Brexit, penetapan

UU Amnesti Pajak pada tanggal 28 Juni

2016 diperkirakan juga memberikan

sentimen positif bagi kinerja IHSG

mengingat IHSG menguat cukup signifikan

pasca penetapan tersebut.

4300

4400

4500

4600

4700

4800

4900

5000

5100

Jan-16 Feb-16 Mar-16 Apr-16 May-16 Jun-16

BI Rate 7,0%

BI Rate 7,25%

BI Rate 6,75% Hasil Referendum Brexit

UU Amnesti Pajak disetujui DPR

Edisi III / Agustus 2016 | Tinjauan Ekonomi, Keuangan, & Fiskal 37

Halaman ini sengaja dikosongkan

38 Edisi III / Agustus 2016 | Tinjauan Ekonomi, Keuangan, & Fiskal

Edisi III / Agustus 2016 | Tinjauan Ekonomi, Keuangan, & Fiskal 39

BAGIAN II ANALISIS KINERJA APBN

SEMESTER PERTAMA

2016 Berbagai dinamika perekonomian telah membuat

pengelolaan fiskal menjadi penuh tantangan.

Melalui APBNP, pemerintah berupaya memitigasi

risiko dan menciptakan anggaran yang lebih realistis,

kredibel dan berkesinambungan melalui optimalisasi

pendapatan, penguatan belanja yang berkualitas,

serta pembiayaan yang berkelanjutan. Hingga

semester pertama 2016, pengelolaan fiskal terbukti

berhasil memberikan kontribusi positif bagi

pertumbuhan ekonomi sejalan dengan realisasi

belanja pemerintah yang membaik.

40 Edisi III / Agustus 2016 | Tinjauan Ekonomi, Keuangan, & Fiskal

Menjaga Komitmen Reformasi untuk Pertumbuhan yang Berkelanjutan

Dinamika terkini serta prospek perekonomian global dan domestik ke depan mewarnai kinerja

fiskal dan ekonomi makro Indonesia. Mempertimbangkan ketidakpastian kondisi global,

pelemahan kinerja ekspor dan impor secara umum, perlambatan pertumbuhan ekonomi,

tekanan terhadap nilai tukar dan inflasi, dinamika likuiditas global, rendahnya harga

komoditas utama, serta kurang optimalnya lifting minyak mentah, pemerintah berkomitmen

untuk melakukan reformasi dan mengelola fiskal secara kredibel dan realistis.

APBN Perubahan 2016

Dengan memperhatikan perkembangan perekonomian terkini serta realisasi dan pencapaian

APBN 2016, pemerintah telah mengajukan perubahan atas APBN 2016 pada tanggal 2 Juni

2016. UU APBNP tahun 2016 tersebut telah disahkan oleh DPR pada Sidang Paripurna tanggal

28 Juni 2016. Selain menyesuaikan besaran asumsi dasar ekonomi makro, UU APBNP tahun

2016 juga telah memuat beberapa hal strategis antara lain perhitungan kebijakan Amnesti

Pajak dalam penetapan target penerimaan perpajakan, komitmen untuk melanjutkan efisiensi

belanja operasional K/L, mengatur pemberian subsidi yang lebih tepat sasaran, menetapkan

anggaran transfer ke daerah menjadi lebih tinggi dari anggaran K/L, serta menyediakan dana

investasi untuk pembebasan lahan dalam rangka pembangunan infrastruktur melalui BLU

LMAN. Penyesuaian terhadap asumsi dasar ekonomi makro tersebut diharapkan dapat

membuat APBN lebih mendukung pencapaian berbagai sasaran pembangunan tahun 2016 di

tengah berbagai tantangan perekonomian ke depan.

Tabel 5. Asumsi Makro APBN

Indikator

2016

APBNP Realisasi

Semester I

a. Pertumbuhan Ekonomi (persen, yoy) 5,2 5,0*)

b. Inflasi (persen, yoy) 4,0 3,5

c. Tingkat bunga SPN 3 bulan (persen) 5,5 5,7

d. Nilai Tukar (rupiah per dolar AS) 13500,0 13420,0

e. Harga Minyak Mentah Indonesia (dolar AS per barel) 40,0 36,0

f. Lifting Minyak (ribu barel per hari) 820,0 817,0

g. Lifting Gas (ribu barel setara minyak per hari) 1150,0 1201,0

*) Pertumbuhan ekonomi merupakan proyeksi realisasi semester pertama

Sumber: Kementerian Keuangan

Asumsi pertumbuhan ekonomi disepakati sebesar 5,2 persen, atau sedikit lebih rendah

dibandingkan angka yang tercantum dalam APBN 2016 sebesar 5,3 persen. Hal ini terutama

mempertimbangkan masih lemahnya perekonomian dunia pada tahun 2016 seiring masih

belum pulihnya perekonomian negara-negara maju, melambatnya pertumbuhan ekonomi di

negara-negara berkembang khususnya Tiongkok, serta rendahnya harga komoditas. Faktor

Edisi III / Agustus 2016 | Tinjauan Ekonomi, Keuangan, & Fiskal 41

ketidakpastian juga masih membayangi sektor keuangan global. Di sisi domestik,

pertumbuhan ekonomi Indonesia masih didukung oleh PMTB yang tumbuh seiring

keberlanjutan pembangunan infrastruktur yang didukung oleh peningkatan anggaran

infrastruktur pemerintah, konsumsi rumah tangga yang tumbuh stabil, serta konsumsi

pemerintah yang mengalami peningkatan. Namun, pemerintah masih terus mewaspadai

pertumbuhan negatif ekspor dan impor sebagai akibat masih lemahnya harga komoditas dan

permintaan dunia terutama negara-negara mitra dagang utama Indonesia. Selain itu, ruang

untuk kebijakan moneter dan makro prudensial ke depan diharapkan dapat lebih akomodatif

untuk pertumbuhan ekonomi.

Laju Inflasi disepakati sebesar 4,0 persen atau lebih rendah dibandingkan APBN tahun 2016

yang sebesar 4,7 persen. Ketersediaan pasokan bahan kebutuhan yang lebih stabil, serta jalur

distribusi yang lebih baik seiring dengan terselesaikannya proyek-proyek infrastruktur

menjadi salah satu faktor utama yang mendorong membaiknya laju inflasi pada tahun 2016.

Di sisi lain, potensi risiko peningkatan laju inflasi terutama bersumber dari ketidakstabilan

kondisi ekonomi global, keterlambatan musim panen sebagai dampak perubahan iklim, serta

kecenderungan naiknya harga minyak.

Nilai tukar rupiah terhadap dolar AS disepakati sebesar Rp13.500 per dolar AS. Hal tersebut

terutama dipengaruhi oleh masih cukup tingginya potensi aliran modal masuk sebagai akibat

dari adanya keputusan Brexit, dan perbaikan pertumbuhan ekonomi AS yang diperkirakan

berjalan secara gradual, serta masih adanya kebijakan quantitative easing di Jepang dan

Kawasan Eropa. Sementara dari sisi domestik, stabilitas rupiah didukung oleh persepsi positif

terhadap prospek ekonomi domestik, seiring dengan reformasi struktural, peningkatan

kualitas infrastruktur, serta adanya kebijakan pengampunan pajak diperkirakan juga turut

berpengaruh positif terhadap masuknya aliran modal ke Indonesia.

Tingkat suku bunga SPN 3 Bulan disepakati sebesar 5,5 persen sama seperti dalam APBN 2016.

Tingkat suku bunga SPN pada tahun 2016 diperkirakan akan dipengaruhi oleh kebijakan

moneter negara maju seperti AS, Kawasan Eropa, dan Jepang. Sementara dari sisi domestik

dipengaruhi oleh kinerja perekonomian nasional yang relatif lebih baik dibandingkan negara

lainnya di kawasan regional, relatif stabilnya nilai tukar rupiah, penurunan suku bunga acuan

Bank Indonesia, inflasi yang terjaga serta berlakunya kebijakan Amnesti Pajak diharapkan

dapat tetap menarik minat investor.

Harga rata-rata minyak mentah Indonesia disepakati sebesar 40,0 dolar AS per barel. Proyeksi

ini didasari oleh meningkatnya permintaan dunia terutama dari negara berkembang dan non-

OECD serta penurunan produksi minyak mentah dari negara-negara produsen minyak dalam

upaya menjaga keseimbangan pasar. Selain itu diperkirakan masih terdapat potensi risiko

kenaikan yang dipicu oleh faktor geopolitik.

Lifting minyak dan gas bumi dalam APBNP 2016 disepakati masing-masing sebesar 820 ribu

barel per hari dan 1.150 ribu barel setara minyak per hari. Lifting migas ini masih dipengaruhi

oleh optimalisasi produksi Lapangan Banyu Urip Cepu, penurunan harga minyak mentah

42 Edisi III / Agustus 2016 | Tinjauan Ekonomi, Keuangan, & Fiskal

dunia yang menjadi kendala investasi untuk eksplorasi migas, risiko penurunan akibat

terdapat beberapa KKKS yang telah mengajukan penundaan produksi, dan rendahnya tingkat

penyerapan gas domestik.

Di sisi fiskal pemerintah berusaha melakukan penyesuaian terhadap APBN 2016 sehingga

posturnya lebih realistis dan berkelanjutan. Seiring dengan penyesuaian sisi fiskal,

perkembangan indikator asumsi dasar ekonomi makro juga akan terus dipantau sampai

dengan akhir tahun 2016. Hal tersebut sebagai acuan dalam mempersiapkan langkah-langkah

antisipasi apabila diperlukan, dalam rangka menjaga stabilitas perekonomian dan

pembangunan nasional.

Substansi penyesuaian dalam pendapatan negara di APBNP 2016 adalah mendorong agar

pendapatan negara tetap optimal dengan memperhatikan perkembangan ekonomi global.

Masih kurang kondusifnya perkembangan negara-negara mitra dagang utama serta

rendahnya harga komoditas membawa risiko pelemahan pada sisi pendapatan negara.

Namun demikian, pemerintah mengupayakan agar pertumbuhan pajak tetap positif, ditopang

dengan terobosan kebijakan pada penerimaan perpajakan. Adapun kebijakan yang dimaksud

antara lain adalah Amnesti Pajak, penggalian potensi sektor unggulan memanfaatkan

program geo-tagging, implementasi e-tax invoice, ekstensifikasi, khususnya Wajib Pajak

Orang Pribadi yang belum memiliki NPWP, dan pemeriksaan Wajib Pajak Badan (PMA) yang

menurut profiling terdapat potensi pajak. Sementara itu berbagai strategi untuk mendukung

pencapaian PNBP ditempuh dengan menahan turunnya lifting, memonitor pengetatan jadwal

proyek migas on stream, dan mempercepat revisi dan penyelesaian berbagai peraturan jenis

dan tarif PNBP, serta perbaikan administrasi tata kelola PNBP.

Sementara untuk memperkuat kualitas belanja ditempuh dengan mendorong belanja yang

produktif. Langkah tersebut dilakukan secara simultan dengan efisiensi belanja operasional

dan nonprioritas dalam kerangka pengendalian defisit anggaran dalam batas aman. Upaya

efisiensi ditempuh dengan pemotongan belanja K/L dan meningkatkan ketepatan sasaran

subsidi antara lain dengan pengurangan fixed subsidi solar yang semula Rp1000 menjadi

Rp500 per liter. Sebelumnya, pemerintah juga telah melakukan percepatan lelang,

penyederhanaan prosedur, pemberian fleksibilitas pelaksanaan anggaran, implementasi

reward dan punishment serta monitoring pelaksanaan disiplin anggaran secara konsisten dan

periodik oleh TEPRA. Berbagai terobosan kebijakan tersebut berhasil mengakselerasi

sekaligus memperbaiki pola penyerapan belanja K/L hingga semester pertama 2016. Realisasi

belanja K/L mencapai Rp262,8 triliun (34,2 persen terhadap pagunya dalam APBNP tahun

2016). Realisasi tersebut dipengaruhi antara lain oleh kebijakan percepatan pengadaan

barang dan jasa (lelang dini); kegiatan monitoring, evaluasi, dan pengawasan yang intensif,

sehingga K/L melaksanakan kegiatan secara lebih optimal; serta kebijakan penghematan atau

pemotongan. Percepatan realisasi belanja untuk pembangunan infrastruktur, gaji ketiga

belas, dan THR pada semester pertama tahun 2016 diharapkan memberi kontribusi positif

dalam menstimulasi perekonomian.

Edisi III / Agustus 2016 | Tinjauan Ekonomi, Keuangan, & Fiskal 43

Penguatan desentralisasi fiskal juga dilakukan sebagai upaya memperbaiki kualitas belanja

dengan mendorong percepatan penyerapan dan perbaikan pola penyaluran. Upaya tersebut

ditempuh dengan membuat desain penyaluran transfer ke daerah yang disesuaikan dengan

sifat penggunaannya, yaitu untuk jenis dan Transfer ke Daerah yang bersifat block grant, pola

penyalurannya dilakukan secara periodik tanpa mensyaratkan laporan realisasi dari daerah.

Sedangkan untuk jenis dana Transfer ke Daerah yang penggunaannya sudah ditentukan,

seperti DAK, penyalurannya berdasarkan laporan kinerja penyerapan dana dari daerah.

Secara umum, gambaran perubahan postur dalam APBNP 2016 dapat dilihat melalui adanya

pelebaran defisit anggaran sebesar Rp23,5 triliun atau menjadi Rp296,7 triliun (2,35 persen dari

PDB). Hal ini karena penurunan pendapatan negara yang lebih besar dibandingkan belanja

negara. Dalam APBNP 2016, pendapatan negara turun Rp36,3 triliun sementara belanja

negara menurun sebesar Rp12,3 triliun. Seiring dengan pelebaran defisit dari 2,15 persen

menjadi 2,35 persen PDB maka dibutuhkan penambahan pembiayaan untuk menutup

financing gap sekaligus menopang tambahan pembiayaan investasi yang bersumber dari

utang mapun non-utang.

Pemerintah juga menjaga keberlanjutan pembiayaan untuk menutupi pelebaran defisit dengan

tetap mengendalikan risiko dalam batas aman. Upaya tersebut ditempuh melalui pemanfaatan

SAL dan penambahan penerbitan SBN, sekaligus memenuhi kebutuhan pembiayaan investasi

antara lain pemberian PMN kepada PLN, BPJS Kesehatan, dan investasi kepada BLU LMAN.

Lebih lanjut, keberlanjutan pembiayaan dijaga melalui bauran kebijakan yang efisien serta

mendorong terciptanya pembiayaan yang kreatif dan inovatif. Upaya tersebut ditempuh agar

pembiayaan mempunyai daya leverage untuk mengakselerasi pembangunan infrastruktur,

peningkatan akses pembiayaan bagi KUMKM, peningkatan ekspor serta pemenuhan

kebutuhan rumah yang layak dengan harga terjangkau bagi MBR. Tercatat realisasi

pembiayaan dalam semester pertama tahun 2016 mencapai Rp276,6 triliun (93,2 persen),

yang meliputi pembiayaan non-utang mencapai negatif Rp1,2 triliun (1,7 persen) dan

pembiayaan utang mencapai sebesar Rp277,8 triliun (75,9 persen). Adapun SILPA sementara

tercatat sebesar Rp45,9 triliun.

44 Edisi III / Agustus 2016 | Tinjauan Ekonomi, Keuangan, & Fiskal

Realisasi Semester Pertama APBN-P 2016

Tabel 6. Realisasi APBN-P 2016 Semester Pertama (dalam triliun rupiah)

Uraian

2015 2016

APBNP Smt I %

Reali-sasi

APBN Smt I %

Reali-sasi

A. Pendapatan Negara dan Hibah 1.761,6 667,9 37,9 1.786,2 634,7 35,5

I. Penerimaan Dalam Negeri 1.758,3 667,6 38,0 1.784,2 634,1 35,5

1. Penerimaan Perpajakan 1.489,3 535,1 35,9 1.539,2 522,0 33,9

2. PNBP 269,1 132,5 49,2 245,1 112,1 45,7

II. Hibah 3,3 0,4 12,1 2,0 0,6 28,6

B. Belanja Negara 1.984,1 752,2 37,9 2.082,9 865,4 41,5

I. Belanja Pemerintah Pusat 1.319,5 417,5 31,6 1.306,7 481,3 36,8

1. Belanja K/L 795,5 195,3 24,6 767,8 262,8 34,2

2. Belanja Non K/L 524,1 222,2 42,4 538,9 218,5 40,6

II. Transfer ke Daerah dan Dana Desa

664,6 334,7 50,4 776,3 384,0 49,5

1. Transfer ke Daerah 643,8 326,8 50,8 729,3 357,2 49,0

2. Dana Desa 20,8 7,9 38,0 47,0 26,8 57,1

C. Keseimbangan Primer (66,8) (10,7) 16,0 (105,5) (143,4) 135,9

D. Surplus/(Defisit) Anggaran (A-B) (222,5) (84,3) 37,9 (296,7) (230,7) 77,7

% Surplus/(Defisit) Terhadap PDB (1,9) (0,7) (2,4) (1,8)

E. Pembiayaan Anggaran (I + II) 222,5 177,2 79,6 296,7 276,6 93,2

I. Pembiayaan Dalam Negeri 242,5 199,8 82,4 299,3 300,9 100,5

II. Pembiayaan Luar Negeri (neto) (20,0) (22,6) 113,0 (2,5) (24,3) 961,5

Kelebihan/(Kekurangan) Pembiayaan Anggaran

0,0 92,9 0,0 45,9

Sumber: Kementerian Keuangan

Hingga semester pertama tahun 2016, realisasi belanja negara terus menunjukkan perbaikan

dengan mencatatkan pertumbuhan yang tinggi. Hingga 30 Juni 2016, belanja pemerintah pusat

yang telah dicairkan sebesar Rp481,3 triliun atau 36,8 persen dari target. Realisasi belanja

pemerintah tersebut lebih besar dibandingkan pencapaian pada periode yang sama tahun

lalu, yakni 31,6 persen. Perbaikan ini didukung oleh hampir seluruh komponen belanja

pemerintah pusat, yang secara konsisten membukukan realisasi yang lebih baik sejak awal

tahun. Perbaikan yang cukup signifikan terlihat pada belanja modal, di mana sampai dengan

semester pertama 2016 mencapai Rp44,4 triliun atau 21,5 persen dari APBNP 2016.

Pencapaian ini jauh lebih tinggi dibandingkan dengan rata-rata pencapaian belanja modal

dalam lima tahun terakhir yaitu sebesar 15,7 persen. Selain itu, pola realisasi belanja pegawai

dan belanja barang pada semester pertama 2016 juga mengalami perbaikan, di mana masing-

masing mencapai Rp100,9 triliun dan Rp94,6 triliun. Pemerintah akan melakukan perbaikan

profil realisasi belanja secara terus menerus agar dampak kepada perekonomian dapat lebih

cepat dirasakan oleh masyarakat. Beberapa langkah yang telah ditempuh pemerintah dalam

Edisi III / Agustus 2016 | Tinjauan Ekonomi, Keuangan, & Fiskal 45

upaya memperbaiki realisasi belanja adalah pelaksanaan lelang dini dan program pre-funding.

Melalui pelaksanaan lelang dini, K/L mendapatkan keleluasaan untuk melakukan lelang sejak

November 2015. Adapun program pre-funding memungkinkan pemerintah untuk melakukan

penerbitan SBN di tahun 2015, guna memperoleh sumber pembiayaan anggaran 2016.

Sehingga sejak awal tahun 2016, ketersediaan dana untuk membiayai belanja dapat

dipastikan dan proyek-proyek strategis dapat segera dieksekusi. Kebijakan pre-funding

tersebut dilengkapi juga dengan front-loadment penerbitan SBN sejak awal tahun anggaran

2016.

Tabel 7. Realisasi Belanja Pemerintah Pusat Semester Pertama (dalam triliun rupiah)

APBNPJuni

2015

% thd

APBNPAPBNP

Juni

2016

% thd

APBNP

A. Kementerian/Lembaga 795,5 195,3 24,5 767,8 262,8 34,2

B. Non Kementerian/Lembaga 524,1 222,2 42,4 538,9 218,5 40,6

a.l. a. Pembayaran Bunga Utang 155,7 73,6 47,3 191,2 87,3 45,6

b. Subsidi 212,1 90,1 42,5 177,8 72,3 40,7

i. Subsidi Energi 137,8 62,6 45,4 94,4 51,0 54,1

ii. Subsidi Non Energi 74,3 27,4 37,0 83,4 21,3 25,5

c. Belanja Lain-Lain 31,7 1,0 3,2 22,5 2,8 12,3

Total 1319,5 417,5 31,6 1306,7 481,3 36,8

Belanja Pemerintah Pusat

(triliun rupiah)

2015 2016

Sumber: Kementerian Keuangan

Grafik 12. Penyerapan Belanja Pemerintah Pusat Menurut Fungsi (dalam persen)

Sumber: Kementerian Keuangan

493535,1

19,536,1

18,129,4

34,835,4

36,837,9

00 10 20 30 40 50 60

Perlindungan Sosial

Agama

Kesehatan

Perlindungan Lingkungan Hidup

Ketertiban dan Keamanan

Pelayanan Umum

46 Edisi III / Agustus 2016 | Tinjauan Ekonomi, Keuangan, & Fiskal

APBNPJuni

2015

% thd

APBNPAPBNP

Juni

2016

% thd

APBNP

Transfer ke Daerah dan Dana Desa 664,6 334,7 50,4 776,3 384 49,5

A. Transfer ke Daerah 746,6 326,8 43,8 729,3 357,2 49,0

a. Dana Perimbangan 624,5 321,0 51,4 705,5 348,7 49,4

1. DBH 110,1 52,8 48,0 109,1 53,6 49,2

2. DAU 352,9 205,9 58,3 385,4 224,2 58,2

3. DAK 161,6 62,3 38,6 211,0 70,9 33,6

b. Dana Otonomi Khusus 17,1 5,1 30,0 18,3 5,2 28,3

c. Dana Penyesuaian 104,4 0,6 0,6 5,0 2,9 58,1

d. Dana Keistimewaan DIY 0,5 0,1 25,0 0,5 0,4 80,0

e. Dana Desa 20,8 7,9 37,9 47,0 26,8 57,1

2015 2016

Uraian

Sumber: Kementerian Keuangan

Grafik 13. Realisasi Belanja K/L per Jenis Belanja Semester Pertama (dalam persen)

Sumber: Kementerian Keuangan

Tabel 8. Realisasi Transfer ke Daerah dan Dana Desa Semester Pertama (dalam triliun rupiah)

31,846,1

61,475,510,7

23,838,8

55,871,1

100,9

0

50

100

150

Januari Februari Maret April Mei Juni

Belanja Pegawai

2015 2016

8,616,7

26,91,5

5,410,2

18

27,2

44,4

0

10

20

30

40

50

Januari Februari Maret April Mei Juni

Belanja Modal

2015 2016

8,616,7

26,9

1,1 7,424,6

42,4

64,5

94,6

0

50

100

Januari Februari Maret April Mei Juni

Belanja Barang

2015 2016

1,76,2

14,9

27,334

42,2

9,2 12,116,8

22,9

0

10

20

30

40

50

Januari Februari Maret April Mei Juni

Belanja Bantuan Sosial

2015 2016

Edisi III / Agustus 2016 | Tinjauan Ekonomi, Keuangan, & Fiskal 47

Adapun realisasi penerimaan APBN 2016 hingga semester pertama tercatat melambat

dibanding periode yang sama tahun lalu. Penerimaan negara hingga 30 Juni 2016 tercatat

sebesar Rp634,7 triliun, lebih rendah dari periode yang sama tahun 2015 sebesar Rp667,9

triliun atau turun 3,3 persen (yoy). Secara keseluruhan, realisasi penerimaan perpajakan pada

30 Juni 2016 mencapai Rp522,0 triliun atau lebih rendah dari periode akhir Juni tahun 2015,

yaitu Rp535,1 triliun. Besaran tersebut terdiri atas penerimaan PPh Migas Rp16,3 triliun, PPh

Nonmigas Rp270,5 triliun, PPN Rp169,2 triliun, serta total penerimaan bea cukai sebesar

Rp61,3 triliun. Tak pelak, harga komoditas yang masih rendah serta kinerja ekspor impor yang

belum pulih, masih memberikan tekanan yang cukup kuat pada posisi penerimaan negara

tahun ini. Selain itu, perlambatan pertumbuhan ekonomi yang terjadi pada triwulan pertama

2016 turut membuat kinerja penerimaan negara belum berjalan optimal.

Tabel 9. Realisasi Penerimaan Perpajakan Semester Pertama (dalam triliun rupiah)

APBNP Juni 2015% thd

APBNPAPBNP Juni 2016

% thd

APBNP

Penerimaan Perpajakan 1489,3 535,1 35,9 1539,2 522 33,9

a. Pajak Dalam Negeri 1440,0 518,0 36,0 1503,3 504,7 33,6

i. Pajak Penghasilan 679,4 280,0 41,2 855,8 286,8 33,5

1. PPh Migas 49,5 27,3 55,1 36,3 16,3 44,9

2. PPh Nonmigas 629,8 252,7 40,1 819,5 270,5 33,0

ii. PPN dan PPnBM 576,5 174,5 30,3 474,2 169,2 35,7

iii. Pajak Bumi dan Bangunan 26,7 0,5 1,8 17,7 0,7 4,0

iv. Cukai 145,7 60,4 41,5 148,1 44 29,7

v. Pajak Lainnya 11,7 2,5 21,5 7,4 4 53,8

b. Pajak Perdagangan Internasional 49,3 17,1 34,7 35,9 17,3 48,3

i. Bea Masuk 37,2 15,2 40,8 33,4 16 48

ii. Bea Keluar 12,1 1,9 16 2,5 1,3 51,5

Uraian

2015 2016

Sumber: Kementerian Keuangan

Tabel 10. Realisasi PNBP Semester Pertama (dalam triliun rupiah)

APBNP Juni 2015 % thd APBNP APBNP Juni 2016% thd

APBNP

Penerimaan Negara Bukan Pajak 269,1 132,5 49,2 245,1 112,1 45,7

A. Penerimaan SDA 118,9 56,3 47,3 90,5 27,4 30,2

1) SDA Migas 61,6 42,7 69,3 51,3 18,5 36,1

2) Non Migas 19,8 13,6 68,9 17,4 8,9 51,4

B. Pendapatan Bagian Laba BUMN 37,0 27,5 74,4 34,2 24,8 72,7

C. PNBP Lainnya 90,1 37,0 41,1 84,1 41,8 49,7

D. Pendapatan BLU 23,1 11,7 50,5 36,3 18,1 49,8

Uraian

20162015

Sumber: Kementerian Keuangan

48 Edisi III / Agustus 2016 | Tinjauan Ekonomi, Keuangan, & Fiskal

Memperhitungkan kondisi penerimaan dan belanja negara tersebut, realisasi defisit sampai

dengan semester pertama 2016 adalah sebesar Rp230,7 triliun atau 1,83 persen dari PDB.

Kondisi ini dipengaruhi oleh belum optimalnya kinerja pendapatan negara dan peningkatan

yang signifikan pada kinerja penyerapan belanja K/L. Meskipun lebih lebar dibanding tahun

2015, defisit APBN tersebut masih dalam tingkatan yang aman. Jumlah tersebut telah ditutup

melalui Pembiayaan Dalam Negeri sebesar Rp300,9 triliun dan Pembiayaan Luar Negeri

sebesar Rp24,3 triliun. Dalam hal ini, masih terdapat surplus sebesar Rp45,9 triliun.

Arah dan Tantangan Kebijakan Fiskal 2017

Di tengah pemulihan perekonomian global dan domestik, pengelolaan fiskal tahun 2017

menghadapi tantangan yang cukup berat. Ruang fiskal untuk menopang belanja produktif dan

prioritas, masih relatif terbatas. Masih tingginya belanja yang bersifat mengikat (mandatory

spending) turut memberi batasan ruang fiskal dalam postur anggaran. Selain itu, optimalisasi

penerimaan negara perlu untuk terus ditingkatkan guna memberi tambahan ruang bagi fiskal

serta pengendalian keseimbangan primer. Pemerintah juga masih menghadapi tantangan

dalam optimalisasi realisasi belanja khususnya yang bersifat produktif. Selama tahun 2016,

pemerintah telah berhasil memperbaiki profil penyerapan belanja sehingga dapat

memberikan dukungan yang positif terhadap pertumbuhan ekonomi. Ke depan, hal ini terus

untuk diperbaiki sehingga APBN menjadi alat yang optimal dalam menggerakan laju

perekonomian nasional. Tidak kalah pentingnya, setelah berhasil mengurangi subsidi energi

secara signifikan, pemerintah masih harus terus berupaya menciptakan sistem subsidi yang

lebih tepat sasaran agar dapat dimanfaatkan oleh golongan masyarakat yang betul-betul

membutuhkan.

Pembangunan infrastruktur masih akan menjadi prioritas bagi pemerintah, karena ini adalah

salah kunci utama dalam menciptakan perekonomian yang lebih inklusif. Dengan memacu

pembangunan infrastruktur, daya saing ekonomi dan kesempatan kerja akan meningkat,

sedangkan kemiskinan dan kesenjangan dapat berkurang. Untuk itu, arah kebijakan fiskal

tahun 2017 akan mengambil tema “Pemantapan Pengelolaan Fiskal untuk Peningkatan Daya

Saing dan Mengakselerasi Pertumbuhan Ekonomi yang Berkelanjutan dan Berkeadilan”.

Adapun strategi fiskal yang akan ditempuh antara lain melalui tiga pilar. Pilar pertama yakni

meningkatkan kualitas stimulus. Strategi peningkatan kualitas stimulus fiskal ditempuh untuk

meningkatkan peran APBN dalam mendukung pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan dan

berkeadilan. Dari sisi pendapatan negara, stimulus fiskal dilakukan dengan pemberian insentif

fiskal untuk kegiatan ekonomi strategis yang mendukung iklim investasi dan keberlanjutan

dunia usaha serta peningkatan daya beli. Akan tetapi, penyediaan insentif fiskal dilakukan

tanpa mengorbankan optimalisasi pendapatan. Dari sisi belanja, stimulus fiskal ditempuh

dengan meningkatkan belanja produktif yang difokuskan untuk pembangunan infrastruktur

guna meningkatkan daya saing dan kapasitas perekonomian. Ruang fiskal akan ditingkatkan

melalui efisiensi subsidi dan belanja operasional yakni pengendalian earmarking dan

mandatory spending. Sementara itu dari sisi pembiayaan, kebijakan stimulus fiskal ditempuh

Edisi III / Agustus 2016 | Tinjauan Ekonomi, Keuangan, & Fiskal 49

antara lain dengan memprioritaskan pemanfaatan utang untuk kegiatan produktif dan

meningkatkan peran swasta serta BUMN dalam mengakselerasi pembangunan infrastruktur.

Inovasi pada instrumen pembiayaan juga akan terus dilakukan, selain untuk diversifikasi

pembiyaan juga sebagai usaha pendalaman pasar modal.

Pilar kedua dalam strategi fiskal adalah memantapkan daya tahan fiskal ditujukan untuk

memperkuat ketahanan fiskal dalam meredam ketidakpastian untuk mendukung pencapaian

target pembangunan. Langkah-langkah yang dapat ditempuh untuk memantapkan daya

tahan fiskal, antara lain penyediaan bantalan fiskal (fiscal buffer) melalui pemanfaatan SAL.

Selain itu fleksibilitas pengelolaan kebijakan fiskal melalui penguatan payung hukum juga akan

ditingkatkan antara lain melalui UU APBN yang lebih fleksibel dalam mengantisipasi situasi

yang terjadi. Tidak kalah pentingnya, usaha menjaga daya tahan fiskal dilakukan melalui

pengendalian kerentanan fiskal dalam batas toleransi, antara lain menjaga indikator-indikator

fiskal dalam batas aman (debt services ratio, rasio utang terhadap PDB, rasio utang terhadap

PDN, dan rasio pembayaran bunga utang terhadap PDN).

Pilar terakhir dalam strategi fiskal yakni menjaga kesinambungan fiskal, ditujukan untuk

mengendalikan risiko dan menjaga keberlanjutan fiskal dalam mendorong produktivitas APBN

untuk mendukung peningkatan kapasitas perekonomian nasional. Hal tersebut ditempuh

melalui pengendalian defisit anggaran, rasio utang terhadap PDB, dan keseimbangan primer.

Secara umum semangat yang menjiwai dalam perumusan kebijakan fiskal 2017 adalah untuk

pencapaian kebijakan fiskal akan lebih sehat dan memberi kontribusi yang optimal bagi

stabilitas perekonomian dan peningkatan derajat kesejahteraan. APBN 2017 akan diarahkan

untuk mendorong agar fungsi pokok kebijakan fiskal dapat berfungsi secara optimal dalam

menstimulasi perekonomian, menjaga keseimbangan makro, peningkatan kualitas pelayanan

publik, meredistribusi pendapatan, memberikan perlindungan sosial serta mengantisipasi

terhadap ketidakpastian. Hal ini tentunya akan dilakukan dengan tetap memberi dukungan

dan selaras target pembangunan yang hendak dicapai, serta konsisten dan sinergis dengan

arah dan strategi kebijakan jangka menengah.

Dalam tahun 2017 kebijakan fiskal yang ditempuh tetap ekspansif terarah untuk meningkatkan

kapasitas produksi dan daya saing dengan defisit anggaran berkisar 1,9-2,5 persen PDB. Arah

kebijakan pendapatan negara secara umum difokuskan untuk optimalisasi pendapatan

dengan tetap menjaga iklim investasi dan konservasi terhadap lingkungan dan peningakatan

kualitas pelayanan publik. Arah kebijakan belanja negara secara umum difokuskan untuk

peningkatan kualitas belanja dengan mendorong peningkatan belanja produktif, efisiensi

belanja operasional dan nonprioritas, subsidi tepat sasaran, peningkatan efektiftas program

perlindungan sosial, penguatan dan kualitas desentralisasi fiskal dan antisipasi ketidakpastian.

Arah kebijakan pembiayaan difokuskan untuk mendukung keberlanjutan pembiayaan dengan

mengembangkan pembiayan kreatif dan inovatif untuk leverage pembangunan infrastruktur

dan peningkatan akses pembiayaan bagi KUMKM, peningkatan ekspor serta penyediaan

rumah bagi MBR.

50 Edisi III / Agustus 2016 | Tinjauan Ekonomi, Keuangan, & Fiskal

Kerangka Kebijakan Fiskal Jangka Menengah-Medium Term Fiscal Framework

2015-2020

Arah kebijakan fiskal dalam jangka menengah 2015-2020 diarahkan untuk “Memperkokoh

Pengelolaan Fiskal Untuk Mendukung Pertumbuhan Ekonomi Yang Berkelanjutan Dan

Berkeadilan Dalam Rangka Mewujudkan Kesejahteraan”. Upaya untuk mewujudkan hal

tersebut ditempuh dengan dua strategi utama yaitu mendorong pertumbuhan ekonomi yang

berkelanjutan dan berkeadilan (equitable growth), serta menjaga keberlanjutan fiskal (fiscal

sustainability) dalam jangka pendek, jangka menengah, dan jangka panjang.

Pemerintah telah menyiapkan berbagai strategi untuk mendorong pertumbuhan ekonomi yang

berkelanjutan dan berkeadilan (equitable growth). Menjaga iklim investasi yang kondusif

adalah hal utama yang perlu menjadi fokus dalam mencapai pertumbuhan yang lebih inklusif.

Meskipun saat ini konsumsi masyarakat masih menjadi kontributor utama pertumbuhan

ekonomi, ke depan hal ini perlu lebih diimbangi dengan kontribusi yang lebih besar dari

sumber pertumbuhan yang lebih berkelanjutan seperti investasi. Beberapa langkah yang

dapat dilakukan untuk memperkuat kinerja invetasi yakni stabilisasi politik dan penguatan

demokratisasi, penegakan dan kepastian hukum, konsistensi kebijakan, deregulasi dan

debirokratisasi (reformasi birokrasi), serta pemberian insentif fiskal pada kegiatan ekonomi

strategis.

Selain menjaga iklim investasi, peningkatan daya saing dan daya beli masyarakat perlu untuk

terus diperkuat. Peningkatan daya saing adalah langkah krusial bagi Indonesia di tengah

perekonomian dunia yang semakin terbuka dan kompetitif. Pembangunan infrastruktur yang

bekualitas adalah komitmen utama dari pemerintah dalam menjawab permasalah utama

perekonomian termasuk dalam peningkatan kapasitas produksi dan daya saing nasional. Hal

ini perlu dibarengi dengan upaya lain seperti efisiensi sistem logistik dan peningkatan kualitas

SDM dan penguasaan Iptek. Sedangkan dalam rangka mendorong daya beli masyarakat

berbagai program kesejahteraan seperti perluasan PKH, peningkatan PBI, KIP, KIS, SJSN, KUR,

subsidi tepat sasaran, dan penyesuaian PTKP telah disediakan oleh pemerintah. Hal ini

merupakan kesadaran bahwa daya beli masyarakat yang mendorong konsumsi hingga saat ini

masih menjadi tulang punggung pertumbuhan ekonomi.

Berbagai upaya mencapai pertumbuhan jangka menengah, perlu dilengkapi dengan penguatan

harmonisasi dan koordinasi antar institusi. Harmonisasi antar kebijakan di sektor fiskal,

moneter, keuangan dan riil akan terus diperkuat guna mengendalikan inflasi, stabilisasi nilai

tukar, mendorong pertumbuhan yang berkelanjutan, dan menjaga suku bunga yang

kompetitif.

Keberlanjutan fiskal (fiscal sustainability) perlu untuk dijaga melalui peningkatan produktivitas

APBN, efisiensi alokasi anggaran. Meningkatkan produktivitas APBN dalam mendukung

pencapaian target pembangunan antara lain melalui peningkatan rasio perpajakan,

peningkatan belanja produktif sebagai pendukung pembangunan infrastruktur dasar dan

konektivitas guna meningkatkan kapasitas produksi dan daya saing, serta mengarahkan

Edisi III / Agustus 2016 | Tinjauan Ekonomi, Keuangan, & Fiskal 51

pemanfaatan utang untuk kegiatan produktif. Adapun meningkatkan efisiensi pengalokasian

anggaran antara lain dengan melakukan efisiensi belanja yang bersifat rutin, seperti belanja

operasional, yang tidak boleh melampui pendapatan, penghematan kegiatan perjalanan

dinas, konsinyering, dan sejenisnya.

Keberlangsungan juga ditempuh dengan penguatan daya tahan fiskal serta pengendalian risiko.

Memperkuat daya tahan fiskal (durability) adalah upaya menciptakan bantalan penopang

agar pelaksanaan program-program prioritas tetap dapat dilaksanakan di tengah tekanan

fiskal yang kuat. Hal ini ditempuh dengan memperkuat bantalan fiskal dan meningkatkan

fleksibilitas dalam pengelolaan fiskal khususnya dalam kondisi darurat. Sementara itu,

pengendalian risiko (risk control) dilakukan dalam rangka memelihara keberlanjutan fiskal baik

jangka pendek maupun jangka menengah. Hal ini ditempuh melalui menjaga kerentanan fiskal

(fiscal vulnerability) dalam batas toleransi, menjaga keberlanjutan fiskal (fiscal sustainability)

melalui pengendalian defisit dan rasio utang dalam batas aman serta mengendalikan

keseimbangan primer menuju positif.

Melalui kombinasi equitable growth dan fiscal sustainability tersebut diharapkan tiga fungsi

pokok kebijakan fiskal yaitu alokasi, stabilisasi dan, distribusi, akan dapat berfungsi secara

optimal. Hal ini perlu dilakukan sehingga kebijakan fiskal dapat memberi kontribusi positif

dalam mendukung pencapaian sasaran pembangunan. Dengan demikian, tujuan untuk

mewujudkan Indonesia yang berdaulat, mandiri, dan berkepribadian berlandaskan pada asas

gotong royong diharapkan dapat tercapai.

Terdapat tiga kebijakan utama dalam kebijakan fiskal jangka menengah 2015–2020 untuk

menciptakan APBN yang semakin berkualitas. Pertama, memberi penekanan pada

peningkatan kualitas belanja produktif dan prioritas (big push policy) yang antara lain

difokuskan untuk mendorong percepatan pembangunan infrastruktur dalam rangka

peningkatan kapasitas produksi dan daya saing, peningkatan kualitas dan ruang lingkup

program perlindungan sosial dalam rangka percepatan pengurangan kemiskinan dan

kesenjangan serta penguatan dan peningkatan kualitas desentralisasi fiskal. Kedua,

memperlebar ruang fiskal melalui optimalisasi penerimaan perpajakan, efisiensi subsidi serta

efisiensi belanja operasional dan nonprioritas. Ketiga, memperkuat daya tahan dan

pengendalian risiko melalui pengendalian defisit dan rasio utang dalam batas yang dapat

dikendalikan. Melalui kebijakan jangka menengah tersebut diharapkan pengelolaan fiskal

dalam perspektif jangka menengah 2015-2020, akan senantiasa konsisten dalam mendukung

pencapaian target pembangunan sekaligus menjaga keberlanjutan fiskal dalam jangka

menengah.

52 Edisi III / Agustus 2016 | Tinjauan Ekonomi, Keuangan, & Fiskal

Boks 3:

Dampak Makro Amnesti Pajak

Pada tanggal 28 Juni 2016, Dewan Perwakilan Rakyat secara resmi mengesahkan Undang-Undang

nomor 11 tahun 2016 tentang Pengampunan Pajak (Amnesti Pajak). Amnesti Pajak diartikan sebagai

penghapusan pajak yang seharusnya terutang, tanpa dikenai sanksi administrasi maupun sanksi

pidana perpajakan. Di tengah kondisi perekonomian global yang belum menunjukkan tanda-tanda

pemulihan yang signifikan dalam waktu dekat, maka Amnesti Pajak menjadi sebuah terobosan

kebijakan untuk mendukung pencapaian target penerimaan sektor perpajakan dalam APBN-P 2016.

Amnesti Pajak merupakan usaha pemerintah untuk menarik dana milik WNI yang masih berada di luar

negeri, untuk dapat menjadi sumber pembiayaan pembangunan sektor riil di dalam negeri. Repatriasi

aset tersebut juga diharapkan dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi yang ditandai dengan

peningkatan likuiditas domestik, perbaikan nilai tukar rupiah, penurunan suku bunga, serta

peningkatan investasi. Dalam jangka panjang, Amnesti Pajak bertujuan untuk membenahi

administrasi perpajakan melalui peningkatan kepatuhan wajib pajak dan perluasan basis data

perpajakan sehingga menjadi lebih valid, komprehensif, dan terintegrasi. Hal tersebut pada

gilirannya akan meningkatkan penerimaan perpajakan secara optimal dan berkelanjutan di masa

depan.

Periode Amnesti Pajak berlangsung sejak bulan Juli 2016 sampai dengan 31 Maret 2017. Dalam

periode ini, setiap WNI diberi kesempatan untuk melaporkan harta kekayaan yang selama ini belum

dilaporkan, baik harta di dalam negeri maupun luar negeri. WNI yang menempatkan harta hasil

repatriasi ke dalam instrumen pasar keuangan di wilayah NKRI akan mendapatkan insentif berupa

tarif tebusan yang lebih kecil daripada mereka yang hanya melaporkan harta tanpa melakukan

repatriasi kekayaan. Skema tarif tebusan inilah yang membedakan kebijakan Amnesti Pajak tahun

2016 dengan Sunset Policy tahun 2008-2009 yang hanya memberikan penghapusan sanksi

administrasi. Klasifikasi tarif yang ditentukan dalam kebijakan Amnesti Pajak merupakan insentif

yang diharapkan dapat menjadi katalis dalam merepatriasi harta WNI di luar negeri untuk

diinvestasikan di Indonesia.

Penentuan tarif Tax Amnesty sendiri dibagi berdasarkan tiga kategori, yakni bagi usaha kecil

menengah, bagi wajib pajak yang bersedia merepatriasi asetnya yang berada di luar negeri, serta

deklarasi aset di luar negeri tanpa repatriasi. Untuk wajib pajak usaha kecil menengah yang

mengungkapkan harta sampai Rp10 miliar akan dikenai tarif tebusan sebesar 0,5 persen, sedangkan

yang mengungkapkan lebih dari Rp 10 miliar dikenai 2,0 persen. Sementara itu, wajib pajak yang

bersedia merepatriasi asetnya yang berada di luar negeri akan diberikan tarif tebusan sebesar 2,0

persen untuk periode Juli-September 2016, 3,0 persen untuk periode Oktober-Desember 2016, dan

5,0 persen untuk periode 1 Januari 2017 sampai 31 Maret 2017. Terakhir, wajib pajak yang

mendeklarasikan asetnya di luar negeri tanpa repatriasi akan dikenai tarif 4,0 persen untuk periode

Juli-September 2016, 6,0 persen untuk periode Oktober-Desember 2016, dan 10,0 persen untuk

periode Januari-Maret 2017.

Harta yang dimaksud adalah penambahan harta yang belum dilaporkan kepada Direktorat Jenderal

Pajak. Dengan jangka waktu minimal repatriasi tiga tahun sejak tanggal dilaporkan, repatriasi aset

diharapkan dapat menambah likuiditas di pasar keuangan domestik melalui penempatan pada

instrumen keuangan di antaranya surat berharga Negara, BUMN maupun swasta, investasi

keuangan pada bank, investasi di sektor riil (investasi infrastruktur melalui kerja sama pemerintah

dan badan usaha, investasi sektor riil berdasarkan prioritas yang ditentukan pemerintah) maupun

bentuk investasi lainnya yang sah sesuai dengan ketentuan perundang-undangan (misalnya emas

batangan dan properti).

Dalam jangka pendek, dengan masuknya dana repatriasi melalui jalur perbankan, likuiditas domestik

diharapkan akan bertambah. Hal tersebut dapat membantu memperbaiki kinerja nilai tukar rupiah

dan lebih lanjut menurunkan harga-harga secara umum, yang berdampak pada turunnya Cost of

Fund dan tingkat suku bunga yang mendukung peningkatan penyaluran kredit.

Edisi III / Agustus 2016 | Tinjauan Ekonomi, Keuangan, & Fiskal 53

instrumen keuangan di antaranya surat berharga negara, BUMN, maupun swasta, investasi

keuangan pada bank, investasi di sektor riil (investasi infrastruktur melalui kerja sama pemerintah

dan badan usaha, investasi sektor riil berdasarkan prioritas yang ditentukan pemerintah) maupun

bentuk investasi lainnya yang sah sesuai dengan ketentuan perundang-undangan (misalnya emas

batangan dan properti).

Dalam jangka pendek, dengan masuknya dana repatriasi melalui jalur perbankan, likuiditas domestik

diharapkan akan bertambah. Hal tersebut dapat membantu memperbaiki kinerja nilai tukar rupiah

dan lebih lanjut menurunkan harga-harga secara umum, yang berdampak pada turunnya Cost of

Fund dan tingkat suku bunga yang mendukung peningkatan penyaluran kredit.

Dalam jangka menengah dan panjang, peningkatan penyaluran kredit perbankan dapat mendorong

aktivitas investasi dan kinerja sektor riil di Indonesia. Di sisi lain, dana repatriasi yang terhimpun dan

diinvestasikan di instrumen pasar modal dapat dimanfaatkan secara langsung untuk membiayai

sektor-sektor strategis termasuk proyek infrastruktur strategis nasional. Oleh sebab itu,

pembentukan instrumen yang secara langsung dapat mengalirkan dana repatriasi ke proyek-proyek

tersebut misalnya obligasi BUMN infrastruktur dan obligasi proyek serta sekuritisasi aset BUMN

dapat menjadi alternatif. Investasi infrastruktur menjadi prioritas karena dipercaya akan

memberikan efek multiplier bagi sektor lainnya melalui peningkatan efektivitas distribusi barang

dan jasa sehingga memberikan manfaat jangka panjang bagi perekonomian Indonesia. Di sisi lain,

pemanfaatkan dana repatriasi bagi pembiayaan sektor strategis di pasar keuangan diharapkan

dapat menjadi katalis pengembangan pasar keuangan domestik sehingga ke depannya tersedia

alternatif sumber pembiayaan perekonomian.

Penyusunan dan pelaksanaan Amnesti Pajak telah mempertimbangkan manfaat dan risiko yang

mungkin timbul sebagai akibat dari penerapan kebijakan tersebut. Pemerintah juga mengambil

pengalaman dari proses dan pelaksanaan pengampunan pajak di negara-negara yang telah atau

sedang melaksanakan program serupa. Dua tolak ukur utama dari keberhasilan program Amnesti

Pajak dalam jangka pendek adalah penambahan penerimaan perpajakan dan jumlah dana yang

berhasil direpatriasi. Berkaca dari negara-negara yang melaksanakan kebijakan pengampunan

pajak, terdapat berbagai variasi tingkat keberhasilan maupun kegagalan yang dapat menjadi

pelajaran bagi Indonesia.

Program Amnesti Pajak yang cukup berhasil meningkatkan pendapatan perpajakan dilaksanakan oleh

AS, yang selama 1980-2004 tercatat menghasilkan 6,6 miliar dolar AS. Selain itu, keberhasilan

program Amnesti Pajak juga ditunjukkan oleh negara Argentina pada tahun 1995 tercatat

meningkatkan penerimaan sebesar 3,9 miliar dolar AS. Program Amnesti Pajak di India pada tahun

1997-1998 juga mencatat penerimaan sebesar 100 miliar rupee atau 1,5 miliar dolar AS dan

meningkatkan penerimaan pajak yang selama lima tahun sebelumnya kurang dari 3,0 persen

menjadi 3,6 persen PDB.

Sebaliknya, program Amnesti Pajak cenderung kurang berhasil di negara-negara yang melaksanakan

program Amnesti Pajak secara berulang. Hal tersebut sebagaimana ditunjukkan oleh negara Irlandia

yang memberlakukan Amnesti Pajak pada tahun 1988, 1993, dan 1999, Italia yang melaksanakan

27 program Amnesti Pajak selama 20 tahun atau 59 kali apabila dihitung dari permulaan abad 20,

serta Filipina yang melaksanakan 15 program selama 11-12 tahun. Program Amnesti Pajak di

negara-negara tersebut cenderung kurang berhasil dalam meningkatkan penerimaan perpajakan

dan tingkat kepatuhan pajak.

Merujuk kepada contoh-contoh penerapan Amnesti Pajak di berbagai negara, untuk mendukung

keberhasilan pelaksanaan program Amnesti Pajak tahun 2016, pemerintah telah mengambil langkah-

langkah antisipasi. Di antaranya adalah dengan memenuhi kaidah jendela waktu yang terbatas

(sembilan bulan) serta tarif tebusan yang semakin tinggi menjelang tenggat waktu usainya program

Amnesti Pajak. Pemerintah juga menerapkan sanksi tegas untuk setiap upaya penghindaran pajak

seusai masa berlaku Amnesti Pajak 2016. Selain itu penerapan Automatic Exchange of Information

54 Edisi III / Agustus 2016 | Tinjauan Ekonomi, Keuangan, & Fiskal

Merujuk kepada contoh-contoh penerapan Amnesti Pajak di berbagai negara, untuk mendukung

keberhasilan pelaksanaan program Amnesti Pajak tahun 2016, pemerintah telah mengambil langkah-

langkah antisipasi. Di antaranya adalah dengan memenuhi kaidah jendela waktu yang terbatas

(sembilan bulan) serta tarif tebusan yang semakin tinggi menjelang tenggat waktu usainya program

Amnesti Pajak. Pemerintah juga menerapkan sanksi tegas untuk setiap upaya penghindaran pajak

seusai masa berlaku Amnesti Pajak 2016. Selain itu penerapan Automatic Exchange of Information

yang telah mendapatkan komitmen dari 101 negara dan akan berlaku mulai tahun 2018 juga

memberikan disinsentif bagi warga negara yang menyembunyikan hartanya. Program Amnesti

Pajak tahun 2016 menjamin prinsip keadilan bagi wajib pajak melalui tarif tebusan yang jauh lebih

rendah (0,5 persen atau 2 persen) bagi mereka yang memiliki omzet setahun sampai dengan Rp4,8

milyar atau tergolong pengusaha kecil dan menengah.

Edisi III / Agustus 2016 | Tinjauan Ekonomi, Keuangan, & Fiskal 55

Halaman ini sengaja dikosongkan

56 Edisi III / Agustus 2016 | Tinjauan Ekonomi, Keuangan, & Fiskal

Edisi III / Agustus 2016 | Tinjauan Ekonomi, Keuangan, & Fiskal 57

BAGIAN III LAMPIRAN

DATA EKONOMI

MAKRO DAN APBN

58 Edisi III / Agustus 2016 | Tinjauan Ekonomi, Keuangan, & Fiskal

Data Perkem

ban

gan In

dikato

r Ekon

om

i Makro

s.d. Ju

ni 2016

Ind

ikator

2010

2011

2012

2013

2014

2015

2016

Dec

Jan

Feb M

ar A

pr

Mei

Jun

Pertu

mb

uh

an Eko

nom

i

G

row

th (%

) 6

,20

6

,46

6

,26

5

,78

5

,01

4

,79

N

om

inal (triliu

n)

6.4

46

,85

7

.41

9,1

9

8.2

29

,44

9

.08

7,2

8

10

.56

5,8

2

11

.54

0,7

9

Inflasi (%

) 6

,96

3

,79

4

,3

8,3

8

8,3

6

3,3

5

4,1

4

4,4

2

4,4

5

3,6

3

,33

3

,45

IH

K

12

5,1

7

12

9,9

1

13

5,4

9

14

6,8

4

11

9

12

2,9

9

12

3,6

2

12

3,5

1

12

3,7

5

12

3,1

9

12

3,4

8

12

4,2

9

C

ore

4,2

8

4,3

4

4,4

4

,98

4

,93

3

,95

3

,62

3

,59

3

,5

3,4

1

3,4

1

3,4

9

A

dm

inistrative P

rice 5

,4

2,7

8

2,6

6

16

,65

1

7,5

7

0,3

9

3,4

8

3,9

8

2,7

6

-0,8

4

-0,9

5

-0,5

Vo

latile Foo

d

17

,74

3

,37

5

,68

1

1,8

3

10

,88

4

,84

6

,77

7

,87

9

,59

9

,44

8

,15

8

,12

Nilai Tu

kar (Rp

/US$1

)

R

ata-rata 9

.08

7

8.7

76

9

.38

0

10

.45

1

12

.43

8

13

.36

2

13

.88

9

13

.51

6

13

.19

3

13

.18

0

13

.42

0

13

.35

5

En

d O

f Perio

d

9.0

23

9

.08

8

9.6

70

1

2.1

89

1

2.4

40

1

3.7

95

1

3.8

46

1

3.3

95

1

3.2

76

1

3.2

04

1

3.6

15

1

3.1

80

Su

ku B

un

ga (%)

B

I Rate

6,5

6

5

,75

7

,5

7,7

5

7,5

7

,25

7

,00

6

,75

6

,75

6

,75

6

,50

K

redit K

on

sum

si (eop

) 1

4,5

3

14

,15

1

3,5

8

13

,13

1

3,5

8

13

,88

1

3,9

4

13

,93

1

3,9

1

13

,91

1

3,8

6

13

,83

K

redit M

od

al Kerja

(eop

) 1

2,8

3

12

,16

1

1,4

9

12

,12

1

2,7

9

12

,46

1

2,4

6

12

,4

12

,28

1

2,1

4

11

,97

1

1,8

2

K

redit In

vestasi (eop

) 1

2,2

8

12

,04

1

1,2

7

11

,82

1

2,3

6

12

,12

1

1,9

6

11

,93

1

1,8

3

11

,71

1

1,6

1

1,4

9

Harga M

inyak (US$/b

arel)

R

ata-rata (ICP

) 7

9,4

3

11

1,5

1

12

,7

10

5,8

5

9,6

3

5,5

2

7,5

2

8,9

3

4,2

3

7,2

4

4,7

4

4,5

W

TI 9

1,3

8

98

,83

9

4,0

5

97

,61

5

3,2

7

37

3

3,6

3

3,8

3

8,3

4

5,9

4

9,1

4

8,3

B

rent

94

,3

10

7,5

8

11

2,1

0

10

8,8

5

5,7

6

35

,8

34

,7

36

,0

38

,7

46

,4

48

,3

48

,4

SUN

dan

Saham

O

bligasi

Yield

(5YR

) 6

,83

5

,43

4

,76

8

,03

7

,70

8

,82

8

,24

7

,97

7

,38

7

,46

7

,58

7

,32

Yield

(10

YR)

7,6

1

6,0

3

5,1

9

8,8

3

7,8

0

8,7

5

8,2

6

8,2

6

7,6

7

7,7

4

7,8

7

7,4

5

Sah

am

IHSG

3

.70

4

3.7

46

4

.31

6

4.2

74

5

.22

7

4.5

93

4

.61

5

4.7

71

4

.84

5

4.8

39

4

.77

0

5.0

17

N

FB

SUN

, Sah

am,

SBI

16

3.6

79

3

4.6

84

3

4.6

84

6

3.9

43

-2

8.3

14

5

.35

3

17

.47

6

13

.87

1

21

.22

9

23

.79

8

-4.3

90

3

0.8

35

Perb

ankan

(%)

C

AR

1

7

16

,10

1

7,3

0

18

,36

1

9,4

0

21

,16

2

1,5

1

21

,7

21

,76

2

1,7

3

22

,2

LD

R

76

,8

80

8

3,5

8

89

,7

89

,42

9

1,9

5

90

,95

8

9,5

8

9,6

8

9,5

2

90

,32

N

PL

2,9

2

,6

1,9

1

,77

2

,2

2,4

9

2,7

3

2,8

7

2,8

3

2,9

3

3,1

P

ertum

bu

han

Kred

it 2

3,2

8

24

,67

2

3,1

3

21

,35

1

1,5

6

10

,12

9

,31

8

,05

8

,88

9

,13

1

0,3

8

12

,1

Edisi III / Agustus 2016 | Tinjauan Ekonomi, Keuangan, & Fiskal 59

Data Pen

yerapan

APB

N s.d

. Jun

i 2016

U

raian

2015

2016

AP

BN

P R

ealisasi (U

nau

dited

) %

AP

BN

P A

PB

N

Jan

Feb M

ar A

pr

Mei

Jun

A. P

end

apatan N

egara dan

Hib

ah 1.76

1,6 1.50

4,5 85

,4%

1.822,5

82,6

156,2 247,6

386,5

496,8

634,7

I. P

enerim

aan D

alam N

egeri 1

.75

8,3

1

.49

4,1

8

5,0

%

1.8

20

,5

82

,6

15

6,2

2

47

,6

38

6,3

4

96

,1

63

4,1

1

. Pen

erimaan

Perp

ajakan

1.4

89

,3

1.2

40

,4

83

,3%

1

.54

6,7

7

0,9

1

32

,5

20

4,7

3

20

,6

40

6,9

5

22

a. Pajak D

alam N

egeri

1.4

40

,0

1.2

05

,5

83

,7%

1

.50

6,6

6

8,0

1

26

,7

19

6,0

3

09

,1

39

2,6

5

04

,7

b

. Pajak P

erd

agangan

Intern

asion

al 4

9,3

3

4,9

7

0,8

%

40

,1

2,9

5

,8

8,7

1

1,4

1

4,3

1

7,3

2

. Pen

erimaan

Negara B

ukan

Pajak

26

9,1

2

53

,7

94

,3%

2

73

,8

11

,7

23

,7

42

,9

65

,8

89

,2

11

2,1

a. Pen

erimaan

Sum

ber D

aya Alam

1

18

,9

10

2,3

8

6,0

%

12

4,9

4

,2

9,4

1

3,8

1

7,2

2

3

27

,4

b

. Bagian

Laba B

UM

N

37

,0

37

,6

10

1,6

%

34

,2

0,0

0

,0

0,0

1

0

19

,8

24

,8

c. P

NB

P Lain

nya

90

,1

78

,5

87

,1%

7

9,4

7

,4

13

,6

21

,6

29

3

4,2

4

1,8

d. P

end

apatan

BLU

2

3,1

3

5,2

1

52

,4%

3

5,4

0

,1

0,6

7

,5

9,5

1

2,1

1

8,1

II. Hib

ah

3,3

1

0,4

3

15

,2%

2

,0

0,0

0

,0

0,0

0

,2

0,7

0

,6

B. B

elanja N

egara 1.98

4,1 1.79

6,6 90

,5%

2.095,7

150,3 242,9

390,9 54

4,8 68

5,8 86

5,4

I Belan

ja Pem

erintah

Pu

sat 1

.31

9,5

1

.17

3,6

8

8,9

%

1.3

25

,6

50

,2

10

9,9

1

93

,5

27

6,2

3

57

,4

48

1,3

1

. Belan

ja Pegaw

ai 2

99

,3

28

1,1

9

3,9

%

34

7,5

2

4,6

5

1,2

7

3,1

9

7,3

1

19

,9

15

6,9

2

. Belan

ja Baran

g 2

59

,7

23

2,4

8

9,5

%

32

5,4

1

,1

7,4

2

4,6

4

2,4

6

4,5

9

4,6

3

. Belan

ja Mo

dal

25

2,8

2

09

,0

82

,7%

2

01

,6

1,5

5

,4

10

,2

18

2

7,2

4

4,4

4

. Pem

bayaran

Kew

ajiban

Utan

g 1

55

,7

15

6,0

1

00

,2%

1

84

,9

18

,1

25

,7

52

,9

63

,5

78

,8

87

,3

5. Su

bsid

i 2

12

,1

18

6,0

8

7,7

%

18

2,6

3

,0

14

,6

21

,1

40

,3

47

,5

72

,3

6. B

elanja H

ibah

4

,6

3,1

6

7,4

%

4,0

0

,0

0,0

0

,0

0,1

0

,2

0,2

7

. Ban

tuan

Sosial

10

3,6

9

7,0

9

3,6

%

54

,9

1,7

3

,5

9,2

1

2,1

1

6,8

2

2,9

8

. Belan

ja Lainn

ya 3

1,7

8

,9

28

,1%

2

4,7

0

,1

2,2

2

,3

2,4

2

,5

2,8

II. Transfe

r Ke D

aerah D

an D

ana D

esa

66

4,6

6

23

,0

93

,7%

7

70

,2

10

0,1

1

33

,0

19

7,4

2

68

,6

32

8,4

3

84

1

. Transfer ke D

aerah

64

3,8

6

02

,2

93

,5%

7

23

,2

10

0,1

1

33

,0

19

0,3

2

51

3

04

,8

35

7,2

a. Dan

a Pe

rimb

angan

5

21

,8

48

5,8

9

3,1

%

70

0,4

1

00

,1

13

2,9

1

90

,2

24

4,8

2

96

,3

34

8,7

i. D

ana Tran

sfer Um

um

4

63

,0

43

1,0

9

3,1

%

49

1,5

8

9,0

1

20

,5

15

3,1

1

86

,2

22

7,4

2

77

,8

- Dan

a Bagi H

asil 1

10

,1

78

,1

70

,9%

1

06

,1

24

,8

24

,8

25

,6

26

,2

35

,1

53

,6

- Dan

a Alo

kasi Um

um

3

52

,9

35

2,9

1

00

,0%

3

85

,4

64

,2

95

,7

12

7,5

1

60

1

92

,3

22

4,2

ii. D

ana Tran

sfer K

hu

sus

58

,8

54

,9

93

,4%

2

08

,9

11

,2

12

,4

37

,2

58

,6

68

,9

70

,9

b

. Dan

a Insen

tif Dae

rah

- -

- 5

,0

0,0

0

,0

0,0

2

,9

2,9

2

,9

c. D

ana O

ton

om

i Kh

usu

s dan

Keistim

ewaan

D

IY 1

7,6

1

7,6

1

00

,0%

1

7,8

0

,0

0,1

0

,1

3

,3

5

,6

5

,6

d

. Dan

a Transfer Lain

nya

10

4,4

9

8,8

9

4,6

%

0,0

0

,0

0,0

0

,0

- -

-

2

. Dan

a Desa

20

,8

20

,8

10

0,0

%

47

,0

0,0

0

,0

7,1

1

7,6

2

3,7

2

6,8

C

. Keseim

ban

gan P

rimer

(66

,8)

(13

6,1

) 2

03

,7%

(8

8,2

) (4

9,5

) (6

1,0

) (9

0,3

) (9

4,7

) (1

10

,2)

(14

3,4

) D

. Surp

lus/D

efisit An

ggaran (A

- B)

(22

2,5

) (2

92

,1)

13

1,3

%

(27

3,2

) (6

7,7

) (8

6,7

) (1

43

,3)

(15

8,2

) (1

89

) (2

30

,7)

E. Pemb

iayaan 222,5

318,1 14

3,0%

273,2 71,2

74,0 165,9

203,3

214,8

276,6

I. P

emb

iayaan D

alam N

egeri 2

42

,5

3,8

1

,6%

2

72

,8

74

,2

72

,0

16

7,8

2

09

,9

22

3,9

3

00

,9

Ii. P

emb

iayaan Lu

ar Nege

ri (neto

) (2

0,0

) 1

0,4

-5

2,0

%

0,4

(2

,9)

2,0

(1

,9)

-6,7

-9

-2

4,3

1

. Pen

arikan P

injam

an Lu

ar Negeri (B

ruto

) 4

8,6

7

7,5

1

59

,5%

7

5,1

0

,7

7,4

7

,8

8,9

1

1,7

1

3,2

a. Pin

jaman

Pro

gram

7,5

5

5,1

7

34

,7%

3

6,8

0

,0

6,7

6

,7

6,7

6

,7

6,7

b. P

injam

an P

royek

41

,1

22

,4

54

,5%

3

8,3

0

,7

0,7

1

,1

2,2

5

6

,4

2. P

eneru

san SLA

(4

,5)

(1,1

) 2

4,4

%

(5,9

) 0

,0

0,0

0

,0

0,0

(0

,2)

(0,3

)

3

. Pem

bayaran

Cicilan

Po

kok U

tang LN

(6

4,2

) (6

6,0

) 1

02

,8%

(6

8,8

) (3

,6)

(5,4

) (9

,8)

(15

,6)

(20

,6)

(37

,2)

60 Edisi III / Agustus 2016 | Tinjauan Ekonomi, Keuangan, & Fiskal

Halaman ini sengaja dikosongkan

Edisi III / Agustus 2016 | Tinjauan Ekonomi, Keuangan, & Fiskal 61

62 Edisi III / Agustus 2016 | Tinjauan Ekonomi, Keuangan, & Fiskal